lafriofkalteng.files.wordpress.com … · web viewbanjarmasin adalah ibu kota dari provinsi...
TRANSCRIPT
GEREJA SEBAGAI SASIRANGANDibuat untuk Memenuhi Tugas Final Test
Mata Kuliah : Dogmatika II
Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Keloso S. Ugak
Di Susun Oleh :
Nama : Lia Afriliani
NIM : 12.16.75
Semester : IV (Empat)
SEKOLAH TINGGI TEOLOGIGEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
BANJARMASIN, MEI 2014
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
GEREJA SEBAGAI SASIRANGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Eklesiologi adalah bagian dari dogmatika yang membahas mengenai gereja. Pembahasan
tersebut meliputi definisi gereja, dasar gereja, cara pendirian, dan pengaturan gereja. Karena
gereja adalah sebagai alat dari Allah bagi manusia untuk terus mewartakan namaNya
keseluruh dunia, manusia juga perlu tahu mengenai misi dan sasaran gereja.1
Gereja harus memberi makna bagi dunia. Gereja tidak hanya terfokus pada
kepentingannya sendiri, namun seharusnya juga memperhatikan kebutuhan jemaat dan juga
masyarakat dimana ia berada. Gereja hadir bukan hanya secara institusional namun harus
senantiasa hadir di dalam kehidupan jemaat dan masyarakat. Namun bagaimana gereja
melaksanakan eklesiologinya ketika ia berada di dalam posisi minoritas di suatu daerah.
Bagaimana gereja bisa memberikan kontribusinya kepada daerah, jika daerah itu sendiri
menjadikan ajaran agama tertentu sebagai dasar pemerintahannya.
Dalam makalah ini, berdasarkan kerangka berpikir eklesiologi akan dirumuskan mengenai
gambaran minor gereja. Penulis sengaja mengambil konteks gereja di Banjarmasin, meskipun
terasa sulit karena tidak begitu memahami konteks dan permasalahan gereja di Banjarmasin
ini. Oleh karena itu, permasalahan yang muncul disini adalah berdasarkan pada pengamatan
secara objektif dan sepengetahuan penulis.
BAB II
LATAR BELAKANG KONTEKS
2.1 Wilayah Kota Banjarmasin
Banjarmasin adalah ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan. Wilayah kota
Banjarmasin sendiri memiliki luas wilayah ±98,46 km2 atau sekitar 0,26% dari total luas
Kalimantan Selatan secara keseluruhan, dengan rincian 5 kecamatan dan 52 kelurahan2.
Adapun jumlah masyarakat yang tinggal di Banjarmasin menurut data pada tahun 2011 1 Maria Prahesty, Bahan Ajar Teologi Sistematika, (Banjarmasin : STT GKE, 2012)2 _____, Materi WGA : Inventarisasi Sumber Pencemar dan Perhitungan Beban Pencemaran
di DAS Barito dan Martapura, (pdf), http://www.menlh.go.id/, diakses pada 07 Maret 2014
1
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
adalah ±720.000 jiwa3. Sementara data pada tahun 2002 menunjukkan jika ada ± 527.415
jiwa4. Dengan demikian dapat dilihat ada penambahan jumlah yang sangat besar di setiap
tahunnya, yakni ±21.398 jiwa. Sehingga dapat diperkirakan kisaran angka jumlah masyarakat
Banjarmasin di tahun 2014 ini ±750.000 sampai dengan 780.000 jiwa. Tapi ini bukanlah
data yang akurat dan bisa dipastikan, karena hanya merupakan hasil perhitungan pribadi
berdasarkan data statistik yang ada.
Kota Banjarmasin memiliki banyak anak sungai yang masih dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai sarana transportasi. Banjarmasin juga merupakan sebuah kota yang
sangat stategis letaknya yakni di sekitar muara Sungai Barito, sehingga menjadi pusat
persinggahan kapal-kapal besar. Sebagai ibukota propinsi, kota Banjarmasin menjadi sebuah
ibu kota yang memiliki tingkat pluralitas yang tinggi dengan kemajuan di berbagai bidang.
