ihdnsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...mandala suci wenaran wana terjadi...

54

Upload: others

Post on 17-Aug-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 2: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 3: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 4: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 5: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 6: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 7: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

1 2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan berbasis lingkungan dalam agama Hindu

dikenal dengan istilah Tri Hita Karana . Secara konseptual, Tri

Hita Karana merupakan tiga penyebab hubungan yang harmonis,

yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),

manusia dengan sesama (pawongan) dan manusia dengan

lingkungan (palemahan) (Wiana, 2009: 126). Konsep Tri Hita

Karana dapat dikemukakan pula sebagai konsepsi pendidikan

yang berbasis pada lingkungan dengan menitik beratkan pada

sebuah domain bahwa harmonisasi akan terwujud, jika adanya

hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan sesama, dan

alam lingkungan. Adapun Sudira (2014: 2) menjelaskan

bahwasanya ajaran Tri Hita Karana merupakan basis pendidikan

agama Hindu, dan konsep tersebut secara tidak langsung akan

mengarahkan peserta didik mampu memiliki karakter yang unggul

baik dalam aspek jasmani dan rohani.

Kawasan hutan Mandala Suci Wanara Wana merupakan

salah satu kawasan wisata di Bali yang bentuk pengelolaan

lingkungannya mencerminkan pendidikan berbasis konsep Tri

Hita Karana . Dalam pengelolaannya menekankan pada sebuah

konsep hidup dalam menghargai, menjaga keharmonisan

keberadaan alam dengan makhluk hidup ciptaan-Nya. Demikian

pula aktivitas spiritual masyarakat di sekitarnya menjadikan

kawasan Mandala Suci Wenara Wana sebagai kawasan yang

indah, asri dan lestari, nyaman dan aman serta mempunyai sepirit

atau taksu. Implementasi dari konsep Tri Hita Karana yang

diterapkan di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana dapat

dilihat dari kegiatan ritual yang dilakukan oleh masyarakat

setempat. Dalam hubungannya dengan keberadaan kera, setiap

Tumpek Kandang masyarakat membuatkan sesajen istimewa ke

hutan yang ditujukan kepada semua binatang yang hidup di dalam

hutan. Adapun saat Tumpek Nguduh, masyarakat setempat

melakukan ritual untuk tetap menjaga keharmonisan alam berupa

tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hutan. Semua aktivitas tersebut

menjadi sebuah pertanda bahwa pengelolaan kawasan wisata

Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan

pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang

lainnya yang tinggal di hutan dijadikan guru (pendidik) yang

mengajarkan masyarakat setempat berbagai macam pengetahuan

untuk dapat harmonis dengan laingkungan alam. Dengan

Page 8: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

3 4

demikian, aktivitas di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana

tidak sepenuhnya merupakan aktivitas wisata, tetapi wisata yang

berbasis pada pengembangan budaya spiritual.

Pemahaman masyarakat Hindu umumnya, dan

Padangtegal khususnya hanya memahami bahwa kawasan

Mandala Suci Wenara Wana hanya kawasan wisata yang

difungsikan untuk konsumsi para wisatawan, dan sesekali

dilaksanakan ritus persembahan untuk menghormati binatang dan

tumbuh-tumbuhan yang hidup di wilayah tersebut. Masyarakat

di wilayah kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana hanya

berpegang teguh atas sebuah keyakinan yang selama ini cukup

kuat dalam mempertahankan tradisi dan aktivitas relegi yang

sudah diwarisi secara turun temurun.

Pemahaman masyarakat yang hanya berpegang pada

paradigma primodial tersebut akan berdampak pada

terdesakralisasinya kawasan suci tersebut sehingga proses

pendidikan di dalamnya terdistorsi. Terlebih belakangan ini

masyarakat dan pengelola megalami berbagai kendala akibat dari

adanya pengaruh kapitalisme global, dan pesatnya arus wisata

global yang membawa budaya-budaya westernisasi. Masyarakat

Hindu di wilayah Desa Pakraman Padangtegal sudah mulai

menganut budaya konsumtif, dan mengkesampingkan sisi

kesakralan wilayah Mandala Suci Wenara demi uang asing.

Kenyamanan dan keasrian dari wilayah sudah terusik oleh arus

kepentingan masyarakat untuk mendapatkan lahan untuk

memenuhi budaya konsumtif masyarakat. Bentuk pendidikan yang

sudah tua dilakukan dalam berbagai bentuk tradisi dan ritus di

wilayah hutan Mandala Suci Wenara Wana kedepannya akan

mulai tergeser oleh budaya postmodernisme. Berdasarkan pada

hal tersebut, sangat penting melakukan kajian yang mendalam

terhadap kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana sebagai

media pendidikan agama Hindu berbasis Tri Hita Karana.

Demikian pula nilai-nilai yang terkandung didalamnya sangat

relevan dikaji untuk menemukan sebuah resolusi terkait tentang

masalah pengerusakan alam dan eksploitasi alam serta

mengelemenir pengaruh kapitalisme global.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan permasalah sebagai berikut.

1. Mengapa kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana di

Desa Pakraman Padangtegal Ubud tetap lestari?

2. Bagaimanakah sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri

Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana

Desa Pakaraman Padangtegal Ubud?

3. Apakah implikasi sistem pendidikan agama Hindu berbasis

Tri Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci Wenara

Wana terhadap Desa Pakraman Padangtegal Ubud?

Page 9: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

5 6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian yang diteliti memiliki tujuan

sebagai sebuah pengembangan ilmu yang bertendensi pada ajaran

agama Hindu. Hal tersebut sebagai upaya dalam menumbuh

kembangkan kesadaran umat Hindu dalam menjaga alam dan

lingkungan. Demikian juga sebagai sebuah bentuk pelestarian

alam yang didasarkan pada ajaran agama Hindu. Secara umum

penelitian yang diteliti secara tidak langsung akan mereproduksi

identitas kehinduan sehingga ajaran agama Hindu tetap ajeg dalam

budaya global.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memaparkan latar belakang Mandala Suci Wenara

Wana tetap lestari bahkan tetap menjadi kawasan wisata

Desa Pakraman Padangtegal Ubud.

2. Untuk mendeskripsikan sistem pendidikan agama Hindu

berbasis Tri Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci

Wenara Wana Desa Pakraman Padangtegal Ubud

3. Untuk memaparkan implikasi sistem pendidikan agama Hindu

berbasis Tri Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci

Wenara Wana terhadap Desa Pakraman Padangtegal Ubud

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah melalui

kegiatan penelitian yang diteliti diharapkan dapat memberikan

kontribusi akademis dalam mengembangkan konsep dan teori

tentang pendidikan pelestarian lingkungan pada masyarakat Desa

Pakraman Padang Tegal Ubud, dan dunia akademis pada

umumnya. Serta menjadi formulasi teori pendidikan yang berbasis

pada ajaran agama Hindu. Reformulasi teori merupakan suatu

hal yang penting mengingat sangat sedikit teori pendidikan yang

berdasarkan pada ajaran agama Hindu.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis adalah sebagai

berikut.

1. Bagi Generasi Muda hendaknya dipakai sebagai acuan dalam

usaha pelestarian lingkungan di Desa Pakraman Padangtegal

2. Bagi pengambil kebijakan pemerintah dan stake holder

pariwisata agar dapat dipakai bahan pertimbangan dalam

usaha pelestarian lingkungan.

3. Bagi masyarakat sebagai masukan bagi warga masyarakat

agar memiliki pengetahuan, sikap serta perilaku terhadap

pelestarian lingkungan

Page 10: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

7 8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP, TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

Beberapa hasil penelitian yang terkait dengan penelitian

ini yang dijadikan kajian pustaka antara lain: Heny (2004), Siram

(2012), Pujastawa (2011), Wiradharma (2003), Suartama (2011),

Wiguna (2009), Rickinson (2001), Haryani (2007), dan Tim

penyusun (2013). Penelitian terdahulu ini selain menambah

wawasan peneliti tentang kajian yang terkait topik penelitian, juga

memberikan inspirasi dalam mengembangkan pembahasan

analisis data.

2.2 Landasan Konsep

2.2.1 Mandala Suci Wenara Wana

Mandala dapat dipahami sebagai wilayah, kekuasaan,

lembaga keagamaan atau bulatan lingkungan (daerah). Meminjam

uraian Heendeniya (2009: 90) menjelaskan bahwa Mandala

sebagai alat yang digunakan untuk melalukan konsentrasi selama

memusatkan pikiran, berbentuk lukisan di atas kain atau lukisan

di atas tanah yang digambari dengan beras berwarna. Demikian

juga Mandala merupakan wilayah yang terangkai dalam berbagai

bentuk yang diyakini memiliki kekuatan dan kesakralan yang kuat

untuk melindungi. Pada uraian lain, Sarasvati (2002: 75)

menjelaskan bahwa Mandala merupakan serangkaian gambar

yang membentuk pola tertentu, dan berupa wilayah rahasia dari

penekun Tantra untuk memusatkan pikiran. Adapun suci

merupakan istilah merujuk pada kesakralan, kebersihan, ketidak

kotoran dan sejenisnya. Wenara Wana dalam Kamus besar Bahasa

Indonesia edisi empat (1995: 346) artinya hutan kera. Mandala

Suci Wenara Wana adalah wilayah atau lingkungan berupa hutan

yang dijaga kesuciannya secara religius dan dirawat kebersihannya

sebagai habitat kera atau monyet.

2.2.2 Kawasan Wisata Padangtegal Ubud

Kawasan wisata adalah wilayah yang memiliki daya tarik

bagi para wisatawan. Dalam penelitian istilah kawasan wisata

digunakan karena hubungannya dengan Mandala Suci Wenara

Wana. Secara umum kawasan wisata dibagi menjadi tiga jenis

sebagai berikut.

1. Kawasan wisata alam, yang berupa daya tarik alamiah seperti

sungai, danau, hutan dan sebagainya, dan ada juga yang

berupa kawasan wisata alam yang mendapat campur

tangan manusia seperti sawah, danau buatan, saluran irigasi

dan sebagainya.

2. Kawasan wisata Budaya, yaitu keseluruhan unsur karya, cipta

dan karsa manusia yang diimplementasikan dalam gaya

hidup, upacara agama dan unsur tradisional lainnya.

Page 11: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

9 10

3. Kawasan wisata buatan, yaitu daya tarik wisata yang dibangun

untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan manusia

untuk berwisata, seperti raman bermain, area permainan

dan sebagainya (Suryawan, 2012: 90).

Merujuk pada hal tersebut, kawasan wisata Padangtegal

Ubud adalah kawasan wisata yang termasuk dalam kawasan

wisata alam, budaya, dan pengembangan melalui buatan yang

berada di Desa Padangtegal Ubud..

2.2.3 Pendidikan Agama Hindu Berbasis Tri Hita Karana

Tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan

Agama Hindu adalah untuk mencapai “Jagadhita” dan “Moksa”

yang diformulasikan dalam sebuah kalimat Sanskerta sebagai

berikut:”Atmano Moksartham Jagadhitaya ca iti dharmah.” Di

Indonesia, tujuan pendidikan dinyatakan untuk mengantarkan

seorang anak didik menuju tingkat kedewasaan.

Berbasis Tri Hita Karana dimaksudkan berdasarkan pada

falsafah Tri Hita Karana . Kata basis secara leksikal berarti dasar,

pokok, pangkalan, garis dasar, dan sejenisnya. Demikian pula,

basis juga diartikan azas, dan dasar sehingga berbasis artinya

berdasarkan basis atau dasar pada pengembangan. Dalam hal ini

berbasis lingkungan artinya akan membahas berdasarkan kajian

lingkungan (Tim Pustaka phoenix, 2009: 126). Sedagkan Tri Hita

Karana sebagaimana menurut Wiana (2010: 9) merupakan tiga

penyebab hubungan yang harmonis. Tri artinya tiga, Hita adalah

kebahagiaan dan Karana artinya penyebab. Tiga penyebab

harmonis antara manusia dengan Tuhan (pahyangan), antara

sesama (pawongan) dan dengan lingkungan (palemahan).

2.2.4 Komunitas Lokal

Komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok khusus

dari orang-orang yang tinggal dalam wilayah tertentu, memiliki

gaya hidup yang sama, sadar sebagai satu kesatuan,dan dapat

bertindak secara kolektif dalam usaha mencapai tujuan. Komunitas

merupakan sebuah kelompok sosial dari beberapa organismo yang

berbagai lingkungan, umumnya memiliki ketertatarikan yang

sama. Komunitas berasal dari bahasa latin “communitas” yang

berarti kesamaan, kemudian dapat diturunkan dari communis yang

berarti sama, Dalam penelitian ini komunitas diartikan sebagai

kelompok sosial yang mempunyai arti perkumpulan beberapa

individu, atau kelompok sosial.

2.3 Teori

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai

berikut.

2.3.1 Teori Fungsional Struktural

Teori fungsional struktural dikemukakan oleh Talcot

Parsons. Teori tersebut secara harfiah berasal dari dua kata yaitu

Page 12: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

11 12

“fungsional” dan “struktural” Talcott Parsons (dalam Nasikum,

2003: 11). Teori fungsional struktural sangat relevan digunakan

untuk menelaah tentang pelestarian kawasan wisata Mandala Suci

Wenara Wana. Keberadaan kawasan wisata tersebut tidak terlepas

dari peran serta masyarakat sebagai sebuah sistem yang memiliki

hubungan timbal balik, dan adanya interaksi serta perubahan di

dalamnya. Oleh karena itu, fungsional struktural adalah teori yang

dipakai untuk mengeksplorasi dan menganalisis permasalahan

yang pertama berkenaan dengan latar belakang kawasan wisata

Mandala Suci Wenara Wana tetap lestari di Desa Pakraman

Padangtegal Ubud.

2.3.2 Teori Kontrol Sosial

Pengendalian sosial dapat terjadi dalam kehidupan sehari-

hari agar keserasian dan stabilitas dalam kehidupan sehari-hari

tercapai. Dengan pengendalian sosial ini, diharapkan

penyimpangan yang terjadi di masyarakat dapat berkurang

khususnya penyimpangan yang dilakukan oleh para anak-anak

remaja. Oleh karena itu pengendalian sosial harus mendapat

perhatian yang mendalam dan mendasar. Ide utama dibelakang

teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakan hasil dari

kekosongan kontrol atau pengendalian sosial.

