1. bab ii kajian pustaka reviu penelitian terdahulu
TRANSCRIPT
8
1. BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Reviu Penelitian Terdahulu
Penelitian Wicaksono dan Pamungkas (2017), analisis efektivitas Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) pada tahun 2013 dengan
kategori cukup efektif, tahun 2014 dan 2015 dengan kategori kurang efektif.
Tingkat efektivitas tertinggi pada tahun 2013, sedangkan terendah pada tahun 2015.
Tingkat efektivitas semakin menurun setiap tahunnya, karena target penerimaan
PBB-P2 yang besar setiap tahunnya, tidak diimbangi dengan realisasi penerimaan
PBB-P2 yang sesuai target. Analisis kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada
tahun 2013-2015 masuk dalam kategori sangat kurang. Tingkat kontribusi tertinggi
pada tahun 2013, sedangkan terendah ada tahun 2015. Tingkat kontribusi semakin
menurun setiap tahunnya, hal ini karena realisasi PAD selalu meningkat setiap
tahunnya, akan tetapi realisasi PBB-P2 masih bersifat fluktuatif atau naik turun
untuk setiap tahun.
Penelitian Mamuko et al. (2018), Tingkat Efektivitas Penerimaan PBB-P2 di
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di tahun 2015 tidak mencapai target
yang ditetapkan terjadi karena pelimpahan dari pusat kedaerah sehingga validasi
keakuratan data belum dilakukan pemerintah daerah secara maksimal. Sehingga
pada saat pelimpahan ke daerah data tersebut ditolak wajib pajak karena tidak
sesuai dengan kepemilikkan, yang mereka miliki sehingga masyarakat tidak dapat
9
melunasi PBB-P2 terutang. Tahun 2016 naik cukup signifikan dikategorikan
efektif, hal ini terjadi karena adanya penambahan wajib baru dan objek pajak baru.
Penelitian Fadhlia (2017), efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Aceh Besar mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pengkategorian dinyatakan sangat efektif akan tetapi pemerintah belum
bisa dikatakan berhasil dalam pengelolaan PBB-P2 dikarenakan peningkatan
penerimaan PBB-P2 tidak di ikuti dengan meningkatkan penetapan target, sehingga
setiap tahun target yang ditetapkan sama. Kontribusi pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Aceh Besar dikategorikan sangat kurang,
menunjukkan bahwa Kabupaten Aceh Besar kurang dalam mengoptimalkan
sumber-sumber penerimaan PBB-P2 yang menyebabkan kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah masih sangat kurang. Kontribusi yang diterima masih
kurang dikarenakan pertumbuhan penerimaan pendapatan asli daerah lebih besar
dibandingkan dengan pertumbuhan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan. pemerintah daerah telah berupaya meningkatkan kontribusi dengan
melakukan update data dan menggali potensi baru dengan melakukan pendataan ke
lapangan.
Menurut Tirie et al (2016), penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan di Kota Tomohon tahun 2014 sampai tahun 2015 mengalami
penurunan, tingkat efektif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan di
Kota Tomohon menurut standarisasi efektivitas atau kriteria efektivitas yang ada
dinyatakan efektif untuk penerimaan atau pengambilan pajak dan pengolahan pajak
tersebut. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota
10
Manado tahun 2014 sampai tahun 2015 mengalami penurunan, tingkat efektif pajak
bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan di Kota Manado kurang efektif.
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota Bitung
tahun 2014 sampai tahun 2015, tingkat efektif pajak bumi dan bangunan perdesaan
dan perkotaan di Kota Bitung dinyatakan sangat efektif. Kontribusi pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan terhadap pendapatan asli daerah Kota Tomohon
dan Kota Bitung tahun 2014 sampai tahun 2015 memiliki koefisien kontribusi
kurang, Kota Manado tahun 2014 sampai tahun 2015 memiliki koefisien kontribusi
sangat kurang.
