-0- - jdih.kkp.go.idjdih.kkp.go.id/peraturan/rpp-ttg-bangunaninstalasi-laut.pdf · (5) jenis...

38
-0- KERANGKA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT Bab I KETENTUAN UMUM Bab II JENIS DAN KRITERIA BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT Bagian Kesatu Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut Bagian Kedua Kriteria Bangunan dan Instalasi di Laut Bab III PERSYARATAN DAN MEKANISME PENDIRIAN DAN/ATAU PENEMPATAN BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT Bagian Kesatu Persyaratan Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut Bagian Kedua Mekanisme Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut Bab IV PEMBONGKARAN DAN/ATAU ALIH FUNGSI BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT Bagian Kesatu Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut Bagian Kedua Alih Fungsi Bangunan dan Instalasi di Laut Bab V MONITORING DAN EVALUASI Bab VI KETENTUAN PERALIHAN Bab VII KETENTUAN PENUTUP

Upload: dodung

Post on 11-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

-0-

KERANGKA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BANGUNAN DAN

INSTALASI DI LAUT

Bab I KETENTUAN UMUM

Bab II JENIS DAN KRITERIA BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

Bagian Kesatu Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut Bagian Kedua Kriteria Bangunan dan Instalasi di Laut

Bab III PERSYARATAN DAN MEKANISME PENDIRIAN DAN/ATAU PENEMPATAN BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

Bagian Kesatu Persyaratan Pendirian dan/atau Penempatan

Bangunan dan Instalasi di Laut Bagian Kedua Mekanisme Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan

dan Instalasi di Laut

Bab IV PEMBONGKARAN DAN/ATAU ALIH FUNGSI BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

Bagian Kesatu Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut Bagian Kedua Alih Fungsi Bangunan dan Instalasi di Laut

Bab V MONITORING DAN EVALUASI

Bab VI KETENTUAN PERALIHAN

Bab VII KETENTUAN PENUTUP

-1-

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG

BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Bangunan dan Instalasi di Laut.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang

Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2044 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603).

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BANGUNAN DAN

INSTALASI DI LAUT.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk- bentuk alamiah lainnya, yang

merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial yang di dalamnya negara memiliki kedaulatan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

dan hukum internasional. 3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri

atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

dan hukum internasional.

-2-

4. Bangunan dan Instalasi di Laut adalah setiap konstruksi, baik yang berada di atas dan/atau di bawah permukaan Laut, yang menempel pada daratan, maupun yang tidak menempel pada daratan.

5. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal

bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan

fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi.

6. Pipa bawah laut adalah tabung berongga dengan diameter dan panjang bervariasi yang terletak di atau tertanam di bagian bawah laut.

7. Pembongkaran adalah pekerjaan pemotongan sebagian atau

keseluruhan instalasi dan pemindahan/pengangkutan hasil pembongkaran ke lokasi yang telah ditentukan.

8. Pantai adalah daerah antara muka air surut terendah dengan muka air pasang tertinggi.

9. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya

hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang,

padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan

perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di

Wilayah Pesisir. 10. Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya laut, baik yang dapat

diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka panjang.

11. Barang Milik Negara, yang selanjutnya disingkat BMN, adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 12. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari

sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom

air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.

13. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang

melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai

prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan. 14. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum

Adat dan Masyarakat Lokal dan yang bermukim di wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil.

-3-

15. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,

hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. 16. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata

kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.

17. Pemrakarsa adalah setiap orang, instansi Pemerintah, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bertanggung jawab atas suatu usaha dan/atau Kegiatan yang akan dilaksanakan.

18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan.

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menata pendirian, penempatan, pembongkaran dan alih fungsi, dan tata kelola Bangunan dan Instalasi di

Laut pada Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi agar tidak mengganggu keselamatan pelayaran dan kelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Sumber Daya Kelautan.

Pasal 3

Ruang Lingkup Peraturan Pemerintah tentang Bangunan dan Instalasi di Laut meliputi:

a. jenis dan kriteria Bangunan dan Instalasi di Laut; b. persyaratan dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan Bangunan

dan Instalasi di Laut;

c. pembongkaran dan/atau alih fungsi dan Bangunan dan Instalasi di Laut;

d. monitoring dan evaluasi. Pasal 4

(1) Bangunan dan Instalasi di Laut didirikan di:

a. Wilayah Perairan; dan

b. Wilayah Yurisdiksi. (2) Wilayah Perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi: a. Perairan Pedalaman yang berupa laut pedalaman; b. Perairan Kepulauan; dan

c. Laut Teritorial.

-4-

(3) Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Zona Tambahan;

b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. Landas kontinen.

BAB II JENIS DAN KRITERIA BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

Bagian Kesatu

Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut

Pasal 5

Bangunan dan Instalasi di Laut memiliki fungsi: a. hunian, keagamaan, sosial dan budaya;

b. perikanan; c. wisata bahari; d. perhubungan;

e. telekomunikasi; f. pengamanan pantai;

g. kegiatan usaha minyak dan gas bumi; h. kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara; i. instalasi ketenagalistrikan; dan

j. khusus.

Pasal 6

(1) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi hunian,

keagamaan, sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a yaitu: a. bangunan hunian;

b. bangunan keagamaan; atau c. bangunan sosial dan budaya.

(2) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b yaitu: a. pelabuhan perikanan;

b. alat penangkap ikan yang bersifat pasif dan statis; c. karamba jaring apung (KJA); d. struktur budidaya laut;

e. instalasi pengambilan air laut untuk budidaya ikan dan garam; atau

f. terumbu buatan. (3) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi wisata bahari

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c yaitu:

a. akomodasi; b. jalan pelantar; c. ponton wisata;

-5-

d. pelabuhan wisata; e. titik labuh (mooring buoy); f. bangunan untuk kuliner; atau

g. marine scaping. (4) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi perhubungan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan.

(5) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e berupa kabel

telekomunikasi bawah air. (6) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi pengamanan

pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f yaitu:

a. krib (groin); b. pengarah arus aliran sungai dan arus pasang surut;

c. revetmen; d. tanggul laut (sea dike); e. tembok laut (sea wall); atau

f. pemecah gelombang (breakwater). (7) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan usaha minyak

dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g yaitu: a. anjungan lepas pantai (offshore platform);

b. anjungan apung; c. anjungan bawah laut (sub sea system); d. pipa bawah laut dan/atau instalasi minyak dan gas bumi; atau

e. fasilitas penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi. (8) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan usaha

pertambangan mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h berupa a. bangunan untuk tempat penampungan sementara mineral dan

batu bara; atau b. fasilitas penunjang kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu

bara. (9) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk instalasi ketenagalistrikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i yaitu

a. pembangkit listrik energi gelombang; b. pembangkit listrik tenaga bayu; c. pembangkit listrik tenaga surya terapung;

d. ocean thermal energi conversion (OTEC); e. pembangkit listrik energi pasang surut;

f. pembangkit listrik energi arus laut; g. mobile power plant; h. bangunan penyangga kabel saluran udara; i. kabel saluran udara; j. kabel listrik bawah air;

k. saluran air (water canal intake/outlet); atau l. fasilitas penunjang instalasi ketenagalistrikan.

