1 · web viewpembangunan daerah a. umum sesuai amanat tap mpr no. iv/mpr/1999 tentang gbhn...

134
BAB IX PEMBANGUNAN DAERAH A. UMUM Sesuai amanat TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999–2004, kebijakan umum

Upload: lykhue

Post on 09-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IX

PEMBANGUNAN DAERAH

A. UMUM

Sesuai amanat TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999–2004, kebijakan umum pembangunan daerah diarahkan kepada pengembangan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat,

dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan pengembangan otonomi daerah tersebut kebijakan yang ditempuh melalui (i) upaya mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumberdaya; (ii) menata dan memantapkan struktur kelembagaan manajemen pemerintah daerah terutama yang dapat meningkatkan kredibilitas kelembagaan yang bebas KKN sebagai perwujudan pemerintahan yang baik (Good Governance); (iii) pengembangan kelembagaan melalui peningkatan manajemen personil dan pelayanan publik; (iv) meningkatkan kompetensi aparatur pemerintah daerah sesuai potensi dan kepentingan daerah melalui berbagai pendidikan dan pelatihan; serta (v) memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka melaksanakan fungsi dan perannya guna penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

Kebijakan umum tersebut kemudian dijabarkan dalam program-program pembangunan daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebanyak 20 (dua puluh) program, yang dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok program Bidang Pembangunan Daerah yaitu: (1) mengembangkan otonomi daerah, (2) mempercepat pengembangan wilayah, (3) meningkatkan pemberdayaan masyarakat, dan (4) mempercepat penanganan khusus NAD, Papua, dan Maluku.

Dalam mengimplementasikan arah kebijakan Bidang Pembangunan Daerah, langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang dituangkan dalam Program Kerja Kabinet Gotong Royong, yang meliputi; (i) mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (ii) meneruskan reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan nasional, melalui kerangka, arah dan agenda yang lebih jelas, dengan terus meningkatkan penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia, serta (iii) normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat.

IX – 2

Selanjutnya pelaksanaan kebijakan desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah berlangsung sejak Januari 2001 dengan tahapan proses secara makro yaitu: 1) Tahapan Inisiasi, selama tahun 2001; 2) Tahapan Instalasi, berlangsung tahun 2002-2003; 3) Tahapan Konsolidasi, yang diproyeksikan berlangsung tahun 2004-2007; dan akhirnya 4) Tahapan Stabilitasi, yang berlangsung setelah tahun 2007.

Tahun 2004 merupakan tahap konsolidasi yang telah dilakukan berbagai upaya untuk menyempurnakan dan sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, yang terkait dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.

Dalam kebijakan pembangunan ekonomi daerah diarahkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah; meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.

Kebijakan dalam rangka mengurangi kesenjangan pemenuhan perumahan bagi masyarakat terutama kelompok berpendapatan rendah dilaksanakan melalui dua pendekatan yaitu; melakukan percepatan pemenuhan rumah (supply) terutama bagi segmen golongan rendah, dan meningkatkan kemampuan masyarakat (affordability) untuk mendapatkan rumah.

Khusus mengenai penyediaan prasarana dan sarana air minum dan air limbah serta pengelolaan persampahan dan drainase, selain dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka kebijakan yang diterapkan terkait dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam pencapaian Millennium Development Goals (MDG). Target yang harus dicapai pada tahun 2015 yaitu pengurangan separuh penduduk

IX – 3

yang tidak mendapatkan akses terhadap air minum (safe drinking water) dan sanitasi dasar (basic sanitation). Upaya yang dilakukan adalah mendorong pemenuhan target MDGs tersebut.

Untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, arah kebijakan yang ditempuh adalah peningkatan pembangunan seluruh daerah di kawasan timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah; dan untuk mempercepat pembangunan daerah perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan kebijakan yang ditempuh diarahkan kepada peningkatan penyediaan prasarana, pembangunan agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.

Sementara itu, penanganan daerah khusus ditempuh melalui pengembangan otonomi daerah di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh-sungguh. Di provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua, dan Maluku ditempuh berbagai kebijakan khusus. Arah kebijakan yang ditempuh bagi Provinsi NAD adalah: (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh melalui penetapan Provinsi NAD sebagai daerah otonom khusus yang diatur dengan undang-undang, (b) menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi pelanggar hak asasi manusia, baik selama pemberlakuan daerah operasi militer maupun pasca pemberlakuan daerah operasi militer. Sementara itu, arah kebijakan khusus bagi Provinsi Papua diarahkan untuk (a) mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang, (b) menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua melalui proses pengadilan yang jujur dan

IX – 4

bermartabat. Sedangkan bagi Provinsi Maluku kebijakan yang ditempuh adalah melalui upaya penyelesaian konflik sosial yang berkepanjangan secara adil, nyata, dan menyeluruh serta mendorong masyarakat yang bertikai agar pro-aktif melakukan rekonsiliasi untuk mempertahankan dan memantapkan integrasi nasional.

Meski dalam kurun waktu yang relatif singkat, dengan dukungan berbagai komponen bangsa, pelaksanaan kebijakan umum pembangunan daerah melalui berbagai program pembangunan mulai tahun 2001 sampai dengan 2004 yang ditujukan bagi pencapaian program kerja Kabinet Gotong Royong telah memberikan hasil yang menggembirakan. Dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, program pembanguan daerah telah memberikan sumbangan yang berarti melalui berbagai program dalam pengembangan wilayah. Beberapa hasil yang telah dicapai dari pengembangan wilayah antara lain adalah: meningkatnya keterpaduan jaringan dan pengelolaan sarana dan prasarana ekonomi wilayah, termasuk di kawasan transmigrasi, serta aksesisibilitas antar daerah; meningkatnya pembangunan pada wilayah strategis dan cepat tumbuh melalui peran dan kerjasama pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha seperti di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, dan pengembangan kawasan transmigrasi.

Penanganan daerah-daerah terisolir, tertinggal, wilayah pesisir, wilayah laut dan pulau-pulau kecil telah dilaksanakan melalui upaya-upaya yang terkoordinasi dan terpadu. Berbagai upaya tersebut telah mendorong proses pembangunan secara terpadu pada daerah dan kawasan tertinggal, wilayah pesisir dan laut, serta pulau-pulau kecil. Dalam rangka penanganan daerah perbatasan, beberapa hasil yang telah dicapai adalah tersusunnya konsep naskah akademis RUU tentang Batas Wilayah RI; meningkatnya kerjasama dengan negara tertangga yang ditandai dengan berbagai pertemuan bilateral dan kerjasama ekonomi dalam pengembangan beberapa kawasan serta terbinanya pos lintas batas dan kelembagaan; pengembangan pulau-pulau terluar yang strategis.

IX – 5

Sementara itu dalam rangka penanganan masalah pertanahan secara bertahap telah dilakukan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) secara komprehensif dan sistematis pada desa/kelurahan di setiap provinsi, sebagai tindak lanjut amanat TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Juga telah ditingkatkan penanganan/penyelesaian masalah dan sengketa pertanahan. Dalam rangka penanganan kasus-kasus pertanahan tersebut telah dilakukan kerjasama dengan DPR RI cq Komisi II dalam penyelesaian kasus-kasus pertanahan yang strategis yang mempunyai dampak terhadap masyarakat banyak. Selain itu dilakukan kerjasama dengan POLRI dan Mahkamah Agung dalam penanganan kasus-kasus pertanahan tersebut.

Dalam meneruskan proses reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan nasional, melalui kerangka arah dan agenda yang lebih jelas, dengan terus meningkatkan penghormatan terhadap HAM, Program Pembangunan Daerah telah memberikan kontribusi yang cukup besar antara lain melalui: pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 beserta peraturan perundang-undangan pendukung dalam implementasinya. Sejalan dengan itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pusat untuk mendukung desentralisasi dan otonomi daerah dalam bidang SDM aparat pemda, kelembagaan pemerintahan daerah, penataan pengelolaan keuangan daerah, pengembangan kerjasama antara pemerintah dengan lembaga non-pemerintah, penataan kewenangan, penyusunan standar pelayanan minimal (SPM), pengawasan pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, fasilitasi perencanaan di daerah, fasilitasi pelaksanaan prinsip kepemerintahan yang baik, dan fasilitasi pembentukan daerah otonom baru; telah diselesaikannya berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan kebijakan otonomi daerah; dan telah dibatalkannya beberapa Perda yang dinilai kontraproduktif.

IX – 6

Sejalan dengan dinamika politik yang berkembang serta merespon aspirasi masyarakat, sampai tahun 2004 ini telah terbentuk 6 provinsi baru (total 32 provinsi), 80 kabupaten baru (sehingga total 349 kabupaten), dan 6 kota baru (sehingga total 91 kota) yang ditetapkan melalui Undang-Undang. Disamping itu, dalam rangka memantapkan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, telah dilakukan upaya penyempurnaan UU No. 22/1999 yang saat ini dalam tahap pembahasan dengan DPR RI. Pada dasarnya penyempurnaan UU tersebut dimaksudkan untuk: memperjelas fungsi desentralisasi dan kewenangan, mendudukkan kembali pembagian kewenangan secara jelas dan tegas terhadap pasal-pasal yang sering menjadi permasalahan; mendudukkan kembali dan memperjelas masalah penerapan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; masalah pengawasan oleh pemerintah pusat; masalah hubungan antara legislatif, eksekutif dan masyarakat di daerah; masalah hirarki hubungan tingkatan pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Disamping itu, saat ini juga sedang dibahas pula Revisi UU No.25/1999 yang dimaksudkan untuk mempertegas pengelolaan sumber-sumber kekayaan nasional secara lebih proporsional dan berkeadilan sejalan dengan semakin tegasnya pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan; untuk menjamin distribusi sumber kekayaan negara secara merata dan mewujudkan keseimbangan antar daerah (horizontal balances) dan keseimbangan antara pusat dan daerah (vertical balances); mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif lokal bagi pengembangan sumber-sumber pembiayaan pembangunan di daerah. Tujuan utama dari revisi tersebut adalah agar pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat berjalan lebih baik lagi sehingga akan mempercepat proses reformasi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memperkokoh persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta pulihnya fungsi organisasi massa sebagai sarana pembibitan kader, penyampaian aspirasi masyarakat dan pengembangan masyarakat madani yang otonom dan majemuk.

Sementara untuk mendorong upaya normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat, hasil yang telah dicapai sampai tahun 2004 antara lain adalah: tersusunnya model dalam hal upaya peningkatan pemberdayaan

IX – 7

masyarakat yang didukung oleh umpan balik pemberdayaan masyarakat; diperkuatnya kemampuan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat di wilayah tertinggal, serta akses yang meningkat dalam mengembangkan bantuan modal usaha. Sementara itu untuk membantu masyarakat perdesaan dalam mengembangkan usahanya yang berorientasi ke daerah perkotaan, dukungan infrastruktur peningkatan kesejahteraan masyarakat desa telah meningkat. Demikian pula bagi masyarakat perkotaan, selama empat tahun pelaksanaan program telah berhasil menambah berbagai sarana dan prasarana perkotaan, merehabilitasi lingkungan permukiman kumuh, menyediakan kredit mikro penduduk miskin, dan meningkatnya kapasitas pengelolaan perkotaan dan penerapan tata pemerintahan yang baik.

Pembangunan daerah dan pengembangan wilayah tidak terlepas dari rencana tata ruang yang ditetapkan melalui peraturan dan perundangan sehingga dapat menjamin pelaksanaannya. Dalam rangka penataan ruang yang mengacu kepada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah maka telah tersusun naskah rancangan amandemen UU No.24 tahun 1992 dan ditetapkannya 2 (dua) peraturan pemerintah penjelasannya; tercapainya kesepakatan para pihak dalam perumusan RPP RTRWN, Rakeppres penataan ruang pulau Sumatera, Jawa-Madura-Bali, Kalimantan, dan Sulawesi serta Rakeppres penataan ruang kawasan tertentu Jabodetabekpunjur dan Perbatasan Kalimantan-Sabah-Serawak; meningkatnya kapasitas kelembagaan penataan ruang daerah; serta terwujudnya koordinasi penataan ruang daerah; serta terwujudnya koordinasi penataan ruang melalui BKTRN dan BKPRD.

Hasil yang telah dicapai pada program pengembangan perumahan adalah diberikannya subsidi KPR-RsH bagi masyarakat miskin; fasilitasi penyediaan perumahan dan prasarana serta sarana dasar permukiman yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat; fasilitasi pembangunan Rusunawa; penanggulangan kemiskinan terkait dengan bidang perumahan dan permukiman di perkotaan; penanggulangan bencana alam dan rehabilitasi paska kerusuhan sosial; dukungan prasarana dan sarana dasar permukiman pada Kasiba/Lisiba; pengembangan kawasan perbatasan; pengembangan pulau kecil dan

IX – 8

daerah tertinggal; penguatan kelembagaan pengawasan konstruksi dan keselamatan bangunan gedung; pengembangan lingkungan perumahan pada kawasan terpilih pusat pengembangan desa (KTP2D); serta rehabilitasi bangunan gedung negara dan peningkatan kebun raya serta istana presiden.

Adapun hasil yang telah dicapai pada program pengembangan prasarana dan sarana dasar permukiman adalah telah berhasil dibangun berbagai prasarana dan sarana permukiman, seperti prasarana dan sarana air minum; persampahan, drainase dan air limbah; penyusunan NSPM; fasilitasi pembangunan Rusunawa, dan penanganan tanggap darurat serta fasilitasi penataan dan rehabilitasi kawasan kumuh.

Meskipun banyak keberhasilan yang telah dicapai sampai tahun 2004 ini, namun disadari bahwa tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dalam kurun waktu tersebut. Di samping itu, dalam perjalanan muncul berbagai dinamika yang menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Dalam kurun waktu mendatang beberapa permasalahan yang harus diselesaikan serta tantangan yang masih harus diantisipasi seluruh komponen bangsa masih berat.

Dalam bidang pembangunan daerah, tantangan yang dihadapi dalam rangka mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain meliputi: (i) belum terselesaikannya secara optimal penanganan Provinsi NAD yang komprehensif dalam rangka mempercepat pemulihan kondisi keamanan, sosial ekonomi, dan pemerintahan di Provinsi NAD; (ii) belum tuntasnya penanganan kasus Provinsi Papua, Maluku dan Maluku Utara serta daerah-daerah lainnya sebagai akibat konflik horizontal dan vertikal; (iii) masih ada indikasi melemahnya nilai-nilai persatuan dan kesatuan nasional akibat proses panjang dalam tahun-tahun berlangsungnya pengembangan sistem politik, serta distorsi sistem penyelenggaraan pemerintahan baik dalam format hubungan vertikal maupun horizontal; dan (iv) masih ada indikasi kesenjangan pembangunan antar Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.

IX – 9

Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam rangka meneruskan proses reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan nasional khususnya pada bidang pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain adalah: (i) belum meratanya kemampuan SDM aparat pemda, baik antar satuan kerja maupun antar daerah, baik fungsi maupun teknis dalam memahami dan melaksanakan etika kepemimpinan daerah; (ii) belum terbangunnya secara optimal kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, penataan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dan pelaksanaan sistem pelaporan daerah ke pusat, dan banyaknya usulan pembentukan daerah otonom baru, serta peningkatan kemampuan teknis kepemerintahan dan etika kepemimpinan daerah; (iii) masih terbatasnya kemampuan keuangan daerah, belum efektifnya pelaksanaan ketentuan PP No.109 tahun 2000 dan PP No. 110 tahun 2000, belum optimalnya penggunaan belanja APBD, pengelolaan aset daerah, operasi perusahaan BUMD, masih lemahnya pengawasan penggunaan APBD, serta masih adanya penetapan perda yang kurang kondusif bagi investasi di daerah serta belum optimalnya pelaksanaan Kepmendagri No.29 tahun 2002. Namun demikian pembentukan daerah otonom baru tersebut mengakibatkan beban kebutuhan anggaran semakin besar, timbul berbagai permasalahan baru di daerah yang antara lain keterbatasan sumberdaya dan lemahnya pelayanan kepada masyarakat. Berbagai kelemahan dari pelaksanaan UU No.22/1999 seperti antara lain mengenai pembagian kewenangan dan tidak jelas, hubungan hirarki antar tingkatan pemerintahan, dan lain-lain telah mendorong kita bersama untuk meluruskan dan mendudukkan kembali arah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Selanjutnya tantangan yang dihadapi dalam rangka normalisasi ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat, pada program pembangunan daerah antara lain adalah: (i) masih adanya indikasi kesenjangan pembangunan antar daerah serta antara desa dan kota yang semakin lebar, baik sebagai akibat terbatasnya kemampuan keuangan antar daerah maupun kandungan sumber daya alam dan keterbatasan sumber daya manusia, serta masih relatif terbatasnya sarana dan prasarana sosial ekonomi; (ii) masih

IX – 10

tingginya angka kemiskinan, daerah terisolasi, belum seimbangnya tingkat angkatan kerja dengan kesempatan kerja, belum optimalnya penanganan wilayah konflik di beberapa daerah; (iii) belum optimalnya peran pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin; belum berfungsi dan berkembanngnya kapasitas lembaga masyarakat dalam mendukung pembangunan; (iv) belum optimalnya pengembangan wilayah, pembangunan wilayah strategis dan kawasan cepat tumbuh, adanya penerapan perjanjian perdagangan bebas AFTA, WTO, dan APEC yang mendorong daerah untuk meningkatkan daya saing kawasan serta memanfaatkan peluang pasar domestik dan ekspor, serta adanya otonomi daerah yang memberikan tantangan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan kawasan termasuk kawasan otorita; (v) belum optimalnya memanfaatkan potensi daerah, perdesaan; perkotaan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional; (vi) adanya kecenderungan meningkatnya luas kawasan kumuh yang lokasinya tersebar dengan kualitas rumah yang tidak layak huni; (vii) tingginya kebutuhan biaya investasi pengembangan prasarana dan sarana permukiman terutama di KTI; dan (viii) semakin terbatasnya sumberdaya pemerintah untuk mengembangkan wilayah tertinggal, kawasan transmigrasi, pulau-pulau terpencil dan untuk menangani daerah perbatasan serta menyelesaikan masalah tapal batas perbatasan.

