xxx
DESCRIPTION
bukan apa-apaTRANSCRIPT
1
Mengapa di televisi atau sebuah cerita di majalah, cinta itu terlihat sangat indah dan
menyenangkan? Seakan semua bagian dunia terlihat lebih berwarna saat bersama orang yang kau
cintai? Seakan kau bisa melewati segalanya bersama orang yang kau cintai itu?
Bisakah seseorang menjelaskan padanya? Mengapa cintanya ini terasa menyedihkan dan
menyakitkan? Mengapa ia tidak bisa membuat cintanya terasa indah sementara orang yang ia cintai
terus-menerus berada di sampingnya?
Haruskah ia melupakan segala tentangnya? Melupakan bagaimana bau jaketnya, bagaimana
rambutnya yang sedikit panjang itu tertiup angin, bagaimana sosoknya disinari matahari, bagaimana
orang itu berlari, bagaimana orang itu berdiri di sampingnya hingga rasa sakit yang ia rasakan hingga
sekarang? Haruskah ia melupakan segalanya tanpa jejak? Seakan-akan sedari awal hal itu memang
tidak pernah ada?
Jika melupakan memang semudah itu, ia lebih memilih untuk lupa.
2
“Tolong letakkan lemari itu di sisi ini, Pak... Kotak itu di sini... Hati-hati membawanya... Sila,
letakkan kardus-kardus itu di pinggir sini.”
Sila melangkah pelan. Kedua tangannya menopang sebuah kardus sebesar TV 14 inchi.
Nafasnya sedikit tersengal. Padahal sepanjang perjalanan dia sudah memutuskan untuk melanjutkan
tidurnya di mobil, dan melewatkan agenda pindah rumahnya. Matanya mengerjap pelan-pelan.
Berusaha mencuri sedikit waktu untuk sekadar memenjamkan matanya sebentar sementara
mamanya sedang sibuk memberi komando kepada bapak-bapak pengangkut barang.
“Ma, Sila penat sekali seharian di mobil. Sila keluar sebentar ya,” ucap Sila saat mamanya
memergokinya mulai tidur sambil berdiri. Belum sempat mamanya memanggil, Sila langsung berlari
keluar dari rumahnya. Langkahnya mulai ia pelankan ketika kakinya sudah berada lumayan jauh dari
rumah.
“Ah, jalan ini sudah semakin halus. Sawah di sana sekarang sudah jadi perumahan, ya? Wah
sudah ada toko baru di sini. Ah, di sana juga.” Kini ia mengagumi segala perubahan yang terjadi di
lingkungan rumahnya.
Terakhir kali ia berjalan di jalan ini adalah pada saat tahun ke-6 nya di bangku Sekolah Dasar.
Saat itu jalan yang sekarang ia pijak masih berupa jalan setapak yang kanan-kirinya masih terdapat
sawah. Sekarang dia adalah seorang pelajar SMA dan jalan yang ia tapaki sudah berupa aspal. Sawah
pun telah berubah menjadi beberapa bangunan.
“Kalau tidak salah ingat...,” gumam Sila sambil berjalan ke arah yang lain. “Setelah tikungan
ini... Ah, benar!”
Setelah berjalan cukup lama, Sila mengayunkan kakinya lebih cepat ke arah sebuah taman.
Tungkai panjangnya mengantarnya ke sebuah pohon terbesar di antara deretan pohon di pinggir
taman. Di bawah pohon itu terdapat sebuah bangku besi panjang yang kira-kira cukup digunakan
untuk tiga orang.
“Ah, mereka melakukan beberapa perubahan juga di sini,” gumam Sila sambil memegang
bangku itu.
Sila masih ingat bangku ini dahulu masih berupa kayu, dan agak lapuk. Masih ingat juga
bagaimana dia dan teman-temannya mematahkan bangku itu, lalu Pak Penjaga Taman pun
memarahi mereka habis-habisan. Menceritakan bagaimana bangku itu dibuat oleh anaknya dan
cerita tentang pohon di atasnya yang juga ia tanam. Keesokan harinya, bangku itu masih kayu seperti
kemarin. Bagian yang patah sudah diganti dengan kayu yang baru. Katanya, Pak Penjaga Taman
mengganti bangkunya langsung setelah mereka pulang.
Sila duduk di bangku besi itu. Sensasi dingin bangku menjalar melalui lengan tangannya yang
tidak tertutup oleh lengan kaos. Tidur mungkin pilihan paling enak saat ini. Angin bertiup pelan
3
sambil menerbangkan beberapa helai rambut pendek Sila. Matahari sore bersinar seadanya, tidak
berlebihan tapi tidak juga begitu redup.
“Ngantuk...” Sila menguap pelan. Sebenarnya kalau dia benar-benar mengantuk, dia bisa saja
tidur langsung di bangku ini. Suasananya toh sangat mendukung dan nyaman sekali. Tapi rasanya
tidak bijaksana saja tidur di sembarang tempat, apalagi di taman terbuka seperti ini.
“Ngantuk...” Kali ini dia menguap lebih lebar. Punggungnya ia sandarkan ke sandaran bangku,
tapi yang ia dapat hanyalah rasa kantuknya yang semakin menjadi. Ingin kembali ke rumahnya,
kakinya sudah terlanjur malas untuk bergerak. Pilihannya sekarang hanyalah tidur di bangku itu, atau
menunggu rasa malas bergeraknya hilang dengan sendirinya.
Matanya kini mengarah ke sebuah lapangan yang letaknya di dekat taman itu. Kedua tempat
itu hanya dipisahkan oleh sebuah semak rendah, sehingga Sila pun masih dapat melihat apa yang
ada di dalam lapangan itu. Ia juga masih ingat dengan lapangan itu. Dia sering sekali bermain basket
di lapangan itu bersama dengan teman-temannya. Sila memang tidak jago basket, tapi dia masih
tetap bermain walau dengan kemampuan pas-pasannya.
Beberapa orang pun sedang bermain di lapangan itu sekarang. Kelihatannya mereka sedang
bertanding. Dari penglihatannya, Sila bisa tahu kalau permainan mereka lumayan bagus. Beberapa
shoot terlihat selalu masuk, dan sedikit sekali yang meleset. Sila dengan mata setengah terbukanya
melihat permainan basket di lapangan itu dari bangku yang sedang ia duduki. Dulu dia bahkan tidak
bisa melakukan shoot. Hanya dribble dan pass. Itu saja asal-asalan.
Kini matanya semakin berat, dan tubuhnya semakin lemas. Sepertinya pilihannya untuk keluar
rumah saat ini salah. Tapi, Sila tidak menyesal. Dia justru senang karena saat ini ia bisa melihat...
“Tidur sebentar saja tidak apa-apa, ya kan?” gumamnya pada diri sendiri.
Matanya kini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, dan dia tertidur.
Matahari saat itu sudah bersinar terik. Sila menelan ludahnya sambil melepas kancing teratas
seragam sekolahnya yang sedari tadi mengekang lehernya. Suasananya sangat panas, ditambah lagi
dengan bolanya yang tiba-tiba menghilang. Padahal dia tadi yakin sekali kalau bolanya ia letakkan di
dalam tasnya, tepat di samping bangkunya.
“Hei, tomboy! Mana bola basket yang sering kau bawa-bawa itu? Kau menghilangkannya di
suatu tempat? Hahaha...,” teriak seorang anak laki-laki dengan dua pengikutnya di belakangnya.
Sila menengadah, menatap sosok laki-laki itu. Rio, seorang anak laki-laki gembul dengan dua
pengikutnya di belakang sedang tertawa melihatnya yang sibuk mencari bola sedari tadi. Sila
menatap mereka dengan sebal. Sebagai seorang anak kelas 5 SD, dia bahkan sudah sangat mengerti
siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya bola basketnya.
4
“Dimana kau menyembunyikannya?” balas Sila geram. Ketiga anak itu hanya tertawa.
“Dimana aku menyembunyikannya? Kenapa kau malah bertanya kepada kami?” Ketiganya
malah tertawa semakin keras.
“Berisik sekali... Kalau kalian sedang bebas, pulang saja ke rumah. Kalau tidak, bantulah piket,”
sahut seorang anak laki-laki yang sedang memegang sapu di dekat pintu kelas.
“Kau tidak usah ikut campur, Andika. Kau mau membela Sila?” balas Rio sambil mendekat ke
arah anak laki-laki pemegang sapu itu.
“Kau menyukainya kan? Kami sering melihat kalian berdua berangkat dan pulang bersama,”
tambah seorang anak laki-laki pengikut Rio. Mendengar perkataan barusan, ketiganya justru
memperkeras tawa mereka. “Andika cinta Sila! Andika cinta Sila!”
Andika hanya menggelengkan kepalanya. “Kalian ini...”
“Oh, atau malah kau mau menantang kami?” Ketiga anak laki-laki itu semakin mendekat ke
arah Andika. Rio yang memiliki postur badan paling besar di antara mereka maju paling depan.
Dengan sekali sigap, ia menarik kerah baju Andika.
“Kalian ini...” Andika berontak dan tiba-tiba dia melayangkan sebuah pukulan ke arah Rio.
Matahari masih bersinar terik. Sila menelan ludah sambil memandangi Andika yang sedang
memegang pelipisnya. Pelipisnya tidak terlihat bermasalah, tapi pukulan balasan Rio sepertinya
meninggalkan bekas rasa sakit. Mereka berdua baru kembali dari Ruang Guru. Keributan akibat
perkelahian antara Andika dan Rio tadi mengundang atensi seorang guru yang ternyata masih ada di
kelas sebelah. Karena itu, mereka semua―termasuk Sila―dipanggil ke ruang guru pada saat itu juga.
Saat di ruang guru, semua anak dimintai penjelasan mengenai apa yang terjadi. Terjadi
perbedaan perkataan antara Andika dan Rio, tapi para guru pun mengetahui perkataan siapa yang
benar. Tentu saja, bukan pertama kali ini Rio membuat masalah. Walau begitu, mereka berdua tetap
dimarahi, begitu juga dengan kedua pengikutnya dan Sila karena tidak melerai perkelahian mereka.
“Kenapa kau melakukan itu?” tanya Sila kepada Andika yang masih sedikit-sedikit meringis
kesakitan.
“Melakukan apa?” jawab Andika sambil meringis. “―Ah, maksudmu saat aku memukul Rio
tadi? Aku hanya memberikan ia sesuatu yang pantas ia dapatkan.”
“Lain kali jangan lakukan hal itu lagi. Aku tidak butuh bantuanmu,” ucap Sila sambil
membereskan barang-barangnya yang masih di meja ke dalam tasnya. Setelah menggendong tasnya,
ia berbalik memandangi Andika. “Tanpa kau pun, aku yakin aku pun bisa memukulnya. Tapi,
berkelahi itu tidak baik. Aku tidak menyukainya.”
5
“Hei, kau yakin tidak akan membawa ini?” seru Andika sambil mengangkat sebuah bola basket
di tangannya. Sebuah bola basket dengan sebuah tanda tangan menggunakan spidol di
permukaannya. Itu bola basketnya!
Sila terkejut melihat bola basketnya kini sudah berada di tangan Andika. Anak laki-laki itu
justru tertawa melihat ekspresi terkejut yang muncul di wajah Sila. Ia lalu melemparkan bola itu ke
arah Sila yang kemudian segera ditangkap oleh Sila yang masih dengan ekspresi yang sama.
Sila memegang bola itu kuat-kuat dan menatap bola itu sambil tersenyum. “Dimana kau bisa
menemukannya?”
“Kau tidak ingat?! Astaga,” teriak Andika sambil menggeleng-geleng. Ia lalu duduk di
bangkunya dan menatap Sila yang berdiri dengan bola di tangannya. Yang dipandangi hanya terdiam
melihatnya yang sedang menunggu respon.
Hening.
“Kau benar-benar tidak ingat?” ulang Andika lebih keras. Sila menggeleng tidak mengerti.
“Bukankah saat pelajaran terkahir tadi kau tiba-tiba mengeluarkan bola itu dari tasmu dan
memainkannya di belakang kelas? Lalu saat Pak Guru datang, kau panik dan langsung meletakkan
bola itu di lemari itu?” lanjut Andika sambil menunjuk lemari yang berisi peralatan kebersihan.
Sila menepuk jidatnya. Ia benar-benar lupa dengan hal itu. Bagaimana dia bisa lupa?
“Apa yang harus ku lakukan, Andika?” ucapnya sambil mendekati Andika. Wajah Sila berubah
panik. “Aku telah menuduh Rio. Ku kira dia yang menyembunyikan bolaku. Dia pasti ingin
mengingatkanku dimana aku telah meletakkan bola basketku.”
“Pastikan kau meminta maaf dengan baik padanya besok,” ucap Andika ringan sambil
tersenyum memperlihatkan deretan giginya. “Aku sangat yakin dia akan memaafkanmu, walau
mungkin dia tidak akan terlihat langsung memaafkanmu. Tapi aku sangat yakin dia akan
memaafkanmu. Tenang saja!”
“Lalu kenapa kau tak langsung bilang padaku kalau kau tahu dimana bola basketnya berada!
Kau tidak harus berkelahi dengannya!” teriak Sila sambil memukulkan bola basketnya ke atas meja
Andika.
“Bagaimana mungkin aku bisa bilang? Dia kan menyukaimu, tahu.” gumam Andika pelan
sambil membuang mukanya ke arah lain. “Ngomong-ngomong untuk apa kau membawa bola ke
sekolah?” ucapnya mengubah topik.
Sila geram karena pertanyaannya yang belum dijawab. Agaknya dia tidak mendengar
gumaman Andika barusan. Ia lalu memegang kembali bola basketnya dan mulai berjalan menuju
pintu kelas. Lalu tiba-tiba langkahnya terhenti di tengah, dan badannya langsung berbalik melihat
Andika yang masih duduk di bangkunya.
6
“Iya. Kenapa ya aku membawa bola ini?” ucapnya kaget. Andika langsung menengok ke arah
Sila yang kini berjarak beberapa bangku darinya. Ia menunjukkan wajah kaget yang bahkan lebih
hebat dari wajah kaget Sila.
“Kenapa malah kau yang kaget? Astaga aku seperti berbicara kepada seorang nenek-nenek
yang terperangkap dalam tubuh seorang anak kecil.”
“Ah, aku ingat!” kata Sila tiba-tiba sambil menepuk bola basketnya. “Hari ini Kak Rezha akan
bermain basket denganku di lapangan dekat taman itu. Ia bilang ia akan bermain denganku sepulang
sekolah. Aku tidak akan lupa apa yang kakak katakan padaku.”
Andika langsung berbinar mendengar perkataan Sila barusan. “Aku ikut! Aku sudah lama tidak
bermain dengan Kak Rezha karena dia begitu sibuk dengan ujian akhir dan perguruan tinggi.”
“Tidak boleh! Saat kau dan Kak Rezha bermain, aku pasti akan ditinggal dan kalian akan
bersenang-senang sendiri. Tidak mau!” tolak Sila sambil membuang mukanya.
“Ayo, kita bahkan sudah melewati jam pulang sekolah! Jangan sampai Kak Rezha menunggu!”
teriak Andika tiba-tiba. Kini ia sudah menggendong tasnya dan bersiap-siap pergi. “Ayo cepat!”
teriaknya lagi. Tangannya menyambar tangan kiri Sila yang sedang tidak memegang bola, kemudian
menariknya.
“T-Tunggu, memang siapa yang mengajakmu!”
Setelah berjalan selama sepuluh menit, mereka berdua kini berada di sebuah taman.
Lapangan basket yang akan mereka tuju terletak tepat di sebelah taman ini. Sebenarnya ada jalan
tersendiri untuk menuju lapangan basket itu, namun akan lebih cepat jika memotong jalan lewat
taman. Toh, lapangan dan taman hanya dipisahkan oleh semak. Mereka hanya tinggal melompati
semak, lalu mereka pun akan sampai di lapangan. Namun mungkin karena sering dilompati oleh
anak seumuran mereka, semak itu pun menjadi rendah di satu sisi. Mungkin ini yang menjadi salah
satu penyebab mengapa Pak Penjaga Taman suka memarahi anak-anak yang memotong jalan.
Terang saja, semak itu merupakan bagian properti milik taman.
“Kak Rezha!” teriak Sila setelah dia melompat semak. Anak itu langsung berlari menghampiri
seorang laki-laki yang sedang duduk di bangku di dalam lapangan. Andika yang berada di
belakangnya juga ikut berlari sambil memanggil namanya. Laki-laki itu tersenyum dan melambaikan
tangannya ke arah keduanya yang tengah berlari.
Kini keduanya terengah-engah berdiri di depan bangku. Laki-laki di depan mereka tertawa
melihat mereka. Kedua tangannya kemudian mengacak-acak rambut keduanya secara bersamaan.
7
“Bagaimana? Sudah lelah sebelum bermain?” ujar Rezha sambil menurunkan tangannya dari
kepala mereka berdua. “Kau membawa bola itu ke sekolah?” tambahnya terkejut melihat sebuah
bola yang berada di tangan adiknya.
Sila mengangguk sambil tersenyum bangga, memperlihatkan deretan giginya yang kecil. “Sila
suka bola ini. Ini kan bola kemenangan milik kakak yang kakak berikan ke Sila!”
Rezha tersenyum, lalu balik memandangi Andika yang kedua tangannya sedang memegang tali
gendongan tasnya. “Kau ingin ikut bermain?”
Andika mengangguk semangat dengan mata berbinar-binar. “Baik, ayo mulai!” seru Rezha
sambil mengeluarkan sebuah bola dari tasnya. “Kita gunakan bola ini saja, ya? Atau kau ingin kita
memakai bola milikmu, Sila?” tambahnya menawarkan pilihan.
Sila menggeleng. “Tidak, aku ingin bola ini tetap bagus. Kita gunakan bola milik kakak saja.”
Rezha mengangguk paham. Sila menaruh bola itu dalam tasnya lalu ia langsung bergabung
dengan kakaknya dan Andika yang telah berada di tengah lapangan.
“Kalian tidak apa-apa jika bermain di suasana sepanas ini? Tidak ganti baju dulu? Sila, kau kan
sedang memakai rok.” tanya Rezha samnil men-dribble bola. Sila dan Andika menggeleng.
“Tidak perlu. Besok kan hari Minggu. Lagipula jarang sekali Kak Rezha menawari bermain,”
jawab Andika sambil melakukan beberapa pemanasan. Sila langsung mendukung jawaban Andika,
dan langsung melakukan beberapa pemanasan.
“Astaga, sepertinya aku telah memberikan pelajaran buruk kepada adik-adikku,” ucap Rezha
sambil menghela nafas dan memegang kepalanya. Sepertinya sekarang dia menyadari beberapa
kesalahan perhitungan dalam agenda mengajak bermainnya hari ini. Sila dan Andika tidak terlihat
bermasalah, malah mereka sedang berargumen tentang cara shooting yang mereka anggap lebih
keren. Melihat mereka yang begitu semangat, Rezha tidak mampu menahan senyumnya lagi. Kali ini
senyum yang lebih lebar.
“Ayo mulai!”
Beberapa detik kemudian mereka pun mulai bermain. Sebenarnya permainan sangat
sederhana. Mereka tidak melakukan pertandingan. Hanya dribble, pass lalu shoot. Begitu
seterusnya. Andika cukup bagus dalam hal ini. Hanya beberapa tembakannya yang meleset,
selebihnya selalu masuk. Sila tidak mau kalah. Dia berulang kali menembak ke arah ring, tapi tidak
pernah sekalipun masuk.
“Menyebalkan!” teriak Sila sambil menghentak-hentakkan kakinya. Andika yang sedang
memegang bola memandanginya dengan heran. Ini sudah teriakan ‘menyebalkan’ ke-6 yang ia
dengar hari ini. Dulu pernah lebih parah. Delapan kali. Sila memang tidak jago basket, tapi dia tidak
pernah menyerah pada basket.
8
Rezha memberi kode kepada Andika untuk mengoper bola kepadanya. Andika mengangguk
dan mengoper bola ke arah Rezha.
“Nice pass!” serunya sambil menangkap operan Andika. “Ayo Sila, masukkan sekali lagi. Kali ini
pasti masuk,” ujar Rezha sambil melempar bola yang bari ia pegang ke arah Sila.
Sila menangkap bola dari Andika. Ia sempat ragu beberapa saat, tapi Rezha terus-menerus
bilang kalau tembakannya kali ini pasti masuk. Sila mengangguk, lalu melempar bola yang ia pegang
ke arah ring.
Dilihat dari sudut pandang mana pun, bola itu tidak akan masuk ke dalam ring. Arahnya sedikit
miring, dan hanya akan menabrak bagian pinggir ring. Namun, Rezha lalu berlari ke arah bola itu
bergerak. Ia melompat tinggi, dan melakukan rebound.
Masuk!
Suasana pun hening. Rezha menangkap bola yang sedang memantul sambil terheran-heran
sendiri. Mungkin perhitungannya kali ini salah lagi. Dia berbalik. Ia melihat Sila dan Andika yang
tengah bengong memandanginya.
“Keren! Kak Rezha keren!” teriak Andika. “Kau melompat setinggi ini lalu memasukkan
bolanya seperti ini! Keren!” tambahnya sambil memperagakan gerakan Rezha barusan.
“Itu bukan aku yang memasukkan, kak,” ucap Sila sambil memandangi Rezha. Rezha pun
hanya bisa balas memandang Sila. Sepertinya dugaannya benar, perhitungannya salah lagi. Ia hanya
ingin Sila bisa tertawa puas. Ia ingin Sila bisa senang hari ini, karena...
“Tapi, karena kakak tadi keren sekali, aku memaafkan kakak,” tambah Sila sambil memasang
senyum yang sangat indah.
Sepertinya keinginannya untuk membuat Sila senang hari ini berhasil. Ia hanya melakukan
rebound, dan itu adalah pemandangan yang sering terjadi di sebuah pertandingan basket. Tidaka ad
yang istimewa dari rebound barusan, tapi kedua anak itu terlihat sangat senang ia melakukannya
barusan. Rezha tersenyum kemudian mendekati Sila lalu menepuk kepala gadis kecil itu. “Tentu saja.
Karena kakak yang keren ini adalah kakak Sila,” ucap Rezha senang.
“Kak Rezha, kemarin aku dengar dari Mama. Mama dengar dari Mamanya Sila. Katanya kakak
berhasil mendapat beasiswa teknik sipil ke Jepang ya?” ucap Andika tiba-tiba.
“Iya! Tapi kakak tidak akan mengambilnya, iya kan kak?” jawab Sila sambil memandangi
kakaknya dengan bangga. “Kakak akan kuliah di sini, iya kan kak?”
Rezha memandangi Sila, lalu menepuk-nepuk kepalanya lagi. Tersenyum pelan.
“Ah, sayang sekali. Kalau aku jadi Kak Rezha, aku pasti mengambilnya. Siapa tahu aku bisa
menonton anime dan membaca manga lebih banyak di sana,” balas Andika kecewa. Ia meletakkan
kedua tangannya di belakang kepala, berjalan ke arah bangku dengan malas.
9
Sila mengejar Andika yang tengah berjalan, kemudian memukulnya dengan pukulan ringan
berkali-kali. “Dasar bodoh! Mana mungkin Kak Rezha akan meninggalkanku! Dasar Andika bodoh!”
Andika menangkis pukulan Sila dengan kedua tangannya, lalu melompat ke belakang untuk
menghindari pukulan berikutnya. “Iya, iya aku mengerti. Kalau keadaannya begitu juga aku akan
sering bermain basket dengan Kak Rezha. Sudah kau tidak usah marah lagi!”
Bunyi dribble bola tiba-tiba menyita atensi mereka berdua. Sila dan Andika emnengok ke arah
sumber suara. Di sana Rezha sedang men-dribble bola di tempat, memegangnya, lalu
melemparkannya ke arah ring. Sebuah three points! Three points yang terlihat sangat mulus, dan
indah. Keduanya memandangi sosok Rezha. Bukan karena tembakannya yang terlihat indah. Tapi
karena entah kenapa sosok Rezha di mata mereka terlihat sangat keren saat itu.
“Kau yakin tidak ingin diantar?” teriak Rezha sambil menyalakan sepeda motornya. Di
belakangnya ada Sila yang sudah duduk dengan posisi membonceng.
“Tidak usah, kak. Kau bisa mengandalkanku dalam urusan ini,” jawab Andika sambil
memperlihatkan lengannya yang tidak berotot. Sebuah jawaban yang sama sekali tidak berhubungan
dengan pertanyaan Rezha.
Rezha tertawa. Ia paham sekali jika Andika tidak ingin dianggap anak kecil. Dia masih kelas 5
SD dan selalu bertingkah seperti orang dewasa yang selalu bisa diandalkan.
“Baiklah. Hati-hati! Aku akan menelepon rumahmu begitu aku sampai di rumah. Berjalan
langsung ke rumah. Mengerti?” balas Rezha. Andika mengangguk dan memasang posisi hormat, lalu
pergi berlari menuju arah rumahnya. Setelah ia tidak melihat sosok Andika, barulah ia memacu
sepeda motornya menuju rumah.
Sepanjang perjalanan, Sila berceloteh tentang betapa kerennya saat kakaknya bermain basket.
Bagaimana dia sebal ketika Andika ikut bermain. Tentang Andika yang tadi sempat berkelahi di
sekolah, dan cerita-cerita lainnya. Rezha hanya tertawa mendengar cerita adiknya, sesekali
menimpali dengan perkataan ‘Benarkah?’ atau ‘Dasar’. Sepertinya Sila tidak keberatan dengan
respon singkat kakaknya, dan terus menerus bercerita sampai bosan.
“Sila, kenapa kau menyukai basket?” tanya Rezha tiba-tiba saat Sila sudah tidak memiliki
bahan untuk diceritakan lagi.
“Tentu saja, karena Sila menyayangi kakak, dan Sila ingin seperti kakak yang bersinar di tengah
lapangan. Keren sekali!” balas Sila polos. “Tapi sepertinya tidak mungkin,” tambahnya beberapa
detik kemudian.
“Kenapa tidak mungkin? Memang ada yang bilang begitu?” balas Rezha heran.
10
“Ada. Andika sering bilang begitu. Katanya Sila tidak berbakat bermain basket,” ucap Sila
sedih.
“Yang benar?” balas Rezha terkejut. “Ah, dia hanya iri karena Sila punya kakak keren seperti
Kak Rezha,” tambah Rezha. Sepertinya kalimat terakhirnya sedikit narsis.
“Kakak hanya memuji diri kakak sendiri,” ujar Sila sambil memukul punggung kakaknya dengan
pelan. “Tapi, mungkin ada benarnya juga,” tambahnya sambil tersenyum.
Seperti biasa, usai makan malam ruang keluarga menjadi tempat pemberhentian lanjutan.
