16 · 2018. 8. 30. · pertama, penelitian yu (2009) dengan judul the chinese heart in cognitive...
TRANSCRIPT
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Berdasarkan hasil pengumpulan pustaka yang dilakukan, diperoleh
pustaka-pustaka penunjang yang dapat menjadi pertimbangan dan masukan bagi
disertasi ini. Sejumlah pustaka yang gayut dengan disertasi ini dipaparkan sebagai
berikut. Pertama, penelitian Yu (2009) dengan judul The Chinese Heart in
Cognitive Perspective: Culture, Body, and Language. Penelitian ini bertujuan (1)
mendeskripsikan konsep xin ‘hati’ dalam persepsi masyarakat Cina, (2) filosofi
yang mendasari konsep xin ‘hati’ dalam masyarakat Cina kuno, dan (3)
penggunaan konsep xin ‘hati’ dalam wacana masyarakat Cina modern. Selain
tujuan yang telah disebutkan, penelitian ini juga mengkaji hubungan leksikon xin
‘hati’ sebagai anggota tubuh, dengan pandangan budaya dalam satu kerangka
persepsi masyarakat. Teori yang digunakan dalam penelitian ialah semantik
kognitif untuk membedah makna figuratif (metafora). Data penelitian diperoleh
dari studi teks tulisan-tulisan sebelumnya yang berhubungan dengan topik
penelitian.
Penelitian Yu (2009) menghasilkan jawaban penelitian sebagai berikut:
konsep xin ‘hati’ dipersepsikan sebagai inti dari pikiran, inti dari moralitas dan
pengatur kehidupan sosial. Konsep ini memegang peranan penting dalam kehi-
dupan sosial dan nilai budaya masyarakat Cina. Konsep xin dalam pegungkapan-
nya direpresentasi dengan leksikon si ‘berpikir’, xiang ‘mempertimbangkan’, nian
16
17
‘ide’, gan ‘merasakan’, qin ‘sentimen atau gairah’. Leksikon-leksikon ini tidak
hanya digunakan dalam bahasa sehari-hari tetapi berkaitan erat dengan ekspresi
budaya dan ideologi masyarakat. Konsep xin ‘hati’ juga terkait dengan dunia
kedokteran kuno masyarakat Cina. Hati dipersepsikan sebagai organ pengatur
tubuh, organ internal utama dan organ internal yang mengatur spiritual seseorang.
Pada masyarakat Cina modern hati dipersepsikan sebagai (1) entitas fisik,
seperti pada leksikon xin-jun ‘hati-pikiran’, ‘xin-jing’ ‘hati yang bersih’, xin-di
‘hati-moral’. (2) Hati sebagai inti identitas diri, seperti pada leksikon xin-shen
‘hati dan roh, xin-hun hati dan jiwa, xin-po ‘hati, kesatuan roh dan jiwa’. (3) Hati
sebagai inti dari kehidupan mental, direpresentasikan dengan leksikon xin-ling
‘hati dalam hubungannya dengan kesatuan pikiran, roh dan jiwa, xin-zhi ‘hati
dalam hubungannya dengan kebijaksanaan’, xin-li ‘hati sebagai pusat prinsip
kehidupan’, xin-tai ‘hati dengan kejiwaan’. (4) Hati sebagai pusat emosional,
direpresentasikan dengan leksikon xin-qing ‘situasi emosional’, xin-xu ‘hati,
emosi dan pikiran’, xin-qi ‘batasan logika dan emosi’, xin-jing ‘emosi, pernyataan
pikiran, keadaan mental’. Pembahasan selanjutnya menyatakan bahwa wacana
masyarakat Cina modern menempatkan konsep xin ‘hati’ dalam persepsi sikap
mental yang tagguh yang mengutamakan kebersihan dan pemurnian hati dari
masyarakat Cina pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Ideologi
ini direpresentasikan dengan proposisi wei-xin lun ‘kemurnian hati’ dan Lu
Xiangshan, Wang Yangming ‘hatiku alam semestaku, alam semestaku hatiku’.
Penelitian Yu (2009) memaparkan bentuk penelitian bahasa dalam
kaitannya dengan budaya dan kognisi sosial. Hasil penelitian ini menjelaskan
18
bahwa leksikon tertentu dalam suatu budaya memiliki makna yang sangat kuat
disebabkan oleh sistem kognisi pada masyarakat penuturnya. Leksikon xin ‘hati’
berhubungan dengan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Cina dan
merupakan representasi ideologi yang tercermin dalam perilaku masyarakat
tersebut. Paradigma penelitian ini memberikan gambaran linguistik kebudayaan
dengan parameter kognisi sosial sebagai ruang lingkup kajiannya. Parameter ini
menjadi penting untuk menentukan arah perkembangan ilmu serta teori-teori yang
relevan untuk digunakan. Jika Yu menggunakan teori semantik kognitif untuk
mencari medan makna xin ‘hati’, maka dalam penelitian tuturan ritual masyarakat
Boti, peneliti menggunakan semiotik kognitif untuk membedah makna dalam
hubungan asositif hingga terbentuk jaringan makna berdasarkan prinsip-prinsip
teori yang digunakan. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan tujuan yang ingin
dicapai.
Kedua, hasil penelitian Taum (2008) dengan judul Tradisi Fuah Pah:
Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat Dawan di Timor. Penelitian ini mengaji latar
belakang mitologis tuturan ritual pada upacara panen masyarakat Dawan (upacara
Fuah Pah. Pilar mitologis yang digunakan mengacu pada (1) simbol konstitutif
(yang membentuk kepercayaan-kepercayaan), (2) simbol kognitif (yang
membentuk ilmu pengetahuan), (3) simbol penilaian moral (yang membentuk
nilai-nilai moral dan aturan-aturan), dan (4) simbol-simbol ekspresif
(pengungkapan perasaan). Ruang lingkup permasalahan penelitian ini mencakup
(1) pendeskripsian mendalam tentang ritual Fuah Pah dalam hubungannya dengan
19
dinamika kebudayaan etnis Dawan, (2) analisa prinsip dan orientasi kepercayaan
lokal terhadap ritual (tradisi lisan) Fuah Pah.
Berdasarkan cakupan permasalahan, diperoleh hasil penelitian, yaitu
tahapan kegiatan pertanian masyarakat Dawan: (1) tahap menebas hutan (lef
nono//tafek hau ana), (2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo), (3) tahap
menanam (lef boen no’o), tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (4) tahap
panenan perdana (tasana mate), (5) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen
tauf). Hasil penelitian lainnya yaitu tuturan ritual Mpao ‘doa perlindungan’ pada
tahapan membuka lahan. Teks Mpao ‘doa perlindungan’ memberikan gambaran
hubungan manusia dengan Tuhan (Uis Pah ‘Tuhan bumi’). Manusia sebagai
makhluk ciptaan (diberikan kehidupan oleh Uis Neno ‘Tuhan langit’), menjalani
kehidupan di bumi yang diimani sebagai Uis Pah. Keharmonisan hubungan
dengan penguasa bumi berakibat pada kehidupan di bumi (dunia) berjalan dengan
baik.
Penelitian Taum (2008) kajian tradisi lisan dengan kebudayaan. Tuturan
ritual Mpao ‘doa perlindungan’ akan digunakan sebagai data pembanding dengan
tuturan ritual yang sejenis di Masyarakat Boti. Hal ini didasarkan pada fenomena
Fuah Pah (upacara panen) yang juga terdapat di masyarakat Boti. Sementara
konsep dan teori yang digunakan berbeda dengan yang akan digunakan peneliti
karena pendekataan studi yang berbeda. Penelitian Taum (2008) lebih
menonjolkan unsur tradisi lisan dan cerminannya dalam kebudayaan khusunya
mengenai kepercayaan, sedangkan penelitian yang dilakukan berorientasi kepada
20
studi linguistik kebudayaan yang mencakup dimensi sosialkultural, persepsi, dan
ideologi dalam tuturan ritual kosmologi.
