warta herpetofaunabalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/warta-her...2019/03/01  · 2 warta...

53
Media Publikasi dan Informasi Dunia Reptil dan Amfibi Volume XI, No. 1, Maret 2019 WARTA HERPETOFAUNA Analisa habitat Labi-labi Bintang (Chitra chitra) Di Sungai Sempor, Sleman, DIY Dua Biawak Pohon Papua : Yang Tercantik dan Dilupakan Melacak Lelembut Raksasa Penunggu Sungai di Jawa

Upload: others

Post on 08-Sep-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

Media Publikasi dan Informasi Dunia Reptil dan Amfibi

Volume XI, No. 1, Maret 2019

WARTA

HERPETOFAUNA

Analisa habitat Labi-labi Bintang (Chitra chitra)

Di Sungai Sempor, Sleman, DIY

Dua Biawak Pohon Papua :

Yang Tercantik dan Dilupakan

Melacak Lelembut Raksasa Penunggu Sungai di Jawa

Page 2: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

6 Dua Biawak Pohon Papua : Yang Tercantik dan Dilupakan

9 Sosialisasi Penanganan Kasus Snake Bite & Menelisik Keberadaan Jenis

Herpetofauna di Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, Yogyakarta.

15 Tantangan dan Peluang Untuk Mengungkap Herpetofauna di KHDTK

Balitek KSDA Samboja, Kalimantan timur

19 Melacak Lelembut Raksasa Penunggu Sungai di Jawa

25 Survei awal analisa habitat ditemukannya Labi-labi Bintang (Chitra chitra)

Di Sungai Sempor, Sleman, DIY

34 Penjumpaan Dua Jenis Ular Genus Calamaria di Area Ekowisata Taman

Sungai Mudal, Kulon Progo,Yogyakarta

37 Sanca Kembang Kembali Hidup Bebas di Bumi Yogyakarta

39 Labi-labi Raksasa Temuan Warga Yogyakarta

42 Riam Angan Tembawang, Baksos Sekaligus Herping

44 Lakukan Pendataan Keanekaragaman Herpetofauna di Kawasan Gunung

Palung, Amfibi Reptil Indonesia Bentuk Tim Ekspedisi Cabang Panti Bersama Kamipala

46 Penyebab Penyu Mati Terdampar

50 #Saveherpetofauna

Volume XI, No. 1, MARET 2019

DAFTAR ISI

2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Page 3: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

3 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 3

25

6

34

40

42

9

19

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 3

Page 4: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

4 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Berkat Kerjasama:

Penerbit:

Perhimpunan Herpetologi Indonesia

Dewan Redaksi:

Amir Hamidy

Mirza D. Kusrini

Evy Arida

Keliopas Krey

Nia Kurniawan

Rury Eprilurahman

Pemimpin Redaksi

Donan Satria Yudha

Redaktur

Prio Penangsang

drh. Slamet Raharjo

Ratna Sari Ramadani

Tata Letak & Artistik

Ratna Sari Ramadani

Sirkulasi:

Kelompok Studi Herpetologi (KSH)

Fakultas Biologi UGM

KPH “Phyton” Himakova

Alamat Redaksi

Laboratorium Sistematika Hewan

Departemen Biologi Tropika

Fakultas Biologi

Universitas Gadjah Mada,55281

WhatsApp : 081392665990

LINE ID : donan_satria

E-mail : [email protected]

Foto cover luar :

Chitra chitra (Ikhsan Jaya)

Foto cover dalam:

Ophiophagus hannah (Hendy Eka Putra)

Tropidolaemus subannulatus (Hastin Ambar Asti)

Foto cover belakang :

Eutropis multifasciata (Ikhsan Jaya)

Volume XI, No. 1, MARET 2019

WARTA HERPETOFAUNA

Ophiophagus hannah

Fakultas Biologi UGM

Kredit foto : Hendy Eka Putra

Page 5: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

5 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 5

Edisi pertama Warta Herpetofauna (WH) di tahun 2019 telah terbit. Edisi kali

rubrik tetap mulai terisi penuh. Rubrik tetap tersebut adalah: Berita, Diversitas,

Komunitas, Zoonosia, Opini dan Profil. Pada beberapa rubrik tetap edisi kali ini, akan

banyak mengangkat cerita mengenai Labi-labi bintang (Chitra chitra). Pada awal tahun

2019, di Yogyakarta digemparkan dengan penemuan labi-labi bintang berukuran besar

di sungai daerah Sleman. Teman-teman dari komunitas, Museum Biologi UGM dan

Fakultas Biologi UGM melakukan beberapa penelitian mengenai keberadaannya.

Dapat dikatakan WH edisi ini adalah edisi Labi-labi bintang. Kami berharap teman-

teman yang tergabung dalam wadah “Sahabat PHI” dapat terus mengirimkan tu-

lisannya untuk WH, agar WH dapat terus menjadi lahan berbagi ilmu dan silaturahmi

antar semua anggota “Sahabat PHI”. Saya mewakili pengurus WH terus memohon

bantuan, masukan dan saran dari semuanya agar WH menjadi lebih baik.

Salam,

Redaksi

Donan

Tropidolaemus subannulatus

Kredit foto : Hastin Ambar Asti

REDAKSI MENERIMA SEGALA BENTUK TULISAN, FOTO, GAMBAR, KARIKATUR, PUISI

ATAU INFO LAINNYA SEPUTAR DUNIA AMFIBI DAN REPTIL. REDAKSI BERHAK UNTUK

MENGEDIT TULISAN YANG MASUK TANPA MENGUBAH SUBSTANSI ISI TULISAN

BAGI YANG BERMINAT DAPAT MENGIRIMKAN LANGSUNG KE ALAMAT REDAKSI

KATA KAMI

WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 5

Page 6: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

6 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

B iawak biru, Varanus macraei Böhme

& Jacobs, 2001 termasuk di dalam

kriteria IUCN “Terancam” (Endangered/EN) sejak

tahun 2017 karena persebarannya di alam yang

terbatas (endemik) di Pulau Batanta, Provinsi

Papua Barat. Jenis ini merupakan salah satu

jenis biawak dari Indonesia timur yang paling

diminati sebagai komoditas pet dengan harga

pasaran internasional untuk satu ekor hewan

dewasa berkisar di antara US$ 500 -1500.

Nama “macraei” digunakan untuk menyebut jenis

biawak pohon yang pola warnanya sangat

menarik ini dengan alasan penghormatan kepada

seorang herpetolog bernama Duncan MacRae.

Jenis biawak ini telah diusulkan menjadi

salah satu jenis-jenis biawak yang dilindungi di

Indonesia dengan pertimbangan endemisitas dan

kecilnya populasinya di alam. Biawak biru

diketahui hanya tersebar di Pulau Batanta (warna

merah pada peta) yang memiliki luas kira-kira

450 km2 dan terancam oleh pembalakan hutan

dan konversi lahan. Perdagangan jenis biawak ini

di tingkat internasional telah berlangsung sekitar

dua dasawarsa sejak pencandraannya di tahun

2001. Tidak diketahui besaran populasinya di

Pulau Batanta, sehingga keberlangsungan jenis

ini di habitatnya menjadi sangat

mengkhawatirkan.

BERITA

DUA BIAWAK POHON PAPUA : YANG TERCANTIK DAN DILUPAKAN

Oleh: Evy Arida*

*Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong , Jawa Barat

Page 7: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

7 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 7

BERITA

Biawak biru telah berhasil dikembangbiak-

kan secara ex situ, namun keberhasilan pe-

nangkaran ini tidak cukup nyata jika dibanding-

kan dengan perdagangannya yang diperkirakan

bernilai total hingga US$ 2 Juta. Ketiadaan

laporan mengenai keberhasilan penangkaran

Biawak biru di Indonesia bahkan semakin men-

imbulkan spekulasi tentang pengambilan jenis ini

secara langsung dari habitatnya untuk di-

perdagangkan ke luar negeri.

Rekomendasi resmi dari LIPI sebagai

Otoritas Keilmuan di Indonesia tentang konvensi

internasional perdagangan tumbuhan dan satwa

liar (CITES) untuk melindungi Biawak biru

dengan undang-undang di tingkat nasional tam-

paknya telah diabaikan dengan terbitnya Pera-

turan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

No. 20 tahun 2018 yang tidak menyertakan jenis

biawak ini di dalam daftarnya. Kejadian serupa

juga berlaku bagi jenis biawak pohon yang lain

asal Papua, yaitu Biawak kordo.

Biawak Kordo, Varanus kordensis (Meyer,

1874) termasuk di dalam kriteria IUCN “Kurang

Data” (Data Deficient/DD) sejak tahun 2016 kare-

na persebarannya yang terbatas di Pulau Biak,

Provinsi Papua Barat. Pulau Biak (warna hitam

pada peta) memiliki area seluas 2.455 km2 yang

dihuni oleh sekitar 115.000 jiwa dan mengalami

perluasan konversi lahan serta pembalakan

hutan. Perdagangan jenis biawak ini di tingkat

internasional mengalami kenaikan yang signifikan

pada periode 1987-2015 dan menjadi salah satu

ancaman bagi keberlangsungan populasinya di

alam. Jenis biawak yang mirip dengan Varanus

prasinus atau Biawak Hijau yang dilindungi

dengan PP7/1999 ini merupakan salah satu di

antara jenis-jenis biawak pohon yang diminati di

pasar internasional satwa liar dengan perkiraan

harga pasar US$ 600 untuk satu pasang hewan

dewasa.

Page 8: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

8 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Tanpa penjelasan atau dialog mengenai

dikeluarkannya kedua jenis biawak pohon terse-

but dari daftar jenis yang direkomendasikan LIPI

untuk dilindungi, selayaknya masyarakat pemer-

hati herpetofauna Indonesia perlu mempertan-

yakan alasannya. Hingga kini, belum jelas men-

gapa yang dua biawak pohon yang tercantik asal

Papua ini dilupakan begitu saja ketika muncul

urgensi untuk melindunginya dari pemanfaatan

yang cenderung tidak memperhatikan kelestari-

annya.

BERITA

Page 9: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

9 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 9

A. Sosialisasi Penanganan Kasus Snake Bite

& Pengenalan Jenis Ular

H ari Sabtu, 9 Februari 2019 Team

Rescue Animal Keeper Yogyakarta

diundang oleh Kepala Desa Ngalang di

Gunungkidul, Yogyakarta untuk menjadi

narasumber dalam acara sosialisasi penanganan

gigitan ular. Tingginya angka kasus gigitan ular di

Gunungkidul, membuat warga di Desa Ngalang

membutuhkan pengetahuan lebih banyak

mengenai pertolongan pertama saat terjadi

gigitan ular serta pengenalan jenis ular yang

berpotensi dijumpai di sekitar kawasan

pemukiman.

Team Rescue Animal Keeper Yogyakarta

(AKJ) yang terdiri dari Saliyo, Nur Rohmat,

Septian, Hank, Saktyari dan Bangkit melakukan

perjalanan dari Kota Jogja sekitar pukul 11.00

WIB. Hampir sekitar 2 jam perjalanan, kami pun

tiba di Balai Desa Ngalang. Acara pertama

dilakukan pembukaan oleh Kepala Desa,

kemudian di lanjutkan pemberian materi oleh

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)

Yogyakarta dan Ikatan Dokter Hewan

Gunungkidul mengenai konservasi dan informasi

medis seputar satwa liar.

Setelah itu dilanjutkan materi oleh Saktyari

mengenai pengenalan jenis ular berbisa dan

tidak berbisa yang umum dijumpai di sekitar

pemukiman warga. Pemateri menekankan

pengenalan jenis ular berdasarkan tipe habitat,

corak warna tubuh ular dan karakteristik

morfologi yang mudah dipahami oleh warga.

Saktyari juga menyampaikan tentang teknik

menghadapi ular saat bertemu di alam maupun

di dalam rumah. Teknik menangkap ular

disimulasikan menggunakan ular sanca batik

(Malayopython reticulatus) dan alat peraga

seperti snake hook dan grabstick.

Materi yang diberikan selanjutnya adalah

pertolongan pertama pada gigitan ular yang

dipaparkan oleh Saliyo dari AKJ. Pada awal

materi, Saliyo menekankan agar warga

mengurangi perburuan predator ular yang marak

dilakukan di Desa Ngalang. Berdasarkan

informasi yang didapatkan dari salah satu warga,

perburuan Garangan jawa (Herpestes javanicus)

yang menjadi salah satu predator ular cukup

sering dilakukan oleh warga setempat. Semakin

berkurangnya predator ular akan mengakibatkan

populasi ular yang tidak terkontrol. Hal ini

berpotensi mengakibatkan konflik ular dengan

manusia sehingga berujung dengan kasus snake

bite.

Materi yang disampaikan selanjutnya adalah

penanganan kasus gigitan ular. Menurut

standard WHO (World Health Organization),

penanganan pertama saat terjadi gigitan ular

adalah dilakukannya imobilisasi. Metode ini

dilakukan dengan cara mengurangi gerakan

SOSIALISASI PENANGANAN KASUS SNAKE BITE & MENELISIK

KEBERADAAN JENIS HERPETOFAUNA DI DESA NGALANG,

KECAMATAN GEDANGSARI, GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA.

Oleh : Saktyari*

*Animal Keeper Yogyakarta

BERITA

Page 10: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

10 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Gambar 1. Pemberian materi mengenai jenis-jenis ular oleh Saktyari (atas) dan penanganan pertama pada

gigitan ular oleh Salio (bawah)

BERITA

Page 11: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

11 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 11

yang berlebih pada lokasi gigitan, agar bisa ular

yang masuk melalui kelenjar getah bening tidak

cepat menjalar ke bagian vital tubuh. Saliyo

mempraktekan proses imobilisasi dengan

membuat balut bidai menggunakan kayu. Salah

satu warga yang sukarela praktek disimulasikan

tergigit ular di bagian kaki. Saliyo mengatakan

bahwa posisi bidai harus terikat kencang dan

ukuran panjang bidai mulai dari mata kaki hingga

bagian atas lutut, bertujuan untuk mengurangi

gerakan pada lokasi kaki yang tergigit. Setelah

simulasi selesai, dilanjutkan sesi diskusi tanya

jawab oleh warga. Secara keseluruhan warga

mulai memahami dan mengerti cara melakukan

penolongan pertama pada gigitan ular. Warga

menjadi lebih berhati hati jika sewaktu-waktu

beraktivitas di kawasan yang berdampingan

dengan habitat ular. Di akhir acara, Team

Rescue Animal keeper Jogja menghimbau

kepada warga Desa Ngalang untuk selalu

menjaga kelestarian dan keseimbangan

ekosistem.

Gambar 2. Team Rescue AKJ mempraktekkan cara imobilisasi bisa ular menggunakan bidai dari kayu

pada kaki salah satu warga.

