repositori.unud.ac.id · ii dasar-dasar patobiologi molekuler prakata perkemabangan biologi...

355
SWASTA NULUS 2016 Penulis: I Nyoman Mantik Astawa

Upload: vanthuan

Post on 12-Aug-2019

294 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler i

SWASTA NULUS2016

Penulis:I Nyoman Mantik Astawa

Page 2: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekulerii

PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah

memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia dan hewan pada tingkat molekuler. Pengetahuan tentang penyakit pada tingkat molekuler juga berdampak pada perkembangan teknik diagnoss, penanganan dan pengobaan berbagai penakit. Penyusunan buku ini diharapkan dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan pada mahasiswa S1, S2 dan S3 biomedik untuk memahami berbagai penyakit pada manusia dan hewan. Adanya buku ini diharapkan dapat memberikan memberikan pengetahuan dasar tentang peristiwa molekuler yang terjadi dalam sel yang dapat memicu munculnya berbabagi penyakit pada inang. Hal akan memudahkan mahasiswa dalam melakukan penelitian tentang biologi molekuler berbagai penyakit.

Buku ini terdiri atas lima Bab yaitu Bab I tentang sel dan organel, Bab I tentang sistem signal an siklus sel, Bab II tentang kesurakan DNA dan reparasinya, Bab IV tentang apoptosis dan Bab V tentang onkogenesis. Pada Bab I dibahas struktur sel dan organel penysusunnya yang dapat memberi landasan bagi para mahasiswa untuk membahami sel dn strukturnya pada tingkat molekuler. Bab II yang membahas silklus dan siste signal sel diharapakan dapat memberikan gabaran pad mahasiswa tenang siklus sel dan sistem signal yang mengaur pembelahan, pertumbuhan, kehidupan dan kematian sel yang semuanya sangat berperan dalam munculnya berbagai penyakit . Berbagai jenis kerusakan pada DNA dan sisem rreparasinya juga berperan amat penting dalam beberbagai penyakit. Kegagalan dalam reparasi DNA yang rusak dapat memicu kemaian sel melalui apoptosis

Hak Cipta pada Penulis. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Penulis:I Nyoman Mantik Astawa

Cover & Ilustrasi: Repro

Lay Out: Mandra, Kt

Diterbitkan oleh:SWASTA NULUS

Jl. Tukad Batanghari VI.B No. 9 Denpasar-BaliTelp. (0361) 241340

Email: [email protected]

Cetakan Pertama:2016, xi + 57 hlm, 15 x 23 cm

ISBN:.....................

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler

Page 3: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler iii

PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah

memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia dan hewan pada tingkat molekuler. Pengetahuan tentang penyakit pada tingkat molekuler juga berdampak pada perkembangan teknik diagnoss, penanganan dan pengobaan berbagai penakit. Penyusunan buku ini diharapkan dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan pada mahasiswa S1, S2 dan S3 biomedik untuk memahami berbagai penyakit pada manusia dan hewan. Adanya buku ini diharapkan dapat memberikan memberikan pengetahuan dasar tentang peristiwa molekuler yang terjadi dalam sel yang dapat memicu munculnya berbabagi penyakit pada inang. Hal akan memudahkan mahasiswa dalam melakukan penelitian tentang biologi molekuler berbagai penyakit.

Buku ini terdiri atas lima Bab yaitu Bab I tentang sel dan organel, Bab I tentang sistem signal an siklus sel, Bab II tentang kesurakan DNA dan reparasinya, Bab IV tentang apoptosis dan Bab V tentang onkogenesis. Pada Bab I dibahas struktur sel dan organel penysusunnya yang dapat memberi landasan bagi para mahasiswa untuk membahami sel dn strukturnya pada tingkat molekuler. Bab II yang membahas silklus dan siste signal sel diharapakan dapat memberikan gabaran pad mahasiswa tenang siklus sel dan sistem signal yang mengaur pembelahan, pertumbuhan, kehidupan dan kematian sel yang semuanya sangat berperan dalam munculnya berbagai penyakit . Berbagai jenis kerusakan pada DNA dan sisem rreparasinya juga berperan amat penting dalam beberbagai penyakit. Kegagalan dalam reparasi DNA yang rusak dapat memicu kemaian sel melalui apoptosis

Page 4: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuleriv

yang dibahas dalam Bab IV . Namun jika reparasi DNA terjadi secara tidak sempurna dan sel tetap bertahan hidup , maka sel dapat mengalami muasi DNA yang dapat memunculkan beberbagai penyakit seperti penyekit degeneraif dan penyakit lainnya. Salah satu penakit yang sering muncul akibat mutasi gen dalam sel adalah onkogenesis yang dibahasa dalam Bab V

Topik yang diulas dalam buku ini masih terbatas pada proses molekuler dasar yang berkaitan dengan proses terjadinya penyakit. Ulasan semacam ini diharapkan dapat membenaru mahasiswa dalam memahami proses molekuler yang melandasi berbagai penakit seperti tumor dan kanker, penyakit degeneratif mupun penyakit infeksi. Buku ini diharapkan dapat membantu mahaiswa dalam penelitian biomedis yang dewasa ini berkembang begitu cepat sehingga kita tidak tertinggal jauh dari peneliti di negra lain. Penulis menyadari bahwa ke depannya masih banyak proses molekuler yang perlu diulas terutama yang berkaitan langsung dengan berbagai penyakit i diabebtes, aterosklerosis, penyakit infeksi (virus, bakeri dan parasit), inflamasi, gangguan syaraf dan penyakit lalinnya. Karena itu, untuk menyempurnakan isi buku ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga isi buku ini pada edisi berikutnya dapat disempurnakan. Akhirnya penulis mengharapkan semoga buku ini bermanfaat bagi yang memerlukanna dan penlulis mengucapakan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membanu dalam penulisan buku ini.

Denpasar Akhir Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI PRAKATA ................................................................................ iii DAFTAR ISI ............................................................................. v BAB I. SEL DAN ORNEL ..................................................... 1 1.1. Sel dan Strukturnya ......................................... 1 1.2. Membran sel ................................................... 5 1.3. Pertautan antar sel ........................................... 6 1.3.1. Jenis Pertautan antar sel ...................... 6 1.3.2. Molekul Pertautan antar Sel ................ 10 1.4. Sistem Transportasi sel ................................... 17 1.4.1. Sistem transportasi pasif ..................... 17 1.4.2. Sistem Transpotasi Aktif ..................... 19 1.5. Sitoplasma dan organelnya ............................. 26 1.5.1. Retikulum Endoplasma ....................... 26 1.5.2. Lisosom ............................................... 27 1.5.3. Ribosom .............................................. 29 1.5.4. Vakuola dan Vesikula ......................... 30 1.5.5. Apparatus Golgi .................................. 30 1.5.6. Mitokondria ......................................... 32 1.6. Sitosekeleton .................................................... 34 1.6.1. Mikrofilamen ...................................... 35 1.6.2. Filamen Intermediet ............................ 36 1.6.3. Mikrotubulus ....................................... 37 1.6.4. Sentrosom dan Sentriol ....................... 38 1.6.5. Silia dan Flagella ................................. 39 1.7. Nukleus dan Nukelolus .................................... 41 1.8. Kromosom, Kromatin, DNA dan Gen ............. 43 1.9. Transkripsi dan Translasi Gen ......................... 44 1.9.1. Protein Regulator Transkripsi ............. 47 1.9.2. Pengaturan Transkripsi oleh Protein Regulator ............................................. 53 BAB II. SIKLUS DAN SISTEM SIGNAL SEL ..................... 68 2.1. Gambaran Umum Siklus sel ............................ 69 2.1.1 Fase Interfase ...................................... 69 2.1.2. Fase Mitosis ........................................ 71 2.2. Faktor pemicu dan penghambat pembelahan Sel ............................................................ 75 2.2.1. Faktor Pertumbuhan ............................ 75 2.2.2. Reseptor Faktor Pertumbuhan ............. 78 2.2.3. Faktor Penghambat pertumbuhan Sel . 78

Page 5: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler v

yang dibahas dalam Bab IV . Namun jika reparasi DNA terjadi secara tidak sempurna dan sel tetap bertahan hidup , maka sel dapat mengalami muasi DNA yang dapat memunculkan beberbagai penyakit seperti penyekit degeneraif dan penyakit lainnya. Salah satu penakit yang sering muncul akibat mutasi gen dalam sel adalah onkogenesis yang dibahasa dalam Bab V

Topik yang diulas dalam buku ini masih terbatas pada proses molekuler dasar yang berkaitan dengan proses terjadinya penyakit. Ulasan semacam ini diharapkan dapat membenaru mahasiswa dalam memahami proses molekuler yang melandasi berbagai penakit seperti tumor dan kanker, penyakit degeneratif mupun penyakit infeksi. Buku ini diharapkan dapat membantu mahaiswa dalam penelitian biomedis yang dewasa ini berkembang begitu cepat sehingga kita tidak tertinggal jauh dari peneliti di negra lain. Penulis menyadari bahwa ke depannya masih banyak proses molekuler yang perlu diulas terutama yang berkaitan langsung dengan berbagai penyakit i diabebtes, aterosklerosis, penyakit infeksi (virus, bakeri dan parasit), inflamasi, gangguan syaraf dan penyakit lalinnya. Karena itu, untuk menyempurnakan isi buku ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga isi buku ini pada edisi berikutnya dapat disempurnakan. Akhirnya penulis mengharapkan semoga buku ini bermanfaat bagi yang memerlukanna dan penlulis mengucapakan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membanu dalam penulisan buku ini.

Denpasar Akhir Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI PRAKATA ................................................................................ iii DAFTAR ISI ............................................................................. v BAB I. SEL DAN ORNEL ..................................................... 1 1.1. Sel dan Strukturnya ......................................... 1 1.2. Membran sel ................................................... 5 1.3. Pertautan antar sel ........................................... 6 1.3.1. Jenis Pertautan antar sel ...................... 6 1.3.2. Molekul Pertautan antar Sel ................ 10 1.4. Sistem Transportasi sel ................................... 17 1.4.1. Sistem transportasi pasif ..................... 17 1.4.2. Sistem Transpotasi Aktif ..................... 19 1.5. Sitoplasma dan organelnya ............................. 26 1.5.1. Retikulum Endoplasma ....................... 26 1.5.2. Lisosom ............................................... 27 1.5.3. Ribosom .............................................. 29 1.5.4. Vakuola dan Vesikula ......................... 30 1.5.5. Apparatus Golgi .................................. 30 1.5.6. Mitokondria ......................................... 32 1.6. Sitosekeleton .................................................... 34 1.6.1. Mikrofilamen ...................................... 35 1.6.2. Filamen Intermediet ............................ 36 1.6.3. Mikrotubulus ....................................... 37 1.6.4. Sentrosom dan Sentriol ....................... 38 1.6.5. Silia dan Flagella ................................. 39 1.7. Nukleus dan Nukelolus .................................... 41 1.8. Kromosom, Kromatin, DNA dan Gen ............. 43 1.9. Transkripsi dan Translasi Gen ......................... 44 1.9.1. Protein Regulator Transkripsi ............. 47 1.9.2. Pengaturan Transkripsi oleh Protein Regulator ............................................. 53 BAB II. SIKLUS DAN SISTEM SIGNAL SEL ..................... 68 2.1. Gambaran Umum Siklus sel ............................ 69 2.1.1 Fase Interfase ...................................... 69 2.1.2. Fase Mitosis ........................................ 71 2.2. Faktor pemicu dan penghambat pembelahan Sel ............................................................ 75 2.2.1. Faktor Pertumbuhan ............................ 75 2.2.2. Reseptor Faktor Pertumbuhan ............. 78 2.2.3. Faktor Penghambat pertumbuhan Sel . 78

Page 6: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekulervi

2.3. Enzim Kinase dan phosphatase ........................ 79 2.3.1. Protein Kinase A ................................. 80 2.3.2. Protein Kinase B ................................. 82 2.3.3. Protein Kinase C ................................. 84 2.3.4. Protein Kinase G ................................. 86 2.3.5. Cyclin dependant Kinase .................... 87 2.3.6. Phosphatase ......................................... 90 2.4. Sistem Signal Pemicu an Penghambat Proliferasi Sel ................................................... 91 2.4.1. Jalur sistem signal MAPK................... 92 2.4.2. Jalur sistem signal PI3K ...................... 100 2.4.3. Jalur sistem signal Wnt/β-catenin ....... 111 2.4.4. Jalur sistem signla TGFβ .................... 119 2.5. Transduksi Signal Perintis Siklus sel .............. 121 2.6. Replikasi DNA dan Pengarturannya ................ 126 2.6.1. Pesiapan replikasi DNA ...................... 126 2.6.2. Sintesis DNA dan Penghentiannya ..... 129 2.7. Transuksi Signal Pengatur Mitosis .................. 132 2.7.1. Peran CDK dan Penghambatnya ......... 133 2.7.2. Mekanisme Molekuler Mitosis dan Sitokinesis ........................................... 135 BAB II. REPARASI DNA ...................................................... 154 3.1. Struktur DNA ................................................... 154 3.2. Jenis Kerusakan DNA dan Penyebabnya ......... 159 3.3. Respons umum sel atas keruskan DNA ........... 164 3.4. Reparasi DNA .................................................. 167 3.4.1. Reaktivasi garpu replikasi DNA yang terhenti ........................................ 167 3.4.2. Reparasi eksisi basa ............................ 168 3.4.3. Reparasi eksisi nukelotida ................... 170 3.4.4. Rekombinasi Homolog ....................... 172 3.4.5. Reparasi garpu replikasi yang terhendi 175 3.4.6. Penyambungan DNA yang tidak Homolog ............................................. 176 3.4.7. Penyambungan ujung DNA secara Nonhomolog ....................................... 184 BAB IV. APOPTOSIS ............................................................ 197 4.1. Faktor Pemicu Apoptosis ................................. 198 4.1.1. Apoptosis yang dipicu oleh reseptor TNF ..................................................... 199

Page 7: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler vii

2.3. Enzim Kinase dan phosphatase ........................ 79 2.3.1. Protein Kinase A ................................. 80 2.3.2. Protein Kinase B ................................. 82 2.3.3. Protein Kinase C ................................. 84 2.3.4. Protein Kinase G ................................. 86 2.3.5. Cyclin dependant Kinase .................... 87 2.3.6. Phosphatase ......................................... 90 2.4. Sistem Signal Pemicu an Penghambat Proliferasi Sel ................................................... 91 2.4.1. Jalur sistem signal MAPK................... 92 2.4.2. Jalur sistem signal PI3K ...................... 100 2.4.3. Jalur sistem signal Wnt/β-catenin ....... 111 2.4.4. Jalur sistem signla TGFβ .................... 119 2.5. Transduksi Signal Perintis Siklus sel .............. 121 2.6. Replikasi DNA dan Pengarturannya ................ 126 2.6.1. Pesiapan replikasi DNA ...................... 126 2.6.2. Sintesis DNA dan Penghentiannya ..... 129 2.7. Transuksi Signal Pengatur Mitosis .................. 132 2.7.1. Peran CDK dan Penghambatnya ......... 133 2.7.2. Mekanisme Molekuler Mitosis dan Sitokinesis ........................................... 135 BAB II. REPARASI DNA ...................................................... 154 3.1. Struktur DNA ................................................... 154 3.2. Jenis Kerusakan DNA dan Penyebabnya ......... 159 3.3. Respons umum sel atas keruskan DNA ........... 164 3.4. Reparasi DNA .................................................. 167 3.4.1. Reaktivasi garpu replikasi DNA yang terhenti ........................................ 167 3.4.2. Reparasi eksisi basa ............................ 168 3.4.3. Reparasi eksisi nukelotida ................... 170 3.4.4. Rekombinasi Homolog ....................... 172 3.4.5. Reparasi garpu replikasi yang terhendi 175 3.4.6. Penyambungan DNA yang tidak Homolog ............................................. 176 3.4.7. Penyambungan ujung DNA secara Nonhomolog ....................................... 184 BAB IV. APOPTOSIS ............................................................ 197 4.1. Faktor Pemicu Apoptosis ................................. 198 4.1.1. Apoptosis yang dipicu oleh reseptor TNF ..................................................... 199

4.1.2. Peran reseptor kematian dan liganduya dalam apoptosis ................................... 199 4.2. Enzim caspase .................................................. 202 4.3. Aktivasi Caspase .............................................. 205 4.3.1. Peran DISC ......................................... 206 4.3.2. Peran PIDDsom .................................. 208 4.3.3. Peran Apoptosom ................................ 208 4.3.4. Peran Inflamasom ............................... 209 4.4. Penghambat Caspase ........................................ 212 4.5. Mekanisme apoptosis ....................................... 212 4.5.1. Peran Mitokondria .............................. 214 4.5.2. Peran Protein Keluarga BCl2 .............. 215 4.5.3. Apoptosis Jalur Ekstrinsik .................. 218 4.5.4. Apoptosis Jalur Intrinsik ..................... 220 4.5.5. Apoptosis Jalur Perforin/Granzyme .... 224 4.5.6. Peran Endonuklease G ........................ 226 4.5.7. Kerja Caspase Ekskusioner ................. 228 4.6. Inflamasom, apoptosis, nekroptosis dan Nekrosis ........................................................... 230 4.7. Peran Apoptosis dalam Penyakit ..................... 232 BAB V. ONKOGENESIS ........................................................ 242 5.1. Tumorogenesis dan karsinogenesis.................. 243 5.1.1. Perubahan sel normal menjadi sel Tumor .................................................. 244 5.1.2. Tahapan Karsinogenesis ..................... 245 5.2. Faktor Genetik Pemicu Kanker ........................ 248 5.2.1. Perubahan epigenetik .......................... 248 5.3. Sifat-sifat sel kanker ........................................ 252 5.3.1. Imortalitas ........................................... 252 5.3.2. Ketergantungan pada Faktor Pertumbuhan yang Menurun ............... 253 5.3.3. Metastasis ............................................ 254 5.3.4. Hilangnya Kontrol Siklus Sel ............. 263 5.3.5. Katahanan terhadap Apoptosis yang Meningkat .................................. 266 5.3.6. Instabilitas Genetik yang Meningkat .. 266 5.3.7. Angiogenesis ....................................... 267 5.4. Peran Protoonkogen ........................................ 269 5.4.1. Gen factor pertumbuhan dan Reseptornya ......................................... 270 5.4.2. Gend penyandi G-Protein.................... 272

Page 8: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekulerviii

BAB I SEL DAN ORGANEL

1.1. Sel dan Strukturnya

Sel merupakan unit terkecil dari mahluk hidup seperti tanaman, hewan dan mikroba. Kata sel berasal dari bahasa latin cella yang berarti ruangan kecil. Secara umum sel dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sel eukariot dan sel prokariot. Sel eukariot memiliki nukleus sebagai tempat untuk menyimpan DNA yang membawa informasi genetik bagi semua aktivitas sel. Pada sel eukariot, DNA dalam nukleus dipisahkan secara jelas dari sitoplasma oleh membran nukleus. Sementara itu, sel prokariot tidak mempunyai nukleus dan DNA biasanya tersebar dalam sitoplasma. Sel eukariot dapat ditemukan baik pada organisme bersel tunggal (unisel) sel maupun bersel banyak (multisel), sedangkan sel prokariot umunya ditemukan pada organism uni sel. Selain perbedaan di atas, sel prokariot umumnya berukuran jauh lebih kecil dibanding sel eukariot. Pada manusia, jumlah sel yang ditemukan dalam tubuh satu orang adalah sekitar 100 trillion (1014) sel (Bianconi dkk, 2013).

Perbedaan juga ditemukan di antara berbagai jenis sel eukariot. Perbedaan yang paling mencolok dapat diamati pada sel eukariot asal hewan dan asal tumbuhan. Sel asal tumbuhan umumnya mempunyai dinding sel dan organel khusus yang berfungsi untuk memenuhi keperluan energi sel yang disebut kloroplas. Sementara itu, sel hewan berbeda dengan sel tumbuhan dalam hal kemampuannya untuk mensekresi protein serabut yang elastis yang disebut matriks ekstrasel. Struktur tersebut menyebabkan sel eukariot asal hewan bersifat lebih lentur dibanding sel tanaman. Selain itu, beberapa jenis sel pada hewan dapat berpindah dari satu jaringan ke jaringan lainnya, seperti yang

5.4.3. Serine Threonine Kinase ..................... 273 5.4.4. Tyrosin kirase bukan reseptor ............. 276 5.4.5. Faktor transkripsi ................................ 279 5.5. Gen supresor tumor .......................................... 280 5.5.1. Retinoblastoma ................................... 281 5.5.2. Protein p53 .......................................... 282 5.5.3. Adenomatous Polyposis Coli .............. 284 5.5.4. PTEN................................................... 286 5.5.5. Transforming growth factor ................ 287 5.6. Onkogenesis pada infeksi virus ....................... 292 5.6.1. Onkogenesis pada infeksi virus........... 292 5.6.2. Peran LTR gen retrovirus pada Onkogenesis ........................................ 294 5.6.3. Virus yang menginduksi Onkogenesis 295 Glosarium .................................................................................. 310 Indeks ........................................................................................ 339

Page 9: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 1

BAB I SEL DAN ORGANEL

1.1. Sel dan Strukturnya

Sel merupakan unit terkecil dari mahluk hidup seperti tanaman, hewan dan mikroba. Kata sel berasal dari bahasa latin cella yang berarti ruangan kecil. Secara umum sel dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sel eukariot dan sel prokariot. Sel eukariot memiliki nukleus sebagai tempat untuk menyimpan DNA yang membawa informasi genetik bagi semua aktivitas sel. Pada sel eukariot, DNA dalam nukleus dipisahkan secara jelas dari sitoplasma oleh membran nukleus. Sementara itu, sel prokariot tidak mempunyai nukleus dan DNA biasanya tersebar dalam sitoplasma. Sel eukariot dapat ditemukan baik pada organisme bersel tunggal (unisel) sel maupun bersel banyak (multisel), sedangkan sel prokariot umunya ditemukan pada organism uni sel. Selain perbedaan di atas, sel prokariot umumnya berukuran jauh lebih kecil dibanding sel eukariot. Pada manusia, jumlah sel yang ditemukan dalam tubuh satu orang adalah sekitar 100 trillion (1014) sel (Bianconi dkk, 2013).

Perbedaan juga ditemukan di antara berbagai jenis sel eukariot. Perbedaan yang paling mencolok dapat diamati pada sel eukariot asal hewan dan asal tumbuhan. Sel asal tumbuhan umumnya mempunyai dinding sel dan organel khusus yang berfungsi untuk memenuhi keperluan energi sel yang disebut kloroplas. Sementara itu, sel hewan berbeda dengan sel tumbuhan dalam hal kemampuannya untuk mensekresi protein serabut yang elastis yang disebut matriks ekstrasel. Struktur tersebut menyebabkan sel eukariot asal hewan bersifat lebih lentur dibanding sel tanaman. Selain itu, beberapa jenis sel pada hewan dapat berpindah dari satu jaringan ke jaringan lainnya, seperti yang

5.4.3. Serine Threonine Kinase ..................... 273 5.4.4. Tyrosin kirase bukan reseptor ............. 276 5.4.5. Faktor transkripsi ................................ 279 5.5. Gen supresor tumor .......................................... 280 5.5.1. Retinoblastoma ................................... 281 5.5.2. Protein p53 .......................................... 282 5.5.3. Adenomatous Polyposis Coli .............. 284 5.5.4. PTEN................................................... 286 5.5.5. Transforming growth factor ................ 287 5.6. Onkogenesis pada infeksi virus ....................... 292 5.6.1. Onkogenesis pada infeksi virus........... 292 5.6.2. Peran LTR gen retrovirus pada Onkogenesis ........................................ 294 5.6.3. Virus yang menginduksi Onkogenesis 295 Glosarium .................................................................................. 310 Indeks ........................................................................................ 339

Page 10: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler2

ditemukan pada berbagai jenis sel imun (Luster dkk, 2005). Pada sel eukariot, membran nukleus terdiri atas lipida berlapis dua dan berfungsi untuk melindungi DNA dan komponen lainnya dalam nukleus. DNA dalam nukleus tersusun dalam bentuk kromatin yang terdiri atas untai DNA heliks ganda dan protein histon. Pada sel yang sedang membelah, kromatin mengalami kondensasi dengan membentuk struktur seperti spiral sehingga tampak jelas sebagai kromosom.

Organisme unisel dapat bergerak untuk mencari makanan dan untuk lolos dari predator. Pergerakan ini dimungkinkan karena sel memiliki silia dan flagela. Pada organisme multisel, sel dapat bergerak selama proses tertentu seperti kesembuhan luka, respons imun dan metastasis kanker. Pada saat kesembuhan luka, sel darah putih berpindah ke tempat luka untuk membunuh mikroba penyebab infeksi. Pergerakan sel tersebut melibatkan berbagai reseptor, sitoskeleton, ikatan silang, molekul adesi, dan protein lainnya (Ananthakrishnan dan Ehrlicher, 2009). Proses pergerakan sel dibagai menjadi 3 tahapan, yaitu penjuluran membran sel, adesi dari ujung juluran membran sel, deadesi pada badan belakang sel, serta kontraksi sitoskeleton untuk mendorong sel bergerak ke depan. Setiap tahapan dikendalikan oleh kekuatan fisik yang dibentuk oleh segmen sitoskeleton.

Pada organisme multisel seperti hewan dan manusia, sel dibedakan menjadi berbagi jenis sesuai dengan bentuk dan fungsinya. Pada hewan mamalia, jenis sel yang ditemukan meliputi sel kulit, sel otot, neuron, sel darah, fibroblas, sel Punca dan lainnya (Gambar 1.1.). Setiap jenis sel mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda, meskipun secara genetik semua sel dalam satu individu sama. Sel dengan genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang berbeda karena setiap jenis sel mempunyai ekspresi protein yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya dalam jaringan. Berdasarkan fungsinya sel dibedakan menjadi sel penghubung berbagai jaringan/organ (fibroblas), sel penutup permukaan tubuh (epitel), sel pengangkut (sel darah merah), sel yang menggerakan organ atau bagian tubuh (otot rangka, otot polos dan otot jantung), sel penyimpan nutrisi (sel lemak), sel imun (makrofag, leukosit), sel pengantur fungsi berbagai organ/jaringan (sel syaraf) dan sel reproduksi (sel telur dan spermatozoa), Semua sel tersebut muncul dari sel punca tunggal

totipoten yang disebut zigot. Sel ini dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel selama perkembangan individu yang menghasilkan ratusan jenis sel yang berbeda (Wobus dan Boheler, 2005).

Gamba 1.1. Berbagai jenis sel yang ditemukan pada hewan mamalia. Sel hewan mamalia mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda-beda. (Sumber : Marieb dan Hoehn, 2013)

Terdapat dua jenis materi genetik di dalam sel, yaitu deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Sel menggunakan DNA untuk menyimpan informasi genetik dalam waktu yang lama. Informasi biologis yang ada dalam sel tersimpan dalam bentuk sandi genetik berupa sekuen nukleotida dari DNA. Sementara itu, RNA digunakan sebagai transportasi informasi (mRNA), fungsi enzimatis (RNA ribosom/rRNA), dan transfer (tRNA) untuk menambahkan asam amino selama proses translasi mRNA menjadi protein. Pada sel eukariot, molekul DNA berada dalam 2 bentuk, yaitu linier yang disebut kromosom dan sirkuler yang ditemukan dalam mitokondria. Pada manusia, terdapat 46 DNA linier yang terdiri atas 22 pasangan kromosom homolog dan 1 pasangan kromosom seks (De Grouchy, 1987). DNA sirkuler yang ditemukan dalam mitokondria

Page 11: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 3

ditemukan pada berbagai jenis sel imun (Luster dkk, 2005). Pada sel eukariot, membran nukleus terdiri atas lipida berlapis dua dan berfungsi untuk melindungi DNA dan komponen lainnya dalam nukleus. DNA dalam nukleus tersusun dalam bentuk kromatin yang terdiri atas untai DNA heliks ganda dan protein histon. Pada sel yang sedang membelah, kromatin mengalami kondensasi dengan membentuk struktur seperti spiral sehingga tampak jelas sebagai kromosom.

Organisme unisel dapat bergerak untuk mencari makanan dan untuk lolos dari predator. Pergerakan ini dimungkinkan karena sel memiliki silia dan flagela. Pada organisme multisel, sel dapat bergerak selama proses tertentu seperti kesembuhan luka, respons imun dan metastasis kanker. Pada saat kesembuhan luka, sel darah putih berpindah ke tempat luka untuk membunuh mikroba penyebab infeksi. Pergerakan sel tersebut melibatkan berbagai reseptor, sitoskeleton, ikatan silang, molekul adesi, dan protein lainnya (Ananthakrishnan dan Ehrlicher, 2009). Proses pergerakan sel dibagai menjadi 3 tahapan, yaitu penjuluran membran sel, adesi dari ujung juluran membran sel, deadesi pada badan belakang sel, serta kontraksi sitoskeleton untuk mendorong sel bergerak ke depan. Setiap tahapan dikendalikan oleh kekuatan fisik yang dibentuk oleh segmen sitoskeleton.

Pada organisme multisel seperti hewan dan manusia, sel dibedakan menjadi berbagi jenis sesuai dengan bentuk dan fungsinya. Pada hewan mamalia, jenis sel yang ditemukan meliputi sel kulit, sel otot, neuron, sel darah, fibroblas, sel Punca dan lainnya (Gambar 1.1.). Setiap jenis sel mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda, meskipun secara genetik semua sel dalam satu individu sama. Sel dengan genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang berbeda karena setiap jenis sel mempunyai ekspresi protein yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya dalam jaringan. Berdasarkan fungsinya sel dibedakan menjadi sel penghubung berbagai jaringan/organ (fibroblas), sel penutup permukaan tubuh (epitel), sel pengangkut (sel darah merah), sel yang menggerakan organ atau bagian tubuh (otot rangka, otot polos dan otot jantung), sel penyimpan nutrisi (sel lemak), sel imun (makrofag, leukosit), sel pengantur fungsi berbagai organ/jaringan (sel syaraf) dan sel reproduksi (sel telur dan spermatozoa), Semua sel tersebut muncul dari sel punca tunggal

totipoten yang disebut zigot. Sel ini dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel selama perkembangan individu yang menghasilkan ratusan jenis sel yang berbeda (Wobus dan Boheler, 2005).

Gamba 1.1. Berbagai jenis sel yang ditemukan pada hewan mamalia. Sel hewan mamalia mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda-beda. (Sumber : Marieb dan Hoehn, 2013)

Terdapat dua jenis materi genetik di dalam sel, yaitu deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Sel menggunakan DNA untuk menyimpan informasi genetik dalam waktu yang lama. Informasi biologis yang ada dalam sel tersimpan dalam bentuk sandi genetik berupa sekuen nukleotida dari DNA. Sementara itu, RNA digunakan sebagai transportasi informasi (mRNA), fungsi enzimatis (RNA ribosom/rRNA), dan transfer (tRNA) untuk menambahkan asam amino selama proses translasi mRNA menjadi protein. Pada sel eukariot, molekul DNA berada dalam 2 bentuk, yaitu linier yang disebut kromosom dan sirkuler yang ditemukan dalam mitokondria. Pada manusia, terdapat 46 DNA linier yang terdiri atas 22 pasangan kromosom homolog dan 1 pasangan kromosom seks (De Grouchy, 1987). DNA sirkuler yang ditemukan dalam mitokondria

Page 12: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler4

berfungsi untuk menyandi protein yang umumnya terlibat dalam pembentukan energi sel. Selain itu, dalam mitokondria juga ditemukan tRNA khusus untuk organel tersebut (Chinnery dan Turnbull, 1999).

Sel hewan tersusun atas membran sel, sitosol, organel, sitoskeleton dan nukleus. Membran sel merupakan bagian terluar dari sel hewan dan berfungsi sebagai pelindung sel. Di dalam sitosol terdapat berbagai jenis organel seperti mitokondria, lisosom, retikulum endoplasma, dan apparatus Golgi. Inti sel (nukleus) diselubungi oleh membran inti sel. Sementara itu, nukleus merupakan tempat penyimpanan materi genetik sel. Di dalam nukleus juga ditemukan nukleolus. Nukleus dipisahkan dari sitoplasma oleh membran inti sel (Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Struktur sel eukariot hewan mamalia. Sel terdiri atas membran sel, sitosol, organel sitoplasma, sitoskeleton dan nukleus. Organel sitoplasma yang terpenting adalah retikulum endoplasma, aparatus Golgi, mitokondria, lisosom, ribosom, sentriol dan sentrosom. Dalam nukleus terdapat membran nukleus, nukleolus, serta kromosom dan kromatin. (Sumber Marieb dan Hoehn , 2013).

1.2. Membran Sel

Membran sel atau membran plasma merupakan membran biologis yang menutupi sitoplasma. Pada hewan, membran sel merupakan bagian terluar dari sel, sedangkan pada sel prokariot dan sel tanaman, membran sel masih ditutupi oleh dinding sel. Membran sel berfungsi untuk melindungi sel dari lingkungan luar dan tersusun atas fosfolipida berlapis dua. Fosfolipida berlapis dua pada membran sel bersifat amfitetik, yaitu sebagian bersifat hidrofobik dan sebagian lagi bersifat hidrofilik (Albertf dkk, 2002). Pada membran sel terdapat berbagai jenis molekul protein yang bertindak sebagai saluran dan pompa untuk menggerakkan berbagai molekul ke dalam dan ke luar sel. Selain bersifat ampitetik, membran sel juga bersifat semipermiabel, yaitu dapat dilewati oleh molekul tertentu secara selektif. Permukaan membran sel juga mengandung berbagai protein reseptor yang berfungsi untuk melacak signal ekstrasel, seperti hormon dan faktor pertumbuhan.

Lipida berlapis dua dalam membran sel juga mengandung molekul kolesterol dan protein. Molekul fosfolipida berlapis dua dalam membran sel terdiri atas kepala yang bersifat polar dan berhadapan langsung molekul air di dalam dan di luar sel, sedangkan ekornya yang bersifat nonpolar saling behadapan dan berinteraksi dengan molekul lemak di antara lipida berlapis dua (Gambar1.3.). Permukaan bagian dalam dan bagian luar dari membran sel dibedakan berdasarkan jumlah dan jenis lemak yang menyusunnya.. Glikolipida hanya ditemukan pada bagian paling luar dari membran sel. Protein tertentu diselipkan secara kuat dalam membran sel sebagai protein integral, sedangkan protein lainnya pada membran sel ditemukan sebagai protein perifer yang hanya melekat pada protein integral dan molekul lipid. Kebanyakan protein integral merupakan protein transmembran yang membentang sepanjang ketebalan membran dan berperan sebagai kanal transportasi atau karier dalam sistem transportasi berbagai molekul. Sementara itu, protein perifer berfungsi sebagai enzim atau fungsi mekanis dari sel (Albertf dkk, 2002).

Page 13: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 5

berfungsi untuk menyandi protein yang umumnya terlibat dalam pembentukan energi sel. Selain itu, dalam mitokondria juga ditemukan tRNA khusus untuk organel tersebut (Chinnery dan Turnbull, 1999).

Sel hewan tersusun atas membran sel, sitosol, organel, sitoskeleton dan nukleus. Membran sel merupakan bagian terluar dari sel hewan dan berfungsi sebagai pelindung sel. Di dalam sitosol terdapat berbagai jenis organel seperti mitokondria, lisosom, retikulum endoplasma, dan apparatus Golgi. Inti sel (nukleus) diselubungi oleh membran inti sel. Sementara itu, nukleus merupakan tempat penyimpanan materi genetik sel. Di dalam nukleus juga ditemukan nukleolus. Nukleus dipisahkan dari sitoplasma oleh membran inti sel (Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Struktur sel eukariot hewan mamalia. Sel terdiri atas membran sel, sitosol, organel sitoplasma, sitoskeleton dan nukleus. Organel sitoplasma yang terpenting adalah retikulum endoplasma, aparatus Golgi, mitokondria, lisosom, ribosom, sentriol dan sentrosom. Dalam nukleus terdapat membran nukleus, nukleolus, serta kromosom dan kromatin. (Sumber Marieb dan Hoehn , 2013).

1.2. Membran Sel

Membran sel atau membran plasma merupakan membran biologis yang menutupi sitoplasma. Pada hewan, membran sel merupakan bagian terluar dari sel, sedangkan pada sel prokariot dan sel tanaman, membran sel masih ditutupi oleh dinding sel. Membran sel berfungsi untuk melindungi sel dari lingkungan luar dan tersusun atas fosfolipida berlapis dua. Fosfolipida berlapis dua pada membran sel bersifat amfitetik, yaitu sebagian bersifat hidrofobik dan sebagian lagi bersifat hidrofilik (Albertf dkk, 2002). Pada membran sel terdapat berbagai jenis molekul protein yang bertindak sebagai saluran dan pompa untuk menggerakkan berbagai molekul ke dalam dan ke luar sel. Selain bersifat ampitetik, membran sel juga bersifat semipermiabel, yaitu dapat dilewati oleh molekul tertentu secara selektif. Permukaan membran sel juga mengandung berbagai protein reseptor yang berfungsi untuk melacak signal ekstrasel, seperti hormon dan faktor pertumbuhan.

Lipida berlapis dua dalam membran sel juga mengandung molekul kolesterol dan protein. Molekul fosfolipida berlapis dua dalam membran sel terdiri atas kepala yang bersifat polar dan berhadapan langsung molekul air di dalam dan di luar sel, sedangkan ekornya yang bersifat nonpolar saling behadapan dan berinteraksi dengan molekul lemak di antara lipida berlapis dua (Gambar1.3.). Permukaan bagian dalam dan bagian luar dari membran sel dibedakan berdasarkan jumlah dan jenis lemak yang menyusunnya.. Glikolipida hanya ditemukan pada bagian paling luar dari membran sel. Protein tertentu diselipkan secara kuat dalam membran sel sebagai protein integral, sedangkan protein lainnya pada membran sel ditemukan sebagai protein perifer yang hanya melekat pada protein integral dan molekul lipid. Kebanyakan protein integral merupakan protein transmembran yang membentang sepanjang ketebalan membran dan berperan sebagai kanal transportasi atau karier dalam sistem transportasi berbagai molekul. Sementara itu, protein perifer berfungsi sebagai enzim atau fungsi mekanis dari sel (Albertf dkk, 2002).

Page 14: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler6

Gambar 1.3.. Struktur lipida dua lapis pada membran sel. Lipida dua lapis pada membran sel terdiri atas kepala yang bersifat hidrofilik dan ekor yang bersifat hidrofobik. Sifat hidrofilik dari kepala disebabkan oleh adanya gugus kolin, gliserol dan dan fosfat yang bersifat polar. Sementara itu, sifat hidrofobik dari ekor lipida disebabkan oleh adanya gugus asam lemak yang nonpolar. (Sumber Albert dkk, 2002a.)

1.3. Pertautan antar sel

1.3.1.Jenis Pertautan antar sel

Pertautan antar sel merupakan struktur yang terdapat dalam jaringan organisme multisel, seperti hewan dan manusia. Struktur ini terdiri atas kompleks multiprotein yang memungkinkan sel untuk berhubungan dengan sel terdekat atau dengan matriks ekstrasel. Struktur ini juga menciptakan sawar paraselular dari sel epitel dan berfungsi sebagai pengatur sistem transportasi molekul di dalam dan antar sel. Pertautan antar sel banyak dijumpai pada jaringan epitel dan sangat berperan dalam komunikasi antar sel melalui protein khusus yang disebut protein komunikasi. Pertautan antar sel juga berperan dalam menurunkan stres yang dialami oleh sel.

Terdapat tiga jenis pertautan antar sel, yaitu pertautan ketat, desmosom dan pertautan celah. Selain ketiga jenis pertautan antar

sel tersebut terdapat jenis pertautan peralihan yang disebut pertautan aderen. Pertautan ketat merupakan pertautan satu sel ke sel lainnya dengan memfusikan membran selnya secara ketat untuk mencegah lewatnya molekul melalui perbatasan antar sel. Molekul yang terlibat dalam pertautan ketat meliputi occludin, caludin dan protein keluarga junction adhesion molecul (JAM) (Gambar 1.4). Pertautan tersebut umumnya ditemukan pada jaringan epitel hewan vertebrata yang bertindak sebagai sawar yang mengatur perpindahan air dan bahan terlarut di antara lapisan sel epitel (Ulluwishewa dkk, 2011).

Gambar 1.4. Struktur pertautan ketat antar sel. Pertautan ketat pada satu sel dengan sel lainnya menyekat perbatasan sel secara ketat dengan melibatkan berbagai molekul adesi, seperti occludin, claudin dan JAM. Protein occludin dan claudin melipat empat kali (tetraspan) pada perbatasan antar sel, sedangkan protein JAM melipat satu kali (single span). Protein plak seperti keluarga zonula occluden (ZO) bertindak sebagai protein adaptor yang menghubungkan protein transmembran ke cincin aktomisin di sisi pertautan sel (Ulluwishewa dkk, 2011)

Desmosom yang juga dikenal dengan makulae adherente, dapat divisualisasikan sebagai paku keling (paku berkepala dua) yang

Page 15: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 7

Gambar 1.3.. Struktur lipida dua lapis pada membran sel. Lipida dua lapis pada membran sel terdiri atas kepala yang bersifat hidrofilik dan ekor yang bersifat hidrofobik. Sifat hidrofilik dari kepala disebabkan oleh adanya gugus kolin, gliserol dan dan fosfat yang bersifat polar. Sementara itu, sifat hidrofobik dari ekor lipida disebabkan oleh adanya gugus asam lemak yang nonpolar. (Sumber Albert dkk, 2002a.)

1.3. Pertautan antar sel

1.3.1.Jenis Pertautan antar sel

Pertautan antar sel merupakan struktur yang terdapat dalam jaringan organisme multisel, seperti hewan dan manusia. Struktur ini terdiri atas kompleks multiprotein yang memungkinkan sel untuk berhubungan dengan sel terdekat atau dengan matriks ekstrasel. Struktur ini juga menciptakan sawar paraselular dari sel epitel dan berfungsi sebagai pengatur sistem transportasi molekul di dalam dan antar sel. Pertautan antar sel banyak dijumpai pada jaringan epitel dan sangat berperan dalam komunikasi antar sel melalui protein khusus yang disebut protein komunikasi. Pertautan antar sel juga berperan dalam menurunkan stres yang dialami oleh sel.

Terdapat tiga jenis pertautan antar sel, yaitu pertautan ketat, desmosom dan pertautan celah. Selain ketiga jenis pertautan antar

sel tersebut terdapat jenis pertautan peralihan yang disebut pertautan aderen. Pertautan ketat merupakan pertautan satu sel ke sel lainnya dengan memfusikan membran selnya secara ketat untuk mencegah lewatnya molekul melalui perbatasan antar sel. Molekul yang terlibat dalam pertautan ketat meliputi occludin, caludin dan protein keluarga junction adhesion molecul (JAM) (Gambar 1.4). Pertautan tersebut umumnya ditemukan pada jaringan epitel hewan vertebrata yang bertindak sebagai sawar yang mengatur perpindahan air dan bahan terlarut di antara lapisan sel epitel (Ulluwishewa dkk, 2011).

Gambar 1.4. Struktur pertautan ketat antar sel. Pertautan ketat pada satu sel dengan sel lainnya menyekat perbatasan sel secara ketat dengan melibatkan berbagai molekul adesi, seperti occludin, claudin dan JAM. Protein occludin dan claudin melipat empat kali (tetraspan) pada perbatasan antar sel, sedangkan protein JAM melipat satu kali (single span). Protein plak seperti keluarga zonula occluden (ZO) bertindak sebagai protein adaptor yang menghubungkan protein transmembran ke cincin aktomisin di sisi pertautan sel (Ulluwishewa dkk, 2011)

Desmosom yang juga dikenal dengan makulae adherente, dapat divisualisasikan sebagai paku keling (paku berkepala dua) yang

Page 16: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler8

menghubungkan membran sel di antara 2 sel terdekat. Pertautan ini berfungsi untuk mencegah robeknya jaringan pada keadaan trauma. Penyusun desmosom adalah filamen intermediet yang terdiri atas keratin atau desmin yang melekat pada protein membran sel untuk membentuk plak padat pada permukaan dalam dari membran sel. Plak padat tersebut terdiri atas protein adaptor, seperti desmoplakin, plakoglobulin dan plakophilin. Molekul cadherin kemudian membentuk jangkar yang melekat pada plak sitoplasma yang melewati membran dan berikatan secara kuat dengan molekul cadherin yang terdapat pada sel terdekat (Garrod dan Chidgey, 2008; Lie dkk, 2011) (Gambar 1.5.)

Gambar 1.5. Desmosom dan molekul penyusunnya. Desmosom mempertautkan dua sel terdekat melalui berbagai molekul, yaitu protein cadherin nonklasik (desmoglein dan desmocolin), protein adaptor (plakophilin, plakoglobin dan desmoplakin) dan sitoskeleton (filamen intermediet) (Sumber Holthofer dkk, 2007)

Pertautan celah atau pertautan komunikasi merupakan sistem komunikasi antar sel yang memungkinkan lewatnya molekul di antara sel melalui difusi tanpa kontak dengan cairan ekstrasel (Evans dan Martin, 2002). Ini dimungkinkan karena adanya enam protein

koneksin yang berinteraksi membentuk silinder berpori yang disebut konekson (Lampe dan Lau, 2004). Kompleks konekson membentang melintasi membran sel dan ketika kompleks koneskson antar 2 sel terdekat berinteraksi, kompleks tersebut membentuk kanal penghubung yang melewati celah antar sel sehingga disebut pertautan celah (Gambar 1.6). Pori konekson mempunyai ukuran dan polaritas yang beragam dan karenanya dapat bersifat khas untuk setiap sel tergantung dari jenis konekson dari sel (Evans dan Martin, 2002; Lampe dan Lau, 2004). Meskipun terdapat variasi di antara sel, struktur umum dan fungsi konekson tetap sama, yaitu untuk memungkinkan komunikasi antar sel secara efisien tanpa adanya molekul yang lepas ke cairan ekstra sel. Pada manusia, pertautan komunikasi tersebut berperan amat penting dalam kontraksi seragam dari otot jantung, dalam sistem transfer signal dalam otak, dan dalam diferensiasi dan proliferasi sel (Wei dkk, 2004)

Gambar 1.6. Struktur pertautan celah. Pertautan celah terbentuk melalui penyatuan 6 subunit protein (koneksin) untuk membentuk kesatuan berkanal yang disebut konekson. Adanya kanal dalam konekson memungkinkan sel saling berkomunikasi melalui molekul komunikasi yang melewati kanal. (Sumber:Pointis dkk, 2010).

Page 17: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 9

menghubungkan membran sel di antara 2 sel terdekat. Pertautan ini berfungsi untuk mencegah robeknya jaringan pada keadaan trauma. Penyusun desmosom adalah filamen intermediet yang terdiri atas keratin atau desmin yang melekat pada protein membran sel untuk membentuk plak padat pada permukaan dalam dari membran sel. Plak padat tersebut terdiri atas protein adaptor, seperti desmoplakin, plakoglobulin dan plakophilin. Molekul cadherin kemudian membentuk jangkar yang melekat pada plak sitoplasma yang melewati membran dan berikatan secara kuat dengan molekul cadherin yang terdapat pada sel terdekat (Garrod dan Chidgey, 2008; Lie dkk, 2011) (Gambar 1.5.)

Gambar 1.5. Desmosom dan molekul penyusunnya. Desmosom mempertautkan dua sel terdekat melalui berbagai molekul, yaitu protein cadherin nonklasik (desmoglein dan desmocolin), protein adaptor (plakophilin, plakoglobin dan desmoplakin) dan sitoskeleton (filamen intermediet) (Sumber Holthofer dkk, 2007)

Pertautan celah atau pertautan komunikasi merupakan sistem komunikasi antar sel yang memungkinkan lewatnya molekul di antara sel melalui difusi tanpa kontak dengan cairan ekstrasel (Evans dan Martin, 2002). Ini dimungkinkan karena adanya enam protein

koneksin yang berinteraksi membentuk silinder berpori yang disebut konekson (Lampe dan Lau, 2004). Kompleks konekson membentang melintasi membran sel dan ketika kompleks koneskson antar 2 sel terdekat berinteraksi, kompleks tersebut membentuk kanal penghubung yang melewati celah antar sel sehingga disebut pertautan celah (Gambar 1.6). Pori konekson mempunyai ukuran dan polaritas yang beragam dan karenanya dapat bersifat khas untuk setiap sel tergantung dari jenis konekson dari sel (Evans dan Martin, 2002; Lampe dan Lau, 2004). Meskipun terdapat variasi di antara sel, struktur umum dan fungsi konekson tetap sama, yaitu untuk memungkinkan komunikasi antar sel secara efisien tanpa adanya molekul yang lepas ke cairan ekstra sel. Pada manusia, pertautan komunikasi tersebut berperan amat penting dalam kontraksi seragam dari otot jantung, dalam sistem transfer signal dalam otak, dan dalam diferensiasi dan proliferasi sel (Wei dkk, 2004)

Gambar 1.6. Struktur pertautan celah. Pertautan celah terbentuk melalui penyatuan 6 subunit protein (koneksin) untuk membentuk kesatuan berkanal yang disebut konekson. Adanya kanal dalam konekson memungkinkan sel saling berkomunikasi melalui molekul komunikasi yang melewati kanal. (Sumber:Pointis dkk, 2010).

Page 18: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler10

Gambar 1.7. Ilustrasi pertautan sel epitel usus. A. Pertautan ketat merupakan pertautan antar sel yang paling dekat dengan permukaan sel. Selain itu juga ditemukan pertauan aderen, pertautan celah dan desmosom. B: Foto mikroskop elektron sel epitel usus mencit yang memperlihatkan berbagai jenis pertautan antar sel secara ultramikroskopis. Keterangan : Mv,:Micovilli; TJ, tight junction (Pertautan ketat); AJ, adherens junction (Pertautan aderen), DS, desmosome. (Sumber Tsukita dkk, 2001)

1.3.2. Molekul pertautan antar sel

Molekul yang berperan dalam membentuk pertautan antar sel meliputi berbagai molekul adesi yang tergolong menjadi empat kelompok, yaitu selektin, cadherin, integrin, dan molekul superfamili immunoglobulin (Lodish, 2007).

Selektin

Selektin merupakan molekul adesi yang berperan amat penting dalam merintis proses inflamasi. Kemampuan fungsional selektin terbatas pada kerjasama lekosit dengan endotel pembuluh darah. Pada manusia, terdapat tiga jenis selektin, yaitu L-selektin, P-selektin dan E-selectin yang merujuk pada jenis sel tempat molekul selektin ditemukan. L-selectin berkaitan dengan limfosit, monosit dan neutrofil. P-selektin berkaitan dengan platelet dan endotel, dan E-

selektin hanya berkaitan dengan endotel. Semua molekul selektin mempunyai daerah ektrasel yang mengandung gugus N-terminal yang melekat pada ligand karbohidrat, faktor pertumbuhan dan unit pendek berulang yang mengandung domain pengikatan dengan protein pasangan pengikatnya (Rowlands, 1995;Cooper , 2000) (Gambar 1.8)

Gambar1.8. Contoh ikatan selektin protein komplemnternya melalui molekul oligosakarida. E-selektin merupakan protein transmembran yang diekspresikan oleh sel endotel dan berikatan dengan oligosakarida yang diekspresikan pada permukaan leukosit (Sumber Cooper, 2000)

Cadherin

Cadherin merupakan molekul adesi bergantung kalsium (Ca). Molekul ini berperan amat penting dalam morfogenesis fetus. Bersama-sama dengan kompleks molekul α- dan β-catenin, cadherin dapat berikatan dengan mikrofilamen dari sitoskeleton sel (Gambar 1.12). Ikatan ini memungkinkan terbentuknya adesi sel ke sel yang homofilik. Adanya kompleks penghubung β-catenin–α-catenin pada pertautan antar sel memungkinkan pembentukan ikatan dinamik dengan aktin sitoskeleton (Gambar 1.9.).

Page 19: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 11

Gambar 1.7. Ilustrasi pertautan sel epitel usus. A. Pertautan ketat merupakan pertautan antar sel yang paling dekat dengan permukaan sel. Selain itu juga ditemukan pertauan aderen, pertautan celah dan desmosom. B: Foto mikroskop elektron sel epitel usus mencit yang memperlihatkan berbagai jenis pertautan antar sel secara ultramikroskopis. Keterangan : Mv,:Micovilli; TJ, tight junction (Pertautan ketat); AJ, adherens junction (Pertautan aderen), DS, desmosome. (Sumber Tsukita dkk, 2001)

1.3.2. Molekul pertautan antar sel

Molekul yang berperan dalam membentuk pertautan antar sel meliputi berbagai molekul adesi yang tergolong menjadi empat kelompok, yaitu selektin, cadherin, integrin, dan molekul superfamili immunoglobulin (Lodish, 2007).

Selektin

Selektin merupakan molekul adesi yang berperan amat penting dalam merintis proses inflamasi. Kemampuan fungsional selektin terbatas pada kerjasama lekosit dengan endotel pembuluh darah. Pada manusia, terdapat tiga jenis selektin, yaitu L-selektin, P-selektin dan E-selectin yang merujuk pada jenis sel tempat molekul selektin ditemukan. L-selectin berkaitan dengan limfosit, monosit dan neutrofil. P-selektin berkaitan dengan platelet dan endotel, dan E-

selektin hanya berkaitan dengan endotel. Semua molekul selektin mempunyai daerah ektrasel yang mengandung gugus N-terminal yang melekat pada ligand karbohidrat, faktor pertumbuhan dan unit pendek berulang yang mengandung domain pengikatan dengan protein pasangan pengikatnya (Rowlands, 1995;Cooper , 2000) (Gambar 1.8)

Gambar1.8. Contoh ikatan selektin protein komplemnternya melalui molekul oligosakarida. E-selektin merupakan protein transmembran yang diekspresikan oleh sel endotel dan berikatan dengan oligosakarida yang diekspresikan pada permukaan leukosit (Sumber Cooper, 2000)

Cadherin

Cadherin merupakan molekul adesi bergantung kalsium (Ca). Molekul ini berperan amat penting dalam morfogenesis fetus. Bersama-sama dengan kompleks molekul α- dan β-catenin, cadherin dapat berikatan dengan mikrofilamen dari sitoskeleton sel (Gambar 1.12). Ikatan ini memungkinkan terbentuknya adesi sel ke sel yang homofilik. Adanya kompleks penghubung β-catenin–α-catenin pada pertautan antar sel memungkinkan pembentukan ikatan dinamik dengan aktin sitoskeleton (Gambar 1.9.).

Page 20: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler12

Molekul cadherin merupakan protein homodimer yang bagian ekstraselnya melipat 5 kali sebagai lipatan cadherin dan setiap satu lipatan mengandung domain menyerupai imunoglobulin (Ig). Di antara setiap pasangan lipatan terdapat situs pengikatan Ca2+. Peningkatan kadar Ca2+ memicu perentangan dimer cadherin ke luar sel dan berikatan dengan dimer cadherin dari sel terdekat. Jika ion Ca2+ lepas dari lipatan cadherin, maka domain ekstraselnya menjadi lembek dan mengalami degradasi oleh enzim proteolitik (Alberta dkk, 2002) (Gambar 1.9.)

Gambar 1.9. Struktur dan Fungsi cadherin). Ketersediaan ion Ca2+

meningkatkan aktivitas cadherin (keterangan dalam teks). (Sumber Albert dkk, 2002b)

Integrin.

Integrin merupakan keluarga besar reseptor glikoprotein heterodimer yang terdiri atas dua subunit α and β yang berfungsi sebagai molekul adesi (Gambar 1.10). Intergin memainkan peran yang amat penting dalam berbagai proses biologis, seperti pengaturan sitoskeleton aktin dan transduksi berbagai signal intrasel yang mengatur

berbagai fungsi sel. Intergin berikatan dengan berbagai matriks ekstrasel termasuk kolagen dan laminin (Srichai dan Zent, 2010). Setiap heterodimer molekul intergrin terdiri atas domain ekstrasel yang besar yang berikatan dengan protein ekstrasel lainnya dan domain intra sitoplasma yang pendek yang berhubungan dengan sitoskeleton melalui berbagai protein adaptor sitoplasma (Haynes, 2002; Brembeck dkk, 2006)..

Gambar 1.10. Struktur dan fungsi integrin. A. Integrin yang tidak berikatan dengan ligand bersifat inaktif dengan konformasi yang bengkok . B. Ketika diaktifkan oleh ligand talin dan kindlin, domain intrasitoplasmik dari subunit α dan β memisah, sedangkan domain ekstra sel terrentang yang memungkinkan domain ekstrasel berikatan dengan berbagai ligand (B). Intergrin yang teraktivasi berikatan dengan ligand ekstra sel untuk membentuk kluster pada membran sel. Pembentukan kluster ini diperlukan untuk mengirim signal bagi pembentukan adesi fokal yang ketat, perakitan sitoskeleton aktin dan berbagai signal lainnya yang mengatur fungsi dan aktivitas sel. (Sumber Srichai dan Zent, 2010)

Page 21: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 13

Molekul cadherin merupakan protein homodimer yang bagian ekstraselnya melipat 5 kali sebagai lipatan cadherin dan setiap satu lipatan mengandung domain menyerupai imunoglobulin (Ig). Di antara setiap pasangan lipatan terdapat situs pengikatan Ca2+. Peningkatan kadar Ca2+ memicu perentangan dimer cadherin ke luar sel dan berikatan dengan dimer cadherin dari sel terdekat. Jika ion Ca2+ lepas dari lipatan cadherin, maka domain ekstraselnya menjadi lembek dan mengalami degradasi oleh enzim proteolitik (Alberta dkk, 2002) (Gambar 1.9.)

Gambar 1.9. Struktur dan Fungsi cadherin). Ketersediaan ion Ca2+

meningkatkan aktivitas cadherin (keterangan dalam teks). (Sumber Albert dkk, 2002b)

Integrin.

Integrin merupakan keluarga besar reseptor glikoprotein heterodimer yang terdiri atas dua subunit α and β yang berfungsi sebagai molekul adesi (Gambar 1.10). Intergin memainkan peran yang amat penting dalam berbagai proses biologis, seperti pengaturan sitoskeleton aktin dan transduksi berbagai signal intrasel yang mengatur

berbagai fungsi sel. Intergin berikatan dengan berbagai matriks ekstrasel termasuk kolagen dan laminin (Srichai dan Zent, 2010). Setiap heterodimer molekul intergrin terdiri atas domain ekstrasel yang besar yang berikatan dengan protein ekstrasel lainnya dan domain intra sitoplasma yang pendek yang berhubungan dengan sitoskeleton melalui berbagai protein adaptor sitoplasma (Haynes, 2002; Brembeck dkk, 2006)..

Gambar 1.10. Struktur dan fungsi integrin. A. Integrin yang tidak berikatan dengan ligand bersifat inaktif dengan konformasi yang bengkok . B. Ketika diaktifkan oleh ligand talin dan kindlin, domain intrasitoplasmik dari subunit α dan β memisah, sedangkan domain ekstra sel terrentang yang memungkinkan domain ekstrasel berikatan dengan berbagai ligand (B). Intergrin yang teraktivasi berikatan dengan ligand ekstra sel untuk membentuk kluster pada membran sel. Pembentukan kluster ini diperlukan untuk mengirim signal bagi pembentukan adesi fokal yang ketat, perakitan sitoskeleton aktin dan berbagai signal lainnya yang mengatur fungsi dan aktivitas sel. (Sumber Srichai dan Zent, 2010)

Page 22: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler14

Superfamili Imunoglobulin

Molekul adhesi superfamili Imunoglobulin (Ig) merupakan sekelompok protein yang tidak bergantung pada kalsium dan mampu menyatukan sel melalui adesi homofilik dan heterophilik. Adesi homofilik melibatkan domain mirip imunoglobulin pada permukaan dua sel yang berhadapan, sedangkan adesi heterofilik merujuk pada ikatan antara molekul mirip Ig pada satu sel dengan integrin dan karbohidrat pada sel terdekat. Yang tergolong ke dalam keluarga imunoglobulin adalah vascular cell adhesion molecule (VCAM), neural cell adhesions molecule (NCAM), intercellular adhesion molecule (ICAM), Platelet endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1 atau CD31) dan nectins and nectin-like (Necl). Nectin khususnya terlibat dalam pembentukan pertautan antar sel berbasis cadherin (Takai dan Nakanishi, 2003), yang memediasi kontak awal antar sel melalui ikatan nectin-nectin ataui ikatan nectin-Necl yang menciptakan ikatan dengan sitoskeleton aktin melalui ikatan nectin-afadin (Kurita dkk, 2011). Kebanyakan ICAM-1 diekspresikan hanya pada sel imun dan sel endotel. Molekul ICAM pada sel endotel pembuluh darah dapat berikatan dengan molekul lymphocyte function-associated antigen-1 (LFA-1) pada sel imun. Selain mengekspresikan ICAM-1, sel endotel juga mengekspresikan vascular adhesion molecule (VCAM) yang dapat berikatan dengan very late antigen -4 (VLA-4) pada permukaan monosit atau lekosit lainnya. Ikatan VCAM-1 dengan VLA-4 dan ICAM-1 dengan LFA-1 berperan amat penting dalam merintis migrasi lekosit dari lumen pembuluh darah ke jaringan (ekstravasasi) (Beaton dkk, 2012) (Gambar 1.11). PECAM-1 atau CD31 diekspresikan pada permukaan semua sel dalam pembuluh darah, seperti leukosit, pletelet dan endotelial terutama pada pertautan antara sel terdekat. PCAM merupakan molekul signal dan mempunyai multifungsi dalam biologi vaskuler, seperti angiogenesis, fungsi pletelet, trombosis, sensor mekanis endotel terhadap stres dan pengaturan migrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan (Woodfin dkk, 2007). Ncctin dan nectin-like molecules (Necls) diekspresikan oleh sejumlah sel dan berperan penting dalam adesi sel dan pembentukan pertautan sel yang stabil. Nectin dan Necl juga berperan dalam berbagai aktivitas seluler, seperti polarisasi sel, migrasi sel, pertumbuhan dan nasib sel (Takai dan Nakanishi, 2003)

Gambar 1.11. Peran VCAM, ICAM dan molekul adesi lainnyadalam dalam migrasi sel T ke jaringan. Adesi sel T pada membran sel endotel diperantarai oleh VLA-4 dan LFA pada permukaan sel T dan V-CAM dan ICAM-1 pada permukaan sel endotel. Dengan bantuan molekul adesi JAM dan PECAM, sel T kemudian dapat menembus dinding pembuluh darah dan masuk ke jaringan (Sumber Beaten dkk, 2012)

Catenin mempunyai spektrum aktivitas yang sangat luas yang berperan dalam diferensiasi, perkembangan jaringan embrio dan migrasi sel (Kobielak dan Fuchs, 2004: Pokutta dkk, 2008)). Protein α-catenin banyak ditemukan pada tempat adesi sel tertentu (pertautan ketat dan pertautan aderen) umumnya membentuk kompleks dengan protein keluarga terdekatnya, yaitu β-catenin (Gambar 1.12). Interaksi antara α-catenin dan β-catenin terjadi melalui proses fosforilasi, baik pada molekul β-catenin maupun pada α-catenin (Koslov dkk, 1997; Pokutta dan Weis , 2000). Dimerisasi α-catenin menciptakan domain fungsional pada kedua ujungnya sehingga dapat berikatan dengan filamen aktin. Fungsi utama α-catenin adalah untuk memicu adesi antar sel yang stabil (pertautan aderen). Dalam hal ini, α-catenin memicu adesi yang lebih kuat melalui tahapan proses berikut. Pertama, α-catenin membentuk kluster lateral dan mengaktifkan cadherin (Imamura dkk, 1999). Kedua, α-catenin dapat merekrut formin di dekat kontak antar sel untuk menghasilkan filamen baru yang mendorong dan perekatan membran. Ketiga, α-catenin dapat mengatur aktivitas penjuluran membran dan menekan nukleasi dan polimeriasi aktin yang dimediasi oleh kompleks Arp2/3 (Abe dkk, 2004) .

Page 23: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 15

Superfamili Imunoglobulin

Molekul adhesi superfamili Imunoglobulin (Ig) merupakan sekelompok protein yang tidak bergantung pada kalsium dan mampu menyatukan sel melalui adesi homofilik dan heterophilik. Adesi homofilik melibatkan domain mirip imunoglobulin pada permukaan dua sel yang berhadapan, sedangkan adesi heterofilik merujuk pada ikatan antara molekul mirip Ig pada satu sel dengan integrin dan karbohidrat pada sel terdekat. Yang tergolong ke dalam keluarga imunoglobulin adalah vascular cell adhesion molecule (VCAM), neural cell adhesions molecule (NCAM), intercellular adhesion molecule (ICAM), Platelet endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1 atau CD31) dan nectins and nectin-like (Necl). Nectin khususnya terlibat dalam pembentukan pertautan antar sel berbasis cadherin (Takai dan Nakanishi, 2003), yang memediasi kontak awal antar sel melalui ikatan nectin-nectin ataui ikatan nectin-Necl yang menciptakan ikatan dengan sitoskeleton aktin melalui ikatan nectin-afadin (Kurita dkk, 2011). Kebanyakan ICAM-1 diekspresikan hanya pada sel imun dan sel endotel. Molekul ICAM pada sel endotel pembuluh darah dapat berikatan dengan molekul lymphocyte function-associated antigen-1 (LFA-1) pada sel imun. Selain mengekspresikan ICAM-1, sel endotel juga mengekspresikan vascular adhesion molecule (VCAM) yang dapat berikatan dengan very late antigen -4 (VLA-4) pada permukaan monosit atau lekosit lainnya. Ikatan VCAM-1 dengan VLA-4 dan ICAM-1 dengan LFA-1 berperan amat penting dalam merintis migrasi lekosit dari lumen pembuluh darah ke jaringan (ekstravasasi) (Beaton dkk, 2012) (Gambar 1.11). PECAM-1 atau CD31 diekspresikan pada permukaan semua sel dalam pembuluh darah, seperti leukosit, pletelet dan endotelial terutama pada pertautan antara sel terdekat. PCAM merupakan molekul signal dan mempunyai multifungsi dalam biologi vaskuler, seperti angiogenesis, fungsi pletelet, trombosis, sensor mekanis endotel terhadap stres dan pengaturan migrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan (Woodfin dkk, 2007). Ncctin dan nectin-like molecules (Necls) diekspresikan oleh sejumlah sel dan berperan penting dalam adesi sel dan pembentukan pertautan sel yang stabil. Nectin dan Necl juga berperan dalam berbagai aktivitas seluler, seperti polarisasi sel, migrasi sel, pertumbuhan dan nasib sel (Takai dan Nakanishi, 2003)

Gambar 1.11. Peran VCAM, ICAM dan molekul adesi lainnyadalam dalam migrasi sel T ke jaringan. Adesi sel T pada membran sel endotel diperantarai oleh VLA-4 dan LFA pada permukaan sel T dan V-CAM dan ICAM-1 pada permukaan sel endotel. Dengan bantuan molekul adesi JAM dan PECAM, sel T kemudian dapat menembus dinding pembuluh darah dan masuk ke jaringan (Sumber Beaten dkk, 2012)

Catenin mempunyai spektrum aktivitas yang sangat luas yang berperan dalam diferensiasi, perkembangan jaringan embrio dan migrasi sel (Kobielak dan Fuchs, 2004: Pokutta dkk, 2008)). Protein α-catenin banyak ditemukan pada tempat adesi sel tertentu (pertautan ketat dan pertautan aderen) umumnya membentuk kompleks dengan protein keluarga terdekatnya, yaitu β-catenin (Gambar 1.12). Interaksi antara α-catenin dan β-catenin terjadi melalui proses fosforilasi, baik pada molekul β-catenin maupun pada α-catenin (Koslov dkk, 1997; Pokutta dan Weis , 2000). Dimerisasi α-catenin menciptakan domain fungsional pada kedua ujungnya sehingga dapat berikatan dengan filamen aktin. Fungsi utama α-catenin adalah untuk memicu adesi antar sel yang stabil (pertautan aderen). Dalam hal ini, α-catenin memicu adesi yang lebih kuat melalui tahapan proses berikut. Pertama, α-catenin membentuk kluster lateral dan mengaktifkan cadherin (Imamura dkk, 1999). Kedua, α-catenin dapat merekrut formin di dekat kontak antar sel untuk menghasilkan filamen baru yang mendorong dan perekatan membran. Ketiga, α-catenin dapat mengatur aktivitas penjuluran membran dan menekan nukleasi dan polimeriasi aktin yang dimediasi oleh kompleks Arp2/3 (Abe dkk, 2004) .

Page 24: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler16

Selain sebagai molekul adesi, β-catenin juga berperan amat penting dalam sistem signal Wnt. Wnt merupakan lipoglikoprotein sekresi yang bertindak sebagai morfogen jaringan dan digunakan secara berulang selama proses perkembangan sel. Dalam usus, jalur wnt berfungsi untuk mempertahankan populasi sel progenitor dan sel Punca (van de Wetering dkk, 2002), dan di hati wnt mengendalikan metabolisme nitrogen dan detoksifikasi amonia di sepanjang aksis periportal (Benhamouche dkk, 2006)). Wnt juga mengatur kompleks transkripsi yang terdiri atas lymphocyte enhancer factor (LEF)/T-cell factor (TCF) dan β-catenin bebas cadherin. Pada kompleks tersebut, β-catenin bertindak sebagai ko-aktivator mutlak melalui kemampuannya untuk merekrut komponen pengturan ulang kromatin dan perintisan transkripsi (Willert dan Jones, 2006). Meskipun β-catenin berperan dalam dua hal yang berbeda, kedua peran tersebut dapat saling mempengaruhi. Ekspresi cadherin yang meningkat dapat meredam signal wnt/β-catenin, sebaliknya ekspresi cadherin yang menurun meningkatkan aktivitas signal wnt (Cox dkk, 2006)

Gambar 1. 12. Ikatan molekul dimer cadherin dengan catenin yang menghubungkannya dengan sitoskeleton aktin melalui molekul α-dan β-catenin. Adesi antar sel memerlukan ikatan yang stabil dari domain intrasel cadherin dengan β-catenin yang berikatan dengan α-

catenin. Ikatan ini diperlukan untuik merekrut sejumlah protein sitoskeleton filamen aktin dan beberapa protein lainnya. Protein p120 atau catenin p120 yang berhubungan dekat dengan β-catenin berikatan dengan E-cadherin melalui domain juxta membran.. (Albert dkk, 2002b; Kobielak dan Fuchs , 2004)

1.4, Sistem Transportasi Molekul Intra dan Antar Sel

Membran sel merupakan sawar semipermiabel yang berfungsi untuk mengatur molekul yang dapat lewat ke dalam dan ke luar sel. Pengaturan dilakukan melalui berbagai sistem transportasi molekul, baik yang bersifat pasif maupun yang bersifat aktif. Sistem transportasi pasif meliputi difusi sederhana (air, oksigen dan molekul lainnya) yang berpindah dari daerah berkonsentrasi tinggi ke konsenterasi yang lebih rendah, sistem difusi terfasilitasi oleh protein (kanal dan protein karier), dan osmosis (hipertonik, hipotonik dan isotonik). Sementara itu, transportasi aktif melibatkan peran ATP atau melekul lainnya untuk mengangkut materi ke dalam maupun ke luar sel

1.4.1. Sistem transportasi pasif

Proses tranportasi pasif tidak memerlukan energi dari adenosin triphosphate (ATP) dan perpindahan senyawa dilakukan berdasarkan konsentrasinya, yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Perpindahan tersebut terjadi melalui difusi yang dapat dibedakan menjadi difusi sederhana dan difusi terfasilitasi. Difusi merupakan proses ketika senyawa bergerak melalui membran sel dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi terfasilitasi merupakan perpindahan senyawa melalui membran sel dengan cara berikatan dengan protein karier dalam membran sel atau berpindah melalui kanal (tidak melalui lipida berlapis dua).

Osmosis merupakan difusi air melalui membran sel yang semipermiabel. Perpindahan air terjadi dari konsentrasi larutan yang lebh rendah ke konsentrasi larutan yang lebih tinggi. Perpindahan ini kebalikan dari bahan terlarut yang berpindah dari konsentasi larutan yang tinggi ke yang lebih rendah. Tekanan osmosis menyedot bahan terlarut dalam air dari larutan konsentrasi yang lebih tinggi ke yang

Page 25: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 17

Selain sebagai molekul adesi, β-catenin juga berperan amat penting dalam sistem signal Wnt. Wnt merupakan lipoglikoprotein sekresi yang bertindak sebagai morfogen jaringan dan digunakan secara berulang selama proses perkembangan sel. Dalam usus, jalur wnt berfungsi untuk mempertahankan populasi sel progenitor dan sel Punca (van de Wetering dkk, 2002), dan di hati wnt mengendalikan metabolisme nitrogen dan detoksifikasi amonia di sepanjang aksis periportal (Benhamouche dkk, 2006)). Wnt juga mengatur kompleks transkripsi yang terdiri atas lymphocyte enhancer factor (LEF)/T-cell factor (TCF) dan β-catenin bebas cadherin. Pada kompleks tersebut, β-catenin bertindak sebagai ko-aktivator mutlak melalui kemampuannya untuk merekrut komponen pengturan ulang kromatin dan perintisan transkripsi (Willert dan Jones, 2006). Meskipun β-catenin berperan dalam dua hal yang berbeda, kedua peran tersebut dapat saling mempengaruhi. Ekspresi cadherin yang meningkat dapat meredam signal wnt/β-catenin, sebaliknya ekspresi cadherin yang menurun meningkatkan aktivitas signal wnt (Cox dkk, 2006)

Gambar 1. 12. Ikatan molekul dimer cadherin dengan catenin yang menghubungkannya dengan sitoskeleton aktin melalui molekul α-dan β-catenin. Adesi antar sel memerlukan ikatan yang stabil dari domain intrasel cadherin dengan β-catenin yang berikatan dengan α-

catenin. Ikatan ini diperlukan untuik merekrut sejumlah protein sitoskeleton filamen aktin dan beberapa protein lainnya. Protein p120 atau catenin p120 yang berhubungan dekat dengan β-catenin berikatan dengan E-cadherin melalui domain juxta membran.. (Albert dkk, 2002b; Kobielak dan Fuchs , 2004)

1.4, Sistem Transportasi Molekul Intra dan Antar Sel

Membran sel merupakan sawar semipermiabel yang berfungsi untuk mengatur molekul yang dapat lewat ke dalam dan ke luar sel. Pengaturan dilakukan melalui berbagai sistem transportasi molekul, baik yang bersifat pasif maupun yang bersifat aktif. Sistem transportasi pasif meliputi difusi sederhana (air, oksigen dan molekul lainnya) yang berpindah dari daerah berkonsentrasi tinggi ke konsenterasi yang lebih rendah, sistem difusi terfasilitasi oleh protein (kanal dan protein karier), dan osmosis (hipertonik, hipotonik dan isotonik). Sementara itu, transportasi aktif melibatkan peran ATP atau melekul lainnya untuk mengangkut materi ke dalam maupun ke luar sel

1.4.1. Sistem transportasi pasif

Proses tranportasi pasif tidak memerlukan energi dari adenosin triphosphate (ATP) dan perpindahan senyawa dilakukan berdasarkan konsentrasinya, yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Perpindahan tersebut terjadi melalui difusi yang dapat dibedakan menjadi difusi sederhana dan difusi terfasilitasi. Difusi merupakan proses ketika senyawa bergerak melalui membran sel dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi terfasilitasi merupakan perpindahan senyawa melalui membran sel dengan cara berikatan dengan protein karier dalam membran sel atau berpindah melalui kanal (tidak melalui lipida berlapis dua).

Osmosis merupakan difusi air melalui membran sel yang semipermiabel. Perpindahan air terjadi dari konsentrasi larutan yang lebh rendah ke konsentrasi larutan yang lebih tinggi. Perpindahan ini kebalikan dari bahan terlarut yang berpindah dari konsentasi larutan yang tinggi ke yang lebih rendah. Tekanan osmosis menyedot bahan terlarut dalam air dari larutan konsentrasi yang lebih tinggi ke yang

Page 26: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler18

lebih rendah. Bila larutan dalam satu kompartemen sel mempunyai konsentrasi bahan terlarut yang sama dengan kompartemen di dekatnya dan keduanya dipisahkan oleh memban semipermiabel, maka tidak ada perpindahan air maupun bahan terlarut di antara ke dua kompartemen. Kedua larutan dikatakan bersifat isotonis. Jika konsentrasi bahan terlarut dalam satu kompartemen lebih tinggi dibanding kompartmen lainnya dan keduanya dipisahkan oleh membran yang semipermiabel (hanya bisa dilewati oleh molekul air), maka air akan tersedot dari kompartemen yang konsentrasi bahan terlarutnya lebih rendah. Larutan dalam kompartemen yang konsentrasi bahan terlarutnya lebih tinggi disebut larutan hipertonik, sedagkan larutan yang kadar bahan terlarutnya lebih rendah disebut hipotonik (Gambar 1.13). Sebagai contoh adalah antara sitoplasma sel darah merah dan cairan plasma di luar sel (Marieb dan Koehn, 2013).

Gambar 1.13. Sistem transportasi pasif berdasarkan tekanan osmosis dan efeknya terhadap sel darah merah.. A. Dalam larutan yang isotonis transportasi air keluar atau masuk sel terjadi secara berimbang sehingga ukuran sel darah merah tetap normal. B. Dalam larutan hipertonis, air keluar dari sel sehingga sel darah merah mengkerut, C. Dalam larutan hipotonis menyebabkan air masuk ke dalam sel sehingga sel darah merah membengkak (Sumber Marieb dan Koehn, 2013)

1.4.2. Sistem tranportasi aktif

Dalam proses aktif, energi ATP digunakan untuk memindahkan senyawa melintasi membran dan bahkan melewati gradien dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Proses aktif menggunakan pompa untuk memindahkan senyawa terhadap konsentrasi. Transportasi aktif terdiri atas dua sistem transportasi, yaitu transportasi primer dan sekunder. Sistem transportasi primer langsung menggunakan ATP untuk memindahkan senyawa, sedangkan transportasi aktif sekunder menggunakan gradien untuk memindahkan bahan terlarut dan gradien dirancang oleh sistem transportasi aktif primer seperti pada pompa sodium-kalium (Friedrich dkk, 1996; Albertc dkk, 2004).

Pompa Natrium/Kalium

Pompa natrium-kalium bekerja dengan cara berikut. Tiga ion Na+ berikatan dengan situs aktif dari pompa yang berikatan dengan ATP. ATP kemudian dihidrolisis yang memicu fosforilasi bagian intrasitoplsma dari pompa dan menyebabkan perubahan konformasi struktur protein pompa. Fosforilasi menyebabkan transfer gugus ATP ke gugus aspartat dari protein pompa yang diikuti oleh pelepasan ADP. Perubahan struktural protein pompa menyebabkan ion Na+ terpapar ke bagian luar sel. Dalam bentuk terfosforilasi, pompa memiliki afinitas yang rendah terhadap ion Na+ sehingga ion Na+ dilepaskan. Setelah ion Na+ dilepaskan, pompa berikatan dengan 2 molekul K+ pada situs pengikatan yang berada di luar sel. Keadaan ini menyebabkan defosforilasi pompa sehingga kembali pada konformasi semula yang mengangkut ion K+ ke dalam sel. Dalam bentuk terfosforilasi pompa mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap ion Na+ dibandingkan terhadap dua ion K+ sehingga ion K+ dilepaskan ke dalam sitosol. ATP berikatan lembali dan proses pemompaan dimulai lagi (Friedrich dkk, 1996) (Gambar 1.14)

Page 27: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 19

lebih rendah. Bila larutan dalam satu kompartemen sel mempunyai konsentrasi bahan terlarut yang sama dengan kompartemen di dekatnya dan keduanya dipisahkan oleh memban semipermiabel, maka tidak ada perpindahan air maupun bahan terlarut di antara ke dua kompartemen. Kedua larutan dikatakan bersifat isotonis. Jika konsentrasi bahan terlarut dalam satu kompartemen lebih tinggi dibanding kompartmen lainnya dan keduanya dipisahkan oleh membran yang semipermiabel (hanya bisa dilewati oleh molekul air), maka air akan tersedot dari kompartemen yang konsentrasi bahan terlarutnya lebih rendah. Larutan dalam kompartemen yang konsentrasi bahan terlarutnya lebih tinggi disebut larutan hipertonik, sedagkan larutan yang kadar bahan terlarutnya lebih rendah disebut hipotonik (Gambar 1.13). Sebagai contoh adalah antara sitoplasma sel darah merah dan cairan plasma di luar sel (Marieb dan Koehn, 2013).

Gambar 1.13. Sistem transportasi pasif berdasarkan tekanan osmosis dan efeknya terhadap sel darah merah.. A. Dalam larutan yang isotonis transportasi air keluar atau masuk sel terjadi secara berimbang sehingga ukuran sel darah merah tetap normal. B. Dalam larutan hipertonis, air keluar dari sel sehingga sel darah merah mengkerut, C. Dalam larutan hipotonis menyebabkan air masuk ke dalam sel sehingga sel darah merah membengkak (Sumber Marieb dan Koehn, 2013)

1.4.2. Sistem tranportasi aktif

Dalam proses aktif, energi ATP digunakan untuk memindahkan senyawa melintasi membran dan bahkan melewati gradien dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Proses aktif menggunakan pompa untuk memindahkan senyawa terhadap konsentrasi. Transportasi aktif terdiri atas dua sistem transportasi, yaitu transportasi primer dan sekunder. Sistem transportasi primer langsung menggunakan ATP untuk memindahkan senyawa, sedangkan transportasi aktif sekunder menggunakan gradien untuk memindahkan bahan terlarut dan gradien dirancang oleh sistem transportasi aktif primer seperti pada pompa sodium-kalium (Friedrich dkk, 1996; Albertc dkk, 2004).

Pompa Natrium/Kalium

Pompa natrium-kalium bekerja dengan cara berikut. Tiga ion Na+ berikatan dengan situs aktif dari pompa yang berikatan dengan ATP. ATP kemudian dihidrolisis yang memicu fosforilasi bagian intrasitoplsma dari pompa dan menyebabkan perubahan konformasi struktur protein pompa. Fosforilasi menyebabkan transfer gugus ATP ke gugus aspartat dari protein pompa yang diikuti oleh pelepasan ADP. Perubahan struktural protein pompa menyebabkan ion Na+ terpapar ke bagian luar sel. Dalam bentuk terfosforilasi, pompa memiliki afinitas yang rendah terhadap ion Na+ sehingga ion Na+ dilepaskan. Setelah ion Na+ dilepaskan, pompa berikatan dengan 2 molekul K+ pada situs pengikatan yang berada di luar sel. Keadaan ini menyebabkan defosforilasi pompa sehingga kembali pada konformasi semula yang mengangkut ion K+ ke dalam sel. Dalam bentuk terfosforilasi pompa mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap ion Na+ dibandingkan terhadap dua ion K+ sehingga ion K+ dilepaskan ke dalam sitosol. ATP berikatan lembali dan proses pemompaan dimulai lagi (Friedrich dkk, 1996) (Gambar 1.14)

Page 28: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler20

Gambar 1.14. Model urutan kerja sistem pompa Na+ -K+ . (1) Ikatan Na+ dan (2) diikuti oleh fosforilasi oleh ATP pada permukaan sitoplasma dari pompa yang memicu perubahan komoformasi dari protein pompa. (3) Transfer Na+ melintasi membran dan pelepasannya ke luar sel. (4) Kemudian ikatan K+ pada permukaan di luar sel (5) diikuti oleh defosforilasi yang mengembalikan konformasi protein kembali seperti semua (6) yang selanjutnya mentransfer K+ melintasi membran dan melepaskannya ke dalam sitosol (Sumber Albert dkk 2002c)

Protein karier secara aktif memompa ion Na+ keluar sel dan ion K+ ke dalam sel melawan gradien elektrokimianya. Setiap molekul ATP yang dihidrolisis di dalam sel, tiga Na+ dipompa ke luar sel dan dua K+ dipompa masuk sel. Penghambat khusus yang disebut ouabain dan K+ bersaing untuk menempati situs berikatan yang sama pada sisi luar sel dari pompa (Albert dkk. 2002c)

Gambar 1.15. Skema kerja pompa Kalium-Natrium. Setiap 3 molekul Na+ yang dipompa ke luar sel, 2 molekul K+ diangkut ke dalam sel (Sumber Albert dkk, 2002c).

Tranportasi vesikula

Transportasi vesikula adalah cara partikel besar, makromolekul dan air ditranportasikan melintasi membran sel atau di dalam kantong bermembran yang disebut vesikula. Transportasi vesikula meliputi endositosis, transitosis, eksositosis dan perpidahan vesikula. Endositosis merupakan proses masuknya senyawa ke dalam sel, sedangkan transitosis adalah perpindahan senyawa dari satu sisi ke sisi lainnya dari sel kemudian ke luar sel. Eksostosis adalah perpindahan senyawa dari dalam ke luar sel. Lalu lintas vesikula merupakan proses transportasi untuk memindahkan molekul menggunakan vesikula yang berlapis protein. Vesikula yang terlapis klatrin merupakan jalur endositosis dan transitosis yang terpenting (Reider dan Wendland, 2011). Terdapat 3 jenis endositosis yang menggunakan vesikula berlapis klatrin, yaitu fagositosis, pinositosis dan endositosis yang berperantara reseptor.

Fagositosis yang berarti “sel memakan” merupakan proses ketika sel mengambil partikel besar dengan merentangkan psedopodianya di

Page 29: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 21

Gambar 1.14. Model urutan kerja sistem pompa Na+ -K+ . (1) Ikatan Na+ dan (2) diikuti oleh fosforilasi oleh ATP pada permukaan sitoplasma dari pompa yang memicu perubahan komoformasi dari protein pompa. (3) Transfer Na+ melintasi membran dan pelepasannya ke luar sel. (4) Kemudian ikatan K+ pada permukaan di luar sel (5) diikuti oleh defosforilasi yang mengembalikan konformasi protein kembali seperti semua (6) yang selanjutnya mentransfer K+ melintasi membran dan melepaskannya ke dalam sitosol (Sumber Albert dkk 2002c)

Protein karier secara aktif memompa ion Na+ keluar sel dan ion K+ ke dalam sel melawan gradien elektrokimianya. Setiap molekul ATP yang dihidrolisis di dalam sel, tiga Na+ dipompa ke luar sel dan dua K+ dipompa masuk sel. Penghambat khusus yang disebut ouabain dan K+ bersaing untuk menempati situs berikatan yang sama pada sisi luar sel dari pompa (Albert dkk. 2002c)

Gambar 1.15. Skema kerja pompa Kalium-Natrium. Setiap 3 molekul Na+ yang dipompa ke luar sel, 2 molekul K+ diangkut ke dalam sel (Sumber Albert dkk, 2002c).

Tranportasi vesikula

Transportasi vesikula adalah cara partikel besar, makromolekul dan air ditranportasikan melintasi membran sel atau di dalam kantong bermembran yang disebut vesikula. Transportasi vesikula meliputi endositosis, transitosis, eksositosis dan perpidahan vesikula. Endositosis merupakan proses masuknya senyawa ke dalam sel, sedangkan transitosis adalah perpindahan senyawa dari satu sisi ke sisi lainnya dari sel kemudian ke luar sel. Eksostosis adalah perpindahan senyawa dari dalam ke luar sel. Lalu lintas vesikula merupakan proses transportasi untuk memindahkan molekul menggunakan vesikula yang berlapis protein. Vesikula yang terlapis klatrin merupakan jalur endositosis dan transitosis yang terpenting (Reider dan Wendland, 2011). Terdapat 3 jenis endositosis yang menggunakan vesikula berlapis klatrin, yaitu fagositosis, pinositosis dan endositosis yang berperantara reseptor.

Fagositosis yang berarti “sel memakan” merupakan proses ketika sel mengambil partikel besar dengan merentangkan psedopodianya di

Page 30: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler22

sekitar partikel. Pseudopodia mengumpulkan partikel ke kantong endositik yang disebut fagosom. Biasanya fagosom kemudian berfusi dengan lisosom (vesikula yang kaya akan enzim digesti) untuk membentuk fagolisosom. Materi yang tidak terdigesti dapat disingkirkan dari sel dengan cara eksositosis. Pada mamalia, proses fagositosis hanya dilakukan oleh jenis lekosit tertentu, seperti makrofag dan neutrofil.

Gambar 1.16. Proses endositosis bergantung klatrin. Endositosis berperantara klatrin mulai ketika kompleks adaptor dan klatrin bersatu dengan kargo yang sesuai sehingga membentuk lekukan berlapis klatrin. Setalah lekukan menjadi matang, protein adaptor dan penompang lainnya bergabung ke lekukan yang menyediakan landasan dasar bagi pengaturan dan penyeragaman interaksi antara protein adaptor dan materi yang diendositosis. Deformasi membran disebabkan oleh adanya protein dengan domain BAR (seperti muniskin) dan juga dari gaya yang dibentuk oleh polimerisasi unsur sitoskeleton, yang akhirnya menyebabkan lepasnya vesikula berlapis klatrin ke sitoplasma (Maldonado-Baez dan Wendland, 2006; Reider dan Wenland, 2011).

Pinositosis atau sering dianalogikan dengan sel minum, merupakan proses invaginasi membran sel di sekitar cairan yang mengandung molekul terlarut dan membentuk vesikula. Proses ini dilakukan oleh sebagian besar sel untuk mengambil sampel cairan ekstrsel. Dalam pinositosis, sel mengambil cairan ekstrasel bersama molekul yang ada di dalamnya seperti gula dan protein. Prosesnya hampir sama dengan fagositosis melalui pembentukan vesikula sehingga cairan yang diambil tidak bercampur dengan isi sitoplasma (Gambar 1.17). Sel epitel pembuluh darah kapiler menggunakan pinositosis untuk cairan dalam lumer kapiler dan pembentukan vesikula berisi cairan untuk memindahkan cairan tersebut ke jaringan.

Gambar 1.17. Fagositosis dan pinositosis. Pada fagositosis, sel menelan partikel dengan cara membungkusnya dengan pseudopodium dan mengemasnya dalam vesikula makanan. Di dalam vesikula, makanan didigesti setelah vesikula berfusi dengan lisosom yang mengandung enzim digesti. Pada pinositosis, sel meneguk droplet dalam cairan ekstra sel ke dalam vesikula. Sel tidak memerlukan cairannya melainkan droplet yang ada dalam cairan. (Sumber Reece dkk,2011)

Endositosis berperantara reseptor merupakan mekanisme terpenting untuk endositosis dan transitosis khusus bagi kebanyakan makromolekul. Proses ini dimulai dengan ikatan ligand dengan

Page 31: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 23

sekitar partikel. Pseudopodia mengumpulkan partikel ke kantong endositik yang disebut fagosom. Biasanya fagosom kemudian berfusi dengan lisosom (vesikula yang kaya akan enzim digesti) untuk membentuk fagolisosom. Materi yang tidak terdigesti dapat disingkirkan dari sel dengan cara eksositosis. Pada mamalia, proses fagositosis hanya dilakukan oleh jenis lekosit tertentu, seperti makrofag dan neutrofil.

Gambar 1.16. Proses endositosis bergantung klatrin. Endositosis berperantara klatrin mulai ketika kompleks adaptor dan klatrin bersatu dengan kargo yang sesuai sehingga membentuk lekukan berlapis klatrin. Setalah lekukan menjadi matang, protein adaptor dan penompang lainnya bergabung ke lekukan yang menyediakan landasan dasar bagi pengaturan dan penyeragaman interaksi antara protein adaptor dan materi yang diendositosis. Deformasi membran disebabkan oleh adanya protein dengan domain BAR (seperti muniskin) dan juga dari gaya yang dibentuk oleh polimerisasi unsur sitoskeleton, yang akhirnya menyebabkan lepasnya vesikula berlapis klatrin ke sitoplasma (Maldonado-Baez dan Wendland, 2006; Reider dan Wenland, 2011).

Pinositosis atau sering dianalogikan dengan sel minum, merupakan proses invaginasi membran sel di sekitar cairan yang mengandung molekul terlarut dan membentuk vesikula. Proses ini dilakukan oleh sebagian besar sel untuk mengambil sampel cairan ekstrsel. Dalam pinositosis, sel mengambil cairan ekstrasel bersama molekul yang ada di dalamnya seperti gula dan protein. Prosesnya hampir sama dengan fagositosis melalui pembentukan vesikula sehingga cairan yang diambil tidak bercampur dengan isi sitoplasma (Gambar 1.17). Sel epitel pembuluh darah kapiler menggunakan pinositosis untuk cairan dalam lumer kapiler dan pembentukan vesikula berisi cairan untuk memindahkan cairan tersebut ke jaringan.

Gambar 1.17. Fagositosis dan pinositosis. Pada fagositosis, sel menelan partikel dengan cara membungkusnya dengan pseudopodium dan mengemasnya dalam vesikula makanan. Di dalam vesikula, makanan didigesti setelah vesikula berfusi dengan lisosom yang mengandung enzim digesti. Pada pinositosis, sel meneguk droplet dalam cairan ekstra sel ke dalam vesikula. Sel tidak memerlukan cairannya melainkan droplet yang ada dalam cairan. (Sumber Reece dkk,2011)

Endositosis berperantara reseptor merupakan mekanisme terpenting untuk endositosis dan transitosis khusus bagi kebanyakan makromolekul. Proses ini dimulai dengan ikatan ligand dengan

Page 32: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler24

reseptornya pada permukaan sel yang memicu invaginasi membran sel di sekitar reseptor. Invaginasi memicu terbentuknya lekukan membran sel yang berlapis klatrin (Gambar 1.16.). Lekukan membran sel kemudian berubah menjadi vesikula yang berlapis klatrin yang di dalamnya terdapat partikel endositosis. Selain vesikula klatrin, terdapat pula vesikula berlapis caveolin yang disebut caveolae yang juga berperan untuk mengikat molekul endositosis tertentu. Caveolae dikaitkan dengan anyaman lipida yang merupakan landasan bagi berbagai molekul sistem signal seperti G protein, reseptor hormon dan enzim yang terlibat dalam sistem signal sel. Beberapa contoh dari endositosis berperantara reseptor adalah internalisasi virus ke dalam sel melalui reseptornya pada membran sel (Gambar 1.18) (Elliot, 2014), internalisasi antigen ke dalam sel B melalui reseptor sel B, dan fagositosis partikel yang diperantari oleh reseptor komplemen dan reseptor antibodi.

Gambar 1.18. Endositosis virus berperantara reseptornya pada permukaan sel. Replikasi virus dimulai dengan perlekatan virus pada permukaan sel yang diperantarai oleh reseptor dan protein perlekatan virus Gc dan Gn (1). Perlekatan ini memicu endositosis virus ke dalam sel dan pembentukan endosom (vesikula endositik) yang mengandung virus (2). Asidifikasi vesikula endositik memicu uncoating partikel

virus (3) dan fusi amplop virus dengan membran endosom. RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) virus memicu transkripsi mRNA virus (4). Translasi mRNA menjadi protein vrus (5), glikoprotein Gn dan Gc membentuk dimer dalam retikulum endoplasma yang kemudian berpindah ke kompleks Golgi. Genom virus bereplikasi (6) dan menyatu dengan proten virus untuk membentuk ribonukleoprotein (RNP). RNP kemudian masuk ke kompleks Golgi dan mengalami modifikasi dengan insersi protein Gn dan Gc. Partikel virus dalam vesikula Golgi terlepas dari apparatus Golgi (7). Vesikula Golgi yang mengandung virus kemudian menuju permukaan dalam dari membran sel (8) dan berfusi dengan sel. Virus kemudian terlepas dari sel yang difasilitasi oleh filamen aktin (9). Partikel virus kemudian dilepaskan dari sel (10). (Sumber Elliot , 2014).

Sementara itu, eksositosis merupakan proses untuk mengeluarkan senyawa dari dalam ke luar sel dengan cara menutupi senyawa dengan vesikula sekretori yang dilapisi protein yang kemudian bermigrasi dan berfusi dengan membran sel dan menyemburkan isinya ke luar sel (Gambar 1.19).

Gambar 1.19. Contoth eksositosis dalam transmisi sinaps sel syaraf. Sebelum eksositosis, vesikula yang berisi neurotransmiter berpindah ke zona aktif dalam sitoplasma. Snar vesikula (Sinaptobrevin dan sintaksin serta sinaptotagmin) kemudain berinteraksi dengan snar membran sel dengan perantara kompleksin. Interaksi snar tersebut dipicu oleh ion Ca+ yang kemudian memicu fusi

Page 33: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 25

reseptornya pada permukaan sel yang memicu invaginasi membran sel di sekitar reseptor. Invaginasi memicu terbentuknya lekukan membran sel yang berlapis klatrin (Gambar 1.16.). Lekukan membran sel kemudian berubah menjadi vesikula yang berlapis klatrin yang di dalamnya terdapat partikel endositosis. Selain vesikula klatrin, terdapat pula vesikula berlapis caveolin yang disebut caveolae yang juga berperan untuk mengikat molekul endositosis tertentu. Caveolae dikaitkan dengan anyaman lipida yang merupakan landasan bagi berbagai molekul sistem signal seperti G protein, reseptor hormon dan enzim yang terlibat dalam sistem signal sel. Beberapa contoh dari endositosis berperantara reseptor adalah internalisasi virus ke dalam sel melalui reseptornya pada membran sel (Gambar 1.18) (Elliot, 2014), internalisasi antigen ke dalam sel B melalui reseptor sel B, dan fagositosis partikel yang diperantari oleh reseptor komplemen dan reseptor antibodi.

Gambar 1.18. Endositosis virus berperantara reseptornya pada permukaan sel. Replikasi virus dimulai dengan perlekatan virus pada permukaan sel yang diperantarai oleh reseptor dan protein perlekatan virus Gc dan Gn (1). Perlekatan ini memicu endositosis virus ke dalam sel dan pembentukan endosom (vesikula endositik) yang mengandung virus (2). Asidifikasi vesikula endositik memicu uncoating partikel

virus (3) dan fusi amplop virus dengan membran endosom. RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) virus memicu transkripsi mRNA virus (4). Translasi mRNA menjadi protein vrus (5), glikoprotein Gn dan Gc membentuk dimer dalam retikulum endoplasma yang kemudian berpindah ke kompleks Golgi. Genom virus bereplikasi (6) dan menyatu dengan proten virus untuk membentuk ribonukleoprotein (RNP). RNP kemudian masuk ke kompleks Golgi dan mengalami modifikasi dengan insersi protein Gn dan Gc. Partikel virus dalam vesikula Golgi terlepas dari apparatus Golgi (7). Vesikula Golgi yang mengandung virus kemudian menuju permukaan dalam dari membran sel (8) dan berfusi dengan sel. Virus kemudian terlepas dari sel yang difasilitasi oleh filamen aktin (9). Partikel virus kemudian dilepaskan dari sel (10). (Sumber Elliot , 2014).

Sementara itu, eksositosis merupakan proses untuk mengeluarkan senyawa dari dalam ke luar sel dengan cara menutupi senyawa dengan vesikula sekretori yang dilapisi protein yang kemudian bermigrasi dan berfusi dengan membran sel dan menyemburkan isinya ke luar sel (Gambar 1.19).

Gambar 1.19. Contoth eksositosis dalam transmisi sinaps sel syaraf. Sebelum eksositosis, vesikula yang berisi neurotransmiter berpindah ke zona aktif dalam sitoplasma. Snar vesikula (Sinaptobrevin dan sintaksin serta sinaptotagmin) kemudain berinteraksi dengan snar membran sel dengan perantara kompleksin. Interaksi snar tersebut dipicu oleh ion Ca+ yang kemudian memicu fusi

Page 34: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler26

vesikula dengan membran sel. Fusi ini kemudian memicu eksositosis neurotranmiter yang berada dalam vesikula (Sumber Hurst ,2013).

1.5. Sitoplasma dan Organelnya

Sitoplasma merupakan materi sel yang terdapat antara membran sel dan nukleus. Sebagian besar aktivitas sel terjadi dalam sitoplasma. Komponen sitoplasma terdiri atas sitosol, organel sitoplasma dan inklusi sitoplasma. Sitosol merupakan cairan yang terdapat dalam sel yang di dalamnya terdapat organel, protein, garam, gula dan komponen lainnya yang dapat berupa suspensi atau larutan. Organel merupakan tempat berlangsungnya serangkaian reaksi kimia di dalam sel. Sementara itu, inklusi merupakan granula penyimpan, granula pigmen dan berbagai jenis kristal

1.5.1. Retikulum endoplasma

Di bagian luar membran nukleus terdapat ruang berlapis dua yang membentuk struktur zigzag sampai sitoplasma yang disebut retikulum endoplasma (Gambar 1.20). Ruang pusat dari retikulum endoplasma merupakan lanjutan dari membran nukleus. Terdapat 2 jenis retikulum endoplasma, yaitu retikulum endoplasma kasar dan retikulum endoplasma halus. Retikulum endoplasma halus merupakan daerah transisi tempat penyimpanan senyawa organik, seperti protein yang dihasilkan oleh sel yang disimpan sementara sebelum diangkut ke tempat lainnya dalam sel. Sempalan kecil dari retikulum endoplasma halus terlepas dan berpindah ke tempat lainnya untuk mengangkut materi yang dibawanya. Retikulum endoplasma kasar merupakan retikulum endoplasma yang berikatan dengan ribosom sehingga di bawah mikroskop elektron tampak seperti permukaan yang kasar. Retikulum endoplasma yang kasar berperan dalam sintesis protein bersama-sama dengan ribosom terutama sebagai penggulung protein yang baru disintesis dalam ribosom..

Gambar 1.20. Retikulum endoplasma. (a). Vesikula yang berisi protein terlepas dari retikulum endoplasma kasar dan bermigrasi untuk menyatu dengan membran apparatus Golgi. (b). Di dalam apparatus Golgi protein mengalami modifikasi. (c). Protein yang telah dimodifikasi kemudian dikemas dalam vesikula yang berbeda sesuai dengan tempat tujuan dari setiap protein. (Sumber Marieb dan Koehn, 2013).

1.5.2, Lisosom

Lisosom merupakan badan inklusi yang ditemukan pada semua sel eukariot dan ukuran yang beragam (Gambar 1.21). Lisosom dilapisi oleh membran tunggal dan mengandung enzim proteolisis. Namun, meskipun lisosom mengandung berbagai enzim proteolisis, membrannya tidak terdisgesti oleh enzim tersebut. Hal ini diduga sebagai akibat dari adanya modifikasi pada membran sehingga tidak luruh oleh enzim yang bersifat asam. Keutuhan membran lisosom biasanya disebabkan oleh adanya molekul penyetabil membran, seperti kolesterol, kostison, kortisol, vitamin E, antihistamin dan heparin. Senyawa seperti Vitamin A, Vitamin B, Vitamin K, B-estradiol, testosteron dan digitonin dapat memicu kebocoran membran lisosom sehingga isinya yang keluar dapat mendigesti sel itu sendiri. Fungsi lisosom adalah untuk melepaskan enzim yang mendigesti berbagai makromolekul seperti karbohidrat, protein, lemak, RNA dan DNA.

Page 35: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 27

vesikula dengan membran sel. Fusi ini kemudian memicu eksositosis neurotranmiter yang berada dalam vesikula (Sumber Hurst ,2013).

1.5. Sitoplasma dan Organelnya

Sitoplasma merupakan materi sel yang terdapat antara membran sel dan nukleus. Sebagian besar aktivitas sel terjadi dalam sitoplasma. Komponen sitoplasma terdiri atas sitosol, organel sitoplasma dan inklusi sitoplasma. Sitosol merupakan cairan yang terdapat dalam sel yang di dalamnya terdapat organel, protein, garam, gula dan komponen lainnya yang dapat berupa suspensi atau larutan. Organel merupakan tempat berlangsungnya serangkaian reaksi kimia di dalam sel. Sementara itu, inklusi merupakan granula penyimpan, granula pigmen dan berbagai jenis kristal

1.5.1. Retikulum endoplasma

Di bagian luar membran nukleus terdapat ruang berlapis dua yang membentuk struktur zigzag sampai sitoplasma yang disebut retikulum endoplasma (Gambar 1.20). Ruang pusat dari retikulum endoplasma merupakan lanjutan dari membran nukleus. Terdapat 2 jenis retikulum endoplasma, yaitu retikulum endoplasma kasar dan retikulum endoplasma halus. Retikulum endoplasma halus merupakan daerah transisi tempat penyimpanan senyawa organik, seperti protein yang dihasilkan oleh sel yang disimpan sementara sebelum diangkut ke tempat lainnya dalam sel. Sempalan kecil dari retikulum endoplasma halus terlepas dan berpindah ke tempat lainnya untuk mengangkut materi yang dibawanya. Retikulum endoplasma kasar merupakan retikulum endoplasma yang berikatan dengan ribosom sehingga di bawah mikroskop elektron tampak seperti permukaan yang kasar. Retikulum endoplasma yang kasar berperan dalam sintesis protein bersama-sama dengan ribosom terutama sebagai penggulung protein yang baru disintesis dalam ribosom..

Gambar 1.20. Retikulum endoplasma. (a). Vesikula yang berisi protein terlepas dari retikulum endoplasma kasar dan bermigrasi untuk menyatu dengan membran apparatus Golgi. (b). Di dalam apparatus Golgi protein mengalami modifikasi. (c). Protein yang telah dimodifikasi kemudian dikemas dalam vesikula yang berbeda sesuai dengan tempat tujuan dari setiap protein. (Sumber Marieb dan Koehn, 2013).

1.5.2, Lisosom

Lisosom merupakan badan inklusi yang ditemukan pada semua sel eukariot dan ukuran yang beragam (Gambar 1.21). Lisosom dilapisi oleh membran tunggal dan mengandung enzim proteolisis. Namun, meskipun lisosom mengandung berbagai enzim proteolisis, membrannya tidak terdisgesti oleh enzim tersebut. Hal ini diduga sebagai akibat dari adanya modifikasi pada membran sehingga tidak luruh oleh enzim yang bersifat asam. Keutuhan membran lisosom biasanya disebabkan oleh adanya molekul penyetabil membran, seperti kolesterol, kostison, kortisol, vitamin E, antihistamin dan heparin. Senyawa seperti Vitamin A, Vitamin B, Vitamin K, B-estradiol, testosteron dan digitonin dapat memicu kebocoran membran lisosom sehingga isinya yang keluar dapat mendigesti sel itu sendiri. Fungsi lisosom adalah untuk melepaskan enzim yang mendigesti berbagai makromolekul seperti karbohidrat, protein, lemak, RNA dan DNA.

Page 36: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler28

Asal dan perkembangan lisosom dikendalikan oleh berbagai faktor lingkungan. Misalnya, pada saat suatu organisme kelaparan, jumlah lisosom sangat meningkat. Peningkatan ini diperlukan untuk mendegradasi materi makanan apa saja yang tersedia untuk sel. Hal yang serupa terjadi ketika sel kamir mengalami kondisi anaerob atau kelaparan, dalam beberapa menit lisosom meningkat secara tajam dan mengunyah semua materi termasuk mitokondria. Sejumlah enzim yang ditemukan dalam lisosom meliputi nuklease, phosphotase, lipase, protease, glikosidase dan sulfatase.

Enzim lisosom disintesis dalam retikulum endoplasma kasar dalam bentuk vesikula yang terlepas dari membran halus dan selanjutnya menyatu dengan membran bagian dalam Golgi untuk membentuk kantong golgi pada permukaan pembentukaannya. Setelah mengalami modifikasi dan pengemasan, kantong terlepas dari permukaan pematangani kompleks Golgi. Lisospm kemudian berfusi dengan lisosom lainnya atau dengan endosom atau fagosom untuk membentuk vesikula fagositik yang disebut fagosom. Fagosom dapat befusi lagi dengan struktur yang lebih besar seperti endosom atau dengan fagosom untuk membentuk lisosom sekunder yang mendigesti materi asing dan produknya diresorbsi di sitoplasma. Materi yang tidak terdigesti dikeluarkan dengan cara defekasi.

Gambar 1.21. Peran lisosom dalam digesti partikel makanan dan organel yang rusak. (a). Partikel makanan yang difagositosis oleh sel

didigesti dengan penyatuan lisosom yang mengandung enzim digesti dan fagosom yang mengandung partikel makanan. b. Mitokondria juga dapat dihancurkan melalui autofagi dengang cara yang serupa dengan partikel makanan (Sumber Marieb dan Koehn, 2013).

1.5.3. Ribosom

Ribosom merupakan partikel ultramikroskopik yang sangat penting dalam sintesis protein. Dalam satu sel eukariot terdapat jutaan ribosom, sedangkan dalam satu sel prokariot diperkirakan hanya terdapat 20.000 ribosom. Selain itu, pada sel eukariot, ribosom juga ditemukan dalam kloroplas dan mitokondria. Ribosom merupakan struktur yang stabil dan dapat bertahan dalam sel selama sekitar 120 hari. Pada sel eukariot, ribosom tersusun atas 2 subunit, yaitu subunit besar dan subunit kecil (Gambar 1.22). Pada keadaan kekurangan ion Mg2++, subunit besar terpisah dari subunit kecil. Namun, bila konsentrasi Mg2++ meningkat , kedua subunit bergabung menjadi subunit fungsional. Ribosom merupakan organel khusus yang terlibat langsung dalam sintesis protein. Ribosom terdiri atas protein dan RNA yang disintesis dalam nukleus. Ribosom keluar dari nukleus ke sitoplasma melalui membran nukleus yang berpori. Dalam sitoplasma, ribosom melakukan fungsinya dalam sintesis protein.

Gambar 1.22. Struktur ribosom. Ribosom terdiri atas 2 subunit yaitu subunit besar (atas) dan subunit kecil (bawah).

Page 37: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 29

Asal dan perkembangan lisosom dikendalikan oleh berbagai faktor lingkungan. Misalnya, pada saat suatu organisme kelaparan, jumlah lisosom sangat meningkat. Peningkatan ini diperlukan untuk mendegradasi materi makanan apa saja yang tersedia untuk sel. Hal yang serupa terjadi ketika sel kamir mengalami kondisi anaerob atau kelaparan, dalam beberapa menit lisosom meningkat secara tajam dan mengunyah semua materi termasuk mitokondria. Sejumlah enzim yang ditemukan dalam lisosom meliputi nuklease, phosphotase, lipase, protease, glikosidase dan sulfatase.

Enzim lisosom disintesis dalam retikulum endoplasma kasar dalam bentuk vesikula yang terlepas dari membran halus dan selanjutnya menyatu dengan membran bagian dalam Golgi untuk membentuk kantong golgi pada permukaan pembentukaannya. Setelah mengalami modifikasi dan pengemasan, kantong terlepas dari permukaan pematangani kompleks Golgi. Lisospm kemudian berfusi dengan lisosom lainnya atau dengan endosom atau fagosom untuk membentuk vesikula fagositik yang disebut fagosom. Fagosom dapat befusi lagi dengan struktur yang lebih besar seperti endosom atau dengan fagosom untuk membentuk lisosom sekunder yang mendigesti materi asing dan produknya diresorbsi di sitoplasma. Materi yang tidak terdigesti dikeluarkan dengan cara defekasi.

Gambar 1.21. Peran lisosom dalam digesti partikel makanan dan organel yang rusak. (a). Partikel makanan yang difagositosis oleh sel

didigesti dengan penyatuan lisosom yang mengandung enzim digesti dan fagosom yang mengandung partikel makanan. b. Mitokondria juga dapat dihancurkan melalui autofagi dengang cara yang serupa dengan partikel makanan (Sumber Marieb dan Koehn, 2013).

1.5.3. Ribosom

Ribosom merupakan partikel ultramikroskopik yang sangat penting dalam sintesis protein. Dalam satu sel eukariot terdapat jutaan ribosom, sedangkan dalam satu sel prokariot diperkirakan hanya terdapat 20.000 ribosom. Selain itu, pada sel eukariot, ribosom juga ditemukan dalam kloroplas dan mitokondria. Ribosom merupakan struktur yang stabil dan dapat bertahan dalam sel selama sekitar 120 hari. Pada sel eukariot, ribosom tersusun atas 2 subunit, yaitu subunit besar dan subunit kecil (Gambar 1.22). Pada keadaan kekurangan ion Mg2++, subunit besar terpisah dari subunit kecil. Namun, bila konsentrasi Mg2++ meningkat , kedua subunit bergabung menjadi subunit fungsional. Ribosom merupakan organel khusus yang terlibat langsung dalam sintesis protein. Ribosom terdiri atas protein dan RNA yang disintesis dalam nukleus. Ribosom keluar dari nukleus ke sitoplasma melalui membran nukleus yang berpori. Dalam sitoplasma, ribosom melakukan fungsinya dalam sintesis protein.

Gambar 1.22. Struktur ribosom. Ribosom terdiri atas 2 subunit yaitu subunit besar (atas) dan subunit kecil (bawah).

Page 38: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler30

1.5.4. Vakuola dan Vesikula

Vakuola dan vesikula merupakan dua struktur yang serupa dalam sel. Keduanya merupakan organel penyimpanan (gudang). Vakuola berukuran lebih besar daripada vesikula. Vesikula merupakan kantong kecil yang berpindah-pindah untuk membawa bahan organik ke tempat yang diperlukan. Salah satu tujuan dari vesikula adalah apparatus Golgi yang berbentuk seperti tumpukan balon air.

1.5.5. Apparatus Golgi

Aparataus Golgi merupakan tempat pengemasan dan penerimaan materi organik sel yang akan dikirim ke tempat lainnya setelah vesikula melepaskan diri. Materi organik tersebut biasanya disimpan sementara dalam apparatus Golgi sampai terjadi reaksi kimia selanjutnya dalam organel tersebut. Apparatus Golgi mempunyai struktur gepeng, memanjang dan tertumpuk satu sama lain yang disebut sisternae. Tumpukan tersebut disatukan oleh membran tunggal dan terletak di dekat nukleus. Tumpukkan sisternae membran yang menyusun apparatus Golgi pada bagian distalnya mengalami dilatasi membentuk vesikula dan beberapa vesikula akhirnya terlepas. Pada beberapa tempat apparatus Golgi tampak seperti lanjutan retikulum endoplasma (Gambar 1.23).

Tumpukan membran yang membentuk apparatus Golgi mempunyai dua jenis permukaan, yaitu permukaan pembentukan yang disebut permukaan cis dan permukaan pematangan yang disebut permukaan trans. Protein yang dimodifikasi dalam apparatus Golgi umumnya disintesis dalam ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma kasar yang kemudian masuk ke lumen retikulum endoplasma dan melalui lumennya diteruskan ke arah membran tradisionalnya untuk membentuk vesikula. Vesikula tersebut terlepas dari retiklulum endoplasma dan berfusi dengan membran kompleks Golgi yang kemudian terlepas sebagai vesikula. Vesikula tersebut kemudian berfusi satu sama lain atau dengan membran Golgi cis dan berkembang menjadi kantong bermembran. Dalam kantong bermembran inilah, berbagai protein mengalami modifikasi. Kemudian produk modifikasi tersebut dipilah-pilah, ditutup dan akhirnya terlepas sebagai vesikula dari permukaan membran pematangan (trans) dari

kompleks Golgi. Vesikula ini berisi protein yang menjadi target untuk dimodifikasi.

Proses modifikasi yang terjadi dalam apparatus Golgi merupakan proses yang rumit seperti glikosilasi protein, sintesis polisakarida dinding sel, pematangan granula zimogen, pembentukan lisosom primer, sekresi badan lipida, pembentukan akrosom, sekresi neural dan proses lainnya. Dalam proses ini, retikulum endoplasma juga berperan amat penting dalam setiap proses yang terjadi dalam apparatus Golgi. Membran Golgi juga berperan sebagai protein pengangkut dalam sistem pengangkutan dari satu tempat ke tempat lain di dalam sel. Pada setiap proses di atas, terjadi pengemasan, pematangan dan modifikasi senyawa tertentu yang merupakan fungsi terpenting dari apparatus Golgi .

Gambar 1.23. Struktur dan fungsi apparatus Golgi

Protein dan materi lain yang disintesis dalam retikulum endoplasma dikemas dan dilepaskan dalam bentuk vesikula. Vesikula kemudian berfusi dengan membran apparatus Golgi. Materi dalam vesikula terlepas dan mengalami modifikasi dalam permukaan cis dari membran. Setelah mengalami mdifikasi, protein dan materi lainnya

Page 39: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 31

1.5.4. Vakuola dan Vesikula

Vakuola dan vesikula merupakan dua struktur yang serupa dalam sel. Keduanya merupakan organel penyimpanan (gudang). Vakuola berukuran lebih besar daripada vesikula. Vesikula merupakan kantong kecil yang berpindah-pindah untuk membawa bahan organik ke tempat yang diperlukan. Salah satu tujuan dari vesikula adalah apparatus Golgi yang berbentuk seperti tumpukan balon air.

1.5.5. Apparatus Golgi

Aparataus Golgi merupakan tempat pengemasan dan penerimaan materi organik sel yang akan dikirim ke tempat lainnya setelah vesikula melepaskan diri. Materi organik tersebut biasanya disimpan sementara dalam apparatus Golgi sampai terjadi reaksi kimia selanjutnya dalam organel tersebut. Apparatus Golgi mempunyai struktur gepeng, memanjang dan tertumpuk satu sama lain yang disebut sisternae. Tumpukan tersebut disatukan oleh membran tunggal dan terletak di dekat nukleus. Tumpukkan sisternae membran yang menyusun apparatus Golgi pada bagian distalnya mengalami dilatasi membentuk vesikula dan beberapa vesikula akhirnya terlepas. Pada beberapa tempat apparatus Golgi tampak seperti lanjutan retikulum endoplasma (Gambar 1.23).

Tumpukan membran yang membentuk apparatus Golgi mempunyai dua jenis permukaan, yaitu permukaan pembentukan yang disebut permukaan cis dan permukaan pematangan yang disebut permukaan trans. Protein yang dimodifikasi dalam apparatus Golgi umumnya disintesis dalam ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma kasar yang kemudian masuk ke lumen retikulum endoplasma dan melalui lumennya diteruskan ke arah membran tradisionalnya untuk membentuk vesikula. Vesikula tersebut terlepas dari retiklulum endoplasma dan berfusi dengan membran kompleks Golgi yang kemudian terlepas sebagai vesikula. Vesikula tersebut kemudian berfusi satu sama lain atau dengan membran Golgi cis dan berkembang menjadi kantong bermembran. Dalam kantong bermembran inilah, berbagai protein mengalami modifikasi. Kemudian produk modifikasi tersebut dipilah-pilah, ditutup dan akhirnya terlepas sebagai vesikula dari permukaan membran pematangan (trans) dari

kompleks Golgi. Vesikula ini berisi protein yang menjadi target untuk dimodifikasi.

Proses modifikasi yang terjadi dalam apparatus Golgi merupakan proses yang rumit seperti glikosilasi protein, sintesis polisakarida dinding sel, pematangan granula zimogen, pembentukan lisosom primer, sekresi badan lipida, pembentukan akrosom, sekresi neural dan proses lainnya. Dalam proses ini, retikulum endoplasma juga berperan amat penting dalam setiap proses yang terjadi dalam apparatus Golgi. Membran Golgi juga berperan sebagai protein pengangkut dalam sistem pengangkutan dari satu tempat ke tempat lain di dalam sel. Pada setiap proses di atas, terjadi pengemasan, pematangan dan modifikasi senyawa tertentu yang merupakan fungsi terpenting dari apparatus Golgi .

Gambar 1.23. Struktur dan fungsi apparatus Golgi

Protein dan materi lain yang disintesis dalam retikulum endoplasma dikemas dan dilepaskan dalam bentuk vesikula. Vesikula kemudian berfusi dengan membran apparatus Golgi. Materi dalam vesikula terlepas dan mengalami modifikasi dalam permukaan cis dari membran. Setelah mengalami mdifikasi, protein dan materi lainnya

Page 40: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler32

dikemas dalam bentuk vesikula dan dipilah sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya. Vesikula yang berisi materi termodifikasi kemudian terlepas dari permukaan Trans dan menuju sasaran pemanfaatannya. Sumber Marieb dan Kohen, 2013.

1.5. 6. Mitokondria

Mitokondria merupakan salah satu organel terpenting sebagai sumber energi utama dari sel seperti penyediaan ATP dan NAD+H sehingga sering disebut sebagai pusat cadangan energi sel. Selain itu, mitokondria juga berperan dalam oksidasi asam lemak untuk melepaskan komponen kaya energi dan molekul lainnya yang diperlukan dalam metabolisme sel.

Mitokondria dijumpai pada hampir semua sel eukariot dan dalam setiap sel terdapat beberapa mitokondria. Mitokondria berfungsi untuk membakar gula sebagai bahan bakar dalam respirasi sel sehingga disebut sebagai mesinnya sel. Mitokondria terdiri atas membran luar yang halus dan membran dalam yang berlekuk-lekuk yang setiap lekukan dipisahkan oleh ruang antar membran. Lekukan membran dalam mitokondria disebut kristae (Gambar 1.24). Semetara itu, ruang yang terdapat di sebelah dalam membran dalam mitokondria merupakan matriks mitokondria. Ketika gula dibakar sebagai bahan bakar, sebuah mitokondrion memompa berbagai senyawa kimia ke belakang dan ke depan melintasi membran sebelah dalam. Dalam mitokondria disintesis sebagian besar adenosin triphosphat (ATP) yang diperlukan oleh sel sebagai sumbar energi (Campbell dan Campbell, 2006). Selain sebagai sumber energi, mitokondria juga terlibat dalam pengaturan sistem signal sel, diferensiasi sel, kematian sel dan pertumbuhan sel (McBride dkk, 2006).

Jumlah mitokondria dalam sel bervariasi bergantung pada jenis sel, jenis organisme, dan jenis jaringan. Sel darah merah tidak memiliki mitokondria, sedangkan sel hati memiliki lebih dari 2000 mitokondria (Voet dkk, 2006). Di dalam mitokondria juga dihasilkan protein yang jumlahnya tergantung pada jaringan dan sel. Pada manusia, 615 protein telah diidentifikasi dari mitokondria jantung (Taylor dkk, 2003). Protein yang terdapat dalam mitokondria dapat

disandi oleh DNA pada mitokondria maupun berasal dari luar mitokondria.

Peran mitokondria yang terpenting adalah untuk menghasilkan adenosine triphospahate (ATP). ATP diproduksi dengan cara mengubah glukosa menjadi asam piruvat dan NADH yang dihasilkan dalam sitosol (Voet dkk, 2006). Proses respirasi sel ini juga dikenal dengan respirasi aerob yang bergantung pada oksigen. Jika ketersediaan oksigen terbatas, maka proses glikolisis ditandai dengan fermentasi anaerob yang tidak tergantung pada mitokondria. Pembentukan ATP dari glukosa melalui jalur mitokondria 13 kali lebih efisien dibanding melalui fermentasi anerob (Rich, 2003). ATP yang dihasilkan dikeluarkan dari mitokondria melalui membran sebelah dalam dan kemudian melintasi membran luar melalui pori dengan bantuan protein khusus.

Energi redoks dari NADH dan FADH2 ditransfer ke oksigen dalam berbagai tahapan melalui rantai transportasi elektron. Energi yang kaya akan molekul tersebut dihasilkan dalam matriks mitokondria melalui siklus asam sitrat dan di dalam sitoplasma melalui proses glikolisis (Voet dkk, 2006). Kompleks protein yang ditemukan dalam membran sebelah dalam mitokondria seperti NADH dehydrogenase (ubiquinon), cytochrome c reductase, dan cytochrome c oxidase, mentransfer dan melepaskan energi yang digunakan untuk memompa proton b0020 (H+) ke dalam ruang antar membran. Proses ini merupakan proses yang efisien, tetapi sebagian kecil elektron dapat mereduksi oksigen secara prematur yang membentuk species oksigen reaktif seperti superoksida . Keadaan ini dapat menyebabkan stres oksidatif dalam mitokondria yang menyebabkan penurunan fungsi mitokondria sejalan dengan berjalannya umur (King dkk, 2006) Peningkatan kadar proton dalam ruang intermembran menyebabkan terbentuknya gradien elektrokimia yang kuat sepanjang membran sebelah dalam. Protein tersebut dapat kembali ke matriks melalui kompleks ATP synthase dan energi potensialnya dipakai untuk mensintesis ATP dari ADP dan fosfat anorganik (Pi)(Voet dkk, 2006).

Page 41: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 33

dikemas dalam bentuk vesikula dan dipilah sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya. Vesikula yang berisi materi termodifikasi kemudian terlepas dari permukaan Trans dan menuju sasaran pemanfaatannya. Sumber Marieb dan Kohen, 2013.

1.5. 6. Mitokondria

Mitokondria merupakan salah satu organel terpenting sebagai sumber energi utama dari sel seperti penyediaan ATP dan NAD+H sehingga sering disebut sebagai pusat cadangan energi sel. Selain itu, mitokondria juga berperan dalam oksidasi asam lemak untuk melepaskan komponen kaya energi dan molekul lainnya yang diperlukan dalam metabolisme sel.

Mitokondria dijumpai pada hampir semua sel eukariot dan dalam setiap sel terdapat beberapa mitokondria. Mitokondria berfungsi untuk membakar gula sebagai bahan bakar dalam respirasi sel sehingga disebut sebagai mesinnya sel. Mitokondria terdiri atas membran luar yang halus dan membran dalam yang berlekuk-lekuk yang setiap lekukan dipisahkan oleh ruang antar membran. Lekukan membran dalam mitokondria disebut kristae (Gambar 1.24). Semetara itu, ruang yang terdapat di sebelah dalam membran dalam mitokondria merupakan matriks mitokondria. Ketika gula dibakar sebagai bahan bakar, sebuah mitokondrion memompa berbagai senyawa kimia ke belakang dan ke depan melintasi membran sebelah dalam. Dalam mitokondria disintesis sebagian besar adenosin triphosphat (ATP) yang diperlukan oleh sel sebagai sumbar energi (Campbell dan Campbell, 2006). Selain sebagai sumber energi, mitokondria juga terlibat dalam pengaturan sistem signal sel, diferensiasi sel, kematian sel dan pertumbuhan sel (McBride dkk, 2006).

Jumlah mitokondria dalam sel bervariasi bergantung pada jenis sel, jenis organisme, dan jenis jaringan. Sel darah merah tidak memiliki mitokondria, sedangkan sel hati memiliki lebih dari 2000 mitokondria (Voet dkk, 2006). Di dalam mitokondria juga dihasilkan protein yang jumlahnya tergantung pada jaringan dan sel. Pada manusia, 615 protein telah diidentifikasi dari mitokondria jantung (Taylor dkk, 2003). Protein yang terdapat dalam mitokondria dapat

disandi oleh DNA pada mitokondria maupun berasal dari luar mitokondria.

Peran mitokondria yang terpenting adalah untuk menghasilkan adenosine triphospahate (ATP). ATP diproduksi dengan cara mengubah glukosa menjadi asam piruvat dan NADH yang dihasilkan dalam sitosol (Voet dkk, 2006). Proses respirasi sel ini juga dikenal dengan respirasi aerob yang bergantung pada oksigen. Jika ketersediaan oksigen terbatas, maka proses glikolisis ditandai dengan fermentasi anaerob yang tidak tergantung pada mitokondria. Pembentukan ATP dari glukosa melalui jalur mitokondria 13 kali lebih efisien dibanding melalui fermentasi anerob (Rich, 2003). ATP yang dihasilkan dikeluarkan dari mitokondria melalui membran sebelah dalam dan kemudian melintasi membran luar melalui pori dengan bantuan protein khusus.

Energi redoks dari NADH dan FADH2 ditransfer ke oksigen dalam berbagai tahapan melalui rantai transportasi elektron. Energi yang kaya akan molekul tersebut dihasilkan dalam matriks mitokondria melalui siklus asam sitrat dan di dalam sitoplasma melalui proses glikolisis (Voet dkk, 2006). Kompleks protein yang ditemukan dalam membran sebelah dalam mitokondria seperti NADH dehydrogenase (ubiquinon), cytochrome c reductase, dan cytochrome c oxidase, mentransfer dan melepaskan energi yang digunakan untuk memompa proton b0020 (H+) ke dalam ruang antar membran. Proses ini merupakan proses yang efisien, tetapi sebagian kecil elektron dapat mereduksi oksigen secara prematur yang membentuk species oksigen reaktif seperti superoksida . Keadaan ini dapat menyebabkan stres oksidatif dalam mitokondria yang menyebabkan penurunan fungsi mitokondria sejalan dengan berjalannya umur (King dkk, 2006) Peningkatan kadar proton dalam ruang intermembran menyebabkan terbentuknya gradien elektrokimia yang kuat sepanjang membran sebelah dalam. Protein tersebut dapat kembali ke matriks melalui kompleks ATP synthase dan energi potensialnya dipakai untuk mensintesis ATP dari ADP dan fosfat anorganik (Pi)(Voet dkk, 2006).

Page 42: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler34

Gambar 1.24. Krista (membran dalam) mitokondria tersusun atas lipida dan protein . Molekul lipida yang terdapat dalam krista meliputi phosphatidylinositol, phosphatidyl kolin dan kardiolipin. Sementara itu, berkaitan dengan protein, semua enzim yang diperlukan dalam rantai transportasi elektron seperti, ATP synthetase, enzim perakitan protein, dirakit dalam kristae. (Sumber Marieb dan Koehn,2013).

1.6. Sitoskeleton

Sitoskeleton atau kerangka sel bertindak sebagai pengatur dan memelihara bentuk sel, menjangkar arganel pada tempatnya, membantu endositosis dan berperan dalam sitokinesis. Pada sel eukariot sitoskeleton terdiri atas filamen yang dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu mikrofilamen, filamen intermediet dan mikrotubulus. Mikrofilamen terdiri atas protein monomer subunit kecil yang disebut aktin. Filamen intermediet merupakan heteropolimer yang komposisinya berbeda-beda pada setiap sel dan jaringan. Beberapa protein filamen intermediat meliputi vimentin, desmin, lamin (lamin A, B and C), keratin (keratin berganda asidik dan basik), protein neurofilamen (NF - L, NF - M).

Sementara itu, mikrotubulus terdiri atas protein subunit dimer yang disebut tubulin (Gambar 1.25).

Gambar 1.25. Struktur dan komponen penyusun sitoskeleton. A. Mikrofilamen yang tersusun oleh unit protein sferis yang disebut aktin dan didemontrasikan dalam sel sebagai serabut berwarna biru. B). Filemen intermediet terdiri atas tetramer protein fibril yang dianyam membentuk tali dan dalam sel serabut berwarna ungu C). Mikrotubulus terdiri atas protein berbentuk tabung berlubang yang terdiri atas subunit protein yang disebut tubulin dan dalam sel didemosntrasikan sebagai serabut berwarna kuning (Sumber Marieb dan Koehn, 2013).

1.6.1.Mikrofilamen

Mikrofilamen merupakan filamen yang paling tipis dengan diameter sekitar 7 nm yang terdiri atas protein aktin. Subunit aktin (g-aktin) disatukan satu sama lain untuk membentuk mikrofilamen (f-aktin). Mikrofilamen terlibat dalam motilitas sel, pembentukan lekuk pembelahan sel selama sitokinesis, dan berperan dalam pergerakan membran sel selama proses endositosis dan eksositosis. Setiap jenis sel

Page 43: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 35

Gambar 1.24. Krista (membran dalam) mitokondria tersusun atas lipida dan protein . Molekul lipida yang terdapat dalam krista meliputi phosphatidylinositol, phosphatidyl kolin dan kardiolipin. Sementara itu, berkaitan dengan protein, semua enzim yang diperlukan dalam rantai transportasi elektron seperti, ATP synthetase, enzim perakitan protein, dirakit dalam kristae. (Sumber Marieb dan Koehn,2013).

1.6. Sitoskeleton

Sitoskeleton atau kerangka sel bertindak sebagai pengatur dan memelihara bentuk sel, menjangkar arganel pada tempatnya, membantu endositosis dan berperan dalam sitokinesis. Pada sel eukariot sitoskeleton terdiri atas filamen yang dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu mikrofilamen, filamen intermediet dan mikrotubulus. Mikrofilamen terdiri atas protein monomer subunit kecil yang disebut aktin. Filamen intermediet merupakan heteropolimer yang komposisinya berbeda-beda pada setiap sel dan jaringan. Beberapa protein filamen intermediat meliputi vimentin, desmin, lamin (lamin A, B and C), keratin (keratin berganda asidik dan basik), protein neurofilamen (NF - L, NF - M).

Sementara itu, mikrotubulus terdiri atas protein subunit dimer yang disebut tubulin (Gambar 1.25).

Gambar 1.25. Struktur dan komponen penyusun sitoskeleton. A. Mikrofilamen yang tersusun oleh unit protein sferis yang disebut aktin dan didemontrasikan dalam sel sebagai serabut berwarna biru. B). Filemen intermediet terdiri atas tetramer protein fibril yang dianyam membentuk tali dan dalam sel serabut berwarna ungu C). Mikrotubulus terdiri atas protein berbentuk tabung berlubang yang terdiri atas subunit protein yang disebut tubulin dan dalam sel didemosntrasikan sebagai serabut berwarna kuning (Sumber Marieb dan Koehn, 2013).

1.6.1.Mikrofilamen

Mikrofilamen merupakan filamen yang paling tipis dengan diameter sekitar 7 nm yang terdiri atas protein aktin. Subunit aktin (g-aktin) disatukan satu sama lain untuk membentuk mikrofilamen (f-aktin). Mikrofilamen terlibat dalam motilitas sel, pembentukan lekuk pembelahan sel selama sitokinesis, dan berperan dalam pergerakan membran sel selama proses endositosis dan eksositosis. Setiap jenis sel

Page 44: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler36

mempunyai pengaturan mikrofilamen yang berbeda, tetapi kebanyakan sel memiliki jejaring ikatan silang yang padat dari mikrofilamen yang berikatan dengan membran sel untuk memperkuat permukaan membran sel dan membawa kekuatan selama pergerakkan dan perubahan bentuk sel (Gambar 1.26).

Gamabr 1.26. Mikrofilamen. Mikrofilamen terdiri atas dimer subunit g-aktin yang disatukan untuk membentuk filamen aktin (f-aktin). Mikrofilamen terdiri atas subunit protein yang disebut aktin. Aktin monomer tampak bernetuk globuler sehingga disebut g-aktin . G-aktin berpolimerisasi membentuk filamen yang disebut F-actin. Sumber Cooper dan Sunderland, 2000.

1.6.2.Filamen Intermediet

Filamen intermediat berukuran lebih besar dari mikrofilanen, yaitu sekitar 10 nm dan terdiri atas 4 subunit fibril yang dianyam bersama membentuk untaian seperti tali (Gambar 1.27). Filamen intermediet merupakan unsur sitoskeleton yang paling stabil dan permanen serta mempunyai ketahanan tinggi terhadap tekanan fisik. Filamen ini melekat pada desmosom dan bertindak sebagai kawat penyangga yang memegang berbagai lapisan sel bersama. Jenis protein yang menyusun filamen intermediet bervariasi bergantung pada jenis sel. Nama filanen ini disesuaikan dengan jenis sel dan adanya protein khusus dalam filamen.

Gambar 1.27. Struktur Filamen Intermediet. Domain batang sentral dari dua polipeptida melilit satu sama lain dalam struktur koil -koil untuk membentuk dimer. Dimer kemudian bergabung dengan tumpukan antiparalel sebagai tetramer. Tetramer bergabung dari ujung ke ujung untuk membentuk protofilamen dan secara lateral untuk membentuk filamen. Setiap filamen mengandung sekitar delapan protofilamen yang melilit satu sama lain untuk membentuk struktur seperti tali. (Sumber Cooper dan Sunderland 2000).

1.6.3, Mikrotubulus

Mikrotubulus merupakan tabung yang memanjang yang tersusun atas protein globuler, berukuran besar, yaitu berdiameter sekitar 25 nm dan terdiri atas bebeberapa tabung silinder yang terbentuk dari beberapa subunit (Gambar 1.28). Kebanyakan mikrotubulus berasal dari sentrosom dan berfungsi untuk mempertahankan bentuk sel, mengatur distribusi organel dan vesikula serta merupakan bagian integral dari basal bodi, yaitu spindel mitosis, silia dan flagella. Mikrotubulus merupakan struktur dinamis yang tersusun dan terurai dengan cepat sesuai dengan kebutuhan sel. Dalam silia dan flagella, mikrotubulus tersusun atas 9 doblet dipinggir dan dua mikrotubulus tunggal di pusatnya yang semuanya membentang sepanjang silia atau flagella. Struktur ini disebut dengan formula sembilan plus dua. Sementara itu, mikrotubulus yang menyusun sentriol terdiri atas sembilan set dan setiap setnya terdiri atas 3 mikrotubulus. Sentriol diperlukan dalam pembelahan sel.

Page 45: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 37

mempunyai pengaturan mikrofilamen yang berbeda, tetapi kebanyakan sel memiliki jejaring ikatan silang yang padat dari mikrofilamen yang berikatan dengan membran sel untuk memperkuat permukaan membran sel dan membawa kekuatan selama pergerakkan dan perubahan bentuk sel (Gambar 1.26).

Gamabr 1.26. Mikrofilamen. Mikrofilamen terdiri atas dimer subunit g-aktin yang disatukan untuk membentuk filamen aktin (f-aktin). Mikrofilamen terdiri atas subunit protein yang disebut aktin. Aktin monomer tampak bernetuk globuler sehingga disebut g-aktin . G-aktin berpolimerisasi membentuk filamen yang disebut F-actin. Sumber Cooper dan Sunderland, 2000.

1.6.2.Filamen Intermediet

Filamen intermediat berukuran lebih besar dari mikrofilanen, yaitu sekitar 10 nm dan terdiri atas 4 subunit fibril yang dianyam bersama membentuk untaian seperti tali (Gambar 1.27). Filamen intermediet merupakan unsur sitoskeleton yang paling stabil dan permanen serta mempunyai ketahanan tinggi terhadap tekanan fisik. Filamen ini melekat pada desmosom dan bertindak sebagai kawat penyangga yang memegang berbagai lapisan sel bersama. Jenis protein yang menyusun filamen intermediet bervariasi bergantung pada jenis sel. Nama filanen ini disesuaikan dengan jenis sel dan adanya protein khusus dalam filamen.

Gambar 1.27. Struktur Filamen Intermediet. Domain batang sentral dari dua polipeptida melilit satu sama lain dalam struktur koil -koil untuk membentuk dimer. Dimer kemudian bergabung dengan tumpukan antiparalel sebagai tetramer. Tetramer bergabung dari ujung ke ujung untuk membentuk protofilamen dan secara lateral untuk membentuk filamen. Setiap filamen mengandung sekitar delapan protofilamen yang melilit satu sama lain untuk membentuk struktur seperti tali. (Sumber Cooper dan Sunderland 2000).

1.6.3, Mikrotubulus

Mikrotubulus merupakan tabung yang memanjang yang tersusun atas protein globuler, berukuran besar, yaitu berdiameter sekitar 25 nm dan terdiri atas bebeberapa tabung silinder yang terbentuk dari beberapa subunit (Gambar 1.28). Kebanyakan mikrotubulus berasal dari sentrosom dan berfungsi untuk mempertahankan bentuk sel, mengatur distribusi organel dan vesikula serta merupakan bagian integral dari basal bodi, yaitu spindel mitosis, silia dan flagella. Mikrotubulus merupakan struktur dinamis yang tersusun dan terurai dengan cepat sesuai dengan kebutuhan sel. Dalam silia dan flagella, mikrotubulus tersusun atas 9 doblet dipinggir dan dua mikrotubulus tunggal di pusatnya yang semuanya membentang sepanjang silia atau flagella. Struktur ini disebut dengan formula sembilan plus dua. Sementara itu, mikrotubulus yang menyusun sentriol terdiri atas sembilan set dan setiap setnya terdiri atas 3 mikrotubulus. Sentriol diperlukan dalam pembelahan sel.

Page 46: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler38

Gambar 1.28.Struktur mikrotubulus dan subunit penyusunnya. A. Proto filamen tersusun atas subunit tubulin heterodimer (α-tubulin dan β-tubulin). Kedua subuint tersebut berikatan melalui molekul GTP. B. Sebanyak 13 protofilamen kemudian membentuk struktur seperti tabung keras yang berlubang yang disebut mikrotubulus. C. Segmen pendek mikrotubulus di bawah mikroskop elektron. D. Potongan melintang mikrotubulus yang terdiri atas 13 protofilamen. (Sumber, Albert dkk, 2002d)

1.6.4. Sentrosom dan Sentriol

Sentrosom merupakan daerah dekat nukleus tempat asal pembentukan mikrotubulus. Sentrosom berfungsi sebagai pusat mengatur mikrotubulus dan pembentuk spindel mitosis selama pembelahan sel. Sementara itu, sentriol merupakan organel kecil berbentuk barel yang berkaitan dengan sentrosom dan merupakan dasar dari pembentukan silia dan flagella. Sentriol berperan amat penting dalam pembelahan sel secara mitosis dan miosis. Sentriol awalnya yang berada dekat nukleus disebut sentrosom yang merupakan masa bergranula yang menyusun bagian pusat dari mikrotubulus.

Sentriol terdiri atas sembilan berkas mikrotubulus yang membentuk cincin. Pada sel yang sedang membelah, sentriol berperan sebagai penghalus yang menyebabkan pembelahan sel berjalan secara lebih

efisien dan terhindar dari berbagai kesalahan. Sentriol merupakan organel sel berupa tabung silindris yang tersusun atas sekelompok mikrotubulus yang mengikuti pola 9+3. Pola mikrotubulus dalam sebuah cincin yang terdiri atas 9 cincin mikrotubulus dikenal dengan triplet and disusun membentuk sudut satu sama lain (Gambar 1.29). Pada sel hewan sentriol membentuk membantu merakit dan menyusun mikrotubulus dalam proses pembelahan sel. Replikasi sentriol terjadi dalam fase metaphase dari mitosis dan meiosis. Diameter sentriol berkisar antara 3000 sampai 5000 A (Reider dkk, 2001)

Gambar 1.29. Struktur Sentriol. (a) skema tiga dimensi dari sentriol seperti yang umum tampak dalam sel dan biasanya berlokasi pada salah satu sisi dari nukleus (b) Potongan melintang sentriol yang dilihat dibawah elektron mikroskop pembesaran (120.000 kali). (Suber Marieb dan Hoehn, 2013)

1.6.5. Silia dan flagella

Silia merupakan penjuluran sel yang tampak seperti cambuk pada permukaan sel dan dibedakan menjadi silia motil (yang bergerak) dan silia primer (yang tidak bergerak). Silia motil ditemukan pada sel epitel permukaan, seperti epitel trakea dan sel ependimal yang

Page 47: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 39

Gambar 1.28.Struktur mikrotubulus dan subunit penyusunnya. A. Proto filamen tersusun atas subunit tubulin heterodimer (α-tubulin dan β-tubulin). Kedua subuint tersebut berikatan melalui molekul GTP. B. Sebanyak 13 protofilamen kemudian membentuk struktur seperti tabung keras yang berlubang yang disebut mikrotubulus. C. Segmen pendek mikrotubulus di bawah mikroskop elektron. D. Potongan melintang mikrotubulus yang terdiri atas 13 protofilamen. (Sumber, Albert dkk, 2002d)

1.6.4. Sentrosom dan Sentriol

Sentrosom merupakan daerah dekat nukleus tempat asal pembentukan mikrotubulus. Sentrosom berfungsi sebagai pusat mengatur mikrotubulus dan pembentuk spindel mitosis selama pembelahan sel. Sementara itu, sentriol merupakan organel kecil berbentuk barel yang berkaitan dengan sentrosom dan merupakan dasar dari pembentukan silia dan flagella. Sentriol berperan amat penting dalam pembelahan sel secara mitosis dan miosis. Sentriol awalnya yang berada dekat nukleus disebut sentrosom yang merupakan masa bergranula yang menyusun bagian pusat dari mikrotubulus.

Sentriol terdiri atas sembilan berkas mikrotubulus yang membentuk cincin. Pada sel yang sedang membelah, sentriol berperan sebagai penghalus yang menyebabkan pembelahan sel berjalan secara lebih

efisien dan terhindar dari berbagai kesalahan. Sentriol merupakan organel sel berupa tabung silindris yang tersusun atas sekelompok mikrotubulus yang mengikuti pola 9+3. Pola mikrotubulus dalam sebuah cincin yang terdiri atas 9 cincin mikrotubulus dikenal dengan triplet and disusun membentuk sudut satu sama lain (Gambar 1.29). Pada sel hewan sentriol membentuk membantu merakit dan menyusun mikrotubulus dalam proses pembelahan sel. Replikasi sentriol terjadi dalam fase metaphase dari mitosis dan meiosis. Diameter sentriol berkisar antara 3000 sampai 5000 A (Reider dkk, 2001)

Gambar 1.29. Struktur Sentriol. (a) skema tiga dimensi dari sentriol seperti yang umum tampak dalam sel dan biasanya berlokasi pada salah satu sisi dari nukleus (b) Potongan melintang sentriol yang dilihat dibawah elektron mikroskop pembesaran (120.000 kali). (Suber Marieb dan Hoehn, 2013)

1.6.5. Silia dan flagella

Silia merupakan penjuluran sel yang tampak seperti cambuk pada permukaan sel dan dibedakan menjadi silia motil (yang bergerak) dan silia primer (yang tidak bergerak). Silia motil ditemukan pada sel epitel permukaan, seperti epitel trakea dan sel ependimal yang

Page 48: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler40

menutupi ventrikel otak. Silia motil berdetak secara ritmik untuk mendorong mukus atau cairan serebrospinal. Semantara itu, silia primer ditemukan hampir pada semua jenis sel dalam tubuh dalam bentuk soliter dan tidak motil. Silia primer umumnya berfungsi sebagai reseptor yang dapat berikatan dengan berbagai molekul ligand (Berbari dkk, 2009). Selain itu, pada manusia dan hewan mamalia lainnya, sel yang mempunyai flagella, seperti spermatozoa dan setiap spermatozoa hanya memiliki satu flagela.

Silia dan flagela berasal dari sentriol yang berulang dan menutupi membran sel pada bagian apikal dari sel. Sentriol yang berkembang menjadi silia dan flagela disebut basal bodi dan mempunyai 9 triplet mikrotubulus, sedangkan silia dan flagela terdiri atas 9 doblet yang mengelilingi 2 mikrotubulus sentral (susunan 9+2) (Gambar 1.30). Selain itu, terdapat mikrovili yang merupakan perpanjangan seperti jari dari permukaan sel absortif pada usus halus dan tubulus ginjal. Mikrovilli mempunyai filamen aktin untuk menjaga stabilitasnya (Reider dkk, 2001)

Gambar 1.30. Struktur silia. Sembilan doblet mikrotubulus doblet dari eksonem membentuk tulang punggung dari silia. Sementara itu, basal bodi pada bagian dasar digunakan sebagai templat. Eksonem pada silia ditutupi oleh membran silia yang merupakan membran yang jelas. Struktur pada bagian dasar silia seperti serabut transisi dan basal bodi berperan penting dalam mengatur kandungan protein dari

membran silia. Potongan meilintang menunjukkan pengaturan mikrotubulus dari dua mikrotubulus aksonem ultra struktur, yaitu struktur 9+2 pada kebanyakan silia dan 9+0 pada silia primer 9+2. (Sumber Berbari dkk, 2009)

Gambar 1.31. Struktu internal flagella sperma manusia. Pada manusia aksonem sperma dikelilingi oleh mitokondria, ODF dan membran plasma.

1.7. Nukleus dan Nukleolus

Nukleus merupakan pusat dari sel dan mengandung DNA yang berisi sebagian besar informasi genetik bagi sel. Kebanyakan sel hanya memiliki satu nukleus, tetapi sel yang besar dapat memiliki lebih dari satu nukleus. Semua sel dalam tubuh memiliki nukleus kecuali sel darah merah mamalia. Nukleus berukuran lebih besar dari organel sitoplasma dan mempunyai ruangan mengandung protein. Bagian luar nukleus ditutupi oleh membran nukleus yang bertindak sebagai pelindung isi nukleus. Membran nukleus terdiri atas selaput bagian luar dan selaput bagian dalam. Membran bagian luar berhubungan langsung dengan retikulum endoplasma. Membran bagian dalam menutupi benang kromatin dan nukleoli yang disuspensikan dalam cairan yang disebut getah inti atau karyolimfe. Ruangan di antara kedua membran nukleus disebut ruang paranuklear.

Page 49: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 41

menutupi ventrikel otak. Silia motil berdetak secara ritmik untuk mendorong mukus atau cairan serebrospinal. Semantara itu, silia primer ditemukan hampir pada semua jenis sel dalam tubuh dalam bentuk soliter dan tidak motil. Silia primer umumnya berfungsi sebagai reseptor yang dapat berikatan dengan berbagai molekul ligand (Berbari dkk, 2009). Selain itu, pada manusia dan hewan mamalia lainnya, sel yang mempunyai flagella, seperti spermatozoa dan setiap spermatozoa hanya memiliki satu flagela.

Silia dan flagela berasal dari sentriol yang berulang dan menutupi membran sel pada bagian apikal dari sel. Sentriol yang berkembang menjadi silia dan flagela disebut basal bodi dan mempunyai 9 triplet mikrotubulus, sedangkan silia dan flagela terdiri atas 9 doblet yang mengelilingi 2 mikrotubulus sentral (susunan 9+2) (Gambar 1.30). Selain itu, terdapat mikrovili yang merupakan perpanjangan seperti jari dari permukaan sel absortif pada usus halus dan tubulus ginjal. Mikrovilli mempunyai filamen aktin untuk menjaga stabilitasnya (Reider dkk, 2001)

Gambar 1.30. Struktur silia. Sembilan doblet mikrotubulus doblet dari eksonem membentuk tulang punggung dari silia. Sementara itu, basal bodi pada bagian dasar digunakan sebagai templat. Eksonem pada silia ditutupi oleh membran silia yang merupakan membran yang jelas. Struktur pada bagian dasar silia seperti serabut transisi dan basal bodi berperan penting dalam mengatur kandungan protein dari

membran silia. Potongan meilintang menunjukkan pengaturan mikrotubulus dari dua mikrotubulus aksonem ultra struktur, yaitu struktur 9+2 pada kebanyakan silia dan 9+0 pada silia primer 9+2. (Sumber Berbari dkk, 2009)

Gambar 1.31. Struktu internal flagella sperma manusia. Pada manusia aksonem sperma dikelilingi oleh mitokondria, ODF dan membran plasma.

1.7. Nukleus dan Nukleolus

Nukleus merupakan pusat dari sel dan mengandung DNA yang berisi sebagian besar informasi genetik bagi sel. Kebanyakan sel hanya memiliki satu nukleus, tetapi sel yang besar dapat memiliki lebih dari satu nukleus. Semua sel dalam tubuh memiliki nukleus kecuali sel darah merah mamalia. Nukleus berukuran lebih besar dari organel sitoplasma dan mempunyai ruangan mengandung protein. Bagian luar nukleus ditutupi oleh membran nukleus yang bertindak sebagai pelindung isi nukleus. Membran nukleus terdiri atas selaput bagian luar dan selaput bagian dalam. Membran bagian luar berhubungan langsung dengan retikulum endoplasma. Membran bagian dalam menutupi benang kromatin dan nukleoli yang disuspensikan dalam cairan yang disebut getah inti atau karyolimfe. Ruangan di antara kedua membran nukleus disebut ruang paranuklear.

Page 50: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler42

Membran nukleus merupakan membran berpori dengan diameter 50-150 nm. Jumlah pori sangat bervariasi bergantung pada status metabolik dari sel. Pada saat sel yang sedang mensintesis ribosom dalam jumlah yang besar, jumlah pori pada membran inti juga meningkat. Namun, pada keadaan istirahat sel, jumlah pori dalam membran nukleus juga menurun. Pada permukaan bagian dalamnya, membran nukleus diperkuat oleh protein skeletal yang disebut lamin yang berkaitan erat dengan segmen tertentu dari kromatin. Di bawah mikroskop elektron, pori membran nukleus tampak berbentuk oktagonal dan pori oktagonal tersusun oleh struktur tubular yang disebut annulus. Setiap annulus terdiri atas 8 subunit protein ganuler dan berfungsi untuk mengatur lalu lintas berbagai molekul yang masuk dan keluar dari nukleus. Lalu lintas molekul yang diatur oleh pori membran nukleus meliputi ion anorganik, dan senyawa organik seperti asam amnio dan protein. Lalu lintas molekul yang keluar dan masuk nukleus juga diatur oleh protein khusus yang disebut importin dan eksportin (Rabut dkk, 2004)

Gambar 1.32. Nukleus dan selaput penutupnya. Di dalam nukleus terdapat kromosom yang tanpak sebagai masa kromatin (DNA dan

protein histon), satu atau beberapa nukleoli yang berfungsi untuk mensintesis ribosom. Selaput inti sel yang terdiri atas dua lapis membran yang dipisahkan oleh ruang yang sempit ditembus oleh pori yang disebut annulus dan ditutupi oleh lamina nukleus. (Sumber Reece dkk, 2011).

Nukleoli merupakan badan sferis yang berwarna gelap dalam nukleus. Dalam satu nukleus terdapat satu atau dua nukleoli yang berfungsi sebagai tempat perakitan subunit ribosom dan ukurannya membesar pada sel yang sedang membelah. Di dalam nukleolus terdapat daerah pengatur nukleolus yang mengandung DNA yang menyandi molekul RNA ribosom. RNA ribosom tersebut disatukan dengan subunit protein ribosom. Subunit ribosom diekspor ke sitoplasma melalui pori membran nukleus. Protein ribosom disintesis dalam ribosom sitoplasma dan diimpor kembali ke dalam nukleus melalui membran nukleus. Di dalam nukleus protein ribosom dirakit dengan molekul RNA ribosom menjadi subunit ribosom (Olsen, 2010).

1.8. Kromosom, Kromatin, DNA dan Gen

Kromatin terdiri atas sebagian DNA yang merupakan materi genetik dari sel dan sebagian lagi terdiri atas protein histon. DNA digulung dalam 8 unit protein histon dan membentuk satu unit terkecil dari kromatin yang disebut nukleosom.. Ketika sel menyiapkan diri untuk membelah, kromatin mengalami kondensasi spiral menjadi masa yang padat berbentuk batang yang disebut kromosom. Kromosom tampak jelas di bawah mikroskop pada sel yang sedang menyiapkan diri untuk membelah dan melebur kembali menjadi masa kromatin pada sel yang istirahat atau sehabis membelah dari satu menjadi dua sel.

Page 51: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 43

Membran nukleus merupakan membran berpori dengan diameter 50-150 nm. Jumlah pori sangat bervariasi bergantung pada status metabolik dari sel. Pada saat sel yang sedang mensintesis ribosom dalam jumlah yang besar, jumlah pori pada membran inti juga meningkat. Namun, pada keadaan istirahat sel, jumlah pori dalam membran nukleus juga menurun. Pada permukaan bagian dalamnya, membran nukleus diperkuat oleh protein skeletal yang disebut lamin yang berkaitan erat dengan segmen tertentu dari kromatin. Di bawah mikroskop elektron, pori membran nukleus tampak berbentuk oktagonal dan pori oktagonal tersusun oleh struktur tubular yang disebut annulus. Setiap annulus terdiri atas 8 subunit protein ganuler dan berfungsi untuk mengatur lalu lintas berbagai molekul yang masuk dan keluar dari nukleus. Lalu lintas molekul yang diatur oleh pori membran nukleus meliputi ion anorganik, dan senyawa organik seperti asam amnio dan protein. Lalu lintas molekul yang keluar dan masuk nukleus juga diatur oleh protein khusus yang disebut importin dan eksportin (Rabut dkk, 2004)

Gambar 1.32. Nukleus dan selaput penutupnya. Di dalam nukleus terdapat kromosom yang tanpak sebagai masa kromatin (DNA dan

protein histon), satu atau beberapa nukleoli yang berfungsi untuk mensintesis ribosom. Selaput inti sel yang terdiri atas dua lapis membran yang dipisahkan oleh ruang yang sempit ditembus oleh pori yang disebut annulus dan ditutupi oleh lamina nukleus. (Sumber Reece dkk, 2011).

Nukleoli merupakan badan sferis yang berwarna gelap dalam nukleus. Dalam satu nukleus terdapat satu atau dua nukleoli yang berfungsi sebagai tempat perakitan subunit ribosom dan ukurannya membesar pada sel yang sedang membelah. Di dalam nukleolus terdapat daerah pengatur nukleolus yang mengandung DNA yang menyandi molekul RNA ribosom. RNA ribosom tersebut disatukan dengan subunit protein ribosom. Subunit ribosom diekspor ke sitoplasma melalui pori membran nukleus. Protein ribosom disintesis dalam ribosom sitoplasma dan diimpor kembali ke dalam nukleus melalui membran nukleus. Di dalam nukleus protein ribosom dirakit dengan molekul RNA ribosom menjadi subunit ribosom (Olsen, 2010).

1.8. Kromosom, Kromatin, DNA dan Gen

Kromatin terdiri atas sebagian DNA yang merupakan materi genetik dari sel dan sebagian lagi terdiri atas protein histon. DNA digulung dalam 8 unit protein histon dan membentuk satu unit terkecil dari kromatin yang disebut nukleosom.. Ketika sel menyiapkan diri untuk membelah, kromatin mengalami kondensasi spiral menjadi masa yang padat berbentuk batang yang disebut kromosom. Kromosom tampak jelas di bawah mikroskop pada sel yang sedang menyiapkan diri untuk membelah dan melebur kembali menjadi masa kromatin pada sel yang istirahat atau sehabis membelah dari satu menjadi dua sel.

Page 52: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler44

Gambar. 1.33. Struktur Kromosom dan kromatin. DNA digulung dalam oktamer protein histon membentuk unit DNA yang disebut nukleosom. Modifikasi protein histon dengan penambahan gugus metil pada ekornya dapat menginaktifkan gen. Modifikasi dengan penambahan gugus asetil dapat mengaktifkan gen (Sumber, National Institutes of Health, 2011).

1.9. Transkripsi dan Translasi Gen

Molekul DNA menentukan struktur protein yang disintesis dalam sel, baik yang berfungsi sebagai protein fungsional maupun sebagai protein struktural. Protein merupakan polimer asam amino yang membentuk rantai polipeptida. Protein disandi oleh segmen gen dalam molekul DNA dan setiap gen membawa sandi genetik untuk satu molekul protein. Di dalam satu gen terdapat ekson yang mengandung sandi genetik untuk sintesis protein dan intron yang tidak membawa sandi genetik untuk sintesis protein. Sandi genetik untuk satu asam amino terdiri atas triplet nukleotida yang disebut kodon. Sekuen asam amino pada molekul protein menentukan struktur dan fungsi protein dalam sel. Kodon (triplet nukleotida) dan asam amino yang disandinya dalam molekul peptida disajikan dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1. Sandi genetik dan asam amino yang disandinya

Posisi pertama Posisi Kedua Posisi ketiga

U C A G

U Phe Ser Tyr Cys U

Phe Ser Tyr Cys C

Leu Ser Stop Stop A

Leu Ser Stop Trp G

C Leu Pro His Arg U

Leu Pro His Arg C

Leu Pro Gln Arg A

Leu Pro Gln Arg G

A Ile Thr Asn Ser U

Ile Thr Asn Ser C

Ile Thr Lys Arg A

Met Thr Lys Arg G

G Val Ala Asp Gly U

Val Ala Asp Gly C

Val Ala Glu Gly A

Val Ala Glu Gly G

Keterangan: Phe : Phenilalanin (F), Ser: Serin (S), Tyr : Tirosin (Y), Cys: Sistein (C)., Leu: leusin (L), Pro:prolin (P), His: histidin (H), Trp: triptophan (W), Arg: arginin (R), Gly:glisin (G), Ile: isoleusin (I), Thre:

Page 53: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 45

Gambar. 1.33. Struktur Kromosom dan kromatin. DNA digulung dalam oktamer protein histon membentuk unit DNA yang disebut nukleosom. Modifikasi protein histon dengan penambahan gugus metil pada ekornya dapat menginaktifkan gen. Modifikasi dengan penambahan gugus asetil dapat mengaktifkan gen (Sumber, National Institutes of Health, 2011).