Rezha sudah duduk di sofa, memandangi TV dengan tatapan kosong. Berulang kali mengganti
channel, berulang kali mengganti posisi duduk. Ia terlihat tidak nyaman.
Sila sudah kembali ke kamar. Ia lelah karena langsung bermain basket tepat setelah pulang
sekolah. Tapi itulah yang membuat Rezha semakin tidak nyaman dengan posisinya saat ini.
“Kau sudah memberi tahu Sila tentang besok?” tanya ibunya yang baru duduk di sofa. Ia
membawa secangkir teh di tangannya, lalu menyesapnya pelan.
“Belum,” jawab Rezha singkat. Tangannya masih memainkan remote dan matanya masih
menatap layar televisi dengan tatapan kosong.
“Belum?!” ucap ibunya terkejut. Teh di cangkirnya bahkan sempat bergetar saking
terkejutnya. “Kau besok berangkat, dan kau belum mengatakan apapun kepadanya?”
“Waktunya tak pernah tepat, Ma,” ucap Rezha lemas.
“Memang sudah seharusnya Mama atau Papa yang langsung bertindak. Kau tidak dapat
diandalkan dalam urusan ini,” ucap ibunya kesal sambil menyesap tehnya lagi. “Sebuah berita, walau
baik atau buruk ia harus tetap tahu, Rezha. Kau tidak bisa terus menjaganya dalam lingkaran ‘terus
bahagia’-mu. Ia harus tahu walau itu sangat tidak ingin ia harapkan.”
Rezha terdiam beberapa saat. “Aku ingin memberitahunya hari ini, tapi setelah aku
melihatnya langsung aku tidak mampu berkata apa pun. Dia begitu berharap aku bisa di dekatnya
terus,” ucapnya. Ia sangat lemas mengatakan kalimatnya barusan. “Tapi, aku tidak bisa memaafkan
diriku jika orang lain yang mengatakan padanya, dan bukan aku,” tambahnya.
Suasana hening beberapa saat. Hanya ada suara pembawa berita yang sedang mengabarkan
beberapa berita tentang permasalahan transportasi di negara ini.
“Ma, aku pikir aku tidak akan pernah bisa berkata langsung padanya,” ucapnya tiba-tiba.
Ibunya hanya bisa memandangi anak laki-lakinya. Tidak mampu merespon.
“Jadi, tolong beritahu Sila besok saat aku sudah berangkat. Tolong beritahu aku pergi
sebentar, dan akan kembali secepatnya. Aku tidak bisa pergi jika melihatnya menangis,” ucap Rezha
sambil memandangi ibunya.
11
“Mama mengerti,” ucap ibunya sambil menyesap tehnya untuk terakhir kalinya. Tegukan teh
kali ini rasanya pahit, sangat pahit.
Harusnya sekarang dingin karena saat tadi Sila ke tempat ini saat siang menjelang sore.
Mungkin dia baru tidur beberapa menit jadi suasananya masih belum dingin. Tapi, rasanya ada yang
berbeda. Sebelumnya tidak ada bau seperti ini, tapi kenapa tiba-tiba ada bau baru yang rasanya
tepat di depan hidungnya. Udaranya pun terasa lebih pengap daripada sebelum dia memejamkan
mata.
“Eh?!?” teriak Sila kaget. Bagaimana dia bisa tidak kaget? Saat dia membuka matanya, tiba-
tiba pemandangan sudah gelap. Lebih kaget lagi karena yang menyebabkan gelap itu bukan matahari
yang sudah terbenam, tapi karena ada sebuah benda yang menutupi wajahnya
Jaket? Jaket siapa?
Tangannya menggapai permukaan jaket itu, lalu menyibaknya ke kanan. Sila bertambah kaget
karena saat ia menyibakkan jaketnya, langit sudah mulai gelap. Matahari bahkan sudah tinggal
sedikit yang bisa terlihat. Sudah seberapa lama dia tertidur di tempat ini?!
“Eh?!?” teriak seorang laki-laki di sebelah kanannya. Sepertinya dia sama kagetnya seperti Sila
karena handphone yang dia pegang sampai hampir meluncur jatuh ke tanah.
Mata Sila langsung berhadapan dengan mata laki-laki itu. Suasana tiba-tiba hening untuk
beberapa saat. Laki-laki di hadapannya memiliki rambut pendek yang sedikit berantakan. Agaknya
mata laki-laki itu juga tengah memandanginya. Sepertinya kedua belah pihak sedang mencerna apa
yang sedang terjadi.
“Dasar bodoh! Untuk apa kau sampai berteriak?!” ujar lelaki itu sambil membelalakkan
matanya ke arah Sila. Sila sendiri masih bengong dan mencerna apa yang sedang terjadi. “Mau
sampai kapan kau memegang jaketku? Sini, kembalikan,” tambahnya.
“Andika?” tanya Sila kepada lelaki itu. “Andika, kan?”
Laki-laki itu hanya mengernyit. “Kalau bukan?”
“Andika...! Andika...!” seru Sila gembira sambil memukul-mukul lengan lelaki itu. “Kau tidak
berubah sama sekali, haha.”
“Kau juga tidak berubah. Wajahmu masih jelek saat tidur. Kebetulan aku sedang bermain
basket, dan aku merasakan ada pemandangan ganjil di bawah pohon ini. Berterimakasihlah karena
orang-orang tidak harus melihat wajah tidurmu yang bisa merusak pemandangan. Hahaha,” balas
Andika.
“Siapa yang barusan kau bilang jelek?” Sila meremas tangannya bersiap memukul Andika.
12
“Memang siapa lagi?” balas Andika sambil tersenyum. Kini tangan kanannya digunakan untuk
menopang dagunya. Wajahnya ia arahkan ke arah Sila tanpa menghilangkan senyumnya. “Kau tahu,
seorang perempuan tidak seharusnya tidur di sembarang tempat. Kecu...”
Sila tertegun. Dia memandangi Andika untuk beberapa detik, memotong perkataan Andika
lalu berkata, “Andika... Kau menungguku dari tadi, ya?”
Andika tidak menjawab, dan Sila pun sebenarnya sudah tahu jawabannya. Andika memang
selalu begini sedari dulu. “Ngomong-ngomong, tolong hentikan senyumanmu yang terlihat
menyebalkan itu. Terlalu miring ke kanan. Kau masih suka ya membuat-buat senyuman,” tambah
Sila.
Andika menurunkan senyumannya, dan mengernyit. “Kau pasti berbohong. Senyumanku ini
sempurna, tahu.”
“Oh, dan maaf karena memotong perkataanmu tadi. Apa yang tadi ingin kau katakan?”
“Ah, yang itu. Kecuali kalau kau bukan seorang perempuan. Tapi sepertinya kau memang
bukan seorang perempuan kan?” ucap Andika ringan. Andika lalu memasukkan kedua tangannya ke
saku celananya, berdiri dan berkata, “Ayo, pulang. Aku antar.”
Sila terbelalak mendengar perkataan Andika barusan. “Apa yang kau maksud dengan itu, hah?
Aku bisa pulang sendiri. Tidak usah diantar. Ini jaketmu,” balas Sila sambil melempar jaket itu ke
arah Andika yang tengah berdiri. Ia lalu berjalan cepat menuju pintu gerbang taman.
“H-hei. Kau tak perlu marah, Sila. Mana ada seorang perempuan yang berjalan dengan cara
seperti itu?”
Sila membalikkan badan beberapa detik, kemudian melanjutkan langkahnya kembali. Andika
memang selalu begini sedari dulu. Selalu menyebalkan.
“Untuk apa kau mengikutiku?” ucap Sila sambil mempercepat langkahnya. Di belakangnya ada
Andika yang berjalan menyusulnya keluar dari taman.
Andika mempercepat langkahnya. “Aku sudah bilang, kan? Aku akan mengantarmu pulang.”
“Kau tak perlu mengantarku. Aku tahu jalan pulang.”
“Tapi, kau salah belok di belokan tadi.”
Sila berhenti seketika, dan memperhatikan keadaan sekelilingnya. Benar saja, jalan yang
sedang ia lalui berbeda dengan jalan yang tadi. Padahal tadi ia sudah mengingat dengan baik jalan
yang telah ia lalui tadi siang.
“Bodohnya aku. Sekarang aku harus memasang ekspresi seperti apa?” ucap Sila sambil
merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
13
“Sudah ku bilang kau salah jalan,” kata Andika yang tiba-tiba sudah berada di sampingya. “Aku
sudah bilang kalau aku akan mengantarmu, kan? Jangan menolak lagi. Ini pakai jaketku.”
Sila diam saja. Mungkin keputusan terbaik saat ini yang harus ia pilih adalah mengikuti Andika
karena langit sudah terlihat semakin gelap dan jarak antara taman dengan rumahnya cukup jauh.
Angin pun sudah terasa lebih dingin seiring dengan semakin larutnya hari. Sila menerima jaket yang
disodorkan padanya dan memakainya. Rasanya hangat, bahkan lebih hangat dari yang ia bayangkan.
Ini pasti karena dia baru saja marah sehingga membuat udara di sekitarnya terasa lebih hangat.
“Lagipula kenapa kau harus marah? Bukankah itu lelucon lama? Kau seharusnya terbiasa
dengan itu,” kata Andika sambil berjalan. Kedua tangannya masih ia letakkan di dalam saku
celananya.
“Karena kau menyebalkan,” jawab Sila ketus. “Lagipula memang tidak ada yang ingin kau
katakan selain itu setelah kita tidak pernah bertemu selama ini?”
Langkah Andika terhenti sesaat, lalu dia kembali berjalan seperti biasa. “Ah, maaf kalau begitu.
Tapi aku bukan aku jika tidak menyebalkan,” jawab Andika sambil tertawa ringan. “Aku penasaran
apa yang sedang ibumu masak hari ini, dan apakah masakannya masih seenak dulu atau lebih enak
lagi?”
“Ha, ternyata kau hanya ingin menumpang makan di rumahku saja. Maaf saja, kami baru
pindah hari ini jadi kami hanya akan memesan makanan saja,” ucap Sila sambil tersenyum penuh
kepuasan.
“Ah, sayang sekali...”
Rumah dengan cat berwarna abu-abu itu kini sudah terlihat lebih rapi dibandingkan keadaan
saat siang tadi. Sepertinya barang-barang telah selesai dipindahkan. Sila menghela nafas lega.
Setidaknya ia tidak harus mengangkat barang-barang lagi. Tapi, kalau begitu keadaannya, maka
sebentar akan terjadi sebuah masalah baru.
“Sila!” teriak seorang wanita dari dalam rumah.
Masalah baru pun dimulai. Wanita yang berteriak memanggil namanya pun keluar dari rumah.
Wanita itu berjalan dengan anggun, tapi jelas sekali dari langkahnya ia terlihat sangat marah.
“Sila! Kau kemana saja sampai sesore ini? Tadi bukankah kau bilang hanya sebentar? Kau tahu
kan ibu sibuk mengurus rumah? Selain itu yang pindah rumah itu...”
“Maaf...,” ucap Sila sambil menundukkan kepala.
“E, tante? Maaf tadi saya mengajak Sila mengobrol terlalu lama. Maafkan saya,” sela Andika
tiba-tiba sambil tersenyum. Ibu Sila menengok ke arah lelaki itu, lalu ekspresi mukanya pun langsung
berubah.
14
“Andika? Andika, kan?” ucap Ibu Sila bersemangat.
“Iya, tante,” jawab Andika sambil mempertahankan senyumnya.
“Oh, jadi kau bersama Andika. Kenapa kau tak bilang pada ibu dari tadi? Haha. Tidak apa-apa,
Andika. Mau mampir ke rumah? Om sedang di dalam. Tapi hari ini tante tidak memasak apa-apa.
Kami hanya memesan makanan dari luar,” ucap Ibu Sila panjang. Sila hanya bisa melongo melihat
perubahan karakter ibunya yang terlalu cepat.
Andika yang masih dalam fase senyumnya pun tertawa pelan. “Tidak usah, tante. Saya mau
langsung pulang saja setelah mengantar Sila.”
“Ah, sayang sekali. Ayo Sila, Andika diantar sampai gerbang,” ucap ibunya sambil menepuk
bahu Sila. Sila hanya mengernyit dan hendak menolak, tapi tepukan kedua di bahu Sila semakin
keras sehingga menyebabkan Sila mau tidak mau harus menuruti ibunya.
“Tidak perlu, tante. Saya bisa sendiri, kok.”
“Sudah jangan menolak,” ucap Sila sambil menarik lengan baju Andika.
“Sudah ku bilang kan? Senyumku ini sempurna. Ibumu saja sampai berubah drastis begitu,”
ucap Andika sambil membusungkan dada, dan tersenyum lagi.
“Dasar bodoh! Ibuku memang menyukaimu dari dulu, bukan karena senyum anehmu itu. Aku
heran kenapa ibuku bisa sampai menyukaimu begitu. Apa bagusnya kau?”
“Oh iya, Sila. Ku dengar ayah dan ibumu hanya mengantarmu? Kau akan tinggal sendirian di
rumah itu? Mereka tidak ikut pindah?” kata Andika mengubah topik pembicaraan.
“Kau tahu darimana?”
“Dasar. Jaman sekarang bahkan jarum jatuh di ujung sana pun akan terdengar kabarnya
sampai sini, apalagi jika kabarnya sebesar kau,” jelas Andika sambil tertawa. Kini mereka telah
sampai di depan gerbang rumah.
“Kau ini ceria sekali ya...,” ucap Sila. Kini pandangan perempuan itu telah tertuju ke jalan.
Menunduk. “Tidak. Papa tidak meminta pindah tugas, dan Mama punya usaha butik di rumah.
Walau begitu aku tidak tinggal sendirian di sini.”
Andika mengernyit mendengar jawaban Sila. “Jadi, bersama?”
“Kak Rezha. Dia akan pulang dan sudah mendapat pekerjaan di kota di dekat sini, jadi...
beginilah,” jawab Sila sambil memandangi jalan. Kakinya bermain-main dengan batu yang tergeletak
di situ.
Andika menatapnya beberapa saat. “Ah, begitu...”
Andika tidak berkomentar tentang jawabannya barusan. Ia pun tidak mengharap adanya
komentar dari Andika, karena untuk pindah kembali ke sini pun dia harus berdebat panjang dengan
15
orang tuanya. Bukan karena Sila tidak ingin kembali ke sini, tapi masalahnya adalah dengan siapa dia
akan tinggal di sini.
“Oh, ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan padamu,” tambah Andika sambil bersiap
berjalan pulang.
Sila mengangkat wajahnya dan menatap sosok Andika yang kini sedang menghadap arah yang
sama dengan Sila. Ia hanya bisa melihat punggung lelaki itu dari belakang. “Apa?”
“Selamat datang kembali,” ucap Andika sambil berbalik. Memperlihatkan senyumannya.
Bukan senyumannya yang biasa, karena entah kenapa rasanya senyuman Andika terlihat berbeda
saat itu.
“Aku pulang...,” balas Sila sambil tersenyum.
Sila melambaikan tangan ke sosok ibunya yang kini telah berada di dalam mobil bersama
ayahnya. Hari ini mereka akan meninggalkan Sila di rumah lama mereka, dan kembali ke rumah
mereka yang kedua.
Ia masih ingat kejadian empat tahun lalu. Ibunya berkata padanya bahwa Kak Rezha bilang
hanya pergi sebentar, dan akan kembali secepatnya. Sila selalu ingat apa yang kakaknya katakan
kepadanya, kau tahu?
Ia masih ingat bagaimana dan berapa lama ia menangis. Ia masih ingat betapa ia menyayangi
kakak laki-lakinya itu karena sampai sekarang ia masih menyayanginya. Ia hanya... tidak bisa
memaafkan kakaknya yang pergi tanpa mengatakan apapun padanya. Ia kehilangan seseorang yang
sangat ia sayangi tanpa ia sadari.
Tidak mengertikah kakaknya bagaimana perasaannya saat itu? Tidakkan ia sadar bahwa
tepukan di kepalanya dan senyumannya seperti biasa akan mampu menghentikan segala tangisnya?
Kenapa ia tak pernah tahu? Empat tahun itu tidak secepat yang ia katakan. Empat tahun itu cukup
membuat Sila membencinya, sekaligus menyayanginya. Empat tahun itu cukup membuatnya
menyerah pada basket.
16
Sila sedang tidak sedih saat ini, tapi entah kenapa ia tak bisa menghentikan air mata yang
sekarang sedang mengalir di pipinya. Besok adalah hari pertamanya bersekolah. Seminggu kemudian
adalah waktu kakaknya datang.
Jika kakaknya datang, ekspresi seperti apa yang harus ia tunjukkan kepada kakaknya?
Matahari bulan Juli bersinar terang. Sinar matahari menyeruak masuk lewat kaca jendela,
menembus barikade tirai rumah. Sekarang pukul enam―lebih lima menit. Sila dengan seragam putih
abu-abunya sudah duduk santai di depan meja makan sambil mengunyah roti panggang. Di
hadapannya terdapat segelas jus mangga, dan piring berisi sepotong roti panggang lainnya.
Sila mematut dirinya di kaca. Penampilannya hari ini harus sempurna. Ia merapikan
rambutnya yang panjangnya hanya sepertiga lehernya, dan menyampingkan poninya ke kanan.
Seragamnya sekolahnya sudah rapi tanpa lekukan yang tak berarti.
Ia berencana untuk berangkat ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Bukan apa-
apa, dia sudah terbiasa menggunakan kakinya untuk berjalan ke sekolahnya semenjak SD, bahkan itu
berlanjut sampai SMP. Rasanya canggung saja mengganti kebiasaannya berjalannya menjadi naik
motor. Namun kali ini, SMA tempat ia bersekolah lumayan jauh. Bisa menghabiskan 45 menit jika
berjalan kaki dan 25 menit jika bersepeda, sehingga Sila harus menggunakan angkutan umum untuk
menghemat waktunya. Ia hanya tinggal berjalan lima menit menuju halte bus, lalu naik bus selama
kurang lebih sepuluh menit.
“Selamat pagi, Sila. Pagi sekali berangkat sekolah. Jalan kaki?” sapa seorang wanita yang
sedang menyapu halaman rumah di samping rumahnya.
“Iya, Tante. Biar sehat,” balasnya tetap berjalan sambil tersenyum ke arah wanita itu. Wanita
itu membalas senyumnya sambil berkata ‘hati-hati’ atau kalimat sejenisnya. Sila tidak tahu pasti
karena dia sudah jauh berlalu.
Hari ini adalah hari pertama Masa Orientasi Siswa yang akan diadakan selama tiga hari. Kali ini
ia sedang duduk manis di bangku di dalam aula. Sila tidak membawa barang macam-macam, karena
saat studium general tempo hari dijelaskan bahwa MOS SMA ini tidak membutuhkan perlengkapan
yang banyak. Cukup alat tulis, alas duduk, dan pakaian olahraga. Cukup sederhana.
“Oh, jadi Andika bisa bermain basket? Kau harus ikut tim basket SMA ini supaya bisa
melihatmu bermain!” ujar seorang gadis berambut panjang sebahu.
“Andika sangat hebat saat bermain basket, iya kan? Saat SMP dulu dia saja bisa langsung
masuk tim reguler saat tahun pertama,” balas gadis berpita di sampingnya.
17
“Aku ingin melihat Andika bermain juga!” sahut gadis-gadis lainnya.
Sila mengernyit. Kerumunan gadis-gadis di belakang sangat berisik sampai-sampai Sila yang
berada di barisan ke-3 pun dapat mendengar obrolan mereka dengan jelas. Ia menoleh ke arah
sumber suara yang berada beberapa baris di belakang barisannya.
Itu adalah barisan anak kelas 10-8, dan dia bisa melihat sosok Andika yang sedang duduk
dimana di kanan kirinya adalah perempuan.
“Membanggakan diri seperti biasa, ya?” gumam Sila kesal.
Seperti biasa, Andika tersenyum kepada mereka dengan senyum yang Sila namai dengan
‘Senyum Menjijikkan’ sambil menimpali perkataan-perkataan mereka. Sila bisa melihat Andika
sedikit bermasalah dengan meladeni gadis-gadis itu. Walau begitu, gadis-gadis itu tetap saja terlihat
senang.
Tiba-tiba sebuah gulungan kertas mendarat di kepala salah satu gadis yang sedang heboh itu.
Gadis yang terkena lemparan kertas itu menoleh kesal ke arah sumber lemparan dan melihat Pak
Seno―guru dengan wajah tergalak di baris guru yang terletak di pinggir aula―melotot ke arah gadis-
gadis itu. Sontan saja para gadis itu langsung terdiam, memberi kode kepada teman-temannya dan
langsung memasang posisi duduk manis ala boneka yang berada di etalase toko.
Sila menahan tawanya, lalu kembali ke posisi duduknya yang semula. Menggelikan sekali
melihat ekspresi gadis yang terkena lemparan kertas tadi. Sepertinya hidupnya di SMA ini akan
menyenangkan dengan adanya kejutan-kejutan semacam tadi.
“Menyenangkan?” sapa Sila sambil menepuk punggung Andika seusai acara MOS.
Andika berbalik dan melihat Sila yang tengah tersenyum lebar melihatnya. Alisnya terangkat
sebelah, mengindikasikan ia tidak mengerti apa yang Sila bicarakan. “Apanya?”
“Menjadi pusat perhatian anak perempuan pada hari pertama sekolah,” ujar Sila datar. “Ah,
aku ingin melihat Andika bermain basket!” tambahnya sambil meniru salah satu gadis tadi.
Andika menghela nafas panjang, lalu dia menarik lengan baju Sila dan membawanya ke
tempat yang kurang ramai. Sila terkejut, tapi dia tidak memberontak sama sekali.
“Kau tahu? Berurusan dengan mereka adalah yang paling sulit, ditambah lagi mereka semua
adalah teman sekelasku,” ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya yang setengah berantakan.
Ternyata Andika memang benar-benar bermasalah saat meladeni gadis-gadis tadi.
“Tapi, wajahmu memerah,” ujar Sila sambil menunjuk ke arah wajah Andika. “Kalau kau
memang tidak suka, kau tinggal bilang kalau kau tidak suka jika mereka begitu. Masalah selesai,
bukan?” balas Sila sambil tertawa.
18
“S-siapa yang wajahnya memerah?” tukas Andika gugup. “Itu akan lebih melelahkan lagi. Aku
harus berdebat dengan mereka, dan aku tidak punya cukup tenaga untuk itu,” balasnya lagi.
Sila menggeleng mendengar perkataan Andika. “Hanya perasaanku saja, atau cara berfikirmu
itu terlalu rumit?”
“Bodoh! Apa salahnya terlihat baik di depan semua orang?” ujar Andika cuek. Sila membalas
perkataan itu dengan kernyitan di dahi. Memang tidak ada yang salah, tapi terus meladeni mereka
pun bukan pilihan yang benar. “Jadi, kau sudah memutuskan ingin ikut apa di sekolah ini?”
tambahnya.
“Bukan urusanmu,” ujar Sila tersenyum sambil bersiap pergi. “Aku pulang dulu. Dah!”
tambahnya sambil melambaikan tangan.
Andika diam saja mendengar perkataan Sila barusan. Ia pun juga harus pulang. Tugas MOS
hari ini cukup banyak dan harus segera dikerjakan. Belum sempat Andika melangkahkan kakinya, Sila
yang sudah berada jauh di depannya berbalik.
“Ah, satu lagi!” ucap Sila. “Ah, aku ingin melihat Andika bermain basket!” teriaknya sambil
menirukan gaya bicara gadis itu lagi.
“Dasar bodoh! Untuk apa dia melakukan itu?” gumam Andika sambil membuang wajahnya ke
arah lain. Terang saja semua atensi siswa yang masih ada di tempat itu semua melihat ke arah Sila
yang sedang berteriak, dan Andika sebagai objek teriakannya.
“Lihat... Lihat gadis itu. Iya, gadis tinggi dengan rambut pendek itu,” gumam orang-orang di
sekitarnya.
“Yang baru saja berteriak? Anak baru, ya? Berani sekali, ya?”
“Hei, tapi dia cukup manis,” sahut siswa yang lain.
“Andika itu yang mana?”
Sila mematung sesaat. Dia tidak bisa mendengar apa yang sedang orang-orang bicarakan. Tapi
dia cukup yakin kalau mereka sedang membicarakan dirinya. Lihat saja tatapan orang-orang yang
sedang melihatnya. Sila ganti melihat Andika yang sedang membuang wajahnya ke arah lain, dan
tetap berjalan dengan tenangnya.
“Apa? Dia bahkan pura-pura tidak mengenalku,” gumam Sila kesal. Ia langsung berbalik ke
arah awal, lalu berjalan lebih cepat dari sebelumnya. “Ada apa denganku? Kenapa barusan aku
melakukannya? Tenang, tenang. Ini hari pertama sekolah. Semua orang akan lupa. Wajahku juga
tidak begitu mencolok, kan? Tenang, tenang. Besok pasti semua orang sudah lupa,” ucapnya pada
diri sendiri. Menenangkan diri.
19
Namun perkiraan Sila salah. Keesokan harinya, semua orang masih membicarakannya. Berita
cukup cepat tersebar. Bahkan gerombolan fans Andika kini memandanginya dengan pandangan yang
lain. Sila menyalahkan dirinya sendiri dan tidak berhenti memukul-mukul kepalanya sendiri.
Tiga hari MOS pun terlewati dengan kejutan yang sangat tidak diinginkan Sila. Kini ia harus
berfikir lagi, apakah kehidupan SMA-nya akan menyenangkan?
Seperti biasa, sore ini sepulang sekolah Sila pergi ke minimarket di dekat sekolahnya. Sudah
tiga hari berturut-turut ia memakan makanan instant, dan roti sebagai sarapannya. Sangat tidak
sehat. Sila tahu itu, tapi tugas-tugas MOS cukup menguras tenaganya sehingga dia tidak sempat
memasak. Lagipula apa yang bisa dia masak?
Lagipula, kenapa ibunya meninggalkannya di saat kakaknya belum datang? Bukannya Sila
sedang mengharapkan kedatangan kakaknya, tapi memang ibunya tidak khawatir meninggalkan
anak gadisnya sendirian di rumah selama seminggu?
“Aman kok, Sila. Di sini tidak pernah ada kejahatan. Kalau butuh apa-apa, bilang saja sama Bu
Rina,” ucap ibunya pada saat itu sambil menunjuk ke rumah di sebelah rumahnya. “Mama sudah
ada urusan besok di butik. Maaf ya sayang,” tambah ibunya.
Lalu bagaimana dengan hidupnya di dalam rumah? Kenapa ibunya tega sekali meninggalkan
anak gadisnya sendirian tanpa teman? Rumahnya terlalu besar untuk ia tempati sendiri. Bisa-bisa
seminggu kemudian, saat Sila keluar rumah ia telah menjadi anak yang autis.