BERITA

Page 12: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

12 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

B. Menelisik keberadaan Herpetofauna di

Desa Ngalang

Usai acara sosialisasi di Balai Desa, Team

Rescue Animal Keeper Jogja mempersiapkan diri

untuk observasi Herpetofauna di Desa Ngalang.

Kegiatan observasi ini bertujuan untuk

mengetahui jenis Herpetofauna apa saja yang

terdapat di Desa Ngalang, khusus nya jenis ular.

Hasil observasi diinfokan kembali pada warga

secara detail agar warga bisa lebih waspada

dalam melakukan aktifitas demi menghindari

konflik dengan ular.

Team Rescue Animal Keeper Jogja terlebih

dahulu singgah di kediaman drh. Retno yang

mengundang kami untuk beristirahat di

rumahnya. Setelah 3 jam beristirahat, kami

menuju lokasi observasi di salah satu kawasan

sungai dan persawahan di Desa Ngalang yang

dilaporkan sering dijumpai ular. Kami didampingi

oleh drh. Retno dan dua orang warga yang ikut

memandu observasi. Observasi dimulai pukul

21.00 WIB – 00.00 WIB dengan metode VES

(Visual Encounter Survey). Pengamatan diawali

dengan menelusuri area persawahan yang

ditumbuhi tanaman tebu, cuaca saat itu cerah

dengan suhu sekitar 21-23 0C dan kondisi

lembab karena sebelumnya turun hujan. Setelah

menelusuri persawahan, kami menuju habitat

perairan yang lokasinya tidak begitu jauh dari

lokasi observasi pertama. Saktyari dan Saliyo

menelusuri tepian sungai, sedangkan Septian,

Bangkit dan dua warga lokal menelusuri kawasan

terestrial di sekitar sungai.

Saktyari menemukan ular picung

(Rhabdophis subminiatus) pada tumbuhan perdu

dengan jarak 2 meter dari sungai. Beberapa

menit kemudian Septian dan Saliyo menemukan

dua individu ular tampar (Dendrelaphis pictus)

yang sedang beristirahat di cabang pohon asem

yang cukup tinggi dengan ketinggian sekitar 4

meter. Satu individu ular tampar kami tangkap

sebagai sampel untuk ditunjukkan kepada warga

Desa Ngalang. Jenis amfibi jarang ditemukan,

beberapa kali kami hanya melihat sekitar 2-3

individu Fejervarya sp. dan satu individu

Polypedates leucomystax.

Kami pun melanjutkan pengamatan di tepian

sungai, Saliyo menemukan ular kayu (Ptyas

korros) yang berada di cabang pohon dengan

ketinggian sekitar 2 meter. Ptyas korros yang

kami temukan memiliki panjang SVL (Snouth

Vent Length) 50 cm. Selanjutnya kamii

menemukan kembali satu individu Ptyas korros

yang berukuran cukup besar di pohon bambu,

kali ini Ptyas korros tidak bisa ditangkap karena

sulitnya jangkauan, sehingga informasi

morfometri dari ular tersebut tidak didapatkan.

Ular picung (Rhabdophis subminiatus) ditemukan

lagi di ranting pohon, yang berada persis di tepi

sungai berdampingan dengan bambu tempat

Ptyas korros ditemukan. Ular picung yang

ditemukan kemudian di tangkap untuk dijadikan

spesimen dari kawasan Kabupaten Gunungkidul.

Setelah berhasil menangkap ular picung, tim

kami bergegas melanjutkan observasi di

kawasan persawahan untuk mencari salah satu

spesies target yaitu ular weling (Bungarus

candidus).

Pada habitat sungai, kami menemukan tiga

jenis ular dengan jumlah individu yang berbeda.

Ular picung (Rhabdophis subminiatus) ditemukan

sebanyak dua individu, ular kayu (Ptyas korros)

ditemukan dua individu dan ular tampar

(Dendrelaphis pictus) ditemukan sebanyak tiga

individu. Berdasarkan hasil pengamatan ini, kami

menyimpulkan bahwa jenis ular yang ditemukan

cukup beragam dan habitat sungai di Desa

Ngalang ini cukup mendukung bagi kehidupan

herpetofauna.

Setelah keluar dari habitat sungai, kami

beristirahat sejenak di tepi sawah. Tidak lama

BERITA

Page 13: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

13 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 13

saat kami sedang beristirahat, datang seorang

warga yang mengetahui lokasi penjumpaan ular

weling (Bungarus candidus). Bersama warga

lokal yang baru bergabung dengan tim observasi,

kami pun berangkat menuju lokasi yang diduga

sering dijumpai ular weling. Rute yang kami lalui

yaitu aliran air selokan yang berada di tepi

sawah. Setelah berjalan sekitar 300 m, pemandu

kami yang berada di posisi paling depan tiba-tiba

berteriak karena melihat ular weling yang

melintas di depan nya. Saktyari, Septian dan

Saliyo bergegas menuju lokasi ular weling dan

menangkapnya dengan bantuan snake hook.

Snake hook berguna untuk menekan bagian

leher ular yang kemudian dilanjutkan Hand

capturing, dengan memegang bagian tengkuk

dan pangkal ekor ular. Selesai pengamatan, kami

bergegas kembali ke rumah Pak Dukuh untuk

melaporkan hasil pengamatan herpetofauna di

Desa Ngalang.

Berdasarkan hasil pengamatan Team

Rescue Animal Keeper Jogja di Desa Ngalang,

terdapat 6 jenis herpetofauna yang dapat dilihat

pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Dengan adanya kegiatan ini diharapkan

warga Desa Ngalang dapat mengerti cara

penanganan pertama kasus gigitan ular. Selain

itu mereka diharapkan memahami jenis-jenis ular

secara umum di sekitar pemukiman yang

sebagian besar berdampingan dengan habitat

satwa liar. Hal ini penting untuk disampaikan agar

konflik manusia dan satwa liar dapat dihindari.

Dalam hal terkait, Team Rescue Animal Keeper

Jogja terus berupaya dalam melakukan edukasi

kepada masyarakat terkait kepedulian

lingkungan, kasus gigitan ular, menanamkan

pesan konservasi dan penanganan

permasalahan satwa lainya, khususnya di

Daerah Istimewa Yogyakarta demi kelestarian

lingkungan maupun kesejahteraan bagi manusia.

Sekian dari kami, Team Rescue Animal Keeper

Jogja...Salam Lestari!

Tabel 1. Jenis Reptil yang ditemukan di Desa Ngalang, Bantul, Yogyakarta.

No Nama Jenis Nama Lokal Family/Suku Jumlah

Individu

1 Rhabdophis subminiatus Ular Picung Natricidae 2

2 Ptyas korros Ular Kayu Colubridae 2

3 Dendrelaphis pictus Ular Tampar Colubridae 3

4 Bungarus candidus Ular Weling Elapidae 1

8 Total

Tabel 2. Jenis Amfibi yang ditemukan di Desa Ngalang, Bantul, Yogyakarta.

No Nama Jenis Nama Lokal Family/Suku Jumlah

Individu

1 Polypedates leucomystax Katak Pohon Rhacophoridae 1

2 Fejervarya sp. Katak Tegalan Dicroglossidae 3

4 Total

BERITA

Page 14: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

14 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Gambar 3. Kegiatan pendataan Herpetofauna oleh Tim AKJ di Desa Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul

BERITA

Page 15: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

15 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 15

TANTANGAN DAN PELUANG UNTUK MENGUNGKAP HERPETOFAUNA

DI KHDTK BALITEK KSDA SAMBOJA, KALIMANTAN TIMUR

Teguh Muslim

Balitek KSDA

K egalauan dan rasa penasaran un-

tuk mengungkap misteri

(herpetofauna) di rumah sendiri (KHDTK Sam-

boja) menjadi alasan penulis untuk membuat

artikel ini. Bertujuan membuka peluang sekaligus

tantangan bagi herpetolog (er) di Indonesia.

Keanekaragaman jenis herpetofauna di Kaliman-

tan (Borneo) lebih banyak diungkap oleh banyak

peneliti asing. Hal ini tidak lepas dari kurangnya

minat dari generasi pemerhati dan penelitian di

bidang herpetologi. Beberapa alasan yang mung-

kin masuk akal yang paling sering diantaranya :

satwa yang menggelikan/menjijikkan yaitu katak/

kodok, satwa yang berbahaya yaitu ular. Oleh

sebab itu memang diperlukan keberanian dan

pengetahuan tentang herpetofauna. Ternyata

pengetahuan dan keberanian saja tidak cukup,

karena untuk melakukan survei harus dilakukan

pada malam hari. Sedangkan pada umumnya

masyarakat kita menyadari bahwa malam hari

adalah waktu istirahat, berkumpul dengan keluar-

ga setelah lelah melakukan aktivitas pada pagi

dan siang hari kecuali ada kompensasi untuk

kegiatan eksplorasi malam.

Banyak pertimbangan seseorang untuk

menekuni bidang herpetologi, karena menekuni

bidang tertentu adalah pekerjaan, penghasilan

dan kebutuhan hidup. Bahkan untuk sebagian

masyarakat beranggapan bahwa sebagian besar

herpetofauna adalah satwa kecil yang tidak terla-

lu penting. Sebagai contoh di Litbang LHK

sekalipun belum ada yang tertarik di bidang her-

petologi dan tampaknya keadaan di Balitek KSDA

juga sama. Sulit untuk memotivasi tenaga teknis

yang membantu peneliti untuk mengumpulkan

data jenis herpetofauna, karena pekerjaan sehari-

hari pada pagi-sore hari sehingga untuk survei

pada malam hari dilakukan diluar jam kerja. Be-

lum lagi resiko bekerja di dalam hutan pada mal-

am hari lebih tinggi dibandingkan siang hari.

KHDTK Samboja merupakan bagian dari

kawasan Taman Wisata Alam Bukit Soeharto

yang memiliki luas ± 61.850 Hektar ( berdasarkan

Keputusan menteri Kehutanan No. 270/Kpts-

II/1991 pada tanggal 20 Mei 1991 ) yang selanjut-

nya status berubah menjadi Taman Hutan Raya

Bukit Soeharto ( berdasarkan Keputusan Menteri

Kehutanan No. SK 419/Menhut-II/2004 pada

tanggal 19 Oktober2004 ). Kawasan Hutan

Penelitian Dengan Tujuan Khusus ( KHDTK )

Samboja di tetapkan berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor. SK 201/MENHUT-

II/2004 tentang penunjukan kawasan hutan

seluas ± 3.504 ( Tiga Ribu Lima Ratus Empat )

hektar pada kawasan Taman Wisata Alam Bukit

Soeharho di kabupaten Kutai karta Negara dan

kabupaten Penajam Paser Utara ( PPU ) Provinsi

Kalimantan Timur.

Untuk itu bersama artikel ini sekaligus

membuka peluang dan tantangan bagi para her-

petolog (er) muda untuk melakukan eksplorasi

(herping) di Kawasan Hutan Balitek KSDA

(KHDTK Balitek Samboja). Beberapa catatan

penting diantaranya, bahwa terdapat beberapa

trek yang cukup memadai untuk melakukan

herping. Trek-trek yang terdapat di KHDTK Sam-

DIVERSITAS

Page 16: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

16 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

boja cukup aman dan representatif untuk

melakukan survei herpetofauna (herping). Tidak

terlalu “angker” karena deru kendaraan masih

terdengar dari dalam hutan yang notabene-nya

dekat dengan jalan raya Samboja – Semoi –

Penajam yang menghubungan antara kabupaten

Kutai Kertanegara dengan kabupaten Penajam

Paser Utara. Fasilitas untuk bermalam yang

cukup memadai untuk kondisi di tengah hutan.

Kehadiran para herpetolog muda di KHDTK

Balitek KSDA tentunya diharapkan akan membu-

ka dan menggunggah minat bagi generasi di

Balitek KSDA sendiri dan tentu saja sangat

membantu dalam up-dating data herpetofauna di

Kalimantan Timur khususnya dan di Indonesia

pada umumnya.

Beberapa jenis herpetofauna yang sudah

ditemukan di KHDTK Samboja, diantaranya

dapat dilihat pada tabel 1.

No Bangsa Suku Jenis

1

Anura

Bufonidae

Ingerophrynus parvus

2 Duttaphrynus melanostictus

3 Leptophryne borbonica

4 Ingerophrynus divergens

5 Phrynoidis aspera

6 Phrynoidis juxtasper 7

Dicroglossidae

Limnonectes malesianus

8 Limnonectes paramacrodon

9 Limnonectes macrodon

10 Limnonectes leporinus

11 Limnonectes blythii 12 Limnonectes finchi 13 Limnonectes hascheanus

14 Fejervarya limnocharis

15

Ranidae

Pulchrana picturata

16 Pulchrana glandulosa

17 Chalcorana chalconata

18 Amnirana nicobariensis

19 Rhacophoridae

Polypedates leucomystax

20 Rhacophorus appendiculatus (katak pohon kaki bergerigi)

21

Squamata

Scincidae

Eutropis multifasciata

22 Dasia vittata

23 Eutropis rudis

24

Agamidae

Aphaniotis ornata

25 Gonocephalus grandis

26 Gonocephalus borneensis

27 Bronchocela cristatella

28 Draco volans

29 Varanidae

Varanus rudicollis

30 Varanus salvator 31

Phytonidae Malayopython reticulatus

32 Python breitensteini 33

Elapidae Ophiophagus hannah

34 Naja sputatrix

35

Colubridae

Chrysopelea paradisi 36 Macropisthodon rhodomelas

37 Macropisthodon flaviceps

38 Dendrelaphis pictus

39 Dendrelaphis caudolineatus

40 Homalopsidae

Enhydris enhydris

41 Homalopsis buccata

42 Testudinidae Manouria emys Testudinata 43 Geoemydidae Cuora amboinensis

Tabel jenis Herpetofauna di KDHTK Samboja Tahun 2015 - 2019

DIVERSITAS

Page 17: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

17 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 17

DIVERSITAS

Gambar 1. Lokasi Kawasan Hutan (KHDTK) Balitek KSDA

Gambar 2. Spot survei dan Shelter dalam Kawasan Hutan (KHDTK)

Page 18: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

18 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

DIVERSITAS

Gambar 3. Beberapa jenis ular dan amfibi yang ditemukan di KHDTK Balitek KSDA

Samboja

Page 19: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

19 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 19

A pakah Anda merasa ini tentang hal

gaib? Eits, jangan paranoid, ya.

Lelembut penunggu sungai ini adalah kelompok

reptil air tawar (Famili Trionychidae), Tuan

Raffless dahulu mengenalnya dengan softshell

atau tempurung lunak. Trionychidae biasa

disebut shoftshell karena memiliki tempurung

yang lunak, tulang tempurungnya mereduksi

sehingga tidak menutup sempurna seperti halnya

kura-kura dan penyu, justru karapas-plastronnya

ditutupi kulit daripada kepingan sisik, serta

hidung yang panjang seperti belalai kecil untuk

membantu bernafas saat berendam[1,4, 5].

