yusri akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

24

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id
Page 2: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

79

Yusri Akhimuddin

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]:Relasi Ulama-Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan

Abstrak: Perbedaan masyarakat muslim Indonesia dalam menentukan awal dan akhir Ramadan terjadi berulang kali, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya cara dan metode yang digunakan untuk menentukan awal bulan qamariah. Metode yang digunakan muslim Indonesia dalam penetapan awal dan akhir Ramadan antara lain metode hisab, rukyat hilal, hisab dan rukyat, imkan al-rukyat, istikmal, dan metode lainnya. Dalam artikel ini akan dibahas tentang relasi ulama-umara dalam menyelesaikan perdebatan awal Ramadan di Minangkabau yang terjadi pada abad ke-17 dengan berbasis pada manuskrip Asal Khilaf Bilangan Taqwim (AKBT).

Kata Kunci: naskah Asal Khilaf Bilangan Taqwim, Minangkabau, relasi ulama-umara, Ramadan.

Perbedaan masyarakat muslim Indonesia tentang awal dan akhir Ramadan berulang kali terjadi, tidak terkecuali di Sumatera Barat. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya cara dan metode

yang digunakan untuk menentukan awal bulan qamariah.1 Selain itu, juga karena banyaknya pihak yang memiliki otoritas dalam penetapan awal dan akhir Ramadan. Metode yang digunakan muslim Indonesia dalam penetapan awal dan akhir Ramadan antara lain metode hisab, rukyat hilal, hisab dan rukyat, imkan al-rukyat, istikmal2 dan beberapa metode hisab tradisional seperti hisab Aboge di Jawa Timur, hisab Sunda di Jawa Barat, serta hisab Taqwim dan hisab Munjid di Sumatera Barat. Setiap pimpinan kelompok memiliki otoritas menetapkan awal

Page 3: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

80Ramadan dan melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan metode dan keyakinan masing-masing.

Perbedaan kembali terjadi dalam penetapan awal dan akhir Ramadan 1433 H/ 2012 H. Khusus di Sumatera Barat, setidaknya ada empat kelompok Islam yang berbeda dalam penetapan awal dan akhir Ramadan, yaitu Pemerintah, Muhammadiyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan kelompok tarekat. Tarekat Syaman dan Naqsanbandiyah memiliki perhitungan kalendernya lebih awal dari Pemerintah. Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah memiliki perhitungan yang terkadang sama dan berbeda dengan Pemerintah. Tarekat Syattariyah biasanya melaksanakan puasa terlambat satu sampai dua hari dari Pemerintah. Setiap kelompok meyakini kebenaran sistem perhitungan yang mereka digunakan. Salah satu informasi tentang sistem penanggalan dan perbedaan awal Ramadan, dalam hal ini sistem yang digunakan kelompok tarekat, masih ada yang terekam dalam bentuk manuskrip. Misalnya manuskrip [Asal Khilaf Bilangan Taqwim], selanjutnya ditulis AKBT, yang tersimpan di surau Calau, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Ditemukannya sistem penentuan awal Ramadan dalam manuskrip, menunjukkan bahwa sejak dulu sistem penanggalan adalah suatu yang penting bagi umat Islam, terutama terkait dengan penetapan waktu ibadah puasa. Dalam sejarah Sumatera Barat, perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadan serta penentuan arah kiblat termasuk hal yang sensitif,3 bahkan pernah menjadi kon ik terbuka antara tarekat Syattariyah dan Naqsabandiyah, dan menimbulkan pertumbahan darah.4 Kelompok tarekat Syattariyah diistilahkan dengan “orang puasa kemudian”,5 sebagai pembeda dengan pembaharu atau kaum muda.6

Kajian tentang perbedaan awal dan akhir Ramadan di Minangkabau antara lain dilakukan oleh Pramono yang mengkaji naskah Taqwim karya Imam Abdul Manaf. Pramono menemukan bahwa perdebatan awal puasa di Minangkabau, tidak hanya antara kaum tua dengan kaum muda, melainkan juga antara sesama penganut tarekat sendiri.7 Konteks perdebatan dalam naskah ini terjadi pada masa modern, di masa hidup Imam Abdul Manaf (1922-2006). Perbedaan puasa dalam konteks Minangkabau juga pernah disinggung oleh Tau k Abdullah (1997), Christine Dobbin (1983), Sanusi Latif (1998), Nazar Bakri (2002), Azyumardi Azra (2003), Duski Samad (2003), dan Oman

Page 4: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

81Fathurahman (2008). Semua kajian ini terbatas pada konteks perbedaan puasa Ramadan antara tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan dan tarekat Naqsabandiyah yang berpusat di Cangking pada abad ke-19. Semua kajian menyimpulkan bahwa perdebatan masalah penetapan awal puasa Ramadan tidak pernah menemui suatu kesepakatan.

Campur tangan pemerintah dalam menetapkan awal Ramadan dikaji oleh M. Sayuthi Ali. Ali menyimpulkan, bahwa metode hisab rukyat dan metode hisab non rukyat bisa disatukan dengan adanya campur tangan hakim/pemerintah.8 Hanya saja Ali tidak berbasis manuskrip dan tidak dalam konteks perdebatan puasa di Minangkabau, melainkan konteks Indonesia pada zaman modern.

Berbeda dengan informasi yang direkam oleh manuskrip AKBT. Naskah ini memuat sejarah awal perbedaan puasa Ramadan yang berakhir dengan dikeluarkannya sebuah keputusan raja Minangkabau, ketika masih berpusat di Suruaso,9 diperkirakan sekitar abad ke-17. Selain itu, naskah AKBT juga merekam sejarah awal perbedaan pelaksanaan ibadah puasa dari konteks Arab, Aceh, sampai ke Minangkabau. Naskah AKBT juga merekam jenis hisab yang dipedomani yang disertai ayat dan hadis nabi yang berkaitan dengan puasa Ramadan, serta pihak pihak yang berdebat dan pemberi otoritas dalam penetapan puasa.

Dengan berbasis pada manuskrip AKBT, artikel ini mencoba menjawab bagaimana relasi ulama-umara dalam menyelesaikan perdebatan awal Ramadan di Minangkabau pada abad ke-17.

Islam di Minangkabau

Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, bahkan sebelum agama-agama besar dianut oleh orang Minang, sebenarnya orang Minang sudah memiliki aturan, yaitu aturan adat, yang digunakan untuk mengatur keharmonisan hidup bermasyarakat. Aturan adat ini berpedoman kepada alam, belajar dari alam, alam takambang jadi guru. Aturan alam inilah yang disebut dengan adat nan sabana adat.10 Aturan ini tidak pernah berubah, pada masa Islam diberi dengan nilai Islam yang disebut dengan sunnatullah. Kesesuaian pandangan loso s yang sudah dimiliki orang Minang dengan pandangan Islam yang datang, mejadikan Islam mudah diterima dan bertahan di Minangkabau. Islam menggantikan agama Hindu dan Budha yang lebih dahulu datang di Minangkabau. Pada masa selanjutnya, Islam semakin kuat dengan dijadikannya Islam sebagai agama resmi kerajaan Minangkabau. Hubungan antara

Page 5: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

82sesama manusia diatur oleh adat, sedangkan hubungan dengan yang transendental diatur oleh agama.11 Islam digunakan sebagai dasar untuk pelaksanaan adat istiadat Minangkabau, syarak mangato adat mamakai.

