wahyu sylvitria_integrated biocycle farming

50
  JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN  WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 1 dari 50 Bab I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia saat ini menghadapi sejumlah masalah pembangunan ekonomi yang kompleks. Sejumlah masalah yang dimaksud mencakup pendapatan rakyat rendah, tingkat kemiskinan relatif tinggi, pengangguran tinggi, ketimpangan ekonomi, pem- bangunan ekonomi daerah yang berjalan lambat, utang luar negeri relatif tinggi, kelangkaan energi, ketahanan pangan keropos, dan kemerosotan mu- tu lingkungan hidup. Masalah pembangunan eko- nomi tersebut memerlukan pemecahan sesegera mungkin. Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang  juga menghada pi kesulitan pembiayaan pemba- ngunan, untuk memecahkan masalah tersebut, kita perlu melakukan penajaman (focusing)  strategi pembangun an ekonomi ke depan. 1.1.1 Sumberday a Manusia Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya 8 persen (BPS, 1993). Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35 persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003). Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah. Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge). Ketertinggalan petani dalam hal pendidikan di atasi dengan pendekatan penyetaraan pendidikan yang selanjutnya dikaitkan dengan pelatihan keterampilan berusahatani. Di samping itu, berbagai upaya pengu- atan kapasitas petani juga perlu dilakukan terutama dalam hal pengembangan sikap kewirausahaan, ke- mampuan dalam pemasaran dan manajemen usaha. Suatu kesalahan yang terjadi selama ini adalah: (1) tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya untuk memperbaiki kemampuan teknis produksi petani, padahal yang terpenting adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisny a; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari atau tidak para pejabat pertanian kita telah

Upload: wahyu-sylvitria-b

Post on 08-Oct-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Integrated Farming with Balanced Bio-Cycle to provide a sub-system output as an input factor for other sub-system.

TRANSCRIPT

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 1 dari 50

    Bab I PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG

    Indonesia saat ini menghadapi sejumlah masalah pembangunan ekonomi yang kompleks. Sejumlah masalah yang dimaksud mencakup pendapatan rakyat rendah, tingkat kemiskinan relatif tinggi, pengangguran tinggi, ketimpangan ekonomi, pem-bangunan ekonomi daerah yang berjalan lambat, utang luar negeri relatif tinggi, kelangkaan energi, ketahanan pangan keropos, dan kemerosotan mu-tu lingkungan hidup. Masalah pembangunan eko-nomi tersebut memerlukan pemecahan sesegera mungkin.

    Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang juga menghadapi kesulitan pembiayaan pemba-ngunan, untuk memecahkan masalah tersebut, kita perlu melakukan penajaman (focusing) strategi pembangunan ekonomi ke depan.

    1.1.1 Sumberdaya Manusia

    Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya 8 persen (BPS, 1993). Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35 persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003). Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah. Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge).

    Ketertinggalan petani dalam hal pendidikan di atasi dengan pendekatan penyetaraan pendidikan yang selanjutnya dikaitkan dengan pelatihan keterampilan berusahatani. Di samping itu, berbagai upaya pengu-atan kapasitas petani juga perlu dilakukan terutama dalam hal pengembangan sikap kewirausahaan, ke-mampuan dalam pemasaran dan manajemen usaha.

    Suatu kesalahan yang terjadi selama ini adalah: (1) tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya untuk memperbaiki kemampuan teknis produksi petani, padahal yang terpenting adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisnya; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari atau tidak para pejabat pertanian kita telah

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 2 dari 50

    membentuk opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; dan (4) para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha yang sudah professional dan memahami sistem agribisnis, padahal mereka belum tentu mampu memahami maupun melakukan konsep sistem agri-bisnis secara baik.

    1.1.2 Produktivitas Lahan

    Pada awalnya untuk menghasilkan lebih banyak pangan memerlukan luasan lahan budidaya, sehingga lahan merupakan sumberdaya pertanian yang utama. Dengan dimulainya revolusi hijau (intesifikasi pertanian), kepentingan nisbi lahan berkurang karena masukan pertanian ~ pupuk, mekanisasi, pestisida, irigasi, dan benih unggul ~ memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kenaikan produksi pangan. Sebagian kebutuhan lahan disulih oleh teknologi.

    Saat ini kebutuhan lahan kembali mencuat karena hasil panen yang semakin menurun sehubungan dengan penurunan produksi dan penyempitan lahan pertanian yang dialih-fungsikan, sedangkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pulau Jawa setidaknya kehilangan 20.000 ha lahan pertanian setiap tahun akibat pemekaran kota di mana luasan lahan tersebut mampu menyediakan beras untuk 378.000 orang tiap tahun. Akibatnya lahan menjadi sumberdaya pertanian yang nilainya terus meningkat.

    Penurunan produktivitas lahan pertanian disebabkan oleh terdegradasinya fungsi hayati lahan, yaitu kemampuan/kapasitasnya mengubah hara menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan tanaman. Dengan pengertian ini, konsep kesuburan tanah harus dapat lebih mengedepankan sifat-sifat hayati tanah daripada sifat fisik-kimia tanah. Karena menyangkut kehidupan hayati tanah (edafon), maka istilah kesuburan tanah dalam konsep ini lebih tepat digunakan istilah kesehatan tanah.

    Revolusi hijau gencar disosialisasikan melalui sistem Bimas atau LAKU dan sema-camnya ~ BIMAS (sejak 1963/1964), sistem LAKU (1976) sistem INSUS (1979) dan sistem SUPRA INSUS (1986), melalui inovasi teknologi Sapta Usaha Pertanian secara lengkap (Abbas, 1995). Awalnya, revolusi hijau di Indonesia mampu mening-katkan produksi pangan (khususnya padi) secara spektakuler. Namun sukses ter-sebut harus dibayar mahal. Berbagai masalah serius sekarang bermunculan akibat revolusi hijau: kerusakan lingkungan (ekosistem), marjinalisasi petani gurem dan buruh tani, rendahnya tingkat pendapatan petani, ketidakmandirian petani, dan ketidaksehatan produk yang dikonsumsi masyarakat. Peningkatan produktivitas lahan yang dicapai belum bisa mengangkat taraf kehidupan petani ke tingkat yang lebih baik. Masalah tersebut menunjukkan kekeliruan penerapan kebijakan revolusi hijau.

    Selama dekade tahun 1970-an, diperkirakan Indonesia telah kehilangan produksi padi senilai lebih dari US$ 10 miliar akibat serangan hama wereng batang coklat (WBC), sedangkan pada tahun 1997, Indonesia telah kehilangan produksi padi sebesar 10 juta ton akibat serangan hama wereng batang coklat (Suara Pembaruan, 19 Juli 1998).

    Pada bulan Januari 1988, Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture/USDA) telah mereformasi kebijakan pertaniannya. USDA

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 3 dari 50

    mengeluarkan kebijakan bersejarah, yaitu Low-Eksternal Input Sustainable Agriculture (LEISA). LEISA adalah suatu sistem pertanian terpadu yang merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam suatu rencana manajemen yang utuh. Kombinasi tersebut terdiri atas berbagai macam metode bertani, seperti: pengendalian hama terpadu, kontrol biologis, dan pergiliran tanaman yang berbasiskan tanaman kacang-kacangan (legume).

    1.1.3 Kelembagaan

    Kelembagaan petani sampai saat ini belum dapat mengangkat kesejahteraan petani, hanya di beberapa daerah saja yang sudah mapan dan mengakar pada masyarakat. Fungsi kelembagaan seperti koperasi masih kalah dengan rentenir/ijon dalam hal pembiayaan dan okupansi (pembelian) hasil panen, sehingga petani tidak memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power) atas harga hasil panennya.

    Permodalan merupakan masalah yang utama bagi petani, terutama petani peng-garap yang tidak memiliki lahan pertanian (hanya tenaga saja). Petani penggarap biasanya mendapat porsi sedikit dalam pembagian hasilnya dan terkadang bahkan tidak mencukupi untuk kegiatan budidaya di musim tanam selanjutnya, sehingga mereka butuh pinjaman permodalan. Petani lebih senang untuk mendapatkan pinjaman permodalan tersebut dari rentenir/ijon atas dasar kemudahan prosesnya (cepat, tidak perlu agunan) walaupun dengan bunga yang tinggi dan terikat kontrak penjualan hasil panennya. Rentenir dapat dengan mudah untuk menekan harga hasil panen petani, dan petani terpaksa harus menjualnya karena khawatir tidak akan mendapatkan pinjaman lagi.

    Fenomena tersebut sudah umum berlaku di tingkat petani, dan walau bagaimana pun petani tetap terbantu dengan adanya pinjaman permodalan dari rentenir. Selain itu tingkat kepercayaan petani terhadap pengelola lembaga (koperasi, gapoktan, dsb) sangat rendah akibat kurangnya profesionalisme pengelola dan adanya penye-lewengan anggaran dan dana oleh oknum pegelola.

    1.2 TUJUAN

    Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan solusi kepada petani untuk mengatasi kelemahan revolusi hijau, setidaknya dapat:

    (1) Meningkatkan kesejahteraan petani terutama kelompok masyarakat yang mata pencahariannya berkaitan langsung dengan sumberdaya pertanian.

    (2) Memanfaatkan kekosongan kegiatan pada waktu luang dan menguatkan cashflow usaha tani dengan melakukan diversivikasi horisontal pada usaha tani.

    (3) Menerapkan LEISA (Low External Inputs for Sustainable Agriculture) dan bio-cycle sehingga tercapai efisiensi biaya usaha tani yang akan menurunkan harga pokok produksi.

    (4) Menerapkan prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Responding).

    (5) Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian baik produk primer maupun olahan, sehingga memiliki daya saing yang kuat.

    (6) Menjaga dan meningkatkan kualitas sumberdaya petani.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 4 dari 50

    melalui pengelolaan terpadu yang mencakup:

    (1) Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll.

    (2) Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam jumlah yang tepat dan tanaman dapat berproduksi optimal.

    (3) Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati, perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan serangan hama/penyakit.

    (4) Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih lainnya dalam sistem vertigasi.

    (5) Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan.

    (6) Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien (zero waste management).

    Arahan dari pelaksanaan usaha tani yang berwawasan lingkungan ini menuju pertanian organik sebagai persyaratan mutlak menuju era perdagangan bebas yang akan menghasilkan produk pertanian sehat dengan meminimisasi terjadinya penu-runan produksi tahap awal karena pengurangan pupuk kimia berdasarkan perhi-tungan neraca hara.

    1.3 SASARAN

    Petani yang dapat melaksanakan konsep sistem pertanian terpadu ini adalah petani atau kelompok tani yang memiliki lahan sekurang-kurangnya 1 ha untuk menda-patkan kelayakan ekonomi yang cukup dalam kegiatan usaha tani. Diharapkan petani akan menjadi subyek dalam pelaksanaan kegiatan usaha tani tanpa ter-gantung dari pihak manapun dengan pembentukan permodalan dan pasar yang baik oleh lembaga atau instansi yang berkompeten.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 5 dari 50

    Bab II KONSEP PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

    2.1 KESEIMBANGAN ALAM

    Alam diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan keseimbangan ekosistem yang berjalan sesuai dengan ketentuannya. Populasi tumbuhan, hewan, dan dekomposer (mikrobial) dalam rantai makanan sudah dalam jumlah yang seimbang dalam suatu ekosistem untuk dapat lestari. Perubahan ekosistem oleh manusia akan merusak keseimbangannya sehingga daya dukung alam terhadap ekosistem yang baru tidak akan dapat memenuhi kelestariannya.

