1 bab i pendahuluan latar belakang masalah pesatnya
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional telah menghasilkan variasi
produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung
perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas
wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi
kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.
Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan
pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek
aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-
perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.
Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara
konsumen dengan pelaku usaha. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan
perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen
dalam bentuk suatu produk hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hal ini
penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha
2
untuk mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Dalam penjelasan
UUPK disebutkan bahwa mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat
tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan
keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk
melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum
yang melindungi belum memadai.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu
meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku
usaha penyedia kebutuhan konsumen.1
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UUPK disebutkan bahwa
tujuan dibentuknya UUPK ini adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan,
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa. Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus
dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka
barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.2
1 AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 6-7
2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 98
3
Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat
dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui
kepada konsumen itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang
tinggi terhadap konsumen.
Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara
penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian
berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar
pengadilan. Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan
(adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan
cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan
diantara pihak yang bersengketa.3
Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 2 UUPK disebutkan bahwa
setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah
satu pihak atau para pihak yang bersengketa.
3 Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 3
4
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
Pasal 45 UUPK ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh
kedua belah pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud dengan penyelesaian
sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak
tanpa melalui Pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(selanjutnya disebut BPSK) dan tidak bertentangan dengan UUPK ini.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan
kepada pilihan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan
apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah
konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara
penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis
BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan
yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.
Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para
pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator,
maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap
kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh
BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.4
Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah
mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk
memberikan keputusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa.5
4 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 242
5 Ibid. hal 243
5
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Kepmenperindag
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 (untuk selanjutnya disebut Kepmen No 350/2001)
tentang pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen
menentukan bahwa konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari anggota
BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjadi anggota
majelis, demikian juga pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK
yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter yang akan menjadi anggota
majelis. Selanjutnya arbiter ketiga yang berasal dari unsur pemerintah yang akan
menjadi Ketua Majelis.
Dengan hadirnya BPSK sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK yang
dibentuk oleh pemerintah adalah badan yang melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi, sehingga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kekuatan
mengikat putusan arbitrase BPSK tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan
BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa
penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat
mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak
yang diwajibkan untuk itu. Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan
bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum,
dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Namun jika
pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK
6
menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri,
dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah
Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final
dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut
saling kontradiktif.
Dalam pelaksanaannya Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK ini
menimbulkan dampak yang mengganggu eksistensi BPSK dalam upaya memberikan
perlindungan kepada konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap
keberadaan lembaga BPSK, jika akhirnya kepengadilan juga.
Pelaku usaha yang tidak puas terhadap putusan BPSK cenderung melanjutkan
perkaranya ke pengadilan, bahkan apabila perlu hingga di Mahkamah Agung,
sehingga keberadaan BPSK sebagai lembaga small claim court yang menyelesaikan
sengketa konsumen secara cepat, tidak formal dan biaya murah tidak tercapai.6
Permasalahan lainnya juga timbul jika pelaku usaha setelah menerima
pemberitahuan atas putusan BPSK tidak setuju atau berkeberatan terhadap putusan
tersebut dan mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan Negeri. Timbulnya
permasalahan dikarenakan UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup
adanya keberatan terhadap putusan BPSK ini. Memperhatikan praktik peradilan saat
ini, implementasi instrumen hukum keberatan ini sangat membingungkan dan
menimbulkan berbagai persepsi dan interpretasi, terutama bagi para hakim dan
6 Widijantoro, J dan Wisnubroto, Al, Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. hal 45
7
lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan maksud
suatu undang-undang.
Hal ini disebabkan terminologi keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum
acara yang ada. Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan,
perlawanan, atau permohonan dan perlu tidaknya BPSK turut digugat agar dapat
secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan menimbulkan
permasalahan sendiri, karena pengajuan keberatan ini akan didaftarkan pada register
apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus keberatan.