Corak Islam yang berkembang di Minangkabau

Sebagaimana pengembara su yang membawa Islam masuk ke Nusantara,12 Islam yang masuk ke Minangkabau juga dibawa oleh para su . Tidak heran kalau Islam yang berkembang di wilayah ini adalah Islam yang bercorak tasawuf. Tasawuf yang menekankan unsur batin sangat cocok dengan budaya dan nilai yang telah dianut oleh masyarakat Minang. Berbagai aliran tasawuf yang selanjutnya menjadi berbagai ordo tarekat mudah berkembang di Minangkabau. Perkembangan ini dipercepat dengan kondisi geogra s Minangkabau yang banyak didatangi oleh para pedagang yang sekaligus pendakwah su dari pusat-pusat Islam, seperti di India, Makkah, dan Madinah. Namun, tarekat yang lebih berkembang dan bertahan, serta memiliki banyak pengikut di Minangkabau adalah tarekat Syattariyah dan Naqsabandiyah.

Tarekat-tarekat di Minangkabau terhubungkan dengan pusat Islam, terutama Makkah dan Madinah. Melalui perijazahan, banyak orang Minang yang menjadi mursyid tarekat baik di dalam dan di luar Minangkabau. Seiring dengan itu, ilmu keislaman juga berkembang di Minangkabau, terutama setelah dijadikannya surau sebagai pusat studi keislaman oleh Shaykh Burhanuddin Ulakan.

Pada awalnya, surau merupakan lembaga adat yang pada masa Islam diubahfungsikan. Surau tidak saja sebagai fungsi sosial, akan tetapi juga sebagai institusi pendidikan. Di Minangkabau, surau tidak hanya menjadi otoritas ulama, melainkan juga dinaungi oleh otoritas pemipin adat dan pemerintahan, yaitu ninik mamak, ulama, dan cerdik pandai. Berdasarkan kepemilikan, surau dapat dibagi atas surau wakaf, surau baumpuak (baonggok), dan surau kampoeng.13 Surau wakaf adalah surau yang telah diwakafkan untuk kepentingan umat Islam. Surau baumpuak adalah surau yang kepemilikannya oleh kelompok tertentu atau suku. Surau kampoeng (kampung) adalah surau yang kepemilikannya terdiri dari beberapa suku pada batas-batas wilayah dari kampung tertentu.

Berdasarkan jenis, surau dapat dibagi kepada surau kaum, surau nagari, dan surau tarekat. Setiap jenis surau ini tetap melibatkan otoritas kaum adat, agama, pemerintah, bahkan juga mengakomodir

Page 6: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

83otoritas jamaah, yang dikenal dengan orang ampek jinih, ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan orang banyak.

Sebenarnya surau adalah istilah Melayu-Indonesia, yang terkadang disebut juga dengan suro. Istilah ini tidak saja digunakan di Minangkabau, tetapi juga digunakan di Batak, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya dan Patani, dalam arti yang sama yaitu tempat ibadah.14 Untuk perkembangan masa selanjutnya istilah surau lebih bertahan di Minangkabau.

Surau dijadikan tempat pembinaan anak nagari dan anggota kaum. Di surau ditransmisikan ilmu-ilmu keislaman. Khusus surau tarekat diajarkan ilmu keislaman sesuai dengan corak tasawuf yang dianut oleh mursyidnya. Dalam transmisi pengetahuan ini, terjadi penulisan, penyalinan, dan pencatatan pengetahuan yang sekaligus mendorong perkembangan naskah di Minangkabau. Hampir seluruh keilmuan tarekat yang ada di Minangkabau ditemukan buktinya dalam manuskrip, termasuk manuskrip yang berkaitan dengan penetapan awal Ramadan. Setiap tarekat memiliki cara penghitungan dan penetapan awal Ramadan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Perbedaan awal dan akhir puasa antar kelompok keagamaan di Sumatera barangkali sangat beragam. Perbedaan awal dan akhir Ramadan dari kelompok yang paling awal hingga kelompok paling akhir bisa berbeda satu sampai empat hari.15

Dalam beberapa literatur, perdebatan mengenai awal dan akhir Ramadan dimulai dengan perdebatan antara ulama Ulakan dengan ulama Cangking, antara kaum tradisional dan kaum pembaharu. Sementara perbedaan pelaksanaan puasa di Luhak Tanah Datar belum dibahas sama sekali.

Kekuasaan, adat, dan agama di Minangkabau

Etnis Minangkabau ditandai oleh tiga ciri besar, yaitu: kepenganutan yang kuat atas Islam, kepatuhan terhadap sistem keluarga matrilinial, dan kecenderungan kuat merantau atau migrasi.16 Kepenganutan atas Islam melekat dalam diri orang Minang, yang tertuang dalam kesepakatan “Sumpah Sati Marapalam”, Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, sehingga dikatakan bahwa orang Minang adalah orang Islam, kalau tidak Islam berarti keluar dari Minang.

Sistem matrilinial adalah garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Ada tiga unsur yang paling dominan dalam sistem kekerabatan

Page 7: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

84matrilinial. Pertama, garis keturunan menurut garis ibu. Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan harta kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.17 Perempuan mempunyai otoritas penuh terhadap penguasaan rumah gadang. Sedangkan ketentraman hidup berumah tangga di dalam sebuah rumah gadang dipegang oleh tungganai atau datuk, gelar adat bagi lelaki dari garis keturuan ibu.18

Merantau bagi lelaki Minang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, faktor keinginan mendalami ilmu, faktor budaya, faktor ekonomi dan faktor keamanan. Tidak adanya sekolah untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di Minangkabau mengakibatkan banyak pelajar Minangkabau yang belajar ke Mekah, dan pada masa kolonial juga belajar ke Eropa. Pertemuan lelaki Minang dengan para perantau yang pulang kampung saat malam di surau juga memotivasi lelaki Minang untuk merantau.19 Sebelum merantau, lelaki Minang dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman tentang agama dan adat. Sehingga betapa jauh pun lelaki Minang merantau, agama Islam dan adat Minang melekat dalam dirinya.

Ciri lain yang tidak lepas dari budaya Minangkabau adalah adat musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Nilai budaya ini dilestarikan dalam pepatah adat seperti bulek aie dek pambuluh bulek kato dek mufakat, saciok bak ayam sadanciang bak basi. Termasuk dalam tata sosial, kebenaran mufakat dijunjung tinggi, misalnya dalam pepatah kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan bana badiri surang yaitu kitabullah. Meskipun seorang raja memiliki otoritas dalam menetapkan suatu keputusan, namun tetap melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam naskah AKBT juga dinyatakan bahwa kalau akan mengganti kesepakatan juga dengan cara bermusyawarah, jikalau kan dibuang basamo-samo handaknyo.20

Kekuasaan di Minangkabau, dalam hal ini raja Minangkabau, hanya sebagai pemegang kekuasaan politik. Raja di Minangkabau tidak berkuasa atas kepemilikan tanah,21 raja tidak mengikat setiap pribadi orang Minang. Yang berkuasa terhadap setiap pribadi dan tanah di Minangkabau adalah pimpinan kaum atau suku yang disebut dengan penghulu atau datuk. Tradisi ini sudah dalam undang-undang adat Minangkabau, jauh sebelum berdirinya kerajaan di Minangkabau.

Page 8: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

85Dalam menjalankan pemerintahannya, raja Minangkabau dibantu oleh beberapa pembantu misalnya mufti bidang agama, hulubalang bilang keamanan, dan bandaro bidang keuangan. Semua pembantu istana adalah kepala suku yang ada dalam wilayah kekuasaan Minangkabau yang dianggap cakap membantu raja.