Trionychidae dalam kamus Bahasa

Indonesia disebut Labi-Labi yang berasal dari

rumpun bahasa Melayu yang umum digunakan di

Sumatra. Anggota Trionychidae mampu tumbuh

besar mencapai ukuran raksasa, tetapi tidak

mudah untuk menemukannya lho. Cara hidupnya

yang soliter dan lebih senang berendam di aliran

sungai yang dalam menyebabkan tidak

sembarang orang mampu melihatnya, bahkan

dengan umpan sekalipun. Hal ini membuat

sebagian masyarakat, khususnya pemukim

bantaran sungai menyebutnya makhluk mitos

penunggu sungai. Mereka percaya jika ada yang

melihat Si Lelembut berukuran raksasa akan

mendapat sial, bahkan jatuh sakit. Masyarakat

pulau Kalimantan menyebutnya Bidawang,

masyarakat Jawa mengenalnya secara umum

dengan nama Bulus, Kedawang (Jateng-Jatim),

Kuya (Jabar)[5], sedangkan di kalangan warga

Madura disebut Ketempah. Nama-nama tersebut

ditujukan secara umum untuk semua anggota

Trionychidae.

Ada tiga spesies lelembut penghuni asli

sungai-sungai di pulau Jawa (Gambar 1.), yaitu

Amyda cartilaginea (Labi-labi Sawah), Dogania

subplana (Labi-labi Gunung), dan Chitra chitra

javanensis (Labi-labi Bintang)[1, 5, 7]. Labi-labi

Sawah merupakan jenis paling umum atau dapat

dikatakan lebih mudah ditemukan. Jika Anda

sedang jalan-jalan di sekitar sungai berlumpur,

rawa, atau waduk irigasi mungkin dapat

menjumpai labi-labi dengan karapas berukuran

sedang (dewasa mencapai 83 cm), berwarna

coklat kehijauan atau keabuan, memiliki bintik

kuning dengan guratan menonjol yang tajam[1, 5].

MELACAK LELEMBUT RAKSASA PENUNGGU SUNGAI DI JAWA

Hana Putra Wicesa, Ayudha Bahana Ilham P., Dian Sartika, Muhammad Malhan Amin, Budi

Setiadi Daryono

Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada

Gambar 1. Spesies asli anggota Trionychidae di Pulau Jawa

Amyda cartilaginea[9] Dogania subplana[7] Chitra chitra javanensis[4]

DIVERSITAS

Page 20: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

20 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Selain di Jawa, Labi-labi Sawah dapat ditemukan

di Sumatera, bahkan dengan kemampuan

masyarakat untuk membudidayakannya dapat

ditemukan juga di kepulauan lainnya di Indonesia[6, 8].

Labi-labi Gunung tersebar di wilayah

Indonesia barat, kecuali Bali, khususnya di

daerah hutan pegunungan dengan sungai

berarus pelan[1, 5]. Anda dapat mengenalinya

dengan karapas oval pipih yang berukuran kecil

(dewasa mencapai 30 cm), berwarna cokelat

kekuningan atau hijau pucat dengan bulatan

hitam dan garis hitam di sepanjang tulang

belakangnya. Kepalanya berukuran besar,

bagian pipi dan sisi samping leher kemerahan,

serta moncong bengkok ke bawat yang lebih

pendek[1, 5, 7].

DIVERSITAS

Leces, Probolinggo Kedung Wuni, Tanjung Barat, Jakarta Selatan

Kedung Babi, Tanjung Barat, Jakarta Selatan Kedung Sahong, Tanjung Barat, Jakarta Selatan

Kedung Kuda, Tanjung Barat, Jakarta Selatan Kedung Kuda, Leteng Agung, Jakarta Selatan

Gambar 2. Lokasi Pengamatan

Page 21: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

21 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 21

Jenis terakhir, Labi-labi Bintang atau

Senggawangan dalam bahasa Betawi menjadi

lelembut mitos yang paling sulit ditemukan,

apalagi dicari. Kemunculannya tercatat tidak

lebih dari jumlah semua jari di kedua tangan

manusia[2, 3]. Jika Anda tidak sengaja (red:

beruntung) menjumpainya sedang muncul di

permukaan air atau malahan keluar dari sungai,

kemudian menuju hamparan pasir yang luas

untuk bertelur, ini yang perlu Anda kenali darinya.

Ukurannya yang raksasa dengan panjang total >

1 m, berwarna coklat gelap, corak punggung

dengan garis yangsedikit, tidak terdapat garis di

tulang vertebral, corak garis berbentuk lonceng di

anterior karapas mendekati leher, dan garis X di

antara mata[1, 3, 4, 7].

Kali ini pembahasan akan lebih

mengerucut pada jenis lelembut raksasa, si mitos

sungai di Jawa, yaitu C.c. javanensis. Catatan

temuan yang dimulai sejak tahun 1908 hingga

1997 yang kemudian dikoleksi oleh Museum

Zoologicum Bogoriense (MZB) di Cibinong hanya

berasal dari tiga lokasi, yaitu Tanjung Priok

(1908); Bengawan Solo di Bojonegoro (1987 dan

1999); Leces daerah perbatasan Probolinggo-

Pasuruan (1997); dan Jakarta Selatan (1977 dan

1978)[3, 4]. Setelah 22 tahun dari koleksi terakhir

MZB, C.c. javanensis muncul kembali di area

padat penduduk, tepatnya di Tanjung Barat,

Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada November

2011. Warga menemukannya di Kali Ciliwung

yang berjarak 500 m dari pemukiman. Pertama

kali terlihat sepasang yang muncul ke permukaan

(diduga saat masa kawin) kemudian saat akan

ditangkap, si betina berhasil lolos sedangkan si

jantan tertangkap di kedalaman 20 m. C.c.

javanensis yang tertangkap itu berbobot 120 kg,

panjang 1400 cm, dan lebar 90 cm[2]. Raksasa

nggak tuh?Individu ini kemudian diambil oleh

pihak BKSDA Jakarta dan diserahkan di Kebun

Binatang Ragunan untuk dirawat (Pers.com: Ali

dan Udin 2017).

Beranjak dari berita yang menghebohkan

tadi, kami mencoba menawarkan ide

penelitiannya untuk mempelajari lebih lanjut

tentang seperti apa habitat, perilaku, dan

persebarannya di Jawa. Harapannya dapat

melengkapi informasi dasar yang sampai

sekarang masih sebatas deskripsi morfologi,

setelah spesies ini dipisahkan menjadi sub

spesies dari Chitra chitra tahun 2003[7]. Ide

penelitian ini mendapat apresiasi berupa dana

hibah dari lembaga konservasi internasional,

Mohammed Bin Zayed Conservation Fund yang

dilakukan pada tahun 2017. Landasan penelitian

yang difokuskan pada distribusi C.c. javanensis

mengacu pada catatan literatur penelitian, berita,

dan informasi warga. Selain itu ancaman dari

aktivitas manusia semakin mendesak populasi

C.c. javanensis yang memang belum ada

gambaran sama sekali. Sehingga titik pertama

yang kami datangi adalah Tanjung Barat

(Gambar 2.), berdasarkan berita terakhir

ditemukan.

Sungai Ciliwung di Tanjung Barat pada

bulan Agustus 2017 memasuki musim kemarau

meskipun sempat hujan beberapa kali tetapi

debit sungai memang sedikit. Kontur sungai yang

berkelok-kelok, nge-liwung dalam bahasa Betawi,

serta tebing yang cukup curam menyebabkan

penjelajahan kami tidak dapat menjangkau ke

banyak titik lebih jauh dari lokasi penemuan

tahun 2011. Selama pengamatan yang kami

lakukan selama seminggu dengan berpindah

lokasi dari hilir menuju hulu, Kedung Wuni (RT 10

Tanjung Barat) sebagai titik penemuan 2011,

Kedung Babi, Kedung Sahong, dan Kedung

Kuda(RT 05 Tanjung Barat)berdasarkan saran

dan informasi warga. Kedung Wuni

(06o19’00.8”S106o50’44.6”E) yang berada di

belakang Lapangan Tembak Brimob ini memiliki

diameter paling sempit (5-7 m), substrat lumpur

DIVERSITAS

Page 22: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

22 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

batu, dan banyak pohon Buni (Antidesma bunius)

maupun rumpun bambu. Kedung Babi dan

Kedung Sahong berjarak 100 m dari sentra

produksi tempe tahu milik Primkopti Jakarta

Selatan, sekitar 700 m dari Kedung Wuni,

memiliki diameter 8-20 m, berkontur landai

sedangkan di tepian beralur sedalam 8-12 m

dengan beberapa ceruk yang membentuk

pusaran, lokasinya cukup terbuka, vegetasi lebih

banyak semak dan perdu, substrat lempeng batu

dan arus yang tenang. Kedung Kuda berjarak 2

km dari Kedung Wuni, berdiameter 10 m dan

baru saja mengalami longsor saat itu, berarus

cukup kuat dengan kedalaman sekitar 3 m. Kami

mencoba meletakkan jebakan menggunakan ikan

Bandeng (Chanos chanos) segar tetapi nihil.

Meskipun kami berpindah-pindah dan mencoba

menjebaknya, tetapi tidak pernah menjumpai

secara langsung bahkan sisa kehadirannya.

Kami juga melacak keberadaan C.c. javanensis

di Sungai Brantas, Leces, Probolinggo

(07o44.415’S 112o56.971’E) yang terletak di Jawa

Timur[3, 4, 7], sesuai catatan terakhir dari koleksi

MZB namun juga nihil karena kondisi sungai

yang sempit, terbuka tanpa vegetasi yang

berpotensi sebagai pelindung, dankeberadaan

dam yang digunakan sebagai irigasi sawah.

Memang sulit melacak lelembut raksasa ini,

kami kemudian mendata organisme perairan

yang berpotensi menjadi pakan alaminya baik

dengan pengamatan langsung di sungai, pasar

sekitar, dan wawancara dengan warga yang

tersaji dalam Tabel 1. dan Gambar 3. berikut ini.

Tabel 1. Fauna Sungai Ciliwung, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Jakarta Selatan pada tahun 2017

Lokasi Nama Lokal Nama Latin Sumber Keterangan

Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Wuni

Bulan-bulan - Wawancara Introduksi , mirip Bandeng tetapi lebih panjang dan lebar

Kedung Babi Kedung Sahong Kedung Wuni

Lawak Barbonymus sp. Wawancara Mirip Tawes ekor merah

Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni

Tenggehet Barbonymus sp. Pengamatan Wawancara

Mirip Tawes

Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni

Lempalung Hampala macrolepidota Wawancara

Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni

Melem Osteochilus vittatus Wawancara

Kedung Babi Kedung Kuda

Mujair Oreochromis mossambicus Wawancara

Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Sahong Kedung Wuni

Sapu-sapu Hypostamus sp. Pengamatan Wawancara

Introduksi

Kedung Babi Kedung Sahong

Bandeng Chanos chanos Wawancara Introduksi

Kedung Babi Kedung Kuda Kedung Wuni

Udang sungai Udang galah

Macrobrachium sp. Macrobrachium rosenbergii

Pengamatan Wawancara

- Muncul setelah banjir 2007

Kedung Wuni Kedung Sahong

Rajungan Portunus sp. Pengamatan

DIVERSITAS

Page 23: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

23 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 23

C.c. javanensis jika merujuk literatur dari

spesies kerabatnya di Thailand, merupakan

omnivora perairan tawar[1, 4, 5, 7], sehingga dengan

bervariasinya organisme perairan lainnya yang

tersedia diduga semua spesies tersebut

berpotensi menjadi pakannya, terlebih ukurannya

yang lebih kecil. Karena tidak dapat menjumpai

lelembut ini secara langsung di habitat alaminya,

maka kami tidak dapat memastikan jenis pakan

spesifik mana yang disukai ataupun dihindarinya.

Jika melihat kondisi sungai dan bantaran

Ciliwung, memang patut diduga jika spesies ini

disebut lelembut karena perilakunya yang soliter

dan lebih sering berendam, lebih sering muncul

ke permukaan saat masa kawin-bertelur

(kebiasaan Trionychidae). Selain itu kompetisi

dengan Biawak (Varanus salvator) maupun

spesies omnivora perairan tawar lainnya dalam

mengakses makanannya. Ikan di Sungai

Ciliwung lebih melimpah dan sering muncul ke

permukaan saat malam hari, sehingga predator

ikan termasuk C.c. javanensis diduga kuat aktif

berburu saat malam (Pers.com: Ali dan Udin

2017). Ancaman perburuan dan perdagangan

untuk makanan, obat, dan koleksi[8], serta

desakan pada habitatnya berupa pencemaran

DIVERSITAS

Tenggehet (Barbonymus sp.) Udang Sungai (Macrobrachium sp.)

Bang Ali (kiri), Udin (kaos coklat), dan Tim Peneliti Sapu-sapu (Hypostamus sp.) hasil tangkapan warga

Gambar 3. Organisme yang berpotensi sebagai pakan Chitra chitra javanensis di Sungai Ciliwung

Page 24: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

24 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

dan alih fungsi bantaran menjadi bangunan

menyebabkan hilangnya rumpun salak (Salacca

zalacca) yang melimpah di sekitar Ciliwung tahun

1990an (Pers.com: Ali 2017), sehingga diduga

dengan hilangnya vegetasi yang berpotensi

sebagai pelindung sarangnya menyebabkan C.c.

javanensis membatasi pergerakannya sebagai

bentuk adaptasi.

Pemerintah melalui Kementerian KLHK

telah melakukakan upaya perlindungan dan

konservasi C.c. javanensis melalui Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya. Sebenarnya ancaman dan

upaya perlindungan yang sama juga dialami oleh

anggota Trionychidae yang lain seperti kehadiran

spesies invasif,yaitu Pelodiscus sinensis dan

Pelochelys cantorii yang berasal dari daratan

Indo-Cina melalui perdagangan hewan eksotis[5, 7,

8]. Bahkan masyarakat telah mampu melakukan

penangkaranbeberapa spesies sebagai upaya

memenuhi permintaan pasar[6], alih-alih sebagai

pengganti perburuan terhadap spesies lain yang

‘langka’. Meskipun demikian, kesadaran kita

untuk mengurangi konsumsi plastik dan barang

turunan yang sekali pakai dan limbah minyak

sebagai pemicu kerusakan habitatnya akan

sangat bermanfaat. Mungkin dalam waktu-waktu

ke depan akan lebih sering muncul ‘makhluk

aneh’ bahkan dalam kondisi mati akibat dari

hilangnya area yang berfungsi sebagai

habitatnya.

