wanimelawan.files.wordpress.com  · web viewlauren menjawab. yusriqo, niatus, thoriq, aisyah, &...

21
Awali Taufiqi ==================================================================== = 3 HARI PENDAKIAN ARJUNA ==================================================================== = 7 Pemuda, Tidak Mandi, Tetap Makan, Terus Berjalan. ----------------------------------------------------

Upload: others

Post on 10-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Awali Taufiqi

=====================================================================

3 HARI PENDAKIAN ARJUNA

=====================================================================

7 Pemuda, Tidak Mandi, Tetap Makan, Terus Berjalan.

----------------------------------------------------

=============================

DAFTAR ISI

1. DINNER……………………………............... 4

2. ON THE WAY……………………………............... 5

3. DAY 1……………………………............... 6

4. DAY 2……………………………............... 7

5. DAY 3……………………………............... 8-11

6. ON THE WAY……………………………............... 12-13

7. Tentang Penulis ……………………………............... 14

Untuk Mama dan Papa.

Teman-Teman

Ardian, Tebo, Dinner, Gufron, Ebes, & Dhoni

3 Pendaki

Terima kasih atas besarnya cinta, kasih sayang, dan keringat yang tak akan penah bisa saya balas

======= “ DINNER ” =======

Semburat cahaya matahari masih terlihat begitu tipis. Dering sms membangunkanku yang sedari tadi menghempaskan tubuh di kasur, sembari mendengarkan alunan nada Monita Tahalea. Aku membacanya. Sebentar-sebentar aku menarik napas.

“ Ini awali? Salam kenal, aku Dinner. Aku dapat kontak kamu dari upik, temanmu anak Paskibra. Tanggal 3-5 Juni ada rencana Pendakian Arjuna, Kita kekurangan orang. Timku tak akan lengkap tanpa dirimu. Kuharap kamu menerima tawaranku ini. “

Tanpa basa-basi segera ku balas sms tersebut, mengabarkan jika aku menerima tawaran. Kemudian berlanjut hingga bertemu di rumah salah seorang teman.

Malam itu sama seperti malam yang lain, Sorot lampu dan bising kendaraan yang berlalu-lalang menemaniku menunggu seseorang bernama Dinner. Mungkin sebaiknya saya main ke rumah Aisyah dulu sembari menunggu datangnya Dinner ini. Tepat pukul 10 malam masih belum ada kabar tentang dia, saya puaskan hari itu sembari bercengkrama bersama teman-teman pecinta alam. Aku menceritakan tentang seseorang bernama Dinner yang mengajakku ke Gn. Arjuna. Berharap jawaban apa ada dari teman-teman yang bersedia ikut menemani rencana ini.

“ Tanggal 6 Juni sudah puasa, mana mungkin aku ikutan aw. Sayang banget kalo entar ngga ikut tarawih pertama.” Lauren menjawab. Yusriqo, Niatus, Thoriq, Aisyah, & Ardian mengangguk diam tanda setuju dengan pernyataan lauren. Saat itu pukul 22:48 dering sms masuk, ternyata dari Dinner yang sudah sampai di lokasi.

“ Baiklah guys, btw aku balik dulu ya. Dinner udah nungguin di lokasi “ Jawabku singkat. Melambaikan tangan sembari membenarkan posisi motor.

“ Hati-hati aww.. Semoga sukses rencananya “ sahut semua teman yang membalas pamitanku yang penuh penyesalan itu. Segera aku tancap gas mengejar waktu karena Dinner sudah menunggu di Lokasi.

Aku kira pertemuan itu hanya sebatas wacana seperti yang kebanyakan teman lakukan. Tapi ternyata tidak. Pertemuan ini berlanjut bahkan sampai tahap pencarian tim lainnya. Dinner bersama kawannya Gufron, Dhoni, Ebes, & Tebo. Sedang aku bersama seorang teman seperjuangan dari extrakulikuler pecinta alam, Ardian. Ya, Ardian berubah fikiran setelah membantuku mencari orang. Ardian sudah mendapat restu dari orang tuanya, maka tak ada lagi alasan bagi ardian untuk menolak kesempatan ini.