-6-

(10) Jenis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i yaitu: a. terowongan bawah laut

b. jembatan; c. bangunan penelitian; d. bangunan pertahanan dan keamanan;

e. pipa bawah laut, berupa: 1. instalasi penyediaan air bersih, atau

2. pipa fluida lainnya.

Bagian Kedua

Kriteria Bangunan dan Instalasi di Laut

Pasal 7

Kriteria Bangunan dan Instalasi di laut berupa:

a. hasil konstruksi berupa struktur keras atau struktur lunak; b. berada di atas dan/atau di bawah permukaan laut secara menetap; c. menempel atau tidak menempel pada daratan.

Pasal 8

(1) Pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di laut

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib memperhatikan:

a. kesesuaian lokasi; b. perlindungan dan kelestarian Sumber Daya Kelautan; c. keamanan terhadap bencana di laut;

d. keselamatan pelayaran dan lindungan lingkungan; e. perlindungan Masyarakat;

f. wilayah pertahanan keamanan; dan g. alur pelayaran di laut.

(2) Kesesuaian lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

ditentukan berdasarkan kesesuaian alokasi ruang di laut untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di laut

berdasarkan: a. Rencana Tata Ruang Laut Nasional; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

c. Rencana Zonasi Kawasan Laut; atau d. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

(3) Perlindungan dan kelestarian Sumber Daya Kelautan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dengan memperhatikan: a. hasil analisa daya dukung dan daya tampung lingkungan;

b. wilayah penangkapan ikan; c. wilayah budidaya perikanan; d. keberadaan alur migrasi biota laut;

e. keberadaan kawasan konservasi perairan; f. keberadaan spesies sedenter; dan/atau g. keberadaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

-7-

(4) Keamanan terhadap bencana di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan dengan memperhatikan: a. riwayat atau sejarah kejadian gempa di laut;

b. keberadaan zona penunjaman dan tumbukan; c. keberadaan sesar (fault) di dasar laut;

d. keberadaan gunung api dasar laut; dan/atau e. risiko bencana dan pencemaran.

(5) Keselamatan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d

ditentukan dengan memperhatikan keberadaan: a. alur-pelayaran; b. jalur penangkapan ikan dan jalur migrasi biota laut;

c. perairan wajib pandu; d. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi-

Pelayaran; dan/atau e. sisa-sisa bangunan di Laut.

(6) Perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e

ditentukan dengan memperhatikan: a. keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Lokal; b. ruang penghidupan dan akses kepada Nelayan Kecil, Pembudi Daya

Ikan Kecil, dan Petambak Garam Kecil; dan/atau c. akses Masyarakat menuju dan ke laut.

(7) Wilayah pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditentukan dengan memperhatikan pelarangan penempatan Bangunan dan Instalasi di laut pada wilayah pertahanan yaitu:

a. daerah latihan militer; b. daerah uji coba peralatan dan persenjataan militer;

c. daerah penyimpanan barang eksplosif dan peralatan pertahanan berbahaya lainnya;

d. daerah disposal amunisi dan peralatan pertahanan berbahaya

lainnya; dan/atau e. daerah ranjau laut.

BAB III PERSYARATAN DAN MEKANISME PENDIRIAN DAN/ATAU PENEMPATAN

BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

Bagian Kesatu

Persyaratan Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut

Pasal 9

(1) Pemrakarsa yang mendirikan dan/atau menempatkan Bangunan dan Instalasi di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

-8-

(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Izin Lokasi;

b. Izin Lingkungan; dan c. Izin Usaha dan/atau Kegiatan.

(3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari:

a. Izin Lokasi perairan pesisir, untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut di sebagian perairan pesisir; dan;

b. Izin Lokasi di Laut, untuk pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi.

(4) Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dimiliki untuk setiap kegiatan pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut yang wajib amdal atau UKL/UPL.

(5) Izin Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berlaku untuk usaha dan/atau kegiatan yang bersifat

komersial dan diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

(6) Izin Lokasi dan Izin Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dan huruf c dikecualikan bagi pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut yang dilakukan

oleh Pemrakarsa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat Hukum Adat.

(7) Ketentuan mengenai Izin Lokasi, Izin Lingkungan, dan Izin Usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 10

(1) Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi hunian, keagamaan, sosial dan budaya yaitu sebagai berikut:

a. untuk bangunan hunian, wajib: 1. memiliki sistem sanitasi;

2. memiliki sistem pengolahan limbah rumah tangga; 3. memiliki jalan pelantar; dan 4. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan dan gedung.

b. untuk bangunan keagamaan, sosial dan budaya, wajib:

1. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut;

2. memiliki rencana detail, 3. menggunakan material yang sesuai dengan kondisi salinitas; 4. menggunakan bahan pelapis anti teritip yang ramah lingkungan;

5. memiliki sistem sanitasi; 6. memiliki sistem pengolahan limbah rumah tangga; dan 7. memiliki jalan pelantar

-9-

8. menyusun studi kelayakan teknis; 9. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

bangunan dan gedung. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan

bagi Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 11

(1) Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut dengan fungsi perikanan yaitu sebagai berikut:

a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut;

b. memiliki rencana detail;

c. menyusun studi kelayakan teknis; d. menggunakan material yang ramah lingkungan; dan

e. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kelautan dan perikanan.

(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Nelayan Kecil dan Pembudi Daya Ikan Kecil.

Pasal 12

(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, untuk pendirian dan/atau penempatan pelabuhan perikanan wajib:

a. menggunakan bahan pelapis anti teritip yang ramah lingkungan pada fasilitas pelabuhan perikanan yang memerlukan;

b. mempertimbangkan arah gerak dan volume sedimen pantai; dan c. melaksanakan penilaian risiko.

(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11, untuk pendirian dan/atau penempatan alat penangkap ikan yang bersifat pasif dan statis, karamba jaring apung (KJA), dan

struktur budidaya laut wajib berdasarkan hasil analisis daya dukung dan daya tampung kawasan terhadap aktivitas perikanan.

Pasal 13

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut dengan fungsi wisata bahari yaitu sebagai berikut: a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut, yang paling sedikit memuat: 1. letak geografis; 2. data hidro-oseanografi, meliputi batimetri, pasang-surut, gelombang,

arus, salinitas; dan/atau 3. geomorfologi dan geologi laut, meliputi kondisi geomorfologi, jenis dan struktur batuan, substrat dasar laut;

-10-

b. memiliki rencana detail; dan c. menyusun studi kelayakan teknis.