Meskipun masalah-masalah sosial dan ekonomi tampaknya masih menjadi tugas utama yang
harus dibereskan oleh pemerintah. Masih adanya pengangguran. Banyaknya pengemis di
tempat-tempat seperti pasar, lampu merah, jembatan, warung dan lain sebagainya
menandakan kemiskinan masih menjadi hal yang utama di kota ini. Kriminalitas juga kerap
terjadi mulai dari mencopet, merampok, sampai pembunuhan. Gaya hidup khas orang-orang
yang tinggal di tepian sungai pun sangat nampak, banyak rumah-rumah yang dibangun secara
sembarangan di pinggir sungai sehingga tampak kumuh. Sampah-sampah yang dibuang
sembarangan baik di jalanan maupun di sungai ikut merusak pemandangan kota Kayuh
Baimbai ini.
Masyarakat Banjarmasin secara umum dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah
masyarakat pribumi asli yakni etnik Banjar. Hampir semua orang Banjar dapat dipastikan
memeluk agama Islam. Hanya sedikit orang Banjar yang berpindah kepercayaan. Ajaran
agama sangat diprioritaskan oleh mereka dan sangat ditaati. Sejak kecil anak-anak dididik
dalam ajaran Islam yang kental dan seringkali orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan
anaknya di pesantren atau sekolah madrasah. Sehingga dapat dikatakan jika Banjarmasin
sendiri telah menjadi sebuah kota yang berlandaskan pada ajaran Islam karena agama inilah
yang menjadi mayoritas di kota –bahkan Propinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan.
3 _____, Materi WGA : Inventarisasi Sumber Pencemar dan Perhitungan Beban Pencemaran di DAS Barito dan Martapura, (pdf), http://www.menlh.go.id/, diakses pada 07 Maret 2014
4 _____, Profil Kabupaten/Kota Banjarmasin, (pdf), http://ciptakarya.pu.go.id, diakses paada 07 Maret 2014
2
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
Mengenai masyarakat yang kedua adalah masyarakat pendatang. Untuk masyarakat yang
satu ini tidak terlalu banyak hal yang bisa dijelaskan. Oleh karena masyarakat pendatang ini
terdiri dari berbagai latar belakang suku dan agama. Masyarakat pendatang ini adalah kaum
minoritas yang mau tidak mau harus menghargai aturan-aturan yang diberlakukan di
Banjarmasin, termasuk yang berkaitan dengan aturan yang dibuat atas dasar kepentingan
umat beragama Islam.
2.2 Gambaran Singkat Gereja di Banjarmasin
Di Banjarmasin ada gereja-gereja yang didirikan, seperti GKE, GKKA, Katolik, HKBP,
GpdI, dan lain-lain. Meskipun demikian, secara nominal pemeluk agama Kristen di
Banjarmasin merupakan suatu kelompok minoritas dari total keseluruhan penduduk
Banjarmasin. Apalagi jika ruang lingkup itu hanya dibatasi dalam ruang lingkup pemeluk
agama Kristen Protestan yang terdaftar sebagai anggota GKE. Kemungkinan besar tidak lebih
dari 20% dari total penduduk kota Banjarmasin.
Sekedar perbandingan, berikut data statisik tahun 2012 khusus jemaat Banjarmasin :5
Jumlah
BangunanJumlah Jemaat Jumlah Anggota
Grj Def Cln KK Sidi Jiwa
15 12 1 2.323 4.037 8.597
Bandingkan dengan data statistik tahun 2013 berikut ini :6
Jumlah
BangunanJumlah Jemaat Jumlah Anggota
Grj Def Cln KK Sidi Jiwa
16 12 1 1.792 4.037 6.646
Entah apa penyebabnya, namun kita bisa melihat bahwa ada penurunan jumlah anggota di
tahun 2013, meskipun ada penambahan bangunan gereja.
