1 bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah mutu

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu pendidikan di Indonesia merupakan salah satu isu sentral dalam kerangka wacana pedagogi kritis dewasa ini. Isu mutu pendidikan terkait dengan kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas), kurikulum pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan kualitas belajar-mengajar yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa lepas dari strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kritik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia sangat banyak dikemukakan oleh para pakar pendidikan, para peneliti bidang pendidikan, dan para pemerhati pendidikan. Suparno dkk. (2002:9) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia sedang mengalami masalah besar. Masalah yang dihadapi meliputi (1) mutu pendidikan yang masih rendah, (2) sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai, dan (3) krisis moral yang melanda masyarakat kita. Tilaar (2006:5-- 6) mengemukakan bahwa kemerosotan mutu pendidikan nasional tidak terletak kepada kemampuan intelegensi para siswa Indonesia, tetapi disebabkan oleh kesempatan yang tidak merata dalam memeroleh pendidikan yang baik pada anak- anak bangsa ini. Selain itu, kualitas pembinaan para guru, kesempatan belajar yang

Upload: lytuyen

Post on 01-Jan-2017

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mutu pendidikan di Indonesia merupakan salah satu isu sentral dalam

kerangka wacana pedagogi kritis dewasa ini. Isu mutu pendidikan terkait dengan

kualitas guru dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, pengawas), kurikulum

pengajaran, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran, dan

manajemen sekolah. Keenam elemen ini saling berkait dalam upaya meningkatkan

kualitas belajar-mengajar yang berpuncak pada peningkatan mutu pendidikan.

Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa lepas dari strategi pembelajaran yang

dilakukan oleh guru.

Kritik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia sangat banyak dikemukakan

oleh para pakar pendidikan, para peneliti bidang pendidikan, dan para pemerhati

pendidikan. Suparno dkk. (2002:9) menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia

sedang mengalami masalah besar. Masalah yang dihadapi meliputi (1) mutu

pendidikan yang masih rendah, (2) sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang

belum memadai, dan (3) krisis moral yang melanda masyarakat kita. Tilaar (2006:5--

6) mengemukakan bahwa kemerosotan mutu pendidikan nasional tidak terletak

kepada kemampuan intelegensi para siswa Indonesia, tetapi disebabkan oleh

kesempatan yang tidak merata dalam memeroleh pendidikan yang baik pada anak-

anak bangsa ini. Selain itu, kualitas pembinaan para guru, kesempatan belajar yang

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

2

tersedia di dalam lingkungan sekolah dan masyarakat, serta biaya-biaya yang optimal

yang dibutuhkan di dalam pendidikan yang berkualitas rupa-rupanya belum secara

merata dapat dinikmati oleh anak-anak bangsa. Sebagaimana telah diketahui bahwa

kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum (standar isi), tetapi juga

oleh faktor-faktor yang lain seperti penguasaan para siswa terhadap isi yang telah

digariskan di dalam kurikulum serta tersedianya sumber-sumber belajar yang

memadai. Hasairin (2008:10) menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia

jauh tertinggal dari negara-negara di dunia tetangga dan tidak terlepas dari tanggung

jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Komponen yang harus bertanggung

jawab adalah semua pihak yang berkepentingan (stake holder) dalam dunia

pendidikan, baik guru, orang tua siswa, Dinas Pendidikan, Departemen Agama,

Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maupun DPR yang membawahi

bidang pendidikan. Di samping itu, khususnya peranan LPTK sebagai lembaga

penjaring tenaga keguruan sangat penting.

Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia sudah

dilakukan secara serius dengan berbagai strategi. Salah satu strategi yang dilakukan

adalah pengembangan kurikulum, yaitu dari kurikulum berbasis konten menuju

kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang diimplementasikan melalui kurikulum

tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dalam KBK ada beberapa komponen sebagai

kerangka inti, yaitu (1) kurikulum dan hasil belajar, (2) penilaian berbasis kelas, (3)

kegiatan belajar mengajar, dan (4) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

