© jurusan teknik pengairan, fakultas teknik, universitas

14
Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672 - 685 © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya JTRESDA Journal homepage: https://jtresda.ub.ac.id/ *Penulis korespendensi: [email protected] Analisis Kekeringan Meteorologi dengan Menggunakan Metode Standardized Precipitation (SPI) dan Reconnaissance Drought Index (RDI) di DAS Lekso Kabupaten Blitar Amifta Farah Listya 1* , Donny Harisuseno 1 , Ery Suhartanto 1 1 Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Jalan MT. Haryono No. 167, Malang, 65145, INDONESIA *Korespondensi Email: [email protected] Abstract: Drought can be defined as a temporary reduction in a water supply that is significantly below normal. The drought that is currently occurring in Indonesia has resulted in a prolonged lack of water supply for subsistence needs, agriculture, and economic activities. Reviewing the impact, analysis is needed for areas that have the potential for drought. There are several methods developed to analyze droughts, such as SPI (Standardized Precipitation Index) and RDI (Reconnaissance Drought Index), to know the level and characteristics of an area of drought. After analyzing the two indexes, a map of the distribution of drought was carried out using a GIS to make it easier to interpret the areas that experience drought potential in the Lekso watershed and to make efforts to mitigate the dangers of drought. The results showed that the peak of the drought with the RDI method of 1-month deficit occurred in May 2005 with the villages of Slumbung, Balerejo, Semen, Tulungrejo, and Soso. Based on the analysis of the suitability between the drought index and the SOI data, it is concluded that the drought index calculation of the RDI method has a higher percentage level of conformity than the SPI drought index method. Keywords: Drought Index , Geographic Information System, Precipitation, Reconnaissance Drought Index , Standardized Precipitation Index Abstrak: Kekeringan dapat didefinisikan pengurangan persediaan air yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal. Bencana kekeringan yang terjadi di Indonesia saat ini mengakibatkan daerah kekurangan suplai air untuk kebutuhan hidup, pertanian, dan kegiatan ekonomi dalam masa yang berkepanjangan. Meninjau dampak yang ditimbulkan, maka diperlukan analisis untuk daerah-daerah yang memiliki potensi terjadinya bencana kekeringan. Terdapat beberapa metode yang dikembangkan untuk menganalisis kekeringan, seperti SPI (Standardized Precipitation Index) dan RDI (Reconnaissance Drought Index), sehingga mengetahui tingkat dan karakteristik kekeringan suatu daerah. Setelah melakukan analisis dengan kedua indeks tersebut dilakukan pengambaran peta sebaran kekeringan menggunakan Sistem Informasi Geografi sehingga mempermudah menginterpretasikan daerah yang mengalami potensi kekeringan pada DAS Lekso , serta dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bahaya bencana kekeringan. hasil penelitian menunjukkan puncak kekeringan metode SPI periode defisit 1 bulan terjadi Mei

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672 - 685

© Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

JTRESDA

Journal homepage: https://jtresda.ub.ac.id/

*Penulis korespendensi: [email protected]

Analisis Kekeringan Meteorologi dengan

Menggunakan Metode Standardized Precipitation

(SPI) dan Reconnaissance Drought Index (RDI) di

DAS Lekso Kabupaten Blitar Amifta Farah Listya1*, Donny Harisuseno 1, Ery Suhartanto 1 1 Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya,

Jalan MT. Haryono No. 167, Malang, 65145, INDONESIA

*Korespondensi Email: [email protected]

Abstract: Drought can be defined as a temporary reduction in a water supply that is

significantly below normal. The drought that is currently occurring in Indonesia has

resulted in a prolonged lack of water supply for subsistence needs, agriculture, and

economic activities. Reviewing the impact, analysis is needed for areas that have the

potential for drought. There are several methods developed to analyze droughts, such

as SPI (Standardized Precipitation Index) and RDI (Reconnaissance Drought Index),

to know the level and characteristics of an area of drought. After analyzing the two

indexes, a map of the distribution of drought was carried out using a GIS to make it

easier to interpret the areas that experience drought potential in the Lekso watershed

and to make efforts to mitigate the dangers of drought. The results showed that the

peak of the drought with the RDI method of 1-month deficit occurred in May 2005

with the villages of Slumbung, Balerejo, Semen, Tulungrejo, and Soso. Based on the

analysis of the suitability between the drought index and the SOI data, it is concluded

that the drought index calculation of the RDI method has a higher percentage level of

conformity than the SPI drought index method.

