0000 in one volume

Download 0000 in one volume

If you can't read please download the document

Upload: hasyimabdullah1481

Post on 30-Jun-2015

533 views

Category:

Documents


49 download

TRANSCRIPT

BABAD TANAH SUNDA BABAD CIREBON. PRAKATA Yang disuguhkan dalam tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan huruf pegon/huruf Arab berbahasa Cirebon madya yang asli/otentik. Semoga manfaat menjadi pegangan untuk menengah-nengahi Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon dari luar yang simpang siur sejare-jare akibat Nusantara/Indonesia, pulau Jawa khususnya di selang/ dijajah oleh Belanda lebih-kurang 350 tahun. Semoga ditemukan yang dicari biidnillah insya Allah s.w.t. Dan tiap-tiap membaca Babad Tanah Sunda ini seyogya baca al-Fatihah terlebih dahulu untuk Yang Sinuhun Susuhunan Cirebon, pula setelah membacanya. Tsumma ila hadharati Sayyidina wa Maulana Sulthan Mahmud Syekh Syarif Hidayatillah Awliya Allahu Taala Kutubizzaman khalifatur-Rasulillah s.a.w. sailun lillahi al-Fatihah, baca Fatihah sekali sehingga selesai. Semoga ada manfaatnya, insya Allah s.w.t. Penyusun: P.S. Sulendraningrat.

1. Negara Pejajaran. Pertama-tama diceritakan perihal perjalanan hidup Pangeran Walangsungsang, hingga datang kepada ceriatan Yang Sinuhun Susuhunan Cirebon. Adapun yang dibuka oleh serita ini adalah menceritakan suatu praja di Pejajaran Ratu Agung di Tanah Sunda yang bernama Sri Sang Ratu Dewata Wisera, mashur disebut Sri Mahaprabu Siliwangi. Beristri tiga orang, ialah Ambetkasih, Aci Bedaya dan permaisuri Ratu Subanglarang. Sang Prabu berputra empat puluh orang.

Sang Prabu bersabda: "Hai anakku Walangsungsang, aku lihat engkau bermuram durja, semuanya prihatin tidak sama dengan sesama yang berkumpul duduk. Apa yang jadi kesedihan engkau, bukankah engkau calon Prabu Anom memangku negara? Atau putri yang engkau inginkan, beri tahu saja mana yang engkau sukai, jangan engkau bersedih hati, tidak baik bagi pribawa semuanya kraton." Sang putra menjawab dengan khidmat sambil menundukkan kepala dan mengeluarkan air mata. "Duhai Gusti, murka Dalem yang hamba mohon, karena tadi malam hamba mimpi bertemu dengan seorang lelaki yang elok danagung memberi wejangan agama Islam sarengat Jeng Nabi Muhammad yang jadi Utusan Yang Widi, namun menyesal sekali belum tuntas hamba sudah terjaga. Sekarang hamba rindu sekali kepada agama Islam, mengingat tidak adanya guru untuk meneruskan pelajaran agama Isalam itu." Sang Prabu berkata sambil senyum: "Walangsungsang, engkau orang muda jangan terlanjur, engkau kena sihir, kena bius Muhammad yang mengaku anutan, yang jadi dutanya Widi, sunguh dusta seenak nafsunya, karena sesungguhnya anutan itu adalah Yuang Brahma Yuang Wisnu itu sesungguhnya agama Dewa yang mulia. Yang Jagat Nata Pangerannya orang setriloka. Sejak dahulu hingga sekarang para leluhur tidak menghendaki dirubah." Walangsungsang menjawab sambil menyembah: "Duhai Gusti mohon ampunan Dalem, pengertian, kebijaksanaan dan pemaafan. Dalem yang hamba mohonkan, karena hamba lebih condong/suka sarengat Jeng Nabi Muhammad dan sesungguhnya Illahi yang wajib disembah itu melainkan Allah yang tiada sekutu sesama yang baharu (makhluk)." Sang Prabu murka, karena sang putra tidak patuh, bertentangan dengan agamanya. Sang putra dimarahi diusir keluar dari praja Pejajaran. Walangsungsang menjadi suka hati, segera pamit, menghindar dari hadapan Sang Prabu, keluar dari Istana, terus berjalan masuk hutan keluar hutan naik gunung turun gunung menuju ke arah timur. Ratu Mas Rarasantang sedang rindu kepada kakaknya, ialah Walangsungsang, menangis siang malam selama empat hari akhirnya Rarasantang, mimpi bertemu dengan seorang lelaki pula yang berupa satria lagi berbau harum memberi pelajaran agama Islam, menyuruh berguru sarengat Jeng Nabi Muhammad dan diramal kelak mempunyai suami Ratu Islam dan akan mempunyai anak lelaki yang punjul.

Rarasantang segera terbangun, ingat kepada impiannya lalu keluar dari keraton, menyusul kakaknya, Walangsungsang, terus berjalan. Diceritakan di dalam kraton geger busekan/panik, karena sang putri menghilang melolos tanpa bekas. Jeng Ratu Subanglarang sangat olehnya menangis menyungkemi Sang Prabu karena kedua-dua putranya hilang. Sang Prabu kaget sekali, segera memanggil menghadap seluruh para putra sentara, patuh, bupati, para wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata: "Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putraku, Dewi Rarasantang hilang dari kraton dan Walangsungsang sisuruh pulang. Sungguh jangan tidak teriring keduanya." Patih Argatala menjawab sandika. Ia segera keluar dari kraton mengumumkan kepada seluruh para wadyabala di Pejajaran geger panik lalu menyebar ke berbagai penjuru. Patih Argatala mencarinya dengan berlaku betapa menuruti perjalanan pendeta. Dipati Siput mencarinya memasuki hutan menuruti perjalanan khewan. Para putra pada bertapa atau berlaku sebagai dukun, sebagian membangun kerajaan. Pada wadyabala bubar ke masing-masing tujuannya, mereka takut, tidak berani pulang sebelum mendapat karya. 2. GUNUNG MARAAPI. Diceritakan Pangeran Walangsungsang telah datang di kaki runung Maraapi (di Rajadesa, Ciamis Timur) sedang tafakur, tak lama kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih, datang sudah di hadapannya. Sang Danuwarsih berkata: "Hai siapa engkau, putra mana dan apa yang dikehendaki?" Walangsungsang berkata: "Walangsungsang namanya, putra dari praja Pejajaran yang beribu Ratu Subanglarang, yang hendak berguru agama Islam." Berkata Sang Danuwarsih: "Baik sekarang turutlah dengan si Rama di puncak gunung Meraapi, niscaya bertemu dengan jodoh engkau; Walangsungsang mematuhi. Segera turut bersama menuju kayuangannya Sang Danuwarsih, datang sudah mereka berdua di puncaknya gunung Maraapi. Sang Danuwarsih berkata: Hati putriku, nini Indangayu, sekarang lekas bikin jamuan, jodoh engkau sudah datang. Nyi Mas Indangayu telah menghidangkan jamuan. Ayahnya bersuka cita. Segera ditari/didimai. Hai Walang sungsang Indangayu, sekarang aku kawinkan kamu kedua jadi satu, karena tidak lain trah (turunan) dari Galuh. Sang putra berdua menyetujui.

Segera telah kawin tetap catap (syah) perkawinannya pada tahun 1442 M. Jeng Pangeran Walang sungsang pada waktu itu berusia 23 tahun. Diceritakan Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan berada digunung Tangkubangprahu kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin dengan menggosok kakinya yang pada bengkak, pakaiannya cabik-cabik. Ia menangis sambil menyebut-nyebut nama abangnya. Tak lama kemudian ada datangnya Nyi Indang Sukati datang sudah di hadapannya. Nyi Indang berkata: Hai bayi, engkau siapa dan apa yang engkau cari sendirian berada di sini tanpa kawan? Sang Dewi Rarasantang menjawab: Eyang, hamba sesungguhnya putri Pejajaran dari ibu Subanglarang, Rarasantang nama hamba, yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon pertolongan Eyang, semoga lekas bertemu. Nyi Indang Sukati merasa kasihan: Duhai bayi, terimalah baju Sang Dewa mulya, berwatak cepat cepat berjalan seperti angin dan tidak panas di dalam api dan tidak basah dalam air, rahayu dari bahaya. Segera sudah dipakai baju si Dewa Mulya, sang putri mengucap terima kasih dan mohon petunjuk kakaknya ada dimana. Berkata Nyi Indang Sukati: Engkau datanglah terlebih dahulu di gunung Liwang, temuilah Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk. Segera Sang Dewi menyembah pamit, terlaksana dengan sebentar Sang Putri telah datang di gunung Liwang di hadapan Ki Ajar Sakti, menyungkemi kakinya sambil mohon petunjuk kakaknya ada di mana. Ki Ajar waspada penglihatannya, mengetahui maksud Sang Putri. Ia Berkata: Bayi, kakak engkau, Walangsungsang sudah punya istri, Indangayu namanya, putri Sanghyang Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, baik engkau menyusul ke sana dan aku memberi engkau nama Ratnaeling, kelak dipastikan mempunyai putra lelaki yang punjul sebuana. Sang putri mengucap terima kasih, segera pamit, terus berjalan menuju puncaknya gunung Maraapi, bahkan sebentar sudah datang. Syahdan Pangeran Walangsungsang yang sedang tapakur di hadapan Sang Danuwarsih. Berkata Sang Danuwarsih; Hai putraku Walangsungsang terimalah cincin pusaka turunan dari dipati Suryalaga sama turunan engkau. Ini wataknya cincin Ampal kalau diterawangkan tahu isinya jagat bumi tujuh langit tujuh bisa terlihat dan di dalam cincin Ampal dapat memuat laut dan gunung, bisa untuk sebanyak simpanan, terkabul yang dikehendaki, namun

agama Islam si Rama tidak bisa, kelak seantara lagi engkau tahu, hanya itu terimalah aji-aji dan kemenayan (melumpuhkan) pengabaran (menurut) dan pengasihan (pekasih). Walangsungsang mengucap terima kasih sambil menerima semua pemberian Sang Ayahanda. Sedangkan mereka berkumpul tak lama kemudian datanglah Sang Dewi Rarasantang bertemu rangkul merangkul dengan kakaknya. Berkata Walangsungsang sambil menangis: Duhai bayi adikku, sungguh bahagia engkau masih bisa bertemu dengan si kakak, apa sebabnya engkau menyusul, tidakkah engkau lebih senang di dalam kraton. Dan engkau dapat petunjuk jalan dari siapa? Sang Rarasantang berkata sambil menangis perihal perjalanannya dan awal hingga akhir. Sedangkan mereka berdua bercakap-cakap, Sang Danuwarsih mendekati dan berkata: Hai putraku, itu bayi perempuan siapa berangkulan bertangisan? Menjawab Sang Putra: Sungguh saudari kandung hamba seayah seibu, Rarasantang namanya. Segera Nyi Indangayu merangkul adik iparnya. 3. GUNUNG CIANGKUP Setelah antara sebulan lamanya Ki Sanghyang berkata: Hai putraku semua marilah berkumpul. Para putra bertiga sudah di hadapan Sang Danuwarsih, berkata: Hai Walangsungsang, Indangayu dan Rarasantang, sekarang baik berguru kepada Sanghyang Nanggo di gunung Ciangkup, mudah-mudahan mendapat sihnya guru. Sang putra mematuhi perintah Jeng Rama, sang istri dan sang adik sudah dimasukkan ke dalam cincin Ampal. Segera pamit terus berjalan akhirnya telah datang di gunung Ciangkup bertemu di hadapan Sanghyang Nanggo. Ia berkata: Hai orang muda selamat datang, apa yang engkau kehendaki, asal putra mana dan siapa nama engkau? Dijawab oleh Walangsungsang: Putra Raja Pejajaran, Walangsungsang namanya, ingin berguru agama Islam. Sanghyang Nanggo berkata: Hai Walangsungsang, aku tidak tahu agama Islam, nanti seantara lagi engkau mendapatkannya, hanya si bapak memberi ilmu kedewaan dan menghilang, kekuatan, kekebalan, terimalah sih pemberian si bapak dan ini Golokcabang pusaka para leluhur terimalah. Ini golok bisa bicara bahasa manusia dan bisa terbang dan bisa keluar api, tiap

yang terkena olehnya niscaya lebur, walaupun Dewa tidak tahan, gunung ambruk dan laut kering. Walangsungsang mengucap terima kasih atas sih pemberian guru. 4. Gunung Kumbang Setelah sebulan lamanya Sanghyang Nanggo berkata: Hai Walangsungsang sekarang engkau baik bergurulah lagi kepada Sanghyang Naga di gunung Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru. Walangsungsang mematuhi perintahnya guru, segera pamit terus berjalan menuju gunung Kumbang, datang sudah di hadapan Sanghyang Naga. Berkata Sanghyang Naga: Hai orang muda, siapa engkau, asal putra mana dan apa yang engkau kehendaki? Sang Walangsungsang menjawab: Hamba ingin berguru agama Islam, Walangsungsang namanya putra Pejajaran. Sanghyang Naga berkata: Hai Walangsungsang, agama Islam belum ada, kelak pada kahirnya engkau yang punya, mungkin seantara lagi, hanya si bapak bisa memberi ilmu kesaktian, aji dipa, mengetahui omongannya segala binatang, kepewiraan, menghilang dan aji titimurti (Membesarkan tubuh hingga segunung anakan). Walangsungsang sudah menerima semua apa sih pemberian guru. Sanghyang Naga berkata: Dan ini pusaka yang tiga warna kepunyaan Juwata sekarang dapat wangsit terimalah dari sih pemberian Dewa, ialah peci waring, kalau dipakai tidak terlihat oleh semua penglihatan, badong batok berwatak dianuti oleh sileman siluman, jin, setan pada sika asih, umbul-umbul waring, berwatak rahayu dari senjata musuh dan melemahkan musuh. Diterima sudah, Walangsungsang mengucap terima kasih, lalu jimat yang warna tiga itu disimpan di dalam cincin Ampal. 5. GUNUNG CANGAK Sanghyang Naga berkata: Engkau sekarang pergi bergurulah ke gunung Cangak di situ engkau akan dapat petunjuk perihal agama Islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap. Setelah sebulan lamanya Walangsungsang mohon pamit segera menuju ke gunung Cangak. Diceritakan yang berada di gunung Cangak di pohon beringin besar rombongan burung-burung bangau banyak sekali berhinggap. Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak burung burung