Meski berbagai upaya yang dilakukan telah berhasil menurunkan persentase jumlah penduduk miskin, baik di perkotaan maupun di perdesaan, yang melonjak akibat krisis ekonomi, namun hingga kini jumlahnya secara absolut masih cukup besar. Demikian pula berbagai bencana dan konflik sosial selama beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kesengsaraan masyarakat yang telah menciptakan kelompok pengungsi dengan jumlah yang cukup besar. Berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, bencana alam, dan konflik sosial antara lain melalui pelaksanaan fasilitasi penyediaan perumahan dan mengembangkan kawasan perbatasan, pulau-pulau kecil, dan daerah tertinggal, fasilitasi penataan dan rehabilitasi lingkungan permukiman kumuh dan perbaikan serta penanganan para pengungsi.

IX – 11

Sementara tantangan di bidang penataan ruang dan pertanahan antara lain: (i) luasnya materi yang harus dicakup dalam peraturan mengenai penataan ruang; (ii) belum digunakannya rencana tata ruang wilayah sebagai acuan bagi pembangunan nasional dan daerah; (iii) belum lengkapnya pedoman untuk pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang; (iv) masih rendahnya pemahaman, disiplin, konsistensi, dan dukungan para pihak dalam seluruh kegiatan penataan ruang; (v) pelaksanaan pembangunan bidang pertanahan yang adil dan memperhatikan kepentingan rakyat dengan didukung oleh sistem informasi pertanahan yang handal dan bertumpu pada prinsip-prinsip good governance;(vi) pengembangan sistem pengelolaan pertanahan dan administrasi pertanahan yang mampu mempercepat pendaftaran tanah dan meningkatkan rasa keadilan kepemilikan tanah bagi masyarakat; (vii) peningkatan kelembagaan pertanahan, termasuk peningkatan kapasitas aparatur di pusat dan daerah; dan (viii) peningkatan penegakan hukum pertanahan yang konsisten dalam rangka penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan, serta sinkronisasi peraturan perundangan pertanahan.

Tantangan yang dihadapi pada pelaksanaan program pengembangan perumahan adalah masih cukup besarnya kebutuhan rumah tangga sedangkan kemampuan ekonomi masyarakat masih sangat terbatas serta adanya kendala pasokan perumahan terutama disebabkan terbatasnya sumber pembiayaan perumahan. Sedangkan tantangan yang dihadapi pada pelaksanaan program pengembangan prasarana dan sarana permukiman adalah meningkatnya luas kawasan kumuh; masih banyaknya rumah dengan kualitas rendah; kesenjangan penyediaan prasarana dan sarana dengan kebutuhan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk; pemenuhan target Millennium Development Goals pada Tahun 2015; investasi perkapita di KTI relatif lebih tinggi dibandingkan di Jawa, Bali dan Sumatera; era globalisasi dan persaingan bebas serta rendahnya ketersediaan lahan untuk penyediaan infrastruktur.

Memperhatikan berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, maka berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan pemerintah melalui program kerja Kabinet Gotong Royong 2001-2004, yang merujuk kepada program-program

IX – 12

pembangunan nasional (Propenas 2000-2004) perlu ditingkatkan secara terpadu.

Pada bidang pembangunan daerah, dalam rangka mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam kerangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan antara lain; (i) meningkatkan komitmen dalam penanganan wilayah tertinggal; (ii) meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana; (iii) mendorong keterlibatan swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat dalam pengembangan wilayah tertinggal; (iv) meningkatkan upaya pengawasan, sarana dan prasarana pengawasan garis perbatasan darat dan laut; (v) menetapkan tapal batas antar negara secara jelas; serta (vi) menyusun kebijakan nasional yang dapat dijadikan acuan bagi pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu. Sementara itu, upaya penanganan Khusus Papua antara lain: percepatan pembangunan di Papua yang meliputi percepatan pemberdayaan masyarakat lokal melalui penguatan sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial budaya masyarakat Papua. Sedangkan upaya penanganan khusus Provinsi Maluku dan Maluku Utara antara lain memfasilitasi pemulihan kehidupan masyarakat melalui rehabilitasi sarana dan prasarana permukiman, pendidikan, kesehatan, ekonomi lokal, agama dan perkantoran pemerintah di Provinsi Maluku dan Maluku Utara.

Upaya-upaya meneruskan proses reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan nasional, melalui kerangka, arah, dan agenda yang lebih jelas, dengan terus meningkatkan penghormatan terhadap HAM, pada program pembangunan daerah telah memberikan kontribusi yang signifikan khususnya yang terkait dengan upaya percepatan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah antara lain: (i) meningkatkan penyempurnaan sistim rekruitmen SDM aparat pemda, meningkatkan berbagai pelatihan teknis dan fungsional berbasis kinerja dan pelayanan prima bagi SDM aparat pemda, meningkatkan pembinaan etika kepemimpinan daerah, serta meningkatkan pembinaan bagi terlaksananya prinsip kepemerintahan yang baik (good governance); serta pemantapan koordinasi konsultasi peningkatan kapasitas aparat pemda, menguatkan kapasitas

IX – 13

kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat, memantapkan jalannya pemerintahan melalui penerapan tata pemerintahan yang baik dan bersih; (ii) memfasilitasi pelaksanaan PP No.8 tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, memfasilitasi pelaksanaan prinsip kepemerintahan yang baik, penekanan proses pembentukan daerah otonomi baru, memfasilitasi kerjasama antar daerah, memfasilitasi pelaksanaan SPM, dan meningkatkan fasilitasi pelaporan daerah ke pusat; (iii) memperkuat institusi daerah dalam pengelolaan keuangan daerah, menata sistem akuntansi keuangan daerah, penganggaran bagi kebutuhan dan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin, sosialisasi tentang anggaran berbasis kinerja, dan menyusun sistem dan koordinasi pengawasan keuangan daerah; melanjutkan dan meningkatkan fasilitasi peningkatan kapasitas lembaga non pemerintah dengan menerapkan kepemerintahan yang baik (good governance); serta melengkapi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang; mendayagunakan rencana tata ruang; menyusun pedoman teknis penataan ruang; sosialisasi penataan ruang; pemantapan koordinasi dan konsultasi antara para pihak; memantapkan kelembagaan penataan ruang; dan penyediaan data dan informasi yang handal dan akurat.

Upaya normalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat, dalam program pembangunan daerah khususnya yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat antara lain: (i) mengoptimalkan pendapatan daerah, mendorong kemitraan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam proses pembangunan sarana dan prasarana serta penguatan keuangan daerah; (ii) memfasilitasi pemerintah daerah untuk mengembangkan kawasan strategis yang memiliki daya saing tinggi sebagai upaya mempercepat perkembangan ekonomi nasional, dan mendorong pertumbuhan industri pengolahan bahan baku dengan memberikan berbagai insentif yang menarik untuk penanaman modal serta memberikan kemudahan perpajakan, perijinan, penggunaan lahan yang kompetitif; (iii) meningkatkan kerja sama antar daerah maupun dengan pihak lain, dan mengembangkan kawasan KTI; (iv) meningkatkan kerja sama dan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, menciptakan forum-forum dalam rangka meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antar program dan antar instansi; (v) mengembangkan

IX – 14

jaringan perdagangan dengan memanfaatkan potensi geografis dan kerja sama ekonomi antar daerah dan antar negara termasuk wilayah sub regional; dan (vi) melanjutkan dukungan peningkatan kemampuan untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal, peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan pendekatan pembangunan agropolitan, serta peningkatan kapasitas lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat desa.

Selanjutnya terus dilaksanakan upaya (i) meningkatkan reformasi kelembagaan dengan meningkatkan keterlibatan dan kerjasama pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat agar pembangunan perkotaan menjadi efisien dan terkendali; (ii) meningkatkan efektivitas program dengan mensinergikan dengan program daerah, dunia usaha, dan masyarakat melalui sosialisasi, fasilitasi, dan bantuan teknis melalui pemanfaatan tanah/lahan pemerintah daerah; (iii) efektifitas program dan upaya sinergi program daerah, dunia usaha dan masyarakat, reformasi kelembagaan pemerintah, pemerintah tetap memfasilitasi pelayanan, penyediaan prasarana di kawasan kumuh melalui keterpaduan program; (iv) penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; (v) pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; (vi) penyelesaian konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum, didasarkan atas prinsip-prinsip pembaruan agraria; (vii) mengurangi berbagai bentuk pengaturan yang dapat menghambat masyarakat dalam membangun lembaga dan organisasi; membangun kapasitas masyarakat melalui bantuan peningkatan keterampilan dan pengetahuan, penyediaan sarana dan prasarana seperti modal, informasi pasar, dan teknologi sehingga dapat memperluas kesempatan kerja dan memberikan pendapatan yang layak, khususnya bagi keluarga dan kelompok miskin; (viii) mengembangkan sistem perlindungan sosial masyarakat yang terkena musibah bencana alam, dan dampak krisis ekonomi; (ix) memulihkan kehidupan masyarakat dan mempercepat pemberdayaan masyarakat.

IX – 15

Juga dilaksanakan upaya (i) meningkatkan efektivitas program dan sinergi dengan program pembangunan daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam rangka mengatasi keterbatasan alokasi dana APBN; (ii) memanfaatkan lahan/tanah pemerintah kabupaten/kota dan provinsi untuk pembangunan rumah sehat sederhana (RsH) dan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa); (iii) mengupayakan akses kepada perbankan/lembaga keuangan khususnya pembiayaan kredit mikro perumahan bagi masyarakat; serta mengupayakan dukungan dan koodinasi dengan instansi terkait dalam pembangunan RsH; (iv) meningkatkan efektivitas program dan upaya sinergi dengan program pembangunan daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam rangka mengatasi keterbatasan alokasi dana APBN; (v) memanfaatkan pinjaman luar negeri secara efisien dan efektif untuk penanganan kawasan kumuh; (vi) reformasi kelembagaan penyelenggara air minum; melanjutkan kegiatan fasilitasi peningkatan cakupan pelayanan; (vii) penyediaan prasarana dan sarana air minum di kawasan kumuh perkotaan, desa nelayan dan desa rawan air minum dengan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat; serta (viii) melanjutkan reformasi kelembagaan penyelenggara infrastruktur.

B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

1. Program Peningkatan Kapasitas Aparat Pemerintah Daerah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajemen aparat pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan guna mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dan penciptaan pemerintahan daerah yang bersih.

Sasaran program ini adalah tersedianya jumlah dan kualitas tenaga aparat pemerinntah daerah yang profesional dengan kualifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tugas serta wewenang, baik pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten, kota, dan desa yang didukung oleh kinerja yang tinggi.

IX – 16

Arah kebijakan program ini adalah (1) meningkatkan kemampuan aparat dalam penataan dan pengembangan kelembagaan Pemerintah Daerah, manajemen personil, pelayanan publik, pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan Pemerintah Daerah; (2) memantapkan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah dalam hal fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Kabupaten/Kota; (3) meningkatkan kemampuan aparat dalam komunikasi terutama komunikasi antara para Legislatif dan Eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai sampai pertengahan 2004 adalah (1) tersusunnya pedoman peningkatan kinerja aparat dalam rangka mendorong pelaksanaan tugas pemerintahan umum; (2) tersusunnya pedoman penguatan kinerja aparat dalam rangka peningkatan pelayanan publik; (3) tersusunnya dalam rangka fasilitasi kepada aparatur daerah serta pengembangan diklat di daerah, telah terlaksana berbagai jenis diklat bagi aparatur daerah dan menghasilkan berbagai jenis pedoman, kurikulum, silabus, dan modul diklat baru; (4) terlaksananya pelatihan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa bagi aparatur Pemerintah Provinsi dan Kabupaten sebagai Fasilitator Otonomi Desa; (5) terlaksananya pelatihan manajemen penanggulangan bencana bagi aparatur kabupaten; (6) terlaksananya pelatihan manajemen penanggulangan bencana; (7) workshop internasional implementasi kewenangan wajib dan SPM; (8) pedoman dan standarisasi kebijakan umum tentang pola peningkatan SDM aparatur yang komprehensif dan terintegrasi; (9) pedoman pembinaan kegiatan pemerintahan untuk efektifitas aparatur dalam penyelenggaraan tugas pelayanan kepada masyarakat; (10) tersedianya kebijakan fasilitasi pelaksanaan kapasitas legislatif dalam melaksanakan tugas dan wewenang; (11) meningkatnya

IX – 17

kemampuan KDH/WKDH dalam deregulasi peraturan daerah bidang perijinan; (12) tersedianya draft manual pemahaman otonomi daerah; (12) meningkatnya profesionalisme sumber daya manusia menuju ke arah organisasi yang mandiri; (13) tersedianya pedoman hubungan legislatif dan eksekutif berkenaan dengan penyusunan perda APBD, penyusunan perda non APBD, pelaksanaan kemitraan, pelaksanaan hak dan kewajiban DPRD; (14) terselenggaranya program-program insidentil pemberdayaan kapasitas daerah untuk eksekutif, legislatif dan masyarakat; (15) tersusunnya standar kebutuhan aparatur; (16) tersedianya bimbingan teknis kepada aparatur pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota; (17) pemantapan kebijakan desentralisasi melalui penyempurnaan UU No 22/1999 dan UU No 25/1999; (18) fasilitasi implementasi kebijakan bidang personil di provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan Tim Keppres 157/2000; (19) fasilitasi evaluasi pelaksanaan kebijakan bidang personil yang dilaksanakan provinsi dan kabupaten/kota; (20) fasilitasi khusus masalah pengelolaan aparatur dalam perspektif Pemilu 2004; dan (21) fasilitator peningkatan diklat teknis kepada para pejabat struktural pemerintah daerah.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang dihadapi pada Program Peningkatan Kapasitas Aparat Pemerintah Daerah adalah (1) belum meratanya kemampuan SDM aparat pemda, baik antar satuan kerja maupun antar daerah; (2) belum memadainya kemampuan teknis dan fungsional SDM aparat pemda dibandingkan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha; (3) belum memadainya pemahaman dan pelaksanaan etika kepemimpinan daerah; (4) belum memadainya pelaksanaan prinsip kepemerintahan yang baik.

Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan kapasitas aparatur pemda adalah (1) meningkatkan kemampuan teknis dan fungsional yang

IX – 18

berbasis kinerja dan pelayanan prima bagi SDM aparat pemda di seluruh daerah; (2) meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan etika kepemimpinan daerah; dan (3) meningkatkan pelaksanaan prinsip kepemerintahan yang baik.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah (1) meningkatkan penyempurnaan rekruitmen SDM aparat pemda; (2) meningkatkan berbagai pelatihan teknis dan fungsional yang berbasis kinerja dan pelayanan prima bagi SDM aparat pemda; (3) meningkatkan pembinaan etika kepemimpinan daerah; (4) meningkatkan pembinaan bagi terlaksananya prinsip kepemerintahan yang baik (good governance).

2. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah yang menyangkut mekanisme kerja, struktur organisasi, dan peraturan perundang-undangan yang memadai guna menjamin pelaksanaan otonomi daerah.

Sasaran program ini adalah tersusunnya struktur organisasi yang tepat, kinerja kelembagaan yang tinggi, terbangunnya hubungan kerja antar organisasi di lingkungan pemerintahan daerah, antara organisasi pemerintah dan masyarakat, dan terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik.