======== “ ON THE WAY ” ==========

Berkendara dalam bus adalah bagian dari hidup. Lagipula bepergian dengan kendaraan pribadi membuat saya semakin kesepian. Bukan saya tak pernah sendiri. Justru karena saya terlalu sering sendiri. Saya mencari tempat yang bisa membuat saya bertemu banyak orang.

Beruntung 6 orang pendaki ini juga setuju dengan pendapatku. Kami sepakat untuk bertemu di pintu keluar Terminal Bungurasih pukul 13:00 seusai sholat Jumat.

Berjalan kebingungan mencari teman yang tak kunjung kelihatan rupanya membuatku sedikit kecapekan. Bulir keringat sudah terjatuh dari dahi dan ketiak akibat kepanasan. Benar-benar keadaan yang merusak suasana hati. Tiba-tiba seseorang menarik lengan bajuku.

“ Sudah lama?.” Tanya Gufron yang sudah menunggu sedari dari bersama Tebo.

“ Barusan sampai kok“, jawabku singkat. “Btw, mana yang lain?” sambil melirik ke kanan-kiri mencari Dhoni, Dinner, & Ebes. “Ardian masih otw guys, masih di terminal bratang nyari bus kota”tambahku.

“ Nah, Kebiasaan tuh yang lain. Udah datang cepet-cepet, yang lain malah telat. Hufftt “

Sembari menunggu yang lain, aku menyempatkan diri untuk berjalan membeli sesuatu yang bisa dimakan. Sudah dari pagi aku tak makan, hanya sebuah roti untuk mengganjal perut sementara.

“Buah.. Buah.. Buah.. Rujakk manissssss”, Suara khas rujak buah menarik perhatianku. terhitung Rp 5,000 lenyap berganti dengan bungkusan buah berharga seribuan.

Beberapa jam menunggu, dan tepat pukul 16:30 kami berangkat dari surabaya ke Tretes menaiki bus Surabaya-Malang.

“ Bus biasanya sih digunakan oleh mereka yang pergi liburan atau sekedar pekerja yang mempunyai pekerjaan di luar kota”, Ujar gufron, salah seorang temanku yang menjadi pelanggan setia bus ekonomi.

Mendapat fasilitas AC dan tempat duduk, tarif kereta ini terbilang murah menurutku, tujuh ribu lima ratus rupiah untuk sekali jalan. Menurutku, dengan naik bus ekonomi kita akan banyak belajar mengenai hidup. Karena di dalam sana kita akan dapat melihat berbagai macam realitas hidup tanpa manipulasi seperti di surat kabar. Ah, mungkin aku saja yang terlalu filosofis menanggapi hal ini. Pernah aku mendengar orang berkata jika surat kabar berita berisi tentang kebohongan, membuat kita buta akan kebenaran. Aku tak terlalu percaya.

--- “Pos perizinan-Pet Bocor-Kop kop an “ --- ====== “ DAY 1 ” ======

Langit masih cukup gelap, derap langkah orang yang lalu-lalang masih terdengar begitu jelas. Kami berangkat dari pos perizinan saat matahari telah bersembunyi menunggu ayam jantan berkokok kembali. Aku hanya satu dari sekian banyak pendaki lainnya.

Pemandangan pohon dan beraneka tumbuhan menjalar itu sudah biasa kulihat. Entah seolah ada suatu hubungan yang membuat diriku dekat dengan alam yang misterius ini. Belum lama melangkah, menuju perjalanan ke Pet Bocor, barisan belakang, aku dan gufron mendengar suara macan. Namun, Ebes membantah jika kami hanya mendengar suara udara yang melewati pipa-pipa air. Dinner bilang itu hanya suara kodok pengunungan. Ah, ini sudah malam. Ada benarnya juga untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Kami semua berlalu seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Sampai juga di Pet Bocor, kami mengisi ulang air yang tadi telah habis dalam perjalanan. Terlihat banyak pendaki lain beristirahat di Joglo maupun memasang tenda di sekitar Pet Bocor. Tak ingin rasanya berlama-lama, kami mulai meneruskan perjalanan menuju Kop kop an.

Tepat pukul 21:00, Kami tiba di kop kop an. Dengan segera teman-teman mendirikan tenda dan mulai menata barang yang dibawa. Sedangkan aku sendiri sibuk menelusuri hutan bersama ardian untuk mencari spot terbaik untuk buang air kecil.