bangau berseliweran dan bingung mana yang jadi Ratunya. Segera ia memakai peci waring dan mengeluarkan kesaktian sebuah wadah yang berisikan ikan deleg diletakkan di pohon. Kena ampuhnya aji penurutan Sang Nata Bangau segera temurun, bertubuh lebih besar dari sesama burung bangau. Ikan deleg di dalam wadah/perangkap lalu dipatuknya. Cepat Walangsungsang menangkap leher Sang nata Bangau sambil diancam dengan Golok cabang di atas lehernya. Sang Nata Bangau berteriak tolongtolong minta hidup, nanti anda aku beri pusaka warna??? tiga, panjang, pendil, bareng/bende. Lalu Sang Nata Bangau dilepaskan, lalu ia terbang sambil berkata: Hai manusia susullah aku di puncak gunung ini yang berada di pohon beringin. Walangsungsang segera menyusul, Sang Nata Bangau lenyap setelah datang di pohon beringin di puncak gunung itu. Walangsungsang kebingungan. Tal lama kemudian hilanglah ujud pohon beringin itu salin rupa menjadi sebuah kraton yang indah sekali. Walansungsang sedangnya melongo keheranan melihat ada kraton, tal lama lalu ada 40 orang anak-anak bule yang menghidangkan jamuan sambil menyilahkan duduk di sebuah permadani semas. Walangsungsang sedangnya enak duduk sambil makan minum tak lama kemudian datanglah Sang Pedeta Luhung duduk sejajar. Walangsungsang berkata: Hai Pendeta, anda siapa yang bertemu di hadapan menjadikan terkejutnya hatiku? Ki Pendeta menjawab: Sanghyang Bangau namaku yang membangun kayuwangan di gunung Cangak, fardhu memenuhi janji memasrahkan jimat pusaka yang warga??? tiga, ialah panjang , pendil, dan bareng/bende. Piring panjang berwatak tidak diisi lagi lalu mengisi sendiri lengkap segala-galanya, nasi kuning, lauk pauk selalabnya dan sejuk pribawanya kepada kawula warganya, cukup sandang, pangan, papan. Pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa untuk memberi makan dua tiga segara. Baren/bende wataknya keluar air banjir, suaranya membungungkan mausuh. Diterima sudah jimat yang warga tiga. Walangsungsang mengucap terima kasih dan berguru kepada Pendeta sebulan lamanya. 6. GUNUNG JATI

Walangsungsang mohon pamit hendak meneruskan mencari agama Islam serengat Jeng Nabi Muhammad Ki Pendeta berkata: Hai putra, datanglah di gunung Jati Syekh Nurjati namanya, asal dari Mekah, yang sedang bertapa tidur dialah yang empunya agama Islam sarengat Jeng Nabi Muhammad. Walangsungsang segera pamit menuju gunung Jati, datang sudah di hadapan Syekh Nurjati. Sang istri dan sang adik lalu dikeluarkan dari cincin Ampal disuruh sujud menghaturkan hormat. Ki Syekh Nurjati segera terjaga melihat tiga orang tamu. Sambil senyum ia berkata: Hai tiga orang muda di hadapanku dengan memberi hormat, apa kemauan kalian, asal dari mana, nama kalian siapa? Berakta Walangsungsang: Hamba hendak berguru agama Islam sarengat Jeng Nabi Muhammad, bersama adik kandung hamba Rarasantang, putra Pejajaran, adapun istri hamba Indangayu namanya, putri gunung Maraapi Sanghyang Danuwarsih, hamba bernama Walangsungsang. Syekh Nurjati berkata: Bagaimana mulanya orang Budha dan putra Raja menghendaki Islam dan dapat petunjuk dari siapa tahu kepada gunung Jati? Walangsungsang menceritakan sesungguhnya lantaran mau Islam dari awal hingga akhir. Ki Syekh segera memberi wejangan kepada ketiga putra ngucapkan sahadat kalimah dua, selawat dan dzikir. Zakat fitrah, dan naik haji, puasa bulan Ramadhan, salat lima waktu dan diwejang Quran. Kitab Fikih dan Tasawuf, sudah dipatuhi semua apa yang diwejangkan dan diperintah oleh guru, Walangsungsang, Indangayu, Rarasantang sudah lama olehnya berguru, suhud sekali, tetap patuh kepada Guru. Ki Syekh memanggil: Walangsungsang aku beri nama Somadullah. 7. Kebon Pesisir Lemah Wungkuk Antara lama kemudian Ki Syekh berkata: Somadullah, sekarang aku beri idzin babakyasa, membangun sebuah dukuh/pemukiman dimulai pada hari Ahad tanggal 1 bulan Sura, pada tahun babad jaman/Sakakala 1367/1445 M Somadullah mematuhi perintah guru, tak lama kemudian segera pamit, ke arah selatan perjalanannya menyusuri pinggir pantai bersama sang istri dan sang adik. Sementara perjalanannya membelok ke arah barat menuju ke Lemahwungkuk ada sebuah rumak Kaki Tua yang bernama Ki Gedeng Alang Alang.

Diceritakan Somadullah istirahat di sana dan sembahyang dalam rumah Kaki Tua itu. Sebakdanya salat. Kaki Tua heran sambil berkata: Hai orang muda, engkau siapa bertemu di sini dan sedang apa? Berkatalah Somadullah: Hamba santri gunung Jati, Somadullah namanya, dapat idzin dari guru disuruh berkebun membangun sebuah dukuh/pemukiman. Hari esok dimulainya badad/menebang pepohonan besar kecil dan kalau diidzinkan mohon mondok sementara waktu tiga orang banyaknya. Berkata Kaki Tua: Hai Somadullah, si bapak tidak punya anak dan kawan, sekarang kamu tiga orang aku akui sebagai anak, serah jiwa raga dan tempat, engkau aku beri nama Cakrabumi. Somadullah menerimanya. Sekarang sudah diangkat anak, dan setelah datang pada waktunya pagi hari Ahad lalu ia memasuki hutan rawa belukar menebangi pepohonan besar kecil tiap hari, lama olehnya ia babad/membuka hutan yang sudah lapang lalu ditanami palawija membangun perkebunan. Kaki Tua melihat hutan sudah lapang dan banyak ditanami palawija ia suka cita sekali Cakrabumi disuruh menangkap ikan dan rebon diberi waring/jala, suku/alat penangkap ikan dan jakung/perahu kecil. Cakrabumi mematuhi perintah Kaki Tua, tiap malam berkendaraan jakung itu pergi menangkap ikan dan rebon (rebon sebangsa udang kacil), paginya membabad hutan. Adapun palawija sebanyaknya buah-buahan itu sudah dikulakan kepada tengkulak-tengkulak Palimanan dan Rajagaluh laksana semut berkerumunan pada waktu itu orang pegunungan yang telah datang. Rebon ditumbuk dibikin terasi. Berebutan saling mendahului orang-orang yang membeli. Mereka memberitahukan kepada tangga desa-desanya. Orang-orang pegunungan banyak turut menanam, berkebun dan menetap. Cakrabumi bergenbira karena sudah banyak tetangga/pendatang baru, mereka turut berkebun dan semua tanaman serba jadi. 8. RAJA GALUH Diceritakan Prabu Rajagaluh mengadakan sewaka/seba (jumpa pejabatpejabat pemerintahan), seluruh para Bupati, Sentana mantri dan para Gegedeng sudak kumpul dihadapannya Sang Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan. Gedeng Kiban namanya. Berkata Sang Prabu: Hai Dipati Palimanan, sekarang bawahan engkau, tanah pantai yang jadi dedukuh/pemukiman, banyak orang yang berkebun dan ada nelayan yang menangkap ikan dan rebon, aku lebih terasih kepada tubukan ikan rebon,

agar diperiksa yang sampai terang dan ditetapkan pajak bagi nelayan rebon itu dalam setahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan dan ada berapa cacah jiwanya orang-orang yang bermukim di pantai. Ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah), segera keluar meninggalkan sidang, memanggil ponggawa penipu (pepitu???) (tujuh orang mantri) sudah menghadap kepadanya. Ki Dipati berkata: Hai ponggawa pepitu, sekarang periksalah sesukuh baru di pinggir pantai, ada berapa cacah jiwanya dan nelayan penangkap ikan rebon seyogya diberi ketetapan pajak tiap tahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan. Harap diperiksa yang sampai terang, karena Sang Prabu terasih sekali kepada bubukan rebon yang sudah gelondongan (bulat panjang). Ki Mantri pepitu mengucap sandika. Segera menghindar dari hadapannya, mereka terus berjalan menuju ke pantai. Diceritakan Cakrabumi bersama sang istri dan sang adik sedang menumbuk rebon di lumpang batu dengan halu batu. Orang yang mengkulak rebon berebut saling mendahului, berdesak-desak sambil berceloteh Oga age, geura age, geura bebek (Cepat-cepatlah ditumbuk!) Jadi mashur pedukuhan baru itu desebut nama Grage. Tidak lama datanglah utusan Falimanan Mantri pepitu memeriksa, dedukuh/pemukiman baru itu, sudah ada cacah jiwa 364 orang, Ki Cakrabumi sudah bertemu di hadapan mereka. Berkata jubir Mantri pepitu: Hai tukang penangkap rebon, engkau oleh perintah Sang Prabu diharuskan mengirim pajak tiap-tiap tahun datu pikul bubukan rebon gelondongan, karena Sang Prabu lebih terasih dan aku beri nama bubukan gelondongan, karena Sang Prabu Rajagaluh lebih terasih sekali minta keterangannya bagaimana membikin terasi itu. Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi seantara lalu diperas, setelahnya lalu dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi, demikian. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan perasan air rebon lebih enak, diberi nama petis blendrang. Ki Mantri berkata: Coba ingin tahu rasanya cai/air rebon itu. Cakrabumi segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon. Setelah masak lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Mereka lalu makan bersama dengan lauk pauk petis blendrang, sambisaling berkata, bahwa cai/air rebon lebih enak ketimbang gragenya (trasinya). Karenanya Ki Mantri pepitu

mengumumkan kepada rakyat dedukuh baru itu, memberi nama Dukuh Cirebon, kala waktu tahun 1447 M. Pada tahun itu juga Mantri pepitu memanggil kumpul rakyat Dukuh Cirebon untuk memilih seorang pikuat/Kuwu Dukuh Cirebon, semufakat rakyat Dukuh Cirebon Kaki Tua Gedeng Alang Alang yang terpilih jadi pikuat/Kuwu Dukuh Cirebon. Mantri pepitu menetapkan Ki Gedeng Alang Alang yang jadi Kuwu dukuh Cirebon dan Ki Cakrabumi sebagai wakilnya, setelah usai Ki Mantri pepitu lalu pulang kembali ke Palimanan untuk memberi laporan kepada Ki Dipati Palimanan. 9. DUKUH CIREBON Syahdan Ki Gedeng Alang Alang sudah masyhur sebagai Kuwu Cirebon, antara lama kemudian ada seorang santri datang mampir di rumah Ki Kuwu. Ia seorang santri gunung Jati menitipkan sebuah tas karena ia mau menghadapi kepada Syekh Nurjati, tas diterima sudah Ki santri meneruskan perjalanannya, lalu Ki Kuwu memanggil putri Rarasantang dan berkata: Bayi, ini tas simpanlah yang baik, ada seorang santri gunung Jati menitipkan tas ini. Tas itu sudah diterima, lalu Rarasantang masuk ke kamarnya. Tas dibuka, ternyata ada sebuah cupu hijau yang berisi air cahaya. Lalu isinya diminum oleh Rarasantang hingga habis, lalu cupu ditutup kembali dan disimpan. Diceritakan Kuwu Cirebon yang sedang tidur seantara lalu mimpi bertemu dengan Jeng Nabi Muhammad memberi wejangan kepadanya sahabat Mutaakhirah/ Sahabat kalimat dua. Setelah tamat Jeng Nabi berkata: Hai Kaki Tua, tas yang berisi tirta nur/air cahaya supaya dibawa sekarang, aku ingin tahu. Kaki Tua ingat kepada tas titipan santri, segera terjaga menggerayangi sesuatu. Cepat sang putri dipanggil dan berkata: Hai bayi, tas titipan santri yang berisi cupu tirta nur sekarang diminta oleh Kanjeng Nabi Muhammad dan aku diberi wejangan Sahada Mutaakhirah. Sang putri menjawab: Sungguh tas itu berisi tirta nur, akan tetapi cupu itu isinya sudah saya minum, harap ayahanda mengetahuinya. Ki Kuwu kebingungan sekali takut kepada Rasulullah dan kepada santri yang empunya tas itu. Oleh karenanya Ki Kuwu gelisah dan menangis hingga jatuh sakit. Antara lama kemudian Ki Gedeng Alang Alang Wafat. Cakrabumi memanggil kumpul semua tetangga berniat mensucikan jenazah