Datuk memiliki otoritas untuk mengatur dan memberi sanksi anggota kaumnya yang melanggar aturan adat. Dalam sistem kaum ini, seorang datuk juga dibantu oleh beberapa pembantu dengan jabatan sebagaimana pembantu yang dimiliki oleh raja. Hanya saja para pembantu penghulu berasal dari anggota kaumnya sendiri dan hanya bertanggung jawab atas anggota kaumnya, baik bidang adat, agama, dan ekonomi.

Kekuasaan politik yang dipegang oleh raja, kekuasaan adat oleh penghulu, dan kekuasaan agama oleh ulama, merupakan tiga jabatan yang saling menguatkan. Tiga komponen ini sering disebut dengan tali tigo sapilin, tiga tali satu jalinan. Tiga kekuasaan ini juga nampak dalam sistem pemerintahan kerajaan Pagaruyung dengan adanya Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Kekurangan salah satu dari tiga unsur ini akan melemahkan kekuatan hukum dari kesepakatan musyawarah, bahkan bisa dianggap tidak sah.

Tentang Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

Naskah AKBT telah didigitasi melalui ‘Progam Digitalisasi Naskah Koleksi Surau Calau, Sijunjung, Sumatera Barat’.22 Dalam draft ‘Listing Naskah Surau Calau’, naskah ini diberi judul Kitab Taqwim, judul ini penulis ganti menjadi [Asal Khilaf Bilangan Taqwim] berdasarkan kalimat di awal teks yang berbunyi ‘Adapun asal Khilaf bilangan Taqwim’.

Sepanjang penelusuran melalui katalog naskah, baik katalog cetak dan digital, belum ditemukan katalog yang memuat teks AKBT. Maka dalam kajian ini, naskah AKBT diperlakukan sebagai naskah tunggal (codex unicus). Katalog umumnya memuat teks tentang taqwim, yaitu sistem perhitungan bulan hijriyah, termasuk cara penentuan awal Ramadan.23 Sedangkan teks yang merekam perdebatan awal Ramadan dalam konteks Luhak Tanah Datar belum ditemukan. Satu-satunya naskah lain yang memuat perdebatan penetapan awal Ramadan di Minangkabau adalah naskah Kitab Taqwim wa-Siyam yang Menerangkan Masalah Taqwim dan Puasa karya Imam ‘Abd al-Manaf

Page 9: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

86Amin al-Katib.24 Namun, teks ini tidak menyinggung perdebatan awal Ramadan di pedalaman Minangkabau, Luhak Tanah Datar. Naskah taqwim yang ditulis oleh Imam ‘Abd al-Manaf membicarakan perbedaan awal puasa Ramadan di kalangan tarekat Syattariyah pada abad ke-20. Ketiadaan sumber lain, selain naskah AKBT yang di Surau Calau, maka perbandingan naskah juga tidak bisa dilakukan.

Dalam Listing Naskah Sijunjung, naskah AKBT diberi kode CL-SJJ-2011-76b. Sayangnya, dari 99 naskah yang dideskripsikan, khusus untuk naskah ini, ukuran naskah, blok teks, dan watermark luput dari pencatatan di lapangan. Naskah ini terdiri dari sebelas teks,25 yaitu; Hikayat Nabi Bercukur (1-15), Asal Khilaf Bilangan Taqwim (16-34), Tambo Rajo Tigo Selo (35-79), Risalah Baik dan Jahat (81-115), Doa dan Mujarabat (116-138), Perkataan Shahadat (139-160), Kumpulan Doa (162- 181), Tafsir Al-Quran (182- 224), Sharafa al-anam dan Panduan Mendirikan Rumah (225-230), kutipan ayat al-Quran (231-280), Rukun Sembahyang(281-310).

Teks AKBT terdiri dari 19 halaman, menggunakan aksara Jawi yang memuat 9 baris tiap halaman. Aksara Arab hanya digunakan untuk menuliskan ayat al-Quran dan hadis nabi. Alas naskah menggunakan kertas Eropa, dengan tinta berwarna hitam, dan tinta merah untuk rubrikasi. Naskah ini masih memiliki sampul yang terbuat dari kulit, namun lembaran sudah banyak terlepas dari jilidan, tinta sudah banyak yang menggerus teks, sehingga pada sebagian teks tidak terbaca dengan baik. Beberapa halaman-124, 160, 165, 169, 179, 190,191, 226, 281, 283, 301- dibiarkan kosong. Beragamnya gaya dan jenis aksara yang digunakan, kemungkinan naskah ini disalin oleh orang dan pada waktu yang berbeda.

Secara garis besar, teks AKBT berisi tentang perdebatan awal puasa Ramadan di Minangkabau, tepatnya di Luhak Nan Tuo, Kabupaten Tanah Datar sekarang, antara Tuan Ha z di Pasir Lawas dengan Kiai Rangga di Parambahan Lima Kaum. Sebelum sampai kepada perdebatan awal puasa Ramadan di Minangkabau, teks mempaparkan juga sejarah perdebatan di Mekkah dan di Aceh.

Naskah AKBT adalah salah satu bukti bahwa perdebatan awal Ramadan, dalam hal ini di wilayah kekuasaan Kerajaan Minangkabau, sudah terjadi sejak lama. Perbedaan itu tidak hanya dalam organisasi keagamaan yang berskala nasional, tetapi juga dalam kelompok-kelompok keagamaan yang bersifat lokal. Bahkan kelompok kegamaan lokal cenderung tidak sama dengan sistem penanggalan Pemerintah.

Page 10: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

87Dalam naskah dinyatakan bahwa Raja Mekkah akan menghukum

bunuh Shaykh Hasan Hadramawt, namun ulama Arab memohon kepada raja agar hukuman itu diganti dengan yang lebih ringan disebabkan pengetahuan yang dimiliki Shaykh Hasan Hadramawt, sebuah penghargaan keilmuan sesama ulama.

Maka menyembah segala ulama “Tuanku, ampun beribu kali ampun, tiada harus dibunuh orang itu, karena kalam Allah banyak dalam dadanya, jikalau akan maklum sembah kami, kita buang ia dari negeri Arab ini”. Itupun beroleh pinta segala ulama Arab pada Raja Makkah. Dibuanglah Shaykh Hasan Hadramawt. Maka turunlah ia ke negeri Gujarat.26

Hal yang sama juga berlanjut terjadi di Suruaso. Akhirnya kesepakatan diperoleh tanpa harus ditempuh dengan kekerasan, menyalahkan, mengka rkan, apalagi dengan pertumpahan darah. Pentingnya dialog yang dilandasi dengan nilai-nilai agama dan budaya, serta menjunjung tinggi apa yang diputuskan pemimpin adalah salah satu nilai penting yang dikandung dalam teks AKBT.

Bagi komunitas Islam surau, apa yang dinyatakan dalam naskah AKBT adalah pedoman yang harus diikuti. Alasan yang cukup kuat mempedomani AKBT adalah karena disebutkannya silsilah guru-murid yang menggunakan sistem hisab sebagaimana terdapat dalam naskah AKBT. Ketersambungan sampai ke negeri Mekkah sebagai pusat ilmu memperkuat legalitas kesahihan ilmu yang digunakan. Tidak hanya itu, penyebutan Raja Mekkah, Raja Aceh, dan Raja Minangkabau-Raja Suruaso, juga memperkuat keakraban Raja Minangkabau dengan raja-raja di pusat keislaman. Bahkan keterhubungan seorang raja di Nusantara dengan Raja Mekkah juga berfungsi untuk memperkuat legalitas.