Keywords: Drought Index , Geographic Information System, Precipitation,

Reconnaissance Drought Index , Standardized Precipitation Index

Abstrak: Kekeringan dapat didefinisikan pengurangan persediaan air yang bersifat

sementara secara signifikan di bawah normal. Bencana kekeringan yang terjadi di

Indonesia saat ini mengakibatkan daerah kekurangan suplai air untuk kebutuhan

hidup, pertanian, dan kegiatan ekonomi dalam masa yang berkepanjangan. Meninjau

dampak yang ditimbulkan, maka diperlukan analisis untuk daerah-daerah yang

memiliki potensi terjadinya bencana kekeringan. Terdapat beberapa metode yang

dikembangkan untuk menganalisis kekeringan, seperti SPI (Standardized

Precipitation Index) dan RDI (Reconnaissance Drought Index), sehingga mengetahui

tingkat dan karakteristik kekeringan suatu daerah. Setelah melakukan analisis dengan

kedua indeks tersebut dilakukan pengambaran peta sebaran kekeringan menggunakan

Sistem Informasi Geografi sehingga mempermudah menginterpretasikan daerah yang

mengalami potensi kekeringan pada DAS Lekso , serta dapat melakukan upaya-upaya

pencegahan dan penanggulangan bahaya bencana kekeringan. hasil penelitian

menunjukkan puncak kekeringan metode SPI periode defisit 1 bulan terjadi Mei

Page 2: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

673

tahun 2005 dengan wilayah desa yaitu Desa Slumbung, Balerejo, Semen, Tulungrejo

dan Soso. Sedangkan pada metode RDI , puncak kekeringan terjadi pada bulan Mei

tahun 2005 dengan wilayah desa yang mengalami kekeringan yaitu Desa Slumbung,

Balerejo, Semen, Tulungrejo dan Soso. Berdasarkan analisis kesesuaian antara indeks

kekeringan dengan data Southern Oscillation Indeks, disimpulkan bahwa perhitungan

indeks kekeringan metode RDI memiliki prosentase tingkat kesesuaian lebih tinggi

dibandingkan dengan metode indeks kekeringan SPI.

Kata kunci: Curah hujan, Indeks kekeringan, Reconnaissance Drought Index,

Sistem Informasi Geografi, , Standardized Precipitation Index.

1. Pendahuluan

Air bersih merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan makhluk hidup,

sehingga ketersediaannya amatlah penting. Namun pada perkembangannya permasalahan keairan

menjadi sangat krusial, salah satunya adalah bencana kekeringan. Kekeringan sendiri dapat

didefinisikan sebagai kekurangan curah hujan dalam suatu periode waktu, biasanya berupa sebuah

musim atau lebih, yang menyebabkan kekurangan air untuk berbagai kegiatan, kelompok, atau sektor

lingkungan [1]. Kekeringan dikategorikan menjadi 5 jenis yaitu kekeringan meteorologis, hidrologis,

pertanian, dan sosial-ekonomi. Bencana kekeringan yang ada di Kabupaten Blitar dapat disebabkan

oleh pengaruh kondisi meteorologi, dimana kekeringan meteorologi merupakan masalah yang sifatnya

regional serta memiliki ciri yaitu kekurangan hujan dari yang normal selama periode waktu tertentu [2].

Kekeringan yang dikaji pada studi ini adalah kekeringan meteorologi yang berada di DAS

Lekso Kabupaten Blitar. Data menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Blitar berstatus keadaan darurat

bencana kekeringan di tahun 2015, terdapat 5 kecamatan yang terdampak yaitu, Kecamatan Wates,

Kecamatan Binangun, Kecamatan Panggungrejo, Kecamatan Bakung, Kecamatan Wonotirto, dan

Kecamatan Kademangan [3]. Melihat besarnya dampak kerugian yang diakibatkan oleh bencana

kekeringan maka diperlukan tindakan berupa analisis pehitungan indeks kekeringan, terdapat beberapa

metode untuk menganalisa indeks kekeringan pada suatu daerah , salah satunya seperti metode

Standardized Precipitation Index (SPI) dan Reconnaissance Drought Index (RDI). Metode SPI

(Standardized Precipitation Index) merupakan salah satu indeks kekeringan yang banyak digunakan

dan dirancang oleh McKee dan rekan-rekannya di Colorado State University yang hanya memerlukan

satu parameter yaitu curah hujan atau presepitasi [4]. Sedangkan metode RDI (Reconnaissance Drought

Index) memerlukan dua parameter yaitu curah hujan dan evapotransporasi potensial [5], setelah

melakukan analisis dengan kedua indeks tersebut pada studi ini didapatkan peta sebaran kekeringan

dengan mengunakan sistem informasi geografi dengan metode interpolasi kriging. Sehingga sesuai

dengan tujuan penelitian pada studi ini yaitu dapat mempermudah menginterpretasikan daerah yang

mengalami potensi kekeringan pada DAS Lekso, serta dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dan

penanggulangan bahaya bencana kekeringan pada daerah tersebut.