2.3 Deskripsi Permasalahan Gereja di Banjarmasin
5 BPH Majelis Sinode, Almanak Nas GKE 2013, (Banjarmasin : BPH Majelis Sinode GKE, 2012), hl 63, 75
6 BPH Majelis Sinode , Almanak Nas GKE 2014, (Banjarmasin : BPH Majelis Sinode GKE, 2013), hl 62, 74
3
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
Penulis mengakui jika tidak begitu mengetahui permasalahan yang ada di dalam gereja di
Banjarmasin, namun di dalam makalah ini penulis hendak menyoroti bagaiamna
permasalahan yang ada diantara gereja dan masyarakat diluar gereja. Arinya dalam hal ini,
permasalahan yang dimunculkan merupakan hasil pengamatan secara objektif dan
sepengetahuan penulis. Tentunya juga setelah mempertimbangkan posisi gereja di kota
Banjarmasin. Selain itu juga karena gambaran minor gereja yang hendak diangkat dalam
makalah ini lebih tepat atau lebih sesuai konteksnya mengenai upaya eklesiologi yang
dilakukan gereja ke luar dirinya, artinya kepada masyarakat Banjarmasin secara umum.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana gereja di Banjarmasin masih belum bisa
memberikan makna kehadirannya bagi masyarakat Banjarmasin. Memang jika kita lihat,
gereja atau orang Kristen hanyalah kelompok minoritas yang sangat kecil jika dibandingkan
dengan pemeluk agama lainnya. namun itu bukan berarti bahwa gereja tidak berkuasa atau
tidak berkewajiban untuk berpartisipasi dan berkontribusi aktif untuk kemajuan kota
Banjarmasin.
Pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, lingkungan hidup, dan lain sebagainya, adalah
permasalahan-permasalahan di kota Banjarmasin ini. Seyogyanya gereja menyadari bahwa
ini bukan hanya tugas pemerintah kota saja, namun juga menjadi tugas dari gereja. Gereja
tidak memberikan strategi, metode, dan solusi untuk membantu pemerintah dalam mengatasi
permasalahan ini. Kota Banjarmasin adalah suatu wilayah yang pluralistik, baik dari sisi latar
belakang penduduk, bahasa, agama, dan sebagainya. Itu juga berarti bahwa gereja yang ada
di Banjarmasin juga merupakan bagian dari kepluralistikan itu. Di dalam wilayah yang plural,
selalu ada kemungkinan akan terjadinya kesenjangan sosial, bahkan mungkin saja terjadi
konflik.
Jadi, yang menjadi inti dari permasalahan yang hendak diangkat adalah kurangnya
perhatian, peranan, keikutsertaan, dan kontribusi gereja dalam rangka mengatasi
permasalahan-permasalahan sosial di Banjarmasin.
BAB III
SASIRANGAN
3.1 Sasirangan
4
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
Kain sasirangan ini sudah digunakan sejak dulu kala, yakni sejak zaman Kerajaan Negara
Dipa. Ada banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuni kerajinan ini sebagai
pekerjaan utama. Menurut cerita, kain sasirangan ini pertama kali dibuat ketika Lambung
Mangkurat menjadi patih di Kerajaan Negara Dipa ini. Pada waktu itu, Patih Lambung
Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu. Menjelang akhir
pertapaannya, rakit tersebut tiba di daerah Rantau. Di tempat itu Patih Lambung Mangkurat
melihat seonggok buih yang dari dalamnya terdengar suara seorang perempuan. Perempuan
tersebut adalah Putri Junjung Buih. Putri tersebut mengatakan bahwa ia akan menjadi
manusia jika syarat-syarat yang dimintainya berhasil dipenuhi. Syarat tersebut adalah sebuah
istana dan selembar kain yang ditenun dan dicalap (diwarnai) oleh 40 orang gadis dengan
motif padiwaringin. Dua hal ini harus diselesaikan dalam waktu dua hari.7
“Kain sasirangan pada mulanya dikenal sebagai kain pamintan, yaitu selembar kain putih yang diberi warna dan motif tertentu atas permintaan seseorang yang berobat kepada perajin kain pamintan.”8
Kain sasirangan ini memang memiliki beberapa nama, ada yang menyebutnya sebagai
calapan, pamintan, dan langgundi. Kain sasirangan yang selama ini kita kenal sebagai kain
khas urang Banjar ternyata memiliki fungsi yang sangat berbeda dengan fungsi yang ada
pada saat ini. Kain pamintan merupakan suatu media untuk batatamba (pengobatan alternatif
non medis) dan sangat dipercaya oleh masyarakat Banjar. Pada masa dulu, kain ini dibuat
hanya ketika ada seseorang yang sakit dan membutuhkan kain ini sebagai media pengobatan.
Hal yang sangat menarik adalah ada pengrajin yang mampu membuat kain pamintan
berdasarkan jenis penyakit yang diderita si pemesan. Bukan hanya dalam hal sakit-penyakit,
kain ini juga dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat dan menjadi alat perlindungan roh-roh
tersebut. Pada masa itu, kain pamintan menjadi sebuah kain yang memiliki makna yang
sangat tinggi di kalangan masyarakat Banjar dan dianggap sebagai kain yang sakral.
