1 bab i pendahuluan latar belakang masalah pesatnya

37
1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional telah menghasilkan variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya. Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian- perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya. Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara konsumen dengan pelaku usaha. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha

Upload: trancong

Post on 21-Dec-2016

233 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pesatnya pertumbuhan perekonomian nasional telah menghasilkan variasi

produk barang dan/atau jasa yang dapat di konsumsi. Kemajuan dibidang ilmu

pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung

perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas

wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi

kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang

diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih

aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.

Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan

pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek

aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-

perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya

pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.

Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara

konsumen dengan pelaku usaha. Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan

perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen

dalam bentuk suatu produk hukum yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hal ini

penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

2

untuk mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Dalam penjelasan

UUPK disebutkan bahwa mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat

tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan

keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk

melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum

yang melindungi belum memadai.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa

perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu

meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau

menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta

mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku

usaha penyedia kebutuhan konsumen.1

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UUPK disebutkan bahwa

tujuan dibentuknya UUPK ini adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan,

dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat

konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang

dan/atau jasa. Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus

dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka

barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.2

1 AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 6-7

2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 98

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

3

Piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan

usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat

dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui

kepada konsumen itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang

tinggi terhadap konsumen.

Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara

penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian

berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar

pengadilan. Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan

(adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan

cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,

membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan

diantara pihak yang bersengketa.3

Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 2 UUPK disebutkan bahwa

setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga

yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa

konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan

pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih upaya

penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan

hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah

satu pihak atau para pihak yang bersengketa.

3 Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 3

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

4

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan

Pasal 45 UUPK ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh

kedua belah pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud dengan penyelesaian

sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak

tanpa melalui Pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(selanjutnya disebut BPSK) dan tidak bertentangan dengan UUPK ini.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan

kepada pilihan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan

apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah

konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara

penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis

BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan

yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya.

Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para

pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator,

maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap

kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh

BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.4

Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah

mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk

memberikan keputusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa.5

4 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 242

5 Ibid. hal 243

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

5

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 Kepmenperindag

Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 (untuk selanjutnya disebut Kepmen No 350/2001)

tentang pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen

menentukan bahwa konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari anggota

BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjadi anggota

majelis, demikian juga pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK

yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter yang akan menjadi anggota

majelis. Selanjutnya arbiter ketiga yang berasal dari unsur pemerintah yang akan

menjadi Ketua Majelis.

Dengan hadirnya BPSK sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK yang

dibentuk oleh pemerintah adalah badan yang melaksanakan penanganan dan

penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau

konsiliasi, sehingga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kekuatan

mengikat putusan arbitrase BPSK tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan

BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau

arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa

penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat

mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak

yang diwajibkan untuk itu. Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan

bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum,

dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Namun jika

pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

6

menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara

konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri,

dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah

Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final

dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut

saling kontradiktif.

Dalam pelaksanaannya Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK ini

menimbulkan dampak yang mengganggu eksistensi BPSK dalam upaya memberikan

perlindungan kepada konsumen, antara lain kesan negatif konsumen terhadap

keberadaan lembaga BPSK, jika akhirnya kepengadilan juga.

Pelaku usaha yang tidak puas terhadap putusan BPSK cenderung melanjutkan

perkaranya ke pengadilan, bahkan apabila perlu hingga di Mahkamah Agung,

sehingga keberadaan BPSK sebagai lembaga small claim court yang menyelesaikan

sengketa konsumen secara cepat, tidak formal dan biaya murah tidak tercapai.6

Permasalahan lainnya juga timbul jika pelaku usaha setelah menerima

pemberitahuan atas putusan BPSK tidak setuju atau berkeberatan terhadap putusan

tersebut dan mengajukan permohonan keberatan ke Pengadilan Negeri. Timbulnya

permasalahan dikarenakan UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup

adanya keberatan terhadap putusan BPSK ini. Memperhatikan praktik peradilan saat

ini, implementasi instrumen hukum keberatan ini sangat membingungkan dan

menimbulkan berbagai persepsi dan interpretasi, terutama bagi para hakim dan

6 Widijantoro, J dan Wisnubroto, Al, Efektifitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. hal 45

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

7

lembaga peradilan sendiri, sehingga timbul berbagai penafsiran akan arti dan maksud

suatu undang-undang.

