144

11
11 MODEL PRIVATISASI PERKERETAAPIAN DI INDONESIA (STUDI KASUS : PERKERETAAPIAN DI PULAU JAWA) Imam Muthohar, ST. Mahasiswa Program Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT), Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281 Telp (fax) : 0274-524713 E-mail : [email protected] Dr. Ir. Heru Sutomo, M.Sc. Dosen Teknik Sipil & Program Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT), Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281 Telp (fax) : 0274-524713 Email: [email protected] , ABSTRAK Restrukturisasi kereta api yang dicetuskan Bank Dunia pada pertengahan 90-an dengan implementasi pada tahun 2000 di Indonesia bertujuan membuat industri kereta api lebih kompetitif, ramping, dan memungkinkan privatisasi dijalankan. Skema PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure Maintenance and Operation), dan TAC (Track Access Charge) , yang diterapkan di Indonesia sebagai langkah awal, belum sepenuhnya dijalankan dengan benar, yang ditandai dengan belum dipisahkannya fungsi pengelolaan kereta dan pengelolaan rel yang masih dimonopoli PT Kereta Api (PT KA). Penelitian ini bertujuan untuk membuat model privatisasi perkeretaapian yang dapat diterapkan di Indonesia. Penelitian dilaksanakan melalui studi literatur dan wawancara mendalam (indepth interview). Studi literatur dengan meninjau ulang kerangka dasar regulasi yang melandasinya dan mengkaji berbagai model privatisasi kereta api di negara Inggris dan Jepang. Keduanya dipilih untuk mewakili sistem privatisasi berbasis jalur dan wilayah. Selanjutnya dilakukan analisis pemecahan ukuran (fragmentation) pengelolaan industri perkeretaapian dalam rangka penerapan privatisasi. Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci pengambil kebijakan dan peneliti perkeret aapian dilaksanakan untuk m engetahui sejauh m ana model yang diusulkan dapat diterapkan di Indonesia dan menimbulkan dampak minimal. Hasil penelitian berdasarkan kajian awal menunjukkan model privatisasi perkeretaapian di Indonesia akan memisahkan fungsi operasional kereta berbasis lelang jalur dan fungsi pemeliharaan atau penyediaan rel berbasis wilayah. Kasus di Pulau Jawa, sistem lelang jalur secara umum terbagi menjadi 3 bagian meliputi jalur pantai utara, jalur selatan, dan jalur pengumpan diantara keduanya. Sistem wilayah pada rel mempertahankan kondisi yang telah ada yaitu wilayah daerah operasi (daop) seperti yang telah diterapkan selama ini. Keywords : PSO, IMO, TAC, model, privatisasi, perkeretaapian, fragmentation, jalur, wilayah. 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan mendasar dunia perkeretaapian nasional ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1998 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Hal ini sekaligus menandai babak baru penyelenggaraan perkeretaapian nasional dimana perubahan bentuk badan hukum melalui PP di atas mengisyaratkan format baru yang memecah industri jasa kereta api atas dua bagian utama yakni pengoperasian sarana (kereta) dan pengelolaan prasarana (jalan rel). Namun, perubahan besar ini tampaknya belum mampu dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait terutama Pemerintah dan PT. Kereta Api (Persero) selaku badan penyelenggara yang sebelumnya sudah berpuluh-puluh tahun menjadi organisasi besar dan monopolistik. Restrukturisasi kereta api yang dicetuskan Bank Dunia pada pertengahan 90-an dengan implementasi pada tahun 2000 di Indonesia bertujuan membuat industri kereta api lebih kompetitif, ramping, dan memungkinkan privatisasi dijalankan. Konsep pemisahan yang tidak sepenuhnya dijalankan dan desakan dari pihak Bank Dunia, telah memunculkan adanya gagasan konsep Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance Obligation (IMO), dan Track Access Charge (TAC). Dalam perjalanannya selama kurun waktu 3 tahun diberlakukannya konsep PSO, IMO, dan TAC ini, ternyata belum terdapat kesepakatan

Upload: moch-irvan

Post on 23-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

11

MODEL PRIVATISASI PERKERETAAPIAN DI INDONESIA (STUDI KASUS : PERKERETAAPIAN DI PULAU JAWA)

Imam Muthohar, ST. Mahasiswa Program Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT), Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281 Telp (fax) : 0274-524713 E-mail : [email protected]

Dr. Ir. Heru Sutomo, M.Sc. Dosen Teknik Sipil & Program Magister Sistem dan Teknik Transportasi (MSTT), Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.2 Yogyakarta 55281 Telp (fax) : 0274-524713 Email: [email protected],

ABSTRAK Restrukturisasi kereta api yang dicetuskan Bank Dunia pada pert engahan 90-an dengan implementasi pada tahun 2000 di Indonesia bertujuan membuat industri kereta api lebih kompetitif, ramping, dan memungkinkan privatisasi dijalankan. Skema PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure Maintenance and Operation), dan TAC (Track Access Charge), yang diterapkan di Indonesia sebagai l angkah awal, belum sepenuhnya dijalankan dengan benar, yang ditandai dengan belum dipisahkannya fungsi pengelolaan kereta dan pengelolaan rel yang masih dimonopoli PT Kereta Api (PT KA). Penelitian ini bertujuan untuk membuat model privatisasi perkeretaapian yang dapat diterapkan di Indonesia.