Pada masa kini, kain ini sudah jarang digunakan sebagai media batatamba. Kain
sasirangan sudah menjadi suatu fashion dengan beragam corak dan warna. Cara
pembuatannya pun sudah modern, terutama dalam hal warna, tidak lagi menggunakan
pewarna alami, namun sudah menggunakan pewarna kain dengan berbagai macam pilihan
warna. Kain khas urang Banjar ini umumnya tersusun secara vertikal dengan motif-motif
yang khas, seperti motif gelombang, hiris gagatas, dan lain-lain. Masing-masing motif
tersebut memiliki maknanya tersendiri. Melihat kemajuan ini, kain ini tidak lagi disebut
7 _____, Kain Sasirangan, http://m.melayuonline.com/, diakses pada 02 Mei 20148 _____, Sejarah Sasirangan, http://tilikbjm.wordpress.com/, diakses pada 02 Mei 2014
5
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
sebagai kain pamintan namun sebagai kain sasirangan. Sebagai pengganti kain pamintan
adalah kain sarigading. Kain ini memang agak kurang terkenal dibandingkan dengan kain
sasirangan, tapi sebagian masyarakat Banjar masih percaya bahwa kain ini memiliki khasiat.
Saat ini, kain sasirangan sudah dapat dipakai oleh siapa saja dan menjadi khas serta
kebanggaan dari Kalimantan Selatan.
3.3 Nilai Penting dari Sasirangan
Dari sasirangan ini, ditilik baik dari fungsinya pada zaman dulu hingga masa kini, ada
beberapa nilai penting yang dapat diambil :
a. Sasirangan sebagai pemersatu
Sebagai kain khas Kalimantan Selatan, sasirangan adalah pemersatu semua orang
Banjar. Ketika mengenakan sasirangan, mereka menjadi merasa suatu ikatan historis
budaya, dan kekeluargaan yang sangat kuat. Di sini juga berarti bahwa sasirangan
juga memiliki nilai identitas bagi orang Banjar. “Di dalam sasirangan terdapat image yang mencerminkan kepribadian yang selalu
mengembangkan kebudayaan orang lain karena di dalam makna corak batik dari sasirangan terkandung nuansanya dalam makna corak batik itu sendiri.”9
Kain sasirangan adalah identitas bagi orang-orang Banjar. Kemanapun mereka
pergi, mereka akan dengan bangganya mengenakan baju atau apapun yang berasal
dari kain ini. Sasirangan adalah suatu kebanggaan akan karya cipta masyarakat
Kalimantan Selatan.
Dilihat dari asal katanya, sasirangan berasal dari kata “sa” yang berarti satu dan
“sirang” yang berarti jelujur10. Hal ini tampak dari bagaimana motif dari kain ini.
Namun ternyata ini juga memiliki makna atau nilai, yakni sebagaimana sasirangan itu
satu jelujur, demikian juga orang Banjar hendaknya tetap berada dalam satu jelujur
antara satu dengan yang lainnya. Seia sekata dan sepenanggungan, sehingga tidak
terjadi perpecahan diantara mereka.
b. Sasirangan sebagai media
Ketika dikatakan sasirangan atau yang dahulunya dikenal dengan pamintan
merupakan salah satu media dalam batatamba. Kain sasirangan dipercaya memiliki
9 Hery, Kain Sasirangan, http://herykita.wordpress.com/, diakses pada 02 Mei 201410 Ahmad Harisuddin, Asal Usul Kain Sasirangan Banjar dan Nilai Magisnya,
http://banjarhulu.wordpress.com/, diakses pada 03 Mei 2014
6
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
daya magis, kita boleh percaya ataupun tidak. Namun itulah keyakinan masyarakat
Banjar, sasirangan sangat bermakna bagi mereka.
c. Sasirangan sebagai kain multiguna
Maksud dari poin ini adalah sasirangan merupakan suatu budaya atau warisan dari
nenek moyang yang terus ada hingga saat ini. Sasirangan adalah suatu budaya yang
berhasil dihilangkan unsur kesakralan atau kemagisannya dan berhasil pula
ditransformasikan menjadi kain yang memiliki keindahan, kekhasan, dan terlebih lagi
sasirangan telah menjadi kain yang multiguna. Sehingga pada masa sekarang, bukan
hanya orang Kalimantan Selatan yang bangga mengenakan baju, laung, kakamban,
atau lainnya dengan bahan dasar sasirangan ini, melainkan juga orang dari luar.
