· web viewwalaupun demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan dengan ‘ulum al-hadis, di...

42
1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS Oleh: Muchamad Furqon NIM. 2013920027 Semester : Dua ABSTRAKSI Islam telah mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seperti dalam hal sosial, hukum, kemitraan, kebersihan, egaliter (kesetaraan), persaudaraan, akhlak yang mulia dan sikap positif lainnya. 1 Para pemalsu hadits benar-benar telah menodai agama dengan sangat kritis. mencemarkan wajah Islam dan memasukkan ajaran-ajaran lain yang tidak termasuk ajaran Islam. Namun Allah swt memelihara ajaran Islam dari pengubahan dan penggantian serta menjaga perkataaan nabi dari usaha menjadikannya alat tunggangan bagi para ambisius, dia juga melahirkan orang-orang yang dapat dipercaya dan ikhlash untuk umat ini, yang menentang dan menelusuri jejak para pemalsu hadits dan membedakan hadits yang shahih dari yang bathil. sekiranya tidak ada upaya-upaya dari para shahabat tabiin dan para ulama sesudah mereka. niscaya sebagian persoalan agama menjadi kabur bagi banyak orang karena banyaknya hal yaang 1 Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1.

Upload: others

Post on 20-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Oleh: Muchamad Furqon

NIM. 2013920027

Semester : Dua

ABSTRAKSI

Islam telah mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seperti dalam hal sosial, hukum, kemitraan, kebersihan, egaliter (kesetaraan), persaudaraan, akhlak yang mulia dan sikap positif lainnya.[footnoteRef:1] [1: Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1. ]

Para pemalsu hadits benar-benar telah menodai agama dengan sangat kritis. mencemarkan wajah Islam dan memasukkan ajaran-ajaran lain yang tidak termasuk ajaran Islam. Namun Allah swt memelihara ajaran Islam dari pengubahan dan penggantian serta menjaga perkataaan nabi dari usaha menjadikannya alat tunggangan bagi para ambisius, dia juga melahirkan orang-orang yang dapat dipercaya dan ikhlash untuk umat ini, yang menentang dan menelusuri jejak para pemalsu hadits dan membedakan hadits yang shahih dari yang bathil. sekiranya tidak ada upaya-upaya dari para shahabat tabiin dan para ulama sesudah mereka. niscaya sebagian persoalan agama menjadi kabur bagi banyak orang karena banyaknya hal yaang dibuat-buat oleh para pendusta dan pemalsu hadits. mereka mengklaim bahwa hadits-hadits palsu bersumber dari rasulullah saw.

KATA KUNCI: Sejarah Ilmu Hadits, Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Orang yang bersikap objektif akan menaruh hormat dan sangat berterimakasih atas upaya para ulama sejak sahabat sampai assunnah dibukukan secara sempurna yang telah membersihkan assunnah dari pemalsuan. dan seseorang akan bertambah mengagumi kaidah-kaaidaah ilmiah yang diaplikasikan oleh ulama dan metode tertentu yang mereka pergunakan dalam memelihara hadits rasulullah kita pun mengetahui nilai penelitian kajian ketabahan dan penelusuran yang mereka lakukan terhadap hadits-hadits palsu yang tidak terhitung jumlahnya.

Menurut kesaksian Hamad bin Zaid, musuh-musuh Islam telah memalsukan sekitar 14.000 hadits. Abdul Karim bin Abu Auja mengaku telah memalsukan hadits sebanyak jumlah tersebut. sementara itu Muiz bin Raja seorang pengikut qodariah yang kemudian bertaubat mengaku bahwa golongan mereka telah memalsukan hadits tentang qadariah.

Alquran adalah sumber pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci hukum-hukumnya, dan mengeluarkan furū’ cabang dari ushūl pokoknya.[footnoteRef:2] [2: M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21]

Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam.[footnoteRef:3] Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok yang bersifat ijmali. Hanya hukum faraidh yang dijelaskan secara tafshīli (detail). Di samping itu, Alquran yang ijmāli serta ayat-ayatnya yang mutasyābih memerlukan penjelasan.[footnoteRef:4] [3: Lihat QS. Al-Isra’ (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam “Risalah al-Tauhid” (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192. ] [4: Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 149. Uraian yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994), h. 55.]

Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keIslaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point  oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.

Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat, para sahabat berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid Khon menyatakan bahwa “fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li al-bayān) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[footnoteRef:5] Ada empat jenis fungsi al-bayān hadis terhadap Alquran yakni bayān taqrīr, bayān tafsīr, bayān naskhi dan bayān tasyri.[footnoteRef:6] [5: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.] [6: Ibid., h. 17-19.]

Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.

Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari Rasullullah s.a.w., kemudian terus kepada sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai puncaknya pada abad ketiga hijriah.

Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab hadits seperti Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan hadits sudah berakhir, tapi sekarang ini terjadi kecenderungan umat Islam telah melupakan ilmu hadits ini, kebanyakan mereka hanya mengutip hadits-hadits ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau dha’if.

Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulūm al-Hadis perlu ditelusuri dua pokok, yaitu:

1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis

2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[footnoteRef:7] [7: Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967) h. 45]

Para ahli berusaha menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis. Nūr al-Dīn mengemukakan tahapan perkembangan ‘Ulūm al-Hadīs atas tujuh tahap, yaitu:

1. Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis

2. Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan

3. Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

4. Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk ‘Ulūm al-Hadīs dan penyebarannya

5. Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulūm al-Hadis

6. Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan

7. Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[footnoteRef:8] [8: Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 21]

Oleh karena itu penulis berniat membuat makalah yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits” supaya kita dapat memahami ilmu-ilmu tentang hadits beserta sejarah perkembanganya.

B. TUJUAN

Tujuan pemakalah untuk membuat makalah ini adalah agar para pembaca sekalian mengetahui pengertian ilmu hadits, dari sisi Riwayah dan Dirayah, dan juga bagaimana tahapan sejarah dan perkembangan ilmu hadits dari masa Rasulullah s.a.w. sampai sekarang. Selain itu, kita juga bisa mengetahui apa saja cabang-cabang dari ilmu hadits.

C. RUMUSAN MASALAH

Kalau kita mengkaji masalah ilmu hadits pasti luas cakupannya. Oleh karena itu penulis membatasi hanya membahas empat pokok bahasan saja, yaitu:

1. Apa yang dimaksud ilmu hadits?

2. Bagaimana tahapan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits?

3. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits?

4. Bagaimana cara memahami hadits yang benar? dan,

5. Sejauh mana pengaruh hadits terhadap perilaku beribadah masyarakat muslim?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Hadits

1. Ilmu Hadits Riwayah

Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”[footnoteRef:9] [9: Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 7]

Ada juga para ulama yang memberikan pengertian bahwasanya Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang dalam pembahasannya mencakup perkataan dan perbuatan Nabi s.a.w., baik yang menyangkut masalah periwayatan, pemeliharaan, maupun penulisan, atau pembukuan lafadz-lafadznya.[footnoteRef:10] [10: Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 12]

Objek dari ilmu Hadits Riwayah adalah bagaimana tata cara menerima dan menyampaikan hadits kepada orang lain, dan bagaimana pula tata cara pemindahan dan pembukuannya, akan tetapi tidak sampai pada permasalahan ada tidaknya kejanggalan dan kecacatan pada matannya.

Oleh sebab itu pembahasannya hanya terbatas pada masalah penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik yang berhubungan dengan matan maupun rangkaian merantai para perawinya.

Faedah mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

2. Ilmu Hadits Dirayah

Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah s.a.w., dan hadits yang diragukan penyandaran kepadanya.

Yang termasuk cabang-cabang ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu rijal al-hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, dan ilmu jarh wa ta’dil. Objek pembahasan Ilmu Dirayah, diantaranya:

1. Keadaan para perawi (راوى / رواه), baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian (seperti perilaku keseharian, watak dan kualitas daya ingatannya) maupun masalah sambung tidaknya rangkaian mata rantai para perawinya.

2. Keadaan yang diriwayatkan (مروى), baik dari sisi keshahihan dan kedha’ifannya maupun dari sisi lain yang berkaitan dengan keadaan matan.

Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari mempelajari ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana kualitas sebuah hadits.

Selain manfaat diatas, juga ada manfaat yang lain, diantaranya:[footnoteRef:11] [11: Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 42]

1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah s.a.w. sampai sekarang.

2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits,

3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam megklasifikasikan hadits lebih lanjut.

4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristinbat.

Pembedaan di sini perlu dilakukan karena bahwasanya munculnya disiplin Ilmu Hadis Dirayah tidaklah sama waktu dan pencetusnya. Ilmu Hadis Riwayat dipelopori oleh Muhammad bin Syihab Az Zuhry (51 – 124 H). Ia adalah orang pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II, memerintah tahun 99 – 102 H/717 – 720 M ).[footnoteRef:12] [12: Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-2 hal. 70]

Sedangkan Ilmu Hadist Diroyah/Ilmu Mustholah Hadits/Ilmu Ushul Hadits/Ushul al-Riwayat dipelopori oleh Al Qadli Abu Muhammad Al Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar Ramahurzuri (w.360 H).

B. Tahapan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits

Sebelum kita menguraikan periode/masa pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits perlulah kiranya dijelaskan di sini pengertian pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits. Hal ini sangat penting, karena masih ada yang menyamakan antara perkembangan hadits dengan ilmu hadits itu sendiri. Padahal keduanya berbeda, meskipun demikian, keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ilmu hadits selalu mengiringi pertumbuhan hadits itu sendiri.[footnoteRef:13] [13: Abdul Majid Khon,Ulum Hadis, (Jakarta:Amzah,2009) hal. 78]

Jadi, pertumbuhan ilmu hadis diartikan sebagai perkembangan ilmu hadits mulai dari perintisannya sampai tumbuh dan perkembangnya hingga masa sekarang. Sedang pembinaan ilmu hadis, secara singkat, adalah usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna terhadap ilmu-ilmu hadits mulai cikal bakalnya hingga hadits bisa menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sitematis, luas dan lengkap bahasannya.

