· web viewnilai-nilai kepemimpinan dalam budaya rumpun melayu sumatera utara dan cerminannya di...

33

Click here to load reader

Upload: trannhan

Post on 13-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

NILAI-NILAI KEPEMIMPINANDALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU

SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN

Oleh: Muhammad Takari Jilin SyahrialMajlis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) dan Fakultas Ilmu Budaya

USU

PengantarKepemimpinan merupakan sebuah dimensi yang harus ada dalam

kelompok sosial manusia. Bahkan sebuah rumah tangga pun harus memiliki pemimpin, yang dipegang dan dikendalikan oleh ayah, dan “wakilnya” adalah ibu rumah tangga. Kepemimpinan akhirnya akan meluas sampai kepada rukun tangga, rukun warga, kepala desa atau lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, sampai presiden. Selain pemimpin eksekutif termasuk juga legislatif dan yudikatif. Secara tradisional pula, beberapa kelompok masyarakat di Indonesia memiliki sistem kepemimpinan yang diwarisi dari era sebelumnya. Misalnya kepala suku, ada pula sistem kerajaan seperti sultan, raja, perdana menteri, wazir, orang besar kerajaan, dan lain-lainnya.

Dalam konteks Indonesia, sejak merdeka tahun 1945 hingga kini, pilihan sistem kepemimpinan yang diambil adalah sistem demokrasi, yaitu pemerintahan yang ditentukan oleh suara rakyat. Dalam praktiknya, Indonesia menggunakan sistem demokrasi terpimpin pada era Orde Lama. Kemudian diteruskan dengan sistem demokrasi Pancasila di zaman Orde Baru. Seterusnya di Era Reformasi diteruskan dengan menggunakan sistem demokrasi saja, tidak ada tambahannya. Belajar dari sejarah bangsa Indonesia, tampak bahwa sistem demokrasi ini sangat ditentukan oleh “selera” penguasa.

Dalam era reformasi, kita telah berulangkali menjalankan pemilihan kepala daerah, dengan sistem demokrasi. Sebahagian besar berjalan dengan damai, aman, terkendali, dan kondusif. Namun ada juga di sejumlah kecil daerah pemilihan terjadi pergolakan sosial. Hal ini terjadi karena belum dewasanya kita berpolitik dalam konteks kepemimpinan dalam sebuah sistem demokrasi.

Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara dalam beberapa bulan ke depan, akan memilih gubernur dan wakil gubernurnya yang baru. Para pasangan cagubsu dan cawagubsu, akan mendaftar secara legal, menjadi calon. Calon-calon itu secara etnisitas terdiri dari etnik: Batak Toba, Jawa, Mandailing-

1

Page 2:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

Angkola, dan Melayu. Masyarakat Sumatera Utara dan seluruh bangsa Indonesia berharap bahwa calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara dari berbagai etnik ini, seharusnya juga mengambil nilai-nilai positif dari latar belakang kebudayaan etniknya. Kemudian mengaplikasikannya dalam pemerintahan, setelah ia terpilih memenangkan pilihan gubernur. Keempat pasangan calon lainnya juga secara ikhlas (legawa), menerima pasangan yang terpilih secara demokratis.

Tulisan ini akan mengkaji nili-nilai kebudayaan etnik, yang memberikan orientasi dan persepsi calon pemimpin, dari etnik mana ia berasal. Kebudayaan akan mendorong perilaku seseorang, termasuk pemimpin. Kebudayaan dalam bentuk gagasan sifatnya agak abstrak, dan hanya dapat didekati dengan cara mengkaji dan meneliti kebudayaan itu. Sementara kebudayaan dalam bentuk perilaku dan benda-benda budaya lebih mudah dilihat dan lebih tampak nyata dibandingkan dalam bentuk ide. Selain itu, secara khusus, aspek kepemimpinan ini akan diurai melalui unsure pantun.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menggunakan genre sastra tradisi Melayu yang disebut dengan pantun. Dibandingkan kalau kita berkomunikasi dengan bahasa verbal sehari-hari, maka pantun memiliki berbagai “kelebihan,” baik secara budaya, esetetis, komunikasi, dan suasana sosial yang dibangunnya. Melalaui pantun dapat diselipkan unsur-unsur kritikan sosial yang bersifat jenaka, sehingga yang dikritik tidak merasakan suasana yang tidak nyaman. Selain itu, dalam pantun terkandung nilai-nilai filsafat hidup orang Melayu, dalam konteks mengisi kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Di dalam pantun juga terdapat tema kepemimpinan.

Sesuai dengan topik tulisan ini, maka latar kebudayaan itu akan dikaji. Adapun sesuai dengan latar belakang etnisitas, maka kebudayaan yang akan dikaji, terutama dalam hal nilai-nilai untuk kepemimpinan pada kebudayaan Batak Toba, Jawa, Mandailing-Angkola, dan Melayu, namun juga membandingkannya sekilas dengan kebudayaan etnik-etnik lainnya. Tujuannya adalah memberikan pencerahan kepada para pembaca. Juga sebagai bahan perenungan dan masukan bagi para calon pasangan gubsu dan wagubsu yang akan datang. Namun sebelumnya dideskripsikan secara sekilas Sumatera Utara.

Sumatera UtaraBerdasarkan aspek historis, wilayah Sumatera pada saat pemerintahan

kolonial Belanda disebut Gouverment van Sumatra, yang mencakup keseluruhan wilayah Sumatera dan pulau-pulau di seputarnya. Pusat

2

Page 3:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

pemerintahan ini berada di Medan, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pada masa penjajahan Belanda ini, Sumatera Utara dibagi ke dalam berbagai daerah administratif yang disebut regency (keresidenan).

Pada saat Indonesia merdeka tahun 1945, Sumatera tetap dipertahankan sebagai satu wilayah pemerintahan yang disebut Provinsi Sumatera, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Terdiri dari beberapa kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka Komite Regional Nasional Indonesia membagi Sumatera ke dalam tiga provinsi: (1) Sumatera Utara yang di dalamnya termasuk Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; (2) Sumatera Tengah, dan (3) Sumatera Selatan. Awal tahun 1949, sistem pemerintahan ini direstrukturisasi. Sumatera Utara dibagi dua daerah militer: (a) Aceh dan Tanah Karo dipimpin oleh Teungku Mohammad Daud Beureuh, sementara itu wilayah militer Sumatera Timur dan Sumatera Selatan dipimpin oleh Dr. F.L. Tobing.