Arah kebijakan program ini adalah (1) meningkatkan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten/Kota; (2) berperannya lembaga pemerintah daerah yang mengemban fungsi khusus pemberdayaan masyarakat untuk mengelola urusan

IX – 19

pemberdayaan masyarakat di daerah; (3) tersedianya kelembagaan pemerintah daerah yang menunjang bagi upaya memberdayakan masyarakat, pembangunan, dan pelayanan publik; (4) terlaksananya program pemberdayaan masyarakat yang diprioritaskan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah; (5) mengembangkan hubungan kerja antara lembaga di lingkungan pemerintahan baik secara horizontal maupun vertikal dan antar Pemerintah Daerah dengan masyarakat; (6) menata dan mengembangkan kerangka kerja peningkatan kapasitas kelembagaan Pemerintahan Daerah; (7) fasilitasi pembentukan daerah otonom baru; (8) mengembangkan tersusunnya Standar Pelayanan Minimal.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai sampai dengan pertengahan 2004 adalah (1) tersedianya bahan masukan bagi pengaturan lebih lanjut terhadap pelaksanaan peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintah di Kabupaten/Kota; (2) pemantapan penerapan pola hubungan antar lembaga diklat, dan melanjutkan penyusunan manual dan pedoman kerja yang melibatkan lembaga diklat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai mitra kerja; (3) tersusunnya PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah beserta peraturan pelaksanaannya (4) terlaksananya fasilitasi Penataan Organisasi Perangkat Daerah, Analisis Jabatan, Ketatalaksanaan dan LAKIP di daerah Provinsi/Kabupaten/Kota termasuk persiapan pemberlakuan 5 hari kerja sesuai dengan permintaan daerah; (5) terbentuknya Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Provinsi dan Kabupaten/Kota; (6) meningkatnya dukungan tugas-tugas pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi Pemerintah Pusat oleh Badan/Kantor Pemberdayaan Masyarakat Provinsi dan Kabupaten/Kota; (7) terlaksananya fasilitasi Pemda dalam mengiventarisasi dan penyusunan

IX – 20

kelembagaan Daerah; (8) teriventarisasi kewenangan Kabupaten/Kota; (9) terlaksananya pengkajian berbagai kewenangan Kabupaten/Kota; (10) tersusunnya Sistem Monev OTDA; (11) terlaksananya Penerbitan Buku Seri OTDA (6 buku); (12) terlaksananya fasilitasi Pemekaran Daerah Otonom Baru; (13) pembentukan asosiasi forum Daerah; (14) terlaksananya penyusunan Kerangka Kerja Nasional Pemberdayaan Kapasitas; (15) tersusunnya program-program pemberdayaan manajemen Perusda; (16) tersusunnya peraturan perundang-undang yang sangat prioritas dalam rangka fasilitasi dan pemberian Pedoman Penyelenggaraan Otda; (17) terlaksananya fasilitasi Administrasi dan substansi serta melakukan koordinasi debngan negara-negara donor secara parsial; (18) terlaksananya program Tim Keputusan Presiden Nomor 151 Tahun 2000 dan 157 Tahun 2000; (19) tersusunnya pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang Otonom; (20) tersusunnya modul manajemen interaksi kerja badan legislatif dengan eksekutif daerah; (21) terlaksananya penyusunan laporan pelaksanaan Otda; (22) terlaksananya penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan asosiasi Pemda; terlaksananya penyusunan Studi Sistem dan Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Otonomi Desa; (23) terlaksananya penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Managemen Pelayanan Perkotaan; (24) terlaksananya penyusunan data base KDH/WKDH; (25) terlaksananya identifikasi daftar inventarisasi dan percepatan pelaksanaan dekonsentrasi kewenangan lingkup Departemen Dalam Negeri; (26) terbangunnya Sistem Informasi Otda; (27) terlaksananya penyusunan draft Guideline Pelaporan Daerah berbasis SPM; (28) terlaksananya penyusunan pedoman tentang asosiasi untuk meningkatkan status kelembagaan Asosiasi; (29) terlaksananya penataan managemen pengelolaan asosiasi; (30) terlaksananya sosialisasi Pedoman Umum Hubungan eksekutif dan legislatif; (31) terlaksananya supervisi dan monitoring masalah yang timbul dalam hubungan eksekutif dan legislatif; (32) pembentukan Tim Kerja Harmonisasi dan Sosialisasi Otda; (33)

IX – 21

penyelenggaraan Workshop penataan kewenangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002; (34) penerbitan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100-756/OTDA tanggal 8 Juli 2002 tentang konsep dasar penentuan kewenangan wajib daerah otonom dan SPM; (35) tersusunnya Draft Pedoman Pengembangan Model Kewenangan Wajib Daerah Otonom dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pendidikan, Kesehatan, Administrasi Pemerintahan Umum, Administrasi Kependudukan dan Politik Dalam Negeri; (36) terselenggaranya Monev pelaksanaan Otda dan tersusunnya laporan evaluasi hasil supervisi pelaksanaan Otda di beberapa sektor strategis; (37) tersusunnya materi dasar sebagai masukan rekomendasi bagi penetapan kewenangan wajib per bidang; (38) tersusunnya Database dan Sistem Informasi Penataan Kewenangan; (39) pemantapan kebijakan desentralisasi melalui penyempurnaan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999; (40) penyelarasan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UU Pemerintahan Daerah; (41) peningkatan efektivitas kerja lembaga DPOD; (42) pengembangan kebijakan operasional desentralisasi/otonomi daerah, termasuk Otsus di NAD dan di Papua; (43) intensifikasi dialog antara Pemerintah Pusat dan daerah; (44) evaluasi hal-hal yang mendasar dalam implementasi otonomi daerah; (45) fasilitasi peraturan perundang-undangan dalam implementasi otda; (46) fasilitasi dan supervisi penataan kewenangan dan penyelesaian peraturan perundang-undangan terkait dengan penataan kewenangan bekerjasama dengan departemen teknis; (47) fasilitasi penyelesaian pedoman standar pelayanan minimal berkoordinasi dengan departemen teknis dan LPND; (48) fasilitasi penyelesaian Standar Pelayanan Minimal dengan pemerintah provinsi; (49) sosialisasi SPM; (50) fasilitasi implementasi kebijakan bidang organisasi dan dokumen di provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan Tim Keppres 157/2000; (51) fasilitasi penyusunan pelaporan daerah

IX – 22

provinsi dan kabupaten/kota berpedoman pada PP 56/2001, SE Mendagri tentang APBD, PP 108/2000, dan PP 109/2000; (52) fasilitasi evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan dan dokumen yang dilaksanakan oleh provinsi dan kabupaten/kota; (53) fasilitasi penyelesaian penataan daerah; (54) fasilitasi optimasi peranan asosiasi dan forum-forum; (55) fasilitasi harmonisasi sosialisasi kebijakan sektoral; (56) fasilitasi problem kerjasama antar daerah; (57) fasilitasi problem konflik antar daerah; (58) tersusunnya Kerangka Nasional untuk Peningkatan Kapasitas Daerah dalam rangka mendukung Desentralisasi dan Otonomi Daerah; (59) pelaksanaan program fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa; (60) revitalisasi fungsi pemerintahan kecamatan dan desa/kelurahan; (61) pengaturan administrasi kependudukan; (62) pengembangan sistem pengenal tunggal dan terpadu; (63) penguatan peran gubernur dalam pengendalian stabilitas pemerintahan dalam persfektif NKRI; (64) penataan administrasi wilayah kawasan khusus dan wilayah perbatasan.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan pada upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah adalah (1) belum tersusunnya kelembagaan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien; (2) banyaknya usulan pembentukan daerah otonom baru; (3) belum tertatanya pembagian kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota; (4) belum terlaksananya Standar Pelayanan Minimal secara menyeluruh; (5) belum optimalnya pelaksanaan sistem pelaporan dari daerah ke pusat.

Sedangkan tantangan yang dihadapi pada upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah adalah (1) antisipasi terhadap pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2003, revisi UU No. 22 Tahun 1999, revisi UU No. 25 Tahun 1999, dan RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terkait dengan kelembagaan, kewenangan, dan bentuk

IX – 23

koordinasi antar satuan kerja; (2) membentuk budaya organisasi pemerintahan daerah yang menerapkan prinsip kepemerintahan yang baik dan pelayanan prima; (3) membentuk model hubungan kerjasama antar daerah yang mampu mempercepat pengembangan wilayah dan mengurangi kesenjangan antar daerah.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah (1) memfasilitasi pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah; (2) memfasilitasi pelaksanaan prinsip kepemerintahan yang baik; (3) mengetatkan proses pembentukan daerah otonom baru; (4) memfasilitasi kerjasama antar daerah; (5) memfasilitasi pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal; (6) meningkatkan fasilitasi penyusunan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah

3. Program Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah secara profesional, efisien, transparan, dan bertanggung jawab.

Sasaran program ini adalah meningkatnya proporsi pendapatan asli daerah secara signifikan dalam pembiayaan bagi kegiatan pelayanan masyarakat dan pembangunan.

Arah kebijakan program ini adalah (1) meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerah yang meliputi: fasilitasi penyusunan standar dan sistem akuntansi keuangan daerah serta pelaporan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, penyusunan pedoman-pedoman tentang pengelolaan aset/barang, penetapan pedoman penyusunan APBD dan penyusunan pedoman-pedoman tentang pengelolaan pajak

IX – 24

dan restribusi; (2) meningkatkan upaya pemerintah daerah untuk mewujudkan good governance terutama dalam penggunaan penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah meliputi fasilitasi penyusunan laporan pengelolaan keuangan daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang dicapai

Hasil yang dicapai sampai pertengahan 2004 adalah (1) pengalokasian dan penetapan Dana Perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi dan Non Dana Reboisasi, dan Bagi Hasil); (2) peningkatan Pelayanan kepada Masyarakat, Wajib Pajak dan Restribusi Daerah; (3) penyusunan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Penyertaan Modal Daerah pada Pihak Ketiga; (4) penataan Lembaga Keuangan Daerah dan Usaha-Usaha Daerah secara Profesional sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; (5) penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Undang-undang Pajak dan Restribusi Daerah; (6) penyusunan Data Perhitungan APBD; (7) penataan Administrasi Pengelolaan Keuangan Daerah; (8) penataan Aset Pengelolaan Daerah/Barang Daerah; (9) penyusunan rancangan Pedoman tentang Pengelolaan Pinjaman Daerah; (10) penyusunan Studi Pengkajian Pengembangan Ekonomi Daerah dan Promosi Investasi; (11) penyelenggaraan Promosi Investasi Daerah; (12) penyusunan Sistem Manajemen Keuangan Daerah; (13) aplikasi Sistem Keuangan Daerah; (14) penyusunan Sistem Akuntansi dan Pengendalian Anggaran (SAPA); (15) penyelenggaraan Pengkajian Prototipe Sistem dan Prosedur Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah; (16) penyusunan Laporan Monev bidang Keuangan Daerah; (17) penyelenggaraan TOT Sosialisasi dan Bintek Perencanaan Program dan Anggaran Daerah bagi Pejabat/Aparat di lingkungan Provinsi, Kabupaten/Kota; (18) penyediaan data dasar (jumlah pegawai, pendapatan dan belanja daerah, jumlah penduduk, luas wilayah dan indeks kemiskinan serta

IX – 25

indeks harga bangunan) dalam rangka perhitungan DAU TA. 2003; (19) penyediaan data dasar penghitungan bagi hasil sektor pertambangan umum, migas, kehutanan, perikanan; (20) penyusunan kriteria dan data untuk penetapan mekanisme penyaluran DAK prasarana pemerintahan dan infrastruktur; (21) penyusunan Instrumen Evaluasi Dana Perimbangan; (22) penyusunan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD; (23) penyusunan kebijakan pemerintah tentang pengelolaan keuangan Rumah Sakit Daerah bekerjasama ARSADA dan Depkes; (24) penyusunan draft Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah bekerjasama dengan Depkes dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI); (25) evaluasi Pelaksanaan APBD Tahun 2001; (26) penyusunan draft Pengembangan Instrumen Analisis dan Evaluasi Keuangan Daerah; (27) sosialisasi Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Barang dan Utang Piutang pada Daerah yang Baru Dibentuk, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 tentang Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA) sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2002 tentang Nomor Kode, Lokasi dan Nomor Kode Barang daerah Provinsi, Kabupaten/Kota; (28) penyusunan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Penilaian Barang Daerah; (29) penyusunan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang Dipisahkan; (30) penyelenggaraan Bintek Sistem Pengelolaan Barang Daerah; (31) penyusunan Kriteria Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum; (32) penyusunan pedoman managemen BUMD dan data base BUMD; (33) pemantapan kebijakan desentralisasi melalui penyempurnaan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999; (34) fasilitasi implementasi kebijakan di bidang aset di provinsi dan

IX – 26

kabupaten/kota yang berkoordinasi dengan Tim Keppres 157/2000; (35) fasilitasi evaluasi kebijakan di bidang aset dan dana perimbangan yang dilaksanakan provinsi dan kabupaten/kota; (36) fasilitasi APBD dari segi pengeluaran terutama diarahkan untuk semakin besarnya belanja publik; (37) fasilitasi APBD dari segi pengeluaran terutama untuk ketaatan terhadap PP No. 109/2000 dan PP No. 110/2000; (38) penyusunan sanksi bagi daerah yang tidak mematuhi PP No. 109/2000 dan PP No.110/2000; (39) fasilitasi APBD dari segi penerimaan PAD, DAU, dan DAK; (40) fasilitasi pengelolaan aset daerah;(41) evaluasi dan penyelesaian aset bermasalah; (42) kajian harmonisasi APBD dengan dana dekonsentrasi; (43) penyelesaian sistem akuntansi keuangan daerah; (44) mendorong peningkatan dana APBD bagi belanja pembangunan/modal.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan pada upaya menata pengelolaan keuangan daerah adalah (1) terbatasnya sumber keuangan daerah; (2) belum dipatuhinya ketentuan PP No. 109 Tahun 2000 dan PP No. 110 Tahun 2000; (3) belum optimalnya pengelolaan aset daerah; (4) belum optimalnya operasi perusahaan BUMD; (5) belum optimalnya penggunaan belanja APBD bagi kepentingan publik; (6) masih lemahnya pengawasan penggunaan APBD; (7) terbitnya perda yang tidak kondusif bagi investasi; (8) belum optimalnya pelaksanaan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002.

Tantangan pada upaya menata pengelolaan keuangan daerah adalah (1) perlunya mengoptimalkan sumber keuangan daerah; (2) perlunya meningkatkan praktek pelaksanaan prinsip kepemerintahan yang baik di pusat dan daerah dalam perencanaan dan pelaksanaan penggunaan dana perimbangan dan APBD; (3) perlunya mengoptimalkan pengelolaan aset daerah dan BUMD; (4) perlunya mengoptimalkan perencanaan dan pelaksanaan anggaran

IX – 27

berbasis kinerja; (5) perlunya meningkatkan pengawasan terhadap keuangan daerah.

iii. Tindak Lanjut

Tindak Lanjut yang diperlukan adalah (1) memfasilitasi pengoptimalan pendapatan daerah; (2) mendorong kemitraan pemerintah-dunia usaha-masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana serta penguatan keuangan daerah; (3) memperkuat institusi daerah dalam pengelolaan keuangan daerah; (4) menata sistem dan akuntansi keuangan daerah; (5) mendorong penganggaran bagi pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar bagi masyarakat termasuk masyarakat miskin; (6) meningkatkan sosialisasi tentang anggaran berbasis kinerja; (7) menyusun sistem dan koordinasi pengawasan keuangan daerah oleh pemerintahan pusat dan daerah .

4. Program Penguatan Lembaga Non Pemerintah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan dan keterlibatan lembaga-lembaga non-pemerintah, baik formal maupun informal dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan jalannya pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Lembaga-lembaga non-pemerintah yang dimaksud termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), badan perwakilan desa, lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat lainnya.

Sasaran program ini adalah terbangunnya mekanisme partisipasi lembaga non-pemerintah dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan terciptanya mekanisme pengawasan sosial secara demokratis.

IX – 28

Arah kebijakan program ini adalah (1) meningkatkan komunikasi dan konsultasi dengan masyarakat, lembaga masyarakat setempat, dunia usaha, dan pemerintahan daerah; (2) meningkatkan kemampuan analisis kebijakan dan komunikasi politik anggota DPRD.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai sampai pertengahan tahun 2004 adalah (1) meningkatnya partisipasi lembaga non pemerintah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan; (2) meningkatnya fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah; (3) terlaksananya pelaksanaan Laporan Pertanggungjawaban kepala daerah sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan pada upaya meningkatkan kapasitas lembaga non pemerintah adalah (1) lemahnya kemampuan teknis kepemerintahan anggota DPRD; dan (2) belum memadainya etika kepemimpinan daerah.

Tantangan yang dihadapi adalah perlunya meningkatkan kemampuan teknis kepemerintahan dan etika kepemimpinan daerah.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang dibutuhkan adalah melanjutkan dan meningkatkan fasilitasi peningkatan kapasitas lembaga non pemerintah dengan menerapkan prinsip kepemerintahan yang baik (good governance).