2. Bahan dan Metode

2.1 Bahan

Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai Lekso Kabupaten Blitar yang berada pada posisi

114 40’ – 112 10’ Bujur Timur dan 07 58’ – 08 9’5’’ Lintang Selatan, dengan luas 164 km2 serta

panjang sungai 24 km, secara administratif terbagi menjadi 22 kecamatan, di sebelah Utara berbatasan

langsung dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang, di sebelah Timur berbatasan dengan

Kabupaten Malang, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Kediri,

sedangkan di Selatan berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia. Dasar pemilihan daerah

penelitian pada studi ini dikarenakan Kabupaten Blitar merupakan salah satu daerah yang berpotensi

Page 3: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.M. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 672-685

674

bencana kekeringan sehingga mengalami krisis air bersih. Selengkapnya peta lokasi studi dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1: Peta Lokasi Studi

Data-data yang dibutuhkan dalam analisis ini adalah:

1. Peta batas Daerah Aliran Sungai (DAS) Lekso

2. Peta administrasi wilayah DAS Lekso

3. Data curah hujan bulanan 20 tahun (1999-2018)

4. Data suhu bulanan 20 tahun (1999-2018)

5. Data Southern Oscillation Index (SOI) 20 tahun (1999-2018)

6. Data koordinat 5 stasiun hujan

2.2 Tahapan Analisis

Berikut tahapan analisis yang disusun secara sistematis, sehingga mempermudah dalam

penyelesaian studi:

1. Analisis Data Klimatologi

a. Mengumpulkan data sekunder

b. Uji statistik data curah hujan

- Analisis uji konsistensi dengan metode kurva massa ganda dan RAPS

- Analisis uji stasioner dengan uji F dan uji T

c. Estimasi suhu udara rerata bulanan untuk setiap stasiun

d. Perhitungan evapotranspirasi potensial

2. Analisis Indeks Kekeringan

Page 4: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

675

a. Standardized Precipitation Index (SPI)

b. Reconaissance Drought Index (RDI)

3. Mengetahui perbandingan tingkat kemiripan antara hasil perhitungan kekeringan menggunakan

metode SPI (Standardized Precipitation Index) dan metode RDI (Reconaissance Drought

Index) dengan analisis korelasi dan determinasi serta perbandingan nilai surplus dan defisit

indeks kekeringan dengan data SOI.

4. Penggambaran Peta Sebaran Kekeringan dengan metode Kriging.

2.3 Persamaan

2.3.1 Data Hujan yang Hilang

Untuk keperluan analisis hujan daerah yang diperlukan data yang lengkap dari masing-masing

stasiun, seringkali pada suatu daerah (DAS) ada pencatatan data hujan yang tidak lengkap atau hilang

datanya [6]. Jika ini tejadi aka data hujan yang hilang tersebut harus dilengkapi terlebih dahulu dengan

menggunakan metode normal ratio dengan persamaan sebagai berikut:

𝑃𝑥

𝑁𝑥=

1

𝑛{

𝑃1

𝑁1+

𝑃2

𝑁2+

𝑃3

𝑁3+ ⋯ +

𝑃𝑛

𝑁𝑁} Pers.1

2.3.2 Uji Konsistensi

Uji konsistensi bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan hubungan tiap pos stasiun

hujan dengan pos stasiun hujan lainnya yang ada di sekitar pos tersebut [7]. Dalam studi ini pengujian

data hidrologi menggunakan metode kurva massa ganda (Double Mass Curve) dan metode RAPS

(Rescaled Adjusted Partial Sums).

Metode Kurva Massa Ganda (Double Mass Curve) digunakan pada uji konsistensi dengan

menggunakan minimal tiga pos stasiun hujan, berikut persamaan uji konsistensi metode kurva massa

ganda (Double Mass Curve) :

Tgα = y

x =

Hz

x0 Pers.2

Tgα0 = y0

x0 =

H0

x0

Sedangkan untuk uji konsistensi Metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) dapat

menggunakan single data atau hanya membutuhkan satu pos stasiun hujan, berikut persamaan uji

konsistensi metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) :

Sk ∗ = 𝑌𝑖 − �̅� Pers.3

𝑆𝑘 ∗∗ =

𝑆𝑘 ∗

𝐷𝑦 Pers.4

𝐷𝑦 2 =

(𝑌𝑖−�̅�)

𝑛

Pengujian dengan kumulatif penyimpangan terhadap nilai rerata dibagi dengan akar kumulatif

rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya.

𝑄 = 𝑚𝑎𝑘𝑠 |𝑆𝑘 ∗∗| 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 0 ≤ 𝑘 ≤ 𝑛 Pers.5

𝑅 = 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑆𝑘 ∗∗ − 𝑚𝑖𝑛 𝑆𝑘

∗∗ Pers.6

2.3.3 Uji Stationer

Page 5: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.M. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 672-685

676

Uji Stasioner dimaksudkan untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata dari deret berkala,

pengujian tersebut dilakukan dengan Uji-F dan Uji-T.

