skullsmokers.files.wordpress.com … · web viewkata geografi berasal dari bahasa yunani yaitu...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengetahuan tentang filsafat ilmu biasanya diberikan kepada mahasiswa
pascasarjana khususnya program doktor sebagai pondasi dalam memahami filosofi
bidang ilmunya pada saat para mahasiswa melakukan kegiatan penelitian ilmiah
atau seminar ilmiah. Manfaat setelah memperoleh pengetahuan filsafat ilmu adalah
semakin meningkatkan kesadaran kita dalam meletakkan hakekat “kebenaran”
tentang suatu hal pada tempat yang tepat. Kita semakin menyadari bahwa
kebenaran dalam ilmu pengetahuan yang kita peroleh ternyata bersifat relative
(tidak bersifat absolute). Dalam konteks inilah latar belakang tulisan ini
dihadapkan pada persoalan bagaimana perkembangan ilmu geografi (di Indonesia)
saat ini. Masalah yang dibahas tampak sederhana namun menurut hemat penulis hal
yang sederhana tersebut justru memiliki implikasi yang sangat luas dan mendalam.
Paling tidak ada dua pendapat terhadap perkembangan bidang ilmu geografi
saat ini. Pendapat pertama menganut faham geografi sebagai ilmu yang bersifat
generalis yang tidak memerlukan bidang spesialisasi. Pendapat kedua memiliki
pemikiran bahwa geografi dapat dikembangkan dalam spesialisasi spesialisasi
(cabang atau bahkan ranting) tertentu. Ke dua pendapat tersebut mengetengahkan
kebenaran masing masing sebagai dasar pertimbangan.
Geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang bumi
dengan segenap isinya. Terlebih lagi bidang kajian geografi sangatlah luas. Sebagai
pengetahuan tentang bumi, geografi sudah dikembangkan sejak zaman Yunani
kuno, pada saat itu belum dapat disebut sebagai ilmu. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, maka konsep-konsep geografi
juga mengalami perubahan-perubahan. Cakupan bidang kajiannya semakin luas,
metode analisisnya semakin berkembang.
Permukaan bumi yang berbeda-beda keadaannya, satu dengan yang lain,
tanah, air, tumbuhan, masyarakat, budaya, dan perilakunya tidak ada yang persis
sama, terlebih lagi untuk daerah yang luas. Perbedaan-perbedaan itu yang
mengakibatkan terjadinya interaksi dan integrasi serta interdependensi keruangan.
1
Pemahaman atas perasamaan dan perbedaan antar tempat dan antar penghuninya
sangat diperlukan agar interaksi dan interdependensi dapat diarahkan dengan baik
untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Untuk itulah maka diperlukan
ilmu pengetahuan tentang karakteristik tempat, manusia, serta perpaduan diantara
keduanya secara keruangan. Ilmu pengetahuan yang mempelajari hal-hal tersebut
adalah ilmu geografi.
Dibidang pendidikan geografi juga memegang peranan penting, geografi
melalui pendekatan keruangan, ekologi, dan kewilayahan, ikut membina perilaku
manusia dan berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk dapat mencapai sasaran
tersebut maka perlu memahami hakikat dan kedudukan geografi sebagai ilmu.
Sudah semestinya bahwa hasil pemikiran dalam tulisan ini memerlukan
kritik sehingga dapat menghasilkan kesamaan pandangan dan bermanfaat bagi
perkembangan bidang ilmu geografi di Indonesia. Pada akhirnya, berbagai
pemikiran yang dihasilkan dalam seminar tentang filsafat ilmu geografi ini
seyogyanya ditindaklanjuti oleh pengelola program pendidikan khususnya
pendidikan geografi di Indonesia sebagai bahan untuk meninjau kembali kurikulum
baik pada program Sarjana hingga program Doktor. Tulisan ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab penulis
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan filsafat geografi?
2. Bagaimana hakikat dan kedudukan geografi sebagai ilmu?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Geografi
Kata geografi berasal dari bahasa Yunani yaitu geo (bumi) dan graphein
(menulis atau menjelaskan). Pada asalnya geografi berarti “uraian atau gambaran”
(graphein) mengenai “bumi(geo)”, tetapi sekarang disamping berpegang pada
definisi yang sederhana geografi difahamkan berbagai definisi berikut: (1)
pengkajian mengenai gejala alam sekitar terhadap kehidupan manusia (Chappell
Jr); (2) suatu disiplin yang mempelajari keberlainan kawasan (Harsthone); (3) suatu
ilmu yang mempelajari tentang organisasi keruangan kehidupan manusia (Hagget);
(4) suatu disiplin ilmu yang mengkaji ruang dari segi struktur, organisasi dan
formasi sosialnya (Peet & Lyons); (5) suatu anggota pengetahuan mengenai alam
kehidupan manusia dalam fenomenologi ruang (Relph); (6) mempelajari fenomena
ruang sebagai realita kehidupan manusia yang bersifat subyektif (Guelke), dan (7)
suatu ilmu yang mengkaji keruangan sebagai ekspresi keseluruhan kehidupan sejak
manusia (Samuels) (Supardi, 2013: 62-63).
Roger Minshull (1970; 142-143) mengutip sebagian dari sekian banyak
definisi geografi yang dikemukakan orang, yang antara lain disebutkan sebagai
studi tentang: (1) Bentang alam muka bumi, (2) tempat-tempat di muka bumi
(James, Lukerman), (3) Ruang, khususnya pada muka bumi (Kant), (4) Efek-efek
partial lingkungan alami atas manusia (Houston, Martin), (5) Pola-pola konservasi
kedaerahan (Lewthwalte), (6) Lokasi, distribusi, saling bergantungan sedunia dan
interaksi dalam keteraturan (Lukerman), (7) Kombinasi fenomena di muka bumi,
(8) Sistem yang luas yang menyangkut manusia dan alam (The Vast System of Man
and Nature), (9) Sistem manusia-bumi (Berry), (10) Hubungan-hubungan dan
pengaruh timbale balik dalam ekosistem (Morgan dan Moss), (11) Ekologi
manusia, (12) Diferensiasi aeral fenomena-fenomena yang bertautan di muka bumi
dalam arti pentingnya bagi manusia (Harshorne).
Menurut rumusan geografian Indonesia pada seminar dan Lokakarya
Nasional Peningkatan Kulaitas Pengajaran geografi di Semarang, 1988 sebagai
berikut: “geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan
3
fenomena geosfer dengan sudut pandang lingkungan atau kewilayahan dalam
konteks keruangan” (Nursid Sumaatmadja, 2008: 2.5).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan pengertian geografi adalah
ilmu yang mempelajari keragaman ruang permukaan bumi sebagai tempat hidup
manusia dengan aspek aspek alamiah dan sosialnya, serta interelasi dari kedua
aspek tersebut.
B. Perkembangan Filsafat Geografi
1. Geografi di Zaman Kuno, Abad Pertengahan, dan Renaisans
A. Geografi di Zaman Kuno/Klasik : Herodotus (485-425SM) sampai
Marco Polo (1254-1324)
Geografi Di Zaman Yunani Dan Romawi
Pada zaman Yunani muncullah tulisan-tulisan tentang Oikoumene
(dunia yang dihuni manusia), bintang-bintang yang tersebar dilangit atas;
juga langit itu sendiri yang oleh bangsa Mesir kuno telah ditelaah.
Pengetahuan mengenai isi permukaan bumi dapat digali oleh Homerus
(±850 SM) penulis Folklore Yunani kuno. Homerus dijuluki sebagai bapak
dari geografi; namun banyak sarjana yang lebih memilih tokoh Herodotus
sebagai bapak geografi dan sekaligus bapak dari ilmu sejarah. Herodotus
dikenal sebagai petualang Yunani yang pernah berkeliling Timur Tengah
dengan maksud mempelajari sejarah. Sekaligus dalam rangka ikut tercatat
kondisi geografis dunia kuno di masa itu. Yang membentang dari India di
Timur hingga Selat Gibraltar di Barat. Adapun dari selatan hingga utara
meliputi Sudan hinggga kawasan stepa di Ukraina (Daljoeni, 1996:2-3).
Segala bahan yang dihasilkan zaman klasik telah mengalami telaah
lanjut lewat diskusi serta pembandingan di kalangan sarjana, sehingga
memberi bahan yang cukup untuk menguraikan bumi sebagai tempat tinggal
manusia di masa renaisans nantinya. Tokoh ilmuan Erasthostenes (± 230
SM), yang menguraikan seluk beluk sungai Nil, mengalkulasi garis
lingkaran bumi secara cukup akurat. Adapun bahwa bumi kita ini berbangun
bulat sudah diketahui sebelumnya dari telaah Aristhoteles (384-322 SM).
