zuhud dan reformasi birokrasi
TRANSCRIPT
ZUHUD DAN REFORMASI BIROKRASI
E. Nadzier Wiriadinata
(Kasubbag Hukmas dan KUB, Kanwil Kemenag Prov. Jabar)
Bila kita analisis fenomena yang terjadi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
di republik yang kita cintai ini, secara kasat
mata betapa falsafah hidup yang
berorientasi materi begitu kuat merasuki
tidak hanya orang-orang yang hidup di
perkotaan tetapi juga di pedesaan, bahkan
juga merasuki para politisi, pelaku
ekonomi, para pejabat, bahkan aparat
penegak hukum. Berbagai kasus yang
berkaitan dengan ‘markus’, ‘mafia hukum’, mafia pajak ataupun ‘mafia anggaran’ semuanya
berujung dan/atau berkaitan dengan materi. Dan itu adalah fakta sekaligus indikator betapa
falsafah hidup berbasis/berorientasi materi benar-benar telah mewabah dan merasuk
kesegenap lapisan masyarakat.
Falsafah hidup materialistis benar-benar telah menghancurkan benteng moralitas dan sendi-
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi birokrasi yang didengung-dengungkan
pemerintah sepertinya berjalan di tempat dan sama sekali belum mampu meningkatkan citra
pemerintah di mata masyarakat. Malah sebaliknya, tingkat kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah dari waktu ke waktu semakin merosot. Dalam konteks inilah barangkali kita bisa
memahami apa yang disampaikan oleh Ketua PBNU, KH. Said Aqil Siroj terkait gagasannya
agar kewajiban membayar pajak sebaiknya untuk sementara dihentikan (moratorium) sampai
pemerintah bisa membuktikan tidak adanya kebocoran dari sektor penerimaan pajak (Pikiran
Rakyat, 14 September 2012). Terlepas dari setuju tidak setuju dengan gagasan pimpinan
PBNU tersebut, namun hal yang pasti adalah bahwa banyak aspek internal kepemerintahan
yang memang harus dibenahi untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Problem moralitas yang terjadi di negara kita begitu kompleks. Ibaratnya seperti benang
kusut. Entah harus darimana memulai pembenahannya. Sejujurnya harus diakui bahwa
agama belum memberikan andil yang signifikan dalam mengatasi problem moralitas bangsa.
Pengamalan agama yang teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat lebih terfokus pada
aspek ritual sementara aspek nilai-nilai moralitas yang seharusnya juga ikut andil dalam
membangun kasalehan sosial malah belum berperan sebagaimana mestinya. Fenomena animo
masyarakat yang begitu tinggi dan semakin meningkat untuk menjalankan ibadah haji dari
tahun ke tahun sepertinya belum berpengaruh banyak pada perbaikan kualitas moral bangsa.
Di sisi lain, maraknya berbagai kasus ajaran menyimpang dan ancaman terorisme yang tak
kunjung usai semakin memperkuat dugaan kita bahwa Islam memang belum mampu
dihadirkan sebagai sebuah solusi yang bisa diandalkan.. Hal ini tentunya harus menjadi
perhatian dan bahan introspeksi kita.
Kalau kita cermati ada benarnya pendapat yang mengungkapkan bahwa selama ini ajaran
Islam belum seutuhnya difahami khalayak masyarakat. Pendapat ini didukung oleh fakta
bahwa penguatan yang terjadi di masyarakat hanya pada aspek fiqh semata sementara aspek
moralitasnya/akhlaq masih begitu lemah. Padahal, banyak nilai moralitas/akhlaq dalam Islam
yang sebenarnya bisa memberikan alternatif solusi atas problem moralitas bangsa yang
semakin rapuh ini. Salah satunya adalah ‘zuhud’.
Zuhud memang sebuah kata yang seringkali didengar oleh masyarakat muslim, namun sangat
kurang difahami hakekat pengertiannya. Zuhud sebagai sebuah perilaku sepertinya tidak
begitu diminati karena segudang alasan. Sebagian menganggap bahwa zuhud adalah sebuah
perilaku yang bersumber dari ajaran diluar Islam. Sebagian lainnya mengatakan bahwa zuhud
tidak lebih dari gaya hidup yang muncul sebagai sebuah gerakan protes atas kuatnya
dominasi kehidupan hedonis pada zaman tertentu. Yang lebih parah lagi adalah betapa zuhud
seringkali difahami dengan pemahaman yang begitu dangkal, yaitu sebagai suatu perilaku
menjauhi/meningggalkan kehidupan duniawi, sehingga lengkaplah sudah alasan yang
membuat sikap zuhud menjadi prinsip moral yang tidak populer dikalangan masyarakat
muslim. Lebih parahnya lagi, akibat pemahaman dangkal tersebut tidak sedikit yang
kemudian beranggapan bahwa sikap zuhud sangat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam
yang mengedepankan prinsip keberimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Ketika zuhud hanya difahami secara dangkal sebagai sikap meninggalkan kehidupan
duniawi, sebagaimana difahami masyarakat pada umumnya, maka pemahaman semacam itu
sebenarnya telah mereduksi hakekat pengertian zuhud dan bahkan sangat menyesatkan. Dari
sisi pandang manapun pemahaman semacam itu sangat tidak bisa dimengerti dan sangat tidak
logis. Secara logika, bagaimana mungkin manusia bisa meninggalkan kehidupan duniawi
sementara dirinya hidup dan beraktivitas di dunia ? Seorang muslim, siapapun dia, seorang
zahid atau bukan, dipastikan sangat meyakini bahwa dunia ini adalah ladang baginya untuk
meraih keberhasilan hidupnya di akhirat kelak. Jadi, bagaimana mungkin keberhasilan hidup
di akhirat kelak akan bisa diraih bila kehidupan di dunia ini dicampakkan?