Bahkan pada masa pra-Islam, hubungan antara raja Nusantara dengan raja di Timur Tengah sudah terjadi. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua surat-menyurat antara raja Sriwijaya, Sri Indrawarman dengan Khalifah Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dalam surat itu Sri Indrawarman menyatakan dirinya sebagai “Raja Nusantara” (the King of Hind), menyapa Abdul Aziz sebagai “Raja Arab”.27 Ketersambungan guru-murid sampai ke Mekkah dalam naskah AKBT, serta posisi raja Minangkabau yang dianggap sebagai manusia yang diberi kelebihan untuk memimpin sebagaimana raja Aceh dan raja Mekkah, menambahkuat pentingnya naskah AKBT bagi komunitas surau di Minangkabau.

Page 11: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

88Kepengarangan

Pengarang atau penyalin teks AKBT tidak dinyatakan langsung dalam naskah, sehingga belum bisa diketahui. Sedikit informasi diberikan pada catatan yang menerangkan bahwa ‘Kitab ini adalah peninggalan Faqir di Calau28, urang nan Tigo Koto’. Kata Faqir adalah nama samaran yang berarti ‘miskin’. Salah satu tradisi dalam penulisan naskah Melayu adalah dengan menyebutkan kata faqir, da’if, al-madhnub, dan kata lain yang bertujuan untuk menyatakan kerendahan hati si penulis atau penyalin

Penyebutan nama Tigo Koto dan Calau memberi peluang informasi tentang komunitas pengguna teks. Sebagaimana nama-nama daerah di Minangkabau sering menggunakan nama Koto yang berarti kampung dalam wilayah nagari. Dalam pembentukan nagari di Minangkabau, sejak dulu disebutkan dalam pepatah “Dari taratak manjadi dusun, dari dusun manjadi koto, dari koto manjadi nagari”.29 Nama nagari yang menggunakan koto juga bermacam-macam. Ada yang dikaitkan dengan awal terjadinya koto dinamakan nagari Kapalo Koto, atau Koto Tuo, nagari yang muncul atau berada di pertengahan dinamakan Koto Tangah, atau yang koto yang terakhir muncul atau secara geogra s berada paling ujung, dinamakan nagari Ekor Koto. Terkadang disebutkan berdasarkan jumlah koto yang berhimpun menjadi satu nagari, maka dinamakan Duo Koto, Tigo Koto, Empat Koto, dan Sepuluh Koto. Oleh karena itu, nama yang menggunakan kata ‘koto’ banyak dijumpai di Minangkabau, termasuk nagari Tigo Koto.

Di wilayah Sumatera Barat sekarang, paling tidak ada empat nagari Tigo Koto, yaitu di Kecamatan Silungkang, Kecamatan Rambatan, Kecamatan Lubuk Sikaping, dan Kecamatan Sungai Puar. Keempat kecamatanini berada dalam kabupaten yang berbeda. Mungkin saja masih ada nagari Tigo Koto di daerah lain di Sumatera Barat. Penulis cenderung pada “Faqir anak nan Tigo Koto” sebagaimana disebutkan dalam naskah AKBT berasal dari nagari Tigo Koto Silungkang. Ada beberapa alasan yang menguatkan kecenderungan penulis. Pertama, Kecamatan Silungkang adalah wilayah yang dekat dengan Calau. Sedangkan Rambatan, Lubuk Sikaping, dan Sungai Puar merupakan kecamatan yang berada di luar Kabupaten Sijunjung. Tentu saja pendapat ini masih lemah, karena bisa saja orang menuntut ilmu berasal dari daerah yang jauh. Namun bisa dikuatkan dengan alasan kedua, bahwa Silungkang pernah menjadi salah satu pusat pengajaran

Page 12: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

89Islam berbasis surau di wilayah pedalaman Minangkabau. Silungkang pernah menjadi pusat pendidikan dengan gurunya Haji Muhammad, yang kemudian terkenal dengan Tuanku Shaykh Silungkang.30 Demikian juga hubungan surau antara calau dengan Silungkang sudah berlangsung cukup lama, seiring dengan hubungan dagang di Padang Darat.

Pada bulan Juli, Agustus dan September, setelah masa panen padi, banyak orang Rantau , biasanya dalam kelompok yang terdiri dari delapan, sembilan hingga dua puluhan orang, melewati daerah Sijunjung. Mereka kebanyakan berasal dari Rantau Kwantan [Kuantan], Rantau Batang Hari, Rantau Toba [Tebo], Rantau Boenga [Bungo], Rantau Pelapat, Rantau Soengei, Rantau Batang Asei, Rantau Singginggi [Singingi] dan Tabir, Korintji [Kerinci] serta XII Kota. Terkecuali dua yang terakhir, saya tak tahu persis di mana letak daerah-daerah itu. Umumnya sebagai ketua tiap rombongan adalah seorang yang disebut Tua Galeh (galeh artinya dagangan), yang tugasnya memimpin mereka, dan dalam banyak hal merupakan pedagang yang sesungguhnya, memiliki anggota-anggota lainnya sebagai anak buah yang nanti akan dibayar dengan kain setelah selesainya perjalanan. Namun, tujuan dari perjalanan ini tak hanya untuk berdagang. Banyak orang Rantau juga mengunjungi surau-surau di Padang Darat (tampaknya wilayah ini jadi serambi Islam di Sumatra), khususnya yang ada di Sijunjung, Tjaloe dekat Moeara, surau di Ambeh di Padang Siboesoek dan sebuah di Silungkang (semuanya ada di distrik Koto VII).31

Sedangkan hubungan Calau dengan Sungai Puar, Lubuk Sikaping, dan Rambatan, pada masa itu, terutama kaitan dengan surau, belum ditemukan sumber yang menyatakannya. Namun, belum bisa disimpulkan bahwa penyalin naskah AKBT adalah Shaykh Silungkang. Karena catatan Verkerk Pistorius ditulis saat dia mengunjungi Silungkang pada abad akhir abad ke-18. Meskipun demikian, nagari Faqir dalam naskah AKBT adalah Tigo Koto dalam wilayah Silungkang.

Calau adalah nagari di Sijunjung yang merupakan salah satu pusat tarekat Syattariyah di pedalaman Minangkabau. Sebagaimana salah satu ciri geogra s surau di Minangkabau yaitu berada dekat dengan sumber mata air. Surau Calau didirikan dekat sungai yang berhulu di Nagari Sukam yang terletak di Kabupaten Solok. Karena wilayah Calau terletak di seberang sungai Sukam, maka jorong ini diberi nama Jorong Subarang Sukam.32

Sebenarnya terdapat jarak yang panjang antara Tuan Ha z dengan keberadaan Surau Calau sebagai lembaga pendidikan surau. Surau Calau pertama kali didirikan oleh Shaykh Abdul Wahab kira-kira abad

Page 13: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

90ke-18, dikenal juga dengan Tuanku Di Bawah Manggis, salah seorang penerus tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan. Sejak dari Shaykh Abdul Wahab, di surau Calau telah terjadi 16 kali pergantian guru, disebabkan guru meninggal dunia. Sejak tahun 2005 sampai sekarang surau Calau dipimpin oleh Angku Umar SL Tuanku Mudo.33 Hal ini suatu yang wajar, karena bisa saja naskah lebih muda dari teks yang diceritakan.

Demikian sisi kepengarangan naskah AKBT, belum ditemui siapa penyalinnya, namun dari segi ideologi nyata bahwa naskah AKBT ditulis atau disalin oleh seseorang pengikut tarekat Syattariyah.

