repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30182/1/muhdi... · salam...
TRANSCRIPT
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabby, Tuhan Seru
Sekalian Alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan
salam sejahtera semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman, penuntun umat,
pemberi syafa’at, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-
sahabat setianya hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di
Pengadilan Agama (Analisis Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)”, ditulis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan
juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui
tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Bapak Arip Purkon M.A, Ketua
Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
3. Ibu Dr. Hj. Azizah, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis.
4. Bapak Dr. H. Yayan Sofyan, S. H, M. Ag, sebagai dosen pembimbing
akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis
untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Orang Tua saya Bapak Muntadi dan Ibu Sumarni, yang telah memberikan
support kepada saya berupa doa’ serta dukungan moral dan materiil,
dengan segenap kerendahan hati saya, saya mengucapkan beribu-ribu
terima kasih.
6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama
duduk di bangku perkuliahan.
7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk
menggandakan studi perpustakaan.
8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali yang
memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan.
9. Semua kawan-kawan Peradilan Agama 2010, Adib, Ahmadi, Syauqi, Irfan
serta semua kawan-kawan saya yang telah memberikan waktu dan
tenaganya untuk kelancaran skripsi saya ini.
10. Semua kawan-kawan Darunnajah Angkatan 31, IBM Andhika, Reza
Ramadhan, Ibnu Tsani, Akhirul Rasyimi, Sadad Anugrah, Nurul Fachri,
vi
serta semua kawan-kawan yang telah memberikan waktu dan tenaganya
untuk kelancaran skripsi saya ini.
Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan
menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.
Ciputat, 8 Muharram 1437
21 Oktober 2015
Penulis
Muhdi Abdul Aziz
vii
ABSTRAK
Muhdi Abdul Aziz. NIM. 1110044100068. “Penyelesaian Perkara Waris Beda
Agama di Pengadilan Agama Badung (Analisis Penetapan
No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
1437 H./2015 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan
hukum positif tentang waris beda agama dan analisis pertimbangan penetapan
hakim dalam menetapkan perkara penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan
perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.. dan wawancara dengan hakim Pengadilan
Agama Badung Provinsi Bali. Sedangkan sumber data sekundernya adalah
peraturan perundang-undangan waris beda agama. Sedangkan teknik penulisannya
berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam hukum
Islam, Ulama Madzhab (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam
Hambali pada dasarnya tidak membolehkan waris beda agama, akan tetapi ada 2
orang murid Abu Hanifah yang membolehkan pewarisnya seorang murtad seperti
yang akan dibahas dalam skrisi ini. Mereka berpedoman kepada atsar sahabat.
Sedangkan menurut Hukum Positif, Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan juga didalamnya diatur hukum Kewarisan
seperti halnya yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kompilasi Hukum Islam tidak
hanya mengatur Waris bagi sesama umat Islam saja akan tetapi juga waris yang
berbeda agama dalam pasal 171 huruf (c)“Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris”
Dalam penetapan Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali perkara
Nomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Bahwa hakim dengan reinterpretasi/ijtihadnya
berpendapat lain yang berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam dan Ulama
Madzhab akan tetapi mengambil pendapat minoritas yaitu, pendapat dua orang
murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut Hakim, hakim melihat
ada manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh pihak. Karena seorang
hakim harus mentransfer sebanyak mungkin rasa keadilan.
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1980 s.d. 2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk paling sempurna diberikan akal oleh Allah,
Tuhan Yang Maha Kuasa agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Manusia juga
merupakan makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi dengan sesamanya
sehingga terjadilah suatu kelompok masyarakat, suku, bangsa, dan negara.
Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir
manusia dengan Allah penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah
yang tujuannya untuk menjaga hubungan antara Allah dan hamba-Nya yang lazim
disebut dengan hablun min Allah. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya.
Aturan tentang hal ini disebut hukum Muamalat.
Hukum waris Islam di Indonesia didasarkan kepada hukum waris Islam
yaitu Fiqh Mawaris atau cabang ilmu dari ilmu faraidh. Secara terminologis, ilmu
faraidh adalah pengetahuan tentang tata cara menghitung yang terkait dengan
pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.1
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di dalamnya,
yaitu:
1 Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),
hal. 13
2
1) Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.
2) Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris.
3) Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan
pembagian harta waris.2
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berbeda
agama adalah kafir. Adapun orang kafir boleh saja saling mewarisi di antara
mereka sebagaimana realitas yang berlaku. Dalam hal ini tidak ada yang
berpendapat dengan keumuman hadits selain al-Auza’i yang berpendapat “Orang
Yahudi tidak dapat mewarisi orang Nasrani dan sebaliknya”. Demikian juga
untuk seluruh penganut agama. Namun indikasi tekstual hadits ini berpihak
kepada pendapat al-Auza’i.3
Semua orang di luar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antara ahli kitab
dengan non ahli kitab. Oleh karena itu ahli waris yang beragama Kristen, Yahudi,
Hindu dan Budha tidak bisa mewarisi dari orang Islam, begitu juga sebaliknya.
ج عه ابه شها ثنا أبى عاصم عه ابه جر ه عه عمرو به حد به حس ب عه عل
و عل صلى للا عنهما أن النب للا د رض وسلم قال ل عثمان عه أسامة به ز
المسلم الكافر ول الكافر المسلم )رواه البخاري( رث 4
2 Komite Fakultas Syariah, Hukum waris. Hal 3-4
3 Abu Umar Basyir, Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syari‟at Islam , (Solo: Rumah
Dzikir, 2006). hlm. 68
4 M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
784.
3
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu
Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid
radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim
tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang
muslim”
Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia
memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa
jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan mengenai hal tersebut
ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an
terutama pada surah An-Nisa ayat 7,8,11,12, dan 176. Pada dasarnya ketentuan
Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas, maksud arah dan tujuannya.
Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan maupun
merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah SAW melalui haditsnya. Aturan
tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi
pedoman bagi umat Muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang
kewarisan.5
Permasalahan mengenai kewarisan Islam di Indonesia di atur dalam Buku
II Kompilasi Hukum Islam yang cakupannya berupa: Ketentuan Umum, Ahli
Waris, Besarnya Bahagian, Aul dan Rad, Wasiat, dan Hibah. Waris mewaris yang
disebabkan karena hubungan pernikahan biasanya menimbulkan berbagai macam
masalah, salah satunya ialah masalah waris dari suatu perkawinan beda agama,
5 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaruan
Hukum Hukum di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 2.
4
mengingat banyaknya agama yang ada di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri
bahwa bisa saja terjadi suatu perkawinan antara dua orang yang memiliki
keyakinan berbeda.
Dalam perkawinan beda agama, apabila seorang istri atau suami
meninggal dunia maka hukum yang digunakan dalam pengaturan pewarisannya
adalah hukum dari si pewaris (yang meninggal dunia). Hal ini dikuatkan dengan
adanya Yurisprudensi MARI No.172/K/Sip/1974 yang menyatakan “Bahwa
dalam sebuah sengketa waris, hukum waris yang dipakai adalah hukum si
pewaris”.
Ketentuan tentang waris beda agama juga diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam dalam Pasal 171 ayat b dan c yaitu:
a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 ayat
b)
b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
(pasal 171 ayat c).6
Pengadilan Agama Badung adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam memutuskan
perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan
hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai
kepentingan dari berbagai pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Termasuk
6 Kompilasi Hukum Islam Ketentuan Umum waris pasal 171.
5
perkara waris yang berbeda agama. Namun demikian, dalam perkara ini
Pengadilan Agama Badung telah memutuskan waris berbeda agama antara
pewaris dan ahli waris adalah diperbolehkan.
Penyusun memilih mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Badung
karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara waris
berbeda agama. Terlepas dari beberapa kaidah normatif yang mengatakan bahwa
waris berbeda agama adalah tidak diperbolehkan.
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam skripsi ini adalah
bagaimana penyelesaian perkara waris beda agama dalam sistem hukum di
Indonesia. Dalam hal ini sang anak yang beragama Islam mendapatkan harta
warisan dari ibunya yang beragama Hindu yang terjadi di Badung Provinsi dan
sang anak yang beragama Islam tersebut mengajukan perkaranya di Pengadilan
Agama Badung.
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk
mengangkat sebuah judul “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di
Pengadilan Agama: (Studi Putusan No.: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)”.
B. Identifikasi Masalah
Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dengan
berbagai macam suku dan agama. Secara resmi Indonesia hanya mengakui enam
agama, yakni: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu tetapi
mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, dengan demikian maka secara
otomatis hukum yang berlaku di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh
6
Hukum Islam. Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia, baik
untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun di akhirat kelak.
Hubungan dan interaksi sosial antara manusia tersebut salah satunya dapat
terwujud melalui suatu perkawinan. Keluarga mempunyai peranan penting dalam
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan masyarakat kecil yang
terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.7
Perkawinan merupakan salah satu sebab timbulnya hubungan waris
mewarisi. Hubungan ini lahir ketika ada salah satu pihak yang meninggal dunia.
Orang yang meninggal dunia ini biasanya meninggalkan harta, baik berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak dan kewajibannya. Harta
tersebut dikenal dengan istilah harta warisan.
Di Indonesia perkawinan tidak hanya dilakukan dengan orang yang
seagama tapi tidak menutup kemungkinan perkawinan terjadi dengan orang yang
berbeda agama. Perkawinan antara orang yang berbeda agama menurut hukum di
Indonesia adalah dilarang. Akan tetapi, sering terjadi penyelundupan hukum, yang
mengakibatkan terjadinya perkawinan beda agama. Sehingga ketika salah satu
pihak meninggal dunia ataupun terjadi perceraian menimbulkan masalah hukum
baru, yaitu kewarisan berbeda agama.
Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris adalah pembahasan tentang
penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak menerima
7 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1992), hal. 7
7
warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan
budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah perbedaan agama
antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk
mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain, penghalang-penghalang untuk
mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak
seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk
mewarisi.8
Perbedaan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila
pewaris dan ahli waris salah satunya beragama Islam dan yang lain bukan Islam.
Perbedaan agama sebagai penghalang kewarisan diperhitungkan pada saat
muwaris meninggal, karena pada saat itulah hak kewarisan untuk ahli waris mulai
berlaku.
Jumhur ulama bersepakat menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat
mewarisi seorang Muslim lantaran lebih rendah statusnya dari pada orang Islam.9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan masalah
Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah
yang diambil oleh penulis, maka penulis mebatasi masalah terkait
penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Badung yang
menyatakan bahwa Pengadilan Agama Badung mengabulkan permohonan
8 Ahmad Azhar Bazhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta, Universitas
Islam Indonesia, 1990), hlm. 16
9 Al-Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi
Mu‟asirah, Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 850.
