white paper komisi energi ppi dunia 2017-2018 a....

54
White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018 A. PENDAHULUAN Ketahanan Energi merupakan satu dari 11 program Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan dari pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini adalah Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPENNAS (Bapennas, 2017). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli membuktikan bahwa peningkatan penggunaan energi selaras dengan peningkatan perekonomian (GDP) suatu wilayah (Stern & Cleveland, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa ketahanan energi merupakan salah satu bagian penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi, peningkatan penggunaan energi juga akan berdampak langsung terhadap lingkungan. Seperti apa yang terjadi di Cina (Tiongkok) pada tahun 1990 hingga 2012, dimana terjadi pertumbuhan GDP secara signifikan selaras dengan peningkatan konsumsi energi yang berdampak langsung terhadap peningkatan emisi karbon (Wang, 2016). Salah satunya disebakan karena tingginya penggunaan batubara sebagai pembangkit tenaga listrik di Tiongkok. Gambar 1. Grafik pertumbuhan ekonomi (GDP), konsumsi energi (EC), dan emisi karbon CO2 (CE) di Tiongkok dari tahun 1990 hingga 2012 (Wang, 2016). Pada tahun 2030 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara yang memiliki PDB (Pendapatan Domestik Bruto) terbesar ke 5 di Dunia, dengan syarat selama didukung oleh konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program jangka panjang terkait peningkatan kualitas

Upload: nguyenque

Post on 20-Jun-2019

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018

A. PENDAHULUAN

Ketahanan Energi merupakan satu dari 11 program Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

dari pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini adalah Kementrian Perencanaan Pembangunan

Nasional/ BAPENNAS (Bapennas, 2017). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli

membuktikan bahwa peningkatan penggunaan energi selaras dengan peningkatan perekonomian

(GDP) suatu wilayah (Stern & Cleveland, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa ketahanan

energi merupakan salah satu bagian penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi,

peningkatan penggunaan energi juga akan berdampak langsung terhadap lingkungan. Seperti apa

yang terjadi di Cina (Tiongkok) pada tahun 1990 hingga 2012, dimana terjadi pertumbuhan GDP

secara signifikan selaras dengan peningkatan konsumsi energi yang berdampak langsung terhadap

peningkatan emisi karbon (Wang, 2016). Salah satunya disebakan karena tingginya penggunaan

batubara sebagai pembangkit tenaga listrik di Tiongkok.

Gambar 1. Grafik pertumbuhan ekonomi (GDP), konsumsi energi (EC), dan emisi karbon CO2 (CE) di Tiongkok

dari tahun 1990 hingga 2012 (Wang, 2016).

Pada tahun 2030 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara yang memiliki PDB

(Pendapatan Domestik Bruto) terbesar ke 5 di Dunia, dengan syarat selama didukung oleh

konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program jangka panjang terkait peningkatan kualitas

SDM, pembangunan infrastruktur, serta adanya stabilitas politik, dimana energi sendiri merupakan

bagian dari pembangunan infrastruktur.

1. Kebijakan Energi Nasional

Menurut PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025

penggunaan energi baru dan terbarukan di Indonesia paling sedikit adalah 23 %, serta terpenuhinya

penyediaan kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2025 sekitar 115 GW (Gigawatt). Sedangkan

pada November 2016 pemerintah Indonesia melalui Paris Agreement telah sepakat bahwa akan

mengurangi produksi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29% tanpa bantuan internasional

atau 41% dengan bantuan internasional.

Melihat kondisi diatas, maka solusi yang paling ideal adalah dengan menggunakan energi

yang murah serta ramah lingkungan. Akan tetapi saat ini harga energi terbarukan masih relatif

lebih mahal jika dibandingkan dengan energi konvensional berbasis fosil yang digunakan saat ini,

sehingga energi terbarukan masih sulit berkembang. Selain itu, beberapa hal teknis juga ikut

berpengaruh terhadap rendahnya jumlah penggunaan energi terbarukan seperti; produksi listrik

yang tidak stabil, jumlah pasokan listrik yang dihasilkan masih sangat rendah, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dari berbagai macam pihak seperti peneliti (lembaga

penelitian dan universitas), pengguna (industri, lembaga pendidikan & penelitian, serta

masyarakat) yang dikomandoi oleh pemerintah.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber

Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjelaskan bahwa pemerintah mentapkan

taris listrik yang berasal dari PLTS Fotovoltaik (sel surya), PLTB (angin), PLTBm (biomassa),

PLTBg (biogas), PLTA Laut paling tinggi sebesar 85% dari BPP Pembangkitan di sistem

ketenagalistrikan setempat, sedangkan jika BPP setempat sama atau dibawah rata-rata BPP

nasional, maka harga pembelian listrik dari sumber tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan

para pihak. Sedangkan untuk PLTA (aliran sungai, waduk, bendungan), PLTSa (sampah

perkotaan), dan PLTP (panas bumi), harga listrik paling tinggi paling tinggi sama dari BPP

Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat, sedangkan jika BPP setempat sama atau

dibawah rata-rata BPP nasional, maka harga pembelian listrik dari sumber tersebut ditetapkan

berdasarkan kesepakatan para pihak. Dalam hal ini pemerintah telah mengatur harga listrik yang

berasal dari energi terbarukan, akan tetapi jaminan investasi dari pemerintah juga sangat penting

guna mendorong pembangunan pembangkit listrik yang berasal dari energi baru terbarukan.

Sebagai contoh; biaya investasi eksplorasi untuk panas bumi sangatlah tinggi, sedangkan disatu

sisi eksplorasi lapangan panas bumi tidak dapat dijamin 100% berhasil atau bisa dikatakan 50:50

antara tingkat keberhasilan dan tingkat kegagalan.

2. Diversifikasi Energi di Indonesia

Jika dilihat dari letak geografisnya, Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga wilayah;

a. Metropolitan, Daerah Industri, dan Perkotaan Besar.

b. Wilayah Kabupaten dan Kota.

c. Wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).

Dimana tiap-tiap wilayah memiliki kondisi infrastruktur dan kebutuhan energi yang berbeda-beda.

Sehingga perlu adanya diversifikasi energi yang berlandaskan pada kearifan lokal. Sehingga

penggunaan potensi energi dari masing-masing wilayah dapat dioptimalkan, yang salah satunya

berdampak terhadap rendahnya biaya infrastruktur energi tersebut. Jika memungkinkan,

pembangunan infrastruktur energi berskala kecil disuatu wilayah juga harus didukung oleh SDM

yang berasal dari wilayah tersebut agar lebih mudah dalam proses maintenance. Dalam

membangun infrastruktur energi juga perlu dilihat nilai keekonomian dari infrastruktur tersebut.

Nilai keekonomian yang dimaksud bukanlah harga listrik yang diproduksi akan lebih rendah dari

BPP nasional atau BPP wilayah tersebut, melainkan seberapa efektif kebutuhan penggunaan energi

tersebut sehingga dapat mendorong potensi perekonomian yang ada pada wilayah tersebut. Dari

hal yang telah disampaikan diatas bahwa antara kegiatan perekonomian, pendidikan dan

infrastruktur energi pada suatu wilayah sangatlah berkaitan erat (gambar 2).

Gambar 2. Hubungan antara pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur energi untuk tiap wilayah yang dijelaskan pada

gambar 3.

Gambar 3. Ketersediaan lahan dan konsumsi energi pada tiap-tiap wilayah.

Pada gambar 3 dapat dijelaskan bahwa pada daerah metropolitan, tingkat konsumsi energi

sangatlah tinggi dimana berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan yang sempit. Selain itu,

daerah industri juga membutuhkan supply listrik yang stabil. Sehingga pembangkit listrik yang

paling cocok digunakan untuk mensuplai listrik pada daerah tersebut adalah pembangkit listrik

berbasil fosil atau PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Perlu diingat juga bahwa pengguna

listrik tidak hanya oleh para pelaku industri, melainkan juga aktifitas penelitian seperti

laboratorium penelitian di universitas-universitas maupun lembaga penelitian yang juga

membutuhkan suply listrik yang besar dan stabil.

Jika kedepannya perkotaan besar yang ada di Indonesia mulai membangun transportasi

massal yang membutuhkan supply listrik yang besar, maka kebutuhan listrik akan menjadi lebih

krusial. Sedangkan untuk daerah kabupaten atau kota kecil yang notabenya tidak membutuhkan

daya yang cukup besar, maka pembangkit listrik dengan daya skala menengah lebih dibutuhkan

guna menghindari kelebihan supply, kecuali kelebihan supply tersebut dapat disalurkan pada

daerah sekitar yang lembih membutuhkan.

Untuk daerah 3T yang pada dasarnya hanya membutuhkan supply listrik berskala kecil,

maka pembangkit listrik seperti microhidro, biogas, dan sel surya lebih tepat untuk digunakan

bergantung potensi lokal yang ada, sehingga tidak akan sulit dalam proses pemeliharaanya.

Oleh karena itu diversifikasi energi menjadi solusi bagi pembangunan infrastruktur di

Indonesia yang memiliki kondisi wilayah yang berbeda beda.

B. TEKNOLOGI PANEL SURYA

1. Teknologi Concentrated Solar Panel (CSP)

Terdapat dua tipe teknologi panel surya untuk memproduksi listrik yaitu Concentrated

Solar Power (CSP) dan Photovoltaic (PV). Teknologi dasar dari CSP adalah penggunaan cermin

untuk merefleksikan radiasi matahari ke satu titik pusat dimana energi listrik akan dihasilkan.

Radiasi matahari yang terkumpul di titik pusat ini akan diubah menjadi energi panas yang

kemudian akan diubah ke energi listrik (IEA, 2014). CSP sendiri dibagi menjadi empat jenis. Jenis

pertama adalah Linear Fresnel Reflector (LFR) dimana cermin akan merefleksikan radiasi

matahari ke satu tabung pusat yang terletak sejajar dengan cermin reflector. Kelemahan dari LFR

adalah rendahnya produksi energi apabila terdapat bayangan dari sinar matahari dan cermin-

cermin di sekitar titik pusat (Mills & Morrison, 2000). Jenis kedua adalah Parabolic Through (PT)

dimana tabung pengumpul radiasi matahari terinstall di setiap reflector. LFR dan PT merupakan

teknologi CSP yang menggunakan titik pusat yang terpasang secara linear (Gharbi, et al, 2011).

Teknologi ketiga adalah Central receiver dimana tabung pengumpul merupakan menara pusat

tunggal yang terletak di depans atau di tengah-tengah cermin reflector atau biasa disebut heliostat

dalam teknologi ini. Energi panas yang dihasilkan oleh Menara ini dapat mencapai 500-1000oC.

Kelemahan dari system ini adalah aabila energi panas yangterkumpul lebih dari 600oC, efisiensi

system akan cenderung semakin rendah (Ho and Iverson, 2014). Teknologi keempat dari CSP

adalah Parabolic Dish Collector (PDC) dimana titik pusat terdapat di masing-masing parabola

(Wu, et al, 2010). Ilustrasi keempat jenis tersebut terdapat di Gambar 1.

Gambar 1 Empat jenis CSP (IEA, 2014)

Untuk menghasilkan energi listrik, CSP membutuhkan Direct Normal Irradiation (DNI)

yang sangat tinggi karena titik pusat dari CSP memiliki sudut penerima yang cukup kecil (Blanc

et al., 2014). Definisi dari DNI sendiri adalah jumlah solar radiasi yang diterima oleh suatu

permukaan yang terletak tegak lurus dengan sudut datangnya sinar matahari. Sudut optimal

penerima DNI oleh suatu lensa dapat diukur oleh pyrheliometer (Gueymard & Ruiz-Arias, 2015).

