volume 3, no 1, mei 2019 - ub

128
Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau Masdar Faridl AS Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem Perburuhan Batik di Yogyakarta Dewi Puspita Rahayu Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata Waterland Iwan Nurhadi, Lutfi Amiruddin & Genta Mahardhika Rozalinna Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon Amin Mudzakkir Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of Disability Movement in Yogyakarta Slamet Thohari Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi Atika Yulianti, Iwan Nurhadi & Lutfi Amiruddin Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapuli di Dalam Memperjuangkan Situasi Kerja Layak Ari Ujianto e-ISSN: 2597-7326 p-ISSN: 2598-1048 Volume 3, No 1, Mei 2019

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

• Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau

Masdar Faridl AS

• Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem Perburuhan Batik

di Yogyakarta

Dewi Puspita Rahayu

• Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata

Waterland

Iwan Nurhadi, Lutfi Amiruddin & Genta Mahardhika Rozalinna

• Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon

Amin Mudzakkir

• Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of

Disability Movement in Yogyakarta

Slamet Thohari

• Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi Warga

Muhammadiyah Sebagai Dampak Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi

Atika Yulianti, Iwan Nurhadi & Lutfi Amiruddin

• Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapuli di Dalam

Memperjuangkan Situasi Kerja Layak

Ari Ujianto

e-ISSN: 2597-7326

p-ISSN: 2598-1048

Volume 3, No 1, Mei 2019

Page 2: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Editorial

Wida Ayu Puspitosari1

Jurnal Kajian Ruang-Sosial Budaya Vol. 3 No. 1 Tahun 2019 kali ini memuat artikel yang

mengulas mengenai isu kelas pekerja dan komunitas marjinal dalam menghadapi dan melawan

struktur dominasi. Ragam struktur dominasi yang akan anda jumpai di dalam artikel terkait

terwujud dalam dimensi ekonomi, budaya, politik dan tata kelola pemerintahan, serta

penguasaan sumber daya alam. Setidaknya terdapat tujuh artikel yang akan mendiskusikan satu

per satu struktur dominasi yang kami sebut di atas.

Kita membuka diskusi dengan artikel Masdar yang mengulas soal ketimpangan distribusi

dana dari pemerintah untuk usaha kecil di Pulau Padang, Propinsi Riau. Ketimpangan ini

dialami oleh kelompok suku Akit sebagai keturunan Orang Suku Laut yang lebih lama

menduduki wilayah sekitar ketimbang suku Malayu dan Jawa, yang notabene jauh mendapatkan

suntikan dana lebih banyak. Menurutnya, pemerintah selayaknya memberikan perhatian pada

suku Akit dengan merevisi kebijakan pemberdayaan ekonomi yang ramah dengan penduduk

lokal.

Dewi menelusuri peta politik industri batik Yogyakarta dan dampaknya dalam sistem

perburuhan batik di Yogyakarta. Dari proses investigasinya ditemukan beberapa strategi yang

dilakukan oleh pemerintah daerah dan para pelaku industri batik yang menggambarkan peta

politik industri batik di Yogyakarta seperti menjadikan pasar luar negeri sebagai pangsa pasar

1 Wida Ayu Puspitosari, editor Jurnal Kajian Ruang Soaial-Budaya. Email: [email protected]

© Wida Ayu Puspitosari, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol 3, No 1, 2019. Hal.1-3.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Puspitosari, Wida A. 2019.”Editorial,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 1-3.

DOI:10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.01

EDITORIAL

Page 3: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

2 Puspitosari

batik; adanya program batikmark; kerja sama dengan Departemen Pariwisata Pos dan

Telekomunikasi DIY dengan menjadikan pabrik dan gerai showroom sebagai salah satu obyek

wisata yang terdapat di Yogyakarta yakni melalui workshop batik serta menjadikan pabrik

mereka sebagai ruang display proses membatik bagi wisatawan; serta menguatkan identitas

budaya Jawa dalam motif maupun proses membatik. Peta politik ini kemudian berimplikasi pada

adanya indikasi eksploitasi buruh batik Yogyakarta yang didukung oleh hegemoni budaya Jawa.

Iwan, Lutfi dan Genta menulis tentang produksi ruang dan perubahan pengetahuan

pada masyarakat sekitar objek wisata Waterland. Dari proses penelusurannya terdapat

transformasi ruang; berasal dari produksi ruang absolut, yang merupakan bagian dari kehidupan

sehari-hari masyarakat yang tidak bergantung pada industry pariwisata, menjadi ruang abstrak

yang dilegitimasi melalui wacana keuntungan dari pariwisata bagi investor. Lebih jauh lagi,

kontestasi antara wacana dan wacana tandingan terjadi ketika perubahan tata guna lahan

tersebut. Hal tersebut terjadi pada proses dominasi wacana oleh elit desa, sedangkan wacana

tandingan hanya muncul pada masyarakat bawah. Perubahan tata guna lahan, berkonsekuensi

pada kerusakan ekologi, terutama pada sumber daya air karena penggunaannya yang untuk

kebutuhan wisata Waterland. Terdapat juga potensi konflik sejak adanya penggunaan air yang

menyebabkan kelangkaan sumber daya tersebut. Dalam penelitian ini menunjukkan masyarakat

belum siap menerima industri pariwisata.

Secara teoritis, Amin menulis tentang massa dan kepemimpinan berdasarkan teks The

Crowd karya Gustave Le Bon. Dengan pembacaan kritis terhadap teks Le Bon ini terlihat dua

kemungkinan sudut pandang lain dalam memahami hubungan antara massa dan

kepemimpinan. Kemungkinan pertama adalah massa merupakan refleksi dari kebudayaan

tertentu, hasil dari sebuah proses historis tertentu, sehingga pemimpin yang muncul dalam

kerumunan tersebut tetap terikat dengan sistem atau nilai yang dominan, setidaknya mereka

harus menyesuaikan diri dengan tradisi sejauh itu hidup di kalangan pengikutnya.

Slamet mengulas lebih dalam tentang proses dekonstruksi diskursus komunitas

“Penyandang Cacat” menjadi “Difabel”. Hasil penelusurannya menemukan bahwa model sosial

kajian disabilitas di Indonesia menemukan momentumnya untuk menemukan paradigma baru

pada pemilu presiden Indonesia tahun 2004.

Atika, Iwan dan Lutfi membahas mengenai adaptasi sosial warga Kedungharjo golongan

NU (Nahdlatul Ulama) di tempat relokasi Mayarakat Muhammadiyah sebagai dampak

pembangunan jalan tol Solo-Ngawi. Kami memilih untuk meneliti masyarakat Kedungahrjo

yang pindah jauh daritetangganya yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan. Karakt eristik

warga dari Dusun tersebut adalah peri urban atau semi perkotaan dengan warga yang heterogen,

termasuk dengan adanya perbedaan golongan agama Islam antara NU dan Muhammadiyah.

Hasil penelusurnanya menemukan bahwa warga Kedungharjo melakukan adaptasi untuk

mengatasi perbedaan golongan agama tersebut dengan conformity yaitu mengikuti kegiatan

keagamaan di tempat relokasi; ritualisme yaitu warga Kedungharjo yang masih

Page 4: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Editorial 3

mempertahankan nilai dan norma yang diyakini orang-orang NU; retritisme yaitu bentuk

pengunduran diri dengan tidak mengikuti kegiatan keagamaan dari golongan Muhammadiyah;

dan inovasi yaitu dengan mengadakan kegiatan keagamaan di tempat baru.

Menutup diskusi, Ari membahas pengorganisasian komunitas (community organizing)

yang dilakukan Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi, Jakarta dalam memperjuangkan situasi

kerja layak (decent work) di Indonesia, tahun 2013-2018. Situasi kerja yang dialami pekerja rumah

tangga di Indonesia belum bisa disebut layak karena masih terdapat eksploitasi, kekerasan dan

eksklusi dari kewargaan industrial. Salah satu sebab masalah itu terus terjadi adalah karena

pekerja rumah tangga tidak terorganisasi.

Akhir kata, redaksi berharap Jurnak Kajian Ruang Sosial Budaya dapat menjadi ruang

literasi bagi pembaca sekalian. Kami mengucapkan selamat membaca dan berdiskusi.

Page 5: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Daftar Isi

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau....................................................................... 5

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem Perburuhan Batik di Yogyakarta ... 30

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata Waterland .......... 46

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon ............................................................................ 65

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of Disability Movement in

Yogyakarta ................................................................................................................................................ 79

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai

Dampak Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi ............................................................................. 100

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Dalam Memperjuangkan Situasi

Kerja Layak .............................................................................................................................................. 111

Page 6: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau

Masdar Faridl AS1

This is related to the existence of financial inclusion from the government which leads

to economic improvement for small entrepreneurs in the region. However, the

people's economy cannot be absorbed by all groups. In the people of Padang Island,

Riau, people’s economic policies only apply to minority groups. The group is ethnic

Malays and Javanese. While minority groups such as the Akit people (native) group

did not get this right. This is because this system is biased towards ethnic problems.

Akit people as descendants of Orang Suku Laut (OSL) are considered to have no

ability in financial management and business plan. Thus, the cooperative economic

system in the village only benefits the majority. The failure of the populist economic

system in certain ethnic groups is an important note for the government to overcome

ethnic and racial boundaries in carrying out an economy that is friendly to the small

people.

Keynote: populist economy, Padang Island, Akit people, minority, democracy

economy.

1 Masdar Faridl AS. Peneliti/penulis dari Humaniora Institute, Email: [email protected]

© Masdar Faridl AS, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.5-29.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Faridl, Masdar.2019.” Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau,” Jurnal Kajian Ruang

Sosial-Budaya 3(1): 5-29.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.02

Page 7: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

6 Faridl

A. Pendahuluan: Akar Ekonomi Rakyat

Salah satu mukadimah kebijakan ekonomi Indonesia lahir dari gagasan Pancasila yang

termuat dalam sila keempat, yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan”. Gagasan tersebutlah yang kemudian diadopsi dalam asas

demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang oleh

Sidang Tahunan (ST) MPR 2002 dijadikan landasan atas ekonomi kerakyatan. Landasan ekonomi

kerakyatan juga berasal dari Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, dengan bunyi peran negara dalam

sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan

koperasi; (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala

kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4)

memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang

layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar (Awang, 2014). Kelima asas ekonomi

kerakyatan inilah yang dijadikan pilar pembangunan nasional oleh pemerintah hingga saat ini.

Inilah babak di mana ‘ekonomi kerakyatan’ menjadi fondasi dari tatanan kehidupan

sosial-ekonomi masyarakat. Sejarah munculnya gagasan ‘ekonomi kerakyatan’ sendiri

merupakan sebuah perjalanan panjang. Hal tersebut dimulai dari ide Moh. Hatta1 ketika

melaksanakan program perekonomian Indonesia pasca kolonialisme Hindia-Belanda. Ia

memperhatikan situasi sosial-ekonomi Indonesia sebagai negara baru yang mewarisi sistem

pemerintah Hindia-Belanda dengan menempatkan kaum pribumi dalam kelas strata sosial

paling bawah. Moh. Hatta untuk untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem ‘ekonomi

1 Sifat demokrasi asli Indonesia menurut Bung Hatta adalah: “Adapun demokrasi asli yang ada di desa-

desa di Indonesia mempunyai tiga sifat yang utama, yang harus dipakai sebagai sendi perumahan Indonesia Merdeka!