8
untuk perkara waris beda agama. Hambatan hak mewaris anak yang lahir
dari perkawinan beda agama adalah belum adanya unifikasi yang
mengatur tentang waris karena dalam kenyataannya masih terdapat
pluralisme hukum waris, sehingga dalam menyelesaikan masalah hak
waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama masing-masing pihak
tunduk pada hukum yang berbeda yaitu berdasarkan hukum agama atau
adat.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, rumusan masalah dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana hukum kewarisan beda agama dalam perspektif ulama
madzhab?
b. Bagaimana hukum kewarisan beda agama menurut hukum positif
yang berlaku di Indonesia?
c. Apakah perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg terhadap waris beda
agama sesuai dengan Hukum Waris Islam dan Hukum Positif?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui hukum kewarisan beda agama dalam perspektif
ulama madzhab.
b. Untuk mengetahui hukum kewarisan beda agama menurut hukum
positif yang berlaku di Indonesia.
9
c. Untuk mengetahui perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg terhadap waris
beda agama telah sesuai dengan Hukum Waris Islam dan Hukum
Positif.
2. Manfaat penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama
pembahasan hukum mengenai waris beda agama.
b. Agar masyarakat mengetahui pengaturan hak waris beda agama serta
akibat hukum yang berlaku di Indonesia.
E. Studi Pustaka Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada
kaitannya dengan penelitian yang dilakukan penulis sebelumnya.
No Nama Penulis dan Judul Substansi Pembeda
1. Yatmi Wulansari,
Peradilan Agama tahun
2009 Penolakan ahli
waris menurut Hukum
Islam dan KUHP
Dalam Skripsi ini
membahas tentang
takharuj atau
mengundurkan diri
menjadi ahli waris,
takharuj dapat terjadi
karena beberapa hal
pertama, karena
keridhoan diri sendiri
Perbedaan dengan
skripsi penulis adalah
skripsi ini membahas
tentang hak penolakan
ahli waris untuk
mendapatkan harta
waris dari si pewaris
yaitu hak untuk
menolak menjadi ahli
10
dan tanpa turut campur
dari pihak lain. Kedua,
mengundurkan diri
karena mendapatkan
jabatan yang diberikan
dari pihak lain (suap).
Sebenarnya walaupun
ahli waris
mengundurkan diri
sedangkan pewaris
masih meninggalkan
hutang, maka ahli waris
wajib melunasi hutang
pewaris terlebih dahulu.
Namun yang demikian
harus ada kesepakatan
dari pihak lain.
waris sedangkan
skripsi yang diangkat
penulis tentang
penyelesaian perkara
harta waris yang
berbeda agama
persamaannya adalah
masih berhubungan
dengan perkara waris.
2. Istiarini Cahyaningsih,
106044101408,
Konsentrasi Perbandingan
Madzhab Fiqih Program
Studi Perbandingan
Skripsi ini Menganalisa
tentang pertimbangan
hukum hakim dalam
memutuskan perkara
No. 318/Pdt.
Penulis tidak
menemukan bahasan
maupun penelitian
yang menjadi
pembahasan pada
11
Madzhab Hukum, Analisa
Putusan Pengadilan
Agama Depok Tentang
Ahli Waris Beda Agama
dan Perkara yang Diputus
Secara Ultra Petita
Perkara No. 318/Pdt.
G/2006/Pa.Dpk).
G/2006/Pa.Dpk tentang
perkara gugat waris
yang diputus secara
ultra petita (pengadilan
tidak dibenarkan
memutuskan para
penggugat melebihi apa
yang diminta didalam
surat gugatannnya) dan
penetapan ahli waris
beda agama serta
hukum syara terhadap
ahli waris beda agama
dan murtad. Dalam
skripsi ini penulis
menitik beratkan kepada
waris beda agama yang
diputus secara ultra
petita.
skripsi ini, yaitu
tentang waris beda
agama yang diputus di
pengadian agama.
Penulis lebih terfokus
kepada penelitian waris
beda agama yang
diputus secara ultra
petita (pengadilan
tidak dibenarkan
memutuskan para
penggugat melebihi
apa yang diminta
didalam surat
gugatannnya) bukan
pada waris beda agama
yang diputus di
pengadian agama.
12
F. Kerangka Teori
1. Terdapat bermacam-macam pengertian Hukum Waris, antara lain adalah:
a. Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia.10
b. Kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan,
karena wafatnya seseorang: yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya, dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka,
maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.11
2. Ada 2 (dua) macam pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu:12
a. Pewarisan menurut Undang-Undang atau karena kematian atau Ab
Intestato atau tanpa wasiat.
b. Pewarisan dengan surat warisan atau testamentair.
3. Syarat dan rukun kewarisan:13
a. Harus ada muwarris (pewaris) yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta peninggalan (warisan) merupakan condittio sine
quanon (syarat mutlak/syarat yang harus ada).
10
Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Hal. 25
11
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang, 2008), Hal. 2
12
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang, 2008), Hal. 6
13
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Cet. I, hal. 38
13
b. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
c. Harus ada warits (ahli waris).
4. Penghalang Kewarisan
Ada bermacam-macam penghalang seseorang menerima warisan
antara lain :
1. Karena Perbudakan.
2. Karena Pembunuhan.
3. Karena berlainan agama.
4. Karena murtad.
Selama ini, perbedaan agama dipandang sebagai salah satu
faktor yang menghambat seseorang mendapatkan waris dari orang
tuanya. Tetapi pandangan itu tampaknya mulai ditinggalkan.
Pengadilan telah membuat putusan progresif. Masyarakat Indonesia
yang majemuk berpengaruh pada pola pembentukan keluarga.
Seringkali ditemukan dalam satu keluarga, sesama saudara kandung
memeluk agama yang berbeda. Mereka hidup rukun tanpa terusik oleh
perbedaan keyakinan itu. Namun dalam praktik, kerukunan itu sering
terganggu oleh masalah pembagian harta warisan. Perbedaan agama
telah menjadi penghalang. Menurut ajaran Islam, salah satu hijab
(penghalang) hak waris adalah perbedaan agama. Seorang anak yang
menganut agama lain di luar agama orang tuanya yang Muslim dengan
sendirinya terhalang untuk mendapatkan waris.14
14
G. Metode Penelitian
Dalam upaya medapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan
skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Adapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka.15
Penelitian Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan
sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi
acuan perilaku setiap orang.16
Jenis penelitian ini digunakan dengan
pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah analisis terhadap
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hierarki
peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang berhubungan
dengan waris beda agama.
2. Teknik Pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,
penulis melakukan pengumpulan data berupa data primer dan data
sekunder.
14
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Cet. I, hal. 38- 40
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 19
16
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hal.
15
a. Data Primer, penulis dapatkan dari hasil wawancara langsung hakim,
petugas atau pegawai Pengadilan Agama Badung.
b. Data Sekunder, penulis dapatkan dari dari buku-buku, artikel atau
tulisan serta putusan perkara waris beda agama di Pengadilan Agama
Badung.
3. Teknik Analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi
putusan tentang perkara waris beda agama di Pengadilan Agama Badung
pada tahun 2013, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif,
logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki
penulis dalam penulisan proposal skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok
pembahasan sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Pada bab ini memuat beberapa sub-bab, diantaranya adalah: latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi pustaka terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II : Waris Beda Agama Menurut Ulama
Pada bab ini mengurai tentang landasan teoritis mengenai waris yang
menyangkut tentang: pengertian waris, waris beda agama menurut Islam,
16
waris beda agama menurut ulama madzhab fiqh : Madzhab Hanafi, Madzhab
Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hambali, serta menurut Yusuf Qardhawi.
Bab III : Waris Beda Agama di Indonesia
Pada bab ini mengurai tentang: waris beda agama menurut KHI, waris
menurut KUHP, dan waris menurut Hukum Adat.
Bab IV : Penetapan Pengadilan Agama Badung No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg
dan Analisis Penulis
Pada bab ini penulis menjelaskan tentang analisis penetapan
No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg menurut hakim, pejabat pengadilan yang berwenang
serta analisis penulis.
Bab V : Penutup
Pada bab ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab terdahulu
yang mana didalamnya juga dikemukakan saran-saran sebagai jalan pemikiran
penulis dalam rangka membantu mengemukakan jalan keluar dari
permasalahan yang ditemukan dalam penulisan skripsi ini.
17
BAB II
WARIS BEDA AGAMA MENURUT ULAMA
A. Kewarisan menurut Ulama 4 Madzhab
Pengertian hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan
seseorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Bagaimana kedudukan
masing-masing ahli waris serta bagaimana/berapa perolehan masing-masing ahli
waris secara adil dan sempurna.1
Waris di dalam Al-quran terdapat dalam surat An-nisa: 11
ندكى,نهر كس يثم كى هللا فى ا ص ...., ث (١١ساء:)انحظ ال
Artinya : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan anak
perempuan…”(Q.S. An-Nisaa‟: 11)
1. Rukun Kewarisan
Warisan mempunyai 3 rukun yaitu:
a. Orang yang mewariskan (muwarrits), yakni orang mati yang
meninggalkan harta waris atau hak.
b. Orang yang mewarisi (warits), yakni orang yang berhak mendapatkan
warisan.
1 Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan Ajaran
Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta:
Ind Hill-CO, 1987), hal. 49
18
c. Yang diwarisi (al-Mauruts), yakni peninggalan/harta peninggalan. Al-
mauruts dinamakan juga miraats dan irts, yaitu harta yang
ditinggalkan oleh orang yang mewariskan atau hak-hak yang mungkin
diwariskan.2
2. Syarat-syarat kewarisan :
a. Harus ada Muwarrits (pewaris) yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta peninggalan (warisan) merupakan conditio sine
quo-non (baru ada masalah kewarisan apabila ada seseorang yang
meninggal dunia). Bilamana tidak ada yang meninggal dunia maka
belum disebut masalah kewarisan.
b. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.
Yang mati (meninggal) itu dapat bermacam-macam pula
bentuknya, antara lain:
1) Mati haqiqi (mati sejati), ialah hilangnya nyawa seseorang dari
jasadnya, yang dapat dibuktikan oleh panca indra atau pembuktian
menurut ilmu kedokteran.
2) Mati hukmi (mati yang dinyatakan menurut keputusan
hakim/pengadilan). Pada hakikatnya orang itu masih hidup, atau
dua kemungkinan antara hidup dan mati menurut hukum dianggap
telah mati.
2 Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan Ajaran
Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta:
Ind Hill-CO, 1987), hal. 50-51.