“Tenang, Sila. Hari Kamis nanti ada bibi yang datang ke rumah, kok. Bibi yang dulu pernah
kerja di sini juga. Masih ingat, kan? Kalau bosan, kan masih ada Andika,” ucap ibunya sambil
menyesap tehnya.
Kenapa tidak dari awal saja datangnya? Sila jadi tidak perlu repot-repot berbelanja makanan
instant. Dia tidak perlu khawatir akan makan apa hari ini. Lagipula kenapa nama Andika bisa keluar di
tengah-tengah percakapan? Mana mungkin dia akan datang? MOS sangat melelahkan, dan tugasnya
pun banyak. Sila sendiri tidak sempat menonton video yang tempo hari baru ia download karena
sibuk dengan tugas-tugas MOS.
“Sayang sekali, anak bibi baru saja ada hajatan. Jadi, baru bisa datang hari Kamis. Sendirian
tiga hari tidak apa-apa kan?” ucap ibunya masih dengan acara menyesap tehnya.
Sila menghela nafas panjang sambil menggapai sebuah mie instant dari rak tengah
minimarket. Lalu ia menggapai sebotol selai strawberry di rak yang lain. Baru tiga hari dan selainya
sudah habis. Dia pasti overdosis makan roti panggang.
Setelah membayar semua belanjaannya di kasir, ia pun keluar minimarket sambil membawa
sebuah tas ukuran sedang berisi belanjaannya. Ia terbiasa berbelanja dengan tas ini, karena dulu
20
sering menemaninya ibunya berbelanja. Ibunya tidak pernah meminta kantong plastik, dan selalu
meminta belanjaannya untuk dimasukkan ke dalam tas yang ibu bawa sendiri. Sekarang kebiasaan
itu tertularkan padanya.
“Es krim!” teriak Sila pelan melihat sebuah toko es krim di jalan yang ia lewati. Letaknya tidak
begitu jauh dengan minimarket yang baru ia tuju. Matanya berbinar-binar melihat toko itu. Ia sangat
menyukai es krim. Dia tidak pernah sadar ada toko es krim di sana padahal ia sudah berkali-kali
berbelanja di minimarket itu.
“Pasti karena saat aku berbelanja, aku sangat lelah sehingga pemandangan seperti ini pun
tidak terlihat,” gumamnya.
Sila pun bergegas masuk ke dalam toko itu. Ternyata di dalam cukup ramai, namun bagian
antrian tidak begitu ramai. Kebanyakan orang-orang di sini memakan es krimnya di meja-meja yang
telah di sediakan toko. Desain toko pun cukup menarik. Warna dindingnya sangat menarik dan
didominasi warna jingga. Mejanya pun didesain cukup elegan. Selain itu, tempat ini cukup dekat
dengan sekolahnya. Ia bisa melihat beberapa anak berseragam SMA sepertinya sedang
bercengkrama sambil menikmati es krim. Walau begitu, ia tidak mengenal satu pun dari mereka.
Mungkin mereka bukan teman sekelas Sila, atau justru angkatan di atasnya.
Bruugk!
Seorang anak kecil tiba-tiba menubruknya dari depan. Sila kaget dan mundur selangkah ke
belakang. Ia sedang sibuk mendeskripsikan keadaan toko itu, lalu tiba-tiba datanglah seorang anak
kecil yang menubruknya. Kini semua mata pengunjung toko terpusat ke arahnya. Sila menghela
nafas. Mungkin takdirnya sebagai anak SMA adalah menjadi pusat perhatian orang banyak.
“Kau tidak apa-apa?” ucapnya sambil memegang pundak anak kecil itu. Anak kecil itu tidak
terjatuh, dan tingginya hanya sekitar pinggangnya. Anak itu hanya diam saja.
“Maafkan anak saya. Ayo minta maaf!” ucap seorang wanita buru-buru menarik anaknya.
Anaknya hanya diam saja dan bersembunyi di belakang ibunya. “Anak saya memang sedikit nakal,
maafkan saya,” tambah wanita itu sambil merogoh tasnya.
Sila hanya tersenyum, dan sedikit kaget mengapa wanita itu terus-menerus merogoh tasnya.
Apakah wanita itu akan memberikannya uang sebagai permohonan maaf? Sepertinya, tidak. Itu
terlalu berlebihan.
“Tidak apa-ap...,” sebelum Sila sempat menyelesaikan kalimatnya tiba-tiba ia merasakan
sensasi dingin di bagian perut sebelah kanannya. Ia pun melihat ada bekas es krim di sana. Oke, ini
sangat tidak baik.
Wanita itu pun menyodorkan sebuah sapu tangan padanya. Ah, jadi ini yang sedari tadi dicari
oleh wanita itu di tasnya.
21
“Silahkan pakai milik saya. Tidak usah dikembalikan juga tidak apa-apa. Saya minta maaf
sekali,” ucap wanita itu sambil berulang kali minta maaf. Sila mengangguk pelan dan menerima sapu
tangan itu. Wanita itu pun keluar dari toko sambil memarahi anak kecil itu.
Ia lalu membersihkan noda es krim yang tertinggal di seragam putihnya. Noda ini tidak akan
hilang sebelum dicuci, dan pasti akan sulit dihilangkan jika tidak buru-buru dicuci. Ditambah lagi ini
adalah seragam baru. Sila menghela nafasnya lagi.
“Sila?” panggil seseorang di sisi lain toko. Sila menengok pelan ke arah sumber suara, takut-
takut jika ada seseorang dengan nama yang sama sepertinya. Seorang gadis berambut panjang
sebahu dengan poni rata memanggilnya―bukan, namanya.
Gadis itu kemudian mendekatinya, lalu dengan muka khawatirnya ia berkata, “Ah, jadi kau
yang menyebabkan perhatian seluruh orang di toko ini menjadi satu.”
Sila membalas ucapan gadis itu dengan meringis pelan. Gadis itu langsung menarik tangannya,
mengajaknya masuk ke bagian dalam toko yang hanya bisa dimasuki oleh karyawan toko. “Ayo,
rumahku di belakang toko ini. Oh, iya. Toko ini milik ayahku, kalau kau mau tahu.”
Sila terkejut mendengar perkataan barusan. Jadi, gadis ini adalah anak dari pemilik toko.
Pantas saja pakaiannya terlihat terlalu santai untuk seorang pekerja sekaligus untuk seseorang yang
sekadar ingin hang out di toko ini. Masalah yang lain lagi, siapa gadis ini?
“M-maaf,” ucap Sila pelan sambil menghentikan gerakan gadis yang baru saja menariknya.
Gadis itu pun berhenti, dan menengok ke arah Sila. Sekarang mereka telah berada di dalam rumah si
gadis. “Kau siapa ya?” tambah Sila.
Gadis itu membuat muka kecewa selama beberapa detik, lalu berkata, “Jahat sekali kau tidak
mengenaliku Sila,” rengek gadis itu.
“I-itu tidak benar,” balas Sila panik. Sepertinya dia telah melakukan hal kurang baik kepada
seorang gadis yang berniat menolongnya.
“Bercanda,” sahut gadis itu sambil tertawa. “Kau harus melihat ekspresimu barusan. Lucu
sekali.”
Sila semakin tidak mengerti. Pertama, dia masih tidak tahu siapa gadis di hadapannya ini.
Kedua, ternyata gadis ini bercanda. Itu membuatnya kaget.
“Ah, maaf. Maaf,” ujarnya setelah berhenti tertawa. “Aku Anes, teman sekelasmu. Tidak heran
jika kau tak mengenalku. Aku anak yang biasa-biasa saja dan kita belum pernah berbicara secara
langsung. Berbeda denganmu. Kau tinggi, cantik, dan yang paling membuatmu terkenal adalah
kejadian saat kau berteriak dengan gaya seperti itu.”
Setelah gadis itu menyebut kalau dia adalah teman sekelasnya, Sila pun mengingatnya. Ia
ingat pernah melihat gadis ini di barisan kelasnya. Ia ingat gadis ini pernah mengenalkan diri saat sesi
22
perkenalan kelas. Tapi Sila tidak bisa menghafalkan nama dan wajah teman-temannya hanya dalam
waktu tiga hari, bukan?
Lagipula, kenapa kejadian hari pertama itu harus dibawa-bawa lagi? Sila merutuki dirinya
habis-habisan di dalam hati.
“Iya, aku ingat sekarang. Anes ya?” ucap Sila sambil meringis. Entah sudah berapa kali ia
meringis hari ini. “Kau terlalu melebih-lebihkan.”
“Ayo, kita cuci seragammu sebelum bekasnya mengering. Sayang sekali ini adalah seragam
baru. Oh, kau bisa memakai bajuku. Tidak apa, kok,” ujar Anes sambil membimbingnya ke arah
bagian belakang rumah.
“Jadi, kau baru pindah minggu lalu dan sudah pernah tinggal di sini sebelumnya? Lalu kau
adalah dua bersaudara?” ujar Anes kepada Sila. Sila mengangguk. Kini mereka sedang duduk di
pelataran rumah Anes bagian belakang. Bagian belakang rumah Anes adalah sebuah halaman yang
digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Satu-satunya pakaian yang sedang dijemur di situ
adalah pakaian milik Sila karena hari sudah terlalu sore untuk menjemur pakaian.
“Aku juga mempunyai kakak. Dua orang malah. Perempuan dua-duanya. Yang pertama sudah
menikah dan tinggal cukup jauh dari sini, dan yang kedua baru akan wisuda Agustus depan,” celoteh
Anes. Sedari tadi memang yang mendominasi percakapan adalah Anes, dan Sila hanya menjawab
jika ditanya. Sila cukup terkejut ternyata Anes sangat ceria dan suka berbicara. Berbeda sekali
dengan Anes yang ia lihat di sekolah.
“Tapi, sebenarnya aku ini anak yang cukup pemalu,” jelasnya.
Sila tertawa. “Aku tidak percaya!” balas Sila masih tertawa.
“Tapi benar lho. Aku ini anaknya sangat pemalu,” balasnya lagi. Ia pura-pura kesal karena Sila
tidak mempercayai perkataannya.
Mereka berbincang cukup lama mulai dari berbagai makanan enak yang ada di kota ini sampai
mitos-mitos tentang kota ini. Walau dulu Sila pernah tinggal di kota ini, hanya sedikit hal yang ia tahu
dari percakapan mereka. Selebihnya Anes menjelaskan padanya dengan semangat ‘anak pemalu’
yang menggebu-gebu.
“Ah, sepertinya bajumu sudah agak kering,” ucap Anes. Sila melirik jam tangannya. Sudah
mendekati pukul lima sore. Dia sudah satu jam lebih di sini rupanya.
Anes berdiri untuk mengambil seragam Sila, dan diikuti Sila dari belakang.
“Wah, kau benar-benar tinggi ya saat kita berdiri berdekatan begini,” ucap Anes saat ia
mengambil seragam yang sedang dijemur. Sila kini sudah berdiri tepat di sampingnya. “Hei, hei.
Memang berapa tinggimu?”
23
“Terakhir kali aku mengukur... Seratus enam puluh enam, sepertinya. Mungkin,” ucap Sila
tidak yakin. Kapan terakhir kali dia mengukur tinggi badan? Itu pasti saat terakhir kali pemeriksaan
kesehatan saat ia masih SMP.
“Selisih sepuluh senti denganku! Kau benar-benar tinggi, dan aku benar-benar pendek,” ucap
Anes lemas.
“Hei, kau masih bisa tumbuh, Anes. Jangan sedih begitu,” balas Sila sambil menepuk
pundaknya. “Lagipula menjadi tinggi tidak semenyenangkan itu,” tambahnya.
“Hei, kau sudah putuskan mau ikut apa di sekolah?” ujar Anes bersemangat. Pemulihannya
cepat sekali. Baru beberapa detik lalu dia lemas karena tinggi badannya, kini ia sudah bersemangat
dengan topik kegiatan SMA.
“Hmm...,” gumam Sila. Saat di SMP dulu, ia tidak mengikuti kegiatan apa pun. Hanya
membantu teman-temannya yang sibuk berkegiatan. Ia...
Sudah tidak tertarik lagi mengikuti basket. Karena basket mengingatkannya pada kakaknya.
Karena basket mengingatkannya pada hari itu.
Anes menunggu jawaban dari Sila yang tak kunjung memberi jawaban. Anes menghela nafas
panjang, lalu menusuk pinggang Sila dengan jari telunjuknya. Sila berteriak geli, lalu melihat wajah
Anes yang sedang pura-pura kesal.
“Maaf, maaf. Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu,” ucap Sila memohon maaf. “Bagaimana
denganmu, Anes?” tanya Sila.
“Kau belum menjawab pertanyaanku!” ucap Anes kesal. Kali ini ia benar-benar kesal. Walau
begitu, ia tetap menjawab pertanyaan Sila. “OSIS. Aku mengikuti OSIS saat di SMP dulu, jadi kupikir
aku akan melanjutkannya di SMA juga.”
“Menyenangkan?” tanya Sila penasaran.
“Iya. Karena aku suka mengorganisir sesuatu, jadi OSIS adalah pilihan yang tepat. Kalau kau
sendiri pasti akan kelihatan keren jika menjadi Pasukan Pengibar Bendera. Kau tinggi, dan cantik.
Oke, yang terakhir itu memang tidak ada hubungannya, tapi kupikir kau cocok di situ,” ujar Anes
bersemangat.
Sila mengangkat alisnya. “Benarkah?”
Anes mengangguk yakin. “Tentu saja. Ramalanku selalu benar!”
Sila melambaikan tangannya ke arah Anes. Anes yang berdiri di depan rumahnya balas
melambaikan tangan. Hari ini ia sudah bertukar nomor HP dengannya.
“Beritahu aku alamatmu. Aku pasti akan mengunjungi rumahmu. Kau bilang kau sendirian,
kan?” ucap Anes saat ia berpamitan pulang.
24
Pada jam ini mungkin masih ada beberapa bus yang masih beroperasi. Benar saja, Sila masih
mendapat satu bus yang bisa dinaiki. Ia pun duduk manis di kursi ketiga dekat jendela. Ia belum
pernah pulang selarut ini, jadi semoga saja jalan dari halte ke rumahnya masih terang.
Sila menempelkan kepalanya di jendela. Kenapa tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang ia
lupakan? Ia mengecek tasnya. Seragam yang baru ia cuci sudah ada di tas, dan semua perlengkapan
sekolah yang ia bawa masih lengkap. Belanjaannya pun lengkap. Lalu mengapa ia merasa sangat
ganjil?
Sila menepuk dahinya. Kini ia telah sadar apa yang telah ia lupakan.
“Es Krim!!” ujarnya sambil menahan teriak. Wajahnya menempel pada kaca bus sambil
melihat arah toko es krim milik Anes yang semakin lama semakin menjauh.
25
Sudah dari kemarin bibi datang ke rumah. Kehidupan Sila menjadi lebih teratur sekarang. Ia
sudah tidak makan makanan instant lagi, walaupun setiap pagi ia masih tetap memakan beberapa
potong roti panggang.
Hari ini hari Sabtu, dan kemarin ia sudah menaruh form pendaftaran Paskibra di ruang
sekretariatnya. Pada akhirnya dia mengikuti saran Anes untuk bergabung dengan Paskibra. Dua hari
lagi kakaknya akan datang. Bibi sangat senang mendengar kepulangan Rezha. Ia bahkan sudah
bersiap memasak banyak makanan. Sudah mulai belanja ini itu.
Waktu yang ia khawatirkan sebentar lagi akan datang tidak terjadi pada pagi hari, begitu
asumsinya. Mungkin saat malam, atau sore nanti. Atau bisa saja saat siang hari? Sila tidak tahu.
Kakaknya tidak menghubunginya selama empat tahun ini. Tidak pernah sekalipun. Bukan karena
kakaknya yang tidak ingin menghubunginya, tapi Sila yang pernah menolak untuk menerima telepon
darinya. Setelah itu, ia bahkan tidak emnerima telefon dari kakaknya lagi. Kakaknya bahkan tidak
menyempatkan untuk pulang selama empat tahun terakhir. Selalu mempunyai alih-alih tugas kuliah,
atau pekerjaan paruh waktunya.
Sila mengunyah rotinya sedikit demi sedikit. Nafsu makannya sedang kurang baik hari ini.
Mungkin sudah mulai bosan dengan rutinitas mengunyah roti panggang dengan selai strawberry
setiap pagi. Walau begitu, ia selalu menolak masakan bibi saat pagi hari karena menurutnya sarapan
adalah rutinitas opsional. Bisa dilakukan, bisa ia lewatkan.
“Berangkat jam berapa, Mba Sila?” ucap Bibi tiba-tiba sambil mencuci sayuran.
Sila melirik jam tangannya. “Astaga, aku terlambat!” teriaknya terkejut saat melihat jarum di
jamnya telah menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Rupanya ia terlalu lama melamun.
Ia lalu cepat-cepat menghabiskan potongan terakhir roti panggangnya, lalu meneguk jusnya
dengan cepat. Setelah berpamitan dengan Bibi, Sila langsung berlari dengan kecepatan penuh.
“Sila berangkat sekolah?” ujar wanita yang sedang menyapu halaman di samping rumahnya
saat Sila berlari melewatinya.
“Eh, iya Tante,” jawab Sila tetap berlari. “Sila berangkat dulu, Tante,” ujar Sila sambil
melambaikan tangan.
“Anak muda jaman sekarang semangat sekali,” gumam wanita itu sambil melihat sosok Sila
yang sedang berlari sebelum ia melanjutkan kembali kegiatan menyapunya.
26
Sila masih berlari saat dirinya selamat sampai di sekolah. Gerbang belum ditutup, tapi saat dia
sampai bel masuk langsung berbunyi.
“Kau terlambat? Hahaha,” ucap seseorang di belakangnya. Sila menoleh. Andika juga sedang
berlari sambil memasang senyum mengejek.
“Kau juga terlambat!” ucap Sila ketus masih sambil berlari. “Sudah, aku masuk dulu,”
tambahnya. Ia langsung masuk ke kelasnya tanpa sempat melihat reaksi Andika.
Kehabisan tenaga, ia langsung duduk di bangkunya lalu meletakkan kepalanya di atas meja.
Tenaga dari roti panggangnya hari ini telah habis seketika. Ia lemas sekali.
“Sila, kau terlihat seperti kain pel yang baru diperas,” ujar Anes yang duduk di sebelahnya.
“Tumben sekali kau nyaris terlambat,” tambahnya.
Sila menengok ke arah sumber suara dengan kepala tetap menempel pada meja. Ia tidak
begitu mengerti apa yang Anes bicarakan. Dengan kondisi penuhnya pun dia masih perlu waktu
untuk mencerna perkataan yang membingungkan semacam perkataan Anes tadi, apalagi dengan
keadaan asupan energi roti panggangnya yang kini telah terkuras habis. Anes sendiri sepertinya
cukup mengerti jika Sila masih tidak punya cukup tenaga untuk membalas perkataannya.
“Lihat, Pak Seno sudah datang,” sikut Anes membangunkan Sila yang masih malas
mengangkat kepalanya. “Bersemangatlah sedikit,” tambah Anes sambil menepuk punggung Sila.
Sila mengangkat kepalanya, dan melihat sesosok guru kurus jangkung telah berdiri di depan
kelas. Mau tak mau dia harus bangun. Ia menoleh ke arah Anes yang sudah siap dengan bukunya.
“Semangat...” balasnya kepada Anes dengan lemas.
Bel pulang sekolah adalah saat-saat paling membahagiakan. Entah benar atau tidak, hampir
semua siswa sekolah bersekolah untuk mendengarkan bel pulang sekolah. Walaupun salah, tapi
tidak bisa dipungkiri jika bel pulang sekolah itu memang saat-saat yang sangat membahagiakan.
Sila berjalan senang bersama Anes. Tenaganya sudah pulih sedari tadi karena saat jam
istirahat, ia langsung menyeret Anes untuk menemaninya ke kantin.
“Sila!” teriak seseorang dari belakangnya. Sila menoleh. Ia melihat Andika yang sedang berlari
mengejarnya. Hanya perasaannya atau bukan, tapi entah kenapa adegan ini terlihat familiar?
“Sila, bisa kau tolong aku?” ucap Andika buru-buru.
Sila mengernyit, hendak menolak. Tapi Andika buru-buru menyeret Sila ke tempat yang lebih
sepi. Sila sendiri ketika diseret justru memegang tangan Anes, sehingga Anes pun ikut terseret. Anes
yang tidak tahu apa-apa memberi kode ke Sila, menanyakan siapa laki-laki yang baru datang itu. Sila
membalas kodenya dengan kode lain yang menjelaskan jika Andika itu temannya. Anes menaikkan
27
alisnya sedikit lalu mengirimkan kode lain, memastikan apakah Andika bukan pacarnya. Sila
membelalakkan matanya, lalu mencubit lengan Anes. Cukup untuk diartikan sebagai jawaban ‘Tentu
saja bukan!’.
“Bisa tolong ambilkan baju olahragaku di rumah? Tolong,” ucap Andika memohon-mohon.
“Eh? Untuk apa memang?” balas Sila terkejut. Ia melirik ke arah Anes meminta petunjuk.
“Basket kah?” tanya Anes kepada Andika. “Ku dengar mereka mengumpulkan para anggota
barunya hari ini.”
“Eh?! Cepat sekali. Padahal batas maksimal pendaftaran kan baru hari ini,” seru Sila terkejut
untuk kedua kalinya.
“Iya, kumohon Sila. Tolong ambilkan. Kau tahu kan aku terlambat hari ini. Aku jadi lupa
membawa baju olahragaku,” ujar Andika sambil memberi jeda pada kalimatnya. “Sebentar lagi kami
akan dikumpulkan, dan aku juga tidak mungkin terlambat. Kau mau membantuku, kan?”
Sila mengernyit. Ia melirik ke arah Anes. Anes memberi kode untuk menerima
permohonannya, namun Sila memberi kode balik kalau ia tidak bisa menolongnya karena ia datang
ke sekolah menggunakan angkutan umum. Akan sangat lama dan tidak praktis jika menggunakan
angkutan umum hanya untuk mengantar sebuah baju olahraga. Anes mengangguk, lalu memberi
kode untuk meminta pendapat lagi pada Andika. Sila mengangguk.
“Tapi, aku ke sekolah dengan bus, tahu. Tidak praktis jika aku harus mengantarkan baju
olahragamu dengan...”
Belum sempat Sila menyelesaikan kalimatnya, Andika pun menyodorkan sebuah kunci motor
ke arahnya. Sila mengernyit. Jadi, Andika membawa motor ke sekolah dan ia masih terlambat walau
dengan motor? Kali ini Sila gantian menghela nafas.
“Pakailah motorku. Ah, mereka sudah mulai berkumpul!” ucap Andika selanjutnya sambil
melihat lapangan. “Motorku paling dekat gerbang. Hitam. Terimakasih!” tambahnya smabil berlari
menuju lapangan. Sila yang tertinggal hanya bisa mematung sambil memperhatikan sosok Andika
yang berlari semakin jauh.
Anes menyikutnya dari samping. “Bukankah bagus? Ia meminjamkanmu motor. Ayo, aku
temani sampai tempat parkir.”
Sila mengangguk, lalu disambut dengan gandengan tangan Anes yang mengajaknya berjalan
ke arah tempat parkir.
Pada akhirnya, di tempat parkir Sila hanya bisa bengong lalu merutuki Andika habis-habisan.
Dia sudah menemukan sebuah motor hitam di dekat gerbang, bahkan sudah mencocokkan lubang
kuncinya dengan kunci yang dibawanya. Cocok.
28
“Apa-apaan Andika menyuruhku pergi menaiki motor ini!” teriaknya. Anes yang berada di
belakangnya sudah menahan tawanya sekuat mungkin. Terang saja, motor milik Andika adalah
motor besar yang biasa dipakai oleh anak laki-laki. Seorang wanita dengan seukuran Sila mungkin
bisa menaikinya, namun akan berbeda ceritanya jika wanita itu sedang menggunakan seragam
sekolah sementara wanita bersekolah menggunakan rok.
“Sudah, sudah. Kau bisa memakai motorku. Rumahku kan dekat,” ucap Anes masih sambil
menahan tawanya.
“Andika, kau akan membayar semua ini!” ucap Sila marah.
Beberapa menit kemudian, Sila sudah sampai lagi di sekolah. Baju olahraga Andika sudah ada
di tasnya. Sila sempat khawatir dia sudah lupa jalan ke rumah Andika kemudian tersesat, namun
agaknya kali ini ingatannya masih bisa diandalkan.
Oke, dia bohong. Ia sempat berputar-putar mengitari satu kompleks untuk menemukan jalan
yang benar. Bangunan di sekitar situ sudah banyak yang berubah, sehingga ingatannya pun tidak
bisa dipakai lagi. Setelah satu jam berkeliling dan bertanya kepada beberapa orang yang sedang
berjalan di sekitar situ, akhirnya Sila pun bisa menemukan rumah Andika. Namun lagi-lagi, hal yang
sama terjadi saat dia akan kembali ke sekolah.
Kali ini jaraknya hanya tinggal beberapa langkah dari lapangan. Ini sudah jauh dari jam pulang
sekolah, tapi sekitar lapangan masih terlihat ramai terutama pada bagian bangku yang berada di
sekitarnya.
Sila kini sudah berada di depan lapangan. Ia dapat melihat jelas beberapa siswa berseragam
olahraga sedang melakukan tes. Tes, sepertinya. Hal itu terlihat karena ada seorang siswa yang Sila
asumsikan sebagai kakak kelas yang tengah memegang sebuah clipboard dengan kertas di atasnya.
Asumsikan saja sebagai kertas penilaian. Lalu siswa pemegang clipboard itu pun memanggil nama-
nama para anak baru, dan nama yang terpanggil pun langsung maju dan melakukan one on one
dengan salah satu kakak kelas. Tidak salah lagi. Ini adalah tes.
“Hei.” Tiba-tiba Sila mendengar suara di belakangnya. Seorang laki-laki berseragam olahraga
dengan tubuh tegap dan tinggi melihatnya dengan pandangan datar. “Kau akan terkena bola jika kau
berdiri terlalu dekat,” tambah lelaki itu.
Sila baru sadar jika ia berdiri terlalu dekat dengan lapangan. Ia beringsut mundur. Lelaki itu
masih berdiri di tempat yang sama. Lelaki itu terlihat tengah memperhatikan permainan para anak
baru, tapi saat Sila memperhatikan arah mata lelaki itu, matanya tidak ikut bergerak mengikuti arah
bola pergi. Sebuah pemandangan yang aneh. Seharusnya saat melihat sebuah permainan bola,
29
pandangan penonton pasti selalu tertuju pada kemana arah bola pergi, bukan? Sedangkan yang
sedang dilihat Sila adalah seorang lelaki yang sedang memikirkan sesuatu yang lain.
