135850400 anemia hemolitik
TRANSCRIPT
ANEMIA HEMOLITIK
I. PENDAHULUAN
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. Hiperplasia eritropoiesis dan pelebaran
anatomik sumsum tulang menyebabkan meningkatnya destruksi eritrosit beberapa
kali lipat sebelum pasien menjadi anemis, penyakit hemolitik terkompensasi.
Sumsum tulang dewasa normal, setelah pelebaran maksimal, mampu menghasilkan
eritrosit dengan kecepatan enam sampai delapan kali normal asalkan eritropoiesis ini
efektif. Hal ini menyebabkan retikulosis yang bermakna, khususnya pada kasus
anemia yang lebih parah. Oleh karena itu, anemia hemolitik mungkin tidak tampak
sampai masa hidup eritrosit kurang dari 30 hari. Kadang-kadang pemeriksaan
ketahanan hidup eritrosit berlabel 51Cr berguna untuk memastikan adanya hemolisis
dan menentukan lokasi destruksi melalui pengukuran permukaan diatas berbagai
organ.1,2
Klasifikasi anemia hemolitik 2
Berdasarkan pencetusnya :
1. Intrinsik : kelainan terletak dalam sel sendiri
a. Kelainan membran sel : sferositosis/ovalositosis herediter.
b. Hemaglobinopati
c. Talasemia
1
d. Defisiensi enzim (glukosa 6-fosfat-dehidrogenase = G6PD), piruvat
kinase (PK), atau enzim lain pada metabolisme Embden Meyerhoff).
2. Ekstrinsik : kelainan terletak diluar sel
a. Anemia hemolitik imun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Anemia hemolitik oksidatif
d. Anemia hemolitik karena trauma fisik/panas.
e. Anemia hemolitik karena hiperspleni
f. Infeksi : malaria
Kongenital atau didapat
Berdasarkan lokasi penghancurannya
a. Intravaskuler : penghancuran terjadi dalam pembuluh darah
b. Ekstravaskuler : penghancuran oleh sel-sel RES terutama dalam limpa dan
hati.
Kebanyakan hemolisis terjadi ekstravaskuler, yaitu dengan tertangkapnya
eritrosit dalam limpa atau sinus-sinus hati. Selanjutnya akan terjadi lisis SDM oleh
sel-sel RES. Hemolisis intravaskuler lebih jarang terjadi. Pada keadaan ini
hemoglobin dilepas ke dalam plasma sebagai hemoglobin bebas. Hb bebas ini akan
segera diikat oleh haptoglobin, suatu α-2-globulin, yang mempunyai afinitas sangat
tinggi terhadap hemoglobin, sehingga kadar haptoglobin akan menurun. 3,4
2
II. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya anemia hemolitik ialah akibat penghancuran (hemolisis)
eritrosit yang berlebihan. Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena : 1).
Defek molecular hemoglobinopati atau enzimopati; 2). Abnormalitas struktur dan
fungsi membran-membran; 3). Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
antibodi.5
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi : 4,5,7
Anemia Hemolisis Herediter
1. Defek enzim/enzimopati
a. Defek jalur Embden Meyerhof
- Defisiensi piruvat kinase
- Defisiensi glukosa fosfat isomerase
- Defisiensi fosfogliserat kinase
b. Defek jalur heksosa monofosfat
- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Defisiensi glutation reduktase
c. Hemoglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain
3
d. Defek membrane (membranopati/ - sferositosis herediter
Anemia Hemolisis Didapat
1. Anemia hemolisis imun, misalnya : idiopatik, keganasan, obat-obatan,
kelainan autoimun, infeksi, transfuse.
2. Mikroangiopati, misalnya : Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP),
Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata
(KID)/Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), preeclampsia,
eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
3. Infeksi, misalnya : infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium
Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, Anemia
hemolisis dapat dikelompokkan menjadi : 1). Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel
eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang
kompatibel, sedangkan sel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di
sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien
dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit
kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien.6,7,
Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan immunoglobulin pada kejadian
hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi : 2,5
4
Anemia Hemolisis Imun
Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau IgM
yang spesifik untuk antigen erotrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).
Anemia Hemolisis Non Imun
Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena faktor defek
molecular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan
autoantibody seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa
mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.