Sumatera Utara berada pada 1°LU sampai 4°LU pada garis latitudinal dan 98°BT-100°BT pada garis longitudinal, dan berbatasan dengan wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Utara, Pprovinsi Sumatera Barat dan Riau di Selatan, selat Melaka di Timur, dan samudera Hindia di sebelah Barat. Keseluruhan area Sumatera Utara adalah 71.680 kilometer persegi dengan jumlah penduduk saat ini, sekitar 13 juta jiwa. Sumatera Utara dihuni oleh berbagai kelompok etnik dengan berbagai agama yang dianut.

Pada masa sekarang Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh tiga kategori, yaitu: (a) etnik setempat, terdiri dari: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, Mandailing-Angkola, Pesisir, Nias, ditambah Lubu dan Siladang; (b) etnik Nusantara: Aceh (Rayeuk, Simeuleu, Tamiang, Alas, Gayo, aneuk Jamee), Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, dan lannya; serta (c) Etnik Dunia pendatang, seperti: Hokkian, Khek, Hakka, Kanton, Tamil, Punjabi, Sikh, Hindustani, Eropa, dan lain-lain. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut: “The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group is ussually divided into six main communities - Pakpak Dairi, Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation (patrilineal, exogamus clans) and related languages, but important social, religious and linguistic differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak Dairi groups in the north and west and the Toba/Mandailing/Angkola-Sipirok groups in the south.

3

Page 4:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

The Simalungun group falls between the two extreme points of contrast” (Goldsworthy 1979:6). Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu: Pakpak-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus. Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara kelompok Karo dan Pakpak-Dairi di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini. Daerah Sumatera Timur awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan Simalungun. Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak, Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano.

Pada masa pemerintahan Belanda, Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra) terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka; (3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan daerah Tapanuli (Volker 1928) Luasnya 94.583 km² atau sekitar 20 % dari luas pulau Sumatera (Pelzer 1985). Di antara daerah Aceh di utara serta Riau di selatan dan tenggara inilah terletak kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur.

Selama 65 tahun Indonesia merdeka, Sumatera Utara dipimpin oleh beberapa gubernur yang sebagian besar adalah etnik setempat, terutama Mandailing-Angkola. Gubernur Sumatera Utara ini, perilaku dan kebijakannya sedikit banyaknya dilatarbelakangi oleh faktor kebudayaan etnik darimana ia berasal. Nilai-nilai kepemimpinan ini sebenanya sangat potensial untuk dikembangkan dalam memerintah atau mengelola penduduk Sumatera Utara yag heterogen, dengan didasari oleh ajaran-ajaran agama samawi yang dianutnya.

Batak TobaBerbicara tentang kepemimpinan dalam kebudayaan Batak Toba, maka

hal penting yang menopangnya adalah konsep dalihan na tolu (DNT).

4

Page 5:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

Konsep ini berasas kepada hubungan darah dan perkawinan, yang membagi kelompok kekerabatan dalam tiga kategori, yaitu: (a) hula-hula, pihak pemberi isteri, (b) anak boru, pihak penerima isteri, dan (c) dongan sabutuha, rekan satu keturunan atau satu marga yang ditarik berdasarkan garis patrilineal. Hubungan ketiga kelompok kerabat ini dilukiskan dalam konsep adat: (1) molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan dongan sabutuha (teman semarga); (2) molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula, artinya jika ingin keturunan banyak hormatilah hula-hula; (3) molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya, baik-baiklah kepada boru.

Dari tiga golongan kerabat ini, maka tak heran seorang Batak Toba kadang menjadi hula-hula dan dihormati, kadang dalam konteks kerabat lain ia menjadi anak boru yang melakukan horja untuk suksesnya sebuah acara adat. Tentu saja iapun mempunyai marga dalam klen tertentu. Dengan demikian kedudukan kelompok kekerabatan sedemikian sebenarnya menjaga harmonisasi struktur sosial. Klen eksogamus dibentuk marga-marga induk atau cabangnya. Bila diperhatikan lebih dalam khususnya terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan satu hal yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba. Pada umumnya setiap idividu dalam masyarakat Batak Toba mempercayai dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak, yang kalau diurutkan juga sebagai keturunan dari Debata Mula Jadi Na Bolon, yaitu dewa yang mempunyai kekuasaan paling tinggi dalam sistem religi Batak Toba Lama.

Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat sosioekonomis dan sosial, yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, "republik" kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk, dan lain-lainnya. Dalam sistem kepemimpinan derapkan juga nilai-nilai demokrasi.

Religi selain agama Kristen dan Islam, yang dianut oleh sebagian masyarakat Batak Toba adalah Parmalim. Religi ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si Singamangaraja XII. Menurut Batara Sangti didirikannya religi-religi tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu

5

Page 6:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

Parmalim; dan sebagai gerakan berani mati, yaitu Parhudamdam (Sangti 1977:79). Setelah perang Lumban Gorat Balige pada tahun 1883, seorang kepercayaan Raja Si Singamangaraja XII yang bernama Guru Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di wilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan dengan membentuk suatu sekte agama baru yang disebut Parmalim, yang ajarannya diadopsi dari Islam dan dipadukan dengan religi Batak Toba. Unsur-unsur agama tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan para penganutnya seperti di Barus Hulu, Humbang Barat, Tanggabatu (Tampahan), Sigaol (Uluan), Simalungun, dan Serdang Hulu, dan Dairi. Di Tanah Karo dinamakan Silimin.

Salah satu ciri masyarakat Batak Toba di samping mempunyai nama diri selalu mengikutsertakan marga, sistem garis keturunan yang diambil dari bapak atau bersifat patrilineal. Orang-orang yang mempunyai satu marga dianggap keturunan satu kakek. Keturunan dari sesuatu leluhur menurut garis bapak selagi masih kompak, berdiam di suatu tempat membentuk suatu ikatan bernama marga. Mereka saling mengenal dan erat bergaul, yang satu memperlakukan yang lain sebagai saudara kandung.

Dalam konteks politik tradisional, dahulu masyarakat Toba mengenal tiga kelompok, yaitu: (1) raja-raja, yaitu para tuan tanah, bangsawan, merekalah yang menjadi kepala huta, yang mempunyai hak-hak sebagai pembesar atau pengagung; (2) tipe orang-orang bebas, yaitu mereka yang bersemenda dengan raja, mereka diijinkan mendirikan satu huta, dan kemudian menjadi raja baru; (3) orang kebanyakan, dan (4) para hatoban atau hamba sahaya, yang menjadi milik mutlak raja, termasuk mereka yang menjadi tawanan perang.

Di pusat kawasan budaya Toba, di beberapa negeri (bius), tipe orang-orang bebas bisa menjadi raja di negeri yang bersangkutan. Sementara hamba sahaya (hatoban) dalam budaya Toba tidak ditemui mereka yang semarga dengan rajanya. Jika ia kembali ke masyarakat marganya ia kembali menjadi bagian dari marga raja yang ditinggalkannya (Batara Sangti 1977:56).