Hal ini disebabkan terminologi keberatan tidak dikenal dalam sistem hukum

acara yang ada. Apakah upaya keberatan harus diajukan dalam acara gugatan,

perlawanan, atau permohonan dan perlu tidaknya BPSK turut digugat agar dapat

secara langsung didengar keterangannya. Di pihak pengadilan akan menimbulkan

permasalahan sendiri, karena pengajuan keberatan ini akan didaftarkan pada register

apa karena pengadilan tidak mempunyai register khusus keberatan.

Dalam proses pemeriksaan keberatan di pengadilan negeri terhadap putusan

BPSK apakah majelis hakim pengadilan negeri yang mengadili keberatan tersebut

mengulang kembali proses pemeriksaan penyelesaian sengketa konsumen dari awal

lagi? Jika mengulang kembali proses pemeriksaannya dari awal, maka terjadi

pelemahan terhadap lembaga BPSK dan yang menjadi pertanyaan adalah reputasi

dan keahlian sumber daya manusia arbiter BPSK patut untuk dipertanyakan lagi.

Dari ketentuan tersebut diatas, maka menarik perhatian peneliti bahwa

alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia, khususnya perkara sengketa

konsumen, hingga saat ini masih belum terdapat suatu keseragaman, baik mengenai

kekuatan mengikat putusan BPSK maupun putusan Pengadilan Negeri terhadap

keberatan atas putusan BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen

maupun ketaatan para pihak dalam melaksanakan putusan lembaga alternatif

penyelesaian sengketa. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka dilakukan

penelitian mengenai kekuatan mengikat putusan lembaga alternatif penyelesaian

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

8

sengketa, dalam hal ini BPSK didalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara

konsumen dengan pelaku usaha.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka melalui penelitian ini

terdapat dua permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:

1. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari putusan BPSK berkaitan dengan

penyelesaian sengketa konsumen?

2. Bagaimanakah putusan pengadilan negeri terhadap keberatan atas

putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian penulisan tesis ini, maka dapatlah

dikemukakan beberapa tujuan dari pelaksanaan penelitian yang berjudul “Kekuatan

Mengikat Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian

Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999” yaitu:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan mengikat dari putusan

BPSK berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen karena adanya

norma yang konflik.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan Pengadilan Negeri terhadap

keberatan atas putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen

yang diajukan ke Pengadilan Negeri.

1.4 Manfaat Penelitian

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

9

Selain tujuan penelitian seperti tersebut diatas, dalam penelitian inipun

diharapkan dapat mencapai hasil guna sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Yaitu untuk memberikan manfaat berupa informasi dalam pemahaman teori

dan kepustakaan mengenai perlindungan hukum menyangkut penyelesaian

sengketa konsumen melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam hal ini

adalah BPSK.

2. Kegunaan Praktis

Yaitu sebagai sumbangan pemikiran bagi para Ahli Hukum, Praktisi, Pelaku

Usaha dan Pengadilan serta BPSK berupa gambaran yang jelas secara

langsung dari praktek tentang seluk beluk suatu putusan BPSK dalam suatu

sengketa konsumen yang meliputi peraturan-peraturannya, kekuatan

hukumnya, cara pelaksanaannya dan permasalahan yang timbul termasuk

hambatan-hambatan dalam pelaksanaan putusan BPSK dalam mengatasi atau

menyelesaikan masalah tersebut.

1.5 Landasan Teoritis

Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling

berhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yang mengemukakan

penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki

fungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.

Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam,

diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

10

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan hubungan antar konsep.7 Teori juga sangat diperlukan dalam

penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit.8 Hal ini sesuai

dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke ”Eendegelijk inzicht in

deze rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het voorwoord beschouwd als

een noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie van een konkreet

positief rechtsstelsel”9 (dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang

merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi

ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif).

Prinsip dasar teori yang dikutip dalam penelitian ini berpedoman pada

objek penelitian yang diteliti, hal ini dilakukan agar penggunaan teori dalam

landasan berfikir akan tetap sesuai dengan judul yang ditentukan. Pengutipan

teori dalam penyusunan laporan penelitian ini disesuaikan dengan pokok pikiran

pengembangan teori tentang hukum perlindungan konsumen, khususnya dalam

hal penyelesaian sengketa konsumen. Oleh karenanya pengembangan pikiran

dalam penulisan laporan penelitian ini dilakukan sesuai dengan pengertian-

pengertian perlindungan konsumen yang ada pada literatur-literatur atau buku-

buku yang membahas tentang hukum perlindungan konsumen.

Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak

terlepas dari sistem hukum yang yang berlaku di Indonesia adalah sistem

hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan

7 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal 198 Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung,

hal 439 Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland, hal 57

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

11

demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada

Pancasila dan UUD 1945.

Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System

atau tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1)

struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau

budaya.10 Sistem hukum mempunyai struktur yang di ibaratkan seperti mesin,

yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses

tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas jumlah serta ukuran

Pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang

digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan

legislatif. Substansi hukum diibaratkan sebagai apa yang dikerjakan dan apa

yang dihasilkan mesin tersebut yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata

manusia yang berada dalam sistem itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi

ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem

hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.

Subtansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law)

bukan hanya pada aturan yang ada dalam buku-buku hukum (law in books).

Kultur atau budaya hukum diibaratkan apa saja atau siapa saja yang memutuskan

untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana

mesin tersebut digunakan yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem

hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.

10 Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, selanjutnya disebut Friedman I, hal 11

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

12

Demikian pula menurut pendapat Eugen Ehrlich, hukum positif hanya

akan berlaku selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

“The “living law” that dominated society’s life even thought it had not always

been reduced to formal, legal, proposition. It reflected the values of society”11

Tujuan pokok teori-teori yang dikemukakannya adalah meneliti latar belakang

aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-aturan tersebut

merupakan norma-norma sosial aktual yang mengatur semua aspek

kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup (living law).

Yang dimaksud dengan hukum yang hidup adalah hukum yang dilaksanakan

dalam masyarakat sebagai hukum yang diterapkan oleh Negara. Selanjutnya

ideal hukum menurut Donald Balack adalah kaidah hukum yang dirumuskan

dalam Undang-Undang atau keputusan hakim (law in books).12

Hukum merupakan produk dari budaya manusia yang mempunyai makna

bagi masyarakat tertentu, hukum pun juga hanya dapat dipahami sebagai suatu

upaya masyarakat didalam mewujudkan nilai-nilai dan tujuannya. Tujuan hukum

adalah menetapkan aturan bagi suatu masyarakat dalam kerangka keadilan.13

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa tidak hanya kaidah hukum,

atau peraturan hukum tetapi juga lembaga atau institusi dan proses, mempunyai

andil yang besar dalam menunjang tujuan yang ingin dicapai dalam

pembangunan.14

11 Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd. Estover, Playmount PL67PZ, hal 14512 Lawrence M. Friedman, 1960, Legal Theory, Stevan & Sons Limited, New York, selanjutnya

disebut Friedman II, hal 29313 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

hal 7614 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta,

hal 7

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

13

Soerjono Soekanto menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi proses

implementasi suatu produk hukum:15

1. Kaidah hukum dan peraturannya sendiri.

2. Petugas yang menegakkannya.

3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan kaidah hukum.

4. Masyarakat yang masuk kedalam ruang lingkup peraturan tersebut.

Pendapat tersebut jika dikaitkan dengan tujuan pengaturan perlindungan

konsumen adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kesadaran

konsumen akan hak-haknya, yang secara tidak langsung juga mendorong pelaku

usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa

tanggungjawab.

1.5.1 Asas Perlindungan Konsumen Dalam UUPK

Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan

konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang

relevan dalam pembangunan nasional diantaranya:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

15 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdulah, 1980, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta, hal 14

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

14

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen serta Negara menjamin kepastian hukum.

Bila diperhatikan substansinya, Achmad Ali menyatakan bahwa hukum

dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu: 16

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan.

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan.

3. Asas kepastian hukum.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK dan penjelasannya, tampak

bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah

Negara Republik Indonesia.

1.5.2 Asas Kekuatan Mengikat Dalam Putusan BPSK

16 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali I, hal 95

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

15

Sebelum menguraikan kekuatan mengikat dari putusan BPSK, terlebih

dahulu akan diuraikan pengertian asas kekuatan mengikat dalam sebuah

perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata. Kekuatan mengikat diartikan

bahwa para pihak diharuskan memenuhi apa yang mereka sepakati.17

Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui

didalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua

persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan

kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya

perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.

Di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat.

Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa

yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang

dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga

asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.

Pemahaman asas berkontrak ini bukan dalam pengertian kebebasan yang

mutlak, karena dalam kebebasan tersebut terdapat berbagai pembatasan, antara

lain oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pembatasan

kebebasan berkontrak ditemukan didalam UUPK pembatasan ini dinyatakan

dalam pasal yang mengatur persyaratan dalam kontrak kerja sama.

Berdasarkan penjelasan didalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa

kesepakatan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK

17 Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Sebagai Sumber Perikatan, dalam Jurnal Teknologi Minyak & Gas Bumi, Edisi 1, http://www.iatmi.or.id/beta/_stock/attachments/JTMGB/JTMGB_1_2009. hal 39

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

16

diselenggarakan semata-mata untuk mencapai bentuk dan besarnya ganti

kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 butir (a) UUPK disebutkan bahwa BPSK

dalam menangani penyelesaian sengketa konsumen, melalui 3 (tiga) alternatif

penyelesaian sengketa konsumen yaitu dengan cara konsiliasi atau mediasi atau

arbitrase. Salah satu dari mekanisme ini harus disepakati para pihak untuk

sampai pada putusan.

Apabila para pihak yang telah sepakat memilih salah satu mekanisme

penyelesaian sengketa mengalami kegagalan dalam membuat kesepakatan, maka

para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya

dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih.

Penyelesaian selanjutnya hanya dapat dilanjutkan melalui badan peradilan

umum, hal mana menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di

BPSK tidak berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kepmen No.

350 / 2001.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya

diserahkan kepada pilihan para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha yang

bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau

konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk

memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada

di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

17

konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib

mengikutinya.

Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan

para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau

konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu

pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang

akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak.

Proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan menghasilkan

kesepakatan yang bersifat win-win solution, dijamin kerahasiaan para pihak,

dapat menghindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan

dengan tetap menjaga hubungan baik.

Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa

konsumen dengan cara arbitrase, dimana para pihak yang bersengketa dapat

mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral yaitu BPSK

dan memberinya wewenang untuk memberikan putusan yang kemudian

mengikat para pihak yang bersengketa.

1.5.3 Teori Keadilan Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,

tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional

yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada

falsafah Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila, yang salah satu silanya

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

18

mengatur mengenai “kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”, dalam arti

memberi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, tepat kiranya jika grand theory dari penelitian ini adalah

“teori keadilan”, yang semula dikemukakan oleh filsuf Aristoteles, karena tujuan

semula dibentuknya UUPK adalah untuk memberikan keadilan dan

kesejahteraan bagi seluruh masyarakat konsumen.

Ada beberapa pengertian tentang keadilan yang dikemukakan oleh pakar

hukum, yang masing-masing mengartikan “keadilan” sesuai dengan versinya

sendiri. Menurut Aristoteles, problem esensial keadilan yang disebutkan diatas,

dapat dibedakan antara keadilan distributif dan keadilan korektif.18

1. Keadilan distributif adalah keadilan yang menghendaki agar orang-orang

yang mempunyai kedudukan yang sama memperoleh perlakuan yang sama

pula dihadapan hukum.

2. Keadilan korektif atau remedial adalah keadilan yang menetapkan kriteria

dalam melaksanakan hukum sehari-hari harus mempunyai standar umum.

John Rawls yang mengembangkan teori keadilan sebagai Justice as

Fairness (keadilan sebagai kejujuran). Jadi, prinsip keadilan yang paling fair

itulah yang harus dipedomani. Menurut John Rawls, ada 2 (dua) prinsip dasar

keadilan, yaitu:19

1. Keadilan formal (formal justice, legal justice) yaitu menerapkan keadilan

yang sama bagi setiap orang sesuai dengan bunyi peraturan.

18 Achmad Ali I, Op.Cit., hal 27019John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Chapter II The Principle of Justice, Publisher: The

Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, hal 54

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

19

2. Keadilan substantif (substancial justice) yaitu menerapkan hukum itu berarti

mencari keadilan yang hakiki dan didukung oleh rasa keadilan sosial.

Achmad Ali menyatakan bahwa hukum juga seyogianya memiliki

kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial, sehingga

ketiga tujuan hukum tersebut yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,

dapat diwujudkan secara seimbang.20

Mengacu pada pandangan para pakar filsuf tersebut, maka UUPK

memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam penyelenggaraan

perlindungan konsumen bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha dalam

menjalankan usahanya secara seimbang, karena kepastian hukum dalam konteks

penelitian ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen, serta Negara menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

1.5.4 Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan

Umum, ditentukan terdapat 3 (tiga) tingkatan pengadilan yang berada di

lingkungan Peradilan Umum, yaitu:21

1. Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berada di setiap Pemerintahan Daerah Tingkat II bertugas memeriksa dan memutus semua perkara, baik pidana dan perdata yang berada di dalam wilayah hukumnya, tanpa memandang kebangsaan atau golongan penduduk atau pihak-pihak yang berperkara;

2. Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding yang berada di setiap Provinsi Daerah Tingkat I yang merupakan pengadilan tingkat kedua.

20 Achmad Ali I, Op.Cit., hal 8121 Muhamad Abdulkadir, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal 26

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

20

Dikatakan pengadilan tingkat kedua karena cara pemeriksaannya sama seperti pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama;

3. Mahkamah Agung yang merupakan organ yudikatif tertinggi dalam wilayah hukumnya yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia bertugas memeriksa dan memutus perkara pidana dan perdata pada tingkat kasasi.

Gugatan melalui pengadilan hanya dapat di tempuh jika upaya di luar

pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak

yang bersengketa. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui pengadilan tetap

dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar

Pengadilan.22

Namun demikian, mengingat kedudukan konsumen yang tidak seimbang

dengan pelaku usaha, maka pemerintah menganggap perlu diadakannya suatu

penyederhanaan (lex specialis) terhadap prinsip-prinsip beracara yang berkaitan

dengan penyelesaian sengketa konsumen. Proses beracara yang dikenal dalam

hukum perlindungan konsumen, antara lain:

1. Small Claim

Small Claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan oleh

konsumen, sekalipun apabila dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat

kecil. Di dalam hukum perlindungan kosumen di berbagai Negara, proses

beracara secara small claim menjadi prinsip yang diadopsi luas. Di luar

Negeri ada lembaga resmi Pemerintah yang khusus dibentuk untuk membantu

Konsumen yang merasa dirugikan oleh suatu produsen tertentu yang beritikad

tidak baik. Di Australia, misalnya, badan ini diberi nama Australian

Competition and Consumer Commision (ACCC).

22 Muchsin, 2009, Tugas dan Wewenang Peradilan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dalam Varia Peradilan, No. 278 Januari 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hal 16

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

21

Dalam UUPK Indonesia juga dibentuk satu unit yang disebut Badan

Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) namun tidak memiliki

kewenangan untuk menggugat mewakili konsumen. Perwakilan untuk

menampung gugatan-gugatan bernilai kecil ini justru diserahkan kepada

kelompok konsumen atau lembaga swadaya masyarakat yang disebut

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Di berbagai Negara kasus-kasus serupa diselesaikan oleh lembaga

yang disebut sebagai Small Claims Court atau Small Claims Tribunal.

Perkara sengketa konsumen umumnya berskala kecil, tetapi sengketa

konsumen yang merugikan hak konsumen tidak boleh dibiarkan, karena

akibatnya bisa berdampak serius bagi masyarakat luas. Di Singapura gugatan

yang dapat diajukan ke Small Claims Tribunal tidak lebih dari Sin$ 2,000,-23

Di Amerika Serikat, salah satu model penyelesaian sengketa

konsumen yang cukup populer adalah penyelesaian melalui model Small

Claims Court dengan sistem penyelesaian yang sederhana yaitu hakim

tunggal, tanpa juri dan tidak memakai jasa penasehat hukum serta

pembuktian yang sederhana.24

Perbedaan mendasar antara court dengan tribunal adalah court

bersifat tetap sedangkan tribunal bersifat ad hoc. Yang bertindak sebagai

hakim pada Small Claims Court adalah seorang hakim (presiding judge) pada

23 Catherine Tay Swee Kian & Tang See Chim, 1986, Your Right as a Consumer, Publisher: Times Book International Singapore, Singapore, Terjemahan Susanti Adi Nugroho, Edisi Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 109

24 Journal of Dispute Resolution, Need For A ‘True’ Consumer Ombudsman, Edisi 1 tahun 1992, Consumer Dispute Resolution In Missouri, Missouri’s, Singapore, hal 78

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

22

court tersebut, sedangkan Small Claims Tribunal yang bertindak sebagai

hakim adalah seorang Barrister atau Solicitor sebagai referee. 25

2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

Gugatan perwakilan kelompok atau class action adalah pranata

hukum yang berasal dari sistem common law. Walaupun demikian, banyak

negara penganut civil law system telah mengadopsi prinsip tersebut, termasuk

Indonesia, yaitu di dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (b) yang memungkinkan

diajukannya suatu gugatan atas pelanggaran Pelaku Usaha yang dilakukan

oleh sekelompok Konsumen yang memiliki kepentingan bersama.

