2 smoking-bhs indonesia

6
Menurut laporan WHO terakhir mengenai konsumsi tembakau dunia, angka prevalensi merokok di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan 46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang diklasifikasikan sebagai perokok (WHO, 2011). Jumlah perokok mencapai 62,8 juta, 40 persen di antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah. Meskipun faktanya kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan lebih dari 200.000 (Barber dkk., 2008) kematian per tahunnya, Indonesia merupakan satu- satunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau 1 . Sejak awal 2000 kebijakan mengenai merokok di Indonesia telah mulai difokuskan pada aspek kesehatan. Pada 2003 (Peraturan Pemerintah No. 19) Pemerintah Indonesia telah menerapkan peraturan yang mengharuskan mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan rokok. Kalimat tepatnya adalah: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin’. Sebesar 10 persen halaman muka kemasan rokok harus disediakan untuk tulisan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan. Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 88/2010 melarang merokok di kantor dan tempat umum. Peraturan tersebut diikuti oleh peraturan di kota-kota lainnya yang melarang merokok di tempat-tempat umum dan membatasi iklan rokok. Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.001/2009 telah manaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok ini disambut baik oleh kelompok- 1 http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/index. html kelompok advokasi yang mendukung upaya pencegahan kebiasaan merokok mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya pada kesehatan. Saat ini DPR sedang menyusun draf Rancangan Undang Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (RUU-PDPTTK) 2011 tentang dampak negatif tembakau. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia telah melakukan beberapa survei mengenai kebiasaan merokok. Salah satu survey pada 2011 menemukan angka prevalensi merokok di kalangan penduduk usia 20 tahun ke atas di Jakarta dan Sukabumi mencapai 68 persen di kalangan laki-laki dan 8 persen perempuan (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2001). Sebuah survei tentang pengaruh tulisan peringatan kesehatan di kemasan rokok terhadap kebiasaan merokok menemukan bahwa 90 persen responden membaca peringatan tersebut tetapi hanya 42,5 persen responden tidak percaya bahwa masalah kesehatan akan berdampak pada diri mereka. Lebih dari seperempat perokok menyatakan bahwa mereka sudah mulai berfikir untuk berhenti merokok dan 25,8 persen sama sekali tidak peduli (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2007). Tujuan makalah latar belakang kebijakan ini adalah untuk memberi informasi mengenai perdebatan kebijakan pengendalian produk tembakau melalui sebuah tinjauan terhadap data statistik terakhir yang berkaitan dengan pola-pola kebiasaan merokok di Indonesia. Pola Gender Merokok Sebagaimana ditunjukkan oleh Figur 1, ada perbedaan tajam angka prevalensi merokok di Indonesia dimana kebiasaan itu jarang dilakukan oleh perempuan. Survei Transisi Penduduk Dewasa Muda di Jakarta dan Sekitarnya 2010 (20-34 tahun ke atas, N=3006) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan pendidikan The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey Policy Background No. 2 Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di Indonesia Anna Reimondos, Iwu Dwisetyani Utomo, Peter McDonald, Terence Hull, Heru Suparno, dan Ariane Utomo

Upload: merry-dhamayanti

Post on 30-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

no

TRANSCRIPT

Page 1: 2 Smoking-Bhs Indonesia

Menurut laporan WHO terakhir mengenai konsumsi tembakau dunia, angka prevalensi merokok di Indonesia merupakan salah satu di antara yang tertinggi di dunia, dengan 46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan usia 10 tahun ke atas yang diklasifikasikan sebagai perokok (WHO, 2011). Jumlah perokok mencapai 62,8 juta, 40 persen di antaranya berasal dari kalangan ekonomi bawah.

Meskipun faktanya kebiasaan merokok menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dan menyebabkan lebih dari 200.000 (Barber dkk., 2008) kematian per tahunnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di wilayah Asia Pasifik yang belum menandatangani Kerangka Konvensi WHO tentang Pengendalian Tembakau1.

