perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/skripsii.doc · web...

54
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversitas tinggi. Salah satu fauna Indonesia yang turut berperan serta dalam memperkaya biodiversitas berasal dari kelas Mamalia ordo Primata. Satwa Primata memiliki struktur anatomi dan fungsi fisiologis yang mirip dengan manusia, terutama satwa primata genus Macaca. Saat ini penggunaan satwa primata sudah sangat meluas terutama dipakai sebagai hewan model penelitian diberbagai laboratorium baik didalam negeri maupun diluar negeri. Penelitian-penelitian tersebut ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, misalnya untuk pengujian pengaruh kerja obat sebelum suatu obat dipasarkan, pengujian mutu vaksin, berbagai pengaruh agen-agen penyakit yang merugikan kesehatan manusia dan lain sebagainya. Kemiripan anatomi dan fisiologis yang dimiliki satwa primata mengakibatkan satwa primata sering dijadikan hewan model untuk berbagai macam penelitian. Selain satwa primata yang dapat dijadikan hewan model dalam penelitian terdapat hewan lainnya seperti kelinci, kambing, mencit dan kuda yang juga sering dijadikan hewan model dalam penelitian. Hewan-hewan

Upload: dangmien

Post on 24-May-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversitas tinggi. Salah satu

fauna Indonesia yang turut berperan serta dalam memperkaya biodiversitas

berasal dari kelas Mamalia ordo Primata. Satwa Primata memiliki struktur

anatomi dan fungsi fisiologis yang mirip dengan manusia, terutama satwa primata

genus Macaca.

Saat ini penggunaan satwa primata sudah sangat meluas terutama dipakai

sebagai hewan model penelitian diberbagai laboratorium baik didalam negeri

maupun diluar negeri. Penelitian-penelitian tersebut ditunjukan untuk

meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, misalnya untuk pengujian pengaruh

kerja obat sebelum suatu obat dipasarkan, pengujian mutu vaksin, berbagai

pengaruh agen-agen penyakit yang merugikan kesehatan manusia dan lain

sebagainya. Kemiripan anatomi dan fisiologis yang dimiliki satwa primata

mengakibatkan satwa primata sering dijadikan hewan model untuk berbagai

macam penelitian.

Selain satwa primata yang dapat dijadikan hewan model dalam penelitian

terdapat hewan lainnya seperti kelinci, kambing, mencit dan kuda yang juga

sering dijadikan hewan model dalam penelitian. Hewan-hewan yang akan di

jadikan penelitian harus dipastikan bebas dari berbagai macam penyakit dan virus

agar hasil penelitian yang diperoleh akurat. Pada penelitian untuk mendeteksi

virus SRV ini hewan model yang digunakan yaitu Kelinci New Zealand

dikarenakan kelinci New Zealand menjadi hewan model yang responsif untuk

produksi antibodinya dan juga kelinci New Zealand ini dapat diambil banyak

darahnya karena memiliki bobot tubuh yang lebih besar dari pada kelinci lokal

juga dalam proses penanganan dikandang kelinci tidak membutuhkan biaya yang

besar karena sangat efisien jika dibandingkan dengan hewan Macaca itu sendiri.

Macaca memerlukan biaya yang besar dalam hal makanan dan dalam segi

perawatannya jauh lebih mahal dari pada kelinci dan juga darah yang bisa diambil

tidak bisa sebanyak jika menggunakan kelinci New Zealand. Selain kelinci ada

Page 2: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

2

beberapa hewan model yang biasa digunakan dalam berbagai macam penelitian

biomedis seperti kambing, mencit atau bahkan kuda.

Beberapa pusat penelitian satwa primata baik di dalam negeri maupun

diluar negeri melakuan uji penapisan (screening test) untuk mendapatkan primata-

primata dengan status SPF (Spesific Pathogen Free). Pada Macaca Asia terdapat

tiga macam virus dari genus retrovirus yang cukup berbahaya, yaitu Simian

Retrovirus (SRV), Simian Immunodeficiency Virus (SIV) dan Simian T-

Lymphotropic Virus (STLV) yang sangat infeksius dan sangat mengganggu

penelitian biomedis.

Pelaksanakan penyeleksian untuk mendapatkan satwa primata yang bebas

dari SRV, dapat dipakai beberapa uji khusus yang digunakan untuk mendeteksi

agen penyakit ini. Salah satu uji penapisan yang dilakukan untuk menyatakan

bahwa satwa primata bebas dari agen patogenitas yaitu uji serologis dengan teknik

Immunoblotting yaitu Western blot (WB) yang diawali dengan elektroforesis dan

ELISA (Enzym Linked Immunoabsorbant Assay) (chen et al. 1992).

Virus yang biasanya menyerang satwa primata adalah Simian Retrovirus

(SRV). Virus ini umumnya secara alami menyerang populasi Macaca di Asia

khususnya Indonesia (Iskandriati et al. 2010). Simian Retrovirus adalah salah satu

agen penyakit yang dapat menyebabkan sindroma penurunan kekebalan tubuh

(Simian Acquired Immunodeficiency Syndrome, SAIDS) pada primata genus

Macaca yang berasal dari Asia. Gejala klinis yang tampak pada Macaca yang

terinfeksi SRV antara lain diare yang berkepanjangan tanpa penyebab yang pasti,

penurunan berat badan yang drastis, dehidrasi, dan munculnya beberapa infeksi

oportunistik seperti yang terjadi pada penderita Acquired immunodeficiency

Syndrome (AIDS) (Baker 2003).

Western Blot adalah proses pemindahan hasil protein dari gel hasil

elektroforesis ke membran. Uji identifikasi dengan teknik Western Blot dapat

memberikan hasil yang lebih baik daripada uji identifikasi antigen-antibodi

ELISA (Enzym Linked Immunoabsorbant Assay). Teknik ELISA cukup cepat dan

efisien untuk menyeleksi sampel positif SRV, namun sering terjadi false positive.

Berbeda dengan teknik ELISA, teknik Western Blot ini lebih khusus dalam

mendeteksi antibodi terhadap infeksi virus dan dapat memberikan hasil yang lebih

Page 3: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

3

baik dari ELISA karena pada teknik Western Blot antigen SRV dipisahkan

berdasarkan bobot molekul sehingga sampel dinyatakan positif apabila

menunjukkan adanya pita spesifik menurut reaksi antibodi dari sampel dan

antigen SRV (Micklos et al. 2003).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi SRV-2 (Simian Retrovirus-2 )

dari serum kelinci New Zealand dengan teknik Western Blot.

1.3 Manfaat Penelitian

Sampel positif SRV-2 yang diperoleh dari sampel darah kelinci pada

penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai kontrol positif untuk uji

diagnostik terhadap SRV-2, tersedianya kontrol positif terhadap SRV-2 ini dapat

menunjang program screening untuk memperoleh koloni satwa primata yang

bebas SRV-2

1.4 Hipotesis

Beberapa sampel darah kelinci New Zealand yang diujikan dalam

penelitian ini diduga mendapatkan hasil positif SRV yang sesuai standar

berdasarkan teknik Western Blot sehingga dapat dijadikan kontrol positif.

Page 4: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Simian Retrovirus-2 (SRV-2)

Para ahli telah berhasil menemukan suatu virus baru yang dapat

menyebabkan suatu penyakit pada satwa primata yang menyerupai AIDS pada

manusia pada periode tahun 80-an (Cowen 1984). Virus ini kemudian dikenal

sebagai Simian Retrovirus (SRV) yang diklasifikasikan dalam keluarga

Retroviridae, sub famili Oncovirinae.