Daftar Rujukan

[1] Das, I. 2010. A field guide to the reptiles of Southeast Asia. New Holland: London [2] detikNews. 2011. Wah! Kura-kura raksasa nongol di Lenteng Agung. https://m.detik.com/news/

berita/d-1767314/wah-kura-kura-raksasa-nongol-di-lenteng-agung, diakses tanggal 13 Februari 2019.

[3] Iskandar, D. T. 2004. On the giant Javanese softshelled turtles (Trionychidae). Hamadryad Vol. 28, No. 1&2: 128-130.

[4] McCord, W. P. and Pritchard, P. C. H. 2002. A review of the softshell turtles of the genus Chitra, with the description of new taxa from Myanmar and Indonesia (Java). Hamadryad Vol. 27, No. 1: 11-56.

[5] Mumpuni. 2011. Kerabat labi-labi (suku Trionychidae) di Indonesia. Fauna Indonesia Vol. 10, No. 2: 11-17.

[6] Purwantono, M. D. Kusrini, dan B. Masy’ud. 2016. Manajemen penangkaran empat jenis kura-kura peliharaan dan konsumsi di Indonesia. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 13, No. 2: 119-135.

[7] Rhodin, A. G. J., J. B. Iverson, R. Bour, U. Fritz, A. Georges, H. B. Saffer, and P. P. van Dijk. 2017. Turtles of the world: Annotated checklist and atlas of taxonomy, synonymy, distribution, and conservation status (8th Ed.) dalam Rhodin, A.G.J., J. B. Iverson, P. P. van Dijk, R. A. Saumure, K. A. Buhlmann, P. C. H. Pritchard, and R. A. Mittermeier (Eds).Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises: A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs 7. doi: 10.3854/crm.7.checklist.atlas.v8.2017.

[8] van Dijk, P. P., B. L. Stuart, and A. G. J. Rhodin. 2000. Asian Turtle Trade: Proceedings of a Workshop on Conservation and Trade of Freshwater Turtles and Tortoises in Asia. Chelonian Research Foundation: Massachusetts.

[9] Auliya, M., P. P. van Dijk, E. O. Moll, and P. A. Meylan. 2016. Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) –Asiatic Softshell Turtle, Southeast Asian Softshell Turtle dalam A.G.J. Rhodin, P.C.H. Pritchard, P.P. van Dijk, R.A. Saumure, K.A. Buhlmann, J.B. Iverson, and R. A. Mittermeier(Eds.). Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises: A compilation project of the IUN/SSC tortoiseand freshwater turtle specialist group. Chelonian Research Monographs No. 5 doi:10.3854/crm.5.092.cartilaginea.v1.2016

DIVERSITAS

Page 25: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

25 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 25

L abi-labi bintang (Chitra chitra) ada-

lah kura-kura air tawar yang

cangkangnya lunak tanpa sisik keras. Labi-labi

bintang di Indonesia merupakan jenis yang

langka dengan persebaran yang terbatas di Su-

matera bagian timur dan Jawa. Persebaran

jenis ini di Jawa berada di Pulau Karimun Jawa,

Ciliwung dan Bengawan Solo (Das, 2010;

Pough, et al, 1998; Iskandar, 2000).

Pada tanggal 31 Januari 2019 sekitar

pukul 17.00 WIB, warga Desa Manyaran

menemukan seekor labi-labi bintang berukuran

besar di Sungai Sempor. Keesokan harinya labi-

labi bintang tersebut dibawa oleh BKSDA Yog-

yakarta dan dititipkan di Kebun Binatang Gembi-

ra Loka (GL Zoo) untuk dirawat dan diperiksa

kondisinya. GL Zoo merupakan Lembaga Kon-

servasi yang telah memiliki ijin, dan berada di

wilayah BKSDA Yogyakarta.

SURVEI AWAL ANALISA HABITAT DITEMUKANNYA LABI-LABI BINTANG

(Chitra chitra)

Di Sungai Sempor, Sleman, DIY

Donan Satria Yudha1, Rury Eprilurahman2, Irwanjasmoro3, Yohannes Supramono4

1. Museum Biologi UGM 2. Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, UGM 3. Wild Water Indonesia 4. Pemerhati Kura-kura

Gambar 1. Sungai Sempor, Sleman DIY, lokasi ditemukannya Labi-labi bintang (Chitra chitra). Pak Irwan (kaos hitam di tengah sungai) sedang mengamati substrat. Titik dimana Pak Irwan mem-bungkuk adalah titik dijumpainya labi-labi bintang tersebut.

DIVERSITAS

Page 26: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

26 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Penemuan labi-labi bintang di wilayah

Propinsi DIY merupakan rekaman data baru, ka-

rena sebelumnya tidak ada rekaman data

mengenai labi-labi bintang di DIY (Iskandar,

2000; McCord & Pitchard, 2002; Iskandar 2004;

Perdamaian dkk, 2017).

Kami Tim Peneliti Herpetofauna dari Mu-

seum Biologi UGM dan Fakultas Biologi UGM

belum mengetahui secara pasti bagaimana habi-

tat labi-labi bintang dan bagaimana labi-labi bin-

tang tersebut bisa berada di Sungai Sempor.

Penelitian kali ini guna mengetahui potensial

habitat labi-labi bintang dan keberadaan labi-labi

bintang di Sungai Sempor, Sleman DIY. Data

tersebut dapat digunakan sebagai referensi guna

penelitian lanjutan maupun konservasi wilayah

yang lebih baik lagi untuk labi-labi bintang di DIY.

Labi-labi merupakan kura-kura air tawar

tempurung lunak yang dikelompokkan ke dalam

suku Trionychidae. Terdapat tiga jenis labi-labi

dari genus Chitra di dunia, yaitu: Chitra indica,

Chitra chitra, dan Chitra vandijki. Persebaran

alami Chitra indica berada di Bangladesh, India,

Nepal dan Pakistan. Persebaran alami Chitra

chitra berada di Thailand, Malaysia dan Indone-

sia terutama di Jawa. Persebaran alami Chitra

vandjiki berada di Myanmar, di Sungai

Ayeyarwadi, Chindwin dan kemungkinan Sungai

Sittaung (Pough, et al, 1998; Iskandar, 2000;

Das & Singh, 2009; McCord & Pitchard, 2002;

Platt, et al, 2014).

Di Indonesia terdapat tujuh jenis kura-

kura tempurung lunak dari suku Trinoychidae,

yaitu: Chitra chitra (Labi-labi bintang), Pelochelys

Gambar 2. Morfometri Labi-labi bintang (Chitra chitra) di kolam sementara BKSDA Yogyakarta sebelum dipindahkan ke GL Zoo.

DIVERSITAS

Page 27: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

27 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 27

Labi-labi bintang (Chitra chitra) yang ditemukan di Sungai Sempor, Sleman DIY dalam proses pemindahan ke GL Zoo, setelah dilakukan analisis morfologi dan morfometri.

DIVERSITAS

Page 28: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

28 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

cantori (Labi-labi raksasa, Antipa), Pelochelys

bibroni (Labi-labi Irian), Lissemys punctata (Labi-

labi katup), Dogania subplana (Labi-labi hutan),

Amyda cartilaginea (Bulus) dan Pelodiscus

sinensis (Labi-labi Cina). Jenis labi-labi Cina

merupakan hewan introduksi (Iskandar, 2000).

Perbedaan Chitra chitra (labi-labi bintang)

dengan Chitra indica (labi-labi India) berdasarkan

ukuran tubuh maksimal dewasa dan pola corak

tubuh. Labi-labi bintang dapat mencapai ukuran

panjang maksimal tubuh 140 cm dan berbentuk

lonjong, sedangkan labi-labi India hanya 60 cm

dan berbentuk bulat. Kemudian pola corak tubuh

Labi-labi bintang: perisai berwarna hitam atau

coklat dengan garis-garis putih yang mengarah

keluar, dan pada daerah marginal juga terdapat

bercak-bercak putih, bagian ujung moncong ter-

dapat dua garis putih ditepiannya, dan ada tanda

mirip garis silang diantara dua mata. Labi-labi

India: perisai berwarna hitam atau coklat dengan

warna putih berupa bercak-bercak dan meman-

jang tidak simetris, dan tidak membentuk pola

tertentu, bagian ujung moncong tanpa dua garis

ditepiannya dan tanpa pola garis silang diantara

dua mata (Iskandar, 2000; McCord & Pitchard,

2002).

Menurut McCord & Pitchard (2002) jenis

Chitra chitra memiliki dua anak-jenis yaitu: Chitra

chitra chitra dan Chitra chitra javanensis. Chitra

chitra javanensis (labi-labi bintang Jawa) mem-

iliki ciri-ciri: warna tubuh keseluruhan gelap, teru-

tama bagi individu muda; tidak memiliki garis-

garis karapas vertebral bagian tengah dan lateral

(lacking of midline and lateral vertebral carapa-

cial stripes); tubuh cenderung seperti bentuk lon-

ceng pada bagian anterior karapas; pola garis

silang “X” diantara mata; tidak ada ocelli parsial

diantara atau dibelakang mata; terdapat bercak

besar dan ocelli dibagian dagu; garis costal lebih

memanjang.

Gambar 4. Labi-labi bintang (Chitra chitra) yang ditemukan di Sungai Sempor, Sleman DIY dan telah berada di kolam sementara GL Zoo.

DIVERSITAS

Page 29: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

29 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 29

Habitat dari Chitra indica adalah di sungai

-sungai berukuran besar dan sedang, dengan

turbiditas (kekeruhan) rendah dan dasar berupa

substrat berpasir, kadang dijumpai di lekukan

(busur, kuk, oxbow) anak sungai yang berpasir,

berpalung (Das & Singh, 2009; Das & Gupta,

2011). Jenis ini memakan ikan, katak dan molus-

ka (Prashad, 1914 dalam Das & Singh, 2009),

dan kemungkinan besar cara makannya bertipe

menyergap mangsa dengan menyembunyikan

sebagian besar tubuhnya dibawah pasir dan lum-

pur dasar sungai, hanya menyisakan ujung mon-

cong diatas permukaan substrat (Pritchard, 1984

dalam Das & Singh, 2009). Beberapa individu

dari Bangladesh memakan kepiting dan udang,

karena dijumpai sisa-sisa karapas dan kaki kepit-

ing serta udang, selain sisa karapas moluska dan

tulang ikan (Das & Singh, 2009).

Habitat Chitra chitra adalah sungai-sungai

besar dengan substrat berpasir dan berlumpur

(Kitimasak, et al, 2005). Berdasarkan penelitian

dari van Dijk and Thirakhupt (1995), Chitra chitra

diasosiasikan dengan air yang jernih dan bersih,

tetapi beberapa data lain menyebutkan bahwa

Chitra chitra juga dijumpai pada air keruh (turbid)

di Sungai Mae Klong. Chitra chitra mampu hidup

pada sungai keruh tetapi kurang optimal

(Kitimasak, et al, 2005).

Habitat dari Chitra vandjiki adalah di

sungai-sungai berukuran besar dan sedang di

dataran rendah, dengan tepian berupa substrat

berpasir, dan belum banyak diketahui mengenai

habitat dan ekologi dari jenis ini. Pakan alami

jenis ini adalah ikan, moluska, kepiting, udang

dan tumbuhan air (Smith 1931; Nutaphand 1979

dalam Platt, et al, 2014).

Berdasarkan referensi tersebut diatas,

dapat disimpulkan bahwa habitat potensial bagi

Chitra chitra adalah: sungai-sungai berukuran

besar dan sedang, dengan turbiditas (kekeruhan)

rendah dan dasar berupa substrat berpasir. Ka-

dang dijumpai di lekukan (busur, kuk, oxbow)

anak sungai yang berpasir, berpalung.

Pengambilan data kemungkinan habitat

Chitra chitra dilakukan di Sungai Sempor, wi-

layah Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Ka-

bupaten Sleman tempat ditemukannya labi-labi

bintang oleh warga. Penelitian dilakukan pada

hari Minggu, 10 Januari 2019, pukul 09.00 sd

11.30 WIB.

Data yang diambil adalah: lebar sungai,

kedalaman sungai, komposisi substrat di dasar

sungai, kedalaman ceruk ditepian sungai, keke-

ruhan air sungai, dan koordinat lokasi

dijumpainya labi-labi bintang menggunakan GPS

(Global Positioning System).

Proses pengambilan data dengan urutan

sebagai berikut: pertama ditentukan tiga titik

sampling guna pengambilan data lebar sungai,

kedalaman sungai, dan kedalaman ceruk.

Penentuan tiga titik sampling dimulai dari titik

sampling satu yaitu tempat ditemukannya labi-

labi, kemudian memanjang ke sisi selatan sepan-

jang 15 m guna menentukan titik sampling kedua

dan ketiga. Pengambilan data lebar sungai,

kedalaman sungai, dan kedalaman ceruk dengan

pengukuran langsung menggunakan meteran

pada setiap titik sampling. Pengukuran kedala-

man sungai dan ceruk dibantu dengan snorkel

full face untuk memudahkan melihat dasar

sungai dan ujung ceruk.

Selanjutnya yang kedua, dilakukan

penghitungan komposisi substrat sungai secara

kualitatif, yaitu tiap titik sampling ditentukan pan-

jang sungai 5 m, setiap 5 meter panjang sungai,

dilakukan persentase secara kualitatif mengenai

komposisi pasir, batu dan lumpur pada substrat

sungai. Kemudian mengambil sampel hewan air

yaitu: ikan, udang dan moluska di area sepan-

jang 5 meter. Lebar badan air diukur dari badan

air terlebar dan tersempit pada area 5 meter.

Kedalaman sungai diukur pada titik terdalam pa-

DIVERSITAS

Page 30: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

30 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

da area 5 meter, dan kedalaman cerukan ditepi-

an sungai diukur semua. Profil melintang sungai

dilakukan dengan memotret sisi hulu dan sisi

hilir. Profil sungai penting untuk mengetahui

lebar sungai, adanya palung, cerukan ditepian

dan jenis substrat.

Proses ketiga adalah wawancara dengan

pemancing dan warga disekitar tepian sungai.

Wawancara dilakukan untuk mengetahui jenis-

jenis kura-kura dan labi-labi yang pernah ter-

tangkap pemancing dan warga. Dalam proses

pengambilan data tersebut, kami dibantu oleh

pihak BKSDA Yogyakarta, Mas Ilham Bahana

(alumni Pascasarjana Fakultas Biologi UGM),

Mas FX Sugiyo Pranoto (Frans) staf Museum

Biologi UGM, mahasiswa Kelompok Studi Her-

petologi (KSH), Fakultas Biologi UGM yaitu

Luthfi Fauzi, Hendy Eka Putera dan mahasiswa

skripsi fosil kura-kura yaitu Fidelis Aritona.

