6 hukum waris indonesia dalam perspektif islam, adat dan bw

143

Upload: ariyadi-sulaeman

Post on 25-Nov-2015

179 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

  • ii

    KATA PENGANTAR (Edisi Revisi)

    Buku Hukum Waris yang sedang Anda baca ini adalah sebuah buku yang penulis susun serta diterbitkan pertama kali pada tahun 1984, kemudian dicetak ulang pada tahun 1995. Sejak saat itu buku ini tidak diterbitkan karena berbagai pertimbangan. Kini buku tersebut hadir kembali ke hadapan para pembaca setelah mengalami proses revisi dengan judul yang juga mengalami perubahan. Pada terbitan pertama dan kedua buku ini berjudul Intisari Hukum Waris Indonesia. Kini setelah materinya mengalami revisi, judul buku ini pun diubah menjadi Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW.

    Bagi para Mahasiswa (S1) Ilmu Hukum yang sedang mengikuti perkuliahan Hukum Keluarga dan Waris (A1A.301), Hukum Perkawinan dan Waris Islam (A1A.302), serta mata kuliah Hukum Perkawinan dan Waris Adat (A10.405), ada baiknya apabila memiliki dan membaca buku ini. Demikian pula kepada para Mahasiswa (S2) Pascasarjana Magister Kenotariatan yang sedang mengikuti perkuliahan Hukum Waris Islam, Hukum Waris BW, dan Hukum Waris Adat, semoga buku ini dapat membantu anda dalam rangka menelusuri serta memahami hal ihwal hukum waris yang sedang dikaji.

    Ucapan terima kasih tentu saja saya sampaikan kepada Penerbit Refika Aditama Bandung yang telah bersedia untuk menerima naskah buku ini untuk diproses penerbitannya.

    Last but not least, menyadari segala kekurangan buku ini, sehingga kritik dan saran dari pembaca, insya Allah akan sangat penulis hargai. Paling akhir, kepada semua pihak yang telah memungkinkan terbitnya kembali buku ini, penulis mengucapkan terima kasih.

    Taruna Parahiangan, Bandung, 5 Mei 2005

  • Eman Suparman, Lahir di Kuningan, 23 April 1959. Islam, Laki-laki. Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Pendidikan: S1 bidang Hukum Perdata,Universitas Padjadjaran,1982; S2 bidang Hukum Acara Perdata, Universitas Gadjah Mada, 1988; S3 bidang Hukum Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Universitas Diponegoro, 2004. Judul Tesis: Keharusan Mewakilkan Dalam Menunjang Proses Pemeriksaan Perkara yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Pembimbing: Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.; Judul Disertasi: Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk Penegakan Keadilan. Promotor: Prof. Dr. I.S. Susanto,S.H. (alm), Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung, S.H. (Ketua Muda Mahkamah Agung RI), Prof. Dr. Hj. Esmi Warassih Pujirahayu, S.H.,M.S. Pengalaman tambahan: Sandwich Programme untuk studi lanjutan, penelitian, dan studi perbandingan bidang Hukum Perdata Internasional dan Hukum Arbitrase di Rijksuniversiteit Leiden, The Netherlands, 1990/1991. Sebagai Visiting Scholar for the European Council Session at Strasborough, France, March 1991. Awal 1997 dengan ABWPP & Associates stipend kembali berkesempatan sebagai Visiting Scholar at de Hoge Raad der Nederlanden; The Hague, The Netherlands, March 1997; Visiting Academic and Research Programme, organised by The Departement of Law The University of Nottingham, United Kingdom, April 1997; Visiting Scholar at The 7th Annual Writers Festival Prague 97 at Franz Kafka Centre on Pragues Old Town Square, Prague, Czech Republic, May 1997; Participant at The SANGIS Training Programme: South East Asian Network for a Geological Information System; International Centre for Training and Exchanges in Geosciences; United Nations Buildings, Bangkok, Thailand, June 2001. Buku yang pernah dan sedang dalam proses penerbitan (1) INTISARI HUKUM WARIS INDONESIA, CV Mandar Maju, Bandung,

    1995. (2) HUKUM DAN BIROKRASI (sebagai salah satu penulis), Semarang:

    Walisongo Research Institute, April 2001. (3) PILIHAN FORUM ARBITRASE DALAM SENGKETA KOMERSIAL

    UNTUK PENEGAKAN KEADILAN, PT Tatanusa, Jakarta, 2004. (4) HUKUM WARIS INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM, ADAT,

    DAN BW; (Dalam Proses Penerbitan). Memperoleh Penghargaan Karya Ilmiah Terbaik Universitas Padjadjaran, Bandung, 21 September 1998. Pernah ditugaskan oleh Ditjen Dikti Depdiknas sebagai tenaga Detasering pada Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Agustus-Desember 2004. Dari pernikahannya dengan Dra. Ella Dewi Laraswati, dikaruniai 2 (dua) orang putri. (1) Risa Dewi Angganiawati (Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung) dan (2) Anggiani Dewi Rahmawati (Siswi SMA Negeri 1 Kota Bandung).

  • iii

    DAFTAR ISI

    Kata Sambutan ........................................................................................... i Kata Pengantar .......................................................................................... ii

    Daftar Isi .................................................................................................. iii

    BAB I : PENDAHULUAN A. Pengertian Istilah dan Batasan Hukum Waris ............1

    B. Sifat Hukum Waris .................................................... 5 C. Aneka Ragam Hukum Waris ...................................... 8

    BAB II : HUKUM WARIS ISLAM DAN HUKUM WARIS BW DI INDONESIA A. Hukum Islam

    1. Hukum waris dalam Al Qur'an ............................ 10 2. Warisan dalam sistem hukum waris Islam .......... 13 3. Pewaris dan dasar hukum mewaris ..................... 16 4. Ahli waris dalam Islam ...................................... 16 a. Dzul faraa'idh ................................................. 17 b. Ashabah ......................................................... 18 c. Dzul Arhaam ................................................. 20

    5. Bagian masing-masing ahli waris dzul faraa'idh. 20 6. Kelompok keutamaan ahli waris menurut Al Qur'an ............................................................ 23 7. Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak men- dapat warisan ..................................................... 24 B. Hukum Perdata Barat (BW) 1. Hukum waris menurut BW .............................. 25 2. Warisan dalam sistem hukum waris BW ......... 27