Naskah AKBT tidak menyebutkan angka tahun. Namun, dari beberapa nama yang disebutkan dalam naskah dapat diperkirakan masa naskah ini diproduksi. Nama dan tempat dalam naskah (interne evidensi), kemudian dicari pada sumber luar naskah (externe evidensi)34 yang berhubungan dengan masa dari nama dan tempat tersebut dapat memperkirakan masa naskah AKBT diproduksi.

Dalam konteks Minangkabau, dalam naskah AKBT, disebutkan Tuan Ha z pulang dari Aceh setelah belajar dari Shaykh ‘Abd al-Ra’uf. Shaykh ‘Abd al-Ra’uf (1024-1105/1615-1693) diperkirakan pulang dari Mekkah dan Madinah ke Aceh sekitar tahun 1584/1661 pada masa Sultanah Sha yyah Al-Din. Shaykh ‘Abd al-Ra’uf diangkat menjadi Qadi Malik Al-‘Adil atau mufti.35 Tidak ada sumber yang menerangkan tentang Tuan Ha z. Namun, paling tidak Tuan Ha z ke berjumpa dengan Shaykh ‘Abd al-Ra’uf di Aceh setelah tahun 1661. Setelah Tuan Ha z mengajar di Pasir Lawas Sungai Tarab selama empat tahun, datang Kyai Rangga di Parambahan sekitar tahun 1665 yang memiliki perbedaan sistem taqwim dengan Tuan Ha z.

Menurut Hamka, terdapat jarak yang cukup panjang antara Adityawaran, raja Pagaruyung pertama, pada abad ke-14 dengan Sultan Alif wafat tahun 1581. Ada mata rantai yang terputus antara tahun 1400 M sampai 1600 M.36 Berdasarkan keterangan Van Bazel, setelah Sultan Alif wafat, timbul perselisihan dalam memperebutkan tahta. Akhirnya wilayah dibagi tiga yaitu Sungai Tarab, Suruaso, dan Pagaruyung, lazim disebut dengan Tali Tigo Sapilin, bertiga raja berkuasa.37 Meskipun informasi Van Bazel belum menjelaskan raja Suruaso yang memerintah awal abad ke-16, namun, dalam informasi dari naskah AKBT dapat dianggap bahwa raja Suruaso adalah seorang raja yang paham dengan hukum Islam. Sebab daerah Pasir Lawas tempat Tuan Ha z, termasuk

Page 14: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

91wilayah Sungai Tarab. Sedangkan nagari Parambahan, tempat Kiai Rangga adalah wilayah Lima Kaum yang dekat dengan Pagaruyung. Akan tetapi permasalahan awal puasa di dua wilayah ini dibawa ke Raja Suruaso.

Naskah AKBT menggambarkan kuatnya hubungan ulama dan raja dalam menentukan sistem kalender yang digunakan oleh masyarakat untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan sejak dari Mekah sampai ke Minangkabau. Antara Shaykh AHmad Al-Qushashi dan Raja Mekah, Shaykh ‘Abd Al-Ra’uf dan Raja Aceh, serta Tuan Ha z dengan Raja Suruaso.

Relasi Ulama-Umara di Minangkabau Abad ke-17 dalam Penetapan Awal Ramadan

Sejak Nabi mengintruksikan untuk memulai dan mengakhiri puasa Ramadan dengan rukyat hilal pada tahun kedua Hijriah, maka sejak itu sampai sekarang, setiap akhir bulan Rajab, hilal menjadi objek penting bagi umat Islam di seluruh dunia.38 Sesuai dengan pengetahuan dan cara pemahaman terhadap instruksi Nabi tersebut, maka muncul pula beberapa cara dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadan di berbagai wilayah muslim. Terciptalah cara penghitungan bulan dari cara tradisional sampai cara modern. Namun karena ibadah bersifat keyakinan, dan cara menghitung bulan dan metode melihat bulan adalah merupakan ijtihad, maka sampai sekarang banyak ditemukan hasil ijtihad, termasuk di Minangkabau. Menariknya di Minangkabau, perbedaan ini tidak mengganggu kerukunan sesama umat beragama. Kecuali pada masa gerakan pembaharu di abad ke-19 dan abad ke-20, yang kemudian, meskipun diakhiri dengan perundingan, namun tidak membuahkan kesepakatan. Dalam kitab Mizan al-Qalb karya Abdul Manaf disebutkan:

“…mereka kaum muda kebanyakan telah menganggap dirinya lebih alim dari golongan ulama tua; lama-kelamaan terjadilah pertentangan yang ramai di Minangkabau; kaum muda menuduh kaum tua itu kolot amalnya, banyak bercampur bid’ah dan syirik, sedangkan kaum tua mengatakan pula kaum muda itu pengajiannya sesat lagi menyesatkan…”39

Perbedaan puasa ini juga sudah terjadi di Mekkah sebagai pusat dunia Islam. Sebagaimana direkam dalam naskah AKBT:

Bersalahan ulama negeri Mekkah dengan Shaykh Hasan Hadr Al-mawt karena ia puasa genap-genap tiap-tiap bulan Ramadan, karena berjabah ia

Page 15: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

92

pada tahun Alif nasabnya. Dan pada ulama Arab pada tahun Ba nasabnya, pada masa itu ada kalanya genap ada kalanya kurang tiga puluh hari.40

Berdasarkan naskah AKBT, dinyatakan bahwa perdebatan awal dan akhir Ramadan sudah terjadi pada abad ke-17. Perbedaan sistem perhitungan yang dianut oleh dua ulama dari dua sistem kelarasan Minangkabau di Luhak Tanah Datar.

Kemudian dari itu Tuan Ha z, orang Pasir Lawas, kembali dari negeri Aceh, pulang ke negeri Alam Minangkabau. Adalah barang empat tahun ia duduk dalam negeri Pasir Lawas. Tuan Kiyai Rangga tiba dalam negeri Parambahan Limokaum. Maka bersalahan bilangan dalam negeri Minangkabau sebab bilangan Tuan Kiyai Rangga. 41

Bentuk Kekuasaan di Minangkabau abad ke-17.

Di Nusantara, abad ke-16 sampai ke-17 merupakan masa di mana terjadinya hubungan yang mesra antara ulama dan penguasa. Hal yang sama terjadi pada kesultanan Aceh, Demak, termasuk di kerajaan Minangkabau. Keharmonisan relasi ulama-umara terlihat dengan adanya tempat khusus bagi ulama di dalam istana. Ulama menjadi penasehat kehidupan sultan, dan juga digunakan untuk mengontrol kekuatan sultan. Uama diberi kedudukan sebagai qadi dan mufti istana. Bahkan, ulama tidak hanya berperan sebagai mufti dan penasehat raja, tetapi juga berperan dalam memajukan ekonomi, dan perlawanan terhadap penjajah.42 Hubungan ini merupakan hubungan antara formal authority yang diwakili oleh raja dengan traditional authority43 diwakili kaum adat dan agama. Namun di Minangkabau, pembagian otoritas kekuasaan agama dan adat lebih bersifat antara formal authority dan semi formal authority seperti yang dikenal adanya Rajo Tigo Selo, tiga kekuasaan raja, yaitu Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat.

