wahdatul wujud

21

Click here to load reader

Upload: kewin-harahap

Post on 24-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

WAHDATUL WUJUD

WAHDATUL WUJUDA. Pendahuluan

Mengutip tulisan Hasan Yusri dalam bukunya Rahasia dari Sudut Tasawuf (Jalan Bagi Hamba Allah), dijelaskan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan dapat dikatakan baik, apabila ia dapat menyelaraskan semua perbuatan dalam kehidupannya di dunia ini, lahir batin sesuai dengan kehendak Tuhan; baik sebagai perseorangan dalam hubungannya dengan Tuhan (hablun minallah) maupun sebagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan manusia lain (hablun minan-nas). Wahdatul wujud adalah istilah kontroversial diantara kaum muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan tasawuf pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni. Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang awam, seraya menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam. Tapi bagi yang lain wahdatul wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik dalam Islam yang dalam beberapa hadis Nabi saw. disebut sebagai ihsan. Apabila hubungan manusia dengan Tuhan tidak selaras, maka akan timbul kegelisahan-kegelisahan yang dialami oleh manusia sendiri dalam kehidupannya di dunia ini. Dalam kondisi seperti ini, manusia perlu berusaha menyelaraskan hubungannya dengan Tuhan agar ia dapat terhindar dari kegelisahan-kegelisahan psikologis yang telah melanda dirinya. Penyelarasan hubungan itu dapat dilakukan oleh manusia sendiri dengan kembali kepada agama melalui sebuah ajaran tasawuf, khususnya yang berkaitan dengan rasa bersatunya manusia (maujud) dengan Tuhan (Wujud) atau dikenal dengan istilah Wahdatul Wujud. Walaupun konsep ini banyak menimbulkan kontroversi dalam dunia Islam, begitu juga di Nusantara dengan tokohnya seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, tapi pada saat yang sama, sejarah juga mencatat tasawuf dengan corak falsafi ini juga berkembang dengan segala eksistensi dan esensinya di kawasan dunia muslim.

