yang berarti umum, jika dikaitkan dengan pemerintahan · menurut undang-undang atau peraturan...

46
BAB II TEORI, KONSEP DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG JABATAN NOTARIS, AKTA NOTARIS DAN UTANG PIUTANG Dalam Bab II ini akan dijelaskan beberapa teori konsep dan pemikiran- pemikiran tentang Notaris yang akan mendukung dalam pemahaman akan penelitian ini. Adapun teori, konsep dan pemikiran-pemikiran tersebut meliputi Hakekat Jabatan Notaris, Hakekat Akta Notaris,dan Hakekat Utang Piutang, yang akan dijabarkan sebagai berikut : 2.1. Pengertian dan Kewenangan Notaris Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) (selanjutnya disebut UUJNPerubahan) disebutkan mengenai pengertian notaris, yaitu: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Secara pengertian notaris sebagai pejabat umum tidak dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Istilah pejabat umum awal mulanya terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata namun hanya tercantum mengenai pengertian akta autentik dan tidak menjelaskan secara rinci siapa yang dimaksud Pejabat Umum. Setelah terbit Peraturan Jabatan Notaris yang dikenal dengan PJN 1

Upload: truongkien

Post on 10-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TEORI, KONSEP DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG JABATAN

NOTARIS, AKTA NOTARIS DAN UTANG PIUTANG

Dalam Bab II ini akan dijelaskan beberapa teori konsep dan pemikiran-

pemikiran tentang Notaris yang akan mendukung dalam pemahaman akan

penelitian ini. Adapun teori, konsep dan pemikiran-pemikiran tersebut meliputi

Hakekat Jabatan Notaris, Hakekat Akta Notaris,dan Hakekat Utang Piutang, yang

akan dijabarkan sebagai berikut :

2.1. Pengertian dan Kewenangan Notaris

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor

3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) (selanjutnya

disebut UUJNPerubahan) disebutkan mengenai pengertian notaris, yaitu:

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik

dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Secara pengertian notaris sebagai pejabat umum tidak dijelaskan di dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Istilah pejabat umum awal mulanya

terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata namun hanya tercantum mengenai

pengertian akta autentik dan tidak menjelaskan secara rinci siapa yang dimaksud

Pejabat Umum. Setelah terbit Peraturan Jabatan Notaris yang dikenal dengan PJN

41 1

2

yang mana peraturan tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1868

KUHPerdata sehingga Pejabat Umum yang dimaksud adalah Notaris.1

Pejabat umum yang dimaksud oleh Pasal 1868 B.W hanyalah notaris,

karena hingga saat ini tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang

pejabat umum selain UUJN Perubahan. Kalaupun saat ini ada pejabat umum lain

yang diberi wewenang untuk membuat akta tertentu, ternyata mereka tidak diatur

berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1868

KUHPerdata. Otentisitas suatu akta menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah jika

dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh pejabat umum

yang berwenang untuk itu berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.

Kata Openbaaryang berarti umum, jika dikaitkan dengan pemerintahan

berarti urusan yang terbuka untuk umum atau kepentingan umum.2 Urusan yang

terbuka untuk umum berarti meliputi semua bidang yang berhubungan dengan

publik. Menurut F.M.J. Jansen, pejabat adalah orang yang diangkat untuk

menduduki jabatan umum oleh penguasa umum untuk melakukan tugas Negara

atau Pemerintah (Hij die door het openbaar gezag is aangesteled tot een openbare

betrekking om te verrichten een deelvan de taak van de staat of zijn organen, is te

beschouwen als openbaar ambtenaar).3

Dengan demikian maka pejabat umum (openbare ambtenaar) adalah organ

negara yang dilengkapi kekuasaan umum (met openbaar gezag bekled),yang

berwenang menjalankan sebagian kekuasaan Negara khususnya dalam pembuatan

1 G.H.S Lumban Tobing, 1980, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 35.

2 N.E. Algra et. al., 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,

Bina Cipta, Jakarta, hal. 363. 3Ghansham Anand, 2014, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia,Zifatama Publisher,

Sidoarjo, hal. 40.

3

dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik di bidang hukum perdata.4Meski

diangkat sebagai pejabat umum namun notaris bukan pegawai negeri sipil

menurut undang-undang atau Peraturan Kepegawaian Negara, karena notaris tidak

digaji oleh Negara dan tidak mendapat uang pensiun dari Negara apabila telah

pensiun atau berhenti sebagai pejabat umum. Kendati diangkat oleh Negara

sebagai pejabat umum, namun Notaris menerima honorarium (bukan gaji) dari

klien atas jasa-jasa yang telah diberikan, yaitu dalam kaitannya dengan pembuatan

akta-akta otentik di bidang keperdataan.5 Dengan kata lain, tugas notaris adalah

bersifat fungsi publik, tetapi obyek tugasnya lebih bersifat hukum

keperdataan.6Sejalan dengan pendapat diatas, bahwa notaris merupakan pejabat

umum yang tugas-tugasnya hanya berkaitan dengan hukum keperdataan yaitu

menyangkut perjanjian.

Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, Notaris adalah pejabat umum

Openbare ambtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas

dan kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.7 Dengan demikian

notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata

untuk melayani kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum

berbentuk akta autentik. Sejalan dengan hal itu Husni Thamrin menjelaskan

bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang berfungsi menjamin otentisitas

4 N.G Yudhara, 1996, Mencermati Undang Undang Hak Tanggungan dan

Permasalahannya, Makalah dalam Diskusi Panel UUHT, Program Studi Notariat Fakultas Hukum

UNAIR, Surabaya, 15 Juni 1996, hal. 7. 5 Komar Andasasmita, 1983, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Bandung, hal. 103.

6 Paulus E. Lotulung, 1999, Perlindungan Hukum bagi Notaris selaku Pejabat Umum

dalam Menjalankan Tugasnya, Makalah Up Grading Course pada Konggres XVII – INI, di

Jakarta, hal. 2. 7 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia suatu penjelasan, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.42.

4

pada tulisan-tulisannya (akta).8Otensitas akta yang dibuat oleh notaris bukan

hanya pada kertasnya, akan tetapi mempunyai sifat yang autentik seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

Kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik dan/atau kewenangan

lainnya sudah jelas tercantum dalam Pasal 15UUJN Perubahan yang

menyebutkan:

(1). Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan Kutipan Akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1),

Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat

yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat Akta risalah lelang.

(3). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam perundang-

undangan.

Sejalan dengan Pasal 15 UUJN Perubahan, menurut Husni Thamrin

kewenangan notaris sangat luas di bidang keperdataan, karena kewenangan

notaris tidak hanya membuat dan mengesahkan akta-akta autentik atas suatu

8 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Laksbang Pressindo,

Yogyakarta, hal. 72.

5

perjanjian, perbuatan dan penetapan, tetapi juga tugas-tugas lain yang bersumber

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.9 Dengan kata lainkewenangan

notaris tidak hanya terdapat di dalam UUJN Perubahan, akan tetapi kewenangan

notaris dapat ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan yang lain

misalnya di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang

No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Substansi pasal-pasal tersebut menegaskan mengenai kewenangan Notaris

sehingga kewenangan Notaris dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

1. Kewenangan utama atau umum yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN

Perubahan;

2. Kewenangan tertentu yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN

Perubahan;

3. Kewenangan lain-lain yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN

Perubahan.

Kewenangan Notaris telah ditentukan oleh UUJN Perubahan sendiri

sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 tersebut. Khususnya dalam membuat akta,

yaitu untuk perbuatan atau tindakan hukum yang diperintahkan oleh:

1. Undang-Undang, atau

9Ibid, hal. 82.

6

2. Para pihak sendiri yang datang menghadap Notaris dikehendaki dalam

bentuk Akta Notaris.10

Dengan demikian, notaris sebagai pejabat umum yang mengemban amanat

dari 2 sumber, yaitu :

Pertama, anggota masyarakat yang menjadi klien notaris itu menghendaki, agar

notaris membuatkan akta autentik bagi yang berkepentingan dengan

secara tersirat memuat kalimat amanat “penuhilah semua persyaratan

formal untuk keabsahan sebagai akta autentik”, dan

Kedua, amanat berupa perintah undang-undang (secara tidak langsung) kepada

notaris agar untuk perbuatan hukum tertentu dituangkan dan dinyatakan

dengan akta autentik, hal itu mengandung makna bahwa notaris terikat

dan berkewajiban untuk mentaati peraturan yang mempersyaratkan

sahnya sebagai akta autentik.

Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan notaris

selain dalam UUJN Perubahan terdapat juga dalam undang-undang lain.

Pengertian undang-undang lain yaitu aturan yang terkait dengan jabatan notaris

yang menunjuk undang-undang lain bukan undang-undang yang mengatur Jabatan

Notaris. Kewenangan notaris yang ada dalam undang-undang lain terdapat dalam

pasal atau ayat dalam undang-undang yang bersangkutan ada kewajiban untuk

perbuatan atau tindakan hukum tertentu wajib dibuat dengan Akta Notaris, antara

lain:

10

Habib Adjie, 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 3.

7

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), Pasal 15 ayat

(1) UUHT, yaitu: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat

dengan Akta Notaris atau akta PPAT.

2. Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam Pasal

5 ayat (1) ditegaskan bahwa Akta Fidusia harus dibuat dengan Akta Notaris.

3. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa penyelesaian

sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi harus dengan Akta Notaris.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 7 ayat (1) ditegaskan Perseroan didirikan

oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris yang dibuat dalam bahasa

Indonesia.

5. Undang-Undang Republik Nomor 16 Tahun 201 Tentang Yayasan. Dalam

Pasal 9 ayat (2) ditegaskan Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilakukan dengna Akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai

Politik. Dalam Pasal 2 ayat (1a) ditegaskan : Pendirian Partai Politik dengan

Akta Notaris.

2.2. Syarat Pengangkatan Notaris

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)

yang sekaligus mewujudkan pelayanan prima yang cepat, tepat, akurat, hemat,

8

bermartabat. Sebagaimana visi dari Direktorat Jendral Administrasi

HukumUmum-Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,

dalam rangka Pengangkatan Notaris ada 3 (tiga) asas, yaitu:11

a. Asas Transparansi. Setiap pemohon dapat mengetahui tindak lanjut dari

permohonannya secara terbuka, dalam arti setiap permohonan yang diajukan

oleh pemohon dapat diketahui sejauh mana proses penyelesaiannya. Selain

itu, pemohon dapat pula mengetahui di daerah kabupaten atau kota mana saja

yang masih tersedia atau tidak tersedia formasi untuk pengangkatan Notaris.

Asas transparansi dalam pengangkatan notaris terjadi pada saat berkas

permohonan telah diproses sesuai dengan jumlah notaris yang dibutuhkan

pada suatu wilayah.

b. Asas Kepastian Waktu. Setiap pemohon yang telah memenuhi persyaratan

dan pada daerah kabupaten atau kota yang dimohon masih tersedia formasi,

maka proses penyelesaian surat keputusan pengangkatan sebagai Notaris,

diselesaikan dalam waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari terhitung

sejak berkas permohonan diterima secara lengkap. Dengan kata lain surat

pengangkatan notaris akan diterbitkan dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari.

c. Asas Keadilan. Setiap permohonan yang diterima diproses dengan system

FIFO(First In First Out), sehingga tidak ada lagi diskriminasi dalam

pelayanan.Asas keadilan diperlukan karena permohonan calon notaris yang

tidak memenuhi persyaratan, maka berkasnya tidak dapat diproses sehingga

11

Syamsudin Manan Sinaga, 2008, Kebijakan Pengangkatan Notaris Sebagai Upaya

Mengangkat Kembali Martabat dan Kedaulatan Bangsa, Seminar – Lokakarya Kebangkitan

Pendidikan dan Profesi Notaris Dalam Upaya Mengangkat Martabat dan Kedaulatan Bangsa,

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Univertas Gajah Mada – Ikatan Notaris Indonesia, Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY), Yogyakarta, 16-17 Mei 2008. hal. 1.

9

pemohon (calon notaris) diperkenankan mengambil berkas permohonannya

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak surat

pemberitahuan secara resmi dikirimkan melalui pos.

Ketiga asas tersebut merupakan satu kesatuan di dalam hal prosedur

pengangkatan notaris yang mana ketiga asas tersebut cerminan dari asas-asas

pemerintahan yang baik (good governance). Departemen Hukum dan HAM

Republik Indonesia berusaha meningkatkan pelayanan kepada calon notaris yang

akan mengajukan permohonan pengangkatan notaris agar calon notaris tidak

mengalami keterhambatan dalam proses pengangkatannya.

Bertitik tolak dari asas tersebut, maka syarat untuk dapat diangkat menjadi

Notaris sudah diadopsi di dalam Pasal 3 UUJN Perubahan yang menyebutkan :

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;

d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat

dari dokter dan psikiater;

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan

Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-

turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi

Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak

sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk

dirangkap dengan jabatan Notaris; dan

h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana

yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Notaris selama menjalankan masa jabatannya berhak mendapatkan cuti

yang dapat digunakan setelah menjalankan tugas jabatan selama 2 (dua) tahun.

Apabila notaris mengajukan cuti maka ditunjuk Notaris Pengganti dan notaris

wajib menyerahkan protokol notaris kepada notaris pengganti. Dalam Pasal 33

10

ayat (1) UUJN Perubahan ditegaskan syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris

pengganti, yaitu :

1. Warga Negara Indonesia;

2. Berijazah Sarjana Hukum;

3. Telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun

berturut-turut.

2.3. Kewajiban dan Larangan bagi Notaris

Kewajiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan atau dapat diartikan

juga sebagai suatu keharusan.12

Notaris selaku pejabat umum yang mempunyai

kewenangan membuat akta otentik, dalam menjalankan tugasnya melekat pula

kewajiban yang harus dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu

yang harus dilaksanakan. Sejalan dengan hal tersebut, Habib Adjie

mengemukakan bahwa kewajiban notaris harus dilakukan, jika tidak dilakukan

atau dilanggar, maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi terhadap

Notaris.13

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN

dinyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris;

c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta

Akta;

d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan

Minuta Akta;

12

Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 210. 13

Habib Adjie, 2007, HUKUM NOTARIS INDONESIA Tafsir Tematik Terhadap UU

No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 86.

11

e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang

ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak

dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih

dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun

pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga;

i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan

waktu pembuatan Akta setiap bulan;

j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar

nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan

berikutnya;

k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap

akhir bulan;

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,

dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling

sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk

pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu

juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan

n. menerima magang calon Notaris.

Kewajiban notaris sebagai pejabat umum sudah jelas tertuang di dalam

Pasal 16 ayat (1) UUJN Perubahan karena notaris merupakan pelayan bagi

masyarakat yang memerlukan bukti autentik. Menarik untuk dikaji di dalam Pasal

16 ayat (1) huruf d UUJN Perubahan tentang keadaan tertentu yang menyebabkan

notaris dapat menolaknya dengan alasan-alasan tertentu. Dalam penjelasan Pasal

16 ayat (1) huruf d UUJN Perubahan secara limitatif ditegaskan yang dimaksud

dengan alasan untuk menolaknya, alasan yang mengakibatkan notaris tidak

berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau

12

dengan suami / istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak

untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-

undang. Kewajiban Notaris yang tercantum dalam Pasal 16ayat (1) UUJN

Perubahan yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi peringatan tertulis,

pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian

dengan tidak hormat.

Menurut Soegondo Notodisoerjo, dalam praktiknya ditemukan alasan-

alasan lain sehingga Notaris menolak memberikan jasanya, antara lain:

a. Apabila Notaris sakit sehinga tidak dapat memberikan jasanya, jadi

berhalangan karena fisik;

b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah;

c. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani

orang lain;

d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak

diserahkan kepada Notaris;

e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap

tidak dikenal oleh Notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya;

f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea meterai yang

diwajibkan;

g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya

atau melakukan perbuatan melanggar hukum;

h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam

bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang

menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris

tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.14

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa

penolakan notaris ketika notaris dalam jabatannya membuat akta autentik harus

merupakan penolakan dalam arti hukum, dengan kata lain ada alasa atau

argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat

14

R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit, hal.97.