Dalam proses pemeriksaan keberatan di pengadilan negeri terhadap putusan
BPSK apakah majelis hakim pengadilan negeri yang mengadili keberatan tersebut
mengulang kembali proses pemeriksaan penyelesaian sengketa konsumen dari awal
lagi? Jika mengulang kembali proses pemeriksaannya dari awal, maka terjadi
pelemahan terhadap lembaga BPSK dan yang menjadi pertanyaan adalah reputasi
dan keahlian sumber daya manusia arbiter BPSK patut untuk dipertanyakan lagi.
Dari ketentuan tersebut diatas, maka menarik perhatian peneliti bahwa
alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia, khususnya perkara sengketa
konsumen, hingga saat ini masih belum terdapat suatu keseragaman, baik mengenai
kekuatan mengikat putusan BPSK maupun putusan Pengadilan Negeri terhadap
keberatan atas putusan BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen
maupun ketaatan para pihak dalam melaksanakan putusan lembaga alternatif
penyelesaian sengketa. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka dilakukan
penelitian mengenai kekuatan mengikat putusan lembaga alternatif penyelesaian
8
sengketa, dalam hal ini BPSK didalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara
konsumen dengan pelaku usaha.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka melalui penelitian ini
terdapat dua permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
1. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari putusan BPSK berkaitan dengan
penyelesaian sengketa konsumen?
2. Bagaimanakah putusan pengadilan negeri terhadap keberatan atas
putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen?
1.3 Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan tujuan penelitian penulisan tesis ini, maka dapatlah
dikemukakan beberapa tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul “Kekuatan
Mengikat Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian
Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999” yaitu:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan mengikat dari putusan
BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen karena adanya
norma yang konflik.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Pengadilan Negeri terhadap
keberatan atas putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen
yang diajukan ke Pengadilan Negeri.
1.4 Manfaat Penelitian
9
Selain tujuan penelitian seperti tersebut diatas, dalam penelitian inipun
diharapkan dapat mencapai hasil guna sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Yaitu untuk memberikan manfaat berupa informasi dalam pemahaman teori
dan kepustakaan mengenai perlindungan hukum menyangkut penyelesaian
sengketa konsumen melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam hal ini
adalah BPSK.
2. Kegunaan Praktis
Yaitu sebagai sumbangan pemikiran bagi para Ahli Hukum, Praktisi, Pelaku
Usaha dan Pengadilan serta BPSK berupa gambaran yang jelas secara
langsung dari praktek tentang seluk beluk suatu putusan BPSK dalam suatu
sengketa konsumen yang meliputi peraturan-peraturannya, kekuatan
hukumnya, cara pelaksanaannya dan permasalahan yang timbul termasuk
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan BPSK dalam mengatasi atau
menyelesaikan masalah tersebut.
1.5 Landasan Teoritis
Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yang mengemukakan
penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki
fungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.
Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam,
diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi
10
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.7 Teori juga sangat diperlukan dalam
penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit.8 Hal ini sesuai
dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke ”Eendegelijk inzicht in
deze rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het voorwoord beschouwd als
een noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie van een konkreet
positief rechtsstelsel”9 (dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang
merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi
ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif).
Prinsip dasar teori yang dikutip dalam penelitian ini berpedoman pada
objek penelitian yang diteliti, hal ini dilakukan agar penggunaan teori dalam
landasan berfikir akan tetap sesuai dengan judul yang ditentukan. Pengutipan
teori dalam penyusunan laporan penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran
pengembangan teori tentang hukum perlindungan konsumen, khususnya dalam
hal penyelesaian sengketa konsumen. Oleh karenanya pengembangan pikiran
dalam penulisan laporan penelitian ini dilakukan sesuai dengan pengertian-
pengertian perlindungan konsumen yang ada pada literatur-literatur atau buku-
buku yang membahas tentang hukum perlindungan konsumen.
Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak
terlepas dari sistem hukum yang yang berlaku di Indonesia adalah sistem
hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan
7 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 198 Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung,
hal 439 Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland, hal 57
11
demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada
Pancasila dan UUD 1945.
Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System
atau tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1)
struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau
budaya.10 Sistem hukum mempunyai struktur yang di ibaratkan seperti mesin,
yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses
tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas jumlah serta ukuran
Pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang
digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan
legislatif. Substansi hukum diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan dan apa
yang dihasilkan mesin tersebut yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi
ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Subtansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law)
bukan hanya pada aturan yang ada dalam buku-buku hukum (law in books).
Kultur atau budaya hukum diibaratkan apa saja atau siapa saja yang memutuskan
untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana
mesin tersebut digunakan yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.
10 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, selanjutnya disebut Friedman I, hal 11
12
Demikian pula menurut pendapat Eugen Ehrlich, hukum positif hanya
akan berlaku selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
“The “living law” that dominated society’s life even thought it had not always
been reduced to formal, legal, proposition. It reflected the values of society”11
Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang
aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut
merupakan norma-norma sosial aktual yang mengatur semua aspek
kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law).
Yang dimaksud dengan hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan
dalam masyarakat sebagai hukum yang diterapkan oleh Negara. Selanjutnya
ideal hukum menurut Donald Balack adalah kaidah hukum yang dirumuskan
dalam Undang-Undang atau keputusan hakim (law in books).12
Hukum merupakan produk dari budaya manusia yang mempunyai makna
bagi masyarakat tertentu, hukum pun juga hanya dapat dipahami sebagai suatu
upaya masyarakat didalam mewujudkan nilai-nilai dan tujuannya. Tujuan hukum
adalah menetapkan aturan bagi suatu masyarakat dalam kerangka keadilan.13
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tidak hanya kaidah hukum,
atau peraturan hukum tetapi juga lembaga atau institusi dan proses, mempunyai
andil yang besar dalam menunjang tujuan yang ingin dicapai dalam
pembangunan.14
11 Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd. Estover, Playmount PL67PZ, hal 14512 Lawrence M. Friedman, 1960, Legal Theory, Stevan & Sons Limited, New York, selanjutnya
disebut Friedman II, hal 29313 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hal 7614 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta,
hal 7
13
Soerjono Soekanto menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi proses
implementasi suatu produk hukum:15
1. Kaidah hukum dan peraturannya sendiri.
2. Petugas yang menegakkannya.
3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan kaidah hukum.
4. Masyarakat yang masuk kedalam ruang lingkup peraturan tersebut.
Pendapat tersebut jika dikaitkan dengan tujuan pengaturan perlindungan
konsumen adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesadaran
konsumen akan hak-haknya, yang secara tidak langsung juga mendorong pelaku
usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa
tanggungjawab.
1.5.1 Asas Perlindungan Konsumen Dalam UUPK
Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang
relevan dalam pembangunan nasional diantaranya:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
15 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdulah, 1980, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, hal 14
14
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.
Bila diperhatikan substansinya, Achmad Ali menyatakan bahwa hukum
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu: 16
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan.
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan.
3. Asas kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK dan penjelasannya, tampak
bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
Negara Republik Indonesia.
1.5.2 Asas Kekuatan Mengikat Dalam Putusan BPSK
16 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali I, hal 95
15
Sebelum menguraikan kekuatan mengikat dari putusan BPSK, terlebih
dahulu akan diuraikan pengertian asas kekuatan mengikat dalam sebuah
perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata. Kekuatan mengikat diartikan
bahwa para pihak diharuskan memenuhi apa yang mereka sepakati.17
Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui
didalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya
perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.
Di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat.
Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa
yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga
asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam pengertian kebebasan yang
mutlak, karena dalam kebebasan tersebut terdapat berbagai pembatasan, antara
lain oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pembatasan
kebebasan berkontrak ditemukan didalam UUPK pembatasan ini dinyatakan
dalam pasal yang mengatur persyaratan dalam kontrak kerja sama.
Berdasarkan penjelasan didalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa
kesepakatan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK
17 Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Sebagai Sumber Perikatan, dalam Jurnal Teknologi Minyak & Gas Bumi, Edisi 1, http://www.iatmi.or.id/beta/_stock/attachments/JTMGB/JTMGB_1_2009. hal 39
16
diselenggarakan semata-mata untuk mencapai bentuk dan besarnya ganti
kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 butir (a) UUPK disebutkan bahwa BPSK
dalam menangani penyelesaian sengketa konsumen, melalui 3 (tiga) alternatif
penyelesaian sengketa konsumen yaitu dengan cara konsiliasi atau mediasi atau
arbitrase. Salah satu dari mekanisme ini harus disepakati para pihak untuk
sampai pada putusan.
Apabila para pihak yang telah sepakat memilih salah satu mekanisme
penyelesaian sengketa mengalami kegagalan dalam membuat kesepakatan, maka
para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya
dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih.
Penyelesaian selanjutnya hanya dapat dilanjutkan melalui badan peradilan
umum, hal mana menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di
BPSK tidak berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kepmen No.
350 / 2001.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya
diserahkan kepada pilihan para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk
memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada
di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa
17
konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib
mengikutinya.
Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan
para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau
konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu
pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang
akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.
Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan menghasilkan
kesepakatan yang bersifat win-win solution, dijamin kerahasiaan para pihak,
dapat menghindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
dengan tetap menjaga hubungan baik.
Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara arbitrase, dimana para pihak yang bersengketa dapat
mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral yaitu BPSK
dan memberinya wewenang untuk memberikan putusan yang kemudian
mengikat para pihak yang bersengketa.
1.5.3 Teori Keadilan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,
tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila, yang salah satu silanya
18
mengatur mengenai “kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”, dalam arti
memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, tepat kiranya jika grand theory dari penelitian ini adalah
“teori keadilan”, yang semula dikemukakan oleh filsuf Aristoteles, karena tujuan
semula dibentuknya UUPK adalah untuk memberikan keadilan dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat konsumen.
Ada beberapa pengertian tentang keadilan yang dikemukakan oleh pakar
hukum, yang masing-masing mengartikan “keadilan” sesuai dengan versinya
sendiri. Menurut Aristoteles, problem esensial keadilan yang disebutkan diatas,
dapat dibedakan antara keadilan distributif dan keadilan korektif.18
1. Keadilan distributif adalah keadilan yang menghendaki agar orang-orang
yang mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama
pula dihadapan hukum.
2. Keadilan korektif atau remedial adalah keadilan yang menetapkan kriteria
dalam melaksanakan hukum sehari-hari harus mempunyai standar umum.
John Rawls yang mengembangkan teori keadilan sebagai Justice as
Fairness (keadilan sebagai kejujuran). Jadi, prinsip keadilan yang paling fair
itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls, ada 2 (dua) prinsip dasar
keadilan, yaitu:19
1. Keadilan formal (formal justice, legal justice) yaitu menerapkan keadilan
yang sama bagi setiap orang sesuai dengan bunyi peraturan.
18 Achmad Ali I, Op.Cit., hal 27019John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Chapter II The Principle of Justice, Publisher: The
Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, hal 54
19
2. Keadilan substantif (substancial justice) yaitu menerapkan hukum itu berarti
mencari keadilan yang hakiki dan didukung oleh rasa keadilan sosial.
Achmad Ali menyatakan bahwa hukum juga seyogianya memiliki
kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial, sehingga
ketiga tujuan hukum tersebut yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,
dapat diwujudkan secara seimbang.20
Mengacu pada pandangan para pakar filsuf tersebut, maka UUPK
memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya secara seimbang, karena kepastian hukum dalam konteks
penelitian ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta Negara menjamin adanya kepastian hukum tersebut.
1.5.4 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Umum, ditentukan terdapat 3 (tiga) tingkatan pengadilan yang berada di
lingkungan Peradilan Umum, yaitu:21
1. Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berada di setiap Pemerintahan Daerah Tingkat II bertugas memeriksa dan memutus semua perkara, baik pidana dan perdata yang berada di dalam wilayah hukumnya, tanpa memandang kebangsaan atau golongan penduduk atau pihak-pihak yang berperkara;
2. Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding yang berada di setiap Provinsi Daerah Tingkat I yang merupakan pengadilan tingkat kedua.
20 Achmad Ali I, Op.Cit., hal 8121 Muhamad Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal 26
20
Dikatakan pengadilan tingkat kedua karena cara pemeriksaannya sama seperti pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama;
3. Mahkamah Agung yang merupakan organ yudikatif tertinggi dalam wilayah hukumnya yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia bertugas memeriksa dan memutus perkara pidana dan perdata pada tingkat kasasi.
Gugatan melalui pengadilan hanya dapat di tempuh jika upaya di luar
pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui pengadilan tetap
dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar
Pengadilan.22
Namun demikian, mengingat kedudukan konsumen yang tidak seimbang
dengan pelaku usaha, maka pemerintah menganggap perlu diadakannya suatu
penyederhanaan (lex specialis) terhadap prinsip-prinsip beracara yang berkaitan
dengan penyelesaian sengketa konsumen. Proses beracara yang dikenal dalam
hukum perlindungan konsumen, antara lain:
1. Small Claim
Small Claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh
konsumen, sekalipun apabila dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat
kecil. Di dalam hukum perlindungan kosumen di berbagai Negara, proses
beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi luas. Di luar
Negeri ada lembaga resmi Pemerintah yang khusus dibentuk untuk membantu
Konsumen yang merasa dirugikan oleh suatu produsen tertentu yang beritikad
tidak baik. Di Australia, misalnya, badan ini diberi nama Australian
Competition and Consumer Commision (ACCC).
22 Muchsin, 2009, Tugas dan Wewenang Peradilan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dalam Varia Peradilan, No. 278 Januari 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hal 16
21
Dalam UUPK Indonesia juga dibentuk satu unit yang disebut Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) namun tidak memiliki
kewenangan untuk menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk
menampung gugatan-gugatan bernilai kecil ini justru diserahkan kepada
kelompok konsumen atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Di berbagai Negara kasus-kasus serupa diselesaikan oleh lembaga
yang disebut sebagai Small Claims Court atau Small Claims Tribunal.
Perkara sengketa konsumen umumnya berskala kecil, tetapi sengketa
konsumen yang merugikan hak konsumen tidak boleh dibiarkan, karena
akibatnya bisa berdampak serius bagi masyarakat luas. Di Singapura gugatan
yang dapat diajukan ke Small Claims Tribunal tidak lebih dari Sin$ 2,000,-23
Di Amerika Serikat, salah satu model penyelesaian sengketa
konsumen yang cukup populer adalah penyelesaian melalui model Small
Claims Court dengan sistem penyelesaian yang sederhana yaitu hakim
tunggal, tanpa juri dan tidak memakai jasa penasehat hukum serta
pembuktian yang sederhana.24
Perbedaan mendasar antara court dengan tribunal adalah court
bersifat tetap sedangkan tribunal bersifat ad hoc. Yang bertindak sebagai
hakim pada Small Claims Court adalah seorang hakim (presiding judge) pada
23 Catherine Tay Swee Kian & Tang See Chim, 1986, Your Right as a Consumer, Publisher: Times Book International Singapore, Singapore, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 109
24 Journal of Dispute Resolution, Need For A ‘True’ Consumer Ombudsman, Edisi 1 tahun 1992, Consumer Dispute Resolution In Missouri, Missouri’s, Singapore, hal 78
22
court tersebut, sedangkan Small Claims Tribunal yang bertindak sebagai
hakim adalah seorang Barrister atau Solicitor sebagai referee. 25
2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)
Gugatan perwakilan kelompok atau class action adalah pranata
hukum yang berasal dari sistem common law. Walaupun demikian, banyak
negara penganut civil law system telah mengadopsi prinsip tersebut, termasuk
Indonesia, yaitu di dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (b) yang memungkinkan
diajukannya suatu gugatan atas pelanggaran Pelaku Usaha yang dilakukan
oleh sekelompok Konsumen yang memiliki kepentingan bersama.
