waris adat tanah karo

4
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1986 K/Pdt/2006 TENTANG WARIS ADAT TANAH KARO. Dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Prdt/2006 berkaitan dengan Surat Wasiat Akte No. 02 tanggal 21 Oktober 1999 yang dibuat oleh Riahnaita, S.H., Notaris di Kabanjahe yang berisi tentang hibah wasiat oleh almarhumah ibu Penggugat kepada Penggugat atas seluruh tanah bernama Juma Great seluas ± 3 4 Ha. Atau luasnya dengan bibit padi ± 4 kaleng tersebut termasuk pertapakan rumah para Tergugat dinyatakan sah sesuai hukum namun walaupun hibah wasiat atas objek perkara dilakukan di Notaris tetapi menurut Mahkamah Agung perbuatan hukum tersebut telah melanggar hak legitime portie dari ahli waris lainnya, yaitu saudara-saudara laki-laki dari almarhumah Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga yang walaupun dalam putusan tetap Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe No.37/Perd/1977/PN.Kbj. yang menyatakan bahwa objek perkara adalah milik Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga, tetapi objek perkara berasal dari orang tuanya, yaitu Deleng Karo-Karo Gurusinga sehingga saudara laki-laki almarhum Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga juga berhak atas objek perkara.

Upload: ersaputri

Post on 18-Jan-2016

116 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Waris Adat Tanah Karo

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1986 K/Pdt/2006 TENTANG WARIS ADAT TANAH KARO.

Dasar pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986

K/Prdt/2006 berkaitan dengan Surat Wasiat Akte No. 02 tanggal 21 Oktober 1999

yang dibuat oleh Riahnaita, S.H., Notaris di Kabanjahe yang berisi tentang hibah

wasiat oleh almarhumah ibu Penggugat kepada Penggugat atas seluruh tanah

bernama Juma Great seluas ±34

Ha. Atau luasnya dengan bibit padi ± 4 kaleng

tersebut termasuk pertapakan rumah para Tergugat dinyatakan sah sesuai hukum

namun walaupun hibah wasiat atas objek perkara dilakukan di Notaris tetapi

menurut Mahkamah Agung perbuatan hukum tersebut telah melanggar hak

legitime portie dari ahli waris lainnya, yaitu saudara-saudara laki-laki dari

almarhumah Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga yang walaupun dalam putusan tetap

Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe

No.37/Perd/1977/PN.Kbj. yang menyatakan bahwa objek perkara adalah milik

Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga, tetapi objek perkara berasal dari orang tuanya,

yaitu Deleng Karo-Karo Gurusinga sehingga saudara laki-laki almarhum Meteh

Br. Karo-Karo Gurusinga juga berhak atas objek perkara.

Hal tersebut dikarenakan Majelis Hakim dalam tingkat kasasi telah menggali

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat atau living law yang sesuai dengan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 5 ayat (1) bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”. Pada awalnya dalam sistem hukum adat waris patrilineal di Tanah

Karo, bahwa “ketentuan hukum adat waris di Tanah Karo menentukan, bahwa

hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta pusaka”.1

Dalam hal ini, bukan berarti Majelis Hakim dalam tingkat kasasi menghapus

Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga karena statusnya adalah anak perempuan sebagai

1 Dr. Eman Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 48.

Page 2: Waris Adat Tanah Karo

ahli waris objek perkara yang berasal dari orang tuanya namun terlebih untuk

meninjau kembali tentang pembagian harta waris dari orang tuanya Deleng Karo-

Karo Gurusinga kepada saudara laki-laki almarhum Meteh Br. Karo-Karo

Gurusinga yang juga atas hak legitieme portie jika dilakukannya hibah wasiat

tersebut.

Atas dasar upaya persamaan dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan

wanita sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No.

179 K/Sip/1961 adapun yang menjadi dasar-dasar pertimbangan dari putusan

Mahkamah Agung dalam, antara lain yang dikemukakan oleh Dr. Eman

Suparman, S.H., M.H., Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat,

dan BW yaitu:

(1) “Menimbang, bahwa keberatan-kebearatan tersebut berdasarkan atas

anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup,

bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang

warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya:;

(2) Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain prikemanusiaan

dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan

pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai

hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak

laki-laki dari seorang peninggal warisan, berhak atas warisan, dalam arti

bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan”;

(3) Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah

Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus

dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orang

tuanya”.

Yang sangat perlu ditinjau dari putusan ini adalah bahwa tujuan dari pembuat

undang-undang dalam menetapkan legitieme portie ini adalah untuk

menghindarkan dan melindungi ahli waris asal dari kecenderungan

menguntungkan orang lain karena adanya hibah wasiat yang dilakukan. Seperti

Page 3: Waris Adat Tanah Karo

yang terjadi antara almarhumah Meteh Br. Karo-Karo Gurusinga yang menghibah

wasiatkan tanah warisan dari orang tuanya Deleng Karo-Karo Gurusinga kepada

anaknya Drs. Perayan Tarigan. Yang mana semestinya tanah warisan tersebut

dibagi dengan saudara-saudara laki-laki dari almarhumah Meteh Br. Karo-Karo

Gurusinga yaitu para penggugat intervensi, Tumbak Karo-Karo Gurusinga, Nuan

Karo-Karo Gurusinga dan Pelin Karo-Karo Gurusinga.

Hakikatnya rasa keadilan yang harus dipergunakan sejauh mungkin dan sesuai

dengan adat kebiasaan yang bertahun-tahun diuji bersama atas kebaikannya.2

Bagaimanapun hukum adat yang telah berlaku di Indonesia merupakan hukum

asli dari Indonesia, tidak serta merta menghapuskan adat istiadat yang telah hidup

di dalam masyarakat. Namun, sebagai warga Negara Indonesia yang taat hukum,

sudah sepantasnya juga mematuhi hukum positif yang berlaku di Indonesia.

2 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia,Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm. 55.