175-225-1-sm
TRANSCRIPT
-
7/24/2019 175-225-1-SM
1/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
59
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
(Studi Komparasi antara Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentangPenghapusan Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Ketentuan
dalam Fikih Islam)
Oleh :
Yarianto, SH.MHum
Imam Mustofa, SHI, M.Si
Abstrak :
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang
berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatar
belakangi oleh budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yangbelum nampak serta nilai budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis
sehingga cenderung selalu menyalahkan perempuan. Bentuk KDRT yang
dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan
fisik ; 2) Kekerasan psikis, 3).Kekerasan seksual, 4). Penelantaran rumah
tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, Fikih Islam melarang
segala bentuk kekerasan tersebut. Hanya saja, Ada perbedaan antara
UU No. 23 Tahun 2004, dengan hukum Islam yang mana dalam fikih
Islam dibolehkan memukul is tr i yang nusyuz dengan syarat -syara t
tertentu. Pembolehan memukul ini harus memenuhi syarat dan kaidah
yang ditentukan oleh ulama fikih. Dari sisi yuridis alternatif pemecahan
masalah KDRT ditempuh melalui hukum privat, publik maupun administratif.
Kata Kunci : KDRT, Hukum Positif dan hukum Islam
A. Latar Belakang Masalah
Membangun keluarga yang
baik merupakan dambaan setiap
orang. Untuk mewujudkan cita-cita
ini setiap anggota keluarga atau
rumah tangga harus menjalankan
peranannya sesuai dengan posisi.
Lebih-lebih perempuan. Perempuanmemegang peranan yang sangat
penting dalam kesejahteraan dan
kebahagiaan rumah tangga.
Perempuan harus mendapatkan
ruang yang lebih luas untuk
menjalankan peran dan
kemampuannya melalui sistem
yang adil, meskipun tidak harus
sama dengan kaum laki-laki. Dalam
sebuah rumah tangga tidak ada
yang membedakan antara seorang
suami dan istri kecuali fungsimereka. Keduanya sama-sama
mempunyai hak dan kewajiban.
Namun yang terjadi, tidak jarang
seorang istri mendapatkan
-
7/24/2019 175-225-1-SM
2/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
60
perlakuan yang tidak layak dari
suaminya, bahkan sampai terjadi
tindak kekerasan dalam rumahtangga.
Akhir-akhir ini kita sering
mendengar dan melihat berita
tentang terjadinya tindak kekerasan
dalam rumah tangga yang disajikan
oleh berbagai media massa. Dan
yang menjadi korbannya bukan
hanya istri, akan tetapi juga anak
serta kerabat yang mempunyai
huungan keluarga. Dalam berbagai
kasus yang terjadi .(Sebagai contoh,
selama Tahun 2004 data kekerasan
yang berhasil dihimpun oleh LSM
Rifka Anisa saja mencapai 283
kasus, 196 diantaranya adalah
kekerasan terhadap isteri. (RIFKA
ANISA Womens Crisis Center).
Perempuanlah yang sering menjadi
korban karena posisinya yang
inferior dibanding laki-laki.
(http://www. Sekitar kita.com
diakses 12/03/2007).
Di negara-negara Barat yang
nota bene merupakan negara maju
dalam bidang industri, ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang
telah mampu menekan angka
penduduk yang buta huruf dan
membangun pendidikan yang tinggi
bagi perempuan, serta mempunyai
kesempatan kerja yang besar,
perempuan masih menempati posisi
subordinat. (Engineer: 2003:14).
Sehingga tindak kekerasan terhadap
perempuan juga masih tinggi.(Angka-angka terbaru
mendokumentasikan jumlah korban
kekerasan di dalam rumah tangga
yang amat mengejutkan. Di AS,
pemukulan merupakan kasus utama
kecelakaan terhadap perempuan
dewasa dan perkosaan dilakukan
setiap enam menit; di Peru 70 %
dari seluruh kejahatan yang
dilaporkan kepada polisi
menyangkut perempuan yang
dipukul oleh mitranya. Di Lima,
kota dengan 7 juta penduduk, untuk
pemerkosaan saja dilaporkan
sebanyak 168. 970 dalam tahun
1987. di India, 8 dari 10 istri
mengalami kekerasan dalam rumah
tangganya. Tempat yang paling
berbahaya bagi perempuan di
seluruh dunia adalah di rumah.
(Julia Cleves Mosse, Gender dan
Pembangunan: 2002: 76).