Ki Gedeng Alang Alang sebagaimana cara bangsa Islam. Adapun para tetangga seorangpun tidak ada yang mau mendekatinya karena memakai cara bangsa Islam. Cakrabumi mengumumkan barangsiapa yang mau turut mengurusi dan mengeduk kuburan akan diganjar tiap orang uang sebaru/35 sen dan nasi sebungkus dengan lauk pauk sepepes ikan. Segera para tetangga mau turut mengurus mematuhi perintahnya Cakrabumi karena ada ganjarannya. Terlaksana sudah jenazah Kaki Tua disalatkan, sebakdanya lalu dikubur. Akan tetapi jenazah Kaki Tua itu lenyap tanpa bekas hanya tinggal bungkus putihnya saja dan berbau harum sekali. Orang-orang Budha para tetangga sangat heran sekali melihat kejadian jenazah Kaki Tua yang telah masuk Islam. Cakrabumi mengumumkan: Barangsiapa orang yang mati Islam niscaya seperti demikian itu lebih sempurna patinya pula yang turut membantu niscaya mendapat berkah orang yang Islam. Lalu para tetangga yang masih Budha pada tertarik masuk Islam turut sarengat Jeng Nabi Muhammad. Sebakdanya kubur para tetangga dihidangi makan semua, berkumpul lebih suhud. Orang banyak berkata satu sama lain mufakat yang meneruskan jadi Kuwu Cirebon ialah Cakrabumi ditetapkan sebagai Kuwu Cirebon, pada tahun 1447 M. 10. NAIK HAJI Cakrabumi sudah masyhur sebagai Kuwu Cirebon, bergelar Pangeran Cakrabuana. Rakyat Cirebon kebanyakan sudah Islam/permulaan ada pemerintahan Islam di pulau Jawa, namun tidak ada paksaan dalam memeluk agama, ialah agama resmi adalah Islam, dan bebas beragama pada tahun 1447 M. Daerahnya diakui sebagai sebuah desa oleh negara berdaulat Rajagaluh. Lain-lain daerah adalah bukan pemerintahan, hanya sebagai pengguron/pesantren, seperti Ampeldenta, Gresik dan Krawang. /Sedangkan Demak diakui sebagai sebuah desa oleh Majapahit baru pada tahun 1478 M.

Ki Kuwu bersuka hati desanya sudah luas/besar. Segera memanggil sang istri dan sang adik untuk bersama menghadap kepada sang Guru. Syekh Nurjati, datang sudah di hadapannya. Syekh Nurjati berkata: Somadullah, oleh karena engkau sudah terlaksana membangun desa Cirebon dan masyarakat sudah banyak turut mengamalkan/memeluk agama Islam, pada akhirnya kelak menjadi negara besar dan jadi tempat berkumpulnya para Wali. Sekarang engkau dan adik engkau pergi beatlah kepada Syekh Maulan Ibrahim, di negara Campa, patuhilah perintah Guru. Cakrabuana mengucap sandika (siap menjalankan perintah Guru), segera mohon pamit, terus pergi berlayar menuju negara Campa, datang sudah di hadapan Syekh Maulana Ibrahim. Ki Syekh segera berkata: Hai orang muda, anda siapa menghadapku dan apa kehendaknya. Cakrabuana menjawab: Hamaba adalah santri gunung Jati. Cakrabuana namanya. Rarasantang adik hamba. Fardhu hamba mohon beat tabaruk Jeng maulana. Permohonannya ditetima lalu Ki Ayekh memberi wejangan tarekat satariyah kepada putra berdua itu berikut semua ilmu tarekat. Antara sepekan Cakrabuana dan sang adik disuruh naik haji ke Baitullah dan dibawakan surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Absullah di tanah Mekah. Antara lam kemudian mereka berdua datang sudah di hadapan Syekh Bayan dan Syekh Abdullah menerimakan sepucuk surat dari Sang Guru Maulana Ibrahim. Syekh Bayan bersuka cita. Cakrabuana dan Rarasantang diberi wejangan ilmu sarengat, tarekat, hakikat dan marifat. Cakrabuana dan Rarasantang merasa senang bermukim di Mekah pagi dan sore mengaji Quran dan Kitab. 11. BERTEMU JODOHNYA Diceritakan di negara Mesir Jeng Sultan Maulana Mahmud Syarif Abdullah sedang diseba/dihadap oleh seluruh para pejabat pemerintahan, Patih, Penghulu dan Bupati sentana mantri kumpul semua di hadapan Sang Sultan. Jeng Sultan lama bermuram durja setelah wafatnya Sang Permaisuri. Mohon sih kemurahan Allah siang malam tekun dzikir memuji kepada Ilahi menjernihkan cipta. Tidak antara lama kemudian ada hawatif/suara tanap rupa terdengar: Sesungguhnya jodoh anda sekarang berada di Mekah! Sanga Sultan ingat kepada wangsit segera kiyan Patih Lamalulail dipanggil

menghadap. Sang Sultan berkata: Hai Patih, karena waktu haji anda pergilah ke Mekah, carilah seorang perempuan yang pantas untuk jadi permaisuri, semoga memperoleh seperti permaisuri almarhumah, selekasnya anda berangkat, bawalah wadya empat puluh orang dan aku beri bekal 2,000 ringgit. Kiyan Patih mengucap sandika. Menghindar dari hadapan Sang Sultan, meneruskan perjalanan dengan diiringi wadya/pengiring empat puluh orang berlayar mengendarai kapal. Tidak antara lama kemudian mereka datanglah di Jedah. Ki Patih dan rombongan lalu mendarat meneruskan perjalanannya menuju ke Mekah. Kebetulan waktu haji, lelaki perempuan pada kumpul di Baitullah. Ki Patih dan rombongan turut beribadah haji. Antara lama buburan haji Ki Patih melihat seorang perempuan yang cantik sekali menggungguli orang senegara, lalu dikuntit lalu bertemu di rumah Syekh Bayan. Berkata Ki Patih: Hai Syekh Bayan, itu santri perempuan yang punjul rupanya dari negara nama dan anak siapa, karena sama rupanya dengan permaisuri Mesir yang sudah meninggal. Berkata Ki Syekh: Ini adalah santri putri dari tanah Pejajaran orang pulau Jawa, Rarasantang namanya, adik dari Cakrabuana, fardhunya mengaji dan menetapi fardhu haji. Ki Patih berkata: Kalau disetujui dan semufakat ahlinya itu putri Jawa akan dipinang oleh Jeng Sultan Mesir, supaya hari ini juga turut bersama kami ke Mesir, karena sekarang sudah lebaran haji. Ki Syekh berkata: Hai bayi Rarasantang, menurutlah kepada kamauan Ki Patih, di sana akan bertemu dengan jodoh anda, ingatlah kepada impian anda, wangsit jodoh anda adalah Raja Islam. Cakrabuana, harap jangan menghalangi, turutlah kemauan Ki Patih. Cakrabuana dan Rarasantang mematuhi perintahnya sang Guru. Segera turut rombongan Ki Patih yang bergembira sekali, oleh karena memperoleh karya. Lalu mereka berlayar menuju Mesir, datang sudah di praja Mesir. Kedua putra Jawa diberi pondokan dalam rumah Ki Penghulu Jamaluddin. Pada suatu hari Sang Sultan sewaka, berkumpul semua para pejabat di hadapan Sang Sultan, Ki Patih dan Ki Penghulu tidak ketinggalan hadir. Jeng Sultan berkata: Hai Paman Patih, dahulu anda aku utus, mendapat karya atau tidak? Ki Patih menjawab: Brekah Dalem , berhasil, serupa dengan permaisuri paduka yang telah wafat, Rarasantang namanya, Putri Pejajaran pulau Jawa bersama saudara tuanya Kaki Cakrabuana, ditemukan di rumah Ki Syekh Bayan di Mekah setelah usai haji, dan sekarang ditempatkan di rumah Ki Penghulu Jamaluddin.

Sang Sultan berkata: Hai Penghulu, lekas putri Jawa suruh datang di Masjid Tursina, aku akan tanyanya sendiri. Ki Penghulu secepatnya membawa kedua putra Jawa ke dalam Mesjid Tursina, datang sudah Jeng Sultan melihat kepada putri Jawa setuju sekali, mirip dengan permaisurinya yang telah meninggal. Segera sang putri didekati dan berkata: Hai putri Jawa, siapa nama anda dan saudara anda siapa? Saya menjawab: Rarasantang nama saya, saudara saya Abdullah Iman namanya. Jeng Sultan berkata: Hai Haji Abdullah Iman, oleh karena aku suka kepada adik anda Rarasantang, sekarang aku memintanya untuk permaisuri. Berkata Jeng Pangeran Cakrabuana: Duhai Gusti melainkan menyetujui, namun seyogya Paduka tanyai pribadi karena adik sudah baligh. Jeng Sultan berkata: Hai Rarasantang, setuju tidak kalau jadi permaisuri Mesir, anda akan dimuliakan sebagai mustikanya kraton. Rarasantang berkata: Saya terima sekali kehendak Paduka, kalau saya dikaruniai anak lelaki Waliyullah yang punjul (unggul) sebuana, saya ridho. Jeng Sultan anggleking manah/hatinya masghul, bungkam tidak bisa bicara. Segera mengheningkan cipta menyerahkan persoalannya kepada Yang Mahakuasa , mohon pertolongan. Tidak lama kemudian ada terdengar hawatif: Sesungguhnya itu perempuan pasti jodoh anda dan punya anak lelaki Waliyullah yang punjul sebuana. Karenanya Jeng Sultan hatinya gembira, segera berkata: Rarasantang, insya Allah terkabul sekehendak anda. Aku muji syukur kepada Allah. Jeng Sultan sudah selesai berdamaian dengan Dewi Rarasantang. Malah disaksikan oleh ketug/bebunyian alamiah, lindu/gempa, geter/gerak alamiah. Gunung Tursina hingga bergerak tanda dibenarkan/dikabulkan kehendak Jeng Sultan, pada tahun 1447 M. 12 AKAD NIKAH Sudah selesai olehnya berdamaian, lalu Penghulu sekaumnya dipanggil karena Jeng Sultan akan nikah. Ki Penghulu bergembira. Ki Patih bersuka ria sewadya pada kumpul. Cakrabuana segera sudah menikahkan Sang Sultan dengan Sang Adik. Adapun sebakdanya nikah Jeng Sultan meninggalkan mesjid bersama permaisuri putri Jawa. Setelah berada kraton Jeng Sultan sewaka mengundang saudara ipar tua H. Abdullah Iman, lalu H. Abdullah Iman menghadap Sultan. Sang Sultan berkata: Hai kakak Abdullah Iman, ini destar harap kakak terima, pusaka dari Rasulullah, tiga puluh depa, dan pula harap menjadi tahu kakak dan para wadyaku, sekarang

Dewi Rarasantang diganti namanya dengan nama H. Syarifah Mudaim. Cakrabuana mengucap terima kasih dan destar diterima. H. Abdullah Iman antara setengah tahun lamanya, adapun sang adik Syarifah Mudaim sudah mengandung tiga bulan, Cakrabuana lalu mohon pamit pulang kembali ke Jawa. Jeng Sultan memberi izin dan memberinya pesangon 1,000 dirham. H. Abdullah Iman segera pulang terus berjalan mampir di Mekah menuju kepada sang Guru Syekh Bayan dan Syekh Abdullah sudah pada berjumpa. Abdullah Iman memberi tahu, bahwa Rarasantang sudah diperistri oleh Jeng Sultan Mesir, dan mohon izin mau pulang ke Jawa. Ki Syekh Bayan memberinya nama Bayanullah, karena Syekh Abdullah kala waktu dulu sudah memberinya nama Abdullah Iman. Cakrabuana mengucap terima kasih, segera mohon pamit meneruskan perjalanannya mampir kepada Jeng Sultan Aceh. Antara sebelum lamanya. Bayanullah pulang dari Aceh mampir di Palembang. Kemudian antara tiga bulan lamanya Bayanullah pulang dari Palembang menuju ke gunung Jati, datang sudah ia di Cirebon. Seluruh masyarakat desa Cirebon pada kumpul dan bersuka ria menerima kedatangan Ki Kuwunya, seterusnya H. Abdullah Iman meneruskan memangku jabatannya sebagai Kuwu Cirebon. 13. ZHAHIRNYA WALI KUTUB Diceritakan di negara Mesir Jeng Sultan Syarif Abdullah dan permaisuri Syarifah Mudaim sudah mengandung tujuh bulan pergi ziarah ke mekah dan Madinah. Segera sudah berangkat diiring wadyabala dua ribu orang berlayar mengendarai kapal datang sudah di Jidah. Lalu menuju ke Mekah dan meneruskan perjalanan ke Madinah, datang sudah Sultan dan rombongan di hadapan kubur Jeng Nabi Muhammad Rasulullah. Setelah selesai ziarah kemudian mereka pulang kembali ke Mekah. Sang Permaisuri sudah cukup bulannya untuk bersalin. Adapun antara hari bulan Mulud tanggal 12 Bakda Subuh Syarifah Mudaim melahirkan seorang jabang lelaki yang elok sekali, cahayanya meredupkan cahaya matahari. Jeng Sultan gembira sekali, lalu dibawa tawaf di Baitullah, dirubung oleh para Ulama dan para mukmin, diberi nama Syarif Hidayatullah, bertepatan pada tahun 1448 M. Antara 60 hari kemudian rombongan Jeng Sultan, Permaisuri dan putra berlayar pulang kembali datang sudah di negeri Mesir.