    3. Pewaris dan dasar hukum mewaris .................. 29 4. Ahli Waris menurut sistem BW ...................... 31

    5. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW 36

  • iv

    6. Peranan Balai Harta Peninggalan dalam pembagian warisan ................................... 40

    7. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan ..................................... 41

    BAB III : HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA A. Sistem Kekeluargaan dan hukum adat waris .............. 43 B. Sistem kekeluargaan Patrilineal .................................. 47

    1. Hukum waris adat partilineal ................................. 47 2. Pewaris, ahli waris, dan pembagian harta pusaka... 50

    3. Beberapa pendapat kesimpulan tentang hukum adat waris patrilineal ............................................ 54

    C. Sistem Kekeluargaan Matrilineal ............................. 55 1. Hukum waris adat Matrilineal .............................. 55 2. Harta warisan dalam hukum adat waris

    Minangkabau ........................................................ 57 3. Ahli waris dan hak mewaris menurut adat

    Minangkabau ....................................................... 58 4. Kesimpulan hasil penelitian LPHN tahun 1971 .. 63

    D. Sistem Kekeluargaan Parental atau Bilateral ......... 64 1. Hukum waris adat parental atau Bilateral ......... 64

    2. Harta warisan menurut hukum adat waris

    Parental .............................................................. 66 a) harta asal ....................................................... 66 b) Harta bersama ............................................... 68

    3. Ahli waris dalam hukum adat waris Parental .... 67 a) Sedarah dan tidak sedarah ........................... 67 b) Kepunahan atau nunggul pinang ................. 68

    4. Anak angkat dan perkawinan poligami dalam hukum adat parental ......................................... 68

    a) Anak angkat ................................................ 68 b) Ahli waris dalam perkawinan poligami ..... 69

  • v

    c) Kehilangan hak mewaris ....................................69 d) Penggantian tempat ahli waris ...........................70 e) Penetapan ahli waris ......................................... 71

    E. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan ...................... 71 1. Tata cara membagi harta warisan ........................ 71 2. Saat pembagian warisan ...................................... 73

    3. Besarnya bagian yang diterima ahli waris .......... 73 4. Hutang Pewaris .................................................. 83

    5. Mengesampingkan ahli waris ............................ 83 F. Ihtisar ...................................................................... 84

    BAB IV : PERIHAL HIBAH DAN HIBAH WASIAT A. Pengertian Pokok Hibah ........................................... 89

    1. Pengertian Hibah ................................................. 89 2. Hibah menurut Hukum Islam .............................. 90 3. Hibah menurut Hukum Perdata Barat (BW) ...... 94 4. Hibah menurut hukum adat Jawa Barat ............. 95

    B. Ihtisar Hibah ............................................................ 103 C. Pengertian Hibah wasiat atau Wasiat ...................... 105

    1. Hibah wasiat menurut hukum waris Islam ........ 106 2. Hibah wasiat menurut BW ................................ 109

    a) Wasiat Olografis .......................................... 109 b) Wasiat Umum ............................................... 110 c) Wasiat Rahasia ............................................. 111

    3. Hibah wasiat menurut hukum Adat Jawa Barat 112 D. Ihtisar Hibah Wasiat .............................................. 114

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 119

  • vi

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    1. Ahli Waris laki-laki, Ahli Waris Perempuan,

    Ahli waris yang mempunyai bagian-bagian Tertentu ........................................................... 120

    Susunan Ashabah ........................................... 123 2. Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman

    RI Pada Simposium Hukum Waris Nasional (Jakarta,10-12 Pebruari 1983) ........................... 124

    3. Kesimpulan Simposium Hukum Waris Nasional 127

    Ihwal Penulis ....................................................................................128

  • i

    KATA SAMBUTAN Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignjo,S.H.

    (Pada Edisi Pertama)

    Perguruan Tinggi di Indonesia mempunyai Tridharma, yaitu dharma dalam bidang pendidikan pengajaran, bidang penelitian, dan dalam bidang pengabdian kepada masyarakat. Tridharma Perguruan Tinggi tersebut harus dipenuhi oleh setiap orang pengajar di Perguruan Tinggi, oleh karena hal itu juga merupakan syarat bukan saja bagi kemajuan dan perkembangan Perguruan Tinggi akan tetapi juga mempunyai arti penting dalam jenjang karir seorang anggota staf pengajar.

    Oleh karena itu, tulisan yang dikerjakan oleh saudara Eman Suparman, salah seorang pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini harus disambut dengan gembira. Bukan saja karena tulisan ini merupakan perwujudan Tridharma Perguruan Tinggi, akan tetapi dari isinya dapat dikaji, bahwa penulis mencoba mengemukakan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam bidang hukum waris.

    Dari tulisan ini saudara Eman Suparman berusaha mengemukakan buah pikirannya. Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.

    Bandung, 27 Maret 1985

    Prof. Dr. R. Sri Soemantri M.,S.H. Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

  • 1

    A. Pengertian Istilah dan Batasan Hukum Waris Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata

    secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum

    kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan

    mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan

    kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.1 Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum waris sampai saat ini baik para ahli hukum

    Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum

    waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah hukum warisan.2 Hazairin, mempergunakan istilah hukum kewarisan.3 dan Soepomo menyebutnya dengan istilah hukum waris. 4

    Memperhatikan ketiga istilah yang dikemukakan oleh ketiga ahli hukum Indonesia di atas, baik tentang penyebutan istilahnya

    maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri, penulis

    1 M. Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafii dan Wasiat Wajib

    di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam. Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta: FHUI, 1982, h. 154.

    2 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Bandung, Vorkink van

    Hoeve, 's-Gravenhage, h. 8. 3 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al Qur,an. Jakarta: Tintamas, h. 1.

    4 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996, h.

    72.

    1

  • 2

    lebih cenderung untuk mengikuti istilah dan pengertian hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo. Beliau menerangkan bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.5 Oleh karena itu, istilah hukum waris

    mengandung pengertian yang meliputi kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta

    kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk

    hukum waris, hampir tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut

    beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini: 1. Waris:

    Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal.

    2. Warisan:

    Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.

    3. Pewaris: Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal

    dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.

    4. Ahli waris: Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang

    berhak menerima harta peninggalan pewaris.

    5 Soepomo, Loc. Cit., h. 72.

  • 3

    5. Mewarisi: Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah

    mewarisi harta peninggalan pewarisnya.6

    6. Proses pewarisan: Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna,

    yaitu:

    1) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup; dan

    2) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.7 Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut di atas, Hilman

    Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau pun

    masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.8 Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba

    memberikan rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upya memahami pengertian hukum waris secara utuh, beberapa difinisi di antaranya penulis sajikan sebagai berikut:

    Wirjono Prodjodikoro9 mengemukakan: Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.