Plato (428-348) dan Aristhoteles (384-322 SM) merupakan dua
Filosuf Yunani terkemuka yang juga memberi sumbangan penting bagi
4
perkembangan gagasan dalam geografi. Mereka berfikir bahwa bentuk
simetris yang paling sempurna dan ada pada bentuk bola, karena bumi
diciptakan dalam bentuk sempurna sebagai tempat hunian manusia mestinya
berbentuk bola (Suharyono & Moch Amin, 2013: 78). Kemudian Hipparcus
(± 160-125 SM) mulai memperhatikan dasar-dasar dari astronomi. Ini
bersumber pada obeservasinya terhadap gerakan-gerakan matahari, bulan,
bintang-bintang, serta pembagian bola bumi atas meridian-meridian dan
zone iklim. Ia menduga adanya kawasan yang terlalu dingin atau terlalu
panas untuk dihuni oleh manusia. Demikianlah lahirnya peta meskipun
masih dalam bentuk yang sederhana.
Pengertian geografi dari bangsa Yunani kemudian diwariskan kepada
bangsa Romawi yang mengembangkannya lebih lanjut. Lahirlah geografi
kuno dengan tokoh Strabo (± 64 SM- 21M) yang menulis buku berjudul
Geographia. Isinya uraian tentang dunia ini yang dialami manusia (istilah
dalam bahasa Yunani Oikumene). Tokoh lainnya adalah Ptolomeus yang
hidup di zaman sekitar 150M. ia tertarik kepada aspek-aspek matematis dari
geografi dan mengkonsumsikan berbagai peta serta lokasi tempat. Dalam
melukiskan peta dipakainya sistem koordinat dengan garis bujur dan garis
lintang. Tokoh lain lagi, Posidonius (100 SM), dengan lebih cermat ia
berusaha mengukur keliling bumi dibandingkan Erasthothenes, hasilnya
hanya berselisih 7.000 mil saja dari ukuran yang kita kenal sekarang.
Ptolomeus juga menyusun daftar nama tempat dilengkapi lokasi menurut
garis bujur dan garis lintang. Dasarnya adalah tinggi matahari pada tengah
hari pada tanggal tertentu. Dengan demikian diketahui orang di zaman itu
image mundi yakni citra dunia (Daljoeni, 1997: 54-55).
B. Abad Pertengahan: Geografi Arab dan Eropa
Perlu dicatat jasa dari persebaran agama Islam bagi kemajuan
geografi, karena para geograf arab mengembangkan lebih lanjut hal-hal
yang pernah diupayakan oleh para geograf Yunani. Para geograf Arab
menghargai penemuan Ptolomaeus yang berupa garis meridian pertama
yang melewati kepulauan Kanari (Fortuna): juga meneliti kembali peta
dunia. Warisan tentang citra bumi di teruskan, bahkan peta bumi dilengkapi
5
dengan hasil-hasil kunjungan para saudagar dan pelancong yang menjelajahi
benua Afrika, negeri India serta Cina, Ibnu Batuta (1304-1378) besar
jasanya menguraikan dunia di masa itu. Geograf Arab lain, Al Idrisi (1099-
1166) telah menyempurnakan pembagian lima daerah iklim bumi menurut
konsep Yunani (Daljoeni, 1997: 56).
Perkembangan geografi dan ilmu lain di kawasan dunia arab didukung
juga oleh beberapa hal yang tak terdapat di eropa pada masa abad
pertengahan. Suasana yang menunjang itu meliputi antara lain: (1)
perjalanan perdagangan yang cukup ramai berkat lokasi kawasan yang
menghubungkan tiga benua; (2) bahasa dan agama yang sama; (3) kerajaan
atau kesultanan mendukung sepenuhnya pengembangan ilmu dan seni; (4)
diterjemahkannya karya-karya tentang pengetahuan keruangan (geografi,
astronomi) masa Ptolomaeus ke dalam bahasa Arab; (5) telah
dikembangkannya ilmu-ilmu dasar (biologi, ilmu hitung, dan kedokteran
serta juga sistem decimal termasuk bilangan nol) yang diramu dari hasil-
hasil pengembangan dari berbagai pusat peradaban di Asia dan Afrika
(Suharyono & Moch Amin, 2013: 96).
Filsuf Arab Ibn Khaldun (1332-1406) berhasil menulis buku geografi
kesejarahan (historical geography), yang boleh dipandang sebagai embrio
dari ilmu pengetahuan kemasyarakat. Diperhatikannya masalah irigasi,
kehidupan bangsa normad, perdagangan di daerah-daerah gurun. Semua itu
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa barat.
Laporan perjalanan Marco Polo (1414-1425) yang berhasil
menghadap Kublai Khan dan menjelajahi Cina Utara dan Cina selatan lewat
jalur utara dan tiba kembali ke Venesia tahun 1295 dalam perjalanan pulang
singgah beberapa bulan di Jawa dan Sumatra serta kemudian di Srilangka
dan india. Pengetahuan geografi bertambah lagi ketika ditulis hasil
petualangan bangsa Nor dari Eropa Barat Laut dengan menyusuri Lautan
Atlantik. Keberhasilan mereka dalam menemukan benua Amerika dan Asia
lewat pelayaran meningkatkan observasi astronomis dan semakin akuratnya
perhitungan dengan aneka peralatannya. Berkat keberanian para pelaut dari
Eropa di masa itu, telah memungkinkan pembuatan dan penyebaran peta-
6
peta wilayah di permukaan bumi dan peta langit. Zaman tersebut dinamakan
pula zaman penemuan, karena sesudah Columbus, Chabot dan Vasco de
Gama, magelhaes berhasil mengelilingi bumi (1519-1523) (Suharyono &
Moch Amin, 2013: 98)
C. Geografi Masa Renaisan / Masa Eksplorasi dan Menjelang Pertumbuhan Sebagai Ilmu
Pada abad ke 14 sampai 17 dikenal sebagi masa renaisans, dimana
ilmu pengetahuan kembali memperoleh tempat layak di Eropa. Munculnya
humanisme, renaisans, dan reformasi gereja disusul kemudian masa
Aufklarung merupakan masa pencerahan bagi kawasan Eropa.
Perkembangan ini tentu sangat beriringan dengan proses perluasan politik
islam ke Asia dan Eropa. Namun demikian dalam sudut pandang
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpaduan antara Barat dan
Timur tersebut telah memunculkan kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk
ilmu geografi. Kesadaran bangsa Eropa akan ketertinggalannya terhadap
bangsa Islam telah turut membangunkannya kembali untuk bangkit dengan
keberhasilannya memukul mundur kekuatan Islam baik dari pintu barat dan
timur. Bahkan kemudian bangsa-bangsa Eropa memasuki zaman baru yakni
melakukan kolonialisme dan imperalisme. (Supardi, 2011: 77).
Setidaknya ada tiga rangkaian peristiwa sejarah penting yang
menyangkut Eropa berkaitan dengan dan turut berpengaruh atas
kebangkitan kembali Eropa dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Tiga peristiwa itu adalah: (1) ekspansi kekuasaan orang islam ke Eropa
sejak aabad kedelapan, (2) rangkaian ekspedisi perang salib yang telah
berlangsung dari abad 11 hingga abad 13, dan (3) peristiwa jatuhnya
Konstatinopel (Instambung sekarang) ke tangan orang Islam (Turki) pada
tahun 1453.
Adapun salah satu catatan penting dalam sejarah perkembangan ilmu
geografi adalah eksistensi tokoh Nicolaus Copernicus (1473-1543) yang
terkenal dengan teori heliosentris. Copernicus yakin bahwa prinsip
heliosentris akan sangat memudahkan perhitungan, tetapi ia tidak berniat
untuk mengumumkan penemuannya, terutama mengingat keadaan
7
zamannya yang masih kurang memungkinkan. Naskah bukunya yang antara
lain membentangkan keterangan bahwa bumi berputar pada sumbunya
sudah siap cetak pada tahun 1530, tetapi baru dapat diterbitkan tahun 1543.
Menurut keadaan perkembangan pengetahuan pada masa itu, prinsip
heliosentrislah yang dipandang benar. Kenyataannya siang dan malam hari
orang dapat melihat bahwa semua yang ada dilangit mengelilingi bumi.