Demikianlah gambaran dari kain sasirangan, baik dari segi sejarah maupun fungsinya.
Juga telah dipaparkan beberapa hal penting yang dapat diambil dari kain sasirangan sebagai
bekal untuk melanjutkan upaya perumusan eklesiologi pada bab selanjutnya.
BAB IV
GAMBARAN GEREJA SEBAGAI SASIRANGAN
“Dasar pertama yang memungkinkan terbentuknya ecclesia(e) adalah Allah dalam Yesus Kristus melalui
Roh Kudus yang berkarya membentuk dan menguduskan persekutuan tersebut. “11
Ini berarti bahwa gereja adalah suatu persekutuan yang lahir dari Allah. Gereja merupakan
buah tangan dari pekerjaan Roh Kudus. Yang terpenting di dalam gereja adalah penyataan
Allah, pemilihan oleh Allah, dan kehendak Allah untuk mengumpulkan orang-orang
beriman.12
Gereja hadir bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun juga untuk dunia dimana ia berada.
Gereja bukan hanya hadir sebagai suatu institusional semata, namun mewujud dalam
persekutuan yang hidup, bukan hanya bagi jemaatnya, namun juga bagi masyarakat luas. Hal
ini sebagaimana yang terdapat dalam Kisah Para Rasul 13:47
11 Keloso, S. Ugak, Bahan Ajar Eklesiologi, (Banjarmasin : STT GKE, 2014)12 J. Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1978), hl 219
7
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
“Sebab inilah yang diperintahkan kepada kami: Aku telah menentukan engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya engkau membawa keselamatan sampai ke ujung bumi."Gereja harus menyadari kewajiban dirinya sebagai pembawa syalom kepada dunia yang
telah ditetapkan dan diutus oleh Allah, melalui Yesus Kristus dengan pertolongan Roh
Kudus13. Artinya memang sejak semula, gereja telah ditetapkan untuk melakukan
pelayanannya secara universal, bukan hanya kepada segolongan orang tertentu saja.
Berangkat dari kenyataan itulah kita akan melihat bagaimana gambaran eksistensi dan makna
khusus gereja berdasarkan gambaran minor yang diajukan.
4.1 Gambaran Eksistensi Gereja Sebagai Sasirangan
Beberapa gambaran eksistensi gereja sebagai sasirangan :
a. Gereja adalah alat Allah
Gereja adalah persekutuan orang percaya yang menempatkan Yesus Kristus
sebagai kepalanya. Hal ini karena gereja menyadari bahwa Yesus Kristus adalah
pendiri, batu penjuru, dan dasar gereja (Mat 16:16; 1 Kor 3:10-11; Ef 2:20)14. “Yesus Kristus memanggil-melengkapi-memerintah para murid atau Gereja agar menjadi alat
damai sejahtera Allah di dalam dunia.”15
Dalam kesadarannya tersebut, gereja harus menjadi alat Allah di dalam dunia ini
untuk menjadi saksi-Nya. Gereja sebagai sasirangan menempatkan gereja pada
kesadaran bahwa ia adalah alat Allah atau media yang harus memberikan sesuatu
yang berguna atau bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.
b. Persekutuan adalah kesatuan
Yang dimaksudkan disini adalah gereja merupakan suatu persekutuan yang
sebenarnya terdiri dari keberagaman. Dalam kenyataannya juga, gereja sendiri berada
dalam dunia yang juga memiliki keberagaman. Artinya adalah gereja harus menjadi
alat untuk mempersatukan keberagaman yang ada di masyarakat. Selain itu, sebagai
sasirangan, itu artinya gereja berperan dalam menyatukan setiap orang. Memang tidak
mungkin bagi gereja untuk menyatukan semua masyarakat ke dalam gereja, namun
13 Sanon, Bahan Ajar Misi Kontemporer, (Banjarmasin : STT GKE, 2014)14 Tony Tedjo, Anda Bertanya Saya Menjawab : 101 Tanya Jawab Praktis Seputar Iman dan
Kehidupan Kristen, (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2012), hl 4015 Keloso S. Ugak, Bahan Ajar Eklesiologi. (Banjarmasin : STT GKE, 2014)
8
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
paling tidak gereja bisa memepersatukan masyarakat dengan rasa nasionalisme dan
identitas kebangsaan.
c. Hadir dan menyatukan
Persekutuan dalam gereja akan jelas terbukti ketika gereja hadir secara nyata,
bukan hanya untuk jemaatnya namun juga untuk masyarakat. Gereja sebagai
sasirangan adalah gereja menyadari dirinya sebagai identitas orang Kristen. Namun
kesadaran itu tidaklah cukup untuk mewujudnyatakan persekutuannya kepada orang
luar. Oleh karena itu, gereja harus bisa menempatkan dirinya, selain sebagai identitas
Kristen juga sebagai sesuatu yang memiliki makna bagi masyarakat luar.