B. Pengertian Wahdatul WujudDalam kitab ar-Raniri, Chilluzh-zhill, yang dikutip Sangidu, dijelaskan bahwa untuk memahami konsep bersatunya manusia dengan Tuhan (Wahdatul Wujud) memerlukan pemahaman konsep maujud dan Wujud lebih dahulu. Kata maujud (al-maujud) dan kata Wujud (al-Wujud) merupakan dua kata yang mempunyai arti dan pengertian yang bermacam-macam. Kata maujud (al-maujud) disebut juga dengan istilah lain, seperti kata ciptaan (al-khalq), yang ada (al-kain), yang mungkin ada (al-mumkinul-wujud), bayangan Tuhan (azh-zhill), keadaan-keadaan (asy-syuun), sesuatu selain Allah (ma siwal-Lah), sesuatu yang nyata (at-tayinat), yang lain selain Allah (al-ghair), sesuatu yang baru (al-haditsat), cahaya tambahan (nurul-idhafi), dan ciptaan (al-makhluk). Kata-kata tersebut hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata yang lain dan dihubungkan secara vertical. Hubungan kata-kata yang dimaksud adalah hubungan antara kata al-maujud dengan al-Wujud, al-khalq dengan al-Haq, al-kain atau mumkinul-wujud dengan Wajibul Wujud, dan kata al-makhluq dengan al-Khaliq. Armstrong menguraikan tentang al-maujud sebagai sesuatu yang ada atau ditemukan. Segala sesuatu, meskipun belum ada dalam kosmos, mempunyai eksistensi dalam pengetahuan Allah. Sesuatu yang ada (al-maujud) adalah sebuah entitas yang berada pada tataran apa pun atau dalam alam mana pun. Dengan eksistensinya itu, sesuatu pun selalu memuji Allah. Eksistensi itu sendiri merupakan Pujian dan Keagungan. Pujian dan Keagungan itu dapat dipahami oleh seseorang yang mata batinnya terbuka. Adapun Wujud (al-Wujud) secara etimologis berarti eksistensi, wujud, atau penemuan. Jika diartikan sebagai Wujud, istilah ini menunjukkan Dzat Allah itu sendiri. Jika diartikan sebagai eksistensi, Wujud menunjukkan segala sesuatu di dalam alam semesta. Jika diartikan sebagai penemuan, Wujud menunjukkan pengalaman menemukan Allah. Biasanya para pencari kebenaran (al-muhaqqiqun) dan para ahli penyingkap (ahlul-kasyf) berusaha keras menemukan Allha secara terus-menerus dan tiada henti-hentinya, baik di dalam alam semesta maupun di dalam diri mereka sendiri. Selain itu, kata maujud dan kata Wujud merupakan dua hal yang berbeda. Maujud adalah alam semesta seisinya, termasuk manusia. Karena itu, alam semesta seisinya termasuk manusia, merupakan pertunjukkan dan yang dipertunjukkan adalah Wujud (Allah Taala). Dengan pertunjukkan itulah, Wujud (Allah Taala) dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan didekati, terutama melalui diri manusia.Adapun kata Wujud adalah Dzat Allah yang ada dan keberadaan-Nya itu tanpa bentuk, ukuran, dan batas, bahkan lebih lembut dari itu. Karena itu, Wujud dipandang dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapa pun dan tidak dapat dianalogikan karena akal, angan-angan, dan perasaan merupakan ciptaan baru. Sebagai ciptaan baru, ia tidak dapat dijangkau atau diungkap oleh hakikat dirinya kecuali oleh Yang Maha Pembaharu. Siapa pun yang ingin berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui dan mengungkap hakikat Wujud, maka hal itu hanya merupakan perbuatan yang sia-sia dan hanya menghabiskan umurnya saja. Dengan demikian, kata maujud dan Wujud merupakan dua hal yang saling berhubungan walaupun keduanya dipandang sebagai hal yang berbeda. Lebih lanjut Sangidu menegaskan bahwa yang dimaksud dengan maujud (al-maujud) adalah alam semesta seisinya, termasuk di dalamnya manusia. Manusia terdiri atas jasmani dan rohani yang semuanya mengalami evolusi. Evolusi secara jasmaniyah, manusia memerlukan sarana-sarana positif yang berupa makanan-makanan bergizi agar dapat berkembang dengan baik. Evolusi secara rohaniah juga memerlukan sarana-sarana positif yang berupa perbuatan baik guna mendekatkan diri dan bertemu dengan Tuhannya. Adapun yang dimaksud Wujud (al-Wujud) adalah Allah Taala yang telah menciptakan maujud. Dalam kerangka keutuhan sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan-perbuatan (afal) Allah, Ia mempunyai 99 nama yang terkenal dengan nama asmaul-husna. Untuk penjelasan dalil naqli dalam konteks ini, banyak ayat Alquran yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta, termasuk manusia, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Ayat-ayat yang dimaksud diantaranya;Q.S.Yasin ayat 81. (((((((((( ((((((( (((((( ((((((((((((( (((((((((( ((((((((( (((((( ((( (((((((( ((((((((( ( (((((( (((((( ((((((((((( ((((((((((( ((((

Artinya: dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha mengetahui.

Q.S.al-Ankabut ayat 19.(((((((( (((((((( (((((( (((((((( (((( (((((((((( (((( ((((((((((( ( (((( ((((((( ((((( (((( ((((((( ((((

Artinya: dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Secara istilah, Wahdatul Wujud mempunyai definisi dan pengertian yang bermacam-macam tergantung pada para tokoh sufi yang memahami dan menghayatinya. Dalam studi di Barat, istilah Wahdatul Wujud disamakan dengan panteisme, monisme, atau monisme-panteisme. Panteisme didefinisikan sebagai suatu teori yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu Tuhan. Artinya, dunia dan Tuhan itu manunggal. Monisme didefinisikan sebagai suatu paham yang cenderung mengembalikan kejamakan kepada kesatuan. Sementara itu, Jalaluddin Rumi, seorang penyair mistik terbesar Persia, mendefinisikan Wahdatul Wujud sebagai suatu proses dari alam semesta yang selalu berubah dan hilang serta serempak diperbarui tanpa istirahat sedetik pun. Pada hakikatnya, ia adalah abadi dan bernama Tuhan. Menurut Sangidu dalam hal ini, semakin banyak orang memahami serta mencari definisi dan pengertian Wahdatul Wujud, maka ia semakin kehilangan arah untuk memahami konsep ini karena ini tidak ada satu definisi atau pengertian pun yang bersifat universal dan dapat diterima oleh semua pihak. Namun, pada uraian berikutnya konsep Wahdatul Wujud ini akan lebih merujuk pada konsep Ibn Arabi.

