ilegal fishing

21
BAB II Pembahasan I.Kronologi Kasus Kapal illegal dari negara tetangga Malaysia ditangkap oleh Kapal patroli Polisi 1001-II milik Polda Sumatra Utara yaitu 1 (satu) kapal illegal fishing KM. PKFB 628 lebih kurang GT 60 dengan Nahkoda Mr. Win Naing kebangsaan Myamar yang menggunakan alat tangkap trawl di perairan teritorial selat Malaka pada tanggal 30 September 2012 jam 17.00 WIB pada posisi 03º57’00” LU – 099º29’00” BT sekitar 11 mil utara pulau Berhala Kabupaten Serdang Berdagai Propinsi Sumatra Utara. Kronologi penangkapan ketika Kapal patroli Polisi 1001- II milik Polda Sumatra Utara yang dinahkodai oleh Bripka R. Lubis, SH sedang melakukan patroli rutin di perairan Selat Malaka, melihat kapal yang yang sedang melakukan penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl, ketika diperiksa ternyata kapal tersebut tidak bisa memperlihatkan dokumen perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, selain itu menggunakan alat tangkap terlarang yaitu trawl. Barang bukti diamankan oleh Kapal patroli Polisi 1001-II milik Polda Sumatra Utara adalah 1 unit Kapal KM. PKFB 628 , satu set alat tangkap trawl dan ikan campuran lebih kurang 2 blong. 1

Upload: topan-rezki-erlando

Post on 06-Aug-2015

250 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

MAKALAH ILEGAL FISHING

TRANSCRIPT

Page 1: ILEGAL FISHING

BAB II

Pembahasan

I.Kronologi Kasus

  Kapal illegal dari negara tetangga Malaysia ditangkap oleh Kapal patroli Polisi 1001-

II milik Polda Sumatra Utara yaitu 1 (satu) kapal illegal fishing KM. PKFB 628 lebih kurang

GT 60 dengan Nahkoda Mr. Win Naing kebangsaan Myamar yang menggunakan alat

tangkap trawl di perairan teritorial selat Malaka pada tanggal 30 September 2012 jam 17.00

WIB pada posisi 03º57’00” LU – 099º29’00” BT sekitar 11 mil utara pulau Berhala

Kabupaten Serdang Berdagai Propinsi Sumatra Utara. 

Kronologi penangkapan ketika Kapal patroli Polisi 1001-II milik Polda Sumatra

Utara yang dinahkodai oleh Bripka R. Lubis, SH sedang melakukan patroli rutin di perairan

Selat Malaka, melihat kapal yang yang sedang melakukan penangkapan ikan dengan alat

tangkap trawl, ketika diperiksa ternyata kapal tersebut tidak bisa memperlihatkan dokumen

perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, selain itu

menggunakan alat tangkap terlarang yaitu trawl. Barang bukti diamankan oleh Kapal patroli

Polisi 1001-II milik Polda Sumatra Utara adalah 1 unit Kapal KM. PKFB 628 , satu set alat

tangkap trawl dan ikan campuran lebih kurang 2 blong.

Kapal KM. PKFB 628 dengan Nahkoda Mr. Win Naing kebangsaan Myamar . Saat

ini kapal disandarkan di Dermaga Pelabuhan Polisi Perairan Polda Sumatra Utara di Gudang

Arang untuk proses lebih lanjut.

Menurut bapak Ranu Subroto, SH Kejari Belawan Surat pemberitahuan dimulai

penyidikan kapal tersebut tertanggal 3 Oktober 2012 yang diterima tgl 4 Oktober 2012. Lebih

lanjut menurut beliau bahwa selama tahun 2012 ini sudah delapan kasus kapal illegal fishing

yang diserahkan ke Kejaksaan Negeri Belawan untuk diproses lebih lanjut yaitu 7 unit kapal

yang diserahkan oleh Stasiun Pengawasan SDKP Belawan Kementerian Kelautan dan

Perikanan dan satu lagi yg baru masuk dari Polisi Perairan Polda Sumut.

Dari 7 kapal yg diserahkan oleh  Stasiun Pengawasan SDKP Belawan Kementerian

Kelautan dan Perikanan yaitu 6 kapal illegal fishing berbendera Thailand semuannya sudah 1

Page 2: ILEGAL FISHING

inkrah dari Pengadilan Negeri Medan dengan keputusan Kapal disita oleh negara. Sedangkan

satu lagi baru kapal illegal fishing Malaysia hari ini dikelurkan P21. Menurut Mukhtar, A.Pi,

M.Si kapal Malaysia yaitu KM. PKFA 8096 dengan Nahkoda Mr. Soe Min Lat kebangsaan

Myamar akan diserahterimakan hari senin tgl 8 Nopember 2012.Menurut laporan Pokmaswas

dan masyarakat Pulau Berhala kerap kali kapal kapal Illegal Fishing Malaysia mendekati pulau

berhala kalau tidak ada aparat dari RI.