1.9. Transkripsi dan Translasi Gen

Molekul DNA menentukan struktur protein yang disintesis dalam sel, baik yang berfungsi sebagai protein fungsional maupun sebagai protein struktural. Protein merupakan polimer asam amino yang membentuk rantai polipeptida. Protein disandi oleh segmen gen dalam molekul DNA dan setiap gen membawa sandi genetik untuk satu molekul protein. Di dalam satu gen terdapat ekson yang mengandung sandi genetik untuk sintesis protein dan intron yang tidak membawa sandi genetik untuk sintesis protein. Sandi genetik untuk satu asam amino terdiri atas triplet nukleotida yang disebut kodon. Sekuen asam amino pada molekul protein menentukan struktur dan fungsi protein dalam sel. Kodon (triplet nukleotida) dan asam amino yang disandinya dalam molekul peptida disajikan dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1. Sandi genetik dan asam amino yang disandinya

Posisi pertama Posisi Kedua Posisi ketiga

U C A G

U Phe Ser Tyr Cys U

Phe Ser Tyr Cys C

Leu Ser Stop Stop A

Leu Ser Stop Trp G

C Leu Pro His Arg U

Leu Pro His Arg C

Leu Pro Gln Arg A

Leu Pro Gln Arg G

A Ile Thr Asn Ser U

Ile Thr Asn Ser C

Ile Thr Lys Arg A

Met Thr Lys Arg G

G Val Ala Asp Gly U

Val Ala Asp Gly C

Val Ala Glu Gly A

Val Ala Glu Gly G

Keterangan: Phe : Phenilalanin (F), Ser: Serin (S), Tyr : Tirosin (Y), Cys: Sistein (C)., Leu: leusin (L), Pro:prolin (P), His: histidin (H), Trp: triptophan (W), Arg: arginin (R), Gly:glisin (G), Ile: isoleusin (I), Thre:

Page 54: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler46

threonin (T), Val:valin (V), Ala: alanin (A), Met: metionin (M), Gln: glutamin ( Q), Asp: aspartat (D), Asn: aspargin (N), Lys: lisin (K). Glu.Glutamicacid (E).

Setiap asam amino disandi oleh triplet nukleotida yang disebut kodon. Sebagai contoh 5′ AUG 3′ pada mRNA menyandi asam amino methionin, sedangkan kodon CAU menyandi histidin, UAA, UAG, dan UGA merupakan signal terminasi. Kodon AUG yang menyandi asam amino methionin juga merupakan kodon “start” yang menjadi titik awal sintesis polipentida (Sumber Berg danTymoczko , 2002)

Selain DNA, molekul RNA juga berperan dalam sintesis protein, yaitu transfer RNA (tRNA), mesenger RNA (mRNA) dan ribosomal RNA (rRNA). Ketiga jenis RNA direkonstruksi dalam nukleus, dilepaskan dari DNA dan bermigrasi ke dalam sitoplasma. Dalam sintesis protein ketiga jenis RNA tersebut memainkan peran yang amat penting. mRNA disintesis melalui proses transkripsi yang mengkopi DNA menjadi sekuen RNA yang komplementer. Proses transkripsi tersebut dimediasi oleh enzim RNA polimerase yang mengarahkan sintesis mRNA. Dalam proses ini, mRNA yang dihasilkan awalnya berupa transkrip primer yang masih mengandung intron sehingga disebut pre-mRNA (primary mRNA). Pre-mRNA kemudian mengalami proses “splicing” untuk menghilangkan intron sehingga mengahasilkan mRNA tanpa intron yang kemudian ditranslasi menjadi protein (Cooper dan Housman 2004, Mitchell, 2013) (Gambar 1.33). Sementara itu, tRNA berisi triplet nukleotida yang komplementer (antikodon) dengan kodon pada mRNA dan berfungsi untuk mentransfer asam amino pada proses translasi dalam ribosom.

Gambar 1.34 Tahapan transkripsi DNA menjadi mRNA. Gen yang mengandung exon dan intron awalnya ditranskripsi menjadi RNA yang masih mengandung intron (pre-mRNA). Dengan proses “splicing”, intron dalam pre-mRNA kemudian dihilangkan sehingga terbentuk transkrip RNA tanpa intron (mRNA) (Sumber. Mitchell, 2013)

1.9.1. Protein Regulator Transkripsi

Proses transkripsi DNA menjadi mRNA diawali dengan perekrutan berbagai protein regulator transkripsi dan RNA polimerase ke regio promoter dari gen. Proses ini diatur secara ketat oleh berbagai protein regulator transkripsi. Protein ini mengatur proses transkripsi dengan cara berikatan dengan DNA. Ikatan antara protein regulator transkripsi dengan DNA dimungkinkan karena terdapat motif tertentu pada protein yang memungkinkannya untuk berikatan dengan DNA. Terdapat empat jenis motif protein yang dapat berikatan dengan DNA, yaitu zinc finger, leucin zipper, α-helix turn α-helix dan α-helix loop α-helix .

Page 55: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 47

threonin (T), Val:valin (V), Ala: alanin (A), Met: metionin (M), Gln: glutamin ( Q), Asp: aspartat (D), Asn: aspargin (N), Lys: lisin (K). Glu.Glutamicacid (E).

Setiap asam amino disandi oleh triplet nukleotida yang disebut kodon. Sebagai contoh 5′ AUG 3′ pada mRNA menyandi asam amino methionin, sedangkan kodon CAU menyandi histidin, UAA, UAG, dan UGA merupakan signal terminasi. Kodon AUG yang menyandi asam amino methionin juga merupakan kodon “start” yang menjadi titik awal sintesis polipentida (Sumber Berg danTymoczko , 2002)

Selain DNA, molekul RNA juga berperan dalam sintesis protein, yaitu transfer RNA (tRNA), mesenger RNA (mRNA) dan ribosomal RNA (rRNA). Ketiga jenis RNA direkonstruksi dalam nukleus, dilepaskan dari DNA dan bermigrasi ke dalam sitoplasma. Dalam sintesis protein ketiga jenis RNA tersebut memainkan peran yang amat penting. mRNA disintesis melalui proses transkripsi yang mengkopi DNA menjadi sekuen RNA yang komplementer. Proses transkripsi tersebut dimediasi oleh enzim RNA polimerase yang mengarahkan sintesis mRNA. Dalam proses ini, mRNA yang dihasilkan awalnya berupa transkrip primer yang masih mengandung intron sehingga disebut pre-mRNA (primary mRNA). Pre-mRNA kemudian mengalami proses “splicing” untuk menghilangkan intron sehingga mengahasilkan mRNA tanpa intron yang kemudian ditranslasi menjadi protein (Cooper dan Housman 2004, Mitchell, 2013) (Gambar 1.33). Sementara itu, tRNA berisi triplet nukleotida yang komplementer (antikodon) dengan kodon pada mRNA dan berfungsi untuk mentransfer asam amino pada proses translasi dalam ribosom.

Gambar 1.34 Tahapan transkripsi DNA menjadi mRNA. Gen yang mengandung exon dan intron awalnya ditranskripsi menjadi RNA yang masih mengandung intron (pre-mRNA). Dengan proses “splicing”, intron dalam pre-mRNA kemudian dihilangkan sehingga terbentuk transkrip RNA tanpa intron (mRNA) (Sumber. Mitchell, 2013)

1.9.1. Protein Regulator Transkripsi

Proses transkripsi DNA menjadi mRNA diawali dengan perekrutan berbagai protein regulator transkripsi dan RNA polimerase ke regio promoter dari gen. Proses ini diatur secara ketat oleh berbagai protein regulator transkripsi. Protein ini mengatur proses transkripsi dengan cara berikatan dengan DNA. Ikatan antara protein regulator transkripsi dengan DNA dimungkinkan karena terdapat motif tertentu pada protein yang memungkinkannya untuk berikatan dengan DNA. Terdapat empat jenis motif protein yang dapat berikatan dengan DNA, yaitu zinc finger, leucin zipper, α-helix turn α-helix dan α-helix loop α-helix .

Page 56: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler48

Motif Zinc Finger

Motif Zinc finger terbentuk dari domain α- heliks dan β-sheet yang dipersatukan secara kuat oleh atom zinc (Zn) dalam satu molekul protein. Atom Zn berikatan dengan 2 asam amino cystein pada β sheet dan 2 asam amino histidin pada α-heliks. Motif ini sering ditemukan dalam bentuk kluster yang dipersatukan oleh ikatan kovalen yang memungkinkan domain α heliks dari setiap finger untuk berkontak dengan DNA pada celah utama (mayor) (Gambar 1.35) .

Gambar 1.35. Protein regulator transkripsi dengan motif “zinc finger”. Motif ini terbentuk melalui ikatan asam amino Cys–Cys–His–His yang mencengkram logam zinc (A). Ilustrasi sekuen asam amino dari motif zinc finger dari suatu protein (B) Struktur tiga dimensi dari motif zinc finger yang terdiri atas β-sheet antiparalel (asam amino 1 sd 10) diikuti oleh α-heliks (asam amino 12 sd 24). Empat asam amino yang berikatan dengan zinc (Cys 3, Cys 6, His 19, dan His 23) menahan salah satu ujung heliks dengan kuat pada β-sheet (Lee dkk, 1989 dalam Albert dkk, 2002).

Motif Leucine Zipper

Motif leucine zipper terbentuk dari dua domain α heliks dua molekul protein yang berbeda. Kedua protein tersebut membentuk dimer yang berinteraksi melalui serangkaian asam amino yang terdapat pada kedua protein. Faktor transkripsi dengan motif leucine zipper berikatan dengan DNA dalam bentuk dimer, dan mencekram DNA heliks ganda seperti clothespin pada clothesline. Contoh protein dengan motif leucine zipper adalah dimer c-fos dan c-Jun yang merupakan heterodimer. Heterodimer tersebut kemudian disebut sebagai acivator protein 1 (AP-1) dan merupakan aktivator transkripsi bagi berbagai gen target.

Gambar 1.35.. Dimer protein regulator transkripsi dengan motif leucine zipper yang brikatan dengan DNA. Dua protein dengan motif α-heliks membentuk dimer melalui daerah kaya asam amino leucin untuk membentuk struktur Y terbalik. Masing-masing lengan Y dibentuk oleh satu α-heliks, satu dari masing-masing monomer yang memediasi ikatan dengan sekuen khusus DNA pada celah utama lekukan DNA heliks ganda. Masing-masing heliks berikatan dengan setengah dari struktur DNA simetri. (Krylov danVinson 2001)

Page 57: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 49

Motif Zinc Finger

Motif Zinc finger terbentuk dari domain α- heliks dan β-sheet yang dipersatukan secara kuat oleh atom zinc (Zn) dalam satu molekul protein. Atom Zn berikatan dengan 2 asam amino cystein pada β sheet dan 2 asam amino histidin pada α-heliks. Motif ini sering ditemukan dalam bentuk kluster yang dipersatukan oleh ikatan kovalen yang memungkinkan domain α heliks dari setiap finger untuk berkontak dengan DNA pada celah utama (mayor) (Gambar 1.35) .

Gambar 1.35. Protein regulator transkripsi dengan motif “zinc finger”. Motif ini terbentuk melalui ikatan asam amino Cys–Cys–His–His yang mencengkram logam zinc (A). Ilustrasi sekuen asam amino dari motif zinc finger dari suatu protein (B) Struktur tiga dimensi dari motif zinc finger yang terdiri atas β-sheet antiparalel (asam amino 1 sd 10) diikuti oleh α-heliks (asam amino 12 sd 24). Empat asam amino yang berikatan dengan zinc (Cys 3, Cys 6, His 19, dan His 23) menahan salah satu ujung heliks dengan kuat pada β-sheet (Lee dkk, 1989 dalam Albert dkk, 2002).

Motif Leucine Zipper

Motif leucine zipper terbentuk dari dua domain α heliks dua molekul protein yang berbeda. Kedua protein tersebut membentuk dimer yang berinteraksi melalui serangkaian asam amino yang terdapat pada kedua protein. Faktor transkripsi dengan motif leucine zipper berikatan dengan DNA dalam bentuk dimer, dan mencekram DNA heliks ganda seperti clothespin pada clothesline. Contoh protein dengan motif leucine zipper adalah dimer c-fos dan c-Jun yang merupakan heterodimer. Heterodimer tersebut kemudian disebut sebagai acivator protein 1 (AP-1) dan merupakan aktivator transkripsi bagi berbagai gen target.

Gambar 1.35.. Dimer protein regulator transkripsi dengan motif leucine zipper yang brikatan dengan DNA. Dua protein dengan motif α-heliks membentuk dimer melalui daerah kaya asam amino leucin untuk membentuk struktur Y terbalik. Masing-masing lengan Y dibentuk oleh satu α-heliks, satu dari masing-masing monomer yang memediasi ikatan dengan sekuen khusus DNA pada celah utama lekukan DNA heliks ganda. Masing-masing heliks berikatan dengan setengah dari struktur DNA simetri. (Krylov danVinson 2001)

Page 58: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler50

Motif helix-turn-helix (HTH)

Motif helix-turn-helix (HTH) yang terdiri atas 2 α heliks yang disatukan oleh untai asam amino pendek. Motif ini ditemukan pada banyak protein yang mengatur ekspresi gen. Satu alpha heliks berikatan dengan lekukan mayor dari DNA heliks ganda melalui ikatan hidrogen dan ikatan van der walls, sedangkan alpha heliks lainnya berfungsi menstabilkan ikatan dengan DNA (Matews dkk, 1982).

Gambar 1.36. Ikatan protein motif helix–turn–helix dengan DNA. Motif diperlihatkan pada gambar A dengan atom karbon sentral dari asam amino. Karboksi terminal dari heliks disebut heliks pengenalan karena berperan dalam mengenali sekuen khas dari DNA yang diikat oleh protein. Heliks dapat berikatan dengan tepat pada celah mayor dari DNA heliks ganda yang berkontak pada ujung pasangan basa. (Sumber Albert dkk, 2002)

Motif α-helix loop α-helix

Motif lainnya adalah α-helix loop α-helix yang terbentuk oleh 2 α-helix yang dihubungkan oleh loop (rantai asam amino yang panjang). Seperti protein regulator lainnya, motif ini juga berikatan dengan DNA dalam bentuk dimer. Satu α-helix mengandung residu

asam amino basa yang memudahkannya untuk berikatan dengan nukleotida pada molekul DNA. Heliks yang lainnya berukuran lebih kecil yang memungkinkan pembentukan dimer yang lentur dengan proses pelipatan dan pengemasan yang berlawanan dengan heliks lainnya. Heliks yang lebih besar berikatan dengan sekuen konsensus pada DNA yang disebut E-box (CANNTG) (Skinner, 1999) yang palindrom

Gambar 1.38. Dimer protein dengan motif helix–loop–helix yang berikatan dengan DNA. Dua monomer dipersatukan dalam berkas empat heliks dan setiap monomer menyumbang 2 heliks yang dihubungkan oleh loop yang lentur. Sekuen khas pada DNA dikenali dan diikat oleh dua heliks yang menjulur dari 4 berkas heliks (Sumber Ferre-D’Amare dkk, 1993; Albert dkk, 2002) Protein regulator transkripsi mengenali sekuen khas pada permukaan DNA yang komplementer dengan motif yang ada pada protein regulator. Ikatan yang terjadi antara protein regulator transkripsi dan DNA melibatkan ikatan hidrogen, ion, dan interaksi hidrofobik. Meskipun masing-masing ikatan merupakan ikatan yang lemah, adanya 20 atau lebih titik kontak antara protein dan DNA menciptakan interaksi yang spesifik dan kuat di antara keduanya. Bukti menunjukkan bahwa interaksi antara protein dan DNA merupakan ikatan molekul yang paling kuat dan spesifik dalam biologi. Motif yang berikatan dengan molekul DNA umumnya berupa α-heliks atau β-sheet yang berikatan dengan DNA heliks ganda pada celah mayor. Pada celah ini tersedia ruang yang cukup bagi protein untuk dengan DNA. Beberapa contoh sekuen yang

Page 59: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 51

Motif helix-turn-helix (HTH)

Motif helix-turn-helix (HTH) yang terdiri atas 2 α heliks yang disatukan oleh untai asam amino pendek. Motif ini ditemukan pada banyak protein yang mengatur ekspresi gen. Satu alpha heliks berikatan dengan lekukan mayor dari DNA heliks ganda melalui ikatan hidrogen dan ikatan van der walls, sedangkan alpha heliks lainnya berfungsi menstabilkan ikatan dengan DNA (Matews dkk, 1982).

Gambar 1.36. Ikatan protein motif helix–turn–helix dengan DNA. Motif diperlihatkan pada gambar A dengan atom karbon sentral dari asam amino. Karboksi terminal dari heliks disebut heliks pengenalan karena berperan dalam mengenali sekuen khas dari DNA yang diikat oleh protein. Heliks dapat berikatan dengan tepat pada celah mayor dari DNA heliks ganda yang berkontak pada ujung pasangan basa. (Sumber Albert dkk, 2002)

Motif α-helix loop α-helix

Motif lainnya adalah α-helix loop α-helix yang terbentuk oleh 2 α-helix yang dihubungkan oleh loop (rantai asam amino yang panjang). Seperti protein regulator lainnya, motif ini juga berikatan dengan DNA dalam bentuk dimer. Satu α-helix mengandung residu

asam amino basa yang memudahkannya untuk berikatan dengan nukleotida pada molekul DNA. Heliks yang lainnya berukuran lebih kecil yang memungkinkan pembentukan dimer yang lentur dengan proses pelipatan dan pengemasan yang berlawanan dengan heliks lainnya. Heliks yang lebih besar berikatan dengan sekuen konsensus pada DNA yang disebut E-box (CANNTG) (Skinner, 1999) yang palindrom

Gambar 1.38. Dimer protein dengan motif helix–loop–helix yang berikatan dengan DNA. Dua monomer dipersatukan dalam berkas empat heliks dan setiap monomer menyumbang 2 heliks yang dihubungkan oleh loop yang lentur. Sekuen khas pada DNA dikenali dan diikat oleh dua heliks yang menjulur dari 4 berkas heliks (Sumber Ferre-D’Amare dkk, 1993; Albert dkk, 2002) Protein regulator transkripsi mengenali sekuen khas pada permukaan DNA yang komplementer dengan motif yang ada pada protein regulator. Ikatan yang terjadi antara protein regulator transkripsi dan DNA melibatkan ikatan hidrogen, ion, dan interaksi hidrofobik. Meskipun masing-masing ikatan merupakan ikatan yang lemah, adanya 20 atau lebih titik kontak antara protein dan DNA menciptakan interaksi yang spesifik dan kuat di antara keduanya. Bukti menunjukkan bahwa interaksi antara protein dan DNA merupakan ikatan molekul yang paling kuat dan spesifik dalam biologi. Motif yang berikatan dengan molekul DNA umumnya berupa α-heliks atau β-sheet yang berikatan dengan DNA heliks ganda pada celah mayor. Pada celah ini tersedia ruang yang cukup bagi protein untuk dengan DNA. Beberapa contoh sekuen yang

Page 60: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler52

dikenali oleh protein regulator transkripsi pada bakteri dan hewan mamalia dicantumkan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Sekuen DNA yang diikat oleh berbagai protein regulator transkipsi

Organisme Protein regulator transkripsi

Sekuen DNA yang dikenali

Bakteri Lac-operon 5¢ AATTGTGAGCGGATAACAATT

3¢ TTAACACTCGCCTATTGTTAA

CAP TGTGAGTTAGCTCACT

ACACTCAATCGAGTGA

TGTGAGTTAGCTCACT

ACACTCAATCGAGTGA

lambda repressor TATCACCGCCAGAGGTA

ATAGTGGCGGTCTCCAT

Mamalia Sp1 GGGCGG

CCCGCC

Oct-1 Pou domain ATGCAAAT

TACGTTTA

GATA-1 “?

ACTATC

MyoD CAAATG

GTTTAC

p53 GGGCAAGTCT

CCCGTTCAGA

Sumber Albert dkk, 2002.

1.9.2. Pengaturan Transksripsi oleh Protein Regulator

Pengaturan transkripsi oleh protein regulator transkripsi merupakan proses yang rumit yang melibatkan berbagai protein yang umumnya disebut sebagai regulator transkripsi yang terdiri atas faktor transkripsi umum aktivator, mediator, operator dan represor. Semua protein tersebut bekerja secara teratur untuk mengontrol proses transkripsi dengan cara berikatan dengan DNA pada regio promoter. Regio pada molekul DNA yang berikatan dengan DNA yang langsung berada di depan gen target umumnya disebut regio promotor sebagai tempat berikatannya faktor transkripsi umum, mediator transkripsi dan enzim RNA polimerase. Namun, terdapat juga sekuen yang letaknya jauh (lebih dari 1000 bp) di depan gen target yang disebut sekuan enhancer. Jarak yang jauh dari gen target memungkinkan pengaturan transkripsi dengan pelengkungan molekul DNA sehingga terjadi kontak antara protein aktivator yang berikatan dengan sekuen enhancer dari DNA, dan kompleks transkripsi untuk berikatan dengan promoter dari gen target. Namun, proses pengaturan ini berbeda-beda untuk setiap jenis sel, jenis gen dan jenis faktor transkripsi. Pengaturan transkripsi gen pada sel prokariot umumnya lebih sederhana jika dibandingkan pada sel eukariot (Mathews dkk, 1982)

Pada sel prokariot, unsur pada DNA yang mengatur transkripsi disebut operon yang terdiri atas promotor dan operator. Proses transkripsi diawali dengan ikatan faktor transkripsi di daerah operator dan RNA polimerase di daerah promoter. Ikatan RNA polimerase dengan daerah promoter kemudian memicu transkripsi gen target sampai daerah terminasi. Terdapat dua jenis operon yang telah diketahui pada sel prokariot, yaitu yaitu, operon induksi (lac-operon) dan operon represi (trp- operon).

Lac-operon pada sel prokariot

Pada operon induksi, adanya protein represor yang berikatan dengan operator gen menghambat ikatan RNA polimerase dengan promoter gen. Ikatan protein aktivator ke protein represor menyebabkan ikatannya terlepas dari daerah operator gen sehingga memungkinkan RNA polimerase untuk berikatan dengan regio promoter. Ikatan ini memicu transkripsi gen target sampai mencapai

Page 61: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 53

dikenali oleh protein regulator transkripsi pada bakteri dan hewan mamalia dicantumkan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Sekuen DNA yang diikat oleh berbagai protein regulator transkipsi

Organisme Protein regulator transkripsi

Sekuen DNA yang dikenali

Bakteri Lac-operon 5¢ AATTGTGAGCGGATAACAATT

3¢ TTAACACTCGCCTATTGTTAA

CAP TGTGAGTTAGCTCACT

ACACTCAATCGAGTGA

TGTGAGTTAGCTCACT

ACACTCAATCGAGTGA

lambda repressor TATCACCGCCAGAGGTA

ATAGTGGCGGTCTCCAT

Mamalia Sp1 GGGCGG

CCCGCC

Oct-1 Pou domain ATGCAAAT

TACGTTTA

GATA-1 “?

ACTATC

MyoD CAAATG

GTTTAC

p53 GGGCAAGTCT

CCCGTTCAGA

Sumber Albert dkk, 2002.

1.9.2. Pengaturan Transksripsi oleh Protein Regulator

Pengaturan transkripsi oleh protein regulator transkripsi merupakan proses yang rumit yang melibatkan berbagai protein yang umumnya disebut sebagai regulator transkripsi yang terdiri atas faktor transkripsi umum aktivator, mediator, operator dan represor. Semua protein tersebut bekerja secara teratur untuk mengontrol proses transkripsi dengan cara berikatan dengan DNA pada regio promoter. Regio pada molekul DNA yang berikatan dengan DNA yang langsung berada di depan gen target umumnya disebut regio promotor sebagai tempat berikatannya faktor transkripsi umum, mediator transkripsi dan enzim RNA polimerase. Namun, terdapat juga sekuen yang letaknya jauh (lebih dari 1000 bp) di depan gen target yang disebut sekuan enhancer. Jarak yang jauh dari gen target memungkinkan pengaturan transkripsi dengan pelengkungan molekul DNA sehingga terjadi kontak antara protein aktivator yang berikatan dengan sekuen enhancer dari DNA, dan kompleks transkripsi untuk berikatan dengan promoter dari gen target. Namun, proses pengaturan ini berbeda-beda untuk setiap jenis sel, jenis gen dan jenis faktor transkripsi. Pengaturan transkripsi gen pada sel prokariot umumnya lebih sederhana jika dibandingkan pada sel eukariot (Mathews dkk, 1982)

Pada sel prokariot, unsur pada DNA yang mengatur transkripsi disebut operon yang terdiri atas promotor dan operator. Proses transkripsi diawali dengan ikatan faktor transkripsi di daerah operator dan RNA polimerase di daerah promoter. Ikatan RNA polimerase dengan daerah promoter kemudian memicu transkripsi gen target sampai daerah terminasi. Terdapat dua jenis operon yang telah diketahui pada sel prokariot, yaitu yaitu, operon induksi (lac-operon) dan operon represi (trp- operon).

Lac-operon pada sel prokariot

Pada operon induksi, adanya protein represor yang berikatan dengan operator gen menghambat ikatan RNA polimerase dengan promoter gen. Ikatan protein aktivator ke protein represor menyebabkan ikatannya terlepas dari daerah operator gen sehingga memungkinkan RNA polimerase untuk berikatan dengan regio promoter. Ikatan ini memicu transkripsi gen target sampai mencapai

Page 62: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler54

daerah terminasi dan gen. Contoh dari operon induksi adalah lac-operon pada E. coli. Jika laktosa tidak tersedia, maka protein represor berikatan dengan bagian operator dan menghambat ikatan RNA polimerase dengan promoter sehingga tidak terjadi transkripsi gen penyandi enzim laktose. Namun, jika laktosa tersedia dalam jumlah yang banyak, maka ikatan laktosa dengan protein represor melepaskan ikatan represor dengan operator. Keadaan ini memungkinkan enzim RNA polimerase untuk berikatan dengan promoter sehingga memicu transkripsi gen target yaitu gen penyandi enzim laktose (Roulston, 2008) (Gambar 1.38.).

Gambar 1.39. The lac operon in E.coli.

Pada regio promoter gen metabolisme laktose (lacZ, lacY, and lacA) yang diatur untuk membentuk kluster yang disebut lac operon. Dalam pengaturan transkripsi dan translasi, regio tersebut dibedakan menjadi promoter, operator, dan terminator (Sumber Roulston , 2008)

Ttrp-operon pada sel prokariot

Pada operon represif, regio promoter dari gen berikatan dengan faktor transkripsi dan RNA polimerase yang memicu transkripsi DNA menjadi RNA sampai mencapai titik terminasi. Jika mRNA transkrip

yang diperlukan telah mencukupi untuk sintesis protein, represor protein berikatan dengan operon dan menghentikan transkripsi. Contoh dari operon ini dapat dijumpai pada trp-operon dari E. coli. trp operon dikontrol oleh protein represor yang berikatan regio operator, tetapi protein represor ini hanya aktif jika berikatan dengan asam amino triptofan. Karena itu, jika triptofan tersedia dalam jumlah yang banyak, protein represor teraktivasi dan menghentikan transkripsi. Jika kadar triptofan menurun, maka protein represor tidak berikatan dengan triptophan sehingga tidak berikatan dengan gen operator. Keadaan ini memicu ikatan RNA polimerase dengan promoter gen dan memicu transkripsi (Ralston, 2008, Merino dkk, 2008; Rose dkk, 1973) (Gambar 1.39).

-

Gambar 1.39. Skema kerja trp operon. Jika konsentrasi trp dalam sel rendah enzim polimerase berikatan dengan RNA polimerase dan memicu transkripsi lima gen dari operon triptofan. Jika konsentrasi trp meningkat, maka trp berikatan dengan protein represor sehingga represor menjadi aktif dan berikatan dengan operator sehingga menghambat transkripsi. Karena itu proses transkripsi berhenti (Sumber Albert dkk, 2002).

Page 63: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 55

daerah terminasi dan gen. Contoh dari operon induksi adalah lac-operon pada E. coli. Jika laktosa tidak tersedia, maka protein represor berikatan dengan bagian operator dan menghambat ikatan RNA polimerase dengan promoter sehingga tidak terjadi transkripsi gen penyandi enzim laktose. Namun, jika laktosa tersedia dalam jumlah yang banyak, maka ikatan laktosa dengan protein represor melepaskan ikatan represor dengan operator. Keadaan ini memungkinkan enzim RNA polimerase untuk berikatan dengan promoter sehingga memicu transkripsi gen target yaitu gen penyandi enzim laktose (Roulston, 2008) (Gambar 1.38.).

Gambar 1.39. The lac operon in E.coli.

Pada regio promoter gen metabolisme laktose (lacZ, lacY, and lacA) yang diatur untuk membentuk kluster yang disebut lac operon. Dalam pengaturan transkripsi dan translasi, regio tersebut dibedakan menjadi promoter, operator, dan terminator (Sumber Roulston , 2008)

Ttrp-operon pada sel prokariot

Pada operon represif, regio promoter dari gen berikatan dengan faktor transkripsi dan RNA polimerase yang memicu transkripsi DNA menjadi RNA sampai mencapai titik terminasi. Jika mRNA transkrip

yang diperlukan telah mencukupi untuk sintesis protein, represor protein berikatan dengan operon dan menghentikan transkripsi. Contoh dari operon ini dapat dijumpai pada trp-operon dari E. coli. trp operon dikontrol oleh protein represor yang berikatan regio operator, tetapi protein represor ini hanya aktif jika berikatan dengan asam amino triptofan. Karena itu, jika triptofan tersedia dalam jumlah yang banyak, protein represor teraktivasi dan menghentikan transkripsi. Jika kadar triptofan menurun, maka protein represor tidak berikatan dengan triptophan sehingga tidak berikatan dengan gen operator. Keadaan ini memicu ikatan RNA polimerase dengan promoter gen dan memicu transkripsi (Ralston, 2008, Merino dkk, 2008; Rose dkk, 1973) (Gambar 1.39).

-

Gambar 1.39. Skema kerja trp operon. Jika konsentrasi trp dalam sel rendah enzim polimerase berikatan dengan RNA polimerase dan memicu transkripsi lima gen dari operon triptofan. Jika konsentrasi trp meningkat, maka trp berikatan dengan protein represor sehingga represor menjadi aktif dan berikatan dengan operator sehingga menghambat transkripsi. Karena itu proses transkripsi berhenti (Sumber Albert dkk, 2002).

Page 64: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler56

Pengaturan Transkripsi pada Sel Eukariot

Pada sel eukariot, proses transkripsi bersifat lebih rumit dan lebih bervariasi dibanding pada sel prokariot. Pengaturan transkripsi melibatkan berbagai protein dan enzim seperti enzim pengatur protein histon, faktor transkripsi, aktivaotor dan represor, dan berbagai kompleks lainnya. Protein aktivator berikatan dengan sekuen enhancer dari DNA yang jaraknya jauh di depan gen target. RNA polymerase, protein mediator dan beberapa faktor transkripsi umum berikatan dengan regio promoter yang berlokasi tepat di depan gen target transkripsi. Pelengkungan molekul DNA memungkinkan adanya kontak antara protein aktivator dan sekuen enhancer dan kompleks transkripsi untuk berikatan dengan promoter.

Proses transkripsi diawali dengan perekrutan faktor transkripsi ke bagian sekuen operator dari gen regio promoter, diikuti ikatan RNA polimerase pada sekuen promoter dan aktivator protein pada sekuen inhancer. Komplek ini membentuk kompleks yang memungkinkan RNA polimerase untuk bergerak dan memulai transkripsi DNA menjadi mRNA. Semua komponen tersebut berperan dalam menstabilkan ikatan dan pembukaan molekul DNA heliks ganda yang memungkinkan RNA polimerase untuk berikatan dan memicu transkripsi. Namun, pada sel eukariot sekuen khusus yang berikatan dengan berbagai faktor transkripsi sangat beragam untuk setiap regio promoter. Bagian terbesar dari regulasi gen diatur melalui faktor transkripsi yang berfungsi untuk merekrut atau menghambat perekrutan berbagai faktor transkripsi lainnya dan enzim RNA polimerase. Proses ini bisa dicapai melalui interaksi unsur promoter inti atau melalui unsur enhancer yang letaknya jauh dari unsur promoter inti. Ketika RNA polimerase telah berikatan dengan templat DNA untuk memulai transkripsi, faktor lain masih diperlukan untuk berikatan dengan kompleks promoter agar transkripsi dapat dimulai. Tahapan ini disebut lolosnya promoter dan proses ini memerlukan proses lain untuk mempercepat pembentukan transkrip RNA dengan mengaktifkan enhancer. Dengan proses pengaturan yang ketat tersebut, transkripsi hanya dilakukan seperlunya sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan.

Gambar 1.41: Skema pengaturan transkripsi pada sel eukariot. Protein aktivator berikatan dengan DNA memicu perekrutan RNA polimerase dan faktor transkripsi umum ke regio promoter. Pelengkungan molekul DNA memungkinkan kontak antara protein aktivator yang berikatan dengan sekuen enhancer dan kompleks transkripsi berikatan dengan promoter. Kompleks transkripsi meliputi protein mediator sebagai perantara antara protein aktivator dan RNA polimerase/faktor transkripsi umum. (Sumber Albert dkk, 2002e).

Translasi mRNA menjadi protein

Translasi atau sintesis protein dimulai dengan proses transkripsi yaitu pembentukan mRNA dari gen penyandi protein yang terdapat dalam nukleus maupun mitokondria. Pertama, gen ditranskripsi menjadi pre-mRNA yang kemudian mengalami modifikasi pascatranskripsi sehingga membentuk mRNA yang kemudian ditranslasi menjadi protein. Translasi terjadi dalam ribosom ketika tiga basa nukleotida yang disebut kodon dibaca oleh tRNA antikondon yang juga terdiri atas tiga nukleotida. Setiap satu kodon menyandi satu asam amino dan asam amino yang disandi oleh setiap kodon

Page 65: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 57

Pengaturan Transkripsi pada Sel Eukariot

Pada sel eukariot, proses transkripsi bersifat lebih rumit dan lebih bervariasi dibanding pada sel prokariot. Pengaturan transkripsi melibatkan berbagai protein dan enzim seperti enzim pengatur protein histon, faktor transkripsi, aktivaotor dan represor, dan berbagai kompleks lainnya. Protein aktivator berikatan dengan sekuen enhancer dari DNA yang jaraknya jauh di depan gen target. RNA polymerase, protein mediator dan beberapa faktor transkripsi umum berikatan dengan regio promoter yang berlokasi tepat di depan gen target transkripsi. Pelengkungan molekul DNA memungkinkan adanya kontak antara protein aktivator dan sekuen enhancer dan kompleks transkripsi untuk berikatan dengan promoter.

Proses transkripsi diawali dengan perekrutan faktor transkripsi ke bagian sekuen operator dari gen regio promoter, diikuti ikatan RNA polimerase pada sekuen promoter dan aktivator protein pada sekuen inhancer. Komplek ini membentuk kompleks yang memungkinkan RNA polimerase untuk bergerak dan memulai transkripsi DNA menjadi mRNA. Semua komponen tersebut berperan dalam menstabilkan ikatan dan pembukaan molekul DNA heliks ganda yang memungkinkan RNA polimerase untuk berikatan dan memicu transkripsi. Namun, pada sel eukariot sekuen khusus yang berikatan dengan berbagai faktor transkripsi sangat beragam untuk setiap regio promoter. Bagian terbesar dari regulasi gen diatur melalui faktor transkripsi yang berfungsi untuk merekrut atau menghambat perekrutan berbagai faktor transkripsi lainnya dan enzim RNA polimerase. Proses ini bisa dicapai melalui interaksi unsur promoter inti atau melalui unsur enhancer yang letaknya jauh dari unsur promoter inti. Ketika RNA polimerase telah berikatan dengan templat DNA untuk memulai transkripsi, faktor lain masih diperlukan untuk berikatan dengan kompleks promoter agar transkripsi dapat dimulai. Tahapan ini disebut lolosnya promoter dan proses ini memerlukan proses lain untuk mempercepat pembentukan transkrip RNA dengan mengaktifkan enhancer. Dengan proses pengaturan yang ketat tersebut, transkripsi hanya dilakukan seperlunya sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan.

Gambar 1.41: Skema pengaturan transkripsi pada sel eukariot. Protein aktivator berikatan dengan DNA memicu perekrutan RNA polimerase dan faktor transkripsi umum ke regio promoter. Pelengkungan molekul DNA memungkinkan kontak antara protein aktivator yang berikatan dengan sekuen enhancer dan kompleks transkripsi berikatan dengan promoter. Kompleks transkripsi meliputi protein mediator sebagai perantara antara protein aktivator dan RNA polimerase/faktor transkripsi umum. (Sumber Albert dkk, 2002e).

Translasi mRNA menjadi protein

Translasi atau sintesis protein dimulai dengan proses transkripsi yaitu pembentukan mRNA dari gen penyandi protein yang terdapat dalam nukleus maupun mitokondria. Pertama, gen ditranskripsi menjadi pre-mRNA yang kemudian mengalami modifikasi pascatranskripsi sehingga membentuk mRNA yang kemudian ditranslasi menjadi protein. Translasi terjadi dalam ribosom ketika tiga basa nukleotida yang disebut kodon dibaca oleh tRNA antikondon yang juga terdiri atas tiga nukleotida. Setiap satu kodon menyandi satu asam amino dan asam amino yang disandi oleh setiap kodon

Page 66: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler58

kemudian dirangkai menjadi molekul polipetida yang disebut protein. Protein yang baru disintesis dapat mengalami modifasi, seperti ikatan molekul efektor, glikosilasi dan modifikas lainnya. Protein yang disintesis dalam sel mempunyai berbagai fungsi untuk menjalankan seluruh aktivitas sel.

Sintesis protein melibatkan translasi sandi genetik berupa triplet nukleotida (kodon) pada mRNA menjadi asam amino yang kemudian dirangkai menjadi poplipeptida (protein). Dari empat jenis nukleotida (A, T, G dan C) dimungkinkan terbentuknya 64 kodon yang berbeda dan tiga di antaranya merupakan “stop codon”, yaitu sekuen terminasi dari sintesis protein. Namun, di alam hanya ditemukan 20 jenis asam amino karena satu jenis asam amino dapat disandi oleh kodon yang berbeda (Tabel 1.1)

Proses translasi terjadi dalam sitoplasma yang melibatkan mRNA, tRNA, dan rRNA. Ketika disintesis dalam nukleus, mRNA berikatan dengan ribosom. Triplet antikodon dalam molekul tRNA berikatan dengan kodon pasangan pada mRNA melalui ikatan hidorgen. Ikatan ini memicu transfer amino yang dibawa oleh tRNA dan selanjutnya dirangkai menjadi rantai polipeptida. Diperkirakan terdapat 45 jenis kodon yang berbeda dan setiap jenisnya mampu mengikat asam amino yang sesuai. Ikatan asam amino dengan tRNA dikatalisis oleh enzim aminoacyl-tRNA synthetase dan diaktivasi oleh ATP. tRNA yang telah berikatan dengan asam amino kemudian disebut aminoacyl-tRNA dan bermigrasi ke ribosom. Ribosom berfungsi untuk memegang tRNA dan mRNA bersama-sama yang memungkinkan ikatan antara kodon pada mRNA dan antikodon pada tRNA serta mengatur transfer asam amino ke molekul polipeptida sehingga terbentuk protein dengan susunan asam amino yang sesuai. .

Proses translasi dimulai ketika tRNA dengan asam amino methionin berikatan dengan situs P dari ribosom subunit kecil. Sekuen awal dari mRNA yang disebut leader sequence berikatan dengan ribosom subunit kecil. Dengan adanya tRNA yang berikatan dengan ribosom subunit kecil, ribosom memindai mRNA untuk mencari “start codon” (AUG) yang sesuai dengan sekuen antikodon tRNA UAC. Ketika AUG pada mRNA berikatan dengan UAC pada tRNA, ribosom subunit besar menyatu dengan ribosom subunit kecil untuk membentuk

ribosom fungsional. Dengan adanya mRNA yang terdapat dalam celah antara dua subunit ribosom, maka proses translasi dimulai. Ribosom meluncur dan membawa kodon sepanjang mRNA dan membaca setiap kodon yang ada di dalamnya. Beberapa ribosom dapat membaca mRNA yang sama secara serentak dan ribosom semacam itu disebut dengan poliribosom. Adanya poliribosom ini memungkinkan adanya berbagai sistem sintesis untuk protein yang sama. Pembacaan mRNA dilanjutkan sampai stop codon (salah satu dari UGA,UAA, atau UAG) memasuki celah ribosom. Polipeptida yang telah disintesis kemudian dilepaskan dari ribosom dan ribosom kembali memisah menjadi subunit besar dan subunit kecil. Protein kemudian melipat dan mengapung dalam sitosol. Protein yang disintesis dalam ribosom dan dapat menjalani proses pengemasan dalam retikulum endoplasma dan modifikasi dalam apparaus golgi

Gambar 1.42. Proses transkripsi dan translasi sel eukariot.

Page 67: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 59

kemudian dirangkai menjadi molekul polipetida yang disebut protein. Protein yang baru disintesis dapat mengalami modifasi, seperti ikatan molekul efektor, glikosilasi dan modifikas lainnya. Protein yang disintesis dalam sel mempunyai berbagai fungsi untuk menjalankan seluruh aktivitas sel.

Sintesis protein melibatkan translasi sandi genetik berupa triplet nukleotida (kodon) pada mRNA menjadi asam amino yang kemudian dirangkai menjadi poplipeptida (protein). Dari empat jenis nukleotida (A, T, G dan C) dimungkinkan terbentuknya 64 kodon yang berbeda dan tiga di antaranya merupakan “stop codon”, yaitu sekuen terminasi dari sintesis protein. Namun, di alam hanya ditemukan 20 jenis asam amino karena satu jenis asam amino dapat disandi oleh kodon yang berbeda (Tabel 1.1)

Proses translasi terjadi dalam sitoplasma yang melibatkan mRNA, tRNA, dan rRNA. Ketika disintesis dalam nukleus, mRNA berikatan dengan ribosom. Triplet antikodon dalam molekul tRNA berikatan dengan kodon pasangan pada mRNA melalui ikatan hidorgen. Ikatan ini memicu transfer amino yang dibawa oleh tRNA dan selanjutnya dirangkai menjadi rantai polipeptida. Diperkirakan terdapat 45 jenis kodon yang berbeda dan setiap jenisnya mampu mengikat asam amino yang sesuai. Ikatan asam amino dengan tRNA dikatalisis oleh enzim aminoacyl-tRNA synthetase dan diaktivasi oleh ATP. tRNA yang telah berikatan dengan asam amino kemudian disebut aminoacyl-tRNA dan bermigrasi ke ribosom. Ribosom berfungsi untuk memegang tRNA dan mRNA bersama-sama yang memungkinkan ikatan antara kodon pada mRNA dan antikodon pada tRNA serta mengatur transfer asam amino ke molekul polipeptida sehingga terbentuk protein dengan susunan asam amino yang sesuai. .

Proses translasi dimulai ketika tRNA dengan asam amino methionin berikatan dengan situs P dari ribosom subunit kecil. Sekuen awal dari mRNA yang disebut leader sequence berikatan dengan ribosom subunit kecil. Dengan adanya tRNA yang berikatan dengan ribosom subunit kecil, ribosom memindai mRNA untuk mencari “start codon” (AUG) yang sesuai dengan sekuen antikodon tRNA UAC. Ketika AUG pada mRNA berikatan dengan UAC pada tRNA, ribosom subunit besar menyatu dengan ribosom subunit kecil untuk membentuk

ribosom fungsional. Dengan adanya mRNA yang terdapat dalam celah antara dua subunit ribosom, maka proses translasi dimulai. Ribosom meluncur dan membawa kodon sepanjang mRNA dan membaca setiap kodon yang ada di dalamnya. Beberapa ribosom dapat membaca mRNA yang sama secara serentak dan ribosom semacam itu disebut dengan poliribosom. Adanya poliribosom ini memungkinkan adanya berbagai sistem sintesis untuk protein yang sama. Pembacaan mRNA dilanjutkan sampai stop codon (salah satu dari UGA,UAA, atau UAG) memasuki celah ribosom. Polipeptida yang telah disintesis kemudian dilepaskan dari ribosom dan ribosom kembali memisah menjadi subunit besar dan subunit kecil. Protein kemudian melipat dan mengapung dalam sitosol. Protein yang disintesis dalam ribosom dan dapat menjalani proses pengemasan dalam retikulum endoplasma dan modifikasi dalam apparaus golgi

Gambar 1.42. Proses transkripsi dan translasi sel eukariot.

Page 68: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler60

DAFTAR PUSTAKA

Abe K, Chisaka O, Van Roy F, Takeichi M. 2004. Stability of dendritic spines and synaptic contacts is controlled by alpha N-catenin. Nat Neurosci 7: 357-63

Albert L. 1993. Principles of Biochemistry, 2nd Ed. (Worth Publishers ed.). ISBN 0-87901-711-2..

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter F. 2002a. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. The Lipid Bilayer. New York: Garland Science; Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26871/

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, 2002 Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science; 2002b. Cell-Cell Adhesion. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26937/

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter F, 2002c.. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science; 2002. Carrier Proteins and Active Membrane Transport. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26896/

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter F . 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science; 2002e. Chapter 7, Control of Gene Expression. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK21057

Ananthakrishnan R, Ehrlicher A . 2007. The Forces Behind Cell Movement. Int J Biol Sci 3: 303–317.

Baaten BJG, Rinoco R, Chen AT, Bradley LM. 2012. Regulation of antigen-experienced T cells: lessons from the quintessential memory marker CD44. Front Immunol| http://dx.doi.org/10.3389/fimmu.2012.0002

Benhamouche S, Decaens T, Godard C, Chambrey R, Rickman DS, Moinard C, Vasseur-Cognet M, Kuo CJ, Kahn A, Perret C, Colnot

S. 2006. Apc tumor suppressor gene is the “zonation-keeper” of mouse liver. Dev Cell 10:759–770.

Berbari NF, O’Connor AK, Haycraft CJ, Yoder BK 2009. The primary cilium as a complex signaling center. Curr Biol 19: R526–R535.

Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. Biochemistry. 5th edition. New York: W H Freeman; 2002. Section 5.5, Amino Acids Are Encoded by Groups of Three Bases Starting from a Fixed Point. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22358/

Bianconi1 E, Piovesan A, Facchin F, Beraudi A, Casadei R, Frabetti F, Vitale L, Pelleri MC, Tassani S, Piva F, Perez-Amodio S, Strippoli P , Canaider S, 2013. An estimation of the number of cells in the human body. Ann Hum Biol 40:463-71. doi: 10.3109/03014460.2013.807878. Epub 2013 Jul 5.

Brembeck FH, Rosário M, Birchmeier W. 2006. Balancing cell adhesion and Wnt signaling, the key role of β-catenin. Curr Opin Genet Dev 16 : 51–59.

Campbell NA, Williamson B, Heyden RJ. 2006. Biology: Exploring Life. Boston, Massachusetts: Pearson Prentice Hall. ISBN 0-13-250882-6.

Chaudhary J, Skinner MK . 1999. Basic helix-loop-helix proteins can act at the E-box within the serum response element of the c-fos promoter to influence hormone-induced promoter activation in Sertoli cells. Mol Endocrinol 13 : 774–86.

Chinnery PF, Turnbull DM. 1999. Mitochondrial DNA and disease. The Lancet 354 : si17–si21.

Cooper GC, Hausman RE. 2004. The Cell: A Molecular Approach (3rd ed.). Sinauer. pp. 261–76, 297, 339–44..

Cooper GM. The Cell: A Molecular Approach. 2nd edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates; 2000. Structure of the Plasma

Page 69: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 61

DAFTAR PUSTAKA

Abe K, Chisaka O, Van Roy F, Takeichi M. 2004. Stability of dendritic spines and synaptic contacts is controlled by alpha N-catenin. Nat Neurosci 7: 357-63

Albert L. 1993. Principles of Biochemistry, 2nd Ed. (Worth Publishers ed.). ISBN 0-87901-711-2..

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter F. 2002a. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. The Lipid Bilayer. New York: Garland Science; Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26871/

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, 2002 Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science; 2002b. Cell-Cell Adhesion. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26937/

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter F, 2002c.. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science; 2002. Carrier Proteins and Active Membrane Transport. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK26896/

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter F . 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science; 2002e. Chapter 7, Control of Gene Expression. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK21057

Ananthakrishnan R, Ehrlicher A . 2007. The Forces Behind Cell Movement. Int J Biol Sci 3: 303–317.

Baaten BJG, Rinoco R, Chen AT, Bradley LM. 2012. Regulation of antigen-experienced T cells: lessons from the quintessential memory marker CD44. Front Immunol| http://dx.doi.org/10.3389/fimmu.2012.0002

Benhamouche S, Decaens T, Godard C, Chambrey R, Rickman DS, Moinard C, Vasseur-Cognet M, Kuo CJ, Kahn A, Perret C, Colnot

S. 2006. Apc tumor suppressor gene is the “zonation-keeper” of mouse liver. Dev Cell 10:759–770.

Berbari NF, O’Connor AK, Haycraft CJ, Yoder BK 2009. The primary cilium as a complex signaling center. Curr Biol 19: R526–R535.

Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. Biochemistry. 5th edition. New York: W H Freeman; 2002. Section 5.5, Amino Acids Are Encoded by Groups of Three Bases Starting from a Fixed Point. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22358/

Bianconi1 E, Piovesan A, Facchin F, Beraudi A, Casadei R, Frabetti F, Vitale L, Pelleri MC, Tassani S, Piva F, Perez-Amodio S, Strippoli P , Canaider S, 2013. An estimation of the number of cells in the human body. Ann Hum Biol 40:463-71. doi: 10.3109/03014460.2013.807878. Epub 2013 Jul 5.

Brembeck FH, Rosário M, Birchmeier W. 2006. Balancing cell adhesion and Wnt signaling, the key role of β-catenin. Curr Opin Genet Dev 16 : 51–59.

Campbell NA, Williamson B, Heyden RJ. 2006. Biology: Exploring Life. Boston, Massachusetts: Pearson Prentice Hall. ISBN 0-13-250882-6.

Chaudhary J, Skinner MK . 1999. Basic helix-loop-helix proteins can act at the E-box within the serum response element of the c-fos promoter to influence hormone-induced promoter activation in Sertoli cells. Mol Endocrinol 13 : 774–86.

Chinnery PF, Turnbull DM. 1999. Mitochondrial DNA and disease. The Lancet 354 : si17–si21.

Cooper GC, Hausman RE. 2004. The Cell: A Molecular Approach (3rd ed.). Sinauer. pp. 261–76, 297, 339–44..

Cooper GM. The Cell: A Molecular Approach. 2nd edition. Sunderland (MA): Sinauer Associates; 2000. Structure of the Plasma

Page 70: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler62

Membrane. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK9898/

Cox RT, Kirkpatrick C, Peifer M. 1996. Armadillo is required for adherens junction assembly, cell polarity, and morphogenesis during Drosophila embryogenesis. J Cell Biol 134:133–148.

De Grouchy J. 1987. Chromosome phylogenies of man, great apes, and Old World monkeys. Genetica 73 : 37–52.

Dustin ML, Springer TA. 1989. T-cell receptor cross-linking transiently stimulates adhesiveness through LFA-1 Nature 341:619-624.

Elliott RM. 2014. Orthobunyaviruses: recent genetic and structural insights Nature Reviews Microbiology 12 : 673–685 doi:10.1038/nrmicro3332

Evans WH, Martin PE. 2002. Gap junctions: structure and function (Review). Mol Membr Biol. 19 : 121–36.

Ferré-D'Amaré AR, Prendergast GC, Ziff EB, Burley SK. 1993. Recognition by Max of its cognate DNA through a dimeric b/HLH/Z domain. Nature 363:38-45.

Friedrich T, Bamberg E, Nagel G 1996. Na+,K+-ATPase Pump Currents in Giant Excised Patches Activated by anATP Concentration Jump. Biophysical J 71 2486-2500.

Garrod D, Chidgey M, 2008. Desmosom structure, composition and function. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) – Biomembranes 1778: 572–587

Harris AL, Locke D. 2009. Connexins, A Guide. New York: Springer. p. 574. ISBN 978-1-934115-46-6.

Holthofer B,Windoffer R,Troyanovsky S, Leube RE. 2007. Structure and Function of Desmosomes . Int Rev Cytol 264: 65-163

Hurst. JH. 2013. News. Richard Scheller and Thomas Südhof receive the 2013 Albert Lasker Basic Medical Research Award J Clin Invest 123:4095-4101

Hynes RO. 2002. Integrins: bidirectional, allosteric signaling machines. Cell 110 : 673–87.

Imamura Y., Itoh M., Maeno Y., Tsukita S., Nagafuchi A. 1999. Functional domains of alpha-catenin required for the strong state of cadherin-based cell adhesion. J Cell Biol 144:1311-1322

Karp G. 2009. Cell and Molecular Biology: Concepts and Experiments. John Wiley & Sons. p. 2. ISBN 9780470483374.

King A, Selak MA, Gottlieb E. 2000. Succinate dehydrogenase and fumarate hydratase: linking mitochondrial dysfunction and cancer. Oncogene 25 : 4675–4682.

Kobielak A., Fuchs E. 2004. Alpha-catenin: at the junction of intercellular adhesion and actin dynamics. Nat Rev Mol Cell Biol 5 :614-625

Koslov ER., Maupin P., Pradhan D., Morrow JS., Rimm DL. 1997. Alpha-catenin can form asymmetric homodimeric complexes and/or heterodimeric complexes with beta-catenin. J Biol Chem J Biol Chem 272:27301-6.

Krylov D, Vinson CR, 2001. Leucine Zipper. ENCYCLOPEDIA OF LIFE SCIENCES / & 2001 Nature Publishing Group / www.els.net

Kurita S, Ogita H, Takai Y 2011. Cooperative Role of Nectin-Nectin and Nectin-Afadin Interactions in Formation of Nectin-based Cell-Cell Adhesion. J Biol Chem 21; 286: 36297–36303 doi: 10.1074/jbc.M111.261768

Lampe PD, Lau AF. 2004. The effects of connexin phosphorylation on gap junctional communication. Int J Biochem Cell Biol 36 : 1171–86.

Page 71: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 63

Membrane. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK9898/

Cox RT, Kirkpatrick C, Peifer M. 1996. Armadillo is required for adherens junction assembly, cell polarity, and morphogenesis during Drosophila embryogenesis. J Cell Biol 134:133–148.

De Grouchy J. 1987. Chromosome phylogenies of man, great apes, and Old World monkeys. Genetica 73 : 37–52.

Dustin ML, Springer TA. 1989. T-cell receptor cross-linking transiently stimulates adhesiveness through LFA-1 Nature 341:619-624.

Elliott RM. 2014. Orthobunyaviruses: recent genetic and structural insights Nature Reviews Microbiology 12 : 673–685 doi:10.1038/nrmicro3332

Evans WH, Martin PE. 2002. Gap junctions: structure and function (Review). Mol Membr Biol. 19 : 121–36.

Ferré-D'Amaré AR, Prendergast GC, Ziff EB, Burley SK. 1993. Recognition by Max of its cognate DNA through a dimeric b/HLH/Z domain. Nature 363:38-45.

Friedrich T, Bamberg E, Nagel G 1996. Na+,K+-ATPase Pump Currents in Giant Excised Patches Activated by anATP Concentration Jump. Biophysical J 71 2486-2500.

Garrod D, Chidgey M, 2008. Desmosom structure, composition and function. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) – Biomembranes 1778: 572–587

Harris AL, Locke D. 2009. Connexins, A Guide. New York: Springer. p. 574. ISBN 978-1-934115-46-6.

Holthofer B,Windoffer R,Troyanovsky S, Leube RE. 2007. Structure and Function of Desmosomes . Int Rev Cytol 264: 65-163

Hurst. JH. 2013. News. Richard Scheller and Thomas Südhof receive the 2013 Albert Lasker Basic Medical Research Award J Clin Invest 123:4095-4101

Hynes RO. 2002. Integrins: bidirectional, allosteric signaling machines. Cell 110 : 673–87.

Imamura Y., Itoh M., Maeno Y., Tsukita S., Nagafuchi A. 1999. Functional domains of alpha-catenin required for the strong state of cadherin-based cell adhesion. J Cell Biol 144:1311-1322

Karp G. 2009. Cell and Molecular Biology: Concepts and Experiments. John Wiley & Sons. p. 2. ISBN 9780470483374.

King A, Selak MA, Gottlieb E. 2000. Succinate dehydrogenase and fumarate hydratase: linking mitochondrial dysfunction and cancer. Oncogene 25 : 4675–4682.

Kobielak A., Fuchs E. 2004. Alpha-catenin: at the junction of intercellular adhesion and actin dynamics. Nat Rev Mol Cell Biol 5 :614-625

Koslov ER., Maupin P., Pradhan D., Morrow JS., Rimm DL. 1997. Alpha-catenin can form asymmetric homodimeric complexes and/or heterodimeric complexes with beta-catenin. J Biol Chem J Biol Chem 272:27301-6.

Krylov D, Vinson CR, 2001. Leucine Zipper. ENCYCLOPEDIA OF LIFE SCIENCES / & 2001 Nature Publishing Group / www.els.net

Kurita S, Ogita H, Takai Y 2011. Cooperative Role of Nectin-Nectin and Nectin-Afadin Interactions in Formation of Nectin-based Cell-Cell Adhesion. J Biol Chem 21; 286: 36297–36303 doi: 10.1074/jbc.M111.261768

Lampe PD, Lau AF. 2004. The effects of connexin phosphorylation on gap junctional communication. Int J Biochem Cell Biol 36 : 1171–86.

Page 72: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler64

Lodish . 2007. Molecular Cell Biology, W.H.Freeman and Company. ISBN 0-7167-7601-4.

Luster AD, Alon R, von Andrian UH. 2005. Immune cell migration in inflammation: present and future therapeutic targets. Nat Immunol 6:1182-90.

Marieb EN, Hoehn K, 2013. Human Anatomy and Physiology 9th ed, Chapter 3. Cells: the living Units. Pearson education Inc. available at http://www.brazosport.edu/faculty-staff/directory/mickeydufilho/Biol1406/1%20Lec%202%20Cells_membrane%20transport%20V9. Pdf

Maldonado-Báez L, Wendland B. 2006. Endocytic adaptors: recruiters, coordinators and regulators. Trends Cell Biol. 16:505-13.

Matthews BW, Ohlendorf DH, Anderson WF, Takeda Y. 1982. Structure of the DNA-binding region of lac repressor inferred from its homology with cro repressor. Proc Natl Acad Sci U S A 79 : 1428–32.

McBride HM, Neuspiel M. 2006. Mitochondria: More Than Just Review a Powerhouse . Current Biology 16, R551–R560.

Merino E, Babitzke P, Yanofsky C. 1995. trp RNA-binding attenuation protein (TRAP)-trp leader RNA interactions mediate translational as well as transcriptional regulation of the Bacillus subtilis trp operon. J Bacteriol 177:6362–6370.

Mitchell RS, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Ch. 13: Box on morphology of squamous cell carcinoma”. Robbins Basic Pathology (8th ed.). Philadelphia: Saunders. ISBN 1-4160-2973-7.

National Institutes of Health, 2013. A Scientific Illustration of How Epigenetic Mechanisms Can Affect Health. Available at http://commonfund.nih.gov/epigenomics/figure

Olsen, Mark OJ . 2010. Nucleolus: Structure and Function. eLS. doi:10.1002/9780470015902.a0005975.pub2. Retrieved October 17, 2014.

Pointis G, Gilleron J, Carette D, Segretain D, 2010. Physiological and physiopathologicalaspects of connexins and communicating gap junctions in permatogenesis. Phil Trans R Soc B 365 :1607–1620

Pokutta S, Drees F, Yamada S, Nelson WJ, Weis WI. 2008. Biochemical and structural analysis of alpha-catenin in cell-cell contacts. Biochem Soc Trans 36 (Pt 2):141-7. doi: 10.1042/BST0360141.

Pokutta S, Weis WI. 2000. Structure of the dimerization and beta-catenin-binding region of alpha-catenin. Mol Cell. 5:533-43.

Rabut G, Lénárt P, Ellenberg J. 2004. Dynamics of nuclear pore complex organization through the cell cycle. Curr Opinion in Cell Biol 16 : 314–321.

Ralston A, 2008. Operons and Prokaryotic Gene Regulation. Nature Edu 1:216

Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB, Campell Biology 9th Edition. Unit 2. Cells. Pearson Higher Educatio Pp 91-246

Reider A, Wendland B. 2011. Endocytic adaptors – social networking at the plasma membrane. J Cell Sci 124:1613-1622.

Rich PR. 2003. "The molecular machinery of Keilin's respiratory chain". Biochem. Soc Trans 31 (Pt 6): 1095–105. doi:10.1042/BST0311095

Rieder CL, Faruki S, Khodjakov A. 2001. The centrosome in vertebrates: more than a microtubule-organizing center. Trends in Cell Biol 11: 413–419.

Srichai MB, Zent R, 2010. Integrin Structure and Function. In “R. Zent and A. Pozzi (eds.), Cell-Extracellular Matrix Interactions in Cancer, Springer Science+Business Media, LLC DOI 10.1007/978-1-4419-0814-8_2, © 2010

Page 73: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 65

Lodish . 2007. Molecular Cell Biology, W.H.Freeman and Company. ISBN 0-7167-7601-4.

Luster AD, Alon R, von Andrian UH. 2005. Immune cell migration in inflammation: present and future therapeutic targets. Nat Immunol 6:1182-90.

Marieb EN, Hoehn K, 2013. Human Anatomy and Physiology 9th ed, Chapter 3. Cells: the living Units. Pearson education Inc. available at http://www.brazosport.edu/faculty-staff/directory/mickeydufilho/Biol1406/1%20Lec%202%20Cells_membrane%20transport%20V9. Pdf

Maldonado-Báez L, Wendland B. 2006. Endocytic adaptors: recruiters, coordinators and regulators. Trends Cell Biol. 16:505-13.

Matthews BW, Ohlendorf DH, Anderson WF, Takeda Y. 1982. Structure of the DNA-binding region of lac repressor inferred from its homology with cro repressor. Proc Natl Acad Sci U S A 79 : 1428–32.

McBride HM, Neuspiel M. 2006. Mitochondria: More Than Just Review a Powerhouse . Current Biology 16, R551–R560.

Merino E, Babitzke P, Yanofsky C. 1995. trp RNA-binding attenuation protein (TRAP)-trp leader RNA interactions mediate translational as well as transcriptional regulation of the Bacillus subtilis trp operon. J Bacteriol 177:6362–6370.

Mitchell RS, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Ch. 13: Box on morphology of squamous cell carcinoma”. Robbins Basic Pathology (8th ed.). Philadelphia: Saunders. ISBN 1-4160-2973-7.

National Institutes of Health, 2013. A Scientific Illustration of How Epigenetic Mechanisms Can Affect Health. Available at http://commonfund.nih.gov/epigenomics/figure

Olsen, Mark OJ . 2010. Nucleolus: Structure and Function. eLS. doi:10.1002/9780470015902.a0005975.pub2. Retrieved October 17, 2014.

Pointis G, Gilleron J, Carette D, Segretain D, 2010. Physiological and physiopathologicalaspects of connexins and communicating gap junctions in permatogenesis. Phil Trans R Soc B 365 :1607–1620

Pokutta S, Drees F, Yamada S, Nelson WJ, Weis WI. 2008. Biochemical and structural analysis of alpha-catenin in cell-cell contacts. Biochem Soc Trans 36 (Pt 2):141-7. doi: 10.1042/BST0360141.

Pokutta S, Weis WI. 2000. Structure of the dimerization and beta-catenin-binding region of alpha-catenin. Mol Cell. 5:533-43.

Rabut G, Lénárt P, Ellenberg J. 2004. Dynamics of nuclear pore complex organization through the cell cycle. Curr Opinion in Cell Biol 16 : 314–321.

Ralston A, 2008. Operons and Prokaryotic Gene Regulation. Nature Edu 1:216

Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB, Campell Biology 9th Edition. Unit 2. Cells. Pearson Higher Educatio Pp 91-246

Reider A, Wendland B. 2011. Endocytic adaptors – social networking at the plasma membrane. J Cell Sci 124:1613-1622.

Rich PR. 2003. "The molecular machinery of Keilin's respiratory chain". Biochem. Soc Trans 31 (Pt 6): 1095–105. doi:10.1042/BST0311095

Rieder CL, Faruki S, Khodjakov A. 2001. The centrosome in vertebrates: more than a microtubule-organizing center. Trends in Cell Biol 11: 413–419.

Srichai MB, Zent R, 2010. Integrin Structure and Function. In “R. Zent and A. Pozzi (eds.), Cell-Extracellular Matrix Interactions in Cancer, Springer Science+Business Media, LLC DOI 10.1007/978-1-4419-0814-8_2, © 2010

Page 74: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler66

Staunton DE, Dustin ML, Springer TA. 1989. Functional cloning of ICAM-2, a cell adhesion ligand for LFA-1 homologous to ICAM-1. Nature 339: 61-64.

Takai Y, Nakanishi H. 2003. Nectin and afadin: novel organizers of intercellular junctions. J Cell Sci 116(Pt 1):17-27.

Taylor SW, Fahy E, Zhang B, Glenn GM, Warnock DE, Wiley S, Murphy AN, Gaucher SP, Capaldi RA, Gibson BW, Ghosh SS.Characterization of the human heart mitochondrial proteome. Nat Biotechnol 21:281-6.

Tedder TF, Steeber DA, Chen A, Engel P. 1995. The selectins: vascular adhesion molecules”. FASEB J. 9 : 866–73.

Tsukita S, Furuse M, Itoh M. 2001. Multifunctional strands in tight junctions Nature Rev Mol Cell Biol 2: 285-293

Ulluwishewa D, Anderson RC, McNabb WC, Moughan PJ, Wells JM , Roy NC, 2011. Regulation of Tight Junction Permeability by Intestinal Bacteria and Dietary Components1,2 J. Nutr. 141: 769–776.

van de Wetering M, Sancho E, Verweij C, de Lau W, Oving I, Hurlstone A, van der Horn K, Batlle E, Coudreuse D, Haramis AP, Tjon-Pon-Fong M, Moerer P, van den Born M, Soete G, Pals S, Eilers M, Medema R, Clevers H. 2002. The beta-catenin/TCF-4 complex imposes a crypt progenitor phenotype on colorectal cancer cells. Cell 111:241–250.

Voet D, Voet JG, Pratt CW. 2006. Fundamentals of Biochemistry, 2nd Edition. John Wiley and Sons, Inc. pp. 547, 556. ISBN 0-471-21495-7.

Wai Wong C, Dye DE, Coombe DR, 2012. The role of immunoglobulin superfamily cell adhesion

Weber GF, Bjerke MA, DeSimone DW , 2011. Integrins and cadherins join forces to form adhesivenetworks. J Cell Sci 124:183-1193

Wei CJ, Xu X, Lo CW. 2004. Connexins and cell signaling in development and disease. Annu Rev Cell Dev Biol 20: 811–38.

Willert K, Jones KA.2006. Wnt signaling: is the party in the nucleus? Genes Dev 20:1394–1404.

Wobus AM, Boheler KR, 2005. Embryonic Stem Cells: Prospects for Developmental Biology and Cell Therapy. Physiological Reviews 85: 635-678

Wobus AM, Boheler KR. 2005. Embryonic stem cells: prospects for developmental biology and cell therapy. Physiol Rev 85:635-78.

Woodfin A, Voisin MB, Nourshargh S. 2007. PECAM-1: A Multi-Functional Molecule in Inflammation and Vascular Biology. Arterioscler Thromb Vasc Biol 27:2514-2523.

Yan HH, Mruk DD, Lee WM, Cheng CY. 2008. Cross-talk between tight and anchoring junctions-lesson from the testis. Adv Exp Med Biol 636: 234–254

Yoshihara Y, Oka S, Nemoto Y, Watanabe Y, Nagata S, Kagamiyama H, Mori K. 1994. An ICAM-related neuronal glycoprotein, telencephalin, with brain segment-specific expression. Neuron 12:541-553.

Page 75: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 67

Staunton DE, Dustin ML, Springer TA. 1989. Functional cloning of ICAM-2, a cell adhesion ligand for LFA-1 homologous to ICAM-1. Nature 339: 61-64.

Takai Y, Nakanishi H. 2003. Nectin and afadin: novel organizers of intercellular junctions. J Cell Sci 116(Pt 1):17-27.

Taylor SW, Fahy E, Zhang B, Glenn GM, Warnock DE, Wiley S, Murphy AN, Gaucher SP, Capaldi RA, Gibson BW, Ghosh SS.Characterization of the human heart mitochondrial proteome. Nat Biotechnol 21:281-6.

Tedder TF, Steeber DA, Chen A, Engel P. 1995. The selectins: vascular adhesion molecules”. FASEB J. 9 : 866–73.

Tsukita S, Furuse M, Itoh M. 2001. Multifunctional strands in tight junctions Nature Rev Mol Cell Biol 2: 285-293

Ulluwishewa D, Anderson RC, McNabb WC, Moughan PJ, Wells JM , Roy NC, 2011. Regulation of Tight Junction Permeability by Intestinal Bacteria and Dietary Components1,2 J. Nutr. 141: 769–776.

van de Wetering M, Sancho E, Verweij C, de Lau W, Oving I, Hurlstone A, van der Horn K, Batlle E, Coudreuse D, Haramis AP, Tjon-Pon-Fong M, Moerer P, van den Born M, Soete G, Pals S, Eilers M, Medema R, Clevers H. 2002. The beta-catenin/TCF-4 complex imposes a crypt progenitor phenotype on colorectal cancer cells. Cell 111:241–250.

Voet D, Voet JG, Pratt CW. 2006. Fundamentals of Biochemistry, 2nd Edition. John Wiley and Sons, Inc. pp. 547, 556. ISBN 0-471-21495-7.

Wai Wong C, Dye DE, Coombe DR, 2012. The role of immunoglobulin superfamily cell adhesion

Weber GF, Bjerke MA, DeSimone DW , 2011. Integrins and cadherins join forces to form adhesivenetworks. J Cell Sci 124:183-1193

Wei CJ, Xu X, Lo CW. 2004. Connexins and cell signaling in development and disease. Annu Rev Cell Dev Biol 20: 811–38.

Willert K, Jones KA.2006. Wnt signaling: is the party in the nucleus? Genes Dev 20:1394–1404.

Wobus AM, Boheler KR, 2005. Embryonic Stem Cells: Prospects for Developmental Biology and Cell Therapy. Physiological Reviews 85: 635-678

Wobus AM, Boheler KR. 2005. Embryonic stem cells: prospects for developmental biology and cell therapy. Physiol Rev 85:635-78.

Woodfin A, Voisin MB, Nourshargh S. 2007. PECAM-1: A Multi-Functional Molecule in Inflammation and Vascular Biology. Arterioscler Thromb Vasc Biol 27:2514-2523.

Yan HH, Mruk DD, Lee WM, Cheng CY. 2008. Cross-talk between tight and anchoring junctions-lesson from the testis. Adv Exp Med Biol 636: 234–254

Yoshihara Y, Oka S, Nemoto Y, Watanabe Y, Nagata S, Kagamiyama H, Mori K. 1994. An ICAM-related neuronal glycoprotein, telencephalin, with brain segment-specific expression. Neuron 12:541-553.

Page 76: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler68

BAB II SISTEM SIGNAL DAN

SIKLUS SEL

2.1. Gambaran Umum Siklus Sel

Tubuh hewan mamalia tersusun atas sel yang sebagian di antaranya membelah secara aktif dan teratur untuk meregenerasi dan menggantikan sel yang telah rusak atau menua. Sel tersebut membelah secara mitosis untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik. Pembelahan sel berlanjut sampai semua sel yang rusak diganti dengan sel yang baru. Selama siklus pembelahannya, sel mengalami perubahan mulai dari sintesis protein yang diperlukan untuk replikasi DNA dan pembelahan inti sel sampai akhirnya pembelahan sel dari satu menjadi dua. Proses pembelahan sel dilakukan secara teratur dengan pengendalian yang ketat sehingga menghasilkan sel anakan dengan kromosom yang benar dan identik dengan sel indukan. Gangguan pada proses pembelahan sel dapat berakibat fatal bagi suatu individu.

Selain untuk regenerasi sel yang telah tua atau rusak, pembelahan sel juga diperlukan untuk mereparasi jaringan yang rusak akibat luka atau proses inflamasi. Berdasarkan kemampuannya untuk membelah, sel dalam tumbuh dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu (1). Sel yang secara rutin mengalami pergantian, tetapi tingkat kecepatannya berbeda-beda untuk berbagai jenis sel, (2). Sel yang normalnya tidak membelah tetapi dapat dipicu untuk membelah jika terjadi kerusakan jaringan (3). Sel yang tidak mempunyai kemampuan untuk membelah. Contoh sel yang secara rutin mengalami pergantian

dalam tubuh adalah sel epitel di berbagai organ yang pada masa tertentu harus digantikan oleh sel yang baru. Namun, kecepatan pergantian sel berbeda-beda pada setiap organ. Epitel usus umumnya diganti dalam interval waktu sekitar satu minggu, sedangkan sel epitel pada jaringan hati diganti secara rutin setiap 150 hari. Sementara itu, sel yang secara rutin tidak diganti tetapi dengan cepat dapat dipicu untuk membelah adalah fibroblas yang menyusun jaringan ikat. Sel yang tidak membelah sama sekali adalah sel syaraf dan sel otot jantung. Pembelahan sel somatik yang menghasilkan dua sel anakan yang identik disebut mitosis. Pada mamalia, mitosis terjadi pada sel yang diploid dan menghasilkan sel anakan yang juga diploid. Pembelahan sel secara mitosis inilah yang diperlukan dalam regenerasi dan reparasi jaringan di berbagai organ tubuh.

Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa fase yang secara garis besar dibedakan menjadi fase interfase dan fase mitosis. Fase interfase dibedakan lagi menjadi fase G1 (growth 1), fase S (sintesis) dan fase G2 (growth 2). Sel yang hanya melakukan fungsinya secara normal dan tidak ditandai dengan adanya aktivitas pembelahan disebut fase G0 atau fase istirahat (quiesant). Fase G0 merupakan fase terlama dari siklus sel. Semantara itu, fase mitosis dibedakan lagi menjadi dua fase, yaitu karyokinesis (pembelahan inti sel) dan sitokinesis (pembelahan sel). Fase karyokinesis dibedakan lagi menjadi lima fase yaitu profase, prometafase, metaphase, anaphase dan telofase (Gambar 2.1). Fase G0 yang merupakan bagian dari fase G1 adalah fase ketika sel tidak menunjukkan aktivitas membelah. Sel yang berada pada fase G0 dapat bersifat sementara yang ditemukan pada sel hati, ginjal dan lambung atau bersifat menetap seperti yang ditemukan pada neuron. Sel yang tidak mengalami fase G0 adalah sel epitel

2.1.1. Fase interfase

Fase interfase dimulai dengan berakhirnya fase G0 untuk memasuki fase G1. Pada fase G1 yang disebut presintesis, terjadi sintesis komponen sel yang diperlukan untuk sintesis (duplikasi) DNA. Pada tahapan ini, terjadi peningkatan aktivitas metabolisme sel yang diperlukan untuk mensintesis DNA pada fase S. Pada akhir fase G1, ukuran sel tampak membesar sebagai akibat dari peningkatan

Page 77: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 69

BAB II SISTEM SIGNAL DAN

SIKLUS SEL

2.1. Gambaran Umum Siklus Sel

Tubuh hewan mamalia tersusun atas sel yang sebagian di antaranya membelah secara aktif dan teratur untuk meregenerasi dan menggantikan sel yang telah rusak atau menua. Sel tersebut membelah secara mitosis untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik. Pembelahan sel berlanjut sampai semua sel yang rusak diganti dengan sel yang baru. Selama siklus pembelahannya, sel mengalami perubahan mulai dari sintesis protein yang diperlukan untuk replikasi DNA dan pembelahan inti sel sampai akhirnya pembelahan sel dari satu menjadi dua. Proses pembelahan sel dilakukan secara teratur dengan pengendalian yang ketat sehingga menghasilkan sel anakan dengan kromosom yang benar dan identik dengan sel indukan. Gangguan pada proses pembelahan sel dapat berakibat fatal bagi suatu individu.

Selain untuk regenerasi sel yang telah tua atau rusak, pembelahan sel juga diperlukan untuk mereparasi jaringan yang rusak akibat luka atau proses inflamasi. Berdasarkan kemampuannya untuk membelah, sel dalam tumbuh dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu (1). Sel yang secara rutin mengalami pergantian, tetapi tingkat kecepatannya berbeda-beda untuk berbagai jenis sel, (2). Sel yang normalnya tidak membelah tetapi dapat dipicu untuk membelah jika terjadi kerusakan jaringan (3). Sel yang tidak mempunyai kemampuan untuk membelah. Contoh sel yang secara rutin mengalami pergantian

dalam tubuh adalah sel epitel di berbagai organ yang pada masa tertentu harus digantikan oleh sel yang baru. Namun, kecepatan pergantian sel berbeda-beda pada setiap organ. Epitel usus umumnya diganti dalam interval waktu sekitar satu minggu, sedangkan sel epitel pada jaringan hati diganti secara rutin setiap 150 hari. Sementara itu, sel yang secara rutin tidak diganti tetapi dengan cepat dapat dipicu untuk membelah adalah fibroblas yang menyusun jaringan ikat. Sel yang tidak membelah sama sekali adalah sel syaraf dan sel otot jantung. Pembelahan sel somatik yang menghasilkan dua sel anakan yang identik disebut mitosis. Pada mamalia, mitosis terjadi pada sel yang diploid dan menghasilkan sel anakan yang juga diploid. Pembelahan sel secara mitosis inilah yang diperlukan dalam regenerasi dan reparasi jaringan di berbagai organ tubuh.

Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa fase yang secara garis besar dibedakan menjadi fase interfase dan fase mitosis. Fase interfase dibedakan lagi menjadi fase G1 (growth 1), fase S (sintesis) dan fase G2 (growth 2). Sel yang hanya melakukan fungsinya secara normal dan tidak ditandai dengan adanya aktivitas pembelahan disebut fase G0 atau fase istirahat (quiesant). Fase G0 merupakan fase terlama dari siklus sel. Semantara itu, fase mitosis dibedakan lagi menjadi dua fase, yaitu karyokinesis (pembelahan inti sel) dan sitokinesis (pembelahan sel). Fase karyokinesis dibedakan lagi menjadi lima fase yaitu profase, prometafase, metaphase, anaphase dan telofase (Gambar 2.1). Fase G0 yang merupakan bagian dari fase G1 adalah fase ketika sel tidak menunjukkan aktivitas membelah. Sel yang berada pada fase G0 dapat bersifat sementara yang ditemukan pada sel hati, ginjal dan lambung atau bersifat menetap seperti yang ditemukan pada neuron. Sel yang tidak mengalami fase G0 adalah sel epitel

2.1.1. Fase interfase

Fase interfase dimulai dengan berakhirnya fase G0 untuk memasuki fase G1. Pada fase G1 yang disebut presintesis, terjadi sintesis komponen sel yang diperlukan untuk sintesis (duplikasi) DNA. Pada tahapan ini, terjadi peningkatan aktivitas metabolisme sel yang diperlukan untuk mensintesis DNA pada fase S. Pada akhir fase G1, ukuran sel tampak membesar sebagai akibat dari peningkatan

Page 78: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler70

sintesis berbagai komponen sel. Setelah itu, sel memasuki fase sintesis, ketika semua DNA (kromosom) diduplikasi dari satu menjadi dua kromosom yang identik. Dalam duplikasi kromosom, kontrol secara ketat dilakukan oleh sel agar semua kromosom yang dihasilkan sama dengan asalnya dan kromosom yang dihasilkan tidak lebih dari dua. Pada tahapan ini, jika kromosom yang dihasilkan mengalami kelainan, maka pembelahan sel dihentikan sementara yang memungkinkan sel untuk mereparasi kelainan yang terjadi pada kromosom. Namun, jika reparasi tidak dapat dilakukan, sel kemudian dipicu untuk menjalani proses apoptosis.

Gambar 2.1. Fase siklus sel. Fase siklus sel (G0, G1, G2, S, dan M), lokasi cekpoin pada fase G1, dan G1/S serta G2/M. Sel dari jaringan yang labil seperti epidermis dan saluran cerna GI mengalami siklus sel secara terus menerus. Sel stabil seperti hepatosit umumnya besifat quisent, tetapi dapat memasuki siklus sel. Neuron dan sel otot jantung telah kehilangan kemampuan proliferasi dan tetap berada pada fase G0. (Sumber Pollard dan Earnshaw, 2002).

Pada fase S, jumlah DNA bertambah dua kali lipat jika dibandingkan dengan sel normal. Setiap kromosom dibuat replikanya yang identik sehingga sel anakan nantinya mengandung kromosom

yang sama dengan sel indukannya. Setiap kali pembelahan, DNA hanya diduplikasi satu kali yang diatur secara ketat agar sel yang membelah tidak menghasilkan kromosom yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sel asalnya. Pada fase ini, kromosom hasil sintesis masih tetap berikatan dengan kromosom asalnya oleh kompleks protein yang disebut kohesin. Ikatan ini tetap dipertahankan sampai fase anafase dari fase karyokinesis. Dua kromosom yang identik inilah yang dapat diamati di bawah mikroskop saat proses pembelahan sel memasuki fase profase.

Pada fase G2 ukuran sel bertambah besar terutama pada masa akhir fase G2 dan memasuki fase M. Pada akhir fase G2 semua komponen sel telah bertambah dua kali lipat termasuk DNAnya yang diperlukan oleh sel ketika membelah menjadi dua sel anakan. Beberapa jenis sel hewan mamalia hidup tanpa disertai dengan tanda-tanda pembelahan. Sel ini selalu berada dalam fase G0. Sel jenis ini tetap melakukan metabolisme secara aktif . Contoh jenis sel ini adalah neuron dan otot jantung.

2.1.2. Fase Mitosis

Fase mitosis dibedakan menjadi dua yaitu pembelahan inti sel dari satu menjadi dua (karyokinesis) dan pembelahan sel dari satu menjadi dua sel (sitokinesis). Pada manusia, siklus sel berlangsung rata-rata dalam 24 jam. Karyokinesis dibedakan lagi menjadi lima fase yaitu profase, prometafase, metafase, anafase dan telofase.

Profase

Fase pertama dari karyokinesis adalah profase yang ditandai dengan kondensasi kromatin sehingga bentuk kromosom yang khas dapat dilihat pada fase ini (Gambar 2.2.). Sentriol yang diduplikasi sangat jelas terlihat jelas pada fase ini dan membentuk kromosom mitotik yang kompak. Kromosom mitotik ini tampak sebagai dua helai kromatid yang satu sama lainnya disatukan melalui sentromer. Komponen yang lain yang telihat jelas dalam proses mitosis adalah spindel mitosis, mikrotubulus dan komponen protein lainnya. Pada akhir profase, sel tampak belum memiliki apparatus golgi, retikulum endoplasma, nukleolus, dan membran inti sel (Maton, 1997).

Page 79: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 71

sintesis berbagai komponen sel. Setelah itu, sel memasuki fase sintesis, ketika semua DNA (kromosom) diduplikasi dari satu menjadi dua kromosom yang identik. Dalam duplikasi kromosom, kontrol secara ketat dilakukan oleh sel agar semua kromosom yang dihasilkan sama dengan asalnya dan kromosom yang dihasilkan tidak lebih dari dua. Pada tahapan ini, jika kromosom yang dihasilkan mengalami kelainan, maka pembelahan sel dihentikan sementara yang memungkinkan sel untuk mereparasi kelainan yang terjadi pada kromosom. Namun, jika reparasi tidak dapat dilakukan, sel kemudian dipicu untuk menjalani proses apoptosis.

Gambar 2.1. Fase siklus sel. Fase siklus sel (G0, G1, G2, S, dan M), lokasi cekpoin pada fase G1, dan G1/S serta G2/M. Sel dari jaringan yang labil seperti epidermis dan saluran cerna GI mengalami siklus sel secara terus menerus. Sel stabil seperti hepatosit umumnya besifat quisent, tetapi dapat memasuki siklus sel. Neuron dan sel otot jantung telah kehilangan kemampuan proliferasi dan tetap berada pada fase G0. (Sumber Pollard dan Earnshaw, 2002).

Pada fase S, jumlah DNA bertambah dua kali lipat jika dibandingkan dengan sel normal. Setiap kromosom dibuat replikanya yang identik sehingga sel anakan nantinya mengandung kromosom

yang sama dengan sel indukannya. Setiap kali pembelahan, DNA hanya diduplikasi satu kali yang diatur secara ketat agar sel yang membelah tidak menghasilkan kromosom yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sel asalnya. Pada fase ini, kromosom hasil sintesis masih tetap berikatan dengan kromosom asalnya oleh kompleks protein yang disebut kohesin. Ikatan ini tetap dipertahankan sampai fase anafase dari fase karyokinesis. Dua kromosom yang identik inilah yang dapat diamati di bawah mikroskop saat proses pembelahan sel memasuki fase profase.

Pada fase G2 ukuran sel bertambah besar terutama pada masa akhir fase G2 dan memasuki fase M. Pada akhir fase G2 semua komponen sel telah bertambah dua kali lipat termasuk DNAnya yang diperlukan oleh sel ketika membelah menjadi dua sel anakan. Beberapa jenis sel hewan mamalia hidup tanpa disertai dengan tanda-tanda pembelahan. Sel ini selalu berada dalam fase G0. Sel jenis ini tetap melakukan metabolisme secara aktif . Contoh jenis sel ini adalah neuron dan otot jantung.

2.1.2. Fase Mitosis

Fase mitosis dibedakan menjadi dua yaitu pembelahan inti sel dari satu menjadi dua (karyokinesis) dan pembelahan sel dari satu menjadi dua sel (sitokinesis). Pada manusia, siklus sel berlangsung rata-rata dalam 24 jam. Karyokinesis dibedakan lagi menjadi lima fase yaitu profase, prometafase, metafase, anafase dan telofase.

Profase

Fase pertama dari karyokinesis adalah profase yang ditandai dengan kondensasi kromatin sehingga bentuk kromosom yang khas dapat dilihat pada fase ini (Gambar 2.2.). Sentriol yang diduplikasi sangat jelas terlihat jelas pada fase ini dan membentuk kromosom mitotik yang kompak. Kromosom mitotik ini tampak sebagai dua helai kromatid yang satu sama lainnya disatukan melalui sentromer. Komponen yang lain yang telihat jelas dalam proses mitosis adalah spindel mitosis, mikrotubulus dan komponen protein lainnya. Pada akhir profase, sel tampak belum memiliki apparatus golgi, retikulum endoplasma, nukleolus, dan membran inti sel (Maton, 1997).

Page 80: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler72

Metafase

Awal metafase ditandai dengan hilangnya membran inti sel sehingga kromosom yang telah mengalami kondensasi tampak tersebar merata dalam sitoplasma. Kondensasi kromatin telah terjadi secara tuntas yang dapat dilihat dengan jelas di bawah mikroskop. Setiap kromosom tampak sebagai dua kromatid anakan yang indentik dan disatukan oleh komponen pengikatnya pada bagian sentromer. Struktur kecil berbentuk piringan juga tampak pada permukaan sentromer yang disebut kinektokor yang merupakan tempat bertautnya serabut spindel mitosis pada kromosom. Ikatan tersebut diperlukan pada saat pemisahan kromosom ke arah yang berlawanan. Serabut spindel berikatan dengan kinektokor dan menempatkan kromosom pada posisi di tengah (ekuator) sel yang merupakan ciri dari metafase (Gambar 2.2.)

Anaphase

Pada anafase terjadi pembagian kromatid yang dimulai dengan adanya sepasang kromatid anakan yang berada di tengah sel dan yang berpindah ke arah yang berlawanan dari ekuator sel pada akhir fase anafase. Prosesnya diawali dengan dilepaskannya ikatan (sentromer) dari kedua kromatid. Lepasnya ikatan tersebut dilakukan melalui proses enzimatik untuk memecah protein kohesin yang menyatukan kedua kromatid. Setiap kromatid kemudian bergerak ke arah kutub sel yang berlawanan. Dengan proses ini, setiap kromatid anakan mengumpul pada dua kutub yang berlawanan (Hickson dkk, 2006)

Telophase

Kromosom yang telah mengumpul pada dua kutub yang berlawanan mengalami dekondensasi sehingga struktur kromosom yang khas mulai hilang dan melebur menjadi masa kromatin yang tampak merata pada sudut sel yang berbeda. Membran inti sel kemudian disusun kembali di sekitar kromosom (Hetzer, 2012). Selain itu, pada fase ini organel seperti nukleolus, aparatur golgi dan retikulum endoplama mulai dibentuk kembali. Pada akhir telefase ukuran sel tampak besar dan memiliki dua inti sel yang jelas.

Sitokinesis

Sel besar dengan dua inti kemudian membelah menjadi dua sel yang identik dan proses ini disebut dengan sitokinesis. Pada mamalia, sitokinesis dimulai dengan terbentuknya piringan sel di tengah lamela membran sel yang sedang membelah. Sitoplasma dibagi menjadi dua dengan pembagian organel yang merata sehingga semua sel hasil pembelahan mendapat organel yang sama. Kelainan pada sitokinesis menyebabkan terbentuknya sel yang kekurangan atau kelebihan organel.

Gambar 2.2. Fase pembelahan sel secara mitosis. Urutan pembelahan sel diuraikan dalam teks. Sumber. Brant P. Cell cycle. Poul’sBiology page available at

http://brentbiology.weebly.com/cell-cycle.html

Page 81: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 73

Metafase

Awal metafase ditandai dengan hilangnya membran inti sel sehingga kromosom yang telah mengalami kondensasi tampak tersebar merata dalam sitoplasma. Kondensasi kromatin telah terjadi secara tuntas yang dapat dilihat dengan jelas di bawah mikroskop. Setiap kromosom tampak sebagai dua kromatid anakan yang indentik dan disatukan oleh komponen pengikatnya pada bagian sentromer. Struktur kecil berbentuk piringan juga tampak pada permukaan sentromer yang disebut kinektokor yang merupakan tempat bertautnya serabut spindel mitosis pada kromosom. Ikatan tersebut diperlukan pada saat pemisahan kromosom ke arah yang berlawanan. Serabut spindel berikatan dengan kinektokor dan menempatkan kromosom pada posisi di tengah (ekuator) sel yang merupakan ciri dari metafase (Gambar 2.2.)

Anaphase

Pada anafase terjadi pembagian kromatid yang dimulai dengan adanya sepasang kromatid anakan yang berada di tengah sel dan yang berpindah ke arah yang berlawanan dari ekuator sel pada akhir fase anafase. Prosesnya diawali dengan dilepaskannya ikatan (sentromer) dari kedua kromatid. Lepasnya ikatan tersebut dilakukan melalui proses enzimatik untuk memecah protein kohesin yang menyatukan kedua kromatid. Setiap kromatid kemudian bergerak ke arah kutub sel yang berlawanan. Dengan proses ini, setiap kromatid anakan mengumpul pada dua kutub yang berlawanan (Hickson dkk, 2006)

Telophase

Kromosom yang telah mengumpul pada dua kutub yang berlawanan mengalami dekondensasi sehingga struktur kromosom yang khas mulai hilang dan melebur menjadi masa kromatin yang tampak merata pada sudut sel yang berbeda. Membran inti sel kemudian disusun kembali di sekitar kromosom (Hetzer, 2012). Selain itu, pada fase ini organel seperti nukleolus, aparatur golgi dan retikulum endoplama mulai dibentuk kembali. Pada akhir telefase ukuran sel tampak besar dan memiliki dua inti sel yang jelas.

Sitokinesis

Sel besar dengan dua inti kemudian membelah menjadi dua sel yang identik dan proses ini disebut dengan sitokinesis. Pada mamalia, sitokinesis dimulai dengan terbentuknya piringan sel di tengah lamela membran sel yang sedang membelah. Sitoplasma dibagi menjadi dua dengan pembagian organel yang merata sehingga semua sel hasil pembelahan mendapat organel yang sama. Kelainan pada sitokinesis menyebabkan terbentuknya sel yang kekurangan atau kelebihan organel.

Gambar 2.2. Fase pembelahan sel secara mitosis. Urutan pembelahan sel diuraikan dalam teks. Sumber. Brant P. Cell cycle. Poul’sBiology page available at

http://brentbiology.weebly.com/cell-cycle.html

Page 82: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler74

Tabel. 2.1. Fase dan stadium pembelahan sel

Fase Stadium Deskripsi

Interfase G1 Pertumbuhan sel dan replikasi organel

S Replikasi kromosom dan organel

G2 Replikasi organel

Mitosis karyokinesis Profase Kondensasi kromatin, duplikasi sentriol dan pembentukan spindel mitosis

Metafase Penuntasan kondensasi kromatin, penempatan siter kromatin di titik ekuator sel

Anafase Pelepasan ikatan sister kromatid, pergerakan kromatid ke kutub yang berlawanan

Telofase Dekodensasi kromosom menjadi massa kromatin dan pembentukan membran inti sel

Sitokinesis Pembelahan sel dari 1 menjadi dua

2.2. Faktor Pemicu dan Penghambat Pembelahan sel

2.2.1. Faktor Pertumbuhan

Faktor yang umum sebagai pemicu pembelahan sel adalah faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor α (TGF-α) yang keduanya mempunyai reseptor yang sama yaitu epidermal growth factor receptor (EGFR) (Zandi dkk, 2006). Faktor pertumbuhan yang lain adalah hepatocyte growth factor (HGF) yang pada awalnya diisolasi dari platelet dan serum. HGF merupakan mitogen untuk hepatosit dan sebagian besar sel epitel termasuk epitel saluran empedu, paru, ginjal, kelenjar mamae dan kulit. Dewasa ini, telah diketahui bahwa HGF dihasilkan oleh fibroblas dan oleh kebanyakan sel mesenkim serta sel non mesenkim hati. Pada masa perkembangan embrio, HGF merupakan morfogen embrio yang berperan dalam penyebaran dan migrasi sel, serta dapat meningkatkan daya hidup hepatosit (Conway dkk, 2006).

Di dalam tubuh, HGF mula-mula disintesis dalam bentuk progenitor (pro-HGF) yang inaktif. Pro-HGF kemudian diaktifkan oleh protease serin yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Reseptor HGF adalah c-MET yang seringkali bermutasi atau mengalami oversekresi pada sel kanker, khususnya pada karsinoma papiler ginjal dan tiroid. Sistem signal HGF diperlukan dalam menjaga kehidupan embrio yang terbukti dari temuan bahwa embrio yang reseptor c-MET-nya dihilangkan akan mengalami kelainan perkembangan otot, ginjal, hati dan otak.

Platelet-derived growth factor (PDGF) merupakan protein yang memiliki beberapa isoform. Tiga isoform yang paling banyak diketahui adalah isoform AA, AB, dan BB yang semuanya disintesis dalam bentuk aktif. Isoform lainnya, yaitu PDGF-CC dan PDGF-DD, disintesis dalam bentuk inaktif yang kemudian diaktifkan oleh protease ektrasel. Semua isoform tersebut dapat berikatan dengan reseptor PDGFR α dan β. PDGF yang ditemukan dalam granula platelet dan dilepaskan ketika platelet mengalami aktivasi. PDGF dihasilkan oleh berbagai sel seperti makrofag teraktivasi, sel endotel, otot polos dan berbagai sel tumor. Fungsi PDGF adalah untuk memicu

Page 83: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 75

Tabel. 2.1. Fase dan stadium pembelahan sel

Fase Stadium Deskripsi

Interfase G1 Pertumbuhan sel dan replikasi organel

S Replikasi kromosom dan organel

G2 Replikasi organel

Mitosis karyokinesis Profase Kondensasi kromatin, duplikasi sentriol dan pembentukan spindel mitosis

Metafase Penuntasan kondensasi kromatin, penempatan siter kromatin di titik ekuator sel

Anafase Pelepasan ikatan sister kromatid, pergerakan kromatid ke kutub yang berlawanan

Telofase Dekodensasi kromosom menjadi massa kromatin dan pembentukan membran inti sel

Sitokinesis Pembelahan sel dari 1 menjadi dua

2.2. Faktor Pemicu dan Penghambat Pembelahan sel

2.2.1. Faktor Pertumbuhan

Faktor yang umum sebagai pemicu pembelahan sel adalah faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor α (TGF-α) yang keduanya mempunyai reseptor yang sama yaitu epidermal growth factor receptor (EGFR) (Zandi dkk, 2006). Faktor pertumbuhan yang lain adalah hepatocyte growth factor (HGF) yang pada awalnya diisolasi dari platelet dan serum. HGF merupakan mitogen untuk hepatosit dan sebagian besar sel epitel termasuk epitel saluran empedu, paru, ginjal, kelenjar mamae dan kulit. Dewasa ini, telah diketahui bahwa HGF dihasilkan oleh fibroblas dan oleh kebanyakan sel mesenkim serta sel non mesenkim hati. Pada masa perkembangan embrio, HGF merupakan morfogen embrio yang berperan dalam penyebaran dan migrasi sel, serta dapat meningkatkan daya hidup hepatosit (Conway dkk, 2006).

Di dalam tubuh, HGF mula-mula disintesis dalam bentuk progenitor (pro-HGF) yang inaktif. Pro-HGF kemudian diaktifkan oleh protease serin yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Reseptor HGF adalah c-MET yang seringkali bermutasi atau mengalami oversekresi pada sel kanker, khususnya pada karsinoma papiler ginjal dan tiroid. Sistem signal HGF diperlukan dalam menjaga kehidupan embrio yang terbukti dari temuan bahwa embrio yang reseptor c-MET-nya dihilangkan akan mengalami kelainan perkembangan otot, ginjal, hati dan otak.

Platelet-derived growth factor (PDGF) merupakan protein yang memiliki beberapa isoform. Tiga isoform yang paling banyak diketahui adalah isoform AA, AB, dan BB yang semuanya disintesis dalam bentuk aktif. Isoform lainnya, yaitu PDGF-CC dan PDGF-DD, disintesis dalam bentuk inaktif yang kemudian diaktifkan oleh protease ektrasel. Semua isoform tersebut dapat berikatan dengan reseptor PDGFR α dan β. PDGF yang ditemukan dalam granula platelet dan dilepaskan ketika platelet mengalami aktivasi. PDGF dihasilkan oleh berbagai sel seperti makrofag teraktivasi, sel endotel, otot polos dan berbagai sel tumor. Fungsi PDGF adalah untuk memicu

Page 84: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler76

proliferasi fibroblas, otot polos dan monosit pada daerah radang dan luka.(Andrae dkk, 2008)

Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan penginduksi vaskularisasi pada masa embrio dan berperan penting dalam pembentukan pembuluh darah baru pada masa dewasa. Molekul VEGF merupakan protein homodimer yang meliputi VEGF-A (yang umum dikenal dengan VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, dan PIGF (placental growth factor). VEGF memicu angiogenesis pada kejadian inflamasi kronis, kesembuhan luka dan tumor. Reseptor yang diaktifkan oleh VEGF adalah VEGFR-1, VEGFR-2 dan VEGFR-3. VEGFR-2 yang dijumpai pada sel endotel dan merupakan reseptor utama dari proses vaskulogenesis dan angiogenesis. Semntara itu,VEGF-C dan VEGF-D berikatan dengan VEGFR-3 yang berfungsi dalam pembentukan pembuluh darah limfatik (Nagy dkk, 2007).

Fibroblast growth factor (FGF) merupakan faktor pertumbuhan yang terdiri atas lebih dari 20 protein dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu FGF asidik (aFGF disebut juga FGF-1) dan FGF basik (bFGF, atau sering juga disebut FGF-2). FGF menginduksi transduksi signal melalui 4 reseptor tyrosin kinase, yaitu FGFR 1–4. FGF-1 berikatan dengan semua reseptor FGFR. Selain itu, terdapat FGF-7 yang juga dikenal dengan keratinocyte growth factor (KGF). Saat disintesis, FGF berikatan dengan heparin sulfat dalam matriks ekstraseluler yang bertindak sebagai reservoir dari berbagai faktor yang inaktif. FGF berperan dalam kesembuhan luka, hematopoiesis, dan fungsi lainnya. Dalam kesembuhan luka, FGF yang berperan dalah FGF-2 and KGF (FGF-7) yang memicu peremajaan epitel pada kulit yang luka (Itoh, 2007).

Tabel 2.2. Fungsi faktor pertumbuhan terpenting dan fungsinya dalam tubuh

Faktor Pertumbuhan Fungsi

Pletelet derived growth factor

Kemotaksis termasuk memicu sel untuk bermigrasi ke dasar luka

Transforming growth factor

Menghambat proliferasi sel, peningkatam sintesis matriks ekstrasel dan penghambatan degradasinya, khomotaksis bagi netrofil dan monosit, dan kerjanya bergantung pada lingkungan

Bone morphogenetic protein

Reparasi epidermis pada bagian paling luar kulit dan penghambatan proliferasi keratinosit pada

lapisan kulit lebih dalam

Epidermal growth factor Proliferasi dan mobilitas fibroblas dan keratinosis

Fibroblast growth factor Mitogen endotel, fibroblas, kondrosit dan osteoblas, dan berperan dalam angiogenesis

Vascular endothel growth factor

Angiogenesis dan peningkatan permeabilitas kapiler

Insulin like growth factor Reepitelisasi dan granulasi jaringan

Interleukin Proinflamasi, pengaturan sistem imun dan diferensiasi sel

Sumber Ramos-Torrecillas, 2014.

Page 85: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 77

proliferasi fibroblas, otot polos dan monosit pada daerah radang dan luka.(Andrae dkk, 2008)

Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan penginduksi vaskularisasi pada masa embrio dan berperan penting dalam pembentukan pembuluh darah baru pada masa dewasa. Molekul VEGF merupakan protein homodimer yang meliputi VEGF-A (yang umum dikenal dengan VEGF), VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, dan PIGF (placental growth factor). VEGF memicu angiogenesis pada kejadian inflamasi kronis, kesembuhan luka dan tumor. Reseptor yang diaktifkan oleh VEGF adalah VEGFR-1, VEGFR-2 dan VEGFR-3. VEGFR-2 yang dijumpai pada sel endotel dan merupakan reseptor utama dari proses vaskulogenesis dan angiogenesis. Semntara itu,VEGF-C dan VEGF-D berikatan dengan VEGFR-3 yang berfungsi dalam pembentukan pembuluh darah limfatik (Nagy dkk, 2007).

Fibroblast growth factor (FGF) merupakan faktor pertumbuhan yang terdiri atas lebih dari 20 protein dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu FGF asidik (aFGF disebut juga FGF-1) dan FGF basik (bFGF, atau sering juga disebut FGF-2). FGF menginduksi transduksi signal melalui 4 reseptor tyrosin kinase, yaitu FGFR 1–4. FGF-1 berikatan dengan semua reseptor FGFR. Selain itu, terdapat FGF-7 yang juga dikenal dengan keratinocyte growth factor (KGF). Saat disintesis, FGF berikatan dengan heparin sulfat dalam matriks ekstraseluler yang bertindak sebagai reservoir dari berbagai faktor yang inaktif. FGF berperan dalam kesembuhan luka, hematopoiesis, dan fungsi lainnya. Dalam kesembuhan luka, FGF yang berperan dalah FGF-2 and KGF (FGF-7) yang memicu peremajaan epitel pada kulit yang luka (Itoh, 2007).

Tabel 2.2. Fungsi faktor pertumbuhan terpenting dan fungsinya dalam tubuh

Faktor Pertumbuhan Fungsi

Pletelet derived growth factor

Kemotaksis termasuk memicu sel untuk bermigrasi ke dasar luka

Transforming growth factor

Menghambat proliferasi sel, peningkatam sintesis matriks ekstrasel dan penghambatan degradasinya, khomotaksis bagi netrofil dan monosit, dan kerjanya bergantung pada lingkungan

Bone morphogenetic protein

Reparasi epidermis pada bagian paling luar kulit dan penghambatan proliferasi keratinosit pada

lapisan kulit lebih dalam

Epidermal growth factor Proliferasi dan mobilitas fibroblas dan keratinosis

Fibroblast growth factor Mitogen endotel, fibroblas, kondrosit dan osteoblas, dan berperan dalam angiogenesis

Vascular endothel growth factor

Angiogenesis dan peningkatan permeabilitas kapiler

Insulin like growth factor Reepitelisasi dan granulasi jaringan

Interleukin Proinflamasi, pengaturan sistem imun dan diferensiasi sel

Sumber Ramos-Torrecillas, 2014.

Page 86: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler78

2.2.2. Reseptor Faktor Pertumbuhan

Pembelahan sel secara mitosis diperlukan oleh tubuh untuk regenerasi sel dan reparasi jaringan yang melibatkan proses molekuler yang rumit. Pada setiap tahapan terjadi perubahan molekul yang diperlukan sebagai signal untuk memulai, meneruskan dan menghentikan berbagai proses dalam siklus sel. Namun, molekul yang mengawali aktivasi protoonkogen umumnya adalah faktor pertumbuhan (growth factor) seperti EGF dan TGF. EGF yang banyak ditemukan dalam cairan berbagai jaringan tubuh dan merupakan mitogen bagi beberapa sel seperti sel epitel, hepatosit dan fibroblas. Pada kesembuhan luka kulit, EGF dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan sel inflammasi lainnya yang bermigrasi ke tempat luka. TGF awalnya diekstrak dari sel tumor yang dipicu oleh virus sarkoma dan berfungsi untuk memicu proliferasi sel epitel embrio dan orang dewasa serta berperan dalam proses transformasi sel normal menjadi sel kanker. TGFα mempunyai homologi dengan EGF, berikatan dengan EGFR, dan mempunyai aktivitas biologis yang sama dengan EGF.

EGFR merupakan salah satu anggota dari 4 kelompok reseptor membran sel yang mempunyai aktivitas tirosin kinase intrinsik. EFGR yang paling banyak diketahui adalah EGFR1 dan ERB B1. Reseptor ini berikatan dengan EGF, TGF-β, dan ligand lainnya seperti HB-EGF (heparin-binding EGF) dan amphiregulin. Mutasi dan amplifikasi EGFR1 dijumpai pada beberapa kanker seperti paru-paru, kepala dan leher dan glioblastoma. Reseptor ERB B2 yang juga dikenal dengan HER-2 atau HER2/Neu), yang ligand utamanya belum diketahui menjadi perhatian banyak peneliti karena mengalami ekspresi berlebihan pada kanker payudara dan kanker lainnya (Berki T dkk 2011).

2.2.3. Faktor Penghambat Pertumbuhan Sel

Selain yang memicu pertumbuhan sel, terdapat pula faktor yang menghambat pertumbuhan sel, yaitu TGF-β (TGF-β1, TGFβ2), dan berbagai faktor penghambat lainnya seperti BMP, aktivin, inhibin, serta senyawa penghambat müllerian (Bierie dan Moses, 2006). Pada hewan mamalia, TGF- β1 merupakan TGF yang paling banyak

ditemukan dan karena itu TGF inilah yang umum disebut TGF-β. TGF-β1 merupakan protein homodimer yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit dan makrofag. TGF disintesis sebagai prekusor protein yang inaktif dan diaktifkan oleh enzim proteolitik. TGF-β yang aktif berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Reseptor TGF beta mempunyai aktivitas enzim serine/threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk (Smad 1, 2, 3, 5, dan 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad 4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA, yaitu di daerah promoter dari beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses transkripsi. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu sama lainnya bergantung pada jaringan dan jenis luka. Karena berbagai efek yang berbeda beda dan seringkali berlawanan ini, TGF beta disebut efek pleiotropik (Aswel dan Zabludoff, 2008). TGF-β merupakan faktor penghambat pertumbuhan pada kebanyakan sel epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan dengan memicu ekspresi penghambat siklus sel, seperti Cip/Kip (cyclin inhibitor protein/kinase inhibitor protein) dan INK4/ARF (inhibitor of kinase 4/alternatif reading frame). Efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada lingkungan tetapi pada keadaan tertentu TGF-β dapat memicu pertumbuhan sel

2.3. Enzim Kinase dan Phosphatase

Enzim yang amat penting dalam pengaturan siklus sel adalah kinase dan phosphatase. Kinase adalah enzim yang berfungsi untuk menambahkan gugus fosfat (fosforilasi) pada substrat, sedangkan phosphatase adalah enzim yang berfungsi untuk menghilangkan gugus fosfat (defosforilasi) dari suatu substrat. Phosphatase bekerja dengan cara menghidrolisis asam fosfat monoester menjadi ion fosfat dan molekul hidroksil bebas. Kinase yang merupakan kebalikan dari enzim phosphatase yang berfungsi untuk yang menambahkan satu gugus fosfat kepada suatu substrat menggunakan molekul berenergi tinggi seperti adenosine triphospate (ATP) dan guanosine triphosphate (GTP). Fosforilasi umumnya merupakan peristiwa pasca-translasi yang diperlukan untuk mengaktifkan protein penting dalam sistem signal sel. Jika suatu protein mengalami fosforilasi oleh

Page 87: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 79

2.2.2. Reseptor Faktor Pertumbuhan

Pembelahan sel secara mitosis diperlukan oleh tubuh untuk regenerasi sel dan reparasi jaringan yang melibatkan proses molekuler yang rumit. Pada setiap tahapan terjadi perubahan molekul yang diperlukan sebagai signal untuk memulai, meneruskan dan menghentikan berbagai proses dalam siklus sel. Namun, molekul yang mengawali aktivasi protoonkogen umumnya adalah faktor pertumbuhan (growth factor) seperti EGF dan TGF. EGF yang banyak ditemukan dalam cairan berbagai jaringan tubuh dan merupakan mitogen bagi beberapa sel seperti sel epitel, hepatosit dan fibroblas. Pada kesembuhan luka kulit, EGF dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan sel inflammasi lainnya yang bermigrasi ke tempat luka. TGF awalnya diekstrak dari sel tumor yang dipicu oleh virus sarkoma dan berfungsi untuk memicu proliferasi sel epitel embrio dan orang dewasa serta berperan dalam proses transformasi sel normal menjadi sel kanker. TGFα mempunyai homologi dengan EGF, berikatan dengan EGFR, dan mempunyai aktivitas biologis yang sama dengan EGF.

EGFR merupakan salah satu anggota dari 4 kelompok reseptor membran sel yang mempunyai aktivitas tirosin kinase intrinsik. EFGR yang paling banyak diketahui adalah EGFR1 dan ERB B1. Reseptor ini berikatan dengan EGF, TGF-β, dan ligand lainnya seperti HB-EGF (heparin-binding EGF) dan amphiregulin. Mutasi dan amplifikasi EGFR1 dijumpai pada beberapa kanker seperti paru-paru, kepala dan leher dan glioblastoma. Reseptor ERB B2 yang juga dikenal dengan HER-2 atau HER2/Neu), yang ligand utamanya belum diketahui menjadi perhatian banyak peneliti karena mengalami ekspresi berlebihan pada kanker payudara dan kanker lainnya (Berki T dkk 2011).

2.2.3. Faktor Penghambat Pertumbuhan Sel

Selain yang memicu pertumbuhan sel, terdapat pula faktor yang menghambat pertumbuhan sel, yaitu TGF-β (TGF-β1, TGFβ2), dan berbagai faktor penghambat lainnya seperti BMP, aktivin, inhibin, serta senyawa penghambat müllerian (Bierie dan Moses, 2006). Pada hewan mamalia, TGF- β1 merupakan TGF yang paling banyak

ditemukan dan karena itu TGF inilah yang umum disebut TGF-β. TGF-β1 merupakan protein homodimer yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit dan makrofag. TGF disintesis sebagai prekusor protein yang inaktif dan diaktifkan oleh enzim proteolitik. TGF-β yang aktif berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Reseptor TGF beta mempunyai aktivitas enzim serine/threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk (Smad 1, 2, 3, 5, dan 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad 4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA, yaitu di daerah promoter dari beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses transkripsi. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu sama lainnya bergantung pada jaringan dan jenis luka. Karena berbagai efek yang berbeda beda dan seringkali berlawanan ini, TGF beta disebut efek pleiotropik (Aswel dan Zabludoff, 2008). TGF-β merupakan faktor penghambat pertumbuhan pada kebanyakan sel epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan dengan memicu ekspresi penghambat siklus sel, seperti Cip/Kip (cyclin inhibitor protein/kinase inhibitor protein) dan INK4/ARF (inhibitor of kinase 4/alternatif reading frame). Efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada lingkungan tetapi pada keadaan tertentu TGF-β dapat memicu pertumbuhan sel

2.3. Enzim Kinase dan Phosphatase

Enzim yang amat penting dalam pengaturan siklus sel adalah kinase dan phosphatase. Kinase adalah enzim yang berfungsi untuk menambahkan gugus fosfat (fosforilasi) pada substrat, sedangkan phosphatase adalah enzim yang berfungsi untuk menghilangkan gugus fosfat (defosforilasi) dari suatu substrat. Phosphatase bekerja dengan cara menghidrolisis asam fosfat monoester menjadi ion fosfat dan molekul hidroksil bebas. Kinase yang merupakan kebalikan dari enzim phosphatase yang berfungsi untuk yang menambahkan satu gugus fosfat kepada suatu substrat menggunakan molekul berenergi tinggi seperti adenosine triphospate (ATP) dan guanosine triphosphate (GTP). Fosforilasi umumnya merupakan peristiwa pasca-translasi yang diperlukan untuk mengaktifkan protein penting dalam sistem signal sel. Jika suatu protein mengalami fosforilasi oleh

Page 88: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler80

enzim kinase, maka gugus fosfat yang ditambahkan harus juga kemudian dihilangkan dari protein menggunakan enzim phosphatase. Dengan demikian, aktivasi protein hanya dilakukan seperlunya yang pada akhirnya harus dihentikan atau diinaktifkan kembali.

Berdasarkan residu asam amino pada substrat yang menjadi target fosforilasi, enzim kinase dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (a) serin/threonin (ser/thr) kinase, (b) Tyrosin (Tyr) kinase (c) histidin/aspartat (his/Asp) kinase. Berdasarkan lokasinya, enzim kinase juga dapat dibedakan menjadi kinase reseptor membran dan kinase sitoplasma. Tyrosin kinase umumnya merupakan kinase reseptor membran sel, sedangkan serin/threonin kinase umumnya merupakan kinase sitoplasma. Namun, tyrosin kinase yang bukan membran juga ditemukan dan serin/threonin kinase membran juga ditemukan..

2.3.1. Protein kinase A

Protein kinase A (PKA) merupakan protein kinase yang memicu reaksi beruntun setelah aktivasi reseptor pada membran sel. Reseptor yang tidak aktif (tidak memiliki aktivitas enzim), menjadi aktif setelah berikatan dengan ligand ekstrasel. Ikatan ini menyebabkan perubahan konformasi dan aktivasi domain intrasel dari reseptor. Reseptor yang aktif kemudian berikatan dengan protein G heterodimer intrasel yang memicu pelepasan protein G dari heterodimer. Salah satu subunit dari protein yang terlepas kemudian berikatan dengan dan mengaktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi mesenger kedua, seperti cyclic AMP (cAMP) di dalam sel. Molekul cAMP mengaktifkan protein kinase A (PKA) yang memfosforilasi protein pada asam amino serin dan threonin (Voet dan Pratt, 2006; Hallows, 2009) (Gambar 2.3.). Contoh aktivasi reseptor yang melibatkan enzim PKA adalah aktivasi reseptor hormon oleh hormon tertentu, seperti kortikotrofin, dopamin, epinephrin (β-adrenergik), follicle-stimulating hormone, glukagon, prostaglandin E1dan E2, serta berbagai tastan. Misalnya, aktivasi glycogen phosphorylase dimulai dengan ikatan antara hormon glukagon dan reseptornya pada permukaan sel. Ikatan tersebut memicu aktivasi adenylate cyclase yang membentuk cAMP

dan kemudian mengaktifkan PKA. Aktivasi PKA ini kemudian mengaktifkan enzim yang memecah glikogen (Gambar 2.3.)

Gambar 2.3. Peran Protein kinase A (PKA) dalam aktivasi reseptor glukagon. Glukagon berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel sehingga reseptor teraktivasi. Aktivasi reseptor disertai dengan aktivasi G-protein heterotrimer (subunit α, β, γ). Ketika diaktivasi, subunit α memisahkan diri dari subunit β/γ dan berikatan serta mengaktifkan adenylate cyclase. Adenylate cyclase kemudian mengubah ATP menjadi cyclic-AMP (cAMP). cAMP yang dihasilkan kemudian berikatan dengan subunit regulator dari PKA yang memicu inaktivasi subunit katalitik. Subunit katalitik bersifat inaktif sampai terlepas dari subunit regulator. Ketika dilepaskan, subunit katalitik dari PKA memfosforilasi sejumlah substrat menggunakan ATP sebagai donor fosfat (Sumber http://themedicalbiochemistrypage.org/glycogen.php)

Page 89: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 81

enzim kinase, maka gugus fosfat yang ditambahkan harus juga kemudian dihilangkan dari protein menggunakan enzim phosphatase. Dengan demikian, aktivasi protein hanya dilakukan seperlunya yang pada akhirnya harus dihentikan atau diinaktifkan kembali.

Berdasarkan residu asam amino pada substrat yang menjadi target fosforilasi, enzim kinase dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (a) serin/threonin (ser/thr) kinase, (b) Tyrosin (Tyr) kinase (c) histidin/aspartat (his/Asp) kinase. Berdasarkan lokasinya, enzim kinase juga dapat dibedakan menjadi kinase reseptor membran dan kinase sitoplasma. Tyrosin kinase umumnya merupakan kinase reseptor membran sel, sedangkan serin/threonin kinase umumnya merupakan kinase sitoplasma. Namun, tyrosin kinase yang bukan membran juga ditemukan dan serin/threonin kinase membran juga ditemukan..

2.3.1. Protein kinase A

Protein kinase A (PKA) merupakan protein kinase yang memicu reaksi beruntun setelah aktivasi reseptor pada membran sel. Reseptor yang tidak aktif (tidak memiliki aktivitas enzim), menjadi aktif setelah berikatan dengan ligand ekstrasel. Ikatan ini menyebabkan perubahan konformasi dan aktivasi domain intrasel dari reseptor. Reseptor yang aktif kemudian berikatan dengan protein G heterodimer intrasel yang memicu pelepasan protein G dari heterodimer. Salah satu subunit dari protein yang terlepas kemudian berikatan dengan dan mengaktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi mesenger kedua, seperti cyclic AMP (cAMP) di dalam sel. Molekul cAMP mengaktifkan protein kinase A (PKA) yang memfosforilasi protein pada asam amino serin dan threonin (Voet dan Pratt, 2006; Hallows, 2009) (Gambar 2.3.). Contoh aktivasi reseptor yang melibatkan enzim PKA adalah aktivasi reseptor hormon oleh hormon tertentu, seperti kortikotrofin, dopamin, epinephrin (β-adrenergik), follicle-stimulating hormone, glukagon, prostaglandin E1dan E2, serta berbagai tastan. Misalnya, aktivasi glycogen phosphorylase dimulai dengan ikatan antara hormon glukagon dan reseptornya pada permukaan sel. Ikatan tersebut memicu aktivasi adenylate cyclase yang membentuk cAMP

dan kemudian mengaktifkan PKA. Aktivasi PKA ini kemudian mengaktifkan enzim yang memecah glikogen (Gambar 2.3.)

Gambar 2.3. Peran Protein kinase A (PKA) dalam aktivasi reseptor glukagon. Glukagon berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel sehingga reseptor teraktivasi. Aktivasi reseptor disertai dengan aktivasi G-protein heterotrimer (subunit α, β, γ). Ketika diaktivasi, subunit α memisahkan diri dari subunit β/γ dan berikatan serta mengaktifkan adenylate cyclase. Adenylate cyclase kemudian mengubah ATP menjadi cyclic-AMP (cAMP). cAMP yang dihasilkan kemudian berikatan dengan subunit regulator dari PKA yang memicu inaktivasi subunit katalitik. Subunit katalitik bersifat inaktif sampai terlepas dari subunit regulator. Ketika dilepaskan, subunit katalitik dari PKA memfosforilasi sejumlah substrat menggunakan ATP sebagai donor fosfat (Sumber http://themedicalbiochemistrypage.org/glycogen.php)

Page 90: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler82

2.3.2. Protein Kinase B

Protein kinase B (PKB) merupakan enzim yang amat penting dalam pengaturan sistem signal sel. Enzim ini juga dikenal dengan Akt yang merupakan enzim kinase serin/ threonin yang berperan penting dalam metabolisme glukosa, apoptosis, proliferasi sel, transkripsi dan migrasi sel. Nama Akt merupakan nama sementara yang tidak merujuk pada fungsimya. Ak adalah jenis mencit percobaan yang digunakan untuk perkembangan tumor limfoma timus yang kemudian disebut thymoma. Dari thymoma inilah kemudian diperoleh Akt yang merupakan singkatan dari Ak mouse thymoma. Enzim ini awalnya ditemukan pada retrovirus yang menginfeksi mencit yang berkembang menjadi thymoma dan disebut dengan viral (v-Akt-8). Gen yang analog kemudian ditemukan pada manusia dan disebut Akt (Staal dkk, 1977).

Enzim Akt berperan dalam pengaturan sistem signal sel melalui jalur PI3K/Akt/mTOR. Enzim Akt memiliki domain plextrin homology (PH) yang berikatan dengan PIP3 {phosphatidylinositol (3,4,5)-trisphosphate, PtdIns(3,4,5)P3} atau PI2 {phosphatidylinositol (3,4)-bisphosphate, PtdIns(3,4)P2}. Di-phosphorylated phosphoinositide (PIP2) difosforilasi oleh enzim PI3K setelah sel menerima signal untuk tumbuh dan membelah. Aktivasi PI3K dilakukan oleh reseptor yang berikatan dengan protein G atau reseptor tyrosin kinase yang diaktifkan oleh insulin dan PI3K yang teraktivasi kemudian mengubah PIP2 menjadi PIP3 (Freeman-Cook dkk, 2010)

Gambar 2.4. Sistem signal PI3K yang melibatkan enzim PKB. Enzim PI3K memfosforilasi fosfolipid membran sel yaitu PIP2 manjadi PIP3, yang kemudian mengaktifkan protein kinase B (PKB). PKB yang teraktivasi meneruskan signal ke target berikutnya seperti mTORC1. Protein supresor tumor, PTEN, yang merupakan enzim lipid phosphatase menghambat aktivitas PKB dengan mengubah PIP3 kembali menjadi PIP2.

(Sumber http://www.nature.com/nature/journal/v522/n7554/fig_tab/nature 14531_F1.html

Page 91: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 83

2.3.2. Protein Kinase B

Protein kinase B (PKB) merupakan enzim yang amat penting dalam pengaturan sistem signal sel. Enzim ini juga dikenal dengan Akt yang merupakan enzim kinase serin/ threonin yang berperan penting dalam metabolisme glukosa, apoptosis, proliferasi sel, transkripsi dan migrasi sel. Nama Akt merupakan nama sementara yang tidak merujuk pada fungsimya. Ak adalah jenis mencit percobaan yang digunakan untuk perkembangan tumor limfoma timus yang kemudian disebut thymoma. Dari thymoma inilah kemudian diperoleh Akt yang merupakan singkatan dari Ak mouse thymoma. Enzim ini awalnya ditemukan pada retrovirus yang menginfeksi mencit yang berkembang menjadi thymoma dan disebut dengan viral (v-Akt-8). Gen yang analog kemudian ditemukan pada manusia dan disebut Akt (Staal dkk, 1977).

Enzim Akt berperan dalam pengaturan sistem signal sel melalui jalur PI3K/Akt/mTOR. Enzim Akt memiliki domain plextrin homology (PH) yang berikatan dengan PIP3 {phosphatidylinositol (3,4,5)-trisphosphate, PtdIns(3,4,5)P3} atau PI2 {phosphatidylinositol (3,4)-bisphosphate, PtdIns(3,4)P2}. Di-phosphorylated phosphoinositide (PIP2) difosforilasi oleh enzim PI3K setelah sel menerima signal untuk tumbuh dan membelah. Aktivasi PI3K dilakukan oleh reseptor yang berikatan dengan protein G atau reseptor tyrosin kinase yang diaktifkan oleh insulin dan PI3K yang teraktivasi kemudian mengubah PIP2 menjadi PIP3 (Freeman-Cook dkk, 2010)

Gambar 2.4. Sistem signal PI3K yang melibatkan enzim PKB. Enzim PI3K memfosforilasi fosfolipid membran sel yaitu PIP2 manjadi PIP3, yang kemudian mengaktifkan protein kinase B (PKB). PKB yang teraktivasi meneruskan signal ke target berikutnya seperti mTORC1. Protein supresor tumor, PTEN, yang merupakan enzim lipid phosphatase menghambat aktivitas PKB dengan mengubah PIP3 kembali menjadi PIP2.

(Sumber http://www.nature.com/nature/journal/v522/n7554/fig_tab/nature 14531_F1.html

Page 92: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler84

2.3.3. Protein Kinase C

Protein Kinase C (PKC) dan calmodulin-dependent kinase (CAM-PK) merupakan enzim kinase yang kerjanya mirip dengan PKA, yaitu bekerja melalui aktivasi reseptor transmembran. Signal ektrasel yang berikatan dengan reseptornya menyebabkan perubahan konformasi reseptor. Domain intrasel dari reseptor kemudian berikatan dengan protein G heterodimer intrasel. Masing-masing subunit dalam heterodimer protein G kemudian melepaskan diri dan salah satunya berikatan dengan dan mengaktifkan phospholipase C yang memecah gugus phospho-kepala dari fosfolipid membran seperti phosphatidyl inositol - 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi mesenger kedua berupa diacylglyerol and inositol trisphosphate (IP3). Diacylglycerol inilah yang berikatan dan mengaktifkan protein kinase C (PKC). IP3 berikatan dengan reseptor yang dijaga oleh ligand/kanal Ca++ di bagian dalam membran sel yang memicu influks ion kalsium ke dalam sitoplasma. Kalsium berikatan dengan protein modulator kalsium, calmodulin, yang kemudian berikatan dan mengaktifkan calmodulin-dependent kinase (CAM-PK) (Anderson, 2005).

Beberapa sistem signal yang mengaktifkan phospholipase C dan membentuk IP3 serta gliserol adalah angiotensin II, glutamat, histamin, oksitosin, platelet-derived growth factor, vasopresin, gonadotropin-releasing hormone, dan thyrotropin-releasing hormone. Semantara itu, beberapa enzim kinase yang dikendalikan oleh kalsium adalah myosin light chain kinase, PI-3 kinase, CAM-dependent kinases adenylate cyclase (otak), Ca-dependent Na channel, cAMP phosphodiesterase, calcineurin (phosphoprotein phosphatase 2B), cAMP gated olfactory channels, NO synthase dan Ca/ATPase membran sel.

Gambar 2.5. Keterlibatan PKC dan Calmodulin dalam pengaturan Ca. Peningkatan aliran cairan dalam tubulus meningkatkan influks Ca+ ke dalam sel dan mengaktifkan calmodulin (CaM) dan PKC. Keadaan ini memicu transaktivasi promoter ET-1 melalui NFATc dan Jun/fos. Peningkatan cairan terlarut dalam tubulus juga meningkatkan sintesis ET-1. ET-1 disekresikan secara basolateral tempatnya mengaktifkan reseptor ETA dan ETB secara autokrin. Aktivasi ETB menyebabkan peningkatan aktivitas phospholipase C (PLC) yang selanjutnya mengaktifkan diacylglycerol (DAG), serta mengaktifkan PKC yang menghambat aktivitas adenylyl cyclase (AC) yang dipicu oleh reseptor vasopressin (AVP)-V2. Selain itu, ETB meningkatkan influks Ca2+ ke dalam sel dan penguatan produksi PLC inositol trisphosphate (IP3), yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+ dalam sel yang dapat menghambat aktivitas AC. Penghambatan produksi cAMP bergantung AC menyebabkan penurunan tingkat fosforilasi protein aquaporin-2 (AQP2) yang dimediasi oleh protein kinase A (PKA) dan menurunkan penyerapan air (Sumber Kohan, 2013).

Page 93: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 85

2.3.3. Protein Kinase C

Protein Kinase C (PKC) dan calmodulin-dependent kinase (CAM-PK) merupakan enzim kinase yang kerjanya mirip dengan PKA, yaitu bekerja melalui aktivasi reseptor transmembran. Signal ektrasel yang berikatan dengan reseptornya menyebabkan perubahan konformasi reseptor. Domain intrasel dari reseptor kemudian berikatan dengan protein G heterodimer intrasel. Masing-masing subunit dalam heterodimer protein G kemudian melepaskan diri dan salah satunya berikatan dengan dan mengaktifkan phospholipase C yang memecah gugus phospho-kepala dari fosfolipid membran seperti phosphatidyl inositol - 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi mesenger kedua berupa diacylglyerol and inositol trisphosphate (IP3). Diacylglycerol inilah yang berikatan dan mengaktifkan protein kinase C (PKC). IP3 berikatan dengan reseptor yang dijaga oleh ligand/kanal Ca++ di bagian dalam membran sel yang memicu influks ion kalsium ke dalam sitoplasma. Kalsium berikatan dengan protein modulator kalsium, calmodulin, yang kemudian berikatan dan mengaktifkan calmodulin-dependent kinase (CAM-PK) (Anderson, 2005).

Beberapa sistem signal yang mengaktifkan phospholipase C dan membentuk IP3 serta gliserol adalah angiotensin II, glutamat, histamin, oksitosin, platelet-derived growth factor, vasopresin, gonadotropin-releasing hormone, dan thyrotropin-releasing hormone. Semantara itu, beberapa enzim kinase yang dikendalikan oleh kalsium adalah myosin light chain kinase, PI-3 kinase, CAM-dependent kinases adenylate cyclase (otak), Ca-dependent Na channel, cAMP phosphodiesterase, calcineurin (phosphoprotein phosphatase 2B), cAMP gated olfactory channels, NO synthase dan Ca/ATPase membran sel.

Gambar 2.5. Keterlibatan PKC dan Calmodulin dalam pengaturan Ca. Peningkatan aliran cairan dalam tubulus meningkatkan influks Ca+ ke dalam sel dan mengaktifkan calmodulin (CaM) dan PKC. Keadaan ini memicu transaktivasi promoter ET-1 melalui NFATc dan Jun/fos. Peningkatan cairan terlarut dalam tubulus juga meningkatkan sintesis ET-1. ET-1 disekresikan secara basolateral tempatnya mengaktifkan reseptor ETA dan ETB secara autokrin. Aktivasi ETB menyebabkan peningkatan aktivitas phospholipase C (PLC) yang selanjutnya mengaktifkan diacylglycerol (DAG), serta mengaktifkan PKC yang menghambat aktivitas adenylyl cyclase (AC) yang dipicu oleh reseptor vasopressin (AVP)-V2. Selain itu, ETB meningkatkan influks Ca2+ ke dalam sel dan penguatan produksi PLC inositol trisphosphate (IP3), yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+ dalam sel yang dapat menghambat aktivitas AC. Penghambatan produksi cAMP bergantung AC menyebabkan penurunan tingkat fosforilasi protein aquaporin-2 (AQP2) yang dimediasi oleh protein kinase A (PKA) dan menurunkan penyerapan air (Sumber Kohan, 2013).

Page 94: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler86

2.3.4. Protein Kinase G

Aktivasi enzim ini diawali dengan aktivasi reseptor transmembran atau ligand sitoplasmik yang aktivitasnya bergantung pada hormon yang berikatan dengan signal kimia ekstrasel (untuk reseptor transmembran) atau ligand intrasel (untuk reseptor protein sitoplasma) yang menyebabkan perubahan konformasi pada reseptor. Reseptor yang berikatan dan teraktivasi inilah yang menjadi enzim guanylate cyclase yang mengubah GTP menjadi cyclic GMP (cGMP). Seperti cAMP molekul mesenger kedua ini berikatan dan mengaktifkan PKA yang kemudian berikatan dengan dan mengaktifkan cGMP-dependent protein kinase (PKG). Contoh hormon yang berkerja melalui enzim ini adalah atrial naturetic factor, yang berikatan dengan reseptor permukaan sel. Ikatan hormon tersebut menyebabkan perubahan konformasi reseptor yang kemudian meneruskan signal ke bagian intrasitoplasmik dari reseptor melalui heliks transmembran tunggal yang akhirnya mengaktifkan domain guanylate cyclase intrasel dari protein (Castel dkk, 2010; Kwon dkk, 2008)

Gambar 2.6. Contoh peran protein Kinase G dalam produksi peptida natriuretik oleh kardiomiosit pada regulasi hemodinamik dan neuroendokrin pada reseptor, soluble guanylyl cyclase (sGC), tipe A dan B (GC-A dan GC-B). Jenis efek biologis yang dimediasi oleh masing masing reseptor melalui 3 jalur GMP, melibatkan protein kinase G (PKG) dan phosphodiesterase (PDE). Peptida natriuretik tipe C yang dihasilkan oleh sel endotel bekerja melalui GC-B dan juga melalui natriuretic peptide receptor (NPR-C). (Sumber: Volpe dkk, 2014)

2.3.5. Cyclin dependent kinase

Cyclin-dependent kinase (CDK) merupakan sekelompok enzim kinase yang aktivasinya memerlukan molekul siklin. Enzim ini berperan amat penting dalam pengaturan siklus sel, transkripsi, pemerosesan mRNA pascatranskripsi dan diferensiasi sel. CDK merupakan protein kecil dengan berat molekul 34 sampai 40 kDa. Enzim kinase ini teraktivasi dengan cara berikatan dengan protein yang disebut siklin dan memfosforilasi substratnya melalui residu asam amino serin dan threonin, sehingga dikelompokkan menjadi serine-threonine kinase (Lee dan Nurse, 1987). Sekuen asam amino yang menjadi situs fosforilasi CDK adalah [S/T*]PX[K/R], dengan S/T* serine atau threonine terfosforilasi, P : prolin, X ; sebarang asam amino, K : lisin, dan R =arginin

Kerja CDK yang paling banyak diketahui adalah yang mengatur siklus sel dengan membentuk kesatuan dengan siklin. Dari sembilan jenis CDK yang ditemukan pada hewan, empat di antaranya yaitu CDK1, 2, 3, dan 4 terlibat secara langsung dalam pengaturan siklus sel (Lee dan Nurse, 1987).

Page 95: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 87

2.3.4. Protein Kinase G

Aktivasi enzim ini diawali dengan aktivasi reseptor transmembran atau ligand sitoplasmik yang aktivitasnya bergantung pada hormon yang berikatan dengan signal kimia ekstrasel (untuk reseptor transmembran) atau ligand intrasel (untuk reseptor protein sitoplasma) yang menyebabkan perubahan konformasi pada reseptor. Reseptor yang berikatan dan teraktivasi inilah yang menjadi enzim guanylate cyclase yang mengubah GTP menjadi cyclic GMP (cGMP). Seperti cAMP molekul mesenger kedua ini berikatan dan mengaktifkan PKA yang kemudian berikatan dengan dan mengaktifkan cGMP-dependent protein kinase (PKG). Contoh hormon yang berkerja melalui enzim ini adalah atrial naturetic factor, yang berikatan dengan reseptor permukaan sel. Ikatan hormon tersebut menyebabkan perubahan konformasi reseptor yang kemudian meneruskan signal ke bagian intrasitoplasmik dari reseptor melalui heliks transmembran tunggal yang akhirnya mengaktifkan domain guanylate cyclase intrasel dari protein (Castel dkk, 2010; Kwon dkk, 2008)

Gambar 2.6. Contoh peran protein Kinase G dalam produksi peptida natriuretik oleh kardiomiosit pada regulasi hemodinamik dan neuroendokrin pada reseptor, soluble guanylyl cyclase (sGC), tipe A dan B (GC-A dan GC-B). Jenis efek biologis yang dimediasi oleh masing masing reseptor melalui 3 jalur GMP, melibatkan protein kinase G (PKG) dan phosphodiesterase (PDE). Peptida natriuretik tipe C yang dihasilkan oleh sel endotel bekerja melalui GC-B dan juga melalui natriuretic peptide receptor (NPR-C). (Sumber: Volpe dkk, 2014)

2.3.5. Cyclin dependent kinase

Cyclin-dependent kinase (CDK) merupakan sekelompok enzim kinase yang aktivasinya memerlukan molekul siklin. Enzim ini berperan amat penting dalam pengaturan siklus sel, transkripsi, pemerosesan mRNA pascatranskripsi dan diferensiasi sel. CDK merupakan protein kecil dengan berat molekul 34 sampai 40 kDa. Enzim kinase ini teraktivasi dengan cara berikatan dengan protein yang disebut siklin dan memfosforilasi substratnya melalui residu asam amino serin dan threonin, sehingga dikelompokkan menjadi serine-threonine kinase (Lee dan Nurse, 1987). Sekuen asam amino yang menjadi situs fosforilasi CDK adalah [S/T*]PX[K/R], dengan S/T* serine atau threonine terfosforilasi, P : prolin, X ; sebarang asam amino, K : lisin, dan R =arginin

Kerja CDK yang paling banyak diketahui adalah yang mengatur siklus sel dengan membentuk kesatuan dengan siklin. Dari sembilan jenis CDK yang ditemukan pada hewan, empat di antaranya yaitu CDK1, 2, 3, dan 4 terlibat secara langsung dalam pengaturan siklus sel (Lee dan Nurse, 1987).

Page 96: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler88

Tabel 3. Pasangan siklin dan cyclin dependent kinase (CDK) yang terlibat dalam siklus sel

No Fase siklus sel Siklin CDK

1 G0 C CDK3

2 G1 D dan E CDK4, CDK2 dan CDK6

3 S A dan E CDK2

4 G2 A CDK2 dan CDK1

5 M B CDK1

Kerja CDK

CDK berperan amat penting pada siklus sel mulai dari transisi fase G0 ke G1 sampai sel membelah dari satu menjadi dua sel. Namun, pada setiap fase pembelahan sel, molekul siklin dan CDK yang terlibat berbeda-beda. Enzim CDK mempunyai bagian aktif berupa situs berikatannya dengan ATP yang merupakan celah antara lobus amino-terminal kecil dan lobus karboksi terminal yang lebih besar. Fosforilasi oleh CDK-activating kinase (CAK) pada residu asam amino threonin di daerah T-loop meningkatkan aktivitas CDK yang belum berikatan dengan molekul siklin. Namun, aktivasi CDK oleh CAK menyebabkan molekul CDK masih lentur dengan adanya beberapa asam amino yang tidak dapat berikatan dengan ATP secara optimal (Lee dan Nurse, 1987). Dengan adanya molekul siklin yang berikatan dengan CDK yang membentuk struktur alfa heliks mengubah posisinya yang memungkinkannya untuk berikatan secara optimal dengan ATP. Dengan demikian aktivasi CDK terjadi secara optimal setelah berikatan dengan molekul siklin. Setiap CDK mempunyai molekul siklin yang khas untuk berikatan (Satyanarayana dan Kaldes, 2007).

Fosforilasi CDK sering diperlukan untuk meningkatkan maupun menghambat aktivitasnya. Fosforilasi CDK oleh CAK terjadi melalui residu asam amino threonin dan dapat terjadi sebelum dan sesudah berikatan dengan molekul siklin. Pada mamalia, fosforilasi biasanya terjadi setelah CDK berikatan dengan molekul siklin. Sementara itu, pada sel eukariot tingkat rendah seperti sel kamir, fosforilasi dapat terjadi sebelum CDK berikatan dengan molekul siklin. Selain yang mengaktifkan CDK, fosforilasi yang menghambat kerja CDK juga ditemukan dan diperlukan untuk mengatur siklus sel. Contohnya adalah enzim Wee1 yang memfosforilasi CDK pada gugus tirosin. Penambahan fosfat pada gugus tirosin 15 menyebabkan CDK tidak aktif. Pada hewan vertebrata juga ditemukan enzim kinase Myt1 yang masih merupakan keluarga Wee1. Enzim ini memfosforilasi substrat pada residu threonin dan juga pada tirosin (Lee dan Nurse, 1987) yang menghambat aktivitas CDK.

Gambar 2.7. Keragaman fungsional enzim Cyclin-dependent Kinase (CDK). (A). Skema keragaman CDK (B). Pengaturan siklus sel oleh CDK/siklin: CDK1/siklin B selama mitosis, CDK4 dan 6/siklin D selama progresi fase G1, CDK2/ siklin E selama transisi G1/S, CDK2/ siklin A pada fase S dan CDK1/siklin A selama progresi fase G2.

Sumber : Peyressatre dkk, 2015.

Page 97: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 89

Tabel 3. Pasangan siklin dan cyclin dependent kinase (CDK) yang terlibat dalam siklus sel

No Fase siklus sel Siklin CDK

1 G0 C CDK3

2 G1 D dan E CDK4, CDK2 dan CDK6

3 S A dan E CDK2

4 G2 A CDK2 dan CDK1

5 M B CDK1

Kerja CDK

CDK berperan amat penting pada siklus sel mulai dari transisi fase G0 ke G1 sampai sel membelah dari satu menjadi dua sel. Namun, pada setiap fase pembelahan sel, molekul siklin dan CDK yang terlibat berbeda-beda. Enzim CDK mempunyai bagian aktif berupa situs berikatannya dengan ATP yang merupakan celah antara lobus amino-terminal kecil dan lobus karboksi terminal yang lebih besar. Fosforilasi oleh CDK-activating kinase (CAK) pada residu asam amino threonin di daerah T-loop meningkatkan aktivitas CDK yang belum berikatan dengan molekul siklin. Namun, aktivasi CDK oleh CAK menyebabkan molekul CDK masih lentur dengan adanya beberapa asam amino yang tidak dapat berikatan dengan ATP secara optimal (Lee dan Nurse, 1987). Dengan adanya molekul siklin yang berikatan dengan CDK yang membentuk struktur alfa heliks mengubah posisinya yang memungkinkannya untuk berikatan secara optimal dengan ATP. Dengan demikian aktivasi CDK terjadi secara optimal setelah berikatan dengan molekul siklin. Setiap CDK mempunyai molekul siklin yang khas untuk berikatan (Satyanarayana dan Kaldes, 2007).

Fosforilasi CDK sering diperlukan untuk meningkatkan maupun menghambat aktivitasnya. Fosforilasi CDK oleh CAK terjadi melalui residu asam amino threonin dan dapat terjadi sebelum dan sesudah berikatan dengan molekul siklin. Pada mamalia, fosforilasi biasanya terjadi setelah CDK berikatan dengan molekul siklin. Sementara itu, pada sel eukariot tingkat rendah seperti sel kamir, fosforilasi dapat terjadi sebelum CDK berikatan dengan molekul siklin. Selain yang mengaktifkan CDK, fosforilasi yang menghambat kerja CDK juga ditemukan dan diperlukan untuk mengatur siklus sel. Contohnya adalah enzim Wee1 yang memfosforilasi CDK pada gugus tirosin. Penambahan fosfat pada gugus tirosin 15 menyebabkan CDK tidak aktif. Pada hewan vertebrata juga ditemukan enzim kinase Myt1 yang masih merupakan keluarga Wee1. Enzim ini memfosforilasi substrat pada residu threonin dan juga pada tirosin (Lee dan Nurse, 1987) yang menghambat aktivitas CDK.

Gambar 2.7. Keragaman fungsional enzim Cyclin-dependent Kinase (CDK). (A). Skema keragaman CDK (B). Pengaturan siklus sel oleh CDK/siklin: CDK1/siklin B selama mitosis, CDK4 dan 6/siklin D selama progresi fase G1, CDK2/ siklin E selama transisi G1/S, CDK2/ siklin A pada fase S dan CDK1/siklin A selama progresi fase G2.

Sumber : Peyressatre dkk, 2015.

Page 98: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler90

Penghambat Kerja CDK

Penghamabat CDK/cyclin-dependent kinase inhibitor (CKI) merupakan protein yang berinteraksi dengan kompleks siklin-CDK sehingga aktivitasnya terhambat. Hambatan ini terjadi pada fase G1 sebagai respons atas lingkungan atau kerusakan DNA. Pada hewan terdapat dua kelurga CKI, yaitu inhibitor of kinase 4 (INK4) dan CIP/KIP (Lee dan Nurse, 1987) . INK4 merupakan protein penghambat dengan cara berikatan dengan CDK. Ikatan CDK6-INK4 menyebabkan molekul CDK terpelintir sehingga tidak dapat berikatan dengan siklin. Sementara itu, CIP/KIP menghambat CDK dengan cara berikatan dengan siklin seperti siklin D sehingga tidak dapat berikatan dengan CDK4 (Lee dan Nurse, 1987).

Urutan dari aktivasi CDK secara universal bervariasi. Pada jalur pertama, ikatan siklin yang membentuk kompleks inaktif didahului oleh fosforilasi dalam loop aktivasi oleh CDK activating Kinase (CAK). Aktivasi ini ditemukan pada kompleks CDK1–siklin B oleh CDK7 pada sel metazoa. Berbeda dengan jalur 2, CAK memfosforilasi T-loop dari CDK monomer, yang hanya aktif ketika berikatan dengan siklin. Jalur ini sering ditemukan pada aktivasi CDK oleh CAK jamur yaitu Cak1 dan Csk1. Selain itu, CDK2 metazoa dapat difosforilasi secara efisien oleh CDK7 dalam ketiadaan siklin pasangannya

Siklin virus

Gen virus tertentu dapat menyandi protein yang mempunyai homologi sekuen dengan siklin. Salah satunya adalah K-cyclin atau v-cyclin yang ditemukan pada virus herpes Kaposi sarcoma yang mengaktifkan CDK6. V-siklin ini membentuk ikatan dengan CDK (Mouron dkk, 2010)

2.3.6. Phosphatase

Phosphatase merupakan kelompok enzim yang menghilangkan satu gugus fosfat dari substrat (protein atau molekul lainnya). Phosphatase yang aktif merupakan kesatuan yang terdiri atas subunit katalitik dan subunit regulator. Subunit regulator dapat mengandung

domain SH2 yang memungkinkannya untuk berikatan dengan kesatuan yang mengalami autofosforilasi seperti reseptor tyrosin kinase membran sel. Beberapa enzim phoshatase merupakan phosphatase serin/threonin seperti protein phosphatase 1 (PP-1 atau Ppp1) yang merupakan phosphatase yang paling banyak ditemukan pada manusia (Mumby dan Walter, 1993). Subunit regulator yang berbeda ditemukan pada berbagai organ/jaringan. Enzim ini dapat ditemukan baik dalam sitoplasma maupun inti sel. Dalam inti sel, enzim umumnya berperan dalam proses “splicing “ RNA dan sistem signal sinaps syaraf.

Selain PP1 juga terdapat enzim protein phosphatase 2A (PP-2A atau Ppp2) yang terbentuk dari trimerisasi 3 subunit, yaitu subunit katalitik, regulator dan penyanggga. Enzim ini ditemukan dalam sitoplasma berbagai jenis sel dan berperan dalam berbagai proses molekuler dalam sel di berbagai organ atau jaringan. Enzim lainnya adalah protein phosphatase 2B (PP-2B atau Ppp3) yang juga disebut calcineurin atau Ca2+/Calmodulin dependent protein phosphatase. (Barford dkk., 1998). Seperti enzim phosohatase lainnya, enzim ini juga terdiri atas subunit katalitik (calcineurin A) dan subunit regulator. Subunit regulatornya biasanya merupakan subunit yang berikatan dengan kalsium, yaitu calcinerin B. Aktivitas enzim ini dihambat oleh kompleks siklosporin yang merupakan imunosupresan dan FK506 dengan molekul immunophilinnnya

Enzim phosphatase lainnya yang berperan dalam siklus sel adalah PTEN dan CDC25. PTEN berperan dalam mengubah PIP3 menjadi PIP2 untuk menginaktifkan enzim Akt pada jalur sistem signal PI3K. Mutasi PTEN ditemukan pada beberapa sel kanker. Peran enzim PTEN adalah pengaturan siklus sel sehingga sel tidak membelah secara berlebihan (Tabel 2.3).

2.4. Jalur Sistem Signal Pemicu dan Penghambat Pembelahan Sel

Dalam mengawali pembelahan sel, aktivasi gen pemicu pembelahan sel (protonkogen) dilakukan melalui berbagai jalur sistem signal sel. Dalam sistem signal sel, selain protoonkogen, gen penekan pertumbuhan sel juga diaktifkan sehingga pembelahan sel dilakukan secara terkendali. Pengaturan ini dilakukan sistem signal yang ketat

Page 99: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 91

Penghambat Kerja CDK

Penghamabat CDK/cyclin-dependent kinase inhibitor (CKI) merupakan protein yang berinteraksi dengan kompleks siklin-CDK sehingga aktivitasnya terhambat. Hambatan ini terjadi pada fase G1 sebagai respons atas lingkungan atau kerusakan DNA. Pada hewan terdapat dua kelurga CKI, yaitu inhibitor of kinase 4 (INK4) dan CIP/KIP (Lee dan Nurse, 1987) . INK4 merupakan protein penghambat dengan cara berikatan dengan CDK. Ikatan CDK6-INK4 menyebabkan molekul CDK terpelintir sehingga tidak dapat berikatan dengan siklin. Sementara itu, CIP/KIP menghambat CDK dengan cara berikatan dengan siklin seperti siklin D sehingga tidak dapat berikatan dengan CDK4 (Lee dan Nurse, 1987).

Urutan dari aktivasi CDK secara universal bervariasi. Pada jalur pertama, ikatan siklin yang membentuk kompleks inaktif didahului oleh fosforilasi dalam loop aktivasi oleh CDK activating Kinase (CAK). Aktivasi ini ditemukan pada kompleks CDK1–siklin B oleh CDK7 pada sel metazoa. Berbeda dengan jalur 2, CAK memfosforilasi T-loop dari CDK monomer, yang hanya aktif ketika berikatan dengan siklin. Jalur ini sering ditemukan pada aktivasi CDK oleh CAK jamur yaitu Cak1 dan Csk1. Selain itu, CDK2 metazoa dapat difosforilasi secara efisien oleh CDK7 dalam ketiadaan siklin pasangannya

Siklin virus

Gen virus tertentu dapat menyandi protein yang mempunyai homologi sekuen dengan siklin. Salah satunya adalah K-cyclin atau v-cyclin yang ditemukan pada virus herpes Kaposi sarcoma yang mengaktifkan CDK6. V-siklin ini membentuk ikatan dengan CDK (Mouron dkk, 2010)

2.3.6. Phosphatase

Phosphatase merupakan kelompok enzim yang menghilangkan satu gugus fosfat dari substrat (protein atau molekul lainnya). Phosphatase yang aktif merupakan kesatuan yang terdiri atas subunit katalitik dan subunit regulator. Subunit regulator dapat mengandung

domain SH2 yang memungkinkannya untuk berikatan dengan kesatuan yang mengalami autofosforilasi seperti reseptor tyrosin kinase membran sel. Beberapa enzim phoshatase merupakan phosphatase serin/threonin seperti protein phosphatase 1 (PP-1 atau Ppp1) yang merupakan phosphatase yang paling banyak ditemukan pada manusia (Mumby dan Walter, 1993). Subunit regulator yang berbeda ditemukan pada berbagai organ/jaringan. Enzim ini dapat ditemukan baik dalam sitoplasma maupun inti sel. Dalam inti sel, enzim umumnya berperan dalam proses “splicing “ RNA dan sistem signal sinaps syaraf.

Selain PP1 juga terdapat enzim protein phosphatase 2A (PP-2A atau Ppp2) yang terbentuk dari trimerisasi 3 subunit, yaitu subunit katalitik, regulator dan penyanggga. Enzim ini ditemukan dalam sitoplasma berbagai jenis sel dan berperan dalam berbagai proses molekuler dalam sel di berbagai organ atau jaringan. Enzim lainnya adalah protein phosphatase 2B (PP-2B atau Ppp3) yang juga disebut calcineurin atau Ca2+/Calmodulin dependent protein phosphatase. (Barford dkk., 1998). Seperti enzim phosohatase lainnya, enzim ini juga terdiri atas subunit katalitik (calcineurin A) dan subunit regulator. Subunit regulatornya biasanya merupakan subunit yang berikatan dengan kalsium, yaitu calcinerin B. Aktivitas enzim ini dihambat oleh kompleks siklosporin yang merupakan imunosupresan dan FK506 dengan molekul immunophilinnnya

Enzim phosphatase lainnya yang berperan dalam siklus sel adalah PTEN dan CDC25. PTEN berperan dalam mengubah PIP3 menjadi PIP2 untuk menginaktifkan enzim Akt pada jalur sistem signal PI3K. Mutasi PTEN ditemukan pada beberapa sel kanker. Peran enzim PTEN adalah pengaturan siklus sel sehingga sel tidak membelah secara berlebihan (Tabel 2.3).

2.4. Jalur Sistem Signal Pemicu dan Penghambat Pembelahan Sel

Dalam mengawali pembelahan sel, aktivasi gen pemicu pembelahan sel (protonkogen) dilakukan melalui berbagai jalur sistem signal sel. Dalam sistem signal sel, selain protoonkogen, gen penekan pertumbuhan sel juga diaktifkan sehingga pembelahan sel dilakukan secara terkendali. Pengaturan ini dilakukan sistem signal yang ketat

Page 100: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler92

sehingga baik protoonkogen maupun gen penekan tumor tidak teraktivasi secara berlebihan.

2.4.1. Jalur Mitogen Activated Protein Kinase

Jalur Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) merupakan jalur transduksi signal intrasel yang konservatif sebagai respons atas stimuli ekstrasel dan mengendalikan berbagai aktivitas dasar proses selular seperti pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, motilitas, respons terhadap stres, kelangsungan hidup dan apoptosis (Shaul dan Seger, 2007). Semua proses seluler tersebut melibatkan 3 komponen kinase penting, yaitu mitogen activated protein kinase kinase kinase (MAP3K), mitogen activated protein kinase kinase (MAPKK), dan mitogen activated protein kinase (MAPK). Pada sistem signal tersebut, semuanya melibatkan fosforilasi dan aktivasi kinase secara beruntun yang pada akhirnya mengakibatkan fosforilasi protein regulator yang menjadi target dari MAPK. Saat ini ada 4 jalur kaskade MAPK ditemukan pada sel mamalia, yaitu extracellular signal-regulated kinase 1 dan 2 (ERK1/2), c-Jun N-terminal kinase (JNK), p38, dan extracellular signal-regulated kinase 5 (ERK5). Dalam melakukan fungsinya MAPK dan MAPKK memfosforilasi dan memodulasi aktivitas ratusan substrat yang terdapat dalam sitoplasma, mitokondria, aparatus Golgi, retikulum endoplasma, dan inti sel (Yao dan Seger, 2009). Namun, inti sel merupakan target akhir dari transmisi signal dari semua jalur tersebut. Pada inti sel, jalur ini memicu transkripsi gen tertentu yang diperlukan untuk pembelahan sel. Dalam proses transkripsi ini, berbagai jenis faktor transkripsi (aktivator dan supresor transkripsi), dan protein yang mengatur pembentukan kromatin diaktifkan melalui inti sel.

Dari ke-empat jalur sistem signal MAPK tersebut, jalur yang paling berperan dalam proliferasi sel adalah jalur MAPK/ERK1/2. Jalur ini merupakan prototipe dari jalur MAPK. Jalur P38 dan JNK lebih banyak berperan dalam aktivasi dan pelepasan sitokin. Sementara itu, jalur ERK 5 belum banyak diketahui. Jalur MAPK/ERK1/2 diaktifkan sebagai respons atas adanya stimulus eksternal dan internal dari berbagai jenis sel. Stimulus yang terpenting adalah faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor (EGF). Jalur ini juga dapat dirumuskan secara lengkap sebagai jalur Ras-Raf-

MEK1/2-ERK1/2 (Gamar 2.8) yang menjabarkan unsur terpenting yang terlibat dalam jalur ini (Niault dan Baccarini, 2010).

Ketika faktor pertumbuhan seperti EGF berikatan dengan reseptornya, aktivasi komponen sel terjadi secara beruntun. EGF yang berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel memicu dimerisasi dan autoforforilasi epidermal growth factor receptor (EFGR). EFGR yang domain intrasitoplasmiknya memiliki aktivitas tirosin kinase terfosforilasi pada residu tirosin (Y) posisi Y992, Y1045, Y1068, Y1148 dan Y1173 (Downward dkk, 1984). Autofosforilasi tersebut memicu aktivasi protein adaptor, yaitu protein growth receptor binding 2 (GRB2) yang berikatan dengan EFGR melalui domain Src- homology 2 (SH2). Ikatan GRB2 dengan EFGR memicu ikatan dan aktivasi protein adaptor lainnya, yaitu sun of sevenless (SOS). Protein adaptor seperti GRB2 dan SOS kemudian direkrut untuk berikatan dengan reseptor dan kemudian diaktikan oleh reseptor yang telah teraktivasi sebelumnya. Protein adaptor inilah yang kemudian mengaktifkan protein Ras (rat sarcoma) dari Ras-GDP (inaktif) menjadi Ras-GTP (aktif). Ras-GTP yang telah aktif kemudian merekrut protein Raf (ras activating factor) yang kemudian menjadi aktif setelah berikatan dengan Ras. Namun, cara aktivasi Raf belum sepenuhnya diketahui dan diduga mekanismenya mirip dengan protein kinase C (PKC) dan MLK3(Chadee dkk, 2004) . Ada beberapa protein Raf yang telah diketahui seperti A-raf, B-raf dan c-raf. Protein ini memfosforilasi dan mengaktivasi protein kinase berikutnya, yaitu MAPK/ERK 1/2 kinase (MEK1/2) yang selanjutnya mengaktifkan ERK1 dan ERK2 (ERK1/2) dan isoform lainnya, yaitu ERK1b dan ERK1c (Aebersold dkk, 2004). ERK1 dan 2 inilah yang selanjutnya mengaktifkan berbagai protein target seperti Ets-1, c-Jun, c-Myc, dan p53. Aktivasi beruntun tersebut kemudian mengaktifkan protein yang terlibat dalam siklus sel, seperti p21, Cyclin D1, CDK1.

Kaskade JNK yang juga disebut stress-activated protein kinase (SAPK) (Davis, 2000) merupakan jalur MAPK yang berkaitan dengan stres (Bogoyevitch dkk, 2010). Keadaan stres merangsang signal GTPase seperti CDC42 dan Rac1 untuk mengaktifkan langsung MAP4K atau tidak langsung melalui protein adaptor RAF (Bradley dkk 2001). Setelah teraktivasi, MAP3K meneruskan signal dengan cara fosforilasi MAPKKl (MKK4 dan MKK7) (Wang dkk , 2007).

Page 101: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 93

sehingga baik protoonkogen maupun gen penekan tumor tidak teraktivasi secara berlebihan.

