yang berarti umum, jika dikaitkan dengan pemerintahan · menurut undang-undang atau peraturan...
TRANSCRIPT
BAB II
TEORI, KONSEP DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG JABATAN
NOTARIS, AKTA NOTARIS DAN UTANG PIUTANG
Dalam Bab II ini akan dijelaskan beberapa teori konsep dan pemikiran-
pemikiran tentang Notaris yang akan mendukung dalam pemahaman akan
penelitian ini. Adapun teori, konsep dan pemikiran-pemikiran tersebut meliputi
Hakekat Jabatan Notaris, Hakekat Akta Notaris,dan Hakekat Utang Piutang, yang
akan dijabarkan sebagai berikut :
2.1. Pengertian dan Kewenangan Notaris
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) (selanjutnya
disebut UUJNPerubahan) disebutkan mengenai pengertian notaris, yaitu:
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Secara pengertian notaris sebagai pejabat umum tidak dijelaskan di dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Istilah pejabat umum awal mulanya
terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata namun hanya tercantum mengenai
pengertian akta autentik dan tidak menjelaskan secara rinci siapa yang dimaksud
Pejabat Umum. Setelah terbit Peraturan Jabatan Notaris yang dikenal dengan PJN
41 1
2
yang mana peraturan tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1868
KUHPerdata sehingga Pejabat Umum yang dimaksud adalah Notaris.1
Pejabat umum yang dimaksud oleh Pasal 1868 B.W hanyalah notaris,
karena hingga saat ini tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang
pejabat umum selain UUJN Perubahan. Kalaupun saat ini ada pejabat umum lain
yang diberi wewenang untuk membuat akta tertentu, ternyata mereka tidak diatur
berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1868
KUHPerdata. Otentisitas suatu akta menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah jika
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh pejabat umum
yang berwenang untuk itu berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.
Kata Openbaaryang berarti umum, jika dikaitkan dengan pemerintahan
berarti urusan yang terbuka untuk umum atau kepentingan umum.2 Urusan yang
terbuka untuk umum berarti meliputi semua bidang yang berhubungan dengan
publik. Menurut F.M.J. Jansen, pejabat adalah orang yang diangkat untuk
menduduki jabatan umum oleh penguasa umum untuk melakukan tugas Negara
atau Pemerintah (Hij die door het openbaar gezag is aangesteled tot een openbare
betrekking om te verrichten een deelvan de taak van de staat of zijn organen, is te
beschouwen als openbaar ambtenaar).3
Dengan demikian maka pejabat umum (openbare ambtenaar) adalah organ
negara yang dilengkapi kekuasaan umum (met openbaar gezag bekled),yang
berwenang menjalankan sebagian kekuasaan Negara khususnya dalam pembuatan
1 G.H.S Lumban Tobing, 1980, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 35.
2 N.E. Algra et. al., 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,
Bina Cipta, Jakarta, hal. 363. 3Ghansham Anand, 2014, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia,Zifatama Publisher,
Sidoarjo, hal. 40.
3
dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik di bidang hukum perdata.4Meski
diangkat sebagai pejabat umum namun notaris bukan pegawai negeri sipil
menurut undang-undang atau Peraturan Kepegawaian Negara, karena notaris tidak
digaji oleh Negara dan tidak mendapat uang pensiun dari Negara apabila telah
pensiun atau berhenti sebagai pejabat umum. Kendati diangkat oleh Negara
sebagai pejabat umum, namun Notaris menerima honorarium (bukan gaji) dari
klien atas jasa-jasa yang telah diberikan, yaitu dalam kaitannya dengan pembuatan
akta-akta otentik di bidang keperdataan.5 Dengan kata lain, tugas notaris adalah
bersifat fungsi publik, tetapi obyek tugasnya lebih bersifat hukum
keperdataan.6Sejalan dengan pendapat diatas, bahwa notaris merupakan pejabat
umum yang tugas-tugasnya hanya berkaitan dengan hukum keperdataan yaitu
menyangkut perjanjian.
Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, Notaris adalah pejabat umum
Openbare ambtenaren, karena erat hubungannya dengan wewenang atau tugas
dan kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.7 Dengan demikian
notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata
untuk melayani kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum
berbentuk akta autentik. Sejalan dengan hal itu Husni Thamrin menjelaskan
bahwa Notaris merupakan pejabat umum yang berfungsi menjamin otentisitas
4 N.G Yudhara, 1996, Mencermati Undang Undang Hak Tanggungan dan
Permasalahannya, Makalah dalam Diskusi Panel UUHT, Program Studi Notariat Fakultas Hukum
UNAIR, Surabaya, 15 Juni 1996, hal. 7. 5 Komar Andasasmita, 1983, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Bandung, hal. 103.
6 Paulus E. Lotulung, 1999, Perlindungan Hukum bagi Notaris selaku Pejabat Umum
dalam Menjalankan Tugasnya, Makalah Up Grading Course pada Konggres XVII – INI, di
Jakarta, hal. 2. 7 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia suatu penjelasan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.42.
4
pada tulisan-tulisannya (akta).8Otensitas akta yang dibuat oleh notaris bukan
hanya pada kertasnya, akan tetapi mempunyai sifat yang autentik seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
Kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik dan/atau kewenangan
lainnya sudah jelas tercantum dalam Pasal 15UUJN Perubahan yang
menyebutkan:
(1). Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan Kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1),
Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3). Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam perundang-
undangan.
Sejalan dengan Pasal 15 UUJN Perubahan, menurut Husni Thamrin
kewenangan notaris sangat luas di bidang keperdataan, karena kewenangan
notaris tidak hanya membuat dan mengesahkan akta-akta autentik atas suatu
8 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, hal. 72.
5
perjanjian, perbuatan dan penetapan, tetapi juga tugas-tugas lain yang bersumber
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.9 Dengan kata lainkewenangan
notaris tidak hanya terdapat di dalam UUJN Perubahan, akan tetapi kewenangan
notaris dapat ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan yang lain
misalnya di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Substansi pasal-pasal tersebut menegaskan mengenai kewenangan Notaris
sehingga kewenangan Notaris dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Kewenangan utama atau umum yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN
Perubahan;
2. Kewenangan tertentu yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN
Perubahan;
3. Kewenangan lain-lain yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN
Perubahan.
Kewenangan Notaris telah ditentukan oleh UUJN Perubahan sendiri
sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 tersebut. Khususnya dalam membuat akta,
yaitu untuk perbuatan atau tindakan hukum yang diperintahkan oleh:
1. Undang-Undang, atau
9Ibid, hal. 82.
6
2. Para pihak sendiri yang datang menghadap Notaris dikehendaki dalam
bentuk Akta Notaris.10
Dengan demikian, notaris sebagai pejabat umum yang mengemban amanat
dari 2 sumber, yaitu :
Pertama, anggota masyarakat yang menjadi klien notaris itu menghendaki, agar
notaris membuatkan akta autentik bagi yang berkepentingan dengan
secara tersirat memuat kalimat amanat “penuhilah semua persyaratan
formal untuk keabsahan sebagai akta autentik”, dan
Kedua, amanat berupa perintah undang-undang (secara tidak langsung) kepada
notaris agar untuk perbuatan hukum tertentu dituangkan dan dinyatakan
dengan akta autentik, hal itu mengandung makna bahwa notaris terikat
dan berkewajiban untuk mentaati peraturan yang mempersyaratkan
sahnya sebagai akta autentik.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan notaris
selain dalam UUJN Perubahan terdapat juga dalam undang-undang lain.
Pengertian undang-undang lain yaitu aturan yang terkait dengan jabatan notaris
yang menunjuk undang-undang lain bukan undang-undang yang mengatur Jabatan
Notaris. Kewenangan notaris yang ada dalam undang-undang lain terdapat dalam
pasal atau ayat dalam undang-undang yang bersangkutan ada kewajiban untuk
perbuatan atau tindakan hukum tertentu wajib dibuat dengan Akta Notaris, antara
lain:
10
Habib Adjie, 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 3.