Simian Retrovirus merupakan betaretrovirus yang secara etiologi

berhubungan dengan terjadinya sindrome penurunan kekebalan tubuh pada satwa

(simian acquired immunodeficiency syndrome, SAIDS) dengan berbagai tingkat

keparahan pada spesies Macaca asal Asia (Fridman 2002). Gejala klinis yang

tampak pada Macaca yang terinfeksi SRV antara lain diare yang berkepanjangan

tanpa penyebab yang pasti, penurunan berat badan yang drastis, dehidrasi serta

munculnya beberapa infeksi oportunistik seperti yang terjadi pada penderita AIDS

(Baker 2003). SRV-2 dapat digunakan sebagai virus model dalam memahami

infeksi retrovirus karena dapat menimbulkan gejala berupa penurunan kekebalan

tubuh pada Macaca yang mirip dengan AIDS pada manusia. SRV memberikan

masalah yang signifikan dalam pengelolaan penangkaran Macaca.

Virus ini dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi

khususnya dalam kondisi pengandangan kelompok Macaca (Lerche NW 1992).

Disamping itu infeksi SRV dapat menjadi faktor pengganggu (confounding)

dalam penelitian biomedis yang menggunakan satwa-satwa ini sebaagai subyek

penelitian (Lerche NW dan Osborn KG 2003). Secara serologis, sekitar 30-40%

Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina di Indonesia memiliki antibodi

terhadap SRV-2, yang dapat diasumsikan bahwa hewan tersebut pernah terpapar

dengan SRV-2. Virus ini menyerang genus Macaca dan ditularkan secara

horizontal, artinya ditularkan antar satwa primata dalam satu generasi dan tidak

ditularkan dari orang tua ke anakan (Gyrus et al. 1993). Infeksi akibat SRV

ditemukan pada Macaca hasil penangkapan dari alam liar dan menjadi endemik

pada populasi penangkaran di beberapa pusat penelitian Amerika Serikat. Sampai

Page 5: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

5

saat ini telah berhasil ditemukan dan diidentifikasi lima anggota serotipe SRV asal

Macaca, yaitu serotipe SRV 1-5, serotipe SRV-6 asal Hanuman langur

(Semnopithecus entellus) dan serotipe-7 asal monyet resus (M. mulatta) dan S.

entellus (Fine D dan Schochetman G 1999; Nandi JS et al. 2003; Nandi JS et al.

2006).

Serotipe SRV-2 telah berhasil diidentifikasi pada awal tahun 1980 pada

kasus infeksi endemik yang terjadi pada beruk (M. nemestrina), monyet ekor

panjang (M. fascicularis), dan monyet jepang (M. fuscata) di pusat penelitian

primata nasional Washington, dan pada monyet resus (M. mulatta) serta monyet

hitam Sulawesi (M. nigra) di pusat penelitian primata nasional Oregon.

Pengadaan Macaca bebas SRV memerlukan proses penapisan atau

screening yang melibatkan berbagai uji laboratorium yang teliti. Uji-uji tersebut

meliputi deteksi antibodi SRV dalam serum darah. Uji pendeteksian antibodi SRV

yang biasa digunakan adalah dengan teknik serologis ELISA (Enzyme Linked

immunosorbant assay) dan Western Blot.

Pengujian ada atau tidaknya antibodi terhadap virus ini dapat dilakukan

dengan uji Western Blot (WB), pada uji Western Blot keberadaan pita dari protein

spesifik yang menyandikan inti (gp20) (gp70 dan p22) (Gambar 1). Jika pada

serum darah satwa primata terdapat pita dari protein spesifik tersebut maka sudah

dapat disimpulkan bahwa satwa primata tersebut sudah terinfeksi SRV.

Gambar 1. Membran Nitroselulosa Kontrol Uji SRV

gp 70

gp 20p 22

Page 6: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

6

2.2 Kelinci New Zealand

Gambar 2. Kelinci New Zealand

Klasifikasi Kelinci

Ordo : Lagomorpha

Famili : Leporidae

Sub famili : Leporine

Genus : Lepus, Orictolagus

Spesies : Lepus spp., Orictolagus spp

Kelinci New Zealand merupakan kelinci albino, tidak mempunyai bulu

yang mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal. Bermata merah,

termasuk kelinci berbadan besar, karena tumbuhnya cepat besar sehingga sering

diternakan untuk dikonsumsi dagingnya (berat dewasa sekitar 5 kg lebih, anaknya

dapat mencapai 10-12 ekor). Sesuai dengan namanya, jenis kelinci ini berasal dari

New Zealand dan awalnya berkembang selain di New Zealand sendiri, juga di

Amerika Serikat dan Australia. Namun sekarang sudah menyebar ke seluruh

dunia, termasuk Indonesia. Kelinci New Zealand ini ada berbagai warna dan

dinamakan sesuai warna tersebut, misalnya New Zealand White (putih), New

Zealand Red (merah), New Zealand Black (hitam) . Yang paling populer adalah

kelinci New Zealand White. Keunggulan kelinci albino ini yaitu pertumbuhannya

cepat karena itu cocok untuk diternakan sebagai penghasil daging komersial dan

kelinci percobaan di laboratorium (Sarwono 2001). Pada pemilihan hewan kelinci

New Zealand digunakan sebagai model penelitian didasarkan pada kelinci

Page 7: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

7

biasanya karena dapat menghasilkan banyak serum. Hewan ini gampang

pemeliharaannya, daya tahan tubuhnya tinggi dan mudah diambil darahnya

(Graham 1995).

2.3 Antibodi

Antibodi adalah zat yang timbul dalam tubuh untuk melawan bibit

penyakit atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Setiap antibodi

mempunyai posisi ikatan (binding site) yang spesifik untuk suatu jenis molekul

tertentu.

Darah mempunyai tiga macam protein globulin yaitu alpha, beta dan

gamma berdasarkan rata-rata migrasi elektroforesis. Antibodi adalah protein

globulin gamma yang bereaksi secara spesifik dengan antigen, yang jumlahnya

mencapai 20% dari total protein dalam plasma darah (Levinson dan Jawetz 2000)

Fungsi utama antibodi adalah melindungi tubuh terhadap produk dan

agen infeksi. Antibodi bersifat resisten karena kemampuannya menetralisir racun

virus. Hewan secara normal menghasilkan respon kekebalan yang tinggi terhadap

masuknya material asing seperti virus atau bakteri. Antibodi dapat mengenali

bagian dari material asing tersebut, selanjutnya akan berikatan dengan material

asing dan bereaksi untuk menetralisirnya (Goldsby et al. 2000).

Antibodi yang berasal dari respon hewan terhadap antigen secara khusus

adalah heterogen, karena dibentuk oleh beberapa klon sel plasma, sehingga

disebut antibodi poliklonal. Antibodi poliklonal ini umumnya dibuat dengan cara

menyuntikkan antigen ke tubuh hewan seperti kelinci, mencit atau kambing.

Antibodi tersebut mempunyai banyak manfaat secara luas digunakan sebagai

reagens diagnostik untuk mendeteksi suatu bahan biologis, sampai saat ini

hiperimunisasi (penyuntikan) merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan

sejumlah antibodi terhadap antigen yang spesifik (Graham 1995).

2.4 Serum

Serum adalah cairan bening yang memisah setelah darah didapat dengan

cara membiarkan darah dalam tabung reaksi (tanpa anti koagulan) membeku dan

kemudian disentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk mengendapkan semua sel-

selnya, cairan diatas disebut serum. Serum tampak sangat jernih dan mengandung

Page 8: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

8

zat antibodi. Antibodi ini berfungsi untuk membinasakan protein asing yang

masuk ke dalam tubuh. Protein asing yang masuk ke dalam tubuh disebut antigen.