    Dua indikator penting kerusakan sistem pertanian adalah penurunan mutu tanah dan air. Pada gilirannya penurunan mutu tanah dan air menyebabkan penurunan produktivitas usaha tani. Penurunan mutu adalah akibat dari pengelolan sumberdaya tanah dan air yang salah.

    Semula degradasi tanah tidak menurunkan hasil panen karena takaran pupuk yang diberikan masih dapat mengimbangi (compensate) kehilangan hara karena erosi, pelindian, atau terangkut hasil panen. Makin meningkatnya degradasi tanah, pemupukan tidak lagi sanggup mengimbangi kehilangan hara. Selain itu pupuk kimia konvensional tidak dapat memasok bahan-bahan penyehat tanah seperti bahan organik, edafon, air, dan hara sekonder, padahal interaksi bahan-bahan tersebut menciptakan lingkungan pendukung yang diperlukan tanaman.

    2.2 PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (RAMAH LINGKUNGAN)

    Dampak negatif penggunaan faktor input seperti benih unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah lama dirasakan oleh petani. Resurgensi dan resistensi hama dan penyakit tanaman, penurunan kesehatan lahan (minimnya mikrobial tanah dan kejenuhan tanah akibat residu pupuk dan pestisida) memaksa petani untuk meng-gunakan pupuk kimia dan pestisida dalam dosis yang lebih tinggi untuk keberhasilan usaha taninya.

    Pada revolusi hijau yang digencarkan pada negara berkembang semata-mata hanya strategi negara maju yang sudah terlebih dahulu menemukan varietas benih unggul dan pupuk & pestisida sintetis dalam meraup keuntungan. Benih unggul yang dilepas memerlukan dosis pupuk kimia dan pestisida yang tinggi karena sifatnya yang rakus hara dan daya tahan terhadap OPT rendah. Petani sangat sulit untuk kembali ke pola/sistem budidaya tradisional, karena mereka sudah ketergantungan dengan input produksi tersebut dan khawatir akan penurunan produktivitas usaha taninya apabila mereka tidak menggunakannya.

    Namun demikian, sudah saatnya bagi petani kita untuk dapat mengubah pola fikir dan sistem usaha taninya ke arah pertanian yang ramah lingkungan. Berbagai masalah serius sekarang bermunculan akibat revolusi hijau kerusakan lingkungan (ekosistem), marjinalisasi petani gurem dan buruh tani, rendahnya tingkat penda-patan petani, ketidakmandirian petani, ketidaksehatan produk yang dikonsumsi masyarakat, terlebih lagi mahalnya harga pupuk dan pestisida harus sudah dite-mukan solusinya, yaitu kembali ke alam.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 6 dari 50

    Petani bisa membuat suatu keseimbangan ekosistem pada lahan pertaniannya,baik lahan sawah padi maupun kebun melalui pola pertanian terpadu (integrated farming) dengan model yang beragam yang dapat disesuaikan dengan keragaan sumberdaya alam dan teknologi yang ada. Petani harus berani mengambil keputusan dan resiko tentunya untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

    Tahap awal dimulai dengan menyehatkan tanah melalui input bahan organik dan inokulan mikrobial pada tanah dan pengurangan dosis pupuk kimia dan pestisida dengan perhitungan neraca hara yang tepat. Proses recovery tanah ini juga dapat dibantu melalui pola gilir tanam antara padi/palawija dengan legume (kacang-kacangan) serta metode budidaya yang tepat.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 7 dari 50

    Bab III PRINSIP 6-R

    Minimisasi limbah pertanian, merupakan cara pencegahan untuk mengatasi ragam

    dan jumlah limbah yang dihasilkan dari aktivitas usaha tani, mengingat jumlah limbah

    tidak mungkin berkurang. Pengelolaan limbah pertanian secara terintegrasi diha-

    rapkan dapat memberikan hasil yang optimal bagi kegiatan minimisasi limbah.

    Prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Res-ponding)

    nampaknya dapat membantu upaya minimisasi limbah pertanian, dan oleh karena itu

    perlu disosialisasikan secara luas.

    3.1 PRINSIP R-1: RETHINKING (BERFIKIR-ULANG)

    Yang dimaksud dengan Rethinking (berpikir-ulang) adalah mengubah pola pikir dan

    cara pandang masyarakat terhadap limbah atau sampah, yakni dari limbah atau

    sampah sebagai barang tak berguna dan tak

    memiliki nilai lingkungan maupun nilai ekonomi

    menjadi limbah atau sampah sebagai sumberdaya

    yang dapat dimanfaatkan-ulang untuk memperoleh

    nilai manfaat bagi lingkungan dan nilai ekonomi

    yang cukup menjanjikan.

    Rethinking, dengan demikian, adalah pergeseran paradigma dalam penanganan

    limbah atau sampah, yang tidak lagi sekedar membuang limbah atau sampah, me-

    lainkan memanfaatkan-ulang limbah atau sampah dengan berbagai cara yang sesuai

    dengan karakteristik masing-masing jenis limbah atau sampah tersebut.

    Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara memanfaatkan-ulang

    sampah atau limbah ini sehingga menghasilkan produk lain yang memiliki nilai ling-

    kungan dan nilai ekonomis. Jawabannya dapat dicermati secara ringkas dalam 3-R

    dari Prinsip 6R sebagai berikut:

    (1) Recovering (mendapatkan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ba-

    rang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah terutama limbah industri

    karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-

    turn = nisbah antara volume produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah.

    Contohnya, sludge dari proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (Crude

    Palm Oil) yang dibuang biasanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, yaitu de-

    ngan cara memisahkan sisa-sisa CPO yang ikut terbuang bersama substrat

    limbah cair dan padat, untuk diproses lebih lanjut secara tradisional menjadi

    olein (minyak goreng).

    (2) Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang apa adanya

    sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya

    untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang ber-

    manfaat. Contohnya adalah memanfaatkan botol bekas kemasan strawberry jam

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 8 dari 50

    atau peanut butter untuk wadah pemeliharaan ikan cupang (laga), wadah

    bumbu dapur; memanfaatkan karung bekas pupuk untuk tempat gabah, dsb.

    (3) Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau

    seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain yang

    lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya. Contohnya

    adalah pendaur-ulangan kertas-kertas bekas untuk menghasilkan kertas seni

    (artistic paper) atau kertas koran.

    Efektivitas pelaksanaan minimisasi limbah hanya bisa dicapai apabila disertai de-

    ngan perubahan pola pikir masyarakat dalam memperlakukan limbah atau sampah.

    Peningkatan konsumsi masyarakat akan suatu produk barang baik dalam ragam

    maupun jumlah secara alamiah terjadi apabila taraf hidup masyarakat meningkat.

    Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah pola konsumsi masyarakat yang

    selama bertahun-tahun telah terbentuk akibat pengaruh propagkita barang kon-

    sumsi melalui berbagai media massa.

    3.2 PRINSIP R-2: REDUCING (MENGURANGI)

    Reducing (mengurangi) adalah tindakan paling pokok dan paling efektif dalam

    pengelolaan limbah, yakni mengurangi potensi terjadinya limbah atau sampah di

    tempat lain (yakni selama transportasi, selama di pasaran, dan pada saat dikon-

    sumsi) mulai dari tempat asal produk atau barang yang bersangkutan.

    Tindakan pengurangan potensi terjadinya sampah

    atau limbah ini berlaku bagi barang-barang yang

    berkaitan dengan rumah tangga, industri, dan per-

    niagaan, baik yang bersifat awet (durable) maupun

    tidak awet (indurable). Tindakan pengurangan po-

    tensi terjadinya sampah atau limbah bagi suatu

    produk atau barang ini lazimnya dapat mening-

    katkan kualitas dan sanitasi produk atau barang yang bersangkutan. Beberapa

    contoh mengenai hal ini dapat disajikan sebagai berikut:

    (1) Para tengkulak sayur di Cipanas, Pangalengan, dan Garut lazimnya mengang-

    kut kol (cabbage), kembang kol (cauliflower), dan wortel (carrot) bersama-sama

    dengan lembar-lembar daun yang sebenarnya tidak akan dikonsumsi. Tujuan-

    nya adalah untuk menjaga agar bagian-bagian sayur yang dapat dikonsumsi

    tidak mudah rusak selama transportasi atau muat-bongkar di pasar. Di tempat

    pemasaran, bagian-bagian sayur yang tidak akan dikonsumsi tersebut dikupas

    dan dibuang, dan demikian timbullah sampah pasar yang sebagian besar terdiri

    atas sisa-sisa sesayuran.

    Lain halnya dengan yang dilakukan oleh pemasok sayuran ke supermarket.

    Mereka pada umumnya membersihkan sayuran di kebun atau di tempat pengum-

    pulan sayur. Kemudian sayuran yang sudah bersih dan dapat dikonsumsi se-

    luruhnya, dikemas rapih dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih. Kualitas

    dan sanitasi sayuran jauh lebih baik daripada sayuran yang dijelaskan di atas.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 9 dari 50

    Sampai di tempat pemasaran, yakni di supermarket, sayuran ini tidak menghasil-

    kan sampah sedikit pun, melainkan langsung dipajang di lemari berpendingin.

    Tindakan yang dilakukan oleh tengkulak sayur pertama belum menerapkan prin-

    sip Reducing, sedangkan yang dilakukan oleh pemasok supermarket telah mene-

    rapkan prinsip Reducing. Tengkulak sayur pertama menyebabkan Pasar Induk

    Kramatjati kumuh dan harga sayurnya relatif murah, sedangkan pemasok super-

    market membuat supermarket tetap bersih dan harga sayurnya pun lebih mahal.

    Sisa-sisa sayuran yang ditinggalkan di kebun atau di tempat pengumpulan da-

    pat dimanfaatkan-ulang untuk pakan ternak atau pakan ikan gurame, atau

    didaur-ulang menjadi kompos yang dapat digunakan untuk memupuk tanaman

    sayuran pada musim tanam berikutnya. Sisa-sisa sayuran di Pasar Induk

    Kramatjati dan di pasar-pasar tradisional dibuang

    menjadi sampah, yang mem-buat lingkungan

    perkotaan menjadi kumuh. Akhirnya, sampah ini

    dibuang ke TPA, yang juga menimbulkan

    masalah sosial dan dampak ling-kungan.

    (2) Pergeseran gaya hidup memang telah memper-

    buruk cara pandang terhadap produk dan limbah.

    Kecenderungan untuk mendapatkan produk

    berkualitas lebih baik dan lebih praktis telah membuat ibu-ibu rumahtangga

    memilih produk-produk kemasan pabrik daripada produk-produk curah,

    misalnya gula, tepung terigu, minyak goreng, dsb. Padahal, plastik pembungkus

    gula dan tepung terigu serta botol plastik pengemas minyak goreng akhirnya

    menjadi limbah dan dibuang cuma-cuma. Sekitainya teknologi produksi dan

    pengemasan produk tidak secanggih sekarang dan gaya hidup masyarakat

    masih tetap sederhana, maka limbah rumahtangga berupa berbagai jenis

    kemasan tidak akan terjadi.

