175-225-1-sm

Upload: ast

Post on 21-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    1/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    59

    KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF

    HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

    (Studi Komparasi antara Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentangPenghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ketentuan

    dalam Fikih Islam)

    Oleh :

    Yarianto, SH.MHum

    Imam Mustofa, SHI, M.Si

    Abstrak :

    Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang

    berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatar

    belakangi oleh budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yangbelum nampak serta nilai budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis

    sehingga cenderung selalu menyalahkan perempuan. Bentuk KDRT yang

    dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan

    fisik ; 2) Kekerasan psikis, 3).Kekerasan seksual, 4). Penelantaran rumah

    tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, Fikih Islam melarang

    segala bentuk kekerasan tersebut. Hanya saja, Ada perbedaan antara

    UU No. 23 Tahun 2004, dengan hukum Islam yang mana dalam fikih

    Islam dibolehkan memukul is tr i yang nusyuz dengan syarat -syara t

    tertentu. Pembolehan memukul ini harus memenuhi syarat dan kaidah

    yang ditentukan oleh ulama fikih. Dari sisi yuridis alternatif pemecahan

    masalah KDRT ditempuh melalui hukum privat, publik maupun administratif.

    Kata Kunci : KDRT, Hukum Positif dan hukum Islam

    A. Latar Belakang Masalah

    Membangun keluarga yang

    baik merupakan dambaan setiap

    orang. Untuk mewujudkan cita-cita

    ini setiap anggota keluarga atau

    rumah tangga harus menjalankan

    peranannya sesuai dengan posisi.

    Lebih-lebih perempuan. Perempuanmemegang peranan yang sangat

    penting dalam kesejahteraan dan

    kebahagiaan rumah tangga.

    Perempuan harus mendapatkan

    ruang yang lebih luas untuk

    menjalankan peran dan

    kemampuannya melalui sistem

    yang adil, meskipun tidak harus

    sama dengan kaum laki-laki. Dalam

    sebuah rumah tangga tidak ada

    yang membedakan antara seorang

    suami dan istri kecuali fungsimereka. Keduanya sama-sama

    mempunyai hak dan kewajiban.

    Namun yang terjadi, tidak jarang

    seorang istri mendapatkan

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    2/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    60

    perlakuan yang tidak layak dari

    suaminya, bahkan sampai terjadi

    tindak kekerasan dalam rumahtangga.

    Akhir-akhir ini kita sering

    mendengar dan melihat berita

    tentang terjadinya tindak kekerasan

    dalam rumah tangga yang disajikan

    oleh berbagai media massa. Dan

    yang menjadi korbannya bukan

    hanya istri, akan tetapi juga anak

    serta kerabat yang mempunyai

    huungan keluarga. Dalam berbagai

    kasus yang terjadi .(Sebagai contoh,

    selama Tahun 2004 data kekerasan

    yang berhasil dihimpun oleh LSM

    Rifka Anisa saja mencapai 283

    kasus, 196 diantaranya adalah

    kekerasan terhadap isteri. (RIFKA

    ANISA Womens Crisis Center).

    Perempuanlah yang sering menjadi

    korban karena posisinya yang

    inferior dibanding laki-laki.

    (http://www. Sekitar kita.com

    diakses 12/03/2007).

    Di negara-negara Barat yang

    nota bene merupakan negara maju

    dalam bidang industri, ilmu

    pengetahuan dan teknologi, yang

    telah mampu menekan angka

    penduduk yang buta huruf dan

    membangun pendidikan yang tinggi

    bagi perempuan, serta mempunyai

    kesempatan kerja yang besar,

    perempuan masih menempati posisi

    subordinat. (Engineer: 2003:14).

    Sehingga tindak kekerasan terhadap

    perempuan juga masih tinggi.(Angka-angka terbaru

    mendokumentasikan jumlah korban

    kekerasan di dalam rumah tangga

    yang amat mengejutkan. Di AS,

    pemukulan merupakan kasus utama

    kecelakaan terhadap perempuan

    dewasa dan perkosaan dilakukan

    setiap enam menit; di Peru 70 %

    dari seluruh kejahatan yang

    dilaporkan kepada polisi

    menyangkut perempuan yang

    dipukul oleh mitranya. Di Lima,

    kota dengan 7 juta penduduk, untuk

    pemerkosaan saja dilaporkan

    sebanyak 168. 970 dalam tahun

    1987. di India, 8 dari 10 istri

    mengalami kekerasan dalam rumah

    tangganya. Tempat yang paling

    berbahaya bagi perempuan di

    seluruh dunia adalah di rumah.

    (Julia Cleves Mosse, Gender dan

    Pembangunan: 2002: 76).

    Kekerasan dalam rumah tangga,

    khususnya terhadap perempuan

    adalah bentuk pelanggaran Hak

    Asasi Manusia terparah yang belum

    terlalu diakui oleh dunia. Kekarasan

    terhadap perempuan juga

    merupakan masalah yang serius

    dalam bidang kesehatan karena

    melemahkan energi perempuan,

    mengikis kesehatan fisik dan harga

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    3/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    61

    diri. Disamping menyebabkan luka-

    luka, kekerasan juga memperbesar

    resiko jangka panjang terhadapmasalah kesehatan lainnya,

    termasuk penyakit kronis, cacat

    fisik, penyalahgunaan obat dan

    alkohol, serta depresi. (Hakimi,

    2001:1).

    Makin maraknya kekerasan

    dalam rumah tangga yang terjadi

    dewasa ini menimbulkan

    keprihatinan yang mendalam.

    Hampir setiap hari media masa,

    baik cetak maupun elektronik selalu

    ada yang memberitakan tentang

    tindak kekerasan terhadap istri,

    anak, kerabat dekat. Sebenarnya

    sudah ada pasal-pasal dalam KUHP

    yang memberi perlindungan hukum

    terhadap korban-korban kekerasan,

    seperti Pasal 285 KUHP dengan

    rincian:

    Pasal 285: Barang siapa

    dengan kekerasan atau ancaman

    kekerasan memaksa seorang wanita

    bersetubuh dengan dia di luar

    pernikahan, diancam karena

    melakukan perkosaan, dengan

    pidana penjara paling lama dua

    belas tahun)

    Tentang perkosaan, Pasal 286

    KUHP dengan rincian:

    Pasal 286: Barang

    siapa bersetubuh dengan seorang

    wanita di luar pernikahan, padahal

    diketahu bahwa wanita itu dalam

    keadaan pingsan atau tidak berdaya,

    diancam dengan pidana penjarapaling lama sembilan tahun.