JawaMasyarakat Jawa, struktur sosialnya terdiri dari tripartit kelompok,

yaitu: priyayi (golongan bangsawan), santri (kalangan ulama Islam), dan abangan (rakyat biasa). Namun seorang Jawa abangan bisa saja berpindah status mejadi santri atau bahkan bangsawan. Jadi pengelompokan ketiga struktur sosial maysrakat Jawa itu sifatnya dinamik tak statis. Kelompok ini mempunyai hubungan pula dengan sistem kepemimpinan.

6

Page 7:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

Dalam kebudayaan Jawa, orientasi kepemimpinan bentuknya adalah lingkaran konsentris dengan pusatnya adalah raja dan keraton. Dalam konteks ini, pada kebudayaan Jawa sistem kepemimpinan ini dikonsepkan dalam empat domain utama. Yang pertama adalah Negara Agung, yaitu daerah keraton dan sekelilingnya. Kedua, daerah Mancanegara (Mancanegara Wetan/Timur dan Mancanegara Kilen/Barat). Ketiga adalah daerah Pasisiran. Terakhir, keempat adalah daerah Sabrang.

Pembagian di atas sebenarnya adalah lebih tepat disebut sebagai susunan geografis, yang tidak menunjuk kepada batas wilayah, namun lebih memfokuskan perhatian kepada persepsi bahwa yang terpenting adalah pusat kekuasaan politik atau kepemimpinan. Konsep kebudayaan Jawa ini melihat bahwa raja yang bertakhta di keraton merefleksikan kekuasaannya yang disebut cahaya ke seluruh penjuru negara. Dalam konsep kebudayaan seperti ini, mereka yang jauh dari kedudukan raja maka akan memperoleh sedikit saja “cahaya” (dalam arti kekuasaan) raja itu. Dalam dimensi sosial, mereka yang memiliki status sosial rendah sekali, maka akan sedikit saja merasakan pengaruh pusat (raja).

Dalam kebudayaan Jawa, sistem kepemimpinan dapat dikaji melalui pertunjukan wayang dengan berbagai jenisnya, ada wayang kulit, wayang beber, wayang wong, wayang klitik, dan seterusnya. Pada setiap pertunjukan wayang biasanya dimulai dengan cerita tentang kerajaan besar dan rajanya dengan kekusaan besar pula. Selain itu orientasi sistem kepemimpinan politis ini dapat juga dilihat dari genre-genre seni pertunjukan Jawa lainnya seperti: ketoprak (di Sumatera Utara disebut ketoprak dor), reyog, dan ludruk. Kesenian tradisional Jawa hingga hari ini masih menjadi bagian penting dalam konteks kebudayaan Jawa, baik itu di Jawa Tengah dan Timur, maupun diasporanya seperti di Sumatera Selatan, Kalimantan, Sumatera Utara, Suriname, dan tempat-tempat lainnya.

Orientasi kepemimpinan politik kepada raja dan menjadi satu kesatuan dengan negara dan bumi, dapat pula dilihat dengan gelar-gelar yang diberikan kepada raja di Jawa. Gelar Paku Buwono, yang arti harfiahnya adalah memaku bumi (universe)--Hamengku Buwono, yang arti harfiahnya memangku bumi, memiliki arti kultural bahwa kalau paku bumi itu dicabut maka kiamatlah dunia ini dan seluruh peradaban. Atau kalau raja itu tidak lagi memangku bumi akan kacaulah dunia ini. Konsep hancurnya negara apabila terjadi kekacauan di suatu negara, dan raja tak memiliki kekuasaan lagi, dapat dilihat dalam Babad Tanah Jawi, yang menggambarkan jatuhnya kerajaan Majapahit, yang digambarkan dalam parafrase sirna ilang kertaning bumi, hilangnya semua kejayaan di dunia ini.

7

Page 8:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

Dalam negara tradisional di Jawa, struktur kekuasaan sangat jauh dari alat-alat kekuasaan yang sangat lemah. Keraton-keraton baru muncul bergantian setiap seratus sampai seratus lima puluh tahun sekali, atau lebih singkat dari usia itu. Dengan demikian, menurut Onghokam (1985) negara tradisional Jawa ini sangat bergantung dengan kekerasan, dan elit tradisional ini menjadi elit penakluk, yang salah satunya terungkap dalam istilah “senopati.” Negara tradisional ini tak sempat mengembangkan struktur birokratis yang ketat. Jadi negara berorientasi kepada stabilitas yang dibangun berdasarkan kekuatan (angkatan perang). Ciri lain negara tradisional Jawa ini, dilengkapi dengan satu ideologi, yang merupakan satu kebulatan konsep kenegaraan, namun struktur konkretnya lemah. Ideologi negara biasanya bersifat teokratis, dan merangkumi semua agama dan kepercayan. Misalnya Negara Mataram abad ke-16 menyatukan unsur-unsur animisme, Hindu, Buddha, dan Islam sekali gus. Pada kurun ini, negara tradisional Asia Tenggara merupakan satu refleksi dari susunan makrokosmos. Ciri lain dari negara tradisional Jawa ini adalah bersifat sinkretik, artinya terjadi kecenderungan orang-orang Jawa untuk menyatukan dan menyamaratakan berbagai unsur yang berbeda, bahkan yang betentangan sekalipun. Dalam konteks negara bangsa Indonesia merdeka, Sukarno menerapkan ide sinkretisme ini dalam nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Yang dalam realitasnya antara agama plus nasionalis berseberangan ideologi dan terapannya dengan komunis. Akhirnya pupuslah gagasan Sukarno itu, dan kemudian muncullah pemerintahan berikutnya yang menumpas habis komunisme.

Pada masa Mataram Islam, aspek yang dominan adalah tumbuh dan berkembangnya aliran sufi. Islam sufi berkisar pada persoalan-persoalan mengenai sang pencipta dan ciptannya, serta posisi manusia dalam semesta ini. Aliran sufi Islam ini lebih berhasil mempolarisasikan kepercayaan-kepercayaan masyarakat pada masa itu—dibandingkan dengan Islam yang lebih menitikberatkan pada syariat. Salah satu dari sembilan sunan di Jawa, yang paling menonjol memakai pendekatan sufistik adalah Sunan Bonang. Menurutnya Allah direfleksikan dari sifat manusia, yang dikonsepkan dalam manunggalnya antara manusia dengan Allah, manunggaling kawula lan gusti, yag sampai sekarang ini menjadi asas sufi di Jawa. Melihat dalam konteks dunia Islam, tampak bahwa konsep wahdatul wujud atau wujudiyah, yang terpusat pada ajaran tentang alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh martabat, yaitu: ahadiyyah, wahdah, wahidiyyah, alam misal, alam arwah, alam ajsam, dan insan kamil. Teori ide dasarnya berasal dari ajaran Ibnu Arabi, yang untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Ibnu Fadlullah al-Burhanpuri. Terdapat hubungan erat antara konsep-

8

Page 9:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

konsep agama Islam dan politik di Jawa. Hubungan antara raja dan para kawula (bawahan)nya juga disebut sebagai hubungan kawula lan gusti.