3

Tujuan utama KBK adalah memandirikan sekolah atau memberdayakan

sekolah dalam mengembangkan kompetensi peserta didik sesuai dengan kondisi

lingkungan. Pemberian wewenang kepada sekolah diharapkan dapat mendorong

sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Di samping

lulusan yang kompeten, peningkatan mutu dalam KBK, antara lain diperoleh melalui

reformasi sekolah, yang ditandai dengan meningkatnya partisipasi orang tua, kerja

sama dengan dunia industri, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan

profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, dan upaya

pemerintah yang dapat menumbuhkembangkan budaya mutu dalam suasana yang

kondusif. KBK memberikan peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik

untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah berkaitan dengan masalah

kurikulum, pembelajaran, manajerial yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan

profesionalisme yang dimiliki. Dengan demikian, sekolah diharapkan dapat

melakukan proses pembelajaran yang efektif, dapat mencapai tujuan yang

diharapkan, materi yang diajarkan relevan dengan kebutuhan masyarakat, berorientasi

pada hasil (output), dan dampak (outcome), serta melakukan penilaian, pengawasan,

dan pemantauan berbasis sekolah secara terus menerus serta berkelanjutan (Mulyasa,

2006:10--11).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19, Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan (SNP) menetapkan lingkup SNP meliputi standar isi,

standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga

kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

4

pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. SNP adalah kriteria minimal tentang

sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

SNP berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan

pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. SNP

bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Sesuai dengan amanat PP No. 19, Tahun 2005 tentang SNP bahwa salah satu

standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah

standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada

satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria

minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh

wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses meliputi

perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil

pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses

pembelajaran yang efektif dan efisien (Permendiknas RI No.41, 2007 : 1).

Salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah sebagai proses

pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun

kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari

prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma

pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta

didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

5

pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana

secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, agar terjadi proses pembelajaran yang

berkualitas, peranan guru sangat penting terutama guru yang profesional.

Usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui peningkatan

profesionalisme guru sudah banyak dilakukan, di antaranya melalui pelatihan,

seminar, workshop, pelatihan pengelolaan laboratorium bagi guru sains, dan

pendidikan lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, dalam kenyataannya proses

pembelajaran yang dilakukan oleh guru belum menampakkan perubahan dan

peningkatan yang berarti sebab ternyata para guru masih menggunakan metode

ceramah dan latihan menjawab soal lebih dominan dilakukan dibandingkan dengan

metode pemecahan masalah atau metode belajar aktif lainnya. Kenyataan ini

didukung dengan hasil penelitian Sadia (2008: 228--229), yang memaparkan bahwa

model/strategi pembelajaran yang paling dominan digunakan oleh para guru dalam

proses pembelajaran adalah ekspositori (ceramah, diskusi, tanya jawab) 45,6%,

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) 2,5%, pembelajaran

kontekstual (cotextual teaching and learning/CTL) 26,6 %, siklus belajar (learning

cycle model) 2,5 %, pembelajaran berbasis portofolio 0,0 %, model pembelajaran

sains teknolgi masyarakat (STM) 0,0 %, pembelajaran pemecahan masalah (problem

solving) 10,2 %, dan pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) 12,6 %.

Sementara itu, menurut pendapat guru-guru model pembelajaran yang diperkirakan

berkontribusi secara signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis

siswa adalah pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

6

kontekstual (contextual teaching and learning), dan pembelajaran pemecahan

masalah (problem solving).

Reformasi di bidang pendidikan (khususnya mata pelajaran IPA) adalah

sangat penting, terutama sejak diberlakukannya kurikulum berbasis kompetensi

dengan penekanan pada pemahaman prinsip-prinsip alam serta mendorong peserta

didik untuk bekerja dan bersikap ilmiah (Mulyasa, 2006: 80--81). Ilmu kimia

merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains. Oleh karena itu,

pembelajaran kimia hendaknya mengikuti pola-pola pembelajaran IPA, yaitu

pengalaman langsung terhadap gejala serta prinsip-prinsip alam yang dipelajari.

