03. bab_2
TRANSCRIPT
7
BAB. II
LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata belajar yang bermakna suatu proses yang
ditandai dengan adanya suatu perubahan dengan menggunakan segala potensi
pada diri individu yang bersangkutan. Dalam belajar terdapat usaha-usaha
terencana dari sumber belajar agar terjadi proses belajar dengan dan tanpa
kehadiran guru.
Surya (1981: 32) menyatakan bahwa belajar adalah suatu usaha untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku baru sebagai hasil pengalaman
individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Sukmadinata (2004: 149)
menyatakan bahwa melalui proses belajar tersebut terjadi perubahan dan
kemajuan baik aspek fisik-motorik, intelek, sosial emosi maupun sikap dan
nilai. Dengan demikian ciri utama pembelajaran adalah adanya interaksi yang
terjadi antara peserta didik dengan lingkungan belajarnya, baik dengan guru,
teman, media atau fasilitas pembelajaran. Oleh karena itu pembelajaran
merupakan proses komunikatif-interaktif antara guru dan siswa dengan
didukung keberadaaan sarana prasarana, dan prosedur dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Keluaran pembelajaran adalah adanyaperubahan sebagai hasil
belajar yang dapat ditunjukkan melalui perubahan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai.
8
Pembelajaran merupakan inti proses pendidikan, dan oleh sebab itu
upaya peningkatan kualitas pendidikan perlu difokuskan pada kualitas
pembelajaran. Dalam suatu sistem pendidikan, subsistem pembelajaran
memegang peran kunci. Subsistem pembelajaran meliputi beberapa komponen
sebagai berikut: peserta didik; pengajar; materi dan bahan; metode, strategi dan
pendekatan; media; sarana dan prasarana; biaya; dan kurikulum tersembunyi.
Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi, melengkapi dan integrasi,
dan bukan merupakan komponen yang terpisah, berdiri sendiri, dan tidak saling
tergantung satu sama lain. Sebagai suatu komponen yang terintegrasi, semua
komponen tersebut harus terpenuhi dengan baik.
Peserta didik. Komponen peserta didik adalah salah satu komponen
terpenting karena adanya kebutuhan peserta didik inilah yang memicu suatu
proses pembelajaran. Peserta didik merupakan input suatu proses pendidikan
yang harus ditransformasikan menjadi lulusan yang berpengetahuan luas,
kompeten, berketerampilan tinggi, serta memiliki sikap dan perilaku yang
sesuai dengan norma di dalam masyarakat tempat mereka berada. Proses
pembelajaran pada hakikatnya adalah proses transformasi yang memungkinkan
tujuan pembelajaran tercapai dengan baik dengan dukungan berbagai komponen
dalam suatu sistem pembelajaran.
Pengajar. Pengajar memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran
karena fungsinya sebagai nara sumber dan/atau fasilitator dalam proses
pembelajaran.. Kompetensi dan profesionalisme pengajar sangat penting dalam
9
proses transformasi peserta didik guna mencapai tujuan pembelajaran yang
dikehendaki.
Materi dan bahan. Materi dan bahan ajar didasarkan pada tujuan
pembelajaran dan kurikulum yang telah disepakati. Bahan pembelajaran
berperan penting dalam proses pendidikan yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan peserta didik, menumbuhkan sikap yang positif
terhadap lingkungan atau dunia tempat tinggalnya, serta berperilaku sesuai
dengan norma masyarakat. Materi dan bahan ajar disesuaikan dengan
kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran tersebut.
Media. Media berfungsi membantu peserta didik dan pengajar dalam
menciptakan suatu proses pembelajaran yang efektif. Pemilihan media
pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan
karakteristik materi yang diajarkan dapat membantu pencapaian tujuan
pembelajaran secara efektif. Dengan demikian, proses pembelajaran maupun
hasilnya menjadi lebih berkualitas karena tujuan pembelajaran tercapai dengan
baik.
Sarana dan prasarana. Proses pembelajaran tidak akan dapat
berlangsung dengan baik tanpa tersedianya sarana dan prasarana yang memadai
untuk mendukung proses pembelajaran yang efektif. Sarana dan prasarana ini
dapat berupa perangkat keras maupun perangkat lunak.
Biaya. Salah satu subsistem dalam pembelajaran adalah biaya.