Penelitian dilaksanakan melalui studi literatur dan wawancara mendalam (indepth interview). Studi literatur dengan meninjau ul ang kerangka dasar regulasi yang melandasinya dan mengkaji berbagai model privatisasi kereta api di negara Inggris dan Jepang. Keduanya dipilih untuk mewakili sistem privatisasi berbasis j alur dan wilayah. Selanjutnya dilakukan analisis pemecahan ukuran (fragmentation) pengelolaan industri perkeretaapi an dalam rangka penerapan privatisasi. Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci pengambil kebijakan dan peneliti perkeret aapian dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana model yang diusulkan dapat diterapkan di Indonesia dan menimbulkan dampak minimal.

Hasil penelitian berdasarkan kajian awal menunjukkan model privatisasi perkeretaapi an di Indonesi a akan memisahkan fungsi operasional keret a berbasis lelang jalur dan fungsi pemeliharaan atau penyediaan rel berbasis wilayah. Kasus di Pulau Jawa, sistem lelang jalur secara umum terbagi menjadi 3 bagian meliputi jalur pantai utara, jalur selatan, dan jalur pengumpan diantara keduanya. Sistem wilayah pada rel mempertahankan kondisi yang telah ada yaitu wilayah daerah operasi (daop) seperti yang telah diterapkan selama ini. Keywords : PSO, IMO, TAC, model, privatisasi, perkeretaapian, fragmentation, jalur, wilayah.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan mendasar dunia perkeretaapian nasional ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.19 tahun 1998 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Hal ini sekaligus menandai babak baru penyelenggaraan perkeretaapian nasional dimana perubahan bentuk badan hukum melalui PP di atas mengisyaratkan format baru yang memecah industri jasa kereta api atas dua bagian utama yakni pengoperasian sarana (kereta) dan pengelolaan prasarana (jalan rel). Namun, perubahan besar ini tampaknya belum mampu dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait terutama Pemerintah dan PT. Kereta Api (Persero) selaku badan penyelenggara yang sebelumnya sudah berpuluh-puluh tahun menjadi organisasi besar dan monopolistik. Restrukturisasi kereta api yang dicetuskan Bank Dunia pada pertengahan 90-an dengan implementasi pada tahun 2000 di Indonesia bertujuan membuat industri kereta api lebih kompetitif, ramping, dan memungkinkan privatisasi dijalankan. Konsep pemisahan yang tidak sepenuhnya dijalankan dan desakan dari pihak Bank Dunia, telah memunculkan adanya gagasan konsep Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance Obligation (IMO), dan Track Access Charge (TAC). Dalam perjalanannya selama kurun waktu 3 tahun diberlakukannya konsep PSO, IMO, dan TAC ini, ternyata belum terdapat kesepakatan

Page 2: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

12

perhitungan antara pemerintah dan PT KA (Persero). Berdasarkan kenyataan tersebut diperlukan suatu pembenahan sistem perkeretaapian di Indonesia menuju sistem yang fully privatized, yang akan memberikan kesempatan bagi operator lain untuk turut berperan serta dalam penyelenggaraan sistem perkeretaapian baik sebagai penyedia operasi kereta ataupun sebagai pengelola rel. Lahirnya UU Anti Monopoli, pemberlakuan AFTA, dan era perdagangan bebas turut menjadi pendorong yang memungkinkan pelaksanaan privatisasi perkeretaapian di Indonesia. 1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi implementasi skema PSO, IMO, dan TAC sebagai modal privatisasi di Indonesia, mengkaji pelaksanaan privatisasi KA di negara Inggris dan negara Jepang, dan membuat model privatisasi perkeretaapian yang dapat diterapkan di Indonesia.

2. SKEMA PSO, IMO, TAC

Ditjen Perkeretaapian (1999) menyatakan PSO (Public Service Obligation) adalah subsidi pemerintah kepada penumpang kereta api kelas ekonomi melalui kompensasi yang dibayarkan pemerintah kepada badan penyelenggara atas pelayanan angkutan penumpang kelas ekonomi yang tarifnya ditetapkan pemerintah. IMO (Infrastructure Maintenance and Operation) adalah biaya yang dibayar pemerintah atas pemeliharaan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian yang dimiliki pemerintah, dan TAC (Track Access Charge) adalah biaya yang dibayarkan badan penyelenggara kepada pemerintah atas penggunaan prasarana kereta api yang dimiliki pemerintah. Skema PSO, IMO, dan TAC ini dituangkan dalam kontrak perjanjian selama 1 tahun antara pemerintah dan badan penyelenggara perkeretaapian. Perhitungan PSO mendasarkan pada selisih antara Biaya Operasi Kereta (BOKA) dan pendapatan kereta ekonomi selama 1 tahun pengoperasian. BOKA dihitung dengan menggunakan metode biaya total, yang terdiri dari : 1. Biaya Operasi Langsung, terdiri dari : Biaya penyusutan sarana (lokomotif dan kereta),

biaya perawatan sarana (lokomotif dan sarana), biaya pelumas, biaya BBM, dan biaya awak (biaya tetap dan premi).