Kegiatan praktikum dapat diartikan sebagai salah satu strategi mengajar dengan

menggunakan pendekatan ilmiah terhadap gejala-gejala yang diteliti, diselidiki, dan

dipelajari melalui percobaan-percobaan di bawah kondisi-kondisi yang diatur. Dalam

kegiatan praktikum, siswa akan menghayati sendiri, berhadapan dengan objek dan

gejala yang timbul, dan memecahkan masalah-masalah yang ditemukan sampai

memeroleh kesempatan yang signifikan. Dengan demikian, siswa akan melaksanakan

proses belajar yang aktif dan akan memeroleh pengalaman langsung yang disebut

sebagai pengalaman pertama. Melalui praktikum siswa akan mengalami suatu proses

belajar yang efisien dalam arti siswa tidak akan memeroleh ilmu pengetahuan yang

statis dan otoriter, tetapi diharapkan siswa akan memeroleh kesempatan untuk

mengembangkan berbagai keterampilan, baik keterampilan psikomotorik maupun

intelektual, menghayati prosedur ilmiah dan sikap ilmiah sehingga siswa menyadari

bahwa ilmu sebenarnya bersifat dinamik.

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

7

Kegiatan praktikum merupakan kegiatan aplikasi dari teori-teori yang telah

dipelajari untuk memecahkan berbagai masalah IPA melalui percobaan-percobaan di

laboratorium. Pada hakikatnya kegiatan praktikum di laboratorium mengharapkan

para siswa mencapai tujuan-tujuan berikut.

1. Mengembangkan keterampilan dalam pengamatan, pencatatan data, pengukuran dan memanipulasi alat yang diperlukan serta pembuatan alat-alat sederhana.

2. Bekerja dengan teliti, cermat dalam mencatat, serta menyusun hasil percobaan secara jelas dan objektif/jujur.

3. Bekerja secara teliti dan cermat serta mengenal batas-batas kemampuannya dalam pengukuran-pengukuran.

4. Mengembangkan kekuatan penalarannya secara kritik 5. Memperdalam pengetahuan inquiri dan pemahaman terhadap cara pemecahan

masalah. 6. Mengembangkan sikap ilmiah. 7. Memahami, memperdalam, dan menghayati IPA yang dipelajarinya. 8. Dapat mendesain dan melaksanakan percobaan lebih lanjut dengan

menggunakan alat dan bahan yang sederhana (Amien, 1987: 95--96). Dilihat dari sisi teori yang direncanakan bahwa fungsi dan tujuan

pembelajaran kimia telah mengisyaratkan hal yang positif, yaitu untuk mewujudkan

siswa yang dapat menguasai konsep-konsep kimia dan menerapkannya dalam upaya

memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan IPTEK dan dalam

kehidupan sehari-hari di masyarakat. Akan tetapi, harapan dan tuntutan tersebut akan

semakin berat dicapai karena kenyataan di lapangan masih ditemukan bahwa

pembelajaran kimia dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan menjadi momok bagi

peserta didik. Ketidaktahuan peserta didik mengenai kegunaan ilmu kimia dalam

praktik sehari-hari menjadi penyebab mereka lekas bosan dan tidak tertarik pada

pelajaran kimia. Di samping itu, strategi pembelajaran kimia yang monoton, metode

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

8

pembelajaran yang kurang bervariasi, dan sumber belajar yang terbatas menyebabkan

minat siswa belajar kimia juga rendah.

Dalam kenyataannya proses pembelajaran kimia pada sekolah menengah atas

belum bermakna sesuai dengan harapan. Dapat dikatakan demikian karena diprediksi

dari pemahaman konsep-konsep dasar kimia pada mahasiswa semester awal di

Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja.

Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selama ini banyak keluhan dan

ketidakpuasan dosen pembimbing praktikum terhadap proses dan hasil belajar

mahasiswa pada Praktikum Kimia Dasar I. Kualitas dan hasil belajar mahasiswa pada

Praktikum Kimia Dasar I dinilai belum memuaskan karena kemampuan mahasiswa

dalam membuat bon alat dan bahan kurang, kesiapan mahasiswa sebelum praktikum

rendah, praktikum belum berlangsung secara efektif dan efisien, dan setelah

praktikum penguasaan mahasiswa terhadap konsep yang dipraktikumkan juga dinilai

masih rendah (Sudiana, 2001: 1--2). Hal senada juga dikemukakan oleh dosen

pengampu mata kuliah praktikum kimia analitik. Dikatakannya bahwa keterampilan

mahasiswa melaksanakan praktikum masih rendah dan belum mampu mengaitkan

antara teori yang sudah dipelajari dengan kegiatan praktikum. Informasi dari

mahasiswa yang diperoleh adalah mereka merasa sulit mengimplementasikan teori

dalam kegiatan praktikum. Dalam pelaksanaan praktikum kimia analitik terjadi hal-

hal yang mestinya tidak perlu terjadi, misalnya dalam petunjuk menyarankan agar

menghilangkan gas H2S yang ada di dalam larutan dengan cara penguapan. Di dalam

petunjuk tersebut secara implisit ada kaitan antara gas H2S dan cara ujinya sehingga

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

9

mahasiswa semestinya bisa membuktikan bahwa gas tersebut habis atau tidak.