Penelitian Utiarahman (2016) menyatakan tingkat efektivitas pada tahun
2011-2012 pajak bumi dan bangunan yang masih dipungut oleh pemerintah pusat
dan dilakukan bagi hasil belum efektif, tahun 2013 sudah efektif, tahun 2014 yaitu
sangat efektif pada saat sudah dikelola pemerintah daerah, namun dalam segi
nominal mengalami penurunan dari tahun sebelumnya walaupun keduanya
memiliki kriteria tingkat efektivitas yang sangat efektif, pada tahun 2015
mengalami penurunan penerimaan. Target yang ditetapkan tidak diimbangi dengan
proses penilaian pajak kembali sehingga tidak mencapai target yang telah
ditetapkan. Kontribusi dari tahun 2011-2015 pajak bumi dan bangunan selalu
mengalami penurunan kontribusi dan hanya mengalami kenaikkan pada tahun
2013 kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah, tahun 2014-2015 terus
mengalami penurunan kontribusi.
11
Tinjauan Pustaka
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan
yang muncul karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi
bagi seseorang atau badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh
manfaat dari padanya. Menurut Siahaan (2010: 555) dasar hukum pemungutan
PBB-P2 pada suatu Kabupaten/Kota adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah
Kabupaen/Kota yang mengatur tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan,
Keputusan Bupati/Walikota yang mengatur tentang PBB Perdesaan dan
Perkotaan sebagai aturan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang PBB
Perdesaan dan Perkotaan pada Kabupaten/Kota yang dimaksud. Pengesahan
terdapat dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pajak Bumi dan Bangunan yang diatur dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
adalah sektor Perdesaan dan Perkotaan. Berdasarkan Pasal 180 angka 5 UU
Nomor 28 Tahun 2009,. Selama masa transisi tersebut, daerah yang telah siap
dapat segera melakukan pemungutan PBB-P2 dengan terlebih dahulu
menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang PBB-P2 sebagai dasar hukum
pemungutan. Sebaliknya, apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2013
daerah belum juga menetapkan Perda tentang PBB-P2, maka daerah tersebut
tidak diperkenankan untuk melakukan pemungutan PBB-P2, dan bagi seluruh
12
masyarakat di daerah yang bersangkutan tidak dibebani kewajiban untuk
membayar PBB-P2.
Pajak bumi dan bangunan, terdapat 5 jenis yang biasa disingkat menjadi
P2 dan P3. PBB-P2 sendiri adalah PBB sektor perdesaan dan perkotaan dengan
pengelolaan berada dibawah tanggungjawab daerah sedangkan PBB-P3 adalah
PBB sektor perkebunan, perikanan dan pertambangan dengan pengelolaan
berada dibawah tanggungjawab pusat. “Bumi dan bangunan merupakan dua
obyek dari PBB, yaitu bumi yang dapat didefinisikan sebagai permukaan bumi
yang berupa tanah dan perairan serta segala sesuatu yang dibawahnya,
sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanamkan atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan perairan di wilayah negara Indonesia.”.
(Adelina, 2013).
Menurut Isnanto (2014: 5) Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan
atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek PBB-P2 meliputi seluruh
kawasan Perdesaan dan Perkotaan yang meliputi semua tanah dan bangunan di
dalamnya. (Siahaan, 2010, 555).
13
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.07/2018 “Pedoman
Penilaian PBB-P2”
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.07/2018
telah diuraikan pedoman penilaian Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan
Perkotaan dengan rincian sebagai berikut:
a. Asas Pajak Bumi dan Bangunan (Indonesia, 2018)
Asas Pajak Bumi dan Bangunan ada 4 yaitu :
1) Memberikan kemudahan dan kesederhanaan;
2) Mudah dimengerti dan adil;
3) Adanya kepastian dalam hukum;
4) Menghindari pajak berganda.
b. Objek pajak sektor Perdesaan dan Perkotaan
PBB-P2 dikenakan rutin atau terus-menerus setiap tahun pajak
terhadap objek pajak PBB yakni bumi atau bangunan. PBB di luar sektor
perdesaan perkotaan termasuk jenis pajak yang dikelola dan diadministrasi
oleh DJP, kementrian Keuangan. Objek pajak sektor Perdesaan dan
Perkotaan:
1) Klasifikasi dan besarnya NJOP Bumi untuk objek pajak sektor ini
adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II huruf A Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010. Jika nilai jual Bumi
lebih besar dari pada nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP bumi yang
tercantum dalam Lampiran II huruf A Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 150/PMK.03/2010 maka nilai jual Bumi tersebut ditetapkan
sebagai NJOP Bumi.