2.4.1. Jalur Mitogen Activated Protein Kinase

Jalur Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) merupakan jalur transduksi signal intrasel yang konservatif sebagai respons atas stimuli ekstrasel dan mengendalikan berbagai aktivitas dasar proses selular seperti pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, motilitas, respons terhadap stres, kelangsungan hidup dan apoptosis (Shaul dan Seger, 2007). Semua proses seluler tersebut melibatkan 3 komponen kinase penting, yaitu mitogen activated protein kinase kinase kinase (MAP3K), mitogen activated protein kinase kinase (MAPKK), dan mitogen activated protein kinase (MAPK). Pada sistem signal tersebut, semuanya melibatkan fosforilasi dan aktivasi kinase secara beruntun yang pada akhirnya mengakibatkan fosforilasi protein regulator yang menjadi target dari MAPK. Saat ini ada 4 jalur kaskade MAPK ditemukan pada sel mamalia, yaitu extracellular signal-regulated kinase 1 dan 2 (ERK1/2), c-Jun N-terminal kinase (JNK), p38, dan extracellular signal-regulated kinase 5 (ERK5). Dalam melakukan fungsinya MAPK dan MAPKK memfosforilasi dan memodulasi aktivitas ratusan substrat yang terdapat dalam sitoplasma, mitokondria, aparatus Golgi, retikulum endoplasma, dan inti sel (Yao dan Seger, 2009). Namun, inti sel merupakan target akhir dari transmisi signal dari semua jalur tersebut. Pada inti sel, jalur ini memicu transkripsi gen tertentu yang diperlukan untuk pembelahan sel. Dalam proses transkripsi ini, berbagai jenis faktor transkripsi (aktivator dan supresor transkripsi), dan protein yang mengatur pembentukan kromatin diaktifkan melalui inti sel.

Dari ke-empat jalur sistem signal MAPK tersebut, jalur yang paling berperan dalam proliferasi sel adalah jalur MAPK/ERK1/2. Jalur ini merupakan prototipe dari jalur MAPK. Jalur P38 dan JNK lebih banyak berperan dalam aktivasi dan pelepasan sitokin. Sementara itu, jalur ERK 5 belum banyak diketahui. Jalur MAPK/ERK1/2 diaktifkan sebagai respons atas adanya stimulus eksternal dan internal dari berbagai jenis sel. Stimulus yang terpenting adalah faktor pertumbuhan seperti epidermal growth factor (EGF). Jalur ini juga dapat dirumuskan secara lengkap sebagai jalur Ras-Raf-

MEK1/2-ERK1/2 (Gamar 2.8) yang menjabarkan unsur terpenting yang terlibat dalam jalur ini (Niault dan Baccarini, 2010).

Ketika faktor pertumbuhan seperti EGF berikatan dengan reseptornya, aktivasi komponen sel terjadi secara beruntun. EGF yang berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel memicu dimerisasi dan autoforforilasi epidermal growth factor receptor (EFGR). EFGR yang domain intrasitoplasmiknya memiliki aktivitas tirosin kinase terfosforilasi pada residu tirosin (Y) posisi Y992, Y1045, Y1068, Y1148 dan Y1173 (Downward dkk, 1984). Autofosforilasi tersebut memicu aktivasi protein adaptor, yaitu protein growth receptor binding 2 (GRB2) yang berikatan dengan EFGR melalui domain Src- homology 2 (SH2). Ikatan GRB2 dengan EFGR memicu ikatan dan aktivasi protein adaptor lainnya, yaitu sun of sevenless (SOS). Protein adaptor seperti GRB2 dan SOS kemudian direkrut untuk berikatan dengan reseptor dan kemudian diaktikan oleh reseptor yang telah teraktivasi sebelumnya. Protein adaptor inilah yang kemudian mengaktifkan protein Ras (rat sarcoma) dari Ras-GDP (inaktif) menjadi Ras-GTP (aktif). Ras-GTP yang telah aktif kemudian merekrut protein Raf (ras activating factor) yang kemudian menjadi aktif setelah berikatan dengan Ras. Namun, cara aktivasi Raf belum sepenuhnya diketahui dan diduga mekanismenya mirip dengan protein kinase C (PKC) dan MLK3(Chadee dkk, 2004) . Ada beberapa protein Raf yang telah diketahui seperti A-raf, B-raf dan c-raf. Protein ini memfosforilasi dan mengaktivasi protein kinase berikutnya, yaitu MAPK/ERK 1/2 kinase (MEK1/2) yang selanjutnya mengaktifkan ERK1 dan ERK2 (ERK1/2) dan isoform lainnya, yaitu ERK1b dan ERK1c (Aebersold dkk, 2004). ERK1 dan 2 inilah yang selanjutnya mengaktifkan berbagai protein target seperti Ets-1, c-Jun, c-Myc, dan p53. Aktivasi beruntun tersebut kemudian mengaktifkan protein yang terlibat dalam siklus sel, seperti p21, Cyclin D1, CDK1.

Kaskade JNK yang juga disebut stress-activated protein kinase (SAPK) (Davis, 2000) merupakan jalur MAPK yang berkaitan dengan stres (Bogoyevitch dkk, 2010). Keadaan stres merangsang signal GTPase seperti CDC42 dan Rac1 untuk mengaktifkan langsung MAP4K atau tidak langsung melalui protein adaptor RAF (Bradley dkk 2001). Setelah teraktivasi, MAP3K meneruskan signal dengan cara fosforilasi MAPKKl (MKK4 dan MKK7) (Wang dkk , 2007).

Page 102: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler94

Kinase ini kemudian mengaktifkan 3 komponen MAPKl (JNK1-3; 46 dan 54 kDa; JNK) dengan fosforilasi langsung residu tirosin dan threonin untuk mengaktifkan motif Thr-Pro-Tyr. Ketika distimulasi, JNK memfosforilasi berbagai substrat dalam inti sel, yang berperan dalam proses selular, seperti apoptosis (Dhanasekaran dan Reddy, 2008), imunologis (Rincon dan Davis,2009), aktivitas neuron dan sistem signal insulin (Haeusgen dkk 2009).

Kaskade jalur p38 yang mirip SAPK yang diaktifkan oleh keadaan stres dan faktor lainnya. Saat aktivasi reseptor oleh keadaan stres, signal stres diteruskan melalui protein adaptor seperrti GTPase, MAP4K dan MAP3K yang fungsinya serupa dengan JNK. Enzim kinase tersebut kemudian memfosforilasi dan mengaktifkan komponen MAPKK seperti MKK3 dan MKK6, serta MKK4 (Whitmarsh dan Davis, 2007). Komponen ini juga ditemukan pada kaskade ERK1/2. Akhirnya signal diteruskan ke molekul target yang berfungsi untuk mengatur proses selular seperti imunologi (Huang dkk 2009), apoptosis (Sohn dkk, 2007), istirahat sel (Maruyama dkk, 2009), sistem cekpoin siklus sel dan kelangsungan hidup sel. Peran imunologis yang diperankan oleh p38 adalah inflamasi dan autoimun. Berbeda dengan jalur MAPK lainnya, jalur p38 umumnya bersifat sebagai suprosor tumor dengan menekan transformasi dan invasi sel, baik yang tergantung maupun yang tidak terganung pada Ras. Namun, pada beberapa kasus, p38 justru menginduksi kanker yang terutama berkaitan dengan inflamasi atau pengaturan siklus sel (Wagner dan Nebreda, 2009).

Kaskde MAPK terakhir yang diketahui adalah ERK5. Jalur ini mirip dengan jalur MAPK lainnya dan diaktifkan oleh sejumlah stimuli dan reseptor, baik karena faktor stres maupun mitogen (Wang dan Tornier, 2006). Meskipun belum banyak diungkap, jalur ini tampaknya melibatkan protein adaptor (Sun dkk, 2001) dan mesenger kedua seperti Cot-1 (Gocek dan Studzinski, 2015). Komponen tersebut mengaktifkan kinase berikutnya dari MAP3K seperti MEKK2/3 (Chao dkk 1999). Kinase ini mengaktifkan lagi kinase berikutnya, yaitu MAPKK melalui fosforilasi residu serin dan treonin. Kinase terakhir dari kaskade MAPK/ERK5 adalah MAPK/BMK besar karena molekulnya yang relatif besar, yaitu 110 kDa. Aktivasi ERK5 terjadi karena fosforilasi residu treonin dan tirosin dari motif Thr-Glu-

Tyr. ERK5 yang teraktivasi meneruskan signal ke MAPKAPK. ERK5 dapat bertindak sebagai faktor transkripsi dengan cara berikatan dengan DNA yang mengatur beberapa proses fisiologis seperti proliferasi dan angiogenesis (Roberts dkk, 2009) serta proses imunologis (Sohn dkk, 2008) (Gambar 2.8)

Gambar 2.8. Jalur sistem signal MAPK. Jalur sistem signal ini merupakan keluarga kinase serine-threonine yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel normal dan sel kanker hemopoetik. Signal MAPK melibatkan 4 kaskade utama, yaitu ERK1/2, JNK, p38 dan ERK5. Kaskade keempat jalur sistem MAPK melibatkan interaksi silang satu sama lain termasuk kerjasama dan komunikasi silang dari beberapa komponen masing-masing dalam meneruskan setiap signal bagi sel. MAPK mentransduksi signal ke sel melalui tiga rangkai kaskade dari MAPK seperti Raf1, Cot1, MTK/DLK atau ASK1/TAK1/PTK1 melalui MAP2K seperti (MEK1/2, MEK5, MKK7/MEK4 atau MEK3/6) ke MAPK (ERK1/2, ERK5, JNK, p38 kinase). Akhirnya MAPKs mengaktivasi beberapa faktor transkripsi seperti c-Fos, c-Jun, PU.1, MEF2, ATF2, c-Myc dan Sp1) yang berfungsi untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab atas proliferasi, diferensiasi dan kematian sel (Gocek dan,Studzinski, 2015).

Page 103: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 95

Kinase ini kemudian mengaktifkan 3 komponen MAPKl (JNK1-3; 46 dan 54 kDa; JNK) dengan fosforilasi langsung residu tirosin dan threonin untuk mengaktifkan motif Thr-Pro-Tyr. Ketika distimulasi, JNK memfosforilasi berbagai substrat dalam inti sel, yang berperan dalam proses selular, seperti apoptosis (Dhanasekaran dan Reddy, 2008), imunologis (Rincon dan Davis,2009), aktivitas neuron dan sistem signal insulin (Haeusgen dkk 2009).

Kaskade jalur p38 yang mirip SAPK yang diaktifkan oleh keadaan stres dan faktor lainnya. Saat aktivasi reseptor oleh keadaan stres, signal stres diteruskan melalui protein adaptor seperrti GTPase, MAP4K dan MAP3K yang fungsinya serupa dengan JNK. Enzim kinase tersebut kemudian memfosforilasi dan mengaktifkan komponen MAPKK seperti MKK3 dan MKK6, serta MKK4 (Whitmarsh dan Davis, 2007). Komponen ini juga ditemukan pada kaskade ERK1/2. Akhirnya signal diteruskan ke molekul target yang berfungsi untuk mengatur proses selular seperti imunologi (Huang dkk 2009), apoptosis (Sohn dkk, 2007), istirahat sel (Maruyama dkk, 2009), sistem cekpoin siklus sel dan kelangsungan hidup sel. Peran imunologis yang diperankan oleh p38 adalah inflamasi dan autoimun. Berbeda dengan jalur MAPK lainnya, jalur p38 umumnya bersifat sebagai suprosor tumor dengan menekan transformasi dan invasi sel, baik yang tergantung maupun yang tidak terganung pada Ras. Namun, pada beberapa kasus, p38 justru menginduksi kanker yang terutama berkaitan dengan inflamasi atau pengaturan siklus sel (Wagner dan Nebreda, 2009).

Kaskde MAPK terakhir yang diketahui adalah ERK5. Jalur ini mirip dengan jalur MAPK lainnya dan diaktifkan oleh sejumlah stimuli dan reseptor, baik karena faktor stres maupun mitogen (Wang dan Tornier, 2006). Meskipun belum banyak diungkap, jalur ini tampaknya melibatkan protein adaptor (Sun dkk, 2001) dan mesenger kedua seperti Cot-1 (Gocek dan Studzinski, 2015). Komponen tersebut mengaktifkan kinase berikutnya dari MAP3K seperti MEKK2/3 (Chao dkk 1999). Kinase ini mengaktifkan lagi kinase berikutnya, yaitu MAPKK melalui fosforilasi residu serin dan treonin. Kinase terakhir dari kaskade MAPK/ERK5 adalah MAPK/BMK besar karena molekulnya yang relatif besar, yaitu 110 kDa. Aktivasi ERK5 terjadi karena fosforilasi residu treonin dan tirosin dari motif Thr-Glu-

Tyr. ERK5 yang teraktivasi meneruskan signal ke MAPKAPK. ERK5 dapat bertindak sebagai faktor transkripsi dengan cara berikatan dengan DNA yang mengatur beberapa proses fisiologis seperti proliferasi dan angiogenesis (Roberts dkk, 2009) serta proses imunologis (Sohn dkk, 2008) (Gambar 2.8)

Gambar 2.8. Jalur sistem signal MAPK. Jalur sistem signal ini merupakan keluarga kinase serine-threonine yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel normal dan sel kanker hemopoetik. Signal MAPK melibatkan 4 kaskade utama, yaitu ERK1/2, JNK, p38 dan ERK5. Kaskade keempat jalur sistem MAPK melibatkan interaksi silang satu sama lain termasuk kerjasama dan komunikasi silang dari beberapa komponen masing-masing dalam meneruskan setiap signal bagi sel. MAPK mentransduksi signal ke sel melalui tiga rangkai kaskade dari MAPK seperti Raf1, Cot1, MTK/DLK atau ASK1/TAK1/PTK1 melalui MAP2K seperti (MEK1/2, MEK5, MKK7/MEK4 atau MEK3/6) ke MAPK (ERK1/2, ERK5, JNK, p38 kinase). Akhirnya MAPKs mengaktivasi beberapa faktor transkripsi seperti c-Fos, c-Jun, PU.1, MEF2, ATF2, c-Myc dan Sp1) yang berfungsi untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab atas proliferasi, diferensiasi dan kematian sel (Gocek dan,Studzinski, 2015).

Page 104: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler96

Fungsi Jalur MAPK dalam Inti Sel

Dalam inti sel, jalur MAPK berperan penting dalam pengaturan proses transkripsi , pengaturan kromatin agar terjangkau oleh faktor transkrispsi, dan pengaturan transportasi berbagai mediator yang keluar dan masuk inti sel. Dalam proses transkripsi, jalur MAPK/ERK1/2 mengaktifkan beberapa faktor transkripsi dengan cara memfosforilasi berbagai substrat. Salah satu faktor transkripsi yang diaktifkan oleh jalur MAPK adalah protein ELK1 (Marais dkk, 1993). Fosforilasi aktivasi protein Elk1 selanjutnya mengaktifkan protein c-Fos yang merupakan protoonkogen untuk proliferasi sel. Protein c-Fos yang aktif kemudian memicu aktivasi sel yang sedang istirahat untuk membelah. Aktivasi c-Fos dilakukan dengan cara fosforilasi pada residu Ser374 dan Ser362 dari ujung karboksil dari protein c-Fos. Pada saat istirahat sel, protein c-Fos tidak terfosforilasi dan didegradasi dengan cepat melalui sistem degradasi sel. Gangguan pada proses aktivasi c-Fos dapat memicu sel untuk bertransformasi menjadi sel onkogenik (Efer dan Wagner, 2003). Selain c-Fos, ELK1 juga memfosforilasi protein lainnya yang berperan dalam menginisiasi proliferasi sel, yaitu c-Myc (Murphy dkk, 2004) yang juga berperan dalam menginisiasi proliferasi sel (Gambar 2.8).

Selain memicu proliferasi sel, jalur MAPK/ERK1/2 juga berperan dalam pengaturan kembali bentuk kromosom. Dalam inti sel, DNA yang dikemas dalam kromatin terdiri atas kesatuan protein (histon)-DNA yang membentuk kesatuan yang disebut nukleosom. Satu kesatuan nukleosom terdiri atas dsDNA yang digulung dalam oktamer protein histon (H2A, H2B, H3 and H4) dan satu histon penutup (H1). Kemasan DNA dalam nukleosom menentukan terjangkau tidaknya gen untuk proses transkripsi. Struktur nukleosom yang rapat menyebabkan DNA yang tergulung dalam histon tidak dapat dijangkau oleh faktor transkripsi sehingga gen menjadi inaktif. Agar DNA terjangkau oleh faktor transkripsi perlu proses pelonggaran sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi. Dalam proses inilah perlu pengaturan kembali bentuk kromatin sehingga lebih terjangkau oleh faktor transkripsi. Pengaturan kromatin dilakukan dengan asetilasi histon, fosforilasi histon, ribosilasi ADP, perubahan konformasi DNA, perubahan ikatan protein dengan DNA.

Dalam pengturan kromatin agar terjangkau atau tidak oleh faktor transkripsi, jalur MAPK/ERK1/2 bekerja dengan beberapa cara berikut. Pertama, jalur ini mengaktifkan enzim histon deasetilase 4 (HDAC4) yang merupakan enzim yang mengkatalisis penghilangan gugus asetil dari histon inti. Deasetilasi dilakukan dengan cara berikatan langsung dan memfosforilasi HDAC4. Kedua, jalur MAPK/ERK1/2 juga menginduksi translokasi HDAC4 ke dalam inti sel yang memudahkan proses deasetilasi histon oleh enzim HDAC4. Ketiga, jalur ini juga memfosforilasi protein pengatur protein histon H3 dan HMG-14 (Soloaga dkk, 2003) dan protein kinase RSK2 yang berperan dalam fosforilasi histon H3. Fosforilasi ini, mampu melonggarkan struktur kromatin sehingga terjangkau oleh faktor faktor transkripsi.

Pengaturan Faktor Transkripsi oleh Faktor Stres

Pada kondisi stres, sistem signal yang diaktifkan oleh MAPK adalah sistem signal JNK, p38 dan MAPKAPK. Jalur ini mengaktifkan berbagai faktor transkripsi, seperti c -Jun, JunB, Jun D, ATF2, p53, JDP2, dan c-Myc (Bogoyevitch, dan Kobe,, 2006). Jalur p38 mengaktifkan faktor transkripsi ATF-1/2/6, Sap1, CHOP, p53, C/EBP, MEF2C, MEF2A, dan HBP1(Zarubin dan Han, 2005). Berbagai faktor transkripsi yang diaktifkan melalui kaskade ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda tergantung pada jenis stres yang memicunya. Di antara faktor transkripsi tersebut, yang paling banyak dikaji adalah c-Jun, MEF2A, dan p53. Saat terstimulasi, c-Jun berikatan dengan faktor transkripsi lainnya, seperti c-Fos, dan ATF untuk membentuk kesatuan yang disebut activator protein 1” (AP-1) (Shaulian, 2010). Selain dengan cara berikatan dengan c-Fos dan ATF, c-Jun juga diaktifkan melalui fosforilasi pada residu Ser63 dan Ser73, serta pada Thr91 dan Thr93 (Morton dkk, 2003) oleh ketiga isoform JNK. Fosforilasi c-Jun merupakan proses penting dalam pengaturan berbagai proses seluler mulai dari proliferasi sampai apoptosis.

Selain c-jun dan c-fos, faktor transkripsi lainnya yang berperan penting akibat stres adalah p53. Pada keadaan, normal kadar p53 dalam sel selalu dipertahankan dalam jumlah kecil dengan cara degradasi. Namun, pada keadaan stres oleh agen mutagenik atau agen stres lainnya, kadar p53 meningkat yang dilakukan dengan cara

Page 105: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 97

Fungsi Jalur MAPK dalam Inti Sel

Dalam inti sel, jalur MAPK berperan penting dalam pengaturan proses transkripsi , pengaturan kromatin agar terjangkau oleh faktor transkrispsi, dan pengaturan transportasi berbagai mediator yang keluar dan masuk inti sel. Dalam proses transkripsi, jalur MAPK/ERK1/2 mengaktifkan beberapa faktor transkripsi dengan cara memfosforilasi berbagai substrat. Salah satu faktor transkripsi yang diaktifkan oleh jalur MAPK adalah protein ELK1 (Marais dkk, 1993). Fosforilasi aktivasi protein Elk1 selanjutnya mengaktifkan protein c-Fos yang merupakan protoonkogen untuk proliferasi sel. Protein c-Fos yang aktif kemudian memicu aktivasi sel yang sedang istirahat untuk membelah. Aktivasi c-Fos dilakukan dengan cara fosforilasi pada residu Ser374 dan Ser362 dari ujung karboksil dari protein c-Fos. Pada saat istirahat sel, protein c-Fos tidak terfosforilasi dan didegradasi dengan cepat melalui sistem degradasi sel. Gangguan pada proses aktivasi c-Fos dapat memicu sel untuk bertransformasi menjadi sel onkogenik (Efer dan Wagner, 2003). Selain c-Fos, ELK1 juga memfosforilasi protein lainnya yang berperan dalam menginisiasi proliferasi sel, yaitu c-Myc (Murphy dkk, 2004) yang juga berperan dalam menginisiasi proliferasi sel (Gambar 2.8).

Selain memicu proliferasi sel, jalur MAPK/ERK1/2 juga berperan dalam pengaturan kembali bentuk kromosom. Dalam inti sel, DNA yang dikemas dalam kromatin terdiri atas kesatuan protein (histon)-DNA yang membentuk kesatuan yang disebut nukleosom. Satu kesatuan nukleosom terdiri atas dsDNA yang digulung dalam oktamer protein histon (H2A, H2B, H3 and H4) dan satu histon penutup (H1). Kemasan DNA dalam nukleosom menentukan terjangkau tidaknya gen untuk proses transkripsi. Struktur nukleosom yang rapat menyebabkan DNA yang tergulung dalam histon tidak dapat dijangkau oleh faktor transkripsi sehingga gen menjadi inaktif. Agar DNA terjangkau oleh faktor transkripsi perlu proses pelonggaran sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi. Dalam proses inilah perlu pengaturan kembali bentuk kromatin sehingga lebih terjangkau oleh faktor transkripsi. Pengaturan kromatin dilakukan dengan asetilasi histon, fosforilasi histon, ribosilasi ADP, perubahan konformasi DNA, perubahan ikatan protein dengan DNA.

Dalam pengturan kromatin agar terjangkau atau tidak oleh faktor transkripsi, jalur MAPK/ERK1/2 bekerja dengan beberapa cara berikut. Pertama, jalur ini mengaktifkan enzim histon deasetilase 4 (HDAC4) yang merupakan enzim yang mengkatalisis penghilangan gugus asetil dari histon inti. Deasetilasi dilakukan dengan cara berikatan langsung dan memfosforilasi HDAC4. Kedua, jalur MAPK/ERK1/2 juga menginduksi translokasi HDAC4 ke dalam inti sel yang memudahkan proses deasetilasi histon oleh enzim HDAC4. Ketiga, jalur ini juga memfosforilasi protein pengatur protein histon H3 dan HMG-14 (Soloaga dkk, 2003) dan protein kinase RSK2 yang berperan dalam fosforilasi histon H3. Fosforilasi ini, mampu melonggarkan struktur kromatin sehingga terjangkau oleh faktor faktor transkripsi.

Pengaturan Faktor Transkripsi oleh Faktor Stres

Pada kondisi stres, sistem signal yang diaktifkan oleh MAPK adalah sistem signal JNK, p38 dan MAPKAPK. Jalur ini mengaktifkan berbagai faktor transkripsi, seperti c -Jun, JunB, Jun D, ATF2, p53, JDP2, dan c-Myc (Bogoyevitch, dan Kobe,, 2006). Jalur p38 mengaktifkan faktor transkripsi ATF-1/2/6, Sap1, CHOP, p53, C/EBP, MEF2C, MEF2A, dan HBP1(Zarubin dan Han, 2005). Berbagai faktor transkripsi yang diaktifkan melalui kaskade ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda tergantung pada jenis stres yang memicunya. Di antara faktor transkripsi tersebut, yang paling banyak dikaji adalah c-Jun, MEF2A, dan p53. Saat terstimulasi, c-Jun berikatan dengan faktor transkripsi lainnya, seperti c-Fos, dan ATF untuk membentuk kesatuan yang disebut activator protein 1” (AP-1) (Shaulian, 2010). Selain dengan cara berikatan dengan c-Fos dan ATF, c-Jun juga diaktifkan melalui fosforilasi pada residu Ser63 dan Ser73, serta pada Thr91 dan Thr93 (Morton dkk, 2003) oleh ketiga isoform JNK. Fosforilasi c-Jun merupakan proses penting dalam pengaturan berbagai proses seluler mulai dari proliferasi sampai apoptosis.

Selain c-jun dan c-fos, faktor transkripsi lainnya yang berperan penting akibat stres adalah p53. Pada keadaan, normal kadar p53 dalam sel selalu dipertahankan dalam jumlah kecil dengan cara degradasi. Namun, pada keadaan stres oleh agen mutagenik atau agen stres lainnya, kadar p53 meningkat yang dilakukan dengan cara

Page 106: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler98

fosforilasi pada berbagai residu sehingga menjadi aktif. Dengan fosforilasi ini, p53 yang aktif berfungsi untuk menghentikan peralihan dari fase G1 ke S dari siklus sel dan seringkali diikuti oleh apoptosis yang diperlukan untuk menghilangkan sel yang terpapar agen mutagen secara berlebihan (Oren dkk, 2002). Fosforilasi p53 pada berbagai situs fosforilasi dilakukan oleh berbagai enzim protein kinase JNK (Milne dkk, 1995), p38 (Lin dkk, 2008), dan ERK1/2 (Milne dkk, 1994). Fosforilasi yang terjadi pada residu Ser6 dan Ser36 meningkatkan aktivitas p53. Peran p53 yang terpenting adalah menahan siklus sel, reparasi DNA dan apoptosis jika kerusakan sel tidak dapat diperbaiki

Pengaturan Reseptor Nukleus oleh Kaskade Stres

Faktor lainnya yang diaktifkan oleh jalur ini adalah reseptor yang berlokasi dalam inti sel, seperti estrogen receptor (ER), glucocorticoid receptor (GR), peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR), androgen receptor (AR) dan retinoic acid receptor (RAR). Reseptor nukleus tersebut diaktifkan oleh ligand tertentu, sedangkan fosforilasi oleh MAPK hanya memodulasinya. Kaskade ERK1/2 merupakan pengatur utama dari reseptor inti sel (Eisinger-Mathason dkk, 2010) yang salah satunya adalah dengan memodulasi aktivitas transkripsi yang diperlukan untuk aktivasi reseptor inti sel.

Beberapa contoh peran jalur MAPK dalam pengaturan reseptor inti sel adalah pengaturan retinoic acid receptor (RAR) dan reseptor estrogen (ER). Dalam aktivasi retinoic acid receptor gamma (RARγ), jalur p38 langsung memfosforilasi reseptor tersebut. Fosforilasi RARγ memudahkan perekrutan ko-aktivator SUG1yang berperan dalam transaktivasi resptor inti sel tersebut (Giani dkk, 2002). Fosforilasi yang sama juga, berperan dalam degradasi dan supresi aktivitas RARγ (Chai dkk, 2009)

Lokalisasi Faktor Transkripsi oleh MAPK

Salah satu cara pengaturan faktor transkripsi oleh MAPK adalah dengan memodulasi lokalisasi subselulernya (Merbratu dan Tesfaigzi 2009). Salah satu contoh yang paling banyak dikaji adalah faktor transkripsi Nuclear factor of activated T-cells (NFAT). NFAT yang

aktivitasnya meningkat jika kadar kalsium sel meningkat. Jika kadar kalsium sel meningkat, maka terjadi translokasi NFAT dari sitoplasma ke dalam inti sel. Namun, jika kadar kalsium sel menurun, maka terjadi translokasi NFAT dari inti sel ke sitoplasma. Translokasi NFAT ke inti sel dimediasi oleh adanya interaksi antara NFAT dengan protein phosphatase 2B (PP2B) sehingga mengalami defosforilasi. Pada saat kadar kalsium menurun, NFAT lepas dari PP2B dan mengalami fosforilasi kembali sehingga terlokalisasi ke plasma sel. Enzim kinase yang memfosforilasi NFAT adalah p38.

Faktor transkripsi lainnya yang translokasinya diatur oleh MAPK adalah Forkhead box O3 (Foxo3). Protein ini berperan dalam dalam aktvasi ubiquitin ligase (Atrogin-1), yang berperan dalam atropi otot (Clavel dkk, 2010). Jalur JNK dan P38 berpartisipasi dalam regulasi ekspor Foxo3a dari inti sel yang dimediasi oleh exportin 1 (XPO1) atau juga dikenal dengan nama chromosomal maintenance 1 (CRM1). Proses translokasi Foxo3 dimediasi oleh PI3K/AKT, sedangkan MAPK mengendalikan Foxo3 dengan memodulasi ubiquitinilasinya pada sel otot. JNK juga berperan sebagai regulator β-catenin, dengan mencegah akumulasinya dalam nukleus (Liao dkk, 2006). Hambatan translokasi inti sel mencegah interaksi β-catenin dengan efektor nukleusnya, yaitu faktor transkripsi.

Sementara itu, pengaturan translokasi ERK1/2 oleh jalur MAPK dilakukan melalui protein importin7 dan eksportin. Pada sel yang tidak sedang membelah, enzim ini tertahan dalam sitoplasma oleh jangkar khusus yang mengikatnya dalam sitoplasma. Fosforilasi oleh enzim MEK1/2 mengaktivasi ERK1/2 sehingga terlepas dari jangkarnya, serta berikatan dengan protein importin7 dan membawanya ke inti sel. Dalam inti sel, ERK1/2 terlepas dari importin7 oleh aktivitas Ran-GTP dan importin7 yang membawa ERK1/2 kemudian kembali ke sitoplasma. Dalam inti sel, ERK1/2 memfosforilasi dan mengaktifkan berbagai substrat yang umumnya merupakan faktor transkripsi dari berbagai target gen. Transkripsi gen target memicu berbagai aktivitas sel seperti proliferasi, diferensiasi, pertumbuhan dan apoptosis (Plotnikov dkk, 2011)

Page 107: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 99

fosforilasi pada berbagai residu sehingga menjadi aktif. Dengan fosforilasi ini, p53 yang aktif berfungsi untuk menghentikan peralihan dari fase G1 ke S dari siklus sel dan seringkali diikuti oleh apoptosis yang diperlukan untuk menghilangkan sel yang terpapar agen mutagen secara berlebihan (Oren dkk, 2002). Fosforilasi p53 pada berbagai situs fosforilasi dilakukan oleh berbagai enzim protein kinase JNK (Milne dkk, 1995), p38 (Lin dkk, 2008), dan ERK1/2 (Milne dkk, 1994). Fosforilasi yang terjadi pada residu Ser6 dan Ser36 meningkatkan aktivitas p53. Peran p53 yang terpenting adalah menahan siklus sel, reparasi DNA dan apoptosis jika kerusakan sel tidak dapat diperbaiki

Pengaturan Reseptor Nukleus oleh Kaskade Stres

Faktor lainnya yang diaktifkan oleh jalur ini adalah reseptor yang berlokasi dalam inti sel, seperti estrogen receptor (ER), glucocorticoid receptor (GR), peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR), androgen receptor (AR) dan retinoic acid receptor (RAR). Reseptor nukleus tersebut diaktifkan oleh ligand tertentu, sedangkan fosforilasi oleh MAPK hanya memodulasinya. Kaskade ERK1/2 merupakan pengatur utama dari reseptor inti sel (Eisinger-Mathason dkk, 2010) yang salah satunya adalah dengan memodulasi aktivitas transkripsi yang diperlukan untuk aktivasi reseptor inti sel.

Beberapa contoh peran jalur MAPK dalam pengaturan reseptor inti sel adalah pengaturan retinoic acid receptor (RAR) dan reseptor estrogen (ER). Dalam aktivasi retinoic acid receptor gamma (RARγ), jalur p38 langsung memfosforilasi reseptor tersebut. Fosforilasi RARγ memudahkan perekrutan ko-aktivator SUG1yang berperan dalam transaktivasi resptor inti sel tersebut (Giani dkk, 2002). Fosforilasi yang sama juga, berperan dalam degradasi dan supresi aktivitas RARγ (Chai dkk, 2009)

Lokalisasi Faktor Transkripsi oleh MAPK

Salah satu cara pengaturan faktor transkripsi oleh MAPK adalah dengan memodulasi lokalisasi subselulernya (Merbratu dan Tesfaigzi 2009). Salah satu contoh yang paling banyak dikaji adalah faktor transkripsi Nuclear factor of activated T-cells (NFAT). NFAT yang

aktivitasnya meningkat jika kadar kalsium sel meningkat. Jika kadar kalsium sel meningkat, maka terjadi translokasi NFAT dari sitoplasma ke dalam inti sel. Namun, jika kadar kalsium sel menurun, maka terjadi translokasi NFAT dari inti sel ke sitoplasma. Translokasi NFAT ke inti sel dimediasi oleh adanya interaksi antara NFAT dengan protein phosphatase 2B (PP2B) sehingga mengalami defosforilasi. Pada saat kadar kalsium menurun, NFAT lepas dari PP2B dan mengalami fosforilasi kembali sehingga terlokalisasi ke plasma sel. Enzim kinase yang memfosforilasi NFAT adalah p38.

Faktor transkripsi lainnya yang translokasinya diatur oleh MAPK adalah Forkhead box O3 (Foxo3). Protein ini berperan dalam dalam aktvasi ubiquitin ligase (Atrogin-1), yang berperan dalam atropi otot (Clavel dkk, 2010). Jalur JNK dan P38 berpartisipasi dalam regulasi ekspor Foxo3a dari inti sel yang dimediasi oleh exportin 1 (XPO1) atau juga dikenal dengan nama chromosomal maintenance 1 (CRM1). Proses translokasi Foxo3 dimediasi oleh PI3K/AKT, sedangkan MAPK mengendalikan Foxo3 dengan memodulasi ubiquitinilasinya pada sel otot. JNK juga berperan sebagai regulator β-catenin, dengan mencegah akumulasinya dalam nukleus (Liao dkk, 2006). Hambatan translokasi inti sel mencegah interaksi β-catenin dengan efektor nukleusnya, yaitu faktor transkripsi.

Sementara itu, pengaturan translokasi ERK1/2 oleh jalur MAPK dilakukan melalui protein importin7 dan eksportin. Pada sel yang tidak sedang membelah, enzim ini tertahan dalam sitoplasma oleh jangkar khusus yang mengikatnya dalam sitoplasma. Fosforilasi oleh enzim MEK1/2 mengaktivasi ERK1/2 sehingga terlepas dari jangkarnya, serta berikatan dengan protein importin7 dan membawanya ke inti sel. Dalam inti sel, ERK1/2 terlepas dari importin7 oleh aktivitas Ran-GTP dan importin7 yang membawa ERK1/2 kemudian kembali ke sitoplasma. Dalam inti sel, ERK1/2 memfosforilasi dan mengaktifkan berbagai substrat yang umumnya merupakan faktor transkripsi dari berbagai target gen. Transkripsi gen target memicu berbagai aktivitas sel seperti proliferasi, diferensiasi, pertumbuhan dan apoptosis (Plotnikov dkk, 2011)

Page 108: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler100

Gambar 2.10. Mekanisme translokasi ERK1/2 ke inti sel. 1). Pada sel yang sedang istirahat ERK1/2 tertahan dalam sitoplasma oleh jangkar khusus. 2). Stimulasi seluler menyebabkan fosforilasi motif TEY dari ERK1/2 oleh MEK1/2 yang aktif. Fosforilasi tersebut menyebabkan pelepasan ERK1/2 dari jangkarnya dalam sitoplasma. 3). Dua residu serin pada NTS dari ERK1/2 difosforilasi oleh suatu kinase dan mungkin juga oleh faktor lain di luar ERK1/2. Fosforilasi NTS memungkinkan ERK1/2 untuk berikatan dengan importin7 dan kompleks transportasi ke nukleus. 4). Importin7 terlepas dari ERK1/2 oleh Ran-GTP yang menyebabkannya terekspor kembali ke sitoplasma. ERK1/2 yang bebas kemudian berinteraksi degan substratnya dalam inti sel untuk mengaktifkan berbagai proses (Plotnikov dkk, 2011)

4.4.2. Jalur Sstem Signal Phosphatidylinositol 3-kinase

Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) merupakan lipid kinase yang mengatur berbagai proses seluler seperti proliferasi, adesi, kelangsungan hidup, dan motilas sel. Jalur PI3K yang tidak terkendali dapat menimbulkan onkogenesis. Karena itu, jalur ini merupakan salah satu target bagi pengobatan kanker. Peran (PI3K) yang

terpenting adalah pengaturan siklus sel, apoptosis, reparasi DNA, angiogenesis, metabolisme dan motilitas sel (King dkk, 2015). Salah satu jalur PI3K yang paling banyak diketahui dan sangat berperan dalam pengaturan siklus sel adalah jalur PI3K/AKT/mTOR. Pada jalur ini, aktivasi dilakukan oleh faktor ekstrasel, seperti insulin-like growth factor (IGF) dan insulin. Aktivasi ini melibatkan mesenger kedua yang disebut phosphorylated phosphatidylinositol (PIP) yang mengaktifkan berbagai target seperti BTK, AKT, PKC, NF-kappa-B, dan JNK/SAPK yang sasaran akhirnya adalah kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel (Burris , 2013; Akinleye dkk, 2013; Hu dkk, 2012).

Pada sel normal aktivitas PI3K diatur secara ketat pada sel normal oleh enzim PTEN (phosphatase and tensin homolog). Namun, kegagalan dalam pengaturan jalur ini sering terjadi sehingga mengakibatkan munculnya kanker. Kegagalan pengaturan sistem signal PI3K dapat terjadi kerena mutasi gen penyandi protein PTEN, Akt dan protein lainnya yang menyebabkan fungsinya terganggu sehingga tidak mampu mengendalikan proliferasi sel. Keadaan ini dapat memicu proliferasi sel berlebihan atau munculnya sel yang tahan terhadap proses apoptosis. Penelitian menunjukkan bahwa 1/3 kasus kanker pada manusia melibatkan kelainan jalur PI3K (Arteaga, 2010).

Aktivasi jalur PI3K dimulai dari adanya ikatan faktor ekstrasel seperti insulin dan faktor pertumbuhan lainnya dengan reseptornya pada permukaan sel. Ada 4 faktor yang mampu menginisiasi jalur PI3K, yaitu faktor pertumbuhan, sitokin, hormon dan integrin. Ikatan faktor tersebut dengan reseptornya memicu autofosforilasi dan aktivasi reseptor PI3K. Melalui aktivasi reseptor inilah signal ditransduksikan untuk proliferasi, diferensiasi, motilitas dan kelangsungan hidup sel (Liu dkk, 2009). PI3K adalah enzim kinase dengan berat molekul 200–300 kDa (Gambar 2.11) yang pada manusia dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu PI3K I, II dan III. Perbedaan ini didasarkan atas struktur molekul, substrat khasnya, dan produk akhir dari lipid yang dihasilkan. Fungsi PI3K adalah untuk mengubah PIP 2 menjadi PIP3 dengan cara fosforilasi.

Page 109: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 101

Gambar 2.10. Mekanisme translokasi ERK1/2 ke inti sel. 1). Pada sel yang sedang istirahat ERK1/2 tertahan dalam sitoplasma oleh jangkar khusus. 2). Stimulasi seluler menyebabkan fosforilasi motif TEY dari ERK1/2 oleh MEK1/2 yang aktif. Fosforilasi tersebut menyebabkan pelepasan ERK1/2 dari jangkarnya dalam sitoplasma. 3). Dua residu serin pada NTS dari ERK1/2 difosforilasi oleh suatu kinase dan mungkin juga oleh faktor lain di luar ERK1/2. Fosforilasi NTS memungkinkan ERK1/2 untuk berikatan dengan importin7 dan kompleks transportasi ke nukleus. 4). Importin7 terlepas dari ERK1/2 oleh Ran-GTP yang menyebabkannya terekspor kembali ke sitoplasma. ERK1/2 yang bebas kemudian berinteraksi degan substratnya dalam inti sel untuk mengaktifkan berbagai proses (Plotnikov dkk, 2011)

4.4.2. Jalur Sstem Signal Phosphatidylinositol 3-kinase

Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) merupakan lipid kinase yang mengatur berbagai proses seluler seperti proliferasi, adesi, kelangsungan hidup, dan motilas sel. Jalur PI3K yang tidak terkendali dapat menimbulkan onkogenesis. Karena itu, jalur ini merupakan salah satu target bagi pengobatan kanker. Peran (PI3K) yang

terpenting adalah pengaturan siklus sel, apoptosis, reparasi DNA, angiogenesis, metabolisme dan motilitas sel (King dkk, 2015). Salah satu jalur PI3K yang paling banyak diketahui dan sangat berperan dalam pengaturan siklus sel adalah jalur PI3K/AKT/mTOR. Pada jalur ini, aktivasi dilakukan oleh faktor ekstrasel, seperti insulin-like growth factor (IGF) dan insulin. Aktivasi ini melibatkan mesenger kedua yang disebut phosphorylated phosphatidylinositol (PIP) yang mengaktifkan berbagai target seperti BTK, AKT, PKC, NF-kappa-B, dan JNK/SAPK yang sasaran akhirnya adalah kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel (Burris , 2013; Akinleye dkk, 2013; Hu dkk, 2012).

Pada sel normal aktivitas PI3K diatur secara ketat pada sel normal oleh enzim PTEN (phosphatase and tensin homolog). Namun, kegagalan dalam pengaturan jalur ini sering terjadi sehingga mengakibatkan munculnya kanker. Kegagalan pengaturan sistem signal PI3K dapat terjadi kerena mutasi gen penyandi protein PTEN, Akt dan protein lainnya yang menyebabkan fungsinya terganggu sehingga tidak mampu mengendalikan proliferasi sel. Keadaan ini dapat memicu proliferasi sel berlebihan atau munculnya sel yang tahan terhadap proses apoptosis. Penelitian menunjukkan bahwa 1/3 kasus kanker pada manusia melibatkan kelainan jalur PI3K (Arteaga, 2010).

Aktivasi jalur PI3K dimulai dari adanya ikatan faktor ekstrasel seperti insulin dan faktor pertumbuhan lainnya dengan reseptornya pada permukaan sel. Ada 4 faktor yang mampu menginisiasi jalur PI3K, yaitu faktor pertumbuhan, sitokin, hormon dan integrin. Ikatan faktor tersebut dengan reseptornya memicu autofosforilasi dan aktivasi reseptor PI3K. Melalui aktivasi reseptor inilah signal ditransduksikan untuk proliferasi, diferensiasi, motilitas dan kelangsungan hidup sel (Liu dkk, 2009). PI3K adalah enzim kinase dengan berat molekul 200–300 kDa (Gambar 2.11) yang pada manusia dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu PI3K I, II dan III. Perbedaan ini didasarkan atas struktur molekul, substrat khasnya, dan produk akhir dari lipid yang dihasilkan. Fungsi PI3K adalah untuk mengubah PIP 2 menjadi PIP3 dengan cara fosforilasi.

Page 110: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler102

Gambar 2.11. Jalur PI3K/PTEN/Akt. Ikatan faktor pertumbuhan dengan reseptornya pada permukaan sel mengaktifkan reseptor yang selanjutnya merekrut dan mengaktifkan PI3K. PI3K teraktivasi kemudian mengubah PIP2 menjadi PIP3 yang selanjutnya memediasi fosforilasi Akt melalui PDK1. Akt yang aktif kemudian memfosforilasi berbagai substrat dan salah satu substrat terpenting adalah mTOR yang terlibat dalam pertumbuhan, proliferasi dan kelangsungan hidup sel. PTEN yang merupakan enzim phosphatase mengubah PIP3 menjadi PIP2 dan berperan dalam mengainaktivasi Akt. (Sumber Phin kk, 2013)

PI3K I berbentuk heterodimer dari subunit katalitik dan subregulator serta dapat dibedakan lagi menjadi subtipe IA dan IB. Namun, PI3K I yang paling banyak diketahui adalah kelompok IA karena paling banyak berkaitan dengan kanker (Engelman dkk, 2006). Enzim ini terdiri atas protein katalitik dengan berat molekul 110 kDA (p110) yang membentuk kompleks dengan subregulatornya. Protein katalistik p110 mempunyai 3 isoform (α, β, and δ) yang berturut-turut disandi oleh gen PIK3CA, PIK3CB, dan PIK3CD. Sementara itu, protein regulator p85 mempunyai isoform p85, p55 dan p50 yang berturut–turut disandi oleh gen PIK3R1, PIK3R2, dan PIK3R3 (Katso dkk, 2001). Subunit p85 mengandung domain SH2 dan SH3 dan

domain SH2 berikatan dengan residu tirosin terfosforilasi dengan sekuen asam amino Y-X-X-M (Yoakim dkk, 1994). Dalam hal ini Y adalah tirosin, x : sebarang asam amino dan M : methionin

Serupa dengan PI3K I, PI3K IB juga terdiri atas protein katalitik p110γ dan subunit protein regulator untuk perekrutan dan aktivasi PI3KC2α dan PI3KC2β oleh faktor pertumbuhan (Arcaro dkk, 2000). Ujung N dari protein ini juga bertindak sebagai situs utama bagi ikatan klathrin trimer yang secara terpisah memodulasi penyebaran dan fungsi klathrin di dalam sel (Gaidarov dkk, 2005). PI3K klas III merupakan enzim katalitik Vps34 yang ditandai oleh adanya domain tipe C2 PI3K pada ujung N, domain PIK heliks yang di bagian tengah dan domain PI3K/PI4K kinase pada ujung karboksilnya .

P110α dan p100β diekspresikan secara luas pada semua jaringan tubuh, sedangkan p110δ diekpresikan hanya terbatas pada sel hemopoetik yang berperan dalam homeostasis dan fungsi sel B. Sementara itu, p110γ diekspresikan terutama pada sel pankreas, otot rangka, hati dan jantung yang memediasi sistem signal GPCR (Stoyanov dkk, 1995). PI3K klas II juga diekspreskan pada berbagai sel di semua jaringan dengan tingkat ekspresi yang berbeda-beda dan diaktifkan oleh reseptor tirosin kinase, reseptor sitokin dan kemokin serta integrin (Gaidarov dkk, 2001). hVps34 juga diekspresikan secara luas pada berbagai jaringan, tetapi ekspresinya yang paling tinggi ditemukan pada jaringan otot rangka dan berperan penting dalam pengangkutan kompartemen sitosol dalam sel (Stein dkk, 2003).

Pada sel yang tidak membelah, enzim PI3K sebagaian besar ditemukan dalam sitosol dalam bentuk tidak terfosforilasi dan inaktif, kecuali PI3K klas II yang lebih cenderung terikat dengan membran sel. Sebagai respons atas stimulus faktor pertumbuhan, motif tirosin fosfat dari reseptor yang teraktivasi merekrut PI3K ke membran sel melalui domain SH2 dari subunit regulatornya (Carpenter dkk, 1993). Ikatan reseptor tirosin kinase dengan PI3K menyebabkan perubahan konformasi subunit regulatornya sehingga menghilangkan aktivitas hambatannya dan mengaktifkan secara penuh aktivitas enzimatik subunit regulatornya. Selain oleh faktor pertumbuhan, enzim PI3K

Page 111: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 103

Gambar 2.11. Jalur PI3K/PTEN/Akt. Ikatan faktor pertumbuhan dengan reseptornya pada permukaan sel mengaktifkan reseptor yang selanjutnya merekrut dan mengaktifkan PI3K. PI3K teraktivasi kemudian mengubah PIP2 menjadi PIP3 yang selanjutnya memediasi fosforilasi Akt melalui PDK1. Akt yang aktif kemudian memfosforilasi berbagai substrat dan salah satu substrat terpenting adalah mTOR yang terlibat dalam pertumbuhan, proliferasi dan kelangsungan hidup sel. PTEN yang merupakan enzim phosphatase mengubah PIP3 menjadi PIP2 dan berperan dalam mengainaktivasi Akt. (Sumber Phin kk, 2013)

PI3K I berbentuk heterodimer dari subunit katalitik dan subregulator serta dapat dibedakan lagi menjadi subtipe IA dan IB. Namun, PI3K I yang paling banyak diketahui adalah kelompok IA karena paling banyak berkaitan dengan kanker (Engelman dkk, 2006). Enzim ini terdiri atas protein katalitik dengan berat molekul 110 kDA (p110) yang membentuk kompleks dengan subregulatornya. Protein katalistik p110 mempunyai 3 isoform (α, β, and δ) yang berturut-turut disandi oleh gen PIK3CA, PIK3CB, dan PIK3CD. Sementara itu, protein regulator p85 mempunyai isoform p85, p55 dan p50 yang berturut–turut disandi oleh gen PIK3R1, PIK3R2, dan PIK3R3 (Katso dkk, 2001). Subunit p85 mengandung domain SH2 dan SH3 dan

domain SH2 berikatan dengan residu tirosin terfosforilasi dengan sekuen asam amino Y-X-X-M (Yoakim dkk, 1994). Dalam hal ini Y adalah tirosin, x : sebarang asam amino dan M : methionin

Serupa dengan PI3K I, PI3K IB juga terdiri atas protein katalitik p110γ dan subunit protein regulator untuk perekrutan dan aktivasi PI3KC2α dan PI3KC2β oleh faktor pertumbuhan (Arcaro dkk, 2000). Ujung N dari protein ini juga bertindak sebagai situs utama bagi ikatan klathrin trimer yang secara terpisah memodulasi penyebaran dan fungsi klathrin di dalam sel (Gaidarov dkk, 2005). PI3K klas III merupakan enzim katalitik Vps34 yang ditandai oleh adanya domain tipe C2 PI3K pada ujung N, domain PIK heliks yang di bagian tengah dan domain PI3K/PI4K kinase pada ujung karboksilnya .

P110α dan p100β diekspresikan secara luas pada semua jaringan tubuh, sedangkan p110δ diekpresikan hanya terbatas pada sel hemopoetik yang berperan dalam homeostasis dan fungsi sel B. Sementara itu, p110γ diekspresikan terutama pada sel pankreas, otot rangka, hati dan jantung yang memediasi sistem signal GPCR (Stoyanov dkk, 1995). PI3K klas II juga diekspreskan pada berbagai sel di semua jaringan dengan tingkat ekspresi yang berbeda-beda dan diaktifkan oleh reseptor tirosin kinase, reseptor sitokin dan kemokin serta integrin (Gaidarov dkk, 2001). hVps34 juga diekspresikan secara luas pada berbagai jaringan, tetapi ekspresinya yang paling tinggi ditemukan pada jaringan otot rangka dan berperan penting dalam pengangkutan kompartemen sitosol dalam sel (Stein dkk, 2003).

Pada sel yang tidak membelah, enzim PI3K sebagaian besar ditemukan dalam sitosol dalam bentuk tidak terfosforilasi dan inaktif, kecuali PI3K klas II yang lebih cenderung terikat dengan membran sel. Sebagai respons atas stimulus faktor pertumbuhan, motif tirosin fosfat dari reseptor yang teraktivasi merekrut PI3K ke membran sel melalui domain SH2 dari subunit regulatornya (Carpenter dkk, 1993). Ikatan reseptor tirosin kinase dengan PI3K menyebabkan perubahan konformasi subunit regulatornya sehingga menghilangkan aktivitas hambatannya dan mengaktifkan secara penuh aktivitas enzimatik subunit regulatornya. Selain oleh faktor pertumbuhan, enzim PI3K

Page 112: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler104

juga dapat diaktifkan oleh aktivitas Ras-GTPase yang membentuk kesatuan dengan protein adaptornya seperti protein GRB2 dan SOS yang telah terfosforilasi (Shaw dkk, 2006). Aktivasi PI3K mengkatalisis pembentukan messenger kedua, yaitu phosphorylated phosphatidylinositol (PIP). PIP inilah yang kemudian memicu aktivasi signal berikutnya yang diperlukan oleh sel untuk pertumbuhan, proliferasi dan diferensiasi.

Fungsi terpenting dari PI3K adalah untuk memfosforilassi PI 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi PI 3,4-bisphosphate (PIP3) yang selanjutnya mempengaruhi berbagai protein signal yang memiliki domain pleckstrin homology (PH) dan secara tidak langsung memicu kaskade berbagai peristiwa molekuler yang pada puncaknya berakhir dengan aktivasi enzim kinase efektor, seperti mTOR, ERK1/2, p38 MAPK, NF-kappa-B, dan JNK/SAPK (Akinleye dkk, 2013; Furqan dkk, 2013). Proses sistem signal tersebut melibatkan serine/threonine kinase (AKT dan PDK1), tirosin kinase (keluarga Tec/BTK), GTP-binding protein (Grp1), protein sitoskeletal dan protein adaptor (GAB-1) (Akinleye, 2013). PIP3 berikatan dengan domain PH dari Akt dan PDK1 serta membawa keduanya untuk berdekatan yang memungkinkan fosforilasi Akt pada residu Tyr-308 oleh enzim PDK1 (Furqan dkk, 2013).

Jalur sistem signal PI3K-Akt memicu pertumbuhan dan kehidupan sel melalui berbagai mekanisme. Untuk menpertahankan kehidupan sel, PI3K-Akt mempengaruhi apoptosis dengan menekan aktivitas proapoptosis dari protein keluaga Bcl-2, seperti protein BAD dan BAX yang menyebabkan sel bertahan hidup. Selain itu, jalur PI3K-Akt juga mengatur kematian dan kehidupan sel melalui pengaturan gen NF-kappa-B, baik yang pro- maupun yang anti-apoptosis. Akt juga mempunyai protein sasaran lainnya untuk diaktivasi, yaitu mammalian target of rapamycin (mTOR), mTOR containing protein complex (mTORC1), glycogen synthase kinase 3 (GSK3), (tuberous sclerosis complex (TSC), dan forkhead family of transcription factor (FOXO), yang berperan dalam pengaturan proliferasi sel, sintesis protein dan metabolisme glukosa (Manning dkk, 2008).

Pada sel normal dan tidak membelah, PIP3 sulit dilacak karena enzim PTEN dengan cepat mengubah PIP3 menjadi PIP2 dengan cara defosforilasi PIP3 pada posisi D3. Semantara itu, phosphatase lainnya yang mengandung domain Src-homology 2 (SH2), seperti SHIP1 dan SHIP2 juga dapat menginaktifkan PIP3 dengan menghidrolisis gugus fosfat pada posisi D5 yang menghasilkan PI 3,4-bisphosphate (Clement dkk, 2001). Penghentian signal PI3K dilakukan oleh kerjasama inositol polyphosphate 4-phosphatase type II (INPP4B) dan myotubularin yang menghidrolisis PI 3,4-bisphosphate menjadi PI 3-phosphate, dan PI 3-phosphate menjadi PI (Bitting dkk , 2013).

Mengingat perannya yang amat penting dalam mencegah apoptosis dan menstimulasi sel normal untuk bertahan hidup, jalur PI3K dapat memicu kanker bila terjadi gangguan dalam sistem apoptosis. Gangguan apoptosis dapat meningkatkan kemampuan daya proliferasi sel dan meningkatkan kemampuan sel untuk menginvasi jaringan yang memfasilitasi metastasis sel kanker ke berbagai jaringan (Osaki dkk, 2004). Aktivasi jalur PI3K secara tidak normal dapat terjadi melalui 3 cara, yaitu mutasi yang mengaktifkan dan amplifikasi subunit kalatlitiknya, inaktivasi lipid phosphatase seperti PTEN, serta amplifikasi atau mutasi reseptor seperti RTK dan GPCR (Engelman dkk, 2009). Sebagai contoh sekitar 30% kanker patyudara berkaitan dengan mutasi dari gen PIK3CA, yaitu gen yang menyandi subunit katalitik p110α klas IAdari PI3K yang menyebabkan sel untuk tumbuh berlebihan dan memicu tumor. Hilangnya aktivitas PTEN yang disebabkan oleh mutasi dan peredaman fungsi gen secara epigenetik, memiliki skor Gleason yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk, serta laju metastasis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan PTEN yang normal (Taylor dkk, 2001). Peningkatan aktivitas p110 β yang disebabkan oleh amplifikasi gen dijumpai pada sekitar 70% kanker kolon manusia yang menyebabkan sel tumbuh secara tidak terbatas.

Mutasi pada gen PIK3RI penyandi protein subunit regulator p85α ditemukan pada 10% glioblastoma manusia (Parsons dkk, 2008). Karena itulah jalur PI3K menjadi sasaran bagi pengobatan antikanker. PI3K merupakan keluarga enzim kinase yang mampu memfosforilasi cincin inositol pada posisi 3 dari gugus hidroksil dari molekul phosphatidylinositol (PtdIns). Pada jalur ini, komponen yang

Page 113: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 105

juga dapat diaktifkan oleh aktivitas Ras-GTPase yang membentuk kesatuan dengan protein adaptornya seperti protein GRB2 dan SOS yang telah terfosforilasi (Shaw dkk, 2006). Aktivasi PI3K mengkatalisis pembentukan messenger kedua, yaitu phosphorylated phosphatidylinositol (PIP). PIP inilah yang kemudian memicu aktivasi signal berikutnya yang diperlukan oleh sel untuk pertumbuhan, proliferasi dan diferensiasi.

Fungsi terpenting dari PI3K adalah untuk memfosforilassi PI 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi PI 3,4-bisphosphate (PIP3) yang selanjutnya mempengaruhi berbagai protein signal yang memiliki domain pleckstrin homology (PH) dan secara tidak langsung memicu kaskade berbagai peristiwa molekuler yang pada puncaknya berakhir dengan aktivasi enzim kinase efektor, seperti mTOR, ERK1/2, p38 MAPK, NF-kappa-B, dan JNK/SAPK (Akinleye dkk, 2013; Furqan dkk, 2013). Proses sistem signal tersebut melibatkan serine/threonine kinase (AKT dan PDK1), tirosin kinase (keluarga Tec/BTK), GTP-binding protein (Grp1), protein sitoskeletal dan protein adaptor (GAB-1) (Akinleye, 2013). PIP3 berikatan dengan domain PH dari Akt dan PDK1 serta membawa keduanya untuk berdekatan yang memungkinkan fosforilasi Akt pada residu Tyr-308 oleh enzim PDK1 (Furqan dkk, 2013).

Jalur sistem signal PI3K-Akt memicu pertumbuhan dan kehidupan sel melalui berbagai mekanisme. Untuk menpertahankan kehidupan sel, PI3K-Akt mempengaruhi apoptosis dengan menekan aktivitas proapoptosis dari protein keluaga Bcl-2, seperti protein BAD dan BAX yang menyebabkan sel bertahan hidup. Selain itu, jalur PI3K-Akt juga mengatur kematian dan kehidupan sel melalui pengaturan gen NF-kappa-B, baik yang pro- maupun yang anti-apoptosis. Akt juga mempunyai protein sasaran lainnya untuk diaktivasi, yaitu mammalian target of rapamycin (mTOR), mTOR containing protein complex (mTORC1), glycogen synthase kinase 3 (GSK3), (tuberous sclerosis complex (TSC), dan forkhead family of transcription factor (FOXO), yang berperan dalam pengaturan proliferasi sel, sintesis protein dan metabolisme glukosa (Manning dkk, 2008).

Pada sel normal dan tidak membelah, PIP3 sulit dilacak karena enzim PTEN dengan cepat mengubah PIP3 menjadi PIP2 dengan cara defosforilasi PIP3 pada posisi D3. Semantara itu, phosphatase lainnya yang mengandung domain Src-homology 2 (SH2), seperti SHIP1 dan SHIP2 juga dapat menginaktifkan PIP3 dengan menghidrolisis gugus fosfat pada posisi D5 yang menghasilkan PI 3,4-bisphosphate (Clement dkk, 2001). Penghentian signal PI3K dilakukan oleh kerjasama inositol polyphosphate 4-phosphatase type II (INPP4B) dan myotubularin yang menghidrolisis PI 3,4-bisphosphate menjadi PI 3-phosphate, dan PI 3-phosphate menjadi PI (Bitting dkk , 2013).

Mengingat perannya yang amat penting dalam mencegah apoptosis dan menstimulasi sel normal untuk bertahan hidup, jalur PI3K dapat memicu kanker bila terjadi gangguan dalam sistem apoptosis. Gangguan apoptosis dapat meningkatkan kemampuan daya proliferasi sel dan meningkatkan kemampuan sel untuk menginvasi jaringan yang memfasilitasi metastasis sel kanker ke berbagai jaringan (Osaki dkk, 2004). Aktivasi jalur PI3K secara tidak normal dapat terjadi melalui 3 cara, yaitu mutasi yang mengaktifkan dan amplifikasi subunit kalatlitiknya, inaktivasi lipid phosphatase seperti PTEN, serta amplifikasi atau mutasi reseptor seperti RTK dan GPCR (Engelman dkk, 2009). Sebagai contoh sekitar 30% kanker patyudara berkaitan dengan mutasi dari gen PIK3CA, yaitu gen yang menyandi subunit katalitik p110α klas IAdari PI3K yang menyebabkan sel untuk tumbuh berlebihan dan memicu tumor. Hilangnya aktivitas PTEN yang disebabkan oleh mutasi dan peredaman fungsi gen secara epigenetik, memiliki skor Gleason yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih buruk, serta laju metastasis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan PTEN yang normal (Taylor dkk, 2001). Peningkatan aktivitas p110 β yang disebabkan oleh amplifikasi gen dijumpai pada sekitar 70% kanker kolon manusia yang menyebabkan sel tumbuh secara tidak terbatas.

Mutasi pada gen PIK3RI penyandi protein subunit regulator p85α ditemukan pada 10% glioblastoma manusia (Parsons dkk, 2008). Karena itulah jalur PI3K menjadi sasaran bagi pengobatan antikanker. PI3K merupakan keluarga enzim kinase yang mampu memfosforilasi cincin inositol pada posisi 3 dari gugus hidroksil dari molekul phosphatidylinositol (PtdIns). Pada jalur ini, komponen yang

Page 114: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler106

bertindak sebagai onkogen adalah PIK3CA dan sebagai antionkogen adalah PTEN. PI3K klas I merupakan PI3K yang berperan dalam pengaturan metabolisme phosphatidylinositol 3-phosphate (PI(3)P), phosphatidylinositol (3,4)-bisphosphate (PI(3,4)P2),dan phosphatidylinositol (3,4,5)-trisphosphate (PI(3,4,5)P3). PI3K diaktifkan oleh GPCR dan reseptor tirosin kinase (Okkenhaug, 2013)

Berbeda dengan PI3K klas I, PI3K klas II dan III, residu Asp untuk mengkoordinasikan iktan ion Ca+. Klas II terdiri atas 3 isoform katalitik (C2α, C2β, dan C2γ), tetapi tidak memiliki subunit regulator. Klas II mengkatalisis pembentukan PI(3)P dari PI, dan PI(3,4)P2 dari PIP. Sementara itu, klas III hanya menghasilkan PI(3)P dari PI. PI3K klas III bekerja dengan cara yang mirip dengan klas I dan mempunyai subunit katalitik (Vps34) dan regulator (Vps15/p150). Klas III bekeja terutama berkaitan dengan lalu lintas protein dan vesikula

Perubahan PP2 menjadi PIP3 yang keduanya berada dalam membran sel menyebabkan ikatan Akt melalui domain plekstrin homologinya dengan PIP3 yang menyebabkan AKt teraktivasi. Selain Akt, protein lain yang juga teraktivasi adalah phosphoinositide-dependent kinase-1 (PDK1) melalui domain PH yang juga berikatan dengan PIP3 dan PIP2 yang menyebabkannnya merapat ke membran sel saat teraktivasi oleh PI3K. Interaksi antara PDK1 dan AKT teraktivasi menyebabkan AKT terfosforilasi oleh PDK1 pada threonine 308, dan menyebabkan Ak5 teraktivasi sebagian. Aktivasi Akt secara penuh dilakukan dengan fosforilasi pada serin 473 oleh TORC2 dalam kompleks mTOR protein kinase

Akt juga menekan aktivitas protein proapoptosis, seperti BAD, caspase 9, ASK dan MLK3. Fosforilasi Bad oleh Akt pada Ser136 menyebabkannya terlepas dari membran mitokondria ke sitosol yang kemudain diikat oleh protein 14-3-3(Zhang dkk, 2011). Fosforilasi caspase-9 oleh Akt pada residu Ser196 mencegah kaskade caspase berikutnya yang berperaan dalam kematian sel (Manning dan Cantley, 2007). Akt juga memfosforilasi enzim ASK1 (apoptosis signal regulating kinase) pada residu Ser83 dan enzim MLK3 (mixed lineage kinase 3) pada residu Ser674 yang menghambat aktivitas proapoptosisnya (Song dkk, 2005). Kedua enzim tersebut teraktivasi

melalui jalur MAP kinase yang diinduksi oleh faktor stres (stress-activated protein kinase (SAPK) yang memicu apoptosis.

PI3K dan Kanker

Enzim PI3K klas IA bermutasi pada berbagai kasus kanker. Mutasi tersebut menyebabkan enzim ini lebih aktif dan salah satunya adalah glioblastoma yang merupakan tumor ganas primer pada otak. Selain itu, enzim antagonisnya, yaitu PTEN, aktivitasnya menghilang pada berbagai jenis tumor. Reseptor EGFR yang diperlukan untuk aktivasi PI3K juga sering bermutasi dan terekspresi secara berlebihan pada berbagai kanker. Karena itu, aktivitas PI3K sering dikaitkan dengan transformasi sel dan perkembangan kanker (Fruman dan Rommel 2014).

Pengaturan apoptosis

Selain mengatur insulin, jalur ini juga mengatur hidup dan matinya sel melalui penghambatan protein proapotosis seperti Bad, faktor transkripsi FoxO, GSK-3, dan MST1. Akt memfosforilasi berbagai protein target dan secara langsung menghambat faktor transkripsi FoxO yang juga mengatur metabolisme dan autofagi. Signal insulin juga mempunyai efek pertumbuhan dan mitogenik pada sel yang sebagian besar dilakukan melalui reaksi beruntun Akt dan juga melalui aktivasi jalur RAS/MAPK. Jalur sistem signal insulin juga menghambat autofagi melalui ULK1 kinase yang menghambat Akt dan mTORC1 yang diaktifkan melalui jalur AMPK.

Dalam inti sel, Akt menghambat faktor transkripsi gen yang memicu kematian sel dan meningkatkan aktivitas faktor transkripsi gen yang antiapoptosis. Akt dapat secara langsung memfosforilasi beberapa protein proapoptosis keluarga FoxO yang menyebabkannya terekspor dari inti sel ke sitosol yang selanjutnya diikat oleh protein 14-3-3. Ikatan ini memcu ubiquitinasi protein FoxO dalam proteosom (Zhang dkk, 2011). Selain itu, enzim Akt juga mengatur faktor transkripsi gen yang memicu kehidupan sel seperti memfosforilasi IκB kinase yang memicu translokasi NF-κB ke dalam inti sel. Di dalam inti sel, NF-κB memicu ekspresi penghambat aktivitas caspase seperti c-Myb dan Bcl-xL (Manning dan Cantley, 2007). Faktor prokehidupan

Page 115: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 107

bertindak sebagai onkogen adalah PIK3CA dan sebagai antionkogen adalah PTEN. PI3K klas I merupakan PI3K yang berperan dalam pengaturan metabolisme phosphatidylinositol 3-phosphate (PI(3)P), phosphatidylinositol (3,4)-bisphosphate (PI(3,4)P2),dan phosphatidylinositol (3,4,5)-trisphosphate (PI(3,4,5)P3). PI3K diaktifkan oleh GPCR dan reseptor tirosin kinase (Okkenhaug, 2013)

Berbeda dengan PI3K klas I, PI3K klas II dan III, residu Asp untuk mengkoordinasikan iktan ion Ca+. Klas II terdiri atas 3 isoform katalitik (C2α, C2β, dan C2γ), tetapi tidak memiliki subunit regulator. Klas II mengkatalisis pembentukan PI(3)P dari PI, dan PI(3,4)P2 dari PIP. Sementara itu, klas III hanya menghasilkan PI(3)P dari PI. PI3K klas III bekerja dengan cara yang mirip dengan klas I dan mempunyai subunit katalitik (Vps34) dan regulator (Vps15/p150). Klas III bekeja terutama berkaitan dengan lalu lintas protein dan vesikula

Perubahan PP2 menjadi PIP3 yang keduanya berada dalam membran sel menyebabkan ikatan Akt melalui domain plekstrin homologinya dengan PIP3 yang menyebabkan AKt teraktivasi. Selain Akt, protein lain yang juga teraktivasi adalah phosphoinositide-dependent kinase-1 (PDK1) melalui domain PH yang juga berikatan dengan PIP3 dan PIP2 yang menyebabkannnya merapat ke membran sel saat teraktivasi oleh PI3K. Interaksi antara PDK1 dan AKT teraktivasi menyebabkan AKT terfosforilasi oleh PDK1 pada threonine 308, dan menyebabkan Ak5 teraktivasi sebagian. Aktivasi Akt secara penuh dilakukan dengan fosforilasi pada serin 473 oleh TORC2 dalam kompleks mTOR protein kinase

Akt juga menekan aktivitas protein proapoptosis, seperti BAD, caspase 9, ASK dan MLK3. Fosforilasi Bad oleh Akt pada Ser136 menyebabkannya terlepas dari membran mitokondria ke sitosol yang kemudain diikat oleh protein 14-3-3(Zhang dkk, 2011). Fosforilasi caspase-9 oleh Akt pada residu Ser196 mencegah kaskade caspase berikutnya yang berperaan dalam kematian sel (Manning dan Cantley, 2007). Akt juga memfosforilasi enzim ASK1 (apoptosis signal regulating kinase) pada residu Ser83 dan enzim MLK3 (mixed lineage kinase 3) pada residu Ser674 yang menghambat aktivitas proapoptosisnya (Song dkk, 2005). Kedua enzim tersebut teraktivasi

melalui jalur MAP kinase yang diinduksi oleh faktor stres (stress-activated protein kinase (SAPK) yang memicu apoptosis.

PI3K dan Kanker

Enzim PI3K klas IA bermutasi pada berbagai kasus kanker. Mutasi tersebut menyebabkan enzim ini lebih aktif dan salah satunya adalah glioblastoma yang merupakan tumor ganas primer pada otak. Selain itu, enzim antagonisnya, yaitu PTEN, aktivitasnya menghilang pada berbagai jenis tumor. Reseptor EGFR yang diperlukan untuk aktivasi PI3K juga sering bermutasi dan terekspresi secara berlebihan pada berbagai kanker. Karena itu, aktivitas PI3K sering dikaitkan dengan transformasi sel dan perkembangan kanker (Fruman dan Rommel 2014).

Pengaturan apoptosis

Selain mengatur insulin, jalur ini juga mengatur hidup dan matinya sel melalui penghambatan protein proapotosis seperti Bad, faktor transkripsi FoxO, GSK-3, dan MST1. Akt memfosforilasi berbagai protein target dan secara langsung menghambat faktor transkripsi FoxO yang juga mengatur metabolisme dan autofagi. Signal insulin juga mempunyai efek pertumbuhan dan mitogenik pada sel yang sebagian besar dilakukan melalui reaksi beruntun Akt dan juga melalui aktivasi jalur RAS/MAPK. Jalur sistem signal insulin juga menghambat autofagi melalui ULK1 kinase yang menghambat Akt dan mTORC1 yang diaktifkan melalui jalur AMPK.

Dalam inti sel, Akt menghambat faktor transkripsi gen yang memicu kematian sel dan meningkatkan aktivitas faktor transkripsi gen yang antiapoptosis. Akt dapat secara langsung memfosforilasi beberapa protein proapoptosis keluarga FoxO yang menyebabkannya terekspor dari inti sel ke sitosol yang selanjutnya diikat oleh protein 14-3-3. Ikatan ini memcu ubiquitinasi protein FoxO dalam proteosom (Zhang dkk, 2011). Selain itu, enzim Akt juga mengatur faktor transkripsi gen yang memicu kehidupan sel seperti memfosforilasi IκB kinase yang memicu translokasi NF-κB ke dalam inti sel. Di dalam inti sel, NF-κB memicu ekspresi penghambat aktivitas caspase seperti c-Myb dan Bcl-xL (Manning dan Cantley, 2007). Faktor prokehidupan

Page 116: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler108

sel lainnya yang diatur oleh enzim Akt adalah BCl-2 dengan cara memfosforilasi CREB (cAMP response element binding protein) pada residu Ser133 yang memicu perekrutan CBP (CREB-binding protein) ke promotor gen target seperti Bcl-2. Akt juga memfosforilasi protein mdm2 (murine double minute 2) sehingga aktivitas ubiquitin-ligasenya meningkat yang secara tidak langsung meningkatkan degradasi protein p53 dan menekan apoptosis

Gambar 2.11. Jalur sistem signal PI3K dalam pengaturan apoptosis. Enzim Akt terfosforilasi melalui sistem signal jalur PI3K. Fosforilasi Akt menghambat protein proapoptosis (Bax dan Bad). Akt mengaktifkan mTOR, yang selanjutnya memfosforilasi dan mengaktifkan protein antiapoptosis seperti MCL-1. AKT juga mengaktifkan NF-κB (nuclear factor kappa B) yang memicu transkrispi gen prokehidupan Bcl-XL (B-cell lymphoma-extra large). Akt memfosforilasi dan menghambat protein proapoptosis Bax. NF-κB memfosforilasi protein inhibitor of apoptosis protein (XIAP), yang kemudian berikatan dengan dan menghambat caspase. Bim (Bcl-2

interacting mediator of cell death) dan Noxa merupakan protein proapoptosis kelompok BH-3 only yang dihambat oleh protein FOXO3 (Forkhead box O3), yang difosforilasi oleh Akt dalam jalur sistem signal PI3K. Sumber: Senthilkumar dan Se-Kwon, 2013

Pengaturan signal insulin

Insulin memicu pengambilan glukosa pada jaringan otot dan adiposit melalui molekul GLUT4 ke membran sel. Translokasi GLUT4 melibatkan jalur PI3K/Akt dan fosforilasi CAP yang melibatkan reseptor insulin dan pembentukan kompleks CAP:CBL:CRKII. Selain itu, sistem signal insulin juga menghambat glukoneogenesis dalam hati dengan membubarkan kompleks CREB/CBP/mTORC2. Sistem signal insulin juga mengatur sintesis asam lemak dan kolesterol dengan mengatur faktor transkripsi SREBP. Sistem signal insulin juga memicu sintesis asam lemak dengan cara mengaktifkan USF1 dan LXR.

Insulin merupakan hormon terpenting sebagai pengatur energi yang diperlukan oleh sel melalui metabolisme glukosa dan lipid. Dalam hal ini, insulin mengaktifkan reseptor tirosin kinase pada permukaan sel. Ikatan insulin dengan reseptornya IR (insulin receptor) memicu dimerisasi dan autoforfrilasi domain intrasel dari reseptor. Dengan cara ini, reseptor insulin kemudian menjadi aktif dan merekrut protein adaptor yang disebut insulin receptor substrate (IRS). Ikatannya dengan reseptor memicu fosforilasi IRS sehingga mampu berikatan dengan berbagai protein yang salah satunya adalah PI3K yang mempunyai peran amat besar dalam pengaturan fungsi insulin melalui aktivasi beruntun Akt/PKB dan PKC. Akt yang teraktivasi memicu sintesis glikogen dengan cara menghambat GSK-3 yang disintesis melalui mesenger kedua mTOR.

Page 117: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 109

sel lainnya yang diatur oleh enzim Akt adalah BCl-2 dengan cara memfosforilasi CREB (cAMP response element binding protein) pada residu Ser133 yang memicu perekrutan CBP (CREB-binding protein) ke promotor gen target seperti Bcl-2. Akt juga memfosforilasi protein mdm2 (murine double minute 2) sehingga aktivitas ubiquitin-ligasenya meningkat yang secara tidak langsung meningkatkan degradasi protein p53 dan menekan apoptosis

Gambar 2.11. Jalur sistem signal PI3K dalam pengaturan apoptosis. Enzim Akt terfosforilasi melalui sistem signal jalur PI3K. Fosforilasi Akt menghambat protein proapoptosis (Bax dan Bad). Akt mengaktifkan mTOR, yang selanjutnya memfosforilasi dan mengaktifkan protein antiapoptosis seperti MCL-1. AKT juga mengaktifkan NF-κB (nuclear factor kappa B) yang memicu transkrispi gen prokehidupan Bcl-XL (B-cell lymphoma-extra large). Akt memfosforilasi dan menghambat protein proapoptosis Bax. NF-κB memfosforilasi protein inhibitor of apoptosis protein (XIAP), yang kemudian berikatan dengan dan menghambat caspase. Bim (Bcl-2

interacting mediator of cell death) dan Noxa merupakan protein proapoptosis kelompok BH-3 only yang dihambat oleh protein FOXO3 (Forkhead box O3), yang difosforilasi oleh Akt dalam jalur sistem signal PI3K. Sumber: Senthilkumar dan Se-Kwon, 2013

Pengaturan signal insulin

Insulin memicu pengambilan glukosa pada jaringan otot dan adiposit melalui molekul GLUT4 ke membran sel. Translokasi GLUT4 melibatkan jalur PI3K/Akt dan fosforilasi CAP yang melibatkan reseptor insulin dan pembentukan kompleks CAP:CBL:CRKII. Selain itu, sistem signal insulin juga menghambat glukoneogenesis dalam hati dengan membubarkan kompleks CREB/CBP/mTORC2. Sistem signal insulin juga mengatur sintesis asam lemak dan kolesterol dengan mengatur faktor transkripsi SREBP. Sistem signal insulin juga memicu sintesis asam lemak dengan cara mengaktifkan USF1 dan LXR.

Insulin merupakan hormon terpenting sebagai pengatur energi yang diperlukan oleh sel melalui metabolisme glukosa dan lipid. Dalam hal ini, insulin mengaktifkan reseptor tirosin kinase pada permukaan sel. Ikatan insulin dengan reseptornya IR (insulin receptor) memicu dimerisasi dan autoforfrilasi domain intrasel dari reseptor. Dengan cara ini, reseptor insulin kemudian menjadi aktif dan merekrut protein adaptor yang disebut insulin receptor substrate (IRS). Ikatannya dengan reseptor memicu fosforilasi IRS sehingga mampu berikatan dengan berbagai protein yang salah satunya adalah PI3K yang mempunyai peran amat besar dalam pengaturan fungsi insulin melalui aktivasi beruntun Akt/PKB dan PKC. Akt yang teraktivasi memicu sintesis glikogen dengan cara menghambat GSK-3 yang disintesis melalui mesenger kedua mTOR.

Page 118: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler110

Gambar 2.13. Peran jalur PI3K dalam pengaturan insulin. Ikatan insulin dengan reseptornya mengaktifkan enzim tyrosin kinase dari reseptor dengan cara autofosforilasi pada berbagai residu aam amino tirosin. Salah satu residu tirosin terfosforilasi (phosphotyrosine/pY) dari reseptor berinteraksi dengan domain PTB (phosphotyrosine-binding) dari IRS (IRS1 dan IRS2), yang selanjutnya merekrutnya ke membran sel untuk difosforilasi oleh reseptor insulin. Sebagai hasilnya, kedua IRS berinterkasi dengan domain SH2 (Src-homology-2) dari subunit p85 dari phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K). Keadaan ini menyebabkan perekrutan PI3K ke membran sel yang memungkinkan subunit kalatlitik (p110) untuk mengkatalisis pembentukan phosphatidylinositol-3,4,5-trisphosphate (PtdIns(3,4,5)P3) dari PtdIns(4,5)P2. PtdIns(3,4,5)P3 berikatan dengan domain PH (pleckstrin homology) dari PDK1 dan PKB/Akt, yang melokalisir keduanya ke membran sel dan memungkinkan PDK1 untuk mengaktifkan PKB/AKT. Selanjutnya PKB/AKT memfosforilasi dan menghambat GSK3 yang menyebabkan defosforilasi substrat GSK3, termasuk glycogen synthase dan eIF2B. Keadaan ini memicu stimulasi sintesis glikogen dan protein. (eIF2B, eukaryotic initiation factor 2B; PDK1, 3-phosphoinositide-dependent protein kinase 1; PKB/AKT, protein kinase B.)

Sumber Cohen dan Frame, 2001.

2.4.3. Jalur Wnt

Jalur Wnt/β-catenin merupakan sekelompok jalur transduksi signal yang melibatkan protein ekstrasel dan meneruskan signalnya melalui reseptor pada permukaan sel. Jalur Wnt dibedakan menjadi jalur Wnt kanonikal, jalur Wnt nonkanonical polaritas sel planal dan jalur nonkanonikal Wnt/kalsium. Ketiga kelompok jalur signal tersebut diaktifkan melalui ikatan ligand protein Wnt dengan reseptor Frizzel pada permukaan sel yang meneruskan signal biologisnya ke protein adaptor Dishevelled (Dsh) di dalam sel. Jalur kanonical Wnt menyebabkan pengaturan transkripsi, jalur polaritas sel planar nonkanonikal mengatur sitoskeleton yang bertanggungjawab atas bentuk sel, dan Wnt/kalsium nonkanonikal mengatur kalsium di dalam sel. Jalur sistem signal Wnt memanfaatkan komunikasi antar sel terdekat (parakrin) atau sel yang sama untuk berkomunikasi (autokrin). Jalur ini merupakan jalur konservatif pada hewan yang berarti bahwa terdapat kemiripan jalur Wnt yang ditemukan pada berbagai spesies hewan dan manusia (Nuse dan Varmus, 2012)

Jalur Wnt ditemukan pertama kali pada proses karsinogenesis dan embriogenesis. Jalur ini mengatur pembentukan aksis tubuh, dan menentukan proliferasi dan migrasi sel. Proses ini diperlukan dalam pembentukan jaringan, seperti tulang jantung dan otot. Pada proses embriogenesis, peran jalur ini ditemukan ketika komponennya yang mengalami mutasi genetik menyebabkan abnormalitas pada embrio lalat buah. Kemudian ditemukan bahwa abnormalitas gen yang berperan dalam proses ini mempengaruhi perkembangan kanker payudara pada mencit. Selanjutnya mutasi pada gen yang diperlukan dalam jalur ini menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker payudara dan prostat, glioblastoma, diabetes tipe II dan penyakit lainnya (Komiya dan Habas; 2008). Penemuan jalur sistem signal sel ini banyak mempengaruhi oleh penelitian kanker yang disebabkan oleh retrovirus. Pada tahun 1982, Roel Nusse dan Harold Varmus menginfeksi mencit dengan virus tumor mammae mencit untuk memutasi gen penyebab kanker payudara secara buatan. Dari penelitian ini kemudian ditemukan protoonkogen baru pada mencit yang disebut int1 (integration 1) (Nusse dan Varmus, 2012).

Page 119: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 111

Gambar 2.13. Peran jalur PI3K dalam pengaturan insulin. Ikatan insulin dengan reseptornya mengaktifkan enzim tyrosin kinase dari reseptor dengan cara autofosforilasi pada berbagai residu aam amino tirosin. Salah satu residu tirosin terfosforilasi (phosphotyrosine/pY) dari reseptor berinteraksi dengan domain PTB (phosphotyrosine-binding) dari IRS (IRS1 dan IRS2), yang selanjutnya merekrutnya ke membran sel untuk difosforilasi oleh reseptor insulin. Sebagai hasilnya, kedua IRS berinterkasi dengan domain SH2 (Src-homology-2) dari subunit p85 dari phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K). Keadaan ini menyebabkan perekrutan PI3K ke membran sel yang memungkinkan subunit kalatlitik (p110) untuk mengkatalisis pembentukan phosphatidylinositol-3,4,5-trisphosphate (PtdIns(3,4,5)P3) dari PtdIns(4,5)P2. PtdIns(3,4,5)P3 berikatan dengan domain PH (pleckstrin homology) dari PDK1 dan PKB/Akt, yang melokalisir keduanya ke membran sel dan memungkinkan PDK1 untuk mengaktifkan PKB/AKT. Selanjutnya PKB/AKT memfosforilasi dan menghambat GSK3 yang menyebabkan defosforilasi substrat GSK3, termasuk glycogen synthase dan eIF2B. Keadaan ini memicu stimulasi sintesis glikogen dan protein. (eIF2B, eukaryotic initiation factor 2B; PDK1, 3-phosphoinositide-dependent protein kinase 1; PKB/AKT, protein kinase B.)

Sumber Cohen dan Frame, 2001.

2.4.3. Jalur Wnt

Jalur Wnt/β-catenin merupakan sekelompok jalur transduksi signal yang melibatkan protein ekstrasel dan meneruskan signalnya melalui reseptor pada permukaan sel. Jalur Wnt dibedakan menjadi jalur Wnt kanonikal, jalur Wnt nonkanonical polaritas sel planal dan jalur nonkanonikal Wnt/kalsium. Ketiga kelompok jalur signal tersebut diaktifkan melalui ikatan ligand protein Wnt dengan reseptor Frizzel pada permukaan sel yang meneruskan signal biologisnya ke protein adaptor Dishevelled (Dsh) di dalam sel. Jalur kanonical Wnt menyebabkan pengaturan transkripsi, jalur polaritas sel planar nonkanonikal mengatur sitoskeleton yang bertanggungjawab atas bentuk sel, dan Wnt/kalsium nonkanonikal mengatur kalsium di dalam sel. Jalur sistem signal Wnt memanfaatkan komunikasi antar sel terdekat (parakrin) atau sel yang sama untuk berkomunikasi (autokrin). Jalur ini merupakan jalur konservatif pada hewan yang berarti bahwa terdapat kemiripan jalur Wnt yang ditemukan pada berbagai spesies hewan dan manusia (Nuse dan Varmus, 2012)

Jalur Wnt ditemukan pertama kali pada proses karsinogenesis dan embriogenesis. Jalur ini mengatur pembentukan aksis tubuh, dan menentukan proliferasi dan migrasi sel. Proses ini diperlukan dalam pembentukan jaringan, seperti tulang jantung dan otot. Pada proses embriogenesis, peran jalur ini ditemukan ketika komponennya yang mengalami mutasi genetik menyebabkan abnormalitas pada embrio lalat buah. Kemudian ditemukan bahwa abnormalitas gen yang berperan dalam proses ini mempengaruhi perkembangan kanker payudara pada mencit. Selanjutnya mutasi pada gen yang diperlukan dalam jalur ini menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker payudara dan prostat, glioblastoma, diabetes tipe II dan penyakit lainnya (Komiya dan Habas; 2008). Penemuan jalur sistem signal sel ini banyak mempengaruhi oleh penelitian kanker yang disebabkan oleh retrovirus. Pada tahun 1982, Roel Nusse dan Harold Varmus menginfeksi mencit dengan virus tumor mammae mencit untuk memutasi gen penyebab kanker payudara secara buatan. Dari penelitian ini kemudian ditemukan protoonkogen baru pada mencit yang disebut int1 (integration 1) (Nusse dan Varmus, 2012).

Page 120: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler112

Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut ditemukan gen yang sejenis pada berbagai jenis hewan dan manusia. Kelompok gen ini kemudian diberi nama Wnt1 yang merupakan gabungan nama int dan Wg yang merupakan singkatan dari Wingless-related integration . Wnt merupakan kelompok glikoprotein yang terdiri atas 350–400 asam amino yang berperan dalam memodifikasi lipid pada permukaan sel (Kadigan daan Nusse, 1997) . Modifikasi lipid dilakukan dengan cara palmitoilasi sistein dengan pola yang konservatif pada residu sistein 23–24. Palmitoilasi inilah yang menginisiasi ikatan protein Wnt dengan reseptornya pada membran sel melalui ikatan kovalen asam lemak. Protein Wnt juga mengalami glikosilasi untuk sekresi yang baik (Kurayoshi dkk, 2007) .

Jalur ini dimulai dengan ikatan protein Wnt sebagai ligand dan reseptornya untuk aktivasi berbagai jalur sistem signal Wnt, baik yang bersifat parakrin maupun autokrin. Reseptor Wnt merupakan reseptor keluarga Frizzled (Fz) (Rao dan Kuhl, 2010) yang melipat 7 kali pada membran sel. Reseptor Fz merupakan salah satu keluarga G-protein coupled receptors (GPCR) (Sculte dan Briya, 2007). Selain reseptor ini, diperlukan juga ko-reseptor untuk meningkatkan efisiensi ikatan reseptor dengan ligand. Contoh ko-reseptor tersebut adalah lipoprotein receptor-related protein (LRP)-5/6, reseptor tirosin kinase (Ryk), dan ROR2 (Komiya dan Habas, 2008). Aktivasi reseptor terjadi melalui fosforilasi yang mengirim signal ke phosphoprotein Dishevelled (Dsh) yang berlokasi di dalam sitoplasma. Signal ini diteruskan dengan cara interaksi langsung antara Fz dan Dsh. Dsh merupakan protein yang ditemukan pada banyak organisme yang mempunyai kemiripan di daerah konservatif, yaitu pada domain amino-terminal DIX , domain tengah PDZ , dan domain karboksi terminal DEP.

Dalam memicu proliferasi sel, jalur Wnt/β-catenin lebih banyak berperan pada tingkat epigenetik yaitu menentukan apakah gen tertentu dapat dijankau oleh faktor transkripsi atau tidak. Dalam inti sel, gen dalam DNA yang dikemas dalam kromatin terdiri atas protein (histon)-DNA yang membentuk kesatuan yang disebut nukleosom. Satu kesatuan nukleosom terdiri atas dsDNA yang digulung dalam oktamer protein histon (H2A, H2B, H3 and H4) dan satu histon

penutup (H1). Kemasan DNA dalam nukleosom menentukan terjangkau tidaknya gen untuk proses transkripsi. Struktur nukleosome yang rapat menyebabkan DNA yang tergulung dalam histon tidak dapat dijangkau oleh faktor transkripsi sehingga DNA menjadi inaktif. Agar DNA terjangkau oleh faktor transkripsi perlu proses pelonggaran sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi. Dalam proses inilah perlu pengaturan kembali bentuk kromatin sehingga lebih terjangkau oleh faktor transkripsi

Jalur sistem signal Wnt/β catenin berperan dalam pengaturan kemasan DNA dalam histon oktamer. Pada keadaan tidak teraktivasi, molekul β catenin tersedia dalam jumlah yang kecil karena mengalami proses degradasi dalam proteosom. Ketidakberadaan β-catenin menyebabkan faktor transkripsi TCF/LEF merekrut represor transkripsi, yaitu ILF yang kemudian mengikat enzim histone deacethylase 4 sehingga menekan proses transkripsi. Namun, pada keadaan teraktivasi, terjadi peningkatan kadar β-catenin karena β-catenin yang disintesis tidak dihancurkan melalui kompleks destruksi. Keberadaan β-catenin yang meningkat dalam sitoplasma yang kemudian ditranportasikan ke dalam inti sel untuk mengaktivasi proses transkripsi berbagai gen target.

Jalur Wnt kanonikal

Jalur ini disebut juga jalur Wnt/β-catenin dan merupakan jalur Wnt yang menyebabkan akumulasi β-catenin dalam sitoplasma yang akhirnya berpindah ke inti sel sebagai ko-aktivator dari faktor transkripsi yang tergolong keluarga TCF/LEF. Tanpa adanya signal Wnt, β-catenin tidak menumpuk dalam sitoplasma karena didegradasi oleh kompleks destruksi. Kompleks destruksi terdiri atas komponen berikut Axin, adenomatosis polyposis coli (APC), protein phosphatase 2A (PP2A), glycogen synthase kinase 3 (GSK3) dan casein kinase 1α (CK1α) (Minde dkk, 2011). Kompleks ini menghancurkan β-catenin dengan cara ubiquitinasi yang kemudian dikirim ke proteosom untuk dihancurkan (Minde dkk, 2011). Ubiquintinasi dilakukan oleh enzim yang disebut TCRP. Namun, ketika Wnt berikatanan dengan reseptornya (Fz) dan ko-reseptornya LRP-5/6, proses degradasi oleh kompleks destruksi dicegah karena aktivasi Wnt menyebabkan translokasi regulator negatif Axin dari kompleks destruksi ke

Page 121: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 113

Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut ditemukan gen yang sejenis pada berbagai jenis hewan dan manusia. Kelompok gen ini kemudian diberi nama Wnt1 yang merupakan gabungan nama int dan Wg yang merupakan singkatan dari Wingless-related integration . Wnt merupakan kelompok glikoprotein yang terdiri atas 350–400 asam amino yang berperan dalam memodifikasi lipid pada permukaan sel (Kadigan daan Nusse, 1997) . Modifikasi lipid dilakukan dengan cara palmitoilasi sistein dengan pola yang konservatif pada residu sistein 23–24. Palmitoilasi inilah yang menginisiasi ikatan protein Wnt dengan reseptornya pada membran sel melalui ikatan kovalen asam lemak. Protein Wnt juga mengalami glikosilasi untuk sekresi yang baik (Kurayoshi dkk, 2007) .

Jalur ini dimulai dengan ikatan protein Wnt sebagai ligand dan reseptornya untuk aktivasi berbagai jalur sistem signal Wnt, baik yang bersifat parakrin maupun autokrin. Reseptor Wnt merupakan reseptor keluarga Frizzled (Fz) (Rao dan Kuhl, 2010) yang melipat 7 kali pada membran sel. Reseptor Fz merupakan salah satu keluarga G-protein coupled receptors (GPCR) (Sculte dan Briya, 2007). Selain reseptor ini, diperlukan juga ko-reseptor untuk meningkatkan efisiensi ikatan reseptor dengan ligand. Contoh ko-reseptor tersebut adalah lipoprotein receptor-related protein (LRP)-5/6, reseptor tirosin kinase (Ryk), dan ROR2 (Komiya dan Habas, 2008). Aktivasi reseptor terjadi melalui fosforilasi yang mengirim signal ke phosphoprotein Dishevelled (Dsh) yang berlokasi di dalam sitoplasma. Signal ini diteruskan dengan cara interaksi langsung antara Fz dan Dsh. Dsh merupakan protein yang ditemukan pada banyak organisme yang mempunyai kemiripan di daerah konservatif, yaitu pada domain amino-terminal DIX , domain tengah PDZ , dan domain karboksi terminal DEP.

Dalam memicu proliferasi sel, jalur Wnt/β-catenin lebih banyak berperan pada tingkat epigenetik yaitu menentukan apakah gen tertentu dapat dijankau oleh faktor transkripsi atau tidak. Dalam inti sel, gen dalam DNA yang dikemas dalam kromatin terdiri atas protein (histon)-DNA yang membentuk kesatuan yang disebut nukleosom. Satu kesatuan nukleosom terdiri atas dsDNA yang digulung dalam oktamer protein histon (H2A, H2B, H3 and H4) dan satu histon

penutup (H1). Kemasan DNA dalam nukleosom menentukan terjangkau tidaknya gen untuk proses transkripsi. Struktur nukleosome yang rapat menyebabkan DNA yang tergulung dalam histon tidak dapat dijangkau oleh faktor transkripsi sehingga DNA menjadi inaktif. Agar DNA terjangkau oleh faktor transkripsi perlu proses pelonggaran sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi. Dalam proses inilah perlu pengaturan kembali bentuk kromatin sehingga lebih terjangkau oleh faktor transkripsi

Jalur sistem signal Wnt/β catenin berperan dalam pengaturan kemasan DNA dalam histon oktamer. Pada keadaan tidak teraktivasi, molekul β catenin tersedia dalam jumlah yang kecil karena mengalami proses degradasi dalam proteosom. Ketidakberadaan β-catenin menyebabkan faktor transkripsi TCF/LEF merekrut represor transkripsi, yaitu ILF yang kemudian mengikat enzim histone deacethylase 4 sehingga menekan proses transkripsi. Namun, pada keadaan teraktivasi, terjadi peningkatan kadar β-catenin karena β-catenin yang disintesis tidak dihancurkan melalui kompleks destruksi. Keberadaan β-catenin yang meningkat dalam sitoplasma yang kemudian ditranportasikan ke dalam inti sel untuk mengaktivasi proses transkripsi berbagai gen target.

Jalur Wnt kanonikal

Jalur ini disebut juga jalur Wnt/β-catenin dan merupakan jalur Wnt yang menyebabkan akumulasi β-catenin dalam sitoplasma yang akhirnya berpindah ke inti sel sebagai ko-aktivator dari faktor transkripsi yang tergolong keluarga TCF/LEF. Tanpa adanya signal Wnt, β-catenin tidak menumpuk dalam sitoplasma karena didegradasi oleh kompleks destruksi. Kompleks destruksi terdiri atas komponen berikut Axin, adenomatosis polyposis coli (APC), protein phosphatase 2A (PP2A), glycogen synthase kinase 3 (GSK3) dan casein kinase 1α (CK1α) (Minde dkk, 2011). Kompleks ini menghancurkan β-catenin dengan cara ubiquitinasi yang kemudian dikirim ke proteosom untuk dihancurkan (Minde dkk, 2011). Ubiquintinasi dilakukan oleh enzim yang disebut TCRP. Namun, ketika Wnt berikatanan dengan reseptornya (Fz) dan ko-reseptornya LRP-5/6, proses degradasi oleh kompleks destruksi dicegah karena aktivasi Wnt menyebabkan translokasi regulator negatif Axin dari kompleks destruksi ke

Page 122: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler114

membran plasma. Fosforilasi protein lain dalam kompleks destruksi menyebabkan axin berikatan dengan domain intrasitoplamik dari LRP-5/6. Axin kemudian mengalami defosforilasi yang menurunkan stabilitas dan kadarnya dalam sitoplasma. Dsh kemudian diaktifkan dengan cara fosforilasi dan domain DIX dan PDZ dan menghambat aktivitas GSK3 dari komplek destruksi. Hal ini menyebabkan penumpukkan β-catenin dalam sitoplasma dan kemudian berpindah ke inti sel. Di dalam inti sel, beta catenin mengaktifkan faktor transkripsi TCF/LEF (T-cell factor/lymphoid enhancing factor) (Stall dan Clevers, 2000).

Gambar 2.14. Jalur sistem signal Wnt/betacatenin. Pada keadaan sel tidak membelah, Wnt tidak berikatan dengan reseptornya yang memicu fosforilasi β-catenin dalam sitoplasma oleh GSK3β. Beta-catenin terfosforilasi kemudain membentuk kompleks dengan Adenomatous polyposis coli (APC) dan axin untuk membentuk kompleks destruksi. Dalam kompleks destruksi β-catenin terfosforilasi menjadi target ubiquitinasi oleh ubiquitin ligase βTrCP dan degradasi dalam proteosom. Pada sel yang membelah Wnt berikatan dengan reseptor Frizzled dan LRP5/6. LRP kemudian memfosforilasi GRK5/6 dan Dvl

yang kemudian merekrut β-arrestin dan axin. Direkrutnya axin ke kompleks DVl/barr menyebabkan kompleks destruksi tidak terbentuk sehingga menghambat fosforilasi β-catenin. Keadaan ini menyebabkan akumulasi β-catenin dalam sitosol. β-catenin kemudian berpindah ke inti sel dan berikatan dengan faktor transkripsi LEF/TCF. Sumber Chen dkk, 2010.

Tabel 2.3. Komponen sistem signal wnt/ β-catenin

Komponen Enzim/protein

Kompleks destruksi Adenopolyposis coli (APC)

Axin

GSK3/betaCK1

Reseptor/ko-reseptor Frizled (Fz)1-10

LRP5/6 , LDL receptor related protein) co-receptor Ror2 (receptor tyrosine kinase-like orphan receptor 2) Dvl 1–3 (dishevelled): cytoplasmic protein

Ligand β-catenin-dependent pathwayactivatorsWnt1,2,2B,3,3A,6,5B,7A,7B,8A,8B,9A,9B,10A,10B,16

β-catenin-independent pathways activatorsWnt4,5A,and11

Faktor transkripsi TCF1, 3, and 4; Lef1 (T-cell factors; lymphoid enhancer factor)

Ko-aktivator faktor transkripsi β-catenin

Ko-represor transkripsi TLE (transducin-like enhancer of split)/Groucho 1–4

Penghambat wnt DKK 1–4 (dickkopf) SFRP 1–5 (s

Sastre-Perona and Pilar 2012

Page 123: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 115

membran plasma. Fosforilasi protein lain dalam kompleks destruksi menyebabkan axin berikatan dengan domain intrasitoplamik dari LRP-5/6. Axin kemudian mengalami defosforilasi yang menurunkan stabilitas dan kadarnya dalam sitoplasma. Dsh kemudian diaktifkan dengan cara fosforilasi dan domain DIX dan PDZ dan menghambat aktivitas GSK3 dari komplek destruksi. Hal ini menyebabkan penumpukkan β-catenin dalam sitoplasma dan kemudian berpindah ke inti sel. Di dalam inti sel, beta catenin mengaktifkan faktor transkripsi TCF/LEF (T-cell factor/lymphoid enhancing factor) (Stall dan Clevers, 2000).

Gambar 2.14. Jalur sistem signal Wnt/betacatenin. Pada keadaan sel tidak membelah, Wnt tidak berikatan dengan reseptornya yang memicu fosforilasi β-catenin dalam sitoplasma oleh GSK3β. Beta-catenin terfosforilasi kemudain membentuk kompleks dengan Adenomatous polyposis coli (APC) dan axin untuk membentuk kompleks destruksi. Dalam kompleks destruksi β-catenin terfosforilasi menjadi target ubiquitinasi oleh ubiquitin ligase βTrCP dan degradasi dalam proteosom. Pada sel yang membelah Wnt berikatan dengan reseptor Frizzled dan LRP5/6. LRP kemudian memfosforilasi GRK5/6 dan Dvl

yang kemudian merekrut β-arrestin dan axin. Direkrutnya axin ke kompleks DVl/barr menyebabkan kompleks destruksi tidak terbentuk sehingga menghambat fosforilasi β-catenin. Keadaan ini menyebabkan akumulasi β-catenin dalam sitosol. β-catenin kemudian berpindah ke inti sel dan berikatan dengan faktor transkripsi LEF/TCF. Sumber Chen dkk, 2010.

Tabel 2.3. Komponen sistem signal wnt/ β-catenin

Komponen Enzim/protein

Kompleks destruksi Adenopolyposis coli (APC)

Axin

GSK3/betaCK1

Reseptor/ko-reseptor Frizled (Fz)1-10

LRP5/6 , LDL receptor related protein) co-receptor Ror2 (receptor tyrosine kinase-like orphan receptor 2) Dvl 1–3 (dishevelled): cytoplasmic protein

Ligand β-catenin-dependent pathwayactivatorsWnt1,2,2B,3,3A,6,5B,7A,7B,8A,8B,9A,9B,10A,10B,16

β-catenin-independent pathways activatorsWnt4,5A,and11

Faktor transkripsi TCF1, 3, and 4; Lef1 (T-cell factors; lymphoid enhancer factor)

Ko-aktivator faktor transkripsi β-catenin

Ko-represor transkripsi TLE (transducin-like enhancer of split)/Groucho 1–4

Penghambat wnt DKK 1–4 (dickkopf) SFRP 1–5 (s

Sastre-Perona and Pilar 2012

Page 124: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler116

Jalur noncanonical planar cell polarity

Jalur ini tidak melibatkan β-catenin dan reseptor LRP-5/6 dan koreseptornya, tetapi melibatkan NRH1, Ryk, PTK7, atau ROR2. Namun, seperti jalur Wnt β-catenin jalur PCP diaktifkan melalui ikatan Wnt dengan Fz (reseptor) dan ko-reseptornya. Reseptor kemudian mengikat DSH melalui domain PDZ dan DEP untuk membentuk kesatuan dengan Dishevelled-associated activator of morphogenesis 1 (DAAM1). DAAM1 kemudian mengaktifkan G-protein Rho melalui faktor pertukaran guanin. Rho mengaktifkan Rho-associated kinase (ROCK), yang merupakan regulator terpenting pembentukan sitoskeleton. Dsh juga membentuk kesatuan dengan rac1 dan memediasi profilin untuk berikatan dengan actin. Rac1 mengaktifkan JNK dan juga menyebabkan polimerisasi aktin. Profilin yang berikatan dengan aktin menghasilkan restrukturisasi sitoskeleton dan gastrulasi (Kamiya dan Habas, 2008).

Gambar 2.15. Jalur planar cell polarity (PCP). Signal Wnt ini diterima oleh reseptor FZ dan melalui Dishevelled diteruskan ke RAC dan RHO untuk memodulasi sitoskeleton aktin. Sumber. Wallingford dan Habas, 2005

Jalur noncanonical Wnt/calcium

Jalur ini merupakan jalur terakhir yang juga tidak melibatkan β-catenin. Fungsi utamanya adalah untuk mengatur pelepasan kalsium dari retikulum endoplasma untuk mengendadikan kadar kalsium dalam sel. Seperti jalur lainnya, ligand Wnt yang berikatan dan mengaktifkan reseptornya Fz. Resptor yang teraktivasi kemudian berinteraksi langsung dengan Dsh dan mengaktifkan domain PDZ dan DEP dari Dsh (Kamiya dan Habas, 2008). Reseptor Fz yang teraktivasi langsung berhadapan dengan G-protein trimer yang kemudian mengaktifkan PDF khas PLC atau cGMP. Jika PLC diaktifkan, komponen membran plasma dari PIP2 dipecah menjadi DAG dan IP3. Ketika IP3 berikatan dengan ER, maka kalsium dilepaskan. Kadar kalsium dan DAG yang meningkat dapat mengaktifkan Cdc42 melalui PKC. Peningkatan kadar kalsium juga mengaktifkan calcineurin dan CaMKII. CaMKII menginduksi aktivasi faktor transkripsi NFAT yang mengatur adesi dan migrasi sel, serta pemisahan jaringan (Kamiya dan Habas, 2008). Calcineurin mengaktifkan TAK1 dan NLK yang menggangu jalur TCF/ß-Catenin (Sugimura dan Linheng, 2010). Namun, jika PDE diaktifkan, maka pelepasan kalsium dari ER dihambat. PDE memediasi hambatan tersebut melalui PKG yang selanjutnya penyebabkan penghambatan pelepasan kalsium.

Gambar 2.16. Jalur noncanonical Wnt/calcium. Keterangan dalam teks.Sumber. Wallingford danHabas, 2005

Page 125: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 117

Jalur noncanonical planar cell polarity

Jalur ini tidak melibatkan β-catenin dan reseptor LRP-5/6 dan koreseptornya, tetapi melibatkan NRH1, Ryk, PTK7, atau ROR2. Namun, seperti jalur Wnt β-catenin jalur PCP diaktifkan melalui ikatan Wnt dengan Fz (reseptor) dan ko-reseptornya. Reseptor kemudian mengikat DSH melalui domain PDZ dan DEP untuk membentuk kesatuan dengan Dishevelled-associated activator of morphogenesis 1 (DAAM1). DAAM1 kemudian mengaktifkan G-protein Rho melalui faktor pertukaran guanin. Rho mengaktifkan Rho-associated kinase (ROCK), yang merupakan regulator terpenting pembentukan sitoskeleton. Dsh juga membentuk kesatuan dengan rac1 dan memediasi profilin untuk berikatan dengan actin. Rac1 mengaktifkan JNK dan juga menyebabkan polimerisasi aktin. Profilin yang berikatan dengan aktin menghasilkan restrukturisasi sitoskeleton dan gastrulasi (Kamiya dan Habas, 2008).

Gambar 2.15. Jalur planar cell polarity (PCP). Signal Wnt ini diterima oleh reseptor FZ dan melalui Dishevelled diteruskan ke RAC dan RHO untuk memodulasi sitoskeleton aktin. Sumber. Wallingford dan Habas, 2005

Jalur noncanonical Wnt/calcium

Jalur ini merupakan jalur terakhir yang juga tidak melibatkan β-catenin. Fungsi utamanya adalah untuk mengatur pelepasan kalsium dari retikulum endoplasma untuk mengendadikan kadar kalsium dalam sel. Seperti jalur lainnya, ligand Wnt yang berikatan dan mengaktifkan reseptornya Fz. Resptor yang teraktivasi kemudian berinteraksi langsung dengan Dsh dan mengaktifkan domain PDZ dan DEP dari Dsh (Kamiya dan Habas, 2008). Reseptor Fz yang teraktivasi langsung berhadapan dengan G-protein trimer yang kemudian mengaktifkan PDF khas PLC atau cGMP. Jika PLC diaktifkan, komponen membran plasma dari PIP2 dipecah menjadi DAG dan IP3. Ketika IP3 berikatan dengan ER, maka kalsium dilepaskan. Kadar kalsium dan DAG yang meningkat dapat mengaktifkan Cdc42 melalui PKC. Peningkatan kadar kalsium juga mengaktifkan calcineurin dan CaMKII. CaMKII menginduksi aktivasi faktor transkripsi NFAT yang mengatur adesi dan migrasi sel, serta pemisahan jaringan (Kamiya dan Habas, 2008). Calcineurin mengaktifkan TAK1 dan NLK yang menggangu jalur TCF/ß-Catenin (Sugimura dan Linheng, 2010). Namun, jika PDE diaktifkan, maka pelepasan kalsium dari ER dihambat. PDE memediasi hambatan tersebut melalui PKG yang selanjutnya penyebabkan penghambatan pelepasan kalsium.

Gambar 2.16. Jalur noncanonical Wnt/calcium. Keterangan dalam teks.Sumber. Wallingford danHabas, 2005

Page 126: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler118

Perannya dalam Proliferasi sel

Proliferasi dan diferensiasi sel diperlukan untuk membentuk jaringan tertentu dan perkembangan embrio. Jalur yang terlibat dalam proliferasi sel adalah wnt/ β-catenin. Akumulasi β-catenin dalam sitoplasma dan lokalisasinya ke dalam inti sel yang meningkatkan aktivitas transkripsi gen penyandi siklin D1 dan c-myc yang mengendalikan fase G1 ke fase S siklus sel. Masuknya siklus sel ke fase S menyebabkan replikasi DNA dalam mitosis yang bertanggung jawab atas proliferasi sel (Kaldis dan Pagano. 2009). Proliferasi yang disertai dengan diferensiasi stem sel memungkinkan pertumbuhan dan perkambangan jaringan tertentu pada masa embriogenesis.

Kanker

Salah satu penyakit yang banyak dikaitkan dengan jalur Wnt/betacatenin adalah kanker sebab penemuan jalur ini juga bermula dari adanya kelainan protoonkogen yang menyebabkan kanker payudara pada mencit. Setelah penemuan tersebut jalur ini banyak dikaitkan dengan berbagai kanker seperti tumor payudara jinak dan ganas pada manusia. Pada sel yang mengalami proliferasi berlebihan atau tidak terkendali, ekspresi b-catenin sangat meningkat dalam plasma dan inti sel. Hal ini menyebabkan penumpukan beta catenin yang antara lain disebabkan oleh adanya mutasi gen β-catenin, defisensi kompleks destruksi β-catenin yang terutama disebabkan oleh mutasi gen APC, overekspresi ligand Wnt, hilangnya aktivitas penghambat serta defisiensi aktivitas regulator (Minde dkk, 2013)

Peran jalur Wnt/ betacatenin juga ditemukan dalam metastasis kanker payudara yang antara lain disebabkan oleh keterlibatan jalur ini dalam pembentukan transisi epitel-mesenkim yang memudahkan sel epitel untuk bermigrasi. Jalur Wnt/β-katenin mencegah pembentukan EMT yang menghambat metastasis (Dilmeo, 2009). Selain kanker payudara jalur ini juga terlibat dalam kanker kolorektal, melanoma, kanker prostat, kanker paru dan berbagai jenis kanker lainnya seperti glioblastoma, kanker esofagus dan kanker ovarium (Anastas dan Moon, 2012)

2.4.4. Jalur TGF-β

Jalur TGF-β mempunyai fungsi yang berbeda-beda terhadap kehidupan sel karena jalur ini dapat mengaktifkan BMP, aktivin, dan inhibin (Bierie dan Moses, 2006) yang efeknya berbeda beda. Pada hewan mamalia, TGF-β1 merupakan TGF yang paling banyak ditemukan dan karena itu TGF inilah yang umum disebut TGF-β. TGF-β1 merupakan protein homodimer yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit dan makrofag. TGF disintesis sebagai prekusor protein yang inaktif yang kemudian diaktifkan melalui proses proteolisis oleh enzim proteolitik. TGF-β yang aktif berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Reseptor TGF beta mempunyai aktivitas enzim serine/threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk (Smad 1, 2, 3, 5, and 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad 4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA pada regio promoter dari beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses transkripsi berbagai gen. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu sama lainnya bergantung pada jaringan, sel dan jenis kerusakkan sel akibat luka. Karena berbagai efeknya yang berbeda-beda dan seringkali berlawanan ini, TGF beta disebut efek pleiotropik

TGF-β merupakan faktor penghambat pertumbuhan pada kebanyakan sel epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan dengan memicu ekspresi penghambat siklus sel seperti Cip/Kip dan INK4/ARF. Namun, efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada kondisi lingkungan sel. Pada sel fibroblas, TGF beta memicu proliferasi dengan mengaktifkan connective tissue growth factor (CTGF). Efek inilah yang sering memicu fibrosis pada organ yang mengalami proses inflamasi kronis seperti ginjal dan hati.

Molekul TGF-β terdiri atas tiga isoform (TGF-β1, β2 and β3) yang disandi oleh 3 gen yang berbeda (Schiller dkk, 2004). TGF-β1 merupakan isoform yang paling banyak ditemukan dan hampir diekpresikan oleh semua jenis sel dalam bentuk kompleks laten besar yang inaktif yang tidak dapat berikatan dengan reseptornya pada

Page 127: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 119

Perannya dalam Proliferasi sel

Proliferasi dan diferensiasi sel diperlukan untuk membentuk jaringan tertentu dan perkembangan embrio. Jalur yang terlibat dalam proliferasi sel adalah wnt/ β-catenin. Akumulasi β-catenin dalam sitoplasma dan lokalisasinya ke dalam inti sel yang meningkatkan aktivitas transkripsi gen penyandi siklin D1 dan c-myc yang mengendalikan fase G1 ke fase S siklus sel. Masuknya siklus sel ke fase S menyebabkan replikasi DNA dalam mitosis yang bertanggung jawab atas proliferasi sel (Kaldis dan Pagano. 2009). Proliferasi yang disertai dengan diferensiasi stem sel memungkinkan pertumbuhan dan perkambangan jaringan tertentu pada masa embriogenesis.

Kanker

Salah satu penyakit yang banyak dikaitkan dengan jalur Wnt/betacatenin adalah kanker sebab penemuan jalur ini juga bermula dari adanya kelainan protoonkogen yang menyebabkan kanker payudara pada mencit. Setelah penemuan tersebut jalur ini banyak dikaitkan dengan berbagai kanker seperti tumor payudara jinak dan ganas pada manusia. Pada sel yang mengalami proliferasi berlebihan atau tidak terkendali, ekspresi b-catenin sangat meningkat dalam plasma dan inti sel. Hal ini menyebabkan penumpukan beta catenin yang antara lain disebabkan oleh adanya mutasi gen β-catenin, defisensi kompleks destruksi β-catenin yang terutama disebabkan oleh mutasi gen APC, overekspresi ligand Wnt, hilangnya aktivitas penghambat serta defisiensi aktivitas regulator (Minde dkk, 2013)

Peran jalur Wnt/ betacatenin juga ditemukan dalam metastasis kanker payudara yang antara lain disebabkan oleh keterlibatan jalur ini dalam pembentukan transisi epitel-mesenkim yang memudahkan sel epitel untuk bermigrasi. Jalur Wnt/β-katenin mencegah pembentukan EMT yang menghambat metastasis (Dilmeo, 2009). Selain kanker payudara jalur ini juga terlibat dalam kanker kolorektal, melanoma, kanker prostat, kanker paru dan berbagai jenis kanker lainnya seperti glioblastoma, kanker esofagus dan kanker ovarium (Anastas dan Moon, 2012)

2.4.4. Jalur TGF-β

Jalur TGF-β mempunyai fungsi yang berbeda-beda terhadap kehidupan sel karena jalur ini dapat mengaktifkan BMP, aktivin, dan inhibin (Bierie dan Moses, 2006) yang efeknya berbeda beda. Pada hewan mamalia, TGF-β1 merupakan TGF yang paling banyak ditemukan dan karena itu TGF inilah yang umum disebut TGF-β. TGF-β1 merupakan protein homodimer yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel seperti platelet, endotel, limfosit dan makrofag. TGF disintesis sebagai prekusor protein yang inaktif yang kemudian diaktifkan melalui proses proteolisis oleh enzim proteolitik. TGF-β yang aktif berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Reseptor TGF beta mempunyai aktivitas enzim serine/threonine kinase yang memicu fosforilasi faktor transkripsi yang dikenal dengan nama Smads yang terdiri atas beberapa bentuk (Smad 1, 2, 3, 5, and 8). Smad yang terfosforilasi kemudian membentuk heterodimer dengan Smad 4 yang memasuki inti sel dan berikatan dengan DNA pada regio promoter dari beberapa gen. Ikatan ini kemudian memicu aktivasi dan hambatan proses transkripsi berbagai gen. Efek dari transkripsi tersebut sering berlawanan satu sama lainnya bergantung pada jaringan, sel dan jenis kerusakkan sel akibat luka. Karena berbagai efeknya yang berbeda-beda dan seringkali berlawanan ini, TGF beta disebut efek pleiotropik

TGF-β merupakan faktor penghambat pertumbuhan pada kebanyakan sel epitel dengan cara menghambat siklus sel. Penghambatan siklus sel dilakukan dengan memicu ekspresi penghambat siklus sel seperti Cip/Kip dan INK4/ARF. Namun, efek TGF-β pada sel mesenkim bergantung pada kondisi lingkungan sel. Pada sel fibroblas, TGF beta memicu proliferasi dengan mengaktifkan connective tissue growth factor (CTGF). Efek inilah yang sering memicu fibrosis pada organ yang mengalami proses inflamasi kronis seperti ginjal dan hati.

Molekul TGF-β terdiri atas tiga isoform (TGF-β1, β2 and β3) yang disandi oleh 3 gen yang berbeda (Schiller dkk, 2004). TGF-β1 merupakan isoform yang paling banyak ditemukan dan hampir diekpresikan oleh semua jenis sel dalam bentuk kompleks laten besar yang inaktif yang tidak dapat berikatan dengan reseptornya pada

Page 128: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler120

permukaan sel target. Untuk menjadi aktif, kompleks laten besar dari TGF-β harus diubah menjadi aktif. Molekul yang dapat mengaktifkan TGF-β adalah protease plasmin, metalloproteinase (MMP)-2 dan MMP-9 (Ignotz dan Massague, 1986). Thrombospondin (TSP)-1 merupakan salah satu aktivator kunci dari TGF-β dengan menguraikan interaksi nonkovalen dari latency-associated peptide (LAP) dan molekul TGF-β dalam kompleks laten besar (Murphy-Ullrich dan Poczatek, 2000). Selain itu, ROS juga dapat menginduksi aktivasi TGF-β.

TGF-β menstransduksi signal setelah berikatan dengan reseptornya pada membran sel. Reseptor TGF beta merupakan gabungan dari 2 tipe reseptor transmembran serin/threonin, yaitu TGF receptor (TGFR) tipe 1 dan tipe 2. Ikatan tersebut memicu aktivasi reseptor yang kemudian meneruskan signal melalui protein Smad ke inti sel (Schiller dkk, 2004). Ikatan TGF-β dengan reseptornya memicu autofosforilasi dan aktivasi domain intrasel dari reseptor ALK5 dan ALK1 (Massague. 2000). Selain melalui protein Smad, TGF-β juga mengaktifkan sistem signal yang lain, yaitu extracellular signal-regulated kinase (ERK), c-Jun-N-terminal kinase (JNK), TGF-β-activated kinase 1 (TAK1), Abelson nonreceptor tyrosine kinase (c-Abl) dan p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Derynck dan Zhang , 2003).

Gambar2.17. Sistem signal TGFβ yang tergantung dan tidak tergantung pada protein Smad. TGF-β yang berikatan dengan

reseptor serine/threonine kinase (tipe 1 an 2) pada membran sel memicu transforsforilasi segmen GS dari reseptor tipe I oleh tipe II. Reseptor II yang teraktivasi memfosforilasi smad tertentu. Smad yang teraktivasi membentuk kompleks dengan Smad4 dan kompleks tersebut bermigrasi ke inti sel untuk mengatur transkripsi gen target. Protein Smad lainnya, yaitu Smad 6 dan Smad7, menghambat proses sistem signal TGF-β. Selain itu, sistem signal TGF-β lainnya yang tidak tergantung pada protein Smad mengaktifkan protein Erk, JNK, p38-MAPK, Protein Phosphatase 2A (PP2A) dan RhoA.

Sumber Akhurst dan Hata. 2012

Sistem signal TGF-β yang dapat mengaktivasi berbagai jalur sistem signal mempunyai efek yang beragam terhadap sel seperti perkembangan embrio, pertumbuhan dan diferensiasi sel, proliferasi dan apoptosis, deposisi jaringan fibrosa, serta regulasi respons imun. Pada proses embriogenesis, penelitian pada mencit menunjukkan bahwa TGF-β1 berperan dalam pengaturan homeostatik, proliferasi dan ekstravasasi sel imun ke jaringan (Kulkarni dkk, 2003). Selain itu, sistem signal TGFβ juga berperan dalam perkembangan dan interaksi sel epitel dengan sel mesenkim, pertumbuhan sel dan pembentukan matriks ekstrasel. Pada hewan percobaan, TGF-β diekspresikan pada level yang tinggi pada jantung selama perkembangan embrio dan dewasa (Thompson dkk, 1989) yang diduga berkaitan dengan morfogenesis klep jantung. Pada jantung hewan dewasa normal, TGF beta juga ditemukan dalam jumlah yang tinggi yang mengindikasikan bahwa TGFβ berperan dalam mempertahankan detak jantung yang diperankan oleh kardiomiosit.

2.5. Transduksi Signal Pemicu Proliferasi Sel

Jalur sistem signal MAPK/ERK1/2 merupakan sistem signal yang paling berperan dalam memicu sel istirahat (G0) untuk memasuki fase pembelahan G1 dengan diaktifkannya c-fos dan c-myc. Jalur sistem signal PI3K lebih banyak bersifat menjaga kehidupan sel dengan mencegah apoptosis dan meningkatkan translasi protein. Jalur Wnt/β-catenin, lebih banyak bekerja pada tatanan epigenetik dengan mempermudah prosess transkripsi gen tertentu. Sementara itu, jalur TGF beta merupakan sistem signal yang lebih

Page 129: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 121

permukaan sel target. Untuk menjadi aktif, kompleks laten besar dari TGF-β harus diubah menjadi aktif. Molekul yang dapat mengaktifkan TGF-β adalah protease plasmin, metalloproteinase (MMP)-2 dan MMP-9 (Ignotz dan Massague, 1986). Thrombospondin (TSP)-1 merupakan salah satu aktivator kunci dari TGF-β dengan menguraikan interaksi nonkovalen dari latency-associated peptide (LAP) dan molekul TGF-β dalam kompleks laten besar (Murphy-Ullrich dan Poczatek, 2000). Selain itu, ROS juga dapat menginduksi aktivasi TGF-β.

TGF-β menstransduksi signal setelah berikatan dengan reseptornya pada membran sel. Reseptor TGF beta merupakan gabungan dari 2 tipe reseptor transmembran serin/threonin, yaitu TGF receptor (TGFR) tipe 1 dan tipe 2. Ikatan tersebut memicu aktivasi reseptor yang kemudian meneruskan signal melalui protein Smad ke inti sel (Schiller dkk, 2004). Ikatan TGF-β dengan reseptornya memicu autofosforilasi dan aktivasi domain intrasel dari reseptor ALK5 dan ALK1 (Massague. 2000). Selain melalui protein Smad, TGF-β juga mengaktifkan sistem signal yang lain, yaitu extracellular signal-regulated kinase (ERK), c-Jun-N-terminal kinase (JNK), TGF-β-activated kinase 1 (TAK1), Abelson nonreceptor tyrosine kinase (c-Abl) dan p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Derynck dan Zhang , 2003).

Gambar2.17. Sistem signal TGFβ yang tergantung dan tidak tergantung pada protein Smad. TGF-β yang berikatan dengan

reseptor serine/threonine kinase (tipe 1 an 2) pada membran sel memicu transforsforilasi segmen GS dari reseptor tipe I oleh tipe II. Reseptor II yang teraktivasi memfosforilasi smad tertentu. Smad yang teraktivasi membentuk kompleks dengan Smad4 dan kompleks tersebut bermigrasi ke inti sel untuk mengatur transkripsi gen target. Protein Smad lainnya, yaitu Smad 6 dan Smad7, menghambat proses sistem signal TGF-β. Selain itu, sistem signal TGF-β lainnya yang tidak tergantung pada protein Smad mengaktifkan protein Erk, JNK, p38-MAPK, Protein Phosphatase 2A (PP2A) dan RhoA.

Sumber Akhurst dan Hata. 2012

Sistem signal TGF-β yang dapat mengaktivasi berbagai jalur sistem signal mempunyai efek yang beragam terhadap sel seperti perkembangan embrio, pertumbuhan dan diferensiasi sel, proliferasi dan apoptosis, deposisi jaringan fibrosa, serta regulasi respons imun. Pada proses embriogenesis, penelitian pada mencit menunjukkan bahwa TGF-β1 berperan dalam pengaturan homeostatik, proliferasi dan ekstravasasi sel imun ke jaringan (Kulkarni dkk, 2003). Selain itu, sistem signal TGFβ juga berperan dalam perkembangan dan interaksi sel epitel dengan sel mesenkim, pertumbuhan sel dan pembentukan matriks ekstrasel. Pada hewan percobaan, TGF-β diekspresikan pada level yang tinggi pada jantung selama perkembangan embrio dan dewasa (Thompson dkk, 1989) yang diduga berkaitan dengan morfogenesis klep jantung. Pada jantung hewan dewasa normal, TGF beta juga ditemukan dalam jumlah yang tinggi yang mengindikasikan bahwa TGFβ berperan dalam mempertahankan detak jantung yang diperankan oleh kardiomiosit.

2.5. Transduksi Signal Pemicu Proliferasi Sel

Jalur sistem signal MAPK/ERK1/2 merupakan sistem signal yang paling berperan dalam memicu sel istirahat (G0) untuk memasuki fase pembelahan G1 dengan diaktifkannya c-fos dan c-myc. Jalur sistem signal PI3K lebih banyak bersifat menjaga kehidupan sel dengan mencegah apoptosis dan meningkatkan translasi protein. Jalur Wnt/β-catenin, lebih banyak bekerja pada tatanan epigenetik dengan mempermudah prosess transkripsi gen tertentu. Sementara itu, jalur TGF beta merupakan sistem signal yang lebih

Page 130: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler122

banyak menekan proliferasi sel kecuali pada sel tertentu seperti fibroblas, jalur ini memicu proliferasi sel.

Jalur sistem signal MAPK/ERK1/2 membawa sel quiesant (G0) ke fase G1 (Gap 1) untuk mengawali pembelahan sel secara mitosis setelah enzim ERK1/2 mengaktifkan berbagai faktor transkripsi, seperti ELK1 oleh ERK1/2. Fosforilasi ELK1 oleh ERK1/2 memicu ikatannya dengan bagian promoter dari berbagai gen target untuk memicu transkripsi. Salah satu gen yang menjadi target adalah gen penyandi protein c-Fos yang juga merupakan faktor transkripsi berbagai gen target. C-Fos kemudian membentuk heterodimer dengan protein pasangannya yang disebut c-Jun. Protein heterodimer inilah yang kemudian memicu aktivasi sel untuk membelah yaitu membawa sel dalam fase G0 ke G1.

Gambar 2.18. Sistem signal ERK1/2 sebagai pemicu proliferasi sel. Aktivasi reseptor tyrosine kinases (RTK) memicu perekrutan protein adaptor GRB2 (growth factor receptor-bound protein 2) dan (GEF guanine exchange factor ), SOS (son of sevenless homologue) yang kemudian berinteraksi dan mengaktifkan protein Ras. Aktivasi

Ras kemudian mengaktifkan C-Raf yang selanjutnya memfosforilasi secara beruntun berbagai substrat dari jalur MAPK yang target akhirnya adalah aktivasi ERK1/2. ERK1/2 yang teraktivasi kemudian memfosforilasi substrat dalam sitoplasma atau dalam inti sel. Salah satunya adalah faktor transkripsi yang berperan dalam siklus sel. Sumber Meister dkk, 2013

Faktor transkripsi c-fos mulanya ditemukan pada retrovirus sebagai v-fos pada mencit galur FMJ yang mengalami transformasi ganas menjadi sarkoma tulang yang disebut osteosarcoma. Protein homolognya pada sel kemudian disebut c-fos yang merupakan faktor transkripsi yang gennya menyandi protein dengan berat molekul enam 26 kda. Protein ini berikatan dengan c-Jun yang membentuk kompleks protein heterodimer c-fos/c-Jun yang disebut activator protein 1 (AP1). AP1 berikatan dengan DNA pada regio promoter dan enhancer yang mengubah signal ekstraseluler menjadi ekspresi gen (Milde-Langosch, 2005)

Selain itu, enzim ERK1/2 juga memfosforilasi dan mengaktifkan faktor transkripsi kuat lainny, yaitu c-myc. Protein ini berikatan dengan berbagai gen target untuk memicu berbagai respons. Sekurang-kurangnya 94 promoter gen dapat berikatan dengan c-myc (Reymann dan Borlak, 2008). Beberapa gen target c-myc yang memicu pembelahan sel dan beberapa di antaranya adalah siklin D, siklin A dan siklin E (McCubrey dkk, 2007 ). Siklin diperlukan dalam mengaktivasi enzim CDK yang berperan dalam siklus sel.

Sintesis siklin D diatur oleh reseptor mitogen melalui jalur Ras/MAP kinase, β-catenin-Tcf/LEF, dan PI3K. MAPK/ ERK mengaktifkan faktor transkripsi c-myc dan AP-1 yang kemudian memicu transkripsi gen Cdk4, Cdk6 dan silkin D, dan peningkatan biogenesis ribosom. Enzim GTPase keluarga Rho dan focal adhesion kinase (FAK) mengaktifkan gen siklin D sebagai respons atas integrin (Assoian dkk 2008). Inaktivasi siklin D dan degradasinya oleh penghambat siklin menyebabkan sel keluar dari siklus sel dan diferensiasi. Inaktivasi siklin D dilakukan oleh penghambat enzim CDK seperti penghambat keluarga INK4 (inhibitor of kinase 4) seperti p14, p15, p16 dan p18. INK4 diaktifkan jika sel sel mengalami stres hiperproliferatif yang justru menghambat proliferasi sel ketika

Page 131: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 123

banyak menekan proliferasi sel kecuali pada sel tertentu seperti fibroblas, jalur ini memicu proliferasi sel.

Jalur sistem signal MAPK/ERK1/2 membawa sel quiesant (G0) ke fase G1 (Gap 1) untuk mengawali pembelahan sel secara mitosis setelah enzim ERK1/2 mengaktifkan berbagai faktor transkripsi, seperti ELK1 oleh ERK1/2. Fosforilasi ELK1 oleh ERK1/2 memicu ikatannya dengan bagian promoter dari berbagai gen target untuk memicu transkripsi. Salah satu gen yang menjadi target adalah gen penyandi protein c-Fos yang juga merupakan faktor transkripsi berbagai gen target. C-Fos kemudian membentuk heterodimer dengan protein pasangannya yang disebut c-Jun. Protein heterodimer inilah yang kemudian memicu aktivasi sel untuk membelah yaitu membawa sel dalam fase G0 ke G1.

Gambar 2.18. Sistem signal ERK1/2 sebagai pemicu proliferasi sel. Aktivasi reseptor tyrosine kinases (RTK) memicu perekrutan protein adaptor GRB2 (growth factor receptor-bound protein 2) dan (GEF guanine exchange factor ), SOS (son of sevenless homologue) yang kemudian berinteraksi dan mengaktifkan protein Ras. Aktivasi

Ras kemudian mengaktifkan C-Raf yang selanjutnya memfosforilasi secara beruntun berbagai substrat dari jalur MAPK yang target akhirnya adalah aktivasi ERK1/2. ERK1/2 yang teraktivasi kemudian memfosforilasi substrat dalam sitoplasma atau dalam inti sel. Salah satunya adalah faktor transkripsi yang berperan dalam siklus sel. Sumber Meister dkk, 2013

Faktor transkripsi c-fos mulanya ditemukan pada retrovirus sebagai v-fos pada mencit galur FMJ yang mengalami transformasi ganas menjadi sarkoma tulang yang disebut osteosarcoma. Protein homolognya pada sel kemudian disebut c-fos yang merupakan faktor transkripsi yang gennya menyandi protein dengan berat molekul enam 26 kda. Protein ini berikatan dengan c-Jun yang membentuk kompleks protein heterodimer c-fos/c-Jun yang disebut activator protein 1 (AP1). AP1 berikatan dengan DNA pada regio promoter dan enhancer yang mengubah signal ekstraseluler menjadi ekspresi gen (Milde-Langosch, 2005)

Selain itu, enzim ERK1/2 juga memfosforilasi dan mengaktifkan faktor transkripsi kuat lainny, yaitu c-myc. Protein ini berikatan dengan berbagai gen target untuk memicu berbagai respons. Sekurang-kurangnya 94 promoter gen dapat berikatan dengan c-myc (Reymann dan Borlak, 2008). Beberapa gen target c-myc yang memicu pembelahan sel dan beberapa di antaranya adalah siklin D, siklin A dan siklin E (McCubrey dkk, 2007 ). Siklin diperlukan dalam mengaktivasi enzim CDK yang berperan dalam siklus sel.

Sintesis siklin D diatur oleh reseptor mitogen melalui jalur Ras/MAP kinase, β-catenin-Tcf/LEF, dan PI3K. MAPK/ ERK mengaktifkan faktor transkripsi c-myc dan AP-1 yang kemudian memicu transkripsi gen Cdk4, Cdk6 dan silkin D, dan peningkatan biogenesis ribosom. Enzim GTPase keluarga Rho dan focal adhesion kinase (FAK) mengaktifkan gen siklin D sebagai respons atas integrin (Assoian dkk 2008). Inaktivasi siklin D dan degradasinya oleh penghambat siklin menyebabkan sel keluar dari siklus sel dan diferensiasi. Inaktivasi siklin D dilakukan oleh penghambat enzim CDK seperti penghambat keluarga INK4 (inhibitor of kinase 4) seperti p14, p15, p16 dan p18. INK4 diaktifkan jika sel sel mengalami stres hiperproliferatif yang justru menghambat proliferasi sel ketika

Page 132: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler124

protein Ras dan c-myc diekspresikan secara berlebihan dalam sel. INK4 berikatan dengan kompleks siklin-CDK dan mengaktifkan kompleks secara keseluruhan. Aktivasi CDK juga dilakukan oleh GSK3β yang menyebabkan degradasi siklin D dengan menghambat fosforilasi pada threonine 286 (Diehl, 1998), aktivitas GSK3β diatur secara negatif melalui jalur PI3K dalam fosforilasi yang merupakan salah satu cara faktor pertumbuhan mengatur siklin D. Hambatan ekspresi siklin juga diatur dengan menginduksi produksi protein WAF1/CIP1/p21 oleh PDT. Dengan menghambat siklin D, induksi ini juga menghambat Ckd2 dan 6. Gambungan semua proses ini menyebabkan siklus sel tertahan pada fase G0/G1 (Kufe dkk, 2003). Siklus sel yang tertahan semacam ini dapat terjadi pada kerusakan DNA. Kerusakan DNA memicu dergradasi dengan cepat enzim CDK pada proteosom yang menyebabkan pelepasan p21 dari kompleks CDK4 yang mengaktifkan CKD yang tidak tergantung pada p53. Selain itu, kerusakan DNA dapat juga meningkatkan ekpresi p53 yang selanjutnya memicu transkripsi dan translasi p21 yang menghambat kompleks siklin-Cdk2.

Pada fase G1, kadar siklin D mulai meningkat untuk memulai aktivitas pembelahan sel. Peningkatan kadar siklin D meningkatan aktivitas enzim CDK4 dengan membentuk kompleks siklin D-CDK4 untuk mengaktifkan CDK4. Karena perannya yang amat penting dalam fase G1, siklin D-CDK4 juga disebut G1-CDK. Aktivasi CDK4 dimulai dengan meningkatnya sintesis protein siklin D yang terdiri atas 3 isoform, yaitu siklin D1, D2 dan D3. Siklin D kemudian berikatan dan mengaktivasi CDK4. Fungsi CDK4 adalah untuk memfosforilasi protein Retinoblastoma (pRB) yang merupakan protein penekan tumor. Pada sel yang tidak membelah, pRB berikatan dengan protein E2F dan pasangan dimerisasinya (dimerization partner 1/DP-1) sehingga E2F menjadi inaktif. Enzim CDK4 yang merupakan enzim serin/threonin kinase memfosforilasi pRB sehingga pRb terfosforilasi sebagaian (hipofosforilasi). Pada keadaan terfosforilasi sebagian, pRb masih berikatan dengan E2F dan DP-1. E2F merupakan faktor transkripsi berbagai gen target alam siklus sel. Ketika pRb telah terfosforilasi sebagian, faktor transkripsi E2F yang masih berikatan dengan pRb an DP1 dapat berikatan dengan regio promoter gen target. Salah satu gen targetnya adalah gen penyandi

siklin E. Transkripsi dan translasi gen siklin E memicu peningkatan ekspresi siklin E dalam sel. Siklin E kemudian berikatan dengan CDK2 sehingga mengaktifkan enzim CDK2. Siklin-E/CDK2 kemudian memicu fosforilasi pRb sehingga pRb berubah dari terfosforilasi sebagian (hipofosforilasi) menjadi terfosforilasi penuh (hiperfosforilasi). Pada keadaan terfosforilasi penuh, pRb melepaskan diri dari E2F dan DP-1. E2F kemudian berikatan regio promotor berbagai gen target yang memicu transkripsi dan translasi berbagai gen yang diperlukan dalam sistesis DNA sehingga siklus sel memasuki fase S (Malumbres dan Barbocid, 2001) (Gambar 2.19).

Gambar 2.19. Peran Rb dan E2F dalam pengaturan siklus sel. Pada sel quiescent (G0), faktor transkripsi dan partner dimernya (E2F–DP) diikat oleh pRB (p130) sehingga bersifat inaktif. Peningkatan ekspresi siklin D mengaktifkan CDK4/6 dengan membentuk komplek siklin D–CDK4/6. Kompleks tersebut memfosforilasi pRB dari terfosforilasi sebagian menjadi terfosforilasi secara penuh pRb yang terfosforilasi secara penuh terlepas dari kompleks E2F DP pRB. Keadaan ini mengaktifkan faktor transkripsi E2F yang merupakan faktor transkripsi dari beberapa gen seperti siklin E. siklin E berikatan dengan dan mengaktifkan CDK2. Fosforilasi pRb oleh CDK2

Page 133: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 125

protein Ras dan c-myc diekspresikan secara berlebihan dalam sel. INK4 berikatan dengan kompleks siklin-CDK dan mengaktifkan kompleks secara keseluruhan. Aktivasi CDK juga dilakukan oleh GSK3β yang menyebabkan degradasi siklin D dengan menghambat fosforilasi pada threonine 286 (Diehl, 1998), aktivitas GSK3β diatur secara negatif melalui jalur PI3K dalam fosforilasi yang merupakan salah satu cara faktor pertumbuhan mengatur siklin D. Hambatan ekspresi siklin juga diatur dengan menginduksi produksi protein WAF1/CIP1/p21 oleh PDT. Dengan menghambat siklin D, induksi ini juga menghambat Ckd2 dan 6. Gambungan semua proses ini menyebabkan siklus sel tertahan pada fase G0/G1 (Kufe dkk, 2003). Siklus sel yang tertahan semacam ini dapat terjadi pada kerusakan DNA. Kerusakan DNA memicu dergradasi dengan cepat enzim CDK pada proteosom yang menyebabkan pelepasan p21 dari kompleks CDK4 yang mengaktifkan CKD yang tidak tergantung pada p53. Selain itu, kerusakan DNA dapat juga meningkatkan ekpresi p53 yang selanjutnya memicu transkripsi dan translasi p21 yang menghambat kompleks siklin-Cdk2.

Pada fase G1, kadar siklin D mulai meningkat untuk memulai aktivitas pembelahan sel. Peningkatan kadar siklin D meningkatan aktivitas enzim CDK4 dengan membentuk kompleks siklin D-CDK4 untuk mengaktifkan CDK4. Karena perannya yang amat penting dalam fase G1, siklin D-CDK4 juga disebut G1-CDK. Aktivasi CDK4 dimulai dengan meningkatnya sintesis protein siklin D yang terdiri atas 3 isoform, yaitu siklin D1, D2 dan D3. Siklin D kemudian berikatan dan mengaktivasi CDK4. Fungsi CDK4 adalah untuk memfosforilasi protein Retinoblastoma (pRB) yang merupakan protein penekan tumor. Pada sel yang tidak membelah, pRB berikatan dengan protein E2F dan pasangan dimerisasinya (dimerization partner 1/DP-1) sehingga E2F menjadi inaktif. Enzim CDK4 yang merupakan enzim serin/threonin kinase memfosforilasi pRB sehingga pRb terfosforilasi sebagaian (hipofosforilasi). Pada keadaan terfosforilasi sebagian, pRb masih berikatan dengan E2F dan DP-1. E2F merupakan faktor transkripsi berbagai gen target alam siklus sel. Ketika pRb telah terfosforilasi sebagian, faktor transkripsi E2F yang masih berikatan dengan pRb an DP1 dapat berikatan dengan regio promoter gen target. Salah satu gen targetnya adalah gen penyandi

siklin E. Transkripsi dan translasi gen siklin E memicu peningkatan ekspresi siklin E dalam sel. Siklin E kemudian berikatan dengan CDK2 sehingga mengaktifkan enzim CDK2. Siklin-E/CDK2 kemudian memicu fosforilasi pRb sehingga pRb berubah dari terfosforilasi sebagian (hipofosforilasi) menjadi terfosforilasi penuh (hiperfosforilasi). Pada keadaan terfosforilasi penuh, pRb melepaskan diri dari E2F dan DP-1. E2F kemudian berikatan regio promotor berbagai gen target yang memicu transkripsi dan translasi berbagai gen yang diperlukan dalam sistesis DNA sehingga siklus sel memasuki fase S (Malumbres dan Barbocid, 2001) (Gambar 2.19).

Gambar 2.19. Peran Rb dan E2F dalam pengaturan siklus sel. Pada sel quiescent (G0), faktor transkripsi dan partner dimernya (E2F–DP) diikat oleh pRB (p130) sehingga bersifat inaktif. Peningkatan ekspresi siklin D mengaktifkan CDK4/6 dengan membentuk komplek siklin D–CDK4/6. Kompleks tersebut memfosforilasi pRB dari terfosforilasi sebagian menjadi terfosforilasi secara penuh pRb yang terfosforilasi secara penuh terlepas dari kompleks E2F DP pRB. Keadaan ini mengaktifkan faktor transkripsi E2F yang merupakan faktor transkripsi dari beberapa gen seperti siklin E. siklin E berikatan dengan dan mengaktifkan CDK2. Fosforilasi pRb oleh CDK2

Page 134: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler126

menyebabkan inaktivasi pRb secara penuh yang memungkinkan faktor transkripsi E2F untuk berikatan dengan gen target dan memicu transkripsi dan translasi gen penyandi protein yang memicu replikasi DNA. Protein penghambat kinase seperti INK4 dan WAF1/KIP berturut-turut dapat menghambat kinase CDK4/6 atau CDK2. Enzim kinase CDK4/6 dapat berikatan dengan inhibitor WAF1/KIP. Keadaan ini meredamnya dari CDK2 yang memfasilitasi aktivasinya secara penuh. Sumber Malumbres dan Barbacid, 2001

2.6. Replikasi DNA dan Pengaturannya

2.6.1. Persiapan Replikasi DNA

Persiapan replikasi DNA dimulai pada fase G1 yang ditandai dengan peningkatan sintesis dan aktivasi berbagai protein yang diperlukan untuk replikasi DNA pada fase S. Hal ini diawali dengan pembentukan origin recognition complex (ORC) pada origin of replication (ORI). ORC merupakan kesatuan dari beberapa protein seperti ORC1, ORC2, ORC3, ORC4, ORC5 dan ORC6 (Chesnokov, 2007). Fungsi ORC adalah untuk mengenali ORI dan mengarahkan replikasi DNA ke seluruh genom yang diperlukan dalam proses inisiasi replikasi DNA. ORC yang berikatan dengan ORI bertindak sebagai landasan bagi pembentukan pre-replicative complexs (pre-RC) yang melibatkan protein cdc6, cdt1, dan Mcm2-Mcm7 (Speck dkk, 2005). Pembentukan kompleks pre-RC selama fase G1 diperlukan untuk sintesis DNA pada fase S (Stillman , 2005).

Pembentukan pre-RC dimulai dengan perekrutan protein cdc6 ke ORC dan diikuti oleh cdt1 yang direkrut pada posisi yang berlawanan dengan cdc6. Aktivasi protein cd6 diperlukan bagi berikatannya cdt1. Ikatan kedua protein tersebut pada ORC kemudian diikuti oleh perekrutan cincin MCM yang merupakan polimer dari 6 protein (MCM 2-7). Cincin MCM bertindak sebagai helikase yang berfungsi untuk membuka ikatan DNA beuntai ganda pada ORI. Pada akhir fase G1, pre-RC pada ORC merekrut berbagai protein untuk membentuk kesatuan yang lebih besar yang disebut pre-Initiation complex (pre-IC) (Fongkos dkk, 2015) (Gambar 2.20).

Gambar 2.20. Pembentukan Replisom yang berfungsi untuk merintis replikasi DNA. Persiapan replikasi DNA dimulai dengan pembentukan ORC (origin of replication complex) yang diperlukan bagi pembentukan pre-IC (pre-replication complex ). ORC terdiri atas enam unit protein (ORC1–6). Pembentukan ORC diikuti oleh perekrutan protein cdc (cell division cycled 6) dan CDC10-dependent transcript 1 (cdt1). Proses ini dilanjutkan dengan pembentukan Pre-RC (pre-replicative) yang terdiri atas cincin MCM (mini-chromosome maintenance) yang terdiri atas enam subunit (MCM 2-7) dan hanya terjadi jika ORC, cdc6 dan cdt1telah berikatan dengan ORI. Kesatuan tersebut kemudian membentuk kompleks yang lebih besar yang disebut pre-IC (pre-initiation complex ) yang melibatkan protein

Page 135: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 127

menyebabkan inaktivasi pRb secara penuh yang memungkinkan faktor transkripsi E2F untuk berikatan dengan gen target dan memicu transkripsi dan translasi gen penyandi protein yang memicu replikasi DNA. Protein penghambat kinase seperti INK4 dan WAF1/KIP berturut-turut dapat menghambat kinase CDK4/6 atau CDK2. Enzim kinase CDK4/6 dapat berikatan dengan inhibitor WAF1/KIP. Keadaan ini meredamnya dari CDK2 yang memfasilitasi aktivasinya secara penuh. Sumber Malumbres dan Barbacid, 2001

2.6. Replikasi DNA dan Pengaturannya

2.6.1. Persiapan Replikasi DNA

Persiapan replikasi DNA dimulai pada fase G1 yang ditandai dengan peningkatan sintesis dan aktivasi berbagai protein yang diperlukan untuk replikasi DNA pada fase S. Hal ini diawali dengan pembentukan origin recognition complex (ORC) pada origin of replication (ORI). ORC merupakan kesatuan dari beberapa protein seperti ORC1, ORC2, ORC3, ORC4, ORC5 dan ORC6 (Chesnokov, 2007). Fungsi ORC adalah untuk mengenali ORI dan mengarahkan replikasi DNA ke seluruh genom yang diperlukan dalam proses inisiasi replikasi DNA. ORC yang berikatan dengan ORI bertindak sebagai landasan bagi pembentukan pre-replicative complexs (pre-RC) yang melibatkan protein cdc6, cdt1, dan Mcm2-Mcm7 (Speck dkk, 2005). Pembentukan kompleks pre-RC selama fase G1 diperlukan untuk sintesis DNA pada fase S (Stillman , 2005).

Pembentukan pre-RC dimulai dengan perekrutan protein cdc6 ke ORC dan diikuti oleh cdt1 yang direkrut pada posisi yang berlawanan dengan cdc6. Aktivasi protein cd6 diperlukan bagi berikatannya cdt1. Ikatan kedua protein tersebut pada ORC kemudian diikuti oleh perekrutan cincin MCM yang merupakan polimer dari 6 protein (MCM 2-7). Cincin MCM bertindak sebagai helikase yang berfungsi untuk membuka ikatan DNA beuntai ganda pada ORI. Pada akhir fase G1, pre-RC pada ORC merekrut berbagai protein untuk membentuk kesatuan yang lebih besar yang disebut pre-Initiation complex (pre-IC) (Fongkos dkk, 2015) (Gambar 2.20).

Gambar 2.20. Pembentukan Replisom yang berfungsi untuk merintis replikasi DNA. Persiapan replikasi DNA dimulai dengan pembentukan ORC (origin of replication complex) yang diperlukan bagi pembentukan pre-IC (pre-replication complex ). ORC terdiri atas enam unit protein (ORC1–6). Pembentukan ORC diikuti oleh perekrutan protein cdc (cell division cycled 6) dan CDC10-dependent transcript 1 (cdt1). Proses ini dilanjutkan dengan pembentukan Pre-RC (pre-replicative) yang terdiri atas cincin MCM (mini-chromosome maintenance) yang terdiri atas enam subunit (MCM 2-7) dan hanya terjadi jika ORC, cdc6 dan cdt1telah berikatan dengan ORI. Kesatuan tersebut kemudian membentuk kompleks yang lebih besar yang disebut pre-IC (pre-initiation complex ) yang melibatkan protein

Page 136: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler128

DDK (DBF4-dependent kinase) dan CDK (cyclin-dependent kinase) pada fase transisi G1–S . Pada fase S dari siklus sel terbentuk replisom ditandai dengan adanya fosforilasi dan aktivasi berbagai protein oleh enzim kinase DDK dan CDK. Kedua enzim kinase tersebut memfosforilasi beberapa faktor replikasi seperti MCM10, CDC45, RECQL4 (ATP-dependent DNA helicase Q4), treslin, GINS, TOPBP1 (DNA topoisomerase 2-binding protein 1) dan DNA polymerase ε (Pol ε). Enzim DDK dan CDK juga memfosforilasi cincin MCM (2-7) sehingga berubah menjadi helikase aktif dan secara langsung membuka DNA heliks ganda pada ORI. Aktivasi cincin MCM terjadi pada kedua sisi ORI yang mengarahkan replikasi DNA ke dua arah yang berlawanan. Aktivasi helikase memicu perekrutan protein lainnya seperti RFC (replication factor C), PCNA (proliferating cell nuclear antigen), RPA (replication protein A) dan enazim DNA polymerase yang semuanya berfungsi untuk mengubah pre-IC menjadi dua garpu replikasi fungsional yang bergerak ke arah yang berlawanan dari ORI. Kedua garpu replikasi mempunyai replisom masing-masing. Yang berfungsi sebagai helikase fungsional dalam replisom adalah kompleks CMG yang terdiri atas CDC45, heksamer MCM dan GINS). Pengaturan kerja replisom (pengaktifan dan penghambatan) diatur oleh enzim kinase ATR, ATM, CHK1 dan CHK2 yang mekanisme belum jelas (Tanaka dan Araki, 2013)(.

Pembentukan pre-IC diperlukan untuk mengaktifkan cincim MCM 2-7 menjadi helikase yang aktif dengan membentuk kesatuan yang lebih besar yang terdiri atas Cdc45-Mcm-GINS. Pembentukan pre-IC dituntaskan dengan perekrutan 2 enzim kinase, yaitu CDK dan Dbf4-dependent kinase (DDK). Pembentukan kesatuan ini juga memerlukan protein lain Sld3 untuk Cdc45; dan Dpb11, Sld2, serta Sld3 untuk GINS. Kompleks besar yang terbentuk pada ORI dan berfungsi aktif dalam replikasi DNA kemudian disebut dengan replisom. Replisom tersebut merintis pembentukan garpu replikasi pada ORI yang sekaligus menandai dimulainya replikasi DNA. Replisom berfungsi untuk memicu lepasnya ikatan DNA untai ganda dan dimulainya pembentukan garpu replikasi pada setiap ORI. Dengan demikian, replikasi DNAdimulai ke dua arah dan siklus sel memasuki fase S (Tanaka dan Araki, 2013)(Gambar 2.19, 2.20).

2.4.2. Sintesis DNA dan Penghentiannya

Pada sel eukariot, replikasi DNA yang terjadi ke dua arah dari titik ORI terjadi secara semi-konservatif. Dalam hal im, DNA untai ganda diduplikasi menjadi 2 replika yang identik. DNA asal yang terdiri atas 2 untai heliks ganda dipakai sebagai cetakan untuk pembentukan DNA komplementer yang identik dengan asalnya. Proses replikasi dimulai di daerah khusus yang disebut ORI (Berg dkk, 2002) dengan lepasnya ikatan antara 2 untai heliks ganda yang komplemter di daerah tersebut. Proses ini membentuk struktur yang disebut garpu replikasi yang mengawali sintsis DNA ke dua arah yang berlawanan (Gambar 2.21). Replikasi DNA terjadi dari posisi ‘5 ke 3’, baik pada leading strand maupun pada lagging strand. Pada leading strand, sintesis DNA dilakukan dengan penambahan nukleotida secara kontinu dari titik ORI sampai polimerasi nukleotida terjadi secara tuntas untuk seluruh kromosom. Sementara itu, pada lagging strand sintesis DNA dilakukan dengan penambahan nukleotida secara diskontinu melalui pembentukan fragmen Okasaki dan primer RNA. Celah yang terbentuk di antara fragmen Okazaki kemudian diligasi menggunakan enzim ligase (Leman an Naguchi, 2013) (Gambar 2.22).

Gambar 2.21. Pembentukan Garpu replikasi DNA pada berbagai titik ORI. Pembentukan garpu replikasi DNA pada berbagai titik ORI

Page 137: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 129

DDK (DBF4-dependent kinase) dan CDK (cyclin-dependent kinase) pada fase transisi G1–S . Pada fase S dari siklus sel terbentuk replisom ditandai dengan adanya fosforilasi dan aktivasi berbagai protein oleh enzim kinase DDK dan CDK. Kedua enzim kinase tersebut memfosforilasi beberapa faktor replikasi seperti MCM10, CDC45, RECQL4 (ATP-dependent DNA helicase Q4), treslin, GINS, TOPBP1 (DNA topoisomerase 2-binding protein 1) dan DNA polymerase ε (Pol ε). Enzim DDK dan CDK juga memfosforilasi cincin MCM (2-7) sehingga berubah menjadi helikase aktif dan secara langsung membuka DNA heliks ganda pada ORI. Aktivasi cincin MCM terjadi pada kedua sisi ORI yang mengarahkan replikasi DNA ke dua arah yang berlawanan. Aktivasi helikase memicu perekrutan protein lainnya seperti RFC (replication factor C), PCNA (proliferating cell nuclear antigen), RPA (replication protein A) dan enazim DNA polymerase yang semuanya berfungsi untuk mengubah pre-IC menjadi dua garpu replikasi fungsional yang bergerak ke arah yang berlawanan dari ORI. Kedua garpu replikasi mempunyai replisom masing-masing. Yang berfungsi sebagai helikase fungsional dalam replisom adalah kompleks CMG yang terdiri atas CDC45, heksamer MCM dan GINS). Pengaturan kerja replisom (pengaktifan dan penghambatan) diatur oleh enzim kinase ATR, ATM, CHK1 dan CHK2 yang mekanisme belum jelas (Tanaka dan Araki, 2013)(.

Pembentukan pre-IC diperlukan untuk mengaktifkan cincim MCM 2-7 menjadi helikase yang aktif dengan membentuk kesatuan yang lebih besar yang terdiri atas Cdc45-Mcm-GINS. Pembentukan pre-IC dituntaskan dengan perekrutan 2 enzim kinase, yaitu CDK dan Dbf4-dependent kinase (DDK). Pembentukan kesatuan ini juga memerlukan protein lain Sld3 untuk Cdc45; dan Dpb11, Sld2, serta Sld3 untuk GINS. Kompleks besar yang terbentuk pada ORI dan berfungsi aktif dalam replikasi DNA kemudian disebut dengan replisom. Replisom tersebut merintis pembentukan garpu replikasi pada ORI yang sekaligus menandai dimulainya replikasi DNA. Replisom berfungsi untuk memicu lepasnya ikatan DNA untai ganda dan dimulainya pembentukan garpu replikasi pada setiap ORI. Dengan demikian, replikasi DNAdimulai ke dua arah dan siklus sel memasuki fase S (Tanaka dan Araki, 2013)(Gambar 2.19, 2.20).

2.4.2. Sintesis DNA dan Penghentiannya

Pada sel eukariot, replikasi DNA yang terjadi ke dua arah dari titik ORI terjadi secara semi-konservatif. Dalam hal im, DNA untai ganda diduplikasi menjadi 2 replika yang identik. DNA asal yang terdiri atas 2 untai heliks ganda dipakai sebagai cetakan untuk pembentukan DNA komplementer yang identik dengan asalnya. Proses replikasi dimulai di daerah khusus yang disebut ORI (Berg dkk, 2002) dengan lepasnya ikatan antara 2 untai heliks ganda yang komplemter di daerah tersebut. Proses ini membentuk struktur yang disebut garpu replikasi yang mengawali sintsis DNA ke dua arah yang berlawanan (Gambar 2.21). Replikasi DNA terjadi dari posisi ‘5 ke 3’, baik pada leading strand maupun pada lagging strand. Pada leading strand, sintesis DNA dilakukan dengan penambahan nukleotida secara kontinu dari titik ORI sampai polimerasi nukleotida terjadi secara tuntas untuk seluruh kromosom. Sementara itu, pada lagging strand sintesis DNA dilakukan dengan penambahan nukleotida secara diskontinu melalui pembentukan fragmen Okasaki dan primer RNA. Celah yang terbentuk di antara fragmen Okazaki kemudian diligasi menggunakan enzim ligase (Leman an Naguchi, 2013) (Gambar 2.22).

Gambar 2.21. Pembentukan Garpu replikasi DNA pada berbagai titik ORI. Pembentukan garpu replikasi DNA pada berbagai titik ORI

2.6.2.

Page 138: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler130

memungkinkan replikasi DNA berjalan dengan cepat dan efisien untuk seluruh genom. Replikasi DNA yang dimulai dari titik ORI terjadi kedua arah yang berlawanan sampai seluruh genom dibuat repilkanya. Sumber. Mechali, 2010

Gambar 2.22. Garpu replikasi DNA. Pada “leading-strand” sintesis DNA terjadi kontinu dengan arah 5' ke 3'. Pada “lagging-strand” sintesis DNA juga terjadi dengan arah 5' ke 3', tetapi secara diskontinu dengan pembentukan fragmen Okazaki. Yang bertindak sebagai primer adalah molekul RNA yang berikatan dengan DNA (RNA/DNA) yang menyambung DNA di antara fragmen Okazaki pada “lagging strand”. Sumber Leman dan Naguci, 2013.

Setelah setiap kromosom dalam inti sel dibuat replikanya, sintesis DNA harus dihentikan sehingga replikasi DNA hanya dilakukan satu kali. Penghentian sistesis DNA ditandai dengan penurunan ekpspresi siklin E menurun dengan cepat dan peningkatan ekspresi siklin A. Siklin A berikatan dengan CDK2, untuk membentuk siklin A-CDK2 yang juga disebut S-CDK berfungsi untuk menghancurkan initiation complex setelah setiap kromosom dalam inti sel dibuat replikanya. Ikatan Siklin A-CDK 2 menyebabkan CDK2 menjadi aktif dan CDK2 yang aktif memfosforilasi protein cdc6 dan

mencegahnya untuk berikatan dengan ORC. Selain itu, cdc6 yang terfosforilasi juga menjadi target ubiquitinasi yang kemudian dihancurkan dalam proteosom. Hal ini menyebabkan protein lain, seperti cdt1 dan cincin MCM juga tidak dapat berikatan dengan ORC karena ikatan kedua protein ini dengan ORC difasilitasi oleh protein cd6 yang berikatan dengan ORC. Selain itu, pada fase S, ekspresi faktor transkripsi E2F juga meningkatan ekspresi protein geminin yang mampu berikatan dengan dan menginaktifkan protein cdt1 (McGarry dkk, 1998). Dengan cara ini, setiap pembelahan sel dari satu menjadi dua, DNA dalam inti sel hanya didupliksi sekali sehingga sel anakan mendapat DNA yang identik dengan sel indukan. Kelainan dalam replikasi DNA dapat memunculkan sel dengan kromosom yang tidak normal.