Pertama, cita-cita Rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang. .... Kedua,

cita-cita massa-protes, yaitu hak rakyat untuk membantah secara umum segala peraturan negeri yang dipandang

tidak adil. ..... Ketiga, cita-cita tolong menolong! Sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektiviteit.

.... Inilah tiga sendi dari demokrasi Indonesia! Jika lingkungannya diluaskan dan disesuaikan dengan kemajuan

zaman, ia menjadi dasar kerakyatan yang seluas-luasnya, yaitu Kedaulatan Rakyat seperti paham Pendidikan

Nasional Indonesia,”

Page 8: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 7

Pancasila1’ yang merupakan asas dari ekonomi kerakyatan yang digunakan pada masa revolusi

sebagai penguat sendi-sendi nasionalisme.

Definisi ‘pribumi’ yang dimaksud oleh Hatta saat itu merujuk pada ‘rakyat’ yang

mayoritas adalah warga asli keturunan Nusantara, seperti halnya Jawa, Melayu, Sunda, dan lain

sebagainya. Definisi tersebut juga merupakan strategi politik nasionalisme yang menguatkan

politik identitas ‘ke-Indonesia-an’. Akan tetapi terminologi ‘rakyat’ di sini luput dari etnis-etnis

pendatang dan masyarakat pinggiran, seperti Tionghoa, Orang Laut/Suku Laut, Indies, dan

etnis-etnis keturunan lainnya. Luputnya pendefinisian ‘rakyat’ atau ‘pribumi’ terhadap etnis-

etnis di keturunan dan pinggiran pada saat itulah yang membuat sistem ekonomi kerakyatan

sampai saat ini perlu dikaji ulang. Sebagai contoh, di dalam studi mengenai kelompok etnis

Tionghoa dan orang asli (Akit) di Pulau Padang masih terdapat warisan sistem ekonomi yang

bias kerakyatan. Kelompok etnis Tionghoa adalah pewaris taukeh-taukeh karet, sagu, dan

komoditi lainnya yang sejak masa kolonial dipekerjakan sebagai distributor dan kurir

perusahaan Eropa.

Selain warga keturunan Tionghoa, luputnya definisi ‘kerakyatan’ dalam perekonomian

masyarakat Pulau Padang juga terjadi pada orang asli atau suku rawa dan laut (sering disebut

sebagai orang Akit). Sejak dahulu, kelompok etnis ini telah menjadi bagian dari praktek

subsistensi warisan ekologi sekitar. Mereka tinggal di pinggir-pinggir rawa hutan gambut dan

melakukan aktivitas ekonomi secara sederhana. Akan tetapi, pemerintah Indonesia sejak berdiri

tidak pernah mendefinisikan keberadaan mereka sebagai bagian dari ‘pribumi2’. Mereka adalah

1 Moh. Hatta sendiri dalam menyelenggarakan ekonomi lebih sering menggunakan kata

‘pancasila’ dari pada ‘rakyat’. ‘Ekonomi Pancasila’ yang digagas oleh Moh. Hatta adalah bentuk dari sistem

pengelolaan sumber daya produksi yang ada di Indonesia sebagai bentuk atas kedaualatan hak-hak orang

banyak. Sistem ini merujuk pada sebuah pedoman ‘komunalisme’ yakni bentuk akses dan pengelolaan

sumber daya ekonomi oleh sebuah jaring sosial di dalam masyarakat.

2 Terminologi ‘pribumi’ dalam sejarah Indonesia digunakan sebagai bentuk imagined community

untuk membangun nasionalisme dan patriotisme melawan penjajah. Akan tetapi, bahasa politik ini

ternyata merujuk pada kultur agraria atau masyarakat yang tinggal di darat/bumi. Padahal, dalam lanskap

budaya Indonesia, terdapat masyarakat suku laut yang mendiami tepian rawa bakau/gambut, dan karang.

Terminologi ini menihilkan keberadaan suku laut dan masyarakat pinggiran dalam kontekspolitik

maupun ekonomi.

Page 9: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

8 Faridl

orang asing yang tidak hidup di ‘darat’, sehingga secara administratif tidak tercantum sebagai

warga negara Indonesia. Pada tahun 1980-an, ketika dilakukan program ‘pendaratan’

(resettlement) dari pemerintah, terjadi perubahan sistem ekonomi subsistensi menjadi ekonomi

pasar. Menurut Chou (2010), ketika masyarakat laut menjadi darat, mereka harus membeli segala

macam kebutuhan darat melalui sistem pertukaran uang. Sedangkan selama mereka hidup di

laut, mereka subsisten dengan sumber daya di laut. Program pemerintah dalam mendefinisikan

orang Akit dalam segi ekonomi ini sangat bias terhadap asas kerakyatan, karena secara tak

langsung pemerintah tidak menjamin kedaulatan mereka atas sumber daya hayati dalam

pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua contoh mengenai keluputan dari pendefiisian ekonomi

kerakyatan bagi masyarakat Pulau Padang ini adalah segelintir permasalahan mengenai problem

ekonomi kerakyatan bagi masyarakat pinggiran.

B. Sejarah Demokrasi Kerakyatan Masyarakat Pulau Padang

Sejak dahulu, pesisir Timur Sumatera dan Selat Malaka merupakan arena perekonomian

global lintas bangsa. Arena tersebut selain mempunyai letak geografis yang strategis juga

menjadi ajang dari adu kekuasaan atas hak-hak politik eksploitasi sumber daya alam di pulau-

pulau sekitarnya. Pada masa emporium kolonial misalnya, dua raksasa korporasi perkebunan

Eropa (Inggris dan Belanda) yang bertonggak di Selat Malaka mulai melakukan ekspansi

terhadap pulau-pulau kecil seperti Bengkalis, Pulau Padang, dan Tebing Tinggi (Arrozy, 2017).

Ada dua kemungkinan dari hadirnya kekuasaan kolonialisme di Timur Sumatera tersebut: 1)

praktek kolonisasi sumber daya alam yang membangkitkan kesadaran pribumi dan Tionghoa

(perantara) untuk melakukan eksploitasi warisan ekologi mereka, dan 2) munculnya modernisasi

sekaligus jaringan global yang membuat percepatan dalam praktek distribusi pasar. Kedua

kemungkinan inilah yang menjadi warisan kolonialisme terhadap akses dumber daya alam di

Pulau Padang sampai sekarang.

Pertama, sejak Pemerintah Belanda dan Inggris datang di Timur Sumatera dengan para

insinyur biologi dan geologi, mereka melakukan inventarisasi atas sumber daya alam yang ada

di pulau-pulau. Mereka mulai melibatkan orang pribumi (Melayu) dan Tionghoa untuk

melakukan penelusuran ke rawa-rawa di hutan gambut. Dari hasil inventarisasi tersebut, para

Page 10: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 9

teknokrat ini membuat peta kolonisasi baru. Pribumi penguasa tanah lokal (pemuka adat) dan

Tionghoa kemudian diajak berkerjasama dalam praktek pembalakan kayu dari hutan-hutan di

tengah pulau. Bagi pribumi yang mempunyai kuasa atas lahan dilibatkan dalam proses

pembukaan lahan, sedangkan para Tionghoa adalah taukeh yang melakukan distribusi hilir-

mudik komoditi keluar dari pulau. Pribumi yang menyaksikan proses pembalakan tersebut

justru berminat dan terlibat dalam eksploitasi. Mereka mulai mengkonversikan kayu ke dalam

uang dan mengenal sistem kredit. Walaupun jumlah tersebut tidak banyak, akan tetapi hal ini

telah memberikan gambaran mengenai adanya warisan kolonialisme yang menular ke pribumi.

Kedua, munculnya modernisasi dan jaringan global di pesisir Timur Sumatera telah ada

sejak zaman Sriwijaya. Akan tetapi, sejak munculnya dua raksasa kolonial (Inggris dan Belanda)

di pesisir utara, jaringan global tidak lagi jaringan perdagangan antar bangsa, tetapi sekaligus

jaringan politik poros Eropa dan Asia. Di akhir abad 19 misalnya, era liberalisasi telah

menghasilkan olahan komoditi-komoditi lokal seperti sagu, gambir, lada, pohon merbau, pohon

oak. Olahan tersebut menjadi komoditi yang sampai ke pasar dunia. Munculnya jaringan

perdagangan global ini sekaligus berdampak pada hadirnya modernisasi bagi masyarakat lokal.

Pembangunan pelabuhan, kota-kota kecil, dan kampung orang-orang (migrasi) Jawa telah

menciptakan sebuah modernitas kecil. Wujud dari hadirnya modernitas bagi masyarakat adalah

mulai dikenalnya sistem kredit, perbankan, dan lain sebagainya. Sektor perbankan saat itu

didominasi oleh perusahaan Belanda, Inggris, dan Cina. Kelompok Tionghoa juga mampu

mengelola sebagian kredit pedesaan (Arrozy, 2017). Hadirnya sistem kredit melalui perbankan

ini menjadi titik awal dari munculnya perekonomian modern. Ciri-ciri dari munculnya

perekonomian ini adalah dengan munculnya faktor-faktor produksi seperti alat balak, teknologi

pertanian modern, dan modal yang cukup besar. Oleh sebab itulah, masyarakat mulai melakukan

pinjaman kredit ke perbankan (Belanda) dan taukeh (Cina). Pada titik ini, bentuk ekonomi

komunal sebenarnya sudah mulai ditinggalkan dan muncul kapitalisme dalam skala mikro.

Berubahnya sistem ekonomi dari komunal ke modern (kapitalisme) bagi sebagian

masyarakat di Pulau Padang pada masa kolonial ini adalah awal di mana sistem demokrasi mulai

luntur oleh pengaruh kolonialisme. Masyarakat yang dahulu terbiasa untuk kerja komunal

Page 11: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

10 Faridl

dalam memanfaatkan sumber daya alam setempat, kemudian berubah menjadi kelompok yang

bekerja atas basis penguasaan lahan. Bagi mereka yang mempunyai lahan paling banyak, maka

mereka menguasai sistem demokrasi yang ada masyarakat. Selain basis lahan, sistem demokrasi

pada masa kolonial juga bisa dilihat dari sistem politik ‘kampung’ di Pulau Padang. Pada masa

kolonial, Pulau Padang dipecah menjadi 13 kampung, yakni Kota Tandjoeng Padang, Sialang

Bandoeng, Gelam, Asam, Mesing, Pangkalandjal, Koedap, Pisang, Birah, Koeat, Klemin, dan

Koerau (Arrozy, 2017). Sistem politik kampung pada masa kolonial hampir sama dengan desa

sekarang. Akan tetapi, yang membedakan adalah jumlah pajak yang tinggi (kolonial) serta

tatanan demokrasi yang dikuasai sentral (feodalisme) dan tidak ada otonomi atas lahan dan

kehidupan yang layak. Di dalam sistem ‘kampung’ ini, masyarakat tidak mempunyai hak untuk

memilih kepala kampung (monarki), tidak ada hak untuk memilih akses lahan. Semua diatur

oleh pemerintah kolonial dan pemangku adat/kampung. Oleh sebab itulah, demokrasi ekonomi

juga tidak pernah tercapai.

Kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat atas sumber daya alam tidak

menjamin demokrasi kerakyatan di Pulau Padang. Pasca kemerdekaan, Moh. Hatta dan Agoes

Salim yang menjadi pengambil kebijakan ekonomi baru melalui negara Indonesia telah

melakukan telaah terhadap Riau dan Kepulauan Riau sebagai daerah yang mewarisi sistem

ekonomi kolonial yang eksploitatif. Hasilnya, terjadi sebuah ketimpangan ekonomi antara

masyarakat (pribumi) dengan perkembangan korporasi besar (warisan kolonial) dan

meninggalkan beban hutang yang amat besar kepada negara. Menteri Keuangan pertama saat

itu, Dr. Samsi Sastrawidagda yang dibantu para saudagar daerah berusaha menyelesaikan

hutang-hutang sisa kolonialisme Belanda kepada British Malaya di Singapura. Moh. Hatta dan

Agoes Salim akhirnya mengambil sebuah kesimpulan, perlunya dorongan bumiputera (pribumi)

untuk mengembangkan usaha berbasis sumber daya alam guna mereduksi perbisnisan Tionghoa

yang tidak bisa pergi dari pesisir Timur Sumatera. (Arrozy, 2017).

Babak baru demokrasi ekonomi pasca kemerdekaan ini adalah masa paling susah untuk

melakukan ‘bersih-bersih’ warisan kolonial yang telah bercokol ratusan tahun lalu. Soekarno

melalui program nasionalisasi, Indonesianisasi, dan pribumisasi telah bertanggung jawab untuk

Page 12: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 11

melakukan pengalihan warisan kolonial ke dalam kantong negara. Di Pesisir Timur Sumatera

misalnya, telah dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan perkebunan beserta lahannya

menjadi bagian dari PTPN dan perusahaan milik negara lainnya. Selain itu, ada juga

indonesianisasi warisan-warisan kolonial seperti perkantoran, perumahan dan benda cagar

budaya. Akan tetapi, yang mejadi masalah adalah sedikit sekali dilakukan pribumisasi aset

kolonial yang dahulu merupakan warisan rakyat yang pernah dirampas oleh Belanda. Warisan

rakyat tersebut seperti tanah adat, lahan perkebunan, dan dan lahan pertambangan. Pribumi

yang saat itu merupakan warga negara baru tidak mempunyai dorongan untuk melakukan

perlawanan terhadap negara (Reid, 2011). Hal tersebut juga berbeda dengan di Jawa, saat banyak

dilakukan land reform, masyarakat di Pualau Padang tidak melakukan advokasi selayaknya

petani di Jawa yang telah termobilisasi oleh gerakan sosial. Hal semacam inilah, yang nantinya

akan menjadi bom waktu seperti munculnya konflik-konflik lahan pasca reformasi.

Menuju masuknya rezim Orde Baru ke Pesisir Timur Sumatera, tidak juga memberikan

jaminan atas demokrasi ekonomi bagi masyarakat. Rezim Orde Baru sadar betul akan sumber

daya hutan sebagai komoditi utama yang bisa diproduksi dan menjadi bagian dari agenda

pembangunan nasional. Undang-undang pemanfaatan sumber daya hutan untuk pertama kali

dibuat pada tahun 1967-1998. Di dalam UU No.5/1967 tentang Undang-undang Pokok

Kehutanan tersebut, terdapat pandangan hutan sebagai kayu dan konservasi alam. Tidak ada

mandatori yang kuat untuk memposisikan rakyat sebagai komponen penting dalam pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya hutan (Awang, 2014). Sejak saat inilah residu kolonialisme

terulang kembali. Negara, korporasi, dan rakyat justru berbondong-bondong melakukan aksi

pembalakan ke dalam hutan. Aksi pembalakan tersebut tersistematis dan diakomodir oleh sistem

ekonomi negara. Menurut pengakuan orang-orang di Pulau Padang yang pernah melakukan

pembalakan pada masa ini, mereka cukup sukses dengan mendapatkan uang hasil pembalakan

yang cukup besar. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui kepada siapa hasil pembalakan

tersebut didistribusikan. Kemungkinan terbesarnya adalah korporasi dan negara yang saling

bekerjasama. Sistem demokrasi ekonomi semacam ini menjadi corak dari kegagalan rezim Orde

Baru dalam melakukan pembangunan, yakni menjadikan rakyat sebagai obyek dan melakukan

eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam pendukung.

Page 13: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

12 Faridl

Salah satu titik terang dari demokrasi ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya telah

muncul pada akhir 1980-an. Dibentuknya kesepakatan “Indonesia Malaysia Singapura Growth

Triangle (IMSGT)” pada Desember 1989 telah membukan kemungkinan demokrasi ekonomi bagi

masyarakat pesisir Timur Sumatera untuk lepas dari sistem eksploitatif ala Orde Baru. Menurut

Mubyarto (1995), pembangunan kawasan ekonomi Timur Sumatera (Kepri dan Selat Malaka)

merupakan bagian dari the growth triangle atau Segitiga Pertumbuhan yang akan mengarah pada

pembangunan ekonomi yang lebih mandiri dan tidak berbasis lahan. Hal tersebut dikarenakan

di dalam kesepakatan tersebut, ketiga negara ini juga membawa isu berkaitan dengan masalah

sosial, budaya, politik, wilayah teritori kelautan.

IMSGT menyepakati adanya kerjasama pembangunan ekonomi kawasan guna

menghindari praktek-praktek kolonialisme seperti yang telah menjadi warisan dari ketiga negara

ini. Salah satu agenda utama dalam IMSGT adalah dibukanya pasar bebas di kawasan Asia yang

berpihak pada Pembangunan Indeks Manusia dan pemafaatan sumber daya alam secara

berkelanjutan. Dari agenda tersebut, mulai muncul hubungan-hubungan yang bersifat sosial-

ekonomi seperti dibukanya akses ketenagakerjaan bagi warga Indonesia untuk bekerja di

Malaysia dan Singapura dengan ijin yang mudah, hilir-mudik komoditi-komoditi lokal seperti

kayu dan sagu dari Pulau Padang ke pasar global, dan arus transmigrasi besar-besaran dari Jawa

ke Timur Sumatera. (Mubyarto, 1995) Namun, pada kenyataannya Pemerintah Indonesia yang

pada saat itu justru melakukan praktek-praktek kolonialisme baru seperti: pengkaplingan lahan

di pulau-pulau, perijinan terhadap amdal perusahaan tambang yang merusak ekologi, dan

perijinan terhadap perusahaan bubur kertas. Sejak saat itulah konflik antara masyarakat lokal

dan penguasa baru di Pulau Padang terjadi. Sistem demokrasi ekonomi yang harusnya didapati

oleh masyarakat kembali gagal oleh kekuasaan besar rezim Orde Baru.

Pasca Reformasi 1999, dilakukan revisi atas UU Kehutanan dari UU No.5/1967 menjadi

UU No.41/1999 tentang Kehutanan, menandai adanya perubahan pemikiran dalam pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya hutan. Undang-undang baru tersebut mengarah pada

pemanfaatan dan akses hutan melalui otonomi daerah dan melakukan desentralisasi ekonomi,

sehingga praktik-praktik kecurangan dapat diawasi langsung oleh pemerintah daerah serta

Page 14: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 13

terwujud pengelolaan hasil sumber daya ekonomi yang mandiri oleh masyarakat daerah). UU

ini juga terus direvisi dengan munculnya PP No.6/2007 jo PP No.3/2008 tererkait dengan otonomi

daerah sesuai UU No.32/2004, kemudian juga sebelumnya telah telah dibuat PP No.38/2007

dengan lampiran AA tentang pembagian wewenang kegiatan kehutanan tingkat pemerintah

pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten (termasuk di dalamnya mengatur

pemberdayaan masyarakat). Salah satu yang menarik dari hadirnya sistem ekonomi demokrasi

masyarakat melalui sumber daya hutan adalah munculnya Peraturan Menteri Kehutanan

No.P.9/Menhut-II//2008 tentang Persyaratan kelompok tani hutan untuk pembangunan Hutan

Tanaman Rakyat. Di dalam Permen tersebut, demokrasi ekonomi masyarakat hutan

diselenggarakan dalam kelompok kecil (kelompok tani) dan menjadi pertanda adanya sistem

ekonomi kerakyatan yang lekat dengan masyarkat. Sistem demokrasi ekonomi inilah yang masih

berlangsung hingga sekarang (Awang, 2017).

Salah satu refleksi dari demokrasi ekonomi masyarakat hutan di Indonesia telah

dilakukan oleh Nancy Peluso dengan menyebut Indonesia sebagai Rich Forest, Poor People.

Artinya kawasan hutannya luas, tetapi masyarakat sekitar hutan miskin. Akan tetapi, hingga saat

ini pembangunan di kawasan hutan di Pulau Padang mengarah pada Poor Forest, Poor People.

Hutan tidak mampu lagi menjalankan fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sistem demokrasi

ekonomi tidak mampu berjalan dengan baik. Tidak ada kesatuan yang kuat antara masyarakat,

negara, dan korporasi dalam menjalankan ‘ekonomi kerakyatan’. Kasus munculnya konflk PT.

RAPP di Pulau Padang telah menjadi refleksi bahwa negara telah ‘menjual’ sistem demokrasi

tersebut kepada korporasi. Yang artinya demokrasi ekonomi tidak lagi menjadi milik

masyarakat, tetapi milik penguasa-penguasa lahan seperti korporasi, pemerintah, dan pemangku

kepentingan.

C. Etnis, Etos, dan Pergulatan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Awal abad 20 adalah titik tolak adanya eksploitasi lahan perhutanan di Pulau Padang dan

sekitarnya. Dibukanya era liberalisme telah membuka proses migrasi orang-orang dari Jawa ke

Sumatera sebagai tenaga kerja perkebunan dan perhutanan (Reid, 2011). Pulau Padang yang saat

itu sebagai salah satu remote area justru mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Kolonial.

Page 15: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

14 Faridl

Sumber daya hutan yang besar membuat Pemerintah Kolonial membuka peluang dalam

pemanfaatan komoditas hutan seperti sagu, merbau, meranti, dan karet (Arrozy, 2017). Orang-

orang Jawa mulai datang dan mendiami ‘tanah tak bertuan1’ tersebut. Begitu orang pula Melayu,

yang memiliki tradisi berdagang dan bertani juga masuk dan menjadi bagian dari bangsa baru

di Pulau Padang. Sisanya, orang Tionghoa sebagai tangan kanan kolonial menjadi menjadi

taukeh-taukeh yang dipercaya membantu proses distribusi dari rantai kolonialisme. Sedangkan

orang asli yang dahulu disebut sebagai orang ‘Rawa Sesap’ justru terpinggirkan dan tidak

mempunyai kesempatan dalam mengakses sumber daya tersebut. Orang Rawa Sesap inilah yang

kemudian berevolusi dengan kebudayaan setempat dan kini disebut sebagai Orang Akit.