Pandangan agama bahwa hal itu ditetapkan oleh Tuhan. Dengan susasana
yang demikian munculnya pandangan heliosentris dapat dianggap sebagai
penyebab rusaknya seluruh tata kehidupan manusia (Suharyono & Moch
Amin, 2013: 108)
Bernand Verenius (1662-1650) dan Salmon (abad ke-18)
Pengetahuan geografi dikembangkan lanjut dan Bernand Varenius
(1662-1650) menerbitkan bukunya berjudul Geographia Generalis di
Amsterdam pada tahun 1650. Ia memecah uraian tentang bumi atas dua
bagian; bagian yang alami sehingga lahir geografi fisis dan bagian yang
sosial, dimana dibicarakan gejala-gejala sosial budaya masyarakat. Tetapi
Verenius menanamkannya geografi umum dan geografi khusus. Geografi
umum menurut gagasan Verenius mencakup tiga bagian: (1) bagian
terestrial yakni pengetahuan tentang bumi sebagai keseluruhan, bentuknya
dan ukurannya; (2) bagian falakiah yang membicarakan relasinya dengan
bintang-bintang lain sehingga dari sini muncul kosmografi; (3) bagian
komparatif yang menyajikan deskripsi lengkap mengenai bumi, letak relatif
dari tempat-tempat dipermukaan bumi dan prinsip-prinsip dari pelayaran di
lautan. Adapun geografi yang khusus juga dibaginya atas tiga bagian : (1)
aspek langit yang secara khusus membicarakan iklim; (2) aspek permukaan
bumi atau lithosfera yang menyajikan relief, vegetasi, fauna di berbagai
negeri; (3) aspek manusia yang membicarakan berbagai penduduk,
perniagaan, dan pemerintahan di berbagai negeri (Daljoeni, 1997: 57-58).
Meskipun pengaruh gagasan Verenius cukup kuat pada para geograf
di kemudian hari, nyatanya kebanyakan buku yang terbit dalam abad ke-18
cenderung meremehkan gagasannya tadi. Misalnya suatu terbitan dari tahun
1785 yang berjudul Geographical and Astronomical Grammer dari Salmon
8
terbagi atas dua bagian yaitu General Geography dan Particular
Geography. Di sepanjang abad ke-17 dan 18 pengetahuan faktual tentang
dunia bertambah terus, ini dibuktikan pada tahun 1785 ketika dicetak untuk
ke-13 kalinya buku Salmon berjudul Geographical and Astronomical
Grammer (Daljoeni, 1996: 23).
2. Awal Geografi Modern
1) Immanuel Kant (1724-1821)
Verenius dipandang sebagai tokoh yang meletakkan dasar-dasar bagi
lahirnya geografi sebagai ilmu yang semestinya. Barulah kemudian di zaman
flsuf Immanuel Kant, geografi diberi dasar-dasar filsafatnya. Menurut ia
semua pengetahuan itu dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama
ilmu-sistematis, misalnya botani menstudi tetumbuhan; geologi menstudi
kulit bumi; sosiologi menstudi masyarakat kelompok. Kedua, ilmu-ilmu
historis; yang distudi adalah fakta-fakta dalam relasinya dengan waktu,
misalnya: sejarah, pra sejarah, sejarah geologi. Ke tig, ilmu-ilmu geografis
yang objek studinya adalah benda-benda, hal-hal atau gejala-gejala yang
tersebar di dalam ruang, misalnya: geografi dan kosmografi (Daljoeni, 1997:
59).
Sumbangan Kant kepada geografi diperlukan uraian yang agak panjang
seperti berikut: ia bukanlah seorang tokoh lapangan, keahliannya lebihlah di
kamar studi dan mimbar kuliah. Itu semuanya karena berkat ketajamannya
dalam menstudi filsafat dan perhatiannya yang mendalam kepada geografi
fisis. Menurut Kant pengetahuan manusia itu diawali oleh kegiatan akal
murni, melalui inderanya. Persepsi inderawi dibaginya menjadi dua macam
yakni indera batiniah dan indera lahiriah. Dunia sebagaimana dipersepsi oleh
indera batiniah adalah Seele (jiwa) dan Mensch (manusia) yakni diri sendiri.
Adapun dari persepsi oleh indera lahiriah Natur (alam). Ilmu yang
mempelajari jiwa atau manusia adalah Antropologie (ilmu manusia dalam arti
ilmu jiwa). Adapun alam dipelajari oleh Physische Geographie oder
Erdbeschreibung (geografi alam atau uraian bumi). Dengan demikian maka
geografi fisis itu pertama-tama adalah suatu Weltkenntnis (pengetahuan
9
tentang dunia) dan ini berfungsi sebagai dasar bagi pemahaman dunia
selanjutnya melalui persepsi (Daljoeni, 1997: 59-60).
Dalam memahami alam diperlukan sejarah alam dan uraian alam.
Dalam hal ini geografi fisis menyajikan sejarah permukaan bumi dan dari situ
dapat diuraikan aspek-aspek lain dari geografi yang menurut Kant
jumlayhnya ada lima: geografi matematis, geografi normal, geografi politik,
geografi perniagaan, dan geografi teologis (Daljoeni, 1997: 59-60).
2) Alexander Von Humboldt (1768-1859)
Jasa dunia geograf Jerman lainnya adalah Alexander Von Humboldt ,
yang membentuk isi pengetahuan geografi menjadi ilmiah benar. Humboldt
adalah ahli geografi karena petualangannya mengelilingi benua-benua,
khususnya Amerika sekaligus seorang ahli kosmografi. Dengan
pengalamannya itu ia melihat relasi yang jelas antara gejala-gejala sosial dan
latar belakang alamnya. Adapun di bidang geografi alam ia menonjol dengan
usahanya memisahkan aspek fisis dan biotisnya. Buku yang ditulisnya
berjudul Cosmos yang merupakan hasil karya penjelajahan ke berbagai
wilayah Asia, Eropa, Mesir dan wilayah Amerika, dimana dijelaskan berbagai
zona berdasarkan suhu secara vertikal, istilah Isoterm berasal dari Humboldt.
Dalam mempelajari budaya manusia ia melihat kemiripan evolusi antara
penduduk asli di Amerika yang ada di Asia. Deskripsi geografinya yang
khusus adalah tentang negeri Kuba dan Meksiko (Suharyono & Moch Amien,
2013: 116-117).
Dalam karya tulisnya pertama yang berjudul Flora Fribergensis,
Humboldt membicarakan batas-batas yang ada antara ilmu-ilmu pengetahuan
dan membaginya atas tiga golongan: (1) Physiographie (ilmu-ilmu alamiah
yang sistematis); (2) Naturgeschichte (sejarah alam) dengan tekanan pada
perkembangan segala hal dalam waktu; (3) Geognesie Oder
Weltbeschreibung (uraian tentang bumi atau uraian tentang dunia) yang
membahas persebaran spatial. Bagi Humboldt geografi itu sinonim dengan
geografis fisis; ia menguraikan aspek-aspek keplanetan bumi. Adapun yang
menguraikan aspek keantariksaan dengan planet-planet lain di luar bumi
10
disebutnya Uranographie yakni apa yang sekarang disebut astronomi atau
ilmu falak deskriptif (Daljoeni, 1997: 61)
3) Karl Ritter (1779-1859) dan Ferdinand Von Richthofen (1813-1875)
Sebagai penyempurnaan Humboldt muncul geograf Jerman lain yaitu
Karl Ritter; ia mementingkan studi terhadap geografi regional. Setelah
mengunjungi beberapa negeri di Eropa, ditulisnya buku berjudul Erdkunde
(ilmu bumi) yang dilengkapi jilid ke dua mengenai Asia. Ia melihat bumi
sebagai tempat tinggal manusia, ia membagi permukaan bumi atas wilayah-
wilayah alami yang ada pada umumnya berdasarkan morfologinya. Kemudian
diperiksa makna masing-masing unit bagi masyarakat manusia yang
bertempat tinggal di situ. Selain itu, ia mempelajari peradaban kuno umat
manusia di lembah Nil dan Efrat-Tigris. Kemudian ditulisnya tentang
peradaban Yunani dan Romawi akhirnya proses pergeseran peradaban yang
bergerak pindah ke Eropa Barat Laut setelah lautan Tengah selesai tugasnya
sebagai lautan dunia. Kemudian ditulisnya tentang peradaban Yunani dan
Romawi. Terbitnya buku Erdkunde Ritter menjadikan banyak ahli tidak ragu
lagi untuk menganggap Ritter sebagai tokoh pembaharu geografi. Sumbangan
pentingnya dalam pertumbuhan geografi sebagai ilmu tercermin dalam
prinsip pertamanya yang memandang bahwa geografi harus merupakan ilmu
empirik, dan tidak sebagai ilmu hasil deduksi baik dari dasar-dasar pemikiran
(hasil filsafat) ataupun dari teori-teori apriori yang bersumber dari geografi
umum (Suharyono & Moch Amien, 2013: 120).