7
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), Pasal 15 ayat
(1) UUHT, yaitu: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat
dengan Akta Notaris atau akta PPAT.
2. Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam Pasal
5 ayat (1) ditegaskan bahwa Akta Fidusia harus dibuat dengan Akta Notaris.
3. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi harus dengan Akta Notaris.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 7 ayat (1) ditegaskan Perseroan didirikan
oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia.
5. Undang-Undang Republik Nomor 16 Tahun 201 Tentang Yayasan. Dalam
Pasal 9 ayat (2) ditegaskan Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengna Akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik. Dalam Pasal 2 ayat (1a) ditegaskan : Pendirian Partai Politik dengan
Akta Notaris.
2.2. Syarat Pengangkatan Notaris
Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)
yang sekaligus mewujudkan pelayanan prima yang cepat, tepat, akurat, hemat,
8
bermartabat. Sebagaimana visi dari Direktorat Jendral Administrasi
HukumUmum-Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
dalam rangka Pengangkatan Notaris ada 3 (tiga) asas, yaitu:11
a. Asas Transparansi. Setiap pemohon dapat mengetahui tindak lanjut dari
permohonannya secara terbuka, dalam arti setiap permohonan yang diajukan
oleh pemohon dapat diketahui sejauh mana proses penyelesaiannya. Selain
itu, pemohon dapat pula mengetahui di daerah kabupaten atau kota mana saja
yang masih tersedia atau tidak tersedia formasi untuk pengangkatan Notaris.
Asas transparansi dalam pengangkatan notaris terjadi pada saat berkas
permohonan telah diproses sesuai dengan jumlah notaris yang dibutuhkan
pada suatu wilayah.
b. Asas Kepastian Waktu. Setiap pemohon yang telah memenuhi persyaratan
dan pada daerah kabupaten atau kota yang dimohon masih tersedia formasi,
maka proses penyelesaian surat keputusan pengangkatan sebagai Notaris,
diselesaikan dalam waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari terhitung
sejak berkas permohonan diterima secara lengkap. Dengan kata lain surat
pengangkatan notaris akan diterbitkan dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari.
c. Asas Keadilan. Setiap permohonan yang diterima diproses dengan system
FIFO(First In First Out), sehingga tidak ada lagi diskriminasi dalam
pelayanan.Asas keadilan diperlukan karena permohonan calon notaris yang
tidak memenuhi persyaratan, maka berkasnya tidak dapat diproses sehingga
11
Syamsudin Manan Sinaga, 2008, Kebijakan Pengangkatan Notaris Sebagai Upaya
Mengangkat Kembali Martabat dan Kedaulatan Bangsa, Seminar – Lokakarya Kebangkitan
Pendidikan dan Profesi Notaris Dalam Upaya Mengangkat Martabat dan Kedaulatan Bangsa,
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Univertas Gajah Mada – Ikatan Notaris Indonesia, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), Yogyakarta, 16-17 Mei 2008. hal. 1.
9
pemohon (calon notaris) diperkenankan mengambil berkas permohonannya
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak surat
pemberitahuan secara resmi dikirimkan melalui pos.
Ketiga asas tersebut merupakan satu kesatuan di dalam hal prosedur
pengangkatan notaris yang mana ketiga asas tersebut cerminan dari asas-asas
pemerintahan yang baik (good governance). Departemen Hukum dan HAM
Republik Indonesia berusaha meningkatkan pelayanan kepada calon notaris yang
akan mengajukan permohonan pengangkatan notaris agar calon notaris tidak
mengalami keterhambatan dalam proses pengangkatannya.
Bertitik tolak dari asas tersebut, maka syarat untuk dapat diangkat menjadi
Notaris sudah diadopsi di dalam Pasal 3 UUJN Perubahan yang menyebutkan :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat
dari dokter dan psikiater;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-
turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi
Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Notaris selama menjalankan masa jabatannya berhak mendapatkan cuti
yang dapat digunakan setelah menjalankan tugas jabatan selama 2 (dua) tahun.
Apabila notaris mengajukan cuti maka ditunjuk Notaris Pengganti dan notaris
wajib menyerahkan protokol notaris kepada notaris pengganti. Dalam Pasal 33
10
ayat (1) UUJN Perubahan ditegaskan syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris
pengganti, yaitu :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Berijazah Sarjana Hukum;
3. Telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun
berturut-turut.
2.3. Kewajiban dan Larangan bagi Notaris
Kewajiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan atau dapat diartikan
juga sebagai suatu keharusan.12
Notaris selaku pejabat umum yang mempunyai
kewenangan membuat akta otentik, dalam menjalankan tugasnya melekat pula
kewajiban yang harus dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu
yang harus dilaksanakan. Sejalan dengan hal tersebut, Habib Adjie
mengemukakan bahwa kewajiban notaris harus dilakukan, jika tidak dilakukan
atau dilanggar, maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi terhadap
Notaris.13
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN
dinyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
12
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 210. 13
Habib Adjie, 2007, HUKUM NOTARIS INDONESIA Tafsir Tematik Terhadap UU
No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 86.
11
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan
waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
Kewajiban notaris sebagai pejabat umum sudah jelas tertuang di dalam
Pasal 16 ayat (1) UUJN Perubahan karena notaris merupakan pelayan bagi
masyarakat yang memerlukan bukti autentik. Menarik untuk dikaji di dalam Pasal
16 ayat (1) huruf d UUJN Perubahan tentang keadaan tertentu yang menyebabkan
notaris dapat menolaknya dengan alasan-alasan tertentu. Dalam penjelasan Pasal
16 ayat (1) huruf d UUJN Perubahan secara limitatif ditegaskan yang dimaksud
dengan alasan untuk menolaknya, alasan yang mengakibatkan notaris tidak
berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau
12
dengan suami / istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak
untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-
undang. Kewajiban Notaris yang tercantum dalam Pasal 16ayat (1) UUJN
Perubahan yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi peringatan tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian
dengan tidak hormat.
Menurut Soegondo Notodisoerjo, dalam praktiknya ditemukan alasan-
alasan lain sehingga Notaris menolak memberikan jasanya, antara lain:
a. Apabila Notaris sakit sehinga tidak dapat memberikan jasanya, jadi
berhalangan karena fisik;
b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah;
c. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani
orang lain;
d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak
diserahkan kepada Notaris;
e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap
tidak dikenal oleh Notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya;
f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea meterai yang
diwajibkan;
g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya
atau melakukan perbuatan melanggar hukum;
h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam
bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang
menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris
tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.14
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa
penolakan notaris ketika notaris dalam jabatannya membuat akta autentik harus
merupakan penolakan dalam arti hukum, dengan kata lain ada alasa atau
argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat
14
R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit, hal.97.
13
memahaminya. Pada intinya apapun alasan penolakan yang dilakukan oleh
Notaris akan kembali kepada Notaris sendiri yang menentukannya.
Kewajiban-kewajiban yang terdapat pada Pasal di dalam UUJN Perubahan
mengandung beberapa penjelasan, yaitu :
a. Penjelasan Pasal 16 huruf b UUJN Perubahan menyatakan bahwa
kewajiban dimaksudkan untuk menjaga keautentikan suatu Akta dengan
menyimpan Akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan
atau penyalahgunaan grosse, salinan atau kutipannya dapat segera
diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.
b. Penjelasan Pasal 16 huruf f menyebutkan bahwa kewajiban disini
dimaksudkan untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan Akta dan surat-surat lainnya untuk melindungi kepentingan semua
pihak yang terkait dengan Akta tersebut.
c. Penjelasan Pasal 16 huruf i menyatakan bahwa kewajiban yang
dimaksudkan adalah penting untuk memberi jaminan perlindungan
terhadap kepentingan ahli waris, yang setiap saat dapat dilakukan
penelusuran atau pelacakan akan kebenaran dari suatu Akta wasiat yang
telah dibuat di hadapan Notaris
Selain memiliki kewajiban yang harus dijalankan, Notaris memiliki
larangan-larangan yang harus diindahkan dalam menjalankan tugas jabatannya.
Larangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai perintah
(aturan) yang melarang suatu perbuatan.15
Ketentuan-ketentuan yang berisi
15
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hal. 216.
14
larangan tersebut diatur di dalam Pasal 17 UUJN Perubahan, yang menyatakan
bahwa Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat
Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
Larangan yang terdapat di dalam UUJN Perubahan sudah sesuai dengan
tujuan dibentuknya UUJN Perubahan yang bertujuan mengatur kelangsungan
notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum sehingga tidak ada
pihak yang menimbulkan kerugian terhadap akta autentik yang dibuatnya. Sejalan
dengan hal tersebut, larangan-larangan notaris dimaksudkan untuk menjamin
kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa notaris.16
Selain itu masih terdapat
larangan-larangan yang diatur dalam Kode Etik Notaris. Apabila tidak dipatuhi,
maka notaris tersebut telah melanggar ketentuan. Atas pelanggaran itu, maka
notaris yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sesuai dengan bentuk
pelanggaran yang telah dilakukan.
16
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris,
Dunia Cerdas, Jakarta, hal.109.
15
2.4. Hakekat Akta Notaris
Menurut A. Pitlo di dalam bukunya Sjaifurrachman mengemukakan bahwa
akta merupakan surat yang ditandatangani untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk
dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.17
Sedangkan
menurut Sudiko Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.18
Perbedaan pendapat
dikemukakan oleh Subekti yang berpendapat bahwa akta berbeda dengan surat,
selanjutnya “kataakta bukan berarti surat melainkan harus diartikan dengan
perbuatan hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa Perancis berarti
perbuatan.19
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan akta, adalah:
1. Perbuatan handeling/perbuatan hukum rechthandeling itulah pengertian
yang luas, dan
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian
sesuatu.20
Dengan demikian, akta merupakan surat yang ditandatangani, memuat
peristiwa-peristiwa atau perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian.
17
Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,
Mandar Maju, Bandung, hal. 99. 18
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal. 116. 19
R. Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 29. 20
Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grosse Akta dalam
Pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, hal. 26.
16
Dalam hukum Common Law, akta dapat dibedakan menjadi dua belas macam,
yang meliputi :21
1. deed for a nominal sum;(akta yang berkaitan dengan akta hibah atau
pemberian)
2. deed in fee;(akta peralihan hak atas tanah dengan biaya dan persyaratan
yang sangat mudah)
3. deed indented, or indenture;(akta yang memuat tentang prospectus, yaitu
keterangan tertulis dan terperinci mengenai kegiatan dari suatu perusahaan
untuk disebarkan kepada masyarakat luas)
4. deed of covenant;(akta yang memuat dan yang berkaitan dengan
perjanjian)
5. deed of gift;(akta yang berkaitan dengan pemberian hadiah, tanpa adanya
suatu pertimbangan tertentu)
6. deed of release;(akta yang memuat tentang pelepasan hak atas tanah
hipotek yang telah dijaminkan oleh debitur di lembaga perbankan untuk
pembayaran sebuah utang)
7. deed of separation;(akta yang memuat tentang pembebasan atau
pemisahan diri suami untuk tidak merawat atau menjaga istrinya)
8. deed of settlement; (akta yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa)
9. deed of trust; (akta yang memuat saling percaya antara pemberi properti
dan penerimanya, dengan tujuan mengamankan atau menjaga agar
pemberinya dapat melakukan pembayaran utangnya sesuai dengan yang
disepakatinya)
10. deed poll;(akta yang dibuat oleh salah satu pihak saja)
11. a warranty deed;(akta yang berisi atau memuat jaminan dari seseorang
kepada orang yang dijaminkan untuk kepentingan pihak lainnya) dan
12. estopped by deed.(akta yang memuat atau berisi pembayaran atas sejumlah
uang karena adanya unsur kesalahan dari salah satu pihak)
Pada dasarnya, akta dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu akta di
bawah tangan dan akta autentik.Akta di bawah tangan yang dalam bahasa Inggris
disebut dengan deed under the hand, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
dengan akte onder de hand merupakan akta yang dibuat oleh para pihak, tanpa
perantaraan seorang pejabat. Akta ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
21
Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,
Bentuk Dan Minuta Akta), Rajagrafindo Persada, Jakarta(selanjutnya disingkat Salim HS II), hal.
26.
17
1. Akta di bawah tangan dimana para pihak menandatangani kontrak itu di
atas meterai (tanpa keterlibatan pejabat umum);
2. Akta di bawah tangan yang didaftar (waarmerken) oleh notaris/pejabat
yang berwenang;
3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh notaris/pejabat yang
berwenang.22
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b UUJN Perubahan, istilah yang
digunakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah akta di bawah
tangan yang disahkan, sementara itu, istilah akta di bawah tangan yang didaftar
(waarmerken) adalah dibukukan.Akta di bawah tangan yang disahkan merupakan
akta yang harus ditandatangani dan disahkan di depan notaris/pejabat yang
berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap akta di bawah tangan adalah:
1. Notaris menjamin bahwa benar orang yang tercantum namanya dalam
kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;
2. Notaris menjamin bahwa tanggal tanda tangan tersebut dilakukan pada
tanggal disebutkan dalam kontrak.23
Akta di bawah tangan yang dibukukan yang dibukukan (gewarmeken)
merupakan akta yang telah ditandatangani pada hari dan tanggal yang disebut
dalam akta oleh para pihak, dan tandatangan tersebut bukan di depan
notaris/pejabat yang berwenang.Makna akta di bawah tangan yang dibukukan
adalah:
22
Hikmahanto Juwana, Perancangan Kontrak Modul I sampai dengan VI.Jakarta: Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum “IBLAM”, tanpa tahun, hal 1. 23
Salim HSdkk, 2007,Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, Sinar
Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal.46.
18
1. Bahwa yang dijamin oleh notaris adalah bahwa akta tersebut memang
benar telah ada pada hari; dan
2. Tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh notaris.24
Hal diatas merupakan kewenangan notaris di dalam Pasal 15 ayat (2)
UUJN Perubahan yang biasanya dikenal dengan istilah legalisasi. Mengenai
keabsahan akta autentik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu :
1. Akta pejabat (Ambtelijke Acte atau Verbal Acte)
Akta pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat
serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang yang
namanya diterangkan didalam akta,25
ciri khas yang nampak pada akta
pejabat, yaitu tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung jawab
penuh atas pembuatan akta ini. Notaris juga dilarang melakukan suatu
justifikasi (penilaian) sepanjang pembuatan akta pejabat, contoh akta
pejabat, akta berita acara lelang, akta risalah rapat umum pemegang
saham, akta penarikan undian, akta protes non akseptasi atau protes non
pembayaran (Pasal 143 b KUHD).
2. Akta pihak atau penghadap(Partij Acte)
Akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan
akta itu dibuat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.26
Ciri
khas akta ini adanya komparisi atas keterangan yang menyebutkan
kewenangan para pihak dalam melakukan perbuatan hukum yang dimuat
24
Ibid. 25
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal 120. 26
Sudikno Mertokusumo, loc.cit.
19
dalam akta, contoh: akta pihak/penghadap, jual beli, sewa menyewa,
pendirian perseroan terbatas, koperasi/yayasan, pengakuan hutang dan lain
sebagainya. Perbedaan sifat dari dua macam akta itu adalah sebagai
berikut: “dalam akta pejabat (ambtelijke acte atau verbal acte),akta ini
masih sah sebagai suatu alat pembuktian apabila ada satu atau lebih
diantara penghadapnya tidak menandatangani, sepanjang Notaris
menyebutkan sebab-sebab atau alasan pihak tidak menandatangani”.
