working paper no. 01 dibutuhkan 1,5 milyar...
TRANSCRIPT
WORKING PAPER No. 01DIBUTUHKAN 1,5 MILYAR
UNTUKATASI TEBANG BUTUH
PAPER
Studi Kasus Desa Terong, Bantul, DIY
Oleh :Agus Budi Purwanto | ARuPASugeng Triyanto | ARuPASitta Yusti Azizah | ARuPAFajar Kurniawan | ARuPA
ICCTF
DIBUTUHKAN 1,5 MILYAR UNTUK
ATASI TEBANG BUTUH
PAPER
Studi Kasus Desa Terong, Bantul, DIY
Oleh :Agus Budi Purwanto | ARuPASugeng Triyanto | ARuPASitta Yusti Azizah | ARuPAFajar Kurniawan | ARuPA
ICCTF
DIBUTUHKAN 1,5 MILYAR UNTUK ATASI TEBANG BUTUH
Studi Kasus Desa Terong, Bantul, DIY
Agus Budi PurwantoSugeng TriyantoSitta Yusti Azizah Fajar Kurniawan
ABSTRAK
Saat ini hutan rakyat telah menjadi lanscape bisnis keluarga petani yang menjanjikan. Namun di dalamya masih menyimpan persoalan kelestarian lantaran penebangan pohon belum layak tebang. Riset ini bermaksud mengetahui seberapa besar dana tunda tebang yang dibutuhkan petani hutan rakyat dalam satu tahun. Kami menemukan bahwa kebutuhan dana tunda tebang bagi 554 petani hutan rakyat Desa Terong setiap tahun sejumlah 1,5 milyar. Potensi untuk membuat lembaga keuangan tunda tebang secara mandiri sangat dimungkinkan. Sehingga, diperlukan desain dan pembentukan lembaga keuangan yang mengakomodir pohon sebagai agunan pinjaman tunda tebang.
1. PendahuluanDi negara-negara berkembang, saat ini hutan rakyat dan hutan skala kecil berbasis masyarakat lainnya telah berkembang menjadi fenomena yang sangat penting dalam sumber pendapatan keluarga, ketenagakerjaan, serta cara hidup sehari-hari di wilayah pedesaan (Kozak, 2007; Nugroho, 2010; Tomasolli et al., 2013). Hutan rakyat dapat pula menjadi alat yang penting dalam penurunan kemiskinan. Terdapat beberapa alasan atas fakta tersebut antara lain: pertama, hutan rakyat menyerap tenaga kerja yang bersifat padat karya serta berjangka waktu lama; kedua, hutan rakyat telah tumbuh pesat serta memberikan berkontribusi pada kelestarian lingkungan, pasar kayu yang menguntungkan, serta dapat menciptakan struktur ekonomi baru dalam bisnis kehutanan; ketiga, hutan rakyat melayani pasar lokal dan domestik yang telah tumbuh pesat; dan keempat, hutan rakyat dapat menciptakan jiwa kewirausahaan bagi pengelolanya (Kozak, 2007).
| Paper ARuPA - September 2014
ICCTF
Pag
e 1
Di Indonesia, dalam segi perkembangannya pada rentan waktu
1960 – 1980, hutan rakyat dikreasikan masyarakat desa sebagai
bentuk konservasi tanah kritis. Namun pada periode 1990-2010,
ketika industri penyerap hasil kayu rakyat tumbuh pesat, hutan
rakyat menjelma menjadi sebuah landscape bisnis keluarga
yang menjanjikan (Suprapto, 2010; Arupa, 2013). Terlebih lagi
ketika periode pasca itu hingga sekarang, ketika pemerintah
Indonesia semakin memangkas biaya politik dan ekonomi 1perijinan kayu rakyat, bisnis hutan rakyat bagi petaniDi
Indonesia, dalam segi perkembangannya pada rentan waktu
1960 – 1980, hutan rakyat dikreasikan masyarakat desa sebagai
bentuk konservasi tanah kritis. Namun pada periode 1990-2010,
ketika industri penyerap hasil kayu rakyat tumbuh pesat, hutan
rakyat menjelma menjadi sebuah landscape bisnis keluarga
yang menjanjikan (Suprapto, 2010; Arupa, 2013). Terlebih lagi
ketika periode pasca itu hingga sekarang, ketika pemerintah
Indonesia semakin memangkas biaya politik dan ekonomi
perijinan kayu rakyat, bisnis hutan rakyat bagi petani semakin
berkembang, senada dengan meningkatnya luasan hutan rakyat
di Indonesia. Hutan rakyat tumbuh berkembang tak bisa
dipungkiri berkat intervensi aktor ekonomi bernama industri
perkayuan.
