1 i. pendahuluan - eprints.stiperdharmawacana.ac.ideprints.stiperdharmawacana.ac.id/169/6/9. bab...

72
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara yang bercorak agraris seperti Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, yang memiliki luas lahan dan agroklimat yang potensial untuk dikembangkan sebagai usaha pertanian. Indonesia negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dan penompang pembangunan nasional (Mardikanto, 2007). Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami peningkatan setiap tahun. Secara nominal, Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian, kehutanan dan perikanan atas dasar harga konstan (ADHK) pada kuartal II 2016 mencapai Rp 322 triliun, naik 11,90 persen dibandingkan kuartal I 2016 yang sebesar Rp 287,7 triliun. Pertumbuhan tinggi ini disebabkan pergeseran masa panen akibat El Nino yang harusnya panen raya jatuh pada kuartal I menjadi di kuartal II. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan untuk lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 10,33 persen (Badan Pusat

Upload: ledat

Post on 28-Aug-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam

pembangunan ekonomi suatu negara yang bercorak agraris seperti Indonesia.

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, yang

memiliki luas lahan dan agroklimat yang potensial untuk dikembangkan sebagai

usaha pertanian. Indonesia negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

sebagai sumber mata pencaharian dan penompang pembangunan nasional

(Mardikanto, 2007).

Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus

mengalami peningkatan setiap tahun. Secara nominal, Produk Domestik Bruto

(PDB) pertanian, kehutanan dan perikanan atas dasar harga konstan (ADHK) pada

kuartal II 2016 mencapai Rp 322 triliun, naik 11,90 persen dibandingkan kuartal I

2016 yang sebesar Rp 287,7 triliun. Pertumbuhan tinggi ini disebabkan pergeseran

masa panen akibat El Nino yang harusnya panen raya jatuh pada kuartal I

menjadi di kuartal II. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan untuk

lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tercatat lebih tinggi

dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 10,33 persen (Badan Pusat

2

Statistik, 2016). Hal ini mengindikasikan besarnya peranan pertanian dalam

memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Peranan sektor pertanian sebagai menyumbang pembentukan produk domestik

bruto (PBD) penyedia sumber devisa melalui ekspor, penyedia pangan dan bahan

baku industri, pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja dan perbaikan

pendapatan masyarakat. Sektor pertanian sendiri terdiri dari beberapa sub sektor,

yaitu sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor peternakan,

sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan.

Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan

yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional, untuk

mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pengentasan kemiskinan,

penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa, dan menjadi penarik bagi

pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang

memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Peranan tanaman pangan telah terbukti secara empiris, baik dikala kondisi

ekonomi normal maupun saat menghadapi krisis, begitu juga dengan sub sektor

hortikultura yang sama pentingnya dalam pembangunan ekonomi nasional.

Sub sektor hortikultura merupakan komoditas yang cukup potensial

dikembangkan secara agribisnis, karena punya nilai ekonomis dan nilai tambah

cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Selain fungsi ekonomi

tersebut tanaman hortikultura mempunyai nilai kalori cukup tinggi, merupakan

sumber vitamin, mineral, serat alami dan anti-oksidan, sehingga selalu diperlukan

oleh tubuh sebagai sumber pangan maupun nutrisi serta berpengaruh terhadap

3

pendapatan dan kesejahteraan petani. Melihat manfaat dan fungsinya dapat

dikatakan hortikultura dapat diandalkan untuk memajukan perekonomian

Indonesia. Hortikultura memegang peran penting yang strategis karena perannya

sebagai komponen utama pada pola pangan harapan.

Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan memegang bagian

terpenting dari keseimbangan pangan, sehingga harus tersedia setiap saat dalam

jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta

dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia yang

besar sebagai konsumen produk hortikultura yang dihasilkan petani, merupakan

pasar yang sangat potensial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan

semakin meningkat dalam jumlah dan persyaratan mutu yang diinginkan. Hal ini

dapat dilihat dari tabel konsumsi per kapita komoditas jagung dan cabai di

Indonesia Tahun 2010-2014.

Tabel 1. Konsumsi jagung dan cabai perkapita di Indonesia tahun 2010-2014

TahunKonsumsi (Kg/kapita/tahun) Pertumbuhan (%)

Jagung Cabai Jagung Cabai

2010 1763 1528

2011 1365 1497 -22,60 -3,72

2012 1677 1653 22,92 10,19

2013 1469 1424 -12,43 -11,48

2014 1553 1460 5,71 1,40

Rata-rata pertumbuhan (%/ tahun)-0,26% 1,29%

2010-2014Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah pusdatin. 2014

Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa konsumsi per kapita jagung lima tahun

terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. Selama kurun waktu tersebut

terjadi penurunan cukup signifikan pada tahun 2011 sebesar - 22,60%. Pada tahun

4

2012 konsumsi per kapita jagung kembali meningkat 23%, tahun 2013 kembali

menurun sebesar -12,43% dan tahun 2014 kembali meningkat 5,71%. Penurunan

konsumsi ini terjadi karena semakin sedikit masyarakat mengkonsumsi jagung

sebagai subtitusi bahan pangan pokok, sedangkan permintaan jagung untuk

industri terutama industri pakan cenderung semakin meningkat.

Program penganekaragaman pangan pengganti beras sampai saat ini belum

berhasil, sehingga perlu upaya yang lebih keras agar konsumsi beras menurun dan

konsumsi sumber karbohidrat lainnya termasuk jagung meningkat begitu juga

dengan konsumsi perkapita cabai lima tahun terakhir menunjukan kecenderungan

menurun. Selama kurun waktu tersebut terjadi penurunan cukup signifikan pada

tahun 2011 sebesar -3,72%. Pada tahun 2012 konsumsi per kapita cabai kembali

meningkat 10,19%, tahun 2013 kembali menurun sebesar -11,48% dan tahun

2014 kembali meningkat 1,4%. Semakin bervariasinya jumlah konsumsi baik itu

komoditas jagung atau pun cabai dapat mempengaruhi produksi, luas penen dan

produktifitas setiap komoditas hal ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Produksi, Luas Panen, Dan Produkivitas Komoditas Jagung Dan Cabai diIndonesia Tahun 2010-2014

KomoditasTahun

2010 2011 2012 2013 2014Produksi Jagung 18.328 17.643 19.387 18.512 19.033

Cabai 807.160 888.852 954.310 1.012.879 926.000Luas panen Jagung 4.132 3.864 3.957 3.821 3.838

Cabai 122.755 121.063 120.275 124.110 113.078Produktivitas Jagung 44,36 45,65 48,99 48,44 49,59

Cabai 6,58 7,34 7,93 8,16 8,19Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

5

Tabel 2 menunjukan bahwa tingkat produksi jagung dan cabai terus mengalami

peningkatan, hal ini terjadi karena semakin semakin tingginya tingkat adopsi

petani terhadap teknologi. Disisi lain terlihat semakin menurunya luas panen

jagung dan cabai pada satu dekade terakhir yang diduga karena jagung dan cabai

harus bersaing dengan tanaman tadah hujan lainnya seperti tanaman pangan padi,

kedelai, kacang tanah, maupun tanaman non pangan seperti tembakau. Disamping

itu luas baku sawah yang diduga mengalami penyusutan karena konversi lahan

untuk kepentingan lain seperti infrastruktur, perumahan, dan lain-lain, faktor lain

yang diduga menurunkan luas panen jagung dan cabai adalah perubahan iklim

global, dimana batas antara musim hujan dan musim kemarau menjadi kurang

jelas, sehingga petani harus memutuskan jenis tanaman yang akan ditanam, antara

tetap menanam padi yang membutuhkan banyak air atau beralih ke palawija.

Provinsi Lampung adalah daerah yang sebagian wilayahnya merupakan lahan

kering dimana keadaan lahan tersebut sangat cocok untuk menanam tanaman

jagung maupun cabai. Selain itu, Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah

penghasil tanaman jagung dan cabai yang merupakan pemasok jagung untuk

memenuhi kebutuhan kosumsi di Provinsi Lampung, bahkan dapat memenuhi

untuk kebutuhan diluar Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3.

6

Tabel 3. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman jagung dan cabai, diProvinsi Lampung tahun 2011-2015

KomoditasTahun

2011 2012 2013 2014 2015

Produksi (ton)Jagung 1817 906 1760275 1760278 1719386 1503800Cabai 44.370 42.437 35.233 32.260 31.272

Luas panen (ha)Jagung 380.917 360.264 346.315 338.885 293.521Cabai 6.105 5.640 5.500 4.905 4.229

Produktivitas(ku/ha)

Jagung 47,72 48,86 50,83 50,70 51,20Cabai 72,70 75,20 6,41 6,58 7,40

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2015

Berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa produksi jagung ataupun cabai yang

mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini terjadikarena penurunan luas

panen akibat lahan dipergunakan untuk menanam komoditas lain (padi) menyusul

pencapaian tambahan produksi lain (padi). Namun dari tabel di atas juga dapat

dilihat bahwa produktivitas jagung dan cabai mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Peningkatan produktivitas jagung dan cabai antara lain sebagai dampak

dari penerapan paket teknologi dalam penggunaan varietas jagung hibrida secara

menyeluruh, adanya program SLPTT (Sekolah Lapang Pertanian Tanaman

Terpadu) serta penerapan tekhnologi lainya yang mampu meningkatkan

produktivitas komoditas.

Selain produksi, harga tanaman pangan jagung atau pun tanaman hortikultura

cabai yang sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani. Sedangkan untuk

harga dua komoditas jagung dan cabai relatif stabil, namun pada saat panen raya

tiba harga jagung dan cabai menjadi rendah atau murah. Hal ini dapat dilihat pada

tabel 3 tentang harga jagung dan cabai di tingkat Provinsi Lampung

7

Tabel 4. Harga komoditas jagung dan cabai di Provinsi Lampung tahun 2011-2015

KomoditasHarga

2011 (Rp) 2012 (Rp) 2013 (Rp) 2014 (Rp) 2015 (Rp)Cabai 22.527 19.691 38.684 38.025 10.519Jagung 3.918 4.459 4.310 4.000 4.067

Sumber : Statistik Harga Pertanian Lampung, 2015

Berdasarkan tabel 4 menyatakan bahwa harga untuk setiap komoditas tanaman

pertanian jagung dan cabai dari tahun 2011-2015 mengalami fluktuasi harga pada

harga komoditi hortikultura cabai dan untuk harga jagung sendiri cukup konstan.

Hal ini yang menyebabkan petani mengalami risiko harga disetiap musim.

Kemudian yang paling tidak diinginkan oleh petani jagung dan cabai yaitu

turunya harga setiap komoditas di pasaran, hal ini biasanya terjadi akibat panen

raya yang dapat mengakibatkan harga menjadi turun karena pasokan tiap

komoditas yang melimpah baik itu dipasaran atau pun di gudang. Karena pada

kenyataanya pasarlah yang menguasai harga dimana petani tidak mampu

mengubahnya sehingga mengalami fluktuasi harga yang dapat merugikan pihak

petani. Di Provinsi Lampung terdapat sentra produksi jagung dan cabai di setiap

kabupaten. Hal ini dapat terlihat dari tabel 5.

8

Tabel 5. Produksi jagung dan cabai di Provinsi Lampung tahun 2014

Kabupaten/KotaKomoditas

Cabai Jagung

01 Lampung Barat 13.841 96202 Tanggamus 2.592 17.65103 Lampung Selatan 8.397 632.13704 Lampung Timur 390 516.41205 Lampung Tengah 3.610 268.94906 Lampung Utara 2.252 103.24307 Way Kanan 390 49.41808 Tulang Bawang 710 6.44809 Pesawaran 4.899 71.64510 Pringsewu 583 31.40311 Mesuji 84 44712 Tulang Bawang Barat 769 2.49213 Pesisir Barat 2.330 13.48814 Bandar Lampung 43 23115 Metro 33 4.460

Lampung 40.923 1719386Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2015.

Berdasarkan tabel 5 menyatakan bahwa pada tahun 2014 untuk produksi cabai

tertinggi adalah di Kabupaten Lampung Barat dimana keadaan wilayah yang

sesuai karena kabupaten tersebut merupakan daerah pegunungan yang sesuai

untuk pertumbuhan cabai. Namun untuk produksi jagung terhitung rendah. Hal ini

karena setiap komoditas memiliki habitatnya masing-masing.