13

memahaminya. Pada intinya apapun alasan penolakan yang dilakukan oleh

Notaris akan kembali kepada Notaris sendiri yang menentukannya.

Kewajiban-kewajiban yang terdapat pada Pasal di dalam UUJN Perubahan

mengandung beberapa penjelasan, yaitu :

a. Penjelasan Pasal 16 huruf b UUJN Perubahan menyatakan bahwa

kewajiban dimaksudkan untuk menjaga keautentikan suatu Akta dengan

menyimpan Akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan

atau penyalahgunaan grosse, salinan atau kutipannya dapat segera

diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.

b. Penjelasan Pasal 16 huruf f menyebutkan bahwa kewajiban disini

dimaksudkan untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan

dengan Akta dan surat-surat lainnya untuk melindungi kepentingan semua

pihak yang terkait dengan Akta tersebut.

c. Penjelasan Pasal 16 huruf i menyatakan bahwa kewajiban yang

dimaksudkan adalah penting untuk memberi jaminan perlindungan

terhadap kepentingan ahli waris, yang setiap saat dapat dilakukan

penelusuran atau pelacakan akan kebenaran dari suatu Akta wasiat yang

telah dibuat di hadapan Notaris

Selain memiliki kewajiban yang harus dijalankan, Notaris memiliki

larangan-larangan yang harus diindahkan dalam menjalankan tugas jabatannya.

Larangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai perintah

(aturan) yang melarang suatu perbuatan.15

Ketentuan-ketentuan yang berisi

15

Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hal. 216.

14

larangan tersebut diatur di dalam Pasal 17 UUJN Perubahan, yang menyatakan

bahwa Notaris dilarang:

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari7 (tujuh) hari kerja berturut-

turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik

negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat

Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;

h. menjadi Notaris Pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,

kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan

martabat jabatan Notaris.

Larangan yang terdapat di dalam UUJN Perubahan sudah sesuai dengan

tujuan dibentuknya UUJN Perubahan yang bertujuan mengatur kelangsungan

notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum sehingga tidak ada

pihak yang menimbulkan kerugian terhadap akta autentik yang dibuatnya. Sejalan

dengan hal tersebut, larangan-larangan notaris dimaksudkan untuk menjamin

kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa notaris.16

Selain itu masih terdapat

larangan-larangan yang diatur dalam Kode Etik Notaris. Apabila tidak dipatuhi,

maka notaris tersebut telah melanggar ketentuan. Atas pelanggaran itu, maka

notaris yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sesuai dengan bentuk

pelanggaran yang telah dilakukan.

16

Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris,

Dunia Cerdas, Jakarta, hal.109.

15

2.4. Hakekat Akta Notaris

Menurut A. Pitlo di dalam bukunya Sjaifurrachman mengemukakan bahwa

akta merupakan surat yang ditandatangani untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk

dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.17

Sedangkan

menurut Sudiko Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang

memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang

dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.18

Perbedaan pendapat

dikemukakan oleh Subekti yang berpendapat bahwa akta berbeda dengan surat,

selanjutnya “kataakta bukan berarti surat melainkan harus diartikan dengan

perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa Perancis berarti

perbuatan.19

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan akta, adalah:

1. Perbuatan handeling/perbuatan hukum rechthandeling itulah pengertian

yang luas, dan

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan

hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian

sesuatu.20

Dengan demikian, akta merupakan surat yang ditandatangani, memuat

peristiwa-peristiwa atau perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian.

17

Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,

Mandar Maju, Bandung, hal. 99. 18

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

hal. 116. 19

R. Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 29. 20

Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grosse Akta dalam

Pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, hal. 26.

16

Dalam hukum Common Law, akta dapat dibedakan menjadi dua belas macam,

yang meliputi :21

1. deed for a nominal sum;(akta yang berkaitan dengan akta hibah atau

pemberian)

2. deed in fee;(akta peralihan hak atas tanah dengan biaya dan persyaratan

yang sangat mudah)

3. deed indented, or indenture;(akta yang memuat tentang prospectus, yaitu

keterangan tertulis dan terperinci mengenai kegiatan dari suatu perusahaan

untuk disebarkan kepada masyarakat luas)

4. deed of covenant;(akta yang memuat dan yang berkaitan dengan

perjanjian)

5. deed of gift;(akta yang berkaitan dengan pemberian hadiah, tanpa adanya

suatu pertimbangan tertentu)

6. deed of release;(akta yang memuat tentang pelepasan hak atas tanah

hipotek yang telah dijaminkan oleh debitur di lembaga perbankan untuk

pembayaran sebuah utang)

7. deed of separation;(akta yang memuat tentang pembebasan atau

pemisahan diri suami untuk tidak merawat atau menjaga istrinya)

8. deed of settlement; (akta yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa)

9. deed of trust; (akta yang memuat saling percaya antara pemberi properti

dan penerimanya, dengan tujuan mengamankan atau menjaga agar

pemberinya dapat melakukan pembayaran utangnya sesuai dengan yang

disepakatinya)

10. deed poll;(akta yang dibuat oleh salah satu pihak saja)

11. a warranty deed;(akta yang berisi atau memuat jaminan dari seseorang

kepada orang yang dijaminkan untuk kepentingan pihak lainnya) dan

12. estopped by deed.(akta yang memuat atau berisi pembayaran atas sejumlah

uang karena adanya unsur kesalahan dari salah satu pihak)

Pada dasarnya, akta dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu akta di

bawah tangan dan akta autentik.Akta di bawah tangan yang dalam bahasa Inggris

disebut dengan deed under the hand, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut

dengan akte onder de hand merupakan akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa

perantaraan seorang pejabat. Akta ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

21

Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,

Bentuk Dan Minuta Akta), Rajagrafindo Persada, Jakarta(selanjutnya disingkat Salim HS II), hal.

26.

17

1. Akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di

atas meterai (tanpa keterlibatan pejabat umum);

2. Akta di bawah tangan yang didaftar (waarmerken) oleh notaris/pejabat

yang berwenang;

3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang

berwenang.22

Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b UUJN Perubahan, istilah yang

digunakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah akta di bawah

tangan yang disahkan, sementara itu, istilah akta di bawah tangan yang didaftar

(waarmerken) adalah dibukukan.Akta di bawah tangan yang disahkan merupakan

akta yang harus ditandatangani dan disahkan di depan notaris/pejabat yang

berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap akta di bawah tangan adalah:

1. Notaris menjamin bahwa benar orang yang tercantum namanya dalam

kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;

2. Notaris menjamin bahwa tanggal tanda tangan tersebut dilakukan pada

tanggal disebutkan dalam kontrak.23

Akta di bawah tangan yang dibukukan yang dibukukan (gewarmeken)

merupakan akta yang telah ditandatangani pada hari dan tanggal yang disebut

dalam akta oleh para pihak, dan tandatangan tersebut bukan di depan

notaris/pejabat yang berwenang.Makna akta di bawah tangan yang dibukukan

adalah:

22

Hikmahanto Juwana, Perancangan Kontrak Modul I sampai dengan VI.Jakarta: Sekolah

Tinggi Ilmu Hukum “IBLAM”, tanpa tahun, hal 1. 23

Salim HSdkk, 2007,Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, Sinar

Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal.46.

18

1. Bahwa yang dijamin oleh notaris adalah bahwa akta tersebut memang

benar telah ada pada hari; dan

2. Tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh notaris.24

Hal diatas merupakan kewenangan notaris di dalam Pasal 15 ayat (2)

UUJN Perubahan yang biasanya dikenal dengan istilah legalisasi. Mengenai

keabsahan akta autentik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu :

1. Akta pejabat (Ambtelijke Acte atau Verbal Acte)

Akta pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi

wewenang untuk itu dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat

serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang yang

namanya diterangkan didalam akta,25

ciri khas yang nampak pada akta

pejabat, yaitu tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab

penuh atas pembuatan akta ini. Notaris juga dilarang melakukan suatu

justifikasi (penilaian) sepanjang pembuatan akta pejabat, contoh akta

pejabat, akta berita acara lelang, akta risalah rapat umum pemegang

saham, akta penarikan undian, akta protes non akseptasi atau protes non

pembayaran (Pasal 143 b KUHD).