2. Biaya Operasi Tidak Langsung, terdiri dari : Biaya penggunaan jasa prasarana (perawatan prasarana, pegawai operasi, pegawai perawatan prasarana, penyusutan prasarana), biaya stasiun, dan biaya umum (umum dan kantor pusat).

IMO dihitung berdasarkan jumlah biaya perawatan semua prasarana yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memeliharanya. Biaya perawatan merupakan perhitungan kuantitas prasarana yang harus dirawat dan biaya perawatan per volumenya. Struktur biaya IMO terdiri dari : 1. Biaya perawatan jalan kereta api (rel, bantalan, balas, pemecokan, lingkungan jalan,

wesel, terowongan). 2. Biaya perawatan jembatan (jembatan baja, jembatan beton, gorong-gorong). 3. Biaya perawatan sintel dan listrik aliran atas. 4. Biaya pengoperasian prasarana (pengaturan dan pengendalian perjalanan KA,

pengoperasian persinyalan, pengoperasian wesel, pemeriksaan jalan rel, terowongan, dan penjaga pintu, biaya umum dan kantor pusat).

TAC merupakan biaya yang harus dibayarkan pengguna melalui badan penyelenggara atas penggunaan prasarana kereta api. Selama ini TAC dihitung berdasarkan IMO yang dibayar

Page 3: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

13

pemerintah ditambah depresiasi prasarana (d) dikalikan dengan faktor kebijakan penyeimbangan antar moda (f). Faktor kebijakan penyeimbangan antar moda (f) belum ada formulasi yang baku, faktor kebijakan penyeimbangan antar moda digunakan hanya sebagai faktor pembebanan yang menjadi balancing dari netto PSO, IMO dan TAC. Hubungan aliran dana dalam skema PSO, IMO, dan TAC selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema PSO, IMO, dan TAC

3. MODEL PRIVATISASI PERKERETAAPIAN

Privatisasi, pada umumnya diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke sektor swasta yang berimplikasi bahwa dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke pemegang saham swasta (Peacock, 1930 dalam Bastian, 2002). Sementara itu dalam privatisasi perkeretaapian, terdapat berbagai metode yang dikembangkan di beberapa negara yang pada intinya adalah untuk menaikkan tingkat kompetisi di dalamnya. Moyer dan Thompson (1992) dalam Mizutani dan Nakamura (2001) mencatat setidaknya terdapat 3 (tiga) pilihan model privatisasi sebagai berikut : a. Sistem pembagian wilayah (horizontal separation), ciri yang menonjol adalah adanya

pemisahan secara geografi karena sifat atau ciri dari pasar transport, pasar kereta api dan aset fisik seperti rel dan terminal. Segmentasi pasar geografi melibatkan pemisahan angkutan barang dan penumpang ke dalam beberapa sub jaringan. Secara umum permintaan pasar kereta adalah di tingkat daerah atau terkonsentrasi pada segmen yang spesifik pada jaringan itu, sehingga segmentasi wilayah ini cocok untuk menawarkan pelayanan pada kebutuhan tingkat lokal.

b. Sistem pemisahan vertikal (vertical separation), ciri yang menonjol adalah adanya pemisahan secara tegas fungsi operasi kereta berbasis rute layanan dan fungsi

Biaya Pengoperasian KA Ekonomi:

Biaya operasi langsung: • Penyusutan

sarana: • Perawatan sarana: • Pelumas • BBM/su mber lain • Awak: biaya tetap,

biaya premi

IMO • Biaya perawatan jalan

kereta api • Biaya perawatan jembatan • Biaya perawatan sintel dan

listrik aliran atas • Biaya Pengoperasian

prasarana

Biaya umum: • Umum

• Kantor pusat Pendapatan KA Ekonomi: • Tarif • Jumlah penumpang

Badan Peny elenggara Pemerintah

TAC • (IMO + d) * f • 0 < f < 1

Biaya oper asi tak langsung: Biaya

penggunaan jasa prasarana

Biaya stas iun

aliran uang

PSO

Page 4: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

14

pemeliharaan/pengoperasian rel. Penguraian pemeliharaan jalan rel dari operasi kereta, dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk mempertajam kompetisi di pasar transportasi kereta api.

c. Sistem pembedaan fungsi pelayanan kereta (functional distinction), ciri yang menonjol adalah adanya pembedaan fungsi pasar, yaitu penumpang dan barang. Masing–masing memiliki operasional dan wilayahnya sendiri-sendiri. Pembedaan antara pasar penumpang dan barang adalah logis karena akan membuat perusahaan kereta lebih responsif terhadap kebutuhan pengguna.