Gambar 5. Tim peneliti dari Museum Biologi UGM, Laboratorium Sistematika Hewan serta Kelompok Studi Herpetologi Fakultas Biologi UGM, BKSDA Yogyakarta, Wild Water Indonesia sedang meneliti lokasi ditemukannya Labi-labi bintang (Chitra chitra).

DIVERSITAS

Page 31: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

31 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 31

Gambar 6. Pengukuran lebar dan kedalaman sungai, pengukuran suhu air, pengambilan sampel sub-

strat dan pengambilan sampel fauna sungai sebagai data penunjang analisis habitat labi-

labi bintang.

Gambar 7. Pengukuran lebar dan kedalaman sungai dilakukan oleh mahasiswa Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi UGM.

DIVERSITAS

Page 32: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

32 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Pengambilan data lingkungan dan pengamatan profil sungai di Sungai Sempor diperoleh hasil

sebagai berikut:

Tabel 1. Data Fisik dan lingkungan di Sungai Sempor Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Kabupaten Sleman

Titik Sampling

Koordinat Lebar

Sungai (m) Dalam

Sungai (m) Suhu Air

(0C)

Keterangan

I -7.68424900

110.36350735 9,0 1,13 26

0C

Bagian terlebar & terdalam sungai yg diukur

II – 6,4 2,00 26 0C

Bagian terlebar & terdalam sungai yg diukur

III -7.68409804

110.36307694 8,4 1,43 26

0C

Bagian terlebar & terdalam sungai yg diukur

Tabel 2. Data potensial habitat di Sungai Sempor Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Kabupaten Sleman

Titik Sampling

Koordinat Cerukan

(cm) Komposisi substrat Tingkat kekeruhan

I -7.68424900

110.36350735 55, 60 & 70

Batu & kerikil 90% Pasir 10%

Jernih

II – 164 Batu & kerikil 40% Pasir 60%

Keruh

III -7.68409804

110.36307694 40, 40

Batu & kerikil 20% Pasir & lumpur 80%

Keruh

Dari tabel 1 & 2 diatas, dapat dikatakan bahwa TS III merupakan habitat potensial sebagai

kura-kura tempurung lunak (anggota suku Trionychidae). TS III memiliki kedalaman sungai yang

cukup, ada 2 titik cerukan serta komposisi substrat yang sesuai dengan literatur.

Tabel 3. Data jenis-jenis ikan, udang & kepiting di Sungai Sempor Dusun Mantaran, Kelurahan Triharjo, Kabu-paten Sleman, sekitar lokasi ditemukannya Chitra chitra

No Bangsa Suku Jenis Nama lokal

Ikan

Cypriniformes Cyprinidae Barbodes binotatus Wader cakul

Cypriniformes Cyprinidae Rasbora argyrotaenia Wader pari

Cypriniformes Cyprinidae Mystacoleucus marginatus Kepek

Cypriniformes Cyprinidae Neolissochilus hexagonolepis Mangur

Cypriniformes Nemacheilidae Nemacheilus fasciatus Uceng

Cyprinodontiformes Poeciliidae Xiphophorus hellerii Ikan ekor pedang

Cyprinodontiformes Poeciliidae Poecilia reticulata Guppy, cethul

Perciformes Channidae Channa gachua Kotes

Perciformes Cichlidae Oreochromis niloticus Nila

Udang

Decapoda Palaemonidae Macrobrachium lanchesteri Udang sungai

Decapoda Palaemonidae Macrobrachium pilimanus Udang sungai

Kepiting

Decapoda Gecarcinucidae Parathelphusa convexa kepiting sungai

DIVERSITAS

Page 33: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

33 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 33

Berdasarkan tabel 3 diatas, dapat dikatakan bah-

wa ikan kepek, uceng dan kotes, semua jenis

udang serta kepiting sungai merupakan mangsa

potensial bagi kura-kura tempurung lunak

(anggota suku Trionychidae).

Beberapa argumen mengenai

keberadaan labi-labi bintang di lokasi tersebut

adalah: labi-labi bintang untuk mencapai ukuran

tubuh 145 cm (panjang total badan) membutuh-

kan waktu sekitar 40 sd 50 tahun. Berdasarkan

wawancara dengan warga dan pemancing, mere-

ka umumnya menemukan bulus Jawa (tidak ada

ornamentasi di karapas). Warga menemukan bu-

lus Jawa berbagai ukuran, dari kecil seukuran

tutup gelas hingga ban motor. Labi-labi bintang

merupakan hewan yang suka berdiam diri lama

di dalam pasir, tidak banyak bergerak, hewan ini

kalah bersaing dalam hal kompetisi pakan dari

saudaranya bulus Jawa. Bulus Jawa cenderung

aktif mengejar mangsa. Ukuran labi-labi bintang

yang besar membutuhkan pakan besar, sedikit

kompetitor dan lebar sungai yang lebih besar.

Titik Sampling III yang merupakan habitat poten-

sial, kurang memenuhi syarat lebar sungai,

kedalaman ceruk dan tingkat kekeruhan, bagi

labi-labi berukuran 145 cm tersebut. Hal tersebut

menjadikan alasan mengapa titik penemuan ter-

sebut kurang cocok dengan habitat labi-labi bin-

tang.

DAFTAR REFERENSI Das, Indraneil, and Shailendra Singh. 2009. Chitra indica (Gray 1830) – Narrow-Headed Softshell Turtle.

Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises: A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. A.G.J. Rhodin, P.H.C. Pritchard, P.P. van Dijk, R.A. Saumure, K.A. Buhlmann, J.B. Iverson, and R.A. Mittermeier, Eds. Chelonian Research Monographs (ISSN 1088-7105) No.5, doi: 10.3854/crm.5.027.indica.v.l.2009.

Das, Indraneil. 2010. A Field Guide to the Reptiles of South-east Asia. New Holland Publishers (UK) Ltd. Pp. 32, 176.

Das, Kulendra C., and Abhik Gupta. 2011. Site records of softshell turtles (Chelonia: Trionychidae) from Barak Valley, Assam, northeastern India. Journal of Threatened Taxa 3(4): 1722–1726

Iskandar, Djoko Tjahjono. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini, Dengan Catatan Mengenai Jenis-jenis di Asia Tenggara. PALMedia Citra Bandung. Hal. 82-83.

Iskandar, D. T. 2004. On the giant Javanese softshelled turtles (Trionychidae). Hamadryad Vol. 28, No. 1&2: 128-130.

Kitimasak, Wachira, Kumthorn Thirakhupt, Sitdhi Boonyaratpalin, and Don L. Moll. 2005. Distribution and Population Status of the Narrow-Headed Softshell Turtle Chitra spp. in Thailand. The Natural History Journal of Chulalongkorn University 5(1): 31-42, May 2005.

McCord, William P., and Peter C.H. Pritchard. 2002. A Review of the Softshell Turtles of the Genus Chitra, with the Description of New Taxa from Myanmar and Indonesia (Java). Hamadryad, Vol. 27, No.1, pp. 11-56.

Perdamaian, A.B.I., D. Sartika, H.P. Wicesa, M.M. Amin, dan B.S. Daryono. 2017. Distribusi dan Ke-melimpahan Labi-Labi Bintang (Chitra chitra javanensis) di Sungai Ciliwung, Brantas, dan Ben-gawan Solo. Seminar Nasional dan Kongres Perhimpunan Herpetologi Indonesia ke-V, 10 sd 11 November 2017, di Bale Sawala – Universitas Padjadjaran, Bandung.

Platt, Steven G., Kalyar Platt, Win Ko Ko, and Thomas R. Rainwater. 2014. Chitra vandijki McCord and Pritchard 2003 – Burmese Narrow-Headed Softshell Turtle. Conservation Biology of Freshwa-ter Turtles and Tortoises: A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Tur-tle Specialist Group. A.G.J. Rhodin, P.H.C. Pritchard, P.P. van Dijk, R.A. Saumure, K.A. Buhlmann, J.B. Iverson, and R.A. Mittermeier, Eds. Chelonian Research Monographs (ISSN 1088-7105) No.5, doi: 10.3854/crm.5.074.vandijki.v.l.2014.

Pough, F.H., R.M. Andrew, J.E. Cadle, M.L. Crump, A.H. Savitzky, and K.D. Wells. 1998. Herpetology. Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. Pp : 138, 169.

Vitt, Laurie J., and Janalee P. Caldwell. 2014. Herpetology: An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles, 4th ed. Academic Press is an imprint of Elsevier. Elsevier Inc. All rights reserved. Pp. 529-531.

Zug, George, Vitt, Laurie J., and Janalee P. Caldwell. 2001. Herpetology: An Introductory Biology of Am-phibians and Reptiles, 2nd ed. Academic Press. Printed in USA. Pp. 447-449.

DIVERSITAS

Page 34: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

34 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

P ada Warta Herpetofauna (WH) edisi

Desember 2018, telah ditulis artikel ten-

tang penjumpaan dua jenis ular dari genus Oli-

godon di Area Ekowisata Mudal. Kali ini di area

yang sama dijumpai dua jenis ular dari genus

Calamaria. Hal tersebut menunjukkan bahwa

Area Ekowisata Taman Sungai Mudal merupa-

kan habitat yang baik dan cocok bagi

keberadaan herpetofauna terutama ular. Ular-

ular genus Calamaria dijumpai di dataran tinggi,

misalnya ular jenis Calamaria linnaei banyak

dijumpai di ketinggian 700 m dan diatasnya,

contoh terbaru dari Calamaria linnaei dijumpai

di Dataran Tinggi Ijen di Sempol, Bondowoso,

Jawa Timur dengan ketinggian 950 – 1100 m,

(Sidik, et al, 2018; Hodges, 1993; de Rooij,

1917)

Pada hari Rabu tgl 28 Desember 2018,

sekitar pukul 17.57 WIB, saat cuaca mendung,

di area Ekowisata Sungai Mudal, tepatnya pada

dataran serasah dedaunan kering, letaknya 12

m dari sumber air dijumpai ular jenis Calamaria

bicolor. Ular ini dijumpai dengan posisi sembun-

yi di serasah dedaunan yang mulai busuk dan

PENJUMPAAN DUA JENIS ULAR GENUS Calamaria

DI AREA EKOWISATA TAMAN SUNGAI MUDAL,

KULON PROGO,YOGYAKARTA

Donan Satria Yudha1 dan Dwi Agus Stiana2

1. Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada

2. Pengelola Taman Sungai Mudal

DIVERSITAS

Gambar 1. Ular alang-alang/gelagah dwi-warna Calamaria bicolor dijumpai di area Ekowisata Sungai Mudal, Kulon Progo, DIY.

Page 35: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

35 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 35

lembab. Ular tersebut ditangkap oleh Mas Tyo

(Dwi Agus Stiana) pengelola Ekowisata Taman

Sungai Mudal, untuk difoto, dicatat koordinat

ditemukannya dan sayangnya sebelum dibawa

ke Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas

Biologi UGM untuk diidentifikasi lebih lanjut dan

disimpan sebagai spesimen voucher, ular terse-

but lepas dari kantong kain, dan untungnya lepas

di area Ekowisata Sungai Mudal.

Menurut de Rooij (1917), ular jenis Cala-

maria bicolor hanya dijumpai di Kalimantan

(Kinabalu, Paku di Sarawak atas, dan Singka-

wang). Sedangkan menurut Das (2010)

persebran ular Calamaria bicolor di Kalimantan

dan Jawa habitat di area perbukitan rendah (mid-

hills) hingga kaki gunung atau lereng bawah

daerah pegunungan (submontane). Berdasarkan

hal tersebut, dimungkinkan menjumpai ular alang

DIVERSITAS

Gambar 2. Serasah di belakang sumber air daerah Mudal, lokasi dijumpainya Calamaria bicolor.

Page 36: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

36 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

-alang dwi-warna di area Ekowisata Sungai Mu-

dal, karena area tersebut berada pada ketinggian

800 mdpl dan merupakan lereng pegunungan,

habitat yang cocok bagi ular alang dwi-warna.

Kemudian pada hari Selasa tgl 15 Januari

2019, sekitar pukul 07.58 WIB, saat cerah be-

rawan, masih di area Ekowisata Sungai Mudal,

tepatnya di lereng-lereng bantaran sungai

dijumpai satu individu ular jenis Calamaria lin-

naei. Ular ini dijumpai dengan posisi diam berje-

mur di bebatuan kapur bantaran sungai. Ular

tersebut ditangkap oleh Mas Tyo dan direkam

semua datanya, selanjutnya dibawa ke Laborato-

rium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi UGM

untuk diidentifikasi lebih lanjut dan disimpan se-

bagai spesimen voucher.

Menurut de Rooij (1917), ular Calamaria

linnaei dijumpai di beberapa wilayah di Jawa, se-

perti Gadok, Bogor, Salak, Sindanglaia, Gunung

Bunder, Gunung Pengalengan dengan ketinggian

4000 kaki, Gunung Cisurupan, Preanger, Suka-

bumi, Pegunungan Wilis di ketinggian 5000 kaki,

Kediri, Salatiga, Ambarawa, Wonosobo, Nongko-

jajar di Pegunungan Tengger ketinggian 1300 m.

ular ini juga dijumpai di Sumatera, Kalimantan,

Manado dan Maluku.

Sedangkan menurut Das (2010), habitat

dari ular Calamaria linnaei di area perbukitan ren-

dah (mid-hills) hingga kaki gunung atau lereng

bawah daerah pegunungan (submontane) den-

gan ketinggian sekitar 1500 mdpl. Persebaran

ular ini di Indonesia, diketahui di Jawa dan Pulau

Bangka. Deskripsi lain mengenai ular alang Lin-

naeus ini, yaitu :merupakan ular ovipar, dengan

jumlah telur antara 2 – 4 butir, berukuran 20 hing-

ga 26 x 7 hingga 9 mm. Memiliki masa inkubasi

64 sampai dengan 84 hari. Ketika menetas, uku-

ran anakan yang baru menetas 92 hingga 120

mm.

Dijumpainya dua jenis ular dari marga Ca-

lamaria di Mudal, menambahkan data rekaman

baru persebaran ular-ular di Jawa. Hal tersebut

juga menjelaskan bahwa area Mudal merupakan

area yang baik dan potensial bagi habitat bebera-

pa jenis ular, terutama ular-ular yang jarang di-

jumpai.

DIVERSITAS

Gambar 3. Ular alang-alang/gelagah Linnaeus Calamaria linnaei, dijumpai di area Ekowisata Sungai Mudal,

Kulon Progo, DIY.

Referensi Das, Indraneil. 2010. A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia. New Holland Publishers (UK) Ltd. Pp 98,

100, 265, 268. de Rooij, Nelly Dr. 1917. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. II. Ophidia. Leiden. E.J. Brill Ltd. Pp.

