bab i pendahuluan a. latar belakang masalahrepository.untag-sby.ac.id/1602/4/bab i.pdf · kelompok...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekhawatiran pada sebuah kondisi kesehatan merupakan hal yang
wajar pada setiap individu, akan tetapi apabila sebuah kekhawatiran
terhadap sebuah kondisi kesehatan telah mempengaruhi kehidupan
individu, maka hal tersebut merupakan sebuah persoalan. Hipokondriasis
merupakan sebuah kondisi yang terjadi pada seorang individu dimana
individu bersangkutan merasa sangat terganggu dan terobsesi akan sesuatu
yang dirasakannya tersebut (Mayoclinic.com). Ketika seorang mengalami
Hipokondriasis maka individu yang bersangkutan tersebut akan merasa
sangat cemas terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi pada dirinya.
Selain itu individu bersangkutan akan sangat terobsesi dengan sebuah
pemikiran dan keyakinan bahwa dirinya sedang mengalami sebuah
penyakit serius yang mengancam kehidupannya atau yang disebut dengan
life-threatening disease (Mayoclinic.com). Keyakinan yang dimiliki
individu bersangkutan tidak memiliki dasar kuat seperti diagnosa medis
(Mayoclinic.com). Hipokondriasis dapat berlangsung selama berbulan-
bulan dan kondisi ini sangat mempengaruhi kehidupan individu seperti
perngaruh terhadap pekerjaan, menimbulkan permasalahan dalam
hubungan sosial individu dan menimbulkan berbagai masalah di area
kehidupan individu (Mayoclinic.com).
Sebuah jurnal kesehatan online NHSChoices menjelaskan bahwa
merasa cemas akan kesehatan dapat dialami semua orang di dunia, namun
kasus yang kerap terungkap adalah bahwa sebagian orang merasa bahwa
kecemasan yang mereka alami telah berlangsung sekian lama dan tidak
berangsur pergi namun justru menjadi masalah tersendiri (NHSChoices).
NHSChoices memetakan Hipokondriasis sebagai sebuah kecemasan
obsesif terhadap kesehatan seseorang. Individu dengan Hipokondriasis
atau kecemasan akan kesehatan memiliki beragam gejala fisik yang tidak
terjelaskan secara medis (Medically Unexplained Symptoms).
Sebagaimana dijelaskan oleh Nevid, Spencer dan Greene (2005)
seorang dengan gangguan Hipokondriasis tidak merupakan hasil dari
perilaku kepura-puraan. Pada umumnya individu dengan gangguan ini
menglami gangguan fisik dan ketidak-nyamanan yang berhubungan
dengan gangguan pencernaan, gangguan campuran dari sakit dan nyeri
(Nevid et al. 2005).
Nevid (2005) dalam bukunya Psikologi Abnormal juga
menjelaskan bahwa pada umumnya individu dengan gangguan
Hipokondriasis berada pada usia 20 hingga 30 tahun walaupun tidak
terdapat sebuh prevalensi yang menyatakan bahwa hanya pada usia
tersebut gangguan Hipokondriasis dapat menyerang. Sehingga individu
dengan usia berapapun memiliki kecenderungan untuk mengalami
gangguan Hipokondriasis (Nevid et al. 2005).