Dalam kebudayaa Jawa, kepemimpinan ini juga dikonsepkan dalam reinkarnatif monarki dan ilham, raja atau sekitaran kerajaan bisa saja tak stabil, yang memungkinkan untuk terjadinya usurpasi, pemberontakan, pengkhianatan, dan lain-lain. Konsep manunggaling kawula lan gusti, di satu sisi meminta ketaatan keseluruhan rakyat kepada rajanya dan pemujaan terhadap raja. Namun di sisi lain, bisa terjadi kegoncangan politik. Stabilitas dan kegoncangan politik adalah dua kejadian yang menjadi satu kesatuan. Ideologi dalam sistem kepemimpinan Jawa membenarkan adanya kegoncangan-kegoncangan ini.

Mandailing-AngkolaMasyarakat Mandailing-Angkola, secara tradisional membagi

kelompok kekerabatannya ke dalam tiga golongan, berdasarkan hubungan darah dan perkawinan, yaitu dalam sistem yang disebut dalian na tolu (DNT). Ketiga kelompok itu adalah: mora yaitu pihak pemberi isteri, kahanggi yaitu kelompok satu marga atau keturunan, dan anak boru, yaitu pihak penerima isteri. Ada yang khusus sistem kekerabatan masyarakat Mandailing-Angkola ini. Ketiga kelompok kekerabatan tersebut, diperluas lagi, dengan tambahan mora ni mora dan pisang raut (kijang jorat). Mora ni mora adalah kelompok mora daripada mora atau moranya mora. Sementara itu kelompok pisang raut (kijang jorat) adalah anak borunya anak boru. Satu lagi kelompok kekeraatan yang khas Mandailing adalah kahanggi pareban, yaitu kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga yang berlainan marga, tetapi sama-sama merupakan anak boru dari satu keluarga dalam marga tertentu. Hubungan kekerabatan ini, menurut Z. Pangaduan Lubis dalam salah satu karya monumentalnya dalam bentuk skripsi Jurusan Antropologi USU, yang bertajuk Namora Na Toras: Pemimpin Tradisional Mandailing (1987) berdasar kepada filsafat hidup orang Mandailing, yaitu na sahancit na hasonangan (sama-sama skit dan sama-sama senang), sasiluluton sasiriaon (sama-sama berduka dan sama-sama gembira), mate mangolu sapartahian (hidup dan mati mengikuti musyawarah mufakat), satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam musyawarah dan mufakat).

Kemudian aspek ciri khas masyarakat tradisional Mandailing-Angkola adalah sistem sosioekonomi yang berdasar kepada pertanian. Kesatuan teritorialnya disebut huta. Sekelompok orang Mandailing-Angkola yang membuka teritorial baru (mamungka huta), masing-masing akan mendapat bagian lahan. Mereka melaksanakan pekerjaan yang terutama dalam taraf

9

Page 10:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

huta dengan cara bergotong-royong (marsialap ari). Biasanya seorang raja (pemimpin huta) memiliki lahan pertanian yang relatif lebih luas (saba bolak) dibanding orag yang dipimpinnya. Jika musik paceklik tiba seorang raja akan memberikan pinjaman padi (inganan marsali) kepada penduduk.

Sistem nilai kebudayaan terhadap alam juga ditambah dengan konsep banua, yaitu satu kesatuan wilayah yang utuh dengan batas-batas tertentu yang jelas. Sejumlah tertentu penduduk berupa marga-marga yang hidup bersama sebagai sebuah komunitas, mendiami wilayah itu di bawah pemerintahan otonomi dan demokratis, yang dikepalai oleh seorang raja. Kesatuan banua ini dikonsepkan dengan ganopganop banua martano rura, yang maksudnya setiap banua mempunyai tanah dan sumber airnya sendiri.

Sebelum sampai dalam bentuknya satu banua, terlebih dahulu, pemukiman yang masih kecil ukurannya disebut dengan banjar, kemudian berkembang lebih luas baik wilayah atau juga penduduknya disebut dengan pagaran, kemudian menjadi lumban, dan akhirnya menjadi huta. Dalam bentuk banjar, pagaran, dan lumban mereka mengangkat pemimpin yang disebut raja ihutan, yang fungsi sosiopolitisnya hanya sebagai ikutan saja, bukan kepala pemerintahan demokratis. Baru setelah dalam bentuk huta dengan masalah sosial yang tentunya lebih kompleks barulah diangkat seorang raja, yang kemudian dilengkapi dengan sistem kepemimpinan namora na toras, dengan sistem musyawarah mufakat, dan disaksikan oleh pemimpin banua dan huta tetangga, sekali gus diresmikan wilayah kekuasaan berupa tano rura (tanah dan sumber air). Bila sebuah huta belum memiliki “cabang baru” kepala pemerintahan ini disebut raja pamusuk. Namun, jika banua atau huta memiliki “anak” atau “cabang”nya maka pemimpinnya disebut raja panusunan bulung. Pada masa lampau, beberapa huta melakukan penyatuan adat (bukan politik), dalam bentuk persekutuan wilayah yang disebut janjian.

Sistem kepemimpinan masyarakat Mandailing-Angkola, berdasar kepada stratifikasi sosial yang diwarisi secara turun temurun. Pada dasarnya masyarakat Mandailing dibangi ke dalam tiga strata sosial: (a) namora-mora yaitu strata bangsawan, (b) si tuan na jaji si tuan na torop, yaitu lapisan orang kebanyakan, dan (c) hatoban atau partangga bulu yaitu strata hamba sahaya. Antara strata pertama dan kedua di beberapa kawasan di Mandailing terdapat strata perantara yang disebut natoras-toras. Kelompok ini adalah para tokoh masyarakat yang tidak berstatus bangsawan, namun tidak pula sebagai kelompok rakyat biasa. Status sosialnya berada di tengah antara bangsawan dan rakyat jelata. Di lain pihak, menurut Keuning dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Batak Toba dan Batak Mandailing” (1979), kelompok namora-mora merupakan kelompok tersendiri dalam marganya,

10

Page 11:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

yang secara patriachart berasal dari pendiri pertama sebuah huta (desa) tempat kediaman mereka. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial kebangsawanan dalam masyarakat Mandailing di masa lalu pada awalnya bukan dibawa lahir, tetapi tercipta dari pnghormatan yang tinggi dari peran sosial pendiri pertama sebuah huta, yang diwariskan kepada keturunannya. Status kebangsawanan dalam kebudayaan Mandailing dapat dilihat dari gelar yang digunakannya (umumnya kelompok lelaki), seperti: Sutan, Baginda, Mangaraja, dan Soripada.