3.1 Model Privatisasi Perkeretaapian di Inggris

Proses privatisasi memerlukan waktu selama hampir sepuluh tahun (1984 – 1994). Kurun waktu lima tahun pertama (1984-1989) merupakan masa booming ekonomi (rich years) dan lima tahun berikutnya merupakan masa resesi (lean years). Pada tahun 1993 mulai diperkenalkan Organising for Quality (OfQ) sebagai badan yang mempersiapkan privatisasi. Tahap awal terdiri dari pembentukan dua buah badan kunci yaitu ORR (Office of the Rail Regulator), yang bertugas untuk menyempurnakan mekanisme TAC dan menentukan elemen kunci dari kebijakan tarif, dan OPRAF (The Office of Passenger Rail Franchising), yang berfungsi untuk menjual berbagai jenis franchise angkutan penumpang. Model yang diadopsi Inggris adalah sistem pemisahan vertikal (vertical separation), dengan perusahaan-perusahaan di industri yang baru terbagi pada kategori utama sebagai berikut: a. Pemilik infrastruktur/rail track (terbagi menjadi 7 wilayah berbasis zona) b. Franchising operator penumpang terdiri dari 25 Train Operating Companies (TOC) c. Tiga perusahaan yang menyewakan kereta (Angle Train, Eversholt Leasing, Porterbrook) d. Kontraktor (infrastructure maintenance units) dan track renewal units e. Direktur franchising penumpang - OPRAF f. Regulator - ORR g. Regulator keselamatan - Her Majesty’s Railway Inspectorate (HMRI)

3.2 Model Privatisasi Perkeretaapian di Jepang Restrukturisasi yang terjadi di Jepang dilaksanakan dengan gaya yang berbeda dibandingkan dengan Inggris. Ketika reformasi kereta api dimulai 1987, dibentuk Japan National Railway Settlement Corporation (JNRSC), sebuah perusahaan sementara melibatkan sektor publik yang dibangun untuk tujuan ini. Perusahaan baru yang dibentuk (JNRSC) memegang saham kereta api hingga munculnya perusahaan baru yang terbentuk dalam proses privatisasi dengan reputasi yang cukup baik, ditunjukkan dengan meningkatnya efisiensi dan keuntungan. Model yang diadopsi Jepang adalah kombinasi antara sistem pembagian wilayah (horizontal separation) dan integrasi vertikal (vertical integration), mengingat populasi penduduk yang padat di sepanjang jalur utama dan sebagian besar penumpang adalah komuter di daerah kota. Proses privatisasi ini melahirkan perusahaan baru Japan Railway (JR), terdiri dari 6 (enam) perusahaan penumpang berbasis wilayah yaitu : JR East, JR Central, JR West, JR Hokkaido, JR Shikoku, JR Kyushu dan 1 (satu) buah perusahaan nasional barang, JR Freight. Diantara ketujuh perusahaan ini, privatisasi yang paling cepat, ditunjukkan oleh JR East, 62,5 % sahamnya telah dilempar di pasaran pada tahun 1993. Selanjutnya 68,3 % saham JR West, 67 % saam JR Central juga telah dikuasai oleh sektor swasta. Sementara 4 (empat) perusahaan JR lainnya, sahamnya masih dimiliki pemerintah dan dalam proses menuju fully privatized.

Uraian lebih lanjut dari pengalaman privatisasi perkeretaapian di Inggris dan Jepang disajikan pada Tabel 1.

Page 5: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

15

Tabel 1. Deregulasi dan Pengalaman Privatisasi Perkeretaapian di Inggris dan Jepang

Inggris Jepang Item Sebelum

privatisasi Setelah privatisasi Sebelum privatisasi Setelah privatisasi

Struktur Pasar Public monopoly

Kompetisi for the market, terdiri dari 25 franchising operator penumpang dan 2 operator barang

Monopoli 6 operator penumpang, dan 1 operator barang

Kepemilikan perkeretaapian

British Rail (BR), badan publik

dengan otonomi manajemen

Swasta dengan konsesi dan penyewaan kereta pada perusahaan swast a

Publik Hanya 3 dalam proses privatisasi

Kepemilikan infrastruktur Negara Perusahaan swasta

(railtrack) Negara Dikuasai oleh 6 operator penumpang baru

Pemisahan antara

infrastruktur dan pelayanan

Keseragaman manajemen Pemisahan total Keseragaman

manajemen Pemisahan terintegrasi

Kerangka regulasi

Gratis kecuali pada beberapa layanan

Harga bebas, RPI-X pada access pricing

Harga diatur Harga bebas

Alasan privatisasi

Tingginya subsidi publik, perusahaan swasta dipandang lebih efisien, meningkatkan lalulintas kereta api dan produktivitas

