wlah satu instrumen - fem.ipb.ac.id · dan manajemen ipb tim redaksi ... metode yang digunakan da...

2
18 KAMIS, 25 JANUARI 2018 JURNAL EKONOMI ISLAM REPUBLIKA Rubrik ini terselenggara atas kerjasama Harian Republika dengan Departemen Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Tim Redaksi Iqtishodia: Prof Dr Yusman Syaukat Prof Dr Muhammad Firdaus Dr Lukman M Baga Dr Irfan Syauqi Beik Dr Jaenal Effendi Dr Asep Nurhalim Salahuddin El Ayyubi Deni Lubis P engentasan kemiskinan dan kesenjangan akan tetap menjadi fokus utama pemerin- tah di tahun 2018. Pemerintah, melalui Kementerian PPN/Bappenas menar- getkan penurunan angka kemiskinan di kisaran 9,5 – 10 persen dari total keseluruhan penduduk Indonesia di tahun 2018. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin per September 2017 mencapai angka 10,12 persen dari total penduduk, atau sekitar 26,58 juta jiwa. Angka ini turun cukup signifikan dari 10,64 persen (27,77 juta jiwa) per Maret 2017. Jumlah penduduk miskin di pedesaan mendominasi dengan proporsi 13,47 persen, hampir dua kali lipat prosentase penduduk miskin di perkotaan yang mencapai angka 7,26 persen. Angka kemiskinan di atas diukur berdasarkan standar yang disebut dengan garis kemiskinan (GK). GK ini terdiri atas dua komponen utama, yaitu GK makanan dan GK bukan makanan. Untuk perkotaan, standar GK mencapai angka Rp 400.995,00/orang/bulan, sementara standar GK untuk pedesaan mencapai angka Rp 370.910,00/orang/bulan. Dalam kaitan ini, salah satu hasil keputusan Rakornas Zakat Oktober 2017 lalu adalah BAZNAS dan LAZ, mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, bertekad untuk menurunkan angka kemiskinan sebesar 1 persen, atau sekitar 280 ribu jiwa. Namun demikian, standar yang digunakan untuk mengukur penurunan kemiskinan dan pen- ingkatan kesejahteraan kaum dhuafa ini sedikit berbeda, bila dibandingkan dengan standar pemerintah. BAZNAS memiliki indeks tersendiri yang digunakan untuk menilai naik tidaknya kese- jahteraan mustahik, yang tercermin pada indeks dampak zakat yang menjadi bagian dari indeks zakat nasional (IZN). Indeks ini, yang kemudian diberi nama Indeks Kesejahteraan Puskas (BAZNAS) dan terdiri atas tiga komponen utama. Pertama, perspektif kesejahteraan yang digu- nakan adalah kombinasi kecukupan material dan spiritual. Dengan kata lain, kesejahteraan itu diukur berdasarkan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya. Dalam konteks ini, variabel yang digunakan adalah indeks kesejahteraan CIBEST. Kedua, variabel yang digunakan terkait dengan kondisi pendidikan dan kesehatan mustahik, apakah zakat yang disalurkan mampu memperbaiki dan meningkatkan kondisi pendidikan dan kesehatan mustahik atau tidak. Untuk itu, alat ukur yang digunakan adalah modi- fikasi dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang disusun oleh UNDP. Ketiga, indeks kese- jahteraan BAZNAS ini diukur berdasarkan aspek kemandirian. Kemandirian ini diukur berdasarkan tiga hal, yaitu apakah mustahik yang dibina mampu memiliki pekerjaan tetap dan bisnis, yang bisa menunjang masa depan kehidupannya, serta memiliki tabungan, yang menandakan kemam- puannya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Seseorang yang memiliki tabungan, biasanya telah memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Nilai indeks kesejahteraan ini berkisar antara 0 dan 1, serta memiliki lima kategori. Nilai indeks antara 0-0,20 maka dapat didefinisikan bahwa kesejahteraan mustahik berada pada kategori tidak baik. Selanjutnya berturut-turut rentang nilai indeks ini adalah kurang baik (0,21-0,40), cukup baik (0,41-0,60), baik (0,61-0,80), dan sangat baik (0,81-1,00). Dari hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Strategis BAZNAS pada tahun 2017 ter- hadap 3.450 orang mustahik, terungkap bahwa nilai Indeks Kesejahteraan BAZNAS mencapai angka rata-rata 0,71 atau berada pada kategori baik. Jika diturunkan ke dalam masing-masing variabel, maka didapat angka sebagai berikut : (i) untuk nilai kesejahteraan material dan spiritual, maka indeks kesejahteraan CIBEST mustahik menunjukkan angka 0,79 (kategori baik); (ii) untuk nilai indeks IPM yang dimodifikasi mencapai angka 0,71 (kategori baik); dan (iii) untuk kemandirian, nilai indeksnya mencapai angka 0,59 (kategori cukup baik). Secara umum, aspek kemandirian menjadi PR terbesar BAZNAS dalam mengelola kegiatan penyalurannya. Adanya alat ukur baru kesejahteraan yang dikembangkan BAZNAS ini, diharapkan dapat menambah khazanah wawasan dan pengetahuan terkait upaya peningkatan kesejahteraan dan pen- gentasan kemiskinan yang lebih terukur dan lebih sesuai syariah. Harapan penulis, instrumen ini juga dapat dikembangkan pada program-program selain distribusi zakat, seperti program CSR, dan lain-lain. Semoga. Wallaahu a’lam. Dr Irfan Syauqi Beik Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB Mengukur Kesejahteraan Dhuafa TSAQOFI W akaf merupakan sa- lah satu instrumen dalam ekonomi Islam yang sangat potensial dalam meningkatkan ke- sejahteraan masyarakat. Selain memiliki fungsi sebagai sarana ibadah kepada Allah, wakaf juga mempunyai fungsi sosial. Ia dapat memberikan maslahah yang sangat besar bagi umat, jika dapat dikelola secara optimal dan produktif. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengem- bangan kegiatan-kegiatan sosial, ekono- mi dan kebudayaan masyarakat serta telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan pra- sarana yang memadai untuk melakukan riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, pen- erjemahan, dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk kese- hatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat. Indonesia dengan mayoritas pen- duduk muslim dan wilayah luas meny- impan potensi wakaf yang sangat besar. Namun, potensi tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal ke arah yang produktif. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Agama RI tahun 2017, Indonesia memiliki aset tanah wakaf seluas 47 643.03 Ha yang tersebar di 317 135 lokasi dengan total wakaf yang sudah bersertifikat sebanyak 64.91 persen. Penggunaan tanah wakaf tersebut sebagian besar masih berupa wakaf langsung (konsumtif). Penelitian ini menganalisis prioritas masalah, solusi, dan strategi untuk me- ningkatkan pengelolaan wakaf di Indo- nesia supaya lebih produktif. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analytic Network Process (ANP). Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan beberapa pakar dan praktisi di beberapa institusi atau organ- isasi wakaf yang ada di Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2017. Data yang digunakan dalam penelit- ian adalah data primer dan data sekun- der. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner ter- hadap para pakar dan praktisi yang memahami bidang wakaf. Data sekunder diperoleh dari dokumen, literatur, dan jurnal ilmiah yang relevan dengan pe- nelitian. Dari hasil penelitian terdahulu dan diskusi dengan pakar dan indept in- terview menghasilkan aspek-aspek pada masalah, solusi dan beberapa pilihan strategi. Hasil penelitian menunjukan bahwa prioritas masalah adalah masalah inter- nal yaitu rendahnya kompetensi nazhir dan kurangnya profesionalisme nazhir. Menurut para pakar, rendahnya kom- petensi nazhir disebabkan oleh penun- jukkan nazhir yang dilakukan wakif. Umumnya nazhir yang ditunjuk oleh wakif hanya berdasarkan pada hubungan kekerabatan dan kepercayaan pada tokoh agama setempat saja, bukan berdasarkan pada kompetensi yang dimilikinya. Hal tersebut menjadikan nazhir yang ditun- juk tidak memiliki kompetensi yang me- madai dalam mengelola wakaf, sehingga wakaf bukan hanya tidak produktif bah- kan bisa menjadi sumber konflik di masyarakat. Kompetensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kompetensi yang diperlukan nazhir dalam mengelola wakaf. Menurut Aziz (2014), kompetensi tersebut terbagi menjadi dua yaitu kom- petensi diniyah (agama) dan kompetensi kifayah (bisnis). Kompetensi diniyah adalah kompetensi nazhir yang berhu- bungan dengan keagamaan, seperti ilmu syar'i dan pengamalannya, ditambah lagi dengan maksud institusi wakaf yaitu da- lam rangka berdakwah dan menyampai- kan ajaran agama Islam kepada umat manusia. Adapun kompetensi kifayah adalah kompetensi yang mengacu kepada kemampuan nazhir dalam memelihara, menjaga, melindungi, memanfaatkan, mengembangkan, menginvestasikan dan mendistribusikan hasil atau keuntungan wakaf kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Realitanya mayoritas nazhir saat ini hanya memiliki kompetensi dalam hal agama saja, namun sedikit dari mereka yang memiliki kompetensi dalam hal bisnis. Padahal kompetensi bisnis juga sangat diperlukan bagi nazhir, karena di dalam wakaf ada mekanisme mengelola aset. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Huda et al. (2014) yang menunjukkan bahwa rendahnya kompetensi nazhir dalam mengelola wakaf merupakan salah satu masalah yang menjadi prioritas dalam pengelo- laan wakaf. Adapun prioritas masalah eksternal yaitu kurangnya pemahaman wakif dan regulasi yang kurang mendukung. Masa- lah ini terjadi karena kurangnya sosial- isasi tentang wakaf secara komprehensif, baik mengenai fikih wakaf ataupun per- undang-undangan wakaf. Hal tersebut menjadikan nazhir pada umumnya memiliki pemahaman yang masih tradi- sional. Mereka memahami bahwa wakaf hanya berupa sarana ibadah atau ma- kam. Selain itu, mayoritas nazhir wakaf di Indonesia juga menganut mazhab syafii, sehingga pemahaman fikihnya cenderung kaku dalam aspek barang- barang yang boleh diwakafkan, perun- tukkan wakaf, dan pertukaran wakaf. Hal ini menyulitkan pengelolaan wakaf menuju ke arah produktif. Huda et al. (2014) menjelaskan bah- wa sosialisasi UU wakaf yang masih kurang membuat banyak pengelola wakaf khususnya nazhir tidak paham dalam mengelola wakaf, mulai dari pengurusan sertifikat wakaf sampai kepada pengem- bangan harta wakaf tersebut. Akibatnya, harta wakaf yang ada selama ini menjadi tidak produktif dan membuat akuntabil- itas pengelola wakaf makin rendah dan tidak mendapatkan kepercayaan masya- rakat dalam mengelola wakaf. Sedangkan prioritas solusi internal yang pertama yaitu peningkatan kompe- tensi nazhir, peningkatan kompetensi ini perlu dilakukan karena mayoritas nazhir belum memiliki kompetensi yang mema- dai dalam mengelola wakaf terutama da- lam hal kompetensi bisnis. Berdasarkan wawancara, Direktur Wakaf Al Azhar, Nanda Putera Setiawan menjelaskan bahwa mengelola kekayaan umat tidaklah mudah. Para pengelola wakaf harus mulai memperbaiki diri menerima amanah Allah dalam hal ini terpilih sebagai nazhir, mesti didampingi dengan kemampuan mengelola. Salah satu perbedaan lembaga wakaf dengan lembaga sosial lainnya adalah adanya mekanisme mengelola aset, sehingga dis- amping memiliki kompetensi dalam hal agama, nazhir juga harus mempunyai kompetensi dalam hal bisnis. Adapun prioritas solusi eksternal yang pertama yaitu optimalisasi fungsi dan peran BWI serta revisi regulasi yang kurang mendukung. Badan Wakaf Indo- nesia (BWI) merupakan lembaga inde- penden yang mempunyai tanggung jawab besar dalam memajukan dan mengem- bangkan perwakafan di Indonesia yang telah diatur dalam undang-undang, na- mun sampai saat ini belum bekerja secara efektif, sehingga perlu dioptimalisasikan kembali fungsi dan peranannya. Solusi ini dapat berjalan dengan baik, ketika mendapat dukungan penuh dari pemer- intah berupa fasilitas dan juga biaya operasional. Menurut salah satu responden, fungsi dan peran BWI sangat penting dalam hal pembinaan dan pelatihan yang intensif bagi nazhir. Ketika pembinaan dapat di- lakukan dengan baik dan efektif maka kompetensi nazhir akan meningkat, sehingga pengelolaan wakaf dapat dila- kukan lebih optimal dan produktif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2016) yang me- nunjukkan bahwa peran BWI Kabupaten Bogor merupakan prioritas utama dari aspek lembaga yang memengaruhi pen- gelolaan wakaf produktif di Kabupaten Bogor. Peran BWI ini sangat memen- garuhi kualitas nazhir sebagai pengelola wakaf, karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 BWI memiliki tugas dalam pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan wakaf. Prioritas strategi yang dapat dilakukan yaitu sosialisasi dan edukasi wakaf secara komprehensif kepada semua elemen. Dr Sri Mulatsih Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB Khalifah Muhamad Ali Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB Meida Yuliani Mahasiswa S1 Ekonomi Syariah IPB Optimalisasi Pengelolaan Wakaf di Indonesia Gambar 1 PRIORITAS MASALAH PENGELOLAAN WAKAF Gambar 2 PRIORITAS SOLUSI MASALAH INTERNAL PENGELOLAAN WAKAF