Secara umum tidak terdapat sebuah patokan universal mengenai
batasan usia bagi individu untuk dapat atau tidak dapat mengalami
Hipokondriasis. Bernardo, Dimsdale, Lianne & Al Camacho (2011) dalam
Rural California Outpatient Psychiatric Clinic, melakukan penelitian
mengenai Somatoform Disorder dengan 737 meninjau data pasien pada
klinik psikiatri. Dari 737 pasien didapatkan terdapat 37 pasien yang
terdiagnosa mengalami Somatoform Disorder dan dari 37 pasien yang
didagnosa mengalami Somatoform Disorder digolongkan dalam
kelompok pasien dengan Somatofrom Disorder dan sisanya sebanyak 700
pasien digolongkan dalam pasien Nonsomatoform Disorder. Jumlah pasien
yang tergolong dalam kelompok Somatoform Disorder berada pada angka
5 % dari total keseluruhan 737 pasien. Dari 37 jumlah pasien yang
didiagnosa mengalami Somatoform Disorder, 22 diantaranya didagnosa
mengalami Pain Disorder, kemudian 13 pasien didiagnosa mengalami
Somatization Disorder sedangkan 2 pasien lain didagnosa menderita
keduanya baik Pain Disorder dan Somatization Disorder.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan jika ditilik berdasarkan
perbedaan etnis, jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang dimiliki pasien
atau responden (Bernardo et al. 2011). Dari jumlah pasien kelompok
Somatoform Disorder memiliki usia lebih tua yang signifikan jika
dibandingkan dengan kelompok pasien Nonsomatoform Disorder dengan
rata-rata usia mencapai 58,8 tahun (Bernardo et al. 2011). Selain itu pada
kelompok pasien somatoform disorder lebih mungkin memiliki hubungan
yang terikat hukum atau merupakan pasien yang sudah menikah (Bernardo
et al. 2011). Penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan pernikahan dan
usia semakin tua memberikan pengaruhnya terhadap kecenderungan
Somatoform Disorder. Pasien yang tergolong dalam Somatoform Disorder
pada umumnya mengalami atau pernah mengalami Major Depressive
Disorder (MDD), hipertensi, arthritis, pernah mengalami operasi
pembedahan, dan memiliki riwayat penyakit kronis (Bernardo et al. 2011).
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa seorang individu yang memiliki
riwayat medis tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
mengalami Somatoform Disorder.
Mahon, Lawson, Coal, Van der Watt dan Janca (2013) dalam
penelitiannya Prevalence And Comorbidities of Somatoform Disorder in a
Rural California Outpatient Psychiatric Clinic menjelaskan bahwa tidak
terdapat pengaruh jenis kelamin atau sosio-demografi dari individu
terhadap kecenderungan Somatoform Disorder. Dalam penelitiannya
terdapat 60 pasien dengan 35 diantaranya merupakan responden wanita
(Mohan et al. 2013). Angka ini berarti 58,6% dari jumlah total responden.
Usia rata-rata pasien yang mendapat review 45,6 tahun. Dari 60 pasien
tersebut, 26 diantaranya merupakan responden yang sudah menikah
(Mohan et al. 2013). Angka ini berarti 43% atau hampir separuh dari
jumlah keseluruhan responden. Kemudian 20 diantaranya merupakan
responden yang telah bercerai dan hidup terpisah dari pasangannya
(Mohan et al. 2013). Angka ini berarti 33% dari total keseluruhan
responden yang terlibat merupakan individu yang pernah terikat dalam
pernikahan. Kemudian berhubungan dengan pekerjaan dari individu,
terdapat 71,1% atau 43 responden sudah tidak bekerja atau menganggur
selama sekurangnya satu tahun atau 12 bulan (Mohan et al. 2013).
Kemudian dari 60 responden hanya 14 responden atau hanya 23,3% dari
total keseluruhan responden yang memiliki pekerjaan (Mohan et al. 2013).
Kemudian dari total 60 responden hanya terdapat 2 responden yang sedang
menempuh pendidikan menengah perguruan tinggi setingkat diploma
(Mohan et al. 2013). Setelah itu 75% dari total responden merupakan
responden yang telah menyelesaikan 10 tahun pendidikan (Mohan et al.
2013).
Data lain yang disinyalir memiliki pengaruh terhadap penelitian
yakni kondisi kesehatan responden pada saat penelitian dilakukan. Mohan
et al. (2013) mencatat terdapat 24 pasien sedang dalam kondisi kesehatan
poor atau tidak dalam kondisi prima pada saat penelitian dilakukan. Angka
ini berada pada level 40% dari total keseluruhan. Sedangkan bagi
responden yang memiliki kondisi kesehatan excellent hanya 4 responden
atau hanya 7% dari total keseluruhan responden, sedangkan sisa responden
18 responden berada dalam kondisi kesehatan good dan 12 responden
berada pada kondisi fair (Mohan et al. 2013) (lihat tabel 1.1).