Pasal 14

(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, untuk pendirian jalan pelantar wajib: a. menggunakan material yang sesuai dengan kondisi salinitas;

b. menggunakan cat pelapis anti teritip yang ramah lingkungan; dan c. berdasarkan hasil analisis daya dukung dan daya tampung

lingkungan.

(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, untuk penempatan ponton wisata wajib: a. memiliki sistem sanitasi;

b. memiliki sistem pengolahan limbah; c. berdasarkan hasil analisis daya dukung dan daya tampung

lingkungan; d. menghindari pendirian dan/atau penempatan di atas terumbu

karang; dan

e. memperhitungkan penempatan tali tambat agar tidak mengakibatkan kerusakan ekosistem laut.

f. memperhatikan tegangan tali tambat dengan interval pasang surut. (3) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, untuk pendirian pelabuhan wisata wajib:

a. memiliki dokumen perencanaan pembangunan pelabuhan pariwisata terdiri atas: 1. studi kelayakan; dan

2. desain rinci (detail engineering design); b. menggunakan bahan pelapis anti teritip yang ramah lingkungan;

dan c. mempertimbangkan arah gerak dan volume sedimen pantai.

(4) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, untuk penempatan marine scapping wajib: a. menggunakan material yang ramah lingkungan;

b. memasang penanda keberadaan marine scapping dengan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; dan

c. menghindari kerusakan ekosistem.

Pasal 15

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi perhubungan ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan.

-11-

Pasal 16

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut dengan fungsi telekomunikasi yaitu sebagai berikut: a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut;

b. memiliki rencana detail; c. menyusun studi kelayakan teknis;

d. mempertimbangkan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota laut dalam penentuan landing points; dan

e. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan.

Pasal 17

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut dengan fungsi pengamanan pantai yaitu sebagai berikut: a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut;

b. memiliki pra-desain; c. memiliki rencana detail desain,

d. hasil survei kondisi tanah/geoteknik yang meliputi sifat-sifat fisis dan mekanis lapisan tanah;

e. memperhatikan ancaman bencana di laut;

f. memperhatikan kala ulang bencana di laut; g. menyusun studi kelayakan teknis yang berupa tata letak; dan

h. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pekerjaan umum.

Pasal 18

(1) Dalam hal pembangunan bangunan pengamanan pantai dilakukan

oleh pemrakarsa dari swasta, selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, pemrakarsa tersebut wajib mendapatkan

rekomendasi teknis dari unit pelaksana teknis pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.

(2) Pemberian rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya air.

Pasal 19

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi kegiatan usaha minyak dan gas bumi yaitu sebagai berikut:

a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut;

b. memiliki rencana detail;

-12-

c. menyusun studi kelayakan teknis; dan d. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan,

energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan.

Pasal 19A

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut dengan fungsi instalasi ketenagalistrikan yaitu sebagai berikut: a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut; b. menyusun studi kelayakan teknis; c. memiliki rencana detail;

d. memperhatikan ancaman bencana di laut e. memperoleh rekomendasi teknis dari instansi terkait di bidang

ketenagalistrikan; dan f. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber

daya mineral.

Pasal 19B

(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan pembangkit listrik energi gelombang wajib: a. mempertimbangkan akses ke jaringan ketenagalistrikan;

b. melakukan analisa kekuatan dan arah datang gelombang; c. menentukan desain pembangkit listrik energi gelombang yang

sesuai; d. mempertimbangkan respon hidro-elastik dari struktur apung yang

sangat besar (very large floating structures (VLFS)) terhadap

gelombang; e. melaksanakan penilaian risiko;

f. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota laut; dan

g. sesuai dengan target bauran energi nasional yang ditetapkan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan pembangkit listrik tenaga bayu dan pembangkit listrik tenaga surya

terapung wajib: a. berdasarkan hasil analisis daya dukung dan daya tampung

lingkungan;

b. menghindari pendirian dan/atau penempatan di atas terumbu karang;

-13-

c. memperhitungkan penempatan tali tambat agar tidak mengakibatkan kerusakan ekosistem laut;

d. memperhatikan tegangan tali tambat dengan interval pasang surut;

e. melakukan analisa durasi paparan sinar matahari dalam periode tertentu;

f. melakukan analisa kecepatan, arah, dan kekuatan angin;

g. mempertimbangkan akses ke jaringan ketenagalistrikan; h. mempertimbangkan integrasi transmisi ketenagalistrikan dasar laut

dengan jaringan ketenagalistrikan di darat; i. melaksanakan penilaian risiko; j. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota

laut; dan k. sesuai dengan target bauran energi nasional yang ditetapkan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

energi dan sumber daya mineral. (3) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan ocean thermal energi conversion (OTEC) wajib:

a. menentukan desain sistem ocean thermal energi conversion (OTEC) yang digunakan;

b. melakukan survei dan analisa data primer dan/atau data sekunder

untuk penentuan lokasi pengambilan air laut hangat pada permukaan air laut dan air laut dingin pada kedalaman 1.000

(seribu) meter atau pada kedalaman tertentu dengan interval suhu yang sesuai untuk ocean thermal energi conversion (OTEC);

c. melakukan analisa terhadap akses instalasi ocean thermal energi conversion (OTEC) ke air dari perairan dasar laut yang bersuhu dingin;

d. melakukan analisa pemanfaatan ekstraksi air dari perairan dasar laut yang bersuhu dingin untuk pemanfaatan ekonomis lain;

e. mempertimbangkan akses ke jaringan ketenagalistrikan; f. mempertimbangkan integrasi transmisi ketenagalistrikan dasar laut

dengan jaringan ketenagalistrikan di darat;

g. melaksanakan penilaian risiko; h. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota

laut; dan

i. sesuai dengan target bauran energi nasional yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

energi dan sumber daya mineral; (4) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan

pembangkit listrik energi pasang surut, wajib: a. memiliki rentang pasang surut lebih dari 4 (empat) meter;

b. memiliki kedalaman minimal 15 (lima belas) meter pada saat surut terendah;

c. mempertimbangkan jarak terdekat ke pantai;

d. mempertimbangkan akses ke jaringan ketenagalistrikan;

-14-

e. mempertimbangkan integrasi transmisi ketenagalistrikan dasar laut dengan jaringan ketenagalistrikan di darat;

f. melaksanakan penilaian risiko;

g. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota laut; dan

h. sesuai dengan target bauran energi nasional yang ditetapkan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