Serum hiperimun adalah imunisasi (penyuntikan) dengan sengaja terhadap hewan

dengan suatu antigen yang spesifik dalam rangka untuk mendapatkan suplai

antibodi. Antibodi ini didapatkan dengan dengan jalan mengumpulkan sampel

darah hewan yang diimunisasi, yang kemudian dapat berguna sebagai serum

hiperimun (Graham 1995).

2.5 Serologi

Serologi merupakan ilmu imunologi yang mempelajari reaksi antara ikatan

antigen-antibodi yang terjadi secara in vitro yang dapat memberi hasil secara

tepat. Tingkat pembentukan antibodi dapat dideteksi dengan mengetahui

tanggapan tubuh terhadap agen infeksi. Konsentrasi antibodi dalam tubuh dapat

diketahui secara kualitatif maupun kuantitatif dengan melakukan uji terhadap

darah. Uji serologi yang dilakukan adalah ELISA (Enzyme-linked immunosorbant

assay) dan Western Blot yang merupakan suatu rangkaian uji penapisan dan

penegasan yang biasa dilakukan terhadap darah Macaca.

2.6 Imunoglobulin

Imunoglobulin (Ig) terdiri atas molekul-molekul protein yang walaupun

memiliki banyak persamaan dalam hal struktur yang dan sifat biologis. Antibodi

yang dibentuk sebagai reaksi terhadap suatu jenis antigen, masing-masing hanya

dapat berikatan dengan antigen yang relevan (Kresno 2002). Molekul

imunoglobulin bukan sekedar molekul yang dapat mengikat antigen dengan cara

lock and key, tetapi mempunyai sifat yang sangat kompleks. Agar dapat berfungsi

secara efektif, molekul imunoglobulin harus mempunyai bagian yang dapat

bereaksi secara spesifik dengan antigen (Goldsby et al. 2000).

2.7 Imunoglobulin G (IgG)

Imunoglobulin G (IgG) merupakan kelas yang paling dominan dalam

serum, mencapai 70-75% dari total imunoglobulin serum. IgG adalah protein

imunitas yang disintesis oleh tubuh sebagai tanggapan spesifik terhadap suatu

molekul yang kontak dengan sel-sel tubuh dan dianggap asing oleh tubuh. IgG

Page 9: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

9

mampu mengenali dan berikatan dengan antigen yang spesifik diantara ribuan

atau jutaan antigen yang lain. Tidak ada interaksi yang lebih spesifik daripada

interaksi antara antigen-antibodi. Banyak teknik imunologi sudah dikembangkan

berdasarkan kespesifikan ikatan antigen-antibodi, seperti ELISA dan Western Blot

(Alpha Diagnostic International, Inc, 1996).

2.8 ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbant Assay)

Reaksi antigen dan antibodi dapat digunakan dalam prosedur uji atau

deteksi, karena dapat memberikan kespesifikan dan kesensitifan yang tinggi.

ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbant Assay) merupakan suatu uji biokimia

yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau antigen dalam suatu

sampel dengan pelabelan enzim yang biasa disebut enzim immunoassay (Stanley

2002). ELISA menggunakan enzim yang dikonjugasikan ke antibodi (konjugat).

Dengan menambahkan substrat target dari enzim terikat antibodi akan terjadi

penguraian substrat oleh enzim, yang menimbulkan warna yang memiliki tingkat

intensitas yang berbeda-beda yang disebut nilai OD (Optical Density).

Teknik ELISA pada dasarnya merupakan metode yang terbilang sensitif

untuk mendeteksi protein tetapi kurang spesifik sehingga dapat terjadi

kemungkinan adanya positif palsu (false positive). Serum atau plasma darah yang

diujikan masih mengandung banyak protein-protein lain dari virus. Protein yang

tidak spesifik ini dapat berlekatan dengan antigen sehingga dapat terjadi positif

palsu.

Keunggulan dari uji ini yaitu tidak memerlukan biaya yang besar untuk

bahan dan alat, dapat disesuaikan dengan kebutuhan, mudah, cepat, dan sensitif.

Data dapat diinterpretasikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Crowter

2001).

Disamping beberapa keuntungan yang telah diuraikan di atas, uji ELISA

dapat memberikan kerugian yaitu menghasilkan nilai hasil uji positif palsu dan

negatif palsu. Pengertian dari nilai hasil positif palsu yaitu bahwa sampel uji

ELISA yang memberikan hasil positif, setelah diuji kembali dengan uji peneguhan

yang lebih spesifik akan memberikan hasil yang negatif. Sebaliknya nilai hasil

Page 10: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

10

negatif palsu berarti sampel hasil uji ELISA yang negatif, setelah diuji ulang

dengan uji peneguhan maka akan memberikan hasil yang positif.

ELISA digunakan sebagai uji serologi awal untuk mendeteksi adanya

antibodi terhadap virus pada sampel serum. Hasil negatif ELISA juga tidak selalu

menandakan bahwa sampel uji pasti bebas dari virus. Hal ini dapat terjadi karena

adanya window period atau waktu yang diperlukan antibodi untuk mengenali

antigen virus. Selama berada pada window period, uji ELISA tidak menunjukan

hasil positif (Crowter 2001).

Adanya teknik ELISA ini, penapisan sampel dapat dilakukan dengan cepat

dan dalam jumlah yang banyak. Teknik ELISA menggunakan dua macam

lempeng (plate), berupa strip (berisi 8 sumur) dan lempeng 96 sumur (96-well

plate). Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, Polystrip dibuat

dalam bentuk kecil sehingga kemampuan adsorpsi protein jauh lebih merata

ditiap-tiap well-nya sedangkan Polysorp plate pada bagian pinggir biasanya daya

adsorpsinya kurang sehingga biasa digunakan untuk blanko atau tidak digunakan

untuk uji sampel. Untuk sampel dalam jumlah sedikit dapat digunakan strip dan

untuk sampel dalam jumlah banyak dapat digunakan lempeng 96 sumur.

Gambar 3. Tahapan Pengujian ELISA ([MP-Biomedicals] 2012).

Page 11: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

11

Gambar 4. Well Elisa

2.9 Elektroforesis SDS-PAGE

Elektroforesis SDS-PAGE merupakan proses pemisahan molekul

berdasarkan muatannya dan menggunakan polyacrylamide sebagai bahan

pemisah. Teknik ini juga digunakan untuk menentukan jumlah dan ukuran dari

masing-masing rantai polipeptida. SDS-PAGE banyak digunakan dalam

praktikum biologi molekuler, genetik, biokimia, dan biomedik. SDS-PAGE

biasanya digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan sifat electrophoretic

mobility (pemisahan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan

tingkat migrasi dan berat molekulnya (BM) dalam sebuah medan listrik). Teknik

paling banyak digunakan untuk bloting protein. Keuntungan dari teknik ini adalah

cepat, pemindahan gel kedalam membran dapat dipindahkan dalam waktu yang

sama (Graham 1995). Protein yang dipisahkan dengan SDS-PAGE dapat

dikarakterisasi berdasarkan berat molekulnya SDS-PAGE merupakan teknik

purifikasi skala kecil yang menghasilkan pemisahan suatu protein berdasarkan

berat molekulnya dalam band (pita) spesifik yang tampak pada gel

polyacrylamide.

Page 12: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

12

Gambar 5. Proses transfer antigen dari gel ke membran pada Western Blot

([Leinco Technologies] 2006).