________________________1 Semisal munculnya Permenhut P.30/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Hak. Dalam Permenhut tersebut, ijin kayu rakyat tidak lagi hingga pejabat kabupaten, namun cukup di institusi desa, dan bahkan hanya menggunakan nota dari pemilik kayu. Hal tersebut secara langsung menurunkan biaya produksi, sehingga transaksi kayu rakyat diproyeksi akan melonjak lebih tinggi. Hal lain, permintaan kayu rakyat semakin tinggi disebabkan pasokan kayu bagi industry dari hutan alam dan hutan tanaman skala besar turun lantaran adanya deforestasi. P
age 2
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Layaknya pisau bermata dua, intervensi tersebut pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan petani hutan, pada sisi lain dapat pula mengancam kelestarian fungsi hutan. Komparasi paralel dapat disebutkan sebagai berikut: Jika jargon konservasi tanah kritis dibelakang tumbuhnya hutan rakyat, maka dapat dipastikan umur kayu tebang relatif besar antara 20 hingga 40 tahun. Namun jika jargon ekonomi menjadi latarbelakang tumbuhnya hutan rakyat, maka dapat dipastikan pula umur kayu tebang akan turun bahkan hingga jangka umur antara 5 sampai 10 tahun. Fakta komparasi terakhir tersebut yang sebenar-benarnya terjadi pada hutan rakyat di Indonesia.
Tentu saja, penurunan umur tebang tersebut tidak terjadi hanya lantaran faktor dari luar. Faktor dari dalam keluarga petani sendiri juga memiliki andil. Kebutuhan yang kian meningkat dan beragam menjadi salah satu faktor dalam mempercepat jadwal penebangan. Tebang butuh sebuah istilah untuk seakan mengatakan bahwa kebutuhan keluarga petani kecil di desa tidak pernah terduga dan hutan rakyat sebagai layaknya “celengan” atau tabungan untuk dapat diambil sewaktu-waktu, entah masih sedikit entah sudah banyak (dalam konteks kayu, entah masih muda entah sudah tua). Semuanya pada dasarnya laku terjual di pasaran.
Jika benar logika hutan rakyat sebagai tabungan yang dapat diambil sewaktu-waktu tanpa peduli apapun kondisi lantaran kebutuhan keluarga petani yang selalu tak terduga tersebut, maka perlu dipikirikan ulang mengambil sebagian “peran” tabungan pada hutan rakyat khususnya untuk kebutuhan skala kecil yang tidak terduga. Lembaga keuangan mikro ataupun koperasi menjadi pilihan yang menarik untuk disodorkan untuk memerankan sebagian peran tersebut. Mengapa demikian? Selain dari oleh dan untuk anggota, LKM atau koperasi khusus yang dibuat oleh keluarga petani dapat menyesuaikan diri secara spesifik dalam mekanisme simpanan dan pinjaman sesuai dengan karakteristik anggotanya. Jika pada lembaga keuangan lain, pohon tidak bisa menjadi jaminan, dalam LKM atau koperasi petani hutan rakyat, pohon dimungkinkan menjadi agunan. Tentu saja pengkreasian tersebut masih terus berlanjut P
age 3
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
dengan ragam yang lain asalkan tetap memegang prinsip manajemen yang baik yakni transparan, akuntabel, serta sehat.
Pertanyaan Penelitian
Kendati hutan rakyat telah menjadi sumber pendapatan bagus bagi petani di desa, ia tidak semata-mata satu-satunya sumber penerimaan bagi ekonomi rumah tangga petani. Wawancara saya dengan salah seorang ketua kelompok tani hutan rakyat di Desa Girisekar tahun 2010 menyebutkan setidaknya beliau memiliki 10 sumber pendapatan baik dari hutan rakyat, peternakan, jual tenaga/jasa pertanian, makelar, kerja buruh bangunan di kota, kepemerintahan desa, pengurus di sekian organisasi masyarakat, istri yang mengajar TK, memijat refleksi, dan membuat mebel & handycraf berbahan ranting kayu. Keragaman tersebut menjadi menarik untuk ditelisik lebih jauh sebenarnya berapa besaran serta prosentase dari masing-masing pekerjaan terhadap penerimaan/income ekonomi keluarga.
Pertanyaan lebih lanjut yaitu apa saja ragam pengeluaran keluarga petani berikut besaran serta prosentasenya. Pengeluaran selanjutnya dapat dikatergorikan dalam beberapa kategori dengan variasi-variabel misalnya kebutuhan besar sedang dan sedikit. Variabel yang digunakan misalnya sumber pendapatan yang digunakan, kebutuhan rutin dan tiba-tiba, bidang kebutuhan misalnya pendidikan, kesehatan, rekreasi, dst.P
age 4
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Karena seringnya ketidaksesuaian waktu antara penerimaan
dan pengeluaran akibat mayoritas ketidaktetapan penerimaan
yang didapat keluarga petani, maka keluarga petani sering
menggunakan jasa lembaga keuangan baik itu bank maupun
renternir dalam meminjam uang. Dalam hal kebutuhan seperti
apa serta pada waktu kapan peminjaman-peminjaman tersebut
lazim dilakukan. Serta bagaimana secara ringkas mekanisme
peminjaman tersebut berjalan adalah pertanyaan-pertanyaan
kunci untuk mendapatkan profil bagaimana keluarga petani
memenuhi kebutuhan uang tunai dengan pinjaman.