“Maaf,” ucap Sila memulai percakapan. Di luar dugaan Sila, lelaki itu langsung menoleh ke
arahnya. Ia kira ia harus berulang kali menyapa terlebih dahulu karena lelaki ini terlihat sedang
memikirkan sesuatu yang lain. “Boleh saya tahu dimana Andika berada? Saya ingin memberikan
seragam olahraganya,” tambahnya sambil mengeluarkan seragam olahraga dari tasnya.
“Andika?” ujar lelaki itu sambil mengernyitkan dahi. Sepertinya ia tidak mengenal nama itu.
Besar kemungkinan dia adalah kakak kelas. “Oh, yang tidak membawa baju olahraga ya?”
Sila mengangguk. Lelaki itu pun menunjuk ke tepi lapangan. Sila menoleh ke arah yang
ditunjukkan lelaki itu. Andika sedang berlari mengelilingi lapangan sendirian, masih dengan seragam
sekolahnya.
“Dia... dihukum?” tanya Sila sambil memperhatikan Andika yang tengah berlari. Berlari dengan
seragam seperti itu pasti rasanya sangat tidak nyaman.
“Tidak,” ucap lelaki itu singkat. Kini pandangan lelaki itu mengarah pada Andika yang sedang
berlari. “Dia tidak dihukum. Dia hanya diberi latihan tambahan karena melupakan seragam
olahraganya,” tambahnya.
Sila tertawa pelan. Memang apa bedanya kedua hal barusan?
Lelaki itu jelas melihat Sila tertawa, namun ia diam saja. “Siapa tadi namanya? Andika?” tanya
lelaki itu meminta kepastian. Sila mengangguk.
“Hei, Andika!” teriak lelaki itu tiba-tiba. Andika yang tengah berlari pun berhenti. Ia melihat ke
arah lelaki yang baru saja memanggilnya. Wajahnya nampak kaget, namun langsung kembali seperti
semula saat matanya mengarah ke arah Sila yang berdiri di samping lelaki itu. Andika langsung
berlari lagi, kini ke arah lelaki yang baru memanggilnya.
“Ada apa, kapten?” kata Andika saat sampai di hadapan lelaki itu. Sila bergumam dalam hati.
Jadi, lelaki yang sedari tadi di sampingnya adalah kapten tim basket ini.
Lelaki itu memberi kode dengan menggoyangkan kepalanya ke arah dimana Sila berada. Sila
yang melihat gerakan lelaki barusan langsung menyodorkan seragam olahraga yang sedang ia
pegang ke arah Andika. Ia lalu mengambil seragam olahraga yang disodorkan Sila.
“Terimakasih. Kau penolongku!” ucap Andika pelan dan cepat sambil tersenyum, secepat ia
berlari ke bagian ruang ganti.
Itu bukan ‘Senyum Menjijikkan’-nya seperti biasa. Itu adalah senyum... yang entah kenapa
membuat sensasi aneh di dadanya sekarang.
30
“Kau menunggunya pulang?” ucap lelaki itu tiba-tiba. Sila terkejut. Dia baru menyadari kalau
dia masih berdiri di tempat yang sama, dan dengan lelaki yang sama di sampingnya.
“T-tidak,” ujar Sila buru-buru sambil beringsut mundur hendak pulang.
“Kenapa pergi? Kami selesai sebentar lagi. Kau tidak ingin melihatnya bermain?” ujar lelaki itu.
Andika pun muncul di lapangan, dan langsung dipanggil saat ia kembali dari ruang ganti.
Sepertinya hanya tinggal dia yang belum menjalani proses pengetesan. Sila menahan diri dari
keinginannya untuk pulang. Menonton sebentar mungkin tidak apa-apa.
“Hmm... Dia bagus juga,” ujar lelaki itu sambil memperhatikan permainan Andika.
Sila diam saja dan memandangi permainan Andika. Tiga tahun berlalu, dan permainan Andika
semakin bagus. Ditambah lagi karena tingginya yang bertambah pesat tiga tahun terakhir membuat
tembakannya semakin akurat.
“Kau pacarnya?” tanya lelaki itu tiba-tiba.
Sila kaget luar biasa. Kenapa semua orang mengira ia dan Andika berpacaran? Mereka bahkan
tidak pernah saling menggoda. Berjalan berdua pun jarang. Lalu darimana semua orang mendapat
ide bahwa dia dan Andika berpacaran?
“Bukan. Kami hanya teman biasa,” jawab Sila datar.
Lelaki itu mengernyit sedikit tidak percaya, lalu tiba-tiba ia tersenyum. “Oh, baguslah.”
“Eh?” seru Sila kaget mendengar perkataan lelaki itu. Apanya yang bagus?
“Oh, sepertinya aku sudah pernah melihatmu di suatu tempat,” ucap lelaki itu buru-buru
menambah perkataannya. “Hari pertama masa orientasi, di lorong, kau berteriak...,” ucapnya sambil
mengingat-ingat.
Tidak salah lagi itu kejadian saat Sila berteriak di lorong saat ia bersama Andika. Sudah
beberapa hari setelah kejadian itu, dan masih ada orang yang mengingatnya. Sila menundukkan
wajahnya yang berubah memerah.
Ah, ini benar-benar memalukan.
Tiba-tiba peluit berbunyi. Latihan hari itu sudah selesai, dan lelaki yang berada di sampingnya
pun beranjak dari tempat ia berdiri.
“Hei, siapa namamu?” tanya lelaki itu selangkah setelah dia pergi sambil menoleh ke arah Sila.
Sila mengangkat kepalanya dan menatap lelaki itu. “Sila,” jawab Sila singkat.
Lelaki itu tersenyum padanya, tapi kenapa?
“Sila? Nama yang bagus,” ucapnya sambil membalikkan badan, berjalan menuju barisan anak
baru yang kini telah membentuk barisan yang rapi.
31
Sila bergumam di dalam hatinya. Sepertinya menyebut sesuatu dengan kata ‘bagus’ memang
hobi lelaki itu. Sila kini benar-benar pergi. Ia harus mengembalikan motor Anes, dan hari ini
kakaknya...
“Ah, kunci!” seru Sila setengah berteriak saat ia merogoh saku celananya yang berisi dua
kunci. Satu milik Anes, dan satunya tentu saja milik Andika. Ia kini harus menunggu Andika
menyelesaikan urusannya di lapangan sana.
“Aku jadi benar-benar menunggunya...,” keluh Sila sambil duduk di salah satu bangku yang
berada di sekitar lapangan itu.
“Kau benar-benar harus membayar ini semua, Andika!” tambahnya lagi sambil berteriak. Kini
di dalam hati.
Matahari kini telah condong ke arah barat. Jam tangannya menunjukkan pukul 5 sore. Ia tak
percaya jika ia telah berkorban banyak waktunya untuk Andika. Kini jemarinya tengah memainkan
handphone. Karena bosan, ia kini sibuk bertukar pesan dengan Anes.
“Hoi!” seru seseorang yang sudah ia tahu siapa orangnya. Sila mengalihkan pandangannya
yang sedari tadi melihat layar handphone. Andika kini telah mengenakan kembali seragam
sekolahnya. Rambutnya sedikit basah karena keringat, begitu pula seragamnya yang sempat ia pakai
untuk ebrlai-lari tadi. “Kau menungguku?” tanyanya lugas.
Sila mendengus kesal, lalu memasukkan handphone-nya ke dalam sakunya. “Kau pikir aku
akan meninggalkanmu sambil membawa ini?” ujar Sila sambil mengangkat kunci motor milik Andika.
“Ha! Aku baru ingat. Bagaimana cara kau menaiki motorku?” ucapnya ingin tahu sambil
menyambar kunci yang sedang Sila pegang. Sila melepaskannya begitu saja, dan kini ia melipat
tangannya di depan dadanya.
“Dasar bodoh! Mana mungkin aku bisa menaiki motormu yang seperti itu?” ujar Sila kesal.
“Lalu bagaimana caranya kau bisa mengambil seragam olahragaku?” tanyanya sembari duduk
di samping Sila. “Jangan bilang kau menaiki bus! Pantas saja kau lama sekali tadi.”
“Bodoh! Mana mungkin aku mau bersusah menaiki bus untuk mengantar seragam
olahragamu? Aku meminjam motor Anes. Ia tinggal di dekat sekolah,” balas Sila semakin kesal.
“Anes?” ucapnya kebingungan. “Ah, temanmu siang tadi. Jadi, namanya Anes?”
Sila diam saja. Keadaan pun menjadi hening sesaat. Suara angin yang berulang kali
menerbangkan daun-daun pohon pun sampai tak terdengar.
“Kau kesal ya?” tanya Andika memecah keheningan. Pandangannya mengarah ke lantai.
“Maaf. Aku tidak ingat kalau motorku seperti itu, dan malah memintamu untuk memakainya. Maaf.”
32
Sila melirik ke arah Andika. Agaknya Andika sudah menyesal. Sila tidak memiliki alasan untuk
kesal kepada seseorang yang sudah mengetahui kesalahannya. Tapi, rasanya terlalu mudah jika
harus memaafkan Andika begitu saja.
“Tapi, ada satu syarat,” sahut Sila. Ia baru saja menemukan jalan keluar yang menyenangkan
untuk situasi seperti ini. “Besok, ajak aku ke toko es krim di dekat sekolah. Jam sepuluh. Ku tunggu
langsung di tempatnya. Kau harus membelikanku es krim. Yang besar!” tambahnya sambil
tersenyum.
“Eh?!” ucap Andika terkejut.
“Kau mau tidak?” balas Sila memasang wajah kesal lagi.
“Ah, baiklah. Besok jam sepuluh,” ucap Andika menyerah.
“Nah, sudah diputuskan!” balas Sila senang sambil berdiri bersiap pulang.
“Ngomong-ngomong, apa yang barusan kau bicarakan dengan Kak Davin?” tanya Andika
penasaran. “Kulihat kau cukup lama berbicara dengannya tadi sepanjang latihan. Apa yang kalian
bicarakan?”
Sila mengangkat alisnya, lalu beberapa saat kemudian ia menjentikkan jarinya. “Oh, kaptenmu
itu? Bukan sebuah pembicaraan penting. Kau tak tahu pun tak masalah.”
“Aneh sekali...,” ucap Andika sambil berfikir. “Padahal sebelum latihan ia punya aura
intimidasi yang sangat kuat, lalu tiba-tiba saat latihan berakhir aura itu pun hilang. Ia malah terlihat
sedikit senang. Jadi, kupikir itu pasti berhubungan denganmu.”
“Ah, yang benar? Kami padahal tidak membicarakan apapun,” balasnya sambil mengingat-
ingat. “Ah, aku menyerah. Aku tidak tahu. Aku pulang dulu ya!” tambahnya sambil beranjak pergi
meninggalkan Andika yang masih duduk di posisinya tadi.
“Hei, kau tidak ingin aku antar?” teriak Andika. “Sudah sore, kau tahu.”
“Iya aku tahu,” balas Sila sambil tetap berjalan. “Tapi, aku tidak ingin diantar oleh seseorang
yang bau keringat. Lagipula aku harus mengantar motor Anes terlebih dahulu. Daah!”
Sila mengeluarkan kembali handphone-nya dan menandai hari Minggu pada pukul 10 dengan
agenda berjudul ‘Es Krim <3’. Ia terus berjalan dengan kesenangannya yang terukir di wajahnya. Es
krim gratis adalah hal yang paling menyenangkan baginya, dan dia akan mendapatkannya besok.
Andika memasang wajah kesal. Mana ada orang yang tidak bau keringat setelah berolahraga?
Tapi kali ini dia diam saja. Ia hanya bisa melihat sosok Sila yang semakin lama semakim menjauh
darinya.
33
Sila kini telah duduk di sebuah meja yang berada di dekat jendela. Hari ini ia mengenakan kaos
berwarna putih dipadu dengan celana jeans hitam tiga perempat. Ia melirik jam tangan di
pergelangan tangan kirinya. Rupanya ia terlalu awal 15 menit. Mau bagaimana lagi? Sila sudah
terlanjur bahagia dengan bayangan akan ditraktir es krim, dan ia pun sudah bersiap untuk membeli
es krim yang paling mahal.
“Kenapa kau tersenyum seperti itu?” ucap Anes tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari dalam
rumahnya setelah mendapat pesan dari Sila jika ia sedang di tokonya.
“Ada yang salah dengan senyumku?” balas Sila berkilah, tetap tidak menghilangkan
senyumnya. Baginya tersenyum seperti ini normal dilakukan untuk seseorang yang sedang bahagia.
“Kau ada apa datang saat hari libur seperti ini?” tanya Anes balik. Kini ia duduk di kursi depan
kursi Sila. “Jangan-jangan... kencan? Dengan siapa?” tambah Anes sambil memasang tampang
terkejut.
“Tidak mungkin,” jawab Sila sambil menurunkan senyumnya. “Kalau ini kencan, lalu untuk apa
kau kupanggil ke sini?” tambah Sila dengan mengangkat jari telunjuknya, menunjuk ke arah Anes.
“Oh, jadi kau kencan dengan dia,” ucap Anes tiba-tiba sambil melihat ke arah pintu masuk. Ia
agaknya baru mengabaikan perkataan Sila barusan.
Sila memasang tampang kesal karena baru saja di abaikan, tapi ia juga ikut-ikut melihat ke
arah pintu masuk. Dia yang dimaksud Anes adalah Andika. Lelaki itu tengah mencari-cari sesuatu.
Hari ini ia memakai kemeja dipadu dengan jaket hitam dan celana jeans longgar. Mata Andika dan
Sila pun bertemu, lalu tidak sampai sau detik Andika sudah berjalan menuju ke meja Sila.
“Maaf aku terlambat,” kata Andika kepada Sila. Ia lalu melihat ke arah Anes yang kini tengah
memandanginya.
34
Anes terkesiap, lalu buru-buru beranjak dari tempat duduknya. “Maaf, mengganggu kalian.
Aku akan segera pergi,” ucapnya buru-buru, namun tertahan oleh gerakan cepat tangan Sila yang
memegang erat pergelangan tangannya.
“Tidak. Kau tetap di sini,” ucap Sila cepat tanpa melepaskan tangannya di pergelangan tangan
Anes.
“Iya. Tak masalah jika kau tetap di sini, Anes,” ucap Andika sambil mengeluarkan senyum yang
diartikan Sila sebagai ‘Senyum Menjijikkan’. Pada saat bersamaan, ia kemudian duduk di kursi yang
berada di samping Sila.
Anes memasang tampang heran sekarang melihat pasangan di depannya ini. Walau begitu, ia
tetap kembali duduk di kursinya walau dengan perasaan ragu-ragu. Agaknya ia sedikit tertarik
dengan apa yang akan terjadi setelah ini.
“Oh, baiklah. Tapi darimana kau tahu namaku?” tanyanya setelah ia memasang posisi duduk
paling nyaman. Tangannya kali ini ia biarkan menyangga dagu sebelah kanannya.
“Dari dia,” jawab Andika sambil menunjuk ke arah Sila. “Oh, terimakasih atas bantuanmu
kemarin,” tambah Andika seketika teringat kalau Sila kemarin menggunakan motor Anes untuk
mengambil seragam olahraganya.
“Oh, iya. Sama-sama,” jawab Anes masih canggung.
“Ngomong-ngomong, kau tidak terlambat,” ucap Sila tiba-tiba. Ia kini sedang melihat jam
tangan di pergelangan tangan kirinya. Masih lima menit sebelum jam sepuluh.
“Benar juga,” balas Andika sambil melihat jam tangan miliknya sendiri. “Jadi, kesimpulannya
kau yang datang terlalu awal. Astaga jika kau punya waktu seluang itu, berpakaianlah sedikit manis.
Pakaianmu bahkan tak ada bedanya dengan pakaianmu di rumah. Kau kan sedang bertemu dengan
seorang. Buatlah kesan baik,” tambahnya sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepala
dan melihat langit-langit toko.
“Benar juga apa katamu,” ucap Sila sambil termangut-mangut. “Tapi, beda cerita kalau
seseorang yang ingin aku temui adalah kau. Kalau kau yang ingin aku temui, aku tidak akan repot-
repot memilih baju. We!” tambahnya lagi sambil menjulurkan lidahnya ke arah Andika.
“Sudah, sudah. Kenapa kalian tidak mulai memesan saja?” ucap Anes menengahi sambil
tertawa pelan. Ia lalu menyodorkan daftar menu yang baru ia ambil dari meja kasir saat keduanya
sedang berbicara.
Sila langsung menyambar daftar menu yang disodorkan Anes, lalu membacanya dengan
senyum lebar terukir di wajahnya. Anes bergumam, anak ini pasti sangat menyukai es krim. Ia
mudah sekali di tebak.
35
“Aku pesan yang ini!” ucap Sila sambil menunjuk sebuah menu. Andika melirik ke arah menu
yang baru ditunjuk Sila.
“Mahal. Jahat sekali kau,” ucap Andika tertegun saat melihat harganya. “Kau ingin bikin aku
bangkrut ya?”
“Kau sendiri kemarin yang menyanggupi kalau kau akan membelikanku es krim yang besar.
Kau tidak ingat?” balas Sila sambil memanyunkan bibirnya. Kedua tangannya ia letakkan di samping
pinggangnya, berusaha terlihat kesal.
“Ah, ya sudah. Pesanlah sesukamu,” jawab Andika menyerah sambil menggoyangkan
tangannya ke arah Sila dengan malas.
“Hahaha, terimakasih!” Sila kembali tersenyum lebar, lalu ia menuliskan menu yang ingin ia
pesan ke dalam daftar pesanan. “Kau pesan apa, Anes?” tambahnya bertanya pada Anes.
Anes mengernyit. Daripada menanyainya ia ingin pesan apa, bukankah lebih baik bertanya
kepada Andika ia akan pesan apa?
“Tidak usah. Aku sudah kenyang es krim,” jawab Anes asal. Kata ‘kenyang es krim’ agaknya
kurang tepat, tapi apa boleh buat Anes hanya asal menjawab karena khawatir kepada Andika yang
sedang lemas. Mungkin ia lemas karena harga es krim Sila, tapi tetap saja melihatnya seperti itu
tetap mengkhawatirkan. Sila mengangguk, kemudian baru menanyai Andika.
Anes terkekeh pelan melihatnya. Mungkin terlalu awal baginya untuk melihat kedua orang di
depannya sebagai pasangan.
“Jadi kau adalah anak dari pemilik toko ini?” ucap Andika terkejut. Es krim di mangkuknya
sudah lama habis. Anes membalasnya dengan cengiran dan anggukan.
“Aku juga baru tahu kalau kalian adalah teman dari kecil. Sila selalu bilang jika kalian hanya
teman, dan melupakan kata-kata ‘dari kecil’ di belakangnya,” balas Anes.
“Habis merepotkan jika aku menambah kata-kata itu,” balas Sila sambil memakan es krimnya.
Es krimnya belum kunjung habis. Terang saja ukurannya bahkan lebih besar dari yang dipesan
Andika. “Yang ada nanti aku disuruh menjelaskan kata-kata ‘dari kecil’ itu.”
Andika menggeleng mendengar hal itu, dan Anes hanya bisa tertawa.
“Jadi, Sila. Sudah seberapa lama kau mengenal Andika?” ucap Anes memulai percakapan
dengan Sila.
“Ah, sejak kapan ya? Kalau diingat-ingat sudah sangat lama,” jawab Sila sambil mengingat-
ingat sekaligus melahap es krim di mangkuknya pelan-pelan. “Ah, es krim ini enak sekali!”
“Jadi, sudah seberapa lama?” ulang Anes penasaran.
“Sudah sejak saat dia masih memakai celananya dengan miring,” jawab Sila datar.
36
“Eh? Benarkan dulu Andika pernah seperti itu?” ucap Anes kaget. Sulit membayangkan Andika
yang sekarang memakai pakaian rapi menjadi Andika dengan celana miring.
“Haha, kau tak menyangkanya bukan?” ucap Sila tertawa. Kini mangkuk es krimnya sudah
habis, dan menyisakan sebuah strawberry di dalamnya.
Sebuah tangan mengambil strawberry itu. Sila menoleh karena sadar bahwa strawberry-nya
baru dicuri. Tangan yang mengambil strawberry itu adalah tangan Andika, dan kini strawberry itu
sudah mendarat mulus di dalam mulut Andika. Terlihat dari mulutnya yang kini tengah mengunyah
sesuatu.
“Strawberry-ku!!” teriak Sila pelan.
“Setidaknya kalian berdua jangan lupakan kalau aku juga ada di sini. Aku bisa mendengar
obrolan kalian berdua dengan jelas. Dan kau Sila, kau jangan cerita yang aneh-aneh. Kau dulu juga
sering memakai lipstik ibumu sampai pipi,” balas Andika setelah menelan habis strawberry yang baru
ia kunyah.
“Kau bahkan tidak menyangkal kenyataan kalau kau pernah memakai celana miring,” balas
Sila kesal.
“Kau juga tidak menyangkal kalau kau pernah memakai lipstik ibumu sampai di pipi,” balas
Andika lebih keras.
“Ah...”
“Hmm...”
Sila masih ingin membalas perkataan Andika lagi, tapi ia bingung apa yang ingin ia katakan
lagi. Andika sendiri cukup tenang menghadapi perdebatan dengan Sila. Suasana pun menjadi hening.
“Lalu, kenapa kalian tidak berangkat bersama-sama? Bukankah kalian teman dari kecil?
Rumah kalian pasti berdekatan,” tanya Anes memecah keheningan.
“Kami memang teman dari kecil, tapi rumah kami tidak sedekat itu,” jawab Andika. “Searah
mungkin iya,” tambahnya lagi.
“Lalu, kenapa kalian bisa berangkat sendiri-sendiri ke sini?” taya Anes mengulang pertanyaan
karena merasa pertanyaannya belum terjawab.
“Tentu saja karena hal itu memalukan.”
Kali ini Sila ganti menjawab. Tangan kanannya kini meletakkan sendok yang sedari tadi
dipegangnya, dan sekarang ia gunakan untuk menyangga dagunya. Telapak tangannya terlihat
menutupi mulutnya.
“Ha?” ucap Anes terkejut. Ia tidak menyangka jawaban seperti itu yang akan keluar dari mulut
Sila. “Kenapa bisa begitu?” tanyanya lagi.
37
“T-tentu saja karena banyak orang yang mengira kami adalah pasangan hanya karena kami
terlihat akrab. Bahkan kau juga mengira seperti itu, kan? Padahal kami hanya teman.” jawab Sila. Kali
ini tangan kanannya sudah kembali memegang sendok untuk dimainkan di atas mangkuk.
“Aku tidak peduli dengan perkataan orang lain,” ucap Andika tenang. Sila memandangnya
sebal.
“Ngomong-ngomong, orang ini juga mengira kita pasangan! Kemarin dia mengirim beberapa
pesan padaku dan pada akhirnya menanyakan apakah aku dan kau itu pasangan atau bukan,” ucap
Sila sambil mengeluarkan handphone-nya, lalu menunjukkan sebuah pesan dari seseorang tak
bernama kepada Andika.
“Siapa dia?” tanya Andika saat melihat pesan itu.
“Tidak tahu. Ku rasa seseorang dari kelas 10-6,” jawab Sila seadanya. Anes dan Andika pun
langsung mengernyit mendengar perkataannya.
“Darimana dia bisa tahu nomormu, padahal kau tak mengenalnya?” tanya Anes.
Sila mengingat-ingat. “Ah, saat naik bus. Dia sering satu bus denganku. Suatu saat dia
meminjam handphone-ku karena handphone-nya sedang mati.”
“Dan kau meminjamkannya? Lalu saat dia mengirim pesan ke nomormu, kau membalasnya?”
tanya Anes lagi.
“Iya. Kupikir tidak masalah jika aku membalasnya. Toh, dia satu sekolah dengan kita,” jawab
Sila dengan datar.
“Sini, aku pinjam handphone-mu,” ucap Andika tiba-tiba sambil meminta handphone milik Sila.
Sila memberikannya, lalu tangan Andika langsung memencet beberapa tombol handphone itu.
“Ini, aku sudah mem-block nomornya,” ucap Andika cepat sambil menyerahkan handphone
milik Sila. “Mulai besok, kau berangkat denganku. Jangan terlambat.”
Sila menerima handphone itu dengan wajah bengong. Ia sedang mencerna kalimat Andika
barusan. Takut-takut ia salah paham karena sekarang jantungnya terasa berdegup lebih kencang.
Beberapa detik kemudian dia memasang wajah terkejut.
“A-apa? Tidak mau.”
“Kalau begitu, besok aku akan menunggumu di halte. Kita akan berangkat dengan bus,” balas
Andika.
“Bukankah sudah ku bilang kalau hal itu memalukan? Kenapa kau tidak juga mengerti?” teriak
Sila pelan. Kini wajahnya sudah tidak memasang tampang terkejut, tapi memelas.
“Apakah aku sedang melihat sebuah drama rumah tangga?” ucap Anes tiba-tiba.
“Rumah tangga siapa dengan siapa? Orang ini?” balas Sila yang langsung berdiri karena
terkejut sambil menunjuk Andika.
38
Andika yang tengah melipat tangannya di depan dada memilih untuk diam saja. Anes
menempatkan telunjuknya di depan bibir sambil memegang tangan Sila.
“Sst, Sila. Pelankan suaramu. Kau mengganggu pelanggan lain,” ucap Anes pelan.
Sila yang terkejut dengan perkataan Anes barusan langsung melihat ke sekelilingnya. Hampir
semua mata tertuju ke mejanya. Sila menelan ludahnya, lalu cepat-cepat duduk manis di kursinya.
Wajahnya ia tekuk dalam-dalam. Dadanya berdebar kencang sekali.
“Sepertinya kau hobi sekali ya mencari perhatian orang,” ucap Andika sambil melihat ke arah
jendela di sampingnya.
Pukul tiga sore. Sila sudah tiba di depan rumahnya. Ia pulang dengan bus tentunya, setelah
habis-habisan menolak membonceng Andika. Sudah cukup dengan semua kesalahpahaman yang
ada. Toh pada kenyataannya, mereka hanya teman. Hanya teman dari kecil. Itu saja.
Ia baru sadar ada mobil yang terparkir di garasi rumahnya. Mobil itu terlihat baru. Masih
mengkilap, dan plat nomornya pun masih baru. Ia tidak tahu mobil itu milik siapa. Apakah mungkin
milik ayahnya? Setelah diingat-ingat, bulan kemarin sepertinya ayahnya berencana membeli mobil
baru. Mungkinkah ini mobil ayahnya? Apakah ibunya juga ikut datang bersama ayahnya?