14
2) Klasifikasi NJOP Bangunan untuk objek pajak sektor ini adalah
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II huruf B Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010. Jika nilai jual
Bangunan lebih besar dari pada nilai jual tertinggi klasifikasi NJOP
bumi yang tercantum dalam Lampiran II huruf B Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 maka nilai jual Bangunan
tersebut ditetapkan sebagai NJOP Bangunan.
c. Dasar Pengenaan PBB-P2
Dasar Pengenaan PBB-P2 Pasal 1 UU PBB menyebutkan dasar
pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yaitu harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila
tidak terdapat transaksi jual beli maka NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau nilai jual objek pajak pengganti. Terdapat 3 (tiga) pendekatan
penilaian untuk menentukan besarnya NJOP yaitu:
1) Pendekatan Perbandingan Harga atau Data Pasar yaitu menentukan
nilai suatu objek dengan membandingkan objek yang dinilai dengan
objek lain sejenis yang telah diketahui nilai jualnya.
2) Pendekatan Biaya yaitu menentukan nilai suatu objek dengan
menghitung biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek
tersebut. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya bangunan baru
kemudian dikurangi dengan jumlah penyusutannya.
15
3) Pendekatan Pendapatan yaitu menentukan nilai suatu objek dengan
menghitung jumlah pendapatan bersih dari objek tersebt dengan
tingkat kapitalisasi tertentu.
Dasar Perhitungan PBB-P2 adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu
suatu persentase tertentu dari Nilai jual Objek Pajak (NJOP). Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.07/2018, NJOP adalah
harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara
wajar, dan bila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi
(tanah, perairan pedalaman, serta laut wilayah Kabupaten/Kota) dan/atau
bangunan yang melekat di atasnya.
d. Penilaian Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan.
Pedoman Penilaian Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan
Perkotaan menjelaskan bahwa Penilai PBB-P2 adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah,
diberi tugas, wewenang, tanggung jawab, dan memiliki kemampuan untuk
melaksanakan Penilaian PBB-P2. (Yuniarto, 2019).
Penilaian Massal dan Penilaian Individual untuk menentukan NJOP
Bumi dilakukan dengan membentuk NIR dalam setiap ZNT. Penilaian
Massal untuk menentukan NJOP Bangunan dilakukan dengan menyusun
DBKB untuk setiap Jenis Penggunaan Bangunan. Jenis Penggunaan
Bangunan diklasifikasikan atas:
16
1) Perumahan;
2) Perkantoran;
3) Pabrik;
4) Toko / apotek/ pasar / ruko;
5) Rumah sakit/klinik;
6) Olah raga/ rekreasi;
7) Hotel/ res to ran/ wisma;
8) Bengkel/ gudang/ pertanian;
9) Gedung pemerintah;
10) Bangunan tidak kena pajak;
11) Bangunan parkir;
12) Apartemen/kondominium;
13) Pompa bensin (kanopi);
14) Tangki minyak;
15) Gedung sekolah.
Penilaian Individual untuk menentukan NJOP bangunan dapat
dilakukan dengan cara:
1) Membandingkan dengan nilai Bangunan lain yang sejenis;
2) Menghitung nilai perolehan baru Bangunan dikurangi dengan
penyusutan; atau
3) Menghitung pendapatan dalam satu tahun dari pemanfaatan
Bangunan yang dinilai, dikurangi dengan biaya kekosongan dan
biaya operasi.
17
e. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang
ditetapkan di pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Nganjuk Nomor 06 Tahun 2013 sebagai berikut:
1) Untuk nilai objek sama dengan atau diatas Rp.1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah) sebesar 0,2 % ( nol koma dua persen); dan
2) Untuk nilai objek dibawah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah) sebesar 0,1 % ( nol koma satu persen).