Ketiga, hasil penelitian Sabon Ola (2005) dengan judul Tuturan Ritual
dalam Konteks Perubahan Budaya Kelompok Etnik Lamaholot di Pulau Adonara,
Flores Timur. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab masalah pokok, yakni:
“Bagaimanakah karakteristik TRKEL di Pulau Adonara, Flores Timur dalam
konteks dinamika penuturnya?” Masalah pokok ini dirinci menjadi tiga masalah
khusus, yakni: (1) Bagaimanakah bentuk TRKEL yang digunakan oleh kelompok
etnik Lamaholot di Pulau Adonara, Flores Timur? (2) Apa sajakah fungsi dan
makna TRKEL bagi tata-kehidupan kelompok etnik Lamaholot? (3) Nilai religius
dan nilai sosial apa sajakah yang tersirat di balik bentuk, fungsi dan makna
TRKEL? (4) Bagimanakah karakteristik perubahan TRKEL dalam konteks
perubahan budaya penuturnya?
Metode yang digunakan yaitu metode analisis-sintesis dan metode
interpretasi berdasarkan filsafat kritisisme dan fenomenologis dengan pendekatan
hermeneutik. Teori yang digunakan yaitu teori semiotik dan teori linguistik
kebudayaan yang digunakan secara eklitik. Hasil analisis menunjukan (1) bentuk
TRKEL memiliki tiga ciri yakni: bersifat monolog, mementingkan irama, dan
struktur pengungkapan yang tidak bersifat. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, TRKEL
termasuk jenis puisi ritual. Selain itu bentuk TRKEL dipengaruhi oleh struktur
kebahasaan, mencakup aspek fonologi dan morfosintaksis. Struktur penuturan
TRKEL, tampak urutan sebagai berikut: (a) sapaan, yang disebut juga sebagai
prapembukaan; (b) pembukaan, sebagai pengantar kepada inti tuturan; (c) inti
21
tuturan; (d) prapenutup; dan (e) penutup. Pilihan kata (diksi) yang digunakan
dalam TRKEL mencakup: struktur leksikal dan gaya bahasa. Struktur leksikal
terdiri atas: sinonimi, antonimi, dan hiponimi, sedangkan gaya bahasa terdiri atas:
hiperbol dan litotes, metafora, personifikasi, sinekdoke, dan paralelisme. (2).
Fungsi dan makna TRKEL terdiri atas: (a) fungsi dan makna pemujaan; (b) fungsi
dan makna permohonan; (c) fungsi dan makna peradilan; (d) fungsi dan makna
pengukuhan; (e) fungsi dan makna pemulihan; (f) fungsi dan makna didaktis-
pedagogis; dan (g) fungsi dan makna pewarisan. (3) Nilai religius yang
teridentifikasi pada TRKEL, mencakup: kesadaran diri, kebenaran sebagai dasar
kemanusiaan, dan keyakinan akan adanya peran leluhur sedangkan nilai sosiologis
mencakup nilai kebersamaan, kesadaran akan adanya hierarki sosial, dan
menghargai perempuan. (4) TRKEL mengalami perubahan sebagaimana
kedinamisan masyarakat pemiliknya. Perubahan tersebut, antara lain tampak pada:
cara penuturan, struktur, diksi, fungsi dan makna, perubahan penutur, dan
perubahan latar.
Penelitian Sabon Ola (2005) memberikan model penelitian linguistik
kebudayaan dengan tuturan ritual sebagai data. Model yang dimaksud yaitu
pendekatan bentuk, fungsi, makna, dan nilai. Pendekatan ini akan memberikan
gambaran struktural secara menyeluruh. Berbeda dengan penelitian Sabon Ola,
disertasi ini menfokuskan pada persepsi masyarakat sebagai ekspresi bahasa-
budaya. Perbedaan lainnya terletak pada teori yang digunakan. Penelitian Sabon
Ola menggunakan teori semiotik dan linguistik kebudayaan secara eklitik
sedangkan dalam disertasi ini teori yang digunakan ialah linguistik kebudayaan
22
sebagai payung teori yang didukung oleh teori semiotik kognitif untuk membedah
makna dan merekontruksinya ke dalam skema bangunan persepsi dan ditopang
oleh teori konteks dan teori ideologi.
Keempat, hasil penelitian Tarno (2004) dengan judul Tuturan Ritual
Takanab Moe Uem Le’u dalam Peresmian Rumah Adat Marga Taena di Desa
Oenenu, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara. Penelitian
ini berisi tentang puisi Takanab yang dituturkan oleh atonis (sebagai penutur
utama) dan atutas sebagai penutur pemerlengkap. Puisi ini dituturkan sehubungan
dengan peresmian rumah adat masyarakat Dawan di Kebupaten Timor Tengah
Utara. Tidak hanya mengangkat masalah sosio-religiusitas, penelitian ini juga
membicarakan masalah estetika, lebih tepatnya berhubungan dengan peran bunyi.
Sebagai contoh, Tarno menyimpulkan penggunaan rima dalam menunjukkan
makna tertentu. Arus bunyi secara horisontal dapat memberikan citraan hubungan
manusia dengan manusia, sedangkan secara vertikal dapat memberikan citraan
hubungan manusia dengan Sang Pencipta-Nya. Pada salah satu matra tersirat
bahwa keharmonisan rima horizontal bisa mendukung citraan makna bahwa
masyarakat telah seia-sekata mendirikan rumah adat, tetapi masih ada hal-hal
yang perlu dibersihkan atau disingkirkan dalam hubungannya dengan yang gaib.
Oleh karena itulah, atonis yang berkedudukan sebagai manusia penghubung
dengan yang gaib atau yang di atas selalu mengakhiri tuturan dengan bunyi a,
sehingga tercipta rima vertikal yang harmonis. Hal ini, bisa memberikan
gambaran keharmonisan hubungan atonis dengan adikodrati.
23
Struktur Takanab Moe Uem Le’u merupakan penandaan pula terhadap
struktur sosio-religiusitas masyarakat Dawan, yang mempercayai kelangsungan
kehidupannya tidak hanya upayanya sendiri, melainkan bersama-sama dengan roh
leluhur mereka bersandar kepada Sang Pencipta. Data penelitian ini akan
dijadikan data skunder yang digunakan sebagai pembanding terhadap data primer.
Di samping kontribusi-kontribusi yang diberikan, hasil penelitian ini juga masih
memiliki kelemahan, di antaranya pembahasan kajian semiotik yang menjadi
landasan teori penulisan, dianggap kurang mendalam bila dibandingkan dengan
pembahasannya. Penekanan terhadap kebermaknaan bunyi seolah-olah
mengesampingkan penandaan yang harus dibahas secara tuntas.
Kebermaknaan bunyi dalam penelitian yang dilakukan Tarno juga dapat
memberikan masukan baru bagi peneliti. Tuturan ritual tertentu kadang hanya
terdiri dari bunyi-bunyi yang tidak membentuk kata yang bermakna secara
harafiah. Jika menggunakan pendekatan semiotik, dengan menempatkan bunyi
tersebut sebagai tanda maka, kebermaknaan bunyi memiliki makna bila
ditempatkan pada konteksnya.
Kelima, penelitian Iswanto (2011) dengan judul Sistem Penandaan
Religiusitas dalam Tuturan Masyarakat Boti. Penelitian ini mencari jawaban atas
pertanyaan bagaimanakah; 1) sistem penandaan penandaan entitas adikodrati
masyarakat Boti dalam tuturan ritual; 2) sistem penandaan sikap dan perilaku
masyarakat Boti terhadap entitas adikodrati dalam tuturan ritual?. Kedua
pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan teori semiotik Morris dan konsep
24
semiotik de Sassure. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode dekriptif
kualitatif.