IX – 29

5. Program Peningkatan Ekonomi Wilayah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah, baik kesenjangan antara kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara perkotaan dan perdesaan, maupun kesenjangan pendapatan per kapita dalam suatu wilayah. Selain itu program peningkatan ekonomi wilayah ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah melalui peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif daerah, peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi, peningkatan kemampuan kelembagaan ekonomi lokal, serta penciptaan iklim yang mendukung investor di daerah dan menjamin berlangsungnya produktivitas dan kegiatan usaha masyarakat dan penyerapan tenaga kerja.

Sasaran program ini adalah (1) berkurangnya kesenjangan antar daerah, melalui dipercepatnya pengembangan KTI dan kawasan tertinggal lainnya sehingga dapat mendekati perkembangan kawasan-kawasan yang lebih maju; (2) berkurangnya kemiskinan dan meningkatnya kesempatan kerja di daerah; (3) terselenggaranya kegiatan ekonomi wilayah dan industrialisasi perdesaan dengan dukungan sektor agribisnis berbasis kegiatan agraris dan maritim; (4) terselenggaranya kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan perkotaan dan perdesaan secara lebih terkoordinasi dan efektif melalui berbagai program pengembangan wilayah terpadu dan ketransmigrasian yang berorientasi pada pengembangan ekonomi lokal; serta (5) terciptanya keamanan dalam mendukung iklim berinvestasi.

Sasaran pengembangan wilayah lainnya adalah: (1) meningkatnya kualitas SDM yang berdaya saing dan berjiwa kewirausahaan di berbagai sektor dan bidang pembangunan, berbagai tatanan pemerintahan, dan berbagai pelaku pembangunan ekonomi; (2) menguatnya peran dan struktur kelembagaan sosial dan ekonomi dalam pengelolaan kegiatan

IX – 30

ekonomi wilayah di daerah; (3) meningkatnya ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi wilayah di wilayah-wilayah tertinggal, perbatasan, wilayah strategis dan cepat tumbuh; (4) meningkatnya koordinasi dan sinkronisasi antarsektor, kerja sama antara pemerintah-masyarakat-swasta, dan kerjasama dengan negara tetangga di bidang politik dan keamanan, perekonomian, dan pengelolaan SDA dan lingkungan; (5) meningkatnya upaya-upaya penciptaan iklim usaha investasi, antara lain melalui berbagai kebijakan dan sinkronisasi berbagai peraturan serta perundangan.

Arah kebijakan program ini adalah (1) menyiapkan sarana dan prasarana serta mengembangkan keterpaduan jaringan dan pengelolaan sarana dan prasarana ekonomi wilayah, termasuk kawasan transmigrasi; (2) mengembangkan sistem informasi pengembangan ekonomi wilayah, dalam bentuk basis data maupun jaringan promosi dan publikasi; (3) meningkatkan koordinasi dalam penyediaan akses bagi daerah dan masyarakat lokal untuk mendapatkan modal, alih teknologi, manajemen produksi, dan pemasaran; (4) meningkatkan kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam dan luar negeri untuk pengembangan kawasan, termasuk menyediakan informasi terpadu kemitraan di bidang agribisnis dan agroindustri di kawasan transmigrasi; (5) mengembangkan kelembagaan dan pola kemitraan antar pelaku ekonomi; (6) mengembangkan area produksi baru dan optimalisasi area yang kurang produktif; (7) mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru; (8) menumbuhkembangkan potensi ekonomi perdesaan; (9) meningkatkan aksesibilitas antar daerah; (10) mengembangkan SDM untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui pengembangan pendidikan dan pelatihan serta pemerataan pelayanan kesehatan; (11) mengembangkan ekonomi dan pengelolaan SDA sesuai dengan spesialisasi sektor-sektor ekonomi produktif dan unggulan dari wilayah yang bersangkutan terutama pada kawasan-kawasan yang berpotensi untuk cepat tumbuh seperti KAPET, kawasan andalan, kawasan pembangunan strategis, termasuk kawasan pelabuhan dan perdagangan bebas Sabang dan Batam; dan (12) mengembangkan kelembagaan melalui penguatan kelembagaan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dengan

IX – 31

meningkatkan peran lembaga-lembaga seperti kerjasama ekonomi sub-regional, Dewan Pengembangan KTI, badan pengembangan KAPET, badan pengelola KAPET, dewan maritim, dewan ketahanan pangan, komite penanggulangan kemiskinan, dan forum kerjasama antar daerah; dan (13) mengembangkan model manajemen pengembangan wilayah terpadu; (14) menumbuhkembangkan inspirasi serta inisiatif lokal dalam keikutsertaannya di dalam program pengembangan wilayah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program peningkatan ekonomi wilayah adalah: (1) penyusunan model pemasaran daerah (marketing places) yang pelaksanaannya di beberapa daerah, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sendiri sesuai dengan potensi wilayah masing-masing dan difasilitasi oleh pemerintah pusat; (2) penyusunan model pengembangan ekonomi kerakyatan yang pelaksanaannya di masing-masing pemerintahan peopinsi dan kabupaten/kota; (3) penyusunan model kemitraan pembangunan ekonomi wilayah dengan diselenggarakannya program kerjasama dan forum-forum kerjasama ekonomi antar pemerintahan kabupaten/kota, antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; (4) fasilitasi pengembangan ekonomi daerah dalam rangka membangun sistem data dan informasi potensi daerah untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri oleh beberapa pemerintah daerah; (5) dilaksanakannya penguatan SDM dan kelembagaannya melalui pelatihan aparat pemerintah daerah dalam pemanfaatan potensi ekonomi wilayah; (6) penyusunan pedoman pengembangan hubungan ekonomi hulu dan hilir; (7) terselenggarakannya program-program pengembangan wilayah terpadu di 8 provinsi dalam memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah dan membuka lapangan kerja; dan (8) peningkatan investasi di daerah berupa mereposisi peran BUMD, revitalisasi peran Bank

IX – 32

Pembangunan Daerah (BPD) sebagai sumber pendanaan investasi daerah; dan (9) pembangunan jalan poros/penghubung di kawasan permukiman transmigrasi sepanjang 1889 km.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan pengembangan wilayah yang dihadapi adalah: (1) rendahnya kualitas SDM; (2) lemahnya struktur kelembagaan; (3) kurangnya konsistensi dan keterpaduan program-program pembangunan maupun berbagai peraturan dan perundangan; (4) kurangnya keterlibatan masyarakat luas, terutama pihak swasta dan dunia usaha dalam keputusan publik dan pembangunan ekonomi wilayah; serta (5) kurang menariknya iklim investasi, khususnya yang menyangkut: (a) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana wilayah, (b) keterbatasan akses kepada modal/kapital, dan (c) masih kurangnya insentif fiskal, khususnya di kawasan timur Indonesia.

Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah adalah: (1) masih besarnya kesenjangan pembangunan antar daerah dan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat (quality of life) antar daerah dan antar desa-kota yang diperkirakan akan semakin meningkat di era desentralisasi dan otonomi daerah apabila faktor-faktor penyebabnya tidak ditangani secara mendasar; (2) meningkatnya kemiskinan; (3) masih banyaknya daerah-daerah terisolasi; (4) menurunnya kesempatan kerja dalam berbagai sektor pembangunan wilayah; serta (5) masih belum optimalnya penanganan wilayah-wilayah konflik di beberapa daerah .

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain meliputi: (1) memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kawasan-kawasan yang strategis yang memiliki daya saing yang tinggi sebagai upaya untuk mempercepat perkembangan

IX – 33

ekonomi nasional yang lebih merata; (2) mendorong pertumbuhan industri pengolahan bahan baku di beberapa lokasi tertentu di Luar Jawa dengan memberikan berbagai insentif yang menarik untuk penanaman modal dalam dan luar negeri dengan memberikan kemudahan perpajakan, perizinan, penggunaan lahan yang kompetitif dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari negara-negara lain; (3) meningkatkan kerja sama antar daerah maupun dengan pihak lain; (4) mengembangkan wilayah KTI.

6. Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mengembangkan wilayah strategis yang sudah ada dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang potensial cepat tumbuh berdasarkan keunggulan geografis dan produk unggulan daerah yang berorientasi pada pasar lokal, regional, dan global, serta mendorong perkembangan fungsinya sebagai andalan pengembangan ekonomi wilayah dan penggerak kegiatan ekonomi kawasan di sekitarnya.

Sasaran program ini adalah meningkatnya kompetensi dan daya saing wilayah, melalui kegiatan usaha dan produktivitas komoditas unggulan daerah, secara berkelanjutan pada wilayah strategis dan cepat tumbuh di berbagai daerah.

Arah kebijakan program ini adalah (1) menyusun kebijakan dan strategi pengembangan wilayah dengan pendekatan wilayah strategis dan cepat tumbuh; (2) mengembangkan kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran komoditas unggulan pertanian, industri, dan pariwisata pada sentra-sentra produksi dan kawasan potensial lainnya termasuk kawasan transmigrasi; (3) meningkatkan kualitas sumber daya manusia pengelola pengembangan ekonomi wilayah, termasuk menyediakan tenaga kerja terampil; (4) mengembangkan pemanfaatan teknologi; (5) mengembangkan database, jaringan informasi dan komunikasi

IX – 34

modern, promosi dan publikasi, dalam mempromosikan potensi-potensi unggulan daerah; (6) menyiapkan dan mengelola sarana dan prasarana ekonomi strategis pada kawasan cepat tumbuh, melalui berbagai skim pembangunan termasuk transmigrasi; (7) meningkatkan kerjasama dan kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan dengan negara tetangga; (8) menciptakan forum-forum dan kelembagaan kerjasama berbasis ekonomi dalam rangka meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antarprogram dan antarinstansi; (9) mengembangkan jaringan perdagangan dengan pemanfaatan potensi geografis dan kerjasama ekonomi antar daerah dan antar negara termasuk wilayah subregional.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh adalah: (1) tersusunnya panduan kebijakan, pedoman, mekanisme perencanaan, serta indikator pembangunan terpadu melalui pendekatan wilayah; (2) tersusunnya strategi pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET); (3) dikembangkannya Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) oleh pemerintah daerah yang bersangkutan di 13 provinsi; (4) terselenggarakannya pengembangan kawasan transmigrasi seluas 73.582 hektar termasuk pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum; (5) terlaksanakannya pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang; (6) ditingkatkannya status kawasan berikat Otorita Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone); (7) terbangunnya data dan sistem informasi potensi daerah untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri oleh pemerintah daerah dalam rangka pengembangan kawasan, serta pengembangan data pusat-daerah untuk perencanaan pengembangan kawasan-kawasan di daerah; (8) tersusunnya kajian pengembangan infrastruktur wilayah, serta pengembangan

IX – 35

dan pengelolaan prasarana wilayah; (9) terbangunnya jaringan prasarana dan sarana yang langsung dikelola oleh daerah melalui pendekatan partisipasi dan pendampingan; (10) tersusunnya model kerjasama antar daerah dalam manajemen jaringan jalan di era desentralisasi; (11) terlaksananya kerjasama antardaerah dalam rangka pengembangan ekonomi dan wilayah Se-Sumatra, se-Jawa, se-Sulawesi, dan Se-Kalimantan; (12) berkembangnya konsep dan terlaksananya fasilitasi pengembangan kawasan cepat tumbuh melalui kerjasama terpadu dan kemitraan antara Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat pelaku lainnya di daerah; (13) terbentuknya dan terlaksananya forum-forum lintas pelaku dan kerjasama ekonomi subregional baik dalam pengelolaan potensi daerah maupun pengembangan ekonomi wilayah; dan (14) fasilitasi pelaksanaan kewenangan daerah di Kawasan Otorita, dan fasilitasi penanganan masalah kewenangan daerah di wilayah kawasan pelabuhan, bandar udara, perumahan, industri, perkebunan, pertambangan, kehutanan, pariwisata, dan kawasan lain sejenis.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dalam pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh adalah: (1) belum adanya kesepahaman dan belum optimalnya kualitas SDM di daerah, baik antara pemerintah daerah, masyarakat pelaku langsung, dan swasta, dalam pengembangan wilayah strategis cepat tumbuh yang berorientasi pada peningkatan daya saing kawasan dan dapat mengantisipasi globalisasi dan perdagangan bebas; (2) belum terciptanya sinergitas dan kerjasama yang terpadu lintas sektor dan antarpelaku dalam pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh serta belum sinkronnya persepsi dalam pengelolaan kawasan termasuk kawasan khusus seperti kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yang menimbulkan inefisiensi dan kurang efektifnya pengembangan kawasan tersebut; (3) keterbatasan infrastruktur jaringan jalan dan perhubungan serta

IX – 36

telekomunikasi yang menghubungkan antar wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh di dalam negeri, dan dengan pusat-pusat perekonomian dunia; (4) keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi, produksi dan pengolahan, yang mendukung kegiatan usaha untuk pengembangan produk unggulan di kawasan strategis dan cepat tumbuh; (5) belum optimalnya keterlibatan swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat lokal dalam pembangunan kawasan; (6) minimnya informasi dan akses masyarakat di daerah terhadap modal, input produksi, teknologi, pasar, serta peluang usaha dan kerjasama investasi; (7) belum terciptanya upaya optimal, kerjasama terpadu, dan kontribusi dari kegiatan penelitian dan pengembangan yang berperan penting dalam mendukung pengembangan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (8) belum adanya kesepahaman dalam penciptaan iklim usaha dan terjadinya tumpang tindih pelaksanaan kebijakan dengan pusat, sehingga menghambat peningkatan dunia usaha yang mendukung peningkatan daya saing kawasan.

Tantangan dalam pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh adalah: (1) keinginan daerah untuk meningkatkan pembangunan wilayah strategis dan kawasan cepat tumbuh; (2) adanya penerapan perjanjian perdagangan bebas AFTA, WTO, dan APEC, yang mendorong daerah untuk meningkatkan daya saing kawasannya serta memanfaatkan peluang pasar domestik dan ekspor untuk mengembangkan wilayah strategis dan cepat tumbuh dengan produk andalannya; (3) adanya otonomi daerah yang memberikan tantangan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan kawasan, termasuk kawasan otorita.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan : (1) fasilitasi dalam rangka peningkatan daya saing wilayah, khususnya pengarahan investasi publik dan swasta, melalui koordinasi dan sinkronisasi program-program pengembangan lintas

IX – 37

sektor/institusi pada wilayah strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan andalan cepat tumbuh, KAPET, dan strategis lainnya; (2) melanjutkan pengembangan produktivitas kawasan dengan orientasi pada sistem pengolahan dan pemasaran komoditas unggulan pertanian, industri, dan pariwisata pada sentra-sentra produksi dan kawasan potensial lainnya, secara berkesinambungan; (3) fasilitasi dalam menterpadukan dan mengembangkan program-program pengembangan sumber daya manusia dalam kerangka kewirausahaan dan ketrampilan teknis, melalui kegiatan yang berkesinambungan dan berkelanjutan; (4) mengembangkan penelitian dan pengembangan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (5) mengembangkan jaringan informasi dan komunikasi modern antara pusat-daerah-internasional, khususnya terkait dengan informasi dan jaringan pasar dan pemasaran; (6) mengembangkan upaya-upaya promosi dan publikasi secara agresif dengan mengembangkan kerjasama dengan perwakilan bangsa di luar negeri, dalam mempromosikan potensi-potensi unggulan daerah; (7) menyiapkan dan mengelola sarana dan prasarana ekonomi strategis seperti kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas pada kawasan cepat tumbuh, melalui berbagai skim pembangunan termasuk transmigrasi; (8) meningkatkan kerjasama dan kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha; (9) menciptakan forum-forum dalam rangka meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antarprogram dan antarinstansi; (10) mengembangkan jaringan perdagangan dengan pemanfaatan potensi geografis dan kerjasama ekonomi antardaerah dan antarnegara termasuk wilayah subregional; (11) penyiapan peraturan perundang-undangan; (12) percepatan penyerahan kewenangan daerah yang saat ini masih dikelola oleh Pemerintah Pusat; (13) peningkatan pemanfaatan kawasan otorita bagi kepentingan pelayanan publik; (14) pelibatan partisipasi pihak swasta dalam pengembangan kawasan otorita di daerah.

IX – 38

7. Program Pembangunan Perdesaan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program pembangunan perdesaan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan.

Sasaran yang hendak dicapai adalah meningkatnya pendapatan masyarakat perdesaan, terciptanya lapangan pekerjaan, terpenuhinya bahan pangan dan bahan lainya untuk kebutuhan konsumsi dan produksi, terwujudnya keterkaitan ekonomi antara perdesaan dan perkotaan, menguatnya pengelolaan ekonomi lokal, serta meningkatnya kapasitas lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan.