F = n1 s1

(n2 −1)

n2 s2 (n1 −1)

Pers.7

t = [x̅1-x̅2]

σ√1

N1+

1

N2

Pers.8

σ = √(N1-1)…S1

2+(N1-1)..S2 2

N1+N2-2 Pers.9

2.3.4 Metode Standardized Precipitation Index (SPI)

Standardized Precipitation Index merupakan salah satu indeks kekeringan yang paling banyak

digunakan dalam menganalisis tingkat keparahan kekeringan, metode ini dirancang oleh Mc Kee et al

di Colorado State University pada tahun 1993. Metode ini merupakan model untuk mengukur

kekurangan curah hujan pada berbagai periode berdasarkan kondisi normalnya. Nilai SPI dihitung

dengan menggunakan metode statistik probalistik distribusi gamma [8].

𝐺 (x) = ∫ g(x) dx =1

βαT(α)∫ tα-1x

0

x

0e-x/β dx Pers.10

Dimana nilai α dan β diestimasi untuk setiap stasiun hujan dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut:

α = x̅2

S2 Pers.11

β = x̅

α Pers.12

Untuk x > 0

Untuk x = 0 maka nilai G(x) menjadi:

H (x) = q + (1-q). G(x) Pers.13

Dengan q = jumlah kejadian hujan= 0 (m) / jumlah data (n), nilai SPI merupakan transformasi

dari distribusi gamma (G(x)) menjadi standar normal dengan rata-rata (mean) 0 dan perbedaan 1, atau

menggunakan persamaan di bawah ini:

Z = SPI = - (t -C0 + C1 + C2t2

1+ d1t + d2t2+ d3t3) untuk 0 < H(x) ≤ 0,5 Pers.14

Z = SPI = + (t+C0 + C1+ C2t2

1 + d1t +d2t2 + d3t3) untuk 0 < H(x) ≤ 0,5 Pers.15

Dengan:

𝑡 = √𝑙𝑛 (1

(𝐻(𝑥))2) 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 0 < 𝐻(𝑥) ≤ 0,5 Pers.16

𝑡 = √𝑙𝑛 (1

(1,0−𝐻(𝑥))2) 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 0 < 𝐻(𝑥) ≤ 1,0 Pers.17

Setelah mendapatkan besar nilai indeks kekeringan metode SPI maka dilakukan

pengklasifikasian untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi. Berikut pada tabel 1 dibawah

menunjukkan besar nilai tingkat klasifikasi indeks kekeringan metode SPI :

Page 6: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

677

Tabel 1: Klasifikasi Indeks Kekeringan Metode SPI

Klasifikasi Nilai SPI

Amat sangat basah >2,00

Sangat basah 1,50 – 1,99

Cukup basah 1,00 – 1,49

Mendekati normal (-0,99) – 0,99

Cukup kering (-1,00) – (-1,49)

Sangat kering (-1,50) – (-1,99)

Amat sangat kering < (-2,00)

2.3.5 Metode Reconnaissance Drought Index (RDI)

a. Analisis Data Suhu

Perhitungan suhu udara untuk seluruh stasiun hujan menggunakan cara Mock. Data suhu udara

diperoleh dari Stasiun Hujan Karangkates dan dijadikan acuan karena ke 5 stasiun hujan tidak memiliki

data suhu udara.

∆T=0,006 (Z1-Z2) Pers.18

b. Evapotranspirasi Potensial

Evapotranspirasi potensial untuk setiap bulannya dihitung dengan metode Thornthwhaite Mather

dengan persamaan dibawah ini:

i=(T/5)1,514 Pers.19

l= ∑ i Pers.20

∝ =(0,675. 10-6.I3)(0,77.10-4.I2)+0,01792.I+0,49239 Pers.21

Pex=16(10T

I)α Pers.22

Untuk evapotranspirasi potensial terkoreksi dikalikan dengan faktor koreksi yang dapat dilihat pada

persamaan berikut:

PE = f . Pex Pers.23

c. Indeks Kekeringan

Pada metode indeks kekeringan ini dinyatakan dalam tiga bentuk yaitu nilai awal (𝛼𝑘), RDI yang

dinormalisasikan (RDIn), dan RDI yang terstandarisasi (RDIst). Nilai awal (𝛼𝑘) dapat disajikan dalam

skala waktu bulanan, dan tahunan, dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

𝛼𝑘(𝑖)

= ∑ 𝑃𝑖𝑗

𝑘𝑗=1

∑ 𝑃𝐸𝑇𝑖𝑗𝑘𝑗=1

, 𝑖 = 1 𝑡𝑜 𝑁 Pers.24

Pada studi ini menghitung evapotranspirasi potensial mengunakan pendekatan metode Thornwhaite.