Ketersediaan biaya yang dapat menunjang kebutuhan setiap subsistem
10
merupakan unsur penentu tercapainya kualitas pembelajaran. Pengorganisasian
peserta didik, insentif pengajar yang berkeadilan, pengembangan dan
penyediaan bahan ajar yang berkualitas, penyediaan dan penggunaan media
yang tepat guna, dan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai,
seluruhnya membutuhkan biaya yang cukup. Namun ketersediaan dana
pendidikan yang yang berlebih sekalipun tidak menjamin terjadinya kualitas
pendidikan bila dana tersebut tidak diarahkan dan tidak difokuskan pada
peningkatan kualitas pembelajaran.
Kurikulum tersembunyi. Dalam proses pembelajaran satu hal yang
penting pula adalah adanya kurikulum tersembunyi. Pada dasarnya peserta didik
tidak hanya belajar dari materi dan bahan ajar yang disampaikan oleh pengajar
di dalam kelas. Keseluruhan lingkungan sekolah, interaksi antar peserta didik
dan antara pengajar dengan peserta didik, budaya sekolah, bahkan lingkungan
tempat tinggal peserta didik amat sangat mempengaruhi proses pembelajaran.
Sarana dan prasarana yang disediakan sekolah merupakan suatu prasyarat
mutlak berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif.
B. Pembelajaran Kontekstual
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa
anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan
lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan sekedar
mengetahuinya. Sebab, pembelajaran yang berorientasi target penguasaan
materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal
11
dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Inilah yang terjadi pada kelas-kelas di sekolah Indonesia dewasa ini.
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning/CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian
sebenarnya (Authentic Assessment)
1. Konstruktivisme :
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar
pada pengetahuan awal.
Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan
menerima pengetahuan .
2. Inquiry
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
3. Bertanya (Questioning)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa.
12
Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang
berbasis inquiry.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
Tukar pengalaman.
Berbagi ide.
5. Pemodelan (Modeling)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan
belajar.
Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
6. Refleksi (Reflection)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
Mencatat apa yang telah dipelajari.
Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.
7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
Penilaian produk (kinerja).
Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
13
bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas
(siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata
guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan
kontekstual
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran
tentang belajar sebagai berikut.
1. Proses belajar
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri.
Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola
bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu
terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang
sesuatu persoalan.
Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau
proposisi yang terpisak, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat
diterapkan.
14
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi
baru.
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi didrinya, dan bergelut dengan ide-ide.
Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu
berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan
keterampilan sesorang.
2. Transfer Belajar
Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas
(sedikit demi sedikit).
Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia
menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
3. Siswa sebagai Pembelajar
Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang
tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar
dengan cepat hal-hal baru.
Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu
yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat
penting.
Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru
dan yang sudah diketahui.
15
Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide
mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi
mereka sendiri.
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada
siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting
bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan
pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan
dibandingkan hasilnya.
Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian
yang benar.
Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu
penting.
C. Pembelajaran Dalam Lingkungan Kerja
Belajar dalam lingkungan kerja dalam literatur dinyatakan dalam
beberapa istilah seperti learning at work, learning in work, work-related
learning, work-based learning, atau workplace learning. Paling tidak terdapat
tiga asumsi yang mendasari belajar dalam lingkungan kerja, Hager & Beckket,
dalam Sugilar (2004). Pertama, terdapat interaksi konstan antara individu
dengan lingkungannya; individu tersebut bertindak dan ber-refleksi dengan
16
lingkungannya, yaitu kondisi lingkungan tersebut mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh individu tersebut. Kedua, tindakan individu tersebut dilakukan
bersama individu lain atau paling tidak dalam suatu konteks di mana keputusan
dibuat oleh orang lain dalam bentuk kaidah, nilai, sikap, harapan, dan
sebagainya. Ketiga, pengetahuan berada dalam tindakan, bukan dalam teori
yang melatar belakanginya; kegiatan berpikir dan bertindak terjadi bersama-
sama. Berdasarkan asumsi tersebut, Svensson, Ellstrom, & Aberg dalam Sugilar
(2004), mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen pada
kompetensi individu atau kelompok yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungannya.