Upload: doduong

Post on 24-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wlah satu instrumen - fem.ipb.ac.id · dan Manajemen IPB Tim Redaksi ... Metode yang digunakan da lam penelitian ini adalah Analytic Network Process ... Menurut para pakar, rendahnya

18 KAMIS, 25 JANUARI 2018JURNAL EKONOMI ISLAM REPUBLIKA

Rubrik ini terselenggaraatas kerjasama HarianRepublika denganDepartemen Ilmu EkonomiSyariah, Fakultas Ekonomidan Manajemen IPB

Tim Redaksi Iqtishodia:Prof Dr Yusman SyaukatProf Dr Muhammad FirdausDr Lukman M BagaDr Irfan Syauqi BeikDr Jaenal EffendiDr Asep NurhalimSalahuddin El AyyubiDeni Lubis

Pengentasan kemiskinan dan kesenjanganakan tetap menjadi fokus utama pemerin-tah di tahun 2018. Pemerintah, melaluiKementerian PPN/Bappenas menar-

getkan penurunan angka kemiskinan di kisaran 9,5– 10 persen dari total keseluruhan pendudukIndonesia di tahun 2018. Berdasarkan data BPS,jumlah penduduk miskin per September 2017mencapai angka 10,12 persen dari total penduduk,atau sekitar 26,58 juta jiwa. Angka ini turun cukupsignifikan dari 10,64 persen (27,77 juta jiwa) perMaret 2017. Jumlah penduduk miskin di pedesaanmendominasi dengan proporsi 13,47 persen,hampir dua kali lipat prosentase penduduk miskindi perkotaan yang mencapai angka 7,26 persen.

Angka kemiskinan di atas diukur berdasarkanstandar yang disebut dengan garis kemiskinan(GK). GK ini terdiri atas dua komponen utama, yaituGK makanan dan GK bukan makanan. Untukperkotaan, standar GK mencapai angka Rp400.995,00/orang/bulan, sementara standar GKuntuk pedesaan mencapai angka Rp370.910,00/orang/bulan. Dalam kaitan ini, salahsatu hasil keputusan Rakornas Zakat Oktober 2017lalu adalah BAZNAS dan LAZ, mulai dari tingkatpusat hingga kabupaten/kota, bertekad untukmenurunkan angka kemiskinan sebesar 1 persen,atau sekitar 280 ribu jiwa.

