1602-12-960372951918

Upload: ekosetiawan

Post on 08-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ABC

TRANSCRIPT

  • MODUL 12 OPERASI SISTEM TENAGA LISTRIK JAWA-MADURA-BALI:

    SUDAH EFISIENKAH ?

    Pendahuluan

    Berikut ini sdr. mempelajari dan mengkaji gambaran kondisi interkoneksi listrik Jawa Madura Bali, selanjutnya buatlah suatu analisa perhitungan mengenai resiko dan pengaruh biaya operasional perusahaan listrik Negara dalam hal ini PT. PLN atau saat ini Indonesia Power . Berikan kesimpulan.

    Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali

    Sistem tenaga listrik Jawa-Madura-Bali merupakan sistem tenaga listrik yang terbesar di Indonesia. Sistem ini mengkonsumsi hampir 80% dari tenaga listrik yang diproduksi. Oleh karena itu pengendalian operasi pada sistem ini akan mempunyai nilai yang sangat strategis dalam meningkatkan efisiensi penyaluran tenaga listrik kepada konsumen.

    Pada tahun 2002 energi listrik yang disalurkan oleh pembangkit di sistem Jawa-Madura- Bali adalah sebesar 83,6 TWh. Energi ini diproduksi oleh pembangkit dengan kapasitas netto sebesar 17.326 MW. Beban sistem tertinggi (beban puncak) yang pernah dicapai hingga saat ini adalah sebesar 13.374 MW. Peta jaringan transmisi sistem Jawa-Madura- Bali saat ini tampak pada Gambar-1.

  • SLAYA U

    SLIRA

    PRIOK

    MKRNG

    CLGON

    ASAHI

    JTAKE

    TGRN

    GU GU

    ACC

    BKASI

    U MTWAR

    KKSTL SRANG KMBN

    GNDUL

    CWANG

    CBATU

    HA

    KSBRU HRGLS

    JTLHR

    CBBAT

    JTBRG

    SRAGI

    JAVA

    TBROK

    JPARA

    BGBRU

    CIBNG A

    CRATA

    PDLRG UBRNG

    BDSLN CRBON

    PMLNG

    GU KUDUS

    PATI

    RBANG BABAT

    GRSIK MADURA

    P

    SALAK

    SGLNG A ACC KBSEN PKLON WLERI KRPYK ACC BLORA CEPU

    LNGAN

    U GU GLTMR BKLAN SMNEP

    CNJUR

    CGRLG

    P

    DRJAT P

    KMJNG

    GARUT

    BMAYU

    MJNNG

    RWALO

    MRICA

    A

    UNGAR

    GARNG

    SGRAH

    UNGAR

    A

    KDMBO

    BJGRO

    SGMDU U PERAK

    KRIAN

    SPANG

    PMKSN

    CAMIS

    TSMYA BNJAR

    LMNIS

    WSOBO

    PWRJO

    KNTUG

    A

    BOJLI

    JELOK

    JAJAR

    SRGEN

    NGAWI

    ACC WARU

    BNGIL

    G GBONG

    PEDAN

    BNTUL KLTEN

    PALUR

    MNRJO

    SURYA

    MKRTO

    MGUNG

    KBAGN

    GRATI

    PBLGO

    PITON

    U

    STBDO

    KDBRU

    A

    WLNGI

    A

    KKTES

    LWANG

    LMJNG

    BDWSO

    JMBER

    BWNGI

    GLNUK

    BALI

    NGARA

    KAPAL

    PSGRH

    PMRON

    BTRTI

    GNYAR

    SANUR

    AMLRA

    G

    NSDUA

    Gambar-1. Peta Jaringan Sistem Jawa-Madura-Bali Saat Ini

    Pola Beban

    Pola beban adalah pola konsumsi tenaga listrik dalam kurun harian, bulanan maupun tahunan. Secara umum, pola beban harian sistem tenaga listrik Jawa-Madura-Bali menunjukkan model-model yang berbeda, yaitu pola untuk hari kerja, hari Sabtu, hari Minggu dan hari libur (lihat Gambar-2). Menarik untuk diamati bahwa pada berbagai pola beban yang ada, pemakaian daya listrik tertinggi hanya terjadi selama kurang lebih 4 jam setiap harinya. Periode ini dikenal dengan sebutan periode Waktu Beban Puncak (WBP). Meskipun beban puncak terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sistem

  • harus mampu menyediakan kapasitas pembangkitan untuk memasok kebutuhan beban puncak tersebut. Oleh karena itu, operasi sistem tenaga listrik membutuhkan tersedianya pembangkit yang selalu stand-by dan hanya difungsikan pada saat beban puncak. Pembangkit sejenis ini disebut sebagai pembangkit pemikul beban puncak.