Kompetensi atau pengetahuan yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan tersebut dapat berupa pengetahuan teknis atau pengetahuan praktis,
Tripp, dalam Sugilar (2004). Pengetahuan teknis ialah pengetahuan yang dapat
dirumuskan secara tepat. Pengetahuan teknis merupakan pengetahuan yang
biasa diajarkan dalam lingkungan sekolah. Sedangkan pengetahuan praktis
hanya muncul dalam praktek dan tidak dapat atau sangat sulit untuk dirumuskan
secara tepat. Pengetahuan praktis tidak mudah dipelajari dan diajarkan melalui
cara seperti yang dilakukan dalam lingkungan sekolah. Meskipun belajar dalam
lingkungan kerja berkaitan dengan pengetahuan teknis dan praktis, tetapi dari
asumsi terlihat bahwa pengertian belajar pada definisi belajar dalam lingkungan
kerja secara epistemologi lebih berkaitan dengan pengetahuan praktis. Ini
sejalan dengan pendapat Shaw dalam Sugilar (2004), yang menyatakan bahwa
17
kebanyakan pengetahuan yang diperoleh di lingkungan kerja merupakan
pengetahuan tersirat, tacit, dan tidak disadari sebagai suatu pengetahuan.
Pada lingkungan kerja modern, baik pendidikan maupun belajar
informal semata tidaklah memadai. Dalam lingkungan kerja tersebut, belajar
formal akan efektif bilamana didukung oleh belajar informal dan sebaliknya,
belajar informal dapat lebih efektif bilamana ditunjang belajar formal. Hal ini
karena pengetahuan yang bersifat konseptual dan eksplisit secara normal tidak
dapat diperoleh hanya melalui pengalaman belajar di tempat kerja.
Kompetensi yang dimaksud pada definisi belajar dalam lingkungan
kerja ialah merupakan kombinasi antara pengetahuan teknis dengan
pengetahuan praktis. Kompetensi ini dihasilkan melalui belajar refleksif yang
mengkombinasikan belajar informal dengan belajar formal. Svensson, Ellstorm,
& Aberg dalam Sugilar (2004) menggambarkan proses belajar reflektif yang
menghasilkan kompetensi tersebut.
Gambar 2.1. Kompetensi sebagai hasil belajar reflektif
18
D. Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Kompetensi berasal dari kata “competent” yang berarti kemampuan.
Menurut Byham (1996) dalam dalam bukunya “Competencies and
Organizational Succuess” bahwa kompetensi merupakan kemampuan
individual dan mampu menguasai atau melaksanakan suatu pekerjaan serta
mampu menganalisis pekerjaan atau peraturan-peraturan kerja.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:516) “kompetensi’
berarti kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan
sesuatu hal.
Lowler dan Porter dalam As’ad (200:61) mendefinisikan kemampuan
(ability) sebagai karakterisik individual seperti intelegensia, manual skill, traits
yang merupakan kekuatan potensial seseorang untuk berbuat. Kemudian
Mendiknas 045/U/2002 dalam Sedarmayanti (2003: 127). dinyatakan sebagai
seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan
tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Sedangkan kemampuan sejati adalah
kekuatan yang dapat mendorong terwujudnya sinergi kemampuan konstruktif
seluruh potensi yang ada dalam diri manusia berupa kekuatan fisik, akal pikiran,
jiwa, hati nurani (spiritualitas) dan etika sosial di lingkungannya untuk
mewujudkan hasil karya terbaik dan bermanfaat. (Kepmenpan RI No.
25/2002:72).
19
Menurut Sofo (1999:28) mengatakan bahwa kompetensi mengacu pada
kemampuan seseorang untuk memberikan respon secara memadai pada
perubahan-perubahan dan cara mereka pergunakan dalam mencapai kinerja dan
hasil yang bagus. Selanjutnya masih menurut Sofo (2003:150) istilah
kemampuan didefinisikan dalam arti apa yang diharapkan di tempat kerja, dan
merujuk pada pengetahuan, keahlian, dan sikap yang dalam penerapannya harus
konsisten dan sesuai standar kinerja yang dipersyaratkan dalam pekerjaan.
Schumacher dalam Sinamo (2002:6) menyatakan ada tiga komponen
penting yang tidak tampak dalam kemampuan diri manusia yaitu;
keterampilannya, kemampuannya dan etos kerjanya. Tanpa ketiganya, semua
sumber daya tetap terpendam, tidak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan
potensi belaka. Jika di simak ketiga komponen yang tidak kelihatan tersebut
memang berada dalam diri manusia, tersimpan dalam bentuk kemampuan insani
operasional (operational human abilities). Sebagaimana digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.2 Gunung es Schumacher.