Pada akhir fase S, semua kromosom diduplikasi sehingga dalam sel semua kromosom mempunyai replika yang identik. Kromosom bersama replikanya yang masih berikatan disebut dengan sister kromatid. Kedua sister kromatid tersebut dipersatukan oleh protein pengikat yang disebut kohesin. Kohesin mengikat sister kromatid pada berbagai tempat sehingga ukuran sel bertambah besar. Kohesin yang menyatukan sister kromatid merupakan kesatuan yang terdiri atas protein structural maintenance complex (SMC) yang terdiri atas SMC1 dan SMC3. Kedua protein ini mempunyai domain hing, domain alfa heliks, dan domain ATPase. Kohesin terbentuk dari penyatuan domain hing dari protein SMC1dan SMC3 pada ujung karboksil yang diteruskan ke domain alfa heliks dari kedua protein untuk mengikat sister kromatid pada sisi yang berlawanan. Kedua protein ini menyatu kembali pada domain ATPase yang dipersatukan oleh protein penutup yang disebut Scc1 dan scc3. Struktur inilah yang membentuk cincin yang mengikat DNA dalam sister kromatid. Struktur ini dipertahankan sampai akhir fase mitosis. Setelah semua DNA diduplikasi maka siklus sel memasuki fase G2.

Page 139: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 131

memungkinkan replikasi DNA berjalan dengan cepat dan efisien untuk seluruh genom. Replikasi DNA yang dimulai dari titik ORI terjadi kedua arah yang berlawanan sampai seluruh genom dibuat repilkanya. Sumber. Mechali, 2010

Gambar 2.22. Garpu replikasi DNA. Pada “leading-strand” sintesis DNA terjadi kontinu dengan arah 5' ke 3'. Pada “lagging-strand” sintesis DNA juga terjadi dengan arah 5' ke 3', tetapi secara diskontinu dengan pembentukan fragmen Okazaki. Yang bertindak sebagai primer adalah molekul RNA yang berikatan dengan DNA (RNA/DNA) yang menyambung DNA di antara fragmen Okazaki pada “lagging strand”. Sumber Leman dan Naguci, 2013.

Setelah setiap kromosom dalam inti sel dibuat replikanya, sintesis DNA harus dihentikan sehingga replikasi DNA hanya dilakukan satu kali. Penghentian sistesis DNA ditandai dengan penurunan ekpspresi siklin E menurun dengan cepat dan peningkatan ekspresi siklin A. Siklin A berikatan dengan CDK2, untuk membentuk siklin A-CDK2 yang juga disebut S-CDK berfungsi untuk menghancurkan initiation complex setelah setiap kromosom dalam inti sel dibuat replikanya. Ikatan Siklin A-CDK 2 menyebabkan CDK2 menjadi aktif dan CDK2 yang aktif memfosforilasi protein cdc6 dan

mencegahnya untuk berikatan dengan ORC. Selain itu, cdc6 yang terfosforilasi juga menjadi target ubiquitinasi yang kemudian dihancurkan dalam proteosom. Hal ini menyebabkan protein lain, seperti cdt1 dan cincin MCM juga tidak dapat berikatan dengan ORC karena ikatan kedua protein ini dengan ORC difasilitasi oleh protein cd6 yang berikatan dengan ORC. Selain itu, pada fase S, ekspresi faktor transkripsi E2F juga meningkatan ekspresi protein geminin yang mampu berikatan dengan dan menginaktifkan protein cdt1 (McGarry dkk, 1998). Dengan cara ini, setiap pembelahan sel dari satu menjadi dua, DNA dalam inti sel hanya didupliksi sekali sehingga sel anakan mendapat DNA yang identik dengan sel indukan. Kelainan dalam replikasi DNA dapat memunculkan sel dengan kromosom yang tidak normal.

Pada akhir fase S, semua kromosom diduplikasi sehingga dalam sel semua kromosom mempunyai replika yang identik. Kromosom bersama replikanya yang masih berikatan disebut dengan sister kromatid. Kedua sister kromatid tersebut dipersatukan oleh protein pengikat yang disebut kohesin. Kohesin mengikat sister kromatid pada berbagai tempat sehingga ukuran sel bertambah besar. Kohesin yang menyatukan sister kromatid merupakan kesatuan yang terdiri atas protein structural maintenance complex (SMC) yang terdiri atas SMC1 dan SMC3. Kedua protein ini mempunyai domain hing, domain alfa heliks, dan domain ATPase. Kohesin terbentuk dari penyatuan domain hing dari protein SMC1dan SMC3 pada ujung karboksil yang diteruskan ke domain alfa heliks dari kedua protein untuk mengikat sister kromatid pada sisi yang berlawanan. Kedua protein ini menyatu kembali pada domain ATPase yang dipersatukan oleh protein penutup yang disebut Scc1 dan scc3. Struktur inilah yang membentuk cincin yang mengikat DNA dalam sister kromatid. Struktur ini dipertahankan sampai akhir fase mitosis. Setelah semua DNA diduplikasi maka siklus sel memasuki fase G2.

Page 140: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler132

Gambar 2.23. Struktur kohesin yang menyatukan 2 untai kromatid. Kohesin terdiri atas dua molekul protein, yaitu SMC1 dan SMC2. Sumber Cohen-Zinder, 2013.

2.7. Transduksi Signal Pengatur Mitosis dan Sitokinesis

Pada fase G2, sintesis siklin B meningkat yang juga dipicu oleh faktor transkripsi E2F. Siklin B berikatan dengan enzim CDK1 membentuk kesatuan siklin B-CDK1 yang juga disebut M-CDK. Meskipun siklin B disintesis dan berikatan dengan CDK1 pada fase G2 ikatan tersebut tidak menyebabkan CDK1 menjadi aktif dan baru aktif pada fase M. Hal ini terjadi karena enzim CDK1 yang telah berikatan dengan siklin B masih bersifat inaktif karena situs aktfnya masih terfosforilasi oleh enzim CDK-aktivating kinase (CAK) yang memfosforilasi CDK1 pada residu threonin 16. Sementara itu, enzim kinase lain yaitu wee1 juga memfosforilasi CDK1 pada residu tyrosin 15 dan threonin 14 yang merupakan domain aktif dari CDK1. Dengan begitu, pada fase G2 enzim CDK1 belum aktif tetapi ekspresinya makin meningkat pada fase G2.

2.7.1. Peran CDK dan Penghambatnya

Enzim Cyclin-dependent kinase (CDK) dan subunit siklin regulatornya dalam pengaturan siklus sel termasuk pada fase mitosis dan sitokinesis. Peran CDK dalam proliferasi sel dimulai dengan aktivasi CDK3 oleh siklin C yang mengarahkan siklus sel dari fase G0 ke G1. Aktivasi CDK3 diikuti oleh aktivasi CDK4/6 oleh siklin D yang menginisiasi fosforilasi protein retinoblastoma (pRb) yang berfungnsi untuk meredam fungsi p21 (cyclin inhibitory protein 1/Cip1) dan fungsi p27 (kinase inhibitory protein1/kip1) yang merupakan protein penghambat CDK2. Penghambatan fungsi kedua protein tersebut oleh pRb memicu aktivasi kompleks siklin E/CDK2. Pada akhir fase G, kompleks siklin E/CDK2 menuntaskan fosforilasi dan inaktivasi pRb yang melepaskan faktor transkripsi E2F sehingga terjadi transisi G1/S. Replikasi DNA terjadi pada fase S. Kompleks siklin A/CDK2 mengatur peralihan dari fase S ke G2 dan kompleks siklin A/CDK1 mengatur fase G2 sebagai persiapan mitosis. Proses mitosis diinisiasi oleh kompleks siklin B/CDK1. Aktivitas siklin/CDK1 diaktivasi oleh fosforilasi pengaktifan oleh enzim CAK (CDK-activating kinase) yang merupakan heterodimer siklin H/CDK7/MAT1 serta fosforilasi penghambatan oleh enzim Wee1 dan Myt1 pada residu Tyr15 dan Thr14 (Aleem dan.Arceci, 2015)

Pada akhir G2 sintesis CDK1 makin meningkat, dan ukuran sel makin besar sehingga pembelahan sel memasuki fase mitosis. Pada awal fase M, sintesis protein CDC-25 meningkat. Enzim ini merupakan enzim phosphatase yang menghilangkan gusus fosfat pada residu tyrosin 15 dan threonin 14 dari enzim CDK-1. Defosforilasi tersebut menyebabkan CDK1 menjadi aktif. Enzim CDK-1 yang aktif berkerja dengan umpan balik positif dengan cara memfosforilasi CDC25. Selain itu, CDC-25 berkerja dengan cara umpan balik negatif terhadap wee1 sehingga menurunkan tingkat fossforilasi CDK1 pada residu tyrosin 15 dan threonin 14. Kerja umpan balik ini meningkatkan ekpresi CDC25 dan CDK1

Aktivitas CDK dikontrol secara ketat oleh penghambat cdk (CDK inhibitor). Penghambat CDk inilah yang mengontrol secara ketat pembelahan sel yang disebut cekpoin. Cekpoin yang ketat dilakukan pada peralihan fase G1/S untuk memantau bahwa semua

Page 141: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 133

Gambar 2.23. Struktur kohesin yang menyatukan 2 untai kromatid. Kohesin terdiri atas dua molekul protein, yaitu SMC1 dan SMC2. Sumber Cohen-Zinder, 2013.

2.7. Transduksi Signal Pengatur Mitosis dan Sitokinesis

Pada fase G2, sintesis siklin B meningkat yang juga dipicu oleh faktor transkripsi E2F. Siklin B berikatan dengan enzim CDK1 membentuk kesatuan siklin B-CDK1 yang juga disebut M-CDK. Meskipun siklin B disintesis dan berikatan dengan CDK1 pada fase G2 ikatan tersebut tidak menyebabkan CDK1 menjadi aktif dan baru aktif pada fase M. Hal ini terjadi karena enzim CDK1 yang telah berikatan dengan siklin B masih bersifat inaktif karena situs aktfnya masih terfosforilasi oleh enzim CDK-aktivating kinase (CAK) yang memfosforilasi CDK1 pada residu threonin 16. Sementara itu, enzim kinase lain yaitu wee1 juga memfosforilasi CDK1 pada residu tyrosin 15 dan threonin 14 yang merupakan domain aktif dari CDK1. Dengan begitu, pada fase G2 enzim CDK1 belum aktif tetapi ekspresinya makin meningkat pada fase G2.

2.7.1. Peran CDK dan Penghambatnya

Enzim Cyclin-dependent kinase (CDK) dan subunit siklin regulatornya dalam pengaturan siklus sel termasuk pada fase mitosis dan sitokinesis. Peran CDK dalam proliferasi sel dimulai dengan aktivasi CDK3 oleh siklin C yang mengarahkan siklus sel dari fase G0 ke G1. Aktivasi CDK3 diikuti oleh aktivasi CDK4/6 oleh siklin D yang menginisiasi fosforilasi protein retinoblastoma (pRb) yang berfungnsi untuk meredam fungsi p21 (cyclin inhibitory protein 1/Cip1) dan fungsi p27 (kinase inhibitory protein1/kip1) yang merupakan protein penghambat CDK2. Penghambatan fungsi kedua protein tersebut oleh pRb memicu aktivasi kompleks siklin E/CDK2. Pada akhir fase G, kompleks siklin E/CDK2 menuntaskan fosforilasi dan inaktivasi pRb yang melepaskan faktor transkripsi E2F sehingga terjadi transisi G1/S. Replikasi DNA terjadi pada fase S. Kompleks siklin A/CDK2 mengatur peralihan dari fase S ke G2 dan kompleks siklin A/CDK1 mengatur fase G2 sebagai persiapan mitosis. Proses mitosis diinisiasi oleh kompleks siklin B/CDK1. Aktivitas siklin/CDK1 diaktivasi oleh fosforilasi pengaktifan oleh enzim CAK (CDK-activating kinase) yang merupakan heterodimer siklin H/CDK7/MAT1 serta fosforilasi penghambatan oleh enzim Wee1 dan Myt1 pada residu Tyr15 dan Thr14 (Aleem dan.Arceci, 2015)

Pada akhir G2 sintesis CDK1 makin meningkat, dan ukuran sel makin besar sehingga pembelahan sel memasuki fase mitosis. Pada awal fase M, sintesis protein CDC-25 meningkat. Enzim ini merupakan enzim phosphatase yang menghilangkan gusus fosfat pada residu tyrosin 15 dan threonin 14 dari enzim CDK-1. Defosforilasi tersebut menyebabkan CDK1 menjadi aktif. Enzim CDK-1 yang aktif berkerja dengan umpan balik positif dengan cara memfosforilasi CDC25. Selain itu, CDC-25 berkerja dengan cara umpan balik negatif terhadap wee1 sehingga menurunkan tingkat fossforilasi CDK1 pada residu tyrosin 15 dan threonin 14. Kerja umpan balik ini meningkatkan ekpresi CDC25 dan CDK1

Aktivitas CDK dikontrol secara ketat oleh penghambat cdk (CDK inhibitor). Penghambat CDk inilah yang mengontrol secara ketat pembelahan sel yang disebut cekpoin. Cekpoin yang ketat dilakukan pada peralihan fase G1/S untuk memantau bahwa semua

Page 142: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler134

DNA yang akan diduplikasi telah benar. Kontrol ketat juga dilakukan pada cekpoin untuk memantau bahwa DNA hasil replikasi juga dilakukan dengan benar. Jika semua DNA telah dikopi secara benar, maka sel telah dapat memasuki fase mitosis. Namun, Jika dalam sel ditemukan adanya kerusakan DNA atau gangguan siklus sel lainnya, pembelahan sel dapat dihentikan dengan cara mengaktifkan cekpoin. Dengan dihentikannya pembelahan sel, kerusakan DNA dapat diperbaiki dan jika kerusakan DNA tidak dapat dipulihkan, sel dapat memasuki tahapan apoptosis atau mengalami fase nonreplikatif (senesence). Proses apoptosis atau senescence ini diperankan oleh protein dengan berat molekul 53 Kda (p53). Jika proses replikasi DNA terjadi dengan benar, maka siklus sel memasuki fase mitosis.

Gambar 2.24. Grafik molekul ekpresi siklin dan CDK serta perannya dalam pengaturan siklus sel pada sel kamir. Pada sel kamir, molekul siklin fase G1 adalah siklin 1, 2 dan 3. Pada sel eukariot yang tingkatnya lebih tinggi siklin D berfungsi untuk memicu akumulasi G1 CDK yaitu siklin E–CDK. Kemudian pada fase S-CDK mulai meningkat pada akhir fase G1, memcapai puncaknya pada fase S dan diinaktifkan pada fase G2 dan mitosis. Ketika mencapai puncaknya S-CDK memicu replikasi DNA. Pada sel eukariot yang lebih tinggi, siklin E/CDK dan siklin A siklin A/CDK secara langsung atau tidak

langsung memicu replikasi DNA. M-CDK diaktifkan pada saat fase mitosis dimulai yang memicu kondensasi kromatin, pembentukan spindel mitosis dan penghancuran membran inti sel. Fungsi ini diperankan oleh siklin A/CDK dan Siklin B/CDK. Ketika sel selesai memasuki fase karyokinesis dan memasuki fase sitokinesis, semua semua cdk diinaktifkan dan sel dapat memasuki siklus pembelahan berikutnya

2.7.2. Mekanisme Molekuler Mitosis dan Sitokinesis

Pada fase pertama dari mitosis, yaitu profase terjadi kondensasi dan resolusi kromosom. Pada fase ini, enzim siklin B-CDK1 sangat berperan dalam kondensasi dan resolusi kromosom. Sebelum fase profase, semua DNA dalam sister kromatid terdistribusi secara merata dalam inti sel sehingga struktur kromosom dalam inti sel tidak dapat diamati dengan jelas. Kondensasi kromatin terjadi dengan cara mengemas DNA secara rapat dan berbentuk spiral sehingga secara mikroskopis tampak sebagai kromosom yang khas. Kondensasi kromatin dimungkinkan dengan memecah sebagian besar protein kohesin yang mengikat kedua sister kromatid dan menyisakannya secara utuh hanya pada di bagian sentromer atau kinektokhor. Keadaan ini melonggarkan struktur kromatin sehingga dapat dikemas secara rapi dan membentuk struktur spiral. Selain kondensasi kromatin, pada fase profase, juga terbentuk spindle mitosis yang diperlukan untuk pemisahan kromososm.

Fase selanjutnya dari mitosis adalah prometafase yang ditandai dengan hilangnya membran inti sel. Spindel mitosis kemudian mulai terbentuk dari sentrosom pada kutub yang berlawanan. Setiap mikrotubulus dari spindel mitosis kemudian mengikat sister kromatid melalui sentromer dari dua arah yang berlawanan. Dengan demikian sepasang kromatid yang identik dalam sister kromatid masing-masing diikat oleh mikrotubulus dari arah yang berlawanan. Ikatan antara mikrotubulus dan sister kromatid kemudian membawa siklus sel ke metaphase.

Pada metaphase, setiap sister kromatid berjejer membentuk garis ditengah (ekuator) dan setiap pasangan sister kromatid diikat oleh

Page 143: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 135

DNA yang akan diduplikasi telah benar. Kontrol ketat juga dilakukan pada cekpoin untuk memantau bahwa DNA hasil replikasi juga dilakukan dengan benar. Jika semua DNA telah dikopi secara benar, maka sel telah dapat memasuki fase mitosis. Namun, Jika dalam sel ditemukan adanya kerusakan DNA atau gangguan siklus sel lainnya, pembelahan sel dapat dihentikan dengan cara mengaktifkan cekpoin. Dengan dihentikannya pembelahan sel, kerusakan DNA dapat diperbaiki dan jika kerusakan DNA tidak dapat dipulihkan, sel dapat memasuki tahapan apoptosis atau mengalami fase nonreplikatif (senesence). Proses apoptosis atau senescence ini diperankan oleh protein dengan berat molekul 53 Kda (p53). Jika proses replikasi DNA terjadi dengan benar, maka siklus sel memasuki fase mitosis.

Gambar 2.24. Grafik molekul ekpresi siklin dan CDK serta perannya dalam pengaturan siklus sel pada sel kamir. Pada sel kamir, molekul siklin fase G1 adalah siklin 1, 2 dan 3. Pada sel eukariot yang tingkatnya lebih tinggi siklin D berfungsi untuk memicu akumulasi G1 CDK yaitu siklin E–CDK. Kemudian pada fase S-CDK mulai meningkat pada akhir fase G1, memcapai puncaknya pada fase S dan diinaktifkan pada fase G2 dan mitosis. Ketika mencapai puncaknya S-CDK memicu replikasi DNA. Pada sel eukariot yang lebih tinggi, siklin E/CDK dan siklin A siklin A/CDK secara langsung atau tidak

langsung memicu replikasi DNA. M-CDK diaktifkan pada saat fase mitosis dimulai yang memicu kondensasi kromatin, pembentukan spindel mitosis dan penghancuran membran inti sel. Fungsi ini diperankan oleh siklin A/CDK dan Siklin B/CDK. Ketika sel selesai memasuki fase karyokinesis dan memasuki fase sitokinesis, semua semua cdk diinaktifkan dan sel dapat memasuki siklus pembelahan berikutnya

2.7.2. Mekanisme Molekuler Mitosis dan Sitokinesis

Pada fase pertama dari mitosis, yaitu profase terjadi kondensasi dan resolusi kromosom. Pada fase ini, enzim siklin B-CDK1 sangat berperan dalam kondensasi dan resolusi kromosom. Sebelum fase profase, semua DNA dalam sister kromatid terdistribusi secara merata dalam inti sel sehingga struktur kromosom dalam inti sel tidak dapat diamati dengan jelas. Kondensasi kromatin terjadi dengan cara mengemas DNA secara rapat dan berbentuk spiral sehingga secara mikroskopis tampak sebagai kromosom yang khas. Kondensasi kromatin dimungkinkan dengan memecah sebagian besar protein kohesin yang mengikat kedua sister kromatid dan menyisakannya secara utuh hanya pada di bagian sentromer atau kinektokhor. Keadaan ini melonggarkan struktur kromatin sehingga dapat dikemas secara rapi dan membentuk struktur spiral. Selain kondensasi kromatin, pada fase profase, juga terbentuk spindle mitosis yang diperlukan untuk pemisahan kromososm.

Fase selanjutnya dari mitosis adalah prometafase yang ditandai dengan hilangnya membran inti sel. Spindel mitosis kemudian mulai terbentuk dari sentrosom pada kutub yang berlawanan. Setiap mikrotubulus dari spindel mitosis kemudian mengikat sister kromatid melalui sentromer dari dua arah yang berlawanan. Dengan demikian sepasang kromatid yang identik dalam sister kromatid masing-masing diikat oleh mikrotubulus dari arah yang berlawanan. Ikatan antara mikrotubulus dan sister kromatid kemudian membawa siklus sel ke metaphase.

Pada metaphase, setiap sister kromatid berjejer membentuk garis ditengah (ekuator) dan setiap pasangan sister kromatid diikat oleh

Page 144: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler136

mikrotubulus dari spindle mitosis yang mengarah ke dua kutub yang berlawanan.

Gambar. 2.25. Molekul yang terlibat dalam siklus dan sistem signal sel pada hewan mamalia. Tampak bahwa ketika memasuki siklus pembelahan, ukuran sel tampak bertambah. Selama fase S, genom diduplikasi dan selama mitosis kromosom mengalami kondensasi. Ketika sel membelah dari satu menjadi dua, kromosom dibagi secara merata pada dua sel anakan. Sumber Malumbres , 2011

Kesatuan protein yang memicu sel memasuki anafase adalah Cdc20 (APC/C-cdc20) yang memecah sekurin (penghambat anafase) yang berfungsi untuk mengikat dan menyatukan kedua sister kromatid. Pemecahan sekurin yang dimediasi oleh APC/C-cdc20 (sering disebut sebagai separase) memecah sekurin menjadi kleisin. Alpha-kleisin yang menyatu dengan kohesin yang menghubungkan SMC3 dan SMC1 pada sister kromatid yang dipecah oleh enzim separase menyebabkan kohesin terlepas dari kromosom (Bell dkk, 1992) Pemecahan kohesin yang kemudian memisahkan sister kromatin merupakan awal dari anafase yang nantinya membentuk dua kromosom yang identik pada kutub yang berlawanan pada fase telofase. Setelah itu kedua sel berpisah yang menandai selesainya satu ronde pembelahan sel. Sel dapat memasuki fase istirahat G0 dan dapat mengalami siklus pembelahan sel berikutnya jika terdapat beberbagai stimulus yang memicu pembelahan sel (Gambar2.25).

Daftar Pustaka

Aebersold DM, Shaul YD, Yung Y, Yarom N, Yao Z, Hanoch T, Seger R, 2004. Extracellular signal-regulated kinase 1c (ERK1c), a novel 42-kilodalton ERK, demonstrates unique modes of regulation, localization, and function, Mol. Cell. Biol. 24 :10000–10015.

Akhurst RJ, Hata A, 2012. Targeting the TGFβ signalling pathway in disease. Nature Rev Drug Discovery 11 : 790-811

Akinleye A, Furqan M, Mukhi N, Ravella P, Liu D. 2013 MEK and the inhibitors: from bench to bedside. J Hematol Oncol 6:27.

Aleem E, Arceci RJ . 2015. Targeting cell cycle regulators in hematologic malignancies Frontiers in Cell and Developmental Biology|www.frontiersin.org

Anastas JN, Moon RT. 2012. "WNT signalling pathways as therapeutic targets in cancer". Nature Reviews Cancer 13 : 11–26. doi:10.1038/nrc3419.

Anderson M. 2005. "Calmodulin kinase signaling in heart: an intriguing candidate target for therapy of myocardial dysfunction and arrhythmias". Pharmacology & Therapeutics 106: 39–55. doi:10.1016/j.pharmthera.2004.11.002.

Andrae J, Gallini R, Betsholtz C. 2008. Role of platelet-derived growth factors in physiology and medicine. Genes Dev 22:1276

Arcaro A, Zvelebil MJ, Wallasch C, Ullrich A, Waterfield MD, Domin J. 2000. Class II phosphoinositide 3-kinases are downstream targets of activated polypeptide growth factor receptors. Mol Cell Biol 20 :3817–3830.

Arteaga CL. 2010. Clinical development of phosphatidylinositol-3 kinase pathway inhibitors. Curr Top Microbiol Immunol 347:189–208.

Page 145: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 137

mikrotubulus dari spindle mitosis yang mengarah ke dua kutub yang berlawanan.

Gambar. 2.25. Molekul yang terlibat dalam siklus dan sistem signal sel pada hewan mamalia. Tampak bahwa ketika memasuki siklus pembelahan, ukuran sel tampak bertambah. Selama fase S, genom diduplikasi dan selama mitosis kromosom mengalami kondensasi. Ketika sel membelah dari satu menjadi dua, kromosom dibagi secara merata pada dua sel anakan. Sumber Malumbres , 2011

Kesatuan protein yang memicu sel memasuki anafase adalah Cdc20 (APC/C-cdc20) yang memecah sekurin (penghambat anafase) yang berfungsi untuk mengikat dan menyatukan kedua sister kromatid. Pemecahan sekurin yang dimediasi oleh APC/C-cdc20 (sering disebut sebagai separase) memecah sekurin menjadi kleisin. Alpha-kleisin yang menyatu dengan kohesin yang menghubungkan SMC3 dan SMC1 pada sister kromatid yang dipecah oleh enzim separase menyebabkan kohesin terlepas dari kromosom (Bell dkk, 1992) Pemecahan kohesin yang kemudian memisahkan sister kromatin merupakan awal dari anafase yang nantinya membentuk dua kromosom yang identik pada kutub yang berlawanan pada fase telofase. Setelah itu kedua sel berpisah yang menandai selesainya satu ronde pembelahan sel. Sel dapat memasuki fase istirahat G0 dan dapat mengalami siklus pembelahan sel berikutnya jika terdapat beberbagai stimulus yang memicu pembelahan sel (Gambar2.25).

Daftar Pustaka

Aebersold DM, Shaul YD, Yung Y, Yarom N, Yao Z, Hanoch T, Seger R, 2004. Extracellular signal-regulated kinase 1c (ERK1c), a novel 42-kilodalton ERK, demonstrates unique modes of regulation, localization, and function, Mol. Cell. Biol. 24 :10000–10015.

Akhurst RJ, Hata A, 2012. Targeting the TGFβ signalling pathway in disease. Nature Rev Drug Discovery 11 : 790-811

Akinleye A, Furqan M, Mukhi N, Ravella P, Liu D. 2013 MEK and the inhibitors: from bench to bedside. J Hematol Oncol 6:27.

Aleem E, Arceci RJ . 2015. Targeting cell cycle regulators in hematologic malignancies Frontiers in Cell and Developmental Biology|www.frontiersin.org

Anastas JN, Moon RT. 2012. "WNT signalling pathways as therapeutic targets in cancer". Nature Reviews Cancer 13 : 11–26. doi:10.1038/nrc3419.

Anderson M. 2005. "Calmodulin kinase signaling in heart: an intriguing candidate target for therapy of myocardial dysfunction and arrhythmias". Pharmacology & Therapeutics 106: 39–55. doi:10.1016/j.pharmthera.2004.11.002.

Andrae J, Gallini R, Betsholtz C. 2008. Role of platelet-derived growth factors in physiology and medicine. Genes Dev 22:1276

Arcaro A, Zvelebil MJ, Wallasch C, Ullrich A, Waterfield MD, Domin J. 2000. Class II phosphoinositide 3-kinases are downstream targets of activated polypeptide growth factor receptors. Mol Cell Biol 20 :3817–3830.

Arteaga CL. 2010. Clinical development of phosphatidylinositol-3 kinase pathway inhibitors. Curr Top Microbiol Immunol 347:189–208.

Page 146: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler138

Ashwell S, Zabludoff S . 2008. DNA damage detection and repair pathways— recent advances with inhibitors of checkpoint kinases in cancer therapy. Clin Cancer Res 14:4032

Assoian RK, Klein EA. 2008. "Growth control by intracellular tension and extracellular stiffness". Trends Cell Biol. 18 : 347–52. doi:10.1016/j.tcb.2008.05.002. PMC 2888483. PMID 18514521.

Barford D, Amit K D, Marie-Pierre E. 1998. The Structure and mechanism of protein phosphatase: Insights into Catalysis and Regulation. Annu. Rev. Biophys Biomol Struct 27:133–64

Bell SP, Stillman B .1992. "ATP-dependent recognition of eukaryotic origins of DNA replication by a multiprotein complex". Nature 357: 128–34. doi:10.1038/357128a0. PMID 1579162

Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L, Clarke ND. 2002. "Chapter 27, Section 4: DNA Replication of Both Strands Proceeds Rapidly from Specific Start Sites". Biochemistry. W.H. Freeman and Company. ISBN 0-7167-3051-0

Berki T, Boldizsár F, Szabó M, Talabér G, Varecza Z . 2011. Signal Transduction. Med Biotechnology http://www.tankonyvtar.hu/hu/tartalom/tamop425/0011 _1A_Jelatvitel_en_ book/ch03s02.htm

Bierie B, Moses HL 2006: Tumour microenvironment: TGFbeta: the molecular Jekyll and Hyde of cancer. Nat Rev Cancer 6:506

Bitting R, Armstrong AJ. 2013. Targeting the PI3K/Akt/mTOR pathway in castration-resistant prostate cancer. Endocr Relat Cancer 20:R83–R99.

Bogoyevitch MA, Kobe B. 2006. Uses for JNK: the many and varied substrates of the c-Jun N-terminal kinases, Microbiol Mol Biol Rev 70:1061–1095.

Bogoyevitch MA, Ngoei KR, Zhao TT, Yeap YY, Ng DC. 2010. c-Jun N-terminal kinase (JNK) signaling: recent advances and challenges, Biochim. Biophys. Acta 1804: 463–475.

Bradley JR, Pober JS, 2001, Tumor necrosis factor receptor-associated factors (TRAFs), Oncogene 20:6482–6491.

Burris HA. 2013. Overcoming acquired resistance to anticancer therapy: focus on the PI3K/AKT/mTOR pathway. Cancer Chemother Pharmacol 71:829–842.

Carpenter CL, Auger KR, Chanudhuri M, Yoakim M, Schaffhausen B, Shoelson S, Cantley LC. 1993. Phosphoinositide 3-kinase is activated by phosphopeptides that bind to the SH2 domains of the 85-kDa subunit. J Biol Chem 268:9478–9483.

Casteel DE, Smith-Nguyen EV, Sankaran B, Roh SH, Pilz RB, Kim C. 2010. "A crystal structure of the cyclic GMP-dependent protein kinase I{beta} dimerization/docking domain reveals molecular details of isoform-specific anchoring". J. Biol. Chem. 285: 32684–8. doi:10.1074/jbc.C110.161430. PMC 2963381. PMID 20826808.

Chadee DN, Kyriakis JM. 2004. MLK3 is required for mitogen activation of B-Raf, ERK and cell proliferation, Nat. Cell Biol. 6 : 770–7768.

Chai Z, Yang L, Yu B, He Q, Li WI, Zhou R, Zhang T, Zheng X, Xie J. 2009. p38 mitogen-activated protein kinase-dependent regulation of SRC-3 and involvement in retinoic acid receptor alpha signaling in embryonic cortical neurons. IUBMB Life 61:670-8. doi: 10.1002/iub.212.

Chao TH, M. Hayashi M, R.I. Tapping RI, Y. Kato Y, J.D. Lee JD.1999. MEKK3 directly regulates MEK5 activity as part of the big mitogen-activated protein kinase 1 (BMK1) signaling pathway, J. Biol. Chem. 274:36035–36038.

Page 147: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 139

Ashwell S, Zabludoff S . 2008. DNA damage detection and repair pathways— recent advances with inhibitors of checkpoint kinases in cancer therapy. Clin Cancer Res 14:4032

Assoian RK, Klein EA. 2008. "Growth control by intracellular tension and extracellular stiffness". Trends Cell Biol. 18 : 347–52. doi:10.1016/j.tcb.2008.05.002. PMC 2888483. PMID 18514521.

Barford D, Amit K D, Marie-Pierre E. 1998. The Structure and mechanism of protein phosphatase: Insights into Catalysis and Regulation. Annu. Rev. Biophys Biomol Struct 27:133–64

Bell SP, Stillman B .1992. "ATP-dependent recognition of eukaryotic origins of DNA replication by a multiprotein complex". Nature 357: 128–34. doi:10.1038/357128a0. PMID 1579162

Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L, Clarke ND. 2002. "Chapter 27, Section 4: DNA Replication of Both Strands Proceeds Rapidly from Specific Start Sites". Biochemistry. W.H. Freeman and Company. ISBN 0-7167-3051-0

Berki T, Boldizsár F, Szabó M, Talabér G, Varecza Z . 2011. Signal Transduction. Med Biotechnology http://www.tankonyvtar.hu/hu/tartalom/tamop425/0011 _1A_Jelatvitel_en_ book/ch03s02.htm

Bierie B, Moses HL 2006: Tumour microenvironment: TGFbeta: the molecular Jekyll and Hyde of cancer. Nat Rev Cancer 6:506

Bitting R, Armstrong AJ. 2013. Targeting the PI3K/Akt/mTOR pathway in castration-resistant prostate cancer. Endocr Relat Cancer 20:R83–R99.

Bogoyevitch MA, Kobe B. 2006. Uses for JNK: the many and varied substrates of the c-Jun N-terminal kinases, Microbiol Mol Biol Rev 70:1061–1095.

Bogoyevitch MA, Ngoei KR, Zhao TT, Yeap YY, Ng DC. 2010. c-Jun N-terminal kinase (JNK) signaling: recent advances and challenges, Biochim. Biophys. Acta 1804: 463–475.

Bradley JR, Pober JS, 2001, Tumor necrosis factor receptor-associated factors (TRAFs), Oncogene 20:6482–6491.

Burris HA. 2013. Overcoming acquired resistance to anticancer therapy: focus on the PI3K/AKT/mTOR pathway. Cancer Chemother Pharmacol 71:829–842.

Carpenter CL, Auger KR, Chanudhuri M, Yoakim M, Schaffhausen B, Shoelson S, Cantley LC. 1993. Phosphoinositide 3-kinase is activated by phosphopeptides that bind to the SH2 domains of the 85-kDa subunit. J Biol Chem 268:9478–9483.

Casteel DE, Smith-Nguyen EV, Sankaran B, Roh SH, Pilz RB, Kim C. 2010. "A crystal structure of the cyclic GMP-dependent protein kinase I{beta} dimerization/docking domain reveals molecular details of isoform-specific anchoring". J. Biol. Chem. 285: 32684–8. doi:10.1074/jbc.C110.161430. PMC 2963381. PMID 20826808.

Chadee DN, Kyriakis JM. 2004. MLK3 is required for mitogen activation of B-Raf, ERK and cell proliferation, Nat. Cell Biol. 6 : 770–7768.

Chai Z, Yang L, Yu B, He Q, Li WI, Zhou R, Zhang T, Zheng X, Xie J. 2009. p38 mitogen-activated protein kinase-dependent regulation of SRC-3 and involvement in retinoic acid receptor alpha signaling in embryonic cortical neurons. IUBMB Life 61:670-8. doi: 10.1002/iub.212.

Chao TH, M. Hayashi M, R.I. Tapping RI, Y. Kato Y, J.D. Lee JD.1999. MEKK3 directly regulates MEK5 activity as part of the big mitogen-activated protein kinase 1 (BMK1) signaling pathway, J. Biol. Chem. 274:36035–36038.

Page 148: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler140

Chen W, Chen M, Barak LS, 2010 Development of small molecules targeting the Wnt pathway for the treatment of colon cancer: a high-throughput screening approach Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 299: G293–G300, 2010

Chesnokov IN. 2007. "Multiple functions of the origin recognition complex". Int. Rev. Cytol. 256: 69–109. doi:10.1016/S0074-7696(07)56003-1. PMID 17241905.

Clavel S, Siffroi-Fernandez S, Coldefy AS, Boulukos K, Pisani DF, Derijard B, 2010, Regulation of the intracellular localization of Foxo3a by stress-activated protein kinase signaling pathways in skeletal muscle cells, Mol. Cell. Biol. 30 :470–480.

Clement S, Krause U, Desmedt F, Tanti JF, Behrends J, Pesesse X, Sasaki T, Penninger J, Doherty M, Malaisse W, et al: 2001. The lipid phosphatase SHIP2 controls insulin sensitivity. Nature 409:92–97.

Cohen P, Frame S, 2001. The renaissance of GSK3, Nature Reviews Molecular Cell Biology 2 :769-776 doi:10.1038/35096075

Cohen-Zinder M, Karasik D, Onn I. 2013. Structural maintenance of chromosome complexes and bone development: the beginning of a wonderful relationship? BoneKEy Reports, Article number: 388 doi:10.1038/bonekey.2013.1

Conway K Price P, Harding KG, Jiang WG. 2006. The molecular and clinical impact of hepatocyte growth factor, its receptor, activators, and inhibitors in wound healing. Wound Repair Regen 14:2, 2006.

Davis RJ. 2000. Signal transduction by the JNK group of MAP kin-ases Cell 103, 239–252

Derynck R, Zhang YE. 2003. Smad-dependent and Smad-independent pathways in TGF-beta family signalling. Nature 425:577-84.

Dhanasekaran DN, Reddy EP. 2008. JNK signaling in apoptosis, Oncogene 27: 6245–6251.

Diehl JA, Cheng M, Roussel MF, Sherr C. 1998. "Glycogen synthase kinase-3β regulates cyclin D1 proteolysis and subcellular localization". Genes Dev 12: 3499–3511. doi:10.1101/gad.12.22.3499. PMID 9832503

DilMeo TA, Anderson K, Phadke P, Feng,C, Perou CM, Naber S, Kuperwasser C. 2009. "A Novel Lung Metastasis Signature Links Wnt Signaling with Cancer Cell Self-Renewal and Epithelial-Mesenchymal Transition in Basal-like Breast Cancer". Cancer Research 69: 5364–5373. doi:10.1158/0008-5472.CAN-08-4135.

DownwardJ. 2009. Cancer: A tumour gene's fatal flaws. Nature 462, 44-45

Duronio V. 2008: The life of a cell: apoptosis regulation by the PI3K/PKB pathway. Biochem J 415:333–344.

Efer R,Wagner EF. 2003. AP-1: a double-edged sword in tumorigenesis, Nat Rev Cancer 3:859-68

Eisinger-Mathason TS, Andrade J, Lannigan DA. 2010. RSK in tumorigenesis: connections to steroid signaling, Steroids 75:191–202.

Engelman JA, Luo J, Cantley LC. 2006. The evolution of phosphatidylinositol 3-kinases as regulators of growth and metabolism. Nat Rev Genet 7:606–619.

Engelman JA. 2009. Targeting PI3K signalling in cancer: opportunities, challenges and limitations. Nat Rev Cancer 9:550–562

Fragkos M, Ganier O, Coulombe P, Méchali M, 2015. DNA replication origin activation in space and time Nature Reviews Molecular Cell Biology 16 :360–374 doi:10.1038/nrm4002

Page 149: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 141

Chen W, Chen M, Barak LS, 2010 Development of small molecules targeting the Wnt pathway for the treatment of colon cancer: a high-throughput screening approach Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 299: G293–G300, 2010

Chesnokov IN. 2007. "Multiple functions of the origin recognition complex". Int. Rev. Cytol. 256: 69–109. doi:10.1016/S0074-7696(07)56003-1. PMID 17241905.

Clavel S, Siffroi-Fernandez S, Coldefy AS, Boulukos K, Pisani DF, Derijard B, 2010, Regulation of the intracellular localization of Foxo3a by stress-activated protein kinase signaling pathways in skeletal muscle cells, Mol. Cell. Biol. 30 :470–480.

Clement S, Krause U, Desmedt F, Tanti JF, Behrends J, Pesesse X, Sasaki T, Penninger J, Doherty M, Malaisse W, et al: 2001. The lipid phosphatase SHIP2 controls insulin sensitivity. Nature 409:92–97.

Cohen P, Frame S, 2001. The renaissance of GSK3, Nature Reviews Molecular Cell Biology 2 :769-776 doi:10.1038/35096075

Cohen-Zinder M, Karasik D, Onn I. 2013. Structural maintenance of chromosome complexes and bone development: the beginning of a wonderful relationship? BoneKEy Reports, Article number: 388 doi:10.1038/bonekey.2013.1

Conway K Price P, Harding KG, Jiang WG. 2006. The molecular and clinical impact of hepatocyte growth factor, its receptor, activators, and inhibitors in wound healing. Wound Repair Regen 14:2, 2006.

Davis RJ. 2000. Signal transduction by the JNK group of MAP kin-ases Cell 103, 239–252

Derynck R, Zhang YE. 2003. Smad-dependent and Smad-independent pathways in TGF-beta family signalling. Nature 425:577-84.

Dhanasekaran DN, Reddy EP. 2008. JNK signaling in apoptosis, Oncogene 27: 6245–6251.

Diehl JA, Cheng M, Roussel MF, Sherr C. 1998. "Glycogen synthase kinase-3β regulates cyclin D1 proteolysis and subcellular localization". Genes Dev 12: 3499–3511. doi:10.1101/gad.12.22.3499. PMID 9832503

DilMeo TA, Anderson K, Phadke P, Feng,C, Perou CM, Naber S, Kuperwasser C. 2009. "A Novel Lung Metastasis Signature Links Wnt Signaling with Cancer Cell Self-Renewal and Epithelial-Mesenchymal Transition in Basal-like Breast Cancer". Cancer Research 69: 5364–5373. doi:10.1158/0008-5472.CAN-08-4135.

DownwardJ. 2009. Cancer: A tumour gene's fatal flaws. Nature 462, 44-45

Duronio V. 2008: The life of a cell: apoptosis regulation by the PI3K/PKB pathway. Biochem J 415:333–344.

Efer R,Wagner EF. 2003. AP-1: a double-edged sword in tumorigenesis, Nat Rev Cancer 3:859-68

Eisinger-Mathason TS, Andrade J, Lannigan DA. 2010. RSK in tumorigenesis: connections to steroid signaling, Steroids 75:191–202.

Engelman JA, Luo J, Cantley LC. 2006. The evolution of phosphatidylinositol 3-kinases as regulators of growth and metabolism. Nat Rev Genet 7:606–619.

Engelman JA. 2009. Targeting PI3K signalling in cancer: opportunities, challenges and limitations. Nat Rev Cancer 9:550–562

Fragkos M, Ganier O, Coulombe P, Méchali M, 2015. DNA replication origin activation in space and time Nature Reviews Molecular Cell Biology 16 :360–374 doi:10.1038/nrm4002

Page 150: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler142

Freeman-Cook KD, Autry C, Borzillo G, Gordon D, Barbacci-Tobin E, Bernardo V, Briere D, Clark T, Corbett M, Jakubczak J, Kakar S, Knauth E, Lippa B, Luzzio MJ, Mansour M, Martinelli G, Marx M, Nelson K, Pandit J, Rajamohan F, Robinson S, Subramanyam C, Wei L, Wythes M, Morris J. 2010. "Design of selective, ATP-competitive inhibitors of Akt". J. Med. Chem. 53 (12): 4615–22. doi:10.1021/jm1003842. PMID 20481595.

Fruman DA dan Rommel C. 2014. PI3K and cancer: lessons, challenges and opportunities Nature Reviews Drug Discovery 13,140–156 doi:10.1038/nrd420

Furqan M, Mukhi N, Lee B, Liu D 2013: Dysregulation of JAK-STAT pathway in hematological malignancies and JAK inhibitors for clinical application. Biomarker Research 1:5.

Gaidarov I, Smith ME, Domin J, Keen JH. 2001. The class II phosphoinositide 3-kinase C2alpha is activated by clathrin and regulates clathrin-mediated membrane trafficking. Mol Cell 7 :443–449.

Gaidarov I, Zhao Y, Keen JH. 2005. Individual phosphoinositide 3-kinase C2alpha domain activities independently regulate clathrin function. J Biol Chem 280:40766–40772.

Gianni M, Bauer A, Garattini E, Chambon P, Rochette-Egly C. 2002. Phosphorylation by p38MAPK and recruitment of SUG-1 are required for RA-induced RAR gamma degradation and and transactivation. EMBO J 21:3760-9.

Gocek E, Studzinski GP , 2015. The Potential of Vitamin D-Regulated Intracellular Signaling Pathways as Targets for Myeloid Leukemia Therapy J. Clin. Med. 2015, 4(4), 504-534

Haeusgen W, Boehm R, Zhao T, Herdegen T, Waetzig V. 2009. Specific activities of individual c-Jun N-terminal kinases in the brain, Neuroscience 161: 951–959.

Hallows KR, Wang H, Edinger RS, Butterworth MB, Oyster NM, Li H, Buck J, Levin LR, Johnson JP, Pastor-Soler NM. 2009. Regulation of epithelial Na transport by soluble adenylyl cyclase in kidney collecting duct cells. J Biol Chem 284: 5774-5783

Hetzer M. 2012. "The Nuclear Envelope". National Center for Biotechnology Information 2 (3): a000539. doi:10.1101/cshperspect.a000539. PMC 2829960. PMID 20300205

Hickson GRX, Arnaud E, O'Farrell F. 2006. "Rho-kinase Controls Cell Shape Changes during Cytokinesis". National Center for Biotechnology Information 16 : 359–70. doi:10.1016/j.cub.2005.12.043. PMC 1525334. PMID 16488869..

Hu C, Huang L, Gest C, Xi X, Janin A, Soria C, Li H, Lu H. 2012. Opposite regulation by PI3K/Akt and MAPK/ERK pathways of tissue factor expression, cell-associated procoagulant activity and invasiveness in MDA-MB-231 cells. J Hematol Oncol 5:16

Huang G,Shi LZ, Chi H, 2009. Regulation of JNK and p38 MAPK in the immune system: signal integration, propagation and termination, Cytokine 48:161–169.

Ignotz RA, Massague J. 1986. Transforming growth factor-beta stimulates the expression of fibronectin and collagen and their incorporation into the extracellular matrix. J Biol Chem 261:4337–4345.

Itoh N. 2007. The Fgf families in humans, mice, and zebrafish: their evolutional processes and roles in development, metabolism, and disease. Biol Pharm Bull 30:1819

Kadigan KM, Nusse R. 1997. "Wnt signaling: a common theme is animal development". Genes & Development 11: 3286–3305. doi:10.1101/gad.11.24.3286. PMID 9407023

Page 151: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 143

Freeman-Cook KD, Autry C, Borzillo G, Gordon D, Barbacci-Tobin E, Bernardo V, Briere D, Clark T, Corbett M, Jakubczak J, Kakar S, Knauth E, Lippa B, Luzzio MJ, Mansour M, Martinelli G, Marx M, Nelson K, Pandit J, Rajamohan F, Robinson S, Subramanyam C, Wei L, Wythes M, Morris J. 2010. "Design of selective, ATP-competitive inhibitors of Akt". J. Med. Chem. 53 (12): 4615–22. doi:10.1021/jm1003842. PMID 20481595.

Fruman DA dan Rommel C. 2014. PI3K and cancer: lessons, challenges and opportunities Nature Reviews Drug Discovery 13,140–156 doi:10.1038/nrd420

Furqan M, Mukhi N, Lee B, Liu D 2013: Dysregulation of JAK-STAT pathway in hematological malignancies and JAK inhibitors for clinical application. Biomarker Research 1:5.

Gaidarov I, Smith ME, Domin J, Keen JH. 2001. The class II phosphoinositide 3-kinase C2alpha is activated by clathrin and regulates clathrin-mediated membrane trafficking. Mol Cell 7 :443–449.

Gaidarov I, Zhao Y, Keen JH. 2005. Individual phosphoinositide 3-kinase C2alpha domain activities independently regulate clathrin function. J Biol Chem 280:40766–40772.

Gianni M, Bauer A, Garattini E, Chambon P, Rochette-Egly C. 2002. Phosphorylation by p38MAPK and recruitment of SUG-1 are required for RA-induced RAR gamma degradation and and transactivation. EMBO J 21:3760-9.

Gocek E, Studzinski GP , 2015. The Potential of Vitamin D-Regulated Intracellular Signaling Pathways as Targets for Myeloid Leukemia Therapy J. Clin. Med. 2015, 4(4), 504-534

Haeusgen W, Boehm R, Zhao T, Herdegen T, Waetzig V. 2009. Specific activities of individual c-Jun N-terminal kinases in the brain, Neuroscience 161: 951–959.

Hallows KR, Wang H, Edinger RS, Butterworth MB, Oyster NM, Li H, Buck J, Levin LR, Johnson JP, Pastor-Soler NM. 2009. Regulation of epithelial Na transport by soluble adenylyl cyclase in kidney collecting duct cells. J Biol Chem 284: 5774-5783

Hetzer M. 2012. "The Nuclear Envelope". National Center for Biotechnology Information 2 (3): a000539. doi:10.1101/cshperspect.a000539. PMC 2829960. PMID 20300205

Hickson GRX, Arnaud E, O'Farrell F. 2006. "Rho-kinase Controls Cell Shape Changes during Cytokinesis". National Center for Biotechnology Information 16 : 359–70. doi:10.1016/j.cub.2005.12.043. PMC 1525334. PMID 16488869..

Hu C, Huang L, Gest C, Xi X, Janin A, Soria C, Li H, Lu H. 2012. Opposite regulation by PI3K/Akt and MAPK/ERK pathways of tissue factor expression, cell-associated procoagulant activity and invasiveness in MDA-MB-231 cells. J Hematol Oncol 5:16

Huang G,Shi LZ, Chi H, 2009. Regulation of JNK and p38 MAPK in the immune system: signal integration, propagation and termination, Cytokine 48:161–169.

Ignotz RA, Massague J. 1986. Transforming growth factor-beta stimulates the expression of fibronectin and collagen and their incorporation into the extracellular matrix. J Biol Chem 261:4337–4345.

Itoh N. 2007. The Fgf families in humans, mice, and zebrafish: their evolutional processes and roles in development, metabolism, and disease. Biol Pharm Bull 30:1819

Kadigan KM, Nusse R. 1997. "Wnt signaling: a common theme is animal development". Genes & Development 11: 3286–3305. doi:10.1101/gad.11.24.3286. PMID 9407023

Page 152: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler144

Kaldis P, Pagano M. 2009. "Wnt Signaling in Mitosis". Developmental Cell 17: 749–750. doi:10.1016/j.devcel.2009.12.001.

Katso R, Okkenhaug K, Ahmadi K, White S, Timms J, Waterfield MD. 2001. Cellular function of phosphoinositide 3-kinases: implications for development, homeostasis, and cancer. Annu Rev Cell Dev Biol, 17:615–675.

King, D; Yeomanson, D; Bryant, HE (24 March 2015). "PI3King the Lock: Targeting the PI3K/Akt/mTOR Pathway as a Novel Therapeutic Strategy in Neuroblastoma.". J Pediatric hemat/oncol. PMID 25811750.

Kohan DE. 2013 . Role of collecting duct endothelin in control of renal function and blood pressure Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 305: R659–R668, 2013

Komiya Y, Habas R. 2008. "Wnt signal transduction pathways.". Organogenesis 4 : 68–75. doi:10.4161/org.4.2.5851

Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, Bast RC Ganler TS, Holland JF, Frei E. 2003. Cancer medicine 6. Hamilton, Ont: BC Decker. ISBN 1-55009-213-8.

Kulkarni AB, Huh CG, Becker D, Geiser A, Lyght M, Flanders KC, et al. 1993 Transforming growth factor beta 1 null mutation in mice causes excessive inflammatory response and early death. Proc Natl Acad Sci U S A 90:770–774.

Kurayoshi M, Yamamoto H, Izumi S, Kikuchi A. 2007. "Post-translational palmitoylation and glycosylation of Wnt-5a are necessary for its signalling". Biochem J 402 : 515–523. doi:10.1042/BJ20061476. PMID 17117926.

Kwon IK, Schoenlein PV, Delk J, Liu K, Thangaraju M, Dulin NO, Ganapathy V, Berger FG, Browning DD. 2008. "Expression of cyclic guanosine monophosphate-dependent protein kinase in

metastatic colon carcinoma cells blocks tumor angiogenesis". Cancer 112 : 1462–70. doi:10.1002/cncr.23334. PMID 18260092.

Lee M, Nurse P. 1987. "Complementation used to clone a human homologue of the fission yeast cell cycle control gene cdc2." Nature 327:31-35.

Leman AR, Noguchi E. 2013. The Replication Fork: Understanding the Eukaryotic Replication Machinery and the Challenges to Genome Duplication . Genes 4 : 1–32.

Liao G, Tao Q, Kofron M, Chen JS, Schloemer A, Davis RJ, Hsieh JC, Wylie C, Heasman J, Kuan CY, 2006, Jun NH2-terminal kinase (JNK) prevents nuclear betacatenin accumulation and regulates axis formation in Xenopus embryos, Proc Natl Acad Sci USA 103:16313–16318.

Lin T, Mak NK, Yang MS. 2008. MAPK regulate p53-dependent cell death induced by benzo[a]pyrene: involvement of p53 phosphorylation and acetylation, Toxicology 247:145–153.

Liu P, et al 2009: Targeting the phosphoinositide 3-kinase pathway in cancer. Nat Rev Drug Discov 8:627–644.

Malumbres M. 2011. Physiological Relevance of Cell Cycle Kinases. Physiological Reviews 91: 973-1007

Malumbres M, Barbacid M, 2001. Milestones in cell division : to cycle or not to cycle : a critical dicicion in cancer ournal: Nature Reviews Cancer - NAT REV CANCER , vol. 1, no. 3, pp. 222-231, 200

Manning BD, Cantley LC. 2007. "AKT/PKB Signaling: Navigating Downstream". Cell 129 : 1261–1274

Marais R, Wynne J, Treisman R, 1993.The SRF accessory protein Elk-1 contains a growth factor-regulated transcriptional activation domain, Cell 73: 381–393.

Page 153: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 145

Kaldis P, Pagano M. 2009. "Wnt Signaling in Mitosis". Developmental Cell 17: 749–750. doi:10.1016/j.devcel.2009.12.001.

Katso R, Okkenhaug K, Ahmadi K, White S, Timms J, Waterfield MD. 2001. Cellular function of phosphoinositide 3-kinases: implications for development, homeostasis, and cancer. Annu Rev Cell Dev Biol, 17:615–675.

King, D; Yeomanson, D; Bryant, HE (24 March 2015). "PI3King the Lock: Targeting the PI3K/Akt/mTOR Pathway as a Novel Therapeutic Strategy in Neuroblastoma.". J Pediatric hemat/oncol. PMID 25811750.

Kohan DE. 2013 . Role of collecting duct endothelin in control of renal function and blood pressure Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 305: R659–R668, 2013

Komiya Y, Habas R. 2008. "Wnt signal transduction pathways.". Organogenesis 4 : 68–75. doi:10.4161/org.4.2.5851

Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, Bast RC Ganler TS, Holland JF, Frei E. 2003. Cancer medicine 6. Hamilton, Ont: BC Decker. ISBN 1-55009-213-8.

Kulkarni AB, Huh CG, Becker D, Geiser A, Lyght M, Flanders KC, et al. 1993 Transforming growth factor beta 1 null mutation in mice causes excessive inflammatory response and early death. Proc Natl Acad Sci U S A 90:770–774.

Kurayoshi M, Yamamoto H, Izumi S, Kikuchi A. 2007. "Post-translational palmitoylation and glycosylation of Wnt-5a are necessary for its signalling". Biochem J 402 : 515–523. doi:10.1042/BJ20061476. PMID 17117926.

Kwon IK, Schoenlein PV, Delk J, Liu K, Thangaraju M, Dulin NO, Ganapathy V, Berger FG, Browning DD. 2008. "Expression of cyclic guanosine monophosphate-dependent protein kinase in

metastatic colon carcinoma cells blocks tumor angiogenesis". Cancer 112 : 1462–70. doi:10.1002/cncr.23334. PMID 18260092.

Lee M, Nurse P. 1987. "Complementation used to clone a human homologue of the fission yeast cell cycle control gene cdc2." Nature 327:31-35.

Leman AR, Noguchi E. 2013. The Replication Fork: Understanding the Eukaryotic Replication Machinery and the Challenges to Genome Duplication . Genes 4 : 1–32.

Liao G, Tao Q, Kofron M, Chen JS, Schloemer A, Davis RJ, Hsieh JC, Wylie C, Heasman J, Kuan CY, 2006, Jun NH2-terminal kinase (JNK) prevents nuclear betacatenin accumulation and regulates axis formation in Xenopus embryos, Proc Natl Acad Sci USA 103:16313–16318.

Lin T, Mak NK, Yang MS. 2008. MAPK regulate p53-dependent cell death induced by benzo[a]pyrene: involvement of p53 phosphorylation and acetylation, Toxicology 247:145–153.

Liu P, et al 2009: Targeting the phosphoinositide 3-kinase pathway in cancer. Nat Rev Drug Discov 8:627–644.

Malumbres M. 2011. Physiological Relevance of Cell Cycle Kinases. Physiological Reviews 91: 973-1007

Malumbres M, Barbacid M, 2001. Milestones in cell division : to cycle or not to cycle : a critical dicicion in cancer ournal: Nature Reviews Cancer - NAT REV CANCER , vol. 1, no. 3, pp. 222-231, 200

Manning BD, Cantley LC. 2007. "AKT/PKB Signaling: Navigating Downstream". Cell 129 : 1261–1274

Marais R, Wynne J, Treisman R, 1993.The SRF accessory protein Elk-1 contains a growth factor-regulated transcriptional activation domain, Cell 73: 381–393.

Page 154: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler146

Maruyama J, Naguro I,Takeda K, Ichijo H, 2009. Stress-activated MAP kinase cascades in cellular senescence, Curr. Med. Chem. 16:1229–1235.

Massague J. 2000. How cells read TGF-beta signals. Nat Rev Mol Cell Biol 1:169–178.

Maton A. 1997. Cells: Building Blocks of Life. New Jersey: Prentice Hall. pp. 70–4. ISBN 0-13-423476-6

McCubrey JA, Steelman LS, Chappell WH, Abrams SL, Wong SWT, Chang F, Brian Lehmann B c, David M. Terrian DM, Milella M, Tafuri A, Stivala F, Libra M, Basecke J, Evangelisti C, Martelli AM, Franklin RA. 2007. Roles of the Raf/MEK/ERK pathway in cell growth, malignanttransformation and drug resistanceBiochimica et Biophysica Acta 1773: 1263–1284

McGarry TJ, Kirschner MW. 1998. "Geminin, an inhibitor of DNA replication, is degraded during mitosis". Cell 93: 1043–1053. doi:10.1016/S0092-8674(00)81209-X. PMID 9635433

Mebratu Y,Tesfaigzi Y, 2009, How ERK1/2 activation controls cell proliferation and cell death is subcellular localization the answer? Cell Cycle 8 : 1168–1175.

Meister M, Tomasovic A, Banning A, Tikkanen R,, 2013 Mitogen-Activated Protein (MAP) Kinase Scaffolding Proteins: A Recount Int. J. Mol. Sci. 2013, 14(3), 4854-4884; doi:10.3390/ijms14034854

Méchali, M. 2010. Eukaryotic DNA replication origins: many choices for appropriate answers Nature Reviews Molecular Cell Biology 11, 728-738. Abstract online http://www.nature.com/nrm/journal/v11/n10/box/nrm2976_BX1.html

Milde-Langosch K. 2005. The Fos family of transcription factors and their role in tumourigenesis. Eur J Cancer 41:2449-61.

Milne DM, Campbell DG, Caudwell FB, Meek DW, 1994, Phosphorylation of the tumor suppressor protein p53 by mitogen-activated protein kinases, J. Biol. Chem. 269:9253–9260.

Milne DM, Campbell LE, Campbell DG, Meek DW, 1995, p53 is phosphorylated in vitro and in vivo by an ultraviolet radiation-induced protein kinase characteristic of the c-Jun kinase, JNK1, J Biol Chem 270:5511–5518.

Minde DP, Anvarian Z, Rüdiger SG, Maurice MM . 2011. "Messing up disorder: how do missense mutations in the tumor suppressor protein APC lead to cancer?" . Mol Cancer 10: 101. doi:10.1186/1476-4598-10-101. PMC 3170638. PMID 21859464.

Minde DP, Radli M, Forneris F, Maurice MM, Rüdiger SG. 2013. "Large Extent of Disorder in Adenomatous Polyposis Coli Offers a Strategy to Guard Wnt Signalling against Point Mutations". PLOS ONE 8 (10): e77257. doi:10.1371/journal.pone.0077257. PMC 3793970. PMID 24130866.

Morton S,Davis DJ, A McLaren A, Cohen P, 2003, A reinvestigation of the multisite phosphorylation of the transcription factor c-Jun, EMBO J 22:3876–3886.

Mouron S, de CarcerG, Seco E, Fernandez-Miranda G, Malumbres M, Nebreda A. 2010. "RINGO C is required to sustain the spindle assembly checkpoint." J Cell Sci 123:2586-2595

Mumby MC, Walter G. 1993. "Protein serine/threonine phosphatases: structure, regulation, and functions in cell growth". Physiol Rev 73 : 673–99.

Murphy LO, MacKeigan JP, Blenis J. 2004. A network of immediate early gene products propagates subtle differences in mitogen-activated protein kinase signal amplitude and duration, Mol Cell Biol 24:144–153.

Page 155: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 147

Maruyama J, Naguro I,Takeda K, Ichijo H, 2009. Stress-activated MAP kinase cascades in cellular senescence, Curr. Med. Chem. 16:1229–1235.

Massague J. 2000. How cells read TGF-beta signals. Nat Rev Mol Cell Biol 1:169–178.

Maton A. 1997. Cells: Building Blocks of Life. New Jersey: Prentice Hall. pp. 70–4. ISBN 0-13-423476-6

McCubrey JA, Steelman LS, Chappell WH, Abrams SL, Wong SWT, Chang F, Brian Lehmann B c, David M. Terrian DM, Milella M, Tafuri A, Stivala F, Libra M, Basecke J, Evangelisti C, Martelli AM, Franklin RA. 2007. Roles of the Raf/MEK/ERK pathway in cell growth, malignanttransformation and drug resistanceBiochimica et Biophysica Acta 1773: 1263–1284

McGarry TJ, Kirschner MW. 1998. "Geminin, an inhibitor of DNA replication, is degraded during mitosis". Cell 93: 1043–1053. doi:10.1016/S0092-8674(00)81209-X. PMID 9635433

Mebratu Y,Tesfaigzi Y, 2009, How ERK1/2 activation controls cell proliferation and cell death is subcellular localization the answer? Cell Cycle 8 : 1168–1175.

Meister M, Tomasovic A, Banning A, Tikkanen R,, 2013 Mitogen-Activated Protein (MAP) Kinase Scaffolding Proteins: A Recount Int. J. Mol. Sci. 2013, 14(3), 4854-4884; doi:10.3390/ijms14034854

Méchali, M. 2010. Eukaryotic DNA replication origins: many choices for appropriate answers Nature Reviews Molecular Cell Biology 11, 728-738. Abstract online http://www.nature.com/nrm/journal/v11/n10/box/nrm2976_BX1.html

Milde-Langosch K. 2005. The Fos family of transcription factors and their role in tumourigenesis. Eur J Cancer 41:2449-61.

Milne DM, Campbell DG, Caudwell FB, Meek DW, 1994, Phosphorylation of the tumor suppressor protein p53 by mitogen-activated protein kinases, J. Biol. Chem. 269:9253–9260.

Milne DM, Campbell LE, Campbell DG, Meek DW, 1995, p53 is phosphorylated in vitro and in vivo by an ultraviolet radiation-induced protein kinase characteristic of the c-Jun kinase, JNK1, J Biol Chem 270:5511–5518.

Minde DP, Anvarian Z, Rüdiger SG, Maurice MM . 2011. "Messing up disorder: how do missense mutations in the tumor suppressor protein APC lead to cancer?" . Mol Cancer 10: 101. doi:10.1186/1476-4598-10-101. PMC 3170638. PMID 21859464.

Minde DP, Radli M, Forneris F, Maurice MM, Rüdiger SG. 2013. "Large Extent of Disorder in Adenomatous Polyposis Coli Offers a Strategy to Guard Wnt Signalling against Point Mutations". PLOS ONE 8 (10): e77257. doi:10.1371/journal.pone.0077257. PMC 3793970. PMID 24130866.

Morton S,Davis DJ, A McLaren A, Cohen P, 2003, A reinvestigation of the multisite phosphorylation of the transcription factor c-Jun, EMBO J 22:3876–3886.

Mouron S, de CarcerG, Seco E, Fernandez-Miranda G, Malumbres M, Nebreda A. 2010. "RINGO C is required to sustain the spindle assembly checkpoint." J Cell Sci 123:2586-2595

Mumby MC, Walter G. 1993. "Protein serine/threonine phosphatases: structure, regulation, and functions in cell growth". Physiol Rev 73 : 673–99.

Murphy LO, MacKeigan JP, Blenis J. 2004. A network of immediate early gene products propagates subtle differences in mitogen-activated protein kinase signal amplitude and duration, Mol Cell Biol 24:144–153.

Page 156: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler148

Murphy-Ullrich JE, Poczatek M. 2000. Activation of latent TGF-beta by thrombospondin-1: mechanisms and physiology. Cytokine Growth Factor Rev 11:59–69.

Nagy JA1, Dvorak AM, Dvorak HF . 2007. VEGF-A and the induction of pathological angiogenesis. Annu Rev Pathol 2:251.

Niault T, Baccarini M, 2010, Targets of Raf in tumorigenesis, Carcinogenesis 7 : 1165–1174.

Nishimoto S, Nishida E, 2006, MAPK signalling: ERK5 versus ERK1/2, EMBO Rep. 7:782–786.

Nusse R; Varmus H. 2012. "Three decades of Wnts: a personal perspective on how a scientific field developed". The EMBO Journal 31: 2670–2684. doi:10.1038/emboj.2012.146

Okkenhaug K, 2013, Signaling by the Phosphoinositide 3-Kinase Family in Immune Cell .An Rev Immunol 31: 675-704 DOI: 10.1146/annurev-immunol-032712-095946

Oren M, Damalas A, Gottlieb T, Michael D, Taplick J, Leal JF, Maya R, Moas M ,Seger R, Taya, Y, Ben-Ze'ev A, 2002, Regulation of p53: intricate loops and delicate balances, Biochem. Pharmacol. 64: 865–871.

Osaki M, Oshimura M, Ito H . 2004. PI3K-Akt pathway: its functions and alterations in human cancer. Apoptosis 9:667–676.

Parsons DW, Jones S, Zhang X, Lin JC, Leary RJ, Angenendt P, Mankoo P, Carter H, Siu IM, Gallia GL, et al 2008. An integrated genomic analysis of human glioblastoma multiforme. Science 321:1807–1812.

Peyressatre M, Prével C, Pellerano M, Morris MC 2015. Targeting Cyclin-Dependent Kinases in Human Cancers: From Small Molecules to Peptide Inhibitors. Cancers 7:179-237

Phin S, Moore MW, Cotter PD. 2013. Genomic rearrangements of PTEN in prostate cancer Front. Oncol., 17. http://dx.doi.org/10.3389/fonc.2013.00240

Plotnikov A, Zehorai E, Procaccia S, Seger R. 2011. The MAPK cascades: Signaling components, nuclear roles and mechanisms of nuclear translocation Biochime Biophysica Acta (BBA) - Molecular Cell Research 181 : 1619–1633

Pollard TD, Earnshaw WC: Cell Biology. Philadelphia, Saunders, 2002

Ramos-Torrecillas J, Luna-Bertos ED, García-Martínez O, Ruiz C, 2014. Clinical Utility of Growth Factors and Platelet-Rich Plasma in Tissue Regeneration: A Review WOUNDS 26:207-213.

RaoT, Kühl M. 2010. "An Updated Overview on Wnt Signaling Pathways : A Prelude for More". Circulation Research 106: 1798–1806. doi:10.1161/CIRCRESAHA.110.219840.

Reymann S, Borlak J.2008 Transcription profiling of lung adenocarcinomas of c-myc-transgenic mice: Identification of the c-myc regulatory gene network. BMC Sys Biol 2:46 http://www.biomedcentral.com/1752-0509/2/46

Rincon M, Davis RJ, 2009. Regulation of the immune response by stress-activated protein kinases, Immunol Rev 228:212–224.

Roberts OL, Holmes K, Muller J, Cross DA,Cross MJ,.2009. ERK5 and the regulation of endothelial cell function, Biochem. Soc. Trans. 37:1254–1259.

Sastre-Perona A, Santisteban. 2012. PRole of the wnt pathway in thyroid cancer. Front Endocrinol (Lausanne). 3:31. doi: 10.3389/fendo.2012.00031

Satyanarayana A, Kaldis. 2009. “Mammalian cell-cycle regulation: several Cdks, numerous cyclins, and diverse compensatory mechanisms” “Oncogene” 28:2925-2939

Page 157: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 149

Murphy-Ullrich JE, Poczatek M. 2000. Activation of latent TGF-beta by thrombospondin-1: mechanisms and physiology. Cytokine Growth Factor Rev 11:59–69.

Nagy JA1, Dvorak AM, Dvorak HF . 2007. VEGF-A and the induction of pathological angiogenesis. Annu Rev Pathol 2:251.

Niault T, Baccarini M, 2010, Targets of Raf in tumorigenesis, Carcinogenesis 7 : 1165–1174.

Nishimoto S, Nishida E, 2006, MAPK signalling: ERK5 versus ERK1/2, EMBO Rep. 7:782–786.

Nusse R; Varmus H. 2012. "Three decades of Wnts: a personal perspective on how a scientific field developed". The EMBO Journal 31: 2670–2684. doi:10.1038/emboj.2012.146

Okkenhaug K, 2013, Signaling by the Phosphoinositide 3-Kinase Family in Immune Cell .An Rev Immunol 31: 675-704 DOI: 10.1146/annurev-immunol-032712-095946

Oren M, Damalas A, Gottlieb T, Michael D, Taplick J, Leal JF, Maya R, Moas M ,Seger R, Taya, Y, Ben-Ze'ev A, 2002, Regulation of p53: intricate loops and delicate balances, Biochem. Pharmacol. 64: 865–871.

Osaki M, Oshimura M, Ito H . 2004. PI3K-Akt pathway: its functions and alterations in human cancer. Apoptosis 9:667–676.

Parsons DW, Jones S, Zhang X, Lin JC, Leary RJ, Angenendt P, Mankoo P, Carter H, Siu IM, Gallia GL, et al 2008. An integrated genomic analysis of human glioblastoma multiforme. Science 321:1807–1812.

Peyressatre M, Prével C, Pellerano M, Morris MC 2015. Targeting Cyclin-Dependent Kinases in Human Cancers: From Small Molecules to Peptide Inhibitors. Cancers 7:179-237

Phin S, Moore MW, Cotter PD. 2013. Genomic rearrangements of PTEN in prostate cancer Front. Oncol., 17. http://dx.doi.org/10.3389/fonc.2013.00240

Plotnikov A, Zehorai E, Procaccia S, Seger R. 2011. The MAPK cascades: Signaling components, nuclear roles and mechanisms of nuclear translocation Biochime Biophysica Acta (BBA) - Molecular Cell Research 181 : 1619–1633

Pollard TD, Earnshaw WC: Cell Biology. Philadelphia, Saunders, 2002

Ramos-Torrecillas J, Luna-Bertos ED, García-Martínez O, Ruiz C, 2014. Clinical Utility of Growth Factors and Platelet-Rich Plasma in Tissue Regeneration: A Review WOUNDS 26:207-213.

RaoT, Kühl M. 2010. "An Updated Overview on Wnt Signaling Pathways : A Prelude for More". Circulation Research 106: 1798–1806. doi:10.1161/CIRCRESAHA.110.219840.

Reymann S, Borlak J.2008 Transcription profiling of lung adenocarcinomas of c-myc-transgenic mice: Identification of the c-myc regulatory gene network. BMC Sys Biol 2:46 http://www.biomedcentral.com/1752-0509/2/46

Rincon M, Davis RJ, 2009. Regulation of the immune response by stress-activated protein kinases, Immunol Rev 228:212–224.

Roberts OL, Holmes K, Muller J, Cross DA,Cross MJ,.2009. ERK5 and the regulation of endothelial cell function, Biochem. Soc. Trans. 37:1254–1259.

Sastre-Perona A, Santisteban. 2012. PRole of the wnt pathway in thyroid cancer. Front Endocrinol (Lausanne). 3:31. doi: 10.3389/fendo.2012.00031

Satyanarayana A, Kaldis. 2009. “Mammalian cell-cycle regulation: several Cdks, numerous cyclins, and diverse compensatory mechanisms” “Oncogene” 28:2925-2939

Page 158: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler150

Schiller M, Javelaud D, Mauviel A. 2004. TGF-beta-induced SMAD signaling and gene regulation: consequences for extracellular matrix remodeling and wound healing. J Dermatol Sci 35:83–92.

Schulte G. Bryja V. 2007. "The Frizzled family of unconventional G-protein-coupled receptors". Trends in Pharma Sci 28 : 518–525. doi:10.1016/j.tips.2007.09.001

Senthilkumar K, Se-Kwon K. 2013. Cell Survival and Apoptosis Signaling as Therapeutic Target for Cancer: Marine Bioactive Compounds. Int J Mol Sci. 2013, 14:2334-2354; doi:10.3390/ijms14022334

Shaul YD, Seger R, 2007, The MEK/ERK cascade: From signaling specificity to diverse functions B iochimica et Biophysica Acta 1773 :1213–1226

Shaulian E, 2010 AP-1--The Jun proteins: Oncogenes or tumor suppressors in disguise? Cell Signal 22:894-9. doi: 10.1016/j.cellsig.2009.12.008. Epub 2010 Jan 11.

Shaw RJ, Lewis C. 2006. Ras, PI(3)K and mTOR signalling controls tumour cell growth. Nature 441:424–430.

Sohn SJ, Thompson J, Winoto A, 2007. Apoptosis during negative selection of autoreactive thymocytes, Curr. Opin. Immunol. 19:510–515.

Soloaga A,Thomson S, Wiggin GR, Rampersaud N, Dyson MH, , Hazzalin CA, Mahadevan LC, Arthur JS, MSK2 and MSK1 mediate the mitogen- and stressinduced phosphorylation of histone H3 and HMG-14, EMBO J. 22:2788–2797.

Song G, Ouyang G, Bao S. 2005. "The activation of Akt/PKB signalling pathway and cell survival". J Cell Mol Med 9 : 59–71.

Speck C, Chen Z, Li H, Stillman B. 2005. "ATPase-dependent cooperative binding of ORC and Cdc6 to origin DNA". Nat Struct Mol Biol 12 : 965–71. doi:10.1038/nsmb1002. PMC 2952294. PMID 16228006

Staal SP, Hartley JW, Rowe WP. 1977. "Isolation of transforming murine leukemia viruses from mice with a high incidence of spontaneous lymphoma". Proc Natl Acad Sci USA 74 : 3065–7. doi:10.1073/pnas.74.7.3065. PMC 431413. PMID 197531

Stall FJ, Clevers H. 2000. "Tcf/Lef transcription factors during T-cell development: unique and overlapping functions.". Hematol J 3 3–6. doi:10.1038/sj/thj/6200001

Stein MP, Feng Y, Cooper KL, Welford AM, Wandinger-Ness A. 2003. Human VPS34 and p150 are Rab7 interacting partners. Traffic 4:754–771.

Stillman B. 2005. "Origin recognition and the chromosome cycle". FEBS Lett. 579 (4): 877–84. doi:10.1016/j.febslet.2004.12.011. PMID 15680967.

Stoyanov B, Volinia S, Hanck T, Rubio I, Loubtchenkov M, Malek D, Stoyanova S, Vanhaesebroeck B, Dhand R, Nurnberg B, et al 1995.: Cloning and characterization of a G protein-activated human phosphoinositide-3 kinase. Science 269(5224):690–693.

Sugimura, Ryohichi, and Linheng Li. 2010. "Noncanonical Wnt signaling in vertebrate development, stem cells, and diseases." Birth Defects Research Part C: Embryo Today: Reviews 90 : 243-256.

Sun W,Kesavan K, Schaefer BC, Garrington TP, Ware M, Johnson NL, Gelfand EW, Johnson GL. 2001. MEKK2 associates with the adapter protein Lad/RIBP and regulates the MEK5-BMK1/ERK5 pathway. J Biol Chem 276: 5093–5100.

Tanaka S, Araki H. 2013. Helicase activation and establishment of replication forks at chromosomal origins of replication. Cold

Page 159: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 151

Schiller M, Javelaud D, Mauviel A. 2004. TGF-beta-induced SMAD signaling and gene regulation: consequences for extracellular matrix remodeling and wound healing. J Dermatol Sci 35:83–92.

Schulte G. Bryja V. 2007. "The Frizzled family of unconventional G-protein-coupled receptors". Trends in Pharma Sci 28 : 518–525. doi:10.1016/j.tips.2007.09.001

Senthilkumar K, Se-Kwon K. 2013. Cell Survival and Apoptosis Signaling as Therapeutic Target for Cancer: Marine Bioactive Compounds. Int J Mol Sci. 2013, 14:2334-2354; doi:10.3390/ijms14022334

Shaul YD, Seger R, 2007, The MEK/ERK cascade: From signaling specificity to diverse functions B iochimica et Biophysica Acta 1773 :1213–1226

Shaulian E, 2010 AP-1--The Jun proteins: Oncogenes or tumor suppressors in disguise? Cell Signal 22:894-9. doi: 10.1016/j.cellsig.2009.12.008. Epub 2010 Jan 11.

Shaw RJ, Lewis C. 2006. Ras, PI(3)K and mTOR signalling controls tumour cell growth. Nature 441:424–430.

Sohn SJ, Thompson J, Winoto A, 2007. Apoptosis during negative selection of autoreactive thymocytes, Curr. Opin. Immunol. 19:510–515.

Soloaga A,Thomson S, Wiggin GR, Rampersaud N, Dyson MH, , Hazzalin CA, Mahadevan LC, Arthur JS, MSK2 and MSK1 mediate the mitogen- and stressinduced phosphorylation of histone H3 and HMG-14, EMBO J. 22:2788–2797.

Song G, Ouyang G, Bao S. 2005. "The activation of Akt/PKB signalling pathway and cell survival". J Cell Mol Med 9 : 59–71.

Speck C, Chen Z, Li H, Stillman B. 2005. "ATPase-dependent cooperative binding of ORC and Cdc6 to origin DNA". Nat Struct Mol Biol 12 : 965–71. doi:10.1038/nsmb1002. PMC 2952294. PMID 16228006

Staal SP, Hartley JW, Rowe WP. 1977. "Isolation of transforming murine leukemia viruses from mice with a high incidence of spontaneous lymphoma". Proc Natl Acad Sci USA 74 : 3065–7. doi:10.1073/pnas.74.7.3065. PMC 431413. PMID 197531

Stall FJ, Clevers H. 2000. "Tcf/Lef transcription factors during T-cell development: unique and overlapping functions.". Hematol J 3 3–6. doi:10.1038/sj/thj/6200001

Stein MP, Feng Y, Cooper KL, Welford AM, Wandinger-Ness A. 2003. Human VPS34 and p150 are Rab7 interacting partners. Traffic 4:754–771.

Stillman B. 2005. "Origin recognition and the chromosome cycle". FEBS Lett. 579 (4): 877–84. doi:10.1016/j.febslet.2004.12.011. PMID 15680967.

Stoyanov B, Volinia S, Hanck T, Rubio I, Loubtchenkov M, Malek D, Stoyanova S, Vanhaesebroeck B, Dhand R, Nurnberg B, et al 1995.: Cloning and characterization of a G protein-activated human phosphoinositide-3 kinase. Science 269(5224):690–693.

Sugimura, Ryohichi, and Linheng Li. 2010. "Noncanonical Wnt signaling in vertebrate development, stem cells, and diseases." Birth Defects Research Part C: Embryo Today: Reviews 90 : 243-256.

Sun W,Kesavan K, Schaefer BC, Garrington TP, Ware M, Johnson NL, Gelfand EW, Johnson GL. 2001. MEKK2 associates with the adapter protein Lad/RIBP and regulates the MEK5-BMK1/ERK5 pathway. J Biol Chem 276: 5093–5100.

Tanaka S, Araki H. 2013. Helicase activation and establishment of replication forks at chromosomal origins of replication. Cold

Page 160: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler152

Spring Harb Perspect Biol. 5(12):abstract online. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23881938 (17 oktober 20150

Taylor BS, Schultz N, Hieronymus H, Gopalan A, Xiao Y, Carver BS, Arora VK, Kaushik P, Cerami E, Reva B, Antipin Y, Mitsiades N, Landers T, Dolgalev I, Major JE, Wilson M, Socci ND, Lash AE, Heguy A, Eastham JA, Scher HI, Reuter VE, Scardino PT, Sander C, Sawyers CL, Gerald WL. 2010. Integrative genomic profiling of human prostate cancer. Cancer Cell 18:11–22.

Thompson N.L., Flanders K.C., Smith J.M., Ellingsworth L.R., Roberts A.B., Sporn M.B. 1989. Expression of transforming growth factor-beta 1 in specific cells and tissues of adult and neonatal mice. J Cell Biol 108:661–669.

Voet V, Pratt. 2006. Fundamentals of Biochemistry. Wiley. Pg 492

Volpe M, Rubattu S, Burnett Jr J. 2014. Natriuretic peptides in cardiovascular diseases; current use and perspectives . Europ Heart J 35 : 419–425

Wagner EF, Nebreda AR. 2009. Signal integration by JNK and p38 MAPK pathways in cancer development.. Nat Rev Cancer 9:537-49. doi: 10.1038/nrc2694.

Wallingford JB, Habas R. 2005. The developmental biology of Dishevelled: an enigmatic protein governing cell fate and cell polarity Development 132, 4421-4436

Wang X, Destrument A,Tournier C, 2007, Physiological roles of MKK4 and MKK7: insights from animal models, Biochim. Biophys. Acta 1773:1349–1357.

Wang X, Tournier C. 2006. Regulation of cellular functions by the ERK5 signalling pathway, Cell. Signal. 18 :753–760.

Whitmarsh AJ, Davis RJ, 2007, Role of mitogen-activated protein kinase kinase 4 in cancer, Oncogene 26:3172–3184.

Yao Z, Seger R, 2009, The ERK signaling cascade — views from different subcellular compartments, Biofactors 35:407–416.

Yoakim M, Hou W, Songyang Z, Liu Y, Cantley L, Schaffhausen B. 1994. Genetic analysis of a phosphatidylinositol 3-kinase SH2 domain reveals determinants of specificity. Mol. Cell. Biol. 14 (9): 5929–38. doi:10.1128/MCB.14.9.5929. PMC 359119. PMID 8065326.

Zandi R, Larsen AB, Andersen P, Stockhausen MT, Poulsen HS 2013.. Mechanisms for oncogenic activation of the epidermal growth factor receptor. Cell Signal 19

Zarubin T, Han J, 2005, Activation and signaling of the p38 MAP kinase pathway, Cell Res 15:11-8.

Zhang X, Tang N, Hadden TJ, Rishi AK. 2011. "Akt, FoxO and regulation of apoptosis". Biochim BIophys Acta 1813 : 1978–1986.

Page 161: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 153

Spring Harb Perspect Biol. 5(12):abstract online. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23881938 (17 oktober 20150

Taylor BS, Schultz N, Hieronymus H, Gopalan A, Xiao Y, Carver BS, Arora VK, Kaushik P, Cerami E, Reva B, Antipin Y, Mitsiades N, Landers T, Dolgalev I, Major JE, Wilson M, Socci ND, Lash AE, Heguy A, Eastham JA, Scher HI, Reuter VE, Scardino PT, Sander C, Sawyers CL, Gerald WL. 2010. Integrative genomic profiling of human prostate cancer. Cancer Cell 18:11–22.

Thompson N.L., Flanders K.C., Smith J.M., Ellingsworth L.R., Roberts A.B., Sporn M.B. 1989. Expression of transforming growth factor-beta 1 in specific cells and tissues of adult and neonatal mice. J Cell Biol 108:661–669.

Voet V, Pratt. 2006. Fundamentals of Biochemistry. Wiley. Pg 492

Volpe M, Rubattu S, Burnett Jr J. 2014. Natriuretic peptides in cardiovascular diseases; current use and perspectives . Europ Heart J 35 : 419–425

Wagner EF, Nebreda AR. 2009. Signal integration by JNK and p38 MAPK pathways in cancer development.. Nat Rev Cancer 9:537-49. doi: 10.1038/nrc2694.

Wallingford JB, Habas R. 2005. The developmental biology of Dishevelled: an enigmatic protein governing cell fate and cell polarity Development 132, 4421-4436

Wang X, Destrument A,Tournier C, 2007, Physiological roles of MKK4 and MKK7: insights from animal models, Biochim. Biophys. Acta 1773:1349–1357.

Wang X, Tournier C. 2006. Regulation of cellular functions by the ERK5 signalling pathway, Cell. Signal. 18 :753–760.

Whitmarsh AJ, Davis RJ, 2007, Role of mitogen-activated protein kinase kinase 4 in cancer, Oncogene 26:3172–3184.

Yao Z, Seger R, 2009, The ERK signaling cascade — views from different subcellular compartments, Biofactors 35:407–416.

Yoakim M, Hou W, Songyang Z, Liu Y, Cantley L, Schaffhausen B. 1994. Genetic analysis of a phosphatidylinositol 3-kinase SH2 domain reveals determinants of specificity. Mol. Cell. Biol. 14 (9): 5929–38. doi:10.1128/MCB.14.9.5929. PMC 359119. PMID 8065326.

Zandi R, Larsen AB, Andersen P, Stockhausen MT, Poulsen HS 2013.. Mechanisms for oncogenic activation of the epidermal growth factor receptor. Cell Signal 19

Zarubin T, Han J, 2005, Activation and signaling of the p38 MAP kinase pathway, Cell Res 15:11-8.

Zhang X, Tang N, Hadden TJ, Rishi AK. 2011. "Akt, FoxO and regulation of apoptosis". Biochim BIophys Acta 1813 : 1978–1986.

Page 162: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler154

BAB III REPARASI DNA

3.1. Struktur DNA

Deoxyribonucleic acid ( DNA) merupakan komponen yang amat penting dari sel karena DNA membawa semua informasi genetik untuk perkembangan, pertumbuhan, reproduksi dan fungsi lainnya dalam organisme hidup. Molekul DNA tersusun atas nukleotida yang mengandung gugus gula deoksiribosa, gugus fosfat dan gugus basa nitrogen. Berdasarkan jenis basa nitrogennya, nukleotida dibedakan menjadi 4 jenis yaitu sitosin (C), guanin (G), adenin (A), dan timin (T) (Gambar 3.1). Dalam menyusun molekul DNA, satu nukleotida berikatan dengan nukleotida berikutnya melalui ikatan kovalen antara gugus gula pada nukleotida pertama dan gugus fosfat pada nukelotida berikutnya. Ikatan kovalen antara gugus gula dan gugus fosfat tersebut membentuk tulang punggung gula-fosfat dari DNA (Ghosh dan Bansal, 2003). Untaian DNA yang terbentuk dari ikatan tersebut kemudian membentuk pasangan dengan untai komplementernya sehingga menghasilkan DNA untai ganda. DNA untai ganda terbentuk melalui ikatan hidrogen antara basa nitrogen satu nukleotida dengan basa nitrogen pasangannya. Dalam pembentukan pasangan tersebut nukleotida A selalu berpasangan dengan T dan nukleotida G selalu berpasangan dangan C. Molekul DNA yang beruntai ganda kemudian dipilin sehingga membentuk untaian seperti tangga terpelintir yang disebut DNA heliks ganda.

Gambar 3.1. Struktur dan bentuk nukleotida serta ikatan hidrogen antara A dan T serta G dan C pada molekul DNA. Dua ikatan hidrogen membentuk pasangan AT dan 3 ikatan hidrogen membentuk pasangan GC. Sumber Alberts dkk 2002.

Dalam struktur DNA untai ganda, rangkaian nukleotida penyusunnya mempunyai arah yang berlawanan dengan pasangan komplementernya. Jika untai pertama mempunyai arah untaian 5’ ke 3’, maka pasangan mempunyai arah 3’ke 5’. Angka 3 dan 5 menunjukkan nomor atom karbon pada cincin segilima gula deoksiribose (Gambar 3.2). Karena itu pasangan tersebut disebut antiparalel. Sekuen nukleotida dari basa nitrogen sangat menentukan informasi biologis yang dibawanya. Sebagian dari DNA membawa sandi genetik untuk menghasilkan protein yang diperlukan sel untuk menjalankan fungsinya. Bagian DNA yang berisi sandi genetik untuk sintesis protein disebut gen. Gen dapat ditranskripsi menjadi mRNA yang selanjutnya dapat ditraslasi menjadi protein.

Page 163: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 155

BAB III REPARASI DNA

3.1. Struktur DNA

Deoxyribonucleic acid ( DNA) merupakan komponen yang amat penting dari sel karena DNA membawa semua informasi genetik untuk perkembangan, pertumbuhan, reproduksi dan fungsi lainnya dalam organisme hidup. Molekul DNA tersusun atas nukleotida yang mengandung gugus gula deoksiribosa, gugus fosfat dan gugus basa nitrogen. Berdasarkan jenis basa nitrogennya, nukleotida dibedakan menjadi 4 jenis yaitu sitosin (C), guanin (G), adenin (A), dan timin (T) (Gambar 3.1). Dalam menyusun molekul DNA, satu nukleotida berikatan dengan nukleotida berikutnya melalui ikatan kovalen antara gugus gula pada nukleotida pertama dan gugus fosfat pada nukelotida berikutnya. Ikatan kovalen antara gugus gula dan gugus fosfat tersebut membentuk tulang punggung gula-fosfat dari DNA (Ghosh dan Bansal, 2003). Untaian DNA yang terbentuk dari ikatan tersebut kemudian membentuk pasangan dengan untai komplementernya sehingga menghasilkan DNA untai ganda. DNA untai ganda terbentuk melalui ikatan hidrogen antara basa nitrogen satu nukleotida dengan basa nitrogen pasangannya. Dalam pembentukan pasangan tersebut nukleotida A selalu berpasangan dengan T dan nukleotida G selalu berpasangan dangan C. Molekul DNA yang beruntai ganda kemudian dipilin sehingga membentuk untaian seperti tangga terpelintir yang disebut DNA heliks ganda.

Gambar 3.1. Struktur dan bentuk nukleotida serta ikatan hidrogen antara A dan T serta G dan C pada molekul DNA. Dua ikatan hidrogen membentuk pasangan AT dan 3 ikatan hidrogen membentuk pasangan GC. Sumber Alberts dkk 2002.

Dalam struktur DNA untai ganda, rangkaian nukleotida penyusunnya mempunyai arah yang berlawanan dengan pasangan komplementernya. Jika untai pertama mempunyai arah untaian 5’ ke 3’, maka pasangan mempunyai arah 3’ke 5’. Angka 3 dan 5 menunjukkan nomor atom karbon pada cincin segilima gula deoksiribose (Gambar 3.2). Karena itu pasangan tersebut disebut antiparalel. Sekuen nukleotida dari basa nitrogen sangat menentukan informasi biologis yang dibawanya. Sebagian dari DNA membawa sandi genetik untuk menghasilkan protein yang diperlukan sel untuk menjalankan fungsinya. Bagian DNA yang berisi sandi genetik untuk sintesis protein disebut gen. Gen dapat ditranskripsi menjadi mRNA yang selanjutnya dapat ditraslasi menjadi protein.

Page 164: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler156

Gambar 3.2. Model DNA heliks ganda yang terbentuk oleh pasangan nukleotida. Nukleotida dihubungkan secara kovalen oleh ikatan phosphodiester melalui gugus 3′-hydroxyl (-OH) pada satu gula dan gugus 5′-phosphate (P) gula berikutnya. Ujung 3′ membawa satu gugus bebas-OH yang yang melekat pada posisi 3′ cincin gula. Sumber Albet dkk, 2002

Di dalam inti sel, DNA disusun menjadi untaian yang panjang yang disebut kromosom. Dalam penyusunan kromosom, DNA mula-mula digulung dalam potein histon oktaner (8) dan ditutup oleh satu histon penghubung untuk membentuk unit terkecil dari DNA yang disebut nukleosom. Satu unit nukleosom umumnya terdiri atas sekitar 147 pasangan basa yang tergulung dalam oktamer protein histon dan 80 pasangan basa dari DNA linker yang menghubungkan satu unit nukleosom dengan nukleosom berikutnya (Bargaje dkk, 2012). Pada fase istirahat sel, DNA bersama protein histonnya terdistribusi secara merata dalam inti sel sehingga disebut masa kromatin. Sementara itu, saat pembelahan sel, DNA diduplikasi dan mengalami proses kondensasi berbentuk spiral sehingga tampak jelas dua pasangan kromatid yang identik yang disebut sister chromatid. Struktur ini dapat dilihat dengan jelas di bawah mikroskop sebagai kromosom (Gambar 3.3). Di dalam kromosom, protein kromatin dan DNA disusun

sedemikian rupa membentuk struktur yang kompak. Struktur kompak tersebut menentukan bagian DNA yang terjangkau untuk proses transkripsi.

Salah satu cara untuk mengaktifkan dan menginaktifkan suatu gen dalam molekul DNA adalah metilasi dan asetilasi. Metilasi penambahan gugus metil pada ekor nukleosom dan umumnya metilasi DNA menyebabkan terbentukanya struktur yang kompak dan rapat antara nukleosom satu dengan yang lainnya. Struktur yang rapat dan kompak tersebut menyebabkan gen tidak terjangkau oleh faktor transkripsi sehingga menjadi inaktif. Sebaliknya, penambahan gugus asetil pada ekor nukleosom menyebabkan struktur DNA menjadi renggang sehingga gen lebih terjangkau oleh faktor transkripsi. Gen yang terjangkau oleh faktor transkripsi menjadi aktif (Gambar 3.4)

Gambar 3.3. Strukktur kromatin dan kromosom yang tersusun atas DNA heliks ganda dan histon. DNA tersusun atas nukleotida yang berikatan satu sama lain melalui ikatan kovalen antara gugus fosfat pada satu nukleotida dengan gugus gula pada nukleotida berikutnya. Untai DNA tersebut kemudian membetuk ikatan dengan untai DNA pasangannya melalui ikatan hidrogen untuk membentuk

Page 165: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 157

Gambar 3.2. Model DNA heliks ganda yang terbentuk oleh pasangan nukleotida. Nukleotida dihubungkan secara kovalen oleh ikatan phosphodiester melalui gugus 3′-hydroxyl (-OH) pada satu gula dan gugus 5′-phosphate (P) gula berikutnya. Ujung 3′ membawa satu gugus bebas-OH yang yang melekat pada posisi 3′ cincin gula. Sumber Albet dkk, 2002

Di dalam inti sel, DNA disusun menjadi untaian yang panjang yang disebut kromosom. Dalam penyusunan kromosom, DNA mula-mula digulung dalam potein histon oktaner (8) dan ditutup oleh satu histon penghubung untuk membentuk unit terkecil dari DNA yang disebut nukleosom. Satu unit nukleosom umumnya terdiri atas sekitar 147 pasangan basa yang tergulung dalam oktamer protein histon dan 80 pasangan basa dari DNA linker yang menghubungkan satu unit nukleosom dengan nukleosom berikutnya (Bargaje dkk, 2012). Pada fase istirahat sel, DNA bersama protein histonnya terdistribusi secara merata dalam inti sel sehingga disebut masa kromatin. Sementara itu, saat pembelahan sel, DNA diduplikasi dan mengalami proses kondensasi berbentuk spiral sehingga tampak jelas dua pasangan kromatid yang identik yang disebut sister chromatid. Struktur ini dapat dilihat dengan jelas di bawah mikroskop sebagai kromosom (Gambar 3.3). Di dalam kromosom, protein kromatin dan DNA disusun

sedemikian rupa membentuk struktur yang kompak. Struktur kompak tersebut menentukan bagian DNA yang terjangkau untuk proses transkripsi.

Salah satu cara untuk mengaktifkan dan menginaktifkan suatu gen dalam molekul DNA adalah metilasi dan asetilasi. Metilasi penambahan gugus metil pada ekor nukleosom dan umumnya metilasi DNA menyebabkan terbentukanya struktur yang kompak dan rapat antara nukleosom satu dengan yang lainnya. Struktur yang rapat dan kompak tersebut menyebabkan gen tidak terjangkau oleh faktor transkripsi sehingga menjadi inaktif. Sebaliknya, penambahan gugus asetil pada ekor nukleosom menyebabkan struktur DNA menjadi renggang sehingga gen lebih terjangkau oleh faktor transkripsi. Gen yang terjangkau oleh faktor transkripsi menjadi aktif (Gambar 3.4)

Gambar 3.3. Strukktur kromatin dan kromosom yang tersusun atas DNA heliks ganda dan histon. DNA tersusun atas nukleotida yang berikatan satu sama lain melalui ikatan kovalen antara gugus fosfat pada satu nukleotida dengan gugus gula pada nukleotida berikutnya. Untai DNA tersebut kemudian membetuk ikatan dengan untai DNA pasangannya melalui ikatan hidrogen untuk membentuk

Page 166: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler158

struktur seperti tangga. Struktur seperti tangga tersebut kemudian dipelintir sehingga membentuk struktur DNA heliks ganda. DNA heliks ganda kemudian digulung dalam oktamer protein histon dan membentuk unit terkecil dari kromatin yang disebut nukleosom. Satu unit nukleosom diatur sedemikian rupa untuk membentuk serabut kromatin. Pada sel yang sedang membelah, serabut kromatin diatur sedemkian rupa untuk membentuk struktur spiral yang disebut dengan kromosom.

Sumber, National Institutes of Health, 2011

3.4. Metilasi dan Asetilasi gen. Metilasi ekor nukleosom menyebabkan gen dalam kromosom tersusun secara rapat sehingga tidak terjangkau oleg faktor transkripsi (gen inaktif). Asetilasi ekor nukleosom menyebabkanya menjadi renggang sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi (aktif) Sumber, National Institutes of Health, 2011

2.2. Kerusakan DNA dan Penyebabnya

Pada manusia, kerusakan DNA pada sel dapat disebabkan oleh proses metabolisme maupun faktor lingkungan seperti stres oksidatif, sinar ultraviolet maupun radiasi lainnya. Kelainan metabolisme dan faktor lingkungan menyebabkan sekitar 10.000 sampai 1.000.000 sel mengalami lesi molekul DNA setiap hari (Lodish dkk, 2004) dan banyak di antaranya menyebabkan kerusakan struktur DNA yang berperan dalam proses transkripsi gen. Namun, angka ini hanya mewakili 0.000165% dari genom manusia yang terdiri atas tiga miliar pasangan basa. Selain itu, lesi molekul juga dapat memicu mutasi gen yang berbahaya bagi kehidupan sel yang pada gilirannya dapat membahayakan kehidupan suatu individu. Namun, setiap sel memilki sistem reparasi yang memungkinnya untuk memperbaiki setiap kerusakan DNA. Jika proses reparasi DNA gagal dan kerusakan DNA menyebabkan kelainan yang menetap, maka tubuh dapat memicu kematian sel secara terprogram yang disebut apoptosis (Acarya dkk, 1971) untuk menyingkirkan sel yang rusak. Bila proses apoptosis juga gagal dan sel yang mengalami kelainan tetap hidup, maka berbagai penyakit dapat muncul seperti kanker dan penyakit degeneratif.

Berbagai jenis kerusakan DNA dapat terjadi akibat kelainan metabolisme maupun faktor lingkungan. Kerusakan yang paling umum adalah kerusakan pada salah satu atau kedua untai DNA beruntai ganda. Tingkat kerusakan DNA yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis sel, umur sel, dan faktor lingkungan. Sel yang mengalami berbagai kerusakan pada DNAnya dan tidak dapat direparasi dapat mengalami tiga kemungkinan yaitu (1), memasuki masa dorman yang menetap (senescene), (2). menjalani apoptosis atau kematian sel secara terprogram dan (3). mengalami pertumbuhan dan proliferasi yang tidak terkendali yang dapat berujung pada pembentukan tumor atau kanker. Kerena itu, kemampuan sel untuk mereparasi kerusakan DNA menjadi amat penting bagi kelangsungan hidup suatu individu (Browner dkk, 2004).

Kebanyakan kerusakan DNA terjadi pada struktur primer dari heliks ganda yang termodifikasi secara kimiawi. Modifikasi secara kimiawi semacan ini dapat mengganggu struktur heliks ganda dari DNA. Namun, tidak seperti RNA ataupun protein, DNA tidak mempunyai struktur tersier sehingga kerusakan tidak terjadi pada

Page 167: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 159

struktur seperti tangga. Struktur seperti tangga tersebut kemudian dipelintir sehingga membentuk struktur DNA heliks ganda. DNA heliks ganda kemudian digulung dalam oktamer protein histon dan membentuk unit terkecil dari kromatin yang disebut nukleosom. Satu unit nukleosom diatur sedemikian rupa untuk membentuk serabut kromatin. Pada sel yang sedang membelah, serabut kromatin diatur sedemkian rupa untuk membentuk struktur spiral yang disebut dengan kromosom.

Sumber, National Institutes of Health, 2011

3.4. Metilasi dan Asetilasi gen. Metilasi ekor nukleosom menyebabkan gen dalam kromosom tersusun secara rapat sehingga tidak terjangkau oleg faktor transkripsi (gen inaktif). Asetilasi ekor nukleosom menyebabkanya menjadi renggang sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi (aktif) Sumber, National Institutes of Health, 2011

2.2. Kerusakan DNA dan Penyebabnya

Pada manusia, kerusakan DNA pada sel dapat disebabkan oleh proses metabolisme maupun faktor lingkungan seperti stres oksidatif, sinar ultraviolet maupun radiasi lainnya. Kelainan metabolisme dan faktor lingkungan menyebabkan sekitar 10.000 sampai 1.000.000 sel mengalami lesi molekul DNA setiap hari (Lodish dkk, 2004) dan banyak di antaranya menyebabkan kerusakan struktur DNA yang berperan dalam proses transkripsi gen. Namun, angka ini hanya mewakili 0.000165% dari genom manusia yang terdiri atas tiga miliar pasangan basa. Selain itu, lesi molekul juga dapat memicu mutasi gen yang berbahaya bagi kehidupan sel yang pada gilirannya dapat membahayakan kehidupan suatu individu. Namun, setiap sel memilki sistem reparasi yang memungkinnya untuk memperbaiki setiap kerusakan DNA. Jika proses reparasi DNA gagal dan kerusakan DNA menyebabkan kelainan yang menetap, maka tubuh dapat memicu kematian sel secara terprogram yang disebut apoptosis (Acarya dkk, 1971) untuk menyingkirkan sel yang rusak. Bila proses apoptosis juga gagal dan sel yang mengalami kelainan tetap hidup, maka berbagai penyakit dapat muncul seperti kanker dan penyakit degeneratif.

Berbagai jenis kerusakan DNA dapat terjadi akibat kelainan metabolisme maupun faktor lingkungan. Kerusakan yang paling umum adalah kerusakan pada salah satu atau kedua untai DNA beruntai ganda. Tingkat kerusakan DNA yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis sel, umur sel, dan faktor lingkungan. Sel yang mengalami berbagai kerusakan pada DNAnya dan tidak dapat direparasi dapat mengalami tiga kemungkinan yaitu (1), memasuki masa dorman yang menetap (senescene), (2). menjalani apoptosis atau kematian sel secara terprogram dan (3). mengalami pertumbuhan dan proliferasi yang tidak terkendali yang dapat berujung pada pembentukan tumor atau kanker. Kerena itu, kemampuan sel untuk mereparasi kerusakan DNA menjadi amat penting bagi kelangsungan hidup suatu individu (Browner dkk, 2004).

Kebanyakan kerusakan DNA terjadi pada struktur primer dari heliks ganda yang termodifikasi secara kimiawi. Modifikasi secara kimiawi semacan ini dapat mengganggu struktur heliks ganda dari DNA. Namun, tidak seperti RNA ataupun protein, DNA tidak mempunyai struktur tersier sehingga kerusakan tidak terjadi pada

Page 168: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler160

struktur tersier. Struktur DNA yang superkoil dan dikemas dengan cara digulung pada protein yang disebut histon oktamer menyebabkanya rentan terhadap kerusakan DNA.

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan DNA baik dari dalam sel maupun dari luar sel adalah (1). Stress oksidatif yang ditandai dengan meningkatnya spesies oksigen reaktif/ oxygen species (ROS). Stres oksidatif dapat menyebabkan kesalahan replikasi DNA yang pada akhirnya dapat menimbulkan mutasi pada gen tertentu. Radiasi sinar ultraviolet (UV 200-400 nm) dari matahari, radiasi sinar X dan sinar gamma juga dapat menimbulkan kerusakan DNA (Toshihiro dkk, 2006). Toksin tanaman dan senyawa kimia yang bersifat mutagenik serta infeksi virus juga dapat merusak DNA. Berbagai faktor dari dalam sel yang dapat merusak DNA adalah (1). oksidasi basa, yaitu 8-oxo-7,8-dihydroguanine (8-oxoG)], (2). pembentukkan untaian DNA yang diinterupsi oleh ROS, (3). alkilasi dan metilasi basa seperti pembentukkan 7-methylguanine, 1-methyladenine, 6-0-methylguanin (4). Hidrolisis seperti deaminasi, depurinasi, dan depirimidinasi. (5). Pembentukan tumpukan sampah ("bulky adduct”) seperti benzo[a]pyrene diol epoxide-dG adduct, aristolactam I-dA adduct), dan basa yang mengalami kelainan saat replikasi DNA. Kerusakan DNA dapat menyebabkan mutasi atau kelainan lainnya yang dapat diteruskan pada keturunannya.

Gambar 3.5. Kerusakan DNA yang disebabkan oleh berbagai faktor perusak DNA. Kerusakan DNA dapat disebabkan oleh senyawa kimia genotoksik, radiasi, sinar ultraviolet, gangguan metabolisme dan kesalahan replikasi. Kerusakan DNA direparasi melalui berbagai mekanisme reparasi dan sel dapat kembali normal jika reparasi berjalan dengan baik. Kegagalan reparasi dapat memicu apoptosis. Kegagalan apoptosis dapat menyebabkan gangguan fungsi sel seperti karsinogeneis dan berbagai penyakit degeneratif. Sumber: Rastogi dkk, 2010. Krokan dan Magnar, 2013

Depurinasi dan deaminasi dapat terjadi karena hidrolisis gugus purin (A dan G) atau gugus amin (NH). Proses hidrolisis tersebut menyebabkan struktur DNA dengan nukleotida tanpa gugus purin dan amin (Gambar 3.6). Pada depurinasi, proses hidrolisis menyebabkan ikatan β-N-glycosidica terputus sehingga basa nitrogen adenin atau

Page 169: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 161

struktur tersier. Struktur DNA yang superkoil dan dikemas dengan cara digulung pada protein yang disebut histon oktamer menyebabkanya rentan terhadap kerusakan DNA.

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan DNA baik dari dalam sel maupun dari luar sel adalah (1). Stress oksidatif yang ditandai dengan meningkatnya spesies oksigen reaktif/ oxygen species (ROS). Stres oksidatif dapat menyebabkan kesalahan replikasi DNA yang pada akhirnya dapat menimbulkan mutasi pada gen tertentu. Radiasi sinar ultraviolet (UV 200-400 nm) dari matahari, radiasi sinar X dan sinar gamma juga dapat menimbulkan kerusakan DNA (Toshihiro dkk, 2006). Toksin tanaman dan senyawa kimia yang bersifat mutagenik serta infeksi virus juga dapat merusak DNA. Berbagai faktor dari dalam sel yang dapat merusak DNA adalah (1). oksidasi basa, yaitu 8-oxo-7,8-dihydroguanine (8-oxoG)], (2). pembentukkan untaian DNA yang diinterupsi oleh ROS, (3). alkilasi dan metilasi basa seperti pembentukkan 7-methylguanine, 1-methyladenine, 6-0-methylguanin (4). Hidrolisis seperti deaminasi, depurinasi, dan depirimidinasi. (5). Pembentukan tumpukan sampah ("bulky adduct”) seperti benzo[a]pyrene diol epoxide-dG adduct, aristolactam I-dA adduct), dan basa yang mengalami kelainan saat replikasi DNA. Kerusakan DNA dapat menyebabkan mutasi atau kelainan lainnya yang dapat diteruskan pada keturunannya.

Gambar 3.5. Kerusakan DNA yang disebabkan oleh berbagai faktor perusak DNA. Kerusakan DNA dapat disebabkan oleh senyawa kimia genotoksik, radiasi, sinar ultraviolet, gangguan metabolisme dan kesalahan replikasi. Kerusakan DNA direparasi melalui berbagai mekanisme reparasi dan sel dapat kembali normal jika reparasi berjalan dengan baik. Kegagalan reparasi dapat memicu apoptosis. Kegagalan apoptosis dapat menyebabkan gangguan fungsi sel seperti karsinogeneis dan berbagai penyakit degeneratif. Sumber: Rastogi dkk, 2010. Krokan dan Magnar, 2013

Depurinasi dan deaminasi dapat terjadi karena hidrolisis gugus purin (A dan G) atau gugus amin (NH). Proses hidrolisis tersebut menyebabkan struktur DNA dengan nukleotida tanpa gugus purin dan amin (Gambar 3.6). Pada depurinasi, proses hidrolisis menyebabkan ikatan β-N-glycosidica terputus sehingga basa nitrogen adenin atau

Page 170: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler162

guanin terlepas. Deoksiribonukleosida dan derivatnya lebih rentan terhadap depurinasi daripada ribonukleosida. Hilangnya basa pirimidin (sitosin dan timin) dapat juga terjadi seperti pada hilangnya purin, meskipun sangat jarang terjadi. Hilangnya gugus purin menyebabkan perubahan struktur DNA. Kerusakan DNA semacam ini umumnya dapat direparasi dengan baik melalui reparasi eksisi basa. Namun, jika depurinasi terjadi pada DNA yang sedang bereplikasi, maka kerusakan DNA tersebut dapat menyebabkan mutasi sebagai akibat dari ketiadaan sekuen komplementer sebagai acuan untuk reparasi. Keadaan inilah yang sering memicu terbentuknya sel kanker ((Cavalieri dkk, 2012).

Gambar 3.6. Depurinasi dan deaminasi yang menyebabkan terbentuknya urasil.

Sumber Whitemore dkk, 2001

Selain depurinasi dan deaminasi, kerusakan lain yang sering terjadi adalah pembentukan dimer pirimidin. Kelainan ini umumnya disebabkan oleh sinar ultraviolet yang menyebabkan terbentuknya ikatan silang antara sitosin dan timin. Sinar ultraviolet juga dapat meningkatkan radikal bebas dalam sel yang dapat merusak DNA jenis lainnya dan kerusakan ini disebut kerusakan tidak langsung. Dimer pirimidin terbentuk karena paparan sinar ultraviolet mampu memicu pembentukan ikatan kovalen C=C antara dua pirimidin berdekatan yaitu antar dua timin atau 2 sitosin (Whitemore dkk, 2001) (Gambar

3.8). Selain itu dimer urasil juga sering ditemukan pada RNA beruntai ganda.

Sementara itu, radiasi pengionan dan senyawa radioaktif dapat menyebabkan patahnya salah satu untai (single strand breaks/SSB) atau kedua untai (double strand breaks/DSB) dari DNA beruntai ganda. Kerusakan DNA semacam ini seringkali tidak dapat direparasi dengan sempurna sehingga dapat menimbulkan kesalahan replikasi maupun transkripsi yang akhirnya dapat menimbulkan kelainan sel yang menetap. Kerusakan DNA jenis ini sering berakibat fatal bagi kelangsungan hidup suatu individu seperti penuaan dini dan onkogenesis.

Pada manusia, kerusakan DNA dapat terjadi pada tingkat inti sel maupun mitokondria. Dalam inti sel yang tidak membelah, DNA sel berada dalam bentuk kromatin yang tersebar secara merata dalam inti sel. Sementara itu, pada fase tertentu dari sel yang sedang membelah, DNA dalam inti sel mengalami kondensasi dan beragregasi membentuk struktur yang disebut kromosom. Baik dalam bentuk kromatin maupun kromosom, DNA inti sel dikemas dengan cara digulung dalam protein oktamer yang disebut histon. Sementara itu, DNA mitokondria berlokasi dalam suatu organel yang disebut mitokondria dan berada dalam bentuk kopi berganda yang berikatan erat dengan sejumlah protein untuk membentuk struktur disebut nukleoid. Di dalam mitokondria, ROS banyak diproduksi sebagai hasil sampingan dari produksi ATP sebagai sumber energi bagi sel. Keadaan ini menyebabkan mitokondria menjadi lingkungan yang sangat oksidatif. Namun, keadaan oksidatif tersebut biasanya dinetralisasi oleh enzim superoxide dismutase, yang berada baik di dalam sioplasma maupun dalam mitokondria.

Kerusakan DNA dan mutasi merupakan 2 kelainan DNA yang berbeda. Kerusakan DNA merupakan abnormalitas fisik DNA seperti SSB dan DSB, residu 8-hydroxydeoxyguanosine, dan aduk polycyclic aromatic hydrocarbon. Semua kerusakan DNA dapat dikenali oleh enzim sehingga dapat direparasi jika DNA acuan kopinya seperti sekuen komplementer, dan kromosom homolognya tidak mengalami kerusakan. Jika kerusakan tersebut tidak dapat direparasi, maka proses transkripsi dan translasi biasanya tidak terjadi, dan sel biasanya mati. Sebaliknya, mutasi yang meruapakan perubahan sekuen nukleotida

Page 171: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 163

guanin terlepas. Deoksiribonukleosida dan derivatnya lebih rentan terhadap depurinasi daripada ribonukleosida. Hilangnya basa pirimidin (sitosin dan timin) dapat juga terjadi seperti pada hilangnya purin, meskipun sangat jarang terjadi. Hilangnya gugus purin menyebabkan perubahan struktur DNA. Kerusakan DNA semacam ini umumnya dapat direparasi dengan baik melalui reparasi eksisi basa. Namun, jika depurinasi terjadi pada DNA yang sedang bereplikasi, maka kerusakan DNA tersebut dapat menyebabkan mutasi sebagai akibat dari ketiadaan sekuen komplementer sebagai acuan untuk reparasi. Keadaan inilah yang sering memicu terbentuknya sel kanker ((Cavalieri dkk, 2012).

Gambar 3.6. Depurinasi dan deaminasi yang menyebabkan terbentuknya urasil.

Sumber Whitemore dkk, 2001

Selain depurinasi dan deaminasi, kerusakan lain yang sering terjadi adalah pembentukan dimer pirimidin. Kelainan ini umumnya disebabkan oleh sinar ultraviolet yang menyebabkan terbentuknya ikatan silang antara sitosin dan timin. Sinar ultraviolet juga dapat meningkatkan radikal bebas dalam sel yang dapat merusak DNA jenis lainnya dan kerusakan ini disebut kerusakan tidak langsung. Dimer pirimidin terbentuk karena paparan sinar ultraviolet mampu memicu pembentukan ikatan kovalen C=C antara dua pirimidin berdekatan yaitu antar dua timin atau 2 sitosin (Whitemore dkk, 2001) (Gambar

3.8). Selain itu dimer urasil juga sering ditemukan pada RNA beruntai ganda.

Sementara itu, radiasi pengionan dan senyawa radioaktif dapat menyebabkan patahnya salah satu untai (single strand breaks/SSB) atau kedua untai (double strand breaks/DSB) dari DNA beruntai ganda. Kerusakan DNA semacam ini seringkali tidak dapat direparasi dengan sempurna sehingga dapat menimbulkan kesalahan replikasi maupun transkripsi yang akhirnya dapat menimbulkan kelainan sel yang menetap. Kerusakan DNA jenis ini sering berakibat fatal bagi kelangsungan hidup suatu individu seperti penuaan dini dan onkogenesis.

Pada manusia, kerusakan DNA dapat terjadi pada tingkat inti sel maupun mitokondria. Dalam inti sel yang tidak membelah, DNA sel berada dalam bentuk kromatin yang tersebar secara merata dalam inti sel. Sementara itu, pada fase tertentu dari sel yang sedang membelah, DNA dalam inti sel mengalami kondensasi dan beragregasi membentuk struktur yang disebut kromosom. Baik dalam bentuk kromatin maupun kromosom, DNA inti sel dikemas dengan cara digulung dalam protein oktamer yang disebut histon. Sementara itu, DNA mitokondria berlokasi dalam suatu organel yang disebut mitokondria dan berada dalam bentuk kopi berganda yang berikatan erat dengan sejumlah protein untuk membentuk struktur disebut nukleoid. Di dalam mitokondria, ROS banyak diproduksi sebagai hasil sampingan dari produksi ATP sebagai sumber energi bagi sel. Keadaan ini menyebabkan mitokondria menjadi lingkungan yang sangat oksidatif. Namun, keadaan oksidatif tersebut biasanya dinetralisasi oleh enzim superoxide dismutase, yang berada baik di dalam sioplasma maupun dalam mitokondria.

Kerusakan DNA dan mutasi merupakan 2 kelainan DNA yang berbeda. Kerusakan DNA merupakan abnormalitas fisik DNA seperti SSB dan DSB, residu 8-hydroxydeoxyguanosine, dan aduk polycyclic aromatic hydrocarbon. Semua kerusakan DNA dapat dikenali oleh enzim sehingga dapat direparasi jika DNA acuan kopinya seperti sekuen komplementer, dan kromosom homolognya tidak mengalami kerusakan. Jika kerusakan tersebut tidak dapat direparasi, maka proses transkripsi dan translasi biasanya tidak terjadi, dan sel biasanya mati. Sebaliknya, mutasi yang meruapakan perubahan sekuen nukleotida

Page 172: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler164

yang tidak dikenali oleh enzim sehingga tidak dapat direparasi. Namun, mutasi dapat menimbulkan perubahan struktur dan fungsi protein serta gangguan sistem pengaturan sel. Mutasi biasanya terbawa saat sel membelah dari satu menjadi 2 sel. Pada sekelompok sel, mutasi dapat menyebabkan penurunan maupun peningkatan kemampuan sel untuk membelah. Meskipun mutasi dan kerusakan DNA merupakan 2 hal yang berbeda, tapi keduanya masih bekaitan. Mutasi umumnya muncul karena adanya kerusakan DNA yang mengalami reparasi secara tidak sempurna.

3.3. Respons sel terhadap kerusakan DNA

Dalam siklus replikasinya, sel mengalami berbagai fase yang menunjukkan aktivitasnya dalam jaringan suatu individu. Fase dalam siklus sel meliputi fase G1, S, G2 dan M (Bab II). Dalam melewati semua fase tersebut, sel mempunyai mekanisme pemeriksaan yang ketat terhadap berbagai jenis kerusakan melalui sistem cekpoinnya. Jika sel mengalami kerusakan DNA, maka sistem cekpoin dapat diaktifkan. Sistem cekpoin bagi kerusakan DNA yang terpenting terdapat pada fase peralihan G1/S dan G2/M. Selain pada fase peralihan, juga ditemukan sistem cekpoin pada fase S. Sistem cekpoin diaktifkan untuk memungkinkan sel mereparasi DNAnya. Aktivasi cekpoin dilakukan oleh 2 enzim penting yaitu ataxia telengiexia mutated (ATM) dan ataxia telengiexia and rad 3 related (ATR). ATM biasanya diaktifkan sebagai respons atas kerusakan DNA berupa DSB dan kelainan struktur kromatin (Bakkenist dan Kastan, 2003), sedangkan ATR diaktifkan sebagai respons atas kelainan garpu replikasi DNA. Kedua enzim tersebut merupakan enzim kinase yang memfosforilasi dan mengaktifkan beberapa protein target yang diperlukan untuk reparasi DNA. Enzim ini berperan penting dalam penahanan pembelahan sel, reparasi DNA, dan apoptosis jika kerusakan DNA tidak dapat direparasi.

Berbagai protein mediator dan enzim terlibat dalam proses reparasi DNA seperti BRCA1, MDC1, dan 53BP1. Protein ini diperlukan untuk meneruskan signal aktivasi cekpoin. Target dari signal tersebut adalah untuk meneruskan signal ke target berikutnya, yaitu p53 yang berperan dalam penghentian sementara pembelahan sel, reparasi DNA dan akhirnya apoptosis jika kerusakan DNA tidak dapat direparasi. Sebagai faktor transkripsi, p53 dapat mengaktifkan berbagai

gen penyandi protein yang diperlukan untuk reparasi DNA, seperti cyclin-dependent kinase inhibitor (p21) yang diinduksi oleh mekanimse baik yang tergantung maupun yang tidak tergantung dari p53. Jika ditemukan kerusakan DNA, sistem cekpoin G1/S dan G2/M dapat diaktifkan dengan cara menginaktivasi kompleks cyclin/cyclin-dependent kinase (Rastogi dkk, 2010).

Aktivasi ATM dan ATR oleh kerusakan DNA menyebabkan fosforilasi Chk2 dan Chk1 yang selanjutnya meneruskan signal kerusakan DNA ke protein cell-division cycle/ Cdc25(A-C). Fosforilasi Cdc25 oleh Chk1/Chk2 menyebabkannya terubiquitinasi dan terdegradasi oleh proteosom. Keadaan ini menyebabkan siklus sel tertahan pada cekpoin G1 dan S yang memungkinkan reparasi DNA. Selain itu, ATM/ATR juga dapat memfosforilasi p53 baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui CHK2. P53 terfosforilasi kemudian bertindak sebagai faktor transkripsi untuk gen penyandi p21 yang merupakan penghambat Cdk. Keadaan ini menahan siklus sel pada cekpoin G1/S. Selain itu. kerusakan DNA oleh ROS juga menyebabkan fosforilasi protein BID oleh ATM yang menahan siklus sel pada cekpoin S. Kerusakan DNA pada fase G2 memicu aktivasi CHK1/2 dan yang diikuti oleh degradasi cdc25 A yang dimediasi oleh SCF (stem cell factor). CDC25A merupakan phosphatase pengatkivasi CDK dan degradasi cdc25 A menahan siklus sel pada berbagai cekpoin termasuk cekpoin G2. Degradasi klaspin dan WEE1 melalui proses ubiquitinasi menghilangkan kofaktor penting dari Chk1 dan inhibitor CDK yang memungkinkan reakumulasi Cdc25A yang diikuti oleh Cdc25B dan C menyebabkan reaktivasi kompleks cyclinB-Cdk1. Pada keadaan normal kompleks siklin B-CDK1 yang aktif memicu transisi G2/M dan inaktivasi pada kerusakan DNA menghambat siklus sel pada fase G2. Berbeda dengan cekpoin G1/S tertahannya siklus sel pada fase G2 tidak bergantung pada p53/p21. Komponen intermediet dari jalur ini dalah β-TrcP yang merupakan protein adaptor yang menghubungkan WEE1 dan claspin dengan kompleks SCF ubiquitin ligase. SCFβTrcP bertindak sebagai pemicu inisiasi cekpoin tempat pengenalan phosphodegron β-TrcP diekspose setelah difosforilasi CDC25 A oleh CHK1serta penemuan kembali cekpoin yang dikaitkan dengan fosforilasi klaspin dan WEE1 oleh Plk1. Sistem cekpoin yang tidak berfungsi dapat menyebabkan defek atau kerusakan kronis pada respons kerusakan DNA seperti

Page 173: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 165

yang tidak dikenali oleh enzim sehingga tidak dapat direparasi. Namun, mutasi dapat menimbulkan perubahan struktur dan fungsi protein serta gangguan sistem pengaturan sel. Mutasi biasanya terbawa saat sel membelah dari satu menjadi 2 sel. Pada sekelompok sel, mutasi dapat menyebabkan penurunan maupun peningkatan kemampuan sel untuk membelah. Meskipun mutasi dan kerusakan DNA merupakan 2 hal yang berbeda, tapi keduanya masih bekaitan. Mutasi umumnya muncul karena adanya kerusakan DNA yang mengalami reparasi secara tidak sempurna.

3.3. Respons sel terhadap kerusakan DNA

Dalam siklus replikasinya, sel mengalami berbagai fase yang menunjukkan aktivitasnya dalam jaringan suatu individu. Fase dalam siklus sel meliputi fase G1, S, G2 dan M (Bab II). Dalam melewati semua fase tersebut, sel mempunyai mekanisme pemeriksaan yang ketat terhadap berbagai jenis kerusakan melalui sistem cekpoinnya. Jika sel mengalami kerusakan DNA, maka sistem cekpoin dapat diaktifkan. Sistem cekpoin bagi kerusakan DNA yang terpenting terdapat pada fase peralihan G1/S dan G2/M. Selain pada fase peralihan, juga ditemukan sistem cekpoin pada fase S. Sistem cekpoin diaktifkan untuk memungkinkan sel mereparasi DNAnya. Aktivasi cekpoin dilakukan oleh 2 enzim penting yaitu ataxia telengiexia mutated (ATM) dan ataxia telengiexia and rad 3 related (ATR). ATM biasanya diaktifkan sebagai respons atas kerusakan DNA berupa DSB dan kelainan struktur kromatin (Bakkenist dan Kastan, 2003), sedangkan ATR diaktifkan sebagai respons atas kelainan garpu replikasi DNA. Kedua enzim tersebut merupakan enzim kinase yang memfosforilasi dan mengaktifkan beberapa protein target yang diperlukan untuk reparasi DNA. Enzim ini berperan penting dalam penahanan pembelahan sel, reparasi DNA, dan apoptosis jika kerusakan DNA tidak dapat direparasi.

Berbagai protein mediator dan enzim terlibat dalam proses reparasi DNA seperti BRCA1, MDC1, dan 53BP1. Protein ini diperlukan untuk meneruskan signal aktivasi cekpoin. Target dari signal tersebut adalah untuk meneruskan signal ke target berikutnya, yaitu p53 yang berperan dalam penghentian sementara pembelahan sel, reparasi DNA dan akhirnya apoptosis jika kerusakan DNA tidak dapat direparasi. Sebagai faktor transkripsi, p53 dapat mengaktifkan berbagai

gen penyandi protein yang diperlukan untuk reparasi DNA, seperti cyclin-dependent kinase inhibitor (p21) yang diinduksi oleh mekanimse baik yang tergantung maupun yang tidak tergantung dari p53. Jika ditemukan kerusakan DNA, sistem cekpoin G1/S dan G2/M dapat diaktifkan dengan cara menginaktivasi kompleks cyclin/cyclin-dependent kinase (Rastogi dkk, 2010).

Aktivasi ATM dan ATR oleh kerusakan DNA menyebabkan fosforilasi Chk2 dan Chk1 yang selanjutnya meneruskan signal kerusakan DNA ke protein cell-division cycle/ Cdc25(A-C). Fosforilasi Cdc25 oleh Chk1/Chk2 menyebabkannya terubiquitinasi dan terdegradasi oleh proteosom. Keadaan ini menyebabkan siklus sel tertahan pada cekpoin G1 dan S yang memungkinkan reparasi DNA. Selain itu, ATM/ATR juga dapat memfosforilasi p53 baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui CHK2. P53 terfosforilasi kemudian bertindak sebagai faktor transkripsi untuk gen penyandi p21 yang merupakan penghambat Cdk. Keadaan ini menahan siklus sel pada cekpoin G1/S. Selain itu. kerusakan DNA oleh ROS juga menyebabkan fosforilasi protein BID oleh ATM yang menahan siklus sel pada cekpoin S. Kerusakan DNA pada fase G2 memicu aktivasi CHK1/2 dan yang diikuti oleh degradasi cdc25 A yang dimediasi oleh SCF (stem cell factor). CDC25A merupakan phosphatase pengatkivasi CDK dan degradasi cdc25 A menahan siklus sel pada berbagai cekpoin termasuk cekpoin G2. Degradasi klaspin dan WEE1 melalui proses ubiquitinasi menghilangkan kofaktor penting dari Chk1 dan inhibitor CDK yang memungkinkan reakumulasi Cdc25A yang diikuti oleh Cdc25B dan C menyebabkan reaktivasi kompleks cyclinB-Cdk1. Pada keadaan normal kompleks siklin B-CDK1 yang aktif memicu transisi G2/M dan inaktivasi pada kerusakan DNA menghambat siklus sel pada fase G2. Berbeda dengan cekpoin G1/S tertahannya siklus sel pada fase G2 tidak bergantung pada p53/p21. Komponen intermediet dari jalur ini dalah β-TrcP yang merupakan protein adaptor yang menghubungkan WEE1 dan claspin dengan kompleks SCF ubiquitin ligase. SCFβTrcP bertindak sebagai pemicu inisiasi cekpoin tempat pengenalan phosphodegron β-TrcP diekspose setelah difosforilasi CDC25 A oleh CHK1serta penemuan kembali cekpoin yang dikaitkan dengan fosforilasi klaspin dan WEE1 oleh Plk1. Sistem cekpoin yang tidak berfungsi dapat menyebabkan defek atau kerusakan kronis pada respons kerusakan DNA seperti

Page 174: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler166

gangguan fungsi protein supresor tumor p53, p21, ATM, Chk2, BRCA1/2 yang memicu peningkatan instabilitas genetik sel (Rastogi dkk, 2013) (Gambar 3.7)..

Gambar 3.7. Respons sel atas kerusakan DNA dan aktivasi sistem cekpoin. Keterangan gambar diuraikan dalam teks. Sumbar Rastogi dkk, 2013

Kerusakan pada satu untai DNA (single strand break/SSB) dapat menyebabkan gangguan fungsi sel sehingga sel tidak dapat berfungsi secara normal. Hal ini dapat terjadi bila kerusakan DNA terjadi pada gen penyandi protein yang befungsi untuk menjaga intergritas dan informasi penting dari sel. Namun, sel tetap dapat hidup jika kerusakan hanya melibatkan DNA yang tidak membawa informasi genetik yang penting bagi kehidupan sel. DNA dalam inti sel terdiri atas dua untai yang komplementer dalam struktur yang disebut heliks ganda. Kerusakan dapat terjadi pada untai DNA yang hanya melibatkan satu untai (single strand break/SSB) dan yang melibatkan kedua untaian DNA (double strand break/DSB). Untuk mereparasi kerusakan tersebut, sel mempunyai berbagai strategi untuk mengembalikan DNA yang rusak kembali ke keadaan normal. Pada

tingkat kerusakan yang paling sederhana yaitu SSB, strategi reparasi dapat menggunakan untaian yang komplementer yang tidak rusak sebagai acuan untuk reparasi. Dengan cara ini, informasi yang hilang karena kerusakan DNA segera dapat dikembalikan. Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka sister kromatid dan kromosom yang homolog dapat dipakai acuan. Namun, jika kedua strategi tersebut tidak memungkinkan, maka upaya terakhir yang biasanya dilakukan oleh sel adalah menyatukan kedua ujung DNA yang patah dengan konseskuensi beberapa infromasi penting tidak dapat dikembalikan.

Kerusakan DNA umumnya mengubah tata ruang DNA heliks ganda dalam inti sel dan hal ini dapat dilacak oleh sel. Begitu kerusakan DNA ditemukan, sel segera mengirin molekul sistem reparasi ke tempat rusaknya DNA untuk mereparasi DNA. Ketika segala kerusakan pada DNA telah dapat direparasi, sistem signal pembelahan sel dapat diaktifkan kembali sehingga pembelahan sel dapat berjalan secara normal (Rastogi dkk, 2013).

3.3. Reparasi DNA

3.3.1. Reparasi Langsung

Sel dapat memperbaiki tiga jenis kerusakan DNA dengan sistem pembalikan langsung yang tidak memerlukan templat sebagai acuan reparasi. Sistem pembalikan langsung dapat dilakukan jika kerusakan hanya melibatkan 1 dari 4 jenis nukleotida. Sistem pembalikan secara langsung tersebut adalah khusus untuk kerusakan yang tidak melibatkan tulang punggung fosfatdiester. Misalnya pembentukan dimer pirimidin akibat radiasi ultraviolet menyebabkan ikatan kovalen yang abnormal antara basa pirimidin yang berdekatan. Proses fotoaktivasi dapat secara langsung membalikan kerusakan tersebut menggunakan enzim photolyase yang aktivasinya mutlak tergantung pada energi yang diserap dari sinar ultraviolet biru (panjang gelombang 300–500 nm ) untuk memicu katalisis (Sancar, 2003). Enzim ini ditemukan pada bakteri, fungus dan kebanyakan hewan. Pada manusia enzim ini tidak berfungsi (Michael dkk, 2009) dan kerusakan DNA akibat paparan sinar ultraviolet lebih banyak direparasi menggunakan reparasi eksisi nukleotida. Kerusakan DNA yang lain yang dapat direparasi dengan pembalikan langsung adalah metilasi basa guanin yang dapat langsung dikembalikan menggunakan enzim protein

Page 175: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 167

gangguan fungsi protein supresor tumor p53, p21, ATM, Chk2, BRCA1/2 yang memicu peningkatan instabilitas genetik sel (Rastogi dkk, 2013) (Gambar 3.7)..

Gambar 3.7. Respons sel atas kerusakan DNA dan aktivasi sistem cekpoin. Keterangan gambar diuraikan dalam teks. Sumbar Rastogi dkk, 2013

Kerusakan pada satu untai DNA (single strand break/SSB) dapat menyebabkan gangguan fungsi sel sehingga sel tidak dapat berfungsi secara normal. Hal ini dapat terjadi bila kerusakan DNA terjadi pada gen penyandi protein yang befungsi untuk menjaga intergritas dan informasi penting dari sel. Namun, sel tetap dapat hidup jika kerusakan hanya melibatkan DNA yang tidak membawa informasi genetik yang penting bagi kehidupan sel. DNA dalam inti sel terdiri atas dua untai yang komplementer dalam struktur yang disebut heliks ganda. Kerusakan dapat terjadi pada untai DNA yang hanya melibatkan satu untai (single strand break/SSB) dan yang melibatkan kedua untaian DNA (double strand break/DSB). Untuk mereparasi kerusakan tersebut, sel mempunyai berbagai strategi untuk mengembalikan DNA yang rusak kembali ke keadaan normal. Pada

tingkat kerusakan yang paling sederhana yaitu SSB, strategi reparasi dapat menggunakan untaian yang komplementer yang tidak rusak sebagai acuan untuk reparasi. Dengan cara ini, informasi yang hilang karena kerusakan DNA segera dapat dikembalikan. Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka sister kromatid dan kromosom yang homolog dapat dipakai acuan. Namun, jika kedua strategi tersebut tidak memungkinkan, maka upaya terakhir yang biasanya dilakukan oleh sel adalah menyatukan kedua ujung DNA yang patah dengan konseskuensi beberapa infromasi penting tidak dapat dikembalikan.

Kerusakan DNA umumnya mengubah tata ruang DNA heliks ganda dalam inti sel dan hal ini dapat dilacak oleh sel. Begitu kerusakan DNA ditemukan, sel segera mengirin molekul sistem reparasi ke tempat rusaknya DNA untuk mereparasi DNA. Ketika segala kerusakan pada DNA telah dapat direparasi, sistem signal pembelahan sel dapat diaktifkan kembali sehingga pembelahan sel dapat berjalan secara normal (Rastogi dkk, 2013).

3.3. Reparasi DNA

3.3.1. Reparasi Langsung

Sel dapat memperbaiki tiga jenis kerusakan DNA dengan sistem pembalikan langsung yang tidak memerlukan templat sebagai acuan reparasi. Sistem pembalikan langsung dapat dilakukan jika kerusakan hanya melibatkan 1 dari 4 jenis nukleotida. Sistem pembalikan secara langsung tersebut adalah khusus untuk kerusakan yang tidak melibatkan tulang punggung fosfatdiester. Misalnya pembentukan dimer pirimidin akibat radiasi ultraviolet menyebabkan ikatan kovalen yang abnormal antara basa pirimidin yang berdekatan. Proses fotoaktivasi dapat secara langsung membalikan kerusakan tersebut menggunakan enzim photolyase yang aktivasinya mutlak tergantung pada energi yang diserap dari sinar ultraviolet biru (panjang gelombang 300–500 nm ) untuk memicu katalisis (Sancar, 2003). Enzim ini ditemukan pada bakteri, fungus dan kebanyakan hewan. Pada manusia enzim ini tidak berfungsi (Michael dkk, 2009) dan kerusakan DNA akibat paparan sinar ultraviolet lebih banyak direparasi menggunakan reparasi eksisi nukleotida. Kerusakan DNA yang lain yang dapat direparasi dengan pembalikan langsung adalah metilasi basa guanin yang dapat langsung dikembalikan menggunakan enzim protein

Page 176: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler168

methyl guanine methyl transferase (MGMT) yang pada bakteri disebut ogt.

Gambar 3.8 Reparasi langsung lesi DNA yang disebabkan oleh dimer timin. Dimer timin yang diinduksi oleh sinar ultraviolet direparasi melalui fotoaktivasi yang memisahkan ikatan pembentuk dimer di antara 2 cincin siklobutan Sumber Cooper 2000.

3.3.2. Raparasi Eksisi Basa

Bila hanya satu dari dua untai dalam heliks ganda yang mengalami kerusakan, reparasi DNA dapat dilakukan dengan menggunakan untai yang masih utuh sebagai templat untuk memperbaiki untai yang rusak. Reparasi ini dilakukan dengan mekanisme reparasi eksisi yang dapat dibedakan menjadi beberapa tahap, yaitu eksisi basa dilakukan dengan enzim glycosylase. Enzim ini mengeluarkan satu basa nitrogen dari untaian yang rusak untuk membentuk situs apurin atau apirimidin (AP). Selanjutnya adalah penyingkiran tulang punggung DNA yang rusak dengan AP endonuklease. DNA polymerase dengan aktivitas 5’ ke 3’

eksonukleasenya kemudian menyingkirkan nukleotida daerah tersebut dan mensintesis untaian yang baru dengan menggunakan untaian pasangannya sebagi templat (Willey dkk, 2014) . Tahapan terakhir adalah penyambungan kembali celah DNA dengan enzim ligase.

Reparasi eksisi basa dibedakan menjadi 2 macam, yaitu SP-BER dan LP-BER.

Gambar 3.9. Skema reparasi eksisi basa pada sel mamalia yang meliputi SP-BER dan LP-BER. SP-BER dimulai oleh enzim glycosylase dan APE1, diikuti oleh protein penopang XRCC1 dan pol β untuk menyingkirkan nukleotida yang rusak. Celah yang tersisa kemudian disambung menggunakan DNA ligase III. Pada LP-BER, kerusakan DNA oleh radiasi pengionan memicu perekrutan PNK untuk mengubah ujung DNA yang rusak menjadi 3′OH dan 5′P. Dalam hal ini, reparasi DNA melibatkan PARP1/2 yang diikuti oleh XRCC1. PCNA dan DNA pol β serta pol −δ/ε untuk memperpanjang dan mengisi nukleotida di antara celah oleh 3 nukleotida. RFC (replication

Page 177: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 169

methyl guanine methyl transferase (MGMT) yang pada bakteri disebut ogt.

Gambar 3.8 Reparasi langsung lesi DNA yang disebabkan oleh dimer timin. Dimer timin yang diinduksi oleh sinar ultraviolet direparasi melalui fotoaktivasi yang memisahkan ikatan pembentuk dimer di antara 2 cincin siklobutan Sumber Cooper 2000.

3.3.2. Raparasi Eksisi Basa

Bila hanya satu dari dua untai dalam heliks ganda yang mengalami kerusakan, reparasi DNA dapat dilakukan dengan menggunakan untai yang masih utuh sebagai templat untuk memperbaiki untai yang rusak. Reparasi ini dilakukan dengan mekanisme reparasi eksisi yang dapat dibedakan menjadi beberapa tahap, yaitu eksisi basa dilakukan dengan enzim glycosylase. Enzim ini mengeluarkan satu basa nitrogen dari untaian yang rusak untuk membentuk situs apurin atau apirimidin (AP). Selanjutnya adalah penyingkiran tulang punggung DNA yang rusak dengan AP endonuklease. DNA polymerase dengan aktivitas 5’ ke 3’

eksonukleasenya kemudian menyingkirkan nukleotida daerah tersebut dan mensintesis untaian yang baru dengan menggunakan untaian pasangannya sebagi templat (Willey dkk, 2014) . Tahapan terakhir adalah penyambungan kembali celah DNA dengan enzim ligase.

Reparasi eksisi basa dibedakan menjadi 2 macam, yaitu SP-BER dan LP-BER.

Gambar 3.9. Skema reparasi eksisi basa pada sel mamalia yang meliputi SP-BER dan LP-BER. SP-BER dimulai oleh enzim glycosylase dan APE1, diikuti oleh protein penopang XRCC1 dan pol β untuk menyingkirkan nukleotida yang rusak. Celah yang tersisa kemudian disambung menggunakan DNA ligase III. Pada LP-BER, kerusakan DNA oleh radiasi pengionan memicu perekrutan PNK untuk mengubah ujung DNA yang rusak menjadi 3′OH dan 5′P. Dalam hal ini, reparasi DNA melibatkan PARP1/2 yang diikuti oleh XRCC1. PCNA dan DNA pol β serta pol −δ/ε untuk memperpanjang dan mengisi nukleotida di antara celah oleh 3 nukleotida. RFC (replication

Page 178: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler170

factor-C) diperlukan agar PCNA dapat berikatan dengan DNA. Flap 5′ yang muncul pada molekul DNA disingkirkan oleh enzim FEN1 (flap endonuclease I) dan selanjutnya penutupan celah (nick) oleh DNA ligase I. Sumber Rastogi dkk, 2013

3.3.3. Reparasi Eksisi Nukleotida

Reparasi eksisi nukleotida (nucleotide excision repair/NER) merupakan sistem reparasi yang dipakai untuk mereparasi kerusakan yang terdiri atas aduk yang tebal dan kerusakan yang mendistorsi struktur DNA heliks ganda seperti dimerisasi pirimidin akibat penyinaran ultraviolet. Reparasi dilakukan melalui tiga tahapan untuk menghilangkan 12-24 nukleotida pada daerah yang rusak. Pada sel prokariot, NER lebih sederhana dibandingkan sel eukariot yang meliputi tahapan reparasi berikut. Pertama pengenalan bagian yang rusak oleh molekul trimer yang terdiri atas dua molekul UVRA dan satu molekul UVRB. Setelah situs yang rusak ditemukan, UVRA lepas dan meninggalkan trimer, sedangkan UVRB tetap di tempat yang rusak untuk merekrut protein UVRC. UVRC yang merupakan enzim endonuklease kemudian memotong 12-24 nukleotida di tempat kerusakan DNA ke arah belakang dan ke arah depan. DNA polymerase mensintesis kembali DNA yang dihilangkan dan ligase menutup kembali celah yang masih ada pada untai DNA (Reardon dan Sancar, 2006)

Pada sel eukariot, reparasi eksisi nukleotida melibatkan lebih banyak protein dan reparasi berlangsung lebih rumit jika dibandingakan pada sel prokariot. Terdapat 9 protein yang terlibat, yaitu XPA, XPB, XPC, XPD, XPE, XPF, dan XPG (XP:cхeroderma pigmentosum tempat pertama proten diisolasi) serta CSA dan CSB (CS:Cockayne syndrome). Selain itu, NER juga melibatkan protein ERCC1, RPA, RAD23A, RAD23B. Pada mamalia cara reparasi dibedakan menjadi 2 cara yaitu global genomic NER (GG-NER) dan transcription coupled NER (TC-NER). Kedua cara reparasi tersebut hanya berbeda pada tahap awal yaitu pada tahan pengenalan kerusakan DNA oleh sel.

Global genomic NER dilakukan pada untai DNA yang ditranskripsi maupun yang tidak ditranskripsi menjadi mRNA dan juga pada gen yang aktif maupun inaktif. Pada proses ini kerusakan DNA dikenali oleh protein DNA-damage binding (DDB) dan kesatuan XPC-

Rad23B. Kesatuan protein XPC-Rad23B secara terus menerus memantau dan memindai genom dan mengenali struktur heliks ganda yang terdistorsi karena adanya kerusakan DNA Sementara itu, DDB1 and DDB2 (XPE) dapat juga mengenali kerusakan DNA yang sama yang disebabkan oleh sinar ultraviolet. Kemudian setelah situs kerusakan dikenali, berbagai protein reparasi kemudian dikerahkan dan bagian DNA yang rusak dieksisi seperti di atas dan direparasi oleh enzim DNA polymerase dan ligase (Gambar 3.10).

Transcription coupled repair (TC-NER)

Gambar 3.10. Mekanisme molekuler reparasi DNA melalui (GG-NER dan TC-NER pada sel mamalia. Secara rinci prosesnya dijabarkan dalam teks. Sumber Rastogi dkk, 2013

Page 179: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 171

factor-C) diperlukan agar PCNA dapat berikatan dengan DNA. Flap 5′ yang muncul pada molekul DNA disingkirkan oleh enzim FEN1 (flap endonuclease I) dan selanjutnya penutupan celah (nick) oleh DNA ligase I. Sumber Rastogi dkk, 2013

3.3.3. Reparasi Eksisi Nukleotida

Reparasi eksisi nukleotida (nucleotide excision repair/NER) merupakan sistem reparasi yang dipakai untuk mereparasi kerusakan yang terdiri atas aduk yang tebal dan kerusakan yang mendistorsi struktur DNA heliks ganda seperti dimerisasi pirimidin akibat penyinaran ultraviolet. Reparasi dilakukan melalui tiga tahapan untuk menghilangkan 12-24 nukleotida pada daerah yang rusak. Pada sel prokariot, NER lebih sederhana dibandingkan sel eukariot yang meliputi tahapan reparasi berikut. Pertama pengenalan bagian yang rusak oleh molekul trimer yang terdiri atas dua molekul UVRA dan satu molekul UVRB. Setelah situs yang rusak ditemukan, UVRA lepas dan meninggalkan trimer, sedangkan UVRB tetap di tempat yang rusak untuk merekrut protein UVRC. UVRC yang merupakan enzim endonuklease kemudian memotong 12-24 nukleotida di tempat kerusakan DNA ke arah belakang dan ke arah depan. DNA polymerase mensintesis kembali DNA yang dihilangkan dan ligase menutup kembali celah yang masih ada pada untai DNA (Reardon dan Sancar, 2006)

Pada sel eukariot, reparasi eksisi nukleotida melibatkan lebih banyak protein dan reparasi berlangsung lebih rumit jika dibandingakan pada sel prokariot. Terdapat 9 protein yang terlibat, yaitu XPA, XPB, XPC, XPD, XPE, XPF, dan XPG (XP:cхeroderma pigmentosum tempat pertama proten diisolasi) serta CSA dan CSB (CS:Cockayne syndrome). Selain itu, NER juga melibatkan protein ERCC1, RPA, RAD23A, RAD23B. Pada mamalia cara reparasi dibedakan menjadi 2 cara yaitu global genomic NER (GG-NER) dan transcription coupled NER (TC-NER). Kedua cara reparasi tersebut hanya berbeda pada tahap awal yaitu pada tahan pengenalan kerusakan DNA oleh sel.

Global genomic NER dilakukan pada untai DNA yang ditranskripsi maupun yang tidak ditranskripsi menjadi mRNA dan juga pada gen yang aktif maupun inaktif. Pada proses ini kerusakan DNA dikenali oleh protein DNA-damage binding (DDB) dan kesatuan XPC-

Rad23B. Kesatuan protein XPC-Rad23B secara terus menerus memantau dan memindai genom dan mengenali struktur heliks ganda yang terdistorsi karena adanya kerusakan DNA Sementara itu, DDB1 and DDB2 (XPE) dapat juga mengenali kerusakan DNA yang sama yang disebabkan oleh sinar ultraviolet. Kemudian setelah situs kerusakan dikenali, berbagai protein reparasi kemudian dikerahkan dan bagian DNA yang rusak dieksisi seperti di atas dan direparasi oleh enzim DNA polymerase dan ligase (Gambar 3.10).

Transcription coupled repair (TC-NER)

Gambar 3.10. Mekanisme molekuler reparasi DNA melalui (GG-NER dan TC-NER pada sel mamalia. Secara rinci prosesnya dijabarkan dalam teks. Sumber Rastogi dkk, 2013

Page 180: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler172

TC-NER mekanismenya hampir sama dengan global genomic NER. Perbedaan hanya terjadi pada tahap awal dan hanya dilakukan pada DNA yang sedang mengalami propses transkripsi. Pada TC-NER pencarian bagian DNA yang rusak tidak dilakukan oleh XPC atau DDB. Hal ini dimungkinkan karena RNA polymerase yang mengkopi DNA menjadi mRNA (transkripsi) akan menumpuk pada DNA yang rusak yang dapat digunakan oleh sel sebagai signal pengenalan bagian DNA yang rusak. Ini menggatikan fungsi XPC-RAD23B dan DDB pada GG-NER. Selain itu protein CSA dan CSB berikatan dengan DNA jenis yang sama ketimbang XPC-Rad23B.

3.3.4. Reparasi Nukleotida yang Mismatch

Pada saat replikasi DNA, adanya pasangan nukelotida yang tidak sesuai biasanya langsung dikoreksi menggunakan enzim DNA polymerase. Pasangan nukelotida yang tidak sesuai biasanya menyebabkan instabilitas struktur heliks ganda dari DNA. Pada bakteri, semua enzim DNA polymerase (I, II dan III) mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kesalahan pasangan nukeleotida dengan menggunakan aktivitas eksonuklease 3’→5’nya. Jika ditemukan pasangan nukleotida yang tidak sesuai, DNA polymerase menyingkirkan beberapa pasangan basa ke arah depan melewati pasangan nukleotida yang tidak cocok. DNA polymerase kemudian kembali mensintesis DNA dengan menempatkan pasangan nukleotida yang sesuai. Proses perbaikan DNA semaca ini dilakuakn sebagai mekanisme proofreading. Pada sel eukariot, hanya DNA polymerase yang memiliki pemanjangan delta dan epsilon yang mempunyai kemampuan proofreading (aktivitas eksonuklease 3’→5’) (Berg dkk, 2012).

Gambar 3.11. Raparasi nukleotida mismatch pada Escherichia coli. Pertama sistem reparasi melacak dan mengeksisi basa mismatch pada untai DNA yang baru direplikasi yang dibedakan dari untai induk karena tidak termetilasi. Enzim MutS berikatan dengan basa mismatch yang diikuti oleh MutL. Ikatan MutL mengaktifkan MutH yang berfungsi memecah untai yang tidak termetilasi pada tempat yang berlawanan dengan yang termetilasi. MutS dan MutL bersama helicase dan exonuklease memangkas bagian untai DNA yang tidak termetilasi dan yang mengandug nukleotida mismatch. Celah yang yang terbentuk diisi dengan nukleotida yang benar oleh DNA polymerase dan ditutup menggunakan ligase. Sumber Cooper GM 2000.

Page 181: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 173

TC-NER mekanismenya hampir sama dengan global genomic NER. Perbedaan hanya terjadi pada tahap awal dan hanya dilakukan pada DNA yang sedang mengalami propses transkripsi. Pada TC-NER pencarian bagian DNA yang rusak tidak dilakukan oleh XPC atau DDB. Hal ini dimungkinkan karena RNA polymerase yang mengkopi DNA menjadi mRNA (transkripsi) akan menumpuk pada DNA yang rusak yang dapat digunakan oleh sel sebagai signal pengenalan bagian DNA yang rusak. Ini menggatikan fungsi XPC-RAD23B dan DDB pada GG-NER. Selain itu protein CSA dan CSB berikatan dengan DNA jenis yang sama ketimbang XPC-Rad23B.

3.3.4. Reparasi Nukleotida yang Mismatch

Pada saat replikasi DNA, adanya pasangan nukelotida yang tidak sesuai biasanya langsung dikoreksi menggunakan enzim DNA polymerase. Pasangan nukelotida yang tidak sesuai biasanya menyebabkan instabilitas struktur heliks ganda dari DNA. Pada bakteri, semua enzim DNA polymerase (I, II dan III) mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kesalahan pasangan nukeleotida dengan menggunakan aktivitas eksonuklease 3’→5’nya. Jika ditemukan pasangan nukleotida yang tidak sesuai, DNA polymerase menyingkirkan beberapa pasangan basa ke arah depan melewati pasangan nukleotida yang tidak cocok. DNA polymerase kemudian kembali mensintesis DNA dengan menempatkan pasangan nukleotida yang sesuai. Proses perbaikan DNA semaca ini dilakuakn sebagai mekanisme proofreading. Pada sel eukariot, hanya DNA polymerase yang memiliki pemanjangan delta dan epsilon yang mempunyai kemampuan proofreading (aktivitas eksonuklease 3’→5’) (Berg dkk, 2012).

Gambar 3.11. Raparasi nukleotida mismatch pada Escherichia coli. Pertama sistem reparasi melacak dan mengeksisi basa mismatch pada untai DNA yang baru direplikasi yang dibedakan dari untai induk karena tidak termetilasi. Enzim MutS berikatan dengan basa mismatch yang diikuti oleh MutL. Ikatan MutL mengaktifkan MutH yang berfungsi memecah untai yang tidak termetilasi pada tempat yang berlawanan dengan yang termetilasi. MutS dan MutL bersama helicase dan exonuklease memangkas bagian untai DNA yang tidak termetilasi dan yang mengandug nukleotida mismatch. Celah yang yang terbentuk diisi dengan nukleotida yang benar oleh DNA polymerase dan ditutup menggunakan ligase. Sumber Cooper GM 2000.

Page 182: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler174

Gambar 3.12. Reparasi nukleotida mismatch pada sel mamalia. Reparasi pasangan nukleotida mismatch pada mamalia dilakukan dengan cara yang serupa dengan yang terjadi pada E. coli, kecuali dalam dalam untai DNA yang baru terbentuk dibedakan dari untai asalnya karena mengandung untai yang patah. MutS dan MutL berikatan dengan nukleotida mismatch dan eksisi langsung untai DNA di antara untai DNA yang patah dan nukleotida mismatch (Gambar 3). Sumber Cooper GM. 2000

Reparasi DNA dengan pasangan nukleotida yang salah pasang

merupakan model reparasi yang konservatif pada hampir semua sel untuk memperbaiki segala kesalahan yang tak dapat dikoreksi melalui proses proofreading. Sistem reparasi ini terdiri atas sekurang-kurangnya 2 protein yang berturut-turut berfungsi untuk mengenali dan merekrut endonuklease yang memotong dan mesintesis kembali untai DNA di dekat daerah yang rusak. Pada E. coli, protein yang terlibat meliputi protein klas Mut dan diikuti oleh eksonuklease untuk menyingkirkan pasangan nukleotida yang tidak cocok. Sintesis kembali bagian DNA yang disingkirkan dan penyatuan nick (celah yang masih belum tersambung) menggunakan enzim ligase (Berg dkk, 2012)

Tiga jalur reparasi eksisi di atas digunakan untuk memperbaiki kerusakan DNA yang terjadi hanya pada 1 dari 2 untai DNA dalam struktur heliks ganda. Ketiga jalur reparasi eksisi meliputi reparasi eksisi basa (BER), reparasi eksisi nukleotida (NER) dan reparasi DNA dengan pasangan nukleotida yang mismatch. BER mengenali kerusakan DNA yang terjadi hanya pada basa pirimidin atau purin dan dapat disingkirkan oleh enzim glikosilase khusus. Hal yang serupa yang terjadi pada reparasi pasangan nukleotida yang mismatch dalam pasangan basa Watson-Crick (Watson dkk, 2004).

Reparasi eksisi nukleotida merupakan sistem reparasi yang digunakan untuk mengembalikan kerusakan DNA yang khususnya disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet pada molekul DNA menyebabkan penumpukan sampah DNA yang tebal yang kebanyakan terdiri atas dimer timin dan 6,4-photoproduk. Reparasi dilakukan dengan pengenalan situs kerusakan, penyingkiran dan pemotongan untai DNA tunggal yang mengandung lesi. Sementara itu, untai tunggal DNA pasangannya tidak rusak digunakan oleh DNA polymerase sebagai templat untuk mereparasi yang rusak. Akhirnya celah kecil salah satu untai yang belum tersambung kemudian diligasi menggunakan enzim ligase

3.3.5. Reparasi garpu replikasi yang terhenti

Sintesis DNA terjadi melalui pembentukan garpu replikasi sebagai tempat awal penggandaan DNA saat sel menduplikasi molekul DNAnya. Garpu replikasi dimulai pada titik awal replikasi (origin of replication/ORI) dan setiap molekul DNA memiliki banyak titik awal replikasi. Banyaknya titik awal replikasi memungkinkan replikasi DNA dilakukan dari berbagai titik dari suatu molekul DNA. Garpu replikasi dibentuk pada beruntai ganda setelah dibuka oleh enzim helikase menjadi DNA serat tunggal yang dapat dipakai sebagai templat untuk sintesis DNA serat ganda yang baru. Struktur dari DNA yang dibuka menyerupai garpu sehingga disebut disebut garpu replikasi. Sintesis DNA melalui pembentukkan garpu replikasi terjadi ke dua arah sesuai dengan arah replikasi DNA. Gangguan atau kerusakan pada salah satu untai DNA untai ganda dapat menyebabkan berhentinya sintesis DNA pada garpu replikasi. Penyebab utama berhentinya garpu replikasi

Page 183: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 175

Gambar 3.12. Reparasi nukleotida mismatch pada sel mamalia. Reparasi pasangan nukleotida mismatch pada mamalia dilakukan dengan cara yang serupa dengan yang terjadi pada E. coli, kecuali dalam dalam untai DNA yang baru terbentuk dibedakan dari untai asalnya karena mengandung untai yang patah. MutS dan MutL berikatan dengan nukleotida mismatch dan eksisi langsung untai DNA di antara untai DNA yang patah dan nukleotida mismatch (Gambar 3). Sumber Cooper GM. 2000

Reparasi DNA dengan pasangan nukleotida yang salah pasang

merupakan model reparasi yang konservatif pada hampir semua sel untuk memperbaiki segala kesalahan yang tak dapat dikoreksi melalui proses proofreading. Sistem reparasi ini terdiri atas sekurang-kurangnya 2 protein yang berturut-turut berfungsi untuk mengenali dan merekrut endonuklease yang memotong dan mesintesis kembali untai DNA di dekat daerah yang rusak. Pada E. coli, protein yang terlibat meliputi protein klas Mut dan diikuti oleh eksonuklease untuk menyingkirkan pasangan nukleotida yang tidak cocok. Sintesis kembali bagian DNA yang disingkirkan dan penyatuan nick (celah yang masih belum tersambung) menggunakan enzim ligase (Berg dkk, 2012)

Tiga jalur reparasi eksisi di atas digunakan untuk memperbaiki kerusakan DNA yang terjadi hanya pada 1 dari 2 untai DNA dalam struktur heliks ganda. Ketiga jalur reparasi eksisi meliputi reparasi eksisi basa (BER), reparasi eksisi nukleotida (NER) dan reparasi DNA dengan pasangan nukleotida yang mismatch. BER mengenali kerusakan DNA yang terjadi hanya pada basa pirimidin atau purin dan dapat disingkirkan oleh enzim glikosilase khusus. Hal yang serupa yang terjadi pada reparasi pasangan nukleotida yang mismatch dalam pasangan basa Watson-Crick (Watson dkk, 2004).