    (3) Ada perbedaan mencolok antara membeli makanan jajan pasar yang dibung-

    kus dengan daun pisang, membeli nasi di warteg yang dibungkus dengan ker-

    tas berlaminasi plastik, dan membeli makan siang di outlet franchise semacam

    Kentucky Fried Chicken atau Hoka Hoka Bento yang dikemas dalam lunch-box

    mewah. Limbah dari jajan pasar berupa limbah organik yang mudah terurai;

    buangan pembungkus nasi warteg pada prinsipnya juga tidak terlalu sulit ter-

    urai, walaupun tidak dapat dikatakan penghematan hutan untuk membuat ker-

    tas; sedangkan limbah berupa lunch-box dari outlet waralaba jelas-jelas meru-

    pakan pemborosan sumberdaya hutan (bahan baku pulp & kertas), biaya cetak,

    dan rata-rata akhirnya dibuang begitu saja.

    3.3 PRINSIP R-3: RECOVERING (MENDAPATKAN-ULANG)

    Seperti telah disinggung di muka, Recovering adalah tindakan memanfaatkan-ulang

    barang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah karena proses produksi

    berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-turn = nisbah antara volume

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 10 dari 50

    produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Tindakan recovery nampaknya

    lebih sesuai bagi industri penghasil barang daripada bagi kehidupan rumahtangga.

    Selain contoh dalam industri CPO di muka, berikut ini disajikan beberapa contoh

    mengenai penerapan prinsip Recovering, terutama yang berkaitan dengan kesa-

    lahan kebijakan pembangunan industri nasional selama dasawarsa 1980-an, yakni

    relokasi industri dari negara-negara yang industrinya telah lebih maju daripada

    Indonesia:

    (1) Ketika pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu bulat (log) dari hutan alam

    pada dasawarsa 1980-an dalam rangka memajukan industri pengolahan kayu

    dalam negeri, maka banyak industri kayu lapis (plywood) di Jepang, Taiwan,

    dan Korea yang membongkar instalasi mesin-mesinnya, kemudian menjualnya

    ke Indonesia. Ir. Hartarto (Menteri Perindustrian ketika itu) dan Ginandjar

    Kartasasmita (Ketua BKPM dan Menteri Negara Peningkatan Penggunaan Pro-

    duksi Dalam Negeri ketika itu) mencanangkan kebijakan relokasi industri dan mem-

    beri izin puluhan industri pengolahan kayu untuk merelokasi mesin-mesin plywood

    bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea.

    Mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea tersebut, khususnya

    mesin pengupas veneer (rotary), masih belum mampu meminimkan sisa kayu bulat

    (center-log), dan hanya mampu menyisakan center-log berdiameter 27 cm. Sisa

    center-log ini sebenarnya masih dapat menghasilkan satu lembar plywood 120

    cm x 240 cm setebal 0,3 s/d 0,5 cm. Dalam kondisi seperti ini, rendemen

    industri plywood rata-rata kurang dari 50% (berkisar 45,5% s/d 48,5%), dan hal

    seperti ini berlangsung terus hingga kini.

    Limbah industri plywood berupa veneer sobek dan center-log dimanfaatkan oleh

    penduduk sekitar pabrik. Veneer sobek dirangkai lagi dengan cara direkat

    menggunakan kertas-berperekat untuk mendapatkan veneer utuh, yang dijual

    ke pabrik plywood lain untuk diproses lebih lanjut menjadi plywood. Sisa veneer

    lainnya dimanfaatkan untuk membuat berbagai produk, termasuk komponen

    furniture, perlengkapan makan dari veneer, dsb. Center-log dirajang untuk

    dijadikan berbagai produk kayu yang bernilai tinggi, termasuk pinsil, tangkai

    sapu untuk diekspor, dan perlengkapan rumahtangga. Apa yang dilakukan oleh

    pemulung limbah industri plywood termasuk tindakan recovery, dan mungkin

    tidak akan terjadi sekitainya pemerintah ketika itu tidak mengambil kebijakan

    relokasi industri dengan mengimpor teknologi aus.

    (2) Sebuah pabrik pengolahan makanan di Cilegon milik kelompok supermarket

    terbesar yang menguasai pangsa pasar makanan basah dalam kemasan di

    Indonesia mengolah jagung menjadi berbagai produk makanan. Oleh karena

    efisiensi mesin untuk proses ekstraksi dan hidrolisis jagung sangat rendah,

    limbah dari proses produksi ini masih mengandung serat dan protein kasar

    cukup tinggi.

    Setiap bulan rata-rata dihasilkan tidak kurang dari 700 ton limbah berupa

    substrat padat. Limbah ini dijual dengan harga Rp 100 Rp 150 per kg kepada

    para pemulung untuk diolah lagi menjadi pakan ternak. Pakan ternak dijual ke

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 11 dari 50

    peternak penggemuk domba dan sapi, sedangkan limbah akhir (sisanya) diproses

    menjadi kompos. Apa yang dilakukan oleh pemulung ini juga merupakan

    tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi sekitainya pabrik pengolahan

    makanan tersebut menggunakan mesin-mesin berteknologi lebih mutakhir.

    3.4 PRINSIP R-4: REUSING (MENGGUNAKAN-ULANG)

    Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang apa adanya

    sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk

    menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang bermanfaat. Cukup

    banyak contoh penerapan prinsip Reusing ini yang dapat dilakukan di lingkungan rumah-

    tangga dan tempat kerja. Banyak produk kebutuhan rumahtangga yang dapat

    digunakan lebih dari satu kali. Produk-produk atau kemasan-kemasan produk yang

    dapat digunakan-ulang ini harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak meng-

    hasilkan buangan limbah. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kita secara langsung

    telah melakukan konservasi (penghematan) bahan dan sumberdaya. Beberapa di

    antaranya adalah:

    (1) Sebagaimana telah disinggung di muka, botol bekas kemasan strawberry jam

    dan peanut butter dapat digunakan-ulang, sekurang-kurangnya untuk keper-

    luan sebagaimana terlukis pada gambar berikut ini:

    BERBAGAI ALTERNATIF PENGGUNAAN-ULANG BOTOL BEKAS KEMASAN STRAWBERRY JAM

    (a) Dicuci dan disimpan, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Jika sudah terlalu banyak, panggil pengumpul barang bekas, dan juallah kepadanya; atau jual ke peternak ikan hias agar dapat digunakan untuk memelihara ikan cupang (laga).

    (b) Untuk wadah mainan anak-anak, misalnya kelereng.

    (c) Untuk menyimpan sisa-sisa bahan, misalnya sisa minyak goreng (jelantah), dsb.

    (d) Untuk mencampur berbagai macam juice, pasta, dsb.

    (e) Dibawa ke warung untuk wadah barang-barang curah yang dibeli, misalnya minyak goreng, madu, dsb.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 12 dari 50

    (f) Bagi yang mempunyai kegemaran memasak kue, cobalah botol bekas ini digunakan untuk men-cetak kue kering dengan berbagai ukuran.

    (g) Bagi yang mempunyai kegemaran memancing, botol bekas juga dapat digunakan untuk wadah umpan.

    (h) Botol bekas juga dapat digunakan sebagai jambangan (vas) bunga untuk menghias meja.

    (i) Jika kita mengumpulkan cukup banyak botol bekas dari merek produk sejenis, maka kita da-pat menjualnya kepada pengumpul, untuk dijual ke pabrik jam yang bersangkutan.

    Catatan: Mengenai penggunaan-ulang bekas kemasan, baik botol gelas ataupun plastik, kaleng, kar-dus berlapiskan aluminium foil, dan sejenisnya, jangan sekali-kali menggunakan-ulang be-kas kemasan oli, pestisida (penyemprot nyamuk, dsb.), cairan pengepel lantai, dan bahan-bahan beracun lainnya untuk wadah makanan atau wadah apa pun. Lebih baik kita meng-ikuti petunjuk yang tertulis pada label kemasan; dan lebih baik kita menguburkannya atau membuangnya ke tempat yang benar-benar aman.

    (2) Di kantor ataupun d rumah, kita sering melakukan penggunaan-ulang cartridge

    tinta printer yang tintanya sudah habis dengan cara mengisi-ulang (refill) tintanya.

    Pengisian ulang ini sering dilakukan pada cartridge toner printer laser, toner

    fotokopi, dsb. Selain mengurangi buangan limbah berupa cartridge bekas, tin-

    dakan ini juga merupakan penghematan biaya operasional kantor atau urusan

    cetak-mencetak dengan printer di rumah.

    (3) Setelah kita mengenal komputer pribadi (personal computer) dan printer sejak

    awal dasawarsa 1980-an, yang paling boros adalah penggunaan kertas. Ketika

    kita masih menggunakan mesin tik baik mesin tik manual ataupun mesin tik elek-

    trik setiap kesalahan ketik lazimnya kita hapus dengan cairan penghapus atau

    pita penghapus, lalu kata yang salah-ketik kita ketik-ulang. Hal ini tentu saja ti-

    dak dapat atau sangat sulit kita lakukan pada printer. Akhirnya, setiap terjadi

    salah-ketik satu huruf pun, kita akan mencetak-ulang lembar tadi setelah kesa-

    lahan kita perbaiki. Pengalaman menunjukkan, untuk membuat satu laporan pe-

    kerjaan setebal 100 halaman, kertas yang kita habiskan untuk cetak-mencetak

    bisa-bisa sampai satu rim lebih. Walau demikian, sebenarnya kita masih dapat

    memanfaatkan-ulang lembar-lembar kertas yang salah-cetak tadi, misalnya untuk

    mencetak draft untuk keperluan proef-reading sebelum dokumen kita cetak-

    akhir. Atau, kita dapat memanfaatkannya untuk membuat kliping koran pada

    halaman yang tidak tercetak.

    (4) Selain di kantor dengan urusan komputer dan printer, pengisian-ulang dengan

    memanfaatkan-ulang kemasan aslinya juga dapat dilakukan pada berbagai jenis

    barang konsumsi rumahtangga, misalnya kopi instans, kremer, deterjen, pelem-

    but & pewangi cucian, cairan pel lantai, minyak goreng,

    lem/perekat, dsb. Produk-produk ini, selain tersedia di pasaran

    dalam kemasan aslinya (botol plastik atau botol gelas), juga

    tersedia dalam kemasan isi-ulang yang lebih murah.

    (5) Bagi barang-barang yang tergolong awet (durable), misalnya le-

    mari es, kipas listrik, seterika listrik, dsb., jangan segan-segan me-

    reparasinya apabila suatu saat barang-barang tersebut rusak.

    Dengan cara ini, kita telah melakukan penghematan dan tidak

    membuang barang bekas. Namun, untuk barang-barang elek-

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 13 dari 50

    tronik, seperti printer, handphone, dsb., biaya mereparasi kadang-kadang lebih

    mahal daripada membeli barang sejenis yang baru, kecuali masih dalam jangka

    waktu berlakunya garansi. Namun, apa pun keputusan kita untuk mereparasi

    barang yang rusak atau membeli barang sejenis yang baru, kita harus tetap

    berpikir bahwa membuang barang bekas harus menjadi pilihan terakhir. Siapa

    tahu barang yang kita anggap bekas itu ternyata masih bermanfaat bagi orang

    lain?

