perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/skripsii.doc · web...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversitas tinggi. Salah satu
fauna Indonesia yang turut berperan serta dalam memperkaya biodiversitas
berasal dari kelas Mamalia ordo Primata. Satwa Primata memiliki struktur
anatomi dan fungsi fisiologis yang mirip dengan manusia, terutama satwa primata
genus Macaca.
Saat ini penggunaan satwa primata sudah sangat meluas terutama dipakai
sebagai hewan model penelitian diberbagai laboratorium baik didalam negeri
maupun diluar negeri. Penelitian-penelitian tersebut ditunjukan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, misalnya untuk pengujian pengaruh
kerja obat sebelum suatu obat dipasarkan, pengujian mutu vaksin, berbagai
pengaruh agen-agen penyakit yang merugikan kesehatan manusia dan lain
sebagainya. Kemiripan anatomi dan fisiologis yang dimiliki satwa primata
mengakibatkan satwa primata sering dijadikan hewan model untuk berbagai
macam penelitian.
Selain satwa primata yang dapat dijadikan hewan model dalam penelitian
terdapat hewan lainnya seperti kelinci, kambing, mencit dan kuda yang juga
sering dijadikan hewan model dalam penelitian. Hewan-hewan yang akan di
jadikan penelitian harus dipastikan bebas dari berbagai macam penyakit dan virus
agar hasil penelitian yang diperoleh akurat. Pada penelitian untuk mendeteksi
virus SRV ini hewan model yang digunakan yaitu Kelinci New Zealand
dikarenakan kelinci New Zealand menjadi hewan model yang responsif untuk
produksi antibodinya dan juga kelinci New Zealand ini dapat diambil banyak
darahnya karena memiliki bobot tubuh yang lebih besar dari pada kelinci lokal
juga dalam proses penanganan dikandang kelinci tidak membutuhkan biaya yang
besar karena sangat efisien jika dibandingkan dengan hewan Macaca itu sendiri.
Macaca memerlukan biaya yang besar dalam hal makanan dan dalam segi
perawatannya jauh lebih mahal dari pada kelinci dan juga darah yang bisa diambil
tidak bisa sebanyak jika menggunakan kelinci New Zealand. Selain kelinci ada
2
beberapa hewan model yang biasa digunakan dalam berbagai macam penelitian
biomedis seperti kambing, mencit atau bahkan kuda.
Beberapa pusat penelitian satwa primata baik di dalam negeri maupun
diluar negeri melakuan uji penapisan (screening test) untuk mendapatkan primata-
primata dengan status SPF (Spesific Pathogen Free). Pada Macaca Asia terdapat
tiga macam virus dari genus retrovirus yang cukup berbahaya, yaitu Simian
Retrovirus (SRV), Simian Immunodeficiency Virus (SIV) dan Simian T-
Lymphotropic Virus (STLV) yang sangat infeksius dan sangat mengganggu
penelitian biomedis.
Pelaksanakan penyeleksian untuk mendapatkan satwa primata yang bebas
dari SRV, dapat dipakai beberapa uji khusus yang digunakan untuk mendeteksi
agen penyakit ini. Salah satu uji penapisan yang dilakukan untuk menyatakan
bahwa satwa primata bebas dari agen patogenitas yaitu uji serologis dengan teknik
Immunoblotting yaitu Western blot (WB) yang diawali dengan elektroforesis dan
ELISA (Enzym Linked Immunoabsorbant Assay) (chen et al. 1992).
Virus yang biasanya menyerang satwa primata adalah Simian Retrovirus
(SRV). Virus ini umumnya secara alami menyerang populasi Macaca di Asia
khususnya Indonesia (Iskandriati et al. 2010). Simian Retrovirus adalah salah satu
agen penyakit yang dapat menyebabkan sindroma penurunan kekebalan tubuh
(Simian Acquired Immunodeficiency Syndrome, SAIDS) pada primata genus
Macaca yang berasal dari Asia. Gejala klinis yang tampak pada Macaca yang
terinfeksi SRV antara lain diare yang berkepanjangan tanpa penyebab yang pasti,
penurunan berat badan yang drastis, dehidrasi, dan munculnya beberapa infeksi
oportunistik seperti yang terjadi pada penderita Acquired immunodeficiency
Syndrome (AIDS) (Baker 2003).
Western Blot adalah proses pemindahan hasil protein dari gel hasil
elektroforesis ke membran. Uji identifikasi dengan teknik Western Blot dapat
memberikan hasil yang lebih baik daripada uji identifikasi antigen-antibodi
ELISA (Enzym Linked Immunoabsorbant Assay). Teknik ELISA cukup cepat dan
efisien untuk menyeleksi sampel positif SRV, namun sering terjadi false positive.
Berbeda dengan teknik ELISA, teknik Western Blot ini lebih khusus dalam
mendeteksi antibodi terhadap infeksi virus dan dapat memberikan hasil yang lebih
3
baik dari ELISA karena pada teknik Western Blot antigen SRV dipisahkan
berdasarkan bobot molekul sehingga sampel dinyatakan positif apabila
menunjukkan adanya pita spesifik menurut reaksi antibodi dari sampel dan
antigen SRV (Micklos et al. 2003).
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi SRV-2 (Simian Retrovirus-2 )
dari serum kelinci New Zealand dengan teknik Western Blot.
1.3 Manfaat Penelitian
Sampel positif SRV-2 yang diperoleh dari sampel darah kelinci pada
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kontrol positif untuk uji
diagnostik terhadap SRV-2, tersedianya kontrol positif terhadap SRV-2 ini dapat
menunjang program screening untuk memperoleh koloni satwa primata yang
bebas SRV-2
1.4 Hipotesis
Beberapa sampel darah kelinci New Zealand yang diujikan dalam
penelitian ini diduga mendapatkan hasil positif SRV yang sesuai standar
berdasarkan teknik Western Blot sehingga dapat dijadikan kontrol positif.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simian Retrovirus-2 (SRV-2)
Para ahli telah berhasil menemukan suatu virus baru yang dapat
menyebabkan suatu penyakit pada satwa primata yang menyerupai AIDS pada
manusia pada periode tahun 80-an (Cowen 1984). Virus ini kemudian dikenal
sebagai Simian Retrovirus (SRV) yang diklasifikasikan dalam keluarga
Retroviridae, sub famili Oncovirinae.
Simian Retrovirus merupakan betaretrovirus yang secara etiologi
berhubungan dengan terjadinya sindrome penurunan kekebalan tubuh pada satwa
(simian acquired immunodeficiency syndrome, SAIDS) dengan berbagai tingkat
keparahan pada spesies Macaca asal Asia (Fridman 2002). Gejala klinis yang
tampak pada Macaca yang terinfeksi SRV antara lain diare yang berkepanjangan
tanpa penyebab yang pasti, penurunan berat badan yang drastis, dehidrasi serta
munculnya beberapa infeksi oportunistik seperti yang terjadi pada penderita AIDS
(Baker 2003). SRV-2 dapat digunakan sebagai virus model dalam memahami
infeksi retrovirus karena dapat menimbulkan gejala berupa penurunan kekebalan
tubuh pada Macaca yang mirip dengan AIDS pada manusia. SRV memberikan
masalah yang signifikan dalam pengelolaan penangkaran Macaca.