Pada langkah kedua perhitungan RDI yang dinormalisasikan (RDIn) menggunakan rumus sebagai

berikut:

𝑅𝐷𝐼𝑛(𝑖)

=𝛼𝑜

(𝑖)

�̅�𝑜− 1 Pers.25

Pada langkah ketiga perhitungan RDI yang terstandarisasi (RDIst) menggunakan rumus sebagai berikut:

Page 7: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.M. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 672-685

678

𝑅𝐷𝐼𝑠𝑡(𝑖)

= 𝑦𝑘

(𝑖)−�̅�𝑘

𝜎𝑦𝑘 Pers.26

Tabel 2: Klasifikasi Indeks Kekeringan Metode RDI

Klasifikasi Nilai RDI

Amat sangat basah >2,00

Sangat basah 1,50 – 1,99

Cukup basah 1,00 – 1,49

Mendekati normal (-0,99) – 0,99

Cukup kering (-1,00) – (-1,49)

Sangat kering (-1,50) – (-1,99)

Amat sangat kering < (-2,00)

2.3.6 Southern Oscillation Index (SOI)

Nilai Indeks Osilasi Selatan (SOI) didefinisikan sebagai perbedaan antara tekanan permukaan

laut asilasi antiphase di Tahiti, Pasifik Timur dan Darwin di Pasifik Barat[9]. Kondisi iklim hampir

seluruhnya dipengaruhi oleh kejadian ENSO, fenomena ini juga dapat dilihat dari peningkatan massa

tekanan udara di lautan Hindia antara Darwin dan Tahiti. Apabila terjadi fenomena El-nino, nilai SOI

akan negatif, sebaliknya jika terjadi fenomena La nina maka, nilai SOI akan positif.

2.3.7 Kriging

Metode Kriging adalah estimasi stochastic yang mirip dengan Inverse Distance Weighted (IDW)

dimana menggunakan kombinasi linear dari weight untuk memperkirakan nilai diantara sampel data.

Asumsi dari metode ini adalah jarak dan orientasi antara sampel data menunjukkan korelasi spasial

yang penting dalam hasil interpolasi[10]. Kriging dapat memberikan ukuran error dan confidence serta

menggunakan semivariogram yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara semua

pasangan sampel data. Semivariogram juga menunjukkan bobot (weight) yang digunakan dalam

interpolasi, Semivariogram dihitung berdasarkan sampel dengan jarak h, beda nilai z dan jumlah data n

[11]. Tahapan dalam menggunakan metode ini adalah analisa statistik dari sampel data pemodelan

variogram, membuat hasil interpolasi dan menganalisa nilai variance.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil Analisis Hidrologi

3.1.1 Uji Konsistensi Data

Berdasarkan analisis pengujian data curah hujan yang dilakukan pada 3 (tiga) stasiun hujan yaitu

Stasiun Semen, Stasiun Wlingi, Stasiun Ngadirenggo, menggunakan metode kurva massa ganda

(Double Mass Curve) sedangkan analisis pengujian data curah hujan yang dilakukan pada 2 (dua)

stasiun hujan yang lainnya yaitu Stasiun Hujan Bantaran dan Stasiun Hujan Kaulon menggunakan

metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums). Dari hasil analisis kedua metode diatas menunjukkan

bahwa data curah hujan dari seluruh stasiun hujan bersifat konsisten yang memiliki makna tidak terjadi

penyimpangan hubungan tiap pos hujan dengan pos stasiun hujan lainnya yang ada di sekitar pos

tersebut.

3.1.2 Uji Stasioner

Hasil analisis uji-F dan Uji-T pada kelima pos stasiun hujan di DAS Lekso dengan menggunakan

derajat kepercayaan sebesar 5% untuk uji dua sisi menghasilkan data yang homogen atau hipotesis

diterima. Hal ini berarti data curah hujan yang diuji memiliki kestabilan nilai varian dan rata-rata dari

deret berkala.

Page 8: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

679

3.2 Analisis Indeks Kekeringan

3.2.1 Metode Standardized Precipitation Index (SPI)

Berdasarkan hasil analisis metode SPI menunjukkan hasil perbandingan indeks kekeringan dengan

berbagai periode defisit, didapatkan dengan melakukan analisa perhitungan jumlah kejadian kekeringan

dengan klasifikasi “Cukup Kering”,”Sangat Kering” dan “Amat Sangat Kering” yang terjadi diseluruh

stasiun hujan, sebagai berikut:

Tabel 3: Rekapitulasi SPI Periode Defisit 1,3,6,9,12 Bulanan

Periode

Defisit

Jumlah Kejadian Nilai Indeks

Minimum Cukup Kering Sangat Kering Amat Sangat Kering

SPI-1 75 25 22 -4.491

SPI-3 103 36 19 -3.610

SPI-6 95 29 17 -3.342

SPI-9 85 18 18 -3.001

SPI-12 70 26 19 -2.607

Pada tabel 3 disajikan nilai indeks kekeringan minimum pada tiap-tiap periode defisit metode SPI.

Dapat diketahui berdasarkan hasil analisis ekeringan metode SPI mununjukkan nilai indeks minimum

sebesar (-4.491) dengan intensitas “Amat Sangat Kering” yaitu pada periode defisit 1 bulanan.

Gambar 2: Grafik Perbandingan Indeks Kekeringan SPI Periode Defisit 1,3,6,9,12 Bulan

Namun dapat dilihat bahwa semakin besar periode defisit yang dianalisis menghasilkan nilai

indeks yang cukup stabil hal ini disebabkan oleh besarnya curah hujan yang dihitung berasal dari

akumulatif curah hujan yang sebelumnya, karena kekeringan sendiri dapat terjadi secara merayap dan

berakumulasi secara lambat.