Istilah berita acara berasal dari bahasa Inggris, yaitu deed of minutes atau
minutes of deed, sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan de notulen
van de, sedangan dalam bahasa Jerman disebut dengan das protokoll
der.27
Namun, dalam praktik kenotariatan, maka istilah yang sering digunakan,
yaitu akta relaas. Akta relaas, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan deed
relaas, sedangkan dalam bahasa Belandanya disebut dengan daad relaas atau akte
relaas mempunyai hubungannya dengan uraian dari notaris tentang apa yang
dilihat dan disaksikannya.28
N.E. Algra mengartikan relaas sebagai berita acara
(proses verbaal) dari pegawai penyidik, relaas pendaftaran dari suatu akte:
pencantuman”.29
Dalam konstruksi ini, tidak tampak definisi tentang akta relaas. Relaas
dalam definisi ini diartikan sebagai berita acara. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berita acara diartikan sebagaicatatan laporan yang dibuat polisi atau
pejabat lain mengenai waktu terjadi, tempat, keterangan dan petunjuk lain
27
Salim HS II, op.cit, hal. 89. 28
Ibid. 29
N.E. Algra et. al., op.cit, hal. 471.
20
mengenai suatu perkara atau peristiwa.30
Pengertian berita acara dalam kamus
besar Bahasa Indonesia identik dengan berita acara di kepolisan yang mana
biasanya digunakan untuk mencatat keterangan-keterangan yang berkaitan dengan
fakta pada saat kejadian perkara.
A.A. Andi Prayitno mengemukakan bahwa akta relaas adalahmencatat
segala peristiwa apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dari pelaksanaan
jalannya rapat atau acara yang diliput.31
Sejalan dengan hal tersebut, Salim HS
mengartikan akta relaas merupakan surat tanda bukti yang dibuat oleh notaris
tentang apa yang dipandangnya, diketahuinya, atau diperhatikan (dilihat) dan
disaksikan tentang terjadinya suatu perbuatan atau peristiwa secara
langsung.32
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akta relaas merupakan
akta yang dibuat oleh notaris tentang apa yang dilihat, diketahui dan disaksikan
sehingga notaris mengetahui secara jelas yang terjadi pada saat peristiwa
berlangsung.
Jenis atau penggolongan akta relaas, tidak diatur secara khusus dalam
UUJN Perubahan, namun di dalam praktiknya akta relaas dapat digolongkan
menjadi tiga jenis, yang meliputi:
1. Berita acara rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas;
2. Akta pencatatan budel; dan
3. Akta tentang undian.
30
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hal. 108. 31
A.A. Andi Prayitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di
Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, hal.69. 32
Salim HS II, op.cit, hal. 90.
21
Risalah RUPS merupakan berita acara yang memuat segala sesuatu yang
dibicarakan dan diputuskan dalam setiap rapat para pemegang saham. Akta
pencatatan budel merupakan akta, yang berkaitan dengan penulisan keseluruhan
harta dari pewaris. Dengan adanya penulisan atau pencatatan itu, maka akan
diketahui jumlah harta pewaris yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Akta
undian merupakan berita acara yang memuat hasil undian, yaitu untuk
menentukan siapa yang akan menjadi pemenangnya atau yang berhak atas suatu
hadiah.
Di dalam praktik kenotariatan, jenis akta yang banyak diminta dan dibuat
oleh notaris maupun PPAT, yaitu akta yang mengatur tentang hubungan hukum
antara orang yang satu dengan orang lainnya. Di dalam praktiknya, jenis akta ini
lazim disebut dengan akta pihak. G.H.S Lumbun Tobing mengartikan akta pihak,
yaitu berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diceritakan di
hadapan notaris yang mana para pihak berkeinginan agar uraian atau
keterangannya dituangkan dalam bentuk akta notaris.33
Dengan demikian akta
pihak merupakan akta yang dibuat dihadapan notaris berisi tentang kesepakatan
para pihak dan memuat hak dan kewajiban yang wajib dilakukan oleh para pihak.
Kata pihak dalam konsep bahasa Indonesia diartikan sebagai satu dari dua
orang. Pihak disini berarti satu orang, sedangkan dalam lalu lintas hukum,
terutama dalam bidang hukum kontrak, bahwa pihak terdiri dari dua orang atau
lebih. Bahwa pihak terdiri dari dua orang atau lebih.
33
G.H.S Lumbun Tobing, op.cit, hal 51.
22
Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris tersebut harus menurut
bentuk yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan Pasal 38 UUJN
Perubahan, dan tata cara yang sudah ditetapkan, dalam hal ini berdasarkan pasal
39-53 UUJN Perubahan.Mengacu pada UUJN Perubahan, mengenai bentuk dan
fungsi akta Notaris secara khusus telah diatur di dalam Pasal 38, selanjutnya
mengenai bentuk dan sifat akta tersebut dirumuskan sebagai berikut:
(1) Setiap Akta terdiri atas:
a. awal Akta atau kepala Akta;
b. badan Akta; dan
c. akhir atau penutup Akta.
(2) Awal Akta atau kepala Akta memuat:
a. judul Akta;
b. nomor Akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan Akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang
yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup Akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan Akta jika ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah
perubahannya.
(5) Akta Notaris Penggantidan Pejabat Sementara Notaris,selain memuat
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga
memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
23
Ketentuan dalam Pasal 38 UUJN Perubahan ini merupakan syarat-syarat
yang harus dipenuhi sebagai akta Notaris. Apabila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata jo. Pasal 1869 KUHPerdata yang merupakan sumber
otentisitas akta Notaris dan juga sebagai legalitas eksistensi akta Notaris. Apabila
notaris melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 UUJN Perubahan,
maka berlaku ketentuan Pasal 41 UUJN Perubahan yang menyebutkan :
“Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal
39, dan Pasal 40 mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan”.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Sjaifurrachman yang berjudul
Aspek Pertanggungjawaban Notaris mengemukakan mengenai batasan akta
autentik dalam Pembuatan Akta adalah akta yang dibuat dengan maksud untuk
dijadikan alat bukti oleh atau di muka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk
itu.34
Jadi pada prinsipnya keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan
pejabat yang membuat, serta pembuatannyapun harus memenuhi syarat yang telah
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
demikian apabila sebuah akta tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka tidak
dapat dikategorikan sebagai akta autentik, dan kekuatan pembuktiannya juga
sangat lemah.
2.5. Akta Notaris sebagai Akta Autentik
Philipus M. Hadjon mengemukakan dua syarat suatu akta disebut akta
autentik yang meliputi : (1). di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
34
Sjaifurrachman, op.cit, hal.110.
24
(bentuknya baku) ; dan (2). dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.35
Disamping
itu, C.A. Kraan di dalam bukunya Herlien Budiono mengemukakan lima ciri akta
autentik, yang meliputi:36
1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti
dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan
dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut
ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja;
2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari perjabat
yang berwenang;
3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut
mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu
tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data
dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut);
4. Seorang pejabat yang diangkat oleh Negara dan mempunyai sifat dan
pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan
jabatannya; dan
5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah
hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
Akta notaris sebagai akta autentik bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum, menjamin ketertiban dan memberikan perlindungan hukum bagi setiap
warga negara. Di dalam Pasal 1 angka 7 UUJN Perubahan telah ditentukan tiga
syarat suatu akta disebut akta autentik, yang meliputi:
1. Dibuat oleh atau dihadapan notaris;
2. Bentuknya ditentukan dalam undang-undang; dan
3. Tata caranya juga ditentukan dalam undang-undang.
Akta autentik merupakan akta yang berkekuatan pembuktian yang
sempurna, karena akta itu dibuat oleh pejabat yang berwenang. Ada tiga kekuatan
pembuktian akta autentik, yaitu kekuatan pembuktian lahir, kekuatan pembuktian
35
Philipus M. Hadjon, 2001, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya
Post, hal. 3. 36
Herlien Budiono, 2003, Akta Notaris Melalui Media ELektronik, Upgrading-Refreshing
Course Ikatan Notaris Indonesia, Bandung Tanggal 22-25 Januari 2003, hal. 5.