19
3) Mati takdiri ialah kematian bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi
pemerkosaan, misalnya:
a) Kematian seorang bayi akibat pemukulan terhadap perut ibunya
b) Atau pemaksaan ibunya meminum racun, dan tidak langsung
terhadap bayi yang mati.3
3. Adapun sebab-sebab warisan yang disepakati ada tiga yakni :
a. Kekerabatan atau nasab hakiki, Hanafiyyah menyebutkan ar-Rahim,
yang dimaksudkan adalah kekerabatan hakiki. Yakni, setiap hubungan
yang penyebabnya adalah kelahiran. Ini mencakup (keturunan) si
mayit dan asal-usulnya juga anak dari asal-usul si mayyit.
b. Hubungan suami istri atau nikah yang sah, yang dimaksudkan adalah
akad yang sah, baik disertai menggauli istri atau tidak. Ini mencakup
suami dan istri.
c. Wala‟ adalah kekerabatan secara hukum yang dibentuk oleh syar’i
karena memerdekakan budak.
d. Syafi’iyyah dan Malikiyah menambahkan sebab keempat yaitu
representasi Islam. Representasi Islam (Muslim) mendapatkan warisan
seperti nasab. Peninggalan orang Muslim atau sisa peninggalan
diberikan kepada Baitul Mal sebagai warisan kepada orang-orang
3 Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan Ajaran
Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta:
Ind Hill-CO, 1987), hal. 51-52
20
Muslim dalam bentuk ashabah, bukan karena kemaslahatan, jika tidak
ada mewarisi karena tiga sebab di atas.4
4. Penghalang-penghalang warisan (mawaani‟ al-Irts)
Sebab-sebab adanya hak kewarisan yaitu adanya hubungan
kekerabatan dan hubungan perkawinan. Tetapi, adanya hubungan
kewarisan itu belum menjamin secara pasti hak kewarisan.
Kata al-Mawani‟ beberapa penghalang adalah bentuk jamak dari
Mani‟ Menurut Bahasa Mani‟ berarti penghalang diantara dua hal
(menghalangi). Sedangkan menurut istilah, Mani‟ berarti sesuatu yang
mengharuskan ketiadaan sesuatu yang lain. Tentu saja ketiadaan sesuatu
yang lain itu, tidak serta merta bermakna secara substansial. Kata yang
mempunyai kesamaan arti dengan penghalang adalah kata halangan, yaitu
menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana (maksud) atau
terhentinya pekerjaan.5
Para fuqaha menyepakati tiga penghalang warisan yakni budak,
membunuh, perbedaan agama. Hanafiyyah menyebutkan empat
penghalang warisan yakni budak, membunuh, perbedaan agama dan
perbedaan negara. Dua penyebab yang pertama menghalangi
penyandangnya dari mewarisi yang lain dan dua penyebab terakhir
menghalangi waris mewarisi 2 arah.
4 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani,
2011), Hal. 346-348.
5 A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis
Queen, 2009), hal. 70
21
1. Pengahalang Pertama : Budak
Budak menurut bahasa berarti pengabdian, sedangkan menurut
istilah adalah ketidakmapuan secara hukum yang menetap pada diri
manusia. Penyebabnya pada asalnya adalah kafir. Kafir adalah
penghalang warisan secara mutlak, baik status budak itu utuh atau
tidak menurut pendapat Hanafiyyah dan Malikiyyah. Oleh karena itu,
antara orang yang merdeka dan budak tidak bisa saling mewarisi.
2. Penghalang kedua : Membunuh
Fuqaha bersepakat bahwa membunuh adalah penghalang
warisan. Sebab, dia mempercepat warisan sebelum waktunya dengan
perbuatan yang dilarang oleh karena itu, dia di hukum karena
melanggar apa yang dimaksudkan, supaya dia takut dengan apa yang
dilakukannya.6
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai macam-
macam pembunuhan yang menghalangi warisan :
Pendapat Hanafiyyah : adalah pembunuhan yang haram. Yakni
pembunuhan yang terkait dengan kewajiban qishas dan kafarat.
Mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena
salah juga yang semacam pembunuhan salah.
Pendapat Malikiyyah : adalah pembunuhan sengaja karena
amarah, baik langsung maupun karena sebab tertentu. Mencakup orang
yang memerintah, orang yang menganjurkan, orang yang memberi
6 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani,
2011), Hal. 354.
22
fasilitas, orang yang bersama-sama membunuh, orang yang menaruh
racun dalam makanan dan minuman, orang yang mengintai tempat saat
terjadi pembunuhan, saksi palsu dan orang yang memaksa dengan
sungguh-sungguh untuk orang yang terjaga darahnya.
Adapun pembunuhan karena salah tidak menghalangi warisan
harta namun menghalangi warisan diyat.
Pendapat Syafi‟iyyah : orang yang membunuh tidak mewarisi
orang yang dibunuh secara mutlak, baik langsung ataupun karena
sebab, terpaksa ataupun tidak, hak atau tidak, orang yang mukallaf
atau bukan mukallaf. Ini adalah pendapat yang paling luas.
Pendapat Hanabilah bahwa pembunuhan yang menghalangi
warisan adalah pembunuhan karena tidak hak. Yaitu, pembunuhan,
yang dijamin dengan qishash, diyat atau kafarat. Oleh karena, itu hal
ini mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan
karena salah.
3. Penghalang Ketiga : Perbedaan Agama
Berlainan Agama adalah berbeda agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang diwarisi dengan orang yang
mewariskan.7 Perbedaan agama antara Muwarrits dan orang yang
mewarisi karena Islam dan lainnya menghalangi warisan sebagaimana
kesepakatan ulama madzhab empat. Semua ulama mengkelompokkan
orang selain muslim adalah kafir. Orang kafir disini adalah pemeluk
7 Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 74
23
selain beragama Islam, baik beragama samawi atau beragama ardhi
atau tidak beragama sekalipun (atheis). Bahwa mereka adalah orang-
orang yang menentang Nabi Muhammad SAW.8
Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir
tidak bisa mewarisi orang muslim, baik disebabkan kekerabatan atau
hubungan suami istri karena sabda Nabi Muhammad SAW:
حس ب عه شاب ع اب ج ع جس اب ثا أب عاصى ع حد
ع ا عث س ب ع ع انب ا أ ع هللا د زض ش أسايت ب
سهى )زا ل انكافس ان سهى انكافس سهى قال ل سث ان عه صهى هللا
انبخازي(9
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali
Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah
bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam
bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang
kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
Petunjuk yang pasti dalam Al-qur’an tentang hak kewarisan
antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan
perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim
ahli kitab ada dijelaskan dalam Al-Qur’an. Mengingat bahwa antara
8 Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al Faraidh: Deskripsi Hukum
Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 40
9 M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
784.
24
hak kewarisan dengan hak perkawianan dekat hubungannya, maka
dalam menghadapi hadits Nabi yang melarang hak kewarisan muslim
dari non-Muslim terdapat perbedan pendapat dikalangan ulama.10
Nabi SAW sendiri telah mempaktikkan pembagian warisan,
dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang saling waris
mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Tholib orang yang cukup berjasa
dalam perjuangan Nabi SAW meninggal sebelum masuk Islam, oleh
nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang
masih kafir, yaitu Uqail dan Thalib. Sementara anaknya yang telah
masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, oleh beliau tidak diberi bagian
waris.11
ثني عن مالك عن اتن شهاب عن علي تن حسين تن علي تن أتي طالة أنو و حد
قيل وطالة ولم يزثو علي قال فلذلك تزكنا نصيثنا أخثزه إنما ورث أتا طالة ع
عة )رواه المالك( من الش١2
Artinya : “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab
dari Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib bahwa ia
mengabarkan kepadanya, bahwa 'Aqil dan Thalib telah mewarisi
harta dari Abu Thalib, sedang Ali tidak mewarisi hartanya. Ali
10
Fathur Rachman, Ilmu Waris,(Bandung: Al-Maarif,1975), hal. 97
11
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 108
12
M. Ridwan Syarif Abdullah, Al-Muwaththa Imam Malik (Jakarta : Pustaka Azzam,
2005), 434
25
bin Husain berkata; "Maka dari itu, kami tidak mengambil
bagian kami berupa tanah yang ada di lembah”.
4. Adapun warisan dari orang murtad, ada perbedaan pendapat:
a. Abu Hanifah mengatakan, ahli waris muslim mewarisi laki-laki
murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun
yang diperoleh saat murtad maka menjadi fa‟i Baitul Mal (harta
yang disimpan oleh kaum muslimin). Perempuan murtad semua
peninggalannya untuk ahli waris yang muslim.
b. Dua murid Abu Hanifah tidak membedakan antara laki-laki murtad
dan perempuan murtad. Keduanya mengatakan bahwa semua
peninggalannya pada saat Islam dan murtad menjadi hak ahli waris
mereka yang muslim.
c. Mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah)
mengatakan bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak di
warisi sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi fa‟i (rampasan)
untuk Baitul mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam atau
pada saat murtad. Sebab, dengan kemurtadannya dia menjadi
musuh umat Islam. Status hartanya seperti harta kafir harbi. Ini jika
dia meninggal dalam keadaan murtad, kalau tidak maka hartanya
diwakafkan. Oleh karena itu, jika dia kembali kepada Islam maka
harta itu menjadi miliknya.13
13
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani,
2011), Hal. 354-360.
26
Adapun jika salah seorang suami murtad sebelum
persetubuhan maka nikahnya menjadi batal seketika. Jika
murtadnya setelah persetubuhan maka ada dua riwayat :
1. Dipercepat perpisahan keduanya.
2. Menunggu sampai selesai iddah.
Adapun kafir zindiq, adalah orang yang menunjukkan
keislaman sementara dia menyembunyikan kekafiran. Hukum
zindiq menurut mayoritas ulama selain Malikiyyah adalah seperti
orang murtad. Malikiyah mengatakan bahwa kafir zindiq diwarisi
berbeda dengan orang murtad, Para ahli warisnya yang muslim
juga mewarisinya, jika dia menunjukkan keislamannya.14
Kesimpulannya, murtad secara umum menghalangi
pewarisan. Sebagian ulama menghitungnya sebagai penghalang
khusus berbeda dengan perbedaan agama. Sebab, murtad
mempunyai hukum khusus. Orang murtad tidak mewarisi siapa
pun selain orang murtad secara mutlak, juga tidak diwarisi menurut
pendapat mayoritas ulama selain Hanafiyyah. Sedang menurut dua
orang muridnya Abu Hanifah, bisa diwarisi secara mutlak.
Hartanya yang diperoleh pada waktu Islam sajalah yang diwarisi
menurut Abu Hanifah.
B. Kewarisan Menurut Yusuf Qardhawi
14 Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani,
2011), Hal. 360.
27
Seorang ulama kontemporer bernama Yusuf al-Qaraḍawi menjelaskan
dalam bukunya Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah bahwa orang Islam dapat
mewarisi dari orang non-Islam sedangkan orang non-Islam itu sendiri tidak boleh
mewarisi dari orang Islam. Menurutnya Islam tidak menghalangi dan tidak
menolak jalan kebaikan yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Terlebih lagi
dengan harta peninggalan atau warisan yang dapat membantu untuk
mentauhidkan Allah, taat kepada-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya.
Bahkan sebenarnya harta ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan
untuk bermaksiat kepada-Nya.15
Hal ini, didasarkan kepada surat Al-Maidah Ayat 5:
و باث نكى أحم ان طعاو انط طعايكى نكى حم انكتاب أتا انر نى حم
حصاث ان ؤياث ي حصاث ان ان ي انكتاب أتا انر إذا قبهكى ي
ت آت أجز س يحص غ ل يسافح يتخري أخدا ي كفس ا باإل
ه حبط فقد ع اخسة ف ي (٥: آىدة)ان انخاسس
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi
mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang
menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman
dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas
kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa yang kafir
setelah beriman maka sungguh, sia-sia amalan mereka dan di hari
kiamat dia termasuk orang-orang yang rugi. (Q. S. Al-Maidah: 5)
15
Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah,
Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 850.