Sedangkan produksi untuk komoditas cabai di Kabupaten Lampung Timur yang

terhitung cukup rendah namun untuk komoditas jagung produksinya tertinggi ke 2

setelah Kabupaten Lampung Selatan. Terlihat bahwa salah satu kabupaten yang

memproduksi jagung yang cukup tinggi dan cabai yang cukup menjanjikan bagi

petaninya. Bahkan tidak hanya pada tahun 2014 saja, produksi jagung dan cabai

9

pada tahun sebelumnya juga cukup tinggi, mengingat sudah banyak alih fungsi

lahan yang dilakuhkan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Luas panen, produksi, dan produktivitas komoditas jagung dan cabai diKabupaten Lampung Timur tahun 2011-2015

KomoditasTahun

2011 2012 2013 2014 2015

Produksi (ton)Jagung 442.579 481.635 522.776 516.412 433.330Cabai 31.223 32.347 33.754 37.052 32.165

Luas panen (ha)Jagung 90.202 96.220 100.026 99.025 82.205Cabai 650 662 681 716 613

Produktivitas(ku/ha)

Jagung 4,91 5,01 5,23 5,21 5,27Cabai 48,04 48,86 49,57 51,75 52,47

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur, 2015

Berdasarkan tabel 6 menyatakan bahwa produksi jagung atau pun cabai yang

mengalami fluktuasi. Masalah produksi ini berkenaan dengan sifat usahataniyang

selalu tergantung pada perubahan iklim dan ketidaakpastian. Pada tahun 2015

produksi jagung sebesar 433.330 ton, dengan luas panen 82.205ha, dan

produktivitas jagung 5,27 ku/ha. Sedangkan produksi cabai sebesar 32.165 ton,

dengan luas panen 613 ha, dan produktivitas 52,47ku/ha. Kondisi produktivitas ini

dapat ditingkatkan melalui upaya intensifikasi atau perbaikan teknologi. Upaya ini

lebih memungkinkan mengingat produksi melalui ektensifikasi atau perluasan

lahan membutuhkan biaya yang besar. Untuk pengairan pada lahan peladangan

yang digunakan dalam usahatani tumpang gilir jagung dan cabai hanya

bergantung pada curah hujan yang turun.

Perubahan iklim yang tidak menentu memiliki risiko yang tinggi bagi usahatani

tumpang gilir jagung dan cabai. Risiko usahatani ini akan berpengaruh terhadap

pendapatan petani itu tumpang gilir jagung dan cabai. Keputusan petani dalam

10

mengambil usahatani tumpang gilir jagung dan cabai disebabkan karena adanya

tambahan pengeluaran dan kemungkinan pendapatan bagi petani usahataninya.

Harga sarana produksi yang mahal dihadapkan pada risiko kenaikan harga input

sehingga menambah biaya yang dikeluarkan oleh petani dan terjadinya

kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran.

Pada kenyataanya harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah mampu berubah

dipasar daerah khususnya komoditas hortikultura cabai. Dimana harga komoditi

sangat mudah sekali berubah-ubah (berfluktuasi) sehingga berpengaruh terhadap

pendapatan petani. Sedangkan untuk harga jagung bebarapa tahun ini tergolong

stabil, namun ketika panen raya tiba harga komoditi terutama cabai menjadi

rendah. Perkembangan harga jagung dan cabai di Kecamatan Batanghari dapat

dilihat pada tabel 6.

Gambar 1. Perkembangan harga komoditas jagung dan cabai di KecamatanBatanghari dari tahun 2013-2016

Sumber: Gapoktan Buanajaya, Batanghari Lampung Timur, 2016.

50.000

12.00015.000

46.000

2.700 2.100 3.000 2.3000

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

2013 2014 2015 2016

grafik perubahan harga

Cabai

Jagung

11

Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa harga komoditi cabai dari tahun 2013-

2016 mengalami fluktuasi harga. Harga naik dan turun dikisaran harga sampai 5

kali lipat. Hal ini dipengaruhi oleh produksi ditiap musim tanam. Ketika panen

raya harga cabai turun, sebaliknya jika produksi atau panen berkurang maka harga

di pasar naik. Berbeda dengan harga jagung yang stabil. Namun pada dasarnya

komoditas cabailah yang menjadi andalan bagi daerah tersebut. Walaupun harga

jagung tetap stabil hal itu hanyalah pelengkap untuk menambah modal bagi

usahatani cabai.

Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur, merupakan

wilayah yang menerapkan sistem tanam tumpang gilir karena keinginan para

petani memperoleh hasil yang maksimal dengan memanfaatkan tanaman pertama

sebagai tiang penyangga serta perbedaan varietas sehingga mampu memutus mata

rantai hama dan penyakit serta dapat menekan biaya, mendapatan keuntungan

hasil jual yang lebih, menekan terjadinya risiko kerugian, dengan komoditas

utamanya yaitu jagung dan cabai. Namun, walau bagaimana pun usahatani

tumpang gilir jagung dan cabai juga mengalami risiko usahatani yang dihadapi

petani, yakni risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatan. Setiap aktivitas

manusia selalu mengandung risiko yang tidak pernah diketahui petani yang selalu

menjadi tantangan dan bahan pertimbangan petani untuk melakukan suatu

usahatani.

12

1.2 Identifikasi Masalah

Petani di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur,

yang menanam dengan sistem tanam tumpang giir komoditi jagung dan cabai

pada saat musim penghujan sangat dominan terkena hama dan penyakit dan

dampak risiko yang mungkin didapat lebih kecil dibanding musim kemarau,

karena ketika musim kemarau tanaman tidak mampu untuk tumbuh secara optimal

sebab terbatasnya kandungan air. Masalah tersebut dapat dilihat di Desa

Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur yang termasuk

pertanian lahan kering, dimana ketersediaan air bergantung pada air hujan yang

turun ke daerah tersebut karena tidak adanya aliran air irigasi.

Risiko produksi lain yang dihadapi yaitu serangan hama dan penyakit, serta iklim

yang berubah-ubah atau tidak menentu, sehingga dapat membuat pertumbuhan

tanaman atau bahkan buah yang dihasilkan tidak optimal. Selain itu dalam

penyemaian tanaman cabai dan pengajiran jagung menggunakan benih yang

unggul guna memperoleh hasil yang maksimal dan mengurangi penyerangan

hama sebelum tanam.

Penanaman dua komoditas pada satu lahan memerlukan biaya produksi yang lebih

besar dibandingkan monokultur dengan harapan sistem tumpangsari akan lebih

menguntungkan dari segi produksi, pendapatan, dan faktor risiko gagal panen dari

penanaman secara monokultur. Tetapi dalam satu pihak petani tumpang gilir perlu

juga mengamati faktor risiko yang perlu dihadapi karena setiap aktivitas manusia

selalu mengandung risiko yang tidak pernah diketahui oleh petani yang menjadi

tantangan dan bahan pertimbangan petani untuk melakuhkan usahatani.

13

Kebutuhan modal biasanya didapat melalui dana pinjaman dari kelompok tani,

ada juga petani yang mandiri atau menggunakan modal sendiri.

Produksi jagung dan cabai semakin bertambah belum tentu menghasilkan

pendapatan yang besar, karena harga setiap komoditas berpengaruh terhadap

penerimaan. Harga setiap komoditas jagung pada saat hari biasa masih stabil,

namun jika saat panen raya harga komoditas jagung menjadi murah/rendah,

sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani jagung, begitu juga dengan

komoditas cabai, bahan pertimbangan bagi petani dalam mengambil keputusan

untuk melaksanakan kegiatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai selain

aspek teknis tentang bagaimana cara petani mengalokasikan faktor produksi untuk

menghasilkan produk yang tinggi, juga aspek ekonomi yaitu tentang biaya yang

dikeluarkan oleh petani untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Tingginya hasil

produksi belum tentu menghasilkan peningkatan pendapatan, sehingga dengan

pemilihan alternatif usahatani tumpangsari jagung dan cabai tersebut petani

mengharapkan pendapatan yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka

dapat diidentifikasi masalah sebagai besikut:

1. Bagaimana risiko usahatani yang dihadapi petani tumpang gilir jagung

dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung

Timur.

2. Bagaimana pendapatan petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa

Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.

14

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui risiko usahatani yang dihadapi oleh petani tumpang

gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari

Kabupaten Lampung Timur.

2. Untuk mengetahui pendapatan yang didapat dalam usahatani tumpang gilir

jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten

Lampung Timur.

1.4 Keguanaan dan Manfaat

Hasil penelitian ini diharapan dapat berguna bagi:

1. Dinas atau instansi sebagai masukan dalam rangka kebijakan peningkatan

produksi jagung dan cabai dan mengurangi risiko usahatani tumpang gilir

jagung dan cabai.

2. Peneliti sebagai bahan tambahan referensi yang berkaitan dengan risiko

usahatani untuk penelitian selanjutnya.

3. Petani sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam pengelolaan dan

perencanaan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di masa yang akan

datang.

15

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Tanaman jagung

Jagung atau biasa disebut dengan Maize adalah makanan serta pakan terpenting di

belahan bumi bagian barat. Jagung dapat tumbuh diberbagai kondisi iklim. Sejak

zaman prasejarah, jagung telah menjadi makanan pokok bangsa Meksiko dan

Amerika Latin. Dalam perdagangan global, kata maize lebih sering digunkan dari

pada jagung. Meksiko merupakan negara tempat jagung berasal. Meksiko

memiliki banyak varietas jagung yaitu sebanyak 65. Tanaman jagung merupakan

tanaman biji-bijian yang jumlah produksi setiap tahunya terbesar dibanding

tanaman biji-bijian yang lain (Malti et al., 2011).

Jagung merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat sangat

besar. Di Indonesia, kebutuhan jagung sangat besar, untuk jagung pipil kering

kebutuhan per tahun lebih dari 10 juta ton konsumsi bahan pangan ini paling besar

digunakan dalam industri pakan ternak. Memang, sebagian besar bahan baku

pembuatan pakan ternak adalah jagung kurang lebih sekitar 51% dari komposisi

pakan ternak menggunakan bahan dasar jagung.

16

Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai

peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia,

mengingat komoditas ini mempunyai fungsi multiguna, baik untuk konsumsi

langsung maupun sebagai bahan baku utama industri pakan. Selain itu, pentingnya

peranan jagung terhadap perekonomian nasional telah menempatkan jagung

sebagai kontributor terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan

(Zubachtirodin et al, 2007).

Jagung juga merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki karakter

berfluktuatif dalam hasil karena dipengaruhi oleh lingkungan. Hal tersebut

mempengaruhi permintaan dan penawarannya secara langsung. Apabila

penawaran dan permintaan jagung fluktuatif maka akan membentuk harga yang

fluktuatif pula (Syamsi, 2012).

Permintaan suatu komoditas pertanian pada umumnya terdiri dari permintaan

langsung (dikonsumsi) dan permintaan tidak langsung (diolah lebih lanjut menjadi

produk konsumsi atau lainnya) (Departemen Pertanian, 2006). Pada dasarnya

konsumsi jagung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai bahan pangan,

bahan baku industri olahan, dan bahan baku pakan (Purwono dan Hartono, 2006).

Kebutuhan jagung untuk bahan pangan pokok, bahan baku pakan serta bahan

baku industri olahan terus meningkat. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan

semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan industri peternakan

yang menuntut kontinuitas pasokan bahan baku. Oleh karena itu, volume impor

jagung terus meningkat mengingat harga jagung di pasar dunia relatif lebih murah

17

dibanding harga jagung lokal serta kualitas produk lebih terjamin (Rachman,

2003).

Sebagian besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama dalam

pertanian jagung di dalam negerinya. Indonesia yang masih dapat dikatakan

sebagai negara berkembang meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap

Universitas Sumatera Utara perekonomian nasional mulai digantikan oleh sektor

industri juga menghadapi masalah tersebut. Masalah utama pertanian jagung

negara berkembang adalah peningkatan produksi jagung yang relatif rendah

dibandingkan dengan konsumsi jagung secara nasional.

2.1.2 Tanaman cabai

Cabai menjadi salah satu komoditas sayuran yang banyak dibutuhkan masyarakat,

baik masyarakat lokal maupun internasional. Setiap harinya permintaan akan

cabai, semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di

berbagai negara. Sehingga budidaya sayur ini menjadi peluang usaha yang masih

sangat menjanjikan, bukan hanya untuk pasar lokal saja namun juga berpeluang

untuk memenuhi pasar ekspor.

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang

mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, karena selain sebagai

penghasil gizi, juga sebagai bahan campuran makanan dan obat-obatan. Di

Indonesia tanaman cabai mempunyai nilai ekonomi penting dan menduduki

tempat kedua setelah kacang-kacangan (Rompas, 2001). Di “Benua baru” itu dia

menemukan penduduk asli yang banyak menggunakan buah merah menyala

berasa pedas sebagai bumbu masakannya (Tarigan dan Wiryanto, 2003).