Namun, kenyataannya mahasiswa tidak tahu cara membuktikan apakah gas H2S

tersebut sudah habis atau belum, padahal secara teoretis mahasiswa sudah dibekali

teori tentang pengujian asam dan basa. Sementara itu gas H2S adalah gas yang

bersifat asam. Hal-hal yang sejenis sering terjadi sehingga muncul kesan bahwa

mahasiswa bekerja di laboratorium layaknya mengikuti petunjuk resep memasak

(Wiratma dan Selamat, 2005: 1--2).

Peristiwa-peristiwa seperti yang disebutkan di atas sering ditemukan dari

tahun ke tahun pada mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia Undiksha Singaraja,

terutama pada mahasiswa semester awal. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan

awal mahasiswa tentang praktikum kimia, yang diperoleh pada saat di SMA belum

tuntas.

Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab mengembangkan sistem

pengelolaan serta menggunakan kewenangannya menyiapkan SDM unggul lewat

pembenahan sistem pendidikan nasional. UU Republik Indonesia No. 20, Tahun

2003, pasal 50 ayat (3) menyatakan bahwa ”Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah

menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang

pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf

internasional”.

Sesuai dengan amanat perundang-undangan, Departemen Pendidikan

Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas mengembangkan SMA yang

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

10

berpotensi untuk melaksanakan proses layanan pendidikan yang berkualitas untuk

menghasilkan lulusan yang memiliki potensi dan prestasi berdaya saing, baik secara

nasional maupun internasional. Pelayanan pendidikan yang berkualitas tersebut

diawali dengan program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang

dikembangkan dengan memberikan jaminan kualitas kepada stakeholders

(Depdiknas, 2009: iii).

SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1 Gianyar merupakan sekolah unggulan di

daerah kabupaten masing-masing. Kedua sekolah ini termasuk dalam program

rintisan sekolah bertaraf internasional tahap pertama di Bali di samping SMA N 1

Denpasar dan SMA N 4 Denpasar. SMA N 1 Singaraja adalah sekolah SMA yang

pertama di daerah Bali. Prestasi dalam bidang akademik dan non akademik sangat

bagus baik pada tingkat nasional maupun internasional. Dalam bidang kimia

siswanya pernah ikut dalam olimpiade kimia tingkat internasional. Sementara itu,

SMA N 1 Gianyar termasuk sekolah yang berumur relatif paling muda diantara tiga

sekolah lain yang termasuk dalam RSBI tahap pertama di Bali. Prestasi dalam bidang

akademik dan nonakademik cukup bagus di tingkat regional, dan nasional. Dalam

bidang kimia siswanya pernah ikut olimpiade tingkat nasional mewakili provinsi

Bali. Kepala sekolah dan gurunya memiliki semangat dan motivasi yang tinggi ketika

ditetapkan sebagai sekolah rintisan bertaraf internasional.

Tujuan umum pengembangan program Sekolah Menengah Atas Rintisan

Sekolah Bertaraf Internasional (SMA RSBI) adalah meningkatkan kinerja sekolah

dalam mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran, untuk mewujudkan

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

11

tujuan pendidikan nasional secara optimal, dalam mengembangkan manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab, dan memiliki daya saing pada taraf internasional. Untuk

mempersiapkan lulusan sesuai dengan kriteria di atas, sekolah melakukan proses

seleksi terhadap calon siswa program RSBI.

Kriteria SMA RSBI adalah sebagai berikut.

1. Sekolah menengah atas negeri atau swasta yang telah memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) dan terakreditasi A.