Antara tahun Syarifah Mudaim mengandung lagi. Setelah datang kepada waktunya lalu lahirlah seorang jabang lelaki pula dan diberi nama Syarif Nurullah pada tahun 1450 M. Tidak antara tahun Jeng Sultan Syarif Abdullah wafat. Setelah wafatnya Jeng Sultan lalu Patih Jamalullail/Patih Ongka Jutra dilantik sebagai Pejabat Sultan Mesir memolmaki/mewakili Syarif Hidayatullah selama belum dewasa. 14. DIBANGUNNYA KRATON PAKUNGWATI Diceritakan Ki Kuwu Cirebon H. Abdullah Iman, istrinya Dewi Indangayu sudah melahirkan bayi perempuan diberi nama Ratu Mas Pakungwati. Kemudian Ki Kuwu membangun kraton disebut kraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Pula di sebelah timurnya dibangun sebuah tajug jami di pinggir pantai disebut kampung Grubugan/Sitimulnya). Antara tahun istrinya yang kedua mengandung, setelah datang pada waktunya lalu melahirkan seorang bayi lelaki diberi nama Pangeran Carbon pada tahun 1454 M. Keraton Pakungwati diperlebar dan diperbesar pada tahun 1479 M. Setelah membangun kraton Ki Kuwu Cakrabuana bergelar Sri Mangan (Cirebon sejak tahun 1454 M. menjadi sebuah negara beragama Islam, namun tetap tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Kepala negaranya adalah Pangeran Cakrabuana yang bersemayam di kraton Pakungwati, diakui oleh Prabu Siliwangi Pejajaran sebagai Sri Mangan/Prabu Anom). 15. PANGERAN PANJURAN Diceritakan di Baghdad (ibukota Irak) Sultan Maulana Sulaiman sudah lama bersedih hati, karena sang putra, Syarif Abdurrahman bertentangan dengan serengat agama Islam, tidak mengindahkan batal haram. Siang malam membopong anjing, gegembyungan/menabuh trebang di jalan-jalan bersama penganut-penganutnya. Adapun saudara-saudara mudanya, ialah Syarif Abdurrahman, Syarif Kafi dan Syarifah Baghdad mengikuti tingkah lakunya saudara tua. Antara dua bulan lamanya Syarif Abdurrahman tidak tidur, tidak makan karena sedang majnun bilahi Taala (cinta rindu mabuk kepayang kepada Allah s.w.t.). Pada suatu hari Jeng Sultan Sulaiman sewaka

(jumpa pejabat-pejabat pemerintahan). Semua para pejabat pemerintahan kumpul pula sang putra lelaki bertiga sudah berada di hadapannya. Adapun Syarif Abdurrahman berlaku tinggal adat bukan adat yang lumrah. Jeng Sultan berkata: Hai Abdurrahman, putraku buanglah adat yang buruk, jangan suka bertentangan dengan serengat agama Islam, karena aku adalah menjabat sebagai Sultan penetap panata agama (Sultan yang berkuasa atas agama dan politis). Syarif Abdurrahman tidak mematuhi perintah Sang Ayahanda, bahkan bertambah meningkat ulahnya yang tidak wajar. Oleh karenanya Jeng Sultan murka, sang putra sangat dimarahi, diusir keluar dari negara Irak. Syarif Abdurrahman menghindar sudah dari hadapan Sang Sultan. Syekh Junaid berkata kepada Syarif Abdurrahman: Engkau jangan berkelana ke lain negara, menujulah ke pulau Jawa, bermukimlah di Cirebon, bergurulah kepada Syekh Nurjati yang berada di gunung Jati dan engkau jangan syak dan ragu kepada apa yang aku wejangkan sebagai guru engkau, sempurna ilmu engkau, yang tetap zhahir batin. Sang putra mengucap terima kasih, mematuhi perintah gurunya. Segera mohon pamit meneruskan perjalanan, datang sudah di pinggir pantai. Sang adik Siti Baghdad dan Syarif Abdurrahman disuruh mengendarai kapal kepunyaan ayahandanya, empat kapal yang diminta. Satu kapal memuat tiga ratus orang. Sudah selesai olehnya memuat, kapal satu putra seorang. Semuanya ada kapal empat buah segera berlayar empat orang putra itu menuju ke pulau Jawa, pada akhirnya mereka datang sudah di Cirebon. Keempat putra dan rombongan lalu naik ke darat, yang dari empat buah kapal itu berjumlah 1,200 orang. Syarif Abdurrahman menuju ke gunung Jati, keempat putra itu lalu memberi hormat. Segera Ki Syekh Nurjati berkata: Hai para putra, kalian siapa dan apa kehendaknya datang di hadapanku? Menjawab sang putra Syarif Abdurrahman: Hamba sekalian adalah sungguh dari Baghdad hendak berguru kepada Jeng Maulana Syekh Nurjati dan mohon diizinkan hamba sekalian akan mukim di Cirebon/Jawa. Ki Syekh sudah memberi wejangan ilmu hak, selesailah sudah olehnya mereka berguru. Keempat putra mohon izin akan menghadap kepada Ki Kuwu Cirebon. Lalu meneruskan perjalanannya datanglah sudah di desa Cirebon. Syarif Abdurrahman sudah bertemu dengan Ki Kuwu Cirebon. Ki Kuwu lebih kasih sayang, keempat putra sudah diberi pemukiman di sebelah utara. Syarif Abdurrahman telah membangun sedukuh/pemukiman semua wadyanya disebar. Adapun Syarif

Kafi, Siti Baghdad yang berdiam di gunung Jati siang malam memberi wejangan kitab Quran kepada masyarakat, disebut Syekh Datuk Kafi. Adapun Syarif Abdurrahman yang menjadi ayunaning orang/pemimpin dan membikin barang-barang keramik dari tanah liat disebut Pangeran Panjunan, pula pemukimannya disebut dukuh Panjunan pada tahun 1464 M. Adapun Syarif Abdurrahman menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama dan drigama (urusan duniawi) karenanya disebut Pangeran Kejaksaan, pula dukuhnya/pemukimannya disebut dengan nama Kejaksaan. Adapun semua wadyabala Baghdad (pengikut-pengikut keempat orang putra itu) sudah menetap di berbagai tempat tanah Pasungan. Di antara mereka telah berkarya sebuah bangunan mesjid di Jepura, pembesar-pembesar Jepura semua tunduk. Adapun Jeng Pangeran Panjunan yang diamalkan itu adalah ilmu hakiki dan setauhidan. 16. SYARIF HIDAYATULLAH BERTEMU DENGAN JENG NABI MUHAMMAD s.a.w. Diceritakan di negara Mesir Sang Raja Putra Hidayatullah sedang sendirian dalam gedung peminatan/gedung perpustakaan membaca kitab Usulkalam yang sangat terperinci/halus. Jeng Maulana sudah menerima/menangkap surasaning/tersiratnya kitab yang dibaca itu, hingga sungguh-sungguh berkehendak berguru kepada Jeng Rasulullah, walaupun menurut kabar dan kenyataannya Jeng Rasulullah sudah tiada tetapi Gusti Allah lebih kuasa dan yang bangsa rohaniah itu adalah abadi tidak berubah. Jeng Maulana segera keluar dari gedung perpustakaan itu menghadap kepada ibundanya, Jeng Ratu Rarasantang, datang sudah di hadapannya. Segera berkata: Duhai ibu, mohon izin akan berguru kepada Jeng Rasulullah, hendak dicari di mana adanya. Sang Ibunda lalu merangkulnya dan berkata: Mas sayang putraku, seyogyanya anda tahu Jeng Rasulullah sudah tiada, bahkan sudah turun ke-22 kepada anda. Baik bergurulah kepada para Awliya, para ulama yang anda pilih yang anda sukai, janganlah anda cari yang bangsa tiada. Jeng putra memaksa tidak kena ditahan, segera mohon pamit meneruskan perjalanannya pada tanggal 5 bulan Jumadilawal tahun 1466 M. Sang Ibu menangis gelisah ditinggal oleh sang putra. Antara malam mimpi bertemu dengan sang suami almarhum, Jeng Sultan Mesir yang berkata: Hai adik

Syarifah Mudaim, ikhlaskanlah, yang percaya kepada Allah, mudahmudahan putra anda karena inilah lantarannya menjadi punjul (unggul), baik anda berdualah kepada Allah, oleh karena dahulu anda ingin mempunyai putra Waliyullah yang punjul sebuana. Syarifah Mudaim ingat kepada mimpinya lalu bertobat kepada Allah tekun memuji. Diceritakan Jeng Maulana Hidayatullah yang sedang berjalan naik gunung turun gunung, masuk hutan keluar hutan. Tidak antara lama lalu bertemu dengan Nagasaka yang besar sekali, bisanya menyala-nyala seperti api menghadapi perjalanan Jeng Maulana sambil berkata: Hai orang muda, engkau siapa dan apa kehendak engkau makanya berjumpa denganku di sini? Jeng Maulana berkata: Hai Naga, aku sungguh putra Mesir, berkeinginan hendak berguru kepada Jeng Rasulullah dan engkau Naga apa tidak sama dengan sesama engkau dan engkau bisa berkata bahasa manusia. Sang Naga mengucap: Saya ini namanya Yamlika, asal dari neraka kalawaktu jaman Nabiyullah Sulaiman dan engkau jangan terus ke Mekah dan Madinah karena Jeng Rasulullah sudah sirna sempurna, kalau engkau sungguh-sungguh, berjalanlah ke arah barat menuju pulau Mejeti dan ini cupu manik waris engkau terimalah, kalau diterawangkan mengetahui yang gaib dan berkhasiat seluruh obat-obatan walaupun sudah mati bisa hidup kembali. Cupu diterima sudah, Jeng Maulana mematuhi perkataan Naga. Segera pamit meneruskan perjalanannya ke arah barat lebih mantap kehendaknya serah diri kepada Allah Yang Mahakuasa. Diceritakan Ki Pendeta Ampini sedang berada di pinggirnya pulau Maceti, hendak ziarah, hanya kebingungan di jalannya. Tak lama kemudian datanglah Jeng Maulana. Ki Pendeta gembira, segera berkata: Hai orang muda, siapa anda bertemu denganku di sini dan apa keinginannya? Berkata Jeng Maulana: Saya putra Mesir. Hidayatullah namanya, berkeinginan hendak berguru kepada Jeng Rasulullah. Berkata Pendeta: Apa anda belum mengetahui kepada kabar bahwa Nabi Muhammad itu sudah sirna sempurna berabad-abad, baik kita pada ziarah ke kuburnya Nabiyullah Sulaiman di pulau Maceti. Jeng Maulana menuruti kehendak Pendeta ziarah bersama kepada kuburnya Nabiyullah Sulaiman, terus berjalan. Tidak antara lama kemudian ada datangnya Nata Ular Naga yang besar sekali menghadangi di perjalanan. Ki Pendeta gemetar sambil berkata: Hidayatullah, bagaimana daya upaya anda? Jeng Maulana berkata: Hai

sang Naga sumingga sumingkira/harap minggir memberi jalan aku sungguh putra Mesir dan hendak ziarah ke Nabiyullah Sulaiman. Sang Naga berkata: Hai orang muda, saya izinkan, namun saya minta air susu tumbal/penolak bisa dan rahayu dari bahaya. Jeng Maulana dan Ki Pendeta lalu mencari air susu mendapat sekaleng besar kemudian air susu itu diminumkan sudah. Sang Naga lalu mabuk lalu menggelundung di tanah ternyata keluar dari telinganya sesuatu seperti lawe/kanthe. Cepat Jeng Maulana mengambil lawe itu dari telinganya Sang Nata Ular. Segera meneruskan perjalanannya bersama Ki Pendeta, terlaksana sebanyak ular, jin, setan, tidak berani mengadu biru selamat dari bahaya. Jeng Maulana dan Ki Pendeta telah datang di hadapan kuburnya Jeng Nabiyullah Sulaiman. Jeng Maulana lebih hormat dan khidmat. Ki Pendeta bersuka cita, banyak longok, yang dikehendaki itu adalah cincin Maklumat Jeng Nabi Sulaiman. Jeng Nabi Sulaiman memberi sasmita jari penunjuknya bergerak, tidak antara lama lalu ada gelap seribu menyambar. Ki pendeta remuk hancur sirna sudah. Keng Maulana terlempar ke angkasa hingga jatuh di puncaknya sebuah gunung. Segera Jeng Maulana bertobat kepada Allah oleh karena menemani orang yang berlaku durjana, karena kemurkaan Nabiyullah Sulaiman Jeng Maulana merasa mati. Setelah bertobat lalu meneruskan perjalanan berjumpa dengan seorang petapa yang di sisinya ada sebuah kendi pertula. Jeng Maulana berkata: Hai Sang Tapa, itu kendi milik siapa, saya ingin minum. Sang Tapa membalas: Wallahu alam, tatkala saya memulai betapa, kendi itu sudah ada. Jeng Maulana berkata: Hai kendi pertula, engkau siapa yang mempunyai milik, karena saya ingin minum. Kendi menjawab: Saya kendi asal dari surga, kalawaktu turun jamannya Nabiyullah Nuh, iya Tuan yang empunya milik. Lalu kendi airnya diminum tidak sampai habis, lalu kendi diletakkan. Kendi segera mengucap: Tuan pasti menjadi Nata/Raja keturunannya, akan tetapi tidak sampai terus, diselang/direbut hingga terjajah. Kendi lalu diminum kembali hingga airnya habis. Pratula berkata: Selanjutnya negara Tuan abadi tidak terjajah, tetap, merdeka mulia negaranya, tidak berubah. Kendi Pertula berkata lagi: Saya kelak mengabdi kalau Tuan sudah jadi Raja. Jeng Hidayatullah menjawab: Iya, semoga terlaksana. Lalu kendi segera terbang ke angkasa pulang kembali ke asalnya. Jeng Maulana merasa terang benderang, seluruh yang gaib terlihat dan tubuhnya