25
formal, dan kekuatan pembuktian materiil. Ketiga hal itu dijelaskan secara singkat
berikut ini:37
1. Kekuatan pembuktian lahir
Akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sebagai
akta autentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUHPerdata. Kemampuan ini
tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Karena akata
yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah apabila semua pihak yang menanda
tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangan itu atau apabila dengan cara
yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang
besangkutan. Apabial suatu akta kelihatan sebagai akta autentik, artinya dari kata-
katanya yang berasal dari seorang pejabat umum (notaris) maka akta itu terhadap
setiap orang dianggap sebagai akta autentik.
2. Kekuatan pembuktian formal
Dalam arti formal, akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang
disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan oleh notaris sebagai
pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal terjamin:
a. Kebenaran tanggal akta itu;
b. Kebenaran yang terdapat dalam akta itu;
c. Kebenaran identitas dari orang-orang yang hadir; dan
d. Kebenaran tempat dimana akta dibuat.
37
Salim HS II,op.cit, hal. 29.
26
3. Kekuatan pembuktian materiil
Isi dari akta dianggap sebagai yang benar terhadap setiap orang. Kekuatan
pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, Pasal 1871, dan Pasal 1875
KUHPerdata. Isi keterangan yang termuat dalam akta itu berlaku sebagai yang
benar di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak
mereka.Apabila akta itu dipergunakan di muka pengadilan, maka sudah dianggap
cukup bagi hakim tanpa harusmeminta alat bukti lainnya lagi, karena akta itu
dibuat secara tertulis, lengkat para pihaknya, obyeknya jelas, serta tanggal
dibuatnya akta.
Keberadaan akta autentik yang identik dengan aka notaris karena
kebutuhan masyarakat memintanya untuk dibuatkan dalam perbuatan hukum
tertentu demikian pentingnya sebagai bukti tertulis, sehingga undang-undang
mensyaratkan secara mutlak dan harus dinyatakan atau dituangkan ke dalam
bentuk akta autentik. Akta autentik lahir dan bersumber dari seorang pejabat yang
tidak bisa sembarangan diberikan kewenangan untuk itu dan karenanya
disebutkan secara tegas di dalam Pasal 1868 KUHPerdata.
2.6. Keabsahan Akta Notaris Sebagai Akta Autentik
Akta notaris dapat disebut sebagai akta autentik dikarenakan undang-
undangnya telah menentukan sendiri, bahwa suatu perbuatan hukum tertentu yang
dibuat dihadapan notaris harus berbentuk akta autentik. Menurut Syamsudin
27
Aboebakar, ada beberapa perbuatan hukum yang mutlak mesti dituangkan ke
dalam bentuk akta autentik, dengan acuan penerapan :38
1. Pasal-pasal undang-undang sendiri menentukan perbuatan hukum yang
bersangkutan wajib dituangkan secara formil dalam bentuk akta autentik,
berarti dibuat dihadapan notaris. Tindakan yang dilakukan baru sah apabila
dalam bentuk akta autentik, karena akta autentik merupakan syarat pokok
yang disebut formalitas causa. Hal ini sekaligus berfungsi sebagai alat
bukti satu-satunya atas sahnya tindakan hukum yang bersangkutan.
2. Sifat hukumnya imperative, yaitu bersifat memaksa karena tidak adanya
petikan lain, selain dengan bentuk akta autentik.
3. Pelanggaran atas ketentuan ini, menimbulkan akibat hukum, yaitu :
a. Dianggap batal demi hukum;
b. Perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada.
Berdasarkan ketiga hal tersebut mengisyaratkan bahwa ketentuan tersebut
bersifat memaksa mengenai peran dan fungsi akta autentik baik yang sudah
terdapat di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun yang
dikehendaki oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta autentik. Dengan
demikian akta autentik yang dibuat notaris wajib memenuhi syarat formal guna
menjamin keabsahan akta yang dibuat notaris merupakan akta autentik. Menurut
Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esensialia agar terpenuhinya syarat
formal suatu akta otentik, yaitu:39
1. di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum;
3. akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
38
Syamsudin Aboebakar, 1995, Perkembangan Hukum Perdata Tertulis di Indonesia,
Media Notariat No. 35 Bulan April 1995, Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya, hal. 24. 39
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,
Surabaya, hal. 148.
28
Akta autentik merupakan cerminan dari Pasal 1868 KUHPerdata yang
merupakan sumber umtuk otentisitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas
eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Akta Yang Dibuat Oleh Atau Di Hadapan Seorang Pejabat Umum.
2. Akta Itu Harus Dibuat Dalam Bentuk Yang Ditentukan Oleh Undang-
Undang.
3. Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
Penjelasan mengenai legalitas akta notaris agar dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur sahnya akta autentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata dapat
dipaparkan sebagai berikut :
Ad.1 Pasal 38 UUJN Perubahan yang mengatur mengenai sifat dan bentik akta
tidak menentukan mengenaisifat akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN
Perubahan menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat
oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam UUJN Perubahan, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN
Perubahan disebutkan bahwa notaris wajib membuat daftar akta dan
mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta yang
dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut akta relaas atau akta berita
acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris
sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak
yang dilakukan dituangkan ke dalam bentik akta notaris. Akta yang dibuat
di hadapan notaris, dalam praktik notaris disebut akta pihak, yang berisi
29
uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang
diceritakan di hadapan notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau
keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.40
Dengan demikian
keinginan para pihak tersebut wajib dituangkan di dalam akta notaris
sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma
kesusilaan dan ketertiban umum.
Ad.2 Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de
Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stlb. No. 11, tanggal 7
Maret 1822,41
kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in
Indonesie (Stb. 1860:3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het
Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi
PJN.42
Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal
tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di
Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara
kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak
mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta
Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-
undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.
Ad.3 Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang notaris sebagai pejabat
umum dalam hal membuat akta autentik meliputi 4 (empat) hal, yaitu :
40
G.H.S. Lumban Tobing, loc.cit. 41
R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit, hal. 24. 42
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, Cetakan Pertama,
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 362.
30
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus
dibuatnya.
2. Notaris harus bewenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu
di buat.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta
itu.
2.7. Hakekat Utang Piutang, Jaminan dan Hak Tanggungan
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of law,
zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Dalam Keputusan Seminar Hukum
Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta
menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik
jaminan kebendaan maupun perorangan.43
Berdasarkan hal tersebut maka pengertian hukum jaminan secara khusus
hanya mengatur mengenai subjek dan objek jaminan yang mana subjek dari
hukum jaminan yaitu orang perorangan atau badan hukum sedangkan objek dari
hukum jaminan yaitu benda. Sementara itu, hukum jaminan didasarkan kepada
pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan
pengertian hukum jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah
43
Rachmadi Usman, 2016, Hukum Jaminan Keperdataan, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 1.
31
hukum jaminan itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan
perseorangan.44
Terbentuknya hukum jaminan sejalan dengan apa yang di cita-
citakan selama ini untuk memberikan kepastian hukum di dalam perjanjian utang-
piutang yang dibuat oleh para pihak.
Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi
dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas kredit.45
Dari penjelasan tersebut, hukum jaminan bertujuan
untuk mengatur kreditur dan debitur agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari
berkaitan dengan obyek yang dijaminkannya.