Setelah itu berkaitan dengan bentuk pengobatan yang diterima
responden terdapat data tidak semua mendapatkan konseling dan
psikoterapi (Mohan et al. 2013). Perbandingan jumlah responden
berdasarkan jenis kelamin adalah 35 wanita dan 25 pria. Dari total 35
wanita tercatat 62% atau 21 responden wanita pernah mendapatkan
psikoterapi dan konseling, sedangkan untuk jenis kelamin pria, dari total
25 responden tercatat 52% atau 13 responden pernah mendapatkan
psikoterapi dan konseling (Mohan et al. 2013). Selain itu bentuk perlakuan
lain yang pernah didapatkan oleh responden diantaranya seperti operasi
pembedahan, akupuntur, dan penerimaan obat (Mohan et al. 2013).
Terdapat 19 responden yang pernah melakukan operasi bedah diantaranya
10 responden wanita dan 9 responden pria. Kemudian terdapat 13
responden yang pernah melakukan akupuntur diantaranya 8 responden
wanita dan 5 responden pria (Mohan et al. 2013). Sedangkan untuk
pengobatan, dari total 60 responden terdapat 59 repsonden yang pernah
mendapatkan pengobatan jalan dan hanya terdapat 1 responden wanita
yang tidak tercatat pernah mendapatkan pengobatan (Mohan et al. 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Mahon et al. tersebut, Persistent
Somatoform Pain Disorder (PSPD) terdapat dalam 50 responden dari
jumlah keseluruhan (Mohan et al. 2013). Angka tersebut berada pada
tingkat 83% dari total keseluruhan jumlah responden. Beberapa jenis
symptoms (lihat tabel 3) yang dirasakan oleh responden adalah seperti
sakit pada bagian dada, sakit kepala, perut melilit, tenggorokan berdahak,
badan lemas yang datang secara berkala dan masa periodik tertentu,
merasa susah menjaga keseimbangan, badan bergetar, nafas pendek, nafas
berat dan nafas tersedu-sedu, jantung berdegub kencang, badan merasa
berat atau ringan, bisul hingga hubungan seksual yang tidak nyaman
(Mohan et al. 2013). Data juga menyebutkan beberapa symptoms langsung
yang mengarah pada Hipokondriasis yakni kecemasan yang sangat serius
pada kondisi kesehatan dan kecemasan serius terhadap penyakit fisik
tertentu. Terdapat 16 pasien yang masuk ke dalam kategori menderita
Hipokondriasis (Mohan et al. 2013).
Table 1 :karakteristik populasi penelitian. (Mohan et al. 2013: 67)
Table 2 :responden yang mendapatkan treatments spesifik. (Mohan et al. 2013: 68)
Table 3 :responden yang mendapatkan treatments spesifik. (Mohan et al. 2013: 68)
Berdasarkan data yang tertera di atas dapat dilihat sebuah benang
merah bahwa pada dasarnya Hipokondriasis dapat menyerang individu
pada usia dewasa hingga dewasa akhir. Beberapa hal yang menjadi
perhatian lain seperti pernah tidaknya individu mendapatkan perlakukan
medis seperti konseling, pengobatan, rawat jalan hingga operasi
pembedahan juga dihubungkan dalam penelitian tersebut. Selain itu
individu dengan pengalaman pernikahan atau bahkan sudah pernah
menikah (berpisah) juga menjadi salah satu variabel yang menjadi
pertimbangan dalam penelitian-penelitian tersebut. sehingga asumsi yang
dapat ditarik adalah individu dengan prevalensi usia 20 tahun hingga 60
tahun usia dimana individu telah memiliki berbagai macam informasi dan
pengetahuan dari berbagai jenis penyakit dan gejala-gejala penyakit
tertentu memiliki kecenderungan akan Hipokondriasis. Dalam penelitian-
penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak
memberikan pengaruh terhadap individiu. Permasalahan mendasar yang
menjadi faktor lain adalah keadaan gejala-gejala sakit yang mengganggu
kehidupan sehari-hari dari individu. Pridmore, Saxby, Paul Skerritt &
Jamshid Ahmadi (2014) mejelaskan bahwa dalam studi Somatization
Disorder, Chronic Pain, Conversion Disorder, Hipokondriasis, hingga
Body Dismorphic menunjukkan bahwa 11% pria dan 13,5% wanita merasa
terganggu kegiatan sehari-harinya yang disebabkan oleh pain. Khususnya
dalam kasus hipokondiriasis secara umum kelaziman jumlah penderitanya
mencapai angka 4-9% disetiap pengobatan umum (Pridmore et al. 2014).