Namun demikian, standar yang digunakanuntuk mengukur penurunan kemiskinan dan pen-ingkatan kesejahteraan kaum dhuafa ini sedikitberbeda, bila dibandingkan dengan standar

pemerintah. BAZNAS memiliki indeks tersendiriyang digunakan untuk menilai naik tidaknya kese-jahteraan mustahik, yang tercermin pada indeksdampak zakat yang menjadi bagian dari indekszakat nasional (IZN). Indeks ini, yang kemudiandiberi nama Indeks Kesejahteraan Puskas(BAZNAS) dan terdiri atas tiga komponen utama.

Pertama, perspektif kesejahteraan yang digu-nakan adalah kombinasi kecukupan material danspiritual. Dengan kata lain, kesejahteraan itudiukur berdasarkan kemampuan seseorang dalammemenuhi kebutuhan material dan spiritualnya.Dalam konteks ini, variabel yang digunakan adalahindeks kesejahteraan CIBEST. Kedua, variabel yangdigunakan terkait dengan kondisi pendidikan dankesehatan mustahik, apakah zakat yang disalurkanmampu memperbaiki dan meningkatkan kondisipendidikan dan kesehatan mustahik atau tidak.Untuk itu, alat ukur yang digunakan adalah modi-fikasi dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM)yang disusun oleh UNDP. Ketiga, indeks kese-jahteraan BAZNAS ini diukur berdasarkan aspekkemandirian. Kemandirian ini diukur berdasarkantiga hal, yaitu apakah mustahik yang dibina mampumemiliki pekerjaan tetap dan bisnis, yang bisamenunjang masa depan kehidupannya, sertamemiliki tabungan, yang menandakan kemam-puannya untuk memenuhi kebutuhan dasar.Seseorang yang memiliki tabungan, biasanya telahmemiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhandasarnya.

Nilai indeks kesejahteraan ini berkisar antara 0

dan 1, serta memiliki lima kategori. Nilai indeksantara 0-0,20 maka dapat didefinisikan bahwakesejahteraan mustahik berada pada kategoritidak baik. Selanjutnya berturut-turut rentang nilaiindeks ini adalah kurang baik (0,21-0,40), cukupbaik (0,41-0,60), baik (0,61-0,80), dan sangat baik(0,81-1,00).

Dari hasil studi yang dilakukan oleh PusatKajian Strategis BAZNAS pada tahun 2017 ter-hadap 3.450 orang mustahik, terungkap bahwanilai Indeks Kesejahteraan BAZNAS mencapaiangka rata-rata 0,71 atau berada pada kategoribaik. Jika diturunkan ke dalam masing-masingvariabel, maka didapat angka sebagai berikut : (i)untuk nilai kesejahteraan material dan spiritual,maka indeks kesejahteraan CIBEST mustahikmenunjukkan angka 0,79 (kategori baik); (ii) untuknilai indeks IPM yang dimodifikasi mencapai angka0,71 (kategori baik); dan (iii) untuk kemandirian,nilai indeksnya mencapai angka 0,59 (kategoricukup baik). Secara umum, aspek kemandirianmenjadi PR terbesar BAZNAS dalam mengelolakegiatan penyalurannya.

Adanya alat ukur baru kesejahteraan yangdikembangkan BAZNAS ini, diharapkan dapatmenambah khazanah wawasan dan pengetahuanterkait upaya peningkatan kesejahteraan dan pen-gentasan kemiskinan yang lebih terukur dan lebihsesuai syariah. Harapan penulis, instrumen ini jugadapat dikembangkan pada program-programselain distribusi zakat, seperti program CSR, danlain-lain. Semoga. Wallaahu a’lam. ■

Dr Irfan Syauqi Beik Kepala Pusat Studi Bisnis

dan Ekonomi Syariah(CIBEST) IPB

MengukurKesejahteraan

Dhuafa

TSAQOFI

Wakaf merupakan sa -lah satu instrumendalam ekonomiIslam yang sangatpo tensial dalamme ningkatkan ke -

se jah teraan masyarakat. Selain memilikifungsi sebagai sarana ibadah kepadaAllah, wakaf juga mempunyai fungsisosial. Ia dapat memberikan maslahahyang sangat besar bagi umat, jika dapatdikelola secara optimal dan produktif.

Sepanjang sejarah Islam, wakaf telahberperan sangat penting dalam pengem-bangan kegiatan-kegiatan sosial, ekono -mi dan kebudayaan masyarakat sertatelah banyak memfasilitasi para sarjanadan mahasiswa dengan sarana dan pra -sarana yang memadai untuk melakukanriset dan menyelesaikan studi mereka.Cukup banyak program yang didanai darihasil wakaf seperti penulisan buku, pen-erjemahan, dan kegiatan-kegiatan ilmiahdalam berbagai bidang termasuk kese-hatan. Wakaf tidak hanya mendukungpengembangan ilmu pengetahuan, tetapijuga menyediakan berbagai fasilitas yangdiperlukan oleh masyarakat.

Indonesia dengan mayoritas pen-duduk muslim dan wilayah luas meny-impan potensi wakaf yang sangat besar.Namun, potensi tersebut belum dikeloladan dimanfaatkan secara optimal ke arahyang produktif. Berdasarkan data yangdiperoleh dari Kementerian Agama RItahun 2017, Indonesia memiliki asettanah wakaf seluas 47 643.03 Ha yangtersebar di 317 135 lokasi dengan totalwakaf yang sudah bersertifikat sebanyak64.91 persen. Penggunaan tanah wakaftersebut sebagian besar masih berupawakaf langsung (konsumtif).