merasa sehat segar dan berbau harum. Sang Petapa terheran-heran tidak disangka bahwa sebuah kendi bisa berkata seperti manusia dan bisa terbang di angkasa. Sang Petapa ingat kepada sasmita, segera cincin Merbun diberikannya yang berwatak terang yang bangsa gaib dan tujuh langit tujuh bumi terlihat terang nyata dan bisa memuat seluruh isi alam. Jeng Maulana mengucap terima kasih, lalu mohon pamit meneruskan perjalanannya. Diceritakan ada seorang perempuan yang punjul sebuana ingin mengabdi, akan tetapi Jeng Maulana tidak mau menerimanya, karena mengetahui dari godaan ratu dunia. Segera meneruskan perjalanannya, tidak lama kemudian dihadang oleh seorang lelaki ingin mengabdi pula dan mendengar suara di angkasa yang indah merdu sekali. Jeng Maulana tidak mau menerimanya, oleh karena mengetahui bahwa mereka itu adalah ratunya setan sewadiyanya ingin menggodanya. Jeng Maulana meneruskan perjalanannya lalu ditimpa oleh gelap gulita merasa menderita sekali karenanya. Tidak lama kemudian ada datangnya Nabiyullah Ilyas. Jeng Maulana segera menghaturi bakti hormat. Berkata Nabiyullah Ilyas: Terimalah baju ini, sebagai pangruwating penangkal badan/tubuh, berwatak kalau dipakai seperti Malaikat, bisa memasuki barang keras/padat tanap berlubang, api tidak mendatangkan panas, di dalam air tidak basah, kalau bepergian hanya sekecap mata. Baju sudah diterima dan dipakai sambil mengucap terima kasih. Jeng Nabi Ilyas berkata: Aku tuduhkan anda, sekarang naiklah di puncak sebuah bukti berjumpa dengan seorang lelaki yang mengendarai kuda, anda seyogya mohon pertolongan. Jeng Maulana mematuhi lalu mohon pamit meneruskan perjalanannya datang di sebuah puncak gunung. Tidak lama kemudian datanglah Nabiyullah Khidhir mengendarai kuda sembrani. Jeng Maulana segera sungkem menghaturi bakti hormat. Jeng Nabi Khidhir lalu memberinya sebuah buah-buahan yang hijau dari surga. Jeng Maulana mengucap terima kasih, lalu dimakannya hingga habis, lebih nikmat sekali dan keluar cahaya nurbuat teja kuwung-kuwung (seperti cahaya pelangi), dan mengetahui seluruh bahasa sebanyak barang kumilik, jin, setan, malaikat, manusia, hewan dan bangsa angin pun mengerti bahasanya semua, dari khasiatnya buah-buahan tadi dan berkahnya menurun hingga tiga turunan. Jeng Maulana mohon petunjuk semoga lekas berhasil apa yang dikehendaki Jeng Nabi Khidhir suka menolongnya, disuruh bonceng bersama mengendarai kuda. Segera terbang ke angkasa melerep seperti kilat dan pada akhirnya telah datang di Ajrak. Jeng Maulana disuruh turun. Sang

Maulana lalu turun datang di kraton Ajrak bertemu di hadapan Sang Prabu jin Islam Abdullah Safari. Prabu gembira sekali. Jeng Maulana dirangkul lalu duduk sejajar. Berkata Sang Prabu: Ya bahagia datangnya cucuku, bahagia sekali anda bertemu di sini, apa yang dikehendaki datang di hadapan Eyang/Kakek? Berkata Jeng Maulana: Cucunda hatur bertahu, sesungguhnya saya sedang mencari Jeng Rasulullah, bermaksud sungguhsungguh berguru kepadanya, semoga Eyang berkenan memberi petunjuk. Sang Prabu berkata sambil senyum: Kurang seantara waktu lagi akan bisa bertemu dan buah-buahan pemberian Malaikat, sedunia tanpa tanding. Buah-buahan sudah diterima lalu dimakan hingga habis, rasanya seribu nikmat, seribu khasiat, berkahnya menurun hingga sembilan turunan. Jeng Maulana hingga pingsan karena nikmatnya. Sang Prabu lalu memanggil Kiyan Patih Osad Asid: Ini cucuku bawalah ke Damsik (ibukota negara jin Islam Ajrak), masukkanlah di dalam mesjid Mirawulung. Segera Sang Maulana dibawa di dalam Masjid Mirawulung. Tidak antara lama Jeng Maulana terjaga merasa lain jaman, melihat para arwah orang-orang yang mati sabil dan orang-orang yang ahlul makrifat. Jeng Maulana bercakapcakap dengan semua arwah dan pada menduakan semoga lekas terlaksana maksudnya. Jeng Maulana segera semedi mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada kehendak Ilahi. Tidak lama kemudian ada terdengar suara: Hai bahagia sekali engkau orang muda diridai oleh Allah naik ke langit hingga tingkat enam bertemu/terlaksana kemauan engkau dengan Nabi Muhammad s.a.w. Kala waktu 28 Rajab, tahun 1466 M. waktu mirajnya Jeng Maulana Hidayatullah. Setelah Jeng Maulana mendengar suara yang mengawang lalu menengadah ke langit melihat langit sudah terbuka, para Malaikat pada melambai-lambai. Jeng Maulana segera terbang, datang sudah di dalam langit yang pertama. Jeng Maulana uluk salam, dibalas oleh semua para Malaikat dan semua para Malaikat itu bertindak menggembirakan Jeng Maulana. Jeng Maulana lalu naik ke langit ketiga, Jeng Maulana terus naik ke langit ke enam. Para Anbiya dan para Malaikat yang berjumpa semua diuluki salam, mereka bergembira sekali memuji syukur kepada Allah. Jeng Maulana segera telah datang di langit ke enam. Jeng Maulana terharu nikmat tiada lain yang terlihat hanya cahaya yang lebih agung laksana meliputi tujuh dunia. Jeng Maulana lalu sujud, seribu nikmat, seribu rahmat laksana lenyapnya papan dengan tulis. Maka lalu ada

suara yang terdengar: Janganlah anda sujud kepada sesama yang baharu, sujudlah kepada Yang Qadim! Jeng Maulana mendengar suara itu lalu mengangkat kepalanya ke atas melihat kepada Hak yang sesungguhnya. Jeng Nabi Muhammad memberi wejangan sejatinya syahadat yang bangsa lathifatusirri. Setelah usai olehnya wejang. Jeng Nabi berkata: Aku beri anda gelar Insankamil, menjabat sebagai Wali Kutub sebagai Wakil mutlakku, tidak adanya Nabi ya adanya aku Wali Kutub, tidak ada aku ya adanya anda, bahkan tidak ada wujud dua, dan anda gelarkanlah agama Islam, rukunnya lima perkara, syahadat, salat, puasa, zakat fitrah, naik haji bagi orang yang kuasa di jalannya dan patuhilah apa yang tersebut dalam Quran dan ingat anda janganlah mengunggul-ungguli menghebat-hebati yang tanpa amal kebajikan dan anda bergurulah apa adat biasa di dunia, yang benar lakunya nasihati hati-hati yang sejatinya. Jeng Maulana mengucap terima kasih atas apa sih pemberian Rasul. Insankamil lalu mohon pamit, segera turun ke langit kelima terus hingga langit pertama. Insankamil sudah pamit uluk salam, dibahas oleh semua para anbiya dan semua para malaikat, Alhamdulillah rabbil alamina dan tasbih. Insankamil turun dengan mengendarai awan putih datang sudah di Kraton Ajrak. Sang Prabu bertemu di hadapan dan bergembira sekali, dihormathormat. Tidak antara hari Insankamil mohon pamit meneruskan perjalanannya mengendarai mahligai emas diiringi oleh jin Islam sedonasi (80 orang) dan Patih Osad Asid turun serta. Tidak lama kemudian datanglah sudah Insankamil di Kraton Mesir, kalawaktu nisfu Syaban pada tahun 1466 M. lalu datang di hadapan Ibundanya. Segera dirangkul-rangkul oleh Sang Ibu, sambil menangis, karena rindu sekali. Geger orang senegara bersuka ria setelah datangnya Jeng Maulana Insankamil. Kiyan Patih, Ki Penghulu dan Bupati sentara mantri pada menghadap menghaturkan selamat datang. Jeng Maulana Insankamil sudah menceritakan dari awal sampai akhir pengalaman perjalanannya yang berhasil itu. 17. JENG MAULANA INSANKAMIL NAIK HAJI Antara sebulan lamanya bakda bulan puasa Maulana Insankamil mohon izin dari ibundanya akan pergi ke Baitullah dan ke Madinah untuk mengamalkan

ibadah haji. Sang Ibunda mengizinkannya dan memberi bekal uang 100 dirham. Jeng Insankamil pergi seharian tidak mau dengan pengiring, meneruskan perjalanannya datang sudah dalam hutan besar. Tidak lama kemudian ada datangnya para begal (perampok) sembilan orang Yahudi. Maulana Insankamil berkata: Hai orang Yahudi, kamu menghendaki kepada dunia, terimalah dirham 100 dari pemberian Jeng Ibu. Para Yahudi itu menerimanya dengan berebutan. Akan tetapi dalam pikiran para begal itu terlintas tentu ini masih banyak dalam kantongnya, karena mereka akan menggumulinya lagi. Jeng Maulana berkata: Hai begal, apa kamu belum merasa cukup, ini ada lagi sebuah pohon emas bagilah di antara kawanmu. Orang-orang Yahudi jadi terheran-heran ada pohon ditunjuk jadi emas. Dalam pikiran Yahudi itu ini tentu mempunyai ilmu keduniaan, tidak usah adang atau membegal, kalau sudah mempunyai ilmu itu tentu senang. Orang sembilan itu lalu sujud tobat mohon diwejang ilmu keduniaan. Jeng Maulana lalu memberi wejangan syahadat kalimah dua. Sejak itulah para Yahudi itu sudah Islam semua, berkah yang memberi wejangan sembilan orang Yahudi itu keluar keramatnya, jadi sungguh-sungguh mereka bermaksud mengabdi kepada Maulana Insankamil. Jeng Maulana Insankamil segera meneruskan perjalanannya ke tanah Mekah diiring para Yahudi yang sembilan itu, pada akhirnya mereka datanglah sudah di tanah Mekah yang pada waktu itu sedang waktu haji. Jeng Maulana dan rombongan pada turut mengamalkan ibadah haji, sebakdanya haji itu lalu pergi ke Madinah. Sebakdanya ziarah kepada kubur Jeng Rasulullah lalu Jeng Maulana dan rombongan berguru di tanah mazhab Hanafi, selesainya dari mazhab Hanafi lalu mereka berguru kepada mazhab Hambali, selesainya mazhab Maliki lalu masuk guru kepada mazhab Syafii. Setelah selesai olehnya berguru Jeng Maulana segera kembali ke praja Mesir. Jeng Maulana dinobatkan menjadi Sultan Mesir Maulana Mahmud, pada tahun 1468 M. Seluruh para wadya dan rakyat Mesir semua bersuka ria karena Sang Gusti sudah menjabat sebagai Sultan. Lebih aman pribawanya Awliya Allah Kutubijaman Khalifaur-Rasulullah s.a.w. 18. JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK MENUJU CIREBON DI PULAU JAWA. Diceritakan Ibunda Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim pada suatu hari mendekati Sang Putra Kanjeng Sultan Mahmud, Ratu berkata: Hai Putraku, karena sudah menjabat sebagai Sultan memangku negara, Ibu sekarang menggugat perjanjian Ayahanda kelak kalau mempunyai anak lelaki yang

bertindak mengislamkan orang sepulau Jawa dan para kerabat di Pejajaran, sekarang sudah sedang waktunya seyogya datanglah di pulau Jawa menghadaplah kepada Pakde Kuwu Cirebon, serahlah anda kepada orang tuwa apa yang seharusnya dituruti perintah Ibunda, segera memanggil Sang Adil Nurullah dan berkata: Hai adik, jadilah polmak/pejabat mewakili kedudukanku, kakak hendak mematuhi perintah orang tuwa bertolak ke pulau Jawa Cirebon yang dituju, sekarang serah negaraharap diurus dengan baik. Syarif Nurullah menyanggupinya. Segera Jeng Maulana Insankamil mohon pamit, Jeng Ibu memberi izin lalu meneruskan perjalanan. Jeng Maulana Insankamil datang sudah di Cirebon, hatur beritahu sungguh seorang putra Rarasantang. Ki Kuwu bergembira sekali sambil merangkulnya. Segera Sang Kemenakan dibawa masuk ke dalam kraton Pakungwati, digembirakan dan dihormat-hormat. Orang Cirebon setelah mengetahuinya geger bercerita satu sama lain dengan gembira sekali, pada tahun 1479 M. Ki Kuwu bertanya: Hai Putra, bagaimana Ibu Dalem dan Putra apa yang dikehendaki mungkin mengemban perintah Ibunda? Menjawab Jeng Maulana Insankamil: Sungguh ananda diutus oleh Ibunda disuruh menghaturkan sembah baktinya dan pula disuruh mengislamkan para kerabat di Pejajran, namun pesannya bahwa Ibunda menyerahkan perkara ini kepada Pakde bagaimana seharusnya, ananda tunduk, Berkata Ki Kuwu: Sekarang belum waktunya, sebaiknya Putra berguru dulu kepada Ki Syekh Nurjati yang berpengguron di gunung Jati, nanti bagaimana kehendak, Rama Guru. Jeng Maulana segera berangkat dengan Ki Kuwu menuju gunung Jati datang sudah di hadapan Syekh Nurjati. Syekh Nurjati berkata: Selamat datang Maulana Insankamil yang jadi Khalifat-ur-Rasulullah, bagaimana yang dikehendaki, tidakkah Tuan yang sudah dimuliakan. Berkata Jeng Maulana: Menurut suruhan Rasul tidak boleh mengatas-atasi, disuruh berguru apa kebiasaan di dunia, saya mohon berguru kepada Tuan. Segera Syekh Nurjati memberinya wejangan tarekat sempurnanya ilmu hingga tamat semua. Berkata Syekh Nurjati: Semoga Putra mau menghadap kepada Sunan Ampel di Ampeldenta, bibitnya Wali di pulau Jawa, baik mohon berguru kepadany: Jeng Maulana Insankamil mematuhi perintah Guru, segera mohon pamit meneruskan perjalanannya. 19. JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE AMPELDENTA