Pengendalian sosial dan pengendalian diri itu berbeda,

walaupun keduanya berkaitan erat. Pada taraf pribadi,

pengendalian sosial mengacu pada usaha untuk mempengaruhi

pihak lain. Pengendalian diri mengacu pada usaha untuk

mempengaruhi atau membimbing perilaku pribadi tersebut

menjadi anggotanya. Dengan demikian, dari sudut pandang

tersebut, pengendalian sosial mengacu pada dan berasal dari

pengendalian diri. Oleh karena itu harus ada pembedaan antara

pengendalian diri dengan pengendalian sosial, namun

keterkaitannya haruslah diakui. Teori kontrol sosial sangat relevan

digunakan untuk mengarahkan pemikiran peneliti dalam

melakukan telaah tentang latar belakang kawasan wisata Mandala

Suci Wenaran Wana lestari sampai sekarang.

2.3.3 Teori Ekosentrisme (Ecosentrism Environmental

Ethics)

Teori etika lingkungan ekosentris merupakan salah satu

versi teori etika yang dikenal juga dengan istilah Ekologi Dalam

(Deep Ecology) (Keraf, 2002: 76). Berbeda dengan teori lainnya,

misalnya biosentrisme yang memusatkan perhatian pada

kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada

seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak

hidup. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan Deep Ecology

ialah Arne Naess, seorang filsuf Norwegia pada tahun 1973.

Kemudian dikenal sebagai tokoh dari sebuah gerakan moral

lingkungan dengan nama Deep Ecology, sampai saat sekarang,

Page 13: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

13 14

gerakan ini telah mendapat pengaruh besar terhadap gerakan-

gerakan moral lingkungan lainnya. Naess (1989: 124) mengatakan

bahwa etika ini memperhitungkan pengaruh tindakan manusia

secara langsung terhadap ada alami non-manusia dan alam sebagai

keseluruhan.

Berdasarkan pada hal tersebut teori ini digunakan untuk

menelaah tentang implikasi keberadaan kawasan wisata Mandala

Suci Wenara Wana bagi masyarakat Desa Pakraman Padangtegal

Ubud. Selain itu teori ini dapat pula digunakan untuk

mengeksplorasi nilai pendidikan agama Hindu yang terdapat di

kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana.

2.3.4 Teori Humanistik

Kemampuan bertindak positif i yang disebut sebagai

potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme

biasanya memfokuskan pengajarannya pada pembangunan

kemampuan positif sebagai sebuah potensi dalam diri.

Hergenhahn, dkk (2010:329) menjelaskan bahwa kemampuan

positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif

yang terdapat dalam domain afektif.

Berdasarkan atas deskpripsi tersebut di atas, jelas secara

mendasar teori humanistik dapat mengarahkan analisa peneliti,

bahwa lingkungan (kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana)

secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai fasilitator dalam

mengembangkan potensi anak-anak, terutama dalam hal

pendidikan lingkungan. Lingkungan berperan dalam menstimulasi

potensi anak didik sehingga potensi anak didik dapat tumbuh dan

berkembang. Selain itu, lingkungan turut serta dalam memberikan

motivasi belajar melalui sebuah pengalaman sehingga anak-anak

sadar bahwa lingkungan adalah penting dalam kehidupan. Dengan

kata lain, lingkungan adalah guru bagi manusia.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian ini seperti tampak pada gambar

bagan 2.4 sebagai berikut:

Page 14: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

15 16

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian Mandala Suci Wenara Wana Di Kawasan

Wisata Padangtegal, Ubud, Gianyar, Bali (Perspektif Pendidikan

Agama Hindu Berbasis Tri Hita Karana pada Komunitas Lokal)

menggunakan jenis penelitian kualitatif yang merupakan kajian

pendidikan ekologis. Kaelan (2010:5) menjelaskan bahwasanya

karakteristik penelitian kualitatif terletak pada kawasan yang

menjadi fokus penelitian, dan tidak menekankan kepada kuantum

atau jumlah. Namun, lebih menekankan pada kualitas secara

ilmiah karena menyangkut pengertian, konsep nilai serta ciri-ciri

yang melekat pada kawasan penelitian lainnya.

Keterangan Bagan:

Gambar 2.4

Model Penelitian

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Pakraman

Padangtegal Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar sebagai satuan : Hubungan langsung dua arah saling berkaitan

: Hubungan langsung satu arah

: Hubungan yang ingin dicapai

wilayah, dan lokasi kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana.

Pemilihan lokasi ini didasarkan beberapa pandangan, yakni

kawasan desa Pakraman Padangtegal merupakan kawasan

strategis pariwisata yang berada di lingkungan Ubud. Pada

wilayah tersebut, kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana

dikembangkan sebagai kawasan wisata sehingga menjadi menarik

Implikasi sistem

Pendidikan Agama Hindu berbasis Tri Hita

Karana terhadap desa

Pakraman Padangtegal

Latar

belakangMandala

suci Wenara Wana tetap lestari sampai

sekarang

Mandala Suci Wenara Wana di kawasan wisata Padang

Tegal Ubud

Kertih Wana

AGAMA HINDU

Membangun kesadaran Generasi muda Hindu untuk mempertahankan kesakralan lingkungan hutan Mandala Suci Wenara Wana

Sistem Pendidikan Agama Hindu Berbasis

Tri Hita Karana di Kawasan Wisata

Mandala Suci Wenara

Wana

Globalisasi

Pariwisata Pelestarian Wenara

Wana Menurut

Tradisi Bali

Jana Kertih Samudra

Kertih

Page 15: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

17 18

untuk dikaji dan ditelaah. Sebuah kawasan wisata yang masih

tetap mempertahankan lingkungan sebagai basis pengembangan

wisata dunia.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data primer adalah data yang dikumpulkan dari lapangan

(Field Research) yang bersumber dari informan (Iqbal, 2002: 23),

diperoleh melalui observasi, dokumentasi dan wawancara

terhadap tokoh-tokoh yang dipandang mengetahui permasalahan

yang akan diteliti. Berdasarkan hal tersebut sumber data primer

dalam penelitian yang dilakukan adalah bersumber dari informan

yang mengetahui secara mendalam berkenaan dengan kawasan

wisata Mandala Suci Wenara Wana.

Data sekunder adalah data yang diperoleh (dikumpulkan)

dari sumber-sumber yang sudah ada atau kajian pustaka (Library

Research) ditulis (Iqbal, 2002: 23). Data sekunder dalam penelitian

ini adalah segala keterangan penunjang yang diperoleh dari tesis,

buku-buku dan makalah dimana isinya relevan dengan topik

penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian

Data yang diambil dalam penelitian ini sebagian besar

diperoleh atau diambil oleh peneliti ditunjang dengan pedoman

wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan yang sifatnya terbuka,

menggunakan alat perekam suara, camera foto, dan alat tulis

menulis.

3.5 Teknik Penentuan Informan

Terkait dengan penelitian ini maka yang ditentukan atau

ditunjuk sebagai informan adalah orang-orang yang dianggap tahu

tentang permasalahan yang diangkat dengan terlebih dahulu

menentukan informan kunci berupa tokoh-tokoh desa yang sangat

mengetahui keberadaan dari kawasan wisata Wenara Wana.

Adapun informan yang ditunjuk dalam penelitian ini adalah

Bendesa Adat, pengelola Wenara Wana dan tokoh-tokoh serta

warga masyarakat yang berada di wilayah atau sekitar Desa

Pakraman Padang Tegal, Ubud

3.6 Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Observasi

Dalam observasi partisipan peneliti dapat berperan ganda,

karena terlibat langsung dengan kawasan penelitian yang diteliti

sehingga peneliti dapat lebih leluasa (enjoy) dan lebih akrab

dengan subjek yang diteliti serta memungkinkan bertanya secara

lebih teliti, lebih rinci dan lebih detail. Observasi non partisipan

tidak hanya menuntut keterlibatan peneliti terfokus terhadap

kegiatan/ fenomena dari subjek yang diteliti. Penelitian kualitatif

Page 16: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

19 20

dimana peneliti terfokus pada bagaimana mengamati, merekam

dan mencatat fenomena yang diteliti.

3.6.2 Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data

apabila peneliti ingin melakukan studi dalam rangka menemukan

permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin

mengetahui hal-hal dari informan secara mendalam. Peneliti

mengumpulkan data melalui proses tanya jawab lisan yang

berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang

mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancarai.

3.6.3 Dokumen

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya

monumental yang terkait dengan objek penelitian ini dikumpulkan

dari tokoh masyarakat, pengelola kawasan wisata, perpustakaan,

atau dari media sosial.

3.7 Teknik Analisis Data

Data penelitian ini dianalisis secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam

kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa

menyusun ke dalam pola, memilih nama yang penting dan mana

yang patut dipelajari, serta membuat simpulan sehingga mudah

dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil penelitian disajikan secara informal merupakan data

kualitatif dicandra melalui narasi, uraian serta dikuatkan oleh suatu

argumentasi. Data secara formal yang merupakan data kuantitatif

disajikan untuk memperjelas dan memudahkan dalam pemahaman

hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan matriks sesuai

dengan jenis dan bentuk data. Hasil penelitian secara sistemik

dituangkan ke dalam 8 bab.

Page 17: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

21 22

IV. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian Mandala Suci Wenara Wana di Kawasan

Wisata Padangtegal Ubud, Gianyar, Bali (Perspektif Pendidikan

Agama Hindu Berbasis Tri Hita Karana pada Komunitas Lokal),

diuraikan sebagai berikut.

4.1 Latar Belakang Pelestarian Mandala Suci Wenara Wana

1), Pemenuhan Kebutuhan Unsur Pahyangan

Adapun keberadaan Mandala Suci Wenara Wana di desa

Pakraman Padangtegal Ubud Bali sebagai kawasan hutan yang

sangat disucikan dan dilestarikan adalah tiada lain sebagai

pemenuhan kebutuhan unsur Pahyangan dan tempat bagi umat

Hindu di desa Pakraman Padangtegal dalam menjalankan aktivitas

beragama. Dengan kata lain, pelestarian kawasan hutan Manda

Suci Wenara Wana adalah untuk pemenuhan kebutuhan agama

atau religius sebagai salah satu konten konsep Pahyangan dalam

Tri Hita Karana. Sebagaimana hal itu dapat dilihat bahwasanya

di areal hutan berdiri bangunan suci, yakni Pura Dalem, Prajapati,

Beji Desa Pakraman Padangtegal. Jadi, latar belakang pelestarian

hutan Mandala Suci Wenara Wana secara elementer merupakan

salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan unsur Pahyangan,

yang di dalamnya ada aktivitas ritual, seni, budaya dan lain

sebagainya.

Berkenaan dengan hal tersebut, berikut diuraikan bahwa

latar belakang pelestarian kawasan Mandala Suci Wenara Wana

sebagai pemenuhan kebutuhan unsur Pahyangan.

a. Adanya Penghayatan TerhadapYang Sakral

Penghayatan akan yang sakral di Desa Pakraman

Padangtegal Ubud dapat dilihat dalam mana masyarakat Desa

Pakraman Padangtegal memperlakukan kawasan Mandala Suci

Wenara Wana agar tetap lestari. Masyarakat Desa Pakraman

Padangtegal Ubud melestarikan kawasan Mandala Suci Wenara

Wana tidak hanya dilatar belakangi atas kepentingan komodifikasi

wisata tetapi lebih kepada adanya “penghayatan” akan yang sakral

dan keramat.

b. Pura Dalem Agung Simbol Kehadiran yang Sakral

Berdirinya Pura Kayangan Desa Dalem Agung, Prajapati

dan Beji yang berada tepat ditengah-tengah wilayah hutan

Mandala Suci Wenara Wana dapat dikatakan sebagai pusat desa

pakraman dalam melakukan “penghayatan” kepada yang sakral.

Adanya tempat suci tersebut menjadi salah satu sumber yang

memperkuat keyakinan masyarakat terhadap objek wisata

Mandala Suci Wenara Wana sebagai tempat sakral, dan

simbolisasi dari kehadiran yang sakral. Sebagaimana diketahui

Page 18: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

23 24

bahwa pura bagi umat Hindu adalah tempat suci yang disakralkan

sebagai sthana para Dewa dan Dewi (Titib, 2003:88, Wiana,

2008:7, Suhardana, 2010:9).

Bagi masyarakat Desa Pakraman Padangtegal sangat

meyakini Pura Dalem Agung Desa Pakraman Padangtegal sebagai

sthana dari Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasinya sebagai

Ida Bhatara Dalem Lingsir yang disakralkan dan dikeramatkan

masyarakat setempat. Berdasarkan atas keyakinan masyarakat

setempat, bahwa Pura Dalem Padangtegal tersebut adalah sthana

atau ditempatkannya Ida Bhatara dalam wujud Pelawatan Barong

Macan dan perwujudan lainnya sebagai objek pemujaan.

c. Diperkuat dengan Cerita Tenget

Banyak cerita tenget yang berkembang dan tetap eksis di

lingkungan Desa Pakraman Padangtegal berkenaan dengan

kawasan hutan Mandala Suci Wenara Wana. Tidak dapat

disanggah keberadaan cerita mitos yang berbalut magis tersebut

sebagai sebuah ketidak nyataan. Justru masyarakat Padangtegal

beranggapan dan berkeyakinan bahwa cerita tersebut mengandung

kebenaran yang sahih. Terbukti berdasarkan atas cerita lisan dari

pengalaman beberapa orang yang menceritakan bahkan

mengalami, bahwa kawasan hutan tersebut adalah tenget.

Atas dasar tersebut, masyarakat meyakini bahwa hutan

tersebut adalah tenget dan tidak boleh berlaku sembarangan. Cerita

satua-tenget yang berkembang di Desa Pakraman Padangtegal

dapat pula dimaknai sebagai hasil dari perasan pemikiran leluhur

atau tetua desa Padangtegal sebagai hasil dari proses “berpikir”

(amuter tutur pinehayu) yang di dalamnya ada kebenaran yang

tersembunyi.

d. Aktivitas Religi Pada Mandala Suci Wenara Wana

Aktivitas perayaan ritus yajña yang sering dilakukan di

wilayah hutan Mandala Suci Wenara Wana adalah perayaan

upacara Dewa Yajña bertepatan dengan Tumpek Uduh (Wariga)

dan Tumpek Kandang.