    Menurut Soepomo,10 Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

    meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

    6 W.J.S. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud,

    Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, 1982, h. 1148. 7 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat. Bandung : Alumni, 1980, h. 23.

    8 Ibid, h. 21.

    9 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., h. 8.

    10 Soepomo, Bab-Bab...Op. Cit., h. 72-73.

  • 4

    barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara

    radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.

    R. Santoso Pudjosubroto, 11 mengemukakan, Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih

    kepada orang lain yang masih hidup. Seperti halnya Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah

    "hukum warisan", R. Santoso Pudjosubroto juga memakai istilah serupa di dalam rumusannya, yakni menggunakan istilah "hukum warisan" untuk menyebut "hukum waris". Selanjutnya beliau menguraikan bahwa sengketa pewarisan timbul apabila ada orang

    yang meninggal, kemudian terdapat harta benda yang ditinggalkan, dan selanjutnya terdapat orang-orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan itu; kemudian lagi tidak ada kesepakatan dalam pembagian harta warisan itu.

    B. Ter Haar Bzn12 dalam bukunya "Azas-azas dan Susunan Hukum Adat" yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris sebagai berikut : "Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad

    ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi".

    11 R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari. Yogyakarta: Hien Hoo

    Sing, 1964, h. 8. 12

    K.Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1960, h. 197.

  • 5

    "Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai

    pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga". 13

    Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada

    umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya".

    B. Sifat Hukum Waris Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini

    masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat

    keseragaman.

    Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan

    bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.14 Untuk mengetahui serta mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia,

    sudah barang tentu terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut

    sistem keturunan yang dikenal itu.

    13 A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.

    Terjemahan M.Isa Arief, Jakarta: Intermasa, 1979, h. 1. 14

    M. Idris Ramulyo, Op.Cit, h. 155.

  • 6

    Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang unik serta sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat mencolok, selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula dengan contoh lokasi geografis lingkungan adatnya.

    1. Sistem patrilineal / sifat kebapaan Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis

    keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki.

    Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakat-masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.15

    2. Sistem matrilineal/ sifat keibuan Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis

    keturunan ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari

    nenek moyang perempuan. Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu Minangkabau.16

    3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan. Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik

    melalui garis bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan

    pihak ayah. Sistem ini di Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.

    Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, kiranya semakin jelas jelas menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Kondisi tersebut sudah tentu sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian saksama itulah akan dapat dipahami betapa pluralisme hukum yang menghiasi

    15 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, h. 10.

    16 Ibid, h. 10.

  • 7

    bumi Indonesia ini masih sangat tampak dan akan terus ada bahkan mungkin sampai akhir zaman, terutama dalam sistem hukum warisnya.

    Namun demikian pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang juga dikenal sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari

    masyarakat adat tersebut. Melengkapi pluralistisnya sistem hukum waris adat yang

    diakibatkan beraneka ragamnya masyarakat adat di Indonesia, dua sistem hukum lainnya yang juga cukup dominan hadir bersama serta berlaku terhadap masyarakat dalam wilayah hukum Indonesia. Kedua macam sistem hukum waris yang disebut terakhir itu memiliki corak dan sifat

    yang berbeda dengan corak dan sifat hukum waris adat. Sistem hukum waris yang dimaksud adalah Hukum Waris Islam yang berdasar dan bersumber pada Kitab Suci Al-Quran dan Hukum Waris Barat peninggalan zaman Hindia Belanda yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek).

    Buku kecil ini penulis sajikan ke hadapan sidang pembaca dengan segala kekurangannya, tidak lain kecuali dalam rangka memahami pengaturan ketiga jenis sistem hukum waris yang bersumber pada ketentuan yang berbeda-beda itu. Selanjutnya diharapkan akan dapat memahami baik segi-segi perbedaannya maupun segi-segi persamaannya dari masing-masing sistem hukum waris dimaksud. Setelah dipahami, berikutnya diharapkan para pembaca akan dapat mengetahui dengan

    sendirinya tentang hukum waris manakah yang seyogianya dan bahkan semestinya diberlakukan kepada kita masing-masing. Tugas selanjutnya adalah berupaya untuk memahami masing-masing ketentuan hukum waris tersebut dalam mengatur kedudukan baik harta benda warisan, pewaris, maupun para ahli waris; masing-masing menurut Hukum Waris Adat,

  • 8

    Hukum Waris Islam, maupun menurut Hukum Waris Barat yang

    bersumber pada BW.

    C. Aneka Ragam Hukum Waris Tampaknya sampai kapan pun usaha ke arah unifikasi hukum

    waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang dapat dipastikan sulit

    untuk diwujudkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Satu di antaranya seperti yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa ...bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar "bidang-bidang yang bersifat "netral" seperti hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan), dan hukum lalu-lintas (darat, air dan udara)".17 Dengan demikian, bidang hukum waris ini menurut kriteria Mochtar Kusumaatmadja, termasuk "bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-komplikasi kultural,

    keagamaan dan sosiologi".18 Di samping itu beliau juga menyadari bahwa terdapat beberapa

    masalah dalam pelaksanaan konsepsi "hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat". Di Indonesia dimana undang-undang merupakan cara

    pengaturan hukum yang utama, pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui perundang-

    undangan.19 Hukum waris sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang yang bersifat netral kiranya sulit untuk diperbaharui dengan jalan perundang-undangan atau kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi hukum. Hal itu disebabkan upaya ke arah membuat hukum waris yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan senantiasa mendapat kesulitan, mengingat beranekaragamnya corak budaya, agama,

    17 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional.

    Bandung: Binacipta, 1976, h.14. 18

    Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta, 1975, h. 12.

    19 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, h. 14.

  • 9

    sosial, dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.