Bila kita telusuri pengertian zuhud melalui kitab-kitab klasik karangan para ulama sufi yang
secara detail membahas kajian tentang ‘zuhud’ maka akan kita temukan sebuah pemahaman
yang sangat bertolak belakang dengan pemahaman sempit yang selama ini terekam dalam
benak masyarakat muslim pada umumnya. Menurut mereka, zuhud difahami sebagai
perilaku yang didasarkan pada sebuah kesadaran yang begitu dalam bahwa fikiran dan jiwa
manusia tidak pernah boleh terikat atau tergantung kepada kenikmatan duniawi. Dengan kata
lain, kenikmatan duniawi jangan pernah diberi peluang untuk mendominasi dan mendikte
fikiran dan jiwanya. Sekali fikiran dan jiwanya didominasi dan didikte oleh kenikmatan-
kenikmatan duniawi maka saat itu pula fikiran dan jiwanya akan diperbudak oleh hal-hal
duniawi tersebut. Selama fikiran dan jiwa seseorang diperbudak oleh hal-hal duniawi maka
sudah dipastikan yang bersangkutan sangat rentan utuk dihinggapi perilaku : rakus/tamak,
culas/licik, dengki, sombong, boros, bohong, dan perilaku negatif lainnya. Perilaku-perilaku
negatif inilah yang pada gilirannya nanti akan memalingkannya dari hakekat tujuan hidup
yang sebenarnya. .
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perilaku zuhud sangat sejalan dengan apa yang Allah
tegaskan di beberapa ayat al-Quran yang menyatakan bahwa kenikmatan duniawi itu
melalaikan dan sangat menipu (QS.Al-hadid : 20, QS. Al-Nazi’aat : 37 – 41). Kemudian di
beberapa ayat lainnya Allah secara tegas pula menyatakan betapa kecilnya nilai kenikmatan
duniawi dibandingkan kenikmatan di akhirat (QS. An-Nisa : 77, QS. At-Taubah : 38).
Sementara di beberapa ayat lainnya Allah mengingatkan bahwa tidak sedikit hamba-
hambanya menjadi penghuni neraka karena mereka terlena oleh perilaku glamour/bermegah-
megah dan kenikmatan duniawi yang menggoda (QS. At-Takatsur : 1-2, QS. Al Furqon : 18,
QS. Az-Zukhruf : 29-30).
Pesan yang diungkapkan oleh ayat-ayat di atas begitu jelas dan gamblang. Nilai-nilai
kezuhudan adalah prinsip moral yang tidak pernah bisa diabaikan jika seseorang ingin sukses
dalam menjalani kehidupan didunia ini. Perilaku zuhud memberikan ketegasan kepada kita
bahwa tolok ukur keberhasilan dalam hidup tidak ada relevansinya dengan kekayaan,
kekuasaan, pengaruh ataupun ketenaran. Namun demikian, Zuhud tidak pernah identik
dengan kemiskinan, kebodohan, maupun ketertinggalan. Zuhud sangat erat kaitannya dengan
prinsip hidup sederhana, bebas dan tidak terpenjara dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat.
Seorang zahid bisa jadi secara ekonomi tergolong kaya, namun kekayaannya itu tidak
membuatnya hidup bermewah-mewah serta tidak pula terjebak pada pola hidup konsumtif.
Kekayaan baginya tidak lebih sebagai alat untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya di
mata Allah. Begitu pentingnya perilaku zuhud maka wajar bila zuhud, di mata para ulama
sufi, dipandang sangat terkait erat dengan kualitas ruhaniah seseorang, sehingga mereka
menempatkan zuhud sebagi salah satu tahapan/level/stasiun/maqam yang harus dilampaui
untuk sampai pada ridla Allah.
Kita berharap bahwa masyarakat, ulama/mubaligh, para pendidik, budayawan, aparat
pemerintah, penegak hukum, maupun para politisi menyadari pentingnya membangun
perilaku zuhud. Sudah saatnya zuhud dikenalkan dan ditanamkan sejak dini di dunia
pendidikan formal karena tidak bisa dipungkiri jika zuhud merupakan salah satu kualitas
moral yang bisa diandalkan dalam membangun karakter bangsa. Program reformasi birokrasi
pun hanya mungkin berjalan optimal manakala perilaku zuhud menjadi prinsip moral yang
mendasari seluruh aktivitas kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.