    Bersetubuh dengan

    perempuan yang pingsan atau tidak

    berdaya, Pasal 287 KUHP dengan

    rincian:

    Pasal 287:

    (1) Barang siapa bersetubuh

    dengan seorang wanita di luar

    pernikahan, padahal diketahui

    atau sepatutnya diduga, bahwa

    umurnya belum lima belas

    tahun, atau kalau umurnya tidak

    ternyata, bahwa belum mampu

    dikawin, diancam dengan

    pidana penjara paling lama

    sembilan tahun.

    (2) Penuntutan hanya dilakukan

    atas pengaduan, kecuali jika

    umurnya wanita belum sampai

    dua belas tahun atau jika ada

    salah satu hal tersebut Pasal 291

    dan Pasal 294.

    Bersetubuh dengan

    perempuan yang berumur 15 tahun

    ke bawah, Pasal 288 KUHP dengan

    rincian:

    Pasal 288:

    (1) Barang siapa bersetubuh dengan

    seorang wanita di dalam

    pernikahan, yang diketahui atau

    sepatutnya harus diduga bahwa

    sebelum mampu dikawin ,

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    4/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    62

    diancam, apabila perbuatan

    mengakibatkan luka-luka,

    dengan pidana penjara palinglama empat tahun.

    (2) Jika perbuatan mengakibatkan

    luka-luka berat, dijatuhkan

    pidana penjara paling lama

    delapan tahun.

    (3) Jika mengakibatkan mati

    dijatuhkan pidana penjara

    paling lama dua belas tahun

    Bersetubuh dengan istri

    yang belum masanya untuk

    dikawinkan yang menyebabkan

    luka, Pasal 289 KUHP dengan

    rincian:

    Pasal 289:

    Barang siapa dengan kekerasan atau

    ancaman kekerasan memaksa

    seorang untuk melakukan atau

    membiarkan dilakukan perbuatan

    cabul, diancam karena melakukan

    perbuatan yang menyerang

    kehormatan kesusilaan, dengan

    pidana penjara paling lama

    sembilan tahun

    Dengan kekerasan dilakukan

    perbuatan cabul dan Pasal 290

    KUHP (berbuat cabul dengan yang

    pingsan atau orang yang tidak

    berdaya), dengan rincian:

    Pasal 290: Diancam dengan pidana

    penjara paling lama tujuh tahun:

    (1) barang siapa melakukan

    perbuatan cabul dengan seorang

    padahal diketahui, bahwa orang

    itu pingsan atau tidak berdaya ;

    (2) barang siapa melakukanperbuatan cabul dengan seorang

    padahal diketahui atau

    sepatutnya diduga, bahwa

    umurnya belum lima belas

    tahun, atau kalau umurnya tidak

    ternyata, bahwa belum mampu

    dikawin, untuk melakukan atau

    membiarkan dilakukan

    perbuatan cabul, atau

    bersetubuh di luar pernikahan

    dengan orang lain

    Sedangkan untuk

    penganiayaan terhadap istri, pelaku

    dapat dikenakan Pasal 356 KUHP

    dengan rincian:

    Pasal 356:

    (1) Penganiayaan diancam dengan

    pidana penjara paling lama dua

    tahun delapan bulan atau denda

    paling banyak tiga ratus rupiah.

    (2) Jika perbuatan mengakibatkan

    luka-luka berat yang bersalah

    dikenakan pidana penjara paling

    lama llima tahun;

    (3) jika mengakibatkan mati,

    dikenakan penjara paling lama

    tujuh tahun;

    (4) dengan penganiayaan

    disamakan sengaja merusak

    kesehatan;

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    5/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    63

    (5) percobaan untuk melakukan

    kejahatan ini tidak dikenakan

    pidana(Penganiayaan dengan

    pemberatan pidana) karena

    penganiayaan itu dilakukan

    terhadap istri, suami, ayah, ibu atau

    anaknya. (al-Hibri Azizah. Wanita

    dalam Masyarakat Indonesia:Akses

    Pemberdayaan dan Kesempatan,

    hlm. 137-138)

    Pasal-pasal di atas nampaknya

    belum mampu melindungi korban

    kekerasan yang terjadi di dalam

    rumah tangga dan hanya terbatas

    kekerasan seksual. Sedangkan

    kekerasan lain yang sering terjadi

    dalam rumah tangga seperti

    kekerasan fisik, psikologis dan

    kekerasan ekonomi tidak ada

    undang-undang yang mencegahnya.

    Sehinggga perlu undang-undang

    baru yang dapat melindungi

    sekaligus mencegah segala tindak

    kekerasan yang terjadi dalam rumah

    tangga.

    Permasalahan yang muncul

    dengan lahirnya Undang-undang

    No. 23 tahun 2004 Tentang

    Penghapusan Kekerasan Dalam

    Rumah Tangga. Antara lain apabila

    seorang istri mengalami kekerasan

    dalam rumah tangga, akan tetapi

    tidak melaporkan kepada pihak

    kepolisian atau aparat yang

    berwenang, maka permasalahan

    tersebut tidak dapat ditindak lanjuti

    atau dianggap tidak adanyapelanggaran hukum, dikarenakan

    dalam perkara ini merupakan

    perkara delik aduan. Dan apabila

    perkara kekerasan dalam rumah

    tangga telah sampai kepengadilan,

    maka seorang hakim tidak akan

    menawarkan upaya damai

    didalamnya dikarenakan ini

    merupakan tindak pidana murni.