149 – 153; 165 – 166; 174 – 175. Hodges, Rick. 1993. Snakes of Java with special reference to East Java Province. British Herpetological Society

Bulletin, No.43. pp. 15-32 Sidik, I., Sumitro, S.B., Kurniawan, N. 2018. The Linnaeus’s Reed Snake, Calamaria linnaei Boie (Squamata:

Colubridae: Calamariinae) from Ijen Plateau, East Java, Indonesia. Research Journal of Life Science. Vol-ume 5, No.1. pp. 42-50.

Page 37: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

37 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 37

S ebagian besar alam Kabupaten

Gunungkidul merupakan kawasan hu-

tan dan perbukitan. Keadaan ini sangat men-

dukung kehidupan berbagai satwa dan tum-

buhan. Gunungkidul menjadi daya tarik tersendiri

bagi para pengagum keindahan panorama alam

karena masih sangat asri, sejuk dan tenang serta

belum banyak tergusur oleh majunya pem-

bangunan. Masyarakatnya masih kental dengan

budaya pedesaan salah satunya makanan khas

tiwul yang berasal dari singkong kering atau

gaplek.

Pertengahan Maret 2019 para pecinta sat-

wa dan pelestari alam dari berbagai kalangan

antara lain mahasiswa biologi UGM, mahasiswa

biologi Atmajaya, Komunitas Animal Keeper Jog-

ja, pengamat Reptil Amfibi Jogja, dan FOREST

Jogja pergi ke Hutan Bunder untuk melakukan

kegiatan pengamatan herpetofauna dan

pelepasliaran Sanca Kembang (Malayophyton

reticulatus). Ular tersebut merupakan hasil

tangkapan warga karena masuk ke pemukiman

kemudian diserahkan kepada tim untuk dilepas-

kan di daerah yang aman. Animal Keeper Jogja

menerima serahan Malayophyton reticulatus

sebanyak tiga ekor dari panjang 1,5 meter sam-

pai 3,5meter. FOREST membawa satu ekor

sepanjang 3 meter dan Kang Sigit pecinta alam

membawa satu ekor dengan panjang 4 meter.

Total keseluruhan ada 5 ekor Malayophyton retic-

ulatus yang akan dilepas ke Hutan Bunder

Gunungkidul.

Sabtu sore tim berangkat menuju kawasan

Hutan Bunder, perjalanan sekitar satu jam dari

Kota Yogyakarta. Setelah sampai di posko tim

istirahat dan persiapan kegiatan selanjutnya.

Selesai sholat Isya’ tim mulai bergerak menuju

hutan yang berdekatan dengan Sungai Oyo.

Sungai ini merupakan sungai terbesar dan ter-

panjang di Kabupaten GunungKidul, di tempat

inilah satu per satu ular dilepaskan. Lokasi itu

dipilih karena berdekatan dengan sumber air,

jauh dari pemukiman, dan tersedia cukup ma-

kanan berupa burung dan Monyet Ekor Panjang

yang over populasi. Monyet Ekor Panjang diang-

gap hama oleh petani karena sering menjarah

lahan pertanian sehingga petani sering gagal

panen. Harapannya ular itu bisa menjadi predator

untuk menekan populasi Monyet Ekor Panjang di

Gunungkidul.

Setelah pelepasan ular, semua tim mulai

bergerak menyusuri hutan. Kondisi hutan sangat

sepi hanya menemukan Gekko gecko ( tokek ru-

mah ) yang merayap di batang pohon dan be-

berapa bunglon sisir ( Bronchocela jubata ) yang

tertidur lelap di ranting pohon serta kadal kebun

(Eutropis multifasciata) yang sedang santai di

celah batu. Selanjutnya tim beralih menuju banta-

ran Sungai Oyo, baru beberapa puluh meter me-

nyusuri tepian sungai team dengan 11 personil

yaitu Saktyari, Saliyo, Sigit, Firman, Novi, Afian,

Ainun, Arman, Harist, Ahmad Jamil, dan Bam-

bang menemukan Ahaetula mycterizans yang

masih juvenile sedang tidur di ranting pohon. Ular

KOMUNITAS

SANCA KEMBANG KEMBALI HIDUP BEBAS DI BUMI YOGYAKARTA

Saliyo

Animal Keeper Yogyakarta

Page 38: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

38 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

tersebut didata dan didokumentasikan kemudian

tim kembali menyusuri sungai. Tim menemukan

Ahaetula prasina dengan panjang 1,6 meter se-

dang melingkar di pucuk ranting. Tidak jauh dari

lokasi itu tim menemukan kembali Ahaetulla

prasina di ranting-ranting pohon. Totalnya ada 11

ekor Ahaetula prasina yang di temukan di pinggir

Sungai Oyo. Karena sudah lelah dan waktu su-

dah lewat jam satu dini hari tim memutuskan

kembali ke posko untuk istirahat dan berdiskusi

tentang hasil pengamatan. Dalam perjalanan

Saliyo menemukan ular kawat ( Rhamphotyph-

lops braminus ) dengan panjang 13,5 cm saat

sedang mengecek daun jati kering. Ular ini mem-

iliki ukuran yang sangat kecil sehingga butuh

cukup lama untuk pendataan dan dokumentasi.

Jam 02.08 WIB tim sampai di posko, mem-

inum kopi hangat sambil berdiskusi hasil penga-

matan yang sudah dilakukan. Tim menyimpulkan

bahwa kondisi alam di Hutan Bunder masih baik

dan sangat mendukung untuk kegiatan herpe-

tofauna serta pelepasan Malayophyton reticula-

tus. Kabupaten Gunung Kidul masih menyimpan

banyak lokasi yang menarik untuk di elajahi serta

masih banyak konflik satwa liar yang butuh per-

hatian dan solusi. Tanpa terasa matahari telah

terbit disambut kicauan indah berbagai jenis bu-

rung. Setelah semua peralatan rapi tim bergegas

kembali ke rumah masing-masing. Satukan tekad

dan semangat, visi dan misi untuk konservasi se-

bagai solusi konflik satwa liar yang terjadi.

Kegiatan sampling setelah pelepasliaran Sanca Kembang (Malayophyton reticulatus) (kiri)

dan Eutropis multifasciata yang ditemukan saat pengamatan di Hutan Bunder, Gunungkidul (kanan)

KOMUNITAS

Page 39: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

39 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 39

Y ogyakarta mempunyai hamparan

alam yang sangat indah. Hutan,

sawah, dan pantai yang dialiri sungai-sungai be-

sar berhulu di Gunung Merapi, Gunungkidul, dan

Jawa Tengah. Keadaan alam ini sangat men-

dukung hidupnya berbagai spesies satwa dan

tumbuhan. Keunikan dan keaneragaman

kekayaan alam terjaga oleh kearifan lokal

masyarakatnya. 31 Januari 2019 yang lalu,

seorang warga menemukan Labi-labi Bintang

( Chitra chitra javanica ) saat sedang menjaring

ikan di Sungai Sempor Kabupaten Sleman

dengan ukuran yang sangat besar. Berita

penemuan ini pun langsung menyebar di

masyarakat Yogyakarta dan viral di media sosial.

Balai Konservasi Sumberdaya Alam

( BKSDA ) Yogyakarta segera melakukan media-

si dengan penemu labi-labi dan melakukan tinda-

kan penyelamatan karena Labi –labi Bintang ter-

masuk dalam daftar satwa langka dan dilindungi.

Pada tanggal 2 Februari 2019 Chitra javanica

dipindahkan ke Cagar Alam Gunung Gamping

Sleman sambil menunggu kesiapan tempat di

Gembiraloka Zoo. Labi-labi tersebut diletakkan di

kolam besar.

Animal Keeper Jogja ( AKJ ) sebagai sa-

lah satu komunitas di Yogyakarta yang berbasis

konservasi dan sosial merasa terpanggil untuk

ikut andil dalam penyelamatan dengan

melakukan pengawalan satwa langka dan di lin-

dungi sehingga bisa membantu memberikan in-

formasi yang positif dan terpercaya kepada

masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat,

AKJ melalui ketua umum melakukan koordinasi

dengan BKSDA Yogyakarta dan diteruskan ke

Resort Sleman tempat labi-labi dirawat sementa-

ra. Tanggal 6 Februari 2019 AKJ bersama Muse-

um Biologi UGM menuju Cagar Alam Gunung

Gamping untuk melakukan pengecekan dan pen-

dataan. Bapak Donan Satria Yudha selaku

kepala Museum Biologi UGM mengungkapkan

bahwa Chitra javanica dari Sungai Sempor ini

merupakan penemuan pertama kali di wilayah

Yogyakarta. Labi-labi itu mempunyai panjang

100cm dan lebar 54cm. Bapak Donan Satria

Yudha juga mengungkapkan labi-labi ini di-

perkirakan berusia lebih dari 50 tahun dan ber-

jenis kelamin jantan. Setelah pendataan selesai

bersama BKSDA, tim dari Museum Biologi UGM

dan AKJ mengantar Chitra chitra javanica ke

Gembiraloka Zoo (GL Zoo).

Hampir dua bulan berlalu masyarakat mu-

lai melupakan labi-labi raksasa yang pernah

menghebohkan masyarakat Yogyakarta dan

sekitarnya. Tidak lagi terdengar perbincangan

terkait labi-labi itu di masyarakat. Perkembangan

kondisi labi-labi raksasa juga tidak di ketahui.

Ketua Umum AKJ kembali berkoordinasi ke Balai

Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA ) Yog-

yakarta dan diteruskan ke pihak kebun binatang

Gembiraloka Zoo untuk melakukan kunjungan

memantau kondisi perkembangan Chitra chitra

javanica. Pada 1 April 2019 Saliyo selaku Ketua

Umum Animal Keeper Jogja ( AKJ ) bersama

Saktyari pengamat herpetofauna Yogyakarta

berkunjung ke Gembiraloka Zoo dan disambut

ramah oleh kepala bagian perawatan satwa

Bapak Miftah Nurkhasan serta diantarkan ke ko-

LABI – LABI RAKSASA TEMUAN WARGA YOGYAKARTA

Saliyo

Animal Keeper Jogja

KOMUNITAS

Page 40: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

40 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

KOMUNITAS

Labi-labi Bintang diangkat dari kolam untuk pengambilan data morfometri

Page 41: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

41 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 41

lam tempat Labi-labi tersebut dirawat. Bapak

Miftah menjelaskan Chitra chitra javanica

perkembangannya cukup bagus, luka-lukanya

hampir sembuh dan setiap hari rata-rata

menyantap empat ekor ikan lele berukuran se-

dang.

Chitra chitra javanica ditempatkan di ko-

lam berukuran 3 X 4m, sirkulasi berjalan baik dan

selalu tersedia ikan lele dan nila sebagai pakan.

Air kolam bersumber dari aliran Sungai Gajah

Wong. Kolam juga dibuat semirip mungkin

dengan habitat aslinya dengan dialasi pasir dan

beberapa batu. Animal Keeper Jogja akan terus

berupaya melakukan koordinasi dengan lembaga

pemerintah dan masyarakat dalam upaya peles-

tarian kekayaan alam di Yogyakarta. Maraknya

perburuan dan perdagangan satwa liar perlu

mendapat perhatian agar kekayaan alam ini terus

terjaga. Ekosistem yang seimbang akan berdam-

pak positif bagi kehidupan sosial dan kesejahter-

aan masyarakat. Dengan menjunjung tinggi rasa

gotong royong dan kerjasama baik masyarakat

dan lembaga-lembaga pemerintah, upaya peles-

tarian alam akan lebih mudah dan ringan. Keles-

tarian alam sudah sepatutnya menjadi

kesadaran, kebutuhan dan tanggung jawab ber-

sama untuk kesejahteraan masyarakat. Salam

konservasi , gotong royong, suka menolong!

KOMUNITAS

Gambar 2. Labi-labi Bintang diserahkan kepada GL Zoo dan ditempatkan di sebuah kolam

Page 42: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

42 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Sambil menyelam minum air, sambil baksos

sambil herping

H ari Minggu, 17 Februari 2019 yang

lalu dilakukan kegiatan bersih-

bersih di Objek Wisata Riam Angan Tembawang

di Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak,

Kalimantan Barat. Aksi ini diprakarsai oleh Duta

Lingkungan Hidup Kabupaten Landak. Duta

Lingkungan Hidup menghimpun komunitas

pecinta alam di Kabupaten Landak untuk

berpartisipasi dalam aksi bakti sosial ini. Kegiatan

ini diikuti oleh banyak komunitas pecinta alam

dan komunitas amfibi reptil indonesia (AFRI).

Peserta berkumpul di taman baca Kota Ngabang

pada pukul 08.00 WIB untuk persiapan

keberangkatan menuju lokasi Riam Angan

Tembawang. Kami mendapatkan arahan dari

pihak kepolisian kemudian berangkat dengan

pengawalan polisi. Waktu tempuh menuju lokasi

memakan waktu 1,5 jam dari Kota Ngabang.

Perjalanan yg memakan tenaga dan menguras

waktu ini pun tidak sia-sia karena peserta

disuguhi pemandangan air terjun dan jeram yang

memanjakan mata. Merdunya gemericik air

seperti menyampaikan pesan untuk para peserta

agar menjaganya dan mengenalkannya kepada

para pengunjung di lokasi tersebut.

Setelah sejenak memanjakan diri di Objek

Wisata Riam Angan Tembawang acara

pembukaan pun dimulai, kemudian dilanjutkan

dengan ISHOMA. Amfibi Reptil Indonesia (AFRI)

pun memanfaatkan waktu ini untuk melakukan

survei biodiversitas herpetofauna di kawasan

Riam Angan Tembawang. AFRI melakukan

herping selama 1 jam 23 menit dan menemukan

spesies yg mendominasi dan menyukai gemericik

air serta kelembaban air terjun Angan

Tembawang, yaitu Staurois guttatus. Kami

menemukan kurang lebih 13 ekor Staurois

guttatus dengan letak yang berdekatan. Ternyata

tidak hanya kami yg menikmati keindahan dan

sejuknya air terjun di kawasan objek wisata ini.

Totalnya kami menemukan 4 spesies

anggota Famili Ranidae yaitu Staurois guttatus,

Odorrana hosii, Meristogenys jerboa dan Rana

nicobariensis. Kami juga menemukan 1 spesies

reptil yaitu Takydromus sexlineatus. Saat kami

herping salah seorang rekan kami yg bernama

Tedy tergelincir karena menginjak bebatuan yg

licin di area air terjun. Kejadian lain menimpa

rekan kami yg bernama Dedy supriyadi akibat

keasyikan herping sehingga kurang berhati-hati.

RIAM ANGAN TEMBAWANG, BAKSOS SEKALIGUS HERPING

Dedy Supriyadi

Komunitas Amfibi Reptil Indonesia

Komunitas Snake Owner Kota Intan

Gambar 1.Riam Angan Tembawang di Kabupaten

Landak, Kalimantan Barat

KOMUNITAS

Page 43: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

43 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 43

Gambar 2. A. Lokasi herping di kawasan Riam Angan Tembawang; B. Meristogenys jerboa; C. Rana nico-

bariensis; D. Staurois guttatus ; dan E. Foto bersama dengan semua peserta usai kegiatan baksos .