2. Kepala sekolah memenuhi standar nasional pendidikan, berkompeten dalam pengelolaan manajemen mutu pendidikan, serta mampu mengoperasikan

komputer dan dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris. 3. Memiliki tenaga pengajar fisika, kimia, biologi, matematika dan mata pelajaran

lainnya yang berkompeten dalam menggunakan ICT dan pengantar bahasa Inggris.

4. Tersedia sarana prasarana yang memenuhi standar untuk menunjang proses pembelajaran bertaraf internasional antara lain seperti di bawah ini.

a. Memiliki tiga laboratorium IPA (Fisika, Kimia, Biologi) b. Memiliki perpustakaan yang memadai c. Memiliki laboratorium komputer d. Tersedia akses internet e. Memiliki web sekolah f. Memiliki kultur sekolah yang kondusif (bersih, bebas asap rokok, bebas

kekerasan, indah, dan rindang). 5. Memiliki dana yang cukup untuk membiayai pengembangan program rintisan SMA bertaraf internasional. 6. Penyelenggaraan sekolah dalam satu shift. 7. Jumlah rombongan belajar pada satu satuan pendidikan minimal sembilan atau setara dengan 288 siswa. 8. Memiliki lahan minimal 10.000 m2. 9. Memiliki akses jalan masuk yang mudah dilalui oleh kendaraan roda empat (Depdiknas, 2009: 8).

Salah satu persyaratan yang sudah ditetapkan dan diberlakukan di antaranya

menyatakan bahwa untuk menunjang dan mencirikan sekolah sebagai sekolah rintisan

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

12

bertaraf internasional adalah penggunaan dua bahasa dalam pembelajaran MIPA yang

di dalamnya termasuk pelajaran kimia. Penggunaan dua bahasa tersebut, yaitu

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam proses pembelajaran.

Sementara itu, guru yang mengajar belum dipersiapkan untuk melaksanakan

pembelajaran dengan dua bahasa. Dengan kondisi itu ada kekhawatiran bahwa

penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam menjelaskan ilmu kimia

kemungkinan pemahaman konsep kimia pada siswa kurang bagus, malah bisa jadi

penjelasan ilmu kimia dengan bahasa Inggris tidak dipahami dengan baik oleh siswa.

Pro dan kontra tentang RSBI dalam dunia maya cukup menarik untuk

dipaparkan sebagai sebuah wacana umum mengenai kebijakan pendidikan. Dalam

wacana tersebut dikemukakan bahwa berkenaan dengan kebijakan RSBI memiliki

problema empirik. Ada yang menyatakan RSBI sebagai rintisan sekolah ”bertarif”

internasional. Kritik yang disampaikan menilai bahwa sekolah bertaraf internasional

cenderung mahal atau biaya tinggi, sementara kualitasnya belum sesuai dengan biaya

yang harus dikeluarkan. Penggunaan kata internasional sering melupakan potensi

daerah atau lokal, bisa jadi jauh lebih unggul dari kata internasional itu sendiri

sehingga banyak orang asing yang dikirim ke Indonesia untuk mempelajari

keragaman budaya di negeri ini. Ada yang berpendapat bahwa RSBI berpeluang

membuat orang Indonesia menyembah-nyembah budaya asing dan seolah-olah

sekolah di Indonesia tidak lebih hebat daripada sekolah mereka.

Di lain pihak ada wacana yang mendukung kebijakan RSBI dengan

menyatakan bahwa kelebihan RSBI adalah memotivasi para siswa untuk mampu

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

13

bersaing dalam dunia global. Anak-anak di Indonesia tidak kalah dengan anak-anak

dari negara lain. Siswa-siswa sekolah di Indonesia lebih berani mencoba hal-hal baru,

dan menantang para guru untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran di

dunia internasional. Indonesia adalah bangsa yang besar, masyarakat Indonesia harus

bangga dengan predikat ini. Kalau Malaysia saja dulu belajar dari Indonesia,

mengapa anak Indonesia sekarang yang belajar kepada mereka, tentu ada sesuatu

yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jangan biarkan anak-anak

Indonesia lebih percaya belajar di luar negeri daripada belajar di negerinya sendiri

(http://www.kompasiana.com/wijayalabs diunduh 4 Januari 2010). Pro dan kontra

mengenai kebijakan pendidikan tentang RSBI, yang terjadi dalam diskusi dunia

maya, sangat besar mendukung perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam

mengenai kebijakan tersebut.