Arah kebijakan program ini adalah mempercepat pembangunan perdesaan dengan pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan prasarana, pembangunan agribisnis, industri kecil, dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi, dan pemanfaatan sumber daya alam.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang dicapai

Hasil yang dicapai dalam pembangunan perdesaan adalah (1) bertambahnya prasarana dan sarana perdesaan, antara lain, tersedianya dukungan infrastruktur peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang meliputi penyediaan air bersih untuk masyarakat berpenghasilan rendah di 3.500 desa rawan air; (2) dalam rangka peningkatan keterkaitan ekonomi kota-desa serta mengurangi urbanisasi dengan meningkatkan perekonomian masyarakat di perdesaan, telah dilakukan penanganan 61 kawasan agropolitan dan 245 desa pusat pertumbuhan, serta terfasilitasinya usaha ekonomi produktif berbasis kelompok masyarakat di 3000 desa dan telah

IX – 39

dilakukannya penanganan pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan di 20 provinsi sehingga terbukanya akses informasi dan jaringan pemasaran; (3) terselanggaranya kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas masyarakat perdesaan dalam bentuk pelatihan diantaranya melalui program pengembangan kecamatan (PPK) program pengembangan prasarana perdesaan (P2D), program pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan desa (PMPD), dan teknologi tepat guna; dan (4) terselenggaranya pemantapan lembaga pemerintahan desa melalui penguatan kapasitas perangkat pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa; dan (5) terlaksananya pengembangan kapasitas lembaga partisipasi masyarakat, yakni Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)/Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

ii. Permasalahan dan Tantangan

Satu permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah masih kecil dan belum terpadunya program serta komitmen pengembangan perdesaan oleh para pelaku pembangunan yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam pengembangan perdesaan. Hal ini memerlukan suatu komitmen yang besar dari semua pihak terkait, baik di pusat maupun di daerah. Permasalahan lainnya adalah kualitas hidup (sosial) masyarakat di perdesaan yang menurun karena permasalahan sosial-ekonomi serta menurunnya kualitas pelayanan kebutuhan dasar di beberapa wilayah perdesaan.

Tantangan yang dihadapi meliputi: (1) bagaimana memanfaatkan potensi yang beraneka ragam secara optimal di berbagai wilayah perdesaan; (2) bagaimana meningkatkan produktifitas kawasan perdesaan dengan struktur kegiatan ekonomi yang mantap; dan (3) bagaimana menjadikan pendekatan agropolitan dan desa pusat pertumbuhan menjadi salah satu pendekatan pembangunan yang terpadu untuk

IX – 40

mengurangi kesenjangan pembangunan kota-desa, dan (4) bagaimana memperkuat kapasitas masyarakat agar mampu mengelola pembangunan secara gotong royong, swadaya, dan mandiri.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah dukungan peningkatan kemampuan untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal, peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan pembangunan agropolitan dan desa pusat pertumbuhan, serta peningkatan kapasitas masyarakat dan lembaga organisasi ekonomi masyarakat perdesaan, serta peningkatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan, termasuk pendayagunaan potensi lembaga sosial budaya masyarakat.

8. Program Pembangunan Perkotaan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan pembangunan perkotaan diarahkan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan kota dalam rangka mewujudkan kota layak huni, menanggulangi masalah kemiskinan dan kerawanan sosial, memperkuat fungsi internal dan eksternal kota, serta mengupayakan sinergi pembangunan perkotaan dan perdesaan.

Sasaran yang hendak dicapai adalah meningkatnya kemampuan pengelolaan kota dalam penyediaan prasarana dan sarana serta pelayanan umum, meningkatnya partisipasi masyarakat dan dunia usaha, berkurangnya masalah kemiskinan dan kerawanan sosial, serta meningkatnya penyediaan dan pelayanan prasarana dan sarana penghubung perkotaan dan perdesaan.

Arah Kebijakan adalah meningkatkan ekonomi perkotaan yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi

IX – 41

ekonomi, dengan memperhatikan pemanfaatan ruang baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai antara lain: (1) bertambahnya tingkat efisiensi pengelolaan pembangunan termasuk pembangunan sarana dan prasarana perkotaan, khususnya di 150 kota yang melaksanakan P3KT, antara lain fasilitas air bersih bagi masyarakat miskin di perkotaan, pelayanan persampahan, drainase, dan air limbah; (2) terwujudnya mekanisme partisipatif dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan melalui upaya rehabilitasi lingkungan permukiman kumuh di berbagai perkotaan, serta tertatanya (penataan dan revitalisasi) 68 kawasan strategis/bersejarah dan tradisional di 64 kabupaten/kota; (3) tersedianya kredit mikro di 1.298 kelurahan yang komposisi penduduk miskinnya tinggi; (4) penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan secara signifikan; serta (5) terlaksananya fasilitas peningkatan kapasitas pengelolaan perkotaan dan penerepan tata pemerintahan yang baik di kota-kota sedang dan besar.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dalam pembangunan perkotaan antara lain (1) belum optimalnya fungsi ekonomi perkotaan, terutama di kota-kota menengah dan kecil dalam menarik investasi dan sebagai tempat penciptaan lapangan pekerjaan; (2) kualitas lingkungan kawasan perkotaan yang tidak sustainable dan cenderung memburuk; serta (3) masih rendahnya keterkaitan/sinergi pembangunan antar kota-kota serta antar perkotaan dan perdesaan.

IX – 42

Tantangan yang dihadapi adalah (1) bagaimana meningkatkan peran dan fungsi kota sebagai penghela pertumbuhan (growth engine) ekonomi nasional dalam upaya mempercepat proses recovery ekonomi nasional dari krisis, serta bagaimana mendorong pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil, dan keterkaitan ekonomi perdesaan; (2) bagaimana meningkatkan kapasitas manajemen, kelembagaan, dan pembiayaan pemerintah daerah dalam kerangka good governance; serta (3) bagaimana mewujudkan kawasan perkotaan dan perdesaan yang layak huni dengan kualitas lingkungan fisik dan lingkungan sosial-budaya dan ekonomi; (4) dalam rangka mencapai target Millenium Development Goal 2015, diperlukan dukungan sumber daya yang sangat besar serta manajemen/kelembagaan yang mantap.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah melanjutkan dan meningkatkan reformasi penyelengaraan pembangunan perkotaan. Meningkatkan keterlibatan dan kerjasama semua pihak terkait, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan perkotaan yang lebih effisien dan terkendali serta guna menjaring berbagai sumber pendanaan pembangunan.

9. Program Pengembangan Perumahan

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Tujuan Program Pengembangan Perumahan diarahkan untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, aman, dan terjangkau dengan menitikberatkan kepada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, melalui pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan pasar perumahan, pengembangan perumahan swadaya, pengembangan Kasiba/Lisiba dan pemberdayaan ekonomi lokal, serta pengembangan rumah susun sederhana sewa.

IX – 43

Sasaran yang hendak dicapai adalah tersedianya rumah sehat serta menghindarkan spekulasi tanah untuk perumahan dan permukiman, meningkatnya ketersediaan dana bagi pembiayaan perumahan yang berasal dari dana masyarakat, terciptanya pasar primer dan pasar hipotik sekunder yang berkualitas, terciptanya mekanisme subsidi perumahan yang efisien dan tepat sasaran sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah, meningkatnya kemudahan bagi masyarakat miskin dan berpendapatan rendah dalam mendapatkan hunian yang layak, meningkatnya investasi di bidang perumahan, serta terciptanya BUMN/BUMD yang efisien, efektif, dan akuntabel serta terfokusnya kegiatan BUMN/BUMD pada pembangunan/penyediaan, pengelolaan hunian murah, dan rumah susun sewa bagi masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan.

Arah kebijakan dari Program Pengembangan Perumahan adalah sebagai berikut (1) mendorong pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan dukungan fasilitasi akses pembiayaan perumahan; (2) mendorong pengembangan perumahan dan permukiman skala besar melalui pola Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri ( Lisiba-BS); (3) mendorong pengembangan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi kelompok masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah di daerah padat penduduk di perkotaan, kawasan industri, kawasan pendidikan dan kawasan pedagangan; (4) meningkatkan peran dan fungsi kawasan permukiman strategis, melalui revitalisasi kawasan permukiman tradisional dan bersejarah yang berbasis konsep Tridaya dengan mengedepankan strategi pemberdayaan masyarakat; (5) mendorong terwujudnya kualitas permukiman yang layak huni melalui peningkatkan kualitas lingkungan permukiman kumuh khususnya di daerah perkotaan berbasis konsep Tridaya dengan mengedepankan strategi pemberdayaan masyarakat; (6) mendorong terwujudnya pemulihan kehidupan dan penghidupan bagi para pengungsi dampak

IX – 44

bencana melalui rehabilitasi dan penyediaan prasarana dan sarana perumahan dan permukiman; (7) mengembangkan produk peraturan perundang-undangan termasuk pemantapan kelembagaan dalam rangka mewujdkan perumahan yang layak dan terjangkau, termasuk pemantapan sistem penyelenggaraan dan kapasitas kelembagaan di daerah melalui pembinaan teknis.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan program pengembangan perumahan adalah sebagai berikut (1) Subsidi KPR-RsH bagi masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah sebanyak 378.279 unit; (2) Fasilitasi penyediaan perumahan dan PSD-Perkim yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat (perumahan swadaya) melalui pembangunan baru sebanyak 66.573 unit dan melalui fasilitasi kredit mikro sebanyak 474.602 unit; (3) fasilitasi pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) di Perkotaan sebanyak 6.114 unit; (4) penanggulangan kemiskinan terkait bidang perumahan dan permukiman di Perkotaan 10.089 kelurahan; (5) penanggulangan akibat bencana alam dan kerusuhan sosial sebanyak 51.202 unit; (6) dukungan PSD-Perkim pada Kasiba/Lisiba sebanyak 86.896 unit pada 110 kawasan; (7) pengembangan kawasan perbatasan pada 20 kawasan; (8) pengembangan pulau-pulau kecil dan daerah tertinggal pada 61 kawasan; (9) penguatan kelembagaan pengawasan konstruksi dan keselamatan bangunan gedung pada 60 kota; (10) pengembangan lingkungan perumahan pada kawasan terpilih pusat pengembangan desa (KTP2D) pada 236 kawasan; (11) rehabilitasi Bangunan Gedung Negara serta peningkatan Kebun Raya dan Istana Presiden pada 12 Kawasan; (12) Fasilitasi penataan dan rehabilitasi lingkungan permukiman kumuh meliputi perbaikan rumah pada

IX – 45

3.742 ha dan melalui penyediaan kredit mikro untuk 6.000 unit; (13) Fasilitasi perbaikan dan penataan kembali lingkungan permukiman tradisional/bersejarah sebanyak 191.968 unit pada 145 kawasan seluas 641 ha.

IX – 46

ii. Permasalahan dan Tantangan

Adapun permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan program pengembangan perumahan adalah: (1) pengembangan perumahan swadaya masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan tanah dan pembiayaan; (2) bantuan bahan bangunan bergulir pada perumahan swadaya belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk membangun rumah; (3) tidak tersedianya dana penjaminan kredit mikro kepada Bank/Lembaga Keuangan dari pemerintah; (4) terbatasnya lahan/tanah yang tersedia untuk pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RsH); (5) dukungan prasarana dan sarana, fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum) seperti listrik sehingga menghambat penerbitan KPR; (6) pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) perlu disesuaikan untuk beberapa lokasi, yang disebabkan antara lain sulitnya penyediaan lahan, rumitnya penyiapan masyarakat sasaran dan kurangnya kesiapan unit pengelola yang otonom; dan (7) penanganan pengungsi masih terkendala oleh masalah penyediaan lahan.

Tantangan yang dihadapi adalah sebagai berikut: (1) kebutuhan rumah masih cukup besar, yaitu diperkirakan terdapat backlog sekitar 6 juta KK (kepala keluarga) yang belum memiliki rumah, serta pertambahan kebutuhan rumah sebesar 800.000 unit/tahun akibat pertumbuhan penduduk; dan (2) kemampuan ekonomi masyarakat sangat terbatas, pendapatan sekitar 70% rumah tangga perkotaan kurang dari Rp. 1,5 juta per bulan, dan (3) terbatasnya pasokan rumah terutama disebabkan terbatasnya sumber pembiayaan perumahan; (4) meningkatnya luas kawasan kumuh yang mencapai 47.993 ha, dan dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa yang tersebar tidak kurang di 10.000 lokasi; (5) rumah yang tidak layak huni mencapai 14,5 juta unit (28,22%).

IX – 47

iii. Tindak Lanjut

Upaya tindak lanjut yang dilaksanakan adalah: (1) peningkatan efektivitas program dan upaya sinergi dengan program daerah, dunia usaha dan masyarakat, melalui sosialisasi, fasilitasi dan bantuan teknis; (2) pemanfaatan tanah/lahan pemerintah kabupaten/kota dan provinsi untuk pembangunan rumah sehat sederhana (RsH) berbasis kasiba/lisiba dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa); (3) pemberian kemudahan perijinan; (4) penyiapan penghuni dan unit pengelola rusunawa; (5) pengupayaan akses kepada perbankan/lembaga keuangan untuk pembiayaan kredit mikro perumahan bagi masyarakat yang terlayani oleh program KPR; (6) pengupayaan dukungan dan koordinasi dengan instansi terkait dalam pembangunan RsH; dan (7) pemanfaatan pinjaman luar negeri (loan) secara efisien dan efektif untuk penanganan kawasan kumuh.

10. Program Pengembangan Prasarana dan Sarana Permukiman

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program Pengembangan Prasarana dan Sarana Permukiman bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman baik yang berada dikawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan serta mendorong terwujudnya kondisi lingkungan permukiman yang sehat, harmonis dan berkelanjutan.

Sasaran dari program pengembangan prasarana dan sarana permukiman adalah meningkatnya derajat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat; meningkatnya kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan prasarana dan sarana permukiman (air bersih, drainase, air limbah, persampahan, jalan lokal, pasar, dan terminal) dan meningkatnya kualitas lingkungan permukiman menjadi lebih layak huni, aman nyaman; peningkatan investasi swasta secara nyata dalam pembiayaan

IX – 48

prasarana dan sarana permukiman; peningkatan peranan kawasan strategis, kawasan bersejarah, dan kawasan tradisional dalam pembangunan ekonomi; serta tersusunnya pedoman dan standar konstruksi bangunan serta sistem pengawasannya.

Arah kebijakan dari program pengembangan prasarana dan sarana permukiman adalah: (1) memberi dukungan prasarana dan sarana pada kota-kota yang cepat tumbuh agar dapat membantu mengatasi kesenjangan prasarana dan sarana; serta membantu mendorong pengembangan prasarana dan sarana untuk kawasan miskin, terbelakang, dan terisolir; (2) memberikan fasilitasi terhadap berbagai pelaku/stakeholder dalam pembangunan prasarana dan sarana; serta memperhatikan penataan ruang baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah.

IX – 49

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan program pengembangan prasarana dan sarana permukiman adalah (1) dibangunnya berbagai prasarana dan sarana permukiman, yaitu (a) prasarana air bersih untuk 12,224 juta jiwa dan tambahan kapasitas instalasi pengolahan air bersih (IPA) 8.374 liter/detik, pencapaian kinerja air bersih sebesar 97,8% dari sasaran yang telah ditetapkan; (b) tambahan pelayanan persampahan di 381 kota/kabupaten dengan jumlah penduduk yang terlayani sebesar 6,8 juta jiwa, dan pencapaian kinerja sebesar 85,3% dari sasaran yang telah ditetapkan; (c) tambahan pelayanan drainase di 357 kota/kabupaten cukup tinggi dengan pencapaian kinerja sebesar 98,6%, namun untuk penanganan luas genangan yang terlayani sebesar 1.648 Ha dengan pencapaian kinerja baru mencapai sebesar 26,9% dari sasaran yang telah ditetapkan; (d) tambahan pelayanan air limbah di 315 kota/kabupaten, dengan pencapaian kinerja 57,8% dari sasaran yang ditetapkan, dan jumlah penduduk yang terlayani untuk 4,1 juta (on site dan off site), atau sekitar 84% dari sasaran yang telah ditetapkan; dan (e) telah dikembangkan juga 19 NSPM bidang air bersih, sanitasi, persampahan, dan drainase dengan pencapaian kinerja sebesar 19% dari sasaran yang ditetapkan.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Adapun permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan program pengembangan prasarana dan sarana permukiman adalah: (1) Rendahnya kepedulian pemerintah daerah dalam menangani kawasan kumuh, termasuk sharing pendanaan dan upaya untuk menumbuhkan gerakan masyarakat; (2) upaya peningkatan kualitas permukiman kumuh tidak seimbang dengan laju penurunan kualitas lingkungan yang ada; (3) rendahnya kinerja PDAM baik secara teknis maupun

IX – 50

managerial sehingga pada umumnya PDAM tidak mampu memberikan pelayanan air minum dengan baik, atau meningkatkan jangkauan pelayanannya kepada masyarakat, sehingga sebagian besar PDAM mengalami kesulitan membayar cicilan pinjaman; (4) masyarakat miskin di kawasan rawan air masih harus berjuang untuk mendapatkan air bersih dengan harga lebih mahal dibanding kelompok yang lebih mampu di perkotaan; (5) masih terbatasnya pendanaan untuk pembangunan dan pemeliharaan prasarana, seperti pada penanganan luas genangan (drainase); (6) masih lemahnya pengelolaan prasarana; (7) belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional untuk lebih melibatkan swasta dalam penyiapan infrastruktur; dan (8) masih terkendalanya pembangunan prasarana karena kesulitan penyiapan/pembebasan lahan

Tantangan yang dihadapi adalah sebagai berikut: (1) kesenjangan penyediaan prasarana dan sarana dengan kebutuhan yang akan meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk; (2) mobilisasi berbagai sumber pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk memenuhi sasaran Millennium Development Goals Tahun 2015; (3) meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyediakan kebutuhan lahan bagi penyediaan infrastruktur; dan (4) meningkatkan investasi sarana dan prasarana di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

iii. Tindak Lanjut

Upaya tindak lanjut yang dilaksanakan adalah: (1) peningkatan koordinasi pembangunan dan efektivitas program; (2) reformasi kelembagaan penyelenggara air minum dengan meningkatkan peran konsumen air minum (beneficiaries) dalam proses pengambilan keputusan; (3) mengingat peran yang strategis, pemerintah akan tetap memfasilitasi peningkatan cakupan pelayanan; membantu/memfasilitasi penyediaan prasrana dan sarana air

IX – 51

minum bagi masyarakat tidak mampu, rawan air dan kekeringan; (4) penyediaan prasarana air minum di kawasan kumuh di perkotaan, desa nelayan dan desa rawan air minum dengan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat; (5) mobilisasi pendanaan melalui keterpaduan program pembangunan antara pihak swasta, pemerintah (pusat dan daerah), dan masyarakat; (6) melanjutkan reformasi kelembagaan penyelenggara infrastruktur; dan (7) penetapan kebijakan dan strategi penanganan persampahan, drainase dan air limbah di kawasan strategis.

