!!! tugas kelompok 01 sni ii !!!
DESCRIPTION
TugasTRANSCRIPT
- Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur -
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia II
Dosen Pembimbing : Drs. SINYAMIN, M.Pd.
Oleh Kelompok I:
- Devan Firmansyah (2131000430391)
- Siti Sartika Dewi (2131000430040)
- Shurmi Yati (2131000430041)
- M. Dwi Novianto (2131000430006)
- Vidensius Dangkung (2131000430024)
- Wahyu Hadi Santoso (2131000430012)
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
IKIP BUDI UTOMO MALANG
ANGKATAN 2013
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahterah puji syukur kami panjatkan kepata Tuhan Yang Maha Esa, karena
rahmat dan berkenannya kami dapat menghadirkan makalah “Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana
di Jawa Timur”. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Nasional Indonesia II. Seperti yang kita ketahui bahwa Mpu Sindok adalah raja penerus dari
Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah yang beliau pindahkan pusat pemerintahannya di
Jawa Timur. Banyak teori diungkapkan mengapa Mpu Sindok memindahkan pusat
pemerintahannya ke Jawa Timur yang masih menjadi perbincangan menarik diantara para ahli,
hal ini akan kami bahas dalam makalah kelompok kami.
Dengan mempelajari dan mengenal sosok Mpu Sindok, beserta kondisi masyarakat, dan
kehidupan sosial pada waktu itu maka kita akan memahami tentang keadaan kehidupan masa
lampau pada saat itu khususnya di Jawa Timur karena bisa dikatakan Mpu Sindok adalah salah
satu peletak dasar sistem kemasyarakatan dan sistem pemerintahan periode Hindu-Budha di
Jawa Timur pada masa awal.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam proses
kegiatan belajar mengajar pada tingkatan mahasiswa. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak
luput dari kekurangan oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
sangat kami harapkan demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Malang, Oktober 2014
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………….......................1
A. LATAR BELAKANG/RASIONAL .......................................................................1
B. RUMUSAN PERTANYAAN/MASALAH …………………………………………1
C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................1
D. MANFAAT PENULISAN …………………………………………………………...2
E. BATASAN PENULISAN ……………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN …………………………........................................................................3
A. ASAL-USUL WANGSA ISANA ...............…………………………..........................3
B. BIOGRAFI SINGKAT MPU SINDOK ...........................................................……..12
C. SUMBER SEJARAH ..........................................................................................16
D. MASALAH PERPINDAHAN PUSAT KERAJAAN MATARAM KUNO DARI
JAWA TENGAH KE JAWA TIMUR ..................................................................17
E. PERKEMBANGAN POLITIK KERAJAAN MATARAM KUNO PADA MASA
PEMERINTAHAN MPU SINDOK .....................................................................20
F. STRUKTUR BIROKRASI & KONDISI SOSIAL MASYARAKAT PADA MASA
MPU SINDOK ..................................................................................................22
BAB III PENUTUP ............................................................................................................25
A. KESIMPULAN .................................................................................................25
B. SARAN ............................................................................................................25
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................................................26
Sejarah Nasional Indonesia II
1 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang/Rasional
Wangsa Isana adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang (nama lain
Kerajaan Mataram Kuno) periode Jawa Timur pada abad ke-10 sampai awal abad ke-11.
Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok/Pu Sindok yang ditafsirkan berdasarkan tulisan-
tulisan di prasasti-prasasti yang ditemukan berjumlah hampir 20 buah.
Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaannya dari Jawah Tengah ke Jawa Timur karena
beberapa faktor & sebab diantaranya meletusnya Gunung Merapi dan datangnya zaman
Kaliyuga. Mpu Sindok memerintah dengan aman & sejahterah karena didukung oleh
penguasa lokal. Mpu Sindok mendapat dukungan dari penguasa daerah, para pamgat & para
rakai. Masyarakat berbagai profesi, latar belakang & agama berbeda berada dalam
penguasaan Mpu Sindok yang aman dan damai.
B. Rumusan Pertanyaan/Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas,maka pertanyaan penulisan
sebagai berikut:
1. Siapakah wangsa Isana itu?
2. Siapa tokoh yang bernama Mpu Sindok itu?
3. Apa saja sumber sejarah yang dijadikan rujukan?
4. Mengapa pusat kerajaan dipindahkan ke dari Jawa Tengah ke Jawa Timur?
5. Bagaimana perkembangan politik pada masa pemerintahan Mpu Sindok?
6. Bagaimana struktur birokrasi & kondisi sosial pada masa pemerintahan Mpu Sindok?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan pernyataan penulisan di atas, maka tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan asal-usul wangsa Isana.
2. Mendeskripsikan biografi Mpu Sindok.
3. Mendeskripsikan sumber sejarah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur.
Sejarah Nasional Indonesia II
2 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
4. Mendeskripsikan alasan Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur.
5. Mendeskripsikan perkembangan politik pada masa Mpu Sindok berkuasa.
6. Mendeskripsikan struktur birokrasi dan kondisi sosial pada masa pemerintahan Mpu
Sindok.
D. Manfaat Penulisan
Dengan mengetahui sejarah kerajaan Mataram kuno periode Jawa Timur dan
mempelajari sepak terjang kepemimpinan Mpu Sindok maka kita akan mengetahui bagai
mana kondisi peradaban masyarakat pada saat itu khususnya di Jawa Timur, kita juga bisa
mencontoh kejayaan masa lalu dan meneladani sikap pemimpin yang baik untuk diterapkan
pada masa ini.
E. Batasan Penulisan
Sehubungan dengan keterbatasan waktu, tenaga, serta kemampuan yang ada pada
penulis, maka dalam makalah ini penulis memberi batasan materi yaitu tentang Mpu
Sindok sendiri sebagai pendiri wangsa Isana kerajaan pertama yang terbesar di Jawa
Timur.
Sejarah Nasional Indonesia II
3 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul Wangsa Isana
angsa Isana adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang
(nama lain Kerajaan Mataram Kuno) periode Jawa Timur pada abad ke-
10 sampai awal abad ke-11.1 Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok/Pu
Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929 M. Dalam prasasti-
prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari
Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.2
Istilah Wangsa Isana sendiri dijumpai di dalam prasasti Pucangan, di bagian yang
berbahasa Sansekerta. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041
M). Bagian yang berbahasa Sanskerta itu mulai dengan penghormatan kepada Brahma, Wisnu,
dan Siwa, yang disusul dengan penghormatan kepada raja Airlangga. Selanjutnya dimuat silsilah
raja, Mulai dari anak perempuan bernama Sri Usanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri
Lokapala, dan mempunyai anak bernama Sri Makutawangsawarddhana, yang di dalam bait ke-9
sengaja disebut keturunan wangsa Isana.
Seperti yang dapat dilihat, dari silsilah tersebut maka pendiri wangsa ini adalah Pu
Sindok Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa. Mengingat kedudukannya di dalam masa
pemerintahan Rakai Layang dyah Tlodhong dan Rakai Sumba dyah Wawa, yaitu berturut-turut
sebagai rakyan mapatih i halu dan rakyan mapatih i hino, yang biasanya hanya dapat dijabat
oleh kaum kerabat raja terdekat, tentulah ia masih anggota wangsa Sailendra. Akan tetapi, karena
kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang
mahadahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai pralaya
(kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga), sesuai dengan landasan kosmogonis kerajaan-
kerajaan kuno haruslah dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Oleh karena itu,
1 “Kerajaan Medang,” (http://id.wikipedia.org Diakses 25 Oktober 2014). 2 Abimanyu, Soedjipto, Babad Tanah Jawi Terlangkap dan Terasli (Yogyakarta: Laksana, 2014), Hal. 81.