MelayuDi Pesisir Timur Sumatera Utara, yang pada masa kesultanan lazim

disebut Sumatera Timur, etnik Melayu mendiami wilayah yang meliputi kawasan: Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur ini berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan Serdang, dan ditambah sultan-sultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan, Bilah, Kotapinang, Merbau, dan Kualuh.

Dalam kebudayaan Melayu, pemimpin (pimpinan) adalah hal yang penting untuk diwujudkn eksistensinya dalam rangka membentuk masyarakat yang madani. Seorang pemimpin akan menjadi “imam” kepada orang yang dipimpinnya. Pemimpin ini bisa berupa diri sendiri, pemimpin keluarga, pemimpin masyarakat desa, pemimpin adat, pemimpin angkatan perang, bahkan sampai sultan atau presiden. Pemimpin mestilah memberikan contoh yang terbaik bagi yang dipimpinnya.

Yang dimaksud dengan pemimpin di dalam konteks adat Melayu adalah orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, ibarat pokok di tengah padang, yang jauh mula nampak, yang dekat mula bersua, rimbun daunnya tempat berteduh, kuat dahannya tempat bergantung, besar batangnya tempat bersandar, kokoh akarnya tempat bersila (Tenas Effendy, 2002:5-6). Dalam hal ini seorang pemimpin adalah yang mampu berkorban apa saja untuk kepentingan orang yang dipimpinnya (masyarakat umum). Ia mengutamakan kepentingan umum, kepentingan pribadi dan keluarganya adalah yang paling akhir.

Dalam kebudayaan Melayu seorang sultan atau raja dipandang sebagai wakil Allah di muka bumi ini. Seorang sultan setelah dinobatkan dengan menggunakan upacara penobaan, maka secara otomatis ia adalah pemimpin tertinggi di dalam institusi politik Melayu. Ia menjadi kepala ulama, kepala pemerintahan, kepala angkatan perang, dan dengan pertimbangan yang

11

Page 12:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

bijaksana ia dapat memutuskan apa yang akan diambil oleh negeri yang dipimpinnya. 

Namun demikian, seorang pemimpin Melayu juga harus memperhatikan suara hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Bahkan ada nilai-nilai keseimbangan pengawasan oleh rakyat dalam kebudayaan Melayu ang tercermin dalam ungkapan: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Artinya setiap rakyat yang berada dalam kekuasaan raja Melayu bisa melakukan kritik kepada raja, jika sang raja melakukan kesalahan. Dalam sejarah Melayu, pertembungan antara kepentingan pemimpin dan kepentingan rakyat ini  pernah terjadi di zaman kesultanan Melayu Melaka. Pada saat itu terjadi kritik rakyat terhadap kinerja sultan Melaka. Suara rakyat ini direspons oleh Hang Jebat dan suara sultan direspons oleh Hang Tuah. Akhirnya dua tokoh Hang ini saling bertempur dan akhirnya Hang Jebat kalah di tangan Hang Tuah.

Bagi orang Melayu seorang pemimpin harus ditaati, dihormati, dan diikuti perintah-perintahnya adalah sesuai dengan kanun Islam. Agama Islam menjadi dasar bagi kebijakan politik dan budaya dalam konteks peradaban masyarakat Melayu. Islam mengajaran bahwa seorang pemimpin tidak boleh terlalu dikultuskan seperti halnya Firaun di zaman Mesir Lama. Namun seorang pemimpin juga tidak boleh diremehkan oleh masyarakat yang dipimpinnya, walau ada kelemahan dalam kinerja kepemimpinannya. Sampaikan kritik melalui saluran sosial dan politik yang ada.  

Seorang pemimpin cukuplah dihormati sebagai pimpinan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai wakil Allah di muka bumi. Pemimpin bisa salah dan juga bisa benar, karena dia tidaklah maksum (terhindar dari segala dosa).

Dalam kebudayaan Melayu konsep kepemimpinan ini mencakup hubungan antara masyarakat awam dengan kelompok bangsawan. Adapun yang memerintah rakyat, yaitu sultan dan para jajarannya, adalah berasal dari golongan bangsawan dan rakyat biasa. Sultan adalah wakil atau bayang-bayang Allah di muka bumi (khalifatullah fil ardh). Turai (susunan sosial) masyarakat Melayu, diisi oleh semua unsur masyarakat, dari strata masyarakat kebanyakan sampai golongan bangsawan, yang dikonsepkan sebagai satu kesatuan. Di antara golongan bangsawan dalam kebudayaan Melayu adalah: Tengku, Wan, Raja, Orang Kaya, Datuk, dan seterusnya. Di Malaysia, dalam konteks multirasial, gelar-gelar seperti: Datuk (Dato’), Datuk dan Seri, Datuk Wira, dan sejenisnya dapat diberikan kepada ras lain, yaitu China, India, dan Dayak. Sementara di kawasan Melayu di Indonesia, termasuk Sumatera Utara, gelar kehormatan seperti datuk dan biasanya diteruskan dengan kata-kata gelar lainnya, biasanya diberikan

12

Page 13:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

kepada mereka yang memiliki kapasistas tertentu, dan berdasar kepada identitasnya Islam.

Dalam kebudayaan Melayu, aspek kepemimpinan ini telah dimasukkan dalam konsep adat. Dalam kebudayaan Melayu dikenal tetrapartit adat, yaitu: (a) adat yang sebenar adat, yaitu hukum alam yang berasal dari Allah, misalnya adat matahari terbit dari timur, adat air membasahi, adat api membakar; (b) adat yang teradat yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama-lama dijadikan bahagian dari adat Melayu, misalnya zaman abad awal sampai pertengahan orang Melayu pakaian adatnya menggunakan destar (“ikat kepala”), namun setelah itu orang Melayu memakai kopiah atau peci. Akhirnya peci ini menjadi bagian adat busana Melayu, (c) adat istiadat, yaitu kegiatan berupa upacara-upacara seperti perkawinan (walimatul urs), melepas lancang, melenggang perut, turun tanah, dan lain-lain; (d) adat yang diadatkan, yaitu sistem kepemimpinan dalam kebudayaan Melayu. Keseluruhan adat ini dipandu dan berasas kepada ajaran Islam, yang dikonsepkan dalam adat beresndikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah. Dalam kata yang lebih general, adat dalam kebudayaan Melayu berlandaskan ajaran-ajaran agama Islam.