Reparasi eksisi nukleotida merupakan sistem reparasi yang digunakan untuk mengembalikan kerusakan DNA yang khususnya disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet pada molekul DNA menyebabkan penumpukan sampah DNA yang tebal yang kebanyakan terdiri atas dimer timin dan 6,4-photoproduk. Reparasi dilakukan dengan pengenalan situs kerusakan, penyingkiran dan pemotongan untai DNA tunggal yang mengandung lesi. Sementara itu, untai tunggal DNA pasangannya tidak rusak digunakan oleh DNA polymerase sebagai templat untuk mereparasi yang rusak. Akhirnya celah kecil salah satu untai yang belum tersambung kemudian diligasi menggunakan enzim ligase

3.3.5. Reparasi garpu replikasi yang terhenti

Sintesis DNA terjadi melalui pembentukan garpu replikasi sebagai tempat awal penggandaan DNA saat sel menduplikasi molekul DNAnya. Garpu replikasi dimulai pada titik awal replikasi (origin of replication/ORI) dan setiap molekul DNA memiliki banyak titik awal replikasi. Banyaknya titik awal replikasi memungkinkan replikasi DNA dilakukan dari berbagai titik dari suatu molekul DNA. Garpu replikasi dibentuk pada beruntai ganda setelah dibuka oleh enzim helikase menjadi DNA serat tunggal yang dapat dipakai sebagai templat untuk sintesis DNA serat ganda yang baru. Struktur dari DNA yang dibuka menyerupai garpu sehingga disebut disebut garpu replikasi. Sintesis DNA melalui pembentukkan garpu replikasi terjadi ke dua arah sesuai dengan arah replikasi DNA. Gangguan atau kerusakan pada salah satu untai DNA untai ganda dapat menyebabkan berhentinya sintesis DNA pada garpu replikasi. Penyebab utama berhentinya garpu replikasi

Page 184: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler176

meliputi adanya lesi (dimer pirimidin) atau adanya patahan DNA pada salah satu untai dari DNA untai ganda.

Reparasi garpu replikasi yang terhenti dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu rekombinasi homolog dan pembentukan struktur kaki ayam. Pembentukan srtuktur kaki ayam dilakukan untuk mengembalikan garpu replikasi dengan menggunakan DNA untai tunggal yang tidak rusak sebagai acuan untuk sintesis DNA yang baru. Penggunaan DNA yang baru disntesis sebagai acuan replikasi dilakukan sampai melewati lesi yang menyebabkan replikasi DNA terhenti. Dengan cara ini, DNA polymerase yang terhenti dapat melanjutkan kerjanya dengan melewati dan menyingkiran lesi yang menghentikan replikasi DNA pada garpu replikasi. Pada proses ini, protein BLM bertindak sebagai helikase yang membalikan chicken-foot Holliday junction Knoll dan Puchta, 2011) (Gambar 3.13).

Gambar 3.13. Reaktivasi garpu replikasi melalui rekombinasi pola kaki ayam. Ketika garpu replikasi menghadapi lesi DNA pada leading strand yang menghentikan garpu replikasi dan DNA polymerase tidak dapat mengatasinya, enzim DNA polymerase dapat melompati lesi menggunakan lagging strand yang tidak rusak sebagai acuan reparasi. Setelah semua sekuen pada lesi terlewati, reaktivasi garpu replikasi dapat dilakukan dengan rekombinasi homolog dengan pembentukan struktur chicken foot holiday junction. Pada kamir proses ini dilakukan menggunakan protein Rad5 yang homolog dengan protein HLTF pada manusia. (Sumber Knoll dan Puchta, 2011).

Secara biokimia, BLM dapat menghambat pembentukan Holliday junctions. Pertukaran sister kromatid lebih sering muncul jika protein BLM tidak diekspresikan dalam sel dibanding ketika BLM terekspresikan sehingga protein BLM berfungsi untuk mencegah rekombinasi yang dimediasi oleh Rad51. Peran BLM juga BLM dan BRCA1 mempunyai jalur yang berbeda dalam mengatasi garpu replikasi yang terhenti. BLM lebih banyak berperan dalam pembentukan struktur ‘‘chicken-foot’’ dengan pembentukkan struktur berutai empat. BLM merupakan helikase dengan aktivitas khusus yaitu membalikan struktur kaki ayam pada DNA. Dengan cara ini lesi yang menghambat kerja garpu replikasi dilompati dengan membalikan dan pertukaran templat (Zhang dan Powell, 2005, Knoll dan Puchta, 2011).

Cara lainnya untuk mengaktifkan garpu replikasi yang terhenti adalah dengan rekombinasi homolog (Gambar 3.13). Hal ini umumnya dilakukan pada garpu replikasi yang terhenti karena terdapat patahan pada salah satu untai induknya sehingga pembentukan dupleks DNA berhenti pada untai yang patah tetapi berlanjut pada untai yang tidak patah. Reaktivasi garpu replikasi melalui rekombinasi homolog telah banyak diungkap pada sel prokariot seperti E.coli. Semantara itu, pada sel eukariot belum banyak dikaji. Pada E.coli reaktivasi dilakukan dengan perekrutan heterotrimer protein yang terdiri atas protein Rec B, Rec C dan Rec D yang membentuk kesatuan Rec BCD. Kesatuan protein tersebut memangkas kedua ujung DNA yang rusak sampai pada titik yang disebut sekuen Chi yaitu GCTGGTGC. Setelah mencapai sekuen Chi, Rec BCD menghentikan pemangkasan DNA pada ujung 5’ dan meneruskan pemagkasan pada ujung 3’ sampai 1000 nukleotida. Keadaan ini meciptakan loop DNA untai tunggal pada ujung 3’ dari dupleks DNA yang berfungsi untuk menginvasi untai yang tidak patah dan mencari sekuen nukleotida yang hilang. Pada ujung 3’ dari loop DNA untai tunggal pada untai yang rusak kemudian direkrut protein lain yaitu Rec A untuk membentuk filamen Rec A-ssDNA yang berfungsi untuk menginvasi sekuen homolog yang ada pada dupleks DNA untai ganda yang tidak rusak. Ikatan antara filament Rec A-ssDNA dan sekuen komplementernya pada untai homolognya pada dupleks DNA yang tidak patah membentuk struktur yang disebut Holliday Junction. Struktur Holliday juction kemudian bermigrasi ke arah depan dan belakang sampai ditemukan kembali semua sekuen nukleotida yang hilang. Setelah semua sekuen nukleotida yang hilang

Page 185: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 177

meliputi adanya lesi (dimer pirimidin) atau adanya patahan DNA pada salah satu untai dari DNA untai ganda.

Reparasi garpu replikasi yang terhenti dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu rekombinasi homolog dan pembentukan struktur kaki ayam. Pembentukan srtuktur kaki ayam dilakukan untuk mengembalikan garpu replikasi dengan menggunakan DNA untai tunggal yang tidak rusak sebagai acuan untuk sintesis DNA yang baru. Penggunaan DNA yang baru disntesis sebagai acuan replikasi dilakukan sampai melewati lesi yang menyebabkan replikasi DNA terhenti. Dengan cara ini, DNA polymerase yang terhenti dapat melanjutkan kerjanya dengan melewati dan menyingkiran lesi yang menghentikan replikasi DNA pada garpu replikasi. Pada proses ini, protein BLM bertindak sebagai helikase yang membalikan chicken-foot Holliday junction Knoll dan Puchta, 2011) (Gambar 3.13).

Gambar 3.13. Reaktivasi garpu replikasi melalui rekombinasi pola kaki ayam. Ketika garpu replikasi menghadapi lesi DNA pada leading strand yang menghentikan garpu replikasi dan DNA polymerase tidak dapat mengatasinya, enzim DNA polymerase dapat melompati lesi menggunakan lagging strand yang tidak rusak sebagai acuan reparasi. Setelah semua sekuen pada lesi terlewati, reaktivasi garpu replikasi dapat dilakukan dengan rekombinasi homolog dengan pembentukan struktur chicken foot holiday junction. Pada kamir proses ini dilakukan menggunakan protein Rad5 yang homolog dengan protein HLTF pada manusia. (Sumber Knoll dan Puchta, 2011).

Secara biokimia, BLM dapat menghambat pembentukan Holliday junctions. Pertukaran sister kromatid lebih sering muncul jika protein BLM tidak diekspresikan dalam sel dibanding ketika BLM terekspresikan sehingga protein BLM berfungsi untuk mencegah rekombinasi yang dimediasi oleh Rad51. Peran BLM juga BLM dan BRCA1 mempunyai jalur yang berbeda dalam mengatasi garpu replikasi yang terhenti. BLM lebih banyak berperan dalam pembentukan struktur ‘‘chicken-foot’’ dengan pembentukkan struktur berutai empat. BLM merupakan helikase dengan aktivitas khusus yaitu membalikan struktur kaki ayam pada DNA. Dengan cara ini lesi yang menghambat kerja garpu replikasi dilompati dengan membalikan dan pertukaran templat (Zhang dan Powell, 2005, Knoll dan Puchta, 2011).

Cara lainnya untuk mengaktifkan garpu replikasi yang terhenti adalah dengan rekombinasi homolog (Gambar 3.13). Hal ini umumnya dilakukan pada garpu replikasi yang terhenti karena terdapat patahan pada salah satu untai induknya sehingga pembentukan dupleks DNA berhenti pada untai yang patah tetapi berlanjut pada untai yang tidak patah. Reaktivasi garpu replikasi melalui rekombinasi homolog telah banyak diungkap pada sel prokariot seperti E.coli. Semantara itu, pada sel eukariot belum banyak dikaji. Pada E.coli reaktivasi dilakukan dengan perekrutan heterotrimer protein yang terdiri atas protein Rec B, Rec C dan Rec D yang membentuk kesatuan Rec BCD. Kesatuan protein tersebut memangkas kedua ujung DNA yang rusak sampai pada titik yang disebut sekuen Chi yaitu GCTGGTGC. Setelah mencapai sekuen Chi, Rec BCD menghentikan pemangkasan DNA pada ujung 5’ dan meneruskan pemagkasan pada ujung 3’ sampai 1000 nukleotida. Keadaan ini meciptakan loop DNA untai tunggal pada ujung 3’ dari dupleks DNA yang berfungsi untuk menginvasi untai yang tidak patah dan mencari sekuen nukleotida yang hilang. Pada ujung 3’ dari loop DNA untai tunggal pada untai yang rusak kemudian direkrut protein lain yaitu Rec A untuk membentuk filamen Rec A-ssDNA yang berfungsi untuk menginvasi sekuen homolog yang ada pada dupleks DNA untai ganda yang tidak rusak. Ikatan antara filament Rec A-ssDNA dan sekuen komplementernya pada untai homolognya pada dupleks DNA yang tidak patah membentuk struktur yang disebut Holliday Junction. Struktur Holliday juction kemudian bermigrasi ke arah depan dan belakang sampai ditemukan kembali semua sekuen nukleotida yang hilang. Setelah semua sekuen nukleotida yang hilang

Page 186: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler178

ditemukan pada untai homolognya, reparasi DNA yang patah dilakukan.

Pada E.coli reparasi dimulai dengan merekrut protein tetramer Ruv A pada titik silang Holliday Junction dan cincin heksamer Ruv B pada kedua sisi untai luaran yang bertindak sebagai helikase. Adanya kedua protein ini memungkinkan migrasi untaian DNA sampai semua yang hilang ditemukan sekuen komplementernya. Proses reparasi dilanjutkan dengan resolusi holliday junction dengan memotong titik silang oleh enzim Ruv C. Celah yang terbentuk dari hasil pemotongan tersebut kemudian ditutup dengan menyambungkan kedua ujung DNA menggunakan enzim ligase. Dengan cara ini, garpu replikasi DNA dikembalikan ke posisi normal sehingga replikasi DNA dapat dilanjutkan (Davis dan Powell, 2005).

Pada sel eukariot aktivasi garpu replikasi yang terhenti dilakukan dengan dengan cara yang mirip dengan pada E.coli, tetapi mengunakan enzim yang berbeda seperti Rad 50, Rad 51, dan BRCA2.

Gambar 3.14. reaktivasi garpu replikasi melalui rekombinasi homolog. Tahapannya meliputi pemisahan garpu replikasi yang

terhenti dan rekombinasi homolog untuk mengaktifkan kembali garpu replikasi. Dimodifikasi dari Zhang dan Powrel, 2005

3.3.6. Reparasi DNA melalui Rekombinasi Homolog

Kerusakan DNA yang melibatkan kedua untaian dari struktur heliks ganda umumnya disebabkan oleh radiasi sinar pengionan seperti sinar X, dan sinar gamma. Kerusakan semacam ini dapat direparasi menggunakan sistem rekombinasi homolog menggunakan kromosom yang homolog sebagai templat. Kromosom homolog dapat berupa sister chromatid bila kerusakan DNA terjadi pada akhir fase S saat semua kromosom telah mempunyai replikanya (sister kromatid). Selain itu, kromosom homolog juga dapat berupa kromosom yang sama yang berasal dari salah satu orang tua. Dengan mengacu pada kromosom homolog maka reparasi DNA dapat dilakukan dengan rekombinasi homolog yaitu menyingkirkan bagian yang rusak dan menggantinya dengan yang baru menggunakan sekuen DNA yang ada pada kromososm yang homolog.

Prinsip kerja reparasi DNA dengan rekombinasi yang homolog adalah sebagai berikut. Pertama pengenalan bagian DNA yang mengalami kerusakan berupa DSB. Begitu kerusakan DNA telah dikenali, sel akan menghentikan sementara siklus pembelahannya yang memungkinkan sel untuk mereparasi DNAnya yang rusak. Setelah itu, sel mengerahkan protein tertentu untuk memangkas bagian DNA yang rusak dan membuat struktur Loop DNA untai tunggal pada kedua sisi potongan DNA yang rusak. Dengan menggunakan sekuen yang overhang dan DNA polymerase, ujung DNA yang rusak kemudian diperpanjang menggunakan sekuen DNA yang homolog sebagai acuan. Perpanjangngan ini dilakuan sampai semua yang hilang dapat disintesis kembali. Bagian ujung yang masih menyisakan celah yang belum tersambung kemudian ditutup menggunakan enzim ligase.

Pada sel eukariot, pengenalan bagian DNA yang rusak dilakukan oleh kesatuan protein yang disebut kesatuan MRN yang terdiri atas dua molekul Rad50 (R), dua molekul miotic recombinase 11 (MRe11) dan satu molekul Necmigen B. Synrome-1 ( NBS-1 (N). Kesatuan ini membentuk cincin yang dapat mengenali kerusakan yang melibatkan kedua untaian DNA pada struktur heliks ganda. Peran kesatuan protein ini adalah untuk mengenali tempat kerusakan DNA dan mengaktifkan

Page 187: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 179

ditemukan pada untai homolognya, reparasi DNA yang patah dilakukan.

Pada E.coli reparasi dimulai dengan merekrut protein tetramer Ruv A pada titik silang Holliday Junction dan cincin heksamer Ruv B pada kedua sisi untai luaran yang bertindak sebagai helikase. Adanya kedua protein ini memungkinkan migrasi untaian DNA sampai semua yang hilang ditemukan sekuen komplementernya. Proses reparasi dilanjutkan dengan resolusi holliday junction dengan memotong titik silang oleh enzim Ruv C. Celah yang terbentuk dari hasil pemotongan tersebut kemudian ditutup dengan menyambungkan kedua ujung DNA menggunakan enzim ligase. Dengan cara ini, garpu replikasi DNA dikembalikan ke posisi normal sehingga replikasi DNA dapat dilanjutkan (Davis dan Powell, 2005).

Pada sel eukariot aktivasi garpu replikasi yang terhenti dilakukan dengan dengan cara yang mirip dengan pada E.coli, tetapi mengunakan enzim yang berbeda seperti Rad 50, Rad 51, dan BRCA2.

Gambar 3.14. reaktivasi garpu replikasi melalui rekombinasi homolog. Tahapannya meliputi pemisahan garpu replikasi yang

terhenti dan rekombinasi homolog untuk mengaktifkan kembali garpu replikasi. Dimodifikasi dari Zhang dan Powrel, 2005

3.3.6. Reparasi DNA melalui Rekombinasi Homolog

Kerusakan DNA yang melibatkan kedua untaian dari struktur heliks ganda umumnya disebabkan oleh radiasi sinar pengionan seperti sinar X, dan sinar gamma. Kerusakan semacam ini dapat direparasi menggunakan sistem rekombinasi homolog menggunakan kromosom yang homolog sebagai templat. Kromosom homolog dapat berupa sister chromatid bila kerusakan DNA terjadi pada akhir fase S saat semua kromosom telah mempunyai replikanya (sister kromatid). Selain itu, kromosom homolog juga dapat berupa kromosom yang sama yang berasal dari salah satu orang tua. Dengan mengacu pada kromosom homolog maka reparasi DNA dapat dilakukan dengan rekombinasi homolog yaitu menyingkirkan bagian yang rusak dan menggantinya dengan yang baru menggunakan sekuen DNA yang ada pada kromososm yang homolog.

Prinsip kerja reparasi DNA dengan rekombinasi yang homolog adalah sebagai berikut. Pertama pengenalan bagian DNA yang mengalami kerusakan berupa DSB. Begitu kerusakan DNA telah dikenali, sel akan menghentikan sementara siklus pembelahannya yang memungkinkan sel untuk mereparasi DNAnya yang rusak. Setelah itu, sel mengerahkan protein tertentu untuk memangkas bagian DNA yang rusak dan membuat struktur Loop DNA untai tunggal pada kedua sisi potongan DNA yang rusak. Dengan menggunakan sekuen yang overhang dan DNA polymerase, ujung DNA yang rusak kemudian diperpanjang menggunakan sekuen DNA yang homolog sebagai acuan. Perpanjangngan ini dilakuan sampai semua yang hilang dapat disintesis kembali. Bagian ujung yang masih menyisakan celah yang belum tersambung kemudian ditutup menggunakan enzim ligase.

Pada sel eukariot, pengenalan bagian DNA yang rusak dilakukan oleh kesatuan protein yang disebut kesatuan MRN yang terdiri atas dua molekul Rad50 (R), dua molekul miotic recombinase 11 (MRe11) dan satu molekul Necmigen B. Synrome-1 ( NBS-1 (N). Kesatuan ini membentuk cincin yang dapat mengenali kerusakan yang melibatkan kedua untaian DNA pada struktur heliks ganda. Peran kesatuan protein ini adalah untuk mengenali tempat kerusakan DNA dan mengaktifkan

Page 188: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler180

enzim lain yang berperan dalam penghentian sementara siklus sel yaitu protein ATM yang merupakan enzim kinase serin/threonin. Pada keadaan normal, kedua enzim ini berisifat inaktif, tidak terforsforilasi dan dalam bentuk homodimer. Pembentukan cincin MRN menyebabkan aktivasi enzim ATM dengan cara berikatan dengan cincin MRN melalui protein NBS-1. Ikatan ATM dengan NBS-1 dan cincin MRN mengubah konformasi ATM dari dimer menjadi monomer dan mengalami autofosfoilasi. Dengan cara ini protein ATM menjadi aktif dan memicu aktivasi protein berikutnya yang berperan dalam penghentian sementara siklus sel. Protein yang diaktifkan oleh protein ATM adalah protein histon H2A pada struktur histon oktamer dan protein CHK2 yang juga merupakan enzim kinase serin dan threonin.

Protein histon merupakan protein oktamer yang terdiri atas dua protein H2A, dua protein H2B, dua protein H3 dan dua protein H4. Pada struktur protein oktamer inilah untaian DNA digulung dan membentuk kesatuan yang disebut nukleosom. DNA yang digulung dalam struktur histon oktamer ditutup oleh satu protein yang disebut protein H1. Untaian DNA heliks ganda yang digulung dalam satu kompleks histon oktamer kemudian diteruskan ke kompleks histon oktamer berikutnya melalui linker DNA (Gambar 3.4). Dengan cara ini, DNA dikemas dalam bentuk DNA dan protein histon dan disambung secara beruntun sehingga membentuk struktur yang disebut kromatin. Kemasan DNA dalam kromatin menentukan terjangkau tidaknya DNA oleh enzim RNA polymerase yang diperlukan dalam proses transkripsi.

Fosforilasi protein H2A oleh enzim ATM menyebabkan perubahan konformasi menjadi protein H2A gamma (γH2A). Perubahan konformasi histon H2A dan posisinya pada sudut struktur oktamer memungkinkannya untuk berikatan dengan protein CHK2 pada kompleks histon oktamer. Protein CHK2 yang menjadi lebih aktif dengan berikatan dengan histon oktamer, kemudian bersama-sama dengan protein ATM memfosforilasi protein yang sangat penting dalam siklus sel yaitu protein p53. Protein ini disandi oleh tumor supresor gene (TP53) dan merupakan faktor transkripsi berbagai gen yang sebagian di antaranya diperlukan untuk menahan siklus sel, reparasi DNA, dan apoptosis.

Protein p53 strukturnya terdiri atas domain transaktivasi, domain kaya prolin, domain pengikatan DNA dan domain oligomerisasi. Pada

sel normal, protein ini berada dalam jumlah yang kecil karena senantiasa berikatan dengan protein MDM 2 melalui domain transaktivasinya. Ikatannya dengan MDM-2 memicu ubiquitinasi oleh aktivitas ubiquitinase dari protein MDM-2. Ubiquitinasi kemudian memicu degradasi p53 oleh sel melalui proteosom. Degradasi diperlukan agar p53 tidak memicu apoptois yang tidak diperlukan pada sel normal. Namun, pada keadaan stres sel yang disebabkan oleh adanya kerusakan DNA, ekspresi p53 dalam sel mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh fosforilasi p53 dan protein MDM2 oleh enzim ATM dan CHK-2 yang menyebabkannya terlepas dari protein MDM-2. Dalam keadaan bebas, p53 tidak mengalami ubiquininasi dan tidak didegradasi dalam proteosom. Keadaan ini meningkatkan kadar p53 dan memicunya untuk membentuk struktur tetramer melalui domain tetramerisasinya. Dalam bentuk tetramer, p53 merupakan faktor transkripsi yang kuat bagi sejumlah gen untuk ditranskripsi menjadi mRNA yang selanjutnya ditranslasi menjadi berbagai protein.

Gen yang menjadi target oleh faktor transkripsi p53 adalah gen yang terlibat dalam penghentian sementara silkus sel (cell arrest), reparasi DNA dan proses apoptosis. Di antara gen yang berperan dalam penghentian sementara siklus sel adalan gen penyandi protein p21, p27 dan p15 (Bab II). Protein tersebut merupakan penghambat enzim CDK sehingga aktivitas CDK terhenti dan siklus sel tertahan. Selain itu, p53 juga merupakan faktor transkripsi berbagai gen yang menyandi protein untuk reparasi DNA. Semnatara itu, gen yang menjadi target p53 untuk proses apoptosis adalah gen penyandi protein proapoptosis kelompok BH3-only (PUMA,Bid, Bad, Bim dan lainnya). Sebagai faktor traksrispsi p53 berikatan dengan sekuen DNA gen target di region promoter melalui domain pengikatannya.

Dengan adanya berbagai protein yang dihasilkan dari proses transkripsi yang melibatkan protein p53, maka proses reparasi DNA dengan rekombinasi homolog dapat dilakukan. Reparasi dimulai dengan perubahan konformasi cincin MRN dengan masuknya protein CtLP. Masuknya protein ctLP menyababkan protein MRe11 untuk berada langsung berhadapan dengan untaian DNA yang rusak. Reparasi DNA dimulai oleh protein MRe11 dalam cincin MRM yang bertindak sebagai endonuklease untuk memangkas DNA pada ujung yang rusak. Pemangkasan ini dilakukan ke dua arah dari kedua ujung yang

Page 189: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 181

enzim lain yang berperan dalam penghentian sementara siklus sel yaitu protein ATM yang merupakan enzim kinase serin/threonin. Pada keadaan normal, kedua enzim ini berisifat inaktif, tidak terforsforilasi dan dalam bentuk homodimer. Pembentukan cincin MRN menyebabkan aktivasi enzim ATM dengan cara berikatan dengan cincin MRN melalui protein NBS-1. Ikatan ATM dengan NBS-1 dan cincin MRN mengubah konformasi ATM dari dimer menjadi monomer dan mengalami autofosfoilasi. Dengan cara ini protein ATM menjadi aktif dan memicu aktivasi protein berikutnya yang berperan dalam penghentian sementara siklus sel. Protein yang diaktifkan oleh protein ATM adalah protein histon H2A pada struktur histon oktamer dan protein CHK2 yang juga merupakan enzim kinase serin dan threonin.

Protein histon merupakan protein oktamer yang terdiri atas dua protein H2A, dua protein H2B, dua protein H3 dan dua protein H4. Pada struktur protein oktamer inilah untaian DNA digulung dan membentuk kesatuan yang disebut nukleosom. DNA yang digulung dalam struktur histon oktamer ditutup oleh satu protein yang disebut protein H1. Untaian DNA heliks ganda yang digulung dalam satu kompleks histon oktamer kemudian diteruskan ke kompleks histon oktamer berikutnya melalui linker DNA (Gambar 3.4). Dengan cara ini, DNA dikemas dalam bentuk DNA dan protein histon dan disambung secara beruntun sehingga membentuk struktur yang disebut kromatin. Kemasan DNA dalam kromatin menentukan terjangkau tidaknya DNA oleh enzim RNA polymerase yang diperlukan dalam proses transkripsi.

Fosforilasi protein H2A oleh enzim ATM menyebabkan perubahan konformasi menjadi protein H2A gamma (γH2A). Perubahan konformasi histon H2A dan posisinya pada sudut struktur oktamer memungkinkannya untuk berikatan dengan protein CHK2 pada kompleks histon oktamer. Protein CHK2 yang menjadi lebih aktif dengan berikatan dengan histon oktamer, kemudian bersama-sama dengan protein ATM memfosforilasi protein yang sangat penting dalam siklus sel yaitu protein p53. Protein ini disandi oleh tumor supresor gene (TP53) dan merupakan faktor transkripsi berbagai gen yang sebagian di antaranya diperlukan untuk menahan siklus sel, reparasi DNA, dan apoptosis.

Protein p53 strukturnya terdiri atas domain transaktivasi, domain kaya prolin, domain pengikatan DNA dan domain oligomerisasi. Pada

sel normal, protein ini berada dalam jumlah yang kecil karena senantiasa berikatan dengan protein MDM 2 melalui domain transaktivasinya. Ikatannya dengan MDM-2 memicu ubiquitinasi oleh aktivitas ubiquitinase dari protein MDM-2. Ubiquitinasi kemudian memicu degradasi p53 oleh sel melalui proteosom. Degradasi diperlukan agar p53 tidak memicu apoptois yang tidak diperlukan pada sel normal. Namun, pada keadaan stres sel yang disebabkan oleh adanya kerusakan DNA, ekspresi p53 dalam sel mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh fosforilasi p53 dan protein MDM2 oleh enzim ATM dan CHK-2 yang menyebabkannya terlepas dari protein MDM-2. Dalam keadaan bebas, p53 tidak mengalami ubiquininasi dan tidak didegradasi dalam proteosom. Keadaan ini meningkatkan kadar p53 dan memicunya untuk membentuk struktur tetramer melalui domain tetramerisasinya. Dalam bentuk tetramer, p53 merupakan faktor transkripsi yang kuat bagi sejumlah gen untuk ditranskripsi menjadi mRNA yang selanjutnya ditranslasi menjadi berbagai protein.

Gen yang menjadi target oleh faktor transkripsi p53 adalah gen yang terlibat dalam penghentian sementara silkus sel (cell arrest), reparasi DNA dan proses apoptosis. Di antara gen yang berperan dalam penghentian sementara siklus sel adalan gen penyandi protein p21, p27 dan p15 (Bab II). Protein tersebut merupakan penghambat enzim CDK sehingga aktivitas CDK terhenti dan siklus sel tertahan. Selain itu, p53 juga merupakan faktor transkripsi berbagai gen yang menyandi protein untuk reparasi DNA. Semnatara itu, gen yang menjadi target p53 untuk proses apoptosis adalah gen penyandi protein proapoptosis kelompok BH3-only (PUMA,Bid, Bad, Bim dan lainnya). Sebagai faktor traksrispsi p53 berikatan dengan sekuen DNA gen target di region promoter melalui domain pengikatannya.

Dengan adanya berbagai protein yang dihasilkan dari proses transkripsi yang melibatkan protein p53, maka proses reparasi DNA dengan rekombinasi homolog dapat dilakukan. Reparasi dimulai dengan perubahan konformasi cincin MRN dengan masuknya protein CtLP. Masuknya protein ctLP menyababkan protein MRe11 untuk berada langsung berhadapan dengan untaian DNA yang rusak. Reparasi DNA dimulai oleh protein MRe11 dalam cincin MRM yang bertindak sebagai endonuklease untuk memangkas DNA pada ujung yang rusak. Pemangkasan ini dilakukan ke dua arah dari kedua ujung yang

Page 190: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler182

berlawanan dari DNA yang rusak. Dalam proses pemangkasan ini, protein MRe11 memangkas DNA pada ujung 3’ sekitar 1000 basa lebih banyak dibanding pada ujung ‘5 sehingga terbentuk struktur DNA overhang pada kedua ujung yang berlawanan dari DNA rusak. Struktur overhang yang menyisakan untaian DNA tunggal sepanjang sekitar 1000 basa tanpa berpasangan dengan basa pasangannya memudahkan reparasi DNA oleh enzim DNA polymerase. Pada akhir proses pemangkasan DNA yang rusak kesatuan MRN melepaskan diri dan digantikan oleh protein berikutnya yaitu replication protein A (RPA).

Reparasi DNA dirintis oleh replication protein A (RPA) yang berikatan dengan DNA untai tunggal pada kedua ujung DNA yang rusak. Perekrutan protein RPA ini diperlukan agar protein lain, yaitu Rad51dapat berikatan dengan ujung DNA untai tunggal. Setelah protein Rad51 berikatan dengan DNA untai tunggal pada unjung DNA yang rusak, protein RPA melepaskan diri. Proses pertukaran RPA dan Rad51 difasilitasi oleh protein yang disebut BRCA2. BRCA2 berikatan dengan Rad51 dan menukar RPA1 dengan Rad51. Protein Rad51 kemudian membentuk ikatan polimer pada DNA untai tunggal dari ujung yang rusak. Kesatuan polimer Rad51 dan DNA untai tunggal pada ujung DNA yang rusak disebut nukleofilamen Rad51-ssDNA. Nukeofilamen inilah yang memulai proses reparasi rekombinasi homolog.

Rekombinasi homolog dilakukan melalui 2 strategi yaitu menggunakan sister kromatid sebagai acuan rekombinasi dan menggunakan DNA homolog yang berasal dari salah satu orang tua. Rekombinasi homolog menggunakan jika siklus sel telah memasuki fase S ketika DNA telah dibuat replikanya sehingga sebagai sepasang DNA dalam sister kromatid. Namun, jika DNA dalam kromosom belum ada replikanya maka yang digunakan adalah kromosom homolog yang berasal dari orang tua .

Rekombinasi dimulai dengan pencarian sekuen yang komplementer oleh nukleofilamen-ssDNA pada kromosom homolog yang DNAnya masih utuh. Setelah sekuen yang komplementer ditemukan, nukleofilamen pada ujung DNA yang patah menginvasi invasi untai DNA yang homolog yang masih utuh. Invasi dilakukan melalui 2 arah sehingga membentuk struktur yang disebut Holliday Junction. Struktur inilah yang kemudian merintis reparasi DNA dengan

cara bermigrasi ke dua arah sampai ditemukan semua sekuen DNA yang hilang. Reparasi diakhiri dengan resolusi Holliday Junction yaitu dengan memotongnya pada titik silang dan menyambungkan kembali potongan DNA menggunakan enzim ligase.

Resolusi Holliday Junction dapat menghasilkan dua kemungkinan hasil rekombinasi homolog. Jika pemotongan titik silang dilakukan horizontal, maka rekombinasi homolog menghasilkan DNA yang tidak mengalami petukaran sekuen dari kedua pasang kromosom. Dalam hal ini sekuen DNA hasil reparasi tidak banyak berubah. Namun, jika resolusi Holliday Junction dilakukan dengan memotongnya secara vertikal, maka rekombinasi homolog menghasilkan 2 kromosom dengan pertukaran potongan DNA di antara keduanya (Gambar 3.15). Pertukaran sekuen DNA tersebut menyerupai proses rekombinasi DNA yang terjadi pada pembelahan sel secara meiosis yaitu terjadinya pertukaran silang potongan DNA dari kromosom paternal dan maternal (Davis dan Powell, 2005).

Gambar 3.15. Skema reparasi patahan DNA pada kedua untai heliks ganda melalui rekombinasi homolog. Sejumlah protein terlibat dalam reparasi DNA melalui rekombinasi homolog. Pertama pembentukan filamen ssDNA i Rad51 yang mampu menginvasi untai homolog yang tidak rusak untuk menemukan sekuen komplementer yang dipakai acuan untuk mensintesis sekuen yang hilang. Celah yang terbentuk kemudian ditutup menggunakan enzim ligase. Terakhir adalah resolusi Holliday junction yang menghasikan pertukaran silang dan konversi gen. Sumber Davis dan Powell, 2005

Page 191: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 183

berlawanan dari DNA yang rusak. Dalam proses pemangkasan ini, protein MRe11 memangkas DNA pada ujung 3’ sekitar 1000 basa lebih banyak dibanding pada ujung ‘5 sehingga terbentuk struktur DNA overhang pada kedua ujung yang berlawanan dari DNA rusak. Struktur overhang yang menyisakan untaian DNA tunggal sepanjang sekitar 1000 basa tanpa berpasangan dengan basa pasangannya memudahkan reparasi DNA oleh enzim DNA polymerase. Pada akhir proses pemangkasan DNA yang rusak kesatuan MRN melepaskan diri dan digantikan oleh protein berikutnya yaitu replication protein A (RPA).

Reparasi DNA dirintis oleh replication protein A (RPA) yang berikatan dengan DNA untai tunggal pada kedua ujung DNA yang rusak. Perekrutan protein RPA ini diperlukan agar protein lain, yaitu Rad51dapat berikatan dengan ujung DNA untai tunggal. Setelah protein Rad51 berikatan dengan DNA untai tunggal pada unjung DNA yang rusak, protein RPA melepaskan diri. Proses pertukaran RPA dan Rad51 difasilitasi oleh protein yang disebut BRCA2. BRCA2 berikatan dengan Rad51 dan menukar RPA1 dengan Rad51. Protein Rad51 kemudian membentuk ikatan polimer pada DNA untai tunggal dari ujung yang rusak. Kesatuan polimer Rad51 dan DNA untai tunggal pada ujung DNA yang rusak disebut nukleofilamen Rad51-ssDNA. Nukeofilamen inilah yang memulai proses reparasi rekombinasi homolog.

Rekombinasi homolog dilakukan melalui 2 strategi yaitu menggunakan sister kromatid sebagai acuan rekombinasi dan menggunakan DNA homolog yang berasal dari salah satu orang tua. Rekombinasi homolog menggunakan jika siklus sel telah memasuki fase S ketika DNA telah dibuat replikanya sehingga sebagai sepasang DNA dalam sister kromatid. Namun, jika DNA dalam kromosom belum ada replikanya maka yang digunakan adalah kromosom homolog yang berasal dari orang tua .

Rekombinasi dimulai dengan pencarian sekuen yang komplementer oleh nukleofilamen-ssDNA pada kromosom homolog yang DNAnya masih utuh. Setelah sekuen yang komplementer ditemukan, nukleofilamen pada ujung DNA yang patah menginvasi invasi untai DNA yang homolog yang masih utuh. Invasi dilakukan melalui 2 arah sehingga membentuk struktur yang disebut Holliday Junction. Struktur inilah yang kemudian merintis reparasi DNA dengan

cara bermigrasi ke dua arah sampai ditemukan semua sekuen DNA yang hilang. Reparasi diakhiri dengan resolusi Holliday Junction yaitu dengan memotongnya pada titik silang dan menyambungkan kembali potongan DNA menggunakan enzim ligase.

Resolusi Holliday Junction dapat menghasilkan dua kemungkinan hasil rekombinasi homolog. Jika pemotongan titik silang dilakukan horizontal, maka rekombinasi homolog menghasilkan DNA yang tidak mengalami petukaran sekuen dari kedua pasang kromosom. Dalam hal ini sekuen DNA hasil reparasi tidak banyak berubah. Namun, jika resolusi Holliday Junction dilakukan dengan memotongnya secara vertikal, maka rekombinasi homolog menghasilkan 2 kromosom dengan pertukaran potongan DNA di antara keduanya (Gambar 3.15). Pertukaran sekuen DNA tersebut menyerupai proses rekombinasi DNA yang terjadi pada pembelahan sel secara meiosis yaitu terjadinya pertukaran silang potongan DNA dari kromosom paternal dan maternal (Davis dan Powell, 2005).

Gambar 3.15. Skema reparasi patahan DNA pada kedua untai heliks ganda melalui rekombinasi homolog. Sejumlah protein terlibat dalam reparasi DNA melalui rekombinasi homolog. Pertama pembentukan filamen ssDNA i Rad51 yang mampu menginvasi untai homolog yang tidak rusak untuk menemukan sekuen komplementer yang dipakai acuan untuk mensintesis sekuen yang hilang. Celah yang terbentuk kemudian ditutup menggunakan enzim ligase. Terakhir adalah resolusi Holliday junction yang menghasikan pertukaran silang dan konversi gen. Sumber Davis dan Powell, 2005

Page 192: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler184

Sejumlah protein diperlukan dalam mengubah RPA yang berikatan ssDNA menjadi filamen ssDNA-Rad51 yang kemudian mampu menginvasi daerah yang homolog pada ssDNA yang umumnya adalah sister kromatid. Daerah yang sebelumnya bercelah pada dupleks yang rusak, sekarang bertindak sebagai templat dari duplek yang tidak rusak yang kemudian direparasi dengan sintesis dan ligasi. Resolusi Holliday Junction dapat menghasilkan pertukaran yang resiprokal dan yang tidak resiprokalnon.

3.3.7. Penyambungan ujung DNA secara nonhomolog

Reparasi ini dilakukan untuk kerusakan DNA beruntai ganda yang patah pada kedua untai dalam struktur heliks ganda dan tidak dapat direparasi melalui rekombinasi homolog. Tahap awal dari reparasi DNA dengan penyambungan ujung DNA secara nonhomolog (non homologous end joining/NHEJ) adalah pengenalan untai DNA yang patah dan prekrutan protein Ku heterodimer ke DSB (Uematsu dkk, 2007)(Gambar 3.16). Protein Ku heterodimer terdiri atas Ku70 dan Ku80 dan di antara keduanya memiliki homologi sekuen yang rendah, tetapi mempunyai susunan domain yang serupa. Kedua subunit terdiri atas domain amino-terminal von Willebrand (vWA), domain tengah dan domain karboksi terminal yang beragam (Downs dan Jackson , 2004). Domain vWA dan domain Ku tengah terlibat dalam pembentukan kompleks heterodimer di antara kedua subunit. Domain karboksi terminal dari Ku70 mengandung domain SAFA/ B, Asinus dan PIAS (SAP) yang dapat berikatan dengan DNA (Zhang dkk, 2004). Ujung karboksi dari protein Ku80 membentuk lengan yang lentur yang menyerupai protein penopang yang terlibat dalam interaksi antar beberapa protein Fungsi kedua protein ini adalah untuk mengenali ujung DNA yang patah dengan cara berikatan dengan bagian tulang punggung gula dari molekul DNA bukan dengan basanya dan karena itu ikatan DNA dengan kedua protein Ku tidak tergantung pada sekuen nukleotidanya. Ikatan protein Ku dengan DNA menyediakan landasan untuk berikatannya berbagai molekul lainnya yang terlibat dalam persiapan dan penyambungan kedua ujung DNA yang patah.

Gambar 3.16. Pengenalan ujung DNA yang patah oleh berbagai protein penopang dan enzim. Patahan DNA pada kedua untai heliks ganda menyebabkan ikatan protein Ku yang bertindak sebagai protein penopang bagi berbagai protein lainnya seperti DNA-PKcs, XRCC4, XLF, DNA Ligase IV, dan APLF. Direkrutnya berbagai protein tersebut membentuk kesatuan yang stabil pada ujung DNA yang patah. Sumber Davis dan Chen, 2013

Protein berikutnya yang berikatan dengan DNA melalui protein Ku adalah DNA-PKcs (Uematsu dkk, 2007), Xray cross complementing protein 4 (XRCC4) (Mari dkk, 2006), DNA Ligase IV, XRCC4-like factor (XLF) (Yano dkk, 2008), dan Aprataxin-and-PNK-like factor (APLF) (Yano dkk, 2011). DNA PKcs merupakan enzim kinase yang penting dalam respons sel terhadap kerusakan DNA. Ikatan protein Ku70/80 heterodimer pada ujung DNA yang patah secara langsung dapat merekrut DNA-PKcs untuk membentuk kompleks DNA PKcs yang aktif (Gottlieb dan Jackson , 1993). Ikatanan DNA-PKcs kompleks DNA Ku menyebabkan translokasi Ku heterodimer ke bagian dalam untai DNA yang mengaktifkan DNA PKcs. Protein Ku berinteraksi secara fisik dengan kompleks XRCC4-DNA Ligase IV. XRCC4 berinteraksi langsung dengan Ku70 (Mari dkk, 2006),

Page 193: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 185

Sejumlah protein diperlukan dalam mengubah RPA yang berikatan ssDNA menjadi filamen ssDNA-Rad51 yang kemudian mampu menginvasi daerah yang homolog pada ssDNA yang umumnya adalah sister kromatid. Daerah yang sebelumnya bercelah pada dupleks yang rusak, sekarang bertindak sebagai templat dari duplek yang tidak rusak yang kemudian direparasi dengan sintesis dan ligasi. Resolusi Holliday Junction dapat menghasilkan pertukaran yang resiprokal dan yang tidak resiprokalnon.

3.3.7. Penyambungan ujung DNA secara nonhomolog

Reparasi ini dilakukan untuk kerusakan DNA beruntai ganda yang patah pada kedua untai dalam struktur heliks ganda dan tidak dapat direparasi melalui rekombinasi homolog. Tahap awal dari reparasi DNA dengan penyambungan ujung DNA secara nonhomolog (non homologous end joining/NHEJ) adalah pengenalan untai DNA yang patah dan prekrutan protein Ku heterodimer ke DSB (Uematsu dkk, 2007)(Gambar 3.16). Protein Ku heterodimer terdiri atas Ku70 dan Ku80 dan di antara keduanya memiliki homologi sekuen yang rendah, tetapi mempunyai susunan domain yang serupa. Kedua subunit terdiri atas domain amino-terminal von Willebrand (vWA), domain tengah dan domain karboksi terminal yang beragam (Downs dan Jackson , 2004). Domain vWA dan domain Ku tengah terlibat dalam pembentukan kompleks heterodimer di antara kedua subunit. Domain karboksi terminal dari Ku70 mengandung domain SAFA/ B, Asinus dan PIAS (SAP) yang dapat berikatan dengan DNA (Zhang dkk, 2004). Ujung karboksi dari protein Ku80 membentuk lengan yang lentur yang menyerupai protein penopang yang terlibat dalam interaksi antar beberapa protein Fungsi kedua protein ini adalah untuk mengenali ujung DNA yang patah dengan cara berikatan dengan bagian tulang punggung gula dari molekul DNA bukan dengan basanya dan karena itu ikatan DNA dengan kedua protein Ku tidak tergantung pada sekuen nukleotidanya. Ikatan protein Ku dengan DNA menyediakan landasan untuk berikatannya berbagai molekul lainnya yang terlibat dalam persiapan dan penyambungan kedua ujung DNA yang patah.

Gambar 3.16. Pengenalan ujung DNA yang patah oleh berbagai protein penopang dan enzim. Patahan DNA pada kedua untai heliks ganda menyebabkan ikatan protein Ku yang bertindak sebagai protein penopang bagi berbagai protein lainnya seperti DNA-PKcs, XRCC4, XLF, DNA Ligase IV, dan APLF. Direkrutnya berbagai protein tersebut membentuk kesatuan yang stabil pada ujung DNA yang patah. Sumber Davis dan Chen, 2013

Protein berikutnya yang berikatan dengan DNA melalui protein Ku adalah DNA-PKcs (Uematsu dkk, 2007), Xray cross complementing protein 4 (XRCC4) (Mari dkk, 2006), DNA Ligase IV, XRCC4-like factor (XLF) (Yano dkk, 2008), dan Aprataxin-and-PNK-like factor (APLF) (Yano dkk, 2011). DNA PKcs merupakan enzim kinase yang penting dalam respons sel terhadap kerusakan DNA. Ikatan protein Ku70/80 heterodimer pada ujung DNA yang patah secara langsung dapat merekrut DNA-PKcs untuk membentuk kompleks DNA PKcs yang aktif (Gottlieb dan Jackson , 1993). Ikatanan DNA-PKcs kompleks DNA Ku menyebabkan translokasi Ku heterodimer ke bagian dalam untai DNA yang mengaktifkan DNA PKcs. Protein Ku berinteraksi secara fisik dengan kompleks XRCC4-DNA Ligase IV. XRCC4 berinteraksi langsung dengan Ku70 (Mari dkk, 2006),

Page 194: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler186

sedangkan DNA Ligase IV berinteraksi langsung dengan heterodimer. Interaksi tersebut dimediasi oleh domain BRCT (BRCA1 C-terminal) yang ditemukan pada ujung karboksil dari DNA Ligase IV (Hsu dkk 2002). XLF berinteraksi dengan protein Ku heterodimer dengan cara yang tidak tergantung pada DNA yang dimediasi olah domain heterodimer Ku dan ujung karboksil dari XLF (Yano dkk, 2011).

XRCC4 merupakan protein penopang kedua yang berperan dalam perekrutan sejumlah protein ke tempat DNA yang patah seperti DNA ligase IV. Enzim DNA Ligase IV berikatan dengan XRCC4 melalui domain BRCTnya (Wu dkk, 2011). DNA polymerase μ kemudian direkrut ke DNA dengan adanya protein Ku dan XRCC4-Ligase IV (Mahajan dkk, 2002). Dengan cara yang serupa protein RecQ yang merupakan helikase keluarga Werner (WRN) berinteraksi dengan Ku dan XRCC4-Ligase IV. Bergabungnya polynucleotide kinase-phosphatase (PNKP) dengan XRCC4 bergantung pada fosforilasi XRCC4 oleh casein kinase 2 (CK2). PNKP difosforilasi oleh ATM pada serin 114 dan serin 126 ATM DNA-PKcs (Zolner dkk, 2011) dan fosforilasi tersebut berperan penting dalam lokalisasi PNKP ke ujung DNA yang patah. APLF mempunyai aktivitas endo/eksonuklease dan berinteraksi pada threonine 233 dari XRCC4 (Iles dkk, 2007). Serupa dengan PNKP, aprataxin juga berinteraksi dengan XRCC4 dalam bentuk terfosforilasi oleh CK2 (Iles dkk, 2004).

Gambar 3.17. Pemangkasan ujung patahan DNA dengan berbagai enzim sehingga dapat disambung secara non homolog. Protein

XRCC4 bersama protein heterodimer Ku bertindak sebagai proein penopang untuk merekrut enzim yang diperlukan untuk memangkas ujung patahan DNA, perekrutan artemis (enzim nuklease) yang dimediasi oleh DNA-PKcs yang dapat melibatkan enzim kinase ATM. Pemangkasan ini membuat ujung patahan DNAdapat diligasi menggunakan enzim ligase. Sumber Davis dan Chen, 2013

Urutan pengenalan dan perekrutan unsur NHEJ ke ujung DNA yang patah adalah sebagai berikut. Pertama, direkrut protein Ku yang diikuti oleh DNA-PKcs. Kompleks Ku /DNA–PKcs kemudian merekrut enzim pemrosesan penyambungan DNA yang patah dan diakhiri dengan kompleks XRCC4/ Ligase IV yang berfungsi untuk ligasi ujung DNA yang patah. APLF diduga berperan dalam menstabilkan perakitan XRCC4, DNA Ligase IV, dan XLF pada ujung DNA yang patah (Rulten, 2011). XRCC4 berperan dalam menentukan enzim yang tepat untuk direkrut ke ujung DNA yang patah sesuai dengan jenis dan sifat kerusakan DNA. Terekrutnya protein Ku ke tempat DNA yang patah ikut membantu melindungi pemerosesan patahan DNA secara salah. Proteksi ini diperlukan karena pemerosesan yang salah dapat memunculkan abrasi kromosom yang dapat menimbulkan instabilitas kromosom. Peran protein Ku dalam melindungi ujung DNA yang patah berlangsung pada seluruh tahapan siklus sel (Nagasawa dkk, 2010).

Gambar 3.18. Pembentukan Jembatan penghubung antara 2 patahan DNA dan penyetabilan ujung ujung patahan DNA. Ikatan

Page 195: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 187

sedangkan DNA Ligase IV berinteraksi langsung dengan heterodimer. Interaksi tersebut dimediasi oleh domain BRCT (BRCA1 C-terminal) yang ditemukan pada ujung karboksil dari DNA Ligase IV (Hsu dkk 2002). XLF berinteraksi dengan protein Ku heterodimer dengan cara yang tidak tergantung pada DNA yang dimediasi olah domain heterodimer Ku dan ujung karboksil dari XLF (Yano dkk, 2011).

XRCC4 merupakan protein penopang kedua yang berperan dalam perekrutan sejumlah protein ke tempat DNA yang patah seperti DNA ligase IV. Enzim DNA Ligase IV berikatan dengan XRCC4 melalui domain BRCTnya (Wu dkk, 2011). DNA polymerase μ kemudian direkrut ke DNA dengan adanya protein Ku dan XRCC4-Ligase IV (Mahajan dkk, 2002). Dengan cara yang serupa protein RecQ yang merupakan helikase keluarga Werner (WRN) berinteraksi dengan Ku dan XRCC4-Ligase IV. Bergabungnya polynucleotide kinase-phosphatase (PNKP) dengan XRCC4 bergantung pada fosforilasi XRCC4 oleh casein kinase 2 (CK2). PNKP difosforilasi oleh ATM pada serin 114 dan serin 126 ATM DNA-PKcs (Zolner dkk, 2011) dan fosforilasi tersebut berperan penting dalam lokalisasi PNKP ke ujung DNA yang patah. APLF mempunyai aktivitas endo/eksonuklease dan berinteraksi pada threonine 233 dari XRCC4 (Iles dkk, 2007). Serupa dengan PNKP, aprataxin juga berinteraksi dengan XRCC4 dalam bentuk terfosforilasi oleh CK2 (Iles dkk, 2004).

Gambar 3.17. Pemangkasan ujung patahan DNA dengan berbagai enzim sehingga dapat disambung secara non homolog. Protein

XRCC4 bersama protein heterodimer Ku bertindak sebagai proein penopang untuk merekrut enzim yang diperlukan untuk memangkas ujung patahan DNA, perekrutan artemis (enzim nuklease) yang dimediasi oleh DNA-PKcs yang dapat melibatkan enzim kinase ATM. Pemangkasan ini membuat ujung patahan DNAdapat diligasi menggunakan enzim ligase. Sumber Davis dan Chen, 2013

Urutan pengenalan dan perekrutan unsur NHEJ ke ujung DNA yang patah adalah sebagai berikut. Pertama, direkrut protein Ku yang diikuti oleh DNA-PKcs. Kompleks Ku /DNA–PKcs kemudian merekrut enzim pemrosesan penyambungan DNA yang patah dan diakhiri dengan kompleks XRCC4/ Ligase IV yang berfungsi untuk ligasi ujung DNA yang patah. APLF diduga berperan dalam menstabilkan perakitan XRCC4, DNA Ligase IV, dan XLF pada ujung DNA yang patah (Rulten, 2011). XRCC4 berperan dalam menentukan enzim yang tepat untuk direkrut ke ujung DNA yang patah sesuai dengan jenis dan sifat kerusakan DNA. Terekrutnya protein Ku ke tempat DNA yang patah ikut membantu melindungi pemerosesan patahan DNA secara salah. Proteksi ini diperlukan karena pemerosesan yang salah dapat memunculkan abrasi kromosom yang dapat menimbulkan instabilitas kromosom. Peran protein Ku dalam melindungi ujung DNA yang patah berlangsung pada seluruh tahapan siklus sel (Nagasawa dkk, 2010).

Gambar 3.18. Pembentukan Jembatan penghubung antara 2 patahan DNA dan penyetabilan ujung ujung patahan DNA. Ikatan

Page 196: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler188

protein Ku dengan patahan DNA melindungi dan menstabilkan ujung DNA. Enzim DNA-PKcs dapat menyatukan ujung DNA melalui pembentukan kompleks sinaps protein XRCC4 dan XLF dapat membentuk filamen yang menghubungkan kedua ujung patahan DNA yang sekaligus menstabilkannya. Filamen XRCC4-XLF bersama DNA-PKcs dan Ku memberi perlindungan ujung patahan DNA. Sumber Davis dan Chen, 2013

Ketika protein Ku merekrut DNA-PKcs ke ujung DNA yang patah, molekul DNA-PKcs yang besar membentuk struktur yang berbeda pada ujung DNA yang diduga berperan aktif dalam pembentukan kompleks sinaps untuk menahan kedua ujung DNA yang patah (Weterings dkk, 2004) (Gambar 3.17). Ujung karboksil dari protein Ku80 berperan dalam menahan DNA-PKcs pada ujung DNA yang patah dan mempertahankan kompleks DNA-PK dalam kompleks sinaptik di tempat DNA yang patah (Hammel, 2010). Sementara itu, kompleks XRCC4-XLF membentuk filamen pada ujung DNA yang diduga sebagai jembatan yang menghubungkan ke dua ujung DNA yang patah. XRCC4 berinteraksi langsung dengan domain globuler protein XLF dan menciptakan ruang berhadapan antar kepala dari kedua protein (Malivert dkk, 2010). XRCC4 dan XLF membentuk filamen heliks superkoil yang dapat berinteraksi dengan DNA dan jembatan pada ujung DNA yang patah (Andres dkk, 2012)

Pemerosesan akhir

Perekrutan berbagai faktor tersebut ke DSB memungkinkan terbentuknya ujung DNA yang dapat disambung. Pembentukan ujung DNA yang dapat disambung meliputi reseksi seperlunya ujung DNA yang patah, penutupan celah, penyingkiran gugus penghambat penyambungan pada ujung DNA yang semuanya menyebabkan ujung DNA dapat disambung. Enzim yang terlibat meliputi Artemis, PNKP, APLF, Polymerase μ dan λ, Werner (WRN), aprataxin, dan Ku. Semua enzim tersebut direkrut ke ujung DNA yang patah dengan adanya protein penopang Ku-XRCC4 (Gambar 3.19). Enzim yang dapat menyingkirkan penghambat ligasi pada ujung DNA yang patah adalah PNKP yang menyingkirkan ujung DNA yang mengandung 5′ hydroxyl atau 3′ phosphate. PNKP mempunyai aktivitas kinase dan fosfatase dan berfungsi untuk menambahkan gugus phosphate pada ujung ‘5 OH dan

menyingkirkan gugus fosfat dari ujung 3′ (Bernstein dkk, 2005). Aprataxin berfungsi untuk menghidrolisis dan mentransfer gugus adenilat yang berikatan secara kovalen ke ujung 5′ phosphate (Ahel dkk, 2007). Protein Ku tidak saja bertindak sebagai protein penopang, tetapi juga bertindak sebagai protein dengan aktivitas enzim AP lyase (Roberts, dkk, 2010) yang memotong nukelotida tanpa basa dekat ujung DNA yang patah. Protein yang berperan dalam reseksi ujung DNA pada NHEJ adalah Artemis, WRN, and APLF. Artemis mempunyai aktivitas nukleolitik seperti 5’endonuclease pada ujung DNA overhang, 5’ ke 3’ exonuclease pada DNA untai tunggal, dan mempunyai kemampuan untuk menyingkirkan gugus 3’-fosfoglikolat pada ujung DNA (Povirk dkk, 2007). Aktivitas artemis pada NHEJ memerlukan ikatan dan fosforilasi oleh DNA-PKcs dan/atau ATM (Gambar 3.19). Fosforilasi artemis dilakukan oleh DNA-PKcs untuk aktivitas endonukleolitik (Ma, dkk, 2002). WRN bersama dengan heterodimer Ku dan juga XRCC4 merupakan 3’ ke 5′eksonuklease (Perry dkk, 2006). APLF merupakan endonuclease dan 3’ ke 5’ exonuclease. Unsur NHEJ lainnya tidak mempunyai aktivitas nuklease, tetapi dapat memotong ujung 3′ yang overhang untuk memungkinkan ligasi oleh enzim ligase (XRCC4-DNA Ligase IV) (Li dkk, 2011). Dengan menggunakan semua komponen tersebut ujung DNA yang patah diproses yang meliputi pemangkasan semua nukleotida yang rusak dan ligasi, serta menutup celah pada DNA yang dilakukan oleh X polimerase I, DNA polymerases μ dan λ. Polymerase μ and λ mengandung domain BRCT pada ujung karboksil yang diperlukan untuk berfungsi (Moon dkk, 2007). Polymerase μ dapat mensintesis DNA dengan dNTP dan rNTP yang bergantung pada templat. Jika pada ujung DNA yang patah terdapat protein Ku dan XRCC4/ DNA Ligase IV, polimerase μ dapat melakukan polimerisasi dNTP sepanjang templat dengan DNA yang terputus (Nick dkk, 2005). Polimerase λ melakukan polimerase tanpa tergantung pada tempat dan mempunyai aktivitas lyase untuk menyingkirkan basa yang rusak (Ramadan dkk, 2004).

Page 197: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 189

protein Ku dengan patahan DNA melindungi dan menstabilkan ujung DNA. Enzim DNA-PKcs dapat menyatukan ujung DNA melalui pembentukan kompleks sinaps protein XRCC4 dan XLF dapat membentuk filamen yang menghubungkan kedua ujung patahan DNA yang sekaligus menstabilkannya. Filamen XRCC4-XLF bersama DNA-PKcs dan Ku memberi perlindungan ujung patahan DNA. Sumber Davis dan Chen, 2013

Ketika protein Ku merekrut DNA-PKcs ke ujung DNA yang patah, molekul DNA-PKcs yang besar membentuk struktur yang berbeda pada ujung DNA yang diduga berperan aktif dalam pembentukan kompleks sinaps untuk menahan kedua ujung DNA yang patah (Weterings dkk, 2004) (Gambar 3.17). Ujung karboksil dari protein Ku80 berperan dalam menahan DNA-PKcs pada ujung DNA yang patah dan mempertahankan kompleks DNA-PK dalam kompleks sinaptik di tempat DNA yang patah (Hammel, 2010). Sementara itu, kompleks XRCC4-XLF membentuk filamen pada ujung DNA yang diduga sebagai jembatan yang menghubungkan ke dua ujung DNA yang patah. XRCC4 berinteraksi langsung dengan domain globuler protein XLF dan menciptakan ruang berhadapan antar kepala dari kedua protein (Malivert dkk, 2010). XRCC4 dan XLF membentuk filamen heliks superkoil yang dapat berinteraksi dengan DNA dan jembatan pada ujung DNA yang patah (Andres dkk, 2012)

Pemerosesan akhir

Perekrutan berbagai faktor tersebut ke DSB memungkinkan terbentuknya ujung DNA yang dapat disambung. Pembentukan ujung DNA yang dapat disambung meliputi reseksi seperlunya ujung DNA yang patah, penutupan celah, penyingkiran gugus penghambat penyambungan pada ujung DNA yang semuanya menyebabkan ujung DNA dapat disambung. Enzim yang terlibat meliputi Artemis, PNKP, APLF, Polymerase μ dan λ, Werner (WRN), aprataxin, dan Ku. Semua enzim tersebut direkrut ke ujung DNA yang patah dengan adanya protein penopang Ku-XRCC4 (Gambar 3.19). Enzim yang dapat menyingkirkan penghambat ligasi pada ujung DNA yang patah adalah PNKP yang menyingkirkan ujung DNA yang mengandung 5′ hydroxyl atau 3′ phosphate. PNKP mempunyai aktivitas kinase dan fosfatase dan berfungsi untuk menambahkan gugus phosphate pada ujung ‘5 OH dan

menyingkirkan gugus fosfat dari ujung 3′ (Bernstein dkk, 2005). Aprataxin berfungsi untuk menghidrolisis dan mentransfer gugus adenilat yang berikatan secara kovalen ke ujung 5′ phosphate (Ahel dkk, 2007). Protein Ku tidak saja bertindak sebagai protein penopang, tetapi juga bertindak sebagai protein dengan aktivitas enzim AP lyase (Roberts, dkk, 2010) yang memotong nukelotida tanpa basa dekat ujung DNA yang patah. Protein yang berperan dalam reseksi ujung DNA pada NHEJ adalah Artemis, WRN, and APLF. Artemis mempunyai aktivitas nukleolitik seperti 5’endonuclease pada ujung DNA overhang, 5’ ke 3’ exonuclease pada DNA untai tunggal, dan mempunyai kemampuan untuk menyingkirkan gugus 3’-fosfoglikolat pada ujung DNA (Povirk dkk, 2007). Aktivitas artemis pada NHEJ memerlukan ikatan dan fosforilasi oleh DNA-PKcs dan/atau ATM (Gambar 3.19). Fosforilasi artemis dilakukan oleh DNA-PKcs untuk aktivitas endonukleolitik (Ma, dkk, 2002). WRN bersama dengan heterodimer Ku dan juga XRCC4 merupakan 3’ ke 5′eksonuklease (Perry dkk, 2006). APLF merupakan endonuclease dan 3’ ke 5’ exonuclease. Unsur NHEJ lainnya tidak mempunyai aktivitas nuklease, tetapi dapat memotong ujung 3′ yang overhang untuk memungkinkan ligasi oleh enzim ligase (XRCC4-DNA Ligase IV) (Li dkk, 2011). Dengan menggunakan semua komponen tersebut ujung DNA yang patah diproses yang meliputi pemangkasan semua nukleotida yang rusak dan ligasi, serta menutup celah pada DNA yang dilakukan oleh X polimerase I, DNA polymerases μ dan λ. Polymerase μ and λ mengandung domain BRCT pada ujung karboksil yang diperlukan untuk berfungsi (Moon dkk, 2007). Polymerase μ dapat mensintesis DNA dengan dNTP dan rNTP yang bergantung pada templat. Jika pada ujung DNA yang patah terdapat protein Ku dan XRCC4/ DNA Ligase IV, polimerase μ dapat melakukan polimerisasi dNTP sepanjang templat dengan DNA yang terputus (Nick dkk, 2005). Polimerase λ melakukan polimerase tanpa tergantung pada tempat dan mempunyai aktivitas lyase untuk menyingkirkan basa yang rusak (Ramadan dkk, 2004).

Page 198: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler190

Gambar 3.19. Penyambungan ujung patahan DNA dan resolusi kompleks NHDJ. Fosforilasi DNA-PKcs oleh enzim ATM menyebabkannya terlepas dari ujung patahan DNA (A). Celah yang tersisa kemudian disambung oleh enzim ligase DNA-Ligase IV yang dibantu oleh XRCC4, XLF, dan APLF (C). Protein Ku dilepaskan dari ujung patahan DNA melalui proses ubiquitinasi dan degradasi dalam proteosom. Ubiquitinasi dilakukan oleh kompleks Rnf8 atau SCF-Skp1-Cul1-Fbx112 (D). Setelah itu, patahan DNA tereparasi. Sumber Davis dan Chen, 2013

Proses teakhir dalam penyambungan DNA secara nonhomolog adalah ligasi ujung DNA yang patah oleh enzim DNA Ligase IV (Gambar 3.19). DNA ligase IV dengan bantuan XRCC4 meligasi celah pada ujung DNA yang patah. Fungsi XRCC4 adalah untuk menstabilkan DNA Ligase IV dengan memicu adenilasi DNA Ligase IV. DNA Ligase IV dapat meligasi ujung DNA di antara ujung DNA yang patah (Gu dkk, 2007). XLF merangsang DNA Ligase IV untuk berpindah ke arah ujung yang mismatch dan tidak kohesif (Lu dkk, 2007;, Tsai dkk, 2007). Selain itu, APLF menstimulasi ligasi oleh XRCC4-DNA Ligase IV hanya jika protein Ku70/80 telah terekrut ke ujung DNA yang patah (Grundy dkk, 2013). Bergabungnya DNA-PKcs ke kompleks DNA-Ku menyebabkan translokasi protein Ku heterodimer ke bagian dalam molekul DNA yang menyebabkan DNA-PKcs dapat menjangkau ujung DNA yang mengaktifkan aktivitas katalitik dari enzim tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya PVN. 1971. Isolation and Partial Characterization of Age-Correlated Oligo-nucleotides with Covalently Bound Peptides. 14th Nordic Congress, Umea, Sweden, June 19

Ahel I, Rass U, El-Khamisy SF,El-Khamisy SF, Katyal S, Clements PM, McKinnon PJ, Caldecott KW, West SC. 2006. The neurodegenerative disease protein aprataxin resolves abortive DNA ligation intermediates. Nature 443:713–6.

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P; 2002, The Structure and Function of DNA, Watson .Johnson A, Lewis J, et al. 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition.New York: Garland Science; 2002, pp. 114–115)

Knoll A, Puchta H, 2011. The role of DNA helicases and their interaction partners in genome stability and meiotic recombination in plants. J Exp Botany 62:1565–1579

Andres SN, Vergnes A, Ristic D, Wyman C, Modesti M, Junop M. 2012. A human XRCC4-XLF complex bridges DNA. Nucleic Acids Res. 40:1868–78.

Bakkenist CJ, Kastan MB . 2003. "DNA damage activates ATM through intermolecular autophosphorylation and dimer dissociation". Nature 421 : 499–506.

Bargaje A, Bansal M . 2003. "A glossary of DNA structures from A to Z". Acta Crystallogr D 59 : 620–6

Berg M, Tymoczko J, Stryer L. 2012. Biochemistry 7th edition. New York: W.H. Freeman and Company. p. 840. ISBN 9781429229364.

Bernstein NK, Williams RS, Rakovszky ML, Cui D, Green R, Karimi-Busheri F, Mani RS, Galicia S, Koch CA, Cass CE, Durocher D, Weinfeld M, Glover JN. 2005. The molecular architecture of the mammalian DNA repair enzyme, polynucleotide kinase. Mol Cell 17:657–70.

Page 199: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 191

Gambar 3.19. Penyambungan ujung patahan DNA dan resolusi kompleks NHDJ. Fosforilasi DNA-PKcs oleh enzim ATM menyebabkannya terlepas dari ujung patahan DNA (A). Celah yang tersisa kemudian disambung oleh enzim ligase DNA-Ligase IV yang dibantu oleh XRCC4, XLF, dan APLF (C). Protein Ku dilepaskan dari ujung patahan DNA melalui proses ubiquitinasi dan degradasi dalam proteosom. Ubiquitinasi dilakukan oleh kompleks Rnf8 atau SCF-Skp1-Cul1-Fbx112 (D). Setelah itu, patahan DNA tereparasi. Sumber Davis dan Chen, 2013

Proses teakhir dalam penyambungan DNA secara nonhomolog adalah ligasi ujung DNA yang patah oleh enzim DNA Ligase IV (Gambar 3.19). DNA ligase IV dengan bantuan XRCC4 meligasi celah pada ujung DNA yang patah. Fungsi XRCC4 adalah untuk menstabilkan DNA Ligase IV dengan memicu adenilasi DNA Ligase IV. DNA Ligase IV dapat meligasi ujung DNA di antara ujung DNA yang patah (Gu dkk, 2007). XLF merangsang DNA Ligase IV untuk berpindah ke arah ujung yang mismatch dan tidak kohesif (Lu dkk, 2007;, Tsai dkk, 2007). Selain itu, APLF menstimulasi ligasi oleh XRCC4-DNA Ligase IV hanya jika protein Ku70/80 telah terekrut ke ujung DNA yang patah (Grundy dkk, 2013). Bergabungnya DNA-PKcs ke kompleks DNA-Ku menyebabkan translokasi protein Ku heterodimer ke bagian dalam molekul DNA yang menyebabkan DNA-PKcs dapat menjangkau ujung DNA yang mengaktifkan aktivitas katalitik dari enzim tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Acharya PVN. 1971. Isolation and Partial Characterization of Age-Correlated Oligo-nucleotides with Covalently Bound Peptides. 14th Nordic Congress, Umea, Sweden, June 19

Ahel I, Rass U, El-Khamisy SF,El-Khamisy SF, Katyal S, Clements PM, McKinnon PJ, Caldecott KW, West SC. 2006. The neurodegenerative disease protein aprataxin resolves abortive DNA ligation intermediates. Nature 443:713–6.

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P; 2002, The Structure and Function of DNA, Watson .Johnson A, Lewis J, et al. 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition.New York: Garland Science; 2002, pp. 114–115)

Knoll A, Puchta H, 2011. The role of DNA helicases and their interaction partners in genome stability and meiotic recombination in plants. J Exp Botany 62:1565–1579

Andres SN, Vergnes A, Ristic D, Wyman C, Modesti M, Junop M. 2012. A human XRCC4-XLF complex bridges DNA. Nucleic Acids Res. 40:1868–78.

Bakkenist CJ, Kastan MB . 2003. "DNA damage activates ATM through intermolecular autophosphorylation and dimer dissociation". Nature 421 : 499–506.

Bargaje A, Bansal M . 2003. "A glossary of DNA structures from A to Z". Acta Crystallogr D 59 : 620–6

Berg M, Tymoczko J, Stryer L. 2012. Biochemistry 7th edition. New York: W.H. Freeman and Company. p. 840. ISBN 9781429229364.

Bernstein NK, Williams RS, Rakovszky ML, Cui D, Green R, Karimi-Busheri F, Mani RS, Galicia S, Koch CA, Cass CE, Durocher D, Weinfeld M, Glover JN. 2005. The molecular architecture of the mammalian DNA repair enzyme, polynucleotide kinase. Mol Cell 17:657–70.

Page 200: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler192

Browner WS, Kahn AJ, Ziv E, Reiner AP, Oshima J, Cawthon RM, Hsueh WC, Cummings SR. 2004. The genetics of human longevity. Am J Med 117:851–60

Browner, WS; Kahn, AJ; Ziv, E; Reiner, AP; Oshima, J; Cawthon, RM; Hsueh, WC; Cummings, SR. (2004). "The genetics of human longevity". Am J Med 117 : 851–60.

Cavalieri E, Saeed M, Zahid M, Cassada D, Snow D, Miljkovic M, Rogan E . 2012. Research Communication Mechanism of DNA Depurination by Carcinogens in Relation to Cancer. Initiation. Life 64: 169–179

Cooper GM. 2000 The Cell: A Molecular Approach. 2nd edition. Chapter DNA Repair. Sunderland (MA): Sinauer Associates.

Davis AJ, Chen DJ., 2013. DNA double strand break repair via non-homologous end-joining. Transl Cancer Res 2:130-143.

Downs JA, Jackson SP. 2004. A means to a DNA end: the many roles of Ku. Nat Rev Mol Cell Biol 5:367–78.

Ghosh A, Bansal M (2003). "A glossary of DNA structures from A to Z". Acta Crystallogr D 59 : 620–6.

Gottlieb TM, Jackson SP 1993. The DNA-dependent protein kinase: requirement for DNA ends and association with Ku antigen. Cell 72:131–42.

Grundy GJ, Rulten SL, Zeng Z, Zeng Z, Arribas-Bosacoma R, Iles N, Manley K, Oliver A, Caldecott KW. 2013. APLF promotes the assembly and activity of nonhomologous end joining protein complexes. EMBO J 32:112–25.

Gu J, Lu H, Tippin B, Shimazaki N, Goodman MF, Lieber MR. 2007. XRCC4:DNA ligase IV can ligate incompatible DNA ends and can ligate across gaps. EMBO J 26:1010–23.

Hsu HL, Yannone SM, Chen DJ. 2002. Defining interactions between DNA-PK and ligase IV/XRCC4. DNA Repair (Amst) 1:225–35.

.

Iles N, Rulten S, El-Khamisy SF, Keith W. Caldecott 2007. APLF (C2orf13) is a novel human protein involved in the cellular response to chromosomal DNA strand breaks. Mol Cell Biol 27:3793–803

Krokan HE, Bjøra M, 2013. °Base Excision Repair. Cold Spring Harb Perspect Biol 2013;5:a012583

Li S, Kanno S, Watanabe R, Ogiwara H, Kohno T,Watanabe G, Yasui A, Lieber MR 2011. Polynucleotide kinase and aprataxin-like forkhead-associated protein (PALF) acts as both a single-stranded DNA endonuclease and a single-stranded DNA 3′ exonuclease and can participate in DNA end joining in a biochemical system. J Biol Chem 286:36368–77.

Lodish H, Berk A, Matsudaira P, Kaiser CA, Krieger M, Scott MP, Zipursky SL, Darnell J. 2004. Molecular Biology of the Cell, p963. WH Freeman: New York, NY. 5th ed.

Lu H, Pannicke U, Schwarz K, Lieber MR. 2007. Length-dependent binding of human XLF to DNA and stimulation of XRCC4. DNA ligase IV activity. J Biol Chem 282:11155–62.

Ma Y, Pannicke U, Schwarz K, Lieber MR. 2002. Hairpin opening and overhang processing by an Artemis/ DNA-dependent protein kinase complex in nonhomologous end joining and V(D)J recombination. Cell 108:781–94.

Mahajan KN, McElhinny SA, Mitchell BS,Ramsden DA. 2002., Association of DNA polymerase mu (pol mu) with Ku and ligase IV: role for pol mu in end-joining double-strand break repair. Mol Cell Biol 22:5194–202.

Malivert L, Ropars V, Nunez M, , Drevet P, Miron S, Faure G, Guerois R, Mornon JP, Revy P, Charbonnier JB, Callebaut I, de Villartay JPl. 2010. Delineation of the Xrcc4-interacting region in the globular head domain of cernunnos/XLF. J Biol Chem 285:2647583.

Mari PO, Florea BI, Persengiev SP, Verkaik NS, Brüggenwirth HT, Modesti M, Giglia-Mari G, Bezstarosti K, Demmers JA, Luider TM, Houtsmuller AB, van Gent DC. 2006. Dynamic assembly of

Page 201: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 193

Browner WS, Kahn AJ, Ziv E, Reiner AP, Oshima J, Cawthon RM, Hsueh WC, Cummings SR. 2004. The genetics of human longevity. Am J Med 117:851–60

Browner, WS; Kahn, AJ; Ziv, E; Reiner, AP; Oshima, J; Cawthon, RM; Hsueh, WC; Cummings, SR. (2004). "The genetics of human longevity". Am J Med 117 : 851–60.

Cavalieri E, Saeed M, Zahid M, Cassada D, Snow D, Miljkovic M, Rogan E . 2012. Research Communication Mechanism of DNA Depurination by Carcinogens in Relation to Cancer. Initiation. Life 64: 169–179

Cooper GM. 2000 The Cell: A Molecular Approach. 2nd edition. Chapter DNA Repair. Sunderland (MA): Sinauer Associates.

Davis AJ, Chen DJ., 2013. DNA double strand break repair via non-homologous end-joining. Transl Cancer Res 2:130-143.

Downs JA, Jackson SP. 2004. A means to a DNA end: the many roles of Ku. Nat Rev Mol Cell Biol 5:367–78.

Ghosh A, Bansal M (2003). "A glossary of DNA structures from A to Z". Acta Crystallogr D 59 : 620–6.

Gottlieb TM, Jackson SP 1993. The DNA-dependent protein kinase: requirement for DNA ends and association with Ku antigen. Cell 72:131–42.

Grundy GJ, Rulten SL, Zeng Z, Zeng Z, Arribas-Bosacoma R, Iles N, Manley K, Oliver A, Caldecott KW. 2013. APLF promotes the assembly and activity of nonhomologous end joining protein complexes. EMBO J 32:112–25.

Gu J, Lu H, Tippin B, Shimazaki N, Goodman MF, Lieber MR. 2007. XRCC4:DNA ligase IV can ligate incompatible DNA ends and can ligate across gaps. EMBO J 26:1010–23.

Hsu HL, Yannone SM, Chen DJ. 2002. Defining interactions between DNA-PK and ligase IV/XRCC4. DNA Repair (Amst) 1:225–35.

.

Iles N, Rulten S, El-Khamisy SF, Keith W. Caldecott 2007. APLF (C2orf13) is a novel human protein involved in the cellular response to chromosomal DNA strand breaks. Mol Cell Biol 27:3793–803

Krokan HE, Bjøra M, 2013. °Base Excision Repair. Cold Spring Harb Perspect Biol 2013;5:a012583

Li S, Kanno S, Watanabe R, Ogiwara H, Kohno T,Watanabe G, Yasui A, Lieber MR 2011. Polynucleotide kinase and aprataxin-like forkhead-associated protein (PALF) acts as both a single-stranded DNA endonuclease and a single-stranded DNA 3′ exonuclease and can participate in DNA end joining in a biochemical system. J Biol Chem 286:36368–77.

Lodish H, Berk A, Matsudaira P, Kaiser CA, Krieger M, Scott MP, Zipursky SL, Darnell J. 2004. Molecular Biology of the Cell, p963. WH Freeman: New York, NY. 5th ed.

Lu H, Pannicke U, Schwarz K, Lieber MR. 2007. Length-dependent binding of human XLF to DNA and stimulation of XRCC4. DNA ligase IV activity. J Biol Chem 282:11155–62.

Ma Y, Pannicke U, Schwarz K, Lieber MR. 2002. Hairpin opening and overhang processing by an Artemis/ DNA-dependent protein kinase complex in nonhomologous end joining and V(D)J recombination. Cell 108:781–94.

Mahajan KN, McElhinny SA, Mitchell BS,Ramsden DA. 2002., Association of DNA polymerase mu (pol mu) with Ku and ligase IV: role for pol mu in end-joining double-strand break repair. Mol Cell Biol 22:5194–202.

Malivert L, Ropars V, Nunez M, , Drevet P, Miron S, Faure G, Guerois R, Mornon JP, Revy P, Charbonnier JB, Callebaut I, de Villartay JPl. 2010. Delineation of the Xrcc4-interacting region in the globular head domain of cernunnos/XLF. J Biol Chem 285:2647583.

Mari PO, Florea BI, Persengiev SP, Verkaik NS, Brüggenwirth HT, Modesti M, Giglia-Mari G, Bezstarosti K, Demmers JA, Luider TM, Houtsmuller AB, van Gent DC. 2006. Dynamic assembly of

Page 202: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler194

end-joining complexes requires interaction between Ku70/80 and XRCC4. Proc Natl Acad Sci USA 103:18597–602.

Michael Lynch, José Ignacio Lucas-Lledó; Lynch, M. (19 February 2009). "Evolution of Mutation Rates: Phylogenomic Analysis of the Photolyase/Cryptochrome Family". Mol Biol Evo l26 : 1143–1153.

Moon AF, Garcia-Diaz M, Batra VK, William A. Beard WA, Bebenek K, Kunkel TA,Wilson SH, Pedersen LC. 2007. The X family portrait: structural insights into biological functions of X family polymerases. DNA Repair 6:1709–25

Nagasawa H, Brogan JR, Peng Little JB, Bedford JS. 2010. Some unsolved problems and unresolved issues in radiation cytogenetics: a review and new data on roles of homologous recombination and nonhomologous end joining. Mutat Res 701:12–22.

Perry JJ, Yannone SM, Holden LG, Hitomi C, Asaithamby A, Han S, Cooper PK, Chen DJ, Tainer JA.2006. WRN exonuclease structure and molecular mechanism imply an editing role in DNA end processing. Nat Struct Mol Biol 13:414–22

Povirk LF, Zhou T, Zhou R, Cowan MJ, Yannone SM. 2007. Processing of 3′-phosphoglycolate-terminated DNA double strand breaks by Artemis nuclease. J Biol Chem 282:3547–58.

Ramadan K, Shevelev IV, Maga G, Hübscher U. 2004. De novo DNA synthesis by human DNA polymerase lambda, DNA polymerase mu and terminal deoxyribonucleotidyl transferase. J Mol Biol 339:395–404.

Rastogi RP, Richa, Kumar A, Tyagi MB, Sinha RP 2010. Molecular Mechanisms of Ultraviolet Radiation-Induced DNA Damage and RepairJournal of Nucleic Acids Volume 2010 (2010), Article ID 592980, 32 pages http://dx.doi.org/10.4061/2010/592980

Reardon, J; Sancar, A (2006). "Purification and Characterization of Escherichia coli and Human Nucleotide Excision Repair Enzyme Systems". Methods in Enzymology 408: 189–213

Roberts SA, Strande N, Burkhalter MD, Strom C, Havener JM, Hasty P, Ramsden DA. 2010. Ku is a 5′-dRP/AP lyase that excises nucleotide damage near broken ends. Nature 464:1214–7.

Rulten SL, Fisher AE, Robert I, Zuma MC, Rouleau M, Ju L, Poirier G, Reina-San-Martin B, Caldecott KW. 2011. PARP-3 and APLF function together to accelerate nonhomologous end-joining. Mol Cell 41:33–45.

Sancar, A. (2003). "Structure and function of DNA photolyase and cryptochrome blue-light photoreceptors". Chem Rev 103 : 2203–37.

Toshihiro O, Tokishita S, Kayo M, Jun K, Masahide S, Hideo Y. 2006. "UV Sensitivity and Mutagenesis of the Extremely Thermophilic Eubacterium Thermus thermophilus HB27". Genes and Environment 28 (2): 56–61. doi:10.3123/jemsge.28.56..

.Tsai CJ, Kim SA, Chu G. 2007. Cernunnos/XLF promotes the ligation of mismatched and noncohesive DNA ends. Proc Natl Acad Sci USA 104:7851–6.

Uematsu N, Weterings E, Yano K, Morotomi-Yano K, Jakob B, Taucher-Scholz G, Mari O, van Gent DC, Chen BPC, Chen DJ. 2007. Autophosphorylation of DNA-PKCS regulates its dynamics at DNA double-strand breaks. J Cell Biol 177:219–29.

Watson JD, Baker TA, Bell SP, Gann A, Levine M, Losick R. 2004. Molecular Biology of the Gene. Pearson Benjamin Cummings; CSHL Press. 5th ed., chapters 9 and 10

Weterings E, van Gent DC.2004 The mechanism of non-homologous end-joining: a synopsis of synapsis. DNA Repair (Amst) 3:1425–35.

Whitmore SE, Potten CS, Chadwick CA, Strickland PT, Morison WL. 2001. "Effect of photoreactivating light on UV radiation-induced alterations in human skin". Photodermatol. Photoimmunol. Photomed. 17 : 213–217.

Willey J, Sherwood L, Woolverton C. 2014. Prescott’s Microbiology. New York, New York: McGraw Hill. p. 381. ISBN 978-0-07-3402-40-6.

Page 203: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 195

end-joining complexes requires interaction between Ku70/80 and XRCC4. Proc Natl Acad Sci USA 103:18597–602.

Michael Lynch, José Ignacio Lucas-Lledó; Lynch, M. (19 February 2009). "Evolution of Mutation Rates: Phylogenomic Analysis of the Photolyase/Cryptochrome Family". Mol Biol Evo l26 : 1143–1153.

Moon AF, Garcia-Diaz M, Batra VK, William A. Beard WA, Bebenek K, Kunkel TA,Wilson SH, Pedersen LC. 2007. The X family portrait: structural insights into biological functions of X family polymerases. DNA Repair 6:1709–25

Nagasawa H, Brogan JR, Peng Little JB, Bedford JS. 2010. Some unsolved problems and unresolved issues in radiation cytogenetics: a review and new data on roles of homologous recombination and nonhomologous end joining. Mutat Res 701:12–22.

Perry JJ, Yannone SM, Holden LG, Hitomi C, Asaithamby A, Han S, Cooper PK, Chen DJ, Tainer JA.2006. WRN exonuclease structure and molecular mechanism imply an editing role in DNA end processing. Nat Struct Mol Biol 13:414–22

Povirk LF, Zhou T, Zhou R, Cowan MJ, Yannone SM. 2007. Processing of 3′-phosphoglycolate-terminated DNA double strand breaks by Artemis nuclease. J Biol Chem 282:3547–58.

Ramadan K, Shevelev IV, Maga G, Hübscher U. 2004. De novo DNA synthesis by human DNA polymerase lambda, DNA polymerase mu and terminal deoxyribonucleotidyl transferase. J Mol Biol 339:395–404.

Rastogi RP, Richa, Kumar A, Tyagi MB, Sinha RP 2010. Molecular Mechanisms of Ultraviolet Radiation-Induced DNA Damage and RepairJournal of Nucleic Acids Volume 2010 (2010), Article ID 592980, 32 pages http://dx.doi.org/10.4061/2010/592980

Reardon, J; Sancar, A (2006). "Purification and Characterization of Escherichia coli and Human Nucleotide Excision Repair Enzyme Systems". Methods in Enzymology 408: 189–213

Roberts SA, Strande N, Burkhalter MD, Strom C, Havener JM, Hasty P, Ramsden DA. 2010. Ku is a 5′-dRP/AP lyase that excises nucleotide damage near broken ends. Nature 464:1214–7.

Rulten SL, Fisher AE, Robert I, Zuma MC, Rouleau M, Ju L, Poirier G, Reina-San-Martin B, Caldecott KW. 2011. PARP-3 and APLF function together to accelerate nonhomologous end-joining. Mol Cell 41:33–45.

Sancar, A. (2003). "Structure and function of DNA photolyase and cryptochrome blue-light photoreceptors". Chem Rev 103 : 2203–37.

Toshihiro O, Tokishita S, Kayo M, Jun K, Masahide S, Hideo Y. 2006. "UV Sensitivity and Mutagenesis of the Extremely Thermophilic Eubacterium Thermus thermophilus HB27". Genes and Environment 28 (2): 56–61. doi:10.3123/jemsge.28.56..

.Tsai CJ, Kim SA, Chu G. 2007. Cernunnos/XLF promotes the ligation of mismatched and noncohesive DNA ends. Proc Natl Acad Sci USA 104:7851–6.

Uematsu N, Weterings E, Yano K, Morotomi-Yano K, Jakob B, Taucher-Scholz G, Mari O, van Gent DC, Chen BPC, Chen DJ. 2007. Autophosphorylation of DNA-PKCS regulates its dynamics at DNA double-strand breaks. J Cell Biol 177:219–29.

Watson JD, Baker TA, Bell SP, Gann A, Levine M, Losick R. 2004. Molecular Biology of the Gene. Pearson Benjamin Cummings; CSHL Press. 5th ed., chapters 9 and 10

Weterings E, van Gent DC.2004 The mechanism of non-homologous end-joining: a synopsis of synapsis. DNA Repair (Amst) 3:1425–35.

Whitmore SE, Potten CS, Chadwick CA, Strickland PT, Morison WL. 2001. "Effect of photoreactivating light on UV radiation-induced alterations in human skin". Photodermatol. Photoimmunol. Photomed. 17 : 213–217.

Willey J, Sherwood L, Woolverton C. 2014. Prescott’s Microbiology. New York, New York: McGraw Hill. p. 381. ISBN 978-0-07-3402-40-6.

Page 204: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler196

Wu PY, Frit P, Meesala S, Dauvillier S, Modesti M, Andres SN, Huang Y, Sekiguchi J, Calsou P, Salles B, Junop MS. 2009.. Structural and functional interaction between the human DNA repair proteins DNA ligase IV and XRCC4. Mol Cell Biol.29:3163–72.

Yano K, Morotomi-Yano K, Lee KJ, Chen DJ. 2011. Functional significance of the interaction with Ku in DNA double-strand break recognition of XLF. FEBS Lett 585:841–6.

Yano K, Morotomi-Yano K, Wang SY Wang SY, Uematsu N, Lee KJ, Asaithamby A, Weterings E, Chen DJ. 2008. Ku recruits XLF to DNA double-strand breaks. EMBO Rep 9:91–6.

Zhang Z, Hu W, Cano L, Cano L, Lee TD, Chen DJ, Chen Y. 2004. Solution structure of the C-terminal domain of Ku80 suggests important sites for protein-protein interactions. Structure 12:495–502.

Zhang J, Powell SN The Role of the BRCA1 Tumor Suppressor in

DNA Double-Strand Break Repair Mol Cancer Res 2005;3(10). October 2005

Zolner AE, Abdou I, Ye R, Mani RS, Fanta M, Yu Y, Douglas P, Tahbaz N, Fang S, Dobbs T, Wang C, Morrice N, Hendzel MJ, Weinfeld M, Lees-Miller SP. 2011. Phosphorylation of polynucleotide kinase/ phosphatase by DNAdependent protein kinase and ataxia-telangiectasia mutated regulates its association with sites of DNA damage. Nucleic Acids Res 39:9224–37.

BAB IV APOPTOSIS

Apoptosis atau kematian sel terprogram merupakan proses yang normal dalam kehidupan organisme multisel. Namun, agar proses kehidupan berjalan secara normal, apoptosis harus berjalan seimbang dengan proliferasi sel. Sejak perkembangan embrio, apoptosis telah berperan dalam pembentukan organ yang normal. Perkembangan sistem imun pada fetus juga melibatkan proses apoptosis, terutama untuk menyingkirkan sel imun yang reaktif terhadap jaringan tubuh. Selain itu, apoptosis juga merupakan hal yang penting dalam pengaturan sistem imun, seperti penghancuran sel yang terinfeksi virus atau sel kanker yang berpotensi membahayakan kehidupan organisme. Pendewasaan sel imun juga diatur melalui apoptosis. Misalnya, sel T mengalami maturasi dalam timus sebelum memasuki peredaran darah. Di dalam timus, sel T yang dipertahankan adalah yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup, yaitu sel T reaktif terhadap antigen asing dan tidak reaktif terhadap sel normal yang sehat. Sementara itu, sel T yang tidak efektif dan reaktif terhadap sel normal dalam tubuh akan dihancurkan melalui apoptosis.

Gangguan pada pengaturan apoptosis dapat menyebabkan penyakit. Apoptosis yang berlebihan dapat memicu atropi organ/jaringan yang dapat memicu penyakit degeneratif. Sementara itu, apoptosis yang tidak memadai dapat menimbulkan penyakit, seperti kanker. Misalnya, sel yang mengalami mutasi genetik seringkali mengabaikan sistem signal pengaturan sel normal sehingga bersifat lebih proliferatif dibanding sel normal. Sel yang mengalami kelainan genetik semacam ini biasanya mengalami apoptosis agar tidak

Page 205: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 197

Wu PY, Frit P, Meesala S, Dauvillier S, Modesti M, Andres SN, Huang Y, Sekiguchi J, Calsou P, Salles B, Junop MS. 2009.. Structural and functional interaction between the human DNA repair proteins DNA ligase IV and XRCC4. Mol Cell Biol.29:3163–72.

Yano K, Morotomi-Yano K, Lee KJ, Chen DJ. 2011. Functional significance of the interaction with Ku in DNA double-strand break recognition of XLF. FEBS Lett 585:841–6.

Yano K, Morotomi-Yano K, Wang SY Wang SY, Uematsu N, Lee KJ, Asaithamby A, Weterings E, Chen DJ. 2008. Ku recruits XLF to DNA double-strand breaks. EMBO Rep 9:91–6.

Zhang Z, Hu W, Cano L, Cano L, Lee TD, Chen DJ, Chen Y. 2004. Solution structure of the C-terminal domain of Ku80 suggests important sites for protein-protein interactions. Structure 12:495–502.

Zhang J, Powell SN The Role of the BRCA1 Tumor Suppressor in

DNA Double-Strand Break Repair Mol Cancer Res 2005;3(10). October 2005

Zolner AE, Abdou I, Ye R, Mani RS, Fanta M, Yu Y, Douglas P, Tahbaz N, Fang S, Dobbs T, Wang C, Morrice N, Hendzel MJ, Weinfeld M, Lees-Miller SP. 2011. Phosphorylation of polynucleotide kinase/ phosphatase by DNAdependent protein kinase and ataxia-telangiectasia mutated regulates its association with sites of DNA damage. Nucleic Acids Res 39:9224–37.

BAB IV APOPTOSIS

Apoptosis atau kematian sel terprogram merupakan proses yang normal dalam kehidupan organisme multisel. Namun, agar proses kehidupan berjalan secara normal, apoptosis harus berjalan seimbang dengan proliferasi sel. Sejak perkembangan embrio, apoptosis telah berperan dalam pembentukan organ yang normal. Perkembangan sistem imun pada fetus juga melibatkan proses apoptosis, terutama untuk menyingkirkan sel imun yang reaktif terhadap jaringan tubuh. Selain itu, apoptosis juga merupakan hal yang penting dalam pengaturan sistem imun, seperti penghancuran sel yang terinfeksi virus atau sel kanker yang berpotensi membahayakan kehidupan organisme. Pendewasaan sel imun juga diatur melalui apoptosis. Misalnya, sel T mengalami maturasi dalam timus sebelum memasuki peredaran darah. Di dalam timus, sel T yang dipertahankan adalah yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup, yaitu sel T reaktif terhadap antigen asing dan tidak reaktif terhadap sel normal yang sehat. Sementara itu, sel T yang tidak efektif dan reaktif terhadap sel normal dalam tubuh akan dihancurkan melalui apoptosis.

Gangguan pada pengaturan apoptosis dapat menyebabkan penyakit. Apoptosis yang berlebihan dapat memicu atropi organ/jaringan yang dapat memicu penyakit degeneratif. Sementara itu, apoptosis yang tidak memadai dapat menimbulkan penyakit, seperti kanker. Misalnya, sel yang mengalami mutasi genetik seringkali mengabaikan sistem signal pengaturan sel normal sehingga bersifat lebih proliferatif dibanding sel normal. Sel yang mengalami kelainan genetik semacam ini biasanya mengalami apoptosis agar tidak

Page 206: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler198

mengganggu sel normal lainnya. Pada kasus kanker, sistem apoptosis tidak berjalan secara sempurna. Sebaliknya, apoptosis yang berlebihan juga tidak menguntungkan karena dapat memunculkan berbagai penyakit degeneratif seperti Parkinson atau Alzheimer. Dalam hal ini, apoptosis pada sel syaraf yang berlebihan menyebabkan otak kehilangan banyak neuron. Apoptosis juga merupakan proses normal dalam perkembangan plasenta. Sel tropoblas menginvasi uterus dan mengatur ulang sistem aliran darah dalam uterus untuk membentuk plasenta selama kebuntingan. Dalam proses ini, pengendalian yang ketat antara proliferasi dan apoptosis dilakukan. Apoptosis yang berlebihan diduga menjadi penyebab preeklamsia pada ibu hamil.

4.1. Pemicu Apoptosis

Berbagai faktor, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam sel, dapat memicu apoptosis. Kerusakan DNA yang tidak terreparasi merupakan faktor yang paling sering sebagai pemicu apoptosis. Kerusakan DNA seperti pembentukan dimer pirimidin siklobutan, 6–4 foto produk (6–4PPs) dan lesi lainnya (Kumari dkk., 2008), radiasi sinar ultraviolet, radiasi pengionan, stres oksidatif serta kesalahan replikasi DNA dapat memicu apoptosis. Lingkungan dan pengobatan genotoksin juga dapat memicu apoptosis (Batista dkk, 2009). Radiasi sinar ultra violet (UV-B; 280–315 nm) merupakan karsinogen yang paling kuat pada semua organism (Friedberg dkk.,2006). Radiasi UV yang merusak DNA dapat mengaktifkan dan menstabilkan p53 dalam inti sel dalam dan plasma sel untuk menstimulasi dua jalur utama apoptosis, yaitu ekstrinsik dan intrinsik (Haupt dkk., 2003).

Infeksi berbagai agen penyakit intrasel seperti virus dan bakteri juga dapat memicu apoptosis. Agen penyakit yang menginfeksi sel dapat memicu aktivasi sel sitotoksik seperti sel T CD8 dan sel NK untuk menghancurkan sel terinfeksi dengan cara apoptosis. Selain itu, transformasi sel normal menjadi sel tumor juga dapat memicu aktivasi sel sitotoksik dengan cara yang sama dengan yang terjadi pada sel terinfeksi virus atau bakteri intrasel. Berbeda dengan paparan radiasi dan stres oksidatif yang memicu apoptosis melalui jalur intrinsik, sel terinfeksi agen penyakit dan sel kanker umumnya memicu apoptosis melalui reseptor kematian pada permukaan sel target. Namun, banyak peristiwa apoptosis yang melibatkan kedua jalur apoptosis di atas.

4.1.1. Apotptosis yang Dipicu oleh Reseptor TNF

Tumor necrosis factor (TNF) dihasilkan oleh monositl dan makrofag teraktivasi sebagai respons atas adanya infeksi oleh berbagai jenis patogen. Dengan mengaktifkan reseptornya tumor necrosis factor receptor (TNFR), TNF dapat menimbulkan berbagai jenis efek tergantung pada stimulus dan jenis sel. Pada beberapa jenis sel, TNF dapat mengaktifkan nuclear facor kappa beta (NF-kB) dan activator protein 1(AP-1) yang menginduksi berbagai gen yang berperan dalam proses inflamasi dan kematian sel melalui proses piroptosis. Namun, pada beberapa jenis sel, TNF dapat memicu apoptosis tetapi tidak sekuat yang diinduksi oleh Fas ligand (FasL) dan reseptornya FAS. Apoptosis yang diinduksi oleh TNF mirip dengan yang diinduksi oleh FasL. Ikatan TNF alpha dengan reseptornya TNFR1 menyebabkan trimerisasi reseptor dan aktivasi domain kematian intraselnya. Ini memungkinan perekrutan protein adaptor TRADD (TNFR-associated death domain) dengan cara berikatan dengan domain kematian (Death domain/DD) dari reseptor. TRADD mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan berbagai protein adaptor. Bila yang direkrut adalah TRAF2 (TNF-associated factor 2) aktivasi reseptor TNF menyebabkan aktivasi jalur NF-kB dan Jun N-terminal Kinase (JNK). Dalam hal ini, TNF memicu reaksi inflamasi. Namun, jika yang direkrut adalah protein adaptor Fas associated with death domain (FADD), maka TRADD memicu apoptosis dengan merekrut dan mengaktifkan procaspsae 8 menjadi caspase 8 yang aktif (Rath dan Aggarwal, 1999)

4.1.2. Peran Reseptor Kematian dan Ligandnya dalam Apoptosis

Berbagai reseptor kematian (death receptor/DR) ditemukan pada hampir semua jenis sel dan reseptor tersebut berperan dalam apoptosis jalur ekstrinsik. Reseptor tersebut umumnya teraktivasi sebagai respons atas adanya sel terinfeksi virus atau proses onkogenesis. Saat ini, sekurang kurangnya 6 jenis reseptor kematian telah dikenal, yaitu DR1, DR2, DR3, DR4, DR5 dan DR6. Semua reseptor kematian tersebut merupakan keluarga reseptor TNF (TNFR), yaitu TNFR1 (DR1), Fas (DR2), TRAILR 1 (DR4), TRAILR2 (DR5), TNFRSF25 (DR3) dan TNFRSF21 (DR6). Aktivasi DR dilakukan oleh ligandnya seperti TNF, FasL dan TRAIL (Krammer et al, 2007). Satu ligand dapat mengaktifkan lebih dari satu jenis reseptor kematian, dan satu reseptor dapat diaktifkan oleh lebih dari satu ligand.

Page 207: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 199

mengganggu sel normal lainnya. Pada kasus kanker, sistem apoptosis tidak berjalan secara sempurna. Sebaliknya, apoptosis yang berlebihan juga tidak menguntungkan karena dapat memunculkan berbagai penyakit degeneratif seperti Parkinson atau Alzheimer. Dalam hal ini, apoptosis pada sel syaraf yang berlebihan menyebabkan otak kehilangan banyak neuron. Apoptosis juga merupakan proses normal dalam perkembangan plasenta. Sel tropoblas menginvasi uterus dan mengatur ulang sistem aliran darah dalam uterus untuk membentuk plasenta selama kebuntingan. Dalam proses ini, pengendalian yang ketat antara proliferasi dan apoptosis dilakukan. Apoptosis yang berlebihan diduga menjadi penyebab preeklamsia pada ibu hamil.

4.1. Pemicu Apoptosis

Berbagai faktor, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam sel, dapat memicu apoptosis. Kerusakan DNA yang tidak terreparasi merupakan faktor yang paling sering sebagai pemicu apoptosis. Kerusakan DNA seperti pembentukan dimer pirimidin siklobutan, 6–4 foto produk (6–4PPs) dan lesi lainnya (Kumari dkk., 2008), radiasi sinar ultraviolet, radiasi pengionan, stres oksidatif serta kesalahan replikasi DNA dapat memicu apoptosis. Lingkungan dan pengobatan genotoksin juga dapat memicu apoptosis (Batista dkk, 2009). Radiasi sinar ultra violet (UV-B; 280–315 nm) merupakan karsinogen yang paling kuat pada semua organism (Friedberg dkk.,2006). Radiasi UV yang merusak DNA dapat mengaktifkan dan menstabilkan p53 dalam inti sel dalam dan plasma sel untuk menstimulasi dua jalur utama apoptosis, yaitu ekstrinsik dan intrinsik (Haupt dkk., 2003).

Infeksi berbagai agen penyakit intrasel seperti virus dan bakteri juga dapat memicu apoptosis. Agen penyakit yang menginfeksi sel dapat memicu aktivasi sel sitotoksik seperti sel T CD8 dan sel NK untuk menghancurkan sel terinfeksi dengan cara apoptosis. Selain itu, transformasi sel normal menjadi sel tumor juga dapat memicu aktivasi sel sitotoksik dengan cara yang sama dengan yang terjadi pada sel terinfeksi virus atau bakteri intrasel. Berbeda dengan paparan radiasi dan stres oksidatif yang memicu apoptosis melalui jalur intrinsik, sel terinfeksi agen penyakit dan sel kanker umumnya memicu apoptosis melalui reseptor kematian pada permukaan sel target. Namun, banyak peristiwa apoptosis yang melibatkan kedua jalur apoptosis di atas.

4.1.1. Apotptosis yang Dipicu oleh Reseptor TNF

Tumor necrosis factor (TNF) dihasilkan oleh monositl dan makrofag teraktivasi sebagai respons atas adanya infeksi oleh berbagai jenis patogen. Dengan mengaktifkan reseptornya tumor necrosis factor receptor (TNFR), TNF dapat menimbulkan berbagai jenis efek tergantung pada stimulus dan jenis sel. Pada beberapa jenis sel, TNF dapat mengaktifkan nuclear facor kappa beta (NF-kB) dan activator protein 1(AP-1) yang menginduksi berbagai gen yang berperan dalam proses inflamasi dan kematian sel melalui proses piroptosis. Namun, pada beberapa jenis sel, TNF dapat memicu apoptosis tetapi tidak sekuat yang diinduksi oleh Fas ligand (FasL) dan reseptornya FAS. Apoptosis yang diinduksi oleh TNF mirip dengan yang diinduksi oleh FasL. Ikatan TNF alpha dengan reseptornya TNFR1 menyebabkan trimerisasi reseptor dan aktivasi domain kematian intraselnya. Ini memungkinan perekrutan protein adaptor TRADD (TNFR-associated death domain) dengan cara berikatan dengan domain kematian (Death domain/DD) dari reseptor. TRADD mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan berbagai protein adaptor. Bila yang direkrut adalah TRAF2 (TNF-associated factor 2) aktivasi reseptor TNF menyebabkan aktivasi jalur NF-kB dan Jun N-terminal Kinase (JNK). Dalam hal ini, TNF memicu reaksi inflamasi. Namun, jika yang direkrut adalah protein adaptor Fas associated with death domain (FADD), maka TRADD memicu apoptosis dengan merekrut dan mengaktifkan procaspsae 8 menjadi caspase 8 yang aktif (Rath dan Aggarwal, 1999)

4.1.2. Peran Reseptor Kematian dan Ligandnya dalam Apoptosis

Berbagai reseptor kematian (death receptor/DR) ditemukan pada hampir semua jenis sel dan reseptor tersebut berperan dalam apoptosis jalur ekstrinsik. Reseptor tersebut umumnya teraktivasi sebagai respons atas adanya sel terinfeksi virus atau proses onkogenesis. Saat ini, sekurang kurangnya 6 jenis reseptor kematian telah dikenal, yaitu DR1, DR2, DR3, DR4, DR5 dan DR6. Semua reseptor kematian tersebut merupakan keluarga reseptor TNF (TNFR), yaitu TNFR1 (DR1), Fas (DR2), TRAILR 1 (DR4), TRAILR2 (DR5), TNFRSF25 (DR3) dan TNFRSF21 (DR6). Aktivasi DR dilakukan oleh ligandnya seperti TNF, FasL dan TRAIL (Krammer et al, 2007). Satu ligand dapat mengaktifkan lebih dari satu jenis reseptor kematian, dan satu reseptor dapat diaktifkan oleh lebih dari satu ligand.

Page 208: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler200

Fas merupakan reseptor kematian dengan berat molekul 48 kDa dan dibedakan menjadi 3 domain, yaitu domain ekstrasel, domain transmembran, dan domain intrasel (sitoplasma). Reseptor ini diaktifkan oleh FasL yang ikatan keduanya memicu trimerisasi reseptor. Aktivasi ini memungkinkan domain sitoplasma berikatan dengan protein adaptor FADD dan membentuk kesatuan yang disebut death inducing signal complex (DISC). . FADD merupakan protein adaptor yang mengandung death effector domain (DED) yang berfungsi untuk mengikat dan mengaktifkan procaspase-8 menjadi caspase 8. Dalam proses aktivasi tersebut, procaspase 8 dipecah oleh aktivitas proteolisis dari DISC menjadi dua subunit yaitu 10 kDa (p10) dan 18 KDa (p18). Caspase 8 yang aktif terbentuk oleh 2 molekul procaspase menghasilkan dua unit p10 dan 2 subunit p18. Keempat subunit tersebut membentuk heterotetramer caspase-8 yang aktif. Caspase 8 yang aktif kemudian melepaskan diri dari DISC dan memicu apoptosis dengan mengaktifkan langsung caspase 3 dan 7 atau dengan mengaktifkan protein Bid menjadi tBID yang memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Zack dkk, 2004)

TRAIL (TNF-related apoptosis inducing ligand) kerjanya hampir sama dengan FasL. Ikatan TRAIL dengan reseptornya DR4 dan DR5 memicu apoptosis yang cepat pada berbagai sel. Yang menarik dari TRAIL adalah kemampuannya untuk berikatan dengan decoy receptor (DcR) yang bersaing dengan reseptor DR4 dan DR5 untuk mengikat TRAIL. Saat ini dikenal 2 jenis DcR yaitu DcR1 dan DcR2 yang keduanya mampu bersaing dengan DR4 atau DR5 untuk mengikat TRAIL. Namun, ligasi kedua DcR tersebut oleh TRAIL tidak memicu apoptosis karena DcR1 tidak mempunyai domain kematian intrasel, sedangkan DcR2 mempunyai domain kematian intrasel yang kekurangan 4 dari 6 asam amino penting yang sehingga tidak dapat merekrut protein adaptor yang menginduksi apoptosis (LeBlanc dan

Ashkenazi . 2003) (Gambar 4.1)

Gambar 4.1. Peran TNFR-1, FAS dan DcR dalam apoptosis dan inflamasi. Ikatan FASL atau APO2L/TRAIL dengan reseptornya FAS, DR4 atau DR5 mengaktifkan reseptor. Bila yang direkrut adalah FAS-associated death domain (FADD), maka kompleks yang terbentuk adalah death-inducing signalling complex (DISC). Disc kemudian merekrut dan mengaktifkan procaspase-8 menjadi caspase 8 yang memicu apoptosis melalui jalur ektrinsik. Sementara itu, ikatan tumour-necrosis factor (TNF) dengan reseptornya TNFR1 memicu perekrutan protein adaptor TNFR-associated death domain (TRADD). Perekrutan TRADD memicu perekrutan protein adaptor kedua. Jika protein adaptor kedua yang direkrut adalah FADD, maka kompleks yang terbentuk adalah DISC yang kemudian merekrut dan mengaktifkan caspase 8 (atau caspase 10). Aktivasi caspase 8 memicu apoptosis dengan cara yang serupa dengan Fas, DR4 dan DR5. Namun, jika yang direkrut oleh TRADD adalah receptor-interacting protein (RIP) aktivasi reseptor memicu aktivasi faktor transkripsi nuclear factor of B (NF- B). Kemungkinan lainnya adalah perekrutan protein adaptor kedua yang lain seperti TNFR-associated factor 2 (TRAF2) yang memicu kaskade sistem signal JUN N-terminal kinase (JNK) yang memicu aktivasi faktor transkripsi AP-1. Decoy receptors (DcR) yang merupakan keluarga besar TNFR dapat

Page 209: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 201

Fas merupakan reseptor kematian dengan berat molekul 48 kDa dan dibedakan menjadi 3 domain, yaitu domain ekstrasel, domain transmembran, dan domain intrasel (sitoplasma). Reseptor ini diaktifkan oleh FasL yang ikatan keduanya memicu trimerisasi reseptor. Aktivasi ini memungkinkan domain sitoplasma berikatan dengan protein adaptor FADD dan membentuk kesatuan yang disebut death inducing signal complex (DISC). . FADD merupakan protein adaptor yang mengandung death effector domain (DED) yang berfungsi untuk mengikat dan mengaktifkan procaspase-8 menjadi caspase 8. Dalam proses aktivasi tersebut, procaspase 8 dipecah oleh aktivitas proteolisis dari DISC menjadi dua subunit yaitu 10 kDa (p10) dan 18 KDa (p18). Caspase 8 yang aktif terbentuk oleh 2 molekul procaspase menghasilkan dua unit p10 dan 2 subunit p18. Keempat subunit tersebut membentuk heterotetramer caspase-8 yang aktif. Caspase 8 yang aktif kemudian melepaskan diri dari DISC dan memicu apoptosis dengan mengaktifkan langsung caspase 3 dan 7 atau dengan mengaktifkan protein Bid menjadi tBID yang memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Zack dkk, 2004)

TRAIL (TNF-related apoptosis inducing ligand) kerjanya hampir sama dengan FasL. Ikatan TRAIL dengan reseptornya DR4 dan DR5 memicu apoptosis yang cepat pada berbagai sel. Yang menarik dari TRAIL adalah kemampuannya untuk berikatan dengan decoy receptor (DcR) yang bersaing dengan reseptor DR4 dan DR5 untuk mengikat TRAIL. Saat ini dikenal 2 jenis DcR yaitu DcR1 dan DcR2 yang keduanya mampu bersaing dengan DR4 atau DR5 untuk mengikat TRAIL. Namun, ligasi kedua DcR tersebut oleh TRAIL tidak memicu apoptosis karena DcR1 tidak mempunyai domain kematian intrasel, sedangkan DcR2 mempunyai domain kematian intrasel yang kekurangan 4 dari 6 asam amino penting yang sehingga tidak dapat merekrut protein adaptor yang menginduksi apoptosis (LeBlanc dan

Ashkenazi . 2003) (Gambar 4.1)

Gambar 4.1. Peran TNFR-1, FAS dan DcR dalam apoptosis dan inflamasi. Ikatan FASL atau APO2L/TRAIL dengan reseptornya FAS, DR4 atau DR5 mengaktifkan reseptor. Bila yang direkrut adalah FAS-associated death domain (FADD), maka kompleks yang terbentuk adalah death-inducing signalling complex (DISC). Disc kemudian merekrut dan mengaktifkan procaspase-8 menjadi caspase 8 yang memicu apoptosis melalui jalur ektrinsik. Sementara itu, ikatan tumour-necrosis factor (TNF) dengan reseptornya TNFR1 memicu perekrutan protein adaptor TNFR-associated death domain (TRADD). Perekrutan TRADD memicu perekrutan protein adaptor kedua. Jika protein adaptor kedua yang direkrut adalah FADD, maka kompleks yang terbentuk adalah DISC yang kemudian merekrut dan mengaktifkan caspase 8 (atau caspase 10). Aktivasi caspase 8 memicu apoptosis dengan cara yang serupa dengan Fas, DR4 dan DR5. Namun, jika yang direkrut oleh TRADD adalah receptor-interacting protein (RIP) aktivasi reseptor memicu aktivasi faktor transkripsi nuclear factor of B (NF- B). Kemungkinan lainnya adalah perekrutan protein adaptor kedua yang lain seperti TNFR-associated factor 2 (TRAF2) yang memicu kaskade sistem signal JUN N-terminal kinase (JNK) yang memicu aktivasi faktor transkripsi AP-1. Decoy receptors (DcR) yang merupakan keluarga besar TNFR dapat

Page 210: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler202

bersaing dengan DR untuk berikatan dengan ligandnya. DcR1 dan DcR2 bersaing dengan DR4 dan DR5 untuk mengikat APO2L/TRAIL. DcR3 bersaing dengan FAS untuk berikatan dengan FASL dan DR3 untuk berikatan dengan TL1A. (Sumber Ashkenazi, 2002).

4.2. Enzim Caspase

Caspase merupakan enzim protease sistein yang memecah protein setelah asam amino aspartat dan diarahkan oleh asam amino sistein dalam protein substratnya. Caspase berperan amat penting dalam proses apoptosis, nekrosis dan inflamasi yang kegagalannya dapat memicu tumor atau penyakit autoimun (Green dkk, 2009). Struktur lengkap caspase telah dijabarkan oleh Yan dan Shi, 2005 yang menunjukkan bahwa caspase fungsional merupakan unit homodimer, yang setiap monomernya mempunyai subunit besar (17-21 kDa) dan subunit kecil (10-13 kDa) (Tait dan Green, 2008) (Gambar 14.2.). Komponen proteolisisnya meliputi residu sistein dan histidin yang merupakan bagian dari subunit besar. Caspase yang aktif terdiri atas tetramer yang merupakan gabungan dari pecahan dua procaspase (zimogen). Dua subunit besar dan dua subunit kecil tersebut kemudian membentuk struktur tetramer yang difasilitasi oleh prodomain. Tetramerisasi keempat subunit menghasilkan sruktur silinder dari kepala sampai ke ekor sehingga bagian aktifnya terletak pada kedua ujung yang berlawanan (Gambar 4.3.) (Yan dan Shi, 2005).

Umumnya caspase ditemukan dalam sel dalam keadaan inaktif yang disebut procaspase dan ketika diaktifkan dapat memicu signal apoptosis yang diikuti oleh kematian sel. Aktivasi satu caspase dapat memicu aktivasi caspase lainnya (kaskade caspase). Sampai sekarang telah dikenal 14 jenis caspase pada hewan mamalia yang dibedakan menjadi 2 kelompok fungsional yaitu caspase inisiator (caspase-2, 8, 9 dan 10), dan caspase eksekusioner (caspase-3, 6 dan 7). Selain itu, terdapat caspase yang terlibat dalam reaksi inflamasi dan memicu kematian sel melalui proses piroptosis (caspase-1, 4, 5, 11, 12 dan 13) (Tabel 1) (Elmore, 2007; Martinon dan Tschopp, 2007; Pop dan Salvesen, 2009). Caspase inflamasi yang paling banyak dikaji adalah caspase-1 yang substratnya berupa proIL-1β (interleukin-1β) dan proIL-18, yang berperan penting dalam reaksi inflamasi (Fischer dkk, 2002). Caspase lainnya, yaitu caspase 11 dan 14, belum diketahui fungsinya dalam sel.

Caspase 8 terlibat dalam 2 jenis apoptosis bergantung pada jenis sel. Beberapa jenis sel dapat mengalami proses apoptosis hanya dengan mengaktifkan langsung caspase eksekusioner oleh caspase-8. Namun, pada berbagai sel lainnya, aktivasi caspase eksekusioner oleh capsapase 8 belum dapat memicu apoptosis. Dalam hal ini, caspase 8 perlu melibatkan jalur mitokondria untuk memicu apoptosis (Pennarun dkk, 2010). Caspase 8 mengaktifkan apoptosis jalur mitokondria dengan memecah dan mengaktifkan BID (BH3 interacting domain death agonist) menjadi tBID (truncated BID). Aktivasi tBID meningkatkan mitochondrial outer membrane permeanilition (MOMP) sehingga memicu apoptosis melalui pembentukan apoptosom (Kantari dkk, 2011). Selain itu, caspase 8 juga memecah X-linked inhibitor of apoptosis protein (XIAP) yang juga berperan dalam apoptosis jalur mitokondria (Kaufmann dkk, 2012)

Tabel 4.1. Caspase yang terlibat dalam apoptosis dan inflamasi

Jenis Nama Sinonim

Inisiator Caspase -2 ICH1, Nedd2

Caspase 8 FLICE, MACH1, MCH5, FADDlike Ice

Caspase 9 MCH6ICEAP6

Caspase 10 FLICE II, MCH 4

Efektor atau eksekutioner Caspase 3 CPP32, YAMA

Caspase 6 MCH2

Caspase 7 MCH3, CMH, ICELAP3

Inflamasi Caspase 1 ICE

Caspase 4 ICH2, TX,

5 ICErIII, TY

11

12

13 ERICE

14 MICE

12

Page 211: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 203

bersaing dengan DR untuk berikatan dengan ligandnya. DcR1 dan DcR2 bersaing dengan DR4 dan DR5 untuk mengikat APO2L/TRAIL. DcR3 bersaing dengan FAS untuk berikatan dengan FASL dan DR3 untuk berikatan dengan TL1A. (Sumber Ashkenazi, 2002).

4.2. Enzim Caspase

Caspase merupakan enzim protease sistein yang memecah protein setelah asam amino aspartat dan diarahkan oleh asam amino sistein dalam protein substratnya. Caspase berperan amat penting dalam proses apoptosis, nekrosis dan inflamasi yang kegagalannya dapat memicu tumor atau penyakit autoimun (Green dkk, 2009). Struktur lengkap caspase telah dijabarkan oleh Yan dan Shi, 2005 yang menunjukkan bahwa caspase fungsional merupakan unit homodimer, yang setiap monomernya mempunyai subunit besar (17-21 kDa) dan subunit kecil (10-13 kDa) (Tait dan Green, 2008) (Gambar 14.2.). Komponen proteolisisnya meliputi residu sistein dan histidin yang merupakan bagian dari subunit besar. Caspase yang aktif terdiri atas tetramer yang merupakan gabungan dari pecahan dua procaspase (zimogen). Dua subunit besar dan dua subunit kecil tersebut kemudian membentuk struktur tetramer yang difasilitasi oleh prodomain. Tetramerisasi keempat subunit menghasilkan sruktur silinder dari kepala sampai ke ekor sehingga bagian aktifnya terletak pada kedua ujung yang berlawanan (Gambar 4.3.) (Yan dan Shi, 2005).

Umumnya caspase ditemukan dalam sel dalam keadaan inaktif yang disebut procaspase dan ketika diaktifkan dapat memicu signal apoptosis yang diikuti oleh kematian sel. Aktivasi satu caspase dapat memicu aktivasi caspase lainnya (kaskade caspase). Sampai sekarang telah dikenal 14 jenis caspase pada hewan mamalia yang dibedakan menjadi 2 kelompok fungsional yaitu caspase inisiator (caspase-2, 8, 9 dan 10), dan caspase eksekusioner (caspase-3, 6 dan 7). Selain itu, terdapat caspase yang terlibat dalam reaksi inflamasi dan memicu kematian sel melalui proses piroptosis (caspase-1, 4, 5, 11, 12 dan 13) (Tabel 1) (Elmore, 2007; Martinon dan Tschopp, 2007; Pop dan Salvesen, 2009). Caspase inflamasi yang paling banyak dikaji adalah caspase-1 yang substratnya berupa proIL-1β (interleukin-1β) dan proIL-18, yang berperan penting dalam reaksi inflamasi (Fischer dkk, 2002). Caspase lainnya, yaitu caspase 11 dan 14, belum diketahui fungsinya dalam sel.

Caspase 8 terlibat dalam 2 jenis apoptosis bergantung pada jenis sel. Beberapa jenis sel dapat mengalami proses apoptosis hanya dengan mengaktifkan langsung caspase eksekusioner oleh caspase-8. Namun, pada berbagai sel lainnya, aktivasi caspase eksekusioner oleh capsapase 8 belum dapat memicu apoptosis. Dalam hal ini, caspase 8 perlu melibatkan jalur mitokondria untuk memicu apoptosis (Pennarun dkk, 2010). Caspase 8 mengaktifkan apoptosis jalur mitokondria dengan memecah dan mengaktifkan BID (BH3 interacting domain death agonist) menjadi tBID (truncated BID). Aktivasi tBID meningkatkan mitochondrial outer membrane permeanilition (MOMP) sehingga memicu apoptosis melalui pembentukan apoptosom (Kantari dkk, 2011). Selain itu, caspase 8 juga memecah X-linked inhibitor of apoptosis protein (XIAP) yang juga berperan dalam apoptosis jalur mitokondria (Kaufmann dkk, 2012)

Tabel 4.1. Caspase yang terlibat dalam apoptosis dan inflamasi

Jenis Nama Sinonim

Inisiator Caspase -2 ICH1, Nedd2

Caspase 8 FLICE, MACH1, MCH5, FADDlike Ice

Caspase 9 MCH6ICEAP6

Caspase 10 FLICE II, MCH 4

Efektor atau eksekutioner Caspase 3 CPP32, YAMA

Caspase 6 MCH2

Caspase 7 MCH3, CMH, ICELAP3

Inflamasi Caspase 1 ICE

Caspase 4 ICH2, TX,

5 ICErIII, TY

11

12

13 ERICE

14 MICE

12

Page 212: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler204

Caspase inisiator mempunyai domain kematian disebut CARD (cascase activation and recruitment diomain) pada caspase 1, 2, 4 and 9 atau death effector domain (DED) pada caspases-8 dan 10 (Gambar 4.2.) yang memfasilitasi caspase untuk bekerja dengan molekul lainnya. DED terlibat dalam interaksi dengan protein adaptor seperti FADD dan TRADD (Boldin dkk, 1996) yang berikatan dengan domain intrasel dari reseptor kematian yang teraktivasi. Sementara itu, CARD terlibat dalam interaksi caspase dengan protein adaptor yang mengatur proses apoptosis seperti apoptosis activating factor 1 (Apaf-1) yang memicu apoptosis dan cellular inhibitor of apoptostis protein (c-IAP)-1 dan c-IAP2 yang menghambat apoptosis (Ho dkk, 2005).

Gambar 4. 2: Struktur procaspase inisiator yang memiliki CARD ( caspase-2 and 3) atau dua DED (caspase-8). Pemecahan procaspase menjadi caspase aktif berlokasi pada situs khusus (tanda panah). Pemecahan ini menghasilkan dua subunit molekul, yaitu subunit besar (17-21 kDa) dan subunit kecil (10-13k Da). (Sumber Rastogi dkk, 2009)

Gambar 4.3. Diagram tetramerisasi dan aktivasi procaspase-8. Procaspase-8 yang tidak aktif berada dalam bentuk monomer yang prodomain terdiri atas dua DED, satu subunit besar (L) dan satu subunit kecil (S). Dimerisasi caspase monomer menghasilkan caspase yang aktif. (Sumber Rastogi dkk, 2009)

4.3. Aktivasi Caspase

Aktivasi caspase dilakukan dengan memecah molekul procaspase menjadi subunit pada situs pemecahannya (Gambar 4.3.). Pemecahan ini dilakukan oleh enzim protease yang pada caspase inisiator dilakukan dengan merekrut procaspase ke protein adaptor yang direkrut oleh reseptor teraktivasi seperti DISC (Gambar 4.4.) untuk casapase 8 dan caspase-10, PIDDosome (Gambar 4.5) untuk caspase-2, apoptosom untuk caspase 9, dan inflamasom untuk caspase 1. PIDDosom terdiri atas RAIDD (receptor activated and PIDD (p53- induced protein with a death domain)(Gambar 4.5.) (Martinon danTschopp, 2007). Protein adaptor yang berikatan dengan procaspase kemudian memecahnya menjadi caspase aktif. Aktivasi caspase efektor seperti caspase -3, 6 atau 7 dilakukan oleh caspase inisiator seperti caspase-2, 8, 9, atau 10, dengan pemecahan internal untuk memisahkan subunit besar dan subunit kecilnya (Yan dan Shi, 2005).

Page 213: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 205

Caspase inisiator mempunyai domain kematian disebut CARD (cascase activation and recruitment diomain) pada caspase 1, 2, 4 and 9 atau death effector domain (DED) pada caspases-8 dan 10 (Gambar 4.2.) yang memfasilitasi caspase untuk bekerja dengan molekul lainnya. DED terlibat dalam interaksi dengan protein adaptor seperti FADD dan TRADD (Boldin dkk, 1996) yang berikatan dengan domain intrasel dari reseptor kematian yang teraktivasi. Sementara itu, CARD terlibat dalam interaksi caspase dengan protein adaptor yang mengatur proses apoptosis seperti apoptosis activating factor 1 (Apaf-1) yang memicu apoptosis dan cellular inhibitor of apoptostis protein (c-IAP)-1 dan c-IAP2 yang menghambat apoptosis (Ho dkk, 2005).

Gambar 4. 2: Struktur procaspase inisiator yang memiliki CARD ( caspase-2 and 3) atau dua DED (caspase-8). Pemecahan procaspase menjadi caspase aktif berlokasi pada situs khusus (tanda panah). Pemecahan ini menghasilkan dua subunit molekul, yaitu subunit besar (17-21 kDa) dan subunit kecil (10-13k Da). (Sumber Rastogi dkk, 2009)

Gambar 4.3. Diagram tetramerisasi dan aktivasi procaspase-8. Procaspase-8 yang tidak aktif berada dalam bentuk monomer yang prodomain terdiri atas dua DED, satu subunit besar (L) dan satu subunit kecil (S). Dimerisasi caspase monomer menghasilkan caspase yang aktif. (Sumber Rastogi dkk, 2009)

4.3. Aktivasi Caspase

Aktivasi caspase dilakukan dengan memecah molekul procaspase menjadi subunit pada situs pemecahannya (Gambar 4.3.). Pemecahan ini dilakukan oleh enzim protease yang pada caspase inisiator dilakukan dengan merekrut procaspase ke protein adaptor yang direkrut oleh reseptor teraktivasi seperti DISC (Gambar 4.4.) untuk casapase 8 dan caspase-10, PIDDosome (Gambar 4.5) untuk caspase-2, apoptosom untuk caspase 9, dan inflamasom untuk caspase 1. PIDDosom terdiri atas RAIDD (receptor activated and PIDD (p53- induced protein with a death domain)(Gambar 4.5.) (Martinon danTschopp, 2007). Protein adaptor yang berikatan dengan procaspase kemudian memecahnya menjadi caspase aktif. Aktivasi caspase efektor seperti caspase -3, 6 atau 7 dilakukan oleh caspase inisiator seperti caspase-2, 8, 9, atau 10, dengan pemecahan internal untuk memisahkan subunit besar dan subunit kecilnya (Yan dan Shi, 2005).

Page 214: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler206

4.3.1. Peran Death Inducing Signal Complex (DISC)

Kesatuan pembawa signal pemicu kematian sel yang disebut DISC, terbentuk setelah aktivasi reseptor kematian, DR, yang memicu ikatannya dengan protein adaptor. Pembentukan DISC dimulai dengan berikatannya DR dengan ligandnya yang kemudian memicu trimerisasi dan fosforilasi domain intrasel dari DR. Protein adaptor yang direkrut oleh DR adalah FAS Associated Death Domain (FADD) yang biasanya berlokasi dalam inti sel. Ikatan ini memicu perekrutan pro-caspase 8 yang juga dikenal dengan nama FADD-like interleukin-1 beta-converting enzyme (FLICE). Interaksi ini dimediasi oleh death effector domain (DED) yang terdapat pada FADD dan FLICE yang memicu aktivasi caspase 8 . Interaksi ini dihambat oleh FLICE-like inhibitory protein (FLIP) yang bersaing dengan FLICE untuk berikatan dengan FADD (Aoudjit dkk, 2007).

Meskipun serupa, terdapat variasi dalam pembentukan DISC di antara keenam DR yang telah diketahui. Variasi paling jelas tampak pada FAS dan dua reseptor TRAIL. Selain dapat merekrut pro-caspase 8, reseptor ini juga dapat merekrut pro-caspase 10. Namun, perekrutan caspase 10 mempunyai efek sistem signal yang serupa dengan caspase 8 sehingga keduanya mempunyai efek sistem signal yang tumpang tindih (Kischkel, 2001). Selain itu, DISC untuk TNFR memerlukan protein adaptor lain selain FADD yaitu TNFRSF1A-associated with death domain (TRADD). TRADD diperlukan bagi apoptosis yang dimediasi oleh FADD. TRADD juga memediasi interaksi TNF receptor-associated factor 2 (TRAF2) yang memediasi efek imun dari TNF khusunya sistem signal ini mengaktifkan nuclear factor of kappa light polypeptide gene enhancer I (NFKB1) pada sel B pengendali gen yang bertanggung jawab atas respons inflamasi dan imun (Zhang dkk, 2011).

Peran yang serupa yang mengatur efek berikutnya dari DR terlihat dalam kaitannya dengan death-associated protein 3 (DAP3). DAP3 merupakan protein konservatif dengan berat molekul 46 kDa yang mengikat GTP dan disandi oleh gen DAP3 yang pada manusia berada pada kromosom 1q2. Protein ini pada keadaan normal berada dalam bentuk inaktif sebagai phosphoprotein melalui kerja protein kinase B (AKT/PKB). Bila teraktivasi, DAP3 berada dekat FADD dan ikut berperan dalam pembentukan DISC (Miyazaki dkk, 2004). Protein

ini awalnya diduga terlibat dalam kerja of TNF-α, Fas-L, dan TRAIL, tetapi bukti terbaru menunjukkan bahwa DAP3 berkaitan paling erat dengan DISC yang dibentuk oleh reseptor Fas. Dalam kaitan ini kerjanya adalah memudahkan ikatan death ligand signal enhancer (DELE) yang merupakan protein terbaru yang ditemukan pada sel HeLa yang menghambat apoptosis melaui TNF-α, Fas atau TRAIL jika gen tersebut dihilangkan (Harada dkk, 2010). Dengan model yang serupa, DAP3 juga memediasi interaksi FADD dan LKB1 interacting protein 1 (LIP1) pada sel osteosarkoma manusia yang menjangkar LKB1 dalam sitoplasma.

Ekspresi LKB1sangat diperlukan dalam apoptosis oleh TRAIL dan DAP3 pada sel osteosarcoma (Takeda dkk, 2007). Peran LKB1 telah diteliti pada kasus sindroma Peutz-Jeghers. Protein ini merupakan enzim kinase serin/threonin yang lebih banyak bersifat penekan tumor dan mempunyai efek yang berlawanan dengan jalur mTOR (Duivenvoorden dkk, 2012; Tripathi dkk, 2013). Selain itu, DAP3 juga sangat diperlukan dalam memediasi anoikis (Miyazaki, 2004).

Gambar 4.4. Diagram aktivasi caspase inisiator melalui pembentukkan DISC. Death-inducing signaling complex (DISC) dan ligand kematian (FAS-L) yang berikatan dengan reseptor (FAS) serta FADD yang berikatan dengan procaspase 8/10 melalui DED . (Sumber Rastogi dkk, 2009)

Page 215: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 207

4.3.1. Peran Death Inducing Signal Complex (DISC)

Kesatuan pembawa signal pemicu kematian sel yang disebut DISC, terbentuk setelah aktivasi reseptor kematian, DR, yang memicu ikatannya dengan protein adaptor. Pembentukan DISC dimulai dengan berikatannya DR dengan ligandnya yang kemudian memicu trimerisasi dan fosforilasi domain intrasel dari DR. Protein adaptor yang direkrut oleh DR adalah FAS Associated Death Domain (FADD) yang biasanya berlokasi dalam inti sel. Ikatan ini memicu perekrutan pro-caspase 8 yang juga dikenal dengan nama FADD-like interleukin-1 beta-converting enzyme (FLICE). Interaksi ini dimediasi oleh death effector domain (DED) yang terdapat pada FADD dan FLICE yang memicu aktivasi caspase 8 . Interaksi ini dihambat oleh FLICE-like inhibitory protein (FLIP) yang bersaing dengan FLICE untuk berikatan dengan FADD (Aoudjit dkk, 2007).

Meskipun serupa, terdapat variasi dalam pembentukan DISC di antara keenam DR yang telah diketahui. Variasi paling jelas tampak pada FAS dan dua reseptor TRAIL. Selain dapat merekrut pro-caspase 8, reseptor ini juga dapat merekrut pro-caspase 10. Namun, perekrutan caspase 10 mempunyai efek sistem signal yang serupa dengan caspase 8 sehingga keduanya mempunyai efek sistem signal yang tumpang tindih (Kischkel, 2001). Selain itu, DISC untuk TNFR memerlukan protein adaptor lain selain FADD yaitu TNFRSF1A-associated with death domain (TRADD). TRADD diperlukan bagi apoptosis yang dimediasi oleh FADD. TRADD juga memediasi interaksi TNF receptor-associated factor 2 (TRAF2) yang memediasi efek imun dari TNF khusunya sistem signal ini mengaktifkan nuclear factor of kappa light polypeptide gene enhancer I (NFKB1) pada sel B pengendali gen yang bertanggung jawab atas respons inflamasi dan imun (Zhang dkk, 2011).

Peran yang serupa yang mengatur efek berikutnya dari DR terlihat dalam kaitannya dengan death-associated protein 3 (DAP3). DAP3 merupakan protein konservatif dengan berat molekul 46 kDa yang mengikat GTP dan disandi oleh gen DAP3 yang pada manusia berada pada kromosom 1q2. Protein ini pada keadaan normal berada dalam bentuk inaktif sebagai phosphoprotein melalui kerja protein kinase B (AKT/PKB). Bila teraktivasi, DAP3 berada dekat FADD dan ikut berperan dalam pembentukan DISC (Miyazaki dkk, 2004). Protein

ini awalnya diduga terlibat dalam kerja of TNF-α, Fas-L, dan TRAIL, tetapi bukti terbaru menunjukkan bahwa DAP3 berkaitan paling erat dengan DISC yang dibentuk oleh reseptor Fas. Dalam kaitan ini kerjanya adalah memudahkan ikatan death ligand signal enhancer (DELE) yang merupakan protein terbaru yang ditemukan pada sel HeLa yang menghambat apoptosis melaui TNF-α, Fas atau TRAIL jika gen tersebut dihilangkan (Harada dkk, 2010). Dengan model yang serupa, DAP3 juga memediasi interaksi FADD dan LKB1 interacting protein 1 (LIP1) pada sel osteosarkoma manusia yang menjangkar LKB1 dalam sitoplasma.

Ekspresi LKB1sangat diperlukan dalam apoptosis oleh TRAIL dan DAP3 pada sel osteosarcoma (Takeda dkk, 2007). Peran LKB1 telah diteliti pada kasus sindroma Peutz-Jeghers. Protein ini merupakan enzim kinase serin/threonin yang lebih banyak bersifat penekan tumor dan mempunyai efek yang berlawanan dengan jalur mTOR (Duivenvoorden dkk, 2012; Tripathi dkk, 2013). Selain itu, DAP3 juga sangat diperlukan dalam memediasi anoikis (Miyazaki, 2004).

Gambar 4.4. Diagram aktivasi caspase inisiator melalui pembentukkan DISC. Death-inducing signaling complex (DISC) dan ligand kematian (FAS-L) yang berikatan dengan reseptor (FAS) serta FADD yang berikatan dengan procaspase 8/10 melalui DED . (Sumber Rastogi dkk, 2009)

Page 216: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler208

4.3.2. Peran PIDDsom

Selain menginduksi apoptosis dengan mengatur ekspresi protein BCl-2 keluarga BH3-only, p53 juga menginduksi apoptosis dengan pembentukan PIDDsom. PIDD (p53 with a death domain) membentuk kompleks dengan RIP associated ICH1/CED homologous protein with death domain (RAIDD). RAIDD merupakan protein adaptor yang juga memiliki motif CARD yang memungkinnya untuk merekrut pro-caspase 2. Kompleks inilah yang disebut PIDDsom yang memicu apoptosis sebagai respons atas kerusakan DNA. Caspase-2 yang aktif terbentuk melalui perubahan konformasi pro-caspase yang memicu dimeriasi. Caspase-2 yang merupakan caspase inisiator mengaktifkan kaskade caspase berikutnya (Tinel dkk, 2004; Bouchier-Hayes DKK 2012 ).

Gambar 4.5. PIDDsome dan komponen penyusunya, PIDDsom terdiri atas p53-related DD containing protein (PIDD), RAIDD yang mempunyai daerah kaya leucin (leucine- rich region, LRR) dan procaspase-2 (Rastogi dkk, 2009).

4.3.3. Peran Apoptosom

Aktivasi caspase 9 dilakukan melalui pembentukan struktur yang disebut apoptosom yang merupakan kesatuan mutliprotein

seperti Apaf-1, sitokrom C dan caspase 9. Apaf-1, teraktivasi oleh molekul sitokrom C yang dilepaskan dari mitokondria. Apaf-1, terdiri atas tiga doman penting, yaitu caspase activation and recruitment domain (CARD), domain oligomerisasi dan cytokrom c binding domain. Pelepasan sitokrom C dari mitokondria memicu aktivasi Apaf-1, yang kemudian mengalami perubahan konformasi dan oligerisasi. Oligomerisasi inilah yang memicu perekrutan caspase 9 melalui CARDnya yang kemudian membentuk struktur yang disebut apoptosom (Pop dkk, 2006).

Gambar 4.6 Apoptosom dan komponen penyusunnya. Apoptosom tersusun atas heptamer molekul Apaf- 1 yang masing-masing berikatan dengan molekul sitokrom C. Ikatan tersebut memicu ikatan procaspase- 9 dengan apoptosom melalui CARD. (Sumber Rastogi dkk, 2009)

4.3.4. Peran Inflamasom

Inflamasom berperan dalam aktivasi caspase 1, 4, 5, dan 11. Semua caspase tersebut berperan dalam respons imun dan kekebalan bawaan. Inflamasom terdiri atas Nod like receptor with pyrin

Page 217: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 209

4.3.2. Peran PIDDsom

Selain menginduksi apoptosis dengan mengatur ekspresi protein BCl-2 keluarga BH3-only, p53 juga menginduksi apoptosis dengan pembentukan PIDDsom. PIDD (p53 with a death domain) membentuk kompleks dengan RIP associated ICH1/CED homologous protein with death domain (RAIDD). RAIDD merupakan protein adaptor yang juga memiliki motif CARD yang memungkinnya untuk merekrut pro-caspase 2. Kompleks inilah yang disebut PIDDsom yang memicu apoptosis sebagai respons atas kerusakan DNA. Caspase-2 yang aktif terbentuk melalui perubahan konformasi pro-caspase yang memicu dimeriasi. Caspase-2 yang merupakan caspase inisiator mengaktifkan kaskade caspase berikutnya (Tinel dkk, 2004; Bouchier-Hayes DKK 2012 ).

Gambar 4.5. PIDDsome dan komponen penyusunya, PIDDsom terdiri atas p53-related DD containing protein (PIDD), RAIDD yang mempunyai daerah kaya leucin (leucine- rich region, LRR) dan procaspase-2 (Rastogi dkk, 2009).

4.3.3. Peran Apoptosom

Aktivasi caspase 9 dilakukan melalui pembentukan struktur yang disebut apoptosom yang merupakan kesatuan mutliprotein

seperti Apaf-1, sitokrom C dan caspase 9. Apaf-1, teraktivasi oleh molekul sitokrom C yang dilepaskan dari mitokondria. Apaf-1, terdiri atas tiga doman penting, yaitu caspase activation and recruitment domain (CARD), domain oligomerisasi dan cytokrom c binding domain. Pelepasan sitokrom C dari mitokondria memicu aktivasi Apaf-1, yang kemudian mengalami perubahan konformasi dan oligerisasi. Oligomerisasi inilah yang memicu perekrutan caspase 9 melalui CARDnya yang kemudian membentuk struktur yang disebut apoptosom (Pop dkk, 2006).

Gambar 4.6 Apoptosom dan komponen penyusunnya. Apoptosom tersusun atas heptamer molekul Apaf- 1 yang masing-masing berikatan dengan molekul sitokrom C. Ikatan tersebut memicu ikatan procaspase- 9 dengan apoptosom melalui CARD. (Sumber Rastogi dkk, 2009)

4.3.4. Peran Inflamasom

Inflamasom berperan dalam aktivasi caspase 1, 4, 5, dan 11. Semua caspase tersebut berperan dalam respons imun dan kekebalan bawaan. Inflamasom terdiri atas Nod like receptor with pyrin

Page 218: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler210

domain/NRLP (NLRP1 dan NLRP3) yang berikatan dengan protein adaptor, yaitu pyrin domain (PYD) dan caspase activation and recruitment domain (CARD). Inflamasom tersebut merekrut caspase 1 dan 5 (Dagenais dkk, 2012). Inflamosom berperan dalam imunitas dan sindrom metabolik (Martinon dkk 2007). Caspase 11 juga direkrut oleh inflamasom sebagai respons atas mikroba intrasel (Vigano dan Mortellaro, 2013). Sementara itu, caspase 4 berperan dalam sistem signal NLR dan mengaktifkan inflamosom (Nickles dkk, 2011). Caspase 4 juga diduga berperan dalam apoptosis yang dipicu oleh stres retikulum endoplasma (Yamamuro dkk, 2012; Li dkk, 2013). Pembentukan inflamasom biasanya terjadi sebagai respons atas adanya infeksi virus, bakteri intrasel atau signal bahaya lainya. Inflamasom diperlukan untuk aktivasi caspase yang berperan dalam aktivasi dan sekresi sitokin proinflamasi. Inflamasom yang paling banyak dikaji saat ini adalah yang dibentuk oleh reseptor NLRP3. Reseptor ini memiliki 3 domain penting, yaitu domain leucin-rich repeat (LRR), pengikatan nukleotida (di tengah) dan N-terminal pyrin domain (PYD). Interaksi antara molekul NLRP3 dan caspase-1 terjadi melalui protein adaptor yang disebut apoptosis signal complex (ASC). ASC mengandung domain CARD yang memfasilitasi aktivasi caspase melalui interaksi CARD-CARD (Kawai dan Akira, 2006). Pada inflamasom lainnya, NLRC4 dapat berinteraksi langsung dengan caspase-1 yang mempunyai CARD. Caspase-1 merupakan enzim yang mengubah pro-IL-1β menjadi Il-1β yang aktif (Fink dkk, 2006). Pro-caspase-1 dengan domain CARD 10-KDanya direkrut oleh berbagai inflamasom. Pro-caspase-1 terakivasi saat membentuk tetramer. Prosesnya terjadi secara spontan yang disebabkan oleh direkrutnya procaspase 1 ke inflamasom yang menyebabkannya teraktivasi (Labbe dkk, 2011). Caspase-1 tidak hanya berperan dalam kematian sel tetapi juga pemecahan sitokin proinflamasi IL-1β dan IL-18. Sitokin ini nantinya berperan dalam respons imun dapatan (Li dkk, 2013).

Peran inflamasom adalah untuk memicu kematian sel yang disebut piroptosis, yaitu kematian sel terprogram yang disebakan oleh respons antimikrobia selama proses inflamasi. Dalam proses ini, sel imun mengenali signal bahaya, menghasilkan sitokin, membengkak, pecah dengan cara ruptur dan akhirnya mati. Pelepasan sitokin menarik sel imun lainnya untuk mengatasi infeksi dengan cara memicu

inflamasi. Piroptosis ditemukan pada makrofag yang terinfeksi Salmonella dan sel T terinfeksi HIV. Pada infeksi Salmonella, proses piroptosis diinisiasi oleh komponen flagelin yang serupa dengan pathogen-associated molecular patterns (PAMP) pada mikroba patogen lainnya. Komponen bakteri tersebut dikenali oleh NOD-like receptor (NLR). Reseptor ini berfungsi sama dengan reseptor membran sel lainnya yang disebut Toll-like receptor (TLR), tetapi mengenali antigen yang ada dalam sel (Birmingham dkk, 2006; Schlaepler dkk, 2006).

Gambar 4.7. Aktivasi Caspase melalui Inflamasom. Adanya signal bahaya yang ditangkap oleh sel melalui TLR pada membran sel atau NLR dalam sitoplasma. Signal bahaya seperti danger-associated molecular pattern (DAMP) dan pathogen-associated molecular pattern (PAMP) yang memicu pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS). ROS dapat memicu oligorerisasi NLRP3 dan pembentukan inflamasom NLRP3. Inflamasom NLRP3 kemudian mengaktifkan Caspase-1 yang berfungsi untuk menaktivasi dan sekresi sitokin proinflamasi seperti interleukin-1β (IL-1β) dan IL-18. (Sumber Schroder dan Tschopp, 2010).

Page 219: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 211

domain/NRLP (NLRP1 dan NLRP3) yang berikatan dengan protein adaptor, yaitu pyrin domain (PYD) dan caspase activation and recruitment domain (CARD). Inflamasom tersebut merekrut caspase 1 dan 5 (Dagenais dkk, 2012). Inflamosom berperan dalam imunitas dan sindrom metabolik (Martinon dkk 2007). Caspase 11 juga direkrut oleh inflamasom sebagai respons atas mikroba intrasel (Vigano dan Mortellaro, 2013). Sementara itu, caspase 4 berperan dalam sistem signal NLR dan mengaktifkan inflamosom (Nickles dkk, 2011). Caspase 4 juga diduga berperan dalam apoptosis yang dipicu oleh stres retikulum endoplasma (Yamamuro dkk, 2012; Li dkk, 2013). Pembentukan inflamasom biasanya terjadi sebagai respons atas adanya infeksi virus, bakteri intrasel atau signal bahaya lainya. Inflamasom diperlukan untuk aktivasi caspase yang berperan dalam aktivasi dan sekresi sitokin proinflamasi. Inflamasom yang paling banyak dikaji saat ini adalah yang dibentuk oleh reseptor NLRP3. Reseptor ini memiliki 3 domain penting, yaitu domain leucin-rich repeat (LRR), pengikatan nukleotida (di tengah) dan N-terminal pyrin domain (PYD). Interaksi antara molekul NLRP3 dan caspase-1 terjadi melalui protein adaptor yang disebut apoptosis signal complex (ASC). ASC mengandung domain CARD yang memfasilitasi aktivasi caspase melalui interaksi CARD-CARD (Kawai dan Akira, 2006). Pada inflamasom lainnya, NLRC4 dapat berinteraksi langsung dengan caspase-1 yang mempunyai CARD. Caspase-1 merupakan enzim yang mengubah pro-IL-1β menjadi Il-1β yang aktif (Fink dkk, 2006). Pro-caspase-1 dengan domain CARD 10-KDanya direkrut oleh berbagai inflamasom. Pro-caspase-1 terakivasi saat membentuk tetramer. Prosesnya terjadi secara spontan yang disebabkan oleh direkrutnya procaspase 1 ke inflamasom yang menyebabkannya teraktivasi (Labbe dkk, 2011). Caspase-1 tidak hanya berperan dalam kematian sel tetapi juga pemecahan sitokin proinflamasi IL-1β dan IL-18. Sitokin ini nantinya berperan dalam respons imun dapatan (Li dkk, 2013).

Peran inflamasom adalah untuk memicu kematian sel yang disebut piroptosis, yaitu kematian sel terprogram yang disebakan oleh respons antimikrobia selama proses inflamasi. Dalam proses ini, sel imun mengenali signal bahaya, menghasilkan sitokin, membengkak, pecah dengan cara ruptur dan akhirnya mati. Pelepasan sitokin menarik sel imun lainnya untuk mengatasi infeksi dengan cara memicu

inflamasi. Piroptosis ditemukan pada makrofag yang terinfeksi Salmonella dan sel T terinfeksi HIV. Pada infeksi Salmonella, proses piroptosis diinisiasi oleh komponen flagelin yang serupa dengan pathogen-associated molecular patterns (PAMP) pada mikroba patogen lainnya. Komponen bakteri tersebut dikenali oleh NOD-like receptor (NLR). Reseptor ini berfungsi sama dengan reseptor membran sel lainnya yang disebut Toll-like receptor (TLR), tetapi mengenali antigen yang ada dalam sel (Birmingham dkk, 2006; Schlaepler dkk, 2006).

Gambar 4.7. Aktivasi Caspase melalui Inflamasom. Adanya signal bahaya yang ditangkap oleh sel melalui TLR pada membran sel atau NLR dalam sitoplasma. Signal bahaya seperti danger-associated molecular pattern (DAMP) dan pathogen-associated molecular pattern (PAMP) yang memicu pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS). ROS dapat memicu oligorerisasi NLRP3 dan pembentukan inflamasom NLRP3. Inflamasom NLRP3 kemudian mengaktifkan Caspase-1 yang berfungsi untuk menaktivasi dan sekresi sitokin proinflamasi seperti interleukin-1β (IL-1β) dan IL-18. (Sumber Schroder dan Tschopp, 2010).

Page 220: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler212

Pada sel yang sehat, aktivasi caspase 1 membantu sel berperang melawan Salmonella, Shigella dengan memicu kematian sel untuk menekan pertumbuhan patogen (Fink dkk, 2006). Bila signal bahaya diterima oleh sel yang sedang istirahat (quiesant), caspase 1 akan teraktivasi dan sel akan menjalani piroptosis dengan menghasilkan sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan IL-18. IL-18 untuk menstimulasi produksi IFNγ dan yang menginduksi respons Th1 yang berusaha untuk menyingkirkan patogen sesegera mungkin Aktivasi sel imun meningkatkan kadar sitokin yang menyebabkan peningkatan inflamasi yang berperan dalam pembentukan kekebalan dapatan jika infeksi berlanjut (Kordes dkk, 2011)

4.4. Penghambat Caspase

Penghambatan caspase dilakukan oleh beberapa protein seperti protein keluarga IAP (inhibitors of apoptosis) yang meliputi cIAP-1, cIAP-2, ILP-2, survivin, XIAP, livin, BIRC dan NAIP yang hanya dibedakan berdasarkan adanya tiga baculoviral IAP repeats (BIR) dan beberapa motif zinc finger pada C-terminus (Verhagen dkk., 2001). Protein keluarga IAP menghambat caspase inisiator seperti casp-9 dan caspase efektor seperti casp-3, dan 7 melalui proses yang berbeda (Kasof dan Gomes, 2001). Dalam menghambat aktivitas caspase, IAP melibatkan proses ubiquitinasi (Vaux dan Silke, 2005). Beberapa caspase seperti caspase 1, 2, 6, 8 dan 10 tidak dihambat oleh protein keluarga IAP.(Ho dkk., 2005). Aktivitas caspase-8 diatur oleh keluarga protein yang disebut FADD-like ICE (FLICE)-inhibitory protein (FLIP). FLIP yang diperoleh dari virus (v-FLIPs) dapat berikatan dengan FADD dan caspase-8 yang kemudian menghambat perekrutan caspsase 8 ke DISC sehingga caspase 8 mengalami inaktivasi. Sementara itu, pengaturan kerja caspase-9 dilakukan oleh protein mitokondria yang disebut Smac ⁄DIABLO dan HtrA2 ⁄Omi (Verhagen dkk, 2002; Suzuki dkk , 2001).

4.5. Mekanisme Apoptosis

Apoptosis merupakan proses yang rumit dan melibatkan berbagai sistem signal sel yang pemicunya dapat berasal dari luar sel maupun dari dalam sel. Dalam proses ini, enzim yang penting dalam

proses apoptosis adalah caspase. Enzim caspase terlibat dalam tahap awal apoptosis (inisiator) maupun tahan akhir apoptosis (eksekusioner). Pada sel normal, caspase umumnya berada dalam bentuk inaktif dan menjadi aktif setelah mengalami pembelahan. Caspase eksekusioner kemudian berfungsi untuk mengancurkan dan mendegradasi komponen sel, seperti protein struktural dalam sitoskeleton dan protein inti sel yang berperan dalam reparasi DNA. Caspase juga mengaktifkan enzim DNAase yang merusak DNA dalam inti sel.

Selama apoptosis, sel mengalami perubahan bentuk yang dimulai dengan mengkerut karena ada degradasi inti sel dan filamen aktin pada sitoskleton. Penghancuran kromatin dalam inti sel menyebabkan kondensasi inti sel dan umumnya inti sel tampak seperti sepatu kuda. Sel terus mengecil dan mengemas dirinya dalam bentuk yang mudah dihancurkan oleh makrofag. Dalam menyingkirkan sel apoptosis, makrofag bekerja dengan rapi untuk menghindari kematian sel secara nekrosis. Sel apoptosis memicu aktivasi makrofag dengan cara mengubah membran selnya. Salah satu perubahan tersebut adalah dengan memindahkan phosphatidylserine dari dalam sel ke permukaan sel (Lee dkk, 2013). Akhir dari apoptosis adalah munculnya gelembung membran sel (Gambar 4.8.).

Gambar 4.8. Perubahan morfologi sel yang mengalami apoptosis. Sel apoptosis tampak mengkerut dan pembentukan apoptotic bodies.

Page 221: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 213

Pada sel yang sehat, aktivasi caspase 1 membantu sel berperang melawan Salmonella, Shigella dengan memicu kematian sel untuk menekan pertumbuhan patogen (Fink dkk, 2006). Bila signal bahaya diterima oleh sel yang sedang istirahat (quiesant), caspase 1 akan teraktivasi dan sel akan menjalani piroptosis dengan menghasilkan sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan IL-18. IL-18 untuk menstimulasi produksi IFNγ dan yang menginduksi respons Th1 yang berusaha untuk menyingkirkan patogen sesegera mungkin Aktivasi sel imun meningkatkan kadar sitokin yang menyebabkan peningkatan inflamasi yang berperan dalam pembentukan kekebalan dapatan jika infeksi berlanjut (Kordes dkk, 2011)

4.4. Penghambat Caspase

Penghambatan caspase dilakukan oleh beberapa protein seperti protein keluarga IAP (inhibitors of apoptosis) yang meliputi cIAP-1, cIAP-2, ILP-2, survivin, XIAP, livin, BIRC dan NAIP yang hanya dibedakan berdasarkan adanya tiga baculoviral IAP repeats (BIR) dan beberapa motif zinc finger pada C-terminus (Verhagen dkk., 2001). Protein keluarga IAP menghambat caspase inisiator seperti casp-9 dan caspase efektor seperti casp-3, dan 7 melalui proses yang berbeda (Kasof dan Gomes, 2001). Dalam menghambat aktivitas caspase, IAP melibatkan proses ubiquitinasi (Vaux dan Silke, 2005). Beberapa caspase seperti caspase 1, 2, 6, 8 dan 10 tidak dihambat oleh protein keluarga IAP.(Ho dkk., 2005). Aktivitas caspase-8 diatur oleh keluarga protein yang disebut FADD-like ICE (FLICE)-inhibitory protein (FLIP). FLIP yang diperoleh dari virus (v-FLIPs) dapat berikatan dengan FADD dan caspase-8 yang kemudian menghambat perekrutan caspsase 8 ke DISC sehingga caspase 8 mengalami inaktivasi. Sementara itu, pengaturan kerja caspase-9 dilakukan oleh protein mitokondria yang disebut Smac ⁄DIABLO dan HtrA2 ⁄Omi (Verhagen dkk, 2002; Suzuki dkk , 2001).

4.5. Mekanisme Apoptosis

Apoptosis merupakan proses yang rumit dan melibatkan berbagai sistem signal sel yang pemicunya dapat berasal dari luar sel maupun dari dalam sel. Dalam proses ini, enzim yang penting dalam

proses apoptosis adalah caspase. Enzim caspase terlibat dalam tahap awal apoptosis (inisiator) maupun tahan akhir apoptosis (eksekusioner). Pada sel normal, caspase umumnya berada dalam bentuk inaktif dan menjadi aktif setelah mengalami pembelahan. Caspase eksekusioner kemudian berfungsi untuk mengancurkan dan mendegradasi komponen sel, seperti protein struktural dalam sitoskeleton dan protein inti sel yang berperan dalam reparasi DNA. Caspase juga mengaktifkan enzim DNAase yang merusak DNA dalam inti sel.

Selama apoptosis, sel mengalami perubahan bentuk yang dimulai dengan mengkerut karena ada degradasi inti sel dan filamen aktin pada sitoskleton. Penghancuran kromatin dalam inti sel menyebabkan kondensasi inti sel dan umumnya inti sel tampak seperti sepatu kuda. Sel terus mengecil dan mengemas dirinya dalam bentuk yang mudah dihancurkan oleh makrofag. Dalam menyingkirkan sel apoptosis, makrofag bekerja dengan rapi untuk menghindari kematian sel secara nekrosis. Sel apoptosis memicu aktivasi makrofag dengan cara mengubah membran selnya. Salah satu perubahan tersebut adalah dengan memindahkan phosphatidylserine dari dalam sel ke permukaan sel (Lee dkk, 2013). Akhir dari apoptosis adalah munculnya gelembung membran sel (Gambar 4.8.).

Gambar 4.8. Perubahan morfologi sel yang mengalami apoptosis. Sel apoptosis tampak mengkerut dan pembentukan apoptotic bodies.

Page 222: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler214

Apoptosis dapat terjadi karena berbagai stimulus yang memicu kematian sel seperti infeksi virus, stres sel dan kerusakan DNA. Stimulus dapat berasal dari luar atau dari dalam sel. Faktor dari luar sel terdiri atas faktor larut seperti TNF, FasL dan TRAIL atau ekspresi antigen tertentu pada permukaan sel seperti virus, bakteri intrasel dan antigen kanker. Apoptosis jalur intrinsik muncul setelah sel mengalami stres akibat radiasi atau terpapar senyawa kimia atau infeksi agen penyakit. Apoptosis juga dapat terjadi karena sel kehilangan faktor pertumbuhan yang menginaktifkan reseptor pertumbuhan dan stres oksidatif oleh senyawa radikal bebas. Jalur intrinsik umumnya melibatkan mitokondria melalui aktivasi protein keluarga Bcl-2 proapoptosis.

4.5.1. Peran Mitokondria dalam Apoptosis

Mitokondria berperan amat penting dalam pengaturan kehidupan sel termasuk pengaturan apoptosis. Mitokondria mengandung berbagai protein pro-apoptosis seperti apoptosis inducing factor (AIF), Smac/DIABLO dan sitokrom c. Faktor tersebut dilepaskan dari mitokondria setelah pembentukan pori pada membran mitokondria yang disebut MOMP. Pori ini terbentuk oleh kerja sejumlah protein proapptosis keluarga Bcl-2 yang diaktifkan melalui sistem signal apoptosis seperti stres sel, kerusakan DNA oleh radikal bebas, dan hilangnya faktor pertumbuhan. Mitokondria berperan penting dalam meningkatkan aktivitas sistem signal apotptosis dari reseptor kematian yang mengaktifkan caspase 8 dan protein Bid yang merupakan keluarga Bcl-2 pro-apoptosis

Gambar 4.9. Peran mitokondria dalam apoptosis. Signal apoptosis yang dipicu oleh berbagai faktor instrinsik memicu aktivasi protein Bad yang berperan dalam mengaktifkan protein Bcl-2 BH1, 2, 3 (Bax dan Bak) yang proapoptosis. Aktivasi protein ini memicu pembentukan pori membran mitokondria dan pelepasan sitokrom C yang memicu kaskade caspase yang berakhir dengan apoptosis. Sumber Dash P. Basic Medical Sciences, St.George’s, University of London www.sgul.ac.uk/dept/immunology/~dash

4.5.2. Peran Protein Keluarga Bcl-2

Protein keluarga Bcl-2 dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yang masing masing memainkan peran yang berbeda dalam proses apoptosis. Kelompok pertama terdiri atas protein dengan 4 domain Bcl-2 homoloy (BH), yaitu BH1,2,3 dan 4 (Bcl-2 dan Bcl-XL). Kelompok kedua mengandung 3 domain BH (1, 2, 3) (Bax/Bak) dan kelompok ketiga mengandung hanya domain BH3 (BH3 only) (Bid, Bad, Bim, Bik). Semua protein keluarga Bcl2 antiapoptosis mengandung domain BH1 dan BH2, dan beberapa di antaranya mengandung domain BH4 pada terminal N (Bcl-2, Bcl-xL, Bcl-w) yang juga ditemukan pada beberapa protein pro-apoptosis seperti Bcl-x(S), Diva, Bok-L dan Bok-S. Sementara itu, semua protein Bcl-2 proapoptosis mengandung domain BH3 yang diperlukan untuk membentuk dimerisasi dengan protein lainnya. Dimerisasi merupakan proses yang sangat penting bagi

Page 223: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 215

Apoptosis dapat terjadi karena berbagai stimulus yang memicu kematian sel seperti infeksi virus, stres sel dan kerusakan DNA. Stimulus dapat berasal dari luar atau dari dalam sel. Faktor dari luar sel terdiri atas faktor larut seperti TNF, FasL dan TRAIL atau ekspresi antigen tertentu pada permukaan sel seperti virus, bakteri intrasel dan antigen kanker. Apoptosis jalur intrinsik muncul setelah sel mengalami stres akibat radiasi atau terpapar senyawa kimia atau infeksi agen penyakit. Apoptosis juga dapat terjadi karena sel kehilangan faktor pertumbuhan yang menginaktifkan reseptor pertumbuhan dan stres oksidatif oleh senyawa radikal bebas. Jalur intrinsik umumnya melibatkan mitokondria melalui aktivasi protein keluarga Bcl-2 proapoptosis.