    Sebagai akibat dari keadaan masyarakat seperti dikemukakan di atas, hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si pewaris. Yang dimaksud dengan hukumnya si pewaris adalah hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal

    dunia. Oleh karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum

    waris adat. Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk Eropa atau Timur Asing Cina, bagi mereka berlaku hukum waris Barat".20

    Di lain pihak masih ada hukum yang juga hidup dalam masyarakat yang berdasarkan kaidah-kaiadah agama, khususnya Islam (Al-Quran), sehingga apabila pewaris termasuk golongan penduduk Indonesia yang beragama Islam, maka tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal

    mereka akan mempergunakan peraturan hukum waris berdasarkan hukum waris Islam." Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk Timur Asing lainnya (seperti: Arab, Pakistan atau India), maka terhadap mereka berlaku hukum adat mereka masing-masing".21

    Bertolak dari uraian pendahuluan ini, paparan dalam Bab-Bab selanjutnya akan berkisar pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam masing-masing ketentuan hukum waris yang secara bersama-sama berlaku di Indonesia. Dari prinsip-prinsip hukum waris Indonesia existing yang pluralistik itulah kiranya dapat dipahami betapa sulitnya upaya untuk menyatukan sistem hukum waris dalam bentuk Sistem Hukum Waris Nasional Indonesia yang dicita-citakan (ius Constituendum).

    20 Ny. Retnowulan Sutantio, Wanita dan Hukum. Bandung: Alumni, 1979, h. 84-85.

    21 Ibid, h. 85.

  • 10

    A. Hukum Islam

    1. Hukum waris dalam Al-Quran

    Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Quran dan sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau upaya para ahli hukum Islam terkemuka. Berkaitan dengan hal tersebut, di bawah ini akan

    diuraikan beberapa ayat suci Al-Quran yang merupakan sendi utama pengaturan warisan dalam Islam. Ayat-ayat tersebut secara langsung

    menegaskan perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Quran, masing-masing tercantum dalam surat An Nissa (Q.S. IV), surat Al-Baqarah (Q.S. II), dan terdapat pula pada dalam surat Al-Ahzab (Q.S. XXXIII). Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam Al-Quran, sebagian besar terdapat dalam surat An Nisaa (Q. S. IV) di antaranya sebagai berikut:

    a) Q.S. IV : 7- Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta sepeninggalan Ibu-Bapak, dan kerabatnya , dan bagi wanita ada pula dari harta peninggalan Ibu-Bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian

    yang telah di tetapkan. Dalam ayat ini secara tegas

    Allah menyebutkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris.

    b) Q.S. IV : 11-Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu; bagian

    2

  • 11

    seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan;12 dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,13 maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak amempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

    Bijaksana. Dari ayat ini dapat diketahui tentang bagian anak, bagian ibu dan bapa, di samping itu juga diatur tentang wasiat dan hutang pewaris.

    c) Q.S. IV : 12- Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang

    12 Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat

    dari perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan memberi nafkah (lihat Surat An Nisaa ayat 34).

    13 Lebih dari dua maksudnya: dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

  • 12

    kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.... Di dalam ayat ini juga ditentukan secara tegas mengenai bagian duda serta bagian janda.

    d) Q.S. IV : 33-Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat,

    Kami jadikan pewaris-pewarisnya.14.... Secara rinci dalam ayat 11 dan 12 surat An Nisaa di atas, Allah menentukan ahli waris yang mendapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, ahli waris yang mendapat peninggalan dari saudara seperjanjian. Selanjutnya Allah memerintahkan agar pembagian itu dilaksanakan.

    e) Q.S. IV : 176- ...Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itudua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha

    Mengetahui segala sesuatu. Ayat ini berkaitan dengan masalah pusaka atau harta peninggalan kalalah, yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan juga anak.

    14 Lihat orang-orang yang termasuk ahli waris dalam ayat 11 dan 12 surat An Nisaa.

  • 13

    2. Warisan dalam Sistem Hukum Waris Islam Wujud warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam

    sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris barat sebagaimana diatur dalam BW maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan

    bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris.15

    Wujud harta peninggalan menurut hukum perdata barat yang tercantum dalam BW meliputi seluruh hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.16

    Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan, melainkan juga termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan, sehingga

    kewajiban membayar hutang pada hakikatnya beralih juga kepada ahli waris.17 Demikian pula dalam hukum adat, pembagian harta

    warisan tidak selalu ditangguhkan sampai semua hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya, harta warisan yang dapat beralih kepada para ahli waris tidak selalu harus dalam keadaan bersih setelah dikurangi hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris menerima harta warisan yang di dalamnya tercakup kewajiban membayar hutang-hutang pewaris. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh B. Ter Haar Bzn dalam bukunya, bahwa kewajiban-kewajiban untuk membayar hutang yang ada atau yang timbul pada waktu

    matinya atau karena matinya si peninggal warisan itu; akhirnya

    15 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, h. 17.

    16 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa. 1977, h. 78.

    17 Wirjono Prodjodikoro,Op. Cit, h. 17.

  • 14

    termasuk juga bagian-bagian dari harta peninggalan walaupun sebagai bagian negatif.18 Selanjutnya, Ter Haar mengemukakan bahwa ahli waris bertanggung jawab atas hutang-hutang peninggal warisan sepanjang mereka sudah mendapat laba dari pembagian harta peninggalan itu, serta barang-barang warisan yang mereka terima kiranya dapat mencukupi untuk membayar hutang-hutang itu.19

    Jadi apabila harta peninggalan pewaris tidak mencukupi, maka hutang-hutang pewaris sebagian kadang-kadang dibiarkan tetap tidak

    dibayar. Namun kenyataan dalam praktik di berbagai lingkungan hukum adat di Indonesia menunjukkan keadaan yang berbeda sebab walaupun harta peninggalan pewaris ternyata tidak mencukupi untuk membayar hutang-hutangnya, akan tetapi hutang-hutang tersebut akan

    dibayar lunas oleh para ahli waris tanpa memperhatikan jumlah harta peninggalan pewaris. Hal ini umumnya didasarkan pada suatu

    penghormatan kepada yang meninggal dunia, serta keyakinan bahwa diharapkan pewaris dapat menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa dengan tenang tanpa suatu beban yang akan dapat memberatkannya.

    Sistem Hukum Waris Islam Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut

    Al-Quran mengemukakan bahwa sistem kewarisan Islam adalah sitem individual bilateral.20 Dikatakan demikian, atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam Al-Quran antara lain seperti yang tercantum masing-masing dalam surat An Nissa (Q.S. IV) ayat 7, 8,11, 12, 33, dan ayat 176 serta setelah sistem kewarisan atau sistem hukum waris menurut Al-Quran yang individual bilateral itu dibandingkan dengan sistem hukum waris individual bilateral dalam masyarakat yang bilateral.