4.2 Makna Khusus Gereja Sebagai Sasirangan
Beberapa makna khusus yang dapat diambil dari gagasan minor gereja sebagai
sasirangan :
a. Eksistensi gereja terletak dari bagaimana gereja bisa menjadi media atau perantara
yang Ilahi dengan manusia.
b. Sebagai sasirangan, itu artinya gereja berada dalam posisi yang sangat penting dan
dituntut untuk bisa bersifat multiguna. Gereja sebagai sasirangan artinya gereja harus
hadir dan memberi makna kehadirannya di tengah masyarakat.
c. Dipandang dari persekutuan bagaimana yang bisa dibentuk dari gereja sebagai
sasirangan ini adalah persekutuan yang mampu untuk mempersatukan semua orang.
d. Gereja sebagai sasirangan adalah gereja yang bisa untuk ditransformasikan dan
dikontekstualisasikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagaimana pamintan
bertransformasi menjadi sasirangan (disertai perubahan fungsi), demikian pula
hendaknya gereja bisa ditransformasikan.
BAB V
RELEVANSI KONTESKTUAL
Pada bab sebelumnya telah diajukan suatu gagasan gambaran minor gereja, yakni gereja
sebagai sasirangan. Pada poin selanjutnya juga telah berusaha dipaparkan hal-hal yang dapat
diambil berdasarkan dari cara berpikir eklesiologi. Kemudian dalam bab ini, akan dilakukan
9
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
upaya relevansi kontekstual gambaran minor gereja sebagai sasirangan dalam rangka
menjawab permasalahan yang ada di dalam konteks Banjarmasin sebagaimana yang sudah
dipaparkan dalam bab II tadi.
Dalam konteks Banjarmasin adalah hal yang sangat mudah untuk memahami nilai-nilai
dari Sasirangan ini. Hal ini jelas karena sasirangan merupakan ciri khas dari Kalimantan
Selatan. Sasirangan sudah cukup terkenal, baik di kalangan orang Banjar sendiri, maupun di
kalangan para pendatang. Gereja yang ada di Banjarmasin sebaiknya bisa mengambil nilai-
nilai penting dari sasirangan ini sebagai caranya dalam bereklesiologi, bukan hanya di dalam
gereja namun di luar gereja. “Gereja bertanggung jawab penuh untuk ambil bagian menghadirkan dan memelihara damai sejahtera di
Indonesia (Kalimantan), baik tertuju kepada masyarakat manusia maupun lingkungan hidup.”16
Di sini terlihat bahwa gereja memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Ia memiliki dua
tugas, yakni tugas ke dalam (internal) dan tugas keluar (eksternal). Kedua tugas ini harus
dilakukan secara seimbang.“[...] kita harus selalu memperjuangkan kemerdekaan agama dengan arti yang seluas-luasnya. Tidak
hanya perbuatan-perbuatan di dalam lingkungan anggota-anggota gereja saja harus bebas, tetapi [...] keluar pun harus dapat berjalan. Di mana gereja dipaksa untuk bekerja hanya dalam lingkungannya sendiri saja, di situ gereja dipaksa untuk lambat laun menghembuskan nafasnya yang terakhir.”17
Gereja sebaiknya jangan selalu memikirkan atau beranggapan bahwa segala pelayanan
yang dilakukannya keluar merupakan misi, penginjilan, church planting, dan lain sebagainya.
Jangan pula mengasumsikan bahwa segala yang gereja lakukan merupakan upaya untuk
mendapati jiwa-jiwa baru. Memang tidak salah dan sah-sah saja, namun jika ini yang menjadi
motivasi maka pelayanan gereja kepada masyarakat tidak benar-benar tulus. Akibatnya jelas,
masyarakat yang mungkin pada awalnya sangat senang dengan pelayanan dari gereja, setelah
mengetahui apa tujuan pelayanan tersebut, menjadi enggan untuk menerimanya. Hal ini
memberikan efek rasa tidak percaya dan anggapan-anggapan buruk tentang gereja –bahkan
orang Kristen secara umum.