3.2.2 Metode Reconaissance Drought Index (RDI)

Berdasarkan hasil analisis metode RDI menunjukkan hasil perbandingan indek kekeringan dengan

berbagai periode defisit, didapatkan dengan menggunakan analisis perhitungan jumlah kejadian

kekeringan dengan klasifikasi “Cukup Kering”, “Sangat Kering” dan :Amat Sangat Kering” yang

terjadi diseluruh stasiun hujan, sebagai berikut:

-4.00

-3.00

-2.00

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

20

18

Ind

ek

s K

ekerin

ga

n

Tahun

SPI-1

SPI-3

SPI-6

SPI-9

SPI-12

Page 9: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.M. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 672-685

680

Tabel 4: Rekapitulasi Periode Defisit RDI 1,3,6,9,12 Bulanan

Periode

Defisit

Jumlah Kejadian Nilai Indeks

Minimum Cukup Kering Sangat Kering Amat Sangat Kering

RDI-1 104 37 39 -4.062

RDI-3 74 61 46 -3.389

RDI-6 94 42 29 -3.209

RDI-9 83 37 25 -3.095

RDI-12 79 26 28 -2.685

Pada tabel 4 disajikan nilai indeks kekeringan minimum pada tiap-tiap periode defisit metode

RDI. Dapat diketahui bahwa hasil analisis indeks kekeringan metode RDI berbagai peiode di DAS

Lekso, menunjukkan nilai indeks minimum sebesar (-4.062) dengan intensitas “Amat Sangat Kering”

yaitu pada periode defisit 1 bulanan.

Gambar 3: Grafik Perbandingan Indeks Kekeringan RDI Periode Defisit 1,3,6,9,12 Bulan

Sedikit berbeda dengan SPI pada RDI memiliki kecenderungan nilai indeks minimum antar

periode tidak begitu besar. Pada metode ini juga memperhitungkan besaran evapotranspirasi potensial

serta akumulasi curah hujan di DAS Lekso

3.3 Analisis Perbandingan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) dan Reconaissance Drought

Index (RDI) dengan Southern Oscillation Indeks (SOI).

Dalam setiap analisis hasil dari perhitungan seharusnya dibandingkan dengan data yang

bersesuaian. Hal ini ditujukan untuk menguji keakuratan atau prosentase ketepatan sebuah perhitungan.

Sehingga sebuah hasil analisis kali ini data yang dapata dijadikan data pembanding hasil perhitungan

adalah dengan data SOI (Southern Oscillation Indeks) yang memiliki latar belakang keterkaitan yang

erat dalam fenomena kekeringan. Dalam studi ini dilakukan perbandingan anatara nilai surplusa dan

defisit dari masing-masing metode SPI rerata tahunan dan RDI rerata tahunan dengan 5 stasiun hujan

yang terletak di DAS Lekso dengan data ENSO berupa indeks osilasi selatan (SOI) yang terdistribusi

normal.

Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara nilai SOI dengan

kekeringan yang terjadi. Hasil perbandingan antaran SOI dengan SPI-1 dan RDI-1 dapat dilihat pada

gambar dibawah berikut ini

-5.00

-4.00

-3.00

-2.00

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

20

18

Ind

ek

s K

ekerin

ga

n

Tahun

RDI-1

RDI-3

RDI-6

RDI-9

RDI-12

Page 10: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

681

Gambar 4 : Perbandingan antara nilai SOI dengan Indeks Kekeringan RDI-1 di Stasiun Semen

Gambar 5 : Perbandingan antara nilai SOI dengan Indeks Kekeringan SPI-1 di Stasiun Semen

Nilai kecocokan tersebut terjadi ketika nilai SOI meningkat maka indeks kekeringan meningkat

dan ketika nilai SOI menurun maka indeks kekeringan juga menurun. Hal ini diperlukan untuk dapat

membandingkan kejadian fenomena El nino pada setiap tahun untuk mendapatkan nilai persen

kesesuaiannya. Berikut hasil rekapitulasi persen kesesuaian metode SPI dan RDI dengan data Indeks

Osilasi Selatan:

Tabel 5: Rekapitulasi Perbandingan Persen Kesesuaian Metode SPI dan RDI dengan Indeks Osilasi

Selatan (SOI)

No Stasiun Hujan Persen Kesesuaian

SPI RDI

1 Stasiun Bantaran 60% 70%

2 Stasiun Semen 45% 60%

3 Stasiun Wlingi 45% 70%

4 Stasiun Ngadirenggo 45% 75%

5 Stasiun Kaulon 60% 75%

Page 11: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.M. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 672-685

682

Secara kuantitatif dari hasil perbandingan yang diakukan dari kelima stasiun hujan di DAS Lekso

metode RDI memiliki kesesuaian pola grafik yang lebih tinggi dengan data SOI, dibandingkan dengan

metode SPI.