(5) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan pembangkit listrik energi arus laut, wajib:

a. menentukan desain instalasi pembangkit listrik energi arus laut yang akan digunakan;

b. mempertimbangkan akses ke jaringan ketenagalistrikan;

c. mempertimbangkan integrasi transmisi ketenagalistrikan dasar laut dengan jaringan ketenagalistrikan di darat;

d. melaksanakan penilaian risiko; e. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota

laut; dan

f. sesuai dengan target bauran energi nasional yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

energi dan sumber daya mineral. (6) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan mobile energi power plant, wajib: a. melaksanakan penilaian risiko;

b. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota laut; dan

c. sesuai dengan target bauran energi nasional yang ditetapkan oleh

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

(7) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan penyangga kabel saluran udara dan kabel saluran udara, wajib:

a. memiliki rencana kontijensi; b. melakukan analisa terhadap data konduktifitas, temperatur, dan

kedalaman (conductivity, temperature, depth (CTD));

c. tambahkan berdasarkan hasil survei kondisi tanah/geoteknik yang meliputi sifat-sifat fisis dan mekanis lapisan tanah;

d. tidak mengganggu Alur Pelayaran dan Alur Laut Kepulauan Indonesia;

e. memenuhi persyaratan vertical clearance untuk penempatan kabel

saluran udara terhadap keselamatan pelayaran dan keselamatan penerbangan;

f. memenuhi persyaratan ruang bebas dan jarak bebas minimum; g. mempertimbangkan kajian teknis terkait dampak elektromagnetis

dari kabel saluran udara; h. melaksanakan penentuan titik koordinat awal dan akhir;

-15-

i. melaksanakan penilaian risiko; j. melaksanakan studi kelayakan, yang berupa:

1. kelayakan teknis; dan

2. kelayakan sosial-ekonomi; k. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota

laut.

(8) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan mobile energy power plant, wajib: a. melaksanakan penilaian risiko;

b. memperhatikan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota laut;

c. memperoleh rekomendasi teknis dari institusi terkait di bidang

ketenagalistrikan dan menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang perhubungan; dan

d. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan, kelautan dan perikanan, pekerjaan umum; dan ketenagalistrikan.

(9) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A, untuk pendirian dan/atau penempatan saluran air (water canal intake/outlet), wajib:

a. mempertimbangkan keberadaan sumber daya laut dan jalur ruaya biota laut dalam penentuan landing points; dan

b. memenuhi persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan.

Pasal 20

Persyaratan teknis pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi khusus yaitu sebagai berikut: a. memiliki rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut; b. menyusun studi kelayakan teknis;

c. memiliki rencana detail; dan d. memperhatikan ancaman bencana di laut.

Pasal 21

(1) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, untuk pendirian terowongan bawah laut dan jembatan wajib: a. memiliki rencana kontijensi;

b. melakukan analisa terhadap data konduktifitas, temperatur, dan kedalaman (conductivity, temperature, depth (CTD));

c. berdasarkan hasil survei kondisi tanah/geoteknik yang meliputi sifat-sifat fisis dan mekanis lapisan tanah;

d. melakukan analisa profil dasar laut (sub-bottom profile);

e. memenuhi persyaratan clearance terhadap keselamatan pelayaran, yang berupa:

-16-

1. clearance, untuk pendirian jembatan; atau 2. draught kapal dan under keel clearance, untuk terowongan bawah laut;

f. melaksanakan studi kelayakan : 1. kelayakan teknis; dan

2. kelayakan sosial-ekonomi; g. melaksanakan penilaian risiko; h. persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan, kelautan dan perikanan, pekerjaan umum.

(2) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan penelitian wajib:

a. melengkapi data konduktifitas, temperatur, dan kedalaman (conductivity, temperature, depth (CTD)); dan

b. berdasarkan hasil survei kondisi tanah/geoteknik yang meliputi sifat-sifat fisis dan mekanis lapisan tanah.

(3) Selain memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20, untuk pendirian dan/atau penempatan bangunan pertahanan dan keamanan wajib: a. tidak mengubah titik dasar dan titik referensi serta bentang alam di

pulau-pulau kecil terluar; dan b. mengikuti persyaratan teknis lain yang ditetapkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan pertahanan dan keamanan.

Bagian Kedua Mekanisme Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan dan Instalasi di

Laut

Pasal 22

Mekanisme pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Pemrakarsa wajib mengacu Peta Laut Indonesia dalam pendirian

dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut. (2) Pemrakarsa wajib melaporkan pendirian dan/atau penempatan

Bangunan dan Instalasi di Laut kepada instansi yang membidangi

hidro-oseanografi disertai dengan lampiran: a. desain rinci bangunan dan/atau instalasi di laut;

b. lokasi pendirian beserta daftar titik koordinat pembangunan dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut; dan

c. posisi, kedalaman, dan dimensi Bangunan dan Instalasi di Laut.

-17-

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya dipublikasikan dalam: a. maklumat pelayaran yang diterbitkan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan; dan

b. Berita Pelaut Indonesia yang diterbitkan oleh instansi yang

membidangi hidro–oseanografi.

Pasal 24

(1) Dalam pelaksanaan pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan

Instalasi di Laut ditetapkan zona keamanan dan keselamatan di sekeliling bangunan dan instalasi laut untuk menjamin keselamatan pelayaran dan keselamatan Bangunan dan Instalasi di Laut.

(2) Zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi:

a. sebagai batas pengaman Bangunan dan Instalasi di Laut; b. melindungi Bangunan dan Instalasi di Laut dari gangguan sarana

lain; dan

c. melindungi pelaksanaan kegiatan konstruksi, operasi, perawatan berkala, dan pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut.

(3) Zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. zona terlarang pada area paling jauh 500 (lima ratus) meter

dihitung dari sisi terluar Bangunan dan Instalasi di Laut; dan b. zona terbatas pada area 1.250 (seribu dua ratus lima puluh) meter

dihitung dari sisi terluar zona terlarang atau 1.750 (seribu tujuh

ratus lima puluh) meter dari titik terluar Bangunan dan Instalasi di Laut.

(4) Dalam hal zona keamanan dan keselamatan antar Bangunan dan Instalasi di laut berdekatan atau kurang dari lebar zona keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka penentuan

jarak zona keamanan dan keselamatan tersebut dikoordinasikan antar Pemrakarsa.

(5) Pada zona terlarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilarang membangun Bangunan dan Instalasi di Laut lainnya.

(6) Pada zona terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat

dilakukan pembangunan Bangunan dan Instalasi di Laut lainnya dengan ketentuan tidak mengganggu fungsi dan sistem Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran setelah mendapat izin dari menteri yang

menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan. (7) Zona keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipublikasikan

dalam: a. maklumat pelayaran yang diterbitkan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan;

dan b. Berita Pelaut Indonesia yang diterbitkan oleh instansi yang

membidangi hidro–oseanografi.

-18-

c. Peta Laut Indonesia dan Buku Petunjuk Pelayaran.