“ Oy, Lihat ke atas “, Ujar Ardian. Sambil mengacungkan jarinya ke arah atas.

Kami melongo melihat sesuatu yang tak biasa kami lihat, sebuah BINTANGG!! Indah menyala di kegelapan malam. Seperti lampu-lampu kecil di taman hiburan. Walau suhu mulai menusuk kulit, aku tetap bertahan di luar tenda menyaksikan bintang-bintang kecil di langit.

“ Awww... Masukk.. Ntar kena Hipotermiaa “, Kata Dinner sembari melambaikan tangan megisyaratkan agar aku segera masuk ke tenda. Namun bagaimana lagi, Aku suka bintang. Bintang mengingatkanku, akan selalu ada cahaya walau dalam kegelapan. Kunang-kunang menemaniku melihat bintang-bintang saat itu.

Bbrrrr... Dingin mulai menusuk lebih dalam dari sebelumnya, aku masuk ke dalam tenda. Mencari posisi wenak buat tidur sambil membentangkan Sleeping Bag, Dan dalam hitungan detik mata terpejam. Tigaa... Dua... Satuuu... Bruuuttt.. Brut.Bruttttt... Asemmm, Dinner kentut. Kurang ajar! Kini ruangan tenda yang hangat&nyaman berubah menjadi neraka dengan bau jahanam yang menggetarkan jiwa. Kami lantas berlarian keluar tenda mencari udara segar, kecuali Dinner. Dia menikmati kentutnya.

---- “ Kop Kop an – Pondokan – Lembah Kidang ” ---- ====== “ DAY 2 “======

Kedua kakiku masih terasa pegal. Punggungku rasanya remuk. Kedua tanganku kaku. Telapak tanganku kesemutan.

Menjelang pagi hari sinar matahari masih saja redup. Kicauan burung hutan terdengar sayup-sayup. Angin besar sisa semalam benar-benar menusuk tulang. Pagi benar saya sudah bangun, mengabaikan godaan selimut yang sejak tadi meminta tubuh saya untuk bersembunyi saja didalamnya. Tidak mandi, tetap makan, jalan seharian. Ah rutinitas seperti ini biasa saya lakukan saat pendakian.

Ebes masih tertidur pulas dalam pelukan sleeping bag yang hangat. Dhoni sibuk mengabadikan sunrise dalam jepretan kameranya, sedangkan Ardian, Gufron, Tebo, Dinner, dan Dhoni dibawah terik matahari menghangatkan diri dari dinginnya pagi yang bercampur kabut. Saya sendiri memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri wilayah hutan, sekedar melepas hajat yang tertahan sejak kemarin malam.

“ Lii..” , Suara seorang perempuan memanggil namaku

“ Jam berapa sampai di sini? “, sosok tersebut sekarang tak lagi asing. Mbak Novi, seniorku dalam ekstrakulikuler pecinta alam. Tak kusangka momen liburan 3 hari ini ia manfaatkan juga untuk mendaki. Kulihat mbak Novi kecapekan, disusul seseorang dibelakangnya yang lama kelamaan aku mengenalinya. Mbak Jihann… Ya tuhan. Kebetulan macam apa ini, tak lama kemudian 2 perempuan manja tersebut merayu agar dapat tidur di tendaku.

Tenda dome dalam keadaan kosong, kami melanjutkan perjalanan sekitar 3 jam lagi setelah memasak perbekalan. Kurasa mereka bisa tidur untuk sementara waktu. Memasak adalah hal yang mudah. Hanya tinggal menyiapkan Nesting ( peralatan masak yang sering digunakan pecinta alam ) kemudian meracik beras dengan air dalam takaran yang pas. Kemudian menyalakan api, yaa itu hal yang mudah bagiku. Dan baru kusadari ketika 30 menit berlalu, beras memang sudah menjadi nasi, namun masih keras dan gosong dibagian pinggirnya. Ah, memasak ternyata sulit.

Kumakan nasi yang tak enak itu dengan baluran sarden ikan yang hangat. Harus mengisi tenaga, itu yang aku pikirkan.

Tepat pukul 9 pagi kami berberes-beres dan mengusir kedua betina itu dari mimpinya yang pulas. Kami harus segera menuju Lembah Kidang.

