kalpastikes.files.wordpress.com · web viewperencanaan keperawatan. ... diagnosa keperawatan/...
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SPONDILITIS TBC By : Ns, M.Shodikin,M.Kep,Sp.Kep.MB,CWCS
A. PENGERTIAN
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis.
Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral
osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan
paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai
korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberkulosa atau dikenal dengan nama Pott’s disease of the spine
atau tuberculous vertebral osteomyelitis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Spondilitis
tuberkulosa merupakan bentuk paling berbahaya dari tuberculosis muskuloskeletal
karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia. Kondisi
umumnya melibatkan vertebra thorakal dan lumbosakral. Vertebra thorakal bawah
merupakan daerah paling banyak terlibat (40-50%), dengan vertebra lumbal
merupakan tempat kedua terbanyak (35-45%). Sekitar 10% kasus melibatkan vertebra
servikal.
B. ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat
acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut
juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik
melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk
memvisualisasikannya. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched
dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain
di tubuh, 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 10% oleh
mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi
spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah
vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga
diduga adanya infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosa traktus urinarius, yg penyebarannya
melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular
flu. Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan
intensif dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg
kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8
jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB
sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung. Tetapi dalam tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat
bertahan hidup selama beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama
(dorman) selama beberapa tahun.
C. MANIFESTASI KLINIK
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh
tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc.
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa
karena proses destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan
adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri
interkostal (Tachdjian, 2005).
D. PATOFISIOLOGI
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen,
diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi
traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses
destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body).
Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan
granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang
dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan
posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi
akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi
TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis
(Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan
(wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
a. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.
Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
b. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
c. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas
penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
d. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan
miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan
pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau
gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan.
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen
atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke
tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang.
Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber
infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra
yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit
ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20%
kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada
orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra
lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal
yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma.
Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral
dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari
suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
E. PATHWAYMycobacterium tubercolosa
Inhalasi
Hidung
Alveolus
Traktus respiratory
Beredar melalui aliran darah
ke kelenjar getah bening regional
Beredar melalui saluran limfe
membentuk sel epitelioid granuloma
reaksi hipersensitivitas seluler terhadap bakteri TB
bakteri berduplikasi membentuk koloni
infeksi menjalar ke diskus
Bakteri berada dalam tulang
penyempitan yang ringan pada diskus
Tulang belakang
Korpus vertebra
Arteri vertebralis
destruksi tulang
perlunakan dan osteoporosis
kerusakan pada korteks epifisis, diskus invertebralis dan vertebra
eksudat (serum, leukosit, tulang yang fibrosis, basil tubercolosa)
menyebar ke bawah ligamnetum longitudinal anterior
menembus ligamnetum dan berekspansi ke berbagai arah
nekrosis sentral
hiperemi
LED↑
Resiko Infeksi
leukosit↑
Kerusakan integritas kulit
menekan nociceptor di hipotalamus Gangguan mobilitas fisik
paraplegiastimulus nyeri pada pinggang
pembesaran abses/tulang yg bergeser
perubahan pada vertebra lumbalis
nyeri
Perubahan sikap tubuh
kifosis service dorsal (membungkuk)
Perubahan struktur vertebra servikalis
Gangguan Body ImageGangguan Pola Tidur
di sepanjang garis ligament yang lemah
pada servikal, eksudat berkumpul dibelakang paravertebral
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomostoideus
berbentuk massa yang membesar
abses dingin
Gangguan neurologis
penekanan ke medulla spinalis
kerusakan korpus vertebra dan terjadi angulasi vertebra ke depan
Resiko Infeksi
Mikroorganisme banyak yang
masuk
Keluar dalam bentuk pus yang
berisi eksudat
Penekanan dari dalam tulang
rangsangan ke otak ↓
pengeluaran urin terganggu
Retensi urin
batu ginjal
mineral dalam urin tertumpuk
urin tertahan di saluran kemih
kerusakan bagian depan menyebabkan kifosis
perubahan rongga dada
ekspansi paru berkurang
↓ kemampuan maksimal dalam melakukan respirasi
↑ secret
perubahan diskus intervertebralis servikal
gangguan mobilitas leher
pembentukan abses faring
Terjadi kekakuan pada leher
Pola nafas tak efektif
gangguan proses menelan
intake nutrisi <
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pott’s paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari
jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces.