Hasil penelitian diperoleh sembilan tuturan ritual. Kesembilan tuturan
ritual tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu tuturan ritual
kelahiran (TRKL), tuturan ritual pernikahan (TRP) dan tuturan ritual kematian
(TRKM). Tuturan ritual (1) Neo Li Ana Atoni, (2) Neo LiAna Bife, (3) Lef Li Ana
Usan (4) Onen Na’ Poni Li Ana Usan dikelompokkan ke dalam tuturan ritual
Kelahiran (TRKL). Tuturan ritual (5) Tua Boit Mese’ Noin Sol Mese’ antoin
munif ama fet, (6) Tua Boit Mese’ Noin Sol Mese’ bife munif in amanf ma in
Ainaf, (7) Baan Mah Fet Mah Mone, dikelompokkan ke dalam tuturan ritual
pernikahan (TRP). Sedangkan tuturan ritual (8) Sef Alu Mama dan (9) Onen Fen
Nahat Neu Nitu dikelompokkan ke dalam tuturan ritual kematian (TRKM).
Pengelompokan ini berdasarkan katagorisasi tuturan ritual siklus kehidupan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem penandaan religiusitas
masyarakat Boti berkaitan dengan kepercayaan kepada penguasa langit (uis neon),
penguasa bumi (uis pah manifu) dan kepercayaan kepada roh leluhur (amuf).
Realitas ini menjelaskan kebergantungan masyarakat Boti terhadap alam.
Penguasa langit diyakini sebagai pemberi hidup dan bumi sebagai pemeliharanya
dan ketika manusia mati, ia akan kembali bersama penguasa langit dan menjadi
leluhur (amuf). Penandaan sikap dan prilaku dikonsepkan dengan monit naleko
‘hidup baik’ yang ditandai dengan (1) tof lane ‘kerja kebun’ (2) hao muit ‘pelihara
ternak’ (3) tenut muhin ‘pintar menenun’ (4) futu muhin ‘pintar mengikat’ (5) lun
oko muhin ‘pintar membuat oko’. Penandaan tersebut juga dihubungkan dengan
25
proses pernikahan. Sistem penandaan tersebut dijelaskan dalam konsep (1) tok
bale teta ‘duduk tempat sendiri’, tok ume teta ‘duduk rumah sendiri’ (2) maminai
himonit ‘carilah hidup’ dan (3) mieku fani ‘bertemu kembali’. Memperoleh
seorang anak dipersepsikan sebagai berkat kehidupan dan restu pernikahan dari
uisneno.
Penelitian Iswanto memberikan gambaran terhadap hubungan bahasa dan
kebudayaan di masyarakat Boti. Data yang dipaparkan dapat dijadikan data
skunder. Walaupun data yang ada telah memberikan gambaran siklus kehidupan,
tetapi belum secara menyeluruh dan mendetail. Penelitian ini belum memberikan
gambaran konteks yang utuh dari teks tuturan ritual. Analisis dekriptif yang
dipaparkan belum dapat menyentuh titik fenomena yang mendasar dan holistik
mengenai ideologi masyarakat. Hal ini, tentu berhubungan dengan teori yang
digunakan dan metode sebagai perangkat kerja lapangan. Teori semiotik yang
digunakan belum mampu menjawab hakikat bahasa dan kebudayaan dengan
persepsi sebagai fokusnya. Teori yang digunakan juga belum mampu menjawab
konteks dan ideologi sebagai sebuah kesatuan perangkat analisis teks dalam kajian
linguistik kebudayaan.
Keenam, hasil penelitian El-Sayed El-Aswad yang dipublikasikan pada
tahun 2002 dengan judul Religion and Folk Cosmology: Scenarios of the Visible
and Invisible in Rural Egypt. Penelitian ini bertujuan menyoroti persepsi
kosmologi sosial dalam rangka membangun identitas budaya dan memori sosial di
daerah pedesaan Mesir. Hal ini, didasarkan pada filosofi masyarkat Mesir yang
tertuang dalam frasa kaun munaẓẓam ‘(hirarki) kosmologi’. Sistem pengetahuan
26
masyarakat membaginya ke dalam al-akbir ‘alam semesta besar (makrokosmos)’
dan al-kaun aṣṣghir ‘alam semesta kecil atau manusia (mikrokosmos)’. Persepsi
ini merupakan dua analogi pararel yang tidak dapat dipisahkan, diimani, dan
terwujud dalam perilaku sosial. Analogi pararel tersebut menjadi satu kesatuan
antara alam semesta dan individu. Intisari ini menjelaskan cakupan kosmologi
sebagai titik pertemuan dalam diri manusia memandang alam semesta dan
memandang eksistensi diri sebagai mahluk individu dan sosial.
Kedua dunia secara konseptual dibagi menjadi dunia yang terlihat atau
fenomenal dan tak terlihat atau suprafenomenal. Dunia terlihat merupakan aspek
empiris kehidupan (positivisme), sedangkan dunia yang tak terlihat merupakan
aspek budaya atau ideologis (nonpositivisme). Dunia terlihat direpresentasi dalam
alam, atau fenomenal dunia termasuk ekologi, lingkungan, iklim, dan entitas nyata
(hidup maupun mati) yang merupakan kondisi material eksistensi, kondisi
material obyek persepsi sensorik. Dunia merupakan tempat untuk menerapkan
ide-ide kehidupan modern, tradisional, teknis, atau sekuler dan praktek
pengembangkan ekonomi, pragmatis, dan sikap materialistis. Hubungan antara
dua dunia disusun dalam tiga tingkatan hirarkis. Pertama, dunia spiritual (abstrak)
dikontraskan dengan dunia material, dalam artian segala sesuatu yang tampak,
dapat diindrai hadir tanpa keterlibatan sesuatu yang tidak material. Kedua,
membandingkan dunia ini dengan alam baka.
Bentuk lingual fallāḥīn dipersepsikan sebagai kekuatan alam baka yang
mengalahkan kehidupan duniawi. Pada tingkatan terakhir, mencakup semua dunia
terlihat dan tak terlihat, kehidupan ini dan akhirat merupakan ekspresi urutan yang
27
sama ilahi dalam arti bahwa mereka diciptakan, didominasi, dan diliputi oleh
Allah al - Wāḥīd ‘Penguasa tertinggi (akhir)’. Pandangan dikotomi ini dapat
dilihat pada gambar hirarki di bawah ini.
Gambar 2.1 Persepsi Kosmologi Masyarakat Mesir Pedesaan
(diadaptasi dari El-Aswad (2002:152))
Secara keseluruhan, penelitian El-Aswad dapat disimpulkan sebagai
berikut. Masyarakat Mesir pedesaan dalam kesehariannya tetap mengamalkan
nilai kultus dalam aktivitas mereka. Persepsi kosmologis dirangkum dalam skema
seperti gambar 2.1 di atas. Persepsi kosmologi ini dibangun berdasarkan nilai-nila
yang masih terpelihara dengan baik pada masyarakat pedesaan. Bentuk leksikal
tertentu menjadi pijakan untuk memahami perilaku sosial dan dasar kepercayaan.
Data berupa kata, frasa, dan klausa yang ditafsir dan asosiasikan hingga
membentuk suatu kesatuan pemaknaan yang utuh berdasarkan pendekatan
28
antropologi. Cara kerja hermenutik juga diterapkan dalam penelitian ini dengan
tujuan membangun konteks.
Penelitian El-Aswad (2002) memberikan gambaran penelitian linguistik
kebudayaan dalam kaitannya dengan persepsi kosmologi suatu kelompok
masyarakat. Konsep kosmologi dalam penelitian ini akan digunakan peneliti
sebagai gambaran ruang lingkup kosmologi dan batasan kajian dalam linguistik
kebudayaan. Perbedaannya terdapat pada data yang digunakan. Jika El-Sayed El-
Aswad menggunakan data yang beragam, dalam penelitian ini, hanya digunakan
data berupa tuturan ritual. Hal ini disebabkan oleh perbedaan fenomena di
lapangan dan pengutamaan ciri penelitian linguistik kebudayaan yaitu relativisme.