---- Lembah kidang – Watu gede – Puncak – Pasar Dieng ---- ====== DAY 3======

Di Lembah yang hijau penuh rerumputan inilah kami beristirahat, dibalik besarnya pohon kami berharap angin dingin bisa tertepis. Tempat ini sangat ideal bagi kami, dekat dengan sumber air, dataran yang empuk dan tentunya bukan jalan utama yang sering dilalui pendaki. Dapat kurasakan suara alam yang berbisik kepadaku. Angin sepoi-sepoi perlahan tapi pasti menidurkan kami dalam dekapan sleeping bag yang hangat. Aku bahkan membenamkan diriku dalam tumpukan pakaian yang tak ku pedulikan lagi kerapiannya.

Bintang-bintang mulai menggantikan sosok matahari sang bunda angkasa, hutan mulai menyuarakan hatinya, suasana saat itu ramai oleh beraneka ragam penghuni alam lainnya.

Dingin mulai menusuk kulit, beberapa teman memutuskan untuk membuat minuman wedang untuk menghangatkan badan. Sedangkan aku, terdiam dibalik tenda yang tertutup rapat, menunggu wedang hangat mengetuk pintu. Ku isi kekosongan waktu ini dengan membaca buku, aku tahu dengan membaca buku akan bisa membuatku lebih hangat. Pikiranku harus berfikir lebih keras agar dapat memahami kalimat puitis didalamnya. Proses itu yang menyebabkan aku menjadi hangat.

Sudah diputuskan oleh Dinner, tepat jam 2 dini hari kita berangkat menuju puncak. Hanya sunrise yang membuat kami menyetujui keputusannya. Aku memang bisa melihat sunrise setiap pagi dari sudut rumah di Surabaya. Tapi sunrise di puncak arjuna? Sungguh pengalaman yang sangat berharga.

Dum dum dum, suara dangdut Malaysia terdengar. Sial, apa tak ada nada lain untuk alarm selain dangdut Malaysia?. Mungkin Ebes menginginkan agar semua dapat terbangun dengan suka cita berjoget ria di kegelepan malam. Entahlah, hanya Tobes dan tuhan yang tahu. Namun entahlah, ketika semua sudah terbangun, Ebes enggan beranjak dari tenda. Hanya Ebes yang tahu jalannya. Kami pun pasrah saja mendapati Ebes tidak mau meneruskan perjalanan.

“ Nanti saja, Setengah 8 “. Kata Ebes sebelum menutup rapat-rapat sleeping bagnya. Suatu keanehan bagi Ebes yang sifatnya “Tatak” kemudian tak ingin beranjak dari tenda untuk melanjutkan perjalanan. Sudahlah, tidur lebih enak daripada berfikir.

---

PUNCAAKKK… Puncak sudah di depan mata. Kucatat 11:30 kami sampai di puncak. Dengan beberapa pendaki lainnya. Yang melewati berbagai jalur yang berbeda dengan kami. Bahkan suara angin pun terdengar seperti air terjun, sebegitu kencangnya. Sebelumnya kami sempat merenung ketika melihat kuburan bernisan, tertulis 27 februari 1999. Ada juga beberapa nisan dengan ukiran yang tak jelas. Kemungkinan itu adalah kuburan pendaki yang meninggal karena hipotermia. Hal ini membuat kami ingat akan kematian yang bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Kami berhati-hati sejak saat itu.

Syukurlah ada pendaki yang berbaik hati menawarkan makanan pengganjal perut. Memang suatu kesalahan hanya membawa perbekalan minuman saja dari lembah kidang. Kami melahap roti dan kacang layaknya memakan makanan dari surga. Bahkan kacang yang terjatuh pun tak segan untuk mengambil dan memakannya.

“Heee.. Heee…”, kataku sambil menunjuk pendaki dengan tas besar dan sebuah benda seperti selimut.

Dalam dingin yang menusuk ini ada saja pemandangan yang menarik untuk dilihat. Ada seseorang yang mencoba untuk berparalayang. Sungguh tak bisa dibayangkan betapa dinginnya menembus kabut di ketinggian 3339 mdpl.

Teringat besok sudah puasa, tak kuasa badan yang capek ini harus bergegas menuruni gunung.

“Klekk…”, Kakiku terkilir.