W
Sejarah Nasional Indonesia II
4 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
Pu Sindok, yang membangun kembali kerajaan di Jawa Timur, dianggap sebagai cikal bakal
wangsa baru, yaitu wangsa Isana.
Rupa-rupanya kerajaan yang baru itu tetap bernama Mataram, sebagai mana ternyata dari
prasasti Paradah tahun 865 Saka (943 M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M). Ibu
kotanya yang pertama adalah Tamwlang. Nama ini terdapat padaakhir prasasti Turyyan tahun
851 Saka (929 M). Letak Tamwlang, yang hingga kini hanya ditemui di dalam prasasti Turyyan
itu saja, mungkin di dekat Jombang sekarang, di sana masih ada Desa Tambelang.
Kedudukan Pu Sindok dalam keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram itu
memang dipermasalahkan. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Pu Sindok adalah menantu Wawa,
berdasarkan prasasti Cunggrang yang menyebut sang siddha dewata rakyan bawa yayah rakryan
binihaji sri prameswari dyah kebi (yang telah diperdewakan Rakryan Bawa, ayah Sri
Parameswari dyah Kebi). Rakryan Bawa diidentifikasikannya dengan Rakai Sumba dyah Wawa.
Selain itu, Poerbatjaraka juga mengemukakan alasan lain, yaitu bahwa Pu Sindok bergelar
abhiseka yang mengandung unsur kata dharmma, yang menurut pendapatnya menunjukkan
bahwa raja yang bergelar demikian itu naik takhta karena perkawinan.
Gambar (A). Letak Kerajaan Periode Jateng Gambar (B). Letak Kerajaan Periode Jatim
Stutterheim membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pertama nama
Bawa itu harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas huruf wa. Selain itu, raja
Wawa tidak pernah bergelar Rakai atau Rakryan Wawa, tetapi Rakai Sumba atau Rakai
Pangkaraja dyah Wawa. Lagi pula kebi berarti nenek. Oleh karena itu, Stutterheim
berkesimpulan bahwa yang diperdewakan di Cunggrang itu ialah Rakryan Bawang p-u Partha,
yang selalu muncul di dalam prasasti-prasasti Rakai Kayuwangi, ayah nenek Pu Sindok. Nenek
Pu Sindok itu ialah permaisuri Daksa, yang disebut di dalam prasasti Limus (Sugih Manek)
Sejarah Nasional Indonesia II
5 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
tahun 837 Saka (915). Dengan perkataan lain, Pu Sindok adalah cucu Daksa.
Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan, Pu Sindok pernah memangku jabatan Rakai
Halu dan Rakryan Mapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang
sah, siapa pun ayahnya. Jadi ia tidak perlu harus kawin dengan putri mahkota untuk dapat
menjadi raja.
Pu Sindok sekurang-kurangnya memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.
Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar tertulis di atas
batu. C.C. Berg mengatakan bahwa semua prasasti atas nama raja Pu Sindok itu adalah prasasti
palsu, yang dibuat para pujangga raja Dharmmawangsa Airlangga, karena raja ini memerlukan
pengesahan (legitimasi) dengan menciptakan leluhur (wangsakara). Untuk itu para pujangga
memilih nama seorang pejabat tinggi dalam zaman Mataram sewaktu berpusat di Jawa Tengah,
yaitu Pu Sindok. Silsilah raja Dharmmawangsa Airlangga kemudian diumumkan di dalam
prasasti Pucangan. Dengan perkataan lain, ia berpendapat bahwa tidak pernah ada seorang raja
yang bernama Pu Sindok dalam sejarah Indonesia. Salah satu alasannya adalah kenyataan semua
prasasti Pu Sindok itu strukturnya sama saja hingga membosankan.
Terhadap pendapat itu dapat dikemukakan keberatan, antara lain bahwa memang
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja mempunyai ciri-ciri yang sama, yang
membedakannya dengan prasasti yang dikeluarkan dengan raja lain. Selain itu, dapat dicatat di
sini bahwa tempat pendarmaan Pu Sindok ada disebut di dalam prasasti, yaitu Isanabhawana,
yang disebut di dalam prasasti Kamalagyan dan di dalam prasasti Pucangan. Ini menunjukkan
bahwa Pu Sindok benar-benar pernah ada dalam sejarah karena di dalam masyarakat Jawa kuno
rasanya tidak mungkin orang menyebut bangunan suci tempat memuja arwah seseorang kalau
tokohnya dan bangunan suci tidak benar-benar ada. Selain itu, andaikan Pu Sindok itu tidak
pernah ada, lalu apa yang terjadi antara tahun 927 M dan 949 M?
Sebagian besar prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu
bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu bangunan suci,
kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan menjadi sima atas
perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan (?) di Anjukladang. Di
dalam prasasti Linggasutan tahun 851 Saka (929 M) dikatakan bahwa raja telah memerintahkan
agar Desa Linggasutan yang termasuk wilayah Rakryan Hujung, dengan penghasilan pajak
sebanyak 3 (?) emas dan kewajiban kerja bakti seharga 2 masa setiap tahunnya, ditetapkan
Sejarah Nasional Indonesia II
6 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
menjadi sima dan dipersembahkan kepada bhatara di Walandit, untuk penambah biaya pemujaan
terhadap bhatara di Walandit setiap tahunnya. Hal itu memang menjadi niat raja.
Di dalam prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M) dikatakan bahwa raja Pu Sindok
telah memerintahkan agar tanak sawah kakatikan (?) di Anjukladang dijadikan sima, dan
dipersembahkan kepada bhatara di sang hyang prasada kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharmma
dari Samgat Anjukladang. Itu merupakan anugerah raja bagi penduduk Desa Anjukladang.
Sayang sekali prasasti ini bagian atasnya usang sehingga tidak jelas apa sebabnya penduduk
Desa Anjukladang itu mendapat anugerah raja. Menurut J.G. de Casparis prasasti Anjukladang
itu mengandung keterangan tentang adanya serbuan dari Malayu (Sumatra). Tentara Malayu
bergerak sampai dekat Nganjuk, tetapi dapat dihalau oleh pasukan raja di bawah pimpinan Pu
Sindok yang waktu itu masih belum menjadi raja. Atas jasanya yang besar terhadap kerajaan itu
Pu Sindok kemudian diangkat menjadi raja. Sayang sekali bahwa prasasti Anjukladang itu belum
terbaca seluruhnya. Apa yang terdapat dalam transkripsi Brandes tidak membayangkan adanya
peperangan itu, sekalipun ada juga didapatkan kata jayastambha, yaitu keterangan bahwa di
tempat sang hyang prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan.
Bhatara i Walandit juga dijumpai lagi di dalam prasasti Muncang tahun 866 Saka (944
M). Di dalam prasasti ini diperingati raja untuk menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan
pasar di Desa Muncang yang masuk wilayah Rakryan Hujung menjadi menjadi sima oleh
Samgat (...) Dang Acaryya Hitam, untuk mendirikan prasada kabhaktyan bernama Siddhayoga,
tempat para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara setiap hari, dan mempersembahkan
bunga kepada bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit.
Rupa-rupanya Rakryan Hujung, yang ternyata bernama Pu Madhuralokaranjana, amat
besar amalnya di bidang keagamaan. Di dalam prasasti Gulung-gulung tahun 851 Saka (929 M)
ia mohon kepada raja agar diperkenankan menetapkan sawah di Desa Gulung-gulung dan
sebidang hutan di Bantaran menjadi sima, dengan tujuan menjadikannya tanah wakaf
(dharmmaksetra) berupa sawah bangunan suci Rakryan Hujung yaitu mahaprasada di Himad.