    18 K.Ng. Soebakti Poesponoto, Op. Cit., ,h. 215.

    19 Ibid, h. 217.

    20 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran. Jakarta: Tintamas, TT, h. 14-15.

  • 15

    Hazairin juga mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri atau spesifikasi sistem hukum waris Islam menurut Al-Quran, yaitu sebagai berikut:

    a) Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Quran hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan; mati punah.

    b) Jika meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang

    tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. Prinsip di atas maksudnya ialah jika orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Quran hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.

    c) Bahwa suami-isteri saling mewaris; Artinya, pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.

    Sistem kewarisan Islam menurut Al-Quran sesungguhnya merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem kekeluargaannya yang patrilineal. Pada dasarnya sebelum Islam telah

    dikenal tiga prinsip pokok dalam hukum waris, yaitu: (1) Anggota keluarga yang berhak mewaris pertama

    adalah kaum kerabat laki-laki dari pihak bapak yang terdekat atau disebut ashabah;

  • 16

    (2) Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis ibu, tidak mempunyai hak waris;

    (3) Keturunannya yaitu anak, cucu, canggah, pada dasarnya lebih berhak mewaris dari pada leluhur pewaris, yaitu, ayah, kakak, maupun buyutnya.

    Setelah Islam datang, Al-Quran membawa perubahan dan perbaikan terhadap ketiga prinsip di atas sehingga pokok-pokok hukum waris Islam dalam Al-Quran sebagaimana ditentukan dalam surat An-Nisaa ayat-ayat tersebut di atas.

    3. Pewaris dan Dasar Hukum Mewaris. Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki

    maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat

    maupun tanpa surat wasiat.

    Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat bagian harta peninggalan menurut Al-Quran yaitu:

    a. Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam (Q.S. An-Nisaa: 7, 11, 12, 33, dan 176).

    b. Hubungan semenda atau pernikahan.

    c. Hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Quran bagiannya tidak lebih dari sepertiga harta pewaris (Q.S. Al-Ahzab: 6).

    d. Hubungan kerabat karena sesama hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (Q.S Al-Anfaal: 75).

    4. Ahli waris dalam Islam Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak

    mendapat bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan

  • 17

    ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

    a) Ahli waris menurut Al-Quran atau yang sudah di tentukan di dalam Al-Quran disebut dzul faraaidh.

    b) Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah.

    c) Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam.

    a) dzul Faraaidh Yaitu ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Quran,

    yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah.21 Adapun rincian masing-masing

    ahli waris dzul faraaidh ini dalam Al-Quran tertera dalam surat An-Nisaa ayat 11, 12, dan 176 yang dielaborasi secara akademis oleh Th. N. Juynboll dalam bukunya Hanleiding tot de kennis van den Mohammedaansche School. Sementara itu, Komar Andasasmita, dengan mengutip buku karya Juynboll di atas, menguraikan jumlah ahli waris menurut atau berdasarkan Al-Quran yang terdiri atas dua belas jenis, yaitu :

    (1) Dalam garis ke bawah: 1. (1) anak perempuan 2. (2) anak perempuan dari anak laki-laki (Q.S.IV : 11) (2) Dalam garis ke atas: 3. (1) ayah 4. (2) ibu 5. (3) kakek dari garis ayah 6. (4) nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S.

    IV : 11). (3) Dalam garis ke samping:

    21 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tintamas, 1968, h. 38.

  • 18

    7. (1) Sauadara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah.

    8. (2) Saudara perempuan tiri (halfzuster) dari garis ayah (Q.S. IV : 176)

    9. (3) Saudara lelaki tiri (halfbroeder) dari garis ibu (Q.S. IV : 12)

    10. (4) Saudar perempuan tiri (halfzuster) dari garis ibu (Q.S. IV : 12)

    (4). 11. Duda (5). 12. Janda (Q.S. IV : 12)

    b) Ashabah Ashabah dalam bahasa Arab berarti Anak lelaki dan kaum

    kerabat dari pihak bapak.22 Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilineal Sjafii adalah golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau bagian sisa. Jadi bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul faraaidh, yaitu bagian yang telah ditentukan di dalam Al-Quran, setelah itu sisanya baru diberikan kepada ashabah. Dengan demikian, apabila ada pewaris yang meninggal tidak mempunyai ahli waris dzul faraaidh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu), maka harta peninggalan diwarisi oleh ashabah. Akan tetapi jika ahli waris dzul faraaidh itu ada maka sisa bagian dzul faraaidh menjadi bagian ashabah.

    Ahli waris ashabah ini menurut pembagian Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran, dinamakan ahli waris bukan dzul faraaidh, yang kemudian beliau membagi ahli waris ashabah menjadi tiga golongan yaitu ashabah binafsihi, ashabah bilghairi, dan ashabah maal ghairi.23 Ashabah-

    22 M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h. 26.

    23 Hazairin, Op. cit., h. 15.

  • 19

    ashabah tersebut menurut M. Ali Hasan dalam bukunya Hukum Warisan dalam Islam, 24 terdiri atas:

    (1) Ashabah binafsihi yaitu ashabah-ashabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut:

    1. Anak laki-laki;

    2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki;

    3. Ayah; 4. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja

    pertaliannya belum putus dari pihak ayah; 5. Saudara laki-laki sekandung; 6. Saudara laki-laki seayah; 7. Anak saudara laki-laki sekandung;

    8. Anak saudara laki-laki seayah; 9. Paman yang sekandung dengan ayah; 10. Paman yang seayah dengan ayah; 11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah;

    12. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah. (2) Ashabah bilghairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain,

    yakni seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki, mereka yang termasuk dalam ashabah bilghairi ini adalah sebagai berikut:

    1. Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki;

    2. Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara

    laki-laki.

    24 M. Ali Hasan, Op., Cit., h. 27.

  • 20

    (3) Ashabah maal ghairi yakni saudara perempuan yang mewaris bersama keturunan dari pewaris, mereka itu adalah:

    1. Saudara perempuan sekandung, dan 2. Saudara perempuan seayah.

    c) dzul Arhaam Arti kata dzul arhaam adalah orang yang mempunyai hubungan

    darah dengan pewaris melalui puhak wanita saja.25 Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral memberikan perincian mengenai dzul arhaam, yaitu: semua orang yang bukan dzul faraaidh dan bukan ashabah, umumnya terdiri atas orang yang temasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki-laki

    atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga

    pihak ayah dan ibu.26

    Sajuti Thalib dalam bukunya menguraikan pula tentang dzul arhaam, antara lain cucu melalui anak perempuan, menurut kewarisan patrilineal tidak menempati tempat anak, tetapi diberi kedudukan sendiri dengan sebutan dzul arhaam atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, tetapi telah agak jauh. Akibat dari pengertian ini maka dzul arhaam mewaris juga, tetapi telah agak di belakang. Artinya, dzul arhaam akan mewaris kalau sudah tidak ada dzul faraaidh dan tidak ada pula ashabah. Selain cucu melalui anak perempuan, yang dapat digolongkan sebagai dzul arhaam adalah anggota keluarga yang penghubungnya kepada keluarga itu seorang wanita.