“ kenapa li? “ Tanya Ardian. “Haha, tak apa, hanya ranting patah karena ku injak”. Ucapku dengan menyembunyikan sakit ini. Terkilir tak akan menghambatku. Aku anak gunung.

Blek, blek, blek.. kulihat teman sudah berada jauh didepan. Seperti pelari saja mereka turun. Sempat terlintas dibenak untuk menggelinding saja menuruni bukit. Rasa sakit akibat terkilir mulai terasa. Ah, aku sudah tak kuasa lagi.

Mmm.. Kurasa teman-teman tersesat. Begitu juga denganku yang mengikuti mereka. Disuatu tempat yang sepertinya pernah dilewati beberapa pendaki. Karena aku melihat bungkus permen dan kaleng disekitar perjalanan. Pasar Dieng, kulihat plakat itu tepat disamping sepatuku, tertimbun oleh dedaunan dan ranting yang mengering. Perasaanku mulai tak enak. Teman-teman pun juga tak bisa menyembunyikan ketakutannya. Aku tahu ini pasti berkaitan dengan hal mistis. Hanya saja aku belum tahu kisahnya. Aku tak takut.

Dengan skill pecinta alam akhirnya kami semua dapat berjalan ke jalur yang benar. Cukup sulit untuk menemukan jalur di rimbunnya hutan arjuna. Hampir semuanya terlihat sama. Mendaki bebatuan di samping jurang merupakan usaha kami menuju jalan yang benar. Dan akhirnya, Alhamdulillah.

Dengan tenang teman-teman mulai santai dan bersyukur karena tidak tersesat lagi. Mereka menuruni gunung lagi seperti para pelari. Seolah melupakan kejadian di pasar dieng tadi.

Beberapa teman ternyata menungguku yang lama sekali dibelakang.

“ Guys, kalo turun ya turun aja. Ga usah nungguin gua “, ucap ku. “gua mah udah afal sama jalur tretes”. Tambahku untuk meyakinkan mereka.

“ Engga li, bareng aja. Berangkat bareng pulang kudu bareng “. Woo, perkataan mereka sejenak membuatku terharu dan bahagia.

“ Gini aja deh, aku turun duluan. Nanti kalian nyusul. Orang kaya gua mah ga butuh istirahat ya kuat-kuat aja, cuman ya lama aja jalannya”, dan mereka masih tak tahu apa yang terjadinya dengan kakiku, Ah, jika tak terkilir mungkin saja ada pelari lain yang akan menandingi teman-temanku. Aku.

Dalam perjalanan menuruni gunung ini aku memilih untuk menggunakan jalan kompas, sebuah jalan pintas yang memotong jalan berliku-liku. Jalan compass jarang dilewati pendaki. Dan hanya pendaki-pendaki yang sudah paham betul akan medan yang berani menggunakannya. Salah sedikit, bisa saja keluar dari jalur dan akhirnya tersesat.

Beberapa kali aku salah memasuki jalur yang aku kira jalan kompas, masuk lebih dalam kudapati tubuhku tersangkut dahan-dahan yang menjalar. Instingku mulai aktif. Aku kembali ke jalur semula karena aku tahu jalur ini sudah lama tak dilalui manusia. Bahkan di salah satu jalur kompas aku berjumpa dengan kuburan tanpa nama. Dengan bunga-bunga segar berserta kendi-kendi kusam di sekitarnya. Perasaan takut itu mulai datang, aku tahu ini sore dan sesegera mungkin aku harus keluar dari jalan kompas.

Jauh melangkah di jalan kompas, setelah berjumpa dengan kuburan tanpa nama. Aku merasa jalan ini semakin panjang. Aku jadi ragu apa benar ini jalan kompas atau hanya jalur reruntuhan batu vulkanik dan aliran air. Pikiranku jauh melayang, takut akan tersesat, takut akan kesendirian, dan takut akan kegelapan. Di dalam gelap jalan setapak sulit terlihat, salah-salah bisa masuk jurang nantinya. Apalagi tas yang aku bawa punya gufron, setelah aku keluarkan isinya ternyata hanya ada minuman, jas hujan, dan tripod. Tidak ada senter, headlamp, makanan atau apapun untuk mencukupi diriku hingga esok hari. Dengan ragu aku terus melangkah, sempat juga menangis mengira aku tersesat, dan ternyata jalan kompas ini benar. Hanya aku saja yang belum pernah melewati jalan ini.