BAB IV

PEMBONGKARAN DAN/ATAU ALIH FUNGSI BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

Bagian Kesatu Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut

Pasal 25

(1) Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan dalam hal: a. izin lokasi dan izin usaha habis masa berlakunya;

b. habis umur teknisnya; c. dinyatakan tidak dipergunakan lagi oleh Pemerintah atau

pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya; d. terdapat perubahan kebijakan nasional. e. kepentingan pertahanan dan keamanan.

(2) Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemrakarsa.

(3) Kriteria tidak dipergunakan lagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa: a. tidak terdapat aktivitas usaha selama 2 (dua) tahun; atau

b. tidak memenuhi persyaratan pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 21.

(4) Pembongkaran Bangunan dan Instalasi Laut harus memperhatikan: a. keberlangsungan kegiatan perikanan di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPN-RI) ; b. perlindungan lingkungan laut; dan c. hak-hak serta kewajiban Negara lain di Wilayah Perairan dan

Wilayah Yurisdiksi. d. kepentingan pertahanan dan keamanan.

(5) Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib: a. menggunakan teknologi yang sesuai dengan standar nasional

Indonesia atau standar regional atau standar/praktek internasional

terbaik; dan b. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

pekerjaan bawah air.

(6) Dalam hal bangunan dan instalasi di laut merupakan BMN maka pembongkaran dilaksanakan setelah mendapatkan izin penghapusan

BMN dari menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang keuangan.

-19-

Pasal 26

Kegiatan pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut dengan fungsi

kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang usaha minyak dan gas bumi.

Pasal 27

Pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut wajib dilaporkan oleh Pemrakarsa kepada instansi yang membidangi urusan hidro-oseanografi

untuk: a. disiarkan melalui stasiun radio pantai; b. disiarkan melalui maklumat pelayaran dan Berita Pelaut Indonesia;

c. dicantumkan dalam Peta Laut Indonesia dan buku petunjuk pelayaran; dan/atau

d. dihapuskan dari Peta Laut Indonesia.

Bagian Kedua

Alih Fungsi Bangunan dan Instalasi di Laut

Pasal 28

(1) Selain dibongkar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26,

Bangunan dan Instalasi di Laut yang tidak dipergunakan lagi dan/atau tidak dibongkar dapat dialih fungsikan untuk kegiatan tertentu.

(2) Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:

a. rigs to reefs; b. stasiun penelitian; atau

c. wisata bahari. (3) Kementerian atau lembaga yang berwenang melaksanakan kajian

terhadap Bangunan dan Instalasi di Laut yang akan dialih fungsikan

untuk kepentingan lain. (4) Kementerian atau lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) yaitu: a. kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang

pelayaran, dalam rangka pertimbangan keselamatan dan

keamanan pelayaran; b. kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang

kelautan dan perikanan, untuk pertimbangan penetapan lokasi Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan rigs to reefs; dan

c. kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang

energi dan sumber daya mineral, untuk penilaian kelayakan teknis atau umur teknis Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan

usaha minyak dan gas bumi.

-20-

(5) Dalam hal Bangunan dan Instalasi di Laut merupakan Barang Milik Negara (BMN), pengalihfungsian untuk kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. (6) Pengalihfungsian Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan oleh

Pemrakarsa kepada instansi yang berwenang untuk: a. disiarkan melalui maklumat pelayaran dan Berita Pelaut Indonesia;

b. disiarkan melalui stasiun radio; dan c. dicantumkan dalam Peta Laut Indonesia dan Buku Petunjuk

Pelayaran.

Pasal 28A

(1) Menteri berwenang mengkoordinasikan pengelolaan Bangunan dan Instalasi di Laut.

(2) Koordinasi pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendirian, pemasangan, penempatan, dan/atau pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut pada:

a. kawasan antar wilayah; b. Kawasan Strategis Nasional;

c. Kawasan Strategis Nasional Tertentu; dan d. wilayah yurisdiksi; e. Kawasan Konservasi Perairan Nasional; dan/atau

f. kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 29

(1) Monitoring dan evaluasi terhadap Bangunan dan Instalasi di Laut

dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

(2) Monitoring dan evaluasi dilakukan pada tahap operasional Bangunan dan Instalasi di Laut.

(3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang: a. Bangunan dan Instalasi di Laut dan fungsinya; dan b. pengaruh Bangunan dan Instalasi Laut terhadap ekosistem laut.

(4) Monitoring dan evaluasi dilakukan sekali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

Pasal 30

(1) Apabila berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdapat kerusakan ekosistem laut, Pemrakarsa wajib melakukan rehabilitasi.

-21-

(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai bangunan dan instalasi di laut yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 32

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal ……….. PRESIDEN REPUBLIK

INDONESIA ttd

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal ……………..

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR ....

PENJELASAN ATAS

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH

NOMOR ... TAHUN ... TENTANG

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BANGUNAN DAN INSTALASI DI LAUT

I. UMUM Bangunan dan instalasi di laut merupakan setiap konstruksi, baik

yang berada di atas dan/atau dibawah permukaan laut, baik yang

menempel pada daratan, maupun tidak menempel pada daratan. Bangunan dan instalasi tersebut memiliki fungsi sosial dan budaya,

perikanan, wisata bahari, perhubungan, telekomunikasi dan listrik, pengamanan pantai, kegiatan usaha minyak dan gas bumi, kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, dan khusus.

Pendirian dan/atau penempatan bangunan dan instalasi di laut memerlukan penataan dalam rangka menujang kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Pendirian dan/atau penempatan bangunan dan

instalasi tersebut masih berorientasi sektoral tanpa memperhatikan aspek kegiatan sektoral lainnya. Sebagai contoh kegiatan usaha minyak dan gas

bumi saling bersinggungan dengan kegiatan perikanan dan kelautan dalam memanfaatkan ruang laut.

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

mengatur mengenai bangunan laut dan instalasi di laut. Dalam Undang-Undang tersebut, pendiran dan/atau penempatan bangunan laut dan

instalasi di laut wajib mempertimbangkan aspek keselamatan pelayaran, dan kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Oleh karena itu, perlu pengaturan bangunan laut dan instalasi di laut

yang memuat kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di laut, pembongkaran dan alih fungsi bangunan dan instalasi di laut, dan ketentuan monitoring dan evaluasi terhadap

operasional bangunan laut dan instalasi di laut.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2

Cukup jelas Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a

Yang dimaksud dengan “laut pedalaman” adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah.

Huruf b Yang dimaksud dengan “perairan kepulauan” adalah semua

perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai.

2

Huruf c Yang dimaksud dengan “laut teritorial” adalah jalur laut

selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia.

Ayat (3)

Huruf a Yang dimaksud dengan “zona tambahan” adalah zona yang

lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

Huruf b Yang dimaksud dengan “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia” adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut

teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan

batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.