4.5.1. Peran Mitokondria dalam Apoptosis

Mitokondria berperan amat penting dalam pengaturan kehidupan sel termasuk pengaturan apoptosis. Mitokondria mengandung berbagai protein pro-apoptosis seperti apoptosis inducing factor (AIF), Smac/DIABLO dan sitokrom c. Faktor tersebut dilepaskan dari mitokondria setelah pembentukan pori pada membran mitokondria yang disebut MOMP. Pori ini terbentuk oleh kerja sejumlah protein proapptosis keluarga Bcl-2 yang diaktifkan melalui sistem signal apoptosis seperti stres sel, kerusakan DNA oleh radikal bebas, dan hilangnya faktor pertumbuhan. Mitokondria berperan penting dalam meningkatkan aktivitas sistem signal apotptosis dari reseptor kematian yang mengaktifkan caspase 8 dan protein Bid yang merupakan keluarga Bcl-2 pro-apoptosis

Gambar 4.9. Peran mitokondria dalam apoptosis. Signal apoptosis yang dipicu oleh berbagai faktor instrinsik memicu aktivasi protein Bad yang berperan dalam mengaktifkan protein Bcl-2 BH1, 2, 3 (Bax dan Bak) yang proapoptosis. Aktivasi protein ini memicu pembentukan pori membran mitokondria dan pelepasan sitokrom C yang memicu kaskade caspase yang berakhir dengan apoptosis. Sumber Dash P. Basic Medical Sciences, St.George’s, University of London www.sgul.ac.uk/dept/immunology/~dash

4.5.2. Peran Protein Keluarga Bcl-2

Protein keluarga Bcl-2 dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yang masing masing memainkan peran yang berbeda dalam proses apoptosis. Kelompok pertama terdiri atas protein dengan 4 domain Bcl-2 homoloy (BH), yaitu BH1,2,3 dan 4 (Bcl-2 dan Bcl-XL). Kelompok kedua mengandung 3 domain BH (1, 2, 3) (Bax/Bak) dan kelompok ketiga mengandung hanya domain BH3 (BH3 only) (Bid, Bad, Bim, Bik). Semua protein keluarga Bcl2 antiapoptosis mengandung domain BH1 dan BH2, dan beberapa di antaranya mengandung domain BH4 pada terminal N (Bcl-2, Bcl-xL, Bcl-w) yang juga ditemukan pada beberapa protein pro-apoptosis seperti Bcl-x(S), Diva, Bok-L dan Bok-S. Sementara itu, semua protein Bcl-2 proapoptosis mengandung domain BH3 yang diperlukan untuk membentuk dimerisasi dengan protein lainnya. Dimerisasi merupakan proses yang sangat penting bagi

Page 224: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler216

aktivitas apoptosis dan beberapa di antaranya mengandung domain BH1 dan BH2 (Bax, Bak) (Bras dkk, 2005)

Gambar 4.10. Protein keluarga Bcl-2 yang terlibat dalam pengaturan apoptosis dan kehidupan sel. Protein keluarga Bcl-2 memiliki domain Bcl-2 homology (BH), yang dibedakan menjadi 2 katagori yaitu antiapoptosis (prokehidupan) dan proapoptosis. Kelompok protein BH3-only merupakan protein proapoptosis yang mengatur kematian sel. Protein BH3-only tersebut tidak mampu membunuh sel tanpa adanya Bax dan Bak. Protein pro apoptosis multidomain (BH1, BH2, dan BH3) seperti Bax dan Bak mempunyai poket hidrofobik yang berikatan dengan protein multidomain (BH1, BH2, BH3, BH4) yang antiapoptosis.Ikatan ini meredam aktivitas Bax/Bak untuk membentuk kanal pada permukaan mitokondria. Protein BH-3 only berfungsi mengikat protein BH1-4 yang antiapoptosis dan bila sintesis BH3 only meningkat, maka Bax/Bak akan terlepas dari protein BH1,2,3,4 sehingga memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Brass dkk, 2005)

Kelompok Bcl-2 anti apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-XL umumnya bekerja dengan mengikat protein proapoptosis Bax/Bax sehingga meniadakan aktivitasnya untuk membentuk pori pada

permukaan mitokondria. Semetara itu, protein proapoptosis, Bid, Bad, Bim dan, Bik bekerja dengan cara mengikat protein antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL dan melepaskan protein pro-apoptosis Bax/Bak dari kompleks Bcl-2-Bax/Bak atau Bcl-XL-Bax-Bak (Basañez dan Hardwick, 2008). Pelepasan Bax dari kompleks tersebut memicu translokasi Bax untuk menempati membran mitokondria untuk membentuk pori. Semantara itu, protein Bak yang secara terus menerus berada di membran mitokondria teraktivasi dan mengalami dimerisasi setelah terlepas dari ikatannya dengan protein antiapoptosis (Bcl-2 dan Bcl-XL). Pembentukan pori pada membran mitokondria menyebabkan pelepasan sitokrom C dan protein lainya yang diperlukan untuk memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Chen dkk, 2005).

Tabel 4.2. Profil ikatan di antara protein keluarga Bcl-2

BH1234 BH123 BH3-only

Aktivator Sensitisizer

Bcl-2 Bax-Bid Bim, PUMA Bmf, Bad

Bcl-XL Bax, Bax, Bid

Bim, PUMA Bmf, Bad, Bik, Hrk

Bcl-w Bax, Bak, Bid

Bim Puma Bmf, Bad, Birk, Hrk

Mcl-1 Bak, Bid Bim, Puma Noxa, Hrk

A1 Bax, Bid Bim, Puma Noxa, Hrk, Bik

Sumber Chen dkk, 2005, Shamas-Din dkk, 2013

Cold Spring Harb Perspect Biol. 2013 Apr 1;5(4):a008714. doi: 10.1101/cshperspect.a008714.

Shamas-Din A, Kale J, Leber B, Andrews DW. 2013. Mechanisms of action of Bcl-2 family proteins. Cold Spring Harb Perspect Biol. 2013 Apr 1;5(4):a008714. doi: 10.1101/cshperspect.a008714

Page 225: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 217

aktivitas apoptosis dan beberapa di antaranya mengandung domain BH1 dan BH2 (Bax, Bak) (Bras dkk, 2005)

Gambar 4.10. Protein keluarga Bcl-2 yang terlibat dalam pengaturan apoptosis dan kehidupan sel. Protein keluarga Bcl-2 memiliki domain Bcl-2 homology (BH), yang dibedakan menjadi 2 katagori yaitu antiapoptosis (prokehidupan) dan proapoptosis. Kelompok protein BH3-only merupakan protein proapoptosis yang mengatur kematian sel. Protein BH3-only tersebut tidak mampu membunuh sel tanpa adanya Bax dan Bak. Protein pro apoptosis multidomain (BH1, BH2, dan BH3) seperti Bax dan Bak mempunyai poket hidrofobik yang berikatan dengan protein multidomain (BH1, BH2, BH3, BH4) yang antiapoptosis.Ikatan ini meredam aktivitas Bax/Bak untuk membentuk kanal pada permukaan mitokondria. Protein BH-3 only berfungsi mengikat protein BH1-4 yang antiapoptosis dan bila sintesis BH3 only meningkat, maka Bax/Bak akan terlepas dari protein BH1,2,3,4 sehingga memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Brass dkk, 2005)

Kelompok Bcl-2 anti apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-XL umumnya bekerja dengan mengikat protein proapoptosis Bax/Bax sehingga meniadakan aktivitasnya untuk membentuk pori pada

permukaan mitokondria. Semetara itu, protein proapoptosis, Bid, Bad, Bim dan, Bik bekerja dengan cara mengikat protein antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL dan melepaskan protein pro-apoptosis Bax/Bak dari kompleks Bcl-2-Bax/Bak atau Bcl-XL-Bax-Bak (Basañez dan Hardwick, 2008). Pelepasan Bax dari kompleks tersebut memicu translokasi Bax untuk menempati membran mitokondria untuk membentuk pori. Semantara itu, protein Bak yang secara terus menerus berada di membran mitokondria teraktivasi dan mengalami dimerisasi setelah terlepas dari ikatannya dengan protein antiapoptosis (Bcl-2 dan Bcl-XL). Pembentukan pori pada membran mitokondria menyebabkan pelepasan sitokrom C dan protein lainya yang diperlukan untuk memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Chen dkk, 2005).

Tabel 4.2. Profil ikatan di antara protein keluarga Bcl-2

BH1234 BH123 BH3-only

Aktivator Sensitisizer

Bcl-2 Bax-Bid Bim, PUMA Bmf, Bad

Bcl-XL Bax, Bax, Bid

Bim, PUMA Bmf, Bad, Bik, Hrk

Bcl-w Bax, Bak, Bid

Bim Puma Bmf, Bad, Birk, Hrk

Mcl-1 Bak, Bid Bim, Puma Noxa, Hrk

A1 Bax, Bid Bim, Puma Noxa, Hrk, Bik

Sumber Chen dkk, 2005, Shamas-Din dkk, 2013

Cold Spring Harb Perspect Biol. 2013 Apr 1;5(4):a008714. doi: 10.1101/cshperspect.a008714.

Shamas-Din A, Kale J, Leber B, Andrews DW. 2013. Mechanisms of action of Bcl-2 family proteins. Cold Spring Harb Perspect Biol. 2013 Apr 1;5(4):a008714. doi: 10.1101/cshperspect.a008714

Page 226: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler218

Gambar 4.11. Skema hubungan kerja ketiga kelompok protein keluarga Bcl-2. Protein Bcl-2 antiapoptosis (Bcl-XL, Mcl-1 dan Bcl-2) berfungsi untuk mengikat protein Bcl2 BH1, 2,3 yang proapoptosis (Bak dan Bx). Protein Bcl-2 BH3 only berfungsi untuk mengikat protein BH1,2,3,4 yang memicu pelepasan protein Bax dan Bax (Sumber Chen dkk, 2005; Basanez dan Hardwick, 2008)

4.5.3. Apoptosis Jalur Ekstrinsik

Apoptosis melalui jalur ekstrinsik dapat dipicu oleh beberapa keadaan yang menyebabkan aktivasi reseptor kematian seperti Fas atau TNFR. Aktivasi reseptor biasanya terjadi melalui ikatan ligand ekstrasel dengan reseptornya. Pada keadaan normal, sel mempertahankan daya hidupnya dengan mengaktifkan faktor yang memicu sel untuk hidup dan tumbuh, seperti hormon dan faktor pertumbuhan. Hormon dan faktor pertumbuhan mempertahankan kehidupan sel dengan cara berikatan dengan reseptornya. Apoptosis dapat terjadi apabila faktor pertumbuhan tidak lagi berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Selain itu, apoptosis jalur ekstrinsik dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti radiasi sinar ultraviolet dan pelepasan berbagai ligand untuk mengaktifkan reseptor kematian sel.

Reseptor kematian yang terlibat dalam proses apoptosis ekstrinsik adalah reseptor TNF1 (p55 atau CD120a), Fas (CD95/APO-1), DR3(Apo3 atau WSL1), DR4 (TRAIL-R1) dan DR5 (TRAIL-R2) (Haupt dkk, 2003; Yan dan Shi, 2005; Elmore, 2007).

Apoptosis akibat radiasi sinar ultraviolet B (UV-B) dapat terjadi dengan dan tanpa melibatkan ligand (Clément dkk, 2007). Aktivasi reseptor kematian diikuti oleh pembentukan DISC yang terdiri atas molekul adaptor FADD dan caspase-8. FADD berikatan dengan procaspase 8 melalui domain efektor kematiannya (DED) (Boatright dan Salvesen, 2003). DISC yang terbentuk tersebut kemudian mengaktifkan caspase 8 yang kemudian dapat langsung memecah dan mengaktifkkan caspase efektor, seperti caspase 7 dan cacspase 3 atau memicu apoptosis melalui jalur mitokondria. Proses apoptosis melalui jalur mitokondria terjadi dengan mengaktifkan protein Bid yang menyebabkan apoptosis jalur instrinsik (Luo dkk., 1988).

Paparan radiasi memicu apoptosis dengan mengaktifkan beberapa jalur MAPK, seperti ERK1/2, JNK, dan p38 MAPK (Peus dkk., 1999). Jalur MAPK/p38 memediasi apoptosis akibat radiasi sinar UV-B dengan menginduksi pelepasan sitokrom C dari mitokondria ke sitosol yang kemudian diikuti oleh aktivasi procaspase- 3 menjadi caspase 3. Radiasi sinar UV B juga memicu apoptosis pada sel melalui jalur MAPK/JNK-1 yang diperantarai oleh protein supresor tumor ING3 yang berlokasi dalam inti sel (Wang dan Li, 2006). Protein ini memodulasi ekspresi Fas yang merupakan reseptor kematian pada membran sel. Ekspresi Fas memicu aktivasi Fas/Caspase-8 dan sistem signal berikutnya melalui jalur protein Bid. Pada jalur ini, caspase 10 juga terlibat dengan cara yang sama seperti yang diperankan oleh caspase 8

Paparan sinar UV-B, baik langsung maupun melalui kerusakan DNA inti sel, dapat mengaktifkan reseptor kematian, Fas, dan TNF-R, pada permukaan sel dengan meningkatkan produksi ligand kematian sel, seperti TNF dan FasL. UVR dapat juga mengaktifkan reseptor kematian secara langsung yang tidak tergantung pada ligand dengan menginduksi trimerisasi reseptor kematian yang kemudian mentransduksi signal kematian melalui domain kematian intrasel yaitu Fas associated death domain (FADD) dan memicu apoptosis baik

Page 227: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 219

Gambar 4.11. Skema hubungan kerja ketiga kelompok protein keluarga Bcl-2. Protein Bcl-2 antiapoptosis (Bcl-XL, Mcl-1 dan Bcl-2) berfungsi untuk mengikat protein Bcl2 BH1, 2,3 yang proapoptosis (Bak dan Bx). Protein Bcl-2 BH3 only berfungsi untuk mengikat protein BH1,2,3,4 yang memicu pelepasan protein Bax dan Bax (Sumber Chen dkk, 2005; Basanez dan Hardwick, 2008)

4.5.3. Apoptosis Jalur Ekstrinsik

Apoptosis melalui jalur ekstrinsik dapat dipicu oleh beberapa keadaan yang menyebabkan aktivasi reseptor kematian seperti Fas atau TNFR. Aktivasi reseptor biasanya terjadi melalui ikatan ligand ekstrasel dengan reseptornya. Pada keadaan normal, sel mempertahankan daya hidupnya dengan mengaktifkan faktor yang memicu sel untuk hidup dan tumbuh, seperti hormon dan faktor pertumbuhan. Hormon dan faktor pertumbuhan mempertahankan kehidupan sel dengan cara berikatan dengan reseptornya. Apoptosis dapat terjadi apabila faktor pertumbuhan tidak lagi berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel. Selain itu, apoptosis jalur ekstrinsik dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti radiasi sinar ultraviolet dan pelepasan berbagai ligand untuk mengaktifkan reseptor kematian sel.

Reseptor kematian yang terlibat dalam proses apoptosis ekstrinsik adalah reseptor TNF1 (p55 atau CD120a), Fas (CD95/APO-1), DR3(Apo3 atau WSL1), DR4 (TRAIL-R1) dan DR5 (TRAIL-R2) (Haupt dkk, 2003; Yan dan Shi, 2005; Elmore, 2007).

Apoptosis akibat radiasi sinar ultraviolet B (UV-B) dapat terjadi dengan dan tanpa melibatkan ligand (Clément dkk, 2007). Aktivasi reseptor kematian diikuti oleh pembentukan DISC yang terdiri atas molekul adaptor FADD dan caspase-8. FADD berikatan dengan procaspase 8 melalui domain efektor kematiannya (DED) (Boatright dan Salvesen, 2003). DISC yang terbentuk tersebut kemudian mengaktifkan caspase 8 yang kemudian dapat langsung memecah dan mengaktifkkan caspase efektor, seperti caspase 7 dan cacspase 3 atau memicu apoptosis melalui jalur mitokondria. Proses apoptosis melalui jalur mitokondria terjadi dengan mengaktifkan protein Bid yang menyebabkan apoptosis jalur instrinsik (Luo dkk., 1988).

Paparan radiasi memicu apoptosis dengan mengaktifkan beberapa jalur MAPK, seperti ERK1/2, JNK, dan p38 MAPK (Peus dkk., 1999). Jalur MAPK/p38 memediasi apoptosis akibat radiasi sinar UV-B dengan menginduksi pelepasan sitokrom C dari mitokondria ke sitosol yang kemudian diikuti oleh aktivasi procaspase- 3 menjadi caspase 3. Radiasi sinar UV B juga memicu apoptosis pada sel melalui jalur MAPK/JNK-1 yang diperantarai oleh protein supresor tumor ING3 yang berlokasi dalam inti sel (Wang dan Li, 2006). Protein ini memodulasi ekspresi Fas yang merupakan reseptor kematian pada membran sel. Ekspresi Fas memicu aktivasi Fas/Caspase-8 dan sistem signal berikutnya melalui jalur protein Bid. Pada jalur ini, caspase 10 juga terlibat dengan cara yang sama seperti yang diperankan oleh caspase 8

Paparan sinar UV-B, baik langsung maupun melalui kerusakan DNA inti sel, dapat mengaktifkan reseptor kematian, Fas, dan TNF-R, pada permukaan sel dengan meningkatkan produksi ligand kematian sel, seperti TNF dan FasL. UVR dapat juga mengaktifkan reseptor kematian secara langsung yang tidak tergantung pada ligand dengan menginduksi trimerisasi reseptor kematian yang kemudian mentransduksi signal kematian melalui domain kematian intrasel yaitu Fas associated death domain (FADD) dan memicu apoptosis baik

Page 228: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler220

secara langsung maupun dengan pelepasan sitokrom C oleh mitokondria (Daher dkk, 2006)

Gambar 4.12. Skema Kerja Apoptosis Jalur Ekstrinsik. Apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dengan aktivasi reseptor kematian (Fas) oleh ligandnya (FasL). Aktivasi reseptor kematian diikuti oleh pembentukan komleks pemicu kematian sel, DISC, yang berfungsi untuk merekrut dan mengaktifkan caspase 8. Caspase 8 kemudian mengaktifkan langsung caspase 3/7 yang memicu apoptosis. Caspase 8 juga dapat mengaktifkan protein bid menjadi tBid yang memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Sumber : Daher dkk, 2006)

4.5. 4. Apoptosis Jalur Intrinsik

Secara molekuler, apoptosis jalur intrinsik dimulai dari pelepasan protein ATM/ATR dan CHK2 yang menyebabkan akumulasi p53 karena tidak lagi berikatan dengan protein MDM2. Protein ATM/ATR teraktivasi sebagai akibat dari adanya kerusakan DNA yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pada keadaan normal, p53 selalu berikatan dengan protein mouse double minute 2 (MDM2) dan ikatannya dengan MDM2-p53 menghambat fungsi apoptosis dari p53

karena ikatan tersebut memicu ubiquitinasi p53 yang dikatalisis oleh aktivitas MDM2 sebagai ubiquitinase. Dengan demikian, kadar p53 selalu dipertahankan rendah agar aktivitas sel tidak dihambat. Dilepaskannya p53 oleh MDM2 menghambat protein Bcl2 anti-apoptosis dan menstimulasi aktivasi protein proapoptotis BH3-only (Bim, Noxa, PUMA). Protein BH3 only inilah yang mengaktifkan protein Bax/Bak untuk membentuk oligomer pada permukaan mitokondria sebagai kanal bagi pelepasan sitokrom C ke sitosol. Pembentukan kanal tersebut juga memicu pelepasan protein Smac/DIABLO, Omi/HtrA2 yang memicu ikatan sitokrom C dengan Apaf-1 dalam pembentukan apoptosom yang bergantung pada dATP/ATP yang mengaktifkan caspase 9 (Grasso dkk, 2012)

Omi/HtrA2 bekerja dengan menghambat aktivitas penghambat caspase dari protein IAP (survivin) yang memicu aktivasi caspase eksekutor yaitu casp-3/7. Apoptosis yang tidak tergantung pada p53 terjadi melalui aktivasi enzim CHK2 yang dimediasi oleh sistem signal E2F-1 sebagai faktor transkripsi berbagai gen target yang proapoptosis seperti gen penyandi protein p73 dan protein procaspase. Pelepasan AIF dan Endo-G dari mitokondria juga memicu kematian sel melalui fragmentasi DNA yang tidak tergantung pada aktivitas caspase (Fulda dkk. 2010)

Sitokrom C yang dilepaskan melalui membran mitokondria merupakan aktivator dari pembentukan apoptosom yang berperan dalam aktivasi caspase-9. Setelah dilepaskan dari dari mitokondria, sitokrom C berikatan dengan Apaf-1 yang memicunya untuk membentuk oligemer Apaf-sitokrom C. Oligomer yang terdiri atas 7 molekul Apaf-1-sitokrom C membentuk kasatuan simetri membentang yang aktif dan disebut apoptosom (Gambar 4.6) yang berfungsi untuk mengaktifkan procaspase- 9. Aktivasi caspase 9 terjadi setelah procaspase 9 melalui domain CARDnya berikatan dengan CARD pada molekul Apaf-1 dari kompleks apoptosom. Caspase-9 yang telah teraktivasi kemudian membentuk holoenzim yang berfungsi untuk mengaktifkan caspase eksekusioner yaitu caspase 3/7 untuk mengekskesi kematian sel (Jiang dan Wang, 2004).

Page 229: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 221

secara langsung maupun dengan pelepasan sitokrom C oleh mitokondria (Daher dkk, 2006)

Gambar 4.12. Skema Kerja Apoptosis Jalur Ekstrinsik. Apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dengan aktivasi reseptor kematian (Fas) oleh ligandnya (FasL). Aktivasi reseptor kematian diikuti oleh pembentukan komleks pemicu kematian sel, DISC, yang berfungsi untuk merekrut dan mengaktifkan caspase 8. Caspase 8 kemudian mengaktifkan langsung caspase 3/7 yang memicu apoptosis. Caspase 8 juga dapat mengaktifkan protein bid menjadi tBid yang memicu apoptosis melalui jalur mitokondria (Sumber : Daher dkk, 2006)

4.5. 4. Apoptosis Jalur Intrinsik

Secara molekuler, apoptosis jalur intrinsik dimulai dari pelepasan protein ATM/ATR dan CHK2 yang menyebabkan akumulasi p53 karena tidak lagi berikatan dengan protein MDM2. Protein ATM/ATR teraktivasi sebagai akibat dari adanya kerusakan DNA yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pada keadaan normal, p53 selalu berikatan dengan protein mouse double minute 2 (MDM2) dan ikatannya dengan MDM2-p53 menghambat fungsi apoptosis dari p53

karena ikatan tersebut memicu ubiquitinasi p53 yang dikatalisis oleh aktivitas MDM2 sebagai ubiquitinase. Dengan demikian, kadar p53 selalu dipertahankan rendah agar aktivitas sel tidak dihambat. Dilepaskannya p53 oleh MDM2 menghambat protein Bcl2 anti-apoptosis dan menstimulasi aktivasi protein proapoptotis BH3-only (Bim, Noxa, PUMA). Protein BH3 only inilah yang mengaktifkan protein Bax/Bak untuk membentuk oligomer pada permukaan mitokondria sebagai kanal bagi pelepasan sitokrom C ke sitosol. Pembentukan kanal tersebut juga memicu pelepasan protein Smac/DIABLO, Omi/HtrA2 yang memicu ikatan sitokrom C dengan Apaf-1 dalam pembentukan apoptosom yang bergantung pada dATP/ATP yang mengaktifkan caspase 9 (Grasso dkk, 2012)

Omi/HtrA2 bekerja dengan menghambat aktivitas penghambat caspase dari protein IAP (survivin) yang memicu aktivasi caspase eksekutor yaitu casp-3/7. Apoptosis yang tidak tergantung pada p53 terjadi melalui aktivasi enzim CHK2 yang dimediasi oleh sistem signal E2F-1 sebagai faktor transkripsi berbagai gen target yang proapoptosis seperti gen penyandi protein p73 dan protein procaspase. Pelepasan AIF dan Endo-G dari mitokondria juga memicu kematian sel melalui fragmentasi DNA yang tidak tergantung pada aktivitas caspase (Fulda dkk. 2010)

Sitokrom C yang dilepaskan melalui membran mitokondria merupakan aktivator dari pembentukan apoptosom yang berperan dalam aktivasi caspase-9. Setelah dilepaskan dari dari mitokondria, sitokrom C berikatan dengan Apaf-1 yang memicunya untuk membentuk oligemer Apaf-sitokrom C. Oligomer yang terdiri atas 7 molekul Apaf-1-sitokrom C membentuk kasatuan simetri membentang yang aktif dan disebut apoptosom (Gambar 4.6) yang berfungsi untuk mengaktifkan procaspase- 9. Aktivasi caspase 9 terjadi setelah procaspase 9 melalui domain CARDnya berikatan dengan CARD pada molekul Apaf-1 dari kompleks apoptosom. Caspase-9 yang telah teraktivasi kemudian membentuk holoenzim yang berfungsi untuk mengaktifkan caspase eksekusioner yaitu caspase 3/7 untuk mengekskesi kematian sel (Jiang dan Wang, 2004).

Page 230: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler222

Gambar 4.13. Skema kerja p53 dalam memicu apoptosis. Ketika sel mengalami stres karena agen perusak DNA, kadar p53 dalam sel naik dan teraktivasi. Protein p53 yang teraktivasi (terlepas dari MDM2) merupakan faktor transkripsi berbagai gen target yang salah satunya adalah gen penyandi p21 yang berfungsi untuk menahan siklus sel yang memungkinkan sel untuk mereparasi DNA yang rusak. Protein p53 juga dapat mengikat protein antiapoptosis dan melepaskan proein Bax pada membran mitokondria yang memicu apoptosis. Protein p53 juga bertindak sebagai faktor transkripsi protein BH3-only dan reseptor TRAIL-R2 dan Fas yang memicu apoptosis (Grasso dkk, 2012)

Gambar 4.14. Molekul yang terlibat dalam apoptosis sel akibat kerusakan DNA. Kerusakan DNA oleh radiasi pengionan, SUV dan genotoksin dapat menimbulkan DNA patahan dua atau satu untai DNA

(double strand breaks /DSB atau single strand breaks/SSB) yang menimbulkan lesi pada DNA. Pada DSB, protein yang direkrut ke tempat lesi DNA adalah ataxia telangiectasia mutated (ATM) yang berfungsi untuk memfosforilasi checkpoint kinase 2 (Chk2) yang selanjutnya memfosforilasi p53. Fosforilasi p53 memicu transkripsi p21 yang berfungsi untuk menahan siklus sel dan memungkinkan sel untuk mereparasi DNAnya. Namun, jika kerusakan DNA tidak tereparasi, maka p53 dapat memicu apoptosis melalui pelepasan protein Bcl-2 pro-apoptosis seperti Bax, Puma, Noxa, dan Fas. Pada SSB, protein yang direkrut ke tempat lesi adalah ataxia telangietaxia and Rad3 related (ATR) yang berfungsi untuk memfosforilasi Chk1. Chk1 memfosforilasi dan menghambat cdc25c yang menahan siklus sel pada fase G2/M. (Sumber Fulda dkk. 2010).

Selain dengan memicu transkripsi gen target proapoptosis, p53 juga dapat secara langsung berinteraksi dengan protein (Bcl-2, Bcl-XL) yang mengikat dan menginaktifkan protein Bak/Bax. Protein Bak secara tetap menempati membran bagian luar dari mitokondria, sedangkan Bax ditemukan dalam sitosol sel normal maupun sel yang terpapar sinar ultraviolet dan berpindah ke membran mitokondria selama apoptosis. Bukti menunjukkan bahwa aktivasi dan perpindahan protein Bax dapat dimediasi langsung oleh protein p53 tanpa melibatkan protein tBid (Wu dkk. 2008). Protein p53 berperan dalam perubahan konformasi protein Bax yang memicunya untuk berpindah ke membran mitokondria. Faktor transkripsi E2F juga dapat memicu apoptosis, baik yang tergantung maupun yang tidak tergantung pada p53. Protein E2F merupakan faktor transkripsi yang dapat langsung mengaktifkan protein p73 dan menginduksi apoptois melalui protein proapoptosis PUMA (Ramadan dkk.,2005). Pasangan dimerisasi E2F, transcription factor dimerization partner 3 (TFDP3) berperan sebagai regulator negatif dari apoptosis yang diinduksi oleh E2F-1(Tian dkk, 2007). Stres retikuluum endoplasma juga memicu apoptosis dengan cara langsung mengaktifkan protein Bax/Bak atau melalui protein p53. Kerusakan retikulum endoplasma dapat memicu pelepasan Ca2+ juga memicu apoptois.

Page 231: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 223

Gambar 4.13. Skema kerja p53 dalam memicu apoptosis. Ketika sel mengalami stres karena agen perusak DNA, kadar p53 dalam sel naik dan teraktivasi. Protein p53 yang teraktivasi (terlepas dari MDM2) merupakan faktor transkripsi berbagai gen target yang salah satunya adalah gen penyandi p21 yang berfungsi untuk menahan siklus sel yang memungkinkan sel untuk mereparasi DNA yang rusak. Protein p53 juga dapat mengikat protein antiapoptosis dan melepaskan proein Bax pada membran mitokondria yang memicu apoptosis. Protein p53 juga bertindak sebagai faktor transkripsi protein BH3-only dan reseptor TRAIL-R2 dan Fas yang memicu apoptosis (Grasso dkk, 2012)

Gambar 4.14. Molekul yang terlibat dalam apoptosis sel akibat kerusakan DNA. Kerusakan DNA oleh radiasi pengionan, SUV dan genotoksin dapat menimbulkan DNA patahan dua atau satu untai DNA

(double strand breaks /DSB atau single strand breaks/SSB) yang menimbulkan lesi pada DNA. Pada DSB, protein yang direkrut ke tempat lesi DNA adalah ataxia telangiectasia mutated (ATM) yang berfungsi untuk memfosforilasi checkpoint kinase 2 (Chk2) yang selanjutnya memfosforilasi p53. Fosforilasi p53 memicu transkripsi p21 yang berfungsi untuk menahan siklus sel dan memungkinkan sel untuk mereparasi DNAnya. Namun, jika kerusakan DNA tidak tereparasi, maka p53 dapat memicu apoptosis melalui pelepasan protein Bcl-2 pro-apoptosis seperti Bax, Puma, Noxa, dan Fas. Pada SSB, protein yang direkrut ke tempat lesi adalah ataxia telangietaxia and Rad3 related (ATR) yang berfungsi untuk memfosforilasi Chk1. Chk1 memfosforilasi dan menghambat cdc25c yang menahan siklus sel pada fase G2/M. (Sumber Fulda dkk. 2010).

Selain dengan memicu transkripsi gen target proapoptosis, p53 juga dapat secara langsung berinteraksi dengan protein (Bcl-2, Bcl-XL) yang mengikat dan menginaktifkan protein Bak/Bax. Protein Bak secara tetap menempati membran bagian luar dari mitokondria, sedangkan Bax ditemukan dalam sitosol sel normal maupun sel yang terpapar sinar ultraviolet dan berpindah ke membran mitokondria selama apoptosis. Bukti menunjukkan bahwa aktivasi dan perpindahan protein Bax dapat dimediasi langsung oleh protein p53 tanpa melibatkan protein tBid (Wu dkk. 2008). Protein p53 berperan dalam perubahan konformasi protein Bax yang memicunya untuk berpindah ke membran mitokondria. Faktor transkripsi E2F juga dapat memicu apoptosis, baik yang tergantung maupun yang tidak tergantung pada p53. Protein E2F merupakan faktor transkripsi yang dapat langsung mengaktifkan protein p73 dan menginduksi apoptois melalui protein proapoptosis PUMA (Ramadan dkk.,2005). Pasangan dimerisasi E2F, transcription factor dimerization partner 3 (TFDP3) berperan sebagai regulator negatif dari apoptosis yang diinduksi oleh E2F-1(Tian dkk, 2007). Stres retikuluum endoplasma juga memicu apoptosis dengan cara langsung mengaktifkan protein Bax/Bak atau melalui protein p53. Kerusakan retikulum endoplasma dapat memicu pelepasan Ca2+ juga memicu apoptois.

Page 232: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler224

Gambar 4.15. Apoptosis jalur intrinsik yang dipicu oleh kerusakan DNA. Kerusakan DNA dapat disebabkan oleh radiasi, khemoterapi, dan stres sel yang mengaktifkan apoptosom dan diikuti oleh aktivasi caspase 3 (Sumber: Ortiz, 2012).

4.5.5. Apoptosis Jalur Perforin/Granzyme

Jalur apoptosis yang lain adalah yang melibatkan perforin/granzyme-A atau B yang dilepaskan oleh sel T sitotoksik dan sel NK. Telah diketahui bahwa granzym A menginduksi apoptosis melalui jalur yang tidak tergantung pada caspase, yaitu melalui jalur kerusakan DNA (Martinvalet dkk, 2005). Meskipun apoptosis jalur ekstrinsik, intrinsik serta granzyme A dan B mempunyai cara kerja yang berbeda, ketiganya saling bekerja sama dalam memicu apoptosis yang efektif (Igney dan Krammer, 2002). Jalur ini merupakan jalur terbaru yang ditemukan dalam sistem imun untuk menghancurkan sel terinfeksi virus selain melalui jalur Fas-Fas ligand. Perforin digunakan oleh sel T sitotoksik dan sel NK untuk membentuk pori pada membran sel target. Perforin berinteraksi dengan granula sekretori intrasel untuk melepaskan enzim yang berasal dari granula yang disebut granzyme (granule associated enzyme) A dan B. Granzyme B (GrB) merupakan protease serin yang ditemukan pada sel NK dan sel T sitotolsik dan bekerja pada sel target sel kanker atau sel terinfeksi agen penyakit intrasel secara bersama sama dengan perforin. Ketika mengenali sel

target, sel NK atau CTL mengeluarkan perforin untuk membentuk pori pada permukaan sel target. Pori ini diperlukan bagi terbentuknya klep intersel antara sel sitotoksik dan sel target yang memungkinkan translokasi granzym B dari sel T sitotoksik atau sel NK ke sitoplasma sel target. Ketika mencapai sitoplasma sel target, GrB terbelah dan mengaktifkan atau menginaktifkan berbagai protein substrat yang akhirnya memicu apoptosis. Granzyme B umumnya bekerja secara tidak langsung dengan mengaktifkan procaspase 3 menjadi caspase 3 dengan cara yang serupa yang dilakukan oleh caspase 8 atau caspase 9. Selain itu, GrB juga dapat memecah ICAD sehingga mengaktifkan CAD yang berperan dalam fragmentasi DNA. Granzymb B juga mengaktifkan jalur apoptosis intrinsik dengan memicu pelepasan sitokrom C dan memecah bid menjadi tBid (Elmore dkk, 2007; Trapani, 2012). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa granzym B juga dapat berkerja secara langsung dalam menghancurkan kromatin dengan mengaktifkan DNAase.

Granzym A biasanya muncul sebagai respons atas adanya stres oksidatif pada sel. Enzim ini bekerja dengan mengaktifkan DNAase NM23-H1 yang menghancurkan materi inti sel. Selain stres oksidatif, aktivasi granzym A juga dapa dipicu oleh infeksi virus atau bakteri intrasel (Fan dkk, 2003).

Gambar 4.16. Model cara kerja apoptosis jalur Granzyme. Perforin berperan sebagai molekul lisis pada membran sel yang menyebabkan hilangnya homoeostasis membran sel yang ditandai dengan masuknya air ke dalam sel dan hilangnya isi sel. Keadaan ini

Page 233: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 225

Gambar 4.15. Apoptosis jalur intrinsik yang dipicu oleh kerusakan DNA. Kerusakan DNA dapat disebabkan oleh radiasi, khemoterapi, dan stres sel yang mengaktifkan apoptosom dan diikuti oleh aktivasi caspase 3 (Sumber: Ortiz, 2012).

4.5.5. Apoptosis Jalur Perforin/Granzyme

Jalur apoptosis yang lain adalah yang melibatkan perforin/granzyme-A atau B yang dilepaskan oleh sel T sitotoksik dan sel NK. Telah diketahui bahwa granzym A menginduksi apoptosis melalui jalur yang tidak tergantung pada caspase, yaitu melalui jalur kerusakan DNA (Martinvalet dkk, 2005). Meskipun apoptosis jalur ekstrinsik, intrinsik serta granzyme A dan B mempunyai cara kerja yang berbeda, ketiganya saling bekerja sama dalam memicu apoptosis yang efektif (Igney dan Krammer, 2002). Jalur ini merupakan jalur terbaru yang ditemukan dalam sistem imun untuk menghancurkan sel terinfeksi virus selain melalui jalur Fas-Fas ligand. Perforin digunakan oleh sel T sitotoksik dan sel NK untuk membentuk pori pada membran sel target. Perforin berinteraksi dengan granula sekretori intrasel untuk melepaskan enzim yang berasal dari granula yang disebut granzyme (granule associated enzyme) A dan B. Granzyme B (GrB) merupakan protease serin yang ditemukan pada sel NK dan sel T sitotolsik dan bekerja pada sel target sel kanker atau sel terinfeksi agen penyakit intrasel secara bersama sama dengan perforin. Ketika mengenali sel

target, sel NK atau CTL mengeluarkan perforin untuk membentuk pori pada permukaan sel target. Pori ini diperlukan bagi terbentuknya klep intersel antara sel sitotoksik dan sel target yang memungkinkan translokasi granzym B dari sel T sitotoksik atau sel NK ke sitoplasma sel target. Ketika mencapai sitoplasma sel target, GrB terbelah dan mengaktifkan atau menginaktifkan berbagai protein substrat yang akhirnya memicu apoptosis. Granzyme B umumnya bekerja secara tidak langsung dengan mengaktifkan procaspase 3 menjadi caspase 3 dengan cara yang serupa yang dilakukan oleh caspase 8 atau caspase 9. Selain itu, GrB juga dapat memecah ICAD sehingga mengaktifkan CAD yang berperan dalam fragmentasi DNA. Granzymb B juga mengaktifkan jalur apoptosis intrinsik dengan memicu pelepasan sitokrom C dan memecah bid menjadi tBid (Elmore dkk, 2007; Trapani, 2012). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa granzym B juga dapat berkerja secara langsung dalam menghancurkan kromatin dengan mengaktifkan DNAase.

Granzym A biasanya muncul sebagai respons atas adanya stres oksidatif pada sel. Enzim ini bekerja dengan mengaktifkan DNAase NM23-H1 yang menghancurkan materi inti sel. Selain stres oksidatif, aktivasi granzym A juga dapa dipicu oleh infeksi virus atau bakteri intrasel (Fan dkk, 2003).

Gambar 4.16. Model cara kerja apoptosis jalur Granzyme. Perforin berperan sebagai molekul lisis pada membran sel yang menyebabkan hilangnya homoeostasis membran sel yang ditandai dengan masuknya air ke dalam sel dan hilangnya isi sel. Keadaan ini

Page 234: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler226

memungkinkan masuknya granzyme ke dalam sitosol yang mengaktifkan berbagai substrat seperti caspase. Granzyme juga dapat masuk sel melalui proses endositosis tanpa melibatkan perforin. Namun, masuknya granzyme melalui proses ini tidak berbahaya karena diredam oleh vesikula. Jika vesikula pecah akibat adanya perforin, granzyme yang keluar dari vesikula dapat memicu apoposis. Cara kerja yang lainnya dalah dengan mengenali mannose 6-phosphate receptor (MPR) yang merupakan reseptor permukaan sel untuk granzyme B. Dalam proses ini, Granzyme B membentuk kompleks dengan perforin dan molekul lainnya seperti serglycin (SG) . (Sumber Trapani dan Smyth, 2002).

4.5.6. Kerja Caspase Eksekusioner

Caspase eksekusioner bekerja pada bagian akhir dari kaskade caspase dalam proses apoptosis. Caspase eksekusioner meliputi caspases 3, 6 dan 7 yang aktivasinya dilakukan oleh caspase inisiator. Caspase 3 merupakan caspase ekskusioner yang terpenting dan dapat diaktifkan oleh caspases 8, 9 dan 10 serta mempunyai substrat yang sama dengan caspase 7. Sementara itu, peran caspase 6 belum diketahui tetapi telah diketahui bahwa caspase ini memiliki substrat yang berbeda dengan caspase eksekusioner lainnya

Dalam menghancurkan sitoskleton sel, caspase 3 memecah gelsolin yang berperan dalam polimerisasi aktin dan transduksi signal (Boccellino dkk, 2004). Aktin merupakan komponen sel yang sangat penting dalam pembentukan kerangka sel. Selain itu, enzim aminophospholipid translocase yang berperan dalam proses translokasi phosphotidyl serine (PS) dari bagian luar ke bagian dalam membran sel juga dihambat oleh caspase 3 dan 6 (Mandal dkk 2005) sehingga PS menumpuk pada bagian luar sel. Penumpukkan PS di bagian luar membran sel merupakan petanda sel untuk proses fagosistosis (Bratton dkk, 1992).

Caspase 3 merupakan caspase yang paling berperan dalam penghancuran struktur DNA dalam inti sel. Ketika diaktifkan, enzim ini berperan dalam penghancuran DNA dan sitoskeleton, dagradasi XIAP, aktivasi caspase 6 dan juga aktivasi kaskade caspase lainnya (Walsh dkk, 2008). Caspase 3 mengaktifkan enzim Caspase activated DNA-ase (CAD) yang sangat berperan dalam fragmentasi DNA. Enzim

DNAase tersebut juga dikenal dengan nama DNA fragmentation factor, 40 kDa, beta polypeptide (DFFB) dan biasanya membentuk ikatan dengan inhibitor CAD (ICAD) sehingga CAD tidak berfungsi. Caspase-3 mengaktifkan CAD dengan memecah ikatannya dengan ICAD sehingga terlepas. CAD yang terlepas menjadi aktif dan dapat memecah DNA (Tsuruta dkk, 2007). Selain itu, caspase 3 juga diduga berperan dalam pembelahan BID menjadi tBID yang berperan juga dalam peningkatan permeabilitas membran mitokondria (Walsh dkk, 2008; Vigano dan Mortellaro, 2013). Caspase 3 juga menghambat XIAP sehingga memperkuat kerja caspase 9 (Denault dkk, 2007).

Pada proses penghancuran DNA dalam inti sel, caspase 3 bekerja dengan sangat rapi yaitu memotong kromosom menjadi unit nukleosom. Hal ini dilakukan karena enzim DNAase yang diaktifkan oleh caspase 3 memecah kromatin di antara 2 nukleosom sehingga menghasilkan potongan DNA yang panjangnya sekitar 180 bp atau kelipatannya (360 bp, 540 bp dst). Pola ini menghasilkan pola seperti tangga pada elektroforesis (Huang dkk, 2005). Gambaran ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada proses nekrosis yang menghasilkan smear DNA pada analisis menggunakan metode elektroforesis.

Gambar 4.17. Fragmentasi internukleosom dari DNA selama proses apoptosis. Caspase-activated DNase (CAD) yang teraktivasi

Page 235: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 227

memungkinkan masuknya granzyme ke dalam sitosol yang mengaktifkan berbagai substrat seperti caspase. Granzyme juga dapat masuk sel melalui proses endositosis tanpa melibatkan perforin. Namun, masuknya granzyme melalui proses ini tidak berbahaya karena diredam oleh vesikula. Jika vesikula pecah akibat adanya perforin, granzyme yang keluar dari vesikula dapat memicu apoposis. Cara kerja yang lainnya dalah dengan mengenali mannose 6-phosphate receptor (MPR) yang merupakan reseptor permukaan sel untuk granzyme B. Dalam proses ini, Granzyme B membentuk kompleks dengan perforin dan molekul lainnya seperti serglycin (SG) . (Sumber Trapani dan Smyth, 2002).

4.5.6. Kerja Caspase Eksekusioner

Caspase eksekusioner bekerja pada bagian akhir dari kaskade caspase dalam proses apoptosis. Caspase eksekusioner meliputi caspases 3, 6 dan 7 yang aktivasinya dilakukan oleh caspase inisiator. Caspase 3 merupakan caspase ekskusioner yang terpenting dan dapat diaktifkan oleh caspases 8, 9 dan 10 serta mempunyai substrat yang sama dengan caspase 7. Sementara itu, peran caspase 6 belum diketahui tetapi telah diketahui bahwa caspase ini memiliki substrat yang berbeda dengan caspase eksekusioner lainnya

Dalam menghancurkan sitoskleton sel, caspase 3 memecah gelsolin yang berperan dalam polimerisasi aktin dan transduksi signal (Boccellino dkk, 2004). Aktin merupakan komponen sel yang sangat penting dalam pembentukan kerangka sel. Selain itu, enzim aminophospholipid translocase yang berperan dalam proses translokasi phosphotidyl serine (PS) dari bagian luar ke bagian dalam membran sel juga dihambat oleh caspase 3 dan 6 (Mandal dkk 2005) sehingga PS menumpuk pada bagian luar sel. Penumpukkan PS di bagian luar membran sel merupakan petanda sel untuk proses fagosistosis (Bratton dkk, 1992).

Caspase 3 merupakan caspase yang paling berperan dalam penghancuran struktur DNA dalam inti sel. Ketika diaktifkan, enzim ini berperan dalam penghancuran DNA dan sitoskeleton, dagradasi XIAP, aktivasi caspase 6 dan juga aktivasi kaskade caspase lainnya (Walsh dkk, 2008). Caspase 3 mengaktifkan enzim Caspase activated DNA-ase (CAD) yang sangat berperan dalam fragmentasi DNA. Enzim

DNAase tersebut juga dikenal dengan nama DNA fragmentation factor, 40 kDa, beta polypeptide (DFFB) dan biasanya membentuk ikatan dengan inhibitor CAD (ICAD) sehingga CAD tidak berfungsi. Caspase-3 mengaktifkan CAD dengan memecah ikatannya dengan ICAD sehingga terlepas. CAD yang terlepas menjadi aktif dan dapat memecah DNA (Tsuruta dkk, 2007). Selain itu, caspase 3 juga diduga berperan dalam pembelahan BID menjadi tBID yang berperan juga dalam peningkatan permeabilitas membran mitokondria (Walsh dkk, 2008; Vigano dan Mortellaro, 2013). Caspase 3 juga menghambat XIAP sehingga memperkuat kerja caspase 9 (Denault dkk, 2007).

Pada proses penghancuran DNA dalam inti sel, caspase 3 bekerja dengan sangat rapi yaitu memotong kromosom menjadi unit nukleosom. Hal ini dilakukan karena enzim DNAase yang diaktifkan oleh caspase 3 memecah kromatin di antara 2 nukleosom sehingga menghasilkan potongan DNA yang panjangnya sekitar 180 bp atau kelipatannya (360 bp, 540 bp dst). Pola ini menghasilkan pola seperti tangga pada elektroforesis (Huang dkk, 2005). Gambaran ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada proses nekrosis yang menghasilkan smear DNA pada analisis menggunakan metode elektroforesis.

Gambar 4.17. Fragmentasi internukleosom dari DNA selama proses apoptosis. Caspase-activated DNase (CAD) yang teraktivasi

Page 236: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler228

(lepas dari ICAD) memotong DNA di antara nukleosom untuk membentuk fragmen dengan panjang basa kelipatan ∼200 bp sehingga bila dielektroforesis tampak seperti pola tangga (Huang dkk, 2005)

Proses ini diperankan oleh caspase dengan cara mengaktifkan enzim DNAase, menghambat enzim yang berperan dalam reparasi DNA dan mengancurkan semua protein penunjang struktur inti sel. Inaktivasi enzim yang berperan dalam reparasi DNA dilakukan dengan memcah enzim poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) yang merupakan salah satu substrat dari enzim caspase. PARP merupakan enzim yang amat penting dalam reparasi DNA dan inaktivasinya oleh enzim caspase menghambat aktivitasnya untuk mereparasi DNA.

4 5.7. Peran Endonuklease G dalam Apoptosis

Endonuclease G merupakan enzim yang pada manusia disandi oleh gen ENDO G dan berperan dalam apoptosis yang tidak tergantung pada caspase. Enzim ini terdapat dalam mitokondria dan mengalami translokasi ke dalam inti sel untuk memicu degradasi DNA pada keadaan oksidatif (Vařecha, 2012). Enzim ini mendegradasi DNA dengan berikatan secara selektif pada sekuen poly(dG).poly(dC) pada ds DNA. Protein Endo G nuclease disintesis dalam bentuk protein prekursor inaktif dengan berat molekul 33-kDa. Aktivasi dilakukan melalui pemecahan proteolisis yang menghasilkan protein aktif dengan berat molekul 28-kDa dan berpindah ke inti sel untuk membentuk homodimer (Wu dkk, 2009)

Pada beberapa jalur apoptosis endoG dilepaskan dari mitokondria dan bermigrasi ke dalam inti sel yang berfungsi untuk mendegradasi kromatin dengan dibantu oleh protein mitokondria lainnnya (Jang dkk, 2015). Pada keadaan normal enzim ini berikatan dengan dengan Hsp-70 dan Hsc-70 interacting protein (CHIP). Namun, pada keadaan stres oksidatif enzim ini terlepas dari dari Hsp70 and CHIP serta bermigrasi ke inti sel untuk mendegradasi DNA. Pada sel epitel, enzim ini bereperan dalam senescence (Diener dkk, 2010). Selain memicu degradasi DNA, Endo G juga merangsang inhibitor apoptosis (IAP) yang menyasar protein untuk menjalani degradasi proteosom. Endonuklease G kerjanya bergantung pada protein Bcl-2 proapoptosis dan tidak tergantung pada caspase. Fungsinya adalah

untuk memotong DNA menjadi fragmen besar (50 sampai 300 kb). Enzim ini juga berperan dalam pembentukan ladder DNA dengan bekerjasama dengan DNase I yang juga dikenal dengan agen untuk pembentukkan tangga D. Endo G telah diisolasi dari berbagai sumber seperti sel darah merah ayam, jantung dan sapi dengan berat molekul sekitar 26 kDa.

Gambar 4.18. Aktivasi Bcl-2 proapoptosis yang memicu pelepasan mediator apoptosis dari mitokondria. Kerja protein Bcl-2 proapoptosis pada mitokondria menyebabkan pelepasan beberapa protein dari ruang membran mitokondria ke dalam sitosol dan nukleus sel. Protein mitokondria yang pro apoptosis meliputi sitokrom c, SMAC/Diablo, HtrA2/Omi, AIF dan Endo G. Sitokrom c bersama APAF-1 membentuk apoptosom yang berfungsi untuk mengaktivasi Caspase-9 yang selanjutnya mengaktivasi caspase-3. SMAC/Diablo dan HtrA2/Omi yang berfungsi untuk menetralisasi IAP sehingga caspase menjadi aktif. AIF berikatan dengan DNA kromosom dan menyebabkan kondensasi dan remodelling kromatin yang memudahkan fargmentasi DNA oleh enzim nuklease seperti Endo G. (Bras dkk, 2005).

Page 237: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 229

(lepas dari ICAD) memotong DNA di antara nukleosom untuk membentuk fragmen dengan panjang basa kelipatan ∼200 bp sehingga bila dielektroforesis tampak seperti pola tangga (Huang dkk, 2005)

Proses ini diperankan oleh caspase dengan cara mengaktifkan enzim DNAase, menghambat enzim yang berperan dalam reparasi DNA dan mengancurkan semua protein penunjang struktur inti sel. Inaktivasi enzim yang berperan dalam reparasi DNA dilakukan dengan memcah enzim poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) yang merupakan salah satu substrat dari enzim caspase. PARP merupakan enzim yang amat penting dalam reparasi DNA dan inaktivasinya oleh enzim caspase menghambat aktivitasnya untuk mereparasi DNA.

4 5.7. Peran Endonuklease G dalam Apoptosis

Endonuclease G merupakan enzim yang pada manusia disandi oleh gen ENDO G dan berperan dalam apoptosis yang tidak tergantung pada caspase. Enzim ini terdapat dalam mitokondria dan mengalami translokasi ke dalam inti sel untuk memicu degradasi DNA pada keadaan oksidatif (Vařecha, 2012). Enzim ini mendegradasi DNA dengan berikatan secara selektif pada sekuen poly(dG).poly(dC) pada ds DNA. Protein Endo G nuclease disintesis dalam bentuk protein prekursor inaktif dengan berat molekul 33-kDa. Aktivasi dilakukan melalui pemecahan proteolisis yang menghasilkan protein aktif dengan berat molekul 28-kDa dan berpindah ke inti sel untuk membentuk homodimer (Wu dkk, 2009)

Pada beberapa jalur apoptosis endoG dilepaskan dari mitokondria dan bermigrasi ke dalam inti sel yang berfungsi untuk mendegradasi kromatin dengan dibantu oleh protein mitokondria lainnnya (Jang dkk, 2015). Pada keadaan normal enzim ini berikatan dengan dengan Hsp-70 dan Hsc-70 interacting protein (CHIP). Namun, pada keadaan stres oksidatif enzim ini terlepas dari dari Hsp70 and CHIP serta bermigrasi ke inti sel untuk mendegradasi DNA. Pada sel epitel, enzim ini bereperan dalam senescence (Diener dkk, 2010). Selain memicu degradasi DNA, Endo G juga merangsang inhibitor apoptosis (IAP) yang menyasar protein untuk menjalani degradasi proteosom. Endonuklease G kerjanya bergantung pada protein Bcl-2 proapoptosis dan tidak tergantung pada caspase. Fungsinya adalah

untuk memotong DNA menjadi fragmen besar (50 sampai 300 kb). Enzim ini juga berperan dalam pembentukan ladder DNA dengan bekerjasama dengan DNase I yang juga dikenal dengan agen untuk pembentukkan tangga D. Endo G telah diisolasi dari berbagai sumber seperti sel darah merah ayam, jantung dan sapi dengan berat molekul sekitar 26 kDa.

Gambar 4.18. Aktivasi Bcl-2 proapoptosis yang memicu pelepasan mediator apoptosis dari mitokondria. Kerja protein Bcl-2 proapoptosis pada mitokondria menyebabkan pelepasan beberapa protein dari ruang membran mitokondria ke dalam sitosol dan nukleus sel. Protein mitokondria yang pro apoptosis meliputi sitokrom c, SMAC/Diablo, HtrA2/Omi, AIF dan Endo G. Sitokrom c bersama APAF-1 membentuk apoptosom yang berfungsi untuk mengaktivasi Caspase-9 yang selanjutnya mengaktivasi caspase-3. SMAC/Diablo dan HtrA2/Omi yang berfungsi untuk menetralisasi IAP sehingga caspase menjadi aktif. AIF berikatan dengan DNA kromosom dan menyebabkan kondensasi dan remodelling kromatin yang memudahkan fargmentasi DNA oleh enzim nuklease seperti Endo G. (Bras dkk, 2005).

Page 238: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler230

4.6. Inflamasi, Apoptosis, Nekroptosis dan Nekrosis

Apoptosis dan nekrosis mampu menginduksi kematian sel dengan cara yang berbeda tapi dapat saling berkaitan baik secara simultan maupun berurutan (Zeiss, 2003). Stimulus yang mampu memicunya adalah suhu tinggi, radiasi sinar ultraviolet, radiasi pengionan, stres oksidatif dan obat sitotoksik anti-kanker. Apoptosis merupakan proses yang seragam dan bergantung pada energi yang melibatkan aktivasi berbagai enzim caspase dan dalam reaksi beruntun yang rumit dan dapat melibatkan proses ekspresi gen, sedangkan nekrosis tidak melibatkan ekspresi gen dan terjadi secara pasif yang dikendalikan oleh faktor eksternal yang menyebabkan kematian sel tanpa melibatkan proses metabolism yang rumit (Franklin dkk, 2006). Secara morfologi, apoptosis juga berbeda dari nekrosis, yaitu pengkerutan sel, kondensasi sitoplasma, fragmentasi DNA, kondensasi kromatin, fragmentasi inti sel, dan pembentukkan gelembung membran sel serta apoptotic bodies. Sementara itu, nekrosis melibatkan proses seperti hilangnya keutuhan membran sel, pembengkakan sel, pembentukan vakuola, pembengkakkan retikulum endoplasma, pembesaran dan ruptur mitokondria, ruptur dan lisis lisosom dan pelepasan isi sitoplasma ke jaringan sekitarnya. Nekrosis biasanya menyebabkan reaksi inflamasi yang umumnya tidak ditemukan pada apoptosis (Gambar 4.16)

Gambar 4.19. Kematian dab proliferasi sel yang diaktivasi oleh TNF dan reseptornya. Bentuk kematian sel peralihan antara

apoptosis dan nekrosis yang melibatkan reaksi inflamasi juga sering ditemukan. Misalnya, aktivasi reseptor TNFR dapat memicu aktivasi NF-κB (inflamasi), apoptosis, atau nekroptosis. Respons yang muncul bergantung pada jenis reseptor dan protein adaptor yang direkrut oleh reseptor yang teraktivasi. Aktivasi NF-κB dimediasi oleh protein adaptor TRAF-2 dan RIP-1, serta molekul sistem signal lainnya seperti IκB kinase yang selanjutnya mengaktifkan NF-κB. Jika yang direkrut adalah FADD dan caspase-8 maka aktivasi reseptor memicu apoptosis dengan mengaktifkan caspase 3 (caspase eksekusioner) atau protein tBID yang memicu apoptosis melalui jalur mitokondria. Apoptosis melalui jalur mitokondria ditandai oleh Bax dan Bak yeng menyebabkan permeabilisasi membran mitokondria, pelepasan sitokrom C dan aktivasi caspase 9 dan akhirnya capspase 3. Pada keadaan tertentu, aktivasi reseptor TNFR-1 dapat menginduksi nekroptosis yang melibatkan RIP-1 dan RIP-3 kinase. Nekroptosis ditandai dengan peningkatan reactive oxygen species (ROS) akibat fosforilasi oksidatif yang menyebabkan penumpukkan kalsium intra sel, transisi permeabilitas membran, deplesi ATP, dan nekrosis. Nekrosis yang diinduksi oleh APAP dimediasi oleh metabolit toksik yang menimbulkan aduk protein APAP, yang memicu stres oksidatif, fungsi respirasi kompromasi dan deplesi ATP. Meskipun pengobatan APAP dapat menginstigasi apaoptosis melalui jalur mitokondria. APAP dosis tinggi dapat memicu kematian sel hati melalui nekrosis (Bantel dan Schulze-Osthoff, 2012).

Di antara kedua jenis kematian sel di atas ditemukan juga bentuk kematian sel terprogram menyerupai nekrosis. Misalnya, kerusakan DNA yang disebabkan oleh reaksi alkilasi memicu kematian sel terprogram tipe nekrosis melalui enzim poly (ADP-ribose) polimerase (PARP) dan apoptosis inducing factor (AIF) yang prosesnya sangat mirip dengan apoptosis (Moubarak dkk., 2007). Hal ini menunjukkan bahwa nekrosis juga dapat terjadi dalam bentuk yang terkontrol (Saelens dkk, 2005).

Page 239: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 231

4.6. Inflamasi, Apoptosis, Nekroptosis dan Nekrosis

Apoptosis dan nekrosis mampu menginduksi kematian sel dengan cara yang berbeda tapi dapat saling berkaitan baik secara simultan maupun berurutan (Zeiss, 2003). Stimulus yang mampu memicunya adalah suhu tinggi, radiasi sinar ultraviolet, radiasi pengionan, stres oksidatif dan obat sitotoksik anti-kanker. Apoptosis merupakan proses yang seragam dan bergantung pada energi yang melibatkan aktivasi berbagai enzim caspase dan dalam reaksi beruntun yang rumit dan dapat melibatkan proses ekspresi gen, sedangkan nekrosis tidak melibatkan ekspresi gen dan terjadi secara pasif yang dikendalikan oleh faktor eksternal yang menyebabkan kematian sel tanpa melibatkan proses metabolism yang rumit (Franklin dkk, 2006). Secara morfologi, apoptosis juga berbeda dari nekrosis, yaitu pengkerutan sel, kondensasi sitoplasma, fragmentasi DNA, kondensasi kromatin, fragmentasi inti sel, dan pembentukkan gelembung membran sel serta apoptotic bodies. Sementara itu, nekrosis melibatkan proses seperti hilangnya keutuhan membran sel, pembengkakan sel, pembentukan vakuola, pembengkakkan retikulum endoplasma, pembesaran dan ruptur mitokondria, ruptur dan lisis lisosom dan pelepasan isi sitoplasma ke jaringan sekitarnya. Nekrosis biasanya menyebabkan reaksi inflamasi yang umumnya tidak ditemukan pada apoptosis (Gambar 4.16)

Gambar 4.19. Kematian dab proliferasi sel yang diaktivasi oleh TNF dan reseptornya. Bentuk kematian sel peralihan antara

apoptosis dan nekrosis yang melibatkan reaksi inflamasi juga sering ditemukan. Misalnya, aktivasi reseptor TNFR dapat memicu aktivasi NF-κB (inflamasi), apoptosis, atau nekroptosis. Respons yang muncul bergantung pada jenis reseptor dan protein adaptor yang direkrut oleh reseptor yang teraktivasi. Aktivasi NF-κB dimediasi oleh protein adaptor TRAF-2 dan RIP-1, serta molekul sistem signal lainnya seperti IκB kinase yang selanjutnya mengaktifkan NF-κB. Jika yang direkrut adalah FADD dan caspase-8 maka aktivasi reseptor memicu apoptosis dengan mengaktifkan caspase 3 (caspase eksekusioner) atau protein tBID yang memicu apoptosis melalui jalur mitokondria. Apoptosis melalui jalur mitokondria ditandai oleh Bax dan Bak yeng menyebabkan permeabilisasi membran mitokondria, pelepasan sitokrom C dan aktivasi caspase 9 dan akhirnya capspase 3. Pada keadaan tertentu, aktivasi reseptor TNFR-1 dapat menginduksi nekroptosis yang melibatkan RIP-1 dan RIP-3 kinase. Nekroptosis ditandai dengan peningkatan reactive oxygen species (ROS) akibat fosforilasi oksidatif yang menyebabkan penumpukkan kalsium intra sel, transisi permeabilitas membran, deplesi ATP, dan nekrosis. Nekrosis yang diinduksi oleh APAP dimediasi oleh metabolit toksik yang menimbulkan aduk protein APAP, yang memicu stres oksidatif, fungsi respirasi kompromasi dan deplesi ATP. Meskipun pengobatan APAP dapat menginstigasi apaoptosis melalui jalur mitokondria. APAP dosis tinggi dapat memicu kematian sel hati melalui nekrosis (Bantel dan Schulze-Osthoff, 2012).

Di antara kedua jenis kematian sel di atas ditemukan juga bentuk kematian sel terprogram menyerupai nekrosis. Misalnya, kerusakan DNA yang disebabkan oleh reaksi alkilasi memicu kematian sel terprogram tipe nekrosis melalui enzim poly (ADP-ribose) polimerase (PARP) dan apoptosis inducing factor (AIF) yang prosesnya sangat mirip dengan apoptosis (Moubarak dkk., 2007). Hal ini menunjukkan bahwa nekrosis juga dapat terjadi dalam bentuk yang terkontrol (Saelens dkk, 2005).

Page 240: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler232

Gambar 4.20. Perandingan perubahan morfologi sel yang mati dengan cara apoptosis dan nekrosis.

4.7. Peran Apoptosis dalam Penyakit

Seperti yang disinggung sebelumnya proses apoptosis sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan sel dalam individu. Apoptosis yang berjalan secara normal diperlukan dalam menyingkirkan sel yang tidak sehat dalam tubuh. Jika proses apoptosis tidak berjalan normal, maka berbagai penyakit dapat muncul kanker, neurodegeneratif serta berbagai penyakit autoimmun (Chun dkk, 2002). Beberapa penyakit degeneratif yang terjadi karena proses apoptosis yang berlebihan adalah penyakit Alzheimer, Parkinson dan Huntington. Pada penyakit Alzaimer dan Parkinson terjadi peningkatan aktivitas caspase-8 dan caspase-9, pada sel mononuklir darah tepi (Alzheimer) (Tacconi dkk., 2004), dan pada jaringan otak (Alzheimer dan Parkinson) (Yew dkk, 2004). Pada penyakit Humington, terjadi peningkatan caspase 10 dengan cara yang serupa dengan caspase 8 (Miyashita dkk 2001). Mutasi pada reseptor Fas dan Fas ligand (Fas-L) pada manusia dapat menyebabkan gangguan sistem imun seperti autoimmune lymphoproliferative syndrome (ALPS) (Jiang dan Wang, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Aoudjit F, Vuori K. 2001, Matrix attachment regulates Fas-induced apoptosis in endothelial cells: a role for c-flip and implications for anoikis. J Cell Biol 152:633–43.

Ashkenazi A , 2002. Targeting death and decoy receptors of the tumour-necrosis factor superfamilly, Nature Rev Cancer 2 : 420-430

Bantel H, Schulze-Osthoff K.. 2012. Mechanisms of cell death in acute liver failure Front. Physiol., 02 April 2012 | http://dx.doi.org/10.3389/fphys.2012.00079

Basañez G, Hardwick JM. 2008. Unravelling the Bcl-2 Apoptosis Code with a Simple Model System. PLoS Biol 6(6): e154. doi:10.1371/journal.pbio.0060154

Batista LFZ, Kaina B, Meneghini R, Menck CFM. 2009. How DNA lesions are turned into powerful killing structures: Insights from UV-induced apoptosis. Rev Mutat Res 681:197-

Birmingham CL, Smith AC, Bakowski MA, Yoshimori T, Brumell JH (2006) Autophagy controls Salmonella infection in response to damage to the Salmonella-containing vacuole. J Biol Chem 281: 11374–11383

Boatright KM, Salvesen GS 2003. Mechanisms of caspase activation. Curr Opin Cell Biol 2003;15:725-31.

Boccellino M, Giuberti G, Quagliuolo L, Marra M, D’Alessandro AM, Fujita H, et al. Apoptosis induced by interferon-alpha and antagonized by EGF is regulated by caspase-3-mediated cleavage of gelsolin in human epidermoid cancer cells. J Cell Physiol. 2004;201(1):71–83. doi:10.1002/jcp.20058. 61.

Boldin MP, Goncharov TM, Goltsev YV, Wallach D 1996. Involvement of MACH, a novel MORT1/FADDinteracting protease, in Fas/APO-1- and TNF receptor- induced cell death. Cell 85:803-15.

Bouchier-Hayes L, Green DR.2012. Caspase-2: the orphan caspase. Cell Death Differ 19:51–7

Page 241: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 233

Gambar 4.20. Perandingan perubahan morfologi sel yang mati dengan cara apoptosis dan nekrosis.

4.7. Peran Apoptosis dalam Penyakit

Seperti yang disinggung sebelumnya proses apoptosis sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan sel dalam individu. Apoptosis yang berjalan secara normal diperlukan dalam menyingkirkan sel yang tidak sehat dalam tubuh. Jika proses apoptosis tidak berjalan normal, maka berbagai penyakit dapat muncul kanker, neurodegeneratif serta berbagai penyakit autoimmun (Chun dkk, 2002). Beberapa penyakit degeneratif yang terjadi karena proses apoptosis yang berlebihan adalah penyakit Alzheimer, Parkinson dan Huntington. Pada penyakit Alzaimer dan Parkinson terjadi peningkatan aktivitas caspase-8 dan caspase-9, pada sel mononuklir darah tepi (Alzheimer) (Tacconi dkk., 2004), dan pada jaringan otak (Alzheimer dan Parkinson) (Yew dkk, 2004). Pada penyakit Humington, terjadi peningkatan caspase 10 dengan cara yang serupa dengan caspase 8 (Miyashita dkk 2001). Mutasi pada reseptor Fas dan Fas ligand (Fas-L) pada manusia dapat menyebabkan gangguan sistem imun seperti autoimmune lymphoproliferative syndrome (ALPS) (Jiang dan Wang, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Aoudjit F, Vuori K. 2001, Matrix attachment regulates Fas-induced apoptosis in endothelial cells: a role for c-flip and implications for anoikis. J Cell Biol 152:633–43.

Ashkenazi A , 2002. Targeting death and decoy receptors of the tumour-necrosis factor superfamilly, Nature Rev Cancer 2 : 420-430

Bantel H, Schulze-Osthoff K.. 2012. Mechanisms of cell death in acute liver failure Front. Physiol., 02 April 2012 | http://dx.doi.org/10.3389/fphys.2012.00079

Basañez G, Hardwick JM. 2008. Unravelling the Bcl-2 Apoptosis Code with a Simple Model System. PLoS Biol 6(6): e154. doi:10.1371/journal.pbio.0060154

Batista LFZ, Kaina B, Meneghini R, Menck CFM. 2009. How DNA lesions are turned into powerful killing structures: Insights from UV-induced apoptosis. Rev Mutat Res 681:197-

Birmingham CL, Smith AC, Bakowski MA, Yoshimori T, Brumell JH (2006) Autophagy controls Salmonella infection in response to damage to the Salmonella-containing vacuole. J Biol Chem 281: 11374–11383

Boatright KM, Salvesen GS 2003. Mechanisms of caspase activation. Curr Opin Cell Biol 2003;15:725-31.

Boccellino M, Giuberti G, Quagliuolo L, Marra M, D’Alessandro AM, Fujita H, et al. Apoptosis induced by interferon-alpha and antagonized by EGF is regulated by caspase-3-mediated cleavage of gelsolin in human epidermoid cancer cells. J Cell Physiol. 2004;201(1):71–83. doi:10.1002/jcp.20058. 61.

Boldin MP, Goncharov TM, Goltsev YV, Wallach D 1996. Involvement of MACH, a novel MORT1/FADDinteracting protease, in Fas/APO-1- and TNF receptor- induced cell death. Cell 85:803-15.

Bouchier-Hayes L, Green DR.2012. Caspase-2: the orphan caspase. Cell Death Differ 19:51–7

Page 242: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler234

Bras M, Queenan B, Susin SA. 2005. Programmed Cell Death via Mitochondria:Different Modes of Dying. Biochemistry 70 : 231-239.

Bratton DL, Fadok VA, Richter DA, Kailey JM, Guthrie LA, Henson PM. 1997. Appearance of phosphatidylserine on apoptotic cells requires calcium-mediated nonspecific flip-flop and is enhanced by loss of the aminophospholipid translocase. J Biol Chem 272 :26159–65.

Chen L, Willis SN, Wei A, Smith BJ, Fletcher JI, Hinds MG, Colman PM, Day CL, Adams JM, Huang DC. 2005. Differential targeting of prosurvival Bcl-2 proteins by their BH3-only ligands allows complementary apoptotic function. Mol Cell 17: 393–403.

Chun HJ, Zheng L, Ahmad M, Wang J, Speirs CK, Siegel RM, Dale JK, Puck J, Davis J, Hall CG, Skoda-Smith S, Atkinson TP, Straus SE, Lenardo MJ.2002. Pleiotropic defects in lymphocyte activation caused by caspase-8 mutations lead to human immunodeficiency. Nature 419:395-9.

Clément V, Dunand-Sauthier I, Wiznerowicz M, Clarkson SG.2007. UV-induced apoptosis in XPGdependent fibroblasts involves activation of CD95 and caspase but not p53. DNA Repair 6:602- 14.

Cory S, Adams JM. 2002. The Bcl2 family: regulators of the cellular life-or-death switch. Nat Rev Cancer 2:647-56.

Dagenais M, Skeldon A, Saleh M. 2012, The inflammasome: in memory of Dr. Jurg Tschopp. Cell Death Differ 19:5–12.

Daher A, Simbulan-Rosenthal CM, Rosenthal DS. 2006. Apoptosis induced by ultraviolet B in HPV-immortalized human keratinocytes requires caspase-9 and is death receptor independent Experimental Dermatology 2006: 15: 23–34

Denault JB, Eckelman BP, Shin H, Pop C, Salvesen GS. 2007. Caspase 3 attenuates XIAP (X-linked inhibitor of apoptosis protein)-mediated inhibition of caspase 9. Biochem J 405:11–9.

Diener T, Neuhaus M, Koziel R, Micutkova L, Jansen-Dürr P. 2010. "Role of endonuclease G in senescence-associated cell death of

human endothelial cells". Exp Gerontology 45 : 638–44. doi:10.1016/j.exger.2010.03.002. PMID 20211237.

Duivenvoorden WC, Beatty LK, Lhotak S, Hill B, Mak I, Paulin G, et al. 2013. Underexpression of tumour suppressor LKB1 in clear cell renal cell carcinoma is common and confers growth advantage in vitro and in vivo. Br J Cancer108327–33

Elmore S. 2007. Apoptosis: a review of programmed cell death. Toxicol Pathol 35:495–516.

Fan Z, Beresford PJ, Oh DY, Zhang D, Lieberman J. 2003. Tumor suppressor NM23- H1 is a granzyme A-activated DNase during CTL-mediated apoptosis, and the nucleosome assembly protein SET is its inhibitor. Cell 112:659–72.

Fink SL, Brad T. 2006. Cookson2Caspase-1-dependent pore formation during pyroptosis leads to osmotic lysis of infected host macrophages. Cell Microbio 1812–1825

Fischer H, Koenig U, Eckhart L, Tschachler E 2002. Human caspase 12 has acquired deleterious mutations. Biochem Biophys Res Commun 293:722-6.

Franklin DJ, Brussaard CPD, Berges JA.2006. What is the role and nature of programmed cell death in phytoplankton ecology? Eur J Phycol 41:1-14.

Friedberg EC, Walker GC, Siede W, Wood RD, Schultz RA, Ellenberger T. 2006. DNA Repair and Mutagenesis, part 3. ASM Press. 2nd ed.

Fulda S, Gorman AM, Hori O, Samali A . 2010. Cellular Stress Responses: Cell Survival and Cell Death. Int J Cell Biol 23:1-14

Grasso S, Menéndez-Gutiérrez P, Carrasco-García E, Mayor-López L,Tristante E, Rocamora-Reverte L,Gómez-Martínez A, García-Morales P,Ferragut JA, Saceda M, Martínez-Lacaci I. 2012. Cell Death and Cancer,Novel Therapeutic Strategies. In “Apoptosis and Medicine. Inteck open science pp 67-110

Green DR, Ferguson T, Zitvogel L, Kroemer G. 2009. Immunogenic and tolerogenic cell death. Nat Rev Immunol 9:353-63.

Page 243: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 235

Bras M, Queenan B, Susin SA. 2005. Programmed Cell Death via Mitochondria:Different Modes of Dying. Biochemistry 70 : 231-239.

Bratton DL, Fadok VA, Richter DA, Kailey JM, Guthrie LA, Henson PM. 1997. Appearance of phosphatidylserine on apoptotic cells requires calcium-mediated nonspecific flip-flop and is enhanced by loss of the aminophospholipid translocase. J Biol Chem 272 :26159–65.

Chen L, Willis SN, Wei A, Smith BJ, Fletcher JI, Hinds MG, Colman PM, Day CL, Adams JM, Huang DC. 2005. Differential targeting of prosurvival Bcl-2 proteins by their BH3-only ligands allows complementary apoptotic function. Mol Cell 17: 393–403.

Chun HJ, Zheng L, Ahmad M, Wang J, Speirs CK, Siegel RM, Dale JK, Puck J, Davis J, Hall CG, Skoda-Smith S, Atkinson TP, Straus SE, Lenardo MJ.2002. Pleiotropic defects in lymphocyte activation caused by caspase-8 mutations lead to human immunodeficiency. Nature 419:395-9.

Clément V, Dunand-Sauthier I, Wiznerowicz M, Clarkson SG.2007. UV-induced apoptosis in XPGdependent fibroblasts involves activation of CD95 and caspase but not p53. DNA Repair 6:602- 14.

Cory S, Adams JM. 2002. The Bcl2 family: regulators of the cellular life-or-death switch. Nat Rev Cancer 2:647-56.

Dagenais M, Skeldon A, Saleh M. 2012, The inflammasome: in memory of Dr. Jurg Tschopp. Cell Death Differ 19:5–12.

Daher A, Simbulan-Rosenthal CM, Rosenthal DS. 2006. Apoptosis induced by ultraviolet B in HPV-immortalized human keratinocytes requires caspase-9 and is death receptor independent Experimental Dermatology 2006: 15: 23–34

Denault JB, Eckelman BP, Shin H, Pop C, Salvesen GS. 2007. Caspase 3 attenuates XIAP (X-linked inhibitor of apoptosis protein)-mediated inhibition of caspase 9. Biochem J 405:11–9.

Diener T, Neuhaus M, Koziel R, Micutkova L, Jansen-Dürr P. 2010. "Role of endonuclease G in senescence-associated cell death of

human endothelial cells". Exp Gerontology 45 : 638–44. doi:10.1016/j.exger.2010.03.002. PMID 20211237.

Duivenvoorden WC, Beatty LK, Lhotak S, Hill B, Mak I, Paulin G, et al. 2013. Underexpression of tumour suppressor LKB1 in clear cell renal cell carcinoma is common and confers growth advantage in vitro and in vivo. Br J Cancer108327–33

Elmore S. 2007. Apoptosis: a review of programmed cell death. Toxicol Pathol 35:495–516.

Fan Z, Beresford PJ, Oh DY, Zhang D, Lieberman J. 2003. Tumor suppressor NM23- H1 is a granzyme A-activated DNase during CTL-mediated apoptosis, and the nucleosome assembly protein SET is its inhibitor. Cell 112:659–72.

Fink SL, Brad T. 2006. Cookson2Caspase-1-dependent pore formation during pyroptosis leads to osmotic lysis of infected host macrophages. Cell Microbio 1812–1825

Fischer H, Koenig U, Eckhart L, Tschachler E 2002. Human caspase 12 has acquired deleterious mutations. Biochem Biophys Res Commun 293:722-6.

Franklin DJ, Brussaard CPD, Berges JA.2006. What is the role and nature of programmed cell death in phytoplankton ecology? Eur J Phycol 41:1-14.

Friedberg EC, Walker GC, Siede W, Wood RD, Schultz RA, Ellenberger T. 2006. DNA Repair and Mutagenesis, part 3. ASM Press. 2nd ed.

Fulda S, Gorman AM, Hori O, Samali A . 2010. Cellular Stress Responses: Cell Survival and Cell Death. Int J Cell Biol 23:1-14

Grasso S, Menéndez-Gutiérrez P, Carrasco-García E, Mayor-López L,Tristante E, Rocamora-Reverte L,Gómez-Martínez A, García-Morales P,Ferragut JA, Saceda M, Martínez-Lacaci I. 2012. Cell Death and Cancer,Novel Therapeutic Strategies. In “Apoptosis and Medicine. Inteck open science pp 67-110

Green DR, Ferguson T, Zitvogel L, Kroemer G. 2009. Immunogenic and tolerogenic cell death. Nat Rev Immunol 9:353-63.

Page 244: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler236

Harada T, Iwai A, Miyazaki T. 2010. Identification of DELE, a novel DAP3-binding protein which is crucial for death receptor-mediated apoptosis induction. Apoptosis15:1247-55.

Haupt S, Berger M, Goldberg Z, Haupt Y.2003. Apoptosis - the p53 network. J Cell Sci 116:4077-85.

Ho PK, Jabbour AM, Ekert PG, Hawkins CJ. 2005. Caspase- 2 is resistant to inhibition by inhibitor of apoptosis proteins (IAPs) and can activate caspase-7. FEBS J 272:1401-14.

Huang X, Dorota H Halicka HD, Traganos F, Toshiki Tanaka T, Kurose K, Darzynkiewicz Z. 2005. Cytometric assessment of DNA damage in relation to cell cycle phase and apoptosis . Cell Prolif 38: 223–243

Igney FH, Krammer PH. 2002. Death and anti-death: tumour resistance to apoptosis. Nat Rev Cancer 2:277-88.

Jang DS, Penthala NR, Apostolov EO, Wang X, Crooks PA, Basnakian AG. 2015. "Novel cytoprotective inhibitors for apoptotic endonuclease G". DNA and Cell Biol 34 : 92–100

Jiang X, Wang X. 2004. Cytochrome C-mediated apoptosis. Annu Rev Biochem 73:87-106.

Kantari C, Walczak H. Caspase-8 and bid: caught in the act between death receptors and mitochondria. Biochim Biophys Acta 1813:558–63.

Kasof GM, Gomes BC. 2001. Livin, a novel inhibitor of apoptosis protein family member. J Biol Chem 276:3238-46.

Kaufmann T, Strasser A, Jost PJ. Fas death receptor signalling: roles of Bid and XIAP. Cell Death Differ 19:42–50.

Kawai T, Akira1S. 2006. "TLR signaling". Cell Death and Differentiation 13 : 816–825.

Kischkel FC, Lawrence DA, Tinel A, LeBlanc H, Virmani A, Schow P, Gazdar A, Blenis J, Arnott D, Ashkenazi A 2001. Death receptor recruitment of endogenous caspase-10 and apoptosis initiation in the absence of caspase-8. J Biol Chem 276 46639- 46.

Kordes M, Matuschewski K,Hafalla JCR. 2011. Caspase-1 Activation of Interleukin-1_ (IL-1_) and IL-18Is Dispensable for Induction of

ExperimentalCerebral Malaria. Infection and Immunity 79: 3633–3641

Krammer PH, Arnold R, Lavrik IN. 2007. Life and death in peripheral T cells. Nat Rev Immunol 7:532–42

Kumari S, Rastogi RP, Singh KL Singh SP, Sinha RP. 2008. DNA damage: detection strategies. EXCLI J 7:44-62

Labbé K, siMcIntire CR, KDoiron K, Leblanc PM, Saleh M. 2011. Cellular Inhibitors of Apoptosis Proteins cIAP1 and cIAP2 Are Required for Efficient Caspase-1 Activation by the Inflammasome. Immunity 35 :897–907

LeBlanc HN, Ashkenazi A . 2003. Apo2L/TRAIL and its death and decoy receptors Cell Death and Differentiation 10 : 66–75.

Lee JS, Seo TW, Yi JH, Shin KS, Yoo SJ. 2013. "CHIP has a protective role against Lee SH,

Li C, Wei J, Li Y, He X, Zhou Q, Yan J, Zhang J, Liu J, Liu Y, Shu HB. 2013 Transmembrane Protein 214 (TMEM214) MediatesEndoplasmic Reticulum Stress-induced Caspase 4 Enzyme Activation and Apoptosis. J Biol Chem 288 :17908–17917

Luo X, Budihardjo I, Zou H, Slaughter C, Wang X. 1988. Bid, a Bcl2 interacting protein, mediates cytochrome c release from mitochondria in response to activation of cell surface death receptors. Cell 94:481-90.

Mandal D, Mazumder A, Das P, Kundu M, Basu J. 2005. Fas-, caspase 8-, and caspase 3- dependent signaling regulates the activity of the aminophospholipid translocase and phosphatidylserine externalization in human erythrocytes. J Biol Chem 280:39460–7

Martinon F, Tschopp J.2007. Inflammatory caspases and inflammasomes: master switches of inflammation. Cell Death Differ14:10-22.

Martinvalet D, Zhu P, Lieberman J. 2005. Granzyme A induces caspase independent mitochondrial damage, a required first step for apoptosis. Immunity 22:355-70.

Page 245: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 237

Harada T, Iwai A, Miyazaki T. 2010. Identification of DELE, a novel DAP3-binding protein which is crucial for death receptor-mediated apoptosis induction. Apoptosis15:1247-55.

Haupt S, Berger M, Goldberg Z, Haupt Y.2003. Apoptosis - the p53 network. J Cell Sci 116:4077-85.

Ho PK, Jabbour AM, Ekert PG, Hawkins CJ. 2005. Caspase- 2 is resistant to inhibition by inhibitor of apoptosis proteins (IAPs) and can activate caspase-7. FEBS J 272:1401-14.

Huang X, Dorota H Halicka HD, Traganos F, Toshiki Tanaka T, Kurose K, Darzynkiewicz Z. 2005. Cytometric assessment of DNA damage in relation to cell cycle phase and apoptosis . Cell Prolif 38: 223–243

Igney FH, Krammer PH. 2002. Death and anti-death: tumour resistance to apoptosis. Nat Rev Cancer 2:277-88.

Jang DS, Penthala NR, Apostolov EO, Wang X, Crooks PA, Basnakian AG. 2015. "Novel cytoprotective inhibitors for apoptotic endonuclease G". DNA and Cell Biol 34 : 92–100

Jiang X, Wang X. 2004. Cytochrome C-mediated apoptosis. Annu Rev Biochem 73:87-106.

Kantari C, Walczak H. Caspase-8 and bid: caught in the act between death receptors and mitochondria. Biochim Biophys Acta 1813:558–63.

Kasof GM, Gomes BC. 2001. Livin, a novel inhibitor of apoptosis protein family member. J Biol Chem 276:3238-46.

Kaufmann T, Strasser A, Jost PJ. Fas death receptor signalling: roles of Bid and XIAP. Cell Death Differ 19:42–50.

Kawai T, Akira1S. 2006. "TLR signaling". Cell Death and Differentiation 13 : 816–825.

Kischkel FC, Lawrence DA, Tinel A, LeBlanc H, Virmani A, Schow P, Gazdar A, Blenis J, Arnott D, Ashkenazi A 2001. Death receptor recruitment of endogenous caspase-10 and apoptosis initiation in the absence of caspase-8. J Biol Chem 276 46639- 46.

Kordes M, Matuschewski K,Hafalla JCR. 2011. Caspase-1 Activation of Interleukin-1_ (IL-1_) and IL-18Is Dispensable for Induction of

ExperimentalCerebral Malaria. Infection and Immunity 79: 3633–3641

Krammer PH, Arnold R, Lavrik IN. 2007. Life and death in peripheral T cells. Nat Rev Immunol 7:532–42

Kumari S, Rastogi RP, Singh KL Singh SP, Sinha RP. 2008. DNA damage: detection strategies. EXCLI J 7:44-62

Labbé K, siMcIntire CR, KDoiron K, Leblanc PM, Saleh M. 2011. Cellular Inhibitors of Apoptosis Proteins cIAP1 and cIAP2 Are Required for Efficient Caspase-1 Activation by the Inflammasome. Immunity 35 :897–907

LeBlanc HN, Ashkenazi A . 2003. Apo2L/TRAIL and its death and decoy receptors Cell Death and Differentiation 10 : 66–75.

Lee JS, Seo TW, Yi JH, Shin KS, Yoo SJ. 2013. "CHIP has a protective role against Lee SH,

Li C, Wei J, Li Y, He X, Zhou Q, Yan J, Zhang J, Liu J, Liu Y, Shu HB. 2013 Transmembrane Protein 214 (TMEM214) MediatesEndoplasmic Reticulum Stress-induced Caspase 4 Enzyme Activation and Apoptosis. J Biol Chem 288 :17908–17917

Luo X, Budihardjo I, Zou H, Slaughter C, Wang X. 1988. Bid, a Bcl2 interacting protein, mediates cytochrome c release from mitochondria in response to activation of cell surface death receptors. Cell 94:481-90.

Mandal D, Mazumder A, Das P, Kundu M, Basu J. 2005. Fas-, caspase 8-, and caspase 3- dependent signaling regulates the activity of the aminophospholipid translocase and phosphatidylserine externalization in human erythrocytes. J Biol Chem 280:39460–7

Martinon F, Tschopp J.2007. Inflammatory caspases and inflammasomes: master switches of inflammation. Cell Death Differ14:10-22.

Martinvalet D, Zhu P, Lieberman J. 2005. Granzyme A induces caspase independent mitochondrial damage, a required first step for apoptosis. Immunity 22:355-70.

Page 246: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler238

Miyashita UMT, Ohtsuka Y, Okamura-Oho Y, Shikama Y, Yamada M. 2001. Extended polyglutamine selectively interacts with caspase-8 and -10 in nuclear aggregates. Cell Death Differ 8:377-86.

Miyazaki T, Shen M, Fujikura D, Tosa N, Kim HR, Kon S, et al 2004. Functional role of death-associated protein 3 (DAP3) in anoikis. J Biol Chem 279:44667–72

Moubarak RS, Yuste VJ, Artus C, Bouharrour A, Greer PA, Menissier-de Murcia J, Susin SA. 2007.Sequential activation of poly(ADP-Ribose) polymerase 1, calpains, and Bax is essential in apoptosisinducing factor-mediated programmed necrosis. Mol Cellu Biol 27:4844-62.

Nickles D, Falschlehner C, Metzig M, Boutros M. 2012. A genome-wide RNA interference screen identifies caspase 4 as a factor required for tumor necrosis factor alpha signaling. Mol Cell Biol 32:3372–81

Ortiz LMG. 2012. Chronicles of a Silent Death: Apoptosis Research in Cell Biology 1: 1-7

Pennarun B, Meijer A, de Vries EG, Kleibeuker JH, Kruyt F, de Jong S. Playing the DISC: turning on TRAIL death receptor-mediated apoptosis in cancer. Biochim Biophys Acta. 1805:123–40.

Pop C, Salvesen GS. 2009. Human caspases: Activation, specificity and regulation. J Biol Chem 2009; doi:10.1074/jbc.R800084200.

Pop C, Timmer J, Sperandio S, Salvesen GS. 2006. The apoptosome activates caspase-9 by dimerization. Mol Cell 22:269-75.

Ramadan S, Terrinoni A, Catani MV, Sayan AE, Knight RA, Mueller M, Krammer PH, Melino G, Candi E. 2005. p73 induces apoptosis by different mechanisms.. Biochem Biophys Res Commun. 331:713-7.

Rastogi RP, Richa, Sinha RP. 2009. Apoptosis:Molecular mechanisms and pathogenicity. EXCLI Journal 2009;8:155-181

Rath PC, Aggarwa, BB. 1999. TNF-induced signaling in apoptosis. J Clin Immunol 19:350-64.

Saelens X, Festjens N, Parthoens E, Vanoverberghe I, Kalai M, Van Kuppeveld F, Vandenabeele P. 2005. Protein synthesis persists during necrotic cell death. J Cell Biol 168:545-51.

Schlaepfer E, Audige A, Joller H, Speck RF (2006) TLR7/8 triggering exerts opposing effects in acute versus latent HIV infection. J Immunol 176: 2888–2895

Schroder K, Tschopp J. 2010. Review; The Inflammasomes Cell140821–832

Suzuki Y, Imai Y, Nakayama H, Takahashi K, Takio K, Takahashi R. 2001. A serine protease, HtrA2, is released from the mitochondria and interacts with XIAP, inducing cell death. Mol Cell 8:613-21.

Tacconi S, Perri R, Balestrieri E, Grelli S, Bernardini S, Annichiarico R, Mastino A, Caltagirone C, Macchi B. 2004. Increased caspase activation in peripheral blood mononuclear cells of patients with Alzheimer’s disease. Exp Neurol 190:254-62.

Tait SW, Green DR. 2008. Caspase-independent cell death: leaving the set without the final cut. Oncogene 27:6452-61.

Takeda S, Iwai A, Nakashima M, Fujikura D, Chiba S, Li HM, et al. LKB1 is crucial for TRAIL-mediated apoptosis induction in osteosarcoma. Anticancer Res 27:761–8.

Tian C, Lv D, Qiao H, Zhang J, Yin Y-H, Qian X-P, Wang Y-P, Zhang Y, Chen W-F. 2007. TFDP3 inhibits E2F1-induced, p53-mediated apoptosis. Biochem Biophy Res Commun 361:20-5.

Tinel A, Tschopp J. 2004. The PIDDosome, a protein complex implicated in activation of caspase-2 in response to genotoxic stress. Science 304:843- 6.

Trapani JA 2012. Granzymes, cytotoxic granules and cell death: the early work of Dr. Jurg Tschopp. Cell Death Differ 19:21–7

Trapani KA, Smyth MJ. 2002 .Functional significance of the perforin/granzyme cell death pathway. Nature Rev Immunol 2: 735-747

Tripathi DN, Chowdhury R, Trudel LJ, Tee AR, Slack RS, Walker CL, Wogan GN, 2013. Reactive nitrogen species regulate autophagy through ATM-AMPK-TSC2- mediated suppression of mTORC1.

Page 247: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 239

Miyashita UMT, Ohtsuka Y, Okamura-Oho Y, Shikama Y, Yamada M. 2001. Extended polyglutamine selectively interacts with caspase-8 and -10 in nuclear aggregates. Cell Death Differ 8:377-86.

Miyazaki T, Shen M, Fujikura D, Tosa N, Kim HR, Kon S, et al 2004. Functional role of death-associated protein 3 (DAP3) in anoikis. J Biol Chem 279:44667–72

Moubarak RS, Yuste VJ, Artus C, Bouharrour A, Greer PA, Menissier-de Murcia J, Susin SA. 2007.Sequential activation of poly(ADP-Ribose) polymerase 1, calpains, and Bax is essential in apoptosisinducing factor-mediated programmed necrosis. Mol Cellu Biol 27:4844-62.

Nickles D, Falschlehner C, Metzig M, Boutros M. 2012. A genome-wide RNA interference screen identifies caspase 4 as a factor required for tumor necrosis factor alpha signaling. Mol Cell Biol 32:3372–81

Ortiz LMG. 2012. Chronicles of a Silent Death: Apoptosis Research in Cell Biology 1: 1-7

Pennarun B, Meijer A, de Vries EG, Kleibeuker JH, Kruyt F, de Jong S. Playing the DISC: turning on TRAIL death receptor-mediated apoptosis in cancer. Biochim Biophys Acta. 1805:123–40.

Pop C, Salvesen GS. 2009. Human caspases: Activation, specificity and regulation. J Biol Chem 2009; doi:10.1074/jbc.R800084200.

Pop C, Timmer J, Sperandio S, Salvesen GS. 2006. The apoptosome activates caspase-9 by dimerization. Mol Cell 22:269-75.

Ramadan S, Terrinoni A, Catani MV, Sayan AE, Knight RA, Mueller M, Krammer PH, Melino G, Candi E. 2005. p73 induces apoptosis by different mechanisms.. Biochem Biophys Res Commun. 331:713-7.

Rastogi RP, Richa, Sinha RP. 2009. Apoptosis:Molecular mechanisms and pathogenicity. EXCLI Journal 2009;8:155-181

Rath PC, Aggarwa, BB. 1999. TNF-induced signaling in apoptosis. J Clin Immunol 19:350-64.

Saelens X, Festjens N, Parthoens E, Vanoverberghe I, Kalai M, Van Kuppeveld F, Vandenabeele P. 2005. Protein synthesis persists during necrotic cell death. J Cell Biol 168:545-51.

Schlaepfer E, Audige A, Joller H, Speck RF (2006) TLR7/8 triggering exerts opposing effects in acute versus latent HIV infection. J Immunol 176: 2888–2895

Schroder K, Tschopp J. 2010. Review; The Inflammasomes Cell140821–832

Suzuki Y, Imai Y, Nakayama H, Takahashi K, Takio K, Takahashi R. 2001. A serine protease, HtrA2, is released from the mitochondria and interacts with XIAP, inducing cell death. Mol Cell 8:613-21.

Tacconi S, Perri R, Balestrieri E, Grelli S, Bernardini S, Annichiarico R, Mastino A, Caltagirone C, Macchi B. 2004. Increased caspase activation in peripheral blood mononuclear cells of patients with Alzheimer’s disease. Exp Neurol 190:254-62.

Tait SW, Green DR. 2008. Caspase-independent cell death: leaving the set without the final cut. Oncogene 27:6452-61.

Takeda S, Iwai A, Nakashima M, Fujikura D, Chiba S, Li HM, et al. LKB1 is crucial for TRAIL-mediated apoptosis induction in osteosarcoma. Anticancer Res 27:761–8.

Tian C, Lv D, Qiao H, Zhang J, Yin Y-H, Qian X-P, Wang Y-P, Zhang Y, Chen W-F. 2007. TFDP3 inhibits E2F1-induced, p53-mediated apoptosis. Biochem Biophy Res Commun 361:20-5.

Tinel A, Tschopp J. 2004. The PIDDosome, a protein complex implicated in activation of caspase-2 in response to genotoxic stress. Science 304:843- 6.

Trapani JA 2012. Granzymes, cytotoxic granules and cell death: the early work of Dr. Jurg Tschopp. Cell Death Differ 19:21–7

Trapani KA, Smyth MJ. 2002 .Functional significance of the perforin/granzyme cell death pathway. Nature Rev Immunol 2: 735-747

Tripathi DN, Chowdhury R, Trudel LJ, Tee AR, Slack RS, Walker CL, Wogan GN, 2013. Reactive nitrogen species regulate autophagy through ATM-AMPK-TSC2- mediated suppression of mTORC1.

Page 248: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler240

Proc Natl Acad Sci U S A.110 : E2950–7. doi:10.1073/pnas.1307736110.

Tsuruta T, Oh-Hashi K, Ueno Y, Kitade Y, Kiuchi K, Hirata Y. 2006. RNAi knockdown of caspase-activated DNase inhibits rotenone-induced DNA fragmentation in HeLa cells. Neurochem Int 50:601–6.

Vařecha M, Potěšilová M, Matula P, Kozubek M. 2012. "Endonuclease G interacts with histone H2B and DNA topoisomerase II alpha during apoptosis". Mol Cell Biochem 363 : 301–7.

Vaux DL, Silke J. 2005. IAPs, RINGs and ubiquitylation. Nat Rev Mol Cell Biol 6:287-97.

Verhagen AM, Silke J, Ekert PG, Pakusch M, Kaufmann H, Connolly LM, Day CL, Tikoo A, Burke R, Wrobel C, Moritz RL, Simpson RJ, Vaux DL. 2002. HtrA2 promotes cell death through its serine protease activity and its ability to antagonize inhibitor of apoptosis proteins. J Biol Chem 277: 445-54.

Vigano E, Mortellaro A. 2013. Caspase-11 : the driving factor for noncanonical inflammasomes. Eur J Immunol 43:2240–5. doi:10.1002/eji.201343800.

Walsh JG, Cullen SP, Sheridan C, Luthi AU, Gerner C, Martin SJ. 2008. Executioner caspase-3 and caspase-7 are functionally distinct proteases. Proc Natl Acad Sci U S A. 2008;105(35):12815–9. doi:10.1073/pnas.0707715105.

Wang Y, Li G. 2006. ING3 promotes UV-induced apoptosis via Fas/ caspase-8 pathway in melanoma cells. J Biol Chem 281:11887-93.

Wu SL, Li CC, Chen JC, Chen YJ, Lin CT, Ho TY, Hsiang CY. 2009. "Mutagenesis identifies the critical amino acid residues of human endonuclease G involved in catalysis, magnesium coordination, and substrate specificity". J Biomed Sci 16: 6.

Wu Y, Xing D, Liu L, Gao B. 2008. Regulation of Bax activation and apoptotic response to UV irradiation by p53 transcription-dependent and independent pathways. Cancer Lett 271:231-9.

Yamamuro A, Kishino T, Ohshima Y, Yoshioka Y, Kimura T, Kasai A, Maeda S. 2011. Caspase-4 directly activates caspase-9 in endoplasmic reticulum stressinduced apoptosis in SH-SY5Y cells. J Pharmacol Sci 115:239–43.

Yan N, Shi Y. 2005. Mechanisms of apoptosis through structural biology. Annu Rev Cell Dev Biol 21:35-56.

Yew DT, Ping Li W, Liu WK. 2004. Fas and activated caspase 8 in normal, Alzheimer and multiple infarct brains. Neurosci Lett 367:113-7.

Zacks DN, Zheng QD, Han Y, Bakhru R, Miller JW. 2004. FAS-mediated apoptosis and its relation to intrinsic pathway activation in an experimental model of retinal detachment. Invest Ophthalmol Vis Sci 45:4563-9.

Zeiss CJ. 2003. The apoptosis-necrosis continuum: insights from genetically altered mice. Vet Pathol 40:481-95.

Zhang L, Blackwell K, Altaeva A, Shi Z, Habelhah H. 2011. TRAF2 phosphorylation promotes NF-κB–dependent gene expression and inhibits oxidative stress-induced cell death. Mol Biol Cell. 22: 128–140.

Page 249: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 241

Proc Natl Acad Sci U S A.110 : E2950–7. doi:10.1073/pnas.1307736110.

Tsuruta T, Oh-Hashi K, Ueno Y, Kitade Y, Kiuchi K, Hirata Y. 2006. RNAi knockdown of caspase-activated DNase inhibits rotenone-induced DNA fragmentation in HeLa cells. Neurochem Int 50:601–6.

Vařecha M, Potěšilová M, Matula P, Kozubek M. 2012. "Endonuclease G interacts with histone H2B and DNA topoisomerase II alpha during apoptosis". Mol Cell Biochem 363 : 301–7.

Vaux DL, Silke J. 2005. IAPs, RINGs and ubiquitylation. Nat Rev Mol Cell Biol 6:287-97.

Verhagen AM, Silke J, Ekert PG, Pakusch M, Kaufmann H, Connolly LM, Day CL, Tikoo A, Burke R, Wrobel C, Moritz RL, Simpson RJ, Vaux DL. 2002. HtrA2 promotes cell death through its serine protease activity and its ability to antagonize inhibitor of apoptosis proteins. J Biol Chem 277: 445-54.

Vigano E, Mortellaro A. 2013. Caspase-11 : the driving factor for noncanonical inflammasomes. Eur J Immunol 43:2240–5. doi:10.1002/eji.201343800.

Walsh JG, Cullen SP, Sheridan C, Luthi AU, Gerner C, Martin SJ. 2008. Executioner caspase-3 and caspase-7 are functionally distinct proteases. Proc Natl Acad Sci U S A. 2008;105(35):12815–9. doi:10.1073/pnas.0707715105.

Wang Y, Li G. 2006. ING3 promotes UV-induced apoptosis via Fas/ caspase-8 pathway in melanoma cells. J Biol Chem 281:11887-93.

Wu SL, Li CC, Chen JC, Chen YJ, Lin CT, Ho TY, Hsiang CY. 2009. "Mutagenesis identifies the critical amino acid residues of human endonuclease G involved in catalysis, magnesium coordination, and substrate specificity". J Biomed Sci 16: 6.

Wu Y, Xing D, Liu L, Gao B. 2008. Regulation of Bax activation and apoptotic response to UV irradiation by p53 transcription-dependent and independent pathways. Cancer Lett 271:231-9.

Yamamuro A, Kishino T, Ohshima Y, Yoshioka Y, Kimura T, Kasai A, Maeda S. 2011. Caspase-4 directly activates caspase-9 in endoplasmic reticulum stressinduced apoptosis in SH-SY5Y cells. J Pharmacol Sci 115:239–43.

Yan N, Shi Y. 2005. Mechanisms of apoptosis through structural biology. Annu Rev Cell Dev Biol 21:35-56.

Yew DT, Ping Li W, Liu WK. 2004. Fas and activated caspase 8 in normal, Alzheimer and multiple infarct brains. Neurosci Lett 367:113-7.

Zacks DN, Zheng QD, Han Y, Bakhru R, Miller JW. 2004. FAS-mediated apoptosis and its relation to intrinsic pathway activation in an experimental model of retinal detachment. Invest Ophthalmol Vis Sci 45:4563-9.

Zeiss CJ. 2003. The apoptosis-necrosis continuum: insights from genetically altered mice. Vet Pathol 40:481-95.

Zhang L, Blackwell K, Altaeva A, Shi Z, Habelhah H. 2011. TRAF2 phosphorylation promotes NF-κB–dependent gene expression and inhibits oxidative stress-induced cell death. Mol Biol Cell. 22: 128–140.

Page 250: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler242

BAB. V ONKOGENESIS

Kanker merupakan masalah kesehatan yang amat penting bagi umat manusia di seluruh dunia. Faktor lingkungan dan faktor genetik sangat berperan sebagai pemicu munculnya sel kanker pada manusia. Kadua faktor tersebut dapat memicu perubahan sifat dan prilaku sel sehingga memunculkan sel yang mampu berproliferasi secara tidak terkendali. Pada tingkat gen, perubahan genetik yang paling sering memicu munculnya sel tumor adalah perubahan gen supresor tumor yang menyebabkan proliferasi sel berlebihan dan menurunnya tingkat apoptosis. Selain itu, proliferasi sel yang tidak terkendali juga dapat disebabkan oleh mutasi pada protoonkogen yang menyebabkan aktivitasnya meningkat dan tidak dapat dikendalikan oleh gen supresor tumor.

Meskipun terdiri atas lebih dari 100 jenis, semua sel kanker memiliki beberapa kesamaan, yaitu mempunyai abnormalitas sistem dalam pengatur pembelahan sel. Abnormalitas tersebut biasanya disebabkan oleh mutasi yang bersifat bawaan yang dibawa sejak lahir maupun oleh yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti sinart ultraviolet, sinar X, zat kimia berbahaya, dan infeksi virus. Pada umumnya munculnya sel kanker memerlukan waktu yang lama yang yang melibatkan mutasi berbagai gen yang disebabkan oleh gabungan berbagai faktor bawaan dan faktor dapatan.

5.1. Tumorogenesis dan Karsinogenesis

Tumorogenesis umumnya terjadi melalui proses yang panjang dan orang usia lanjut umumnya lebih rentan untuk menderita tumor. Sebelum berkembang menjadi sel kanker, sel normal harus melewati berbagai tahapan sampai gejala kanker dapat diamati secara klinis. Tahapan tersebut meliputi mutasi secara beruntun pada beberapa gen dalam satu sel. Misalnya, pada kasus kanker kolorektal, sel kanker yang membahayakan baru muncul setelah sel mengalami tahapan berikut. Pertama, mutasi terjadi pada gen adenomatous polyposis coli (APC) yang diikuti oleh perubahan epigenetik yang mengubah ekspresi protein tertentu yang memicu proliferasi sel secara berlebihan. Perubahan ini diikuti oleh mutasi gen penyandi protein K-ras (protoonkogen) dan gen supresor tumor penyandi protein p53. Kanker kolon yang secara klinis baru muncul setelah terjadi perubahan beruntun pada sejumlah gen tesebut (Fearon 2011). Penentuan tahap perkembangan kanker kolorektal dimungkinkan karena ketersediaan jaringan kolon pada penderita kanker usus pada berbagai stadium. Analisis genetik jaringan kolorektal pada berbagai stadium kasus kanker kolon mulai dari tahap awal, menengah dan akhir menyebabkann pembentukan teori tetang model urutan terbentuknya kanker kolon (Gambar 5.1) ).

Gambar 5.1. Model Perkembangan genetik karsinoma kolon. Perubahan genetik diawali dengan mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi gen supresor tumor APC, diikuti oleh hipermetilasi DNA dan aktivasi K-ras serta hilangnya fungsi gen supresor tumor p53. Sumber: Weinberg 2007

Page 251: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 243

BAB. V ONKOGENESIS

Kanker merupakan masalah kesehatan yang amat penting bagi umat manusia di seluruh dunia. Faktor lingkungan dan faktor genetik sangat berperan sebagai pemicu munculnya sel kanker pada manusia. Kadua faktor tersebut dapat memicu perubahan sifat dan prilaku sel sehingga memunculkan sel yang mampu berproliferasi secara tidak terkendali. Pada tingkat gen, perubahan genetik yang paling sering memicu munculnya sel tumor adalah perubahan gen supresor tumor yang menyebabkan proliferasi sel berlebihan dan menurunnya tingkat apoptosis. Selain itu, proliferasi sel yang tidak terkendali juga dapat disebabkan oleh mutasi pada protoonkogen yang menyebabkan aktivitasnya meningkat dan tidak dapat dikendalikan oleh gen supresor tumor.

Meskipun terdiri atas lebih dari 100 jenis, semua sel kanker memiliki beberapa kesamaan, yaitu mempunyai abnormalitas sistem dalam pengatur pembelahan sel. Abnormalitas tersebut biasanya disebabkan oleh mutasi yang bersifat bawaan yang dibawa sejak lahir maupun oleh yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti sinart ultraviolet, sinar X, zat kimia berbahaya, dan infeksi virus. Pada umumnya munculnya sel kanker memerlukan waktu yang lama yang yang melibatkan mutasi berbagai gen yang disebabkan oleh gabungan berbagai faktor bawaan dan faktor dapatan.

5.1. Tumorogenesis dan Karsinogenesis

Tumorogenesis umumnya terjadi melalui proses yang panjang dan orang usia lanjut umumnya lebih rentan untuk menderita tumor. Sebelum berkembang menjadi sel kanker, sel normal harus melewati berbagai tahapan sampai gejala kanker dapat diamati secara klinis. Tahapan tersebut meliputi mutasi secara beruntun pada beberapa gen dalam satu sel. Misalnya, pada kasus kanker kolorektal, sel kanker yang membahayakan baru muncul setelah sel mengalami tahapan berikut. Pertama, mutasi terjadi pada gen adenomatous polyposis coli (APC) yang diikuti oleh perubahan epigenetik yang mengubah ekspresi protein tertentu yang memicu proliferasi sel secara berlebihan. Perubahan ini diikuti oleh mutasi gen penyandi protein K-ras (protoonkogen) dan gen supresor tumor penyandi protein p53. Kanker kolon yang secara klinis baru muncul setelah terjadi perubahan beruntun pada sejumlah gen tesebut (Fearon 2011). Penentuan tahap perkembangan kanker kolorektal dimungkinkan karena ketersediaan jaringan kolon pada penderita kanker usus pada berbagai stadium. Analisis genetik jaringan kolorektal pada berbagai stadium kasus kanker kolon mulai dari tahap awal, menengah dan akhir menyebabkann pembentukan teori tetang model urutan terbentuknya kanker kolon (Gambar 5.1) ).

Gambar 5.1. Model Perkembangan genetik karsinoma kolon. Perubahan genetik diawali dengan mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi gen supresor tumor APC, diikuti oleh hipermetilasi DNA dan aktivasi K-ras serta hilangnya fungsi gen supresor tumor p53. Sumber: Weinberg 2007

Page 252: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler244

5.1.1. Perubahan Sel Normal menjadi Sel Tumor

Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan dan proliferasi sel yang tidak terkendali sehingga sel lolos dari mekanisme pengendalian sel normal yang mengakibatkannya tumbuh secara tidak terbatas. Karsinogenesis merupakan proses multi langkah yang memerlukan akumulasi berbagai perubahan genetik pada sel selama kurun waktu yang lama (Gambar 5.1). Perubahan genetik melibatkan aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen, deregulasi dan inaktivasi gen supresor tumor, serta kegagalan reparasi DNA dan imortalisasi sel.

Gambar 5.2: Perkembangan sel tumor menjadi sel kanker. Sel mungkin memerlukan mutasi pada gen pengendali proliferasi seperti proto-onkogenes dan/atau gen suppressor tumor. Setiap mutasi menimbulkan sifat sel ke arah ekspansi klonal. Perubahan yang terjadi umumnya melibatkan deregulasi siklus sel dan penghambatan apoptois. Sumber Fearon 2011.

5.1.2 Tahapan Karsinogenesis

Selain karsinoma kolon, kanker lainnya juga berkembang melalui proses yang panjang yang melibatkan perubahan genatik pada 4 sampai 5 gen dalam satu sel sampai munculnya kanker ganas. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses karsinogenesis dapat dibedakan menjadi inisiasi, promosi dan progresi (Vinsent dan Gatenby, 2008). Proses inisiasi biasanya melibatkan perubahan pada salah satu gen yang tidak dapat direparasi melalui mekanisme reparasi DNA maupun melalui proses apoptosis. Keadaan ini memunculkan sel yang berproliferasi secara berlebihan, tetapi berkembang secara perlahan-lahan dan tidak terjadi proses penyebaran sel tumor ke berbagai jaringan (metastasis). Promosi biasanya dikaitkan dengan peningkatan daya proliferasi sel tumor yang terbentuk pada proses inisiasi sehingga populasi sel tumor bertambah. Namun, promosi sendiri tidak menyebabkan sel bermestastasis. Progresi adalah ketika terjadi berbagai mutasi tambahan pada satu atau beberapa gen yang menyebabkan sel tumor berproliferasi lebih cepat dan bersifat invasif.

Salah satu model tahapan karsinogenesis paling banyak dikaji adalah model kanker kulit yang diinduksi olah karsinogen yang menyebabkan mutasi DNA pada gen pengatur pertumbuhan sel seperti Ha-ras (Caulin dkk, 2007). Proses inisiasi muncul karena paparan senyawa kimia genotoksik maupun sinar ultraviolet yang menyebabkan mutasi genetik protoonkogen H-ras atau inaktivasi gen supresor tumor seperti p53. Paparan sinar ultraviolet atau senyawa genotoksik yang berulang menyebabkan ekspansi klonal sel yang telah mengalami proses inisiasi sehingga muncul hiperplasia yang meluas pada epitel kulit. Keadaan ini memicu papilloma premalignan yang dapat berubah menjadi tumor kulit ganas jika sel kehilangan fungsi gen lainnya. Kanker ganas kemudian bermetastasis ke berbagai jaringan seperti limfoglandula dan paru (Joyce dan Pallard, 2009). Mutasi yang menyebabkan promosi semacam ini dapat disebabkan oleh adanya mutasi substitusi, delesi, insersi, translokasi kromosom dan amplifikasi ekspresi gen pengendali pertumbuhan sel

Page 253: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 245

5.1.1. Perubahan Sel Normal menjadi Sel Tumor

Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan dan proliferasi sel yang tidak terkendali sehingga sel lolos dari mekanisme pengendalian sel normal yang mengakibatkannya tumbuh secara tidak terbatas. Karsinogenesis merupakan proses multi langkah yang memerlukan akumulasi berbagai perubahan genetik pada sel selama kurun waktu yang lama (Gambar 5.1). Perubahan genetik melibatkan aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen, deregulasi dan inaktivasi gen supresor tumor, serta kegagalan reparasi DNA dan imortalisasi sel.

Gambar 5.2: Perkembangan sel tumor menjadi sel kanker. Sel mungkin memerlukan mutasi pada gen pengendali proliferasi seperti proto-onkogenes dan/atau gen suppressor tumor. Setiap mutasi menimbulkan sifat sel ke arah ekspansi klonal. Perubahan yang terjadi umumnya melibatkan deregulasi siklus sel dan penghambatan apoptois. Sumber Fearon 2011.

5.1.2 Tahapan Karsinogenesis

Selain karsinoma kolon, kanker lainnya juga berkembang melalui proses yang panjang yang melibatkan perubahan genatik pada 4 sampai 5 gen dalam satu sel sampai munculnya kanker ganas. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses karsinogenesis dapat dibedakan menjadi inisiasi, promosi dan progresi (Vinsent dan Gatenby, 2008). Proses inisiasi biasanya melibatkan perubahan pada salah satu gen yang tidak dapat direparasi melalui mekanisme reparasi DNA maupun melalui proses apoptosis. Keadaan ini memunculkan sel yang berproliferasi secara berlebihan, tetapi berkembang secara perlahan-lahan dan tidak terjadi proses penyebaran sel tumor ke berbagai jaringan (metastasis). Promosi biasanya dikaitkan dengan peningkatan daya proliferasi sel tumor yang terbentuk pada proses inisiasi sehingga populasi sel tumor bertambah. Namun, promosi sendiri tidak menyebabkan sel bermestastasis. Progresi adalah ketika terjadi berbagai mutasi tambahan pada satu atau beberapa gen yang menyebabkan sel tumor berproliferasi lebih cepat dan bersifat invasif.

Salah satu model tahapan karsinogenesis paling banyak dikaji adalah model kanker kulit yang diinduksi olah karsinogen yang menyebabkan mutasi DNA pada gen pengatur pertumbuhan sel seperti Ha-ras (Caulin dkk, 2007). Proses inisiasi muncul karena paparan senyawa kimia genotoksik maupun sinar ultraviolet yang menyebabkan mutasi genetik protoonkogen H-ras atau inaktivasi gen supresor tumor seperti p53. Paparan sinar ultraviolet atau senyawa genotoksik yang berulang menyebabkan ekspansi klonal sel yang telah mengalami proses inisiasi sehingga muncul hiperplasia yang meluas pada epitel kulit. Keadaan ini memicu papilloma premalignan yang dapat berubah menjadi tumor kulit ganas jika sel kehilangan fungsi gen lainnya. Kanker ganas kemudian bermetastasis ke berbagai jaringan seperti limfoglandula dan paru (Joyce dan Pallard, 2009). Mutasi yang menyebabkan promosi semacam ini dapat disebabkan oleh adanya mutasi substitusi, delesi, insersi, translokasi kromosom dan amplifikasi ekspresi gen pengendali pertumbuhan sel

Page 254: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler246

Gambar 5.3. Tahapan perkembangan kanker kulit pada tikus percobaan. Sumber Rundhag dkk, 2010.

Selain oleh paparan karsingen sinar ultraviolet, pada proses inisiasi juga dapat dipicu oleh senyawa kimia genotoksik yang dapat berikatan dan merusak DNA. Tahapan karsinogenesisnya adalah metabolisme karsinogen, reparasi DNA dan proliferasi sel. Banyak zat kimia harus mengalami aktivasi metobolik sampai menjadi karsinogenik. Kebanyakan karsinogen dan metabolit aktifnya merupakan senyawa yang dapat berikatan atau berinteraksi dengan DNA untuk membentuk aduk pada untai DNA yang harus dihilangkan melalui berbagai mekanisme reparasi DNA (Minamoto dkk, 1999). Karena itu mekanisme reparasi DNA menjadi amat penting dalam pengembalian fungsi DNA menjadi normal dan mencegah kerusakan DNA. Kegagalan dalam mekanisme reparasi pada kerusakan DNA yang disebabkan oleh senyawa karsinogenik ke keadaan normal yang diiukti oleh proliferasi sel yang telah mengalami kelainan DNA dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada gen (mutasi) dapat menyebabkan aktivasi onkogen dan inaktivasi gen penekan tumor.

Sementara itu, promosi merupakan proses berbalik, yaitu harus terpapar secara terus menerus untuk memicu proliferasi sel dan jika

paparan dihentikan proses promosi bisa berhenti. Tahapan promosi biasanya dipicu oleh senyawa non-genotoksik, yaitu senyawa yang tidak dapat membentuk aduk DNA atau juga tidak merusak DNA, tetapi mampu memicu proliferasi sel secara berlebihan. Jadi promosi disebabkan oleh paparan senyawa pemicu pertumbuhan sel sehingga sel tumbuh dengan cepat, tetapi belum bersifat invasif. Pada model kanker kulit, paparan senyawa genotoksik biasanya tidak memunculkan pembentukan sel tumor, meskipun mutasi telah terjadi pada sel epitel kulit. Namun, jika paparan senyawa gentoksik disertai dengan paparan berulang zat promoter tumor, seperti 12-O-tetradecanoyl-phorbol-13-acetate (TPA), maka berbagai tumor kulit muncul dan akhirnnya bersifat invasif (Abel dkk, 2009). Penghambatan promoter tumor dapat mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi pembentukan sel tumor.

Progresi merupakan proses yang memerlukan berbagai mutasi tambahan sampai munculnya sel kanker dengan kemampuan bermetastasis. Beberapa zat yang terlibat dalam proses inisiasi juga dapat memicu progresi sel menjadi sel dengan fenotipe sel kanker. Zat tersebut meliputi benzo(a)pyrene, β-napthylamine, 2-acetylaminofluorene, aflatoxin B1, dimethylnitrosamine, 2-amino-3-methylimidazo(4,5-f)quinoline (IQ), benzidine, vinyl chloride, dan 4-(methylnitrosamino)- 1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNK) (Tannock dan Hill, 1987). Semua senyawa tersebut diubah menjadi metabolit bermuatan positif yang dapat berikatan dengan molekul bermuatan negatif, seperti protein dan asam inti. Ikatan ini menyebabkan pembentukan aduk DNA yang jika tidak tereparasi dengan benar, maka aduk DNA yang terbentuk dapat menyebabkan mutasi pada gen (Minamoto dkk, 1999). Mutasi inilah yang menyebabkan sel tumor untuk tumbuh lebih cepat, menginvasi sel sekitarnya dan akhirnya bermetastasis ke berbagai jaringan. Karena itu, kerusakan DNA, mekansime reparasi DNA dan adanya mutasi merupakan serangkaian proses yang harus dilewati sampai sel berkembang menjadi sel kanker (tumor ganas).

Senyawa lingkungan yang dapat menimbulkan kerusakan dan mutasi DNA adalah radiasi pengionan, sinar ultraviolet, dan berbagai senyawa kimia lainnya (Bertram, 2000). Senyawa tersebut dapat menyebakan kerusakan DNA seperti SSB/DSB, perubahan basa, ikatan silang, insersi basa yang salah, dan penambahan/delesi sekuen DNA.

Page 255: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 247

Gambar 5.3. Tahapan perkembangan kanker kulit pada tikus percobaan. Sumber Rundhag dkk, 2010.

Selain oleh paparan karsingen sinar ultraviolet, pada proses inisiasi juga dapat dipicu oleh senyawa kimia genotoksik yang dapat berikatan dan merusak DNA. Tahapan karsinogenesisnya adalah metabolisme karsinogen, reparasi DNA dan proliferasi sel. Banyak zat kimia harus mengalami aktivasi metobolik sampai menjadi karsinogenik. Kebanyakan karsinogen dan metabolit aktifnya merupakan senyawa yang dapat berikatan atau berinteraksi dengan DNA untuk membentuk aduk pada untai DNA yang harus dihilangkan melalui berbagai mekanisme reparasi DNA (Minamoto dkk, 1999). Karena itu mekanisme reparasi DNA menjadi amat penting dalam pengembalian fungsi DNA menjadi normal dan mencegah kerusakan DNA. Kegagalan dalam mekanisme reparasi pada kerusakan DNA yang disebabkan oleh senyawa karsinogenik ke keadaan normal yang diiukti oleh proliferasi sel yang telah mengalami kelainan DNA dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada gen (mutasi) dapat menyebabkan aktivasi onkogen dan inaktivasi gen penekan tumor.

Sementara itu, promosi merupakan proses berbalik, yaitu harus terpapar secara terus menerus untuk memicu proliferasi sel dan jika

paparan dihentikan proses promosi bisa berhenti. Tahapan promosi biasanya dipicu oleh senyawa non-genotoksik, yaitu senyawa yang tidak dapat membentuk aduk DNA atau juga tidak merusak DNA, tetapi mampu memicu proliferasi sel secara berlebihan. Jadi promosi disebabkan oleh paparan senyawa pemicu pertumbuhan sel sehingga sel tumbuh dengan cepat, tetapi belum bersifat invasif. Pada model kanker kulit, paparan senyawa genotoksik biasanya tidak memunculkan pembentukan sel tumor, meskipun mutasi telah terjadi pada sel epitel kulit. Namun, jika paparan senyawa gentoksik disertai dengan paparan berulang zat promoter tumor, seperti 12-O-tetradecanoyl-phorbol-13-acetate (TPA), maka berbagai tumor kulit muncul dan akhirnnya bersifat invasif (Abel dkk, 2009). Penghambatan promoter tumor dapat mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi pembentukan sel tumor.

Progresi merupakan proses yang memerlukan berbagai mutasi tambahan sampai munculnya sel kanker dengan kemampuan bermetastasis. Beberapa zat yang terlibat dalam proses inisiasi juga dapat memicu progresi sel menjadi sel dengan fenotipe sel kanker. Zat tersebut meliputi benzo(a)pyrene, β-napthylamine, 2-acetylaminofluorene, aflatoxin B1, dimethylnitrosamine, 2-amino-3-methylimidazo(4,5-f)quinoline (IQ), benzidine, vinyl chloride, dan 4-(methylnitrosamino)- 1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNK) (Tannock dan Hill, 1987). Semua senyawa tersebut diubah menjadi metabolit bermuatan positif yang dapat berikatan dengan molekul bermuatan negatif, seperti protein dan asam inti. Ikatan ini menyebabkan pembentukan aduk DNA yang jika tidak tereparasi dengan benar, maka aduk DNA yang terbentuk dapat menyebabkan mutasi pada gen (Minamoto dkk, 1999). Mutasi inilah yang menyebabkan sel tumor untuk tumbuh lebih cepat, menginvasi sel sekitarnya dan akhirnya bermetastasis ke berbagai jaringan. Karena itu, kerusakan DNA, mekansime reparasi DNA dan adanya mutasi merupakan serangkaian proses yang harus dilewati sampai sel berkembang menjadi sel kanker (tumor ganas).

Senyawa lingkungan yang dapat menimbulkan kerusakan dan mutasi DNA adalah radiasi pengionan, sinar ultraviolet, dan berbagai senyawa kimia lainnya (Bertram, 2000). Senyawa tersebut dapat menyebakan kerusakan DNA seperti SSB/DSB, perubahan basa, ikatan silang, insersi basa yang salah, dan penambahan/delesi sekuen DNA.

Page 256: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler248

Sel mempunyai berbagai mekanisme reparasi DNA yang dapat mengembalikan DNA yang rusak menjadi normal (Friedberg dkk, 1995). Dalam proses reparasi DNA, enzim yang berperan dapat dikatagorikan sebagai enzim fase pertama dan enzim fase kedua. Enzim fase pertama biasanya merupakan enzim yang berperan dalam proses detoksikasi senyawa kimia karsinogenik yang meliputi enzim monooxygenase, dehydrogenase, esterase, reductase, dan oxidase. Salah satu contoh enzim fase pertama adalah cytochrome P450 monooxygenase yang memetabolisme hidrokarbon poliaromatik, amin aromatik dan nitrosamin. Enzim fase 2, yaitu enzim yang memetabolisme dan berperan penting dalam detoksifikasi dan ekspresi zat karsinogenik seperti poxide hydrase, glutathione-S-transferase, dan uridine 5-diphosphate (UDP) glucuronide transferase. Terdapat beberapa karsinogen yang tidak memerlukan aktivasi metabolit untuk memicu karsinogenesis seperti nitrogen mustard, dimethylcarbamyl chloride, dan β-propiolactone.

5.2. Faktor Genetik Pemicu Kanker

Faktor genetik berperan amat penting dalam proses onkogenesis. Bukti menunjukkan bahwa jenis dan keparahan kanker sangat berkaitan dengan jenis mutasi pada gen tertentu. Misalnya, kanker kolon sangat berkaitan dengan lokasi mutasi gen penyandi protein adenomatous polyposis coli (APC). Hal ini dibuktikan dengan kajian secara imunohistokimia lokalisasi beta-catenin dalam inti sel. Mutasi yang berisiko tinggi adalah yang menyebabkan munculnya “stop codon” pada ujung amino dan mutasi yang berisiko rendah adalah pada peptida lainnya dari molekul APC. Salah satu penyebab munculnya “stop codon” tersebut adalah adanya mutasi akibat substitusi nukelotida atau single nucleotide polymorphism (SNP). Mutasi ini terjadi lebih sering dibanding jenis mutasi lainnya (Aoki dan Taketo, 2007),

5.2.1. Perubahan Epigenetik

Fungsi gen dapat terganggu jika mengalami perubahan pada gennya sendiri atau pada tatanan epigenetik yang mengatur traskripsi dan ekspresi gen. Mekanisme epigenetik yang mengatur ekspersi gen

meliputi gen pengatur jalur transduksi signal, metilasi DNA, dan pengaturan kembali kromatin. Metilasi DNA merupakan penambahan gugus metil pada cincin pirimidin dari nukleotida sitosin (C) pada sekuen CG. Modifikasi tersebut dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu (1) dari pola untai sandi yang telah ada sebelumnya atau (2) atau penambahan secara de novo gugus metil pada DNA yang sepenuhnya tidak mengalami metilasi. Daerah kecil dari metilasi DNA dengan sitosin termetilasi disebut “pulau CpG ,” dan ditemukan pada regio 5-promoter. Metilasi ditemukan pada setengah dari semua gen manusia termasuk gen penjaga aktivitas rutin sel (house keeping gene). Proses metilasi melibatkan enzim DNA methyltransferase (Dnmt) yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu Dnmt1, Dnmt3a, dan Dnmt3b. Pada mamalia Dnmt1 merupakan enzim yang paling banyak ditemukan dan berada di berbagai jenis sel yang menunjukkan bahwa enzim ini sangat berperan dalam metilasi DNA pada setiap ronde replikasi DNA. Aktivitas enzim ini 7–100 kali lebih tinggi pada DNA yang termetilasi parsial daripada DNA yang tidak termetilasi sama sekali. Pada sel kanker manusia, enzim ini memetilasi DNA pada gen supresor tumor, baik secara de novo maupun untuk pemeliharaan (Jair dkk, 2006).

Dua enzim lainnya, Dnmt3a dan Dnmt3b, merupakan DNA methyltransferase yang bersifat khusus untuk sel atau jaringan tertentu dan tampaknya terlibat dalam metilasi de novo. Namun, penelitian menunjukkan bahwa metilasi de novo bukan pemicu proliferasi sel yang tidak terkendali, melainkan sebagai produk patologis dari sel neoplasia. Protein DNMT3A, DNMT3B, dan DNMT3L terutama bertanggung jawab atas pemciptaan pola metilasi DNA genom dan karenanya berperan amat penting dalam perkembangan, reproduksi dan kesehatan manusia (Chedin, 2011)

Sejumlah protein dapat berikatan dengan metil CpG seperti methyl- CpG-binding domain-containing proteins (MBD1-4) yang berkompetisi dengan faktor transkripsi untuk berikatan dengan sekuen promoter. Ikatan MBD1-4 dengan promoter gen dapat mencegah berikatannya faktor transkripsi. MBD1-4 juga dapat juga merekrut histone deacetylases (HDAC), yang menyebabkan kondensasi kromatin setempat (Gambar 5.4). Dengan demikian, bagian DNA menjadi inaktif dan tidak mengekspresikan protein. Karena metilasi DNA kebanyakan gen terjadi pada elemen transposable yang sangat berulang, ada dugaan bahwa metilasi semacam ini berperan dalam

Page 257: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 249

Sel mempunyai berbagai mekanisme reparasi DNA yang dapat mengembalikan DNA yang rusak menjadi normal (Friedberg dkk, 1995). Dalam proses reparasi DNA, enzim yang berperan dapat dikatagorikan sebagai enzim fase pertama dan enzim fase kedua. Enzim fase pertama biasanya merupakan enzim yang berperan dalam proses detoksikasi senyawa kimia karsinogenik yang meliputi enzim monooxygenase, dehydrogenase, esterase, reductase, dan oxidase. Salah satu contoh enzim fase pertama adalah cytochrome P450 monooxygenase yang memetabolisme hidrokarbon poliaromatik, amin aromatik dan nitrosamin. Enzim fase 2, yaitu enzim yang memetabolisme dan berperan penting dalam detoksifikasi dan ekspresi zat karsinogenik seperti poxide hydrase, glutathione-S-transferase, dan uridine 5-diphosphate (UDP) glucuronide transferase. Terdapat beberapa karsinogen yang tidak memerlukan aktivasi metabolit untuk memicu karsinogenesis seperti nitrogen mustard, dimethylcarbamyl chloride, dan β-propiolactone.

5.2. Faktor Genetik Pemicu Kanker

Faktor genetik berperan amat penting dalam proses onkogenesis. Bukti menunjukkan bahwa jenis dan keparahan kanker sangat berkaitan dengan jenis mutasi pada gen tertentu. Misalnya, kanker kolon sangat berkaitan dengan lokasi mutasi gen penyandi protein adenomatous polyposis coli (APC). Hal ini dibuktikan dengan kajian secara imunohistokimia lokalisasi beta-catenin dalam inti sel. Mutasi yang berisiko tinggi adalah yang menyebabkan munculnya “stop codon” pada ujung amino dan mutasi yang berisiko rendah adalah pada peptida lainnya dari molekul APC. Salah satu penyebab munculnya “stop codon” tersebut adalah adanya mutasi akibat substitusi nukelotida atau single nucleotide polymorphism (SNP). Mutasi ini terjadi lebih sering dibanding jenis mutasi lainnya (Aoki dan Taketo, 2007),

5.2.1. Perubahan Epigenetik

Fungsi gen dapat terganggu jika mengalami perubahan pada gennya sendiri atau pada tatanan epigenetik yang mengatur traskripsi dan ekspresi gen. Mekanisme epigenetik yang mengatur ekspersi gen

meliputi gen pengatur jalur transduksi signal, metilasi DNA, dan pengaturan kembali kromatin. Metilasi DNA merupakan penambahan gugus metil pada cincin pirimidin dari nukleotida sitosin (C) pada sekuen CG. Modifikasi tersebut dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu (1) dari pola untai sandi yang telah ada sebelumnya atau (2) atau penambahan secara de novo gugus metil pada DNA yang sepenuhnya tidak mengalami metilasi. Daerah kecil dari metilasi DNA dengan sitosin termetilasi disebut “pulau CpG ,” dan ditemukan pada regio 5-promoter. Metilasi ditemukan pada setengah dari semua gen manusia termasuk gen penjaga aktivitas rutin sel (house keeping gene). Proses metilasi melibatkan enzim DNA methyltransferase (Dnmt) yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu Dnmt1, Dnmt3a, dan Dnmt3b. Pada mamalia Dnmt1 merupakan enzim yang paling banyak ditemukan dan berada di berbagai jenis sel yang menunjukkan bahwa enzim ini sangat berperan dalam metilasi DNA pada setiap ronde replikasi DNA. Aktivitas enzim ini 7–100 kali lebih tinggi pada DNA yang termetilasi parsial daripada DNA yang tidak termetilasi sama sekali. Pada sel kanker manusia, enzim ini memetilasi DNA pada gen supresor tumor, baik secara de novo maupun untuk pemeliharaan (Jair dkk, 2006).

Dua enzim lainnya, Dnmt3a dan Dnmt3b, merupakan DNA methyltransferase yang bersifat khusus untuk sel atau jaringan tertentu dan tampaknya terlibat dalam metilasi de novo. Namun, penelitian menunjukkan bahwa metilasi de novo bukan pemicu proliferasi sel yang tidak terkendali, melainkan sebagai produk patologis dari sel neoplasia. Protein DNMT3A, DNMT3B, dan DNMT3L terutama bertanggung jawab atas pemciptaan pola metilasi DNA genom dan karenanya berperan amat penting dalam perkembangan, reproduksi dan kesehatan manusia (Chedin, 2011)

Sejumlah protein dapat berikatan dengan metil CpG seperti methyl- CpG-binding domain-containing proteins (MBD1-4) yang berkompetisi dengan faktor transkripsi untuk berikatan dengan sekuen promoter. Ikatan MBD1-4 dengan promoter gen dapat mencegah berikatannya faktor transkripsi. MBD1-4 juga dapat juga merekrut histone deacetylases (HDAC), yang menyebabkan kondensasi kromatin setempat (Gambar 5.4). Dengan demikian, bagian DNA menjadi inaktif dan tidak mengekspresikan protein. Karena metilasi DNA kebanyakan gen terjadi pada elemen transposable yang sangat berulang, ada dugaan bahwa metilasi semacam ini berperan dalam

Page 258: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler250

pertahanan genom dengan menekan ekspresi gen yang membahayakan kehidupam sel. Sel neoplasia ditandai oleh hipometilasi DNA secara global, hipermtilasi lokal seperti pada “Pulau CPG” dan peningkatan aktivitas HDAC (Baylin dkk, 2001) yang terjadi secara bersamaan. Hipometilasi telah dikaitkan dengan instabilitas kromosom secara in vitro dan tampaknya berpengaruh terhadap karsinogenesis (Chen,, dkk 1998). Basa, 5 methyl cytosine merupakan basa yang sangat tidak stabil karena mudah mengalami deaminasi spontan untuk membentuk urasil. Perubahan tersebut merupakan penyebab mutasi bawaan pada penyakit turunan dan mutasi somatik pada neoplasia. Hipometilasi yang tidak semestinya pada regio yang secara normal tidak termetilasi dapat terjadi di sekitar regio mulainya transkripsi yang juga dapat menyebabkan inaktivasi gen. Semua hal tersebut mengindikasikan bahwa epigenetik berperan amat penting sebagai mekanisme pemicu karsinogenesis alternatif selain sebagai gen tumor supresor (Baylin dkk, 2001) (Gambar 5.4). Hipermetilasi gen pada manusia yang telah teridentifikasi meliputi gen supresor tumor APC, BRCA-1, E-cadherin, gen reparasi mismatch (hMLH1), dan gen Von Hippel

Gambar 5.4. Modifikasi histon yang mempengaruhi ekspresi gen.

Kondensasi kromatin menyebabkan DNA tidak terjangkau oleh faktor transkripsi sehingga proses transkripsi dihambat. Modifikasi histon

tertentu dengan penambahan asetil pada residu lisin oleh enzim histone acetyl transferase (HAT) yang menyebabkan pelonggaran kromatin sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi yang memicu aktivasi transkripsi. Sebaliknya penghilangan gugus asetil oleh enzim histone deacetylase, (HDAC) mengubah konfigurasi histon sehingga kromatin tertutup bagi proses transkripsi. Pada kasus metilasi histon, efeknya dapat menginaktifkan atau mengaktifkan transkripsi tergantung pada residu histon yang dimetilasi. Sumber: Bassett dan Barnett, 2014.

Hipermetilasi promoter gen merupakan kejadian awal dari progresi tumor. Beberapa gen seperti gen reseptor estrogen yang mengalami hipermetilasi sejalan dengan usia merupakan gen pertama yang ditemukan dalam modulasi pertumbuhan sel dan diferensiasi pada mukosa kolon. Hipermetilasi gen promoter yang biasanya tidak mengalami metilasi telah ditemukan pada tumorogenesis. Perubahan epigenetik menyebabkan hilangnya kendali siklus sel, perubahan sistem pengaturan faktor transkripsi, gangguan interaksi antar sel dan berbagai intsabilitas genetik yang semuanya merupakan ciri dari sel neoplasia. Hipermetilasi gen APC misalnya, berkaitan dengan kanker kolon (Hiltunen dkk, 1997). Hipermetilasi gen hMLH1yang berkaitan dengan instabilitas mikrosatelit pada neoplasia kolon, endometrium dan lambung, yang umumnya ditemukan pada kanker standium awal (Kane dkk, 1997). Terakhir hipermetilasi promoter gen E-cadherin sering ditemukan pada kanker payudara stadium awal dan dapat memicu invasi sel kanker ke jaringan.

Hilangnya fungsi gen melalui perubahan epigenetik berbeda dengan perubahan genetik dalam hal konsekuensinya terhadap biologi tumor. Pertama, hilangnya fungsi gen yang disebabkan oleh metilasi tidak wajar pada promoter gen umumnya bermanifestasi dalam bentuk lebih halus dan kadang-kadang bersifat lebih menguntungkan dibanding mutasi pada gennya sendiri selama progresi tumor. Kedua, meskipun hipermetilasi yang menyebabkan inaktivasi gen biasanya bersifat stabil pada sel kanker, perubahan ini dapat dikembalikan, yang berbeda dengan mutasi gen. Inaktivasi ekspresi gen yang disebabkan oleh metilasi dapat dimodulasi oleh manipulasi biokimia maupun biologis.

Page 259: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 251

pertahanan genom dengan menekan ekspresi gen yang membahayakan kehidupam sel. Sel neoplasia ditandai oleh hipometilasi DNA secara global, hipermtilasi lokal seperti pada “Pulau CPG” dan peningkatan aktivitas HDAC (Baylin dkk, 2001) yang terjadi secara bersamaan. Hipometilasi telah dikaitkan dengan instabilitas kromosom secara in vitro dan tampaknya berpengaruh terhadap karsinogenesis (Chen,, dkk 1998). Basa, 5 methyl cytosine merupakan basa yang sangat tidak stabil karena mudah mengalami deaminasi spontan untuk membentuk urasil. Perubahan tersebut merupakan penyebab mutasi bawaan pada penyakit turunan dan mutasi somatik pada neoplasia. Hipometilasi yang tidak semestinya pada regio yang secara normal tidak termetilasi dapat terjadi di sekitar regio mulainya transkripsi yang juga dapat menyebabkan inaktivasi gen. Semua hal tersebut mengindikasikan bahwa epigenetik berperan amat penting sebagai mekanisme pemicu karsinogenesis alternatif selain sebagai gen tumor supresor (Baylin dkk, 2001) (Gambar 5.4). Hipermetilasi gen pada manusia yang telah teridentifikasi meliputi gen supresor tumor APC, BRCA-1, E-cadherin, gen reparasi mismatch (hMLH1), dan gen Von Hippel

Gambar 5.4. Modifikasi histon yang mempengaruhi ekspresi gen.

Kondensasi kromatin menyebabkan DNA tidak terjangkau oleh faktor transkripsi sehingga proses transkripsi dihambat. Modifikasi histon

tertentu dengan penambahan asetil pada residu lisin oleh enzim histone acetyl transferase (HAT) yang menyebabkan pelonggaran kromatin sehingga terjangkau oleh faktor transkripsi yang memicu aktivasi transkripsi. Sebaliknya penghilangan gugus asetil oleh enzim histone deacetylase, (HDAC) mengubah konfigurasi histon sehingga kromatin tertutup bagi proses transkripsi. Pada kasus metilasi histon, efeknya dapat menginaktifkan atau mengaktifkan transkripsi tergantung pada residu histon yang dimetilasi. Sumber: Bassett dan Barnett, 2014.

Hipermetilasi promoter gen merupakan kejadian awal dari progresi tumor. Beberapa gen seperti gen reseptor estrogen yang mengalami hipermetilasi sejalan dengan usia merupakan gen pertama yang ditemukan dalam modulasi pertumbuhan sel dan diferensiasi pada mukosa kolon. Hipermetilasi gen promoter yang biasanya tidak mengalami metilasi telah ditemukan pada tumorogenesis. Perubahan epigenetik menyebabkan hilangnya kendali siklus sel, perubahan sistem pengaturan faktor transkripsi, gangguan interaksi antar sel dan berbagai intsabilitas genetik yang semuanya merupakan ciri dari sel neoplasia. Hipermetilasi gen APC misalnya, berkaitan dengan kanker kolon (Hiltunen dkk, 1997). Hipermetilasi gen hMLH1yang berkaitan dengan instabilitas mikrosatelit pada neoplasia kolon, endometrium dan lambung, yang umumnya ditemukan pada kanker standium awal (Kane dkk, 1997). Terakhir hipermetilasi promoter gen E-cadherin sering ditemukan pada kanker payudara stadium awal dan dapat memicu invasi sel kanker ke jaringan.

Hilangnya fungsi gen melalui perubahan epigenetik berbeda dengan perubahan genetik dalam hal konsekuensinya terhadap biologi tumor. Pertama, hilangnya fungsi gen yang disebabkan oleh metilasi tidak wajar pada promoter gen umumnya bermanifestasi dalam bentuk lebih halus dan kadang-kadang bersifat lebih menguntungkan dibanding mutasi pada gennya sendiri selama progresi tumor. Kedua, meskipun hipermetilasi yang menyebabkan inaktivasi gen biasanya bersifat stabil pada sel kanker, perubahan ini dapat dikembalikan, yang berbeda dengan mutasi gen. Inaktivasi ekspresi gen yang disebabkan oleh metilasi dapat dimodulasi oleh manipulasi biokimia maupun biologis.

Page 260: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler252

5.3. Sifat-sifat Sel Kanker

Kanker merupakan proses bertahap yang memerlukan akumulasi mutasi berbagai gen dalam 1 sel. Beberapa fenotipe sel tumor adalah sebagai berikut

5.3.1. Imortalitas

Sel fibroblas normal yang diploid biasanya mempunyai kemampuan yang terbatas untuk membelah, baik secara in vivo dan in vitro. Bila ditumbuhkan secara in vitro, sel ini hanya mampu membelah 50–60 kali dan setelah itu memasuki masa istirahat menetap dan akhirnya mati. Sebaliknya sel kanker dapat berproliferasi secara tidak terbatas, baik secara in vitro maupun in vivo. Sawar yang membatasi pertumbuhan dan pembelahan sel secara in vitro dan in vivo dikenal dengan batas Hayflick (Houck dan Sharma, 1971). Untuk dapat berproliferasi secara tidak terbatas, sel harus dapat mengatasi sawar tersebut. Pertama, mesin replikasi DNA pada sel eukariot yang tidak mampu untuk memperbanyak DNA linier pada ujung 5’nya sehingga tiap kali membelah terjadi pemendekan kromosom yang akhirmnya sel akan mati. Pada manusia kromosom ditutup oleh 5–15 kb sekuen DNA repetitif yang dikenal dengan telomer yang bertindak sebagai tutup pengaman bagi DNA yang tidak menyandi protein. Pada sel normal, telomer berkurang pada setiap kali pembelahan sel sehingga sel normal hanya mampu mebelah secara terbatas karena tidak mampu untuk mereplikasi ujung kromosom yang berkurang pada setiap siklus pembelahan sel (Shay dan Wright, 2011). Pada proses gametogenesis, telomer selalu diperpanjang oleh enzim telomerase. Karena itu, sel masih dapat membelah selama kromosom masih memiliki panjang telomer yang cukup.

Aktivitas telomerase terlacak pada sel epitel ovarium normal. Pada sel tumor, aktivitas telomerase meningkat tetapi tidak pada jaringan normal pasien yang sama. Hal ini menyiratkan bahwa salah satu cara sel tumor untuk mengatasi pemendekan telomernya adalah dengan menggunakan enzim telomerase sehingga sel dapat berproliferasi secara tidak terbatas. Hal ini penting sebab salah satu cara untuk mengobati kanker pada manusia adalah dengan menjadikan enzim telomerase sebagai sasaran pengobatan (Bearss, dkk, 2000). Pengobatan diarahkan untuk menekan aktivitas telomerase pada sel kanker.

Selain karena berkurangnya telomer, imortalitas sel kanker juga disebabkan oleh hilangnya hilangnya kendali pertumbuhan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya gen penekan tumor. Temuan terbaru menunjukkan bahwa mutasi gen penyandi protein Rb dan p53 terjadi selama fase krisis dalam proses onkogenesis .

Gambar 5.5. Pengaturan panjang telomer oleh enzim telomerase. Pada sel somatik normal tidak terdapat enzim telomerase sehingga setiap kali sel membelah, telomernya berkurang yang akhirnya menghilang. Keadaan ini menyebabkan sel berhenti membelah dan mati (a). Pada sel kanker, ekspresi telomerase meningkat yang memungkinkannya untuk memperpanjang telomer setiap kali sel membelah. Dengan cara ini, sel kanker dapat membelah secara tidak terbatas. Sumber: Keith dkk, 2002

5.3.2. Ketergantungan pada Faktor Pertumbuhan yang Menurun

Bila ditumbuhkan secara in vitro, sel memerlukan media yang mengandung berbagai faktor pertumbuhan untuk dapat tumbuh dengan baik. Pada jaringan manusia normal, faktor petumbuhan dihasilkan

Page 261: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 253

5.3. Sifat-sifat Sel Kanker

Kanker merupakan proses bertahap yang memerlukan akumulasi mutasi berbagai gen dalam 1 sel. Beberapa fenotipe sel tumor adalah sebagai berikut

5.3.1. Imortalitas

Sel fibroblas normal yang diploid biasanya mempunyai kemampuan yang terbatas untuk membelah, baik secara in vivo dan in vitro. Bila ditumbuhkan secara in vitro, sel ini hanya mampu membelah 50–60 kali dan setelah itu memasuki masa istirahat menetap dan akhirnya mati. Sebaliknya sel kanker dapat berproliferasi secara tidak terbatas, baik secara in vitro maupun in vivo. Sawar yang membatasi pertumbuhan dan pembelahan sel secara in vitro dan in vivo dikenal dengan batas Hayflick (Houck dan Sharma, 1971). Untuk dapat berproliferasi secara tidak terbatas, sel harus dapat mengatasi sawar tersebut. Pertama, mesin replikasi DNA pada sel eukariot yang tidak mampu untuk memperbanyak DNA linier pada ujung 5’nya sehingga tiap kali membelah terjadi pemendekan kromosom yang akhirmnya sel akan mati. Pada manusia kromosom ditutup oleh 5–15 kb sekuen DNA repetitif yang dikenal dengan telomer yang bertindak sebagai tutup pengaman bagi DNA yang tidak menyandi protein. Pada sel normal, telomer berkurang pada setiap kali pembelahan sel sehingga sel normal hanya mampu mebelah secara terbatas karena tidak mampu untuk mereplikasi ujung kromosom yang berkurang pada setiap siklus pembelahan sel (Shay dan Wright, 2011). Pada proses gametogenesis, telomer selalu diperpanjang oleh enzim telomerase. Karena itu, sel masih dapat membelah selama kromosom masih memiliki panjang telomer yang cukup.

Aktivitas telomerase terlacak pada sel epitel ovarium normal. Pada sel tumor, aktivitas telomerase meningkat tetapi tidak pada jaringan normal pasien yang sama. Hal ini menyiratkan bahwa salah satu cara sel tumor untuk mengatasi pemendekan telomernya adalah dengan menggunakan enzim telomerase sehingga sel dapat berproliferasi secara tidak terbatas. Hal ini penting sebab salah satu cara untuk mengobati kanker pada manusia adalah dengan menjadikan enzim telomerase sebagai sasaran pengobatan (Bearss, dkk, 2000). Pengobatan diarahkan untuk menekan aktivitas telomerase pada sel kanker.

Selain karena berkurangnya telomer, imortalitas sel kanker juga disebabkan oleh hilangnya hilangnya kendali pertumbuhan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya gen penekan tumor. Temuan terbaru menunjukkan bahwa mutasi gen penyandi protein Rb dan p53 terjadi selama fase krisis dalam proses onkogenesis .

Gambar 5.5. Pengaturan panjang telomer oleh enzim telomerase. Pada sel somatik normal tidak terdapat enzim telomerase sehingga setiap kali sel membelah, telomernya berkurang yang akhirnya menghilang. Keadaan ini menyebabkan sel berhenti membelah dan mati (a). Pada sel kanker, ekspresi telomerase meningkat yang memungkinkannya untuk memperpanjang telomer setiap kali sel membelah. Dengan cara ini, sel kanker dapat membelah secara tidak terbatas. Sumber: Keith dkk, 2002

5.3.2. Ketergantungan pada Faktor Pertumbuhan yang Menurun

Bila ditumbuhkan secara in vitro, sel memerlukan media yang mengandung berbagai faktor pertumbuhan untuk dapat tumbuh dengan baik. Pada jaringan manusia normal, faktor petumbuhan dihasilkan

Page 262: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler254

secara ekstrasel pada tempat yang jauh dari sasaran dan dibawa ke tempat sasaran melalui aliran darah atau dengan berdifusi secara pasif. Jika faktor pertumbuhan dihasilkan oleh sel yang tempatnya jauh dari tempat sasaran, maka faktor pertumbuhan tersebut disebut endokrin. Sementara itu, faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel yang dekat dan dapat berdifusi ke sel sasaran disebut parakrin. Apabila sel menghasilkan faktor pertumbuhan dan digunakan sendiri untuk memicu pertumbuhan, maka disebut dengan autokrin. Sel tumor biasanya menghasilkan faktor pertumbuhan sendiri yang besifat autokrin, yaitu memicu pertumbuhan sendiri. Stimulasi autokrin tersebut menyebabkan sel tumor dapat tumbuh pada kondisi media yang mengandung kadar serum yang rendah. Karena itu, salah satu target pengobatan kanker adalah membatasi ketersediaan faktor pertumbuhan sel pada sel kanker. Misalnya epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan faktor pertumbuhan penting yang memicu pertumbuhan sel tumor epitel. Karena itu, pengobatan dapat diarahkan untuk menghambat reseptor EFG (EGFR) menggunakan antibodi monoklonal anti EGF yang dilabel dengan toksin, serta molekul kecil yang menghambat enzim tyrosin kinase (Ciardiello,, 2000).

5.3.3. Metastasis

Metastasis merupakan proses panjang dan rumit sampai sel tumor dapat menyebar ke berbagai jaringan. Menurut model yang terbaru, metastasis dimulai ketika sel primer membelah sampai mencapai ukuran tertentu dari masa sel tumor. Masa sel tumor tersebut mengirimkan signal angiogenik yang memicu pembentukkan pembuluh darah baru pada masa sel tumor. Tahapan selanjutnya adalah sel tumor mampu membebaskan dirinya dari masa tumor primer dengan cara mendergradasi matriks ekstrasel di sekitarnya termasuk membrana basalis. Selanjutnya, sel yang terlepas dari masa sel tumor primer harus mampu mencapai pembuluh darah (intravasasi) dan mampu bertahan hidup dalam sirkulasi. Sel yang bertahan hidup dalam sirkulasi harus dapat menempel pada sel endotel pembuluh darah. Untuk dapat keluar dari pembuluh darah (ekstravasasi) sel tumor harus mampu menembus penghambat pembuluh darah yang terdiri atas sel endotel dan membrana basalis. Setelah mampu menembus pembuluh darah perifer (mikrovaskuler), sel kemudian menuju ke jaringan target. Untuk dapat bertahan pada organ yang jauh dari tempat asalnya sel tumor harus dapat menempel dan beradaptasi dengan jaringan yang baru. Jika proses

adaptasi berjalan dengan baik, maka sel tumor mulai berproliferasi pada jaringan yang baru (Heerboth dkk, 2015)

Epithelial-mesenchymal transition (EMT)

Epithelial-mesenchymal transition (EMT) merupakan proses morfogenetik multi-langkah ketika sel epitel mengurangi sifat epitelnya dan meningkatkan sifat mesenkimnya (Gambar 5.6). Proses ini diperlukan oleh sel kanker untuk dapat bermetastasis. Dalam proses perubahan morfogenetik tersebut, sel epitel kehilangan fenotipe epitelnya yang statis (tidak bermigrasi) dan manjadi fenotipe sel mesenkim yang mudah bermigrasi. Perubahan yang paling jelas tampak pada EMT adalah hilangnya pertautan antar sel yang disatukan melalui jembatan perekat yang terdiri atas berbagai molekul adesi. Karena itu, proses ini disebut epithelial-mesenchymal transition (EMT) dan dapat dibedakan menjadi 3 subtipe (Kalluri dan Weinberg, 2009), yaitu EMT yang berkaitan dengan embriogenesis (tipe 1), EMT yang berkaitan dengan proses penyembuhan luka (tipe 2) dan EMT yang berkaitan dengan proses onkogenesis (tipe 3) (Somatov dkk, 2013).

EMT tipe 1 yang umumnya ditemukan pada proses perkembangan embrio dan pasca natal merupakan proses EMT normal dengan sistem pengaturan yang ketat. Dalam proses ini, sel epitel yang berbentuk kuboid sampai silindris dan selalu dalam kontak yang erat satu sama lain melalui sistem perekatan dan ikatan yang ketat, berubah menjadi sel tipe mesenkim yang dapat bermigrasi. Namun, dalam perkembangannya sel dengan fenotipe mesenkim tersebut dapat berubah kembali menjadi fenotie epitel untuk membentuk sel epitel sekunder pada berbagai organ selama perkembangan embrio. Proses transisi dari fenotipe mesenkim untuk kembali menjadi sel dengan fenotipe epitel disebut mesemkimal epithelial transition (MET) (Chaffer dkk, 2007). Hampir semua jenis sel yang berdiferensiasi pada hampir semua organ dewasa berkembang melalui proses EMT-MET.

EMT tipe 2 dimulai dengan adanya luka dan menghasilkan fibroblas yang menumpuk pada jaringan luka (Zeisberg dkk, 2007). Selama proses inflamasi, fibroblas dan sel imun melepaskan sitokin dan faktor proinflamasi lainnya serta extracellular matrix (ECM) yang memicu sel untuk menjalani EMT. Jika proses inflamasi bersifat menetap secara patologis, pembentukan EMT yang terus menerus dapat menibulkan fibrosis dan kerusakan organ (Kim dkk, 2006). EMT tipe

Page 263: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 255

secara ekstrasel pada tempat yang jauh dari sasaran dan dibawa ke tempat sasaran melalui aliran darah atau dengan berdifusi secara pasif. Jika faktor pertumbuhan dihasilkan oleh sel yang tempatnya jauh dari tempat sasaran, maka faktor pertumbuhan tersebut disebut endokrin. Sementara itu, faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel yang dekat dan dapat berdifusi ke sel sasaran disebut parakrin. Apabila sel menghasilkan faktor pertumbuhan dan digunakan sendiri untuk memicu pertumbuhan, maka disebut dengan autokrin. Sel tumor biasanya menghasilkan faktor pertumbuhan sendiri yang besifat autokrin, yaitu memicu pertumbuhan sendiri. Stimulasi autokrin tersebut menyebabkan sel tumor dapat tumbuh pada kondisi media yang mengandung kadar serum yang rendah. Karena itu, salah satu target pengobatan kanker adalah membatasi ketersediaan faktor pertumbuhan sel pada sel kanker. Misalnya epidermal growth factor receptor (EGFR) merupakan faktor pertumbuhan penting yang memicu pertumbuhan sel tumor epitel. Karena itu, pengobatan dapat diarahkan untuk menghambat reseptor EFG (EGFR) menggunakan antibodi monoklonal anti EGF yang dilabel dengan toksin, serta molekul kecil yang menghambat enzim tyrosin kinase (Ciardiello,, 2000).

5.3.3. Metastasis

Metastasis merupakan proses panjang dan rumit sampai sel tumor dapat menyebar ke berbagai jaringan. Menurut model yang terbaru, metastasis dimulai ketika sel primer membelah sampai mencapai ukuran tertentu dari masa sel tumor. Masa sel tumor tersebut mengirimkan signal angiogenik yang memicu pembentukkan pembuluh darah baru pada masa sel tumor. Tahapan selanjutnya adalah sel tumor mampu membebaskan dirinya dari masa tumor primer dengan cara mendergradasi matriks ekstrasel di sekitarnya termasuk membrana basalis. Selanjutnya, sel yang terlepas dari masa sel tumor primer harus mampu mencapai pembuluh darah (intravasasi) dan mampu bertahan hidup dalam sirkulasi. Sel yang bertahan hidup dalam sirkulasi harus dapat menempel pada sel endotel pembuluh darah. Untuk dapat keluar dari pembuluh darah (ekstravasasi) sel tumor harus mampu menembus penghambat pembuluh darah yang terdiri atas sel endotel dan membrana basalis. Setelah mampu menembus pembuluh darah perifer (mikrovaskuler), sel kemudian menuju ke jaringan target. Untuk dapat bertahan pada organ yang jauh dari tempat asalnya sel tumor harus dapat menempel dan beradaptasi dengan jaringan yang baru. Jika proses

adaptasi berjalan dengan baik, maka sel tumor mulai berproliferasi pada jaringan yang baru (Heerboth dkk, 2015)

Epithelial-mesenchymal transition (EMT)

Epithelial-mesenchymal transition (EMT) merupakan proses morfogenetik multi-langkah ketika sel epitel mengurangi sifat epitelnya dan meningkatkan sifat mesenkimnya (Gambar 5.6). Proses ini diperlukan oleh sel kanker untuk dapat bermetastasis. Dalam proses perubahan morfogenetik tersebut, sel epitel kehilangan fenotipe epitelnya yang statis (tidak bermigrasi) dan manjadi fenotipe sel mesenkim yang mudah bermigrasi. Perubahan yang paling jelas tampak pada EMT adalah hilangnya pertautan antar sel yang disatukan melalui jembatan perekat yang terdiri atas berbagai molekul adesi. Karena itu, proses ini disebut epithelial-mesenchymal transition (EMT) dan dapat dibedakan menjadi 3 subtipe (Kalluri dan Weinberg, 2009), yaitu EMT yang berkaitan dengan embriogenesis (tipe 1), EMT yang berkaitan dengan proses penyembuhan luka (tipe 2) dan EMT yang berkaitan dengan proses onkogenesis (tipe 3) (Somatov dkk, 2013).