Penelitian ini menganalisis prioritasmasalah, solusi, dan strategi untuk me -ning katkan pengelolaan wakaf di Indo -nesia supaya lebih produktif. Data yangdigunakan merupakan data primer dandata sekunder. Metode yang digunakanda lam penelitian ini adalah AnalyticNetwork Process (ANP).

Penelitian ini dilakukan melaluiwawancara dengan beberapa pakar danpraktisi di beberapa institusi atau organ-isasi wakaf yang ada di Indonesia.Penelitian ini dilakukan pada bulanMaret hingga Mei 2017.

Data yang digunakan dalam penelit-ian adalah data primer dan data sekun-der. Data primer diperoleh dari hasilwawancara dan pengisian kuesioner ter-hadap para pakar dan praktisi yangmemahami bidang wakaf. Data sekunderdiperoleh dari dokumen, literatur, danjurnal ilmiah yang relevan dengan pe -nelitian. Dari hasil penelitian terdahuludan diskusi dengan pakar dan indept in -terview menghasilkan aspek-aspek padamasalah, solusi dan beberapa pilihanstrategi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa

prioritas masalah adalah masalah inter-nal yaitu rendahnya kompetensi nazhirdan kurangnya profesionalisme nazhir.

Menurut para pakar, rendahnya kom-petensi nazhir disebabkan oleh penun-jukkan nazhir yang dilakukan wakif.Umumnya nazhir yang ditunjuk olehwakif hanya berdasarkan pada hubungankekerabatan dan kepercayaan pada tokohagama setempat saja, bukan berdasarkanpada kompetensi yang dimilikinya. Haltersebut menjadikan nazhir yang ditun-juk tidak memiliki kompetensi yang me -ma dai dalam mengelola wakaf, sehinggawakaf bukan hanya tidak produktif bah -kan bisa menjadi sumber konflik dimasyarakat.

Kompetensi yang dimaksud dalampenelitian ini adalah kompetensi yangdiperlukan nazhir dalam mengelolawakaf. Menurut Aziz (2014), kompetensitersebut terbagi menjadi dua yaitu kom-petensi diniyah (agama) dan kompetensikifayah (bisnis). Kompetensi diniyahadalah kompetensi nazhir yang berhu -bungan dengan keagamaan, seperti ilmusyar'i dan pengamalannya, ditambah lagidengan maksud institusi wakaf yaitu da -lam rangka berdakwah dan menyampai -kan ajaran agama Islam kepada umatma nusia. Adapun kompetensi kifayahadalah kompetensi yang mengacu kepada

kemampuan nazhir dalam memelihara,menjaga, melindungi, memanfaatkan,mengembangkan, menginvestasikan danmendistribusikan hasil atau keuntunganwakaf kepada pihak-pihak yang berhakmenerimanya.

Realitanya mayoritas nazhir saat inihanya memiliki kompetensi dalam halagama saja, namun sedikit dari merekayang memiliki kompetensi dalam halbisnis. Padahal kompetensi bisnis jugasangat diperlukan bagi nazhir, karena didalam wakaf ada mekanisme mengelolaaset. Hal ini sejalan dengan penelitianyang dilakukan oleh Huda et al. (2014)yang menunjukkan bahwa rendahnyakompetensi nazhir dalam mengelolawakaf merupakan salah satu masalahyang menjadi prioritas dalam pengelo-laan wakaf.

Adapun prioritas masalah eksternalyaitu kurangnya pemahaman wakif danregulasi yang kurang mendukung. Masa -lah ini terjadi karena kurangnya sosial-isasi tentang wakaf secara komprehensif,baik mengenai fikih wakaf ataupun per -undang-undangan wakaf. Hal tersebutmenjadikan nazhir pada umumnyamemiliki pemahaman yang masih tradi-sional. Mereka memahami bahwa wakafhanya berupa sarana ibadah atau ma -kam. Selain itu, mayoritas nazhir wakafdi Indonesia juga menganut mazhabsyafii, sehingga pemahaman fikihnyacenderung kaku dalam aspek barang-barang yang boleh diwakafkan, perun-tukkan wakaf, dan pertukaran wakaf. Halini menyulitkan pengelolaan wakafmenuju ke arah produktif.

Huda et al. (2014) menjelaskan bah -wa sosialisasi UU wakaf yang masihkurang membuat banyak pengelola wakafkhususnya nazhir tidak paham dalammengelola wakaf, mulai dari pengurusansertifikat wakaf sampai kepada pengem-bangan harta wakaf tersebut. Akibatnya,harta wakaf yang ada selama ini menjaditidak produktif dan membuat akuntabil-itas pengelola wakaf makin rendah dantidak mendapatkan kepercayaan masya -ra kat dalam mengelola wakaf.

Sedangkan prioritas solusi internalyang pertama yaitu peningkatan kompe-tensi nazhir, peningkatan kompetensi iniperlu dilakukan karena mayoritas nazhirbelum memiliki kompetensi yang mema -

dai dalam mengelola wakaf terutama da -lam hal kompetensi bisnis.

Berdasarkan wawancara, DirekturWakaf Al Azhar, Nanda Putera Setiawanmenjelaskan bahwa mengelola kekayaanumat tidaklah mudah. Para pengelolawakaf harus mulai memperbaiki dirimenerima amanah Allah dalam hal initerpilih sebagai nazhir, mesti didampingidengan kemampuan mengelola. Salahsatu perbedaan lembaga wakaf denganlembaga sosial lainnya adalah adanyamekanisme mengelola aset, sehingga dis-amping memiliki kompetensi dalam halagama, nazhir juga harus mempunyaikompetensi dalam hal bisnis.