28
Pada ayat di atas memperbolehkan menikahi wanita ahli kitab yang pada
hakikatnya non muslim, yang nantinya ketika sang ahli kitab tersebut meninggal
menimbulkan hukum baru yaitu kewarisan, pada hal ini kewarisan beda agama.
Dengan perkataan lain kalau seorang laki-laki Muslim boleh mengawini
perempuan non-Muslim yang Ahli al-kitab, maka seorang Muslim dapat menjadi
ahli waris dari seorang pewaris yang non-Muslim yang Ahli al-kitab.
Istinbat hukum yang ditempuh oleh Yusuf al-Qaradawi dalam masalah
waris beda agama adalah menafsiri hadits tentang larangan waris beda agama
dengan menggunakan hasil ta’wil-an dari ulama mazhab Hanafi terhadap hadits
tentang tidak dibunuhnya orang Islam disebabkan membunuh orang kafir harbi.
Dimana, lafaz kafir pada ḥadis larangan waris beda agama adalah masih bersifat
umum, sehingga perlu adanya pentakhsisan, yaitu diartikan dengan kafir harbi.
Selain itu, Yusuf Qaraḍawi memandang akan adanya kemaslahatan yang besar
ketika orang Islam bisa mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang kafir
zimmi, di antaranya dapat menarik hati orang-orang kafir zimmi untuk masuk
Islam. Dimana yang dimaksud kafir disini adalah kafir harbi, jadi seorang muslim
tidak mewarisi kafir harbi (kaum yang memerangi umat Islam secara nyata)
disebabkan terputusnya hubungan mereka.16
16
Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah,
Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 856-860.
30
BAB III
WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA
A. Hukum Waris Beda Agama menurut KHI
Dalam KHI, hukum kewarisan terdapat dalam Buku II yang terdiri dari 6
Bab dan 44 Pasal (dari pasal 171- 214) dengan rincian Bab I tentang Ketentuam
Umum, Bab II tentang Ahli Waris, Bab III tentang Besarnya Bahagian, Bab IV
tentang Aul dan Rad, Bab V tentang Wasiat, dan Bab VI tentang Hibah.1
Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak
ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI
dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam
pasal 171 ayat (c), “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan
persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum.
Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam
Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal
172 yakni, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu
Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
1 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011), hal. 98.
31
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya”
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum
kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada garis-
garis hukum faraid. Warna alam pikiran asas qath’i masih agak dominan dalam
perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash
yang terdapat dalam al-Qur’an.
Buku II tentang hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam hanyalah penjelasan yang berupa pokok-pokoknya saja. Ini disebabkan
karena garis-garis hukum yang dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam
hanyalah sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum
perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Adapun untuk pengembangannya
diserahkan kepada para hakim dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dalam
kehidupan masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
Dengan demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada peraturan
secara khusus tentang kewarisan beda agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
hanya saja menjelaskan secara garis besar tentang kewarisan. Penjelasan tentang
kewarisan beda agama sudah tercakup dalam pasal 171 ayat (c), yaitu bahwasanya
perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi dan agama Islam merupakan syarat
utama dalam memperoleh warisan.2
2 Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011, hal. 99-101.
32
B. Waris menurut KUHP
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) yang berlaku di Indonesia
adalah berasal dari BURGELIJK WETBOEK yang terdiri dari 4 buku, yakni :
1. Buku kesatu tentang orang,
2. Buku kedua tentang kebendaan,
3. Buku ketiga tentang perikatan, dan
4. Buku keempat tentang pembuktian dan daluarsa.3
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) mengandung
lima (5) asas sebagai berikut :
1. Asas Hak Eigendon (hak milik) yang bersifat individualistis tetapi
berdasarkan undang-undang Pokok Agraria. Undang-undang No. 5
Tahun 1960 dalam pasal 6 dikatakan bahwa hak milik adalah
mempunyai fungsi sosial,
2. Asas kebebasan berkontrak (sesuai dengan pasal 1320 jo. Pasal 1338
KUH. Per,
3. Asas Netral dan tidak memihak,
4. Asas dalam lapangan Hukum Kekeluargaan yang bertindak dari wanita
yang sudah bersuami, Suami dan istri mempunyai hak yang sama
diatur dalam pasal 31 UU no. 1 Tahun 1974.
5. Asas Perkawinan Monogami (sesuai undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan,4
3 Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),
Hal. 11
33
Adapun waris menurut KUHP diatur dalam buku kedua yang pertama-
tama disebut dalam pasal 830 yakni: “Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian”. Jelasnya menurut pasal ini rumusan/definisi hukum waris, mencakup
masalah yang begitu luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat
tersebut ialah bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan
kewajibannya berpindah kepada ahli warisnya.5
Pada dasarnya pewarisan merupakan proses berpindahnya harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan
tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat terlaksana apabila unsur-unsurnya
tidak lengkap. Menurut hukum perdata barat terdapat 3 unsur warisan, yakni:
1. Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut: Erflater,
2. Harta warisan, disebut: Erfenis,
3. Ahli Waris, disebut: Erfgenaam.6
Asas Pewarisan dalam Hukum Perdata (BW) ialah asas kematian artinya
pewarisan hanya karena kematian (pasal 830 KUH.Per), akan tetapi hukum
perdata masih memiliki asas lain yaitu :
1. Asas Individual
4 Ramulyo Idris, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat”
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 26
5 Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),
Hal. 11
6 Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),
Hal. 15
34
Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli waris
adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan
bukan kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat
dalam pasal 852 jo. 852a yang menentukan bahwa yang berhak
menerima warisan adalah suami dan istri yang hidup terlama, anak
beserta keturunannya.
2. Asas Bilateral
Asas Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari
bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara laki-
laki mewarisi dari saudara laki-lakinya, maupun saudara
perempuannya, asas bilateral ini dapat dilihat dari pasal 850,853,856
yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau istri
hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari si meninggal
diwarisi oleh Ibu dan Bapak serta saudara laki-laki maupun sudara
perempuan.7
3. Asas Perderajatan
Asas Perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan si
pewaris menutup ahli waris yang jauh derajatnya.
Dalam KUHP ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya tidak
patut (onwaardig) menerima warisan. Menurut pasal 838, karena putusan hakim
telah :
7 Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat, (Tanjung karang: Alumni/1983/Bandung ,
1983), hal. 14.
35
1. Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si yang
meninggal,
2. Telah memfitnah atau mengajukan pengaduan yang diancam dengan
hukuman penjara lima tahun atau lebih berat,
3. Dengan kekerasan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat
atau mencabut surat gugatan atau menghalang-halangi si meninggal,
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat
wasiat si yang meninggal.8
Dalam KUHP perbedaan agama tidak menjadi suatu alasan seseorang
tidak mendapatkan warisan karena selama masih mempunyai nasab dengan
pewaris/keturunan, meskipun berbeda agama masih mempunyai hak waris
tersebut.
C. Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah sebagian dari ilmu pengetahuan tentang hukum
adat yang berhubungan dengan kekeluargaan dan kebendaan. Sebagai ilmu
pengetahuan ia memerlukan penguraian yang sistematis, yang tersusun bertautan
antara satu dan yang lainnya.9
Prof. Soepomo merumuskan, hukum waris adat adalah hukum waris yang
memuat peraturan-peraturan adat yang mengatur proses meneruskan serta
8 Ramulyo Idris, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat”
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 32
9 Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat, (Tanjung karang: Alumni/1983/Bandung ,
1983), hal. 14.
36
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari
angkatan manusia kepada keturunannya.10
Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa "warisan
menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian
disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak
terbagi-bagi".11
Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan
yang berbeda-beda, mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula.
Secara teoritis garis keturunan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga
sistem kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu sebagai berikut :
a. Sistem Kekeluargaan Patrilineal
Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan
menurut garis bapak, dimana menurut sistem ini kedudukan laki-laki
lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan perempuan terutama
dalam hal pewarisan. Contohnya : Masyarakat Batak, Bali, Nias,
Sumba, dan lain-lain.
b. Sistem Kekeluargaan Matrilineal
Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan
menurut garis ibu, dimana menurut sistem ini kedudukan perempuan
lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan laki-laki dalam hal
pewarisan. Contoh : Masyarakat Minangkabau
10 Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 45
11
Athoilah, Fikih Waris, Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya,
2013), hlm. 2
37
c. Sistem kekeluargaan Parental atau Bilateral
Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan
berdasarkan garis bapak dan ibu, di mana menurut sistem ini
kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pewarisan adalah
seimbang atau sama. Contoh : Masyarakat Jawa, Sunda, Aceh,
Kalimantan, dan lain-lain.12
Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria
dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki. Hal ini berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung pada tanggal 3 Desember 1958 No. 200 K/Sip/1958. Menurut
hukum adat Bali dalam membagi harta peninggalan itu lebih mengutamakan anak
laki-laki, dalam agama Islam juga bagian laki-laki lebih besar daripada bagian
perempuan yakni 2:1. Di Bali anak laki-laki yang tertua sering diwarisi harta
warisan, tetapi dengan kewajiban wajib menghidupi adik-adiknya sampai mereka
pada menikah.13
Namun dengan perkembangan zaman yang pesat dan banyaknya
masyarakat yang menuntut ilmu di pesantren sedikit demi sedikit mulailah ajaran-
ajaran Islam mulai berkembang contohnya dalam praktek pembagian warisan,
mulai ada pergeseran dari mulai harta peninggalan yang seutuhnya di berikan
kepada anak laki-laki mulai bergeser dengan adanya tata cara sistem kewarisan
Islam yang membagi semua harta peninggalan dengan cara seadil-adilnya.
12 Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 35-36.
13
Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. ( Jakarta: PT. Rineka Cipta),
2006, hal. 97
38
Walaupun terdapat banyak juga yang dalam pembagian harta waris tetap
menggunakan pembagian waris adat patrilinial.14
Berikut ini yang menjadi dasar-dasar pembagian hukum adat:
1. Adanya persamaan hak para ahli waris.
2. Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
3. Pembagian warisan dapat ditunda ataupun dibagikan hanya sebagian
saja.
4. Harta warisan tidak merupakan satu kesatuan, tetapi harus dilihat dari
sifat, macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan
tersebut.15
14 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V.
(Jakarta : Rineka Cipta), 2002, Hal. 58
15
Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 45-46
39
BAB IV
PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BADUNG
NO.4/PDT.P/2013/PA.BDG DAN ANALISIS PENULIS
A. Kronologis Perkara
Para Pemohon (R. Agus Prabowo bin R. Soewarkoesno dan R. Mikro
Sundoro bin R. Soewarkoesno) melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan
permohonan Penetapan Ahli Waris dari R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai
Ningsih, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Bahwa ayah para Pemohon yakni R. Soewarkoesno lahir di Cilacap
tanggal 9 April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang
bernama Ni Made Rai Ningsih, lahir di Singaraja tanggal 4 Februari
1947.