1. Masa Kelahiran Ulumul Hadits

‘Ulūm al-Hadis sebagai sebagai suatu disiplin ilmu mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengemukakan hal ini sebagai berikut:

Ulumul Hadis tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan dan pemindahan hadis dalam Islam. Dasar-dasar ini mulai tampak setelah Rasul saw. wafat, yakni tatkala kaum muslimin memberikan perhatian serius dalam mengoleksi hadis Nabi, karena khawatir tersia-siakan. Mereka berusaha keras menghapal, menandai, memindahkan dan mengkodifikasikannya. Secara alamiah kodifikasi hadis mendahului kodifikasi Ilmu Ushulul Hadis. Karena hadis adalah materi yang dikumpulkan dan dikaji. Sedang Ushulul Hadis adalah kaedah dan metode yang harus diikuti untuk menerima dan menolak hadis dan mengetahui yang shahih dari yang dha’if.[footnoteRef:14] [14: Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. xiv]

Penjelasan ‘Ajjaj ini, memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulum al-Hadis melalui suatu tahapan yang cukup panjang. Ilmu itu tumbuh dan berkembang dari masa ke masa secara terus neberus dan berkesinambungan mengkuti irama periwayatan hadis terutama sebelum hadis terkodifikasi dengan baik.

2. Masa Penulisan Ilmu Hadits

Tahap kedua dari perkembangan ‘Ulum al-Hadis ialah tahap penyempurnaan. Pada tahap ini, ilmu hadis mencapai titik kesempurnaannya. Setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh ulama. Tahap ini berlangsung dari abad kedua sampai awal abad ketiga. Peristiwa-peristiwa menonjol yang menendai periode ini ialah:

a. Melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan al-Dzahabi dalam kitab Tazkirat al-Huffazh

b. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran bentangan jarak waktu dan semakin banyak rawi

c. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi’in, seperti Mu’tazilah, Jabariyah, Khawarij, dan sebagainya. Oleh karena itu, para ulama bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutupi pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain:

a. Pembukuan hadis secara resmi

b. Mengembangkan jarh wa ta’dil untuk mengkritisi rawi hadis

c. Mengembangkan sikap tawaqquf yaitu tidak menolak atau menerima bila mendapatkan hadis dari sesorang yang mereka tidak kenal sebagai ahli hadis.

d. Menelusuri sejumlah hadis untuk mengungkap kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya.[footnoteRef:15] [15: Nur al-Din, op.cit., h. 36.]

Para ulama sangat ketat dalam menyeleksi hadis. Mereka meneliti setiap keadaan perawi sehingga hadis dapat diketahui kualitasnya. Bahkan, mereka bersedia melakukan perjalanan panjang untuk mengecek kebenaran sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dengan mempersyaratkan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama.[footnoteRef:16] Dengan demikian, hadis yang diriwayatkan oleh seseorang akan dapat diketahui antara lain keadilan, kecacatan, dan kedhabitan seorang perawi dan sebagainya. [16: Perjalanan untuk meneliti suatu hadis dideskripsikan dalam Subhi Al-Shalih, op.cit., h. 61-80. Perjalanan ini diistilahkan dengan Rihlah Checking oleh Abdul Majid Khon, op.cit., h. 80]

3. Masa Pembukuan Ilmu Hadits

a. Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah. Tahap ini merupakan tahap pembukuan hadis dan merupakan zaman keemasan sunnah. Sebab, dalam abad inilah sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.

Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadis Rasul secara khusus. Untuk itu mereka susun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehinga hadis-hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar –misalnya- dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-hadis umar yang lainnya

Pada tahap ini, cabang-cabang ilmu hadis telah berdiri sendiri sebagai suatu ilmu, seperti ilmu hadis shahih, ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan sebagainya. Ulama yang dikenal menyusun buku yang berkaitan dengan ilmu hadis pada masa ketiga ini ialah:

1. Yahya ibn ma’in (w.234 H) menyusun kitab tentang biografi para rawi

2. Muhammad ibn Sa’d (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi. Kitab ini merupakan kitab yang paling baik.

3. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyusun kitab al-‘Ilal wa al-Ma’rifah al-Rijal dan al-Nasikh wa al-Mansukh.

4. ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn al-Madani (w.234 H) Guru al-Bukhari, menyusun buku tentang banyak hal yang mencapai dua ratus judul. Kebanyakan kitab yang disusunnya selalu menjadi perintis dalam bidangnya sehingga para ulama menyatakan bahwa tiada cabang ilmu hadis yang luput dari bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya.[footnoteRef:17] [17: Nur al-Din, op.cit., h. 49.]

4. Tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk ‘Ulum al-Hadis dan penyebarannya

Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh. Pada periode ini, para ulama menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang masih berserakan kemudian melengkapinya dengan keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Sesudah itu mereka memberi komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali hukumnya.

Dalam catatan sejarah perkembangan hadits, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,[footnoteRef:18] karya ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya. [18: Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 5]

Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini juga belum sempurna dan kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya ulama berikutnya.[footnoteRef:19] [19: Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dalam kitabnya berjudul “Taujih an-Nazhar”]

Setelah itu, muncul Abu Nu’aim Ahamad bin Abdillah al-Ashafani (336-430 H) dengan kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah’Ulum al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya yang tidak terdapat dalam kitab Ma’rifah ‘Ulum al-Hadits karya al-Hakim.[footnoteRef:20] [20: Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.4; 2001) hal. 89.]

Berikutnya, al-Khathib al-Bagdadi Abu Bakr ahmad bin Ali (w. 463 H) dengan kitabnya yang terkenal, ialah “Al-Kifayah fi Qawanin ar-Riwayah”. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis da kaidah-kaidah periwayatan. Karya lainnya, ialah Al-Jami’ li Adabi asy-Syeikh wa As-Sa’mi. Menurut Abu Bakr bin Nuqthah, para ulama muhaddisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khatib al-Bagdadi, menginduk kepada kitabnya.[footnoteRef:21] [21: Mahmud ath-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 12.]

Selang beberapa waktu, menyusul al-Qadi ‘Iyadh bin Musa al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma’ fi Dabth ar-Riwayah wa Taqyid al-Asma’. Berikutnya, ialah Abu Hafidz Umar bin Abd Majid al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitabnya ‘Ulum al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah ibn ash-Shalah. Kitab ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27 mukhtashar-nya, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh ulama generasi berikutnya.[footnoteRef:22] [22: Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 89.]

5. Masa Pentashihan ‘Ulum al-Hadis

Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kesepuluh. Pembukuan ‘Ulum al-Hadis pada tahap ini mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Pada tahap ini dilakukan penelitian secara mendetail terhadap sejumlah masalah dan upaya perbaikan sejumlah ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi. Para penyusun kitab adalah para imam besar yang hapal semua hadis dan menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadis, sanad dan matannya.

Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini ialah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz al-Ushul Abu ‘Amr ‘Utsman ibn al-Shalah (w. 643) dengan kitab ‘Ulum al-Hadis yang sangat masyhur.

Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulum al-Hadis ialah:

1. Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab ‘Ulum al-Hadis kemudian diringkaskan lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Ahadis al-Basyir al-Nadzir.

2. Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak seribu bait karya al-Hafidz Abd al-Rahman ibn al-Husain al-Iraq (w. 806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab ‘Ulum al-Hadis dengan menjelaskan dan menambah kekurangannya dengan beberapa masalah lalu disyarahi dengan syarah yang sangat baik.

3. Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah yang dikenal dengan nama al-Nukat. Kitab ini diberi catatan kaki oleh Fadhilat al-Syaikh Muhammad Raghib al-Thabbah dengan keterangan-keterangan yang sangat bermanfaat.

4. Al-Ifshah ‘ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah ‘Ulum al-Hadis disusun oleh al-Hafidz Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H). kitab ini sampai sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan tangan yang terdapat di India.

5. Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi ‘Ilm al-Hadis karya al-Hafidz Syamsuddin Muhammad al-Shakhawi (w. 902 H). Kitab ini memuat hasil studi kritis terhadap masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab sunnah dan ‘Ulum al-Hadis. Kitab ini dicetak di India dalam satu jilid tebal.

6. Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w. 911 H).

7. Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-Nadzar. Keduanya karya al-hafidz Ibn Hajar.[footnoteRef:23] [23: Nur al-Din, op.cit., h. 49.]

6. Masa Kebekuan dan Kejumudan

Dalam perkembangannya, ‘Ulum al-Hadis sempat mengalami masa kebekuan dan kejumudan. Keadaan ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitab nyaris berhenti total. Kitab-kitab yang ditulis pada umumnya ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Para penulis hanya sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti permasalahannya. Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad sehingga perkembangan ‘Ulum al-Hadis mengalami kemandekan. Walaupun demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan dengan ‘Ulum al-Hadis, di antaranya:

1. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya ‘Umar ibn Muhammad ibn futuh al-Baiquni al-Dimasqi (w. 1080 H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan kitab karena disusun secara sistematis dan dengan bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan oleh orang-orang yang mempelajarinya.