Sistem kepemimpinan ini, sejak abad ke-13 didasari oleh ajaran-ajaran Islam, yang juga meneruskan peradaban Melayu sebelum Islam, yang kemudian diberi nilai-nilai Islam. Konsep kepemimpinan dalam kebudayaan Melayu ini, terwujud dalam berbagai ide budaya seperti, sultan atau raja adalah wakil Allah di atas dunia. Sultan atau raja juga bertindak sebagai pemimpin agama tertinggi, selain sebagai umara ia juga bertindak sebagai ulama.

Sistem kepemimpinan tradisional Melayu biasanya selalu merujuk kepada zuriat orang Melayu sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain (Alexander de Groote, Alexander The Great), yang keturunannya kemudian pergi ke Bukit Siguntang Mahameru, dan menurunkan raja-raja Melayu. Lihat saja misalnya dalam Hikayat Deli, dikatakan bahwa mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Muhammad Dalek, putera Bahashid Sjaich Matijoeddin, adalah keturunan Raja Iskandar, yang mengabdikan diri kepada Kesultanan Aceh, yang dikawinkan kepada puteri Tengku Kejuruan Hitam, Raja Percut di Sumatera Timur. Demikian juga dengan silsilah raja-raja Melayu di kawasan lain seperti di Pagarruyung Minangkabau, Pasai, Negeri Kedah, Jambi, Siak Sri Inderapura, dan lain-lainnya.

Sebelum datangnya penjajahan Barat ke Dunia Melayu, raja, sultan, atau yang dipertuan negeri menjadi dasar dalam sistem kepemimpinan Melayu. Dalam pandangan masyarakat awam, mereka aalah tokoh yang paling berkuasa di negeri mereka. Di era Hindu dan Buddha pemimpin ini

13

Page 14:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

disebut dengan Dewaraja. Setelah era Islam hingga ke hari ini, mereka disebut Khalifah Allah atau Bayangan Allah. Mereka dan keturunannya dihormati rakyat, dan bila mendurhakai pemimpin dipercayai akan ditimpa tulah oleh Allah. Di sisi lain nilai-nilai demokratis juga ditumbuhkan di dalam sistem kepemimpinan masyarakat Melayu. Pemimpin yang bersalah layak diberikan amaran, dan wajib memperbaiki kesalahannya. Hal ini tergambar dengan jelas dalam adagium: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Dalam konteks sejarah Melayu, jika pemimpin tak mau mendengarkan kata dan suara rakyat maka ia akan ditinggalkan rakyatnya yang pergi ke negeri lain.

Kedaulatan (daulah al-islamiyah) yang diperoleh kesultanan Melayu tidak hadir begitu saja. Ia hadir melalui jalinan upacara dan pendaulatan. Seorang calon sultan, seperti Raja Muda, Yang Dipertuan Muda, atau Tengku Mahkota, diumumkan sebagai pengganti sultan yang mangkat, di depan jenazah sultan yang meninggal ini. Kemudian sultan yang mangkat dimakamkan dan ditabalkanlah sultan yang baru, dengan pesta yang sifatnya kolosal, bisa mencapai waktu 40 hari 40 malam, diiringi dengan ensambel nobat dan berbagai pertunjukan, yang bermuara kepada kegemilangan yang akan disongsong oleh sultan yang baru. Adat istiadat Kesultanan Melayu Deli mengatakan bahwa raja mangkat, raja menanam, yang artinya adalah kalau seorang sultan (raja) mangkat maka raja baru harus dinobatkan sebagai pengganti. Raja baru itu yang menanam (mengebumikan jasad ayahandanya). Dalam menjalankan kekuasaannya sultan didukung oleh perangkat kesultanan seperti: bendahara, temenggung, dan laksamana. Sultan-sultan Melayu juga dalam rangka memperkuat kedudukan politisnya selalu menyertakan susur galur keturunan, ditambah dengan mitos dan legenda tentangnya dan kerajaannya.

Dalam Sejarah Melayu, kedudukan raja adalah sebagai mitra dengan rakyat dalam konteks daulat. Kedudukan sebagai mitra ini dapat dilihat dari kisah Sang Sapurba (sebagai raja) dan Demang Lebar Daun (mewakili rakyat). Raja Sang Sapurba telah beristeri 39, dan kesemuanya akan menjadi kidal setelah berhubungan suami isteri dengan raja, yang melambangkan raja tak setaraf dengan isterinya. Namun ketika Sang Sapurba meminang anak Demang Lebar Daun yang bernama Wan Sendari, Demang lebar Daun mengajukan syarat bahwa segala anak-cucu Demang lebar Daun akan menjadi rakyat yang setia kepada Sang Sapurba, dan terapkanlah hukum syarak jika ada kesalahan. Kemudian Sang Sapurba menuruti syarat itu, dengan mengingatkan agar keturunan Demang Lebar Daun tidak akan mendurhaka kepada keturunan Sang Sapurba. Kemudian Demang Lebar Daun pun melakukan negosiasi, bahwa jika keturunan Sang Sapurba

14

Page 15:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

melanggar kesepakatan ini maka keturunan Demang Lebar Daun akan meninggalkannya pula. Keduanya bersumpah tidak mengingkari perjanjian ini. Kemudian Wan Sendari dipersunting oleh Raja Sang Sapurba, dan ia tidak menjadi kidal. Dari kisah dalam Sejarah Melayu ini, dapat diambil kesimpulan bahwa rakyat yang diperintah juga memiliki haknya, sementara raja harus mengambil kira, tidak sewenang-wenang terhadap rakyat yang diperintahnya. Jika terjadi benturan sosial antara pihak raja dan rakyat, pemutus keadilan adalah hukum Islam (syarak). Dengan demikian tertanam sudah nilai-nilai demokratis dalam sistem kesultanan Melayu. Sampai akhirnya datang nilai-nilai demokratis dalam dimensi lain, yang berasal dari budaya Barat. Kemudian masyarakat Melayu mengadunnya berdasarkan kepentingan orang Melayu sendiri yang dijiwai oleh nilai-nilai universal Islam.

Nilai-nilai Kepemimpinan dalam Pantun MelayuPantun adalah salah stu genre sastra tradisional Melayu, yang paling

umum dan ternama dibandingkan genre-genre lainnya. Pantun adalah karya sastra tradisional yang terdiri dari bait-bait, dan setiap bait terdiri dari dua bahagian yaitu sampiran (pembayang) dan isi (maksud). Di ujung setiap baris pantun terkandung unsur rima atau persajakan. Dalam satu bait ada yang terdiri dari dua, empat, enam baris, dan lainnya. aspek yang penting dalam pantun adalah dalam sebaris terdapat empat kata. Suku kata hanyalah unsur sampingan untuk mendukung kata dalam sebaris pantun. Pantun adalah mengekspresikan pola pikir dan filsafat hidup orang Melayu, termasuk di dalmnya sistem kosmologi, ketuhanan, pendidikan, kebudayaan, seni, organisasi sosial, dan lain-lainnya. Termasuk di dalam pantun adalah nilai-nilai kepemimpinan. Contoh-contontoh pantun yang mengandungi nilai-nilai kepemimpinan adalah sebagai berikut.