3.4 Analisis Korelasi

Setelah dilakukan perhitungan analisa indeks kekeringan metode Standardized Precipitation Index

(SPI) dan metode Recognaissance Drought Index (RDI), maka tahap selanjutnya yaitu melakukan

analisis korelasi agar dapat mengetahui seberapa kuat hubungan antara dua variabel tersebut.

3.4.1 Analisis Korelasi SPI-1 dan RDI-1 dengan data SOI

Gambar 6 : Hubungan Nilai Indeks SPI-1 dan RDI-1 Bulanan dengan Data Indeks Osislasi Selatan

Agar mengetahui hasil indeks kekeringan secara kuantitatif yang lebih tinggi diantara metode SPI

dan RDI terhadap nilai indeks osilasi selatan dilakukan analias korelasi mengunakan scatter plot dengan

cara menghubungkan langsung indeks kekeringan 1 bulanan dengan besarnya indeks osilasi selatan 1

bulanan. Dapat dilihat pada gambar 2 bahwa indeks kekeringan metode RDI memberikan hasil korelasi

yang lebih tinggi dibanding dengan metode SPI, yang artinya metode RDI mampu menginterpretasikan

fenomena El Nino dan La Nina dengan baik.

3.4.2 Analisa Korelasi SPI-1 dan RDI-1 dengan Data Curah Hujan Bulanan

Gambar 7 : Hubungan Nilai Indeks SPI-1 dan RDI-1 Bulanan dengan Data Curah Hujan Bulanan

Dari kelima stasiun hujan di DAS Lekso metode RDI lebih baik dalam memberikan model

kekeringan yang sesuai dengan kejadian hujan yang sesungguhnya dibanding metode SPI, dapat dilihat

pada gambar 3 secara kuantitatif metode RDI menghasilkan nilai yang cukup besar. Dari hasil analisa

korelasi dan persen kesesuaian maka didapatkan bahwa metode RDI lebih sesuai diterapkan di DAS

Lekso dalam proses analisa peta sebaran kekeringan.

R² = 0.098

-600

-400

-200

0

200

400

600

800

1000

-4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00Cu

ra

h H

uja

n

Indeks SPI

R² = 0.0428

-4.00

-3.00

-2.00

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

-4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00

Nil

ai

SO

I

Indeks SPI

R² = 0.0432

-3.00

-2.00

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

-5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00

Nil

ai

SO

I

Indeks RDI

R² = 0.145

-600

-400

-200

0

200

400

600

800

1000

-5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00Cu

ra

h H

uja

n

Indeks RDI

Page 12: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

683

3.5 Peta Sebaran Kekeringan

Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan hasil kondisi kekeringan terparah pada bulan Februari –

Oktober dengan intensitas kering hingga amat sangat kering, dimana dari hasil analisis yang paling

sesuai hasilnya terjadi pada periode defisit 12 bulanan. Semakin besar periode defisit yang dihitung

lebih mencerminkan kejadian kekeringan dengan baik, dikarenakan kekeringan terjadi secara merayap

serta berakumulasi secara lambat.

Gambar 8 : Peta Sebaran Kekeringan Periode Defisit 12 Bulan Tahun 2007

Kondisi iklim di DAS Lekso Kabupaten Blitar berdasarkan analisis yang ada mengalami

perubahan iklim, yaitu ditandai dengan meningkatnya suhu udara yang diikuti dengan menurunnya

curah hujan. Kondisi perubahan atau penyimpangan iklim ini menyebabkan terjadinya El nino yaitu

terjadinya bulan-bulan kering dalam durasi (jangka waktu) yang lama. Kondisi ini memberikan efek

pada tingkat intensitas dan frekuensi curah hujan yang semakin berkurang (menurun) bahkan pada

periode bulan basah seperti bulan September, Oktober masih juga terjadi kekeringan dengan

karakteristik kering sampai dengan amat sangat kering. Pengambaran peta sebaran kekeringan

digunakan untuk menggambarkan hasil analisis indeks kekeringan kedalam suatu peta dan untuk

mengetahui lebih jelas durasi periode bulan kering yang menyebabkan terjadinya kekeringan. Dalam

menggambarkan peta sebaran kekeringan pada DAS Lekso dilakukan dengan menggunakan GIS

(Sistem Informasi Geoografis).

Penggambaran ini didasarkan pada peta administrasi DAS Lekso dengan metode interpolasi kriging

serta menggunakan analisa indeks kekeringan metode Reconnaissance Drought Index dengan tingkat

karakteristik kekeringan sesuai dengan Gambar 8 untuk merepresentasikan tingkat karakteristik

kekeringan yang terjadi ditampilkan dalam tujuh warna sesuai dengan nilai ambang batas klasifikasi

intesitas kekeringan. Dapat dilihat pada Gambar 9 agar mempermudah dalam melakukan skala prioritas

Page 13: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.M. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 1 No. 2 (2021) p. 672-685

684

maka dilakukan overlay daerah administrasi pada DAS Lekso Kabupaten Blitar, maka didapatkan

beberapa desa yang selalu mengalami kekeringan disetiap bulannya, yaitu pada desa Slumbung,

Balerejo, Semen, Tulungrejo, dan Soso.