Adapun aktivitas religi yang dilakukan masyarakat Desa

Pakraman Padangtegal pada saat hari suci Tumpek Uduh yaitu

aktivitas religius dengan memberikan persembahan kepada

tumbuh-tumbuhan yang berada di kawasan hutan Mandala Suci

Wenara Wana. Selain aktivitas religius yang terwujud dalam

perayaan ritus upacara Tumpek Uduh (Wariga), di kawasan hutan

Mandala Suci Wenara Wana juga dilaksanakan aktivitas religius

lainnya yakni perayaan Tumpek Kandang. Penduduk yang tinggal

di wilayah Desa Pakraman Padangtegal pada saat hari suci

Tumpek Kandang memberikan persembahan kepada Jero Gede

(kera) yang tinggal di hutan Mandala Suci Wenara Wana. Aktivitas

ritus yajña ini dilakukan oleh semua penduduk desa dengan

membawa berbagai sesaji atau banten kepada Ida Bhatara atau

Page 19: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

25 26

Hyang Pasupati yang tiada lain penguasa para kera (Jero Gede)

yang tinggal di hutan Mandala Suci Wenara Wana.

2). Pemenuhan Kebutuhan Unsur Pawongan

Umumnya interaksi sosial bagi masyarakat Bali terjadi di

lingkungan sosial dalam desa pakraman. Dengan adanya ritual

yang dilangsungkan di desa pakraman maka secara tidak langsung

interaksi dan soliditas sosial akan terjadi. Dengan demikian, aspek

pawongan dalam konsep Tri Hita Karana direalisasikan dalam

ritual dan kegiatan keagamaan di lingkungan desa pakraman. Di

desa Pakraman Padangtegal, interaksi sosial terjadi di desa

Pakraman, dan secara substatif keberadaan desa Pakraman adalah

media mengaplikasikan konsep pawongan.

a. Ritual Memperkuat Solidaritas Krama Desa

Aktivitas ritual yang dilaksanakan di kawasan Mandala

Suci Wenara Wana adalah media yang efektif dalam mempererat

solidaritas sosial antar warga desa. Dengan demikian, aktivits

ritual tidak serta merta mengamini anomali paradigma kekinian

bahwa ritual memberatkan umat apalagi memiskinkan umat. Justru

aktivitas religius tersebut memperkuat, seperti Korn menyatakan

tesanya tentang kuatnya krama desa di Bali, bahwasanya apa yang

bisa menjadi kekuatan untuk mendorong orang Bali ke dalam

kelompok-kelompok yang disatukan secara kokoh, yang

berkumpul pada saat-saat tertentu adalah “pelayanan terhadap

dewa-dewa” yang secara ajeg meminta perhatian, penghormatan

dan pengabdian dari penduduk (Goris, 2013:2).

Aktivitas religius di kawasan Mandala Suci Wenara Wana

dilakukan bertepatan dengan hari suci Tumpek Kandang dan

Tumpek Wariga dan hari-hari suci lainnya. Pada saat perayaan,

semua warga berdatangan melakukan ngayah, dan melakukan

persembahan pada saat piodalan. Sistem ngayah adalah sebuah

sistem tradisional Bali dengan ciri khas bahwa ada ketulus iklasan

di dalamnya. Meskipun, kini masyarakat Padangtegal mengalami

pergeseran, karena masyarakat tidak lagi melakukan sistem

ngayah sepenuhnya tetapi dibayar. Meskipun demikian, ada nilai-

nilai dari prinsip ngayah yang masih tetap dipertahankan.

Menggunakan sistem pembayaran, tetapi masyarakat masih tetap

menjaga keutuhan antar struktur sosial agar pola teratur dalam

ranah interaksi yang mapan. Artinya, krama desa menjaga dengan

baik hubungan antar strukturasi desa, seperti kerta desa dengan

bendesa dan atau pemimpin desa dengan krama desa. Pola

hubungan yang baik antar krama desa atau pemimpin desa dengan

krama desa menjadi lebih baik melalui perjumpaan mereka dalam

aktivitas religius.

Page 20: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

27 28

b. Ritual Memperkuat Solidaritas Keluarga

Hal yang menjolok dapat ditemukan dalam keluarga Hindu

Bali, termasuk di Desa Pakraman Padangtegal adalah adanya

aktivitas religus berupa ritual-ritual yang dilakukan di pura

keluarga. Dalam ritual keluarga, yang dilakukan di pemerajan

dan sanggah keluarga akan dapat meperkuat solidaritas sosial di

keluarga karena pada saat ritual akan terjadi interaksi sosial yang

simultan. Terlebih bagi desa Pakraman Padangtegal, keberadaan

kawasan Mandala Suci Wenara Wana secara tidak langsung dapat

memunculkan soliditas antar keluarga semakin kuat. Aktivitas

religi yang dilakukan di kawasan Mandala Suci Wenara Wana

tidak saja melibatkan masyarakat desa secara umum, tetapi

melibatkan semua komponen keluarga. Semua keluarga dilibatkan

sehingga akan terjadi interaksi yang intens antar keluarga dan

tanpa disadari akan berdampak pada perbaikan hubungan sosial.

c. Ritual Memperkuat Solidaritas Sosial Sekaa

Atmaja (2015) menjelaskan bahwa dalam rangka

memperkuat peran desa pakraman sebagai pusat pengembangan

kebudayaan Bali, maka di dalam desa pakraman terdapat sekaa

sebagai organisasi tradisional dengan skala lebih kecil.

Keberadaan sekaa di Desa Pakraman Padangtegal dapat dikatakan

selalu eksis, dan sekaa tersebut meliputi: sekaa truna, sekaa gong,

sekaa santi, sekaa ekonomi produktif dan sekaa-sekaa lainnya.

Setiap pelaksanaan ritual yadnya yang dilakukan di kawasan

Mandala Suci Wenara Wana atau di kawasan desa pakraman,

sekaa truna berperan sangat aktif dalam mebantu jalanya upacara

yadnya. Para warga sekaa terlibat langsung dalam setiap ritual,

yakni sebagai pengayah, sekaan gong, santi dan yang lainnya.

Sebab keberadaan sekaa gong, santi dan yang lainnya tidak dapat

dipisahkan dari keberadaan sekaa truna. Keaktifan para warga

sekaa tersebut secara tidak langsung dapat meningkatkan dan

menguatkan ikatan solidaritas sosial antar warga sekaa. Demikian

pula sekaa-sekaa yang lainnya, misalnya sekaa gong dan

pesantian; setiap ritus yadnya mereka terlibat langsung sehingga

secara tidak langsung akan ada interaksi sosial di dalamnya.

Selain sekaa-sekaa tersebut, di Desa Pakraman

Padangtegal masih dapat dijumpai sekaa subak, yakni berorientasi

pada sektor pertanian. Sekaa Subak yang ada di desa pakraman

memiliki ikatan yang sangat kuat, terlebih Subak menjadi sebuah

aset budaya yang dapat digunakan untuk mengakumulasi modal.

3). Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi

Segala potensi yang dimiliki kawasan wisata Mandala

Suci Wenara Wana tersebut sudah menjadi komoditi yang strategis,

terlebih adanya jargon bahwa pengembangan pariwisata berbasis

budaya dan ekologis (Tri Hita Karana) sehingga akan menjadi

daya tarik tersendiri.

Page 21: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

29 30

a. Ekonomi Lokal

Eksistensi Mandala Suci Wenara Wana menjadi aset yang

menguntungkan bagi warga Desa Pakraman Padangtegal.

Kawasan Mandala Suci Wenara Wana dengan segala pesona dan

aset yang dimiliki sudah tentu menjadi sebuah objek untuk

mengakumulasi modal ekonomi atau finansial. Sebagaimana telah

disebutkan bahwasanya pengelolaan objek wisata Mandala Suci

Wenara Wana berada di bawah naungan Desa Pakraman sebagai

organisasi lokal. Dengan kata lain, Desa Pakraman Padangtegal

adalah sebagai pemilik dan pemegang modal atas kawasan

Mandala Suci Wenara Wana beserta dengan populasi kera di

dalamnya sehingga penduduk desa dapat dikatakan sebagai

“penikmat” keuntungan atas kepemilikan modal tersebut. Bertolak

dari hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa kawasan Mandala Suci

Wenara Wana adalah salah satu sumber modal yang tersebar dalam

ranah sosial ekonomi.

b. Penggerak Ekonomi Keluarga dan Desa Pakraman

Keberadaan kawasan Mandala Suci Wenara Wana selain

sebagai penggerak ekonomi lokal, secara mengkhusus eksistensi

kawasan tersebut sebagai penggerak ekonomi keluarga dan desa

pakraman. Fashri (2013:11) menyitir uraian Bourdieu bahwa

modal ekonomi sebagai basis dari modal-modal yang lain. Dalam

artian penguasaan modal ekonomi akan dapat mengkonversi

modal-modal yang lain, sederhananya seseorang yang menguasai

modal ekonomi, maka orang tersebut dapat menguasai modal

budaya dan modal-modal lainnya. Jadi dengan demikian, modal

ekonomi adalah modal yang paling penting dikuasai menurut

pemikiran Bourdieu. Gagasan teoretis Bourdieu tersebut

nampaknya berlaku bagi masyarakat Desa Pakraman

Padangategal dalam mereka memanfaatkan kawasan Mandala

Suci Wenara Wana. Semakin banyak kunjungan wisatawan di

kawasan tersebut, semakin banyak pula keluarga dan krama desa

mendirikan berbagai usaha wisata agar dapat mengakumulasi

modal ekonomi, yakni modal finansial.

Kawasan Mandala Suci Wenara Wana dapat dikatakan

memiliki kekhasan tersendiri dalam mengakumulasi modal

ekonomi. Selain itu, khusus bagi warga Desa Padangtegal sendiri

keberadaan dari kawasan ini merupakan sumber mata pencaharian

untuk menguatkan modal ekonomi keluarga. Hal tersebut dapat

dilihat dan dicermati pada wilayah sekitar kawasan Mandala Suci

Wenara Wana dan kawasan Desa Padangtegal; sangat banyak

didirikan toko-toko seni, hotel, home stay, spa, restoran dan segala

akomodasi wisata lainnya yang mendatangkan keuntungan

finansial.

Page 22: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

31 32

c. Pemasukan Finansial Bagi Desa Pakraman

Kawasan Mandala Suci Wenara Wana tidak saja

membawa keuntungan bagi pemilik modal atau investor tetapi

membawa keuntugan finansial juga bagi Desa pakraman secara

keseluruhan. Berdasarkan atas isi perarem Desa tersebut dapat

diketahui bahwasannya penguatan ekonomi Desa Pakraman

Padangtegal tidak saja bersumber dari objek wisata Mandala Suci

Wenara Wana tetapi juga dari para pengusaha pendatang maupun

pengusaha-pengusaha yang mendirikan usaha produksi di Desa

Pakraman Padangtegal. Hal tersebut menjadikan masyarakat Desa

Pakraman Padangtegal memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi

dibandingkan dengan daerah lainnya.

Dalam awig-awig tersebut bahwa LPD, kawasan Mandala

Suci Wenara Wana, komplek kios, parkir dan yang lainya semua

adalah aset Desa pakraman. Aset tersebut sepenuhnya milik desa

dan dikelola dibawah Desa pakraman. Sekian aset yang dimiliki

desa menjadikan desa memiliki pemasukan yang tinggi, dan ini

sangat membantu kesejahteraan masyarakat desa.

4). Pemenuhan Kebutuhan Unsur Palemahan

Eksistensi Mandala Suci Wenara Wana selain sebagai

pemenuhan kebutuhan tersebut di atas, keberadaan kawasan

tersebut juga sebagai pemenuhan kebutuhan palemahan terkait

dengan daya estetis (keindahan).

a. Ekosistem Mandala Suci Wenara Wana Sebagai Keindahan

Secara keseluruhan kawasan wisata Mandala Suci Wenara

Wana memunculkan nilai keindahan di dalamnya. Hutan tropis

yang menghijau, populasi kera yang jinak beserta dengan

bangunan suci yang berdiri di tengah-tengah hutan. Semua itu

memunculkan daya estetis yang kuat, dan keindahan tersebut

muncul dari sebuah tatanan harmonis ekosistem yang

dikembangkan dengan tingkat kealamiahannya (natural). Merujuk

uraian Djelantik (1990:10) bahwa objek yang dikatakan “estetis”

ketika di dalam objek ada keharmonisan. Nampaknya gagasan

Djelantik (1990) tersebut memiliki koherenitas dengan keberadaan

kawasan Mandala Suci Wenara Wana dengan ekosistem di

dalamnya yang harmonis atau selaras hidup dengan keadaan hutan

tropis yang menyejukan. Populasi kera (baca:Jero Gede)

merupakan ikon kawasan yang penting dan memuncukan daya

tarik tersendiri. Di Bali sendiri, ada beberapa kawasan wisata

dengan menempatkan ikon kera sebagai daya tarik, seperti Sangeh,

Alas Kedaton dan Uluwatu. Namun di kawasan Mandala Suci

Wenara Wana kera begitu sangat jinak dan harmoni hidup di hutan

meskipun ada banyak pengunjung. Keharmonisan kera dengan

lingkungan hutan dan pengunjung sehingga para kera menjadi

objek keindahan yang dinikmati oleh pengunjung. Populasi kera

yang hidup di kawasan hutan seolah-olah tidak merasa terganggu

dengan adanya banyak pengunjung, bahkan ada beberapa kera

Page 23: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

33 34

nampak jinak didepan pengunjung sehinga ada keselarasan yang

mewujud keindahan.

b. Ritual Sebagai Ruang Pentas Keindahan Bagi Krama Desa

Aktivitas ritual bagi masyarakat Bali, dan Desa Pakraman

Padangtegal tidak lain adalah ruang pentas untuk

mempertontonkan segala keindahan dari ide atau gagasan kreatif

masyarakat lokal. Oleh karena itu, segala bentuk ritual di Desa

Pakraman Padangtegal selalu memperlihatkan daya estetis yang

luar biasa. Tidak saja persembahan dan sarana upakara dibuat

indah, tetapi dalam setiap upacara juga dipentaskan kesenian

sakral sebagai pelengkap upacara. Bandem (2012:14) menjelaskan

bahwa tarian sakral atau wali merupakan pengiring dan pelengkap

dari upacara yadnya, jika tidak dipentaskan maka yadnya dapat

dikatakan kurang lengkap. Mengacu pada gagasan ini, jelas bahwa

setiap tarian wali yang dipentaskan masyarakat desa pakraman

pada saat perayaan ritus adalah sebagai pelengkap atau pengiring

ritual. Kesenian tari wali yang dipentaskan pada saat upacara

yadnya, terutama pada saat upacara Tumpek Kandang dan Tumpek

Uduh adalah Rejang Dewa, Wayang Lemah, dan Topeng Dalem

Sidakarya. Hutan Mandala Suci Wenara Wana yang semula hanya

dipenuhi riuhnya suara kera, terdengar suara genta sang wiku,

gamelan tradisional Bali, dan terian serta wayang lemah yang

menimbulkan suara Ramya atau riuh yang indah. Pentas ritual

tersebut dapat dikatakan sebagai ajang pertunjukkan daya

keindahan. Pertunjukkan tersebut bukan ditunjukan kepada para

pengunjung, tetapi kepada Ida Bhatara yang bersthana di Pura

Dalem Agung dan wilyah hutan yang telah memberikan

Lungsurang Lango kepada warga desa.