Penghasilan sawah tersebut juga diperuntukkan bagi persembahan kepada Sang Hyang
Kahyangan di Pangawan, berupa seekor kambing dan 1 pada beras, yang diadakan setahun
sekali pada waktu ada upacara pemujaan bagi bhatara yang ada di Pangawan itu. Hal itu
disebabkan dahulu kala Kahyangan di Pangawan itu ada di Gunung Wangkedi. Oleh karena itu,
sebenarnya hanya ada satu bhatara yang dipuja, baik di Pangawan maupun di Himad. Kalau
Sejarah Nasional Indonesia II
7 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
sedang diadakan pemujaan di Pangawan, Himad mengikuti saja apa yang dilakukan di
Pangawan, demikian pula sebaliknya. Upacara pemujaan di kedua bangunan suci itu dilakukan
pada tiap equinox, yaitu pada saat matahari melintasi garis khatulistiwa padabulan Maret dan
September. Selain itu, di dalam prasasti Gulung-gulung itu masih disebutkan lagi beberapa
daerah sima, yaitu di Batwan, di Guru, di Air Gilang, di Gapuk, dan di Mbang (?), yang
berkewajiban pula memberi persembahan kepada Sang Hyang Prasada di Himad pada tiap
equinox, dengan perincian kewajiban masing-masing daerah sima itu.
Di dalam prasasti Jeru-jeru tahu 852 Saka (930 M) Rakryan Hujung mohon kepada raja
agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-jeru yang merupakan anak Desa Linggasutan yang
masuk wilayah Rakryan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi benagunan suci
Rakryan Hujung, yaitu Sang Sala di Himad. Permohonan itu disetujui raja.
Bangunan suci di Walandit yang memperoleh beberapa daerah sima atas persetujuan dan
perintah Pu Sindok itu ternyata masih ada dalam zaman Majapahit; sebagaimana ternyata dari
prasasti Himad/Walandit yang sayang tidak berangka tahun, tetapi dikeluarkan pada waktu Gajah
Mada menjabat rakryan mapatih di Janggala dan Kadiri. Di dalam prasasti ini disebutkan tentang
persengketaan antara penduduk Desa Walandit dengan penduduk Desa Himad mengenal status
dharma kabuyutan di swatantra, dan berhak penuh atas Desa Walandit, sebagaimana telah
dikukuhkan oleh prasasti yang bercap kerajaan Pu Sindok.
Menurut J.G. de Casparis, Walandit itu terletak di Desa Wonorejo sekarang di
Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Dahulu Desa Wonorejo itu bernama Balandit. Pada peta
tpografi, lembar XLII 54-D (1918-1923) masih dijumpai dukuh bernama Blandit, yang masuk
wilayah Desa Wonorejo. Oleh karena itu, apabia di dalam prasasti Muncang disebut sang hyang
swayambhuwa i walandit, bangunan suci itu diidentifikasikannya dengan suatu candi untuk
pemujaan Gunung Bromo, karena Swayambhu ialah nama lain dari Dewa Brahma, dan
kenyataan bahwa Desa Wonorejo tidak seberapa jauh dari Gunung Bromo itu.
Penetapan sima atas permintaan pejabat atau rakryan dijumpai dalam beberapa prasasti
yang lain. Dapat disebutkan di sini penetapan sebidang sawah di Desa Paradah menjadi sima
kabikuan oleh para warga wahuta di Paradah. Pembelian sawah dan tanah pagagan di Taging di
Desa Paradah oleh Sang Sluk untuk dijadikan sima dan dipersembahkan kepada Sang Hyang
Dharmma Kamulan, senagai tindakan amal Sang Sluk (i punya sang Sluk) dan agar hendaknya
turun-temurun pada anak cucu cicit piutnya. Permohonan Dang Acaryya /i/ kepada raja untuk
Sejarah Nasional Indonesia II
8 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
mengukuhkan status sima kabikuan di Poh Rinting. Penetapan sebidang sawah kakatikan di Desa
Hering yang masuk wilayah Margganung, tetapi di bawah kekuasaan Wahuta Hujung, dan tanah
perumahan sebagai sima oleh Samgat Margganung pu Danghil bagi sebuah biara yang telah
dibeli oleh Pu Danghil dan istrinya yang bernama Dyah Pende seharga 16 suwarna emas.
Dengan demikian, dua orang suami istri itu sama-sama berbuat amal. Terakhir dapat disebutkan
di sini persembahan Dapungku i Manapujanma berupa sebidang sawah untuk dijadikan sima
bagi Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di daerah Pangurumbigyan di Kampak.
Prasasti Turryan tahun 851 Saka (929 M) memberi keterangan tentang permohonan Dang
Atu pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan bangunan suci. Permohonan
itu dikabulkan raja, dan diambilkan sebidang sawah di Desa Turyyan yang menghasilkan pajak
sebesar 3 suwarna emas. Pajak yang dihasilkan Desa Turyyan setahun ialah 1 kati dan 3 suwarna
emas; yang 3 suwarna itulah yang dianugrahkan kepada Dang Atu. Ditambah lagi dengan
sebidang tanah tegalan di sebelah barat sungai itu untuk tempat mendirikan bangunan suci, dan
penduduknya hendaknya bekerja bakti membuat bendungan terusannya sungai tadi, mulai dari
Air. Luah; sedang tanah di sebelah utara pasar itu untuk kamulan dan pajak yang 3 suwarna
emas itu, sebagai sumber biaya pemeliharaan bangunan suci. Selebihnya dijadikan sawah untuk
tambahan sawah sima bagi bangunan suci itu.
Prasasti Turryan itu hingga kini masih di tempat aslinya, yaitu di Dukuh Watu Godeg,
Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen (nama asli), Kabupaten Malang. Mungkin penelitian
lebih seksama dapat mengungkapkan letak bendungan itu (atau waduk?) di masa dahulu.
Ada juga prasasti yang memperingati pembuatan bendungan, yaitu prasasti Wulig tahun
856 Saka (935 M). Di dalam prasasti itu disebutkan perintah Rakryan Binihaji Raktyan
Mangibil, rupa-rupanya permaisuri atau salah seorang selir Pu Sindok, kepada Samgat Susuhan
agar memerintahkan penduduk Desa Wulig; Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran, dan
Busuran untuk membuat bendungan, dengan peringatan jangan hendaknya ada yang berani
mengusik-usiknya, atau menyatukan bendungan itu (?) tidak ... di waktu malam, dan mengambil
ikannya di waktu siang. Pada tanggal 8 Januari 935 M Rakryan Binihaji meresmikan ketiga
bendungan yang ada di Desa Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya.
Permaisuri Pu Sindok muncul pula dalam prasasti Geweg tahun 855 Saka (935 M) dan
prasasti Cunggrang tahun 851 saka (929 M). Di dalam prasasti Geweg itu Pu Sindok tidak
memakai gelar maharaja, tetapi rakryan sri mahamantri dan sang permaisuri disebut Rakryan
Sejarah Nasional Indonesia II
9 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kbi. Di dalam prasasti Cunggrang sang permaisuri disebut
Rakryan Binihaji Sri Parameswari Dyah Kbi. Seperti telah disebutkan di atas Stutterheim
berpendapat bahwa tokoh ini bukanlah permaisuri Pu Sindok, melainkan neneknya. Akan tetapi,
karena kata kbi itu didahului oleh pu dan dyah, yang biasa mendahului nama orang, agak sulit
menerima tafsiran Stutterheim itu. Di sini lebih condong untuk menerimanya sebagai permaisuri
(rakryan binihaji parameswari) yang Pu atau Dyah Kebi. Mengapa dalam prasasti Geweg Pu
Sindok memakai gelar rakryan sri mahamantri belum dapat dijelaskan disini.
