1102115010 i gusti ngurah putu

105
i SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN “POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR Oleh I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

Upload: widanjaya-made

Post on 01-Jan-2016

128 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

i

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN “POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA

DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR

Oleh

I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2013

Page 2: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN ”POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA

DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh

I Gusti Ngurah Putu NIM. 1102115010

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN UNTUK DIUJI

Pembimbing Utama

Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M.

Pembimbing Pendamping

Ns. Putu Artawan, S.Kep NIP. 19671231199031025

Page 3: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

iii

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI DENGAN JUDUL:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP INSIDEN ‘’POST OPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION” PADA LANSIA

DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUP SANGLAH DENPASAR

Oleh:

I Gusti Ngurah Putu NIM: 1102115010

TELAH DIUJIKAN DI HADAPAN TIM PENGUJI PADA HARI : SABTU

TANGGAL: 9 FEBRUARI 2013

TIM PENGUJI: 1. Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM. (Ketua) ..................... 2. Ns. Putu Artawan, S.Kep. (Anggota) ..................... NIP. 19671231199031025 3. Ns. Ni Ketut Guruprapti, S.Kep., MNS. (Anggota) .................. NIP. 197804172008122001

MENGETAHUI Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana

Dekan

Prof. dr. Ketut Suastika Sp. PD-KEMD NIP. 1955 03 29 1980 12 1 001

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Ketua

NS. Ni Komang Ari Sawitri, S.Kep. MSc. NIP. 1982 06 28 2008 01 2 007

Page 4: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden “Post

Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia di Ruang Instalasi

Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar”. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan

terima kasih, penulis berikan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan penulis

kesempatan untuk menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana Denpasar.

2. Ketut Suardana, S.Kp., M.Kes, sebagai Ketua PSIK Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana Denpasar atas segala fasilitas dan bimbingan dalam

pembuatan skripsi ini.

3. Kepala RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk

mengambil data dan melakukan penelitian pada instansi yang dipimpin.

4. Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM., sebagai pembimbing utama yang

telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

5. Ns. Putu Artawan, S.Kep., selaku pembimbing pendamping yang telah

banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

Page 5: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

v

6. Isteri dan anak tercinta yang senantiasa memberikan motivasi dan kasih

sayang yang tiada duanya di setiap saat terutama dalam penyusunan skripsi

ini

7. Seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan, pengertian

dan kasih sayang selama ini.

8. Teman – temanku, mahasiswa PSIK-B Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana Denpasar Angkatan 2011, atas saran, masukan dan bantuannya

dalam pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala kritik dan saran

yang membangun.

Sebagai akhir kata, penulis berharap, semoga proposal ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak.

Denpasar, Februari 2013

Penulis

Page 6: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

vi

ABSTRAK

Ngurah Putu, I Gusti. 2013. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden ”Post Operative Cognitive Dysfunction” Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M.(2) Ns. Putu Artawan, S.Kep

Lanjut usia yang mengalami pembedahan diperkirakan 45% mengalami “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) pada 24 jam pertama. Dari hasil studi pendahuluan di RSUP Sanglah Denpasar, 20% lanjut usia mengalami POCD. Berbagai faktor diduga dapat menyebabkan terjadinya POCD pada lansia yang mengalami pembedahan. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya POCD pada pasien lansia. Penelitian ini merupakan penelitian Analisis observasional dengan pendekatan cross sectional terhadap lansia yang dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober-Desember 2012 dengan jumlah sampel sebanyak 70 orang dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ). Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor resiko terhadap disfungsi kognitif dalam penelitian ini dilakukan dengan uji regresi logistik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terjadi sebesar 41,4%. Dari beberapa faktor yang diteliti, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor umur (p=0,001). Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan, dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi (p>0,05). Dari hasil uji regresi logistic diperoleh persamaan sebagai berikut: Y=-3,646 + 2,108 umur + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan. Dimana, probabilitas pasien untuk mengalami POCD tanpa pengaruh factor tersebut adalah sebesar 2,6%. Saran kepada pihak managemen/Direksi Rumah Sakit Sanglah agar dibuat standar prosedur tentang kebijakan pelayanan anestesi untuk pencegahan POCD. Diharapkan juga agar perawat ruang IBS lebih mengoptimalkan komunikasi, orientasi, dan pengawasan post operasi terutama pada pasien yang memiliki faktor yaitu lama anestesi lebih dari 2 jam, umur >70 tahun dan dengan tingkat pendidikan dibawah SMP.

Kata Kunci : Gangguan Kognitif, Lanjut Usia, Disfungsi Kognitif Pasca Operasi.

Page 7: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

vii

ABSTRACT

Ngurah Putu, I Gusti, 2013. Influential Factors to POCD Incident in Elderly at IBS (Central Operating Theatre) Sanglah General Hospital Denpasar. Final Assignment, Nursing Program, Medical Faculty, Udayana University in Denpasar. Advisors (1) Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., M.M. (2) Ns. Putu Artawan, S.Kep.

Elderly who have surgery, about 45% experienced POCD on the first 24 hours. Preface study at Sanglah hospital said that 20% of elderly experience POCD. There are many factors caused this situation. Based on that previous study. We need to do a research about what are the risk factors that cause POCD in elderly. This research is an observation analyze with cross sectional approach to elderly who get surgery at central operating theatre Sanglah general hospital. This research was held from October to December 2012 with 70 elder people whom are chosen with purposive sampling technique. Data collecting was done with short portable mental status questionnaire (SPMSQ). To see risk factors that influence cognitive disorder in this research, logistic regression test is used. Results show that POCD incident at central operating theatre Sanglah General Hospital occured in 41,4% samples. From this studied, risk factor that caused POCD are long anesthesia (p=0,000), education level (p=0,000) and age (p=0,001). Meanwhile, other factors such as gender, type of anesthesia, surgical procedure and ASA physical status didn’t have any influence to POCD incident in elderly after surgery (p>0,05). From the logistic regression test, we got equality Y=-3,646 + 2,108 age + 2,460 anesthesia term + 2,648 education level, where patient’s probability experiencing POCD without that factors is 2,6%. With this research, we hope hospital management will make standard policy of anesthesia to prevent POCD incident. We also hope nurses in central operating theatre will optimize their communication, orientation, post operating observation to elderly patient especially if they have risk factors such as, long term anesthesia, over 70 years old and below junior high school education level. Keywords: Cognitive Disorder, Elderly, Post Operative Cognitive Dysfuction

(POCD)

Page 8: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN ........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ ii

KATA PENGANTAR ............................................................................ iii

ABSTRAK .............................................................................................. vi

ABSTRACT ............................................................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

A Latar Belakang ................................................................... 1

B Rumusan Masalah .............................................................. 4

C Tujuan Penelitian ............................................................... 4

D Manfaat Penelitian ............................................................. 6

E Keaslian Penelitian ............................................................ 6

BABII TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 8

A Keperawatan Perioperatif .................................................. 8

B Gangguan Kognitif ............................................................. 22

C Konsep Lanjut Usia ............................................................ 33

D Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Kognitf

Paska operasi ...................................................................... 39

BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................... 43

A Kerangka konsep .............................................................. 43

B Variabel penelitian ............................................................ 45

C Hipotesis penelitian ........................................................... 47

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................... 49

A Jenis Penelitian .................................................................. 49

B Kerangka Kerja .................................................................. 50

C Tempat Penelitian .............................................................. 51

Page 9: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

ix

D Populasi dan sampel penelitian .......................................... 51

E Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ................................ 52

F Pengolahan dan Analisa Data ............................................ 54

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 58

A Hasil Penelitian .................................................................. 58

B Pembahasan ........................................................................ 64

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................... 71

A Simpulan ............................................................................ 71

B Saran .................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 10: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian …………………… 46

Tabel 2 Faktor Risiko Pembedahan …………………………………. 59

Tabel 3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian POCD …………. 61

Tabel 4 Hasil Analisis Multivariat …………………………………... 62

Page 11: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Rentang Respons Kognitif …………………………………. 26

Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian ……………………………….. 44

Gambar 3 Kerangka Kerja Penelitian …………………………………. 50

Page 12: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Penelitian

Lampiran 2 Anggaran Biaya Penelitian

Lampiran 3 Pernyataan Keaslian Tulisan

Lampiran 4a Pengantar Kuesioner

Lampiran 4b Prosedur Pelaksanaan penelitian

Lampiran 5 Surat Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 6 Lembar Kuesioner Pengumpulan Data

Lampiran 7 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 8 Surat Ethical Clearance

Lampiran 9 Master Tabel Pengumpulan Data

Lampiran 10 Hasil Uji SPSS

Page 13: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

1

B A B I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menua adalah suatu proses secara perlahan-lahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi)

dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides dalam Nugroho, 2008).

Hal tersebut menyebabkan manusia memiliki kecenderungan untuk mengalami

penyakit degeneratif yang akan menyebabkan terjadinya episode terminal yang

dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastase kanker, dan lain

sebagainya. Manusia berupaya dengan segala macam cara agar sedapat mungkin

menunda atau melambatkan jalannya “jam waktu” ini, sehingga demikian terjadi

peningkatan usia harapan hidup (Mansjoer, 2007).

Usia Harapan hidup penduduk merupakan salah satu tolok ukur

kemajuan suatu bangsa. Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan

perkembangan yang cukup baik, memiliki harapan hidup yang diproyeksikan

dapat mencapai lebih dari 70 tahun. Menurut Depkes RI (2011), diperkirakan

mulai tahun 2010 akan terjadi ledakan jumlah penduduk usia lanjut dari 9,77%

menjadi 11,34% pada tahun 2020. Peningkatan usia harapan hidup akan

berpengaruh terhadap banyaknya jumlah usia lanjut yang menjalani pembedahan

atau operasi karena berbagai kasus bedah yang dialami. Pasien usia lanjut yang

akan menjalani operasi mungkin berisiko mengalami hasil akhir yang kurang atau

bahkan tidak baik sama sekali karena berkurangnya kemampuan untuk

1

Page 14: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

2

memelihara atau mengembalikan homeostasis fisiologik saat menjalani operasi.

Kondisi tersebut akan diperberat oleh adanya berbagai kormobiditas seperti

penyakit jantung, paru-paru, diabetes mellitus dan sebagainya (Mansjoer, 2007).

Setiap operasi agar berjalan optimal perlu dilakukan persiapan yang cermat dan

matang.

Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi secara medis, hati-hati

dan observasi paska operasi yang paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi

potensial yang terjadi. Diperkirakan 25-30% dari semua kematian perioperatif

terkait dengan penyebab kardiak, sehingga pengkajian risiko praoperasi non

kardiak difokuskan pada upaya untuk memperkirakan komplikasi kardiak tersebut

(Masnjoer, 2007).

Kemajuan dalam teknik bedah dan perawatan anestesi dapat menurunkan

angka kematian perioperatif dan morbiditas pada pasien orang tua. Pasien dengan

beberapa masalah medis saat ini dapat menjalani prosedur pembedahan yang

relatif kompleks. Walaupun demikian, masih terdapat persentase yang signifikan

dari pasien usia lanjut yang mengalami “Post Operative Cognitive Dysfunction”

(POCD). POCD adalah kondisi yang ditandai oleh gangguan memori, konsentrasi,

bahasa, pemahaman dan sosial integrasi (Bekker, 2003). Studi International

POCD (ISPOCD ) menunjukkan kejadian POCD sekitar 26% pada pasien yang

diambil satu minggu setelah operasi. Mengingat insiden yang relatif lebih tinggi

dari POCD pada pasien usia lanjut dalam satu sampai tiga hari paska operasi,

maka diperkirakan bahwa kejadian POCD terdeteksi 45% pasien pada 24 jam

pertama (Denise Rohan, et al 2004).

Page 15: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

3

Disfungsi kognitif pasca operasi merupakan masalah perawatan yang sulit,

dan sering kali bermanifestasi sebagai disorientasi, kelemahan, cemas, paranoia,

perilaku agresif dan halusinasi visual (Martono, 2009). Tingginya kejadian POCD

pada lansia dapat berpengaruh terhadap lamanya penyembuhan, peningkatan

Length of Stay (LOS), dan akhirnya menyebabkan tingginya biaya perawatan.

Perkembangan POCD dapat menyebabkan terjadinya neuropsikiatri yang

mengacu pada gangguan jiwa.

Berbagai faktor diduga dapat menyebabkan terjadinya POCD pada lansia

yang mengalami pembedahan. Penelitian oleh Canet, dkk, (2003), menemukan

bahwa usia, jenis kelamin dan penggunaan alkohol merupakan faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lansia yang mengalami operasi

bedah minor. Sedangkan durasi anastesi, penggunaan volatil dan pendidikan

tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD. Berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto (2009), yang menunjukkan bahwa

variabel usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tidak berpengaruh terhadap

disfungsi kognitif.

Di RSUP Sanglah saat ini belum ada protap yang baku dan data yang

memadai tentang disfungsi kognitif paska operasi khususnya pada pasien lansia.

Jumlah pasien lansia yang mengalami pembedahan pada bulan Januari – Maret

2012 di RSUP Sanglah Denpasar sebanyak 225 orang dengan rata-rata 75 orang

perbulan.

Dari hasil survei yang dilakukan peneliti dengan kuesioner Short Portable

Mental State of Question (SPMSQ) pada bulan Mei Tahun 2012, terhadap 30

Page 16: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

4

pasien lansia yang dilakukan pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar

terdapat 6 orang (20%) mengalami POCD. Data yang diperoleh dari Instalasi

Rekam Medik rata-rata Length Of Stay (LOS) pasien umum dari bulan Januari-

Maret 2012 adalah 6,58 hari. Sedangkan rata-rata LOS pasien Lansia adalah 11,75

hari. Maka dapat disimpulkan rata-rata LOS pasien Lansia 78% lebih tinggi dari

LOS pasien pada umumnya.