John Diamond (New York Times) dalam artikelnya “Because
Cowards Get Cancer Too: A Hypochondriac Confronts His Nemesis”
menjelaskan bahwa dirinya pernah merasakan gajala seperti demam, sakit
perut, nyeri pada berbagai bagian tubuh hingga sakit kepala membuatnya
merasa harus memeriksakannnya pada dokter karena ketakutannya
terhadap berbagai jenis penyakit akut terutama Cancer. Perilaku ini
sempat menggangu pekerjaannya hingga perilakunya di depan
keluarganya.
Kasus lain adalah terjadi pada seorang ahli radiologi berusia 38
tahun (dalam Nevid et al., 2005) bernama Robert yang baru saja
mengalami pemeriksaan atas gangguan system pencernaannya di sebuah
pusatdiagnostik ternama selama sepuluh hari. Sekembaliya dari pusat
diagnostik tersebut bukannya merasa tenang, Robert justru marah dan
kecewa terhadap diagnosa tersebut.
Diantara beberapa faktor yang memiliki potensi memberikan
pengaruhnya terhadap kecenderungan individu menderita Hipokondriasis
seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat satu jenis variabel yang
tidak nampak dimasukkan ke dalam klasifikasi faktor yakni jenis
kepribadian.
Permasalahan gangguan kecemasan seperti Hipokondriasis menjadi
menarik ketika dihubungkan dengan jenis kepribadian individu penderita
gangguan tersebut. Jenis kepribadian dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu Extrovert dan Introvert (Jung, dalam Alwisol, 2009). Kata Extrovert
dan Introvert merupakan kata yang sangat akrab di telinga sebagian besar
orang. Tidak hanya akademisi Psikologi yang mengenal kedua kata ini,
namun sebagian besar orang mengenal kedua kata ini. Orang mengenal
kata Extrovert dan Introvert berdasarkan pembeda yakni bahwa Extrovert
adalah jenis kepribadian yang berorientasi pada dunia luar atau external
dari individu sedangkan kebalikannya, Introvert merupakan gambaran dari
jenis kepribadian yang berorientasikan pada dunia dalam atau intra dari
individu. Kedua kata ini mengacu kepada sebuah bentuk dari kepribadian
manusia. Tokoh yang disinyalir pertama kali mengemukakan konsep
kepribadian Extrovert dan Introvert adalah Carl Gustav Jung, seorang
berkebangsaan Swiss sekaligus merupakan salah satu tokoh terkemuka
dalam Psikologi. Jung memetakan jenis dua kata Extrovert dan Introvert
ini dengan konsep subjektif dan objektifitas (Ithiriyah, 2004).