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon
baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan
corda spinalis.
G. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera
untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi
paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
a. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
1) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
2) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu
selama 4 bulan (54 kali).
b. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita yang kambuh.
1) Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin
injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90
kali).
2) Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250
mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan
paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi,
penderita diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka, debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT,
atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa,
paraplegia, dan kifosis.
a. Cold absces
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi
spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan
drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi
untuk bertambah berat. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi
radikal.
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menegakkan diagnose
spondylitis TB dengan cidera tulang belakang yaitu sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Dermatom
Sistem sensorik mempunyai fungsi sebagai proteksi. Manusia tidak dapat
mempertahankan hidupnya jika tidak tahu adanya bahaya yang mengancam
atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat,
mendengar, mencium, dan merasakan rasa nyeri, rasa raba, rasa panas dingin
dan sebagainya. Semua fungsi yang kita sebutkan tadi adalah merupakan
fungsi sensorik.
Pemeriksaan sensoris mempunyai tujuan, yaitu menetapkan adanya gangguan
sensoris, mengetahui modalitasnya, menetapkan polanya, menyimpulkan jenis
dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensoris. Berikut adalah prosedur
Pemeriksaan, yang meliputi:
(1) Persiapan Alat
Jarum pentul
(2) Persiapan Klien
Klien harus dalam keadaan sadar, kooperatif dengan kecerdasan yang
cukup. Pemeriksaan dilakukan secara santai dan klien harus memejamkan
mata, dan dijelaskan respon apa yang diharapkan dari klien.
(3) Pelaksanaan
Pemeriksa memberikan dua tusukan pada tempat yang berbeda pada saat
yang sama dengan mata tertutup. Berikan tusukan pada daerah punggung,
lengan atas, dan paha (70-75mm). Pemeriksaan positif bila klien
merasakan rasa yang berbeda – beda di setiap lokasi yang di tusuk.
Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan sentuhan pada kedua sisi tubuh
yang berpasangan (simetris), hasil positif bila klien merasakan kehilangan
untuk merasakan rangsangan pada satu sisi tubuhnya. (Bahrudin, 2011;
181-183: 188-189).
2) Pemeriksaan Miotom
Akar Saraf Pemeriksaan OtotL1-L2 Fleksi Hip Psoas, iliakus, sartorius, grasilis,
pektineus, adduktor longus, adduktor brevis
L3 Ekstensi lutut Quadriceps, adduktor longus, magnus, dan brevis
L4 Dorsifleksi pergelangan kaki
Tibialis anterior, quadriceps, tensor fasia latae, adduktor magnus, obturator eksternus, tibialis posterior
L5 Ekstensi kaki Ekstensor hallucis longus, ekstensor digitorum longus, gluteus medius dan minimus, obturator internus, semimembranosus, semitendinosus, peroneus tertius, popliteus
S1 Plantar fleksi pergelangan kaki, eversi pergelangan kaki, ekstensi hip, fleksi lutut
Gastrocnemius, soleus, gluteus maksimus, obturator internus, piriformis, biceps femoris, semitendinosus, popliteus, peroneus longus dan brevis, ekstensor digitorum brevis
S2 Fleksi lutut Biceps femoris, piriformis, soleus, gastrocnemius, fleksor digitorum longus, fleksor hallucis longus, otot intrinsik kaki.
S3 Otot instrinsik kaki (kecuali abduktor hallucis), fleksor hallucis brevis, flexor digitorum brevis.
Pemeriksaan miotom adalah pemeriksaan kekuatan otot untuk mengetahui
adanya kelemahan saraf. Pada tes ini pemeriksa menerapkan tkontraksi
melawan tahanan. Kontraksi tersebut harus dipertahankan selama lima detik
untuk menunjukkan adanya kelemahan. Jika memungkinkan, pemeriksa harus
menguji pada bagian yang berbeda secara bersamaan untuk memberikan
perbandingan. Perbandingan bilateral yang simultan tidak mungkin terjadi
untuk gerakan pada pinggul dan sendi lutut karena berat badan dan stres pada
punggung bawah sehingga pemeriksaan hanya dilakukan pada satu bagian saja.
Berikut prosedur pemeriksaan :
1. Miotom S1
(1) Perisapan klien
Klien berbaring tengkurap. Tes ini dilakukan hanya jika pasien tidak
mampu untuk melakukan gerakan plantar fleksi dan eversi
pergelangan kaki.