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 2/8

    14000

    13000

    12000

    11000

    10000

    9000

    Hari Kerja

    Hari Sabtu

    Hari Minggu

    13374 MW

    12335 MW

    11274 MW

    8846 MW

    8000

    7000

    6000

    Hari libur hkusus

    ( Idul Fitri )

    5000

    4000 Jam

    Gambar-2. Tipikal Kurva Beban Sistem Jawa-Madura-Bali

    Pola beban suatu sistem tenaga listrik seringkali direpresentasikan dengan ukuran faktor beban (load factor). Faktor beban adalah rasio antara beban rata-rata sistem dan beban puncak sistem. Angka faktor beban sesungguhnya merefleksikan kegiatan masyarakat setempat. Semakin tinggi faktor beban suatu sistem maka semakin rata penggunaan tenaga listrik sepanjang waktu. Sebagai contoh, sub-sistem DKI Jakarta & Banten serta sub-sistem Jawa Barat yang memiliki lebih banyak konsumen industri dibanding sub- sistem lainnya memiliki faktor beban yang lebih tinggi (lihat Tabel-1). Hal ini disebabkan konsumen industri umumnya mengoperasikan pabrik selama 24

  • jam terus menerus. Sedangkan sub-sistem Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebagian besar konsumennya berupa residensial, memiliki pola konsumsi tenaga listrik yang mengikuti pola hidup rumah tangga, dimana beban sangat tinggi pada malam hari pada saat diperlukan penerangan lebih banyak.

    Tabel-1. Faktor Beban Berbagai Sub-Sistem Tahun 2002

    Jawa Barat : 77% DKI Jakarta dan Banten : 80% Jawa Tengah dan DIY : 66% Jawa Timur, Madura dan Bali : 71% Bali : 67%

    Dari aspek operasi sistem, pola beban seperti pada Gambar-2 menunjukkan bahwa menjelang terjadinya beban puncak, terdapat kenaikan beban yang cukup tajam, yaitu sekitar 1.500 MW per jam. Untuk mengatasi kondisi semacam ini, operator sistem harus segera menaikkan pembebanan pembangkit yang belum dibebani penuh dengan memperhatikan kemampuan laju kenaikan beban masing-masing pembangkit serta mulai mengoperasikan pembangkit lain yang belum terhubung ke sistem.

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 3/8

    Gambar-2 juga memperlihatkan bahwa meskipun bentuk pola beban hampir sama, terdapat perbedaan yang cukup besar pada saat beban puncak maupun beban rendah antara hari kerja dan hari Sabtu (1000 MW), hari kerja dan hari Minggu (2000 MW) atau hari kerja dan hari libur (5000 MW). Hal ini menimbulkan problematika tersendiri dalam pengaturan operasi pembangkitan. Beberapa pembangkit perlu di-weekend shutdown atau bahkan dimatikan lebih dari satu minggu dalam kasus hari libur seperti hari Raya Idul Fitri. Dinamika sistem seperti ini membawa konsekuensi berupa penurunan pada faktor kapasitas tahunan pembangkit.

    Operasi Sistem

    Tenaga listrik di sistem Jawa-Madura-Bali diproduksi oleh pembangkit tenaga listrik dengan karakteristik teknis dan tingkat efisiensi yang berbeda, serta bersumber dari beragam energi primer seperti air, batubara, gas alam, minyak dan panas bumi. Perbedaan energi primer dan tingkat efisiensi menyebabkan biaya produksi dari masing- masing pembangkit menjadi berbeda. Sedangkan perbedaan karakteristik teknis menyebabkan posisi pembangkit dalam mensuplai beban sistem menjadi berbeda, yang umumnya dikelompokkan menjadi tiga segmen, yaitu pembangkit pemikul beban dasar (base load), pemikul beban menengah (load follower) dan pemikul beban puncak

    (peaker). Gambar-3 menunjukkan ketiga kelompok pembangkit.