EMT tipe 1 yang umumnya ditemukan pada proses perkembangan embrio dan pasca natal merupakan proses EMT normal dengan sistem pengaturan yang ketat. Dalam proses ini, sel epitel yang berbentuk kuboid sampai silindris dan selalu dalam kontak yang erat satu sama lain melalui sistem perekatan dan ikatan yang ketat, berubah menjadi sel tipe mesenkim yang dapat bermigrasi. Namun, dalam perkembangannya sel dengan fenotipe mesenkim tersebut dapat berubah kembali menjadi fenotie epitel untuk membentuk sel epitel sekunder pada berbagai organ selama perkembangan embrio. Proses transisi dari fenotipe mesenkim untuk kembali menjadi sel dengan fenotipe epitel disebut mesemkimal epithelial transition (MET) (Chaffer dkk, 2007). Hampir semua jenis sel yang berdiferensiasi pada hampir semua organ dewasa berkembang melalui proses EMT-MET.

EMT tipe 2 dimulai dengan adanya luka dan menghasilkan fibroblas yang menumpuk pada jaringan luka (Zeisberg dkk, 2007). Selama proses inflamasi, fibroblas dan sel imun melepaskan sitokin dan faktor proinflamasi lainnya serta extracellular matrix (ECM) yang memicu sel untuk menjalani EMT. Jika proses inflamasi bersifat menetap secara patologis, pembentukan EMT yang terus menerus dapat menibulkan fibrosis dan kerusakan organ (Kim dkk, 2006). EMT tipe

Page 264: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler256

3 yang bersifat onkogenik memungkinkan sel epitel untuk memperoleh fenotipe mesenkim yang bersifat invasif yang ditandai dengan kemapuannya untuk menyebar ke berbagai jaringan (Thiery , 2002]. EMT ini terbentuk secara tidak terkoordinasi sehingga menghasilkan EMT dengan sifat sel hibrid antara fenotipe sel epitel dan fenotipe sel mesenkim (Lee dkk, 2006)

Gambar 5. Transisi Epitel-mesenkim. Berbagai jenis sel mesenkim dapat berasal dari sel epitel. Berbagai jenis sel mesenkim dapat berubah menjadi sel epitel sekunder. Sumber: Samatov dkk, 2013

Fenotipe sel epitel dan hambatan migrasi sel

Sel epitel biasanya tumbuh dan melekat pada membran basalis yang membentuk perbatasan dengan sel epitel dan stroma yang memisahkan keduanya. Membran basalis terdiri atas struktur protein yang mengandung matriks extrasel termasuk kolagen IV, proteoglikan, laminin, dan fibronektin yang biasanya mengikat sel epitel satu dengan yang lainnya secara erat. Jika proses sel epitel terlepas dari membrana basalis, maka sel akan mati melalui proses yang disebut anoikis. Ikatan yang erat antar sel bertindak sebagai penghalang bagi penyebaran sel tumor ke jaringan lainnya. Untuk dapat bermetastasis, sel tumor harus mampu melewati penghambat tersebut melalui proses yang melibatkan berbagai sistem signal dan berbagai molekul seperti molekul adesi, faktor transkripsi, faktor pertumbuhan dan faktor lainnya.

Molekul adesi sel (cell adhesion molecule/ CAM ) merupakan pemersatu sel epitel dalam jaringan dan membentuk ikatan yang erat antara sel dan lamina basalis. Pada sel normal, ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang ketat sehingga sulit ditembus oleh sel yang bermigrasi. Agar dapat lolos dari penghambat tersebut, sel tumor harus mampu menekan ekpresi dan mendegradasi molekul adesi yang mempersatukan sel epitel dalam jaringan. Kontak antar sel epitel dengan lamina basalis tidak saja menghalangi migrasi tetapi juga mencegah kematian sel. Jika sel epitel kehilangan kontak dengan lamina basalis, sel akan mati melalui melalui detachment-induced apoptosis atau anoikis (Frisch dan Francis, 1994]. Proses ini dipicu oleh pelepasan integrin dari ligandnya pada lamina basalis. Karena sel mesenkim tidak memerlukan kontak dengan membrana basalis, sel ini biasanya tidak mengalami anoikis termasuk sel epitel yang telah menjalani proses EMT. Karena itu membrana basalis dapat ikut membantu sel kanker untuk bertahan hidup (Heerboth, 2015).

Setelah menjalani EMT, sel kanker juga dapat lolos dari jaringan lokal menuju sirkulasi dan bertahan hidup dalam sirkulasi (Gambar 5.7). Setelah mampu masuk ke sistem sirkulasi, sel kanker juga harus mampu menempel pada sel endotel mikrovaskuler dan melakukan proses yang sama seperti pada jaringan lokal untuk menembus dinding pembuluh darah yang juga terdiri atas sel epitel, endotel dan membrana basalis. Sel tumor berkomunikasi dengan sel endotel untuk membuka perekat antar sel endotel dan membrana basalis. Dengan cara ini, sel kanker dapat melewati pembuluh darah dan masuk ke jaringan target melalui jaringan ikat. Proses ini dimediasi oleh CAM yang berbeda dari CAM yang membentuk ikatan antar sel epitel. Molekul CAM ini bersifat heterolog yang mampu memediasi ikatan antara berbagai jenis sel yang berbeda, yaitu antara sel tumor dan sel endotel. CAM dan ligandnya yang dipakai dalam adesi tersebut adalah glikokonjugat selektin, integrin dan ligand ECM, ALCAM dan ICAM. Berbeda dengan CAM epitel yang ekspresinya ditekan oleh EMT, CAM tersebut justru ekresinya ditingkatkan (Heerboth dkk, 2015)

Faktor pengatur EMT onkogenik

Terdapat sejumlah fakor transkripsi yang mengatur EMT.Yang paling banyak dikarakterisasi adalah ZEB 1 dan ZEB 2, snail, slug dan twist (Gambar 5.8). ZEB 1 dan ZEB 2 merupakan protein yang sangat

Page 265: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 257

3 yang bersifat onkogenik memungkinkan sel epitel untuk memperoleh fenotipe mesenkim yang bersifat invasif yang ditandai dengan kemapuannya untuk menyebar ke berbagai jaringan (Thiery , 2002]. EMT ini terbentuk secara tidak terkoordinasi sehingga menghasilkan EMT dengan sifat sel hibrid antara fenotipe sel epitel dan fenotipe sel mesenkim (Lee dkk, 2006)

Gambar 5. Transisi Epitel-mesenkim. Berbagai jenis sel mesenkim dapat berasal dari sel epitel. Berbagai jenis sel mesenkim dapat berubah menjadi sel epitel sekunder. Sumber: Samatov dkk, 2013

Fenotipe sel epitel dan hambatan migrasi sel

Sel epitel biasanya tumbuh dan melekat pada membran basalis yang membentuk perbatasan dengan sel epitel dan stroma yang memisahkan keduanya. Membran basalis terdiri atas struktur protein yang mengandung matriks extrasel termasuk kolagen IV, proteoglikan, laminin, dan fibronektin yang biasanya mengikat sel epitel satu dengan yang lainnya secara erat. Jika proses sel epitel terlepas dari membrana basalis, maka sel akan mati melalui proses yang disebut anoikis. Ikatan yang erat antar sel bertindak sebagai penghalang bagi penyebaran sel tumor ke jaringan lainnya. Untuk dapat bermetastasis, sel tumor harus mampu melewati penghambat tersebut melalui proses yang melibatkan berbagai sistem signal dan berbagai molekul seperti molekul adesi, faktor transkripsi, faktor pertumbuhan dan faktor lainnya.

Molekul adesi sel (cell adhesion molecule/ CAM ) merupakan pemersatu sel epitel dalam jaringan dan membentuk ikatan yang erat antara sel dan lamina basalis. Pada sel normal, ikatan yang terbentuk merupakan ikatan yang ketat sehingga sulit ditembus oleh sel yang bermigrasi. Agar dapat lolos dari penghambat tersebut, sel tumor harus mampu menekan ekpresi dan mendegradasi molekul adesi yang mempersatukan sel epitel dalam jaringan. Kontak antar sel epitel dengan lamina basalis tidak saja menghalangi migrasi tetapi juga mencegah kematian sel. Jika sel epitel kehilangan kontak dengan lamina basalis, sel akan mati melalui melalui detachment-induced apoptosis atau anoikis (Frisch dan Francis, 1994]. Proses ini dipicu oleh pelepasan integrin dari ligandnya pada lamina basalis. Karena sel mesenkim tidak memerlukan kontak dengan membrana basalis, sel ini biasanya tidak mengalami anoikis termasuk sel epitel yang telah menjalani proses EMT. Karena itu membrana basalis dapat ikut membantu sel kanker untuk bertahan hidup (Heerboth, 2015).

Setelah menjalani EMT, sel kanker juga dapat lolos dari jaringan lokal menuju sirkulasi dan bertahan hidup dalam sirkulasi (Gambar 5.7). Setelah mampu masuk ke sistem sirkulasi, sel kanker juga harus mampu menempel pada sel endotel mikrovaskuler dan melakukan proses yang sama seperti pada jaringan lokal untuk menembus dinding pembuluh darah yang juga terdiri atas sel epitel, endotel dan membrana basalis. Sel tumor berkomunikasi dengan sel endotel untuk membuka perekat antar sel endotel dan membrana basalis. Dengan cara ini, sel kanker dapat melewati pembuluh darah dan masuk ke jaringan target melalui jaringan ikat. Proses ini dimediasi oleh CAM yang berbeda dari CAM yang membentuk ikatan antar sel epitel. Molekul CAM ini bersifat heterolog yang mampu memediasi ikatan antara berbagai jenis sel yang berbeda, yaitu antara sel tumor dan sel endotel. CAM dan ligandnya yang dipakai dalam adesi tersebut adalah glikokonjugat selektin, integrin dan ligand ECM, ALCAM dan ICAM. Berbeda dengan CAM epitel yang ekspresinya ditekan oleh EMT, CAM tersebut justru ekresinya ditingkatkan (Heerboth dkk, 2015)

Faktor pengatur EMT onkogenik

Terdapat sejumlah fakor transkripsi yang mengatur EMT.Yang paling banyak dikarakterisasi adalah ZEB 1 dan ZEB 2, snail, slug dan twist (Gambar 5.8). ZEB 1 dan ZEB 2 merupakan protein yang sangat

Page 266: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler258

konservatif yang dapat berikatan langsung dengan regio promotor dari gen target dan karenanya menekan ekpresi marka sel fenotipe epitel seperti E-cadherin dan marka epitel lainnya (Vandewalle dkk, 2009), serta menginduksi ekspresi vimentin dan sejumlah marka fenotipe sel mesenkim (Bindels dkk, 2006). ZEB 1 dan 2 diinduksi oleh TGFβ, hipoksia dan sitokin proinflamasi yang semuanya mampu merintis proses EMT. ZEB berperan amat penting dalam perkembangan embrio normal dan pada sel tumor, ekspresi protein ini sangat meningkat (De Craene dan Berx , 2010]. Selain Zeb 1 dan 2, faktor transkripsi juga ekspresinya meningkat. Faktor transkripsi keluarga snail berikatan dengan E-boxes dari regio regulator dari gen target (Sánchez-Tilló dkk, 2012) dan menekan ekspresi E-cadherin dan protein epitel lainnya seperti desmoplakin dan claudin. Pada saat yang sama, snail mengaktifkan ekspresi gen pro -invasi (vimentin, fibronectin, MMP) yang memicu migrasi sel (Peinado dkk, 2004). Ketiga faktor transkripsi tersebut (ZEB, snail dan slug) diinduksi oleh TGFβ pada keadaan hipoksia (Thiery dkk, 2009). Selain ketiga faktor transkripsi di atas, terdapat protein twist yang berikatan dengan DNA untuk meningkatkan ekspresi N-cadherin (marka sel mesenkim) dan menekan transkripsi E-cadherin (marka sel epitel) (Qin dkk, 201). Pada kebanyakan kanker, ekspresi twist sangat meningkat dan sangat berkaitan dengan stadium tumor, tingkat invasi, dan metastasis sel kanker. Karena itu, ekspresi twist sangat berperan dalam penentuan prognosis kanker (Sánchez-Tilló dkk, 2012). Namun, signal regulasi dari semua faktor transkripsi di atas bersifat tumpang tindih. Misalnya faktor transkripsi ZEB diatur oleh ZEB l. Snail juga meningkatkan stabilitas twist yang akhirnya mengaktifkan transkirsi slug (Dave dkk, 2011).

Pada keadaan normal ketika integrin pada permukaan sel epitel berkontak dengan ECM, FAK diaktifkan dengan cara fosforilasi. Aktivasi FAK selanjutnya memicu kaskade fosforilasi yang berakhir dengan aktivasi Akt yang memicu sel untuk bertahan hidup. Jika integrin kehilangan kontak dengan ECM, maka signal sel untuk bertahan hidup berhenti dan ekspresi protein proapotosis meningkat. Namun, sel kanker dapat mengabaikan sistem signal tersebut dengan berbagai cara yang sering kali berkaitan dengan EMT. Misalnya dengan menekan ekspresi E-cadherin dan meningkatkan ekspresi N-cadherin (Derksen dkk, 2006). Jadi untuk dapat bermetastasis, sel tumor harus

mampu mengaktifkan gen yang memicu diferensiasi, proliferasi dan anti-apoptosis. Proses ini dilakukan dengan mengatur reseptor sel yang berperan dalam pertautan antar sel, mengubah ekspresi molekul adesi fenotipe sel epitel ke fenotipe sel mesenkim dan mendegradasi matrik ekstrasel dengan mengaktifkan protease.

Perubahan ikatan antar sel pada EMT

Begitu ekspresi gen penginduksi EMT meningkat, permukaan sel mengalami perubahan secara drastis dengan menghilangnya molekul E-cadherin. E-cadherin merupakan molekul adesi yang membentuk jembatan perekat antar sel dan melibatkan komponen sitoplasma seperti sitoskeleton aktin yang dihubungkan dengan E-cadherin melalui protein α- dan β-catenin. Semua protein tersebut menghilang saat EMT (Onder dkk 2008]. Protein yang menekan ekspresi E-cadherin meliputi Snail, Zeb, dan Twist dan bekerja dengan menginaktivasi gen secara epigenetik melalui hipermetilasi promoter gen E-Caderin dan deasetilasi histon (Herranz dkk 2008]. Menurunnya ekspresi E-cadherin diikuti dengan ekspresi N-cadherin dan vimentin yang merupakan marka dari sel mesenkim. N-cadherin dan vimentin merupakan molekul yang sangat berperan dalam bagi migrasi sel dan ekspresi kedua protein ini meningkat selama EMT. Pengendalian pascatranslasi ekspresi E-cadheri pada permukaan sel memerlukan O-glikosilasi dari E-cadherin yang menghambat pengangkutannya ke membran sel (Zhu dkk, 2001). Begitu sampai di membran plasma, E-cadherin juga diinaktifkan melalui proteolisis enzimatik dan/atau destabilasi oleh fosforilasi β-catenin (Yilmaz dkk, 2009). Hilangnya E-cadherin merupakan langkah integral dari EMT serta merupakan gambaran kunci dari metastasis sel kanker. Tanpa jembatan perekat yang ketat untuk menjaga keutuhan jaringan, sel kanker dapat bermigrasi dengan mudah dan ciri penting metastasis sel kanker.

Page 267: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 259

konservatif yang dapat berikatan langsung dengan regio promotor dari gen target dan karenanya menekan ekpresi marka sel fenotipe epitel seperti E-cadherin dan marka epitel lainnya (Vandewalle dkk, 2009), serta menginduksi ekspresi vimentin dan sejumlah marka fenotipe sel mesenkim (Bindels dkk, 2006). ZEB 1 dan 2 diinduksi oleh TGFβ, hipoksia dan sitokin proinflamasi yang semuanya mampu merintis proses EMT. ZEB berperan amat penting dalam perkembangan embrio normal dan pada sel tumor, ekspresi protein ini sangat meningkat (De Craene dan Berx , 2010]. Selain Zeb 1 dan 2, faktor transkripsi juga ekspresinya meningkat. Faktor transkripsi keluarga snail berikatan dengan E-boxes dari regio regulator dari gen target (Sánchez-Tilló dkk, 2012) dan menekan ekspresi E-cadherin dan protein epitel lainnya seperti desmoplakin dan claudin. Pada saat yang sama, snail mengaktifkan ekspresi gen pro -invasi (vimentin, fibronectin, MMP) yang memicu migrasi sel (Peinado dkk, 2004). Ketiga faktor transkripsi tersebut (ZEB, snail dan slug) diinduksi oleh TGFβ pada keadaan hipoksia (Thiery dkk, 2009). Selain ketiga faktor transkripsi di atas, terdapat protein twist yang berikatan dengan DNA untuk meningkatkan ekspresi N-cadherin (marka sel mesenkim) dan menekan transkripsi E-cadherin (marka sel epitel) (Qin dkk, 201). Pada kebanyakan kanker, ekspresi twist sangat meningkat dan sangat berkaitan dengan stadium tumor, tingkat invasi, dan metastasis sel kanker. Karena itu, ekspresi twist sangat berperan dalam penentuan prognosis kanker (Sánchez-Tilló dkk, 2012). Namun, signal regulasi dari semua faktor transkripsi di atas bersifat tumpang tindih. Misalnya faktor transkripsi ZEB diatur oleh ZEB l. Snail juga meningkatkan stabilitas twist yang akhirnya mengaktifkan transkirsi slug (Dave dkk, 2011).

Pada keadaan normal ketika integrin pada permukaan sel epitel berkontak dengan ECM, FAK diaktifkan dengan cara fosforilasi. Aktivasi FAK selanjutnya memicu kaskade fosforilasi yang berakhir dengan aktivasi Akt yang memicu sel untuk bertahan hidup. Jika integrin kehilangan kontak dengan ECM, maka signal sel untuk bertahan hidup berhenti dan ekspresi protein proapotosis meningkat. Namun, sel kanker dapat mengabaikan sistem signal tersebut dengan berbagai cara yang sering kali berkaitan dengan EMT. Misalnya dengan menekan ekspresi E-cadherin dan meningkatkan ekspresi N-cadherin (Derksen dkk, 2006). Jadi untuk dapat bermetastasis, sel tumor harus

mampu mengaktifkan gen yang memicu diferensiasi, proliferasi dan anti-apoptosis. Proses ini dilakukan dengan mengatur reseptor sel yang berperan dalam pertautan antar sel, mengubah ekspresi molekul adesi fenotipe sel epitel ke fenotipe sel mesenkim dan mendegradasi matrik ekstrasel dengan mengaktifkan protease.

Perubahan ikatan antar sel pada EMT

Begitu ekspresi gen penginduksi EMT meningkat, permukaan sel mengalami perubahan secara drastis dengan menghilangnya molekul E-cadherin. E-cadherin merupakan molekul adesi yang membentuk jembatan perekat antar sel dan melibatkan komponen sitoplasma seperti sitoskeleton aktin yang dihubungkan dengan E-cadherin melalui protein α- dan β-catenin. Semua protein tersebut menghilang saat EMT (Onder dkk 2008]. Protein yang menekan ekspresi E-cadherin meliputi Snail, Zeb, dan Twist dan bekerja dengan menginaktivasi gen secara epigenetik melalui hipermetilasi promoter gen E-Caderin dan deasetilasi histon (Herranz dkk 2008]. Menurunnya ekspresi E-cadherin diikuti dengan ekspresi N-cadherin dan vimentin yang merupakan marka dari sel mesenkim. N-cadherin dan vimentin merupakan molekul yang sangat berperan dalam bagi migrasi sel dan ekspresi kedua protein ini meningkat selama EMT. Pengendalian pascatranslasi ekspresi E-cadheri pada permukaan sel memerlukan O-glikosilasi dari E-cadherin yang menghambat pengangkutannya ke membran sel (Zhu dkk, 2001). Begitu sampai di membran plasma, E-cadherin juga diinaktifkan melalui proteolisis enzimatik dan/atau destabilasi oleh fosforilasi β-catenin (Yilmaz dkk, 2009). Hilangnya E-cadherin merupakan langkah integral dari EMT serta merupakan gambaran kunci dari metastasis sel kanker. Tanpa jembatan perekat yang ketat untuk menjaga keutuhan jaringan, sel kanker dapat bermigrasi dengan mudah dan ciri penting metastasis sel kanker.

Page 268: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler260

Gambar 5.7. Marka dan regulator EMT. Selama proses EMT, tingkat ekspresi mRNA berubah dan terjadi proses “alternative splicing”pada beberapa gen. Perubahan ini mempengaruhi lingkungan mikro, transkripsi dan splicing RNA pada intron. Sumber Samatov dkk, 2013

Peran Reseptor

Integrin tertentu bersama sistem signal FAK, berperan amat penting dalam memicu migrasi dan metastasis sel yang telah menjalani EMT. FAK merupakan tyrosin kinase yang memfosforilasi β-catenin. Begitu terfosforilasi oleh FAK, β-catenin terlepas kompleks E-cadherin dan terlokalisasi ke inti sel yang memicu transkripsi gen yang berkaitan dengan proliferasi, migrasi, dan invasi (Yilmaz dkk, 2009) melalui sistem sistem signal Wnt. Ketika Wnt tidak ada, β-catenin berikatan dengan axin, GSK-3β, dan APC ditempat E-cadherin. β-catenin kemudian difosforilasi oleh GSK-3β yang menyebabkannya terdegradasi melalui jalur ubiquitin-proteasom. Aktivasi Wnt menghambat GSK-3β dan menstabilkan β-catenin yang memicu lokalisasinya ke inti sel dan meningkatkan ekspresi protoonkogen seperti c-Myc dan siklin D1. Integrin β1 memediasi ekpresi FAK pada kanker paru yang proliferasinya setelah metastasis bergantung pada tingkat ekspresi integrin β1 dan FAK. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa lokalisasi dan akumulasi Twist dalam inti sel yang disertai

dengan ekspresi gen sasaran N-cadherin, dimediasi oleh dan bergantung pada sistem signal integrin β1 (Alexander dkk, 2006). EGFR diketahui berinteraksi langsung dengan β-catenin yang menyebabkan fosforilasi β-catenin dan hilangnya jembaran perekat antar sel. Pada metastasis, EGFR dapat memicu defosforilasi dan deaktivasi FAK. Setelah metastasis, FAK diaktifksn kembali oleh sistem signal integrin selama readesi yang semuanya menunjukkan bahwa FAK berperan amat penting dalam proses EMT dan metastasis.

Peran MMP

Sejumlah faktor sekretori berperan penting dalam mempertahankan EMT dan memicu metastasis (Chaffer dkk, 2011). MMP mampu memecah protein permukaan sel dan juga mendegradasi matriks ekstrasel yang memungkinkan sel yang bermigrasi untuk menyerbu jarungan sekitarnya dan memecah membrana basalis (Brinckerhoff dkk, 2002). E-cadherin merupakan substrat dari MMP yang pemecahannya tidak saja untuk membantu memisahkan sel dari jaringan menjadi sel individu, tetapi juga untuk menginduksi sistem signal yang mendukung EMT. Pemecahan E-cadherin oleh MMP menghasilkan fragmen secretory E-Cadherin (sE-cad) yang mampu menginduksi EMT, invasi dan proliferasi sel dalam bentuk parakrin melalui sistem signal EGFR (David dan Rajasekaran, 2012). Beberapa sitokin ikut berperan dalam pembentukan sel tumor yang invasif. Misalnya, IL-6 yang berkaitan dengan reseptornya menekan ekspresi E-cadherin dan meningkatkan ekspresi Snail, Twist, N-cadherin, dan vimentin. Keadaan ini menjelaskan peran Il-6 dalam menurunkan tingkat kesembuhan kanker payudara (Sullivan dkk 2009). IL-18 juga berperan dalam metastasis kanker payudara dengan mengaktifkan MMP (Park dkk. 2007). IL-18 bersama MMP9 juga mampu memicu migrasi sel otot polos jantung melalui sistem sistem signal NF-kB.

MMP terdiri atas berbagai tipe, yaitu MMP 1–13, dan MMP 18–20 yang tidak terikat dengan membran sel, serta l MMP 14–17 yang terikat pada membran sel. Pengaturan MMP yang meliputi aktivasi proteolisis dan penghambatan aktivitasnya terjadi pada beberapa tahapan transkripsi (Stamenkovic, 2000). Pada sel normal, MMP umumnya tidak ditemukan, tetapi dapat dirangsang dengan berbagai sitokin, faktor pertumbuhan perubahan interaksi antar sel dan interaksi antara sel dan matriks ekstrasel. Ekpsresi MMP pada tumor biasanya

Page 269: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 261

Gambar 5.7. Marka dan regulator EMT. Selama proses EMT, tingkat ekspresi mRNA berubah dan terjadi proses “alternative splicing”pada beberapa gen. Perubahan ini mempengaruhi lingkungan mikro, transkripsi dan splicing RNA pada intron. Sumber Samatov dkk, 2013

Peran Reseptor

Integrin tertentu bersama sistem signal FAK, berperan amat penting dalam memicu migrasi dan metastasis sel yang telah menjalani EMT. FAK merupakan tyrosin kinase yang memfosforilasi β-catenin. Begitu terfosforilasi oleh FAK, β-catenin terlepas kompleks E-cadherin dan terlokalisasi ke inti sel yang memicu transkripsi gen yang berkaitan dengan proliferasi, migrasi, dan invasi (Yilmaz dkk, 2009) melalui sistem sistem signal Wnt. Ketika Wnt tidak ada, β-catenin berikatan dengan axin, GSK-3β, dan APC ditempat E-cadherin. β-catenin kemudian difosforilasi oleh GSK-3β yang menyebabkannya terdegradasi melalui jalur ubiquitin-proteasom. Aktivasi Wnt menghambat GSK-3β dan menstabilkan β-catenin yang memicu lokalisasinya ke inti sel dan meningkatkan ekspresi protoonkogen seperti c-Myc dan siklin D1. Integrin β1 memediasi ekpresi FAK pada kanker paru yang proliferasinya setelah metastasis bergantung pada tingkat ekspresi integrin β1 dan FAK. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa lokalisasi dan akumulasi Twist dalam inti sel yang disertai

dengan ekspresi gen sasaran N-cadherin, dimediasi oleh dan bergantung pada sistem signal integrin β1 (Alexander dkk, 2006). EGFR diketahui berinteraksi langsung dengan β-catenin yang menyebabkan fosforilasi β-catenin dan hilangnya jembaran perekat antar sel. Pada metastasis, EGFR dapat memicu defosforilasi dan deaktivasi FAK. Setelah metastasis, FAK diaktifksn kembali oleh sistem signal integrin selama readesi yang semuanya menunjukkan bahwa FAK berperan amat penting dalam proses EMT dan metastasis.

Peran MMP

Sejumlah faktor sekretori berperan penting dalam mempertahankan EMT dan memicu metastasis (Chaffer dkk, 2011). MMP mampu memecah protein permukaan sel dan juga mendegradasi matriks ekstrasel yang memungkinkan sel yang bermigrasi untuk menyerbu jarungan sekitarnya dan memecah membrana basalis (Brinckerhoff dkk, 2002). E-cadherin merupakan substrat dari MMP yang pemecahannya tidak saja untuk membantu memisahkan sel dari jaringan menjadi sel individu, tetapi juga untuk menginduksi sistem signal yang mendukung EMT. Pemecahan E-cadherin oleh MMP menghasilkan fragmen secretory E-Cadherin (sE-cad) yang mampu menginduksi EMT, invasi dan proliferasi sel dalam bentuk parakrin melalui sistem signal EGFR (David dan Rajasekaran, 2012). Beberapa sitokin ikut berperan dalam pembentukan sel tumor yang invasif. Misalnya, IL-6 yang berkaitan dengan reseptornya menekan ekspresi E-cadherin dan meningkatkan ekspresi Snail, Twist, N-cadherin, dan vimentin. Keadaan ini menjelaskan peran Il-6 dalam menurunkan tingkat kesembuhan kanker payudara (Sullivan dkk 2009). IL-18 juga berperan dalam metastasis kanker payudara dengan mengaktifkan MMP (Park dkk. 2007). IL-18 bersama MMP9 juga mampu memicu migrasi sel otot polos jantung melalui sistem sistem signal NF-kB.

MMP terdiri atas berbagai tipe, yaitu MMP 1–13, dan MMP 18–20 yang tidak terikat dengan membran sel, serta l MMP 14–17 yang terikat pada membran sel. Pengaturan MMP yang meliputi aktivasi proteolisis dan penghambatan aktivitasnya terjadi pada beberapa tahapan transkripsi (Stamenkovic, 2000). Pada sel normal, MMP umumnya tidak ditemukan, tetapi dapat dirangsang dengan berbagai sitokin, faktor pertumbuhan perubahan interaksi antar sel dan interaksi antara sel dan matriks ekstrasel. Ekpsresi MMP pada tumor biasanya

Page 270: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler262

hanya terbatas pada sel stromal yang mengelilingi sel tumor. Kebanyakan MMP disekresikan dalam bentuk inaktif dan aktivasinya memerlukan pemecahan proteolisis (Nagase,, 1997).

Setelah sel tumor lolos dari membran basalis, sel tersebut dapat bermetastasis melalui 2 cara, yaitu melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe. Tumor yang berasal dari kepala dan leher awalnya hanya menyebar pada lifoglandula regional. Sementara itu, tumor lainnya seperti kanker payudara mempunyai kemampuan untuk menyebar ke tempat yang relatif jauh dari tempat tumor primer. Tempat tumor asal menentukan apakah metastasis terjadi melalui pembuluh darah atau pembuluh limfe.

Gambar 5.8. Tahapan metastasis pada kanker. Pada stadium awal dari kaskade metastasis, terjadi EMT yang memungkinkan sel untuk bermigrasi. Sel kanker kemudian masuk aliran darah (intravasasi). Kemudian sel keluar dari aliran darah menuju jaringan taget (ekstravasasi). Sumber: Samatov dkk, 2013

5.3.4. Hilangnya Kontrol Siklus Sel

Pembelahan sel dapat dibagi menjadi 4 fase G1, S, G2, dan M (Gambar 5.9). Dua kejadian penting dalam pembelahan sel adalah replikasi DNA selama fase S dan agregasi kromosom selama profase M. Keempat fase di atas hanya untuk sel yang sedang membelah . Perubahan dari G0 menjadi G1 dikendalikan oleh enzim penting yaitu CDK. Akumulasi siklin terjadi akibat adanya faktor transkripsi E2F yang memicu sintesis siklin. Sementara itu, penurunan kadar siklin itu dikendalikan melalui proses degradasi dalam sistem degradasi. Siklin D merupakan siklin yang pertama muncul, yaitu pada fase G1 dan terus berada pada tingkat yang tinggi sampai fase S dan fase G2 dan berperan penting dalam pengaturan siklin berikutnya, yaitu siklin E, A, dan B. Kadar siklin E meningkat pada fase G1 dan awal fase S yang berikatan dengan CDK2. Kompleks siklin E-CDK2 berperan dalam peralihan fase G1 ke fase S. Pada fase S kadar siklin E turun dan siklin D masih tetap tinggi. Namun, apabila pada fase S kadar kedua siklin ini masih tetap tinggi, maka akan muncul proliferasi sel yang tidak terkendali. Ekprespsi kedua molekul siklin ini sangat meningkat pada beberapa jenis sel tumor. Karena itu molekul siklin dapat menjadi target pengobatan antikanker (Zafonte, dkk, 2000).

Pada setiap fase pembelahan sel, kompleks siklin dan CDK yang diperlukan berbeda-beda. Kompleks siklin D1-CDK4 atau siklin D-CDK6 diperlukan sel yang sedang istirahat (G0) untuk masuk ke fase G1 (fase replikasi). Substrat utama dari siklin D/CDK4,6 adalah protein retinoblastoma (Rb) yang merupakan protein supresor tumor. Siklin D/CDK4,6 memfosforilasi pRb sehingga pRb melepaskan diri dari protein E2F. E2F merupakan faktor transkripsi berbagai gen target seperti siklin D, E dan A yang berperan dalam siklus sel. Ketika sel masuk fase S, molekul siklin lainnya meningkat, yaitu siklin E/CDK2. Kadar siklin E ditemukan meningkat pada berbagai jenis tumor payudara sehingga siklin E diduga berperan dalam proliferasi sel yang tak terkendali dalam sel kanker. Selain itu, siklin B/cdc2 diperlukan pada sel untuk memasuki fase mitosis sampai fase metafase. Namun, pada akhir metafase siklin B mengalami degradasi dan cdc2 menjadi inaktif sehingga sel memasuki fase anaphase untuk menuntaskan fase mitosis. Jika kadar siklin E tinggi sampai pada akhir fase metafase, maka pembelahan sel akan berhenti pada fase metafase. Karena itu, pengaturan kadar siklin sangat penting untuk menuntaskan siklus sel.

Page 271: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 263

hanya terbatas pada sel stromal yang mengelilingi sel tumor. Kebanyakan MMP disekresikan dalam bentuk inaktif dan aktivasinya memerlukan pemecahan proteolisis (Nagase,, 1997).

Setelah sel tumor lolos dari membran basalis, sel tersebut dapat bermetastasis melalui 2 cara, yaitu melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe. Tumor yang berasal dari kepala dan leher awalnya hanya menyebar pada lifoglandula regional. Sementara itu, tumor lainnya seperti kanker payudara mempunyai kemampuan untuk menyebar ke tempat yang relatif jauh dari tempat tumor primer. Tempat tumor asal menentukan apakah metastasis terjadi melalui pembuluh darah atau pembuluh limfe.

Gambar 5.8. Tahapan metastasis pada kanker. Pada stadium awal dari kaskade metastasis, terjadi EMT yang memungkinkan sel untuk bermigrasi. Sel kanker kemudian masuk aliran darah (intravasasi). Kemudian sel keluar dari aliran darah menuju jaringan taget (ekstravasasi). Sumber: Samatov dkk, 2013

5.3.4. Hilangnya Kontrol Siklus Sel

Pembelahan sel dapat dibagi menjadi 4 fase G1, S, G2, dan M (Gambar 5.9). Dua kejadian penting dalam pembelahan sel adalah replikasi DNA selama fase S dan agregasi kromosom selama profase M. Keempat fase di atas hanya untuk sel yang sedang membelah . Perubahan dari G0 menjadi G1 dikendalikan oleh enzim penting yaitu CDK. Akumulasi siklin terjadi akibat adanya faktor transkripsi E2F yang memicu sintesis siklin. Sementara itu, penurunan kadar siklin itu dikendalikan melalui proses degradasi dalam sistem degradasi. Siklin D merupakan siklin yang pertama muncul, yaitu pada fase G1 dan terus berada pada tingkat yang tinggi sampai fase S dan fase G2 dan berperan penting dalam pengaturan siklin berikutnya, yaitu siklin E, A, dan B. Kadar siklin E meningkat pada fase G1 dan awal fase S yang berikatan dengan CDK2. Kompleks siklin E-CDK2 berperan dalam peralihan fase G1 ke fase S. Pada fase S kadar siklin E turun dan siklin D masih tetap tinggi. Namun, apabila pada fase S kadar kedua siklin ini masih tetap tinggi, maka akan muncul proliferasi sel yang tidak terkendali. Ekprespsi kedua molekul siklin ini sangat meningkat pada beberapa jenis sel tumor. Karena itu molekul siklin dapat menjadi target pengobatan antikanker (Zafonte, dkk, 2000).

Pada setiap fase pembelahan sel, kompleks siklin dan CDK yang diperlukan berbeda-beda. Kompleks siklin D1-CDK4 atau siklin D-CDK6 diperlukan sel yang sedang istirahat (G0) untuk masuk ke fase G1 (fase replikasi). Substrat utama dari siklin D/CDK4,6 adalah protein retinoblastoma (Rb) yang merupakan protein supresor tumor. Siklin D/CDK4,6 memfosforilasi pRb sehingga pRb melepaskan diri dari protein E2F. E2F merupakan faktor transkripsi berbagai gen target seperti siklin D, E dan A yang berperan dalam siklus sel. Ketika sel masuk fase S, molekul siklin lainnya meningkat, yaitu siklin E/CDK2. Kadar siklin E ditemukan meningkat pada berbagai jenis tumor payudara sehingga siklin E diduga berperan dalam proliferasi sel yang tak terkendali dalam sel kanker. Selain itu, siklin B/cdc2 diperlukan pada sel untuk memasuki fase mitosis sampai fase metafase. Namun, pada akhir metafase siklin B mengalami degradasi dan cdc2 menjadi inaktif sehingga sel memasuki fase anaphase untuk menuntaskan fase mitosis. Jika kadar siklin E tinggi sampai pada akhir fase metafase, maka pembelahan sel akan berhenti pada fase metafase. Karena itu, pengaturan kadar siklin sangat penting untuk menuntaskan siklus sel.

Page 272: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler264

Eksprsi siklin dalam sel diatur melalui pengaturan postif dan negatif. Sistem pengaturan negatif dilakukan melalui cyclin dependent kinase inhibitor (CKI). Ada 2 jenis CKI, yaitu Cip/Kip dan INK4 (Harper,1997). Cip/Kip terdiri atas beberapa keluarga protein p21/Cip1/waf1/Sdi1, p21/Kip1, dan p57/Kip2. Semua protein tersebut dapat berikatan dan menginaktifkan kesatuan siklin/CDK pada siklus sel. Protein p21/waf1 merupakan penghambat CDK yang paling banyak diketahui. Protein ini distimulasi oleh p53 sebagai respons atas kerusakan DNA dan berfungsi untuk menahan siklus sel yang memungkinkan sel untuk mereparasi DNAnya (el-Deiry , 1994). Semantara itu, kelompok INK4 dari CKI mengandung sejumlah protein, p16/INK4a, p15/INK4b, p18/INK4c, dan p19/INK4d. Keluarga protein INK4 ini hanya mampu berikatan dan menginaktifkan CDK4/6. Dengan spesifisitasnya tersebut, fungsi utama dari INK4 adalah untuk mengatur aktivitas siklin D1/CDK4/6 dalam memfosforilasi pRb. p16/INK4a yang juga merupakan supresosr tumor juga bermutasi pada beberapa kasus kanker seperti melanoma (Liu dkk, 1995).

Gambar 5.9. Diagram kerja siklin dalam mengatur siklus sel. Siklus sel terdiri atas 4 fase penting, yaitu G1, S, G2, dan M. Di antara keempat fase siklus sel tersebut terdapat sistem cekpoin yang

memungkinkan sel untuk memperbaiki kesalahan dalam siklus sel. Protein supresor tumor yang penting dalam sistem cekpoin pada siklus sel adalah p53 dan pRB. Protein supresor tumor p53 berfungsi untuk mengatur secara positif cekpoin fase S, sedangkan protein supresor tumor pRB mengatur secara positif sistem cekpoin pada fase G1. Onkogen Ras dan Myc mengatur secara negatif sistem cekpoin pada fase G1 dan G2. Sumber: Chow, 2010

Dalam siklus sel terdapat beberapa cekpoin yang berfungsi untuk memastikan bahwa proses pembelahan sel terjadi secara benar dan sistem cekpoin tersebut diaktifkan jika terdapat kesalahan dalam proses pembelahan sel. Setidak-tidak ada 5 cekpoin yang telah diketahui. Dua cekpoin yang berfungsi untuk memantau keutuhan DNA dan menahan siklus sel pada fase G1 atau G2,. Satu cekpoin berfungsi untuk memastikan bahwa sintesis DNA telah berjalan secara tuntas sebelum memasuki fase mitosis. Satu cekpoin berfungsi untuk memantau penuntasan proses mitosis sebelum masuk ke siklus sel berikutnya. Yang terakhir adalah titik cekpoin untuk memantau penempatan kromososm pada titik ekuator sel sebelum siklus sel memasuki anafase. Dari kelima sistem cekpoin tersebut yang paling banyak diteliti adalah yang mengatur keutuhan DNA setelah mengalami replikasi. Kedua cekpoin tersebut sangat penting karena jika kedua cekpoin tersebut tidak berjalan normal, maka dapat memunculkan DNA yang tidak utuh (Weinert dkk,1997). Pada banyak kasus kanker, salah satu atau kedua sistem cekpoin mengalami gangguan sehingga memunculkan sel dengan DNA yang tidak utuh. Sebagai contoh, p53 berfungsi untuk menahan siklus sel pada fase G1 dengan bertindak sebagai faktor transkripsi untuk gen penyandi p21waf bila sel mengalami kerusakan DNA (el-Deiry dkk, 1994). Pada banyak kasus kanker, terjadi mutasi gen penyandi p53 sehingga sel kehilangan sistem cekpoin G1/S untuk memantau kerusakan DNA. Hilangnya sistem cekpoin tersebut sering memunculkan DNA bermutasi pada berbagai gen. Mutasi gen p53 juga dapat menyebabkan gangguan apoptosis karena protein ini sangat berperan dalam apoptosis. Karena kebanyakan obat kanker membunuh sel melalui proses apoptosis, sel tumor yang mengalami mutasi pada p53 biasanya lebih tahan terhadap terapi konvensional untuk kanker (Lowe dkk, 1993).

Page 273: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 265

Eksprsi siklin dalam sel diatur melalui pengaturan postif dan negatif. Sistem pengaturan negatif dilakukan melalui cyclin dependent kinase inhibitor (CKI). Ada 2 jenis CKI, yaitu Cip/Kip dan INK4 (Harper,1997). Cip/Kip terdiri atas beberapa keluarga protein p21/Cip1/waf1/Sdi1, p21/Kip1, dan p57/Kip2. Semua protein tersebut dapat berikatan dan menginaktifkan kesatuan siklin/CDK pada siklus sel. Protein p21/waf1 merupakan penghambat CDK yang paling banyak diketahui. Protein ini distimulasi oleh p53 sebagai respons atas kerusakan DNA dan berfungsi untuk menahan siklus sel yang memungkinkan sel untuk mereparasi DNAnya (el-Deiry , 1994). Semantara itu, kelompok INK4 dari CKI mengandung sejumlah protein, p16/INK4a, p15/INK4b, p18/INK4c, dan p19/INK4d. Keluarga protein INK4 ini hanya mampu berikatan dan menginaktifkan CDK4/6. Dengan spesifisitasnya tersebut, fungsi utama dari INK4 adalah untuk mengatur aktivitas siklin D1/CDK4/6 dalam memfosforilasi pRb. p16/INK4a yang juga merupakan supresosr tumor juga bermutasi pada beberapa kasus kanker seperti melanoma (Liu dkk, 1995).

Gambar 5.9. Diagram kerja siklin dalam mengatur siklus sel. Siklus sel terdiri atas 4 fase penting, yaitu G1, S, G2, dan M. Di antara keempat fase siklus sel tersebut terdapat sistem cekpoin yang

memungkinkan sel untuk memperbaiki kesalahan dalam siklus sel. Protein supresor tumor yang penting dalam sistem cekpoin pada siklus sel adalah p53 dan pRB. Protein supresor tumor p53 berfungsi untuk mengatur secara positif cekpoin fase S, sedangkan protein supresor tumor pRB mengatur secara positif sistem cekpoin pada fase G1. Onkogen Ras dan Myc mengatur secara negatif sistem cekpoin pada fase G1 dan G2. Sumber: Chow, 2010

Dalam siklus sel terdapat beberapa cekpoin yang berfungsi untuk memastikan bahwa proses pembelahan sel terjadi secara benar dan sistem cekpoin tersebut diaktifkan jika terdapat kesalahan dalam proses pembelahan sel. Setidak-tidak ada 5 cekpoin yang telah diketahui. Dua cekpoin yang berfungsi untuk memantau keutuhan DNA dan menahan siklus sel pada fase G1 atau G2,. Satu cekpoin berfungsi untuk memastikan bahwa sintesis DNA telah berjalan secara tuntas sebelum memasuki fase mitosis. Satu cekpoin berfungsi untuk memantau penuntasan proses mitosis sebelum masuk ke siklus sel berikutnya. Yang terakhir adalah titik cekpoin untuk memantau penempatan kromososm pada titik ekuator sel sebelum siklus sel memasuki anafase. Dari kelima sistem cekpoin tersebut yang paling banyak diteliti adalah yang mengatur keutuhan DNA setelah mengalami replikasi. Kedua cekpoin tersebut sangat penting karena jika kedua cekpoin tersebut tidak berjalan normal, maka dapat memunculkan DNA yang tidak utuh (Weinert dkk,1997). Pada banyak kasus kanker, salah satu atau kedua sistem cekpoin mengalami gangguan sehingga memunculkan sel dengan DNA yang tidak utuh. Sebagai contoh, p53 berfungsi untuk menahan siklus sel pada fase G1 dengan bertindak sebagai faktor transkripsi untuk gen penyandi p21waf bila sel mengalami kerusakan DNA (el-Deiry dkk, 1994). Pada banyak kasus kanker, terjadi mutasi gen penyandi p53 sehingga sel kehilangan sistem cekpoin G1/S untuk memantau kerusakan DNA. Hilangnya sistem cekpoin tersebut sering memunculkan DNA bermutasi pada berbagai gen. Mutasi gen p53 juga dapat menyebabkan gangguan apoptosis karena protein ini sangat berperan dalam apoptosis. Karena kebanyakan obat kanker membunuh sel melalui proses apoptosis, sel tumor yang mengalami mutasi pada p53 biasanya lebih tahan terhadap terapi konvensional untuk kanker (Lowe dkk, 1993).

Page 274: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler266

5.3.5. Sel Tumor Tahan Apoptosis

Kebanyakan sel kanker lebih tahan terhadap proses apoptosis dibanding sel normal karena sel kanker telah mengembangkan sistem yang dapat mengabaikan proses apoptosis. Mekanisme sel kanker untuk mengabaikan apoptosis terjadi melalui 2 sistem, yaitu dengan meningkatkan ekspresi protein BCl-2 yang antiapoptosis. Jika ekspresi Bcl-2 tetap tinggi pada sel tumor, maka proses apoptosis melalui jalur mitokondria akan terhambat. Hal ini terjadi karena protein Bcl-2 berfungsi untuk mengikat dan menginaktifkan protein Bak dan Bax yang berperan sebagai pemicu apoptosis. Mekanisme kedua adalah dengan menghambat funsgi reseptor Fas. Pada berbagai sel kanker sering ditemukan reseptor decoy (DcR) yang berkompetisi dengan Fas untuk mengikat FasL. Jika sel banyak mengekspresikan DcR, maka proses apoptosis dihambat karena ikatan FasL dengan DcR tidak memicu apoptosis. DcR tidak memiliki domain kematian intra sel yang mampu merekrut protein adaptor dan procaspase 8 untuk diaktivasi.

5.3.6 Instabilitas Genetik yang Meningkat

Salah satu ciri dari sel tumor adalah ketidakstabilan genetiknya yang ditandai dengan adanya kromosom yang bersifat aneuploidi (hilangnya atau bertambahnya kromosom) atau poliploidi (akumulasi seluruh set kromosom). Perolehan kromosom tambahan yang mengandung gen pemicu pertumbuhan oleh sel tumor merupakan salah satu mekanisme munculnya sel yang dapat tumbuh secara tidak terkendali. Abnormalitas struktural kromosom sering ditemukan pada kanker stadium lanjut yang dapat memicu pengaturan kembali dan aktivasi kromosom yang berlebihan. Translokasi dan insersi materi genetik secara acak ke dalam satu kromosom dari kromosom lainnya yang menempatkan 2 gen pertumbuhan secara berdekatan sering menimbulkan ekspresi protein yang tidak normal. Pada kasus Burkitt’s Lymphoma, pengaturan ulang terjadi pada kromosom 8 dan 14 yang memicu ekspresi gen c-myc secara berlebihan sebagai akibat dari diletakkannya gen tersebut di dekat promoter gen imunoglobulin rantai panjang..

Chronic myelogenous leukemia (CML) adalah sejenis kanker yang disebabkan oleh kromosom abnormal yang disebut kromosom Philadelphia. Kromosom ini merupakan hasil dari translokasi

kromosom 9 dan 22. Tc-Abl yang merupakan tyrosin kinase dan Bcr yang merupakan protein pengaktivasi GTPase (GTPase activating protein/ GAP), mengalami proses splicing bersama untuk membentuk protein kimerik yang mengahasilkan aktivasi kinase yang kuat dan memicu prolifersi sel berlebihan.

Bentuk lain dari instabilitas genetik lainnya adalah amplifikasi gen. Pada keadaan normal, semua DNA bereplikasi secara serentak dan hanya sekali dalam 1 siklus sel. Namun, pada sel kanker beberapa regio dari sebuah kromosom dapat mengalami beberapa kali replikasi sehingga kromosom tersebut mengadung banyak kopi gen pemicu pertumbuhan. Proses ini dapat menghasilkan kromosom tambahan yang disebut kromosom minut ganda. Contoh khas dari amplikasi semacam ini adalah amplikasi gen target faktor transkripsi N-myc yang ditemukan pada sekitar 30% neuroblastoma lanjut (Seeger dkk, 1995).

5.3.7. Angiogenesis

Tanpa pembentukan pembuluh darah baru, tumor hanya dapat tumbuh secara terbatas beberapa mm dari ketersediaan oksigen dan nutrisi yang dapat berdifusi dari pembuluh darah terdekat. Ketika ukuran tumor bertambah, kadar O2 dalam tumor menurun dan bagian pusatnya mengalami hipoksia yang menyebabkannya peningkatan ekspresi hypoxia inducible factor (HIF1). HIF1 merupakan faktor transkripsi heterodimer yang terdiri atas HIF-1 subunit beta dan HIF-1 subunit alpha yang mengatur kadar O2 (Semenza, 2000). Pada kondisi oksigen normal (normoksia) kadar HIF1 dipertahankan pada tingkat yang rendah sebagai akibat dari kerja protein supresor tumor VHL yang berfungsi sebagai ubiquitin ligase yang menambahkan ubiquitin pada HIF1. Ubiquitinasi tersebut memicu degradasi HIF1 oleh proteosom. Salah satu target dari HIF1 adalah faktor pertumbuhan VEGF (Gambar 5.10), yang bersama sitokin lainnya memicu pembentukan pembuluh darah baru pada tumor dan memungkinkan tumor tumbuh lebih besar.

Angiogenesis merupakan perkecambahan kapiler dari pembuluh darah yang telah ada selama perkembangan emrio, proses reproduksi dan kesembuhan luka. Faktor pertumbuhan yang paling berperan dalam proses angiogenesis adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) (Senger, 1983). Peran VEGF dalam onkogenesis terbukti dari beberapa fakta berikut. Pertama VEGF ditemukan hampir pada semua jenis tumor terutama di bagian pembuluh darah tumor dan di daerah

Page 275: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 267

5.3.5. Sel Tumor Tahan Apoptosis

Kebanyakan sel kanker lebih tahan terhadap proses apoptosis dibanding sel normal karena sel kanker telah mengembangkan sistem yang dapat mengabaikan proses apoptosis. Mekanisme sel kanker untuk mengabaikan apoptosis terjadi melalui 2 sistem, yaitu dengan meningkatkan ekspresi protein BCl-2 yang antiapoptosis. Jika ekspresi Bcl-2 tetap tinggi pada sel tumor, maka proses apoptosis melalui jalur mitokondria akan terhambat. Hal ini terjadi karena protein Bcl-2 berfungsi untuk mengikat dan menginaktifkan protein Bak dan Bax yang berperan sebagai pemicu apoptosis. Mekanisme kedua adalah dengan menghambat funsgi reseptor Fas. Pada berbagai sel kanker sering ditemukan reseptor decoy (DcR) yang berkompetisi dengan Fas untuk mengikat FasL. Jika sel banyak mengekspresikan DcR, maka proses apoptosis dihambat karena ikatan FasL dengan DcR tidak memicu apoptosis. DcR tidak memiliki domain kematian intra sel yang mampu merekrut protein adaptor dan procaspase 8 untuk diaktivasi.

5.3.6 Instabilitas Genetik yang Meningkat

Salah satu ciri dari sel tumor adalah ketidakstabilan genetiknya yang ditandai dengan adanya kromosom yang bersifat aneuploidi (hilangnya atau bertambahnya kromosom) atau poliploidi (akumulasi seluruh set kromosom). Perolehan kromosom tambahan yang mengandung gen pemicu pertumbuhan oleh sel tumor merupakan salah satu mekanisme munculnya sel yang dapat tumbuh secara tidak terkendali. Abnormalitas struktural kromosom sering ditemukan pada kanker stadium lanjut yang dapat memicu pengaturan kembali dan aktivasi kromosom yang berlebihan. Translokasi dan insersi materi genetik secara acak ke dalam satu kromosom dari kromosom lainnya yang menempatkan 2 gen pertumbuhan secara berdekatan sering menimbulkan ekspresi protein yang tidak normal. Pada kasus Burkitt’s Lymphoma, pengaturan ulang terjadi pada kromosom 8 dan 14 yang memicu ekspresi gen c-myc secara berlebihan sebagai akibat dari diletakkannya gen tersebut di dekat promoter gen imunoglobulin rantai panjang..

Chronic myelogenous leukemia (CML) adalah sejenis kanker yang disebabkan oleh kromosom abnormal yang disebut kromosom Philadelphia. Kromosom ini merupakan hasil dari translokasi

kromosom 9 dan 22. Tc-Abl yang merupakan tyrosin kinase dan Bcr yang merupakan protein pengaktivasi GTPase (GTPase activating protein/ GAP), mengalami proses splicing bersama untuk membentuk protein kimerik yang mengahasilkan aktivasi kinase yang kuat dan memicu prolifersi sel berlebihan.

Bentuk lain dari instabilitas genetik lainnya adalah amplifikasi gen. Pada keadaan normal, semua DNA bereplikasi secara serentak dan hanya sekali dalam 1 siklus sel. Namun, pada sel kanker beberapa regio dari sebuah kromosom dapat mengalami beberapa kali replikasi sehingga kromosom tersebut mengadung banyak kopi gen pemicu pertumbuhan. Proses ini dapat menghasilkan kromosom tambahan yang disebut kromosom minut ganda. Contoh khas dari amplikasi semacam ini adalah amplikasi gen target faktor transkripsi N-myc yang ditemukan pada sekitar 30% neuroblastoma lanjut (Seeger dkk, 1995).

5.3.7. Angiogenesis

Tanpa pembentukan pembuluh darah baru, tumor hanya dapat tumbuh secara terbatas beberapa mm dari ketersediaan oksigen dan nutrisi yang dapat berdifusi dari pembuluh darah terdekat. Ketika ukuran tumor bertambah, kadar O2 dalam tumor menurun dan bagian pusatnya mengalami hipoksia yang menyebabkannya peningkatan ekspresi hypoxia inducible factor (HIF1). HIF1 merupakan faktor transkripsi heterodimer yang terdiri atas HIF-1 subunit beta dan HIF-1 subunit alpha yang mengatur kadar O2 (Semenza, 2000). Pada kondisi oksigen normal (normoksia) kadar HIF1 dipertahankan pada tingkat yang rendah sebagai akibat dari kerja protein supresor tumor VHL yang berfungsi sebagai ubiquitin ligase yang menambahkan ubiquitin pada HIF1. Ubiquitinasi tersebut memicu degradasi HIF1 oleh proteosom. Salah satu target dari HIF1 adalah faktor pertumbuhan VEGF (Gambar 5.10), yang bersama sitokin lainnya memicu pembentukan pembuluh darah baru pada tumor dan memungkinkan tumor tumbuh lebih besar.

Angiogenesis merupakan perkecambahan kapiler dari pembuluh darah yang telah ada selama perkembangan emrio, proses reproduksi dan kesembuhan luka. Faktor pertumbuhan yang paling berperan dalam proses angiogenesis adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) (Senger, 1983). Peran VEGF dalam onkogenesis terbukti dari beberapa fakta berikut. Pertama VEGF ditemukan hampir pada semua jenis tumor terutama di bagian pembuluh darah tumor dan di daerah

Page 276: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler268

mengalami hipoksia. 2. Reseptor VEGF banyak diekspresikan dalam pembuluh darah tumor atau di dekat tumor. 3. AbMo antiVEGF menekan pertumbuhan tumor yang mengekpresikan VEGF. Terakhir, pada kultur sel, VEGF tidak mempunyai efek karena tidak ada pembuluh darah. Ferrara and Henzel, 1989 mengidentifikasi VEGF sebagai faktor pertumbuhan yang mampu memicu pertumbuhan sel endotel tetapi tidak memicu pertumbuhan fibroblas dan sel epitel. Penghambatan pada salah satu reseptor VEGF seperti FLK1, dapat menghambat pertumbuhan berbagai tumor padat (Ferrara dkk, 1989).

Terdapat beberapa isoform VEGF yang mempunyai fungsi berbeda dalam proses angiogenesis. Isoform tersebut adalah VEGF, VEGF-B, VEFG-C, dan VEGF-D. VEGF-B ditemukan pada berbagai organ normal seperti jantung dan otot rangka dan dapat membentuk heteridimer dengan VEGF. Molekul heterodimer tersebut dapat mempengaruhi ketersediaan reseptor untuk VEGF. VEGF-D tampaknya diatur oleh c-fos dan diekspresikan secara kuat dalam paru fetus. Namun, pada individu dewasa VEGF D diekpsresikan pada jaringan otot, jantiung, paru dan usus halus. VEGF-D juga mampu memicu proliferasi sel endotel (Asano dkk, 1995).

VEGF-C mempunyai 30% homologi dengan VEGF. Namun, berbeda dengan VEGF-B, VEGF-C tidak berikatan dengan heparin. VEGF C mampu meningkatkan permeabilitas vaskuler dan mampu memicu proliferasi dan migrasi sel endotel pada konsentrasi yang lebih tinggi dibanding VEGF. VEGF-C diekspresikan selama perkembangan embrio saat tunas pembuluh darah baru bermunculan dari pembuluh yang telah ada (Kukk dkk, 1996). VEGF–C juga ditemukan pada jaringan dewasa dan berperan amat penting dalam diferensiasi endotel limfe. Reseptor dari VEGF-C adalah Flt-4 yang diekspresikan dalam angioblas vena dan pembuluh limfe selama proses embriogenesis. Pada individu dewasa, reseptor tersebut hanya diekspresikan pada pembuluh limfe.

Gambar 5.10. Peran VEGF dalam angigenesis kanker. Pada saat kadar oksigen normal (normoksia), sensor oksigen sel, PHD, menghidroksilasi residu prolin 402 dan 564 dari HIF-1α yang menyebabkannya terdegradasi dalam proteosom yang dimediasi oleh pVHL (ubiquitin ligase). Pada saat hipoksia HIF-1α tidak mengalami ubiquitinasi atau degradasi dan bertindak sebagai faktor transkripsi yang berikatan dengan HRE untuk menginduksi ekspresi gen target yang salah satunya adalah VEGF yang memicu angiogenesis (HIF, hypoxia-inducible transcription factor; HRE, hypoxia response element; PHD, prolyl hydroxylase (Egl nine homologs 1 and 2); pVHL, protein von Hippel–Lindau VEGF, vascular endothelial growth factor; VEGFR, VEGF receptor. Sumber Maes dkk, 2012

5.4. Peran Protoonkogen dalam Karsinogenesis

Onkogen merupakan bentuk mutan dari protoonkogen yang terdapat secara normal pada manusia atau hewan lainnya. Onkogen sangat berperan dalam onkogenesis dengan memicu proliferasi yang berlebihan dan menurunkan kerentanan sel terhadap apoptosis. Terdpat 7 klas onkogen berdasarkan lokasi dan aktivitas biokimianya, yaitu

Page 277: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 269

mengalami hipoksia. 2. Reseptor VEGF banyak diekspresikan dalam pembuluh darah tumor atau di dekat tumor. 3. AbMo antiVEGF menekan pertumbuhan tumor yang mengekpresikan VEGF. Terakhir, pada kultur sel, VEGF tidak mempunyai efek karena tidak ada pembuluh darah. Ferrara and Henzel, 1989 mengidentifikasi VEGF sebagai faktor pertumbuhan yang mampu memicu pertumbuhan sel endotel tetapi tidak memicu pertumbuhan fibroblas dan sel epitel. Penghambatan pada salah satu reseptor VEGF seperti FLK1, dapat menghambat pertumbuhan berbagai tumor padat (Ferrara dkk, 1989).

Terdapat beberapa isoform VEGF yang mempunyai fungsi berbeda dalam proses angiogenesis. Isoform tersebut adalah VEGF, VEGF-B, VEFG-C, dan VEGF-D. VEGF-B ditemukan pada berbagai organ normal seperti jantung dan otot rangka dan dapat membentuk heteridimer dengan VEGF. Molekul heterodimer tersebut dapat mempengaruhi ketersediaan reseptor untuk VEGF. VEGF-D tampaknya diatur oleh c-fos dan diekspresikan secara kuat dalam paru fetus. Namun, pada individu dewasa VEGF D diekpsresikan pada jaringan otot, jantiung, paru dan usus halus. VEGF-D juga mampu memicu proliferasi sel endotel (Asano dkk, 1995).

VEGF-C mempunyai 30% homologi dengan VEGF. Namun, berbeda dengan VEGF-B, VEGF-C tidak berikatan dengan heparin. VEGF C mampu meningkatkan permeabilitas vaskuler dan mampu memicu proliferasi dan migrasi sel endotel pada konsentrasi yang lebih tinggi dibanding VEGF. VEGF-C diekspresikan selama perkembangan embrio saat tunas pembuluh darah baru bermunculan dari pembuluh yang telah ada (Kukk dkk, 1996). VEGF–C juga ditemukan pada jaringan dewasa dan berperan amat penting dalam diferensiasi endotel limfe. Reseptor dari VEGF-C adalah Flt-4 yang diekspresikan dalam angioblas vena dan pembuluh limfe selama proses embriogenesis. Pada individu dewasa, reseptor tersebut hanya diekspresikan pada pembuluh limfe.

Gambar 5.10. Peran VEGF dalam angigenesis kanker. Pada saat kadar oksigen normal (normoksia), sensor oksigen sel, PHD, menghidroksilasi residu prolin 402 dan 564 dari HIF-1α yang menyebabkannya terdegradasi dalam proteosom yang dimediasi oleh pVHL (ubiquitin ligase). Pada saat hipoksia HIF-1α tidak mengalami ubiquitinasi atau degradasi dan bertindak sebagai faktor transkripsi yang berikatan dengan HRE untuk menginduksi ekspresi gen target yang salah satunya adalah VEGF yang memicu angiogenesis (HIF, hypoxia-inducible transcription factor; HRE, hypoxia response element; PHD, prolyl hydroxylase (Egl nine homologs 1 and 2); pVHL, protein von Hippel–Lindau VEGF, vascular endothelial growth factor; VEGFR, VEGF receptor. Sumber Maes dkk, 2012

5.4. Peran Protoonkogen dalam Karsinogenesis

Onkogen merupakan bentuk mutan dari protoonkogen yang terdapat secara normal pada manusia atau hewan lainnya. Onkogen sangat berperan dalam onkogenesis dengan memicu proliferasi yang berlebihan dan menurunkan kerentanan sel terhadap apoptosis. Terdpat 7 klas onkogen berdasarkan lokasi dan aktivitas biokimianya, yaitu

Page 278: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler270

faktor pertumbuhan, reseptor faktor pertumbuhan, protein membran sel yang berikatan dengan nukleotida guanin, serine-threonine protein kinase, tyrosine kinase sitoplasma, protein inti sel, dan protein sitoplasma yang mempengaruhi daya hidup sel.

5.4.1. Gen Faktor Pertumbuhan dan Reseptornya

Pertumbuhan dan proliferasi sel diatur melaui signal ekternal yang melibatkan faktor pertumbuhan dan reseptornya. Ikatan antara faktor pertumbuhan dan reseptornya memicu aktivasi sistem signal yang diperlukan sel untuk bertahan hidup, dan tumbuh atau berproliferasi. Pada keadaan normal, faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh berbagai sel dan jaringan hanya dapat berikatan dan memicu sistem signal pada sel tertentu dan bersifat parakrin. Pada kebanyakan sel kanker, faktor pertumbuhan dapat diproduksi sendiri dan digunakan sendiri (autokrin) untuk memicu pertumbuhan dan proliferasi sel. Karena sifat ini, sel tumor tidak memerlukan faktor eksternal untuk tumbuh dan berproliferasi. Contoh dari faktor pertumbuhan yang onkogenik adalah v-sis yang merupakan gen virus yang homolog dengan gen platelet-derived growth factor (PDGF). PDGF memicu proliferasi sel yang berasal dari jaringan ikat seperti fibroblas, otot polos, dan sel glial. Tumor yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan oleh onkogen v-sis adalah fibrosarcoma dan glioma.

Reseptor juga dapat bertindak sebagai onkogen bila bermutasi yang melibatkan banyak reseptor seperti resptor tyrosin kinase yang mempunyai domain ekstrasel yang berikatan dengan faktor pertumbuhan, domain transmembran yang bersifat hidrofob dan domain intrasel yang mempunyai aktivitas tyrosin kinase. Pada keadaan normal, aktivasi reseptor sangat diperlukan untuk memicu sistem signal untuk pertumbuhan dan proliferasi sel. Mutasi onkogenik reseptor dapat memcu pertumbuhan dan proliferasi sel yang tidak terkendali. Mutasi onkogenik dapat terjadi pada ketiga domain yang memicunya untuk teraktivasi tanpa memerlukan ligand eksternal. Contoh dari mutasi tersebut ditemukan pada epidermal growth factor receptor (EGFR) yang dapat teraktivasi tanpa adanya ikatan ligand EGF. EGFR yang bersifat onkogenik ini disebut epidermal receptor binding B1 (erb-B1)

Gambar 5.11. Aktivasi reseptor pertumbuhan olah mitogen (faktor pertumbuhan). Mitogen berupa faktor pertumbuhan berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel mengaktifkan aktivitas tyrosin kinase dari reseptor. Fosforilasi reseptor menyebabkan aktivasi protein adaptor GRB, SOS dan Ras. Aktivasi Ras mengaktifkan kaskade sistem signal yang dimulai dengan aktivasi RAF, MEK dan ERK1/2. ERK1/2 mengaktifkan Myc. Sumber: Albert dkk, 2007

Ikatan antara EGF dengan reseptornya untuk memicu proliferasi sel telah dibahas pada BAb sebelumnya. Pada keadaan normal, EGF yang berikatan dengan reseptornya (EGFR) memfosforilasi dan mengaktifkan domain intarsel dari reseptor yang mempunyai aktivitas tyrosin kinase. Aktivasi tersebut memicu perekrutan protein adapator growth factor receptor binding protein 2 (Grb 2) dan sun of sevenless (SOS). Kedua protein adaptor tersebut

Page 279: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 271

faktor pertumbuhan, reseptor faktor pertumbuhan, protein membran sel yang berikatan dengan nukleotida guanin, serine-threonine protein kinase, tyrosine kinase sitoplasma, protein inti sel, dan protein sitoplasma yang mempengaruhi daya hidup sel.

5.4.1. Gen Faktor Pertumbuhan dan Reseptornya

Pertumbuhan dan proliferasi sel diatur melaui signal ekternal yang melibatkan faktor pertumbuhan dan reseptornya. Ikatan antara faktor pertumbuhan dan reseptornya memicu aktivasi sistem signal yang diperlukan sel untuk bertahan hidup, dan tumbuh atau berproliferasi. Pada keadaan normal, faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh berbagai sel dan jaringan hanya dapat berikatan dan memicu sistem signal pada sel tertentu dan bersifat parakrin. Pada kebanyakan sel kanker, faktor pertumbuhan dapat diproduksi sendiri dan digunakan sendiri (autokrin) untuk memicu pertumbuhan dan proliferasi sel. Karena sifat ini, sel tumor tidak memerlukan faktor eksternal untuk tumbuh dan berproliferasi. Contoh dari faktor pertumbuhan yang onkogenik adalah v-sis yang merupakan gen virus yang homolog dengan gen platelet-derived growth factor (PDGF). PDGF memicu proliferasi sel yang berasal dari jaringan ikat seperti fibroblas, otot polos, dan sel glial. Tumor yang disebabkan oleh stimulasi yang berlebihan oleh onkogen v-sis adalah fibrosarcoma dan glioma.

Reseptor juga dapat bertindak sebagai onkogen bila bermutasi yang melibatkan banyak reseptor seperti resptor tyrosin kinase yang mempunyai domain ekstrasel yang berikatan dengan faktor pertumbuhan, domain transmembran yang bersifat hidrofob dan domain intrasel yang mempunyai aktivitas tyrosin kinase. Pada keadaan normal, aktivasi reseptor sangat diperlukan untuk memicu sistem signal untuk pertumbuhan dan proliferasi sel. Mutasi onkogenik reseptor dapat memcu pertumbuhan dan proliferasi sel yang tidak terkendali. Mutasi onkogenik dapat terjadi pada ketiga domain yang memicunya untuk teraktivasi tanpa memerlukan ligand eksternal. Contoh dari mutasi tersebut ditemukan pada epidermal growth factor receptor (EGFR) yang dapat teraktivasi tanpa adanya ikatan ligand EGF. EGFR yang bersifat onkogenik ini disebut epidermal receptor binding B1 (erb-B1)

Gambar 5.11. Aktivasi reseptor pertumbuhan olah mitogen (faktor pertumbuhan). Mitogen berupa faktor pertumbuhan berikatan dengan reseptornya pada permukaan sel mengaktifkan aktivitas tyrosin kinase dari reseptor. Fosforilasi reseptor menyebabkan aktivasi protein adaptor GRB, SOS dan Ras. Aktivasi Ras mengaktifkan kaskade sistem signal yang dimulai dengan aktivasi RAF, MEK dan ERK1/2. ERK1/2 mengaktifkan Myc. Sumber: Albert dkk, 2007

Ikatan antara EGF dengan reseptornya untuk memicu proliferasi sel telah dibahas pada BAb sebelumnya. Pada keadaan normal, EGF yang berikatan dengan reseptornya (EGFR) memfosforilasi dan mengaktifkan domain intarsel dari reseptor yang mempunyai aktivitas tyrosin kinase. Aktivasi tersebut memicu perekrutan protein adapator growth factor receptor binding protein 2 (Grb 2) dan sun of sevenless (SOS). Kedua protein adaptor tersebut

Page 280: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler272

kemudian berinteraksi melalui domain src-homology (SH)-nya masing-masing, yaitu SH2 untuk Grb-2 dan SH3 untuk SOS. Kompleks SOS-Grb 2 kemudian menganktifkan onkogen yang menginduksi kaskade kinase yang memicu proliferasi sel. Pada kasus erb-B2, mutasi terjadi melalui substitusi domain transmembran dari reseptor (Crul dkk, 2001) yang banyak ditemukan pada kanker payudara. Selain itu, mutasi juga dapat ditemukan pada domain intrsel yang dapat memicu aktivasi reseptor tanpa ikatan ligand.

Gen Penyandi G-Protein

Beberapa onkogen merupakan protein yang ditemukan pada membran sel dan merupakan protein penerima signal dari aktivasi reseptor. Salah satu jenis protein penerima signal dari aktivasi reseptor adalah protein yang mampu berikatan dengan nukleotida guanin (G-protein). Prototipe dari G-protein adalah protein Ras yang berada dalam bentuk guanosin-diphosphate (Ras-GDP) pada sel yang tidak sedang membelah. Namun, pada sel yang sedang membelah, protein ini berada dalam bentuk Ras-guanosin triphosphate (RAs-GTP) yang aktif dan meneruskan signal proliferasi ke mediator berikutnya. Pada keadaan normal, aktivasi protein Ras biasanya dipicu oleh berbagai sistem signal, baik yang diaktivasi melalui mitogen maupun keadaan stres yang memicu sel untuk tumbuh dan berproliferasi. Mitogen seperti EGF dan stres seperti sinar ultraviolet, panas dan genotoksin dapat mengaktifkan protein ras melalui berbagai jalur sistem signal. Pada beberapa sel tumor, mutasi gen protein yang terlibat dalam aktivasi dan inaktivasi Ras dapat memicu aktivasinya tanpa adanya signal dari reseptor teraktivasi .

Pada keadaan normal, ketika semua sistem signal berjalan dengan baik, aktivasi Ras-GDP menjadi Ras-GTP dilakukan seperlunya akibat kerja guanine nucleotide exchange factor (GEF) dan GTPase activating protein (GAP). GEF mengaktivasi Ras dengan mengubah GDP menjadi GTP, sedangkan GAP menginaktivasi Ras dengan mengubah GTP kembali menjadi GDP. Dengan cara ini, aktivasi Ras hanya dilakukan seperlunya sehingga proliferasi sel tidak terjadi secara berlebihan. GAP yang menginaktivasi Ras dengan cara hidrolisis, dapat menekan proliferasi sel. Pada neurofibromatosis, nuclear factor-1 (NF-1) merupakan GAP yang bertindak sebagai gen supresor tumor yang dapat diwariskan dalam bentuk bermutasi dan

tidak berfungsi yang terbukti meningkatkan risiko sindroma kanker Von Recklinghausen neurofibromatosis atau neurofibromatosis tipe 1 (Jun dkk, 2013).

Gambar 5.12. Pengaturan protein Ras oleh GEF dan GAP. Protein Ras yang berikatan dengan GDP bersifat inaktif. Aktivasi dilakukan oleh enzim guanine nucleotide exchange factor (GEF) yang mengubah Ras-GDP menjadi Ras-GTP. Protein pengaktivasi GTPase (GTPase activating protein/GAP) memicu aktivitas GTPase yang mengubah Ras-GTP menjadi Ras-GDP. Aktivasi dan inaktivasi protein Ras dikontrol secara ketat sehingga proliferasi sel dilakukan seperlunya . Sumber. Jun dkk, 2013

5.4.3. Serine/Threonine Kinase

Protein Ras yang teraktivasi meneruskan signal pertumbuhan pada molekul signal berikutnya, yaitu enzim serine/threonin kinase. Salah satu enzim serin/treonin kinase yang penting adalah Ras activating factor (Raf). Enzim ini direkrut ke membran sel oleh Ras

Page 281: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 273

kemudian berinteraksi melalui domain src-homology (SH)-nya masing-masing, yaitu SH2 untuk Grb-2 dan SH3 untuk SOS. Kompleks SOS-Grb 2 kemudian menganktifkan onkogen yang menginduksi kaskade kinase yang memicu proliferasi sel. Pada kasus erb-B2, mutasi terjadi melalui substitusi domain transmembran dari reseptor (Crul dkk, 2001) yang banyak ditemukan pada kanker payudara. Selain itu, mutasi juga dapat ditemukan pada domain intrsel yang dapat memicu aktivasi reseptor tanpa ikatan ligand.

Gen Penyandi G-Protein

Beberapa onkogen merupakan protein yang ditemukan pada membran sel dan merupakan protein penerima signal dari aktivasi reseptor. Salah satu jenis protein penerima signal dari aktivasi reseptor adalah protein yang mampu berikatan dengan nukleotida guanin (G-protein). Prototipe dari G-protein adalah protein Ras yang berada dalam bentuk guanosin-diphosphate (Ras-GDP) pada sel yang tidak sedang membelah. Namun, pada sel yang sedang membelah, protein ini berada dalam bentuk Ras-guanosin triphosphate (RAs-GTP) yang aktif dan meneruskan signal proliferasi ke mediator berikutnya. Pada keadaan normal, aktivasi protein Ras biasanya dipicu oleh berbagai sistem signal, baik yang diaktivasi melalui mitogen maupun keadaan stres yang memicu sel untuk tumbuh dan berproliferasi. Mitogen seperti EGF dan stres seperti sinar ultraviolet, panas dan genotoksin dapat mengaktifkan protein ras melalui berbagai jalur sistem signal. Pada beberapa sel tumor, mutasi gen protein yang terlibat dalam aktivasi dan inaktivasi Ras dapat memicu aktivasinya tanpa adanya signal dari reseptor teraktivasi .

Pada keadaan normal, ketika semua sistem signal berjalan dengan baik, aktivasi Ras-GDP menjadi Ras-GTP dilakukan seperlunya akibat kerja guanine nucleotide exchange factor (GEF) dan GTPase activating protein (GAP). GEF mengaktivasi Ras dengan mengubah GDP menjadi GTP, sedangkan GAP menginaktivasi Ras dengan mengubah GTP kembali menjadi GDP. Dengan cara ini, aktivasi Ras hanya dilakukan seperlunya sehingga proliferasi sel tidak terjadi secara berlebihan. GAP yang menginaktivasi Ras dengan cara hidrolisis, dapat menekan proliferasi sel. Pada neurofibromatosis, nuclear factor-1 (NF-1) merupakan GAP yang bertindak sebagai gen supresor tumor yang dapat diwariskan dalam bentuk bermutasi dan

tidak berfungsi yang terbukti meningkatkan risiko sindroma kanker Von Recklinghausen neurofibromatosis atau neurofibromatosis tipe 1 (Jun dkk, 2013).

Gambar 5.12. Pengaturan protein Ras oleh GEF dan GAP. Protein Ras yang berikatan dengan GDP bersifat inaktif. Aktivasi dilakukan oleh enzim guanine nucleotide exchange factor (GEF) yang mengubah Ras-GDP menjadi Ras-GTP. Protein pengaktivasi GTPase (GTPase activating protein/GAP) memicu aktivitas GTPase yang mengubah Ras-GTP menjadi Ras-GDP. Aktivasi dan inaktivasi protein Ras dikontrol secara ketat sehingga proliferasi sel dilakukan seperlunya . Sumber. Jun dkk, 2013

5.4.3. Serine/Threonine Kinase

Protein Ras yang teraktivasi meneruskan signal pertumbuhan pada molekul signal berikutnya, yaitu enzim serine/threonin kinase. Salah satu enzim serin/treonin kinase yang penting adalah Ras activating factor (Raf). Enzim ini direkrut ke membran sel oleh Ras

Page 282: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler274

yang teraktivasi (Stokoe, dkk, 1994). Raf mengaktivasi enzim kinase secara beruntun (RAF-MEK-ERK/1/2) yang akhirnya mengaktifkan faktor transkripsi Elk-1. Selain itu, sistem signal RAF-MEK-ERK juga dapat secara langsung mengaktifkan protein kinase C yang selanjutnya mengaktifkan jalur sistem signal lainnya dengan memfosforilasi faktor transkripsi c-Jun.

Serin/threonin kinase lainnya adalah PDK dan Akt yang aktivasinya juga memerlukan ikatan ligand dengan reseptornya pada permukaan sel. Ikatan ligand faktor pertumbuhan dengan reseptornya memicu fosforilasi domain intrasel dari reseptor. Aktivasi reseptor menyebabkan aktivasi IRS dan PI3K untuk mengubah PIP2 menjadi phosphatidylinositol-3,4,5-triphosphate (PIP3) yang kemudian merekrut phosphatidylinositol-dependent kinase (PDK) dan AKT (serine/threonine kinase) ke membran sel, yang menghasilkan fosforilasi dan aktivasi Akt. Setelah fosforilasi, Akt yang aktif menginaktifkan faktor proapoptosis seperti Bad yang bersifat proapoptosis. AKT juga mengaktifkan mTOR dengan fosforilasi yang memicu aktivasi faktor transkripsi NF-κB yang selanjutnya memicu transkripsi berbagai target gen anti-apoptosis seperti Bcl-XL and Bcl-2. AKT juga memfosforilasi protein MDM2 (murine double minute) yang menghambat kerja p53. Sementara itu, jalur ini berkerja sama dengan jalur Ras/Raf yang mengaktifkan reseptor tyrosin kinase melalui fosforilasi untuk mengaktifkan GRB/SOS2 yang selanjutnya mengaktifkan Ras (Rous sarcoma protein). Ras kemudian mengaktifkan Raf-1(Receptor activating factor-1) kinase yang selanjutnya mengaktifkan MEK dan ERK yang mengatur daya hidup, proliferasi, migrasi dan invasi sel kanker (Kalimuthu dan Se-Kwon, 2013)

Gambar 5.13. Peran jalur sistem signal PI3K/AKT dalam karsinogenesis. Aktivasi jalur PI3K/Akt diawali dengan aktivasi reseptor tyrosin kinase oleh faktor pertumbuhan seperti IGF. Aktivasi reseptor memicu aktivasi enzim PI3K yang mengkatalisis fosforilasi PtdIns(4,5)P2 (phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate/PIP2) menjadi PtdIns(3,4,5)P3 (phosphatidylinositol 3,4,5-trisphosphate/PIP3). Perubahan PIP2 menjadi PIP3 memicu perekrutan enzim PDK1 dan AKT ke membran sel untuk diaktifkan. Aktivasi AKT memicu transduksi signal berikutnya yang menyebabkan pertumbuhan, proliferasi dan penyintasan sel. Gangguan sistem signal dapat memicu aktivasi enzim Akt yang berlebihan yang menghambat aktivitas berbagai protein supresor tumor seperti TSC1, FOXO, p21, p27, BAD dan GSK. Sebagai akibatnya kompleks mTORC1 teraktivasi secara berlebihan yang kemudian memicu pertumbuhan sel tumor. Sumber Faes dan Dormond, 2015

Selain melalui mengaktivasi protein Raf dan Raf yang aktif juga dapat mengaktivasi jalur lainnya yaitu phosphoinositol 3-kinase

Page 283: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 275

yang teraktivasi (Stokoe, dkk, 1994). Raf mengaktivasi enzim kinase secara beruntun (RAF-MEK-ERK/1/2) yang akhirnya mengaktifkan faktor transkripsi Elk-1. Selain itu, sistem signal RAF-MEK-ERK juga dapat secara langsung mengaktifkan protein kinase C yang selanjutnya mengaktifkan jalur sistem signal lainnya dengan memfosforilasi faktor transkripsi c-Jun.

Serin/threonin kinase lainnya adalah PDK dan Akt yang aktivasinya juga memerlukan ikatan ligand dengan reseptornya pada permukaan sel. Ikatan ligand faktor pertumbuhan dengan reseptornya memicu fosforilasi domain intrasel dari reseptor. Aktivasi reseptor menyebabkan aktivasi IRS dan PI3K untuk mengubah PIP2 menjadi phosphatidylinositol-3,4,5-triphosphate (PIP3) yang kemudian merekrut phosphatidylinositol-dependent kinase (PDK) dan AKT (serine/threonine kinase) ke membran sel, yang menghasilkan fosforilasi dan aktivasi Akt. Setelah fosforilasi, Akt yang aktif menginaktifkan faktor proapoptosis seperti Bad yang bersifat proapoptosis. AKT juga mengaktifkan mTOR dengan fosforilasi yang memicu aktivasi faktor transkripsi NF-κB yang selanjutnya memicu transkripsi berbagai target gen anti-apoptosis seperti Bcl-XL and Bcl-2. AKT juga memfosforilasi protein MDM2 (murine double minute) yang menghambat kerja p53. Sementara itu, jalur ini berkerja sama dengan jalur Ras/Raf yang mengaktifkan reseptor tyrosin kinase melalui fosforilasi untuk mengaktifkan GRB/SOS2 yang selanjutnya mengaktifkan Ras (Rous sarcoma protein). Ras kemudian mengaktifkan Raf-1(Receptor activating factor-1) kinase yang selanjutnya mengaktifkan MEK dan ERK yang mengatur daya hidup, proliferasi, migrasi dan invasi sel kanker (Kalimuthu dan Se-Kwon, 2013)

Gambar 5.13. Peran jalur sistem signal PI3K/AKT dalam karsinogenesis. Aktivasi jalur PI3K/Akt diawali dengan aktivasi reseptor tyrosin kinase oleh faktor pertumbuhan seperti IGF. Aktivasi reseptor memicu aktivasi enzim PI3K yang mengkatalisis fosforilasi PtdIns(4,5)P2 (phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate/PIP2) menjadi PtdIns(3,4,5)P3 (phosphatidylinositol 3,4,5-trisphosphate/PIP3). Perubahan PIP2 menjadi PIP3 memicu perekrutan enzim PDK1 dan AKT ke membran sel untuk diaktifkan. Aktivasi AKT memicu transduksi signal berikutnya yang menyebabkan pertumbuhan, proliferasi dan penyintasan sel. Gangguan sistem signal dapat memicu aktivasi enzim Akt yang berlebihan yang menghambat aktivitas berbagai protein supresor tumor seperti TSC1, FOXO, p21, p27, BAD dan GSK. Sebagai akibatnya kompleks mTORC1 teraktivasi secara berlebihan yang kemudian memicu pertumbuhan sel tumor. Sumber Faes dan Dormond, 2015

Selain melalui mengaktivasi protein Raf dan Raf yang aktif juga dapat mengaktivasi jalur lainnya yaitu phosphoinositol 3-kinase

Page 284: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler276

(PI-3K). Namun, berbeda dengan sistem signal Ras-Raf-MEK-ERK1/2 yang berperan untuk memicu proliferasi sel, sistem signal PI3K yang diaktivasi oleh protein Ras adalah yang berperan dalam mempertahan sel tetap hidup (Rodriguez-Viciana dkk, 1994). PI-3K memfosforilasi phosphorylates phosphatidalinositol (3,4,5)-triphosphate (PtdIns-3,4,5-P3), yang merupakan mesenger kedua untuk membantu meneruskan signal ke inti sel. PI-3K terdiri atas subunit katalitik, p110, dan subunit regulator, p85 dan setiap subunitnya memiliki lima isoform. PI-3K memfosforilasi protein kinase B (Akt/PKB) pada residu serin dan threonin yang pada gilirannya dapat memodulasi proses seluler seperti glikolisis, dan meningkatkan translasi. Akt/PKB juga memfosforilasi protein Bad yang bersifat proapotosis. Dalam keadaan tidak terfosfrilasi protein Bad berikatan protein BCl-2 antiapoptosis (BCl-2 dan BCl-XL) sehingga memicu apoptosis dengan melepaskan protein Bak/Bax oleh protein BCl-2 yang antiapoptosis. Fosforilasi Bad oleh enzim Akt memicu bad untuk berikatan dengan protein 14-3-3 dan melepaskankan protein Bcl-2 antiapoptosis. Bcl-2 antiapoptosis kemudian mengikat Bak/Bax sehingga mencegahnya untuk merintis apoptosis melalui jalur mitokondria. Aktivasi Akt yang berlebihan dapat terjadi karena mutasi pada enzim PI3K yang dapat memicu fosforliasi protein Bad secara terus menerus sehingga sel tidak rentan terhadap apoptosis dan memicu sel tetap hidup (Gambar 5.13). Aktivasi Akt yang berlebihan juga menghambat aktivitas berbagai protein supresor tumor seperti TSC1, FOXO, p21, p27 dan GSK yang juga memicu pertumbuhan sel tumor (Faes dan Dormond, 2015) PI-3K telah dikaitkan dengan beberapa kanker kolon disebakan oleh inaktivasi subunit katalitik p110 gamma yang menyebabkan pembentukan karsinoma kolorektal yang invasif. Jalur sistem signal PI3K bekerja secara terkoordinasi dengan sistem signal Raf/MAPK ((Kalimuthu and Se-Kwon, 2013)

5.4.4. Tyrosin kinase bukan Reseptor

Selain, yang berkaitan dengan reseptor, enzim tyrosin kinase yang bukan reseptor juga ditemukan. Salah satunya adalah keluarga protein SRC (sarcoma) yang mempunyai substrat berupa protein membran, sitoplasm dan inti sel. Enzim ini mengalami modifikasi molekul pasca-translasi sehingga bagian N-terminusnya memiliki gugus miristat yang memungkinkannya untuk berikatan dengan membran sel. Semua anggota keluarga protein ini mempunyai tingkat homologi yang tinggi satu sama lain dan tingkat homologi yang tertingi

ditemukan pada daerah yang disebut domain src homology (SH) 1, 2, dan 3. SH1 merupakan domain yang mempunyai aktivitas kinase. SH2 dan SH3 berlokasi dekat domain N-terminal yang berfungsi untuk berinteraksi dengan protein lainnya. Domain SH2 berikatan dengan tirosin terfosforilasi, sedangkan domain SH3 mempunyai afinitas dengan protein di daerah kaya prolin. Protein dengan domain lainnya juga banyak ditemukan dalam sel dan berfungsi dalam sistem signal sehingga juga mempunyai potensi onkogenik (Vidal dkk, 2001).

Protein tyrosin kinase bukan reseptor lainnya yang mempunyai potensi onkogenik adalah Bcr-Abl. Protein ini merupakan protein khimerik yang terbentuk dari translokasi kromosom 9 dan 22. Tanslokasi ini menyebabkan pengaturan kembali kromosom yang menghasilkan kromosom Philadelpia dan berperan dalam chronic myelogenous leukemia (CML) (Daley dan Ben-Neriah, 1991). Gen Abl yang berada pada kromosom 9 (regio q34) berpindah menjadi bagian dari gen BCR ("breakpoint cluster region") pada kromosom 22 (regio q11) (Gambar 5.15). Translokasi ini menyebabkan terbentuknya kromosom 9 yang lebih panjang 9 yang disebut kromosm 9 derivatif (der9) dan kromosom 22 yang lebih pendek yang disebut kromosom Philadelphia (Kurzrock dkk, 2003). Abl merupakan singkatan dari "Abelson" yang merupakan virus leukemia yang membawa protein yang serupa. Translokasi tersebut menyebabkan fusi gen yang bersifat onkogenik BCR-ABL yang menyandi protein fusi Bcr-abl dengan berat molekul 185 atau 210 kDa tergantung pada lokasinya. Terdapat beberapa varian yang berperan dalam leukemia, yaitu p190, p210, dan p230 (Advani dan Pendergast, 2002), p190 berperan dalam acute lymphoblastic leukemia, sedangkan p210 sering dikaitkan dengan chronic myeloid leukemia (CML), p230 berkaitan dengan chronic neutrophilic leukemia (CNL) (Pakakasama dkk, 2008)

Protein c-Abl yang ada pada kromosom 9 mempunyai aktivitas tyrosine kinase, sedangkan BCR menyandi protein yang dikenal dengan GTPase-activating protein (GAP). Fusi keduanya menghasilkan protein fusi dengan aktivitas tyrosine kinase yang tidak terkendali dan memicu proliferasi sel secara berlebihan (Diekmann dkk, 1991). Protein bcr-abl berinteraksi dengan domain SH2 dari Grb 2, berpindah ke sitoskeleton dan merintis sistem signal Ras yang bersifat tumorogenik. Protein fusi Bcr-abl mengurangi ketergantungan sel pada faktor pertumbuhan, mengubah sifat-sifat molekul adesi, dan

Page 285: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 277

(PI-3K). Namun, berbeda dengan sistem signal Ras-Raf-MEK-ERK1/2 yang berperan untuk memicu proliferasi sel, sistem signal PI3K yang diaktivasi oleh protein Ras adalah yang berperan dalam mempertahan sel tetap hidup (Rodriguez-Viciana dkk, 1994). PI-3K memfosforilasi phosphorylates phosphatidalinositol (3,4,5)-triphosphate (PtdIns-3,4,5-P3), yang merupakan mesenger kedua untuk membantu meneruskan signal ke inti sel. PI-3K terdiri atas subunit katalitik, p110, dan subunit regulator, p85 dan setiap subunitnya memiliki lima isoform. PI-3K memfosforilasi protein kinase B (Akt/PKB) pada residu serin dan threonin yang pada gilirannya dapat memodulasi proses seluler seperti glikolisis, dan meningkatkan translasi. Akt/PKB juga memfosforilasi protein Bad yang bersifat proapotosis. Dalam keadaan tidak terfosfrilasi protein Bad berikatan protein BCl-2 antiapoptosis (BCl-2 dan BCl-XL) sehingga memicu apoptosis dengan melepaskan protein Bak/Bax oleh protein BCl-2 yang antiapoptosis. Fosforilasi Bad oleh enzim Akt memicu bad untuk berikatan dengan protein 14-3-3 dan melepaskankan protein Bcl-2 antiapoptosis. Bcl-2 antiapoptosis kemudian mengikat Bak/Bax sehingga mencegahnya untuk merintis apoptosis melalui jalur mitokondria. Aktivasi Akt yang berlebihan dapat terjadi karena mutasi pada enzim PI3K yang dapat memicu fosforliasi protein Bad secara terus menerus sehingga sel tidak rentan terhadap apoptosis dan memicu sel tetap hidup (Gambar 5.13). Aktivasi Akt yang berlebihan juga menghambat aktivitas berbagai protein supresor tumor seperti TSC1, FOXO, p21, p27 dan GSK yang juga memicu pertumbuhan sel tumor (Faes dan Dormond, 2015) PI-3K telah dikaitkan dengan beberapa kanker kolon disebakan oleh inaktivasi subunit katalitik p110 gamma yang menyebabkan pembentukan karsinoma kolorektal yang invasif. Jalur sistem signal PI3K bekerja secara terkoordinasi dengan sistem signal Raf/MAPK ((Kalimuthu and Se-Kwon, 2013)

5.4.4. Tyrosin kinase bukan Reseptor

Selain, yang berkaitan dengan reseptor, enzim tyrosin kinase yang bukan reseptor juga ditemukan. Salah satunya adalah keluarga protein SRC (sarcoma) yang mempunyai substrat berupa protein membran, sitoplasm dan inti sel. Enzim ini mengalami modifikasi molekul pasca-translasi sehingga bagian N-terminusnya memiliki gugus miristat yang memungkinkannya untuk berikatan dengan membran sel. Semua anggota keluarga protein ini mempunyai tingkat homologi yang tinggi satu sama lain dan tingkat homologi yang tertingi

ditemukan pada daerah yang disebut domain src homology (SH) 1, 2, dan 3. SH1 merupakan domain yang mempunyai aktivitas kinase. SH2 dan SH3 berlokasi dekat domain N-terminal yang berfungsi untuk berinteraksi dengan protein lainnya. Domain SH2 berikatan dengan tirosin terfosforilasi, sedangkan domain SH3 mempunyai afinitas dengan protein di daerah kaya prolin. Protein dengan domain lainnya juga banyak ditemukan dalam sel dan berfungsi dalam sistem signal sehingga juga mempunyai potensi onkogenik (Vidal dkk, 2001).

Protein tyrosin kinase bukan reseptor lainnya yang mempunyai potensi onkogenik adalah Bcr-Abl. Protein ini merupakan protein khimerik yang terbentuk dari translokasi kromosom 9 dan 22. Tanslokasi ini menyebabkan pengaturan kembali kromosom yang menghasilkan kromosom Philadelpia dan berperan dalam chronic myelogenous leukemia (CML) (Daley dan Ben-Neriah, 1991). Gen Abl yang berada pada kromosom 9 (regio q34) berpindah menjadi bagian dari gen BCR ("breakpoint cluster region") pada kromosom 22 (regio q11) (Gambar 5.15). Translokasi ini menyebabkan terbentuknya kromosom 9 yang lebih panjang 9 yang disebut kromosm 9 derivatif (der9) dan kromosom 22 yang lebih pendek yang disebut kromosom Philadelphia (Kurzrock dkk, 2003). Abl merupakan singkatan dari "Abelson" yang merupakan virus leukemia yang membawa protein yang serupa. Translokasi tersebut menyebabkan fusi gen yang bersifat onkogenik BCR-ABL yang menyandi protein fusi Bcr-abl dengan berat molekul 185 atau 210 kDa tergantung pada lokasinya. Terdapat beberapa varian yang berperan dalam leukemia, yaitu p190, p210, dan p230 (Advani dan Pendergast, 2002), p190 berperan dalam acute lymphoblastic leukemia, sedangkan p210 sering dikaitkan dengan chronic myeloid leukemia (CML), p230 berkaitan dengan chronic neutrophilic leukemia (CNL) (Pakakasama dkk, 2008)

Protein c-Abl yang ada pada kromosom 9 mempunyai aktivitas tyrosine kinase, sedangkan BCR menyandi protein yang dikenal dengan GTPase-activating protein (GAP). Fusi keduanya menghasilkan protein fusi dengan aktivitas tyrosine kinase yang tidak terkendali dan memicu proliferasi sel secara berlebihan (Diekmann dkk, 1991). Protein bcr-abl berinteraksi dengan domain SH2 dari Grb 2, berpindah ke sitoskeleton dan merintis sistem signal Ras yang bersifat tumorogenik. Protein fusi Bcr-abl mengurangi ketergantungan sel pada faktor pertumbuhan, mengubah sifat-sifat molekul adesi, dan

Page 286: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler278

meningkatkan tingkat hidup sel CML. Protein fusi bcr-Abl berinteraksi dengan reseptor interleukin-3 subunit beta (Sattler dkk, 2001). Karena protein Abl mengaktifkan sejumlah protein pengatur siklus sel dan enzim, fusi Bcr-Abl memicu percepatan pembelahan sel, menghambat reparasi DNA yang sering menyebabkan instabilitas genetik sel sehingga merupakan penyebab utama proliferasi sel CML. Karena itu, protein ini menjadi target utama terapi CML (Mauro dkk, 2002).

Gambar 5.15. Kromosom Philadelphia dan perannya dalam leukemia. Kromosom Philadelphia merupakan hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang menghasilkan protein kimera Bcr–Abl. Posisi gen Bcr yang berdekatan dengan gen Abl mengaktifkan Abl tyrosine kinase dengan memicu dimerisasi atau tetramerisasi molekul fusi Bcr-Abl. Polimerisasi tersebut kemudian memicu autofosforilasi yang meningkatkan residu fosfotirosin pada Bcr–Abl. ATP berikatan dengan poket pengikatan ATP dari Abl yang kemudian difosforilasi.

Aktivasi secara terus menerus Abl tyrosine kinase memicu proliferasi sel. Sumber Tanaka dan Kimura. 2008.

5.4.5. Faktor Transkripsi.

Klas onkogen lainnya adalah gen yang menyandi protein inti sel dan berperan sebagai faktor transkripsi. Contohnya adalah AP-1 dan c-myc. Activator protein-1 (AP-1) terdiri atas keluarga Fos (c-fos, fos B, Fra 1, dan Fra 2) dan keluarga Jun (c-jun, jun B, and jun D). Kedua keluarga protein ini dapat membentuk heterodimer yang berperan sebagai faktor transkripsi. Di antara beberapa dimer yang mungkin terbentuk, heterodimer Fos-Jun merupakan faktor transkripsi yang paling aktif dan aktivitasnya sebagai faktor transkripsi jauh lebih tinggi dibanding homodimer Jun-Jun atau Fos-Fos. Dimer tersebut berikatan dengan DNA pada situs ikatan AP-1-DNA yang dikenal dengan tumor promoter TPA-responsive element (TRE) atau glucocorticoid response element (GRE). AP-1 dapat teraktivasi oleh radiasi sinar ultraviolet, radiasi pengionan, kerusakan DNA, sitokin dan stres oksidatif serta stres sel lainnya (Karin dkk, 1997). Pada sel normal, AP-1 mempunyai beberapa fungsi dalam sel seperti sebagai pemicu proliferasi, diferensiasi dan apoptosis (Ameyar dkk, 2003) dan pada sel kanker AP-1 memicu proliferasi dan metastasis. Gen yang diregulasi melalui AP-1 adalah gen penyandi protein prometastasis dan invasi sel kanker seperti MMP

Faktor transkripsi lainnya yang berperan dalam dalam karsinogenesis adalah c-myc yang pada beberapa sel kanker mengalami disregulasi dan amplifikasi. Pada kasus Burkitt’s lymphoma, c-myc mengalami overekspresi. Protein c-myc berikatan dengan DNA dan memicu transkripsi beberapa gen target yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi sel. Gen yang menjadi target c-myc adalah ornithine decarboxylase (ODC), siklin A, E, dan D1, cell division cycle/cdc (cdc2 dan cdc25), eukaryotic initiation factor 4E (eIF4E), heat shock protein 70 (hsp70), dan dihydrofolate reductase. Overekspresi c-myc dapat mempengaruhi transkripsi gen tersebut yang berakibat pada hiperproliferasi dan tumorigenesis. Amplikasi c-myc ditemukan pada leukemia dan kanker paru. Sebagai faktor transkripsi efektif, c-myc membentuk heterodimer dengan protein Max. Protein Max juga membentuk homodimer Max-Max dan heterodimer Mad-Max yang dapat mengurangi ketersediaan Max untuk membentuk

Page 287: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 279

meningkatkan tingkat hidup sel CML. Protein fusi bcr-Abl berinteraksi dengan reseptor interleukin-3 subunit beta (Sattler dkk, 2001). Karena protein Abl mengaktifkan sejumlah protein pengatur siklus sel dan enzim, fusi Bcr-Abl memicu percepatan pembelahan sel, menghambat reparasi DNA yang sering menyebabkan instabilitas genetik sel sehingga merupakan penyebab utama proliferasi sel CML. Karena itu, protein ini menjadi target utama terapi CML (Mauro dkk, 2002).

Gambar 5.15. Kromosom Philadelphia dan perannya dalam leukemia. Kromosom Philadelphia merupakan hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang menghasilkan protein kimera Bcr–Abl. Posisi gen Bcr yang berdekatan dengan gen Abl mengaktifkan Abl tyrosine kinase dengan memicu dimerisasi atau tetramerisasi molekul fusi Bcr-Abl. Polimerisasi tersebut kemudian memicu autofosforilasi yang meningkatkan residu fosfotirosin pada Bcr–Abl. ATP berikatan dengan poket pengikatan ATP dari Abl yang kemudian difosforilasi.

Aktivasi secara terus menerus Abl tyrosine kinase memicu proliferasi sel. Sumber Tanaka dan Kimura. 2008.

5.4.5. Faktor Transkripsi.

Klas onkogen lainnya adalah gen yang menyandi protein inti sel dan berperan sebagai faktor transkripsi. Contohnya adalah AP-1 dan c-myc. Activator protein-1 (AP-1) terdiri atas keluarga Fos (c-fos, fos B, Fra 1, dan Fra 2) dan keluarga Jun (c-jun, jun B, and jun D). Kedua keluarga protein ini dapat membentuk heterodimer yang berperan sebagai faktor transkripsi. Di antara beberapa dimer yang mungkin terbentuk, heterodimer Fos-Jun merupakan faktor transkripsi yang paling aktif dan aktivitasnya sebagai faktor transkripsi jauh lebih tinggi dibanding homodimer Jun-Jun atau Fos-Fos. Dimer tersebut berikatan dengan DNA pada situs ikatan AP-1-DNA yang dikenal dengan tumor promoter TPA-responsive element (TRE) atau glucocorticoid response element (GRE). AP-1 dapat teraktivasi oleh radiasi sinar ultraviolet, radiasi pengionan, kerusakan DNA, sitokin dan stres oksidatif serta stres sel lainnya (Karin dkk, 1997). Pada sel normal, AP-1 mempunyai beberapa fungsi dalam sel seperti sebagai pemicu proliferasi, diferensiasi dan apoptosis (Ameyar dkk, 2003) dan pada sel kanker AP-1 memicu proliferasi dan metastasis. Gen yang diregulasi melalui AP-1 adalah gen penyandi protein prometastasis dan invasi sel kanker seperti MMP

Faktor transkripsi lainnya yang berperan dalam dalam karsinogenesis adalah c-myc yang pada beberapa sel kanker mengalami disregulasi dan amplifikasi. Pada kasus Burkitt’s lymphoma, c-myc mengalami overekspresi. Protein c-myc berikatan dengan DNA dan memicu transkripsi beberapa gen target yang berperan dalam pertumbuhan dan proliferasi sel. Gen yang menjadi target c-myc adalah ornithine decarboxylase (ODC), siklin A, E, dan D1, cell division cycle/cdc (cdc2 dan cdc25), eukaryotic initiation factor 4E (eIF4E), heat shock protein 70 (hsp70), dan dihydrofolate reductase. Overekspresi c-myc dapat mempengaruhi transkripsi gen tersebut yang berakibat pada hiperproliferasi dan tumorigenesis. Amplikasi c-myc ditemukan pada leukemia dan kanker paru. Sebagai faktor transkripsi efektif, c-myc membentuk heterodimer dengan protein Max. Protein Max juga membentuk homodimer Max-Max dan heterodimer Mad-Max yang dapat mengurangi ketersediaan Max untuk membentuk

Page 288: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler280

heterodimer dengan c-myc. Oleh karena itu, dimer Max-Max dan Mad-Max dapat menghambat kerja faktor transkripsi c-myc sehingga dapat berindak sebagai antagonis c-myc (Grandori dkk, 2000; Tansey, 2014). Pembentukan homodimer Max-Max dan heterodimer Mad-Max juga menekan transkripsi c-myc yang berpotensi sebagai taget terapi berbagai kanker.

Peran c-myc sebagai pemicu karsinogenesis ditemukan pada berbagai jenis kanker seperti kanker kolon, Burkit’s lymphoma, kanker paru dan berbagai jenis kanker lainnya. Pada kanker kolon, protein dan mRNA c-myc meningkat pada stadium awal dan akhir dari kanker. Meskipun pada kanker kolon belum dipastikan adanya overekspresi c-myc, adanya penumpukkan β-actenin mutan sangat umum ditemukan yang diduga berkaitan dengan kelainan aktivasi jalur Wnt/betacatenin. Beta catenin yang bermutasi telah terbukti meningkatkan ekspresi c-myc pada sel ginjal embrio (He dkk, 1998). Beta catenin mutan bersifat insensitif terhadap APC sehingga tidak dapat didegradasi dalam kompleks destruksi.

5.5. Gen Supresor Tumor

Berbeda dengan onkogen yang memicu proliferasi sel, gen supresor tumor menghambat proliferasi sel, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gen supresor tumor yang secara langsung menghambat proliferasi sel dan memicu apoptosis disebut gen “penjaga gawang”. Namun, fungsinya dapat berjalan dengan baik jika gen tersebut berfungsi normal dan tidak bermutasi. Transfromasi sel normal menjadi sel tumor terjadi jika gen ini kehilangan fungsinya akibat mutasi. Gen supresor tumor yang bekerja secara tidak langsung dalam menekan proliferasi sel tetapi dengan menjaga stabilitas gen disebut gen pengemban (caretaker). Gen ini berfungsi dalam reparasi DNA dan hilangnya fungsi pengemban tersebut meningkatkan instabilitas gen dan mempercepat perkembangan tumor. Misalnya, gen MSH2 berfungsi dalam reparasi DNA mismatch dan mutasi bawaannya menyebabkan peningkataan risiko sindroma nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).

Tabel 5. Gen supresor tumor yang sering memicu kanker pada manusia

Gen Fungsi Protein Penyakit turunan Tumor spontan

APC Regulator negatif jalur sistem signal

Adenopolyposis coli (APC)

Kanker kolon

BRCA1 dan BRCA2

Komponen sistem reparasi DNA

Kanker payudara dan ovarium

Kanker payudara spontan

PTEN Regulator negatif dari jalur pertumbuhan PI3K

Cowden Disease 30-50% kanker spontan

Rb Peredam Faktor transkripsi E2F

Retinoblastoma, Osteosarkoma

Retinoblastoma, sarkoma, beberapa karsinoma

SMAD4 Transduser signal jalur TGFβ

Juvenile polyposis Kanker kolon dan pankreas

TP53 Faktor transkripsi pejaga genom

Li-Praumeni Syndrome

Gen yang paling banyak bermutasi pada kanker manusia

TSC1 dan TSC 2

Penghambat mTOR

Tuberous Sclerosis jarang

VHL Ubiquitin Ligase Von Hippl-Lindau disease

Kanker sel ginjal

Sumber Weinberg, 2007

5.5.1. Retinoblastoma

Protein Rb merupakan protein inti sel yang mutasinya memicu tumor mata pada anak-anak dan dapat bersifat bawaan atau dapatan. Tumor yang bersifat bawaan biasanya menyerang kedua mata dan terjadi pada sekitar 60% penderita. Semantara itu, tumor yang bersifat dapatan biasanya hanya menyerang satu mata dan ditemukan pada sekitar 40 % penderita. Pada sel yang tidak membelah, protein ini berada dalam kedaan tidak terfosforilasi atau terhipofosforilasi yang selalu membentuk kesatuan dengan faktor transkripsi E2F dan mencegah transkripsi gen target dari E2F. Fosforilasi pRB oleh enzim

Page 289: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 281

heterodimer dengan c-myc. Oleh karena itu, dimer Max-Max dan Mad-Max dapat menghambat kerja faktor transkripsi c-myc sehingga dapat berindak sebagai antagonis c-myc (Grandori dkk, 2000; Tansey, 2014). Pembentukan homodimer Max-Max dan heterodimer Mad-Max juga menekan transkripsi c-myc yang berpotensi sebagai taget terapi berbagai kanker.

Peran c-myc sebagai pemicu karsinogenesis ditemukan pada berbagai jenis kanker seperti kanker kolon, Burkit’s lymphoma, kanker paru dan berbagai jenis kanker lainnya. Pada kanker kolon, protein dan mRNA c-myc meningkat pada stadium awal dan akhir dari kanker. Meskipun pada kanker kolon belum dipastikan adanya overekspresi c-myc, adanya penumpukkan β-actenin mutan sangat umum ditemukan yang diduga berkaitan dengan kelainan aktivasi jalur Wnt/betacatenin. Beta catenin yang bermutasi telah terbukti meningkatkan ekspresi c-myc pada sel ginjal embrio (He dkk, 1998). Beta catenin mutan bersifat insensitif terhadap APC sehingga tidak dapat didegradasi dalam kompleks destruksi.

5.5. Gen Supresor Tumor

Berbeda dengan onkogen yang memicu proliferasi sel, gen supresor tumor menghambat proliferasi sel, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gen supresor tumor yang secara langsung menghambat proliferasi sel dan memicu apoptosis disebut gen “penjaga gawang”. Namun, fungsinya dapat berjalan dengan baik jika gen tersebut berfungsi normal dan tidak bermutasi. Transfromasi sel normal menjadi sel tumor terjadi jika gen ini kehilangan fungsinya akibat mutasi. Gen supresor tumor yang bekerja secara tidak langsung dalam menekan proliferasi sel tetapi dengan menjaga stabilitas gen disebut gen pengemban (caretaker). Gen ini berfungsi dalam reparasi DNA dan hilangnya fungsi pengemban tersebut meningkatkan instabilitas gen dan mempercepat perkembangan tumor. Misalnya, gen MSH2 berfungsi dalam reparasi DNA mismatch dan mutasi bawaannya menyebabkan peningkataan risiko sindroma nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).

Tabel 5. Gen supresor tumor yang sering memicu kanker pada manusia

Gen Fungsi Protein Penyakit turunan Tumor spontan

APC Regulator negatif jalur sistem signal

Adenopolyposis coli (APC)

Kanker kolon

BRCA1 dan BRCA2

Komponen sistem reparasi DNA

Kanker payudara dan ovarium

Kanker payudara spontan

PTEN Regulator negatif dari jalur pertumbuhan PI3K

Cowden Disease 30-50% kanker spontan

Rb Peredam Faktor transkripsi E2F

Retinoblastoma, Osteosarkoma

Retinoblastoma, sarkoma, beberapa karsinoma

SMAD4 Transduser signal jalur TGFβ

Juvenile polyposis Kanker kolon dan pankreas

TP53 Faktor transkripsi pejaga genom

Li-Praumeni Syndrome

Gen yang paling banyak bermutasi pada kanker manusia

TSC1 dan TSC 2

Penghambat mTOR

Tuberous Sclerosis jarang

VHL Ubiquitin Ligase Von Hippl-Lindau disease

Kanker sel ginjal

Sumber Weinberg, 2007

5.5.1. Retinoblastoma

Protein Rb merupakan protein inti sel yang mutasinya memicu tumor mata pada anak-anak dan dapat bersifat bawaan atau dapatan. Tumor yang bersifat bawaan biasanya menyerang kedua mata dan terjadi pada sekitar 60% penderita. Semantara itu, tumor yang bersifat dapatan biasanya hanya menyerang satu mata dan ditemukan pada sekitar 40 % penderita. Pada sel yang tidak membelah, protein ini berada dalam kedaan tidak terfosforilasi atau terhipofosforilasi yang selalu membentuk kesatuan dengan faktor transkripsi E2F dan mencegah transkripsi gen target dari E2F. Fosforilasi pRB oleh enzim

Page 290: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler282

siklin D-CDK4 menyebabkannya terlepas dari E2F sehingga E2F bebas dan dapat berfungsi sebagai faktor transkripsi. Proses ini biasanya terjadi selama fase M dan G1 dari siklus sel. Selama fase akhir dari G1, S, dan G2, pRB terfosforilasi secara penuh sehingga tidak dapat berikatan dengan E2F. Keadaan ini menyebabkan faktor transkripsi E2F terlepas mengaktifkan transkripsi gen yang diperlukan untuk sintesis DNA pada fase S. Hilangnya fungsi RB akibat mutasi menyebabkan peningkatan ekspresi E2Fyang memicu prolierasi sel yang tak terkendali dan memicu kanker (Zheng dan Lee, 2001).

5.5.2. Protein p53

Fungsi p53 yang terpenting adalah untuk menahan siklus sel, mereparasi DNA dan memicu apoptosis (telah dibahas dalam Bab sebelumnya). Karena fungsinya tersebut, p53 merupakan protein yang sangat penting dalam menjaga keutuhan genom sel. Protein ini teraktivasi sebagai respons atas stres sel yang diakibatkan oleh kerusakan DNA, deplesi ribonukleotida, modulasi reaksi redoks, hipoksia, perubahan adesi sel dan stres aktibat aktivasi onkogen. Pada keadaan stres sel, p53 teraktivasi untuk melakukan fungsinya sebagai faktor transkripsi berbagai gen target yang diperlukan untuk mengatasi berbagai gangguan pada siklus sel. Pertama, p53 memicu transkripsi gen penyandi protein yang diperlukan untuk menahan siklus sel. Kedua, jika siklus sel telah terhenti, p53 bertindak sebagai faktor traskripsi gen penyandi protein yang diperlukan dalam reparasi DNA. Jika reparasi DNA tidak berjalan dengan baik dan ekspresinya yang tinggi bertahan dalam waktu yang lama dalam sel, maka p53 dapat memicu transkripsi gen penyandi protein proapoptosis keluarga BH3-only. Kegagalan p53 untuk menjalankan fungsinya tersebut sering memicu instabilitas genetik dan memicu kanker. Lebih dari 50% penderita kanker melibatkan mutasi pada gen p53.

Hilangnya fungsi p53 dapat disebabkan oleh 3 mekanisme. Pertama adalah mutasi pada sel somatik bersifat dapatan maupun pada sel germline yang bersifat bawaan. Mutasi yang bersifat bawaan dari gen p53 meningkatkan resiko orang untuk menderita kanker, seperti sindroma Li-Fraumeni pada sarkoma tulang atau sarkoma jaringan lunak. Selain itu, inaktivasi p53 dapat disebabkan oleh virus simian 40 (SV40) yang menghasilkan protein yang mampu berikatan dengan p53. Protein SV40 berikatan dengan p53 yang menyebabkan p53 menjadi

inaktif. Sementara itu, protein virus papilloma, E6, mendegradasi p53 dalam proteosom 26S . Mekanisme lainnya adalah eliminasi aktivitas p53 dengan cara mengikatnya dalam sitoplasma dan mencegahnya masuk ke dalam inti sel.

Aktivasi p53 oleh berbagai keadaan stres sel dan agen perusak DNA lainnya merupakan proses yang rumit yang melibatkan sekelompok proses modifikasi pascatranlasi yang mengatur interaksi antar protein dan lokalisasinya dalam sel. Pada keadaan normal, p53 selalu dipertahan pada tingkat yang rendah melalui proses ubiquitinasi dan degradasi dalam proteosom. Hal ini menyebabkan waktu paruh p53 menjadi sangat pendek, yaitu 3–20 menit. Protein kunci yang mempertahankan p53 pada tingkat yang rendah dalam sel adalah Mdm2 (mouse doble minute 2). Protein ini berinteraksi dengan p53 pada domain N-terminus dan menyebabkannya menjadi sasaran degradasi dalam proteosom. Pada keadaan stres sel, fosforilasi p53 oleh enzim chekpoint kinase 2 (CHK2) menghambat interaksinya dengan Mdm2 sehingga p53 tidak lagi menjadi sasaran ubiquitinasi oleh MDM2. Pada keadaan tidak terfosforilasi, kadar p53 meningkat dan mengalami tetramerisasi. Tetramer p53 kemudian berpindah dari sitoplasma ke inti sel dan bertindak sebagai faktor transkripsi berbagai gen target. Jika kadar MDM2 yang tinggi dalam sel berlangsung dalam waktu yang lama, maka fungsi p53 menjadi terhambat sehingga MDM2 juga merupakan onkogen dengan tingkat onkogenisitas yang setara dengan protein E2 dari papilomavirus. Pada banyak sel kanker, ekspresi protein MDM2 meningkat seperti pada osteosarkoma.

Karena seringnya p53 bermutasi pada sel tumor, banyak perhatian diarahkan pada protein ini sebagai target pengobatan. Salah satunya adalah dengan membuat konstruk vektor virus yang dapat membawa p53 asli ke sel tumor. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan adenovirus yang defektif dengan protein E1B 55 kDa yang tidak dapat berproliferasi pada sel normal tetapi dapat bereplikasi pada sel tumor. Untuk dapat bereplikasi, adenovirus harus mampu menekan aktivitas p53 yang berfungsi untuk membatasi replikasi DNA yang tidak terkendali dan diperlukan untuk replikasi genom virus . Namun, adenovirus dengan gen E1B 55 K yang defektif dapat bereplikasi pada sel tumor karena sel tersebut tidak mempunyai aktivitas p53. Dengan demikian, virus akan membunuh sel tumor dan

Page 291: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 283

siklin D-CDK4 menyebabkannya terlepas dari E2F sehingga E2F bebas dan dapat berfungsi sebagai faktor transkripsi. Proses ini biasanya terjadi selama fase M dan G1 dari siklus sel. Selama fase akhir dari G1, S, dan G2, pRB terfosforilasi secara penuh sehingga tidak dapat berikatan dengan E2F. Keadaan ini menyebabkan faktor transkripsi E2F terlepas mengaktifkan transkripsi gen yang diperlukan untuk sintesis DNA pada fase S. Hilangnya fungsi RB akibat mutasi menyebabkan peningkatan ekspresi E2Fyang memicu prolierasi sel yang tak terkendali dan memicu kanker (Zheng dan Lee, 2001).

5.5.2. Protein p53

Fungsi p53 yang terpenting adalah untuk menahan siklus sel, mereparasi DNA dan memicu apoptosis (telah dibahas dalam Bab sebelumnya). Karena fungsinya tersebut, p53 merupakan protein yang sangat penting dalam menjaga keutuhan genom sel. Protein ini teraktivasi sebagai respons atas stres sel yang diakibatkan oleh kerusakan DNA, deplesi ribonukleotida, modulasi reaksi redoks, hipoksia, perubahan adesi sel dan stres aktibat aktivasi onkogen. Pada keadaan stres sel, p53 teraktivasi untuk melakukan fungsinya sebagai faktor transkripsi berbagai gen target yang diperlukan untuk mengatasi berbagai gangguan pada siklus sel. Pertama, p53 memicu transkripsi gen penyandi protein yang diperlukan untuk menahan siklus sel. Kedua, jika siklus sel telah terhenti, p53 bertindak sebagai faktor traskripsi gen penyandi protein yang diperlukan dalam reparasi DNA. Jika reparasi DNA tidak berjalan dengan baik dan ekspresinya yang tinggi bertahan dalam waktu yang lama dalam sel, maka p53 dapat memicu transkripsi gen penyandi protein proapoptosis keluarga BH3-only. Kegagalan p53 untuk menjalankan fungsinya tersebut sering memicu instabilitas genetik dan memicu kanker. Lebih dari 50% penderita kanker melibatkan mutasi pada gen p53.

Hilangnya fungsi p53 dapat disebabkan oleh 3 mekanisme. Pertama adalah mutasi pada sel somatik bersifat dapatan maupun pada sel germline yang bersifat bawaan. Mutasi yang bersifat bawaan dari gen p53 meningkatkan resiko orang untuk menderita kanker, seperti sindroma Li-Fraumeni pada sarkoma tulang atau sarkoma jaringan lunak. Selain itu, inaktivasi p53 dapat disebabkan oleh virus simian 40 (SV40) yang menghasilkan protein yang mampu berikatan dengan p53. Protein SV40 berikatan dengan p53 yang menyebabkan p53 menjadi

inaktif. Sementara itu, protein virus papilloma, E6, mendegradasi p53 dalam proteosom 26S . Mekanisme lainnya adalah eliminasi aktivitas p53 dengan cara mengikatnya dalam sitoplasma dan mencegahnya masuk ke dalam inti sel.

Aktivasi p53 oleh berbagai keadaan stres sel dan agen perusak DNA lainnya merupakan proses yang rumit yang melibatkan sekelompok proses modifikasi pascatranlasi yang mengatur interaksi antar protein dan lokalisasinya dalam sel. Pada keadaan normal, p53 selalu dipertahan pada tingkat yang rendah melalui proses ubiquitinasi dan degradasi dalam proteosom. Hal ini menyebabkan waktu paruh p53 menjadi sangat pendek, yaitu 3–20 menit. Protein kunci yang mempertahankan p53 pada tingkat yang rendah dalam sel adalah Mdm2 (mouse doble minute 2). Protein ini berinteraksi dengan p53 pada domain N-terminus dan menyebabkannya menjadi sasaran degradasi dalam proteosom. Pada keadaan stres sel, fosforilasi p53 oleh enzim chekpoint kinase 2 (CHK2) menghambat interaksinya dengan Mdm2 sehingga p53 tidak lagi menjadi sasaran ubiquitinasi oleh MDM2. Pada keadaan tidak terfosforilasi, kadar p53 meningkat dan mengalami tetramerisasi. Tetramer p53 kemudian berpindah dari sitoplasma ke inti sel dan bertindak sebagai faktor transkripsi berbagai gen target. Jika kadar MDM2 yang tinggi dalam sel berlangsung dalam waktu yang lama, maka fungsi p53 menjadi terhambat sehingga MDM2 juga merupakan onkogen dengan tingkat onkogenisitas yang setara dengan protein E2 dari papilomavirus. Pada banyak sel kanker, ekspresi protein MDM2 meningkat seperti pada osteosarkoma.

Karena seringnya p53 bermutasi pada sel tumor, banyak perhatian diarahkan pada protein ini sebagai target pengobatan. Salah satunya adalah dengan membuat konstruk vektor virus yang dapat membawa p53 asli ke sel tumor. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan adenovirus yang defektif dengan protein E1B 55 kDa yang tidak dapat berproliferasi pada sel normal tetapi dapat bereplikasi pada sel tumor. Untuk dapat bereplikasi, adenovirus harus mampu menekan aktivitas p53 yang berfungsi untuk membatasi replikasi DNA yang tidak terkendali dan diperlukan untuk replikasi genom virus . Namun, adenovirus dengan gen E1B 55 K yang defektif dapat bereplikasi pada sel tumor karena sel tersebut tidak mempunyai aktivitas p53. Dengan demikian, virus akan membunuh sel tumor dan

Page 292: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler284

membiarkan sel normal tidak terinfeksi dan tetap hidup (Bischoff, dkk, 1996).

5.5.3. Adenomatous Polyposis Coli.

Adenomatous polyposis coli (APC) merupakan salah satu gen supresor tumor yang bermutasi pada hampir 90% kanker kolon dan 30% kanker melanoma kulit. Hilangmya fungsi APC menyebabkan familial adenomatous polyposis (FAP). Pasien yang menderita FAP mengalami ribuan pertumbuhan polip pada kolon pada usia 20 atau 30 tahun. Saat berusia 40 tahun satu atau 2 polip dapat berkembang menjadi kanker ganas (karsinoma) dan karenanya banyak pasien yang menderita polip menjalani kolektomi untuk mencegah perkembangan karsinoma. Mutasi APC juga terjadi pada kebanyakan kanker kolon sporadis. Mutasi APC merupakan peristiwa dini dari karsinogensis kolon dan karenanya mutasi APC bertindak sebagai pemicu awal karsinogenesis kanker kolon. Hilangnya fungsi gen supresor tumor ini dapat menyebabkan aktivasi c-myc secara terus menerus melalui interaksi antar protein yang rumit melalui jalur sistem signal Wnt/betacatenin (Gambar 5.17).

Jalur sistem signal Wnt/β-catenin yang secara ringkas dapat dijabarkan sebagai berikut. APC berinteraksi dengan protein sel seperti β-catenin. Pada keadaan tidak teraktivasi, protein axin yang merupakan protein penopang utama pembentukkan kompleks destruksi, berikatan dengan glycogen synthase kinase 3β (GSK3β), β-catenin, Casein Kinase 1 (CK1) dan APC (Stamos dan Weis, 2013). Kompleks ini berfungsi untuk mendegradasi β-catenin yang dilakukan dengan cara fosforilasi oleh GSK3β dan ubiquitinasi oleh enzim CKI sehingga level β-catenin dalam sel selalu rendah dan tidak mempu membentuk kompleks dengan TCF (Clevers 2006). Pada keadaan teraktivasi, ikatan Wnt dengan reseptornya menyebabkan disosiasi axin dari kompleks destruksi yang menyebakan β-catenin tidak lagi menjadi sasaran proses destruksi sehingga level β-catenin dalam sel meningkat dan membentuk kompleks dengan faktor transkripsiTCF. Lokalisasi kompleks β-catenin/ TCF/LEF ke inti sel memicu transkripsi gen penyandi protein pemicu proliferasi sel seperti gen c-myc dan siklin D. Mutasi APC menghambat interakasinya dengan β-catenin sehingga β-catenin tidak terdegradasi tanpa aktivasi jalur Wnt (Clevers dkk, 2006) (Gambar 5.17)

Gambar 5.17. Model sistem signal Wnt/β-catenin pada sel normal dan sel kanker. Pada sel epitel kolon normal yang tidak membelah, molekul β-catenin berada dalam kompleks destruksi yang terdiri atas Axin, APC, GSK3β kinase dan casein kinase 1/2 (CK1/2). Pada saat signalWnt tidak ada, kompleks destruksi menjadi aktif dan mendegradasi β-catenin dengan cara fosforilasi pada residu serin dan threonine pada domain N-terminal. β- catenin terfosforilasi kemudian berikatan dengan protein β-TrCP dan mengalami ubiquitinasi oleh ubiquitin ligase sehingga menjadi sasaran degradasi oleh proteosom. Dengan cara ini, kadar β-catenin berada pada tingkat yang rendah sehingga tidak dapat bertidak sebagai aktivator faktor transkripsi Tcf/Lef. Keadaan ini menyebabkan sel tidak membelah. Pada sel normal yang berproliferasi, aktivasi jalur sistem signal Wnt diawali dengan ikatan Wnt dengan reseptornya pada permukaan sel. Aktivasi sistem signal jalur ini menghambat pembentukan kompleks destruksi sehingga kadar β-catenin meningkat, masuk inti sel dan mengaktifkan faktor traksripsi Tcf/Lef yang target gennya adalah gen c-myc dan siklin D1 yang memicu proliferasi sel. Pada sel kanker, mutasi APC atau β-catenin dapat memicu proliferasi sel yang berlebihan. Mutasi gen APC dapat menghambat pembentukan kompleks destruksi karena hilangnya fungsi protein APC sebagai salah satu komponen kompleks

Page 293: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 285

membiarkan sel normal tidak terinfeksi dan tetap hidup (Bischoff, dkk, 1996).

5.5.3. Adenomatous Polyposis Coli.

Adenomatous polyposis coli (APC) merupakan salah satu gen supresor tumor yang bermutasi pada hampir 90% kanker kolon dan 30% kanker melanoma kulit. Hilangmya fungsi APC menyebabkan familial adenomatous polyposis (FAP). Pasien yang menderita FAP mengalami ribuan pertumbuhan polip pada kolon pada usia 20 atau 30 tahun. Saat berusia 40 tahun satu atau 2 polip dapat berkembang menjadi kanker ganas (karsinoma) dan karenanya banyak pasien yang menderita polip menjalani kolektomi untuk mencegah perkembangan karsinoma. Mutasi APC juga terjadi pada kebanyakan kanker kolon sporadis. Mutasi APC merupakan peristiwa dini dari karsinogensis kolon dan karenanya mutasi APC bertindak sebagai pemicu awal karsinogenesis kanker kolon. Hilangnya fungsi gen supresor tumor ini dapat menyebabkan aktivasi c-myc secara terus menerus melalui interaksi antar protein yang rumit melalui jalur sistem signal Wnt/betacatenin (Gambar 5.17).

Jalur sistem signal Wnt/β-catenin yang secara ringkas dapat dijabarkan sebagai berikut. APC berinteraksi dengan protein sel seperti β-catenin. Pada keadaan tidak teraktivasi, protein axin yang merupakan protein penopang utama pembentukkan kompleks destruksi, berikatan dengan glycogen synthase kinase 3β (GSK3β), β-catenin, Casein Kinase 1 (CK1) dan APC (Stamos dan Weis, 2013). Kompleks ini berfungsi untuk mendegradasi β-catenin yang dilakukan dengan cara fosforilasi oleh GSK3β dan ubiquitinasi oleh enzim CKI sehingga level β-catenin dalam sel selalu rendah dan tidak mempu membentuk kompleks dengan TCF (Clevers 2006). Pada keadaan teraktivasi, ikatan Wnt dengan reseptornya menyebabkan disosiasi axin dari kompleks destruksi yang menyebakan β-catenin tidak lagi menjadi sasaran proses destruksi sehingga level β-catenin dalam sel meningkat dan membentuk kompleks dengan faktor transkripsiTCF. Lokalisasi kompleks β-catenin/ TCF/LEF ke inti sel memicu transkripsi gen penyandi protein pemicu proliferasi sel seperti gen c-myc dan siklin D. Mutasi APC menghambat interakasinya dengan β-catenin sehingga β-catenin tidak terdegradasi tanpa aktivasi jalur Wnt (Clevers dkk, 2006) (Gambar 5.17)

Gambar 5.17. Model sistem signal Wnt/β-catenin pada sel normal dan sel kanker. Pada sel epitel kolon normal yang tidak membelah, molekul β-catenin berada dalam kompleks destruksi yang terdiri atas Axin, APC, GSK3β kinase dan casein kinase 1/2 (CK1/2). Pada saat signalWnt tidak ada, kompleks destruksi menjadi aktif dan mendegradasi β-catenin dengan cara fosforilasi pada residu serin dan threonine pada domain N-terminal. β- catenin terfosforilasi kemudian berikatan dengan protein β-TrCP dan mengalami ubiquitinasi oleh ubiquitin ligase sehingga menjadi sasaran degradasi oleh proteosom. Dengan cara ini, kadar β-catenin berada pada tingkat yang rendah sehingga tidak dapat bertidak sebagai aktivator faktor transkripsi Tcf/Lef. Keadaan ini menyebabkan sel tidak membelah. Pada sel normal yang berproliferasi, aktivasi jalur sistem signal Wnt diawali dengan ikatan Wnt dengan reseptornya pada permukaan sel. Aktivasi sistem signal jalur ini menghambat pembentukan kompleks destruksi sehingga kadar β-catenin meningkat, masuk inti sel dan mengaktifkan faktor traksripsi Tcf/Lef yang target gennya adalah gen c-myc dan siklin D1 yang memicu proliferasi sel. Pada sel kanker, mutasi APC atau β-catenin dapat memicu proliferasi sel yang berlebihan. Mutasi gen APC dapat menghambat pembentukan kompleks destruksi karena hilangnya fungsi protein APC sebagai salah satu komponen kompleks

Page 294: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler286

destruksi. Mutasi β-catenin seringkali menyebabkannya tahan terhadap proses destruksi. Keadaan ini menyebabkan ekspresi β-catenin meningkat secara terus menerus, membentuk heterodimer faktor transkripsi Tcf-Lef dan berpindah ke nukleus untuk memicu proliferasi sel. Sumber Narayan dan Roy, 2003

5.5.4. PTEN

Gen supresor tumor phosphatase and tensin homologue mutated in chromosome ten (PTEN) atau mutated in multiple advanced cancers (MMAC) pertama kali diidentifikasi pada kebanyakan kanker otak bentuk agresif, yaitu gliblastoma. PTEN juga bermutasi pada sebagian karsinoma endometrium, karsinoma prostat dan melanoma. Fungsi utama PTEN adalah untuk menginduksi penghentian siklus sel dan memicu apoptosis (Simpson dan Parsons, 2001). PTEN merupakan enzim phosphatase dengan spesifisitas ganda, yaitu dapat mendefosforilasi protein pada residu serine/ threonin, dan pada residu tirosin. Enzim ini dapat menfosforilasi PtdIns-3,4,5-P3 (PIP3) sehingga menjadi PIP2 dan merupakan antagonis dari enzim PI-3K. Peran penting PTEN adalah untuk menginaktifkan Akt sehingga sel lebih peka terhadap apoptosis.

Enzim Akt dapat menekan apoptosis dengan cara memfosforilasi protein pro-apoptosis, Bad. Jika PTEN tidak dapat menginaktivasi Akt, maka Akt yang teraktivasi secara terus menerus memicu sel untuk tumbuh dan tahan terhadap apoptosis. Mutasi gen penyandi PTEN menyebabkan fungsinya terganggu dan ditemukan pada berbagai jenis kanker seperti gliostoma. Inaktivasi fungsi PTEN pada sel kanker disebabkan oleh peningkatan angiogenesis dan metastasis sel kanker. Peran PTEN dalam angiogenesis disebabkan oleh faktor pertumbuhan pembuluh darah yang dimediasi oleh jalur PI3K yang melibatkan VEGF, EGF dan Ras yang bertindak sebagai pengatur hypoxia-induced factor (HIF-1). Pada keadaan normal, kerja HIF-1 dihambat oleh aktivitas PTEN. Jika aktivitas PTEN terganggu akibat mutasi, maka aktivasi Akt dapat memicu angiogenesis pada jaringan kanker (Rodriguez dan Huynh-Do, 2012)

Gambar 5.18. PTEN dan Kanker. Enzim Phosphatase and Tensin homolog deleted from chromosome ten (PTEN)/phosphatidylinositol 3 kinase (PI3K) berperan dalam kanker melalui berbagai sisi. Gangguan/mutasi PTEN dapat menginaktifkan fungsinya sehingga tidak mampu mengubah PIP3 menjadi PIP2. Keadaan ini memicu aktivasi PDK1 dan AKT secara terus menerus yang dapat memicu siklus sel, menghambat apoptosis, dan meningkatkan pertumbuhan sel. Sumber Keniry M, Parsons R. 2008;

5.5.5. Transforming Growth Factor-β

TGFβ dan reseptornya terekspresi pada semua jaringan dan transduksi signalnya berperan amat penting pada berbagai penyakit. Hilangnya fungsi TGFβ menyebabkan kelainan seperti hiperproliferasi sel, inflamasi tumor, inflamasi jaringan, dan penyakit autoimun. Jika fungsinya berlebihan, maka TGF-β bersifat imunosupresi dan prometastasis tumor (Humbert dkk, 2010). TGFβ memainkan dua peran pada kanker manusia yang dapat bersifat sebagai supresor tumor maupun promotor metastasis. Efek supresi tumor dariTGFβ dilakukan melalui hambatan proliferasi sel, induksi apoptosis dan hambatan imortalitas yang dapat diamati pada sel normal maupun awal karsinoma. Sebaliknya, efek pemicu pertumbuhan TGF-β meliputi induksi sintesis matriks ekstra sel, adesi sel, migrasi sel, invasi,

Page 295: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 287

destruksi. Mutasi β-catenin seringkali menyebabkannya tahan terhadap proses destruksi. Keadaan ini menyebabkan ekspresi β-catenin meningkat secara terus menerus, membentuk heterodimer faktor transkripsi Tcf-Lef dan berpindah ke nukleus untuk memicu proliferasi sel. Sumber Narayan dan Roy, 2003

5.5.4. PTEN

Gen supresor tumor phosphatase and tensin homologue mutated in chromosome ten (PTEN) atau mutated in multiple advanced cancers (MMAC) pertama kali diidentifikasi pada kebanyakan kanker otak bentuk agresif, yaitu gliblastoma. PTEN juga bermutasi pada sebagian karsinoma endometrium, karsinoma prostat dan melanoma. Fungsi utama PTEN adalah untuk menginduksi penghentian siklus sel dan memicu apoptosis (Simpson dan Parsons, 2001). PTEN merupakan enzim phosphatase dengan spesifisitas ganda, yaitu dapat mendefosforilasi protein pada residu serine/ threonin, dan pada residu tirosin. Enzim ini dapat menfosforilasi PtdIns-3,4,5-P3 (PIP3) sehingga menjadi PIP2 dan merupakan antagonis dari enzim PI-3K. Peran penting PTEN adalah untuk menginaktifkan Akt sehingga sel lebih peka terhadap apoptosis.

Enzim Akt dapat menekan apoptosis dengan cara memfosforilasi protein pro-apoptosis, Bad. Jika PTEN tidak dapat menginaktivasi Akt, maka Akt yang teraktivasi secara terus menerus memicu sel untuk tumbuh dan tahan terhadap apoptosis. Mutasi gen penyandi PTEN menyebabkan fungsinya terganggu dan ditemukan pada berbagai jenis kanker seperti gliostoma. Inaktivasi fungsi PTEN pada sel kanker disebabkan oleh peningkatan angiogenesis dan metastasis sel kanker. Peran PTEN dalam angiogenesis disebabkan oleh faktor pertumbuhan pembuluh darah yang dimediasi oleh jalur PI3K yang melibatkan VEGF, EGF dan Ras yang bertindak sebagai pengatur hypoxia-induced factor (HIF-1). Pada keadaan normal, kerja HIF-1 dihambat oleh aktivitas PTEN. Jika aktivitas PTEN terganggu akibat mutasi, maka aktivasi Akt dapat memicu angiogenesis pada jaringan kanker (Rodriguez dan Huynh-Do, 2012)

Gambar 5.18. PTEN dan Kanker. Enzim Phosphatase and Tensin homolog deleted from chromosome ten (PTEN)/phosphatidylinositol 3 kinase (PI3K) berperan dalam kanker melalui berbagai sisi. Gangguan/mutasi PTEN dapat menginaktifkan fungsinya sehingga tidak mampu mengubah PIP3 menjadi PIP2. Keadaan ini memicu aktivasi PDK1 dan AKT secara terus menerus yang dapat memicu siklus sel, menghambat apoptosis, dan meningkatkan pertumbuhan sel. Sumber Keniry M, Parsons R. 2008;

5.5.5. Transforming Growth Factor-β

TGFβ dan reseptornya terekspresi pada semua jaringan dan transduksi signalnya berperan amat penting pada berbagai penyakit. Hilangnya fungsi TGFβ menyebabkan kelainan seperti hiperproliferasi sel, inflamasi tumor, inflamasi jaringan, dan penyakit autoimun. Jika fungsinya berlebihan, maka TGF-β bersifat imunosupresi dan prometastasis tumor (Humbert dkk, 2010). TGFβ memainkan dua peran pada kanker manusia yang dapat bersifat sebagai supresor tumor maupun promotor metastasis. Efek supresi tumor dariTGFβ dilakukan melalui hambatan proliferasi sel, induksi apoptosis dan hambatan imortalitas yang dapat diamati pada sel normal maupun awal karsinoma. Sebaliknya, efek pemicu pertumbuhan TGF-β meliputi induksi sintesis matriks ekstra sel, adesi sel, migrasi sel, invasi,

Page 296: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler288

kemoatraksi dan metastasis tumor khususnya pada tumor stadium lanjut yang agresif (Dumont dan Arteaga, 2009). Sekresi TGF-β pada sel tumor umumnya meningkat dan dilepaskan di sekitar tumor. Sekresi TGFβ yang meningkat tidak hanya berdampak pada perkembangan sel tumor, tetapi juga terhadap sel sekitarnya dengan menghambat adesi sel, menginduksi supresi imun dan angiogenesis dengan memicu degradasi matriks ekstrasel. Efek supresor tumor dari TGFβ yang paling banyak dikaji adalah efek supresornya pada epitel, endotel, mieloid dan sel limfoid. Ekspresi reseptor TGFβ type II (TβRII) pada kanker payudara mencegah pembentukkan tumor, sedangkan mutasi gen reseptor TβRII yang menginaktifkan fungsinya menghilangkan efek supresor tumor dan meningkatkan tumorogenisitas sel (B¨ottinger, 1997)

Sifat supresor tumor yang dimediasi oleh TGF beta dilakukan melalui 3 cara, yaitu dengan menghambat siklus sel, memicu apoptosis dan mencegah imortalitas. Dalam menghambat siklus sel, TGFβ menahan siklus sel pada fase G1 dengan meningkatkan ekspresi gen penghambat CDK, seperti p15, p21, dan p27. Efeknya bergantung pada ekspresi Smad dan memerlukan faktor transkripsi Sp1 dan FoxO. Protein p15 dapat langsung menghambat CDK4/6 dan mengganti p21 dan p27 dari kompleks CDK4/6 yang telah ada sebelumnya yang memungkinkannya untuk berikatan dan menghambat kompleks siklin A/E-CDK2. Penahanan siklus sel juga dapat dilakukan oleh TGFβ dengan menekan eksprsi c-Myc melalui Smad dan represor E2F4/5. Faktor transkripsi keluarga ID juga ditekan oleh TGFβ melalui SMAD, MAD2/4, dan ATF3, yang merupakan peran lanjutan TGFβ dalam penahanan siklus sel. Terakhir adalah dengan meningkatkan ekspresi supresor tumor pada kelenjar hipocampus yang menyebabkan siklus sel tertahan pada fase G1 serta menekan ekspresi cdc25A pada sel epitel mamalia yang juga menyebabkan siklus sel tertahan pada fase G1 (Lebrun , 2012)

Peran TG-β dalam apoptosis dilakukan melalui jalur E2F1-pRb-P/CAF yang memicu transkripsi berbagai gen target yang proapoptosis, baik pada sel normal maupun sel kanker. Pada sel hemopoitik TGFβ menginduksi apoptosis dengan menekan aktivitas lipid phosphatase SHIP yang menurunkan kadar PIP3 dan selanjutnya menghambat aktivitas Akt anti-apoptosis. Keadaan ini menimbulkan kematian sel B dan sel T. Pada jaringan hati TGFβ memicu apoptosis

melalui 2 protein proapoptosis DAXX dan DAPK dan pada sel pankreas melalui faktor transkripsi TIEG1 dan protein mitokondria ARTS. TGFβ juga memicu apoptosis melalui jalur SAPK dengan menginduksi ekspresi gen target yang proapotosis (Bmf, Bim dan Bax) dan dengan menekan ekspresi protein antiapoptosis (Bcl-Xl dan Bcl-2). Selanjutnya, TGFβ juga menginduksi pelepasan sitokrom C dari mitokondria dan aktivasi apoptosom pada hepatosit dan sel B. Pada kanker kolon, TGFβ juga menghambat ekspresi protein survivin (antiapoptosis) (Lebrun, 2012)

TGFβ juga mempunyai efek supresor tumor dengan menghambat imortalisasi pada sel kanker dan pada sel normal. Imortalisasi dilakukan dengan menekan ekspresi telomerase reverse transcripatese (TERT). Penekanan ekspresi TERT oleh TGF-β bergantung pada Smad dan melibatkan faktor transkripsi E2F, p38 dan JNK, serta memerlukan perekrutan histone deacetylass (HDAC) ke regio promoter dari gen penyandi enzim human-TERT (hTERT). Dengan cara ini , jalur TGF-β menghambat ekspresi telomerase yang selanjutnya mencegah imortalitas.

Peran TGF beta sebagai karsinogenesis terjadi melalui beberapa cara mutasi gen penyandi reseptor TGF-β, mutasi Smad dan mutasi komponen jalur TGF-β bukan Smad. Mutasi reseptor TGFβ type II (T βRII) ditemukan pada kanker kolorektal, lambung, kanker saluran empedu, paru, ovarium, esofagus, kepala dan leher serta glioma (Levy and Hill , 2001). Selain itu, mutasi reseptor T βRII tumor endometrium, pankreas, hati dan payudara. Mutasi yang menginaktivasi TβRII lebih sering ditemukan pada tumor dengan instabilitas mikrosatelite akibat mutasi dalam reparasi gen mismatch. Mutasi reseptor TβRI juga ditemukan pada kanker ovarium, payudara esofagus, dan pankreas

Seperti halnya reseptor TGFβ, gen penyandi protein Smad juga sering bermutasi atau mengalami delesi pada kanker manusia. Mutasi Smad disebabkan oleh hilangnya regio kromosom, delesi, mutasi pergeseran ORF (open reading frame), mutasi nonsense dan missense . Dari tiga domain yang menyusun protein Smad, mutasi paling sering ditemukan pada domain karboksiterminal MH2. Mutasi ini paling umum ditemukan pada Smad2 dan Smad4 yang menghalanginya untuk membentuk kompleks dengan pasangannya sehingga menghambat aktivitas transkripsi yang diperantarai oleh Smad (Maliekal dkk2003).

Page 297: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 289

kemoatraksi dan metastasis tumor khususnya pada tumor stadium lanjut yang agresif (Dumont dan Arteaga, 2009). Sekresi TGF-β pada sel tumor umumnya meningkat dan dilepaskan di sekitar tumor. Sekresi TGFβ yang meningkat tidak hanya berdampak pada perkembangan sel tumor, tetapi juga terhadap sel sekitarnya dengan menghambat adesi sel, menginduksi supresi imun dan angiogenesis dengan memicu degradasi matriks ekstrasel. Efek supresor tumor dari TGFβ yang paling banyak dikaji adalah efek supresornya pada epitel, endotel, mieloid dan sel limfoid. Ekspresi reseptor TGFβ type II (TβRII) pada kanker payudara mencegah pembentukkan tumor, sedangkan mutasi gen reseptor TβRII yang menginaktifkan fungsinya menghilangkan efek supresor tumor dan meningkatkan tumorogenisitas sel (B¨ottinger, 1997)

Sifat supresor tumor yang dimediasi oleh TGF beta dilakukan melalui 3 cara, yaitu dengan menghambat siklus sel, memicu apoptosis dan mencegah imortalitas. Dalam menghambat siklus sel, TGFβ menahan siklus sel pada fase G1 dengan meningkatkan ekspresi gen penghambat CDK, seperti p15, p21, dan p27. Efeknya bergantung pada ekspresi Smad dan memerlukan faktor transkripsi Sp1 dan FoxO. Protein p15 dapat langsung menghambat CDK4/6 dan mengganti p21 dan p27 dari kompleks CDK4/6 yang telah ada sebelumnya yang memungkinkannya untuk berikatan dan menghambat kompleks siklin A/E-CDK2. Penahanan siklus sel juga dapat dilakukan oleh TGFβ dengan menekan eksprsi c-Myc melalui Smad dan represor E2F4/5. Faktor transkripsi keluarga ID juga ditekan oleh TGFβ melalui SMAD, MAD2/4, dan ATF3, yang merupakan peran lanjutan TGFβ dalam penahanan siklus sel. Terakhir adalah dengan meningkatkan ekspresi supresor tumor pada kelenjar hipocampus yang menyebabkan siklus sel tertahan pada fase G1 serta menekan ekspresi cdc25A pada sel epitel mamalia yang juga menyebabkan siklus sel tertahan pada fase G1 (Lebrun , 2012)

Peran TG-β dalam apoptosis dilakukan melalui jalur E2F1-pRb-P/CAF yang memicu transkripsi berbagai gen target yang proapoptosis, baik pada sel normal maupun sel kanker. Pada sel hemopoitik TGFβ menginduksi apoptosis dengan menekan aktivitas lipid phosphatase SHIP yang menurunkan kadar PIP3 dan selanjutnya menghambat aktivitas Akt anti-apoptosis. Keadaan ini menimbulkan kematian sel B dan sel T. Pada jaringan hati TGFβ memicu apoptosis

melalui 2 protein proapoptosis DAXX dan DAPK dan pada sel pankreas melalui faktor transkripsi TIEG1 dan protein mitokondria ARTS. TGFβ juga memicu apoptosis melalui jalur SAPK dengan menginduksi ekspresi gen target yang proapotosis (Bmf, Bim dan Bax) dan dengan menekan ekspresi protein antiapoptosis (Bcl-Xl dan Bcl-2). Selanjutnya, TGFβ juga menginduksi pelepasan sitokrom C dari mitokondria dan aktivasi apoptosom pada hepatosit dan sel B. Pada kanker kolon, TGFβ juga menghambat ekspresi protein survivin (antiapoptosis) (Lebrun, 2012)

TGFβ juga mempunyai efek supresor tumor dengan menghambat imortalisasi pada sel kanker dan pada sel normal. Imortalisasi dilakukan dengan menekan ekspresi telomerase reverse transcripatese (TERT). Penekanan ekspresi TERT oleh TGF-β bergantung pada Smad dan melibatkan faktor transkripsi E2F, p38 dan JNK, serta memerlukan perekrutan histone deacetylass (HDAC) ke regio promoter dari gen penyandi enzim human-TERT (hTERT). Dengan cara ini , jalur TGF-β menghambat ekspresi telomerase yang selanjutnya mencegah imortalitas.

Peran TGF beta sebagai karsinogenesis terjadi melalui beberapa cara mutasi gen penyandi reseptor TGF-β, mutasi Smad dan mutasi komponen jalur TGF-β bukan Smad. Mutasi reseptor TGFβ type II (T βRII) ditemukan pada kanker kolorektal, lambung, kanker saluran empedu, paru, ovarium, esofagus, kepala dan leher serta glioma (Levy and Hill , 2001). Selain itu, mutasi reseptor T βRII tumor endometrium, pankreas, hati dan payudara. Mutasi yang menginaktivasi TβRII lebih sering ditemukan pada tumor dengan instabilitas mikrosatelite akibat mutasi dalam reparasi gen mismatch. Mutasi reseptor TβRI juga ditemukan pada kanker ovarium, payudara esofagus, dan pankreas

Seperti halnya reseptor TGFβ, gen penyandi protein Smad juga sering bermutasi atau mengalami delesi pada kanker manusia. Mutasi Smad disebabkan oleh hilangnya regio kromosom, delesi, mutasi pergeseran ORF (open reading frame), mutasi nonsense dan missense . Dari tiga domain yang menyusun protein Smad, mutasi paling sering ditemukan pada domain karboksiterminal MH2. Mutasi ini paling umum ditemukan pada Smad2 dan Smad4 yang menghalanginya untuk membentuk kompleks dengan pasangannya sehingga menghambat aktivitas transkripsi yang diperantarai oleh Smad (Maliekal dkk2003).

Page 298: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler290

Protein supresor tumor Smad 4 juga dikenal dengan dpc4 (deleted in pancreatic cancer), bermutasi pada hampir separo dari kanker pankreas (Hahn dkk, 1991). Mutasi gen Smad 4 juga ditemukan pada tumor lainnya (Tabel 5.2). Mutasi gen Smad2 juga banyak ditemukan pada kanker paru, hati, dan kolorektal,

Mutasi Smad 3 jarang terjadi tetapi kadang-kadang ditemukan pada kanker lambung dan leukemia tipe tertentu . Penghambatan ekspresi protein Smad juga dapat disebabkan oleh amplifikasi ekspresi supresor transkripsi Smad, khususnya SnoN and Ski yang sering ditemukan pada kanker manusia Overekspresi keluarga protein penghambat Smad juga ditemukan pada beberapa kanker kanker pankreas, endometrium, dan tiroid (Lebrun, 2012).

Selain mutasi atau perubahan pada protein Smad dan reseptor TGF-β, mutasi juga sering ditemukan pada komponen sistem signal TGFβ yang tidak melalui jalur Smad. Misalnya aktivasi onkogenik jalur Ras-Raf-MAPK dan c-Jun NH2-terminal kinase (JNK) pada karsinoma hati telah dilaporkan dapat menginduksi fosforilasi domain penghubung Smad3- MAPK, yang menghambat fosforilasi ujung karboksil dari Smad oleh domain TβRI kinase dan menghambat efek sitostatik dari TGFβ. Perubahan epigenetik seperti hipermetilasi gen Platelet- Derived Growth Factor β (PDGFβ) memicu proliferasi glioblastoma sebagai respons atas signal TGFβ.

Sel tumor mensintesis dan mensekresi TGFβ dalam jumlah yang cukup banyak yang mempengaruhi sel kanker dan sel stroma di sekitar sel kanker. Sebagai akibatnya, TGFβ memicu progresi tumor dan metastasis dengan cara langsung ke sel tumor maupun ke sel stroma di sekitarnya. Pada sel kanker, TGFβ memicu EMT dengan menurunkan sifat adesi sel dan dengan menghambat ekspresi protein sel epitel seperti E-cadherin, ZO-1, dan protein lainnya serta meningkatkan ekspresi protein sel mesenkim seperti N-cadherin, vimentin, fibronektin, tenascin-C. TGFβ juga memicu migrasi dan invasi sel melalui berbagai sistem signal seperti peningkatan ekspresi p21, regulasi mikroRNA, peningkatan sintesis dan sekresi MMP, aktivasi RhoGTPase, penurunan ekspresi TIMP3, dan regulasi plasminogen activator system (PAS)). TGFβ juga memicu tumor metastasis dengan menguatkan kemoatraktan sel kanker pada organ limfoid sepert sumsum tulang, limfoglandula, paru, hati dan otak, serta dengan

meningkatkan ekspresi sitokin seperti CXCR4, IL-11 dan PTHrP yang memicu diferensiasi osteoklas dan perkembangan lesi osteolisis. TGFβ juga berpengaruh terhadap stroma dan jaringan sekitarnya. TGFβ memicu angiogenesis dan merangsang vaskularisasi jaringan sekitar tumor dengan meningkatkan ekspresi VEGF dan CTGF pada sel epitel dan fibroblas. Selain itu, TGFβ juga menghambat ekspresi angiopoetin-1 pada sel fibroblas yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Dengan menginduksi kematian sel hemopoetik, TGFβ menginduksi imunosupresi lokal dan sistemik

Gambar 5.6. TGFβ dan matastasis kanker

Table 1: Mutasi dan delesi sistem signal TGFβ

Mutasi Efek pada kasus kenker

TGFβ Peningkatan ekspresi gen, kanker payudara (68%), paru (48%), pankreas (47%), esofagus (37%), lambung (23%), kolon, prostat.

TGFβRII Mutasi/delesi  kolon (28%), ovarium (25%), karsinoma kepala dan leher (21%), lambung (15%), payudara (12%), paru, endometrium, liver, uterus, saluran empedu, dan glioma.

TGFβI Mutasi/delesi: ovarium (30%), karsinoma kepala dan leher (17%, LH 53%), kantong kemih (LH 31%), prostat (25%), payudara (6%), saluran empedu.

SMAD2 Mutasi/delesi: kolon (8%), uterus (8%), hati dan paru

SMAD3 Mutasi/delesi: leukemia, lambung

SMAD 4 Mutasi/delesi: pankreas (50%, LH 90%, delesi 30%), kolon (LH 60%), lambung (LH 60%), paru (LH 56%), payudara (12%, LH 30%), karsinoma kepala dana leher (LH 40%), prostat (LH 30%), saluran empedu (16%), uterus (4%), kantong kemih, oesofagus, ginjal, liver, ovarium

Sumber Lebrun, 2012

Page 299: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 291

Protein supresor tumor Smad 4 juga dikenal dengan dpc4 (deleted in pancreatic cancer), bermutasi pada hampir separo dari kanker pankreas (Hahn dkk, 1991). Mutasi gen Smad 4 juga ditemukan pada tumor lainnya (Tabel 5.2). Mutasi gen Smad2 juga banyak ditemukan pada kanker paru, hati, dan kolorektal,

Mutasi Smad 3 jarang terjadi tetapi kadang-kadang ditemukan pada kanker lambung dan leukemia tipe tertentu . Penghambatan ekspresi protein Smad juga dapat disebabkan oleh amplifikasi ekspresi supresor transkripsi Smad, khususnya SnoN and Ski yang sering ditemukan pada kanker manusia Overekspresi keluarga protein penghambat Smad juga ditemukan pada beberapa kanker kanker pankreas, endometrium, dan tiroid (Lebrun, 2012).

Selain mutasi atau perubahan pada protein Smad dan reseptor TGF-β, mutasi juga sering ditemukan pada komponen sistem signal TGFβ yang tidak melalui jalur Smad. Misalnya aktivasi onkogenik jalur Ras-Raf-MAPK dan c-Jun NH2-terminal kinase (JNK) pada karsinoma hati telah dilaporkan dapat menginduksi fosforilasi domain penghubung Smad3- MAPK, yang menghambat fosforilasi ujung karboksil dari Smad oleh domain TβRI kinase dan menghambat efek sitostatik dari TGFβ. Perubahan epigenetik seperti hipermetilasi gen Platelet- Derived Growth Factor β (PDGFβ) memicu proliferasi glioblastoma sebagai respons atas signal TGFβ.

Sel tumor mensintesis dan mensekresi TGFβ dalam jumlah yang cukup banyak yang mempengaruhi sel kanker dan sel stroma di sekitar sel kanker. Sebagai akibatnya, TGFβ memicu progresi tumor dan metastasis dengan cara langsung ke sel tumor maupun ke sel stroma di sekitarnya. Pada sel kanker, TGFβ memicu EMT dengan menurunkan sifat adesi sel dan dengan menghambat ekspresi protein sel epitel seperti E-cadherin, ZO-1, dan protein lainnya serta meningkatkan ekspresi protein sel mesenkim seperti N-cadherin, vimentin, fibronektin, tenascin-C. TGFβ juga memicu migrasi dan invasi sel melalui berbagai sistem signal seperti peningkatan ekspresi p21, regulasi mikroRNA, peningkatan sintesis dan sekresi MMP, aktivasi RhoGTPase, penurunan ekspresi TIMP3, dan regulasi plasminogen activator system (PAS)). TGFβ juga memicu tumor metastasis dengan menguatkan kemoatraktan sel kanker pada organ limfoid sepert sumsum tulang, limfoglandula, paru, hati dan otak, serta dengan

meningkatkan ekspresi sitokin seperti CXCR4, IL-11 dan PTHrP yang memicu diferensiasi osteoklas dan perkembangan lesi osteolisis. TGFβ juga berpengaruh terhadap stroma dan jaringan sekitarnya. TGFβ memicu angiogenesis dan merangsang vaskularisasi jaringan sekitar tumor dengan meningkatkan ekspresi VEGF dan CTGF pada sel epitel dan fibroblas. Selain itu, TGFβ juga menghambat ekspresi angiopoetin-1 pada sel fibroblas yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Dengan menginduksi kematian sel hemopoetik, TGFβ menginduksi imunosupresi lokal dan sistemik

Gambar 5.6. TGFβ dan matastasis kanker

Table 1: Mutasi dan delesi sistem signal TGFβ

Mutasi Efek pada kasus kenker

TGFβ Peningkatan ekspresi gen, kanker payudara (68%), paru (48%), pankreas (47%), esofagus (37%), lambung (23%), kolon, prostat.

TGFβRII Mutasi/delesi  kolon (28%), ovarium (25%), karsinoma kepala dan leher (21%), lambung (15%), payudara (12%), paru, endometrium, liver, uterus, saluran empedu, dan glioma.