    Ulama tradisional Indonesia

    masih ada yang belum sepenuhnya

    memahami dan menyetujui

    berbagai aturan dalam undang

    undang tersebut karena dianggap

    tidak selamanya sesuai dengan apa

    yang termuat dalam kitab kitab

    fiqh, termasuk terhadap UU No. 23

    tahun 2004 yang dianggap sebagian

    pasal pasalnya kurang sesuai

    dengan ajaran Islam. Anggapan ini

    karena pada umumnya kitab-kitab

    fikih Islam tidak secara rinci

    membahas tentang tindak kekerasan

    dalam rumah tangga. Hal ini bisa

    dipahami karena pada masa

    pembukuan kitab-kitab tersebut

    memang masalah-masalah dalam

    rumah tangga belum begitu

    kompleks sebagaimana di era

    modern sekarang ini. Selain itu,

    pemahaman mereka terhadap teks-

    teks agama tidak menyentuh secara

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    6/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    64

    mendalam pada masalah-masalah

    yang terkait dengan kekerasan

    dalam rumah tangga.

    B. Perumusan Masalah

    Dari uraian latar belakang

    masalah di atas, maka persoalan

    yang akan diteliti dapat dirumuskan

    sebagai berikut:

    1. Bagaimana tinjauan Fikih Islam

    terhadap jenis jenis kekerasan

    dalam rumah tangga yang

    terdapat dalam Undang-undang

    No. 23 Tahun 2004 tentang

    Penghapusan Tindak Kekerasan

    Dalam Rumah Tangga?

    2. Bagaimana tinjauan Fikih Islam

    terhadap sanksi hukum bagi

    pelaku tindak kekerasan dalam

    rumah tangga yang diatur dalam

    Undang-undang No. 23 Tahun

    2004 tentang Penghapusan

    Tindak Kekerasan Dalam

    Rumah Tangga?

    C. Metode Penelitian

    Secara teoritis, metode penelitian

    yang dilakukan ini adalah sebagai

    berikut:

    1. Jenis penelitian

    Peneltian yang akan

    dilaksanakan ini adalah

    penelitian pustaka (library

    research). Jenis penelitian ini

    adalah kualitatif deskriptif,

    yaitu sebuah penelitian yang

    berusaha mengungkap keadaan

    yang bersifat alamiah secaraholistik. (Sayuthi Ali: 2002).

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Penilitan ini merupakan

    penelitian pustaka maka

    pengumpulan data-data yang

    akan dikumpulkan data litereir.

    Bahan yang digunakan dalam

    penelitian ini yaitu: pertama,

    bahan primer, yaitu berupa UU

    No. 23 Tahun 2004 tentang

    Penghapusan Kekerasan Dalam

    Rumah Tangga dan kitab-kitab

    Fikih Islam. Kedua, bahan

    sekunder yang bersifat primer,

    yaitu wawancara dengan para

    ahli dan bahan-bahan pustaka,

    seperti buku-buku yang

    berisikan pendapat para pakar

    atau praktisi mengenai hal-hal

    yang berkaitan erat dengan

    permasalahan yang sedang

    dikaji. Ketiga, bahan-bahan

    sekunder berupa bahan yang

    diperoleh dari artikel, jurnal,

    dan internet yang memiliki

    relevansi dengan permasalahan

    yang menjadi obyek kajian

    penelitian. Bahan-bahan

    tersebut dimaksudkan sebagai

    pendukung dalam menyusun

    ketajaman analisis.

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    7/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    65

    3. Teknik Analisis Data

    Teknik analisis data

    yang digunakan dalampenelitian ini adalah content

    analisys (analisis isi), yaitu

    analisis terhadap naskah UU No

    23 Tahun 2004 tentang

    Kekerasan Dalam Rumah

    Tangga. Setelah data-data

    terkumpul, penyusun

    melakukan analisa dengan cara

    deskriptif-analitik-komparatif,

    yakni dengan mengadakan suatu

    penelitian yang dalam penelitian

    ini akan memaparkan posisi

    objek, yaitu kekerasan dalam

    rumah tangga menurut Hukum

    Positif Indonesia (UU No. 23

    Tahun 2004), untuk kemudian

    menganalisis dan

    membandingkannya dengan

    Hukum Islam sehingga akan

    ditemukan persamaan dan

    perbedaan antara keduanya.

    4. Pendekatan Studi

    Dalam penelitian ini,

    penulis akan menggunakan

    pendekatan perbandingan

    (Comparative Approach).

    Pendekatan perbandingan

    (Comparative Approach)

    dilakukan dengan mengadakan

    studi perbandingan hukum.

    D. Hasil Penbelitian dan

    Pembahasan

    1. Tinjauan Fiqih Islam TerhadapJenis-Jenis Kekerasan Dalam

    rumah tangga yang terdapat

    dalam UU No. 23 Tahun 2004

    tentang PKDRT

    KDRT dalam pandangan

    Islam, bisa disebut kejahatan

    atau bukan ketika bersesuaian

    dengan konsep Islam dalam

    memandang kekerasan sebagai

    kejahatan. Kejahatan atau

    jarimah adalah perbuatan-

    perbuatan tercela (qabih) yang

    ditetapkan oleh hukum syara.

    Inilah standar penting untuk

    menilai apakah perbuatan

    tersebut termasuk kriminalitas

    atau bukan. Kejahatan juga

    bukanlah suatu yang fithri pada

    diri manusia. Kejahatan bukan

    pula "profesi" yang diusahakan

    oleh manusia. Juga bukan

    penyakit yang menimpa

    manusia. Kejahatan adalah

    tindakan melanggar aturan, baik

    aturan dengan Rabbnya, dirinya,

    dan dengan manusia lainnya.

    Sehingga dalam Islam

    Homoseksual atau masokhisme

    adalah kejahatan, bukan

    penyakit mental apalagi

    pembawaan manusia.