  • MW

    Peaker

    Load Follower

    Base Load

    00.30 04.30 08.30 12.30 16.30 20.30 Jam

    Gambar-3. Pengelompokan Pembangkit

    Pembangkit dengan karakteristik yang kurang fleksibel karena tidak dapat dihidupkan atau dimatikan dalam waktu yang singkat serta lambat dalam menaikkan/menurunkan pembebanan mengharuskan pembangkit untuk dioperasikan sepanjang pembangkit siap. Pembangkit kelompok ini digolongkan ke dalam pembangkit base load. Disamping keterbatasan teknis, ikatan kontrak pembelian bahan bakar berupa take-or-pay, terkadang juga menjadi alasan mengapa pembangkit digolongkan

  • sebagai pembangkit base load. Pembangkit base load biasanya berskala besar dan memiliki biaya produksi yang lebih murah dibandingkan kelompok pembangkit lainnya.

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 4/8

    Pembangkit base load umumnya dioperasikan pada kapasitas terpasang maksimum sepanjang pembangkit tersebut siap serta sesuai dengan kesiapan sistem penyaluran. Pembangkit jenis ini contohnya PLTU batubara, pembangkit yang terikat kontrak take- or-pay bahan bakar seperti PLTP, serta pembangkit hidro yang memiliki sumber air yang hanya akan ekonomis bila dioperasikan, seperti pembangkit hidro run-off-river.

    Pembangkit kelompok load follower meliputi pembangkit yang lebih fleksibel namun lebih mahal dari pembangkit base load, seperti PLTGU gas dan PLTU minyak. Untuk sistem Jawa-Madura-Bali, PLTGU gas juga diposisikan sebagai base loader karena adanya ikatan kontrak take-or-pay pembelian gas alam.

    Pembangkit yang difungsikan sebagai pemikul beban puncak meliputi pembangkit yang fleksibel baik dalam kecepatan perubahan pembebanan maupun start-stop pembangkit dan umumnya berskala dibawah 100 MW, seperti PLTG minyak, PLTD serta PLTA waduk. PLTA waduk pada sistem Jawa-Madura-Bali seperti PLTA Saguling dan Cirata difungsikan sebagai pembangkit pemotong beban puncak (peak-shaving) karena nilai ekonomis yang dimiliki. Namun, pengoperasian pembangkit ini sangat tergantung pada variasi musim.

    Pembangkitan

    Ukuran yang sering digunakan untuk melihat tingkat utilitas pembangkitan adalah faktor kapasitas (capacity factor). Faktor kapasitas merupakan rasio antara energi yang disalurkan terhadap energi maksimum yang mampu diproduksi jika pembangkit dioperasikan pada kapasitas terpasangnya.

  • Faktor kapasitas tiap pembangkit akan berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan fungsinya, apakah sebagai pembangkit base load, load follower atau peaker. Besar faktor kapasitas pembangkit disamping tergantung pada kesiapan pembangkit juga tergantung pada pola beban yang ada pada suatu sistem. Dengan kata lain, faktor kapasitas ini berkaitan dengan faktor beban dan faktor kesiapan (availability factor) pembangkit. Faktor kesiapan adalah rasio antara jumlah jam pembangkit siap terhadap total jam dalam satu tahun. Karena pembangkit memerlukan waktu untuk memelihara pembangkit dan adanya pola beban pada sistem yang tidak merata sepanjang hari, maka secara keseluruhan, dalam kurun setahun faktor kapasitas pembangkit pada sistem tidak akan pernah mencapai 100%. Bila sistem Jawa-Madura Bali diambil sebagai contoh, maka dengan faktor beban sebesar 72% dan kesiapan pembangkit tipikal sebesar 85%, maka angka maksimum faktor kapasitas yang dapat dicapai adalah sebesar 61%.