Sejak awal 2000 kebijakan mengenai merokok di Indonesia telah mulai difokuskan pada aspek kesehatan. Pada 2003 (Peraturan Pemerintah No. 19) Pemerintah Indonesia telah menerapkan peraturan yang mengharuskan mencantumkan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan pada setiap kemasan rokok. Kalimat tepatnya adalah: ‘merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin’. Sebesar 10 persen halaman muka kemasan rokok harus disediakan untuk tulisan peringatan bahaya merokok bagi kesehatan.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 88/2010 melarang merokok di kantor dan tempat umum. Peraturan tersebut diikuti oleh peraturan di kota-kota lainnya yang melarang merokok di tempat-tempat umum dan membatasi iklan rokok. Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.001/2009 telah manaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok ini disambut baik oleh kelompok-

1 http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/index.

html

kelompok advokasi yang mendukung upaya pencegahan kebiasaan merokok mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya pada kesehatan. Saat ini DPR sedang menyusun draf Rancangan Undang Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (RUU-PDPTTK) 2011 tentang dampak negatif tembakau.

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia telah melakukan beberapa survei mengenai kebiasaan merokok. Salah satu survey pada 2011 menemukan angka prevalensi merokok di kalangan penduduk usia 20 tahun ke atas di Jakarta dan Sukabumi mencapai 68 persen di kalangan laki-laki dan 8 persen perempuan (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2001). Sebuah survei tentang pengaruh tulisan peringatan kesehatan di kemasan rokok terhadap kebiasaan merokok menemukan bahwa 90 persen responden membaca peringatan tersebut tetapi hanya 42,5 persen responden tidak percaya bahwa masalah kesehatan akan berdampak pada diri mereka. Lebih dari seperempat perokok menyatakan bahwa mereka sudah mulai berfikir untuk berhenti merokok dan 25,8 persen sama sekali tidak peduli (Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 2007).

Tujuan makalah latar belakang kebijakan ini adalah untuk memberi informasi mengenai perdebatan kebijakan pengendalian produk tembakau melalui sebuah tinjauan terhadap data statistik terakhir yang berkaitan dengan pola-pola kebiasaan merokok di Indonesia. Pola Gender Merokok

Sebagaimana ditunjukkan oleh Figur 1, ada perbedaan tajam angka prevalensi merokok di Indonesia dimana kebiasaan itu jarang dilakukan oleh perempuan.

Survei Transisi Penduduk Dewasa Muda di Jakarta dan Sekitarnya 2010 (20-34 tahun ke atas, N=3006) menunjukkan bahwa jenis kelamin dan pendidikan

The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey

Policy Background No. 2

Merokok dan Penduduk Dewasa Muda di Indonesia

Anna Reimondos, Iwu Dwisetyani Utomo, Peter McDonald, Terence Hull,

Heru Suparno, dan Ariane Utomo

Page 2: 2 Smoking-Bhs Indonesia

2

merupakan faktor penting terhadap kebiasaan merokok. Laki-laki lebih besar kemungkinannya untuk merokok dan mereka yang berpendidikan tinggi lebih kecil kemungkinan untuk merokok (Tabel 1 dan Tabel 2). Bagi mereka yang merokok setiap hari, jumlah

rokok yang dihisap antara 1-60 batang dengan rata-rata 10,9 batang. Bagi mereka yang sesekali merokok, konsumsinya antara 1-24 batang dengan rata-rata 3,3 batang per hari.