11. Program Pengembangan Wilayah Tertinggal

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan aksesibilitas wilayah tertinggal terhadap faktor produksi dan prasarana fisik yang mendukung percepatan pembangunan wilayah tertinggal, serta mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia dan penguatan kelembagaan masyarakat termasuk kelembagaan adat berserta kearifan tradisionalnya.

Sasaran program ini adalah terwujudnya peningkatan kapasitas ekonomi dan sosial budaya wilayah tertinggal sehingga terkait pengembangannya dengan wilayah lain.

Arah kebijakan program ini adalah (1) menyusun kebijakan dan strategi pengembangan wilayah tertinggal dengan pola pengembangan wilayah terpadu; (2) mengembangkan kawasan-kawasan permukiman transmigrasi lama yang potensial sebagai pusat pertumbuhan di wilayah tertinggal; (3) meningkatkan ketersediaan aksesibilitas di wilayah tertinggal; (4) meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana dasar, sosial

IX – 52

dan ekonomi di wilayah tertinggal, termasuk di kawasan transmigrasi; (5) mengembangkan ekonomi lokal yang bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam, budaya, adat istiadat dan kearifan tradisional secara berkelanjutan; (6) memperkuat kelembagaan adat dan kelembagaan masyarakat lokal lainnya sehingga mampu dalam proses pengembilan keputusan publik; (7) menyediakan tenaga pendamping dalam pengembangan usaha ekonomi lokal; (8) mengembangkan kerjasama dan kemitraan antara pemerintah, pengusaha swasta dan masyarakat dalam mengembangkan wilayah-wilayah potensial yang tertinggal, termasuk pulau-pulau kecil; (9) menyusun pangkalan data (database) wilayah tertinggal dan kepulauan terpencil.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program pengembangan wilayah tertinggal adalah: (1) tersusunnya konsep kebijakan, strategi, definisi dan batasan, serta kriteria kabupaten dan kawasan tertinggal; (2) tersusunnya kebijakan dan strategi nasional percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia; (3) teridentifikasikannya kabupaten yang relatif tertinggal beserta kawasan tertinggalnya (4); tersusunnya konsep kebijakan dan strategi pengembangan pulau-pulau kecil; (5) tersusunnya kajian, konsep kebijakan, dan strategi yang terkait dengan pengembangan pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir; (6) tersusunnya pedoman kebijakan penyerasian pembangunan wilayah tertinggal; (7) tersusunnya kajian pembinaan masyarakat pedalaman; (8) tersusunnya dokumen perencanaan dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan di 15 provinsi 59 kabupaten dan 250 kecamatan; (9) dilaksanakannya pengembangan wilayah tertinggal di beberapa provinsi oleh pemerintah provinsi dengan

IX – 53

pendekatan penyediaan sarana dan prasarana dasar; (10) dilaksanakannya pengembangan wilayah tertinggal di beberapa permukiman transmigrasi lama melalui skim pengembangan permukiman transmigrasi; (11) tersedianya data dan informasi tentang kabupaten dan wilayah tertinggal; dan (12) terjalinnya jaringan komunikasi antara pemerintah pusat, provinsi, daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, (13) rencana tipologi wilayah tertinggal yang dituangkan dalam bentuk peta

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dalam pengembangan wilayah tertinggal adalah: (1) belum adanya pendanaan pembangunan untuk wilayah tertinggal termasuk dana Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia; (2) belum adanya kesepahaman antara berbagai stakeholders baik di pusat maupun daerah dalam penanganan wilayah tertinggal dan KTI; (3) belum adanya kebijakan yang memprioritaskan penanganan wilayah tertinggal secara terpadu, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah; (4) walaupun pemerintah daerah menganggap penting dalam penanganan wilayah tertinggal namun hal itu belum tercermin dalam prioritas pembangunan daerah karena pemerintah derah lebih memprioritaskan kebutuhan sumberdaya manusia dan prasarana fisik lainnya; (5) rendahnya dukungan APBD provinsi maupun kabupaten untuk mengembangkan wilayah tertinggal dan pulau-pulau kecil; (6) masih adanya program pengembangan wilayah tertinggal di beberapa departemen teknis yang belum terintegrasikan dan berjalan sendiri-sendiri; (7) keterbatasan sarana dan prasarana perhubungan dan telekomunikasi yang menghubungkan wilayah-wilayah tertinggal dengan pusat-pusat pemasaraan dan ibukota kabupaten dan provinsi; (8) masih rendahnya kualitas SDM dan belum optimalnya pengembangan potensi, baik SDM, SDA, dan kelembagaan di wilayah tertinggal; (9) belum adanya keterlibatan swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat lokal dalam pengembangan wilayah tertinggal; (10) terbatasnya informasi

IX – 54

dan akses masyarakat di daerah dalam penyediaan modal, input produksi, pengembangan teknologi, informasi pasar, dan peluang usaha; (11) belum optimal dan sinergisnya upaya-upaya untuk percepatan pengembangan wilayah tertinggal; dan (12) tingkat ketertinggalan serta karakteristik masing-masing wilayah yang menuntut perhatian dan penanganan dalam jangka panjang.

Tantangan dalam pengembangan wilayah tertinggal adalah: (1) adanya komitmen pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal, termasuk kawasan transmigrasi lama dan pulau-pulau kecil terpencil; (2) beberapa daerah tertentu telah mengalokasikan dana APBD-nya bagi pengembangan wilayah tertinggal, khususnya dalam penyediaan sarana dan prasarana dasar; (3) adanya kebijakan anggaran khusus dalam bentuk DAK untuk sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, jalan, pengairan yang diprioritaskan bagi wilayah tertinggal.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan: (1) meningkatkan kesepahaman dan komitmen dalam penanganan wilayah tertinggal antara berbagai pihak terkait di pusat dan daerah dan di semua tingkatan pemerintahan; (2) meningkatkan upaya koordinasi dan sinkronisasi program pengembangan wilayah tertinggal secara terpadu di pusat dan daerah; (3) meningkatkan kesepahaman antara berbagai pihak terkait baik di pusat maupun daerah dalam penanganan wilayah tertinggal; (4) mendorong penyusunan kebijakan yang memprioritaskan penanganan wilayah tertinggal secara terpadu di pusat dan daerah; (5) meningkatkan sosialisasi penanganan wilayah tertinggal kepada pemerintah daerah dan masyarakat sehingga menjadi prioritas pembangunan daerah; (6) mendorong pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan wilayah tertinggal melalui pengalokasian anggaran program dalam APBD; (7) Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana perhubungan dan

IX – 55

telekomunikasi; (8) mendorong keterlibatan swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat lokal dalam pengembangan wilayah tertinggal melalui pemberian insentif dan kemudahan lainnya; (9) meningkatkan akses masyarakat di daerah terhadap ketersediaan modal, input produksi, pengembangan teknologi, informasi pasar, dan peluang usaha; (10) mengembangkan kebijakan penyediaan sarana prasarana dasar, sosial dan ekonomi, secara lebih komprehensif; (11) mempercepat upaya peningkatan kualitas SDM, pemanfaatan potensi SDA, dan potensi kelembagaan lokal di wilayah tertinggal secara arif dan berkelanjutan; (12) mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat, pihak swasta dan pemerintah daerah dalam pengembangan wilayah tertinggal; (13) menciptakan berbagai forum lintas sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil yang potensial; (14) meningkatkan kualitas dan mengembangkan pangkalan data (database) wilayah tertinggal.

12. Program Pengembangan Wilayah Perbatasan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi wilayah perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain.

Sasaran program ini adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan terciptanya ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan.

Arah kebijakan program ini adalah (1) menyusun arah dan kebijakan pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu; (2) menata tapal batas garis perbatasan antara negara di Kalimantan, Papua dan NTT; (3) menyusun tata ruang perbatasan darat dan

IX – 56

laut di seluruh kawasan perbatasan; (4) mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan pada kawasan perbatasan yang disepakati secara bilateral untuk dibuka; (5) menumbuhkembangkan pemanfaatan potensi sumberdaya yang ada agar lebih dapat diakses oleh masyarakat di wilayah perbatasan; (6) meningkatkan kerjasama dan kesepakatan dengan negara tetangga di bidang keamanan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah perbatasan; dan (7) memberdayakan lembaga ekonomi, politik, hukum, keagamaan, adat, dan lembaga swadaya masyarakat; (8) meningkatkan kerjasama bilateral dengan negara tetangga di bidang keamanan, ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan daerah perbatasan; (9) mengembangkan sarana dan prasarana permukiman di kawasan perbatasan; (10) meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pabean, imigrasi, karantina dan keamanan; dan (11) meningkatkan pelayanan prasarana/sarana perhubungan, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan program pengembangan wilayah perbatasan antara lain: (1) tersusunnya kebijakan dan strategi (jakstranas), serta rencana tata ruang wilayah kawasan perbatasan antar negara; (2) terlaksananya pertemuan bilateral antara Indonesia dengan negara Malaysia, Papua New Guinea, Filipina, Australia, dan Timor Leste melalui forum Joint Technical Sub Committee on Survey, Demarcation, NAD Mapping (JTSC), JSCS, GBC, Staff Planning Committee (SPC); (3) finalisasi MOU lintas batas RI-Malaysia; (3) terlaksananya pembinaan pos lintas batas dan kelembagaan di Provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Papua dan Nusa Tenggara Timur; (4) terlaksananya kerjasama ekonomi melalui penanaman modal dalam pengembangan kawasan khusus di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dalam kerangka Sosek Malindo; (5) tersusunnya konsep naskah akademik

IX – 57

Rancangan UU tentang Batas Wilayah RI dan konsep kebijakan strategi pengelolaan kawasan perbatasan; (6) tersusunnya database wilayah perbatasan antar negara; (7) tersusunnya informasi dan peta garis batas dan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan; serta (8) dilaksanakannya pengembangan pulau-pulau kecil terluar yang strategis. (9) adanya rencana pembentukan dewan pengembangan perbatasan antar negara dan badan penanganan wilayah perbatasan; (10) penyusunan rencana induk pengembangan wilayah perbatasan NKRI; dan (11) penyusunan pedoman manajemen pembangunan wilayah perbatasan.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dalam pengembangan wilayah perbatasan: (1) panjangnya garis perbatasan darat dan laut yang tersebar sampai di pulau-pulau terluar yang harus diawasi sedangkan sarana dan prasarana yang dimiliki aparat pertahanan dan keamanan sangat minim mengakibatkan lemahnya pengawasan daerah perbatasan; (2) tapal batas antar negara yang masih belum ditetapkan secara jelas (3) belum adanya kebijakan nasional yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu; (4) belum mantapnya koordinasi penanganan wilayah perbatasan antar negara baik di Pusat maupun di daerah; (5) terbatasnya dana untuk pendamping investasi asing bagi pengembangan kawasan perbatasan di Kalimantan Barat; (6) kerjasama bilateral saat ini masih bersifat ad hoc dan hanya berlaku untuk daerah tertentu; (7) perbedaan tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi antara masyarakat Indonesia dan Malaysia di perbatasan; (8) tingkat kemiskinan yang cukup tinggi sebagai salah satu penyebab maraknya penyelundupan tenaga kerja dan sumberdaya alam; (9) masih sangat sedikitnya pos perbatasan yang tersedia dan pilar perbatasan yang sangat terbatas jumlahnya dan rendah kualitasnya; (10) terbatasnya

IX – 58

sarana dan prasarana keamanan, cukai, imigrasi, dan karantina di pos-pos pelintas batas; (11) terbatasnya prasarana wilayah yang menghubungkan pusat-pusat perkotaan dengan pintu-pintu perbatasan; (12) belum memadainya pelayanan pendidikan, kesehatan dan fasilitas peningkatan keterampilan penduduk untuk memanfaatkan peluang yang ada di negara tetangga; serta (13) pola tata guna dan status hutan di sepanjang perbatasan yang masih wewenang pemerintah pusat, di lain pihak daerah dan masyarakat setempat membutuhkan sumberdaya bagi daerah dan kehidupannya.

Tantangan dalam pengembangan wilayah perbatasan: (1) adanya komitmen pemerintah pusat untuk menangani daerah perbatasan; (2) adanya kemauan politik negara tetangga untuk menyelesaikan masalah tapal batas perbatasan; (3) adanya dorongan dari pihak pemerintah daerah perbatasan negara untuk menyelesaikan persoalan perbatasan dan mengembangkannya sebagai kawasan pertumbuhan; serta (4) adanya beberapa investor dari negara tetangga yang siap untuk bekerjasama dengan beberapa pemerintah daerah kabupaten di Kalimantan Barat.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan : (1) melaksanakan pembangunan sesuai arahan jaktranas pengelolaan kawasan perbatasan antar negara; (2) meningkatkan upaya pengawasan, sarana dan prasarana pengawasan garis perbatasan darat dan laut; (3) menetapkan tapal batas antar negara secara jelas; (4) menyusun kebijakan nasional yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu; (5) meningkatkan keterlibatan daerah secara aktif dalam pengelolaan daerah perbatasan, termasuk dukungan pendampingan daerah untuk pengembangan kawasan perbatasan di Kalimantan Barat; (6) memantapkan dan mengembangkan kerjasama bilateral pada daerah-daerah perbatasan secara berkelanjutan; (7) menyusun

IX – 59

skenario dan strategi pembangunan perekonomian antarsektor di daerah perbatasan serta mengembangkan perbatasan dengan pendekatan pengembangan usaha dan pemberdayaan ekonomi masyarakat perbatasan; (8) menambah dan meningkatkan kualitas pos-pos dan pilar-pilar perbatasan; (9) menambah dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana keamanan, cukai, imigrasi, dan karantina di pos-pos pelintas batas; (10) mengembangkan prasarana wilayah yang menghubungkan pusat-pusat perkotaan dengan pintu-pintu perbatasan; (11) meningkatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan fasilitas peningkatan keterampilan penduduk dengan orientasi pada nilai komparatif dan kompetitif terhadap negara tetangga; serta (12) menyusun kebijakan penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam di sepanjang perbatasan dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat kawasan perbatasan.

13. Program Penataan Ruang

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah (1) mendukung pembangunan daerah yang efisien dan efektif; (2) menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang; (3) mewujudkan aparat yang disiplin dalam pengendalian pemanfaatan ruang; (4) memperkuat koordinasi dan konsultasi antar daerah, antar sektor, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta antara pemerintah dan masyarakat.

Sasaran program ini adalah (1) tersusunnya revisi UU No. 24 Tahun 1992 serta peraturan pelaksanaannya yang efektif dengan metode partisipatif serta sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999; (2) tercapainya konsistensi pelaksanaan rencana tata ruang baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; (3) meningkatnya kapasitas aparat pelaksana kegiatan penataan ruang daerah; (4) terciptanya pelayanan informasi pada masyarakat secara efektif untuk meningkatkan

IX – 60

partisipasi masyarakat; serta (5) terwujudnya pemantapan koordinasi dan konsultasi antar pihak.