Sila membuka pintu rumahnya pelan. Saat ia akan meletakkan sandalnya di rak, ia
menemukan sebuah sepatu laki-laki berwarna hitam tergeletak di sana. Ini bukan sepatu milik
ayahnya, dan ia tidak menemukan sepatu atau sandal milik ibunya. Mungkin ayahnya membeli
sepatu baru, dan ibunya tidak ikut serta kali ini. Walau begitu, keadaan rumahnya terlalu lengang.
Mungkinkah ayahnya sedang tidur?
“Bibi?” panggil Sila. Seorang wanita lalu keluar dari dapur sambil tergopoh-gopoh. Tangannya
penuh dengan noda tepung yang sudah mengering. “Bibi sedang masak?”
“Iya, mba Sila. Repot sekali. Untuk mas Rezha,” ujar Bibi senang.
Sila mengangkat alisnya. Jangan-jangan kakaknya sudah datang. Jangan-jangan yang mobil
tadi milik kakaknya. Jangan-jangan sepatu yang tergeletak itu milik kakaknya. Sila terdiam
mematung. Ia harus apa sekarang? Ia belum siap bertemu kakaknya.
Sila berjalan pelan menuju kamarnya yang terletak tepat di sebelah kamar Rezha. Ia mengintip
sebentar karena pintu kamar kakaknya sedikit terbuka. Sila melihat sesosok lelaki yang sedang tidur
dengan posisi tertelungkup. Ia mengenakan kemeja berwarna putih, dan celana bahan berwarna
hitam. Bahkan ia masih mengenakan kaos kakinya saat tertidur.
Sila lalu menutup pintu itu dan kembali ke kamarnya. Ia tidak akan keluar dari kamar sampai
makan malam nanti. Setelah makan malam nanti pun ia berniat langsung masuk ke kamarnya. Ia
masih belum siap bertemu kakaknya sekarang ini.
39
Sudah sekitar seminggu semenjak kepulangan kakaknya. Sila dan kakaknya masih belum
berbicara banyak. Bukan. Kenyataannya, bukan mereka yang tidak berbicara banyak, tapi Sila yang
memilih untuk diam di saat kakaknya bercerita. Mereka bertemu hanya pada saat sarapan dan
makan malam, karena kakaknya masih sibuk mengurusi pekerjaannya yang baru. Mobil yang ia bawa
adalah mobil ayahnya yang baru. Ternyata benar dugaannya kalau bulan lalu ayahnya berencana
membeli mobil baru, dan kini mobil itu dipakai oleh kakaknya sendiri.
Pagi ini seperti biasa, Sila keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang makan. Langkahnya
biasa saja, tapi ia merasakan lemas melakukan segalanya seminggu terakhir ini. Di ruang makan,
kakaknya sudah duduk sambil memegang koran. Di tangan kanannya terdapat secangkir kopi yang
isinya tinggal setengah.
“Selamat pagi, ojou-sama1. Tidurmu nyenyak?” sapa kakaknya saat melihat Sila keluar dari
kamar. Sila baru menatap kakaknya saat ia duduk di kursi. Kakaknya balas menatapnya dengan
senyum kasualnya.
“Hm... Baik-baik saja,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan menuju dua tangkup roti
panggang yang sudah dipersiapkan Bibi. Tangannya dengan cepat mengambil roti itu, lalu
memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Kau ada acara sepulang sekolah nanti?” tanya kakaknya lagi, kali ini sambil meminum
kopinya. Gayanya persis dengan gaya ibunya saat menyesap tehnya.
Sila terdiam sesaat. Kemarin siang ia baru dikumpulkan bersama anak-anak Paskibra yang
baru. Latihan rutin mulai ada minggu depan, setiap hari Sabtu setiap minggu dan Minggu untuk dua
minggu sekali. Artinya, minggu ini ia masih belum ada latihan.
“Hm... Tidak tahu,” jawab Sila singkat. Ia pun mengakhiri sarapannya, dan menyisakan satu
tangkup roti panggangnya. Kemudian ia bersiap untuk berangkat sekolah.
40
“Kau yakin tidak ingin diantar ke sekolah?” tanya kakaknya sambil melipat koran yang telah
selesai ia baca. “Aku tidak keberatan untuk...”
“Tidak perlu. Aku sudah ada janji berangkat bersama temanku,” sela Sila yang sedang
memakai sepatunya sebelum kakaknya sempat menyelesaikan kalimatnya.
“Janji? Lagi? Dengan siapa?” tanya kakaknya menyelidik. Sedari kemarin Sila menolak untuk
berangkat bersamanya dengan alasan janji dengan seseorang.
“Andika,” jawab Sila singkat. “Sudah ya, aku berangkat dulu.”
Rezha menatapnya sambil terdiam. Bibi yang dari tadi terlihat sedang mencuci piring pun ikut
menatap sosok Sila yang perlahan-lahan menghilang setelah keluar dari rumah.
“Mas Rezha, mau sampai mas Rezha dan mba Sila seperti ini?” tanya Bibi kepada lelaki yang
masih menatap pintu itu. Rezha tersadar dari lamunannya, lalu tangannya kembali meraih cangkir
kopi dan menyesapnya hingga habis.
“Sampai kapan ya, Bi? Menurut Bibi sampai kapan?” tanya Rezha balik sambil menatap
cangkirnya yang kini telah kosong.
Kini ia tengah berada di jalan menuju halte bus, seperti biasa. Seperti biasa pula, wanita yang
tinggal di samping rumahnya sedang menyapu halaman dan menyapanya. Ia masih tidak menyangka
jika ia harus menggunakan Andika sebagai alasan untuk menghindari kakaknya. Tapi, mau sampai
kapan ia harus terus begini?
Tidak terasa kakinya kini telah menuntunnya sampai ke halte. Matanya kini menangkap
sebuah sosok yang sudah ia temui selama seminggu belakangan ini. Andika. Ia sedang duduk
menunggu sambil membaca buku. Tangan kirinya ia masukkan ke dalam jaket abu-abu yang sedang
dipakainya.
Semenjak ia berangkat sekolah bersama Andika, teman laki-lakinya itu tidak pernah
mengirimnya pesan lagi. Lebih tepatnya, Sila tidak pernah menerima pesan darinya lagi. Tentu saja,
karena nomornya sudah di-block oleh Andika. Ia pun masih sering bertemu dengan lelaki itu di
dalam bus, tapi lelaki itu hanya memandanginya sesekali dari jarak yang cukup jauh. Sila tidak tahu
ini kabar baik atau buruk, karena dengan ini kabar hubungannya dengan Andika sebagai sepasang
kekasih hanya akan semakin menjadi-jadi dan itu membuatnya tidak nyaman.
“Hei!” seru Andika saat Sila duduk di sampingnya. “Kau tidak seperti biasanya. Untuk apa
mukamu ditekuk begitu? Kau habis mengundang perhatian orang lagi?”
Sila memandangi Andika dengan muka masam, lalu ia menghela nafas panjang.
41
“Hei, apa maksudnya itu?” ujar Andika tak mengerti. Gadis di sampingnya in benar-benar
bersikap aneh hari ini. Maksudnya, biasanya Sila akan membalasnya dengan banyak perkataan
sampai mereka bosan berdebat, dan hari ini gadis di sampingnya ini hanya memilih untuk diam.
“Lapar...,” ujar Sila memelas. “Aku hanya makan satu tangkup roti panggang hari ini, kau
tahu?”
Andika mengangkat alisnya, kemudian ia pun ikut menghela nafas. “Lagipula untuk apa kau
sarapan dengan roti? Memang kau orang mana? Sarapan itu harusnya dengan nasi,” balas Andika.
“Kau ini...,” balas Sila namun terpotong oleh suara klakson yang tiba-tiba berbunyi di dekat
halte. Sila menengok ke arah mobil yang baru saja membunyikan klaksonnya.
“Ah...,” ucap Sila terkesiap.
Seseorang dari dalam mobil melambaikan tangan ke arah mereka, dan memberi kode untuk
menaiki mobilnya.
“Kak Rezha?” ujar Andika sambil beranjak dari tempat duduknya lalu pergi ke arah mobil itu. Ia
bahkan tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut sekaligus senang pada saat itu.
“Hei, Andika,” sapa Rezha sambil tersenyum ke arah Andika. “Kau sudah semakin tinggi, tapi
penampilanmu belum banyak berubah.”
Andika hanya tersenyum lebar mendengarnya. Di sisi lain, Sila sedari tadi masih berada di
posisi yang sama. Masih duduk di bangku halte. Ia hanya menatap diam mobil itu. Tubuhnya malas
bergerak, lebih tepatnya menolak untuk bergerak. Mereka berdua masih mengobrol dengan senang,
sama seperti tiga tahun yang lalu. Sila heran, apakah hanya dia satu-satunya yang berubah di sini?
Andika melihat ke arahnya, lantas melambaikan tangannya. Meminta Sila untuk mendekat.
Sila tak memiliki alasan untuk menolak, walau di dalam dirinya ia memberontak untuk menerima
lambaian tangan itu. Maka dengan berat hati dan muka paling tidak antusias yang ia miliki, ia pun
berjalan pelan ke arah mobil itu.
Kakaknya tersenyum melihatnya bergerak mendekat, lalu ia mengaba-aba supaya segera
supaya naik ke mobilnya. Andika buru-buru langsung membuka pintu mobil bagian tengah, dan
langsung memposisikan diri duduk di bagian pinggir paling dekat dengan pintu. Tangannya sudah
bersiap menutup pintu, namun saat ditutup rupanya pintu tertahan oleh tangan Sila yang dengan
cepat memgang bagian gagangnya.
“Hei,” ucap Andika sambil memandangi Sila yang masih menahan pintu mobil. Ia memberikan
kode kepada Sila untuk segera duduk di kursi samping kakaknya. Sila menggeleng, namun Andika
tidak menyerah. Ia tetap bersikeras untuk tetap menutup pintu.
“Kalian akan terlambat jika tak cepat naik,” ujar Rezha sambil memandangi mereka lewat kaca
spion tengah.
42
Sila melirik ke arah jam tangannya. Masih cukup lama sampai bel sekolah berbunyi, tapi lelaki
di depannya tidak memiliki niatan sedikit pun untuk mengalah. Jika dilanjutkan terus-menerus, hal
ini tidak akan selesai dan waktunya pasti akan terbuang banyak.
Sila melepaskan tangannya dari gagang pintu, menyebabkan debuman keras akibat tarikan
yang terlalu keras saat menutup pintu. Andika terkejut, tapi ia tidak akan berkomentar. Ia memilih
diam untuk sekarang ini. Sila lalu membuka pintu depan mobil, dan duduk di samping kakaknya yang
sedari tadi terus-menerus melihat spion tengah.
Rezha melirik ke arah Sila yang kini sudah duduk di sampingnya. Ia ingin mengeluarkan suara,
namun seperti ada yang mengganjalnya, ia pun mengurungkan niatnya untuk berbicara. Tanpa
berkomentar, Rezha pun menyalakan mesin dan memacu mobilnya hingga ke sekolah.
Pada akhirnya, suasana di mobil tadi pagi sangat hening. Tidak ada yang memulai percakapan
selain Andika yang tiba-tiba menanyakan kabar permainan basket kakaknya. Sila sendiri hanya
memilih diam sepanjang perjalanan.
“Kau lagi-lagi terlihat seperti kain pel yang baru diperas, Sila,” ujar Anes tiba-tiba melihat Sila
yang terduduk lemas tak bertenaga di tempat duduknya.
Jam terakhir sekolah baru berakhir, dan Sila masih terlihat tidak bersemangat. Sebenarnya
sudah sedari tadi Anes menyadarinya, namun ia pikir setelah jam istirahat berlalu Sila akan kembali
seperti sedia kala. Cerewet, mudah ditebak dan tidak mau kalah. Tapi nampaknya pemikirannya
salah. Sampai saat terakhir pun Sila masih terlihat tidak bersemangat.
“Hei, kalau kau ada masalah berceritalah. Sini-sini, datang ke mama,” ucap Anes lagi.
Sila lalu memandangi Anes dengan tatapan lemas. Ia lupa jika ia memiliki Anes di sini. Ia lupa
ada Anes yang akan selalu menawarkan diri untuk mendengarkan semua ceritanya.
“Anes...,” rengek Sila. “Anes. Kau mau temani aku sebentar di sini? Aku malas pulang...”
Anes mengangguk dan mulai mendengarkan seluruh cerita Sila tentang kakaknya.
Pukul setengah lima sore. Andika baru saja menyelesaikan latihan basketnya. Semenjak
pertandingan sebentar lagi akan diadakan, klub basketnya mulai merancang jadwal latihan yang
ketat baik untuk tim reguler maupun cadangan. Dua bagian tim reguler yang kosong karena siswa
kelas 12 tidak diperkenankan mengikuti pertandingan pun belum terisi. Rencananya akan diisi oleh
para murid baru, hanya saja penentuannya masih belum usai. Kabarnya minggu depan pengumuman
tim reguler akan diumumkan. Untuk sekarang ini, hal yang bisa dilakukannya hanya berusaha dan
menunggu.
43
Saat pergi ke ruang ganti, Andika sempat melewati kelas Sila. Ia melihat Sila dan Anes masih
berada di dalam kelas. Maka dari itu, seusai berganti pakaian, Andika pun menunggu Sila hingga
keluar kelas. Ia memainkan handphone-nya, membuka pesan-pesan lama, lalu terhenti di sebuah
pesan dengan kontak bernama ‘Rezha’.
Sebenarnya ia sudah berhubungan dengan Rezha semenjak lama. Mulai dari Rezha yang tiba-
tiba mengontaknya melalui salah satu media sosial yang ia punya dua tahun lalu, dan berlanjut
hingga Rezha meminta alamat e-mail nya. Setelah itu, baru kemarin Rezha mengirimkan pesan lewat
nomor handphone-nya dan memberitahukan bahwa dia sudah tiba di rumah. Andika tidak mengerti
kenapa Rezha justru terus-menerus menghubunginya. Sila bahkan tidak pernah sedikitpun bercerita
tentangnya semenjak ia ditinggalkan Rezha.
Andika menghela nafas panjang. Ia memasukkan kembali handphone-nya ke dalam saku jaket
lalu dengan setia menatap pintu kelas hingga seseorang keluar dari sana.
“Sila,” panggil Andika pelan sambil berlari ke arah Sila.
Sila terkejut melihat Andika yang berlari ke arahnya. Ia melihat ke arah lapangan dengan
beberapa anak yang masih berlatih basket, lalu beralih lagi melihat Andika.
“Bisa kita bicara sebentar?” tawar Andika kepada Sila. Lantas Andika menatap ke arah Anes,
dan seakan mengerti Anes pun mengangguk.
“Kurasa aku akan pergi duluan. Daah, Sila,” ucap Anes cepat sambil buru-buru pergi sebelum
tangan Sila menahannya.
Sila lantas balas menatap Andika. “Kau ingin bicara apa?”
Andika pun menghirup nafas panjang. Lalu dia terdiam sesaat untuk berusaha menyusun kata-
kata yang tepat.
“Mau sampai kapan kau akan terus begini?” tanyanya berhati-hati.
Sila menaikkan alisnya tanda tak mengerti. “Terus begini apanya?”
“Kau dan kakakmu. Mau sampai kapan kalian akan seperti ini terus?” ulang Andika sekali lagi.
Kali ini lebih lugas.
“Oh, maksudmu itu,” ucap Sila sambil memasang wajah datar. “Tidak tahu. Sampai dia tahu,
mungkin,” jawab Sila kemudian.
Andika kini membalasnya dengan menghela nafas panjang. “Apa kau tidak tahu maksud orang
tuamu menyekolahkanmu di sini? Maksud orang tuamu untuk tinggal di sini bersama kakakmu?”
“Andika...,” ucap Sila pelan. “Aku tahu, aku tahu. Aku sangat tahu kenapa Papa dan Mama
memintaku untuk tinggal dan bersekolah di sini. Aku tahu! Kau tak perlu mengingatkanku.”
“Kalau kau tahu, mengapa...”
44
“Kenapa kau terus-menerus menyalahkanku? Memangnya hanya aku yang salah? Kenapa
orang luar sepertimu harus ikut campur urusan keluarga kami?”
“Sila... Aku tidak menyalahkanmu...”
“Kau bahkan tidak tahu rasanya menjadi seperti aku. Jangan pernah... menasihatiku... kecuali
kau tahu bagaimana rasanya ditinggalkan,” ucap Sila marah. Matanya kini sedang menahan sesuatu
yang berat di pelupuk matanya. Andika bisa melihatnya. Sila sedang berusaha menahan tangis.
“Kalian akrab seperti biasa,” ucap seseorang tiba-tiba di balik mereka.
“Kami tidak akrab!” bentak Sila sambil berbalik badan. Sedetik kemudian dia terkesiap sambil
menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut.
“Kak Davin...,” ucap Andika pelan yang juga terkejut karena kehadiran kapten basketnya itu.
“Kalian bertengkar?” tanya Davin kemudian, namun tak ada satu pun dari mereka yang
menjawab pertanyaannya.
“Ah, maaf. Sepertinya aku mengganggu kalian. Kupikir aku bisa mengajak kalian pergi ke suatu
tempat. Tapi, sepertinya tidak bisa ya? Aku akan pergi sendiri saja,” ujar Davin kemudian.
“Aku ikut!” ucap Sila tiba-tiba sambil berjalan mendekati Davin. “Aku akan ikut.”
Baik Davin dan Andika, keduanya terkejut mendengar ucapan Sila. Andika pun menatap Davin
penuh arti, dan dibalas Davin dengan tatapan juga.
“Kak...,” ujar Andika pelan.
“Aku mengerti,” jawab Davin sambil mengangguk. “Ayo kita pergi,” ucapnya kemudian sambil
berjalan disusul Sila di belakangnya.
“Kak...,” teriak Andika pelan, namun kalimat selanjutnya tidak bisa ia keluarkan. Rasanya
kalimat itu tersangkut di tenggorokannya bersamaan dengan udara pernafasannya yang kini rasanya
sulit dikeluarkan. Sejujurnya, ia ingin ikut pergi. Tapi, ia tiba-tiba teringat kejadian tadi.
Kenapa kau terus-menerus menyalahkanku? Memangnya hanya aku yang salah? Kenapa
orang luar sepertimu harus ikut campur urusan keluarga kami?
Andika baru sadar. Dia hanya orang luar.
Sila berjalan mengikuti Davin sampai melewati gerbang sekolah. Ia sendiri tidak tahu akan
dibawa kemana. Langit pun sudah mulai berwarna kehitaman. Mungkin seharusnya dia pulang saja.
Tapi ia sudah terlanjur bilang kalau ia akan ikut pergi. Kalau tiba-tiba Sila membatalkannya, ia jadi
merasa buruk karena telah memanfaatkan lelaki yang sedang bersamanya itu untuk kabur dari
Andika.
Kenapa kau terus-menerus menyalahkanku? Memangnya hanya aku yang salah? Kenapa
orang luar sepertimu harus ikut campur urusan keluarga kami?
45
Kalimat itu terus-menerus terngiang di kepalanya. Ia meneriakkan kalimat itu tanpa sengaja,
dan itu terdengar sangat kasar. Sila menyesal karena telah mengatakan hal itu pada Andika setelah
yang Andika lakukan selama ini kepadanya. Sekarang bagaimana perasaan Andika padanya? Apakah
ia marah padanya?
“Kenapa kau terlihat khawatir? Kau ingin pulang? Kita bisa membatalkan rencana ini,” ucap
Davin tiba-tiba memecah lamunan Sila.
Sila memandangi Davin, lalu ia pun menggeleng. “Tidak, aku tidak apa-apa. Sungguh.”
“Ah, begitu,” balas Davin singkat sambil terus berjalan.
“Ngomong-ngomong, kak,” ucap Sila memulai percakapan. “Kemana kita akan pergi? Kita akan
berjalan kaki?”
“Tentu tidak,” jawabnya singkat.
Davin berhenti di sebuah lahan parkir, kemudian ia mengeluarkan kunci di saku celananya dan
memencet tombol pengaman yang terletak di tempat yang sama dengan kunci itu. Sebuah mobil
putih pun merespon tombol pengaman tersebut.
“Kak... Kau membawa mobil?” ucap Sila terkejut melihat Davin membukakan pintu untuknya.
“Iya, untuk sementara ini. Motorku sedang direparasi untuk beberapa hari ini. Tenang saja,
aku sudah mendapatkan SIM-ku,” jawabnya sambil mempersilahkan Sila untuk masuk ke dalam
mobilnya.
Sila mengangguk paham, dan masuk ke dalam mobil putih itu. Ia belum begitu mengenal lelaki
ini, tapi entah kenapa ia tidak khawatir pergi bersamanya. Entah mengapa.
46
Sila cukup terkejut saat turun dari mobil. Ia bahkan tidak menyangka akan dibawa ke tempat
semacam ini. Sebuah panti asuhan sederhana bertingkat dua yang didominasi warna hijau dan
kuning. Matahari kini sudah tidak terlihat lagi, namun suasana di tempat ini jauh dari kata lengang.
“Kak Davin! Kak Davin!” teriak sekumpulan anak kecil meneriaki nama lelaki yang baru datang
dengan sekotak kardus besar di tangannya. Anak-anak itu lalu mendekatinya dan mengerubunginya
seperti artis.
“Ini pacar Kak Davin ya?” teriak salah seorang anak laki-laki berambut ikal. Sila kaget
mendengar perkataan anak itu, lalu buru-buru memandang Davin meminta penjelasan. Kenapa
orang-orang terlalu mudah untuk membuat keputusan kalau ia adalah pacar seseorang hanya karena
mereka sedang kebetulan bersama?
“Bukan, bukan. Ini teman kakak di sekolah,” ujar Davin sambil tertawa dan mengacak-acak
rambut anak itu.
“Kak Tio mana, kak? Kak Tio tidak ikut?” Kali ini yang bertanya adalah anak perempuan
berambut pendek yang berdiri paling dekat dengan Davin.
“Kak Tio tiba-tiba ada urusan jadi dia tidak bisa datang hari ini,” jawab Davin sambil membuka
kardus yang ia bawa.
“Mainan!!” seru mereka berteriak senang. Mereka berebut mengambil mainan yang ada, dan
Davin pun dengan tenang melerai mereka supaya bergantian mengambilnya.
47
Seorang wanita tua tergopoh-gopoh mendatangi Davin yang sedang melerai anak-anak.
Wanita itu tiba-tiba menepuk bahu Davin tanpa sempat mengatakan apa pun. Davin yang sadar akan
tepukan wanita itu langsung berbalik berdiri, lalu mencium tangan wanita itu.
“Mas Davin jangan suka repot-repot datang ke sini membawa macam-macam,” ujar wanita itu
setelah Davin melepas tangan wanita itu. Davin membalasnya dengan senyuman. “Nanti anak-anak
jadi manja.”
Sila melihat wanita itu dengan seksama, berusaha mencerna apa yang terjadi di antara Davin
dan wanita itu. Wanita di depannya pun seakan tahu, ia pun langsung menyalami Sila yang masih
terdiam.
“Saya ibu panti di sini. Ibunya anak-anak,” ucap wanita itu ramah tersenyum kepada Sila.
“Saya Sila, Bu.” Sila pun menyambut tangan itu sambil membalas senyuman wanita itu. “Saya
temannya Kak Davin,” tambahnya mengantisipasi adanya kesalahpahaman.
Wanita itu mengangguk paham, lalu ia menyuruh anak-anak untuk sedikit tenang dan masuk
ke dalam rumah. Ia tak lupa mengajak Davin dan Sila untuk ikut masuk, namun ditolak oleh Davin.
“Tidak usah, Bu. Teman Davin akan pulang. Mau Davin antar,” ucap Davin menolak ajakan
wanita itu. Wanita itu melihat ke arah Sila, lalu mengangguk.
“Kak Davin pulang? Kak Davin jangan pulang dulu. Kak Davin kan biasanya menginap sampai
besok,” rengek anak-anak sambil menahan Davin untuk pergi.
Hampir semua anak-anak yang telah masuk ke rumah kembali keluar dan menahan Davin
untuk pergi. Davin terlihat kesuliatan menolak rengekan anak-anak. Di sisi lain anak-anak semakin
merengek saat Davin semakin lama menjelaskan kepada mereka.
“Kak, aku tidak masalah jika kita bermalam di sini hari ini. Besok adalah hari Minggu dan aku
pun tidak ada kegiatan apapun,” ucap Sila tiba-tiba.
“Kau, tidak masalah?” Davin terus terang terkejut mendengar hal itu. Sila mengangguk yakin
dan disambut oleh sorakan anak-anak yang terlihat senang.
“Baiklah kalau begitu. Pastikan kau memberitahu keluargamu tentang hal ini,” ujar Davin
kemudian. “Tidak apa-apa kan Bu kalau dia menginap?” ujarnya lagi kepada ibu panti.
Wanita itu mengangguk, lalu membimbing anak-anak untuk masuk lagi. Davin dan Sila kali ini
ikut masuk.
“Sekarang waktunya makan malam. Mba Sila saya antar ke kamar tamu perempuan ya. Ayo
mba,” ajak ibu panti sambil menggandeng tangan Sila. Sila mengangguk patuh dan mengikuti wanita
itu hingga sebuah kamar di ujung bangunan.
“Maaf, kalau kamarnya sesederhana ini,” ucap wanita itu sambil membuka pintu. Di dalamnya
hanya ada sebuah karpet besar dan sebuah kasur lipat serta beberapa bantal. Wanita itu kemudian
48
menatap ke arah Sila dalam waktu yang cukup lama selagi Sila memerhatikan bagian dalam kamar.
“Saya ke dapur dulu, mba,” tambah wanita itu mohon diri.
Sila kemudian sambil memasuki ruangan dan meletakkan tasnya di pojok ruangan. Ia
mengamati kamar yang diterangi oleh lampu lima watt itu sekali lagi.
Ia lalu memutuskan duduk di atas kasur lipat itu. Ini adalah kesempatan bagus. Setidaknya dia
tidak harus pulang ke rumah hari ini. Tapi, dipikir-pikir hidup di tempat ini pasti sulit. Kasurnya
terlalu tipis sampai tidak terasa jika yang Sila duduki sekarang adalah sebuah kasur. Penerangannya
hanya menggunakan lampu lima watt. Nyala lampunya bahkan terlalu redup untuk digunakan
membaca. Bantal yang ada pun jauh dari kata nyaman, apalagi empuk. Tapi ia tak bisa protes dengan
semua ini. Mereka yang tinggal di sini hidup dengan cara seperti ini. Yang bisa ia lakukan sekarang
adalah hanya merenung. Mungkin dia sedikit lebih beruntung dari anak-anak ini.