C. Tokoh-tokoh Wahdatul Wujud dan Ajarannya1. Biografi Ibn al-ArabiMuhyi-d-din Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Arabi al-Hatimi ath-Thai al-Andalusi, yang telah terpilih untuk menjadi simbol kesucian Muhammad yang dilahirkan di Murcle, Andalusia, Spanyol. Pada abad 27 Ramadhan 560 atau 7 Agustus 1165 di lingkungan keluarga yang berketurunan Arab. Dan kegiatan duniawi beliau yang amat banyak jumlahnya dan berakhir pada 28 Rabiutsani 638 atau 16 November 1246. Dan dia dalam suatu perjalanannya panjang dia telah membawa beliau dari Sevilla, tempat keluarganya bermukim pada 568/1173 sampai di Damas, tempat peristirahatan terakhir beliau sampai sekarang masih dikunjungi orang-orang peziarah. Pada tahun 578 Ibn al-Arabi mulai belajar agama dengan usia yang masih muda. Beliau mempelajari al-Quran di bawah bimbingan Ibn Safi al-Lakhimi (meninggal 589/1189) yang mengajarkan haditsnya. Selama menetap di Seville, Ibn al-Arabi dengan memanfaatkan perjalanannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd (w. 595 / 1198) di Cordova. Percakapannya dengan filsuf besar ini membuktikan kecermelangannya yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Di antara guru-guru spiritual Ibn al-Arabi terdapat dua wanita lanjut usia : Yasamin (sering pula disebut dengan Syams) dari Marchena dan Fatimah dari Cordova. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya. Pada perjalanannya tahun 590/1193 dia mengadakan perjalanan itu pertama kali Ibn al-Arabi ke semenanjung Iberia. Di sana dia belajar Khal al-Na Laya (melepas dua sandal) oleh Ibn Qasi, pemimpin sufi yang melakukan pemberontakan terhadap dinasti al-Munabbitin di Algerve. Ia kemudian menulis karya dengan berbagai komentar. Dan yang sama ia juga mengunjungi Abd al-Aziz al-Mahdawi, dengan dikirimnya ruh al-Quds, al-Kinani, guru al-Mahdawi, dengan ajaran al-Kumi dan al-Mawruri. Adapun beberapa fase untuk mengikuti jalan sufi adalah fase-fase yang mempercepat pemberanian diri untuk menjadi seorang sufi di antaranya yaitu : a. Fase persiapan dan pembentukan diriSelama berada di Sevilla, Ibn al-Arabi di masa mudanya sering melakukan perjalanan ke sebuah tempat di Spanyol dan Afrika Utara, kesempatan tersebut di pergunakan untuk Ibn Rusyd serta dua gurunya.

b. Fase peningkatanPada tahun 1200 ketika di Marrakesi, Ibn al-Arabi menerima perintah ruya yang bertemu Muhammad al-Hasan dan perjalanan dari Tunis ke Mesir tapi dalam perjalanannya ia meninggal dunia, kemudian ia melanjutkan perjalanannya sampai ke Makkah pada pertengahan 1202. yang disambut oleh warga besar perhatiannya Abu Yaja Zahir, Ibn Rustam dan putrinya.

c. Fase kematangan spiritual dan intelektualDengan karya yang monumentalnya al-Futuhat dan al-Makiyyah dia menyisakan hidupnya dengan melibatkan dalam kehidupan politik sosial. Menurut pemikiran tasawufnya, bahwa tuhan ingin melihat diri-nya dari luar diri-nya maka di jadikan-nya alam, alam merupakan cermin bagi tuhan. Pada benda-benda yang ada dalam alam karena esensinya adalah sifat ketuhanannya.,tuhan melihat diri-nya. Disini timbullah paham kesatuan wujud. Yang banyak dalam alam ini hanya dalam penglihatan banyak, pada hakekatnya itu satu. Tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang di letakkakn sekelilingnya. Di dalam setiap cermin ia lihat dirinya. Dalam cermin-cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya hanya satu. Sebagai mana yang di jelaskan dalam Fusus Al-hikam wajah sebenarnya Abu said bin Abil Khair mengatakan bahwa tingkatan Maqam ada empat puluh. Sedangkan Khawajah Abdullah Al-Anshary mengatakan seratus tingkatan. Dan keduanya tidak menyebutkan jumlah tingkatan Ahwal.