Dilihat dari perbedaan hasil penelitian tersebut dan banyaknya kasus

POCD pada lansia yang mengalami pembedahan maka peneliti tertarik untuk

mengetahui faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya POCD pada pasien

lansia yang menjalani pembedahan di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP

Sanglah Denpasar.

B. Rumusan Masalah

Uraian latar belakang di atas mendasari peneliti tertarik untuk membahas

lebih lanjut dengan rumusan masalah sebagai berikut : “Faktor risiko apa saja

yang menyebabkan terjadinya“Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD)

pada Lansia di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor risiko penyebab terjadinya POCD pada pasien lansia di

Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

Page 17: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

5

a. Mengidentifikasi kejadian POCD pada pasien lansia di Ruang Instalasi Bedah

Sentral RSUP Sanglah Denpasar

b. Mengidentifikasi usia pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang

Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

c. Mengidentifikasi lama anastesi pada pasien lansia yang mengalami POCD di

Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

d. Mengidentifikasi penggunaan anastesi umum dan anastesi regional pada

pasien lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP

Sanglah Denpasar

e. Mengidentifikasi jenis kelamin pada pasien lansia yang mengalami POCD di

Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

f. Mengidentifikasi tingkat pendidikan pada pasien lansia yang mengalami

POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

g. Mengidentifikasi status fisik ASA pada pasien lansia yang mengalami POCD

di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

h. Mengidentifikasi prosedur pembedahan kardiak dan non kardiak pada pasien

lansia yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP

Sanglah Denpasar

i. Menganalisis pengaruh faktor usia, lama anastesi, penggunaan anastesi umum

dan anastesi regional, jenis kelamin, pendidikan, status fisik ASA dan

prosedur pembedahan pada pasien lansia terhadap kejadian POCD di Instalasi

bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar.

Page 18: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

6

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat

teoritis.

1. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

a. Sebagai bahan masukan bagi perawat untuk meningkatkan mutu pelayanan

keperawatan khususnya pada lansia yang akan mengalami pembedahan.

b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh praktisioner untuk melakukan

modifikasi kondisi pasien lansia terutama pada faktor-faktor penyebab yang

dapat meningkatkan risiko POCD, sehingga kejadian POCD dan komplikasi

akibat pembedahan pada lansia dapat diminimalisir.

2. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang diperoleh dari penilitian ini adalah :

a. Sebagai informasi ilmiah dalam bidang keperawatan khususnya Keperawatan

Gerontik dalam Perawatan Perioperatif Lansia.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka

terutama dalam bidang Perioperatif, serta sebagai bahan acuan bagi peneliti

selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian

Wijoto dan Andriyanto (2009), dengan judul Disfungsi Kognitif Pasca

Operasi Pada Pasien Operasi Elektif di GBPT RSU Dr. Sutomo Surabaya.

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan lima puluh orang sampel berusia 40

tahun atau lebih yang menjalani pembedahan > 2 jam. Dilakukan serangkaian

Page 19: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

7

pemeriksaan fungsi kognitif pra operasi dan tujuh hari pasca operasi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa setelah tujuh hari pasca operasi 30% sampel

mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52%

sampel mengalami disfungsi kognitif pasca operasi. Berdasarkan hasil uji

multivariat menunjukkan bahwa disfungsi kognitif tidak dipengaruhi oleh usia

(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811). Namun

bila dianalisa pada masing-masing kelompok usia tampak bahwa persentase

pasien yang mengalami POCD lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat

pendidikan ≤ Sekolah Dasar dan durasi operasi ≥180 menit. Perbedaan dengan

penelitian ini terletak pada lama penilaian POCD, uji analisis yang digunakan

serta sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien lansia yang

berusia 60-80 tahun.

Page 20: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keperawatan Perioperatif

Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan

pengalaman pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan

yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu fase preoperasi,

intraoperasi, dan postoperasi. Masing- masing fase di mulai pada waktu tertentu

dan berakhir pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa yang membentuk

pengalaman bedah dan masing-masing mencakup rentang perilaku dan aktivitas

keperawatan yang luas dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses

keperawatan dan standar praktik keperawatan. Disamping perawat kegiatan

perioperatif ini juga memerlukan dukungan dari tim kesehatan lain yang

berkompeten dalam perawatan pasien sehingga kepuasan pasien dapat tercapai

sebagai suatu bentuk pelayanan prima (Mansjoer, 2007). Keperawatan

perioperative terdiri dari preoperatif, intraoperatif dan postoperative yang dapat

dijelaskan sebagai berikut.

1. Keperawatan Preoperatif

a. Evaluasi Preoperatif

Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi

pre-operatif pasien geriatri. Pertama, pasien harus selalu dianggap mempunyai

risiko tinggi menderita penyakit yang berhubungan dengan penuaan.

Penyakit-penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut berpengaruh dalam 8

Page 21: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

9

teknik penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis

yang tepat. Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan

pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5%

dan merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut

yang akan menjalani pembedahan non cardiac. Diagnosis pulmoner dan

optimisasi tidak dapat diperkirakan secara pre operatif (Smeltzer dan Bare,

2002).

Kedua, harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ

yang spesifik dan pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan.

Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan

determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi

fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan riwayat

pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan dilakukan, dan

bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja. Penelitian prospektif

abnormalitas laboratorium pada pasien lanjut usia tidak dapat menunjukkan

nilai laboratorium spesifik sebagai prediksi hasil selanjutnya. Hanya status

fisik ASA dan risiko pembedahan yang mempunyai hasil prediksi bermakna.

Adanya ditemukan abnormalitas pada elektrokardiogram, tetapi pemeriksaan

EKG ini juga tidak mampu untuk memprediksi komplikasi postoperatif

jantung.

Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat

dicegah dengan mencari ada tidaknya β-blockade perioperatif pada pasien

dengan penyakit arteri koroner yang diketahui, terutama bila muncul beberapa

Page 22: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

10

minggu terakhir sebelum operasi. Pada pasien usia lanjut yang menggunakan

terapi β-blocker jangka panjang, tampaknya β-blocker long-acting akan lebih

efektif dibandingkan dengan β-blocker short-acting dalam mengurangi resiko

infark miokard perioperatif. Protokol yang menyertakan pemberian β-blocker

pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan diteruskan selama operasi

berhubungan dengan peningkatan insidens stroke dan semua penyebab

mortalitas (Miller, 2010).

b. Penanganan Anestesi

1) Farmakologi Klinis

Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia

lanjut akan diterangkan secara mendalam dan termasuk perubahan pada (1)

ikatan protein plasma, (2) tubuh, (3) metabolisme obat, dan (4)

farmakodinamik. Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang

bersifat asam adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah α1-acid

glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun sejalan dengan usia,

sedangkan kadar α1-acid glikoprotein meningkat. Dampak gangguan protein

pengikat plasma terhadap efek obat tergantung pada protein tempat obat itu

terikat, dan menyebabkan perubahan fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan

ini kompleks, dan umumnya perubahan kadar protein pengikat plasma

bukanlah faktor predominan yang menentukan bagaimana farmakokinetik akan

mengalami perubahan sesuai dengan usia (Miller, 2010).

Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan massa

tubuh, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan air tubuh total. Penurunan air

Page 23: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

11

tubuh total dapat menyebabkan mengecilnya kompartemen pusat dan

peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat secara bolus.

Selanjutnya, peningkatan lemak tubuh dapat menyebabkan membesarnya

volume distribusi, dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang

diberikan.

Gangguan hepar dan klirens ginjal, dapat terjadi sesuai dengan

penambahan usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar

dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat. Respons klinis

terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut mungkin disebabkan karena

adanya gangguan sensitivitas pada target organ (farmakodinamik). Bentuk

sediaan obat yang diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitivitas

menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek anestesi pada pasien

usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan lebih sensitif terhadap obat

anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit dan efek obat yang

diberikan bisa lebih lama. Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena

bisa menjadi berat karena adanya interaksi dengan jantung dan vaskuler yang

telah mengalami penuaan. Kompensasi yang diharapkan sering tidak terjadi

karena perubahan fisiologis berhubungan dengan proses penuaan normal dan

penyakit yang berhubungan dengan usia (Miller, 2010).

2) Farmakologi Klinis Obat-obat Anestesi Spesifik

a) Anestesi Inhalasi

Konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar concentration =

MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per dekade pada mayoritas

Page 24: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

12

anestesi inhalasi. Pola yang serupa terlihat juga pada MAC-awake. Mekanisme

kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion

neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin,dan reseptor glutamat. Mungkin

adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau

sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan

farmakodinamik tersebut (Miller, 2010).

b) Anestesi intravena dan benzodiazepine

Perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan

dengan usia dinyatakan tidak ada, namun, dosis tiopental yang diperlukan

untuk mencapai anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia.

Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan karena

penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume distribusi

inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi setelah pemberian

tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia lanjut. Sama seperti pada

kasus etomidate, perubahan farmakokinetik sesuai usia (disebabkan karena

penurunan klirens dan volume distribusi inisial), bukan gangguan responsif

otak yang terganggu, bertanggung jawab terhadap penurunan dosis etomidate

yang diperlukan pada pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih sensitif

terhadap efek propofol, pada usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga

mengalami penurunan. Efek penambahan ini berhubungan dengan peningkatan

sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia lanjut.

Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama

endoskopi gastrointestinal atas mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien

Page 25: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

13

berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas

otak dan penurunan klirens obat (Miller, 2010).

c) Opiat

Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin

post operatif, pasien berusia lanjut hanya memerlukan sedikit obat untuk

menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6-elucuronide

mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada pasien berusia

lanjut. Morphine-6-glueuronide tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan

insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan eliminasi morfin

glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia

dari dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia lanjut.

Shafer (2009) melakukan tinjauan komperehensif terhadap farmakologi

sufentanil, alfentanil, dan fentanil pada pasien berusia lanjut. Sufentanil,

alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia

lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak

terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik.

Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan

farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan

sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali

lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu

setengah kali bolus. Akibat volume kompartemen pusat, dan penurunan klirens

pada usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus (Miller,

2010).

Page 26: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

14

d) Pelumpuh Otot

Usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot dan durasi

kerja obat mungkin akan memanjang jika diberikan pada lansia. Diperkirakan

terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena

ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens

pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium bergantung

pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan waktu paruh

eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi

perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur

eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada

pasien berusia lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien

berusia lanjut. Durasi memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap

kerja vecuronium menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar

(Miller, 2010).

e) Anestesia neuraksial dan blok saraf perifer

Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade

motorik dengan pemberian anestesi bupivacaine akhir. Waktu onset akan

menurun, bagaimanapun juga penyebaran anestesi akan lebih baik dengan

pemberian cairan bupivacaine hiperbarik. Dampak usia terhadap durasi

anestesia epidural tidak terlihat pada pemberian bupivacaine 5%. Waktu onset

akan memendek, dan kedalaman blok anestesia akan bertambah besar. Terlihat

klirens plasma lokal anestesi yang menurun pada pasien berusia lanjut. Hal ini

dapat menjadi faktor yang mengurangi penambahan dosis dan jumlah infus

Page 27: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

15

selama pemberian dosis berulang dan teknik infus berkesinambungan (Bekker,

2003).

3) Teknik Anestesi

a) Keuntungan Obat-Obat Spesifik pada pasien lanjut usia

Data menunjukkan bahwa penyakit penyerta preoperatif merupakan

determinan yang lebih besar terhadap komplikasi post operatif dibandingkan

dengan penatalaksanaan anestesi. Beberapa pendapat menitikberatkan pada

penatalaksanaan farmakologi dan fisiologi terhadap usia lanjut. Mungkin

terdapat peranan anestesi yang bekerja singkat untuk pasien berusia lanjut.

Metode titrasi opioid mungkin lebih baik menggunakan opioid dngan kerja

singkat seperti remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus,

variabilitas farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan

dengan opioid intravena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan

pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan

blokresidual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila

dibandingkan dengan atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex

sebagai obat reversal untuk rocuronium akan meningkatkan penggunaan

pelumpuh ototpada pasien berusia lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi

inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemulihan profil

fungsi kognitif. Desflurane berhubungan dengan emergensi paling cepat

(Bekker, 2003).

Page 28: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

16

Tekanan darah optimal selama pembedahan akan mendukungkah

penanganan fisiologis optimal sehinggga memberikan hasil pembedahan

terbaik. Dipertanyakan selama tindakan bypass cardiopulmoner, pada tekanan

berapakah tekanan perfusi yang paling baik. Menurut penelitian, pasien

dengan usia lanjut dapat menerima anestesia hipotensif dengan aman (tekanan

darah arteri rata-rata adalah 45-55 mmHg) selama pembedahan ortopedik

tanpa terjadi peningkatan risiko. Penggunaan kateter arteri pulmonal pada

pasien berisiko tinggi juga dipertanyakan karena banyak penelitian

randomissasi prospektif yang menganalisis mortalitas selama perawatan dan

tidak didapatkannya keuntungan dari terapi dengan memasukkan kateter arteri

pada pasien usia lanjut berisiko tinggi yang memerlukan perawatan ICU

(Miller, 2010).

b) Anestesi regional berbanding anestesi umum

Mayoritas bukti menunjukkan sedikit perbedaan hasil antara anestesi

regional dan anestesi umum pada pasien berusia lanjut. Hasil ini telah

dilaporkan pada berbagai jenis pembedahan, termasuk prosedur pembedahan

vaskuler mayor dan ortopedik. Penggunaan anestesi regional tampaknya tidak

menurunkan insidens disfungsi kognitif postopertaif bila dibandingkan dengan

anestesi umum (Bekker, 2003).