Kekerasan dalam rumah tangga,
khususnya terhadap perempuan
adalah bentuk pelanggaran Hak
Asasi Manusia terparah yang belum
terlalu diakui oleh dunia. Kekarasan
terhadap perempuan juga
merupakan masalah yang serius
dalam bidang kesehatan karena
melemahkan energi perempuan,
mengikis kesehatan fisik dan harga
-
7/24/2019 175-225-1-SM
3/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
61
diri. Disamping menyebabkan luka-
luka, kekerasan juga memperbesar
resiko jangka panjang terhadapmasalah kesehatan lainnya,
termasuk penyakit kronis, cacat
fisik, penyalahgunaan obat dan
alkohol, serta depresi. (Hakimi,
2001:1).
Makin maraknya kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi
dewasa ini menimbulkan
keprihatinan yang mendalam.
Hampir setiap hari media masa,
baik cetak maupun elektronik selalu
ada yang memberitakan tentang
tindak kekerasan terhadap istri,
anak, kerabat dekat. Sebenarnya
sudah ada pasal-pasal dalam KUHP
yang memberi perlindungan hukum
terhadap korban-korban kekerasan,
seperti Pasal 285 KUHP dengan
rincian:
Pasal 285: Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar
pernikahan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan
pidana penjara paling lama dua
belas tahun)
Tentang perkosaan, Pasal 286
KUHP dengan rincian:
Pasal 286: Barang
siapa bersetubuh dengan seorang
wanita di luar pernikahan, padahal
diketahu bahwa wanita itu dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjarapaling lama sembilan tahun.
Bersetubuh dengan
perempuan yang pingsan atau tidak
berdaya, Pasal 287 KUHP dengan
rincian:
Pasal 287:
(1) Barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita di luar
pernikahan, padahal diketahui
atau sepatutnya diduga, bahwa
umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak
ternyata, bahwa belum mampu
dikawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan
atas pengaduan, kecuali jika
umurnya wanita belum sampai
dua belas tahun atau jika ada
salah satu hal tersebut Pasal 291
dan Pasal 294.
Bersetubuh dengan
perempuan yang berumur 15 tahun
ke bawah, Pasal 288 KUHP dengan
rincian:
Pasal 288:
(1) Barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di dalam
pernikahan, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga bahwa
sebelum mampu dikawin ,
-
7/24/2019 175-225-1-SM
4/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
62
diancam, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka,
dengan pidana penjara palinglama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, dijatuhkan
pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati
dijatuhkan pidana penjara
paling lama dua belas tahun
Bersetubuh dengan istri
yang belum masanya untuk
dikawinkan yang menyebabkan
luka, Pasal 289 KUHP dengan
rincian:
Pasal 289:
Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa
seorang untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan
pidana penjara paling lama
sembilan tahun
Dengan kekerasan dilakukan
perbuatan cabul dan Pasal 290
KUHP (berbuat cabul dengan yang
pingsan atau orang yang tidak
berdaya), dengan rincian:
Pasal 290: Diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun:
(1) barang siapa melakukan
perbuatan cabul dengan seorang
padahal diketahui, bahwa orang
itu pingsan atau tidak berdaya ;
(2) barang siapa melakukanperbuatan cabul dengan seorang
padahal diketahui atau
sepatutnya diduga, bahwa
umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak
ternyata, bahwa belum mampu
dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, atau
bersetubuh di luar pernikahan
dengan orang lain
Sedangkan untuk
penganiayaan terhadap istri, pelaku
dapat dikenakan Pasal 356 KUHP
dengan rincian:
Pasal 356:
(1) Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling
lama llima tahun;
(3) jika mengakibatkan mati,
dikenakan penjara paling lama
tujuh tahun;
(4) dengan penganiayaan
disamakan sengaja merusak
kesehatan;
-
7/24/2019 175-225-1-SM
5/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
63
(5) percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak dikenakan
pidana(Penganiayaan dengan
pemberatan pidana) karena
penganiayaan itu dilakukan
terhadap istri, suami, ayah, ibu atau
anaknya. (al-Hibri Azizah. Wanita
dalam Masyarakat Indonesia:Akses
Pemberdayaan dan Kesempatan,
hlm. 137-138)
Pasal-pasal di atas nampaknya
belum mampu melindungi korban
kekerasan yang terjadi di dalam
rumah tangga dan hanya terbatas
kekerasan seksual. Sedangkan
kekerasan lain yang sering terjadi
dalam rumah tangga seperti
kekerasan fisik, psikologis dan
kekerasan ekonomi tidak ada
undang-undang yang mencegahnya.
Sehinggga perlu undang-undang
baru yang dapat melindungi
sekaligus mencegah segala tindak
kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga.