Tabel 1. Pola merokok laki-laki (persentase baris tertimbang), Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, 2011

Bukan perokok Perokok

Total % Total N

Tidak pernah

merokok Dulu

perokok

Perokok- setiap

hari Perokok- sesekai

Kelompok umur**

20-24 26 8 55 11 100 471

25-29 31 8 51 9 100 386

30-34 21 6 66 7 100 383

Pendidikan tertinggi** SD atau kurang 22 5 60 14 100 110

SMP 15 5 72 8 100 189

SLTA 24 7 60 9 100 692

Diploma/Sertifikat 39 8 38 14 100 90

Sarjana 40 13 40 7 100 158

Total 26 7 57 9 100 1,240

Sumber: The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey

Figur 1. Persentase laki-lai dan perempuan saat ini merokok (berbagai survei)

Survei Populasi

NSES (National Socio-Economic Survey) 2001: Usia 15+ tidak termasuk Aceh dan Maluku (dari Kementerian Kesehatan 2004, Tabel 1.2).

DHS 2007: Hanya perempuan pernah menilah 15+

DHS 2007 (Youth): Uisa 15-24

Young adults survey 2010: Usia 20-34 (Jakarta, Tangerang, Bekasi)

Survei Prevalensi Perokok di Wilayah DKI Jakarta dan Kabupaten Sukabumi, Puslitkes UI, 2001:

Usia 20+

0

10

20

30

40

50

60

70

80

NSES 2001 DHS 2007 DHS (Youth) 2007 Young adults survey 2010

Survei Prevalensi Perokok di Wilayah

DKI Jakarta dan Kabupaten

Sukabumi, Puslitkes UI, 2001

% p

ero

kok

saat

ini

Laki-laki Perempuan

Page 3: 2 Smoking-Bhs Indonesia

3

Tabel 2. Pola merokok perempuan (persentase baris tertimbang), Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, 2011

Bukan perokok Perokok

Total % Total N

Tidak pernah

merokok Dulu

perokok

Perokok- setiap

hari Perokok- sesekali

Kelompok umur** 20-24 90 5 2 2 100 471

25-29 92 4 3 2 100 572

30-34 91 6 3 0 100 654

Pendidikan tertinggi** SD atau kurang 97 2 2 0.2 100 297

SMP 93 4 2 2 100 318

SLTA 89 6 3 2 100 773

Diploma/Sertifikat 92 4 4 1 100 169

Sarjana 86 6 5 2 100 195

Total 91 5 3 2 100 1,753

Sumber: The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey

Penelitian kualitatif menekankan bahwa merokok diterima sebagai bagian perilaku normal bagi laki-laki, bahkan dianggap sebagai simbol kejantanan (Ng dkk., 2007). Bahwa merokok dapat meningkatkan kenjantanan laki-laki juga banyak dipromosikan lewat iklan-iklan rokok (Nichter dkk., 2009). Sementara laki-laki merokok dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, dari sisi budaya merokok di kalangan perempuan dianggap sebagai perilaku menyimpang (Barraclough, 1999; Ng dkk., 2007). Barraclough (1999) memberi catatan bahwa sebenarnya pandangan budaya terhadap perempuan merokok yang dianggap diskriminatif dan sebagai sebuah stigma merupakan sesuatu yang pada akhirnya memberi dampak positif terhadap kesehatan perempuan, karena pandangan budaya tersebut telah membuat angka prevalensi merokok di kalangan perempuan menjadi rendah.

Meskipun secara nasional tidak cukup tersedia data longitudinal untuk mengetahui secara pasti apakah angka prevalensi merokok di kalangan perempuan meningkat, namun beberpa bukti menunjukkan bahwa kebiasaan merokok terus meningkatkan di kalangan remaja putri (Aditama dkk., 2006). Ada pendapat bahwa sikap yang menganggap perempuan merokok tidak sesuai dengan budaya, sekarang melunak terutama pada masyarakat yang terpengaruh budaya kota (Barraclough, 1999). Analisis baru-baru ini tentang iklan rokok di Indonesia juga menekankan bahwa sejak 2002 sejumlah iklan merek rokok menggambarkan perempuan muda penuh gaya dan memberi pesan yang mempromosikan bahwa merokok untuk perempuan modern sekarang sudah bisa diterima. Konsisten dengan hal ini, Tabel 2 menunjukkan bahwa perempuan yang berpendidikan

lebih tinggi lebih mungkin menjadi perokok dibanding mereka dengan pendidikan yang lebih rendah.