18

Tanaman cabai termasuk ke dalam famili solanaceae. Tanaman cabai sekerabat

dengan kentang (Solanum tuberosum L.), terung (Solanum melongena L.), leunca

7 (Solanum nigrum L.), takokak (Solanum torvum), dan tomat (Lycopersicon

esculentum) (Tarigan dan Wiryanta, 2003).

Tanaman cabai memiliki batang yang dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu

batang utama dan percabangan (batang skunder). Batang utama berwarna coklat

hijau dengan panjang antara 20-28 cm. Percabangan berwarna hijau dengan

panjang antara 5-7 cm. Daun tanaman ini terdiri dari alas tangkai, tulang dan

helaian daun. Panjang tangkai daun antara 2-5 cm, berwarna hijau tua. Helaian

daun bagian bawah berwarna hijau terang, sedangkan permukaan atasnya

berwarna hijau tua. Daun mencapai panjang 10-15 cm, lebar 4-5 cm. Bagian

ujung dan pangkal daun meruncing dengan tepi rata (Nawangsih, 2003).

Cabai dapat dengan mudah ditanam, baik di dataran rendah maupun tinggi. Syarat

agar tanaman cabai tumbuh baik adalah tanah berhumus (subur), gembur, dan pH

tanahnya antara 5-6. Cabai dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah

tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu

(Sunarjono, 2006). Temperatur yang sesuai untuk pertumbuhannya antara 16-

23oC. Temperatur malam di bawah 16oC dan temperatur siang di atas 23oC

menghambat pembungan (Ashari, 2006).

2.1.3 Tumpang gilir

Tumpang gilir ( Multiple Cropping ), adalah teknik budidaya tanaman dengan

menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan

19

menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang

sama dalam waktu satu tahun. Tumpang gilir adalah penanaman yang dilakukan

secara berurutan dan lebih dari satu periode tanam dengan mempertimbangkan

faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum (Thahir,1999). Faktor-

faktor tersebut adalah :

1. Pengolahan yang bisa dilakukan dengan menghemat tenaga kerja, biaya

pengolahan tanah dapat ditekan, dan kerusakan tanah sebagai akibat terlalu

sering diolah dapat dihindari

2. Hasil panen secara beruntun dapat memperlancar penggunaan modal dan

meningkatkan produktivitas lahan

3. Dapat mencegah serangan hama dan penyakit yang meluas

4. Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah

terjadinya erosi

5. Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah

terjadinya erosi

6. Sisa komoditi tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk

hijau.

Dengan demikian teknik bertanam dengan sistem monokultur atau pertanaman

tunggal dan dengan sistem tumpang gilir atau menanam 2 jenis tanaman atau lebih

pada satu tahun, sistem menanam monokultur ataupun tumpang gilir memiliki

kelebihan serta kekurangan masing-masing baik dari sisi internal maupun

eksternal. Adapun perbedaan tanaman monokultur dan tumpang gilir adalah

sebagai berikut:

20

Tumpang gilir Monokultur Akan terjadi peningkatan efisiensi

(tenaga kerja, pemanfaatan lahanmaupun penyerapan sinar matahari),

Populasi tanaman (berbeda) dapatdiatur sesuai yang dikehendaki

Dalam satu areal diproduksi lebihdari satu komoditas

Tetap mempunyai peluangmendapatkan hasil manakal satujenis tanaman yang diusahakan gagal

Tidak terjadi peningkatan efisiensi

Tidak dapat mengatur populasi,karena hanya terdapat satu jenis

Hanya memproduksi satu komoditas

Tidak ada peluang bial hanya satujenis tanaman yang diusahakangagal

2.1.4 Risiko Usahatani

Analisis risiko dengan pendekatan kuantitatif dilakuhkan dengan menggunakan

konsep simpangan baku dan ragam serta koefisien variasi. Simpangan baku

merupakan akar dari variance (ragam). Secara matematis dapat dinyatakan:

V=√ ................................

Dimana : V adalah simpangan baku

V2 adalah variance (ragam)

Nilai V menunjukan besarnya fluktuasi keuntungan yang mungkin diperoleh atau

besarnya risiko yang harus ditanggung pengusaha (Hernanto, 1989). Secara

statistik nilai V ini diketahui setelah dihitung terlebih dahulu ukuran ragamnya

(V2)darikeuntungan yang diharapkan. Ukuran variance (ragam) dapat dihitung

sebagai berikut:

V2 =∑ ( ) ....................................

Dimana : E adalah nilai rata-rata

Ei adalah hasil bersih pada tahun ke i

N adalah jumlah pengamatan

21

Rata-rata hasil bersih yang diperoleh oleh pengusaha dalam setiap periode

menggambarkan besarnya nilai keuntungan harapan pengusaha dimasa-masa akan

datang.

Menurut Hermanto (1989), produsen harus selalu mempertimbangkan besarnya

risiko yang ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dalam

setiap proses produksi. Hubungan antara risiko dan keuntungan dalam suatu usaha

biasanya diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan.

Nilai koefisien variasi ditentukan dengan cara membagi risiko yang harus

ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang akan diperoleh sebagai

hasil dari sejumlah modal yang ditanamkan dalam usaha. Secara sistematis risiko

produksi, harga dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut:

a. Risiko produksi : CV =

b. Risiko harga : CV =

c. Risiko pendapatan : CV =

Keterangan:

CV : Koevisien variasi

: Standar deviasi

C : Rata-rata produksi (kg)

Y : Rata-rata pendapatan (Rp)

Q : Rata-rata harga (Rp)

Jika nilai koefisien variasi (CV) diketahui, maka kita akan dapat mengetahui

besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahatani tumpang gilir

jagung dan cabai. Nilai CV berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi petani

22

tumpang gilir jagung dan cabai, artinya semakin besar nilai CV yang didapat

maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung petani. Begitu pula

sebaliknya, semakin rendah nilai CV yang diperoleh maka risiko yang harus

ditanggung petani akan semakin kecil.

Kegiatan pada sektor pertanian yang menyangkut proses produksi selalu

dihadapkan dengan situasi risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty). Risiko

adalah peluang terjadinya kemungkinan merugi yang dapat diketahui terlebih

dahulu. Ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak bisa diramalkan sebelumnya,

dan karenanya peluang terjadinya merugi belum diketahui sebelumnya. Sumber

ketidakpastian yang penting di sektor pertanian adalah fluktuasi hasil pertanian

dan fluktuasi harga. Ketidakpastian hasil pertanian disebabkan oleh faktor alam

seperti iklim, hama dan penyakit serta kekeringan. Jadi produksi menjadi gagal

dan berpengaruh terhadap keputusan petani untuk berusahatani berikutnya. Selain

itu, ketidakpastian harga meyebabkan fluktuasi harga dimana keinginan pedagang

memperoleh keuntungan besar dan rantai pemasaran yang panjang sehingga

terjadi turun naiknya harga (Soekartawi dkk, 1993).

Adanya risiko menyebabkan petani yang pada hakekatnya bersifat rasional enggan

menanggung risiko terlebih petani kecil. Dengan kata lain, petani sebagai subjek

mengambil keputusan enggan meningkatkan dan memperluas usahataninya. Pada

kenyataannya, petani dalam berusahatani ada yang berani terhadap risiko (risk

lover), ada yang enggan terhadap risiko (risk averter), dan ada yang netral

terhadap risiko (risk neutral) (Darmawi, 1996).

23

Penilaian risiko didasarkan pada pengukuran penyimpangan (deviation) terhadap

return dari suatu aset. Menurut Elton dan Gruber (1995) terdapat beberapa ukuran

risiko diantaranya adalah nilai varian (variance), standar deviasi (standard

deviation) dan koefisien variasi (coefficient variation).

Penilaian risiko dengan menggunakan nilai variance dan standard deviation

merupakan ukuran yang absolut dan tidak mempertimbangkan risiko dalam

hubungannya dengan hasil yang diharapkan (expected return). Hasil keputusan

yang tepat dalam menganalisis risiko suatu kegiatan usaha harus menggunakan

perbandingan dengan satuan yang sama. Coefficient variation merupakan ukuran

risiko yang dapat membandingkan dengan satuan yang sama dengan

mempertimbangkan risiko yang dihadapi untuk setiap return yang diperoleh baik

berupa pendapatan, produksi atau harga.

Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal penyebab risiko, yaitu ketidakpastian

produksi, tingkat produksi, tingkat harga, dan perkembangan teknologi sebagai

berikut:

a. Risiko produksi

Risiko produksi pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor non pertanian

karena pertanian sangat berpangaruh oleh alam seperti cuaca, hama penyakit,

suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko berubah secara regional dan tergantung pada

jenis dan kualitas tanah, iklim dan penggunaan irigasi.

b. Risiko biaya

Risiko biaya terjadi akibat fluktuasi harga sarana-sarana produksi seperti benih,

pupuk dan pestisida.

24

c. Risiko teknologi

Risiko teknologi terjadi pada inovasi teknologi baru disektor pertanian karena

petani belum paham, belum cukup terampil atau gagal dalam menerapkan

teknologi baru.

d. Risiko harga atau risiko pasar

Output merupakan sumber penting dari risiko pasar dibidang pertanian. Harga

pertanian cenderung berubah dan tidak memiliki kestabilan serta tidak adanya

kepastian.

e. Risiko institusi atau risiko kelembagaan

risiko kelembagaan dihasilkan oleh hal yang tidak terduga seperti perubahan

peraturan yang mempengaruhi aktivitas petani. Perubahan peraturan, jasa

keuangan, tingkat pembayaran dukungan harga atau pendapatan dan subsidi

secara signifikan dapat merubah profitabilitas kegiatan pertanian.

Risiko dan ketidakpastian tidak dianggap berbeda karena keduanya dapat dihitung

probabilitasnya, hanya dibedakan jika risiko dihubungkan dengan peluang

objektif, sedangkan ketidakpastian berhubungan dengan peluang subjektif.

Peluang subjektif tergantung pada subjektifitas orang yang mengetahui

berlangsungnya peristiwa yang terjadi pada suatu saat tertentu (Imelda, 2008).

2.1.5 Risiko Portofolio (Diversifikasi)

Portofolio adalah gabungan atau kombinasi dari berbagai instrumen atau aset

investasi yang disusun untuk mencapai tujuan investasi investor (Tandelilin,

2001). Selain itu, kombinasi berbagai instrumen itu juga menentukan tinggi risiko

dan potensi keuntungan yang diperoleh portofolio tersebut. Risiko portofolio tidak

25

merupakan rata-rata tertimbang dari seluruh risiko sekuritas tunggal. Risiko

portofolio mungkin dapat lebih kecil dari risiko rata-rata tertimbang masing-

masing sekuritas tunggal.

Risiko portofolio terdiri dari risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko

sistematis adalah risiko yang disebabkan oleh perubahan dalam pengembalian

pasar secara keseluruhan. Risiko sistematis adalah faktor-faktor risiko yang

mempengaruhi pasar (sekuritas) secara keseluruhan sehingga risiko ini tidak dapat

didiversifikasi (dihilangkan). Diantaranya yaitu perubahan ekonomi suatu negara,

kebijakan pajak, bencana alam, situasi politik, perubahan iklim. Risiko tidak

sistematis adalah risiko dari petani atau pesaing tertentu. Risiko ini tidak terikat

pada faktor ekonomi, politik dan faktor lainnya yang mempengaruhi semua

sekuritas. Contoh pemogokan suatu perusahaan, pesaing baru, teknologi baru,

melalui diversifikasi yang risiko ini dapat dihilangkan atau dikurangi.

2.1.6 Pendapatan Usahatani

Menurut Saparinto (2008), analisis usahatani dilakukan karena setiap kegiatan

usahatani membutuhkan input, input tersebut diantaranya sumberdaya alam,

sumber modal, keahlian, tanah/lokasi, dan input lain yang ketersediaanya sangat

terbatas. Untuk mendapatkan output yang optimal dari input yang dimiliki,

diperlukan adanya perhitungan yang matang agar kegiatan tersebut menghasilkan

manfaat (benefit).

Besarnya pendapatan yang diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tergantung dari

beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti luas lahan, tingkat produksi,

26

identitas pengusaha, pertanaman, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam

melakukan kegiatan usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatanya

sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi (Hernanto, 1994).

Pendapatan usahatani diartikan sebagai pendapatan yang diperoleh petani dalam

usahataninya selama satu kali produksi atau satu tahun yang diperhitungkan dari

hasil penjualan atau perolehan produksi dalam usahataninya. Pendapatan bersih

adalah hasil pendapatan keseluruhan atau pendapatan kotor yang dikurangi

dengan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi (Sudarsono, 1994).

Menurut Soekartawi (1993) biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang

dipergunakan dalam usahatani. Biaya usahatani dibedakan menjadi dua yaitu

biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak

tergantung pada besar kecilnya produksi yang akan dihasilkan, sedangkan biaya

tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh volume produksi.