Permasalahan yang muncul
dengan lahirnya Undang-undang
No. 23 tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Antara lain apabila
seorang istri mengalami kekerasan
dalam rumah tangga, akan tetapi
tidak melaporkan kepada pihak
kepolisian atau aparat yang
berwenang, maka permasalahan
tersebut tidak dapat ditindak lanjuti
atau dianggap tidak adanyapelanggaran hukum, dikarenakan
dalam perkara ini merupakan
perkara delik aduan. Dan apabila
perkara kekerasan dalam rumah
tangga telah sampai kepengadilan,
maka seorang hakim tidak akan
menawarkan upaya damai
didalamnya dikarenakan ini
merupakan tindak pidana murni.
Ulama tradisional Indonesia
masih ada yang belum sepenuhnya
memahami dan menyetujui
berbagai aturan dalam undang
undang tersebut karena dianggap
tidak selamanya sesuai dengan apa
yang termuat dalam kitab kitab
fiqh, termasuk terhadap UU No. 23
tahun 2004 yang dianggap sebagian
pasal pasalnya kurang sesuai
dengan ajaran Islam. Anggapan ini
karena pada umumnya kitab-kitab
fikih Islam tidak secara rinci
membahas tentang tindak kekerasan
dalam rumah tangga. Hal ini bisa
dipahami karena pada masa
pembukuan kitab-kitab tersebut
memang masalah-masalah dalam
rumah tangga belum begitu
kompleks sebagaimana di era
modern sekarang ini. Selain itu,
pemahaman mereka terhadap teks-
teks agama tidak menyentuh secara
-
7/24/2019 175-225-1-SM
6/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
64
mendalam pada masalah-masalah
yang terkait dengan kekerasan
dalam rumah tangga.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang
masalah di atas, maka persoalan
yang akan diteliti dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan Fikih Islam
terhadap jenis jenis kekerasan
dalam rumah tangga yang
terdapat dalam Undang-undang
No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Tindak Kekerasan
Dalam Rumah Tangga?
2. Bagaimana tinjauan Fikih Islam
terhadap sanksi hukum bagi
pelaku tindak kekerasan dalam
rumah tangga yang diatur dalam
Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan
Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga?
C. Metode Penelitian
Secara teoritis, metode penelitian
yang dilakukan ini adalah sebagai
berikut:
1. Jenis penelitian
Peneltian yang akan
dilaksanakan ini adalah
penelitian pustaka (library
research). Jenis penelitian ini
adalah kualitatif deskriptif,
yaitu sebuah penelitian yang
berusaha mengungkap keadaan
yang bersifat alamiah secaraholistik. (Sayuthi Ali: 2002).
2. Teknik Pengumpulan Data
Penilitan ini merupakan
penelitian pustaka maka
pengumpulan data-data yang
akan dikumpulkan data litereir.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu: pertama,
bahan primer, yaitu berupa UU
No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dan kitab-kitab
Fikih Islam. Kedua, bahan
sekunder yang bersifat primer,
yaitu wawancara dengan para
ahli dan bahan-bahan pustaka,
seperti buku-buku yang
berisikan pendapat para pakar
atau praktisi mengenai hal-hal
yang berkaitan erat dengan
permasalahan yang sedang
dikaji. Ketiga, bahan-bahan
sekunder berupa bahan yang
diperoleh dari artikel, jurnal,
dan internet yang memiliki
relevansi dengan permasalahan
yang menjadi obyek kajian
penelitian. Bahan-bahan
tersebut dimaksudkan sebagai
pendukung dalam menyusun
ketajaman analisis.
-
7/24/2019 175-225-1-SM
7/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
65
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data
yang digunakan dalampenelitian ini adalah content
analisys (analisis isi), yaitu
analisis terhadap naskah UU No
23 Tahun 2004 tentang
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Setelah data-data
terkumpul, penyusun
melakukan analisa dengan cara
deskriptif-analitik-komparatif,
yakni dengan mengadakan suatu
penelitian yang dalam penelitian
ini akan memaparkan posisi
objek, yaitu kekerasan dalam
rumah tangga menurut Hukum
Positif Indonesia (UU No. 23
Tahun 2004), untuk kemudian
menganalisis dan
membandingkannya dengan
Hukum Islam sehingga akan
ditemukan persamaan dan
perbedaan antara keduanya.
4. Pendekatan Studi
Dalam penelitian ini,
penulis akan menggunakan
pendekatan perbandingan
(Comparative Approach).
Pendekatan perbandingan
(Comparative Approach)
dilakukan dengan mengadakan
studi perbandingan hukum.