Gambar 1. Alur Pikir Penelitian
Sehingga dengan demikian dapat dirumuskan pertanyaan
utama penelitian yaitu: Berapa besar kebutuhan dana tunda
tebang dalam satu tahun untuk Desa Terong?
Kontribusi Hasil Penelitian
Penelitian ini memberikan kontribusi setidaknya pada dua hal penting: pertama, sebagai bahan untuk merancang model lembaga keuangan masyarakat yang mengakomodir seoptimal mungkin kebersesuaian dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani hutan rakyat. Kedua, untuk mendukung kelestarian hutan rakyat dengan upaya peningkatan skala umur tebangan terkecil dari kayu.
Pag
e 5
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Metode
§ Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Terong Kecamatan
Dlingo Kabupaten Bantul DIY. Subyek penelitian yaitu
anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat JASEMA (KTH
Jasema) yang memiliki anggota sebanyak 554 keluarga
petani.
§ Populasi yang akan diteliti yaitu sejumlah anggota KTH
Jasema yang kemudian diambil sampel dengan
menggunakan rumus Slovin (Arikunto, 2000), sebagai
berikut:
n adalah jumlah respondenN adalah jumlah total kepala keluarga (KK)e adalah presisi 15%
n = 41 sample
Dengan berbagai pertimbangan, salah satunya untuk semakin membuat valid perolehan data, maka diputuskan untuk mengambil sampel 45 responden. Penentuan sampel orang menggunakan metode sampling purposive. Dari sejumlah 45 responden tersebut akan dibagi menjadi dalam 3 golongan yaitu, pemilik hutan rakyat dan lahan pertanian dengan luas lahan >1 ha; 0.5-1 ha; <0.5 ha.
Pag
e 6
N
N(e )2
+ 1n =
554
554 (0,15)2
+ 1n =
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
§ Pencarian data
Menggunakan metode studi pustaka, wawancara, kuesioner,
dan pengamatan lapangan. Studi pustaka untuk
mendapatkan data-data sekunder yang bersifat umum.
Selain itu, studi pustaka dimaksudkan untuk menelaah serta
meng-overview kerangka teori guna membantu melihat fakta
sosial di masyarakat. Metode Wawancara digunakan
terutama bagi aktor-aktor kunci di desa serta 45 responden
yang telah ditentukan. Kuesioner disampaikan kepada 45
responden. Dan pengamatan lapangan dilakukan untuk
memberikan jaminan klarifikasi lapangan atas temuan yang
diperoleh dari metode-metode yang lain tersebut.
Cara Kerja Penelitian dan Pelaksana
Penyusunan alat penelitian termasuk naskah desain penelitian ini membutuhkan waktu 5 hari kerja. Sedangkan proses pencarian data menggunakan alur sebagai berikut: 1) Akan diselenggarakan diskusi terarah selama sehari dengan peserta seluruh kepala dusun di Terong dan pengurus KTH Jasema untuk membahas rencana penelitian serta penentuan sample penelitian berdasarkan kategori-kategori yang tersebut di atas yang direncanakan pada hari Kamis, 12 Juni 2014; 2) Akan melakukan wawancara dan pengisian kuesinoner dengan enumerator mendatangi responden di rumahnya. Dengan jumlah responden 41 kepala keluarga, dengan jumlah enumerator 3 orang, dengan asumsi tiap enumerator dalam sehari dapat mewawancarai 4 responden maka wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan selama 4-5 hari sejak senin 16 Juni 2014 hingga jumat 25 Juni 2014. Pada bulan Juli dilakukakan olah dan analisis data serta penulisan laporan. Adapun nama-nama enumerator yang di usulkan yaitu Debbi, Ilmi, dan Sigar.
Pag
e 7
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
2. Temuan
22.1 Sekilas desa terong
Lokasi penelitian berada di Desa Terong. Secara administratif
desa ini masuk dalam lingkup kecamatan Dlingo Kabupaten
Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menuju ke Terong,
dari kota Yogyakarta menuju arah tenggara, menaiki
pegunungan Gunungkidul kemudian berbelok ke arah barat.
Perjalanan dari Yogyakarta dapat ditempuh dengan waktu 45
menit. Berada pada ketinggian 325-400 meter dpl, tekstur
lanscape desa ini berbentuk perbukitan.