Secara matematis rumus pendapatan yaitu (Soekaratawi, 1995):

π = Y. Py – ΣXi.Pxi - BTT

Keterangan :

π = Pendapatan (Rp)

Y = Hasil produksi (Kg)

Py = Harga hasil produksi (Rp)

Xi = Faktor produksi variabel (i = 1,2,3,….,n)

Pxi = Harga faktor produksi variabel ke-i (Rp)

BTT = Biaya tetap total (Rp)

27

Pendapatan juga dapat dihitung menggunakan rumus (Soekartawi, 1995):

π = TR-TC

Keterangan :

π = keuntungan/pendapatan

TR = Total Revenue (total penerimaan)

TC = Total Cost (total biaya)

2.1.7 Penelitian Terdahulu

Yamin (2012) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Tomat Cherry Pada

Pd. Pacet Segar Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.

Dengan menggunakan metode data deskriptif yang diperoleh dengan cara

observasi, wawancara, diskusi, dan kuisioner dengan pihak perusahaan. Teknik

Analisis Data menggunakan Analisis Kemungkinan Terjadinya Risiko dengan

rumus s = ∑ ( − ): − 1dan Analisis Dampak Risiko dengan rumus

= + (√ ) dan Analisis. Hasil penelitian kajian analisis risiko produksi budidaya

tomat cherry pada PD Pacet Segar adalah sebagai berikut : 1) Berdasarkan

pengamatan di lapangan terdapat lima sumber risiko produksi pada budidaya

tomat cherry yaitu perubahan cuaca, serangan hama, penyakit, kualitas bibit, dan

sumber daya manusia. 2) Sumber risiko yang disebabkan perubahan cuaca

memiliki probabilitas dan dampak yang paling besar, yaitu 44 persen dan Rp

9.722.492 dan sumber risiko sumber daya manusia memiliki probabilitas dan

dampak paling kecil, yaitu 6,8 persen dan Rp 198.339.

Dewiana (2011) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Tanaman Hias

Bromelia Pada Ciapus Bromel Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten

28

Bogor Jawa Barat. Dengan menggunakan metode Analisis Deskriptif, metode ini

dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan diskusi dengan pihak

perusahaan serta pengisian kuisioner dan metode aproksimasi. Hasil penelitian

yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik demi

menjawab tujuan penilitian adalah : 1) Sumber-sumber risiko dalam

pembudidayaan tanaman hias bromelia yang terdapat di Ciapus Bromel adalah

risiko serangan hama, risiko serangan penyakit, risiko serangan penyakit, risiko

kesalahan mekanis dan risiko intensitas cahaya matahari. 2) Berdasarkan hasil

analisis risiko, risiko yang memiliki dampak dan probabilitas besar adalah risiko

serangan hama. Sementara itu, risiko yang memiliki dampak besar dan

probabilitas kecil adalah risiko serangan penyakit dan risiko intensitas cahaya

matahari. Sedangkan risiko kesalahan mekanis memiliki dampak kecil dan

probabilitas kecil. 3) Penanganan risiko yang telah dilakukan oleh Ciapus Bromel

dalam menghadapi risiko produksi bromelia diantaranya melalui penghindaran

dan pengalihan risiko. Tindakan pengalihan risiko diantaranya dilakukan dengan

pemeliharaan dan penyediaan media tanam, serta pemberian vitamin dan obat-

obatan. Penanganan risiko lainnya melalui strategi mitigasi risiko yang dapat

dilakukan dengan cara pengendalian penyakit, pengendalian hama, penggunaan

dan perawatan nethouse serta sistem diversifikasi tanaman. Selain itu perusahaan

pun menerapkan pelatihan bagi karyawan baru sebagai bentuk strategi untuk

mengatasi risiko kesalahan mekanis.

David (2013) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Pada Peternakan

Ayam Broiler Di Kampung Kandang Desa Tegal Kecamatan Kemang Kabupaten

29

Bogor Jawa Barat. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, metode ini

dilakukan dengan cara berupa observasi, wawancara dan diskusi dengan pihak

perusahaan. Metode yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya

risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Mengukur dampak risiko adalah

VaR (Value at Risk). Hasil penulisan kajian analisis risiko produksi pada

peternakan ayam broiler di Kampung Kandang, Desa Tegal, Kecamatan Kemang,

Kecamatan Kemang adalah sebagai berikut: 1) Terdapat 3 jenis sumber risiko

produksi pada peternakan ayam broiler di Desa Tegal yaitu perubahan cuaca,

predator dan penyakit. 2) Sumber risiko penyakit memiliki tingkat probablitas

terbesar yaitu 91.62 dan yang terkecil adalah predator sebesar 69.14 persen.

Sumber risiko produksi yang memberikan dampak terbesar adalah sumber risiko

penyakit. 3) Terdapat dua alternatif strategi yang diusulkan adalah strategi

preventif dan strategi mitigasi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Areal dan agroekologi pertanaman jagung dan cabai sangat bervariasi, dari

dataran rendah sampai dataran tinggi, dan dengan bermacam pola tanam.

Tanaman jagung dan cabai dapat ditanam pada lahan kering beriklim basah dan

beriklim kering, sawah irigasi dan sawah tadah hujan, toleran terhadap kompetisi

pada pola tanam tumpang gilir, sesuai untuk pertanian subsistem, pertanian

komersial skala kecil, menengah, hingga skala sangat besar. Mengingat semakin

sempitnya areal lahan yang dimiliki petani dan keinginan petani terhadap hasil

yang tinggi serta tingginya tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian.

30

Menjadikan tanaman jagung dan cabai dikembangkan dengan sistem tanam

tumpang gilir. Tumpang gilir merupakan adalah teknik budidaya tanaman dengan

menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan

menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang

sama dalam waktu satu tahun. Tumpang gilir adalah penanaman yang dilakukan

secara berurutan dan lebih dari satu periode tanam dengan mempertimbangkan

faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum. Usahatani tumpang

gilir jagung dan cabai tidak lepas dari masalah atau risiko yang dihadapi oleh para

petani tumpang gilir jagung dan cabai. Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal

penyebab risiko, yaitu ketidakpastian produksi, tingkat produksi, tingkat harga,

dan perkembangan teknologi.

Usahatani tumpang gilir jagung dan cabai akan menghasilkan output berupa fisik

dan ekonomi. Output fisik berupa produk jagung ataupun cabai, sedangkan output

ekonominya berupa pendapatan. Besarnya input akan berpengaruh terhadap hasil

output ekonominya. Dan suatu usahatani memerlukan proses analisis financial

agar dapat mengetahui berhasil atau tidaknya usahatani dalam menjalankan

usahanya. Unsur-unsur biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya

tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi seperti

penyusutan peralatan. Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya selalu berubah

sesuai dengan jumlah produksi.

Produk yang dihasilkan dari korbanan biaya tetap dan biaya variabel kemudian

dijual. Hasil dari penjualan disebut penerimaan. Penerimaan adalah hasil

perkalian antara jumlah produk yang terjual dengan harga jual produk. Setelah

31

diperoleh penerimaaan, dapat diketahui pendapatan yang diperoleh petani yaitu

dari selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total. Pengeluaran total

diperoleh dari hasil penjumlahan antara total biaya tetap dan biaya variabel.

32

Gambar 2. Kerangka Pikir Analisis Risiko Usahatani Tumpang Gilir TanamanJagung dan Cabai di Desa Buanasakti Kecamatan BatanghariKabupaten Lampung Timur.

AnalisisRisiko

Usahatani Tumpanggilir Jagung dan

Cabai

Harga

Produksi

Biaya

Harga

Pendapatanπ = TR – TC

&R/C Ratio

Risiko pendapatan CV =

Risiko produksi CV =

Penerimaan

Input

33

2.3 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat

praduga karena masih harus dibuktikan kebenaranya.

Hipotesis yang diajukan :

1. Diduga terdapat risiko usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa

Buanasakti Kabupaten Lampung Timur.

2. Diduga pendapatan petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa

Buanasakti Kabupaten Lampung Timur menguntungkan setiap musimnya.

34

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional

Maka secara operasional akan mendefinisikan variabel-variabel yang akan

digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input

atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal, tekhnologi, pupuk,

benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien dan kontinyu untuk menghasilkan

produksi yang tinggi sehingga pendapatan usaha taninya meningkat.

2. Tumpang gilir ( Multiple Cropping ), adalah teknik budidaya tanaman dengan

menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan

menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan

yang sama dalam waktu satu tahun.

3. Modal adalah segala sumberdaya hasil produksi yang tahan lama, yang dapat

digunakan sebagai input produktif dalam proses produksi berikutnya.

4. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani yang

diukur dalam satuan Harian Orang Kerja (HOK)

35

5. Biaya adalah korbanan yang sesungguhnya dikeluarkan petani selama

produksi jagung dan cabai untuk mendapatkan produksi hasil yang maksimal,

dinyatakan dengan rupiah per hektar per periode (Rp/ha/periode)

6. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida untuk mengurangi serangan

hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai ataupun jagung yang

digunakan untuk memproduksi cabai ataupun jagung yang diukur dengan

satuan rupiah per mililiter per hektar per periode tanam (Rp/liter/ha/periode)

7. Pupuk adalah jumlah pupuk yang digunakan untuk menanam cabai dan

jagung yang diukur dengan satuan kilogram per hektar per periode

(kg/ha/periode)

8. Benih adalah jumlah benih yang digunakan untuk memproduksi cabai

ataupun jagung yang diukur dengan satuan kilogram per hektar per periode

(kg/ha/periode)

9. Pendapatan usahatani adalah selisih total penerimaan dengan total

pengeluaran, yakni diukur dengan satuan rupiah per hektar (Rp/Ha)

10. Penerimaan adalah seluruh pemasukan yang diterima dari kegiatan ekonomi

yang menghasilkan uang tanpa dikurangi dengan total biaya produksi yang

dikeluarkan yang dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar (Rp/Ha)

11. Risiko adalah besarnya penyimpangan biaya, produksi, dan pendapatan dari

biaya, produksi, dan pendapatan yang diharapkan pada usahatani tumpang

gilir jagung dan cabai. Risiko diukur dengan nilai koefisien variasi (CV)

12. Produksi merupakan suatu proses produksi dari tanam tumpang gilir jagung

dan cabai dalam satuan rupiah per ton per periode (Rp/ton/periode).

36

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi pelaksanaan kegiatan penelitian dilakuhkan di Desa Buanasakti

Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Pemilihan lokasi tersebut

dilakuhkan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa

Buanasakti memiliki luas tanam palawija terkecil kedua di Kecamatan Batanghari.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh unit individu pada suatu area penelitian yang akan

dijadikan objek penelitian, dalam hal ini adalah seluruh petani cabai dan jagung

dengan sistem tumpang gilir di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari

Kabupaten Lampung Timur, yang berjumlah 251.

3.3.2 Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti, dipandang sebagai

suatu pendugaan terhadap populasi, namun bukan populasi itu sendiri. Sampel

dianggap sebagai perwakilan dari populasi yang hasilnya mewakili keseluruhan

gejala yang diamati. Ukuran dan keragaman sampel menjadi penentu baik

tidaknya sampel yang diambil. Pengambilan sampel ini dilakuhkan dengan

menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006). Dengan jumlah sampel yang diambil

sebanyak 38 orang.

37

3.4Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. Data primer

merupakan data diperoleh dan dikumpulkan sendiri secara langsung dengan

melakukan wawancara kepada beberapa petani di Desa Buanasakti Kecamatan

Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Hal ini untuk mendapatkan informasi

mengenai Data yang diperlukan dari petani/produsen meliputi biaya usahatani,

produktivitas usahatani, sistem dan struktur produksi, kendala yang dihadapi

produsen dalam berproduksi, sistem penjualan produk, biaya-biaya pasca panen

yang dikeluarkan, risiko usahatani, dan perilaku petani terhadap risiko. Data

diperoleh dari responden yang dikumpulkan dengan cara memberi kuisioner

(daftar pertanyaan) yang akan dijawab oleh responden/petani/produsen atas

pertanyaan yang berkaitan dengan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai.

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti bukan dari cara peneliti sendiri

tetapi dikumpulkan oleh orang lain, seperti dari dokumen perusahaan, pemerintah,

brosur, internet, dan dari riset kepustakaan yang dimaksud untuk mendapatkan

informasi penting lainya, dasar pengaturan, serta dasar teoritis terhadap apa yang

diteliti.

Adapun tekhnik pengumpulan data yang dilakuhkan dengan cara:

1. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab kepada

responden dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

2. Dokumentasi yaitu mencatat data yang diperoleh dari beberapa instansi yang

berhubungan dengan penelitian.