Perubahan mendasar yang ditampilkan Ritter juga tercermin dari
usulnya untuk menghentikan langkah-langkah usaha yang akan mengarah
pada pemikiran teoretis mengenai sistem-sitem tentang bentuk-bentuk bumi.
Ia merupakan orang yang pertama-tama menunjukkan bahwa teori mengenai
jaringan rangkaian pegunungan yang berkelanjutan dapat disanggah dengan
himpunan fakta-fakta hasil pengamatan. Ritter yang berpangkal tolak dari
sejarah dalam pengembangan karya geografinya melakukan banyak
pengamatan tentang daerah pegunungan. Hal itu tidak semata-mata untuk
mendapatkan akumulasi informasi tentang daerah pegunungan, tetapi hasil
pengamatan yang multi kompleks itu disusun berdasar prinsip korologi ayau
11
kekurangannya, baik dalam arti horizontal maupun vertikal (menurut
ketinggian tempat). Hal yang demikian tidaklah hanya untuk mengetahui
adanya fakta di wilayah tertentu, tetapi berlanjut untuk memahami adanya
saling hubungan atau bahkan saling bergantungan dalam arti sampai pada
kemungkinan hubungan sebab akibat antara gejala yang berlainan.
Rittel mengusulkan sasaran kajian geografi bukanlah semata
mempelajari wilayah-wilayah di bumi itu sendiri, tetapi hendaknya sampai
karakter tertentu yang terwujud sebagai hasil interelasi fenomena dan
kaitannya dengan bumi yang menjadikan isi suatu wilayah (Suharyono &
Moch Amien, 2013; 122).
Ferdinand Von Richlhofen titik balik dalam karirnya tercapai pada
tahun 1869 ketika Richlhofen mengunjungi Cina, suatu perjalanan yang
menjadikan dirinya tersohor. Negeri tersebut dijelajahinya selama tiga tahun,
khususnya bagian Baratdaya dan Kiansu. Mula-mula distudinya struktur
geologis kawasan-kawasan yang dilaluinya dan kemudian dipetakan. Secara
khusus Richlhofen menelaah daerah bertanah Loss sebagai suatu gejala
geografis dan juga sebagai contoh dari pengaruh timbale balik kegiatan
manusia dengan lingkungan alam. Buku laporannya berjudul China, the
results of personal journeys and studies based therin, baru diterbitkan secara
pusthume, yaitu setelah ia meninggal.
Orang mengatakan bahwa Richlhofen berangkat ke Cina sebagai
geolog tetapi pulangnya sebagai geograf. Yang betul adalah bahwa ia amat
memperhatikan benua-benua serta pengaruhnya atas struktur intern dan
perkembangannya serta ciri-ciri bentuk permukaan bumi. Dari sini ia menguji
relasinya dengan berbagai kegiatan manusia. Sumbangannya yang besar
kepada bidang geografi fisis yaitu geomorfologi. Keunggulan ada dibidang
observasi bentuk permukaan bumi, lewat studi lapangan ditemukannya tipe-
tipe universal dari bentuk permukaan bumi. Richlhofen juga dikenal terkenal
karena pertama kali membedakan Fyord (hasil kerja erosi glasial), selain itu
juga mengembangkan konsep dataran oleh deposit erosi (pene-plains) dan
mengemukakan dasar-dasar dari geografi tanah beserta ciri-ciri nya.
Perhatiannya mencakup zone bertemunya permukaan bumi atau litosfer
12
dengan atmosfer dan hidrosfer dan juga kehidupan organism serta manuisa.
Apa yang diajarkan Richlhofen yang memberikan tekanan pada dasar-dasar
fisis dari geografi memberikan pengaruh yang terkuat kepada geografi
modern (Daldjoeni, 1997: 56-58).
3. Pandangan Geografi Pada Akhir Abad Ke-19
Friedrich Ratzel (1844-1904) dan Elworth Huntington (1876-1947)
Friendrich Ratzel menulis tentang antropogeografi sebagai dasar kajian
yang menghubungkan ilmu bumi dan sejarah (Anthropogeographie Oder
Grundzulge der Anwendung der Erdkunde ouf die Geschichte). Pada tahun 1882,
yang merupakan tokoh terkemuka yang karyanya menjadi sumber bahan rujukan
untuk mengembangkan geografi baik di Eropa maupun Amerika. Dalam sejarah
pertumbuhan geografi terbitlah Antropogeografi Ratzel merupakan peristiwa
penting karena secara tidak langsung telah berpengaruh dalam perkembangan
metodologi. Sebutan anthropogeografi yang mencerminkan terkandungnya suatu
paham dalam perkembangan geografi (paham atau pandangan determinisme
lingkungan) terkait erat dengan nama Ratzel (Suharyono & Moch Amien, 2013:
122-123)
Paham antropogeografi yang dikembangkan Ratzel memuat tiga ciri
yang menggambarkan pendangannya dalam mempelajari kehidupan manusia di
bumi ialah : (1) manusia dipandang sebagai bagian dari alam (bumi) dan tunduk
pada alam, (2) manusia belajar dari lingkungan alam disekitarnya, (3) bumi
dipandang sebagai organisme (yang seperti makhluk lain mengalami lahir,
tumbuh berkembang, tua, sakit, dan mati). Paham evolusi tidak hanya
berpengaruh pada perkembangan pandangan dalam geografi, tetapi juga dalam
berbagai ilmu yang tumbuh abad 19 dan bahkan juga ilmu-ilmu sosial yang
muncul lebih kemudian (Suharyono & Moch Amien, 2013: 124).
Orang Amerika lain yaitu tokoh geografi Elsworth Huntinton juga amat
dipengaruhi Ratzel khususnya yang menyangkut peranan iklim bagi peradaban
manusia. Ditulisnya buku The Pulse Of The Earth (1907) setelah melakukan
perjalanannya ke Asia Tengah (1903-1907). Disitu diuraikannya bahwa
keagungan dan keruntuhan peradaban di benua Eropa ada kaitannya dengan
sejarah iklimnya dari abad ke abad. Dalam buku yang diterbitkannya kemudian
13
yaitu Civilization and Climat (1915), Huntington menguraikan bahwa peradaban
dapat maju atau mundur lewat respon manusia terhadap iklim. Huntington yang
kemudian terkenal sebagai determinis iklim, membelokkan gagasannya menjadi
suatu teori tentang tantangan; peradaban-peradaban yang besar tidak lahir dalam
kondisi-kondisi yang mudah, tetapi justru dalam kondisi yang sulit dan berat
(Daldjoeni, 1996: 65-66).
4. Kecenderungan Geografi Mutakhir
Sesudah Perang Dunia II permasalahan kehidupan menjadi makin
kompleks dan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang yang dicapai selama
perang juga berpengaruh besar dalam cara berpikir para ilmuan. Demikian pula
kerja sama antara bidang serta pendekatan sistem yang dipakai dalam rangka
untuk segera mengakhiri dan memenangkan perang berpengaruh pada cara
pendekatan, cara kerja, serta analisis yang dipakai dalam berbagai disiplin.
Pada awal tahun 1950-an di lingkungan perguruan tinggi di Amerika
Serikat muncul kericuhan mengenai kedudukan geografi regional yang sejak
tahun 1920-an merupakan paradigma yang sangat dominan dan dianut secara
meluas diberbagai Negara. Reaksi pemikiran baru muncul setelah terbitnya
tulisan Harshorne berjudul The Nature Of Geography pada tahun 1939. Sejalan
dengan kemajuan zaman para geograf mendambakan geografi baru atau
orientasi baru dalam disiplinnya. Preston E. James yang pada tahun 1952
menampilkan pengertian “region” dan menunjukkan bahwa konsep regional
merupakan inti kajian geografi juga mendapat kecaman pedas. Pandangannya
yang konvensional dipandang sudah ketinggalan zaman. Orang mulai
meragukan konsepsi geografi sebagai pengetahuan korologi, yang sasarannya
mempelajari wilayah-wilayah yang bersifat unik (Suharyono & Moch Amien,
2013; 126-127).