Meskipun angka prevalensi merokok di kalangan perempuan saat ini relatif rendah, perempuan dan anak-anak masih mempunyai resiko kesehatan sebagai perokok pasif yang disebabkan adanya laki-laki merokok di rumah atau di tempat-tempat tertutup lainnya (Barraclough, 1999). Menurut survei Perokok Muda Dunia 2006 (Global Youth Tobacco Survey), 6 dari 10 siswa usia 13-15 mempunyai satu atau lebih orangtua perokok, dan 65 persen tinggal di rumah dimana ada orang lain yang merokok (WHO, 2009). Di tingkat nasional, analisis Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001 memperkirakan bahwa hampir 50 persen dari total penduduk terkena dampak perokok pasif yang disebabkan oleh anggota keluarga yang merokok di dalam rumah (Kementerian Kesehatan, 2004). Usia Mulai Merokok di Kalangan Penduduk Muda

Usia memulai kebiasaan merokok di Indonesia relatif tergolong muda. Survei Global Youth Tobacco 2006 menemukan bahwa di antara siswa usia 13-15 tahun, 24 persen laki-laki dan 4 persen perempuan mempunyai kebiasaan merokok. Di antara mereka yang pernah mencoba merokok, sekitar 1 dari 3 laki-laki dan 1 dari 4 perempuan mencoba merokok untuk pertama kalinya sebelum berusia 10 tahun (WHO, 2009). Menurut survei tersebut, akses dan ketersediaan rokok mudah diperoleh, 6 dari 10 perokok muda usia 13-15 tahun menunjukkan bahwa mereka membeli rokok di toko. Sepanjang waktu kecenderungan usia mulai kebiasaan merokok terus

Page 4: 2 Smoking-Bhs Indonesia

4

turun ke usia yang lebih muda lagi. Usia rata-rata mulai merokok di kalangan perokok usia 15 tahun ke atas, turun dari 18.8 pada 1995 menjadi 18.3 pada 2001 (Kementerian Kesehatan, 2004).

Penduduk muda yang mulai merokok dapat menjadi kebiasaan seumur hidup tanpa pemahaman tentang akibat kebiasaan itu pada kesehatannya. Ketika bahaya merokok diajarkan di sekolah, masih ada salah pengertian mengenai bahaya merokok secara luas. Sebagai contoh, pada sebuah penelitian tentang anak-anak laki-laki Jawa usia 13-17 tahun, Ng, Weinehall, dan Öhman (2007) menemukan bahwa selain anak-anak itu dapat mengerti peringatan yang tertera pada kemasan rokok, mereka juga menyatakan bahwa merokok satu hingga dua bungkus per hari tidak akan membahayakan. Mereka tidak mengerti tentang resikonya atau bahaya jangka panjangnya. Akibat Merokok bagi Masyarakat dan Individu

Merokok telah jauh berakibat negatif terhadap kesehatan dan ekonomi masyarakat dan individu. Sudah sangat dipahami bahwa rokok adalah penyebab utama kematian, membunuh setengah masa hidup perokok (WHO, 2011). Biaya pemeliharaan kesehatan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan rokok diperkirakan mencapai Rp.11 trilyun atau atau US$1,2 juta per tahun (Barber dkk., 2008). Pada tingkat individu, merokok juga memerlukan biaya ekomomi tinggi. Menurut data dari SUSENAS 2005, pada rumah tangga dengan perokok, 11.5 persen dari total pengeluaran bulanan rumah tangga digunakan untuk rokok (Barber, et al., 2008). Pada keluarga kurang mampu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk rokok bahkan lebih besar lagi. Strategi untuk Mengendalikan Produk Tembakau