2. Taudhih al-Afkar karya Al-Shan’ani Muhammad ibn Isma’il al-Amir (w. 1182 H).

3. Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh ‘Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qari’i (w. 1014 H).[footnoteRef:24] [24: Ibid]

Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di India yang dipelopori oleh al-Allamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176 H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya serta murid-muridnya dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah baku.[footnoteRef:25] [25: Ibid]

7. Masa Kontemporer

Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap ‘Ulum al-Hadis semakin dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nur al-Din sebagai masa kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas hijriyah. Umat Islam bangkit kembali karena khawatir pengaburan ajaran agama akibat persentuhan dunia Islam dengan dunia Barat dan Timur, bentrokan mliter yang tidak manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Kondisi telah menuntut untuk disusunnya kitab-kitab yang membalas tuduhan dan menyanggah kesalahan-kesalahan dann kedustaan mereka. Tuntutan ini menghasilkan beberapa karya ulama antara lain:

1. Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini membahas:

Hadis Shahih dan Hadis Hasan Hadis dhaif, dan Hal-hal yang berkaitan dengan ketiga hadis tersebut.

2. Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya ‘Abd Aziz al-Khuli. Kitab ini menjadi pelopor pengkajian sejarah Hadis dan perkembangan ilmu-ilmunya.

3. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr. Musthafa al-Siba’i. Kitab ini membicarakan hal ikhwal orientalis, serangan mereka terhadap Hadis, dan serangan balik mereka ketika kalah berargumentasi. Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan kelompok ingkar al-Sunnah baik dari generasi terdahulu dan pada saat itu.

4. Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab ini menjelaskan tentang ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada al-Sunnah disertai hasil penelitian kondisi hadis pada periode pertama yaitu periode sahabat, tabi’in sampai periode pembukuan hadis. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan yang bathil berkenaan dengan hadis.

5. Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-simahi, yang menguasai seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan komprehensif

C. Hadits Pada Masa Rasulullah s.a.w.

Sesuai dengan perkembangan hadits, Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Diroyah selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah s.a.w. sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuanpun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadits.[footnoteRef:26] [26: Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-2 hal. 78]

Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam al-Quran dan hadits Rasulullah s.a.w. Misalnya anjuran pemeriksaaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam Alquran surat Al Hujurat(49): 6, demikian juga dalam surat Al Baqarah(2): 282 dan At Thalaq(65): 2.[footnoteRef:27] [27: ibid hal. 79]

Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang datang dibawa seorang fasik yang tidak adil. Diperiksa untuk diverifikasi keobyektifannya dari sumber berita tersebut. Demikian juga sabda Nabi Muhammad dalam haditsnya :

Artinya: Allah menerangi (menggembirakan) seseorang yang mendengar sesuatu daripada kami kemudian ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.maka banyak orang yang menyampaikan lebih mengerti daripada yang mendengar”. (HR. Al Turmuzdi).

Ayat dan hadits di atas menjadi dasar perlunya pemeriksaan dan penelitian berita dan hadits yang yang dismpaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara menyampaikannya kepada orang lain. Apakah pembawa berita memenuhi persyaratan sebagai perowi yang dapat diterima pemberitannya atau tidak?[footnoteRef:28] [28: ibid hal. 81-82]

Ada suatu keistimewaan pada masa ini, yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits Rasul s.a.w. sebagai sumber hadits. Antara Rasulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang menghambat dan mempersulit pertemuannya.

Dengan demikian, kedudukan Nabi menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.

Ada beberapa cara Rasulullah s.a.w. dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:[footnoteRef:29] [29: Munzier Suparta,. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 22]

1. Melalui para jema’ah pada pusat pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘ ilmi.

2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah s.a.w. juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.

3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.

D. Hadits Pada Masa Sahabat

Periode sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar dan juga terkenal dengan sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minarriwayah (زمن التثبت والاقلال من الرواية )” yaitu masa pengokohan dan penyederhananaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap dihafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran keterbatasan tenaga dan sarana.

Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk membakar 500 hadits yang telah dicatatnya.

Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran perhatian para sahabat terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin Khattab untuk membuat program penulisan hadits dibatalkan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.

Sekalipun demikian penulisan hadits tetap saja dilakukan oleh sahabat, diantaranya adalah Ibnu mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan Aisyah, dan yang lainnya. Karakter yang menonjol dari periode ini adalah kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga setelah terkumpul barulah mereka menulis hadits.

E. Hadits Pada Masa Tabi’in

Melihat kondisi seperti hal diatas, para ulama` bangkit membendung hadits dari pemalsuan dengan berbagai cara diantaranya rihlah cecking kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapatkan hadits harus disertai dengan sanad. Keharusan sanad dalam periwayatan bahkan menjadi tuntutan yang sangat kuat ketika Ibnu Syihab Az Zuhri menghimpun hadits dari para ulama diatas lembaran kodifikasi. Sanad adalah merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan mana yang cacat (ilm jarh wa ta`dil), sanad mana yang terputus (munqothi`) dan yang tersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi.