Adapun Tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj dapat di sebutkan sebagai berikut:a. Tingkatan Taubat (At-Taubah)b. Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat (Al-Wara)c. Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (Az-Zuhdu)d. Tingkatan memfakirkan diri (Al-Fakru)e. Tingkatan sabar (As-sabru)f. Tingkatan tawakkal (At-Tawakkul)g. Tingkatan kerelaan (Ar-Ridha)

2. Syeh Siti JenarSyekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.

Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo. Di dalam Babad Jaka Tingkit diceritakan bahwa Siti Jenar memasrahkan diri sepenuhnya terhadap utusan para wali untuk menghukum mati dirinya. Siti Jenar dikenai hukuman pancung. Tapi, ada yang aneh, kepala terlepas dari badan itu mampu bicara dan memanggil semua darah yang menyembur itu untuk kembali lagi ke tubuh dan tidak boleh ada yang masih tercecer. Semua darah seakan dihirup lenyap, tiada jejak, dan kepala menempel lagi pada tempatnya. Sempurna, tiada berbekas. D. Konsep Wahdatul Wujud dalam Pandangan IslamPembahasan tentang wahdatul wujud erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku. Dalam memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.Bentuk penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman. Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai yang pertama mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai keadaan fana dan baqa dimana dia memeroleh visi tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang.Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada manusia sebelum dia menjadi manusia. Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian berkembangdalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni kuiditas yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam. Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal, pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan dan pembatasan-pembatasan dari Eksistensi yang mencakup semua menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda dalam tindakan perluasan dan penyusutan berkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. Sesuatu dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas. E. Kesimpulan1. Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara yaitu; bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya.2. Dalam mencapai Wahdatul Wujud tidak dapat ditempuh dangan logika manusia, karena unuk mencapai wahdatul wujud, seseorang harus menjadi Sufi terlebih dahulu.3. Tokoh pengembang Wahdatul Maujud adalah Muhyiddin Ibn Al Arabi, yang di dalam pahamnya menyatakan bahwa; semua yang ada adalah zat tunggal, zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya, tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana.4. Dalam memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.5. Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana intuisi yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek.DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arabi, Ibn. Relung Cahaya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988.

Al-Quds, Ruh dan al-Durrat al-Fakhirah. Sufi-Sufi Andalusia, cet.1, Bandung: Mizan, 1994.Armstrong, Amatullah. Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi) The Mystical Language of Islam, yang diterjemahkan oleh M.S.Nashrullah dan Ahmad Baiquni, dengan judul, Khazanah Istilah Sufi; Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996, Cet.ke-1.Chodjim, Ahmad. Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan,. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Hamka. Tasawuf perkembangan dan pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.Haq Ansari, Muhammad Abd. Merajut tradisi Syariah Sufisme, cet.1, Jakarta: Grafindo Persada, 1997.

Hidayat, Atif, 2009. atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/ Muhammad al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin. Ihya Ulum al-Din, v. 4, Semarang: Glori Ilmu Husada, 199.Nasution, Harun. Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Nicholson, R.A. Rumi Poet and Mistic, yang diterjemahkan oleh Sutejo, dengan judul, Jalaluddin Rumi; Ajaran dan Pengalaman Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.Sangidu. Wahdatul Wujud; Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri, Yogyakarta: Gama Media, 2003.Yusri, Hasan. Rahasia drai Sudut Tasawuf; Jalan bagi Hamba Allah, Surabaya: Bina Ilmu, 1986, Cet. ke-1.

Zoetmulder. Manunggaling Kawula-Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Hasan Yusri, Rahasia drai Sudut Tasawuf; Jalan bagi Hamba Allah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), Cet. ke-1, hlm. 1.

Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 92

Lihat. Sangidu, Wahdatul Wujud; Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 39.

Ibid., hlm. 39-40.

Amatullah Armstrong, Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi) The Mystical Language of Islam, yang diterjemahkan oleh M.S.Nashrullah dan Ahmad Baiquni, dengan judul, Khazanah Istilah Sufi; Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. (Bandung: Mizan, 1996), Cet.ke-1, hlm. 181.

Ibid., hlm. 321.

Sangidu, Op.cit., .

Ibid., hlm. 43-44.

Zoetmulder, Manunggaling Kawula-Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 2.

R.A.Nicholson, Rumi Poet and Mistic, yang diterjemahkan oleh Sutejo, dengan judul, Jalaluddin Rumi; Ajaran dan Pengalaman Sufi. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. xvi.

Sangidu, Op.cit., hlm. 45.

Ibn Arabi, Relung Cahaya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988), hlm. 1-3

Ibid., hlm. 4-5

Ruh al-Quds dan al-Durrat al-Fakhirah, Sufi-Sufi Andalusia, cet.1, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 39.

Hamka, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 29.

Ibid.,

Hidayat, Atif, 2009. atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/syekh-siti-jenar/

Ibid.,

Ibid.,

Ahmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan,. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm 28).

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, v. 4, (Semarang: Glori Ilmu Husada, 199), hlm. 240.

Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syariah Sufisme, cet.1, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), hlm. 102..

Ibid., hlm. 154.

Ibid., hlm. 177.

Ibid., hlm. 180.

PAGE 13