Memiliki luas wilayah 775 hektar, yang terbagi dalam peruntukan
pemukiman dan pekarangan 143 hektar, sawah 144 hektar,
tegalan 378 hektar, dan lain-lain 110 hektar. Khusus untuk
peruntukan tegalan, semua lahan ditanami tanaman kayu serta
sebagian disela-selanya ditanami tanaman palawija dan jenis
tanaman bawah lainnya. Sedangkan peruntukan sawah
ditanami padi pada 1 kali musim tanam dan musim selanjutnya
ditanami tanaman jagung, kacang. Pada pematang sawah serta
sebagian tegalan, petani menanam rumput gajah sebagai
makan ternak yang dipakai sendiri maupun dijual.
________________2 Data disadur dari buku Profil Desa Terong 2013 yang diterbitkan oleh Pemerintah
Desa Terong. Pag
e 8
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Desa Terong memiliki 9 dusun antara lain: Kebokuning, Saradan,
Pancuran, Rejosari, Terong II, Terong I, Pencitrejo, Sendangsari,
dan Ngenep. Jumlah penduduk desa terong pada akhir tahun
2013 sebesar 6.512 orang yang terbagi dalam 1.617 keluarga,
dimana penduduk perempuan 3.263 orang, dan penduduk laki-
laki sebesar 3.249 orang. Jenis pekerjaan warga Terong masih
didominasi dalam sektor agraria/pertanian. Sebanyak 4.262
berprofesi sebagai petani, serta 255 hanya sebagai buruh tani.
Menyusul pekerjaan buruh atau pegawai swasta sebanyak 766
orang. Pengrajin 549 orang, peternak 323 orang, dan pedagang
283 orang. Adapula secara spesifik warga yang bekerja sebagai
pegawai negeri sebanyak 53 orang, penjahit 10 orang, satpam
dan montir masing-masing 4 orang, serta bidan 3 orang.
Tingkat pendidikan warga Terong tergolong tinggi. Sebanyak 40
orang telah lulus Diploma, terdapat 49 sarjana, dan bahkan ada 3
warga yang telah lulus jenjang S2. Warga yang taman SLTA
sebanyak 1.242, dan SLTP 1.524. Mayoritas telah tamat SD
sebanyak 2.366 warga. Dengan demikian, hampir tidak ada
warga usia sekolah yang tidak bisa baca tulis.
2.2 Hutan rakyat desa terong dan KTH Jasema
Dalam UU No. 41 tentang Kehutanan, hutan rakyat disebutkan dalam penjelasan salah satu pasal yang secara sederhana menerangkan sebuah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah dan berada diluar tanah negara yang ditetapkan sebagai hutan. Jadi ringkasnya, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat. Pengetahuan umum di Yogyakarta dan Jawa Tengah, hutan rakyat rakyat dapat berada pada pekarangan yakni di sekitar rumah tinggal, berada di tegalan yakni tanah kering yang biasanya untuk tanaman selain padi, serta di sawah di mana tanaman keras ditanam di pematang.
Pag
e 9
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Dilihat dari perkembangannya, menurut Wartaputra (1990)
sebagaimana dikutip oleh Suprapto (2010), pengembangan
hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh pemerintah
kolonial. Kemudian Pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an
mengembangkan hutan rakyat melalui program “Karang Kitri”
dan program penghijauan pada awal tahun 60-an. Pada awal
pengembangannya, sasaran pengembangan hutan rakyat
adalah pada lahan-lahan kritis yang berjurang, dekat mata air,
lahan terlantar dan tidak lagi dipergunakan untuk budidaya
tanaman semusim. Tujuan pengembangan hutan rakyat adalah
untuk meningkatkan produktivits lahan kritis, memperbaiki tata
air dan lingkugan dan membantu masyarakat dalam penyediaan
kayu bangunan, bahan perabotan rumah tangga dan sumber
kayu bakar. Dalam perkembangannya hingga kini, masyarakat
mulai merasakan manfaat baik secara ekonomi maupun secara
kenyamanan lingkungan. Sehingga tampuk inisiatif
pengembangan hutan rakyat tidak lagi berada pada pemerintah,
namun pada keswadayaan masyarakat itu sendiri.
Di Desa Terong, saat ini hutan rakyat telah tumbuh pesat.
Menurut Sugiyono, ketua KTH Jasema, sebuah kelompok tani
hutan rakyat di desa Terong, menyatakan bahwa hampir tidak
ada lagi lahan kecuali sawah yang tidak tertanami tanaman
keras. Luas hutan rakyat di Desa Terong saat ini tidak kurang dari
378 hektar. Sementara itu, yang telah resmi merupakan wilayah
kelola KTH Jasema yang bersertifikat SVLK seluas 312 hektar.
Jumlah anggota KTH sebanyak 554 keluarga petani. Berikut ini
jumlah anggota dan luas hutan rakyat tiap dusun:
Pag
e 10
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Tabel 1. Luas Hutan Rakyat dan Jumlah Anggota KTH Jasema
Sumber: KTH Jasema 2014.