Virus ini dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi
khususnya dalam kondisi pengandangan kelompok Macaca (Lerche NW 1992).
Disamping itu infeksi SRV dapat menjadi faktor pengganggu (confounding)
dalam penelitian biomedis yang menggunakan satwa-satwa ini sebaagai subyek
penelitian (Lerche NW dan Osborn KG 2003). Secara serologis, sekitar 30-40%
Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina di Indonesia memiliki antibodi
terhadap SRV-2, yang dapat diasumsikan bahwa hewan tersebut pernah terpapar
dengan SRV-2. Virus ini menyerang genus Macaca dan ditularkan secara
horizontal, artinya ditularkan antar satwa primata dalam satu generasi dan tidak
ditularkan dari orang tua ke anakan (Gyrus et al. 1993). Infeksi akibat SRV
ditemukan pada Macaca hasil penangkapan dari alam liar dan menjadi endemik
pada populasi penangkaran di beberapa pusat penelitian Amerika Serikat. Sampai
5
saat ini telah berhasil ditemukan dan diidentifikasi lima anggota serotipe SRV asal
Macaca, yaitu serotipe SRV 1-5, serotipe SRV-6 asal Hanuman langur
(Semnopithecus entellus) dan serotipe-7 asal monyet resus (M. mulatta) dan S.
entellus (Fine D dan Schochetman G 1999; Nandi JS et al. 2003; Nandi JS et al.
2006).
Serotipe SRV-2 telah berhasil diidentifikasi pada awal tahun 1980 pada
kasus infeksi endemik yang terjadi pada beruk (M. nemestrina), monyet ekor
panjang (M. fascicularis), dan monyet jepang (M. fuscata) di pusat penelitian
primata nasional Washington, dan pada monyet resus (M. mulatta) serta monyet
hitam Sulawesi (M. nigra) di pusat penelitian primata nasional Oregon.
Pengadaan Macaca bebas SRV memerlukan proses penapisan atau
screening yang melibatkan berbagai uji laboratorium yang teliti. Uji-uji tersebut
meliputi deteksi antibodi SRV dalam serum darah. Uji pendeteksian antibodi SRV
yang biasa digunakan adalah dengan teknik serologis ELISA (Enzyme Linked
immunosorbant assay) dan Western Blot.
Pengujian ada atau tidaknya antibodi terhadap virus ini dapat dilakukan
dengan uji Western Blot (WB), pada uji Western Blot keberadaan pita dari protein
spesifik yang menyandikan inti (gp20) (gp70 dan p22) (Gambar 1). Jika pada
serum darah satwa primata terdapat pita dari protein spesifik tersebut maka sudah
dapat disimpulkan bahwa satwa primata tersebut sudah terinfeksi SRV.
Gambar 1. Membran Nitroselulosa Kontrol Uji SRV
gp 70
gp 20p 22
6
2.2 Kelinci New Zealand
Gambar 2. Kelinci New Zealand
Klasifikasi Kelinci
Ordo : Lagomorpha
Famili : Leporidae
Sub famili : Leporine
Genus : Lepus, Orictolagus
Spesies : Lepus spp., Orictolagus spp
Kelinci New Zealand merupakan kelinci albino, tidak mempunyai bulu
yang mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal. Bermata merah,
termasuk kelinci berbadan besar, karena tumbuhnya cepat besar sehingga sering
diternakan untuk dikonsumsi dagingnya (berat dewasa sekitar 5 kg lebih, anaknya
dapat mencapai 10-12 ekor). Sesuai dengan namanya, jenis kelinci ini berasal dari
New Zealand dan awalnya berkembang selain di New Zealand sendiri, juga di
Amerika Serikat dan Australia. Namun sekarang sudah menyebar ke seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Kelinci New Zealand ini ada berbagai warna dan
dinamakan sesuai warna tersebut, misalnya New Zealand White (putih), New
Zealand Red (merah), New Zealand Black (hitam) . Yang paling populer adalah
kelinci New Zealand White. Keunggulan kelinci albino ini yaitu pertumbuhannya
cepat karena itu cocok untuk diternakan sebagai penghasil daging komersial dan
kelinci percobaan di laboratorium (Sarwono 2001). Pada pemilihan hewan kelinci
New Zealand digunakan sebagai model penelitian didasarkan pada kelinci
7
biasanya karena dapat menghasilkan banyak serum. Hewan ini gampang
pemeliharaannya, daya tahan tubuhnya tinggi dan mudah diambil darahnya
(Graham 1995).
2.3 Antibodi
Antibodi adalah zat yang timbul dalam tubuh untuk melawan bibit
penyakit atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Setiap antibodi
mempunyai posisi ikatan (binding site) yang spesifik untuk suatu jenis molekul
tertentu.
Darah mempunyai tiga macam protein globulin yaitu alpha, beta dan
gamma berdasarkan rata-rata migrasi elektroforesis. Antibodi adalah protein
globulin gamma yang bereaksi secara spesifik dengan antigen, yang jumlahnya
mencapai 20% dari total protein dalam plasma darah (Levinson dan Jawetz 2000)
Fungsi utama antibodi adalah melindungi tubuh terhadap produk dan
agen infeksi. Antibodi bersifat resisten karena kemampuannya menetralisir racun
virus. Hewan secara normal menghasilkan respon kekebalan yang tinggi terhadap
masuknya material asing seperti virus atau bakteri. Antibodi dapat mengenali
bagian dari material asing tersebut, selanjutnya akan berikatan dengan material
asing dan bereaksi untuk menetralisirnya (Goldsby et al. 2000).
Antibodi yang berasal dari respon hewan terhadap antigen secara khusus
adalah heterogen, karena dibentuk oleh beberapa klon sel plasma, sehingga
disebut antibodi poliklonal. Antibodi poliklonal ini umumnya dibuat dengan cara
menyuntikkan antigen ke tubuh hewan seperti kelinci, mencit atau kambing.
Antibodi tersebut mempunyai banyak manfaat secara luas digunakan sebagai
reagens diagnostik untuk mendeteksi suatu bahan biologis, sampai saat ini
hiperimunisasi (penyuntikan) merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan
sejumlah antibodi terhadap antigen yang spesifik (Graham 1995).
2.4 Serum
Serum adalah cairan bening yang memisah setelah darah didapat dengan
cara membiarkan darah dalam tabung reaksi (tanpa anti koagulan) membeku dan
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk mengendapkan semua sel-
selnya, cairan diatas disebut serum. Serum tampak sangat jernih dan mengandung
8
zat antibodi. Antibodi ini berfungsi untuk membinasakan protein asing yang
masuk ke dalam tubuh. Protein asing yang masuk ke dalam tubuh disebut antigen.
Serum hiperimun adalah imunisasi (penyuntikan) dengan sengaja terhadap hewan
dengan suatu antigen yang spesifik dalam rangka untuk mendapatkan suplai
antibodi. Antibodi ini didapatkan dengan dengan jalan mengumpulkan sampel
darah hewan yang diimunisasi, yang kemudian dapat berguna sebagai serum
hiperimun (Graham 1995).