A

B C D

E

KOMUNITAS

Page 44: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

44 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

B ukit Lubuk Baji merupakan bagian dari

salah satu Kawasan Taman Nasional

Gunung Palung yang berada di Desa Sedahan

Jaya, Sukadana, Kabupaten Kayong utara,

Provinsi Kalimantan Barat. Bukit Lubuk Baji ini

memiliki luas 290,12 Ha serta memiliki ketinggian

460 mdpl. Selain itu Bukit Lubuk Baji juga

merupakan kawasan potensial karena memiliki

beragam habitat, mulai dari sungai alaminya,

hutan yang masih terjaga, terlebih area ini masuk

dalam kawasan hutan lindung.

Pendataan yang dilakukan selama 3 hari 2

malam ini diikuti oleh Devi Indah Lestari, Fandi

Winata, Muhammad rizki, Nurrahman, dan Toni

Herpandes selaku kepala ekspedisi. Tim

Ekspedisi Cabang Panti menggunakan metode

Visual Encounter Survey dan Transek Jalur

dalam melakukan pendataan. Metode ini

bertujuan untuk mencatat keanekaragaman relatif

pada suatu lokasi dan memudahkan tim dalam

melakukan pendataan. Pengamatan dimulai

setelah adzan maghrib yaitu pukul 18.30 WIB.

Tim mengalami beberapa kesulitan dalam

pengambilan data karena medan cukup terjal dan

lamanya jarak tempuh hingga ke Camp Lubuk

Baji. Pendataan pada malam pertama kurang

optimal sehingga tim sampai Camp Lubuk Baji

pukul 21.23 WIB. Pada malam pertama tim

disambut oleh 7 spesies, terdiri dari 3 spesies

reptil dan 4 spesies amfibi. Adapun spesies yang

ditemukan yaitu Sibynophis melanocephalus,

Cyrtodactylus pubisulcus, Staurois guttatus,

Limnonectes paramacrodon, Chalcorana

megalonesa, Gonochepalus grandis, dan

Limnonectes kuhlii. Hari pun sudah larut malam

dan tim ekspedisi sepakat untuk menyudahi

pendataan pada malam pertamanya dengan

beristirahat.

Pada hari kedua tim memulai pendataan

kembali pada pukul 08.14 WIB, pada awal

pendataan tim menemukan spesies Staurois

guttatus. Pada pukul 09.30 WIB kami

menemukan sebanyak 5 spesies antara lain

Chalcorana megalonesa, Staurois guttatus,

Tropidophorus brookei dan Eutropis multifasciata.

Tim memutuskan untuk beristirahat sejenak

sambil menikmati keindahan alam yang ada di

Bukit Lubuk Baji dengan mandi air terjun. Air

yang jernih dan murni dari mata air ini dapat

menghilangkan rasa penat yang melekat.

Matahari sudah merundukkan diri dan suara-

suara hewan malam berteriak lantang di dalam

hutan seakan menandakan malam akan datang.

Kami pun bergegas mempersiapkan diri untuk

mengambil data sebanyak mungkin di malam

terakhir. Malam pun tiba, kami mencoba

menyusuri sungai berharap masih menemukan

hewan eksotis lainnya. Benar saja beberapa saat

LAKUKAN PENDATAAN KEANEKARAGAMAN HERPETOFAUNA

DI KAWASAN GUNUNG PALUNG, AMFIBI REPTIL INDONESIA

BENTUK TIM EKSPEDISI CABANG PANTI BERSAMA KAMIPALA.

Eka Tri Prasetiya

Komunitas Amfibi Repril Indonesia

KOMUNITAS

Page 45: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

45 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 45

memulai penyusuran kami menemukan

Notochelys platynota atau yang di kenal dengan

kura-kura tempurung datar. Pendataan pada

malam kedua lebih terasa ringan sebab kami

sudah tidak membawa beban di punggung,

hanya membawa peralatan untuk keperluan

herping saja. Ditemani suara khas beberapa

hewan yang berada di Hutan Lubuk Baji

menjadikan pendataan malam itu semakin seru.

Kami akhirnya memutuskan untuk menyudahi

pendataan pada pukul 21.17 WIB, dimana

pendataan ditutup oleh momen yang sangat

indah yaitu melihat sepasang Megophrys nasuta

yang sedang kawin. Adapun spesies yang dapat

kami temukan di malam terakhir itu adalah

Notochelys platynota, Staurois guttatus,

Chalcorana megalonesa, Limnonectes kuhlii,

Ansonia spinulifer, Leptolalax gracilis,

Cyrtodactylus pubisulcus, Limnonectes

paramacrodon, dan Megophrys nasuta.

Akhirnya tibalah pada hari terakhir masa

ekspedisi. Satu spot telah kami lewati dengan

penuh cerita yang menggembirakan. Akan

sangat disayangkan jika dalam perjalanan pulang

menuruni bukit ini tidak sambil mendata. Dalam

perjalanan pulang kami menemukan berbagai

spesies, namun yang paling mengesankan di

dalam perjalanan adalah saat kami bertemu

dengan salah satu ular viper yang jarang ditemui

yaitu Trimeresurus borneensis. Perjalanan ini

akan menjadi cerita menarik bagi kami.

Hasil pengamatan kami selama tiga hari

dua malam sangatlah memuaskan. Kami

mendapatkan sebanyak 49 Individu, 10 famili, 14

genus dan 16 spesies dengan nilai

keanekaragaman sebesar 2,330.

KOMUNITAS

No Famili Spesies Inggris Ind Pi LN Pi H’ IUCN

1 Bufonidae Ansonia spinulifer Spiny Slender Toad 2 0,040 -3,198 0,130 Lc

2 Dicroglossidae

Limnonectes kuhlii Khul’s Creek Frog 4 0,081 -2,505 0,204 Lc

3 L.paramacrodon Lesser Swamp Frog 3 0,061 -2,793 0,171 Nt

4 Leptolalax gracilis Sarawak Slender Litter Frog 2 0,040 -3,198 0,130 Nt Megophryidae

5 Megophrys nasuta Bornean Horned Frog 2 0,040 -3,198 0,130 Lc

6 Ranidae

C.megalonesa White-lipped Stream Frog 5 0,102 -2,282 0,232 Lc

7 Staurois guttatus Black-spotted Rock Frog 16 0,326 -1,119 0,365 Lc

8 Agamidae G.grandis Malayan Crested Lizard 1 0,020 -3,891 0,079 Lc

9 Colubridae S.melanocephalus Black-headed Collared Snake 1 0,020 -3,891 0,079 Lc

10 Gekkonidae C. pubisulcus Inger’s Bent-toed Gecko 4 0,081 -2,505 0,204 Lc

11 Geoemydidae N.platynota Malayan Flat-shelled Turtle 1 0,020 -3,891 0,079 Vu

12

Scincidae

E.multifasciata Common Sun Skink 1 0,020 -3,891 0,079 Lc

13 Eutropis rudis Black-banded Skink 1 0,020 -3,891 0,079 Lc

14 L.bowringii Bowring’s Supple Skink 1 0,020 -3,891 0,079 -

15 T.brookei Brook’s Keeled Skink 4 0,081 -2,505 0,204 Lc

16 Viperidae T.borneensis Bornean Palm Pit Viper 1 0,020 -3,891 0,079 Lc

Total 49 2,330

Tabel 1.

Page 46: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

46 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

Pendahuluan

I ndonesia adalah negara dengan mega-

biodiversitas terbesar ke dua di dunia

merupakan habitat alami bagi berbagai spesies

reptil seperti ular, penyu, biawak, buaya dan ban-

yak spesies reptil lainnya (Koch, 2011). Penyu

yang termasuk dalam ordo Testudina atau Che-

lonia hidup tersebar di seluruh dunia termasuk

Indonesia. Saat ini terdapat tujuh (7) spesies

penyu di seluruh dunia (Gambar 1) yaitu penyu

hijau (Chelonia mydas), penyu sisik

(Eretmochelys imbricata), penyu Kemp’s Ridley

(Lepidochelys kempii), penyu lekang

(Lepidochelys olivacea), penyu belimbing

(Demochelys coriacea), penyu pipih (Natator de-

pressus) dan penyu tempayan (Caretta caretta)

(Koch, 2011; Das, 2015).

Wilayah lautan Indonesia yang menjadi

persimpangan samudra Hindia dan samudra

Pasifik letaknya berada dekat garis khatulistiwa,

menjadikan perairan wilayah Indonesia memiliki

iklim yang cenderung hangat sepanjang tahun.

Perairan yang hangat menyediakan kelimpahan

pakan sepanjang tahun bagi hewan-hewan yang

hidup di lautan Indonesia, termasuk penyu.

Penyu-penyu karnivora dapat dengan mudah

menemukan pakan favoritnya seperti cumi-cumi,

ubur-ubur, udang, lobster, rajungan dan berbagai

jenis ikan, sedangkan penyu herbivora seperti

penyu hijau juga mudah menemukan padang

lamun dan rumput laut sebagai pakan favoritnya

(O’Shea and Halliday, 2002). Kondisi ini

menjadikan 6 dari 7 spesies penyu dunia dapat

ditemukan di wilayah perairan Indonesia. Penyu

Kemp’s Ridley (Lepidochelys kempii) menjadi

satu-satunya spesies penyu yang tidak

ditemukan di wilayah perairan lautan Indonesia

(Ramadhan, 2017).

Mengapa Ada Penyu Terdampar???

Semua hewan yang hidup di lautan ketika

sakit atau mati maka tubuhnya kemudian

tenggelam ke dasar laut, dimangsa predator atau

bangkainya terbawa arus laut dan akhirnya ter-

dampar ke pantai. Itulah sebabnya mengapa he-

wan laut seperti ikan-ikan bertubuh besar (hiu,

mola-mola, tuna, marlin, dll.), mamalia laut

(paus, lumba-lumba, dugong, anjing laut, singa

laut, walrus, dll.), reptil (buaya, penyu) ketika ter-

dampar ke pantai biasanya dalam kondisi sekar-

at ataupun dalam kondisi sudah mati bahkan su-

dah menjadi bangkai yang membusuk.

Penyu yang terdampar ke pantai dalam

kondisi sekarat atau baru saja mati biasanya

tubuhnya dalam kondisi utuh dan masih segar,

sedangkan penyu yang terdampar setelah mati

umumnya tubuh dalam kondisi sudah menjadi

bangkai yang tidak utuh lagi dan juga sudah

PENYEBAB PENYU MATI TERDAMPAR

Slamet Raharjo*

*Departeman Ilmu Penyakit Dalam FKH UGM

*Wakil Direktur Bidang Pendidikan RSH Prof. Soeparwi FKH UGM

Jl. Fauna No 2 Karangmalang Yogyakarta 55281

E-mail; [email protected] ; WA +62 878-3823-7607

ZOONOSIA

Page 47: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

47 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 47

ZOONOSIA

Penyu Kemp’s Ridley Penyu Belimbing

Gambar 1. Tujuh spesies penyu di dunia

membusuk. Pada beberapa kasus, sebagian

anggota tubuh seperti kaki depan, kaki belakang,

kepala dan ekor sudah hilang. Pada kasus yang

lain bahkan kadang sudah sangat sulit untuk

dikenali spesiesnya karena bentuk tubuh yang

sudah rusak, bahkan hancur akibat mengalami

autolisis atau pembusukan hebat. Dalam kondisi

seperti ini, dibutuhkan ketelitian, kesabaran dan

kejelian untuk dapat menemukan ciri-ciri spesifik

sebagai kunci identifikasi spesies bangkai/

kadafer tersebut.

Apa Penyebab Penyu Mati Terdampar???

Setiap individu penyu yang ditemukan

mati terdampar di pantai selalu membawa misteri

yang harus dipecahkan oleh herpetolog.

Menemukan penyebab kematian penyu yang ma-

ti terdampar tidak selalu mudah karena kita tidak

mengetahui dengan pasti bagaimana kondisi

kesehatan penyu tersebut sebelum mati. Ketika

terjadi kematian pada penyu atau kura-kura yang

bukan hidup di lautan lepas, misalnya di Zoo/

Marine Aquarium, untuk mengetahui penyebab

kematian penyu atau kura tersebut akan lebih

mudah karena ada data recording manajemen

perawatan dan pakan serta medis yang dapat

digunakan sebagai dasar diagnosa sehingga

penyebab kematian dapat diketahui dengan lebih

akurat.

Berbeda dengan penyu di Zoo/Marine

Aquarium, penyu yang mati terdampar di pantai,

tidak ada yang memiliki data recordingnya se-

hingga semua misteri penyebab kematian penyu

Page 48: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

48 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

tersebut harus digali dan diteliti untuk kemudian

dianalisis faktor-faktor yang menjadi penyebab

kematian penyu tersebut. Beberapa penyebab

yang sering menyebabkan kematian pada kasus

penyu mati terdampar misalnya kematian alami

karena umur tua (geriatrik), penyakit infeksius,

penyakit non-infeksius, keracunan, penyakit

metabolik/degeneratif, menelan benda asing, pe-

rubahan cuaca ekstrim, trauma fisik/kelukaan dan

pemangsaan oleh predator atau predasi.

Untuk mengetahui penyebab-penyebab

kematian penyu mati terdampar seperti tersebut

diatas perlu dilakukan 5 tindakan penting yang

harus dilakukan pada bangkai penyu untuk

menemukan penyebab kematian antara lain:

1. Identifikasi spesies

Identifikasi spesies sebagai kunci utama

untuk mengetahui penyebab kematian penyu

mati terdampar. Dengan mengetahui spesi-

esnya, herpetolog dapat melacak biologi dan

fisiologi spesies tersebut sebagai dasar

penentuan normal tidaknya kondisi bangkai

spesies tersebut.

2. Pendataan ukuran dan bentuk tubuh

penyu yang mati terdampar

Pendataan ukuran dan bentuk tubuh

pada penyu dapat digunakan sebagai pan-

duan perkiraan umur dan penentuan jenis ke-

lamin. Setiap spesies penyu memiliki ukuran

tubuh tertentu, sehingga dari data ukuran

tubuh penyu yang terdampar dapat dapat

dibandingkan dengan literatur spesies terse-

but sehingga diketahui apakah penyu terse-

but berjenis kelamin jantan atau betina dan

dengan membandingkan ukuran tubuh

dengan data literatur dapat diketahui apakah

penyu yang mati terdampar masih berukuran

anak-anak (infant), remaja (juvenile), dewasa

muda (adult) atau dewasa tua (mature).