“Pengendalian produk tembakau di Indonesia mungkin tidak akan mengalami kemajuan sampai pemerintah mengevaluasi dan memperkuat peraturan yang sudah

ada, mempertimbangkan untuk mengeluarkan perturan baru yang ketat, dan mengembangkan sistem peraturan untuk penegakan hukum semua peraturan. Pemerintah Indonesia sebaiknya juga mempertim-bangkan pencapaian Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC) WHO” (Aditama dkk., 2006: 2). Serangkaian kebijakan tersedia bagi pemerintah yang berniat mengendalikan penggunaan produk tembakau, termasuk kebijakan yang mempengaruhi sisi permintaan dan persediaannya. Berikut ini adalah beberapa kebijakan yang tersedia, banyak di antaranya telah diidentifikasi oleh Kementerian Kesehatan (2004). Menaikkan Harga dan Cukai

Menaikkan harga rokok melalui kenaikan cukai yang lebih tinggi merupakan salah satu cara efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok secara keseluruhan (Barber dkk., 2008). “Cukai rokok menjadi sumber tetap pemerintah untuk mendorong penurunan pengeluaran untuk rokok, menyumbang 5,7 persen total penerimaan pajak Indonesia pada 2007. Mengingat harga dan cukai tembakau yang masih rendah, ada potensi besar untuk peningkatan pendapatan pajak yang lebih besar lagi” (Barber dkk., 2008: 13). Lebih jauh lagi, karena elastisitas harga permintaan di kalangan remaja jauh lebih besar daripada di kalangan penduduk dewasa, berarti remaja lebih besar kemungkinannya untuk mengurangi atau berhenti merokok sebagai akibat kenaikan harga tersebut. Kepedulian Masyarakat, Pendidikan, dan Program Berhenti Merokok

Program peningkatan kepedulian masyarakat penting artinya karena memungkinkan perokok dapat membuat pilihan-pilihan berdasarkan informasi mengenai total biaya merokok. Walaupun hubungan antara merokok dan kanker paru-paru dan penyakit-penyakit lainnya sudah jelas, banyak perokok masih belum peduli akan bahaya merokok terhadap dirinya dan orang-orang di sekitarnya yang terkena asap rokok (Barber, 2008). Beberapa contoh program peningkatan kepedulian masyarakat, pendidikan, dan program berhenti merokok adalah sebagai berikut:

Program pendidikan di sekolah;

Program pendidikan masyarakat dan iklan serangan balik. Program pendidikan masyarakat dan program pendidikan di tempat-tempat promosi penjualan rokok;

Ketersediaan program berhenti merokok untuk mendukung perokok yang ingin berhenti merokok.

Figur 2. Distribusi persentase laki-laki usia 15-24, yang merokok menurut usia saat pertama kali merokok

Source: DHS 2008, p. 54

17

810

21

1213

20

0

5

10

15

20

25

<=12 13 14 15 16 17 18+

Pe

rse

nta

se

Usia pada saat pertama kali mencoba merokok

Page 5: 2 Smoking-Bhs Indonesia

5

Pengemasan dan Pelabelan

Sekarang ini pada kemasan rokok hanya tertera tulisan peringatan bahaya merokok. Namun banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efektifitas peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok, termasuk:

Peraturan pemerintah mengenai ukuran dan jenis peringatan bahaya merokok;

Larangan mencantumkan kata-kata ‘mild’ dan ‘low’ pada produk tembakau;

Peringatan bahaya merokok yang lebih keras (termasuk mencantumkan foto-foto penyakit paru-paru, bibir, dan bagian tubuh lainnya).

Larangan Menyeluruh terhadap Iklan, Promosi, dan Sponsor

Melarang kupon gratis dan diskon produk tembakau;

Larangan menyeluruh sponsor produk tembakau pada acara-acara remaja;

Larangan menyeluruh media cetak dan elektronik menyiarkan iklan produk tembakau;

Larangan iklan produk tembakau di luar ruangan;

Larangan promosi produk tembakau pada anak-anak dan remaja;

Tuntutan kriminal bagi penjualan produk tembakau kepada anak-anak dan remaja usia di bawah 17 tahun.