Schaefer yang mulanya ahli ekonomi dan bergabung dengan kelompok
ahli geografi yang mengajar pada departemen ekonomi di University of Lowa
mengingatkan agar geografi menerima filsafat dan metodologi aliran posivitisme
ilmu. Suatu ilmu akan dapat diketahui karakteristiknya melalui penjelasan-
penjelasan. Schaefer menginginkan perubahan geografi tidak saja dalam hal
14
metodologinya, tetapi juga filsafatnya. Dengan menggantikan cara kerja
ideografis dengan yang nomoteris maka geografi akan menjadi ilmu seperti
ilmu-ilmu yang lain. Ia menginginkan agar geografi jangan lagi merupakan ilmu
tentang keanekaragamn wilayah (areal differentiation) yang memuat kajian-
kajian mengenai region secara sistematis belaka. Penekanan telaahnya harus
diubah dari sintesis menjadi analisis. Geografi secara primer harus menjadi ilmu
yang tugasnya mengkaji pola-pola keruangan (Daldjoeni, 1996: 267-268).
Pergeseran paradigma regional ke analisis keruangan makin nyata terjadi
dalam geografi ekonomi yang mendapat dukungan para ahli yang berlatar
belakang disiplin ilmu ekonomi. Metode kuantitatif dengan bantuan komputer,
pemakaian model-model untuk menggambarkan secara ideal tentang sifat atau
keadaan tertentu mengenai realita dalam kehidupan di muka bumi, pengutamaan
pendekatan nomotetik, serta cara analisis dengan mendasarkan pada analisis
sistem yang telah dikembangkan dalam geografi ekonomi telah mewarnai
kecenderungan baru dalam geografi mutakhir (Suharyono & Moch. Amien,
2013; 128).
5. Geografi Baru : Impian Dan Kenyataan (1960-1971)
Perubahan-perubahan dalam geografi sebenarnya disebabkan karena
orang merasa tidak puas terhadap geografi klasik. Meski hasil-hasilnya cukup
menakjupkan, geografi klasik kerap kali menjadikan kita merasa tidak mampu
berbuat apa-apa, karena kita tetap ada diluar realitas. Dalam membahas
pembaharuan geografi, geograf perancis Claval dalam bukunya Essai sur
I’evolution de la Geograghie Humaine menulis : “geografi lama itu sifatnya
retrospektif sedang yang kita inginkan itu yang prospektif. Yang lama
berorientasi kepada masa lampau, dan tata kerjanya serba ideologis artinya
menguraikan. Yang dikehendaki sekarang adalah geografi yang nomotetis
artinya yang mampu mjenemukan hukum-hukum dari gejala-gejala yang
ditelaah. Dengan demikian geografi akan mampu meramaikan isi masa depan.
Untuk sampai kesitu geografi diharapkan mampu menemukan tempatnya
yang layak di dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial. Caranya melalui usaha yang
lebih memperhatikan aspek-aspek sosial dari relasi manusia dengan lingkungan.
Sehubungan ini geografi harus banyak mengoper pemikiran-pemikiran yang
15
terdapat di dalam sosiologi dan ekonomi. Kerja sama antara para geograf dengan
para sosiolog dan ekonom diharapkan makin lancar (Daldjoeni, 1997: 79).
Sebagai contoh kemajuan kerja sama diambilnya sumbangan geografi kepada
akhirnya ilmu keruangan (regional science) dan ilmu perencanaan kota dan
wilayahnya (planologie). Dengan cara ini geografi akan mampu membantu
pembangunan Negara melalui perencanaan fisik maupun perencanaan sosial.
Seperti halnya dalam pembaharuan bidang-bidang kehidupan lain, geografi
menghadapi pihak-pihak yang merestui pembaharuan dan yang menolaknya.
Mereka yang meragukan manfaat dari geografi baru yang bersaifat prospektif itu
takut akan lenyapnya hak hidup geografi jika dipakai metode-metode pinjaman
dari ilmu lain.
Hagget (1983) dalam rangka pengembangan suatu bentuk sintesis dari
geografi, yang lain dari jenis pembagian intern geografi secara tradisional.
Hasilnya ternyata lebih baik dan cukup memuaskan karena geografi dapat dibagi
menjadi bagian-bagian begitu rupa sehingga analisisnya (spasial, ekologis, dan
regional kompleks) mudah ditelaah. Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan
dibawah ini:
16
Gambar 1. Struktur Intern Ilmu Geografi menurut Hagget
Tiga jenis analisis diatas erat hubungannya dengan tiga pendekatan yang
kini diakui luas, dengan sebutan yang sama. Ketiga analisis itu mewujudkan
hasil dari pengkajian geografis secara sistematis dan regional. Adapun filsafat
geografi dan tekhnik geografi, bukanlah cabang dari disiplin geografi. Filsafat
geografi membahas metodologinya, sejarah perekmbangannya dan lain-lain;
adapun yang tershisap teknik geografis: kartografi atau perpetaan, metode
kuantitatif yang dipakainya (matematik dan statistik), dan lain-lain. Penjelasan
dari masing-masing analisis tersebut sebagai berikut:
a) Analisis Spatial bertalian dengan lokalisasi dan distribusi (persebaran) suatu
atau kelompok gejala. Contoh analisis terhadap perbedaannya kepadatan
penduduk atau kemiskinan di kawasan pedesaan miskin
b) Analisis ekologis diterapkan pada telaah atas hubungan antara vaiabel alami.
Dalam telaah tersebut yang diambil relasi yang terdapat dalam satu ruang
geografis yang khusus, jadi bukannya membandingkan keadaan di dua atau
lebih wilayah
17
c) Analisis regional kompleks tugasnya mengkombinasikan hasil dari dua
analisis di atas (spatial dan ekologis). Kesatuan-kesatuan wilayah yang
cocok untuk telaahnya diidentifikasikan oleh berbedanya yang satu dari
lainnya (areal differention) (Daldjoeni, 1997: 145-146)
C. Hakikat dan Kedudukan Geografi Sebagai Ilmu
1. Cakupan kajian Ilmu Tentang Bumi
a) Geografis Menurut Blink, Boerman, dan Visscher
Blink, Boerman dan Visscher mengikhtisarkan cakupan kajian geografi
dengan beberapa lingkaran konsentris yang terbagi atas beberapa segmen
permukaan bumi yang menjadi sasaran kajian cabang-cabang geografi.
Gambar 2. Millieu Geografis menurut Blinkm Boerman, dan Visscher
Dalam gambar diatas lingkungan kehidupan manusia ditempatkan
sebagai bagian pusat dari gambar, sedangkan atmosfer, litosfer, hidrosfer,
dan biosfer merupakan segmen-segmen lingkungan yang mengelilingi
manusia. Penggambaran yang demikian tentunya dimaksudkan untuk
memberi pengertian bahwa manusia dikelilingi oleh atmosfer, litosfer,
hidrosfer, dan biosfer walaupun manusia sendiri (dalam lingkungan
antroposfer) sebenarnya merupakan bagian dari biosfer yang meliputi
18
lingkungan kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia (Suharyono
& Moch Amien, 2013: 3-4).
b) Keududukan Geografi dalam Hubungannya Dengan Ilmu-Ilmu
Sistematik
Untuk memudahkan memberi gambaran mengenai kedudukan ilmu
geografi di antara ilmu-ilmu alami dan ilmu-ilmu sosial, Daldjoeni (1997:
109) mencoba menampilkan bagan studi geografi yang mengkotakkan
geografi lingkungan alam dan geografi masyarakat manusia pada tempat
(wilayah) yang berlainan dengan geografi regional dan geografi kesejarahan
yang seolah-oleh merupakan bidang kajian yang menjembatani atau
mempertemukan keduanya. Dalam bagan ini juga diungkapkan bahwa
meskipun sama-sama memperlajari aspek manusianya, ada cabang-cabang
geografis sistematik tentang manusia, yaitu geografi ras-ras manusia,
geografi masyarakat manusia atau “human geography” (geografi sosial
dalam arti luas) dan geografi sosial (dalam arti sempit) yang kedudukannya
dalam bagan itu berjalan berlainan.
Gambar 3. Studi Geografi menurut Daldjoeni
c) Konsep Dasar dan Konsep Esensial Geografi
Menurut Getrude Whipple dalam buku Supardi (2011: 66) terdapat lima
konsep dasar dalam ilmu geografi, yakni: (1) Bumi sebagai planet, (2),
19
Variasi cara hidup, (3) Variasi wilayah-wilayah alamiah, (4) makna wilayah
(region) bagi manusia, (5) pentingnya lokasi dalam memahami peristiwa
dunia. Disisi lain, Harry J. Warman mengemukakan 15 konsep dasar dalam
ilmu geografi yakni: (1) kewilayahan atau konsep regional, (2) lapisan
kehidupan atau konsep biosfer, (3) manusia sebagai faktor ekologi yang
dominan, (4) Globalisme atau konsep bumi sebagai planet, (5) Interaksi
keruangan, (6) Hubungan Areal (wilayah), (7) Persamaan areal (wilayah),
(8) perbedaan areal (wilayah), (9) keunikan areal (wilayah), (10) persebaran
areal (wilayah), (11) lokasi relatif, (12) keunggulan komparatif, (13)
perubahan yang terus menerus atau perubahan studi, (14) sumber daya
dibatasi secara budaya, (15) bumi yang bundar di atas kertas yang datar atau
konsep peta.