Berangkat dari istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zekerheids
stelling atau security of law. Pengertian hukum jaminan sendiri tidak dapat
ditemukan dalam peraturan maupun dalam literatur-literatur yang ada. Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah:46
“mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit,
dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan
demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi
lembaga-lembaga kredit bank dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya
lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan
adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama
dan bunga yang relative rendah”
Sudut pandang kepastian hukum dari hukum jaminan ketika objek yang
dimiliki oleh debitur digunakan untuk kepentingan pelunasan utang kepada
44
Ibid. 45
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta(selanjutnya disingkat Salim HS III), hal. 6. 46
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, hal. 5.
32
kreditur. Selama objek tersebut dijadikan jaminan, maka kreditur memiliki
kekuasaan atas objek tersebut sepanjang debitur belum melunasi utangnya.
Sedangkan J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah peraturan hukum
yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap
debitur.47
Pendapat J. Satrio merupakan penyempurnaan dari berbagai pendapat
tentang hukum jaminan sehingga di dalam hukum jaminan terdapat hubungan
hukum yang mengikat antara kreditur dan debitur dalam waktu tertentu.
Untuk menemukan rumusan hukum jaminan oleh Djuhaendah Hasan
dalam bukunya Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko ditelaah dari arti
dan fungsi jaminan itu sendiri, yang kemudian dirumuskan sebagai “Perangkat
hukum yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga
bagi kepastian pelunasan piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi”.48
Di
dalam rumusan ini dinyatakan bahwa hukum jaminan mencakup jaminan
kebendaan dan jaminan perorangan.
Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur
yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Ringkasnya,hukum jaminan adalah
hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Berbicara tentang
utang piutang, maka utang piutang adalah perjanjian antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah
uang.49
Dengan kata lain, kedudukan pihak yang satu sebagai pihak yang
memberikan pinjaman, sedangkan pihak yang lain menerima pinjaman uang.
47
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku I,
Citra Aditya Bakti, Bandung(selanjutnya disingkat J. Satrio I), hal. 3. 48
Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, 2011, Hak Kreditur Separatis Dalam
Mengeksekusi Benda Jaminan Debitur Pailit, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 30. 49
Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana, Jakarta, hal. 9.
33
Uang yang dipinjam akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan yang diperjanjikannya.
Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan
atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu
perikatan. Sedangkan barang jaminan menurut Thain adalah sesuatu yang
mempunyai nilai dari debitur yang disertakan dalam perjanjian, dalam rangka
untuk menjamin utangnya.50
Dengan demikkian, dapat disimpulkan bahwa tanpa
disertainya barang jaminan maka yang akan terjadi semata-mata hanyalah suatu
kontrak atas utang atau atas piutang dan suatu kewajiban untuk memenuhinya.
Menjamin suatu benda berarti melepas sebagian kekuasaan atas benda
tersebut, Thain berpendapat agar dapat dipahami, dalam perjanjian harus terdapat
unsur-unsur, antara lain:51
a. adanya suatu utang;
b. seorang debitur;
c. seorang kreditur yang menjadi pihak terjamin;
d. harta kekayaan menjadi jaminan (barang jaminan) dan suatu perjanjian
yang menjamin bahwa kreditur akan memiliki kepentingan atas jaminan
pada barang jaminan.
Dari pendapat diatas maka dapat dikemukakan bahwa antara kreditur dan
debitur menjalin suatu kesepakatan untuk membuat perjanjian utang-piutang
dengan cara debitur memberikan jaminan yang berupa benda untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari kreditur. Hal ini menunjukkan bahwa kreditur dan debitur
wajib melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan
50
Gerald G Thain, 1998, A Basic Outline of The Law of Secured Transaction, Artikel
dalam: Seri Dasar Hukum Ekonomi 4 – Hukum Jaminan Indonesia, Proyek Elips, Jakarta, hal.
153. 51
Ibid.
34
berdasarkan itikad baik guna menghindari terjadinya wanprestasi dikemudian
hari.
Perjanjian Utang Piutang yang menjadikan objek jaminannya berupa hak
atas tanah sudah diatur di dalam ketentuan UUHT. Adanya lembaga hak
tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari hipotik sebagaimana yang
diatur dalam Buku II KUHPerdata. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa
ketentuan tentang Hipotik dan Credietverband tidak sesuai lagi dengan asas-asas
hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung
perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai
akibat dan kemajuan pembangunan ekonomi.52
Ketentuan-ketentuan yang terdapat
di dalam Hipotik dan Crediteverband tidak cukup mengakamodir perkembangan
hukum jaminan yang mana ketentuan di dalam hipotik hanya menguntungkan
kreditur sehingga tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada debitur.
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.53
Dengan kata lain, jika debitur cidera janji,
kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum
tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur yang lain.
Kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang Negara
menurut ketentuan hukum yang berlaku.
52
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan
Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Cetakan I, Alumni, Bandung, hal. 2. 53
Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 5.
35
2.8. Subjek dan Objek Jaminan Hak Tanggungan
Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan ada perjanjian antara 2 pihak
yaitu pihak yang memberikan hak tanggungan dan pihak kreditur sebagai pihak
yang menerima hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dalam hal ini adalah
pemilik tanah yang telah sepakat dibebani dengan hak tanggungan sampai
sejumlah uang tertentu, untuk menjamin suatu perikatan hutang. Dengan demikian
yang bisa memberikan hak tanggungan adalah pemilik hak atas tanah yang
dijaminkan. Hal itu didasarkan atas asas umum yang mengatakan, bahwa tindakan
membebani adalah tindakan memberikan suatu hak terbatas tertentu daripada
keseluruhan kompleks hak-hak yang dipunyai oleh seorang pemilik, dan
karenanya yang dapat memberikan itu adalah pemilik sendiri.54
Hal tersebut berarti
yang dapat menjadi debitur hanya pemilik dari hak atas tanah yang akan dijadikan
sebagai hak tanggungan guna melindungi kepentingan kreditur ketika debitur
mengalami wanprestasi.
Pemberi hak tanggungan bisa debitur sendiri, kalau tanah tersebut adalah
milik debitur sendiri, dalam hal mana debitur disebut sebagai debitur pemberi hak
tanggungan, tetapi bisa juga hak atas tanah yang dijadikan jaminan adalah milik
pihak ketiga, sehingga dalam hal demikian ada pihak ketiga pemberi hak
tanggungan. Dalam peristiwa seperti itu, ada pihak ketiga yang menjamin
hutangnya orang lain (debitur) dengan hak atas tanah miliknya. Yang dalam
perikatan hutang yang bersangkutan mempunyai hutang (schuld) adalah debitur
disamping juga haftung sedang pihak ketiga pemberi jaminan tidak punya hutang
54
J. Satrio I, op.cit, hal. 245.
36
(schuld) terhadap kreditur, tetapi punya haftung, sehingga dalam peristiwa seperti
itu kreditur tidak bisa menagih hutang debitur kepada pihak ketiga, tetapi sebagai
akibat dari haftung tanggung jawab yuridis yang dipunyai olehnya, maka benda
jaminan milik pihak ketiga bisa dijual/dieksekusi, kalau debitur
wanprestasi.55
Maka debitur sebagai pihak yang mempunyai hutang/schuld dan
harta/haftung, bisa ditagih oleh kreditur dan kalau ia tidak mau membayar maka
harta miliknya berdasarkan asas jaminan umum Pasal 1131 KUHPerdata bisa
dijual/dieksekusi untuk melunasi hutang-hutangnya.
Dalam Pasal 9 UUHT disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai
pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai kreditur. Menentukan siapa yang bisa menjadi
pemegang hak tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bertindak sebagai
pemberi hak tanggungan, karenaseorang pemegang hak tanggungan tidak
berkaitan dengan pemilikan tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud
untuk memiliki objek hak tanggungan bahkan memperjanjikan bahwa objek hak
tanggungan akan menjadi milik pemegang hak tanggungan kalau debitur
wanprestasi, adalah batal demi hukum (Pasal 12 UUHT).
Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang hak
tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, maka dapat
disimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan adalah persoon
alamiah atau badan hukum. Badan hukum yang menjadi pemegang hak
tanggungan terdiri dari Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang
55
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni,
Bandung(selanjutnya disingkat J. Satrio II), hal.23.
37
telah memperoleh status sebagai badan hukum atau Yayasan. Dalam prakteknya,
yang biasanya menggunakan lembaga hak tanggungan adalah bank sebuah badan
hukum tetapi tidak tertutup bagi orang perseorangan untuk juga memanfaatkan
lembaga hak tanggungan.
Dalam praktek bisnis, benda yang menjadi obek jaminan adalah benda
bergerak dan benda tidak bergerak, karena juga dikenal dengan adanya
pembebanan jaminan atas benda bergerak dan tak bergerak. Pembebanan tersebut
dikenal hampir seluruh perundang-undangan modern di berbagai Negara dunia. Di
Negara-negara Eropa seperti misalnya Inggris, menurut hukum perdatanya
pembebanan benda bergerak dan benda tetap juga mempunyai arti penting,
sehingga pengaturan mengenai hak-hak yang bertalian dengan benda tetap “real
property law” dan pengaturan mengenai benda bergerak “personal property law”
diatur secara terpisah satu sama lain, yang merupakan dua ajaran (leerstukken)
yang berbeda dan tidak dapat disatukan, yang mula-mula mempunyai arti penting
dalam hukum waris.56
Dengan kata lain, sistem hukum di negara Inggris telah
mengalami kemajuan di bidang hukum perdata untuk memisahkan pengaturan-
pengaturan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak menjadi 2 (dua)
ketentuan yang berbeda karena pewarisan yang terjadi di Inggris berbeda dalam
hal yang diwariskan apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak.
Meskipun disamping pembedaan benda bergerak dan benda tak bergerak
dikenal adanya pembedaan benda terdaftar dan benda tak terdaftar, atau benda
atas nama dan tidak atas nama, sebagaimana dikemukakan oleh Drion dalam
56
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal. 53.
38
bukunya Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,namun pembedaan benda bergerak dan
benda tak bergerak tetap mempunyai arti penting.57
Arti penting tersebut dapat
berarti bahwa benda bergerak dan benda tidak bergerak mempunyai karakteristik
yang berbeda. Perkembangan perkreditan di Indonesia sebagai sarana perjanjian
kredit dengan menggunakan perjanjian perorangan dan kebendaan. Dilihat dari
fungsi sebagai pengaman kredit, perjanjian jaminan kebendaan lebih banyak
digunakan oleh para kreditur daripada perjanjian jaminan perorangan, hal tersebut
disebabkan karena dalam perjanjian kebendaan, obyek yang menjadi jaminan jelas
dan pasti ada dan benda tersebut disediakan bagi kreditu manakala debitur cidera
janji di kemudian hari.
Suatu benda dijadikan jaminan adalah merupakan itikad baik debitur, guna
memastikan pelunasan utangnya sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian
pokoknya akan terselesaikan dengan baik, sedangkan kreditur menjadi lebih yakin
akan niat baik debitur, jika ada benda tertentu yang memiliki nilai ekonomis yang
diikat dalam perjanjian yang dikenal dengan Jaminan Kebendaan. Realisasi
penjaminan ini juga selalu berupa menguangkan benda-benda jaminan dan
mengambil dari hasil penguangan benda jaminan itu apa yang menjadi hak pihak
yang menguntungkan (si berpiutang atau kreditur). Dengan demikian, yang
dijamin adalah selalu pemenuhan suatu kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang. Oleh karena itu, maka barang yang dapat dijadikan jaminan haruslah suatu
benda atau suatu hak yang dapat dinilai dengan uang.
57
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, loc.cit.
39
Faktor nilai uang/ekonomis tetap merupakan faktor ang penting dalam
perikatan, dalam arti bahwa semua perikatan yang prestasinya mempunyai nilai
uang/ekonomis adalah perikatan sebagaimana dimaksud oleh Buku III
KUHPerdata., yang merupakan bagian dari hukum kekayaan, sedangkan hukum
kekayaan mengatur hak-hak kekayaan. Sebagai bagian dari hak kekayaan
absolute adalah hak kebendaan yang mendapat pengaturan dalam Buku II
KUHPerdata, sedangkan hak kekayaan yang relatif – perikatan – pengaturannya
adalah dari Buku III KUHPerdata sehingga benda atau suatu hak dapat dijadikan
jaminan adalah hak/benda ang mempunyai nilai uang/ekonomis.
Selain benda jaminan mempunyai nilai ekonomis, benda itu juga harus
dapat dialihkan kepada orang lain. Lebih jelas dikatakan oleh Subekti, bahwa
menjaminkan suatu benda berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas benda
tersebut.58
Kekuasaan yang dilepaskan tersebut adalah kekuasaan dengan cara
menjual, menukar atau menghibahkan, dan bahkan yang tepat bagi kemungkinan
untuk benda dapat dijadikan jaminan adalah benda yang dapat dialihkan. Jadi
kriterianya bukan hanya ius in rem (zakelijk recht) saja yang dapat dijadikan
dijaminkan, melainkan juga ius in personam (persoonlijk recht) dapat dijadikan
jaminan asal saja dapat dialihkan.59
Artinya bukan hanya benda saja yang dapat
dijadikan objek jaminan, orang perorangan dapat dijadikan sebagai objek jaminan
tetapi dalam hal penjamin borgtoch untuk memberikan kepercayaan kepada
kreditur ketika debitur tidak memiliki objek jaminan.
58
R. Subekti, 1978, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Binacipta,
Bandung, hal. 27. 59
Mr. Nugroho, 1981, Pembahasan Kertas Kerja: Pengaturan Hukum Tentang Hipotek
Kreditverban dan Fidusia, Seminar Hukum Jaminan, BPHN, Binacipta, Bandung, hal 63.
40
Berkaitan dengan objek jaminan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)
mengenal hak jaminan atas tanah, yang dinamakan hak tanggungan. Menurut
UUPA, hak tanggungan itu dapat dibedakan di atas tanah hak milik (Pasal 25),
hak guna usaha (Pasal 33) dan hak guna bangunan (Pasal 39). Menurut Pasal 51
UUPA, hak tanggungan akan diatur dengan undang-undang Nomor Tahun 1996
tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Hal tersebut terwujudlah suatu hukum jaminan nasional, seperti yang
diamanatkan di dalam Pasal 51 UUPA tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, obyek yang dapat
dibebani dengan hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tangungan
tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan
adalah sebagai berikut: a)Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna Bangunan,
d) Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatya dapat dipindah tangankan, e) Hak-Hak atas tanah
berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Khususnya hak pakai, dalam kenyataannya tidak semua Tanah Hak Pakai
Atas Tanah Negara dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan. Ada Tanah Hak
Pakai Atas Tanah Negara yang walaupun telah terdaftar, tetapi karena sifatnya
41
tidak dapat dipindahtangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak
Pakai atas nama badan keagamaan dan social dan Hak Pakai atas nama
Perwakilan Negara Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan
diberikan selam tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu (khusus), adalah
bukan merupakan obyek Hak Tanggungan. Adapun Hak Pakai Atas Tanah Negara
yang dapat dipindah tangankan meliputi Hak Pakai yang diberikan kepada orang
perseorangan atau badan hukum jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam
keputusan pemberiannya, dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.Salah satu
subjek Hak Pakai adalah orang asing, tetapi tidak semua orang asing dapat
ditunjuk sebagai subjek Hak Pakai. Orang asing yang hanya berkedudukan di
Indonesia sajalah yang dapat sebagai subjek Hak Pakai.
Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang
memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat
publisitas) dan dapat dipindah tangankan untuk memudakan pelaksanaan
pembayaran utang yang dijamin pelunasannya.Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Hak Tanggungan ditegaskan bahwa terhadap tanah Hak Milik
yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang digunakan untuk keperluan
keperibadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun memenuhi kedua persyaratan
tersebut, karena kekhususan sifat dan tujuan penggunaannya, tidak dapat
dijadikan obyek Hak Tanggungan.
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan
tersebut juga dijelaskan bahwa Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan
kepda orang perorangan dan badanbadan hukum perdata, karena memenuhi kedua
42
syarat tersebut di atas, dapat diadikan obyek Hak Tanggungan.Hak Pakai atas
Tanah Negara yang diberikan kepada instansi Pemerintah, Badan Keagamaan dan
Sosial, dan Perwakilan Negara Asing walaupun wajib didaftarkan, tetap karena
sifatnya tidak dapat dipindah tangankan, bukan merupakan obyek Hak
Tanggungan.
Dalam praktek perbankan, untuk lebih mengamankan dana yang
disalurkan kreditur kepada debitur diperlukan tambahan pengamanan berupa
jaminan khusus ang banyak digunakan adalah jaminan kebendaan berupa tanah.
Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif, maupun
konsumtif didasarkan pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunai nilai
ekonomis yang relatif tinggi.60
Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan
dianggap paling efektif dan aman, adalah tanah dengan jaminan hak tanggungan.
Hal itu didasari oleh adanya kemudahan dalam mengidentifikasi obek hak
tanggungan, seta jelas dan pasti eksekusinya. Disamping itu, hutang yang dijamin
dengan hak tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainna dengan
uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek hak tanggungan. Pertimbangan
lain karena serifikat hak tanggungan mempunyai titel eksekutorial, dan yang lebih
penting adalah hak tanggungan telah diatur dalam undang-undang, serta harga
dari tanah yang menjadi obyek hak tanggungan cenderung terus
meningkat.61
Terutama kelebihan hak tanggungan dibandingkan Hak Jaminan
Kebendaan lainnya, kreditur pemegang jaminan memiliki hak istimewa, yakni
60
Agus Yudha Hernoko, 1998, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Penunjang
Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional, Tesis, Pascasarjana UNAIR, Surabaya, hal. 7. 61
Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, 1987, Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, hal. 8.
43
droit de suit, droit de preferencedan dalam kepailitan sebagai kreditur
separatis.62
Prinsip droit de suit berarti hak tersebut mengikuti bendanya dengan
kata lain hak tersebut akan mengikuti pemilik dari bendanya sedangkan prinsip
droit de preference berarti bahwa kreditur pemegang hak jaminan mempunyai
kedudukan yang didahulukan daripada kreditur lainnya.
Atas dasar pendapat para ahli hukum sangatlah beralasan bahwa sarat
obyek perjanjian jaminan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dan
dapat dialihkan. Persyaratan tersebut guna melindungi kepentingan kreditur
manakala debitur cidera janji maka benda tersebut sebagai pelunasan atas hutang
debitur kepada kreditur.
2.9. Bentuk Wanprestasi dalam Perjanjian Utang Piutang
Secara normatif wanprestasi terdapat di dalam ketentuan Pasal 1238
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Menurut Gatot Supramono, wanprestasi adalah prestasi yang telah
diperjanjikan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh
debitur.63
Sejalan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa
wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti
62
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,
Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal.
89. 63
Gatot Supramono, op.cit, hal. 31.
44
suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.64
Sedangkan
R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau
kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:65
1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana
yang diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat
dilakukan.
Wanprestasi dapat dikatakan sebagai suatu kegagalan untuk melaksanakan
janji yang telah disepakati antara kreditur dan debitur dan biasanya disebabkan
oleh karena debitur tidak melaksanakan kewajiban tanpa alasan yang dapat
diterima oleh hukum. Dalam perjanjian utang piutang wanprestasi ada tiga
bentuk,yaitu :
1. Utang tidak dikembalikan sama sekali
2. Mengembalikan utang hanya sebagian
3. Mengembalikan Uang Tetapi Terlambat Waktunya
Penjelasan mengenai bentuk-bentuk wanprestasi dapat dipaparkan sebagai
berikut :
Ad.1 Debitur yang tidak dapat mengembalikan utang sama sekali, sering disebut
sebagai debitur nakal, karena sudah dianggap tidak mempunyai iktikad baik
dalam pelaksanaan perjanjian. Tidak dibayarnya utang, memang perlu dicari
penebabnya, jika karena usahanya bangkrut lantaran ada bencana alam
seperti tsunami atau gempa bumi sampai tidak mempunyai harta benda,
maka yang demikian ini debitur tidak dapat diminta pertanggungjawaban,
64
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hal.17. 65
R.Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,Pembimbing Masa, Jakarta, hal.50.
45
berhubung di luar kesalahannya. Sebaliknya apabila tidak dibayarnya utang
tersebut karena kesengajaan, perbuatan debitur sudah dapat digolongkan
sebagai tindak kejahatan. Debitur dapat dikenakan Pasal 372 KUHP tentang
kejahatan penipuan, jika debitur tujuannya menguntungkan diri sendiri
dengan dilatarbelakangi suatu kebohongan sewaktu membuat perjanjian.
Ad.2 Pengembalian utang dalam hal ini dapat berupa pengembalian sebagian kecil
atau sebagian besar, yang jelas masih ada sisa utang. Juga dapat berupa
yang dikembalikan hanya utang pokokna saja, sedangkan bunganya belum
pernah dibayar, atau sebaliknya yang baru dibayar bunganya saja sedangkan
utang pokoknya belum dibayar. Utang yang baru sebagian dibayar, terlebih
hanya sebagian kecil yang dibayar, kemudian selebihnya atau sisa utangnya
sulit diharapkan, biasanya menjadi masalah bagi kreditur. Dikalangan
perbankan dikenal dengan apa yang disebut sebagai “kredit macet”.
Biasanya pula sebuah kredit yang menjurus macet, bank masih
mempertimbangkan adanya credit injection atau suntikan kredit agar dengan
maksud tambahan dana pinjaman tersebut pihak debitur dapat memperbaiki
dan meningkatkan usahanya, sehingga masih diharapkan debitur dapat
mengembalikan keseluruhan utangnya.
Ad.3 Mengenai terlambat waktunya, ada dua macam yaitu waktunya sebentar
misalnya dalam hitungan hari atau bulan, dan waktu yang tergolong lama
misalnya tahunan. Jika waktu lama hingga tahunan, biasanya memberatkan
debitur, karena beban bunga makin menumpuk, bahkan nilainya bisa
melebihi utang pokoknya. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah
46
uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu
terlambat, yaitu berupa interest, rente, atau bunga. Jika ada pembayaran
yang terlambat pada dasarnya debitur masih mempunai niat baik, akan tetapi
karena sesuatu hal seperti usahanya sepi, mempunyai uang namun ada
keperluan lain yang sangat mendesak, sehingga debitur perlu sekali
menunda pembayaran utangnya dan sebenarnya tidak ada niat untuk
merugikan kreditur.Meskipun memang terdapat niat baik untuk
pengembaliannya itu terlambat walaupun hanya sehari saja, namanya tetap
wanprestasi, karena debitur tidak melaksanakan prestasi seperti apa yang
diperjanjikan.
Bertitik tolak dari teori, konsep dan pemikiran-pemikiran tentang jabatan
notaris, akta notaris dan utang piutang maka dapat ditarik pokok-pokok pemikiran
dari bahasan diatas yakni kewenangan notaris membuat akta utang-piutang yang
didasarkan oleh kesepakatan para pihak wajib memenuhi unsur-unsur
terpenuhinya akta notaris sebagai akta autentik yang terdapat dalam Pasal 1868
KUHPerdata. Akibat hukum dari tidak terpenuhi perjanjian utang piutang yang
dibuat dihadapan notaris dapat mengakibatkan perjanjian tersebut dapat
dibatalkan dan batal demi hukum.