III. EPIDEMIOLOGI
Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Anemia Hemolitik
Autoimun/Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) akut relatif jarang terjadi, dengan
insiden 1-3 kasus per 100.000 penduduk per tahun. 3,6,7
Anemia hemolitik tidak spesifik pada semua ras manusia. Namun, ganguan
sel sabit terutama ditemukan di Afrika, Amerika, beberapa orang Arab, dan Aborigin
di India selatan. 4,5
Pada sebagian kasus, anemia hemolitik tidak spesifik dengan jenis kelamin.
Namun, AIHA akut lebih sering menyerang pada wanita dibanding pria. Walaupun
5
anemia hemolitik dapat menyerang pada semua umur, kelainan herediter biasanya
timbul pada awal kehidupan. AIHA lebih sering terjadi pada pertengahan usia dan
pada usia lanjut.3,5,6
IV. PATOGENESIS
Umur SDM normal ialah ± 100-120 hari. Dengan bertambahnya umur sel mulai
terjadi glikolisis, aktivitas enzim menurun dan kadar ATP, kalium serta lipid
membran menurun pula. Karena rangkaian proses ini, sel darah merah tidak dapat
mempertahankan bentuk dan hidupnya dan terjadilah hemolisis. Keadaan/penyakit
baik yang kongenital maupun didapat dapat memperpendek umur eritrosit.5,7
Anemia Hemolitik Autoimun
Pembentukan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melauli
aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya. 3,4,
- Aktivasi sistem komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya
membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuria. 6,7
Sistem kompelemen akan diaktifkan melalui jalur ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik maupun jalur
6
alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di
bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. 1,5
Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun : 4,5
a. AIHA tipe hangat
Eritrosit biasanya dilapisi oleh immunoglobulin (Ig), yaitu umumnya
immunoglobulin G (IgG) saja atau dengan komplemen, dan karena itu,
diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fe IgG.
Bagian dari membrane yang terlapis hilang sehingga sel menjadi makin sferis
secara progresif untuk mempertahankan volume yang sama dan akhirnya
dihancurkan secara premature, terutama di limpa. Jika sel dilapisi IgG dan
komplemen (C3d, fragmen C3 yang terdegradasi) atau komplemen saja,
destruksi eritrosit menjadi lebih banyak dalam sistem RE.
b. AIHA tipe dingin
Pada sindrom tersebut, autoantibody, baik monoclonal (seperti pada sindrom
hemaglutinin dingin idopatik atau dengan yang terkait dengan penyakit
limfoproliferatif) atau poliklonal (seperti sesudah infeksi, mis. Mononucleosis
infeksiosa atau pneumonia oleh Mycoplasma) melekat pada eritrosit pada
sirkulasi perifer dengan suhu darah yang mendingin. Antibodi adalah biasanya
7
IgM dan paling baik berikatan dengan eritrosit pada suhu 40C. Antibodi IgM
sangat efisien dalam memfiksasi komplemen dan dapat terjadi hemolisis
intravascular. Komplemen sendiri biasanya terdeteksi pada eritrosit,
antibodinya telah mengalami elusi dari sel pada bagian sirkulasi yang lebih
hangat.
Anemia Hemolitik Non Imun
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung
pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi
eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik fiksasi
komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegrasi dan
mendestruksi membran sel eritrosit. Hemolisis intravaskular jarang terjadi. 3,4
Hemolisis yang lebih sering terjadi adalah hemolisis ektravaskular. Pada
hemolisis ekstravakular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial
karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi
sistem retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag. 3,4
V. MANIFESTASI KLINIS
Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh kuning dan urinnya
kecoklatan seperti warna teh pekat, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-
8
obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang
harus ditanyakan saat anamnesis. 3,4,5
Pada pemeriksaan fisis ditemukan : 5,6
Tampak pucat dan ikterus.
Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati.
Dapat ditemukan hepatomegali atau splenomegali.
Takikardia dan aliran murmur pada katup jantung.