Setiap Raja Tigo Selo memiliki istana dan struktur pemerintahan tersendiri. Hanya saja otoritas kekuasaan dibagi menurut bidang masing-masing. Raja alam yang berkedudukan di Suruaso yang kemudian pindah ke Pagaruyung mempunyai otoritas tertinggi di bidang politik. Raja adat berkedudukan di Buo memiliki otoritas bidang keagamaan. Raja ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus memiliki otoritas bidang agama. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa Raja Adat dan Raja Ibadat hanya merupakan pendamping Raja Alam.44 Kedua raja merupakan wakil dari devisi geogra s yang utama dalam kerajaan,

Page 16: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

93atau keduanya tidak lebih dari simbol-simbol kosmologis aturan alam Minangkabau.45

Setiap raja memiliki pembantu bidang pemerintahan, agama, dan adat. Di antaranya jabatan mantri, hulubalang, bandarao, pandito, imam, dan khatib. Jadi dimana dan apa pun bentuk lembaga di Minangkabau tidak terlepas dari tiga otoritas, yaitu pemerintah, adat, dan agama.

Beberapa struktur sosial masyarakat Minangkabau yang disebutkan dalam naskah AKBT antara lain disebutkan raja, alim, pandito, imam, dan khatib. Struktur sosial ini berfungsi juga membantu raja dalam menetapkan sistem yang digunakan dalam menentukan awal dan akhir Ramadan.

Sebagaimana disinggung pada paragraf sebelumnya, seorang raja di Minangkabau tidak memiliki otoritas yang langsung mengikat kepada setiap pribadi masyarakat pada tingkat nagari. Setiap pribadi terikat langsung pada kepala suku atau kaum yang disebut penghulu. Penghulu adalah penguasa dalam setiap anggota kaumnya. Sedangkan raja lebih kepada penguasa politik. Antara kekuasaan raja dan rakyat terdapat kekuasaan seorang penghulu kaum. Pada abad ke-16, raja dan para menterinya hanya berkuasa sebagai kekuatan yang nominal sifatnya—dan malahan itu hanya terbatas untuk kawasan Tanah Datar saja, suatu distrik yang secara langsung berada di sekitar istana kerajaan Pagaruyung. Campur tangan raja terhadap nagari hanya terbatas pada waktu raja melakukan kunjungan ke nagari-nagari untuk menerima upeti.46

Di Minangkabau, seorang yang alim sering juga disebut dengan malin. Artinya orang yang telah belajar Islam dan memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam. Salah satu pepatah Minangkabau menyebutkan sifat seorang malin, duduknyo bacamin kitab, tagaknyo bapituah, duduknya tidak lepas dari kitab, dan berdirinya untuk memberikan pengajaran dan berfatwa. Pendapat seorang malin harus menjadi pertimbangan bagi seroang raja dalam penetapan awal dan akhir Ramadan.

Imam dan khatib adalah pembantu raja dalam urusan masyarakat sehari-hari di masjid dan di tengah masyarakat, misalnya tentang ibadah di masjid, pernikahan dan kematian. Namun, dalam penetapan awal dan akhir Ramadan seorang imam dan khatib harus hadir, serta pendapat mereka harus menjadi pertimbangan.

Page 17: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

94Otoritas Raja Alam dalam Penetapan Awal Puasa di Minangkabau

Kekuasaan bidang agama diberikan kepada Rajo Ibadat, tetapi ini dibatasi pada bidang agama yang tidak bersifat mengikat masyarakat secara luas. Otoritas yang mengikat public tetap dipegang oleh Raja Alam. Demikian juga otoritas adat yang diberikan kepada Raja Adat. Otoritas raja adat dibatasi pada adat yang bersifat selingkar nagari, yaitu adat yang tidak mengikat seluruh wilayah nagari Minangkabau. Keputusan adat yang mengikat seluruh nagari Minangkabau tetap dipegang oleh Raja Alam. Raja Alam adalah pemegang otoritas tertinggi yang mengikat seluruh wilayah Minangkabau.

Dengan demikian mulai pada tataran otoritas terendah dalam wilayah kaum, nagari, sampai seluruh wilayah Minangkabau selalu ada pembagian kekuasaan yang meliputi kuasa politik, agama, dan adat. Pada wilayah kaum otoritas tertinggi berada pada penghulu, wilayah nagari berada pada peghulu nagari, dan tingkat Minangkabau berada pada Raja Alam. Semua keputusan didasari pada kesepakatan yang diperoleh dalam musyawarah yang dihadiri oleh unsur ulama, adat, dan pemerintah. Apa pun bentuk permasalahan yang dimusyawarahkan tiga komponen yang pemegang otoritas harus hadir. Kekurangan salah satu unsur, baik agama, adat, dan raja menyebabkan musyawarah tidak bisa dilaksanakan.

Dalam kasus penyelesaian perdebatan awal puasa di Minangkabau abad ke-17, juga ditempuh dengan jalan musyawarah. Naskah AKBT menyebutkan bahwa musyawarah adalah atas inisiataif Raja Suruaso yang dihadiri oleh alim, pandito, imam dan khatib pada tiap-tiap negeri.

Maka kadengaran oleh Raja Negeri Saruaso persalahan Tuan Kiyai Rangga dengan Tuan Ha z di Pasir Lawas. Maka Raja Saruaso bepertemukan Tuan Ha z dengan Tuan Kiyai Rangga.47

Dari rekaman peristiwa dalam naskah AKBT, diperoleh gambaran bahwa sejarah perbedaan sistem kalender hijriah yang berakibat pada perbedaan awal dan akhir bulan Ramadan di Minangkabau sudah terjadi sejak lama. Mulai dari konteks Arab, Aceh, dan Minangkabau, perbedaan itu bisa diselesaikan dengan keputusan raja. Raja berinisiatif mengajak dialog kelompok yang berbeda untuk dimusyawarahkan mencari kata sepakat yang akan mendasari keputusan raja. Kesepakatan hasil musyawarah dan keputusan raja dijunjung tinggi dalam pelaksanaan penetapan awal dan akhir Ramadan. Hal ini merupakan hal yang lumrah dalam tradisi Islam, di mana keputusan penguasa akan mengakhiri suatu permasalahan, “Hukmu al-Hakim ilzamun wa-yarfa’u

Page 18: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

95al-Khilaf”, keputusan hakim atau raja itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat.

Dalam konteks Luhak Nan Tuo, teks AKBT adalah gambaran menyeluruh tentang konteks masyarakatnya, sebab teks tidak pernah lahir dari kekosongan konteks.48 Penyebutan kelarasan Koto Piliang di Pasir Lawas, Kecamatan Sungai Tarab, tempat Tuan Ha z, dan kelarasan Budi Caniago di Parambahan Lima Kaum, tempat Kiai Rangga, bisa dianggap bahwa perbedaan ini tidak semata karena pemahaman tentang kih. Tetapi juga perdebatan atau persaingan antara dua identitas yang

besar. Perdebatan antara dua kelarasan Koto Piliang dan Budi Caniago yang diwakili oleh ulama masing-masing.

Raja Suruaso dan Tuan Ha z sama-sama menganut adat Koto Piliang yang bersifat otokratis. Dalam kepentingan politik tentu saja Tuan Ha z lebih dekat dengan Raja Suruaso dibanding dengan Kiai Rangga yang menganut adat Budi Caniago yang bersifat demokratis. Bahkan pada masa selanjutnya, ketika Lima Kaum diperintah oleh Bandaro Kuning, dia tidak dianggap sebagai anggota keluarga istana, tetapi raja sewaktu-waktu akan berkonsultasi dengannya manakala ada ancaman luar yang memerlukan tindakan dari seluruh orang Minangkabau.49 Hubungan ulama dan penguasa tidak saja sebatas keagamaan tetapi juga hubungan kultur dan sistem nilai.