2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat)
orang anak sebagai berikut :
a. Ni Luh Eksi Sundari (sudah meninggal), anak pertama, perempuan,
lahir tanggal 23Maret 1963, agama Hindu, beralamat di
Banyuning, Singaraja.
b. R. Agus Prabowo, anak kedua, laki-laki, lahir 11 Agustus 1968,
agama Islam, bertempat tinggal di Kuta, Badung.
c. R. Endro Prakoso, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal 13 April
1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung.
40
d. R. Mikro Sundoro,anak keempat, laki-laki, lahir tanggal 28 Juni
1972, agama Islam, alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa
Tengah, kini tinggal di Kalimantan.
3. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu
kandung para Pemohon (Ni Made Rai Ningsih) meninggal lebih
dahulu pada tanggal 29 Mei 2004 karena sakit, Surat Keterangan
Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012,
bapak kandung para Pemohon (R. Soewarkoesno) meninggal dunia
pada tanggal 17 Februari 2010, Surat Keterangan Kematian Nomor:
221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012 dari Kelurahan Kuta,
Kuta Utara.
4. Bahwa Ibu Pemohon yaitu, Ni Made Rai Ningsih meninggal dalam
keadaan Hindu namun sebelumnya beragama Islam.
5. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya
tidak pernah membuat surat wasiat.
6. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang
tanah yang kini disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa :
a. Tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak
di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No.767, Gambar Situasi No.
1413/1978 tanggal 20 September 1978, atas nama Made Rai
Ningsih,
b. Tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak
di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No. 768, Gambar Situasi
41
No. 176/1978 tanggal 26 Februari 1979, atas nama R.
Soewarkoesno.
7. Bahwa Ni Luh Eksi Sundari telah berpindah agama ke agama Hindu
karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, maka Ni Luh Eksi Sundari tidak lagi menjadi ahli waris
dari orang tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai
Ningsih.
8. Bahwa demikian juga dengan R. Endro Prakoso, di depan persidangan
perkara Nomor 20/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah
pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan
tersebut membuktikan bahwa R. Endro Prakoso tidak berhak lagi atas
harta warisan dari orang tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan
Ni Made Rai Ningsih.
B. Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa, Para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya
mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dalam
hal mana di saat meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon
mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari R. Soewarkoesno yang juga
telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di
persidangan para Pemohon juga bermohon agar penetapan ini dapat digunakan
sebagai alasan hak bagi ahli waris Ni Made Rai Ningsih dan ahli waris R.
Soewarkoesno terhadap tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 767 tanggal 20
42
September 1979 atas nama Ni Made Rai Ningsih dan Sertifikat Hak Milik Nomor
768 tanggal 26 Februari 1979 atas nama R. Soewarkoesno.
Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga
dengan pewaris yang bernama R. Soewarkoesno beragama Islam, meskipun
pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih disebutkan beragama Hindu, Majelis
Hakim berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute
Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49
huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara
secara voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini
secara relative menjadi kewenangan Pengadilan Agama Badung.
Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris,
maka yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal
dunia dan apakah meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak
terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai ahli waris.
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan
keterangan para saksi, Ni Made Rai Ningsih telah meninggal dunia dalam keadaan
beragama Hindu meski sebelumnya beragama Islam, hal mana menurut Pasal 171
huruf b Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada
saat meninggal dunia harus beragama Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal
43
171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam
menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam untuk dapat saling
mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya pewaris
itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim
ataukah tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat
hukum sebagai berikut :
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan
Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara
hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan
perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain
mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah.
Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus
sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu
kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam
tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan
non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah.
Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan
karena berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu
ditujukan semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli
waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda
agama dengan pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal itu terjadi, maka non
muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan
mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam.
44
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ni Made
Rai Ningsih sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian
meninggal dunia dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap
memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris,
dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin
Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al
Masruq Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan
lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang
menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah)
diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa
adillatuhu Juz 8 hal.265).
Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis
Hakim menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c,
Majelis Hakim memandang Pasal 171 huruf b dan c tersebut di atas harus
dipahami sebagai aturan umum dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo
adalah perkara yang bersifat insidental.
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris
dalam kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam,
Majelis Hakim akan merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam,
sementara itu, dalam halmana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam),
Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang Majelis Hakim
uraikan di atas.
45
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P 6 diperoleh
fakta hukum, ternyata Ni Made Rai Ningsih yang kemudian menjadi non muslim
telah meninggal dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal 29 September
2004 dengan meninggalkan seorang suami bernama R. Soewarkoesno yang
beragama Islam, dan 4 (empat) orang anak yakni Ni Luh Eksi Sundari beragama
Hindu, R. Agus Prabowo beragama Islam, R. Endro Prakoso beragama Hindu,
dan R. Mikro Sundoro beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian
pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan
bahwa ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih adalah R. Soewarkoesno, R. Agus
Prabowo dan R. Mikro Sundoro.
Menimbang, bahwa dalam kasus R. Soewarkoesno ini, Majelis Hakim
menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum
yang terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas,
maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari R. Soewarkoesno
adalah, R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di
atas, maka diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan
R. Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.
Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di
Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam
yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah Ni
46
Luh Eksi Sundari dan R. Endro Prakoso, tetap berhak mendapat bagian waris
dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengannya
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon,
maka penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan
dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno.
Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para
Pemohon secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini
dibebankan kepada pihak yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang
besarnya sebagaimana tersebut dalam amar penetapan ini.
C. Penetapan Majlis Hakim
Menetapkan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
2. Menetapkan ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan R.
Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro.
3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp
186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah).
D. Analisis Penulis
Kasus ini adalah permohonan Penetapan Ahli Waris dari R. Soewarkoesno
(almarhum) dan Ni Made Rai Ningsih (Almarhum) yang telah meninggal pada
tanggal 29 Mei 2004 dan R. Sowarkoesno meninggal pada tanggal 10 Februari
2010. Perlu diketahui Pewaris selain meninggalkan ahli waris juga meninggalkan
47
harta berupa sebidang tanah seluas 250 m2 terletak di Desa Kuta, Kecamatan
Kuta, Badung sertifikat hak milik Ni Made Rai Ningsih dan tanah seluas 350m2
terletak di Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung sertifikat hak milik R.
Soewarkoesno. Para pemohon memohon kepada majlis hakim untuk
menetapkan/memutuskan bahwa R. Agus Prabowo bin R. Sowarkoesno umur 44
tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten Badung dan R. Mikro
Sundoro bin R. Sowarkoesno umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di
Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah adalah ahli waris yang sah dari
almarhum R. Sowarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih.
Setelah mengikuti duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hukum
hakim berdasarkan penetapan No.4/pdt.P/2013/PA.Bdg. di Pengadilan Agama
Badung Provinsi Bali maka penulis akan memaparkan pandangan penulis
terhadap kasus tersebut.
Pada penetapan perkara ini diketahui bahwa sang pewaris/ibu pemohon
bernama Ni Made Rai Ningsih adalah bukan beragama Islam, pewaris beragama
Hindu yang dapat dibuktikan dengan Keterangan Kematian Nomor
221/LT/SKK/IX/12 pada tanggal 17 September 2012 dan keterangan saksi-saksi.
Menurut pendapat majelis hakim, sistem kewarisan Islam menganut
sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai
penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah,
lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang
48
dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda.
Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak
satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan
memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu
ada pertalian darah.
Sedangkan menurut penulis sendiri mengenai perkara waris menurut
hukum Islam faktor perbedaan agama, adalah sesuatu yang menjadi penghalang
kewarisan/saling waris mewarisi dan bisa mendapatkan harta peninggalan dari
ahli waris dengan jalan wasiat wajibah, bukan dengan jalan waris. Sesuai dengan
Hadis Nabi SAW:
ج عي اتي شاب عي حا أت عاصن عي اتي جش ي حذ تي حس عل
وا أى الث ع للا ذ سض عي عوش تي عخواى عي أساهح تي ص
ل الكافش الوسلن سلن قال ل شث الوسلن الكافش عل صلى للا
)سا الثخاسي(1
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu
Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid
radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim
tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang
muslim”
1 M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
784.
49
Menurut pendapat Majlis Hakim, dalam perkara a quo, pewaris yang
bernama Ni Made Rai Ningsih sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam
dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan non muslim sementara kerabat
terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap
menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih
pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad
bin Ali dan Al Masruq (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8
hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam Abu
Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam
(murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265).
Ada beberapa pendapat ulama fiqh tentang warisan orang murtad, yang di
wariskan kepada :
1. Hartanya otomatis menjadi fa’i bagi baitul mal dan menjadi milik
kaum muslimin. Ini pendapat Malik, Syafi’i, Ahmad dalam riwayat
Ibnu Abbas RA, Rabiah, Abu Tsaur, dan Ibnu Mundzir.2
Mereka beralasan dengan dalil:
تي ج عي اتي شاب عي عل حا أت عاصن عي اتي جش حذ
للا ذ سض ي عي عوش تي عخواى عي أساهح تي ص حس
2 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap (terjemah jilid
4), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Hal. 288-290.
50
سلن قال ل شث الوسلن الك عل صلى للا وا أى الث افش ع
ل الكافش الوسلن )سا الثخاسي( 3
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali
Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah
bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam
bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang
kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
2. Semua hartanya diberikan kepada para ahli warisnya yang muslim,
baik harta yang dihasilkan sebelum murtad (semasa masih muslim)
atau setelah murtad. Ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, dua
orang murid Abu Hanifah, riwayat kedua Ahmad, riwayat dari Abu
Bakar, Ali, Ibnu Mas’ud RA, pendapat sekelompok orang salaf antara
lain Al-Hasan, Umar Bin Abdul Aziz, Al-Auza’i, Ats-Tsauri.
Mereka berpegang pada dalil :4
a. Riwayat dari Zaid bin Tsabit, dia mengatakan: Abu Bakar
mengutusku setelah sekembalinya dari kalangan murtad agar aku
membagikan harta-harta mereka pada para pewaris mereka yang
masih muslim. Demikian disebutkan oleh Ibnu Qudamah.
b. Mereka mengatakan: jika memang karena kemurtadannya seluruh
harta bendanya berpindah tangan, maka ia hanya berpindah tangan
3 M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
784.
4 Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap (terjemah jilid
4), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Hal. 288-290.
51
pada para ahli warisnya yang masih muslim, sebagaimana halnya
jika ia meninggal dunia.
3. Harta orang murtad yang diperoleh sebelum kemurtadannya diberikan
kepada ahli warisnya yang masih muslim. Ini adalah pendapat Abu
hanifah dan Ishaq. Mereka melanjutkan: Sedangkan harta yang
diperolehnya selama kemurtadannya menjadi harta fai’ untuk Baitul
Mal. Alasan mereka kemukakan sama seperti argumentasi pengusung
pendapat kedua.
4. Hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang mengikuti agama
baru yang dianut orang yang murtad tersebut. Jika tidak ada, maka
harta tersebut menjadi fai’. Ini adalah riwayat ketiga dari pendapat
Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, riwayat dari Alqamah dan Sa’id bin Abi
Arubah. Mereka berpegang teguh pada alasan sebagai berikut :
Orang yang murtad berstatus sama seperti kafir, sehingga
pemeluk agamanyalah yang berhak menerima warisan, sebagaimana
halnya kasus orang kafir harbi dan seluruh orang kafir.
Sabda Nabi SAW:
ي تي حس ج عي اتي شاب عي عل حا أت عاصن عي اتي جش حذ
وا أى الث ع للا ذ سض عي عوش تي عخواى عي أساهح تي ص
52
سلن قال ل شث عل ل الكافش الوسلن )سا صلى للا الوسلن الكافش
الثخاسي(5
“Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari
Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari
Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi
wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir,
dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
Berdasarkan uraian diatas hakim berpegang kepada pendapat Abu Yusuf
dan Muhammad, dua orang murid Abu Hanifah. Dan ada beberapa pendapat
Sahabat yang pada masa Abu Bakar, Abu Bakar mengambil harta orang-orang
murtad dan memberikannya kepada ahli warisnya yang muslim.
Pendapat ini bisa menjadi sebuah gagasan baru agar harta umat muslim
terjaga dan harta warisan tersebut tidak jatuh ketangan non muslim yang nantinya,
dikhawatirkan harta itu menjadi alat propaganda kaum non muslim, sedangkan
jika jatuh ke muslim bisa menjadi alat perjuangan.
Menurut hakim, tidak berarti Majelis Hakim menyalahi aturan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dan c, Majelis Hakim memandang
Pasal 171 huruf b dan c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum
dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat
insidental. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus yang
ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan
merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana
5 M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
hal 784.
53
pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada
pendapat Hukum yang Majelis Hakim uraikan di atas.
Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak
ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI
dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam
pasal 171 ayat c, “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan
persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum.
Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam
Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal
172 yakni, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu
Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya”
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum
kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada garis-
garis hukum faraid. Warna alam pikiran asas qath’i masih agak dominan dalam
perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash
yang terdapat dalam al-Qur’an.
54
Berdasarkan uraian diatas Majelis Hakim dalam memutuskan perkara
dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan ijtihad dan suatu penilaian
terhadap peristiwa yang terjadi dan fakta yang benar-benar terjadi. Yang tetap
berpedoman pada KHI Pasal 229. “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan
rasa keadilan.”
Hakim itu adalah sumber hukum ketika dia harus memutus suatu perkara
dimana dia harus menyimpangi dari kaidah dan tidak sesuai dengan maqashid
syariah maka dia akan berpendapat atau berijtihad, misalnya hakim rasa tidak
sesuai dengan rasa ketidakadilan dan kondisi masyarakat. Dengan melihat
beberapa asas:6
1. Tauhidiyah
2. Adalah
3. Musawah
Al-Ghazali merumuskan ijtihad dalam arti bahasa sebagai “pencurahan
segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu
yang berat dan sulit”. Ijtihad dalam struktur Islam diidentikan dengan
Mujahadah.7 Seperti yang terdapat dalam surah Al-Ankabut ayat 69:
ل ث س ن ذ ل ا ف اذ ا ج ي ز ال (٩٦)العكثخ: ي س ح و ال ع و ل الل ا ا
6 Wawancara pribadi pada tanggal 12 Agustus 2015
7 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam,
(Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987), Hal. 52.
55
Artinya: “Dan orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh (Mujahadah) untuk
(mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut :69)
Pembatalan hukum tidaklah identik dengan pembatalan dalam konsepsi
hukum Islam. Walaupun pembatalan (naskh) terjadi antara syari’at, yang juga
sering dikaitkan dengan alasan kemaslahatan, namun pembatalan semacam itu
tidak berlaku lagi setelah berakhirnya wahyu. Hukum adalah pengamalan dan
penerapan teks yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi (zuruf) teks itu
yang dikaitkan dengan kepentingan dan kemaslahatan yang sifatnya situasional.
Dan bila terjadi perubahan kepentingan, maka berubah pulalah hukum yang
diterapkan, tanpa perlu mengubah teks nya sendiri. Perbedaan lainnya adalah
bahwa yang berhak membatalkan adalah syar’I (Allah) sesuai dengan tuntutan
titah-Nya yang terbaru, sedangkan yang mengubah penerapan hukum adalah
mujtahid, untuk disesuainkan dengan kemaslahatan yang telah berubah. 8
Dalam perkembangan pemikiran hukum islam, terutama yang dibahas oleh
ahli-ahlli ushulfiqh (yurisprudensi) ada yang membedakan antara hikmah
(tindakan kebijaksanaan dan illatt (alasan sebab). Dan sebagai kelanjutan dari
pembedaan ini dikatakan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan berdasarkan illatt
tetapi tidak didasarkan kepada hikmah. Argumentasi yang sering dipergunkan
8 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam,
(Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987), Hal. 172.
56
dalam hal ini karena hikmah bersifat abstrak sedangkan illatt adalah sebab yang
kongkrit.
Perbedaan antara hikmah dan illatt hanyalah bersifat teoritis, karna setiap
illatt yang menjadi landasan setiap tindakan harus mengandung hikmah. Dan jika
tindakan tidak mengandung hikmah maka ia sama saja dengan kebodohan, yang
tak mungkin terjadi pada peraturan-peraturan Tuhan Yang Maha Esa.9
Dalam reinterpretasi hukum maka hakim patut dihargai sebagai suatu
ijtihad dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai hukum kewarisan Islam guna
terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Benar atau salahnya seorang
hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum tetap diberikan pahala oleh Allah
SWT karena kebenaran semata-mata milik Allah SWT.
حا عثذ حذ الوقشئ ضذ تي للا حا الوك ج حذ ح تي ح ح شش تي ضذ حذ
ذ عي الاد تي للا عثذ ن تي هحو أت عي سعذ تي تسش عي الحاسث تي إتشا
س لى ق العاص تي عوش عي العاص تي عوش ه سسل سوع أ صلى للا للا
سلن عل إرا أجشاى فل أصاب حن فاجتذ الحاكن حكن إرا قل حن فاجتذ حكن
كزا فقال حضم تي عوش تي تكش أتا الحذج تزا فحذحد قال أجش فل أخطأ
ح حوي عثذ تي سلوح أت حذ شج أت عي الش قال ش الوطلة تي العضض عثذ
9 Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam,
(Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987), Hal. 173-174.
57
ذ عث عي عي سلوح أت عي تكش أت تي للا صلى الث للا سلن عل )سا هخل
الثخاسي(10
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Almuqri‟ Almakki telah
menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah menceritakan kepadaku
Yazid bin Abdullah bin Al-had dari Muhammad bin Ibrahim Al-Harits dari Busr
bin Said dari Abu Qais mantan budak Amru bin Ash ia mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wassallam bersabda: “Jika seorang hakim mengadili &
berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, & jika
seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya satu
pahala”. Kata Amru, Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru
bin Hazm dan Dia berkata, Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman
mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul 'Aziz bin al Muththalib
dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari Nabi ShallAllahu 'alaihi wa
Salam Shallallahu'alaihiwa sallam semisalnya.” (HR. Bukhari).
10
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
hal 562.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis
mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Menurut Ulama Madzhab ada beberapa penghalang kewarisan dalam
Islam:
a. Budak
b. Membunuh
c. Perbedaan Agama, dan
d. Perbedaan Negara :
Ulama Madzhab (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam
Hambali pada dasarnya tidak membolehkan waris beda agama. Akan,
tetapi ada 2 orang murid Abu Hanifah yang membolehkan pewarisnya
seorang murtad seperti yang telah dibahas dalam skrisi ini. Mereka
berpedoman kepada atsar sahabat.
2. Di Indonesia sendiri diatur hukum bagi umat yang beragama Islam dalam
Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dan juga didalamnya diatur hukum Kewarisan seperti halnya yang telah
dibahas dalam skripsi ini. Kompilasi Hukum Islam tidak hanya mengatur
waris bagi sesama umat Islam saja akan tetapi juga waris yang berbeda
agama dalam pasal 171 huruf (c) :
59
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
3. Hakim dengan reinterpretasi/ijtihadnya berpendapat lain yang berbeda
dengan Kompilasi Hukum Islam dan Ulama Madzhab akan tetapi
mengambil pendapat minoritas yaitu, pendapat dua orang murid Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut Hakim, hakim melihat ada
manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh pihak. Karena
seorang hakim harus mentransfer sebanyak mungkin rasa keadilan. Salah
satu alasan seseorang datang ke pengadilan adalah mendapatkan rasa
keadilan dalam kasusnya di tengah-tengah masyarakat. Yang tetap
berpedoman pada KHI Pasal 229. “Hakim dalam menyelesaikan perkara-
perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-
sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan.”
B. Saran
Setelah menelaah yang terdapat dalam tulisan ini, maka ada beberapa hal
yang penulis rekomendasikan antara lain:
1. Kompilasi Hukum Islam seharusnya lebih merinci tentang peraturan
pembagian waris beda agama. Peraturan waris beda agama seharusnya
bukan hanya menjadi aturan umum saja tapi harus menjadi aturan khusus
dengan penjelasan yang lebih merinci agar tidak terjadi salah penafsiran
yang aturannya sudah sesuai dengan hukum Islam.
60
2. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan mengenai kewarisan berbeda agama
dengan cara mensosisalisasikan melalu seminar, agar masyarakat lebih
mengetahui tentang aturan hukum yang berlaku di Indonesia ataupun
dalam Islam.
61
DAFTAR PUSTAKA.
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap terjemah
jilid 4. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Ahmad Azhar Bazhar Basyir, Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 1990.
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Al-Hamdani, H.S, Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islām Fatāwī
Mu’āsirah Jilid ke-3. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum
Islam. Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi
V. Jakarta : Rineka Cipta.Baymedia Publising, Cet. II, 2006.
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur. Ilmu Waris, Al Faraidh: Deskripsi
Hukum Islam Praktis dan Terapan. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005.
Athoilah, Fikih Waris (Metode Pembagian Waris Praktis). Bandung: Yrama
Widya, 2013.
Fathur Rachman, Ilmu Waris,Bandung: Al-Maarif,1975.
Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia Jakarta : Literata, 2010.
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Group, 2011.
Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat. Tanjung karang: Alumni 1983
Bandung, 1983.
Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004.
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta Cet. I.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori. Jakarta: Gema Insani,
2003.
62
M. Ridwan Syarif Abdullah, Al-Muwaththa Imam Malik. Jakarta : Pustaka
Azzam, 2005.
Moleong, Lexy, J, 2005. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2005.
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A.B.
dkk, Jakarta: Lentra, 2006.
Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat. Semarang, Badan Penerbit
UniversitasDiponegoro Semarang, 2008.
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam. Solo:Balqis
Queen, 2009
Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Ramulyo Idris, Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan
AjaranSyafi’i/Patrilinial dan Praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di
Pengadilan Agama]. Jakarta: Ind Hill-CO, 1987
Ramulyo Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata
Barat. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Semarang.
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
2004.
Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990.
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu terjemah jilid 10. Jakarta:Gema
Insani, 2011.
Zaini, Muderis, 1992, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
HASIL WAWANCARA
Hari/Tanggal : Kamis, 20 Agustus 2015
Waktu : 13.00 WIT
Tempat : Musholla Pengadilan
Nama Narasumber : Drs. H. KT. Madhuddin Djamal, SH. MM.
Jabatan : Ketua Pengadilan Agama Badung tahun 2013
1. Apakah yang menjadi latar belakang masuknya perkara waris kewenangan Pengadilan
Agama Khususnya di Pengadilan Agama Badung?
- Seluruh perkara-perkara yang di tangani Pengadilan Agama di Indonesia termasuk
yang di tangani Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali adalah perkara-perkara
yang memang sudah di sebutkan kewenangannya dalam undang –undang.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-undang No. 1 tahun
1974, kewarisan adalah bidang perkara yang diterima diproses dan diputus di
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2. Apa landasan yuridis dalam menetapkan perkara waris beda agama ini?
- Landasan yuridisnya adalah di dalam hukum Islam banyak kita dapatkan dalil-
dalil masalah waris khususnya waris beda agama diantaranya:
Hadis :
افر المسلما لا الكا افرا وا لا يارث المسلم الكا
“Seorang muslim tidak mewariskan orang kafir dan orang kafir tidak mewariskan
orang muslim”
Jadi, salah satu halangan yang menjadi saling mewarisi dalam hal waris adalah
beda agama selain itu ada pembunuhan, maka dalam konteks ini perbedaan agama
menjadi alasan seseorang terhijab dalam menerima warisan baik seseorang
tersebut murtad(kembali ke agama lamanya) memang agama awal yang
dianutnya. Kemudian dalam KHI jelas disebutkan bahwa perbedaan agama
menyebabkan tidak bolehnya seseorang menerima harta warisan. Meskipun dalam
kitab fiqih pernah terjadi zaman sahabat ayahnya non muslim tapi anaknya masuk
Islam (Muallaf), bapaknya yang kufar ini meningggal sementara meninggalkan
anak sudah masuk Islam, beberapa orang sahabat membolehkan anaknya tersebut
menerima warisan dari sang ayah yang non muslim ketika anaknya muslim,
karena ada beberapa alasan yang spesifik sahabat bias menympangi dari hadis
tersebut.
3. Pertimbangan apa saja yang ,majlis Hakim ambil dalam perkara waris beda agama
ini? Bukankah dalam hukum Islam faktor agama itu penting dalam penentuan hak
waris, bagaimana menurut bapak?
- Pengadilan agama atau pengadilan apapun yang ada di Indonesia adalah sifatnya
pasif dia tidak boleh mencari perkara atau memilih perkara yang masuk maka
tidak ada alasan/tidak dibenarkan menolak dengan alasan tidak ada hukum yang
mengatur, jadi harus diterima.
Alasan majlis hakim adalah karena memang di Undang-undang yang berlaku di
Indonesia itu mau gak mau bertentangan atau tidak bertentangan dangan rasa
keadilan memang harus diselesaikan/diputuskan.
Meskipun hakim terkadang merasa tidak nyaman ketika seorang yang satu
mendapat harta warisan akan tetapi yang satunya tidak, padahal masih satu
keluarga atau adik kakak.
- Hakim itu adalah sumber hukum ketika dia harus memutus suatu perkara dimana
dia harus menyimpangi dari kaidah dan tidak sesuai dengan maqashid syariah
maka dia akan berpendapat atau berijtihad, misalnya hakim rasa tidak sesuai
dengan rasa ketidakadilan dan kondisi masyarakat. Dengan melihat beberapa asas:
a. Tauhidiyah
b. Adalah
c. Musawah
Hakim dapat mempertimbangkan melalui 3 jalan itu. Dalam masalah ini sudah pernah
di dapatkan asarnya.
4. Menurut bapak apakah penetapan ahli waris ini sudah adil? Dan sudah sesuai dengan
hukum Islam?
Menurut Saya, secara pribadi penetapan ahli waris ini sudah adil, apalagi para ahli
waris yang mengajukan permohonannya mendapatkan hak waris. Seorang hakim
tidak akan pernah melanggar hukum atau dalil yang sudah qat’i akan tetapi dengan
beberapa pertimbangan lain atau jalan lain seperti wasiat wajibah, shodaqah, dll.
5. Mengapa hakim mengambil pendapat yang minoritas yaitu pendapat 2 murid Abu
Hanifah bukan pendapat Jumhur?
- Disitu hakim melihat ada manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh
pihak. Jika hakim mengambil pendapat yang mayoritas malah tidak dapat kan,
jadi dimana rasa keadilan, karena seorang hakim harus mentransfer sebanyak
mungkin rasa keadilan. Salah satu alasan seseorang datang ke pengadilan adalah
mendapatkan rasa keadilan dalam kasusnya di tengah-tengah masyarakat. Maka,
benteng terakhir seseorang mendapatkan keadilan yaitu di pengadilan dan hakim.
Sementara hukum hakim dapat meyelesailkan perkara Dalil
“hukmul hakim turfaul ikhtilaf”
6. Mengapa pendapat hakim seakan bertentangan dengan hukum islam dan hukum
perundangan yang berlaku?
Kenapa bertentangan.
1. Pertimbangan nya adalah kalau tidak kedia itu akan kemana harta itu. Padahal
dialah yang berhak manurut nasabnya.
2. Dikhawatirkan harta itu menjadi alat propaganda kaum non muslim,
sedangkan jika jatuh ke muslim bisa menjadi alat perjuangan .
Dengan catatan :
1. Ada musyawarah.
2. Ada kerelaan dianatara ahli waris yang ada.
7. Apakah penetapan perkara waris ini bisa dibatalkan?
Terjadi penyelundupan hukum PAW akan batal jika misalnya:
- Ahli waris ada 5 tapi dibilang nya cuma 4
- Maka paw harus hadir semua
- Bahkan ditanya apakah ada anak angkat
- Atau sibapak nikah lagi
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Badung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara Permohonan Penetapan Ahli
Waris yang diajukan oleh :
1. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung, selanjutnya disebut PEMOHON I;
2. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, sekarang tinggal di Kalimantan, selanjutnya disebut sebagai
PEMOHON II;
Pemohon I dan Pemohon II (selanjutnya disebut Para Pemohon) telah memberikan Kuasa
Khusus kepada KUASA HUKUM I PEMOHON I DAN II., KUASA HUKUM II
PEMOHON I DAN II dan KUASA HUKUM III PEMOHON I DAN II Para Advokat
dan Advokat yang berkantor di Kota Denpasar berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal
X Februari 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Badung tanggal
XX Februari 2013;
Pengadilan Agama tersebut;
Setelah membaca berkas perkara;
Setelah mendengarkan keterangan pihak-pihak dan saksi-saksi;
Setelah memeriksa bukti-bukti di persidangan;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan
permohonan Penetapan Ahli Waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON
I DAN II, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa ayah para Pemohon yakni BAPAK PEMOHON I DAN II lahir di Cilacap
tanggal X April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama IBU
PEMOHON I DAN II, lahir di Singaraja tanggal X Februari 1947;
2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai
berikut;
a. SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II (sudah meninggal), anak pertama,
perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning,
Singaraja;
Page 1 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
b. PEMOHON I , anak kedua, laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama Islam, bertempat
tinggal di Kuta, Badung;
c. SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX
April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung;
d. PEMOHON II, anak keempat, laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972, agama Islam,
alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan;
3. Bahwa mendiang SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II semasa hidup telah
menikah dengan SUAMI SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan
memiliki 3 orang anak yaitu;
3.1 ANAK KE I SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir tanggal X Mei
1986, agama Hindu;
3.1 ANAK KE II SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, laki-laki, lahir XX Mei 1996,
agama Hindu;
3.2 ANAK KE III SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir XX Mei 2004,
agama Hindu;
4. Bahwa PEMOHON I menikah dengan ISTRI PEMOHON I, memiliki 5 orang anak
yaitu;
4.1 ANAK KE I PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
4.2 ANAK KE II PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
4.3 ANAK KE III PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
4.4 ANAK KE IV PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
5.5 ANAK KE I PEMOHON V dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
5. Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II menikah dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, memiliki 3 orang anak:
5.1. ANAK KE I SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, perempuan,umur 17 tahun;
5.2. ANAK KE II SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 15 tahun;
5.3. ANAK KE III SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 8 tahun;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
6. Bahwa PEMOHON II menikah dengan ISTRI PEMOHON II, memiliki 2 orang anak
yaitu;
6.1 ANAK KE I PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama Islam;
6.2 ANAK KE II PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama
Islam;
7. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para
Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei 2004 karena sakit, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012,
bapak kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari 2010, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012
dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara;
8. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah
membuat surat wasiat;
9. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini
disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa:
9.1 tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX
tanggal XX September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II;
9.2 tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXX/XXXX tanggal
XX Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II;
10. Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II telah berpindah agama ke
agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan
hukum Islam, maka SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II tidak lagi menjadi
ahli waris dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II;
11. Bahwa demikian juga dengan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, di depan
persidangan perkara Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah
pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut
membuktikan bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II tidak berhak lagi
atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan
IBU PEMOHON I DAN II;
12. Bahwa di antara para Pemohon tidak ada permasalahan mengenai pembagian harta
peninggalan dan para Pemohon telah sepakat untuk membagi harta warisan secara adil
dan merata;
Page 3 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
13. Bahwa para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan tersebut, sehingga
untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua bidang tanah tersebut haruslah
dipenuhi syarat-syaratnya yang salah satunya adalah ada penetapan ahli waris dari
Pengadilan Agama;
Bahwa dari uraian-uraian di atas, para Pemohon bermohon agar kiranya Bapak Ketua
Pengadilan Agama Badung berkenan membuka suatu persidangan untuk keperluan itu,
memeriksa permohonan ini serta menetapkan/memutuskan sebagai berikut:
PRIMAIR
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan:
a. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
Badung;
b. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah;
Adalah ahli waris yang sah dari almarhum BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II;
3. Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada para
Pemohon;
SUBSIDAIR
Apabila Bapak Ketua Pengadilan Agama Badung berpendapat lain, mohon putusan yang
seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa para hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon I hadir di
persidangan secara inperson didampingi Kuasanya;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah menjelaskan mengenai akibat penetapan ini
ahli waris bukan saja mewarisi harta warisan tapi juga mewarisi hutang pewaris, namun
Pemohon I menyatakan tetap melanjutkan permohonannya;
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan surat permohonan Pemohon, atas
pertanyaan Majelis Hakim, Pemohon I memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
• Bahwa Pemohon I beragama Islam;
• Bahwa ayah para Pemohon yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama
Islam;
• Bahwa ibu para Pemohon yang bernama IBU PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II bernama XXXXXXX dan
XXXXXX sudah meninggal dunia lebih dahulu;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa Pemohon I lupa nama orang tua Ni Made Rai Ningsih, namun keduanya sudah
meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
mempunyai anak angkat;
• Bahwa para Pemohon memerlukan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama untuk
mengurus penjualan harta peninggalan dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II, karena pihak Notaris tidak mau mengeluarkan akta jual beli
sebelum ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa kemudian Pemohon I melalui Kuasanya mengajukan alat bukti
sebagai berikut :
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk nomor XX.XXXX.XXXXXX.XXXX atas nama
PEMOHON II dan Nomor:XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama PEMOHON I,
bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan
ternyata cocok dengan aslinya (bukti P.1);
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor: XXX/XX/XXX/2008 atas nama PEMOHON II
dan ISTRI PEMOHON II, dikeluarkan oleh KUA Sidoharjo Kabupaten Sragen
tanggal XX Desember 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.2);
3. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor XXX/XX/XXXX/2008 atas nama PEMOHON I
dan ISTRI PEMOHON I, dikeluarkan oleh KUA Kuta Kabupaten Badung tanggal XX
Agustus 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah
diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.3);
4. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
keluarga PEMOHON II, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Sragen
tanggal XX Juli 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.4)
5. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
keluarga PEMOHON I, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Badung