5). Kontrol Sekala dan Niskala

a. Kontrol Sekala

Keberadaan kawasan hutan Mandala Suci Wenara Wana

dapat dijadikan ikon pengembangan hutan dan wisata hutan yang

ideal. Kawasan tersebut secara eksplisit dapat menjadi pengendali

sosial secara sekala bagi masyarakat dan manusia untuk perduli

terhadap ekologis. Sesungguhnya, dalam teks sastra suci Hindu

lingkungan, hutan, pepohonan dan binatang dimuliakan sebagai

manifesfasi Tuhan (Prime, 2006). Demikian pentingnya

lingkungan terhadap kehidupan manusia, maka pelestarian

kawasan Mandala Suci Wenara Wana sangat memeperhatikan

betul sisi kealamian sebagai taman wisata yang berbasis

ekosentrisme. Dalam hal ini, regulasi dan aturan direduksi dengan

aturan desa (Awig-Awig), sehingga aturan tersebut sebagai norma

yang kuat, dan tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap aturan

tersebut ada landasan hukum, baik adat dan nasional sebagai

ganjaran logisnya.

Page 24: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

35 36

b. Kontrol Niskala

Satua tenget tersebut menjadikan warga Padangtegal tidak

berani melakukan hal yang tidak baik terhadap lingkungan hutan,

terlebih kera sebagai “Jero Gede”. Semua ekosistem dijaga dengan

baik sehingga tidak ada perilaku yang melanggar norma tertentu.

Terlebih dalam konsep kesucian pura, bahwa areal di luar pura

dikenal dengan alas kekeran yakni hutan sebagai tempat olah batin

spiritual (Tim Penyusun, 2009). Dengan demikian, kawasan

Mandala Suci Wenara Wana selain sebagai media kontrol sekala,

dapat juga dijadikan kontrol niskala. Adanya kepercayaaan magis

tersebut akan mendidik warga dan manusia bahwa bagaimanapun

yang niskala adalah sangat dekat dengan kehidupan, terlebih tanah

Bali yang diyakini sebagai tanah yang metaksu. Untuk itu, niskala

dapat dijadikan guru kehidupan sehingga dapat menjalankan

kehidupan dengan seimbang antara sekala dan niskala.

4.2 SISTEM PENDIDIKAN AGAMA HINDU BERBASIS

TRI HITA KARANA PADA KAWASAN WISATA

MANDALA SUCI WENARA WANA

4.2.1 Pendidikan di Lingkungan Keluarga

Proses pendidikan di keluarga yang begitu jelas terlihat

adalah adanya pola asuh religius yang tidak sengaja dilaksanakan

oleh krama desa. Pola asuh religius tersebut adalah adanya proses

pendidikan di keluarga yang melibatkan orang tua dan anak. Hal

tersebut jelas terlihat, ketika keluarga krama akan pergi

melangsungkan persembahyangan ke kawasan hutan Mandala

Suci Wenara Wana mereka dianjurkan terlebih dahulu untuk

melakukan prosesi persembahyangan di rumah atau di pura

keluarga masing-masing. Hal tersebut dipandang penting,

mengingat keyakinan krama desa bahwa pemujaan terhadap

Bhatara Hyang Guru dan leluhur adalah penting. Dengan

demikian, orang tua akan mengajarkan anak agar hormat kepada

leluhur dan Bhatara Hyang sebagai Tuhan yang bersthana di pura

keluarga.

4.2.2 Pendidikan di Lingkungan Desa Pakraman

Melalui perayaan ritus yajña Tumpek Wariga

sesungguhnya akan mendidik manusia, khususnya warga desa

pakraman untuk menghargai proses dan “kerja keras” alam

tersebut dalam berproses dan dalam pelaksanaan yajña. Adapun

kerja keras, usaha dan semacamnya adalah salah satu model

pendidikan karakter (Lickona,2013:112). Adapun pendidikan

dewasa ini, belum optimal mencapai hal tersebut, dan pendidikan

lebih mengarahkan agar manusia untuk melakukan segala

sesuatunya dengan segala hal dengan “sekejap mata” tanpa

melakukan kerja keras.

Page 25: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

37 38

Bahwa prosesi perayaan ritus yajña Tumpek Uye atau

Kandang di Mandala Suci Wenara Wana merupakan media

pendidikan Hindu agar manusia, khususnya masyarakat di desa

Pakraman Padangtegal dapat mengembangkan kasih sayang

kepada semua makhluk. Sikap kasih sayang kepada semua

makhluk, khususnya populasi kera yang ada di wilayah hutan

Mandala Suci Wenara Wana.

4.2.3 Pendidikan di Lingkungan Sekaa Truna

Tatanan Palemahan dalam kawasan Mandala Suci

Wenara Wana akan memaksa warga sekaa menumbuhkan

hubungan karib dan harmonis dalam lingkungan alam.

Selanjutnya, tatanan Pawongan dalam kawasan Mandala Suci

Wenara Wana mengimbau warga sekaa truna dan krama desa

untuk mengembangkan interaksi akrab dan harmonis dalam

lingkungan sosial. Adapun tatanan Parhyangan dalam kawasan

Mandala Suci Wenara Wana mengingatkan warga sekaa kembali

membangun ikatan kekal dan harmonis dengan Tuhan dalam

lingkungan budaya. Ketiga lingkungan ini menggambarkan fokus

manusia melangsungkan kehidupan bersama dengan sesama

mahluk dan benda-benda.

4.2.4 Pendidikan Bagi Siswa Lewat Karya Wisata Guna

Pelestarian Lingkungan

Melalui pengajaran karya wisata maka siswa akan

memiliki pengetahuan yang komperensif berkenaan dengan

pembelajaran ekologis sehingga dapat dijadikan media

pemebalajaran dalam mengembangkan keperduliaan siswa

terhadap lingkungan. Khususnya di kawasan wisata Mandala Suci

Wenara Wana, Umunya siswa maupun mahasiswa yang

berkunjung untuk karya wisata akan membuat laporan penelitian

berkenaan dengan kawasan hutan dan ekosistem di dalamnya.

Siswa dan mahasiswa yang melakukan karya wisata akan

melakukan observer di kawasan hutan berkenaan dengan

pengelolaan hutan, sampah dan pengelolaan satwa kera yang

menjadi ikon kawasan wisata. Melalui karya wisata tersebut,

siswa, mahasiswa dan pengunjung secara tidak langsung

mendapatkan pengetahuan berkenaan dengan ekologis.

Sebagaimana dijelaskan Piaget (2001:112), bahwa seseorang

mendapatkan pengetahuan melalui proses adabtif intelek di mana

dapat melalui pengalaman akibat dari interaksi dengan lingkungan.

4.2.5 Pendidikan Agama Hindu Berbasis Indigenous Wisdom

(Kearifan Lokal)

Untuk mewujudkan jalur pendidikan non formal yang

berpusat indigenous wisdom Tri Hita Karana sebagai pusat

pembudayaan kompetensi, pembangunan harus melibatkan semua

komponen, mengimplementasikan core values Tri Hita Karana

Page 26: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

39 40

ke dalam berbagai bentuk aktivitas. Agar memberi hasil yang

maksimal warga msayarakat desa Pakraman Padangtegal, staff

pengelolaan dan pengunjung harus mampu mempromosikan core

ethical dan performance values Tri Hita Karana yang telah

ditetapkan sebagai fondasi pembentukan karakter manusia. Ini

harus diawali dengan adanya wilayah yang mencirikan konsep

Tri Hita Karana secara nyata, bangunan Tri Hita Karana, simbol-

simbol nilai Tri Hita Karana dalam dalam berbagai aspek. Simbol-

simbol Tri Hita Karana yang menggambarkan keharmonisan

hidup harus mudah dibaca oleh siswa, tercetak dalam buku

pelajarannya, tas sekolah, pakaian sekolah.

4.3 IMPLIKASI SISTEM PENDIDIKAN AGAMA HINDU

BERBASIS TRI HITA KARANA DI KAWASAN

WISATA MANDALA SUCI WENARA WANA

TERHADAP DESA PAKRAMAN PADANGTEGAL

UBUD

4.3.1 Penguatan Sakralisasi Ekologis

Menguatnya aspek religius dalam kehidupan masyarakat

desa Pakraman Padangtegal dapat dilihat dari volume kegiatan

religius yang secara simultan dilakukan semakin meningkat.

Disamping itu, perilaku etis masyarakat memperlakukan alam dan

satwa di kawasan Mandala Suci Wenara Wana dapat dijadikan

sebagai sebuah deskripsi logis bahwa aspek religius sangat kuat.

Di samping itu, keyakinan akan yang sakral masih tetap

dipertahankan, sehingga agama menjadi sebuah kontrol sosial.

4.3.2 Penguatan Kesakralan Ekosentrisme

Implikasi lainnya yang tidak dapat dibaikan adalah

berkenaan penguatan terhadap ekosentrisme atau keberpusatan

terhadap alam dan lingkungan. Emik atau keyakinan yang

disepakati bersama oleh masyarakat desa Pakraman Padangtegal

dan pengelola bahwa tumbuhan disekitar kawasan Mandala Suci

Wenara Wana menjadikan hutan tersebut lestari serta dijaga

melalui penghijauan. Selain emik tersebut, kawasan Mandala Suci

Wenara Wana memajukan perekonomian masyarakat sekitar

bahkan Ubud secara keseluruhannya sehingga hal tersebut

menjadikan daya dorong bagi masyarakat Padangtegal untuk tetap

melestarikan hutan Wenara Wana. Oleh karena itu, manusia

khususnya masyarakat desa Pakraman Padangtegal sangat

tergantung dengan lingkungannya.

4.3.3 Penguatan Ekonomi Berbasis Tri Hita Karana

Sistem perekonomian yang diterapkan di kawasan

Mandala Suci Wenara Wana memiliki pola anutan bersesuaian

dengan konsep Tri Hita Karana. Hal tersebut dapat dilihat dari

sistem pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pengeloalan

Page 27: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

41 42

kawasan Mandala Suci Wenara Wana. Secara emperikal,

pengelolaan modal ekonomi kawasan Mandala Suci Wenara Wana

secara nyata dapat membawa implikasi penguatan terhadap

perekonomian masyarakat desa Pakraman Padangtegal.

Keberadaan dari kawasan wisata Mandala Suci Wenara

Wana telah membawa implikasi terhadap penguatan ekonomi

masyarakat desa. Selain pemasukan yang datang dari kawasan

wisata tersebut, masyarakat desa dapat membangun modal

ekonomi mikro dengan mengembangkan berbagai sektor usaha

akomodasi pariwisata, seperti home stay, restoran, spa, dan yang

lainnya. Sebagaimana dapat disimak, disekitar wilayah Mandala

Suci, sampai dengan areal desa sangat banyak ditemukan unit-

unit usaha pariwisata.

4.3.4 Penguatan Kesadaran Wisata Berbasis Tri Hita Karana

Kawasan Mandala Suci Wenara Wana sedari awal berdiri

sudah mengusung tema budaya, yang dijiwai oleh ajaran agama

Hindu dengan menempatkan ekologi sebagai besik

pengembangan. Tentunya hal tersebut membawa implikasi

terhadap kehidupan sosial masyarakat desa Pakraman

Padangtegal. Pengembangan kawasan wisata Mandala Suci

Wenara Wana tidak saja berorientasi kepada pengembangan

pariwisata budaya, tetapi mendasarkan pada ajaran agama Hindu

( Tri Hita Karana) dalam pelestarian ekologi sebagai daya dukung

alam. Ideologi wisata demikian, secara terus menerus membawa

transformasi pola pikir masyarakat menuju pada peningkatan

kesadaran akan pentingnya pariwisata berlandaskan pada budaya,

agama dan ekologi.

Kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana secara tidak

langsung dapat dijadikan media pendidikan yang di dalamnya

terkandung muatan sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri

Hita Karana. Hal tersebut akan membawa implikasi positif bagi

masyarakat desa pakraman guna meningkatkan kesadaran mereka

akan pentingnya membangun sebuah ideologi pariwisata

bernafaskan budaya Bali, agama Hindu dan peduli lingkungan.

Dampak positif dari penerapan konsep Tri Hita Karana di kawasan

wisata Madala Suci Wenara Wana semestinya dapat difahami,

dapat dirasakan dan dihayati oleh semua orang.

4.3.5 Penguatan Pendidikan Ekosentrisme Berbasis Tri Hita

Karana

Keberadaan kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana

sebagai basis pengembangan wisata dengan ideologi Tri Hita

Karana, dan di dalamnya ada sebuah sistem yang merefleksikan

sistem pendidikan agama Hindu telah membawa implikasi dalam

berbagai aspek dalam kehidupan sosial. Selain implikasi yang

dijelaskan di atas, implikasi lain yang sangat penting juga

dijelaskan dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan terjadinya

Page 28: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

43 44

penguatan terhadap ideologi kehinduan masyarakat desa

Pakraman Padangtegal melalui konsep Tri Hita Karana. Hal

tersebut dapat dilihat dari berbagai hal, mulai dari praktik religius

kehidupan warga, dan praktik-praktik lainnya.