Kedatangan orang Jawa di pulau Padang telah membuka akses pengeolaan sumber daya

alam melalui penanaman komoditi karet. Mereka dipekerjakan oleh Pemerintah Kolonial sebagai

tenaga pertanian ahli. Sedangkan orang Melayu tidak mempunyai kemampuan dalam pertanian

sebaik orang Jawa. Oleh sebab itulah, hingga saat ini orang Jawa mempunyai kedekatan dengan

penguasaan lahan di Pulau Padang. Mereka yang menjadi ‘Jawa-Pulau Padang’ mempunyai

hasrat atas penguasaan politik lokal. Oleh sebab itulah tidak heran jika di Pulau Padang banyak

kepala desa yang berasal dari orang. Kemampuan orang Jawa dalam mengolah lahan sekaligus

menjadikan mereka sebagai aktor feodalisme yang berusaha menguasai lahan sebesar-besarnya

di Pulau Padang. (Belvage, 2017)

Selain Jawa, peran penguasaan ekonomi dan sistem politik di Pulau Padang juga

dilakukan oleh etnis Tionghoa. Setelah Belanda menyingkir karena kedaulatan negara Indonesia,

orang-orang Tionghoa yang merupakan tangan kanan pemerintah Kolonial tidak bisa pergi

begitu saja. Mereka yang sejak dahulu telah menanam jaringan sosial berupa hutang-piutang

1 Istilah ‘tanah tak bertuan’ menjadi dalah satu paradoks dalam kolonialisme di Indonesia. Istilah

tersebut menjadi moitivasi dari adanya penguasaan lahan, politik, dan sumber daya lainnya oleh

kolonialisme. di Indonesia, terdapat banyak sekali ‘tanah tak bertuan’ yang kemudian oleh pemerintah

Kolonial dijadikan lahan kolonisasi. Pulau Padang adalah bagian dari tanah tak bertuan tersebut. Di pulau

yang memiliki sumber daya hutan kaya ini, pemerintah kolonial tidak pernah menganggap keberadaa

orang-orang asli seperti Orang Rawa Sesap. Oleh sebab itulah mereka mengajak orang Jawa dan Tinghoa

yang mempunyai kemampuan dalam penguasaan lahan dan ekonomi untuk melakukan pendudukan dan

ekploitasi sumber daya ekonomi berkepanjangan.

Page 16: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 15

dengan etnis lain (Jawa, Melayu, Akit) harus tetap hidup berdampingan di Pulau Padang. Sistem

kolonialisme tidak lagi mereka terapkan, akan tetapi kini mereka menjalankan sistem kapitalisme

mikro melalui sistem taukeh. Mereka mempekerjakan orang-orang dari etnis lain untuk menjadi

nelayan dan buruh dengan gaji yang amat rendah. Belum lagi sistem ‘ikatan balas budi’ yang

harus diberikan terus-menerus dari buruh dan nelayan kepada mereka karena sistem

peminjaman modal di awal dan kredit. Hal semacam inilah yang membuat peran etnis Tinghoa

sebagai aktor dari penguasaan ekonomi non-lahan dan pasca produksi.

Sedangkan untuk etnis Melayu, mereka tidak mempunyai posisi yang kuat dalam

menentukan penguasaan ekonomi berbasis lahan dan produksi. Mereka banyak terlibat di

perkebunan akan tetapi jumlahnya tidak sebesar orang Jawa. Mereka juga terlibat dalam sistem

perdagangan (distribusi) akan tetapi tidak sebanyak orang Tionghoa. Posisi orang Melayu di

dalam akses sumber daya ekonomi di Pulau Padang lebih dikarenakan diaspora ekonomi-politik,

yang mana mengharuskan mereka untuk hijrah ke pualu-pulau di semenanjung Timur Sumatera

karena tanah utama (Singapura, Malaysia, Kepri) sudah dikuasai oleh saudagar-saudagar kaya.

Kehadiran mereka di Pulau Padang seperti mencari penghidupan baru yang lebih layak, dan

tidak mempunyai motif penguasaan seperti halnya saat di Selat Malaka.

Orang Akit yang merupakan evolusi dari orang Rawa Sesap lebih terpinggirkan lagi.

Kehadiran mereka di Pulau Padang awalnya adalah bagian dari politik resettlement pemerintah

Orde Baru pada tahun 1970-an menuju 1980-an. Mereka yang diharuskan mendarat kemudian

menjadi warga baru, yang tidak mempunyai akses terhadap lahan, sistem ekonomi, maupun

sistem politik (Chou, 2010). Minimnya modal dan pengetahuan mereka atas darat ini membuat

mereka tinggal di pinggir-pinggir rawa dengan mendirikan rumah semi permanen. Sebagian dari

mereka masih menggunakan cara hidup subsisten dengan memanfaatkan sumber daya alam

sebagai pemenuh kebutuhan keluarga dan menjauhi pasar di darat. Keberadaan orang Akit yang

merupakan orang asli ini menunjukkan adanya ketidakberpihakan sistem ekonomi kerakyatan

yang ada di Pulau Padang kepada rakyat. Ekonomi kerakyatan hanya berpihak kepada siapa

yang mempunyai modal kuat untuk mengakses lahan, pasar, dan sistem politik. Sedangkan bagi

Page 17: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

16 Faridl

mereka yang mempunyai cara hidup susbsisten, justru tidak terdefinisikan sebagai bagian dari

ekonomi milik negara tersebut.

Jika dicermati lebih dalam, penguasaan sumber daya ekonomi di Pulau Padang

diselenggarakan berdasarkan etnis dan etos. Hal tersebut bisa dilihat sebagai berikut:

1. Pertanian karet yang sejak tahun 1902 menjadi bagian dari komoditi yang dihasilkan di

Sumatera telah menjadi bagian dari sumber ekonomi orang Jawa. Di Desa Anak Kamal

yang sebagian besar dihuni orang Jawa misalnya, akses mereka terhadap hutan untuk

pemanfaatan karet dilakukan secara teru-menerus. Jumlah lahan karet yang biasanya

dimiliki orang Jawa minimal adalah 2 hektar, sedangkan orang Melayu tidak lebih dari 1

hektar. Politik penguasaan lahan untuk komoditi karet inilah yang menjadi strategi dalam

pertanahanan hidup orang Jawa di Pulau Padang.

2. Sagu yang merupakan warisan ekologi Pulau Padang banyak ditanam oleh orang

Melayu, Akit, Cina, dan sedikit Jawa. Hal tersebut dikarenakan dua faktor: (1) moitivasi

ekonomi, (2) motivasi pangan dan ekologi. Orang Tionghoa, Melayu, dan Akit banyak

menanam sagu sebagai bentuk dari motivasi ekonomi sekaligus pangan dan ekologi.

Orang Tionghoa mempunyai banyak kilang sagu sebagai bentuk usaha ekonomi

sekaligus mereka juga mengkonsumsi sagu seperti mie sagu sebagai bahan makanan

pokok sehari-hari. Orang Melayu menanam sagu sebagai bentuk investasi ekonomi untuk

kebutuhan mendadak (economic security) juga sebagai investasi pangan jika sewaktu-

waktu terjadi krisis. Orag Akit menanam sagu untuk dijual dan dikonsumsi sendiri

sebagai bentuk dari usaha subsistensi ekonomi. Sedangkan orang Jawa tidak banyak

menanam sagu karena mereka tidak mempunyai kultur dalam mengkonsumsi sagu

sebagai makanan pokok, dan tidak terbiasa dengan sistem ekonomi pertanian berjangka

lama. Orang Jawa telah terbiasa dengan sistem ekonomi karet dengan model easy money.

3. Perikanan yang merupakan sektor utama selain lahan di dominasi oleh orang Tionghoa,

Akit, dan Melayu. Hal tersebut bisa dilihat bagaimana posisi tempat tinggal etnis-etnis ini

yang berada di pesisir pantai. Sebagai contoh di Desa Selat Akar, yang sebagian besar

bermata pencaharian nelayan. Rumah-rumah penduduk menghadap ke pantai. Mereka

Page 18: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 17

bekerja sebagai nelayan gumbang, nelayan sondong, nelayan keramba. Etnis Tionghoa

menjadi yang paling dominan, karena selain sebagai nelayan mereka juga sebagai taukeh

dan penguasa pasar ikan. Orang Jawa tidak mempunyai keahlian di laut, sehinga mereka

melakukan penguasaan berbasis lahan ke dalam hutan.

4. Peternakan yang terdiri dari sapi, babi, dan ayam didominasi oleh semua etnis. Khusus

untuk babi diternakan oleh etnis Tionghoa dan Akit. Sapi dan ayam banyak

dikembangkan orang Jawa. Di dalam peternakan ini, sistem ekonomi terbagi menjadi

dua: (1) economic security yang mana ternak sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi yang

mendadak seperti saat sakit, biaya pendidikan, atau punya hajat, (2) economic safety yang

mana ternak sebagai pemenuh kebutuhan pangan keluarga, status sosial, simbol

kebahagiaan. Namun, jumlah ternak di Pulau Padang tidak banyak sehingga komoditas

ini tidak menjadi bagian dari arena ekonomi masyarakat.

Penguasaan sumber daya ekonomi di Pulau Padang juga dipengaruhi oleh etos kerja dan

tingkat pengetahuan etnis yang mendiaminya. Menurut Suparlan (1995) di kawasan kepulauan

di pesisir Timur Sumatera terdapat urutan strata kelas sosial yang menguasai sumber daya

ekonomi, yakni: (1) Tionghoa, (2) Jawa, (3) Melayu, (4) Orang Asli/ Akit/ Orang Rawa. Strata

sosial dalam penguasaab sumber daya ekonomi itu juga nampak dalam masyarakat Pulau

Padang. Hal tersebut bisa dilihat dari hal berikut:

• Etnis Tionghoa dikenal sebagai pendatang yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.

Mereka mewarisi tradisi berlayar sekaligus berdagang. Pada msa kolonial (liberalisme)

mereka menjadi tangan kanannya Belanda dalam mendistribusikan komoditi dari hutan-

hutan di pedalaman pulau. Kerja keras sebagai pendatang, pelaut, pedagang, sekaligus,

pegawai inilah yang membuat mereka mempunyai banyak kemampuan untuk bertahan

di Pulau Padang. Mereka membuat jaringan sosial antar taukeh (ikan, sagu, karet) dan

jaringan kekerabatan (turun-temurun) untuk menciptakan sebuah sistem pasar lokal

yang mendukung kedudukan mereka. Orang Tionghoa tidak harus mempunyai lahan

yang besar. Seperti halnya di Desa Selat Akar, mereka hanya mempunyai helong,

keramba, pelantar, dan pompong, kilang sagu, dan toko/warung saja. Modal besar dalam

Page 19: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

18 Faridl

pengelolaan usaha mereka tidak pada faktor produksi saja, tetapi bagaimana sistem

produksi yang mendukung adanya keuntungan bagi mereka. Orang Tionghoa ini

merupakan manajerial yang handal dalam mengelola pasar di Pulau Padang.

• Etnis Jawa dikenal sebagai pendatang yang rajin sejak seabad lalu. Mereka mempunyai

etos kerja keras dalam mengelola lahan. Walaupun sejarah mereka adalah buruh

perkebunan, bukan berarti mereka tidak mempunyai ambisi untuk menguasai lahan. Etos

mereka nampak dari kemampuan dalam tenaga kerja, pengetahuan dalam mengelola

lahan, dan penguasaan terhdap sistem politik. Orang Jawa selalu mempunyai ambisi

untuk menguasai sistem administrasi dengan menjadi bagian dari pegawai desa. Cara

mereka menduduki lahan dengan politik inilah yang membuat mereka mampu bertahan

dengan secara komunal di perantauan.