Ketujuh, hasil penelitian Errington (1982) dengan judul Speech in the
Royal Presence: Javanese Palace Language memaparkan perbedaan penggunaan
bahasa di lingkungan Keraton Yogyakarta dengan Keraton Surakarta. Perbedaan
ini juga dibandingkan dengan tingkatan basa ngoko, basa madya, dan basa kromo
inggil. Errington menempatkan fenomena dalam penelitiannya sebagai hubungan
bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan sosiolinguistik. Penggunaan bahasa
yang berbeda dipengaruhi oleh aspek budaya yang tidak mungkin hanya
dijelaskan secara sosial semata. Penelitian ini sangat berguna sebagai dasar
penggunaan teori linguistik kebudayaan dan penerapannya pada analisis data.
Penelitian Errington memberikan gambaran mengenai dimensi
sosiokultural sebagai aspek dari linguistik kebudayaan. Penggunaan bahasa pada
masyarakat Jawa bergantung pada mitra tutur dan juga dipengaruhi oleh
kesantunan dan nilai budaya. Perbedaan dialek dan leksikon pada wilayah Keraton
29
Surakarta dan Yogyakarta dipengaruhi oleh perbedaan ideologi historis. Penelitian
ini menggunakan metode etnografi dengan data tuturan pada kedua wilayah
tersebut. Penggunaan metode ini belum secara menyeluruh memberikan jawaban
historis yang mendukung perbedaan penggunaan bahasa Jawa baik di Kraton
Surakarta maupun Yogyakarta.
Selain pustaka-pustaka yang terkait dengan bahasa Dawan (Uab Meto),
terdapat kajian-kajian pustaka lainnya yang memiliki hubungan dengan penelitian
ini, di antaranya Bahasa, Sastra, dan Sejarah yang ditulis oleh Fox (1986). Pustaka
ini merupakan kumpulan hasil penelitian Fox mengenai bahasa puitis dalam
tuturan ritual masyarakat Rote. Kumpulan sastra lisan Rote dianalisis berdasarkan
teori pararelisme Roman Jakobson. Fox (1986:66, 280) menyatakan bahwa bahasa
ritual Rote adalah bentuk puisi lisan yang bercirikan penyepasangan wajib pada
semua unsur semantiknya. Variasi semantis dari proses ini adalah pararelisme
perbandingan (suatu pararelisme tertentu), metamorfosa (pararelisme yang
diproyeksikan dalam waktu), dan metafora (pararelisme yang disempitkan sampai
batas tertentu). Penyepasangan wajib membentuk konstruksi semantis secara
asosiatif, paradigmatik, dan selektif (Jacobson, dalam Fox, 1986:260). Gayutan
semantis ini merupakan gambaran persperktif dalam suatu masyarakat. Penelitian
ini tidak membahas lebih rinci mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Meskipun demikian, konsep teori pararelisme digunakan dalam pembahasan
desertasi ini.
30
2.2 Konsep
Konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan terminologi
teknis dan merupakan komponen kerangka teori. Konsep yang digunakan dalam
penelitian ini, 1) kosmologi, 2) siklus hidup, 3) tuturan ritual. Penjelasan
mengenai konsep-konsep tersebut seperti paparan berikut.
2.2.1 Kosmologi
Kosmologi sebagai sebuah gagasan teologis merupakan konsep yang
mengaitkan alam semesta, ruang, waktu, prima causa ‘penyebab utama’ dan
realita dalam dunia makro. Paradigma ini berada dalam ruang transendensial
individu dan sebagai upaya memahami keberadaan dirinya dan sesuatu yang tidak
terjangkau tersebut. Kerangka teologi yang membatasi gagasan tersebut seolah-
olah menjadi bagian abstraksi mikro yang keberadaannya merupakan realita
(Loux, 2006:26-30).
Kosmologi atau cosmology adalah kata yang berasal dari terminologi
Yunani yaitu cosmos yang berarti dunia atau alam semesta dan logos yang berarti
ilmu atau doktrin. Pengertian ini mengarah kepada makna kosmologi yaitu
pandangan mengenai struktur dunia atau semesta dan makna di baliknya. Hal ini,
terkait dengan istilah cosmogony yaitu pandangan mengenai asal-usul dunia dan
cosmography yaitu tentang cakupan dunia (Olson, 2011:56).
Kosmologi mengacu kepada asumsi mengenai struktur alam semesta
termasuk di dalamnya ekologi, stuktur masyarakat, mahkluk hayati dan non hayati
termasuk hal-hal yang tidak tampak. Pengertian ini mengacu kepada hubungan
31
kosmologi dengan bagaimana masyarakat berpikir, identitas, hubungan individu
dalam masyarakat dan agama sebagai elemen yang tidak terpisahkan. Keterkaitan
elemen-elemen tersebut menempatkan kosmologi tidak hanya sebagai ideologi
tetapi sistem makna budaya (El-Aswald, 2002:2).
Fox (2006: 146) mendefinikan kosmologi sebagai cara pandang kelompok
masyarakat yang secara fundamental menempatkan eksistensi dirinya dan alam
semesta dalam representasi simbolik. Hal in terkait dengan rumah adat dan
aktivitas manusia yang diwujudkan dalam ritual. Pandangan ini memunculkan
dikotomi yaitu masyrakat melihat dirinya sebagai individu dalam interaksi sosial
dikonsepkan dengan mikrokosmos dan individu yang memaknai alam semesta
dikonsepkan dengan makrokosmos. Konsep ini tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya dan menjadi sistem pengetahuan dari masyarakat
pemiliknya.
Dalam penelitian ini, kosmologi yang dimaksud adalah pandangan
masyarakat Boti sebagai individu yang memaknai alam semesta dan interaksi
sosial. Pandangan masyarakat Boti sebagai individu yang memaknai alam semesta
dikonsepkan dengan makrokosmos sedangkan individu dalam interkasi sosial
dikonsepkan dengan mikrokosmos.
2.2.2 Siklus hidup
Siklus hidup berkaitan erat dengan waktu dan peristiwa yang berulang
hingga bagian penting pada tataran ide suatu masyarakat (Lewis, 1988:258). Ide
tersebut selanjutnya dinyatakan dalam upacara-upacara dan simbol budaya. Lewis
32
(1988:256) menyatakan bahwa upacara atau ritus siklus hidup adalah bagian yang
tak terpisahkan dalam perspektif waktu (segments of histories) dan pada akhirnya
menjadi identitas masyarakat tersebut. Kekhasan mengenai peristiwa dalam siklus
hidup setiap masyarakat mencerminkan bangunan dunia ide secara sosial yang
diwariskan ke dari generasi ke generasi.
Konsep siklus hidup dalam penelitian ini berkaitan dengan peristiwa lahir,
kawin dan mati pada masyarakat Boti. Ritual-ritual yang dilaksakan berkaitan erat
dengan peristiwa berbahasa yang tercermin dalam tuturan ritual. Konsep siklus
hidup juga digunakan untuk pembagian data tuturan ritual. Dengan cara ini, dapat
terlihat persepsi masyarakat berdasarkan urutan perspektif waktu.
2.2.3 Tuturan Ritual
Konsep tuturan ritual dipandang sebagai bahasa yang digunakan dalam
ritus tertentu, sedangkan ritual sendiri didefinisikan sebagai agama dalam
tindakan (Dhavamony, 1995:167). Lebih lanjut Dhavamony mengungkapkan,
bahwa ritus adalah tindakan simbolis sebagai gambaran pengalaman keagamaan
dalam bentuk kultus.