2.5 Serologi
Serologi merupakan ilmu imunologi yang mempelajari reaksi antara ikatan
antigen-antibodi yang terjadi secara in vitro yang dapat memberi hasil secara
tepat. Tingkat pembentukan antibodi dapat dideteksi dengan mengetahui
tanggapan tubuh terhadap agen infeksi. Konsentrasi antibodi dalam tubuh dapat
diketahui secara kualitatif maupun kuantitatif dengan melakukan uji terhadap
darah. Uji serologi yang dilakukan adalah ELISA (Enzyme-linked immunosorbant
assay) dan Western Blot yang merupakan suatu rangkaian uji penapisan dan
penegasan yang biasa dilakukan terhadap darah Macaca.
2.6 Imunoglobulin
Imunoglobulin (Ig) terdiri atas molekul-molekul protein yang walaupun
memiliki banyak persamaan dalam hal struktur yang dan sifat biologis. Antibodi
yang dibentuk sebagai reaksi terhadap suatu jenis antigen, masing-masing hanya
dapat berikatan dengan antigen yang relevan (Kresno 2002). Molekul
imunoglobulin bukan sekedar molekul yang dapat mengikat antigen dengan cara
lock and key, tetapi mempunyai sifat yang sangat kompleks. Agar dapat berfungsi
secara efektif, molekul imunoglobulin harus mempunyai bagian yang dapat
bereaksi secara spesifik dengan antigen (Goldsby et al. 2000).
2.7 Imunoglobulin G (IgG)
Imunoglobulin G (IgG) merupakan kelas yang paling dominan dalam
serum, mencapai 70-75% dari total imunoglobulin serum. IgG adalah protein
imunitas yang disintesis oleh tubuh sebagai tanggapan spesifik terhadap suatu
molekul yang kontak dengan sel-sel tubuh dan dianggap asing oleh tubuh. IgG
9
mampu mengenali dan berikatan dengan antigen yang spesifik diantara ribuan
atau jutaan antigen yang lain. Tidak ada interaksi yang lebih spesifik daripada
interaksi antara antigen-antibodi. Banyak teknik imunologi sudah dikembangkan
berdasarkan kespesifikan ikatan antigen-antibodi, seperti ELISA dan Western Blot
(Alpha Diagnostic International, Inc, 1996).
2.8 ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbant Assay)
Reaksi antigen dan antibodi dapat digunakan dalam prosedur uji atau
deteksi, karena dapat memberikan kespesifikan dan kesensitifan yang tinggi.
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbant Assay) merupakan suatu uji biokimia
yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau antigen dalam suatu
sampel dengan pelabelan enzim yang biasa disebut enzim immunoassay (Stanley
2002). ELISA menggunakan enzim yang dikonjugasikan ke antibodi (konjugat).
Dengan menambahkan substrat target dari enzim terikat antibodi akan terjadi
penguraian substrat oleh enzim, yang menimbulkan warna yang memiliki tingkat
intensitas yang berbeda-beda yang disebut nilai OD (Optical Density).
Teknik ELISA pada dasarnya merupakan metode yang terbilang sensitif
untuk mendeteksi protein tetapi kurang spesifik sehingga dapat terjadi
kemungkinan adanya positif palsu (false positive). Serum atau plasma darah yang
diujikan masih mengandung banyak protein-protein lain dari virus. Protein yang
tidak spesifik ini dapat berlekatan dengan antigen sehingga dapat terjadi positif
palsu.
Keunggulan dari uji ini yaitu tidak memerlukan biaya yang besar untuk
bahan dan alat, dapat disesuaikan dengan kebutuhan, mudah, cepat, dan sensitif.
Data dapat diinterpretasikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Crowter
2001).
Disamping beberapa keuntungan yang telah diuraikan di atas, uji ELISA
dapat memberikan kerugian yaitu menghasilkan nilai hasil uji positif palsu dan
negatif palsu. Pengertian dari nilai hasil positif palsu yaitu bahwa sampel uji
ELISA yang memberikan hasil positif, setelah diuji kembali dengan uji peneguhan
yang lebih spesifik akan memberikan hasil yang negatif. Sebaliknya nilai hasil
10
negatif palsu berarti sampel hasil uji ELISA yang negatif, setelah diuji ulang
dengan uji peneguhan maka akan memberikan hasil yang positif.
ELISA digunakan sebagai uji serologi awal untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap virus pada sampel serum. Hasil negatif ELISA juga tidak selalu
menandakan bahwa sampel uji pasti bebas dari virus. Hal ini dapat terjadi karena
adanya window period atau waktu yang diperlukan antibodi untuk mengenali
antigen virus. Selama berada pada window period, uji ELISA tidak menunjukan
hasil positif (Crowter 2001).
Adanya teknik ELISA ini, penapisan sampel dapat dilakukan dengan cepat
dan dalam jumlah yang banyak. Teknik ELISA menggunakan dua macam
lempeng (plate), berupa strip (berisi 8 sumur) dan lempeng 96 sumur (96-well
plate). Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, Polystrip dibuat
dalam bentuk kecil sehingga kemampuan adsorpsi protein jauh lebih merata
ditiap-tiap well-nya sedangkan Polysorp plate pada bagian pinggir biasanya daya
adsorpsinya kurang sehingga biasa digunakan untuk blanko atau tidak digunakan
untuk uji sampel. Untuk sampel dalam jumlah sedikit dapat digunakan strip dan
untuk sampel dalam jumlah banyak dapat digunakan lempeng 96 sumur.
Gambar 3. Tahapan Pengujian ELISA ([MP-Biomedicals] 2012).
11
Gambar 4. Well Elisa
2.9 Elektroforesis SDS-PAGE
Elektroforesis SDS-PAGE merupakan proses pemisahan molekul
berdasarkan muatannya dan menggunakan polyacrylamide sebagai bahan
pemisah. Teknik ini juga digunakan untuk menentukan jumlah dan ukuran dari
masing-masing rantai polipeptida. SDS-PAGE banyak digunakan dalam
praktikum biologi molekuler, genetik, biokimia, dan biomedik. SDS-PAGE
biasanya digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan sifat electrophoretic
mobility (pemisahan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan
tingkat migrasi dan berat molekulnya (BM) dalam sebuah medan listrik). Teknik
paling banyak digunakan untuk bloting protein. Keuntungan dari teknik ini adalah
cepat, pemindahan gel kedalam membran dapat dipindahkan dalam waktu yang
sama (Graham 1995). Protein yang dipisahkan dengan SDS-PAGE dapat
dikarakterisasi berdasarkan berat molekulnya SDS-PAGE merupakan teknik
purifikasi skala kecil yang menghasilkan pemisahan suatu protein berdasarkan
berat molekulnya dalam band (pita) spesifik yang tampak pada gel
polyacrylamide.
12
Gambar 5. Proses transfer antigen dari gel ke membran pada Western Blot
([Leinco Technologies] 2006).
Gambar 6. Alat Elektroforesis SDS-Page
.Elektroforesis digunakan pada tahap awal Western Blot untuk -
memisahkan protein dari antigen virus berdasarkan berat molekulnya. Metoda
elektroforesis yang digunakan adalah sodium dodecyl sulfat poly acrylamide Gel
Electrophoresis(SDS-PAGE).Pada metoda ini sample buffer yang mengandung
SDS ditambahkan pada sampel protein (antigen) untuk menyeragamkan muatan
molekul protein menjadi negatif sehingga pemisahan lebih didasarkan pada berat
13
molekul. Selain itu, sample buffer juga yang mengandung bromophenol blue
berfungsi sebagai penanda protein pada saat proses running.