Di dalam prasasti Cunggrang diperingati perintah Pu Sindok untuk menetapkan Desa
Cunggrang yang masuk wilayah Bawang, di bawah pemerintahan langsung dari Wahuta
Wungkal, dengan penghasilan pajak sebanyak 15 suwarna emas, dan kewajiban kerja bakti
senilai 2 kupang, dan katik sebanyak ... orang, menjadi sima bagi pertapaan di Pawitra dan bagi
sang hyang prasada silunglung sang siddha dewata rakryan bawang, ayah rakryan binihaji sri
parameswari dyah kebi (bangunan suci tempat pemujaan arwah Rakryan Bawang yang telah
diperdewakan, yaitu ayah dari permaisuri raja yang bernama Dyah Kebi. Tugas kewajiban
penduduk daerah yang dijadikan sima itu ialah memelihara pertapaan dan prasada, juga
memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra (umahayua sang hyang tirtha pancuran i pawitra).
Ada juga sawah pakarungan (?) di Pamuatan seluas 2 suku (jung), dan di Kasungkan
seluas 2 suku, serta katik sebanyak ... orang anugrah raja kepada permaisurinya, yang ikut
dijadikan sima sebagai sumber pembiayaan pemujaan arwah mertua raja (Rakryan Bawang) di
Prasada, dan biaya pemujaan di pertapaan di Tirtha pada tanggal 3 tiap bulan, dan biaya
persembahan caru setiap harinya. Dengan ditetapkannya Desa Cunggrang menjadi sima
punpunan, ia tidak lagi diperintah oleh Rakryan Bawang Watu (atau Rakryan Jasun Wungkal).
Dengan menganggap Dyah Kebi sebagai permaisuri Pu Sindok, kemungkinan besar bahwa
Rakryan Bawang, ayah sang permaisuri, ialah Rakryan Bawang Dyah Srawana yang dijumpai di
dalam prasasti-prasasti raja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Ada juga penetapan sima yang bukan atas perintah raja, melainkan oleh Rakryan
Kanuruhan Dyah Mungpah. Ia menganugrahkan sebidang sawah di /?/ yang masuk wilayah
Kanuruhan kepada Sang Bulul supaya digunakan untuk menanam bunga-bungaan, sebagai
tambahan kepada amalnya /?/. Memang rupa-rupanya Sang Bulul telah mempunyai nazar
demikian, maka pada waktu ia memohon kepada Rakryan Kanuruhan untuk melaksanakan
nazarnya itu, permohonannya dikabulkan, bahkan Rakryan Kanuruhan menambahinya. Peristiwa
Sejarah Nasional Indonesia II
10 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
ini diperingati dengan prasasti Kanuruhan tahun 856 Saka (935 M) yang dipahatkan di belakang
sandaran arca Ganesa, dan keadaannya terputus di bagian atas sebelah kiri.
Dapat dilihat bahwa memang tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat di dalam
prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam tembaga yang
tinulad (diturunkan pada waktu yang lebih kemudian). Antara lain keterangan di dalam prasasti
Waharu IV tahun 835 Saka (931 M), dikatakan bahwa penduduk Desa Waharu telah mendapat
anugerah raja, karena penduduk Desa Waharu di bawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa
berbakti kepada raja, ikut berusaha agar raja menang dalam peperangan, dengan mengerahkan
senjata, tanpa ingat siang atau pun malam dalam mengikuti bala tentara raja, sambil membawa
panji-panji dan segala macam bunyi-bunyian, pada waktu raja hendak membinasakan musuh-
musuhnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan.
Prasasti Sumbut tahun 855 Saka (933 M) yang sayang sekali hanya ada dua lempeng
yang pertama saja, memberi keterangan bahwa Pu Sindok telah memberi anugerah sima Desa
Sumbut kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang telah berjasa ikut menghalau musuh bersama
penduduk Desa Sumbut, dengan tujuan agar kedudukan raja di atas singgasana dapat langgeng.
Rupa-rupanya perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu disertai dengan
penaklukan-penaklukan (Hal ini akan dibahas lebih detail pada bab berikutnya). Hal ini dapat
dipahami karena sejak Rakai Watukura dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas
sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga di sana-sini raja bawahan atau penguasa
setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu dikuasai dengan kekuatan senjata, bukanlah hal yang
mustahil. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbut memang membayangkan adanya
kemungkinan tersebut. Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan mungkin
juga berhubungan dengan adanya serangan musuh. Seperti yangtelah disebutkan, ibu kota
kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti Paradah dan prasasti
Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh (kadatwan ri mdang ri bhumi
mataram i watuhgaluh). Mungkin ibu kota itu ada di Desa Watugaluh sekarang, di dekat
Jombang di tepi Kali Brantas.
Dari sekian bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum
ada satu pun yang dapat dilokalisasikan dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkn adanya
Candi Lor dan sekarang di dekat Berbek, Kabupaten Nganjuk ada reruntuhan candi. Akan tetapi,
apakah memang Candi Lor itu yang dimaksud di dalam prasasti, belum dapat dipastikan,
Sejarah Nasional Indonesia II
11 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
sekalipun sisa bangunan itu menunjukkan ciri-ciri candi Jawa Tengah. Di dekat tempat lokasi
prasasti Cunggrang di lereng timur Gunung Penanggungan ditemukan beberapa peninggalan
tempat pemandian, antara lain di Belahan, yang tidak jauh di atas lokasi prasasti. Akan tetapi,
apakah Sang Hyang Tirtha Pancuran di Pawitra itu dapat diidentifikasikan dengan salah satu di
antara peninggalan-peninggalan tersebut belumlah dapat dipastikan. Nama Pawitra mungkin
sekarang menjadi Betra, disekitar tempat itu juga. Th.A. Resink pernah mengemukakan pendapat
bahwa pemandian Belahan berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok.
Gambar (C). Silsilah Mpu Sindok
Sebenarnya diharapkan adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapat diidentifikasikan
dengan candi kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang
Mahameru untuk pusat kerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi, hingga kini belum ada
Sejarah Nasional Indonesia II
12 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap sebagai candi kerajaan itu. Candi
Penataran, sesuai dengan namanya yang mengingatkan kepada istilah pura penataran di Bali,
mungkin sekali berfungsi sebagai candi kerajaan, tetapi untuk masa kemudian, yaitu sejak zaman
Kadiri. Sang hyang dharma ring isanabhawana, yang dapat dianggap sebagai candi pemujaan
wangsakara dinasti Isana sebagai pengganti candi Borobudur untuk wangsa Sailendra, hingga
kini juga belum dapat diidentifikasikan. Apakah sang hyang swayambhuwa i walandit dapat
dianggap sebagai bangunan suci untuk pemujaan dewa yang tertinggi, dalam hal ini Dewa
Brahma, juga belum dapat dipastikan.3
B. Biografi Singkat Mpu Sindok (929-947 M)
Gambar (D). Ilustrasi Mpu Sindok
Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Mataram Kuno (Medang) periode Jawa Timur
yang bergelar “Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa”. Mpu
Sindok yang dianggap sebagai sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Isana itu memiliki
3 Pusponegoro, Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Edisi Pemutahiran (Jakarta: Balai Pustaka,
2010), Hal. 185-196.
Sejarah Nasional Indonesia II
13 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
permaisuri yang bernama Sri Parameswari Dyah Kebi, Putri dari Rakai Bawa. Menurut
Poerbatjaraka, Rakai Bawa adalah Dyah Wawa. Maka, Mpu Sindok sebagai menantu Dyah
Wawa.