3. Gugatan Legal Standing
Pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK juga ditentukan beracara yang
dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang
dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau NGO’s Standing. Untuk memiliki legal standing
tersebut, LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai
korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang merupakan perbedaan
pokok antara gugatan class action dengan NGO’s Standing.
1.5.5 Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan
Merupakan suatu kekeliruan apabila seseorang menganggap bahwa di
dalam suatu masyarakat modern, hanya pranata pengadilanlah merupakan satu-
satunya cara untuk menyelesaikan sengketa. Masih terdapat cara-cara lain untuk
menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan, seperti Konsiliasi, Mediasi dan
Arbitrase. Pada tahun 1850, Abraham Lincoln menghimbau rakyat Amerika
25 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 86
23
Serikat untuk memperkecil peran pengadilan dan sedapat mungkin menghindari
litigasi dalam penyelesaian suatu sengketa.26
Untuk mengatasi keberlikuan proses berperkara di pengadilan, Pasal 45
ayat (2) UUPK membuka peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk
mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Penjelasan Pasal 45 ayat (2)
memberikan pengertian penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui Pengadilan
Negeri atau BPSK dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
BPSK adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan
menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang
menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran atau yang menderita kerugian
akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (Pasal 1 Nomor 8
Kepmen No.350/2001). Melihat pada Kepmen tersebut, maka BPSK didirikan
untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi,
Mediasi, dan Arbitrase.
Adapun perbedaan dari beberapa alternatif penyelesaian sengketa dan
penggunaannya dijelaskan sebagai berikut:
1. Konsiliasi (Consiliation)
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (9) dari Kepmen No. 350/2001 dinyatakan
bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang
bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.
26 Achmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP. IBLAM, Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali II, hal 18
24
Conciliation: The adjustment and settlement of a dispute in a friendly,
unantagonistic manner, used in court before trial with a view towards avoiding
trial and in labor disputes before arbitration.27
Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia
melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis
hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif.
2. Mediasi (Mediation)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (10) Kepmen No. 350/2001,
dinyatakan bahwa Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya
diserahkan kepada para pihak. BPSK selaku mediator tidak berwenang
memaksakan suatu keputusan. Keputusan akhir tetap didasarkan pada kesepakatan
pihak yang bersengketa. Hasil akhir dari mediasi ini adalah suatu perjanjian yang
dibuat oleh para pihak sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan.
Mediation: Private informal dispute resolution process in which a neutral
third person, the mediator helps disputing parties to reach an agreement. The
mediator has no power to impose a decition on the parties.28
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak
yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan
sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak.
3. Arbitrase (Arbitration).
27 Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn West Publishing Co, hal 289
28 Ibid, hal 145
25
Pengertian arbitrase menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) Kepmen No.
350/2001, dinyatakan bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa
konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa
menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.
A Process of dispute resolution in which a neutral third party renders a
decision after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard.
Where arbitrase is voluntary, the disputing party select the arbitrator who has the
power to render a binding decision.29
Selanjutnya, guna menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, berikut
ini di uraikan ketentuan umum sesuai dengan Pasal 1 UUPK sebagai berikut :
a. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
c. Pelaku Usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.
d. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
29 Ibid, hal 105
26
dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
e. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
f. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-
Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai
kegiatan menangani perlindungan konsumen.
g. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
h. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
i. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk
membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum
Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris.30 Penelitian Hukum
Normatif ciri-cirinya adalah beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas
hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan landasan teoritis dan
30 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 50
27
menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.31
Dalam penelitian ini digunakan penelitian hukum normatif yaitu suatu
penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian, baik norma
hukum dalam peraturan perundang-undangan, norma hukum yang bersumber
dari suatu undang-undang yang kemudian dituangkan dalam sebuah putusan
pengadilan atau putusan BPSK.