    Berdasarkan Syariat Islam ada

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    8/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    66

    beberapa bentuk kekerasan yang

    bisa menimpa wanita:

    1. Qadzaf yakni menuduhwanita baik-baik berzina

    tanpa bisa memberikan

    bukti yang bisa diterima

    oleh syariat Islam. Sanksi

    hukumnya adalah 80 kali

    cambukan. "Dan orang-

    orang yang menuduh

    perempuan-perempuan yang

    baik (berbuat zina) dan

    mereka tidak mendatangkan

    empat saksi maka deralah

    80 kali"(Q.S An-Nuur: 4-5)

    2. Membunuh: Hal ini bisa

    menimpa wanita atau laki-

    laki. Dalam hal ini sanksi

    bagi pelakunya adalah

    qishas. Diwajibkan atas

    kamu qishos berkenaan

    dengan orang-orang yang

    dibunuh" (QS Al baqarah:

    179)

    3. Mendatangi wanita pada

    duburnya hukumnya adalah

    haram. Sanksi hukum

    adalah Ta'zir dengan bentuk

    hukuman yang diserahkan

    pada pengadilan. Dari Ibnu

    Abbas berkata, Rasulullah

    saw bersabda: "Allah tidak

    akan melihat seorang laki-

    laki yang mendatangi laki-

    laki dan mendatangi istrinya

    pada duburnya"

    4. Bentuk kekerasan lain yangmenimpa wanita (termasuk

    juga laki-laki) adalah

    penyerangan terhadap

    anggota tubuh. Siapapun

    yang melakukannya

    walaupun oleh suaminya

    sendiri adalah kewajiban

    membayar 1diyat/tebusan

    (100 ekor unta) jika

    terbunuh. Dan jika organ

    tubuh yang disakiti maka

    diyatnya adalah: untuk 1 biji

    mata diyat(50 ekor unta),

    setiap jari kaki dan tangan,

    10 ekor unta; luka sampai

    selaput batok kepala, 1/3

    diyat; luka dalam, 1/3 diyat;

    luka sampai ke tulang dan

    mematahkannya, diyat 15

    ekor unta; setiap gigi, 5 ekor

    unta; luka sampai ke tulang

    hingga kelihatan, diyat 5

    ekor unta.

    5. Perbuatan Cabul seperti

    berusaha melakukan zina

    dengan perempuan (namun

    belum sampai

    melakukannya) dikenakan

    sanksi penjara 3 tahun,

    ditambah jilid dan

    pengusiran.

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    9/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    67

    Islam membolehkan

    melakukan tindakan kekerasan

    sebagai ta'dib (mendidik) dalamrumahtangga. Kekerasan yang

    dimaksud disini bukanlah

    kekerasan yang dilakukan

    dengan landasan amarah atau

    kekerasan yang sampai melukai

    atau (bahkan) membunuh. Tapi,

    bentuk kekerasan yang

    dimaksud adalah bentuk-bentuk

    tindakan fisik yang dibolehkan

    oleh syara. Ketika syara tidak

    membolehkan bahkan

    mengharamkannya maka itu

    adalah kejahatan.

    ...Wanita-wanita yang kamu

    khawatirkan nusyuznya, maka

    nasehatilah mereka dan

    pisahkanlah mereka di tempat

    tidur mereka dan pukullah

    mereka. Kemudian jika ereka

    mentaatimu, maka janganlah

    kamu mencari-cari jalan untuk

    menyusahkannya.

    Sesungguhnya Allah Maha

    Mengetahui lagi Maha

    Mengenal, TQS. An Nisa : 34

    Allah SWT telah

    menjelaskan keadaan kaum

    perempuan adakalanya mereka

    taat dan adakalanya

    membangkang (nusyuz).

    Termasuk nusyuz adalah

    mereka yang menyombongkan

    diri dan tidak melakukan

    ketaatan kepada suami. Maka

    ketika tanda-tanda nusyuztampak, suami wajib melakukan

    beberapa langkah dalam upaya

    meyadarkan dan

    mengembalikan keadaan istri ke

    jalan yang benar. Dimulai

    dengan menasihati, kemudian

    memisahkan diri dan berpaling

    dari istri dan langkah ketiga

    memberikan pukulan yang tidak

    menyakitkan dan tidak

    membekas, dengan tujuan

    kebaikan. Ibn Abbas

    memperjelasnya dengan

    pukulan yang tidak

    menyakitkan, tidak mematahkan

    tulang dan tidak menimbulkan

    luka. Jika Istri mentaati perintah

    suami, maka suami dilarang

    untuk mencari-cari kesalahan

    istri dan mendzaliminya.

    Rasulullah adalah teladan

    kepala rumah tangga dengan

    para ummahatul mukminin

    sebagai contoh figure istri, ibu

    dan pengatur rumahtangga yang

    baik. Rasulullah hidup di tengah

    keluarga yang mayoritasnya

    adalah perempuan. Rasululah

    tidak pernah melakukan tindak

    kekerasan terhadap istrinya.

    "Sebaik-baik kamu sekalian

    adalah sebaik-baik perlakuan

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    10/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    68

    kamu terhadap istri-istrimu dan

    saya adalah orang yang terbaik

    di antara kamu terhadap istri-istriku".

    Kekerasan terhadap

    perempuan merupakan tindak

    penistaan dan pengebirian

    harkat manusia, dapat terjadi di

    semua tingkat kehidupan, baik

    di tingkat pendidikan, ekonomi,

    budaya, agama, maupun suku

    bangsa. Hal ini karena pada

    dasarnya kekerasan terjadi

    akibat paham dunia yang masih

    didominasi oleh laki-laki.

    Tindak kekerasan dalam rumah

    tangga merupakan suatu tindak

    pidana yang banyak mendapat

    perhatian dari para ahli ilmu

    sosial pada tahun-tahun terakhir

    ini. dari data yang terkumpul

    belum diketahui secara pasti

    berapa banyak wanita (istri)

    yang menjadi tindak kekerasan

    mulai dari keengganan memberi

    nafkah kepada istri sampai

    kepada kekerasan seksualitas.

    Oleh karena itu, untuk

    mengatasi masalah kekerasan

    terhadap perempuan di

    lingkungan rumah tangga, perlu

    tindakan bersama antar semua

    pihak, dari masyarakat sampai

    dengan aparat. Akan tetapi

    suatu perilaku konkrit belum

    akan muncul apabila belum ada

    muncul apabila belum ada

    perubahan sikap mampupersepsi mengenai kekerasan

    dalam rumah tangga itu sendiri.