V. TEMUAN PENELITIAN

Temuan penelitian bahwa ada wacana kekahwatiran

bahwa konsumerisasi lingkungan menimbulkan desakralisasi, dan

hal tersebut tidak berlaku dalam kawasan Mandala Suci Wenara

Wana. Hal tersebut dikarenakan adanya “penghayatan” dan

“pentaatan” akan hal yang sakral. Selain itu, kawasan Mandala

Suci Wenara Wana merupakan media pendidikan ekologi, dan

penting bagi guru sebagai media pembelajaran terutama bagi

komunitas lokal, bahkan orang-orang di luar Desa Pakraman

Padangtegal dapat menggunakan tempat ini. Mandala Suci

Wenara Wana sebagai modal natural tetapi dialihkan menjadi

modal ekonomi. Kawasan tersebut pula dapat memperkuat modal

natural dan memperbesar modal ekonomi. Temuan lainnya, bahwa

telah terjadinya penguatan terhadap yang sakral pada kawasan

hutan sehingga hutan lestari. Penguatan tersebut terjadi akibat

adanya keyakinan yang sakral melalui ritus suci.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Latar belakang pelestarian kawasan wisata Mandala

Suci Wenara Wana meliputi: (1) Adanya pemenuhan kebutuhan

agama melalui penghayatan akan yang sakral dan hal tersebut

tersebut dapat dilihat ketika masyarakat desa Pakraman

Padangtegal memperlakukan kawasan Mandala Suci Wenara

Wana agar tetap lestari. Masyarakat desa Pakraman

Padangtegal Ubud melestarikan kawasan Mandala Suci Wenara

Wana tidak hanya dilatar belakangi atas kepentingan

komodifikasi wisata tetapi lebih kepada penghayatan akan yang

sakral. (2) Adanya pemenuhan kebutuhan sosial sebagai

penguat solidaritas sosial. (3) Pemenuhan kebutuhan ekonomi

dapat dilihat dari pelestarian kawasan Mandala Suci Wenara

Wana yang sudah jelas berkaitan dengan pendapatan,

keuntungan dan uang. Semakin besar keuntungan maka

semakin besar peluang mengakumulasi uang, dan menjadi

pertanda bahwa pengelolaan kawasan Wenara Wana sangat

baik. (4) pemenuhan kebutuhan estetis, yang mana segala

aktivitas ritual memunculkan nilai keindahan (sandining

lango). (5) Kontrol sekala-niskala yakni secara sekala melalui

awig-awig dan niskala melalui kepercayaan terhadap yang

gaib.

Page 29: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

45 46

Sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri Hita

Karana meliputi beberapa hal, yaitu: (1) Sistem pendidikan

di keluarga melalui aktivitas ritual di keluarga dan kawasan

hutan. (2) Sistem pendidkan desa pakraman sebagai media

pembelajaran krama desa terhadap ekologi. (3) Pendidikan

berpusat dilingkungan sekaa truna dengan melibatkan mereka

dalam setiap kegiatan desa, upacara dan penyuluhan

lingkungan. (4) Pendidikan Siswa melalui karya wisata dengan

memanfaatkan kawasan hutan sebagai media pendidikan bagi

siswa.

Implikasi sistem pendidikan agama Hindu berbasis Tri

Hita Karana di kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana

terhadap desa Pakraman Padangtegal meliputi: (1) Penguatan

sakralisasi ekologis dengan meningkatnya intensitas yajña dan

masih tetap dipertahankannya simbol-simbol suci Hindu. (2)

Penguatan kesakralan ekosentrisme, dan keberadaan Mandala

Suci Wenara Wana adalah sebagai media pelestarian

lingkungan dan alam, (3) Penguatan terhadap ekonomi

masyarakat karena adanya sistem pengelolaan keuangan dari

kawasan Mandala Suci Wenara Wana yang sepenuhnya

dikelola oleh desa pakraman. (4) Penguatan kesadaranwisata,

dan pentingnya pariwisata berorientasi budaya-agama dan

ekologi Hindu, (5) Penguatan pendidikan ekologi yang

berdasarkan atas ajaran Tri Hita Karana .

6.2 Saran

Peneliti menyarankan sebagai berikut:

1. Kawasan wisata Mandala Suci Wenara Wana harus tetap

dipertahankan sebagai pariwisata yang berbasis budaya dan

agama Hindu oleh semua pihak. Pelestarian hutan melalui

perluasan hutan menjadi sangat penting dan perlu,

mengingat bertambahnya populasi kera, dan hal ini harus

dibuatkan konsep/blue print yang jelas.

2. Peran serta masyarakat dan pengunjung harus ditingkatkan

dalam mengembangkan kesadaran untuk menjaga alam dan

lingkungan.

3. Pemerintah daerah seyogyanya berperan aktif dalam

mengelola kawasan Mandala Suci Wenara Wana agar tetap

mempertahankan ideologi Tri Hita Karan agar tetap ajeg.

4. Masyarakat desa Pakraman Padangtegal boleh dikatakan

sudah makmur secara ekonomi, tetapi perlu juga

dikembangkan sector usaha ekonomi produktif untuk

mengembangakan usaha-usaha kreatif dalam rangkan

menciptakan lapangan pekerja.

5. Makanan kera lebih baik dibudidayakan dengan menanam

agar dapat menghemat pengeluaran biaya makanan kera dan

satwa lainnya.

Page 30: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

47 48

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja.2015.Ngaben+Memukur=Tubuh+Api+Uperengga+Mantra=dewa

Pitara+Sorga. Denpasar: Pustaka Larasan.

Fashri Fauzzi.2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol.

Yogyakarta: Jalasutra.

Goris. R.2013. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali.

Denpasar: Udayana University Press.

Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi dan

Aplikasinya. Jakarta : Ghalies Indonesia.

Kaelan,2010. Filsafat Penelitian Sastra dan Teori Heurmeneutik.

Yogkarta: Paradigma.

Lickona. Thomas.2013 Decating for Charakter Mendidik Untuk

Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.

Ritzer George dan Goodman Douglas J. 2013. Teori Sosiologi

Dari Klasik Sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosial

Postmodern. Bantul Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Sivananda Swami.2003. Intisari Ajaran Agama Hindu. Paramita:

Surabaya.

Sudira Putu.2014. Konsep dan Praksis Pendidikan Hindu Berbasis

Tri Hita Karana. Jurnal Ilmiah. UNY Yogyakarta.

Suryawan. I Ngurah.2010. Bali Antah Berantah Refleksi di Dunia

Hampa Pariwisata. Malang: Ins-Trans Publising.

Tim Penyusun Sinar Grafika.2013. Standar Nasional Pendidikan.

Jakarta: Sinar Grafika.

MANDALA SUCI WENARA WANA TOURIST

ATTRACTION AT PADANGTEGAL UBUD, GIANYAR,

BALI TOURIST DESTINATION

(A PERSPECTIVE ON HINDU TRI HITA KARANA OF

THE LOCAL COMMUNITY)

I. INTRODUCTION

1.1 Background

In Hindu, an education on environment is known as Tri

Hita Karana. Conceptually, the Tri Hita Karana is the foundation

for creating a harmony between men and God (parhyangan), men

and men (pawongan) and men and the environment (palemahan)

(Wiana, 2009: 126). The concept is also seen as an education that

emphasizes a domain in which harmony may be attained when

the relation between the three is maintained. Sudira (2014: 2)

writes that the teachings of Tri Hita Karana is a Hindu concept

that leads people towards good characters, spiritual, as well as

good material condition.

As one of the tourist destinations in Bali the forest area of

Mandala Suci Wanara Wana has been managed in accordance

with Tri Hita Karana. It emphasizes appreciation and maintenance

of all God’s creatures in the world. The spiritual activities of the

local people have made the area beautiful and peaceful and feel

to have the good energy (taksu). The rituals the people do show it

all. As for the monkeys and other animals in the forest, offerings

are regularly made. When it comes the holy day of Tumpek

Page 31: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

49 50

Nguduh, a special ritual is also held for the trees and plants of the

forest. These all indicate the education and the practice of the

teachings of Hindu within the harmony management of the tourist

spot of which trees, plants, monkeys, and other animals living in

the forest should be regarded as the teachers. In other words, the

tourism area of Mandala Suci Wenara Wana actually is not all

developed merely for tourism benefit but has been also in

accordance with kind of spiritual and traditional ritual basis.

Although regularly do rituals for honoring the plants and

animals around, most Hindus, especially those living at

Padangtegal, learn that the Mandala Suci Wenara Wana is a tourist

area. They do maintain strongly the ceremonial tradition passed

down by the predecesors.

However, such a premordial tradition may affect negatively

the sacred area and distort the educational values. In recent time

the management find problems that are indirectly caused by the

global capitalism and westernisation trend in the island. Allegedly,

the Hindus living around the Desa Pakraman Padangtegal begin

to be consumtive and ignore the spiritual energy of the place in

favor of money. The peace and spirit have been disturbed since

the race for money keep increasing. In the future the education

within the old tradition is feared to be totally forgotten and replaced

by the postmodernism. Thus, the research is seen to be important

in order to find a solution for avoiding them. This is the

background for the importance of doing this research.

1.2 Research Problems

Based on the background of the study, some problems

formulated for the research are below.

1. How could the tourist area of Mandala Suci Wenara Wana at

Desa Pakraman Padangtegal Ubud be maintained well?

2. What is the system of the Hindu Tri Hita Karana education

practiced at the tourist area of Mandala Suci Wenara Wana at

Desa Pakraman Padangtegal Ubud like?

3. What could be the implication of the system of the Hindu Tri

Hita Karana education practiced at the tourist area of Mandala

Suci Wenara Wana at Desa Pakraman Padangtegal Ubud?

1.3 Research Objectives

1.3.1 General Objective

In general this research is aimed at developing a spiritual

discipline that is based on the Hindu teachings. It is also carried

out in order to develop the awareness of Hindus about the

importance of preserving the natural environment. Implied in it,

this research could reproduce the Hindu identity so that the religion

exists amidts the global culture.

1.3.2 Specific Objective

1. To describe the background for the maintenance of the tourist

tourist area of Mandala Suci Wenara Wana tetap at Desa

Pakraman Padangtegal Ubud;

Page 32: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

51 52

2. To describe the system of the education based on the Hindu

teachings of Tri Hita Karana as found at Mandala Suci

Wenara Wana area at Desa Pakaraman Padangtegal Ubud, and

3. To describe the implication of the education.

1.4 Research Benefit

This research should provide benefits for people, both

theoretically and practically.

1.4.1 Theoretical Benefit

Through this research there should be a contribution for

developing a concept and theory on environmental education.

In addition to that, this research should also give a benefit for

the reformulation of Hindu education as it is still much in

need today.

1.4.2 Practical Benefit

Practically the research may provide the following benefits.

1. For the young generation this research should be a reference

for the effort of preserving the environment of Desa Pakraman

Padangtegal

2. For the regional officers and stake holder this research should

be considered before drawing any decision related to the

environment.

3. For the society in general, this research should be also taken

as a source of education to adjust their attitudes towards the

environment.

CHAPTER II

LIBRARY RESEARCH, CONCEPTS, THEORIES, AND

THE RESEARCH MODEL

Some previous research on environment and research on

education related to it include Heny (2004), Siram (2012),

Pujastawa (2011), Wiradharma (2003), Suartama (2011), Wiguna

(2009), Rickinson (2001), Haryani (2007), and Collective Study

(2013). Thus, in order to understand better the education based

on the Tri Hita Karana further studies are needed in order to

contribute to the national education in general and especially the

Hindu education.

2.2 Concepts

2.2.1 Mandala Suci Wenara Wana

The word “mandala” refers to ‘area’, ‘rule’, ‘religious

institution’, and ‘environment’. Heendeniya (2009: 90) says that

the word “mandala” means a picture with colored rice on land or

cloth made as an instrument for concentrating mind. It may also

mean the areas connected each other in forms that keep power

and sacredness for protection. Sarasvati (2002: 75) explains that

mandala is a set of pictures in pattern; a secret place of Tantric

folowers for contemplation. The word “suci” is a common one

that used to mean ‘sacred’.’clean’, unpolluted’, etc. The word

“wenara wana” as found in Kamus Besar Bahasa Indonesia, the

fourth edition (1995: 346), means the forest inhabited by monkeys.

Page 33: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

53 54

Based on all of these, the name Mandala Suci Wenara Wana can

be understood as a clean and sacred area of forest in which

monkeys inhabit.

2.2.2 The Tourist Area of Padangtegal Ubud

The term tourist area is used to refer to an area that can

attract tourists. However, regarding the government regulation

(Peraturan Pemerintah) in 2009 the reference of the term has been

revised. For the purpose of this research, the term and its reference

are maintained.

In general, the tourist area of Padangtegal is divided into three as

described below.

1. The natural tourist area, which includes river, lake, forest, etc.,

as well as those that are managed by people, such as ricefield,

water resevoir, and the irigation.

2. The cultural tourist area, which refers to any interesting men

creation that include life styles, ceremonies, and tradition.

3. Man made attraction, which refers to any attraction made to

meet the needs and wants of men such as playing zone, game

spot, etc. (Suryawan, 2012: 90).

Refering the above explanation, The Padangtegal Tourists

Resort is a tourists resort develop based on natural, cultural,

and men made attraction.

2.2.3 Hindu Education Based on Tri Hita Karana

The purpose of Hindu Education is in accordance with the

goal of Hindu Religion that is to attain “Jagadhita” and “Moksa”

formulated in Sanskrit words: “Atmano Moksartham Jagadhitaya

ca iti dharmah.” Therefore, the objective of the Hindu Education

is actually the same as the above formulated purpose of Hindu

Religion, that is to attain “Jagadhita”(prosperity and happiness

in this world) and “Moksa” (the eternal happiness, the unity of

Atman and Brahman). The purpose of education, in Indonesia, is

aimmed to turn the students to maturity (kedewasaan). The word

“dewasa” derives from the word “devasya”(sanskrit word) that

means a person having divine characters. In Bhagavadgita,divine

characters or tendencies are called “Daivi-Sampat” that is all

honorable attitudes and behaviours. Sivananda (2003: 259)

explained that the purpose of education is to lead a person towards

the right way and develop virtues, that can change someone’s

character (towards honorable character) that can help people

attaining leberation, perfection, and knowledge of the Self (Atma)

and therefore someone can live with honesty. Those which lead

to such goals are the true education.

Tri Hita Karana basis means that it is based on the Tri Hita

Karana philosophy. The word “basis” lexically means “basis”,

“core”, “port”, “basic line” and the like. The word “basis” is also

defined as “asas” and “basis” and therefore “berbasis” means

based on or the basis in development. Environment based, in this

case, means that the study is based on environmental study. (Tim

Page 34: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

55 56

Pustaka phoenix, 2009: 126). However, Tri Hita Karana according

to Wiana (2010: 9) is tree causes that create harmony relationship.