Angka DNI yang dpat diterima oleh CSP di Indonesia tidak terlalu tinggi (Jacobson & Delucchi,

2011; Trieb, et al., 2009). Oleh karena itu, steknologi ini tidak dapat menghasilkan enerhi listrik

secara optimal jika diterpkan di Indonesia. Selain itu, biaya pembuatan dan perawatan CSP juga

cukup tinggi (Khan & Arsalan, 2016).

Gambar 2 Jumlah DNI tahunan di dunia (Trieb et al., 2009)

Teknologi kedua dari panel surya adalah photovoltaic (PV). Teknologi ini dapat mengubah

sinar matahari secara langsung menjadi energi listrik (Lasnier & Gan Ang, 1990). Terdapat dua

jenis PV dalam hal instalasinya; PV yang posisinya akan tetap sama dan PV yang disertai dengan

tracking system. Jenis kedua memiliki potensi produksi listrik yang lebih tinggi karena panel surya

akan mengikuti arah radiasi matahari. Akan tetapi, teknologi ini membutuhkan area yang lebih

luas daripada teknologi pertama. Teknologi PV ini merupakan teknologi panel surya yang cocok

diterapkan dalam skala kecil seperti perumahan (El-Baz, et al., 2018).

Berdasarkan Khan dan Arsalan (2016), CSP dan PV memiliki keuntungan dan kelemahan

masing-masing dalam hal efisiensi, ekonomi, dan penerimaan masyarakat luas seperti pada Tabel

1.

Tabel 1 Perbandingan antara CSP dan PV

Perbandingan CSP PV

Efisiensi Memiliki efisiensi tahunan yang lebih tinggi dalam penerapan skala besar

Memiliki efisiensi tahunan yang lebih tinggi dalam penerapan skala kecil

Ekonomi Lebih mahal daripada PV dalam hal pembangunan, namun menghasilkan energi listrik lebih banyak dan lifetime lebih lama daripada PV

Lebih murah dalam hal pembangunan dan perawatan untuk skala rumah tangga

Perimaan masayarakat Lebih banyak digunakan sebagai pembangkit listrik utama dan di bidang komersial

Lebih banyak digunakan masyarakat sebagai rooftop PV

2. Perkembangan di Dunia

Berdasarkan pemetaan penggunaan energi terbarukan di dunia oleh IEA (2016),

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan sumber energi terbarukan keempat yang

paling banyak digunakan di dunia setelah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), bio-energi, dan

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Penggunaan PLTS telah menigkat lebih dari 10% sejak

tahun 2000 hingga 2015 (Gambar 3).

Gambar 3 Peningkatan penggunaan energi matahari tahun 1990 hingga 2015 (IEA, 2016)

Mudahnya instalasi dan perawatan PV merupakan salah satu alasan menigkatnya

presentase penggunaan PV secara global (Gambar 4). Eropa merupakan konsumen terbesar dalam

hal penggunaan energi listrik dari radiasi matahari sejak tahun 2010. Sedangkan Amerika Serikat

(AS) merupakan konsumen energi matahari terkecil karena tingginya biaya untuk instalasi,

regulasi, perawatan, dan lain-lain (IEA, 2016). Meskipun demikian, AS tetap mengunggulkan

teknologi energi matahari. Meskipun regulasi pemasangan PV panel di AS sangat ketat, negara ini

memprediksi bahwa solar panel akan berkontribusi sebesar 10% dalam memproduksi energi listrik

pada tahun 2025, 8% dari persentase tersebut datang dari PV panel dan sisanya dari CSP (Solangi,

et al., 2011).

Menurut Zhang, et al., (2015), harga instalasi solar panel berteknologi PV untuk skala kecil

telah menurun sebesar $3/W sejak tahun 2006 hingga 2012. Hal ini juga didukung dengan

meningkatnya efisiensi panel sebesar 17.5% pada tahun 2013. Keuntungan ekonomi juga didapat

dari penggunaan PV panel. Dengan menggunakan PV panel yang berkapasitas 690 KW dengan

lifetime selama 25 tahun, masyarakat dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1178 MWh per

tahun. Meskipun biaya pemasangan PV panel sangat besar, biaya ini akan kembali pada tahun

ketiga pemakaian PV panel. Hal ini telah diuji oleh (Hosenuzzaman et al., 2015).

Gambar 4 Akumulasi tahunan jumlah instalasi PV dan energi listrik yang dihasilkan (Parrado, et al. 2016)

Di sisi lain, CSP juga mengalami peningkatan pesat sebagai pembangkit listrik skala besar

Gambar 5. Vallentin & Viebahn (2010) dan Viebahn, et al. (2011) merangkum potensi CSP hingga

tahun 2050 secara global yang didasarkan pada regulasi dan insentif nasional. Jumlah produksi

listrik tahunan dari CSP dapat meningkat empat kali lipat dari eksisting. Teknologi PT diprediksi

masih menjadi teknologi CSP terfavorit pada tahun 2050. Spanyol dan AS merupakan penghasil

listrik dari SCP terbesar di dunia pada tahun 2007 hingga 2012 (Shouman & Khattab, 2015).

Jika angka DNI di suatu negara cukup tinggi seperti di Mesir dan Spanyol, teknologi ini

dapat menghasilkan insentif yang cukup tinggi. Dengan meningkatnya produksi global CSP dari

tahun 2010 hingga 2050, harga energi listrik yang harus dibayarkan juga akan semakin menurun

karena energi listrik akan berasal dari energi terbarukan yang dapat dihasilkan setiap saat (Trieb,

et al., 2011).

Gambar 5 Akumulasi tahunan jumlah instalasi CSP dan energi listrik yang dihasilkan (Parrado et al., 2016)

Gambar 6 Penurunan harga produksi CSP dibandingkan dengan pertumbuhan global kapasitas instalasinya

Shouman dan Khattab (2015), membuktikan bahwa penggunaan CSP dapat menekan biaya

pembangunan, perawatan, dan produksi energi listrik dibandingkan dengan biaya yang harus

dibayar dalam penggunaan energi listrik dari system konvensional yang menggunakan bahan bakar

fosil. Analisa biaya ini biasa disebut Levelized Cost of Energy (LCOE). Dengan level DNI suatu

negara yang mencapai 2500 kWh/m2/tahun, negara tersebut dapat menekan biaya pengeluran

sebesar 70% pada tahun 2050.

3. Perkembangan di Indonesia

Data dari IEA yang dapat diunduh di

http://www.iea.org/stats/WebGraphs/INDONESIA4.pdf menunjukkan bahwa Indonesia masih

menggunakan sumber energi tidak terbaharukan sebanyak 50% dari total hingga tahun 2015.

Berdasarkan hasil simulasi dari REmap yang dilakukan oleh International Renewable Energy

Agency (2017), produksi PLTS Indonesia dapat mencapai 3.1 GW/tahun dan mencapai 8% dari

total produksi listrik Indonesia tahun 2030.

Hingga tahun 2016, kapasitas PLTS yang sudah disediakan oleh pemerintah Indonesia

hanya mencapai 16 MW dan tersebar di 34 provinsi (Gambar 7). 50% dari kapasitas tersebut

dikelola oleh Perusahaan Listrik Nasional (PLN) (Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, 2017). Dari

ke-34 provinsi tersebut, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki potensi tenaga surya

tertinggi (Ditjen EBTKE ESDM, 2016). Sebaran tenaga surya di Indonesia telah dilaporkan dalam

Jonan et al. (2016) yang juga merupakan hasil analisa dari Soekarno et al. (2014).

Indonesia menargetkan untuk memperoleh energi listrik sebesar 260,3 MW dari PLTS

pada tahun 2019 (Gambar 8). PLTS non-APBN merupakan penyumbang terbesar dari rencana

kapasitas terpasang tersebut. PLTS APBN akan dikonstrasikan dalam pembangunan rooftop PV

di Gedung pemerintahan dan bandara. Untuk mencapai target tersebut, terdapat 80 lokasi yang

tersebar di pulau-pulau Indonesia yang akan dibangun PLTS dengan total kapasitas terpasang

sebesar 140 MW (Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, 2015).

Gambar 7 Detail kapasitas terpasang tahunan dan produksi listrik dari PLTS yang dikelola oleh PLN dan pribadi (Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, 2017)

Gambar 8 Rencana Strategis KESDM dalam peningkatan produksi listrik dari PLTS. Sumbu x merupakan kapasitas terpasang dalam MW (Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, 2015)

4. Instalasi di Indonesia

Sebagaimana telah dipaparkan oleh Trieb et al. (2009), potensi Indonesia dalam

meningkatkan penggunaan system CSP tidak terlalu tinggi karena rendahnya angka DNI tahungan

sebagai input utama. Sebaliknya, potensi system PV di Indonesia sangat tinggi karena tingginya

angka Global Horizontal Irradiance (GHI). Untuk mempermudah perhitungan estimasi potensial

PV, beberapa riset di dunia telah memetakan lokal dan global solar radiasi seperti yang dilakukan

oleh Šúri, et al. (2005) dalam skala Eropa dan World Bank Group (2016) dalam skala global.

Indonesia sendiri telah memiliki peta potensi energi surya yang telah dipublikasikan oleh Soekarno

et al. (2014) di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi

Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE), Badan Penelitian dan Pengembangan

Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia.

Pemasangan panel surya di atap rumah, apartemen, dan gedung-gedung tinggi merupakan

salah satu upaya untuk mengoptimalkan produksi listrik di kota-kota besar. Jakarta dapat

digunakan sebagai salah satu area studi. Apabila teknologi rooftop PV ini diaplikasikan,

potensinya dapat mencapai sekitar 0,55 MW/km2. Perhitungan ini menggunakan formula dari

Perpiñan, et al. (2007) dimana fluktuasi temperatur dapat mengurangi produksi panel surya sebesar

4%. Data temperatur yang digunakan dalam perhitungan ini merupakan data bulanan DKI Jakarta

yang dapat diunduh secara gratis di http://dataonline.bmkg.go.id/ (BMKG, 2015) dan data radiasi

diekstrak dari peta solar radiasi dari World Bank Group (2016).

Dengan estimasi luas per rumah di Jakarta adalah 100 - 200 m2, terdapat 10.000 rumah

dalam 1 km2 yang dapat memproduksi energi listrik sebesar 55 Wh per rumah. Jika angka ini

diakumulasikan dalam satuan bulan, maka setiap rumah dapat menghasilkan daya sebesar 39,6

kWh dan dapat menghemat pengeluran rumah tangga untuk listrik sebesar Rp 55.000,00 per bulan

jika tarif listrik rumah tangga adalah Rp 1.352,00 (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

Republik Indonesia, 2016).

Gambar 9 Peta Potensi Energi Surya di Indonesia yang dapat digunakan sebagai acuan pembangunan PLTS di Indonesia (Soekarno et al., 2014)

Pemilihan lokasi pemasangan panel surya dapat mengacu juga pada peta potensi PV dari

World Bank Group (2016). Area yang memiliki potensi PV tertinggi merupakan area pesisir

dimana kota-kota besar Indonesia berada.