38

3. Study kepustakaan yaitu dengan mencatat dari beberapa literatur yang berkaitan

dengan penelitian.

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kuantitatif. Analisis

kuantitatif digunakan untuk mengetahui hasil produksi, harga hasil produksi,

jumlah faktor produksi, dan harga faktor produksi. Analisis data menggunakan

alat analisis koefisien variasi dan analisis pendapatan R/C ratio. Analisis risiko

digunakan untuk mengukur besarnya risiko usahatani tumpang gilir. Analisis

pendapatan R/C rasio digunakan untuk melihat pendapatan usahatani tumpang

gilir efisien dan menguntungkan atau tidak.

3.5.1 Analisis risiko

Analisis risiko dengan pendekatan kuantitatif dilakuhkan dengan menggunakan

konsep simpangan baku dan ragam serta koefisien variasi. Simpangan baku

merupakan akar dari variance (ragam). Secara matematis dapat dinyatakan:

V=√ ................................

Dimana : V adalah simpangan baku

V2 adalah variance (ragam)

Nilai V menunjukan besarnya fluktuasi keuntungan yang mungkin diperoleh atau

besarnya risiko yang harus ditanggung pengusaha (hermanto,1989). Secara

statistik nilai V ini diketahui setelah dihitung terlebih dahulu ukuran ragamnya

39

( V2 ) darikeuntungan yang diharapkan. Ukuran varian (ragam) dapat dihitung

sebagai berikut:

V2 =∑ ( )

Dimana : E adalah nilai rata-rata

Ei adalah hasil bersih pada tahun ke i

N adalah jumlah pengamatan

Rata-rata hasil bersih yang diperoleh oleh pengusaha dalam setiap periode

menggambarkan besarnya nilai keuntungan harapan pengusaha dimasa-masa akan

datang.

Menurut Hermanto (1989), produsen harus selalu mempertimbangkan besarnya

risiko yang ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dalam

setiap proses produksi. Hubungan antara risiko dan keuntungan dalam suatu usaha

biasanya diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan.

Nilai koefisien variasi ditentukan dengan cara membagi risiko yang harus

ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang akan diperoleh sebagai

hasil dari sejumlah modal yang ditanamkan dalam usaha. Secara sistematis risiko

produksi, harga dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut:

a. Risiko produksi : CV =

b. Risiko harga : CV =

c. Risiko pendapatan : CV =

40

Keterangan:CV : Koevisien variasi

: Standar deviasi

C : Rata-rata produksi (kg)

Y : Rata-rata pendapatan (Rp)

Q : Rata-rata harga (Rp)

Jika nilai koefisien variasi (CV) diketahui, maka kita akan dapat mengetahui

besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahatani tumpang gilir

jagung dan cabai. Nilai CV berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi petani

tumpang gilir jagung dan cabai, artinya semakin besar nilai CV yang didapat

maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung petani. Begitu pula

sebaliknya, semakin rendah nilai CV yang diperoleh maka risiko yang harus

ditanggung petani akan semakin kecil.

Hal yang penting dalam pengambilan keputusan adalah perhitungan batas bawah

hasil tertinggi. Penentuan batas bawah (L) untuk mengetahui jumlah hasil

terbawah di bawah tingkat hasil yang diharapkan. Hal ini, dapat menjadi

pertimbangan petani dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan usahatani

tumpang gilir atau tidak yang mempunyai tingkat risiko. Batas bawah (L)

menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima oleh

petani dan menunjukkan aman tidaknya modal/investasi yang ditanam dari

kemungkinan kerugian. Rumus batas bawah (L) menurut Kadarsan (1995) adalah:

L= E – 2V

41

Keterangan:

L : Batas bawah produksi

V : Standar Deviasi

E : Rata-rata produksi, harga, pendapatan yang diperoleh

Nilai batas bawah (L) tertinggi dapat diartikan bahwa usahatani dengan komoditi

tersebut memberikan hasil terendah yang paling tinggi untuk diusahakan. Apabila

nilai L>0, maka petani mengalami keuntungan, sebaliknya jika nilai L<0, maka

petani akan mengalami kerugian, setiap proses produksi ada peluang kerugian

yang diderita petani. Nilai batas bawah (L) digunakan dalam hal pengambilan

keputusan investasi dan menunjukan nominal keuntungan terendah yang mungkin

diterima petani.

3.5.2 Analisis pendapatan

Metode untuk pengolahan data dengan menghitung pendapatan usahatani

tumpang gilir jagung dan cabai. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan

menggunakan rumus π = TR – TC

π = Y.Py – (xi.Pxi)

dimana:

π = adalah pendapatan petani

Y = hasil produksi (kg)

Py = harga hasil produksi (Rp)

Xi = faktor produksi variabel ke-i

Pxi = harga faktor produksi variabel ke-i (Rp/Kg)

42

Menurut Soekartawi (1995), R/C Ratio (Return Cost Ratio) merupakan

perbandingan antara penerimaan dan biaya, yang secara matematik dapat

dinyatakan sebagai berikut;

R/C = PQ . Q / (TFC + TVC)

Keterangan:

R = Penerimaan

C = Biaya

PQ = Harga output

TFC = Biaya tetap (fixed cost)

TVC = Biaya variabel (variable cost)

Ada tiga kriteria pengambilan keputusan dalam R/C ratio, yaitu:

R/C ratio > 1, maka usahatani tersebut efisien dan menguntungkan

R/C ratio = 1, maka usahatani tersebut BEP

R/C ratio < 1, maka tidak efisien atau merugi.

43

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Wilayan Penelitian

4.1.1 Letak Geografis

Letak dan Luas Desa Buanasakti berdiri pada tahun 1972 berdasarkan peraturan

daerah Nomor 01 tahun 2001 dan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13

Tahun 2001 tentang pembentukan 11 Kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung

Timur yang terdiri dari 24 kecamatan definitif dan 246 desa. Desa Buanasakti

memiliki luas wilayah kurang lebih 959,18 km. Secara administratif batas Desa

Buanasakti adalah :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Way Sekampung

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Purwodadi Mekar atau Way Kandis

c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Margototo (Kecamatan Metro Kibang)

d. Sebelah timur berbatasan dengan Way Sekampung.

Desa Buanasakti mempunyai jarak tempuh (orbitasi) dengan wilayah lain adalah

sebagai berikut:

a. Jarak dari pusat Pemerintah Kecamatan : 7,0 Km

b. Jarak dari pusat Pemerintah Kota : 12 Km

c. Jarak dari pusat Pemerintah Kabupaten : 30 Km

d. Jarak dari pusat Pemerintah Propinsi : 45 Km

44

4.1.2. Kondisi Geografis

Dari segi topografi, Desa Buanasakti termasuk kedalam dataran rendah dengan

tipe daerah aliran Sungai, yaitu Way Seputih, Way Sekampung, dan Way Jepara,

dengan ketinggian tempat 750 meter dpl. Sedangkan suhu udara maksimum rata–

rata 30 ̊C, jumlah bulan basah dalam setahun dengan curah hujan yang tinggi

kurang lebih 150mm/tahun.

4.1.3. Potensi Sumber Daya Alam

Area Desa Buanasakati Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur seluas

949,18 Ha, yang secara rinci disajikan pada tabel 7 dibawah ini:

Tabel 7. Luas Wilayah Desa Buanasakati dan Peruntukanya Tahun 2015

No UraianLuas wilayah

Persentase(%)(ha)

1 Pemukiman 116,08 12,232 Pertanian Sawah 171,02 18,023 Pertanian Ladang 653,08 68,804 Tanah Fasilitas Umum 9 0,95

Jumlah 949,18 100Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa luas keseluruhan Desa Buanasakti adalah

949,18 ha, yang diperuntukan untuk pemukiman 116,08 ha atau (12,23%), lahan

pertanian sawah 171,02 ha atau (18,02%), lahan pertanian ladang 653,08 ha atau

(68,80%), dan tanah fasilitas umum 9 ha atau (0,95%). Pada data yang ada

menunjukan bahwa lahan pertanian ladang memiliki luasan yang tertinggi dimana

sebagian petani Desa Buanasakti memperuntukan lahanya untuk tanam tumpang

gilir jagung dan cabai.

45

4.2 Demografi

Jumlah penduduk Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung

Timur pada tahun 2015 adalah 2.595 jiwa, yang terdiri dari 1321 pria dan 1274

wanita dengan jumlah kepala keluarga 767 KK.

4.2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur

Jumlah penduduk berdasarkan umur di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari

Kabupaten Lampung Timur secara rinci dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini:

Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Buanasakti Tahun 2015

No Umur Jumlah (orang) Persentase (%)1 0-<12 Bulan 27 1,042 >1-<5 Tahun 104 4,013 >6-<7 Tahun 217 8,364 >8-<15 Tahun 150 5,785 >15-<56 Tahun 1535 59,156 >56 Tahun 562 21,66

Jumlah 2595 100Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015

Berdasarkan tabel 8 menunjukan bahwa tingginya jumlah masyarakat Desa

Buanasakti pada umur 15-56 tahun atau (59,15%) adalah 1535 jiwa, diikuti umur

>56 tahun atau (21,66%) adalah 562 jiwa, 6-7 tahun atau (8,36%) adalah 217

jiwa, 8-15 tahun atau (5,78%) adalah jiwa, 1-5 tahun atau (4,01%) adalah 104

jiwa, dan 0-12 bulan atau (1,04%) adalah 27 jiwa. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar (59,15%) masyarakat Desa Buanasakti berada

pada tingkat umur 15-56 tahun atau termasuk dalam klasifikasi umur produktif

untuk angkatan kerja (Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015).

46

4.2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di Desa Buanasakti Kecamatan

Batanghari Kabupaten Lampung Timur secara rinci dapat dilihat pada tabel 9

dibawah ini:

Tabel 9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan di Tahun 2015

No Tingkat PendidikanJumlah(orang)

Persentase (%)

1 TK 27 1,3892 Sekolah Dasar 1690 86,933 SMP/SLTP 217 11,164 SMA/SLTA 21 0,055 Akademi/D1-D3 9 0,466 Sarjana (S1-S3)

1964 100Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015

Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di

Desa Buanasakti adalah TK ada 27 jiwa atau (1,389%), Sekolah Dasar 1690 jiwa

atau (86,93%), SMP/SLTP ada 217 jiwa atau (11,16%), SMA/SLTA ada 21 jiwa

atau (0,05%), Akademi/D1-D3 ada 9 atau (0,46%). Data yang ada menunjukan

sebagian besar masyarakat di Desa Buanasakti berpendidikan Sekolah Dasar,

walau demikian antusias petani dalam pemahaman tentang teknologi pertanian

terus berkembang pesat. Hal ini tampak dengan kegiatan pertanian usahatani yang

dikembangkan didaerah tersebut yang rata-rata petani menggunakan sistem tanam

tumpang gilir.

47

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identitas Responden

Sebagai gambaran yang nyata tentang responden yang disajikan pada penelitian

ini, maka berikut ini akan disajikan data mengenai identitas responden yang

meliputi, umur responden, pendidikan responden, mata pencaharian responden,

pengalaman usahatani, luas lahan, produksi jagung, dan produksi cabai.

5.1.2 Umur Responden

Sebaran umur responden berkisar antara 25-65 tahun yang secara terperinci dapat

dilihat pada tabel 10 berikut ini:

Tabel 10. Sebaran Umur Responden

No Umur (th) Jumlah responden Persentase (%)1 26-39 15 39,52 >39-52 17 44,73 >52-65 6 15,8

Jumlah 38 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2015

Berdasarkan data pada tabel 10 diketahui bahwa umur responden antara 26-39

tahun terdapat 15 responden atau (39,5%), umur >39-52 tahun terdapat 17

responden atau (44,7%), umur >52-65 tahun terdapat 6 responden atau (15,8%).

Pada tabel ini tingkat umur responden yang paling banyak berumur >39-52 tahun

48

mencapai 44,7% yang artimya petani tumpang gilir jagung dan cabai berada pada

usia produktif dan sudah mempunyai pengalaman yang cukup sebagai petani

tumpangsari jagung dan cabai.

5.1.2 Pendidikan Responden

Sebaran tingkat pendidikan responden berkisar antara Sekolah Dasar sampai

dengan SLTA/SMA. Dengan perincian seperti disajikan pada tabel 11 berikut ini:

Tabel 11. Tingkat Pendidikan Responden

No Pendidikan Jumlah Responden Persentase (%)1 SD 16 42,12 SLTP/MTS 14 36,83 SLTA/SMA 8 21,1

Jumlah 38 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Dari tabel 11 dapat diketahui bahwa sebaran pendidikan responden pada tingkat

SD sebanyak 16 atau (42,1%), SLTP sebanyak 14 responden atau (36,8%). SLTA

sebanyak 8 responden atau (21,1%). Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat

bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada kemampuan petani dalam

mengadopsi teknologi dalam usahatani terkait dengan pola penanaman untuk

meningkatkan pendapatan dan mensejahterakan keluarga petani itu sendiri.