Peraturan Daerah khusus Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan berlaku 1 Januari 2014.
f. Teknik Penilaian
Teknik Penilaian PBB-P2 dilaksanakan dengan Penilaian Massal dan
Penilaian Individual, yaitu:
1) Penilaian Massal
Dalam sistem ini NJOP tanah dihitung berdasarkan NIR yang
terdapat pada setiap ZNT, sedangkan NJOP Bangunan dihitung
berdasarkan DBKB. Dalam melakukan penilaian massal, baik untuk
tanah maupun bangunan dapat menggunakan program komputer
konstruksi umum CAV (Computer Assisted Valuation).
2) Penilaian Individual
Penilaian Individual diterapkan untuk objek pajak umum yang
bernilai tinggi (tertentu), baik objek pajak khusus, ataupun objek pajak
umum yang telah dinilai dengan CAV namun hasilnya tidak
mencerminkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi
18
program. Proses penilaiannya adalah dengan memperhitungkan seluruh
karakteristik dari objek pajak tersebut.
Proses penghitungan nilai dilaksanakan dengan menggunakan
formulir penilaian Objek Khusus PBB-P2 atau dengan lembaran khusus
untuk objek-objek tertentu seperti jalan tol, bandar udara, pelabuhan,
lapangan golf, stasiun pengisian bahan bakar.
Pengukuran tingkat keberhasilan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
a. Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata bahasa Inggris “efektivity” yang berarti
tingkat kejadian, tingkat pengadaan atau tingkat keberhasilan. Efektivitas
merupakan suatu ukuran untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu
organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas
menurut Ulum dan Sofyani (2016: 177) “Efektivitas adalah tingkat
pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan”. Organisasi yang
berhasil mencapai tujuan, maka organisasi tersebut dapat dikatakan telah
berjalan dengan efektif. Hubungan antara hasil pungutan suatu pajak dengan
potensi pajak itu sendiri merupakan hal yang diukur efektivitas. Efektivitas
penerimaan pajak bumi dan bangunan mengukur hubungan antara hasil
pungutan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dengan
potensi pajak bumi dan bangunan. Ditekankan pula bahwa tingkat efisiensi
juga berarti efektif, namun demikian tingkat yang efektif belum tentu
efisien. Efektivitas penerimaan PBB-P2 mengukur hubungan antara hasil
pungutan PBB dengan target yang diterima. Pengumpulan pajak daerah
19
yang dilakukan pemerintah daerah dipandang sebagai kemampuan
pemerintah daerah hal ini dinilai sesuai dengan jumlah penerimaan pajak
yang ditargetkan menujukkan efektivitas pajak daerah tersebut.
Rumus pengukuran efektivitas PBB-P2 terhadap pajak daerah sebagai
berikut :
Efektivitas PBB-P2 = Realisasi Penerimaan PBB-P2
Target PBB-P2 X 100%
Tabel 1.1Nilai Interpretasi Efektivitas
Persentase (%) Kriteria
>100 Sangat Efektif
90-100 Efektif
80-90 Cukup Efektif
60-80 Kurang Efektif
<50 Tidak Efektif
Sumber: Munir dan Juanda (2004) dikutip dalam (Adelina, 2013)
b. Kontribusi
Kontribusi yaitu suatu tindakan untuk ikut serta bertindak aktif dengan
mengoptimalkan kemampuan sesuai bidang dan kapasitas masing-masing
yang dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada masyarakat sekitar
(Wikipedia, 2016). Kontribusi dapat dilakukan dengan membandingkan
pernerimaan pajak daerah khususnya PBB-P2 periode tertentu dengan
penerimaan pajak periode tertentu pula. Semakin besar hasilnya berarti
semakin besar pula penerimaan pajak daerah, begitu pula sebaliknya jika
hasil perbandingannya terlalu kecil berarti peranan pajak daerah juga kecil.