D. Hasil Penbelitian dan
Pembahasan
1. Tinjauan Fiqih Islam TerhadapJenis-Jenis Kekerasan Dalam
rumah tangga yang terdapat
dalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang PKDRT
KDRT dalam pandangan
Islam, bisa disebut kejahatan
atau bukan ketika bersesuaian
dengan konsep Islam dalam
memandang kekerasan sebagai
kejahatan. Kejahatan atau
jarimah adalah perbuatan-
perbuatan tercela (qabih) yang
ditetapkan oleh hukum syara.
Inilah standar penting untuk
menilai apakah perbuatan
tersebut termasuk kriminalitas
atau bukan. Kejahatan juga
bukanlah suatu yang fithri pada
diri manusia. Kejahatan bukan
pula "profesi" yang diusahakan
oleh manusia. Juga bukan
penyakit yang menimpa
manusia. Kejahatan adalah
tindakan melanggar aturan, baik
aturan dengan Rabbnya, dirinya,
dan dengan manusia lainnya.
Sehingga dalam Islam
Homoseksual atau masokhisme
adalah kejahatan, bukan
penyakit mental apalagi
pembawaan manusia.
Berdasarkan Syariat Islam ada
-
7/24/2019 175-225-1-SM
8/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
66
beberapa bentuk kekerasan yang
bisa menimpa wanita:
1. Qadzaf yakni menuduhwanita baik-baik berzina
tanpa bisa memberikan
bukti yang bisa diterima
oleh syariat Islam. Sanksi
hukumnya adalah 80 kali
cambukan. "Dan orang-
orang yang menuduh
perempuan-perempuan yang
baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan
empat saksi maka deralah
80 kali"(Q.S An-Nuur: 4-5)
2. Membunuh: Hal ini bisa
menimpa wanita atau laki-
laki. Dalam hal ini sanksi
bagi pelakunya adalah
qishas. Diwajibkan atas
kamu qishos berkenaan
dengan orang-orang yang
dibunuh" (QS Al baqarah:
179)
3. Mendatangi wanita pada
duburnya hukumnya adalah
haram. Sanksi hukum
adalah Ta'zir dengan bentuk
hukuman yang diserahkan
pada pengadilan. Dari Ibnu
Abbas berkata, Rasulullah
saw bersabda: "Allah tidak
akan melihat seorang laki-
laki yang mendatangi laki-
laki dan mendatangi istrinya
pada duburnya"
4. Bentuk kekerasan lain yangmenimpa wanita (termasuk
juga laki-laki) adalah
penyerangan terhadap
anggota tubuh. Siapapun
yang melakukannya
walaupun oleh suaminya
sendiri adalah kewajiban
membayar 1diyat/tebusan
(100 ekor unta) jika
terbunuh. Dan jika organ
tubuh yang disakiti maka
diyatnya adalah: untuk 1 biji
mata diyat(50 ekor unta),
setiap jari kaki dan tangan,
10 ekor unta; luka sampai
selaput batok kepala, 1/3
diyat; luka dalam, 1/3 diyat;
luka sampai ke tulang dan
mematahkannya, diyat 15
ekor unta; setiap gigi, 5 ekor
unta; luka sampai ke tulang
hingga kelihatan, diyat 5
ekor unta.
5. Perbuatan Cabul seperti
berusaha melakukan zina
dengan perempuan (namun
belum sampai
melakukannya) dikenakan
sanksi penjara 3 tahun,
ditambah jilid dan
pengusiran.
-
7/24/2019 175-225-1-SM
9/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
67
Islam membolehkan
melakukan tindakan kekerasan
sebagai ta'dib (mendidik) dalamrumahtangga. Kekerasan yang
dimaksud disini bukanlah
kekerasan yang dilakukan
dengan landasan amarah atau
kekerasan yang sampai melukai
atau (bahkan) membunuh. Tapi,
bentuk kekerasan yang
dimaksud adalah bentuk-bentuk
tindakan fisik yang dibolehkan
oleh syara. Ketika syara tidak
membolehkan bahkan
mengharamkannya maka itu
adalah kejahatan.
...Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka dan pukullah
mereka. Kemudian jika ereka
mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha
Mengenal, TQS. An Nisa : 34
Allah SWT telah
menjelaskan keadaan kaum
perempuan adakalanya mereka
taat dan adakalanya
membangkang (nusyuz).
Termasuk nusyuz adalah
mereka yang menyombongkan
diri dan tidak melakukan
ketaatan kepada suami. Maka
ketika tanda-tanda nusyuztampak, suami wajib melakukan
beberapa langkah dalam upaya
meyadarkan dan
mengembalikan keadaan istri ke
jalan yang benar. Dimulai
dengan menasihati, kemudian
memisahkan diri dan berpaling
dari istri dan langkah ketiga
memberikan pukulan yang tidak
menyakitkan dan tidak
membekas, dengan tujuan
kebaikan. Ibn Abbas
memperjelasnya dengan
pukulan yang tidak
menyakitkan, tidak mematahkan
tulang dan tidak menimbulkan
luka. Jika Istri mentaati perintah
suami, maka suami dilarang
untuk mencari-cari kesalahan
istri dan mendzaliminya.