Perkembangan ilmu hadits semakin berkembang pesat ketika para ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits kuat apa tidak (dlobith), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada`), hadits yang kontra berisifat menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadits yang sulit dipahami (gharib al hadits) dan lain-lain. Akan tetapi, aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawi) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Baru ketika pada pertengahan abad kedua sampai dengan ketiga hijriyah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu – ilmu lain atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh, seperti dalam kitab Ar Risalah yang ditulis oleh As Syafi`i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al Umm dan solusi hadis –hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilaf Al –Hadits karya As Syafi`i (w.204 H).[footnoteRef:30] [30: Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah 2009), Cet. Ke-2 hal. 81]

Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadits secara resmi. Adapun yang melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk mengumpulkan dan mengkodifikasi hadits pada waktu itu antara lain:[footnoteRef:31] [31: Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 28]

1. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.

2. Al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan al-Qur’an.

3. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur’an.

Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengan sebutan masa pembukuan (‘ashr al-tadwin / عصر التدوين ), sehingga pada abad 2 H ini, tersusunlah kitab-kitab koleksi hadits.[footnoteRef:32] [32: M. Mashum Zein, Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007) hal. 17]

Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang termashur dalam bidang riwayat antara lain Sa’id, Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn Habib.[footnoteRef:33] [33: Ibid ]

F. Hadits Pada Abad Ke-3

Masa ini dikenal dengan sebutan “masa penyaringan pensyarahan hadits”, terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, mulai dari khalifah Al-Ma’mum sampai Muqtadir (201-300 H). Pensyarahan dan penyaringan hadits dilakukan karena masa sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits dha’if dengan hadits shahih, bahkan terkesan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits shahih.

Ulama yang pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih adalah Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh Imam Bukhari, dan diteruskan oleh muridnya Imam Muslim. Pada masa ini, umat Islam telah berhasil melakukan beberapa hal, diantaranya:[footnoteRef:34] [34: Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 22]

1. Memisahkan hadits Nabi s.a.w. dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in)

2. Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatakan hadits Nabi s.a.w. dengan melakukan penelitian pada matan dan mata rantai sanadnya.

G. Hadits Pada Abad Ke- 4

Pada masa ini dilakukan sistem penyusunan kitab-kitab koleksi hadits yang lebih mengarah pada upaya pengembangan dalam berbagai variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada secara sistematis, misalnya pola-pola:

1. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada kitab shahihaini (kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim).

2. Mengumpulkan hadits menurut bidangnya, seperti yang memuat hadits-hadits tentang hukum.

3. Kolektor menyusun kitab athraf, artinya pengarang hanya menyebutkan permulaan dari tiap-tiap hadits yang dapat menunjukkan kelanjutannya.

H. Hadits Pada Abad Ke-5 – Sekarang

Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa Barat, penyampaian ajaran Nabi tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, akibatnya kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.

Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yang berani berkunjung ke berbagai daerah untuk mendiktekan hadits, dengan cara duduk di dalam masjid setiap hari jum’at, lalu menguraikan hadits tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada para jama’ah dan jama’ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 858 H), al-Syakhawi (murid Ibnu Hajar).[footnoteRef:35] [35: Munzier Suparta,. Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 19]

I. CABANG-CABANG “ILMU AL-HADITS”

1. Ilmu Rijal Al-Hadits (علم رجال الحديث )

Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.

Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’ tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan sanad. Perawi yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah:

a. Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi pertama).

b. Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani (generasi kedua).

c. Para Muhadlramin, yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada masa jahiliyyah dan masa Nabi s.a.w..

d. Para Muwaliy, yaitu para perawi hadits dan ulama yang pada awalnya berstatus budak.

Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh Muhammad Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya yang bernama Al-Istiab.[footnoteRef:36] [36: Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 23]

2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat (علم تاريخ الرواة )

Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.

Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah sejarah perjalanan hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah:

a. التاريخ الكبير, karya al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (194-256 H),

b. تهذيب الكمال, karya Jamaluddin bin Yusuf al-Muzziy (742 H),

c. تهذيب التهذيب, karya Al-Hafidh Syihabuddin Abi al-Fadlal Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar) al-‘Atsqalaniy (773-852 H),

3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil (علم الجرح والتعديل )

Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang membahas keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka.”

Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada perawi hadits.

Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini antara lain kitab Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).[footnoteRef:37] [37: ibid]

4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم أسباب ا لورود)

Asbabu wurud al-hadist ialah sesuatu yang membatasi arti dari suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti umum atau khusus, muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau seterusnya.

Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah Suatu ilmu yang membahas masalah sebab-sebab nabi s.a.w. menyampaikan sabdanya pada saat beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya periwayatnya, bukan lainnya.[footnoteRef:38] [38: Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 27]

Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain:[footnoteRef:39] [39: ibid]

a. اسباب الحديث karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi Ya’la Muhammad bin al-Hussain al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)

b. البيان والتعريف فى اسباب ورود الحديث الشريف, karya Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin (Ibnu Hamzah) al-Husainiy al-Dimasyqy (1054-1120 H).