Rumus pengukuran kontribusi PBB-P2 terhadap pajak daerah
sebagai berikut:
Kontribusi PBB-P2= Realisasi PBB-P2
Realisasi Penerimaan PADX 100%
20
Tabel 1.2 Nilai Interpretasi Kontribusi
Presentase (%) Kriteria
0-10 Sangat Kurang
11-20 Kurang
21-30 Sedang
31-41 Cukup Baik
41-50 Baik
>50 Sangat Baik
Sumber: Tim Litbang Depdagri-Fisipol UGM 1991 dikutip
dalam (Adelina, 2013)
c. Laju Pertumbuhan
Laju pertumbuhan perlu dianalisis untuk mengetahui pertumbuhan
pendapatan suatu daerah setiap tahunnya. Analisis laju pertumbuhan
pendapatan suatu daerah menggambarkan adanya perubahan iklim ekonomi
disetiap tahunnya. Perubahan realisasi penerimaan pendapatan setiap tahun
mempengaruhi besar kecilnya laju pertumbuhan penerimaan pendapatan
suatu daerah tersebut. Semakin besar perubahan realisasi yang diberikan,
dari tahun sebelumnya, maka laju pertumbuhan yang terjadi besar pula,
sebaliknya bila dari hasil analisis semakin sedikit perubahan realisasi
penerimaan dari tahun sebelumnya laju pertumbuhan yang terjadi juga akan
semakin kecil.
Mengukur laju pertumbuhan Pajak Bumi dan Banguna Perdesaan
Perkotaan (PBB-P2) menurut Halim (2004) dikutip dalam Saputro (2014)
dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
GX = Xt − X(t − 1)
X(t − 1) X 100%
Keterangan :
Gx = Laju pertumbuhan PBB-P2 pertahun
21
Xt = Realisasi penerimaan PBB-P2 pada tahun ini
X(t-1) = Realisasi penerimaan PBB-P2 pada tahun sebelumnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor
pajak daerah, retribusi daerah hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah. Terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan sumber
pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah, sehingga saat
ini jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu pajak
hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan,
pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, dan pajak
sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
menyatakan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah. Pajak daerah adalah “pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah (misal: propinsi, kabupaten, kota) yang diatur berdasarkan
Peraturan Daerah masing-masing dan hasil pemungutannya digunakan untuk
pembiayaan rumah tangga daerah” Kesit (2005: 1).
Fungsi pajak daerah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi utama, yaitu
fungsi budgetory dan fungsi regulatory. (Indonesia, 2009)
22
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Fungsi yang paling utama dari pajak daerah adalah untuk mengisi kas
daerah. Fungsi ini disebut fungsi budgetair yang secara sederhana dapat
diartikan sebagai alat pemerintah daerah untuk menghimpun dana dari
masyarakat untuk berbagai kepentingan pembiayaan pembangunan daerah.
Fungsi ini juga tercermin dalam prinsip efisiensi yang menghendaki
pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-
kecilnya dari suatu penyelenggaraan pemungutan pajak daerah.
b. Fungsi Pengaturan (Regulerend)
Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu pajak
hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan,
pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, dan
pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Analisis SWOT
Menurut Richard L. Daft (2010:253) dikutip dalam Nisak (2013)
“Analisis SWOT (SWOT analysis) yakni mencakup upaya-upaya untuk
mengenali kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang menentukan
kinerja perusahaan. Informasi eksternal mengeni peluang dan ancaman dapat
diperoleh dari banyak sumber, termasuk pelanggan, dokumen pemerintah,
pemasok, kalangan perbankan, rekan diperusahaan lain. Banyak perusahaan
menggunakan jasa lembaga pemindaian untuk memperoleh keliping surat
23
kabar, riset di internet, dan analisis tren-tren domestik dan global yang
relevan.”
“SWOT Analysis has two dimensions: Internal and external. Internal
dimension includes organizational factors, also strengths and weaknesses,
external dimension includes environmental factors, also opportunities and
threats”.(Gürel dan Tat, 2017). “SWOT matrix can present four kinds of
strategies, that are weaknesses-threats (WT) strategies, strengths-threats (ST)
strategies, weaknesses-opportunities (WO) strategies, strengths-opportunities
(SO) strategies. SO strategies use an organisation’s strengths to take benefit of
external opportunities. WO strategies overcome weaknesses by taking
advantage of external opportunities. ST strategies use an organisation’s
strengths to avoid or decrease the impact of external threats” (Nikjoo dan
Saeedpoor, 2014).