Rasulullah adalah teladan
kepala rumah tangga dengan
para ummahatul mukminin
sebagai contoh figure istri, ibu
dan pengatur rumahtangga yang
baik. Rasulullah hidup di tengah
keluarga yang mayoritasnya
adalah perempuan. Rasululah
tidak pernah melakukan tindak
kekerasan terhadap istrinya.
"Sebaik-baik kamu sekalian
adalah sebaik-baik perlakuan
-
7/24/2019 175-225-1-SM
10/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
68
kamu terhadap istri-istrimu dan
saya adalah orang yang terbaik
di antara kamu terhadap istri-istriku".
Kekerasan terhadap
perempuan merupakan tindak
penistaan dan pengebirian
harkat manusia, dapat terjadi di
semua tingkat kehidupan, baik
di tingkat pendidikan, ekonomi,
budaya, agama, maupun suku
bangsa. Hal ini karena pada
dasarnya kekerasan terjadi
akibat paham dunia yang masih
didominasi oleh laki-laki.
Tindak kekerasan dalam rumah
tangga merupakan suatu tindak
pidana yang banyak mendapat
perhatian dari para ahli ilmu
sosial pada tahun-tahun terakhir
ini. dari data yang terkumpul
belum diketahui secara pasti
berapa banyak wanita (istri)
yang menjadi tindak kekerasan
mulai dari keengganan memberi
nafkah kepada istri sampai
kepada kekerasan seksualitas.
Oleh karena itu, untuk
mengatasi masalah kekerasan
terhadap perempuan di
lingkungan rumah tangga, perlu
tindakan bersama antar semua
pihak, dari masyarakat sampai
dengan aparat. Akan tetapi
suatu perilaku konkrit belum
akan muncul apabila belum ada
muncul apabila belum ada
perubahan sikap mampupersepsi mengenai kekerasan
dalam rumah tangga itu sendiri.
Hukum positif
sebagaimana dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga dimana di
dalamnya termuat solusi dan
upaya yang dilakukan oleh
pemerintah melalui perundang-
undangan guna menghapus
terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga antara lain:
A. Tujuan penghapusan KDRT
termuat dalam Pasal 4
Penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga
bertujuan:
1. mencegah segala bentuk
kekerasan dalam rumah
tangga;
2. melindungi korban
kekerasan dalam rumah
tangga;
3. menindak pelaku
kekerasan dalam rumah
tangga; dan
4. memelihara keutuhan
rumah tangga yang
harmonis dan sejahtera.
-
7/24/2019 175-225-1-SM
11/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
69
B. Pemenuhan hak-hak korban
KDRT termuat dalam :
Pasal 10Korban berhak
mendapatkan:
1. perlindungan dari pihak
keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga
sosial, atau pihak
Iainnya baik sementara
maupun berdasarkan
penetapan perintah
perlindungan dari
pengadilan;
2. pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan
medis;
3. penanganan secara
khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
4. pendampingan oleh
pekerja sosial dan
bantuan hukum pada
setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan; dan
5. pelayanan bimbingan
rohani.
Pasal 11
Pemerintah bertanggung
jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan
dalam rumah tangga.
Pasal 12(1) Untuk melaksanakan
ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
11, pemerintah ;
1. merumuskan
kebijakan tentang
penghapusan
kekerasan dalam
rumah tangga;
2. menyelenggarakan
komunikasi,
informasi, dan
edukasi tentang
kekerasan dalam
rumah tangga;
3. menyelenggarakan
sosialisasi dan
advokasi tentang
kekerasan dalam
rumah tangga; dan
4. menyelenggarakan
pendidikan dan
pelatihan sensitif
gender dan isu
kekerasan dalam
rumah tangga serta
menetapkan standar
dan akreditasi
pelayanan yang
sensitif gender.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
-
7/24/2019 175-225-1-SM
12/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
70
dilaksanakan oleh
menteri.