2. Akta pihak atau penghadap(Partij Acte)

Akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan

akta itu dibuat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.26

Ciri

khas akta ini adanya komparisi atas keterangan yang menyebutkan

kewenangan para pihak dalam melakukan perbuatan hukum yang dimuat

24

Ibid. 25

Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal 120. 26

Sudikno Mertokusumo, loc.cit.

19

dalam akta, contoh: akta pihak/penghadap, jual beli, sewa menyewa,

pendirian perseroan terbatas, koperasi/yayasan, pengakuan hutang dan lain

sebagainya. Perbedaan sifat dari dua macam akta itu adalah sebagai

berikut: “dalam akta pejabat (ambtelijke acte atau verbal acte),akta ini

masih sah sebagai suatu alat pembuktian apabila ada satu atau lebih

diantara penghadapnya tidak menandatangani, sepanjang Notaris

menyebutkan sebab-sebab atau alasan pihak tidak menandatangani”.

Istilah berita acara berasal dari bahasa Inggris, yaitu deed of minutes atau

minutes of deed, sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan de notulen

van de, sedangan dalam bahasa Jerman disebut dengan das protokoll

der.27

Namun, dalam praktik kenotariatan, maka istilah yang sering digunakan,

yaitu akta relaas. Akta relaas, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan deed

relaas, sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan daad relaas atau akte

relaas mempunyai hubungannya dengan uraian dari notaris tentang apa yang

dilihat dan disaksikannya.28

N.E. Algra mengartikan relaas sebagai berita acara

(proses verbaal) dari pegawai penyidik, relaas pendaftaran dari suatu akte:

pencantuman”.29

Dalam konstruksi ini, tidak tampak definisi tentang akta relaas. Relaas

dalam definisi ini diartikan sebagai berita acara. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia berita acara diartikan sebagaicatatan laporan yang dibuat polisi atau

pejabat lain mengenai waktu terjadi, tempat, keterangan dan petunjuk lain

27

Salim HS II, op.cit, hal. 89. 28

Ibid. 29

N.E. Algra et. al., op.cit, hal. 471.

20

mengenai suatu perkara atau peristiwa.30

Pengertian berita acara dalam kamus

besar Bahasa Indonesia identik dengan berita acara di kepolisan yang mana

biasanya digunakan untuk mencatat keterangan-keterangan yang berkaitan dengan

fakta pada saat kejadian perkara.

A.A. Andi Prayitno mengemukakan bahwa akta relaas adalahmencatat

segala peristiwa apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dari pelaksanaan

jalannya rapat atau acara yang diliput.31

Sejalan dengan hal tersebut, Salim HS

mengartikan akta relaas merupakan surat tanda bukti yang dibuat oleh notaris

tentang apa yang dipandangnya, diketahuinya, atau diperhatikan (dilihat) dan

disaksikan tentang terjadinya suatu perbuatan atau peristiwa secara

langsung.32

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta relaas merupakan

akta yang dibuat oleh notaris tentang apa yang dilihat, diketahui dan disaksikan

sehingga notaris mengetahui secara jelas yang terjadi pada saat peristiwa

berlangsung.

Jenis atau penggolongan akta relaas, tidak diatur secara khusus dalam

UUJN Perubahan, namun di dalam praktiknya akta relaas dapat digolongkan

menjadi tiga jenis, yang meliputi:

1. Berita acara rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas;

2. Akta pencatatan budel; dan

3. Akta tentang undian.

30

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, hal. 108. 31

A.A. Andi Prayitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di

Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, hal.69. 32

Salim HS II, op.cit, hal. 90.

21

Risalah RUPS merupakan berita acara yang memuat segala sesuatu yang

dibicarakan dan diputuskan dalam setiap rapat para pemegang saham. Akta

pencatatan budel merupakan akta, yang berkaitan dengan penulisan keseluruhan

harta dari pewaris. Dengan adanya penulisan atau pencatatan itu, maka akan

diketahui jumlah harta pewaris yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Akta

undian merupakan berita acara yang memuat hasil undian, yaitu untuk

menentukan siapa yang akan menjadi pemenangnya atau yang berhak atas suatu

hadiah.

Di dalam praktik kenotariatan, jenis akta yang banyak diminta dan dibuat

oleh notaris maupun PPAT, yaitu akta yang mengatur tentang hubungan hukum

antara orang yang satu dengan orang lainnya. Di dalam praktiknya, jenis akta ini

lazim disebut dengan akta pihak. G.H.S Lumbun Tobing mengartikan akta pihak,

yaitu berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diceritakan di

hadapan notaris yang mana para pihak berkeinginan agar uraian atau

keterangannya dituangkan dalam bentuk akta notaris.33

Dengan demikian akta

pihak merupakan akta yang dibuat dihadapan notaris berisi tentang kesepakatan

para pihak dan memuat hak dan kewajiban yang wajib dilakukan oleh para pihak.

Kata pihak dalam konsep bahasa Indonesia diartikan sebagai satu dari dua

orang. Pihak disini berarti satu orang, sedangkan dalam lalu lintas hukum,

terutama dalam bidang hukum kontrak, bahwa pihak terdiri dari dua orang atau

lebih. Bahwa pihak terdiri dari dua orang atau lebih.

33

G.H.S Lumbun Tobing, op.cit, hal 51.

22

Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris tersebut harus menurut

bentuk yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan Pasal 38 UUJN

Perubahan, dan tata cara yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan pasal

39-53 UUJN Perubahan.Mengacu pada UUJN Perubahan, mengenai bentuk dan

fungsi akta Notaris secara khusus telah diatur di dalam Pasal 38, selanjutnya

mengenai bentuk dan sifat akta tersebut dirumuskan sebagai berikut:

(1) Setiap Akta terdiri atas:

a. awal Akta atau kepala Akta;

b. badan Akta; dan

c. akhir atau penutup Akta.

(2) Awal Akta atau kepala Akta memuat:

a. judul Akta;

b. nomor Akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan

d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

(3) Badan Akta memuat:

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang

yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

(4) Akhir atau penutup Akta memuat:

a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal

16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penerjemahan Akta jika ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan

Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa

penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah

perubahannya.

(5) Akta Notaris Penggantidan Pejabat Sementara Notaris,selain memuat

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga

memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang

mengangkatnya.

23

Ketentuan dalam Pasal 38 UUJN Perubahan ini merupakan syarat-syarat

yang harus dipenuhi sebagai akta Notaris. Apabila dihubungkan dengan ketentuan

Pasal 1868 KUHPerdata jo. Pasal 1869 KUHPerdata yang merupakan sumber

otentisitas akta Notaris dan juga sebagai legalitas eksistensi akta Notaris. Apabila

notaris melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 UUJN Perubahan,

maka berlaku ketentuan Pasal 41 UUJN Perubahan yang menyebutkan :

“Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal

39, dan Pasal 40 mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta dibawah tangan”.

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Sjaifurrachman yang berjudul

Aspek Pertanggungjawaban Notaris mengemukakan mengenai batasan akta

autentik dalam Pembuatan Akta adalah akta yang dibuat dengan maksud untuk

dijadikan alat bukti oleh atau di muka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk

itu.34

Jadi pada prinsipnya keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan

pejabat yang membuat, serta pembuatannyapun harus memenuhi syarat yang telah

ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan

demikian apabila sebuah akta tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka tidak

dapat dikategorikan sebagai akta autentik, dan kekuatan pembuktiannya juga

sangat lemah.

2.5. Akta Notaris sebagai Akta Autentik

Philipus M. Hadjon mengemukakan dua syarat suatu akta disebut akta

autentik yang meliputi : (1). di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

34

Sjaifurrachman, op.cit, hal.110.