    5. Bagian masing-masing ahli waris dzul faraaidh Di antara ahli waris yang ditentukan bagiannya di dalam Al-

    Quran hanya ahli waris dzul faraaidh, sehingga bagian mereka

    25 Sajui Thalib, Op., Cit., h. 15.

    26 Hazairin, Op. Cit., h. 15.

  • 21

    selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah. Berbeda halnya dengan para ahli waris lain yang bukan dzul faraaidh, seperti ahli waris ashabah dan dzul arhaam. Bagian mereka yang disebut terakhir, merupakan sisa setelah dikeluarkan hak para ahli waris dzul faraaidh. Adapun bagian tetap para ahli waris dzul faraaidh secara terrinci dapat disimak lebih lanjut dalam uraian dibawah ini:

    a. Mereka yang mendapat dari harta peninggalan terdapat lima golongan.

    1. seorang anak perempuan bila tidak ada anak laki-laki. (Q.S. IV : 11);

    2. seorang anak perempuan (dari anak laki-laki), bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan;

    3. seorang saudara perempuan kandung, bila tidak ada saudara laki-laki (Q.S. IV : 176);

    4. seorang saudara perempuan seayah, bila tidak ada saudara laki-laki (Q.S. IV : 176);

    5. suami bila isteri yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu (Q.S. IV: 12).

    b. Mereka yang mendapat bagian dari harta peninggalan terdapat dua golongan:

    1. Suami, bila isteri yang meninggal mempunyai anak atau cucu (Q.S. IV : 12);

    2. Isteri, bila suami yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu. (Q.S. IV : 12).

    c. Ahli waris yang mendapat dari harta peninggalan hanya satu golongan, yaitu:

    1. Isteri, bila suami yang meninggal dengan meninggalkan anak atau cucu. (Q.S. IV : 12)

  • 22

    d. Ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan, hanya isteri (zaujah),27 baik seorang ataupun lebih. Bagian ini akan diperoleh isteri apabila suaminya yang meninggal dunia meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan (Q.S. IV :12). Demikian pula jika suaminya itu meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun

    perempuan.

    e. Ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan ada

    dua golongan, yaitu: 1. Ibu, bila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau

    cucu, atau dua orang saudara atau lebih. (Q.S. IV: 11); 2. Dua orang atau lebih saudara seibu baik laki-laki

    maupun perempuan, dengan pembagian yang sama. f. Ahli waris yang memperoleh bagian dari harta peninggalan

    terdapat 4 (empat) golongan: 1. Dua orang atau lebih anak perempuan, bila tidak ada

    anak laki-laki (Q.S. IV :11); 2. Dua orang cucu perempuan atau lebih, dari anak laki-

    laki bila tidak ada cucu laki-laki, anak perempuan; 3. Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, bila

    tidak ada saudara laki-laki. (Q.S. IV :176); 4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila

    ada saudara laki-laki. (Q.S. IV :176). g. Para ahli waris yang meninggal memperoleh 1/6 dari harta

    peninggalan, terdapat tujuh golongan : 1. Ibu, jika yang meninggal dunia meninggalkan anak,

    cucu, dua atau lebih saudara. (Q.S. IV :11); 2. Ayah, jika yang meninggal dunia mempunyai anak atau

    cucu ( Q.S. IV : 11);

    27 H.Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. Jakarta: Penerbit Attahiryah, Cetakan Ketujuh

    belas. 1976. h. 338; Bdgk. A. Shohibul Munir, Ilmu Faraidh (Tanatun Nawahidh). Bandung : PT. Almaarif. Cetakan kedua 1984, h. 18.

  • 23

    3. Nenek, ibu dari ibu-bapak; 4. Seorang cucu perempuan, dari anak laki-laki,

    bersamaan dengan anak perempuan (H.R. Buchari); 5. Kakek, bapak dari bapak, bersamaan dengan anak atau

    cucu, bila ayah tidak ada; 6. Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan. (Q.S.

    IV :12); 7. Saudara perempuan, seorang atau lebih bersamaan

    dengan saudara kandung.

    6. Kelompok keutamaan ahli waris menurut Al-Quran Dalam sistem hukum waris Islam menurut Al-Quran yang

    merupakan sistem hukum waris bilateral, di samping dikenal adanya ahli waris dzul faraaidh yang bagiannya tetap, tertentu serta tidak berubah-ubah berdasarkan ketetapan yang ada di dalam Al-Quran, juga terdapat ahli dari waris ashabah dan ahli waris dzul arhaam. Kedua macam ahli waris tersebut memperoleh bagian sisa dari harta peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang pewaris termasuk

    ongkos-ongkos biaya kematian, wasiat, dan bagian para ahli waris dzul faraaidh.

    Di samping itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu ahli waris yang didahulukan untuk mewaris28 dari kelompok ahli waris lainnya. Mereka yang menurut Al-Quran termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau disebut dengan kelompok keutamaan29 terdiri atas empat macam, yaitu:

    28 Sajuti Thalib, Op. Cit., h. 68.

    29 Hazairin, Op. Cit., h. 33.

  • 24

    a. Keutamaan pertama, yaitu:

    1) Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal dunia;

    2) Ayah, ibu, dan duda atau janda, bila tidak terdapat anak. b. Keutamaan kedua:

    1) Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan saudara;

    2) Ayah, ibu, dan janda atau duda, bila tidak ada saudara. c. Keutamaan ketiga:

    1) Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah satu, bila tidak ada anak dan tidak ada saudara;

    2) Janda atau duda. d. Keutamaan keempat:

    1) Janda atau duda; 2) Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris

    pengganti kedudukan ayah.