2.3 Pendapatan
Masyarakat pencipta hutan rakyat mendapatkan berbagai keuntungan dari apa yang mereka kreasikan. Berdasarkan temuan dari riset Diniati dkk (2010), terdapat lima aspek keuntungan dari keberadaan hutan rakyat bagi pemiliknya yaitu: Keuntungan ekonomi, politik, ekologi, sosial, dan psikologi. Lima aspek tersebut dirangkum dalam sebuah kesimpulan bahwa hutan rakyat meningkatkan kesejahteraan pemiliknya. Sebagai contoh, dalam aspek ekonomi, hutan rakyat menghasilkan keanekaragaman hasil lahan dan peningkatan volume produksi kayu. Selain itu, hutan rakyat telah memacu berkembangnya industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan jaringan ekonomi rakyat.
Pag
e 11
Luas Hutan Rakyat Anggota KTH Jasema
(Ha) (Keluarga)
1 Kebokuning 19,35 21
2 Saradan 31,01 68
3 Pancuran 69,48 118
4 Rejosari 25,8 65
5 Terong II 34,15 94
6 Terong I 2,79 19
7 Pencitrejo 57,8 67
8 Sendangsari 14,19 18
9 Ngenep 57,43 84
312 554JUMLAH
No Dusun
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Masyarakat Desa Terong yang mengkreasikan hutan rakyat di lahan-lahan miliknya juga merasakan manfaat yang sama. Jika salah satu indikator ekonomi dalam indikator kesejahteraan diukur, maka potret pendapatan rumah tangga dapat menjadi salah satu hal yang menarik untuk diperiksa. Layaknya kehidupan masyarakat agraris pedesaan yang lain, pekerjaan petani termasuk petani hutan rakyat dapat dipastikan tidak berdiri sendiri. Ia ditopang oleh sumber pendapatan yang lain, baik dari sektor agraria off farm maupun dari sektor non agraria. Dalam penelitian yang kami lakukan di Desa Terong, pendapatan dari sektor agraria kami setarakan dengan terminologi 'pendapatan pertanian'. Hal ini berarti bahwa dalam segala bentuk pendapatan dari lahan hutan rakyat yang berbentuk agroforestry (terdapat berbagai macam tanaman pertanian termasuk tanaman kayu) termasuk pula sawah, kami katerogikan menjadi satu dengan sebutan pendapatan dari pertanian.
Kami menemukan bahwa pendapatan dari sektor pertanian memberikan kontribusi antara 15%-23% tiap tahun pendapatan keluarga. Sementara itu, pendapatan dari luar pertanian memberikan kontribusi 64%-75% terhadap pendapatan per tahun tiap keluarga. Sementara yang lain berasal dari pendapatan penjualan kayu sebesar 6%-12%. Serta sumber pendapatan uang tunai dari meminjam uang (atau utang) sebesar 1%-4%. Melihat angka-angka tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatan dari sektor luar pertanian masih mendominasi pendapatan keluarga tiap tahunnya. Namun, yang perlu menjadi perhatian, bahwa pendapatan tersebut dihitung dari penerimaan uang tunai pada satu tahun terakhir. Di dalam hutan rakyat sendiri, masih menyimpan aset yang sangat fantastis jumlahnya antara 15 juta hingga 60 juta rupiah.
Dalam riset yang kami lakukan, kami membedakan responden menjadi 3 golongan yaitu responden yang memiliki lahan pertanian/kehutanan > 1ha; 0,5-1 ha; dan < 0,5 ha. Pendapatan tiap tahun untuk masing-masing kepemilikan lahan yaitu 43 juta; 28 juta; dan 31 juta. Pendapatan tersebut diperoleh dari pendapatan pertanian, pendapatan kayu dijual, dan pendapatan P
age 12
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
di luar pertanian. Dapat dilihat, pendapatan golongan ke-3 justru lebih besar dari golongan 2 karena ditopang dari pendapatan diluar pertanian.
Tabel 2. Bidang Pendapatan berdasarkan luas kepemilikan lahan.
Sumber: Hasil olah data ARuPA 2014
Gambar 2. Diagram Prosentase Bidang Pendapatan Keluarga
Petani Hutan Rakyat Desa Terong berdasarkan luas
kepemilikan lahan.
Pag
e 13
>51 ha 0.5 – 1 ha < 0.5 ha
Pendapatan / thn 43 juta 28 juta 31 juta
Pertanian 23% 21% 15%
Jual Kayu 12% 6% 6%
Luar Pertanian 64% 70% 75%
Uang Utang 1% 3% 4%
Aset kayu 60 juta 41 juta 15 juta
Bidang Pendapatan
Luas Kepemilikan Lahan
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Kesimpulan
§ Kami menemukan fakta bahwa setiap tahun, keluarga petani
hutan rakyat terong memperoleh pendapatan uang tunai
sebesar Rp. 34 juta. Terdapat 4 sumber uang tunai tersebut
yaitu
1) Dari usaha agraria/pertanian/hutan rakyat sebesar 20%
atau Rp. 6,8 juta.