Syahdan pada suatu hari Jeng Sinuhun Ampeldenta sedang sinewaka/dihadap oleh para murid. Sang Putra Sunan Bonang, Sunan Undang dan Sunan Giri, Syekh Magrib, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Majagung dan Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang, seluruh para murid pada kumpul. Jeng Sunan Ampel berkata: Hai adik Sunan Giri dan para murid semuanya harap menjadi tahu kalian, nanti sebentar lagi akan ada datangnya Wali Kutub yang menjadi Khalifah Rasulullah, tidak ada Nabi ya adanya Wali, derajatnya Wali yang punjul. Tidak antara lama datanglah Jeng Maulana Insankamil berteja kuwungkuwung (bercahaya pelangi di atas kepalanya). Para Wali melihatnya dengan terperanjat, disangka Jeng Rasulullah. Sudah pada bersalaman, para Wali lebih hormat. Berkata Jeng Sunan Ampel: Selamat datang Putra, bagaimana kehendaknya, tidaklah Tuan yang menjabat Wali Kutub. Berkata Jeng Maulana: Betul perkataan Dalem, namun saya lebih dhaif, menurut suruhan Rasul, saya disuruh berguru bagaimana lumrah adat dunia, saya mohon berguru kepada Tuan. Jeng Sunan Ampel segera memberinya wejangan tarekat yang bangsa latifah. Jeng Maulana sudah selesai olehnya sabda guru, lalu ditunjuk menjabat Imam di Cirebon dan diridhai menggelarkan agama Islam mengislamkan yang belum Islam. Jeng Maulana mematuhi perintah Guru, karena sudah ada izin untuk menggelarkan agama Islam, segera mohon pamit meneruskan perjalanannya. 20. JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE NEGARA CINA. Syahdan pada suatu waktu Jeng Maulana Insankamil bertolak ke negara Cina, datang sudah di pinggir pantai. Jeng Maulana mendatangi tukang keramik pembikin piring panjang. Setelah tukang keramik piring panjang itu masuk Islam, Jeng Maulana meneruskan perjalanannya ke tukang bikin penimbal poci. Setelah tukang bikin poci masuk Islam Jeng Maulana meneruskan perjalanannya ke praja Tartar datang sudah di ibukota. Orang Tartar dan pembesar-pembesarnya berturut-turut berhasil diislamkan. Jeng Maulana sementara waktu lamanya bermukim di sana terdengar oleh berbagai negara tetangga, bahkan empat negara sudah memeluk agama

Islam, termashur lebih bijaksana waspada penglihatannya (weruh sedurunge winarah/tahu sebelum terjadi). Diceritakan dalam kraton Sri Maharaja Ong Te ratu agung di negara Cina sedang diseba oleh seluruh para wadya (jumpa para pejabat pemerintahan). Berkata Sang Maharaja: Hai patih, menurut khabar, bahwa di negara Tartar ada pendeta baru termashur bijaksana waspada penglihatannya, sekarang undanglah menghadap supaya bersama seperjalanan, harap jangan sampai tidak terbawa. Kiyan Patih mengucap andika, segera Kiyan Patih berlalu sudah dari hadapan Sang Raja, perjalanannya dipercepat dengan mengendarai kuda. Antara hari kemudian datanglah ia di negara Tartar dan bertemu dengan Jeng Maulana Insankamil lalu duduk sejajar. Berkata Jeng Maulana: Hai Patih, selamat datang, anda datang tergesa-gesa seperti ada keperluan yang penting. Berkata Kiyan Patih: Apakah anda pendeta yang mashur itu, siapa nama dan dari nama asalnya?Dijawab: Dari pulau Jawa, Cirebon tempatnya, Insankamil namaku. Kiyan Patih berkata: Sekarang juga dipanggil menghadap oleh Sang Prabu Cina sungguh sekarang juga harap bersama seperjalanan. Berkata Jeng Maulana: Hai Patih harap anda terlebih dahulu nanti aku bertemu di dalam kraton tidak usah diiringkan. Kiyan Patih mematuhinya, segera pulang kembali ke ibukota lebih dipercepat perjalanannya. Diceritakan Raja Cina yang sedang diseba, tidak antara lama dantanglah Kiyan Patih, Jeng Maulana sudah berada di hadapan Sang Raja Cina, Kiyan Patih terheran-heran sekali bahwasanya Jeng Maulana itu telah datang terlebih dahulu. Segera Sang Raja berkata: Apakah itu orangnya pendeta baru di negara Tartar, apakah nyata kebijaksanaannya? Kiyan Patih berkata: sungguh menurut kabar bahwa pendeta baru itu bijaksana. Segera Sang Raja mengadakan percobaan. Sang Putra perempuan di atas perutnya diletakkan sebuah bakor kuningan dihias sedemikian rupa hingga sang putri terlihat sebagai sedang mengandung, lalu dikeluarkan menghadap sang Ayahanda. Berkata Sang Raja: Hai pendeta muda, lihatlah putriku itu apakah ia mengandung oleh karena penyakit, atau apakah mengandung sebenarnya, kalau kena penyakit apa obatnya, kalau mengandung dengan siapa, supaya selekasnya anda memberi petunjuk. Lalu membalas Jeng Maulana: Hai Raja Cina, itu anak anda mengandung karena kuasanya Allah

tanpa lawan jenis. Oleh karenanya Ong te murka sekali. Jeng Maulana sangat dimarahi dan diusir. Jeng Maulana segera pulang meneruskan perjalanannya. Diceritakan Sang Putri Cina bakor kuningan yang terletak di atas perutnya itu lenyap, jadi mengandung sesungguhnya, Ong Te terbengong-bengong dan heran sekali. Sang Putri jatuh cinta kepada Jeng Maulana siang malam menangis tidak ada yang terlihat selain Jeng Maulana. Segera Ong Te menyebar wadyabala untuk mencari Jeng Maulana di negara Tartar sudak tidak ada, sang putri Cina sangat rindu dan berkata: Duhai Ayahanda Prabu, bunuhlah putra Paduka, serah jiwa raga, hidup tanpa guna kalau tidak jadi satu dengan pendeta muda itu, kalau diridhai saya mau menyusul sendiri ke pulau Jawa. Sang Prabu kebingungan sekali, kalau tidak dituruti niscaya sang putri mati. Sang Prabu segera memanggil Kiyan Patih: Hai Patih, engkau iringilah putriku Ong Tien bertolak kepada pendeta muda yang berada di pulau Jawa dan bawalah seorang Bupati, wadyabala 1,500 orang dan kapal tiga, isilah guci, panjang, kong, jembangan dan uang semilyun. Kelak kalau sudah bertemu dengan pendeta muda itu dimohon pulang ke negara Tartar, lima negara bagian yang aku akan memberikannya sungguh janganlah tidak sampai terbawa dan barang-barang di dalam dua kapal dan orang-orang sekapal itu berikanlah kepada pendeta muda. Kalau putri suka di pulau Jawa supaya diserahkan tetap bermukim di pulau Jawa untuk mengabdi kepada pendeta muda: Kiyan Patih mengucap sandika. Segera putri meneruskan perjalanannya diiring wadyabala 1,500 orang datang sudah di pinggir pantai, Sang putri segera masuk kapal seperingiringnya, barang-barang sudah dimuat. Segera berlayar menuju ke pulau Jawa, Cirebon tujuannya. 21. PATIH KELING BERSAMA PARA BAWAHANNYA MASUK ISLAM. Diceritakan Patih keling dan rombongannya berjumlah 99 orang sedang mengadakan upacara tradisi merubung jenazah Rajanya di atas kapal layar di tengah laut. Tidak lama kemudian kebetulan datanglah Jeng Maulana Insankamil di hadapan mereka. Bertanyalah Jeng Maulana: Ini adalah

prang apa ada bangkai dirubung dijaga-jaga, sebaiknya kamu sekalian masuk agama Islam. Orang-orang Keling karenanya tersinggung dan marah, mata mereka mendelik. Oleh karena kramatnya Jeng Maulana orang-orang Keling satu per satu roboh tidak bisa bergerak. Segera orang-orang Keling mohon ampun dan sembuh lagi seperti sedia kala. Jeng Maulana segera memberi wejangan sahadat agama Islam, orang-orang Keling lalu waluya lagi/sembuh lagi seperti semula. Ki Patih dan rombongan lalu mengabdi, robong jenazah Taja diburak lalu ditinggalkan, mereka mengiring Jeng Maulana terus berlayar menuju Cirebon. Diceritakan Sri Mangana telah membangun pesanggrahan/petamanan di gunung Sembung untuk Sang Putra ponakan. Sri Mangana sedangnya berkumpul di Masjid Pejlagrahan tidak lama kemudian datanglah Sang Putra Insankamil sudah di hadapannya dengan diiring oleh Ki Patih Keling dan rombongannya. Sri Mangana bergembira sekali, Sang Putra dibahagiakan dan dihormat-hormat. Antara hari lalu Ki Kuwu berkata: Hai Putra Insankamil, sekarang seyogyanya jadi Imam menggelarkan agama Islam, pula di Rama menyerahkan kraton Pakungwati tanah Cirebon serakyatnya dan si Rama menyediakan pesanggrahan di gunung Sembung. Jeng Maulana menjawab: Terima kasih atas sih pemberian Pak De, pada waktu sekarang belum dapat menerima negara, karena belum mempunyai karya, namun gunung Sembung saya terima untuk pemukiman orang-orang Keling. Ki Kuwu menyetujui. Segera orang-orang Keling beberes di gunung Sembung. Jeng Maulana lalu bermukim di pesanggahan Gunung Sembung dan merasa senang. 22. CIREBON DISERAHKAN KEPADA JENG MAULANA INSANKAMIL Syahdan pada suatu hari para murid pada berkumpul, Ki Kuwu sudah menghadap. Pangeran Panjutan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Khafid, Syekh Majagung, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Magrib dan para Gegedeng sudah pada datang Ki Kuwu berkata: Sekarang Rama memasyrahkan putri saya nama Ratna Pakungwati dan kratonnya berikut seluruh wilayah Cirebon yang dapat babakyasa/membangun si Rama pribadi, terimalah semuanya, semoga Putra menjabat sebagai Nata/Raja

Cirebon memangku kraton Pakungwati. Jeng Maulana menerimanya menuruti kehendak Rama Uwa/Pak De. Berkata Pangeran Panjunan. Pla si Raka (kakak) menyerahka adik Siti Bagdad serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membikin keramik) seturunannya, oleh karena si Raka mau pergi betapa. Syekh Datuk Khafid dan Pangeran Kejaksaan pula menyerahkan penganut-penganutnya. Jeng Maulana menerimanya. Ki Kuwu berkata: Putra semoga memasuki kraton Pakungwati dan hari besok dinobatkan. Jeng Maulana menyetujuinya. Segera dari gunung Jati Jeng Maulana diiring oleh rombongan segenap para murid, para Syekh, para Pangeran, dan para Gegedeng, bertolak ke kraton Pakungwati, datang sudah di dalam kraton. Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan kehormatan, dan malam Jumaat Jeng Maulana lalu menikah dengan putra Sir Mangana yang bernama Ratu Pakungwati. Jeng Maulana Insankamil sebakdanya nikah pada waktu tengah malam pergi ke gunung Jati salat hajat empat rakaat, semoga keridaan oleh Allah menjadi Nata/Raja mohon terus langsung seketurunannya, dan ridhanya bumi sukanya negara. Sebakdanya salat lalu ada datangnya seekor naga yang lebih besar sekali, gurinyangnya pulau Jawa, membelit melata mohon diterima mengabdi. Jeng Maulana mengetahui kemauan Naga itu lalu berkata: Hai sang Naga, oleh karena engkau hewan yang lebih besar sekali mengabdi kepadaku, bagaimana nantinya wadyabala manusia, niscaya tidak ada yang berani dekat. Sang Naga berucap: Duhai Gusti, bagaimana kehendak Paduka, karena hamba ingin mengabdi mohon diterima. Jeng Maulana menjawab: Kalau engkau sungguh-sungguh mau mengabdi, jadilah sebuah keris untuk agemamnya yang jadi Nata, lebih dekat pengabdi engkau ketimbang wadya manusia. Sekonyong-konyong Naga jadi keris dapur naga berluk sembilan. Keris lekas dipegang disebut Kaki Naga Gede. Jeng Maulana sudah dikabul hajatnya oleh Allah keridaan jadi Nata/Raja, lalu pulang ke kraton Pakungwati terus salat Subuh dalam masjid Pejlagrahan. Seluruh para Wali dan Para wadya Cirebon sudah berkumpul. Sebakdanya salat mereka tetap pada berkumpul segenap para Syekh, para Pangeran, para Gegedeng dan Ki Kuwu Sri Mangana, setelah Jeng Maulana dinobatkan oleh Wali Sanga Jawadwipa sebagai kepala negara Cirebon, antara bakda Jumah mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwasanya Jeng Maulana

Insankamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata agama Awliya Allah Kutubijaman Khalifatur Rasulullah s.a.w. pada tahun 1479 M. Patih Keling diangkat menjadi Patihnya disebut Dipati Suranenggala, Pepatih Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon. Jeng Maulana sesudah selesai dinobatkan sebagai Yang Sinuhun. Kanjeng Susuhunan Cirebon yang bersemayam di kraton Pakungwati Cirebon. Antara hari kemudian lalu membangun tembok keliling kraton. Susuhunan Cirebon diakui pula oleh Wali Sanga Jawadwipa sebagai Panetep Panata Agama seluruh Sunda. Sejak tahun ini pula Cirebon memberhentikan upeti tahunannya kepada Pejajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini pula Wali Sanga Jawadwipa mengakui Raden Patah sebagai Sultan Demak, namun Brawijaya Majapahit masih mengakui Demak sebagai negara bagian Majapahit, hanya Majapahit tidak mengadakan tindakan apa-apa. 23. SUNAN JATI BERTOLAK KE LURAGUNG Pada suatu hari Ki Kuwu berkata: Putra lekas bertolaklah ke Luragung menyiarkan agama Islam dan melebarkan wilayah di tanah Luragung, Rajanya masih belum Islam serakyatnya, karena dekat seyogyanya dipercepat keislamannya. Jeng Sunan Jati mematuhi perintah Jeng Rama, terus bertolak datang sudah di kraton Luragung. Sang Raja Luragung dan Jeng Sunan Jati sudah duduk sejajar. Berkata Jeng Sunan Jati: Hai Sang Raja, sebaiknya sekarang anutilah agama Islam, anda dan seluruh rakyatnya. Sang Raja Luragung terkena pengabaran/penurutan hatinya lebih kasih. Segera ia memeluk agama Islam dan seluruh para putra sentana Bupati pula para Gegedeng pada anut agama Islam serakyat kota yang pada masuk agama Islam dan tetangga negara para Gegedengnya pada menghadap. Diceritakan Sang Putri Cina dan Ki Patih kapalnya sudah datang di pantai Cirebon, pada tahun 1481 M. Orang Cina menanyakan kabar bahwa Insankamil ada di mana. Orang Cirebon menjawab bahwasanya Jeng Maulana sekarang sedang berada di Luragung. Sang Putri segera dengan rombongannya bertolak ke Luragung, barang-barang sudah di darat diterima oleh Patih Keling. Sang Putri meneruskan perjalanannya datang sudah di Luragung.

Jeng Sunan Jati sedang duduk bersama dengan Gedeng Kemuning. Tidak antara lama kemudian datanglah putri Cina lalu sujud menghaturkan bakti memasrahkan jiwa raga kepada Jeng Sunan Jati, pula Patih Cina segera berkata sambil sujud menerimakan perkataan Sang Prabu Cina dan menyerahkan putri dan kapal tiga seisinya semoga diterima. Jeng Sunan Jati sudah menerimanya Sang putri setelah datang pada waktunya tidak lama kemudian lalu melahirkan bokor kuningan. Jeng Sunan Jati berkata: Tidak ada adatnya orang melahirkan bokor, kalu seorang manusia melahirkan tentu keluar bayi. Saksana/sekonyong-konyong bokor lenyap jadi bayi elok warnanya semunya meejurit. Bayi diberi nama Pangeran Kuningan, Jeng Sunan Jati berkata: Hai Gedeng Kemuning, ini bayi akuilah sebagai anak anda, peliharalah dengan baik, semua jajahanku yang sudah ada sekarang serahkalah kepada Pangeran Kuningan, yang jadi wakilnya adalah Gedeng Kwmuning. Ki Gedeng mengucap sandika. Jeng Sunan Jati segera pulang oleh Ki Gedeng Kemuning, kebetulan ia mempunyai anak pula yang masih menyusu, karenanya Pangeran Kuningan disusukan bersama anaknya itu dan Raja Putra Pangeran Kuningan dipelihara sebaik-baiknya. Adapun dukuh Ki Gedeng Kemuning sejak itu disebut Kuningan, oleh karena Pangeran Kuningan menetap di sana. Diceritakan Jeng Sunan Jati sudah pulang di pesanggrahan gunung Sembung. Sang putri Cina dan rombongannya sudah diislamkan semua. Adapun putri Cina setelah masuk Islam lalu dinikahi disebut Nyi Mas Rarasumanding. Antara lam kemudian Sang Putri wafat.Jeng Sunan Jati karenanya merindukan sekali, atas wafatnya Putri Cina, lalu tafakur di gunung Jati. Tidak antara hari kemudian Nyi Mas Rarakerta, seorang putri Ki Gedeng Jatimera tatkala sedang berjalan di perkebunan, Jeng Sunan Jati melihat betisnya tersingkap, lalu merasa sir, kelak di kemudian hari menjadikan tumbuh bungnya bambu di tempat itu. Jeng Sunan Jati segera bertolak ke pedesaan, dan pada waktu Ashar mampir di rumah Ke Gedeng Babadan mau mandi dan wudu. Bajunya disangkutkan pada dahan bunga cempaka yang sudah mati meranggas daunnya. Jeng Sunan Jati sebakdanya mengambil air wudu lalu bajunya dikenakan kembali lalu pohon bunga cempaka hidup kembali seperti sediakala, segar dan gemuk. Tidak lama kemudian Nyi Retna Babadan keluar dari rumahnya melihat pepohonan bunganya sudah walunya/segar kembali seperti sediakala, karenanya ia bergembira sekali. Nyi Mas segera berkata: Siapakah orangnya yang telah bisa menghidup-segarkan kembali

pepohonan bungaku ini dengan sekejap mata, apabila lelaki aku terimanya sebagai suami, dan apabila perempuan aku terimanya sebagai saudara. Tidak lama kemudian Jeng Sunan Jati keluar setelah salat Ashar lalu berkata: Itu pepohonan bunga anda hidup segar kembali atas kehendak Allah lantaran oleh bajuku, mudah-mudahan hidup segarnya pepohonan bunga itu adalah menjadi segarnya hatiku lantaran anda. Nyi Mas Retna Babadan segera sujud memasrahkan jiwa raga oleh karena tunduk kepada janjinya sendiri. Jeng Sunan Jati segera menerimanya. Ki Gedeng dipanggil menghadap, segera lalu Nyi Mas Retna Babadan dinikah sudah. Tidak antara hari lamanya Nyi Mas Retna Babadan sibawa pulang ke gunung Sembung. 24. BURAK PEJAJARAN Pada suatu hari Ki Kuwu Sri Mangana menghadap kepada Jeng Sunan Jati dan Sunan Jati berkata: Ratna Uwa (Pak De) selamat datang dan apa yang dikehendaki? Berkata Sri Mangana: Sekarang Jeng Rama Prabu Siliwangi (Sri Sang Ratu Dewata Wisesa) sudah mengirim utusan enam puluh orang yang dikepalai oleh Tumenggung Jagabaya untuk meninjau atas nama Sang Prabu bagiamana keadaan anak cucunya (anak adalah Pangeran Cakrabuana dan Ratu Mas Rarasantang dan cucu adalah Sunan Jati Purba dan Ratumas Pakungwati), namun sekarang wadyabala Pejajaran yang enam puluh orang itu dengan Ki Tumenggung Jagabaya sudah memeluk agama Islam, oleh karena itu Sang Rama Prabu sudah waktunya demoga putra mau datang di Pejajaran untuk mengislamkan Eyang/Kakek dan kerabat-kerabat, oleh karena Eyang sekarang mungkin sudak agak ada condongnya/sukanya. Jeng Sunan Jati mematuhi kehendak Sang Rama Uwa. Segera Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cakrabuana bertolak ke Pejajaran hendak mengislamkan mengganti agama Sanghyang dengan agama Islam. Diceritakan di kraton Pejajaran Sang Prabu Siliwangi dan semua istrinya dan para swlir hendak datang meninjau Sang Prabu Cakrabuana dan Sang Cucu Insankamil di Ceribon, orang Pejajaran sudah siap-siap. Tidak lama kemudian ada datangnya Ki Buyut Talibarat sudah ada di hadapan Sang Prabu. Sang Prabu berkata: Eyang Talibarat selamat datang, datangnya tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting. Berkata Ki Buyut Talibarat: Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada sang cucu hendak melakukan agama Islam, agama orang yang bosok bolong/busuk

berlubang, amoh ajur/rapuh remuk, sejak dahulu hingga sekarang mongmonganku para leluhur yang menganut agama Desa Mulya, ialah Sastrajendra Ayuningrat yang dipusti amalkan, apakah Sang Prabu silau melihat kepada putra cucu, nanti ini kraton kutanami pusaka lidi lelaki supaya kraton tidak tertampak dan Sang Prabu haraplah ngahyang sekarang juga, oleh karena Sang Putra dan Sang Cucu sebentar lagi datang. Sang Prabu mematuhi saran Ki Buyut Talibarat Sengera Kraton ditanami pusaka lidi lelaki. Para sang istri (ratu Subanglarang/permaisuri Pejajaran Ibunda Pangeran Cakrabuana sudah wafat) dan pada sang selir dibawa ngahyang lalu lenyap tanpa bekas. Kraton terlihat jadi hutan besar. Seluruh para famili, para putra Sentara tidak dibawa tertinggal di kraton Pejajaran pada tahun 1482 M. Tidak antara lama kemudian datanglah Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cirebon mengetahui bahwa Sang Prabu sudah tidak ada dalam kraton. Akan tetapi Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu masih jelas melihat kraton Pejajaran itu sebagai semula lalu masuk ke dalam kraton, menangkapi para penghuninya, yang sebagian sudah bubar. Raja Sengara tertangkap dan para sentara, para eyang sudah diislamkan. Ada yang tertangkap di angkasa, ada yang tertangkap di dalam bumi. Adapun Arya Kebo Kamale sudah tertangkap akan tetapi tidak mau Islam, berjanji nanti di akhir jaman. Lalu disuruh kemit/jaga di Cirebon. Ki Patih Argatala sebawahannya pada bersembunyi di pegunungan Jeng Sunan Jati dapat melihat mereka lalu berkata: Patih Argatala sebawahannya seperti siluman tidak bercampur dengan manusia. Ki Patih lalu sujud tobat namun agama Islam mohon nanti di akhir jaman. Jeng Sunan Jati mengampuninya akan tetapi disuruh berkumpul jaga di Cirebon. Jeng Sunan Jati lalu mendekati Dipati Siput sebawahannyayang bersembunyi di hutan. Berkata Jeng Sunan Jati: Dipati Siput sebawahannya berlaku seperti hewan bersembunyi di hutan: Saksama/sekonyong-konyong Dipati Siput menjadi macan putih, para bahwahannya menjadi macan loreng. Dipati lalu sujud bertobat namun mohon nanti di akhir jaman melaksanakan agama Islam. Berkata Jeng Sunan Jati: Barangsiapa yyang ikut kepada agama tidak diperbolehkan campur dengan manusia, sebagai hewan dan siluman. Akan tetapi Dipati Siput sebawahannya diterima pengabdiannya disuruh kemit/jaga di Cirebon. Lalu Jeng Sunan Jati memasuki kraton Pejajaran lagi, mendekati para pembesar dan para kerabat yang pada anut agama Islam. Jeng Sunan Jati

memanggil Sang Rama paman Raja Sengara dan berkata: Rama seyogyanya mengosongkan kraton Pejajaran. Berkata Raja Sengara: Namun Rama Dalem Cakrabuana sudah bermukim di Cirebon Jeng akan tetapi Rama Raja Sengara jangan berdiam di kraton, oleh karena Eyang Prabu tidak mau Islam, semoga Sang Rama mau bermukim di lain tempat, karena kraton Pejajaran sudah pasti menjadi hutan, hanya ini balai tempat duduk Sang Rama Prabu saya mohon supaya dibawa ke Cirebon dan alatalat, pedang, keris, tumbak. Raja Sengara mematuhi permintaan Sang Putra. Diceritakan masih ada seorang putra perempuan Prabu Siliwangi yang tertinggal bernama Dewi Balilayaran dapat jodoh dengan satria trah/ turunan Galuh kuna, kemudian membangun kraton lagi di luaribukota Pakwan, disebut Sunan Kabuaran. Negaranya meneruskan nama Pejajaran yang kelak di jaman Prabu Seda negaranya dibubarkan oleh bala tentara Banten Sultan Maulana Yusuf dibantu oleh bala tentara Cirebon Sultan Panembahan Ratu. Prabu Seda hingga seda/wafat pada tahun 1579 M. Seorang putra perempuan Sunan kabuaran yang bernama Dewi Mendapa/Dewi Tanduran Gagang ialah yang menjadi lantaran kelak ada raja menyelang/menjajah di jaman akhir. Ada lah kraton pakwan Pejajaran setelah ngahyangnya Prabu Siliwangi itu kosong menjadi hutan besar, tidak ada raja lagi, famili sunda bubar ke tujuan masing-masing. 1. Sunan Pajengan bermukim di Kuningan. 2. Sunan Manyak bermukim di Traju. 3. Borongora bermukim di Panjalu. 4. Raden Teel bermukim di gunung Bandang. 5. Raden Lawean bermukim di Pasir Panjang. 6. Sanghyang Pandahan bermukim di Ukur menjadi Dipati Ukur. 7. Sanghyang Kartamana bermukim di Limbangan. 8. Sanghyang Sogol bermukim di Maleber. 9. Sanghyang Mayak bermukim di Cilutung. 10. Dalem Mayak bermukim di Cilutung. 11. Dalem Naya bermukim di Ender. 12. Sunan Ranjam bermukim di Cihaur. 13. Lumansanjaya bermukim di di Sundalarang. 14. Prabu Sedanglumu bermukim di Selaherang. 15. Sanghyang Jamsana bermukim di Batulayang. 16. Sanghyang Tubur bermukim di Panembong. 17. Sri Puaciputi bermukim di Kawali.