Dalam naskah disebutkan, bahwa yang bermusyawarah di istana raja Suruaso tidak saja antara Raja Suruaso, Tuan Ha z, dan Kiai Rangga, melainkan juga diikuti oleh fungsionaris adat dan agama, serta orang banyak. Hal ini terlihat dengan diadakan jamuan setelah kesepakatan sistem perhitungan awal dan akhir Ramadan dicapai.

Kata Raja Saruaso:”mengapa Tuan akan pulang saja, karena hamba sudah mencari perjamuan”. Maka diperjamukan Tuan Ha z di Pasir Lawas serta kaumnya oleh Raja Saruaso. Setelah sudah makan perjamuan serta doa khair, maka Tuan Ha z memohonkan kembali. Itulah sebab bersalahan bilangan Taqwim supaya ketahui olehmu persalahan ini tiap-tiap negeri oleh segala alim dan pandito dan segala imam dan khatib.50

Musyawarah untuk mencapai mufakat dilandasi dengan nilai-nilai kebenaran, di mana ketentuan syarak harus dijunjung tinggi. Hal ini dinyatakan dengan kutipan ayat Quran dan hadis nabi adalah satu contoh bahwa kebenaran dalam musyawarah antara Raja Suruaso, Tuan Ha z, dan Kiai Rangga berdasarkan pada kebenaran syarak. Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat,

Page 19: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

96mufakat barajo ka nan bana, nan bana badiri surang yaitu kitabullah. Naskah ini kita temukan di surau yang mempunyai geneologi dengan ‘Abd Al-Ra’uf di Aceh sampai ke AHmad Al-Qushashi di Madinah, bisa jadi naskah ini bertujuan menguatkan menguatkan bahwa metode inilah yang disepakati oleh Raja Minangkabau. Selain itu, bisa saja kerajaan Minangkabau pada waktu itu berpihak pada tarekat Syattariyah. Penting juga dikemukakan bahwa ada semacam legitimasi politik terhadap metode penetapan awal Ramadan di Minangkabau abad ke-17. Pelegitimasian politik terhadap agama adalah suatu tradisi yang juga berlaku bagi raja-raja Islam di Nusantara.51

Sayang, naskah AKBT tidak menyebutkan paham keagamaan apa yang dianut oleh Kiai Rangga. Mungkin ini bisa menjadi peluang kajian yang lebih jauh.

Kaitan antara otoritas agama, adat, dan raja dalam naskah AKBT merupakan gambaran eratnya hubungan antara nilai budaya dan agama dalam menyelesaikan perbedaan awal dan akhir puasa di Minangkabau. Otoritas yang bersifat legal dipegang oleh raja, sedang otoritas yang bersifat traditional berada pada fungsionaris agama dan adat. Makin kuat hubungan antara adat dan agama, makin kecil munculnya perbedaan dalam masyarakat. Selanjutnya otoritas raja dalam memutuskan perkara cenderung berpihak pada paham agama yang dianut kerajaan dan mayoritas paham yang berkembang di masyarakat.

Kesimpulan

Naskah AKBT adalah bukti bahwa perbedaan awal dan akhir puasa di Minangkabau sudah terjadi sebelum datangnya gelombang pembaharu Islam, perbedaan itu tidak selalu berakhir dengan ketidaksepakatan atau perperangan. Penyelesaian perbedaan awal dan akhir puasa di kerajaan Suruaso adalah bentuk relasi kuasa umara-ulama, di mana otoritas tertinggi berada di tangan umara, raja, atau pemerintah. Makin kuat hubungan umara-ulama makin mudah penyelesaian suatu perdebatan. Selain itu, naskah AKBT adalah cerminan dari etika berdialog dalam menyelesaikan perbedaan awal dan akhir puasa Ramadan di Minangkabau abad ke-17. Pada dasarnya, hubungan ulama-umara di Minangkabau pada abad ke-17 hampir sama dengan wilayah lain. Hanya saja, Minangkabau memiliki keunikan dengan terdapatnya pembagian tiga otoritas umara, Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat.

Page 20: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

97Catatan Kaki• Artikel ini merupakan hasil penelitian pada Short Course Metode Penelitian Filologi

yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kemenag, bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan PPIM UIN Jakarta, Juli-September 2012.

1. Dalam literatur klasik dan kontemporer, sistem perhitungan bulan qamariah atau perhitungan hijriah disebut juga dengan tarikh, taqwim, almanak, penanggalan, dan kalender. Kalender Hijriah adalah kalender yang terdiri dari dua belas bulan qamariah; setiap bulan berlangsung sejak penampakkan pertama bulan sabit hingga penampakkan berikutnya (29 hari atau 30 hari). Kalender Hijriah dimulai dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad, lihat, Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), 82-83.

2. Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat (Jakarta: Gaung Persada, 2012), 87-84.

3. Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 68, 115. Baca. Tau k Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 121.

4. Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatera 1784 – 1847 ( London: Curzon Press,1983). (Terj). Lilian D. Tedjasudana, Gejolak Ekomomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784 – 1847 (Depok:Komunitas Bambu, 2008), 201.

5. Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks (Prenada Media Group, 2008), 47. Lihat juga. Suryadi, Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiogra Seorang Ulama Minangkabau Abad ke-19 (Padang: Citra Budaya, 2004), 92.

6. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), 124.

7. Pramono, “Teks dan Konteks Naskah-naskah Karya Imam Maulana Abdul Manaf: Praktek Idiologi Penganut Tarekat Syattariyah di Padang,” Tesis, Udayana Bali, 2007. Dalam versi artikel, “Puasa Melihat Bulan versus Puasa Melihat Dinding: Telaah Teks dan Konteks Naskah Kitab Al-Takwim Walsiyam” dalam Jurnal Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru Vol. 5 No. 1(2008), 23-34.

8. M. Sayuthi Ali, “Perbedaan Metode Hisab Rukyat dan Hisab Non Rukyat,” Tesis, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1994.

9. Nagari Suruaso adalah pusat kerajaan Minangkabau sebelum dipindah ke Pagaruyung. Pada masa kerajaan dibantu oleh basa empat balai, Suruaso adalah tempat kedudukan Tuanku Indomo. Mengenai perpindahan kerajaan Melayu dari Dharmasraya ke Suruaso, baca. Uli Kozok, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua (Jakarta: Yanassa dan Obor, 2006), 28-35.

10. Mengenai tingkatan adat Minangkabau, lihat, Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau: dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjol (Jakarta: Gria Media Prima, 2011) khususnya pada bab Adat Minangkabau, halaman 55-84.

11. C. Snouck Hurgronje dalam Tau k Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat, 105.12. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke

XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), xix.13. Anonim, De masjid’s en indlandsche godsdienstscholen in de Padangsche Bovenlanden

(1988), 312-319.14. Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 47.15. http://www.merdeka.com/peristiwa/tarekat-saman-di-padang-lebaran-hari-ini.html

(diakses 18 Agus 2012).

Page 21: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

98

16. Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional, 31. 17. Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau, 91. 18. Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau, 93.19. Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau, 514-517. 20. MS, AKBT, 34.21. Hamka, “Hubungan Timbal-Balik antara Adat dan Syarak dalam Kebudayaan

Minangkabau,” dalam LKAAM Sumatera Barat, Menelusuri Sejarah Minangkabau, (Padang: Citra Budaya, 2002), 165.

22. Program Digitalisasi Naskah Surau Calau Sijunjung, Sumatera Barat dilakukan atas kerjasama Kelompok Kajian Puitika Universitas Andalas Padang dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan Tokyo University for Foreign Studies (TUFS) tanggal 12-17 September 2012.