    Hukum positif

    sebagaimana dituangkan dalam

    Undang-undang Nomor 23

    Tahun 2004 tentang

    Penghapusan Kekerasan dalam

    Rumah Tangga dimana di

    dalamnya termuat solusi dan

    upaya yang dilakukan oleh

    pemerintah melalui perundang-

    undangan guna menghapus

    terjadinya kekerasan dalam

    rumah tangga antara lain:

    A. Tujuan penghapusan KDRT

    termuat dalam Pasal 4

    Penghapusan kekerasan

    dalam rumah tangga

    bertujuan:

    1. mencegah segala bentuk

    kekerasan dalam rumah

    tangga;

    2. melindungi korban

    kekerasan dalam rumah

    tangga;

    3. menindak pelaku

    kekerasan dalam rumah

    tangga; dan

    4. memelihara keutuhan

    rumah tangga yang

    harmonis dan sejahtera.

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    11/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    69

    B. Pemenuhan hak-hak korban

    KDRT termuat dalam :

    Pasal 10Korban berhak

    mendapatkan:

    1. perlindungan dari pihak

    keluarga, kepolisian,

    kejaksaan, pengadilan,

    advokat, lembaga

    sosial, atau pihak

    Iainnya baik sementara

    maupun berdasarkan

    penetapan perintah

    perlindungan dari

    pengadilan;

    2. pelayanan kesehatan

    sesuai dengan kebutuhan

    medis;

    3. penanganan secara

    khusus berkaitan dengan

    kerahasiaan korban;

    4. pendampingan oleh

    pekerja sosial dan

    bantuan hukum pada

    setiap tingkat proses

    pemeriksaan sesuai

    dengan ketentuan

    peraturan perundang-

    undangan; dan

    5. pelayanan bimbingan

    rohani.

    Pasal 11

    Pemerintah bertanggung

    jawab dalam upaya

    pencegahan kekerasan

    dalam rumah tangga.

    Pasal 12(1) Untuk melaksanakan

    ketentuan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal

    11, pemerintah ;

    1. merumuskan

    kebijakan tentang

    penghapusan

    kekerasan dalam

    rumah tangga;

    2. menyelenggarakan

    komunikasi,

    informasi, dan

    edukasi tentang

    kekerasan dalam

    rumah tangga;

    3. menyelenggarakan

    sosialisasi dan

    advokasi tentang

    kekerasan dalam

    rumah tangga; dan

    4. menyelenggarakan

    pendidikan dan

    pelatihan sensitif

    gender dan isu

    kekerasan dalam

    rumah tangga serta

    menetapkan standar

    dan akreditasi

    pelayanan yang

    sensitif gender.

    (2) Ketentuan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1)

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    12/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    70

    dilaksanakan oleh

    menteri.

    (3) Menteri dapatmelakukan koordinasi

    dengan instansi terkait

    dalam melaksanakan

    ketentuan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (2)

    Pasal 13

    Untuk penyelenggaraan

    pelayanan terhadap korban,

    pemerintah dan pemerintah

    daerah sesuai dengan fungsi

    dan tugas masing-masing

    dapat melakukan upaya:

    1. penyediaan ruang

    pelayanan khusus di

    kantor kepolisian;

    2. penyediaan aparat,

    tenaga kesehatan,

    pekerja sosial, dan

    pembimbing rohani;

    3. pembuatan dan

    pengembangan sistem

    dan mekanisme kerja

    sama program pelayanan

    yang melibatkan pihak

    yang mudah diakses

    oleh korban; dan

    4. memberikan

    perlindungan bagi

    pendamping, saksi,

    keluarga, dan teman

    korban.

    Pasal 14

    Untuk menyelenggarakan

    upaya sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13,

    pemerintah dan pemerintah

    daerah sesuai dengan fungsi

    dan tugas masing-masing,

    dapat melakukan kerja sama

    dengan masyarakat atau

    lembaga sosial lainnya.

    Pasal 15

    Setiap orang yang

    mendengar, melihat, atau

    mengetahui terjadinya

    kekerasan dalam rumah

    tangga wajib melakukan

    upaya-upaya sesuai dengan

    batas kemampuannya untuk:

    1. mencegah

    berlangsungnya tindak

    pidana;

    2. memberikan

    perlindungan kepada

    korban;

    3. memberikan pertolongan

    darurat; dan

    4. membantu proses

    pengajuan permohonan

    penetapan perlindungan.

    C. Upaya pemberian sanksi

    pidana, termuat dalam pasal

    Pasal 44

    1. Setiap orang yang

    melakukan perbuatan

    kekerasan. fisik dalam

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    13/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    71

    lingkup rumah tangga

    sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 5 huruf adipidana dengan pidana

    penjara paling lama 5

    (lima) tahun atau denda

    paling banyak Rp

    15.000.000,00 (lima

    belas juta rupiah).

    2. Dalam hal perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1)

    mengakibatkan korban

    mendapat jatuh sakit

    atau luka berat, dipidana

    dengan pidana penjara

    paling lama 10 (sepuluh)

    tahun atau denda paling

    banyak

    Rp30.000.000,00 (tiga

    puluh juta rupiah).

    3. Dalam hal perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    pada ayat (2)

    mengakibatkan matinya

    korban, dipidana dengan

    pidana penjara paling

    lama 15 (lima belas)

    tahun atau denda paling

    banyak Rp

    45.000.000,00 (empat

    puluh lima juta rupiah).

    4. Dalam hal perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dilakukan

    oleh suami terhadap

    isteri atau sebaliknya

    yang tidak menimbulkanpenyakit atau halangan

    untuk menjalankan

    pekerjaan jabatan atau

    mata pencaharian atau

    kegiatan sehari-hari,

    dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 4

    (empat) bulan atau

    denda paling banyak

    Rp5.000.000,00 (lima

    juta rupiah).