Efek spesifik anestesi regional memberikan beberapa keuntungan.

Pertama, anestesi regional mempengaruhi system koagulasi dengan cara

mencegah inhibisi fibrinolisis post operatif. Thrombosis vena dalam atau

emboli paru dapat terjadi pada 2,5% pasien setelah menjalani beberapa

Page 29: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

17

prosedur berisiko tinggi. Pada revaskularisasi ekstremitas bawah, anestesi

regional berhubungan dengan penurunan insidens thrombosis graft bila

dibandingkan dengan anestesi umum.Kedua, efek hemodinamik anestesi

regional mungkin berhubungan dengan lebih sedikitnya jumlah darah yang

hilang pada pembedahan pelvis dan ekstremitas bawah. Ketiga, anestesi

regional tidak memerlukan instrumen alat bantu nafas dan pasien dapat

mempertahankan jalan nafas dan fungsi parunya sendiri. Data menunjukkan

bahwa pasien berusia lanjut lebih rentan terhadap episode hipoksia selama

dalam ruang pemulihan. Pasien dengan anestesi regional mempunyai risiko

hipoksemia yang lebih rendah.Komplikasi paru yang terjadi pada anestesi

regional juga lebih sedikit (Miller, 2010).

2. Konsep Intraoperatif

Fase intraoperatif dimulai saat pasien ditempatkan pada meja operasi dan

berakhir saat pasien dibawa ke ruang pemulihan. Asuhan keperawatan pada fase

ini difokuskan pada kesejahteraan emosional pasien dan faktor fisik seperti:

keamanan, posisi, mempertahankan teknik asepsis dan memanajemen lingkungan

pembedahan. Pada fase ini pasien mempunyai ketergantungan yang tinggi pada

perawat untuk memenuhi kebutuhannya. Perawat merupakan advokat pasien

sampai dengan tahap induksi untuk dilakukan anestesi. Pembedahan merupakan

pengalaman yang membuat stress, pasien membutuhkan rasa aman dengan

mengetahui bahwa ada orang yang memberikan perlindungan selama prosedur

dan ketika dianestesi (Smeltzer dan Bare, 2002).

Page 30: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

18

Pada fase intraoperatif perawat mempunyai tanggung jawab mereview

status lengkap pasien, mengecek status pembedahan pasien sesuai dengan

penyakitnya, menjaga keamanan dan kesejahteraan pasien, dan memberikan

dukungan emosional khususnya pada pasien yang mengalami ketakutan dan

kecemasan. Pasien yang rileks akan lebih mudah untuk dilakukan induksi anestesi

daripada pasien dalam keadaan cemas sehingga ketakutan dan kecemasan pasien

harus diatasi dahulu, bisa dengan memberikan penjelasan, dukungan sosial, dan

sedasi. Bila pasien masih tetap cemas perawat dapat konsul ke ahli bedah atau

anestesi (Smeltzer dan Bare, 2002).

a. Anggota Tim Operasi

Tim operasi adalah sekelompok individu yang telah dilatih dengan baik

dan harus bersama-sama dalam kerjasama tim untuk kesejahteraan dan keamanan

pasien selama pembedahan. Tim operasi terdiri dari: ahli bedah, ahli anestesi atau

perawat anestesi, perawat sirkuler, perawat instrumen dan asisten (Smeltzer dan

Bare, 2002).

Ahli bedah adalah ketua tim operasi dan membuat keputusan utama terkait

dengan pembedahan seperti: kapan mengambil organ atau jaringan, melakukan

amputasi, atau melakukan perbaikan yang radikal atau extensive. Ahli bedah harus

waspada setiap waktu terhadap perubahan-perubahan kebutuhan fisiologis pasien

selama pembedahan (Smeltzer dan Bare, 2002).

Ahli anestesi (dokter) dan perawat anestesi (dengan tambahan pendidikan

khusus) mempunyai tugas untuk menurunkan nyeri pasien dan meningkatkan

relaksasi dengan medikasi. Mereka harus dapat menjaga kepatenan jalan nafas,

Page 31: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

19

kestabilan hemodinamik dan memberitahu operator atau tim operasi tentang

komplikasi yang mungkin terjadi (Smeltzer dan Bare, 2002). Perawat sirkuler

bertugas menjaga kelancaran jalan operasi dengan menyediakan alat-alat, obat-

obatan yang diperlukan di meja operasi, membantu pengelolaan bahan medis

habis pakai, alat-alat tajam dan membantu perhitungan instrumen serta mengatur

pembuangan spesimen atau hal-hal yang tidak diperlukan.

Perawat instrumen atau scrub nurse adalah registered nurse atau ahli

teknologi bedah, membantu operator selama prosedur dengan memberikan

langsung instrumen yang dibutuhkan, benang bedah, dan alat lain yang

dibutuhkan. Selama pembedahan perawat instrumen atau scrub melakukan

perhitungan akurat alat, BMHP atau instrumen bedah dalam area steril (Smeltzer

dan Bare, 2002). Asisten langsung operator biasanya adalah ahli bedah lain atau

residen bedah. Registered nurse atau tenaga profesioanl yang punya pengalaman

dalam bedah juga bertindak sebagai asisten berdasarkan instruksi ahli bedah.

Tim kesehatan lain bisa merupakan bagian dari tim operasi jika

diperlukan perannya dalam prosedur pembedahan, misalnya ahli patologi yang

diminta untuk mengidentifikasi proses patologi. Teknisi radiologi mungkin

diperlukan untuk melakukan berbagai prosedur radiologi saat pasien di meja

operasi. Ahli perfusi kardiopulmoner mungkin diperlukan untuk membantu

selama pembedahan kardiotorak (Smeltzer dan Bare, 2002).

3. Keperawatan Postoperatif

Pasien bedah umum berusia >65 tahun ke atas berisiko mengalami

atelektasis (17%), bronkitis akut (12%), pneumonia (10%), gagal jantung atau

Page 32: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

20

infark miokard (6%), delirium (6%), dan tanda-tanda neurologis fokal baru

(1%). Pada prosedur dengan risiko yang lebih tinggi, seperti bedah vaskuler,

insidens komplikasi pulmoner postoperatif adalah sebesar 15,2%. Berbagai

prediktor komplikasi pulmoner post operatif pada pembedahan non jantung

elektif telah berhasil diidentifikasi, dan risiko yang ada mengindikasikan

terjadinya perkembangan pneumonia post-operatif. Pasien berusia lanjut

mempunyai risiko yang lebih tinggi mengalami aspirasi sekunder terhadap

penurunan progresif pada diskriminasi sensorik laringofaringeal yang terjadi

dengan penambahan usia. Selain itu disfungsi proses menelan juga merupakan

predisposisi aspirasi pada pasien berusia lanjut. Setelah operasi jantung,

disfungsi menelan terjadi pada 4% pasien dan lebih sering terjadi pada pasien

usia lanjut. Disfungsi menelan setelah pembedahan jantung berhubungan erat

dengan penggunaan echocardiography transesofageal intraoperatif dan

menyebabkan 90% aspirasi pulmoner dan pneumonia (Miller, 2010).

Penelitian klinis dan eksperimen mendukung adanya penurunan

persepsi sakit sejalan dengan bertambahnya usia. Tetapi, tetap belum jelas

apakah perubahan yang terjadi disebabkaan karena proses penuaan atau akibat

dari efek penuaan lainnya, seperti adanya penyakit comorbid (penyerta).

Masalah yang lebih besar terjadi pada pasien dengan gangguan kognitif. Bukti-

bukti menunjukkan evaluasi nyeri, terutama pada individu dengan gangguan

kognitif, sulit dilakukan. Prinsip dasar dari evaluasi nyeri pada pasien berusia

lanjut sama dengan pada kelompok usia lainnya. Skala nyeri verbal merupakan

Page 33: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

21

metode yang lebih baik dibandingkan dengan metode non verbal pada pasien

usia lanjut.

Penuaan mengganggu fungsi organ dan farmakokinetik. Kombinasi

pemeriksaan nyeri dan dosis obat merupakan tantangan dalam penanganan

nyeri postoperatif pada pasien berusia lanjut. Beberapa prinsip umum harus

diingat saat menangani pasien usia lanjut yang rentan. Pertama, penting untuk

mencoba membandingkan berbagai jenis analgetik, seperti analgetik yang

diberikan intravena, dan blok saraf regional, untuk meningkatkan analgesia dan

menurunkan toksisitas narkotik. Prinsip ini terutama pada pasien berusia lanjut

yang rentan, dengan toleransi yang buruk terhadap narkotik sistemik. Kedua,

penggunaan analgetik dengan daerah kerja spesifik akan sangat membantu,

seperti pada ekstremitas atas untuk blok saraf lokal. Ketiga, bila mungkin harus

digunakan obat anti inflamasi untuk memisahkan narkotik, analgetik, dan

menurunkan mediator inflamasi. Kecuali terdapat kontra indikasi, atau

kecenderungan terjadi hemostasis atau ulserasi peptikum, maka obat anti

inflamasi non steroid harus diberikan. Penanganan nyeri post operatif dengan

opioid dapat digunakan setelah dosisnya disesuaikan dengan usia (Miller,

2010).

4. Komplikasi Post Operatif

Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari pertama

sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan biasanya

mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan kecepatan

psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan

Page 34: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

22

membaik dalam waktu 3 bulan. Pembedahan jantung berhubungan dengan 36%

insidens terjadinya penurunan kognitif dalam waktu 6 minggu setelah operasi.

Insidens disfungsi kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien

dengan usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan 10%

pada bulan ketiga. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan

dapat disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama

pada pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass

kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor-faktor genetik (alel E4).

Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif

postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian

yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh

yang paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,

walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Penurunan kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan

kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang

lebih 1% pasien (Miller, 2010).

B. Gangguan Kognitif

1. Pengertian

Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan

memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan

memperhatikan (Stuart dan Sundeen, 2002).

Gangguan kognitif meliputi gangguan dalam pikiran atau ingatan yang

menggambarkan perubahan nyata dari tingkat fungsi individu yang sebelumnya

Page 35: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

23

(APA, 2000). Gangguan kognitif (Cognitive Disorder) disebabkan oleh kondisi

fisik atau medis (misalnya, otak mengalami kerusakan, mengalami gangguan

karena penyakit, luka-luka, atau stroke), dan penggunaan obat atau pemberhentian

penggunaan obat-obatan secara tiba-tiba yang mempengaruhi fungsi dari otak.

Faktor psikologis disini berperan sebagai penentu dampak dari simtom-simtom

yang melumpuhkan. Misalnya, bagaimana cara individu akan mengatasi

penurunan kemampuan kognitif dan fisiknya.

Gangguan kognitif terjadi apabila otak mengalami kerusakan atau

mengalami hendaya dalam kemampuannya untuk berfungsi akibat luka-luka,

penyakit, keterpaparan terhadap racun-racun, atau penggunaan atau

penyalahgunaan obat-obatan psikoaktif. Derajat dan lokasi kerusakan otak

banyak menentukan tingkat dan keparahan hendaya. Biasanya, semakin menyebar

kerusakannya, semakin besar dan semakin parah hendaya dalam fungsi. Lokasi

kerusakan juga sangat penting karena banyak struktur atau daerah otak yang

menampilkan fungsi-fungsi khusus. Misalnya, kerusakan pada lobus temporal

dihubungkan dengan kerusakan dalam ingatan dan perhatian, sedangkan

kerusakan pada lobus oksipital mungkin menghasilkan defisit visual-spasial,

seperti hilangnya kemampuan untuk mengenali wajah (APA, 2000).

2. Jenis Gangguan Kognitif.

Pada gangguan kognitif, diagnosa medis yang sering dihadapi adalah :

Page 36: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

24

a. Delirium

Adalah fungsi kognitif yang kacau ditandai dengan kesadaran berkabut

yang dimanifestasikan oleh lama konsentrasi yang rendah, persepsi yang salah,

gangguan pikir (Stuart dan Sundeen, 2002).

b. Demensia

Adalah gangguan kognitif yang ditandai oleh hilangnya fungsi intelektual

yang berat (Stuart dan Sundeen, 2002).

c. Gangguan Amnestik

Menurut Dumark (2006 dalam Fitriani, 2012) menyatakan bahwa

gangguan amnestik adalah kemunduran dalam kemampuan mentransfer informasi

dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang, tanpa adanya gejala-gejala

demensia lain, sebagai akibat trauma kepala atau penyalahgunaan obat.

Sedangkan menurut Nevid (2003) menyatakan bahwa gangguan amnestik

adalah gangguan ingatan yang dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk

mempelajari materi baru atau mengingat kembali peristiwa - peristiwa masa

lalu. Gangguan amnestik adalah perkembangan gangguan daya ingat yang

ditandai oleh gangguan pada kemampuan untuk mempelajari informasi baru

(amnesia anterograd) dan ketidakmampuan untuk mengingat pengetahuan yang

sebelumnya diingat (amnesia retrograd).

3. Tanda dan Gejala

a. Delirium : fluktuasi tingkat kesadaran, disorientasi proses pikir, kerusakan

penilaian dan pengambilan keputusan, ilusi, halusinasi penglihatan, afek

labil, gelisah, agitasi.