(3) Menteri dapatmelakukan koordinasi
dengan instansi terkait
dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan
pelayanan terhadap korban,
pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi
dan tugas masing-masing
dapat melakukan upaya:
1. penyediaan ruang
pelayanan khusus di
kantor kepolisian;
2. penyediaan aparat,
tenaga kesehatan,
pekerja sosial, dan
pembimbing rohani;
3. pembuatan dan
pengembangan sistem
dan mekanisme kerja
sama program pelayanan
yang melibatkan pihak
yang mudah diakses
oleh korban; dan
4. memberikan
perlindungan bagi
pendamping, saksi,
keluarga, dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan
upaya sebagaimanadimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan fungsi
dan tugas masing-masing,
dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat atau
lembaga sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang
mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan
upaya-upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk:
1. mencegah
berlangsungnya tindak
pidana;
2. memberikan
perlindungan kepada
korban;
3. memberikan pertolongan
darurat; dan
4. membantu proses
pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.
C. Upaya pemberian sanksi
pidana, termuat dalam pasal
Pasal 44
1. Setiap orang yang
melakukan perbuatan
kekerasan. fisik dalam
-
7/24/2019 175-225-1-SM
13/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
71
lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf adipidana dengan pidana
penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda
paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit
atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh)
tahun atau denda paling
banyak
Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan
pidana penjara paling
lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling
banyak Rp
45.000.000,00 (empat
puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkanpenyakit atau halangan
untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4
(empat) bulan atau
denda paling banyak
Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah).
Pasal 45
1. Setiap orang yang
melakukan perbuatan
kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud
pada Pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan
juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan
untuk menjalankan
-
7/24/2019 175-225-1-SM
14/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
72
pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari,dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4
(empat) bulan atau
denda paling banyak Rp
3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang
melakukan perbuatan
kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8 huruf a dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua betas)
tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 36.000.000,00
(tiga puluh enam juta
rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa
orang yang menetap dalam
rumah tangganya
melakukan hubungan
seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8
huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun atau
denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua betas
juta rupiah) atau denda
paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratusjuta rupiah).
Pasal 48
Dalam hat perbuatan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban
mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan
sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya
pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama
4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut, gugur
atau matinya janin dalam
kandungan, atau
mengakibatkan tidak
berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan
pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan
pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun atau
denda paling sedikit Rp
25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) dan denda
paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
-
7/24/2019 175-225-1-SM
15/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
73
Pasal 49
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga)tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00
(lima betas juta rupiah),
setiap orang yang:
1. menelantarkan orang
lain dalam lingkup
rumah tangganya
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1);
2. menelantarkan orang
lain sebagaimana
dimaksud Pasal 9 ayat
(2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana
dimaksud dalam Bab ini
hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:
1. pembatasan gerak
pelaku balk yang
bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan
waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
2. penetapan pelaku
mengikuti program
konseling di bawah
pengawasan lembaga
tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan
fisik sebagaimana dimaksuddalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan
psikis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) merupakan delik
aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan
seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46
yang dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau
sebaliknya merupakan delik
aduan.
Demikianlah perspektif hukum
Islam terhadap tindak kekerasan
dalam rumah tangga, dan upaya
pemenuhan hak korban serta sanksi
pidana terhadap pelaku tindakan
tersebut karena hal tersebut
digolongkan sebagai tindak pidana.
2. Tinjauan Fiqih Islam Terhadap
Sanksi hukum terhadap pelaku
tindak KDRT menurut UU No.
23 Tahun 2004
Pelaku kekerasan dapat
dikenal sanksi pidana denda dan
penjara serta sanksi tambahan
berupa. a) pembatasan gerak
-
7/24/2019 175-225-1-SM
16/23
-
7/24/2019 175-225-1-SM
17/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
75
Jika dikaji lebih jauh
ketentuan kekerasan fisik
maka mengandungkelemahan:
a. Meskipun
mengandung asas
kesetaraan gender.
pelaku atau pun
korban dapat terjadi
pada setiap orang tanpa
membedakan jenis
kelamin, sehingga dapat
terjadi pelaku juga
perempuan atau istri.
b. Ancaman pidana tidak
memberikan batas
minimal, dan itupun
dapat diganti dengan
denda, Dalam hal ini
pihak perempuan atau
istri tetap berada pada
pihak yang dirugikan,
khususnya bagi istri
yang tidak mandiri
secara ekonomi.
c. Selain diatur delik
biasa juga diatur delik
aduan khusus Pasal 44
ayat (4). Delik aduan
terdapat kadaluarsa
dalam pelaporan.
d. Jika dilakukan atau
korban adalah anak
berlaku UU tentang
Peradilan Anak cdan
hak-haknya tetap
diberikan sesuai
dengan UU No.23Tahun 2002 (UU
Perlindungan Anak).
b. Kekerasan psikis
(Pasa l 5 huruf b) .
ya i tu perbuatan yang
mengakibatkan
ketakutan, hilangnya
rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Ancaman pidana terhadap
kekerasan psikis terhadap
kekerasan dalam Pasal 45:
(1) Setiap orang yang
melakukan perbuatan
kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud
pada Pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda
paling banyak
Rp9.000.000,00
(sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan
-
7/24/2019 175-225-1-SM
18/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
76
untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian ataukegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4
(empat) bulan atau
denda paling banyak
Rp3.000.000,00 (tiga
juta rupiah).