(a) Pemimpin Melayu haruslah benar dalam gagasan dan tindakannya, seperti tercermin dalam pantun berikut ini.

Pergi ke hutan memotong kayu,Kayu ditanam untuk penambat,Apa tanda pemimpin Melayu,Benar bertindak serta berbuat.

Ambil kail ambillah joran,Mari memancing ikan belanak,Pemimpin berasas pada kebenaran,Demi Allah ia bertindak.

15

Page 16:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

(b) Pemimpin Melayu wajib melindungi seluruh warga yang dipimpinnya, seperti tercermin di dalam pantun bberikut ini.

Tali dijalin berpilin-pilin,Dijalin bersama di batang para,Jika jadi seorang pemimpin,Melindungi rakyat agar sejahtera.

Anak dara melipat kain,Kain dirajut darilah benang,Apa tanda jadi pemimpin,Ibarat pokok di tengah padang.

(c) Pemimpin Melayu haruslah adil, yang memiliki makna yang luas yaitu adil terhadap hak-hak dan kewajibannya dan adil terhadap rakyat yang dipimpinnya. Lihat ekspresi itu seperti di dalam pantun berikut ini.

Benar menyukat adil menimbang,Pantang memilih membedakan orang,Angguknya sama muka belakang,Tegaknya kukuh tahan digoyang.

Putih di muka putih di belakang,Bercakap tidak main belakang,Bertindak tidak palang memalang,Berunding tidak halang menghalang. (sumber: www.melayu online.com )

(d) Pemimpin Melayu haruslah amanah, yaitu mempertanggungjawab-kan wewenang yang diberikan kepadanya. Pemimpin bertanggung jawab langsung kepada Tuhan tentang kepemimpinannya yang dituntut untuk menerapkan kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepadanya. hal ini tercermin di dalam contoh pantun berikut ini).

Duduk bersila di atas peti,Simpan emas serta suasa,Tanda seorang pemimpin sejati,Amanah selalu sepanjang masa.

16

Page 17:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

Nilai-nilai Universal Kepemimpinan dari Kebudayaan EtnikDari uraia-uraian di atas tergambar dengan jelas bahwa dalam

kebudayaan etnik: Batak Toba, Jawa, Mandailing-Angkola, dan Melayu terdapat nilai-nilai universal kemanusiaan dalam konteks kepemimpinan tradisional. Dalam kebudayaan Batak Toba dan Mandailing-Angkola pola kepemimpinan ini berasas pada struktur sosial dali(h)an na tolu (DNT) yang berasas pada hubungan darah dan perkawinan. Konsep DNT ini, dalam konteks kepemimpinan di Sumatera Utara, mungkin boleh diluaskan maknanya. Misalnya kelompok satu marga atau keturunan yang disebut dongan sabutuha atau kahanggi, dapat diluaskan maknanya sesama kita yang berbeda-beda suku dan agama ini sebenarnya adalah satu keturunan juga yaitu keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa (Eva). Pemeluk agama Islam dan Kristen juga merujuk pada asal-usul keturunan yang sama yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam. Dengan demikian nilai-nilai persaudaraan yang universal ini dapat menjadi pengikat rasa kebersamaan dan persatuan yang akhinya dapat menjadi daya dorong penggerak pembangunan Sumatera Utara. Dalam budaya Mandailing sendiri, pihak penerima isteri yang disebut boru dan pihak pemberi isteri atau mora, strukturnya diluaskan menjadi pisang raut dan mora ni mora. Struktur ini mungkin dapat diperluas lagi, bahwa setiap warga Sumatera Utara adalah juga sebagai kerabat atau keluarga besar kita. Dengan demikian akan terjadi harmonisasi sosial dan menjadi modal dasar dalam mengisi kehidupan sosial di Sumatera Utara, karena merasa sebagai satu kesatuan sosial.

Begitu juga dalam budaya Jawa, terdapat konsep sederek atau sedulur (saudara). Bahwa masyarakat Jawa di Sumatera Utara awalnya memang pendatang, tetapi harmonisasi dan adaptasi adalah suatu kewajiban untuk dilakukan, hingga akhirnya terbentuk organisasi sosial Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). Konsep sederek ini memiliki makna dari kesatuan saudara terkecil keluargi sampai menjadi sederek tonggo, sederek tunggal kringkel, sederek tunggal kapal, sederek tunggal ndeso, sampai ke sederek Sumatera Utara.

Dalam kebudayaan Melayu pula, aspek universal dalam memandang manusia ini, sudah wujud sejak orang Melayu ada. Bahwa seperti diketahui yang dikatakan etnik Melayu (termasuk di Semenanjung Malaysia, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, dan lainnya) merupakan hasil percampuran berbaga suku di Nusantara yang mengamalkan kebudayaan Melayu dan berasaskan Islam (lihat Tengku Luckman 1996 dan Lah Husni 1986). Etnik Melayu merupakan campuran

17

Page 18:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

dari keturunan orang Semananjung, Siak, Sumatera Selatan, Jambi, Minangkabau (seperti di Negeri Sembilan), Jawa (seperti di Johor dan Melaka), dan lain-lainnya. Selain itu, sesuai dengan ajaran agama Islam, bahwa orang Melayu wajib menjadi rahmatan lil’alamin, menjadi rahmat ke seluruh alam. Artinya orang Melayu harus mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan etnisitasnya Melayu, agama Islam, dan semua makhluk termasuk yang tidak beragama Islam. Inilah nili-nilai universal yang apat diterapkan untuk persatuan dan kesatuan dalam konteks Sumatera Utara, Indonesia, Dunia Melayu, dan bumi ini. Kebudayaan Melayu juga memiliki aspek-aspek pemersatu di Nusantara, misalnya bahasa Melayu sejak awal menjadi bahasa pengantar di Nusantara ini, yang dapat menghubungkan berbagai kebudayaan etnik yang berbeda, yang dikonsepkan dalam lingua franca (bahasa pengantar). Ke depan mungkin pula kebudayaan Melayu secara umum menjadi kebudayaan pengantar (kultura franca) di Nusantara ini. Karena bagaimanapun sejumlah besar etnik yang berbeda itu, sebenarnya adalah rumpun Melayu, yang memiliki asas terdalam psikokultur yang sama pula.