Apalagi ketika melihat konteks Banjarmasin. Keislaman adalah hal yang sangat mereka
junjung tinggi. Bahkan hal itu tampak juga dari beberapa perda yang mereka terapkan.
Memang gereja sulit untuk menjadi pihak yang berpengaruh di kota ini karena
keminoritasannya, namun bukan berarti gereja tidak memiliki hak untuk ikut serta dalam
memajukan kota Banjarmasin.
16 Keloso, S. Ugak, Bahan Ajar Eklesiologi, (Banjarmasin : STT GKE, 2014)17 R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1985), hl 175
10
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
“Gereja harus memikirkan metode yang tepat ketika akan melaksanakan tugasnya di antara
masyarakat sekitar (luar jemaat). Metode penginjilan yan efektif adalah metode yang tepat guna,
menjawab kebutuhan, dan fleksibel untuk diterapkan dalam konteks masyarakat [dimana ia
berada].”18
Beberapa contoh keterlibatan aktif gereja sesuai dengan konteks :
a. Gereja di Banjarmasin harus terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang ada di kota
ini, misalnya saja gereja berupaya untuk ikut serta membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat yang menganggur. Kalaupun misalnya gereja tidak mampu untuk
membuka lapangan pekerjaan tersebut, paling tidak gereja harus memberikan
semacam pelatihan keterampilan bagi masyarakat yang memerlukannya, sehingga
nantinya mereka mampu berwirausaha dengan keterampilan tersebut.
b. Pdt. Kinurung Maleh Maden, M.Th, MA mengatakan bahwa misi gereja selama ini
lebih bersifat anthropocentric19. Artinya perhatian gereja kepada masalah alam dan
lingkungan hidup masih kurang. Sementara kita tahu bahwa Banjarmasin memiliki
masalah lingkungan hidup yang sangat besar. Terbukti dari sampah yang berserakan,
sungai yang tercemar, pemukiman kumuh, dan lain sebagainya. Gereja harus mulai
menampakkan kepeduliannya terhadap masalah lingkungan hidup ini.
c. Sebagai sebuah wilayah yang plural, Banjarmasin selalu memiliki kemungkinan akan
terjadinya kesenjangan sosial dan konflik antar anggota masyarakat. Di sinilah
bagaimana gereja bisa menunjukkan bahwa ia mampu berpartisipasi dalam rangka
menjaga kestabilan suasana kota Banjarmasin.
d. Gereja hadir secara multiguna. Ini bukan berarti gereja meninggalkan tugas utamanya,
yakni pelayanan kepada jemaatnya. Namun ini hendak menyatakan bahwa
seyogyanya apa yang dilakukan oleh gereja kepada masyarakat luar tidak hanya
berpihak pada satu bidang saja, namun jika bisa sebaiknya mencakup berbagai
bidang, seperti pendidikan, pelatihan, bantuan sosial, kesehatan dan lainnya. Dengan
kata lain, pelayanan yang dilakukan oleh gereja adalah pelayanan yang holistik.
18 Manto Manurung, Penginjilan Di Tengah Masyarakat Majemuk : “Tantangan dan Solusinya”, Jakarta : STT Ekklesia, 2005, (pdf), http://memberfiles.freewebs.com/
19 Kinurung Maleh Maden, Membangun Eko-Teologi Berkeadilan Bagi Misi Gereja, dalam Prapatriotis H. Oedoy, J.J Songan, dkk, Mengasihi Tuhan & Sesama Ciptaan, (Banjarmasin : Unit Publikasi STT GKE, 2008) hal 22
11
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
Ini bukan berarti juga bahwa gereja memonopoli atau menguasai semuanya. Gereja
bisa menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada masyarakat secara universal,
tepat, multiguna, dan tentunya tidak melanggar batasan yang ada.