Suharyono dalam makalahnya, mengusulkan 10 konsep esensial atau
konsep utama dalam pengajaran geografi yaitu: konsep lokasi, konsep jarak,
konsep keterjangkauan, konsep pola, konsep morfologi, konsep aglomerasi,
konsep nilai kegunaan, konsep interaksi interpendensi, konsep diferensial
areal, konsep keterkaitan keruangan.
2. Pendekatan dan Metode dalam Kajian Geografi
a) Beberapa Macam Pendekatan Geografi
Dalam kenyataannya dapat diidentifikasi lebih banyak lagi bentuk
pendekatan yang telah dikembangkan dalam kajian geografi, secara pokok
telah diakui banyak orang bahwa setidak-tidaknya ada empat bentuk
pendekatan yang telah dipakai dalam mempelajari geografi, baik pada masa-
masa geografi masih dalam keududukan pra-ilmu (masa geografi klasik)
maupun setelah perkembangannya sebagai ilmu (geografi modern). Keempat
bentuk pendekatan yang oleh Pattison dalam buku Suharyono & Moch
Amien disebut juga sebagai tradisi-tradisi geografi yang meliputi: 1) tradisi
keruangan, yang perhatiannya lebih terpusat pada persoalan geometri
hubungan-hubungan keruangan dan juga perpindahan keruangan; 2) tradisi
studi wilayah, yang perhatiannya terpusat pada kajian karakteristik esensial
tempat-tempat atau kawasan; 3) tradisi kajian hubungan manusia-alam, yang
perhatiannya terpusat pada perkara interaksi manusia dengan lingkungannya;
20
dan 4) tradisi bilmu kebumian, yang perhatiannya terutama terpusat pada
upaya mendeskripsikan dan menjelaskan ciri-ciri permukaan bumi
(Suharyono & Moch Amien, 2013; 46-47).
b) Filsafat, Paradigma, dan Metodologi
1) Filsafat dalam geografi
Pada masa pertumbuhan geografi mutakhir berbagai pandangan
filsafat juga berpengaruh pada cara kerja dan sasaran kajian geografi,
bahkan juga pada timbulnya pandangan kontroversial yang
mempersoalkan kedudukan geografi. Penganut positivisme ilmu
meragukan geografi dengan tradisi studi wilayah (geografi regional)
sebagai ilmu mengingat cara kerja ideografis yang berpusat pada
kegiatan pendeskripsian dan pemberian penjelasan mengenai keunikan
daerah-daerah di muka bumi. Dalam kaitannya dengan perkembangan
geografi, setidak-tidaknya empat macam (kategori) filsafat telah
berpengaruh dalam mengarahkan pendekatan-pendekatan kajian
geografi. Keempat kategori filsafat tersebut adalah: Empirisme,
Positivisme, humanisme, dan Strukturalisme (Suharyono & Moch
Amien, 2013: 59).
Berbagai filsafat yang lain seperti pragmatisme, fungsionalisme,
fenomenologi, eksistensialisme, idelaisme, dan realism telah
berpengaruh pula dalam praktek-praktek geografi, walaupun penganut
atau pengembangannya dalam kajian geografi masih terbatas jumlahnya.
Pragmatisme dalam geografi misalnya telah menghasilkan sejumlah ahli
geografi yang memberi penekanan pada faktor pengalaman manusia
dalam ruang yang lebih terpusat perhatiannya pada upaya pemecahan
maslah praktis dalam kehidupan modern (Suharyono & Moch Amien,
2013: 60).
2) Paradigma dalam geografi
Paradigma yang berakar pada filsafat dan pendekatan ilmu
merupakan hasil pengembangan paham atau pandangan dasar tertentu
yang memberi corak tersendiri dalam praktek operasional ilmu yang
bersangkutan. Paradigma menggambarkan pandangan global secara
21
keseluruhan tentang ilmu. Paradigma ini menampilkan tiga fungsi dasar,
yaitu:
1) Menetapkan apa saja yang sebenarnya (dan yang bukan) menjadi
urusan masyarakat ilmiah tertentu
2) Memberi petunjuk kepada ilmuan kea rah mana melihat (dan arah
yang tidak usah dilihat) agar menemukan apa-apa yang sebenarnya
menjadi urusannya
3) Memberi petunjuk kepada ilmuan apa yang dapat diharap untuk
ditemukan jika ia mendapatkan dan menyelidiki apa-apa yang
sebenarnya menjadi urusan dalam bidang ilmunya (Suharyono &
Moch Amien, 2013: 61)
3) Metodologi Geografi
Metodologi sangat erat kaitanyya dengan paradigma dan filsafat
suatu ilmu. Semua disiplin (ilmu) berkepentingan untuk memberi
penjelasan dan prediksi. Dalam proses penjelasan filsafat berperan
menilai secara kritis tujuan penjelasan dan bagaimana tujuan itu dapat
dicapai. Teori dipakai untuk memberi dasar-dasar penjelasan. The Liang
Gie dalam buku Nursid Sumaatmadja (1988: 75) secara luas
mengemukakan pengertian metodologi sebagai berikut:
Metodologi diartikan sebagai ilmu tentang metode, studi tentang metode,
khususnya metode ilmiah, yaitu cara-cara yang dipakai untuk mengejar
suatu bidang ilmu. Metodologi diartikan pula sebagai studi mengenai
asas-asas didasari penyelidikan, seringkali melibatkan masalah-masalah
tentang logika, penggolongan dan asumsi-asumsi dasar. Selanjutnya juga
diartikan sebagai analisis dan pengaturan secara sistematis penyelidikan
ilmiah, atau yang menyusun strukutur ilmu-ilmu khusus secara lebih
khusus.
Dari beberapa uraian diatas, metodologi sebagai bagian suatu
ilmu yang menelaah cara kerja, sasaran yang hendak dicapai, konsep-
konsep dasar dan lingkup cakupan kajian beserta pandangan dasar
ataupun filsafat yang melatarbelakanginya.
22
Berdasarkan hal hal yang telah diuraikan sebelumnya sampailah kita
pada pertanyaan bagaimana menjelaskan geografi sebagai bidang ilmu
yang dapat disejajarkan dengan bidang bidang ilmu lainnya. Untuk
menjawab hal itu maka akan ditelaah secara singkat bagaimana ilmu
geografi menjawab ke tiga pertanyaan dasar ontologi ilmu, epistemologi
ilmu dan axiologi ilmu.
Ontologi ilmu geografi
Mengacu pengertian geografi yang telah disampaikan di atas maka
dapat dijelaskan bahwa apa yang ingin diketahui ilmu geografi adalah
“berbagai gejala keruangan dari penduduk, tempat beraktifitas dan
lingkungannya baik dalam dimensi fisik maupun dimensi manusia”.
Perbedaan dan persamaan pola keruangan (spatial pattern) dari struktur,
proses dan perkembangannya adalah penjelasan lebih lanjut dari apa yang
ingin diketahui bidang ilmu geografi.
Sebagai salah satu penjelasan lebih rinci, pola keruangan dari gejala yang
berlangsung di muka bumi biasanya disajikan dalam model simbolik (dalam
bentuk peta). Peta region misalnya, menggambarkan informasi keruangan
atau informasi geografis dalam tingkatan kelas (klasifikasi) dari mulai yang
paling rendah sampai yang paling tinggi dari suatu obyek. Di samping
informasi kuantitatif, peta tersebut juga dapat memberikan informasi arah
dan laju perubahannya. Fakta spasial suatu gejala tertentu dapat dianalisis
lebih jauh untuk menghasilkan informasi keterkaitannya dengan gejala
lainnya.
Obyek material studi geografi meliputi lapisan atmosfer, lapisan litosfer,
lapisan hidrosfer dan lapisan biosfer (pengetahuan ini telah dijadikan bahan
ajar geografi di tingkat SLTP/SLTA). Pengetahuan pengetahuan tersebut
sangat diperlukan dalam menjelaskan berbagai gejala keruangan dari suatu
obyek yang diteliti untuk dapat memenuhi sifat integratif sebagaimana telah
didefinisikan di atas. Berikut disampaikan contoh sederhana elaborasi hasil
penelitian yang memperlihatkan sifat integratif.