    7. Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak mendapat warisan

    Di antara ahli waris ada yang tidak patut dan tidak berhak

    mendapat bagian waris dari pewarisnya karena beberapa penyebab, yaitu:

    a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari keluarga yang dibunuhnya;

    b. Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya;

    c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama Islam.

    Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang disebutkan di atas, apabila ternyata telah berpura-pura dan

  • 25

    menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris, maka dia berkewajiban mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya.

    Tidak patut dan tidak berhak mendapat warisan berbeda dengan penghapusan hak waris atau hijab, karena yang menyebabkan timbulnya dua persoalan itu pun berbeda. Hal tersebut dapat terlihat dalam tabel di bawah ini.

    Tidak patut dan tidak berhak mewaris

    Penghapusan hak waris

    1. Disebabkan tindakan melawan hukum.

    Contohnya: Orang yang membunuh pewaris dengan sengaja.

    2. Disebabkan berlainan agama dengan pewaris yang beragama Islam.

    Contohnya: ahli waris yang murtad atau kafir.

    1. Karena ada ahli waris yang mewaris bersama-sama dia, sehingga bagian warisnya dikurangi.

    Contohnya: ibu memperoleh 1/6 bagian jika mewaris bersama anak atau cucu atau beberapa saudara..

    2. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungan dengan orang yang meninggal (pewaris).

    Contohnya: cucu laki-laki tidak mendapat bagian selama

    ada anak laki-laki.

    B. Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek/BW)

    1. Hukum waris menurut BW

    Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak

    dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.

  • 26

    Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan rumusan hukum waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu :

    Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.30

    Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva.

    Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang

    kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu :

    a. ada seseorang yang meninggal dunia; b. ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan

    memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

    c. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris. Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa

    apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya.31 Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

    Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain

    adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktu-

    30 A. Pitlo, Op. Cit., h. 1.

    31 R. Subekti, Op. Cit., h. 79.

  • 27

    waktu menuntut pembagian dari harta warisan.32 Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:

    a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta

    benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;

    b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;

    c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;

    d. Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

    Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang pemisahan harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem hukum waris menurut BW memiliki ciri khas yang berbeda dari

    hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di antaranya hukum waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan seorang

    pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris.

    2. Warisan dalam sistem hukum waris BW Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut

    kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

    32 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., h. 12.

  • 28

    meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-benar hak mereka yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris. Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:

    a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik); b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus

    dilakukan bersifat pribadi; c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk

    maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota/persero.

    Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang

    walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:

    a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;

    b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.

    Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) BW, yaitu sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut

  • 29

    saisine.33 Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu: ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.

    Sistem waris BW tidak mengenal istilah harta asal maupun harta gono-gini atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan,

    sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih

    dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan macam dan asal barang yang ditinggalkan pewaris. Dalam hukum adat jika seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah harta, harta peninggalan tersebut senantiasa ditentukan dahulu, mana yang

    termasuk harta asal yang dibawa salah satu pihak ketika menikah dan mana yang termasuk harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh

    bersama suami-istri selama dalam perkawinan. Sedangkan sistem BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan sebaliknya yaitu harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.

    3. Pewaris dan dasar hukum mewaris Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki

    maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan

    33 Lihat R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1977, h. 79.

  • 30

    maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.

    Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:

    a. menurut ketentuan undang-undang;

    b. ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).34 Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan

    kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.

    Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.

    Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia.35 Sifat utama surat

    wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali.

    Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah, dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.

    Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian

    dari hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian

    34 R. Subekti, Op. Cit., h. 78.

    35 Ibid., h. 88.

  • 31

    ahli waris berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.

    4. Ahli waris menurut sistem BW Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi

    ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah

    atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:

    a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah,

    meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama.

    Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;

    b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi

    orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka.

    Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;

    c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;

    d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.

    Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka

  • 32

    akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat. Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.

    Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan

    ahliwaris yang manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris menurut surat wasiat?

    Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam BW tentang surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk membuat surat

    wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi

    seseorang pembuat surat wasiat agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu: Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak.

    Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau legitime portie36 ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka

    adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas maupun dalam garis

    36 Legitime portie, yaitu: suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Lihat, R. Subekti, Op. Cit., h. 93.

  • 33

    lurus ke bawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, R. Subekti, mengemukakan dalam bukunya, bahwa peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testamen menurut sekehendak

    hatinya sendiri.37 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan

    menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut:

    a) Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW); b) Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat

    pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: anak yang

    ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi

    dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris;

    c) Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.

    Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan setelah itu ia harus menyatakan sikapnya

    apakah menerima atau menolak warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan menerima warisan

    37 R. Subekti, Op. Cit., h. 94.

  • 34

    secara beneficiaire,38 yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan.

    Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:

    a. Menerima warisan dengan penuh; b. Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak

    akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan

    istilah menerima warisan secara beneficiaire; c. Menolak warisan.

    Baik menerima maupun menolak warisan, masing-masing

    memiliki konsekuensi sendiri-sendiri terhadap ahli waris. Untuk memahami konsekuensi dimaksud, di bawah ini akan diuraikan akibat-akibat dari masing-masing pilihan yang dilakukan oleh ahli waris,

    yaitu sebagai berikut:

    (1) Akibat menerima secara penuh; Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan

    secara penuh, baik secara diam-diam maupun secara tegas bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada harta warisan. Artinya, ahli waris harus menanggung segala macam hutang-hutang pewaris. Penerimaan

    warisan secara penuh yang dilakukan dengan tegas yaitu melalui

    38 Akibat terpenting dari menerima warisan secara beneficiaire adalah bahwa kewajiban

    si waris untuk melunasi hutang-hutangnya dan beban-beban lainnya dibatasi sedemikian rupa bahwa pelunasan itu hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si waris itu tidak usah menanggung pembayaran hutang-hutang itu dengan kekayaan sendiri. Lihat R. Subekti, Op. Cit., h. 85-86.

  • 35

    akta otentik atau akta di bawah tangan, sedangkan penerimaan secara penuh yang dilakukan diam-diam, biasanya dengan cara mengambil tindakan tertentu yang menggambarkan adanya penerimaan secara penuh.

    (2) Akibat menerima warisan secara beneficiaire; (a) seluruh warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli

    waris;

    (b) ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran hutang-hutang pewaris dengan kekayaan sendiri sebab pelunasan hutang-hutang pewaris hanya dilakukan menurut kekuatan harta warisan yang ada;

    (c) tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara harta kekayaan ahli waris dengan harta warisan.