Huruf c

Landas Kontinen meliputi dasar Laut dan tanah dibawahnya dari area di bawah permukaan Laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan

hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar

laut teritorial diukur; dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut atau sampai dengan jarak 100

(seratus) mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1) Huruf a

Yang dimaksud dengan “bangunan hunian” adalah

bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret dan rumah tinggal sementara, seperti bangunan

permukiman masyarakat hukum adat. Huruf b

Bangunan keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara,

dan kelenteng. Huruf c

Bangunan sosial dan budaya antara lain berupa bangunan untuk kebudayaan, laboratorium, dan lainnya.

Ayat (2)

Huruf a Yang dimaksud dengan “pelabuhan perikanan” adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya

dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang

digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan

penunjang perikanan. Huruf b

Alat penangkap ikan yang bersifat pasif dan statis antara lain berupa alat penangkapan ikan jaring angkat (lift net) dan alat penangkapan ikan perangkap (trap).

3

Yang dimaksud dengan “alat penangkapan ikan jaring angkat (lift net)” adalah kelompok alat penangkapan ikan

yang terbuat dari bahan jaring berbentuk segiempat dilengkapi bingkai bambu atau bahan lainnya sebagai rangka yang dioperasikan dengan cara dibenamkan pada

kolom perairan saat setting dan diangkat di permukaan saat hauling yang dilengkapi dengan atau tanpa lampu

pengumpul ikan untuk menangkap ikan pelagis.

Alat penangkapan ikan jaring angkat (lift net) antara lain berupa bagan tancap

Yang dimaksud dengan “alat penangkapan ikan perangkap (trap)” adalah kelompok alat penangkapan ikan yang terbuat

dari bahan jaring dan/atau besi, kayu, bambu berbentuk silinder, trapesium dan bentuk lainnya yang dioperasikan secara pasif pada dasar perairan yang dilengkapi atau tanpa

umpan. Alat penangkapan ikan perangkap (trap) antara lain berupa

jermal, sero, set net, togo, ambai. Huruf c

Yang dimaksud dengan “karamba jaring apung” adalah alat budidaya ikan yang mengapung dan bersifat statis dan

dinamis yang menetap selama lebih dari 30 (tiga puluh) hari. Huruf d

Yang dimaksud dengan “struktur budidaya laut” adalah

struktur di laut untuk budidaya laut, yang terdiri dari kegiatan pembenihan, pendederan, dan pembesaran.

Struktur budidaya laut antara lain struktur sea ranching dan struktur sea farming.

Huruf e Instalasi pengambilan air laut untuk budidaya ikan dan

garam antara lain berupa pipa bawah laut. Huruf f

Yang dimaksud dengan “terumbu buatan” adalah struktur

buatan manusia dari benda-benda keras yang sengaja ditempatkan di dasar perairan dengan meniru beberapa karekteristik terumbu karang alami, yang berfungsi sebagai

tempat perlindungan, mencari makan dan berkembangbiak berbagai biota laut, dan perlindungan pantai.

Ayat (3) Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Yang dimaksud dengan “jalan pelantar” adalah prasarana

transportasi yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada di atas

permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “ponton wisata” adalah kapal dengan lambung datar atau kotak besar yang mengapung digunakan

untuk mengangkut barang, dan ditarik dengan kapal tunda yang dimanfaatkan sebagai wahana wisata.

4

Huruf d Pelabuhan wisata antara lain berupa marina, dermaga

wisata, atau dermaga yatcht. Huruf e

Yang dimaksud dengan “titik labuh (mooring buoy)” adalah

tempat para pelaku wisata bahari dapat melabuhkan jangkarnya.

Huruf f Bangunan untuk kuliner antara lain berupa restoran apung.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “marine scaping” adalah struktur buatan bawah laut yang ditata sedemikian rupa untuk

kegiatan wisata atau atraksi bawah air. Marine scapping antara lain berupa akuarium bawah laut.

Marine scaping di Indonesia antara lain berada di Perairan Pemuteran, bagian utara Provinsi Bali.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6)

Huruf a Yang dimaksud dengan “krib (groin)” adalah bangunan yang

dibuat tegak lurus atau kira-kira tegak lurus pantai, berfungsi mengendalikan erosi yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan angkutan pasir sejajar pantai

(longshore sand drift).

Krib antara lain berupa groin ambang rendah Huruf b

Pengarah arus aliran sungai dan arus pasang surut antara

lain berupa jeti (jetty).

Yang dimaksud dengan “jeti” adalah bangunan menjorok ke laut yang berfungsi sebagai pengendalian penutupan muara sungai atau saluran oleh sedimen.

Huruf c Yang dimaksud dengan “revetmen” adalah struktur di pantai

yang dibangun menempel pada garis pantai dengan tujuan untuk melindungi pantai yang tererosi.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “tanggul laut (sea dike)” adalah struktur pengaman pantai yang dibangun sejajar pantai

dengan tujuan untuk melindungi dataran pantai rendah dari genangan yang disebabkan oleh air pasang, gelombang dan badai.

Huruf e Yang dimaksud dengan “tembok laut (sea wall)” adalah

struktur pengaman pantai yang dibangun dalam arah sejajar pantai dengan tujuan untuk melindungi pantai terhadap hempasan gelombang dan mengurangi limpasan genangan

areal pantai yang berada di belakangnya. Huruf f

Yang dimaksud dengan “pemecah gelombang (breakwater)” adalah konstruksi pengaman pantai yang posisinya sejajar atau kira-kira sejajar garis pantai dengan tujuan untuk

5

meredam gelombang datang. Pemecah gelombang berfungsi untuk untuk meredam energi gelombang di belakang

struktur dan pengurangan transpor sedimen tegak lurus pantai, menurunkan tinggi gelombang di pantai, dan memperlambat angkutan sedimen ke arah laut.

Pemecah gelombang antara lain berupa bulkhead, struktur

ambang rendah. Ayat (7) Huruf a

Anjungan lepas pantai (offshore platform), antara lain berupa Tension Leg Platform (TLP), Drilling Platform, atau

Production/Treatment Platform. Huruf b

Anjungan apung antara lain berupa Floating Production Unit (FPU), Mobile Offshore Production Unit/Mobile Offshore Drilling Unit (MOPU/MODU), floating storage and offloading (FSO), floating production storage and offloading (FPSO), single point mooring, floating liquified natural gas (FLNG);

atau floating storage receiving unit (FSRU). Huruf c

Anjungan bawah laut (sub sea system), antara lain berupa sumur pengeboran bawah air (Subsea Wellhead Platform).

Huruf d Pipa bawah laut dan/atau instalasi minyak dan gas bumi, antara lain berupa Pipe Line End Manifold (PLEM) atau pipa

minyak dan gas bumi. Huruf e

Fasilitas penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi antara lain berupa dermaga.