Keadaan kinerja finansial memburuk, reputasi menurun di mata publik,

pengurangan subsidi negara, peningkatan produktivitas

Sumber : Rail Transport Regulation (World Bank, 2000)

4. ALUR PENELITIAN

Alur penelitian ini disusun untuk menjadi panduan dan merupakan cara berpikir sistematis menuju hasil akhir yang diinginkan. Diawali dengan perumusan masalah, penelusuran studi literatur, analisis model dengan dukungan data sekunder, indepth interview, dan pelaporan. Studi literatur dengan meninjau ulang kerangka dasar regulasi yang melandasinya dan mengkaji berbagai model privatisasi kereta api di negara Inggris dan Jepang. Selanjutnya dilakukan analisis benchmarking eksternal, analisis implementasi skema PSO, IMO, TAC, dan analisis pemecahan ukuran (fragmentation) pengelolaan industri perkeretaapian dalam rangka penerapan privatisasi. Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci pengambil kebijakan dan peneliti perkeretaapian dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana model yang diusulkan dapat diterapkan di Indonesia dan menimbulkan dampak minimal. Kebutuhan data untuk menunjang penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Regulasi berupa peraturan perundangan terkait (UU No.13 Tahun 1992 tentang

Perkeretaapian, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Peraturan Pemerintah No.81 tentang Lalulintas dan Angkutan Kereta Api, Keppres No.17 Tahun 1998 tentang Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur di Indonesia, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, dan Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Tahun 1999) tentang Pembiayaan Pelayanan Umum Angkutan KA Penumpang Ekonomi, Pembiayaan Atas Perawatan dan Pengoperasian Prasarana KA serta Biaya Atas Penggunaan Prasarana KA.

Page 6: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

16

b. Profil performansi before – after privatisasi perkeretaapian di Inggris dan Jepang c. Profil pelaksanaan PSO, IMO, dan TAC selama 3 (tiga) tahun dari tahun 2000 - 2002 d. Data jaringan rel di Pulau Jawa serta pembagiannya dalam Daerah Operasi (Daop) e. Data operasi seluruh kereta yang beroperasi di Pulau Jawa 5. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1. Review Landasan Regulasi Terkait

UU No.13 Tahun 1992 pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa perkeretaapian diselenggarakan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya diserahkan kepada badan penyelenggara yang dibentuk untuk itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan usaha lain selain badan penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diikutsertakan dalam kegiatan perkeretaapian atas dasar kerja sama dengan badan penyelenggara. Pasal-pasal ini menyebabkan sulitnya pihak swasta untuk turut serta dalam penyelenggaraan perkeretaapian di Indonesia, sebab badan penyelenggara yang dimaksud dalam UU ini adalah badan usaha milik negara yang melaksanakan penyelenggaraan angkutan kereta api. Sebenarnya, penyelenggaraan suatu usaha yang bersifat monopolistik, dalam hal ini PT KA, dapat dijerat melalui UU No.5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli, yang menyebutkan bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu kelompok pelaku usaha. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pasal 17 menyebutkan pelaku usaha dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila : a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya , atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang

dan atau jasa yang sama, atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh

persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Sementara itu, sejalan dengan diberlakukannya UU No.22 perlu ditinjau kembali tentang definisi badan penyelenggara. Kedepannya, badan penyelenggara BUMN, BUMD, dan Swasta dapat diikutsertakan dalam penyediaan dan perawatan baik sarana ataupun prasarana kereta api. Keppres No.7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur, pada Pasal 1 menyebutkan : Dalam pelaksanaan pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur Pemerintah dapat mengikutsertakan badan usaha swasta yang berbentuk badan hukum Indonesia. Dalam Keppres tersebut belum diatur kerjasama pemerintah dan badan usaha swasta dalam pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur bidang jalan rel kereta api. Jadi, agenda privatisasi perkeretaapian di Indonesia dapat dimulai dengan menderegulasi segala peraturan perundangan yang terkait dengannya, termasuk perangkat-perangkat pendukungnya sehingga penyelenggaraan berbasis kompetisi for the market yang melibatkan swasta baik individu ataupun kelompok dapat terlaksana dengan baik.

5.2. Analisis Benchmarking Eksternal

Analisis ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana dampak yang ditimbulkan, baik keberhasilan ataupun kegagalannya, setelah privatisasi dilaksanakan, yang nantinya akan menjadi benchmarking ekternal bagi model privatisasi perkeretaapian di Indonesia.

