13653406.pdf

Upload: taufiq-thok

Post on 09-Mar-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No.3 , Tahun 2013, Halaman 37-42 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtki

    37 *)Penulis Penanggung Jawab

    PENGGUNAAN TEKNOLOGI PENGERING UNGGUN TERFLUIDISASI UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI

    PENGERINGAN TEPUNG TAPIOKA

    Rizky Adi N, Nafiah Amalia, Suherman, Ratnawati *) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro

    Jln. Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024)7460058

    Abstrak

    Pengeringan tepung tapioka dengan metode konvensional memiliki banyak kendala seperti waktu, ketergantungan cuaca, dan mutu produk yang tidak konsisten. Hal tersebut melatarbelakangi pengembangan teknologi pengeringan unggun terfluidisasi yang lebih efisien dan menjamin kontinuitas produksi. Pengering unggun terfluidisasi memiliki beberapa keunggulan yaitu proses dilakukan dalam ruang tertutup, pengoperasian mudah, kualitas tepung tapioka lebih baik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh suhu dan laju alir serta membandingkan kualitas tepung dari pengeringan konvensional dengan pengeringan unggun terfluidisasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu (30, 40, 50, dan 60 0C) serta laju alir udara pengering (2,5 m/s, 3,5 m/s, dan 4,5 m/s). Dari penelitian diperoleh hasil bahwa suhu optimum pengeringan adalah 50 C pada laju alir optimum 2,5 m/s. Hasil uji proksimat tepung tapioka berupa kadar air, derajat putih, dan kadar abu dengan pengering unggun terfluidisasi lebih baik dibandingkan pengeringan tenaga surya. Kata kunci:laju alir, pengeringan, suhu, tepung tapioka, unggun terfluidisasi

    Abstract

    Drying of cassava starch using conventional method has many disadvantages, such as longer drying time, totally dependent on good weather, and inconsistent product quality. It drives this research to develop fluidized bed drying technology which is more efficient and able to operate continuously. The advantages of fluid bed dryer include ease of control, good quality of product, and free of dirt. The objectives of this research are to determine the effects of temperature and velocity of drying air to the drying process and product. The drying products were compared to the products of conventional drying. The experiment was carried out at various temperature (30, 40, 50, and 60 oC) and air velocity (2.5, 3.5, and 4.5 m/s). The results indicate that the optimum temperature for drying is 50 oC, while the air velocity is 2.5 m/s. Proximate analysis shows that the product of fluidized bed drying has better quality than that of conventional sun drying. Keywords : dryer; energy; mechanic; paddy; resirculating

    1. Pendahuluan Industri pangan dalam negeri semakin berkembang, hal ini menyebabkan kebutuhan akan bahan baku

    untuk industri pangan megalami peningkatan. Bahan baku makanan seperti tepung tapioka di Indonesia juga cenderung meningkat karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Peningkatan ini menuntut industri tepung tapioka, baik industri skala kecil, menengah, maupun besar, untuk meningkatkan jumlah produksinya guna memenuhi kebutuhan.

    Kualitas tepung tapioka yang baik dan sesuai standar SNI memiliki kadar air maksimal 15%, sehingga dalam tahap produksi memerlukan proses pengeringan. Pada industri skala kecil, pembuatan tepung tapioka menjadi usaha musiman karena pengeringannya bergantung pada sinar matahari dan dilakukan pada ruang terbuka selama 6 jam. Masalah yang muncul adalah proses pengeringan secara konvensional dengan sinar matahari banyak terdapat kekurangan seperti ketergantungan terhadap cuaca, membutuhkan waktu penjemuran yang relatif lebih lama, kadar air produk yang dihasilkan tidak seragam, dan kemungkinan tercampur dengan kotoran atau benda asing lebih besar.