Kuipers (1998: 319) mendefiniskan tuturan ritual sebagai bahasa yang
digunakan dalam ritual yang memiliki ciri yang berbeda dengan bahasa sehari-
hari dalam hal register, struktur, sintaksis, dan penggunaan leksikon.
Konsep tuturan ritual yang dirujuk dalam penelitian ini adalah tindakan
berbahasa yang menyertai atau melengkapi suatu ritual. Misalnya tuturan ritual
kelahiran, tuturan ritual perkawinan dan tuturan ritual kematian.
33
2.3 Landasan Teori
Berdasarkan pemaparan konsep di atas, penelitian ini menggunakan
payung teori linguistik kebudayaan. Di samping itu, digunakan pula teori
penunjang yaitu teori semiotik kognitif, teori konteks dan teori ideologi.
2.3.1 Linguistik Kebudayaan
Paradigma kebudayaan dan linguistik sebagai ilmu, mulai diperkenalkan
dalam penelitian Sir William Jones pada akhir abad ke-18 mengenai bahasa
Sanskerta dan Jacob Grimes pada awal abad ke-19 mengenai cerita rakyat dan
regulasi pergesaran bunyi konsonan pada bahasa-bahasa Indo-Eropa. Penelitian
Grimes menghasilkan temuan hukum Grimes yang menjadi salah satu dasar
linguistik struktural abad ke-20 yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure.
Perkembangan linguistik kebudayaan di Amerika dipelopori oleh Frans
Boas dalam karyanya Race, Language, and Cultural (Boas, 1940) sebagai dasar
pemikiran mengenai hubungan ras, bahasa, dan budaya. Konsep penting
penelitian ini adalah setiap manusia memiliki kemampuan mempelajari bahasa
dan berasimilasi dengan budayanya. Setiap masyarakat memiliki pola tersendiri
untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial dan berkembang secara
berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Bahasa adalah salah satu
media refleksi dalam pola perkembangan tersebut. Konsep inilah yang menjadi
dasar linguistik relativisme yang kemudian dikembangkan oleh Sapir-Whorf.
34
Rentangan tahun 1920-1950, kajian linguistik kebudayaan dipengaruhi
oleh ahli linguistik seperti Sapir-Whorf dan Molinowski. Sapir menempatkan
kajian linguistik kebudayaan pada tataran yang lebih luas dengan memasukan
disiplin ilmu psikologi dengan asumsi bahwa bahasa sebagai petunjuk simbolis
untuk memahami suatu budaya. Pemikiran Sapir ini, selanjutnya digunakan oleh
Benjamin Lee Whorf dalam penelitiannya mengenai hubungan bahasa dan budaya
di masyarakat Hopi. Menurutnya, bahasa tidak hanya berpengaruh pada pikiran
tetapi sebagai penentu pikiran manusia. Di pihak lain, penelitian yang dilakukan
oleh Molinowski berfokus pada penerjemahan bahasa magis sebagai aspek
kebudayaan yang berkaitan erat dengan konteks dan aspek semantis.
Perkembangan linguistik kebudayaan terus berlanjut pada masa transisi
yaitu tahun 1950-1970. Pada masa ini, kajian linguistik yang berorientasi pada
kebudayaan dikolaborasikan dengan penelitian etnik atau semantis etnografi oleh
Taylor (1969). Pendekatan ini dipakai untuk memahami bahasa dan budaya dari
sudut pandang etnis itu sendiri. Pendekatan ini juga dipakai dalam memahami
etno-botani, etno-zoologi, dan studi perbandingan kategori warna oleh Berlin dan
Kay (1969).
Pada rentang waktu yang sama para ahli linguistik sudah dapat
memisahkan kajian linguistik kebudayaan ke dalam disiplin ilmu linguistik yang
terpisah secara hierarkis dengan kajian linguistik lainya. Batasan tersebut
mencakup struktur formal bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dan
konteks kebudayaan. Perkembangan ini serta-merta melahirkan sosiolinguistik
pada tahun 1950-an sebagai sebuah ranah kajian baru dalam ilmu bahasa. Teori
35
etnografi komunikasi oleh Dell Hymes dan John Gumperz (Gumperz and Hymes,
1986; Hymes, 1974) memberikan pandangan baru mengenai kedudukan bahasa
dalam kehidupan sosial.
Ranah yang lebih luas dan kompleks yang menjadi cakupan linguistik
kebudayaan berkembang pada perkembangan berikutnya yaitu antara tahun 1985-
sekarang. Pada masa ini, kajian linguistik kebudayaan dikembangkan melalui
metode perekaman data untuk kemudian dianalisis konteks bahasa dan budayanya
(Beeman, 2012: 540-542). Penelitian yang berkembang menggunakan paradigma
ini antara lain penelitian Deborah (2007) mengenai wacana percakapan dalam
hubungannya dengan perilaku manusia.
Linguistik kebudayaan sebagai sebuah bidang ilmu memiliki ciri, (1)
mencari hubungan intrinsik bahasa, dan budaya, dan bahasa dipandang sebagai
fenomena budaya, (2) memberikan perhatian pada fungsi bahasa dengan
penekanan perspektif budaya dan bahasa sebagai institusi budaya, (3)
menekankan pada penelitian budaya dari pada aspek sosial seperti kelas, gender,
variasi, dan tuturan dengan komponen tutur (01, 02), (4) mengkaji bahasa dan
budaya, dan bahasa serta penggunaan, (5) mengkaji aspek budaya, bahkan sastra
dan arkeologi, dan (6) menekankan pada metode kualitatif (Riana, 2009:57-58).
Penelitian linguistik kebudayaan dilaksanakan untuk mencari jawaban atas
pertanyaan cara-cara yang berbeda yang menempatkan bahasa sebagai sebuah
sistem abstrak pengklasifikasian (alam dan dunia budaya) dan sebagai modus
interaksi sosial bagi sekelompok orang untuk mengenali diri mereka dalam
lingkup sebuah komunitas. Hal ini terkait dengan cakupan penelitian linguistik
36
kebudayaan yaitu: (1) pengelompokan dasar hubungan bunyi dengan makna
sebagai pengungkapan bahasa yang digunakan dalam variasi aktivitas sosial dan
(jika pendeskripsian tata bahasa lokal sudah ada) memberikan gambaran tentang
deskripsi gramatikal sebelumnya mencerminkan penggunaan bahasa secara umum
atau secara khusus; (2) konseptualisasi lokal termasuk karakteristik konseptual
yang baru dari budaya luar; (3) Distribusi spasial penggunaan bahasa (misalnya,
penggunaan bahasa khusus pada tempat umum tertentu); (4) fitur dan penandaan
kultural pada upacara ritual; (5) distribusi gaya bahasa yang berbeda, genre,
peristiwa tutur, (misalnya cara tertentu yang digunakan oleh kelompok-kelompok
sosial yang berbeda dalam menandai diri mereka sendiri melalui ciri
kelenguistikan khusus, register atau petunjuk lisan); (6) sejauh mana struktur
bahasa lokal dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan kosmologi; (7)
peran bahasa dalam masyarakat untuk membentuk gagasan, pikiran, dan
hubungan sosial; dan (8) interpretasi kode yang berbeda (seperti tuturan, gerak
tubuh, pakaian) dalam konstitusi pesan dan interpretasi masyarakat (Duranti,
1997:99).
Palmer (1996:35-36) mengonsepkan linguistik kebudayaan secara teoretis
sebagai penggabungan linguistik kognitif dengan linguistik aliran Boas,
etnosemantik, dan etnografi berbicara. Hal ini, mengisyaratkan bahwa keterikatan
dimensi sosiokultural sebagai bagian yang tak tepisahkan dari pemaknaan bahasa
sebagai bagian dari budaya. Lebih lanjut, Palmer (1996:35-36) yang
mengonsepkan linguistik kebudayaan sebagai penggabungan linguistik kognitif
dengan linguistik aliran boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara.