3. Gugatan Legal Standing

Pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK juga ditentukan beracara yang

dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang

dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) atau NGO’s Standing. Untuk memiliki legal standing

tersebut, LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai

korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang merupakan perbedaan

pokok antara gugatan class action dengan NGO’s Standing.

1.5.5 Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan

Merupakan suatu kekeliruan apabila seseorang menganggap bahwa di

dalam suatu masyarakat modern, hanya pranata pengadilanlah merupakan satu-

satunya cara untuk menyelesaikan sengketa. Masih terdapat cara-cara lain untuk

menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan, seperti Konsiliasi, Mediasi dan

Arbitrase. Pada tahun 1850, Abraham Lincoln menghimbau rakyat Amerika

25 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 86

Page 23: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

23

Serikat untuk memperkecil peran pengadilan dan sedapat mungkin menghindari

litigasi dalam penyelesaian suatu sengketa.26

Untuk mengatasi keberlikuan proses berperkara di pengadilan, Pasal 45

ayat (2) UUPK membuka peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk

mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Penjelasan Pasal 45 ayat (2)

memberikan pengertian penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang

dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui Pengadilan

Negeri atau BPSK dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

BPSK adalah badan yang dibentuk khusus untuk menangani dan

menyelesaikan sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen yang

menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran atau yang menderita kerugian

akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa (Pasal 1 Nomor 8

Kepmen No.350/2001). Melihat pada Kepmen tersebut, maka BPSK didirikan

untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi,

Mediasi, dan Arbitrase.

Adapun perbedaan dari beberapa alternatif penyelesaian sengketa dan

penggunaannya dijelaskan sebagai berikut:

1. Konsiliasi (Consiliation)

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (9) dari Kepmen No. 350/2001 dinyatakan

bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang

bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

26 Achmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP. IBLAM, Jakarta, selanjutnya disebut Achmad Ali II, hal 18

Page 24: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

24

Conciliation: The adjustment and settlement of a dispute in a friendly,

unantagonistic manner, used in court before trial with a view towards avoiding

trial and in labor disputes before arbitration.27

Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia

melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis

hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif.

2. Mediasi (Mediation)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (10) Kepmen No. 350/2001,

dinyatakan bahwa Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya

diserahkan kepada para pihak. BPSK selaku mediator tidak berwenang

memaksakan suatu keputusan. Keputusan akhir tetap didasarkan pada kesepakatan

pihak yang bersengketa. Hasil akhir dari mediasi ini adalah suatu perjanjian yang

dibuat oleh para pihak sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan.

Mediation: Private informal dispute resolution process in which a neutral

third person, the mediator helps disputing parties to reach an agreement. The

mediator has no power to impose a decition on the parties.28

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak

yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan

sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak.

3. Arbitrase (Arbitration).

27 Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn West Publishing Co, hal 289

28 Ibid, hal 145

Page 25: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

25

Pengertian arbitrase menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) Kepmen No.

350/2001, dinyatakan bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa

konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa

menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.

A Process of dispute resolution in which a neutral third party renders a

decision after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard.

Where arbitrase is voluntary, the disputing party select the arbitrator who has the

power to render a binding decision.29

Selanjutnya, guna menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, berikut

ini di uraikan ketentuan umum sesuai dengan Pasal 1 UUPK sebagai berikut :

a. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

b. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

c. Pelaku Usaha adalah setiap orang atau badan usaha yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.

d. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat

29 Ibid, hal 105

Page 26: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

26

dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau

dimanfaatkan oleh konsumen.

e. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

f. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-

Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai

kegiatan menangani perlindungan konsumen.

g. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

h. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas

menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

i. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk

membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum

Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris.30 Penelitian Hukum

Normatif ciri-cirinya adalah beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas

hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan landasan teoritis dan

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 50

Page 27: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

27

menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.31

Dalam penelitian ini digunakan penelitian hukum normatif yaitu suatu

penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian, baik norma

hukum dalam peraturan perundang-undangan, norma hukum yang bersumber

dari suatu undang-undang yang kemudian dituangkan dalam sebuah putusan

pengadilan atau putusan BPSK.

Penelitian dilakukan berkenaan dengan adanya norma konflik didalam

Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari

penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi

bersifat final dan mengikat. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan

Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK disebutkan bahwa terhadap

putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku

usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan

Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini

bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat,

sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder. Jenis

pendekatan penelitian ini dipilih pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

31 Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar, hal 11

Page 28: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

28

1) Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu dengan

meneliti kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang berlaku di

Indonesia seperti KUHPerdata, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

2) Pendekatan analisis konsep hukum yaitu dengan meneliti pendapat-pendapat,

pernyataan-pernyataan, komentar-komentar dalam muatan hukum yang

berkaitan dengan pemahaman tentang kekuatan mengikat dari putusan BPSK

dan putusan pengadilan negeri terhadap keberatan atas putusan BPSK dalam

penyelesaian sengketa konsumen.

3) Pendekatan Studi Kasus yaitu suatu gambaran hasil penelitian yang

mendalam dan lengkap sehingga diperoleh informasi yang disampaikan

pihak-pihak terkait berkaitan dengan kasus-kasus sengketa konsumen.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Pada Penelitian Hukum Normatif, bahan hukum yang dipergunakan yaitu

pertama bahan hukum primer dan kedua bahan hukum sekunder.32

Data sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut kekuatan

mengikatnya dapat dibedakan menjadi:

1) Bahan Hukum Primer:

32 Ibid, hal 12

Page 29: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

29

Bahan hukum primer terdiri dari asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas

dan kaidah hukum ini berupa peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan,

peraturan perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan

Pengadilan. Dalam penelitian ini, peraturan perundang-undangan yang

dipergunakan diantaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap

Putusan BPSK serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

BPSK.

2) Bahan Hukum Sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal-

jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat

dalam media masa, kamus dan ensiklopedia hukum, internet dengan

menyebut nama situsnya. Di dalam penelitian ini, buku-buku hukum yang

dipergunakan diantaranya buku tentang proses penyelesaian sengketa

konsumen, buku tentang konsumen dan hukum, buku tentang hukum

perlindungan konsumen.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian bahan hukum diawali dengan kegiatan inventarisasi, dengan

pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem

informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum

tersebut. Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni

dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan-bahan hukum

Page 30: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

30

primer dan bahan hukum sekunder, dan kemudian dilakukan identifikasi

terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau

pengutipan dengan sistem kartu. Masing-masing kartu diberikan identitas

sumber bahan hukum yang dikutip, dan halaman dari sumber kutipan.

Disamping diklasifikasikan menurut sistematika tesis, sehingga ada kartu untuk

bahan-bahan untuk BAB I, BAB II, dan seterusnya kecuali untuk bagian

Penutup. Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan hukum.33

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan-bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan secara

analisis kualitatif dan komprehensif. Analisis kualitatif artinya menguraikan

bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtun,

logis, dan tidak tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi

bahan-bahann hukum dan pemahaman hasil analisa. Komprehensif artinya

dilakukan secara mendalam dan dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup

penelitian. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik

deskriptif, kontruksi hukum dan argumentasi yang selanjutnya dilakukan

penilaian berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum, yaitu

dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada kaitannya dengan

permasalahan.

33 Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung, hal 150

Page 31: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

31

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Abdulkadir, Muhammad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Adi Nugroho, Susanti, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta.

__________, 2004, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. BP. IBLAM, Jakarta.

Burhan, Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Hukum Perdata Buku III dengan Penjelasan, Alumni, Bandung.

Catherine Tay Swee Kian & Tang See Chim, 1986, Your Right as a Consumer, Penerbit Times Book International Singapore , Singapore.

Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald & Evan Ltd. Estover, Playmount PL67PZ

Friedman, Lawrence, Meir, 1960, Legal Theory, Stevan & Sons Limited, New York.

_____________________, 1975, The Legal System: A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York.

Fuady, Munir, 1999, Hukum Kontrak Dari Sudut Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________, 2000, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

________________, 2004, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Page 32: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

32

Hondius, E.H., 1976, Konsumentenrecht, dalam Shidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta.

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Inosentius, Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta.

Kartodijo, Sartono, 1984, Modern Indonesia: Tradition and Transformation (A Socio-Historical Perspective), Yogyakarta.