    3.5 PRINSIP R-5: RECYCLING (MENDAUR-ULANG)

    Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh

    sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain, yang lazimnya berbeda

    bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya.

    Barang-barang bekas yang lazim didaur-ulang dengan cara pemrosesan-ulang di

    industri untuk menghasilkan produk baru adalah limbah yang tergolong anorganik, yakni

    yang terbuat dari kertas, plastik dan bahan-bahan sejenisnya, karet dan bahan-

    bahan sejenisnya, gelas/kaca, kaleng dan berbagai jenis logam lainnya. Barang-

    barang bekas lazimnya dikumpulkan oleh pemulung di tempat-tempat pengumpulan

    sampah, baik Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan

    Akhir (TPA); atau dikumpulkan langsung dari rumah ke rumah. Di TPA Bantargebang,

    misalnya, terdapat tidak kurang 64 jenis bahan yang dikumpulkan oleh para

    pemulung, mulai dari gelas, plastik, dan kaleng hingga obat-obat kedaluarsa dan

    bulu ayam!

    Beberapa contoh pendaur-ulangan limbah anorganik dan permasalahan yang diha-

    dapi dapat disajikan sebagai berikut:

    (1) Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada awal 1990-an pernah melak-

    sanakan proyek pendaur-ulangan kertas untuk memproduksi kertas tulis (HVS).

    Bahkan, pada dasawarsa 1980-an, Kantor

    Menteri Negara Lingkungan Hidup sempat

    menggunakan kertas surat resmi yang di-

    buat dari eceng gondok (Eichornia crassi-

    pes). Permasalahan yang dihadapi adalah

    harga jual kertas daur-ulang ini relatif lebih

    mahal daripada kertas sejenis yang asli, dan

    kualitasnya pun tidak lebih baik. Kasus yang

    sama juga dialami oleh pabrik kertas koran

    daur-ulang di Merak, Banten, yang kualitas

    hasil kertasnya tidak lebih baik daripada

    kualitas kertas koran asli, dan biaya produksi

    daur-ulang ternyata tidak lebih murah dari-

    pada biaya produksi kertas asli. Kertas ko-

    ran daur-ulang tidak diterima oleh penerbit

    koran terkenal, melainkan hanya dipakai oleh penerbit koran, tabloid, dan majalah

    skala kecil dan murahan.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 14 dari 50

    (2) Industri plastic-ware (barang-barang dari plastik) yang mendaur-ulang limbah plas-

    tik dan PVC (polyvinyl chloride) juga mengalami hal yang sama. Kualitas ember

    anti-pecah yang dibuat dari campuran limbah karet dan PVC ternyata tidak

    lebih baik daripada kualitas ember plastik asli. Demikian pula halnya dengan

    produk-produk daur-ulang plastik lainnya. Selain warnanya yang tidak homogen,

    kualitas-nya kurang baik, kekuatannya rendah, harga penjualannya tidak selalu

    mampu bersaing dengan hara penjualan produk plastik asli.

    (3) Hingga kini tidak ada produk branded yang

    dikemas dalam botol gelas yang meng-

    gunakan botol daur-ulang, baik produk

    farmasi, minuman, ataupun makanan. Cor-

    porate image menjadi lebih penting dari-

    pada penghematan bahan kemasan pro-

    duknya. Yang banyak dilakukan hanya

    terbatas pada penggunaan-ulang botol

    kemasan, misalnya botol berbagai merek

    minuman ringan (soft drink) terkenal. Botol

    kemasan hasil daur-ulang lazimnya diguna-

    kan untuk mengemas produk-produk yang produsennya tidak terlalu memen-

    tingkan corporate image, misalnya produk minyak angin, essence, dsb.

    Limbah yang tergolong organik, termasuk sisa-sisa sayuran, dedaunan, dsb., pada

    umumnya tidak dipulung, melainkan langsung dibuang ke TPA. Limbah padat

    organik ini dinilai sebagai mudah terurai secara biologis (bio-degradable easily),

    sehingga retensinya di lingkungan relatif singkat. Namun, penanganan sampah padat

    organik di TPA yang menerapkan sistem bala press system masih menjadi perdebatan

    antar-pakar. Pernah ditemukan, bahwa sisa-sisa sayuran (kacang buncis, kol,

    lettuce, dan wortel) yang diperlakukan dalam bala press system (dikempa dan

    dibungkus dalam kemasan kedap-air dan kedap-udara, lalu ditimbun) ternyata masih

    belum rusak (belum terurai) setelah tertimbun selama 30 tahun.

    Bagi limbah padat organik, pendaur-ulangan yang di-nilai

    paling sesuai dan justeru dapat memberi nilai tambah

    ekonomis terhadap limbah tersebut adalah pengom-

    posan (composting). Di samping itu, pengomposan juga

    mempunyai nilai tambah terhadap lingkungan, yakni

    sangat membantu pencegahan pencemaran lingkungan

    oleh dampak pembusukan bahan organik secara

    anaerobik dan tak terkendali.

    Disadari ataupun tidak, penanganan sampah padat organik di TPA dengan metode

    open dumping ataupun sanitary landfill yang tidak sempurna akan menyebabkan proses

    pembusukan bahan organik secara anaerobik, yang menghasilkan emisi gas

    methane (CH4). Gas methane adalah salah satu bahan cemaran udara yang tergolong

    sebagai gas rumah kaca, yang secara akumulatif dan global dapat memberi

    kontribusi terhadap pemanasan global (global warming).

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 15 dari 50

    3.6 PRINSIP R-6: RESPONDING (SIKAP TANGGAP)

    Responding (sikap tanggap) adalah menyikapi dilema limbah atau sampah dengan

    mempertimbangkan-ulang penanganan kegiatan produksi dalam industri atau kegi-

    atan rumahtangga dengan hasil limbah yang ada dan menggantikannya dengan

    proses produksi atau kegiatan yang menghasilkan lebih sedikit limbah (least waste).

    Bagi industri yang menghasilkan limbah, penerapan prinsip Responding pada haki-

    katnya sama dengan upaya meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan

    bahan pendukung, yakni meningkatkan rendemen (out-turn). Beberapa hal penting

    yang dapat dilakukan adalah:

    (1) Bagi industri yang mesin-mesinnya sudah aus (teknologinya sudah ketinggalan

    zaman), peningkatan rendemen dalam upaya mengurangi limbah dan mening-

    katkan efisiensi produksi adalah dengan reinvestasi mesin-mesin baru yang

    lebih efisien dan menghasilkan limbah lebih sedikit (least-waste). Untuk itu,

    perlu perhitungan yang cermat mengenai perimbangan antara biaya investasi

    untuk pengganti mesin dengan nilai tambah produksi karena peningkatan

    efisiensi. Mengenai hal ini, ada kasus yang sangat menarik dalam industri pulp &

    kertas di Indonesia, yakni:

    (a) Ada sebuah skenario global sehubungan dengan asset recovery pada

    sektor industri pengolahan kayu yang bermasalah. Dari sekitar Rp 12,4

    trilion non-performance loans (kredit macet) sektor kehutanan, sekitar Rp

    2,5 trilion di antaranya terjadi pada proyek industri pulp & kertas PT.

    Kiani Kertas (Group Bob Hasan) di Kalimantan Timur. Perlu diketahui

    bersama, bahwa sekitar tahun 1995, harga pulp di pasaran internasional

    sangat baik dan sangat merangsang investor lokal untuk mengin-

    vestasikan dananya dalam bisnis pulp & kertas. Harga pulp di pasaran

    dunia ketika itu dapat mencapai US$ 640 per ton. Penyebab utamanya

    bukan karena adanya peningkatan permintaan riil akan pulp oleh pasar

    dunia, melainkan lebih disebabkan oleh kelangkaan pasokan. Langkanya

    pasokan pulp di pasaran dunia selama kurun waktu tersebut disebabkan

    oleh adanya kebijakan restrukturisasi dan reinvestasi pada industri pulp

    dan kertas di kawasan Skandinavia dan Amerika Utara (Kanada dan

    Amerika Serikat bagian utara). Di kedua kawasan penghasil utama pulp

    dunia tersebut dilakukan penggantian besar-besaran teknologi pengo-

    lahan pulp dengan teknologi yang menghasilkan limbah cair minimum

    (least liquid waste), sedangkan mesin-mesin dengan teknologi usang

    direlokasi ke negara-negara sedang berkembang, terutama Indonesia yang

    sangat berambisi untuk tampil sebagai produsen pulp terbesar dunia me-

    lalui scheme HTI (Hutan Tanaman Industri).

    (b) Syahdan, maraklah investasi di bidang industri pulp & kertas di Indonesia,

    terutama oleh empat raksasa pulp & kertas: Barito Pacific di Sumatera

    Selatan milik Prayogo Pangestu, IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) di

    Riau milik Eka Tjipta Widjaja dari Sinar Mas Group, RAPP (Riau Andalan

    Pulp & Paper) di Riau milik Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas Group,

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 16 dari 50

    dan Kiani Kertas di Kalimantan Timur milik Bob Hasan. Keempat raksasa

    pulp & kertas ini ternyata rontok bersama-sama dengan rontoknya bisnis

    perbankan dan industri manufaktur lainnya menjelang berakhirnya mile-

    nium kedua.

    (c) Selama setahun, yang ternyata terjadi penurunan harga pulp di pasaran

    dunia, yakni menjadi US$ 420 per ton, US$ 380 per ton, dan terakhir kali

    ketika akan dilakukan pelelangan asset Chandra Asri (saudara

    kandung Barito Pacific) dan Kiani Kertas tahun 2000, harga pulp anjlok

    menjadi Rp US$ 300 per ton, yakni sekitar US$ 60 di atas harga break

    even point pulp untuk skala industri pulp & kertas setara IKPP.

    (d) Ada dua kemungkinan mengenai anjloknya harga pulp di pasaran dunia

    tersebut, yakni:

    Pertama: Mulai tengah-tahun 2000, beberapa pabrik pulp & kertas di

    daratan Amerika bagian utara dan di beberapa negara Skandinavia

    telah mulai beroperasi lagi dengan teknologi barunya, dan produknya

    pun telah kembali membanjiri pasaran dunia. Kajian lebih lanjut

    mengenai fenomena ini menyimpulkan, bahwa investor industri pulp &

    kertas Indonesia ternyata telah tertipu oleh prospek bisnis semu yang

    ditawarkan oleh pemasok mesin-mesin berteknologi usang, yang

    ternyata hanya berlangsung sementara.

    Ke-Dua: Mungkin saja raja-raja pulp & kertas dunia berminat untuk

    membeli asset industri pulp & kertas yang ketika itu ada dalam

    penanganan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Mengapa

    mereka sangat berminat? Sejak tahun 1993, tujuh Negara Bagian

    Amerika Serikat bagian utara telah melarang penebangan hutan yang

    ada di dalam teritorinya. Untuk memasok industri perkayuan yang ada

    di negara-negara bagian ini, khususnya industri pulp & kertas, akhirnya

    didatangkan bahan baku berupa kayu bulat dan chipwood dari daratan

    Amerika Latin, terutama Brazil dan Guyana. Indonesia dinilai masih

    terlalu banyak memiliki bahan baku industri pulp & kertas, dan

    buangan limbah cair berbahaya & beracun dinilai masih belum

    mendapat perhatian serius dari Rakyat dan Pemerintah dibandingkan

    yang terjadi di negeri-negeri mereka. Anjloknya harga pulp di pasaran

    dunia merupakan strategi mereka untuk memperkuat posisi tawar-

    menawar mengenai harga jual industri pulp & kertas bermasalah

    tersebut, yang ketika itu dianggap sebagai asset nganggur dan

    bermasalah. Apalagi bagi Kiani Kertas, yang dalam masa trial run saja

    sudah mendatangkan bahan baku berupa chipwood dari daratan

    Australia, karena hutan tanaman yang dibangunnya ternyata gagal

    total.