3. Pemeriksaan fisik bangkai/kadafer

Pemeriksaan fisik bangkai/kadafer

penyu untuk menemukan abnormalitas seper-

ti kondisi bangkai yang masih segar, kelukaan

pada karapas, plastron dan bagian lain tubuh,

adanya pembengkakan tubuh, pembusukan,

predasi serta anggota tubuh yang hilang kare-

na autolisis dapat memberi informasi yang

akurat tentang perkiraan kematian, adanya

predasi maupun kondisi-kondisi lain yang ter-

jadi setelah kematian si penyu sampai saat

penyu terdampar (Nugent-Deal, 2005). Pada

kondisi fisik bangkai penyu yang masih segar

sebaiknya dilakukan upaya pengambilan

sampel tinja/feses dan darah untuk pemerik-

saan laboratoris (Jackson and Cockroft,

2002).

4. Bedah bangkai/Nekropsi

Bedah bangkai atau nekropsi merupa-

kan tindakan yang dilakukan untuk menge-

tahui lebih rinci kondisi bangkai penyu dan

organ-organ dalam tubuh. Nekropsi harus dil-

akukan oleh dokter hewan, patolog atau her-

petolog-patolog yang memahami anatomi

penyu dan penyakit-penyakit pada penyu

(Kelly, 2016). Bedah bangkai dimulai dengan

mencatat semua abnormalitas pada

permukaan tubuh, dilanjutkan membuka

plastron dan kulit leher sampai bawah

rahang. Semua abnormalitas pada organ dari

rongga mulut, hidung, kerongkongan

(esofagus), tenggorokan (trakea), jantung,

paru-paru, lambung, hati, lien, pangkreas,

usus halus, usus besar, ginjal, gonad (organ

reproduksi), kantung kemih (vesika urinaria)

dan kloaka (Kik and Mitchell, 2005). Setiap

abnormalitas yang ditemukan pada organ

dapat dianalisis secara medis untuk

digunakan sebagai dasar diagnosa penyebab

kematian. Adanya parasit dalam organ dalam

ZOONOSIA

Page 49: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

49 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 49

seperti usus dan paru-paru dan adanya

kerusakan organ dalam seperti paru-paru,

hati dan ginjal dapat menjadi indikator

adanya penyakit infeksi maupun keracunan

(Schumacher, 2003). Adanya benda asing

seperti plastik dalam lambung ataupun usus

dapat mengakibatkan sumbatan lambung/

usus yang dapat menyebabkan kematian

penyu. Saat melakukan bedah bangkai

sekaligus dapat mengambil sampel organ

dalam untuk dilakukan pemeriksaan secara

laboratoris terutama pemeriksaan

histopatologi organ.

5. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dilakukan

terhadap sampel-sampel organ yang dicurigai

mengalami gangguan fungsi/abnormalitas

organ dengan tujuan untuk mengetahui

penyebab kematian secara lebih akurat dan

valid (Mader, 1996) terutama apabila

pemeriksaan nomor 1-4 belum menemukan

arah penyebab kematian. Hasil pemeriksaan

laboratorium seperti pemeriksaan tinja dan

darah menggambarkan kondisi kesehatan

penyu sebelum mati (Raharjo, 2008).

Pemeriksaan tinja/feses dapat digunakan

sebagai dasar ada tidaknya infestasi parasit

dalam saluran pencernaan dan pernafasan

sekaligus mengetahui derajat keparahan

infestasi parasit tersebut. Pemeriksaan darah

akurat untuk mengetahui ada tidaknya infeksi

oleh bakteri, virus, parasit dan agen lain serta

ada tidaknya kerusakan atau penurunan

fungsi organ dalam seperti hati dan ginjal

sebelum penyu mengalami kematian

sehingga dapat diketahui penyebab kematian

secara lebih akurat dan valid (Schumacher,

2003).

Dengan menganalisis data yang dik-

umpulkan dari 5 tindakan diatas, hepeteolog atau

dokter hewan yang melakukan pemeriksaan pa-

da bangkai penyu yang terdampar dapat menen-

tukan dan mengetahui penyebab kematian penyu

yang terdampar.

ZOONOSIA

DAFTAR PUSTAKA

Das, I. 2015. A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia. Bloomsbury Publishing. UK: 10.

Jackson, P.G.G. and Cockroft, P.D. 2002. Clinical Examination of Farm Animal, Blackwell Science.

Kelly, W.R. 2016. Veterinary Clinical Diagnosis. Harcourt Publisher Limited, London.

Kik, MJL. and Mitchell, M.A. 2005. Reptile cardiology: a review of anatomy and physiology, diagnostic approaches, and clinical disease. Seminars in Avian and Exotic Pet Medicine 14(1): 52-60.doi: 10.1053/j.saep.2005.12.009

Koch, A. 2011. The Amphibians and Reptiles of Sulawesi: Underestimated Diversity in a Dynamic Environ-ment. In: F.E. Zachos and J.C. Habel (eds.), Biodiversity Hotspots. Springer, Berlin: 383-404.

Mader, D.R. 1996. Reptile Medicine and Surgery, WB Saunders Co. Philadelphia.

Nugent-Deal, J. 2005. Reptiles: Performing a Physical Examination. Veterinary Technician. 26(1).

O’Shea, M., and Halliday, T. 2002. Reptiles and Amphibians. South China Printing Company. China: 123.

Raharjo, S. 2008. Medis Veteriner dan Herpetofauna Indonesia. Makalah Seminar Nasional dan Kongress I Perhimpunan Herpetologi Indonesia 2008; Mengungkap Dunia Herpetologi Indonesia 2008, Fakultas Biologi UGM 24-25 Mei 2008.

Ramadhan, B. 2017. Wow, Ternyata 6 dari 7 Penyu Dunia Bisa Ditemukan di Indonesia. www.goodnewsfromindonesia.id

Schumacher, J. 2003. Reptile respiratory medicine. Vet. Clin. Exot. Anim. 6: 213–231.

Page 50: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

50 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

P ertengahan tahun lalu, wacana pem-

bangunan properti penunjang pariwisata

(hotel) yang dianggap menerabas kawasan Ta-

man Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur,

menyebar di media massa. Memanen protes dari

berbagai kalangan. Dari aktivis pembela keles-

tarian lingkungan, Anggota Dewan, hingga seleb-

ritis. Tagar #savekomodo segera saja menjadi

trending topic selama berpekan-pekan.

Mayoritas penolakan publik bersandar

pada argumen ekologis dan konservasi. Bahwa,

tidak selayaknya hasrat pemerintah daerah

(Pemda) dan investor swasta untuk mengeduk

keuntungan material atas eksistensi naga purba

(Varanus komodoensis) di habitat aslinya itu,

berbalik kontraproduktif dengan ikhtiar-ikhtiar

konservasi in situ.

Tidak ada yang keliru dengan argumen

khalayak luas itu. Hanya saja, ada satu hal yang

tampaknya luput dicermati, yang justru menjadi

landasan kuat kenapa eksplorasi alam di negeri

ini terlihat investor oriented dan mengesamping-

kan dimensi konservasi satwa liar dan habi-

tatnya. Landasan itu adalah Peraturan Daerah

Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(Perda Zonasi). Perda Zonasi ibarat ‘karpet

merah’ bagi investor untuk mendapatkan

kemudahan investasi. Mencakup jenis proyek

reklamasi, pariwisata, dan pertambangan.

Seperti diketahui, Perda Zonasi dikaitkan

dengan eksistensi 17 ribu lebih pulau yang

dimiliki Indonesia dengan 13.466 diantaranya

masuk kategori pulau kecil yang sudah diberi

nama. Sesuai UU No 1 Tahun 2014 yang

merupakan perubahan atas UU 27 tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau

Kecil, definisi pulau kecil mengacu pada luas

pulau yang lebih kecil atau sama dengan 2000

km2. Pulau Komodo, misalnya, luasnya 390

km2.

Diantara pulau-pulau itu, ada yang masuk

dalam kawasan Wallacea. Kawasan biogeografis

hasil kajian naturalis Inggris Alfred Russel

Wallace yang meliputi pulau-pulau dan

kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah.

Kawasan yang memiliki keragaman flora dan

fauna yang khas.

Pusat Data Dan Informasi KIARA (2019)

mencatat, hingga April 2019, 18 provinsi di

Indonesia telah mensyahkan Perda Zonasinya.

Sisanya, sebanyak 16 Provinsi masih dalam

proses pembahasan. Daerah yang terdampak

Perda Zonasi meliputi pulau-pulau kecil yang

juga masuk kawasan Wallacea itu, diantaranya

Sulawesi Utara (Perda No.1/2017), Sulawesi

Barat (Perda No.6/2017), NTB (Perda

No.12/2017), NTT (Perda No.4/2017), Sulawesi

Tengah (Perda No.10/2017), Maluku (Perda

No.1/2018), Maluku Utara (Perda No.4/2018).

Provinsi Maluku Utara yang masuk dalam

5 besar provinsi di Indonesia yang memiliki

paling banyak pulau kecil dengan 805 pulau,

OPINI

#SAVEHERPETOFAUNA

Prio Penangsang*

*Peminat Herpetofauna, Penulis Buku “Reptile Undercover”

Page 51: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

51 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 51

adalah salah satu kawasan dalam garis

Wallacea yang niscaya akan terdampak oleh

Perda Zonasi. Provinsi Sulawesi Utara, tercatat

terdapat 330 Pulau kecil bernama.Tercatat 54

Pulau kecil, termasuk Pulau-Pulau Kecil di

Maluku Utara, telah dikuasai oleh 164 Izin

pertambangan mineral dan batubara.

Perda Zonasi di Lampung, misalnya,

melegalkan proyek reklamasi di Kabupaten

lampung Selatan. Perda Zonasi Kalimantan

Utara melegalkan proyek penambangan pasir

laut di Perairan Bulungan. Perda Zonasi Provinsi

NTB yang melegalkan tambang pasir laut di

perairan Selat Alas, Lombok Timur untuk

kepentingan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Di

NTT, Perda Zonasi setempat melegalkan

perampasaan ruang melalui proyek pariwisata di

perairan Labuan Bajo dan Taman Nasional

Pulau Komodo.

Pulau-pulau kecil dengan potensi

kekayaan herpetofauna itu, idealnya tidak perlu

ditambang. Mengacu Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007, warga pesisir pulau kecil, nelayan,

serta pembudidaya ikan, diposisikan sebagai

pemangku kepentingan utama, terutama

masyarakat adat.

Pasal 35 huruf K misalnya, “Melakukan

penambangan mineral pada wilayah yang

apabila secara teknis dan atau ekologis dan atau

sosial dan atau budaya menimbulkan kerusakan

lingkungan dan atau pencemaran lingkungan

dan atau merugikan Masyarakat sekitarnya’.

Tengok juga Peraturan Menteri (Permen)

Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/

MEN/2008, “..bahwa pertambangan tidak ada

kepentingan keberadaannya, sedangkan yang

terpenting adalah; konservasi; pendidikan dan

pelatihan; penelitian dan pengembangan;

budidaya laut; pariwisata’; usaha perikanan dan

kelautan secara lestari; pertanian organik; dan/

atau pertenakan’.

Melalui regulasi yang secara benderang

mendukung lingkungan dan habitat lestari itu,

idealnya menjamin kekayaan biodiversitas di

pulau-pulau kecil tetap dipertahankan.

Senyampang pulau-pulau besar susah

diharapkan sebab telanjur pepak oleh populasi

manusia dan massifnya konversi kawasan hutan

menjadi klaster industri perkebunan ataupun

properti.

Dampak eksplorasi pertambangan di pu-

lau kecil cukup mengenaskan. Pulau Gabe di

Maluku Utara, misalnya, mencuplik data

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam,2019),

setelah diperas 33 tahun oleh PT. Antam kini

Pulau Gebe juga dikapling lagi oleh 14 konsesi

dan blok pertambangan. Akibat aktivitas

pertambangan di Gebe, pesisir lalut menjadi

rusak. Temuan di lapangan, air laut yang

mayoritas berwarna biru dan hijau di pesisir

Gebe, namun di semenanjung dekat Jetty

tambang berwarna kuning. Sedimentasi dan

pembuangan limbah diduga kuat dibuang

langsung ke laut, tanpa ada proses instalasi

pengolahan air limbah. Hal ini juga diperparah

dengan aktivitas perusahaan yang

menggunakan pembangkit listrik tenaga

batubara, tanpa ada kejelasan lokasi

penempatan limbah B3 fly ash dan bottom ash.

Hal nyaris serupa terjadi di Pulau Wetar,

Halmahera Utara yang 83% luas pulaunya

dikuasai oleh tambang. Halmahera merupakan

salah satu pulau terbesar di gugusan kepuluan

Maluku bagian utara. Memiliki luas 26.900 km

persegi, memiliki tipe vegetasi dan keragaman

fauna yang beragam. Sampai 1997, wilayah

hutan Halmahera baru 20 persen saja yang

tereksplorasi. Kini, angkanya terus meningkat,

OPINI

Page 52: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

52 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019

termasuk yang diakibatkan oleh eksplorasi

pertambangan.

Pulau Halmahera memiliki keragaman

herpetofauna dari kelas Amfibi dan Reptil yang

sejak zaman Belanda sudah diteliti. Boettger

(1895) misalnya, atau De Rooij (1915 &1917)

yang berhasil mempublikasikan daftar 29 jenis

Lacertilia (kelompok kadal), 19 Ophidia

(kelompok ular), 2 jenis Testudinaata (kura-kura)

dan 1 jenis Crocodilia (buaya).

Riset setelahnya, van Kampen (1923)

juga mempublikasikan 9 jenis amfibi. Herpetolog

Indonesia juga aktif melakukan riset dan

menemukan spesimen berharga di sana.

Diantaranya Pakar Herpetofauna Prof. Djoko T.

Iskandar dan Ed Colijn pada awal tahun 2001

dan 2002. Juga M. Iqbal Setiadi dan Amir

Hamidy pada 2006.

Sebaiknya izin pertambangan di pulau-

pulau kecil harus dikaji ulang dan bila perlu

dicabut. Pemerintah dan perusahaan-

perusahaan tambang yang terlibat, harus

melakukan pemulihan sosial-ekologis secara

komprehensif atas kerusakan pulau-pulau kecil

itu. Jika tidak, jangan kaget jika kelak riset-riset

herpetofauna, juga keragaman hayati satwa dan

flora lainnya di sana, akan menemui lubang-

lubang tambang menganga, gersang dan

kerontang. #SaveHerpetofuana . (*)

Gambar 1. Pulau Wetar, 83% jadi area pertambangan

OPINI

Page 53: WARTA HERPETOFAUNAbalitek-ksda.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Warta-Her...2019/03/01  · 2 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET

53 WARTA HERPETOFAUNA/VOLUME XI NO.1, MARET 2019 53

Eutropis multifasciata

Waduk Sermo, Kulon Progo, Yogyakarta

Kredit foto : Ikhsan Jaya