Jung (dalam Ithiriyah, 2004) menggambarkan bahwa Extrovert
adalah sebuah jenis kepribadian manusia yang mendapatkan pengaruh
lebih besar dari sisi objektifitas individu. Jenis kepribadian ini memiliki
orientasi pada segala jenis bentuk aspek luar atau aspek eksternal dari
individu, sehingga banyak dari sebagian tindakan, tingkah laku dan pola
berfikir yang mendapatkan pengaruh dari lingkungan, dengan kata lain
jenis kepribadian ini merupakan jenis yang memiliki orientasi pada
lingkungan atau dunia luar individu (Ithiriyah, 2004). Selain itu
sebagaimana dijelaskan oleh Jung (Naisaban, 2003) jenis kepribadian
Extrovert adalah jenis kepribadian yang ditandai dengan perilaku aktif,
objektif, pergaulan sosial yang baik dan cenderung membuka dirinya.
Seolah merupakan kebalikan dari jenis kepribadian Extrovert, jenis
kepribadian Introvert merupakan bentuk jenis kepribadian yang memiliki
orientasi pada sisi dalam atau intra dari individu. Jenis kepribadian ini
merupakan jenis kepribadian yang mendapatkan pengaruh lebih besar dari
sisi subjektifitas individu (Ithiriyah, 2004). Individu dengan jenis
kepribadian Introvert memiliki kecenderungan untuk mendahulukan sisi
subjektifitasnya dan lebih berorientasi pada sisi dalam dirinya dan tidak
berorientasi pada lingkungan (Ithiriyah, 2004). Senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Jung, bahwa individu dengan jenis kepribadian Introvert
adalah individu yang perilakunya ditandai dengan sikap pendiam, serius,
suka menyendiri, berhati-hati terutama pada segala hal memiliki pontesi
resiko, dan cenderung menutup diri dan melihat kedalam dirinya dalam
menghadapi realitas (Naisaban, 2003). Hasil pemetaan dari Jung
memberikan gambaran perbedaan yang sangat mudah dipahami yakni
extrovert sama dengan luar sedangkan Introvert sama dengan dalam.
Hans Eysenck (dalam Alwisol, 2009) mengenai tipologi biologis
menjelaskan bahwa sebuah kepribadian merupakan hasil bentukan dimana
didalamnya terdapat sebuah hierarki kepribadian dan hal ini berhubungan
dengan pembentukan sebuah kerpribadian individu. Dalam
pembentukannya tersebut terdapat istilah ekstraversi dan introversi
(Alwisol, 2009). Ekstraversi adalah individu dengan padangan objektif dan
tidak pribadi sedangkan introversi adalah individu yang memiliki
pandangan sangat pribadi dan cenderung subjektif. Sebagaimana dipetakan
oleh Eysenck (dalam Alwisol, 2009) ekstraversi memiliki sembilan sifat
diantaranya sosiabel, lincah, aktif, asertif, memiliki kecenderungan untuk
mencari sensasi, periang, cenderung menjadi dominan, bersemangat dan
berani. Sedangkan introversi juga memiliki sembilan sifat yang merupakan
kebalikan dari sifat ekstroversi. Sembilan sifat introversi tersebut adalah
tidak sosial, pendiam, pasif, ragu, sedih, penurut, pesimistis, penakut dan
banyak pikiran.
Eysenck (dalam Alwisol, 2009) juga menjelaskan bahwa sebuah
jenis kepribadian seperti ekstroversi dan introversi merupakan hasil
bentukan. Segala bentuk perilaku tampak dan hierarki kepribadian
merupakan hasil pengaruh dari lingkungan (Alwisol, 2009).