Legend

Potensi PV (kWh/kWp)

ValueHigh : 4.95

Low : 0.8 Ü 0 400 800 1,200 1,600200Kilometers

C. POTENSI ENERGI NUKLIR NASIONAL

1. Kebijakan Pemerintah di Indonesia

Mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada tanggal 17 Oktober 2014

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. Dasar penerbitan Peraturan

Pemerintah atau PP ini adalah pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007.

KEN yang ditetapkan tersebut juga sudah mendapat persetujuan DPR melalui Keputusan

DPR Nomor 01/DPR RI/III/2013-2014. Sebagaimana diketahui bahwa KEN merupakan

pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian

energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional

berkelanjutan.

Tabel 2. Sasaran yang diamanatkan dalam KEN [RUEN, pp. 12-23].

Tabel di atas menjelaskan bahwa sampai saat ini kita masih mengandalkan energi fosil

yang kontribusi sebesar 95%. Sementara energi baru dan energi terbarukan (EBT) yang

tidak akan habis baru mampu berkontribusi sebesar 5% dalam bauran energi nasional.

Namun demikian, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah ditetapkan bahwa

Pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan EBT. Jika pada tahun 2015, kontribusi

EBT baru mencapai 5%, maka pada tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan

naik lagi menjadi lebih dari 31% pada tahun 2050. Sedangkan kontribusi gas relatif stabil,

berkisar sekitar 23%. Untuk batubara akan meningkat dari 25% pada tahun 2015 menjadi

lebih dari 30% pada tahun 2025, tetapi setelah itu dikurangi sehingga menjadi sekitar 25%

pada tahun 2050. Khusus untuk minyak bumi telah ditargetkan untuk dikurangi

peranannya setiap tahun. Jika pada tahun 2015 kontribusinya mencapai 46%, maka angka

tersebut akan turun menjadi kurang dari 25% pada tahun 2025, dan terus menurun

sehingga menjadi kurang dari 20% pada tahun 2050. Beranjak dari hal ini, jika pemenuhan

EBT tidak tercapai maka opsi pembangunan PLTN yang dipaling akhirkan harus segera

dipertimbangkan dan dilaksanakan. Sesuai dengan definisi “Energi nuklir yang

dimanfaatkan dengan mempertimbangkan keamanan pasokan Energi nasional dalam skala

besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi Energi Baru dan Energi

Terbarukan sesuai nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan

terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat. Penjabaran lebih lanjut

energi nuklir sebagai pilihan terakhir akan disusun dalam roadmap implementasi PLTN

dengan mempersiapkan aspek teknologi, jenis bahan bakar, lokasi, keselamatan,

pendanaan, dan kesiapan sumber daya manusia, disertai analisis multi kriteria” [Perpres

RI No. 22 Tahun 2017].

Di Indonesia, titik awal perkembangan ketenaganukliran nasional telah ada semenjak

era presiden pertama Indonesia, presiden Soekarno di tahun 1954. Pada tahun tersebut

presiden Soekarno membentuk Panitia Negara yang bertugas melakukan penyelidikan

adanya kemungkinan sisa zat radioaktif di wilayah NKRI akibat uji coba persenjataan.

Panitia Negara inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Badan Tenaga Nuklir Nasional

(BATAN). Perkembangan teknologi nuklir nasional terus mengalami pasang surut seiring

dinamika politik yang ada. Pada kesempatan tersebut turut dijelaskan juga standar

keselamatan berlapis yang diterapkan di seluruh fasilitas nuklir nasional. Demi menjamin

tingkat keselamatannya, sistem keselamatan ini distandardisasi menurut standar

internasional yang rutin diinspeksi berkala oleh badan atom internasional, International

Atomic Energy Agency (IAEA). Sampai dengan saat ini, BATAN telah mampu

menghasilkan beberapa produk terkait teknologi nuklir bernilai ekonomi tinggi yang aman

dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Turut dipaparkan juga bagaimana teknologi

tersebut sudah dimanfaatkan secara luas oleh negara-negara lain seperti di Vietnam,

Jepang, Pakistan, India dan Amerika dalam mendukung sektor pertanian, industri pangan

dan industri kesehatan mereka.

Isu pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi bahasan internasional, dan

hampir semua negara di dunia telah mencapai kesepakatan bersama untuk mengurangi

ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dalam sektor tenaga listrik, hal ini menunjukkan

peranan penting sumber energi dengan tingkat emisi karbon rendah seperti angin, surya,

dan nuklir untuk sepenuhnya menggantikan bahan bakar fosil di masa depan. Ada

beberapa faktor yang menyebabkan nuklir memiliki peranan penting dalam bauran energi

dan tidak dapat diabaikan. Diversifikasi energi sangat diperlukan untuk ketahanan energi,

sebuah negara tidak dapat bergantung hanya pada satu sumber energi saja. Selain itu,

tenaga angin dan surya merupakan sumber energi yang tidak kontinu, sehingga diperlukan

sumber energi lain sebagai pendukung.

Penulis percaya bahwa opsi nuklir harus diupayakan demi sumber energi bebas karbon

yang berpotensi menjadi calon potensial dalam kebutuhan listrik pada beberapa dekade

mendatang. Untuk mengeksplorasi isu energi masa depan nuklir di Indonesia, prospek

nuklir di Indonesia ini memerlukan tiga skenario penting: 1) Perluasan teknologi nuklir ini

memerlukan pemahaman internal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir

melalui penelitian dan pengembangan. 2) Faktor penting untuk masa depan energi nuklir

adalah tata kelola stabilitas baik secara ekonomi maupun politik untuk mewujudkan masa

depan nuklir. Bagaimanapun juga, teknologi nuklir memiliki biaya kapital dan operasional

yang cukup tinggi dan akan harus didorong dengan usaha finansial yang baik pula. Untuk

melestarikan masa depan nuklir, banyak upaya diperlukan melalui keterlibatan pemerintah

dalam keselamatan sebagai aspek vital, masalah limbah, dan proliferasi internal yang baik

secara. 3) Penerimaan dan pemahaman publik untuk pengembangan teknologi nuklir

merupakan isu utama yang perlu ditekankan.

2. Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif (LIRA) di Indonesia

(BATAN)

Limbah radioaktif adalah zat radioaktif, bahan dan peralatan yang terkontaminasi,

bahan dan peralatan yang teraktivasi, dan tidak dapat digunakan lagi. Di Indonesia, limbah

radioaktif berasal reaktor riset yang berada di BATAN (Reaktor Bandung, Reaktor

Yogyakarta, Kawasn Nuklir Serpong, Kawasan Nuklir Pasar Jumat), serta rumah sakit,

industry, dan lembaga penelitian yang menggunakan material/ isotop radioaktif. Jenis dari

LIRA sendiri dapat dilihat pada gambar 1.

Beberapa fakta mengenai kepercayaan masyarakat ialah dengan bagiamana para ahli

dapat berperan untuk penanggulangan limbah atau sisa bahan radioaktif dari PLTN. Di

Indonesia, untuk pengolahan limbah yang sedang dikelola dan dikembangkan oleh

BATAN ialah proses pemrosesan kembali U-235 yang masih dapat digunakan

(Reprocessing).

(a)

(b)

(c)

Gambar 1. Jenis-jenis limbah radioaktif yang ditangani oleh BATAN (a). Zat radioaktif

terbungkus yang tidak digunakan; (b). Bahan bakar nuklir bekas; (c). Limbah terbuka

padat, cair dan semi cair.

Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara

insinerasi. Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk mereduksi volume limbah. Bila

limbah cair bersifat korosif maka limbah akan diolah melalui proses kimia sebelum

disementasi. Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan

cara kompaksi. Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan

limbah aktivitas rendah (LAR) masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton, drum

beton, dan drum 200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini diperlukan

suatu koordinasi kerja yang terpadu diantara tenaga yang terdiri dari proses, penunjang

sarana, keselamatan, laboratorium dan administrasi.

Saat ini Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN sudah memanfaatkan

50 persen dari kapasitas penyimpanan. Diperkirakan wadah penyimpanan dapat

menampung limbah hingga 20-30 tahun mendatang. Bahkan, teknologi terkini mampu

memanfaatkan bahan bakar sisa PLTN untuk digunakan kembali.

Pengelolaan LIRA oleh BATAN diatur oleh beberapa peraturan; UU No.10 th 1997

tentang Ketenaganukliran, PP 61 th 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, PP 58

th 2015 tentang Keselamatan dan keamanan Pengangkutan ZRA, Perpres No. 84/2010

“The Joint Convention on the safety of spent fuel management and on the safety of

radioactive waste management”, Perka Bapeten Nomor 16 Tahun 2012Tentang Tingkat

Klierens.

Selain itu, fasilitas yang dimiliki oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR)

antra lain: Evaporator, Chemical Treatment, Insinerator, Kompaktor, Imobilisasi/

Sementasi, Penyimpanan Sementara, Kanal Hubung – Instalasi Penyimpanan Sementara

Bahan Bakar Nuklir, Penyimpanan limbah B3 internal BATAN, Penyimpanan Sementara

Limbah Aktivitas Tinggi, Vaqua D Blast Abrasive System (sistem dekontaminasi/pengikis

permukaan logam), Mobil Pengangkut Limbah Cair, Semi Cair dan Padat, Sistem

Pemantau cuaca, Laboratorium Preparasi dan Analisis Limbah, Laboratorium Pengelolaan

Limbah dan Dekontaminasi, Laboratorium Disposal.

Gambar 2. Badan alur pengelolaan DSRS.

Gambar 3 Demo plan disposal pengelolaan LIRA 2015-2019.

Gambar 4. Skema manajemen pengelolaan LIRA.

Gambar 5 Alur pelimbahan eksternal ke PTLR.

Sumber mengenai pengeolaan LIRA: Webinar Tim Kajian Nuklir Komisi Energi PPI

Dunia Juli 2018. (https://youtu.be/NNJLhD1qAr0).

3. Analisa Keekonomisan PLTN

Biaya per unit listrik yang diproduksi (kWh) akan bervariasi disetiap lokasi,

tergantung pada biaya yang terpakai di daerah tersebut, pengaturan dan risiko keuangan

dan lainnya, serta jumlah ketersediaan. Biaya juga akan tergantung pada faktor geografis.

Jadi tidak mungkin untuk memperkirakan biaya umum secara akurat. Bagaimanapun juga,

ada 4 komponen biaya utama dalam penentuan levelised cost of electricity (LCOE): a)

Biaya kapital, meliputi biaya manufakturing dan pembangunan unit fasilitas, b) Biaya

operasional, yang pada umumnya sangat rendah bagi PLTN yang beroperasi, c) Biaya

eksternal, dan d) Biaya lain-lain. Sebagai contoh, berikut adalah analisis standard harga

PLTN dengan teknologi paling mutakhir. Tabel 2 dan Gambar 4 mengutip dari hasil studi

analisis studi biaya PLTN dengan teknologi reaktor maju dari lembaga Energy Options

Network. Dengan rata-rata daya PLTN adalah 830 MWe, rata-rata biaya kapital yang

diperkirakan ialah Rp 40T, rata-rata biaya operasi berkisar Rp 273/kWh, dan total estimasi

rata-rata biaya produksi listrik sekitar Rp 780/kWh.