Gambar 6. Alat Elektroforesis SDS-Page

.Elektroforesis digunakan pada tahap awal Western Blot untuk -

memisahkan protein dari antigen virus berdasarkan berat molekulnya. Metoda

elektroforesis yang digunakan adalah sodium dodecyl sulfat poly acrylamide Gel

Electrophoresis(SDS-PAGE).Pada metoda ini sample buffer yang mengandung

SDS ditambahkan pada sampel protein (antigen) untuk menyeragamkan muatan

molekul protein menjadi negatif sehingga pemisahan lebih didasarkan pada berat

Page 13: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

13

molekul. Selain itu, sample buffer juga yang mengandung bromophenol blue

berfungsi sebagai penanda protein pada saat proses running.

2.10 Western Blot

Beberapa pengujian laboratorium yang yang menawarkan spesifisitas

yang baik meliputi uji Western Blot, Radio Immunoassay (RIA) dan pengujian

lain yang menggunakan protein rekombinan sebagai antigen. Diantara uji-uji tadi

Western Blot dianggap sangat informatif dan merupakan uji standar (gold standar)

bagi pengujian serologis Retrovirus (Constantine et al 1992 dalam Maryati, 1999).

Western Blot dipercaya sebagai sarana untuk melakukan screening

antibodi terhadap agen virus, tetapi prosedur Western Blot memerlukan waktu

yang cukup lama dan memerlukan ketelitian pengerjaan. Sensitifitas Western Blot

tergantung pada pada kualitas antigen yang digunakan.

Proses Western Blot secara garis besar terbagi atas 3 tahap yaitu :

1. Tahap pemisahan antigen virus dengan Sodium Dodecyl Sulfat-Poly

Acrylamide Gel Elektroforesis (SDS-Page)

2. Tahap pemindahan protein virus ke Membran Nitroselulosa

3. Tahap pengujian serum sampel secara langsung dengan cara reaksi enzim-

substrat (Constantine et al. 1992 dalam Maryati, 1999).

Western Blot adalah proses pemindahan hasil protein dari gel hasil

elektroforesis ke membran dan digunakan untuk mendeteksi protein pada sampel

jaringan. Imunoblot menggunakan elektroforesis gel untuk memisahkan protein

asli. Hasil elektroforesis antigen lalu ditransfer ke membran nitroselulosa dengan

bantuan arus listrik (Nur & Adijuwana 1989). Antigen pada membran selanjutnya

akan dikenali oleh antibodi dari sampel. Pita-pita yang terpisah dapat dideteksi

dengan terdatnya warna pada membran. Western blot digunakan secara luas untuk

menentukan ukuran antigen dan antibodi yang diketahui, serta untuk diidentifikasi

(Rani 2007). Teknik ini memiliki beberapa keuntungan seperti :

1. Teknik ini mapu mendeteksi protein dengan sensitivitas tinggi karena

protein dipekatkan dalam volume kecil.

2. Waktu yang dibutuhkan efisien.

3. Reagens yang digunakan lebih ekonomis.

Page 14: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

14

Penambahan konjugat (antibodi kedua yang mengandung enzim)

bertujuan mengenali antibodi dari sampel yang telah menempel dengan antigen

pada membran dan dapat pula memecah substrat (chromogen) sehingga

menimbulkan warna dan tampak sebagai pita-pita pada membran.

Uji identifikasi dengan Western Blot dapat memberikan hasil yang lebih

baik dari ELISA karena pada Western Blot, antigen telah dipisahkan berdasarkan

berat molekulnya sehingga sampel hanya dinyatakan positif bila menunjukan

adanya pita yg spesifik menurut antigennya (Micklos et al. 2003).

Gambar 7. Deteksi uji serologi Western Blot

([Leinco Technologies] 2006.

2.11 Interpretasi hasil Western Blot dan ELISA

Parameter-parameter yang perlu diperhatikan untuk memilih suatu agen

penyakit yaitu parameter Sensitifitas, Spesifisitas dan Nilai Prediksi (Positif dan

Negatif) (Constantine et al. 1992 dalam Maryati, 1999). Pada penelitian ini

dilakukan perbandingan antara uji Western Blot dan uji ELISA.

Pengertian parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sensitifitas adalah kemampuan dari suatu uji untuk mendeteksi sejumlah

kecil yang dianalisa.

2. Spesifisitas adalah kemampuan dari uji tersebut untuk mengidentifikasi

semua sampel yang tidak mengandung antibodi (tidak memberikan hasil

positif palsu).

Page 15: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

15

3. Nilai Prediksi Positif adalah frekuensi dari sampel dengan Western Blot (+)

diantara seluruh sampel dengan ELISA (+).

4. Nilai Prediksi Negatif adalah frekuensi dari sampel dengan Western Blot (-)

diantara seluru sampel dengan ELISA (-).

Selain itu, terdapat nilai terhadap hasil positif palsu dan negatif palsu yaitu :

1. Nilai Positif Palsu berarti prosentase perbandingan antara hasil ELISA (+)

dan Western Blot (-) dengan seluruh hasil Western Blot (-).

2. Nilai Negatif palsu berarti prosentase perbandingan antara hasil ELISA (-)

dan Western Blot (+) dengan seluruh hasil Western Blot (+).

Parameter-parameter tersebut digunakan untuk membandingkan hasil uji Western

Blot dan hasil uji ELISA. Untuk menilai keberhasilan dari uji yang digunakan

maka penilaian menggunakan hasil uji positif.

Page 16: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

16

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Penelitian dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2013 sampai bulan Juli 2013 di

Laboratorium Mikrobiologi dan Immunologi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga

Penelitian Institut Pertanian Bogor .

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci New Zealand,

Antigen SRV, Kontrol positif SRV, Kontrol Negatif SRV, Gradient gel 7,5% dan

17,5%, Stacking gel 4 %, Acrylamid, Bis Acrylamid, SDS, Temed, APS, es batu,

Running Buffer 10%, Transfer Buffer, Kertas Nitroselulose, Sample buffer,

Marker board range, Kertas saring, Phosphate Buffer Saline, Susu tanpa lemak,

Anti-Rabbit IgG alkaline phosphatase, Nitro Blue Tetrazolidin (NBT), 5-bromo-4-

chloro-3-indolyl phosphat (BCIP), AP buffer, Air suling, Alumunium Foil, p-

Nitrophenyl Phosphate (PNPP), Tris Buffer, NaOH 3N.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tray, pipet tips, pipet

transfer, pipet mikro, pipet volumetrik, shaker, alat sentrifugasi, kaca, piala gelas,

vial, sisir, power supply, kaset transfer, fiber pad, cawan petri, alat sentrifugasi,

microplate reader, inkubator 37 0C, Plate.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Proses Pemisahan Darah

Sebanyak 10 sampel kelinci New Zealand yang telah disuntik antigen SRV

diambil darahnya yang sebelumnya telah disuntikkan antigen SRV. Sebanyak 12

ml darah kelinci disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Setelah

darah terpisah membentuk 2 lapisan yang terdiri dari darah merah dan serum

(lapisan atas berupa serum dan lapisan bawah darah merah). Serum diambil

dengan menggunakan pipet transfer kemudian di masukkan ke dalam vial,

selanjutnya disimpan di water bath pada suhu 370C selama 30 menit.