(2) Pelaksanaan
Klien diminta untuk fleksi lutut 90°, kemudian pemeriksa mengangkat
sedikit paha klien dari meja periksa. Tangan pemeriksa yang satunya
diletakkan pada bagian posterior paha klien, sementara tangan tyang
lain memastikan bahwa paha pasien tidak menempel dimeja periksa.
minta pasien untuk menggerakkan pahanya ke arah bawah dengan
melawan tahanan dari pemeriksa. Pertahankan selama 5 detik.
2. Miotom L2
1) Persiapan klien
Klien berbaring terlentang pada meja periksa
2) Pelaksanaan
Tes ini dilakukan dengan meregangkan pinggul klien 30°-40°.
Kemudian pemeriksamemberikan tahanan ke ekstensi proksimal lutut
sambil memastikan bahwa tumit kaki klien tidak menempel pada
meja. Gerakan ditahan selama 5 detik. Lakukan pada sisi yang lain
untuk melihat perbandingan. Untuk mencegah tekanan berlebihan
pada tulang belakang lumbal, pemeriksa harus memastikan bahwa
klien tidak meningkatkan lordosis lumbal saat melakukan tes.
3. Miotom L3
1) Persiapan klien
Klien berbaring terlentang pada meja periksa.
2) Pelaksanaan
Pemerika memfleksikan lutut klien 25-35° dan kemudian memberikan
tahanan di midshaft tibia dan pastikan tumit tidak menyentuh meja
perika. Gerakan ditahan selama 5 detik. Sisi yang lain juga dilakukan
pemeriksaan untuk melihat perbandingan.
4. Miotom L4
1) Persiapan klien
Klien berbaring terlentang pada meja periksa.
2) Pelaksanaan
Klien diminta untuk memposisikan kakinya 90° (posisi plantigrade).
Pemeriksa memberikan tahanan pada dorsum kaki. Gerakan ditahan
selama 5 detik. Lakukan pada sisi yang lain untuk melihat
perbandingan.
5. Miotom L5
1) Persiapan klien
Klien duduk dimeja periksa.
2) Pelaksanaan
Klien diminta untuk memegang kedua jempol kaki dalam posisi
netral. Tahan selama 5 detik.
6. Miotom S1-S2
1) Persiapan klien
Klien berbaring tengkurap dengan fleksi lutut 90° .
2) Pelaksanaan
Pemeriksa memberikan tahanan tepat di atas pergelangan kaki. Tahan
selama 5 detik. Ada kemungkinan untuk menguji fleksi lutut pada saat
yang sama, tapi sebaiknya tidak dilakukan karena dapat memberikan
tekanan yang besar pada tulang belakang (Magee, 2006: 501-502,
504).
3. Penatalaksanaan Fisioterapi
a. Diagnosis Fisioterapi
1) Impairment : - nyeri pada daerah insisi
- penurunan kekuatan otot-otot tungkai
- potensial terjadinya atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
- menurunnya ROM tungkai
- gangguan sensasi
- gangguan fungsi kontrol bladder dan bowel
2) Functional Limitation : - gangguan seperti miring, duduk, dan berdiri serta
gangguan aktifitas berjalan.
3) Disability : - pasien tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-
hari.
b. Tujuan Fisioterapi
1) Mengurangi nyeri
2) Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
3) Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
4) Meningkatkan ROM tungkai
5) Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi
6) Mengembalikan ke ADL yang mandiri
c. Program Latihan Fisioterapi
1) Menjaga fungsi respirasi: breath exc, glossopharyngeal breath, airshift
manuever, strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi. Bertujuan
untuk meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat
tirah baring (bed rest). Perhatian pada trauma pada dada dan perut pada
paraplegia (gangguan diafragma)
2) Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi
spastisitas, mengkoreksi kelurusan dari fraktur)
3) Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur
dan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi
4) Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective)
5) Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor
6) Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil
7) Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak
stabil
Salah satu teknologi yang digunakan dalam penanganan paraplegi adalah
terapi latihan. Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi
yang pelaksanaannya dengan menggunakan pelatihanpelatihan gerak tubuh baik
secara aktif maupun secara pasif. Secara umum tujuan terapi latihan meliputi
pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan, perbaikan atau
pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot, kemampuan cardiovaskuler,
mobilitas dan fleksibilitas jaringan lunak, stabilitas, rileksasi, koordinasi
keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996).
Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien
harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah
proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki
terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai pasien
mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk adalah
penting di bawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang
diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan
penguatan dapat bekerja.
Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat
otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi
tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal. Hanya suatu unit khusus
dengan tim multi-disiplin dapat mengajarkan sejumlah besar keterampilan yang
tersisa diperlukan untuk hidup mandiri. Tingkat independensi pasien dapat mencapai
tergantung pada banyak faktor seperti tingkat dari cedera tulang belakang, usia
orang, setiap co-ada kondisi medis dan motivasi dan dukungan keluarga.
4. Rehabilitasi Tujuan Fungsional
Informasi dalam tabel di bawah ini harus dibaca sebagai panduan umum
untuk cedera tulang belakang yang paling. Setiap cedera yang unik dan dua cedera
dikategorikan sebagai tingkat yang sama tidak akan selalu menunjukkan jumlah yang
sama kembali dan fungsi. Banyak faktor lain datang ke dalamnya juga. Akan ada
beberapa derajat tumpang tindih antara tingkat tulang belakang yang berbeda juga,
jadi silakan baca ini sebagai panduan umum saja.
Tingkat
Kemampuan Tujuan Fungsional
C1-C3 Terbatas gerakan kepala dan leher
Pernapasan: Tergantung pada ventilator atau implan untuk mengendalikan pernapasan.
Komunikasi: Berbicara kadang sulit, sangat terbatas atau tidak mungkin. Jika kemampuan berbicara yang terbatas, komunikasi dapat dilakukan secara independen dengan tongkat mulut dan teknologi bantu seperti komputer untuk pidato atau mengetik. Komunikasi verbal yang efektif memungkinkan individu dengan SCI untuk mengarahkan perawat dalam kegiatan sehari-hari orang tersebut, seperti mandi, berpakaian, kebersihan pribadi, mentransfer serta kandung kemih dan usus manajemen.
Tugas sehari-hari: Teknologi Assistive memungkinkan untuk kemerdekaan dalam tugas-tugas seperti halaman berubah, dengan menggunakan telepon dan lampu operasi dan peralatan.
Mobilitas: Dapat mengoperasikan sebuah
kursi roda listrik dengan menggunakan kontrol kepala, tongkat mulut, atau kontrol dagu. Sebuah kemiringan kursi roda listrik juga untuk pelepas tekanan independen.
C4 Biasanya memiliki kepala dan leher kontrol. Individu pada tingkat C4 bisa mengangkat bahu mereka.
Pernapasan: awalnya Mei memerlukan ventilator untuk bernafas, biasanya menyesuaikan diri dengan bernapas penuh-waktu tanpa bantuan ventilator.
Komunikasi: normal, mungkin memiliki proyeksi suara lemah
Tugas sehari-hari: Dengan peralatan khusus, beberapa mungkin memiliki kebebasan terbatas dalam makan dan mandiri mengoperasikan tempat tidur disesuaikan dengan controller disesuaikan.
C5 Biasanya memiliki kepala dan kontrol leher, bahu mengangkat bahu dapat dan memiliki kontrol bahu. Bisa menekuk nya / siku dan telapak tangan menghadap ke atas gilirannya.
Tugas-tugas harian: Kemerdekaan dengan makan, minum, mencuci muka, menyikat gigi mencukur, wajah dan perawatan rambut setelah bantuan dalam menyiapkan peralatan khusus.
Perawatan kesehatan: Dapat mengelola perawatan kesehatan mereka sendiri dengan melakukan diri membantu batuk dan relief tekanan dengan bersandar ke depan atau sisi ke sisi.
Mobilitas: Mei memiliki kekuatan untuk mendorong kursi roda manual untuk jarak pendek di atas permukaan halus. Sebuah kursi roda kekuasaan dengan kontrol tangan biasanya digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Mengemudi mungkin setelah dievaluasi oleh seorang profesional yang memenuhi syarat untuk menentukan kebutuhan peralatan khusus.
C6 Apakah gerakan di kepala, leher, bahu, lengan dan pergelangan tangan. Bahu bahu dapat, siku menekuk, putar telapak tangan ke atas
Tugas sehari-hari: Dengan bantuan beberapa peralatan khusus, dapat melakukan dengan lebih mudah dan kemerdekaan, tugas-tugas sehari-hari makan, mandi, perawatan, kebersihan
dan bawah dan memperpanjang pergelangan tangan.
pribadi dan pakaian. Independen dapat melakukan tugas rumah tangga ringan.