TGFβI Mutasi/delesi: ovarium (30%), karsinoma kepala dan leher (17%, LH 53%), kantong kemih (LH 31%), prostat (25%), payudara (6%), saluran empedu.

SMAD2 Mutasi/delesi: kolon (8%), uterus (8%), hati dan paru

SMAD3 Mutasi/delesi: leukemia, lambung

SMAD 4 Mutasi/delesi: pankreas (50%, LH 90%, delesi 30%), kolon (LH 60%), lambung (LH 60%), paru (LH 56%), payudara (12%, LH 30%), karsinoma kepala dana leher (LH 40%), prostat (LH 30%), saluran empedu (16%), uterus (4%), kantong kemih, oesofagus, ginjal, liver, ovarium

Sumber Lebrun, 2012

Page 300: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler292

5.6. Peran Virus dalam Onkogenesis

Virus onkogenik dapat berupa virus DNA maupun virus RNA. Replikasi virus ini pada inang dapat memicu sel untuk membelah secara tidak terkendali yang akhirnya menimbulkan tumor yang seringkali merupakan tumor ganas. Berbagai jenis tumor ganas muncul dalam tubuh inang sebagai akibat dari pembelahan sel yang tidak terkendali dan salah satu pemicunya adalah adanya replikasi virus pada sel inang. Tumor ganas yang sering dikaitkan dengan infeksi virus adalah leukemia, limfoma dan berbagai jenis tumor solid lainnya. Virus yang dapat memicu munculnya sel kanker umumnya adalah virus yang genomnya memiliki gen kanker yang disebut onkogen virus. Kelompok virus ini mampu memicu sel kanker karena ketika virus tersebut bereplikasi dalam sel inang, onkogen virus mampu mengekspresikan protein yang mengganggu siklus pembelahan sel. Dengan cara ini virus dapat mengubah prilaku sel sehingga sel tersebut bertransformasi menajdi sel ganas.

Sel inang juga mempunyai gen yang berperan untuk menyandi protein yang diperlukan oleh sel untuk membelah dan berdiferensiasi. Gen tersebut pada sel normal umumnya disebut protoonkogen. Protookogen diperlukan tubuh untuk mengganti sel yang rusak, baik karena proses menua maupun proses patologis. Pada keadaan normal, aktivasi protoonkogen dilakukan secara terkendali yang melibatkan berbagai komponen sel sehingga aktivasinya yang berlebihan dapat dicegah. Pada keadaan tertentu seperti adanya infeksi virus, mutasi protoonkogen dan gen pengendalinya, translokasi kromosom, dan faktor epigenetik, aktivasinya terjadi secara berlebihan dan tidak terkendali. Jika aktivasi protoonkogen terjadi secara berlebihan dan tidak terkendali, maka gen tersebut kemudain disebut dengan onkogen.

5.6.1. Onkogenesis pada Infeksi Virus

Transformasi sel normal menjadi sel tumor ganas disebut onkogenesis dapat terjadi karena faktor sitologi, genetik dan selular. Infeksi virus merupakan salah satu pemicu onkogenesis pada sel. Infeksi virus biasanya lebih banyak menimbulkan tumor hematopoietik (darah) dan sarkoma (sel mesenkim). Banyak kajian tentang protoonkogen pada sel normal bermula dari ditemukannya onkogen pada virus pemicu tumor. Hal ini terlihat pada onkogen virus yang dijumpai pada retrovirus yang mampu mengintergrasikan gennya

dengan gen sel yang terinfeksi. Onkogen retrovirus biasnya mampu memicu ekspresi proto-onkogen secara berlebihan sehingga sel terinfeksi berubah menjadi sel kanker. Gen c-myc yang merupakan protoonkogen pada sel normal telah dideteksi pada beberapa retrovirus unggas (MC29,, OK-10, dan MH2). Protoonkogen ini biasanya diaktifkan melalui insersi mutagenesis pada limfoma yang distimulasi oleh avian leukosis virus (ALV), Moloney murine leukemia virus (Mo-MLV), dan berbagai virus lainnya yang tidak memiliki onkogen virus (v-onc). Gen ini juga dapat diaktifkan melalui translokasi kromosom dan mutasi yang ditemukan pada tumor manusia yang disebut Burkitt’s lymphoma. Meskipun tumor ini tidak berkaitan dengan retrovirus (Rosenberg dkk,1997), temuan gen pemicunya berasal dari kajian pada gen retrovirus.

Onkogenesis biasanya terjadi dengan mengaktifkan onkogen. Aktivasi menyebabkan perubahan genetik yang mengubah proto-onkogen menjadi onkogen. Perubahan tersebut biasanya bersifat genetik yang terjadi melalui 3 cara yaitu, (a). Mutasi, (b), Amplifikasi dan (c). dislokasi kromosom. Ketiga perubahan tersebut kemudian memicu ekspresi proto-onkogen yang berlebihan atau menyebabkan perubahan pada struktur protoonkogen. Neoplasia biasanya terjadi meliputi lebih satu faktor tersebut. Tumor ganas yang bermetastasis biasanya memerlukan aktivasi protoonkogen dan inaktivasi tumor supresor gen.

Beberapa retrovirus yang tidak memiliki onkogen virus juga mampu menginduksi tumor. Misalnya, ALV dan mouse mammary tumor virus, tidak mepunyai onkogen tetapi mampu memicu pembentukan sel tumor. Virus ini memicu tumor dengan cara mengintegrasikan gennya tepat di sebelah proto-onkogen dan mengaktifkan ekspresi protoonkogen dengan mekanisme mutasi akibat adanya insersi DNA provirus. Penambahan gen retrovirus di sebelah gen protoonkogen memperkuat sekuen promoter dan enhancer pada lokus gen dan inilah yang mengubah ekspresi protoonkogen menjadi tidak terkendali. Ditemukan lebih dari 70 proto-onkogen yang diaktifkan oleh replikasi retrovirus yang tidak memiliki onkogen.

Virus masuk sel melalui protein permukaan sel yang bertindak sebagai reseptor dari virus tersebut. Reseptor pertumbuhan kadang-kadang dipakai oleh virus untuk masuk ke dalam sel target. Dengan cara

Page 301: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 293

5.6. Peran Virus dalam Onkogenesis

Virus onkogenik dapat berupa virus DNA maupun virus RNA. Replikasi virus ini pada inang dapat memicu sel untuk membelah secara tidak terkendali yang akhirnya menimbulkan tumor yang seringkali merupakan tumor ganas. Berbagai jenis tumor ganas muncul dalam tubuh inang sebagai akibat dari pembelahan sel yang tidak terkendali dan salah satu pemicunya adalah adanya replikasi virus pada sel inang. Tumor ganas yang sering dikaitkan dengan infeksi virus adalah leukemia, limfoma dan berbagai jenis tumor solid lainnya. Virus yang dapat memicu munculnya sel kanker umumnya adalah virus yang genomnya memiliki gen kanker yang disebut onkogen virus. Kelompok virus ini mampu memicu sel kanker karena ketika virus tersebut bereplikasi dalam sel inang, onkogen virus mampu mengekspresikan protein yang mengganggu siklus pembelahan sel. Dengan cara ini virus dapat mengubah prilaku sel sehingga sel tersebut bertransformasi menajdi sel ganas.

Sel inang juga mempunyai gen yang berperan untuk menyandi protein yang diperlukan oleh sel untuk membelah dan berdiferensiasi. Gen tersebut pada sel normal umumnya disebut protoonkogen. Protookogen diperlukan tubuh untuk mengganti sel yang rusak, baik karena proses menua maupun proses patologis. Pada keadaan normal, aktivasi protoonkogen dilakukan secara terkendali yang melibatkan berbagai komponen sel sehingga aktivasinya yang berlebihan dapat dicegah. Pada keadaan tertentu seperti adanya infeksi virus, mutasi protoonkogen dan gen pengendalinya, translokasi kromosom, dan faktor epigenetik, aktivasinya terjadi secara berlebihan dan tidak terkendali. Jika aktivasi protoonkogen terjadi secara berlebihan dan tidak terkendali, maka gen tersebut kemudain disebut dengan onkogen.

5.6.1. Onkogenesis pada Infeksi Virus

Transformasi sel normal menjadi sel tumor ganas disebut onkogenesis dapat terjadi karena faktor sitologi, genetik dan selular. Infeksi virus merupakan salah satu pemicu onkogenesis pada sel. Infeksi virus biasanya lebih banyak menimbulkan tumor hematopoietik (darah) dan sarkoma (sel mesenkim). Banyak kajian tentang protoonkogen pada sel normal bermula dari ditemukannya onkogen pada virus pemicu tumor. Hal ini terlihat pada onkogen virus yang dijumpai pada retrovirus yang mampu mengintergrasikan gennya

dengan gen sel yang terinfeksi. Onkogen retrovirus biasnya mampu memicu ekspresi proto-onkogen secara berlebihan sehingga sel terinfeksi berubah menjadi sel kanker. Gen c-myc yang merupakan protoonkogen pada sel normal telah dideteksi pada beberapa retrovirus unggas (MC29,, OK-10, dan MH2). Protoonkogen ini biasanya diaktifkan melalui insersi mutagenesis pada limfoma yang distimulasi oleh avian leukosis virus (ALV), Moloney murine leukemia virus (Mo-MLV), dan berbagai virus lainnya yang tidak memiliki onkogen virus (v-onc). Gen ini juga dapat diaktifkan melalui translokasi kromosom dan mutasi yang ditemukan pada tumor manusia yang disebut Burkitt’s lymphoma. Meskipun tumor ini tidak berkaitan dengan retrovirus (Rosenberg dkk,1997), temuan gen pemicunya berasal dari kajian pada gen retrovirus.

Onkogenesis biasanya terjadi dengan mengaktifkan onkogen. Aktivasi menyebabkan perubahan genetik yang mengubah proto-onkogen menjadi onkogen. Perubahan tersebut biasanya bersifat genetik yang terjadi melalui 3 cara yaitu, (a). Mutasi, (b), Amplifikasi dan (c). dislokasi kromosom. Ketiga perubahan tersebut kemudian memicu ekspresi proto-onkogen yang berlebihan atau menyebabkan perubahan pada struktur protoonkogen. Neoplasia biasanya terjadi meliputi lebih satu faktor tersebut. Tumor ganas yang bermetastasis biasanya memerlukan aktivasi protoonkogen dan inaktivasi tumor supresor gen.

Beberapa retrovirus yang tidak memiliki onkogen virus juga mampu menginduksi tumor. Misalnya, ALV dan mouse mammary tumor virus, tidak mepunyai onkogen tetapi mampu memicu pembentukan sel tumor. Virus ini memicu tumor dengan cara mengintegrasikan gennya tepat di sebelah proto-onkogen dan mengaktifkan ekspresi protoonkogen dengan mekanisme mutasi akibat adanya insersi DNA provirus. Penambahan gen retrovirus di sebelah gen protoonkogen memperkuat sekuen promoter dan enhancer pada lokus gen dan inilah yang mengubah ekspresi protoonkogen menjadi tidak terkendali. Ditemukan lebih dari 70 proto-onkogen yang diaktifkan oleh replikasi retrovirus yang tidak memiliki onkogen.

Virus masuk sel melalui protein permukaan sel yang bertindak sebagai reseptor dari virus tersebut. Reseptor pertumbuhan kadang-kadang dipakai oleh virus untuk masuk ke dalam sel target. Dengan cara

Page 302: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler294

ini, ikatan antara virus dan reseptornya dapat memicu munculnya signal pertumbuhan seperti yang biasanya dipicu oleh faktor pertumbuhan yang berikatan dengan reseptor yang sama. Ikatan antara virus dengan reseptor pertumbuhan ini dapat memicu replikasi virus sehingga mempengaruhi perkembangan tumor. Salah satu jenis tumor yang dipicu melalui jalur ini adalah erythroleukemia yang disebabkan oleh infeksi virus Friend galur polierithremik. Virus onkogenik Friend virus galur polierythroleukemia berikatan dengan reseptor pertumbuhan pada sel erythroid melalui protein amplopnya. Ikatan virus dengan reseptor pertumbuhan pada permukaan sel kemudian memicu aktivasi reseptor yang kemudian memicu proliferasi sel erythroid pada limpa sehingga limpa membesar (spleenomegaly) (Rosenberg dkk,1997).

5.6.2. Peran LTR gen retrovirus pada onkogenesis

Long terminal repeat (LTR) merupakan urutan nukleotida berulang yang ditemukan pada gen retrovirus. Temuan pada beberapa retrovirus menunjukkan bahwa sekuen LTR berperan dalam onkogenesis pada sel terinfeksi. Ini terbukti dari penelitian bahwa virus dengan LTR yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam menginduksi tumor. Peran LTR diduga berkaitan dengan perannya dalam memicu replikasi virus dalam sel. Retrovirus umumnya mempunyai regio U3 yang mengandung motif sekuen untuk berikatannya protein pada promoter dan enhancer yang mengatur ekspresi gen target dari faktor transkripsi. Unsur tersebut mempengaruhi siklus sel dan replikasi virus yang tinggi meningkatkan potensi kanker pada sel tersebut (Rosenberg dkk,1997).

Gambar 5.19. Peran LTR dalam onkogenesis retrovirus.. RNA retrovirus terdiri atas 3 regio yang pada kedua ujungnya mengandung nukleotida berulang yang disebut terminal repeat (R) yang tidak menyandi protein. Di antara kedua R terdapat gen penyandi protein virus (GAG, POL dan ENV) dan ditambah sekuen unik lainnya pada salah satu unungnya yang tidak menyandi protein. Dekat ujung 5’ dari genom virus ada region U5 dan di dekat ujung 3 ada U3 dan PBS tempatnya primer berikatan. Molekul tRNA berikatan di tempat PBS ketika enzim reverse transcriptase mulau mengkopi RNA virus menjadi DNA. PPT adalah polypurine tract DNA provirus, dengan strukturnya lebih kompleks. Ujung 3' (yang disebut U3) dari RNA virus dikopi tetapi ditaruh diujung yang berlawanan dari RNA. Demikian juga U5 ditaruh ditempat yang berlawanan dari RNA virus. Karena keduanya membentuk U3 dan U3 juga diulang pada regio U3-R-U5, regio ini sekarang dikenal dengan long terminal repeat (LTR). U3 mengandung informasi promoter yang diperlukan untuk memulai transkripsi pada awal region R, sedangkan regio U5 mengandung informasi untuk menghentikan transkripsi setelah R yang lain. Selain itu gen retrovirus juga mengandung informasi untuk meningkatkan tingkat transkripsi ketiga gen retrovirus sehingga LTR bertindak sebagai enhancer. Enhancer ini bisa di depan atau di belakang gen yang ditranskspsi. Sumber Rosenberg dkk, 1007

5.5.3.Virus yang Menginduksi Onkogenesis

Virus yang mampu memicu onkogenesis dapat dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan asam nukleatnya, yaitu virus DNA dan virus RNA. Virus DNA yang memicu tumor mempunyai 2 bentuk aktivitas. Pada sel yang permisif, replikasi virus menyebabkan lisis sel dan kematian sel. Sementara itu, pada sel yang tidak permisif, DNA virus kebanyakan mampu berintegrasi dengan inti sel pada kromosom yang berbeda-beda. DNA tersebut menyandi protein yang mengikat dan menginaktifkan protein sel tertentu seperti p53 dan pRB. Dengan cara ini virus memicu onkogenesis dengan menginaktifkan protein sel yang menghambat pertumbuhan sel.

Virus RNA seperti retrovirus merupakan virus yang paling banyak diteliti sebagai penyebab tumor pada hewan dan manusia. Sampai saat ini, lebih dari 30 onkogen telah diidentifikasi pada retrovirus (Butel,

Page 303: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 295

ini, ikatan antara virus dan reseptornya dapat memicu munculnya signal pertumbuhan seperti yang biasanya dipicu oleh faktor pertumbuhan yang berikatan dengan reseptor yang sama. Ikatan antara virus dengan reseptor pertumbuhan ini dapat memicu replikasi virus sehingga mempengaruhi perkembangan tumor. Salah satu jenis tumor yang dipicu melalui jalur ini adalah erythroleukemia yang disebabkan oleh infeksi virus Friend galur polierithremik. Virus onkogenik Friend virus galur polierythroleukemia berikatan dengan reseptor pertumbuhan pada sel erythroid melalui protein amplopnya. Ikatan virus dengan reseptor pertumbuhan pada permukaan sel kemudian memicu aktivasi reseptor yang kemudian memicu proliferasi sel erythroid pada limpa sehingga limpa membesar (spleenomegaly) (Rosenberg dkk,1997).

5.6.2. Peran LTR gen retrovirus pada onkogenesis

Long terminal repeat (LTR) merupakan urutan nukleotida berulang yang ditemukan pada gen retrovirus. Temuan pada beberapa retrovirus menunjukkan bahwa sekuen LTR berperan dalam onkogenesis pada sel terinfeksi. Ini terbukti dari penelitian bahwa virus dengan LTR yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam menginduksi tumor. Peran LTR diduga berkaitan dengan perannya dalam memicu replikasi virus dalam sel. Retrovirus umumnya mempunyai regio U3 yang mengandung motif sekuen untuk berikatannya protein pada promoter dan enhancer yang mengatur ekspresi gen target dari faktor transkripsi. Unsur tersebut mempengaruhi siklus sel dan replikasi virus yang tinggi meningkatkan potensi kanker pada sel tersebut (Rosenberg dkk,1997).

Gambar 5.19. Peran LTR dalam onkogenesis retrovirus.. RNA retrovirus terdiri atas 3 regio yang pada kedua ujungnya mengandung nukleotida berulang yang disebut terminal repeat (R) yang tidak menyandi protein. Di antara kedua R terdapat gen penyandi protein virus (GAG, POL dan ENV) dan ditambah sekuen unik lainnya pada salah satu unungnya yang tidak menyandi protein. Dekat ujung 5’ dari genom virus ada region U5 dan di dekat ujung 3 ada U3 dan PBS tempatnya primer berikatan. Molekul tRNA berikatan di tempat PBS ketika enzim reverse transcriptase mulau mengkopi RNA virus menjadi DNA. PPT adalah polypurine tract DNA provirus, dengan strukturnya lebih kompleks. Ujung 3' (yang disebut U3) dari RNA virus dikopi tetapi ditaruh diujung yang berlawanan dari RNA. Demikian juga U5 ditaruh ditempat yang berlawanan dari RNA virus. Karena keduanya membentuk U3 dan U3 juga diulang pada regio U3-R-U5, regio ini sekarang dikenal dengan long terminal repeat (LTR). U3 mengandung informasi promoter yang diperlukan untuk memulai transkripsi pada awal region R, sedangkan regio U5 mengandung informasi untuk menghentikan transkripsi setelah R yang lain. Selain itu gen retrovirus juga mengandung informasi untuk meningkatkan tingkat transkripsi ketiga gen retrovirus sehingga LTR bertindak sebagai enhancer. Enhancer ini bisa di depan atau di belakang gen yang ditranskspsi. Sumber Rosenberg dkk, 1007

5.5.3.Virus yang Menginduksi Onkogenesis

Virus yang mampu memicu onkogenesis dapat dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan asam nukleatnya, yaitu virus DNA dan virus RNA. Virus DNA yang memicu tumor mempunyai 2 bentuk aktivitas. Pada sel yang permisif, replikasi virus menyebabkan lisis sel dan kematian sel. Sementara itu, pada sel yang tidak permisif, DNA virus kebanyakan mampu berintegrasi dengan inti sel pada kromosom yang berbeda-beda. DNA tersebut menyandi protein yang mengikat dan menginaktifkan protein sel tertentu seperti p53 dan pRB. Dengan cara ini virus memicu onkogenesis dengan menginaktifkan protein sel yang menghambat pertumbuhan sel.

Virus RNA seperti retrovirus merupakan virus yang paling banyak diteliti sebagai penyebab tumor pada hewan dan manusia. Sampai saat ini, lebih dari 30 onkogen telah diidentifikasi pada retrovirus (Butel,

Page 304: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler296

2000). Gen retrovirus umumnya terdiri atas 3 gen dasar yaitu gag, pol, dan env yang digunakan virus untuk mensintesis protein struktural, enzim khas virus dan glikoprotein amplop. Selain ketiga gen dasar tersebut, retrovirus juga memiliki gen tambahan dan salah satu gen tambahan yang memicu onkogenesis adalah v-onc seperti SRC (sarcoma). Sebagai contoh gen ke-4 dari Rous Sarcoma virus (RSV) adalah v-src (viral sarcoma). RSV memperoleh gen asal sel ini setelah menginfeksi sel (Pierotti dkk, 2010). Perkembangan tumor pada virus RNA bervariasi di antara berbagai virus. Beberapa dari virus RNA menyandi protein onkogenik yang menyerupai protein sel yang berfungsi memicu pertumbuhan sel. Ekspresi protein tersebut secara berlebihan dapat memicu proliferasi sel secara berlebihan sehingga dapat memicu onkogenesis. Selain itu, gen virus tertentu seperti retrovirus dapat mengintegrasikan gennya dengan gen sel di daerah promoter dan di daerah sekuen enhancer yang berdekatan dengan gen pemicu pertumbuhan sel. Kelompok lain, dari retrovirus mampu menyandi protein tax yang mentransaktifkan ekspresi gen seluler.

Infeksi virus RNA pada sel yang permisif menyebabkan pelepasan virus progeni melalui permukaan sel melaui proses “budding”. Adanya mutasi genetik yang permanen mengubah sel terinfeksi menjadi sel kanker (Judson, 1994). Bila virus masih menyatu dengan kromosom, virus tetap berada dalam sel tanpa menimbulkan efek yang membahayakan. Sifat ini dimiliki oleh beberapa retrovirus endogen. Bila virus tersebut kemudian terpapar olah faktor mutagen atau karsinogen seperti (radiasi, dan senyawa mutagenik)

Retrovirus yang memilki sifat menular secara horizontal disebut retrovirus eksogen. Virus ini juga dapat muncul akibat mutasi atau rekombinasi akibat lingkungan yang berbeda. Retrovirus eksogen hanya memiliki sekuen gen dalam sel terinfeksi, sedangkan retrovirus endogen memiliki sekuen gen yang terlokalisir dalam kromosom semua sel (Weiss, 2006; Lower dkk 1996). Kebanyakan retrovirus eksogen bersifat onkogenik yang sebagian di antaranya dapat menyebabkan limfoma dan leukemia.

Berdasarkan lama waktu yang diperlukan untuk menimbulkan tumor, retrovirus dibedakan menjadi 2 klas, yaitu (a). retrovirus yang menimbulkan tumor secara akut dan (b) retrovirus yang menimbulkan tumor secara kronis. Virus pemicu tumor secara akut dapat

menimbulkan tumor dengan cepat dan dapat dilihat dalam waktu beberapa hari pada hewan coba. Sementara itu, retrovirus yang memicu tumor secara kronis dapat memicu tumor beberapa bulan setelah infeksi (Pierotti dkk, 2010). Beberapa virus onkogenik pada manusia tercatum dalam Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Virus pemicu tumor pada manusia

Kelompok Virus Tumor/kanker pada manusia

Virus DNA

Papilloma virus

Human papilloma virus (HPV) Tumor genitalis dan karsinoma epitel squamus

Herpesvirus

Human Herpesvirus 8(HHV8) Kaposi sarcoma, burkitt lymphoma, Hodkin disease, karsinoma nasofaring

Epstain-Barr virus (EBV)

Hepadna virus

Hepatitis B virus (HBV) Hepatocelluler carcinoma

Virus RNA

Retrovirus

Human T-cells leukemia virus Leukemia dewasa

Human Immmunodeficency virus Keganasan pada penderita AIDS

Flavivirus

HepatitisC virus (HCV) Hepatocelluler carsinoma

Page 305: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 297

2000). Gen retrovirus umumnya terdiri atas 3 gen dasar yaitu gag, pol, dan env yang digunakan virus untuk mensintesis protein struktural, enzim khas virus dan glikoprotein amplop. Selain ketiga gen dasar tersebut, retrovirus juga memiliki gen tambahan dan salah satu gen tambahan yang memicu onkogenesis adalah v-onc seperti SRC (sarcoma). Sebagai contoh gen ke-4 dari Rous Sarcoma virus (RSV) adalah v-src (viral sarcoma). RSV memperoleh gen asal sel ini setelah menginfeksi sel (Pierotti dkk, 2010). Perkembangan tumor pada virus RNA bervariasi di antara berbagai virus. Beberapa dari virus RNA menyandi protein onkogenik yang menyerupai protein sel yang berfungsi memicu pertumbuhan sel. Ekspresi protein tersebut secara berlebihan dapat memicu proliferasi sel secara berlebihan sehingga dapat memicu onkogenesis. Selain itu, gen virus tertentu seperti retrovirus dapat mengintegrasikan gennya dengan gen sel di daerah promoter dan di daerah sekuen enhancer yang berdekatan dengan gen pemicu pertumbuhan sel. Kelompok lain, dari retrovirus mampu menyandi protein tax yang mentransaktifkan ekspresi gen seluler.

Infeksi virus RNA pada sel yang permisif menyebabkan pelepasan virus progeni melalui permukaan sel melaui proses “budding”. Adanya mutasi genetik yang permanen mengubah sel terinfeksi menjadi sel kanker (Judson, 1994). Bila virus masih menyatu dengan kromosom, virus tetap berada dalam sel tanpa menimbulkan efek yang membahayakan. Sifat ini dimiliki oleh beberapa retrovirus endogen. Bila virus tersebut kemudian terpapar olah faktor mutagen atau karsinogen seperti (radiasi, dan senyawa mutagenik)

Retrovirus yang memilki sifat menular secara horizontal disebut retrovirus eksogen. Virus ini juga dapat muncul akibat mutasi atau rekombinasi akibat lingkungan yang berbeda. Retrovirus eksogen hanya memiliki sekuen gen dalam sel terinfeksi, sedangkan retrovirus endogen memiliki sekuen gen yang terlokalisir dalam kromosom semua sel (Weiss, 2006; Lower dkk 1996). Kebanyakan retrovirus eksogen bersifat onkogenik yang sebagian di antaranya dapat menyebabkan limfoma dan leukemia.

Berdasarkan lama waktu yang diperlukan untuk menimbulkan tumor, retrovirus dibedakan menjadi 2 klas, yaitu (a). retrovirus yang menimbulkan tumor secara akut dan (b) retrovirus yang menimbulkan tumor secara kronis. Virus pemicu tumor secara akut dapat

menimbulkan tumor dengan cepat dan dapat dilihat dalam waktu beberapa hari pada hewan coba. Sementara itu, retrovirus yang memicu tumor secara kronis dapat memicu tumor beberapa bulan setelah infeksi (Pierotti dkk, 2010). Beberapa virus onkogenik pada manusia tercatum dalam Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Virus pemicu tumor pada manusia

Kelompok Virus Tumor/kanker pada manusia

Virus DNA

Papilloma virus

Human papilloma virus (HPV) Tumor genitalis dan karsinoma epitel squamus

Herpesvirus

Human Herpesvirus 8(HHV8) Kaposi sarcoma, burkitt lymphoma, Hodkin disease, karsinoma nasofaring

Epstain-Barr virus (EBV)

Hepadna virus

Hepatitis B virus (HBV) Hepatocelluler carcinoma

Virus RNA

Retrovirus

Human T-cells leukemia virus Leukemia dewasa

Human Immmunodeficency virus Keganasan pada penderita AIDS

Flavivirus

HepatitisC virus (HCV) Hepatocelluler carsinoma

Page 306: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler298

Daftar Pustaka

Abel EL, Angel JM, Kiguchi K, DiGiovanni J. 2009. Multi-stage chemical carcinogenesis in mouse skin: Fundamentals and applications. Nat Protoc 4: 1350–1362.

Advani A S, Pendergast AM. 2002. "Bcr-Abl variants: Biological and clinical aspects". Leukemia research 26: 713–720.

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2002. Molecular biology of the cell, 4th ed. Garland Science/Taylor & Francis LLC; Garland Science/Taylor & Francis LLC

Alexander N, Tran N, Rekapally H. 2006. N-cadherin gene expression in prostate carcinoma is modulated by integrin-dependent nuclear translocation of Twist1. Cander Res 66:3365–9.

Ameyar M, Wisniewska M, Weitzman JB. 2003. "A role for AP-1 in apoptosis: the case for and against". Biochimie 85: 747–52.

Aoki K, M. Taketo MM. 2007. Adenomatous polyposis coli (APC): a multi-functional tumor suppressor gene. J Cell Sci 120: :3327-35

Asano M, Yukita A, Matsumoto T, Kondo S, Suzuki H. 1995. Inhibition of tumor growth and metastasis by an immunoneutralizing monoclonal antibodyto human vascular endothelial growth factor/vascular permeability factor 121. Cancer Res 55: 5296-5301

B¨ottinger J, Jakubczak L, Haines DC, Bagnall K, Wakefield LM 1997. “Transgenic mice overexpressing a dominant-negative mutant type II transforming growthfactor β receptor show enhanced tumorigenesis in themammary gland and lung in response to the carcinogen 7,12-dimethylbenz-[a]- anthracene,” Cancer Res. 57: 5564–5570.

Bassett SA, Barnett MPG. 2014.The Role of Dietary Histone Deacetylases (HDACs) Inhibitors in Health and Disease. Nutrients 6 : 4273-4301; doi:10.3390/nu6104273

Baylin SB, Esteller M, Rountree MR, Bachman KE, Schuebel K, . Herman JG. 2001. Aberrant patterns of DNA methylation, chromatin formation and gene expression in cancer. Hum Mol Genet 10 :687–692

Bearss DJ, Hurley LH, Von Hoff DD. 2000. Telomere maintenance mechanisms as a target for drug development. Oncogene 19: 6632–6641

Bertram JS, 2000. The molecular biology of cancer Mol Aspects Med 21:167–223.

Bindels S, Mestdagt M, Vandewalle C, Jacobs N, Volders L, Noe¨l A, Van Roy F, Berx G, Foidart JM, Gilles C 2006.: Regulation of vimentin by SIP1 in human epithelial breast tumor cells. Oncogene 25:4975–4985.

Bischoff JR, Kirn DH, Williams A, Heise C, Horn S, Muna M, Ng L, Nye JA, Sampson-Johannes A, Fattaey A, McCormick F. 1996. An adenovirus mutant that replicates selectively in p53-deficient human tumor cells. Science 274 :373–376 (1996).

Brinckerhoff C, Matrisian L. 2002. Matrix metalloproteinases: a tail of a frog that became a prince. Nat Rev Mol Cell Biol 3:207–14.

Butel JS. 2000. Viral carcinogenesis: revelation of molecularmechanisms and etiology of human disease. Carcinogenesis, 2000; 21: 405-426.

Caulin L, Nguyen T, Lang GA, Goepfert TM, Brinkley BR, 2007. An inducible mouse model for skin cancer reveals distinct roles for gain- and loss-of-function p53 mutations J Clin Invest 117: 1893-1901

Chaffer C, Weinberg R. 2011. A perspective on cancer cell metastasis. Science 331:1559–64.

Chédin F, 2011. The DNMT3 family of mammalian de novo DNA methyltransferases. Prog Mol Biol Transl Sci 101:255-85.

Page 307: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 299

Daftar Pustaka

Abel EL, Angel JM, Kiguchi K, DiGiovanni J. 2009. Multi-stage chemical carcinogenesis in mouse skin: Fundamentals and applications. Nat Protoc 4: 1350–1362.

Advani A S, Pendergast AM. 2002. "Bcr-Abl variants: Biological and clinical aspects". Leukemia research 26: 713–720.

Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2002. Molecular biology of the cell, 4th ed. Garland Science/Taylor & Francis LLC; Garland Science/Taylor & Francis LLC

Alexander N, Tran N, Rekapally H. 2006. N-cadherin gene expression in prostate carcinoma is modulated by integrin-dependent nuclear translocation of Twist1. Cander Res 66:3365–9.

Ameyar M, Wisniewska M, Weitzman JB. 2003. "A role for AP-1 in apoptosis: the case for and against". Biochimie 85: 747–52.

Aoki K, M. Taketo MM. 2007. Adenomatous polyposis coli (APC): a multi-functional tumor suppressor gene. J Cell Sci 120: :3327-35

Asano M, Yukita A, Matsumoto T, Kondo S, Suzuki H. 1995. Inhibition of tumor growth and metastasis by an immunoneutralizing monoclonal antibodyto human vascular endothelial growth factor/vascular permeability factor 121. Cancer Res 55: 5296-5301

B¨ottinger J, Jakubczak L, Haines DC, Bagnall K, Wakefield LM 1997. “Transgenic mice overexpressing a dominant-negative mutant type II transforming growthfactor β receptor show enhanced tumorigenesis in themammary gland and lung in response to the carcinogen 7,12-dimethylbenz-[a]- anthracene,” Cancer Res. 57: 5564–5570.

Bassett SA, Barnett MPG. 2014.The Role of Dietary Histone Deacetylases (HDACs) Inhibitors in Health and Disease. Nutrients 6 : 4273-4301; doi:10.3390/nu6104273

Baylin SB, Esteller M, Rountree MR, Bachman KE, Schuebel K, . Herman JG. 2001. Aberrant patterns of DNA methylation, chromatin formation and gene expression in cancer. Hum Mol Genet 10 :687–692

Bearss DJ, Hurley LH, Von Hoff DD. 2000. Telomere maintenance mechanisms as a target for drug development. Oncogene 19: 6632–6641

Bertram JS, 2000. The molecular biology of cancer Mol Aspects Med 21:167–223.

Bindels S, Mestdagt M, Vandewalle C, Jacobs N, Volders L, Noe¨l A, Van Roy F, Berx G, Foidart JM, Gilles C 2006.: Regulation of vimentin by SIP1 in human epithelial breast tumor cells. Oncogene 25:4975–4985.

Bischoff JR, Kirn DH, Williams A, Heise C, Horn S, Muna M, Ng L, Nye JA, Sampson-Johannes A, Fattaey A, McCormick F. 1996. An adenovirus mutant that replicates selectively in p53-deficient human tumor cells. Science 274 :373–376 (1996).

Brinckerhoff C, Matrisian L. 2002. Matrix metalloproteinases: a tail of a frog that became a prince. Nat Rev Mol Cell Biol 3:207–14.

Butel JS. 2000. Viral carcinogenesis: revelation of molecularmechanisms and etiology of human disease. Carcinogenesis, 2000; 21: 405-426.

Caulin L, Nguyen T, Lang GA, Goepfert TM, Brinkley BR, 2007. An inducible mouse model for skin cancer reveals distinct roles for gain- and loss-of-function p53 mutations J Clin Invest 117: 1893-1901

Chaffer C, Weinberg R. 2011. A perspective on cancer cell metastasis. Science 331:1559–64.

Chédin F, 2011. The DNMT3 family of mammalian de novo DNA methyltransferases. Prog Mol Biol Transl Sci 101:255-85.

Page 308: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler300

Chen RZ, Pettersson U, Beard C, Jackson- Grusby L, Jaenisch R, 1988. DNA hypomethylation leads to elevated mutation rates. Nature 395: 89–93.

ChowAY. 2010. Cell Cycle Control by Oncogenes and Tumor Suppressors: Driving the Transformation of Normal Cells into Cancerous Cells. Nature Education 3:7

Ciardiello F. 2000. Epidermal growth factor receptor tyrosine kinase inhibitors as anticancer agents. Drugs 60 : 25–32 .

Clevers H. 2014. 2006. Wnt/beta-catenin signaling in development and disease. Cell 127 :469-480

Crul M, deKlerk GJ, Beijnen JH, Schellens JH. 2001. Ras biochemistry and farnesyl transferase inhibitors: a literature survey.Anticancer Drugs 12: 163–184.

Daley GQ, Ben-Neriah Y. 1991. Implicating the bcr-abl gene in the pathogenesis of Philadelphia chromosome-positive human leukemia. Adv. Cancer Res 57: 151–184

Dave N, Guaita-Esteruelas S, Gutarra S, Frias A, Beltran M, Peiro S, de Herreros AG. 2011. Functional cooperation between Snail1 and twist in the regulation of ZEB1 expression during epithelial to mesenchymal transition. J Biol Chem 286 :12024–12032.

David J, Rajasekaran A. 2012. Dishonorable discharge: the oncogenic roles of cleaved E-cadherin fragments. Cancer Res 72:2917.

De Craene B, Berx G 2013. Regulatory networks defining EMT during cancer initiation and progression. Nat Rev Cancer 13:97–110.

Derksen PWB, Liu X, Saridin F, van der Gulden H, Zevenhoven J, Evers B, van Beijnum JR, Griffioen5 AW, Vink J, Krimpenfort P, Peterse3 JL, Cardiff RD, Berns A,Jonker J. 2006. . Somatic inactivation of E-cadherin and p53 in mice leads to metastatic lobular mammary carcinoma through induction of anoikis resistance and angiogenesis. Cancer Cell 10:437–49.

Diekmann D, Brill S, Garrett D, Totty N, Hsuan J, Monfries C, Hall C,Lim L, Hall A, 1991. Bcr encodes a GTPase-activating protein for p21rac. Nature 351: 400–402.

Dumont N, Arteaga CL. 2003. “Targeting the TGFβ signalingnetwork in human neoplasia,” Cancer Cell 3:531–536

el-Deiry WS, Harper JW, O’Connor PM, Velculescu VE, Canman CE, Jackman J, Pietenpol JA, Burrell M, Hill DE, Wang Y. 1994. WAF1/CIP1 is induced in p53-mediated G1 arrest and apoptosis. Cancer Res 54 : 1169–1174.

Faes S, Dormond O. 2015. PI3K and AKT: Unfaithful Partners in Cancer. Int J Mol Sci 16: 21138-21152

Fearon ER. 2011. Molecular genetics of colorectal cancer. Annu Rev Pathol 6:479-507

Ferrara N, Henzel WJ. 2012. Pituitary follicular cells secrete a novel heparin-binding growth factor specific for vascular endothelial cells. Biochem Biophys Res Commun 161: 851-858.

Friedberg EC, Walker GC, Siede W, 1995 DNA Repair and Mutagenesis, American Society for Microbiology Press, Washington, DC

Frisch SM, Francis H. 1994. Disruption of epithelial cell-matrix interactions induces apoptosis. J Cell Biol 124:619–626.

Grandori CS, Cowley M, James LP, Eisenman RN. 2000. “The Myc/Max/Mad network and the transcriptional control of cell behavior,” An Rev Cell Dev Biol 16 : 653–699.

Hahn SA, Schutte M, Hoque AT, Moskaluk CA, da Costa LT, Rozenblum E, Weinstein CL, Fischer A, Yeo CJ, Hruban RH, Kern SE’ 1996. “DPC4, a candidate tumor suppressor gene at humanchromosome 18q21.1,” Science. 271: 350–353.

Page 309: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 301

Chen RZ, Pettersson U, Beard C, Jackson- Grusby L, Jaenisch R, 1988. DNA hypomethylation leads to elevated mutation rates. Nature 395: 89–93.

ChowAY. 2010. Cell Cycle Control by Oncogenes and Tumor Suppressors: Driving the Transformation of Normal Cells into Cancerous Cells. Nature Education 3:7

Ciardiello F. 2000. Epidermal growth factor receptor tyrosine kinase inhibitors as anticancer agents. Drugs 60 : 25–32 .

Clevers H. 2014. 2006. Wnt/beta-catenin signaling in development and disease. Cell 127 :469-480

Crul M, deKlerk GJ, Beijnen JH, Schellens JH. 2001. Ras biochemistry and farnesyl transferase inhibitors: a literature survey.Anticancer Drugs 12: 163–184.

Daley GQ, Ben-Neriah Y. 1991. Implicating the bcr-abl gene in the pathogenesis of Philadelphia chromosome-positive human leukemia. Adv. Cancer Res 57: 151–184

Dave N, Guaita-Esteruelas S, Gutarra S, Frias A, Beltran M, Peiro S, de Herreros AG. 2011. Functional cooperation between Snail1 and twist in the regulation of ZEB1 expression during epithelial to mesenchymal transition. J Biol Chem 286 :12024–12032.

David J, Rajasekaran A. 2012. Dishonorable discharge: the oncogenic roles of cleaved E-cadherin fragments. Cancer Res 72:2917.

De Craene B, Berx G 2013. Regulatory networks defining EMT during cancer initiation and progression. Nat Rev Cancer 13:97–110.

Derksen PWB, Liu X, Saridin F, van der Gulden H, Zevenhoven J, Evers B, van Beijnum JR, Griffioen5 AW, Vink J, Krimpenfort P, Peterse3 JL, Cardiff RD, Berns A,Jonker J. 2006. . Somatic inactivation of E-cadherin and p53 in mice leads to metastatic lobular mammary carcinoma through induction of anoikis resistance and angiogenesis. Cancer Cell 10:437–49.

Diekmann D, Brill S, Garrett D, Totty N, Hsuan J, Monfries C, Hall C,Lim L, Hall A, 1991. Bcr encodes a GTPase-activating protein for p21rac. Nature 351: 400–402.

Dumont N, Arteaga CL. 2003. “Targeting the TGFβ signalingnetwork in human neoplasia,” Cancer Cell 3:531–536

el-Deiry WS, Harper JW, O’Connor PM, Velculescu VE, Canman CE, Jackman J, Pietenpol JA, Burrell M, Hill DE, Wang Y. 1994. WAF1/CIP1 is induced in p53-mediated G1 arrest and apoptosis. Cancer Res 54 : 1169–1174.

Faes S, Dormond O. 2015. PI3K and AKT: Unfaithful Partners in Cancer. Int J Mol Sci 16: 21138-21152

Fearon ER. 2011. Molecular genetics of colorectal cancer. Annu Rev Pathol 6:479-507

Ferrara N, Henzel WJ. 2012. Pituitary follicular cells secrete a novel heparin-binding growth factor specific for vascular endothelial cells. Biochem Biophys Res Commun 161: 851-858.

Friedberg EC, Walker GC, Siede W, 1995 DNA Repair and Mutagenesis, American Society for Microbiology Press, Washington, DC

Frisch SM, Francis H. 1994. Disruption of epithelial cell-matrix interactions induces apoptosis. J Cell Biol 124:619–626.

Grandori CS, Cowley M, James LP, Eisenman RN. 2000. “The Myc/Max/Mad network and the transcriptional control of cell behavior,” An Rev Cell Dev Biol 16 : 653–699.

Hahn SA, Schutte M, Hoque AT, Moskaluk CA, da Costa LT, Rozenblum E, Weinstein CL, Fischer A, Yeo CJ, Hruban RH, Kern SE’ 1996. “DPC4, a candidate tumor suppressor gene at humanchromosome 18q21.1,” Science. 271: 350–353.

Page 310: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler302

Harper JW, 1997. Cyclin dependent kinase inhibitors. Cancer Surv 29: 91–107

He TC, Sparks AB, Rago C Hermeking H, Zawel L, da Costa LT, Morin PJ, Vogelstein B,

Kinzler KW, 1988. Identification of c-MYC as a target of the APC pathway. Science 281: 1509–1512.

Heerboth S, Housman G, Leary M, Longacre M, Byler S. Lapinska K, Willbanks A, Sarkar S. 2015. EMT and tumor metastasis. Clin Trans Med 4:6 DOI 10.1186/s40169-015-0048-3

Herranz N, Pasini D, Díaz VM, Francí C, Gutierrez A, Dave N, Escrivà M, Hernandez-Muñoz I, Di Croce L, Helin K, García de Herreros A, Peiró S. 2008. Polycomb complex 2 is required for E-cadherin repression by the Snail1 transcription factor. Mol Cell Biol 28:4772–81.

Hiltunen MO, Alhonen L,.Koistinaho J, Myohanen S, Paakkonen M, Marin S, Kosma VM, Janne J. 1997. Hypermethylation of the APC (adenomatous polyposis coli) gene promoter region in human colorectal carcinoma. Int J Cancer 70 :644–648.

Houck JC, Sharma VK, Hayflick L, 1971. Functional failures of cultured human diploid fibroblasts after continued population doublings. Proc Soc Exp Bio Med 137 :331–333.

Jair KW, Bachman KE, Suzuki H, Ting AH, Rhee I, Yen RW, Baylin SB, Schuebel KE (2006). "De novo CpG Island Methylation in Human Cancer Cells". Cancer Research 69 : 682–692

Joyce JA, Pollard JW. 2009. Microenvironmental regulation of metastasis. Nat Rev Cancer 9:239-52. doi: 10.1038/nrc2618. Epub 2008 Mar 12.

Judson HF, Lewin B, Stent GS, Watson JD. 1994. Basic genetic mechanisms. In: Alberts, B., Bray, D., Lewis, J., Raff , M., Roberts, K., Watson, J.D., Eds. Molecular Biology of the Cell. 3rd edn., Garland Science, New York. pp273-287.

Jun JE, Rubio I, Roose JP. 2013. Regulation of Ras exchange factors and cellular localization of Ras activation by lipid messengers inT cells. Frontiers in Immunol 4 : 1 -21

Kalimuthu S, Se-Kwon K, 2013. Cell Survival and Apoptosis Signaling as Therapeutic Target for Cancer: Marine Bioactive Compounds Int J Mol Sci 14 :2334-2354

Kalluri R, Weinberg RA. 2009. The basics of epithelial-mesenchymal transition. J Clin Inves 119:1420-8

Kane MF, Loda M, Gaida GM, Lipman J, Mishra R, Goldman H, Jessup JM, Kolodner R. 1997., Methylation of the hMLH1 promoter correlates with lack of expression of hMLH1 in sporadic colon tumors and mismatch repair-defective human tumor cell lines. Cancer Res 57:808–811.

Karin M, Liu Z, Zandi E. 1997. AP-1 function and regulation. Curr Opin Cell Biol 9 :240-6.

Keith WN, Bilsland A, Evans TRJ, Glasspool RM. 2002. Regulation of telomere length in

normal and cancer cells by telomerase Expert Reviews in Molecular Medicine: http://www.expertreviews.org/

Keniry M, Parsons R. 2008. The role of PTEN signaling perturbations in cancer and in targeted therapy Oncogene 27 : 5477–5485

Kim KK, Kugler MC, Wolters PJ, Robillard L, Galvez MG, Brumwell AN, Sheppard D, Chapman HA 2006. Alveolar epithelial cell mesenchymal transition develops in vivo during pulmonary fibrosis and is regulated by the extracellular matrix. Proc Natl Acad Sci U S A 103:13180–13185.

Kukk E, Lymboussaki A, Taira S, Kaipainen A, Jeltsch M, Joukov V, Alitalo K. 1996. VEGF-C receptor binding and pattern of

Page 311: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 303

Harper JW, 1997. Cyclin dependent kinase inhibitors. Cancer Surv 29: 91–107

He TC, Sparks AB, Rago C Hermeking H, Zawel L, da Costa LT, Morin PJ, Vogelstein B,

Kinzler KW, 1988. Identification of c-MYC as a target of the APC pathway. Science 281: 1509–1512.

Heerboth S, Housman G, Leary M, Longacre M, Byler S. Lapinska K, Willbanks A, Sarkar S. 2015. EMT and tumor metastasis. Clin Trans Med 4:6 DOI 10.1186/s40169-015-0048-3

Herranz N, Pasini D, Díaz VM, Francí C, Gutierrez A, Dave N, Escrivà M, Hernandez-Muñoz I, Di Croce L, Helin K, García de Herreros A, Peiró S. 2008. Polycomb complex 2 is required for E-cadherin repression by the Snail1 transcription factor. Mol Cell Biol 28:4772–81.

Hiltunen MO, Alhonen L,.Koistinaho J, Myohanen S, Paakkonen M, Marin S, Kosma VM, Janne J. 1997. Hypermethylation of the APC (adenomatous polyposis coli) gene promoter region in human colorectal carcinoma. Int J Cancer 70 :644–648.

Houck JC, Sharma VK, Hayflick L, 1971. Functional failures of cultured human diploid fibroblasts after continued population doublings. Proc Soc Exp Bio Med 137 :331–333.

Jair KW, Bachman KE, Suzuki H, Ting AH, Rhee I, Yen RW, Baylin SB, Schuebel KE (2006). "De novo CpG Island Methylation in Human Cancer Cells". Cancer Research 69 : 682–692

Joyce JA, Pollard JW. 2009. Microenvironmental regulation of metastasis. Nat Rev Cancer 9:239-52. doi: 10.1038/nrc2618. Epub 2008 Mar 12.

Judson HF, Lewin B, Stent GS, Watson JD. 1994. Basic genetic mechanisms. In: Alberts, B., Bray, D., Lewis, J., Raff , M., Roberts, K., Watson, J.D., Eds. Molecular Biology of the Cell. 3rd edn., Garland Science, New York. pp273-287.

Jun JE, Rubio I, Roose JP. 2013. Regulation of Ras exchange factors and cellular localization of Ras activation by lipid messengers inT cells. Frontiers in Immunol 4 : 1 -21

Kalimuthu S, Se-Kwon K, 2013. Cell Survival and Apoptosis Signaling as Therapeutic Target for Cancer: Marine Bioactive Compounds Int J Mol Sci 14 :2334-2354

Kalluri R, Weinberg RA. 2009. The basics of epithelial-mesenchymal transition. J Clin Inves 119:1420-8

Kane MF, Loda M, Gaida GM, Lipman J, Mishra R, Goldman H, Jessup JM, Kolodner R. 1997., Methylation of the hMLH1 promoter correlates with lack of expression of hMLH1 in sporadic colon tumors and mismatch repair-defective human tumor cell lines. Cancer Res 57:808–811.

Karin M, Liu Z, Zandi E. 1997. AP-1 function and regulation. Curr Opin Cell Biol 9 :240-6.

Keith WN, Bilsland A, Evans TRJ, Glasspool RM. 2002. Regulation of telomere length in

normal and cancer cells by telomerase Expert Reviews in Molecular Medicine: http://www.expertreviews.org/

Keniry M, Parsons R. 2008. The role of PTEN signaling perturbations in cancer and in targeted therapy Oncogene 27 : 5477–5485

Kim KK, Kugler MC, Wolters PJ, Robillard L, Galvez MG, Brumwell AN, Sheppard D, Chapman HA 2006. Alveolar epithelial cell mesenchymal transition develops in vivo during pulmonary fibrosis and is regulated by the extracellular matrix. Proc Natl Acad Sci U S A 103:13180–13185.

Kukk E, Lymboussaki A, Taira S, Kaipainen A, Jeltsch M, Joukov V, Alitalo K. 1996. VEGF-C receptor binding and pattern of

Page 312: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler304

expression with VEGFR-3 suggests a role in lymphatic vascular development. Development 122 : 3829–37.

Kurzrock R, Kantarjian HM, Druker B, Talpaz M. 2003. "Philadelphia chromosome-positive leukemias: From basic mechanisms to molecular therapeutics". Anns internal med 138 : 819–830.

Lebrun JJ, 2012. The Dual Role of TGFβ in Human Cancer: From TumorSuppression to Cancer Metastasis, ISRN Mol Biol Article ID 381428, 28 pages http://dx.doi.org/10.5402/2012/381428

Lee JM, Dedhar S, Kalluri R, Thompson EW 2006. The epithelial-mesenchymal transition: new insights in signaling, development, and disease. J Cell Biol 2006, 172:973–981.

Levy L, Hill CS. 2006. “Alterations in components of theTGF-β superfamily signaling pathways in human cancer,”Cytokine and Growth Factor Rev 17: 41–58

Liu L, Lassam NJ, Slingerland M, Bailey D, Cole D, Jenkins R, Hogg D. 1995. Germline p16INK4A mutation and protein dysfunction in a family with inheritedmelanoma. Oncogene 11 : 405–412.

Lowe SW, Ruley HE, Jacks T, Housman DE. 1993. p53-dependent apoptosis modulates the cytotoxicity of anticancer agents. Cell 74:957-67.

Lower R, Lower J, Kurth R. 1996. Th viruses in all of us: characteristics and biological signifi cance of human endogenous retrovirus sequences. PNAS 93: 5177-5184.

Maes C, Carmeliet G, Schipani E. 2012. Hypoxia-driven pathways in bone development, regeneration and disease. Nature Rev Rheumatol 8: 358-366 doi:10.1038/nrrheum.2012.36

Maliekal TT, Antony ML, Nair A, Paulmurugan R, Karunagaran D. 2003. “Loss of expression, and mutations of Smad 2 and Smad 4 in human cervical cancer,” Oncogene 22:4889–4897.

Mauro MJ, O’Dwyer M, Heinrich MC, Druker BJ. 2002. Transplantation for chronic myelogenous leukemia:yes, no, maybe soyan Oregon perspectiveJ. Clin Oncol 20 : 325–334.

MinamotoTM, Mai M, Ronai Z. 1999. Environmental factors as regulators and effectors of multistep carcinogenesis . Carcinogenesis 20: 519–527.

Nagase H 1997. Activation mechanisms of matrix metalloproteinases. Bio. Chem 378:151–160 .

Narayan S, Roy D, 2003. Role of APC and DNA mismatch repair genes in the development of colorectal cancers . Mol Cancer 32:41 DOI: 10.1186/1476-4598-2-41

Onder T, Gupta P, Mani S, Yang J, Lander E, Weinberg R 2008.. Loss of E-cadherin promotes metastasis via multiple downstream transcriptional pathways. Cancer Res.68:3645.

Pakakasama S, Kajanachumpol S, Kanjanapongkul S. Sirachainan, N, Meekaewkunchorn A, Ningsanond V, Hongeng,S. 2008. "Simple multiplex RT-PCR for identifying common fusion transcripts in childhood acute leukemia". Interl J Lab Hematol 30: 286–291.

Park S, Cheon S, Cho D. 2007. The dual effects of interleukin-18 in tumor progression. Cell Mol Immunol 4:329.

Peinado H, Marin F, Cubillo E, Stark HJ, Fusenig N, Nieto MA, Cano A. 2004. Snail and E47 repressors of E-cadherin induce distinct invasive and angiogenic properties in vivo. J Cell Sci 117:2827–2839.

Pierotti MA, Frattini M, Sozzi G, Croce CM. 2010. Oncogenes. In: Hong, W.K., Bast, R.C., Hait, W.N., Kufe, D.W., Pollock, R.E., Weichselbaum, R.R., Holland, J.F., Frei, E., Eds. Holland- Frei

Cancer Medicine. 8th edn., People’s Medical Publishing House, Shelton, Connecticut pp68-85

Page 313: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 305

expression with VEGFR-3 suggests a role in lymphatic vascular development. Development 122 : 3829–37.

Kurzrock R, Kantarjian HM, Druker B, Talpaz M. 2003. "Philadelphia chromosome-positive leukemias: From basic mechanisms to molecular therapeutics". Anns internal med 138 : 819–830.

Lebrun JJ, 2012. The Dual Role of TGFβ in Human Cancer: From TumorSuppression to Cancer Metastasis, ISRN Mol Biol Article ID 381428, 28 pages http://dx.doi.org/10.5402/2012/381428

Lee JM, Dedhar S, Kalluri R, Thompson EW 2006. The epithelial-mesenchymal transition: new insights in signaling, development, and disease. J Cell Biol 2006, 172:973–981.

Levy L, Hill CS. 2006. “Alterations in components of theTGF-β superfamily signaling pathways in human cancer,”Cytokine and Growth Factor Rev 17: 41–58

Liu L, Lassam NJ, Slingerland M, Bailey D, Cole D, Jenkins R, Hogg D. 1995. Germline p16INK4A mutation and protein dysfunction in a family with inheritedmelanoma. Oncogene 11 : 405–412.

Lowe SW, Ruley HE, Jacks T, Housman DE. 1993. p53-dependent apoptosis modulates the cytotoxicity of anticancer agents. Cell 74:957-67.

Lower R, Lower J, Kurth R. 1996. Th viruses in all of us: characteristics and biological signifi cance of human endogenous retrovirus sequences. PNAS 93: 5177-5184.

Maes C, Carmeliet G, Schipani E. 2012. Hypoxia-driven pathways in bone development, regeneration and disease. Nature Rev Rheumatol 8: 358-366 doi:10.1038/nrrheum.2012.36

Maliekal TT, Antony ML, Nair A, Paulmurugan R, Karunagaran D. 2003. “Loss of expression, and mutations of Smad 2 and Smad 4 in human cervical cancer,” Oncogene 22:4889–4897.

Mauro MJ, O’Dwyer M, Heinrich MC, Druker BJ. 2002. Transplantation for chronic myelogenous leukemia:yes, no, maybe soyan Oregon perspectiveJ. Clin Oncol 20 : 325–334.

MinamotoTM, Mai M, Ronai Z. 1999. Environmental factors as regulators and effectors of multistep carcinogenesis . Carcinogenesis 20: 519–527.

Nagase H 1997. Activation mechanisms of matrix metalloproteinases. Bio. Chem 378:151–160 .

Narayan S, Roy D, 2003. Role of APC and DNA mismatch repair genes in the development of colorectal cancers . Mol Cancer 32:41 DOI: 10.1186/1476-4598-2-41

Onder T, Gupta P, Mani S, Yang J, Lander E, Weinberg R 2008.. Loss of E-cadherin promotes metastasis via multiple downstream transcriptional pathways. Cancer Res.68:3645.

Pakakasama S, Kajanachumpol S, Kanjanapongkul S. Sirachainan, N, Meekaewkunchorn A, Ningsanond V, Hongeng,S. 2008. "Simple multiplex RT-PCR for identifying common fusion transcripts in childhood acute leukemia". Interl J Lab Hematol 30: 286–291.

Park S, Cheon S, Cho D. 2007. The dual effects of interleukin-18 in tumor progression. Cell Mol Immunol 4:329.

Peinado H, Marin F, Cubillo E, Stark HJ, Fusenig N, Nieto MA, Cano A. 2004. Snail and E47 repressors of E-cadherin induce distinct invasive and angiogenic properties in vivo. J Cell Sci 117:2827–2839.

Pierotti MA, Frattini M, Sozzi G, Croce CM. 2010. Oncogenes. In: Hong, W.K., Bast, R.C., Hait, W.N., Kufe, D.W., Pollock, R.E., Weichselbaum, R.R., Holland, J.F., Frei, E., Eds. Holland- Frei

Cancer Medicine. 8th edn., People’s Medical Publishing House, Shelton, Connecticut pp68-85

Page 314: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler306

Qin Q, Xu Y, He T, Qin C, Xu J. 2012. Normal and disease related biological functions of Twist1 and underlying molecular mechanisms. Cell Res 22:90–106.

Rodriguez S, Huynh-Do1 U. 2012. Phosphatase and tensin homolog regulates stability and activity of EphB1 receptor FASEB 12 :1-12

Rodriguez-Viciana P, Warne PH, Dhand R, Vanhaesebroeck B, Gout I, Fry MJ, Waterfield MD, Downward J. 1994., Phosphatidylinositol-3-OH kinase as a direct target of Ras. Nature, 370: 527–532 .

Rosenberg N, Jolicoeur P. 1997. Retroviral pathogenesis. In: Coffin JM, Hughes SH, Varmus HE, Eds. Retroviruses. ColdSpring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, NewYork. Pp 475-585.

Rundhaug JE, Fischer SM, 2010, Molecular Mechanisms of Mouse Skin Tumor Promotion . Cancers 2: 436-482; doi:10.3390/cancers2020436

Samatov TR, Tonevitsky AG, Schumacher U. 2013. 4Epithelial-mesenchymal transition: focus on metastatic cascade, alternative splicing, non-coding RNAs and modulating ompounds. Mol Cancer 12:107 (12 pages) http://www.molecular-cancer.com/content/12/1/

Sánchez-Tilló E, Liu Y, de Barrios O, Siles L, Fanlo L, Cuatrecasas M, Darling DS, Dean DC, Castells A, Postigo A 2012. EMT-activating transcription factors in cancer: beyond EMT and tumor invasiveness. Cell Mol Life Sci 69:3429–3456.

Sattler M, Griffin JD. 2001. "Mechanisms of transformation by the BCR/ABL oncogene". Int J Hematol 73: 278–91. doi:10.1007/BF02981952.

Seeger RC, Brodeur GM, Sather H, Dalton A, Siegel SE, Wong KY, Hammond D. 1985. Association of multiple copies of the N-myc

oncogene with rapid progression of neuroblastomas. N Engl J Med 313:1111–1116

Semenza GL. 2000. HIF-1: mediator of physiological and pathophysiological responses to hypoxia. J Appl Physiol 88:1474-8

Senger DR, Galli SJ, Dvorak AM, Perruzzi CA, Harvey VS, Dvorak HF. 1983. Tumor cells secrete a vascular permeability factor that promotes accumulation of ascites fluid. Science 219 :983–985.

Shay JW,, Wright WE. 2011. Role of telomeres and telomerase in cancer Seminars in Cancer Biology 21: 349–353

Simpson L, Parsons R. 2001. PTEN: life as a tumor suppressor. Exp Cell Res 264: 29–41.

Stamenkovic I. 2000., Matrix metalloproteinases in tumor invasion and metastasis Sem. Cancer Biol 10: 415– 433.

Stamos JL, Weis. 2013. WIhe β-catenin destruction complex. Cold Spring Harb Perspect Biol 5(1):a007898. doi: 10.1101/cshperspect.a007898.

Stokoe D, S. G. Macdonald SG, K. Cadwallader K, M. Symons M, and J. F. Hancock JF. 1994. Activation of Raf as a result of recruitment to the plasma membrane. Science 264 : 1463–1467

Sullivan NJ, Sasser AK, Axel AE, Vesuna F, Raman V, Ramirez N, Oberyszyn TM, Hall BM. 2009. Interleukin-6 induces and epithelial-mesenchymal transition phenotype in human breast cancer cells. Oncogene 28:2940–7.

Tanaka R, Kimura S. 2008. Abl Tyrosine Kinase Inhibitors for Overriding Bcr-Abl/T315I: From the Second to Third Generation. Expert Rev Anticancer Ther 8:1387-1398.

Tannock I, Hill RP. 1987. The Basic Science of Oncology, Pergamon Press, New York,

Page 315: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 307

Qin Q, Xu Y, He T, Qin C, Xu J. 2012. Normal and disease related biological functions of Twist1 and underlying molecular mechanisms. Cell Res 22:90–106.

Rodriguez S, Huynh-Do1 U. 2012. Phosphatase and tensin homolog regulates stability and activity of EphB1 receptor FASEB 12 :1-12

Rodriguez-Viciana P, Warne PH, Dhand R, Vanhaesebroeck B, Gout I, Fry MJ, Waterfield MD, Downward J. 1994., Phosphatidylinositol-3-OH kinase as a direct target of Ras. Nature, 370: 527–532 .

Rosenberg N, Jolicoeur P. 1997. Retroviral pathogenesis. In: Coffin JM, Hughes SH, Varmus HE, Eds. Retroviruses. ColdSpring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, NewYork. Pp 475-585.

Rundhaug JE, Fischer SM, 2010, Molecular Mechanisms of Mouse Skin Tumor Promotion . Cancers 2: 436-482; doi:10.3390/cancers2020436

Samatov TR, Tonevitsky AG, Schumacher U. 2013. 4Epithelial-mesenchymal transition: focus on metastatic cascade, alternative splicing, non-coding RNAs and modulating ompounds. Mol Cancer 12:107 (12 pages) http://www.molecular-cancer.com/content/12/1/

Sánchez-Tilló E, Liu Y, de Barrios O, Siles L, Fanlo L, Cuatrecasas M, Darling DS, Dean DC, Castells A, Postigo A 2012. EMT-activating transcription factors in cancer: beyond EMT and tumor invasiveness. Cell Mol Life Sci 69:3429–3456.

Sattler M, Griffin JD. 2001. "Mechanisms of transformation by the BCR/ABL oncogene". Int J Hematol 73: 278–91. doi:10.1007/BF02981952.

Seeger RC, Brodeur GM, Sather H, Dalton A, Siegel SE, Wong KY, Hammond D. 1985. Association of multiple copies of the N-myc

oncogene with rapid progression of neuroblastomas. N Engl J Med 313:1111–1116

Semenza GL. 2000. HIF-1: mediator of physiological and pathophysiological responses to hypoxia. J Appl Physiol 88:1474-8

Senger DR, Galli SJ, Dvorak AM, Perruzzi CA, Harvey VS, Dvorak HF. 1983. Tumor cells secrete a vascular permeability factor that promotes accumulation of ascites fluid. Science 219 :983–985.

Shay JW,, Wright WE. 2011. Role of telomeres and telomerase in cancer Seminars in Cancer Biology 21: 349–353

Simpson L, Parsons R. 2001. PTEN: life as a tumor suppressor. Exp Cell Res 264: 29–41.

Stamenkovic I. 2000., Matrix metalloproteinases in tumor invasion and metastasis Sem. Cancer Biol 10: 415– 433.

Stamos JL, Weis. 2013. WIhe β-catenin destruction complex. Cold Spring Harb Perspect Biol 5(1):a007898. doi: 10.1101/cshperspect.a007898.

Stokoe D, S. G. Macdonald SG, K. Cadwallader K, M. Symons M, and J. F. Hancock JF. 1994. Activation of Raf as a result of recruitment to the plasma membrane. Science 264 : 1463–1467

Sullivan NJ, Sasser AK, Axel AE, Vesuna F, Raman V, Ramirez N, Oberyszyn TM, Hall BM. 2009. Interleukin-6 induces and epithelial-mesenchymal transition phenotype in human breast cancer cells. Oncogene 28:2940–7.

Tanaka R, Kimura S. 2008. Abl Tyrosine Kinase Inhibitors for Overriding Bcr-Abl/T315I: From the Second to Third Generation. Expert Rev Anticancer Ther 8:1387-1398.

Tannock I, Hill RP. 1987. The Basic Science of Oncology, Pergamon Press, New York,

Page 316: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler308

Tansey WP. 2014. Mammalian MYC Proteins and Cancer (reviiew articles). New J Sci Article ID 757534, 27 pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/757534

Thiery JP, Acloque H, Huang RY, Nieto MA. 2009. Epithelial mesenchymal transitions in development and disease. Cell 139:871–890.

Thiery JP. 2002. Epithelial-mesenchymal transitions in tumour progression. Nat Rev Cancer 2:442–454.

Vandewalle C, Van Roy F, Berx G. 2009. The role of the ZEB family of transcription factors in development and disease. Cell Mol Life Sci 66:773–787.

Vidal M, V. Gigoux V, and C. Garbay C. 2001 SH2 and SH3 domains as targets for anti-proliferative agents. Crit Rev Oncol Hematol 40: 175–186.

Vincent TL, Gatenby RA, 2008. An evolutionary model for initiation, promotion,and progression in carcinogenesis Inter J Oncol 32: 729-737

Weinberg RA. The biology of cancer, 1st ed. Garland Science, 2007

Weinert T 1997. Yeast checkpoint controls and relevance to cancer. Cancer Surv 29: 109–132.

Weiss, RA 2006 The discovery of endogenous retroviruses. Retrovirology 67: 1-11.

Yilmaz M, Christofori G. 2009. EMT, the cytoskeleton, and cancer cell invasion. Cancer Metastasis Rev 28:15–33.

Zafonte BT, Hulit J, Amanatullah DF, Albanese C, Wang C, Rosen E, Reutens A, Sparano JA, Lisanti MP, Pestell RG. 2000. Cell-cycle dysregulation in breast cancer: breast cancer therapies targeting the cell cycle. Front Biosci 5: D938–D961.

Zeisberg EM, Tarnavski O, Zeisberg M, Dorfman AL, McMullen JR, Gustafsson E, Chandraker A, Yuan X, Pu WT, Roberts AB, Neilson EG, Sayegh MH, Izumo S, Kalluri R. 2007. Endothelial-to-mesenchymal transition contributes to cardiac fibrosis. Nat Med 13:952–961.

Zheng L, Lee WH. 2001. The retinoblastoma gene: a prototypic and multifunctional tumor suppressor. Exp Cell Res 264:2-18

Zhu W, Leber B. 2001. Andrews D. Cytoplasmic O-glycosylation prevents cell surface transport of E-cadherin during apoptosis. EMBO J 20:5999–6007.

Page 317: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 309

Tansey WP. 2014. Mammalian MYC Proteins and Cancer (reviiew articles). New J Sci Article ID 757534, 27 pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/757534

Thiery JP, Acloque H, Huang RY, Nieto MA. 2009. Epithelial mesenchymal transitions in development and disease. Cell 139:871–890.

Thiery JP. 2002. Epithelial-mesenchymal transitions in tumour progression. Nat Rev Cancer 2:442–454.

Vandewalle C, Van Roy F, Berx G. 2009. The role of the ZEB family of transcription factors in development and disease. Cell Mol Life Sci 66:773–787.

Vidal M, V. Gigoux V, and C. Garbay C. 2001 SH2 and SH3 domains as targets for anti-proliferative agents. Crit Rev Oncol Hematol 40: 175–186.

Vincent TL, Gatenby RA, 2008. An evolutionary model for initiation, promotion,and progression in carcinogenesis Inter J Oncol 32: 729-737

Weinberg RA. The biology of cancer, 1st ed. Garland Science, 2007

Weinert T 1997. Yeast checkpoint controls and relevance to cancer. Cancer Surv 29: 109–132.

Weiss, RA 2006 The discovery of endogenous retroviruses. Retrovirology 67: 1-11.

Yilmaz M, Christofori G. 2009. EMT, the cytoskeleton, and cancer cell invasion. Cancer Metastasis Rev 28:15–33.

Zafonte BT, Hulit J, Amanatullah DF, Albanese C, Wang C, Rosen E, Reutens A, Sparano JA, Lisanti MP, Pestell RG. 2000. Cell-cycle dysregulation in breast cancer: breast cancer therapies targeting the cell cycle. Front Biosci 5: D938–D961.

Zeisberg EM, Tarnavski O, Zeisberg M, Dorfman AL, McMullen JR, Gustafsson E, Chandraker A, Yuan X, Pu WT, Roberts AB, Neilson EG, Sayegh MH, Izumo S, Kalluri R. 2007. Endothelial-to-mesenchymal transition contributes to cardiac fibrosis. Nat Med 13:952–961.

Zheng L, Lee WH. 2001. The retinoblastoma gene: a prototypic and multifunctional tumor suppressor. Exp Cell Res 264:2-18

Zhu W, Leber B. 2001. Andrews D. Cytoplasmic O-glycosylation prevents cell surface transport of E-cadherin during apoptosis. EMBO J 20:5999–6007.

Page 318: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler310

Glosarium Actin-binding protein Protein yang berikatan dengan aktin monomer maupun filamen aktin Adenoma Tumor jinak yang ditemukan pada sel epitel jaringan glandula Adenomatous polyposis coli (APC) Protein supresor tumor yang berperan dalam sistem signal Wnt/ β-catenin untuk membentuk kompleks destruksi yang berfungsi untuk mendegradasi molekul beta-catenin Adenylyl cyclase (adenylate cyclase) Enzim yang berikatan dengan membran yang mengkatalsis pembentukan cyclic AMP dari ATP. Sabuk adhesion Jembatan adesi yang mengelilingi ujung apikal dari sel epitel dan melekatannnya dengan sel terdekat ADP (adenosine 5-diphosphate) Nukleotida yang dihasilkan oleh proses hidrolisis ujung fosfat dari molekul ATP α helix Struktur polipeptida sekunder yang melipat seperti koil dan terbentuk oleh ikatan hidrogen antara asam amino yang dipisahkan oleh empat residu Akt Nama lain dair protein kinase B yang berperan dalam sistem signal PI3K Aktin Sekelompok protein yang membentuk filamen aktin pada semua sel eukariot

Alternative RNA splicing Pembentukan berbagai mRNA dari transkrip pre-RNA yang sama, tetapi mengalami proses splicing yang berbeda yang menghasilkan berberbagai sioform protein Amino terminus (N terminus) Ujung dari rantai polipeptida yang membawa gugus α-amino bebas AMP (adenosine 5-monophosphate) Salah satu dari 4 nukelotida penyusun molekul RNA. Anaerob Proses yang lingkungannya memerlukan ketidakadaan udara atau oksigen Anafase Stadium pada mitosis saat 2 set kromosom berpindah ke kutub yang berlawanan dalam sel yang sedang membelah Antikodon Sekuen 3 nukleotida dalam tRNA yang komplementer dengan sekuen 3 nukleotida dalam kodon pada molekul mRNA. Antiparalel Orientasi relatif pada dua untai DNA heliks ganda yang polaritasnya berlawanan arah dengan satu sama lain AP endonuclease Enzim reparasi DNA yang memecah situs apirimidin atau apurin dari DNA Apoptosis Kematian sel terprogram dengan mengaktifkan sistem kematian sel yang menyebabkan fragmentasi DNA, pengkerutan sitoplasma, perubahan membran sel yang diakhiri dengan kematian sel.

Page 319: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 311

Glosarium Actin-binding protein Protein yang berikatan dengan aktin monomer maupun filamen aktin Adenoma Tumor jinak yang ditemukan pada sel epitel jaringan glandula Adenomatous polyposis coli (APC) Protein supresor tumor yang berperan dalam sistem signal Wnt/ β-catenin untuk membentuk kompleks destruksi yang berfungsi untuk mendegradasi molekul beta-catenin Adenylyl cyclase (adenylate cyclase) Enzim yang berikatan dengan membran yang mengkatalsis pembentukan cyclic AMP dari ATP. Sabuk adhesion Jembatan adesi yang mengelilingi ujung apikal dari sel epitel dan melekatannnya dengan sel terdekat ADP (adenosine 5-diphosphate) Nukleotida yang dihasilkan oleh proses hidrolisis ujung fosfat dari molekul ATP α helix Struktur polipeptida sekunder yang melipat seperti koil dan terbentuk oleh ikatan hidrogen antara asam amino yang dipisahkan oleh empat residu Akt Nama lain dair protein kinase B yang berperan dalam sistem signal PI3K Aktin Sekelompok protein yang membentuk filamen aktin pada semua sel eukariot

Alternative RNA splicing Pembentukan berbagai mRNA dari transkrip pre-RNA yang sama, tetapi mengalami proses splicing yang berbeda yang menghasilkan berberbagai sioform protein Amino terminus (N terminus) Ujung dari rantai polipeptida yang membawa gugus α-amino bebas AMP (adenosine 5-monophosphate) Salah satu dari 4 nukelotida penyusun molekul RNA. Anaerob Proses yang lingkungannya memerlukan ketidakadaan udara atau oksigen Anafase Stadium pada mitosis saat 2 set kromosom berpindah ke kutub yang berlawanan dalam sel yang sedang membelah Antikodon Sekuen 3 nukleotida dalam tRNA yang komplementer dengan sekuen 3 nukleotida dalam kodon pada molekul mRNA. Antiparalel Orientasi relatif pada dua untai DNA heliks ganda yang polaritasnya berlawanan arah dengan satu sama lain AP endonuclease Enzim reparasi DNA yang memecah situs apirimidin atau apurin dari DNA Apoptosis Kematian sel terprogram dengan mengaktifkan sistem kematian sel yang menyebabkan fragmentasi DNA, pengkerutan sitoplasma, perubahan membran sel yang diakhiri dengan kematian sel.

Page 320: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler312

Aromatik Keadaan untuk menggambarkan struktur molekul yang mengandung cincin atom karbon yang berikatan satu sama lain sehingga amebentuk struktur seperti cincin yang terdiri atas atom karbon. Asam amino Molekul organik yang mengandung gugus amino (NH) dan gugus (karboksil (COO) yang menyusun molekul protein Asam nukleat (RNA dan DNA) Makromolekul yang terdiri atas rantai nukleotida yang disatukan melalui ikatan fosfodiester ATP (adenosine 5-triphosphate) Nukleosida triphosphate yang terdiri atas adenin, ribosa dan 3 gugus fosfat yang merupakan pembawa energi utama ke dalam sel. ATP synthase Kesatuan enzim dalam membran mitokonrdria yang mengkatalisis pembentukan ATP dari ADP ATPase Enzim mengkatalisis hidrolisis ATP Autokrin Sifat dalam sistem signal sel dimana molekul signal yang dihasilkan oleh satu sel berkerja pada sel itu sendiri Autosom Kromosom yang bukan kromosom seks Base pair Dua nukleotida dalam molekul RNA atau DNA yang disatukan oleh ikatan hidrogen

Benigna Menggambarkan keadaan sel tumor yang bersifat terbatas dan tidak invasif beta-catenin Protein sitoplasma yang terlibat dalam adesi antar sel yang dimediasi oleh cadherin yang menghubungkan cadherin ke sitoskelton. Selain itu juga dapat bertindak sebagai protein pengatur ekspresi gen dalam jalur sistem signal Wnt/betacatenin β sheet Struktur sekunder berbentuk lembaran dari rantai polipeptida yang terbentuk dari ikatan hidrogen antara asam amino yang berlokasi pada tempat lain dari rantai polipeptida Cadherin Anggoata dari keluarga protein yang memediasi adesi antar sel yang bergantung pada Ca2+

Calmodulin Berbagai protein pengikat kalsium yang ikatannya dengan protein lain ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion Ca2+ dalam sel. Ikatannya memicu aktivasi berbagai enzim sasaran dan protein transportasi membran. CaM kinase Ca2+ disebut juga calmodulin-dependent protein kinase Protein kinase yang aktivitasnya diatur oleh ikatan Ca2+/calmodulin, dan yang secara tidak langsung memediasi effek Ca2+ oleh fosforilasi protein lain CaM-kinase II Protein kinase fungsional yang pada Ca2+/calmodulin pada semua sel hewan yang mengalami fosforilasi ketika diaktifkan

Page 321: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 313

Aromatik Keadaan untuk menggambarkan struktur molekul yang mengandung cincin atom karbon yang berikatan satu sama lain sehingga amebentuk struktur seperti cincin yang terdiri atas atom karbon. Asam amino Molekul organik yang mengandung gugus amino (NH) dan gugus (karboksil (COO) yang menyusun molekul protein Asam nukleat (RNA dan DNA) Makromolekul yang terdiri atas rantai nukleotida yang disatukan melalui ikatan fosfodiester ATP (adenosine 5-triphosphate) Nukleosida triphosphate yang terdiri atas adenin, ribosa dan 3 gugus fosfat yang merupakan pembawa energi utama ke dalam sel. ATP synthase Kesatuan enzim dalam membran mitokonrdria yang mengkatalisis pembentukan ATP dari ADP ATPase Enzim mengkatalisis hidrolisis ATP Autokrin Sifat dalam sistem signal sel dimana molekul signal yang dihasilkan oleh satu sel berkerja pada sel itu sendiri Autosom Kromosom yang bukan kromosom seks Base pair Dua nukleotida dalam molekul RNA atau DNA yang disatukan oleh ikatan hidrogen

Benigna Menggambarkan keadaan sel tumor yang bersifat terbatas dan tidak invasif beta-catenin Protein sitoplasma yang terlibat dalam adesi antar sel yang dimediasi oleh cadherin yang menghubungkan cadherin ke sitoskelton. Selain itu juga dapat bertindak sebagai protein pengatur ekspresi gen dalam jalur sistem signal Wnt/betacatenin β sheet Struktur sekunder berbentuk lembaran dari rantai polipeptida yang terbentuk dari ikatan hidrogen antara asam amino yang berlokasi pada tempat lain dari rantai polipeptida Cadherin Anggoata dari keluarga protein yang memediasi adesi antar sel yang bergantung pada Ca2+

Calmodulin Berbagai protein pengikat kalsium yang ikatannya dengan protein lain ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion Ca2+ dalam sel. Ikatannya memicu aktivasi berbagai enzim sasaran dan protein transportasi membran. CaM kinase Ca2+ disebut juga calmodulin-dependent protein kinase Protein kinase yang aktivitasnya diatur oleh ikatan Ca2+/calmodulin, dan yang secara tidak langsung memediasi effek Ca2+ oleh fosforilasi protein lain CaM-kinase II Protein kinase fungsional yang pada Ca2+/calmodulin pada semua sel hewan yang mengalami fosforilasi ketika diaktifkan

Page 322: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler314

Caspase Enzim protease dalam sel yang terlibat dalam inisiasi dan eksekusi apoptosis. caveola (caveolae) Invaginasi permukaan sel untuk membentuk vesukula pinositik. Cdk inhibitor protein (CKI) Protein yang berikatan dan menghambat kompleks siklin –CDK , terutama yang terlibat dalam pengontrol fase G1 dan S dari siklus sel. Cdk-activating kinase (CAK) Protein kinase yang memfosforilasi Cdk dan kompleks siklin-cdk untuk mengaktifkan cdk Cekpoin Titik pada siklus sel eukariot tempatnya siklus sel dijeda untuk mengembalikan keadaan siklus sel yang tak wajar ke keadaan normal sebelum siklus sel masuk ke tahapan berikutnya Cell adhesion molecule (CAM) Protein protein pada permukaan sel hewan yang berperan dalam pembentukan tautan antar sel atau antara sel dan matriks ekstra sel. Tautan sel Hubungan khusus antara 2 sel atau antar sel dan metriks esktra sel.. cyclic AMP (cAMP) Nukelotida yang dibentuk dari ATP oleh enzim adenylyl cyclase I sebagai respon atas stimuli berbagai jenis reseptor pada permukaan sel. cAMP bertindak sebagai molekul signal dalam sel oleh aktivaasi protein kinase A (PKA).

cyclin-dependent kinase (Cdk) Protein kinase yang membentuk kompleks dengan siklin ungtuk menjadi aktif Desmin sama dengan keratin \ Desmosom Jenis pertautan antar sel yang terbetuk pada jaringan epitel yang ditandai dengan adanya plak protein sebagai tempat melakatnya filamen intemediet pada dua sel yang berbatasan Dinding sel Matriks ekstra sel yang kuat secara mekanis dan ditempatkan di luar membran sel seperti sel tanaman, bakteri alga dan jamur. Diploid Mengandung 2 set kromosom yang homolog dan karenanya mengandung dua kopi gen atau lokus yang homolog DNA (deoxyribonucleic acid) Polinukleotida yang terbentuk dari ikatan kovalen unit deoksinukleotida dan bertindak sebagai penyimpan semua informasi genetik dari sel. DNA glycosylase Enzim reparasi DNA yang memecah ikatan purin atau pirinmidin ke deoksiribosa dari tulang punggung molekul DNA DNA helicase Enzim yang berfungsi untuk membuka molekul DNA heliks ganda manjadi untai tunggal pada sat replikasi DNA. DNA ligase Enzim yang berfungsi untuk menyambung dua ujung untai DNA secara kovalen untuk mebentuk untai yang tidak terputus

Page 323: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 315

Caspase Enzim protease dalam sel yang terlibat dalam inisiasi dan eksekusi apoptosis. caveola (caveolae) Invaginasi permukaan sel untuk membentuk vesukula pinositik. Cdk inhibitor protein (CKI) Protein yang berikatan dan menghambat kompleks siklin –CDK , terutama yang terlibat dalam pengontrol fase G1 dan S dari siklus sel. Cdk-activating kinase (CAK) Protein kinase yang memfosforilasi Cdk dan kompleks siklin-cdk untuk mengaktifkan cdk Cekpoin Titik pada siklus sel eukariot tempatnya siklus sel dijeda untuk mengembalikan keadaan siklus sel yang tak wajar ke keadaan normal sebelum siklus sel masuk ke tahapan berikutnya Cell adhesion molecule (CAM) Protein protein pada permukaan sel hewan yang berperan dalam pembentukan tautan antar sel atau antara sel dan matriks ekstra sel. Tautan sel Hubungan khusus antara 2 sel atau antar sel dan metriks esktra sel.. cyclic AMP (cAMP) Nukelotida yang dibentuk dari ATP oleh enzim adenylyl cyclase I sebagai respon atas stimuli berbagai jenis reseptor pada permukaan sel. cAMP bertindak sebagai molekul signal dalam sel oleh aktivaasi protein kinase A (PKA).

cyclin-dependent kinase (Cdk) Protein kinase yang membentuk kompleks dengan siklin ungtuk menjadi aktif Desmin sama dengan keratin \ Desmosom Jenis pertautan antar sel yang terbetuk pada jaringan epitel yang ditandai dengan adanya plak protein sebagai tempat melakatnya filamen intemediet pada dua sel yang berbatasan Dinding sel Matriks ekstra sel yang kuat secara mekanis dan ditempatkan di luar membran sel seperti sel tanaman, bakteri alga dan jamur. Diploid Mengandung 2 set kromosom yang homolog dan karenanya mengandung dua kopi gen atau lokus yang homolog DNA (deoxyribonucleic acid) Polinukleotida yang terbentuk dari ikatan kovalen unit deoksinukleotida dan bertindak sebagai penyimpan semua informasi genetik dari sel. DNA glycosylase Enzim reparasi DNA yang memecah ikatan purin atau pirinmidin ke deoksiribosa dari tulang punggung molekul DNA DNA helicase Enzim yang berfungsi untuk membuka molekul DNA heliks ganda manjadi untai tunggal pada sat replikasi DNA. DNA ligase Enzim yang berfungsi untuk menyambung dua ujung untai DNA secara kovalen untuk mebentuk untai yang tidak terputus

Page 324: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler316

DNA polymerase Enzim yang mensistesis DNA dengan menyambung nukleotida menggunakan DNA templat sebagai acuan E2F Keluarga faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen yang terlibat dalam perkembangan siklus sel dan replikasi DNA EGF (epidermal growth factor) Faktor pertumbuhan yang memicu proliferasi sel Eksonuklease Enzim yang menghidrolisis molekul DNA dengan arah 5´ ke 3´ atau 3´ ke 5´ Eksositosis Proses proses pengeluaran molekul dari dalam ke luar sel Elastin Protein hibdrofobik yang membentuk serabut ektra sel yang dapat direntangkan (elastis) yang menyebabkan jaringan dapat diregangkan dan kuat Endositosis berperantara reseptor Proses internalisasi kompleks reseptor-ligand dari membran sel oleh mekanisme endositosis Endositosis Masuknya partikel ke dalam sel dengan cara invaginasi membran sel dan internalisasi ke dalam vesikula bermembran Endosom Organel yang bermembran dalam sel hewan yang terbentuk melalui proses endositosis dan meneruskannya ke lisosom untuk didegradasi. Enhancer Sekuen pada DNA yang posisinya jauh dari promoter berfungsi mengautur transkripsi

Exon Segmen gen sel eukariot yang mengandung sandi genetik untuk sintesis protein pada molekul DNA FADH2 (reduced flavin adenine dinucleotide) Molekul karier terkativasi yang dihasilkan dari siklus asam sitrat. Fagositosis Proses endositosis partikel besar oleh sel fagosit Fagosom Vesikula bermembran dalam sel yang terbentuk sebagai hasil dari proses fagositosis dan mengandung materi yang difagosit. FAK (focal adhesion kinase) Tyrosine kinase sitoplasma pada matriks antar sel yang berkaitan dengan ekor sitoplasma dari integrin Faktor transkripsi umum Kompleks protein yang dirakit di sekitar TATA box yang diperlukan untuk inisiasi transkripsi pada sel eukariot Faktor transkripsi Protein yang mengatur aktivitas RNA polimerase dalam proses translripsi Fas Reseptor pada membran sel yang berfungsi untuk merintis apoptosis setelah reseptor tersebut berikatan dengan ligand kematian seperti fasL Fase G0 disebut : G-“zero” Keadaan sel pada saat istirahat dari pembelahan sel yang berdekatan dengan fase G1 Fase G1 Fase dalam siklus sel antara akhir fase sitokinesis dan awal dari sintesis DNA

Page 325: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 317

DNA polymerase Enzim yang mensistesis DNA dengan menyambung nukleotida menggunakan DNA templat sebagai acuan E2F Keluarga faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen yang terlibat dalam perkembangan siklus sel dan replikasi DNA EGF (epidermal growth factor) Faktor pertumbuhan yang memicu proliferasi sel Eksonuklease Enzim yang menghidrolisis molekul DNA dengan arah 5´ ke 3´ atau 3´ ke 5´ Eksositosis Proses proses pengeluaran molekul dari dalam ke luar sel Elastin Protein hibdrofobik yang membentuk serabut ektra sel yang dapat direntangkan (elastis) yang menyebabkan jaringan dapat diregangkan dan kuat Endositosis berperantara reseptor Proses internalisasi kompleks reseptor-ligand dari membran sel oleh mekanisme endositosis Endositosis Masuknya partikel ke dalam sel dengan cara invaginasi membran sel dan internalisasi ke dalam vesikula bermembran Endosom Organel yang bermembran dalam sel hewan yang terbentuk melalui proses endositosis dan meneruskannya ke lisosom untuk didegradasi. Enhancer Sekuen pada DNA yang posisinya jauh dari promoter berfungsi mengautur transkripsi

Exon Segmen gen sel eukariot yang mengandung sandi genetik untuk sintesis protein pada molekul DNA FADH2 (reduced flavin adenine dinucleotide) Molekul karier terkativasi yang dihasilkan dari siklus asam sitrat. Fagositosis Proses endositosis partikel besar oleh sel fagosit Fagosom Vesikula bermembran dalam sel yang terbentuk sebagai hasil dari proses fagositosis dan mengandung materi yang difagosit. FAK (focal adhesion kinase) Tyrosine kinase sitoplasma pada matriks antar sel yang berkaitan dengan ekor sitoplasma dari integrin Faktor transkripsi umum Kompleks protein yang dirakit di sekitar TATA box yang diperlukan untuk inisiasi transkripsi pada sel eukariot Faktor transkripsi Protein yang mengatur aktivitas RNA polimerase dalam proses translripsi Fas Reseptor pada membran sel yang berfungsi untuk merintis apoptosis setelah reseptor tersebut berikatan dengan ligand kematian seperti fasL Fase G0 disebut : G-“zero” Keadaan sel pada saat istirahat dari pembelahan sel yang berdekatan dengan fase G1 Fase G1 Fase dalam siklus sel antara akhir fase sitokinesis dan awal dari sintesis DNA

Page 326: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler318

Fase G2 Fase Gap 2 siklus pembelahan sel antara akhir sintesis DNA dan awal mitosis Fase-S Fase dalam siklus sel eukariot pada saat terjadi sintesis DNA. Fibronektin Matriks ekstra sel yang terlibat dalam adesi antara sel dengan matriks ekstra sel dan sebagai pemandu migrasi sel selama proses embriogenesis. Filamen aktin Filamen protein heliks yang terbentuk dari polimerisasi molekuil aktin Filamen intermediat Protein filamen berbentuk serabut dengan diameter sekitar 10 nm yang membentuk jejaring seperti tali pada sel hewan. Flagella Penjuluran sel berbentuk cambuk yang undulasinya mendorong sel melalui media cair. Focal adhesion: Situs perlekatan pada sel ke matriks ekstra sel tempatnya integrin dikaitkan dengan sekumpulan filamen aktin Fragmen Okazaki: Fragmen DNA pendek yang dihasilkan pada lagging strand selama replikasi DNA G protein stimulatori (Gs) G protein yang ketika diaktifkan dapa mengaktifkan enzim adenylyl cyclase dan karenanya dapat merangsang pembentukan cAMP.

G1/S-Cdk Kesatuan yang terbentuk G1/S-cyclin and the corresponding cyclin-dependent kinase (Cdk). Pertautan ketat Hubungan antar sel yang terbentuk di antara sel yang memungkinkan lewatnya ion dan molekul kecil dari sitoplasma sel yang satu ke sitoplasma sel lainnya. Garpu replikasi Daerah berbentuk Y dari DNA yang bereplikasi tempatnya untai baru DNA disintesis dan dipisahkan Gen cdc Gen yang mengatur tahapan siklus sel eukariot Gen supresor tumor Gen yang menyandi protein pencegah pembentukan kanker Gen Bagian DNA yang menyandi suatu protein Genom Totalitas infomasi genetik yang dimiliki oleh suatu sel atau organisme tertentu khususnya bagian DNA yang membawa informasi tersebut Glikoprotein Protein yang mengandung gugus oligosakarida Glikosilasi Proses penambahan gugus gula pada molekul protein Golgi apparatus (Golgi complex) Organel bermembran pada sel eukariot tempatnya modifikasi dan pemilahan protein dan lipid yang ditransfer dari retikulum endoplasma. G-protein atau disebut juga GTP-binding protein

Page 327: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 319

Fase G2 Fase Gap 2 siklus pembelahan sel antara akhir sintesis DNA dan awal mitosis Fase-S Fase dalam siklus sel eukariot pada saat terjadi sintesis DNA. Fibronektin Matriks ekstra sel yang terlibat dalam adesi antara sel dengan matriks ekstra sel dan sebagai pemandu migrasi sel selama proses embriogenesis. Filamen aktin Filamen protein heliks yang terbentuk dari polimerisasi molekuil aktin Filamen intermediat Protein filamen berbentuk serabut dengan diameter sekitar 10 nm yang membentuk jejaring seperti tali pada sel hewan. Flagella Penjuluran sel berbentuk cambuk yang undulasinya mendorong sel melalui media cair. Focal adhesion: Situs perlekatan pada sel ke matriks ekstra sel tempatnya integrin dikaitkan dengan sekumpulan filamen aktin Fragmen Okazaki: Fragmen DNA pendek yang dihasilkan pada lagging strand selama replikasi DNA G protein stimulatori (Gs) G protein yang ketika diaktifkan dapa mengaktifkan enzim adenylyl cyclase dan karenanya dapat merangsang pembentukan cAMP.

G1/S-Cdk Kesatuan yang terbentuk G1/S-cyclin and the corresponding cyclin-dependent kinase (Cdk). Pertautan ketat Hubungan antar sel yang terbentuk di antara sel yang memungkinkan lewatnya ion dan molekul kecil dari sitoplasma sel yang satu ke sitoplasma sel lainnya. Garpu replikasi Daerah berbentuk Y dari DNA yang bereplikasi tempatnya untai baru DNA disintesis dan dipisahkan Gen cdc Gen yang mengatur tahapan siklus sel eukariot Gen supresor tumor Gen yang menyandi protein pencegah pembentukan kanker Gen Bagian DNA yang menyandi suatu protein Genom Totalitas infomasi genetik yang dimiliki oleh suatu sel atau organisme tertentu khususnya bagian DNA yang membawa informasi tersebut Glikoprotein Protein yang mengandung gugus oligosakarida Glikosilasi Proses penambahan gugus gula pada molekul protein Golgi apparatus (Golgi complex) Organel bermembran pada sel eukariot tempatnya modifikasi dan pemilahan protein dan lipid yang ditransfer dari retikulum endoplasma. G-protein atau disebut juga GTP-binding protein

Page 328: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler320

Protein dengan aktivitas GTPase yang berikatan dengan GTP yang mengaktifkan protein GTP (guanosine 5-triphosphate) Nukelosida trifosfat yang dihasilakn oleh fosforilasi GDP (guanosine diphosphate). GTPase Enzim yang mengubah GTP menjadi GDP) GTPase-activating protein (GAP): Protein yang berikatan dengan GTP-binding protein dan menginaktifkannya dengan cara merangsang aktivitas GTPase sehingga menghidrolisis GTP yang berikatan dengannya menjadi GDP. guanine nucleotide exchange factor (GEF) Protein yang berikatan dengan suatu GTP-binding protein dan mengaktifkannya dengan mestmulasinya untuk melepaskan GDP dengan and activates it by stimulating it to release its tightly bound GDP, dengan menggatinya dengan GTP. Gugus amino Gugus fungsional yang bersifat basa lemah yang berasal dari amonia (NH3) yang satu atau lebih atom hidrogennya digandi oleh atom lain Gugus karboksil Atom karbon yang yang berikatan dengan atom oksigen oleh ikatan ganda ke gugus hidroksil Haploid Hanya memliki satu set kromosom sperti dyang ditemukan pada sel sperma dan sel bakteri Heliks ganda Struktur tiga dimensi molekul DNA yang terbentuk dari dua untai DNA yang dihubungan oleh ikatan hidrogen antara basa dan kemudian dipelintir menjadi struktur heliks

Heterodimer Kompleks protein yang terdiri atas dua molekul protein yang berbeda Histon Sekelompok protein kecil yang kaya akan asam amino arginin dan lisin yang empat di antaranya bersama DNA membentuk nukleosom pada DNA sel eukariot Holliday junction Struktur berbentuk X yang ditemukan pada DNA yang mengalami rekombinasi dimana 2 molekul DNA disatukan pada titik silang yang disebut pertukaran silang. IAP (inhibitor of apoptosis) Protein intrasel yang menghambat apoptosis Integrin Anggota dari keluarga besar protein membran yang terlibat dalam adesi sel dengan matriks ekstra sel atau dengan sel lainnya. Intron Daerah pada gen eukariot yang ditranskripsi menjadi pre-mRNA tetapi dipotong melalui RNA splicing sehingga menghasilkan mRNA tanpa intron.. Kaperon Protein yang membantu mencegah pelipatan yang salah pada protein lainnya yang dapat menginaktfkan atau menyebabkan agregasi polipeptida. Karsinogen Zat kimia atau radiasi yang menyebabkan kankler Karsinogenesis Proses pembentukan kanker Karsinoma Kanker sel epitel.

Page 329: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 321

Protein dengan aktivitas GTPase yang berikatan dengan GTP yang mengaktifkan protein GTP (guanosine 5-triphosphate) Nukelosida trifosfat yang dihasilakn oleh fosforilasi GDP (guanosine diphosphate). GTPase Enzim yang mengubah GTP menjadi GDP) GTPase-activating protein (GAP): Protein yang berikatan dengan GTP-binding protein dan menginaktifkannya dengan cara merangsang aktivitas GTPase sehingga menghidrolisis GTP yang berikatan dengannya menjadi GDP. guanine nucleotide exchange factor (GEF) Protein yang berikatan dengan suatu GTP-binding protein dan mengaktifkannya dengan mestmulasinya untuk melepaskan GDP dengan and activates it by stimulating it to release its tightly bound GDP, dengan menggatinya dengan GTP. Gugus amino Gugus fungsional yang bersifat basa lemah yang berasal dari amonia (NH3) yang satu atau lebih atom hidrogennya digandi oleh atom lain Gugus karboksil Atom karbon yang yang berikatan dengan atom oksigen oleh ikatan ganda ke gugus hidroksil Haploid Hanya memliki satu set kromosom sperti dyang ditemukan pada sel sperma dan sel bakteri Heliks ganda Struktur tiga dimensi molekul DNA yang terbentuk dari dua untai DNA yang dihubungan oleh ikatan hidrogen antara basa dan kemudian dipelintir menjadi struktur heliks

Heterodimer Kompleks protein yang terdiri atas dua molekul protein yang berbeda Histon Sekelompok protein kecil yang kaya akan asam amino arginin dan lisin yang empat di antaranya bersama DNA membentuk nukleosom pada DNA sel eukariot Holliday junction Struktur berbentuk X yang ditemukan pada DNA yang mengalami rekombinasi dimana 2 molekul DNA disatukan pada titik silang yang disebut pertukaran silang. IAP (inhibitor of apoptosis) Protein intrasel yang menghambat apoptosis Integrin Anggota dari keluarga besar protein membran yang terlibat dalam adesi sel dengan matriks ekstra sel atau dengan sel lainnya. Intron Daerah pada gen eukariot yang ditranskripsi menjadi pre-mRNA tetapi dipotong melalui RNA splicing sehingga menghasilkan mRNA tanpa intron.. Kaperon Protein yang membantu mencegah pelipatan yang salah pada protein lainnya yang dapat menginaktfkan atau menyebabkan agregasi polipeptida. Karsinogen Zat kimia atau radiasi yang menyebabkan kankler Karsinogenesis Proses pembentukan kanker Karsinoma Kanker sel epitel.

Page 330: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler322

Karyokinesis Pembelahan inti sel dari satu menjadi dua Keratin Anggota keluarga protein yang menysusun filamen keratin terutama pada sel epitel Khemotaksis Gerakan sel yang diarahkan oleh agen infeksi atau agen lainnya ke tempat infeksi atau trauma.. Kinektokor Struktur yang terbentuk dari protein pada kromosom mitosis tempat melekatnya mikrotubulus yang berperan dalam perpindahan kromosom ke kutub sel yang berlawanan Klathrin Perakitan protein yang membentuk sarang polihedral pada sisi sitoplasma dari membran sel sehingga membentuk lekukan berlapis klatrin dan melapaskan diri melalui proses endositosis untuk membentuk vesikula berlapis klatrin Kloroplas Organel berwarna hijau yang ditemukan pada alga hijau dan tanaman yang mengandung krorofil dan tempat terjadinya proses fotosintesis Kohesin Kompleks protein yang mengikat dan menyatukan sister kromatid sebelum mengalami pemisahan. Kompleks ARP (ARP2/3 complex) Kesatuan protein yang bertindak sebagai pusat pembentukan dan pertumbuhan filamen aktin dari ujung minusnya Kompleks NADH dehydrogenase Jenis pertama dari tiga pompa proton yang didorong dalam rantai respirasi mitokondria dan menerima elektron dari NADH.

Kompleks pori neklear Struktur multiprotein besar yang membentuk kanal pada membran inti sel tempat keluar/masuknya molekul dari dan ke nukleus Kompleks siklin-CDK Kompleks protein tersebentuk secara berkala pada siklus sel eukariot sebagai akibat dari meningkatnya kadar siklin yang mengaktifkan sebagian atau sepenuhnya enzim CDK. Kondensin Kesatuan protein yang terlibat dalam kondensasi kromosom sebelum proses mitosis. Konekson Pori berisi air pada membran sel yang terbentuk cincin dari 6 subunit proptein dan berfungsi sebagai kanal penghubung antar 2 sel . Konformasi Pengaturan spatial dari atom dalam struktur tiga dimensi dari suatu makromolekul seperti protein dan asam nukleat. Krista Satu lipatan pada membran dalam mitokondria Kromatid Salah satu salinan dari kromosom yang terbentuk pada replikasi DNA yang masih disatukan pada titik sentromer dengan salinan lainnya oleh protein konekson Kromatin Kompleks DNA, histon dan protein buka histon yang ditemukan pada nukleus sel eukariot Kromosom seks Kromosom yang keberadaanya bergantung pada jenis kelamin individu sperti kromosom XX ditemukan pada individu betina dan XY pada individu jantan

Page 331: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 323

Karyokinesis Pembelahan inti sel dari satu menjadi dua Keratin Anggota keluarga protein yang menysusun filamen keratin terutama pada sel epitel Khemotaksis Gerakan sel yang diarahkan oleh agen infeksi atau agen lainnya ke tempat infeksi atau trauma.. Kinektokor Struktur yang terbentuk dari protein pada kromosom mitosis tempat melekatnya mikrotubulus yang berperan dalam perpindahan kromosom ke kutub sel yang berlawanan Klathrin Perakitan protein yang membentuk sarang polihedral pada sisi sitoplasma dari membran sel sehingga membentuk lekukan berlapis klatrin dan melapaskan diri melalui proses endositosis untuk membentuk vesikula berlapis klatrin Kloroplas Organel berwarna hijau yang ditemukan pada alga hijau dan tanaman yang mengandung krorofil dan tempat terjadinya proses fotosintesis Kohesin Kompleks protein yang mengikat dan menyatukan sister kromatid sebelum mengalami pemisahan. Kompleks ARP (ARP2/3 complex) Kesatuan protein yang bertindak sebagai pusat pembentukan dan pertumbuhan filamen aktin dari ujung minusnya Kompleks NADH dehydrogenase Jenis pertama dari tiga pompa proton yang didorong dalam rantai respirasi mitokondria dan menerima elektron dari NADH.

Kompleks pori neklear Struktur multiprotein besar yang membentuk kanal pada membran inti sel tempat keluar/masuknya molekul dari dan ke nukleus Kompleks siklin-CDK Kompleks protein tersebentuk secara berkala pada siklus sel eukariot sebagai akibat dari meningkatnya kadar siklin yang mengaktifkan sebagian atau sepenuhnya enzim CDK. Kondensin Kesatuan protein yang terlibat dalam kondensasi kromosom sebelum proses mitosis. Konekson Pori berisi air pada membran sel yang terbentuk cincin dari 6 subunit proptein dan berfungsi sebagai kanal penghubung antar 2 sel . Konformasi Pengaturan spatial dari atom dalam struktur tiga dimensi dari suatu makromolekul seperti protein dan asam nukleat. Krista Satu lipatan pada membran dalam mitokondria Kromatid Salah satu salinan dari kromosom yang terbentuk pada replikasi DNA yang masih disatukan pada titik sentromer dengan salinan lainnya oleh protein konekson Kromatin Kompleks DNA, histon dan protein buka histon yang ditemukan pada nukleus sel eukariot Kromosom seks Kromosom yang keberadaanya bergantung pada jenis kelamin individu sperti kromosom XX ditemukan pada individu betina dan XY pada individu jantan

Page 332: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler324

Kromosom Struktur dalam inti sel yang terdiri atas molekul DNA yang sangat panjang dan protein penunjang yang memabawa semua informasi genetik pada organisme Lagging strand Salah satu untai DNA yang baru disintesis pada garpu replikasi dimana untai baru DNA disintesis secara diskontinu Lamin nuklear Subunit protein dari filamen intermediet yang menyusun lamina inti sel Lamina basalis Matriks ekstra sel yang memisahkan lapisan sel epitel, sel otot, sel lemak dari jaringan ikat. Laminin Protein pada matriks ekstra sel yang ditemukan pada lamina basalis tempat terbentuknya jejaring menyerupai lembaran Leading strand: Salah satu untai DNA yang baru disintesis pada garpu replikasi dimana untai baru DNA disintesis secara kontinu dengan arah 5′-to-3′ Lisosom Organel yang bermembran dalam sel eukariot yang mengandung enzim digesti yang aktif pada pH rendah MAP-kinase Singkatan dari mitogen-activated protein kinase: Protein kinase yang melakukan tahapan amat penting dalam meneruskan signal dari membran sel ke nukleus dan diaktifkan oleh berbagai signal pemicu diferensiasi dan proliferasi sel

Mcm (mini chromosome maintenance ) Protein dalam sel eukariot yang berikatan dengan origin recognition complexe (ORC) pada DNA pada awal fase G1 dan terlibat dalam pembentukkan pre-replicative complex (pre-RC). M-cyclin Jenis siklin yang ditemukan pada semua sel eukariot dan memicu terjadinya pembelahan sel secara mitosis Meiosis Jenis pembelahan sel pada sel gametosis (sel telur dan sperma) Mesenger kedua Senyawa yang metabolismenya dimodifikasi oleh interaksi ligand dan reseptornya dan berfungsi sebagai penerus signal dengan mengatur proses intrasel Mesenkim Jaringan ikat yang belum matang pada hewan yang terdiri atas sel yang tertanam dalam matriks ekstra sel tipis messenger RNA (mRNA) Molekul RNA yang menentukan sekuen asam amino dari protein. Molekul mRNA terbentuk dari pre-mRNA yang mengalami proses splicing untuk menghilangkan intron. Metaphase Tahapan mitosis ketika kromosom melekat pada spindel mitosis pada titik ekuator pembelahan sel Metastasis Penyebaran sel kanker dari jaringan asalnya ke jaringan lainnya dalam tubuh Metilasi DNA Penambahan gugus metil pada molekul DNA . Metilasi DNA biasanya banyak terjadi pada sekuen kaya C-G dipakai oleh sel hewan vertebrata untuk menginaktifkan gen.

Page 333: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 325

Kromosom Struktur dalam inti sel yang terdiri atas molekul DNA yang sangat panjang dan protein penunjang yang memabawa semua informasi genetik pada organisme Lagging strand Salah satu untai DNA yang baru disintesis pada garpu replikasi dimana untai baru DNA disintesis secara diskontinu Lamin nuklear Subunit protein dari filamen intermediet yang menyusun lamina inti sel Lamina basalis Matriks ekstra sel yang memisahkan lapisan sel epitel, sel otot, sel lemak dari jaringan ikat. Laminin Protein pada matriks ekstra sel yang ditemukan pada lamina basalis tempat terbentuknya jejaring menyerupai lembaran Leading strand: Salah satu untai DNA yang baru disintesis pada garpu replikasi dimana untai baru DNA disintesis secara kontinu dengan arah 5′-to-3′ Lisosom Organel yang bermembran dalam sel eukariot yang mengandung enzim digesti yang aktif pada pH rendah MAP-kinase Singkatan dari mitogen-activated protein kinase: Protein kinase yang melakukan tahapan amat penting dalam meneruskan signal dari membran sel ke nukleus dan diaktifkan oleh berbagai signal pemicu diferensiasi dan proliferasi sel

Mcm (mini chromosome maintenance ) Protein dalam sel eukariot yang berikatan dengan origin recognition complexe (ORC) pada DNA pada awal fase G1 dan terlibat dalam pembentukkan pre-replicative complex (pre-RC). M-cyclin Jenis siklin yang ditemukan pada semua sel eukariot dan memicu terjadinya pembelahan sel secara mitosis Meiosis Jenis pembelahan sel pada sel gametosis (sel telur dan sperma) Mesenger kedua Senyawa yang metabolismenya dimodifikasi oleh interaksi ligand dan reseptornya dan berfungsi sebagai penerus signal dengan mengatur proses intrasel Mesenkim Jaringan ikat yang belum matang pada hewan yang terdiri atas sel yang tertanam dalam matriks ekstra sel tipis messenger RNA (mRNA) Molekul RNA yang menentukan sekuen asam amino dari protein. Molekul mRNA terbentuk dari pre-mRNA yang mengalami proses splicing untuk menghilangkan intron. Metaphase Tahapan mitosis ketika kromosom melekat pada spindel mitosis pada titik ekuator pembelahan sel Metastasis Penyebaran sel kanker dari jaringan asalnya ke jaringan lainnya dalam tubuh Metilasi DNA Penambahan gugus metil pada molekul DNA . Metilasi DNA biasanya banyak terjadi pada sekuen kaya C-G dipakai oleh sel hewan vertebrata untuk menginaktifkan gen.

Page 334: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler326

Mikrotubulus Struktur silinris panjang dan berlubang yang terdiri atas protein tubulin dan merupakan salah satu dari tiga jenis filamen yang menysusun sitoskleton sel Mikrovilli Penjuluran tipis berbentuk silindris pada permukaan sel yang bundel pusatnya mengandung filamen aktin. Mitogen Senyawa ekstra sel seperti faktor pertumbuhan yang memicu proliferasi sel Mitokondria Organel bermembran dalam sel tempat terjadinya fosforlilasi oksidatif dan menghasilkan sebagian besar ATP yang diperlukan oleh sel sebagai sumber energi. Mitosis: Pembelahan nukleus sel eukariot yang meliputi kondensasi kromosom dan pemisahan kromosom yang diduplikasi untuk membentuk 2 set kromosom yang identik Motif zinc finger Domain pengikatan DNA yang terdiri atas loop yang mengandung residu sistein dan histidin yang berikatan dengan ion zinc. M-phase Cdk (M-Cdk) Kompleks yang terbentuk pada sel vertebrata oleh M-cyclin dan CDK pasangannya NAD+ (nicotine adenine dinucleotide) Karier teraktivasi yang berperan dalam reaksi oksidasi dengan menerima suatu ion hidrid (H–) dari molekul donor NADP+ (nicotine adenine dinucleotide phosphate)

Karier teraktivasi yang berhubungan dekat dengan NAD+ yang digunakan secara ekstensif dalam biosintetik ketimbang jalur katabolik N-CAM (neural cell adhesion molecule) Molekul adesi sel dari superfamili imunoglobulin yang diekspresikan oleh banyak jenis sel termasuk kebanyakan sel syaraf. Neurofilamen Sejenis filamen intermediet yang menopang akson dan sel syaraf NLS (nuclear localization signal) Uurutan signal pada protein yang ditujukan ke nukleus dan yang memungkinkan transportasi selektifnya ke nukleus dari sitosol melalui kompleks pori inti sel. N-myristoylasi Penambhan asam miristat (a 14-carbon fatty acid) pada residu glisin N-terminal dari rantai polipeptida Nukleolus Struktur dalam inti sel tempat rRNA ditranskripsi dan tempat subunit ribosom dirakit Nukleosom Struktur dalam kromatin sel eukariot yang terdiri atas DNA pendek yang digulung dalam protein histon dan merupakan unit dasar dari kromatin Nukleotida Nukleosida dengan satu atau lebih gugus fosfat yang disambung dalam penghubung ester ke gugus gula terdekat Nukleus Organel bermembran yang terpenting pada sel eukariot yang mengandung DNA dalam bentuk kromosom

Page 335: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 327

Mikrotubulus Struktur silinris panjang dan berlubang yang terdiri atas protein tubulin dan merupakan salah satu dari tiga jenis filamen yang menysusun sitoskleton sel Mikrovilli Penjuluran tipis berbentuk silindris pada permukaan sel yang bundel pusatnya mengandung filamen aktin. Mitogen Senyawa ekstra sel seperti faktor pertumbuhan yang memicu proliferasi sel Mitokondria Organel bermembran dalam sel tempat terjadinya fosforlilasi oksidatif dan menghasilkan sebagian besar ATP yang diperlukan oleh sel sebagai sumber energi. Mitosis: Pembelahan nukleus sel eukariot yang meliputi kondensasi kromosom dan pemisahan kromosom yang diduplikasi untuk membentuk 2 set kromosom yang identik Motif zinc finger Domain pengikatan DNA yang terdiri atas loop yang mengandung residu sistein dan histidin yang berikatan dengan ion zinc. M-phase Cdk (M-Cdk) Kompleks yang terbentuk pada sel vertebrata oleh M-cyclin dan CDK pasangannya NAD+ (nicotine adenine dinucleotide) Karier teraktivasi yang berperan dalam reaksi oksidasi dengan menerima suatu ion hidrid (H–) dari molekul donor NADP+ (nicotine adenine dinucleotide phosphate)

Karier teraktivasi yang berhubungan dekat dengan NAD+ yang digunakan secara ekstensif dalam biosintetik ketimbang jalur katabolik N-CAM (neural cell adhesion molecule) Molekul adesi sel dari superfamili imunoglobulin yang diekspresikan oleh banyak jenis sel termasuk kebanyakan sel syaraf. Neurofilamen Sejenis filamen intermediet yang menopang akson dan sel syaraf NLS (nuclear localization signal) Uurutan signal pada protein yang ditujukan ke nukleus dan yang memungkinkan transportasi selektifnya ke nukleus dari sitosol melalui kompleks pori inti sel. N-myristoylasi Penambhan asam miristat (a 14-carbon fatty acid) pada residu glisin N-terminal dari rantai polipeptida Nukleolus Struktur dalam inti sel tempat rRNA ditranskripsi dan tempat subunit ribosom dirakit Nukleosom Struktur dalam kromatin sel eukariot yang terdiri atas DNA pendek yang digulung dalam protein histon dan merupakan unit dasar dari kromatin Nukleotida Nukleosida dengan satu atau lebih gugus fosfat yang disambung dalam penghubung ester ke gugus gula terdekat Nukleus Organel bermembran yang terpenting pada sel eukariot yang mengandung DNA dalam bentuk kromosom

Page 336: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler328

Onkogen Protoonkogen yang berubah menjadi gen kanker dan berperan dalam pembentukkan kanker Operator Regio pendek dari DNA pada kromosom bakteri yang mengantur transkripsi gen di dekatnya Operon Pada kromosom bakteri , sekelompok gen contigous yang ditranskripsi menjadi satu molekul mRNA ORC singkatan dari origin recognition complex Kompleks protein besar yang berikatan dengan DNA pada ORI dari kromosom selama proses pembelahan sel terutama pada saat persiapan dan proses replikasi DNA. Organel Kompartemen/ruangan yang ditutupi membran dalam sel eukariot yang mempunyai struktur m komposisi makromolekul dan fungsi yang jelas seperti nukleus, mitokondria, kloroplas ORI (origin of replication) Situs pada molekul DNA tempat awal dibukanya molekul DNA heliks ganda menjadi untai tunggal sebagai tempat mulainya replikasi DNA Osmosis Perpindahan molekul air melalui membran semipermiabel yang dikendalikan oleh konsentrasi larutan yang berbeda pada kedua sisi membran p53 Protein dengan berata molekul 53 kDa yang disandi oleh gen supresor tumor dan ditemukan bermutasi pada lebih dari 50% kanker pada manusia. Protein ini diaktifkan pada keadaan kerusakan DNA

Parakrin Komunikasi antara sel dengan mensekresikan molekul signal yang bekerjan pada sel lain di dekat sel yang mensekresikannya Pertautan komunikasi Jenis penghubung antar sel yang memungkinkan lewatnya signal kimia atau listrik dari satu sel ke sel lainnya. Permukaan cis Permukaan pada kantong Golgi tempatnya meterial memasuki organel tersebut Peroksisom Organel bermembran kecil yang menggunakan molekul oksigen untuk mengoksidasi molekul organik. Organel ini mengandung enzim yang dihasilkan dan yang mendegradasi hidrogen peroksida. Pertautan ketat (tight junction): Sistem pertautan antar sel epitel satu dengan sel epitel terdekat untuk mencegah lewatnya sebagian besar molekul terlarut dari satu sisi ke sisi lainnya PH (pleckstrin homology): Domain dalam protein sistem signal intrasel tempat berikatannya fosfolipid inositol untuk difosforilasi oleh PI3K Phosphatase Enzim yang menyingkirkan gugus fosfat dari suatu molekul PI3K (phosphatidylinositol 3-kinase) Enzim kinase yang memfosforilasi PIP2 menjadi PIP3 yang terlibat dalam sistem signal intrasel yang diaktifkan oleh sejumlah reseptor permukaan sel. Pinositosis Jenis endositosis untuk mengambil materi terlarut dari lingkungan dan dibawa ke vesikula dalam sel untuk didigesti.

Page 337: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 329

Onkogen Protoonkogen yang berubah menjadi gen kanker dan berperan dalam pembentukkan kanker Operator Regio pendek dari DNA pada kromosom bakteri yang mengantur transkripsi gen di dekatnya Operon Pada kromosom bakteri , sekelompok gen contigous yang ditranskripsi menjadi satu molekul mRNA ORC singkatan dari origin recognition complex Kompleks protein besar yang berikatan dengan DNA pada ORI dari kromosom selama proses pembelahan sel terutama pada saat persiapan dan proses replikasi DNA. Organel Kompartemen/ruangan yang ditutupi membran dalam sel eukariot yang mempunyai struktur m komposisi makromolekul dan fungsi yang jelas seperti nukleus, mitokondria, kloroplas ORI (origin of replication) Situs pada molekul DNA tempat awal dibukanya molekul DNA heliks ganda menjadi untai tunggal sebagai tempat mulainya replikasi DNA Osmosis Perpindahan molekul air melalui membran semipermiabel yang dikendalikan oleh konsentrasi larutan yang berbeda pada kedua sisi membran p53 Protein dengan berata molekul 53 kDa yang disandi oleh gen supresor tumor dan ditemukan bermutasi pada lebih dari 50% kanker pada manusia. Protein ini diaktifkan pada keadaan kerusakan DNA

Parakrin Komunikasi antara sel dengan mensekresikan molekul signal yang bekerjan pada sel lain di dekat sel yang mensekresikannya Pertautan komunikasi Jenis penghubung antar sel yang memungkinkan lewatnya signal kimia atau listrik dari satu sel ke sel lainnya. Permukaan cis Permukaan pada kantong Golgi tempatnya meterial memasuki organel tersebut Peroksisom Organel bermembran kecil yang menggunakan molekul oksigen untuk mengoksidasi molekul organik. Organel ini mengandung enzim yang dihasilkan dan yang mendegradasi hidrogen peroksida. Pertautan ketat (tight junction): Sistem pertautan antar sel epitel satu dengan sel epitel terdekat untuk mencegah lewatnya sebagian besar molekul terlarut dari satu sisi ke sisi lainnya PH (pleckstrin homology): Domain dalam protein sistem signal intrasel tempat berikatannya fosfolipid inositol untuk difosforilasi oleh PI3K Phosphatase Enzim yang menyingkirkan gugus fosfat dari suatu molekul PI3K (phosphatidylinositol 3-kinase) Enzim kinase yang memfosforilasi PIP2 menjadi PIP3 yang terlibat dalam sistem signal intrasel yang diaktifkan oleh sejumlah reseptor permukaan sel. Pinositosis Jenis endositosis untuk mengambil materi terlarut dari lingkungan dan dibawa ke vesikula dalam sel untuk didigesti.

Page 338: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler330

Pirimidin Salah satu dari dua katagori senyawa dengan molekul berbentuk cincin dan mengandung atom nitrogen yang ditemukan pada molekul DNA atau PKC (protein kinase C) Protein kinase bergantung ion Ca2+ yang diaktifkan oleh diasilgliserol dan peningkatan kadar ion Ca2+ dan berfungsi untuk memfosforilasi protein target pada residu serin/threonin Plak adesi Sejenis jangkar antar sel yang membentuik regio kecil pada permukaan fibroblas atau sel lainnya yang terjangkar ke matriks ekstra sel. Ploidi Jumlah set kromosom dalam genom Pompa kalsium (Ca2+ ATPase) Protein trasportasi membran pada retikulum sarkoplasma sel otot yang memompa Ca2+ keluar sitoplasma ke retikulum sarkoplasma menggunakan energi dari hidrolisis ATP. Pompa Na+-K+:

Pompa ion yang mengangkut ion Na+ keluar dari dan ion K+

masuk ke sel. Potein kinase A (PKA) Disebut juga cyclic AMP-dependent protein kinase: enzim yang memfosforilasi protein target sebagai respons atas adanya peningkatan c-AMP intrasel. Prokariot Mikroorganisme bersel tunggal yang tidak memiliki intisel yang dibatasi oleh membran yang jelas Promoter tumor Senyawa yan g memicu perkembangan tumor dengan merangsang proliferasi sel

Promoter Sekuen DNA tempat berikatannnya RNA polymerase untuk memulai proses transkripsi dari suatu gen Prophase Fase pertama dari mitosis pada sata kromosom mengalami kondensasi, tetapi belum melekat pada spindel mitosis Protein adaptor Nama umum bagi protein yang berperan dalam sistem signal intrasel yang menghubungkan berbagai protein Protein karir Potein membran yang berikatan dengan zat terlarut dan mengangkutnya melintasi membran dengan mengalami serangkaian perubahan konformasi Protein scaffold Protein yang mengatur pembenkan kompleks dari sekelompok protein signal menjadi kompleks yang mengeluarkan signal Protein supresor gen Protein yang mencegah atau menghambat mulainya transkripsi suatu gen Proteosom Kompleks protein besar dalam sitosol yang memiliki aktivitas proteolisis dan berperan dalam mendegradasi protein yang telah ditandai dengan ubiquitin atau cara lainnya dalam sel. Proto-onkogen Gen normal dalam sel yang mengatur proliferasi sel dapat berubah menjadi onkogen bila terjadi mutasi PTEN (phosphotensin homolog mutated at chromosome ten) Phosphatase lipid yang menghilangkan gugus fosfat dari PIP3 menjadi PIP2 dan merupakan salah satu protein supresor tumor

Page 339: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 331

Pirimidin Salah satu dari dua katagori senyawa dengan molekul berbentuk cincin dan mengandung atom nitrogen yang ditemukan pada molekul DNA atau PKC (protein kinase C) Protein kinase bergantung ion Ca2+ yang diaktifkan oleh diasilgliserol dan peningkatan kadar ion Ca2+ dan berfungsi untuk memfosforilasi protein target pada residu serin/threonin Plak adesi Sejenis jangkar antar sel yang membentuik regio kecil pada permukaan fibroblas atau sel lainnya yang terjangkar ke matriks ekstra sel. Ploidi Jumlah set kromosom dalam genom Pompa kalsium (Ca2+ ATPase) Protein trasportasi membran pada retikulum sarkoplasma sel otot yang memompa Ca2+ keluar sitoplasma ke retikulum sarkoplasma menggunakan energi dari hidrolisis ATP. Pompa Na+-K+:

Pompa ion yang mengangkut ion Na+ keluar dari dan ion K+

masuk ke sel. Potein kinase A (PKA) Disebut juga cyclic AMP-dependent protein kinase: enzim yang memfosforilasi protein target sebagai respons atas adanya peningkatan c-AMP intrasel. Prokariot Mikroorganisme bersel tunggal yang tidak memiliki intisel yang dibatasi oleh membran yang jelas Promoter tumor Senyawa yan g memicu perkembangan tumor dengan merangsang proliferasi sel

Promoter Sekuen DNA tempat berikatannnya RNA polymerase untuk memulai proses transkripsi dari suatu gen Prophase Fase pertama dari mitosis pada sata kromosom mengalami kondensasi, tetapi belum melekat pada spindel mitosis Protein adaptor Nama umum bagi protein yang berperan dalam sistem signal intrasel yang menghubungkan berbagai protein Protein karir Potein membran yang berikatan dengan zat terlarut dan mengangkutnya melintasi membran dengan mengalami serangkaian perubahan konformasi Protein scaffold Protein yang mengatur pembenkan kompleks dari sekelompok protein signal menjadi kompleks yang mengeluarkan signal Protein supresor gen Protein yang mencegah atau menghambat mulainya transkripsi suatu gen Proteosom Kompleks protein besar dalam sitosol yang memiliki aktivitas proteolisis dan berperan dalam mendegradasi protein yang telah ditandai dengan ubiquitin atau cara lainnya dalam sel. Proto-onkogen Gen normal dalam sel yang mengatur proliferasi sel dapat berubah menjadi onkogen bila terjadi mutasi PTEN (phosphotensin homolog mutated at chromosome ten) Phosphatase lipid yang menghilangkan gugus fosfat dari PIP3 menjadi PIP2 dan merupakan salah satu protein supresor tumor

Page 340: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler332

Pulau CpG Daerah pada molekul DNA yang sekuan nukleotida C-Gnya lebih inggi dari sekuen C-G rerata seluruh molekul DNA. Sekuan ini biasanya tetap pada keadaan tidak termemetilasi Purin Salah satu dari dua katagori senyawa dengan molekul berbentuk cincin dan mengandung atom nitrogen yang ditemukan pada molekul DNA atau RNA. Yang termasuk purin adalah adenin dan guanin Raf (ras-activating factor) Protein kinase serine/threonine yang disandi oleh onkogen raf yang diaktifkan oleh Ras dan menyebabkan aktivasi enzim MAP kinase. Ran Protein kecil pengikat GTP yang terlibat dalam impor dan ekspor molekul ke dan keluar inti sel Ras (rat sarcoma) Keluarga protein kecil pengikat GTP yang disandi oleh onkogen ras mengkople reseptor faktor pertumbuhan ke target intrasel seperti Raf Rb (retinoblastoma) Protein pengatur transkripsi yang disandi oleh gen supresor tumor yang awalnya ditemukan bermutasi pada retinoblastoma. RecA Protein yang berikatan dengan DNA dan yang mengkatalisis sinapsis untai DNA rekombinasi genetik Rekombinasi Proses pematahan molekul DNA dan penyambungan kembali patahan melalui kombinasi yang baru. Terjadi secara normal pada pembelahan sel secara mitosis atau pada proses reparasi DNA yang patah

Reparasi DNA Nama kolektif dari proses biokimia untuk membentulkan kelainan atau kerusakan DNA Reparasi eksisi basa Mekanisme reparasi DNA dengan cara mengeksisi basa tunggal yang rusak pada molekul DNA Reparasi eksisi nukleotida Mekanisme reparasi DNA dengan cara mengeksisi nukleotida yang rusak pada molekul DNA Reparasi mismatch Reparasi DNA dengan nukleotida mismatch untuk membetulkan nukleotida yang salah yang diinsersi pada saat replikais DNA. Repressor Molekul regulator yang menghambat transkripsi Retikulum endoplasma halus Retiklum endoplsma yang tidak mengandung ribosom dan berfungsi sebagai tempat untuk sintesis hormon dan lipid Retikulum endoplasma: Sistem membran intrasel yang ektensif berfungsi untuk mensintesis dan mengangkut lipid dan protein Retikulum endoplasmik kasar Retikulum endoplasma yang permukaan sitosolnya berisi ribosom dan berfungsi sebagai tempat sintesis protein membran dan protein skresi Ribosom Partikel yang tersusun oleh rRNA dan protein ribosom dan berkaitan dengan mRNA serta mengkatalisis sintesis protein

Page 341: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 333

Pulau CpG Daerah pada molekul DNA yang sekuan nukleotida C-Gnya lebih inggi dari sekuen C-G rerata seluruh molekul DNA. Sekuan ini biasanya tetap pada keadaan tidak termemetilasi Purin Salah satu dari dua katagori senyawa dengan molekul berbentuk cincin dan mengandung atom nitrogen yang ditemukan pada molekul DNA atau RNA. Yang termasuk purin adalah adenin dan guanin Raf (ras-activating factor) Protein kinase serine/threonine yang disandi oleh onkogen raf yang diaktifkan oleh Ras dan menyebabkan aktivasi enzim MAP kinase. Ran Protein kecil pengikat GTP yang terlibat dalam impor dan ekspor molekul ke dan keluar inti sel Ras (rat sarcoma) Keluarga protein kecil pengikat GTP yang disandi oleh onkogen ras mengkople reseptor faktor pertumbuhan ke target intrasel seperti Raf Rb (retinoblastoma) Protein pengatur transkripsi yang disandi oleh gen supresor tumor yang awalnya ditemukan bermutasi pada retinoblastoma. RecA Protein yang berikatan dengan DNA dan yang mengkatalisis sinapsis untai DNA rekombinasi genetik Rekombinasi Proses pematahan molekul DNA dan penyambungan kembali patahan melalui kombinasi yang baru. Terjadi secara normal pada pembelahan sel secara mitosis atau pada proses reparasi DNA yang patah

Reparasi DNA Nama kolektif dari proses biokimia untuk membentulkan kelainan atau kerusakan DNA Reparasi eksisi basa Mekanisme reparasi DNA dengan cara mengeksisi basa tunggal yang rusak pada molekul DNA Reparasi eksisi nukleotida Mekanisme reparasi DNA dengan cara mengeksisi nukleotida yang rusak pada molekul DNA Reparasi mismatch Reparasi DNA dengan nukleotida mismatch untuk membetulkan nukleotida yang salah yang diinsersi pada saat replikais DNA. Repressor Molekul regulator yang menghambat transkripsi Retikulum endoplasma halus Retiklum endoplsma yang tidak mengandung ribosom dan berfungsi sebagai tempat untuk sintesis hormon dan lipid Retikulum endoplasma: Sistem membran intrasel yang ektensif berfungsi untuk mensintesis dan mengangkut lipid dan protein Retikulum endoplasmik kasar Retikulum endoplasma yang permukaan sitosolnya berisi ribosom dan berfungsi sebagai tempat sintesis protein membran dan protein skresi Ribosom Partikel yang tersusun oleh rRNA dan protein ribosom dan berkaitan dengan mRNA serta mengkatalisis sintesis protein

Page 342: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler334

RNA (ribonucleic acid) Polimer yang terbentuk dari ribonukleotida monomer yang disatukan oleh ikatan kovalen RNA polymerase Enzim yang mengkatlisis sintesis molekul RNA dari nukleosida trifosfat menggunakan molekul DNA sebagai templat RNA primer RNA untai pendek yang disntesis pada templat DNA dan digunakan sebagai titik awal polimerisasi pada sintesis DNA RNA splicing Proses penyingkiran intron dari transkrip RNA selama proses pembentukan mRNA dan RNA lainnya. rRNA (ribosomal RNA) Molekul RNA khusus yang membentuk ribosom dan berpartisipasi dalam dalam sintesis protein Sarkoma Kanker pada jaringan ikat S-Cdk Kompleks yang terbentuk pada sel vetebrata oleh S-cyclin dan CDK pada fase S dari siklus sel Sekuen regulator Sekeun pada molekul DNA tempat berikatannya protein regulator untuk mengatur perakitan kompleks transkripsi pada regio promoter Sel somatik Sel pada hewan dan tanaman selain sel germinativum dan prekursor sel germinativum lainnya

Selektin Anggota dari glikoprotein permukaan sel yang membentuk molekul adesi sementara antar sel dalam aliran darah yang bergantung pada Ca+ seperti adesi sementara antara sel darah merah dengan dinding pebuluh darah Sentriol Serangkaian mikrotubulus berbetuk silidris pendek yang ditemukan pada pada pusat sentrosom dari sel hewan Sentromer Bagian yang berkonstriksi dari kromosom mitosis yang menyatukan sister kromatid. Sentrosom Organel yang berlokasi di bgian sentral dari sel hewan yang bertindak sebagai pusat pengendali mikrotubulus dan bertindak sebagai kutub spindel selama mitosis. SH2 (src homology) Domain pada molekul protein sistem signal yang mengandung Src homology dan dapat berikatan dapat berikatan dengan sekuen asam amino pendek yang mengandung phosphotyrosine. Siklin Protein yang kadarnya naik dan turun secara berkala pada setiap tahapan siklus sel dan berfungsi untuk mengaktifkan enzim cyclin-dependent protein kinase yeng berfungsi untuk mengatur siklus sel. Siklus sel Siklus reproduksi dari sel dalam urutan yang teratur untuk menggandakan sel dari satu jadi 2 Silia Penjuluran berbentuk rambut dari sel eukariot yang mengandung seberkas mikrotubulus dan mampu melakukan gerakan denyut berulang .

Page 343: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 335

RNA (ribonucleic acid) Polimer yang terbentuk dari ribonukleotida monomer yang disatukan oleh ikatan kovalen RNA polymerase Enzim yang mengkatlisis sintesis molekul RNA dari nukleosida trifosfat menggunakan molekul DNA sebagai templat RNA primer RNA untai pendek yang disntesis pada templat DNA dan digunakan sebagai titik awal polimerisasi pada sintesis DNA RNA splicing Proses penyingkiran intron dari transkrip RNA selama proses pembentukan mRNA dan RNA lainnya. rRNA (ribosomal RNA) Molekul RNA khusus yang membentuk ribosom dan berpartisipasi dalam dalam sintesis protein Sarkoma Kanker pada jaringan ikat S-Cdk Kompleks yang terbentuk pada sel vetebrata oleh S-cyclin dan CDK pada fase S dari siklus sel Sekuen regulator Sekeun pada molekul DNA tempat berikatannya protein regulator untuk mengatur perakitan kompleks transkripsi pada regio promoter Sel somatik Sel pada hewan dan tanaman selain sel germinativum dan prekursor sel germinativum lainnya

Selektin Anggota dari glikoprotein permukaan sel yang membentuk molekul adesi sementara antar sel dalam aliran darah yang bergantung pada Ca+ seperti adesi sementara antara sel darah merah dengan dinding pebuluh darah Sentriol Serangkaian mikrotubulus berbetuk silidris pendek yang ditemukan pada pada pusat sentrosom dari sel hewan Sentromer Bagian yang berkonstriksi dari kromosom mitosis yang menyatukan sister kromatid. Sentrosom Organel yang berlokasi di bgian sentral dari sel hewan yang bertindak sebagai pusat pengendali mikrotubulus dan bertindak sebagai kutub spindel selama mitosis. SH2 (src homology) Domain pada molekul protein sistem signal yang mengandung Src homology dan dapat berikatan dapat berikatan dengan sekuen asam amino pendek yang mengandung phosphotyrosine. Siklin Protein yang kadarnya naik dan turun secara berkala pada setiap tahapan siklus sel dan berfungsi untuk mengaktifkan enzim cyclin-dependent protein kinase yeng berfungsi untuk mengatur siklus sel. Siklus sel Siklus reproduksi dari sel dalam urutan yang teratur untuk menggandakan sel dari satu jadi 2 Silia Penjuluran berbentuk rambut dari sel eukariot yang mengandung seberkas mikrotubulus dan mampu melakukan gerakan denyut berulang .

Page 344: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler336

Sisternae Kompartemen yang berikatan dengan membran datar seperti yang ditemuakn pada retikulum endoplasma atau apparatus Golgi. Sitokinesis Pembelahan sitoplasma sel eukariot dari satu menjadi dua Sitoplasma Isi sel eukariot yang ditutupi membran sel dan di luar inti sel Sitoskleton Protein filamen (filanen aktin, mikroubulus dan filamen intermediet) sebagai penopang dalam sitoplasma sel eukariot yang berperan dalam membentuk dan pergerakan sel. Sitosol Cairan intrasel yang terdapat dalam sel Spindel mitosis Kumpulan mikrotubulus dan molekul pelengkapnya yang terbentuk di antara kutub yang berlawanan dari molekul kaperon Spliceosom Molekul rakitan besar yang terdiri atas molekul RNA dan protein yang berfungsi untuk memotong sekuen intron pada molekul pre-mRNA menjadi mRNA pada sel eukariot Src Keluarga protein sitoplasma (diucapkan “sark”) yang berikatan dengan domain intrasel dari beberapa protein reseptor yang tidak memiliki aktivitas tyrosin kinase intrinsik. Protein ini meneruskan signal dengan memfosforilasi reseptor itu sendiri atau protein sistem signal lainnya. Substrat Molekul yang menjadi target kerja enzim

TATA box Sekuen regulator yang ditemukan pada daerah promotor dari gen sel eokariot TATA-binding protein (TBP) Faktor transkripsi umum yang langsung berikatan dengan Telomerase Enzim reverse transkriptase yang mensintesis telomer pada ujun g DNA linier pada kromosom Telomere Sekuean DNA sederhana berulang yang memelihara ujung DNA linier pada suatu kromosom Telophase Fase akhir dari mitosis ketika dua set kromosom dipisahkan dan mengalami dekondensasi serta akhirnya ditutup oleh mebran nukleus TGFβ (transforming growth factor-β) Sekelompok protein sekresi yang strukturnya saling berkaitan dan bertindak sebagai hormon atau mediator lokal untuk mengatur berbagai fungsi tubuh seperti perkembangan embrio, proliferasi sel, dan imunitas TLR (Toll-like receptor) Keluarga reseptor pengenal yang banyak ditemukan pada permukaan makrofag, neutrofil dan epitel saluran pencernaan yang berfungsi untuk mengenali molekul patogen berbahaya atau agen berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh Translasi Proses menyusunan rantai polipeptida dalam ribosom berdasarkan sekuen nukleotida yang terdapat pada molekul mRNA

Page 345: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 337

Sisternae Kompartemen yang berikatan dengan membran datar seperti yang ditemuakn pada retikulum endoplasma atau apparatus Golgi. Sitokinesis Pembelahan sitoplasma sel eukariot dari satu menjadi dua Sitoplasma Isi sel eukariot yang ditutupi membran sel dan di luar inti sel Sitoskleton Protein filamen (filanen aktin, mikroubulus dan filamen intermediet) sebagai penopang dalam sitoplasma sel eukariot yang berperan dalam membentuk dan pergerakan sel. Sitosol Cairan intrasel yang terdapat dalam sel Spindel mitosis Kumpulan mikrotubulus dan molekul pelengkapnya yang terbentuk di antara kutub yang berlawanan dari molekul kaperon Spliceosom Molekul rakitan besar yang terdiri atas molekul RNA dan protein yang berfungsi untuk memotong sekuen intron pada molekul pre-mRNA menjadi mRNA pada sel eukariot Src Keluarga protein sitoplasma (diucapkan “sark”) yang berikatan dengan domain intrasel dari beberapa protein reseptor yang tidak memiliki aktivitas tyrosin kinase intrinsik. Protein ini meneruskan signal dengan memfosforilasi reseptor itu sendiri atau protein sistem signal lainnya. Substrat Molekul yang menjadi target kerja enzim

TATA box Sekuen regulator yang ditemukan pada daerah promotor dari gen sel eokariot TATA-binding protein (TBP) Faktor transkripsi umum yang langsung berikatan dengan Telomerase Enzim reverse transkriptase yang mensintesis telomer pada ujun g DNA linier pada kromosom Telomere Sekuean DNA sederhana berulang yang memelihara ujung DNA linier pada suatu kromosom Telophase Fase akhir dari mitosis ketika dua set kromosom dipisahkan dan mengalami dekondensasi serta akhirnya ditutup oleh mebran nukleus TGFβ (transforming growth factor-β) Sekelompok protein sekresi yang strukturnya saling berkaitan dan bertindak sebagai hormon atau mediator lokal untuk mengatur berbagai fungsi tubuh seperti perkembangan embrio, proliferasi sel, dan imunitas TLR (Toll-like receptor) Keluarga reseptor pengenal yang banyak ditemukan pada permukaan makrofag, neutrofil dan epitel saluran pencernaan yang berfungsi untuk mengenali molekul patogen berbahaya atau agen berbahaya lainnya yang masuk ke dalam tubuh Translasi Proses menyusunan rantai polipeptida dalam ribosom berdasarkan sekuen nukleotida yang terdapat pada molekul mRNA

Page 346: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler338

Translokasi Jenis mutasi yang ditandai oleh disatukannya patahan DNA pada bagian lain yang berbeda dari asal patahan kromosom tersebut Transportasi pasif Sistem tarnsportasi molekul melintasi membran yang terjadi secara pasif berdasarkan gradien konsentrasi atau gadien elektrokimia hanya menggunakan energi yang terdapat pada gradien Transposon Sekuen DNA yang dapat berpindah posisi dalam genom Treansportasi vesikula Sistem tarsportasi molekul dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya melalui perantara bermembran seperti vesikula atau sempalan oraganel Triacylglycerol Molekul yang terdiri atas 3 asam lemak teresterifikasi ke gleiserol tRNA (transfer RNA) Sekelompok molekul RNA yang digunakan dalam sintesis protein dan bertindak sebagia adaptor antara mRNA dan asam amino yang menyusun protein. Tubulin Protein sitoskletal yang berpolimerisasi unttuk membentuk mikrotubulus Ubiquitin ligase Sejumlah enzim yang berfungsi untuk menempelkan molekul ubiquitin pada molekul protein Ubiquitin Protein kecil yang konservatif yang ditemukan pada semua sel eukariot dan dapat berikatan dengan protein lainnya melalui asam amino lisin serta merupakan penanda bagi protein yang didegradasi dalam proteosom

INDEKS A Adebosin diphosphate Adenin Adenosin trifosfat Adenyl cyclase ADP Akt Akt/PKB Akthtymoma Aktin Aktivin, inhibin ALK-1 Activin receptor-like kinase Alternative reading frameAlternative reading frame ALV Anafase aneuploidi Angiopoetin 1 Anoikis antikodon AP-1 AP4-DNA Apaf-1 Aparatus golgi APLF Apotptosis Apratoxin AQP2 Aquaporin2 arginine vasopressin (AVP) or argipressin ASC Asetilase

ASK-1 Apoptosis signal-regulating kinase 1 ATF1/2/6 ATM Ataxia telengiexia mutated ATP ATP activating protein ATR Ataxia telengiexia Rad3 related protein Atrerial naturetic factor Autokrin AVP Axin B Bac-1 BAD Bcl-2-associated death promoter Bak Bcl-2 homologous antagonist/killer Bax BCL (B Cell Lymphoma)-Associated X BCl-2 BER BH3-only BID, BH3 interacting-domain death agonis BIK

Page 347: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 339

Translokasi Jenis mutasi yang ditandai oleh disatukannya patahan DNA pada bagian lain yang berbeda dari asal patahan kromosom tersebut Transportasi pasif Sistem tarnsportasi molekul melintasi membran yang terjadi secara pasif berdasarkan gradien konsentrasi atau gadien elektrokimia hanya menggunakan energi yang terdapat pada gradien Transposon Sekuen DNA yang dapat berpindah posisi dalam genom Treansportasi vesikula Sistem tarsportasi molekul dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya melalui perantara bermembran seperti vesikula atau sempalan oraganel Triacylglycerol Molekul yang terdiri atas 3 asam lemak teresterifikasi ke gleiserol tRNA (transfer RNA) Sekelompok molekul RNA yang digunakan dalam sintesis protein dan bertindak sebagia adaptor antara mRNA dan asam amino yang menyusun protein. Tubulin Protein sitoskletal yang berpolimerisasi unttuk membentuk mikrotubulus Ubiquitin ligase Sejumlah enzim yang berfungsi untuk menempelkan molekul ubiquitin pada molekul protein Ubiquitin Protein kecil yang konservatif yang ditemukan pada semua sel eukariot dan dapat berikatan dengan protein lainnya melalui asam amino lisin serta merupakan penanda bagi protein yang didegradasi dalam proteosom

INDEKS A Adebosin diphosphate Adenin Adenosin trifosfat Adenyl cyclase ADP Akt Akt/PKB Akthtymoma Aktin Aktivin, inhibin ALK-1 Activin receptor-like kinase Alternative reading frameAlternative reading frame ALV Anafase aneuploidi Angiopoetin 1 Anoikis antikodon AP-1 AP4-DNA Apaf-1 Aparatus golgi APLF Apotptosis Apratoxin AQP2 Aquaporin2 arginine vasopressin (AVP) or argipressin ASC Asetilase

ASK-1 Apoptosis signal-regulating kinase 1 ATF1/2/6 ATM Ataxia telengiexia mutated ATP ATP activating protein ATR Ataxia telengiexia Rad3 related protein Atrerial naturetic factor Autokrin AVP Axin B Bac-1 BAD Bcl-2-associated death promoter Bak Bcl-2 homologous antagonist/killer Bax BCL (B Cell Lymphoma)-Associated X BCl-2 BER BH3-only BID, BH3 interacting-domain death agonis BIK

Page 348: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler340

mitochondrial outer membrane permeabilization (MOMP) BIM BIR BIRC BLM BMP BRCA-1 BRCT Bruton's tyrosine kinase BTK Burkitt’ lymphoma C C?EBP, MEEP c-1AP-1 C2PI3K Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase II c-Abl CAD CAK CAK Calcineurin Calmodulin CAM c-AMP cAMP dependant protein kinase CAM-PK CAP CARD Caspase-3 CBL CD8 Cdc 42 Cdc2

Cdc20 Cdc25 Cdc25 Cdc25a Cdc25b Cdc45 Cdc45 Cdc6 CDK, CdkInhibitory protein, Cdt1 Cekpoin c-fos Chicken foot holiday Jucntion CHK1/2 CHK2 CHOP CIAP-2 CIF4E Ciklin activaitng factor CIP/KIP CIP/KIP CKD CKI CKI Claudin c-met CML C-myc CpG CREB/cAMP respnse element binding protein CRKIII CRM_! CSA CSB CTGF

CXCR4 Cyclic adenosine monophosphatePKA Cyclin dependent kinase Cyscline activating kinase D DAMM-1 DAP-3 DAPK DcR DDB-1 DDB-2 DDK Deaminasi DED DELE Deoxyribonucleic acid DEP DEP Depirimidinnasi Depuirinasi Desmoplasmin Despomin DFFB DIABLO Diacyleglycerol DISC DIX DMMtb DNA DNA linker DNA polymerase μ DNA-PK DNA-PKcs DP-1 Dpb11 Dpc4

DSB DSH DVL E E1B E2F e-E-Cad EGF Eksonuyklease ELK-1 ELK-1 EMT Endonuklease Endosome endothelin B receptors (ETB) Epidermal growth factor Epinephrin ER ERB-2, epidermal receptor B-2 ERCC-4 ERK1/2 ERK5 ET-1 ETA ETB Ets-1 F FADD FAK FAK/focal adhesion kinase FAPDAXX FAS FasL FBF

Page 349: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 341

mitochondrial outer membrane permeabilization (MOMP) BIM BIR BIRC BLM BMP BRCA-1 BRCT Bruton's tyrosine kinase BTK Burkitt’ lymphoma C C?EBP, MEEP c-1AP-1 C2PI3K Ca2+/calmodulin-dependent protein kinase II c-Abl CAD CAK CAK Calcineurin Calmodulin CAM c-AMP cAMP dependant protein kinase CAM-PK CAP CARD Caspase-3 CBL CD8 Cdc 42 Cdc2

Cdc20 Cdc25 Cdc25 Cdc25a Cdc25b Cdc45 Cdc45 Cdc6 CDK, CdkInhibitory protein, Cdt1 Cekpoin c-fos Chicken foot holiday Jucntion CHK1/2 CHK2 CHOP CIAP-2 CIF4E Ciklin activaitng factor CIP/KIP CIP/KIP CKD CKI CKI Claudin c-met CML C-myc CpG CREB/cAMP respnse element binding protein CRKIII CRM_! CSA CSB CTGF

CXCR4 Cyclic adenosine monophosphatePKA Cyclin dependent kinase Cyscline activating kinase D DAMM-1 DAP-3 DAPK DcR DDB-1 DDB-2 DDK Deaminasi DED DELE Deoxyribonucleic acid DEP DEP Depirimidinnasi Depuirinasi Desmoplasmin Despomin DFFB DIABLO Diacyleglycerol DISC DIX DMMtb DNA DNA linker DNA polymerase μ DNA-PK DNA-PKcs DP-1 Dpb11 Dpc4

DSB DSH DVL E E1B E2F e-E-Cad EGF Eksonuyklease ELK-1 ELK-1 EMT Endonuklease Endosome endothelin B receptors (ETB) Epidermal growth factor Epinephrin ER ERB-2, epidermal receptor B-2 ERCC-4 ERK1/2 ERK5 ET-1 ETA ETB Ets-1 F FADD FAK FAK/focal adhesion kinase FAPDAXX FAS FasL FBF

Page 350: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler342

FGF Fibroblast growth factor Fibroectin Flagella FLICE FLIP FLK-1 Flt-4 FMJ Folicle stimulating hormone Foxo3 Fra-1 Fra-2 Frizelled (Fz) FSH G G0 G1 G1/S CDK G1-CDK G2 G2-CDK GAB-1 Gap-1 Gap-2 Garpu replikasi Gas-GDP GDP Genome GINS Glikogen Glikosilase Glioblastoma Glukagon Glut-4 GPCR G-protein

GR Granzyme A Granzyme B GRB GRE GSK-3 GTP GTPase activating protein (GAP) Guanidin nuclotide exchange factor (GEF) Guanilate cyclase Guanin Guanosin diphosphate Guanosin trophosphate H H1 H2A H2B H3 Hayflick limit HBEGF HBP-1 HDAC4 Hepatocyte growth facto HER-2 Her2/neu Herpesvirus HGF High mobility group protein Histidin/aspartat kinase Histon Histon okatmer HMG-14 hMLH4 HNPCC H-RAS

HST-1 HtrA2/OMI Human epidermal receptor-2 Hyopoxia inducing factor I ICAD ICAM IFNϒ IGF Il-11 iL-1B Inhibitor of kinase 4 INK4/ARF inositol polyphosphate-4-phosphatase type II B INPP4B INPP4B interfase Intergin IP3 IP3 IQ IR IRS J Jun B, Jun D K karyokinesis Keratinocyte growth factor KGF Khohesin Kinase inhibitory protein Kloroplas Kmopleks destruksi

kodon Kortikotropin K-ras Kromatid Kromatin Kromosom Kromosom Philadelpia Ku L Lamin LAP Ligase Ligase 4 LIP-1 Lisosom Livin LKB-1 LRP LRR LTR LXR M MACH MACH5 MAPK MAPK/BMK MAPKK MAPKKKK Max MBD-1 MC29 MCDK MCl-1 MCM-2-7 MDC-1 MDM2

Page 351: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 343

FGF Fibroblast growth factor Fibroectin Flagella FLICE FLIP FLK-1 Flt-4 FMJ Folicle stimulating hormone Foxo3 Fra-1 Fra-2 Frizelled (Fz) FSH G G0 G1 G1/S CDK G1-CDK G2 G2-CDK GAB-1 Gap-1 Gap-2 Garpu replikasi Gas-GDP GDP Genome GINS Glikogen Glikosilase Glioblastoma Glukagon Glut-4 GPCR G-protein

GR Granzyme A Granzyme B GRB GRE GSK-3 GTP GTPase activating protein (GAP) Guanidin nuclotide exchange factor (GEF) Guanilate cyclase Guanin Guanosin diphosphate Guanosin trophosphate H H1 H2A H2B H3 Hayflick limit HBEGF HBP-1 HDAC4 Hepatocyte growth facto HER-2 Her2/neu Herpesvirus HGF High mobility group protein Histidin/aspartat kinase Histon Histon okatmer HMG-14 hMLH4 HNPCC H-RAS

HST-1 HtrA2/OMI Human epidermal receptor-2 Hyopoxia inducing factor I ICAD ICAM IFNϒ IGF Il-11 iL-1B Inhibitor of kinase 4 INK4/ARF inositol polyphosphate-4-phosphatase type II B INPP4B INPP4B interfase Intergin IP3 IP3 IQ IR IRS J Jun B, Jun D K karyokinesis Keratinocyte growth factor KGF Khohesin Kinase inhibitory protein Kloroplas Kmopleks destruksi

kodon Kortikotropin K-ras Kromatid Kromatin Kromosom Kromosom Philadelpia Ku L Lamin LAP Ligase Ligase 4 LIP-1 Lisosom Livin LKB-1 LRP LRR LTR LXR M MACH MACH5 MAPK MAPK/BMK MAPKK MAPKKKK Max MBD-1 MC29 MCDK MCl-1 MCM-2-7 MDC-1 MDM2

Page 352: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler344

Membran sel MEP2 mesenger ribonucleic acid MET Metafase Metilasi MGMT MH2 Mikrofilamen Mitogen Mitokondria mitosis Mixed lineage kinase 3 MLK-1 MLK-3 MMP-1 MOMP MRN mRNA mTOR mTORC1 Muts Myelin transcription factor 1 (Myt1 myelocytomatosis viral oncogene (v-Myc Myt-1 N NADH NADPH NAIP NBS-1 n-caderin Nekrosis NER NF-1 NFAT

NFKB NFκB Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate Nicotinamide adenine dinucleotide tereduksi NK NLK NLRP-1 NLRP3 NNK NOXA. NRH Nukleoid nukleosom Nuklleosom nVPS34 O ORC Organel ORI P P111α P111β P13/P14 p21 P21 P50 p53 P55 P85 Paillomavirus Parakrin PAS PCD PDGF

PDGFR. PDZ PDZ Phosphatease phosphatidylinositol (3,4,5)-trisphosphate (PIP3) Phosphatidylinositol (4,5)-bisphosphate (PIP2) Phosphoinositide kinase 3 PI PI3K PI3K2A PI3K2B PIDDsome PIGF PIK PIK3CA PIK3CB PIK3CD PIP2 PIP3 Pirimidin dimer PKC PLC Phospholipase C (PLC) Plextrin homology PNKP poliploidi Polymerase B PP2A PP2B PP3 PPAR pRB Pre-IC Pre-RC Profase Profilin Prostaglandin E1

Prostaglandin E2 Protein 14-3-3 Protein kinase C Proteosom PSK-1 PTHrP PTK7 Pulau CpG PUMA PUMA, PYD Q Quiesant R Rad 50 Rad23A Rad23B Rad51 Raf RAIDD RAIDD RAR RARϒ Ras Ras-GTP RasGTPase RDA RecA-ssDNA Reparasi DNA Retikulum endoplasmik Retikulum endoplasmik halus Retikulum endoplasmik kasar RhoGTPase Ribonucleic acid

Page 353: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 345

Membran sel MEP2 mesenger ribonucleic acid MET Metafase Metilasi MGMT MH2 Mikrofilamen Mitogen Mitokondria mitosis Mixed lineage kinase 3 MLK-1 MLK-3 MMP-1 MOMP MRN mRNA mTOR mTORC1 Muts Myelin transcription factor 1 (Myt1 myelocytomatosis viral oncogene (v-Myc Myt-1 N NADH NADPH NAIP NBS-1 n-caderin Nekrosis NER NF-1 NFAT

NFKB NFκB Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate Nicotinamide adenine dinucleotide tereduksi NK NLK NLRP-1 NLRP3 NNK NOXA. NRH Nukleoid nukleosom Nuklleosom nVPS34 O ORC Organel ORI P P111α P111β P13/P14 p21 P21 P50 p53 P55 P85 Paillomavirus Parakrin PAS PCD PDGF

PDGFR. PDZ PDZ Phosphatease phosphatidylinositol (3,4,5)-trisphosphate (PIP3) Phosphatidylinositol (4,5)-bisphosphate (PIP2) Phosphoinositide kinase 3 PI PI3K PI3K2A PI3K2B PIDDsome PIGF PIK PIK3CA PIK3CB PIK3CD PIP2 PIP3 Pirimidin dimer PKC PLC Phospholipase C (PLC) Plextrin homology PNKP poliploidi Polymerase B PP2A PP2B PP3 PPAR pRB Pre-IC Pre-RC Profase Profilin Prostaglandin E1

Prostaglandin E2 Protein 14-3-3 Protein kinase C Proteosom PSK-1 PTHrP PTK7 Pulau CpG PUMA PUMA, PYD Q Quiesant R Rad 50 Rad23A Rad23B Rad51 Raf RAIDD RAIDD RAR RARϒ Ras Ras-GTP RasGTPase RDA RecA-ssDNA Reparasi DNA Retikulum endoplasmik Retikulum endoplasmik halus Retikulum endoplasmik kasar RhoGTPase Ribonucleic acid

Page 354: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler346

ribosomal ribonuclleic acid RIP RNA Rock ROR2 RPA-ssDNA rRNA RSK-2 RSR-2 RSV RUV A RUVB RUVCMRe11 RYK RYK S SAFA/B SAP-1 SAPK SCFTrcP Sel sitotoksik Sentriol Sentromer Separin Serin/threonin kinase SH2 SH3 siiklin D Siklin Siklin A Siklin B Siklin D Siklin EWAF-1/CIP_1/p25 Silia sintesis Sister chromatid sitokinesis

Sitokrom 445 Sitokrom C Sitosin Sitosol Ski Sld2 Sld3 SMAD, cTGF SMC-1 SMC3 SnoN SOD SOS SRC SRC-homology SREBP SSB SUG1 Survivin SV40 T TAK-1 TAK-1 TCF/LEP TCrP Telofase Telomerase Telomere TGFR TGFβ Th-1 Thymoma Timin TIMP3 TLR TNF TNFR

TNFSF21 TNFSR25 TPA TRAILR TRAILR2 transfer ribonucleic acid TRE tRNA TSC-1 TSP-1 Twist Tyrosine kinase TβR U Urasil USF-1 UVRB UVRC Vakula Vascular endothel growth factor vasoactive peptide endothelin-1 (ET-1) VEGF VHL Vimentin Vimentin vPS115/p150 vPS34 V-src Wee1 W WNT X XIAP XIAP

XLF XPA XPB XPCC-1 XPO-1 XRCC4 Y ϒH2A Z ZEB-1 ZEB-2 Zymogen Β-catenin Inositol trisphosphate (IP3)

Page 355: repositori.unud.ac.id · ii Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler PRAKATA Perkemabangan biologi molekuler yang sedemikian pesat telah memungkinkan penelaahan berbagai penyakit pada manusia

Dasar-Dasar Patobiologi Molekuler 347

ribosomal ribonuclleic acid RIP RNA Rock ROR2 RPA-ssDNA rRNA RSK-2 RSR-2 RSV RUV A RUVB RUVCMRe11 RYK RYK S SAFA/B SAP-1 SAPK SCFTrcP Sel sitotoksik Sentriol Sentromer Separin Serin/threonin kinase SH2 SH3 siiklin D Siklin Siklin A Siklin B Siklin D Siklin EWAF-1/CIP_1/p25 Silia sintesis Sister chromatid sitokinesis

Sitokrom 445 Sitokrom C Sitosin Sitosol Ski Sld2 Sld3 SMAD, cTGF SMC-1 SMC3 SnoN SOD SOS SRC SRC-homology SREBP SSB SUG1 Survivin SV40 T TAK-1 TAK-1 TCF/LEP TCrP Telofase Telomerase Telomere TGFR TGFβ Th-1 Thymoma Timin TIMP3 TLR TNF TNFR

TNFSF21 TNFSR25 TPA TRAILR TRAILR2 transfer ribonucleic acid TRE tRNA TSC-1 TSP-1 Twist Tyrosine kinase TβR U Urasil USF-1 UVRB UVRC Vakula Vascular endothel growth factor vasoactive peptide endothelin-1 (ET-1) VEGF VHL Vimentin Vimentin vPS115/p150 vPS34 V-src Wee1 W WNT X XIAP XIAP

XLF XPA XPB XPCC-1 XPO-1 XRCC4 Y ϒH2A Z ZEB-1 ZEB-2 Zymogen Β-catenin Inositol trisphosphate (IP3)