Gambar 9 : Peta Wilayah Administrasi yang Terdampak Kekeringan Periode Defisit 6 Bulan Tahun 2007

4. Kesimpulan

Dari analisis yang telah dilaksanakan, maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Metode SPI menghasilkan indeks kekeringan terparah di Stasiun hujan Wlingi pada tahun 2004

periode defisit satu bulanan sebesar -4,491. Metode RDI mengahasilkan indeks kekeringan terparah

di stasiun hujan Bantaran pada tahun 2004 periode defisit satu bulanan dengan indeks sebesar -

4,060.

2) Metode RDI memiliki hasil yang lebih menunjukkan kemiripan secara visual grafik surplus dan

defisit terhadap nilai indeks osilasi selatan. Secara kuantitatif nilai korelasi dan analisa persen

kesesuaian status kekeringan yang terjadi terhadap nilai indeks osilasi selatan, RDI juga

memberikan nilai korelasi yang lebih besar terhadap fenomena ENSO (El-Nino Southern

Oscilation) dibandingkan metode SPI.

3) Peta sebaran kekeringan digambarkan dari hasil indeks kekeringan dengan metode RDI

(Reconnaissance Drought Index) yang diinterpolasi menggunakan metode kriging didapatkan nama

desa-desa yang memiliki potensi terdampak kekeringan setiap bulannya, nama-nama desa tersebut

diantaranya sebagai berikut, Desa Slumbung, Desa Balerejo, Desa Semen, Desa Tulungrejo, dan

Desa Soso.

Daftar Pustaka

[1] Red, Shelia B. Pengantar tentang Bahaya Program Pelatihan Manajemen Bencana, Edisi

Pertama. Jakarta: Airlangga, 1995.

Page 14: © Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas

Listya, A.F. et al., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 1 No. 2 (2021) p.672-685

685

[2] D. Harisuseno, “Comparative Study of Meteorological and Hydrogical Drought Characteristics

in Pekalen River Basin”, East Java, Indonesia. Journal of Water and Land Develeopment,

No45, 19-41, 2020. Available: 10.24425/jwld. 2020/ 133043.

[3] Agency, A.. BPBD Blitar distribusikan air untuk desa dilanda kekeringan - ANTARA News

Jawa Timur. [online] ANTARA News Jawa Timur. 2021. Available at:

<https://jatim.antaranews.com/berita/309582/bpbd-blitar-distribusikan-air-untuk-desa-

dilanda-kekeringan> [Accessed 5 March 2021].

[4] A. Merabti, M. Meddi, D. Martins and L. Pereira, "Comparing SPI and RDI Applied at Local

Scale as Influenced by Climate", Water Resources Management, vol. 32, no. 3, pp. 1071-1085,

2017. Available: 10.1007/s11269-017-1855-7.

[5] G. Tsakiris, D. Pangalou and H. Vangelis, "Regional Drought Assessment Based on the

Reconnaissance Drought Index (RDI)", Water Resources Management, vol. 21, no. 5, pp. 821-

833, 2006. Available: 10.1007/s11269-006-9105-4.

[6] L. M. Limantara, Hidrologi Praktis, Edisi Pertama. Bandung: Lubuk Agung, 2010,p. 48.

[7] Soewarno, Hidrologi Aplikasi Metode Statistika untuk Analisa Data, Edisi Pertama. Bandung:

Nova, 1995.

[8] A. Memon and N. Shah, "Assessment and Comparison of SPI and RDI Meteorological Drought

Indices in Panchmahals District of Gujarat, India", International Journal of Current

Microbiology and Applied Sciences, vol. 8, no. 08, pp. 1995-2004, 2019. Available:

10.20546/ijcmas.2019.808.233.

[9] D. Harisuseno, "Meteorological Drought and its Relationship with Southern Oscillation Index

(SOI)", Civil Engineering Journal, vol. 6, no. 10, pp. 1864-1875, 2020. Available:

10.28991/cej-2020-03091588.

[10] I. Solikhati, D. Harisuseno and E. Suhartanto, “Studi Indentifikasi Indeks Kekeringan

Hidrologis Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)

(Studi Kasus pada DAS Brantas Hulu : Sub-DAS Amprong dan Sub-DAS Bangosari)”, Jurnal

Teknik Pengairan, vol. 4, no. 2, 2013.

[11] A. Rofiq Kurniawan, M. Bisri and E. Suhartanto, "Drought analysis in Bedadung Watershed

based on a Geographical Information System", IOP Conference Series: Earth and

Environmental Science, vol. 437, p. 012024, 2020. Available: 10.1088/1755-

1315/437/1/012024.