Adapun prioritas solusi eksternalyang pertama yaitu optimalisasi fungsidan peran BWI serta revisi regulasi yangkurang mendukung. Badan Wakaf Indo -nesia (BWI) merupakan lembaga inde-penden yang mempunyai tanggung jawabbesar dalam memajukan dan mengem-bangkan perwakafan di Indonesia yangtelah diatur dalam undang-undang, na -mun sampai saat ini belum bekerja secaraefektif, sehingga perlu dioptimalisasikankembali fungsi dan peranannya. Solusiini dapat berjalan dengan baik, ketikamendapat dukungan penuh dari pemer-intah berupa fasilitas dan juga biayaoperasional.

Menurut salah satu responden, fungsidan peran BWI sangat penting dalam halpembinaan dan pelatihan yang intensifbagi nazhir. Ketika pembinaan dapat di -lakukan dengan baik dan efektif makakompetensi nazhir akan meningkat,sehingga pengelolaan wakaf dapat dila -kukan lebih optimal dan produktif.

Hal ini sesuai dengan penelitian yangdilakukan oleh Hamzah (2016) yang me -nun jukkan bahwa peran BWI KabupatenBogor merupakan prioritas utama dariaspek lembaga yang memengaruhi pen-gelolaan wakaf produktif di KabupatenBogor. Peran BWI ini sangat memen-garuhi kualitas nazhir sebagai pengelolawakaf, karena sesuai dengan Pasal 49Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004BWI memiliki tugas dalam pembinaanterhadap nazhir dalam mengelola danmengembangkan wakaf. Prioritas strategiyang dapat dilakukan yaitu sosialisasidan edukasi wakaf secara komprehensifkepada semua elemen. ■

Dr Sri MulatsihStaf Pengajar

Departemen IlmuEkonomi FEM IPB

KhalifahMuhamad Ali Staf Pengajar

Departemen IlmuEkonomi Syariah FEM

IPB

Meida Yuliani Mahasiswa S1

Ekonomi Syariah IPB

Optimalisasi PengelolaanWakaf di Indonesia

Gambar 1 PRIORITAS MASALAH PENGELOLAAN WAKAF

Gambar 2 PRIORITAS SOLUSI MASALAH INTERNAL PENGELOLAAN WAKAF

Page 2: Wlah satu instrumen - fem.ipb.ac.id · dan Manajemen IPB Tim Redaksi ... Metode yang digunakan da lam penelitian ini adalah Analytic Network Process ... Menurut para pakar, rendahnya

Jumlah penduduk yang besardalam tahap produktif dantingkat konsumsi yang tinggimenjadikan Indonesia seba -gai destinasi investasi terbe-sar di dunia. Salah satu cara

untuk berinvestasi adalah melalui pasarmodal yang menjadi sarana investor me -nanamkan modalnya dalam bentuksaham, obligasi dan reksadana. Salahsatu instrumen investasi di pasar modaldengan peminat paling banyak di Indo -nesia adalah obligasi atau sukuk (obligasisyariah).

Sukuk di Indonesia dibagi menjadisukuk negara dan sukuk korporasi. Saatini penerbitan Sukuk Negara jauh lebihbesar dibandingkan sukuk korporasi. Halini karena penerbitan Sukuk Negaramenjadi acuan bagi sektor swasta untukmenerbitkan Sukuk Korporasi. Oleh itu,pengelolaan kualitas dan resiko darisukuk negara juga akan berpengaruh ter-hadap Sukuk Korporasi.

Sukuk menjadi alternatif pilihan yangmenarik bagi para investor. Hal ini kare -na tingkat yield (tingkat pengembalian)nya yang lebih tinggi dibandingkan de -ngan deposito dan memiliki tingkat re -siko yang lebih kecil dibandingkan de -ngan saham. Investor sendiri meng -harapkan pasar obligasi (sukuk) yanglikuid. Tingginya aktivitas transaksi jualbeli terhadap obligasi memudahkan in -ves tor untuk menjual obligasinya kapansaja. Likuiditas obligasi dipengaruhi olehfaktor eksternal dan faktor internal. Fak -tor eksternal yang memengaruhi likui di -tas adalah faktor dari luar obligasi faktorm akroekonomi, sedangkan faktor inter-nal yang memengaruhi likuiditas adalahkarakteristik dari obligasi itu sendiri.

Saat ini pasar keuangan obligasi sya -riah di Indonesia tidak likuid jika diban -dingkan dengan obligasi konvensional.Hal ini karena transaksi obligasi sukukpada pasar sekunder menunjukkan volu -me dan frekuensi perdagangan obligasidi Indonesia masih didominasi oleh obli -gasi konvensional. Menurut data BursaEfek Indonesia pada kuarter pertamatahun 2017 dari daftar 10 besar seri oblig-asi negara dengan frekuensi yang palingbesar diperdagangkan, sukuk negaraSR008 hanya menempati posisi 8 denganvolume transaksi sebesar 5 triliun rupiah

dan frekuensi diperdagangkan sebanyak2.068 kali (BEI, 2017). Sedangkan posisipertama ditempati oleh obligasi negaraFR0059 dengan volume transaksi sebe -sar Rp 133,967 triliun dan frekuensi di -per dagangkan sebanyak 7.680 kali.