2.10 Western Blot
Beberapa pengujian laboratorium yang yang menawarkan spesifisitas
yang baik meliputi uji Western Blot, Radio Immunoassay (RIA) dan pengujian
lain yang menggunakan protein rekombinan sebagai antigen. Diantara uji-uji tadi
Western Blot dianggap sangat informatif dan merupakan uji standar (gold standar)
bagi pengujian serologis Retrovirus (Constantine et al 1992 dalam Maryati, 1999).
Western Blot dipercaya sebagai sarana untuk melakukan screening
antibodi terhadap agen virus, tetapi prosedur Western Blot memerlukan waktu
yang cukup lama dan memerlukan ketelitian pengerjaan. Sensitifitas Western Blot
tergantung pada pada kualitas antigen yang digunakan.
Proses Western Blot secara garis besar terbagi atas 3 tahap yaitu :
1. Tahap pemisahan antigen virus dengan Sodium Dodecyl Sulfat-Poly
Acrylamide Gel Elektroforesis (SDS-Page)
2. Tahap pemindahan protein virus ke Membran Nitroselulosa
3. Tahap pengujian serum sampel secara langsung dengan cara reaksi enzim-
substrat (Constantine et al. 1992 dalam Maryati, 1999).
Western Blot adalah proses pemindahan hasil protein dari gel hasil
elektroforesis ke membran dan digunakan untuk mendeteksi protein pada sampel
jaringan. Imunoblot menggunakan elektroforesis gel untuk memisahkan protein
asli. Hasil elektroforesis antigen lalu ditransfer ke membran nitroselulosa dengan
bantuan arus listrik (Nur & Adijuwana 1989). Antigen pada membran selanjutnya
akan dikenali oleh antibodi dari sampel. Pita-pita yang terpisah dapat dideteksi
dengan terdatnya warna pada membran. Western blot digunakan secara luas untuk
menentukan ukuran antigen dan antibodi yang diketahui, serta untuk diidentifikasi
(Rani 2007). Teknik ini memiliki beberapa keuntungan seperti :
1. Teknik ini mapu mendeteksi protein dengan sensitivitas tinggi karena
protein dipekatkan dalam volume kecil.
2. Waktu yang dibutuhkan efisien.
3. Reagens yang digunakan lebih ekonomis.
14
Penambahan konjugat (antibodi kedua yang mengandung enzim)
bertujuan mengenali antibodi dari sampel yang telah menempel dengan antigen
pada membran dan dapat pula memecah substrat (chromogen) sehingga
menimbulkan warna dan tampak sebagai pita-pita pada membran.
Uji identifikasi dengan Western Blot dapat memberikan hasil yang lebih
baik dari ELISA karena pada Western Blot, antigen telah dipisahkan berdasarkan
berat molekulnya sehingga sampel hanya dinyatakan positif bila menunjukan
adanya pita yg spesifik menurut antigennya (Micklos et al. 2003).
Gambar 7. Deteksi uji serologi Western Blot
([Leinco Technologies] 2006.
2.11 Interpretasi hasil Western Blot dan ELISA
Parameter-parameter yang perlu diperhatikan untuk memilih suatu agen
penyakit yaitu parameter Sensitifitas, Spesifisitas dan Nilai Prediksi (Positif dan
Negatif) (Constantine et al. 1992 dalam Maryati, 1999). Pada penelitian ini
dilakukan perbandingan antara uji Western Blot dan uji ELISA.
Pengertian parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sensitifitas adalah kemampuan dari suatu uji untuk mendeteksi sejumlah
kecil yang dianalisa.
2. Spesifisitas adalah kemampuan dari uji tersebut untuk mengidentifikasi
semua sampel yang tidak mengandung antibodi (tidak memberikan hasil
positif palsu).
15
3. Nilai Prediksi Positif adalah frekuensi dari sampel dengan Western Blot (+)
diantara seluruh sampel dengan ELISA (+).
4. Nilai Prediksi Negatif adalah frekuensi dari sampel dengan Western Blot (-)
diantara seluru sampel dengan ELISA (-).
Selain itu, terdapat nilai terhadap hasil positif palsu dan negatif palsu yaitu :
1. Nilai Positif Palsu berarti prosentase perbandingan antara hasil ELISA (+)
dan Western Blot (-) dengan seluruh hasil Western Blot (-).
2. Nilai Negatif palsu berarti prosentase perbandingan antara hasil ELISA (-)
dan Western Blot (+) dengan seluruh hasil Western Blot (+).
Parameter-parameter tersebut digunakan untuk membandingkan hasil uji Western
Blot dan hasil uji ELISA. Untuk menilai keberhasilan dari uji yang digunakan
maka penilaian menggunakan hasil uji positif.
16
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu Penelitian dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2013 sampai bulan Juli 2013 di
Laboratorium Mikrobiologi dan Immunologi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga
Penelitian Institut Pertanian Bogor .
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci New Zealand,
Antigen SRV, Kontrol positif SRV, Kontrol Negatif SRV, Gradient gel 7,5% dan
17,5%, Stacking gel 4 %, Acrylamid, Bis Acrylamid, SDS, Temed, APS, es batu,
Running Buffer 10%, Transfer Buffer, Kertas Nitroselulose, Sample buffer,
Marker board range, Kertas saring, Phosphate Buffer Saline, Susu tanpa lemak,
Anti-Rabbit IgG alkaline phosphatase, Nitro Blue Tetrazolidin (NBT), 5-bromo-4-
chloro-3-indolyl phosphat (BCIP), AP buffer, Air suling, Alumunium Foil, p-
Nitrophenyl Phosphate (PNPP), Tris Buffer, NaOH 3N.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tray, pipet tips, pipet
transfer, pipet mikro, pipet volumetrik, shaker, alat sentrifugasi, kaca, piala gelas,
vial, sisir, power supply, kaset transfer, fiber pad, cawan petri, alat sentrifugasi,
microplate reader, inkubator 37 0C, Plate.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Proses Pemisahan Darah
Sebanyak 10 sampel kelinci New Zealand yang telah disuntik antigen SRV
diambil darahnya yang sebelumnya telah disuntikkan antigen SRV. Sebanyak 12
ml darah kelinci disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Setelah
darah terpisah membentuk 2 lapisan yang terdiri dari darah merah dan serum
(lapisan atas berupa serum dan lapisan bawah darah merah). Serum diambil
dengan menggunakan pipet transfer kemudian di masukkan ke dalam vial,
selanjutnya disimpan di water bath pada suhu 370C selama 30 menit.
17
3.3.2 Metode Elektroforesis SDS-PAGE
Langkah awal untuk memulai teknik ini pertama-tama susunlah lempeng-
lempeng kaca. Lempengan kaca harus benar-benar bersih terutama dari lemak dan
detergen, selanjutnya dibuat gradient gel SDS-PAGE dari konsentrasi bertingkat
disiapkan dengan konsentrasi 7,5% dan 17,5% kedua konsentrasi dimasukkan ke
dalam gradient gel former masing-masing 17,5 ml. Kemudian tuas penghubung
pada gradient gel former tersebut dibuka dan dibiarkan agar keduan larutan
tersebut bercampur sampai habis. Selanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam
multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari dasar kaca, segera pada permukaan gel
diberi air agar permukaan gel rata dan mengurangi oksidasi pada gel, lalu
didiamkan kurang lebih 20-30 menit sampai gel mengeras.