    Pasal 45

    1. Setiap orang yang

    melakukan perbuatan

    kekerasan psikis dalam

    lingkup rumah tangga

    sebagaimana dimaksud

    pada Pasal 5 huruf b

    dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 3

    (tiga) tahun atau denda

    paling banyak Rp

    9.000.000,00 (sembilan

    juta rupiah).

    2. Dalam hal perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dilakukan

    oleh suami terhadap

    isteri atau sebaliknya

    yang tidak menimbulkan

    penyakit atau halangan

    untuk menjalankan

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    14/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    72

    pekerjaan jabatan atau

    mata pencaharian atau

    kegiatan sehari-hari,dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 4

    (empat) bulan atau

    denda paling banyak Rp

    3.000.000,00 (tiga juta

    rupiah).

    Pasal 46

    Setiap orang yang

    melakukan perbuatan

    kekerasan seksual

    sebagaimana dimaksud pada

    Pasal 8 huruf a dipidana

    dengan pidana penjara

    paling lama 12 (dua betas)

    tahun dan/atau denda paling

    banyak Rp 36.000.000,00

    (tiga puluh enam juta

    rupiah).

    Pasal 47

    Setiap orang yang memaksa

    orang yang menetap dalam

    rumah tangganya

    melakukan hubungan

    seksual sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 8

    huruf b dipidana dengan

    pidana penjara paling

    singkat 4 (empat) tahun dan

    pidana penjara paling lama

    15 (lima belas) tahun atau

    denda paling sedikit Rp

    12.000.000,00 (dua betas

    juta rupiah) atau denda

    paling banyak Rp

    300.000.000,00 (tiga ratusjuta rupiah).

    Pasal 48

    Dalam hat perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 46 dan Pasal 47

    mengakibatkan korban

    mendapat luka yang tidak

    memberi harapan akan

    sembuh sama sekali,

    mengalami gangguan daya

    pikir atau kejiwaan

    sekurang-kurangnya selama

    4 (empat) minggu terus

    menerus atau 1 (satu) tahun

    tidak berturut-turut, gugur

    atau matinya janin dalam

    kandungan, atau

    mengakibatkan tidak

    berfungsinya alat

    reproduksi, dipidana dengan

    pidana penjara paling

    singkat 5 (lima) tahun dan

    pidana penjara paling lama

    20 (dua puluh) tahun atau

    denda paling sedikit Rp

    25.000.000,00 (dua puluh

    lima juta rupiah) dan denda

    paling banyak Rp

    500.000.000,00 (lima ratus

    juta rupiah).

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    15/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    73

    Pasal 49

    Dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 3 (tiga)tahun atau denda paling

    banyak Rp 15.000.000,00

    (lima betas juta rupiah),

    setiap orang yang:

    1. menelantarkan orang

    lain dalam lingkup

    rumah tangganya

    sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 9 ayat (1);

    2. menelantarkan orang

    lain sebagaimana

    dimaksud Pasal 9 ayat

    (2).

    Pasal 50

    Selain pidana sebagaimana

    dimaksud dalam Bab ini

    hakim dapat menjatuhkan

    pidana tambahan berupa:

    1. pembatasan gerak

    pelaku balk yang

    bertujuan untuk

    menjauhkan pelaku dari

    korban dalam jarak dan

    waktu tertentu, maupun

    pembatasan hak-hak

    tertentu dari pelaku;

    2. penetapan pelaku

    mengikuti program

    konseling di bawah

    pengawasan lembaga

    tertentu.

    Pasal 51

    Tindak pidana kekerasan

    fisik sebagaimana dimaksuddalam Pasal 44 ayat (4)

    merupakan delik aduan.

    Pasal 52

    Tindak pidana kekerasan

    psikis sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 45

    ayat (2) merupakan delik

    aduan.

    Pasal 53

    Tindak pidana kekerasan

    seksual sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 46

    yang dilakukan oleh suami

    terhadap isteri atau

    sebaliknya merupakan delik

    aduan.

    Demikianlah perspektif hukum

    Islam terhadap tindak kekerasan

    dalam rumah tangga, dan upaya

    pemenuhan hak korban serta sanksi

    pidana terhadap pelaku tindakan

    tersebut karena hal tersebut

    digolongkan sebagai tindak pidana.

    2. Tinjauan Fiqih Islam Terhadap

    Sanksi hukum terhadap pelaku

    tindak KDRT menurut UU No.

    23 Tahun 2004

    Pelaku kekerasan dapat

    dikenal sanksi pidana denda dan

    penjara serta sanksi tambahan

    berupa. a) pembatasan gerak

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    16/23

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    17/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    75

    Jika dikaji lebih jauh

    ketentuan kekerasan fisik

    maka mengandungkelemahan:

    a. Meskipun

    mengandung asas

    kesetaraan gender.

    pelaku atau pun

    korban dapat terjadi

    pada setiap orang tanpa

    membedakan jenis

    kelamin, sehingga dapat

    terjadi pelaku juga

    perempuan atau istri.

    b. Ancaman pidana tidak

    memberikan batas

    minimal, dan itupun

    dapat diganti dengan

    denda, Dalam hal ini

    pihak perempuan atau

    istri tetap berada pada

    pihak yang dirugikan,

    khususnya bagi istri

    yang tidak mandiri

    secara ekonomi.

    c. Selain diatur delik

    biasa juga diatur delik

    aduan khusus Pasal 44

    ayat (4). Delik aduan

    terdapat kadaluarsa

    dalam pelaporan.

    d. Jika dilakukan atau

    korban adalah anak

    berlaku UU tentang

    Peradilan Anak cdan

    hak-haknya tetap

    diberikan sesuai

    dengan UU No.23Tahun 2002 (UU

    Perlindungan Anak).

    b. Kekerasan psikis

    (Pasa l 5 huruf b) .

    ya i tu perbuatan yang

    mengakibatkan

    ketakutan, hilangnya

    rasa tidak berdaya,

    dan/atau penderitaan psikis

    berat pada seseorang.