Gambar 10. Analisis biaya kapital dan operasional PLTN teknologi reaktor maju

Gambar 11. Analisis biaya produksi listrik PLTN teknologi reaktor maju

4. Opini dan Informasi Publik

Berdasarkan survey yang dilakukan Tim Kajian Nuklir PPID pada tanggal 10

Oktober-13 November 2016 atas 566 pelajar Indonesia yang tersebar di 48 negara,

diketahui bahwa hanya 4,5% dari responden kami yang menyatakan sama sekali tidak

berminat terhadap potensi aplikasi nuklir di bidang apapun. Sementara 28.5% responden

menyatakan tertarik pada teknologi nuklir di bidang energi dan 67% responden

menyatakan tertarik pada pemanfaatan teknologi nuklir di bidang-bidang non-energi.

Seperti pada bidang medis (radiofarmaka, radioterapi), bidang lingkungan, bidang industri,

bidang pertanian, infrastruktur dan bidang industri manufaktur. Dari survey tersebut juga

diketahui bahwa mayoritas responden (66%) beranggapan bahwa energi nuklir paling

efisien dibanding energi alternatif lain yang tersedia. Lebih jauh, 57% dari responden kami

menyatakan setuju bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penggunaan teknologi

nuklir dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional.

Sebuah pencapaian yang memuaskan, ketika pelajar Indonesia di luar negeri ternyata

juga peduli dengan pemanfaatan energi nuklir di tanah air. 57% responden menyatakan

setuju bahwa Indonesia sudah saatnya menggunakan teknologi nuklir. Hal tersebut

berdasarkan berbagai pertimbangan, seperti sumber energi fosil bukanlah menjadi sumber

energi utama. Selain karena tingkat emisi karbon yang cukup tinggi dari proses yang

dihasilkan, tetapi juga karena keberadaannya yang semakin menipis di alam. Selain itu,

energi nuklir merupakan sumber energi alternatif yang terbukti paling efisien jika

dibandingkan sumber energi alternatif lainnya. Manfaat energi nuklir pun akan dapat

terlihat pada pasokan listrik di daerah, sekaligus dapat membuka lapangan kerja baru bagi

masyarakat Indonesia. Salah satu alasan yang pasti ialah responden meyakini bahwa

Indonesia dengan segala sumber daya manusia dan alam yang ada sudah mampu

membangun PLTN.

Dari hasil riset oleh BATAN pada tahun 2014, ada 72 persen masyarakat yang

mendukung pembangunan PLTN. Angka ini terus mengalami kenaikan yang signifikan

dari 2012. Masyarakat di luar Pulau Jawa lebih menginginkan kehadiran PLTN (79,4%)

dibandingkan dengan di Pulau Jawa (72,0%). Hal ini dipengaruhi kondisi kelistrikan di

luar Jawa yang masih kurang memadai. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar

penduduk Indonesia menyadari potensi pemanfaatan energi nuklir dan kontribusinya

untuk menjamin pemenuhan dan kestabilan pasokan listrik di Indonesia. [Sumber:

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141216144350-85-18484/72-persen-

masyarakat-dukung-pembangunan-pembangkit-nuklir].

Sebagai resistansi, nuklir masih dianggap suatu momok yang membahayakan bagi

penduduk sekitar, tidak ramah lingkungan karena khawatir akan adanya kebocoran reaktor

nuklir, pencemaran radioaktif yang ditimbulkan oleh reaktor PLTN, limbah radioaktif, dan

belum ditemukan solusi terbaik bagi sistem proliferasinya. Meskipun demikian, menurut

survei tersebut tren persentase responden yang mendukung dan menganggap

pembangunan PLTN sebagai solusi mengatasi krisis listrik jangka panjang terus

meningkat dari tahun ke tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik di seluruh wilayah Indonesia yang semakin

meningkat, sudah saatnya masyarakat dan pemerintah bekerja sama untuk membangun

pembangkit listrik berbasis energi nuklir.

Gambar 12. Hasil survey tentang energi nukli yang dilakukan Tim Kajian Nuklir PPI Dunia

Gambar 13. Hasil survey tentang sumber energi yang dilakukan Tim Kajian Nuklir PPI Dunia

a. Opini dari Dr. Bagus Nugroho. Researcher di University of Melbourne

“In my opinion aku setuju kalau energy nuklir itu solusi jangka pendek atau menengah

yang ok sampai kita ada sumber energi lain yg reliabale. The main issue is aku sangat

meragukan kemampuan negara kita untuk menjalankannya (bukan membuat, kalau

membuat aku yakin Jepang, UK, Prancis bisa membuatkan). Terutama menjalankan

dengan aman. Terlebih negara kita langganan bencana alam. Akan ok bila level profesional

kita setinggi barat atau jepang, bukan merendahkan bangsa sendiri tp sedihnya ini fact.

Karena ini high risk envronment. Wassalam saja bila ada meltdown di negara dengan 250

juta orang. Apabila yang menjalankan adalah institusi swasta yang memang kompeten dan

profesional (baca: asing) akan lebih baik. Tp bila diserahkan bumn lokal atau kementrian

yg tidak berpengalaman aku tidak yakin sama sekali (from the experience of many of my

colleagues who are working in energy sector). Ini tidak semudah memberi training, ini

bukan masalah skill tp lebih ke mental dan budaya being profesional dan sense of

emergency yg jujur saja kita lack.

Beberapa rekan yg di industri perminyakan mengeluhkan menurunnya produksi

setelah operasional salah satu well dipindahkan ke BUMN. Ini bbrp thn lalu, kurang tahu

yg sekarang. Kita cukup melihat sekitar kita saja. Kita bisa membuat stasiun transjakarta

yg bagus, bandara, dll, tetapi kita lihat setelah berapa tahun banyak yg kita tidak bisa

maintain, rawat dan menjaga dengan baik. It is about mentality, ini requrement utama

untuk run high risk system.

Ada yang bilang: loh garuda BUMN tapi bisa top dan profesional termasuk pilot-

pilotnya. Well karena itu highly regulated industry yang aturan mainnya ditentukan negara

maju. Plus karena ada kompetisi, garuda harus bersaing dengan SQ, dan airline lain yg

kelas dunia. Di bidang energy negara kita tidak ada kompetisi dan aturannya buatan

kementrian dan DPR. Dengan persepsi publik yang sedikit-sedikit teriak asing-asing atau

komen energy dikuasai asing, saya tidak bisa melihat apabila pemerintah akan

mengijinkan ini di run oleh asing seperti jepang, prancis atau, UK.”

Tanggapan: Perlu adanya konsistensi terhadap rencana pembangunan jangka panjang

nasional dari pemerintah periode sebelumnya, kini dan nanti. Sehingga, pembangunan

dapat berlanjut sesuai rencana dan hanya bisa berubah jika terjadi perubahan yang

signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Pemanfaatan enegi nuklir untuk keperluan sipil memang tidak bisa lepas dari

kerjasama multinegara. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama dan yang

paling utama adalah isu proliferasi nuklir. Dalam sejarah perkembangannya nuklir

termasuk salah satu bahan baku pembuatan senjata, sehingga pemanfaatan nuklir untuk

kepentingan sipil (produksi energi) tetap harus diawasi oleh badan internsional, yakni

IAEA, agar tidak disalahgunakan. Selain itu, pembangunan PLTN pertama akan sangat

memerlukan bantuan dari negara lain khususnya negara yang telah memiliki pengalaman

dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN. Seiring dengan berjalannya waktu, apabila

sumber daya manusia kita telah matang dalam hal pengoperasian PLTN, kita tentunya akan

mampu untuk lebih mandiri dalam pengoperasian dan bahkan mungkin pembangunan

PLTN.

Kebijakan politik di Indonesia sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan

apakah PLTN siap dibangun atau masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Faktanya,

dalam kasus PLTN ini Indonesia masih sangat perlu bantuan asing untuk melakukan

pembangunan secara langsung (jika dilihat berdasarkan pengalaman). Pihak BATAN pun

yang umumnya adalah lembaga permerintahan hanya bisa memberikan rekomendasi dan

bukan menjadi pelaksana. Apabila nantinya pemerintah memutuskan untuk membangun,

pembangunannya harus diserahkan kepada organisasi terpisah, dan Batan akan melakukan

pengawasan dan mendampingi. Pada hakikatnya pembangunan PLTN mengharuskan

campur tangan pihak-pihak internasional dari segi pembangunan dan kesepakatan dunia

mengenai penanganan teknologi nuklir (khususnya pemanfaatan limbahbahan bakar di

sektor pertahanan). Menurut berita yang beredar , IAEA mengatakan bahwa pihaknya

memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk membangun reaktor nuklir.

Pembangunan reaktor nuklir adalah hak pemerintah Indonesia dan IAEA tidak memiliki

hak untuk melarangnya. Energi nuklir memiliki keunggulan sebagai penghasil tenaga

listrik yang mampu menghasilkan energi listrik dengan emisi buang karbon paling rendah.

IAEA memastikan bahwa akan membantu Indonesia terkait pembangunan reaktor nuklir

jika keputusan yang dibuat sudah final.

[Sumber: https://international.sindonews.com/read/1279582/40/badan-energi-atom-

dunia-dukung-indonesia-bangun-reaktor-nuklir-1517828885].

b. Opini dari Refi Kunaefi. Project Development Director at Akuo Energy Indonesia

“Ada alasan spesifik kenapa @ppidunia promote that much nuclear lately. Beberapa

informasi di infographic banyak bias-nya (as it was made to support the nuclear opinion):

(i) On Patrick Moore, check the statement of @greenpeace here

http://www.greenpeace.org/usa/news/greenpeace-statement-on-patric/

(ii) Pada CO2 production comparison (table of japan power companies, fepc) we way want

to see the assumption behind that table (which turns out excluding the mining actitivities

of U) which can be found here:

https://www.fepc.or.jp/english/library/electricity_eview_japan/__icsFiles/afieldfile/2016/

08/24/2016ERJ_full.pdf

(iii) Masih banyak alternatif lain yg bisa dilakukan GoI untuk reach its Paris Agreement

commitment without introducing a Nuclear plant.”

Tanggapan: Alasan utama dirasakan karena kurang fakta dan informasi dari

masyarakat terhadap teknologi nuklir secara umum. Kurangnya transparansi informasi

mengenai teknologi nuklir menyebabkan banyak kesalahpahaman terhadap fakta lapangan

mengena teknologi nuklir. Teknologi Nuklir memiliki keuntungan dan kerugian, namun

tidak semua masyarakat mendapatkan informasi yang cukup. Sehingga, masih banyak

masyarakat yang beranggapan negatif dan menolak implementasi teknologi nuklir di tanah

air. Saat ini PLTN menyuplai lebih dari 100 milyar kWh untuk produksi listrik di dunia.

Ini adalah fakta yang terjadi dan jelas menyebutkan bahwa saat ini PLTN masih sangat

dibutuhkan. Ditambah lagi, efisiensi penggunaan lahan untuk PLTN jika dibandingkan

dengan sumber energi lain seperti surya dan angin masih jauh lebih baik.

Gambar 14. Gambar Perbandingan efisisensi penggunaan lahan untuk PLTN, surya, dan

angin per kapasitas 1000MW [sumber: NUCLEAR ENERGY INSTITUTE, Land

Requirements for Carbon-free Technologies, NEI, Washington, DC (2015)].