18. Taji Malela bermukim di Sumedang, kahyangan yang menurun kepada menak-menak di Sumedang, di Ciasem, di Cianjur, di Bogor, di Krawang itu semua adalah turunan Taji Makeka. 25. JENG SUNAN JATI DAN KI KUWU CIREBON BERTOLAK KE BANTEN. Jeng Sunan Jati bersama Ki Kuwu lalu bertolak terus ke arah barat tujuannya ke Banten, datang sudah di Kegeng Kawunganten. Jeng Sunan Jati berhasil mengislamkan Ki Gedeng Kawanganten seanak cucunya dan serakyat Kawunganten sudah turut masuk Islam. Para gegedeng tetangganya sudak pada suhud anut. Syahdan Jeng Sunan Jati melihat putrinya Ki Gedeng Kawunganten yang bernama Dewi Kawunganten merasa suka, lalu diminta untuk dijadikan istri. Sebakdanya pernikahan kemudian antara sebulan lamanya lalu Jeng Sunan Jati, Dewi kawunganten, datang sudah di pesanggrahan gunung Sembung. Jeng Sunan Jati segera menggelarkan agama meneruskan sebagai Imam. Para gegedeng pula para buyut, Syekh Magrib, Syekh Majagung, Syekh Bentong, Syekh Lemahabang, dan Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan dan Syekh Datuk Khafid pada menghadap Jeng Sunan Jati siang malam memberi wejangan kitab Quran, seluruh para murid pada berkumpul semua. Dalam fikiran Pangeran Panjunan terlintas suatu pendapat, sayang yang jadi Imam wejangannya hanya fikih saja, seyogya orang-orang muda yang pada merubung, bukan seyogya tempatnya orang-orang tuwa. Karenanya Pangeran Panjunan tidak mau menghadap lagi, seterusnya tafakur saja di dalam masjid Panjunan. Tidak antara lama kemudian Jeng Sunan Jati datanglah menemui Pangeran Panjunan, segeralah Pangeran Panjunan memnubruk Jeng Sunan jati dikanti/dibimbing duduk sejajar. Pangeran Panjunan berkata: Selamat datang adik Sunan, tidak disangka maut datang di Panjunan, bagaimana yang dikehendaki? Berkata Jeng Sunan Jati: Mungkin adik tidak seyogya menjadi Imam yang digelarkan hanya kitab Fikih dan Quran, untuk orang yang berilmu kurang condong/kurang suka, karena adik adalah orang bodoh. Berkata Pangeran Panjunan: Dan apalah bawaan adik dari Mesir, ilmu apakah yang jadi pegangan? Jeng Sunan Jati menjawab: Si adik hanya membawa ilmu sahabat yang jadi pegangan, sarengat yang digelarkan. Berkata Pangeran Panjunan: Adik. Sahadatdan

sarengat adalah untuk orang awam, umum sudah mengetahuinya, itu adalah amalan sarengat untuk santri dan kaum agamanya, adapun ilmu kemakrifatan dan ketauhidan, ilmu kesempurnaan seyogya adik yang empunya. Berkata Hidayatullah: Semoga ada sih Jeng Kakak si adik diberi wejangan ilmu kemakrifatan atau kesempurnaannya, ketauhidan, seledailah sudah wejangannya. Jeng Sunan Jati mengucap terima kasih lalu berkata: Jeng Kakak seyogya jadi Raja Panetep Panata Agama, lebih seyogya Jeng Kakak yang menjabatnya. Berkata Pangeran Panjunan: Sudah dipastikan tidak boleh dirubah Jeng Adik yang menjadi Nata/Raja seturunannya dan waris pemegang agama, si kakak tidak kejatuhan waris menjadi Ratu/Raja dan menggelarkan sarengat agama, akan tetapi si Raka menyetujuinya. Lalu tidak antara lama Jeng Sunan mohon pamit, segera datang sudah di gunung Sembang. 26. WALI SANGA JAWADWIPA Yang terpilih menjadi Ketua/Kutub ialah Jeng Sunan Jati, Hanya untuk memuliakan Guru dan sesepuh para Wali jabatan ketua sementara diserahkan kepada Sunan Ampel. Setelah Sunan Ampel wafat jabatan dipegang seterusnya oleh Jeng Sunan Jati. Sunan Jati Syarif Hidayatullah sebagai Ketua/Kutub 1. Sunan Ampel almarhum/diteruskan oleh Sunan Giri. 2. Syekh Maulana Magrib. 3. Sunan Bonang. 4. Sunan Undang/ setelah gugur diteruskan oleh putranya, Sunan Kudus. 5. Sunan Muria. 6. Sunan Kalijaga. 7. Syekh Lemahabang/ setelah wafat tidak diteruskan. 8. Syekh Bentong. 9. Syekh Majagung. Sunan Ampel almarhum tidak mengalami jatuhnya Majapahit dan zhahirnya Kesultanan Demak. 27. BUNG CIKAL

Diceritakan pada suatu waktu bertepatan dengan hari Isnen Kanjeng Sunan Jati sedang diseba oleh seluruh para murid, para pejabat pemerintahan dan Patih Suranenggala suadh di hadapannya. Tidak lama kemudian datanglah Ki Gedeng Jatimerta bersama sang cucu sudah menghadap di hadapan Jeng Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata: Gedeng Jatimerta menghadapnya dengan anak kecil dan tergesa-gesa, bertemu di hadapanku, apa kemauan anda yang penting? Ki Gedeng segera berakta: Duhai Gusti, mohon sih ampunan Dalem hamba lancang menghadap, oleh karena membawa putra Dalem yang telah lahir dari putri hamba, Rarakerta. Berkata Jeng Sunan Jati: Sebabnya aku mempunyai putra bersatu denga Rarakerta karena aku belum merasa nikah. Ki Gedeng berkata: Adapun waktu dulu anak hamba Rarakerta sedang berjalan di perkebunan ia melihat sampeyan Dalem sedang berdiri, tidak antara lama si Rarakerta pulang sambil menangis jatuh cinta kepada sampeyan Dalem. Pada antara hari bekas sempayen Dalem berdiri disungkemi oleh Rarakerta siang malam. Antara sebulan lamanya lalu tumbuh bungnya bambu, lalu bungnya bambu itu dimakannya. Antara sebulan lamanya kemudian Rarakerta mengandung, dan sesudah datang pada waktunya lalu melahirkan seorang bayi lelaki, iya inilah yang hamba bawa caos/menghadap di hadapan Paduka. Jeng Sunan Jati lalu ingat kalawaktu merasa sir waktu melihat seorang perempuan sedangnya beliau tafakur di gunung jati. Segera Jeng Sunan Jati berkata: Gedeng Jatimerta, itu nyatanya anak termasuk anak sir seyogya peliharalah yang baik, akan tetapi itu anak sekarang tidak dapat waris, wallahu alam kelak di akhir jaman, hanya aku memberinya nama Bung Cikal. Namun Rarakerta sekarang aku pinta untuk dijadikan istri. Ki Gedeng mengucap sendika, lalu Bung Cikal dibawa betapa. Nyi Mas Rarakerta sudah dinikah menjadi seorang istri Jeng Sunan Jati. 28. LOKACAYA Diceritakan Lokacaya putra Ki Wilatifka Tumenggung Tuban bermaksud berguru kepada Sunan Jati Cirebon, datang sudah di kraton Pakungwati Cirebon. Jeng Sinuhun sedang tiada karenanya Lokacaya menunggu sedatangnya. Terlintas dalam fikirannya apakah beliau tidak mengetahui

bahwa aku di sini telah lama menunggu. Tidak lama kemudian ada cangkir dari batu mirah sepasang penuh berisi, ia mengambil cangkir itu hendak diminum istrinya. Cangkir mengucap: Belum ada yang mengizinkan koq berani akan dimunim isinya? Lokacaya terkejut ada cangkir bisa bicara, semuanya merasa malu lalu cangkir diletakkan kembali sungguh kramatnya Sinuhun Cirebon. Karenanya Lokacaya lebih mantap kemauannya setia tuhu kepada Guru. Tidak lama kemudian lalu Jeng Sunan Jati datang di hadapan Lokacaya. Ia segera sungkem menghaturkan bakti. Jeng Sunan Jati melihat bahwa Lokacaya itu adalah sungguh Waliyullah, segera datang adik Lokacaya dan bagaimana di Ampel dan para saudara di Bonang dan Undang. Berkata Lokacaya: Berkah Dalem, semua para saudara sedang ada sehat-sehat saja, namun hamba mohon sih kemurahan Dalem semoga diberi wejangan sejatinya sahadat dan sempurnanya tauhid. Jeng Sunan Jati melihat dalem lauhil mahfuzh seharusnya Nabiyullah Khidir yang memberinya wejangan itu. Lalu berkata: Kalau sang adik sungguh-sungguh keinginannya semoga di tempat yang sunyi. Segera Lokacaya bersama Jeng Sunan Jati bertolak ke hutan yang sunyi datang sudah di hutan di pinggir sungai di bawah pohon andul. Berkata Jeng Sunan Jati: Ini buah kemiri seratus banyaknya untuk bilangan, seyogya jangan pergi-pergi dari pinggir sungai ini, dan sang adik aku beri nama Kalijaga. Jeng Sunan Jati lalu pulang. Lokacaya mematuhi perintah guru, kalau malam menaik dalam pohon andul, kalau siang membangun perkebunan, jadi mashur deisebut kebun Kalijaga. Pada suatu hari antara bulan kemudian buah kemiri yang seratus itu jatuh dalam sungai. Lokacaya segera terjun ke dalam sungai untuk mengambil buah kemiri-kemiri itu namun sekonyong-konyong ditimpa oleh banjir besar. Lokacaya lalu hanyut akhirnya datang dalam dasar laut. Segera ia ditangkap oleh Nabiyullah Khidir, lalu ingatlah sang Lokacaya kepada terang benderang laksana di dalam sebuah negara, buah-buahan warnawarni, bebungaan manca warna, dan ia sudah berada di hadapan Baginda Khidir. Lokacaya segera menubruk sujud beraba-raba sambil berkata: Duhai Eyang mohon sih berkah Dalem, hamba ini bagaimana, melihat lain jaman. Nabiyullah Khidir berkata sambil tertawa: Jabeng/tole Kalijaga, sekarang aku beri anda sesuatu, terimalah, kantong dan panurat/ alat menulis dan makanlah sekenyangnya, sebagai ganjaran orang yang mematuhi perintah Guru. Lalu Kalijaga segera makan, merasa seribu nikmat seribu rahmat, setelah makan lalu diberinya wejangan sempurnanya tauhid oleh Nabiyullah Khidir. Sudah selesai olehnya ia diwejang. Kalijaga lalu mohon

pamit, segera pulang datang sudah di darat terus masuk hutan keluar hutan naik gunung turun gunung merantau sesukanya. 29. KANJENG SINUHUN CIREBON BERTOLAK KE NEGARA MESIR. Diceritakan Kanjeng Sinuhun Cirebon bertolak ke negara Mesir hendak menghadap kepada Ibundanya terus perjalanannya datang sudah di kraton Mesir. Diceritakan di tanah Pasundan di Maleber Babakan Cianjur. Dipati Awangga dan sang adik Dipati Selalarang, putri Dewi Siliwati bersuami dengan Sang Ngewalarang, seorang cucu dari Prabu Siliwangi. Berkata Dipati Awangga: Adik Selalarang, kakak tadi malam dapat sasmitanya Dewa disuruh pergi ke laut, disuruh mencari udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di situlah akan menemukan lantarannya kemuliaan lagi perwira sakti, adik sekarang tinggallah di sini, tidak akan pulang kalau belum trelaksana. Segera Dipati Awangga berjalan terus ke laut, siang malam merendam diri mencari udang lelaki perempuan. Diceritakan di kraton Mesir Kanjeng Sunan Jati sudah datang duduk sejajar dengan Ibundanya, Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim dan adik Syarif Nurullah. Berkata Jeng Sinuhun: Semoga ibu mengetahui di Pejajaran sudah pada Islam, pula para akrab, namun Eyang Prabu Siliwangi para istri dan para selir tidak Islam ngahyang meninggalkan kraton, dan putra sudah dapat jodoh, di antaranya Putri Cina, namun tidak lama lalu meninggal, seorang putri Gedeng Babadan, seorang putri Ki Gedeng Kawunganten, putri Rama Uwa, Sri Mangana, yang bernama Ratu Pakungwati berikut diserahkan kratonnya, seorang putri Ki Gedeng Jatimerta bernama Rarakerta, sudah empat istri yang dinikah. Pula putra sudah menjabat sebagai Sinuhun di Cirebon diangkat oleh Rama Uwa Cakrabuana. Pula para saudara dari Bagdad telah menyerahan seluruh pengikutnya dan para gegedeng dan para tetangga negara pada tunduk. Ber