Penelitian dilakukan berkenaan dengan adanya norma konflik didalam
Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari
penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi
bersifat final dan mengikat. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan
Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa terhadap
putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan
Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini
bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat,
sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder. Jenis
pendekatan penelitian ini dipilih pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
31 Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar, hal 11
28
1) Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu dengan
meneliti kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang berlaku di
Indonesia seperti KUHPerdata, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
2) Pendekatan analisis konsep hukum yaitu dengan meneliti pendapat-pendapat,
pernyataan-pernyataan, komentar-komentar dalam muatan hukum yang
berkaitan dengan pemahaman tentang kekuatan mengikat dari putusan BPSK
dan putusan pengadilan negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK dalam
penyelesaian sengketa konsumen.
3) Pendekatan Studi Kasus yaitu suatu gambaran hasil penelitian yang
mendalam dan lengkap sehingga diperoleh informasi yang disampaikan
pihak-pihak terkait berkaitan dengan kasus-kasus sengketa konsumen.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Pada Penelitian Hukum Normatif, bahan hukum yang dipergunakan yaitu
pertama bahan hukum primer dan kedua bahan hukum sekunder.32
Data sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi:
1) Bahan Hukum Primer:
32 Ibid, hal 12
29
Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas
dan kaidah hukum ini berupa peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan,
peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan
Pengadilan. Dalam penelitian ini, peraturan perundang-undangan yang
dipergunakan diantaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap
Putusan BPSK serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
BPSK.
2) Bahan Hukum Sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal-
jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat
dalam media masa, kamus dan ensiklopedia hukum, internet dengan
menyebut nama situsnya. Di dalam penelitian ini, buku-buku hukum yang
dipergunakan diantaranya buku tentang proses penyelesaian sengketa
konsumen, buku tentang konsumen dan hukum, buku tentang hukum
perlindungan konsumen.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi, dengan
pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem
informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum
tersebut. Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni
dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan-bahan hukum
30
primer dan bahan hukum sekunder, dan kemudian dilakukan identifikasi
terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau
pengutipan dengan sistem kartu. Masing-masing kartu diberikan identitas
sumber bahan hukum yang dikutip, dan halaman dari sumber kutipan.
Disamping diklasifikasikan menurut sistematika tesis, sehingga ada kartu untuk
bahan-bahan untuk BAB I, BAB II, dan seterusnya kecuali untuk bagian
Penutup. Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan hukum.33
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara
analisis kualitatif dan komprehensif. Analisis kualitatif artinya menguraikan
bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis, dan tidak tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi
bahan-bahann hukum dan pemahaman hasil analisa. Komprehensif artinya
dilakukan secara mendalam dan dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup
penelitian. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
deskriptif, kontruksi hukum dan argumentasi yang selanjutnya dilakukan
penilaian berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yaitu
dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada kaitannya dengan
permasalahan.
33 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung, hal 150
31
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Adi Nugroho, Susanti, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta.
__________, 2004, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. BP. IBLAM, Jakarta.
Burhan, Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Hukum Perdata Buku III dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.
Catherine Tay Swee Kian & Tang See Chim, 1986, Your Right as a Consumer, Penerbit Times Book International Singapore , Singapore.
Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd. Estover, Playmount PL67PZ
Friedman, Lawrence, Meir, 1960, Legal Theory, Stevan & Sons Limited, New York.
_____________________, 1975, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York.
Fuady, Munir, 1999, Hukum Kontrak Dari Sudut Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
___________, 2000, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung.
Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
________________, 2004, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
32
Hondius, E.H., 1976, Konsumentenrecht, dalam Shidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta.
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Inosentius, Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta.
Kartodijo, Sartono, 1984, Modern Indonesia: Tradition and Transformation (A Socio-Historical Perspective), Yogyakarta.
Lev, Daniel S., 1990, Hukum dan Politik Di Indonesia, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Mertokusurno, Sudikno, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Nasution, AZ, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.