23
1. Fakta penelitian yang menunjukkan pola kerusakan bangunan semakin
besar jika jarak lokasi bangunan ke pusat gempa semakin dekat dapat
dijelaskan dari pengetahuan geologi dan fisika yang menyatakan bahwa
besaran enersi yang didifusikan semakin kecil jika semakin jauh dari pusat
gempa karena mengalami hambatan struktur batuan yang dilewatinya sebagai
media difusi.
2. Penelitian tentang bentang alam (geomorfologi) di suatu daerah
memperlihatkan hubungannya dengan aktivitas penduduk di mana ada
kecenderungan kegiatan penduduk terkonsentrasi di wilayah dataran alluvial
dibanding unit bentang alam lainnya. Hal ini dapat dijelaskan antara lain
berdasarkan teori ekonomi (efisiensi biaya dan aksesibilitas). Teori pusat
(central place theory) Christaller dengan model hexagonalnya yang terkenal
menggunakan salah satu asumsi yaitu hanya berlaku pada daerah yang
memiliki bentang alam homogin.
3. Faktor fisik menentukan perbedaan pola spasial migrasi penduduk, misalnya di daerah dataran dan di daerah pegunungan, di samping dapat dijelaskan dari teori gravitasi atau push-pull factor.
Pengetahuan tentang berbagai gejala (fisik maupun sosial) yang berlangsung di muka bumi yang direpresentasikan sebagai gejala keruangan (spatial phenomena) suatu obyek tertentu (yang dapat diamati oleh panca indra manusia) merupakan jawaban dari “apa yang ingin diketahui” ilmu geografi. Persoalan selanjutnya adalah “ bagaimana ilmu geografi menjawab pertanyaan tersebut”. Berkenaan dengan itu secara singkat akan ditelaah tentang epistemology ilmu geografi.Epistemologi ilmu geografi
Seperti bidang bidang ilmu lainnya, bidang ilmu geografi dapat menggunakan metode deduktif, metode induktif atau gabungan ke dua metode tersebut, tergantung persoalan yang ingin dijawab. Sebagai contoh sederhana, apabila ingin mengetahui hubungan antara bentuk bentang alam dan pola sebaran pemukiman penduduk maka yang pertama harus dilakukan adalah menjawab pertanyaan pertanyaan berikut:
- apakah terdapat hubungan logis antara bentuk bentang alam dan pola pemukiman?
- jika ya, apakah hubungannya bersifat satu arah atau dua arah?
- selanjutnya, apakah hal tersebut pernah diteliti dan teori apa yang digunakan peneliti- peneliti sebelumnya?
24
Apabila kerangka berpikir rasionalisme terpenuhi maka sebagai seorang
peneliti kita harus dapat membuktikan sendiri bagaimana hubungan dari gejala
gejala tersebut dengan menggunakan kerangka berpikir empirisme. Artinya,
adanya dukungan teori dasar untuk meneliti dan ketersediaan data empiris
merupakan hal yang pokok untuk menemukan jawaban yang benar dari
pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya, peneliti harus menetapkan metode
apa yang akan digunakan :
1. Apabila telah ada konsep dan teori yang secara rasional dapat
menjelaskan hubungan logis ke dua variable tersebut, maka dapat dipilih
metode deduktif untuk memperkuat suatu teori yang sudah ada.
2. Apabila ingin mengetahui pola umum hubungan ke dua gejala tersebut di
suatu daerah yang lebih luas (misalnya untuk Indonesia) maka dapat
menggunakan metode induktif – deduktif. Perlu dicatat, data yang
diperlukan dalam penggunaan metode induktif adalah data sampling
dalam statistik inferensial.
Dalam paragraph di atas dapat dicermati bahwa butir 1 menghasilkan
pembuktian teori tertentu untuk memperkuat atau apabila memenuhi syarat
tertentu dapat meningkatkan teori menjadi hukum yang bersifat universal
(axioma). Sedangkan contoh butir 2 menghasilkan pembuktian penemuan
teori baru berdasarkan teori sebelumnya, misalnya menghasilkan model
prediksi. Mungkin kita perlu merenung, selama ini penelitian apa yang telah
kita lakukan untuk mengembangkan ilmu geografi ? Apakah kita baru
sebatas menerapkan konsep dan teori yang sudah ada atau sudah ada teori
baru yang kita hasilkan?
Metode atau teknik?
Setelah metode dipilih selanjutnya ditetapkan cara atau teknik apa yang
akan digunakan dalam pengumpulan data, pengolahan dan analisis data
penelitian. Metode induktif misalnya, tidak dapat mengabaikan peranan
statistik dalam pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Sampai di sini
kita harus dapat membedakan makna metode dan teknik atau cara penelitian.
25
Overlay atau superimposed peta dapat dipandang sebagai sebuah teknik
analisis dan bukan metode analisis.
Menjadi lebih menarik jika selanjutnya ditelaah tentang pemanfaatan
teknologi informasi yang semakin intens di lingkungan penelitian geografi.
Misalnya penggunaan GIS (sebagai sebuah sistem) atau penggunaan data
citra, sebagai upaya untuk memperoleh data empiris dengan memanfaatkan
sarana teknologi satelit. Sementara ini kita sepakat bahwa ketersediaan
sistem dan tekonologi tersebut sangat membantu (mempermudah dan
mempercepat) penelitian geografi dalam kegiatan pengumpulan sampai
analisis data hasil penelitian, sebagaimana kita menggunakan cara statistik.
Jelas kiranya bahwa dalam konteks penelitian geografi, teknologi RS dan
GIS adalah sebuah pilihan cara atau teknik dalam kita mengumpulkan data
geografi, mengolah dan menganalisis data. Pilihannya terletak pada sarana
atau alat untuk analisis, yang dinilai lebih baik dibanding teknik sebelumnya.
Sampai saat ini kita mengetahui bahwa teknologi penginderaan jauh dan
teknologi GIS merupakan produk dari R&D bidang ilmu teknik
telekomunikasi, komputer dan informatika. Bidang geografi lebih berperan
dalam melakukan interpretasi secara lebih cepat (karena memiliki bekal
cukup pengetahuan fisik permukaan bumi) atau paling jauh membuat
pemodelan aplikasinya. Teknik teknik interpretasinyapun merupakan hasil
pengembangan para ahli bidang ilmu lain seperti fisika. Gambar 3 di bawah
ini secara sederhana ingin menunjukkan posisi pengetahuan PJ dan GIS
dalam proses berpikir keilmuan geografi.
26
Konsep ontology ilmu
Konsep epistemology ilmu
Konsep ontology ilmu
Masalah penelitian
Pilihan metode, teknik atau cara meneliti Kesimpulan
Proses berpikir komperhensif Proses menetapkan pilihan metode, Proses penarikan I======================I======================= I==========I dalam menyusun proposal cara/teknik meneliti, proses kumpul, kesimpulan penelitian olah dan analisis data PJ dan GIS
Gambar 3. Posisi pengetahuan PJ dan GIS dalam konsep keilmuan geografi.
Geografi adalah bukan bidang ilmu tentang semua hal yang ada dalam
kehidupan manusia, walaupun ada yang berpendapat bahwa geografi adalah
mothers of science atau ilmu yang bersifat generalis. Sebuah kalimat yang
sering diungkapkan adalah bahwa “semua hal bisa di-geografi-kan
sepanjang masih dapat dianalisis secara spasial”. Kalimat ini sangat
sederhana namun mempunyai implikasi yang sangat luas terutama bagi para
geograf yang kritis. Pertanyaan kritis yang kemudian dapat dikemukakan
adalah “apakah dapat dibuktikan bahwa semua hal dapat dianalisis dalam
perspektif spasial?”.
Oleh karena begitu banyak hal dapat digeografikan maka muncul
usaha usaha membuat spesialisasi geografi. Upaya untuk memikirkan
spesialisasi di bidang ilmu geografi layak untuk diapresiasi. Namun, cabang
atau ranting ilmu yang dirumuskan hendaknya memenuhi kaidah kaidah
yang benar sehingga tidak menyimpang dari pohon ilmunya. Salah satu
27
contoh adalah pohon ilmu geografi jelas berbeda dengan pohon ilmu
informatika yang fokus dalam rekayasa teknik system pengolahan data
menjadi informasi. Demikian pula pohon ilmu geografi jelas berbeda
dengan pohon ilmu psikologi yang fokus dalam perilaku (behaviour)
manusia. Sampai saat ini belum ada yang mampu untuk mengspasialkan
sebuah persepsi dan menyajikan serta menjelaskannya dalam perspektif
keruangan.