5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh (علم النسخ والمنسوخ )

Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang dintara keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi (yang secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menghapus. Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansukh” dan yang datangnya kemudian dikenal dengan sebutan “nasikh”.

Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).[footnoteRef:40] [40: Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 34]

6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)

‘Ilal Al-Hadits ialah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih yang menjadi tercemar, seperti menyatakan hadits muttashi pada hadits yang pada hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits kedalam hadits lain dan lain sebagainya.

Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain Kitab Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[footnoteRef:41] [41: Ibid hal. 35]

7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)

Ilmu Gharib al-Hadits ialah ungkapan arti kosa kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosa kata tersebut memang asing dan tidak dikenal.

Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang sulit atau susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.

Diantara para ulama yang pertama kali menyusun hadits-hadits yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat sekarang ini adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu Al-Asir.[footnoteRef:42] [42: M. Mashum Zein, Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007) hal. 21]

8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits (علم مختلف الحديث )

Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan atau keduanya dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.

Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu ini, tingkat kesulitan bisa teratasi.

Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab yang khusus membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid dalam kitabnya al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits” lalu disusul oleh ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Thahawi (321 H).[footnoteRef:43] [43: Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 25]

9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif (علم التصحيف والتحريف )

‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang membahas keadaan hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya dan bentuk (محرف)nya.

Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain kitab Ad-Daruquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad Al Askary (283 H).[footnoteRef:44] [44: Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 32]

D. CARA MEMAHAMI HADITS DAN EFEK PERBEDAAN HADITS TERHADAP PRAKTEK IBADAH

Ada sekelompok ummat Islam yang menganggap bahwa perbedaan pendapat mustahil muncul kalau kita kembali kepada al-Qur'an dan Hadis. Saya justru berpendapat bahwa perbedaan pendapat yang genuine muncul justru karena para ulama berpegang tegus pada al-Qur'an dan Hadis. Ini disebabkan al-Qur'an dan Hadis sendiri membuka pintu atau peluang perbedaan pendapat itu.

Sebagai contoh, apa yang harus kita baca di saat kita ruku' dan sujud dalam sholat? Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca, "Subhana Rabbiyal A'zim" ketika ruku' dan "Subhana Rabbiyal A'la" ketika sujud. Hadis ini diriwayatkan oleh Huzaifah (Sunan al-Nasa'i, Hadis Nomor 1.036). Akan tetapi Siti Aisyah radhiyallahu 'anha meriwayatkan hadis lain (Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN} 752, Sunan Abi Dawud, HN: 738, Sunan al-Nasa'i, HN 1.038). Dalam hadis ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca "Subbuhun quddussun rabul malaikati war ruh" baik ketika ruku' maupun ketika sujud. Yang menarik, ternyata Aisyah meriwayatkan pula bahwa Rasul membaca teks lain, "Subhanaka Allahumma Rabbana wa bihamdika Allahummafighrli" (Shaihih Bukhari, no. 752 dan 3.955).

Jika benar bahwa perbedaan pendapat tidak akan terjadi kalau kita berpegang pada Hadis Nabi, maka bagaimana dengan fakta ini? yang mana yang benar ? Yang mana yang sesuai dengan sunnah Nabi dan yang mana yang bid'ah? Beranikah kita bilang Huzaifah berbohong? Beranikah kita bilang bahwa Siti Aisyah, isteri Nabi, lupa teks mana yang sebenarnya dibaca Nabi? Bagaimana mungkin dari satu perawi (Aisyah) terdapat dua teks yang berbeda. Bagi saya, jawabannya simple saja. Semua ummat Islam yang membaca teks yg berbeda tersebut adalah benar karena mereka punya dasarnya. Namun siapa yang paling benar, serahkan saja pada Allah swt.

Begitu pula banyak persoalan klasik dan cukup sederhana sebenarnya namun telah membuat umat Islam tercerai berai dengan tuduhan bid'ah, bukankah setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka?. Contoh lain, ketika anda sujud, yang mana duluan anda jatuhkan ke bumi: tangan anda atau lutut anda. Syaikh al-Albani mengatakan tangan dulu dan yang menjatuhkan lutut dulu telah berbuat bid'ah. Syaikh Bin Baz berpendapat yang mana saja yang paling mudah untuk anda. Boleh lutut dan boleh juga tangan dulu. Ternyata kedua pendapat ini sama-sama ada riwayat yang mendukung. Ternyata pula kedua ulama besar yang berbeda pandangan ini sama-sama mencantumkan pandangannya dalam buku yang berjudul hampir sama, yaitu sifat sholat Nabi atau bagaimana sholat Nabi. Lalu yang mana sebenarnya cara yg dipilih Nabi atau sifat/model sholat Nabi?