5.1.3 Pengalaman Usahatani

Sebaran usahatani tumpang gilir jagung dan cabai berkisar antara 1-7 tahun, yang

secara rinci disajikan pada tabel 12 berikut ini:

49

Tabel 12. Sebaran Pengalaman Usahatani Tumpang Gilir Jagung dan Cabai

NoPengalam UTTumpang Gilir

Jumlah Responden Persentase (%)

1 1-<3 Tahun 11 28,92 >3-5 Tahun 25 65,83 >5-7 Tahun 2 5,3

Jumlah 38 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Dari tabel 12 diketahui bahwa petani yang memiliki pengalaman usahatani

tumpang gilir1<3 tahun sebanyak 11 responden atau (28,9%), >3-5 tahun

sebanyak 25 responden atau (65,8%), >5-7 tahun sebanyak 2 responden atau

(5,3%). Melihat belum lamanya pengalaman usahatani tumpang gilir jagung dan

cabai di Desa Buanasakti yang mencapai 65,8% dari pengalaman yang ada dinilai

petani walau belum berpengalaman namun mampu memperoleh pengetahuan dari

seringnya mengadakan perkumpulan guna bertukar pengalaman sehingga dapat

meningkatkan pengetahuan petani tumpang gilir itu sendiri.

5.1.4 Luas Lahan Penanaman

Luas lahan penanaman petani yang ditanami tumpang gilir berkisara antara 0,25-

0,75 hektar, lahan penanaman tersebut berupa lahan ladang. Secara rinci dapat

dilihat pada tabel 13 berikut ini:

Tabel 13. Luas Lahan Penanaman Tumpang GilirJagung dan Cabai

NoKlasifikasi Luas

LahanJumlah Responden Persentase (%)

1 0,25 18 50,02 0,5 17 47,23 0,75 1 2,8

Jumlah 36 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

50

Dari tabel 13 menunjukan bahwa sebagian (50,0%) responden memiliki luas lahan

tanam kurang dari 0,5 ha, hal ini dikarenakan tingginya modal yang dikeluarkan

untuk penanaman sistem tumpang gilir jagung dan cabai.

5.2 Hasil Penelitian

5.2.1 Keragaman Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai

1. Pola Tanam

Penanaman jagung dan cabai yang dilakuhkan petani responden di daerah

penelitian dilakuhkan secara polikultur. Petani responden jagung dan cabai

umumnya menanam jagung dan cabai 1 kali dalam satu tahun. Jadwal penanaman

jagung dan cabai di daerah penelitian sangat tergantung pada musim penghujan

yang ada. Pola tanam yang dilakuhkan petani tumpang gilir jagung dan cabai

adalah jagung-cabai-singkong atau jagung-cabai-palawija.

2. Budidaya Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai di Desa

Buanasakti

A. Budidaya Jagung

Budidaya jagung oleh petani responden didahului dengan kegiatan pengolahan

lahan yang dilakuhkan dengan tujuan untuk mengubah struktur tanah yang tadinya

padat atau keras menjadi gembur. Tanaman jagung juga memerlukan aerasi dan

drainase yang baik sehingga perlu penggemburan tanah. Pada umumnya persiapan

lahan untuk tanaman jagung dilakukan dengan cara dibajak sedalam 15-20 cm,

diikuti dengan pemupukan dengan pupuk kandang guna meningkatkan sumber

hara yang ada di dalam tanah sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan, dosis

51

pupuk yang di gunakan berkisar antara 80-100 sak per ½ ha. Ketika

mempersiapkan lahan, sebaiknya tanah jangan terlampau basah tetapi cukup

lembab sehingga mudah dikerjakan dan tidak lengket. Untuk jenis tanah berat

dengan kelebihan, perlu dibuatkan saluran drainase. Untuk masa tunggu biasa

dilakuhkan setelah 7-14 hari setelah pemupukan. Sebelum melakukan pengajiran,

lahan harus di lubangi atau digejik dengan menggunakan kayu yang berdiameter 5

cm guna memberikan ruang untuk peletakaan bibit jagung nantinya. Dalam ajiran

pada umunya berkisar antara 3-5 cm.

Sebelum benih jagung ditanam ada perlakuan yang harus dilakukan yaitu

mencapur benih dengan insektisida atau fungisida, supaya terhindar dari serangan

jamur, ulat agrotis, dan lalat bibit. Obat yang biasa digunakan adalah furadan dan

benlate. Pola tanam yang digunakan oleh petani responden didaerah penelitian

yaitu jajar legowo dan tegel. Dengan jarak tanam yang digunakan yaitu 80 x 50 x

100 cm dan 80 x 50 cm baik untuk tanaman jagung.

Pemeliharaan yang dilakukan pada petani jagung yaitu berupa penyulaman,

pengendalian gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit serta

pengairan pada tanaman yang biasa dilakukan dengan bantuan curah hujan. Pada

penyulaman dilakukan apabila terdapat bibit yang tumbuh dengan tidak baik atau

mati, terserang hama seperti tikus, semut, ulat dan terserang penyakit tanaman.

Umumnya petani responden melakukan pemupukan dalam 2-3 tahap. Pemupukan

pertama dilakuhkan pada saat umur 15 hari dan 40 hari setelah bibit ditanam.

Pemberian pupuk dilakukan dengan tujuan untuk melengkapi unsur hara yang

tidak dapat diserap oleh akar. Pupuk yang digunakan di daerah penelitian adalah

pupuk Kandang, UREA, SP 36, dan PONSKA.

52

Penyiangan jagung bertujuan untuk memberikan ruang agar cahaya matahari

dapat langsung mengenai tanaman dibawahnya yaitu cabai. Penyiangan jagung

dilakukan kisaran umur 80 – 90 hari sedangkan pada tanaman cabai kisaran umur

35 – 45 hari. Kegiatan penyiangan dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan

memotong bagian atas yang berbatasan dengan buah jagung. Dimana penyiangan

ini buah jagung dibiarkan dipohon sementara menunggu masa panen tiba.

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Rata-

rata petani responden menggunakan pestisida sesuai dengan kondisi lahan

masing-masing. Pemberantasan hama dilakuhkan ketika tanaman jagung atau pun

cabai terindikasi oleh serangan hama penyakit menggunakan alat penyemprot

(sprayer). Hama penyakit yang sering menyerang tanaman jagung petani

responden adalah wereng, ulat, dan tikus.

Pemanenan dilakukan saat umur tanaman jagung berusia 120-125 hari untuk

panen yang disetor ke gudang dan 95-100 hari untuk panen yang disetor ke

agen.Pemanenan jagung dilakukan dengan manual yaitu dengan memetik jagung

dengan tangan petani langsung yang kemudian dilakukan pemisahan antara klobot

jagung dengan jagung. Pada umunya hasil panen jagung berupa bonggolan yang

belum digiling yang kemudian di jual langsung ke agen.

B. Budidaya Cabai

Budidaya cabai didahului dengan penyemaian terlebih dahulu yang biasa

dilakukan di halaman atau pekarangan petani responden. Luas lahan yang

digunakan untuk persemaian diukur dengan bedeng, untuk penyemaian lebar yaitu

120 cm x 10 m dengan jumlah 4 bedeng per 1/2ha. Penyemaian dilakukan dengan

53

cara benih disebar dipersemaian. Jarak semaian antar biji berkisar 7cm x 1cm. Hal

ini dilakukan agar daya tumbuh benih cabai mencapai 94%. Benih cabai akan siap

ditanam apabila umur benih cabai mencapai20-25 hari.

Sedangkan pengolahan lahan untuk tanaman cabai dilakukan dengan cara

pembuatan gulutan pada tiap barisan tanaman jagung, disertai dengan pemberian

pupuk kandang. Dengan cara pupuk diletakan pada lubang yang telah siap untuk

penanaman cabai dengan jarak penanaman 15 -20 hari setelah pemupukan.

Pola tanam yang dilakukan pada tanaman cabai yaitu legowo. Dengan jarak tanam

yang digunakan yaitu 80 x 50x 100 cm dan 80 x 50 x 160 cm. Tujuan dari

penggunaan dari jajar legowo dan tegel agar sinar matahari dapat masuk secara

merata pada tanaman, mempermudah dalam pemeliharaan, juga dapat

meningkatkan produksi.

Pemeliharaan yang dilakukan pada petani cabai yaitu berupa penyulaman,

pengendalian gulma, pemupukan, dan pemberantasan hama dan penyakit serta

untuk lebih ditekankan dalam pengairan. Penyulaman dilakukan apabila terdapat

bibit yang tumbuh dengan tidak baik atau mati, terserang hama seperti semut, ulat

dan terserang penyakit tanaman. Pemupukan susulanpun harus dilakukan petani

secara rutin atau sesuai kebutuhan tanaman. Sedangkan umumnya pemupukan

susulan petani cabai dilakukan pemupukan dalam 10-14 kali dimana pemupukan

dilakukan dengan 2 cara yaitu pengocoran 8-10kali dan pemupukan tabur

sebanyak 2-4 kali. Pupuk yang yang digunakan adalah pupuk Kandang,

MUTIARA, SP-36, PONSKA, KCL, dan GROWER.

54

Pengairan pada tanaman cabai dilakukan dengan air hujan yang telah ditampung

oleh petani itu sendiri yang kemudian digunakan untuk pengairan dan pemupukan

tanaman cabai. Dalam hal ini peran pengairan sangat berpengaruh terhadap

produksi panen cabai. Ketidakadaanya sumber air atau pun aliran irigasi

menyebabkan curah hujan menjadi faktor utama dalam penentu pertumbuhan dan

produksi tanaman.

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Rata-

rata petani responden menggunakan pestisida sesuai dengan kondisi lahan

masing-masing. Pemberantasan hama dilakukan ketika tanaman jagung atau pun

cabai terindikasi oleh serangan hama penyakit menggunakan alat penyemprot

(sprayer). Hama penyakit yang sering menyerang tanaman cabai yaitu hama trip,

kutu kebul, tungau, ulat, jamur dan krapyak.

Pemanenan cabai dilakukan saat umur 90-120 hari untuk petik merah dan 80-85

hari untuk petik hijau. Pada umunya hasil panen cabai di jual kepada agen.

5.2.2 Penggunaan Sarana Produksi

Sarana produksi yang digunakan oelh petani repsonden yaitu lahan, benih, pupuk,

pupuk Kandang, UREA, SP-36, PONSKA, KCL, MUTIARA, dan GROWER.

Sebagan besar sarana produksi tersebut didapat petani dengan cara membeli dan

penggunaanya disesuaikan dengan luasan lahan jagung dan cabai dengan sistem

tumpang gilir yang diusahakan oleh petani.

55

1. Pengunaan Benih

Benih merupakan salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan produksi

jagung ataupun cabai. Usaha peningkatan produksi akan berhasil apabila

tersedianya benih yang bermutu baik dan dalam jumlah yang cukup. Penggunaan

benih yang dianjurkan yaitu 16-20 kg/ha untuk jagung dan 18-22bungkus/ha.

Benih yang bermutu yaitu benih yang asli, murni, bersih, memiliki viabilitas

tinggi dan sehat. Petani responden tanaman jagung menggunakan benih jenis DK

85, NK Jumbo, BISI-18, Pioner Gajah. Sedangkan pada benih cabai biasanya

menggunakan benih jenis Yosi, Kio, Lado, Belinda, dan Universal.

2. Pengunaan Pupuk

Pupuk merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan produksi jagung dan

cabai. Kegiatan pemupukan yang dilakukan oleh petani responden dan dosis

pupuk yang diberikan sangat bergantung pada faktor keuangandan tingkat

kesuburan tanaman, dan lahan yang dimiliki. Petani jagung rata-rata

menggunakan empat jenis pupuk sebagai upaya meningkatkan produksi yaitu

pupuk Kandang, Urea, SP-36, dan PONSKA. Harga pupuk kandang berkisar

antara Rp400-Rp520/kg, SP-36 Rp2700/kg, pupuk UREA Rp2.100/kg, dan pupuk

Ponska Rp3.000/kg.

Petani responden tanaman cabai rata-rata menggunakan lima jenis pupuk sebagai

upaya untuk meningkatkan produksi, yaitu pupuk Kandang, MUTIARA, SP-36,

PONSKA, KCL, dan GROWER. Harga pupuk kandang berkisar antara Rp460-

Rp520/kg, pupuk SP-36 Rp2700/kg, pupuk Mutiara Rp8.400/kg, pupuk Ponska

56

Rp3.000/kg, pupuk Grower Rp9.600/kg. Penggunaan pupuk oleh petani

responden tanaman jagung dan cabai dapat dilihat pada taebl 14.