Atmadja (2010: 2) menyatakan bahwa kefavoritan RSBI berkaitan erat dengan

karakteristiknya, yakni berbeda daripada sekolah non RSBI. Dalam tulisannya

Atmadja menyatakan sebagai berikut.

”Sekolah bertaraf internasional (SBI) adalah sekolah nasional yang komponen-komponennya memiliki taraf internasional. Sekolah bertaraf internasional adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan standar nasional pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau negara lainnya.

Tujuan umum SBI adalah meningkatkan kinerja sekolah dalam mewujudkan situasi belajar dan proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional secara optimal dalam mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

14

cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dan memiliki daya saing pada taraf internasional.

Sedangkan tujuan khusus SBI adalah meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dalam menyiapkan lulusan SMA yang memiliki kompetensi seperti yang tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan yang memenuhi standar kompetensi lulusan berdaya saing pada taraf internasional yang memiliki karakter sebagai berikut. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta berakhlak mulia. Meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani. Meningkatkan mutu lulusan dengan standar lebih tinggi daripada standar kompetensi lulusan nasional. Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi” (Atmadja, 2010: 2; Depdiknas, 2009: 6--9).

Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa secara tekstual RSBI sangat

tepat bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional, yakni mewujudkan manusia

Indonesia yang terdidik yang berkualitas tinggi, baik pada tatanan nasional maupun

global. Berkenaan dengan itu tidak mengherankan jika RSBI menjadi idola bagi

orang tua murid sehingga menjadi sangat laris. Namun, di balik kelarisan RSBI,

kuatnya asas legalistik yang mendukungnya, harapan dan kebanggaan atas prestasi

dan prestise yang melekat pada RSBI maka SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1

Gianyar menarik dikaji secara dekonstruktif. Menurut Atmadja (2010: 3--4), dengan

berpegang pada teori kritis maka RSBI sebagai suatu realitas ada kemungkinan

mengandung penindasan, ketidakadilan, peminggiran atau pemarginalan yang

dilakukan oleh kelas sosial atas terhadap kelas bawah atau kelas kaya terhadap kelas

miskin. Peminggiran itu tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang melandasinya.

Ideologi tidak saja dianut oleh negara, masyarakat bisnis, dan masyarakat sipil, tetapi

bisa pula menjalar ke sekolah-sekolah bagian dari negara sebagai struktur dominan.

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

15

Upaya pengkajiannya dilakukan melalui membedah pengelolaan

pembelajaran kimia pada SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1 Gianyar yang berstatus

RSBI. Pelajaran kimia ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran yang diunggulkan

dalam program RSBI di samping beberapa mata pelajaran yang lain, seperti

matematika, fisika, biologi dan bahasa Inggris. Pelajaran kimia di mata siswa dan

pendapat umum dinyatakan relatif sulit dibandingkan dengan beberapa mata pelajaran

yang lain. Demikian pula banyak guru mata pelajaran kimia berdasarkan

pengalamannya mengajar menyatakan agak kesulitan menanamkan konsep-konsep

kimia agar mencapai ketuntasan belajar. Namun, dalam kenyataannya di SMA yang

berstatus RSBI hasil belajar kimia sangat baik jika dilihat, baik dari hasil ujian

nasional maupun prestasi dalam lomba-lomba ilmu kimia.

Berdasarkan studi pendahuluan di beberapa SMA di Bali yang dilakukan

dengan mewawancarai beberapa guru kimia yang berasal dari sekolah yang berbeda

diperoleh informasi yang bervariasi. Materi wawancara diarahkan mengenai

pelaksanaan pembelajaran kimia di kelas dan pelaksanaan praktikum kimia di

laboratorium. Informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut.

1. Guru kimia di SMA yang berada di kota berkategori rintisan sekolah bertaraf

internasional (RSBI) menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran praktikum

kimia sudah sesuai dengan yang direncanakan, baik jumlah praktikum

maupun jenis praktikum yang dilakukan.

2. Guru kimia di SMA yang berada di kota berkategori rintisan sekolah katagori

mandiri (RSKM) menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran praktikum

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

16

kimia sebagian besar dapat dilaksanakan walaupun masih ada beberapa materi

praktikum belum terlaksana dengan alasan kekurangan bahan dan

keterbatasan alat.