II .Pengaturan Secara Hukum

A. UNCLOS 1982

Dalam konvensi UNCLOS 1982 telah diatur secara umum mengenai hal-hal terkait

penangkapan ikan yaitu pada pasal 42 dan 61,62 ,73,111

Pasal 42 ayat 1 butir c yang berbunyi “Dengan tunduk pada ketentuan bagian ini, Negara yang

berbatasan dengan selat dapat membuat peraturan perundangundangan yang bertalian dengan

lintas transit melalui selat, mengenai semua atau setiap hal berikut (c) bertalian dengan kapal

penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara penyimpanan alat penangkap

ikan;”

Pasal 61

Konservasi sumber kekayaan hayati

1. Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat

diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya.

2. Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus

menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat

sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak

dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Di mana Negara pantai dan organisasi

internasional berwenang, baik sub-regional, regional maupun global, harus bekerja sama

untuk tujuan ini.

3. Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis

yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang

lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan,

termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus

Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling 2

Page 3: ILEGAL FISHING

ketergantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang diajukan

secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global.

4. Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat

terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan

dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan

atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam.

5. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data

lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan

dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-

regional, regional maupun global di mana perlu dan dengan peran serta semua Negara

yang berkepentingan, termasuk Negara yang warganegaranya diperbolehkan

menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif.

Pasal 62

Pemanfaatan sumber kekayaan hayati

1. Negara pantai harus menggalakkan tujuan pemanfatan yang optimal sumber kekayaan

hayati di zona ekonomi eksklusif tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 61.

2. Negara pantai harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber

kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif. Dalam hal Negara pantai tidak memiliki

kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat dibolehkan,

maka Negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai

dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat 4,

memberikan kesempatan pada Negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang

dapat diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan

pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan Negara berkembang yang disebut di

dalamnya.

3. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain memasuki zona

ekonomi eksklusifnya berdasarkan ketentuan Pasal ini, Negara pantai harus

memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk inter alia pentingnya sumber

kekayaan hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara pantai yang bersangkutan dan

kepentingan nasionalnya yang lain, ketentuan pasal 69 dan 70, kebutuhan Negara

3

Page 4: ILEGAL FISHING

berkembang di sub-region atau region itu dalam memanfaatkan sebagian dari surplus

dan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warganegaranya

sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut atau telah sungguh-sungguh melakukan

usaha riset dan identifikasi persediaan jenis ikan.

4. Warganegara Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus

mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan perundang-undangan ini

harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan dapat meliputi, antara lain hal-hal

berikut :

(a) pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya, termasuk

pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang

berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan,

peralatan dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan;

(b) penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kwota-kwota

penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau kelompok

persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat

ditangkap oleh warganegara suatu Negara selama jangka waktu tertentu;

(c) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat

penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang

boleh digunakan;

(d) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn boleh ditangkap;

(e) perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk

statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;

(f) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan Negara pantai, dilakukannya

program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian,

termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan

data ilmiah yang berhubungan;

(g) penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh Negara pantai;

(h) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan

Negara pantai;

4

Page 5: ILEGAL FISHING

(i) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan

kerjasama lainnya;

(j) persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk

peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan;

(k) prosedur penegakan.

5. Negara pantai harus mengadakan pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai

peraturan konservasi dan pengelolaan

Pasal 73

Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan

eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona

ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa,

menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin

ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan

Konvensi ini.

2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah

diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.

3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-

undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika

tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap

bentuk hukuman badan lainnya.

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera

memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai

tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.

Pasal 111

Hak Pengejaran seketika

(Right of hot pursuit)

5

Page 6: ILEGAL FISHING

1. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang

dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah

melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus

dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan

pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan

hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu

tidak terputus. Adalah tidak perlu bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut

teritorial atau zona tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi

perintah itu juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing

tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33,

pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak

untuk perlindungan mana zona itu telah diadakan.

2. Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran

di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen, termasuk zona-zona keselamatan

disekitar instalasi-instalasi di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan

Negara pantai yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi eksklusif

atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian.

3. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut

teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga.

4. Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali jika kapal yang mengejar

telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis yang demikian yang mungkin tersedia,

bahwa kapal yang dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal lain yang bekerjasama

sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk berada

dalam batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona

tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen. Pengejaran hanya

dapat mulai setelah diberikan suatu tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu

jarak yang memungkinkan tanda itu dilihat atau didengar oleh kapal asing itu.

5. Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat

udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas

dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan

berwenang untuk melakukan tugas itu.

6. Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara :

6

Page 7: ILEGAL FISHING

(a) ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis mutandis;

(b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan

pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai

yang dipanggil oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih

pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan

penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup untuk membenarkan suatu

penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat

udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu tidak

diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri atau oleh

pesawat udara atau kapal lain yang melanjutkan pengejaran itu tanpa terputus.

7. Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke

pelabuhan Negara itu untuk keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang

berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu dalam

melakukan perjalanannya, dikawal melalui sebagian dari zona ekonomi eksklusif atau

laut lepas jika keadaan menghendakinya.

8. Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial dalam keadaan

yang tidak membenarkan dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu

harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan yang telah diderita

karenanya.

B. UU No 45 tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 2004

Tentang Perikanan

Pasal 5 ayat 1 butir a yaitu” Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk

penangkapan ikandan/atau pembudidayaan ikan meliputi(:a) perairan Indonesia;

Pasal 8

(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan

menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau

bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan. Kelestarian sumber daya ikan

dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal

yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis,

7

Page 8: ILEGAL FISHING

bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia.

(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan

perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan

biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia.

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,

dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang melakukan usaha

pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat

dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian

sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indanesia.

(5) Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau

bangunan untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), diperbolehkan hanya untuk penelitian.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,

alat dan/atau cara, dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) , diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

(1) Setiap orang yang melakukan usaha perikan di bidang penangkapan, pembudidayaan,

pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia wajib memiliki SIUP.

(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi

nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil.

Pasal 38

(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan

ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan

alat penangkapan ikan di dalam palka.

(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan

dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang

membawa alat penangkapan ikan lainnya.

8

Page 9: ILEGAL FISHING

(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan

wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah

penang.kapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

Pasal 84

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan

kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat

merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan denda paling banyak Rpl.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Pasal 92

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan,

pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda

paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratusjuta rupiah).

Pasal 95

Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak

mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1),

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 27 ayat 2 “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan

berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI.”

Pasal 9

(1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat

penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia.

9

Page 10: ILEGAL FISHING

(2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang

mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 93 ayat 2 “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan

berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama

6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)”.

Selain itu pengaturan lain yang lebih spesifik diatur dalam peraturan

menteri,keputusan menteri, keputusan presiden yaitu, Peraturan Menteri no.2 tahun 2011

tentang Jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu

penangkapan ikan diwilayah pengelolaan perikanan Negara republik Indonesia ,Per

49/MEN/2011 tentang perubahan Per no 14/MEN/2011 tentang usaha perikanan tangkap,Per

15/MEN/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementrian kelautan dan perikanan,Keputusan

menteri no 6 tahun 2010 tentang alat penangkapan ikan diwilayah pengelolaan perikanan

Negara republik Indonesia dan lain-lain.

Berdasarkan hukun nasional maka kapal tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf (a)

Jo pasal 92 Jo pasal 26 ayat (1), pasal 93 ayat (2) Jo pasal 27 ayat (2), pasal 95 jo pasal 9

huruf c UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan dengan ancaman denda Rp. 20 Miliar dan dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun.

III.Upaya Penyelesaian Perkara Illegal Fishing

Perkara illegal fishing sangat sering ditemui di Indonesia,menurut penulis untuk

menanggulangi kasus illegal fishing tidak perlu dibuat suatu UU khusus,karena dikhawatirkan

akan menimbulkan tumpang tindih aturan dan menhasilkan ketidakpastian hukum. upaya

10

Page 11: ILEGAL FISHING

pencegahan dan penyelesaian perkara yang dapat ditempuh yaitu berupa peningkatan

perizinan,pengawasan ,dan penegakan hukum ,seperti :

1. Praktik illegal fishing termasuk dalam katagori kejahatan lintas negara (trans-

boundary carime). Kategori kejahatan tersebut tidak bisa diatasi sendiri oleh

suatu negara. Indonesia tidak akan efektif mengatasi persoalan illegal fishing

tanpa dibantu negara lain. Oleh karena itu Indonesia harus membuka diri

membangun hubungan kerjasama dengan negara lain, utamanya negara

tetangga yang memiliki kesamaan dalam hal visi dan kepentingan.