2) Dari usaha diluar agraria sebesar 69% atau Rp. 23,4 juta.
3) Dari jual kayu dari hutan rakyat sebesar 8 % atau Rp. 2,7
juta.
4) Dari meminjam uang lembaga keuangan 3% atau Rp. 1,1
juta.
§ Bahwa diluar sumber pendapatan uang tunai tersebut, petani
hutan rakyat memiliki aset berupa kayu di lahannya dengan
jangka antara Rp. 15 juta hingga Rp. 60 juta.
2.4 Pengeluaran
Pengeluaran tiap tahun untuk masing-masing kepemilikan lahan yaitu 19 juta; 20 juta; dan 15 juta. pengeluaran tersebut bisa dipilah ke dalam pengeluaran harian, bulanan, dan tahunan.
§ Pengeluaran Harian. Golongan 1 sebesar Rp. 32 ribu,
Golongan 2 sebesar 25 ribu, dan Golongan 3 sebesar 24
ribu. Dalam ketiganya, pengeluaran tertinggi yaitu sayuran
bumbu lauk sebesar 45% dan bensin sebesar 30%.
§ Pengeluaran Bulanan. Golongan 1 sebesar Rp. 313 ribu,
dengan pengeluaran tertinggi yaitu biaya sekolah anak
(26%) disusul biaya beli pulsa handphone (23%). Golongan 2
sebesar Rp. 700 ribu, dengan pengeluaran tertinggi yaitu
angsuran barang dan atau pinjaman (72%) disusul biaya
sekolah anak (11%). Golongan 3 sebesar Rp. 398 ribu,
dengan pengeluaran tertinggi yaitu angsuran barang dan
atau pinjaman (51%) disusul biaya sekolah anak (19%). Pag
e 14
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Pengeluaran Tahunan. Golongan 1 sebesar Rp. 3.4 juta,
dengan pengeluaran tertinggi yaitu buwoh/nyumbang (48%)
disusul biaya berobat sakit (23%). Golongan 2 sebesar Rp.
2 .5 ju ta , dengan penge luaran te r t ingg i ya i tu
buwoh/nyumbang (67%) disusul biaya pajak kendaraan
bermotor (10%). Golongan 3 sebesar Rp. 2.1 juta, dengan
pengeluaran tertinggi yaitu buwoh/nyumbang (66%) disusul
beli pakaian (19%).
Jika dipolariasasi dengan cara lain, maka rincian pengeluaran
dari keluarga petani hutan rakyat di desa Terong dengan
mengambil rerata dari tiga kategori kepemilikan lahan pertanian,
dapat disebutkan sebagai berikut (per tahun):
a. Pengeluaran uang untuk makan sehari-hari sebesar Rp.
6 juta.
b. Pengeluaran uang untuk transportasi membeli bensin
sebesar Rp. 2,5 juta.
c. Pengeluaran uang untuk komunikasi membeli pulsa
sebesar Rp. 0,7 juta.
d. Pengeluaran uang untuk angsuran motor & angsuran
pinjam uang sebesar Rp. 5 juta.
e. Pengeluaran uang untuk pendidikan sebesar Rp. 0,9
juta.
f. Pengeluaran uang untuk kesehatan sebesar Rp. 0.4 juta
g. Pengeluaran uang untuk sosial misal nyumbang/buwoh
sebesar Rp. 1,5 juta.
Pag
e 15
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Gambar 2. Diagram Prosentase Bidang Pendapatan Keluarga Petani Hutan Rakyat Desa Terong berdasarkan luas
kepemilikan lahan.
Kesimpulan
§ Kami menemukan fakta bahwa setiap tahun, keluarga petani
hutan rakyat di desa Terong mengeluarkan uang tunai
sebesar Rp. 17 juta.
§ Empat pengeluaran tertinggi tiap tahun berturut turut yaitu
untuk kebutuhan makan sehari-hari, untuk angsuran
pinjaman uang dan motor; untuk transportasi membeli
bensin; dan untuk kebutuhan sosial.P
age 16
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
2.5 Korelasi Pendapatan dan Pengeluaran:Tabel 3. Korelasi Pendapatan dan Pengeluaran
Keluarga Petani Hutan Rakyat Desa Terong
Dari uraian tersebut dapat diterangkan beberapa fakta sebagai berikut:
Pertama. Semakin luas kepemilikan lahan total (pekarangan, sawah, tegal) maka semakin besar pendapatan keluarga petani. Namun ada anomali dalam data survey ditemukan bahwa golongan menengah (gol 2) justru memiliki pendapatan lebih rendah dari golongan bawah (gol 3). Tapi memiliki aset kayu yang jauh di atas golongan bawah. Semakin sempit lahan maka semakin besar andil pendapatan dari luar pertanian bagi keluarga petani tersebut. Dalam kebutuhan dana pinjaman, terlihat petani lahan sempit membutuhkan dana pinjaman lebih besar skala intensitasnya ketimbang yang lain.