Kelemahan ketentuan
pidana dalam kekerasan
psikis sama dengan
kekerasan fisik.
c. Kekerasan seksual
(Pasal 5 huruf c), berupa
pemaksaan seksual yang
dilakukan terhadap
orang yang menetap
dalam lingkup RT. Dan
pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup
RTnya dengan orang lain
Lilituk tujuan komersial
dan/atau tertentu.
Kekerasan seksual
merupakan perbuatan
vang berupa pemaksaan
hubungan seksual,
pemaksaan hubungan
seksual secara tidak wajar
dan/atau tidak sesuai.
Ancaman pidana terdapat
dalam Pasal 46-Pasal 48
Pasal 46
Setiap orang yang
melakukan perbuatankekerasan seksual
sebagaimana dimaksud pada
Pasal 8 huruf a dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling
banyak Rp36.000.000,00
(tiga puluh enam juta
rupiah).
Jika dikaji lebih jauh maka:
a. Ketentuan pasal 46 ini
menunjukkan Pasal 8
huruf a, padahal Pasal
8 huruf a khusus
bagi orang ya ng
menetap dalam
lingkup RT, sesuai
dengan pasal 5 huruf c.
b. Orang yang menetap
kekerasan Pasal 2
bukanlah Suami istri
atau anak.
c. Dengan demikian
kekerasan seksual antara
suami istri bukan
merupa.kan delik
d. K hu su s an ak
sebagai korban
kekerasan seksual
lebih terlindungi
dalam UU No, 23
Tahun 2002 (UU
-
7/24/2019 175-225-1-SM
19/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
77
Perlindungan Anak).
e. Pasal 53 mengatur
bahwa tindakan pidanakekerasan seksual
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
46 yang dilakukan
oleh suami terhadap
istri sebaiknya
merupakan delik
aduan. Pasal ini tidak
konsisten dengan
ketentuan Pasal 46 itu
sendiri sehinga
menimbulkan antinomi
dan iterpretasi yang
berbeda
f. Ancaman pidana yang
ada tidak memberikan
batasan minimal dan
itupun dapat diganti
dengan denda.
g. Ancaman pidan tidak
lebih balk dari KUHP,
karena KUHP juga
memberikan ancaman
pidana yang sama
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa
orang yang menetap dalam
rumah tangganya
melakukan hubungan
seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8
huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama15 (lima belas) tahun atau
denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) atau denda
paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
Jika dikaji pasal ini sudah
memberikan batas minimal
ancaman pidana bagi
pelaku, namun masih juga
dapat diganti dengan denda
meskipun ada batas minimal
denda.
Pasal 48
Dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban
mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan
sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya
pikir atau kejiwaan
sekurangkurangnya selama
4 (empat) minggu terus
menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut, gugur
atau matinya janin dalam
kandungan, atau
mengakibatkan tidak
berfungsinya alat
-
7/24/2019 175-225-1-SM
20/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
78
reproduksi, dipidana dengan
pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun danpidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun atau
denda paling sedikit
Rp25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) dan denda
paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Ketentuan Pasal 48
tersebut.lika dikaji, maka.
a. Sudah memberikan
ancaman pidana
dengan batas
minimal, namun dapat
diganti dengan denda.
b. Waktu gangguan
daya pikir atau
kejiwaan bagi
korban dengan
sekurang-
kurangnya memberikan
perlindungan, karena
akibat dari kekerasan
dapat muncul sesudah
dalam jangka waktu
yang lama.
d. Penelantatan rumah tangga
(Pasal 5), Yaitu Setiap orang
dilarang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku
baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian
ia wajib memberikankehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang
tersebut. Penelantaran juga
berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi
dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah
kendali orang tersebut.
Ancaman pidana dalam
Pasal 49, yaitu:
Dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling
banyak Rp
15.000.000 ,00 (lima
belas juta rupi ah),
set iap oran g yang:
1 . Mener lantarkan
orang lain dalam
lingkup rumah
tangganya
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1).-
2 . Menelantarkan orang
lain sebagaimana
dimaksud Pasal 9
ayat (2).