37
Penggabungan ini didasarkan pada karekteristik linguistik kebudayaan untuk
melihat pandangan penutur asli tentang studi penggunaan bahasa dalam konteks
sosial dan budayanya. Pendekatan linguistik kognitif bertujuan membidik pola
analisis dan kategori tutur penutur asli. Dengan demikian, pembatasan etnografi
berbicara, gagasan guyub tutur, gaya tutur, latar, peserta, tujuan, variasi bahasa,
cara pelaksanaan, tindak tutur, dan norma interaksi dianalisis sebagai model
kognitif rakyat dengan pendekatan emik.
Linguistik kebudayaan dalam hubungan dengan aspek kognitif juga
menjelaskan proses imajinatif yang meliputi manipulasi mental, skema
ruang/tempat, kekuatan/gaya perspektif, tindakan sosial, logika mekanistik kaidah
verbal, proposisi formal, dan silogisme. Teks pada tataran ini diubah dalam
material konseptual dan skema kognitif sebagai pandangan dunia kelompok
masyarakat yang bersangkutan (Palmer, 1996:33).
Foley (1997:3) mendefinisikan linguistik kebudayaan sebagai subdisiplin
ilmu dari linguistik yang menempatkan bahasa dalam konteks sosial dan budaya
yang lebih luas serta peranannya dalam membentuk dan mempertahankan praktik-
praktik budaya dan sosial. Karakteristik ini ditunjukan dengan peranan linguistik
kebudayaan sebagai sarana pengungkapan makna bahasa dalam penggunaannya,
bentuk, register dan gaya bahasa.
Penelitian ini menggunakan tiga aspek linguistik kebudayaan. Parameter
ini mengacu kepada hubungan bahasa dan budaya dalam tingkatan wacana (van
Dijk, 1998: 87). Aspek tersebut ialah dimensi sosiokultural, persepsi, dan
ideologi.
38
(1) Dimensi Sosiokultural
Dimensi sosiokultural merupakan suatu dimensi yang menempatkan
sistem sosial seperti bahasa, kebiasaan, struktur, dll., untuk ditata, dibentuk dan
diciptakan kembali melalui perilaku dan bahasa dari individu, kelompok dan
institusi. Hal ini menyangkut bertemunya faktor budaya, sosial dalam
pengetahuan dasar manusia dan faktor lingkungan (ekologi) yang juga ikut
memengaruhinya. Hubungan ketiga faktor tersebut menjadi dasar sistem kognisi
manusia yang nantinya membantuk nilai dan kepercayaan(Ahearn, 2012:24).
Definisi yang lebih spesifik dijelaskan van Dijk (2009:87-88), yaitu
bertemunya ruang sosial (social space) dan perangkat fundamental seperti
pengetahuan, nilai dan norma sebagai representasi teks. Dimensi sosial
menyangkut 1) sosial aktor yaitu individu sebagai bagian kelompok sosial; 2)
interaksi sosial yaitu bagaimana pengetahuan individu diwujudkan dalam aktivitas
sosial, dan 3) situasi sosial yaitu ranah mental atau kognisi sosial. Penjelasan van
Dijk ini juga berhubungan dengan struktur makro (aspek interaksi sosial) dan
struktur mikro (aspek kognisi). Sementara itu, dimensi kultural oleh van Dijk
(2009:154) didefinisikan sebagai perangkat fundamental seperti pengetahuan,
nilai dan norma.
(2) Persepsi
Persepsi berkaitan erat dengan proses kognitif yang dipergunakan
seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Proses pemberian
arti terhadap lingkungan oleh seseorang akan berbeda-beda karena setiap individu
39
akan memilki cara yang berbeda dalam melihat dan memberikan arti terhadap
sebuah fenomena. Secara sosial, persepsi dipandang sebagai proses
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh
organisme atau individu yang dapat menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan
aktivitas yang ada dalam diri individu. Proses ini berakibat pada tingkat kesadaran
individu untuk menyadari dan memahami keadaan lingkungan yang ada
disekitarnya serta keadaan diri individu yang bersangkutan. Interelasi ini terjadi
secara sistematis dan berkesinambungan dalam interaksi sosial dan budaya.
(Gallagher dan Zahavi, 2008:84-85).
Sharifian (2011:191) medefinisikan persepsi adalah dasar dari aktivitas
masyarakat untuk membentuk konsep dari segala sesuatu yang diperhatikan,
diperdulikan, dan dipikirkan. Pada masyarakat yang masih memegang teguh nilai
budaya, konsep ini terlihat dalam peristiwa bahasa yang dipengaruhi oleh kognisi
sosial masyarakat penggunanya. Hal ini memberikan gambaran mengenai posisi
kognitivisme dalam linguistik kebudayaan.
(3) Ideologi
Ideologi dalam hubungannya dengan kognisi sosial yaitu sebagai properti
mental yang mengatur penerimaan, pembagian dan pertukaran informasi dalam
masyarakat (dalam hal ini budaya ditempatkan sebagai unsur yang menyertainya).
Interaksi ini menempatkan ideologi sebagai sistem kepercayaan (pengetahuan,
sikap, norma, nilai dan lain sebagainya). Pada tataran sosial, ideologi terlihat pada
identitas kelompok, keunikan, solidaritas individu dalam mencapai tujuan tertentu,
40
sikap individu dalam mempertahankan identitas, dan hal lainya yang berhubungan
dengan sikap sosial. Ideologi dalam tataran wacana terwujud dalam bentuk,
makna dan tindakan untuk mencari makna dari representasi sosial dalam teks dan
ujaran. Ideologi adalah bagian dari wacana yang berkaitan erat dengan konteks
sosial budaya. Hubungan ini menempatkan ideologi dalam sistem terstruktur yang
dapat diungkapkan dengan intonasi tertentu, valume, struktur klausa
(ketransitifan: aktif dan pasif), pemilihan dan penggunaan leksikal tertentu,
pelesapan, presuposisi, koherensi, keseluruhan topik, retorika (contoh, metafora),
skemata, pemilihaan peristiwa tutur, dan kesantunan berbahasa (van Dijk,
1998:313-318).
Dengan demikian, hubungan bahasa, budaya, dimensi sosial dan ideologi
dapat dijelaskan sebagai berikut. Ideologi sebagai sistem kepercayaan terjadi
melalui interaksi dengan sistem pengetahuan budaya. Interaksi ini terwujud dalam
sikap kelompok dan pada tataran yang lebih nyata terlihat dalam peristiwa budaya
(peristiwa ritual). Bahasa sebagai ekspresi budaya terlihat pada penggunaan
bahasa ritual dalam peristiwa budaya. Hal ini tentunya terkait dengan interaksi
lingkungan sosial dan konteks (dimensi sosio kultural) yang pada akhirnya
kesatuannya membangun sebuah wacana. Hubungan ini terlihat pada gambar di
bawah ini.
41
2.3.2 Semiotik Kognitif
Pembahasan mengenai linguistik kebudayaan sebagai payung teori
memberikan ruang kepada teori semiotik khususnya semiotik kognitif
sebagaimana yang akan digunakan dalam penelitian ini. Teori semiotik kognitif
dikembangkang oleh beberapa ahli seperti: (1) Jordan Zlatev (2012), dalam artikel
Cognitive Semiotics: An Emergering Field for the Transdicilinary Study of
Meaning; (2) Per Durst-Andersen (2011) dalam buku Linguistics Supertypes: A
Cognitive Semiotics Theory of Human Communication; (3) Per Aage Brant dalam
buku Space, Domain and Meanings: Essay in Cognitive Semiotics (2004) dan
Gambar 2.2 Hubungan Bahasa, Budaya, Dimensi Sosiokultural, Ideologi dan
Wacana (diadaptasi dari van Dijk 1998: 87)
SITUASI SOSIAL
MEMORI SOSIAL (Tahap Pelaksanaan) EPISODIK MEMORI MEMORI SOSIAL
Wacana
KONTEKS Representasi Teks
(Dimensi Sosiokultural)
PERISTIWA (BERBAHASA)
SIKAP KELOMPOK
IDEOLOGI KELOMPOK
BUDAYA
42
disertasinya yang berjudul Language and Enunciation: A Cognitive Inquiry with
Special Focus on Conceptual Integration in Semiotic Meaning Construction.