    Ancaman pidana terhadap

    kekerasan psikis terhadap

    kekerasan dalam Pasal 45:

    (1) Setiap orang yang

    melakukan perbuatan

    kekerasan psikis dalam

    lingkup rumah tangga

    sebagaimana dimaksud

    pada Pasal 5 huruf b

    dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 3

    (tiga) tahun atau denda

    paling banyak

    Rp9.000.000,00

    (sembilan juta rupiah).

    (2) Dalam hal perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dilakukan

    oleh suami terhadap

    isteri atau sebaliknya

    yang tidak menimbulkan

    penyakit atau halangan

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    18/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    76

    untuk menjalankan

    pekerjaan jabatan atau

    mata pencaharian ataukegiatan sehari-hari,

    dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 4

    (empat) bulan atau

    denda paling banyak

    Rp3.000.000,00 (tiga

    juta rupiah).

    Kelemahan ketentuan

    pidana dalam kekerasan

    psikis sama dengan

    kekerasan fisik.

    c. Kekerasan seksual

    (Pasal 5 huruf c), berupa

    pemaksaan seksual yang

    dilakukan terhadap

    orang yang menetap

    dalam lingkup RT. Dan

    pemaksaan hubungan

    seksual terhadap salah

    seorang dalam lingkup

    RTnya dengan orang lain

    Lilituk tujuan komersial

    dan/atau tertentu.

    Kekerasan seksual

    merupakan perbuatan

    vang berupa pemaksaan

    hubungan seksual,

    pemaksaan hubungan

    seksual secara tidak wajar

    dan/atau tidak sesuai.

    Ancaman pidana terdapat

    dalam Pasal 46-Pasal 48

    Pasal 46

    Setiap orang yang

    melakukan perbuatankekerasan seksual

    sebagaimana dimaksud pada

    Pasal 8 huruf a dipidana

    dengan pidana penjara

    paling lama 12 (dua belas)

    tahun atau denda paling

    banyak Rp36.000.000,00

    (tiga puluh enam juta

    rupiah).

    Jika dikaji lebih jauh maka:

    a. Ketentuan pasal 46 ini

    menunjukkan Pasal 8

    huruf a, padahal Pasal

    8 huruf a khusus

    bagi orang ya ng

    menetap dalam

    lingkup RT, sesuai

    dengan pasal 5 huruf c.

    b. Orang yang menetap

    kekerasan Pasal 2

    bukanlah Suami istri

    atau anak.

    c. Dengan demikian

    kekerasan seksual antara

    suami istri bukan

    merupa.kan delik

    d. K hu su s an ak

    sebagai korban

    kekerasan seksual

    lebih terlindungi

    dalam UU No, 23

    Tahun 2002 (UU

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    19/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    77

    Perlindungan Anak).

    e. Pasal 53 mengatur

    bahwa tindakan pidanakekerasan seksual

    sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal

    46 yang dilakukan

    oleh suami terhadap

    istri sebaiknya

    merupakan delik

    aduan. Pasal ini tidak

    konsisten dengan

    ketentuan Pasal 46 itu

    sendiri sehinga

    menimbulkan antinomi

    dan iterpretasi yang

    berbeda

    f. Ancaman pidana yang

    ada tidak memberikan

    batasan minimal dan

    itupun dapat diganti

    dengan denda.

    g. Ancaman pidan tidak

    lebih balk dari KUHP,

    karena KUHP juga

    memberikan ancaman

    pidana yang sama

    Pasal 47

    Setiap orang yang memaksa

    orang yang menetap dalam

    rumah tangganya

    melakukan hubungan

    seksual sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 8

    huruf b dipidana dengan

    pidana penjara paling

    singkat 4 (empat) tahun dan

    pidana penjara paling lama15 (lima belas) tahun atau

    denda paling sedikit

    Rp12.000.000,00 (dua belas

    juta rupiah) atau denda

    paling banyak

    Rp300.000.000,00 (tiga

    ratus juta rupiah).

    Jika dikaji pasal ini sudah

    memberikan batas minimal

    ancaman pidana bagi

    pelaku, namun masih juga

    dapat diganti dengan denda

    meskipun ada batas minimal

    denda.

    Pasal 48

    Dalam hal perbuatan

    sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 46 dan Pasal 47

    mengakibatkan korban

    mendapat luka yang tidak

    memberi harapan akan

    sembuh sama sekali,

    mengalami gangguan daya

    pikir atau kejiwaan

    sekurangkurangnya selama

    4 (empat) minggu terus

    menerus atau 1 (satu) tahun

    tidak berturut-turut, gugur

    atau matinya janin dalam

    kandungan, atau

    mengakibatkan tidak

    berfungsinya alat

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    20/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    78

    reproduksi, dipidana dengan

    pidana penjara paling

    singkat 5 (lima) tahun danpidana penjara paling lama

    20 (dua puluh) tahun atau

    denda paling sedikit

    Rp25.000.000,00 (dua puluh

    lima juta rupiah) dan denda

    paling banyak

    Rp500.000.000,00 (lima

    ratus juta rupiah).

    Ketentuan Pasal 48

    tersebut.lika dikaji, maka.

    a. Sudah memberikan

    ancaman pidana

    dengan batas

    minimal, namun dapat

    diganti dengan denda.

    b. Waktu gangguan

    daya pikir atau

    kejiwaan bagi

    korban dengan

    sekurang-

    kurangnya memberikan

    perlindungan, karena

    akibat dari kekerasan

    dapat muncul sesudah

    dalam jangka waktu

    yang lama.

    d. Penelantatan rumah tangga

    (Pasal 5), Yaitu Setiap orang

    dilarang menelantarkan

    orang dalam lingkup rumah

    tangganya, padahal menurut

    hukum yang berlaku

    baginya atau karena

    persetujuan atau perjanjian

    ia wajib memberikankehidupan, perawatan, atau

    pemeliharaan kepada orang

    tersebut. Penelantaran juga

    berlaku bagi setiap orang

    yang mengakibatkan

    ketergantungan ekonomi

    dengan cara membatasi

    dan/atau melarang untuk

    bekerja yang layak di dalam

    atau di luar rumah sehingga

    korban berada di bawah

    kendali orang tersebut.