Page 37: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

25

b. Demensia : disorientasi kehilangan daya ingat, penurunan konsentrasi,

kerusakan penilaian dan pengambilan keputusan, perilaku sosial yang tidak

sesuai, afek labil, gelisah, agitasi, menolak perubahan.

c. Gangguan Amnestik

Gangguan amnestik ditandai terutama oleh gejala tunggal suatu gangguan

daya ingat yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau

pekerjaan. Diagnosis gangguan amnestik tidak dapat dibuat jika mempunyai tanda

lain dari gangguan kognitif, seperti yang terlihat pada demensia, atau jika

mempunyai gangguan perhatian (attention) atau kesadaran, seperti yang terlihat

pada delirium.

d. Gangguan Kognitif Ringan : daya ingat terganggu, disorientasi, koheren,

sukar berpikir logis.

4. Etiologi Gangguan Kognitif

a. Faktor Predisposisi

Gangguan kognitif umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi susunan

saraf pusat (SSP). SSP memerlukan nutrisi untuk berfungsi, setiap gangguan

pengiriman nutrisi mengakibatkan gangguan fungsi SSP. Faktor yang dapat

menyebabkan adalah penyakit infeksi sistematik, gangguan peredaran darah,

keracunan zat (Beck, Rawlins dan Williams, 2006). Banyak faktor lain yang

menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan kognitif, seperti kekurangan

vitamin, malnutrisi, gangguan jiwa fungsional.

Page 38: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

26

b. Faktor Presipitasi

Setiap kejadian diotak dapat berakibat gangguan kognitif. Hipoksia dapat

berupa anemia Hipoksia, Hitoksik Hipoksia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik

Hipoksia. Semua Keadaan ini mengakibatkan distribusi nutrisi ke otak berkurang.

Gangguan metabolisme sering mengganggu fungsi mental, hipotiroidisme,

hipoglikemia. Racun, virus dan virus menyerang otak mengakibatkan gangguan

fungsi otak, misalnya sifilis. Perubahan struktur otak akibat trauma atau tumor

juga mengubah fungsi otak. Stimulus yang kurang atau berlebihan dapat

mengganggu fungsi kognitif. Misalnya ruang ICU dengan cahaya, bunyi yang

konstan merangsang dapat mencetuskan disorientasi, delusi dan halusinasi,

namun belum ada penelitian yang tepat.

5. Rentang Respons Gangguan Kognitif

Respon Adaptif --------

-----------------------------

-------------Respon Maladaptif

Decisiveness Memori baik Orientasi penuh Persepsi akurat Perhatian terfokus – Koheren - Berfikir logis

Periodic indecisiveness Tidak mampu membuat keputusan Pelupa Kadang-kadang bingung Ragu Mispersepsi Pikiran kacau Kadang-kadang pikiran tidak jernih

Tidak mampu membuat keputusan Kerusakan memori Disorientasi - Mispersepsi Perhatian tidak terfokus Sulit memberikan alasan yang logis Kerusakan penilaian

Page 39: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

27

Gambar 1 Rentang Respons Kognitif (Stuart dan Sundeen, 2002)

6. Mekanisme Gangguan Kognitif

Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya.

Delirium menyebabkan variasi yang luas terhadap gangguan struktural dan

fisiologik. Neuropatologi dari delirium telah dipelajari pada pasien dengan hepatic

encephalopathy dan pada pasien dengan putus alkohol. Hipotesis utama yaitu

gangguan metabolisme oksidatif yang reversibel dan abnormalitas dari

neurotransmitter (White, 2002).

a. Asetilkolin

Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari

neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Kadar

asetilkolin yang redah menyebabkan munculnya gejala-gejala pada pasien

delirium. Hal yang mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik

diketahui sebagai penyebab keadaan bingung pada pasien dengan transmisi

kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini. Pada pasien post operatif

delirium serum antikolinergik juga meningkat (White, 2002).

b. Dopamin

Pada otak, hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan

dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik.

Pengobatan simptomatis dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol

dan obat penghambat dopamin.

Page 40: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

28

c. Neurotransmitter lainnya

Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan

encefalopati hepatikum (White, 2002).

d. Mekanisme peradangan/inflamasi

Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan

interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya infeksi

yang luas dan paparan toksik,bahan pirogen endogen seperti interleukin-1

dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan

delirium,terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan

interleukin 6 (White, 2002).

e. Mekanisme reaksi stress

Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium

(White, 2002).

f. Mekanisme struktural

Pada studi menggunakan MRI, terdapat data yang mendukung hipotesis

bahwa jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang penting dalam

patofisiologi delirium. Formatio retikularis dan jalurnya memainkan peranan

penting dari bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari

formation retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang

terlibat pada delirium. Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan

gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu jalur anatomis

tersebut dapat menyebabkan delirium (White, 2002).

Page 41: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

29

Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan

delirium,mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel

peradangan (sitokin) untuk menembus otak (White, 2002).

7. Domain Fungsi Kognitif

a. Perhatian atau atensi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu

stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak

dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbic

dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk focus pada stimulus spesifik dan

mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan

kemampuan untuk memperhatikan atensi dalam periode yang lebih lama.

Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti

memori, bahasa, dan fungsi eksekutif.

b. Bahasa

Merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang

membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa,

pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami

kesulitan atau tidak dapat dilakukan.

c. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi,

proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam

tiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori.

Page 42: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

30

d. Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti

menggambar atau meniru berbagai macam gambar (missal : lingkaran, kubus) dan

menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan

lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

e. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir

dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks

prefrontal dorsolateral dan struktus subkortikal yang berhubungan dengan daerah

tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal subkortikal

terputus. Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi empat komponen yaitu

volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan),

effective performance (pelaksanaan yang efektif). Bila terjadi gangguan fungsi

eksekutif maka gejala yang muncul sesuai dengan empat komponen di atas.

Berdasarkan uraian anatomis fungsional fungsi kognitif di atas dapat

dihubungkan lokasi lesi dengan masing-masing domain kognitif antara lain :

1) Atensi : girus cinguli anterior di lobus frontal.

2) Memori : sebagian besar temporal kanan (memori visual) dan temporal kiri

(auditorik) antara lain hipokampus, forniks, girus dentatus, korteks

entorhinal, dan lain-lain.

3) Bahasa : lobus frontal inferior (area brocca) dan lobus temporal (area

wernicke) pada hemisfer dominan.

4) Visuospasial : lobus parietal.

Page 43: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

31

5) Fungsi eksekutif : korteks prefrontal dorsolateral, dan struktur subkortikal

yang berhubungan dengan daerah tersebut.

8. Cara Pencegahan POCD

Beberapa langkah penting dalam manajemen disfungsi kognitif atau

delirium adalah sebagai berikut (Bradley, 2004).

a. Mencari penyebab dan mengobati kausa tersebut

b. Perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, status nutrisi dan penanganan

awal infeksi.

c. Intervensi melalui pendekatan lingkungan. Pasien perlu penentraman hati,

dan reorientasi untuk mengurangi ansietas. Pada perawatan di rumah sakit

pasien sebaiknya dirawat di ruangan yang tenang juga cukup cahaya agar

pasien dapat tahu dimana dia berada, tetapi dengan penerangan yang tidak

mengganggu tidur pasien. Hal lain yang perlu dilakukan dalam upaya

memberi ketenangan pada pasien yakni minimalisasi pergantian staf medis

yang merawat pasien, minimalisasi stimulasi sensoris yang mengganggu

(contohnya suara yang bising), pemasangan musik yang lembut, serta

pembatasan kedatangan dari orang asing yang belum dikenal pasien.

Keluarga pasien perlu diberitahukan dan diterangkan secara jelas mengenai

penyakit pasien agar mengurangi kecemasannya sehingga keluarga pasien

dapat menolong pasien dalam perawatan sehingga pasien merasa lebih

tentram. Keluarga maupun teman perlu menemani dan menjenguk pasien.

Page 44: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

32

d. Pendekatan komunikasi dan dukungan yang tepat terhadap pasien delirium

merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Bila memungkinkan, semua

hal harus dijelaskan kepada pasien dengan baik dan lengkap. Gangguan

persepsi seperti halusinasi yang dialami pasien tidak seharusnya ditentang

atau justru didukung. Pasien harus sesering mungkin diberikan dukungan

emosional.

e. Kewaspadaan terhadap faktor risiko juga penting dilakukan pada pasien.

Strategi intervensi faktor risiko delirium mencakup manajemen enam faktor

risiko kunci pada delirium (gangguan kognitif, gangguan tidur, imobilitas,

gangguan visual, gangguan pendengaran dan dehidrasi) dapat mengurangi

episode dan lama durasi MRS pada pasien tua yang mengalami delirium.

9. Cara Mengukur POCD

Penyebab-penyebab fisiologis, psikologis, dan multiple dari kerusakan

kognitif pada lansia, disertai dengan pandangan bahwa kerusakan mental adalah

normal, proses berhubungan dengan usia, sering menimbulkan pengkajian tak

lengkap terhadap masalah ini. Standarisasi tes pemeriksaan suatu variasi tentang

fungsi kognitif, membantu mengidentifikasi deficit-defisit yang berdampak pada

seluruh kemampuan fungsi. Tes formal dan sistemik dari status mental dapat

membantu perawat menentukan prilaku mana terganggu dan memerlukan

intervensi. Beberapa alat ukur untuk mengetahui adanya gangguan kognitif

diantaranya adalah SPMSQ dan MMSE.

a. Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)

SPMSQ digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan

Page 45: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

33

intelektual, terdiri dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam

hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori jauh, dan kemampuan

matematis (Pfeiffer dalam Lueckenotte, 1998). Metode penentuan skor sederhana

merentangkan tingkat fungsi intelektual, yang membantu dalam membuat

keputusan yang kusus mengenai kapasitas perawatan diri. Hasil dari penilaian

SPMSQ dapat dikelompokkan menjadi : kesalahan 0-2 fungsi intelektual utuh,

kesalahan 3-4 kerusakan intelektual ringan kesalahan 5-7 kerusakan intelektual

sedang, kesalahan 8-10 kerusakan intelektual berat.

b. Mini-Mental State Exam (MMSE)

Mini-Mental State Exam (MMSE) menguji aspek kognitif dari fungsi

mental: orientasi,regristrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali, dan

bahasa. Nilai kemungkinan adalah 30, dengan nilai 21 atau kurang biasanya

indikasi adanya kerusakan kognitif yang memerlukan penyelidikan lanjut.

Pemeriksaan ini memerlukan hanya beberapa menit untuk melengkapi dan dengan

mudah dinilai, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk tujuan diagnostik.

Pemeriksaan mini mental mengukur beratnya kerusakan kognitif dan

mendemonstrasikan perubahan kognitif pada waktu dan dengan tindakan. Ini

adalah suatu alat yang berguna untuk mengkaji kemajuan klien yang

berhubungan dengan intervensi. Alat pengukur status afektif digunakan untuk

membedakan jenis depresi serius yang mempengaruhi fungsi-fungsi dari suasana

hati rendah, umumnya pada banyak orang (Kusumoputro dan Sidiarto, 2010).

Page 46: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

34

C. Konsep Lanjut Usia

1. Pengertian

Terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang

definisi lanjut usia , yaitu:

a. Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase

prasenium yaitu lansia yang berusia antara 55–65 tahun, dan fase senium

yaitu lansia yang berusia lebih dari 65 tahun (Nugroho, 2008).

b. Lanjut usia adalah orang tua yang berusia lebih dari 60 tahun (UU No.13

tahun 1998).

Dilihat dari batasan lanjut usia di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia

adalah seseorang yang telah berusia lebih dari 60 tahun.

2. Perubahan Fisiologis pada Lansia

Perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah sebagai berikut :

a. Sistem Kardiovaskular

Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan

pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering

baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses

penuaan pada sistem kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada pasien

manula hipertensi harus diturunkan secara perlahan-lahan sampai tekanan darah

140/90 mmHg. Pada lansia, tekanan sistolik sama pentingnya dengan tekanan

diastolik. Tahanan pembuluh darah perifēr biasanya meningkat akibat penebalan

serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-arteri besar. Kedua

hal tersebut sering menurunkan isi cairan intra-vaskuler. Waktu sirkulasi

Page 47: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

35

memanjang dari aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi penurunan respon

terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi serta autoregulasi

menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga terjadi pada pembuluh

koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai penebalan dinding ventrikel.

sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh proses penuaan, sehingga sering

terjadi LBBB, perlambatan konduksi intraventikular, perubahan-perubahan

segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium. Semua hal di atas

mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem kardiovaskuler dalam

menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang (Allison, 2009).

b. Sistem Pernafasan

Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang,

kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara

ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan

akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya

pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia.

Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas.

Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, refleks

laring dan faring juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan

kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar (Allison, 2009).

c. Sistem Ginjal

Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus

(LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons

terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi.

Page 48: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

36

Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi overload

cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia. Ambang rangsang

glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya. Produksi

kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun

kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-perubahan di

atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat

mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien

ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam darahnya, apalagi

bila diberikan larutan garam kalium secara intra vena. Kemampuan untuk

mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam

asidosis metabolik. Kemungkinan trerjadi gagal ginjal juga meningkat (Allison,

2009 ; Shafer, 2009).

d. Sistem Hati dan Lambung Usus

Pasien lansia mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat

obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obat-

obat yang diekskresi melalui hati. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem

gastrointestinal, sfingter gastro–esofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu

pengosongan lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi

(Shafer, 2009).

e. Sistem Saraf Pusat

Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif,

sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur

menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak menurun. Berat otak menurun

Page 49: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

37

karena berkurangnya jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak

kecil. Berat otak pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun

menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi positif antara

berat otak dan harapan hidup. Terdapat juga penurunan fungsi neurotransmiter.

Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah dipengaruhi

oleh efek samping obat terhadap sistem saraf. Dengan demikian konsentrasi

alveolar minimum dari anestetika menurun dengan bertambahnya usia (Allison,

2009 ; Shafer, 2009).

3. Kesehatan Lanjut Usia

Faktor kesehatan meliputi kesehatan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.

Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik

terhadap serangan penyakit sedangkan faktor kesehatan psikis meliputi

penyesuaian terhadap kondisi usia lanjut yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kesehatan fisik

Keadaan fisik merupakanfaktor utama dari kegelisahan manusia. Kekuatan

fisik, panca indera, potensi dan kapasitas intelektual mulai menurun pada tahap-

tahap tertentu (Nugroho, 2008). Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa

serangan penyakit seperti gangguan pada sirkulasi darah, persendian, sistem

pernafasan, neurologik, metabolik, neoplasma dan mental. Sehingga keluhan yang

sering terjadi adalah mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan,

saluran kencing, fungsi indera, dan menurunnya konsentrasi.

Page 50: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

38

b. Kesehatan psikis

Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara

otomatis akan timbul kemunduran psikis. Salah satu penyebab menurunnya

kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran. Dengan menurunnya fungsi

dan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia maka banyak dari mereka

yang gagal dalam menangkap isi pembicaraan orang lain sehingga mudah

menimbulkan perasaan tersinggung, tidak dihargai dan kurang percaya diri.

4. Kognitif Lanjut Usia

Setiati, Harimurti dan Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan

kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan

meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak

(menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama

transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan

mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa

lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja

terjadi.

Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai

kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam

pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait

penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan

memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan

pada struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008)

menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut

Page 51: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

39

usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan

pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan

serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps,

kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan

Rodrigue (dalam Myers, 2008) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas

substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar

hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008).

Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis

lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama

dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut

memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif

(Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008).

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Kognitif Pasca Operasi

pada Lansia

Menurut Krenk, et al (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

Disfungsi Kognitif adalah sebagai berikut :

1. Faktor Post operatif POCD: respons inflamasi, nyeri post operasi, gangguan

tidur akibat stress, opioids

2. Intervensi : Bedah invasive minimal/ Minimaly invasive surgery, kontrol

nyeri non opiod, percepatan pulang (Early discharge), penggunaan sedatif,

reduction in nighttimenoise

3. Faktor yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit : perubahan

lingkungan, LOS (Length of hospital stay), perubahan waktu tidur,

Page 52: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

40

4. Faktor pre operasi (Penyakit penyerta, pendidikan yang rendah, gangguan

fungsi kognitif).

Selain faktor yang dikemukakan di atas, masih terdapat faktor demografi

lansia seperti hal berikut :

a. Status Kesehatan

Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif

lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek

penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus

prefrontal, penurunan hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di

lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan

penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif

(Briton &Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).

b. Faktor usia

Suatu penelitian yang mengukur kognitif pada lansia menunjukkan skor di

bawah cut off skrining adalah sebesar 16% pada kelompok usia 65-69, 21% pada

70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada >80 tahun. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif

(Scanlan et al, 2007).

Dengan meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang

sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative). Usia

lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan terhadap efek primer atau sekunder

anastesi sehingga efek terjadinya gangguan kognitif lebih besar.

Page 53: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

41

Usia pasien menentukan untuk mengalami delirium yang merupakan salah

satu POCD melalui perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik, mengurangi

kapasitas untuk homeostatik dan struktural penyakit otak dan proses-proses

fisiologis terkait dengan penuaan. Beberapa penelitian telah menunjukkan korelasi

yang tinggi antara kognisi dan pasca-operasi premorbid kebingungan, disorientasi,

penurunan kesadaran, dan bahkan kematian (White, 2002).

Menurut Canet et al (2003), lanjut usia >70 tahun memiliki risiko lebih

tinggi daripada usia dibawah 70 tahun untuk mengalami disfungsi kognitif.

c. Status Pendidikan

Kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik

dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007). Banyak

studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah

menderita penyakit Alzheimer (Scanlan, 2007). Tingkat fungsi intelektual

premorbid mempengaruhi kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan

respons terhadap rehabilitasi.

d. Jenis Kelamin

Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal ini

disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan fungsi

kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang berperan dalam

fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Rendahnya level estradiol dalam

tubuh telah dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif umum dan memori

verbal. Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi

Page 54: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

42

kerusakan akibat stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari

toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Yaffe dkk, 2007 dalam Myers, 2008).

Menurut Canet et al (2003), wanita pada usia lanjut memiliki

kecenderungn mengalami disfungsi kognitif lebih tinggi tinggi dibandingkan laki-

laki.

Page 55: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

43

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan

memberi rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan

memperhatikan. Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari

pertama sampai beberapa minggu setelah operasi dicatat dengan baik dan

biasanya mencakup beberapa kognitif seperti perhatian, memori, dan kecepatan

psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar akan

membaik dalam waktu tiga bulan.

Risiko-risiko terjadinya penurunan kognitif post operatif adalah usia,

tingkat pendidikan yang rendah, gangguan kognitif preoperative, depresi, dan

prosedur pembedahan. Disfungsi jangka pendek setelah pembedahan dapat

disebabkan karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada

pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (by pass

kardiopulmoner), anastesi, depresi dan faktor-faktor genetik.

Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi secara medis, hati-hati dan

observasi paska operasi yang paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi

potensial yang terjadi.

Berdasarkan uraian di atas, adapun kerangka konsep dari penelitian ini

diterangkan dengan skema yang tertera sebagai berikut :

43

Page 56: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

44

Keterangan :

: Diteliti : Alur

: Tidak diteliti

Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian

B. Variabel Penelitian dan Definisi operasional Variabel.

1. Variabel penelitian

Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007),

variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

Tindakan Pembedahan Penggunaan Anastesi

e. Disfungsi Kognitif 1) Atensi 2) Memori 3) Bahasa

4) VisuoSpasial 5) Eksekutif

Faktor Internal a. Usia b. Jenis Kelamin c. Tingkat Pendidikan d. Status Fisik (ASA)

Faktor Eksternal

a. Lama anestesi b. Jenis anastesi c. Prosedur pembedahan

Komplikasi Pembedahan a. Atelektasis b. Bronkitis Akut c. Pneumonia d. Gagal jantung/infark miokard

e. Genetik f. Respons inflamasi g. IMT h. Riwayatgangguan

kognitif

d. Polifarmasi e. Penggunaan opioid f. Perubahan lingkungan

Page 57: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

45

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulannya.

a. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain

(Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau

berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent

adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel bebas adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status fisik

(ASA), lama anastesia, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan.

b. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain

(Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan

konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent

variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel terikat adalah disfungsi

kognitif pada lanjut usia.

Page 58: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

46

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2008). Definisi operasional

variabel penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Indikator Skala Pengukuran

1 Usia Usia responden yang terhitung dari mulai saat dilahirkan sampai ulang tahun terakhir

Wawancara 1. 60-69 tahun 2. ≥70 tahun

Ordinal

2 Lama Anastesi Lamanya penggunaan anastesi saat dilakukannya operasi di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

Studi dokumentasi

1.1-2 jam 2. >2 jam

Ordinal

3 Jenis Anastesi Jenis anastesi yang digunakan selama responden dilakukan operasi atau tindakan bedah di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar

Studi dokumentasi

1. Anastesi Umum 2. Anastesi Regional

Ordinal

4 Jenis Kelamin Jenis kelamin yang terdapat pada KTP atau hasil wawancara

Wawancara 1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

5 Status fisik (ASA)

Keadaan internal pasien yang ditinjau dari penyulit yang diprediksi dapat mempengaruhi kondisi pasien selama pembedahan

Studi dokumentasi

1. ASA 2 2. ASA 3

Ordinal

6 Tingkat pendidikan

Pendidikan pasien secara formal yang diperoleh di bangku pendidikan baik tinggi (SD dan tidak sekolah), tinggi (SMP, SMA, PT)

Studi dokumentasi

1. Tinggi 2. Rendah

Ordinal

7 Prosedur pembedahan

Pembedahan yang dilakukan terhadap pasien selama menjalani operasi yang terdiri dari prosedur pembedahan yang melibatkan jantung dan bukan jantung

Studi dokumentasi

1. Kardiak 2. Non Kardiak

Ordinal

5 Dependent Variable :

Perubahan kognitif yang dialami oleh responden setelah

Kuesioner 1.Mengalami POCD

Ordinal

Page 59: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

47

Kejadian Disfungsi Kognitif

mengalami pembedahan yang diukur berdasarkan fungsi memori, atensi dan bahasa pada 3-6 jam post operasi (Aldret score 8-10, Bromage score 0-1).

2.Tidak mengalami POCD

C. Hipotesis

Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Usia berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada

pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

2. Lama anastesi berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska

operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

3. Penggunaan jenis anastesi berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif

paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

4. Jenis kelamin berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska

operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

5. Prosedur pembedahan berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif

paska operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

6. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska

operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

7. Status fisik (ASA) berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska

operasi pada pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar.

8. Usia, lama anastesi, jenis anastesi, jenis kelamin, pendidikan dan status fisik

ASA berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi kognitif paska operasi pada

pasien lanjut usia di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar

Page 60: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

48

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Analisis Observasional

yaitu peneliti mencoba mencari hubungan atau korelasi antar variabel. Penelitian

ini melakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan, serta seberapa besar

hubungan antar variabel yang ada. Oleh karena itu penelitian ini perlu hipotesis

(Setiadi, 2007). Penelitian observasional adalah penelitian non eksperimental yang

bertujuan untuk pengamatan (Setiadi, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa

penelitian Analisis Observasional adalah suatu penelitian yang hanya mengamati

dan menganalisis hubungan antar variabel.

Pendekatan yang digunakan adalah penelitian cross sectional yaitu

variabel sebab dan akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur dan

dikumpulkan secara simultan, sesaat dalam satu kali waktu (dalam waktu yang

bersamaan), pada studi ini tidak ada follow up (Setiadi, 2007).

48

Page 61: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

49

B. Kerangka Kerja

Gambar 3 Kerangka Kerja Penelitian

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar pada

tanggal 29 Oktober – 29 Desember 2012.

D. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi Semua Lansia yang menjalani operasi di

IBS RSUP Sanglah Denpasar

Sampel Dilakukan dengan teknik purposive

sampling

Kriteria Eksklusi

Pengukuran disfungsi kognitif responden sebelum dilakukan operasi dan wawancara tentang karakteristik responden dan studi

dokumentasi tentang lama operasi dan jenis anastesi yang digunakan

Pengukuran Disfungsi Kognitif Responden setelah dilakukan operasi bedah

Analisis Penelitian Pengujian hipotesis dengan uji analisis multivariat yaitu uji regresi

logistic dengan tahap sebagai berikut : 1. Penyusunan model logistik untuk semua variabel 2. Uji Confounding 3. Penentuan uji logistik dan penentuan pengaruh variabel bebas

dan terikat (Prevalence Rate dan Confidence Interval)

Penyajian hasil penelitian

Kriteria Inklusi

Page 62: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

50

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang akan dilakukan

pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

2. Sampel penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang

dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini sampel

yang digunakan adalah lansia yang akan dilakukan pembedahan di Ruang IBS

RSUP Sanglah Denpasar. Sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria sebagai

berikut:

a. Kriteria inklusi

1) Usia ≥60 tahun

2) Kooperatif dan bersedia menjadi responden

3) Mengalami operasi atau pembedahan 1-4 jam

4) Status fisik ASA II, III.

b. Kriteria eksklusi

1) Lansia dengan gangguan kognitif

2) Riwayat mengalami disfungsi kognitif

3. Besar Sampel

Page 63: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

51

Menurut Riyanto (2012), jumlah sampel pada penelitian dengan analisis

multivariat dapat digunakan pedoman dengan menggunakan sampel pada setiap

variabel minimal sebanyak 10 atau 15 responden. Dalam penelitian terdapat 7

variabel, sehingga variabel minimal adalah 70 responden (7 X 10). Jadi sampel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 orang.

4. Teknik Sampling

Dalam menentukan jumlah sampel, teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah teknik non probability sampling yaitu dengan Purposive

sampling. Purposive sampling adalah pengumpulan sampel didasarkan pada

pertimbangan tertentu dan tujuan dari peneliti.

E. Jenis dan cara pengumpulan data

1. Jenis data yang dikumpulkan

Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian

ini adalah data yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian (Riwidikdo,

2007), yaitu hasil kuestioner terhadap skala disfungsi kognitif pada lansia yang

mengalami pembedahan di Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar. Status fisik

(ASA), jenis anestesi, lama anestesi adalah merupakan data sekunder yang

diambil dari satus medik/lyst pasien.

2. Cara pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan

data (Hidayat, 2009).

Page 64: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

52

Peneliti dalam penelitian ini melakukan langkah pengumpulan data

sebagai berikut :

a. Peneliti membawa surat ijin penelitian yang dipersiapkan oleh institusi kepada

Kesbanglinmas Provinsi Bali, kemudian melakukan pengurusan ijin ke

Litbang RSUP Sanglah Denpasar untuk memperoleh surat Ethical Clearance.

b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Kepala Kesbanglinmas, dan Direktur RSUP

Sanglah Denpasar dan Kepala Litbang RSUP, maka dilakukan pendekatan

terhadap tempat penelitian yaitu Kepala Ruang IBS RSUP Sanglah Denpasar

c. Melakukan pendekatan terhadap sampel penelitian sesuai kriteria inklusi

dengan daftar nama responden serta menentukan sampel sesuai dengan

ketentuan. Setelah sampel diperoleh, dilakukan penyampaian maksud dan

tujuan peneliti kepada responden untuk kesediannya secara sukarela menjadi

responden dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent.

d. Mengukur disfungsi kognitif responden sebelum dilakukan operasi

pembedahan dan melakukan wawancara tentang karakteristik responden di

ruang persiapan atau penerimaan.

e. Mengukur disfungsi kognitif responden setelah operasi di ruang recovery

room (RR) atau di ruang perawatan.

f. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat.

g. Melakukan tabulasi dan analisis data.