Axiologi ilmu geografi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, peta dikatakan sebagai satu
satunya sarana untuk dapat menyajikan fakta geografi yang memenuhi pola
berpikir keruangan, secara cepat dan mudah dipahami. Dari sebuah peta
dapat dikenali berbagai elemen ukuran sebuah gejala seperti titik, garis,
area, arah, jarak, luas, kepadatan, kerapatan dan lainnya sebagai satuan
ukuran karena bidang ilmu geografi harus dapat terukur. Dari skala peta
dapat dinilai tingkatan informasinya, dari yang bersifat umum sampai
informasi yang lebih rinci dari sebuah populasi.
Bidang ilmu geografi sampai saat ini masih eksis karena memang
memiliki nilai kegunaan bagi umat manusia baik untuk pengembangan
keilmuannya maupun terapannya untuk peningkatan kesejahteraan. Oleh
karena ilmu bersifat netral maka pengetahuan yang dihasilkan apakah
bermanfaat atau bahkan menyebabkan bencana bagi umat manusia pada
dasarnya ditentukan oleh para ilmuwan itu sendiri. Sebuah peta yang
disajikan secara sengaja untuk menyesatkan pihak lain merupakan sebuah
bencana bagi penggunanya karena informasinya tidak tepat, akurat dan
lengkap. Akibatnya, pengguna peta tidak menemukan informasi yang
dibutuhkan setelah menghabiskan sumberdaya yang tidak sedikit. Dalam
sebuah peperangan, peta dapat menjadi senjata andal untuk mengecoh dan
mengalahkan musuh karena legenda peta sengaja diubah sehingga senjata
musuh tidak mengenai sasaran.
28
Dalam kaitan ini suatu kegiatan analisis citra satelit yang dilakukan
tanpa ground-check yang cermat akan menghasilkan peta citra satelit yang
menyesatkan. Apalagi jika secara mentah mentah data citra digital
digunakan untuk membuat pemodelan maka akan dapat diduga informasi
hasil interpretasi citra yang dihasilkan sulit dibuktikan kebenarannya. Oleh
karena itu, apapun kelemahan yang ada dengan menggunakan sarana citra
satelit perlu dikemukakan selengkapnya, bukan hanya keunggulannya. Di
sini menyangkut dasar epistemologisnya dimana “jika putih katakan putih”
atau “jika ada kelemahan katakan kelemahannya dengan jujur”.
Esensi dasar axiology ilmu geografi erat kaitannya dengan ontologinya
dan karena itu sebaik-baiknya pengetahuan yang dihasilkan sangat
tergantung dari yang memiliki pengetahuan tersebut. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa moral pemilik ilmu tersebut merupakan factor yang
menentukan apa sebenarnya nilai manfaat pengetahuan yang dimiliki bagi
umat manusia.
29
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan filsafat geografi meliputi lima perkembangan, yaitu :
1. Geografi di zaman kuno, abad pertengahan dan renaisans.
Herodotus mengungkapkan bagaimana seluk beluk keadaan suatu tempat atau
topografi serta menerangkan sebab terjadinya. Eratosthenes (176-194 SM)
memastikan bahwa bumi berbentuk seperti bola dengan ukuran-ukurannya secara
detail sehingga lahirlah peta. Perkembangan ilmu geografi yang diwariskan dari
zaman Yunani ini melahirkan geografi kuno yang dipelopori oleh Strabo (64 SM –
21M) yang menulis buku Geographia. Ptolomeus yang membahas tentang aspek
matematis dalam geografi dan kemudian menerapkannya pada peta dan lokasinya.
Posidonius menentukan keliling bumi yang akhirnya diperoleh ukurannya hanya
berselisih 7000 mil dari ukuran sekarang.
Pada zaman pertengahan, bangsa Arab seperti Al-Idris, Ibnu Battuta dan Ibnu
Khaldun memelihara dan terus membangun warisan bangsa Yunani dan Romawi.
Dengan perjalanan Marco Polo, geografi menyebar ke seluruh Eropa.
Selama zaman Renaisans dan pada abad ke 16 dan 17 banyak perjalanan besar
dilakukan untuk mrencari landasan teoritis dan detil yang lebih akurat. Geographia
Generalis oleh Bernhardus Verenius.
2. Awal Geografi Modern
Menurut Kant (1724-1821), geografi merupakan disiplin ilmiah yang objek
studinya adalah benda-benda atau gejala-gejala yang keberadaannya tersebar dan
berasosiasi dalam ruang (space). Alexander von Humboldt (1768-1859) lebih
berminat pada kajian fisik dan biologi. Karl Ritter (1779-1859) membuat uraian
yang sejalan dengan pemikiran Humboldt, yaitu menjelaskan kegiatan manusia
dalam suatu wilayah.
3. Pandangan geografi pada akhir abad ke-19,
Pada akhir abad ke-19 pandangan geografi dipusatkan terhadap iklim,
tumbuhan, dan hewan (biogeografi) terutama pada bentang alamnya. Perhatian
utama geografi pada masa ini adalah gejala-gejala fisik sehingga gejala-gejala
30
sosial (manusia) tidak mengalami kemajuan. Perhatian geografi terhadap manusia
pada akhir abad ke-19 tetap becorak pada pandangan Ritter, yaitu mengkaji
hubungan manusia dengan lingkungannya. Friedrich Ratzel (1844-1904)
mempelajari pengaruh lingkungan fisik terhadap kehidupan manusia.
4. Kecenderungan Geografi Mutakhir
Pergeseran paradigma regional ke analisis keruangan makin nyata terjadi dalam
geografi ekonomi yang mendapat dukungan para ahli yang berlatar belakang disiplin
ilmu ekonomi. Metode kuantitatif dengan bantuan komputer, pemakaian model-
model untuk menggambarkan secara ideal tentang sifat atau keadaan tertentu
mengenai realita dalam kehidupan di muka bumi, pengutamaan pendekatan
nomotetik, serta cara analisis dengan mendasarkan pada analisis sistem yang telah
dikembangkan dalam geografi ekonomi telah mewarnai kecenderungan baru dalam
geografi mutakhir.
5. Geografi baru: Impian dan Kenyataan
Geografi lama berorientasi kepada masa lampau, dan tata kerjanya serba
ideologis artinya menguraikan. Yang dikehendaki sekarang adalah geografi yang
nomotetis artinya yang mampu mjenemukan hukum-hukum dari gejala-gejala yang
ditelaah. Dengan demikian geografi akan mampu meramaikan isi masa depan.
Untuk sampai kesitu geografi diharapkan mampu menemukan tempatnya yang
layak di dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial. Caranya melalui usaha yang lebih
memperhatikan aspek-aspek sosial dari relasi manusia dengan lingkungan.
Sehubungan ini geografi harus banyak mengoper pemikiran-pemikiran yang
terdapat di dalam sosiologi dan ekonomi. Kerja sama antara para geograf dengan
para sosiolog dan ekonom diharapkan makin lancar.
Hakikat dan kedudukan Geografi sebagai ilmu meliputi: 1) kajian ilmu tentang
bumi yang mencakup kedudukan geografi dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu
sistematik, konsep dasar dan konsep esensial geografi. 2) pendekatan dan metode dalam
kajian geografi yang meliputi: macam-macam pendekatan, filsafat, paradigma, dan
metodologi.
31
DAFTAR PUSTAKA
Daldjoeni. 1996. Perkembangan Filsafat Geografi. Bandung: Alumni
Daldjoeni. 1997. Pengantar Geografi Untuk Mahasiswa dan Guru. Yogyakarta: Alumni
Hagget, Peter. 1983. Geography: A Modern Synthesis Revised Edition. New York: Harper & Row Publishers
Minsull, Roger. 1970. The Changing Nature Of Geography. London: Hutchinson University Library
Moch. Amin, & Suharyono. 2013. Pengantar Filsafat Geografi. Yogyakarta: Ombak
Suharyono. 1990. Implementasi Konsep-konsep Esensial Geografi Dalam Pengajaran. Makalah Pada Seminar/Lokakarya Implementasi Konsep-konsep Esensial Geografi dalam Proses Belajar mengajar, Semarang 26-27 Februari 1990.
Sumaatmadja, Nursid. 1988. Studi Geografi; Suatu pendekatan dan Analisis Keruangan. Bandung: Alumni
Sumaatmadja Nursid, dkk. 2008. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Universitas Terbuka
Supardi. 2011. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: Ombak
32