123606396 peritonitis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di
rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan
utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa
tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi,
obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri
(secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang
virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna
aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan
peritonitis. Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang
berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan
perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak
langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang
menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk
penyakit akut, dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal
maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur
appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat
keluarnya asam lambung pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada
perforasi kandung empedu. Pada wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi
tuba falopi atau ruptur ovarium.
2.2. Anatomi
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks
yang terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung
tertutup (coelom) dengan batas-batas:
a. Anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen
b. Posterior : retroperitoneum
c. Inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis
d. Superior : bagian bawah dari diafragma
Peritoneum dibagi atas :
a. Peritoneum parietal
b. Peritoneum viseral
c. Peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon,
mesosigmidem, dan mesosalphinx.
d. Peritoneum bebas yaitu omentum
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera
membentuk peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu potensi ruang
diantara kedua lapisan yang disebut rongga peritoneal.
Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal
terdiri atas plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar protein
kurang dari 30 g/L, juga mempunyai sejumlah kecil sel mesotelial deskuamasi dan
bermacam sel imun.
2.3. Etiologi
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena
perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium
Tuberculosa.
b. Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda
asing (talk, tepung).
2.4. Klasifikasi
1. Menurut Agen
a. Peritonitis Kimia
Misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan
empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
b. Peritonitis Septik
Merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada
perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan
menimbulkan peradangan.
2. Menurut Sumber Kuman
a. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran
secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis
(SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh
perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan
inokulasi bakterial pada rongga peritoneum.
Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri
gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram
positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi:
1) Spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya
kuman tuberkulosa.
2) Non- spesifik
Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya
kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, di
antaranya adalah:
1) Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada perforasi appendiks,
perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker,
strangulasi usus, dan luka tusuk.
2) Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
3) Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters
Terapi dilakukan dengan pembedahan untuk menghilangkan penyebab
infeksi (usus, appendiks, abses), antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa
nyeri, dan cairan intravena untuk mengganti kehilangan cairan.
Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non
operatif.
1) Secara non operatif
Dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan
efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan
dari organ visera akibat infeksi intra-abdomen.
2) Secara operatif
Dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera
akibat infeksi intra abdomen.
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain
adalah syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal.
c. Peritonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab
biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative
Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan
fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis.
Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan
diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya
ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang,
abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis
dilepaskan.
2.5. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan
dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan
dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi
pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans
muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.
2.6. Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di
bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik
dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya.
2.7. Diagnosis
1. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis
dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar,
atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer
yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang
menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial
sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan
pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar
keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-
mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual
dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda
lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam,
distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau
umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis
untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya
keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal;
sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen
yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2
minggu pasca bedah.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal
mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil
tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
3. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus
besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
2.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.
Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan
vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan
resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian
dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas
juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada
saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi
dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal
sefalosporin) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan
dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2.9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,
gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dan lain-lain.
2.10. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder,
dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut,
yaitu:
1. Komplikasi dini
a. Septikemia dan syok septic
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi sistem
d. Abses residual intraperitoneal
e. Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi
b. Obstruksi intestinal rekuren
2.11. Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
2. Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
3. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
4. Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam;
Jilid 1;Ed:3;p 435-442.
5. Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk
Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
6. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 696, EGC, Jakarta.
7. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
8. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
9. Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989.
10. Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England