Page 17: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

17

3.3.2 Metode Elektroforesis SDS-PAGE

Langkah awal untuk memulai teknik ini pertama-tama susunlah lempeng-

lempeng kaca. Lempengan kaca harus benar-benar bersih terutama dari lemak dan

detergen, selanjutnya dibuat gradient gel SDS-PAGE dari konsentrasi bertingkat

disiapkan dengan konsentrasi 7,5% dan 17,5% kedua konsentrasi dimasukkan ke

dalam gradient gel former masing-masing 17,5 ml. Kemudian tuas penghubung

pada gradient gel former tersebut dibuka dan dibiarkan agar keduan larutan

tersebut bercampur sampai habis. Selanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam

multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari dasar kaca, segera pada permukaan gel

diberi air agar permukaan gel rata dan mengurangi oksidasi pada gel, lalu

didiamkan kurang lebih 20-30 menit sampai gel mengeras.

Selanjutnya setelah gel mengeras, dipasangkan comb lalu disisipkan sisir di

atas gel dan disiapkan stacking gel 4% alirkan larutan stacking gel ke dalam

cetakan gel biarkan mengisi sampai terbentuk sumur untuk memasukkan antigen

dan marker tunggu sekitar 20-30 menit sampai gel mengeras. Angkat sisir dengan

hati-hati dan bersihkan dengan air, comb dilepas dengan hati-hati. Antigen yang

akan dielektroforesis dimasukkan ke dalam gel sebanyak 25µl yang sebelumnya

antigen sudah dicampurkan dengan sample buffer sebanyak 60µl dam PBS 1%

sebanyak 35µl selanjutnya dipanaskan selama 2 menit. Masukkan inner cooling

core ke dalam buffer chamber yang diisi dengan running buffer 1x.

Campuran antigen tersebut dimasukkan ke dalam sumur dengan penanda

marker board range pada sumur paling ujung. Tutup buffer chamber dan

hubungkan ke power supply dengan tegangan 150 volt selama 50 menit yang

dengan adanya elektrode yang mengalir di dalam running buffer protein

bermigrasi dan berhenti sesuai dengan berat molekulnya. Bila marker telah

terpisah sempurna, matikan arus listrik dan lepaskan cetakan gel dari inner cooling

core.

Cetakan gel dibuka, dimasukkan ke dalam transfer buffer yang yang telah

didinginkan. Nitroselulosa yang akan digunakan direndam dalam transfer buffer

pada tempet yang terpisah. Gel dan nitroselulosa disusun dengan urutan : fiber

pad, kertas saring, gel, nitroselulosa, kertas saring, fiber pad. Susunan gel tersebut

dijepit dengan penjepit gel holder dan dimasukkan ke dalam electrode module.

Page 18: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

18

Selanjutnya perangkat ini dimasukkan ke dalam buffer chamber, masukkan es dan

diisi dengan transfer buffer hingga penuh. Hubungkan ke power supply dengan

tegangan 100 volt selama 60 menit.

Matikan arus listrik dan keluarkan gel holder serta angkat membran

nitroselulosanya, maka akan terlihat bahwa marker berpindah ke dalam membran.

Masukkan membran nitroselulosa yang berisi antigen SRV-2 ke dalam larutan

blotto 5% diletakkan dalam cawan petri biarkan selama 1 jam kemudian cuci

dengan air (Goldsby et al. 2000; Huebner 2004).

3.3.3 Metode Western Blot

Proses ini dilakukan dengan menggunakan tray khusus yang berisi sumur-

sumur yang akan digunakan untuk pengujian. Tray yang digunakan terlebih

dahulu dilabel sesuai dengan jumlah sampel dan kontrol yang digunakan.

Membran yg sudah terdapat antigen dipotong setebal kira-kira 2 mm, lalu

dimasukkan ke dalam tray yang sudah dilabel. Masing-masing dimasukan 20µl

sampel pada tray yang sudah terdapat 980µl blotto 5%. Tray diinkubasi di atas

shaker pada suhu ruang selama 24 jam, kemudian cairan blotto dan sampel di

buang dengan mesin pompa penghisap, strip membran dicuci dengan PBS Tween

0,1% sebanyak tiga kali (masing-masing selama 5 menit sambil digoyang di atas

shaker).

Konjugat Anti-Rabbit IgG Alkaline Phosphatase diencerkan dalam blotto

5% dengan perbandingan 1: 500, selanjutnya diinkubasi selama 1 jam pada suhu

37oC sambil digoyang diatas shaker, larutan konjugat di buang dengan mesin

pompa penghisap, membran nitroselulose dicuci kembali dengan PBS Tween

0.1% sebanyak 3 kali dengan interval 5 menit.

Ditambahkan substrat berisi campuran 5-bromo-4-chloro-3-indolyl

phosphate disodium salt (BCIP) dengan nitrotetrazolium blue chlorine-98%

(NBT) dilarutkan dalam Alkaline Phospatase (AP Buffer) dan ditambahkan ke

masing-masing tray lalu inkubasi 20 menit. Reaksi dihentikan dengan membilas

membran dengan dH2O.

Page 19: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

19

3.3.4 Metode ELISA (Enzym Linked Immunoabsorbant Assay)

3.3.4.1 Treatment antigen.

Mula-mula, antigen dilisis dengan penambahan SDS 0,3% (antigen : SDS =

2 : 1) kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Lalu antigen

diinaktivasi pada water bath yang bersuhu 570C selama 30 menit.

3.3.4.2 Proses ELISA.

Antigen yang telah di-treatment sebelumnya diencerkan dengan coating

buffer (1:500) dan masukkan pada plate ELISA, masing-masing well berisi 100 µl.

Kemudian diinkubasi over night pada suhu 40C. Plate lalu dicuci dengan PBS

Tween 0,1% sebanyak 3 kali kemudian di-blocking dengan blotto sebanyak 300 µl

pada masing-masing well dan diinkubasi pada 370C selama 1 jam.

Diencerkan sampel dengan blotto 5% dengan perbandingan 1:33 dan

dimasukkan pada setiap well sebanyak 100 µl lalu diinkubasi 370C selama 1 jam.

Setelah diinkubasi, Plate dicuci kembali sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan

konjugat Anti-Rabbit IgG Alkaline Phosphatase yang sudah diencerkan dengan

blotto 5% dengan perbandingan 1: 500 sebanyak 100 µl setiap well, lalu

diinkubasi 370C selama 1 jam dan dicuci kembali sebanyak 3 kali.

Ditambahkan substrat PNPP (p-NITROPHENYL PHOSPHATE) dan Tris

Buffer yang diencerkan dalam dH2O sebanyak 10 ml, masing-masing well 100 µl

kemudian diinkubasi 370C selama 30 menit dan ditambahkan NaOH 3N sebanyak

50 µl untuk menghentikan reaksi enzim-substrat. Data diinterpretasikan dengan

ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.

Page 20: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan hewan model kelinci karena mudah

pemeliharaannya dan penanganannya, selain itu persyaratan lainnya kelinci

tersebut belum pernah terpapar oleh antigen lainnya. Antigen yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu antigen SRV. Western Blot adalah proses pemindahan

hasil protein dari gel hasil elektroforesis ke dalam membran dan digunakan untuk

mendeteksi protein pada sampel jaringan. Imunoblot menggunakan elektroforesis

gel untuk memisahkan protein asli. Hasil elektroforesis antigen lalu ditransfer ke

membran nitroselulosa dengan bantuan arus listrik (Nur & Adijuwana 1989).

Antigen pada membran selanjutnya akan dikenali oleh antibodi dari sampel.

Membran Nitroselulosa digunakan karena merupakan filter yang paling umum

digunakan untuk bloting. Membran ini mempunyai kapasitas mengikat antigen

sebesar 80 µg (Graham 1995). Antibodi sendiri dapat terikat secara non spesifik

pada membran maupun pada antigen, maka membran harus diperlakukan dengan

suatu agen tertentu untuk memblok. Agen bloking yang digunakan yaitu blotto.