Selanjutnya setelah gel mengeras, dipasangkan comb lalu disisipkan sisir di
atas gel dan disiapkan stacking gel 4% alirkan larutan stacking gel ke dalam
cetakan gel biarkan mengisi sampai terbentuk sumur untuk memasukkan antigen
dan marker tunggu sekitar 20-30 menit sampai gel mengeras. Angkat sisir dengan
hati-hati dan bersihkan dengan air, comb dilepas dengan hati-hati. Antigen yang
akan dielektroforesis dimasukkan ke dalam gel sebanyak 25µl yang sebelumnya
antigen sudah dicampurkan dengan sample buffer sebanyak 60µl dam PBS 1%
sebanyak 35µl selanjutnya dipanaskan selama 2 menit. Masukkan inner cooling
core ke dalam buffer chamber yang diisi dengan running buffer 1x.
Campuran antigen tersebut dimasukkan ke dalam sumur dengan penanda
marker board range pada sumur paling ujung. Tutup buffer chamber dan
hubungkan ke power supply dengan tegangan 150 volt selama 50 menit yang
dengan adanya elektrode yang mengalir di dalam running buffer protein
bermigrasi dan berhenti sesuai dengan berat molekulnya. Bila marker telah
terpisah sempurna, matikan arus listrik dan lepaskan cetakan gel dari inner cooling
core.
Cetakan gel dibuka, dimasukkan ke dalam transfer buffer yang yang telah
didinginkan. Nitroselulosa yang akan digunakan direndam dalam transfer buffer
pada tempet yang terpisah. Gel dan nitroselulosa disusun dengan urutan : fiber
pad, kertas saring, gel, nitroselulosa, kertas saring, fiber pad. Susunan gel tersebut
dijepit dengan penjepit gel holder dan dimasukkan ke dalam electrode module.
18
Selanjutnya perangkat ini dimasukkan ke dalam buffer chamber, masukkan es dan
diisi dengan transfer buffer hingga penuh. Hubungkan ke power supply dengan
tegangan 100 volt selama 60 menit.
Matikan arus listrik dan keluarkan gel holder serta angkat membran
nitroselulosanya, maka akan terlihat bahwa marker berpindah ke dalam membran.
Masukkan membran nitroselulosa yang berisi antigen SRV-2 ke dalam larutan
blotto 5% diletakkan dalam cawan petri biarkan selama 1 jam kemudian cuci
dengan air (Goldsby et al. 2000; Huebner 2004).
3.3.3 Metode Western Blot
Proses ini dilakukan dengan menggunakan tray khusus yang berisi sumur-
sumur yang akan digunakan untuk pengujian. Tray yang digunakan terlebih
dahulu dilabel sesuai dengan jumlah sampel dan kontrol yang digunakan.
Membran yg sudah terdapat antigen dipotong setebal kira-kira 2 mm, lalu
dimasukkan ke dalam tray yang sudah dilabel. Masing-masing dimasukan 20µl
sampel pada tray yang sudah terdapat 980µl blotto 5%. Tray diinkubasi di atas
shaker pada suhu ruang selama 24 jam, kemudian cairan blotto dan sampel di
buang dengan mesin pompa penghisap, strip membran dicuci dengan PBS Tween
0,1% sebanyak tiga kali (masing-masing selama 5 menit sambil digoyang di atas
shaker).
Konjugat Anti-Rabbit IgG Alkaline Phosphatase diencerkan dalam blotto
5% dengan perbandingan 1: 500, selanjutnya diinkubasi selama 1 jam pada suhu
37oC sambil digoyang diatas shaker, larutan konjugat di buang dengan mesin
pompa penghisap, membran nitroselulose dicuci kembali dengan PBS Tween
0.1% sebanyak 3 kali dengan interval 5 menit.
Ditambahkan substrat berisi campuran 5-bromo-4-chloro-3-indolyl
phosphate disodium salt (BCIP) dengan nitrotetrazolium blue chlorine-98%
(NBT) dilarutkan dalam Alkaline Phospatase (AP Buffer) dan ditambahkan ke
masing-masing tray lalu inkubasi 20 menit. Reaksi dihentikan dengan membilas
membran dengan dH2O.
19
3.3.4 Metode ELISA (Enzym Linked Immunoabsorbant Assay)
3.3.4.1 Treatment antigen.
Mula-mula, antigen dilisis dengan penambahan SDS 0,3% (antigen : SDS =
2 : 1) kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Lalu antigen
diinaktivasi pada water bath yang bersuhu 570C selama 30 menit.
3.3.4.2 Proses ELISA.
Antigen yang telah di-treatment sebelumnya diencerkan dengan coating
buffer (1:500) dan masukkan pada plate ELISA, masing-masing well berisi 100 µl.
Kemudian diinkubasi over night pada suhu 40C. Plate lalu dicuci dengan PBS
Tween 0,1% sebanyak 3 kali kemudian di-blocking dengan blotto sebanyak 300 µl
pada masing-masing well dan diinkubasi pada 370C selama 1 jam.
Diencerkan sampel dengan blotto 5% dengan perbandingan 1:33 dan
dimasukkan pada setiap well sebanyak 100 µl lalu diinkubasi 370C selama 1 jam.
Setelah diinkubasi, Plate dicuci kembali sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan
konjugat Anti-Rabbit IgG Alkaline Phosphatase yang sudah diencerkan dengan
blotto 5% dengan perbandingan 1: 500 sebanyak 100 µl setiap well, lalu
diinkubasi 370C selama 1 jam dan dicuci kembali sebanyak 3 kali.
Ditambahkan substrat PNPP (p-NITROPHENYL PHOSPHATE) dan Tris
Buffer yang diencerkan dalam dH2O sebanyak 10 ml, masing-masing well 100 µl
kemudian diinkubasi 370C selama 30 menit dan ditambahkan NaOH 3N sebanyak
50 µl untuk menghentikan reaksi enzim-substrat. Data diinterpretasikan dengan
ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan hewan model kelinci karena mudah
pemeliharaannya dan penanganannya, selain itu persyaratan lainnya kelinci
tersebut belum pernah terpapar oleh antigen lainnya. Antigen yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu antigen SRV. Western Blot adalah proses pemindahan
hasil protein dari gel hasil elektroforesis ke dalam membran dan digunakan untuk
mendeteksi protein pada sampel jaringan. Imunoblot menggunakan elektroforesis
gel untuk memisahkan protein asli. Hasil elektroforesis antigen lalu ditransfer ke
membran nitroselulosa dengan bantuan arus listrik (Nur & Adijuwana 1989).
Antigen pada membran selanjutnya akan dikenali oleh antibodi dari sampel.
Membran Nitroselulosa digunakan karena merupakan filter yang paling umum
digunakan untuk bloting. Membran ini mempunyai kapasitas mengikat antigen
sebesar 80 µg (Graham 1995). Antibodi sendiri dapat terikat secara non spesifik
pada membran maupun pada antigen, maka membran harus diperlakukan dengan
suatu agen tertentu untuk memblok. Agen bloking yang digunakan yaitu blotto.