Konsep-konsep universal kebudayaan etnik ini sedang dan terus dilakukan oleh para pemimpin di Sumatera Utara. Kita lihat ada pencairan (“kreolisasi”) etnisitas di kalangan cagubsu dan cawagubu kali ini. Ada calon dari etnik Jawa mengadopsi marga dari kebudayaan Toba. Ada pula calon yang bermarga Mandailing, tetapi perilaku budaya dan tindak tanduknya didasari juga oleh kebudayaan Melayu, karena ia dibesarkan di lingkungan budaya Melayu. Terjadi proses bietnisitas atau multietnisitas dalam diri dan keluarganya. Yang menarik ada pula calon dari kalangan etnik Melayu, tetapi ia juga diberi ruang untuk menjadi warga kehormatan dari berbagai etnik: Karo, Dairi, Tamil, dan lainnya. Bahkan ia menyatakan identitas diri dan sikapnya, dengan motto: putera Melayu sahabat semua suku.

Nilai uiversal lainnya adalah sistem politik yang terdapat dalam kebudayaan etnik. Bahwa masyarakat Batak Toba dan Mandailing-Angkola memiliki sistem raja yang juga sudah ada nilai demokrasi di dalamnya. Sistem ini masih relevan diterapkan di era demokrasi sekarang ini. Bahwa raja adalah pemimpin sebuah huta dengan wilayah teritorial sedemikian rupa dan harus memiliki sifat dermawan untuk kepentingan masyarakat yang diperintahnya. Ia harus dapat membagikan atau meminjamkan padi saat musim paceklik, ia juga menjadi pemimpin yang mampu mengarahkan ke arah kesejahteraan rakyatnya. Sistem kewilayahan tradisional Batak Toba seperti homban dan bius, serta Mandaling-Angkola, terdiri dari: banjar, pagaran, banua, huta—kiranya sangat relevan diterapkan hingga ke hari ini

18

Page 19:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

dalam konteks kenegaraan Rpublik Indonesia, seperti: RT, RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan, Provinsi, dan Republik Indonesia. Nilai-nilai dan semangatnya adalah sama.

Dalam kebudayaan Jawa, sistem politik adalah sangat bersuasana keraton sentris, namun nilai-nilai kekuasaan dibagi juga kepada orang sekitar raja, dan rakyat juga punya peran dalam politik. Aspek integrasi kebudayaan yang terdapat dalam budaya Jawa, juga boleh diterapkan dalam konteks Sumatera Utara yang heterogen. Bahwa budaya Jawa sebenarnya adalah mengutamakan harmonisasi sosial, dan tidak berasas keadaan konflik. Seperti sudah dikaji sebelumnya konsep manunggaling kawula lan gusti, di satu sisi meminta ketaatan keseluruhan rakyat kepada emimpin dan pemujaan terhadap raja. Sebaliknya bisa terjadi kegoncangan politik. Stabilitas dan kegoncangan politik adalah dua kejadian yang menjadi satu kesatuan dalam konsep politik di Jawa. Apa yang berlaku dalam sistem politik di Indonesia sekarang ini, sedikit-banyaknya juga diadopsi dari Jawa. Sistem unitarianisme adalah bukti dari ide keraton sentris, meskipun kita juga pernah mencoba menjadi negara yang berasas federalisme, namun yang lama diterapkan adalah sistem unitarianisme. Kini kita agak sedikit mengarah ke federalisme, yang dituangkan dalam konsep otonomi daerah.

Dalam kebudayaan Melayu sendiri nilai-nilai demokratis sudah terwujud sejak menggunakan sistem kesultanan. Raja dan rakyat adalah dua sisi yang saling memerlukan dan punyai kewenangan masing-masing. Ada hak rakyat mengkritisi raja jika dipandang menyalhi syarak. Demikian juga raja memiliki kedaulatan sebagai bayang-bayang Allah di muka bumi. Adanya hak dan wewenang raja dan rakyat yang diperintahnya ini, terlukis dalam Hikayat Sang Sapurba dan Demang Lebar Daun. Nilai-nilai universal Islam juga menjadi karakteristik utama dalam sistem politik Melayu. Dalam sejarah kebudayaan Melayu, kesultanan Melayu ada yang kekuasaan politisnya besar, seperti: Melaka, Pagarruyung, Kedah, Johor, Siak Sri Inderapura, namun ada juga yang kekuasaan politisnya relatif kecil, seperti: Kota Pinang, Kualuh, Merbau, Batubara, dan lainnya. Sultan atau Raja tidak sendiri dalam mengatur (mentadbir) rakyatnya ia dibantu oleh perangkat kerajaannya seperti: laksmana, menteri, wajir, orang besar, dan lain-lainnya. Dengan demikian raja Melayu juga menggunakan sistem delegasi wewenang kepada orang yang dipercayainya.

PenutupNilai-nilai kebudayaan etnik yang ada di Sumatera Utara dapat menjadi

asas bagi calon pemimpin Sumatera Utara, dalam memerintah kawasan ini. Nilai-nilai kebudayaan ini ada yang dapat digunakan bahkan menjadi ruh

19

Page 20:  · Web viewNILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA RUMPUN MELAYU SUMATERA UTARA DAN CERMINANNYA DI DAlAM PANTUN Oleh: Muhammad Takari Jilin Syahrial Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia

Muhammad Takari, Kepemimpinan Rumpun Melayu Sumatera Utara

dalam menjalankan roda pemerintahan yang “demokratis.” Nilai-nilai demokrasi telah ada dalam sistem pemerintahan tradisional di kawasan ini, tinggal mempolarisasikannya dalam konteks Sumatera Utara dan Indonesia atau alam Melayu. Semoga apa yang dicita-citakan rakyat Sumatera Utara, dapat dilaksanakan oleh pemimimpinnya. Wassalam.

BibliografiBarth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.Blagden, C.O., 1989 “The Name Melayu”, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic

Society.Hall, D.G.E., 1968.  A History of South East Asia. New York: St. Martin Press.

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional.

Garraghan, Gilbert J.,S.J.,  1957. A Guide to Historical Method. East Fordham Road, New York: Fordham University Press.

Geldern, Robert Heine. 1972. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press.

Goldsworthy, David J., Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes, (Sydney: Disertasi Doktoral Monash University, 1979).

Muhammad Takari, 1990. Kesenian Hadrah pada Kebudayaan Etnis Melayu di Deli Serdang dan Asahan: Studi Deskriptif Musikal. Medan: Skripsi Jurusan Enomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Langenberg, Michael van, 1976.  “National Revolution in  North  Sumatra: Sumatra  Timur and Tapanuli 1942-1950,”  tesis doktor  falsafah,  Sydney: University of Sidney.

20