Alasan pemilihan teori ini didasarkan pada karakterisitik teori semiotik
kognitif sebagaimana dipaparkan Zlatev (2012:14-17). Karaekteristik pertama,
triangulasi metode pencarian makna pada tingkatan subjektif, intersubjektif, dan
objektif. Interpretasi makna pada tingkatan subjektif (first-person) berupa analisis
konseptual, dan intuisi sistematis dari penutur asli. Produk dari tingkatan ini dapat
berupa persepsi, penggambaran mental, dan analisis kebahasaan (fonologi,
morfologi, dsb). Interpretasi makna intersubjektif (second-person) dilaksanakan
dengan bentuk yang lebih imajinatif dan menghasilkan analisis interaksi sosial.
Interpretasi makna objektif (third-person) dilaksanakan dengan jaringan tanda,
peta alur pikir (tanda dimaknai melalui hubungan dengan tanda lainnya tanpa
melibatkan analisis interpreter yang berlebihan). Karakteristik ini digunanakan
pada prilaku tertutup pada individu atau kelompok masyarakat tertentu.
Trianggulasi metode memungkinkan analisis data pada tataran semiotik yang
lebih dalam, menyeluruh, memiliki tingkat keobjektifan yang tinggi. Hal tersebut
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.3 Skema Triangulasi Metode Semiotik Kognitif
(diadaptasi dari Zlatev, 2012:17)
Subjektif Intersubjektif Objektif
Analisis Konseptual
Skema Penggambaran Konsep
Peta Alur Pikir
Persepsi Sistem Penandaan Hubungan Tanda
43
Karakteristik kedua, penggunaan fenomenologi sebagai metode penelitian.
Penggunaan metode ini, memungkinkan penggunaan hermeneutik sebagai
metode analisis data, sehingga, hasil yang diperoleh dapat menyentuh esensi
pemaknaan tanda yang mendalam. Kararteristik ketiga, kedinamisan yaitu (1)
melihat interpretasi tanda dalam berbagai tingkatan, (2) bersinergi dengan
berbagai bentuk dalam intrepretasi budaya (dalam penelitian ini mengacu kepada
dimensi sosiokultural dan ideologi), (3) mengutamakan kedinamisan proses
(interpretasi) dibandingkan dengan produk (interpretasi) statis dan (4) memahami
hubungan esensi makna melalui interpretasi proses pengelolahan tanda secara
alami. Karakteristik keempat, yaitu trandisiplin ilmu yang luas sebagai penopang
teori. Disiplin ilmu tersebut mencakup (1) semiotik (tidak hanya pada satu aliran
pemikiran tetapi dapat berupa kombinasi, (2) linguistik (pendekatan melihat
makna sebagai esensi bahasa), (3) antropologi, (4) kognitif, dan (5) filsasat
(fenomenologi).
Teori semiotik kognitif pada disertasi ini mengacu pada prinsip semiotik
de Saussure dengan beberapa penggabungan konsep lainnya. Prinsip-prinsip
kognitif dalam semiotik de Saussure digunakan untuk mencari relasi tanda,
mencari relasi refren (sistem penanda), membentuk bangunan persepsi terhadap
suatu entitas. Penggunaan semiotik dikotomi de Saussure diperkaya dengan
pandangan semiotik Moris untuk membedah data linguistik kebudayaan.
Analisis teks tuturan ritual menggunakan semiotik Morris mengacu pada
tiga relasi dimensional yang mengaitkan tataran mikro dan makro linguistik pada
tataran tanda. Dalil ini tidak bertujuan membenturkan konsep linguistik secara
44
utuh, akan tetapi penempatan linguitik miro dan makro bertujuan sebagai alat
bantu membedah struktur bahasa utuk dapat diinterpretasi lebih lanjut dan
mendalam. Penerapan konsep semiotik Moris secara konseptual digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 2.4 Korelasi semiosis dan tiga dimensi semiotik Morris
(Diadaptasi dari Morris dalam Noth,1990:50)
Model ini pada prinsipnya sama dengan model organon Buhler, tetapi
Morris memandang dari dimensi sudut pandang yang berbeda. Dimensi-dimensi
tersebut adalah sintaktik, semantik, dan pragmatik. Dimensi sintaktik yang
dimaksud Morris lebih dari sekadar hubungan antarleksikon, tetapi (1) dilihat
sebagai tanda dan kombinasi tanda dalam korelasi yang bersifat sintaktik; (2)
sintaktik dilihat sebagai cara yang digunakan tanda dari kelas yang berbeda atau
bervariasi untuk menjadi sebuah kelompok tanda, dan (3) sintaktik berarti
pembahasan mengenai relasi formal antara tanda yang satu dalam hubungannya
45
dengan tanda yang lain. Pada definisi yang ketiga ini, Morris memasukan
pembahasan sintakmatik dan paradigmatik.
Pada tataran sintagmatik dan paradigmatik konsep bahasa sebagai alat
berpikir dan berkomunikasi harus dibentuk dari interaksi tanda. De Saussure
(1993:147) menjelaskan bahwa interaksi tanda dapat dimaknai sebagai kombinasi
antara konsep dan gambaran akustik. Dengan kata lain, tanda terbentuk dari
kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu signifiant
(penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada
tanda itu, sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. Tanda
pada tataran langue bersifat konkret sebagai hasil kerja sama antara penanda dan
petanda.
Pada tataran dimensi yang kedua, Morris menjelaskan semantik sebagai
relasi tanda dengan designate-nya atau arti dari tanda tersebut. Dari sudut pandang
yang lebih luas Morris menjelaskan bahwa semantik dalam ruang lingkup
semiotik berhubungan dengan penjelasan mengenai pengertian tanda. Pada tataran
dimensi pragmatik, Morris menjelaskannya sebagai sebuah relasi antara tanda dan
interpreter (Noth, 1990:50-53). Relasi dimensi semiotik Morris berhubungan erat
dengan konsep sistem penandaan untuk mengungkapkan pola tingkah laku
manusia dalam suatu kebudayaan (Hoed, 2011:26).
Pendapat ahli lainya yang juga digunakan dalam penelitian ini yaitu
Gudwin (1997:3). Gudwin berpendapat bahwa semiotik kognitif berhubugan
dengan sistem pengetahuan manusia. Kognisi dalam kaitannya dengan semiotik
mengidentifikasi objek atau fenomena untuk dikelola ke dalam struktul internal
46
individual. Pada prinsipnya, struktur ini merupakan proses pengidentifikasian
atribut-atribut sebagai penjelas entitas. Konsep Gudwin didukung oleh Eco
(2009:126), yang menjelaskan bahwa pengidentifikasian dalam proses kognisi
melibatkan pemilihan, pengelompokan, dan pengintegrasian objek tertentu.
Bahasa sebagai alat pengungkapan ide, tidak terlepas oleh sistem pengetahuan
penggunannya. Bentuk lingual sebagai citraan bunyi dipakai sebagai alat
komunikasi tempat kata dapat menjadi sebuah tanda yang bergayut secara
konotatif dan denotatif.
Apabila diasosiasikan pada teks tuturan ritual, maka teks tersebut adalah
kumpulan tanda yang berhubungan secara sintagmatik dan paradigmatik.
Berkaitan dengan hal tersebut, Randvir (2004:7), menjelaskan bahwa unit-unit
sosiokultural dikonstruksi untuk melihat persepsi suatu masyarakat.