Lev, Daniel S., 1990, Hukum dan Politik Di Indonesia, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Mertokusurno, Sudikno, 1982, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Nasution, AZ, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.

Prinst, Darwan, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rawls, John, 1971, A Theory of Justice, dalam Chapter II The Principle of Justice, Publisher: the Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, Massachusetts.

Samudra, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung

Santosa, Mas Ahmad, 2001, Good Governance & Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta.

Sastrawidjaja, Man Suparman, 2005, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Makalah Tidak Bertanggal.

Page 33: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

33

Sedarmayanti & Hidayat, Syarifudin, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

Situmorang, Victor, 1993, Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, & Mahmudji, Sri, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, & Abdulah, Mustafa, 1980, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta.

Shofie, Yusuf, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

____________, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Shofie, Yusuf & Awan, Somi, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta.

_____________, 2004, Sosok Peradilan Konsumen, Piramedia, Jakarta.

Subekti, R., 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Sutantio, Retnowulan & Oeripkartawinata, Iskandar, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju, Bandung.

Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis 2008, Denpasar.

Usman, Rachmadi, 2003, Pihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Widjaja, Gunawan & Yani, Ahmad, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

ARTIKEL, MAKALAH, JURNAL, KAMUS, INTERNET, PUTUSAN:

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan. Putusan Perkara antara P. Silalahi vs. Pasar Swalayan Macan Yaohan, 24 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 01 / BPSK / MDN / 2003.

Page 34: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

34

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Palembang. Putusan Perkara antara Syamsurizon vs. PT. Coca Cola Distribution Indonesia, 06 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 18 / BPSK.Plg. /2003.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan antara Dadang Rukmana vs. PT. Telkom Indonesia Terbuka, 08 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 02 / P3K / BPSK / IV/ 2003.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Drs. Didi vs. Mochamad Sidik, 02 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 03/ P3K / BPSK / IV/ 2003

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Tomson Panjaitan vs. Rudi Sanjaya, 1 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 04 / P3K / BPSK / IV / 2003

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 1 Juni 2006, Putusan BPSK Kota Medan No.7/PEN/BPSK/2006/Mdn.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 30 Juni 2009, No. 43.1/Pts.BPSK/VI/2009.

Black, Henry Campbell M.A. 1990, Black’s Law Dictionary sixth edition. Minesota: St. Paul Minn West Publishing Co.

Bisri, Hasan, 2008, Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor.

Consumer Dispute Resolution In Missouri, 1992, Missouri’s Need For A ‘True’ Consumer Ombudsman, Journal of Dispute Resolution Vol. 1, Singapore.

Hasan, Madjedi, 2009, Kontrak Sebagai Sumber Perikatan, dalam Jurnal Teknologi Minyak & Gas Bumi, Edisi 1, http://www.iatmi.or.id/beta/_stock/attachments/JTMGB/JTMGB_1_2009, Bandung.

Muchsin, 2009, Tugas dan Wewenang Peradilan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Varia Peradilan, No. 278 Januari 2009, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta.

Nasution, AZ. 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Volume Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 15 Januari 1998, Putusan PN Jaksel No. 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel.

Page 35: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

35

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dkk vs PT Djarum Kudus Tbk.dkk, 22 Oktober 2002, No. 278/Pdt/G/2002/PN.Jak.Sel.

Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 10 Nopember 2009, No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo vs. Pertamina, 09 Oktober 2001, Putusan PN Jakpus No. 550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (KAKAK) vs PT BAT Indonesia.dkk, 2 April 2000, No. 550/Pdt/G/2000/PN. Jak.Pst.

Pengadilan Negeri Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 2 Agustus 2006, Putusan Pengadilan Negeri No.206/Pdt.G/2006/PN.Mdn.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 21 Juli 1998, Putusan PT DKI Jakarta No. 221/Pdt/1998/PT. DKI.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 8 Oktober 2007, No.01/K/PER/KONS/2007.

Sinaga, Aman, 2004, Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah.

Sukmaningsih, Indah, 2000, Harapan Segar Dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Sumber:Kumpulan Kliping Kompas Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia tanggal 20 April 2000, Jakarta

Sularsi, 2001, Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Penerbit:Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan UU. Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN No. 68 tahun 1997.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 tahun 1999.

Page 36: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

36

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, Perma No. 1 Tahun 2002.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Perma No. 1 Tahun 2006.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Perma No. 1 Tahun 2008.

Keputusan Menteri Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

Page 37: 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pesatnya

37