Arah kebijakan yang diacu dalam periode perencanaan antara Tahun 2000-2004 adalah (1) penyusunan rencana tata ruang wilayah dan kawasan, khususnya pada kawasan metropolitan yang di dalamnya terdapat kota-kota yang berkembang pesat serta dengan memberi perhatian pada bagian-bagian kota yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi; (2) penyelenggaraan peningkatan kapasitas dan disiplin aparat penataan ruang dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pelayanan informasi tata ruang kepada masyarakat luas; (3) pemantapan koordinasi dan konsultasi antara pusat dan daerah; serta (4) kerjasama antar daerah dan konsultasi dengan lembaga dan organisasi masyarakat dalam kegiatan penataan ruang di tingkat nasional dan daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai sampai dengan pertengahan Tahun 2004 adalah: (1) tersusunnya naskah rancangan Amandemen UU No. 24 Tahun 1992 yang disesuaikan dengan UU No. 22 Tahun 1999; (2) ditetapkannya PP No. 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta dan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah; (3) tercapainya kesepakatan para pihak dalam perumusan RPP tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); (4) tersusunnya materi teknis RUU Penataan Ruang Lautan dan RUU Penataan Ruang Udara Nasional; (5) tersusunnya 8 materi teknis RPP penjelasan UU No. 24 Tahun 1992; (6) tersusunnya Rakeppres untuk penataan ruang pulau Sumatera, Jawa-Madura-Bali, Kalimantan, dan Sulawesi dan kawasan tertentu Jabodetabekpunjur dan Perbatasan Kalimantan-Sabah-Serawak untuk menjamin keterpaduan antar wilayah dan antar sektor; (7) tersusunnya materi teknis

IX – 61

koordinasi pembangunan antar provinsi untuk Nusa Tenggara, Maluku-Maluku Utara, dan Papua; (8) didayagunakannya RTRWN yang terpadu antara ruang darat, laut dan udara dalam pembangunan nasional dan daerah dan di kawasan strategis nasional terutama di kawasan perbatasan antar negara; (9) tersusunnya pedoman untuk penataan ruang darat, pesisir, dan pulau-pulau kecil; (10) meningkatnya kapasitas kelembagaan dan aparat penataan ruang daerah khususnya dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan pelayanan informasi pada masyarakat; (11) terlaksananya sosialisasi rencana dan kebijakan penataan ruang terutama di kawasan strategis nasional dan kawasan lindung untuk memantapkan sistem monitoring yang melibatkan masyarakat; serta (12) terwujudnya koordinasi penataan ruang melalui Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) sesuai Keppres No. 62 Tahun 2000 dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) sesuai Kepmendagri No. 147 Tahun 2004.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Program Penataan Ruang adalah: (1) luasnya materi yang harus dicakup dalam peraturan mengenai penataan ruang yang menyebabkan belum lengkapnya peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992; (2) belum digunakannya rencana tata ruang wilayah sebagai acuan bagi pembangunan nasional dan daerah dan sebagai kebijakan preventif untuk pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (3) belum baiknya integrasi antara penataan ruang daratan dan lautan; (4) belum lengkapnya pedoman untuk pemerintah daerah yang dapat membantu meningkatkan kualitas rencana dan pengendalian pemanfaatan ruang; (5) masih rendahnya pemahaman, disiplin, konsistensi, dan dukungan para pihak dalam seluruh kegiatan

IX – 62

penataan ruang; (6) belum berperan aktifnya masyarakat dan legislatif dalam seluruh tahap penataan ruang; (7) masih perlu ditingkatkannya koordinasi dan konsultasi antar pihak; (8) masih ada kelembagaan penataan ruang di daerah yang belum terbentuk; (9) masih perlu ditingkatkannya kapasitas aparat daerah dalam menunjang seluruh kegiatan penataan ruang; dan (10) masih terdapatnya perbedaan tingkat kedalaman data spasial serta belum lengkapnya data spasial untuk seluruh Wilayah NKRI.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) melengkapi peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992 secara efektif dan partisipatif serta konsisten dengan UU No. 22 Tahun 1999; (2) peninjauan kembali dan pendayagunaan rencana tata ruang untuk menjamin keterpaduan pembangunan antar wilayah dan antar sektor untuk mencegah kerusakan lingkungan; (3) penyusunan pedoman teknis penataan ruang untuk berbagai tingkatan pemerintah; (4) pelaksanaan sosialisasi penataan ruang untuk memantapkan sistem pemantauan yang melibatkan masyarakat; (5) pemantapan koordinasi dan konsultasi antara para pihak yang terkait dengan kegiatan penataan ruang baik di tingkat nasional dan daerah; (6) pemantapan kelembagaan penataan ruang; (7) peningkatan kapasitas aparat daerah baik eksekutif maupun legislatif khususnya untuk pengendalian pemanfaatan ruang dan pelayanan informasi tata ruang kepada masyarakat luas; dan (8) penyediaan data dan informasi spasial yang handal dan akurat sebagai input bagi penyusunan rencana tata ruang.

IX – 63

14. Program Pengelolaan Pertanahan

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah.

Sasaran program ini adalah adanya kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya pelayanan pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang berlaku secara nasional.

Arah kebijakan program ini adalah mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai melalui Program Pengelolaan Pertanahan dari tahun 2000 sampai dengan 2003: (1) inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis di 58 desa/kelurahan yang tersebar di 29 provinsi, sebagai pelaksanaan salah satu amanat TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001; (2) peningkatan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan melalui peningkatan dan penguatan hak-hak masyarakat atas

IX – 64

tanah dengan penertiban dan peningkatan hak atas tanah sebanyak 953.717 bidang melalui kegiatan PRONA, P3HT, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, dan Program Transmigrasi; (3) pembangunan dan pengembangan pengelolaan data dan informasi pertanahan melalui kegiatan-kegiatan: pemetaan penggunaan tanah seluas 84.163.810 hektar, pemetaan kemampuan tanah seluas 7.968.000 hektar, penyusunan neraca penggunaan tanah 59 Dati II, pembuatan foto udara dan penyiapan peta dasar pendaftaran tanah seluas 716,500 hektar, pembangunan Kerangka Dasar Kadastral Nasional sebanyak 6.412 titik, pengembangan sistem informasi automatisasi di 26 kabupaten, pengembangan Sistem Informasi Geografi di 27 kabupaten, pemetaan dan analisis penatagunaan tanah daerah prioritas yaitu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Sawah Beririgasi Teknis, Kawasan BOPUNJUR, daerah pengembangan pesisir, dan daerah sekitar Taman Nasional seluas 6.290.203 hektar; (4) penanganan/penyelesaian masalah dan sengketa pertanahan yang meliputi permasalahan-permasalahan tanah perkebunan, sengketa tumpang tindih status kepemilikan dan status tanah, sengketa berkaitan dengan pelaksanaan putusan peradilan, sengketa tanah-tanah instansi pemerintah dan pendudukan tanah; (5) untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pertanahan telah dilaksanakan pendidikan dan latihan struktural sebanyak 1.157 orang dan pendidikan dan latihan teknis sebanyak 3.649 orang; dan (6) pengembangan sistem informasi pertanahan pada 38 kantor pertanahan di kabupaten dan kota, serta portal internet (BPN website : http://www.bpn.go.id) sebagai bentuk interaktif layanan publik.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi antara lain: (1) upaya percepatan pendaftaran tanah belum

IX – 65

sepenuhnya dapat dilaksanakan karena terbatasnya ketersediaan infrastruktur kadaster, belum tertibnya penatausahaan penguasaan dan kepemilikan tanah di desa dan kelurahan, serta belum terbangunnya suatu sistem pendaftaran tanah yang sederhana, aman, terjamin dan efisien; (2) masih banyaknya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T), sementara salah satu upaya untuk mengatasinya yaitu melalui pelaksanaan landreform belum berjalan sepenuhnya, disebabkan antara lain oleh [a] belum lengkapnya basis data obyek landreform yang komprehensif, [b] belum terbangunnya persepsi yang sama tentang pentingnya penyelenggaraan landreform, dan [c] belum optimalnya peran masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pelaksanaan dan pengendalian landreform; (3) belum mantapnya pengaturan keseimbangan dan keserasian antara ketersediaan dengan kebutuhan atas tanah yang mengakibatkan penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya; (4) masih kurangnya perlindungan dan keberpihakan kepada pihak ekonomi lemah; (5) masih cukup banyak kasus-kasus pertanahan yang belum terselesaikan; (6) pengembangan sistem informasi geografi dan sistem informasi pertanahan belum dapat memenuhi kebutuhan nasional; (7) belum terwujud kelembagaan pertanahan yang efektif dan efisien serta kurangnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di bidang pertanahan baik di pusat maupun di daerah.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka mengatasi permasalahan dan tantangan pada Program Pengelolaan Pertanahan antara lain: (1) penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan

IX – 66

memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; (2) pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan land reform; (3) penyelesaian konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum, didasarkan atas pinsip-prinsip pembaruan agraria; (4) penguatan kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; dan (5) peningkatan kualitas data, penyediaan infrastruktur kadaster serta penyederhanaan sistem pendaftaran tanah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah.

15. Program Penguatan Organisasi Masyarakat

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan kapasitas organisasi sosial dan ekonomi masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat setempat sebagai wadah bagi pengembangan usaha produktif, pengembangan interaksi sosial, penguatan ketahanan sosial, pengelolaan potensi masyarakat setempat dan sumber daya dari pemerintah, serta wadah partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

Sasaran program ini adalah yang ingin dicapai adalah berkembangnya organisasi sosial dan ekonomi masyarakat setempat yang dapat meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Arah kebijakan program ini adalah (1) melakukan revitalisasi kelembagaan masyarakat guna meningkatkan kapasitas lembaga sosial ekonomi masyarakat dalam

IX – 67

pengelolaan sumber daya baik milik masyarakat setempat maupun berasal dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat masyarakat setempat, (2) membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan organisasi sebagai penyaluran aspirasi dan melakukan interaksi dengan organisasi politik.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai: (1) mempromosikan pendekatan partisipatoris dalam pengelolaan program pemberdayaan masyarakat, melalui kegiatan seminar/workshop bagi para pelaku pembangunan, serta orientasi dan pelatihan bagi lembaga/organisasi masyarakat; (2) meningkatkan fungsi lembaga/organisasi masyarakat sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan mengimplementasikan pendekatan partisipatoris dalam pengelolaan program pemberdayaan masyarakat; (3) pilot model ntuk program pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kapasitas organisasi/lembaga masyarakat; dan (4) umpan balik dari pembangunan secara partisipatif dalam program pemberdyaaan masyarakat di Indonesia.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan pada program ini adalah (1) belum berkembangnya kerjasama melalui jaringan kerja antara pemerintah dan LSM lokal dalam upaya pemberdayaan masyarakat, (2) terbatasnya sumber daya dan kapasitas pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat, (3) terbatasnya kapasitas manajemen dan organisasi maupun sumber daya dari LSM lokal dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat sehingga membatasi keberlanjutan kegiatan dan kemandirian organisasi, (4) terbatasnya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan

IX – 68

pembangunan lokal yang berkelanjutan, dan (5) kurangnya akses masyarakat terhadap fasilitasi LSM lokal dalam pengelolaan pembangunan lokal yang berkelanjutan.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) melakukan penguatan lembaga dan organisasi masyarakat guna mendukung peningkatan posisi tawar dan akses masyarakat untuk memperoleh dan memanfatkan input sumberdaya yang dapat meningkatkan kegiatan ekonomi; (2) membuka ruang gerak yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik melalui pengembangan forum lintas pelaku yang dibangun dan dimiliki masyarakat setempat; dan (3) mengurangi berbagai bentuk pengaturan yang menghambat masyarakat untuk membangun lembaga dan organisasi guna penyaluran pendapat, melakukan interaksi sosial untuk membangun kesepakatan diantara kelompok masyarakat dan dengan organisasi sosial dan politik yang ada.

16. Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan dan keberdayaan keluarga dan kelompok masyarakat miskin melalui penyediaan kebutuhan dasar dan pelayanan umum berupa sarana dan prasarana sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan penyediaan sumber daya produksi; meningkatkan kegiatan usaha kecil, menengah dan informal di perdesaan dan perkotaan; mengembangkan sistem perlindungan sosial bagi keluarga dan kelompok masyarakat yang rentan sosial dan tidak mampu mengatasi akibat goncangan ekonomi, terkena sakit atau cacat, korban kejahatan, dan berusia lanjut dan berpotensi menjadi miskin.

IX – 69

Sasaran program ini adalah berkurangnya jumlah penduduk miskin dan meningkatnya kondisi sosial ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat yang miskin dan berpotensi menjadi miskin.

Arah kebijakan program ini adalah (1) mengembangkan usaha ekonomi yang berkelanjutan sehingga dapat memperluas kesempatan kerja dan memberikan pendapatan yang layak bagi keluarga miskin dengan bertumpu pada budaya masyarakat setempat, (2) membuka akses yang seluas-luasnya dalam bentuk peningkatan keahlian, penyediaan sarana dan prasarana seperti modal, informasi pasar, dan teknologi.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Sebagai tindak lanjut dari upaya penanggulangan kemiskinan, pemerintah memberikan bantuan program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT). Bantuan ini dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat di wilayah tertinggal, dan untuk meningkatkan kondisi prasarana desa sebagai prasarat agar masyarakat mendapat akses yang meningkat untuk mengembangkan bantuan modal usaha. Prasarana dasar yang dibangun meliputi pembangunan jalan, jembatan, tambatan perahu, serta prasarana air bersih dan sanitasi, dengan total nilai pada tahun 2003 sebesar kurang lebih 376 milyar. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di desa tertinggal.

Dalam rangka percepatan pengentasan penduduk dari kemiskinan, dipandang perlu untuk memberikan kepada masyarakat miskin bantuan tambahan dengan pendekatan koordinasi antardesa dalam satu wilayah

IX – 70

kecamatan melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Upaya ini sekaligus memantapkan dan memperkuat fungsi forum perencanaan partisipatif, yakni forum Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) dan forum musyawarah Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di kecamatan. Pendekatan program PPK ini dengan memberikan sarana untuk meningkatkan kemampuan lembaga dan aparat di tingkat desa dan kecamatan untuk mengkoordinasikan penyaluran bantuan dan memberdayakan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Pada tahun 1999/2000 bantuan PKK tersebar di 20 provinsi dengan jumlah kecamatan sebanyak 500, yang di manfaatkan secara langsung oleh kelompok masyarakat serta melibatkan peran serta aktif masyarakat sendiri dalam wadah kelompok masyaraakat. Dan pada tahun 2004 sudah tersebar di 26 provinsi dengan jumlah kecamatan 823. Jenis kegiatan yang dibiayai dana bantuan PKK adalah prasarana dan sarana serta kegiatan sosial ekonomi.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Masalah kemiskinan merupakan masalah multi dimensi, faktor-faktor utama penyebab kemiskinan antara lain adalah: (1) rendahnya kemampuan dasar rumah tangga (keluarga), antara lain adanya ketidakcukupan pangan, taraf pendidikan dan derajat kesehatan yang kurang memadai, serta sikap hidup yang tidak produktif, (2) lemahnya struktur kegiatan ekonomi yang mendukung, antara lain tidak tersedianya lapangan kerja, ketidakmampuan masyarakat meningkatkan produksi dan pendapatan, tidak tersedianya informasi pasar, adanya biaya tinggi, dan adanya persaingan usaha, (3) terbatasnya daya dukung wilayah, antara lain rendahnya daya dukung sumber daya alam (ketersediaan air, lahan tidak subur, iklim kering), dan terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana sosial-ekonomi, (4)

IX – 71

terbatasnya kelembagaan yang mendukung, a.l. lemahnya organisasi sosial-ekonomi masyarakat, organisasi pelayanan umum yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, dan peraturan yang menghambat.

Tantangan yang dihadapi dalam jangka pendek dalam penanggulangan kemiskinan adalah bagaimana menstrukturkan intervensi pemerintah dan penentuan kegiatan/program yang diperlukan untuk dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dengan memperhatikan kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhinya, kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah, serta mengembangkan kapasitas masyarakat, dan dukungan politik yang memadai.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah mengembangkan kapasitas masyarakat melalui bantuan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, penyediaan bantuan modal usaha, penyediaan sarana dan prasarana, termasuk dukungan teknologi tepat guna dan informasi pasar sehingga dapat memperluas kesempatan kerja dan memberikan pendapatan yang layak, khususnya bagi keluarga dan kelompok miskin.

17. Program Peningkatan Keswadayaan Masyarakat

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mengembangkan jaringan kerja keswadayaan masyarakat untuk meningkatkan keswadayaan dan memperkuat solidaritas dan ketahanan sosial masyarakat dalam memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan dan membantu masyarakat miskin dan rentan sosial.

Sasaran program ini adalah berkembangnya kelembagaan keswadayaan di masyarakat, dan meningkatnya solidaritas dan

IX – 72

ketahanan sosial masyarakat terutama kepada masyarakat miskin dan rentan sosial.