Blotto 5% berfungsi sebagai larutan untuk menghambat agar pori membran yang

tidak mengikat protein SRV tidak berikatan dengan protein lain agar reaksi yang

diperoleh menjadi spesifik.

4.1 Hasil Pengujian Western Blot

Hasil pengujian terhadap 10 sampel serum kelinci New Zealand untuk

pengujian SRV-2 dengan teknik Western Blot menunjukkan bahwa 2 sampel

positif terinfeksi virus SRV-2 sedangkan untuk 8 sampel lainnya negatif (Gambar

8 dan Tabel 1.) Hasil positif berdasarkan pada pita- pita spesifik yang dihasilkan

dari uji Western Blot. Intensitas warna yang tebal pada pita-pita protein sampel

menunjukkan bahwa konsentrasi protein yang cukup tinggi dalam sampel

(Anggraeni 2007).

Page 21: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

21

Gambar 8. Hasil uji Western Blot serum kelinci New Zealand

Keterangan : 1-10 (sampel), + (kontrol positif), - (kontrol negatif), cc

(kontrol kunjugat)

Tabel 1. Hasil uji Western Blot

Sampel serum kelinci New Zealand Hasil

1 Negatif2 Negatif3 Positif4 Negatif5 Negatif6 Negatif7 Negatif8 Positif9 Negatif

10 Negatif

Melalui uji Western Blot, sampel yang positif terinfeksi virus SRV-2

menunjukan adanya reaktifitas terhadap protein p 22, gp 70 serta gp 20 (Billy

gp 70

p 22

gp 20

Page 22: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

22

2007). Berdasarkan kriteria tersebut, maka dapat dinyatakan sampel no. 3 dan

sampel no. 8 dapat digunakan sebagai kontrol positif SRV-2 untuk pengujian ada

tidaknya infeksi SRV-2 pada sampel lainnya menggunakan teknik Western Blot,

karena sampel tersebut menghasilkan pola pita yang diperlukan untuk memenuhi

persyaratan kriteria positif.

Dari 8 sampel serum darah kelinci New Zealand yang menunjukkan hasil

negatif, diduga disebabkan karena hewan tersebut mempunyai respon individu

yang berbeda-beda ini bisa terjadi dikarenakan antigen yang masuk ke dalam

tubuh hewan belum berjalan dengan baik, dalam tahapan ini masih berlangsung

perubahan-perubahan seluler (Subowo 1993). Kegagalan kebanyakan terjadi

karena respon imun yang tidak bagus terhadap hewan (Graham 1995). Faktor

lainnya dapat disebabkan karena pada saat penyuntikan antigen dan pengambilan

darah menyebabkan stres pada hewan tersebut.

Gangguan produksi antibodi pada hewan dapat terjadi akibat stres.

Dampak nyata stres pada kelinci yaitu aliran plasma atau serum menurun drastis,

penurunan berat badan. Stres menyebabkan menurunnya nafsu makan dan minum,

sehingga kekebalan tubuh pada hewan menjadi berkurang. Penyebab stres pada

kelinci antara lain karena pindah kekandang yang baru yang dapat menyebabkan

perubahan kebiasaan, faktor lingkungan, kesalahan pada saat penyuntikan antigen,

pada saat pengambilan darah dilakukan pada tahap awal virus dimana hewan

belum berespon terhadap infeksi virus, ataupun dapat terjadi karena konsentrasi

dari antigennya tersebut menurun.

Proses Western Blot digunakan larutan penghambat (Blocking Solution)

yang mengandung protein-protein tertentu digunakan. Fungsi dari larutan

penghambat ini adalah untuk mengisi bagian dari strip yang tidak ada protein

antigennya, untuk menjaga atau mencegah pelekatan antibodi yang tidak homolog

sehingga tidak akan menghasilkan reaksi non spesifik ketika konjugat

ditambahkan (Constantine et al 1992 dalam Maryati, 1999).

Penggunaan metode Western Blot digunakan karena mempunyai hasil

kepekaan dalam mendeteksi antibodi dalam jumlah yang kecil khususnya

antibodi dari golongan retrovirus.

Page 23: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

23

4.2 Hasil Pengujian ELISA

Pada penelitian ini dilakukan uji pembanding terhadap serum kelinci

New Zealand dengan menggunakan metode ELISA. Hasil pengujian sampel

serum kelinci New Zealand dengan menggunakan teknik ELISA menunjukkan

bahwa sampel no. 2 no. 3 no. 8 dan no. 10 memberikan hasil (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil uji ELISA serum kelinci New Zealand

Sampel serum kelinci New Zealand Absorbansi

1 0,0532 0,1283 0,4524 0,0475 0,0566 0,0917 0,0648 0,3699 0,077

10 0,146Kontrol Positif 1 1,228Kontrol positif 2 1,086Kontrol Negatif 1 0,024Kontrol Negatif 2 0,024Kontrol Negatif 3 0,019

Hal ini berdasarkan pada pembacaan absorbansi dengan menentukan

batas nilai. Batas nilai diperoleh dengan menghitung rata-rata nilai absorbansi

kontrol negatif. Hasil perhitungan tersebut disebut dengan nilai cut-off. Nilai rata-

rata kontrol negatif + ( standar deviasi x nilai multiplier).

Perhitungan nilai rata-rata kontrol negatif adalah :

kontrol negatif 1 + kontrol negatif 2 + kontrol negatif 3 / 3

Nilai rata-rata kontrol negatif = (0,024 + 0,024 + 0,019) / 3

= 0,022

Nilai standar deviasi dari kontrol negatif adalah 0,029

Nilai multiplier untuk menghitung nilai cutt-off dengan 3 kontrol negatif

confidence level 95 % adalah 3,372 (Lampiran 5.)

Page 24: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

24

Perhitungan nilai cutt-off adalah :

Rata-rata kontrol negatif + (standar deviasi x nilai multiplier)

Nilai cut off = 0,022 + (0,029 x 3,372)

= 0,119

Berdasarkan pada perhitungan nilai cutt-off sampel yang memiliki nilai

absorbansi lebih besar dari nilai cutt-off dalam hal ini sebesar 0,119 dinyatakan

positif sementara sampel yang nilai absorbansinya lebih rendah dari nilai cutt-off

dinyatakan negatif (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil uji ELISA serum kelinci New Zealand berdasarkan nilai cutt off

Sampel Hasil1 Negatif2 Positif3 Positif4 Negatif5 Negatif6 Negatif7 Negatif8 Positif9 Negatif

10 Positif

Berdasarkan nilai cutt-off dari 10 sampel terdapat 4 sampel yang positif

pada uji ELISA yaitu no.2, 3, 8 dan 10. sampel no. 2 dan no. 10 didapatkan hasil

positif pada uji ELISA tetapi pada uji Western Blot kedua sampel tersebut

diperoleh hasil negatif, hal ini bisa terjadi pada sampel no. 2 dan no. 10

kemungkinan disebabkan karena protein yang terdeteksi mempunyai nilai titter

yang rendah. Rendahnya titter antibodi dapat terjadi karena kelinci yang

digunakan terpapar oleh antigen lain, dalam hal ini yang diketahui disebut positif

palsu ( false positive). Hasil pada pengujian Western Blot berbeda dengan hasil

pada pengujian ELISA. Pada pengujian Western Blot sampel yang dinyatakan

positif terdapat pada sampel no. 3 dan no. 8 sedangkan pada ELISA sampel yang

dinyatakan positif terdapat pada sampel no. 2 no. 3 no. 8. dan no. 10 Teknik

ELISA yang mempunyai sifat sensitif namun tidak spesifik sehingga sering terjadi

positif palsu (false positive).