24

(bentuknya baku) ; dan (2). dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.35

Disamping

itu, C.A. Kraan di dalam bukunya Herlien Budiono mengemukakan lima ciri akta

autentik, yang meliputi:36

1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan

dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut

ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja;

2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari perjabat

yang berwenang;

3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut

mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat

ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu

tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data

dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut);

4. Seorang pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan

jabatannya; dan

5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah

hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Akta notaris sebagai akta autentik bertujuan untuk menjamin kepastian

hukum, menjamin ketertiban dan memberikan perlindungan hukum bagi setiap

warga negara. Di dalam Pasal 1 angka 7 UUJN Perubahan telah ditentukan tiga

syarat suatu akta disebut akta autentik, yang meliputi:

1. Dibuat oleh atau dihadapan notaris;

2. Bentuknya ditentukan dalam undang-undang; dan

3. Tata caranya juga ditentukan dalam undang-undang.

Akta autentik merupakan akta yang berkekuatan pembuktian yang

sempurna, karena akta itu dibuat oleh pejabat yang berwenang. Ada tiga kekuatan

pembuktian akta autentik, yaitu kekuatan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian

35

Philipus M. Hadjon, 2001, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya

Post, hal. 3. 36

Herlien Budiono, 2003, Akta Notaris Melalui Media ELektronik, Upgrading-Refreshing

Course Ikatan Notaris Indonesia, Bandung Tanggal 22-25 Januari 2003, hal. 5.

25

formal, dan kekuatan pembuktian materiil. Ketiga hal itu dijelaskan secara singkat

berikut ini:37

1. Kekuatan pembuktian lahir

Akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sebagai

akta autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUHPerdata. Kemampuan ini

tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Karena akata

yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah apabila semua pihak yang menanda

tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangan itu atau apabila dengan cara

yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang

besangkutan. Apabial suatu akta kelihatan sebagai akta autentik, artinya dari kata-

katanya yang berasal dari seorang pejabat umum (notaris) maka akta itu terhadap

setiap orang dianggap sebagai akta autentik.

2. Kekuatan pembuktian formal

Dalam arti formal, akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang

disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan oleh notaris sebagai

pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal terjamin:

a. Kebenaran tanggal akta itu;

b. Kebenaran yang terdapat dalam akta itu;

c. Kebenaran identitas dari orang-orang yang hadir; dan

d. Kebenaran tempat dimana akta dibuat.

37

Salim HS II,op.cit, hal. 29.

26

3. Kekuatan pembuktian materiil

Isi dari akta dianggap sebagai yang benar terhadap setiap orang. Kekuatan

pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, Pasal 1871, dan Pasal 1875

KUHPerdata. Isi keterangan yang termuat dalam akta itu berlaku sebagai yang

benar di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak

mereka.Apabila akta itu dipergunakan di muka pengadilan, maka sudah dianggap

cukup bagi hakim tanpa harusmeminta alat bukti lainnya lagi, karena akta itu

dibuat secara tertulis, lengkat para pihaknya, obyeknya jelas, serta tanggal

dibuatnya akta.

Keberadaan akta autentik yang identik dengan aka notaris karena

kebutuhan masyarakat memintanya untuk dibuatkan dalam perbuatan hukum

tertentu demikian pentingnya sebagai bukti tertulis, sehingga undang-undang

mensyaratkan secara mutlak dan harus dinyatakan atau dituangkan ke dalam

bentuk akta autentik. Akta autentik lahir dan bersumber dari seorang pejabat yang

tidak bisa sembarangan diberikan kewenangan untuk itu dan karenanya

disebutkan secara tegas di dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

2.6. Keabsahan Akta Notaris Sebagai Akta Autentik

Akta notaris dapat disebut sebagai akta autentik dikarenakan undang-

undangnya telah menentukan sendiri, bahwa suatu perbuatan hukum tertentu yang

dibuat dihadapan notaris harus berbentuk akta autentik. Menurut Syamsudin

27

Aboebakar, ada beberapa perbuatan hukum yang mutlak mesti dituangkan ke

dalam bentuk akta autentik, dengan acuan penerapan :38

1. Pasal-pasal undang-undang sendiri menentukan perbuatan hukum yang

bersangkutan wajib dituangkan secara formil dalam bentuk akta autentik,

berarti dibuat dihadapan notaris. Tindakan yang dilakukan baru sah apabila

dalam bentuk akta autentik, karena akta autentik merupakan syarat pokok

yang disebut formalitas causa. Hal ini sekaligus berfungsi sebagai alat

bukti satu-satunya atas sahnya tindakan hukum yang bersangkutan.

2. Sifat hukumnya imperative, yaitu bersifat memaksa karena tidak adanya

petikan lain, selain dengan bentuk akta autentik.

3. Pelanggaran atas ketentuan ini, menimbulkan akibat hukum, yaitu :

a. Dianggap batal demi hukum;

b. Perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada.

Berdasarkan ketiga hal tersebut mengisyaratkan bahwa ketentuan tersebut

bersifat memaksa mengenai peran dan fungsi akta autentik baik yang sudah

terdapat di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun yang

dikehendaki oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta autentik. Dengan

demikian akta autentik yang dibuat notaris wajib memenuhi syarat formal guna

menjamin keabsahan akta yang dibuat notaris merupakan akta autentik. Menurut

Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esensialia agar terpenuhinya syarat

formal suatu akta otentik, yaitu:39

1. di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

2. dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum;

3. akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

38

Syamsudin Aboebakar, 1995, Perkembangan Hukum Perdata Tertulis di Indonesia,

Media Notariat No. 35 Bulan April 1995, Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya, hal. 24. 39

Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,

Surabaya, hal. 148.

28

Akta autentik merupakan cerminan dari Pasal 1868 KUHPerdata yang

merupakan sumber umtuk otentisitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas

eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Akta Yang Dibuat Oleh Atau Di Hadapan Seorang Pejabat Umum.

2. Akta Itu Harus Dibuat Dalam Bentuk Yang Ditentukan Oleh Undang-

Undang.

3. Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai

wewenang untuk membuat akta itu.

Penjelasan mengenai legalitas akta notaris agar dapat dikatakan memenuhi

unsur-unsur sahnya akta autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata dapat

dipaparkan sebagai berikut :

Ad.1 Pasal 38 UUJN Perubahan yang mengatur mengenai sifat dan bentik akta

tidak menentukan mengenaisifat akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN

Perubahan menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat

oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan

dalam UUJN Perubahan, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN

Perubahan disebutkan bahwa notaris wajib membuat daftar akta dan

mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta yang

dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut akta relaas atau akta berita

acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris

sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak

yang dilakukan dituangkan ke dalam bentik akta notaris. Akta yang dibuat

di hadapan notaris, dalam praktik notaris disebut akta pihak, yang berisi

29

uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang

diceritakan di hadapan notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau

keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.40

Dengan demikian

keinginan para pihak tersebut wajib dituangkan di dalam akta notaris

sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma

kesusilaan dan ketertiban umum.

Ad.2 Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de

Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stlb. No. 11, tanggal 7

Maret 1822,41

kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in

Indonesie (Stb. 1860:3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het

Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi

PJN.42

Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal

tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di

Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara

kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak

mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta

Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-

undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.

Ad.3 Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai

wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang notaris sebagai pejabat

umum dalam hal membuat akta autentik meliputi 4 (empat) hal, yaitu :

40

G.H.S. Lumban Tobing, loc.cit. 41

R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit, hal. 24. 42

Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, Cetakan Pertama,

Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 362.

30

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus

dibuatnya.

2. Notaris harus bewenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan

siapa akta itu dibuat.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu

di buat.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta

itu.

2.7. Hakekat Utang Piutang, Jaminan dan Hak Tanggungan

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law,

zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Dalam Keputusan Seminar Hukum

Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta

menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik

jaminan kebendaan maupun perorangan.43

Berdasarkan hal tersebut maka pengertian hukum jaminan secara khusus

hanya mengatur mengenai subjek dan objek jaminan yang mana subjek dari

hukum jaminan yaitu orang perorangan atau badan hukum sedangkan objek dari

hukum jaminan yaitu benda. Sementara itu, hukum jaminan didasarkan kepada

pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan

pengertian hukum jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah

43

Rachmadi Usman, 2016, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 1.