Kedua. Pengeluaran harian didominasi untuk kebutuhan pembelian sayuran lauk pauk bumbu, dan disusul biaya pembelian bensin. Untuk kebutuhan beras pada 3 golongan tersebut sudah dipenuhi dari hasil sawah sendiri. Pengeluaran bulanan berbeda-beda antara golongan, pada golongan atas pengeluaran tertinggi untuk biaya sekolah anak, namun pada golongan menengah dan rendah pengeluaran tertinggi untuk pembayaran angsuran pinjaman uang dan atau barang. Pengeluaran tahunan paling tinggi pada ketiga golongan tersebut yaitu biaya buwoh/nyumbang yang prosentasenya mencapai 67%. Secara nominal antara 1.5 juta hingga 2 juta.
Pag
e 17
>51 ha 0.5 – 1 ha < 0.5 ha
(golongan 1) (golongan 2) (golongan 3)
Pendapatan / thn 43 juta 28 juta 31 juta
Pengeluaran / thn 19 juta 20 juta 15 juta
Surplus 24 juta 8 juta 16 juta
Aset kayu 60 juta 41 juta 15 juta
Uraian
Luas Kepemilikan Lahan
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Ketiga. telah teridentifikasi pengeluaran jenis tertentu dipenuhi dengan pendapatan jenis tertentu.
§ Untuk pengeluaran sehari-hari berupa makan,
transportasi (bensin) dan komunikasi (pulsa) dipenuhi
dari seluruh pendapatan sektor pertanian dan sebagian
pendapatan diluar pertanian, serta penjualan kayu.
§ Untuk pengeluaran angsuran motor & pinjaman uang,
serta biaya sosial (nyumbang) dipenuhi dari penjualan
kayu dan sebagian pendapatan diluar pertanian.
§ Untuk pengeluaran pendidikan & kesehatan dan biaya
lain-lain, dipenuhi dari uang hasil meminjam di lembaga
keuangan serta sebagian dari pendapatan diluar
pertanian, serta penjualan pohon.
Keempat. Pada seluruh kategori/golongan, jika kita kurangkan antara pendapatan dan pengeluaran, maka ketiganya mendapatkan surplus uang. Agak masuk akal kemudian jika dilihat dalam catatan wawancara soal penebangan, intensitas penebangan dalam setahun terakhir di setiap responden tidak lebih dari 2 kali penebangan dan bahkan banyak yang tidak menebang sama sekali.
Pag
e 18
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
2.6 Kebutuhan menebang pohon
Dari 45 Responden, dalam satu tahun terakhir (Mei 2013 – Mei 2014) terdapat 31 rumah tangga yang menebang pohon. Tujuan peruntukan dalam menebang pohon adalah sebagai berikut :
Kebutuhan uang keluarga petani yang dipenuhi dari penebangan pohon hutan rakyat per tahun per kepala keluarga sebesar Rp. 2,7 juta. Sehingga, seluruh anggota KTH Jasema sejumlah 554 keluarga per tahun membutuhkan dana tunda tebang sebesar Rp. 1,5 Milyar untuk luasan 312 hektar wilayah kelola hutan rakyat.
Pag
e 19
Peruntukan penebangan Jumlah responden
Pembuatan & perbaikan rumah 9 responden
Kebutuhan sehari-hari 5 responden
DP Motor dan Beli Motor 4 responden
Biaya sekolah anak 3 responden
Untuk ditabung 2 responden
untuk biaya perawatan pertanian 2 responden
Pajak motor, naik haji, sumbang masjid,
punya hajat, beli tanah, dan buwoh @ 1 responden.
Jumlah 31 responden
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
2.7 Akses microfinance
Terdapat 32 responden dari 45 responden yang memanfaatkan microfinance di Desa Terong, baik untuk menabung maupun meminjam uang. Mayoritas menggunakan jasa microfinance di Desa Terong sendiri yang dibentuk dan dikelola oleh beberapa perkumpulan warga. Sistem yang digunakan bermacam-macam mulai dari kelompok simpan pinjam hingga koperasi. Bunga pinjaman antara 1% hingga 2%. Menggunakan sistem angsuran tiap bulan, serta menggunakan jaminan berupa surat kendaraan bermotor dan atau bukti kepemilikan tanah. Bagi sebagian lembaga keuangan, fakta anggota ataupun nasabah menabung hanya sekedar untuk syarat belaka untuk mendapatkan pinjaman. Namun pada sebagian yang lain, anggota ataupun nasabah menabung merupakan fakta yang berdiri sendiri tidak bergantung pada meminjam atau tidaknya anggota ataupun nasabah tersebut. Bahkan di Koperasi Gotong royong yang terletak di Desa Terong, sudah dibuat ragam skema tabungan antara lain: simpanan pendidikan, simpanan hari raya, simpanan harian, bulanan dan seterusnya.