Perawatan kesehatan: Dapat secara independen melakukan relief tekanan itu, pemeriksaan kulit dan gilirannya di tempat tidur.
Mobilitas: Beberapa individu mandiri dapat melakukan transfer tetapi sering membutuhkan papan geser. Dapat menggunakan kursi roda manual untuk aktivitas sehari-hari tetapi dapat menggunakan kursi roda listrik untuk kemudahan yang lebih besar kemerdekaan.
C7 Memiliki gerakan yang sama sebagai individu dengan C6, dengan kemampuan ditambahkan untuk meluruskan / nya siku.
Tugas sehari-hari: Mampu melakukan tugas-tugas rumah tangga. Butuh bantuan adaptif lebih sedikit dalam hidup mandiri.
Kesehatan: Mampu untuk melakukan up mendorong kursi roda relief tekanan itu.
Mobilitas: penggunaan harian dari kursi roda manual. Dapat mentransfer dengan lebih mudah.
C8-T1 Memiliki kekuatan ditambahkan dan ketepatan jari-jari yang menghasilkan fungsi tangan terbatas atau alami.
Tugas-tugas harian: Bisa hidup mandiri tanpa alat bantu dalam memberi makan, mandi, dandan, kebersihan mulut dan wajah, rias, manajemen kandung kemih dan usus manajemen.
Mobilitas: Menggunakan kursi roda manual. Dapat mentransfer secara independen.
T2-T6 Memiliki fungsi motorik normal di kepala, leher, bahu, lengan, tangan dan jari. Apakah peningkatan penggunaan otot rusuk dan dada, atau kontrol bagasi.
Tugas sehari-hari: Harus benar-benar independen dengan semua kegiatan.
Mobilitas: Beberapa individu yang mampu berjalan terbatas dengan bracing yang luas. Ini membutuhkan energi yang sangat tinggi dan menempatkan tekanan pada bagian atas tubuh, tidak memberikan keuntungan fungsional. Dapat
menyebabkan kerusakan sendi atas.
T7-T12 Telah menambahkan fungsi motorik dari kontrol perut meningkat.
Tugas sehari-hari: Mampu melakukan aktivitas duduk yang tidak didukung.
Mobilitas: Sama seperti di atas.
Perawatan kesehatan: Apakah batuk efektivitas ditingkatkan.
L1-L5 Sudah kembali tambahan gerakan motorik di bagian pinggul dan lutut.
Mobilitas: Berjalan dapat menjadi fungsi yang layak, dengan bantuan kaki khusus dan kawat gigi pergelangan kaki. Tingkat yang lebih rendah berjalan dengan lebih mudah dengan bantuan alat bantu.
S1-S5 Tergantung pada tingkat cedera, ada berbagai tingkat pengembalian sukarela kandung kemih, usus dan fungsi seksual.
Mobilitas: Peningkatan kemampuan untuk berjalan dengan perangkat yang lebih sedikit atau tidak mendukung
Prognosis
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan
klasifikasi spinal cord injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam
(mengenai hidup metinya penderita), segi quo ad sanam (mengenai penyembuhan),
segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik) dan segi quo ad fungsionam (ditinjau
dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang terjadi kemungkinan baik,
dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu kearah baik
(dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis besar
prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah jelek karena medula
spinalis merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan
akan terjadi kecacatan yang permanen.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi
menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA
kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan
amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh
yang diidentifikasi dengan gel.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses
dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus
vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya
massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT Scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Anamnesa
1) Keluhan Utama
Nyeri biasanya yang dikeluhkan pasien spondilitis
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada
punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah
sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada
atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah
berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya
keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun,
badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa), keringat dingin dan penurunan
berat badan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di
dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis
paru.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab
timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain
yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada
yang menderita penyakit menular tersebut.
b. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan,
sering didapatkan adanya nyeri belakang kepala.
b. Mata
tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis.