Page 65: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

53

3. Instrumen pengumpul data

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

Short Portable Mental Status Questionnaire(SPMSQ). SPMSQ digunakan untuk

mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual, terdiri dari 10 hal yang

mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan

diri, memori jauh, dan kemampuan matematis (Pfeiffer, 1975 dalam White, 2002).

Metode penentuan skors sederhana merentangkan tingkat fungsi intelektual, yang

membantu dalam membuat keputusan yang kusus mengenai kapasitas perawatan

diri. Hasil dari penilaian SPSMQ dapat dikelompokkan menjadi : kesalahan 0-2

fungsi intelektual utuh, kesalahan 3-4 kerusakan intelektual ringan kesalahan 5-7

kerusakan intelektual sedang, kesalahan 8-10 kerusakan intelektual berat.

F. Pengolahan dan Analisa Data

1 Teknik pengolahan data

Langkah-langkah dalam pengolahan data:

a. Editing

1) Dengan memeriksa kelengkapan jawaban responden pada pedoman

wawancara, memperjelas, apabila ditemukan kejanggalan hasil wawancara

akan dilakukan klarifikasi dan responden diminta untuk menjawab ulang.

2) Pengecekan logis

b. Scoring

Hasil wawancara dilakukan penskoran sesuai dengan instrumen yang

digunakan.

Page 66: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

54

c. Entry

Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk mencegah

risiko kehilangan data. Entry ini dilakukan dengan melakukan penyimpanan data

ke dalam master tabel data dalam bentuk program sheet dan disimpan ke dalam

hardisk internal komputer maupun eksternal.

2. Teknik analisa data

Analisa data dilakukan setelah semua data terkumpul. Proses analisa data

penelitian ini yaitu:

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan melalui penghitungan masing-masing variabel

yang akan diteliti yaitu usia responden, lama anastesi, jenis anastesi yang

digunakan, jenis kelamin dan kejadian POCD yang disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi.

b. Analisis Multivariat

Untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor resiko terhadap disfungsi

kognitif dapat dilakukan dengan uji regresi logistik. Analisis Regresi dalam

statistika adalah salah satu metode untuk menentukan hubungan sebab-akibat

antara satu variabel dengan variabel-variabel yang lain. Variabel “penyebab”

disebut dengan bermacam-macam istilah, diantaranya seperti variabel penjelas,

variabel eksplanatorik, variabel independen, atau secara bebas, variabel X (karena

seringkali digambarkan dalam grafik sebagai absis, atau sumbu X). Variabel

“terkena akibat” dikenal sebagai variabel yang dipengaruhi, variabel dependen,

Page 67: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

55

variabel terikat, atau variabel Y. Kedua variabel ini dapat merupakan variabel

acak (random), namun variabel yang dipengaruhi harus selalu variabel acak.

Menurut Yasril dan Kasjono (2009), adapun asumsi dari uji statistic ini

adalah sebagai berikut :

1) Asumsi bivariat

a) Korelasi antara variabel dependen dan independen dapat dideteksi dengan uji

chi square pada regresi logistic sederhana. Variabel yang mempunyai nilai

p<0,25 merupakan kandidat model dalam penelitian ini.

b) Korelasi antara variabel independen dapat dilihat dari nilai r>0,8, bila ada

maka terdapat gejala kolinearitas

2) Asumsi multivariat

Langkah-langkah uji regresi logistic untuk uji multivariat adalah sebagai

berikut (Riyanto, 2012) :

a) Menyusun model mencakup semua variabel

Mengeluarkan variabel yang tidak berinteraksi (dengan syarat p>0,25)

dimulai dari nilai yang terbesar sampai semua model sesuai (p<0,25).

b) Uji confounding

Uji confounding dilakukan dengan cara melihat perbedaan Odds Ratio

(OR) untuk variabel utama dengan dikeluarkannya variabel kandidat

konfounding, bila perubahannya > 10% maka variabel tersebut dianggap variabel

konfounding. Pengeluaran variabel dimulai dari variabel dengan nilai p value

terbesar.

c) Penentuan model akhir regresi logistik

Page 68: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

56

Setelah dilakukan analisis konfounding, dapat disimpulkan hasil dari

penelitian dengan melihat nilai OR yaitu menyimpulkan secara bivariat berapa

kali faktor risiko mempengaruhi variabel terikat dan nilai confidence interval (CI)

untuk menentukan kisaran nilai OR yang kemungkinan dicapai.

Pada model regresi logistik dapat digunakan pada data yang dikumpulkan

melalui rancangan cohort, case control maupun cross sectional. Karena dalam

penelitian ini menggunakan uji cross sectional, maka untuk mengetahui pengaruh

secara bivariat dari variabel bebas dengan variabel terikat dilakukan dengan

menghitung prevalensi rate (PR) dan Confidence Interval (CI). Prevalensi rate

digunakan untuk mengetahui sejauh mana (berapa kali) faktor risiko

mempengaruhi terjadinya variabel terikat, misalnya : nilai nilai PR untuk variabel

penggunaan opioid adalah 3,01 ini berarti bahwa pasien yang menggunakan

opioid akan berisiko 3,01 kali mengalami POCD dibandingkan yang tidak

menggunakan opioid.

Page 69: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

57

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari tanggal 29 Oktober sampai dengan 29

Desember 2012 di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar terhadap

pasien yang mengalami pembedahan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Surat ijin rekomendasi penelitian dengan nomor LB.02.01/II.C5.D11/19568/2012

diperoleh dari Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar (Lampiran

7), serta Ethical Clearance dengan nomor 868/UN.14.2/Litbang/2012 dari Unit

Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah Denpasar (Lampiran 8).

1. Kondisi Lokasi Tempat Penelitian

RSUP Sanglah Denpasar merupakan rumah sakit rujukan utama untuk

wilayah Bali, NTB, dan NTT, memiliki visi menjadi rumah sakit unggulan dalam

bidang pelayanan, pendidikan dan penelitian tingkat nasional maupun

internasional. Dalam mewujudkan visi tersebut RSUP Sanglah berusaha dengan

segala upaya memberi Pelayanan yang Prima, sehingga dapat memuaskan

masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Pelayanan pembedahan/operasi

diselenggarakan dibeberapa tempat yaitu di IBS dengan 14 kamar operasi, di IRD

dengan 3 kamar operasi dan di Paviliun Amertha dengan 2 kamar operasi.

IBS RSUP Sanglah dibangun pada tahun 1959 dan pada tahun 2008

mengalami renovasi dengan jumlah kamar operasi menjadi 14 kamar. Kegiatan

operasi yang dilaksanakan selain operasi elektif, juga dikerjakan operasi sore serta

57

Page 70: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

58

one day care. IBS dipimpin oleh Kepala Instalasi dan Kepala Unit Pelayanan

Perawatan. Tenaga medik keperawatan sebanyak 60 orang (S1 Keperawatan 4

orang, D4 Keperawatan 3 orang, dan D3 Keperawatan 53 orang). Tenaga

nonmedik yang bertugas di Bagian Sekretariat, teknisi, dan Cleaning Service

sebanyak 12 orang. Pelayanan pembedahan dilaksanakan pada 14 kamar

bedah/operasi yang dimliki IBS. Klasifikasi ruang bedah ditentukan dari berbagai

jenis pembedahan dengan spesialistiknya yang meliputi Bedah Umum, Bedah

Orthopedi dan Traumatologi, Oncologi, Urologi, Digestive, Obstetri dan

Gynecologi, Bedah Plastik, THT, Mata, Bedah Saraf, Bedah Thorak dan

Kardiovaskuler, serta lain sebagainya. Dari bulan Oktober sampai Desember 2012

rata-rata pasien yang dikerjakan operasi lebih kurang 350-400 orang perbulannya.

2. Hasil Pengamatan terhadap Subyek Penelitian sesuai Variabel Penelitian

a. Hasil Pengamatan terhadap Variabel Penelitian

Tabel 2 Faktor Risiko Pembedahan

Faktor Risiko Pembedahan F %

Umur 60-69 tahun 49 70

≥ 70 tahun 21 30

Jenis Kelamin Laki-laki 42 60

Perempuan 28 40

Pendidikan Tinggi 26 37

Umum 44 73

Jenis Anastesi Regional 32 45,7

Umum 38 54,3

Lama Anastesi 1-2 jam 22 31,4

>2 jam 48 68,6

Page 71: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

59

Faktor Risiko Pembedahan F %

Prosedur

Pembedahan

Kardiak 1 1,4

Non Kadiak 69 98,6

Status Fisik ASA II 53 75,7

ASA III 17 24,3

Kejadian POCD POCD 29 41,4

Tidak POCD 41 58,6

Dilihat dari usia, responden dalam penelitian ini sebagian besar berusia

60-69 tahun yaitu sebanyak 49 orang (70%) dan sebagian lagi berusia >70 tahun

yaitu sebanyak 21 orang (30%). Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar

responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 42 orang

(60%) dan sebagian lagi berjenis kelamin perempuan sebanyak 28 orang (40%).

Dilihat dari karakteristik pendidikan sebagian besar responden tergolong

pendidikan rendah yaitu sebanyak 44 orang (63%) dan berpendidikan tinggi

sebanyak 26 orang (37%). Dilihat dari faktor risiko pembedahan terlihat bahwa

dilihat dari anastesi sebagian besar responden memperoleh anastesi umum

sebanyak 38 orang (54,3%), dengan lama anastesi sebagian besar >2 jam

sebanyak 48 orang (68,6%), dengan prosedur pembedahan non kardiak sebanyak

69 orang (98,6%), dengan responden berstatus fisik ASA II sebanyak 53 orang

(75,7%) dan yang mengalami kejadian POCD setelah anestesi sebanyak 29 orang

(41,4%).

Page 72: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

60

b. Hubungan Deskriptif Variabel Faktor Risiko dengan Kejadian POCD

(analisis bivariat)

Tabel 3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian POCD

Faktor Risiko Kejadian POCD

POCD Non POCD Total OR CI P

Jenis Kelamin

Laki-laki 18 24 42 0,863 0,326-2,285 0,766 Perempuan 11 17 28 Jenis Anastesi

Regional 15 23 38 1,193 0,459-3,097 0,717 Umum 14 18 32 Lama Anastesi

1-2 jam 13 35 48 7,179 2,310-22,311 0,000 >2 jam 16 6 22 Prosedur Pembedahan

Kardiak 0 1 1 1,025 0,977-1,076 0,397 Non Kadiak 29 40 69

Status Fisik ASA II 20 33 53 1,856 0,616-5,590 0,268 ASA III 9 8 17 Tingkat Pendidikan

Rendah 26 18 44 11,074 2,886-42,499 0,000 Tinggi 3 23 26

Usia >70 tahun 15 6 21 6,25 2,016-19,379 0,001 60-69 tahun 14 35 49

Dilihat dari tabel di atas yang menunjukkan hubungan dari faktor risiko

POCD dengan uji bivariat, diperoleh bahwa dari beberapa faktor secara bivariat

terlihat bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah

faktor lama anestesi (p=0,000, p<0,05) dengan RR sebesar 7,179, faktor tingkat

pendidikan (p=0,000, p<0,05) dengan RR sebesar 11,074 dan faktor usia

(p=0,001, p<0,05) dengan RR sebesar 6,25. Sedangkan faktor lainnya seperti

jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan dan status fisik ASA tidak

berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post operasi.

3. Hasil Analisis Data

Berdasarkan hasil uji bivariat seperti tampak pada tabel di atas, faktor

risiko yang memiliki nilai p<0,25 adalah lama anestesi (p=0,000), pendidikan

(p=0,000) dan tingkat pendidikan (0,001), sehingga faktor risiko tersebut dapat

Page 73: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

61

dimasukkan ke dalam uji regresi logistik. Hasil uji regresi logistik menunjukkan

hasil seperti tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 4 Hasil Analisis Multivariat

No. Variabel Koefisien P OR IK 95% 1 Usia 2,108 0,005 8,231 1,864-36,345 2 Lama Anestesi 2,460 0,002 11,704 2,514-54,477 3 Tingkat Pendidikan 2,648 0,002 14,119 2,743-72,668 Konstanta -3,646 0,000

Berdasarkan hasil uji regresi logistic, diperoleh bahwa ketiga factor

tersebut yaitu usia, lama anastesi dan tingkat pendidikan berpengaruh secara

bersama-sama dalam menentukan kejadian POCD pada pasien lanjut usia. Dari

hasil uji multivariate diperoleh nilai OR terbesar adalah factor tingkat pendidikan

yaitu sebesar 14,119, kemudian lama anestesi sebesar 11,704 dan paling kecil

adalah 8,231 adalah factor usia. Hal tersebut berarti bahwa tingkat pendidikan

rendah memiliki peluang 14 kali untuk mengalami POCD, selain itu pasien yang

mengalami lama anestesi lebih dari 2 jam memiliki peluang 11 kali untuk

mengalami POCD dan usia pasien >70 tahun memiliki peluang 8 kali untuk

mengalami POCD.