Selama menjadi raja, Mpu Sindok meninggalkan banyak prasasti. Prasasti Turryan (929
M) berisi permohonan Dang Atu Mpu Sahitya pada Mpu Sindok, agar tanah di barat sungai Desa
Turryan dijadikan sebagai tempat bangunan suci.4 Prasasti Turyyan isinya antara lain:
“Permohonan Dang Atu Pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan
bangunan suci. Permohonan ini dikabulkan raja dan dan diambilkan sebidang tanah di desa
Turyyan yang menghasilkan pajak 3 swarna emas. Pajak yang dihasilkan desa Turyyan setahun
ialah 1 kati ... dan 1 swarna emas; yang 3 swarna emas itulah yang dianugerahkan kepada
Dang Atu. Di tambah lagi dengan sebidang tanah tegalan di sebelah barat sungai ini untuk
tempat mendirikan bangunan suci; dan penduduk hendaknya bekerja bakti membuat bendungan
sungai tadi mulai dari air luah; sedangkan tanah di sebelah utara pasar untuk kamulan dan
pajak yang 3 swarna emas itu sebagai biaya pemeliharaan tempat suci. Selebihnya dijadikan
sawah untuk tambahan sawah sima bagi bangunan suci ...”
Dari isi prasasti itu tersirat muatan politik dan agama. Dari segi politik menunjukkan
prasasti itu merupakan legitimasi Dang Atu Sahitya untuk tetap sebagai penguasa di Turyyan dan
disyahkan penguasa baru Mpu Sindok. Sebaliknya prasasti itu juga legitimasi Mpu Sindok
sendiri sebagai penguasa yang sah untuk Kerajaan Mataram (Medang) yang berpusat di Jawa
Timur. Bangunan suci jelas bernafaskan Hindu, seperti halnya masa sebelum adanya kekuasaan
Mpu Sindok dan fungsinya selain untuk agama (dari segi agama) juga tanda atau tugu peringatan
sekaligus wujud perintah Mpu Sindok sebagai raja.5
Prasasti Linggasutan (929 M) berisi penetapan Mpu Sindok atas Desa Linggasutan
(wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana) sebagai sima swatantra. Penetapan ini
dimaksudkan oleh Mpu Sindok guna menambah biaya pemujaan bhatara di Walandit pada setiap
tahunnya.
Prasasti Gulung-Gulung (929 M) berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu Madhura 4 Adji, Krisna Bayu, Buku Pintar Raja-Raja Jawa Dari Kalingga Hingga Kasultanan Yogyakarta (Yogyakarta: Araska Publisher, 2012), Hal 48. 5 Soepratiknyo, Handout Geohistori Indonesia (Malang: ________, 1997), Hal. 19-20.
Sejarah Nasional Indonesia II
14 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
pada Mpu Sindok, agar sawaj di Desa Gulung-Gulung dijadikan sima swatantra bagi bangunan
suci Mahaprasada di Himad.
Prasasti Cunggrang (929 M) berisi tentang penetapan Mpu Sindok atas Desa Cunggrang
sebagai sima swatantra untuk merawat makam Rakryan Bawang Dyah Swarana yang diduga
sebagai ayah permaisuri Dyah Kebi.
Prasasti Jeru-Jeru (930 M) berisi permohonan Rake Hujung Mpu Madhura kepada Mpu
Sindok, agar Desa Jru-Jru di daerah Linggasutan dijadikan sima swatantra untuk merawat
bangunan suci Sang Sala di Himad.
Prasasti Waharu (931 M) berisi tentang anugerah Mpu Sindok pada penduduk desa
Waharu yang dipimpin oleh Buyut Manggali. Mereka mendapat anugerah, karena telah setia
membantu melawan musuh negara.
Prasasti Sumbut (931 M) berisi tentang penetapan Mpu Sindok atas Desa Sumbut sebagai
sima swatantra, karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu dalam menghalau
musuh negara.
Prasasti Wulig (tanggal 8 Januari 935 M) berisi tentang peresmian bendungan di Wuatan
Wulas dan Wuatan Tamya yang dibangun oleh penduduk Desa Wulig di bawah pimpinan Sang
Pamgat Susuhan. Peresmian ini dilakukan oleh selir Mpu Sindok bernama Rakryan Mangibil.
Prasasti Anjukladang (937 M) bersisi tentang penetapan Mpu Sindok atas tanah sawah di
Desa Anjukladang sebagai sima swatantra dan persembahan pada Bhatara di Sang Hyang
Prasada, serta pembangunan sebuah jayastambha (tugu kemenangan). Tugu ini sebagai
peringatan atas kemenangan saat melawan serangan dari Kerajaan Sriwijaya yang mencapai
daerah itu.6
Seperti yang kita ketahui Mpu Sindok terkenal sebagai raja yang berjiwa prajurit, dan
sangat toleran terhadap pemeluk agama lain. Meskipun beragama Hindu, namun selama
pemerintahannya sebuah buku agama Budha Mahayana, “Serat Sang Hyang Kamahayanikan”
berhasil digubah ke dalam bahasa Jawa Kuno dari Bahasa Sansekerta. Kitab ini memuat cerita-
cerita tentang dewa-dewa yang mirip dengan relief yang ada pada Candi Borobudur. Sebuah
kitab agama Hindu Syiwa, “Brahmandapurana” yang berisikan kosmologi, kosmogoni, sejarah
para resi, dan cerita pertikaian antar kasta juga diterbitkan dalam waktu hampir bersamaan.
Mpu Sindok kemudian secara mendadak memindahkan pusat pemerintahan Mataram, 6 Adji, Krisna Bayu, Op. Cit., Hal. 48-50.
Sejarah Nasional Indonesia II
15 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
berikut banyak warganya ke lembah hulu Kali Brantas, Tepatnya di daerah Jombang, Jawa
Timur. Hal ini mungkin dikarenakan bencana alam yang dahsyat, apakah akibat meletusnya
Gunung Merapi ataukah wabah penyakit, tidak dapat diketahui dengan pasti sebab-musababnya
(hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya). Kerajaan Mataram di Jawa Tengah sisi
“struktur pisikal” tampak berakhir, namun Mpu Sindok kokoh melestarikan, tetap bergelar Raja
Mataram. Dan sejak saat itu, bersatulah Bhumi Mataram, Jawa Tengah dan Bhumi Kanjuruhan
Jawa Timur. Dan Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Mpu Sindok diembani oleh Mpu
Sahasra yang menjabat sebagai Rakai Mapatih Hino.7
Dari semua peninggalan-peninggalan prasasti-prasasti dan semua usaha-usaha sosialnya,
memberi kesan bahwa pemerintahan Mpu Sindok berjalan aman dan Sejahterah. Seperti yang
telah disinggung diatas Mpu Sindok memerintah bersama permaisurinya, Sri Parameswari Sri
Wardhani pu Kbi. Anehnya ialah bahwa mula-mula Mpu Sindok tidak menggunakan gelar
maharaja, dan hanya menyebut dirinya “Rakryan Sri Mahamantri pu Sindok sang
Srisanottunggadewawijaya.” Maka mungkin sekali ia telah menaiki takhta kerajaan karena
perkawinannya dengan anak Wawa. Baru kemudian ia menggunakan gelar maharaja “Sri
Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa.”
Mpu Sindok memerintah sampai pada tahun 947 M. Pengganti-penggantinya kita ketahui
dari sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga dan yang kini disimpan di Indian Museum
di Calcutta (karena itu prasasti ini terkenal dengan nama Calcutta). Demikianlah Mpu Sindok
digantikan oleh anak perempuannya Sri Isanatunggawijaya, yang bersuamikan Raja Lokapala.