    Faktor kapasitas pada industri listrik dapat dianalogikan dengan occupancy rate (tingkat hunian) pada industri perhotelan. Sama halnya dengan kapasitas pembangkit, kapasitas atau jumlah kamar pada sebuah hotel dirancang dengan harapan untuk memenuhi perkiraan permintaan kamar pada periode musim liburan (peak season). Pada periode peak season ini kamar-kamar hotel standar dan bahkan kamar-kamar kelas mahal menjadi terisi. Sedangkan pada periode diluar peak season, hanya sebagian saja kamar yang terisi. Sehingga, secara rata-rata sepanjang tahun, tingkat hunian hotel sangat jarang dijumpai mendekati 100%.

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 5/8

    Faktor Kapasitas Aktual Sistem Jawa-Madura-Bali

    Untuk sistem Jawa-Bali, faktor kapasitas pembangkit base load adalah sekitar 70%, kecuali PLTP mencapai sekitar 90%. Hal ini karena sebagian pembangkit base load terpaksa tidak dapat difungsikan sebagai base loader yang dibebani terus-menerus, melainkan harus disesuaikan operasinya mengikuti perubahan pola beban. Pada Gambar-2 terlihat bahwa selisih antara beban terendah dan beban puncak sistem mencapai sekitar 5000 MW. Beban terendah sistem berkisar 8000 MW sementara kapasitas pembangkit base load mencapai 11.000 MW, sehingga akan terdapat beberapa pembangkit base load tersebut yang dimatikan atau tidak dioperasikan pada kapasitas penuh.

    Pembangkit load follower di sistem Jawa-Madura-Bali memiliki faktor kapasitas yang lebih kecil, yaitu berkisar antara 30% hingga 50%. Sedangkan bagi pembangkit yang difungsikan sebagai pemikul beban puncak, karena hanya dioperasikan pada periode WBP, maka faktor kapasitas untuk pembangkit ini otomatis akan menjadi kecil, yaitu kurang dari 15%.

    Faktor kapasitas pembangkit di sistem Jawa-Madura-Bali ini tidak berbeda jauh dengan faktor kapasitas pembangkit di sistem tenaga listrik negara lain. Sebagai contoh, faktor kapasitas tipikal pada sistem tenaga listrik di Amerika Serikat dalam periode 1997-2001 untuk pembangkit base load berkisar antara 60% hingga 70%, load follower sebesar 25% hingga 50% dan peaker kurang dari 15%, bahkan ada beberapa pembangkit peakers yang memiliki faktor kapasitas kurang dari 5%.

    Perbandingan faktor kapasitas pembangkit di sistem Jawa-Madura Bali dan Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel-2. Sedangkan rincian faktor

  • kapasitas berbagai pembangkit di sistem Jawa-Madura-Bali dapat dilihat pada Tabel-3.

    Tabel-2. Perbandingan Faktor Kapasitas Berbagai Kelompok Pembangkit

    Pembangkit1)

    Faktor Kapasitas di Sistem

    Jawa-Madura-Bali2) Amerika Serikat3)

    Kelompok Pemikul Beban

    Beban Dasar (base-load) 60% - 74% 60% - 73%

    Beban Menengah (load follower) 30-% - 50% 25% - 50%

    Beban Puncak (peaker) < 15% < 15%

    Catatan:

    1) Dibandingkan pembangkit dengan karakteristik dan peruntukan yang serupa. 2) Tidak termasuk pembangkit panas bumi dengan faktor kapasitas sekitar 90%. Data untuk tahun 2002.

    3) Tidak termasuk pembangkit nuklir dengan faktor kapasitas sekitar 80% dan PLTU berbahan bakar lignite dengan faktor kapasitas sebesar 79%. Sumber: "Generating Unit

    Statistical Brochure 1997-

    2001", North America Electricity Reliability Council.