Berdasarkan hasil uji regresi logistic tersebut, maka usia, lama anestesi,

tingkat pendidikan dan kejadian POCD dapat dirumuskan sebagai persamaan

berikut :

Y=-3,646 + 2,108 usia + 2,460 lama anestesi + 2,648 tingkat pendidikan

Dari persamaan tersebut, usia responden memiliki nilai ketentuan 1 jika

pasien berusia ≥70 tahun dan 0 jika berusia 60-69 tahun, lama anestesi bernilai 1

jika lama anastesi >2 jam dan 0 jika 1-2 jam sedangkan tingkat pendidikan

Page 74: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

62

bernilai 1 jika pendidikan responden tidak sekolah atau SD dan 0 jika

berpendidikan diatas SD.

Berdasarkan persamaan tersebut, jika ketiga factor di atas tidak ada maka

kejadian POCD dapat diramalkan seperti rumus berikut :

Keterangan :

e = bilangan natural = 2,7

y = konstanta

Berdasarkan hasil tersebut, dapat diperoleh bahwa tanpa ketiga factor di

atas, probabilitas pasien untuk mengalami POCD adalah sebesar 2,6%.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini, pada pasien lanjut usia yang dilakukan pembedahan

ditemukan kejadian gangguan kognitif sebanyak 29 orang (41,4%). Kejadian

POCD pada pasien lanjut usia seperti dikemukakan oleh Wijoto dan Andriyanto

(2009), menunjukkan bahwa setelah tujuh hari pasca operasi 30% lansia

mengalami gangguan atensi, 36% mengalami gangguan memori dan 52% sampel

mengalami disfungsi kognitif pasca operasi. Menurut Setiati, Harimurti dan

Roosheroe (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif yang terjadi pada

Page 75: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

63

lansia, meliputi berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual,

berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi

melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya

kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari

memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan

kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Gangguan kognitif merupakan gangguan kemampuan berpikir dan

memberikan rasionalisasi, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi

dan memperhatikan (Stuart dan Sundeen, 2002). Gangguan kognitif meliputi

gangguan dalam pikiran atau ingatan yang menggambarkan perubahan nyata dari

tingkat fungsi individu yang sebelumnya (APA, 2000). Gangguan kognitif

(Cognitive Disorder) disebabkan oleh kondisi fisik atau medis (misalnya, otak

mengalami kerusakan, mengalami gangguan karena penyakit, luka-luka, atau

stroke), dan penggunaan obat atau pemberhentian penggunaan obat-obatan secara

tiba-tiba yang mempengaruhi fungsi dari otak. Faktor psikologis di sini berperan

sebagai penentu dampak dari simtom-simtom yang melumpuhkan. Misalnya,

bagaimana cara individu akan mengatasi penurunan kemampuan kognitif dan

fisiknya.

Gangguan kognitif terjadi apabila otak mengalami kerusakan atau

mengalami penurunan kemampuan untuk berfungsi akibat luka-luka, penyakit,

keterpaparan terhadap racun-racun, atau penggunaan atau penyalahgunaan obat-

obatan psikoaktif. Derajat dan lokasi kerusakan otak banyak menentukan tingkat

dan keparahan dari penurunan fungsi otak. Biasanya, semakin menyebar

Page 76: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

64

kerusakannya, semakin besar dan semakin parah penurunan fungsi yang dialami.

Lokasi kerusakan juga sangat penting karena banyak struktur atau daerah otak

yang menampilkan fungsi-fungsi khusus. Misalnya, kerusakan pada lobus

temporal dihubungkan dengan kerusakan dalam ingatan dan perhatian, sedangkan

kerusakan pada lobus oksipital mungkin menghasilkan defisit visual-spasial,

seperti hilangnya kemampuan untuk mengenali wajah (APA, 2000).

Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai

kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam

pemrosesan informasi (Papalia, Olds & Feldman, 2008). Penurunan terkait

penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan

memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada

struktur dan fungsi otak. Raz dan Rodrigue (dalam Myers, 2008) menyebutkan

garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi

volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran

sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum,

penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan

mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodrigue

(dalam Myers, 2008) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia

alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah

posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers, 2008). Buruknya lobus

frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis,

dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan

dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut

Page 77: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

65

memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif

(Rodriguez-Aranda & Sundet dalam Myers, 2008).

Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh bahwa faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia terdiri dari faktor

lama anestesi (p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor usia

(p=0,001, p<0,05).

Dilihat dari lama anastesi menunjukkan bahwa lama anastesi > 2 jam

berisiko untuk mengalami POCD. Hal ini didukung oleh pendapat Mansjoer

(2007), yang mengemukakan bahwa pasien yang dilakukan operasi dengan waktu

3-4 jam mempunyai risiko komplikasi pasca operasi lebih tinggi dibandingkan

dengan waktu operasi kurang dari 2 jam dengan perbandingan 40% dan 8%.

Dilihat dari pendidikan, terlihat bahwa pendidikan lebih rendah memiliki

kecenderungan untuk mengalami POCD dibandingkan dengan yang

berpendidikan tinggi. Menurut Scanlan, et al (2007) fungsi kognitif kelompok

dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok

dengan pendidikan lebih tinggi (Scanlan, 2007). Banyak studi menunjukkan

bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit

Alzheimer (Scanlan, 2007). Tingkat fungsi intelektual premorbid mempengaruhi

kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan respons terhadap rehabilitasi.

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijoto dan Andriyanto

(2009) yang mengemukakan bahwa POCD tidak dipengaruhi oleh pendidikan

(p=0,921).

Page 78: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

66

Dilihat dari usia, hasil penelitian ini didukung oleh Scanlan, et al (2007),

yang menyebutkan adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi

kognitif dimana terjadi 16% pada kelompok usia 65-69, 21% pada 70-74, 30%

pada 75-79, dan 44% pada >80 tahun. Dengan meningkatnya usia dapat terjadi

perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan

morfologi (proses degenerative). Usia lanjut juga menyebabkan otak lebih rentan

terhadap efek primer atau sekunder anastesi sehingga efek terjadinya gangguan

kognitif lebih besar (Scanlan, et al, 2007).

Korelasi yang tinggi antara kognisi dan pasca-operasi premorbid

kebingungan, disorientasi, penurunan kesadaran, dan bahkan kematian (White,

2002). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Canet et al (2003), yang mengemukakan bahwa usia lanjut usia >70 tahun

memiliki risiko lebih tinggi daripada usia dibawah 70 tahun untuk mengalami

disfungsi kognitif. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wijoto dan Andriyanto (2009), yang mengemukakan bahwa POCD tidak

dipengaruhi oleh usia (p=0,798).

Faktor – faktor yang tidak berhubungan dengan kejadian POCD dalam

penelitian ini adalah jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur pembedahan dan status

fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian POCD pada pasien lanjut usia post

operasi. Dilihat dari jenis kelamin, hal ini berbeda dengan Myers (2008) yang

mengungkapkan bahwa wanita lebih beresiko mengalami penurunan kognitif. Hal

ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam perubahan

fungsi kognitif. Menurut Canet et al (2003), wanita pada usia lanjut memiliki

Page 79: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

67

kecenderungan mengalami disfungsi kognitif lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Tidak adanya perbedaan antara jenis kelamin wanita dan pria dalam penelitian ini

kemungkinan disebabkan karena pengaruh factor lain yang lebih dominan seperti

lama anastesi, usia dan pendidikan responden.

Dilihat dari jenis anastesi, menunjukkan bahwa jenis anastesi tidak

berpengaruh terhadap kejadian POCD. Menurut Mansjoer (2007), data tidak

menunjukkan apakah rata-rata komplikasi anastesi spinal atau epidural lebih

rendah dibandingkan dengan anastesi umum. Menurut Yeager (dalam Mansjoer,

2007) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara anestesi spinal

atau anestesi umum pada operasi abdomen.

Dilihat dari prosedur pembedahan, terlihat bahwa dalam penelitian ini

tidak berpengaruh. Hal ini berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Mansjoer (2007) yang menyatakan bahwa 25-30% dari semua kematian

perioperatif karena penyebab kardiak, sehingga operasi pada pasien lanjut usia

dengan prosedur kardiak akan sangat berpengaruh terhadap kejadian POCD.

Dalam penelitian ini, operasi kardiak hanya dilakukan pada 1 responden saja

sehingga tidak mewakili variabel dalam penelitian ini.

Salah satu faktor penyakit penting yang mempengaruhi penurunan kognitif

lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah kronis dapat meningkatkan efek

penuaan pada struktur otak, meliputi reduksi substansia putih dan abu-abu di lobus

prefrontal, penurunan hipokampus, meningkatkan hiperintensitas substansia putih di

lobus frontalis. Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner dan

penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi kognitif

(Briton &Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).

Page 80: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

68

Salah satu langkah penting dalam manajemen disfungsi kognitif menurut

Bradley (2004) dapat dilakukan dengan melakukan kewaspadaan terhadap faktor

risiko yang dialami oleh pasien. Strategi intervensi faktor risiko gangguan kognitif

mencakup manajemen enam faktor risiko kunci pada gangguan kognitif,

gangguan tidur, imobilitas, gangguan visual, gangguan pendengaran dan dehidrasi

dapat mengurangi episode dan lama durasi masuk rumah sakit pada pasien tua

yang mengalami delirium gangguan kognitif. Dengan demikian, bagi petugas

kesehatan terutama yang bertugas di ruang operasi perlu mengidentifikasi ketiga

faktor tersebut untuk meminimalisir terjadinya POCD pada pasien lanjut usia

yang mengalami pembedahan.

C. Keterbatasan Penelitian

Setiap penelitian memiliki berbagai keterbatasan, dalam penelitian ini pun

terdapat beberapa keterbatasan diantaranya terdapat beberapa variabel faktor yang

memiliki jumlah yang terbatas seperti jumlah responden yang mengalami

pembedahan kardiak. Selain itu, dalam penelitian ini perlu dilakukan homogenitas

sampel sehingga seluruh sampel yang diteliti dapat menggambarkan variabel yang

diteliti.

Page 81: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

69

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bahasan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Kejadian POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

terjadi sebesar 41,4%

2. Responden yang mengalami POCD di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP

Sanglah Denpasar sebagian yang berusia ≥ 70 tahun yaitu sebanyak 15

orang dan yang berusia 60-69 tahun sebanyak 14 orang.

3. Responden yang mengalami POCD dialami oleh responden dengan lama

anastesi > 2 jam yaitu sebanyak 16 orang dan 1-2 jam sebanyak 13 orang

4. Responden yang mengalami POCD sebagian 14 orang dialami oleh

responden yang menggunakan anastesi umum dan 15 orang menggunakan

anastesi regional

5. Responden yang mengalami POCD sebagian besar dialami oleh laki-laki

yaitu sebanyak 18 orang, sedangkan pada perempuan terjadi sebanyak 11

orang

6. Responden yang mengalami POCD sebagian besar dialami oleh responden

yang berpendidikan rendah yaitu sebanyak 26 orang dan hanya 3 orang pada

responden yang berpendidikan tinggi.

7. Responden yang mengalami POCD 20 orang terjadi pada pasien dengan ASA

II dan 9 orang terjadi pada ASA III di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP

Sanglah Denpasar

69

Page 82: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

70

8. Responden yang mengalami POCD dialami 29 orang pasien yang mengalami

pembedahan non kardiak, dan dari total pembedahan hanya 1 orang pasien

yang mengalami pembedahan kardiak di Ruang Instalasi Bedah Sentral

RSUP Sanglah Denpasar

9. Dari beberapa faktor yang diteliti, secara bivariat terlihat bahwa faktor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian POCD adalah faktor lama anestesi

(p=0,000), faktor tingkat pendidikan (p=0,000) dan faktor usia (p=0,001).

Sedangkan faktor lainnya seperti jenis kelamin, jenis anastesi, prosedur

pembedahan, dan status fisik ASA tidak berpengaruh terhadap kejadian

POCD pada pasien lanjut usia post operasi (p>0,05). Dari hasil uji

multivariate diperoleh nilai RR terbesar adalah faktor tingkat pendidikan

yaitu sebesar 14,119, kemudian lama anestesi sebesar 11,704 dan paling kecil

adalah 8,231 adalah faktor usia. Dari hasil uji regresi logistic diperoleh

persamaan sebagai berikut: Y=-3,646 + 2,108 usia + 2,460 lama anestesi +

2,648 tingkat pendidikan. Dimana, probabilitas pasien untuk mengalami

POCD tanpa pengaruh factor tersebut adalah sebesar 2,6%.

B. Saran

1. Kepada Direksi Rumah Sakit Sanglah Denpasar

Mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang

berpengaruh dalam penelitian ini yang dapat dimodifikasi adalah lama anestesi

untuk itu kepada Direksi Rumah Sakit Sanglah agar menekankan kebijaksanaan

penggunaan anestesi yang tidak terlalu lama pada operasi pasien lansia.

Page 83: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

71

2. Kepada Kepala Ruang IBS Rumah Sakit Sanglah Denpasar

Diharapkan kepada pasien lansia yang mengalami operasi agar pasien

dilakukan pemberian informasi tentang post operasi dan penatalaksanaan post

operasi yang tepat untuk mencegah terjadinya POCD.

3. Kepada Perawat Ruang IBS Rumah Sakit Sanglah Denpasar

Bagi perawat mengingat bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh

terhadap terjadinya POCD pada pasien lansia, maka diharapkan agar perawat

ruang IBS lebih mengoptimalkan komunikasi, orientasi, dan pengawasan post

operasi terutama pada pasien yang memiliki faktor yaitu lama anestesi lebih dari 2

jam, usia >70 tahun dan dengan tingkat pendidikan dibawah SMP.