23. Naskah yang memuat sistem kalender hijriah tersimpan pada koleksi Pepustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan nomor panggil ML.208, ML.460, naskah koleksi Surau Pariangan nomor 25, dan naskah koleksi Surau Calau nomor 10g.

24. M. Yusuf, Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau (Tokyo: Centre for Documentation & Area-Transcultural Studies, 2006), 258-259.

25. Ada empat teks yang penulis tambahkan dari tujuh teks yang tercatat dalam draft ‘Listing Naskah Sijunjung’.

26. MS. AKBT, Surau Calau 76b, 20. 27. Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah

Indonesia (Jakarta: Mizan, 2012), 29. 28. Calau berarti parit galian sebagai batas tanah yang diwakafkan untuk pembangunan

surau. Surau Calau berada dalam wilayah Jorong Subarang Sukam, kenagarian Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Karena surau ini adalah wakaf dari ninik mamak nagari Muaro, maka surau Calau menjadi tanggung jawab tuanku yang mengajar di Surau dan ninik mamak nagari Muaro. Berbeda dengan surau tarekat lain di Minangkabau, bahwa surau adalah otoritas guru tarekat. Dengan demikian surau Calau adalah surau tarekat yang diurus oleh nagari. Atau nagari yang mengajarkan tarekat.

29. Amir Sjarifoeddin Tj. A, Minangkabau, 138. 30. Verkerk Pistorius, dalam Novelia Musda (terj), “Pengaruh Ulama di Tengah Masyarakat

Padang Barat,” tt, (2010), 2.31. Verkerk Pistorius, dalam Novelia Musda (terj), “Pengaruh Ulama, 24. 32. Melsis Trijuniati, “Sejarah Surau Calau di Jorong Subarang Sukam Kenagarian

Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung 1075-2005,” Skripsi, Univesitas Negeri Padang, (2007), 17-18. Untuk sampai ke surau Calau, dulunya menggunakan jembatan gantung. Jembatan gantung ini ambruk ketika banyaknya orang yang berziarah ke surau Calau, di kabarkan ada yang menjadi korban. Sekarang, tahun 2102, jembatan gantung yang membentang di atas Sungai Sukam sudah diganti dengan jembatan berkontsruksi beton.

33. Daftar guru yang memimpin surau Calau dapat dilihat pada daftar guru yang dipajang di Surau Calau, beberapa orang dari mereka disertai dengan foto.

34. Asdi S. Dipodjojo, Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah (Yogyakarta: Lukman Ofset, 1996), 9.

35. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 241-242.36. Hamka, “Hubungan Timbal Balik antara Adat dan Syarak”, 166.37. Asmaniar Idris, “Kerajaan Pagaruyung,” dalam LKAAM Sumatera Barat, Menelusuri

Sejarah Minangkabau, 68-69.

Page 22: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

99

38. Pramono, “Puasa Melihat Bulan versus Puasa Melihat Dinding: Telaah Teks dan Konteks Naskah Kitab al-Takwim Walsiyam,” [sic] Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 5, No. 1 (Tahun 2008) : 30.

39. MS. Mizan al-Qalb, dalam Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah, 81.40. MS. AKBT, 25. 41. Dalam naskah Kitab Taqwim wa-Siyam yang Menerangkan Masalah Taqwim dan Puasa

karya Imam ‘Abd al-Manaf Amin al-Katib, Kiyai Rangga dibaca Kiyai Ronggo.42. Hasan Basri, “Islam In Aceh: Institutions, Scholarly Traditions, and Relation between

Ulama and Umara,” dalam Arndt Craft (eds), Aceh:History, Politics and Culture (Singapore: Institutes of Southeast Asian Studies, 2010), 192-193.

43. Pembagian prioritas kekuasaan ke legal, traditional, dan karismatik yang bisa menguat sebagai bentuk keyakinan dikembangkan oleh sosiologi Max Weber dalam essai “ e three types of legitimate rule”, tahun 1958, lihat Diana Williams, “Max Weber: Traditionl, Legal-Rational, and Charismatic Authority,” http://danawilliams2.tripod.com/authority.html (diakses 7 Sep 2012).

44. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia, dalam Elizabets E. Graves, e Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century, (terj) Novi Andri, dkk, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad ke XIX/ XX (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), 36.

45. Wiliam Marseden, e History of Sumatera, dalam Elizabets E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, 36.

46. Elizabets E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, 37. 47. MS. AKBT, 25. 48. Hasanuddin WS, Transformasi dan Produksi Sosial Teks Melalui Tanggapan dan

Penciptaan Karya Sastra: Kajian Intertekstualitas, dalam Suryadi, Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiogra seorang Ulama Minangkabau Abad Ke-19 (Padang: Citra Budaya Indonesia, 2004), 43.

49. Elizabets E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, 38.50. MS. AKBT, 28. 51. Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 24.

Bibliogra

BukuAbdullah, Tau k (ed). Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Asadurrahman. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat. Jakarta: Gaung Persada Press, 2012.

Azhari, Susiknan. Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Page 23: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Yusri Akhimuddin

100

__________. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos, 2003.

Bruinessen, Martin van. Tarekat Nagsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996

Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan, 2012.

Dipodjojo, Asdi S. Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah Yogyakarta: Lukman Ofset, 1996.

Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784 – 1847. Depok: Komunitas Bambu, 2008.

Fathurahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Prenada Media Group, 2008.

Fathurahman, Oman, dkk. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010.

Graf, Arndt (eds). Aceh: History, Politics and Culture. Singapore: Institutes of Southeast Asian Studies, 2010.

Grave, Elizabets E. (terj). Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial Belanda Abad ke XIX/ XX. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Iman, Ma’rifat. Kalender Pemersatu Dunia Islam. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.

Kozok, Uli. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yanassa dan Obor, 2006.

LKAAM Sumatera Barat. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Citra Budaya, 2002.

Sjarifoeddin, Amir Tj. A. Minangkabau: Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: Gria Media Prima, 2011.

Suryadi. Syair Sunur: Teks dan Konteks ‘Otobiogra seorang Ulama Minangkabau Abad Ke-19. Padang: Citra Budaya Indonesia, 2004.

Yusuf, M. Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau.Tokyo: Centre for Documentation & Area-Transcultural Studies, 2006.

Hasil Penelitian, Artikel, dan InternetMusda, Novelia. “Pengaruh Ulama di Tengah Masyarakat Padang Barat.” tt, 2010.

Merdeka.com. “Tarekat Syaman di Padang Lebaran Hari Ini,” http://www.merdeka.com/peristiwa/tarekat-saman-di-padang-lebaran-hari-ini.html (diakses 18 Agus 2012).

Page 24: Yusri Akhimuddin - journal.perpusnas.go.id

Manuskripta, Vol. 2, No. 1, 2012

Naskah [Asal Khilaf Bilangan Taqwim]

101

Pramono. “Puasa Melihat Bulan versus Puasa Melihat Dinding: Telaah Teks dan Konteks Naskah Kitab al-Takwim Walsiyam.” [sic] Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 5, No. 1 Tahun 2008, 23-34.

Trijuniati, Melsis. “Sejarah Surau Calau di Jorong Subarang Sukam Kenagarian Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung 1075-2005.” Skripsi, Univesitas Negeri Padang, 2007.

Williams, Diana. “Max Weber: Traditionl, Legal-Rational, and Charismatic Authority,” http://danawilliams2.tripod.com/authority.html (diakses 7 Sep 2012).

__________________________Yusri Akhimuddin STAIN Batusangkar, Sumatera Barat.