Ia lalu mengeluarkan handphone dari sakunya. Layar handphone itu mati, dan tak kunjung
menyala walau Sila memencet tombol pengunci. Mati. Handphone-nya kini telah kehabisan dayanya.
Sila lalu menghempaskan handphone-nya ke atas kasur. Sempurna. Ia sekarang punya alasan untuk
tidak menghubungi rumah.
Ia berbaring sebentar, lalu beberapa detik kemudian ia bangkit lagi. Sila memutuskan untuk
ikut ke dapur. Mungkin ada yang bisa ia lakukan di sana. Mungkin.
Pada akhirnya tidak ada yang bisa ia bantu di rumah. Walau keterampilan masaknya yang
buruk, tapi makanan sudah hampir selesai dibuat. Beberapa anak panti pun membantu proses
memasak, dan hal itu membuat Sila merasa malu.
Acara makan malam sangat menyenangkan. Meja makan sangat ramai, ditambah dengan
kehadiran Davin yang membuat anak-anak semakin senang. Mereka memamerkan kepada ibu dan
bapak panti tentang kehebatan Davin bermain basket. Beberapa dari mereka terlihat menempel
dengan Sila. Semuanya perempuan. Kebanyakan dari mereka bertanya bagaimana cara supaya bisa
tumbuh tinggi sepertinya, dan apakah ia juga bisa bermain basket.
“Ayo, jangan ganggu Kak Sila yang sedang makan,” ucap ibu panti kepada anak-anak
perempuan yang sedang menempel padanya. Anak-anak di sampingnya langsung memasang
tampang cemberut. Sila hanya bisa tertawa melihat mereka.
“Ibu, Kak Davin saja tidak protes kalau Nita dekat-dekat dengan pacarnya!” ucap salah seorang
anak yang bernama Nita, masih dengan muka cemberut.
Sila sedikit tersedak, lalu buru-buru ia meminum air dari gelasnya. Ternyata kesalahpahaman
masih belum terselesaikan. Sila lalu menatap Davin yang sedang berbicara dengan salah seorang
49
anak, dan memberi kode supaya Davin memberi penjelasan. Namun, Davin tidak kunjung melihat
kodenya. Sila frustasi.
“Wajah Kak Sila lucu!” seru seorang anak sambil menunjuk ke arahnya sambil tertawa. Sila
yang terlalu frustasi karena baru saja diabaikan terlambat menyadari kalau dia baru saja membuat
ekpresi yang aneh di wajahnya. Anak-anak lain pun ikut-ikut melihat ke arahnya, dan seketika
mereka tertawa. Termasuk ibu dan bapak panti. Sila lalu buru-buru menghilangkan ekspresi aneh
dari wajahnya, lalu diganti dengan cengiran lebar.
Andika menatap layar handphone-nya berkali-kali. Berharap ada pesan atau panggilan yang
masuk ke dalam handphone-nya. Tapi nihil. Benda persegi panjang itu diam sedari tadi. Kali ini
mungkin Sila benar-benar marah padanya. Andika lalu menghempaskan handphone-nya ke atas
kasur, lalu tidur di atasnya.
Drrt... Drrt...
Andika beranjak kaget karena ada getaran di balik punggungnya. Buru-buru ia menggapai
benda bergetar itu, dan memencet tombol pengunci.
Kak Rezha?
“Ya?” ucap Andika setelah menempelkan handphone di telinga kanannya. “Apa? Sila belum
pulang? Tidak. Ia tidak sedang bersamaku. Aku akan segera ke situ, kak.”
Andika langsung menutup teleponnya, lalu buru-buru menggapai jaket hitamnya yang
tergantung di gantungan pakaiannya. Setelah mengambil kunci yang berada di atas meja, ia pun
langsung berlari keluar rumah.
“Andika, kau mau ke mana?” teriak ibunya yang melihatnya sedang berlari.
Andika menengok ke arah ibunya, masih dalam posisi berlari dengan kecepatan yang
dikurangi. “Andika mau pergi ke rumah Si... Kak Rezha. Andika pergi dulu, Bu.”
Ia buru-buru menaiki motornya, lalu menyalakan mesinnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia
mengeluarkan handphone-nya lagi, dan mengirim pesan kepada seseorang yang ia yakini tahu
keberadaan Sila saat ini. Setelah memastikan pesannya terkirim, Andika langsung memacu motornya
menuju rumah Sila.
Dasar anak bodoh, apa yang sedang ia lakukan sampai semalam ini?
Angin malam berhembus lembut, meniupkan beberapa helai rambut pendek Sila. Angin ini
dingin, tapi hembusannya yang lembut membuat Sila malas untuk beranjak dari tempat duduknya. Ia
sedang duduk dengan tenang di teras rumah. Pada jam ini, keadaan panti sudah lengang. Sebagian
50
anak-anak sudah mulai tidur, sisanya membantu ibu panti mempersiapkan bahan makanan untuk
sarapan besok.
Kalau keadaannya begini, yang paling menyenangkan adalah duduk sambil menatap langit
yang gelap. Kesedihannya sedikit-sedikit bisa lebur bersama gelapnya sang malam. Ia percaya
dengan melakukan hal seperti ini, esok pagi saat ia bangun ia akan baik-baik saja.
“Kau tidak pergi ke kamar?” ucap Davin dari belakangnya yang kemudian duduk di samping
kirinya. Sila menggeleng. Davin lalu disibukkan dengan handphone-nya. Sepertinya dia orang yang
cukup sibuk.
“Kau sedang sibuk, kak?” tanya Sila memecah keheningan. Davin lalu menghentikan
tangannya, lalu memasukkan handphone-nya kembali ke saku.
“Tidak. Itu orang tuaku,” jawabnya. “Aku selalu bilang kalau aku pergi menginap bersama
teman setiap aku pergi ke sini. Aku merasa tidak enak jika aku memberi tahu mereka kegiatanku
sebenarnya. Karena... mereka adalah orang tua angkatku. Mereka mengadopsiku dari sini.”
Sila mengangkat alisnya. Ia baru mengetahui jika orang tua Davin selama ini adalah orang tua
angkatnya. Davin lalu menekuk kakinya, mendekatkan wajahnya ke lututnya dan kembali bercerita.
“Maka dari itu, aku selalu mengajak temanku ke sini. Supaya aku tidak berbohong kepada
mereka. Oh, dan Tio adalah temanku. Dia yang selalu menemaniku ke sini, tapi hari ini ia tidak bisa.
Maka dari itu, aku berpikir untuk mengajak seseorang yang lain ke sini. Maaf jika aku
memanfaatkanmu,” tambah Davin kemudian. Ia semakin mendekatkan lututnya ke wajahnya. Kedua
tangannya terlihat memeluk kakinya dengan erat.
“Selain itu...,” ucap Davin lagi, kali ini perkataannya sempat terputus. Sepertinya ia butuh
waktu untuk mengatakannya. “Kau mengingatkanku pada Alina.”
Andika kini sudah berada di depan rumah Sila. Ia mematikan motornya, dan segera berlari
menuju ke pintu rumah Sila yang terbuka. Di dalamnya, Rezha dan Bibi sedang duduk. Rezha terlihat
tenang duduk di sebuah sofa, tapi di lain sisi Bibi terlihat lebih panik. Sedari tadi ia tidak beranjak
dari dekat meja telepon, dan jarinya tidak berhenti mengetuk-etuk meja telepon.
“Kak...,” ucap Andika seketika saat memasuki rumah. Rezha menengok ke arah sumber suara.
“Kak, kenapa kau begitu tenang?!” tambah Andika sedikit berteriak.
“Masuk dan duduklah,” ujar Rezha tetap tenang mendengar perkataan Andika.
Andika mendekati Rezha. “Kenapa kau begitu tenang, kak?!” ulang Andika sambil berdiri di
depan Rezha. Bibi yang sedari tadi panik sendiri, langsung menghentikan ketukan jarinya. Kini mata
bibi terpaku dengan pemandangan kedua pemuda itu.
51
Rezha membalas pertanyaan Andika dengan menatap Andika tajam. “Kau pikir aku tidak
khawatir? Aku khawatir! Dan jika aku panik, itu tidak akan membuat aku mengetahui keberadaan
adikku sekarang!” jawab Rezha menaikkan nada bicaranya. “Sekarang, duduklah dengan baik. Kita
tidak akan menyelesaikan apa pun dengan berbicara seperti saat ini,” tambahnya sambil
menurunkan nada suara.
Andika tercengang sesaat, lalu ia menuruti perkataan Rezha. Ia duduk di samping Rezha,
menatap televisi yang layarnya tidak menyala. Bibi merasa yang tidak nyaman dengan keadaan
tersebut, langsung mohon diri untuk ke dalam. Sepertinya ia akan menunggu di meja telepon bagian
dalam rumah.
“Jadi, Sila tidak memberi tahumu apapun?” tanya Rezha kemudian. “Ia bahkan mematikan
ponselnya saat aku mencoba menghubunginya.”
Andika menggeleng pelan. “Dia tidak akan memberi tahuku apapun.”
“Kalian sedang bertengkar? Ada hubungannya denganku?” tanya Rezha lagi. Andika hanya
bisa terdiam. Tangan kanannya ia letakkan di pegangan sofa, lalu ia gunakan untuk menyangga
dagunya.
“Sudah ku duga,” ucap Rezha sambil menghela nafas panjang. “Maaf kami melibatkanmu
dalam masalah ini, Andika.”
Andika masih terdiam. Ia teringat dengan kejadian tadi sore di sekolah.
Kenapa kau terus-menerus menyalahkanku? Memangnya hanya aku yang salah? Kenapa
orang luar sepertimu harus ikut campur urusan keluarga kami?
Andika mengacak-acak rambutnya. Benar ia adalah orang luar, tapi entah kenapa ia sudah
merasa sangat terikat dengan keluarga ini. Andika lalu teringat tepat pada saat itu, Kak Davin datang
dan membawa Sila pergi bersamanya.
Andika langsung buru-buru merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone-nya. Benar saja,
ada sebuah pesan yang belum terbaca. Dari Kak Davin. Sebelum berangkat ke sini, andika sempat
mengitiminya pesan. Menanyakan apakah Sila masih bersamanya atau tidak.
“Kak Davin bilang mereka menginap di sebuah panti asuhan dan akan kembali besok pagi,”
ucap Andika tepat setelah ia selesai membaca pesan.
Rezha terkejut mendengar hal itu. Ia mungkin tidak menyangka adiknya akan pergi dan
menginap di sebuah panti asuhan. Tapi bukan itu masalahnya sekarang.
“Jadi, siapakah ‘Kak Davin’ yang kau maksud ini?” tanya Rezha sambil mengontrol
keterkejutannya.
Andika berpikir. Ia bahkan belum sebulan mengenal lelaki itu. “Ia... seperti kau, kak.”
52
“Alina?” ucap Sila sambil mengernyitkan dahi. Angin malam semakin terasa dingin, dan itu
yang membuat Davin semakin merapatkan pelukannya pada kakinya.
“Iya...,” ucap Davin pelan. “Dia... adikku. Setidaknya, dulu pernah ada seseorang yang
kuanggap sebagai orang adik di sini.”
Sila kini mengerti. Alina yang dimaksud Kak Davin adalah seorang anak pernah yang tinggal di
sini. “Lalu apa yang terjadi dengan Alina?”
“Dia... meninggal,” ucap Davin pelan. “Kau tahu, panti asuhan tidak hanya sebuah tempat
dimana anak yatim piatu tinggal. Ini adalah tempat penitipan anak jangka lama dimana orang tua
mereka tidak sempat mengurusi mereka. Beberapa anak di sini juga begitu. Lalu pada saat liburan,
sebagian besar dari mereka akan pulang dijemput keluarga mereka. Entah untuk mempererat ikatan
keluarga mereka yang sempat terputus sementara karena mereka habis dititipkan, atau malah
membantu keluarga mereka mencari uang.”
Sila terdiam. Yang ia tahu semua anak-anak di sini adalah mereka yang tidak memiliki rumah
untuk pulang dan keluarga. Ia tak pernah tahu jika panti asuhan juga digunakan sebagai tempat
penitipan anak seperti itu.
“Mengerikan, bukan? Maksudku, mereka menitipkan anak mereka di tempat seperti ini. Mau
dilihat dari manapun tempat ini jauh dari kesan nyaman. Lalu mereka yang sudah dewasa pun akan
diambil lagi oleh keluarganya. Aku tak habis pikir, mengapa Bapak dan Ibu bisa tetap menjalankan
panti asuhan ini walaupun mengetahui hal itu. Mereka tidak menerima bayaran,” lanjut Davin. “Tapi,
tempat ini menyenangkan. Sangat menyenangkan untuk hitungan seseorang sepertiku yang tidak
memiliki keluarga sama sekali. Saat mereka dijemput, aku hanya tinggal di sini. Saat mereka diantar
kembali ke panti asuhan ini, aku pasti selalu ada menyambut kedatangan mereka. Walau kupikir hal
itu mengerikan, terkadang aku merasa sedikit... iri dengan mereka yang memiliki keluarga.”
“Alina adalah salah seorang dari anak-anak yang diantar jemput itu. Ia datang saat ia kelas 4
SD, dan aku baru saja masuk SMP. Dia memang anak yang tidak begitu periang. Ia anak yang sangat
pendiam, selain itu dia tidak bergerak banyak. Saat itu aku hanya berpikir ‘Ah, dia hanya anak yang
pendiam’. Walau begitu, ia tetap bersorak saat aku bermain basket. Selalu kagum saat aku sesekali
berhasil memasukkan bola ke ring. Itu membuatku senang. Aku tak pernah tahu jika ia memiliki
kesehatan yang buruk, bahkan aku saat itu tidak tahu dia meninggal karena penyakit apa, karena
saat itu aku diadopsi oleh Ayahku. Aku tidak pernah menemuinya lagi, bahkan sampai ia
dimakamkan,” lanjut Davin lagi semakin merapatkan pelukan ke kakinya sambil melihat ke arah
halaman panti dengan sebuah ring basket tua yang tertempel di dindingnya.
“Dia bahkan tidak memberi tahu keluarganya kalau ia sedang sakit. Mungkin ia takut
membebani keluarganya yang sibuk berdagang. Mungkin mereka berpikiran sama sepertiku. ‘Alina
53
hanyalah seorang gadis yang sangat pendiam’ dan anggapan sejenisnya. Anak itu bahkan terlalu
tenang untuk seseorang yang sedang sakit,” ujar Davin masih melanjutkan ceritanya. “Haha, kenapa
ia begitu dewasa untuk anak seusianya?” Davin tertawa pelan.
“Ah, maaf. Aku terus-menerus berbicara sendiri tanpa henti,” ucap Davin sambil melepaskan
pelukan ke kakinya. Kini tangan kanannya ia gunakan untuk mengacak-acak rambutnya, sementara
tangannya yang lain ia letakkan di lantai untuk menahan badannya.
Sila menggeleng. “Kau tidak berbicara sendiri, kak. Aku mendengarkanmu sedari tadi.”
“Kau benar. Maaf,” ujar Davin sambil tertawa. “Tapi saat aku bertemu denganmu, aku merasa
senang. Karena saat aku melihatmu aku seperti melihat Alina. Hal itu terjadi begitu saja. Kurasa Ibu
juga merasakan hal yang sama. Ia tidak berhenti menatapmu saat makan malam tadi. Padahal
selama ini, Alina yang hidup di ingatanku adalah Alina dengan seragam merah putihnya. Wajah
kalian sangat mirip, walau sifat kalian sedikit berbeda,” lanjut Davin tertawa lagi saat ia mengatakan
kalimat yang terakhir.
“Maafkan aku yang tidak dewasa,” ucap Sila sambil mendengus kesal. Melihat hal itu, Davin
pun tertawa lagi, dan membuat Sila juga ikut tertawa. “Tapi, kurasa Alina senang memiliki kakak
sepertimu. Kau orang yang baik, walau saat di lapangan kau terlihat mengerikan. Selain itu, aku yakin
Alina akan senang melihatmu bermain, dan tertawa seperti ini. Kau terlihat lebih baik saat tertawa,
Kak.”
Davin terdiam mendengar kalimat yang baru Sila ucapkan. Ia memandangi Sila sebentar, lalu
ia tersenyum. Sila terdiam melihat tatapan Davin.
“Haha, aku tidak menyangka kau akan berkata seperti itu. Ini tidak seperti kau yang
kubayangkan,” ucap Davin kemudian sambil tertawa lagi. “Terimakasih. Kau membuatku lebih baik,”
tambah Davin lagi sambil tersenyum ke arah Sila.
Sila yang terdiam sedari tadi langsung bersemu merah. Ia menyadari hal itu, walau begitu ia
tetap tidak bisa menghentikan ekspresi spontannya ini. Ia hanya berharap, semoga ekspresinya ini
tidak terlihat siapa pun.
“Jadi, ada masalah apa antara kau dan Andika?” ucap Davin kemudian. Pandangannya kini ia
arahkan ke langit yang hitam.
“Ah,” ucap Sila tersadar dari lamunan sementaranya. “Oh. Tidak. Aku hanya baru menyadari
kalau aku sudah mengatakan hal yang sangat buruk padanya,” tambahnya sambil memandangi
lantai teras di hadapannya. Lantai itu terbuat dari keramik, dan itu membuat sensasi dingin menjalar
di kakinya.
“Iya, kau baru mengatakan hal yang sangat buruk padanya,” balas Davin seketika.
Sila kaget mendengar perkataan Davin yang begitu terus terang itu. “Kau mendengarnya?”
54
“Tentu saja. Kau pikir sejak kapan aku berdiri di belakang kalian?” ucapnya membalas
pertanyaan Sila. “Lalu sekarang kau menyesal?”
Sila mengangguk pelan. Davin yang masih menatap langit itu lalu meletakkan tangan kanannya
ke atas kepala Sila. Tangan itu menepuk kepala Sila sekali, dan hal itu membuat Sila terpana sesaat.
Sila menyadari ia baru saja merasakan perasaan yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama hilang.
“Kalau kau memang menyesal, minta maaflah dengan baik kepadanya. Sekarang kembalilah ke
ruanganmu sebelum kau masuk angin,” ucap Davin kemudian.
Sila yang tengah memandangi sosok lelaki berambut pendek itu pun mengangguk, dan
tersenyum. Entah kenapa saat itu ia ingin sekali menangis.
Cahaya matahari menyeruak masuk melalui gorden kamar. Cahaya itu perlahan masuk, dan
mulai mengenai rambut Sila. Ia bangun setelah mendengar sebuah ketukan dari balik pintu. Saat Sila
membuka pintu, ia melihat seorang wanita yang membawakannya segelas teh hangat. Sila
tersenyum lalu menyambut teh itu. Ia memohon diri untuk merapikan diri terlebih dahulu sebelum
ia keluar dari kamar. Wanita itu pun mengangguk dan menyodorkan teh hangat itu kepada Sila. Sila
mengangguk, lalu kembali masuk ke kamar setelah ia menutup pintu kamar.
Ia lalu duduk di atas kasur, dan mengamati kamar ini lagi. Kasurnya terlalu tipis sampai tidak
terasa jika yang Sila duduki sekarang adalah sebuah kasur. Penerangannya hanya menggunakan
lampu lima watt. Nyala lampunya bahkan terlalu redup untuk digunakan membaca.
Sepertinya ia baru melakukan hal yang sama kemarin. Duduk di atas kasur, mengamati kamar,
lalu mendeskripsikan kamar itu. Ah, benar. Dia sedang berada di sebuah panti asuhan. Ia baru
menginap di tempat ini semalam. Ia bahkan masih mengenakan seragam sekolahnya. Berani
taruhan, seragam ini sudah sangat tidak karuan baunya karena telah ia pakai seharian dan sekaligus
untuk tidur. Badannya terasa sakit semua. Mungkin ini akibat karena ia baru saja tidur di kasur tipis
ini. Ia lalu meminum teh yang baru diberikan kepadanya dengan pelan.
“Aku baru sadar. Aku baru menginap dengan seorang laki-laki yang belum begitu ku kenal,”
teriaknya pelan. Sila baru sadar dan ia sudah terlalu terlambat untuk terkejut.
55
Kemarin malam ia mengobrol bersama Davin di teras. Lalu Davin berkata bahwa Sila mirip
seseorang yang pernah ia anggap sebagai adiknya. Setelah itu, Sila sempat bersemu saat melihat
Davin tersenyum padanya. Lalu saat Sila mengatakan masalahnya dengan andika kepada Davin,
lelaki itu lalu memegang kepalanya dan menepuk kepalanya pelan.
“A-apa yang baru aku lakukan?!” teriaknya pelan, kali ini ia berteriak sambil berguling di kasur.
“Me-memalukan. Apa yang harus aku lakukan? Aku jadi tidak berani keluar.”
Sila lalu kembali duduk. Ia lalu menyentuh kepalanya dengan tangan kanannya. Ekspresinya
berubah menjadi sedih.
“Kak Rezha...”
Sila akhirnya memutuskan untuk keluar setelah menumpuk semua keberaniannya. Ia harus
segera pulang, jika tidak maka ia bisa mati kehabisan nafas. Saat ia melangkahkan kakinya, ia melihat
Davin yang sedang bermain dengan anak-anak di luar. Lelaki itu mengenakan kaos putih dan
celananya masih dengan celana seragam. Walau begitu, setidaknya ia masih lebih baik daripada Sila
yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Sial, dia pasti sudah membawa persiapan. Lagipula kenapa aku memberi ide untuk menginap
di sini? Bodoh. Bodoh,” gumam Sila pelan sambil memukul-mukul kepalanya sendiri dengan pelan.
Ibu panti pun lewat di depannya, dan memandangi Sila yang sedang memukul-mukul kepala
dengan heran. Sedikit terkejut dengan kenyataan bahwa Sila masih mengenakan seragam
sekolahnya yang kemarin.
“Tahu begitu Mba Sila saya pinjamkan daster saya kemarin. Di sini tidak ada yang seumuran
dengan Mba Sila. Hanya ada ibu-ibu dan anak-anak, jadi saya hanya bisa meminjamkan daster saja,”
ucap Ibu panti sambil memerhatikan seragam Sila. Seragam itu kusut. Tentu saja kusut, karena
seragam itu telah digunakan Sila selama ia tidur.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya baik-baik saja walau dengan seragam ini,” ucap Sila menanggapi
perkataan Ibu panti. Sila bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya saat memakai
daster seperti yang Ibu panti sekarang pakai.
“Oh, Mas Davin tadi menitipkan pesan kalau Mba Sila sudah bangun, Mba Sila segera
menemui Mas Davin. Begitu,” ucap Ibu panti kemudian.
Sila mengangguk dan berterima kasih kepada wanita itu. Ia lalu menatap sosok laki-laki yang
sedang bermain dengan anak-anak itu. Ia harus segera menemui laki-laki itu, sebelum keberanian
yang telah ia simpan selama di kamar menghilang.
56
Segera Sila melangkahkan kakinya ke arah halaman depan panti, dan ia dapat menyaksikan
lelaki itu lebih dekat. Lelaki itu tertawa lepas saat ia bermain dengan anak-anak. Mungkin
perkataannya semalam benar. Lelaki itu terlihat lebih baik saat ia tertawa.
“Kenapa aku tiba-tiba teringat kejadian semalam? Memalukan!” gumam Sila dalam hati sambil
merutuki dirinya sendiri.
“Hei!” teriak Davin membuyarkan lamunan singkat Sila. Sila langsung menatapnya. Davin
berlari menghampirinya, lalu ia melihat seragam yang masih dipakai Sila.
“Sepertinya kita harus pulang lebih awal dari yang aku perkirakan,” ucap Davin masih
memerhatikan seragam Sila. “Aku tidak sadar kau masih memakai seragam semalam. Mungkin
karena sudah malam, jadi aku tak begitu memerhatikannya.”
Sila sedikit kesal karena ternyata lelaki di depannya ini tidak menyadari jika ia masih
menggunakan seragam kemarin malam.
“Kak Davin mau pulang? Tidak sarapan di sini?” tanya seorang anak yang sedari tadi
membuntuti Davin dari belakang.
“Tidak. Kak Sila harus pulang sekarang, dan Kak Davin harus mengantar Kak Sila pulang,” ujar
Davin sambil berjongkok menghadap ke anak yang berada di belakangnya.
“Kakak tidak harus buru-buru. Aku baik-baik sa...,” ucap Sila buru-buru setelah mendengar
jawaban Davin, tapi Davin langsung berdiri dan memotong perkataannya.
“Maaf, tapi sekarang kau yang harus mematuhi kata-kataku,” ucap Davin. Sila dapat
merasakan aura intimidasi yang pernah disebut-sebut Andika. Benar-benar seorang kapten tim
basket.
Sila tidak bisa berbuat apa-apa, dan ia hanya bisa mengangguk patuh. Davin pun tersenyum
lagi seperti biasa dan mengajaknya masuk untuk berpamitan dengan Ibu dan Bapak panti.
Jarak antara panti asuhan hingga rumahnya lumayan jauh. Membutuhkan sekitar empat puluh
lima menit untuk sampai ke rumahnya dengan menggunakan mobil. Anak-anak panti sempat kecewa
karena Davin pergi terlalu cepat. Kali ini Davin menjanjikan akan kembali secepat yang ia bisa. Anak-
anak pun senang dan tidak lagi kecewa saat mereka bersiap untuk pergi.
“Maaf,” ucap Sila kepada Davin yang sedang menyetir di sampingnya. “Karena aku, kau jadi
tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Maaf.”
“Jangan terus-menerus meminta maaf saat kau tidak melakukan kesalahan. Kau kira berkat
siapa aku bisa ke tempat itu?” balas Davin sambil tersenyum, namun tatapannya masih mengarah ke
arah jalan di depannya.
“Berkatku?” tanya Sila ragu sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.
57
“Tentu saja. Alasanku yang lain mengapa aku selalu mengajak temanku ke tempat itu adalah
karena aku selalu gugup saat aku berpikir jika aku ke sana sendirian. Kau tahu aku sudah tidak tinggal
di tempat itu selama tiga tahun,” ujar Davin sambil tertawa.
“Menurutku kau tidak terlihat seperti itu, Kak,” ucap Sila menanggapi. “Kau bahkan terlihat
sangat senang berada di tengah-tengah mereka. Sangat jauh dari kesan gugup seperti yang kau
bicarakan barusan. Menurutku, kau hanya perlu melupakan fakta bahwa kau sudah tidak tinggal di
sana selama tiga tahun. Kau mengenal mereka lebih lama dari waktu tiga tahun saat kau
meninggalkan mereka. Selain itu, bukankah mereka keluargamu?”
Davin tersenyum. Pandangannya masih sama seperti sebelumnya, masih memandangi jalan
yang berada di hadapannya. “Ya, kurasa kau benar.”