4. Kepada Peneliti Selanjutnya

Mengingat bahwa jumlah sampel tiap variabel dalam penelitian ini tidak

merata, untuk selanjutnya agar hasil penelitian lebih presentatif diharapkan agar

penelitian dilakukan dengan sampel yang lebih homogen terutama dengan

melakukan kontrol terhadap beberapa variabel yang tidak berhubungan dalam

penelitian ini.

Page 84: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

72

DAFTAR PUSTAKA Allison, dkk., 2009, Geriatric Anesthesia. In : World Journal of Anesthesiology,

USA: Departemen of Anesthesiology National Naval Medical Centre. Bekker, 2003, Cognitive function after anaesthesia in the elderly, Best Practice &

Research Clinical AnaesthesiologyVol. 17, No. 2, pp. 259–272, 2003doi:10.1053/ybean.2003.284, Available at (Online) :www.elsevier.com/locate/jnlabr/ybean

Beck, C.M., Rawlins, R.P., dan William, S.R.,2006, Mental Health Psychiatric

Nursing: A Holisticlife-Cycleapproach. St.Louis: The CV. Mosby Company.

Bradley, 2004, Neurology in clinical practice Principles of Diagnosis and

Management. Principles of Diagnosisand Management. Philadelphia : Curchil Livingstone Elsevier.

Canet, 2003, Cognitive dysfunction after minor surgery in the elderly, Acta

Anaesthesiol Scand 2003; 47: 1204—1210. Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb (diakses tanggal 12 Juli 2012).

Fitriani, 2012, Gangguan Amnestik, Available at (Online) : http://usu-

repository.or.id (diakses tanggal 12 Juli 2012). Hidayat, 2009, Metode Penelitian Keperawatan dan TekhnikAnalisis Data.

Jakarta: Salemba Medika. Krenk, et al, 2010, New insights into the pathophysiology of postoperative

cognitive dysfunction, Acta Anaesthesiol Scand 2010; 54: 951–956, Available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb.

Kusumoputro, Sidiarto, 2010, Fungsi Luhur Otak : Higher Brain Function

Neurobehavior, Jakarta : UI-PRESS. Lueckenotte, 1998, Pengkajian Gerontologi, Jakarta : EGC. Mansjoer, 2007, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta.: EGC. Martono, 2009, Buku Ajar Geriatri, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Miller, 2010,Millers Anesthesia Volume 2, Philadelphia : Curchil Livingstone

Elsevier. Myers, 2008, Neuroscience and Behavior, Philadelphia : Curchil Livivingstone Elsevier. Nevid, dkk., 2003, Psikologi Abnormal jilid dua edisi kelima, Jakarta : Erlangga.

Page 85: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

73

Nugroho, 2008, Keperawatan Gerontik dan Geriatri, Jakarta : EGC. Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika. Papalia Diane. E, Sally Wendkos Olds , Ruth Duskin Feldman. 2001. Human

Development eighth edition. New York : Mc Graw Hill Riwidikdo, 2007,Statistik Kesehatan, Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. Riyanto, 2012, Penerapan Analisis Multivariat dalam Penelitian Kesehatan,

Jogyakarta : Nuha Medika. Rohan, 2004, Increased incidence of postoperative cognitive dysfunction 24 hr

after minor surgery in the elderly, available at (Online) : http://proquest.com/pqdweb

Saunders, 2005, Medical Nursing : A Nursing Procces Apporach, Philadelphia :

WB. Saunders. Shafer, 2009, Taltered Thread, Anesthesia, Philadelphia : Curchil Livingstone

Elsevier. Setiadi, 2007, Konsep penulisan riset keperawatan. Jogyakarta: Graha Ilmu Setiati, Harimurti dan Roosheroe, 2006, Geriatri: Demensia (dalam Sudoyo,

Setiyohadi, dan Simadibrata) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Smeltzer dan Bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8.

Jakarta : EGC. Stuart dan Sundeen, 2002, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC. Sugiyono (2007) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B, Bandung :

Alfabeta. Wijoto dan Andriyanto, 2009, Disfungsi Kognitif Pasca Operasi Pada Pasien

Operasi Elektif diGBPT RSU Dr. Sutomo Surabaya, Surabaya : Universitas Airlangga (tidak dipublikasikan)

White, 2002, The neuropathogenesis of delirium, Available at (Online) :

http://proquest.com/pqdweb

Page 86: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

74

Yasril dan Kasjono, 2009, Analisis Multivariat : Untuk Penelitian Kesehatan, Jogyakarta : Mitra Cendikia Press

Page 87: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

75

Lampiran 1

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

No. Kegiatan

Waktu

Sept’12 Okt’12 Nop’12 Des’12 Jan’13 Feb’12

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Penyusunan Proposal

2 Seminar Proposal

3 Revisi Proposal

4 Pengumpulan data

5 Pengolahan data

7 Analisis data

8 Penyusunan laporan dan

konsultasi

9 Sidang hasil penelitian

10 Revisi laporan

11 Pengumpulan Skripsi

Page 88: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

76

Lampiran 2

ANGGARAN BIAYA PENELITIAN

Dana yang telah dihabiskan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

No Kegiatan Realisasi Biaya

A

B

C

Menyusun proposal

1. Pembelian buku sumber

2. Pengetikan, penjilidan, dan

penggandaan

3. Seminar proposal

4. Perbaikan proposal

Pelaksanaan penelitian

1. Pengurusan ijin penelitian

2. Penyebaran kuesioner

3. Pengetikan, penjilidan, dan

penggandaan

Pengakhiran Penelitian

1. Seminar KTI

2. Perbaikan laporan

3. Honor penguji

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

Rp.

200.000

100.000

200.000

150.000

100.000

100.000

150.000

100.000

100.000

350.000

Total Biaya Rp. 1.550.000

Page 89: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

77

Lampiran 3

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :I Gusti Ngurah Putu

NIM : 1102115010

Jurusan : Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini

benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan

atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil

jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, September 2012

Yang membuat pernyataan,

(Penulis)

Page 90: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

78

Lampiran 4a

PENGANTAR KUESIONER

Judul Penelitian : Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar

Peneliti : I Gusti Ngurah Putu Pembimbing I : Ns. Putu Oka Yuli Nurhesti, S.Kep., MM Pembimbing II :.Ns I Putu Artawan, S.Kep. Bapak/Ibu Yang Terhormat , Saya adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Dalam rangka menyelesaikan Tugas Akhir, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul "Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Insiden “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia Di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar". Pengumpulan data menggunakan instrumen ini saat penelitian, agar tidak terjadi kesalahan mohon dibaca dengan seksama. Hasil penelitian ini sangat tergantung pada jawaban yang Bapak/Ibu berikan, oleh karena itu saya mohon diisi sesuai dengan yang saudara rasakan. Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu akan dijaga dan tidak akan disebarluaskan. Penulisan identitas pada lembar instrumen penelitian cukup dengan inisial saudara, misalnya Nyoman Putra ditulis NP.

Saya sangat menghargai kesediaan, perhatian serta perkenaan Bapak/Ibu. untuk itu saya sampaikan terima kasih. Semoga partisipasi Saudara dapat mendukung dalam pengembangan ilmu kepeawatan dan kinerja profesi di masa mendatang.

Denpasar, September 2012 Peneliti

(I Gusti Ngurah Putu)

Page 91: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

79

Lampiran 4b

PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

Prosedur dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sebagai

berikut :

1. Mengidentifikasi calon responden, untuk mengetahui apakah responden

memenuhi kriteria inklusi melalui studi catatan medic pasien

2. Mencatat data demografi responden, dan laporan operasi sesuai dengan

variabel sampai post operasi (tercatat dalam catatan medik pasien)

3. Melakukan wawancara kepada pasien dengan melibatkan perawat yang

bertugas di Ruang IBS sebagai enumerator. Enumerator sebelumnya

dilakukan penyamaan persepsi melalui penjelasan oleh peneliti dan peneliti

melakukan evaluasi terhadap enumerator sampai terjadi persamaan persepsi

dengan wawancara yang akan dilakukan (mengetahui data kemampuan

kognitif pasien post operasi)

4. Teknik wawancara dilakukan berpedoman pada teknik-teknik sebagai berikut :

a. Wawancara dilakukan kurang dari 10 menit, dimaksudkan untuk menghindari

terjadinya stress pada responden atau kelelahan yang berlebih

b. Wawancara dilakukan 3-6 jam setelah operasi

c. Wawancara dilakukan dengan sopan dan menghargai privasi pasien dan

perawat harus selalu menjaga privasi dan hak pasien

d. Wawancara dilakukan dengan intonasi yang jelas dan menggunakan bahasa

yang dimengerti responden.

Page 92: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

80

e. Pewawancara sebelum melakukan wawancara memberikan perasaan yang

nyaman dan membina hubungan saling percaya sehingga jawaban yang

diberikan lebih tepat dan berdasarkan kemampuan responden yang

sebenarnya.

f. Pewawancara mencatat apa yang dijawab responden pada kuesioner yang

diberikan dengan menuliskan jawaban responden pada kolom yang

disediakan. Selain itu, kuesioner yang diberikan harus diisi dengan data yang

lengkap sesuai dengan pasien yang diwawancarai.

g. Memberikan salam dan terimakasih setelah wawancara selesai

Page 93: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

81

Lampiran 5

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya telah mendapatkan penjelasan dengan baik mengenai tujuan dan

manfaat penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap

Insiden “Post Operative Cognitive Dysfunction” (POCD) Pada Lansia Di

Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar” Saya mengerti

bahwa saya akan diminta untuk mengisi kuesioner kecemasan untuk mengetahui

tingkat kecemasan saya saat ini.

Saya mengerti bahwa catatan mengenai data penelitian ini akan

dirahasiakan, dan kerahasiaan ini akan dijamin. Informasi mengenai identitas saya

tidak akan ditulis pada instrumen penelitian.

Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk berperan serta dalam

penelitian ini atau mengundurkan diri dari penelitian setiap saat tanpa adanya

sanksi atau kehilangan hak-hak saya.

Saya telah diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini

atau mengenai peran serta saya dalam penelitian ini dan telah dijawab serta

dijelaskan secara memuaskan. Saya secara sukarela dan sadar bersedia berperan

serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat persetujuan menjadi

responden.

Denpasar, ...................2012

Peneliti,

(I Gusti Ngurah Putu)

Responden,

(.....................................)

Page 94: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

82

Lampiran 6

Lembar Kuesioner Pengumpulan Data

Isilah data dibawah ini sesuai dengan keadaan Pasien Saat Ini

A. Data Demografi (diisi oleh perawat sesuai dengan hasil catatan medik

pasien selama dan sesudah operasi)

1. Umur saat ini :

60-70 tahun

>70 tahun

2. Jenis Kelamin :

Laki-laki

Perempuan

3. Jenis Anastesi yang digunakan :

Regional

Umum

4. Lama Anastesi

1-2 jam

>2 jam

5. Prosedur pembedahan

Non Kardiak

Kardiak

6. Status Fisik ASA

ASA II

ASA III

7. Tingkat Pendidikan

Dasar

Menengah

Tinggi

Page 95: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

83

B. Data Kuesioner

Nama klien : …………………………………. Tanggal : …………………

Jenis kelamin : L/P Umur : ………..tahun TB/BB : …… cm/ …… kg Tahun Pendidikan : …SD, …SLTP, …SLTA, ....PT

Alamat :……………………………………………………… Nama Pewawancara : ………………………..……………………………

Skor No Pertanyaan Jawaban B S 1 Tanggal berapa hari ini ? Hari tgl th 2 Hari apa sekarang ini ? 3 Apa nama tempat ini ? 4 Berapa nomor telepon Anda ?

4. a. Dimana alamat Anda : (tanyakan bila tidak memiliki telepon

5 Berapa umur Anda ? 6 Kapan Anda lahir ? 7 Siapa presiden Indonesia sekarang ? 8 Siapa presiden sebelumnya ? 9 Siapa nama kecil ibu Anda ? 10 Kurang 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari

setiap angka baru, semua secara menurun ?

Jumlah kesalahan total Keterangan : 1. Kesalahan 0 – 2 Fungsi intelektual utuh

2. Kesalahan 3 – 4 Kerusakan Ringan 3. Kesalahan 5 – 7 Kerusakan Sedang

4. Kesalahan 8 – 10 Kerusakan Berat Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan bila subyek hanya

berpendidikan sekolah dasar. Bisa dimaklumi bila kurang dari satu kesalahan bila subyek mempunyai

pendidikan di atas sekolah menengah atas.

SHORT PORTABLE MENTAL STATUS QUESTIONNAIRE

(SPMSQ)

Page 96: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

84

Lampiran 10 Hasil Uji SPSS 1. Analisis Univariat

 

Page 97: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

85

Page 98: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

86

2. Analisis Bivariat a. Hubungan Umur dan kejadian POCD/DKPO

Page 99: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

87

b. Hubungan Jenis Kelamin dan Kejadian POCD/DKPO

Page 100: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

88

c. Hubungan Jenis Anastesi dengan gangguan POCD/DKPO

Page 101: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

89

d. Hubungan Lama Anastesi dengan gangguan DKPO

Page 102: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

90

e. Hubungan Prosedur Pembedahan dengan Gangguan DKPO

Page 103: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

91

f. Hubungan Status Fisik ASA dengan Kejadian DKPO

Page 104: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

92

g. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kejadian DKPO

Page 105: 1102115010 i Gusti Ngurah Putu

93

3. Analisis Multivariat

Memasukkan data hasil bivariat yang memiliki nilai p<0,25 ke dalam

ujiregresi logistic sehingga diperoleh hasil yaitu sebagai berikut :