Page 7: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

17

A. Perkeretaapian di Inggris

Privatisasi British Rail (BR) termasuk yang paling sulit pelaksanaannya mengingat belum ada metode yang nyata dan termasuk industri yang amat kompleks. Isu tentang deregulasi (deregulation) dan pemecahan industri (fragmentation) menjadi topik pembahasan yang hangat. Secara singkat disampaikan dampak dari privatisasi adalah sebagai berikut. a. Dari sisi pembiayaan terjadi interface costs yaitu tendensi pada peningkatan harga karena

tiap perusahaan berusaha mengambil keuntungan sebagai konsekuensi perusahaan yang melibatkan banyak mata rantai penyedia.

b. Terdapat potensi untuk kebocoran (leakage) pada sistem yang baru yang tidak dijumpai pada sistem yang lama.

c. Privatisasi BR dengan gaya yang telah dipilih menyebabkan pemerintah Inggris membiayai lebih dari 5 milyar pounds, sudah termasuk perkiraan penghematan dari franchise baru seperti transaksi dan regulasi.

d. Sejumlah kecelakaan kereta terjadi pada 1996 ditandai dengan adanya insiden operasional pada struktur yang baru. Isu ini cukup merusak kemajuan rail track dalam meningkatkan keselamatan kereta.

e. Privatisasi pada struktur ini memiliki dampak lebih lanjut seperti keuntungan yang diperoleh dalam the money–go-round dari struktur tidak kembali dengan cepat ke pemerintah namun ke para pemegang saham.

Ternyata dalam perjalanannya, struktur yang diadopsi menemui banyak komplikasi. Sejumlah perbedaan yang dihadapi perusahaan-perusahaan itu jelas menambah biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa metode privatisasi yang diadopsi tidaklah optimum, yang digambarkan dari keuangan pemerintahan secara pribadi atau Inggris Raya secara keseluruhan. Beberapa studi yang dilakukan menduga bahwa pemisahan menjadi tiga perusahaan yang mengoperasikan angkutan penumpang mungkin menghasilkan solusi yang lebih optimum secara ekonomi. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa privatisasi perkeretaapian di Inggris berjalan kurang berhasil seperti yang diharapkan dengan nilai 4 dari skala 10 (Haris dan Godward, 1997).

B. Perkeretaapian di Jepang

Di dalam kasus Jepang, pemilihan model kombinasi antara sistem pembagian wilayah (horizontal separation) dan integrasi vertikal (vertical integration) menjadi pilihan yang baik dalam privatisasi. Lebih jauh sejak kereta api swasta masuk di kota besar, operator mendapatkan kenaikan keuntungan dengan diversifikasi dalam berbagai bisnis seperti menjalankan pasar swalayan dan hotel di stasiun, membangun perumahan di sepanjang jalur kereta, dan mempromosikan wisata. Secara umum kinerja dari 6 perusahaan JR, sejak privatisasi diberlakukan berbagai ukuran kinerja dari variasi aspek, menunjukkan hasil yang baik dengan peningkatan efisien. Tingkat efisiensi ini dipengaruhi faktor produktivitas tenaga kerja, naiknya pertumbuhan kereta api, turunnya rata-rata biaya operasi, naiknya pendapatan, turunnya peningkatan dan dibandingkan dalam 3 periode, pertama awal privatisasi (1987) setelah 5 tahun dari privatisasi (1992) dan ketiga yang paling banyak adalah pada tahun berjalan (1998). Kinerja keseluruhan dari JR telah ditingkatkan sejak privatisasi. Kesimpulannya, pendekatan Jepang dalam merestrukturisasi kereta api telah sukses dengan menggunakan beberapa cara, dengan menaikkan produktivitas, memotong defisit operasi, menurunkan biaya perjalanan, dan menyediakan pelayanan yang lebih baik. Campur tangan politik setelah privatisasi telah bekurang dan tujuan utama dari kebijakan privatisasi adalah membuat aturan agar tercipta lingkungan yang kompetitif dalam memperkenalkan dan

Page 8: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

18

mengembangkan berbagai jenis persaingan/kompetisi secara aktual dalam pasar dan bahkan dalam organisasi itu sendiri melalui regulasi yang membangkitkan semangat kompetisi.