(Sumber: JH Sinamo, 2002: 9)
20
Boulter, Dalziel dan Hill (1996 ). Kompetensi adalah karakteristik dasar
dari seseorang yang memungkinkan mereka mengeluarkan kinerja superior
dalam pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas makna kompetensi
mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang
dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas
pekerjaan. Prediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik dapat diukur dari
kriteria atau standar yang digunakan.
Oleh karena itu kompetensi dapat memberikan suatu gambaran perilaku
keahliah (skill) dan pengetahuan (knowledge) seseorang atau kelompok (team-
work) serta potensi diri yang dimiliki seseorang terhadap kapasitas kecakapan
(ability) dalam melaksanakan pekerjaan yang bervariasi dengan keberhasilan
atau kesuksesannya ketika bekerja.
Alwi (2001:48) mengatakan kompetensi menyangkut kewenangan setiap
individu untuk melakukan tugas atau mengambil keputusan sesuai dengan
perannya dalam organisasi yang relevan dengan keahlian, pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki.
Analisis kompetensi disusun sebagian besar untuk pengembangan
karier, tetapi penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan untuk mengetahui
efektivitas tingkat kinerja yang diharapkan. Menurut Boulter et.al (1996) level
kompetensi adalah sebagai berikut : Skill, Knowledge, Self-concept, Self Image,
Trait dan Motive.
21
Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas dengan baik
misalnya seorang progamer computer.
Knowledge adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang
khusus (tertentu), misalnya bahasa komputer.
Social role adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang dan
ditonjolkan dalam masyarakat (ekspresi nilai-nilai diri), misalnya : pemimpin.
Self image adalah pandangan orang terhadap diri sendiri, merekflesikan
identitas, contoh : melihat diri sendiri sebagai seorang ahli.
Trait adalah karakteristik abadi dari seorang untuk berperilaku, misalnya
: percaya diri sendiri.
Motive adalah sesuatu dorongan seseorang secara konsisten berperilaku,
sebab perilaku seperti hal tersebut sebagai sumber kenyamanan, contoh :
prestasi mengemudi.
Kompetensi Skill dan Knowledge cenderung lebih nyata (visible) dan
relatif berada di permukaan (ujung) sebagai karakteristik yang dimiliki manusia.
Social role dan self image cenderung sedikit visibel dan dapat dikontrol perilaku
dari luar. Sedangkan trait dan motive letaknya lebih dalam pada titik sentral
kepribadian.
Kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif mudah untuk
dikembangkan, misalnya dengan program pelatihan untuk meningkatkan tingkat
kemampuan sumber daya manusia. Sedangkan motif kompetensi dan trait
22
berada pada kepribadian sesorang, sehingga cukup sulit dinilai dan
dikembangkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi atau
kemampuan merupakan potensi yang dimiliki oleh seorang dalam
menyelesaiakan tugasnya secara cepat dan tepat, efektif dan efisien sesuai
dengan metode atau standar kerja yang diwujudkan dalam pelaksanaan
tugasnya. Kompetensi merupakan gabungan dari potensi-potensi individu yang
diaktualisasikan (didemontrasikan) secara kualitas maupun kuantitas dalam
suatu kinerja. Kesimpulan ini seperti yang dikatakan oleh Lyle Spencer
(1993:9) bahwa kompetensi memiliki arti karakteristik yang ada pada potensi
masing-masing individu yang berhubungan dengan criteria dan performance
superior dalam pekerjaan atau menghasilkan suatu kinerja yang optimal.
Pengembangan nilai-nilai kompetensi seorang pekerja dapat dipupuk
melalui program-program pendidikan, pengembangan atau pelatihan. Program
pelatihan merupakan sebuah cara terpadu yang diorientasikan pada tuntutan
kerja aktual, dengan penekanan pada pengembagan skill, knowledge dan ability
(Irianto, 2001:75).
E. Penilaian dalam Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Penilaian proses belajar mengajar dilaksanakan untuk mengetahui
keberhasilan perencanaan kegiatan belajar mengajar yang telah disusun dan
dilaksanakan. Penilaian diartikan sebagai proses yang menentukan betapa baik
organisasi program atau kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai maksud-
23
maksud yang telah ditetapkan. Selanjutnya evaluasi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia, evaluasi yang baik akan
menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi yang
salah akan merugikan pendidikan. Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam
proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat
mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh peserta, sehingga tindak
lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian,
melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas guru
yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran.