Pag
e 20
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
3. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dari hasil riset yang kami lakukan terhadap petani hutan rakyat desa Terong terkait dengan dana tunda tebang adalah sebagai berikut:
§ Pendapatan uang tunai keluarga petani hutan rakyat di Desa
Terong tiap tahun sebesar Rp.34 juta, yang berasal dari 4
(empat) sumber pendapatan yaitu:
- Dari usaha agraria/pertanian/hutan rakyat sebesar 20%
atau Rp. 6,8 juta.
- Dari usaha diluar agraria sebesar 69% atau Rp. 23,4 juta.
- Dari jual kayu dari hutan rakyat sebesar 8 % atau Rp. 2,7
juta.
- Dari meminjam uang lembaga keuangan 3% atau Rp. 1,1
juta.
§ Bahwa diluar sumber pendapatan uang tunai tersebut, petani
hutan rakyat memiliki aset berupa kayu di lahannya Rp. 40
juta tiap hektar.
§ Kami menemukan fakta bahwa setiap tahun, keluarga petani
hutan rakyat di desa Terong mengeluarkan uang tunai
sebesar Rp. 17 juta. Empat pengeluaran tertinggi tiap tahun
berturut turut yaitu untuk kebutuhan makan sehari-hari Rp. 6
juta, untuk angsuran pinjaman uang dan motor Rp. 5 juta;
untuk transportasi membeli bensin Rp. 2,5 juta; dan untuk
kebutuhan sosial Rp. 1,5 juta.
§ Dari komparasi antara pendapatan dan pengeluaran, maka
ditemukan bahwa keluarga petani hutan rakyat desa Terong
memiliki surplus uang tiap tahunnya sebesar Rp. 16 juta.
Uang sebesar itu sedikit sekali yang kemudian ditabung di
lembaga keuangan. Mayoritas mereka belanjakan atau lebih
tepatnya diinvestasikan dalam bentuk lain misalnya
pembelian ternak, perbaikan rumah, dsb.
Pag
e 21
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
§ Latarbelakang kebutuhan menebang pohon yaitu untuk
perbaikan rumah, untuk kebutuhan makan sehari-hari, untuk
membeli atau DP motor, dan biaya sekolah anak.
§ Kebutuhan uang keluarga petani yang dipenuhi dari
penebangan pohon hutan rakyat per tahun per kepala
keluarga sebesar Rp. 2,7 juta. Sehingga, seluruh anggota
KTH Jasema sejumlah 554 keluarga per tahun
membutuhkan dana tunda tebang sebesar Rp. 1,5 Milyar
untuk luasan 312 hektar wilayah kelola hutan rakyat.
4. Rekomendasi
Diperlukan lembaga keuangan yang dapat memberikan
kepastian bahwa kayu dapat menjadi anggunan dalam
peminjaman. Serta didalamnya diperlukan perangkat skema
tabungan yang menarik dan beragam untuk menyerap surplus
uang tiap tahun yang ada dalam keluarga petani hutan rakyat
Desa Terong.
Pag
e 22
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
Daftar Pustaka
Anonim (2013) Buku Profil Desa Terong 2013. Bantul: Pemerintah Desa Terong.
Anonim (2013) Buku Profil KTH Jasema. Tidak diterbitkan.
Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
ARuPA (2013) Laporan Pendampingan KTH Jasema. Tidak diterbitkan.
Diniyati et al (2010) Peran Hutan Rakyat dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Gunung Sawal. Ciamis:
Balai Penelitian Kehutanan.
Kozak, R.A. (2007) Small and Medium Forest Enterprises: Instruments of
Change in the Developing World (Washington, DC: Rights and
Resources Initiative).
Nugroho, Bramasto (2007) Pembangunan Kelembagaan Pinjaman Dana
Bergulir Hutan Rakyat. JMHT Vol. XVI, (3): 118–125, Desember 2010
Suprapto, Edi (2010) Hutan Rakyat: Aspek Produksi, Ekologi, dan
Kelembagaan. Paper ARuPA.
Tomaselli et al. (2013) Assessing Small and Medium Forest Enterprises'
Access to Microfinance: Case Studies from The Gambia, The Journal of
Development Studies, 49:3, 334-347
Pag
e 23
ICCTF
| Paper ARuPA - September 2014
ARuPAKaranganyar 201 RT 10 RW 29Sinduadi Mlati Sleman YogyakartaT/F “ 0274 551571 E:
| f : lembaga arupa | t : @[email protected]
www.arupa.or.id
ICCTF