5.3. Analisis Implementasi PSO, IMO, dan TAC Bappenas (2002) mencatat implementasi skenario PSO, IMO, dan TAC dari tahun 2000 sampai dengan 2002 terkesan baru dilaksanakan secara ‘simbolis’ karena baru pada tahapan penggunaan sistem perhitungan teoritis kebutuhan agregatif kewajiban Pemerintah kepada Badan Penyelenggara perkeretaapian (PT. KA) sebagai : Net (PSO + IMO – TAC). Net dianggap sebagai pengganti alokasi subsidi Pemerintah yang diberikan setiap tahun kepada PT KA. Pada pelaksanaan tahun anggaran 2000 pemerintah memberikan dana sebesar 59,2 Milyar, tahun anggaran 2001 sebesar Rp. 60 Milyar, dan tahun anggaran 2002 sebesar 161,9 milyar (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Implementasi Skema PSO, IMO, TAC Tahun 2000-2002 Besaran Net (PSO+IMO-TAC) yang diberikan sampai tahun anggaran 2002 bukan didasari dari hasil perhitungan yang riil, tetapi diberikan berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah pada kondisi yang berjalan. Disamping itu usulan perhitungan yang diberikan oleh PT. KA terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan perhitungan dari Pemerintah. Pada akhir perhitungan (perhitungan realisasi) perbedaan tersebut menjadi lebih signifikan dan jauh lebih besar dari perhitungan usulan. Bila dijabarkan lebih rinci lagi, perbedaan perhitungan yang signifikan tersebut untuk PSO disebabkan antara lain dikarenakan perbedaan nama-nama KA yang di PSO-kan, frekuensi, jarak dan biaya operasi. Perhitungan biaya operasi harus mengacu pada volume pekerjaan (dinasan) dan standar yang sudah ditetapkan. Untuk itu perlu ditetapkan proses monitoringnya dan lembaga yang bertanggung jawab pada proses tersebut. Proses monitoring menjadi hal yang penting dalam suatu pekerjaan yang dilimpahkan pada pihak lain melalui kontrak. Jika dalam monitoring ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati, pihak yang melimpahkan pekerjaan, dalam hal ini pemerintah, mempunyai kewenangan memberikan sangsi kepada badan penyelenggara, dalam hal ini PT KA. Berbagai temuan ini dapat menjadi dasar dalam negosiasi penetapan anggaran untuk realisasi PSO pada tahun anggaran berjalan. Monitoring ini dapat pula diserahkan pada pihak ketiga, dengan mekanisme kontrak, untuk memonitor penyelenggaraan KA ekonomi baik dari sisi waktu, frekuensi, dan standar-standar operasi yang telah disepakati. Untuk IMO, masih terdapat ketidakjelasan lokasi yang dirawat dan jumlah pegawai yang menangani. Disisi lain pada perhitungan realisasi yang dilaporkan tidak terperinci

Pe rkemba nga n Skema PSO, I MO, TAC

0100200

300400500600700

800

PSO

Usul

an

PSO

Pene

tapa

n

IMO

Usul

an

IMO

Pene

tapa

n

TAC

Usul

an

TAC

Pene

tapa

n

Net U

sulan

Net

Pene

tapa

n

Mily

ar R

p.

200020012002

Page 9: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

19

sebagaimana pada usulannya, sehingga sulit untuk mengevaluasinya. Sementara dari pihak pemerintah, selaku pemilik prasarana yang mengkontrakkan pekerjaan tersebut, belum ada mekanisme monitoring dan evaluasi secara berkala seperti yang telah tercantum di dalam kontrak. Pelaksanaan IMO perlu terus didorong dengan pola outsourching, jadi tidak ada beban perusahaan dalam me-maintenance pegawai. Di dalam kontrak terdapat kemungkinan desentralisasi IMO melalui Daop yang sudah ada sehingga terdapat pembanding atau kompetisi antar Daop. Sementara itu, selama ini perhatian terhadap TAC sangat kurang karena dipandang hanya sebagai balancing perhitungan antara PSO dan IMO, TAC. TAC dihitung berdasarkan IMO yang dibayar pemerintah ditambah depresiasi prasarana (d) dikalikan dengan faktor kebijakan penyeimbangan antar moda (f). Faktor kebijakan penyeimbangan antar moda (f) belum ada formulasi yang baku digunakan hanya sebagai faktor pembebanan, bukan sebagai instrumen kebijakan bagi pemerintah. Konsep perhitungan TAC yang dikembangkan dapat mengacu pada road user cost (RUC) atau road fund. Jadi TAC bukan biaya tapi bea yang besarannya tidak bisa ditetapkan secara pasti yang harus memiliki entitas sendiri sebagai tarif yang memiliki nilai berbeda dalam ruang dan waktu. 5.4. Kemungkinan Fragmentation Pengelolaan Industri Perkeretaapian

Perkeretaapian di Pulau Jawa memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Jepang, melewati daerah penduduk yang padat di sepanjang jalur utama, yaitu jalur pantai utara (pantura) dan jalur selatan, serta sebagian besar penumpang adalah komuter di kota-kota besar seperti Jakarta. Sistem pembagian Daerah Operasi (Daop) yang diterapkan di Pulau Jawa terdiri dari 9 (sembilan) wilayah, yaitu : Daop I Jakarta, Daop II Bandung, Daop III Cirebon, Daop IV Semarang, Daop V Purwokerto, Daop VI Yogyakarta, Daop VII Madiun, Daop VIII Surabaya, Daop IX Jember. Selanjutnya dilakukan analisis pemecahan ukuran (fragmentation) pengelolaan industri perkeretaapian dalam rangka penerapan privatisasi. Sistem jalur yang ada sekarang dikelompokkan menjadi tiga aggregat utama yaitu jalur pantai utara, jalur selatan, dan jalur pengumpan/cabang, sementara sistem wilayah pada rel mempertahankan kondisi yang telah ada yaitu wilayah daerah operasi (daop) seperti yang telah diterapkan selama ini. Hasil penelitian berdasarkan kajian awal menunjukkan model privatisasi perkeretaapian di Indonesia akan memisahkan fungsi operasional kereta berbasis lelang jalur dan fungsi pemeliharaan atau penyediaan rel berbasis wilayah. Beberapa kemungkinan kontrak dengan pola privatisasi outsourching yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut : jasa layanan boga, jasa kebersihan kereta, pengaturan perjalanan kereta api, sistem pintu perlintasan, sistem persewaan kereta, sistem penyediaan dan pemeliharaan rel kereta api, dan sistem pemeliharaan dan perbaikan kereta dan loko meliputi dipo loko, dipo kereta, dan balai yasa.