2. Meningkatkan Peran dari penegak hukum yaitu TNI AL dan polisi beserta

KKP dalam pengawasan menjaga perbatasan dan ijin penangkapan yang tidak

dimiliki oleh pada nelayan

3. Meningkatkan peran dari Pemerintah Daerah dalam menanggulangi dan

menindak tegas nelayan-nelayan dari yang tidak memiliki ijin. Peran

pemerintah daerah lebih besar pada illegal fishing karena sebagai pihak yang

berhadapan langsung dengan para pelaku illegal fishing di lapangan. Dari sisi

dampak, daerah lah yang lebih banyak mendapat kerugian baik secara sosial

maupun ekonomi. Oleh karena itu, kerjasama antar pemerintah daerah dan

pusat perlu diwujudkan. Regionalisasi pengolaan perikanan dapat dalam

bentuk kerjasama daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan perairan

tertentu dalam rangka pengelolaan perikanan.Beberapa langkah yang perlu

dilakukan yaitu :

a) pembentukan forum kerjasama yang melibatkan berbagai pemangku

kepentingan dengan tujuan untuk mencegah, meniadakan, dan

mengurangi illegal fishing

b) Pemerintah pusat mengarahkan serta membagi kewenangan dan

tanggung jawab pengelolaan sumberdaya perikanan kepada forum

pemangku kepentingan di tingkat regional

c) Forum melakukan tindakan operasionalisasi wewenang dan tanggung

jawab tersebut dalam penanggulangan illegal fishing. Melalui

regionalisasi pengelolaan perikanan tersebut diharapkan akan terjadi

proses penguatan kelembagaan daerah, efisiensi pelaksanaan tindakan

pengelolaan dan konservasi sumberdaya dan distribusi manfaat

sumberdaya lebih adil diantara pemangku kepentingan baik ditingkap

pusat maupun daerah

11

Page 12: ILEGAL FISHING

4. Peran nelayan dapat sekaligus sebagai sumber informasi dari kegiatan illegal

fishing.

5. LSM dan lembaga internasional dalam hal pengawasan

6. Penataan hukum dan kelembagaan beserta pelaksanaan hukum yang baik

menjadi peran penting untuk menanggulangi kegiatan illegal fishing.

BAB III

12

Page 13: ILEGAL FISHING

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Indonesiayang terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua

samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah perairannya sangat

rawan terjadi penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing)

2. Kasus illegal fishing kerap kali dilakukan oleh kapal warga Negara asing

(WNA) yang tidak memiliki surat-surat resmi seperti SIUP dan SIPI yang

menangkap ikan dengan cara yang dilarang seperti mengunakan trawl atau

pukat harimau.

3. Pengaturan yang terkait dengan Negara pantai dan penangkapan ikan lintas

Negara diatur secara umum dalam Konvensi UNCLOS 1982 yaitu pada pasal

42 dan 61,62 ,73,111

4. Sedangkan pengaturan secara nasional diatur dalam UU no 45 tahun 2009

Tentang Perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

yaitu pada pasal 27,9,93,95, dll.

5. Selain itu pengaturan tambahan yang lebih spesifik dapat ditemukan dalam,

Peraturan Menteri no.2 tahun 2011 tentang Jalur penangkapan ikan dan

penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan diwilayah

pengelolaan perikanan Negara republik Indonesia ,Per 49/MEN/2011 tentang

perubahan Per no 14/MEN/2011 tentang usaha perikanan tangkap,Per

15/MEN/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementrian kelautan dan

perikanan,Keputusan menteri no 6 tahun 2010 tentang alat penangkapan ikan

diwilayah pengelolaan perikanan Negara republik Indonesia dan lain-lain.

6. Upaya penyelesaian dapat dilakukan dengan cara meningkatkan selektivitas

pemberian izin bagi kapal dan kegiatan penangkapan ikan,meningkatkan peran

kepolisian,TNI AU,pemerintah daerah,LSM,lembaga internasional dan juga

para nelayan local yang dalam hal ini langsung berhadapan dengan kasus

illegal fishing

7. Selain itu upaya menjalin kerjasama dengan Negara lain terutama yan

perairannya langsung berbatsan dengan Indonesia

B. Saran

13

Page 14: ILEGAL FISHING

Perkara illegal fishing sebenarnya dapat diminimalisir dengan memperbaiki kualitas

penegakan hokum dalam negeri terlebih dahulu,terutama perbaikan moral bagi oknum

yang sering menyalahgunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

14