Selain hal-hal tersebut, langkah-langkah lain yang telah diidentifkasi oleh Kementerian Kesehatan mencakup:

Melarang penjualan rokok eceran/batangan;

Memperketat larangan merokok di tempat umum;

Memperket pengawasan penyelundupan rokok.

Referensi

Aditama, T.Y., J., Pradono, K, Rahman, C.W Warren, N R Jones, S, Asma, and J. Lee, 2006. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia. http://searo.who.int /LinkFiles/GYTS_Indonesia-2006.pdf. Accessed 27 December, 2011.

Barber S., Adioetomo S.M., Ahsan A., Setynoaluri D., 2008. Tobacco economics in Indonesia. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. http://www.tobaccofreeunion.org/assets/ Technical%20Resources/Economic%20Reports/Tobacco%20Economics%20in%20Indonesia%20-%20EN.pdf. Accessed 27 December, 2011.

Barraclough, S., 1999. Women and tobacco in Indonesia. Tobacco Control. Vol 8:327-332.

Centre for Health Research, University of Indonesia, 2001. Smoking Prevalence in Jakarta and Sukabumi Survey (Survei Prevalensi Perokok di Wilayah DKI Jakarta dan Kabupaten Sukabumi), Centre for health Research, University of Indonesia, Depok, West Java.

Centre for Health Research, University of Indonesia, 2007. Smoking Health Warning and its Impact. Centre for health research, Uniersity of Indonesia, Depok, West Java.

DHS (Demographic and Health Surveys), 2008. Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS and Macro International.

Jakarta Governor’s Regulation No. 88, 2010 on No Smoking in Public Areas (Kawasan dilarang merokok).

Ministry of Finance regulation No. 181/PMK.001/2009 on Tax for tobacco (Tarif Cukai Hasil Tembakau), Ministry of Finance, Jakarta.

Ministry of Health, 2004. The Tobacco Source Book: Data to support a National Tobacco Control Strategy. English Translation. http://www.tobaccofreecenter. org/files/pdfs/reports_articles/tobaccosourcebook_indonesia.pdf. Accessed 27 December, 2011.

Nichter, M., S. Padmawati, M. Danardono, N, Ng., Y., Prabandari, and M. Nichter, 2009. Reading culture from tobacco advertisements in Indonesia.Tobacco Control, Vol 19:98-107

Ng, N., L., Weinehall and A. Öhman, 2007. ‘If I don’t smoke, I’m not a real man’- Indonesian teenage boys’ views about smoking. Health Education Research. Vol 22(6):794-804.

WHO (World Health Organisation) , 2009. Indonesia (Ages 13-15), Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Fact Sheet. http://www.searo.who.int/LinkFiles/GYTS_ IndonesiaFactsheet2009.pdf. Accessed 27 December, 2011.

WHO (World Health Organisation), 2011. WHO Report on the Global Tobacco Epidemic, 2011. http://www. who.int/tobacco/global_report/2011/en/index.html. Accessed 27 December, 2011.

____________

Judul naskah asli: “The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey, Policy Background Paper No. 2, Smoking and Young Adults in Indonesia”, diterjemahkan oleh Toto Purwanto.

Page 6: 2 Smoking-Bhs Indonesia

6

Tim Peneliti

Australian Demographic and Social Research Institute-Australian National University (ADSRI-ANU):

Dr. Iwu Dwisetyani Utomo (Kepala/Peneliti Utama I)

Prof. Peter McDonald (Peneliti Utama II) Prof. Terence Hull (Peneliti Utama III)

Anna Reimondos Dr. Ariane Utomo

Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia: Dr. Sabarinah Prasetyo

Prof. Budi Utomo Heru Suparno

Dadun Yelda Fitria

Asian Research Institute-National University of Singapore (ARI-NUS):