Dalam melaksanakan penilaian, guru harus: 1) memandang penilaian
sebagai bagian integral dari kegiatan belajar mengajar, 2) mengembangkan
strategi yang mendorong dan memperkuat dalam mengevaluasi, 3) melakukan
berbagai strategi penilaian untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang
hasil belajar peserta didik, 4) mengakomodasi kebutuhan khusus peserta didik,
5) mengembangkan sistem pencatatan dengan variasi cara dalam pengamatan
belajar peserta didik, 6) menggunakan penilaian dalam rangka mengumpulkan
informasi untuk membuat keputusan tentang tingkat pencapaian peserta didik.
Untuk menjaring hasil kerja yang dilakukan peserta didik, maka dalam
melaksanakan penilaian guru dapat melakukan berbagai bentuk tes, seperti tes
tertulis, tes penampilan (performance), penugasan atau proyek dan kumpulan
hasil kerja dan tugas peserta didik dengan disertai komentar guru (portofolio).
24
Karena pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah kompetensi,
dimana sistem evaluasinya didasarkan pada penguasaan kompetensi, maka alat
evaluasi yang cocok adalah menggunakan pendekatan Panilaian Acuan Patokan
(PAP) atau Criterion Referenced Assesment. Evaluasi dapat segera disusun
setelah ditentukan kompetensi yang akan dicapai sebelum menyusun materi dan
lembar kerja/tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. Hal ini
dimaksudkan agar evaluasi yang dikerjakan benar-benar sesuai dengan apa yang
dikerjakan oleh siswa.
Dengan memperhatikan pelaksanaan diklat berbasis kompetensi seperti
tersebut di atas, di satu sisi guru memang mempunyai kebebasan dalam
melakukan pembelajaran di kelas sampai dengan melakukan evaluasi. Namun
di sisi lain, kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab. Oleh karena
itu, jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar agar tidak terlalu besar.
Tujuan penilaian yang dilakukan guru di kelas hendaknya diarahkan
pada empat (4) hal berikut: keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses
pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana. Checking-up, yaitu untuk
mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses
pembelajaran. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran.
Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai
kompetensi yang ditetapkan atau belum. Agar tujuan penilaian tersebut tercapai,
guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam
25
sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang
dilaluinya. Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif
dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman
belajar yang lain (seperti praktikum) akan sangat efektif dinilai dengan tes
praktek (performance assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat
efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok.
Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang
berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan
melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai
dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah
ditetapkan.
F. Tune Up Kendaraan Bermotor
Tune up kendaraan adalah melaksanakan sejumlah kegiatan merawat
dan menyetel mesin agar kendaraan mencapai kondisi mesin yang optimal.
Tune up kendaraan ini sangat penting bagi para teknisi otomotif karena
merupakan representasi sebuah kompetensi utama yang dibutuhkan masyarakat,
dan dunia usaha atau industri.
Pada diklat kompetensi guru profuktif (otomotif) dari Dinas Provinsi
Banten, Tune up kendaraan merupakan salah satu materi pembelajaran yang
tertuang dalam struktur program yang harus yang dilaksanakan.
26
G. Media Pembelajaran
Secara harfiah kata media memiliki arti “perantara” atau “pengantar”.
Media merupakan segala bentuk yang dipergunakan untuk suatu proses
penyaluran Informasi. Proses belajar mengajar akan berjalan efektif dan efisien
bila didukung dengan tersedianya media yang menunjang. Penyediaan media
serta metodologi pendidikan yang dinamis, kondusif serta dialogis sangat
diperlukan bagi pengembangan potensi peserta didik, secara optimal. Hal ini
disebabkan, karena kecenderungan, bahwa potensi peserta didik akan lebih
terangsang bila dibantu dengan sejumlah media atau sarana dan prasarana yang
mendukung proses interaksi yang sedang dilaksanakan. Media dalam perspektif
pendidikan merupakan instrumen yang sangat strategis dalam ikut menentukan
keberhasilan proses belajar mengajar. Sebab keberadaannya secara langsung
dapat memberikan dinamika tersendiri terhadap peserta didik.