    (e) Dari analisis tersebut di atas, ternyata investor Indonesia di bidang industri

    pulp & kertas dan sekaligus BPPN dan Pemerintah Indonesia juga telah

    dibohongi lagi oleh para investor asing. Kabarnya, Kiani Kertas tengah-

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 17 dari 50

    tahun 2005 ini telah diincar oleh JP. Morgan, dedengkot perbankan

    Yahudi dan salah satu sponsor pendirian dan pemegang saham

    Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) pada tahun 1010.

    Padahal, pembangunan tiga dari empat pabrik pulp & kertas tersebut di

    muka dibiayai oleh sindikasi bank/lembaga keuangan dari tujuh negara

    berupa kredit ekspor, yang salah satunya adalah JP. Morgan.

    (2) Belajar dari kasus industri pulp di muka, dan juga belajar dari pengalaman relo-

    kasi industri di masa lalu, perlu ditegaskan bahwa relokasi industri manufaktur dari

    negara-negara industri maju harus dicegah, walaupun biaya investasinya relatif

    lebih murah. Yang harus dibayar mahal pada akhirnya adalah ketidakmampuan

    industri kita untuk bersaing di pasar dunia, dan harga pencemaran lingkungan

    yang harus dibayar mahal karena mesin-mesin industri relokasi pada umumnya

    menghasilkan banyak limbah.

    (3) Industri yang instalasi penghasil tenaganya (power generating plant) dinilai

    boros bahan bakar, perlu melakukan penggantian mesin atau bahkan penggantian

    jenis bahan bakar alternatif.

    Bagi kegiatan rumahtangga yang selama ini menghasilkan limbah, pene-rapan

    prinsip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya pergeseran cara pandang

    atau paradigma seluruh anggota keluarga mengenai konsumsi barang kebutuhan

    rumahtangga. Dalam hal ini, beberapa hal pokok yang dapat dilakukan adalah:

    (1) Tanpa harus mengorbankan kepentingan untuk kemudahan & kepraktisan

    hidup, dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari, setiap keluarga seyogianya

    memprioritaskan produk-produk yang tidak akan terlalu banyak menimbulkan

    limbah baik limbah organik maupun anorganik, baik yang berasal dari ke-

    masan ataupun dari barang-barang konsumsi itu sendiri.

    (2) Menggunakan barang-barang kebutuhan rumahtangga secara lebih efisien,

    yakni tidak terlalu banyak meninggalkan sisa cair ataupun padat yang akhirnya

    terbuang sia-sia, antara lain limbah sayuran dan bebuahan, limbah buangan air

    cuci pakaian dan perlengkapan masak & makan, dan limbah kemasan.

    (3) Mulai memilah pembuangan limbah basah (bahan organik) dari limbah kering

    (bahan anorganik) dan khusus bagi limbah bahan anorganik yang terbuat dari

    gelas, plastik, dan kaleng perlu diupayakan agar dapat dimanfaatkan-ulang,

    baik untuk di-reuse ataupun di-recycle.

    (4) Setiap keluarga harus mengupayakan agar umur barang-barang rumahtangga

    yang awet dipertahankan cukup lama, sehingga tidak perlu sering mereparasi

    atau menggantinya dengan barang sejenis yang baru.

    Sekitainya setiap orang anggota masyarakat secara sadar menerapkan Prinsip 6-R

    sebagaimana yang dibahas di muka, maka pengurangan volume buangan limbah

    domestik ke lingkungan adalah suatu keniscayaan. Disadari, bahwa sebagian dari

    ke-enam prinsip tersebut telah dilaksanakan oleh banyak pihak. Namun, nampaknya

    jauh lebih banyak pihak yang belum melaksanakannya, sehingga keniscayaan

    tersebut masih tinggal sebagai harapan.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 18 dari 50

    Bab IV MODEL PERTANIAN TERPADU

    Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, mene-ngah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi

    dengan sistem pertanian ini. (Layout komplek disajikan pada Lampiran 1)

    Model pertanian terpadu akan lebih produktif melalui Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), Inte-grated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT), dan Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu.

    4.1 PETERNAKAN SAPI

    Sektor peternakan, di mana sumbangan protein hewani (daging, telur, dan susu) bagi kecerdasan anak bangsa merupakan program yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah tingkat konsumsi protein hewani suatu bangsa. Kini posisi Indonesia di Asia, lebih baik dari Bangladesh pada posisi nomor dua dari bawah dengan tingkat konsumsi protein

    MODEL PERTANIAN TERPADU

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 19 dari 50

    hewani yang berasal dari ternak sekitar 4,7 gram/kapita/hari, masih di bawah norma gizi yang disarankan FAO 6 gram/kapita/hari. Artinya, ada korelasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan kesejahteraan bangsa di suatu negara.

    Jumlah penduduk di negeri ini sekitar 220 juta orang. Menurut Dirjen Binprod Peter-nakan ternyata setiap orang baru mampu mengonsumsi daging sapi sekitar 1,7 kg/orang/tahun, maka setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut telah dipotong sekitar 1,5 juta ekor sapi lokal untuk menghasilkan 350.000 ton daging sapi yang diproduksi di dalam negeri ditambah dengan mendatangkan sapi bakalan dari Australia tidak kurang dari 350.000 ekor dan impor daging sapi sekitar 30.000 ton.

    Jika saja terjadi peningkatan populasi penduduk 2% per tahun dan peningkatan populasi sapi di dalam negeri sekitar 14% per tahun dengan kemampuan konsumsi daging (sapi) masyarakat hanya naik 1 gram/kapita/hari, di mana kondisi ini pun masih di bawah norma gizi. Maka dibutuhkan daging sekitar 1.265,8 ton/hari identik dengan 10.548 ekor sapi yang harus dipotong per hari atau 3,85 juta ekor per tahun. Jika saja 50% penduduk Indonesia tidak mampu membeli daging sapi artinya sekitar 100 juta orang masih memerlukan dan mampu membeli daging (Rohadi Thawaf, UNPAD).

    Data ini menunjukkan kepada kita betapa negeri tercinta ini merupakan pasar yang sangat potensial, perlu dibina dan dikembangkan untuk meningkatkan produksi ternak di dalam negeri. Bukan sebaliknya malahan merupakan pasar yang dimanfaatkan oleh orang lain dan bahkan terjadi pengurasan populasi ternak di dalam negeri. Lihat saja, bagaimana Amerika Serikat, Cina, India, Thailand, Austra-lia, New Zealand dan beberapa negara lainnya memanfaatkan negeri ini sebagai target pasar produk peternakan karena jumlah penduduk kita yang besar.

    Agar peternak di dalam negeri dapat menik-mati potensi pasar dalam negeri yang besar maka harus terobosan dengan keberanian untuk menggeser suplai sapi lokal ke arah pemenuhan kebutuhan yang selama ini diisi oleh daging dan sapi impor, tanpa kebijakan pemerintah yang tegas potensi dalam negeri ini tidak pernah bisa dinikmati peternak kita. Berbagai upaya untuk menuju ke arah ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas sapi lokal antara lain sebagai berikut:

    Peningkatan efisiensi sistem pemotongan melalui standardisasi. Ketidaksera-gaman inilah merupakan faktor penyebab persaingan yang tidak sehat dalam bisnis daging di tingkat pengecer, sehingga yang diuntungkan adalah konsumen bukannya produsen;

    Intensifikasi sapi lokal dengan program IB (inseminasi buatan) untuk memper-pendek siklus waktu beranak;

    Pembinaan kelompok tani/ternak secara teratur guna peningkatan keterampilan SDM, introduksi teknologi pakan guna peningkatan produksi dan efisiensi harga

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 20 dari 50

    pakan, perbaikan tatalaksana dapat mempersingkat pemeliharaan dan memper-cepat waktu jual.

    Kondisi tersebut akan berubah bila bioteknologi diintroduksi sehingga akan terjadi pergeseran fungsi produksi. Artinya suplai akan bertambah diikuti dengan harga yang lebih murah. Pada kondisi inilah terjadi keunggulan kompetitif antara produk sapi lokal dengan impor. Artinya, peternak di dalam negeri pun akan menikmati surplus ekonomi yang lebih baik ketimbang bila dilakukan impor sapi bakalan. Hal ini akan berakibat pula pada kegairahan usaha ternak sapi potong lokal yang mampu bersaing di era global. Sasaran program pemerintah terhadap kecukupan daging sapi, dengan asumsi peningkatan kelahiran dari 18,1% menjadi 20,99% (Dirjen Binprod Peternakan), rasanya sangat mungkin akan dapat dicapai kalau Roadmap pemerintah menuju swasembada daging.

    Banyak kendala yang banyak dialami oleh para peternak sapi lokal, di antaranya adalah rendahnya tingkat pertambahan bobot badan, tingkat pertumbuhan sapi, dan panjangnya jarak beranak sapi. Ketiga faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh efisiensi konversi pakan untuk tumbuh dan berkembang biak.

    Kendala tersebut sekarang dapat diatasi dengan menerapkan Biosuplemen Probiotik dan Nutri-mars Ikan & Ternak (sebagai prebiotik) ke dalam pakan konsentrat dan air minum. Probiotik adalah mikroba hidup dalam media pembawa yang menguntungkan ternak karena mencip-takan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan sehingga menciptakan kondisi yang optimum untuk pencernaan pakan dan mening-katkan efisiensi konversi pakan sehingga memu-dahkan dalam proses penyerapan zat nutrisi ter-nak, meningkatkan kesehatan ternak, mempercepat pertumbuhan, memperpendek jarak beranak, menurunkan kematian pedet, dan memproteksi dari penyakit patogen tertentu sehingga dapat meningkatkan produksi susu atau daging.

    Hasil kajian yang telah dilakukan pada ternak mampu menaikkan produksi daging 20 % dan produksi susu 15-20 %, sehingga menekan biaya produksi. Pengujian terhadap sapi potong di Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan pertambahan kenaikan produksi daging mencapai 0,43 kg per ekor per hari pada sapi Brahman Cross. Sedangkan pada sapi perah memberikan kenaikan produksi susu mencapai 15 % dari produksi normal per ekor per hari pada sapi Holstein. (Laporan Penelitian MAI, 2008)

    Pengujian Nutrimars Ikan & Ternak terhadap sapi potong di Jawa Barat memberikan kenaikan calving rate 50 % yaitu dari rata-rata 1,5 menjadi 1 per ekor per tahun atau dari rata-rata 2 ekor anakan dalam 3 tahun menjadi 3 ekor anakan dalam 3 tahun pada sapi jenis Peranakan Ongole.