Arah kebijakan program ini adalah (1) mengembangkan jaringan kerja masyarakat di tingkat lokal untuk membangun solidaritas dan ketahanan sosial masyarakat, (2) mengurangi berbagai aturan yang menghambat pengembangan kreasi dan inisiatif masyarakat, dan (3) mengembangkan budaya kemandirian, keswadayaan dan kesetiakawanan sebagai dasar untuk memperkuat solidaritas dan ketahanan sosial masyarakat dalam memecahkan berbagai masalah sosial ekonomi.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai adalah (1) penguatan kapasitas kelompok masyarakat (pokmas) dalam pengembangan usaha ekonomi produktif; (2) penguatan kapasitas lembaga keuangan mikro perdesaan (seperti unit Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam/UEDSP; dan (3) penguatan kapasitas lembaga partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yakni LKMD dan PKK.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Secara umum permasalahan yang dihadapi adalah masih relatif kurangnya dukungan (political will) pemerintah daerah dalam memfungsikan lembaga masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, rendahnya apresiasi masyarakat terhadap lembaga-lembaga keswadayaan masyarakat lokal, serta kurang berkembangnya kapasitas lembaga masyarakat dalam mendukung upaya pembangunan.

IX – 73

Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memperkuat kemauan politik pemerintah daerah dalam memfungsikan lembaga masyarakat dalam pembangunan, dan bagaimana memperkuat kapasitas lembaga masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan adalah (1) mengembangkan sistem perlindungan sosial terutama bagi masyarakat yang terkena musibah bencana alam dan masyarakat yang terkena dampak krisis ekonomi; (2) mengembangkan potensi masyarakat untuk membangun dan mengembangkan kapasitas lembaga dan organisasi keswadayaan masyarakat di tingkat lokal untuk memperkuat solidaritas dan ketahanan sosial masyarakat dalam memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan, dan khususnya untuk membantu masyarakat miskin dan rentan sosial.

18. Program Percepatan Penanganan Khusus Daerah NAD

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mewujudkan kedamaian dan kehidupan yang normal melalui stabilitas sosial, politik dan keamanan di daerah NAD, dan mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat Aceh yang damai dan tenang.

Sasaran program ini adalah (1) terwujudnya keadilan, kesejahteraan kedamaian, dan ketenangan masyarakat Aceh; (2) terwujudnya kepastian hukum dan hak asasi manusia; (3) semakin berkembangnya kapasitas masyarakat dalam kerangka otonomi khusus Aceh.

IX – 74

Arah kebijakan program ini adalah (1) memantapkan pelaksanaan Pemerintahan Otonomi Khusus Provinsi NAD dalam tugas pemerintahan (penataan kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, pelayanan umum, monitoring dan evaluasi, dan pengawasan); (2) meningkatkan sosialisasi aspek-aspek keistimewaan NAD; (3) menekankan otonomi daerah pada tingkat kabupaten dan kota, serta pemberdayaan lembaga ekonomi, politik, hukum, keagamaan, adat, dan lembaga swadaya masyarakat (4) membangun prasarana dan sarana ekonomi dan sosial, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal di daerah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan mengoptimalkan pemanfaatannya; (5) menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pelaksanaan peradilan yang jujur, adil, dan cepat terhadap para pelaku tindak kekerasan dan pelanggar HAM, maupun pemberian kompensasi material dan spiritual kepada korban; (6) mempercepat pengembangan wilayah dengan melakukan pemekaran daerah sebagai dasar untuk pengembangan daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai (1) diberlakukannya berbagai peraturan daerah (qanun) yang mendasari pelaksanaan otonomi khusus dan pemberlakuan keistimewaan Aceh, seperti pemberlakuan Syariah Islam secara khaffah; (2) melakukan bantuan teknis, supervisi, dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Otonomi Khusus NAD; (3) tersedianya hasil kajian sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan pengaturan otonomi khusus NAD yang menyangkut aspek : Susunan dan Kedudukan Pemerintahan Provinsi NAD, Kedudukan dan Peran Wali Nanggroe dan Tuah Nanggroe, Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, Kepolisian Daerah, Mahkamah Syariah, Keuangan, Lembaga Legislatif; (4) terlaksananya sosialisasi UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Prov.NAD; (5) diseminasi Kebijakan

IX – 75

bidang Otonomi Khusus Prov.NAD; (6) teridentifikasi dan tersusunnya daftar inventarisasi masalah penyelenggaraan pemerintahan Otonomi Khusus NAD; (7) terselenggaranya operasi terpadu pemulihan kondisi di NAD yang terdiri dari operasi kemanusiaan, pemantapan jalannya pemerintahan, penegakan hukum, pemulihan ekonomi, dan pemulihan keamanan; dan (8) semakin kondusifnya kondisi keamanan dan sosial ekonomi di NAD yang ditunjukkan dengan perubahan status bahaya dengan darurat militer menjadi darurat sipil.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan : (1) tingkat keamanan dan hubungan komunikasi antar wilayah di Provinsi NAD kurang mendukung pelaksanaan sosialisasi kesepakatan penghentian konflik dan tindak kekerasan serta Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi NAD; (2) tidak efektifnya pelaksanaan perjanjian dan kesepakatan penghentian permusuhan antara pihak Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); (3) belum efektifnya penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi NAD; (4) lambannya proses pengembalian dan pemberdayaan pengungsi; serta (5) terhambatnya pembangunan ekonomi daerah dan belum komprehensifnya pelaksanaan rehabilitasi sarana dan prasarana yang rusak atau hancur.

Tantangan : (1) belum diterapkannya secara efektif UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD; (2) keseriusan pemerintah dan daerah dalam political will dan action untuk penanganan kasus NAD yang relatif masih rendah, walaupun telah diterbitkannya berbagai Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden yang khusus ditujukan untuk upaya penanganan Provinsi NAD secara komprehensif, khususnya dalam percepatan pemulihan kondisi

IX – 76

keamanan, sosial ekonomi, dan pemerintahan di Provinsi NAD.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan : (1) meningkatkan efektivitas penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi NAD; (2) menyusun kebijakan operasionalisasi yang berkaitan dengan kelembagaan, personil, dan pembiayaan serta hukum acara bagi lembaga penegakan hukum di Provinsi NAD, baik lintas sektor maupun dengan lembaga yudikatif dan lembaga legislatif; (3) memulihkan kehidupan masayarakat melalui rehabilitasi sarana dan prasarana umum di bidang pendidikan, kesehatan, sarana ekonomi, dan sarana agama; (4) mempercepat pemberdayaan masyarakat lokal melalui penguatan pendidikan, kesehatan, kekuatan ekonomi rakyat, dan sistem pendampingan sosial; (5) menguatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan kemasyarakatan, termasuk diklat bagi aparat penegak syariat Islam di Provinsi NAD; (6) menyelesaikan kasus-kasus pelanggaraan HAM melalui peradilan yang jujur dan adil; (7) menangani masyarakat pengungsi dan korban kerusuhan secara terpadu dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat pengungsi, dan kompensasi material dan spritual bagi korban kerusuhan; (8) memantapkan jalannya pemerintahan melalui penerapan tata pemerintahan yang baik dan bersih; (9) mempercepat upaya pemulihan kondisi keamanan paska penerapan status darurat militer dan pemulihan kondisi sosial ekonomi dalam status darurat sipil.

19. Program Percepatan Penanganan Khusus Daerah Papua

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

IX – 77

Tujuan program ini adalah (1) mempercepat keberdayaan masyarakat setempat agar dapat berperan aktif dalam proses pembangunan; (2) meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah yang demokratis; (3) mempercepat penyelesaian kasus pelanggaran HAM; serta (4) mempercepat penerapan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Sasaran program ini adalah (1) mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, fungsi pelayanan pemerintah daerah yang optimal, mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan keadilan (2) menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM; serta (3) meningkatnya kesejahteraan rakyat Papua melalui pelaksanaan UU otonomi khusus serta pelaksanaan UU pemekaran wilayah Papua secara bertahap.

Arah kebijakan program ini adalah (1) menerapkan UU Otonomi Khusus Provinsi Papua; (2) memantapkan pelaksanaan Pemerintahan Otonomi Khusus Provinsi Papua dalam tugas pemerintahan (penataan kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, pelayanan umum, monitoring dan evaluasi, dan pengawasan); (3) melakukan bantuan teknis, supervisi, dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua; (4) mempercepat pengembangan wilayah dengan melakukan pemekaran daerah sebagai dasar untuk pengembangan kutub pertumbuhan daerah; (5) mempercepat pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan formal dan informal dan pengembangan ekonomi dan usaha rakyat dengan pendekatan budaya masyarakat lokal; (6) peningkatan insentif dan fasilitas khusus untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan penyediaan hunian; (7) pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat lokal dengan sistem pendampingan yang berkesinambungan; (8) menguatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan kemasyarakatan; (9) melaksanakan peradilan pelanggaran HAM yang jujur dan adil; (10) mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat adat dalam mengelola, memanfaatkan, dan menikmati sumber daya alam di wilayahnya; (11) meningkatkan jaringan komunikasi dan dialog sengan seluruh komponen

IX – 78

masyarakat dalam memecahkan masalah HAM dan pelaksanaan pembangunan daerah; (12) memantapkan jalannya pemerintahan pada daerah pemekaran baru dalam rangka meningkatkan dayaguna pembangunan daerah dan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai (1) dimekarkannya Provinsi Papua dan beberapa kabupaten dan kota untuk memudahkan masyarakat memperoleh pelayanan dari pemerintah; (2) tersedianya hasil kajian sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan pengaturan otonomi khusus Papua yang menyangkut aspek : kewenangan khusus, hubungan antar provinsi dan kabupaten/kota, format khusus pemerintahan, hubungan kewenangan khusus, kelembagaan dalam pelaksanaan kewenangan khusus, Majelis Rakyat Papua (MRP), hak-hak masyarakat adat, pengaturan keuangan, kepolisian daerah; (3) dilaksanakannya sosialisasi UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua; (4) diselenggarakannya diseminasi kebijakan bidang Otonomi Khusus Provinsi Papua; (5) teridentifikasi dan tersusunnya daftar inventarisasi masalah penyelenggaraan pemerintahan Otonomi Khusus Provinsi Papua; (6) terselenggaranya tunjangan khusus bagi aparatur pemerintahan di papua dalam rangka meningkatkan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan : (1) tingkat keamanan, komunikasi antarwilayah, dan kondisi geografis di Provinsi Papua yang kurang mendukung pelaksanaan sosialisasi kesepakatan penghentian konflik dan tindak kekerasan,

IX – 79

serta kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua; (2) belum efektifnya pelaksanaan UU Otonomi Khusus di Papua; (3) kondisi sosial budaya masyarakat asli yang masih terbelakang serta kondisi geografis wilayah yang kurang mendukung pengoptimalan pemanfaatan peluang investasi dan percepatan pembangunan daerah; (4) belum terbentuk dan tertatanya kelembagaan, kewenangan dan hubungan kerja antara Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang mewadahi aspirasi seluruh masyarakat Papua; dan (5) belum lengkapnya peraturan perundangan yang terkait dengan pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua (Undang-undang 21 Tahun 2001) dan pemekaran wilayah Provinsi Papua (Undang-Undang 45 Tahun 1999 dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2003).

Tantangan : (1) belum diterapkannya secara efektif UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua; dan (2) keseriusan pemerintah dan daerah dalam political will dan action untuk penanganan kasus Provinsi Papua yang masih relatif rendah dengan masih belum terselesaikannya berbagai peraturan pemerintah yang mengabaikannya UU No. 21 Tahun 2001, yang dibutuhkan dalam pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan : (1) mengefektifkan implementasi UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua; (2) mempercepat penyelesaian berbagai peraturan perundangan dari pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua, termasuk menyusun Rancangan PP tentang Majelis Rakyat Papua; (3) melaksanakan pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka percepatan pembangunan di Papua; (4) melaksanakan sosialisasi kebijakan Otonomi Khusus ke daerah-daerah terbelakang; (5)

IX – 80

memantapkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dalam penerapan Undang-undang Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Papua; (6) menyelenggarakan bantuan teknis, supervisi, dan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua; (7) mendorong percepatan pemberdayaan masyarakat lokal melalui penguatan sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial-budaya masyarakat Papua. (8) memfasilitasi pemerintah daerah dalam pembangunan kembali sarana prasarana ekonomi sosial dan mewujudkan ketertiban dan keamanan di wilayah pasca konflik.

20. Program Percepatan Penanganan Khusus Daerah Maluku dan Maluku Utara

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mewujudkan rasa aman dan memulihkan kembali suasana dan kondisi masyarakat yang trauma sebagai dampak konflik sosial antarkelompok masyarakat di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara secara komprehensif, lintas disiplin, dan lintas sektoral.

Sasaran program ini adalah (1) pulihnya kehidupan masyarakat dengan berfungsinya kembali prasarana dan sarana sosial, ekonomi dan wilayah; dan (2) terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM.

Arah kebijakan program ini adalah (1) rekonsiliasi dan normalisasi kehidupan masyarakat melalui pendayagunaan nilai-nilai kekerabatan melalui forum gotong-royong, dialog antaragama da antarkelompok, dan sosialisasi HAM; (2) peningkatan ketahanan sosial masyarakat dari unsur-unsur provokasi pihak luar; (3) peningkatan penyuluhan kesadaran beragama menyangkut nilai-nilai kemajemukan, kemanusiaan, dan kebangsaan; (4) pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui pembangunan kembali sarana

IX – 81

perekonomian yang rusak; (5) pemberian modal usaha dan lahan baru bagi pengungsi; (6) Perbaikan sarana dan prasarana umum; (7) pemulihan hak-hak individu dan masyarakat secara adil; (8) pengadaan kembali tenaga guru, kehatan, dan pelayanan umum lainnya; (9) penyelenggaraan pendidikan bagi anak usia sekolah keluarga pengungsi dan daerah yang mengalami kerusuhan; (10) penyelesaian menyeluruh masalah pengungsi; (11) pemulihan kondisi politik dan keamanan daerah; (12) penegakan hukum dan HAM melalui proses peradilan yang jujur, adil, dan cepat terhadap para pelanggar HAM; (13) pemberian kompensasi material dan spiritual kepada para korban; (14) peningkatan kapasitas institusi agama dan adat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan daerah; dan (15) peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah dalam mengoptimalkan tugas dan fungsi pemerintahan daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai: (1) ditetapkannya Inpres No.6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Maluku Utara Pasca Konflik; (2) semakin membaiknya kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sehingga status darurat sipil dapat dicabut; (3) semakin berkurangnya jumlah pengungsi pada jumlah yang sangat rendah, dengan telah dikembalikannya sebagian pengungsi ke daerah asal ataupun di lokasi baru; dan (4) telah ditempatkannya aparat pemerintah pada tempat semula.

ii. Permasalahan dan Tantangan

IX – 82

Permasalahan : (1) masih belum tumbuhnya kohesi sosial dan semangat persaudaraan dalam menghadapi masalah bersama; (2) lambannya proses pengembalian dan pemberdayaan pengungsi serta masih banyaknya pengungsi yang belum kembali atau menempati permukiman yang permanen; (3) terbatasnya jumlah aparat pemerintah; (4) masih adanya upaya-upaya untuk memicu terjadinya kembali kerusuhan sosial; (5) masih belum pulihnya infrastruktur dan suprastruktur pemerintahan dan politik di Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang menyebabkan belum berjalannya secara optimal penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam percepatan pemulihan pembangunan; (6) masih relatifnya rendahnya komitmen dukungan pendanaan dari Pemerintah dalam mengupayakan percepatan pemulihan kondisi sosial ekonomi dan hankam di daerah Provinsi Maluku dan Maluku Utara sesuai dengan Inpres nomor 6/2003.

Tantangan : Keseriusan pemerintah dan daerah dalam political will dan action untuk penanganan kasus Maluku dan Maluku Utara yang masih relatif rendah, yang antara lain ditunjukkan dengan belum terlaksananya secara efektif Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara Pasca Konflik.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang diperlukan : (1) memfasilitasi pemulihan kehidupan masyarakat melalui rehabilitasi sarana dan prasarana permukiman, pendidikan, kesehatan, ekonomi lokal, agama dan perkantoran pemerintah di Provinsi Maluku dan Maluku Utara; (2) mempercepat proses pengembalian dan pemberdayaan pengungsi secara terpadu, baik pengungsi yang kembali ke asal atau menempati lokasi baru; (3) memulihkan

IX – 83

suprastruktur pemerintahan dan politik di Provinsi Maluku dan Maluku Utara agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam percepatan pemulihan pembangunan berjalan optimal; (4) meningkatkan semangat persaudaraan dalam menghadapi masalah bersama, melalui peningkatan kapasitas institusi agama dan adat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan daerah; (5) meningkatkan komitmen pendanaan dari Pemerintah dalam rangka percepatan upaya pemulihan kondisi sosial, ekonomi, keamanan, dan pemerintahan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara melalui landasan khusus sesuai dengan Inpres 6/2003; dan (6) memberikan fasilitas kepada sektor melalui berbagai kemudahan dalam menggerakkan kembali ekonomi rakyat pasca konflik.

IX – 84