3. Guru kimia di SMA yang berada di kecamatan berkategori RSKM

menyatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran praktikum sangat minim

dilakukan karena keterbatasan alat dan bahan dan juga ruangan laboratorium

yang digunakan bersama dengan mata pelajaran IPA yang lain. Disebutkan

juga bahwa praktikum yang cukup merepotkan tidak banyak berkontribusi

untuk ujian nasional.

4. Guru kimia di SMA yang berkategori sekolah standar nasional menyatakan

bahwa pelaksanaan praktikum sangat minim dilakukan karena keterbatasan

ruang, alat, dan bahan.

Sementara itu, pelajaran kimia pada jenjang SMA pada dasarnya

menggunakan kurikulum yang sama, yaitu KBK dengan pengimplementasiannya

melalui KTSP dan tuntutan kompetensi yang dituju juga sama. Jika dicermati,

ternyata proses pembelajaran praktikum kimia yang terjadi pada jenjang satuan

pendidikan yang sama terjadi perbedaan yang sangat berbeda antara SMA yang satu

dan yang lain.

Berdasarkan hasil wawancara mengenai pembelajaran kimia di kelas

diperoleh informasi bahwa guru dalam melaksanakan pembelajaran tidak berpatokan

pada rencana persiapan pembelajaran (RPP) yang disusun, tetapi beracuan pada buku

teks dan lembar kegiatan siswa (LKS) yang dibawa ke dalam kelas. Sementara itu

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

17

RPP yang disusun oleh guru digunakan untuk memenuhi kewajiban administrasi

sekolah. Informasi di atas menandakan bahwa guru dalam menjelaskan materi ajar

mengikuti alur yang dipaparkan di dalam buku teks, tidak berdasarkan rencana

pembelajaran yang disusun. Keadaan ini menarik untuk ditelusuri lebih mendalam

sehingga diperoleh penjelasan yang akurat dan makna yang ada di balik gejala

tersebut.

Di pihak lain guru menyatakan bahwa metode pembelajaran yang banyak

diterapkan dalam pembelajaran kimia adalah metode ceramah dan latihan soal.

Beberapa guru kimia sangat jarang menggunakan metode-metode inovatif yang

merangsang siswa untuk aktif, kreatif, dan kritis. Alasan yang dikemukakan oleh para

guru adalah siswa tidak menyiapkan diri menghadapi pelajaran, siswa tidak belajar

sebelum mendapatkan pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus menjelaskan materi

ajar dengan ceramah dan diselingi pertanyaan-pertanyaan dan dilanjutkan dengan

latihan soal-soal.

Jika informasi yang disampaikan oleh beberapa guru kimia yang

dikemukakan di atas dicermati, maka fenomena itu menarik untuk dibedah lebih

lanjut akar permasalahannya, faktor yang memengaruhi, mutu yang dihasilkan, dan

gagasan yang ada di balik semua gejala itu.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, dapat dinyatakan

bahwa pelaksanaan proses pembelajaran kimia di SMA tidak berjalan seperti yang

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

18

direncanakan. Di samping itu berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah yang

lainnya. Proses pembelajaran kimia, selain pembelajaran teoretis semestinya sebagian

didukung dengan pengalaman praktis melalui kegiatan praktik di laboratorium. Di

samping hal tersebut pembelajaran di kelas tidak berpatokan pada RPP yang dibuat

tetapi berpedoman pada buku teks. Demikian pula metode pembelajaran di kelas

didominasi dengan metode ceramah dan latihan soal-soal. Berdasarkan fenomena

tersebut masalah yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai

berikut.

1. Bagaimanakah pengelolaan pembelajaran kimia pada SMA N 1 Singaraja dan

SMA N 1 Gianyar pada dewasa ini ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi pengelolaan pembelajaran kimia

pada SMA N 1 Singaraa dan SMA N 1 Gianyar pada dewasa ini?