Dari perkawinan ini lahirlah anak laki-laki, Makutawangsawardhana, yang digambarkan sebagai
“Matahari Dari Keluarga Isana” . Tentang kedua raja yang menggantikan Mpu Sindok tidak ada
keterangan lagi, kecuali bahwa Makutawangsawardhana mempunyai seorang anak perempuan
yang cantik sekali, yaitu Mahendradatta atau Gunapriyadharmapatni, dan yang bersuamikan raja
Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali.8
7 Poespaningrat, Pranoedjoe, Kisah Para Leluhur Dan Yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru (Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat, 2008), Hal. 03. 8 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II (Yogyakarta: Kanisius, 1973), Hal. 50-51.
Sejarah Nasional Indonesia II
16 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
C. Sumber Sejarah
Seperti yang sudah di singgung pada bab-bab diatas sumber sejarah yang dapat diketahui
berkenaan dengan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur, adalah beberapa
prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sindok, yaitu antara lain prasasti Turyyan (929 M), prasasti
Gulung-Gulung (929 M), prasasti Linggasutan (929 M), prasasti Cunggrang (929 M), prasasti
Jeru-Jeru (930 M), prasasti Wulig (935 M), prasasti Anjukladang (937 M), prasasti Paradah (934
M), prasasti Muncang (944 M), serta masih banyak lagi hingga sekitar 20 buah prasasti.
Nama wangsa Isana sendiri tidak disebut di dalam prasasti-prasasti Mpu Sindok. Tetapi
di dalam prasastinya Mpi Sindok memakai gelar Sri Maharaja Rake Halu Pu Sindok Sri
Isanawikramadharmottunggadewa. Nama wangsa Isana justru terdapat pada prasasti Pucangan
(1041 M): “srimakutavamsavarddhana iti pratito nrnamanupamendrah sri
isanavamsatapanastatapa subhrampratapena”, yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga yang
mengaku keluarga dari wangsa Isana. Prasasti Pucangan ditulis dalam dua bahasa. Bagian yang
berbahasa Sansekerta menyebutkan silsilah Raja Airlangga, yang dimulai dari Sri Isanatungga
yang mempunyai anak Sri Isanatunggawijaya. Dari perkawinan anaknya dengan Lokapala, lahir
Sri Makutawangsawarddhana. Anak Makutawangsawardhana yang bernama
Gunapriyadharmapatni (Mahendratta) kawin dengan Udayana, dan lahirlah Airlangga.
Gambar (E). Prasasti Cunggrang Gambar (F). Prasasti Turyyan
Sejarah Nasional Indonesia II
17 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
D. Masalah Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram kuno dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur
Dari beberapa fakta sejarah Indonesia kuno mengisyaratkan bahwa perpundahan pusat
Kerajaan Mataram kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dilakukan pada sekitar perempat
pertama abad X. Timbul berbagai teori kemungkinan alasan perpindahan istana Kerajaan
Mataram kuno ke Jawa Timur. Boechari memaparkan teori-teori pendahulunya, sebagai berikut:
1. N.J. Krom: perpindahan pusat kerajaan tersebut terjadi pada kurun perempat awal abad
X, dengan alasan yang tidak begitu jelas.
2. B. Schrieke: yang menjadi penyebab kenapa pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur
adalah karena pembangunan Candi Borobudur yang menghabiskan seluruh kejayaan
kerajaan waktu itu yang sedang jaya-jayanya. Pembangunan Borobudur menyita banyak
tenaga dari rakyat Mataram dan meninggalkan pekerjaan seperti bertani, berdagang dan
aktivitas yang lainnya sehingga terjadilah migrasi massal ke Jawa Timur.
3. J.G de Casparis: akibat dari kemajuan perdagangan di Arab pada abad IX terdapat
perdagangan internasional di wilayah nusantara. Yang meliputi bagian timur Indonesia
yang berkomoditi rempah-rempah dan kayu cendana dan Jawa Timur sebagai penghasil
hasil pertanian melakukan perdagangan dengan saudagar asing dari Arab, Cina, India
yang membuat wilayah Jawa Timur semakin makmur. Kekhawatiran Sriwijaya yang
melihat kerajaan di Jawa Timur bisa menguasai kongsi perdagangan internasional dan
memonopolinya membuat Sriwijaya melakukan penyerangandi Jawa 925 M, Sriwijaya
mendarat di Jawa Timur dan bergerak sampai di Nganjuk, tetapi berhasil di pukul
mundur oleh Mpu Sindok dalam Prasasti Anjukladang 859 S/937 M. Selain itu karena
kemajuan perdagangan di Jawa Timur Raja Balitung, Tulodong, dan Wawa memberi
perhatian khusus pada Jawa Timur, dan karena ancaman dari Sriwijaya pusat
pemerintahan di tarik ke Jawa Timur.
4. R.W. van Bemmelan: seorang ahli geologi mengindikasikan erupsi gunung Merapi di
masa lalu membuat gempa dan hujan abu serta banjir lava, maka dipastikan di sekitar
Merapi khususnya bagian barat dan selatan gunung benar-benar hancur dan tertutup abu
yang tebal. Van Bemmelen menghubungkan meletusnya gunung itu dengan pralaya,
hancurnya Kerajaan Teguh pada 1016 yang tersebut pada prasasti pucangan. Jika benar
Sejarah Nasional Indonesia II
18 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
Istana Mataram telah pindah ke delta brantas waktu itu, kemungkinan kecil Mataram
tidak terpengaruh oleh letusan tersebut. Jika menunjukkan sekitar perempat abad X
sampai XI, kita bisa yakin perpindahan kekuasaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur sekitar 929 M akibat dari letusan Gunung berapi.
5. M. Boechari: perpindahan pusat kerajaan bagi sebuah kerajaan di Jawa pada masa
lampau kiranya merupakan hal biasa terjadi. Kondisi semacam ini dilatar belakangi oleh
kepercayaan masyarakat Jawa yang mempercayai terhadap adanya empat siklus dalam
kehidupan ini. Keempat siklus tersebut adalah:
- Kretayuga (zaman emas)
- Tretayuga (zaman perak)
- Dwaparayuga (zaman perunggu)
- Kaliyuga (zaman besi)
Zaman Kaliyuga atau zaman besi identik dengan zaman kehancuran, kekacauan,
kemerosotan, dan sejenisnya. Kepercayaan pada siklus inilah yang pada umumnya setelah
malapetaka, maka istana yang baru harus segera dibangun. Untuk membangun istana baru
tersebut tentunya tidak berada di istana yang lama. Istana lama dianggap sudah teraduk dengan
kekacauan. Oleh karenanya dicari sebuah mandala yang baru, pengkuan adanya gunung suci
baru, serta membangun candi istana yang baru tiruan dari Gunung Meru. Dari sebab itulah
perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur hanya dapat dipahami apabila memang
disebabkan oleh kejadian yang luar biasa. Yang menurut kepercayaan Jawa dipandang sebagai
isyarat Dewa yang mengharuskan sebuah pemerintahan harus berakhir. Hal tersebut tidak ada
pilihan lain bahwa itu adalah suatu bencana yang besar, semacam gempa bumi atau letusan
gunung berapi, atau peristiwa dahsyat lainnya.