Blotto 5% berfungsi sebagai larutan untuk menghambat agar pori membran yang
tidak mengikat protein SRV tidak berikatan dengan protein lain agar reaksi yang
diperoleh menjadi spesifik.
4.1 Hasil Pengujian Western Blot
Hasil pengujian terhadap 10 sampel serum kelinci New Zealand untuk
pengujian SRV-2 dengan teknik Western Blot menunjukkan bahwa 2 sampel
positif terinfeksi virus SRV-2 sedangkan untuk 8 sampel lainnya negatif (Gambar
8 dan Tabel 1.) Hasil positif berdasarkan pada pita- pita spesifik yang dihasilkan
dari uji Western Blot. Intensitas warna yang tebal pada pita-pita protein sampel
menunjukkan bahwa konsentrasi protein yang cukup tinggi dalam sampel
(Anggraeni 2007).
21
Gambar 8. Hasil uji Western Blot serum kelinci New Zealand
Keterangan : 1-10 (sampel), + (kontrol positif), - (kontrol negatif), cc
(kontrol kunjugat)
Tabel 1. Hasil uji Western Blot
Sampel serum kelinci New Zealand Hasil
1 Negatif2 Negatif3 Positif4 Negatif5 Negatif6 Negatif7 Negatif8 Positif9 Negatif
10 Negatif
Melalui uji Western Blot, sampel yang positif terinfeksi virus SRV-2
menunjukan adanya reaktifitas terhadap protein p 22, gp 70 serta gp 20 (Billy
gp 70
p 22
gp 20
22
2007). Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat dinyatakan sampel no. 3 dan
sampel no. 8 dapat digunakan sebagai kontrol positif SRV-2 untuk pengujian ada
tidaknya infeksi SRV-2 pada sampel lainnya menggunakan teknik Western Blot,
karena sampel tersebut menghasilkan pola pita yang diperlukan untuk memenuhi
persyaratan kriteria positif.
Dari 8 sampel serum darah kelinci New Zealand yang menunjukkan hasil
negatif, diduga disebabkan karena hewan tersebut mempunyai respon individu
yang berbeda-beda ini bisa terjadi dikarenakan antigen yang masuk ke dalam
tubuh hewan belum berjalan dengan baik, dalam tahapan ini masih berlangsung
perubahan-perubahan seluler (Subowo 1993). Kegagalan kebanyakan terjadi
karena respon imun yang tidak bagus terhadap hewan (Graham 1995). Faktor
lainnya dapat disebabkan karena pada saat penyuntikan antigen dan pengambilan
darah menyebabkan stres pada hewan tersebut.
Gangguan produksi antibodi pada hewan dapat terjadi akibat stres.
Dampak nyata stres pada kelinci yaitu aliran plasma atau serum menurun drastis,
penurunan berat badan. Stres menyebabkan menurunnya nafsu makan dan minum,
sehingga kekebalan tubuh pada hewan menjadi berkurang. Penyebab stres pada
kelinci antara lain karena pindah kekandang yang baru yang dapat menyebabkan
perubahan kebiasaan, faktor lingkungan, kesalahan pada saat penyuntikan antigen,
pada saat pengambilan darah dilakukan pada tahap awal virus dimana hewan
belum berespon terhadap infeksi virus, ataupun dapat terjadi karena konsentrasi
dari antigennya tersebut menurun.
Proses Western Blot digunakan larutan penghambat (Blocking Solution)
yang mengandung protein-protein tertentu digunakan. Fungsi dari larutan
penghambat ini adalah untuk mengisi bagian dari strip yang tidak ada protein
antigennya, untuk menjaga atau mencegah pelekatan antibodi yang tidak homolog
sehingga tidak akan menghasilkan reaksi non spesifik ketika konjugat
ditambahkan (Constantine et al 1992 dalam Maryati, 1999).
Penggunaan metode Western Blot digunakan karena mempunyai hasil
kepekaan dalam mendeteksi antibodi dalam jumlah yang kecil khususnya
antibodi dari golongan retrovirus.
23
4.2 Hasil Pengujian ELISA
Pada penelitian ini dilakukan uji pembanding terhadap serum kelinci
New Zealand dengan menggunakan metode ELISA. Hasil pengujian sampel
serum kelinci New Zealand dengan menggunakan teknik ELISA menunjukkan
bahwa sampel no. 2 no. 3 no. 8 dan no. 10 memberikan hasil (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil uji ELISA serum kelinci New Zealand
Sampel serum kelinci New Zealand Absorbansi
1 0,0532 0,1283 0,4524 0,0475 0,0566 0,0917 0,0648 0,3699 0,077
10 0,146Kontrol Positif 1 1,228Kontrol positif 2 1,086Kontrol Negatif 1 0,024Kontrol Negatif 2 0,024Kontrol Negatif 3 0,019
Hal ini berdasarkan pada pembacaan absorbansi dengan menentukan
batas nilai. Batas nilai diperoleh dengan menghitung rata-rata nilai absorbansi
kontrol negatif. Hasil perhitungan tersebut disebut dengan nilai cut-off. Nilai rata-
rata kontrol negatif + ( standar deviasi x nilai multiplier).
Perhitungan nilai rata-rata kontrol negatif adalah :
kontrol negatif 1 + kontrol negatif 2 + kontrol negatif 3 / 3
Nilai rata-rata kontrol negatif = (0,024 + 0,024 + 0,019) / 3
= 0,022
Nilai standar deviasi dari kontrol negatif adalah 0,029
Nilai multiplier untuk menghitung nilai cutt-off dengan 3 kontrol negatif
confidence level 95 % adalah 3,372 (Lampiran 5.)
24
Perhitungan nilai cutt-off adalah :
Rata-rata kontrol negatif + (standar deviasi x nilai multiplier)
Nilai cut off = 0,022 + (0,029 x 3,372)
= 0,119
Berdasarkan pada perhitungan nilai cutt-off sampel yang memiliki nilai
absorbansi lebih besar dari nilai cutt-off dalam hal ini sebesar 0,119 dinyatakan
positif sementara sampel yang nilai absorbansinya lebih rendah dari nilai cutt-off
dinyatakan negatif (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil uji ELISA serum kelinci New Zealand berdasarkan nilai cutt off
Sampel Hasil1 Negatif2 Positif3 Positif4 Negatif5 Negatif6 Negatif7 Negatif8 Positif9 Negatif
10 Positif
Berdasarkan nilai cutt-off dari 10 sampel terdapat 4 sampel yang positif
pada uji ELISA yaitu no.2, 3, 8 dan 10. sampel no. 2 dan no. 10 didapatkan hasil
positif pada uji ELISA tetapi pada uji Western Blot kedua sampel tersebut
diperoleh hasil negatif, hal ini bisa terjadi pada sampel no. 2 dan no. 10
kemungkinan disebabkan karena protein yang terdeteksi mempunyai nilai titter
yang rendah. Rendahnya titter antibodi dapat terjadi karena kelinci yang
digunakan terpapar oleh antigen lain, dalam hal ini yang diketahui disebut positif
palsu ( false positive). Hasil pada pengujian Western Blot berbeda dengan hasil
pada pengujian ELISA. Pada pengujian Western Blot sampel yang dinyatakan
positif terdapat pada sampel no. 3 dan no. 8 sedangkan pada ELISA sampel yang
dinyatakan positif terdapat pada sampel no. 2 no. 3 no. 8. dan no. 10 Teknik
ELISA yang mempunyai sifat sensitif namun tidak spesifik sehingga sering terjadi
positif palsu (false positive).