Menurut teori likuiditas premiumobligasi yang tidak likuid seharusnyamemiliki tingkat yield yang lebih tinggi.Oleh karena itu, seharusnya yield sukuknegara lebih tinggi jika dibandingkandengan yield obligasi konvensional.Namun, yield obligasi konvensional lebihtinggi dari yield sukuk Indonesia. Yieldobligasi konvensional mengalami kenaik -an 8,65 persen sejak awal tahun 2017.Sedangkan yield investasi sukuk sebesar7,52 persen. Realisasi ini lebih rendah bi -la dibandingkan dengan yield di pe riodeyang sama pada tahun 2016, yakni 10,26persen (BEI 2017).

Metode dan hasil penelitianJenis data yang digunakan dalam pe -

ne litian ini adalah data sekunder berupadata likuiditas, outstanding, time tomaturity, coupon rate, dan umur sukukpada periode bulan Juni 2015 sampaidengan Mei 2017. Data likuiditas diper-oleh melalui perhitungan indeks totalreturn dibagi dengan volume transaksi.Metode analisis yang digunakan dalampenelitian ini menggunakan pendekatankuantitatif dengan menggunakan data

panel, yakni kombinasi data cross section(outstanding, coupon rate, time to matu-rity dan umur sukuk) dan time series(2015-2017).

Berdasarkan hasil penelitian, bahwavariabel outstanding berpengaruh positifterhadap likuiditas sukuk negara. Hal inidapat diartikan bahwa apabila outstan -ding meningkat sebesar 1persen maka li -kuiditas sukuk negara meningkat sebesar1.166758 persen. Sebaliknya, apabila out-standing menurun sebesar 1 persen makalikuiditas sukuk negara juga menurun se -besar 1.167918 persen. Obligasi denganoutstanding yang lebih besar cenderungmemiliki lebih banyak investor sehinggamemiliki probabilitas yang lebih besaruntuk diperdagangkan sehingga dapatme ningkatkan likuiditas dari obligasitersebut.

Selanjutnya, variabel coupon rateme nunjukkan pengaruh yang positif danti dak signifikan terhadap likuiditas sukukNegara. Hal tersebut ditunjukkan dengannilai probabilitas t-statistik dari variabelcoupon rate (0.1106) yang lebih dari tarafnyata 10 persen serta tanda positif padakoe fisien regresinya. Hal ini dikarenakanSukuk Negara dengan coupon rate yangtinggi tidak dapat menarik minat investorapabila memiliki umur dan time to matu-rity yang tinggi sehingga dapat lebih me -mengaruhi likuiditas Sukuk Negara di -ban dingkan dengan coupon rate itu sen -

diri. Hasil penelitian juga menunjukkan

bahwa variabel time to maturity berhu -bungan negatif dan signifikan terhadaplikuiditas sukuk negara. Dengan kata lain,jika time to maturity naik sebesar 1 per -sen, maka tingkat likuiditas sukuk negaraakan menurun sebesar 0.01219567 per -sen dan sebaliknya jika time to maturitymenurun 1 persen maka tingkat likuiditassukuk negara meningkat 0.01 persen. Halini sesuai dengan sifat investasi yaitu asetdengan time to maturity lebih rendahmemiliki likuiditas yang lebih tinggi.Investor jangka panjang seperti perusa-haan asuransi cenderung membeli oblig-asi dengan time to maturity yang lebihbesar untuk mengamankan asetnya.Sedangkan investor jangka pendek cen-derung membeli obligasi dengan time tomaturity yang lebih kecil karena memilikiresiko yang lebih rendah serta lebihmudah untuk dijual kembali.

Hasil analisis regresi data panel da -lam penelitian ini menunjukkan nilaiprobabilitas t-statistik dari variabel umur(0.0002) kurang dari taraf nyata 5 per -sen. Hal tersebut menunjukkan bahwaumur memiliki hubungan yang negatifdan signifikan terhadap likuiditas sukuknegara. Koefisien variabel umur dalamha sil estimasi model likuiditas sukuknegara menunjukkan angka -5.224366.Jika terjadi peningkatan nilai umur se -besar 1 persen maka likuiditas sukuknegara menurun sebesar 0.005 persen.Hasil ini menyimpulkan bahwa semakinbesar umur suatu obligasi, semakin besarvolume obligasi tersebut yang dimiliki olehinvestor yang menahan hingga masa jatuhtempo. Suatu obligasi dikarakteristikkanmemiliki likuiditas yang tinggi tepat padasaat penerbitan dan likui ditasnya semakinmenurun selama waktu berjalan. Hal inijuga dikarenakan obli gasi yang baru diter-bitkan cenderung me miliki harga yanglebih rendah sehingga banyak investoryang membelinya untuk dijual kembalidengan harga yang lebih tinggi.

Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut,

ada beberapa hal yang harus dilakukan.Pertama; Kementrian keuangan selakupengelola dan penerbit sukuk negara di -harapkan meningkatkan likuiditas sukuknegara dengan menambah outstandingsukuk negara. Hal ini dikarenakan obli -gasi dengan outstanding yang lebih besarcenderung memiliki lebih banyak inves -tor sehingga memiliki probabilitas yanglebih besar untuk diperdagangkan se hing - ga dapat meningkatkan likuiditas dariobligasi tersebut. Namun peningkat an iniperlu memerhatikan kondisi supply dandemand pada pasar surat berharga. Halini dikarenakan meningkatkan sup ply(outstanding) sukuk negara apa bila tidakdiikuti dengan peningkatan de mand akanmenurunkan nilai dari sukuk negara itusendiri. Kedua: investor diha rapkanmempertimbangkan faktor outstanding,time to maturity dan umur dari sukuknegara yang akan dibeli karena faktor-faktor tersebut dapat memenga ruhi likuid-itas sukuk negara. Sukuk ne gara dengantingkat likuiditas yang baik akan memu-dahkan investor untuk ber transaksi yangberdampak pada biaya transaksi yangdikeluarkan oleh investor. ■