Ayat (8)

Huruf a Tempat penampungan sementara mineral dan batu bara

antara lain berupa struktur terapung untuk kegiatan ship to ship mineral atau batu bara.

Huruf b Fasilitas penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi antara lain berupa dermaga batu bara.

Ayat (9)

Huruf a Pembangkit listrik energi gelombang antara lain berupa oscillating water column wave energy converter (OWC-WEC).

Yang dimaksud dengan “oscillating water column wave energy converter (OWC-WEC)” adalah struktur di laut untuk mengkonversi energi gelombang laut menjadi energi listrik yang berbentuk struktur tetap atau struktur osilasi berongga

yang terbuka dan berada di bawah permukaan air yang memerangkap udara diatas pada bagian dalam permukaan

bebasnya. Huruf b

Pembangkit listrik tenaga bayu antara lain berupa kincir

angin. Huruf c

Cukup jelas.

6

Huruf d Yang dimaksud dengan “ocean thermal energi conversion

(OTEC)” adalah struktur di laut untuk menghasilkan listrik dengan menggunakan metode konversi perbedaan suhu antara laut dalam dan laut permukaan.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas. Huruf g

Mobile power plant antara lain berupa Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang terapung.

Huruf h Cukup jelas.

Huruf i Kabel saluran udara antara lain berupa Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Saluran Udara Tegangan

Tinggi (SUTT), dan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM).

Huruf j Cukup jelas. Huruf k

Saluran saluran air (water canal intake/outlet) antara lain berupa pipa bawah air untuk sirkulasi pendinginan Pembangkit Listrik Tenaga Uap.

Huruf l Fasilitas penunjang instalasi ketenagalistrikan antara lain

berupa jeti untuk pembangkit listrik dan pemecah gelombang untuk pelindung pembangkit.

Ayat (10)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Bangunan penelitian antara lain berupa stasiun penelitian atau stasiun pengamatan.

Huruf d

Bangunan pertahanan dan keamanan antara lain berupa pos militer dan suar.

Huruf e Angka 1

Instalasi penyediaan air bersih antara lain berupa pipa

air bersih. Angka 2

Pipa fluida lainnya antara lain berupa submarine tailing disposal.

Yang dimaksud dengan “submarine tailing disposal” adalah pipa bawah laut untuk pembuangan tailing di

laut. Pasal 7

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan “secara menetap” adalah bangunan dan instalasi di laut yang menurut sifatnya memerlukan

7

ruang laut secara terus menerus paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender.

Huruf Cukup jelas. Pasal 8

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a

Yang dimaksud dengan “Rencana Tata Ruang Laut Nasional”

adalah hasil perencanaan ruang laut di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” adalah rencana yang menentukan arah

penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh

dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “Rencana Zonasi Kawasan Laut adalah perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi

kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah.

Huruf d Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Yang dimaksud dengan zona penunjaman adalah zona

menunjamnya (bend downward) lempeng samudra ke bawah lempeng benua.

Huruf c

Yang dimaksud dengan sesar adalah bentuk rekahan pada suatu lapisan batuan yang menyebabkan suatu blok batuan

bergerak relatif terhadap blok batuan yang lain. Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e Risiko bencana dan pencemaran antara lain berupa gempa

bumi, tsunami, gelombang ekstrem, gelombang laut berbahaya, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, erosi pantai kenaikan paras muka air laut,

pencemaran logam berat, tumpahan minyak. Ayat (5) Huruf a

Yang dimaksud dengan “alur-pelayaran” adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan

pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.

8

Huruf b Alur migrasi biota laut antara lain jalur migrasi mamalia laut

(cetacean), seperti paus, lumba-lumba dan ikan duyung termasuk berbagai jenis biota laut peruaya lainnya termasuk jenis penyu.

Huruf c Yang dimaksud dengan “perairan wajib pandu” adalah suatu

wilayah perairan yang karena kondisinya wajib dilakukan pemanduan bagi kapal berukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih.

Huruf d Yang dimaksud dengan “Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran”

adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.

Yang dimaksud dengan “Telekomunikasi-Pelayaran” adalah telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas pelayaran

yang merupakan setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara dan informasi

dalam bentuk apapun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak-pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan

pelayaran. Huruf e

Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7) Huruf a

Yang dimaksud dengan “daerah latihan militer” adalah

wilayah yang disiapkan/digunakan untuk meningkatkan kemampuan perorangan dan/atau satuan dalam rangka

menghadapi kemungkinan ancaman musuh. Huruf b

Yang dimaksud dengan “daerah uji coba peralatan dan

persenjataan militer” adalah wilayah yang disiapkan atau digunakan untuk melakukan uji coba Alat Utama Sistem Senjata atau peralatan pertahanan lainnya oleh instansi

yang berwenang melakukan uji coba dan telah dijamin keamanannya.

Huruf c Yang dimaksud dengan “daerah penyimpanan barang explosif dan berbahaya lainnya” adalah wilayah yang

disiapkan atau digunakan sebagai tempat penyimpanan serta pemeliharaan bahan peledak dan berbahaya lainnya

sesuai dengan kriteria teknis yang ditentukan oleh Mabes TNI/Angkatan.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “daerah disposal amunisi dan peralatan pertahanan berbahaya lainnya” adalah suatu tempat yang disiapkan/digunakan untuk memusnahkan

amunisi atau peralatan pertahanan berbahaya lainnya yang ditetapkan oleh Mabes TNI/Angkatan dan dijamin

keamanannya. Huruf e Cukup jelas.

9

Pasal 9

Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a Yang dimaksud dengan “izin lokasi” adalah Izin Lokasi

adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada

batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “izin lingkungan” adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha

dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau

Kegiatan. Huruf c

Yang dimaksud dengan “Izin Usaha dan/atau Kegiatan”

adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan Usaha dan/atau Kegiatan.

Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7) Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Angka 1

Rencana pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut, yang paling sedikit memuat:

a. letak geografis; b. data hidro-oseanografi, meliputi batimetri, pasang-

surut, gelombang, arus, salinitas; dan/atau

c. geomorfologi dan geologi laut, meliputi kondisi geomorfologi, jenis dan struktur batuan, substrat dasar laut.

Angka 2 Rencana detail, yang paling sedikit memuat:

a. gambar teknis; b. perhitungan teknis; c. rencana anggaran dan biaya; dan

d. metode pendirian dan/atau penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut yang ramah

lingkungan. Angka 3 Cukup jelas.

10

Angka 4 Cukup jelas.

Angka 5 Cukup jelas. Angka 6

Cukup jelas. Angka 7

Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas.

Angka 9 Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas. Pasal 11

Cukup jelas. Pasal 12

Ayat (1)

Huruf a Bahan pelapis anti teritip merupakan lapisan pelindung, cat, lapisan perawatan permukaan, atau peralatan yang

digunakan di atas kapal untuk mengendalikan atau mencegah menempelnya organisme yang tidak diinginkan.