c. Hidung
tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
d. Mulut
tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
e. Telinga
tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
f. Leher
tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
g. Thorax
h. Paru-paru
i. Abdomen
j. Ekstremitas
k. Kulit
Pengkajian menurut Gordon, yaitu meliputi:
a. Persepsi kesehatan: pola penatalaksanaan kesehatan
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi
persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua
klien mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah
persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya
riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang
mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Nutrisi
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat,
sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya.
c. Pola eliminasi
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke
kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya
penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK
harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut
klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses aliminasi.
d. Aktivitas: pola latihan
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta
penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi
aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas
fisik tersebut.
e. Tidur: pola istirahat
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak
hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur
dan istirahat.
f. Kognitif: pola perseptual
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi
komplikasi paraplegi.
g. Persepsi diri: pola konsep diri
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Peran: pola berhubungan
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau
tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam
keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya
hubungan interpersonal.
i. Seksualitas: pola reproduksi
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan
terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal
curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara
merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
j. Koping: pola toleransi stres
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya ,
akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa
stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi
stres.
k. Nilai: pola keyakinan
Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan
ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai
penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
Spondilitis TB, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi
menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA
kuman tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan
amplifikasi menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh
yang diidentifikasi dengan gel.
3. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses
dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
1) destruksi korpus vertebra bagian anterior
2) peningkatan wedging anterior
3) kolaps korpus vertebra
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus
vertebra, penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya
massa abses paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT Scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
1) menggambarkan tulang lebih detail dengan lesi lytic irregular, kolaps disk
dan kerusakan tulang
2) resolusi kontras rendah menggambarkan jaringan lunak lebih baik,
khususnya daerah paraspinal
3) mendeteksi lesi awal dan efektif untuk menggambarkan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006).
1) standar untuk mengevaluasi infeksi disk space dan paling efektif dalam
menunjukkan perluasan penyakit ke dalam jaringan lunak dan penyebaran
2) debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis anterior dan
posteriorpaling efektif untuk menunjukkan kompresi neural
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perusakan/pelemahan muskulo-
skeletal kelelahan otot pernafasan, disfungsi neuromuskuler.
a. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan (pembesaran abses/tulang
yg bergeser)
b. Retensi urin berhubungan dengan tekanan uretra tinggi,blockage, hambatan
reflek, spingter kuat
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hipertermia, faktor mekanik
(tekanan) immobilitas fisik
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa
mulut.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal
dan neuromuskuler (parapelgia)
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akibat pembesaran
abses/tulang yg bergeser
g. Risiko infeksi berhubungan prosedur infasif, kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan, pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit,
trauma jaringan)
h. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan sikap tubuh.
i. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
3. Perencanaan KeperawatanDiagnosa Keperawatan/ Masalah
KolaborasiRencana keperawatan
IntervensiTujuan dan Kriteria HasilPola Nafas tidak efektif berhubungan dengan : a. Hiperventilasi b. Penurunan energi/kelelahan c. Perusakan/pelemahan muskulo-
skeletal d. Kelelahan otot pernafasan e. Hipoventilasi sindrom f. Nyeri g. Kecemasan h. Disfungsi Neuromuskuler i. Obesitasj. Injuri tulang belakang
DS:a. Dyspneab. Nafas pendek DO: a. Penurunan tekanan
inspirasi/ekspirasi b. Penurunan pertukaran udara per
menit c. Menggunakan otot pernafasan
tambahan d. Orthopnea e. Pernafasan pursed-lip f. Tahap ekspirasi berlangsung
sangat lama g. Penurunan kapasitas vitalh. Respirasi: < 11 – 24 x /mnt
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 15menit pasien menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:a. Mendemonstrasikan batuk
efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dg mudah, tidakada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
NIC:1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi2. Pasang mayo bila perlu3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu4. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction5. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
tambahan6. Berikan bronkodilator :7. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Lembab8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.9. Monitor respirasi dan status O210. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea11. Pertahankan jalan nafas yang paten12. Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi13. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi14. Monitor vital sign15. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang
tehnik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.16. Ajarkan bagaimana batuk efektif17. Monitor pola nafas
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Nyeri akut berhubungan dengan: Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan
DS:a. Laporan secara verbal DO:a. Posisi untuk menahan nyeri b. Tingkah laku berhati-hatic. Gangguan tidur (mata sayu,
tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
d. Terfokus pada diri sendiri e. Fokus menyempit (penurunan
persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
f. Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
g. Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
h. Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
i. Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
j. Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama 2 x 24 Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:a. Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal
f. Tidak mengalami gangguan tidur
NIC :1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...9. Tingkatkan istirahat10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Retensi urin berhubungan dengan:Tekanan uretra tinggi,blockage, hambatan reflek, spingter kuat DS:a. Disuriab. Bladder terasa penuhDO :a. Distensi bladderb. Terdapat urine residuc. Inkontinensia tipe luapand. Urin output sedikit/tidak ada
NOC:Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. retensi urin pasien teratasi dengan kriteria hasil:a. Kandung kemih kosong
secarapenuhb. Tidak ada residu urine >100-
200 ccc. Intake cairan dalam rentang
normald. Bebas dari ISKe. Tidak ada spasme bladderf. Balance cairan seimbang
NIC :Urinary Retention Care1. Monitor intake dan output2. Monitor penggunaan obat antikolinergik3. Monitor derajat distensi bladder4. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk
mencatat output urine5. Sediakan privacy untuk eliminasi6. Stimulasi reflek bladder dengan kompres dingin
pada abdomen.7. Kateterisaai jika perlu8. Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria,
perubahan bau dan konsistensi urine)
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan : Eksternal : a. Hipertermia atau hipotermia b. Substansi kimia c. Kelembaban d. Faktor mekanik (misalnya : alat
yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint)
e. Immobilitas fisik f. Radiasi g. Usia yang ekstrim h. Kelembaban kulit i. Obat-obatan Internal : a. Perubahan status metabolik b. Tonjolan tulangc. Defisit imunologi d. Berhubungan dengan dengan
perkembangan e. Perubahan sensasi f. Perubahan status nutrisi (obesitas,
kekurusan) g. Perubahan status cairan h. Perubahan pigmentasi i. Perubahan sirkulasi
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan kriteria hasil:a. Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
b. Tidak ada luka/lesi pada kulitc. Perfusi jaringan baikd. Menunjukkan pemahaman
dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
f. Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka
NIC : Pressure Management1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
yang longgar2. Hindari kerutan pada tempat tidur3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan
kering4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap
dua jam sekali5. Monitor kulit akan adanya kemerahan 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah
yang tertekan 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien8. Monitor status nutrisi pasien9. Memandikan pasien dengan sabun dan air
hangat 10. Kaji lingkungan dan peralatan yang
menyebabkan tekanan11. Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman
luka, karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus
12. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka
13. Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin
14. Cegah kontaminasi feses dan urin
j. Perubahan turgor (elastisitas kulit)
DO: - Gangguan pada bagian tubuh - Kerusakan lapisa kulit
(dermis) - Gangguan permukaan kulit
(epidermis)
15. Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril16. Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada
luka
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena faktor biologis, psikologis atau ekonomi. DS:a. Nyeri abdomenb. Muntahc. Kejang perutd. Rasa penuh tiba-tiba setelah
makanDO:a. Diareb. Rontok rambut yang berlebihc. Kurang nafsu makand. Bising usus berlebihe. Konjungtiva pucatf. Denyut nadi lemah
NOC:Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. nutrisi kurang teratasi dengan indikator:a. Albumin serumb. Pre albumin serumc. Hematokritd. Hemoglobine. Total iron binding capacityf. Jumlah limfosit
1. Kaji adanya alergi makanan2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien3. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
serat untuk mencegah konstipasi4. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan
makanan harian.1. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah2. Monitor lingkungan selama makan3. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
selama jam makan4. Monitor turgor kulit5. Monitor kekeringan, rambut kusam, total
protein, Hb dan kadar Ht6. Monitor mual dan muntah7. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva8. Monitor intake nuntrisi9. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
manfaat nutrisi10. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan
suplemen makanan seperti NGT/ TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
11. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
12. Kelola pemberan anti emetik:.....13. Anjurkan banyak minum14. Pertahankan terapi IV line15. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas oval
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan : a. Gangguan metabolisme selb. Keterlembatan perkembanganc. Pengobatan d. Kurang support lingkungane. Keterbatasan ketahan
kardiovaskulerf. Kehilangan integritas struktur
tulangg. Terapi pembatasan gerak h. Kurang pengetahuan tentang
kegunaan pergerakan fisik i. Indeks massa tubuh diatas 75
tahun percentil sesuai dengan usia j. Kerusakan persepsi sensori k. Tidak nyaman, nyeri l. Kerusakan muskuloskeletal dan
neuromuskuler m. Intoleransi aktivitas/penurunan
kekuatan dan staminan. Depresi mood atau cemas o. Kerusakan kognitif p. Penurunan kekuatan otot, kontrol
dan atau masa q. Keengganan untuk memulai gerak r. Gaya hidup yang menetap, tidak
digunakan, deconditioning s. Malnutrisi selektif atau umum
DO:a. Penurunan waktu reaksib. Kesulitan merubah posisic. Perubahan gerakan (penurunan
untuk berjalan, kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek)
d. Keterbatasan motorik kasar dan halus
e. Keterbatasan ROMf. Gerakan disertai nafas pendek
atau tremorg. Ketidak stabilan posisi selama
melakukan ADLh. Gerakan sangat lambat dan tidak
terkoordinasi
NOC :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:a. Klien meningkat dalam
aktivitas fisikb. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitasc. Memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
d. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC :Exercise therapy : ambulation
1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai kemampuan7. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.8. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.9. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
Diagnosa Keperawatan/Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Gangguan pola tidur berhubungan dengan:a. Psikologis : usia tua, kecemasan, agen
biokimia, suhu tubuh, pola aktivitas, depresi, kelelahan, takut, kesendirian.
b. Lingkungan : kelembaban, kurangnya privacy/kontrol tidur, pencahayaan, medikasi (depresan, stimulan),kebisingan.
c. Fisiologis : Demam, mual, posisi, urgensi urin.
DS:a. Bangun lebih awal/lebih lambatb. Secara verbal menyatakan tidak fresh
sesudah tidurDO :a. Penurunan kemempuan fungsib. Penurunan proporsi tidur REMc. Penurunan proporsi pada tahap 3 dan
4 tidur.d. Peningkatan proporsi pada tahap 1
tidure. Jumlah tidur kurang dari normal
sesuai usia
NOC:Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. gangguan pola tidur pasien teratasi dengan kriteria hasil:a. Jumlah jam tidur dalam
batas normalb. Pola tidur,kualitas dalam
batas normalc. Perasaan fresh sesudah
tidur/istirahatd. Mampu mengidentifikasi
hal-hal yang meningkatkan tidur
NIC :Sleep Enhancement
1. Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur2. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat3. Fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas sebelum
tidur (membaca)4. Ciptakan lingkungan yang nyaman5. Kolaburasi pemberian obat tidur
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Risiko infeksiBerhubunngan dengan :
a. Prosedur Infasifb. Kerusakan jaringan dan
peningkatan paparan lingkungan c. Malnutrisi d. Peningkatan paparan lingkungan
patogen e. Imonusupresi f. Tidak adekuat pertahanan
sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
g. Penyakit kronikh. Imunosupresii. Malnutrisij. Pertahan primer tidak adekuat
(kerusakan kulit, trauma jaringan,
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…… pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:a. Klien bebas dari tanda dan
gejala infeksib. Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya infeksi
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
d. Menunjukkan perilaku hidup sehat
e. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
NIC :1. Pertahankan teknik aseptif2. Batasi pengunjung bila perlu3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
pelindung5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
petunjuk umum6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing 7. Tingkatkan intake nutrisi8. Berikan terapi antibiotik:.................................9. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal10. Pertahankan teknik isolasi k/p11. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
gangguan peristaltik) 12. Monitor adanya luka13. Dorong masukan cairan14. Dorong istirahat15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi16. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4
jam
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatanIntervensiTujuan dan Kriteria Hasil
Gangguan body image berhubungan dengan biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi)DS:a. Depersonalisasi bagian tubuhb. Perasaan negatif tentang tubuhc. Secara verbal menyatakan perubahan
gaya hidupDO :
a. Perubahan aktual struktur dan fungsi tubuh
b. Kehilangan bagian tubuhc. Bagian tubuh tidak berfungsi
NOC:Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. gangguan body imagepasien teratasi dengan kriteria hasil:a. Body image positifb. Mampu mengidentifikasi
kekuatan personalc. Mendiskripsikan secara
faktual perubahan fungsi tubuh
d. Mempertahankan interaksi sosial
NIC :Body image enhancement1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien
terhadap tubuhnya2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan
dan prognosis penyakit4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya5. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat
bantu6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam
kelompok kecil
DAFTAR PUSTAKA
Mutaqqin, Arif. 2005. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Trauma Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.