Beberapa data yang diperoleh, kenapa pembangkit Energi dari PLTN sangat

diperlukan: Perubahan iklim yang sangat drastis saat ini disebabkan emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan Paris-Agreement pada bulan Desember 2015, kesepakatan ini ditujukan

untuk mendukung menjaga peningkatan suhu global pada abad ini di bawah 2 derajat

celcius, dan mendorong untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1.5 derajat celcius yang

dikatakan sebagai batasan yang aman dan signifikan untuk mencegah dampak terburuk

yang terjadi akibat perubahan iklim. Energi nuklir akan menjadi solusi yang baik karena:

Sampai tahun 2050, 80% kebutuhan energi harus di suplai oleh teknologi

energi rendah karbon, yang diharapkan dapat secara perlahan mengganti

energi fossil dari beberapa sektor.

Energi nukllir adalah opsi yang terbukti rendah karbon yang ada saat ini.

Setiap negara memiliki kebijakan untuk memilih energi nuklir untuk

menurunkan emisi gas rumah kaca dalam pemenuhan kebutuhan energinya.

Berdasarkan data dari IAEA, emisi CO2 yang dihasilkan oleh PLTN memiliki nilai

maksimal yang paling rendah. Sementara itu, pembangkit listrik di Indonesia didominasi

oleh pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil sebagai base load. Sehingga perlu

dilakukan diversifikasi energi dalam memasok listrik base load, salah satu caranya adalah

dengan PLTN. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi

tingkat emisi gas rumah kaca (GRK).

Gambar 15. Grafik gram CO2 per kwH dari setiap sumber energi pembangkit [Sumber: Buku

putih PLTN 5GW].

Kebijakan yang telah diberlakukan Jerman, Energiewende, pada kenyataannya justru

membawa kondisi ekonomi Jerman memburuk. Penutupan PLTN yang dilakukan secara

bertahap dengan niat menurunkan emisi CO2 ternyata masih memiliki celah. Penggunaan

energi alternatif ternyata masih belum bisa memenuhi permintaan energi yang ada. Sampai

pada akhirnya ketika memutuskan untuk menutup PLTN, Jerman harus kembali

memanfaatkan PLTU sebagai sumber energi yang paling dominan. Padahal emisi yang

ditimbulkan oleh PLTU tidaklah kecil. Jika kita bandingkan dengan negara yang tidak jauh

berbeda dengan Jerman, emisi CO2 terendah justru bukan pada negara dengan energi

terbarukan tertinggi (Jerman), namun Perancis. Perbedaannya bukan pada bauran energi

terbarukan yang mempengaruhi rendahnya CO2, tetapi porsi nuklir Perancis yang hampir

80% + hidro 11%, sementara Jerman nuklir 15% + 68% batubara – Faktanya emisi CO2

jerman adalah yang tertinggi di Uni Eropa, karena butuh batubara untuk menyokong energi

angin dan surya.

Tabel 3. Emisi karbon, pendapatan perkapita dan harga listrik serya presentasi sumber energi

listrik di Jerman, Italy, Perancis. [Sumber : The Institute of energy research]

Gambar 16. Grafik emisi karbon di Jerman, Italia, dan Perancis dari tahum 1990 hingga 2010

[Sumber : The Institute of energy research]

Penggunaan alternatif energi yang tidak tepat pada akhirnya membuat kebijakan

energiewende ini berjalan tidak sesuai dengan rencana. Faktor kapasitas angin dan surya

sangat rendah di bawah 25% dan belum bisa diandalkan saat ini sebagai sumber energi

primer karena sifatnya yang terdifusi atau tidak terkonsentrasi (tidak kontinu). Sementara

perusahaan listrik membutuhkan sumber energi primer yang konstan yang dapat

menghasilkan listrik secara stabil dalam jumlah besar, skala GigaWatt. Saat ini pilihannya

adalah batubara, hidro dan nuklir. Dalam skala yang lebih kecil ada geothermal, diesel dan

gas alam.

Sedangkan di Jepang, paska tragedi Fukushima, partai yang berkuasa saat itu DJP,

membekukan semua hampir PLTN dan mengatakan bahwa Jepang akan mengganti semua

PLTN dengan angin, surya dan memanfaatkan gas untuk kebutuhan Listrik menyumbang

hampir 90% dari jumlah total penyediaan energi. Akibatnya, rasio swasembada energi

turun dari 20% menjadi 6%, dan biaya bahan bakar hampir habis dua kali lipat, dari 3,6

triliun yen menjadi 7,2 triliun yen. Tentunya, peningkatan jumlah pembangkit tenaga

panas juga meningkatkan emisi CO2. Lebih-lebih, APBN jepang jebol karena subsidi

energi baru dan terbarukan lain serta impor gas yang kelewat besar, dan rakyat menjerit.

Jepang berencana untuk menghidupkan kembali PLTN guna menekan harga Listrik.

Bahkan saat ini Jepang sedang membangun 2 PLTN : Chugoku ABWR 1373 MW yang di

harapkan dapat beoperasi tahun ini dan J-Power ABWR 1383 MW akan beroperasi tahun

2022. Menurut informasi yang diterima, dua reaktor nuklir PLTN Fukushima pun

memperoleh izin untuk diaktifkan kembali [Sumber: Kansai Electric Prower Co.]. Belum

lagi sekarang Jepang telah merubah peraturan keselamatan penanganan kecelakaan PLTN

setelah insiden Fukushima. Semua sekarang berada dibawah naungan Nuclear Regulation

Authority (NRA).

Gambar 17. Gambar Skema perubahan peraturan terkait penanganan keselamatan pada PLTN

setelah insiden Fukushima di Jepang [Sumber: Nuclear Safety National Report of Japan for

6th Review Meeting].

Untuk masalah lingkungan, memang energi nuklir memiliki limbah yang berbahaya

dan harus ditangani secara hati-hati, namun kuantitas limbah dan ruang yang harus

disiapkan untuk menampung limbah radioaktif tersebut tidaklah seberapa dibanding luas

area terdampak pemanasan global yang mencapai seluruh dunia yang disebabkan oleh

pembakaran bahan bakar fosil secara terus menerus untuk kepentingan pembangkitan

energi. Sehingga justru sampai saat ini, PLTN masih menjadi solusi terbaik masalah

lingkungan yang harus segera teratasi ini, mengingat sumber energi terbarukan belum

dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan energi dunia.

5. Trend Prekembangan Energi Nuklir di Dunia

Reaktor nuklir dalam perkembangannya memiliki berbagai macam jenis dan

teknologi yang digunakan. Saat ini perkembangan teknologi nuklir sudah pada generasi

ke-4 dengan skema yang terlihat pada gambar. Reaktor generasi ke-3 telah terbukti dapat

dioperasikan secara aman dan efisien. Namun, para ahli nuklir dunia saat ini tengah

berperan aktif dalam penelitian dan pengembangan reaktor nuklir generasi ke-4. Reaktor

nuklir generasi ke-4 memiliki keunggulan di bidang keselamatan, sustainabilitas, dan

keekonomisan dibanding reaktor-reaktor generasi sebelumnya. Beberapa tipe Pembangkit

Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berdasarkan sistem pendingin yang sedang dikembangkan

adalah Reaktor Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas Reactor, HTGR), Reaktor

Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor, FBR), Reaktor Air Tekan (Pressurized Water

Reactor, PWR), Reaktor Air Didih (Boiling Water Reactor, BWR), Reaktor Garam Cair

(Molten Salt Reactor, MSR), dan Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurised Heavy Water

Reactor, PHWR).

Gambar 18. Diagram skema pemanfaatan energi nuklir sampai tahun 2030.

Gambar 19. Enam konsep desain inovatif pada reaktor nuklir generasi ke-4

[https://en.wikipedia.org].

Beberapa negara dunia yang sedang melakukan pembangunan PLTN baik domestik

maupun internasional. Sampai sejauh ini kerjasama internasional juga harus terjalin

dengan baik kepada lembaga pengembang PLTN untuk melakukan pembangunan di

Indonesia.

Gambar 20. Negara pengembang PLTN (sampai tahun 2011). [Sumber: Stastista 2018]

Seperti yang telah dijelaskan, fitur keselamatan adalah bagian terpenting dari reaktor

generasi terbaru. Seperti desain bahan bakar didesain berbentuk bola-bola (pebble bed)

yang dikungkung dengan grafit, sehingga apabila terjadi kecelakaan seperti pada peristiwa

PLTN Fukushima Daiichi tidak akan terjadi pelelehan pada bahan bakar. Sistem

keselamatan pasif dalam penggunaan katup pelepas tekanan untuk mengelola tekanan

berlebih. Dan jika itu terjadi reaktor tersebut akan secara otomatis termatikan.

Mekanismenya, cairan/udara pendingin darurat disimpan pada ketinggian yang lebih

tinggi daripada bejana tekanan reaktor. Jika sensor mendeteksi tingkat pendingin yang

sangat rendah di teras reaktor, katup terbuka dan pendingin membanjiri inti reaktor.

Gambar 21. Fitur keselamatan pasif pada Generasi ke-III Westinghouse AP1000. [sumber:

Westinghouse electric]

Pengembangan reaktor pembiak cepat (fast reactor) dan molten salt reactor (MSR)

menekankan isu sustainabilitas. Hal ini dikarenakan pada tingkat energi yang tinggi, reaksi

fisi nuklir dapat memanfaatkan konsep ‘breed and burn’ untuk memanfaatkan pembakaran

minor actinides yang merupakan limbah radioaktif yang memiliki umur relatif panjang.

Pengembangan reaktor gas suhu tinggi dan reaktor air supercritical menekankan isu

keekonomisan reaktor nuklir. Energi panas pada temperatur yang tinggi dapat

dimanfaatkan untuk beberapa keperluan lain disamping produksi listrik.

a. Beberapa Tipe Reaktor dan Karakteristiknya

Reaktor Gas Suhu Tinggi memiliki sistem teknologi reaktor yang sangat mutakhir

dengan fitur keselamatan yang ditingkatkan dari reaktor-reaktor sebelumnya, proliferasi

yang lebih unggul, resistensi atribut, serta pemanfaatan sumber daya bahan bakar yang

efisien dan ekonomi yang lebih baik. Keunggulan reaktor gas suhu tinggi ini didasarkan

pada konsep desain modular yang memanfaatkan sifat unik dari teknologi baru untuk

menjamin retensi produk fisi radioaktif dengan cara yang sangat aman dan pasif.

Keunggulan lain reaktor gas suhu tinggi berupa efisiensi yang tinggi (hingga 50%),

temperatur operasional yang tinggi sehingga memungkinkan pemanfaatan energi panas

untuk keperluan industri, dan potensi pemanfaatan thorium sebagai bahan bakar. Tingkat

keamaan yang tinggi dari reaktor gas suhu tinggi diusung oleh desain bahan bakar yang

unik yaitu menggunakan desain tristructural-isotropic (TRISO).

Proyek reaktor nuklir Generasi IV salah satunya adalah untuk mendesain reaktor

dengan spektrum netron cepat (fast neutron reactor). Konsep reaktor cepat dicanangkan

dengan mempertimbangkan perkembangan dari sistem reaktor terdahulu, yaitu reaktor

berpendingin air ringan (Light Water Reactor, LWR) pada segi keberlangsungan operasi

(efisiensi pemanfaatan bahan bakar dan reduksi limbah), keselamatan, keandalan, ekonomi

dan non-proliferasi. Konsep reaktor cepat diklasifikasikan menurut fluida pendinginnya,

yaitu sodium (Sodium-cooled fast reactor, SFR), timah (Lead-cooled fast reactor, LFR),

dan gas (Gas-cooled fast reactor, GFR). Pada dasarnya, ketiga desain tersebut memiliki

kesamaan konsep umum seperti tidak adanya moderator, sehingga memanfaatkan neutron

cepat untuk menjaga reaksi fisi berantainya. Suhu keluaran yang tinggi pada desain

tersebut juga memungkinkan efisiensi termal yang lebih tinggi untuk konversi energi

(mencapai ~40%). Konsep reaktor cepat juga memiliki densitas daya teras yang tinggi (5x

lebih tinggi dari LWR) dan umur teras yang lebih lama (tanpa pengisian bahan bakar).