• Etnis Melayu dikenal sebagai pendatang yang malas oleh orang Jawa dan Tinghoa.

Mereka banyak menanam sagu dam menjadi buruh dalam kilang sagu dan buruh

perkebunan. Pandangan terhadap etos orang Melayu yang malas ini tidak bisa dilihat

dari perspektif penguasaan sumber daya ekonomi seperti orang Tionghoa dan Jawa.

Orang Melayu datang ke Pulau Padang sebagai bentuk dari diaspora, yang mana

merupakan akibat dari sistem ekonomi-politik di Selat Malaka yang dikuasai oleh orang

asing. Kehadiran mereka di Pulau Padang juga merupakan penyebaran nilai-nilai budaya

seperti Islam dan kesenian. Hal ini merupakan wujud dari demokrasi sosial atas peristiwa

perebutan sumber daya ekonomi di Pulau Padang.

• Etnis/ Orang Akit/Rawa Sesap dipandang oleh Orang Jawa dan Melayu sebagai orang

yang tida tahu aturan/tidak sopan. Mereka tidak mengenal batas dalam pemanfaatan

sumber daya alam. Akses mereka terhadap hutan dan kebun masih sering dilakukan

secara subsisten (menganggap hutan milik bersama), sehingga orang Jawa yang

menguasai lahan tersebut merasa terganggu. Dalam hal ini, etos berkehidupan secara

subsisten sebenarnya adalah bagian dari kemandirian ekonomi orang Akit. Mereka tidak

mempunyai ketergantungan atas pasar dan penguasaan lahan. Orang Akit juga

mengambil sesuatu di hutan seperlunya saja. Pandangan atas etos orang Akit yang

Page 20: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 19

dianggap kurang ‘beradab’ oleh orang Jawa dan Melayu ini merupakan residu

kolonialisme terhadap pribumi.

Dalam pergaulan sehari-hari, keempat etnis ini memang mempunyai batas geografis dan

kutural yang berbeda. Desa dan dusun di Pulau Padang dihuni oleh suatu etnis secara komunal.

Kecuali orang Akit, mereka bisa hidup di sepanjang sungai dan rawa dengan bangunan semi

permanen dan tidak terlibat dalam hubungan adminitratif terhadap sistem pemerintahan desa.

Akan tetapi dalam pergaulan sosial-ekonomi, keempat etnis ini mempunyai sau hubungan besar,

yakni pembangunan. Keempat etnis ini mendukung penuh adanya pembangunan dari berbagai

aspek. Namun, terkadang penguasaan sumber daya ekonomi yang berbeda pembanguan

tersebut terhambat. Tidak ada pendefinisian mengenai ‘ekonomi kerakyatan’ bagi keempat etnis

ini. Yang ada hanya sistem ekonomi kolektif, yang menempatkan antar subyek ke dalam

kemampuan yang dikendalikan oleh modal dan faktor produksi.

Bentuk ekonomi kerakyatan yang dikembangkan oleh keempat kelomopok ini adalah

modal sosial. Modal sosial tersebut seperti halnya: kerja kolektif dalam kelompok tani, kerja

kolektif dalam jaringan kekerabatan, kerja kolektif dalam suatu koperasi (perikanan dan sagu).

Sedangkan negara sebagai penjamin penguasaan sumber daya alam tidak menjamin adanya

kemajemukan ekonomi. Hadirnya perusahaan seperti tambang dan RAPP menjadi catatan cacat

adanya ‘ekonomi kerakyatan’ bagi masyarakat empat etnis ini. Harusnya ekonomi kerakyatan

mampu menyatukan empat etnis ini ke dalam satu dimensi pembangunan berkelanjutan yang

ramah lingkungan dan maju dalam perekonomian. Perwakilan negara melalui Pemerintah

Daerah Kepulauan Meranti juga tidak menjamin adanya penguatan sistem ekonomi majemuk.

Masuknya kilang-kilang sagu dari luar untuk menggenjot ketahanan pangan nyatanya tidak

menyerap adanya peleburan ruang ekonomi baru antar etnis. Penguasaan kilang sagu oleh satu

etnis memberikan pernyataan bahwa ‘ketahanan pangan’ hanya akan didapati oleh podusen

kilang sagu tersebut, karena sistem ekonomi yang terbangun masih terpisah oleh jenjang kultur

dan politik kelas.

D. Antara Ekonomi Laut dan Ekonomi Darat

Page 21: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

20 Faridl

Sebagai kawasan kepualaun, lanskap ekologi Pulau Padang terbagi menjadi dua wilayah:

pesisir pantai (kelautan) dan pedalaman (kehutanan). Kedua wilayah ini juga menentukan

lanskap ekonomi masyarakat, yakni di darat (pertanian dan kehutanan) dan di laut (nelayan dan

perdagangan). Keberadaan Pulau Padang sebagai lanskap yang utuh ini menjadi penting untuk

dikaji dalam konteks ekonomi kerakyatan. Pada poin ketiga dalam asas ‘ekonomi kerakyatan’

berbunyi: ‘memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung

didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’, yang artinya harus ada jaminan atas

pemanfaatan laut dan darat untuk kepentingan rakyat di Pulau Padang. Namun, apakah sampai

sekarang hal tersebut sudah terjamin? Dan seperti apa pelaksanaan bentuk-bentuk ekonomi

kerakyatan di dua zona ini?

Sebelum membahas mengenai ekonomi laut dan darat, di sini perlu diketahui bahwa

zona laut merupakan ekologi yang berbeda dengan zona darat. Akan tetapi, bukan berarti

kemudian kedua zona tersebut terpisah dan tidak mempunyai keterkaitan dalam konteks

ekonomi. Hubungan kedua zona ini lebih terkait oleh beberapa hal: (1) interkasi kultural antar

masyarakat pedalaman dengan masyarakat luar, (2) hilir-mudik distribusi komoditas lokal, (3)

aktor politik dalam penguasaan lahan dan pasar, dan (4) partisipasi proses pembangunan

ekonomi masyarakat luar dan pedalaman.

Pertama, interaksi kultural masyarakat pedalaman dan luar terjadi sebagaimana

hubungan sosial antara nelayan dan petani. Di sini saya mencoba melihat dari hubungan antara

masyarakat Desa Anak Sungai Kamal dan Desa Selat Akar. Desa Anak Sungai Kamal merupakan

kampung Jawa, yang mempunyai kultur agraris. Mereka menanam karet dan sedikit palawija

untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagaimana masyarakat agraris, mereka mempunyai

batas kultural dengan kehidupan di luar. Hubungan dengan dunia luar paling banyak dilakukan

dalam rangka distribusi hasil karet mereka kepada taukeh-taukeh. Selebihnya adalah hubungan

kultural, seperti interkasi melalui dunia pendidikan, perkawinan, administrasi, perdagangan,

dan lain sebagainya. Begitu pula dengan masyarakat dari Desa Selat Akar yang notabene adalah

masyarakat peisisir. Kultur peisisir lebih mendekatkan mereka ke laut dari pada ke darat. Oleh

sebab itu, interkasi antar kedua masyarakat ini tidak banyak terjadi. Dalam keseharian, interaksi

Page 22: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 21

sosial kedua masyarakat ini hanya menghasilkan jaringan ekonomi mikro. Yang menyatukan

interkasi kultural dari dua masyarakat ini adalah terbiasanya mereka dengan sistem ekonomi

easy money. Karet mentah dijual cepat ke taukeh dan hasil dari melaut pun demikian. Salah satu

tempat yang paling sering mempertemukan kedua masyakat ini adalah pasar/warung. Di sini,

kedua masyarakat ini berbelanja dan melakukan silang ekonomi melalui gaya hidup. Interkasi

kultural pada tahap ini akan menjelaskan bagaimana pola konsumsi masyarakat di pedalaman

dan masyarakat di peisir.

Kedua, hilir-mudiknya distribusi komoditas lokal di Pulau Padang tidak bisa terpisahkan

dengan adanya dua zona ini. Masyarakat di pedalaman melakukan pengolahan hasil produksi

seperti karet mentah dan sagu untuk dijual ke luar pulau. Proses distribusi tersebut harus

melewat chain supply dari petani, taukeh desa, dan taukeh besar di Selat Panjang. Rantai distribusi

komoditas masyarakat pedalaman ini harus melewati pompon (perahu mesin) yang akan

membawa hasil produksi ke luar pulau. Dalam hal ini, masyarakat luar (taukeh) turut mengambil

bagian dari sistem ekonomi pasar komoditas pedalaman. Begitu pula di masyarakat luar akan

melakukan penjualan ikan dan hasil tangkapan laut lainnya ke pedalaman (konsumen). Ikan-

ikan yang tidak tersortir dan dibawa ke luar pulau akan dipasarkan kepada masyarakat

pedalaman. Masyarakat pedalaman membeli ikan sebagai bentuk dari usaha silang ekonomi

melalui pangan. Hubungan ekonomi melalui rantai distribusi ini merupakan interkasi ekonomi

yang mengarah pada kemandirian. Akan tetapi, permainan pasar melalui aktor-aktor (taukeh)

inilah yang membuat kemandirian ekonomi kedua masyarakat ini berjalan lambat.

Ketiga, aktor politik dalam penguasaan lahan dan pasar di Pulau Padang dikuasai oleh

taukeh (perikanan, karet, sagu), pemerintah desa (feodalisme Jawa), dan swasta (pendudukan

korporasi). Taukeh selalu berada di tempat strategis, baik di pedalaman dan di luar. Mereka

menjadi taukeh karet dan sagu di area yang dekat dengan tempat penyadapan dam penebangan

sagu, sehingga petani selalu menjual kepada mereka dengan tawaran easy money. Sedangkan

taukeh perikanan memberikan modal dan pinjaman kepada nelayan gumbang dan sondong

sebelum melaut sehingga mereka akan menjual hasil tangkapan kepada taukeh tersebut.

Pemerintah desa yang sebagian besar diperankan oleh orang Jawa melalukan politik penguasaan

Page 23: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

22 Faridl

lahan berbasis tanah administratif. Mereka menguasai tempat-tempat strategis yang dilewati

jalur pedalaman dan di luar seperti tanah di pinggir jalan raya dan fasilitas umum. Kehadiran

mereka di tempat strategis inilah yang juga membuat hubungan antara masyarakat pedalaman

dan di luar terjalin perekonomian. Sedangkan aktor korporasi besar seperti RAPP, hanya

menciptakan hubungan negatif antara di pedalaman dan di luar. Sebagai contoh, kanalisasi yang

dilakukan oleh korporasi ini justru membuat bencana alam terjadi di mana-mana. Peran para

aktor dalam penguasaan lahan dan pasar inilah yang menciptakan hubungan-hubungan baru

dalam sistem ekonomi anatara masyarakat di pedalaman dengan masyarakat di luar.

Keempat, partisipasi proses pembangunan ekonomi masyarakat luar dan pedalaman di

Pulau Padang agaknya tidak dilakukan secara serempak. Hal tersebut nampak dari sistem

ekonomi dari kedua masyarakat yang belum mempunyai titik temu sebagai usaha maju bersama.