    Untuk memanfaatkan jerami dari hasil panen padi 2 kali setahun dan panen jagung sekali setahun maka

    limbah pertanian tersebut bisa untuk menggemukkan sapi sebanyak 6 ekor dengan masa pemeliharaanya selama 3 bulan.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 21 dari 50

    Keuntungan lain dari ternak sapi adalah tiap bulan dihasilkan kompos sebanyak 6 x 10 kg x 30 = 1,8 ton/bln atau 21 ton kompos per tahun mencukupi untuk budidaya padi sistem SRI untuk lahan seluas 1 ha dengan 3 kali pemupukan masing-masing 7 ton kompos.

    4.2 KOTORAN TERNAK SEBAGAI PUPUK DAN SUMBER ENERGI

    4.2.1 Pupuk Organik Dari Kotoran Sapi

    Kotoran sapi merupakan limbah ternak yang dapat diproses menjadi pupuk kandang. Bahan organik dalam kotoran sapi dapat didekomposisi oleh bakteri indigen menjadi senyawa anorganik yang dapat diserap langsung oleh tanaman. Pembuatan pupuk kandang matang dapat dilakukan dengan cara dekomposisi anaerob dan aerob dari kotoran sapi. Kedua proses dekomposisi tersebut menghasilkan pupuk yang berbeda kualitasnya.

    Pupuk kandang yang terdekomposisi anaerob lebih cepat matang daripada pupuk kandang hasil dekomposisi aerob, terlihat dari penurunan rasio C/N. Setelah terdekomposisi anaerob selama 10 minggu, kotoran sapi sudah menjadi pupuk kandang matang dengan rasio C/N sebesar 19,73, sedangkan pupuk kandang hasil dekomposisi aerob mempunyai rasio C/N = 25,79.

    Keuntungan dari proseses dekomposisi anaerob diperoleh hasil samping berupa gas methan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari juga kompos yang dihasilkan sebanyak 21 ton/tahun.

    4.2.2 Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi

    Permasalahan kebutuhan energi perdesaan dapat diatasi dengan menggunakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, murah, dan mudah diperoleh dari lingkung-an sekitar dan bersifat dapat diperbaharui. Salah satu energi ramah lingkungan adalah gas bio yang dihasilkan dari proses fermen-tasi bahan-bahan organik akibat aktivitas bakteri anaerob pada lingkungan tanpa oksi-gen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan (60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah lebih kecil.

    Secara prinsip pembuatan gas bio sangat sederhana, yaitu memasukkan substrat (kotoran sapi) ke dalam unit pencerna (digester) yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya untuk kompor gas.

    Sapi perah merupakan hewan yang umum dipelihara sebagai salah satu sumber mata pencaharian di perdesaan. Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gas bio cukup besar, namun belum banyak dimanfaatkan. Bahkan

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 22 dari 50

    selama ini telah menimbulkan masalah pencemaran dan kesehatan lingkungan. Umumnya para peternak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai.

    Penggunaan biodigester dapat membantu pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran hewan untuk memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping berupa pupuk organik dengan mutu yang baik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH4) yang dihasilkan

    pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor perta-nian dan peternakan, karena ko-toran sapi tidak dibiarkan terde-komposisi secara terbuka mela-inkan difermentasi menjadi energi gas bio.

    Penduduk perdesaan hanya me-miliki beberapa ekor sapi (3-5 ekor), sehingga diperlukan tipe digester alternatif yang lebih se-derhana dan mudah pengope-

    rasiannya. Biaya untuk membangun 1 unit biogas berkisar Rp 2 juta. Potensi Gas yang dihasilkan setara dengan 2-3 liter minyak tanah per hari.

    4.3 BUDIDAYA PADI POLA SRI (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)

    Pola tanam padi system SRI adalah pola budidaya baru dalam dunia pertanian. Pertama tama diperkenalkan oleh seorang Missionaris bernama Henri de Laulanie di Madagaskar. Pola tanam ini sama sekali baru dengan 4 ciri khas:

    Lahan sawah cukup lembab tapi tidak tergenang. Menghilangkan penggenangan air dan melakukan penyiangan yang intensif, dimaksudkan untuk mem-perbaiki pengoksigenan akar. Pengambilan oksigen dilakukan oleh akar untuk produksi energi dalam sel mitochondria dengan tahap-tahap metabolisme: katabolisme (memecah substrat, melepaskan ener-gi ikatan), anabolisme (rebalancing pecahan, teru-tama H+), sintesa ATP (akumulasi energi yang dile-pas). Pasok oksigen harus banyak untuk memacu

    proses dan pertumbuhan, sehingga akar menjadi lebih kuat, membangun jaringan multiskala, dan mengaktifkan asimilasi nutrisi. Kekurangan oksigen (asphyxia) untuk tanah menimbulkan peracunan dan gangguan siklus nitrogen, untuk tanaman menghambat pelepasan energi, menyebabkan produksi asam tinggi, dan H+ tidak di-rebalance, sehingga terjadi destruksi sel, akar jadi keropos karena membentuk aerenchyma, dan pertumbuhan struktur akar tidak lengkap, menghambat asimilasi karena menolak ion (+) nutrisi.

    Bibit padi dipindahkan ketika umur 7 hari dan ditanam satu per satu. Bila bibit terlambat ditanam (lebih dari 15 hari) maka anakan akan berkurang karena tunas awalnya terpotong sebelum ditanam, tertanam terlalu dalam, atau tergenang air. Padi ditanam jarang-jarang tapi akhirnya merapat karena anaknya sangat banyak bisa sampai 80 anak.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 23 dari 50

    Multistruktur ruang dalam tanah direkayasa menjadi pabrik nutrisi bagi tanaman. Dengan ditanam tunggal dan jarang tanaman menjadi tidak berebut cahaya dan ruang, karena ter-nyata tanaman tidak mengambil langsung nu-trisi dari matriks tanah melainkan dari dapur-nya masing-masing (konsep bioreaktor). Per-baikan struktur tanah (multiskala) terjadi me-lalui pemeliharaan siklus biomassa dengan menggunakan kompos, dan perbaikan siklus nutrisi melalui pengelolaan keanekaragaman organisme dalam tanah (multikomponen) de-ngan menggunakan mikroorganisme lokal. Ditunjang dengan cara penanaman padi yang seksama untuk menumbuhkan sistem pera-karan yang maksimal, penggunaan kompos

    serta mikroorganisme lokal meningkatkan jumlah dan keanekaragaman organisme tanah membentuk tanah sebagai bioreaktor yang menjamin penyediaan nutrisi bagi tanaman secara berkesepadanan (prinsip production on demand).

    Revitalisasi biota tanah terjadi dengan meningkatnya aktivitas mikrobiologi tanah yang sangat berlebih dan beranekaragam, ditunjang oleh eksudasi dari sistem perakaran yang kompleks. Biological nitrogen fixation juga terjadi di akar dan ruang akar (rhizospere) dalam campuran tanah aerob dan anaerob, pelarutan unsur-unsur tanah naik karena pengaturan pembasahan dan pengeringan tanah secara berulang, simbiose dengan jamur mycorrhiza menaikkan akses nutrisi ke akar, rhizobia dalam ruang akar menaikkan kadar dan yield protein lewat katalitik biologis (auksin) bukan lewat biological nitrogen fixation saja, protozoa memangsa bak-teri dan membiarkan eksudat N di atas akar karena hanya me-merlukan rasio C/N lebih kecil dari bakteri. Eksudasi akar ber-lebih menaikkan rhizodeposi-tion. Penggunaan kompos da-lam cara SRI meningkatkan populasi mikroorganisme (Azo-spirillum, Azotobacter, Phos-phobacteria, dll) dalam rhizos-phere secara berlipat ganda dibandingkan dengan cara kon-vensional.

    Cara SRI tidak secara khusus memerlukan pemupukan tertentu. Cara SRI mening-katkan produktivitasnya pada berbagai tingkat kesuburan tanah, sebagaimana juga SRI meningkatkan produksi untuk berbagai jenis padi apapun. Teori tentang kesuburan tanah pada umumnya masih tetap berlaku. Namun keseksamaan cara SRI, khususnya pada skala yang lebih kecil, akan mampu mengidentifikasi keter-kaitan yang paling erat dari siklus nutrisi yang terlibat. Tanah tidak dapat dilihat hanya sekedar media tanam saja sebagai satu skala, namun pada struktur multiskala dimana setiap skala yang ada mampu berfungsi produktif (sebagai reaktor), yaitu

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 24 dari 50

    mampu mengubah pasokan air, mineral, udara, dan bahan organik menjadi nutrisi bagi tanaman secara spesifik, dengan pekerja utamanya adalah mikroorganisme dan biota tanah lainnya (sebagai bioreaktor). Inilah peluang pergeseran fungsi produksi dari skala besar ke skala yang lebih kecil yang merupakan prinsip intensifikasi proses.

    Dalam hal ini cara SRI bukan saja mampu menunjukkan dirinya sebagai metoda namun juga menunjukkan adanya struktur fisik pada skala yang lebih kecil yang mampu berproduksi pada tingkat yang lebih efisien dan efektif. Kalau bakteri sudah melekat di dinding akar dan memproduksi nutrisi yang diperlukan tanaman maka tidak ada prioritas bagi mikroba itu untuk

    menaikkan terlebih dahulu konsentrasi nutrisi dalam media tanah. Dengan terbentuknya bioreaktor multiskala yang memfasilitasi keanekaragaman biota tanah yang berkesesuaian ini memungkinkan terjadinya produksi nutrisi multikomponen sesuai dengan kebutuhan tanaman yang berkaitan (production on demand).

    Peningkatan produksi tentunya memerlukan peningkatan pasokan nutrisi, sehingga perlu mengambil dari tanah yang merupakan media di sekelilingnya. Pada keadaan stabil tanpa pemupukan ternyata tanaman tetap berproduksi pada tingkat yang lebih tinggi dari pada sebelumnya karena tanaman sudah memiliki vitalitas, kekuatan, dan keterkaitan ekosistem yang lebih tinggi dari pada sebelumnya dengan bio-reaktor yang memfasilitasinya. Paling tidak ada tiga faktor dimana tanaman dapat mengambil nutrisi dengan lebih baik bahkan dari pasokan yang lebih kecil sekalipun, yaitu sistem perakaran yang makin berkembang, asimilasi aktif yang dapat berfungsi sebagai pompa enzimatik, dan absorpsi pasif sebagaimana biasanya dengan gradient elektrokimia.

    Pada semiloka SRI yang diikuti oleh 19 kelompok tani dari beberapa kecamatan di Kab. Ciamis, terungkap bahwa dengan pola SRI, rata-rata telah menghasilkan gabah kering untuk setiap panen 10 hingga 12 ton/ha. Padahal sebelumnya dengan menggunakan pupuk kimia, produksi hanya 4,5 ton/ha.

    Petani dengan sendirinya mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Bila biaya produksi Rp 5 juta/ha dan panen 12 ton dengan harga gabah Rp 2.470 maka keutungan bisa mencapai Rp 24,64 juta/ha apalagi kalau berasnya berlabel padi organik dengan harga gabah Rp 3.000 maka keuntungan petani bisa mencapai Rp 31 juta/ha yang sangat jauh bila dibandingkan pertanian tradisional.