Tri means three, Hita is happiness and Karana is the cause. Three

causes of the harmony relationship between Men and God

(parhyangan), men and men (pawongan) and men and

environment (palemahan).

2.2.4 Local Community

Community (komunitas) can be defined as specific group

of people living in a certain area, having the same lifestyle, being

aware as one unity, and being able to act collectively as an effort

to achieve the goal. Community is a social group from some

organisms of environment, usually having the same interests.

Community (komunitas) derives from latin word “communitas”

meaning “sameness”, also can be derived from “communis”

having the same meaning. “Komunitas” in this research is defined

as social group which means group of individuals or social groups.

2.3 Theory

Theory is a tool to explain an understanding that can be

verified, and is used to predict certain events (Soelaeman,

1995:14). Hence, based on that definition, the theories used in

this research are:

2.3.1 The Theory of Structural Funtionalism

The Theory of Structural Functionalism used is from Talcot

Parsons. The Theory is lexically derived from two words. Those

are “functional” dan “structural” Talcott Parsons (in Nasikum,

2003: 11). The basic premises of the theory are as follows:

The emergence of Structural Functionalism is as different

perspective, Emile Durkheim (in Margaret, 2003: 25) states that

community has to be seen as an organisation as a whole having

its own reality. The wholeness has a set of needs that has to be

fulfilled by parts becoming members in order to attain normal

and sustainable condition. If the needs are not fulfilled, then, a

“pathologic” condition will grow.

Based on the above explanation, The Theory of Structural

Functionalism is very relevant to study of the conservation of

mandala Suci Wanara Wana tourist area. The existence of the

tourist area can not be separated from community involvements

as a system having reciprocal relationship, and the existence of

interraction and changes whithin it. Therefore, Structural

Functionalism is the theory used to explore and to analize the

first problem in relation to background or reason of Mandala Suci

Wenara Wana keep sustainable in Desa Pakraman Padangtegal.

2.3.2 The Theory of Social Control

Social control can occur in daily life to attain harmonious

and stabil daily life. Wih this social control, distortion happening

in community can be reduced especially those which are done by

youngsteers. Hence, control social has to get deep and fundamental

attention. The main idea behind the Theory of Social Control is

that distortion is the product of control emptiness or social control.

Page 35: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

57 58

This Theory is developed based on premises that each man tends

to act against the low. Therefore, experts of this Theory, judge

that behavioral distortion is a logical consequnce of one’s failure

in obeying the low. In this case, The Social Control Theory is

parallel with the Conformity Theory. (Bagong, 2004).

Based on the above explanation, the Social Control Theory

can be summerised as self control. The key towards learning of

self control is socialization, especially during childhood. Parents

can help children in developing selfcontrol by controlling and

giving them punishment by their deviant acts. Roucek (1987: 2-

3) states that social control and self control are different although

both are closely related. In an individual level, social control refers

to an effort to influence others. Self control refers to an effort to

influence or leads the individual behavior to become his member.

Hence, from that perspective, social control refers to and comes

from self control. Therefore, there must be differences between

self control and social control but its relationship should be

acknowledged. The Theory of Social Control is very relevant to

use in leading the researcher’s thougth to study the background

of Mandala Suci Wenaran Wana tourist area sustainable up to

now.

2.3.3 The Theory of Ecosentrism (Ecosentrism

Environmental Ethics)

The Theory of Ecosentrism Environmental Ethics is one

version of Ethic Theories which is also welknown as Deep

Ecology (Keraf, 2002: 76). Difer to other theories, e.g Biocentrism,

which pays attention to the whole life, ecosentrism focuses on

the ethics of all ecological community, both animate and inanimate

beings. The first Theorist that developed Deep Ecology was Arne

Naess, a Norwegian Philosopher in 1973. She was, then, known

as a prominent figure of moral movement on environment called

Deep Ecology. This movement, up to now, has got big influences

on other big moral movements on environment. Naess (1989: 124)

states that this ethic considers the effect of human acts directly

towards non human creature and universe as a whole.

Based on the above description, this Theory is used to study

the implication of the existence of Mandala Suci Wenara Wana

tourists area to the community of Desa Pakraman Padangtegal

Ubud. This Theory can also be used to explore values of Hindu

Religion Education whithin Mandala Suci Wenara Wana tourist

area.

2.3.4 The Humanistic Theory

The theoretical ideas of this Humanistic Theory are based

on premises viewing more from human character development

perspective. This approach sees human in developing themselves

to do positive things. The ability of doing these positive things is

known as human potency and lecturers following the Humanism

usually focuse the learning on the development of positive

capability as a self potency. Hergenhahn, (2010:329) explains that

this positive capability is closely related to the development of

Page 36: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

59 60

positive emotion within the afective domain. Based on the

above description , obviously the Humanistic Theory can lead

the researcher’s analysis that the environment (Mandala Suci

Wenara Wana tourist area) undirectly, can be said as facilitator in

developing children’s potencies, especially on environment

education. Environment functions in stimulating students’

potencies so that their potencies can grow and develop. In addition,

environment also encourages learning motivation through

experience so that children are aware of the importance of the

environment in life. In other words, environment is teacher for

the men.

2.4 Research Model

Keterangan Bagan:

: two ways directly reciprocal relationship

: one way direct relationship

: expected relationship

HINDU RELIGION

Samudra Kertih Sustainable Ocean

Wana Kertih Sustainable Forest

Jana Kertih Sustainable Human

Wenara Wana

Conservation based

on Balinese

Tradition

Mandala Suci Wenara Wana

tourist area at Padang Tegal

Ubud

Tourism

Globalization

Hindu Religion

Education system of based on Tri Hita

Karana at Mandala Suci

Wenara Wana Tourist

Resort

Implication of Education

System based on Tri

Hita Karana to Desa

Pakraman Padangtegal

Background of

Mandala suci Wenara

Wana is sustainable

up to now

Developing awareness of Hindu Youth Generation to maintain the sacredness of

forest area of Mandala Suci Wenara Wana Tourist Resort.

Page 37: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

61 62

CHAPTER III

RESEARCH METHOD

3.1 Type of Research

Research type of Mandala Suci Wenara Wana at Padang

Tgeal Tourist area, Ubud, Ubud, Gianyar, Bali (Perspective of

Hindu Religion Education based on Tri Hita Karana on local

community) is a qualitative research which studies the ecological

education. Kaelan (2010:5) explains that qualitative research

characteristic locates on area becoming the focus of research, and

does not emphasize on quntum or number. But, more emphasize

on academic quality for concerning definition, values concept,

and also characteristics implied on other research area.

3.2 Location of Research

The research location is at Desa Pakraman Padangtegal,

Ubud subdistrict, Gianyar Regency as a unit area, and Mandala

Suci Wenara Wana tourist resort. This location is chossen based

on some considerations, those are Desa Pakraman Padangtegal

tourist resort belongs to a strategic tourist resort in Ubud area. In

that area, Mandala Suci Wenara Wana area is developed as tourist

resort so that it is interesting to study and analyse. It is a tourist

resort that keeps the environment as basis in developing

international tourism.

3.3 Type and Sources of Data

Type of data collected and used in accordance with the urge

of this research is the qualitative data. The qualitative data needed

in the research is in the form of statements, words, ideas, opinions,

and notes related to problems being studied.

According to Bungin (2001:128) type of data is devided in

to two, those are primery sources data which is collected first-

hand from field (Field Research) from interviwee. (Iqbal, 2002:

23), The qualitative data are obtainned through observation,

documentation, and interview with figures who are considered to

be understanding problems being studied. Based on the

explanation, the primary data sources in this research are obtained

from informants who understand well the existence of Mandala

Suci Wenara Wana tourist area.

Secondary data are data collected from existed sources or

written library research. (Iqbal, 2002: 23). The secondary data in

this research are all supporting statements obtained from thesis,

books, and articles concerning relevant ideas to the topic of the

research.

3.4 Research Instrument

Most of the data obtained in this research are colleted by

the researcher supported by interview guidline. Based on the

technique, the main instrument in this research is the researcher

by using interview guidelines consisting of some open questions.

In searching and collecting data, the researcher first-handly collect

them on the field and at the same time the researcher do data

Page 38: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

63 64

processing that include data reduction, classification, and

interpretation.

3.5 Tchnique of Informant Determination

The informants in this research are those who are considered

to know the problems studied by firstly determining the key

informants consisting prominent figures of the village knowing

well the existence of Wenara Wana tourist area. The determined

informants in this research are Bendesa Adat, management of

Wenara Wana and other prominent figures and community

members within and arround Desa Pakraman Padang Tegal, Ubud.

3.6 Technique of Data Collection

Method of data collection is one of the acts or works in

recording the event, incidents, opinions, or characteristic partly

or wholly the elements used to support the research. Therefore,

there are some techniques used in data collection in order that the

data obtained valid and reliable (Bungin, 2001: 129). Therefore,

the method used in this research is as follows.

3.6.1 Observation

Black and Champion (in Suprayogo dan Tabroni, 2001 :

169-170) devide observation into two categories, those are: (1)

participatory obsevation method and (2) non-participatory

observation method. In participant observation, a researcher can

act double. Since directly involving in the research area being

studied the researcher can enjoy and be more intimate with the

subjects being researched and also is posible to ask questions

more carefully, better sequence, and more detail. The non-

participatory observation does not only need the researcher’s

participatory focused on activities/phenomena of the subjects

being researched. In qualitative research, a researcher focuses

on how to observe, record, and write notes of the phenomena

being researched.

3.6.2 Interview

Interview is used as technique of collecting data if a

researcher wants to do a study to find out problems to be studied,

and also if a researcher wants to know things deeply from

informant. According to Sukandarrumidi (2002: 88) states that

interview is a process of spoken question and answer, where two

or more people are physically face to face, one can see another,

and listen to the voice by his or herown ears. Furthermore, Fathoni

(2006: 105) states that interview is a technique of collecting data

through one way process of spoken question and answer, meaning

that questions come from interviewer and answers are given by

the interviewee.

3.6.3 Documentary

Iqbal (2002: 87) states that documentary method is

technique of data collection which is not proposed directly to the

research subject but through document. Sugiyono (2005: 82) states

Page 39: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

65 66

that document is notes of the past events. Documents can be in

the form of writings, pictures, or monumental works of someone

or object of research.

3.6.4 Library Research

Library research is techniques of gathering information

concerning manythings in the form of theories, concepts,

generalizations, which can be used as theoretical basis of the

research. Equipments of a researcher in each science would not

be complete without supports from facilities of vocational library.

(Surachmad, 1978:238).

3.7 Technique of Data Analysis

Sugiyono (2008: 244) states that data analysis is a process

of gathering and sistematically orderring the data obtained from

interview, field notes, documents, by organizing them in to

chategories, spelling them out into units, synthesizing into

patterns, choosing the important data which is suitable to be

studied, and also deriving conclusions so as easy to understand

by the the researcher and others.

3.8 Technique of Presenting the Result of the Data Analysis

The result of the data analysis has been described above

will generally presented in two ways: informal and formal. This

presentation is done based on the data obtained from data sources,

then analysed in accordance with the technique of analysis. The

informal data presentation is qualitative data seen through

naration, description supported by the arguments. Formal data

which is quantitative data are presented to clarify and make it

easier in understanding the research results in the form of matrics

and table in accordance with types and kinds of data. The result

of the data analysis are sistematically devided into chapters.

Page 40: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

67 68

IV. Result of The Research

4.1 Background of Mandala Suci Wenara Wana Conservation

1). Fulfilling the need of Pahyangan

The existence of Mandala Suci Wenara Wana at desa

Pakraman Padangtegal Ubud Bali as a sacred and conserved forest

area is to meet the needs of Pahyangan aspect and a place for the

Hindus at Desa Pakraman Padangtegal in conducting religius

activities. In other words, concervation of the forest area, Manda

Suci Wenara Wana is to fulfill the needs of religious need as one

aspect, pahyangan, of the Tri Hita Karana concept. The fact can

be seen by the existence of the temple inside the forest area named

Pura Dalem, Prajapati, Beji Desa Pakraman Padangtegal. Thus,

the background of conservation of Mandala Suci Wenara Wana

elementary refers to an effort to fulfill the need of Pahyangan

element, inwhich ritual activities, arts, and culture exist.

In relation to the above description, background of the

conservation of Mandala Suci Wenara Wana area as a fulfillment

of Pahyangan element can be explained below.

a. There is a belief in “the sacred”

The belief in the sacred at Desa Pakraman Padangtegal

Ubud can be seen in which the villagers of Desa Pakraman

Padangtegal treat Mandala Suci Wenara Wana area stay

conserved. The community of Desa Pakraman Padangtegal Ubud

conserve Mandala Suci Wenara Wana area is not only motivated

by tourism commodification interest but more by the believe in

“the sacred”.

b. The Temple of Pura Dalem Agung as symbol of the presence

of “The Sacred”

The establishment of Pura Kayangan Desa Dalem Agung,

Prajapati dan Beji which is located in the middle of Mandala

Suci Wenara Wana forest area can be said as the centre of desa

pakraman in doing the ritual “respect” to the sacred. The existence

of the holy place has become one of the strong resources

strengthening the locals’ belief in the Mandala Suci Wenara Wana

tourist attraction as a sacred spot and as the symbol of the presence

of the sacred. Temple, for the Hindus, is a sacred holy place for

Gods and Godess to reside (Titib, 2003:88, Wiana, 2008:7,

Suhardana, 2010:9).

The community of Desa Pakraman Padangtegal do believe

that Pura Dalem Agung Desa Pakraman Padangtegal is the temple

of the Almighty God, Ida Sanghyang Widhi in his manifestation

as the sacred Ida Bhatara Dalem Lingsir that is sanctified by the

local community. Based on the locals’ belief, the Pura Dalem

Padangtegal is the temple of Ida Bhatara in the form of Barong

Macan and other idols as object of worship.

c. Strengthened by sacred (Tenget) folklore

Many sacred (tenget) stories evolve and still exist in the

area of Desa Pakraman Padangtegal with regard to the area of

Mandala Suci Wenara Wana. The existence of the mythical stories

Page 41: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

69 70

on magical covering as unreal thing can not be denied. However,

Padangtegal people think and believe that the stories contain valid

truth. It is proved by the oral story from some people’s experience

who tell and even experience that the forest area is sacred (tenget).