Selama ini, hubungan antara ekonomi darat dan laut hanya terjadi pada skala kecil. Hubungan

antara produsen dan konsumen saja tidak cukup untuk membangun sebuah masyarakat yang

maju. Perlu adanya hubungan antara produsen dan produsen untuk meningkatkan hasil

produksi mereka dan menciptakan pasar baru yang tepat sasaran. Selama ini, tidak ada inovasi

antara sagu, karet, ikan, dan komoditas utama di Pulau Padang. Komoditi tersebut mempunyai

rantai distribusi masing-masing. Dalam konteks pembangunan di luar ekonomi (fisik), kedua

masyarakat ini telah bertemu. Mereka melakukan berbagai macam usaha bersama untuk

memenuhi kebutuhan infrastruktur desa yang kurang memadai.

Ekonomi laut merupakan salah satu bentuk ekonomi mandiri yang tidak bergantung

pada sumber daya hutan. Jika di dalam masyarakat pedalaman, faktor produksi penentu tingkat

kemandirian ekonomi adalah lahan, maka di laut adalah alat produksi. Oleh sebab itu, alat-alat

seperti helong (dermaga pribadi nelayan), pelatar (area penjemuran ikan), pompong (kapal

bermesin), keramba, gumbang (jarring tarik kerucut). sondong (jaring angkat kerucut) menjadi

penting untuk dimiliki. Di Desa Selat Akar, alat-alat produksi tersebut banyak dikuasai oleh

taukeh. Hal tersebut memantapkan adanya hubungan patron-klien antara taukeh dan nelayan

kecil. Selain alat produksi, taukeh juga mempunyai modal produksi (ongkos melaut). Hal inilah

yang membuat siklus perekonomian nelayan mutlak di tangan taukeh. Proses kemandirian

Page 24: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 23

ekonomi nelayan sebenarnya bisa terjadi, karena tidak semua nelayan kecil tergantung pada

aktivitas melaut dalam jumlah besar. Mereka yang menangkap ikan dengan pompong kecil

mempunyai kebebasan untuk menjual hasil tangkapan kepada taukeh atau langsung ke pasar.

Proses tersebut tentu hanya bentuk ekonomi mikro, yang mana kalah dengan arus besar

kapitalisme lokal nelayan. (Adhiyaksa, 2017)

Selain faktor produksi, penentu perekonomian laut di Desa Selat akar adalah pasar. Di

Desa Selat Akar, tidak ada pasar yang secara khusus menjual hasil tangkapan laut. Pasar yang

dimaksud di sini adalah sistem tata niaga. Tidak semua nelayan dan taukeh di Selat Akar

langsung menjual hasil tangkapannya. Jika hasil tangkapan banyak, maka akan dilakukan proses

penjemran di pelatar. Ikan-ikan hasil penjemuran tersebut selain lebih awet juga mempunyai

harga jual yang meningkat hingga kisaran 30 persen. Selain ikan, proses pengolahan yang lain

adalah pengupasan udang. Banyak nelayan yang menjual udang kupasan dengan peningkatan

harga hingga 40 persen. Dua proses pengolahan pasca produksi ini menjadi alternatif bagi

nelayan jika hendak menghasilkan nilai jual yang lebih tinggi. Selain pengolahan tersebut, ada

juga pengolahan rucah (olahan ikan kecil) dan abu udang. Rucah dijadikan pakan tambahan

ternak dan abu udang jadi bumbu. (Adhiyaksa, 2017) Pasar di Selat Akar hadir langsung kepada

nelayan dengan model easy money. Para taukeh akan langsung mendistribusikan hasil pengolahan

ikan ke luar pulau.

Baik faktor produksi maupun sistem tata niaga dalam ekonomi laut di Desa Selat Akar

ini tidak menawarkan adanya ‘ekonomi kerakyatan’. Tidak ada model pengelolan ekonomi

melalui sistem koperasi, tidak ada kehadiran negara dalam kontrol demokrasi ekonomi, tidak

ada jaminan atas penguasaan laut, tidak ada jaminan atas pekerjaan dan kehidupan yang lebih

baik. Bentuk kerja komunal yang terjalin dalam sistem ekonomi ini lebih pada patron-klien, dan

berpihak pada pemodal besar. Pada sistem tata niaga, tidak ada jaminan pasar yang mendukung

adanya perekonomian mandiri. Kemandirian ekonomi justru lahir dri nelayan kecil dengan skala

distribusi yang minim. Kehadiran taukeh sebagai aktor pasar telah menggantikan negara dalam

mengatur tata niaga hasil laut. Kesimpulan dari Konomi laut dalam konteks pembangunan

masyakat dan ekologi adalah, tidak terjadinya pembangunan ekonomi dalam artifisial, akan

Page 25: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

24 Faridl

tetapi rendahnya terjadi kerusakan ekologi karena alat produksi yang digunakan nelayan masih

ramah lingkungan.

Berbeda dengan ekonomi laut, ekonomi darat menekankan pada lahan sebagai basis

utama faktor produksi dan tata niaga. Lahan di Desa Anak Sungai Kamal misalnya, yang

sebagian besar adalah kebun karet merupakan faktor produksi terpenting dalam berjalannya

ekonomi. Orang-orang Jawa yang mempunyai tradisi agraris biasanya membuka lahan seluas-

luasnya, sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang dimiliki. Keberadaan anggota keluarga sebagai

daya tenaga kerja pendukung merupakan hal penting yang patut dipertimbangkan. Seorang

keluarga Jawa dengan banyak anak yang melakukan pembukaan lahan secara luas akan

menghasilkan produksi karet yang luas juga. Selain tenaga kerja, faktor produksi lain di sini

adalah teknologi pertanian. Teknik penyadapan karet (noreh) yang dijalankan selama ini masih

menggunakan metode tradisional dengan pisau kerat. Jika hadir metode penyadapan (noreh)

karet yang lebih maju, otomatis juga meningkatkan produktivitas. Selain karet, komoditas lain

yang penting untuk diketahui dalam ekonomi darat adalah sagu. Sebagai tanaman investasi,

sagu ditanam sebagai security economic. Sagu dijual pertual kepada taukeh. Harga sagu relatif

stabil dibanding harga karet, sehingga aman dari ancaman krisis. Akan tetapi, sagu tidaklah

tanaman cepat yang bisa diprosuksi dalam waktu singkat. Perlu waktu bertahun-tahun untuk

memanen sagu agar dijadikan tual yang nanti diolah ke kilang (Damayanti, 2017).

Tata niaga dalam ekonomi darat ditentukan oleh keberadaan taukeh sebagai pemegang

modal terbesar. Sebagai seorang taukeh, biasanya tidak perlu memiliki lahan yng luas, akan

tetapi modal uang yang besar. Ia meminjamkan uang untuk dijadikan modal produksi dengan

kesepakatan hasil produksi dijual kepadanya. Mereka juga menempati posisi yang paling

strategis, dan menciptakan model easy money bagi petani karet. Model easy money ini tidak

menawarkan sistem ekonomi berkelanjutan kepada petani karena menutup segala kemungkinan

atas daulat pasar. Petani harus mengikuti arus harga dan kebutuhan sesuai yang diinginkan

taukeh. Dalam 5 tahun terkahir misalnya, ketika harga karet dunia anjlok, taukeh mempunyai

peran yang sangat signifikan atas kehidupan petani di Pulau Padang. Bagi mereka yang

menghargai adanya proses produksi, akan diberikan harga yang layak. Akan tetapi bagi mereka

Page 26: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 25

yang mengambil keuntungan justru akan memangkas habis harga komoditas dari petani

(Damayanti, 2017). Tata niaga dalam komoditas sagu juga demikian. Harga sagu ditentukan oleh

taukeh yang biasanya juga mempunyai kilang sagu. Taukeh karet dan sagu di desa ini

mempunyai relasi dengan taukeh besar di luar Pulau, sehingga jaringan untuk mendapatkan

informasi mengenai harga sangat minim (Adhiyaksa, 2017).

Kondisi ekonomi darat di Pulau Padang ini juga tidak mencerminkan adanya ‘ekonomi

kerakyatan’. Tidak ada bentuk koperasi atau kerja komunal dalam melakukan aktivitas

pertanian. Modal sosial seperti kelompok tani hanya memberikan tawaran atas diskusi pra

produksi. Proses pemanenan karet dilakukan secara mandiri dengan bantuan tenaga kerja

keluarga. Selain itu, negara sebagai penjamin sumber daya alam dan kesejahteraan tidak hadir

dlam proses perekonomian. Di dalam masyarakat pedalaman ini, kerusakan ekologi perkebunan

dan hutan justru semakin banyak terjadi. Jika harga karet rendah, selalu ada upaya untuk

pembalakan di hutan. Selain itu, kehadiran masyarakat ke hutan untuk melakukan perburuan

terhadap sagu dan komoditas lainnya juga membuat kondisi lingkungan terganggung secara

fisik. Kesimpulan dari bentuk eknomi darat di Desa Anak Sungai Kamal ini adalah

pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan tidak pernah tercapai dan ancaman terhadap

kerusakan lingkungan (ekologi) semakin besar.

E. Pergulatan Ekonomi Kerakyatan dan Suasana Global

Pertanyaan penting yang perlu dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana sistem

ekonomi kerakyatan mampu menjawab permasalahan pembangunan dari daerah pinggiran?

Dalam studi kasus mengenai pembangunan di Pulau Padang, tidak ada sistem ekonomi yang

secara khusus mampu menjawab berbagai permasalahan di masyarakat. Sistem ekonomi

kerakyatan yang merupakan embrio dari sistem ekonomi Pancasila nyatanya tidak memberikan

dampak signifikan terhadap perubahan yang lebih baik. Begitu pula bentuk-bentuk sistem

ekonomi demokrasi yang lain, hanya terwujud dalam skala kecil, melalui jaringan sosial

kelompok-kelompok kecil saja. Secara garis besar, sistem ekonomi yang terselenggara di Pulau

Padang justru sistem kapitalisme lokal, yang mana pemegang kuasanya adalaha pemodal

terbesar. Hadirnya para taukeh (perikanan, karet, dan sagu) menjadi bukti adanya sistem ekonomi

Page 27: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

26 Faridl

yang terpusat pada pemodal. Begitu pula tata niaga yang terbangun, selalu berjalan ke arah

keuntungan pemodal. Petani, nelayan, dan masyarakat hutan hanya menjadi bagian dari

masyarakat inklusif. Mereka tidak mempunyai akses dalam penguasaan sumber daya ekonomi

seperti para pemodal tersebut.

Nihilnya negara dalam merespon masalah ini merupakan bukti adanya kegagalan dalam

menjalankan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat pinggiran. Bukti dari kegagalan tersebut

adalah; tidak ada jaminan atas pengelolaan sumber daya alam untuk rakyat, tidak ada jaminan

atas hidup yang layak, tidak ada sistem ekonomi seperti halnya koperasi, orang miskin dan

kelompok rentan tidak terawat. Modal sosial sebagai soko guru adanya sistem ekonomi

kerakyatan telah cacat dengan hadirnya taukeh yang mempekerjakan petani/nelayan dengan

sistem easy money. Masyarakat mulai mengkonversikan bentuk-bentuk kerja komunal (modal

sosial) ke dalam uang. Sehingga mulai jarang dilakukan kerja komunal dalam kelompok tani.