Kuputuskan untuk tak melewati jalan kompas lagi, sudah 17:21 dan langit biru perlahan tergantikan oleh langit senja. Aku tahu sebentar lagi gelap. Hanya ada dua pilihan didalam benakku. Berhenti menunggu seseorang atau tetap berjalan dalam keremangan malam. Kakiku terus melangkah menuruni bukit. Aku menguatkan diriku, Awalii.. kalo kamu nunggu dijalur aman terus temenmu lewat jalur kompas, kalo nggak ketemu gimana?.

Langit sudah malam, dapat kulihat kelap-kelip di sela-sela dedaunan hutan. Aku dapat melihat kunang-kunang yang indah. Namun kunang-kunang dengan cahaya putih ini membuatku merinding sekaligus tertarik. Aku percepat langkahku. Dan Aaaaaa… sosok itu berada didepanku.

Tenang saja, hanya sosok pendaki lain yang sedang beristirahat.

“Mas, boleh join ngga? Ga bawa senter nih, dibawa sama teman dibelakang”

“gapapa mas, santai aja. Ini headlampku sampeyan bawa”. Sambil menyodorkan headlampnya.

Baik hati sekali mas-mas yang tenyata berasal dari Surabaya juga seperti aku.

“hanya 3 orang mas?” tanyaku dengan memandang mereka secara bergantian”

“ endak mas, rombongan orang banyak kok. Cuman temenku ini kakinya terkilir. Sialan tuh yang lain, bukannya nungguin malah ditinggal “

Teman macam apa yang sanggup meninggalkan temannya yang lain? Tanyaku dalam hati. Namun kudapatkan jawaban setelah tahu ketika rombongan mas-mas ini tidak semuanya saling mengenal. Mereka disatukan oleh poster Trip To Arjuna yang terpublis di grup facebook salah satu penggiat alam.

Mendengar suara gemerisik air, aku tahu pet bocor sudah dekat. Sudah 90 menit berlalu sejak melewati kop-kopan sendirian tadi. Dan akhirnya, hulala. Kami beristirahat di pet bocor, basecamp sekaligus tempat makan karena disana ada warung.

Beberapa temanku mulai turun satu persatu, dengan tempo yang cukup lama.

“ Bes, mana yang lain? Tebo, ardian? “

“ Masih dibelakang, Tebo kakinya kumat. Makanya agak lama ”

Ebes dan gufron yang datang kedua setelah aku, langsung saja menuju pos perizinan. Tanpa mampir di pet bocor dulu.

“ ngga mampir dulu bes? Fron? “

“ nggak, aku tunggu dibawah aja, kamu disini aja nunggu yang lain ”

Mmm.. menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Karena menunggu itu tak enak, maka dari itu tak ku tunggu. Mending njajan tempe menjes dan tahu isi di warung pet bocor. Tak terhinggu berapa gorengan yang telah terlahap. Aduh, bingung bayarnya ini nanti. Au ah, borong aja semua. Palingan juga dapat grosiran, haha.

“Oii ann.. lama banget.”. dari jauh kulihat seseorang menuruni gunung. Dan itu Ardian. Menyusul dibelakang juga. Dhoni, Dinner, dan Tebo. Muka kusut, badan dekil. Anak gunung banget rasanya ngeliat penampakan mereka.

Setelah puas beristirahat dan bercengkrama bercerita dengan kawan dan pendaki lama yang baru ditemui. Yang menceritakan kisahnya mendaki saat tahun 1998, banyak yang berubah saat ini, dulu sering ditemukan hewan buas seperti macan atau harimau, *saya lupa* saat melintasi jalur pendakian. Dan sebuah kolam indah 3 bagian di daerah pondokan. Namun kini sudah berubah menjadi batuan biasa layaknya reruntuhan sebuah peradaban.

Turun.. turun.. dan turun.. aku tahu kami semua lelah. Namun jangan sampai esok melewatkan kesempatan berharga. Puasa pertama bersama keluarga.