On that basis, the public believes that the forest is sacred

(Tenget) and should not apply arbitrary. Satua-Tenget story that

develops in Desa Pakraman Padangtegal can also be interpreted

as the result of filtered thinking of ancestors or elders of the

Padangtegal village as a result of the process of “thinking” (amuter

tutur pinehayu) in which a hidden truth within.

d. Religious Activities at Mandala Suci Wenara Wana

The activities of yajña rite celebration which are often

conducted in the forest of Mandala Suci Wenara Wana are

celebrations of rites for Gods (Dewa Yajña) ceremony coincided

with Tumpek Uduh (Wariga) and Tumpek Kandang.

In adition to religious activities in the form of Tumpek Uduh

celebration in Mandala Suci Wenara Wana forest area, Tumpek

Kandang celebration is also conducted. People living in the area

of Desa Pakraman Padangtegal on holy day of Tumpek Kandang

give offerings to Jero Gede (monkeys) inhabiting the forest area

of Mandala Suci Wenara Wana. The activities of yajña rites is

conducted by all the villagers by offering various sacrement or

banten to Ida Bhatara or Hyang Pasupati as the otherity of

monkeys (Jero Gede) inhabiting the forest area of Mandala Suci

Wenara Wana.

2). Meeting the Needs of Pawongan Elements

Generally, the Balinese social interraction occurs in a social

environment of Desa Pakraman. With the ritual held at Desa

Pakraman, then, indirectly social interraction and solidarity will

happen. Thus, pawongan aspect in the concept of Tri Hita Karana

realized in ritual and religious activities in the neighborhood of

Desa Pakraman. In the village of Desa Pakraman Padangtegal,

social interraction occure in the Desa Pakraman, and substantively

the presence of Desa Pakraman is as media of applying the

pawongan concept.

a. Ritual Strengthens Solidarity within villagers (Krama Desa).

Ritual activities performed in the Mandala Suci Wenara Wana

are effective medium in strengthening social solidarity among

villagers. Thus, ritual activities do not necessarily agree to an

anomaly paradigm of the presence that rituals burdensome and

impoverish the people. Such religious activities are, moreover,

strengthening like Korn expressed his tesis about the powerful

villagers of Bali, that what has become strength pushing Balinese

into groups firmly united, gather at certain moments is “service

to the Gods and Godess “ who is constantly asking for attention,

respect and devotion from the population (Goris, 2013: 2).

As explained earlier, that the religious activities in the area

of the Mandala Suci Wenara Wana coincide with the holy day of

Page 42: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

71 72

Tumpek Kandang and Tumpek Wariga and other holy days. At

the time of the celebration, all the villagers come to merit (ngayah),

and make offerings upon piodalan. Meritorious acts (ngayah)

system is a Balinese traditional system with special characteristics

of honest and straightforward in it. Although, people Padangtegal

have changed now, because people no longer do ngayah system

entirely but paid. Nonetheless, there are values of ngayah

principle that are still maintained. Although using payment

system, the community still maintain the integrity between the

social structure so that a regular pattern in the realm of interraction

established. That is, the villagers maintain good relationship

between village structuration, such as kerta desa with bendesa

or village leaders with villagers. The pattern of good relationship

among the villagers or the village leaders with villagers become

better through their encounter in a religious activity.

b. Ritual Strengthens the Family Solidarity

The incredible thing to be found in Balinese Hindu family,

including in Desa Pakraman Padangtegal, is that the existence

of religious activities in the form of rituals conducted in the family

temple. In family ritual conducted in the family temple (pemerajan

and sanggah) family can strengthen social solidarity within the

family because during the ritual simultanous social interraction

will occur. Moreover for Desa Pakraman Padangtegal,the

existence of Mandala Suci Wenara Wana area indirectly can bring

stronger solidarity between families. Religious activities

conducted in Mandala Suci Wenara Wana area do not only involve

villagers in general but also all the family components. All family

are involved so that intens interraction among families occur and

unwittingly will have an impact on the improvement of social

relationship.

c. Ritual Strengthens Sekaa Social Solidarity

One of Bali’s cultural diversity is the existence of sub-social

groups called sekaa such as artist group, crafters group, etc..

Atmaja (2015) explains that in order to strengthen the role of

Desa Pakraman as centre of Balinese Culture development, then

in Desa Pakraman exists sekaa as traditional organisation in

smaller scale.

The existence of sekaa at Desa Pakraman Padangtegal can

be said to have always been existed and those include: sekaa truna

(youth organisation), sekaa gong (gambelan orcestra group), sekaa

santi (balinese religious singers groups), sekaa of productive

economy and other sekaa. Each yadnya ritual performed at

Mandala Suci Wenara Wana or at desa pakraman area, sekaa

truna plays a very active role in helping the process of yadnya

ceremony. Members of sekaa directly involve in every ritual as

pengayah (volunteer) of sekaa gong, santi,etc. That is because

the existence of the sekaa gong, santi, and the others cannot be

separated from sekaa truna. The activeness of the sekaa members

indirectly can increase and strengthen social solidarity ties omong

sekaa members. So as the other sekaa, e.g sekaa gong and

Page 43: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

73 74

pesantian; they involve in every yadnya rites so indirectly there

will be social interration within.

In adition to those sekaas, sekaa subak can still be found in

Desa Pakraman Padangtegal, that has orientation on agriculture.

Sekaa Subak existing in desa pakraman has strong bonds,

especially Subak becomes a cultural asset that can be used to

accumulate capital.

3). Meeting the Needs of Economy

All potencies posessed by Mandala Suci Wenara Wana

tourist area have become strategic commodity, especially the

existence of jargon that the development is based on culture and

ecology (Tri Hita Karana) so it becomes special attraction. As

Bourdieu (1990:109), Fashri (2014:100) explain that cultural

capital is one capital in the social realm that can accumulate

financial capital (economy).

a. Local Economy

The existence of Mandala Suci Wenara Wana becomes

profitable asset for the members of Desa Pakraman Padangtegal.

The area of Mandala Suci Wenara Wana with all its attraction

and asset certainly become object to accumulate economic and

financial capital. As mentionned earlier that the management of

of Mandala Suci Wenara Wana tourist attraction is under Desa

Pakraman as local organisation. In other words, Desa Pakraman

Padangtegal is the owner and the capital holder of Mandala Suci

Wenara Wana tourits attraction along with monkeys in it so that

villagers can be said to reap the benefit of the capital ownership.

Based on that description, it can be said that Mandala Suci Wenara

Wana area is one of the capital resources that spreads on social

domain.

b. Family and Village Economy Movers

The existence of Mandala Suci Wenara Wana area, besides

as local economy mover, the area is specifically as family and

village economy movers. Fashri (2013:11) cites Bourdieu’s

statement that economic capital is as basis of other capital. It means

that economic capital ownership can convert other capital, simply

one with economic capital, then he can control cultural capital

and other capitals. Thus, the economic capital is the most important

to be possessed according to Bordiau thought. Bordieu’s

theoretical idea is seemingly applicable to people of Desa

Pakraman Padangategal in using Mandala Suci Wenara Wana

area. The more tourists visit to the area, the more family and

village members establish various tourism business in order to

accumulate economic capital, that is financial capital.

The existence of Mandala Suci Wenara Wana area at Desa

Pakraman Padangtegal is the most attracting tourist attraction

achieving highest domestic and international tourists to visit Ubud.

Hence, the Mandala Suci Wenara Wana area can be said to have

specialty in accumulating economic capital. In addition, special

to the villagers of Desa Padangtegal, the existence of this area is

the jobs resources to strengthen family economic capital. It can

be seen and observed from the area around Mandala Suci Wenara

Wana and the village of Padangtegal; so many artshops

Page 44: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

75 76

established, hotels, homestays, spa, restaurants, and other tourism

accomodation services that produce financial benefit.

c. Financial Income for Desa Pakraman

Mandala Suci Wenara Wana area does not only bring benefit

for capital owner or investor but it also brings finacial benefit for

desa pakraman as a whole. Based on the contents of the village

perarem (agreement), it is known that the strengthening of the

economy of Desa Pakraman Padangtegal does not only come

from the Mandala Suci Wenara Wana tourist attraction but also

from outside businessmen and those who establish production

enterprises at Desa Pakraman Padangtegal. It makes the people

of Desa Pakraman Padangtegal obtain high level of prosperity

compare to the other area.

As mentioned in the awig-awig (village regulation) that

LPD, Mandala Suci Wenara Wana area, stall complex, parking

area and the other are the assets of Desa pakraman. Those assets

are entirely owned by the village and managed under Desa

pakraman. All assets owned by the village have made the village

obtaining high income and it helps prosperity of the village

community.

4). Meeting the Needs of Palemahan

In adition to the earlier needs fulfillments, the existence of

Mandala Suci Wenara Wana area is also to meet the need of

Palemahan in relation with aesthetic power (beauty).

a. Mandala Suci Wenara Wana Acosystem as beauty

The Mandala Suci Wenara Wana tourist attraction, as a

whole, bring out the value of beauty within. Lush tropical forest,

tame monkeys populations along with sacred buildings established

in the middle of the forest. All of those led to strong aesthetic

power, and the beauty of it arises from a harmonious ecosystem

order developed to natural level. Refering to description of

Djelantik (1990:10) that an object is called “aesthetic” only if

there is harmony in it. It seems that the idea of Djelantik (1990) is

coherent with the existence of Mandala Suci Wenara Wana area

and its harmonious ecosystem within or harmonious living with

the refreshing tropical forest.

Monkey population (read:Jero Gede) is an important area

aicon that becomes its own charm. In Bali itself, there are several

tourists area that use Monkey icon as point of interest, such as

Sangeh, Alas Kedaton, and Uluwatu. But in the area of Mandala

Suci Wenara Wana monkeys are so tame and harmoniously live

in the forest with many visitors. The monkeys live harmoniously

with the forest environment and also with visitors so that the

monkeys become objects of beauty for the visitors. They live in

the forest as if they are not bothered by the presence of many

visitors, morover there are some monkeys look tame in front of

visitors so that there is harmony embodied beauty.

b. Ritual as Space of beauty performance for the villagers (krama

desa)

Page 45: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

77 78

Ritual activities for Balinese people and the village of Desa

Pakraman Padangtegal is none other than space performace to

show all beauties from ideas or creative thought of the local

community. Therefore, any form of rituals in Desa Pakraman

Padangtegal always show magnificent aesthetic power. Not only

offerings and materials for ritual made beautiful but also in any

ceremony sacred dance is also performed as complement to the

ceremony. Bandem (2012:14) explains that sacred dance or wali

is companion and complement to yadnya ceremony and if it is

not performed, then, the ceremony is considered to be not fully

completed. Based on this ideas, obviously each sacred dance (wali)

performed by the community of desa pakraman during the ritual

celebration is as companion and complement to the ceremony.

The sacred dances performed on the yadnya ceremony, especially

during the celebration of Tumpek Kandang and Tumpek Uduh is

Rejang Dewa, Wayang Lemah,and Topeng Dalem Sidakarya. The

forest of Mandala Suci Wenara Wana which firstly only filled by

noisy sound of monkeys, then sound of priest’s ceremonial bell

(genta) heard, traditional Balinese gambelan, dance, and also

wayang lemah performed make such beautiful noise (ramya). The

rite performance can be said as a show arena of beauty power.

The show is not performed for the visitors but for the God of Ida

Bhatara that resides in the temple of Pura Dalem Agung and the

forest area that has given Lungsuran Lango for the villagers.

5). Visible and Invisible Control (Kontrol Sekala dan Niskala)

The existence of Mandala Suci Wenara Wana indirectly can

be used as control both in visibly and invisibly (sekala-niskala)

so that the village members personaly and communaly are able to

do self-control to obey the norm and code of ethics agreed. Based

on that description, below is described more deeply about the

roles of Mandala Suci Wenara Wana as a visible and invisible

control media.

a. Visible Control (Kontrol Sekala)

The existence of the Mandala Suci Wenara Wana forest

area can be an icon in developing ideal forest and forest travel.

The area can explicitely become social control visibly (sekala)

for the local community and others to care of the environment.

Actually in Hindu manuscript, environment, forest, trees, and

animals are honored as manifestation of God (Prime, 2006).

Environment is so important to human life that conservation of

the Mandala Suci Wenara Wana area really concern the natural

aspects as an echology based tourist park. In this case, regulations

and rules are reduced into village regulation known as Awig-Awig

or traditional law, and it becomes a strong norm that cannot be

disobeyed. There is a legal punishment to any violation acts, both

by traditional law or adat and national low as a logical

consequence.

b. Invisible control (Kontrol Niskala)

As mentioned earlier, there are many sacred folklores (satua

tenget) related to . The sacred folklores have made the Padangtegal

Page 46: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

79 80

community do nothing bad to the forest environment especially

to the monkeys as “Jero Gede”. All of the ecosystem is maintained

so well that there is no behaviour that violates specific norms.

Especially in the concept of temple holiness, that the outside area

of the temple is known as alas kekeran that is forest are for spiritual

practice (team editor, 2009). Therefore, Mandala Suci Wenara

Wana area, apart from skala media control, it can be used as

invisible control (niskala). The existence of the magical belief

can educate the community and people that the sacred is close

the the life however, especially the land of Bali is believed to

have good energy (metaksu) land. Hence, the sacred (niskala)

can be used as teacher of life so that can live the life in balance

between sekala and niskala.

4.2 HINDU RELIGION EDUCATION SYSTEM BASED ON

TRI HITA KARANA IN MANDALA SUCI WENARA

WANA TOURIST ATRRACTION

Education system exists in Mandala Suci Wenara Wana

tourist attraction is a non formal system of Education. That is

because the education system implemented is in the form of non-

formal activities, unlike the national education system

implemented in formal sector, but education can be done in family,

community, activity of sekaa and education for students through

field trip known as “karya wisata”. In relation to the above

description, the form of activities exist in the forest area of

Mandala Suci Wenara Wana tourist area implicitely imply the

education values formulated to be a Hindu religion education

system. Each of those components and form of activities are

explained below as a sistemic unit of coherent non-formal

education.

4.2.1 Education within the Family

Education process whithin the family that is clearly seen is

the existence of religious upbringing pattern conducted

indeliberately by the villagers. The religious pattern meant is the

involvement of parents and children in the process of education

whithin the family. That evidence is obviously seen when the

family members are going to pray in the Mandala Suci Wenara

Wana forest area recommended to previously pray in their own

family temple. It is vied as important since the belief of the

villagers that a worship to the God of Bhatara Hyang Guru and

ancestors are important. Therefore, parents will teach the children

to respect the ancestors and the god of Bhatara Hyang as God

that resides in the family temple.