Page 25: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

25

Positif palsu (false positive) dapat terjadi akibat reaksi non spesifik antara

serum sampel dengan protein yang bukan berasal dari protein antigen SRV-2,

selain itu dapat juga disebabkan oleh cairan kultur jaringan tempat virus

ditumbuhkan dimana protein ini tidak dapat terpisahkan didalam tahap pemurnian

antigen virus (Pedersen et al. 1986). Penyebab lainnya dapat terjadi pada serum

yang dikumpulkan dari hewan yang telah diimunisasi mengandung antibodi yang

bukan saja terhadap antigen yang digunakan untuk imunisasi tetapi juga antibodi

terhadap antigen pada lingkungan lainnya yang mungkin saja telah masuk

kedalam tubuh hewan tersebut. Bahkan pada jumlah kecil sekalipun

ketidakmurnian antigen dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat tetapi tidak

diinginkan (Graham 1995).

Hambatan utama ketika menggunakan serum hiperimun ialah reaksi

serum tidak hanya terhadap antigen yang diteliti tetapi juga terhadap antigen lain

(Graham 1995). Beberapa tipe reaksi silang yang mungkin terjadi adalah:

1. Paling lazim disebabkan oleh adanya antibodi campuran dalam serum,

disamping terdapatnya antibodi terhadap antigen yang diselidiki mungkin

juga terdapat antibodi terhadap antigen yang tidak berikatan dan tidak

relevan.

2. Reaksi silang juga terjadi bila epitop yang sama dimiliki oleh antigen yang

berbeda.

Sedangkan pada uji Western Blot sampel bisa dinyatakan positif karena

Western Blot merupakan pengujian yang spesifik karena hanya protein dari virus

yang diujikan saja yang terdeteksi, sehingga sampel hanya dinyatakan positif bila

menunjukkan adanya pita yang spesifik menurut antigennya (Micklos et al. 2003).

Dari hasil diatas menunjukkan bahwa uji dengan menggunakan metode ELISA

belum sempurna dipakai sebagai uji dalam proses mendeteksi SRV-2 secara

serologis.

Parameter-parameter sensitifitas, spesifisitas, spesifisitas, positif palsu

dan negatif palsu digunakan untuk membandingkan uji Western Blot dan uji

ELISA. Tinggi atau rendahnya nilai sensitifitas ELISA dapat disebabkan pada

konsentrasi antibodi sampel yang dideteksi oleh batas nilai yang dapat dibaca oleh

Page 26: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

26

alat ELISA Reader. Selain itu hasil positif palsu menunjukkan bahwa uji ELISA

kurang baik digunakan karena memberikan hasil yang bukan sebenarnya.

Dari hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa uji ELISA belum

sempurna digunakan sebagai satu-satunya uji dalam proses penyeleksian kelinci

yang terinfeksi SRV-2 secara serologis. Untuk itu, Western Blot dapat digunakan

sebagai suatu uji peneguhan (Confirmatory Test) (Kardiman 1994).

Page 27: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

27

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Dalam penelitian ini dari 10 sampel serum kelinci New Zealand yang diuji

dengan Western Blot dan ELISA terdapat dua sampel yang sama-sama

positif terdeteksi SRV-2.

2. Kedua sampel serum kelinci New Zealand tersebut dapat digunakan sebagai

kontrol positif untuk pengujian ada tidaknya infeksi virus pada sampel

lainnya dengan menggunakan teknik Western Blot.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengujian pembanding secara molekuler pada kelinci

New Zealand yang terinfeksi SRV-2 untuk meyakinkan bahwa kelinci tersebut

benar-benar terinfeksi SRV-2 ditinjau dari segi genetik.

Page 28: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

28

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni R. 2007. Elektroforesis SDS-Page, Immunobloting, dan penentuan

asam amino antigen dari sarung tangan lateks. Institut Pertanian. Bogor.

Alpha Diagnostic International, Inc. 1996. Polyclonal Antibodies Indonesia Chicken-Beyond Omelets and Sandwiches. Alpha Diagnostic International, Inc. San Antonio. USA.

Baker DG. 2003. Natural Pathogen of Laboratory Animal, Their Effect on Research. Washington DC: ASM Press; 2003

Chen, Z., K. Ben, B. Tian dan Y. Zheng. 1992. Serological survey of a captive macaque colony Indonesia china for antibodies to Simian Type-D retrovirus. J. Med. Primatol 21 : 377-380.

Christian B. 2007. Deteksi dan Analisis Agen Penyakit Viral Pada Macaca fascicularis dan Macaca nemestrina.

Constantine. N.T., J.D. Callahan and D.M. Watts. 1992. dalam Surya. M. Retroviral Testing Essentials for Quality Control and Laboratory Diagnosis. Pp7,78. CRC Press, Boca Raton-Ann-London-Tokyo.

Cowen, R. 1984. Virus Identified as Possible Cause of Simian AIDS. Research Resources Reporter. Vol. III (4) : 1-6.

Crowter, JR. 2001. The ELISA Guidebook. New Jersey : Humana Press.

Fine, D and Schochetman, G. Type D primate retroviruses: A review. Cancer Res 1999;38:3123-39

Fridman EP. 2002. Medical Primatology. London: Taylor and Francis.

Gyrus A, Vajda G, Foldes I. 1993. Serologic survey for type D retroviruses and immunodeviciency virus Indonesia monkey living Indonesia hungary. Acta Hungarica 41:171-177.

Goldsby, R.A., T.J. Kindt and B.A. Osbone. 2000. Kuby Immunology. 4th ed. New York : W.H Freeman and Company.

Huebner J. 2004. Antibody-antigen interactions and measurements of immunologi reactions. Di dalam : Pier GB, Lyczak JB, Wetzler LM,editor. Immunology, infection, and immunity. Washington, DC : ASM Press.

Page 29: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

29

Iskandriati D, Saepuloh U, Mariya S, Grant RF, Solihin DD, Sajuthi D, and Pamungka J. 2010. Isolation and characterization of simian retrovirus from Macaca fascicularis and M. nemestrina Indonesia Indonesia. Microbiol Indonesia 4(3):132-136.

Kresno, S.B. 2002. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi III, cetakan 2. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 26, 27, 30

Levinson,W and E. Jawetz. 2000. Medical Microbology & Immunology: Examination & Board Review 6th ed. New York : McGraw-Hill Companies.

[LeincoTechnologies]. 2006. General Western Blot protocol. [terhubung berkala] http://www.leinco.com/general_wb [4 Mar 2012].

Lerche NW. Epideminology and control of type D retrovirus Indonesia captive macaques. In: Matano S, Tuttle RH, Ishida H, Editors. Topics Indonesia Primatology. Vol 3. Tokyo: University of Tokyo Press; 1992.

Lerche NW, Osborn KG. Simian retrovirus infection: potential confounding variable Indonesia primate toxicology studies. Toxicol Pathol 2003.

Micklos DA, Freyer GA, Crotty DA. 2003. DNA Science 2th ed. New York: Cold Spring Harbor Press.

[MP-Biomedicals]. 2012. HTLV screening [terhubung berkala]. http://www.mpbio.com/htlv_screening.php [29 Mar 2012].