Satu-satunya etnis yang justru masih bertahan dari gempuran sistem ekonomi kapitalistik justru

Orang Akit. Cara hidup subsisten dengan sumber daya hutan dan rawa menjadikan mereka lebih

demokratis ketimbang orang Jawa dan Tionghoa yang selalu berkontestasi dalam

memperebutkan kekuasaan ekonomi. Namun, untuk urusan modernitas orang Akit memang

tidak mendapatkan hak sebagaimana warga negara yang lain. Padahal, modernitas juga menjadi

salah satu syarat dari pembangunan masyarakat kea rah yang lebih baik.

Untuk mengetahui seberapa terpapar kehidupan ekonomi masyarakat Pulau Padang

dengan arus global sebenarnya bisa dilihat dari pengaruh harga karet dan komoditas lokal di

dunia. Menurut data dari Tokyo Commodity Exchange (Tocom) Mei tahun ini, harga karet dunia

turun 4,27% dari akhir tahun 2016 yang juga mencapai hampir 5%. Anjloknya harga karet

tersebut berpengaruh kepada petani toreh yang setiap harinya mengandalkan uang cepat melalui

getah karet. Petani karet seperti ini tidak mempunyai penghasilan sampingan lain, sehingga

ketika untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap harinya mereka harus melakukan kredit

melalui koperasi rakyat (rentenir). Di beberapa kasus, banyak petani dan nelayan yang terjebak

dengan sistem hutang-piutang tersebut, Umumnya mereka menggunakan uang kredit untuk

memnuhi konsumi dalam jumlah yang tinggi. Arus ekonomi lokal ke global dan ke lokal lagi

Page 28: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 27

inilah yang menjadi salah satu problem pembangunan masyarakat di Pulau Padang. Mereka

harus menjadi bagian dari sistem ekonomi global di tengah keterbatasan modal, akses, dan

pengetahuan dan teknologi untuk pengembangan produksi.

Kondisi ini juga berpengaruh terhadap tingkat migrasi masyarakat ke luar desa. Di Desa

Anak Sungai kamal misalnya, kira-kira lebih dari 70% para pemuda desa pergi merantau ke

Malaysia karena penghasilan dari menoreh tidak mencukupi konsumsi keluarga (Belvage, 2017).

Cara mengadu nasib ke luar negeri ini dianggap hal paling solutif bagi masyarakat, karena

mereka masih bisa mengirimkan remitensi juga sekaligus mendapatkan status sosial yang lebih

layak di desa. Susahnya memanfaatkan sumber daya alam dan kemadirian ekonomi di Pulau

Padang yang dialami masyarakat berbanding terbalik dengan semakin dieksplorasi tambang

minyak, perusahaan bubur kertas, dan korporasi lainnya. Pemerintah tidak pernah menjamin

adanya keadilan bagi masyarakat yang ada di Pulau Padang dan justru lebih berpihak kepada

korporasi besar.

Hubungan antara suasana ekonomi global dan ekonomi kerkayatan ini adalah

keputusasaan masyarakat atas sistem ekonomi yang berlangsung di Pulau Padang sehingga

mereka harus menjadi bagian dari sistem ekonomi Malaysia. Mereka yang telah pergi merantau

tersebut menjadi bukti bahwa sistem ekonomi kerakyatan tidak pernah menjadi jaminan dan

harapan bagi kehidupan yang lebih baik. Ini menjadi salah satu dari arus buruk globalisasi,

karena telah menihilkan keberadaan negara yang dianggap tidak mampu menjembatani

kesejahteraan rakyat.

F. Kesimpulan

Terminologi ekonomi kerakyatan yang menjadi pilar dalam pembangunan ekonomi era

Joko Widodo saat ini agaknya kurang berlaku bagi masyarakat di Pulau Padang, Riau. Hadirnya

terminologi tersebut hanya berlaku dalam program-program kredit keuangan rakyat. Hal ini

hanya berdampak terhadap keuangan inklusif masyarakat mayoritas seperti Jawa dan Melayu

saja. Orang Akit sebagai minoritas yang bekerja di kawasan laut dan rawa-rawa dianggap tidak

Page 29: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

28 Faridl

mempunyai proyeksi dalam peningkatan ekonomi. Sehingga, mereka tidak mendapatkan hal

dalam akses kredit dan program pendukung ekonomi kerakyatan lainnya.

Hadirnya program ekonomi kerakyatan melalui keuangan inklusif (sistem kredit) di

koperasi justru memberikan jarak semakin jauh antara ekonomi darat dan ekonomi laut.

Ekonomi darat yang dikembangkan orang Jawa dan Melayu melalui perkebunan dianggap

sebagai peluang untuk meningkatkan ekonomi daerah. Sedangkan ekonomi laut yang menjadi

cara hidup orang Akit dianggap tidak memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi.

Strereotip ras dan pandangan atas etos kera di masyarakat ini menjadikan ekonomi kerakyatan

sebagai program yang bias di daerah. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk

melakukan evauluasi batas budaya dan stigma negatif terhadap perilaku etnis-etnis di Indonesia.

Daftar Pustaka

Adiyaksa, Pindho. 2017. “Laporan Penelitian Masyarakat Nelayan Desa Selat Akar, Kabupaten

Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, Sumatera”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau

Padang 2017. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Arrozy, Ahmad Mujahid. 2017. “Kolonisasi dan Ketergantungan Ekonomi pada Jaringan Global

: Studi Sejarah Eksploitasi Lahan Gambut dengan Masyarakat Kepulauan Meranti”.

Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang 2017. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

___________________. “Globalisasi yang Menerjang Hutan Rawa dan Lahan Gambut Kepulauan

Meranti Riau: Catatan Literatur Sejarah” ”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang

2017. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Awang, San Afri. 2005. “Sejarah Pemikiran Pengelolaan Hutan Indonesia”, dalam Jurnal

Wacana,“Kebijakan Kehutanan: Gagal!” No.20. Tahun VI 2005, Pp.13-48.

_________________. 2014. “Konsep Ekonomi Kerakyatan dan Aplikasinya Pada Sektor

Kehutanan” dalam Ekonomi Kerakyatan American Institute For Indonesian Studies (AIFIS)

oleh Lembaga Suluh Nusantara.

Baswir, Revrisond. 2014. ” Ekonomi Kerakyatan Sebagai Sistem Indonesia” dalam Ekonomi

Kerakyatan American Institute For Indonesian Studies (AIFIS) oleh Lembaga Suluh

Nusantara.

_______________. 2014 “Ekonomi Kerakyatan vs. Neoliberalisme” dalam Seminar Ekonomi

Kerakyatan. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.

_______________, dkk. Pekebun Mandiri Dalam Industri Perkebunan Sawit Di Indonesia. Yogyakarta:

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Sawit Watch, dan Serikat Petani Kelapa Sawit.

Page 30: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Menakar Ulang Ekonomi Kerakyatan di Pulau Padang, Riau 29

Belvage, Rio Heykal. 2017. “Laporan Penelitian Sejarah Masyarakat Pulau Padang, Kabupaten

Kepulauan Meranti, Riau”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang 2017. Yogyakarta:

Fakultas Kehutanan UGM.

Chou, Chyntia. 1997. “Contesting the tenure of territoriality: The Orang Suku Laut,” dalam Riau

in Transition, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 605-

629.

____________. 2010. The Orang Suku Laut of Riau, Indonesia:The Inalienable Gift of Territory.

London: Routledge.

Damayanti, Onesya. 2017. “Pemanfaatan Lahan Perkebunan serta Kelembagaan Ekonomi

Beberapa Desa di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau,

Sumatra”. Laporan Kelompok Kerja Gambut Pulau Padang 2017. Yogyakarta: Fakultas

Kehutanan UGM.

Laporan Tahunan 2010 Scale Up. “Konflik Lahan Antara Masyarakat dengan

PerusahaandiRiauTahun2010”,Pekanbaru 21 Januari 2011.

Mubyarto. 1995. “Program IDT dan Orang Suku Laut,” Kompas, Selasa 17 Oktober, hlm. 4.

________, dkk. 2014. Ekonomi Kerakyatan. dalam American Institute For Indonesian Studies

(AIFIS) oleh Lembaga Suluh Nusantara.

________. 2014. “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi” dalam Ekonomi Kerakyatan

American Institute For Indonesian Studies (AIFIS) oleh Lembaga Suluh Nusantara.

Pengadilan Rakyat Meranti” Sebuah “Kado di Akhir Tahun 2011” Untuk Para Pengambil

Kebijakan Politik Pemerintah yang tidak Pro-Rakyat, dari Forum Komunikasi Masyarakat

(FKM) Penyelamatan Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Selat Panjang 27

Desember 2011.

Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera: antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: KITLV dan

Yayasan Obor Indonesia.

Rizky, Awalil. 2014. “Keuangan Inklusif dan Ekonomi Kerakyatan: Peluang atau Ancaman?” dalam

Ekonomi Kerakyatan American Institute For Indonesian Studies (AIFIS) oleh Lembaga

Suluh Nusantara.

Salim, M. Nazir. 2013. “Menjarah” Pulau Gambut: Konflik dan Ketegangan di Pulau Padang,

diterbitkan dalam Jurnal Bhumi No. 37 Tahun 12 April 2013, Jurnal Ilmiah Pertanahan

PPM-STPN Yogyakarta, Pp.96-121.

Suparlan, Parsudi. 1995. Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia.

Jakarta: Yayasan Obor Indone

Page 31: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam

Sistem Perburuhan Batik di Yogyakarta

Dewi Puspita Rahayu1

Tulisan ini membahas tentang peta politik industri batik di Yogyakarta dalam

menghadapi persaingan industri batik baik di skala global dan nasional serta dampak dari

peta politik tersebut terhadap sistem perburuhan di industri batik Yogyakarta. Gencarnya

sosialisasi batik di Indonesia, ternyata memberikan keuntungan kepada negara lain yang

mengekspor kain batiknya ke Indonesia dan dunia. Setali tiga uang dengan kondisi

Indonesia di konteks global, Yogyakarta yang merupakan salah satu daerah penghasil

batik pun mengalami hal serupa. Persaingan yang harus dihadapi Yogyakarta tidak

hanya berupa gempuran dari industri batik luar negeri melainkan juga dari industri lokal

seperti Solo dan Pekalongan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif

dengan teknik observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat beberapa strategi yang dilakukan oleh pemerintah daerah

dan para pelaku industri batik yang menggambarkan peta politik industri batik di

Yogyakarta seperti menjadikan pasar luar negeri sebagai pangsa pasar batik; adanya

program batikmark; kerja sama dengan Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi

DIY dengan menjadikan pabrik dan gerai showroom sebagai salah satu obyek wisata yang

terdapat di Yogyakarta yakni melalui workshop batik serta menjadikan pabrik mereka

sebagai ruang display proses membatik bagi wisatawan; serta menguatkan identitas

1 Dewi Puspita Rahayu: Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Brawijaya, Email: [email protected]

© Dewi Puspita Rahayu, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.30-45.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Rahayu, Dewi Puspita.2019.”Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya dalam Sistem

Perburuhan Batik di Yogyakarta,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 30-45.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.03

Page 32: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 31

budaya Jawa dalam motif maupun proses membatik. Peta politik ini ternyata berimplikasi

pada adanya indikasi eksploitasi buruh batik Yogyakarta yang didukung oleh hegemoni

budaya Jawa.