======== ON THE WAY ========

Aku berpegangan erat pada tiang-tiang bulat yang menggantung di atas kepala. Ardian, Tebo, Dinner, Gufrron, Ebes, & Dhoni berbaris tepat bak anak paskibra di sela-sela kursi penumpang. Wajahnya terlihat lelah. Kami tidak kebagian duduk. Selain manula, hanya ibu hamil yang berhak mendapat perlakuan istimewa di dalam bus.

Banyak kisah mulai dari suara siluman, tendangan tenda, bau kembang, pasar dieng, kuburan tanpa nama, 3 Pendaki dan lain sebagainya yang pasti tidak akan sempat saya ceritakan di sini.

Namun akan saya sempatkan cerita demi pembaca yang berbahagia ini. Didalam bus yang sumpek ini, dan hanya aku saja yang kebagian tempat duduk karena penumpang lain ada yang keluar sebelum sampai disurabaya. Aku sempatkan mengobrol, menghibur diri diatas penderitaan teman-teman yang berdiri.

Pada awal keberangkatan, dimana Ebes dan Dinner memilih membungkam mulut ketika aku bercerita mengenai suara macan. Ebes bilang itu adalah suara siluman yang mengintai para pendaki. Menunggu seseorang untuk dijadikan tumbalnya. Namun, aahh.. aku tak terlalu percaya. Mungkin saja memang siluman asli. Seumur hidup rasanya aku belum pernah bertemu dengan hal mistis. Selalu saja ada hal yang bisa dijelaskan dibalik sesuatu.

Kemudian kesaksian ardian ketika mencium bau kembang saat menuruni gunung. Dan setelah itu kami semua tersesat di wilayah bernama Pasar Dieng. Mitosnya, Pasar ini adalah pasar hantu. Banyak yang datang menyaksikan hiruk pikuk pasar di dekat puncak. Agak janggal memang, namun banyak saksi hidup. Mereka mengaku telah membeli sesuatu dari pasar dieng. Dan ketika pulang kerumah, didapati barangnya lenyap tak berbekas. Hanya tersisa uang kembalian yang secara ajaib berganti menjadi uang-uang kuno zaman kerajaan. Ada juga yang terperangkap dalam dunia “mereka” tanpa pernah kembali dalam waktu yang singkat.

Sebelum itu, di Lembah Kidang. Saat ketika Ebes menyanyikan lagu nasional dangdut malaysianya itu. Ternyata ada mereka dari dunia lain yang merasa terusik oleh suara yang mengganggu tersebut. Ebes menyaksikan sendiri bagaimana plastik yang tadinya diam tiba-tiba tertarik sesuatu tanpa ada angina ataupun hewan lainnya. Bayangan seseorang yang berputar mengelilingi tenda. Dan serangan fisik yang terjadi pada tenda. Seolah tenda dilempari batu oleh seseorang dari arah atas. Namun, Ebes tahu itu bukan batu. Dan karena alasan itu Ebes enggan beranjak dari tendanya saat pukul 2 dinihari. Ingat?

Kuburan tanpa nama dan 3 pendaki sepertinya sudah saya ceritakan diatas. Gunung merupakan tempat yang misterius. Kita tak tahu apa yang akan terjadi. Bahkan suara langkah sepatu yang berat pun saya dengar tanpa terlihat siapa pemiliknya. Kebetulan saat kesendirianku dengan hutan dilangit yang mulai menggelap itu bertepatan dengan bulan suci. Semua setan terbelenggu bukan? Itu cukup menenangkan hatiku sementara itu. Sungguh indah bulan Ramadhan.

==Tentang penulis==

Namaku Muhammad Yusuf Awali Taufiqi, Bersekolah di SMAN 16 Surabaya. Aku memang suka buku dan alam. 2 hal ini seolah tak bisa dipisahkan dari hidupku. Jika tak masuk teknik lingkungan, mungkin aku akan masuk ilmu komunikasi. Itu semua terbentuk dari beberapa kegiatan yang sekarang saya tekuni. Pecinta alam, Eco School. Dan Hai School Crew yang merupakan program dari majalah Hai. Seringkali dan senang rasanya aku mengikuti berbagai seminar. Jika ada sebuah gelar, mungkin salah satu gelar yang cocok ialah “event maniac” wehehe. Berkenalan dengan orang baru merupakan pengalaman tak terlupakan dalam hidupku.

Ini beberapa dokumentasi saat pendakian arjuna