Ada sebuah kalimat yang sangat bijak yang terucap dari lisan teman saya, ketika saya menanyakan tentang cara bersujud, "Bro, ketika ente sujud, tangan dulu atau lutut dulu yang ente jatuhkan karena ada dua hadis yg berbeda soal ini." Kawan saya dengan mantap menjawab, "Jika memang dua-duanya ada haditsnya, itu menunjukkan bagi Rasul tidaklah penting tangan atau lutut dulu. Semuanya boleh saja. Bagi saya yang penting ketika sujud bukanlah soal tangan dan lutut itu tetapi bagaimana kita tundukkan diri kita sedemikian rendah, kita sujud mengakui kebesaran-Nya, kita buang semua ego kita dan kita serahkan diri kita di bawah kendali Allah swt. Bukankah ini jauh lebih penting kita diskusikan, My Bro?"

Saya terpesona. Seringkali perbedaan hal yang kecil-kecil membuat kita kehilangan waktu untuk merenungi esensi ibadah kita. Seorang teman mampu mengajari saya akan hal ini. Alhamdulillah.

Contoh berikutnya, ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa ketika Nabi mengakhiri sholat dengan menoleh ke kanan beliau membaca, "Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh" dan ketika menoleh ke kiri membaca salam "assalamu 'alaikum wa rahmatullahi" (tanpa "wa barakatuh"). Lihat Sunan Abi Dawud, no. 846. Hadis lain meriwayatkan bahwa baik ke kanan maupun ke kiri, Nabi menolehkan mukanya sambil membaca salam "tanpa wa barakatuh" Sunan al-Tirmizi, no. 272; Musnad Ahmad, no.: 3.516, 3.549, 3.656, 3.694, 3.775, 3.849, 3.958, 4.020, dan 4.055; Sunan al-Tirmizi, no.: 1.302, 1.130, 1.303, 1.305, 1.307 dan 1.308.

Yang mengejutkan, Sunan Abu Dawud no.: 845 juga meriwayatkan tanpa “wa barakatuh", padahal pada Hadis No. 846 dia meriwayatkan dengan "wa barakatuh". Sekali lagi, yang mana yang benar? Kenapa pula Abu Dawud mencatat dua hadis berbeda ini dalam kitabnya? Yang mana yang bid'ah dan yang mana yang sunnah. Mungkinkah kebenaran itu tidak satu tetapi berwajah banyak? Mungkinkah yang kita anggap bid'ah selama ini ternyata juga dipraketkkan Nabi?

Inilah yang kemudian menciptakan corak pandang dan sikap yang berbeda di kalangan ummat Islam. Menurut saya, selama perbedaan itu masih merujuk pada sumber yang mu`tamad, maka na`if sekali jika kita menghujat seseorang yang berbeda cara beribadahnya hanya lantaran kurangnya ilmu yang kita miliki.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kita patut bersyukur dengan adanya sejumlah shahabat/ulama yang menaruh perhatian begitu mulia terhadap keberadaan hadits-hadits Rasulullah s.a.w. kehadiran beliau telah menyelamatkan sejumlah hadits, yang menjadi rujukan kedua setelah al-Qur`an.

Berbagai bidang ilmu hadits telah dibuat oleh sejumlah ulama sehingga kita dapat mengetahui kondisi para penyampai hadits serta hadits itu sendiri. Hal ini sangat penting, mengingat masih banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang harus mendapat penjelasan langsung dari hadits-hadits Rasulullah.

Di sisi lain, tidak dipungkiri lagi bahwa dengan adanya perbedaan hadits yang diambil oleh umat Islam dalam melaksanakan ibadah khususnya, telah menciptakan berbagai macam perbedaan pelaksanaan ritual. Yang terpenting adalah keharusan bagi kita untuk mengetahui sumber-sumber rujukan yang mereka ambil dalam melaksanakan ibadah, sehingga perbedaan yang terjadi justru mendatangkan rahmat Allah s.w.t. dan bukan sebaliknya. Sehingga kebersamaan dalam perbedaan dapat tercipta dalam kehidupan sehari-hari.

B. ORISINALITAS

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M. dan Muzakkir, Ilmu Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998)

Al-Khatib, M. Ajjaj, al-Sunnah Qabla Tadwīn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999)

Al-Khatib, M. ‘Ajaj Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)

Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997)

Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967)

Ath-Thahhan, Mahmud, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th)

‘Itr, Nūr al-Dīn, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulūm al-Hadis, terj. Mujiyo, ‘Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994)

Khon, Abdul Majid, Ulum Hadis, 2009 (Jakarta:Amzah), Cet. Ke-2

Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)

Nata, Abuddin M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008)

Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.4; 2001)

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)

Syuhudi Ismail, M. Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994)

Zein, M. Mashum, Ilmu Hadits dan Musthalah Hadits. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007)