Tabel 14. Rata-rata penggunaan pupuk dalam satu kali musim tanamoleh petaniresponden, 2015 (dalam kg)

Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Pupuk yang digunakan petani pada tanaman jagung lebih sedikit dibandingkan

dengan petani cabai, karena pada tanaman jagung hama dan penyakit yang

menyerang tidak banyak dan mudah dalam pengendalianya, berbeda dengan hama

dan penyakit yang menyerang pada tanama cabai, sehingga petani perlu

mengganti atau melakukan berbagai perlakuan terhadap tanaman agar hama dan

penyakit tidak kebal terhadap pestisida yang digunakan.

3. Penggunaan Pestisida

Penggunaan pestisida yang digunakan oleh petani responden di lokasi penelitian

bertujuan untuk memberantas hama dan penyakit yang mengganggu tanaman,

guna menghindari dari kehilangan hasil panen atau ancaman gagal panen.

Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani responden sangat tergantung

pada keadaan permodalan yang mereka miliki dan kondisi tanaman yang mereka

tanam. Pestisida yang digunakan petani untuk pengendalian hamadan penyakit

JenisJumlah fisik Harga fisik (Rp) Nilai (Rp)

Jagung Cabai Jagung Cabai Jagung CabaiPupuk Sp36 47,4 148,7 2.700 2.700 127.895 401.447Pupuk KCL 0 63,5 0 5.400 0 333.947PupukMUTIARA

0 66,2 0 8.400 0 556.216

Pupuk PONSKA 75 137,8 3.000 3.000 225.000 402.631Pupuk Kandang 826 2039 447 432 372.789 878.947Pupuk UREA 126 0 2.100 0 265.263 0Pupuk Grower 0 64,5 0 9.600 0 618.947

57

pada tanaman jagung berupa insektisida, fungisida, herbisida. Beberapa jenis

diantaranya untuk insektidida adalah regen dan metindo, fungisida adalah skor,

dan untuk herbisida adalah gramason.

Sedangkan Pestisida yang digunakan petani untuk pengendalian hamadan

penyakit pada tanaman cabai berupa insektisida, fungisida, zat perangsang

pertumbuhan (ZPT), dan zat perangsang buah (ZPB). Pada insektisida yaitu

dimolis, spadium, bespidor, samit, prepaton, lengset, dan abin. Pada fungisida

yaitu amestartop, dakolin, bendas, kozep, ziflo. Pada zat perangsang pertumbuhan

yaitu buto ijo dan dekamon. Pada zat perangsang buah yaitu gandapan, patensol,

dan rezafit. Penggunaan pestisida jenis lain untuk membasmi hama dan penyakit

tanaman jagung jarang dilakukan, hal ini dikarenakan terbatasnya modal petani

sehingga dapat mengurangi pendapatan petani. Sebaran penggunaan pestisida

petani responden jagung dan cabai dapat dilihat pada tabel 15.

58

Tabel 15. Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani jagung dan cabai tahun2015

Jenis

KomoditasJagung Cabai

Jumlah(lt/kg)

Harga(Rp)Biaya(Rp)

Jumlah(lt/kg)

Harga(Rp)

Biaya(Rp)

Dimolis 0,2 950.000 221.667Spadium 0,2 450.000 93.214Bespidor 0,3 250.000 82.857Samit 0,1 500.000 48.648Prepaton 0,2 750.000 113.571Lengset 0,2 350.000 53.000Abin 0,8 140.000 110.000Amestartop 0,2 880.000 134.588Dakolin 1,5 170.000 248.462Bendas 1,4 140.000 202.222Kozep 2,7 80.000 215.758Ziflo 1,1 85.000 97.143Zpt 0,3 102.631 19.737Zpb 1,1 107.158 112.737Regen 0,08 350.000 26.711Metindo 0,19 160.000 29.895Skor 0,1 600.000 25.263Gramasan 2 65.000 56.447

Sumber: Pengolahan Data Penenlitian, 2016

Tabel 15 menunjukan bahwa total rata-rata pemakainan pestisida pada usahatani

jagung dan cabai sangat berbeda. Terlihat bahwa penggunaan pestisida pada

tanaman cabai lebih banyak digunakan. Hal ini terjadi karena tanaman cabai

cenderung sensitif jika terkena hama atau penyakit, sehingga langkah

pencegahanya atau pengendalianya menggunakan pestisida secara bergantian agar

hama yang menyerang tidak resisiten terhadap pestisida yang digunakan.

59

4. Penggunaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani jagung

dan cabai. Tenaga kerja yang diambil merupakan masyarakat sekitar tempat

tinggal petani responden sendiri, dan biaya tenaga kerja diukur dengan satuan

harian orang kerja (HOK) berdasarkan tingkat upah yang berlaku didaerah

penelitian. Tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian pada pria maupun

wanita adalah Rp 70.000/harikecuali pemanenan yang dilakukan pada tanaman

jagung yang dilakukan secara borongan dengan biaya sebesar Rp 5.000/karung.

Penggunaan tenaga kerja rata-rata dalam usahatani jagung dan cabai di lokasi

penelitian dapat dilihat pada tabel 16.

60

Tabel 16. Rata-rata biaya tenaga kerja pada usahatani jagung dan cabai tahun2015

RincianKegiatan

Upah Rp/HOK jagung Nilai

Jumlah∑Org

∑Har

i

∑jam

Harian/

Sak

Borongan

Rp

JagungPengolahanLahan

3 2 4 70.000 - 152.434

Pengajiran 220.263Pemupukan 128.947PengendalianHPT

121.053

Pemanenan 5.000 437.3681.060.066

CabaiPenyemaian 200.789PengolahanLahan

4,7 1,29 6,5 70.000 - 305.098

Penanaman 367.368Pemupukan 353.947PengendalianHPT

353.947

Perawatan 3,6 3,5 4,3 70.000 - 493.684Pemanenan 11 14 6 70.000 2.732.994

4.456.582Jumlah total 5.516.647

Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Tabel 16 menunjukan bahwa total rata-rata pemakaian tenaga kerja per usahatani

tanaman jagung (0,375ha) rata-rata sebesar Rp1.060.066/0,375ha. Sedangkan

rata-rata tenaga kerja per usahatani pada tanaman cabai (0,375ha) rata-rata

sebesar Rp4.456.582. Dewasa ini, petani didaerah penelitian lebih banyak

menggunakan tenaga kerja dengan sistem gotong royong untuk menyelesaikan

usahataninya seperti digunakan untuk pengajiran/penanaman, dan penyemaian.

Pada kedua usahatani baik usahatani tanaman jagung ataupun usahatani tanaman

cabai, penggunaan tenaga kerja paling banyak digunakan yaitu pada saat

61

pengolahan tanah, perawatan dan pemanenan yang dilakukan dalam bentuk HOK,

sedangkan untuk panen jagung dilakukan dalam bentuk borongan. Upah HOK

pengolahan tanah pada usahatani jagung sebesar Rp152.434/0,375ha, upah

borongan pemanenan sebesar Rp437.368/0,375ha. Sedangakan upah dalam

usahatani cabai untuk pengolahan tanah sebesar Rp305.098/0,375ha, untuk

perawatan sebesar Rp493.684, dan untuk pemanenan sebesar

Rp2.732.994/0,375ha.

5. Penggunaan Peralatan

Penggunaan peralatan merupakan salah satu sarana pendukung untuk suatu

keberhasilan dalam berusahatani jagung dan cabai. Setiap peralatan memiliki

harga dan umur ekonomis yang berbeda. Nilai harga dan umur ekonomis ini

kemudian dapat digunakan untuk menghitung biaya penyusutan dari masing-

masing alat tersebut. Nilai sisa pada masing-masing peralatan dianggap nol karena

peralatan yang sudah tidak bisa digunakan oleh petani tidak dijual. Jenis peralatan

yang digunakan dalam usahatani jagung dan cabai dan biaya penyusutan masing-

masing peralatan di Desa Buanasakti dapat dilihat pada tabel 17.

62

Tabel 17. Rata-rata jumlah dan biaya penyusutan peralatan usahatani jagung dancabai tahun 2015

Jenis Jumlah Harga UEBiaya

penyusutanPeralatan (unit) (Rp) (Tahun) (Rp)

Sprayer 1 421.316 5 21.112Cangkul 1 52.184 5 3.036Sabit 2 44.747 3 3.687Benang 9 3.250 1 46Rafia 2 16.553 1 866Ember 2 5.368 3 528Terpal 2 79.868 2 1.345Waring 1 327.368 3 7.719Plastik 1 32.724 1 1.845Alat kocor 1 122.895 2 9.956Karung 104 2.105 1 395

Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa peralatan yang digunakan oleh petani

responden pada jagung dan cabai di Dea Buanasakti berupa mesin dan alat

sederhana seperti sprayer, cangkul, sabit, benang, rafia, ember, terpal, waring,

plastik, alat kocor, dan karung.

Rata-rata peralatan dimiliki sendiri oleh petani responden karena mereka dalam

melakukan usahatani memiliki peralatan tersendiri walaupun terbatas dan

sederhana. Tenaga kerja luar keluarga misalnya mereka membawa

peralatansendiri. Rata-rata umur ekonomis yang paling lama dari peralatan

usahatani jagung dan cabai yang digunakan petani responden adalah sprayer

dengan umur ekonomis 5 tahun dan cangkul dengan umur ekonomis 5 tahun.

Nilai total penyusutan per usahatani sebesar Rp 49.970.

63

6. Produksi Usahatani Jagung Dan Cabai

Produksi yang dihasilkan oleh petani didaerah penelitian sangat bervariasi, karena

produksi yang dihasilkan tergantung pada luas lahan yang ditanam, modal yang

dimiliki petani, dan cuaca. Produksi jagung dan cabai dapat dilihat pada tabel 18.

Tabel 18. Rata-rata produksi usahatani jagung dan cabai di Desa Buanasakti tahun2015

UraianKomoditas

Jagung Cabai

Luas lahan (ha) 0,375 0,375

Produksi (kg) 3.031 2.143

Harga (Rp) 2.682 12.171Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Berdasarkan tabel 18 dapat diketahui bahwa rata-rata produksi usahatani jagung

sebesar 3.031kg/0,375ha dan rata-rata produksi cabai 2.143 kg./0,375ha. Hal ini

terlihat bahwa produksi usahatani jagung lebih besar. Harga jagung yang

cenderung standar, namun tetap memberikan keuntungan bagi petani responden.

Tingginya produksi setiap usahatani dipengaruhi oleh ketersediaan input produksi

dan tingkat adopsi petani terhadap teknologi. Upaya petani dalam meningkatkan

produksi pada usahatani jagung dan cabai juga perlu menyesuaikan dengan isu

global yang lain, seperti upaya menyiapkan petani dalam mengatasi persoalan

iklim global. Petani perlu dikenalkan dengan penggunaan sarana produksi yang

efisien serta sarana produksi yang memiliki adaptasi tinggi terhadap goncangan

iklim karena akan berpengaruh kepada rawan pangan dan pengurangan

produktifitas. Sebagai bagian dari peran penyuluh pertanian.

64

Di Desa Buanasakti peran penyuluh pertanian masih sangat minim, terlihat pada

setiap kegiatan perkumpulan kelompok tani atau pun perkumpulan gapoktan tanpa

didampingi penyuluh. Kurangnya peran penyuluh dalam usahatani tumpang gilir

ini menyebabkan tingginya tingkat penggunaan faktor produksi sehingga biaya

produksi yang dikeluarkan cukup tinggi serta dalam pemilihan tanaman lanjutan

yang diambil berdasarkan pengalaman berusahatani para petani karna kurangnya

inovasi yang seharusnya diperoleh dari penyuluh setempat. Semakin efisien

penggunaan faktor produksi dan semakin sesuai tanaman lanjutan yang ditanam

maka semakin tinggi produksi yang didapat petani sehingga mempengaruhi

pendapatan petani itu sendiri.