4.2.2 Education within the Area of Desa Pakraman

By the rites celebration of yajña, Tumpek Wariga, actually

educates the people, especially the people of desa pakraman to

respect the process and “hardwork” of the nature in the process

and conducting yajña. Hard work, effort, and the like are examples

of the character education models (Lickona,2013:112). The

present education does not optimally achieved this, and education

Page 47: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

81 82

tends to lead people to do everything instantly or “jiffy” without

hardwork.

The yajña rites celebration process of Tumpek Uye or

Kandang in Mandala Suci Wenara Wana is a media of Hindu

education in order that people, especially the people of desa

Pakraman Padangtegal can develop love to all creatures. Love

attitude to all creatures, especially to the monkeys population in

the forest area of Mandala Suci Wenara Wana.

4.2.3 Education within the Sekaa Truna

Palemahan order in the area of Mandala Suci Wenara

Wana will make members of sekaa develop intimate and

harmonious relationship within the natural environment.

Pawongan order, afterward, within the area of Mandala Suci

Wenara Wana recommends members of youh organisation or

sekaa truna and krama desa to develop close and harmonious

interraction within the social environment. While the Parhyangan

order within the area of Mandala Suci Wenara Wana reminds

members of sekaa to redevelop the endless and harmonious bond

with God within cultural environment. These tree environments

describe the human focus on living together with other animate

and inanimate creatures.

4.2.4 Education for Students through Field Trip for Environment

Conservation

By the field trip learning, students achieve comprehensive

knowledge regarding ecological learning so it can be made as

media of learning in developing students awareness to the

environment. Especially in the area of Mandala Suci Wenara

Wana, field trip is often conducted by students or university

students to know closely the nature and wildlife living in it.

Generally, students or university students visiting in field

trip will make research report about forest area and the ecosystem

within. Students and university students joining field trip conduct

observation in forest area in regards with forest management,

waste management, and monkeys management being icon of the

tourist attraction. By the field trip, students and visitors indirectly

obtain knowledge of ecology. As explained by Piaget (2001:112),

that one obtains knowledge through intelectual adaptation process

of experience as the result of interraction with the environment.

4.2.5 Hindu Religion Education based on Indigenous Wisdom

To implement a non-formal education based on indigenous

wisdom of Tri Hita Karana as the centre of competency

civilization, development must involve all components, implement

core values of Tri Hita Karana into various forms of activities. In

order to give optimum result, people of desa Pakraman

Padangtegal, management staff and visitors must be able to

promote core ethical and performe values of Tri Hita Karana

agreed as fondation of human character building. It must begin

with the area characterized significantly by the concept of Tri

Page 48: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

83 84

Hita Karana; Tri Hita Karana building, symbols of Tri Hita

Karana value in various aspects. Symbols of Tri Hita Karana

describing harmony life must be easily readable by students,

written in textbook, school bags, and students uniform.

Indigenous Wisdom Education Model of Tri Hita Karana

is an education with the goal of producing Tri Hita Karana

characterized outcomes. The development of Indegenous Wisdom

Education Model of THK needs civilisation of Tri Hita Karana

values as basis of developing graduates standards of competency,

standards of program content, learning process standards,

assesment standards, standard teachers and educational personels,

standard infrastructure, standard management, and standard costs.

4.3 IMPLICATION OF TRI HITA KARANA BASED

HINDU RELIGION EDUCATION SYSTEM AT MANDALA

SUCI WENARA WANA TOURIST ATTRACTION ON DESA

PAKRAMAN PADANGTEGAL UBUD

4.3.1 Strengthening the Ecological Sanctification

Apart from the thesis and antithesis, on the other hand they

can be synthesized that the implication of the strengthening of

the religious aspect in the life of people of desa Pakraman

Padangtegal can be seen in the increase of the volume of religious

activities that simultanously conducted. In addition, the ethical

behaviour of the people treating the nature and animal in the area

of Mandala Suci Wenara Wana can be treated as logial description

that religious aspect is very strong. In addition, the belief of the

sacred is still maintained, so that religion becomes a social control.

4.3.2 Strengthening Sacredness of the Ecocentrism

Another implication that cannot be neglected is related to

the strengthening of the ecocentrism or centralization towards

nature and environment. Emic or belief agreed by the people of

desa Pakraman Padangtegal and management that plants around

the area of Mandala Suci Wenara Wana make the forest sustainable

and maintainned through reforestation. In addition to the emic,

the area of Mandala Suci Wenara Wana improves the economy

of surroundings communities, even the entire Ubud, so that it

becomes endorsing power for the people of Padangtegal to keep

maintaining the forest of Wenara Wana. Therefore, the people

especially the community of desa Pakraman Padangtegal depend

so much on the environment. The beauty of the environment is

able to give sense of peacefull and calm within human beings

and brings prosperity to the people (Suhardana, 2006 : 51).

4.3.3 Strengthening Tri Hita Karana based Economy

The economic system applied in the area of Mandala Suci

Wenara Wana has a fad pattern coresponding to the concept of

Tri Hita Karana. It can be seen from the financial management

system applied by the management of Mandala Suci Wenara

Wana. Empirically, the economic capital management of Mandala

Suci Wenara Wana area has clearly bring implications on

Page 49: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

85 86

strengthening the economy of people of desa Pakraman

Padangtegal.

The existence Mandala Suci Wenara Wana area has bought

implications on strengthening the economy of the village people.

In adition to the income comming from the tourist attraction, the

local people can develop micro-economic capital by developing

various sector on tourism accomodation businesses such as home

stay, restoran, spa, etc. As can be seen, from Mandala Suci

surounding area up to the village area there are so many tourism

business units to be found that bring benefit for the surrounding

communities.

4.3.4 Strengthening Tourism Consciousness based on Tri Hita

Karana

The area of Mandala Suci Wenara Wana, from the first time

it was establised, has embodied cultural theme based on Hindu

teachings by placing ecology as basis of development. Obviously,

it brings implication on the life of the village community of desa

Pakraman Padangtegal. The development of Mandala Suci

Wenara Wana tourist attraction does not only orientate on cultural

tourism development, but also based on the Hindu Religion

teachings (read: Tri Hita Karana) in the ecological preservation

as natural carying capacity. Such tourism ideology, continously

brings transformation on mindset of the community towards

improvement of consciousness of the importance of tourism based

on culture, religion, and ecology.

Even more, As previously explained that Mandala Suci

Wenara Wana tourist attraction indirectly can be an education

media containing Tri Hita Karana based Hindu religion education

system in it. It brings positive implication for the people of desa

pakraman in order to increase their consciousness of the

importance of developing a tourism ideology characterized with

Bali culture, Hindu religion, and environment care. It would

become basis of ideal concept in institutionalizing elements of

Tri Hita Karana in Hindu education system, both formal and

informal. Hindu education institution should perform clear

function and has positive implication in the process of civilizing

competency. The positive impact of Tri Hita Karana

implementation in Madala Suci Wenara Wana tourism area should

be understood, felt, and lived by all people.

4.3.5 Strengthening Ecosentrisme Education based on Tri Hita

Karana

The existence of Mandala Suci Wenara Wana tourism area

as basis of Tri Hita Karana based tourism development, within

which a system representing Hindu religion education system

exists brings implication on various aspects of social life. In

addition to the implication explained above, other very important

implication is also explained in this research in regards with the

strengthening the idiology of life of desa Pakraman Padangtegal

community through the concept of Tri Hita Karana. It can be

viewed from various aspects, starting from religious practice of

Page 50: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

87 88

the community life and other practices. Likewise, It can also be

seen from physical, village lay out, etc.

V. RESEARCH FINDINGS

Based on the three problems formulation studied and

analyzed through theoretical-critical analysis of ecocentrism,

social and on aclectic-dialectic from chapter V to chapter VII,

then research findings can be presented in the form of description

that worries about environment consummerism would bring

desanctification, do not apply in the area of Mandala Suci Wenara

Wana. It is due to the existence of “appreciation” and

“complience” to the sacred. In addition, the area of Mandala

Suci Wenara Wana is a media of ecological education, and it is

important for the teacher as a media of learning especially for the

local community and even for people outside Desa Pakraman

Padangtegal can also use this place. Mandala Suci Wenara Wana

is a natural capital but converted into economic capital. The area

is also able to strengthening the natural capital and increase the

economic capital. Other finding is that strengthening of the sacred

of the forest area has occured so that the forest is sustainable. The

strengthening occurs due to the belief of the sacred through holy

rites.

VI. CONCLUSSIONS AND SUGGESTIONS

6.1 Conclusions

The background of the preservation of Mandala Suci

Wenara Wana tourist area covers: 1) the fulfillment of the

religious need through the belief of the sacred and it can be

seen when the people of desa Pakraman Padangtegal treat the

area of Mandala Suci Wenara Wana to remain sustainable. The

people of desa Pakraman Padangtegal Ubud preserve the area

of Mandala Suci Wenara Wana is not merely motivated by the

tourism commodification interest but rather the appreciation to

the sacred. 2) The fulfillment of social need to strengthen social

solidarity. 3) Meeting the of economic need can be seen from

the preservation of the area Mandala Suci Wenara Wana which

clearly related to income, benefit, and finacial. The more

benefit the more chance to accumulate finacial, and it becomes

a sign that the management of the area of Wenara Wana is

doing verry good. 4) The fulfillment of asthetic need, in which

every ritual activity brings out asthetic values (sandining

lango). 5) Visible and invisable control (sekala-niskala) that is

sekala control through awig-awig and niskala control through

the belief in the sacred.

Tri Hita Karana based Hindu religion education system

covers several things such as: 1) Education system within the

family through ritual activities in family and forest area. 2)

Education system of desa pakraman as media of learning

Page 51: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

89 90

ecology for the community members. 3) Education centered

in the level of sekaa truna by involving them in any village

activities, ceremonies, and environmental education. 4)

Students education through field trip by using the forest area

as the learning media.

3. Implication of Tri Hita Karana based Hindu religion

education system in Mandala Suci Wenara Wana tourist area

for the desa Pakraman Padangtegal include: 1) Strengthening

of ecologic sanctification by the increasing of yajña intensity

and the maintanance of sacred symbols of Hindu. 2)

Strengthening of ecocentrism sanctity and the existence of

Mandala Suci Wenara Wana is a media of environment and

nature conservation. 3) Strengthening of the community’s

economy due to the financial management of the area of

Mandala Suci Wenara Wana which is fully managed by desa

pakraman. 4) Strengthening tourism-consciousness and the

importance of Hindu religion, culture, and ecology oriented

tourism. 5) Strengthening of ecology education based on Tri

Hita Karana teaching.

6.2 Suggestions

Based on that description, there are some fiew things should be

considered such as:

1. The Mandala Suci Wenara Wana tourist area should be

maintained as Hindu religion and culture based tourism by

all stakeholders. Forest conservation through area

extension is necesery and important considering the

increase of monkeys population, and a clear concept or blue

print should be made.

2. Community and visitors involvement should be improved

in developing consciousness to take care of the nature and

environment.

3. Local government should actively take part in managing

the area of Mandala Suci Wenara Wana in order to maintain

the idiology of Tri Hita Karana sustainable.

4. The people of desa Pakraman Padangtegal can be said to

have been economically prosperous, but it needs to develop

productive economy business sector to develop creative

business in creating job vacancies.

5. Food for monkeys would be better to cultivate by planting

in order to save the food costs for monkeys and other

wildlife.

Page 52: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya

91 92

REFERENCES

Atmadja.2015.Ngaben+Memukur=Tubuh+Api+Uperengga+Mantra=dewa

Pitara+Sorga. Denpasar: Pustaka Larasan.

Fashri Fauzzi.2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol.

Yogyakarta: Jalasutra.

Goris. R.2013. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali.

Denpasar: Udayana University Press.

Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi dan

Aplikasinya. Jakarta : Ghalies Indonesia.

Kaelan,2010. Filsafat Penelitian Sastra dan Teori Heurmeneutik.

Yogkarta: Paradigma.

Lickona. Thomas.2013 Decating for Charakter Mendidik Untuk

Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.

Ritzer George dan Goodman Douglas J. 2013. Teori Sosiologi

Dari Klasik Sampai Perkembangan Mutahir Teori Sosial

Postmodern. Bantul Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Sivananda Swami.2003. Intisari Ajaran Agama Hindu. Paramita:

Surabaya.

Sudira Putu.2014. Konsep dan Praksis Pendidikan Hindu Berbasis

Tri Hita Karana. Jurnal Ilmiah. UNY Yogyakarta.

Suryawan. I Ngurah.2010. Bali Antah Berantah Refleksi di Dunia

Hampa Pariwisata. Malang: Ins-Trans Publising.

Tim Penyusun Sinar Grafika.2013. Standar Nasional Pendidikan.

Jakarta: Sinar Grafika.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Dra. Ni Nyoman Perni

NIP 196912311995032002

Pangkat/Gol Ruang : Pembina/IV/a

Tempat/TGL Lahir : Ubud, 5 Juli 1969

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Hindu

Status : Menikah

Pekerjaan : Dosen IHDN Denpasar

Alamat : Jln. Hanoman No.37 Padangtegal Ubud

II. KELUARGA

Nama Ayah : I Made Titib

Nama Ibu : Ni Made Teplu

Suami : I Wayan Artana, SE

Anak : Putu Nuansa Putri Savita Uttari

Kadek Nuansa Putri Wulandari

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD No.5 Ubud, 1982

2. SLTP Negeri Tegalalang, 1985

3. PGAH Negeri Denpasar, 1988

4. Sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu IHD Denpasar, 1993

5. Program Magister (S2) Manajemen Pendidikan IKIP Negeri

Singaraja, 2005

IV. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Sekretaris Jurusan Filsafat STAHN Denpasar, 1999-2000

2. Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama STAHN Denpasar, 2000-

2002

3. Pembantu Dekan I Fakultas Dharma Acharya, 2009-2013

4. Ketua Prodi Magister Dharma Acharya Pascasarjana IHDN

Denpasar 2013-sekarang

Page 53: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya
Page 54: IHDNsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-172008055610...Mandala Suci Wenaran Wana terjadi proses pendidikan dan pembelejaran di dalamnya, dan tumbuhan, kera serta binatang lainnya