“Aku sedari tadi hanya berkata ‘Menurutku, menurutku’ terus. Maaf,” ucap Sila lagi sambil
menatap keluar jendela. Pemandangan pagi memang terasa menyenangkan karena pada saat pagi
ditambah hari libur seperti ini, kota ini tidaklah seramai kota besar.
Davin hanya menanggapi perkataan Sila dengan tertawa, dan hal itu membuat Sila merasa
canggung.
“Jadi, setelah ini ke mana?” tanya Davin. Sekarang mobil yang mereka naiki telah berada di
kompleks rumah Sila.
“Ah, lurus saja sampai di ujung jalan ini. Rumahku yang berwarna abu-abu itu,” jawab Sila
sambil menujuk ke arah sebelah kanan jalan.
Davin menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Sila. Sila lalu turun dan memerhatikan
rumahnya sebentar. Rumahnya nampak lengang. Mobil kakaknya tidak terlihat, mungkin masih
berada di garasi atau kakaknya sudah pergi mengurusi pekerjaannya.
Setelah berterima kasih kepada Davin atas tumpangannya dan melihat mobil Davin
menghilang di ujung jalan, Sila pun masuk ke rumahnya. Pintu rumah bahkan tidak dikunci,
menyebabkan Sila bisa langsung masuk ke rumahnya tanpa harus mengetuk pintu. Suasana di dalam
benar-benar sunyi. Ia bisa melihat sesosok lelaki yang sedang tertidur di atas sofa dalam keadaan
tertelungkup.
Andika?
Seorang wanita dari arah dalam tergopoh-gopoh menghampirinya. Tanpa berkata apa pun,
wanita itu memukuli lengan Sila dengan pelan berkali-kali.
“Mba Sila ini ke mana saja? Kenapa tidak pulang semalam? Bibi, Mas Rezha dan Mas Andika
khawatir,” ucap Bibi masih memukul-mukul lengan Sila.
58
“Sst... Bibi jangan terlalu keras,” ucap Sila sambil menenangkan wanita itu, dan menempelkan
jari telunjuknya di bibirnya. Bibi mengangguk-angguk dan ikut-ikut menempelkan jari telunjuknya di
bibirnya. Sila lalu melirik ke arah Andika yang masih tertidur, dan bernafas lega.
“Kak Rezha... mana?” tanya Sila sambil memerhatikan isi rumah.
“Mas Rezha sedang mandi,” jawab Bibinya singkat.
Ternyata kakaknya masih berada di rumah. Ia menghela nafas panjang. Setelah kejadian ia
tidak pulang semalam, ia semakin tidak ingin bertemu dengan kakaknya. Sila pun meletakkan tasnya
di atas sofa, lalu merapatkan selimut yang menyelimuti Andika. Beberapa detik kemudian, Sila
memakai sandalnya lalu berjalan pergi keluar rumah.
“Mba Sila mau ke mana lagi?” tanya Bibi sambil sedikit berteriak.
“Pergi keluar sebentar,” jawab Sila singkat sambil berlari cepat menuju keluar rumah.
Bibi menggeleng-geleng kepalanya. Ia ingin mengejar Sila, tapi jika ia melakukan hal itu rumah
pun akan kosong. Rezha sedang mandi, dan Andika masih tertidur. Ia bahkan tidak tega
membangunkan Andika yang tengah tertidur, karena Bibi tahu benar baik Rezha dan Andika terjaga
hingga pagi tadi.
Bibi lalu mengambil tas Sila yang diletakkan di atas sofa dan bermaksud membawanya ke
dalam kamar Sila. Pada saat itulah, Rezha muncul sambil memakai handuk untuk mengeringkan
rambutnya yang masih basah.
“Sila sudah pulang?” tanya lelaki itu seketika saat ia melihat tas yang dibawa oleh Bibi. Bibi
mengangguk pelan. “Dimana dia sekarang?” tanya Rezha lagi.
“Mba Sila baru pergi lagi tadi. Berjalan kaki,” ujar Bibi sambil menunjuk ke arah luar rumah.
Mendengar hal itu, Rezha langsung melepaskan handuk yang berada di kepalanya. Ia
memberikan handuk itu kepada Bibi, dan langsung berlari keluar rumah.
Anak itu!
Sila berhenti di sebuah taman tempat ia biasa bermain saat kecil dulu. Ia juga bertemu Andika
pertama kali setelah kembali di tempat ini. Ia memutuskan untuk duduk di bangku besi tempat ia
duduk dulu. Padahal rasanya baru beberapa minggu ia tidak mengunjungi tempat ini, tapi mengapa
rasanya seperti sudah sangat lama sekali?
“Hei!” seru seseorang di sampingnya. Sila menengadahkan kepalanya untuk melihat sosok
yang baru saja tiba di sampingnya.
“Kakak?”
59
Rezha berdiri dengan nafas sedikit terengah-engah di sampingnya. Rambutnya masih basah,
dan meneteskan beberapa tetes air dari ujung rambutnya. Rezha lalu memutuskan untuk duduk di
samping Sila sambil mengatur nafasnya.
“Untuk apa kakak datang ke sini?” tanya Sila ketus lalu beranjak pergi namun tertahan karena
tangan kakaknya sudah lebih cepat menggenggam pergelangan tangannya.
“Bukankah sudah jelas? Aku mengkhawatirkanmu,” jawab Rezha semakin menguatkan
genggamannya. “Bukan hanya aku. Andika juga. Kami mengkhawatirkanmu.”
Sila diam saja. Ia lebih memberontak dengan menarik tangannya, namun genggaman tangan
Rezha jauh lebih kuat. Rezha pun ikut berdiri dan bergerak mendekat ke arah Sila yang masih
berontak.
“Sepertinya kau tak menyadari hal ini, jadi aku akan memberitahumu sekarang. Kau adalah
gadis yang sangat beruntung! Dua orang laki-laki menghabiskan malam mereka bersama hanya
untuk mengkhawatirkanmu!” seru kakaknya sedikit berteriak tanpa sedikit pun melepaskan
genggaman tangannya. Mata Rezha beradu pandang dengan mata Sila. Sila bisa melihat bayangan
dirinya di mata kakaknya yang kini melihatnya dengan tatapan tajam.
Suasana menjadi hening sesaat. Lalu tatapan kakaknya sudah tidak setajam tadi. Tatapan itu
sudah melunak, digantikan dengan tatapan sendu yang membuat mata Sila mulai berkaca-kaca.
“Jadi...,” ujar Rezha lagi, melunakkan suaranya yang sempat meninggi. Tangannya yang lain
pun memegang kepala Sila, lalu ia menepuk-nepuk kepala Sila dengan perlahan. “Tolong jangan
lakukan hal yang tidak bertanggung jawab. Aku mohon.”
Tiba-tiba sesuatu yang hangat keluar dari mata Sila. Ia menangis. Ia baru menyadari inilah
‘perasaan hilang’ yang sama saat Davin memegang kepalanya. Ia merindukan kakaknya melakukan
hal ini kepadanya. Sila mengarahkan wajahnya ke bawah dan menutupi wajahnya yang dibasahi oleh
air mata dengan tangannya yang lain.
“Apa-apaan itu? Apa-apaan itu?” ujar Sila sambil menangis. “Kakak mengkhawatirkanku?
Padahal kakak pergi tanpa memberitahuku apapun!”
“Maaf,” ujar Rezha menggantikan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Sila
menjadi telapak tangan Sila.
“Kakak bahkan tidak meneleponku lagi saat aku bilang aku tidak ingin bicara padamu.”
“Maaf,” ujar Rezha lagi semakin memperkuat genggamannya pada tangan Sila.
“Kakak bahkan bersikap seperti biasa saat aku mengabaikanmu. Kenapa kau bertingkah
seperti tidak ada sesuatu yang terjadi?”
“Aku benar-benar minta maaf,” ujar Rezha. Sila masih menangis, tapi kali ini ia membalas
genggaman tangan kakaknya yang erat itu. Tangan Rezha saat itu sangat hangat.
60
Rezha berulang kali meminta maaf dan berjanji pada Sila bahwa ia akan meninggalkan telepon
atau pesan lain kali saat ia pergi. Setelah Sila berhenti menangis, mereka lalu pulang dengan tangan
mereka yang masih saling berpegangan satu sama lain. Sepanjang jalan, Sila hanya bisa berdoa di
dalam hati. Ia berharap ia akan tetap merasakan kehangatan tangan orang yang berjalan di
sampingnya ini.
Setibanya di rumah, Bibi tercengang kaget melihat Rezha dan Sila yang pulang sambil
berpegangan tangan. Namun, wanita itu lebih memilih untuk tidak berkomentar apa pun dan
tersenyum diam-diam. Ia lalu kembali ke dapur untuk menyelesaikan urusan masaknya yang sempat
tertunda.
Rezha harus segera pergi untuk mengurusi beberapa berkas tentang pekerjaannya. Mulai
minggu depan, ia akan tergabung dalam sebuah tim yang mengurusi pembangunan sebuah gedung
pertemuan di tengah kota. Mungkin ia akan mulai pulang ke rumah pada malam hari karena
pekerjaannya terlihat begitu banyak.
Sila mengangguk paham, lalu ia pergi ke kamarnya untuk mandi. Seragamnya sepertinya
sudah sangat kusut, dan harus segera diganti. Selain itu, ia tak bisa menampik kenyataan bahwa ia
belum mandi sedari kemarin.
Sila merasakan kesegaran yang menyenangkan saat ia keluar dari kamar mandi. Ia lalu
berjalan ke arah meja makan untuk sarapan. Kakaknya sudah pergi beberapa menit yang lalu, dan
hal itu membuat rumahnya terasa semakin sepi.
“Hei! Sudah pulang?” seru seseorang yang sedang melahap makanan di meja makan.
Sila hampir melupakan kenyataan bahwa Andika masih ada di rumahnya. Rupanya lelaki itu
sudah bangun, dan kini ia sedang memakan makanan yang baru dimasak Bibi.
Sila diam saja dan duduk di kursi di depan Andika. Ia lalu mengambil dua tangkup roti
panggang dan melahapnya perlahan seperti biasanya.
“Kau tidak akan tumbuh dengan baik hanya dengan memakan makanan seperti itu,” ucap
Andika. “Aku heran kenapa kau bisa menjadi tinggi hanya dengan makan makanan seperti itu.”
Sila mengernyit. “Tinggi badanku tidak ada hubungannya dengan apa yang aku makan. Aku
hanya tinggi. Kak Rezha pun tinggi padahal yang ia makan hanyalah secangkir kopi dan roti setiap
paginya.”
“Keluarga kalian perlu merapikan lagi makanan anak-anaknya. Untung orang tuamu tinggi, jadi
kau masih bisa tumbuh dengan modal keturunan. Aku tak bisa membayangkan jika orang tua kalian
tidak tinggi, apa jadinya kau sekarang dengan lengan kurusmu itu?” ujar Andika masih sambil
mengunyah makanannya. Namun tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
61
Kenapa kau terus-menerus menyalahkanku? Memangnya hanya aku yang salah? Kenapa
orang luar sepertimu harus ikut campur urusan keluarga kami?
Andika melirik Sila yang masih sibuk mengunyah rotinya. Mungkin ia akan mendapatkan kata-
kata yang sama lagi seperti kemarin. Sebelum terlambat, ia harus mengatakan sesuatu.
“Maaf,” ucap Andika buru-buru. Sila mengernyitkan dahi tidak paham.
“Kenapa kau meminta maaf? Aku bahkan belum sempat mengatakan apapun,” ucap Sila
setelah ia menelan roti yang baru dikunyahnya. “Jangan meminta maaf saat kau tidak melakukan
kesalahan.”
“Tapi, kemarin...,” ucap Andika membalas perkataan Sila, tapi buru-buru dipotong oleh Sila.
“Aku yang harus meminta maaf. Maaf. Maaf atas perkataanku kemarin. Maaf untuk
segalanya,” ucap Sila sambil menatap Andika yang kini sedang menatapnya keheranan.
Andika lalu tertawa mendengar perkataan Sila. Sekarang giliran Sila yang keheranan. Mengapa
orang-orang justru tertawa saat ia meminta maaf? Apa ia memasang ekspresi yang aneh saat ia
minta maaf?
“Kenapa kau tertawa? Ada yang salah?” ucap Sila sambil mendengus kesal. Ia lalu melanjutkan
menggigit rotinya yang masih tersisa.
“Maaf, maaf,” ucap Andika yang masih sedikit tertawa. “Hanya saja melihatmu minta maaf
dengan cara seperti itu. Itu seperti bukan Sila yang ku kenal. Sepertinya semalam bersama Kak Davin
membuatmu sedikit lebih dewasa.”
“Itu tidak seperti kami menghabiskan malam bersama! Aku hanya menemaninya pergi ke
sebuah panti asuhan, dan kebetulan aku ikut menginap,” balas Sila mendengus kesal sambil
membuang mukanya ke arah lain. Ia sudah serius meminta maaf pada Andika, tapi pada akhirnya
Andika hanya menertawakannya.
“Aku hanya bercanda. Tapi kurasa itu bukan hal yang buruk. Maksudku, kau bertambah sedikit
dewasa bukanlah sebuah hal yang buruk,” ucap Andika kemudian. “Maafkan aku juga yang mungkin
sampai saat ini terlalu mencampuri urusanmu.”
Sila tersenyum melihat Andika yang baru saja meminta maaf kepadanya. Lalu mereka berdua
pun tertawa bersama.
“Kau baru saja berbaikan dengan kakakmu? Kudengar kau tadi menyebut nama kakakmu.
Tidak seperti biasanya,” ucap Andika. Kini ia beranjak berdiri untuk meletakkan piring makanannya di
tempat cuci.
“Memang kenapa?” tanya Sila. “Memangnya hal itu aneh? Kami kan kakak beradik. Kurasa
berbaikan adalah hal yang biasa dilakukan oleh kakak beradik.”
62
Andika tersenyum mendengar perkataan Sila. Rupanya terjadi banyak hal selagi dia tertidur
tadi pagi. Ia pun teringat sesuatu, dan berbalik menghadap Sila. “Hei, ikut aku!” ucap Andika tiba-
tiba.
“Kemana?” tanyanya sambil melihat Andika yang sudah berjalan menuju lemari di dekat meja
telepon. Andika lalu meraih sebuah bola basket dari atas sana lalu menunjukkannya kepada Sila dari
tempat ia berdiri sekarang.
Sila sendiri baru sadar ada bola basket di situ sampai Andika menunjukkan kepadanya. Ia tidak
pernah membawa bola basket lagi, bahkan bola basket yang diberikan kakaknya sudah kempes dan
ia tinggalkan di rumahnya yang lain. Mungkin kakaknya yang membawa bola itu. Sila sendiri baru
tahu jika kakaknya masih bermain basket.
“Ke depan rumahmu,” ucap Andika sambil tersenyum lebar.
Kini Sila sudah berada di depan rumah. Halaman rumah Sila hanyalah sebuah taman kecil yang
terletak di pojok kanan depan rumah, dan sisi lainnya merupakan lahan kosong yang digunakan
sebagai jalan yang cukup lebar. Di dinding dekat lahan kosong itu, tergantung sebuah ring basket
yang cukup tua. Penyangganya bahkan sudah berkarat, tapi sepertinya ia masih kuat menahan
beban ring.
Andika terlihat sedang melempar bola beberapa kali, dan tembakannya terlihat selalu masuk.
“Sila!” teriak Andika saat ia menangkap bola yang baru saja masuk ke ring. “Bukankah kau
ingin bersinar di lapangan seperti kakakmu?”
Sila menatap sosok laki-laki itu. Ia hanya mengatakan hal itu kepada kakaknya. Jadi dari mana
dia tahu?
“Karena kudengar kau sudah menyerah dengan basket, tidak keberatan jika aku
menggantikanmu?” ucap Andika masih berteriak. “Aku akan membuatmu kagum padaku. Aku akan
masuk tim reguler dan aku akan memenangkan pertandingan. Bagaimana?”
Sila masih menatap laki-laki itu dengan tatapan heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Bodoh, kau pikir selama ini kau berteman dengan siapa?” seru Andika.
Andika lalu melemparkan bola basket itu ke arah Sila, lalu ditangkap Sila dengan baik. Sila
menatap lelaki itu heran.
“Lempar bolanya,” ucap Andika sambil menggerakkan kepalanya ke arah ring.
“Kau mau meledekku?” ucap Sila mengernyit kesal. Sila yang dulu biasa memegang bola saja
dulu masih belum bisa menembak dengan baik, apalagi Sila yang sekarang tidak pernah memegang
bola.
“Sudah, lemparkan saja,” teriak Andika sekali lagi.
63
“Iya, kau tidak perlu berteriak seperti itu. Aku bisa mendengarmu!” ucap Sila membalas
Andika yang sedari tadi berteriak.
“Aku berteriak supaya kau bisa mendengarku!” balas Andika masih berteriak.
Sila mendengus kesal, lalu ia melemparkan bola itu ke arah ring. Kini tinggi badannya juga
bertambah, seharusnya peluang bola itu masuk akan semakin tinggi. Namun, sayangnya bola itu
hanya menyentuh tepi ring dan memantul ke arah lain. Sila menghela nafas panjang melihatnya.
Andika yang sedang berdiri di dekat ring pun menangkap bola itu dan melakukan jump shoot
dari samping ring. Masuk!
“Rebound...,” ucap Sila pelan saat melihat Andika berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Bukan rebound yang sama seperti yang dilakukan oleh kakaknya dulu, bahkan milik kakaknya jauh
lebih baik.
“Bagaimana?” teriak Andika setelah dia menangkap bola yang baru saja masuk ke dalam ring.
Kini Andika tersenyum lebar kepadanya, sama seperti senyum yang pernah ia tunjukkan saat Sila
mengantar seragamnya.
Sila tidak menjawab pertanyaan Andika. Walau begitu, Sila tidak bisa menyembunyikan
senyumnya yang mengembang di wajahnya. Rasanya ada sesuatu yang hadir di dalam dadanya.
Sebuah perasaan yang sedari lama ia simpan semenjak ia kecil. Sebuah perasaan yang membuatnya
selalu bertingkah kekanakkan di hadapannya. Sebuah perasaan yang membuatnya sulit bernafas dan
bergerak saat memikirkannya.
“Bodohnya aku... Seberapa kali aku menghindari perasaan ini, lagi-lagi aku terjatuh di tempat
yang sama. Lagi-lagi aku jatuh cinta padanya,” ucap Sila pelan.
Sila mengelap keringat yang membasahi wajahnya. Ini masih pukul enam pagi, tapi
keringatnya sudah keluar sangat banyak. Latihan rutin pagi ini adalah berkeliling lapangan upacara
sekolah sebanyak lima kali. Jaraknya kira-kira dua sampai tiga kilometer. Sila sudah bergabung
dengan Paskibra sekolahnya selama tiga bulan, dan ia masih belum terbiasa berlari sepanjang ini.
Melelahkan.
Ia mengingat beberapa bulan lalu. Tugas pertamanya kemarin adalah menjadi paduan suara
pada saat upacara hari kemerdekaan. Seluruh anak baru menjadi paduan suara, dan yang menjadi
64
petugas upacara adalah siswa tahun kedua. Karena tinggi badannya, Sila harus berdiri paling kanan
di barisan anak perempuan.
Sekarang ia telah menyelesaikan larinya. Beberapa anak perempuan sudah sampai terlebih
dahulu dibanding dirinya, dan semuanya terlihat sedang duduk di tengah lapangan. Kelelahan. Sila
pun ikut duduk di antara mereka. Lehernya berdenyut, dan otot kakinya terasa tertarik saat ia
mencoba untuk duduk. Kepalanya terasa sedikit pusing, tapi ia masih bisa menahan diri dari
keinginan untuk sekadar tidur-tiduran di atas rumput. Sebagai gantinya, ia meletakkan kedua
tangannya di sampingnya untuk menahan badannya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Putri, seorang gadis yang duduk di sampingnya. Putri juga terlihat
lelah. Ia adalah anak perempuan yang paling cepat menyelesaikan jatah berlarinya. Ia cukup kuat
walau badannya sedikit lebih kecil darinya. “Mau saling bersandar?” tambah Putri menawarkan diri.
Sila mengangguk lalu ia pun bergerak menuju bagian belakang punggung Putri lalu bersandar
pada punggungnya. Ini lebih baik. Tangannya tidak perlu ia gunakan untuk menahan badannya lagi.
Sebagai gantinya ia bisa mengistirahatkan tangannya dengan meletakkannya ke atas kakinya yang
sedang ia luruskan.
“Sila, kau akan menonton latihan basket lagi?” tanya Putri dari belakang punggungnya.
Sila cukup kaget mendengar perkataan Putri barusan. Ia mengernyitkan dahi, walau begitu ia
yakin Putri tidak akan bisa melihat kernyitannya. Sesuai apa yang telah Andika katakan beberapa
bulan yang lalu, ia terpilih menjadi tim reguler. Latihannya semakin banyak, dan semenjak ia terpilih
menjadi tim reguler ia pun sudah tidak berangkat sekolah bersama Sila lagi. Karena itu juga, Sila
mulai menerima tawaran untuk berangkat ke sekolah bersama dengan kakaknya.
Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Bagaimana Putri bisa tahu apa yang akan ia lakukan
setelah ini?
“Eh... Kenapa kau diam?” tanya Putri lagi. “Jangan-jangan kau sedang berpikir mengapa aku
bisa mengetahui apa yang akan kau lakukan setelah ini.”
“Putri, berhentilah membaca pikiranku!” seru Sila bersuara. Rumor bahwa Putri bisa membaca
pikiran orang sepertinya benar.
“Haha, ternyata aku benar,” ujarnya sambil tertawa. Tangannya ia regangkan ke atas dan ke
samping. “Aku tidak membaca pikiran orang. Aku hanya menganalisis apa yang sedang orang
pikirkan. Mana ada orang yang bisa membaca pikiran orang lain di dunia ini?”
“Terserah kau saja,” balas Sila sambil ikut meregangkan tangannya. “Ini tidak seperti aku
sengaja bermaksud menonton mereka latihan. Aku hanya akan beristirahat sebentar setelah latihan
dengan menonton mereka.”
65
Putri tertawa mendengar hal itu, ia hendak mengeluarkan suara lagi namun ada suara yang
lebih keras memotongnya berbicara.
“Saatnya push up. Semuanya ambil posisi!” teriak seorang lelaki yang merupakan kakak
kelasnya. Semua anak berkumpul ke sumber suara, dan menempati posisi push up-nya masing-
masing.
Sila berjalan pelan menuju lapangan basket sekolah. Kaki dan tangannya terasa sakit semua.
Lari dan push up barusan membuatnya menjadi sangat lelah. Ia lalu memilih untuk duduk di sebuah
bangku di depan kelas. Bangku itu walau berada di depan kelas, tapi tetap dapat membuatnya
melihat isi lapangan itu.
“Kami belum memulai latihan dan kau sudah bersiap untuk menonton,” ucap Davin yang
sedang berdiri di samping tempat ia duduk. Sila menengok ke arah Davin, dan Davin membalas
tatapannya dengan sebuah senyuman. “Hai!” tambahnya sambil mengangkat tangan kanannya.
“Aku tidak sedang bersiap menonton,” ujar Sila sambil melipat tangan di depan dadanya. “Aku
hanya sedang kelelahan setelah latihan. Lalu aku berpikir tidak ada salahnya jika aku datang ke sini
untuk menonton... sekaligus beristirahat.”
Davin tertawa mendengar perkataan Sila. “Sekarang kau sudah pintar memainkan kata, ya?”
“Aku sedang tidak memainkan kata, kak,” ujar Sila mendengus kesal. “Aku mengatakan hal
yang sebenarnya. Lagi pula setelah aku tidak merasa lelah lagi, aku akan pergi.”
“Kau tidak perlu marah. Kau bebas menonton sesukamu,” ujar Davin sambil beranjak pergi.
“Dan jangan lupa datang ke pertandingan kami. Omong-omong, pangeran basketmu sudah datang,”
tambahnya sambil berjalan ke arah ruang klub basket.
Sila mengangkat alisnya. Siapa pula ‘Pangeran Basket’ yang lelaki itu maksud? Kata Pangeran
terdengar menggelikan di telinganya. Sila lalu melihat ke arah Davin muncul, dan ia dapat melihat
Andika yang sedang berjalan bersama seseorang.
“Kau pagi sekali. Kau sangat ingin menonton latihan kami ya? Atau kau ingin melihat Kak Davin
latihan?” goda Andika saat jaraknya tinggal semeter dengan Sila.
“Ini tidak seperti aku ingin sekali menonton. Aku hanya sedang kelelahan setelah latihan. Lalu
aku berpikir tidak ada salahnya jika aku datang ke sini untuk menonton sekaligus beristirahat. Yang
ingin aku lihat adalah permainan kalian, bukan Kak Davin. Dan aku sedang tidak bermain kata. Aku
mengatakan hal yang sebenarnya. Lagi pula setelah aku tidak merasa lelah lagi, aku akan pergi,”
jawab Sila panjang persis seperti yang baru ia katakan kepada Davin. Tangannya masih dalam posisi
terlipat di depan dadanya.
66
“H-hei kau tidak perlu marah begitu, Sila,” ucap Andika sambil meringis. “Mood-mu buruk
sekali.”
“Dia Sila?” tanya lelaki yang sedari tadi berdiri bersama Andika sambil menunjuk ke arah Sila.
“Iya. Memang aku tak pernah memberitahumu ya, Rio?” tanya Andika balik kepada orang
yang berdiri di sampingnya.
“Dia Rio?” Kini gantian Sila yang bertanya sambil menunjuk ke arah lelaki itu.
“Iya. Memang aku tak pernah memberi tahu kalian?” balas Andika bertanya. Keduanya
menggeleng. “Astaga, kenapa ingatan kalian buruk sekali. Kita hanya tidak bertemu tiga tahun, kau
tahu? Ini bahkan sudah tiga bulan semenjak kita masuk sekolah, dan kalian sama sekali belum
mengenali satu sama lain,” tambah Andika sambil mengacak-acak rambutnya.
Sila kini memandangi Rio sambil mengingat-ingat masa lalu. Seingatnya Rio yang dia kenal
sedikit lebih... berisi. Tapi Rio di depannya ini sangat berbeda dengan bayangan Rio beberapa tahun
lalu.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Rio singkat. Sila mengerjap-ngerjap matanya masih tidak
percaya kalau lelaki di depannya adalah Rio yang pernah ia kenal.
“Ah, baik-baik saja,” jawab Sila singkat.
“Hei, Rio ayo kita pergi. Sebentar lagi latihan,” ucap Andika kepada Rio. Rio mengangguk.
“Sampai nanti,” tambahnya kepada Sila.
Sila melihat mereka buru-buru pergi ke ruang basket. Ia masih tidak percaya bahwa lelaki yang
baru mengajaknya bicara adalah teman lamanya.