Dari segi keselamatan, pendingin reaktor cepat beroperasi pada tekanan rendah atau

medium. Fluida pendingin berupa sodium cair juga diperkirakan 100x lebih efektif untuk

mengalirkan panas dibandingkan dengan air dengan pengoperasian dan manajemen

kecelakaan kerja yang lebih sederhana. Pada artikel ini akan dikhususkan pada dua tipe

konsep reaktor cepat dengan fluida pendingin yang unik, yakni SFR dan LFR.

Reaktor Air Bertekanan (Pressurized Water Reactor , PWR) merupakan reaktor nuklir

komersial yang termasuk ke dalam kategori reaktor berpendingin air ringan (Light Water

Reactor,LWR) dan paling umum digunakan sebagai PLTN di dunia. Sekitar 67% PLTN

di dunia menggunakan reaktor bertipe PWR. Selain digunakan di PLTN, PWR juga

merupakan tipe reaktor yang umum digunakan di kapal selam dan kapal laut bertenaga

nuklir. Alasan utama yang menyebabkan PWR banyak digunakan secara komersial antara

lain karena air merupakan salah satu moderator netron yang cukup baik. Selain itu, sifat

termodinamik air juga telah dipahami dengan sangat baik. Salah satu kelemahan LWR

adalah air juga dapat menyerap neutron termal sehingga sangat tidak mungkin untuk

mengoperasikan LWR hanya dengan menggunakan natural uranium. Uranium yang

digunakan sebagai bahan baku LWR pada umumnya harus diperkaya terlebih dahulu

melalui proses pengayaan uranium. Seperti halnya PWR, reaktor air mendidih (Boiling

Water Reactor, BWR) yang juga termasuk dalam kategori LWR menggunakan air sebagai

moderator netron dan beroperasi dalam spectrum termal. Sekitar 20% dari seluruh PLTN

di dunia menggunakan reaktor bertipe BWR. Hal utama yang membedakan BWR dari

PWR adalah PWR menggunakan pembangkit uap untuk membangkitkan uap dan

menghindari terjadinya penguapan air pendingin menjadi uap air dalam aliran pendingin

primer (indirect cycle). Sementara, proses pembangkitan uap pada BWR berlangsung di

dalam teras reaktor (direct cycle). Proses pembangkitan uap yang berlangsung di dalam

reaktor menyebabkan BWR umumnya memerlukan lebih sedikit air dibandingkan PWR

untuk menghasilkan jumlah energi listrik yang setara. Selain itu, BWR umumnya

beroperasi pada tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan PWR (7 MPa). Sehingga,

BWR umumnya tidak memerlukan dinding pengungkung dengan ketebalan yang tinggi

seperti yang dibutuhkan oleh PWR.

Reaktor garam cair (Molten Salt Reactor, MSR) adalah salah satu desain reaktor

generasi IV yang diajukan dalam Generation IV Forum. Konsep MSR berbeda secara

fundamental dengan desain reaktor lain, karena memiliki fasa material terbalik: bahan

bakar cair dan moderator padat. MSR menggunakan moderator grafit dan bahan bakar

sekaligus pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk cair. Berbeda dengan LWR yang

menggunakan bahan bakar padat dan pendingin. Ketika Oak Ridge National Laboratory

(ORNL) mengembangkan MSR maka Argonne National Laboratory (ANL) juga ikut

mengembangkan reaktor nuklir bersuhu tinggi yakni reaktor pembiak spektrum cepat

berpendingin logam cair (Liquid Metal Fast Breeder Reactor, LMFBR). Pemerintah

Amerika Serikat sendiri akhirnya lebih memilih dan mendanai LMFBR ketimbang MSR,

dan akhirnya program MSR akhirnya dihentikan.

Saat ini, terdapat dua tipe reaktor teknologi maju yang sedang didorong untuk

dibangun di Indonesia, yakni HTGR dan MSR yang memiliki fitur keselamatan yang tidak

terdapat di reaktor berpendingin air ringan (LWR) konvensional. Berbeda dengan LWR,

HTGR didesain sedemikian rupa sehingga pendinginan panas residu saat terjadi kegagalan

operasi tidak memerlukan daya eksternal ataupun adanya cairan pendingin. Gradien

temperature dari HTGR akan secara alamiah menghantarkan panas residu secara konduksi,

konveksi, dan radiasi dari teras reaktor hingga ke luar reaktor. HTGR menggunakan bahan

bakar TRISO, yang memiliki fitur keselamatan yang akan dijelaskan di bagian Bahan

Bakar Toleransi Kecelakaan.

MSR beroperasi dengan tekanan rendah, sehingga tidak terdapat ancaman kecelakaan

yang terkait tekanan tinggi seperti kerusakan sistem ataupun kebocoran cairan garam.

Apalagi, bahan bakar dan pendingin MSR adalah cairan garam yang lembam dan tidak

bereaksi secara kimia, sehingga tidak menyebabkan api ataupun ledakan seperti yang

terjadi di Fukushima. Cairan garam bahan bakar MSR memiliki koefisien reaktivitas

negatif, sehingga akan memperlambat laju reaksi apabila terdapat kenaikan suhu dari

reaksi fisi yang tidak terkontrol sesaat, tidak seperti yang terjadi di Chernobyl. Material

radioaktif yang terlahir sebagai produk sampingan reaktor secara terus menerus diekstrak

dari garam cair bahan bakar, sehingga meminimalisir kontaminasi radioaktif jika terjadi

kecelakaan.

b. Bahan Bakar Toleransi Kecelakaan

Di samping pengembangan tipe reaktor, para ahli nuklir dunia juga turut

mengembangkan bahan bakar yang memiliki ketahanan tinggi. Salah satu jenis bahan

bakar yang termasuk dalam kategori accident tolerant fuel yang tengah dikembangkan saat

ini adalah TRISO partikel. Konsep bahan bakar desain TRISO, dikembangkan pertama

kali di Jerman sebagai bahan bakar Pebble Bed Reactor dan High Temperature Reactor

berbahan bakar thorium yang keduanya merupakan VHTR. Konsep TRISO dinilai

potensial sehingga terus dikembangkan dan digunakan dalam desain reaktor nuklir masa

depan. Sesuai dengan namanya, tristructural-isotropic, TRISO merupakan desain dimana

bahan bakar dilapis dengan tiga struktur lapisan dengan arah radial dan berbentuk bola

guna mendapatkan sifat yang seragam (isotropic). Ketiga lapisan tersebut adalah inner

pyrolitic carbon (IPyC), silicon carbide (SiC), dan outer pyrolitic carbon (OPyC). Adapun

dalam pengaplikasiannya, bahan bakar TRISO juga dilapisi oleh porous carbon buffer

yang memisahkan antara ketiga lapisan tersebut dengan bahan bakar. Dengan

kerusakan/ketidaksempurnaan partikel, kekuatan partikel sepenuhnya tergantung pada

ketangguhan retak material dan kegagalan terjadi dimana intensitas tegangan lokal

mencapai atau melebihi nilai ketangguhan patah partikel. Walaupun kegagalan biasanya

terjadi karena tegangan tarik, pengujian tekan dapat mensimulasikan tegangan tarik.

Faktor keselamatan yang terdapat pada elemen partikel TRISO. Yang pertama adalah

densitas daya reaktor yang sangat rendah, yang berarti jumlah energi dan panas yang

dihasilkan secara volumetrik rendah dan adanya proses mekanisme alami seperti

perpindahan panas konduksi dan radiasi yang akan menghilangkan panas meskipun tidak

ada pendinginan konveksi yang tersedia. Keselamatan ini didukung oleh karbon yang

digunakan dalam elemen bahan bakar yang memiliki kapasitas panas tinggi dan stabilitas

temperatur tinggi. Prinsip kedua adalah bahwa silikon karbida yang membentuk proteksi

penahan pada partikel TRISO perlu memiliki kualitas ketahanan yang cukup sehingga

dapat mempertahankan produk fisi. Reaktor dirancang agar dapat secara pasif mengurangi

tingkat daya agar aman dalam skenario kecelakaan. Ini merupakan fitur keselamatan pasif

utama, dan hal ini yang membuat desain pebble unik dibanding reaktor air ringan

konvensional yang memerlukan kontrol keselamatan aktif. Reaktor dengan bahan dasar

pebble tidak akan menyebabkan semua mesin pendukungnya gagal, dan reaktor tidak akan

retak, meleleh, meledak atau mengeluarkan limbah berbahaya ke lingkungan. Pada kasus

yang ekstrim, reaktor hanya akan beratahan pada suhu idle. Dalam keadaan tersebut,

bejana reaktor memancarkan panas, namun bejana dan bahan bakar tetap utuh dan tidak

rusak. Penanggulangannya cukup mudah hanya dengan memperbaiki mesin dan melepas

bahan bakar. Fitur keselamatan ini telah diuji (dan didokumentasikan) dengan reaktor

AVR* di Jerman. Pengujian dilakukan dengan cara melepas semua control rod ditambah

dengan memampatkan aliran pendingin. Setelah itu, sampel bahan bakar diambil dan

diperiksa untuk diperiksa kerusakannya dan tidak ada satupun yang mengalami kerusakan.

Dengan perkembangan teknologi nuklir yang pesat terutama dalam faktor keamaan,

maka dari itu sudah semestinya Indonesia mempertimbangkan secara serius untuk

pemanfaatan energi nuklir. Pembangkit listrik tenaga batu bara sudah tidak

memungkinkan lagi untuk dipergunakan di masa mendatang bukan hanya karena

permasalahan harga tetapi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan akibat pembakaran

batu bara. Disisi lain, pemanfaatan energi terbarukan seperti turbin angin, turbin air, dan

sel surya belum mampu menyediakan energi yang stabil dalam jumlah yang banyak.

6. Potensi Pemanfaatan Teknologi Nuklir pada Sektor Non-Energi di

Indonesia

Teknologi nuklir pada bidang non-energi di Indonesia sebenarnya memiliki potensi

kebermanfaatan yang sangat luas. Namun sayangnya potensi besar dari teknologi ini

belum banyak diaplikasikan manfaatnya. Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk dapat

mendayakan potensi tersebut. pertama Indonesia dapat memaksimalkan riset nuklir yang

telah dikembangkan ahli nuklir putra putri bangsa sendiri di BATAN dan berbagai riset

nasional lainnya. Kedua adalah dengan memaksimalkan kolaborasi keilmuan dengan

komunitas Nuklir international yang sudah terjalin dengan baik semenjak dahulu. Dalam

hal ini kerjasama riset antara Indonesia dengan IAEA (Badan Atom Internasional) yang

telah lama terjalin dapat lebih dioptimumkan.