    Pada penelitian ini akan dikembangkan teknologi pengeringan berupa unggun terfluidakan untuk pengering tapioka. Pengeringan dengan unggun terfluidisasi dilakukan pada ruang tertutup sehingga terjamin kebersihan dan kontinyuitas produksi karena tidak bergantung pada cuaca dan musim. Untuk mendapatkan efisiensi optimum pengeringan, akan dikaji pengaruh parameter laju alir dan suhu udara pengering terhadap kinerja pengering dan kualitas tepung tapioka yang dihasilkan.

  • Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 3, Tahun 2013, Halaman 37-42 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtki

    xx

    38 *)Penulis Penanggung Jawab

    2. Bahan dan Prosedur Penelitian 2.1 Bahan Penelitian

    Bahan baku yang digunakan adalah tepung tapioka basah yang diperoleh dari Usaha Kecil Menengah di Kabupaten Pati Kecamatan Margoyoso.

    2.2 Prosedur Penelitian

    Sebelum pengambilan data dilakukan, dilakukan kalibrasi alat sesuai variabel. Variabel bebas yang ditentukan adalah laju alir udara 2.5 m/s, 3.5 m/s dan 4.5 m/s serta suhu udara pengering 30 oC, 40 oC, 50 oC dan 60 oC. Tepung tapioka basah yang masih menggumpal ditumbuk menjadi berbentuk serbuk kemudian ditimbang 300 gr dan dimasukan ke kolom fluidisasi. Operasi pengeringan dimulai dengan memasukkan tepung tapioka ke dalam kolom, kemudian alat penampung disambungkan dengan kolom untuk menampung butiran tepung yang telah kering. Blower dan pemanas dihidupkan sehingga udara pengering mengalir dari bagian bawah kolom dan melewati unggun. Setiap menit dilakukan pencatatan humiditas dan suhu udara pengering. Prosedur ini dilakukan selama 30 menit untuk tiap variabel. Setelah proses selesai alat dimatikan dan tepung dikeluarkan. Berat tepung diukur dengan timbangan dan dihitung kadar air tepung hasil pengeringan. Presentase kadar air dihitung dengan persamaan:

    %100% =sampelberat

    beratkehilanganairkadar

    Peralatan penelitian yang digunakan ditunjukan pada gambar 1 dibawah ini.

    Gambar 1. Pengering Unggun Terfluidisasi

    3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Tipikal Kurva Pengeringan Tepung Tapioka

    Profil perubahan relative humidity selama waktu pengeringan 30 menit pada suhu 50oC dan laju alir udara 2,5 m/s.

    Gambar 2. Profil perubahan %RH pada suhu 50 oC

    Kadar air bahan yang tinggi (43% basis basah) kontak dengan udara kering menyebabkan terjadinya difusi air dari bahan ke udara. Pada 5 menit pertama %RH udara pengering keluar kolom mengalami kenaikan disebabkan perbedaan kadar air yang masih besar. Proses kontak bahan dengan udara panas akan menurunkan kadar uap air dalam bahan sehingga perbedaan kadar air antara bahan dan udara pengering semakin kecil.

    Perbedaan kadar air bahan dan udara pengering yang semakin kecil akan menurunkan driving force difusi uap air dari bahan ke udara pengering. Jumlah uap air yang berdifusi dari bahan ke udara pengering akan mengalami penurunan sehingga %RH udara keluar kolom menurun. Proses pengeringan akan terus berlangsung hingga bahan mencapai kadar air kesetimbangan yang merupakan kadar air minimum bahan

  • Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 3, Tahun 2013, Halaman 37-42 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtki

    xx

    39 *)Penulis Penanggung Jawab

    sehingga tidak ada lagi uap air yang berdifusi dari bahan ke udara pengering. Pada saat inilah tercapai %RH udara pengering keluar kolom konstan.