Berdasarkan penjelasan di atas jenis kepribadian Extrovert dan
Introvert disinyalir memiliki hubungan pengaruh satu sama lain dengan
kecenderungan gangguan Hipokondriasis. Jenis kepribadian Extrovert dan
Introvert memiliki karakteristik perlaku yang berhubungan langsung
dengan pola piker, perasaan, penginderaan hingga intiuisi yang tentu
memiliki peran dalam kecenderungan Hipokondriasis. Perilaku berfikir
subjektif, tertutup, dan kurang logis dalam menyikapi berbagai
permasalahan yang dihadapinya pada sebagaimana menjadi cirri
karakteristik dari jenis kepribadian Introvert tentu memiliki disposisi dan
preokupasi sendiri dalam menyikapi masalah terutama masalah yang
berhubungan dengan kesehatan. Begitu juga yang terjadi pada sikap dan
perilaku terbuka, lebih objektif dan memiliki pola pikir yang lebih logis
yang menjadi karakteristik dari jenis kepribadian Extrovert tentu juga
memiliki disposisi dan preokupasi dalam menghadapai masalah sehari-hari
terutama masalah kesehatan dan kondisi jasmani.
Kedua jenis kepribadian tersebut memiliki cara dan karakter
masing-masing dalam menyikapi segala bentuk gejala minor dalam setiap
perubahan yang terjadi pada diri individu bersangkutan. Ditambah pula
dengan fakta prevalensi yang menyebutkan bahwa baik wanita dan pria
dengan berbagai usia mulai dari remaja, dewasa awal, paruh bawa hingga
dewasa akhir dan pasca 60 tahun memiliki kemungkinan besar yang sama
dalam kecenderungan mengalami Hipokondriasis tidak terkecuali.
Ditambah pula data yang menyebutkan bahwa individu yang pernah
mernikah atau terikat dalam pernikahan serta individu yang pernah
mengalami treatment medis atau pernah mengalami penyakit tertentu juga
memiliki kemungkinan yang sama besar dalam kaitannya mengalami
Hipokondriasis. Berhubungan dengan kepribadian, karakteristik sikap dan
perilaku dari individu baik itu wanita dan pria, usia remaja dengan usia
paruh baya, serta individu yang pernah mengalami penyakit serius dan
individu yang belum pernah mengamlami penyakit serius tentu memiliki
cara dan perilaku berbeda dalam menyikapi setiap perubahan kondisi
kesehatan dan kemunculan gejala minor dari jasmaninya, cara dan perilaku
berbeda dalam menghadapi setiap perubahan kondisi kesehatan dan
kemunculan gejala minor pada dirinya itulah yang mendapatkan pengaruh
dari jenis kepribadian.
B. Rumusan Masalah
Atas dasar data dan fakta yang telah disajikan maka dapat ditarik
sebuah rumusan masalah. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
apakah terdapat perbedaan jenis kepribadian extrovert dan Introvert
dengan kecenderungan Hipokondriasis.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jenis
kepribadian extrovert dan Introvert dengan kecenderungan
Hipokondriasis.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis adalah manfaat yang berhubungan dengan teori,
konsep, perspektif dan preposisi terkait keilmuan Psikologi. Penelitian
ini diharapakan dapat memberikan manfaat tersebut dalam
perkembangan ilmu Psikologi terutama Psikologi Klinis yang
berkenaan dengan gangguan somatoform.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah manfaat non-akademis yang meliputi aspek
terapan atau aplikasi dari teori, konsep, perspektif dan preposisi terkait
keilmuan Psikologi. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
manfaat terkait penerapan sehari-hari mengenai teori, konsep,
perspektif dan preposisi terkait keilmuan Psikologi terutama Psikolgi
Klinis. Beberapa bentuk manfaat yang diharpkan dapat diberikan
penelitian ini adalah:
2.1 Manfaat Bagi Peneliti Lain.
Diharapakan dapat memberikan manfaat pada penelitian
lanjut sebagai acuan oleh peneliti lain yang memiliki kesamaan
topik pembahasan penelitian dan kesamaan minat penelitian.
2.2 Manfaat Bagi Masyarakat Umum.
Diharapakan dapat memberikan referensi untuk setiap
individu yang memiliki ketertarikan dalam bidang Psikologi Klinis
terutama dalam bidang gangguan keceamasan dan jenis
kepribadian. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberika
bantuan pengetahuan bagi masyarakat yang memiliki permasalahan
terkait gangguan kecemasan dan jenis kepribadian.