Kerjasama dengan IAEA dapat digunakan dalam hal jaminan standarisasi keamanan

teknologi nuklir serta dalam hal support pendampingan proses transfer teknologi nuklir

terkini yang hendak dimanfaatkan Indonesia. Dalam hal ini terdapat 5 sektor utama

nasional yang berpotensi untuk mengambil manfaat teknologi nuklir non-energi dan

hendak diuraikan di tulisan ini.

a. Sektor Pertanian

Teknologi nuklir dalam bidang pertanian diantaranya dapat dimanfaatkan dalam hal

pemuliaan tanaman unggul baru (rekayasa genetika), pengendalian hama penyakit

tanaman dan pembuatan biofertilizer (pupuk hayati). Seperti telah disinggung diatas, beras

kultivar unggul Sidenuk merupakan buah dari pemanfaatan teknologi nuklir. Lebih dari

itu, pemanfaatan teknologi nuklir untuk menciptakan kultivar unggul (pemuliaan) tanaman

pangan dapat dikembangkan pada berbagai jenis tanaman pangan dan holtikultura strategis

nasional lainnya, seperti jagung, kedelai, tebu, bawang, pisang. Penciptaan jenis kultivar

unggul baru yang mampu berproduksi tinggi serta sesuai dengan keunikan iklim tanah air

akan linier dengan program Nawacita nasional untuk mencapai ketahanan pangan dan

swasembada pangan.

Pemanfaatan teknologi nuklir untuk menopang sektor pertanian, seperti dalam hal

pengendalian hama penyakit tanaman budidaya sudah banyak dilakukan oleh negara

negara lain. Contohnya adalah bidang pertanian jeruk di Kroasia. Disana teknologi nuklir

digunakan untuk membuat hama serangga di pertanian jeruk menjadi mandul dengan

merusak organ reproduksinya. Dampaknya adalah secara signifikan mampu menekan

populasi hama lalat buah yang sangat merugikan sektor pertanian jeruk di Kroasia (IAEA,

2014). Dampaknya produksi buah jeruk di Kroasia kemudian dapat meningkat drastis dan

meningkatakan kesejahteraan hidup bagi para petani jeruk disana.

Gambar 22. Petani jeruk di Kroasia yang mengambil manfaat dari aplikasi teknologi nuklir di

kebun jeruknya.

Di lain pihak, penelitian tentang nuklir terkait biofertilizer secara konsisten diteliti

oleh banyak negara yang tergabung dalam Forum for Nuclear Cooperation Asia atau

FNCA, yaitu Jepang, Australia, Bangladesh, China, Indonesia, Kazakhstan, Korea,

Malaysia, Mongolia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Pada tahun 2014, FNCA

menginformasikan fakta-fakta positif atas penggunaan nuklir biofertilizer. Di China,

pupuk hayati dari hasil teknologi nuklir berpengaruh pada peningkatan hasil panen. Pupuk

hayati berpengaruh meningkatkan bobot segar dan bobot kering jagung 91,8% dan 211,8%

dibandingkan dengan kontrol. Di Mongolia, pengaruh pupuk hayati dari teknologi nuklir

dengan memanfaatkan Aspergillus niger berefek pada hasil biji bunga matahari dengan

meningkat sebesar 59,8% bila dibandingkan dengan kontrol (Syaifudin, 2017). Di provinsi

Shandong, penggunaan pupuk hayati pada budidaya tomat dapat meningkatkan hasil 35%

dari control (FNCA, 2016).

Pengembangan serta pemanfaatan teknologi ini bagi pertanian masyarakat luas terus

diupayakan lebih jauh di tataran internasional. Untuk itu dibentuklah kelembagaan Joint

FAO/IAEA Division yang memang fokus terhadap sektor pangan dan pertanian

Internasional. Berdasarkan dari laporan yang diterbitakan oleh IAEA di tahun 2013, Joint

FAO/IAEA Division memiliki lima bidang prioritas utama pengembangan teknologi

nuklir untuk dimanfaatkan komunitas internasional terkait pangan dan pertanian global.

Kelima area itu adalah :

1. Produksi ternak

2. Management kelola tanah dan air yang lebih baik

3. Rekayasa genetika dan pemuliaan tanaman untuk pertanian

4. Pengendalian hama serangga di sector pertanian

5. Keamanan bahan pangan

Lebih jauh, agar dapat semakin meningkatkan nilai kebermanfaatan teknologi nuklir

bidang pangan-pertanian ini bagi penduduk dunia, Joint FAO/IAEA Division hingga kini

telah bekerja sama dengan 17 negara di asia untuk terus mengembangkan standar

pelaksanaan irradiation lebih lanjut. Petunjuk itu kini sudah tersedia dan dapat diakses oleh

publik umum untuk dimanfaatkan secara luas (IAEA, 2014). Termasuk juga untuk publik

umum di Indonesia.

b. Sektor Pangan

Teknologi nuklir juga dapat diaplikasikan untuk pengawetan bahan pangan yang aman

bagi kesehatan. Keuntungan pengawetan makanan menggunakan teknologi nuklir atau

radiasi dibandingkan teknologi konvensional, menurut Hilmy (1995), ialah

kemampuannya untuk dapat diaplikasikan secara selektif. Sementara dalam penjelasan

oleh Pusat Desiminasi Iptek Nuklir (2017), keuntungan lain teknologi ini ialah hemat

energi serta hemat bahan material yang digunakan, mudah dikontrol, dapat diproses dalam

kemasan yang tidak tahan panas, tidak meninggalkan residu dan ramah lingkungan.

Melalui teknik pengaturan intensitas irradiation yang tepat produk pangan dan

pertanian yang ditarget dapat diawetkan secara efektif dan efisien. Teknologi ini dapat

difungsikan untuk menghambat pertunasan dan pematangan produk-produk pertanian,

membasmi serangga, membunuh mikroba pathogen, serta membunuh seluruh jenis bakteri

yang ada secara selektif dan akurat serta tanpa efek samping negatif. Dengan demikian

mutu bahan pangan dapat tetap dipertahankan di dalam kemasan yang baik selama

penyimpanan dan selama jangka waktu yang relatif lebih lama.

Pada prinsipnya penggunaan teknologi ini dapat digunakan untuk segala produk

pertanian dan bahan pangan. Tidak adanya residu kimia berbahaya yang tertinggal dan

hasil akhir produk yang tetap dalam keadaan segar menjadi keuntungan tersendiri

teknologi ini dalam menangani produk pangan dan pertanian untuk target pasar expor

maupun segmen pasar premium di Indonesia. Ini dikarenakan penggunaan teknologi ini

akan mampu menjaga nilai nutrisi produk yang diradiasikan tetap dalam nilai

maksimumnya.

Penggunaan komersial teknologi iradiasi produk pangan dan hasil pertanian tercatat

telah berlangsung semenjak dekade 1950 an. Awalnya teknologi ini hanya terbatas

digunakan untuk produk bumbu-bumbuan dan rempah-rempah (IAEA, 2014). Teknologi

ini terus dikembangkan untuk kemudian dapat menjangkau produk pangan dan pertanian

lainnya. Suatu capaian besar dari pengembangan ini adalah pada tahun 1980an akhirnya

teknologi ini secara resmi diakui komunitas internasional sebagai suatu metode yang aman

bagi kesehatan manusia oleh World Health Organization (WHO) (ibid.).

Sebagai contoh kecil adalah penggunaan teknologi ini di Vietnam, Indonesia dan

Kroasia. Vietnam menggunakan teknologi ini dalam proses sterilisasi serta pengawetan

buah naga mereka untuk diekspor ke USA (IAEA, 2014). Pada awalnya di tahun 2008

vietnam hanya mampu mengexport 100 ton buah naga ke USA. Namun pada 2013, dengan

memanfaatkan teknologi nuklir untuk sterilisasi serta pengawetan, nilai export buah naga

dari Vietnam ke USA mampu meningkat jauh menjadi 1300 ton (IAEA, 2014).

Secara terbatas Indonesia pun sebenarnya telah membuktikan sendiri manfaat dari

teknologi nuklir untuk pengawetan bahan makanan. Pada bulan Februari 2014, Dewan

nuklir Indonesia berkolaborasi dengan Joint FAO/IAEA Division telah ikut turun tangan

dalam penanggulangan bencana tanah longsor di jawa barat yang memaksa 2000 warga

untuk mengungsi. Tim ini berperan dalam mendukung penyediaan ransum makanan siap

santap yang dapat disimpan dalam waktu lama tanpa merusak cita rasanya dan tidak basi.

Ini dapat diwujudkan menggunakan teknik pengawetan makanan yang awalnya dirancang

untuk misi luar angkasa para astronot (IAEA, 2014). Melalui teknik ini setrilisasi dan

kesegaran makanan dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama dan dijamin bebas

kontaminasi pathogen berbahaya (IAEA, 2014). Penggunaan teknologi ini berperan atas

suksesnya distribusi bantuan panganan kuliner khas Indonesia yang lezat dan bergizi ke

tempat lokasi bencana alam agar tidak sampai basi walau disimpan pada waktu yang lama.

Gambar 23. Pelibatan teknologi Nuklir dalam penyediaan ransum korban bencana alam di

Indonesia.

Masih banyak lagi kisah sukses perkembangan teknologi nuklir yang telah

diaplikasikan pada bidang pangan dan produk hasil pertanian di berbagai penjuru dunia.

Sebagai gambaran, saat ini teknologi irradiation melaluli sinar gamma setidaknya sudah

dapat diaplikasikan luas untuk sterilisasi dan pengawetan lebih dari 60 macam produk

pertanian segar. Tahun 2014 lalu, lebih dari 500.000 ton bumbu, rempah-rempah, daging

ayam, daging sapi, kacang-kacangan, buah-buahan, sayur-mayur telah di irradiation

dengan sinar gamma untuk kemudian dikirimkan ke lebih dari 60 negara (IAEA, 2014).

Produk-produk tersebut sudah dinyatakan aman untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan

di seluruh penjuru dunia.

c. Sektor Kesehatan

Teknologi nuklir juga berpotensi untuk dikembangkan dalam menunjang sektor

kesehatan nasional. Contoh yang paling umum adalah penggunaan teknologi nuklir dalam

kegiatan Rontgen (radiasi sinar X) dan terapi untuk penyembuhan penyakit kanker yang

efektif.

d. Sektor Infrastruktur

Alternatif pemanfaatan lain dari teknologi nuklir adalah potensinya dalam memajukan

sektor infrastruktur. Penggunaan teknologi nuklir dapat digunakan untuk rekayasa material

baru serta dalam hal sensoring yang bermanfaat dalam mendukung industri infrastruktur

nasional. Jenis material baru dapat direkayasa dengan menggunakan teknologi nuklir.

Sedangkan, dengan menggunakan prinsip yang sama seperti di teknologi rontgen, sistem

sensori atas kualitas terkini suatu material ataupun bangunan dapat diketahui dengan cepat.

Ini akan menjadikan industri infrastruktur nasional bisa lebih kompetitif di tataran

internasional.

e. Sektor Lingkungan

Cemaran limbah kimia juga dapat diukur dengan cepat dan presisi dengan

menggunakan teknologi nuklir. Implikasinya, ini menjadikan penanganan pencemaran

bahan kimia yang ada dapat ditangani dengan segera dan dengan efektif.