5.3 Risiko Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai

Risiko yang dihadapi petani dalam usahatani tumpang gilir pada tanaman jagung

dan cabai di daerah penelitian sebagian besar disebabkan oleh cuaca dan hama

penyakit tanaman. Hama penyakit tanaman yang mengganggu tanaman jagung

seperti wereng, ulat, tikus, dan penyakit bule. Sedangkan hama dan penyakit yang

menyerang tanaman cabai seperti hama trip, kutu kebul, tungau, ulat, krapayak,

dan jamur yang akan mengurangi produksi jagung atau pun cabai. Selain itu cuaca

yang ekstrim seperti hujan yang terus menerus akan menyebabkan lahan pertanian

menjadi lembab sehingga dapat menjadikan tempat yang baik bagi pertumbuhan

jamur serta mempercepat pertumbuhan gulma, serta kemarau panjang akan

mengurangi ketersediaan air untuk pengairan jagung dan cabai. Cuaca sebagai

salah satu penyebab risiko paling tinggi dikemukakan oleh Soekartawi,dkk (1993)

yang menyatakan bahwa risiko dalam produksi pertanian diakibatkan oleh

ketergantungan pada iklim dan alam, dimana pengaruh buruk alam telah banyak

65

mempengaruhi total hasil panen pertanian. Risiko usahatani jagung dan cabai

dapat dianalisisdengan menggunakan analisis koefisien variasi (CV). Dimana jika

nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil,

maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani juga rendah, sebaliknya

jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka

menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani besar.

5.3.1 Risiko Usahatani Tumpang Gilir pada Komoditas Jagung

Pada usahatani tumpang gilirtanaman jagung terdapat risiko yang dialami oleh

petani, risiko tersebut dianalisis menggunakan koefisien variasi (CV). Jika nilai

koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil,

menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih kecil sebaliknya jika nilai

koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka menggambarkan

risiko yang dihadapi oleh petani lebih besar. Risiko yang terjadi pada usahatani

tumpang gilir tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 19.

Tabel 19. Risiko produksi dan risiko harga usahatani tumpang gilir pada tanamanjagung di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten LampungTimur tahun 2015.

UraianRisiko Produksi

(kg)Risiko Harga(Rp)

RisikoPendapatan

Per UsahataniNilai tengah (E) 3.031 2.682 4.483.653Satndar deviasi (V) 1.391 125 2.547.478L 249 2.432 (611.304)CV 0,5 0,05 0,6

Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Berdasarkan tabel 19 terlihat bahwa nilai tengah dari produksi jagung per

usahatani yaitu sebesar 3.031kg/0,375 ha, dengan rata-rata produksi per usahatani

66

yang dihasilkan oleh petani selama satu musim tanam dengan standar deviasi (V)

sebesar 1.391/0,375ha, dan CV sebesar 0,5 yang artinya bahwa risiko produksi

yang dihadapi petani jagung selama satu musim sebesar 0,5kg. Dengan batas

bawah (L) produksi sebesar 249 yang artinya kemungkinan risiko produksi

terendah atau kerugian terendah yang dihadapi petani jagung pada masa akan

datang sebesar 249kg/0,375 ha.

Harga jagung (tabel 19) dapat dilihat bahwa petani jagung memiliki nilai tengah

(E) sebesar Rp 2.682 per usahatani yang artinya bahwa rata-rata besarnya harga

yang diperoleh petani jagung selama satu musim per usahatani, dengan standar

deviasi (V) sebesar Rp 125. Sedangkan nilai untuk CV yaitu sebesar 0,05yang

artinya bahwa risiko harga yang dihadapi petani jagung selama satu musim

sebesar Rp0,05. Nilai batas bawah (L) harga yang diperoleh petani sebesar Rp

2.432 yang berarti kemungkinan risiko harga terendah atau kerugian terendah

yang dihadapi petani jagung setiap musim pada masa yang akan datang sebesar

Rp 2.432 per usahatani.

Pendapatan jagung (tabel 19) dapat dilihat bahwa petani jagung memiliki nilai

tengah (E) sebesar Rp 4.483.653 yang artinya bahwa rata-rata besarnya

pendapatan yang diperoleh oleh petani jagung selama satu musim, dengan standar

deviasi (V) sebesar Rp 2.547.478. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,6

yang artinya bahwa risiko pendapatanyang dihadapi petani jagung selama satu

musim sebesar Rp 0,6. Nilai batas bawah (L) pendapatan yang diperoleh petani

sebesar Rp611.304 yang berarti kemungkinan risiko pendapatan atau kerugian

yang dihadapi petani jagung setiap musim pada masa yang akan datang sebesar

Rp611.304 /0,375 ha

67

5.3.2 Risiko Usahatani Tumpang Gilir Pada Komoditas Cabai

Pada usahatani tumpang gilir pada komoditas cabai juga terdapat risiko yang

dialami oleh petani, risiko tersebut dianalisis menggunakan koefisien variasi

(CV). Jika nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh

produksi kecil, menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih kecil

sebaliknya jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi

maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih besar. Risiko yang

terjadi pada usahatani tumpang gilir tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 20.

Tabel 20. Risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatanpada usahatanitumpang gilirtanaman cabai di Desa Buanasakti Kecamatan BatanghariKabupaten Lampung Timur tahun 2015.

UraianRisiko Produksi

(Kg)Risiko Harga

(Rp)Risiko

PendapatanPer UsahataniNilai tengah (E) 2.143 12.171 10.961.472Satndar deviasi (V) 945 1.821 9.039.675L 253,09 8.530 (7.117.878)CV 0,4 0,2 0,8

Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016

Berdasarkan tabel 20 terlihat bahwa nilai tengah dari produksi cabai per usahatani

yaitu sebesar 2.143kg/0,375 ha, dengan rata-rata produksi per usahatani yang

dihasilkan oleh petani selama satu musim tanam dengan standar deviasi (V)

sebesar 945kg/0,375 ha, dan CV sebesar 0,4 yang menunjukan bahwa petani cabai

memiliki kemungkinan atau peluang kehilangan sebesar 0,4 kg. Dengan batas

bawah (L) produksi sebesar 253,09 yang artinya bahwa kemungkinan risiko

produksi terendah atau kerugian terendah yang dihadapi oleh petani cabai pada

masa yang akan datang sebesar 253,09kg/0,375.

68

Harga komoditas cabai (tabel 20) dapat dilihat bahwa petani cabai memiliki nilai

tengah (E) sebesar Rp 12.171/0,375 ha yang artinya bahwa rata-rata besarnya

harga yang diperoleh oleh petani cabai selama satu musim, dengan standar deviasi

(V) sebesar Rp1.821. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,2 yang artinya

bahwa risiko harga yang dihadapi petani cabai selama satu musim sebesar Rp 0,2.

Dengan nilai batas bawah (L) harga yang diperoleh petani sebesar Rp 8.530 yang

artinya bahwa kemungkinan risiko harga terendah atau kerugian terendah yang

dihadapi petani cabai setiap musim pada masa yang akan datang sebesar Rp

12.171/0,375 ha.

Pendapatancabai (tabel 20) dapat dilihat bahwa petani cabai memiliki nilai tengah

(E) sebesar Rp10.961.472 yang artinya bahwa rata-rata besarnya pendapatan yang

diperoleh oleh petani cabai selama satu musim, dengan standar deviasi (V)

sebesar Rp 9.039.675. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,8 yang

artinya bahwa risiko pendapatan yang dihadapi petani cabai selama satu musim

sebesar Rp0,8. Nilai batas bawah (L) pendapatan yang diperoleh petani sebesar

Rp -7.117.878 yang berarti kemungkinan risiko pendapatan atau kerugian yang

dihadapi petani cabai setiap musim pada masa yang akan datang sebesar

Rp7.117.878 /0,375 ha

5.4 Pendapatan Usahatani Tumpang Gilir Jagung dan Cabai

Pendapatan yang diterima petani tidak akan terlepas dari besarnya penerimaan

yang diperoleh. Hasil analisis pendapatan usahatani tumpang gilir tanaman jagung

dan cabai yang dilakukan dapat menjadikan petunjuk apakah usahatani tumpang

gilir jagung dan cabai yang diusahakan petani responden menguntungkan atau

69

tidak,biaya produksi yang dikeluarkan petani setiap musim tanam terdiri dari

biaya tunai dan biaya diperhitungkan.

Biaya tunai berasal dari pembelian benih, pupuk, obat-obatan, biaya tenaga kerja

luar keluarga, dan pajak lahan. Biaya diperhitungkan berasal dari biaya tenaga

kerja dalam keluarga, sewa lahan, dan penyusutan alat pertanian.

Penerimaan petani jagung dan cabai adalah perkalian antara harga jual dan jumlah

produksi. Pendapatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai adalah selisih

antara total nilai penerimaan dan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam

usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Analisis perbandingan pendapatan

usahatani tumpang gilir jagung dan cabai berdasarka penerimaan, biaya,

pendapatan, dan R/C ratio. Dapat dilihat pada tabel 21.

Tabel 19. Rata-rata penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C usahatani tumpanggilir jagung dan cabai

Sumber: Pengolahan data penelitian, 2016

TotalJagung Cabai Jagung Cabai Jagung Cabai Rp

1. Jumlah Penerimaan 3.031 2143 2.682 12.171 8.106.763 25.886.316 33.993.0782. Biaya Tunai

a. Sarana ProduksiBibit 6,5 8,1 66.211 113.684,20 430.974 910.263Pupuk Sp36 47,4 148,7 2.700 2.700 127.895 401.447Pupuk KCL 0 63,5 0 5.400 0 333.947Pupuk MUTIARA 0 66,2 0 8.400 0 556.216Pupuk PONSKA 75 137,8 3.000 3.000 225.000 402.631Pupuk Kandang 826 2039 447 432 372.789 878.947Pupuk UREA 126 0 2.100 0 265.263 0Pupuk Grower 0 64,5 0 9.600 0 618.947Pestisida 138.316 1.304.078b. Tenaga kerja luar keluarga 1.060.006 4.456.582c. Pajak

3. jumlah total biaya tunai 2.616.829 10.189.213 12.694.436Biaya tidak tunaia. Penyusutan peralatanb. Tenaga kerja dalam keluarga 730.395 4.603.191

4. c. Sewa lahan5. Jumlah total biaya 18.272.5156. Pendapatan atas biaya total 15.717.5647. Pendapatan atas biaya tunai 21.298.616

R/C ratioa. R/C atas biaya total 1,8b. R/C atas biaya tunai 2,6

No KomponenJumlah fisik Harga fisik (Rp) Nilai (Rp)

24.974

49.970

2.500.000

70

Berdasarkan tabel 21penerimaan yang diperoleh petani dari hasil usahatani

tumpang gilir jagung dan cabai seluas 0,375 ha berdasarkan harga dan rata-rata

tersebut adalah Rp33.993.078 dengan besarnya biaya yang dikeluarkan petani

dalam satu kali musim tanam per 0,375 ha Rp 18.275.515. Pada perhitungan

analisis struktur biaya usahatani tumpang gilir tanaman jagung dan cabai terbagi

atas dua, yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Nilai biaya tunai yang

dikeluarkan dalam usahatani tumpang gilir tanaman jagung dan cabai adalah

sebesar Rp 12.694.463 per 0,375 ha dan untuk nilai biaya diperhitungkan adalah

sebesar Rp 5.581.051 per 0,375 ha.

Pada tabel 20 pendapatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai atas biaya

total per usahatani sebesar Rp15.717.564dan pendapatan atas biaya tunai per

usahatani Rp 21.298.616. Nisbah nilai pendapatanterhadap biaya tunai pada

usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yakni 2,6 artinya setiap Rp1,00 biaya

tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp2,6. Nisbah

nilai pendapatan terhadap biaya total pada usahatani tumpang gilir jagung dan

cabai yaitu sebesar Rp1,8 artinya setiap Rp1,00 yang dikeluarkan akan

menghasilkan pendapatan biaya total sebesar Rp1,8 artinya bahwa usahatani

tumpang gilir jagung dan cabai yang dilakukan oleh petani yang berada di Desa

Buanasakti secara ekonomi menguntungkan.

71

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatan yang dihadapi petani

tumpang gilir pada tanaman jagung dan tanaman cabai berbeda, dimana tingkat

risiko harga dan risiko pendapatan usahatani tumpang gilir pada tanaman cabai

lebih tinggi dibandingkan risiko yang dialami pada usahatani tumpang gilir

tanaman jagung, namun risiko produksi lebih tinggi dialami pada usahatani

jagung.

2. Pendapatan pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yang dilakukan oleh

petani yang berada di Desa Buanasakti secara ekonomi

menguntungkan.Pendapatan pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai

atas biaya total per usahatani sebesar Rp15.717.564 dan pendapatan atas biaya

tunai per usahatani Rp 21.298.616.

6.2 Saran

Dari kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat disarankan

beberapa hal antara lain:

1. Untuk menekan tingkat risiko yang dialami petani cabai berkaitan dengan

kebutuhan pengairan yang lebih tinggi dari pada jagung maka perlunya peran

72

petani itu sendiri dalam pembuatan sumur bor, sehingga pengairan dapat

dilakukan petani tanpa bertumpu pada curah hujan yang turun.

2. Pentingnya peran penyuluh pertanian dalam penggunaan faktor produksi dan

pemilihan tanaman lanjutan untuk meningkatkan pendapatan petani pada

usahatani tumpang gilir.