Pengonstruksian tersebut secara visual membentuk peta kognitif. Prinsip
konstruksi peta kognitif berdasarkan pengelompokan sistematis dan dalam suatu
unit penjelas tertentu. Kedua prinsip ini bertujuan untuk melihat fenomena
penggunaan tanda oleh manusia dalam menjelaskan suatu sistem pengetahuan
bersama.
Pendapat Randvir sejalan dengan Kryssanov dan Kakusho (2010:20) yang
menghubungkan hubungan kognisi sosiologis tersebut dalam sebuah sistem
penandaan teks. Gayutan dalam sebuah teks diistilahkan dengan node dan
hubungan intertekstual (diluar teks, diistilahkan dengan link). Teori sistem
penandaan oleh Kryssanov dan Kakusho dikenal dengan teori penandaan tekstual.
Konsep ini menjelaskan analisis wacana berdasarkan hubungan tanda yang
47
direpresentasi melalui bentuk lingual. Pada tataran dasar (bentuk lingual bergayut
dengan bentuk lingual lainnya) terlihat alur pikir yang mendasari sebuah teks.
Hubungan tanda ini menjelaskan cara masyarakat menandai sebuah entitas dan
pada tataran konseptual menjadi sebuah persepsi. Pola urutan inilah yang dipakai
untuk menjelaskan fenomena bahasa-budaya. Pendapat oleh Kryssanov dan
Kakusho dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Hubungan tanda dalam sebuah tuturan menggunakan prinsip peta kognitif de
Beaugrande (1980). Sebuah teks terdiri atas sebuah topik global yang
megendalikan keseluruhan teks. Prinsip ini dapat diterapkan untuk membangun
hubungan antartanda dalam teks tuturan ritual. Peta alur pikir de Beaugrande
dapat dilihat seperti di bawah ini.
Gambar 2.5 Konsep Penandaan
(diadaptasi dari Kryssanov dan Kakusho, 2010:10)
Dimensi Sosiokultural
Masyarakat Boti
Tuturan Ritual (hubungan
tekstual-node)
Tuturan Ritual (hubungan
tekstual-node)
Tuturan Ritual (hubungan
tekstual-node)
SISTEM PENANDAAN
intertekstual
48
A great black and yellow V-2 rockett 46 feed long stood in a New Mexico desert. Empty, it weighed five tons. For fuel it carried eigh tons of alcohol and oxigen.
Everything was ready. Scientists and generals withdrew to some distance and crouhed behind earth mounds. Two red flares rose as a signal to fire the rocket.
Penjelasan mengenai teori semiotik kognitif juga didukung oleh teori
konteks. Pada peneltian ini, teori konteks digunakan untuk menganalisis dimensi
sosiokultural tuturan ritual kosmologi. Tuturan ritual sendiri dipandang sebagai
teks yang terikat pada konteks. Teori ini dirintis oleh Van Dijik dalam bukunya
Discourse and Context: A Socialcognitive Approach (2008) dan Society and
Disourse: How to Social Contexts Influence Text and Talk (2009).
Peta Kognif 2.1
Menggambarkan alur pikir dalam sebuah wacana. Bentuk lingual ‘rocket’ menjadi topik global yang bergayut dengan fitur-fitur yang terdapat dalam teks tersebut.
(diadaptasi dari Beaugrande, 1980:98)
49
Konteks dipahami sebagai latar teks yang bersifat subjektif, dinamis,
berada dalam struktur mental, didasarkan pada pengetahuan sosial, merupakan
perwujudan dari situasi, dan merupakan variabel budaya (van Dijk, 2009: 248-
251). Konteks bersifat subjektif sebagai lawan dari pemahaman sebelumnya yaitu
objektivitas konteks sosial. Batasan konteks tidak hanya pada variabel sosial
seperti gender, strata sosial dan hal lain yang terstruktur tetapi lebih kepada
representasi autobiografi di dalam memori episodik. Hal ini terkait dengan
struktur mental dalam penggunaan bahasa, termasuk bahasa ritual. Aspek mental
yang dimaksud yaitu cara pelibat beradaptasi atau memahami setiap fragmen
wacana dalam peristiwa komunikasi tersebut. Konteks ditempatkan juga sebagai
sisi pragmatis dari wacana budaya.
Pandangan van Dijk lainnya yang juga disertakan dalam penelitian ini
yaitu teori ideologi (van Dijk, 1998). Pendekatan teori ini menggunakkan
paradigma kognisi sosial, ilmu sosial, dan wacana. Paradigma kognisi sosial
menempatkan ideologi sebagai keyakinan dasar (pengetahuan, opini, nilai, kriteria
kebenaran, dan lain-lain) dari kelompok sosial tertentu yang berfungsi (1)
mengatur representasi sosial; (2) memantau evaluatif belief (opini dan sikap,
sebagai lawan dari factual belief yang mencakup benar dan salah), (3) sebagai
dasar penilaian sosial; dan (4) pengatur interaksi antara kognisi individual dan
kognisi sosial.
Ideologi dalam fungsi sosial berkaitan dengan (1) pengaturan hubungan
sosial, seperti identitas kelompok, tujuan yang ingin dicapai, keunikan yang
50
dimiliki, (2) pengelolahan hubungan kelompok sosial, seperti dominasi dan
konflik, persaingan, dan kerja sama.
Ideologi dalam fungsi wacana berkaitan dengan teks dan ujaran.
Hubungan ini menempatkan ideologi dalam sistem terstruktur yang dapat
diungkapkan dengan intonasi tertentu, volume, struktur klausa (ketransitifan: aktif
dan pasif), pemilihan dan penggunaan leksikal tertentu, pelesapan, presuposisi,
koherensi, keseluruhan topik, retorika (contoh, metafora), skemata, pemilihaan
peristiwa tutur, dan kesantunan berbahasa.
Tabel 2.1
Tingkatan Analisis Ideologi dalam Wacana
(diadaptasi dari van Dijk, 1998:15)
1. Analisis Sosial a. Struktur sosial secara keseluruhan b. Struktur organisasi atau instutisional c. Relasi kelompok d. Struktur kelompok
2. Analisis Kognitif 2.1 Kognisi sosial
a. Nilai sosiokultural b. Ideologi (ciri khusus) c. Sistem sikap d. Pengetahuan sosiokultural
2.2 Kognisi Individual 2.2.1 Umum (konteks bebas)
a. Nilai secara individual b. Ideologi individual c. Sikap individual d. Pengetahuan individual
2.2.2 Khusus (konteks terikat) a. Models : representasi dari suatu peristiwa atau kejadian b. Konteks models : representasi dari konteks ujaran c. Representasi peristiwa berbahasa d. Kontruksi mental dalam memaknai makna teks e. Strategi menyeleksi wacana
3. Analisis Wacana
51
Variasi struktur teks dan ujaran
2.4 Model Penelitian
Data yang diperoleh berupa tuturan ritual yang dianalisis dengan teori
linguistik kebudayaan sebagai payungnya dan teori semiotik kognitif, teori
konteks, dan teori ideologi digunakan secara spesifik dan menjadi bagian dari
paradigma linguistik kebudayaan. Perangkat kerja seperti ini menghasilkan
temuan baru. Model penelitian yang telah dijelaskan, dapat dilihat pada gambar di
bawah ini.
Gambar 2.6 Model Kerangka Kerja Penelitian
TUTURAN RITUAL KOSMOLOGI
MASYARAKAT BOTI
METODE DASAR FILSAFAT
KOGNITIF-REALIS
FENOMENOLOGI
HERMENEUTIK
TEORI
ANALISIS
TEMUAN
LINGUISTIK KEBUDAYAAN
TEORI SEMIOTIK KOGNITIF
TEORI KONTEKS
TEORI IDEOLOGI