Nandi JS, Tikute SA, Chhangani AK, Potdar VA, Tiwari-Mishra M, Ashtekar RA, et al. Natural infection by simian retrovirus-6 in human langurs (Semnopithecus entellus) from two different geographical regions of india. Virology 2003;311(1):192-201

Nandi JS, Van Dooren S, Chhangani AK, Mohnot SM. New simian beta retroviruses from rhesus monkey (Macaca Mulatta) and langurs (Semnopithecus entellus) from Rajasthan, India. Virus Gene 2006;33(1): [abstract]

Nur MA, Adijuwana H. 1989. Tekhnik Pemisahan dalam Anaalisis Biologis.Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Pedersen NC, Lowenstine L, Marx P, Higgins J, Baulu J, McGuire M, Gardner MB. 1986. The causes of false-positives encountered during the screening of old-world primates for antibodies to human and simian retroviruses by ELISA. J Virol Methods 14:213-228.

Sarwono B. 2001. Kelinci potong dan hias. AgroMedia Pustaka.

Page 30: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

30

Subowo. Imunobiologi. Penerbit Angkasa Bandung. Bandung 1993.

Stanley, J. 2002. Essentials of Immunology & Serology. DELMAR Thomson Learning. New York, USA. p: 155

Tjandra K. 1994. Perbandingan Hasil Analisis Serologis Simian Retrovirus-2 antara uji ELISA dan Western Blot terhadap serum darah Macaca nemestrina.

W Graham. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Gadjah mada University press.

Page 31: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

31

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian

12 ml darah kelinci, disentrifugasi 2500 rpm 10 menit

Lapisan atas menghasilkan serum Lapisan bawah menghasilkan sel darah merah

Disimpan dalam water bath 370C) selama 30 menit

Serum diuji dengan western blot Elektroforesis SDS-PAGE

Antigen SRV

Page 32: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

32

Lampiran 2. Elektroforesis SDS-PAGE Antigen SRV-2

`

BAGAN ALIR

Pembuatan Gradient gel SDS-PAGE 7,5% dan 17,5 %

Setelah terbentuk gel dibuat stacking gel 4% sampai terbentuk sumur sebagai tempat

memasukkan antigen

Antigen dimasukkan ke dalam gel ditambah dengan penambahan sample buffer 60µl dan PBS 1% 35µl dan diberi pewarna marker board range

5µl

Gel berisi antigen kemudian di Running pada arus listrik 150 volt selama ± 50 menit

Gel lalu ditransfer ke dalam membran nitroselulosa pada arus listrik 100 volt selama 60 menit

Membran Nitroselulosa diletakkan dalam cawan petri yang telah berisi blotto 5% didiamkan selama 1

jam

Page 33: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

33

Lampiran 3. Uji Western Blot serum kelinci New Zealand

LAMPIRAN

Dimasukkan 980 µl blotto 5% pada tray Western Blot

Dimasukan sample serum 20 µl

Dimasukkan membran yang sudah dipotong setebal ± 2mm

Dimasukkan sampel serum 20 µl

Diinkubasi di atas shaker selama 24 jam

Ditambahkan substrat berisi campuran BCIP dan NBT, diinkubasi selama 20 menit lalu

dicuci dengan dH2o

Dicuci dengan PBS tween 0,1% Sebanyak 3 kali (masing-masing selama 5 menit di atas shaker)

Ditambahkan konjugat Anti-Rabbit IgG Alkaline Phosphatase yang diencerkan dalam blotto 5% dengan perbandingan

1:500

Diinkubasi selama 1 jam,membran dicuci kembali dengan PBS tween 0,1% sebanyak

3 kali dengan interval 5 menit

Page 34: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

34

Lampiran 4. Data ELISA serum kelinci New Zealand

Sampel Abs Blank Abs 1 Abs 2 Abs 3 Rata21 0,030 0,012 0,083 0,094 0,0532 0,027 0,142 0,152 0,117 0,1283 0,023 0,709 0,372 0,299 0,4524 0,025 0,059 0,051 0,056 0,0475 0,029 0,078 0,053 0,065 0,0566 0,026 0,122 0,089 0,087 0,0917 0,023 0,080 0,058 0,077 0,0648 0,026 0,764 0,319 0,319 0,3709 0,026 0,093 0,081 0,082 0,077

10 0,033 0,186 0,153 0,133 0,146Positif 1 0,041 1,684 0,955 1,086 1,228Positif 2 0,040 1,565 0,929 0,805 1,086Negatif 1 0,022 0,039 0,027 0,027 0,024Negatif 2 0,025 0,044 0,028 0,025 0,024Negatif 3 0,022 0,024 0,027 0,029 0,019

Page 35: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

35

Lampiran 5. Nilai multiplier untuk perhitungan nilai cut-off

Number of Confidence level (1 - α) Controls 95% 97,5% 99% 99,5% 99,9%

2 7,733 15,562 38,973 77,962 389,8233 3,372 4,968 8,042 11,460 25,7834 2,631 3,558 5,077 6,530 11,4205 2,335 3,041 4,105 5,044 7,8586 2,177 2,777 3,635 4,355 6,3667 2,077 2,616 3,360 3,963 5,5678 2,010 2,508 3,180 3,712 5,0769 1,960 2,431 3,053 3,537 4,744

10 1,923 2,373 2,959 3,408 4,50711 1,893 2,327 2,887 3,310 4,32812 1,869 2,291 2,829 3,233 4,18913 1,850 2,261 2,782 3,170 4,07814 1,833 2,236 2,743 3,118 3,98715 1,819 2,215 2,711 3,074 3,91216 1,807 2,197 2,683 3,037 3,84817 1,797 2,181 2,658 3,005 3,79318 1,787 2,168 2,637 2,978 3,74619 1,779 2,156 2,619 2,953 3,70420 1,772 2,145 2,602 2,932 3,66825 1,745 2,105 2,542 2,852 3,53530 1,727 2,079 2,503 2,802 3,452

Page 36: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

36

Lampiran 6. Komposisi Gel Elektroforesis

Reagen Gel 7.5% Gel 17.5% Gel 4%

Akrilamida 40%

4.55 ml 10.63 ml 970 µl

Bis-akrilamida 2%

2.5 ml 5.86 ml 520 µl

dH2O 11.3 ml 1.88 ml 5.9 µl

Tris HCL pH 8.8

6.23 ml 6.25 ml 2.5 µl

10% SDS 250 µl 250 µl 100µl

TEMED 12.5 µl 12.5 µl 50 µl

10% APS 125 µl 125 µl 50 µl

Lampiran 7. Komposisi Running buffer Elektroforesis

Reagen Jumlah

SDS 10% 10 g

Trizma base 30 g

Glisin 144 g

dH2O 11 ml

Page 37: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

37

Lampiran 8. Komposisi Antigen untuk Elektroforesis

Reagen Jumlah (µl)

Antigen (SRV) 17,5

PBS 42,5

Sample buffer 60

Lampiran 9. Komposisi Tansfer buffer untuk Blotting

Reagen Jumlah

Trizma base 3.03 g

Glisin 14.4 g

Metanol 200 ml

ddH2O 800 ml

Lampiran 10. Komposisi AP buffer untuk Western Blot

Reagen Jumlah

100mM NaCl 10 ml

5mM MgCl2 2.5 ml

100 mM Tris HCL pH 9.5 200 ml

ddH2O 500 ml

Page 38: perpustakaan.fmipa.unpak.ac.idperpustakaan.fmipa.unpak.ac.id/file/SKRIPSII.doc · Web viewSelanjutnya campuran larutan dialirkan kedalam multicasting chamber setinggi 5,5 cm dari

38

Lampiran 11. Gambar Alat-alat yang digunakan

Gambar 9. Mesin Pompa Penghisap

Gambar 10. Shaker

Gambar 11. ELISA Reader