3. Apakah dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia pada SMA N 1

Singaraja dan SMA N 1 Gianyar pada dewasa ini?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk mengkaji dan membedah

fenomena pengelolaan proses pembelajaran kimia pada SMA N 1 Singaraja dan SMA

N 1 Gianyar dalam status RSBI agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas. Dengan

melakukan pengkajian yang mendalam diharapkan mendapat gambaran/potret

pengelolaan pembelajaran kimia pada SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1 Gianyar

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

19

dalam status RSBI. Potret pengelolaan pembelajaran kimia ini dapat digunakan

sebagai refleksi untuk dapat dirujuk, diperbaiki, atau dikembangkan dalam

pengelolaan pembelajaran kimia di sekolah lain.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pengelolaan pembelajaran kimia

pada SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1 Gianyar pada dewasa ini.

2. Untuk mengungkap serta memahami lebih mendalam faktor faktor yang

berpengaruh terhadap pengelolaan pembelajaran kimia pada SMA N 1

Singaraja dan SMA N 1 Gianyar pada dewasa ini.

3. Untuk menjelaskan dampak dan makna pengelolaan pembelajaran kimia pada

SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1 Gianyar pada dewasa ini.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoretis dan praktis

bagi peningkatan kualitas pendidikan dan ilmu pengetahuan. SMA N 1 Singaraja dan

SMA N 1 Gianyar yang berstatus RSBI pada dasarnya adalah SMA yang sudah

melaksanakan SNP + X. Sementara itu, SMA yang bukan RSBI adalah SMA dalam

kerangka pelaksanaan dan pengembangan SNP. Oleh karena itu, temuan yang

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

20

diperoleh di SMA yang berstatus RSBI sangat relevan untuk dimanfaatkan pada

SMA yang lain.

1.4.1 Manfaat Teoretis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kerangka konseptual yang

lebih jelas mengenai pengelolaan proses pembelajaran kimia di SMA.

Kerangka konseptual yang dimaksud adalah hal-hal penting atau faktor-

potensial yang berpengaruh yang menyebabkan proses pembelajaran kimia

menjadi berkualitas. Kerangka konseptual ini nantinya dapat dipakai acuan

dalam mengupayakan peningkatan kualitas pengelolaan proses pembelajaran

kimia di sekolah lain.

2. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai acuan teoretis untuk peningkatan

kualitas penyelenggaraan/pengelolaan pendidikan di sekolah. Kualitas

pengelolaan pendidikan di sekolah memiliki peran yang sangat sentral di

dalam menentukan mutu sekolah. Kualitas pengelolaan pendidikan

memengaruhi kualitas pengelolaan proses pembelajaran. Mekanisme yang

dibangun di dalam pengelolaan sekolah memberikan arah dan sekaligus

mengharap tagihan kepada pengelola proses pembelajaran sesuai dengan

tujuan yang ditetapkan sekolah.

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

21

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan untuk

pengambilan kebijakan terhadap pelaksanaan proses pembelajaran kimia di

sekolah. Hasil penelitian yang berkaitan dengan kualitas pengelolaan proses

pembelajaran kimia cenderung memberikan gambaran yang lebih jelas

tentang kaitan antara hal yang satu dan hal lain. Keterkaitan itu menjadikan

sebuah sistem bekerja yang kemudian menghasilkan sebuah produk yang

dapat dinilai. Penjelasan bekerjanya sistem yang dalam hal ini adalah

pengelolaan proses pembelajaran kimia, dapat dipertimbangkan dalam

mengambil kebijakan.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pedoman untuk

meningkatkan kualitas proses pembelajaran kimia di sekolah. Potret

pengelolaan proses pembelajaran kimia yang diperoleh menjelaskan faktor-

faktor yang memengaruhi kualitas, dan dampak yang ditimbulkan dari

pengelolaan tersebut. Hasil ini tentunya ada yang bersifat positif dan ada yang

bersifat negatif, baik yang menyangkut teknis maupun nonteknis. Oleh karena

itu, hasil penelitian ini dapat dipakai pedoman pengelolaan proses

pembelajaran kimia di sekolah.

3. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dalam bentuk laporan

penelitian, artikel ilmiah tentang potret pengelolaan proses pembelajaran

kimia pada SMA N 1 Singaraja dan SMA N 1 Gianyar dalam status RSBI,

serta memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Informasi ilmiah dalam

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mutu

22

bentuk laporan penelitian dan artikel ilmiah mengenai gambaran kualitas

pengelolaan proses pembelajaran kimia di sekolah sangat bermanfaat untuk

peningkatan kualitas pembelajaran kimia, pengembangan dalam ilmu

pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan secara umum.