Cat anti teritip tidak boleh mengandung tributyl tin compounds sesuai ketentuan pengendalian anti teritip (anti fouling system).

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 13 Cukup jelas.

Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15

Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Yang dimaksud dengan “landing points” adalah titik awal dan/atau

titik akhir pipa atau kabel bawah laut dan/atau posisi bangunan dan/atau fasilitas utama kegiatan.

Huruf e

Cukup jelas. Pasal 17

Huruf a Cukup jelas.

11

Huruf b

Pra-desain terdiri atas pemilihan pengembangan alternatif, kriteria desain, termasuk sel pantai, tata letak, bentuk pengamanan pantai, dan material pengamanan pantai.

Pengembangan alternatif pengamanan pantai dapat berupa

perlindungan buatan (artificial protection), perlindungan alami (natural protection), penyesuaian terhadap perubahan alam, penurunan risiko dampak yang mungkin terjadi, dan antisipasi

terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam.

Perlindungan buatan meliputi pembangunan struktur lunak (soft structure), struktur keras (hard structure), dan kombinasi antara

struktur lunak dan struktur keras. Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas. Huruf e

Ancaman bencana di laut antara lain berupa meliputi gempa bumi, tsunami, gelombang ekstrim, gelombang laut berbahaya, letusan

gunung api, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, erosi pantai, kenaikan paras muka air laut;

Huruf f

Cukup jelas. Huruf g

Cukup jelas. Huruf h

Cukup jelas.

Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19

Cukup jelas. Pasal 19A

Cukup jelas. Pasal 19B Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas Huruf c

Desain pembangkit listrik energi gelombang yang berupa OWC-WEC antara lain berupa near shore bottom standing

OWC, floating-structured WECs with interior OWC, breakwater-integrated OWC, dan multi-OWC devices.

Huruf d Yang dimaksud dengan “respon hidro-elastik” adalah perilaku elastis dari struktur di laut yang umum terjadi pada

struktur apung yang sangat besar dan berbahan ringan. Perilaku elastis ini dapat menimbulkan efek merusak pada

struktur apung tersebut. Huruf e

Cukup jelas.

12

Huruf f Cukup jelas.

Huruf g Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Huruf a Desain sistem OTEC antara lain berupa OTEC sistem tertutup, OTEC sistem terbuka, dan OTEC sistem hibrida.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas. Huruf g

Cukup jelas. Huruf h

Cukup jelas. Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Huruf a

Desain instalasi pembangkit listrik energi arus laut antara

lain berupa near-shore wave energy generator atau off-shore wave energy generator.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.

Huruf f Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Huruf a Yang dimaksud dengan “rencana kontinjensi” adalah suatu proses perencanaan ke depan terhadap keadaan yang tidak

menentu untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik dalam situasi darurat atau kritis dengan menyepakati

skenario dan tujuan, menetapkan tindakan teknis dan menejerial, serta tanggapan dan pengerahan potensi yang telah disetujui bersama.

Huruf b Cukup jelas.

13

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Yang dimaksud dengan “ruang bebas” adalah ruang yang dibatasi oleh bidang vertikal dan horizontal di sekeliling dan di sepanjang konduktor Saluran Udara Tegangan Tinggi

(SUTT), Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), atau Saluran Udara Tegangan Tinggi Arus Searah (SUTTAS) di mana tidak boleh ada benda di dalamnya demi

keselamatan manusia, makhluk hidup dan benda lainnya serta keamanan operasi SUTT, SUTET, dan SUTTAS.

Jarak bebas minimum berupa jarak babas minimum vertikal dari konduktor.

Yang dimaksud dengan “jarak babas minimum vertikal dari konduktor” adalah jarak terpendek secara vertikal antara

konduktor SUTT, SUTET, dan SUTTAS dengan permukaan bumi atau benda di atas permukaan bumi yang tidak boleh

kurang dari jarak yang telah ditetapkan demi keselamatan manusia, makhluk hidup, dan benda lainnya serta keamanan operasi SUTT, SUTET, dan SUTTAS.

Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas. Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k Cukup jelas.

Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9)

Cukup jelas. Pasal 20

Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1)

Huruf a Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Profil dasar laut antar lain memuat relief, morfologi, dan

jenis substrat dasar laut. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Cukup jelas.

14

Huruf g Cukup jelas.

Huruf h Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3)

Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas.

Pasal 23 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Peta Laut Indonesia” adalah peta dasar

yang diakui keabsahannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menarik garis-garis wilayah laut dan garis batas laut

Indonesia terhadap wilayah laut negara tetangga. Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24

Cukup jelas. Pasal 25

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Huruf a Penentuan jangka waktu dimulainya aktifitas usaha dilakukan oleh kementerian atau lembaga atau Pemerintah

Daerah sesuai dengan kewenangannya. Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (4) Huruf a

Yang dimaksud dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan,

pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan

pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Hak-hak serta kewajiban Negara lain di Wilayah Perairan

dan Wilayah Yurisdiksi terkait dengan pembongkaran Bangunan dan Instalasi di Laut antara lain aktifitas

perikanan dan perlindungan lingkungan laut.

Selain itu dalam pembongkaran Bangunan dan Instalasi di

Laut wajib memberikan publikasi yang jelas dalam Peta Laut Indonesia terhadap kedalaman, posisi, dan dimensi dari

Bangunan dan Instalasi di Laut yang tidak seluruhnya dibongkar.

15

Huruf d Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas. Pasal 26

Cukup jelas Pasal 27 Huruf a

Yang dimaksud dengan “stasiun radio pantai” adalah stasiun darat dalam dinas bergerak pelayaran.

Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Yang dimaksud dengan “buku petunjuk pelayaran” adalah buku kepanduan bahari yang berisi petunjuk atau keterangan yang dipergunakan sebagai pedoman bagi para awak kapal agar dapat

berlayar dengan selamat. Huruf d Cukup jelas.

Pasal 28 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a

Yang dimaksud dengan “rigs to reefs” adalah pengalihfungsian Bangunan dan Instalasi di Laut untuk

kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sudah tidak dipergunakan lagi menjadi terumbu buatan.

Huruf b

Alih fungsi Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi untuk kegiatan penelitian

antara lain berupa pemasangan alat perekam data arus laut dan data konduktifitas, temperatur, dan kedalaman (conductivity, temperature, depth (CTD)).

Huruf c Alih fungsi Bangunan dan Instalasi di Laut untuk kegiatan

usaha minyak dan gas bumi untuk wisata bahari antara lain berupa pembangunan penginapan.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 28A

Cukup jelas. Pasal 29

Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1)

Rehabilitasi ekosistem laut dilakukan terhadap terumbu karang, mangrove, lamun, estuari, laguna, teluk, delta, gumuk pasir, pantai, dan/atau populasi ikan.

16

Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …