13sadar hukum atau taat peraturan
TRANSCRIPT
Sadar Hukum atau Taat Peraturan
Oleh : Samsul, S.Sos
Dalam sebuah diskusi muncul pemikiran menarik berasal dari pertanyaan yang menarik
pula. Awalnya hanya sekedar tentang mengapa dalam Perpres 54/2010 ketentuan tidak pernah
terlibat KKN hanya pada Pejabat pembuat Komitmen (PPK). Sedangkan pihak lain seperti Pokja,
Pejabat Pengadaan maupun PPHP tidak dikenakan.
Perpres 54/2010, terlepas ini adalah buatan manusia yang pasti tidak akan pernah
sempurna, namun dalam penyusunannya tentu telah melewati serangkaian perdebatan, adu
pemikiran dari sekian banyak orang dan latar belakang pengalaman. Sehingga tidak dapat serta
merta kemudian kita bersuudzon bahwa ini kealfaan.
Dalam kerangka memahami alur pikir penyusun peraturan, ada baiknya kita berusaha
memasuki kerangka filosofisnya. Triger pertama yang digali adalah apa perbedaan dan
persamaan mendasar antara PKK dan lainnya.
Menelaah Pasal Pasal 12, 17 dan 18 persamaan paling menyolok dikaitkan dengan KKN
adalah PPK, Pokja, Pejabat Pengadaan dan PPHP wajib memiliki integritas. Pasal 1 ayat 13
tentang Pakta Integritas secara tersirat menjelaskan definisi integritas yang dimaksud Perpres
54/2010 yaitu mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan
Barang/Jasa.
Kemudian Perbedaan mendasar dari para pihak tersebut adalah kewenangan
penandatangan kontrak. Hanya PPK atau personil yang memiliki kewenangan PPK berhak
menandatangani kontrak. Dari persamaan dan perbedaan ini kita sandingkan sebagai analisa.
Mengapa hanya PPK yang dipersyaratkan tidak pernah terlibat KKN adalah karena PPK
sebagai pihak yang menandatangani kontrak. Kontrak adalah perikatan yang mengikat secara
hukum kepada kedua belah pihak atau lebih. Sehingga boleh dikatakan dokumen kontrak adalah
dokumen hukum berisi aturan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak
melanggar akan dikenai sangsi hukum.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka yang pernah divonis melakukan KKN
boleh menjadi Pokja, Pejabat Pengadaan dan PPHP? Karena yang diatur perpres 54/2010
hanyalah tidak boleh menjadi PPK.
Kerangka pikir yang kita gunakan tetap seperti pola pikir Perpres 54/2010, dimana secara
filosofis terbagi atas prinsip dan kebijakan. Dengan demikian dapat diinduksi bahwa hukum
adalah prinsip, sedang peraturan adalah kebijakan yang berisi tuntunan bagaimana
hukum/prinsip itu dapat dicapai. Ada dua hal yang harus dibedakan, satu kewenangan membuat
aturan/hukum dan kewenangan melaksanakan/menjalankan aturan.
Dari kerangka ini menjadi sangat wajar bahwa pembentuk aturan/hukum harusnya tidak
pernah terlibat kasus KKN. PPK adalah pembuat dan penandatangan kontrak yang notabene
dokumen hukum.
Kemudian untuk pelaksana aturan diwajibkan mempunyai integritas. Atau mengacu pada
bahasa Perpres 54/2010, mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam
Pengadaan Barang/Jasa. Pada tingkatan pelaksana aturan maka pasal integritas mengikat pada
proses yang sedang dilaksanakan. Untuk memastikan bahwa pelaksana melanggar pasal
integritas harus dilakukan pembuktian.
Untuk itulah salah satunya pada pasal 83 ayat 3 huruf b. diatur bahwa PA/KPA
menyatakan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung gagal apabila pengaduan masyarakat
adanya dugaan KKN yang melibatkan ULP dan/atau PPK ternyata benar; Begitu juga dengan
huruf b: dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan
Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung dinyatakan benar oleh pihak berwenang.
Dampak pelanggaran hanya mengikat pada proses yang sedang berlangsung. Sehingga
predikat atau pelaku pelanggaran peraturan tidak serta merta diharamkan menjadi pelaksana pada
proses yang lain.
Setidaknya inilah yang bisa dipahami dari konstruksi Perpres 54/2010. Pengaruh asas
praduga tak bersalah atau "Presumption of Innocence" sangat kental. Selama seseorang belum
terbukti secara sah dan benar melakukan pelanggaran maka tidak ada alasan dihalangi terlibat
dalam pelaksanaan aturan.
Konsep sederhananya pembuat aturan tidak boleh mempunyai track record buruk, karena
aturan yang dibuat berlaku menyeluruh. Sedangkan pelaksana aturan tidak dihalangi sebelum dia
terbukti secara benar melakukan pelanggaran pada proses yang sedang ditangani.
Memang ada prasangka yang umum bahwa pelaku pelanggaran cenderung akan
melakukan kesalahan yang sama. Namun sekali lagi ini adalah prasangka yang dalam agama
Islam disebut suudzon. Belum tentu juga kesalahan yang diperbuat dilandasi oleh kesengajaan
atau kesadaran. Untuk itu tidak lah adil kalau hukuman yang telah dijalani menjadi kesalahan
yang ditanggung selamanya.
Apalagi kalau kita kembali pada konsep prinsip dan kebijakan. Pelaksanaan aturan adalah
kebijakan. Untuk itu penerapan kebijakan haruslah berdasarkan pertimbangan yang akurat dan
akuntabel. Di wilayah kebijakan tidak ada kebenaran mutlak melainkan harus dilihat landasan
pengambilan kebijakan.
Apabila ada keberatan yang amat sangat terhadap status “pernah bersalah” calon
pelaksana atau pelaksana aturan, pengambil kebijakan harus benar-benar melandasi dengan
argumen yang kuat untuk tidak melibatkannya. Tidak berdasarkan praduga atau suudzon.
Semua orang punya hak untuk menjadi lebih baik. Disamping itu hukum/peraturan yang
baik adalah yang mampu mencegah terjadinya kesalahan atau pelanggaran hukum bahkan oleh
orang yang pernah melakukan kesalahan.
Tujuan utama dibuat hukum/aturan adalah tercapainya kesadaran bukan hanya
ketaatan. Kesadaran dapat muncul dari kesalahan, pernah mengalami atau melihat dampak dari
pelanggaran aturan.
Ciri khas dari ketaatan cenderung pencarian celah pelanggaran aturan. Pertanyaannya
pasti tentang sangsi. Apabila kami tidak melaksanakan ini apa sangsinya? Sebaliknya pencapaian
kesadaran adalah usaha pencapaian nilai-nilai prinsip (hukum) tanpa melihat adanya sangsi.
Mereka yang taat terhadap hukum lalu lintas akan cenderung tidak menggunakan helm
ketika tidak ada petugas. Tapi mereka yang sadar akan prinsip keselamatan diri, akan
menggunakan helm meski tidak ada petugas. Ini tentang pilihan tujuan kita mebuat
aturan/hukum, masyarakat sadar hukum atau masyarakat taat peraturan.