Keterbukaan para pemangku kebijakan di Indonesia atas keberadaan, potensinya yang

luas dan pengembangan teknologi nuklir tersebut, diharapkan dapat membuka pintu untuk

pengembangan lebih jauh dari potensi nuklir nasional yang sudah ada sekarang. Ke

depannya diharapkan teknologi nuklir dalam bidang energi dan non energi dapat semakin

menguntungkan bagi masyarakat luas. Dengan perencanaan dan dukungan nasional yang

strategik, seharusnya pengembangan serta penerapan lebih luas dari teknologi nuklir ini

berpotensi besar mendatangkan banyak manfaat di tanah air. Harapannya, potensi yang

sudah ada tersebut dapat menjadi pendorong tambahan untuk peningkatan kemajuan

bangsa ini. Semoga!

D. Daftar Pustaka

http://www.batan.go.id. Diakses pada 12 Maret 2018.

http://www.batan.go.id/ptlr/11id/?q=content/pengelolaan-limbah-radioaktif. Diakses pada 12

Maret 2018.

www.world-nuclear.org. Diakses pada 30 April 2018.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141216144350-85-18484/72-persen-masyarakat-

dukung-pembangunan-pembangkit-nuklir. Diakses pada 8 Mei 2018.

https://international.sindonews.com/read/1279582/40/badan-energi-atom-dunia-dukung-

indonesia-bangun-reaktor-nuklir-1517828885. Diakses pada 8 Mei 2018.

https://en.wikipedia.org. Diakses pada 8 Mei 2018.

Blanc, P., Espinar, B., Geuder, N., Gueymard, C., Meyer, R., Pitz-Paal, R., … Wilbert, S. (2014).

Direct normal irradiance related definitions and applications: The circumsolar issue. Solar

Energy, 110, 561–577. https://doi.org/10.1016/j.solener.2014.10.001

BMKG. (2015). Data Iklim. Retrieved May 13, 2018, from http://dataonline.bmkg.go.id/

Ditjen EBTKE ESDM. (2016). Statistik EBTKE 2016. Jakarta.

Ditjen Ketenagalistrikan ESDM. (2017). Statistik Ketenagalistrtikan 2016. Jakarta.

El-Baz, W., Seufzger, M., Lutzenberger, S., Tzscheutschler, P., & Wagner, U. (2018). Impact of

probabilistic small-scale photovoltaic generation forecast on energy management systems.

Solar Energy, 165, 136–146. https://doi.org/10.1016/j.solener.2018.02.06.

Energy Options Network, Cost analysis of nuclear plant.

FNCA. FNCA Biofertilizer Newsletter 14, 2016. Tersedia pada

http://www.fnca.mext.go.jp/english/bf/news_img/nl14.pdf.

Gharbi, N. El, Derbal, H., Bouaichaoui, S., & Said, N. (2011). A comparative study between

parabolic trough collector and linear Fresnel reflector technologies. Energy Procedia, 6, 565–

572. https://doi.org/10.1016/j.egypro.2011.05.065

Gueymard, C. A., & Ruiz-Arias, J. A. (2015). Validation of direct normal irradiance predictions

under arid conditions: A review of radiative models and their turbidity-dependent

performance. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 45, 379–396.

https://doi.org/10.1016/j.rser.2015.01.065

Handbook of Generation IV Nuclear Reactors: 1st edition, Woodhead Publishing, 2016.

Ho, C. K., & Iverson, B. D. (2014). Review of high-temperature central receiver designs for

concentrating solar power. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 29, 835–846.

https://doi.org/10.1016/j.rser.2013.08.099

Hasrianda, E. F. Potensi Pemanfaatan Teknologi Nuklir Untuk Sektor Pangan Dan Pertanian Di

Indonesia, 2017. : http://ppidunia.org/2017/01/30/potensi-pemanfaatan-teknologi-nuklir-

untuk-sektor-pangan-dan-pertanian-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 14 Mei 2018.

Hilmy, N. Manfaat Radiasi Dalam Industri, Lingkungan, dan Kesehatan Masyarakat. 1995.

[Online]

http://www.iaea.org/inis/collection/NCLCollectionStore/_Public/33/023/33023312.pdf.

Diakses pada tanggal 28 Januari 2017

Hosenuzzaman, M., Rahim, N. A., Selvaraj, J., Hasanuzzaman, M., Malek, A. B. M. A., & Nahar,

A. (2015). Global prospects, progress, policies, and environmental impact of solar

photovoltaic power generation. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 41, 284–297.

https://doi.org/10.1016/j.rser.2014.08.046

IAEA, IAEA Orientations for diplomats 2013, the IAEA in Overview, 2013.

IAEA, IAEA Success Story 2014, Nuclear Applications in Agriculture, in the ground success part

II, 2014.

IEA. (2014). Technology Roadmap Solar Thermal Electricity. Paris, France. Retrieved from

https://www.iea.org/publications/freepublications/publication/TechnologyRoadmapSolarTh

ermalElectricity_2014edition.pdf

IEA. (2016). World Energy Outlook 2016. Paris: IEA. https://doi.org/10.1787/weo-2016-en

International Renewable Energy Agency. (2017). Renewable Energy Prospect: Indonesia. Abu

Dhabi. Retrieved from http://www.irena.org/remap

Jacobson, M. Z., & Delucchi, M. A. (2011). Providing all global energy with wind, water, and

solar power, Part I: Technologies, energy resources, quantities and areas of infrastructure, and

materials. Energy Policy, 39(3), 1154–1169. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2010.11.040

Japanese Government, Nuclear Safety National Report of Japan for 6th Review Meeting.

Jonan, I., Nugraha, S., Prasodjo, E., Nurzaman, H., Walujanto, Rosdiana, D., … Sauqi, A. (2016).

Outlook Energy Indonesia 2016. (A. Abdurrahman, Ed.). Jakarta: Setjen Dewan Energi

Nasional.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam. (2015). RESNTRA KESDM.

Khan, J., & Arsalan, M. H. (2016). Solar power technologies for sustainable electricity generation

– A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 55, 414–425.

https://doi.org/10.1016/J.RSER.2015.10.135

Lasnier, F., & Gan Ang, T. (1990). Photovoltaic engineering handbook. A. Hilger.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Energi

dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga

Listrik yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO). Jakarta:

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Retrieved from

http://jdih.esdm.go.id/peraturan/Permen ESDM No. 28 Th 2016.pdf

Mills, D. R., & Morrison, G. L. (2000). Compact Linear Fresnel Reflector solar thermal

powerplants. Solar Energy, 68(3), 263–283. https://doi.org/10.1016/S0038-092X(99)00068-

7

Nuclear Energy Institute, Land Requirements for Carbon-free Technologies, NEI, Washington,

DC, 2015.

Parrado, C., Girard, A., Simon, F., & Fuentealba, E. (2016). 2050 LCOE (Levelized Cost of

Energy) projection for a hybrid PV (photovoltaic)-CSP (concentrated solar power) plant in

the Atacama Desert, Chile. Energy, 94, 422–430.

https://doi.org/10.1016/J.ENERGY.2015.11.015

Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Buku Putih

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir 5GW.

Pemerintah Republik Indonesia, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Indonesia, 2017.

Pemerintah Republik Indonesia, Perpres RI No. 22/2017. Indonesia, 2017.

Perpiñan, O., Lorenzo, E., & Castro, M. A. (2007). On the calculation of energy produced by a PV

grid-connected system. Progress in Photovoltaics: Research and Applications, 15(3), 265–

274. https://doi.org/10.1002/pip.728

Pusat Diseminasi Iptek Nuklir. Aplikasi Teknik Nuklir dalam Pengawetan Bahan Pangan, 2017.

[Online] http://drive.batan.go.id/kip/documents/Pengawetan_Makanan.pdf. Diakses pada

tanggal 28 Januari 2017.

Shouman, E. R., & Khattab, N. M. (2015). Future economic of concentrating solar power (CSP)

for electricity generation in Egypt. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 41, 1119–

1127. https://doi.org/10.1016/J.RSER.2014.08.067

Soekarno, H., Pranoto, B., Cendrawati, D. G., Pandin, M., Dictus, B. F., Isdiyanto, R., … Satrya,

L. . (2014). Peta Potensi Energi Surya Indonesia. Jakarta.

Solangi, K. H., Islam, M. R., Saidur, R., Rahim, N. A., & Fayaz, H. (2011). A review on global

solar energy policy. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15(4), 2149–2163.

https://doi.org/10.1016/j.rser.2011.01.007

Statista 2018. Diakses pada 8 Mei 2018.

Stern, D., and Cleverland, C. J. “Energy and Economic Growth.” Rensselaer Working Papers in

Economics. Rensselaer Polytechnic Institute, Department of Economics, New York. 2004.

Šúri, M., Huld, T. A., & Dunlop, E. D. (2005). PV-GIS: a web-based solar radiation database for

the calculation of PV potential in Europe. International Journal of Sustainable Energy, 24(2),

55–67. https://doi.org/10.1080/14786450512331329556

Syaifudin, M. Pemanfaatan Teknologi Nuklir Untuk Pengembangan Pupuk Hayati, 2017.

http://ppidunia.org/2017/07/10/pemanfaatan-teknologi-nuklir-untuk-pengembangan-pupuk-

hayati/. Diakses pada 13 Mei 2018.

The Institute of energy research, CO2 emission.

Trieb, F., Müller-Steinhagen, H., & Kern, J. (2011). Financing concentrating solar power in the

Middle East and North Africa—Subsidy or investment? Energy Policy, 39(1), 307–317.

https://doi.org/10.1016/J.ENPOL.2010.09.045

Trieb, F., Schillings, C., Sullivan, M. O. ’, Pregger, T., & Hoyer-Klick, C. (2009). Global Potential

of Concentrating Solar Power. SolarPaces Conference Berlin. Retrieved from

http://www.dlr.de/tt/Portaldata/41/Resources/dokumente/institut/system/projects/reaccess/D

NI-Atlas-SP-Berlin_20090915-04-Final-Colour.pdf

Vallentin, D., & Viebahn, P. (2010). Economic opportunities resulting from a global deployment

of concentrated solar power (CSP) technologies—The example of German technology

providers. Energy Policy, 38(8), 4467–4478. https://doi.org/10.1016/J.ENPOL.2010.03.080

Viebahn, P., Lechon, Y., & Trieb, F. (2011). The potential role of concentrated solar power (CSP)

in Africa and Europe—A dynamic assessment of technology development, cost development

and life cycle inventories until 2050. Energy Policy, 39(8), 4420–4430.

https://doi.org/10.1016/J.ENPOL.2010.09.026

Wang, S., et. all“The relationship between economic growth, energy consumption, and CO2

emission: Empirical evidence from China”. Science of the Total Environment 542 (2016):

pp.360-371

Westinghouse electric. Passive safety feature of Westinghouse AP1000.

World Bank Group. (2016). Global Solar Atlas. Retrieved May 12, 2018, from

http://globalsolaratlas.info/

Wu, S.-Y., Xiao, L., Cao, Y., & Li, Y.-R. (2010). A parabolic dish/AMTEC solar thermal power

system and its performance evaluation. Applied Energy, 87(2), 452–462.

https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2009.08.041

Zhang, Y., Beaudin, M., Taheri, R., Zareipour, H., & Wood, D. (2015). Day-Ahead Power Output

Forecasting for Small-Scale Solar Photovoltaic Electricity Generators. IEEE Transactions on

Smart Grid, 6(5), 2253–2262. https://doi.org/10.1109/TSG.2015.2397003