    (d) Jika hutang-hutang pewaris telah dilunasi semuanya dan masih ada sisa peninggalan, maka sisa itulah yang merupakan bagian ahli waris.

    (3) Akibat menolak warisan Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah

    menjadi ahli waris, karena jika ia meninggal lebih dahulu dari pewaris ia tidak dapat digantikan kedudukannya oleh anak-anaknya yang masih hidup. Menolak warisan harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri wilayah hukum tempat warisan terbuka. Penolakan warisan dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak meninggalnya pewaris. Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara

    beneficiaire atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai beberapa kewajiban yaitu:

  • 36

    (a) wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu empat bulan setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri;

    (b) wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya; (c) wajib membereskan urusan waris dengan segera; (d) wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur

    benda bergerak maupun kreditur pemegang hipotik; (e) wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh

    kreditur pewaris, maupun kepada orang-orang yang menerima pemberian secara legaat;

    (f) wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat kabar resmi.

    Pengertian Legaat 39

    R. Subekti, dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata menerangkan pengertian legaat yaitu suatu pemberian kepada seseorang yang bukan ahli waris melalui surat wasiat, berupa :

    (1) satu atau beberapa benda tertentu; (2) seluruh benda dari satu macam atau satu jenis, misalnya

    memberikan seluruh benda bergerak;

    (3) hak memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan; (4) sesuatu hak lain terhadap harta peninggalan. Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia

    bukan ahli waris maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris, ia hanya mempunyai hak untuk menuntut legaat yang diberikan kepadanya.

    5. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan

    ahli waris yang bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya,

    39 R. Subekti, Op. Cit., h. 88.

  • 37

    apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:

    a) Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih

    dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh warisan selama anak pewaris masih

    ada, baru apabila anak pewaris itu telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya atau cucu pewaris.

    b) Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan

    mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian

    yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga

  • 38

    orang saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia,

    yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:

    - (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, sama saja;

    - bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris;

    - (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.

    Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada.

    Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.

    c) Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama

    maupun kedua. Dalam keadaan seperti ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak

  • 39

    keluarga dari pancer ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek.

    d) Bagian golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau dari pancer ibu jatuh kepada saudara-saudara sepupu si pewaris yakni saudara sekakek atau

    saudara senenek dengan pewaris. Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli

    waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi.

    Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai berikut :

    - dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di uar perkawinan mewaris bersama-sama dengan anak yang sah

    serta janda atau duda yang hidup paling lama; - dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar

    perkawinan mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga;

  • 40

    - dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris sampai derajat keenam.

    - dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di luar nikah bukan , sebab untuk ahli waris golongan

    keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih dahulu diadakan kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang lahir di luar nikah akan memperoleh dari bagian anak sah dari separoh warisan pancer ayah dan dari bagian anak sah dari separoh

    warisan pacer ibu, sehingga menjadi bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai

    derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah, maka harta peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya.

    Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh menikah karena keduanya sangat erat

    hubungan kekeluargaannya, menurut sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah untuk hidup seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).

    6. Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian warisan

    Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun

    ahli waris yang tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus.

  • 41

    Dalam keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.

    Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan Balai Harta Peninggalan dalam tugasnya mengurus harta warisan yang tak terurus

    meliputi :

    a) wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang;

    b) wajib membereskan warisan, dalam arti menagih piutang-piutang pewaris dan membayar semua hutang pewaris.

    Apabila diminta oleh pihak yang berwajib, Balai Harta Peninggalan juga wajib memberikan pertanggung jawaban;

    c) wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau panggilan resmi lainnya.

    Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik negara.

    7. Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan

    seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena kematian, yaitu sebagai berikut:

    a) seorang ahli warais yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris;

  • 42

    b) seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih;

    c) ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau

    menarik kembali surat wasiat; d) seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan,

    dan memalsukan surat wasiat. Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut itu menguasai

    sebagian atau seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia wajib mengembalikan semua yang dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah dinikmatinya.

  • 43

    A. Sistem Kekeluargaan dan Hukum Adat Waris

    Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan

    salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat

    bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda,

    yaitu:

    Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuam yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.

    Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri,

    contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.

    3

  • 44

    Namun demikian, bagi masyarakat Minangkabau yang sudah merantau ke luar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.

    Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan

    perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli

    waris dari harta peninggalan orang tua mereka. Dari ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada variasi

    lain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya, "sistem patrilineal beralih-alih (alternerend) dan sistem unilateral berganda (dubbel unilateral)".40 Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan sistem

    yang lainnya.

    Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, jelas bagi kita bahwa hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada

    masyarakat yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut. Tjokorda Raka Dherana, dalam tulisannya "Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali" yang dimuat dalam Majalah Hukum Nomor 2 mengemukakan, antara lain:

    "...masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang hukum adat kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat kepada penentuan aturan-aturan tentang warisan. Di samping itu, peranan agama yang dianut tidak kalah pentingnya pula dalam penentuan aturan-aturan tentang warisan karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum adat. Hal ini mengakibatkan pula bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi dalam

    40 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1981, h. 284.

  • 45

    pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga memakai sistem patrilineal, seperti halnya di Batak".41

    Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu :

    a. Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara

    perorangan, misalnya di: Jawa, Batak. Sulawesi, dan lain-lain;

    b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta peninggalan secara

    bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang di warisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada

    masing-masing ahli waris. Contohnya "harta pusaka di Minangkabau dan "tanah dati di semenanjung Hitu Ambon;

    c. Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi

    oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu: (1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/

    sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris

    tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung; (2) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua

    merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

    41 Tjokorda Raka Dherana, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali; Majalah Hukum

    No. 2 Tahun Kedua, Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), 1975, h. 101.

  • 46

    Hazairin, di dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut di atas bila dihubungkan dengan prinsip garis keturunan, yaitu :

    "Sifat individual ataupun kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjukan kepada bentuk masyarakat di mana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai dalam masyarakat patrilineal seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah Batak, di sana sini mungkin pula dijumpai sistem mayorat dan sistem kolektif yang terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu, selain dalam masyarakat patrilineal yang beralih-alih, di Tanah Semendo dijumpai pula pada masyarakat bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem kolektif dalam batas-batas tertentu malahan dapat pula dijumpai dalam masyarakat yang bilateral seperti di Minahasa Sulawesi Utara".42

    Memperhatik