Dengan keterbatasan yang dimilikinya, manusia acapkali kurang mampu
menangkap dan merespon hal-hal yang bersifat abstrak atau yang belum pernah
terekam dalam ingatannya. Untuk menjembatani proses internalisasi belajar
mengajar yang demikian, diperlukan media pendidikan yang memperjelas dan
mempermudah peserta didik dalam menangkap pesan-pesan pendidikan yang
disampaikan. Oleh karena itu, semakin banyak peserta didik disuguhkan dengan
berbagai media dan sarana prasarana yang mendukung, maka semakin besar
kemungkinan nilai-nilai pendidikan mampu diserap dan dicernanya. Berpijak
pada batasan di atas, terlihat bahwa kedudukan media pendidikan memegang
27
peranan yang sangat penting dalam mengantarkan peserta didik pada tujuan
yang diinginkan.
1. Model atau Simulasi
Model/maket yang didesain secara baik akan memberikan makna yang
hampir sama dengan benda aslinya. Weidermann mengemukakan bahwa
dengan melihat benda aslinya yang berarti dapat dipegang, maka peserta
didik akan lebih mudah dalam mempelajarinya. Misalnya dalam pelajaran
biologi siswa dapat melihat secara langsung bagian-bagian tubuh manusia
melalui sebuah model. Biasanya model semacam ini dapat dibuat dengan
skala 1:1 artinya benda yang dilihat memiliki besar yang persis sama dengan
benda aslinya atau dapat juga dengan skala yang lebih kecil, tergantung
pada benda apa yang akan dibuat modelnya agar memudahkan guru dalam
mengajar maupun peserta dalam belajar.
2. Benda Sebenarnya (real job)
Pembelajaran merupakan proses komunikasi. Sebagai proses
komunikasi maka ada sumber pesan (guru), penerima pesan (murid) dan
pesan yaitu materi pelajaran yang diambilkan dari kurikulum. Sumber pesan
harus melakukan encoding yaitu: menerjemahkan gagasan, pikiran, perasaan
atau pesannya ke dalam bentuk lambang tertentu. Lambang itu dapat berupa
bahasa, tanda-tanda atau gambar. Dalam melakukan encoding guru harus
memperhatikan latar belakang pengalaman penerima pesan, agar pesan
tersebut mudah diterima. Sedangkan penerima pesan harus melakukan
28
decoding yaitu menafsirkan lambang-lambang yang mengandung pesan.
Kalau pesan/pengertian yang diterima oleh penerima pesan (siswa) sama
atau mendekati sama dengan pesan/pengertian yang dimaksud oleh sumber
pesan, maka komunikasi dinyatakan efektif. Media dapat membantu guru
dalam menyalurkan pesan. Semakin baik medianya, makin kecil
distorsi/gangguannya dan makin baik pesan itu diterima siswa. Media dapat
digunakan dalam pengajaran dengan dua cara, yaitu sebagai alat bantu
(dependent media) dan digunakan sendiri oleh siswa (independent media).
Alat atau objek praktek yang sesungguhnya merupakan media pembelajaran
agar peserta dapat secara langsung menerapkan pengetahuan dan
keterampilannya pada sistuasi yang sesungguhnya. Salah satu unsur pokok
yang perlu dipertimbangkan dalam memilih media adalah Tujuan
pengajaran yang akan dicapai, karakteristik siswa, alokasi waktu dan lain-
lain.
H. Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran ini ditujukan untuk mengarahkan alur penelitian
agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka tindakan pemecahan
untuk meningkatkan kompetensi tune up kendaraan pada peserta Diklat Produktif
Guru Provinsi Banten ini adalah pembelajaran dengan menggunakan real job.
Kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut :
29
Gambar 2.3. Kerangka berpikir
I. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir seperti uraian di atas,
diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: Melalui pembelajaran
menggunakan real job dapat meningkatkan kompetensi tune up bagi peserta
diklat guru otomotif Dinas Pendidikan Provinsi Banten periode Juli hingga
Agustus 2008.
KONDISI
AWAL
KONDISI
AKHIR
TINDAKAN
Guru : Belum menggunakan
objek latih
sesungguhnya (real job)
dalam pembelajaran
Siswa : Kompetensi tune up
kendaraan rendah
Menggunakan objek
latih sesungguhnya (real
job) dalam pembelajaran
SIKLUS I Menggunakan real job secara
berkelompok besar (tiap
kelompok 4 peserta) dalam
pembelajaran tanpa bimbingan
intensif
SIKLUS II Menggunakan real job secara
berkelompok besar (tiap
kelompok 2 peserta) dalam
pembelajaran dengan bimbingan
intensif
Diduga melalui
penggunaan real job dapat
meningkatkan kompetensi
tune up bagi peserta diklat
kompetensi otomotif pada
bulan Agustus 2008