    Pola tanam padi model SRI adalah cara bertanam padi kembali ke alam. Sistem yang baru ini, petani tidak lagi tergantung ke pupuk kimia, karena seratus persen akan menggunakan pupuk alami (orga-nik) secara bertahap untuk menghindari penurunan produktivitas pada tahap awal, lalu hemat benih, ramah lingkungan dan harga gabahnya dibeli lebih tinggi.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 25 dari 50

    Jika sebelumnya benih dibutuhkan 30 kg/ha, dengan pola SRI cukup 7 kg/ha. Setelah itu, ditanam di sawah dengan biji tunggal (satu biji benih) saat usia benih tujuh hari dengan jarak 30 cm x 30 cm. Tidak banyak diberi air, lalu penyiangan dilakukan empat kali, pemberian pupuk alami hingga enam kali, pengendalian hama terpadu, dan masa panen saat usia 100 hari atau lebih cepat 15 hari dengan pola biasa.

    Menurut Kepala Dinas Pertanian Ciamis, Ir. Lukman, saat ini sudah 73 ha lahan yang memakai pola SRI. Rata-rata setiap panen mencapai 10 ton/ha dengan pola biasa hasil panen rata-rata hanya 4.5 ton/ha. Sungguh kenaikan yang cukup signifikan terjadi lon-jakan produksi padi dengan pola SRI hingga 100%. Ini artinya, ada peluang besar dalam meningkatkan produksi pertanian padi dan juga ramah lingkungan.

    Secara keseluruhan SRI memberikan hasil lebih baik, dalam arti lebih produktif (tanaman lebih tinggi, anakan lebih banyak, malai lebih panjang, dan bulir lebih berat), lebih sehat (tanaman lebih tahan hama dan penyakit), lebih kuat (tanaman lebih tegar, lebih tahan kekeringan, dan tekanan abiotik), lebih menguntungkan (biaya produksi lebih rendah), dan memberikan risiko ekonomi yang lebih rendah.

    4.4 PADI-ITIK

    4.4.1 Pertanian Terpadu Padi Dan Itik Bukan Hanya Teknik Penyiangan

    Melepaskan unggas air ke sawah padi meru-pakan pekerjaan yang sangat sederhana. Akan tetapi keberhasilan kegiatan ini sangat bervariasi tergantung kepada orang, negara dan waktu. Yang sangat menarik, masih banyak orang yang beranggapan bahwa itik hanya digunakan untuk penyiangan saja. Menurut teknik pertanian ter-padu padi dan itik ini, sawah padi ditutup dengan pagar jaring dan sebagainya, bertujuan untuk menciptakan lingkungan dimana itik Aigamo dan padi dapat menjalin simbiose yang saling me-nguntungkan. Pertanian padi dan itik telah ter-padu dalam sawah padi secara organis.

    Itik mempunyai 6 manfaat untuk budidaya padi:

    (1) Manfaat untuk penyiangan;

    (2) Manfaat pengendalian hama penyakit;

    (3) Manfaat pemupukan;

    (4) Manfaat pembajakan dan penggemburan tanah sepanjang waktu;

    (5) Manfaat mengendalikan keong emas;

    (6) Manfaat stimulasi pertumbuhan padi.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 26 dari 50

    Di sisi lain sawah padi mempunyai manfaat untuk pemeliharaan itik seperti berikut:

    (1) Penggunaan sumber alami sebagai makanan seperti gulma, serangga, tanaman air;

    (2) Penggunaan ruang yang tersisa di sawah padi sebagai habitat itik;

    (3) Penggunaan air yang berlimpah;

    (4) Sebagai tempat itik bersembunyi dibawah daun padi.

    Sistem ini dpat bertambah variasi dan kreasinya dengan adanya penambahan ikan (mina-padi) dan azolla (peningkatan-nitrogen).

    4.4.2 Gulma, Keong Mas, Dan Serangga Ada Untuk Tanaman Padi

    Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tidak mempunyai manfaatnya. Semua akan berjalan sesuai dengan aturan yang telah diciptakan dalam ekosistem di planet bumi ini. Memang benar di sawah padi terdapatnya gulma dan hama penyakit. Akan tetapi, dalam pertanian modern, pendapat manusia tentang bercocok tanam padi telah didengungkan secara berlebihan bahwa gulma dan hama penyakit dijustifikasi hanya sebagai makhluk hidup yang selalu berbahaya dan mengganggu yang harus diberantas.

    Banyak orang telah mengendalikan dan memberantasnya de-ngan herbisida dan pestisida. Akan tetapi situasi akan berubah sama sekali apabila itik dilepas di sawah padi. Opini yang telah dibangun tersebut di atas segera terbukti sebaliknya. Menarik sekali serangga dan gulma yang kita anggap sebagai makhluk jelek menjadi makanan yang sangat berguna untuk itik, dan dapat diubah menjadi daging, se-dangkan kotoran itik menjadi pupuk tanaman padi, dan diubah menjadi beras. Akhirnya terhidanglah ma-kanan berupa daging dan nasi yang menjadi santapan lezat kita.

    Empat atau lima minggu setelah melepas itik ke sawah padi, jumlah gulma dan serangga menurun secara tajam sebagai hasil dari efek itik. Ini adalah dampak alami yang ditimbulkannya dan yang kita inginkan. Akan tetapi keadaan ini juga bisa menimbulkan penurunan persediaan alami makanan itik di sawah padi.

    Maka dari itu penggunaan azolla sebagai tanaman pakan di sawah padi untuk makanan itik sangat tepat. Dengan kata lain, kita dapat aktif menumbuhkan gulma di sawah padi. Kita dapat menyebutnya sebagai suatu pelurusan pemikiran yang terbalik.

    4.4.3 Perbandingan Dengan Pertanian Padi Modern

    Pertanian terpadu padi dan itik sama sekali bukan teknik pertanian baru. Teknik ini merupakan penemuan kembali dan pembangunan kembali teknik lama. Akan menjadi jelas ketika kita membandingkannya dengan pertanian modern. Pertanian padi modern menggunakan metoda tunggal untuk menangani masalah, yaitu dengan mengaplikasikan herbisida untuk memberantas gulma, dan menggunakan pestisida dan bahan kimia lain untuk memberantas hama dan penyakit tumbuhan, dan menggunakan pupuk kimia untuk menyediakan unsur hara tanah. Cara ini meru-

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 27 dari 50

    pakan pendekatan plester penutup luka, mengobati satu demi satu gejala yang tampak. Akan tetapi itik dapat melakukan sendiri semua peran tersebut. Hal ini merupakan kunci menuju teknik yang sempurna, Itik satu - berkat berlimpah.

    4.4.4 Itik Sebagai Binatang Pekerja Yang Bahagia

    Pertanian model lama, begitu mudahnya menggunakan pestida, herbisida, dan pupuk kimia, tetapi mereka perlu input dari luar lainnya yaitu perlu tenaga untuk menyem-protkannya pada hamparan sawah padi, dan kalau menggunakan mesin spray, diperlukan orang lagi untuk menjalankan mesin tersebut.

    Akan tetapi, pada pertanian terpadu padi dan itik, itik di sawah padi dapat melakukan semua aktifitas baik penyiangan gulma, pembasmian hama, maupun pemupukan. Tidak diperlukan manajemen yang sulit atau input tenaga tambahan yang banyak. Maka dari itu itik disebut tenaga kerja binatang. Tenaga kerja itik sama sekali berbeda dengan tenaga kerja binatang lain seperti kuda untuk menarik muatan barang yang berat atau sapi yang digunakan untuk membajak sawah.

    Kuda dan sapi dipekerjakan di lapangan mengeluarkan energi banyak, sedangkan itik melaksanakan kerjanya sambil makan, bermain, buang kotoran dan tidur, kegiatan yang menyenangkan. Sebagai hasil itik dan padi tumbuh secara alami. Sebenarnya itik tersebut tidak bekerja dengan perintah tertentu, tetapi itik dapat bergerak bebas dan senang. Kita dapat mengatakan disini bahwa itik merupakan binatang pekerja yang bahagia Itik dapat bermain dan bergerak lebih bebas di sawah padi, dibanding broiler yang berada dalam kandang ayam yang padat dan sedikit angin.

    4.4.5 Potensi Ketahanan Siklus Ekosistem

    Dalam rangka mengurangi timbulnya gulma, hama, dan penyakit, pada pertanian organik tradisional, dalam penanaman sayur-sayuran, biasa dilakukan pergantian komoditi tanaman, pergantian lahan, dan tumpangsari tanaman dengan meng-gunakan berbagai varietas sayur-sayuran. Akan tetapi pada pertanian padi modern, hanya difokuskan pada produksi jangka pendek dengan menggunakan sedikit pekerja. Pada kasus pertanian padi organik, juga hanya satu jenis ko-moditi yang ditanam.

    Dengan melepas itik dalam satu tanaman mono-kultur padi saja, kita dapat meningkatkan keaneka-ragaman tumbuhan sambil mengendalikan per-tumbuhan (seperti diversifikasi) gulma dan hama penyakit. Kita dapat membuat ekosistem yang baru dan beranekaragam di mana padi, itik dan tanaman air tumbuh bersama. Ini yang diinginkan dalam pertanian terpadu padi dan itik. Yang menarik dalam pertanian terpadu padi itik adalah bagaimana meningkatan keaneragaman secara kreatif yang dapat me-ningkatkan produktivitas.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 28 dari 50

    Gulma, keong mas, dan serangga dimakan oleh itik, sedangkan itik memberikan dampak pening-katan pertumbuhan tanaman padi. Pertanian ter-padu padi dan itik lebih kekal dan mempunyai siklus lebih baik dari pada metoda lain. Pertanian terpadu padi, itik dan azolla merupakan jalan kreatif untuk menciptakan siklus ekosistem pro-duktif yang kekal.

    Teknik umum pertanian padi dan itik yang adalah sebagai berikut:

    (1) Sawah padi ditutup dengan pagar bambu, jaring, dan bahan-bahan lainnya. Penutupan sawah ini bertujuan untuk menjaga itik dari terkaman predator (pemangsa itik) dan mencegah itik lepas keluar sawah.

    (2) Satu sampai dua minggu setelah penanaman bibit padi, anak itik yang berumur 1-2 minggu dilepas di sawah dengan jumlah yang proporsional yaitu 20-30 ekor per 10 are (1.000 m2).

    (3) Anak itik dipelihara dengan cara melepaskannya di sawah baik siang maupun malam sampai dengan saatnya bulir padi terbentuk. Pada umumnya itik hanya dilepas di sawah pada siang hari saja kemudian digiring masuk kandang pada sore hari dengan alasan untuk mencegah itik tersebut dicuri orang.

    Anak itik akan berenang keseluruh penjuru sawah padi, dengan rakus memakan rumput liar (gulma), serangga, katak, berudu dan lumpur di sawah padi. Anak itik ini akan tumbuh dengan cepat. Tanaman padinya akan terbajak dengan baik, keluar cabang dengan baik, dan tumbuh dengan pesat.

    4.5 BUDIDAYA KELINCI

    Ternak kelinci merupakan ternak alternatif yang mempunyai potensi cukup tinggi sebagai penghasil daging dan kulit serta mempunyai beberapa keistimewaan ditinjau dari potensi reproduksi dan produksinya. Kelinci dapat memanfaatkan limbah pertanian yang efisien, dan pupuk yang dihasilkan serta urinenya dapat memberikan nilai tambah bagi penghasilan keluarga, demikian juga daging yang dihasilkan merupakan daging sehat yang rendah kolesterol, berserat halus dan rasanya hampir sama dengan daging ayam.