Jika dikaji lebih.Jauh
-
7/24/2019 175-225-1-SM
21/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
79
ketentuan Pasal 49, maka:
a . Tidak member ikan
ancaman pidanaba ta s min imal, dan
itu pun dapat diganti
dengan denda.
b. Secara gramatikal
menimbulkan
interpretasi. di situ sisi
Pasal 9 ayat 1
menelantarkan orang
dalam lingkungan RT",
d i s i s i l a i n P a s a l
4 9 a y a t 2 h u r u f a
b e rb un yi
"menerlantarkan
orang lain
c. K e te n tu a n P a sa l 9
ayat (1) antinomi
dengan hak dan
kewajiban suami istri
dalam pasal 31-34 UU
No. I Tahun 1974
tentang Perkawinan.
E. Kesimpulan
Mari semua uraian yang telah
dipaparkan diatas maka dapat
diambil kesimpulan, Yaitu:
1. Kekerasan rumah tangga
tidak dibenarkan atau
dilarang oleh hukum Islam.
Larangan kekerasan ini
dalam hukum positif diatur
dengan UU No.23 Tahun
2004 Tentang pengahapusan
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Undang-undang inimelarang kekerasan dalam
bentuk apapun, kekerasan
fisik. kekerasan psikis.
kekerasan seksual dan
penelantaran rumah tangga.
Demikian juga dengan fikih
Islam. Fikih Islam melarang
segala bentuk kekerasan
tersebut. Hanya saja, Ada
perbedaan antara UU No. 23
Tahun 2004, dengan hukum
Islam yang mana dalam fikih
Islam dibolehkan memukul
istri yang nusyuz dengan
syarat-syarat tertentu.
Pembolehan memukul ini
harus memenuhi syarat dan
kaidah yang ditentukan oleh
ulama fikih. Sementara
dalam UU. No. 23 tahun
2004 tindakan tersebut
dikategorikan sebagai
kekerasan yang dapat
dijatuhi sanksi
2. Undangg-undang No. 23 tahun
2004 tentang PKDRT dengan
jelas mengat ur sa nksi bagi
pa ra pe laku tindak
kekerasan dalam rumah
tangga. Sedangkan dalam
fikih Islam tidak ada aturan
yang secara khusus dan
-
7/24/2019 175-225-1-SM
22/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
80
komprehensif mengenai
sanksi bagi para pelaku
tindak kekerasan dalamrumah tangga. Sanksi yang
dapat diterapkan adalah
sanksi dalam aturan umum
fikih jinayah. Terkait
dalam membina kehidupan
rumah tangga Islam lebili
menekankan pada perintah
untuk muasyarah atau
pergaulan yang baik sesama
anggota keluarga.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud. 2004. hukum
Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Ali, Engineer Asghar, 2003. Matinya
Perempuan.- Menyvingkap
Megasekandal Doktrin dan
laki-laki. Yogyakarta: IRCISod.
___________________, 2004.
Kekerasan terhadap
Pereinpuan Berbasis gender
(KYTBG), Yogyakarta: Rifka
Anisa Women's Crisis Center.
Ali, M. Sayuthi. 2002. Metodologi
Penelitian Agama:
Pendekatan Teori dan
Praktek. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Anonim, Hak Azasi Perempuan:
Instrumen Hukun untuk
Mewujudkan Keadilan Gender).
Basyir, Ahmad Azar. 1982. Fiqih
Jinayat (Hukum Pidana
Islam). Yogyakarta: Bagian
Penerbitan Fakultas Hukum Ull.
Dahlan, Zaini (Peneriemah),
2006. Al Quran dan
Terjemahan Artinya
Yogyakarta: UII Press.
Djazuli, H. A. 2000. Fiqih Jinayah
Upaya Menanggulangi
Kejahatan dalm Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Elmina, Martha Aroma. 2003,
Perempuan Kekerasan danHukum. Yogyakarta
Habib, M. Perlakuan Suami Terhadap
Istri dalam Membina Keluarga
Mawaddah Wa Rahmah.
Yogyakarta: Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN Sunan Kalijaga
bekerjasama dengan The Ford
Foundation Jakarta.
Hak Asasi Perempuan: Instrumen
Hukum untuk Mewujudkan
Keadilan Gender. 2004.
Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Hanafi, Ahmad Hasan. 1967. Asas-
asas Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Bulan Bintang.
Harun, Nasrun, (Pemimpin Redkasi).
2003 Ensiklopedi Hukum
Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baruvan Hoeven.
Moeljatno. 2005. Kitab Undang
undang Hukum Pidana
(KUHP). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
-
7/24/2019 175-225-1-SM
23/23
Pena Justisia Volume VII No.14, tahun 2008
81
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan
Kekarasan Dalam Rumah
Tangga. Bandung.FOKUSMEDIA.