Dari gambaran minor yang diusung dalam makalah ini, gereja sebagai sasirangan artinya
sebagaimana makna dari sasirangan itu sendiri yakni memberi makna, manfaat, identitas, dan
rasa kesatuan, demikian pula hendaknya gereja yang ada di Banjarmasin ini. Mampu
menegaskan identitasnya dengan cara memberi makna, manfaat, dan mempersatukan
masyarakat. Di sinilah gereja harus mulai menampakkan diri dan melakukan tugasnya
sebagai duta Kristus kepada masyarakat, tanpa mempertimbangkan apakah yang ia layani itu
Kristen atau non-Kristen, jemaatnya atau bukan, serta apakah mendatangkan keuntungan atau
tidak bagi pemasukan gereja.
12
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
BAB VI
PENUTUP
Gambaran minor gereja sebagai sasirangan hanyalah salah satu dari banyak gambaran
minor yang bisa diajukan. Namun di dalam konteks Banjarmasin, penulis merasa sasirangan
merupakan alat bantu yang tepat untuk menggambarkan bagaimana cara gereja bereklesiologi
di kota ini. Merupakan hal yang sangat disayangkan ketika kita mengetahui kenyataan bahwa
gereja kita masih sangat kurang dalam hal pelayanan kepada masyarakat dan lingkungan
dimana ia berada. Hal ini membuat kita harus menggaris bawahi dan mempertanyakan
mengenai persekutuan macam apakah yang telah kita bangun selama ini di gereja? Apa
makna pembicaraan dan pengajaran kita tentang isi Alkitab dan kehendak Allah ketika pada
kenyataannya gereja tidak bergerak untuk melaksanakannya. Jika demikian, gereja tidak
ubahnya bagaikan Yunus yang nyaman tertidur, sementara orang lain sedang dalam
pergumulan dan ketakutan yang mendalam.
Kita harus menempatkan gereja bukan hanya sebagai The Religious Institution semata,
namun lebih daripada itu, kita harus menempatkan gereja sebagai The Real Social Religious
Institution. Gereja yang sejati tidak hanya bersentuhan dengan persoalan agama, iman, dan
surga semata, namun harus terbuka dan mampu menyentuh kehidupan sosial. Bahkan disaat
ia berada dalam posisi minoritas, dengan pertolongan Roh Kudus, ia pasti dimampukan untuk
menjadi minoritas yang melayani mayoritas.
13
Source From : http://lafriofkalteng.wordpress.com/Lia Af anak AMPAH
Meng’’eksresi” kan pikiran dalam “ekspresi” kata nan “ekspresif”
DAFTAR PUSTAKA
Buku
________, Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta : LAI, 2009.
BPH Majelis Sinode, Almanak Nas GKE 2013,
Banjarmasin : BPH Majelis Sinode GKE, 2012
________, Almanak Nas GKE 2014,
Banjarmasin : BPH Majelis Sinode GKE, 2013
Maden, Kinurung Maleh. Membangun Eko-Teologi Berkeadilan Bagi Misi Gereja,
Banjarmasin : Unit Publikasi STT GKE, 2008
Maria Prahesty, Bahan Ajar Teologi Sistematika, Banjarmasin : STT GKE, 2012
Sanon. Bahan Ajar Misi Kontemporer, Banjarmasin : STT GKE, 2014
Soedarmo, R. Ikhtisar Dogmatika, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1985
Tedjo, Tony. Anda Bertanya Saya Menjawab : 101 Tanya Jawab Praktis Seputar Iman dan
Kehidupan Kristen, Yogyakarta : Penerbit Andi, 2012
Ugak, Keloso, S. Bahan Ajar Eklesiologi, Banjarmasin : STT GKE, 2014
Verkuyl, J. Aku Percaya, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1978
Internet
_____, Kain Sasirangan, http://m.melayuonline.com/
_____, Materi WGA : Inventarisasi Sumber Pencemar dan Perhitungan Beban Pencemaran
di DAS Barito dan Martapura, (pdf), http://www.menlh.go.id/
_____, Profil Kabupaten/Kota Banjarmasin, (pdf), http://ciptakarya.pu.go.id
_____, Sejarah Sasirangan, http://tilikbjm.wordpress.com/
Ahmad Harisuddin, Asal Usul Kain Sasirangan Banjar dan Nilai Magisnya,
http://banjarhulu.wordpress.com/
Hery, Kain Sasirangan, http://herykita.wordpress.com/
Manto Manurung, Penginjilan Di Tengah Masyarakat Majemuk : “Tantangan dan
Solusinya”, Jakarta : STT Ekklesia, 2005, (pdf), http://memberfiles.freewebs.com/
14