Prof. Gavin Jones

Bila ada pertanyaan tentang policy brief ini dapat ditanyakan melalui e-mail pada: [email protected] atau [email protected]

Deskripsi Studi dan Survei Transisi Penduduk Usia Muda 2010 di JATABEK Penelitian tentang transisi penduduk usia muda (20-34 tahun) ini dilakukan di JATABEK. Penelitian yang dibiayai oleh Australian Research Council, WHO, ADSRI-ANU dan ARI-NUS, merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Penarikan sampel dilakukan dalam dua tahap dengan metode gugus (cluster) dan dengan memakai metode probabilitas proporsional (probability proportional to size-PPS). Pada tahap pertama, ditarik 60 kelurahan dengan menggunakan PPS. Pada tahapan kedua, dari setiap kelurahan yang sudah dipilih, 5 Rukun Tetangga dipilih dengan menggunakan sampel acak sistematis (systematic random sampling). Dari 300 RT yang terpilih kemudian dilakukan sensus dan pemetaan. Sensus rumah tangga tersebut dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang umur, jenis kelamin, status pernikahan dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Sensus ini dilakukan untuk semua anggota keluarga. Dari hasil sensus ini diperoleh daftar dari semua calon responden yang berusia antara 20-34 tahun yang tinggal di RT

tersebut. Dari setiap RT yang terpilih, dipilih 11 responden dengan menggunakan sampel acak sederhana (simple random sampling). Dengan menerapkan metode sampling tersebut terpilih sebanyak 3.006 responden.

Dua daftar pertanyaan digunakan dalam penelitian ini. Daftar pertanyaan pertama ditanyakan pada responden dengan menggunakan teknik wawancara mendalam yang dilakukan oleh pewawancara yang sudah dilatih. Daftar pertanyaan pertama meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan demografik dari responden dan juga tentang latar belakang orangtua responden dan suami/istri bagi responden yang sudah menikah. Dalam daftar pertanyaan yang pertama ini ditanyakan tentang: sejarah pendidikan, pekerjaan dan migrasi; pendapatan dan keadaan ekonomi; kondisi pekerjaan; tempat tinggal; hubungan dengan lawan jenis dan pernikahan, jumlah anak, KB dan aborsi; kesehatan fisik dan mental serta kebahagiaan; tingkah laku merokok dan mimum minuman keras; keimanan, serta afiliasi pada organisasi keagamaan dan organisasi politik; norma-norma tentang gender, nilai anak dan pandangan-pandangan terhadap keadaan dunia.

Untuk menjaga kerahasiaan responden, daftar pertanyaan kedua yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sensitif, diisi sendiri oleh responden. Daftar pertanyaan ini diberikan pada responden dalam amplop dan dikembalikan pada interviewer setelah responden selesai menuliskan jawabannya. Untuk daftar pertanyaan yang kedua ini pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan meliputi perilaku seksual, praktek-praktek seks yang aman, pengetahuan tentang STDs/HIV/AIDS, akses pada pelayanan kesehatan reproduksi, dan pegunaan narkoba. Setelah survei selesai dilakukan, 100 responden dipilih secara random dan kemudian dilakukan wawancara yang mendalam terhadap responden yang terpilih tersebut.

Berdasarkan hasil analisa peneltian ini akan dihasilkan sejumlah policy brief dan bila mendapatkan dana maka survei ini akan diulang setiap 3 tahun sekali selama 10 tahun dengan mewawancarai responden yang sama untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada responden sehubungan dengan transisi kehidupannya dalam bidang karakteristik demografi responden, pendidikan dan karirnya.

Australian Demographic and Social Research Institute The Australian National University Canberra ACT 0200, AUSTRALIA http://adsri.anu.edu.au Enquiries: +61 2 6125 3629

Acknowledgement: Policy background ini didanai oleh Australian Research Council, ADSRI-ANU, Ford Foundation, WHO, National University of Singapore, dan BAPPENAS. Jakarta, 11 Januari 2012.