“Menurutmu apa yang barusan mereka bicarakan?” tanya Andika tiba-tiba di tengah
perjalanan menuju ruang klub basket.
“Siapa?” balas Rio bertanya lagi. Ia tidak mengerti siapa ‘mereka’ yang Andika maksud.
“Tentu saja, Sila dan Kak Davin. Kau melihatnya sendiri kan? Mereka saling berbicara saat kita
baru sampai di sekolah?” jawab Andika memperjelas pertanyaan.
“Tidak tahu,” jawab Rio singkat. “Kenapa tadi kau tak bertanya padanya sendiri?”
Andika menghela nafas panjang. “Dia pasti akan menjawab ‘kami tidak membicarakan apa
pun, jadi kau tak perlu tahu’ atau sesuatu semacam itu.”
Rio hanya tersenyum mendengar perkataan Andika barusan.
“Selain itu, setelah lama tidak bertemu dan yang bisa kau katakan hanyalah ‘Bagaimana
kabarmu’?” ucap Andika lagi.
“Apa yang kau maksud?” tanya Rio sambil tetap berjalan.
67
“Bukankah dulu kau pernah kelepasan berkata kalau kau menyukainya? Maksudku, Sila,”
lanjut Andika.
Rio berhenti. “Benarkah aku pernah bilang seperti itu?”
Andika ikut berhenti. Ia berbalik melihat ke arah Rio. “Iya, aku mendengarnya dengan sangat
jelas. Kau kelepasan bicara seperti itu saat kau ketahuan akan memberikannya sekotak pensil warna.
Kau tahu kalau ia suka menggambar, kan?”
Rio berpikir sejenak, lalu ia kembali berjalan. “Kau mungkin benar,” ujarnya sambil tersenyum.
“Tapi, aku tak bisa terus-menerus bertanggung jawab atas segala yang aku katakan saat kecil,
bukan?”
Andika menatap Rio sesaat, lalu ia pun ikut berjalan. “Kau benar,”
“Lalu, bagaimana denganmu?” tanya Rio balik.
“Aku? Aku keren seperti biasa,” jawab Andika singkat sambil mempercepat langkahnya.
Babak final pertandingan basket SMA. Stadion kini telah dipenuhi oleh orang-orang yang
merupakan pendukung dari masing-masing sekolah. Hari ini adalah hari terakhir pertandingan antara
68
empat sekolah untuk memperebutkan posisi menjadi wakil kota. Setelah ada sekolah yang memiliki
kemenangan paling banyak selama tiga pertandingan, maka sekolah itu akan menjadi wakil kota ini
untuk pertandingan basket tingkat selanjutnya. Benar-benar melelahkan. Para pemain akan bermain
sebanyak dua kali hari ini setelah satu kali pertandingan kemarin.
Sila dan Anes kini sudah duduk di salah satu tribune penonton sambil menyuarakan jargon
sekolah mereka. Pendukung dari sekolahnya sangat banyak, dan didominasi oleh para gadis yang
mengidolakan Kak Davin. Memang tidak bisa disangkal lagi, Kak Davin memang yang paling bersinar
di antara pemain lainnya. Dia adalah kapten tim yang tampan dan tinggi. Selain itu ia berasal dari
keluarga kaya. Oke yang terakhir itu memang tidak ada hubungannya.
Sila menatap jam yang terletak di pergelangan tangan kirinya. Kakaknya sangat lama. Ia
padahal berjanji untuk datang menonton pertandingan ini bersamanya karena kebetulan hari ini ia
sedang tidak ada pekerjaan. Sebenarnya Sila sendiri tahu bahwa kakaknya lebih tertarik untuk
menonton Andika bermain daripada menonton bersamanya. Tapi, ia tidak mempermasalahkan hal
itu. Ia juga berpikiran sama seperti kakaknya.
“Hei Sila!” seru seseorang di belakangnya. Sila dan Anes langsung menoleh ke arah suara itu.
“Kakak?!” seru mereka berdua secara bersamaan.
“Jaga konsentrasimu. Kau gagal menangkap passing dari Rio kemarin, dan membiarkan lawan
melakukan steal,” ucap pelatih kepada Andika. Tim mereka kini tengah melakukan rapat sebelum
pertandingan. Andika mengangguk mantap.
“Lalu Tio, perkuat bagian pertahanan. Ingat pertandingan ini adalah kesempatan terakhir kita.
Tahun depan kita tidak akan bertanding lagi,” ucap pelatih kepada Tio yang segera disambut
anggukan.
“Ingat hari ini kita bertanding dua kali. Jaga stamina kalian. Pemain cadangan bersiaplah kapan
pun untuk menggantikan pemain reguler. Dua kali lagi kita menang, kita akan menjadi wakil kota
ini,” tambah pelatih menyelesaikan evaluasinya.
Rapat bubar bersamaan dengan Davin meneriakkan jargon sekolah mereka sebagai penutup.
Beberapa dari mereka melakukan pemanasan, dan yang lainnya hanya duduk untuk menghemat
tenaga mereka. Lalu terdengar suara announcer yang memanggil para pemain sekolah yang
bersangkutan untuk keluar dari ruang pemain.
“Andika,” ucap Davin dari belakangnya saat Andika akan keluar dari ruang pemain. Semua
pemain telah keluar, dan hanya mereka berdua yang tersisa di dalam ruangan. “Apakah Sila
datang?”
Andika menatap Davin dengan keheranan. “Iya,” jawab Andika singkat.
69
“Di tribune sebelah mana?” tanya Davin sekali lagi. Hal itu membuat Andika semakin merasa
keheranan.
“Sebelah barat, kurasa,” jawab Andika lagi. Davin tersenyum mendengar hal itu dan berjalan
keluar dari ruang pemain meninggalkan Andika yang masih terdiam di tempat.
“Kak...,” panggil Andika dari belakangnya. Ia terlihat ragu untuk mengatakannya, tapi ia sudah
ingin mengatakannya sedari dulu. Davin berhenti dan menoleh ke arah Andika. “Mungkinkah kau
menyukai Sila?” tanyanya.
Lelaki di hadapannya tersenyum lebar. “Terlalu awal untuk mengatakan aku menyukainya,”
jawabnya kepada Andika. “Tapi bukan berarti aku tidak menyukainya,” tambahnya sambil
melanjutkan jalannya menuju ke luar, meninggalkan Andika yang masih terdiam.
“Kakak?!” seru Sila dan Anes secara bersamaan. Mereka berdua pun saling berpandangan satu
sama lain.
“Anes? Aku tak menyangka kau akan pergi ke sini,” ujar seorang wanita muda yang datang
bersama Rezha kepada Anes.
“Kenapa Kak Rika bisa datang ke sini? Jadi yang kakak bilang acara spesial itu adalah...,” ucap
Anes namun terputus karena wanita muda itu langsung menutup mulut Anes dengan cepat.
“Jadi adikku dan adikmu adalah teman. Kebetulan sekali,” ucap Rezha sambil mengambil
tempat duduk di samping Sila. Wanita muda yang tadi datang bersamanya pun duduk di samping
Rezha setelah ia melepaskan tangannya dari mulut Anes.
Sila memberi kode kepada kakaknya, menanyakan siapa wanita muda yang datang
bersamanya itu. Rezha yang melihat kode yang diberikan Sila langsung tertawa.
“Kenalkan dia Rika, teman SMA-ku dulu. Kami masih sering berkomunikasi saat aku masih di
Jepang,” ujar kakaknya sambil mengenalkan wanita muda di sampingnya itu. “Lalu saat aku bilang
aku akan pergi menonton pertandingan basket hari ini, Rika pun menawarkan diri untuk ikut. Maka
dari itu, kami bisa bersama-sama datang ke sini.”
Wanita itu mengangguk dan menawarkan tangannya untuk bersalaman. Jadi, kakaknya
bahkan tetap berkomunikasi dengan teman wanitanya saat SMA sementara ia tidak menghubungi
adiknya yang sedang kesal saat itu? Sila bergumam sendiri di dalam hati sambil menyambut tangan
Rika yang telah diulurkan kepadanya.
“Terima kasih karena sudah menjadi teman Anes selama ini. Jadi, kau Sila yang sering
diceritakan Anes? Maaf kalau Anes sedikit cerewet. Dia memang begitu, tapi dia anak yang sangat
baik,” ucap Rika berbasa-basi yang disambut oleh lirikan tajam Anes yang duduk di samping Sila.
“Lihat, pertandingan akan dimulai,” seru Rezha sambil melihat ke arah lapangan.
70
Sila ikut melihat ke arah lapangan dan ia bisa melihat Andika dengan seragam putih-birunya
berdiri di tengah lapangan. Pemain yang berdiri di ujung barisan adalah kapten masing-masing tim.
Perasaannya atau bukan tapi kapten dengan seragam putih-biru sempat menoleh dan tersenyum ke
arahnya. Davin menoleh dan tersenyum ke arahnya, dan hal itu menimbulkan keributan di bangku
yang berada di dekatnya.
“Kak Davin melihat ke sini! Dia tersenyum! Dia pasti tersenyum ke arahku!” teriak seorang
gadis berambut keriting.
“Ia pasti tersenyum ke arahku! Lihat saja matanya!” teriak gadis yang lainnya.
“Ha-ha,” ucap Sila sambil tertawa hambar melihat kelakuan gadis-gadis itu. Ia tidak peduli
kepada siapa Davin tersenyum. Ia datang ke sini untuk melihat permainan Andika.
“Oh, jadi itu Davin yang membawamu semalaman,” gumam Rezha sambil melipat tangannya
di depan dadanya saat mendengar komentator mengumumkan nama pemain dari masing-masing
tim. “Aku jadi penasaran bagaimana permainannya.”
“Kak Rezha, kau membuatnya terdengar buruk,” ucap Sila sambil melirik kakaknya yang
tengah memperhatikan Davin. Kata ‘membawa semalaman’ terkesan bahwa ia dibawa kabur oleh
Davin selama satu malam, bukan?
Para pemain pun menempatkan posisinya. Wasit lalu melambungkan bola ke atas, dan para
pemain penyerang dari kedua tim pun berebut mengambil bola yang melambung.
“Satu kali menang dan kita akan menjadi wakil kota ini!” teriak Davin saat timnya kembali ke
ruang pemain. Para pemain pun menyambut teriakannya dengan jargon sekolah. Pertandingan
sebelumnya cukup sulit. Skor berakhir dengan 88-92, dan pertandingan dimenangkan oleh tim
sekolahnya.
Mereka akan beristirahat penuh kurang lebih selama satu kali pertandingan karena adanya
pertandingan sekolah lain. Beberapa pemain cadangan memutuskan untuk menonton pertandingan,
karena lawan mereka selanjutnya adalah sekolah yang akan bermain setelah ini. Yang lain
memutuskan untuk beristirahat sebentar di ruangan, lalu pergi menonton pertandingan. Andika
sendiri memutuskan untuk pergi keluar sejenak setelah melihat ada pesan di handphone-nya.
“Kau mau ke mana?” tanya Rio saat melihat Andika memakai jersey-nya.
Andika menoleh sebentar lalu melambaikan tangan. “Keluar sebentar.”
Andika berlari menyusuri lorong. Rezha baru saja mengiriminya pesan, dan ia berkata ada hal
penting yang ingin dibicarakan di kafetaria stadion.
71
“Hei Andika!” teriak Sila sambil melambaikan tangan ke arahnya dari sebuah meja. Di meja itu
sudah berisi empat orang. Rezha, Sila, Anes dan seorang wanita muda yang tidak ia kenal. Andika
lalu berjalan mendekati meja itu.
“Ah, kau belum mengenalnya ya? Kenalkan dia Rika, teman SMA-ku sekaligus kakak Anes,”
ucap Rezha sambil mengenalkan Rika kepada Andika. Rika yang dimaksud Rezha tersenyum kepada
Andika.
“Aa... Salam kenal,” ucap Andika sambil menganggukkan kepalanya satu kali.
“Duduklah,” ujar Rezha sambil mendorong sebuah kursi ke arah Andika. Andika menurutinya
dan duduk di atas kursi itu. “Hal penting apa yang...”
Belum sempat Andika menyelesaikan perkataannya, Sila pun mengeluarkan sebotol minuman
isotonik dari dalam tasnya sambil tersenyum lebar. Ia lalu mendorong botol itu ke arah Andika.
“Minumlah,” ujar Rezha sambil menyuruhnya untuk meminumnya. Andika menatap botol
minuman itu. Botol minuman itu wajar-wajar saja, tapi isinya terlihat tidak wajar. Berwarna cokelat
seperti teh. Andika mengernyit melihat cairan di dalam botol itu.
“Kau menunggu apa? Minumlah,” ujar Sila tidak bersabar. Andika lalu melirik ke arah Rezha. Ia
masih ragu-ragu, tapi Rezha tidak berkata apa pun. Akhirnya Andika pun membuka tutup botol itu
dan meminum isinya.
“Bagaimana?” tanya Rezha. “Gadis-gadis di Jepang selalu memberikan ini kepada teman
lelakinya setelah berolahraga. Maka dari itu aku menyuruh Sila untuk membuatkan satu untukmu.
Seharusnya ia dikemas dengan potongan lemon yang masih ada di dalamnya, tapi berhubung wadah
di rumah kami habis jadi kami menggunakan botol minuman isotonik itu dan membuang lemonnya.”
Andika mengernyit mendengar perkataan Rezha. Jadi botol yang sedang dipegangnya adalah
bekas seseorang? Bekas siapa? Otaknya hanya mengarahkan kepada satu orang. Pasti dia yang telah
meminum isi asli minuman isotonik ini. Siapa lagi kalau bukan Sila yang kini sedang membuat
cengiran lebar?
“Lemon tea?” ucap Andika setelah meminum habis minuman itu. “Jadi, gadis Jepang
memberikan lemon tea untuk mereka yang baru selesai berolahraga?”
Rezha mengernyit mendengar perkataan Andika, lalu ia memeriksa botol yang tengah
dipegang Andika dan mencium baunya.
“Hei Sila, apa yang kau gunakan untuk membuat ini?” tanya Rezha setelah meletakkan botol di
atas meja.
“Eh... Itu teh,” jawab Sila seadanya sambil mengalihkan mukanya ke arah lain. Rezha langsung
memegang kepalanya setelah mendengar perkataan Sila.
“Bukankah sudah kubilang untuk menggunakan madu?” ucap Rezha lagi.
72
“Tapi, kakak bilang setelah beberapa saat ia akan berubah warna menjadi sewarna teh. Selain
itu, kita tidak mempunyai madu di rumah,” jawab Sila lagi sambil meringis.
“Kenapa kau tidak membelinya?” tanya Rezha balik.
“Itu karena aku baru membuatnya semalam. Aku hampir lupa membuatnya jadi aku
terbangun pada tengah malam, dan baru membuatnya pada saat itu juga. Tidak mungkin kan aku
keluar semalam itu,” ucap Sila membela diri.
Anes dan Rika hanya bisa tertawa melihat kejadian di depan mereka. Rezha yang sedari tadi
memegang kepalanya lalu ikut tertawa, diikuti Andika. Mereka meninggalkan Sila yang terdiam
melihat mereka tertawa.
“Apanya yang lucu?” tanya Sila kesal.
“Tidak apa-apa. Hanya saja aku baru menyadari, bukan adikku namanya kalau ia melakukan
sesuatu dengan benar,” ucap Rezha mengejek Sila. Sila langsung memasang tampang sebal saat
Rezha mengucapkan itu.
Pertandingan terakhir Andika hari ini. Jika ia menang, timnya bisa menjadi wakil kota ini. Ia
begitu bersemangat dengan hal ini sampai-sampai ia tidak bisa berhenti tersenyum.
“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Menggelikan,” ucap Rio saat melihat Andika tersenyum-
senyum sendiri.
“Kau orang kedua yang mengatakan bahwa senyumku menggelikan. Tapi silakan berkata apa
pun yang kau mau. Aku sedang senang,” ucap Andika riang. Sebentar lagi ia akan membuat Sila
kagum padanya.
“Hati-hati, lawan kita kali ini sulit. Setidaknya itu yang aku dengar dari para pemain cadangan
yang sempat melihat lawan kita bermain,” ujar Rio mengingatkan Andika yang ini sudah berjalan
riang ke arah lapangan.
“Iya, aku mengerti,” jawab Andika sambil tersenyum lebar dengan ‘Senyum Menjijikkan’nya.
Andika cidera pada kuarter ketiga dan harus segera digantikan yang lain. Pada akhirnya
pertandingan itu dimenangkan oleh pihak lawan. Bukan karena Andika yang tidak bermain, tapi
karena pihak lawan jauh lebih baik. Skor berakhir dengan 80-98 untuk pihak lawan. Semua
pendukung dari sekolahnya terlihat kecewa, bahkan para gadis pengidola Kak Davin pun bungkam
saat sekolah mereka kalah. Menyesali mengapa sekolahnya kalah di saat tahun itu adalah tahun
terakhir Davin bermain. Tahun depan, Davin diwajibkan berkonsentrasi kepada akademiknya.
Sila menunggu Andika seorang diri di pintu keluar ruang pemain sekolahnya. Ia harus tahu
bagaimana keadaan Andika sekarang.
73
Pintu ruangan pun terbuka, dan Davin yang keluar pertama kali dari ruangan itu. Raut
wajahnya terlihat sangat sedih. Ini adalah kesempatan terakhirnya membawa timnya menuju
pertandingan antar kota, dan kali ini ia gagal.
“Kak...,” ucap Sila saat Davin berjalan melewatinya. Davin pun menengok ke arah Sila yang
baru saja memanggilnya.
“Maaf karena kami... kalah,” ucap Davin terbatas sambil melihat ke arah lain. Ia merasa ragu
untuk melihat langsung ke arah wajah Sila.
“Jangan meminta maaf saat kau tidak melakukan kesalahan. Itu yang pernah kau katakan,
bukan?” ucap Sila membalas perkataan Davin. “Kau bermain dengan baik, bahkan jauh lebih baik
dari permainanmu yang pernah aku lihat. Permainanmu yang baik itu, bukanlah sebuah kesalahan.”
Davin tersenyum. “Kau benar. Terima kasih kau membuatku merasa lebih baik lagi.” ujar Davin
sambil tertawa pelan. “Aku akan tertawa sekarang karena kau pernah bilang aku terlihat lebih baik
saat tertawa.”
Sila mengangguk pelan. Ia tersenyum melihat Davin yang memang terlihat lebih baik saat ia
tertawa.
“Aku masih ingin berbicara denganmu lebih banyak, tapi dia sepertinya lebih
membutuhkanmu,” ucap Davin sambil menunjuk ke arah belakangnya dengan ibu jarinya. “Aku pergi
dulu,” tambah Davin sambil berjalan pergi.
Sila menatap lelaki yang berjalan pergi, lalu gantian memandangi arah yang tadi ditunjukkan
Davin dan melihat Andika yang berulang kali menolak dibantu berjalan oleh Rio. Sila langsung
menghampiri Andika dan mencoba membantunya berjalan.
“Tidak usah,” seru Andika pelan saat Sila mencoba ikut membantunya berjalan. “Aku hanya
sedikit terkilir. Tidak usah dibantu,”
“Ada legenda jika kau pergi ke tempat itu, kau akan bertemu dengan cinta pertamamu.”
“Oh, cinta pertama ya? Romantis sekali.”
“Iya. Romantis sekali, bukan?” “Tapi, kalau untukku sendiri. Aku lebih memilih bersama
dengan cinta baruku daripada cinta pertamaku.”
“Eh, kenapa? Bukankah romantis jika kau bisa bertemu dengan cinta pertamamu?”
“Mungkin karena cinta pertamaku adalah pamanku. Haha. Selain itu, aku akan merasa
terjebak dengan masa lalu jika aku terus-menerus memikirkan kemungkinan antara aku dengan cinta
pertamaku.”
74
“Tapi berbeda jika cinta pertamamu adalah cintamu yang sekarang. Jangan menyerah Sila.
Walau begitu, aku menyarankan jangan pernah menggantungkan harapanmu kepada mitos apapun.
Mereka hanya mitos, bukan kenyataan.”
“Aku bahkan tidak menyadari kalau Kak Rezha dan Kak Rika saling menyukai,”
“Padahal itu terlihat begitu jelas menurutku,”
“Ah, kenapa aku tidak bisa menyadari hal yang begitu jelas seperti itu?”
“Tidak apa-apa. Kurasa itu bagian baik darimu,”
“Apa? Jadi kau ingin mengatakan kalau aku tidak sensitif?”
“Sila, kau menyukai Andika?”
“Ada apa kau tiba-tiba bertanya hal seperti itu?”
“Kau jawab pertanyaanku dulu.”
“Tidak, aku tidak menyukainya,” jawab Sila singkat.
“Syukurlah. Kukira kau menyukainya.”
“Aku menyukainya, dan aku takut kau juga menyukainya.”
Sila tersenyum pahit. Ia memang tidak menyukai Andika. Ia mencintainya.
Jika sebuah kutukan adalah seperti pedang bermata dua yang bisa menyerangmu kapan saja
saat kau lengah, lalu bagaimana dengan doa? Ia selalu berdoa supaya bisa bersama dengan
seseorang yang ia cintai. Namun hari ini, doanya terbukti tidak terkabul. Orang yang ia cintai akan
pergi bersama wanita yang ia cintai. Di sisi lain ia tak bisa bersama lelaki yang ia cintai padahal lelaki
itu begitu dekat dengannya. Lalu, dia harus berdoa seperti apa supaya bisa terkabul?
“Sila, kau... cocok dengan pakaian itu,”
Sila tersenyum mendengar perkataan Andika. Ia menghabiskan banyak waktunya hanya untuk
berdandan, menata rambutnya, dan memakai baju yang merepotkan hanya untuk mendengarkan
Andika mengatakan hal itu padanya.
“Andika, ini untukmu,”
Sila melihat Kana datang menghampiri Andika sambil memberikan segelas minuman. Sila kau
tersenyum, dan tidak terasa air matanya turun. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Mengapa ia terus menerus bermimpi? Selalu berpikir bahwa ia bisa bahagia dengan orang
yang ia cintai. Terus menerus melakukan hal bodoh yang dapat menarik perhatiannya hingga bosan.
Walau begitu ia bahkan tidak pernah merasa bosan melakukan hal-hal bodoh itu. Ia tidak pernah
bisa menghentikan kelakuan bodoh ini dengan keinginannya sendiri.
75
“S-sila kenapa kau menangis?” tanya Kana sambil menghampiri Sila yang sedang menutup
wajahnya.
“Bagaimana aku bisa tidak menangis? Kakakku akan pergi bersama wanita lain yang ia cintai.
Ini tangis kebahagiaan, kau tahu?”
Tiba-tiba sebuah tangan yang hangat menggenggam telapak tangannya dengan kuat, sehingga
membuat tangan Sila terlepas dari wajahnya. Sila menoleh dan melihat Anes yang tersenyum
hangat. Sila tersenyum, dan memeluk Anes dengan erat. Anes menerima pelukan Sila, dan tetap
menggenggam tangan Sila.
Karena ia tidak bisa berdoa untuk dirinya sendiri, Sila pun akhirnya memutuskan untuk tetap
berdoa kepada Tuhan. Ia mendoakan seseorang dengan tangan hangat ini supaya ia bisa tetap
bahagia.
“Aku jadi teringat kejadian beberapa tahun lalu. Saat itu Andika masih sebesar ini.”
“Dia bilang pada Tante kalau ia akan menggantikan Rezha saat Rezha pergi, jadi jangan bawa
Sila pergi dari sini. Sayang sekali Sila masih kecil, dan kami harus tetap pindah karena masalah
pekerjaan.”
“Apakah sekarang Andika bisa menjadi pengganti Rezha bagi Sila?”
“Jadi kalian bertiga menyukai Sila?”
Ketiga lelaki itu tercengang mendengar perkataan Rezha yang begitu tiba-tiba. Rio sendiri
sampai bergumam pada dirinya sendiri, tiga itu termasuk aku?
“Kalau kalian memang lelaki sejati, dan ingin merebut seorang wanita dari keluarganya.
Cobalah jadi levelku.”
“Sebenarnya kau menganggap adikku sebagai apa?”
“Dia adalah orang yang berharga bagiku.”
“Bukankah kau sudah tahu perasaannya terhadapmu? Mengapa kau bertingkah seolah-olah
kau tidak mengetahui apa-apa?”
“Aku tak tahu... Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Hanya saja dia terlalu berharga bagiku sampai-sampai aku tak berani menyentuhnya.”
“Pemikiran macam apa itu? Seseorang yang benar-benar memiliki sesuatu yang berharga akan
memegangnya dengan erat dan tidak akan melepaskannya begitu saja.”
“Aku berpikir jika aku menyentuhnya, aku akan menyakitinya.”
76
“Kau pun sekarang telah menyakitinya dengan sikapmu itu.”
“Kau benar. Aku benar-benar tidak berguna.”
“Kau mau ke mana?”
“Kurasa aku akan pergi ke minimarket sebentar.”
“Kalau begitu aku ikut. Ada hal yang ingin aku beli.”
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Sila katakan pada Andika sepanjang perjalanan. Tapi
perkataan itu tidak bisa ia keluarkan dari mulutnya karena rasanya terlalu memalukan untuk
dikatakan. Karena itu, ia memutuskan hanya melihat punggung lelaki yang ia sukai ini, dengan
rambutnya yang berubah kemerahan saat disinari matahari.
“Hei, Andika.”
“Ya?”
“Bagaimana perkembangan persiapan ujian kelasmu saat ini?”
“Kupikir baik-baik saja. Aku dan Kana melakukan pekerjaan kami dengan baik.”
“Jadi yang mengerjakan soal hanya kalian berdua?”
“Iya, karena kupikir tenaga kami berdua sudah cukup untuk itu.”
“Ah, begitu.”
Sila terkejut ketika ia menyadari ada nyeri tersendiri di dadanya ketika mendengar Andika
berkata ‘kami berdua’ padahal ia sendiri yang menanyakan hal itu.
“Kedengarannya menyenangkan.”
Andika berbalik dan terdiam melihat Sila. Sila yang menyadari bahwa Andika berhenti
langsung terdiam, dan memainkan poninya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“M-maaf. Kupikir aku harus segera pergi ke rumah Anes. Andika, bersemangatlah!” ujar Sila
sambil berbalik dan berlari kembali ke arah rumah Anes.
Andika masih tetap terdiam menatap Sila yang berlari. Sila masih tetap berlari menuju rumah
Anes. Aneh, walau kata-kata itu hanya sekadar lewat di mulut Andika, entah kenapa hal itu
membuatnya semakin sedih. Selain itu, ia tetap tidak bisa menghilangkan kesedihan karena tidak
bisa berada di samping Andika melebihi Kana.