    Ancaman pidana dalam

    Pasal 49, yaitu:

    Dipidana dengan pidana

    penjara paling lama 3 (tiga)

    tahun atau denda paling

    banyak Rp

    15.000.000 ,00 (lima

    belas juta rupi ah),

    set iap oran g yang:

    1 . Mener lantarkan

    orang lain dalam

    lingkup rumah

    tangganya

    sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 9 ayat (1).-

    2 . Menelantarkan orang

    lain sebagaimana

    dimaksud Pasal 9

    ayat (2).

    Jika dikaji lebih.Jauh

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    21/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    79

    ketentuan Pasal 49, maka:

    a . Tidak member ikan

    ancaman pidanaba ta s min imal, dan

    itu pun dapat diganti

    dengan denda.

    b. Secara gramatikal

    menimbulkan

    interpretasi. di situ sisi

    Pasal 9 ayat 1

    menelantarkan orang

    dalam lingkungan RT",

    d i s i s i l a i n P a s a l

    4 9 a y a t 2 h u r u f a

    b e rb un yi

    "menerlantarkan

    orang lain

    c. K e te n tu a n P a sa l 9

    ayat (1) antinomi

    dengan hak dan

    kewajiban suami istri

    dalam pasal 31-34 UU

    No. I Tahun 1974

    tentang Perkawinan.

    E. Kesimpulan

    Mari semua uraian yang telah

    dipaparkan diatas maka dapat

    diambil kesimpulan, Yaitu:

    1. Kekerasan rumah tangga

    tidak dibenarkan atau

    dilarang oleh hukum Islam.

    Larangan kekerasan ini

    dalam hukum positif diatur

    dengan UU No.23 Tahun

    2004 Tentang pengahapusan

    Kekerasan Dalam Rumah

    Tangga. Undang-undang inimelarang kekerasan dalam

    bentuk apapun, kekerasan

    fisik. kekerasan psikis.

    kekerasan seksual dan

    penelantaran rumah tangga.

    Demikian juga dengan fikih

    Islam. Fikih Islam melarang

    segala bentuk kekerasan

    tersebut. Hanya saja, Ada

    perbedaan antara UU No. 23

    Tahun 2004, dengan hukum

    Islam yang mana dalam fikih

    Islam dibolehkan memukul

    istri yang nusyuz dengan

    syarat-syarat tertentu.

    Pembolehan memukul ini

    harus memenuhi syarat dan

    kaidah yang ditentukan oleh

    ulama fikih. Sementara

    dalam UU. No. 23 tahun

    2004 tindakan tersebut

    dikategorikan sebagai

    kekerasan yang dapat

    dijatuhi sanksi

    2. Undangg-undang No. 23 tahun

    2004 tentang PKDRT dengan

    jelas mengat ur sa nksi bagi

    pa ra pe laku tindak

    kekerasan dalam rumah

    tangga. Sedangkan dalam

    fikih Islam tidak ada aturan

    yang secara khusus dan

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    22/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    80

    komprehensif mengenai

    sanksi bagi para pelaku

    tindak kekerasan dalamrumah tangga. Sanksi yang

    dapat diterapkan adalah

    sanksi dalam aturan umum

    fikih jinayah. Terkait

    dalam membina kehidupan

    rumah tangga Islam lebili

    menekankan pada perintah

    untuk muasyarah atau

    pergaulan yang baik sesama

    anggota keluarga.

    Daftar Pustaka

    Ali, Muhammad Daud. 2004. hukum

    Islam. Jakarta: PT Raja

    Grafindo Persada.

    Ali, Engineer Asghar, 2003. Matinya

    Perempuan.- Menyvingkap

    Megasekandal Doktrin dan

    laki-laki. Yogyakarta: IRCISod.

    ___________________, 2004.

    Kekerasan terhadap

    Pereinpuan Berbasis gender

    (KYTBG), Yogyakarta: Rifka

    Anisa Women's Crisis Center.

    Ali, M. Sayuthi. 2002. Metodologi

    Penelitian Agama:

    Pendekatan Teori dan

    Praktek. Jakarta: PT

    RajaGrafindo Persada.

    Anonim, Hak Azasi Perempuan:

    Instrumen Hukun untuk

    Mewujudkan Keadilan Gender).

    Basyir, Ahmad Azar. 1982. Fiqih

    Jinayat (Hukum Pidana

    Islam). Yogyakarta: Bagian

    Penerbitan Fakultas Hukum Ull.

    Dahlan, Zaini (Peneriemah),

    2006. Al Quran dan

    Terjemahan Artinya

    Yogyakarta: UII Press.

    Djazuli, H. A. 2000. Fiqih Jinayah

    Upaya Menanggulangi

    Kejahatan dalm Islam. Jakarta:

    PT Raja Grafindo Persada.

    Elmina, Martha Aroma. 2003,

    Perempuan Kekerasan danHukum. Yogyakarta

    Habib, M. Perlakuan Suami Terhadap

    Istri dalam Membina Keluarga

    Mawaddah Wa Rahmah.

    Yogyakarta: Pusat Studi Wanita

    (PSW) UIN Sunan Kalijaga

    bekerjasama dengan The Ford

    Foundation Jakarta.

    Hak Asasi Perempuan: Instrumen

    Hukum untuk Mewujudkan

    Keadilan Gender. 2004.

    Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia.

    Hanafi, Ahmad Hasan. 1967. Asas-

    asas Hukum Pidana Islam.

    Jakarta: Bulan Bintang.

    Harun, Nasrun, (Pemimpin Redkasi).

    2003 Ensiklopedi Hukum

    Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baruvan Hoeven.

    Moeljatno. 2005. Kitab Undang

    undang Hukum Pidana

    (KUHP). Jakarta: PT Bumi

    Aksara.

  • 7/24/2019 175-225-1-SM

    23/23

    Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008

    81

    Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

    Tentang Penghapusan

    Kekarasan Dalam Rumah

    Tangga. Bandung.FOKUSMEDIA.