Sektor finansial menjadi salahsatu sektor yang berperan pen -ting dalam mendorong pertum-buhan ekonomi di suatu

negara. Sektor tersebut berfungsi seba -gai penyedia dana investasi sehinggadapat menggerakkan dan meningkat -kan kapasitas perekonomian. Tentu sajahal tersebut akan berjalan optimal jikaseluruh masyarakat dapat mengaksessektor finansial dengan mudah sehing-ga akan berdampak pada bergeraknyasektor rill. Oleh karena itu sektorkeuangan yang inklusif perlu digalak -kan agar seluruh masyarakat memilikikesempatan yang sama untuk dapatmengakses sektor keuangan.

Meskipun demikian kasus di negarakita, belum semua masyarakat dapatmengakses sektor keuangan denganmudah. Terbukti dari data survei inklusikeuangan yang dilakukan OJK tahun2016 yang hasilnya menunjukkan bahwa

hanya 67.82 persen masyarakatIndonesia yang sudah memiliki akses kesektor finansial. Dari total persentasemasya ra kat yang sudah memiliki akseske sektor finansial, hanya 11.06 persenmasya rakat Indonesia yang sudahmemiliki akses pada sektor keuangansyariah. Tentu saja hal ini harus menjadifokus para stakeholder untuk mencapaikeuangan syariah yang inklusif, terlebihlagi di era kemajuan teknologi sepertisekarang ini.

Pesatnya kemajuan teknologi me -nye babkan geliat perkembangan sektorkeuangan digital atau fintech tak dapatdihindarkan. Hal ini dibuktikan denganmunculnya berbagai start up fintech dane-commerce yang turut meramaikan in -dus tri keuangan di Indonesia. Berbagaimacam jasa layanan keuangan digitalmulai bermunculan seperti crowdfunding, insurtech, peer to peer leadingdan lain-lain yang semuanya menggu-

nakan basis teknologi yang canggih.Di sisi lain industri keuangan sya -

riah di Indonesia baik perbankan mau -pun non bank diprediksikan akan terusmengalami perkembangan di era fin -tech ini. Di samping karena Indonesiame rupakan negara berpenduduk Mus -lim terbesar di dunia, hal ini juga didu -kung dengan jumlah pengguna internettanah air yang dari tahun ke tahun sela -lu mengalami peningkatan. AsosiasiPenyelenggara Jasa Internet Indonesiamenunjukkan bahwa jumlah penggunainternet di Indonesia kian meningkatmen capai angka 132.7 juta user per2016, atau sekitar 51.8% dari jumlah to -tal penduduk Indonesia. Masyarakatakan memiliki kecenderungan memilihhal-hal yang praktis dan efisien denganmemanfaatkan internet tak terkecualidalam memilih produk-produk jasa ke -uangan. Oleh karena itu lembaga ke -uangan syariah harus mampu melihat

dan menangkap potensi pasar yang ada.Munculnya era fintech ini memiliki

berbagai manfaat diantaranya, industrifintech dapat mengisi kekosongan padasegmen masyarakat yang belum dapatmenikmati layanan keuangan formal.Selain itu lembaga keuangan syariahdapat menggandeng start up fintechuntuk bersama-sama mengembangkanoutreach produknya. Sehingga harapan-nya dengan adanya fintech ini akan turutmendorong inklusi keuangan syariah diIndonesia karena memberikan kesem-patan bagi masyarakat yang tidak bisamengakses layanan keuangan formal.Oleh karena itu untuk mendukung haltersebut tentu diperlukan regulasi yangtidak terlalu ketat namun tetap mem-perhatikan risiko yang akan terjadi,mengingat fintech ini baru berkembangsehingga perlu diberikan stimulus kebi-jakan untuk mendukung perkembanganindustri tersebut. ■

TAMKINIA

Dr Jaenal EffendiKetua Departemen

Ilmu Ekonomi SyariahFEM IPB

Fintech dan Inklusi Keuangan Syariah

19 KAMIS, 25 JANUARI 2018JURNAL EKONOMI ISLAM REPUBLIKA

Dr WidyastutikStaf Pengajar

Departem IlmuEkonomi FEM-IPB

SalahuddinEl Ayyubi

Staf PengajarDepartemen IlmuEkonomi Syariah

FEM-IPB

Arien Rosetika Mahasiswa

Departemen IlmuEkonomi Syariah

FEM-IPB

FAKTOR-FAKTOR INTERNAL yang Memengaruhi Likuiditas Sukuk Negara

VARIABEL KOEFISIEN PROBABILITASOutstanding 1.166.758 0.0198Coupon Rate 0.239194 0.1106Time to Maturity -1.218.960 0.0829Umur -5.224.366 0.0002R-squared = 0.412065F-hitung = 0.000000Sum squared resid weighted statistics = 4888.656Sum squared resid unweighted statistics = 8688.249

Keterangan: Hasil estimasi variabel yang memengaruhi tabungan likuiditas sukuk negara periode Juni 2015 – Mei 2017 dengan teknik FEM

RAKHMAWATY LA'LANG/DOKUMENTASI REPUBLIKA