25
Positif palsu (false positive) dapat terjadi akibat reaksi non spesifik antara
serum sampel dengan protein yang bukan berasal dari protein antigen SRV-2,
selain itu dapat juga disebabkan oleh cairan kultur jaringan tempat virus
ditumbuhkan dimana protein ini tidak dapat terpisahkan didalam tahap pemurnian
antigen virus (Pedersen et al. 1986). Penyebab lainnya dapat terjadi pada serum
yang dikumpulkan dari hewan yang telah diimunisasi mengandung antibodi yang
bukan saja terhadap antigen yang digunakan untuk imunisasi tetapi juga antibodi
terhadap antigen pada lingkungan lainnya yang mungkin saja telah masuk
kedalam tubuh hewan tersebut. Bahkan pada jumlah kecil sekalipun
ketidakmurnian antigen dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat tetapi tidak
diinginkan (Graham 1995).
Hambatan utama ketika menggunakan serum hiperimun ialah reaksi
serum tidak hanya terhadap antigen yang diteliti tetapi juga terhadap antigen lain
(Graham 1995). Beberapa tipe reaksi silang yang mungkin terjadi adalah:
1. Paling lazim disebabkan oleh adanya antibodi campuran dalam serum,
disamping terdapatnya antibodi terhadap antigen yang diselidiki mungkin
juga terdapat antibodi terhadap antigen yang tidak berikatan dan tidak
relevan.
2. Reaksi silang juga terjadi bila epitop yang sama dimiliki oleh antigen yang
berbeda.
Sedangkan pada uji Western Blot sampel bisa dinyatakan positif karena
Western Blot merupakan pengujian yang spesifik karena hanya protein dari virus
yang diujikan saja yang terdeteksi, sehingga sampel hanya dinyatakan positif bila
menunjukkan adanya pita yang spesifik menurut antigennya (Micklos et al. 2003).
Dari hasil diatas menunjukkan bahwa uji dengan menggunakan metode ELISA
belum sempurna dipakai sebagai uji dalam proses mendeteksi SRV-2 secara
serologis.
Parameter-parameter sensitifitas, spesifisitas, spesifisitas, positif palsu
dan negatif palsu digunakan untuk membandingkan uji Western Blot dan uji
ELISA. Tinggi atau rendahnya nilai sensitifitas ELISA dapat disebabkan pada
konsentrasi antibodi sampel yang dideteksi oleh batas nilai yang dapat dibaca oleh
26
alat ELISA Reader. Selain itu hasil positif palsu menunjukkan bahwa uji ELISA
kurang baik digunakan karena memberikan hasil yang bukan sebenarnya.
Dari hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa uji ELISA belum
sempurna digunakan sebagai satu-satunya uji dalam proses penyeleksian kelinci
yang terinfeksi SRV-2 secara serologis. Untuk itu, Western Blot dapat digunakan
sebagai suatu uji peneguhan (Confirmatory Test) (Kardiman 1994).
27
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dalam penelitian ini dari 10 sampel serum kelinci New Zealand yang diuji
dengan Western Blot dan ELISA terdapat dua sampel yang sama-sama
positif terdeteksi SRV-2.
2. Kedua sampel serum kelinci New Zealand tersebut dapat digunakan sebagai
kontrol positif untuk pengujian ada tidaknya infeksi virus pada sampel
lainnya dengan menggunakan teknik Western Blot.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengujian pembanding secara molekuler pada kelinci
New Zealand yang terinfeksi SRV-2 untuk meyakinkan bahwa kelinci tersebut
benar-benar terinfeksi SRV-2 ditinjau dari segi genetik.
28
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni R. 2007. Elektroforesis SDS-Page, Immunobloting, dan penentuan
asam amino antigen dari sarung tangan lateks. Institut Pertanian. Bogor.
Alpha Diagnostic International, Inc. 1996. Polyclonal Antibodies Indonesia Chicken-Beyond Omelets and Sandwiches. Alpha Diagnostic International, Inc. San Antonio. USA.
Baker DG. 2003. Natural Pathogen of Laboratory Animal, Their Effect on Research. Washington DC: ASM Press; 2003
Chen, Z., K. Ben, B. Tian dan Y. Zheng. 1992. Serological survey of a captive macaque colony Indonesia china for antibodies to Simian Type-D retrovirus. J. Med. Primatol 21 : 377-380.
Christian B. 2007. Deteksi dan Analisis Agen Penyakit Viral Pada Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina.
Constantine. N.T., J.D. Callahan and D.M. Watts. 1992. dalam Surya. M. Retroviral Testing Essentials for Quality Control and Laboratory Diagnosis. Pp7,78. CRC Press, Boca Raton-Ann-London-Tokyo.
Cowen, R. 1984. Virus Identified as Possible Cause of Simian AIDS. Research Resources Reporter. Vol. III (4) : 1-6.
Crowter, JR. 2001. The ELISA Guidebook. New Jersey : Humana Press.
Fine, D and Schochetman, G. Type D primate retroviruses: A review. Cancer Res 1999;38:3123-39
Fridman EP. 2002. Medical Primatology. London: Taylor and Francis.
Gyrus A, Vajda G, Foldes I. 1993. Serologic survey for type D retroviruses and immunodeviciency virus Indonesia monkey living Indonesia hungary. Acta Hungarica 41:171-177.
Goldsby, R.A., T.J. Kindt and B.A. Osbone. 2000. Kuby Immunology. 4th ed. New York : W.H Freeman and Company.
Huebner J. 2004. Antibody-antigen interactions and measurements of immunologi reactions. Di dalam : Pier GB, Lyczak JB, Wetzler LM,editor. Immunology, infection, and immunity. Washington, DC : ASM Press.
29
Iskandriati D, Saepuloh U, Mariya S, Grant RF, Solihin DD, Sajuthi D, and Pamungka J. 2010. Isolation and characterization of simian retrovirus from Macaca fascicularis and M. nemestrina Indonesia Indonesia. Microbiol Indonesia 4(3):132-136.
Kresno, S.B. 2002. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi III, cetakan 2. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 26, 27, 30
Levinson,W and E. Jawetz. 2000. Medical Microbology & Immunology: Examination & Board Review 6th ed. New York : McGraw-Hill Companies.
[LeincoTechnologies]. 2006. General Western Blot protocol. [terhubung berkala] http://www.leinco.com/general_wb [4 Mar 2012].
Lerche NW. Epideminology and control of type D retrovirus Indonesia captive macaques. In: Matano S, Tuttle RH, Ishida H, Editors. Topics Indonesia Primatology. Vol 3. Tokyo: University of Tokyo Press; 1992.
Lerche NW, Osborn KG. Simian retrovirus infection: potential confounding variable Indonesia primate toxicology studies. Toxicol Pathol 2003.
Micklos DA, Freyer GA, Crotty DA. 2003. DNA Science 2th ed. New York: Cold Spring Harbor Press.
[MP-Biomedicals]. 2012. HTLV screening [terhubung berkala]. http://www.mpbio.com/htlv_screening.php [29 Mar 2012].