31

hukum jaminan itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan

perseorangan.44

Terbentuknya hukum jaminan sejalan dengan apa yang di cita-

citakan selama ini untuk memberikan kepastian hukum di dalam perjanjian utang-

piutang yang dibuat oleh para pihak.

Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah

keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi

dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk

mendapatkan fasilitas kredit.45

Dari penjelasan tersebut, hukum jaminan bertujuan

untuk mengatur kreditur dan debitur agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari

berkaitan dengan obyek yang dijaminkannya.

Berangkat dari istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zekerheids

stelling atau security of law. Pengertian hukum jaminan sendiri tidak dapat

ditemukan dalam peraturan maupun dalam literatur-literatur yang ada. Sri

Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah:46

“mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit,

dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan

demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi

lembaga-lembaga kredit bank dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya

lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan

adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama

dan bunga yang relative rendah”

Sudut pandang kepastian hukum dari hukum jaminan ketika objek yang

dimiliki oleh debitur digunakan untuk kepentingan pelunasan utang kepada

44

Ibid. 45

Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta(selanjutnya disingkat Salim HS III), hal. 6. 46

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok

Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, hal. 5.

32

kreditur. Selama objek tersebut dijadikan jaminan, maka kreditur memiliki

kekuasaan atas objek tersebut sepanjang debitur belum melunasi utangnya.

Sedangkan J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah peraturan hukum

yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap

debitur.47

Pendapat J. Satrio merupakan penyempurnaan dari berbagai pendapat

tentang hukum jaminan sehingga di dalam hukum jaminan terdapat hubungan

hukum yang mengikat antara kreditur dan debitur dalam waktu tertentu.

Untuk menemukan rumusan hukum jaminan oleh Djuhaendah Hasan

dalam bukunya Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko ditelaah dari arti

dan fungsi jaminan itu sendiri, yang kemudian dirumuskan sebagai “Perangkat

hukum yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga

bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi”.48

Di

dalam rumusan ini dinyatakan bahwa hukum jaminan mencakup jaminan

kebendaan dan jaminan perorangan.

Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur

yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Ringkasnya,hukum jaminan adalah

hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Berbicara tentang

utang piutang, maka utang piutang adalah perjanjian antara pihak yang satu

dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah

uang.49

Dengan kata lain, kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang

memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang.

47

J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I,

Citra Aditya Bakti, Bandung(selanjutnya disingkat J. Satrio I), hal. 3. 48

Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, 2011, Hak Kreditur Separatis Dalam

Mengeksekusi Benda Jaminan Debitur Pailit, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 30. 49

Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, hal. 9.

33

Uang yang dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai

dengan yang diperjanjikannya.

Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan

atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu

perikatan. Sedangkan barang jaminan menurut Thain adalah sesuatu yang

mempunyai nilai dari debitur yang disertakan dalam perjanjian, dalam rangka

untuk menjamin utangnya.50

Dengan demikkian, dapat disimpulkan bahwa tanpa

disertainya barang jaminan maka yang akan terjadi semata-mata hanyalah suatu

kontrak atas utang atau atas piutang dan suatu kewajiban untuk memenuhinya.

Menjamin suatu benda berarti melepas sebagian kekuasaan atas benda

tersebut, Thain berpendapat agar dapat dipahami, dalam perjanjian harus terdapat

unsur-unsur, antara lain:51

a. adanya suatu utang;

b. seorang debitur;

c. seorang kreditur yang menjadi pihak terjamin;

d. harta kekayaan menjadi jaminan (barang jaminan) dan suatu perjanjian

yang menjamin bahwa kreditur akan memiliki kepentingan atas jaminan

pada barang jaminan.

Dari pendapat diatas maka dapat dikemukakan bahwa antara kreditur dan

debitur menjalin suatu kesepakatan untuk membuat perjanjian utang-piutang

dengan cara debitur memberikan jaminan yang berupa benda untuk mendapatkan

fasilitas kredit dari kreditur. Hal ini menunjukkan bahwa kreditur dan debitur

wajib melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan

50

Gerald G Thain, 1998, A Basic Outline of The Law of Secured Transaction, Artikel

dalam: Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 – Hukum Jaminan Indonesia, Proyek Elips, Jakarta, hal.

153. 51

Ibid.

34

berdasarkan itikad baik guna menghindari terjadinya wanprestasi dikemudian

hari.

Perjanjian Utang Piutang yang menjadikan objek jaminannya berupa hak

atas tanah sudah diatur di dalam ketentuan UUHT. Adanya lembaga hak

tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari hipotik sebagaimana yang

diatur dalam Buku II KUHPerdata. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa

ketentuan tentang Hipotik dan Credietverband tidak sesuai lagi dengan asas-asas

hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung

perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai

akibat dan kemajuan pembangunan ekonomi.52

Ketentuan-ketentuan yang terdapat

di dalam Hipotik dan Crediteverband tidak cukup mengakamodir perkembangan

hukum jaminan yang mana ketentuan di dalam hipotik hanya menguntungkan

kreditur sehingga tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada debitur.

Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur-kreditur lain.53

Dengan kata lain, jika debitur cidera janji,

kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum

tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur yang lain.

Kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang Negara

menurut ketentuan hukum yang berlaku.

52

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan

Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Cetakan I, Alumni, Bandung, hal. 2. 53

Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5.

35

2.8. Subjek dan Objek Jaminan Hak Tanggungan

Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan ada perjanjian antara 2 pihak

yaitu pihak yang memberikan hak tanggungan dan pihak kreditur sebagai pihak

yang menerima hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dalam hal ini adalah

pemilik tanah yang telah sepakat dibebani dengan hak tanggungan sampai

sejumlah uang tertentu, untuk menjamin suatu perikatan hutang. Dengan demikian

yang bisa memberikan hak tanggungan adalah pemilik hak atas tanah yang

dijaminkan. Hal itu didasarkan atas asas umum yang mengatakan, bahwa tindakan

membebani adalah tindakan memberikan suatu hak terbatas tertentu daripada

keseluruhan kompleks hak-hak yang dipunyai oleh seorang pemilik, dan

karenanya yang dapat memberikan itu adalah pemilik sendiri.54

Hal tersebut berarti

yang dapat menjadi debitur hanya pemilik dari hak atas tanah yang akan dijadikan

sebagai hak tanggungan guna melindungi kepentingan kreditur ketika debitur

mengalami wanprestasi.

Pemberi hak tanggungan bisa debitur sendiri, kalau tanah tersebut adalah

milik debitur sendiri, dalam hal mana debitur disebut sebagai debitur pemberi hak

tanggungan, tetapi bisa juga hak atas tanah yang dijadikan jaminan adalah milik

pihak ketiga, sehingga dalam hal demikian ada pihak ketiga pemberi hak

tanggungan. Dalam peristiwa seperti itu, ada pihak ketiga yang menjamin

hutangnya orang lain (debitur) dengan hak atas tanah miliknya. Yang dalam

perikatan hutang yang bersangkutan mempunyai hutang (schuld) adalah debitur

disamping juga haftung sedang pihak ketiga pemberi jaminan tidak punya hutang

54

J. Satrio I, op.cit, hal. 245.

36

(schuld) terhadap kreditur, tetapi punya haftung, sehingga dalam peristiwa seperti

itu kreditur tidak bisa menagih hutang debitur kepada pihak ketiga, tetapi sebagai

akibat dari haftung tanggung jawab yuridis yang dipunyai olehnya, maka benda

jaminan milik pihak ketiga bisa dijual/dieksekusi, kalau debitur

wanprestasi.55

Maka debitur sebagai pihak yang mempunyai hutang/schuld dan

harta/haftung, bisa ditagih oleh kreditur dan kalau ia tidak mau membayar maka

harta miliknya berdasarkan asas jaminan umum Pasal 1131 KUHPerdata bisa

dijual/dieksekusi untuk melunasi hutang-hutangnya.