    Relative humidity erat kaitannya dengan absolute humidity (Yout). Humiditas diartikan sebagai jumlah uap air dalam udara (g H2O/kg udara). Untuk menghitung absolute humidity digunakan persamaan:

    ),

    (,

    622.0

    gvPPgvPY

    =

    (Mujumdar,1995)

    dengan (Crop evapotranspiration, FAO) Dimana: Y = absolute humidity (g H2O/kg udara)

    Pvg = tekanan pasial uap air jenuh (mbar) P = tekanan lingkungan (mbar) = relative humidity (%)

    Karena %RH berkaitan erat dengan banyaknya massa uap air dalam udara, maka keduanya memiliki kecenderungan perubahan yang hampir sama. Hubungan perubahan absolute humidity terhadap waktu pengeringan terlihat pada grafik berikut.

    Gambar 3. Perubahan Yout (gr H2O/Kg udara) pada suhu 50 oC

    Dengan adanya data %RH dan hasil perhitungan Yout, maka dapat dihitung nilai pengurangan kadar air dari waktu ke waktu selama pengeringan berlangsung. Untuk menghitung penurunan kadar air digunakan persamaan:

    dengan dX = X1-X2 (Mujumdar,1995) dengan: Ms = massa padatan (gram)

    Gg = laju alir udara (kg/s) Y = absolute humidity (kg H2O/kg udara) dX/dt = penurunan kadar air padatan

    3.2. Pengaruh Suhu Udara Pengering terhadap Penurunan Kadar Air

    (a) (b)

  • Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 3, Tahun 2013, Halaman 37-42 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtki

    xx

    40 *)Penulis Penanggung Jawab

    (c) Gambar 3.Pengaruh suhu dan waktu pengeringan tehadap dan kadar air bahan dengan laju udara

    pengering 2,5 m/s (a), 3,5 m/s (b), dan 4,5 m/s (c)

    Dari grafik terlihat bahwa besarnya suhu mempengaruhi penurunan kadar air selama pengeringan. Mengambil contoh pada laju alir 3,5 m/s suhu 30C dapat mencapai kadar air akhir 13-14%, suhu 40C mencapai 12-13%, suhu 50C mencapai 11-12%, sedangkan suhu 60C mencapai 9%. Keempat variabel suhu tersebut dapat mencapai kadar air maksimal yang diijinkan SNI. Penurunan kadar air yang semakin besar diperoleh pada pengeringan dengan suhu tertinggi.

    Pada laju alir 2,5 m/s; 3,5 m/s; dan 4,5 m/s variabel suhu 30C terjadi penurunan kadar air terkecil dibandingkan variabel suhu yang lain. Semakin tinggi suhu udara pengering maka perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan semakin besar. Hal ini mengakibatkan transfer panas yang diberikan udara kepada bahan lebih besar sehingga mempercepat proses penguapan air dari bahan. Pada waktu pengeringan yang sama, semakin tinggi suhu udara pengering akan diperoleh kadar air yang semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Tasirin dkk (2007) bahwa pada laju alir udara yang sama, kadar air yang terkandung dalam bahan berkurang dengan cepat seiring dengan meningkatnya suhu.

    3.3 Pengaruh Laju Alir Udara Terhadap Laju Pengeringan

    (a) (b)

    (c) (d) Gambar 4.Pengaruh laju alir dan waktu pengeringan terhadap kadar air bahan dengan suhu udara

    pengering 30 oC(a), 40 oC(b), 50 oC(c) dan 60 oC(d)

    Pada umumnya, bertambahnya laju alir udara pengering akan mempercepat proses pengeringan karena terjadi peningkatan difusi panas udara ke bahan sehingga meningkatkan jumlah air yang dapat diuapkan (Djaeni

  • Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 3, Tahun 2013, Halaman 37-42 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtki

    xx

    41 *)Penulis Penanggung Jawab

    dkk, 2012). Tetapi pada penelitian pengeringan tepung tapioka dengan menggunakan pengering unggun terfluidisasi ini, semakin cepat laju alir (4,5 m/s) kadar air produk tidak mencapai kadar air maksimum yang ditetapkan SNI. Mengambil contoh pada suhu 50C laju alir 2,5 m/s kadar air akhir yang dapat dicapai sebesar 8%, laju alir 3,5 m/s mencapai 11%, dan laju alir 4,5 m/s mencapai 15,8%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa laju alir optimal pengeringan adalah 2,5 m/s. Hal ini dikarenakan proses pengeringan ini berlangsung secara kontinyu. Tepung tapioka yang berbentuk serbuk/partikel mudah terangkat oleh udara pengering yang laju alirnya terlalu besar (4,5 m/s) sehingga masuk ke kolom penampung walaupun pengeringan belum optimal.

    3.4 Fenomena Laju Pengeringan Proses pengeringan mempunyai tiga periode utama yaitu laju pengeringan tetap, menurun cepat, dan

    menurun lambat. Dari grafik dapat dilihat bahwa pada semua variabel suhu di awal waktu pengeringan, laju pengeringan mula-mula naik pada 5 menit pertama disebabkan pada awal pengeringan beda kadar air bahan dengan udara penegring masih besar.

    Gambar 5. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan pada laju alir 2,5 m/s

    Selama waktu tersebut, terjadi proses penguapan air bebas. Periode ini akan tetap terjadi sampai air bebas pada permukaan teruapkan. Kemudian laju pengeringan konstan di menit ke-5 sampai 15 dan dilanjutkan laju pengeringan menurun pada 15 menit terakhir. Penurunan laju pengeringan terjadi karena semakin lama proses pengeringan, kadar air yang terkandung di dalam bahan semakin berkurang pula dan semakin mendekati keseimbangan.

    Grafik di atas juga menunjukkan perbandingan besar laju pengeringan masing-masing suhu berbeda pada laju alir yang tetap. Pada variabel suhu yang semakin tinggi, laju pengeringan semakin besar (La Choviya, 2009). Ini terjadi karena pada suhu yang semakin tinggi, semakin besar pula energi panas yang ditransfer udara ke bahan sehingga penguapan air semakin banyak dan laju pengeringan pun meningkat.

    3.5 Analisa Uji Proksimat Tabel 1 menunjukkan hasil analisa kadar proksimat dan tingkat keputihan tepung tapioka dengan

    pengering unggun terfluidisasi pada variabel suhu 50 oC laju alir 2,5 m/s (A3) dengan tepung tapioka pengeringan konvensional dengan panas matahari (A1)

    Tabel 1 Analisis proksimat tepung tapioka

    No Kode Air Abu Lemak Protein Karbohidrat % % % % %

    1 A1 13,038 0,129 0,694 0,857 85,282 2 A3 10,378 0,088 0,492 0,934 88,107

    Tabel 2 Hasil Uji Warna No Kode Warna

    L A B

    1 A1 96,56 0,26 5,18 2 A1 96,29 0,25 5,1 3 A3 96,93 0 3,79 4 A3 96,57 0 3,98

  • Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 2, No. 3, Tahun 2013, Halaman 37-42 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtki

    xx

    42 *)Penulis Penanggung Jawab

    Hasil analisis kadar air tapioka dengan pengering unggun fluidisasi (A3) menunjukkan nilai 10,378 %. Kadar ini lebih rendah dari pengeringan konvensional (A1) yang mencapai kadar air 13,038 %, namun produk ini dan telah memenuhi standar yang ditetapkan SNI. Menurut Suprapti (2005) kerusakan tapioka terjadi jika kadar air di atas 15%. Kerusakan tapioka ditandai dengan adanya gumpalan, perubahan warna dan timbulnya bau apek. Gumpalan terjadi karena adanya cemaran berupa bahan cair yang selanjutnya akan ditumbuhi oleh jamur. Adanya jamur pada tapioka akan menyebabkan timbulnya perubahan warna yang ditandai dengan munculnya noda pada tapioka.

    Kandungan lemak, protein dan karbohidrat sudah memenuhi standar SNI dimana untuk kadar karbohidrat/ kadar pati untuk kualitas tepung tapioka terbaik yaitu lebih besar dari 70%, sedangkan tepung tapioka yang diujikan memiliki kandungan pati untuk A3 sebanyak 88% dan A1 sebanyak 85%.