Perpindahan istana Kerajaan Mataram kuno ke Jawa Timur agaknya tidak perlu dengan
penaklukan terhadap kerajaan yang ada di Jawa Timur. Hal tersebut dapat dipahami bahwa
sebelum Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya, sebelum Mpu Sindok memindahkan
pusat pemerintahannya, sebelumnya sudah muncul beberapa prasasti dari Raja Mataram kuno di
Jawa Timur, yaitu:
1. Prasasti Kubu-Kubu (905 M) & prasasti Kinewu (907 M) di belakang patung
Ganesha dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung;
Sejarah Nasional Indonesia II
19 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
2. Prasasti Sugih Manek (915 M) dari Raja Daksa;
3. Prasasti Harinjing C (927 M) dari Raja Rakai Layang Dyah Tulodong;
4. Prasasti Sangguran (928 M) dari Raja Rakai Sumba Dyah Wawa.
Sisipan:
Perpindahan kerajaan pada masa Islam juga pernah terjadi. Ki Ageng Pemanahan
sebagai pendiri Dinasti Mataram Islam, merintis ibu kota di Kuta Gede sekarang, Cicitnya, Sultan
Agung, mendirikan istana baru di Karta. Sedangkan anak Sultan Agung dan keturunannya
memindahkan kotanya ke Plered. Istana Plered diserang oleh Trunajaya, maka Amangkurat I
menyingkir lebih ke barat. Setelah penyerangan Plered, ibu kota dipindah ke Wanakarta yang
diberinama Kartasura. Tahun 1724 Kartasura diserang Cakraningrat, maka Pakubuwono II
setelah itu membangun istananya di Surakarta.
Perpindahan tersebut nyata karena adanya serangan-serangan musuh. Menurut
kepercayaan Jawa, istana yang sudah diserang musuh sudah luntur kesakralannya. Tetapi
pemindahan yang dilakukan dari Karta ke Plered oleh Amangkurat I tidak atas serangan.
Pemindahan itu dilakukan karena Sultan Agung adalah keturunan ke empat dari pendiri dinasti.
Sementara Amangkurat I adalah keturunan keempat dari penguasa Mataram Islam.
Dari masyarakat Jawa terdapat suatu keyakinan bahwa setelah tiga generasi, atau
setelah satu abad, akan terjadi suatu bencana, kecuali kalau raja berikutnya memindahkan
istananya ke suatu tempat yang baru. Keyakinansiklus empat ini populer sekali pada masa Jawa
kuno. Inilah yang oleh B. Schrike disebut dengan konsep Kaliyuga. Terbukti bahwa
Dharmawangsa adalah generasi keempat dari Dinasti Isana, dan Kertanegara generasi keempat
dari Dinasti Rajasa. Mereka hancur oleh serangan musuh. Barangkali pula Raja Sanna yang
kerajaannya hancur, yang merupakan generasi keempat dari Dinasti Sailendra.
Gambar (G). Gunung Merapi
Sejarah Nasional Indonesia II
20 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
E. Perkembangan Politik Kerajaan Mataram Kuno Pada Masa Pemerintahan Mpu
Sindok
Gambar (H). Lukisan Desa Zaman Kerajaan
Ketika Mpu Sindok memindahkan istananya di Jawa Timur, mungkin saja Kerajaan
Kanuruhan sebagai bawahan Kerajaan Mataram kuno yang ada di Jawa Timur, memberikan
dukungan terhadap perpindahan tersebut. Sebab dapat diketahui bahwa Kerajaan Kanuruhan ini
menurut Casparis merupakan suatu perkembangan dari sebuah kerajaan tertua di Jawa Timur
yang pernah berdiri pada abad ke VIII, yaitu Kerajaan Kanjuruhan. Raja-raja keturunan Kerajaan
Kanjuruhan tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar Rakryan Kanuruhan.
Ibu kota kerajaan Mpu Sindok yang pertama berada di Tamwlang (prasasti Turryan baris
akhir: makatewek maharaja makadtawan i tamwlang). Tetapi kemudian dipindah di Watugaluh
(i mdang i bhumi mataram i watugaluh) seperti yang dituliskan dalam prasasti Paradah dan
Anjukladang. Kerajaannya tetap bernama Mataram. Pada awal pemerintahannya, gelar yang
dipakainya adalah Rakai Halu Pu Sindok Sri Isanawikramadharmottunggadewa, tetapi tidak
lama kemudian ia bergelar Rakai Hino Sri Isanawikramadharmottunggadewa. Permaisurinya
bergelar Rakryan Sri Parameswari Sri Warddhani Pu Kbi atau Dyah Kbi (dalam prasasti
Sejarah Nasional Indonesia II
21 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
Cunggrang dan Geweg), anak dari Rakryan Bawang. Selain itu terdapat juga nama istri Mpu
Sindok yang lain, yaitu Rakryan Binihaji Rakryan Mangibil (dalam prasasti Wulig).
Dari semua prasastinya kebanyakan berisi tentang pemberian anugerah sima bagi
bangunan suci, yang kebanyakan pula atas permintaan pejabat atau masyarakat suatu desa. Yang
atas perintah raja sendiri adalah sima di Linggasuntan dan sima di Anjukladang. Sima di
Linggasuntan diperintahkan oleh raja agar Desa Linggasuntan yang termasuk wilayah Rakryan
hujung ditetapkan sebagai sima dan dipersembahkan kepada batara di Walandit pada setiap
tahunnya. Sementara sima di anjukladang, raja menetapkan bahwa sawah kakatikan di
Anjukladang dipersembahkan kepada batara di sanghyang Kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharma
dari Samgat Anjukladang. Di tempat itu pula dibangun sebuah jayastambha, yaitu tugu
kemenangan.
Dari prasasti-prasastinya jelas disebutkan bahwa Mpu Sindok adalah penganut agama
Hindu. Tetapi pada masa pemerintahannya muncul sebuah karangan agama Buddha Mahayana
yang terkenal, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan, yang di bagian belakang terdapat nama raja,
yaitu Mpu Sindok. Adanya naskah yang menguraikan ajaran agama Buddha Mahayana pada
masa Mpu Sindok tidak perlu dipermasalahkan, karena sejak zaman Kerajaan Mataram kuno,
kedua agama ini tetap berdampingan baik dalam pendirian bangunan suci maupun kerja sama
dalam penetapan tanah sima. Bahkan dari prasasti Pucangan yang berbahasa Sansekerta bait 6
dapat diketahui bahwa putri Mpu Sindok, Sri Isanatunggawijaya, memeluk agama Buddha
Mahayana (sugatapaksasaha).
Gambar (I). Mata Uang Kerajaan Medang Gambar (J). Peta Jombang Ibu Kota Medang
Sejarah Nasional Indonesia II
22 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
F. Struktur Birokrasi & Kondisi Sosial Masyarakat Pada Masa Mpu Sindok
Gambar (K). Ilustrasi Kegiatan Ritual Kerajaan
1. Struktur Birokrasi
Struktur pemerintahan Kerajaan Mataram kuno di Jawa Timur masa pemerintahan Mpu
Sindok, ditinjau dari berbagai prasastinya antara lain: prasasti Kampak (928 M), prasasti
Turyyan (929 M), prasasti Sarangan (929 M), prasasti Gulung-Gulung (929 M), prasasti
Linggasuntan (929 M), prasasti Waharu II (929 M), prasasti Jeru-Jeru (930 M), prasasti Paradah
(930 M), dan prasasti Anjukladang (937 M) tersusun sebagai berikut:
• Sri Maharaja
• Rakai Hino
• Rakai Halu
- Rakai Sirikan
- Rakai Wka
- Samgat Madander
- Samgat Anggehan
Sejarah Nasional Indonesia II
23 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
- Samgat Tiruan
- Rakai Kanuruhan
Pejabat Pemerintahan :
- Rakai Puluwatu
- Rakai Halaran
- Rakai Panggilhyang
- Rakai Dalinan
- Pangkur
- Tawan
- Tirip
- Samgat Pikatan
- Samgat Manghuri
- Samgat Tilimpik
- Samgat Wadihati
- Samgat Makudur
Sisipan:
Dalam struktur pemerintahan masa Mpu sindok hingga Airlangga, pejabat pemerintahan
yang ikut serta dalam penetapan suatu sima tidak selalu pejabat yang sama. Hal tersebut
mungkin disesuaikan dengan tempat (daerah) di mana prasasti ditemukan. Misalnya pejabat A
pada prasasti Anjukladang, belum tentu ikut dalam penetapan prasasti Turyyan. Dalam prasasti
Turyyan justru ada pejabat B, yang tidak disebut dalam prasasti Anjukladang. Sehingga tampak
adanya perbedaan pejabat-pejabat dalam prasasti yang satu dengan prasasti lainnya.