Prinst, Darwan, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, dalam Chapter II The Principle of Justice, Publisher: the Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts.
Samudra, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung
Santosa, Mas Ahmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.
Sastrawidjaja, Man Suparman, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Makalah Tidak Bertanggal.
33
Sedarmayanti & Hidayat, Syarifudin, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung.
Situmorang, Victor, 1993, Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, & Mahmudji, Sri, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, & Abdulah, Mustafa, 1980, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta.
Shofie, Yusuf, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
____________, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Shofie, Yusuf & Awan, Somi, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta.
_____________, 2004, Sosok Peradilan Konsumen, Piramedia, Jakarta.
Subekti, R., 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.
Sutantio, Retnowulan & Oeripkartawinata, Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung.
Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis 2008, Denpasar.
Usman, Rachmadi, 2003, Pihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
ARTIKEL, MAKALAH, JURNAL, KAMUS, INTERNET, PUTUSAN:
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan. Putusan Perkara antara P. Silalahi vs. Pasar Swalayan Macan Yaohan, 24 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 01 / BPSK / MDN / 2003.
34
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Palembang. Putusan Perkara antara Syamsurizon vs. PT. Coca Cola Distribution Indonesia, 06 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 18 / BPSK.Plg. /2003.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan antara Dadang Rukmana vs. PT. Telkom Indonesia Terbuka, 08 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 02 / P3K / BPSK / IV/ 2003.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Drs. Didi vs. Mochamad Sidik, 02 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 03/ P3K / BPSK / IV/ 2003
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Tomson Panjaitan vs. Rudi Sanjaya, 1 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 04 / P3K / BPSK / IV / 2003
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 1 Juni 2006, Putusan BPSK Kota Medan No.7/PEN/BPSK/2006/Mdn.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 30 Juni 2009, No. 43.1/Pts.BPSK/VI/2009.
Black, Henry Campbell M.A. 1990, Black’s Law Dictionary sixth edition. Minesota: St. Paul Minn West Publishing Co.
Bisri, Hasan, 2008, Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor.
Consumer Dispute Resolution In Missouri, 1992, Missouri’s Need For A ‘True’ Consumer Ombudsman, Journal of Dispute Resolution Vol. 1, Singapore.
Hasan, Madjedi, 2009, Kontrak Sebagai Sumber Perikatan, dalam Jurnal Teknologi Minyak & Gas Bumi, Edisi 1, http://www.iatmi.or.id/beta/_stock/attachments/JTMGB/JTMGB_1_2009, Bandung.
Muchsin, 2009, Tugas dan Wewenang Peradilan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Varia Peradilan, No. 278 Januari 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta.
Nasution, AZ. 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Volume Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 15 Januari 1998, Putusan PN Jaksel No. 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel.
35
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dkk vs PT Djarum Kudus Tbk.dkk, 22 Oktober 2002, No. 278/Pdt/G/2002/PN.Jak.Sel.
Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 10 Nopember 2009, No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo vs. Pertamina, 09 Oktober 2001, Putusan PN Jakpus No. 550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (KAKAK) vs PT BAT Indonesia.dkk, 2 April 2000, No. 550/Pdt/G/2000/PN. Jak.Pst.
Pengadilan Negeri Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 2 Agustus 2006, Putusan Pengadilan Negeri No.206/Pdt.G/2006/PN.Mdn.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 21 Juli 1998, Putusan PT DKI Jakarta No. 221/Pdt/1998/PT. DKI.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 8 Oktober 2007, No.01/K/PER/KONS/2007.
Sinaga, Aman, 2004, Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah.
Sukmaningsih, Indah, 2000, Harapan Segar Dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Sumber:Kumpulan Kliping Kompas Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tanggal 20 April 2000, Jakarta
Sularsi, 2001, Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Penerbit:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan UU. Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN No. 68 tahun 1997.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 tahun 1999.
36
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Perma No. 1 Tahun 2006.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma No. 1 Tahun 2008.
Keputusan Menteri Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.
37