Nandi JS, Tikute SA, Chhangani AK, Potdar VA, Tiwari-Mishra M, Ashtekar RA, et al. Natural infection by simian retrovirus-6 in human langurs (Semnopithecus entellus) from two different geographical regions of india. Virology 2003;311(1):192-201
Nandi JS, Van Dooren S, Chhangani AK, Mohnot SM. New simian beta retroviruses from rhesus monkey (Macaca Mulatta) and langurs (Semnopithecus entellus) from Rajasthan, India. Virus Gene 2006;33(1): [abstract]
Nur MA, Adijuwana H. 1989. Tekhnik Pemisahan dalam Anaalisis Biologis.Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pedersen NC, Lowenstine L, Marx P, Higgins J, Baulu J, McGuire M, Gardner MB. 1986. The causes of false-positives encountered during the screening of old-world primates for antibodies to human and simian retroviruses by ELISA. J Virol Methods 14:213-228.
Sarwono B. 2001. Kelinci potong dan hias. AgroMedia Pustaka.
30
Subowo. Imunobiologi. Penerbit Angkasa Bandung. Bandung 1993.
Stanley, J. 2002. Essentials of Immunology & Serology. DELMAR Thomson Learning. New York, USA. p: 155
Tjandra K. 1994. Perbandingan Hasil Analisis Serologis Simian Retrovirus-2 antara uji ELISA dan Western Blot terhadap serum darah Macaca nemestrina.
W Graham. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Gadjah mada University press.
31
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian
12 ml darah kelinci, disentrifugasi 2500 rpm 10 menit
Lapisan atas menghasilkan serum Lapisan bawah menghasilkan sel darah merah
Disimpan dalam water bath 370C) selama 30 menit
Serum diuji dengan western blot Elektroforesis SDS-PAGE
Antigen SRV
32
Lampiran 2. Elektroforesis SDS-PAGE Antigen SRV-2
`
BAGAN ALIR
Pembuatan Gradient gel SDS-PAGE 7,5% dan 17,5 %
Setelah terbentuk gel dibuat stacking gel 4% sampai terbentuk sumur sebagai tempat
memasukkan antigen
Antigen dimasukkan ke dalam gel ditambah dengan penambahan sample buffer 60µl dan PBS 1% 35µl dan diberi pewarna marker board range
5µl
Gel berisi antigen kemudian di Running pada arus listrik 150 volt selama ± 50 menit
Gel lalu ditransfer ke dalam membran nitroselulosa pada arus listrik 100 volt selama 60 menit
Membran Nitroselulosa diletakkan dalam cawan petri yang telah berisi blotto 5% didiamkan selama 1
jam
33
Lampiran 3. Uji Western Blot serum kelinci New Zealand
LAMPIRAN
Dimasukkan 980 µl blotto 5% pada tray Western Blot
Dimasukan sample serum 20 µl
Dimasukkan membran yang sudah dipotong setebal ± 2mm
Dimasukkan sampel serum 20 µl
Diinkubasi di atas shaker selama 24 jam
Ditambahkan substrat berisi campuran BCIP dan NBT, diinkubasi selama 20 menit lalu
dicuci dengan dH2o
Dicuci dengan PBS tween 0,1% Sebanyak 3 kali (masing-masing selama 5 menit di atas shaker)
Ditambahkan konjugat Anti-Rabbit IgG Alkaline Phosphatase yang diencerkan dalam blotto 5% dengan perbandingan
1:500
Diinkubasi selama 1 jam,membran dicuci kembali dengan PBS tween 0,1% sebanyak
3 kali dengan interval 5 menit
34
Lampiran 4. Data ELISA serum kelinci New Zealand
Sampel Abs Blank Abs 1 Abs 2 Abs 3 Rata21 0,030 0,012 0,083 0,094 0,0532 0,027 0,142 0,152 0,117 0,1283 0,023 0,709 0,372 0,299 0,4524 0,025 0,059 0,051 0,056 0,0475 0,029 0,078 0,053 0,065 0,0566 0,026 0,122 0,089 0,087 0,0917 0,023 0,080 0,058 0,077 0,0648 0,026 0,764 0,319 0,319 0,3709 0,026 0,093 0,081 0,082 0,077
10 0,033 0,186 0,153 0,133 0,146Positif 1 0,041 1,684 0,955 1,086 1,228Positif 2 0,040 1,565 0,929 0,805 1,086Negatif 1 0,022 0,039 0,027 0,027 0,024Negatif 2 0,025 0,044 0,028 0,025 0,024Negatif 3 0,022 0,024 0,027 0,029 0,019
35
Lampiran 5. Nilai multiplier untuk perhitungan nilai cut-off
Number of Confidence level (1 - α) Controls 95% 97,5% 99% 99,5% 99,9%
2 7,733 15,562 38,973 77,962 389,8233 3,372 4,968 8,042 11,460 25,7834 2,631 3,558 5,077 6,530 11,4205 2,335 3,041 4,105 5,044 7,8586 2,177 2,777 3,635 4,355 6,3667 2,077 2,616 3,360 3,963 5,5678 2,010 2,508 3,180 3,712 5,0769 1,960 2,431 3,053 3,537 4,744
10 1,923 2,373 2,959 3,408 4,50711 1,893 2,327 2,887 3,310 4,32812 1,869 2,291 2,829 3,233 4,18913 1,850 2,261 2,782 3,170 4,07814 1,833 2,236 2,743 3,118 3,98715 1,819 2,215 2,711 3,074 3,91216 1,807 2,197 2,683 3,037 3,84817 1,797 2,181 2,658 3,005 3,79318 1,787 2,168 2,637 2,978 3,74619 1,779 2,156 2,619 2,953 3,70420 1,772 2,145 2,602 2,932 3,66825 1,745 2,105 2,542 2,852 3,53530 1,727 2,079 2,503 2,802 3,452
36
Lampiran 6. Komposisi Gel Elektroforesis
Reagen Gel 7.5% Gel 17.5% Gel 4%
Akrilamida 40%
4.55 ml 10.63 ml 970 µl
Bis-akrilamida 2%
2.5 ml 5.86 ml 520 µl
dH2O 11.3 ml 1.88 ml 5.9 µl
Tris HCL pH 8.8
6.23 ml 6.25 ml 2.5 µl
10% SDS 250 µl 250 µl 100µl
TEMED 12.5 µl 12.5 µl 50 µl
10% APS 125 µl 125 µl 50 µl
Lampiran 7. Komposisi Running buffer Elektroforesis
Reagen Jumlah
SDS 10% 10 g
Trizma base 30 g
Glisin 144 g
dH2O 11 ml
37
Lampiran 8. Komposisi Antigen untuk Elektroforesis
Reagen Jumlah (µl)
Antigen (SRV) 17,5
PBS 42,5
Sample buffer 60
Lampiran 9. Komposisi Tansfer buffer untuk Blotting
Reagen Jumlah
Trizma base 3.03 g
Glisin 14.4 g
Metanol 200 ml
ddH2O 800 ml
Lampiran 10. Komposisi AP buffer untuk Western Blot
Reagen Jumlah
100mM NaCl 10 ml
5mM MgCl2 2.5 ml
100 mM Tris HCL pH 9.5 200 ml
ddH2O 500 ml
38
Lampiran 11. Gambar Alat-alat yang digunakan
Gambar 9. Mesin Pompa Penghisap
Gambar 10. Shaker
Gambar 11. ELISA Reader