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 6/8

    Tabel-3. Rincian Faktor Kapasitas (CF) Pembangkit di Sistem Jawa-Madura-Bali Tahun 2002

    No. Pembangkit

    DMN *) ( MW ) CF

    1. PLTA Area-1 33,5 45% Area-2 54,5 49% Saguling 695,8 38% Cirata 1.000,0 15% Area-3 124,0 36% Mrica 173,6 23% Area-4 40,0 52% Sutami 102,0 54% Brantas Non Sutami 125,0 39%

    2. PLTU Batubara Suralaya 1-4 1.524,0 67%

    Suralaya 5-7 1.737,0 74% Paiton 740,0 64%

    BBG Gresik (2x200 MW) 350,0 61% Gresik (2x100 MW) 170,0 72%

    BBG & BBM Mkrng. 2x200 MW 330,0 65% BBM Mkrng 3x100 MW 255,0 64%

    Priok 90,0 0% Tambaklorok 274,0 64% Perak 90,0 24%

    3. PLTGU BBG Gresik 1+3 (BBG) 1.440,0 71%

    Gresik Blok 2 (BBM) BBG & BBM Muarakarang 465,0 68%

    Priok 1.120,0 68% BBM Muaratawar Blok-1 605,0 21%

    Muaratawar Blok-2 276,0 12% Tambaklorok 976,0 38% Grati 462,0 17%

  • 4. PLTP Salak 165,0 92% Kamojang 140,0 93% Drajat 55,0 88%

    5 PLTG PLTG BBG Priok 4-5 **) 82,0 0% PLTG BBM Gresik 32,0 8%

    Priok 1-3 36,0 2% Sunyaragi 72,0 10% Cilacap 44,0 7% Gilimanuk 133,0 44% Pesanggaran 98,0 48% Gilitimur 32,0 12%

    58,0

    6 PLTD BBM Pesanggaran 58,0 17% 7. Listrik Swasta

    PLTA Jatiluhur 179,5 65% PLTU Paiton PEC 1.290,0 60%

    Jawa Power 1.220,0 64% PLTP UGI Ltd./ Salak 177,0 87%

    Darajat II / Amoseas 90,5 93% W. Windu / Magma NL 110,0 94% Dieng 60,0 10%

    Total 17,326.0

    *) DMN adalah Daya Mampu Netto dalam MW, yaitu kapasitas terpasang dikurangi pemakaian sendiri pusat pembangkit **) PLTG Priok akan direlokasi

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 7/8

    Kecukupan Pasokan Sistem Jawa-Madura-Bali

    Kecukupan pasokan tenaga listrik diukur dengan melihat kemampuan pasokan daya listrik pada saat beban puncak (neraca daya). Hal ini mengingat sifat tenaga listrik yang tidak dapat disimpan, sehingga kebutuhan suatu saat harus dipasok saat itu juga. Disamping itu, kebutuhan tenaga listrik bersifat acak dan dinamis sehingga diperlukan strategi perkiraan beban dan penyediaan daya yang terdistribusi sesuai dengan dinamika kebutuhan beban.

    Dari sisi pasokan, hal-hal yang mempengaruhi besarnya pasokan ini antara lain pemeliharaan, variasi musim, perbaikan instalasi, dan kendala transmisi. Pemeliharaan pembangkit harus diatur sedemikian rupa sehingga cadangan daya dapat merata sepanjang waktu. Pengaturan ini harus merupakan kompromi dari kebutuhan pemeliharaan pembangkit yang berbeda-beda dan kebutuhan cadangan yang merata sepanjang tahun. Variasi musim akan mempengaruhi daya dari PLTA. Pada saat musim hujan, daya dari PLTA dapat maksimum, tetapi sebaliknya pada musim kering, PLTA akan menurun dayanya, bahkan ada beberapa PLTA yang tidak beroperasi. Hal lain yang sangat penting adalah cadangan operasi. Cadangan ini dibutuhkan untuk menghadapi gangguan pembangkit serta deviasi perkiraan beban.

    Gangguan pembangkit dapat berupa berhentinya operasi pembangkit maupun berkurangnya kemampuan pembangkit secara tiba-tiba. Sehingga, untuk mengantisipasi agar penggantian pembangkit dapat dilaksanakan secara cepat, maka dibutuhkan cadangan putar yang cukup. Disamping cadangan putar, diperlukan juga cadangan dingin agar jaminan kecukupan

  • daya dalam jangka lebih dari satu hari dapat dipenuhi. Cadangan dingin maupun cadangan putar disebut sebagai cadangan operasi.