tanggal X Agustus 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.5);
6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama IBU
PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.6);
7. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama
BAPAK PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
Page 5 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan,
telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.7);
8. Fotokopi Surat Pernyataan Waris tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.8);
9. Fotokopi Surat Pernyataan Silsilah tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.9);
10. Fotokopi Surat Pernyataan Pembagian Waris tanpa tanggal yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
cocok dengan aslinya(P.10);
11. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.11);
12. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.12);
13. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atas nama wajib pajak BAPAK
PEMOHON I DAN II, Kuta, Kabupaten Badung, dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Badung tanggal X Januari 2012, bermeterai pos dan telah
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
aslinya(P.13);
Menimbang, bahwa Kuasa Pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut;
1. SAKSI PERTAMA, umur 70 tahun, agama Hindu, pekerjaan ibu rumah tangga,
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan
sebagai berikut;
• Bahwa saksi kenal dengan BAPAK PEMOHON I DAN II, yang merupakan suami
dari saudara misan saksi yang bernama IBU PEMOHON I DAN II;
• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
PEMOHON I DAN II di Denpasar, menikahnya secara agama Islam;
• Bahwa saksi pernah ikut tinggal bersama BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
PEMOHON I DAN II di Kuta, Badung;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa dari pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU PEMOHON I
DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
• Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, ikut
suaminya;
• Bahwa PEMOHON I beragama Islam;
• Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
• Bahwa PEMOHON II beragama Islam;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 karena sakit;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dikuburkan di pekuburan Hindu, namun
sebelumnya beragama Islam;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II juga telah meninggal dunia tahun 2010 karena
sakit, dalam keadaan beragama Islam;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
bercerai;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
mempunyai anak angkat;
• bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II mempunyai 2
buah rumah di Kuta yang ditempati anak-anaknya;
• bahwa saksi mendengar rumah tersebut akan dijual;
2. SAKSI KEDUA, umur 68 tahun, agama Hindu, pekerjaan purnawirawan polisi,
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan
sebagai berikut;
• Bahwa saksi adalah kakak kandung IBU PEMOHON I DAN II;
• Bahwa saksi menyaksikan pernikahan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK
PEMOHON I DAN II di KUA Denpasar;
• Bahwa dari perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I
DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 dalam keadaan
beragama Hindu dan dikuburkan di pekuburan Hindu;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2010 dalam
keadaan beragama Islam;
• Bahwa anak-anak BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II ada
yang beragama Islam yaitu PEMOHON I dan PEMOHON II, dan ada yang beragama
Page 7 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hindu yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA
PEMOHON I DAN II;
• Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
bercerai;
• Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain juga tidak
mempunyai anak angkat;
• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
meninggalkan dua buah rumah di Kuta;
• Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
tidak meninggalkan hutang;
• Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa orang tua IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
• Bahwa setahu saksi pengajuan penetapan ahli waris ini untuk keperluan penjualan
harta peninggalan tersebut oleh ahli warisnya;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon I memberikan kesimpulan secara lisan
tetap pada dalil permohonannya dan mohon segera dijatuhkan penetapan;
Menimbang, bahwa seluruh jalannya persidangan, tercatat dalam Berita Acara
Persidangan ini dan merupakan satu kesatuan dari dan telah turut dipertimbangkan dalam
penetapan ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan
permohonan Penetapan Ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dalam halmana di saat
meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan
Penetapan Ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II yang juga telah meninggal dunia
dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga
bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alas hak bagi ahli waris IBU
PEMOHON I DAN II dan ahli waris BAPAK PEMOHON I DAN II terhadap tanah dengan
Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September 1979 atas nama IBU PEMOHON I
DAN II dan Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama BAPAK
PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan
pewaris yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama Islam, meskipun pewaris
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
yang bernama IBU PEMOHON I DAN II disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim
berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama;
Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara
voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi
kewenangan Pengadilan Agama Badung;
Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka
yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah
meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang secara syar’i untuk
ditetapkan sebagai ahli waris.
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis (P1 sampai dengan P13) berupa fotokopi bermeterai cukup
serta telah dicocokkan dan ternyata sesuai dengan aslinya, maka majelis Hakim menilai alat
bukti tersebut sah sebagai alat bukti berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
2000 tentang Perubahan tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan harga Nominal
Yang Dikenakan Bea Meterai jo Pasal 1888 KUH Perdata jo Pasal 301 RBG;
Menimbang, bahwa meskipun saksi-saksi yang dihadirkan Para pemohon berasal
dari kerabat semenda dengan para Pemohon, namun menurut Majelis Hakim tetap memenuhi
syarat formil karena keterangan yang diberikan saksi adalah mengenai kedudukan/status
keperdataan para Pemohon dengan pewaris, serta keterangan saksi tersebut diberikan di bawah
sumpah dan di persidangan (vide Pasal 171, 172 ayat 2 dan 175 RBG jo Pasal 1905, 1910 ayat
2 dan Pasal 1911 KUH Perdata). Demikian pula secara materil keterangan para saksi tersebut
dapat diterima karena para saksi memberikan keterangannya berdasarkan pengetahuan dan
penglihatannya sendiri (vide Pasal 308 RBG jo Pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata). Oleh karena
itu apa yang diterangkan saksi-saksi menurut pendapat Majelis Hakim dapat meneguhkan dalil
permohonan Para Pemohon;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon yang dikuatkan dengan
keterangan para saksi di bawah sumpahnya yang menerangkan melihat dan tahu perkawinan
IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II dilakukan secara Islam di
KUA Denpasar, dan antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II
tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa sampai meninggalnya IBU
Page 9 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PEMOHON I DAN II, antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN
II masih terikat dalam pernikahan;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan dua orang saksi serta bukti P4, P5, dan P9, diperoleh fakta hukum bahwa dari
perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II diperoleh 4
(empat) orang anak yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, PEMOHON I,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5, diperoleh fakta hukum bahwa
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama
Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II
beragama Islam;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para
saksi, IBU PEMOHON I DAN II telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu
meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama
Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara
eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam
untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya
pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah
tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai
berikut;
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam
menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang
mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga
mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan
pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu
kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak
mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim,
terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena
berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata
kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta
warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi
ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam;
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama IBU PEMOHON I
DAN II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia
dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka
kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan
mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad Saw ى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى) وال يعل و م يعل ال Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul)اإلس
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih
pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari
Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);
Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim
menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim
memandang Pasal 171 huruf b dab c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum
dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam
kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan
merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya
murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang
Majelis Hakim uraikan di atas;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum,
ternyata IBU PEMOHON I DAN II yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal
dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal XX September 2004 dengan meninggalkan
seorang suami bernama BAPAK PEMOHON I DAN II yang beragama Islam, dan 4
(empat) orang anak yakni SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu,
PEMOHON I beragama Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama
Hindu, dan PEMOHON II beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian
pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli
waris dari IBU PEMOHON I DAN II adalah BAPAK PEMOHON I DAN II, PEMOHN I
dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan
keterangan para saksi dan bukti P7, diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II telah meninggal dunia karena sakit pada tanggal XX Februari 2010 dalam keadaan
beragama Islam;
Page 11 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan bukti P9
dan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak
mempunyai isteri lain dan tidak mempunyai anak angkat, dan kedua orang tuanya telah
meninggal dunia lebih dahulu, maka diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II ketika meninggal dunia hanya meninggalkan 4 (empat) orang anak yakni SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama Islam,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II beragama
Islam;
Menimbang, bahwa dalam kasus BAPAK PEMOHON I DAN II ini, Majelis Hakim
menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang
terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II adalah
PEMOHON I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka
diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim
berpendapat, permohonan Pemohon dalam perkara ini harus dinyatakan terbukti dan patut
dikabulkan;
Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di
Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, tetap
berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli
waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan bukti
P11 dan P12, maka diperoleh fakta hukum bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
PEMOHON I DAN II meninggalkan harta warisan sebagaimana dalam bukti P11 dan P12
tersebut;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon dan keterangan Pemohon
I di persidangan diperkuat keterangan para saksi bahwa para Pemohon memerlukan Penetapan
Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk mengurus penjualan harta peninggalan dari IBU
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka
penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari IBU
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon
secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak
yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam
amar penetapan ini;
Mengingat segala peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yang
berkenaan dengan perkara ini;
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON
I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus
delapan puluh enam ribu rupiah);
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada
hari ini Kamis tanggal X Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal XX Rabiul Akhir 1434
H oleh kami, HAKIM KETUA. sebagai Ketua Majelis, HAKIM ANGGOTA I dan
HAKIM ANGGOTA II., masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan tersebut
diucapkan pada hari itu juga oleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan terbuka untuk
umum dengan dibantu oleh PANITERA PENGGANTI. sebagai Panitera Pengganti serta
dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon;
Hakim Anggota Ketua Majelis
ttd ttd
ttd
Panitera Pengganti
ttd
Page 13 of 14
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Rincian biaya perkara :1. Biaya administrasi Rp. 30.000,-2. Biaya Proses Rp. 50.000,-3. Biaya panggilan Rp. 95.000,-4. Biaya redaksi Rp. 5.000,- 5. M e t e r a i Rp. 6.000,-J u m l a h Rp. 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Suasana didepan Pengadilan Agama Badung dan di depan ruang sidang
Pengadilan Agama Badung
Wawancara dengan Drs. H. KT. Madhuddin Djamal, SH. MM. Beliau
menjabat sebagai ketua Pengadilan Agama Badung