2. Keadaan Sosial Masyarakat
Berdasarkan prasasti-prasasti yang didapatkan kembali pada masa Mpu Sindok hingga
Airlangga, dapat diketahui bgaimana keadaan sosial masyarakat pada waktu itu. Waktu Mpu
Sindok memindahkan istananya di Jawa Timur. Hampir tidak berbeda dengan masyarakat Jawa
kuno pada masa Kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah, pola kehidupan masyarakat
Sejarah Nasional Indonesia II
24 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
tampaknya terbagi menjadi dua, masyarakat kota dan masyarakat desa. Masyarakat kota adalah
mereka-mereka yang hidup di istana atau di sekitar istana raja. Sedangkan masyarakat desa
adalah mereka-mereka yang hidup jauh dari istana. Mereka hidup di satu wilayah yang disebut
wanua, yang diatur oleh para pejabat wanua, yaitu rama. Penduduk desa (disebut anak wanua
pada masa Mpu Sindok, disebut anak thani pada masa Airlangga) hidup dari pola agraris yang
ditunjang oleh bermacam-macam keahlian. Dalam prasasti di sebut nama-nama pekerjaan
mereka seperti petani, pengrajin, dan pedagang, atau sebagai apa saja yang menjadi mata
pencahariannya.
Sederetan nama-nama yang banyak sekali yang menunjukkan keahlian masing-masing,
antara lain puhawang (nahkoda kapal), wulu-wulu (pejabat rendahan), pangurang kring (pendeta
yang minta-minta), manimpiki (seorang pencipta seni), watu tajam (tukang asah senjata), sukun
(dukun penyembuhan atas orang sakit), malandang (pengatur arena judi), tangkil (pembuat
tempat alat musik), palamak (pembuat tikar), pangaruhan (tukang emas), juru gusali (pandai
logam), pabesar (pembuat kain sutra), tuha dagang (kordinator pedagang), manidung
(penyanyi), mabanol (pelawak dengan gerakan), parwuwus (pelawak dengan ucapan), tunggu
durung (penunggu lumbung padi), huluwras (pengurus persediaan beras), hulair (pengurus
pengairan sawah), wereh (kelompok muda-mudi desa). Lain dari itu masih ada orang-orang yang
hidup sebagai buruh atau menjadi pembantu, mereka disebut hulun, dasa atau dasi, dan masih
banyak lagi.
Dari nama-nama keahlian di atas dapat dibayangkan kompleksnya kehidupan pada masa
itu yang memerlukan hubungan internal maupun eksternal. Baik hubungan dengan masyarakat
sedesa (wanua), maupun hubungan antar desa yang mencangkup wilayah watak (daerah).
Interaksi masyarakat tersebut sampai juga ke tingkat yang lebih luas lagi yaitu tingkat karajyan
(negara). Dari prasasti zaman Airlangga, yaitu prasasti Patakan disebutkan para warga kilalan,
yaitu para pedagang para pedagang asing yang tinggal di Kerajaan Airlangga untuk melakukan
perdagangan. Mereka adalah orang Keling (Kalingga), orang Aryya (India Utara), orang
Singhala (Srilangka), orang Pandikira (Pandichery), orang Drawida, orang Campa, orang Remen,
dan orang Khmeer. Tingkat hubungan yang demikian itu memang mustahil dilakukan tanpa
adanya birokrasi yang tertata baik.9
9 Suwardono, Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha (Yogyakarta: Ombak, 2013), Hal. 144-136.
Sejarah Nasional Indonesia II
25 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu:
Wangsa Isana adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang (nama lain
Kerajaan Mataram Kuno) periode Jawa Timur pada abad ke-10 sampai awal abad ke-11. Dinasti
ini didirikan oleh Mpu Sindok/Pu Sindok yang ditafsirkan berdasarkan sumber perasasti antara
lain: prasasti Turyyan (929 M), prasasti Gulung-Gulung (929 M), prasasti Linggasutan (929 M),
prasasti Cunggrang (929 M), prasasti Jeru-Jeru (930 M), prasasti Wulig (935 M), prasasti
Anjukladang (937 M), prasasti Paradah (934 M), prasasti Muncang (944 M), serta masih banyak
lagi hingga sekitar 20 buah prasasti.
Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaannya dari Jawah Tengah ke Jawa Timur karena
beberapa faktor & sebab diantaranya meletusnya Gunung Merapi dan datangnya zaman
Kaliyuga. Mpu Sindok memerintah dengan aman & sejahterah karena didukung oleh penguasa
lokal. Mpu Sindok mendapat dukungan dari penguasa daerah, para pamgat & para rakai.
Masyarakat berbagai profesi, latar belakang & agama berbeda berada dalam penguasaan Mpu
Sindok yang aman dan damai.
B. Saran
Adapun saran dalam makalah ini adalah:
Setelah mengetahui sejarah Mpu Sindok hendaknya kita meniru semangat keadilan dalam
pemerintahannya, juga menjunjung toleransi agama yang tinggi dalam masyarakat agar tercipta
masyarakat yang adil dan makmur.
Sejarah Nasional Indonesia II
26 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
DAFTAR RUJUKAN
Rujukan Buku:
1. Abimanyu, Soedjipto, (2013). Babad Tanah Jawi Terlangkap dan Terasli. Yogyakarta:
Laksana.
2. Pusponegoro, Marwati Djoened, (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Edisi
Pemutahiran. Jakarta: Balai Pustaka.
3. Adji, Krisna Bayu, (2012). Buku Pintar Raja-Raja Jawa Dari Kalingga Hingga
Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Araska Publisher.
4. Soepratiknyo (1997). Handout Geohistori Indonesia. Malang: ________.
5. Poespaningrat, Pranoedjoe, (2008). Kisah Para Leluhur Dan Yang Diluhurkan dari
Mataram Kuno sampai Mataram Baru. Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat.
6. Soekmono (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Yogyakarta: Kanisius.
7. Suwardono (2013). Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha. Yogyakarta: Ombak.
Rujukan Website:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Wangsa_Isyana
Sejarah Nasional Indonesia II
27 Mpu Sindok, Pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur
Rujukan Gambar:
1. Gambar A : http://id.wikipedia.org
2. Gambar B : http://id.wikipedia.org
3. Gambar C : http://4.bp.blogspot.com
4. Gambar D : http://www.wacananusantara.org
5. Gambar E : http://stat.ks.kidsklik.com
6. Gambar F : http://static.ngalam.us
7. Gambar G : http://1.bp.blogspot.com
8. Gambar H : http://www.wacananusantara.org
9. Gambar I : http://id.wikipedia.org
10. Gambar J : http://id.wikipedia.org
11. Gambar K : http://www.wacananusantara.org
Glosarium:
1. Prasasti: piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama.
2. Sima: tanah perdikan (daerah bebas pajak).
3. Pamgat & Rakai: Kepala/Penguasa daerah (zaman Islam disebut Ki Ageng).
4. Pralaya: Kehancuran/Kebinasaan.