Dalam Pasal 9 UUHT disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai

pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum

yang berkedudukan sebagai kreditur. Menentukan siapa yang bisa menjadi

pemegang hak tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bertindak sebagai

pemberi hak tanggungan, karenaseorang pemegang hak tanggungan tidak

berkaitan dengan pemilikan tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud

untuk memiliki objek hak tanggungan bahkan memperjanjikan bahwa objek hak

tanggungan akan menjadi milik pemegang hak tanggungan kalau debitur

wanprestasi, adalah batal demi hukum (Pasal 12 UUHT).

Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang hak

tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, maka dapat

disimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan adalah persoon

alamiah atau badan hukum. Badan hukum yang menjadi pemegang hak

tanggungan terdiri dari Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang

55

J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni,

Bandung(selanjutnya disingkat J. Satrio II), hal.23.

37

telah memperoleh status sebagai badan hukum atau Yayasan. Dalam prakteknya,

yang biasanya menggunakan lembaga hak tanggungan adalah bank sebuah badan

hukum tetapi tidak tertutup bagi orang perseorangan untuk juga memanfaatkan

lembaga hak tanggungan.

Dalam praktek bisnis, benda yang menjadi obek jaminan adalah benda

bergerak dan benda tidak bergerak, karena juga dikenal dengan adanya

pembebanan jaminan atas benda bergerak dan tak bergerak. Pembebanan tersebut

dikenal hampir seluruh perundang-undangan modern di berbagai Negara dunia. Di

Negara-negara Eropa seperti misalnya Inggris, menurut hukum perdatanya

pembebanan benda bergerak dan benda tetap juga mempunyai arti penting,

sehingga pengaturan mengenai hak-hak yang bertalian dengan benda tetap “real

property law” dan pengaturan mengenai benda bergerak “personal property law”

diatur secara terpisah satu sama lain, yang merupakan dua ajaran (leerstukken)

yang berbeda dan tidak dapat disatukan, yang mula-mula mempunyai arti penting

dalam hukum waris.56

Dengan kata lain, sistem hukum di negara Inggris telah

mengalami kemajuan di bidang hukum perdata untuk memisahkan pengaturan-

pengaturan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak menjadi 2 (dua)

ketentuan yang berbeda karena pewarisan yang terjadi di Inggris berbeda dalam

hal yang diwariskan apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak.

Meskipun disamping pembedaan benda bergerak dan benda tak bergerak

dikenal adanya pembedaan benda terdaftar dan benda tak terdaftar, atau benda

atas nama dan tidak atas nama, sebagaimana dikemukakan oleh Drion dalam

56

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal. 53.

38

bukunya Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,namun pembedaan benda bergerak dan

benda tak bergerak tetap mempunyai arti penting.57

Arti penting tersebut dapat

berarti bahwa benda bergerak dan benda tidak bergerak mempunyai karakteristik

yang berbeda. Perkembangan perkreditan di Indonesia sebagai sarana perjanjian

kredit dengan menggunakan perjanjian perorangan dan kebendaan. Dilihat dari

fungsi sebagai pengaman kredit, perjanjian jaminan kebendaan lebih banyak

digunakan oleh para kreditur daripada perjanjian jaminan perorangan, hal tersebut

disebabkan karena dalam perjanjian kebendaan, obyek yang menjadi jaminan jelas

dan pasti ada dan benda tersebut disediakan bagi kreditu manakala debitur cidera

janji di kemudian hari.

Suatu benda dijadikan jaminan adalah merupakan itikad baik debitur, guna

memastikan pelunasan utangnya sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian

pokoknya akan terselesaikan dengan baik, sedangkan kreditur menjadi lebih yakin

akan niat baik debitur, jika ada benda tertentu yang memiliki nilai ekonomis yang

diikat dalam perjanjian yang dikenal dengan Jaminan Kebendaan. Realisasi

penjaminan ini juga selalu berupa menguangkan benda-benda jaminan dan

mengambil dari hasil penguangan benda jaminan itu apa yang menjadi hak pihak

yang menguntungkan (si berpiutang atau kreditur). Dengan demikian, yang

dijamin adalah selalu pemenuhan suatu kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang. Oleh karena itu, maka barang yang dapat dijadikan jaminan haruslah suatu

benda atau suatu hak yang dapat dinilai dengan uang.

57

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, loc.cit.

39

Faktor nilai uang/ekonomis tetap merupakan faktor ang penting dalam

perikatan, dalam arti bahwa semua perikatan yang prestasinya mempunyai nilai

uang/ekonomis adalah perikatan sebagaimana dimaksud oleh Buku III

KUHPerdata., yang merupakan bagian dari hukum kekayaan, sedangkan hukum

kekayaan mengatur hak-hak kekayaan. Sebagai bagian dari hak kekayaan

absolute adalah hak kebendaan yang mendapat pengaturan dalam Buku II

KUHPerdata, sedangkan hak kekayaan yang relatif – perikatan – pengaturannya

adalah dari Buku III KUHPerdata sehingga benda atau suatu hak dapat dijadikan

jaminan adalah hak/benda ang mempunyai nilai uang/ekonomis.

Selain benda jaminan mempunyai nilai ekonomis, benda itu juga harus

dapat dialihkan kepada orang lain. Lebih jelas dikatakan oleh Subekti, bahwa

menjaminkan suatu benda berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas benda

tersebut.58

Kekuasaan yang dilepaskan tersebut adalah kekuasaan dengan cara

menjual, menukar atau menghibahkan, dan bahkan yang tepat bagi kemungkinan

untuk benda dapat dijadikan jaminan adalah benda yang dapat dialihkan. Jadi

kriterianya bukan hanya ius in rem (zakelijk recht) saja yang dapat dijadikan

dijaminkan, melainkan juga ius in personam (persoonlijk recht) dapat dijadikan

jaminan asal saja dapat dialihkan.59

Artinya bukan hanya benda saja yang dapat

dijadikan objek jaminan, orang perorangan dapat dijadikan sebagai objek jaminan

tetapi dalam hal penjamin borgtoch untuk memberikan kepercayaan kepada

kreditur ketika debitur tidak memiliki objek jaminan.

58

R. Subekti, 1978, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Binacipta,

Bandung, hal. 27. 59

Mr. Nugroho, 1981, Pembahasan Kertas Kerja: Pengaturan Hukum Tentang Hipotek

Kreditverban dan Fidusia, Seminar Hukum Jaminan, BPHN, Binacipta, Bandung, hal 63.

40

Berkaitan dengan objek jaminan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)

mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan hak tanggungan. Menurut

UUPA, hak tanggungan itu dapat dibedakan di atas tanah hak milik (Pasal 25),

hak guna usaha (Pasal 33) dan hak guna bangunan (Pasal 39). Menurut Pasal 51

UUPA, hak tanggungan akan diatur dengan undang-undang Nomor Tahun 1996

tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah. Hal tersebut terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang

diamanatkan di dalam Pasal 51 UUPA tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, obyek yang dapat

dibebani dengan hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda

yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tangungan

tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan

adalah sebagai berikut: a)Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna Bangunan,

d) Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib

didaftar dan menurut sifatya dapat dipindah tangankan, e) Hak-Hak atas tanah

berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik

pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas

dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Khususnya hak pakai, dalam kenyataannya tidak semua Tanah Hak Pakai

Atas Tanah Negara dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan. Ada Tanah Hak

Pakai Atas Tanah Negara yang walaupun telah terdaftar, tetapi karena sifatnya

41

tidak dapat dipindahtangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak

Pakai atas nama badan keagamaan dan social dan Hak Pakai atas nama

Perwakilan Negara Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan

diberikan selam tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu (khusus), adalah

bukan merupakan obyek Hak Tanggungan. Adapun Hak Pakai Atas Tanah Negara

yang dapat dipindah tangankan meliputi Hak Pakai yang diberikan kepada orang

perseorangan atau badan hukum jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam

keputusan pemberiannya, dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.Salah satu

subjek Hak Pakai adalah orang asing, tetapi tidak semua orang asing dapat

ditunjuk sebagai subjek Hak Pakai. Orang asing yang hanya berkedudukan di

Indonesia sajalah yang dapat sebagai subjek Hak Pakai.

Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang

memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat

publisitas) dan dapat dipindah tangankan untuk memudakan pelaksanaan

pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Hak Tanggungan ditegaskan bahwa terhadap tanah Hak Milik

yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang digunakan untuk keperluan

keperibadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun memenuhi kedua persyaratan

tersebut, karena kekhususan sifat dan tujuan penggunaannya, tidak dapat

dijadikan obyek Hak Tanggungan.

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan

tersebut juga dijelaskan bahwa Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan

kepda orang perorangan dan badanbadan hukum perdata, karena memenuhi kedua

42

syarat tersebut di atas, dapat diadikan obyek Hak Tanggungan.Hak Pakai atas

Tanah Negara yang diberikan kepada instansi Pemerintah, Badan Keagamaan dan

Sosial, dan Perwakilan Negara Asing walaupun wajib didaftarkan, tetap karena

sifatnya tidak dapat dipindah tangankan, bukan merupakan obyek Hak

Tanggungan.

Dalam praktek perbankan, untuk lebih mengamankan dana yang

disalurkan kreditur kepada debitur diperlukan tambahan pengamanan berupa

jaminan khusus ang banyak digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah.

Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif, maupun

konsumtif didasarkan pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunai nilai

ekonomis yang relatif tinggi.60

Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan

dianggap paling efektif dan aman, adalah tanah dengan jaminan hak tanggungan.

Hal itu didasari oleh adanya kemudahan dalam mengidentifikasi obek hak

tanggungan, seta jelas dan pasti eksekusinya. Disamping itu, hutang yang dijamin

dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainna dengan

uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek hak tanggungan. Pertimbangan

lain karena serifikat hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial, dan yang lebih

penting adalah hak tanggungan telah diatur dalam undang-undang, serta harga

dari tanah yang menjadi obyek hak tanggungan cenderung terus

meningkat.61

Terutama kelebihan hak tanggungan dibandingkan Hak Jaminan

Kebendaan lainnya, kreditur pemegang jaminan memiliki hak istimewa, yakni

60

Agus Yudha Hernoko, 1998, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang

Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional, Tesis, Pascasarjana UNAIR, Surabaya, hal. 7. 61

Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, 1987, Hukum Acara Perdata

Dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, hal. 8.

43

droit de suit, droit de preferencedan dalam kepailitan sebagai kreditur

separatis.62

Prinsip droit de suit berarti hak tersebut mengikuti bendanya dengan

kata lain hak tersebut akan mengikuti pemilik dari bendanya sedangkan prinsip

droit de preference berarti bahwa kreditur pemegang hak jaminan mempunyai

kedudukan yang didahulukan daripada kreditur lainnya.

Atas dasar pendapat para ahli hukum sangatlah beralasan bahwa sarat

obyek perjanjian jaminan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan

dapat dialihkan. Persyaratan tersebut guna melindungi kepentingan kreditur

manakala debitur cidera janji maka benda tersebut sebagai pelunasan atas hutang

debitur kepada kreditur.

2.9. Bentuk Wanprestasi dalam Perjanjian Utang Piutang

Secara normatif wanprestasi terdapat di dalam ketentuan Pasal 1238

KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan

surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi

perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap

lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Menurut Gatot Supramono, wanprestasi adalah prestasi yang telah

diperjanjikan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh

debitur.63

Sejalan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa

wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti

62

Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,

Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal.

89. 63

Gatot Supramono, op.cit, hal. 31.

44

suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.64

Sedangkan

R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau

kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:65

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana

yang diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat

dilakukan.

Wanprestasi dapat dikatakan sebagai suatu kegagalan untuk melaksanakan

janji yang telah disepakati antara kreditur dan debitur dan biasanya disebabkan

oleh karena debitur tidak melaksanakan kewajiban tanpa alasan yang dapat

diterima oleh hukum. Dalam perjanjian utang piutang wanprestasi ada tiga

bentuk,yaitu :

1. Utang tidak dikembalikan sama sekali

2. Mengembalikan utang hanya sebagian

3. Mengembalikan Uang Tetapi Terlambat Waktunya

Penjelasan mengenai bentuk-bentuk wanprestasi dapat dipaparkan sebagai

berikut :

Ad.1 Debitur yang tidak dapat mengembalikan utang sama sekali, sering disebut

sebagai debitur nakal, karena sudah dianggap tidak mempunyai iktikad baik

dalam pelaksanaan perjanjian. Tidak dibayarnya utang, memang perlu dicari

penebabnya, jika karena usahanya bangkrut lantaran ada bencana alam

seperti tsunami atau gempa bumi sampai tidak mempunyai harta benda,

maka yang demikian ini debitur tidak dapat diminta pertanggungjawaban,

64

Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hal.17. 65

R.Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,Pembimbing Masa, Jakarta, hal.50.

45

berhubung di luar kesalahannya. Sebaliknya apabila tidak dibayarnya utang

tersebut karena kesengajaan, perbuatan debitur sudah dapat digolongkan

sebagai tindak kejahatan. Debitur dapat dikenakan Pasal 372 KUHP tentang

kejahatan penipuan, jika debitur tujuannya menguntungkan diri sendiri

dengan dilatarbelakangi suatu kebohongan sewaktu membuat perjanjian.

Ad.2 Pengembalian utang dalam hal ini dapat berupa pengembalian sebagian kecil

atau sebagian besar, yang jelas masih ada sisa utang. Juga dapat berupa

yang dikembalikan hanya utang pokokna saja, sedangkan bunganya belum

pernah dibayar, atau sebaliknya yang baru dibayar bunganya saja sedangkan

utang pokoknya belum dibayar. Utang yang baru sebagian dibayar, terlebih

hanya sebagian kecil yang dibayar, kemudian selebihnya atau sisa utangnya

sulit diharapkan, biasanya menjadi masalah bagi kreditur. Dikalangan

perbankan dikenal dengan apa yang disebut sebagai “kredit macet”.

Biasanya pula sebuah kredit yang menjurus macet, bank masih

mempertimbangkan adanya credit injection atau suntikan kredit agar dengan

maksud tambahan dana pinjaman tersebut pihak debitur dapat memperbaiki

dan meningkatkan usahanya, sehingga masih diharapkan debitur dapat

mengembalikan keseluruhan utangnya.

Ad.3 Mengenai terlambat waktunya, ada dua macam yaitu waktunya sebentar

misalnya dalam hitungan hari atau bulan, dan waktu yang tergolong lama

misalnya tahunan. Jika waktu lama hingga tahunan, biasanya memberatkan

debitur, karena beban bunga makin menumpuk, bahkan nilainya bisa

melebihi utang pokoknya. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah

46

uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu

terlambat, yaitu berupa interest, rente, atau bunga. Jika ada pembayaran

yang terlambat pada dasarnya debitur masih mempunai niat baik, akan tetapi

karena sesuatu hal seperti usahanya sepi, mempunyai uang namun ada

keperluan lain yang sangat mendesak, sehingga debitur perlu sekali

menunda pembayaran utangnya dan sebenarnya tidak ada niat untuk

merugikan kreditur.Meskipun memang terdapat niat baik untuk

pengembaliannya itu terlambat walaupun hanya sehari saja, namanya tetap

wanprestasi, karena debitur tidak melaksanakan prestasi seperti apa yang

diperjanjikan.

Bertitik tolak dari teori, konsep dan pemikiran-pemikiran tentang jabatan

notaris, akta notaris dan utang piutang maka dapat ditarik pokok-pokok pemikiran

dari bahasan diatas yakni kewenangan notaris membuat akta utang-piutang yang

didasarkan oleh kesepakatan para pihak wajib memenuhi unsur-unsur

terpenuhinya akta notaris sebagai akta autentik yang terdapat dalam Pasal 1868

KUHPerdata. Akibat hukum dari tidak terpenuhi perjanjian utang piutang yang

dibuat dihadapan notaris dapat mengakibatkan perjanjian tersebut dapat

dibatalkan dan batal demi hukum.