Selain hal-hal umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis diatas,
perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-hal yang bersifat khusus untuk
anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle
cell. 1,3
Penyakit hemolitik gejala-gejalanya dapat didasarkan atas 3 proses yang juga
merupakan bukti bahwa ada hemolisis : 4,5,7
1. Kerusakan pada eritrosit
a. Fragmentasi dan kontraksi eritrosit pada hapusan darah tepi, yang
terutama nampak pada anemia hemolitik oleh karena obat-obat dan
anemia hemolitik mikroangiopatik.
9
b. Sferositosis
Mekanisme terjadinya sferositosis ialah karena adanya beberapa eritrosit
yang terikat pada sel-sel pelapis sinus-sinus yang telah diaktifkan oleh IgG
sehingga mengalamai perubahan bentuk, akan tetapi sel-sel tersebut lolos
dari eritrofagositosis dan untuk sementara tetap beredar. Oleh karena
bentuknya yang abnormal sferosit mudah tertangkap dalam trabekula
limpa dan dihancurkan.
2. Katabolisme HB yang meningkat
Indikatoor-indikator utama proses ini ialah :
a. Hiperbilirubinemia : Ikterus
b. Urobilinogenuria
3. Eritropoesis yang meningkat karena kompensasi sumsum tulang
a. Darah tepi : retikulositosis, normoblastemia.
b. Sumsum tulang : hyperplasia eritroid, hyperplasia sumsum tulang
c. Eritropoiesis ekstramedular
d. Absorbsi Fe meningkat.
VI. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosa anemia hemolitik berdasarkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, dimana bisa diketahui kausa
penyebab dari anemia hemolitik itu sendiri. 3,4
10
VII. DIAGNOSA BANDING
- Anemia Pasca Perdarahan 6
- Leukimia 6
VIII. PENGOBATAN
Anemia hemolitik diterapi sesuai penyebabnya. Pada anemia hemolitik
autoimun diterapi dengan : 2,5,7
- Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari
- Splenektomi
- Imunosupresi, Azatioprin 50-200 mg/hari
- Danazol 600-800 mg/hari
- Terapi transfusi
Pada anemia hemolitik non imun, terapi diberikan berdasarkan klasifikasi. 2,5,7
o Defisiensi G6PD
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, tidak perlu terapi khusus
kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari. Pada hemolisis berat,
yang biasa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan
transfuse darah
o Defek Jalur Embden Meyerhof
11
Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali dengan
hemolisis berat harus diberikan asam folat 1 mg/hari. Transfusi darah
diperlukan ketika krisis hipoplastik.
o Malaria
Terapi anemia pada infeksi malaria pada dasarnya dengan
mengeradikasi parasit penyebab. Transfusi darah segera, sangat
dianjurkan pada pasien dewasa dengan Hb <7 g/dl. Preparat asam folat
sering diberikan pada pasien. Pemberian besi sebaiknya ditunda
sampai terbukti adanya defisiensi besi.
IX. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien dengan anemia hemolitik tergantung pada penyakit
yang mendasari.6,7 Pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat , hanya
sebgaian kecil pasien yang mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlamgsung kronik, namun terkendali.
Sedangkan pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun tipe dingin dengan
sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan cukup stabil.7
X. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan dapat berupa : 5, 7
Pemeriksaan laboratorium jika ditemukan gejala
Pendidikan kesehatan
12
Perbaikan gizi
Hidup bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Penyakit Darah. Dalam: Nelson, Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi 15. Jakarta : EGQ.2007. Hal. 1677-98.
2. Benerji A. Anemia. Availeble from: http:
//homeopathy-health-care.com/2009/04/anemia.html.
3. Hassan R, Alatas. Anemia. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid
1. Edisi 11. Jakarta: FKUI. 2007. Hal 429-57.
4. Hoffbrand A, Pettit J, Moss P. Eritropoiesis dan Aspek Umum Anemia.
Dalam : Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta : EGC. 2005. Hal. 11-89.
5. Price S, Wilson L. Gangguan Sistem hematologi. Dalam: Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2007. Hal. 256-62.
6. Rauf S. Penanganan Anemia. Dalam: Standar Pelayanan Medik Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unhas. Makassar: SMF Anak RS DR.
Wahidin Sudirohusodo. 2009. Hal. 169.
7. Tranggana S. Anemia. Dalam: Buku Ajar Hematologi Anak. Edisi 1. Januari.
2009. Hal. 7-30
13