    Besarnya cadangan operasi sangat tergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan listrik. Pada sistem tenaga listrik Jawa-Madura-Bali kriteria cadangan menggunakan single contingency atau lebih dikenal dengan kriteria N-1. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi gangguan pada satu unit pembangkit, maka pasokan ke pemakai listrik tidak boleh terganggu. Dari sisi pembangkitan, setiap saat harus tersedia cadangan, khususnya cadangan putar, minimal sebesar satu unit pembangkit terbesar (615 MW), sehingga apabila unit pembangkit terbesar tersebut terganggu maka pembangkit lain dapat langsung menggantikan.

    Realisasi neraca daya sistem Jawa-Madura-Bali sepanjang tahun 2002 menunjukkan bahwa bahwa rata-rata cadangan putar yang tersedia selama tahun 2002 adalah sebesar 365 MW (jauh dibawah 615 MW), sedangkan cadangan operasi sekitar 620 MW. Hal ini menunjukkan bahwa cadangan daya pada sistem sangat terbatas. Kondisi ini telah membawa konsekuensi pemadaman berupa pemutusan beban (load-curtailment), yang sepanjang tahun 2002 terjadi sebanyak 28 kali.

    Disamping dari sisi pasokan, kecukupan pasokan daya juga sangat ditentukan oleh pertumbuhan beban. Perusahaan listrik harus mengantisipasi pemenuhan pertumbuhan beban antara lain dengan cara melakukan investasi pembangkit baru. Sistem Jawa- Madura-Bali, misalnya, dalam 2 tahun terakhir ini memiliki pertumbuhan beban puncak sekitar 6.5% per tahun atau tumbuh sekitar 800 MW per tahun. Dengan perkiraan

  • Operasi Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali: Sudah Efisienkah? 8/8

    pertumbuhan beban yang serupa serta mempertimbangkan probabilitas penurunan kemampuan pembangkit yang ada, maka estimasi kebutuhan pembangkit baru bisa mencapai 1000 MW per tahun.

    Kesimpulan

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua hal pokok.

    Pertama, dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik dari waktu ke waktu operasi sistem tenaga listrik harus memperhatikan beberapa hal, antara lain (i) karakteristik pembangkit seperti kecepatan naik/turun pembebanan, lama waktu start, dan waktu minimum dinyalakan/dimatikan setelah beroperasi/tidak operasi, (ii) kesiapan dan kendala transmisi, (iii) ketentuan kontrak jual beli listrik dengan perusahaan pembangkit, (iv) kesiapan pembangkit aktual, serta (v) kesiapan suplai energi primer.

    Kombinasi berbagai hal di atas dan pola beban yang tidak rata pada sistem akan menentukan tingkat pembebanan yang berbeda pada masing-masing pembangkit, sehingga menghasilkan faktor kapasitas yang berbeda antara pembangkit satu dengan lainnya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa faktor kapasitas tiap pembangkit atau faktor kapasitas seluruh pembangkit di sistem bukan merupakan parameter untuk mengukur efisiensi pengoperasian pembangkit ataupun efisiensi operasi suatu sistem tenaga listrik.

    Untuk memperbaiki faktor kapasitas pembangkit pada sistem, upaya yang dapat dilakukan antara lain meratakan pola beban (meningkatkan faktor

  • beban). PLN dalam hal ini telah mengupayakan peningkatan faktor beban melalui sistem pentarifan yang berbeda untuk WBP dan luar WBP baik melalui TDL kepada pelanggan maupun melalui mekanisme transfer pricing internal kepada PLN Unit Distribusi, sehingga terdapat dorongan untuk menggeser pola konsumsi tenaga listrik oleh konsumen.

    Kedua, kecukupan pasokan tenaga listrik kepada konsumen yang diukur dengan melihat kemampuan pasokan listrik pada beban puncak ditentukan oleh berbagai hal, antara lain

    (i) kebutuhan pemeliharaan pembangkit, (ii) variasi musim, (iii) perbaikan instalasi, dan (iv) kendala sistem penyaluran. Dengan demikian, meskipun di atas kertas daya terpasang pembangkit 30% lebih besar dari beban puncak sistem, daya mampu aktual yang tersedia bisa saja tidak dapat memenuhi kebutuhan tenaga listrik konsumen. Misalnya pada kondisi dimana terjadi gangguan lebih dari satu unit pembangkit pada saat bersamaan sehingga cadangan yang tersedia tidak cukup untuk memasok beban.

    --o0o--