    Kandungan abu yang diijinkan SNI untuk tapioka kualitas terbaik yaitu lebih rendah dari 0,6%. Presentase abu dalam tapioka A1 sebesar 0,129% lebih besar daripada tepung tapioka A3 sebesar 0,088%. Menurut standar SNI yang diijinkan, keduanya dapat dikatakan memiliki kualitas yang baik, namun dapat dilihat dari hasil uji bahwa penggunaan pengering dengan ruang tertutup menghasilkan kadar abu lebih rendah. Pengeringan pada ruang tertutup juga lebih menjamin tepung dari aktivitas hewan di sekitar yang bisa menurunkan kualitas tepung tapioka.

    Pada table uji warna, nilai L menyatakan tingkat gelapterang dengan kisaran 0-100. Nilai 0 menyatakan warna hitam atau sangat gelap. Nilai 100 menyatakan kecenderungan warna putih atau terang. Nilai a menunjukkan intensitas warna merah (+) atau hijau (-). Nilai b menyatakan intensitas warna kuning (+) atau biru (-). L (lightness) merupakan ukuran kecerahan suatu bahan. Semakin besar nilainya berarti warna bahan semakin terang, sebaliknya semakin kecil nilainya maka warnanya akan semakin gelap (Pomeranz and Meloans, 1994). Untuk tepung A1 dan A3, tingkat L mencapai 96% dan telah mencapai SNI untuk tepung tapioka terbaik, dimana standar yang diijinkan minimal adalah 94,5%.

    4. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa poin penting yaitu: 1. Variabel suhu pengeringan yang memberikan kadar air akhir terendah adalah suhu 60 0C. Semakin

    tinggi suhu udara pengering mengakibatkan transfer panas yang diberikan udara kepada bahan lebih besar sehingga mempercepat proses penguapan air dari bahan.

    2. Variabel laju alir udara yang memberikan kadar air terendah adalah laju 2,5 m/s. Semakin besar laju alir udara, bahan yang dikeringkan berupa serbuk menjadi mudah terangkat sehingga masuk ke kolom penampung walaupun pengeringan belum optimal.

    3. Hasil uji proksimat tepung tapioka yang dikeringkan melalui pengering unggun terfluidisasi, baik dari kadar abu, derajat putih, maupun kadar air, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tepung tapioka hasil pengeringan tenaga surya.

    Ucapan Terima kasih Terima kasih disampaikan kepada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini.

    Daftar Pustaka Allen, G.Richard dkk. 1998. Crop Evapotranspiration. FAO Irrigarion and Drainage Paper No.56. Rome Djaeni, M., A.Prasetyaningrum., dan A.Mahayana. 2012. Pengeringan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma

    Cottonii pada Spray Dryer Menggunakan Udara yang Didehumidifikasi dengan Zeolit Alam Tinjauan: Kualitas Produk dan Efisiensi Energi. Momentum 8 (2): 28-34

    Hawa, La Choviya, Sumardi H.S., dan Elfira Puspita Sari. 2009. Penentuan Karakteristik Pengeringan Lapisan Tipis Ikan Kembung (Rastrelliger sp.). Jurnal Teknologi Pertanian 10 (3):153-161

    Mujumdar, A.S (Ed). 1995. Handbook of Industrial Drying, 2nd Edition. New York Mujumdar, A. S dan Menon, A. S. 1995. Drying of Solids : Principles, Classification, and Selection of Dryers.

    Di dalam Mujumdar, S. A (ed). 1995. Handbook of Industrial Drying. Vol 1. Marcel Dekker Inc., New York Pomeranz, Y. dan Clifton E. Meloan. 1994. Food Analysis Theory and Practice 3rd ed. New York. Suprapti, M.Lies. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius Tasirin, S.M., S.K.Kamarudin, K.Jafar, dan K.F.Lee. 2007. The Drying Kinetics of Birds chillies in a Fluidized

    Bed Dryer. Journal of Food Engineering 79: 695-705