6. KESIMPULAN

Dari pelaksanaan penelitian ini secara keseluruhan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Terdapat 3 (tiga) pilihan model privatisasi perkeretaapian yang dapat diadopsi yaitu:

sistem pembagian wilayah (horizontal separation), sistem pemisahan vertikal (vertical separation), dan sistem pembedaan fungsi pelayanan kereta (functional distinction).

2. Model yang diadopsi Inggris adalah sistem pemisahan vertikal (vertical separation) dan Jepang memilih kombinasi antara sistem pembagian wilayah (horizontal separation) dan integrasi vertikal (vertical integration).

Page 10: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

20

3. Beberapa studi menyebutkan privatisasi perkeretaapian di Jepang dalam beberapa hal menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan proses serupa yang terjadi di Inggris.

4. Kajian regulasi mengindikasikan perlunya peninjauan kembali definisi badan penyelenggara perkeretaapian, dengan memberikan peluang lebih terbuka kepada BUMN lain, BUMD, dan swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana kereta api.

5. Implementasi skenario PSO, IMO, dan TAC terkesan baru dilaksanakan secara ‘simbolis’ karena baru pada tahapan penggunaan sistem perhitungan teoritis kebutuhan agregatif kewajiban Pemerintah kepada Badan Penyelenggara perkeretaapian (PT. KA) sebagai : Net (PSO + IMO – TAC). Perbedaan perhitungan yang cukup signifikan dalam perhitungan PSO dikarenakan perbedaan nama-nama KA yang di PSO-kan, frekuensi, jarak dan biaya operasi.

6. Konsep perhitungan TAC yang dikembangkan dapat mengacu pada Road User Cost (RUC) atau road fund, yang besarannya tidak bisa ditetapkan secara pasti yang harus memiliki entitas sendiri sebagai tarif yang memiliki nilai berbeda dalam ruang dan waktu.

7. CATATAN Hingga tahap ini, penelitian telah menyajikan konsep awal tentang kemungkinan dilaksanakannya privatisasi perkeretaapian di Indonesia yang diawali dengan usulan model awal privatisasi perkeretaapian di Pulau Jawa. Tahap penelitian selanjutnya adalah pengumpulan data secara keseluruhan untuk memperkuat analisis, penetapan indikator layanan sebagai benchmarking internal, penyusunan model kelembagaan, dan pelaksanaan wawancara mendalam (indepth interview) untuk mengetahui sejauh mana model yang diusulkan dapat diterapkan di Indonesia dan menimbulkan dampak minimal dan input yang didapat akan menyempurnakan model awal yang telah dibangun. 8. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1992, Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Jakarta Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli, Jakarta Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

Jakarta Anonim, 1998, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum

(Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Jakarta Anonim, 1998, Keppres No.17 Tahun 1998 tentang Keterlibatan Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur

di Indonesia, Jakarta Anonim, 1999, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Perhubungan, Menteri

Keuangan, dan Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Tahun 1999 tentang Pembiayaan Pelayanan Umum Angkutan KA Penumpang Ekonomi, Pembiayaan Atas Perawatan dan Pengoperasian Prasarana KA serta Biaya Atas Penggunaan Prasarana KA, Jakarta

Anonim, 2002, Infrastruktur Indonesia : Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis, Bappenas, Jakarta Bastian, Indra, 2002, Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implementasi, Salemba Empat, Jakarta Campos, J and Cantos, P., 2000, Rail Transport Regulation, The World Bank (WPS 2064), Washington

DC Harris, N G and Godward, E W., 1997, The Privatisation of British Rail, Railway Consultancy Press,

London Ditjen Perkeretaapian , 1999, Studi Evaluasi Kebutuhan Biaya dan Standarisasi Teknis KA Dalam

Rangka PSO, IMO, dan TAC, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Departemen Perhubungan, Jakarta

Mizutani, F. and Nakamura, K., 2001, The Japan Experience with Railway Restructuring, Paper prepared for the NBER Conference, Hongkong

Obermauer, Andrea, 2001, National Railway Reform in Japan and the EU : Evaluation of Institutional Changes, Japan Railway & Transport Review, No.9, Tokyo

Takashige, Naofumi, 2001, Outline and Results of the Privatization of the Japanese National Railways, Seminar On Development of the Railway System in Indonesia, Departemen Perhubungan, Jakarta

Page 11: 144

Simposium VI FSTPT, Universitas Hasanuddin Makassar, 4-5 September 2003

21