    Aspek lain yang menarik dari kelinci dengan berbagai potensinya yaitu dikenal dengan istilah 4 F + L, yaitu Food (daging), Fur (kulit bulu), Fancy (Kelinci Hias), Fertilizer (pupuk) dan Laboratory animal ( hewan laboratorium). Potensi tersebut dapat diperlihatkan dari kemam-puan produksi yang tinggi, mampu memanfaatkan hijauan dan produk lim-bah secara efisien, prolifik, dagingnya mengandung protein yang tinggi (20,8 %) dengan kadar lemak rendah (10,2 %) dan kolesterol yang rendah (1,39 mg/100

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 29 dari 50

    gram daging) sehingga sangat baik untuk di konsumsi bagi masyarakat yang mempunyai masalah dengan kesehatan.

    Di Amerika dikenal adanya industri peternakan kelinci dengan istilah Rabbittry, yang menghasilkan 23 - 27 ribu ton daging per tahun, demikian pula di Perancis dan Spanyol menghasilkan daging 11 ribu ton per tahun. Ada beberapa jenis kelinci yang diternakan khusus sebagai penghasil daging (Carolina, Simonoire, Giant Chinchila), kulit bulu (Rex, Satin), kulit bulu dan daging (New Zealand White, Flemish Giant, Californian, English Spot), wol (Angora), fancy (Lop Dwarf, Dutch,Netherland Dwarf).

    Kulit Rex yang dihasilkan oleh Balitnak mendapat tanggapan positif dari pengusaha dan pengrajin kulit dengan jumlah permintaan 1.000 lembar, dan dinyatakan pula bahwa pemasaran kulit bulu tidak mempunyai masalah (Raharjo, 2003), untuk pasar Hongkong, nilai jual kulit bulu kelinci Rex yang bermutu prima US$ 11.00 per lembar mentah (Pelt) atau untuk luas kulit 42 x 36 cm2 nilainya bisa mencapai US$ 14.00 (Sino Leather, 2001). Pasar utama kulit bulu mentah adalah Hongkong, Cina, Taiwan dan Korea, sedangkan pasar produk akhirnya adalah Jepang, Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Sedangkan pasar utama daging kelinci adalah Italia, Perancis dan Spanyol, dan sebagai pemasok utama adalah Cina, dan pada tahun 1992 pasar Eropa mengalami defisit daging kelinci sebesar 12 ribu ton.

    Untuk permintaan pasar lokal kelinci di lingkar Kebun Raya Bogor per minggu men-capai 2.000 ekor yang 70% disuplay dari Sukabumi dan Bandung. Kelinci tersebut dijadikan sebagai oleh-oleh para pengunjung Kebun Raya Bogor yang setiap minggunya mencapai 25.000 orang. Permintaan urine kelinci sebagai bahan baku Pupuk Organik Cair (POC) pun sangat tinggi, salah satu produser POC di daerah Sukabumi membutuhkan setidaknya 5.000 liter urine kelinci per bulan dengan harga Rp 1.500 per liter.

    Melihat berbagai potensi yang dimiliki ternak kelinci serta perkembangan pemasaran yang semakin terbuka, maka saat yang baik untuk dapat mengembangkan ternak kelici di Indonesia, mengingat negara kita adalah agraris, peternakan kelinci tidak membutuhkan lahan yang luas, pemeliharaan yang relatif mudah.

    4.6 BUDIDAYA LEBAH

    Di Indonesia sentra perlebahan masih ada di sekitar Jawa meliputi daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dengan jumlah produksi sekitar 2.0002.500 ton per tahun untuk lebah budidaya. Kali-mantan, Sumatera, dan Sumbawa meru-pakan sentra untuk madu dari perburuan lebah di hutan (madu alam). Sedang untuk sentra perlebahan dunia ada di CIS (Negara Pecahan Soviet), Jerman, Australia, Jepang dan Italia.

    Madu merupakan sumber komoditi yang banyak diperlukan bagi industri farmasi, kosmetik, dan makanan, di samping konsumsi sehari-hari. Madu menurut hasil riset diketahui mengandung 24 macam zat gula, di samping mengandung zat ferment, vitamin mineral, asam, asam-asam amino, hormon, zat bakterisidal dan bahan-bahan

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 30 dari 50

    aromatik. Demikian juga telah berhasil diketahui komposisi propolis, royal jelly, pollen bee dan sebagainya (Mashudi dkk, Lebah Madu, Madu Lebah di Indonesia tahun 2000. Pusat Apiari Pramuka). Madu diyakini secara rasional merupakan sumber daya energi bagi tubuh (100 gr madu = 328 kalori). Konsumsi madu di negara industri dan super industri, seperti Jerman, Jepang, Perancis, Inggris dan lain-lain rata-rata mencapai jumlah 1.000 - 1.600 gr/kapita/tahun. Di negara-negara berkem-bang konsumsi madu diperkirakan sekitar 70 gr/kapita/tahun. Karenanya perkem-bangan berbagai produk industri makanan, terutama yang berguna untuk menjaga kesehatan, semakin meluas dan meningkat.

    Menurut asal-usulnya lebah dibagi 4 jenis berdasar penyebarannya:

    (1) Apis cerana, diduga berasal dari daratan Asia menyebar sampai Afghanistan, Cina maupun Jepang.

    (2) Apis mellifera, banyak dijumpai di daratan Eropa, misalnya Prancis, Yunani dan Italia serta di daerah sekitar Mediterania

    (3) Apis Dorsata, memiliki ukuran tubuh paling besar dengan daerah penyebaran sub tropis dan tropis Asia seperti Indonesia, Philipina dan sekitarnya. Penyebarannya di Indonesia merata mulai dari Sumatera sampai Irian

    (4) Apis Florea merupakan spesies terkecil tersebar mulai dari Timur Tengah, India sampai Indonesia. Di Indonesia orang menyebutnya dengan tawon klanceng

    Manfaat yang dapat diperoleh dari lebah:

    (1) Madu sebagai produk utama berasal dari nektar bunga merupakan makanan yang sangat berguna bagi pemeliharaan kese-hatan, kosmetika dan farmasi.

    (2) Royal jelly dimanfaatkan untuk stamina dan penyembuhan penyakit, sebagai ba-han campuran kosmetika, bahan cam-puran obat-obatan

    (3) Pollen (tepung sari) dimanfaatkan untuk campuran bahan obat-obatan/kepenting-an farmasi.

    (4) Lilin lebah (malam) dimanfaatkan untuk industri farmasi dan kosmetika sebagai pelengkap bahan campuran.

    (5) Propolis (perekat lebah) untuk penyembuhan luka, penyakit kulit dan mem-bunuh virus influensa.

    (6) Keuntungan lain dari beternak lebah madu adalah membantu dalam proses penyerbukan bunga tanaman sehingga didapat hasil yang lebih maksimal

    4.7 BUDIDAYA JAMUR MERANG

    Indonesia termasuk salah satu negara yang dikenal sebagai gudang jamur terkemuka di dunia. Jamur-jamur yang telah dibudidayakan dan telah populer atau memasyarakat sebagai makanan dan sayuran serta banyak diperdagangkan di pasar adalah jamur merang (Volvariella volvacea), jamur champignon (Agaricus

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 31 dari 50

    bitorquis), jamur kayu seperti jamur kuping (Auricularia, Sp.), Jamur Shiitake/payung (Lentinus edodes) dan jamur tiram (Pleurotus ostreatus).

    Jamur mengubah selulosa menjadi polisakarida yang bebas kolestrerol sehingga orang yang mengkonsum-sinya terhindar dari resiko terkena serangan stroke. Jamur merang merupakan jenis jamur yang pertama kali dapat dibudidayakan secara komersial. Di Cina jamur merang mulai dibudidayakan sejak pertengahan abad

    17, dan di Indonesia tanaman ini diperkirakan mulai dibudidayakan sekitar tahun 1950.

    Budidaya jamur merang dapat dikelola sebagai usaha sampingan ataupun ekonomis, skala kecil, menengah, dan besar (industri). Seiring dengan popularitas dan memasyarakatnya jamur merang sebagai bahan ma-kanan lezat dan bergizi, maka permintaan konsumen dan pasar jamur merang di berbagai daerah mening-kat. Kebutuhan konsumsi jamur merang meningkat sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Rata-rata konsumsi jamur per kapita penduduk Eropa melebihi 1,5 kg/kapita/tahun, sedangkan penduduk Inggris 1,0 kg/kapita/tahun dan Amerika Seri-kat 0,5 kg/kapita/tahun.

    Budidaya jamur merang memanfaatkan limbah jerami padi yang dikomposkan ter-lebih dahulu. Panen pertama dapat dilakukan 15 hari setelah penanaman bibit, dan seterusnya dapat dipanen setiap hari sampai habis ( 2-3 bulan). Limbah dari budidaya jamur merang ini dapat dipakai langsung sebagai bahan organik untuk tanaman sayur.

    4.8 BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK

    Produk sayur-sayuran Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditas ung-gulan ekspor, namun di negara pengimpor (misalnya Singa-pura) hasil komoditi sayuran Indonesia dinilai masih berkelas tiga dibawah Australia (yang sampai saat ini masih dianggap no. 1), dan China, Taiwan dan Malaysia (kelas 2). Hal ini disebabkan karena sayur-sayuran dari Indonesia masih belum dapat memberikan jaminan kesinambungan atas mutu produknya, jumlah

    pasokan minimumnya, dan ketepatan waktu penyam-paiannya.

    Bahkan sejauh ini guna memenuhi permintaan terhadap sayur-sayuran yang bermutu dan bernilai teru-tama untuk penyajian makanan yang sesuai dengan selera konsumen luar negeri di banyak hotel berbintang di Indonesia, Indonesia juga masih harus didatangkan dari luar negeri untuk beberapa jenis tertentu.

  • JURUSAN AGRIBISNIS

    FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA

    PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013) Hal. 32 dari 50

    Permintaan dari dalam negeri terhadap sayur-sayuran bernilai tinggi pada umumnya sebagian besar datang dari hotel-hotel berbintang, pasar-pasar swalayan, cafe dan restoran, serta perusahaan catering yang melayani penerbangan-penerbangan internasional. Ada juga yang datang dari pasar-pasar tradisional tetapi besarnya permintaan di pasar ini relatif kecil bilamana diban-dingkan dengan pasar-pasar yang disebut sebelumnya.

    Jenis sayuran yang ditanam terdiri atas 2 macam, yaitu sayuran berumur pendek (fast growing) seperti bayam, kangkung, baby kol, baby phakcoy, dan berumur se-dang seperti tomat, cabai, terung, kacang panjang, buncis, asparagus. Limbah sayuran ini dapat digunakan sebagai pakan hijauan.

    4.9 ECENG GONDOK SEBAGAI BIO-FILTER

    Orang lebih banyak mengenal eceng gondok (Eichornia crassipes) ini sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) diper-airan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan keIndonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkemba-ngannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru menda-tangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak.

    Eceng gondok dapat hidup mengapung bebas di atas permukaan air da