Kata kunci: peta politik, industri batik Yogyakarta, sistem perburuhan

This paper discusses the political map of the Yogyakarta batik industry in facing the global

and national batik industry competition. This paper also discusses the political map’s

impact to the labor system in the Yogyakarta’s batik industry. The socialization of batik in

Indonesia has provide benefits to other countries that export batik cloth to Indonesia and

the world. This condition is same with Yogyakarta which is the one of the batik producing

regions. The competition that must be faced by Yogyakarta is not only from the foreign

batik industry but also from local industries such as Solo and Pekalongan. This research

uses descriptive qualitative method with observation, interview and literature study

techniques. The results of this study indicate that there are several strategies carried out

by the local government and batik industry players that illustrate the political map of the

batik industry in Yogyakarta such as making foreign markets as market share of batik; the

existence of the batikmark program; cooperation with the Department of Tourism of DIY

Posts and Telecommunications by making factories and showroom outlets as one of the

tourist objects in Yogyakarta, through batik workshops and making their factories as a

display space for batik process for tourists; and strengthen Javanese cultural identity in

the motives and process of batik. This political map turned out to have implications for

the indication of the exploitation of Yogyakarta’s batik laborers which supported by

Javanese cultural hegemony.

Keyword : Political Map, Batik Industry of Yogjakarta, Labor System

Pendahuluan

Era Pascareformasi merupakan titik balik atas tumbuhnya perkembangan industri batik

yang sebelumnya nyaris mati suri akibat terjangan batik printing pada masa Orde Baru. Menurut

Euis Saedah (Pujiastuti 2015), titik balik ini ditandai dengan keberhasilan pemerintah Indonesia

dalam mendapatkan pengakuan dari dunia bahwa batik adalah warisan kebudayaan dunia dari

Indonesia. Semenjak adanya pengakuan dari UNESCO tersebut, industri batik mulai menggeliat

kembali di Indonesia. Deklarasi tersebut ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria”

di masyarakat Indonesia. Pakaian batik kemudian dijadikan sebagai alat diplomasi budaya

dalam ajang-ajang nasional mau pun internasional. Pengakuan dunia atas batik membawa

pengaruh positif terhadap pertumbuhan industri batik dan pengembangan perekonomian

nasional serta meluasnya pasar batik ke luar Jawa hingga ke berbagai negara.

Page 33: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

32 Rahayu

Pesatnya perkembangan industri batik setelah adanya pengakuan dari dunia tersebut,

membuat nilai ekspor batik Indonesia menjadi meningkat. Peningkatan ekspor industri batik di

Indonesia dari tahun 2008 sebesar USD32 juta hingga 2012 menjadi USD 278 juta. Kemudian,

pada 2013 ekspor batik Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 18,49%. Data Kementerian

Perindustrian menunjukkan jumlah unit usaha batik selama lima tahun sejak 2011 hingga 2015

tumbuh 14,7% dari 41.623 unit menjadi 47.755 unit. Tenaga kerja pun sama, selama 2011-2015

tumbuh 14,7% dari 173.829 orang menjadi 199.444 orang. Nilai pembelian bahan baku pun

meningkat 12,8% dari tahun 2011 senilai Rp 4,137 triliun menjadi Rp 4,746 triliun pada tahun

2015. Nilai tambah batik tumbuh 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 1,909 triliun menjadi Rp 2,191

triliun. Peminat batik dari mancanegara yang meningkat pun tercermin dari nilai ekspor batik

yang naik 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 43,96 triliun menjadi Rp 50,44 triliun pada 2015

(Pujiastuti 2015).

Ada pun negara-negara yang menjadi tujuan ekspor batik antara lain Amerika Serikat,

Belgia, Kanada, Jerman, Inggris, Jepang, Perancis, Korea Selatan dan lain-lain. Sedangkan lima

negara yang menjadi tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat dari total penjualan ke luar

negeri yaitu sebesar USD 81,38 juta atau porsi ekspor mencapai 43,35 persen. Kemudian di bawah

AS adalah Korea Selatan dengan nilai ekspor USD 12,24 juta (6,52 persen). Ada pun nilai ekspor

batik ke Jerman mencapai USD 10,05 juta atau 5,35 persen. Nilai ekspor batik ke Jepang mencapai

USD 9,22 juta atau persentase 9,22 persen. Perancis tahun ini menggeser Kanada sebagai negara

tujuan ekspor terbesar dengan nilai ekspor USD 9,16 juta atau 4,88 persen (Rahma 2015).

Akan tetapi peningkatan ekspor batik Indonesia dari tahun ke tahun ini bukannya tidak

memiliki kendala persaingan yang ketat dari negara-negara pengekspor batik lainnya. Meski

angka ekspor batik Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya, namun pada rentang

tahun 2015, batik Indonesia menghadapi tantangan kompetisi yang begitu besar. Hal ini

ditunjukkan dari ekspor batik Indonesia pada Januari hingga Juli 2015 mencapai 184,74 juta dolar

AS, yang artinya turun 5,99 persen dibandingkan tahun lalu.

Setidaknya di Asia sendiri terdapat tiga negara yang selama ini menjadi pesaing utama

Indonesia dalam memproduksi batik. Di mana masing-masing negara memiliki ciri khasnya

sendiri mulai dari proses pembuatan, motif, corak, hingga jenis kain yang digunakan. Tiga negara

Page 34: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 33

pesaing dalam industri Batik Indonesia adalah Cina, Malaysia dan Thailand. Sementara itu,

selain negara-negara di Asia, negara di luar Asia pun seperti Nigeria juga sudah mulai

memproduksi kain bermotif batik dan mulai merambah pasar Eropa dan Amerika.

Negara-negara tersebut memiliki upayanya masing-masing agar batik mereka bisa laku

dan mendapatkan posisi di pasar dunia. Persaingan batik antara Indonesia dengan negara-

negara tersebut khususnya Asia terbilang cukup panas. Misalnya dengan Malaysia, sebelum

batik ditetapkan UNESCO sebagai kebudayaan asli Indonesia, sempat muncul isu bahwa

Malaysia mengklaim batik sebagai kebudayaan asli mereka. Pemerintah Malaysia juga cukup

pro-aktif mengangkat batik yang diproduksi oleh negaranya. Salah satunya dengan penetapan

hari batik nasional yang tanggalnya sama seperti hari batik nasional di Indonesia yang

diperingati setiap 2 Oktober.

Sementara di Thailand, upaya pemerintah di negara tersebut untuk memajukan industri

batiknya adalah dengan membudayakan dan semakin mempopulerkan batik di beberapa tempat

wisata di Thailand yang menjadi sasaran wisatawan seperti dengan menyediakan kursus

membatik, mengaplikasikan batik pada seragam resor atau dekorasi di banyak tempat. Tidak itu

saja, batik Thailand juga digunakan sebagai pakaian santai penduduk setempat. Saat ini batik

Thailand telah mampu bersaing di pasaran dunia dengan harga yang relatif murah dibanding

batik dari Indonesia sendiri. Hal ini dikarenakan pemerintah Thailand melakukan proteksi

terhadap industri batik di negaranya sehingga harga jualnya di luar negeri menjadi lebih murah

(Amirsyah 2015).

Pesaing ketiga yang kini diakui sebagai saingan terberat bagi batik Indonesia adalah batik

asal China. Dikatakan terberat karena selain mampu bersaing di pasaran dunia, batik Cina ini

juga mulai membanjiri pasar Indonesia. Batik China dengan kualitas rendah tetapi memiliki

harga yang murah ini membanjiri pasar Indonesia tanpa ada upaya serius dari pemerintah

Indonesia untuk membendungnya. BPS menginformasikan bahwa dalam tahun 2012, Indonesia

mengimpor batik dari China sebanyak 1.037 ton bernilai US$ 30 juta (sekitar Rp. 285 miliar).

Sebagian besar adalah batik printing (cetakan mesin). Batik asal China harganya jauh lebih murah

dengan selisih harga mencapai Rp 20–30 ribu per helai dibandingkan batik lokal. Maka tidak heran

jika jumlah batik Cina tersebut telah semakin luas “membanjiri” pasar Indonesia. Terlebih lagi masyarakat

Page 35: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

34 Rahayu

Indonesia yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah yang jumlahnya lebih banyak, lebih

mementingkan harga yang murah tanpa peduli asal muasal bahan kain batik tersebut apakah asli

dari Indonesia ataukah impor dari luar negeri (Amirsyah 2015).

Negara China yang sangat terkenal dengan biaya produksi yang rendah (Low Cost

Productivity), penguasaan terknologi serta bahan baku, berpotensi membuat harga batik dari

negara tersebut menjadi lebih murah di pasaran. Jika dilihat dari penguasaan bahan baku dan

teknologi, produk China ini dapat menekan harga hingga 50 persen. China menguasai

pengelolaan batiknya mulai dari bahan mentah hingga menjadi bahan jadi. Sedangkan di

Indonesia, bahan baku untuk membuat batik mulai dari kain hingga bahan pewarna batik

semuanya harus diperoleh melalui impor dari negara lain. Apalagi setelah dibukanya pasar

bebas dengan ASEAN yakni pasca implementasi ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA) pada

awal tahun 2010 lalu, produk-produk impor terus membanjiri pasar domestik. Potensi penjualan

batik dari negara Cina yang massif dan diproduksi secara massal ini menjadi semakin meluas

(Kemenperin 2015:30).

Sampai saat ini, tampaknya pemerintah Indonesia belum bisa memberikan perlindungan

dan pendampingan yang memadai untuk produsen batik khususnya di kalangan usaha kecil dan

menengah, agar bisa menghasilkan kain batik dengan harga yang lebih murah sehingga bisa

bersaing dengan produk impor dari luar negeri. Terlebih lagi semakin berkurangnya tenaga

pengrajin batik di Indonesia merupakan salah satu faktor yang membuat produksi batik di

Indonesia sulit untuk ditingkatkan demi memenuhi pasar global. Menurut data yang berhasil

dihimpun, tenaga pengrajin batik yang masih aktif membatik hanya tinggal sekitar 5.000 orang

(Sudarsono 2014). Hal ini dikarenakan tidak adanya regenerasi para pembatik. Fakta di lapangan

menunjukkan bahwa mayoritas para pembatik adalah orang-orang tua sementara generasi muda

cenderung enggan menjadi pembatik dikarenakan upah para pembatik yang terkenal minim.

Usaha pemerintah yang sering dilakukan hanyalah imbauan, sosialisasi dan hal-hal yang

bersifat seremonial seperti memperingati hari batik nasional setiap tahunnya pada tanggal 2

Oktober. Selain itu, upaya pemerintah lainnya adalah dengan mengambil kebijakan yang

mewajibkan pegawai negeri mengenakan batik pada hari-hari tertentu dan mendorong

karyawan instansi swasta, BUMN untuk melakukan hal yang sama. Demikian juga dengan para

Page 36: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 35

pelajar mulai dari TK hingga SMA serta masyarakat luas. Sehingga terkesan secara kasat mata

tampak di berbagai tempat di Indonesia sangat banyak masyarakat yang mengenakan pakaian

batik dalam aktivitasnya sehari-hari terutama di kantor-kantor instansi pemerintah dan di

berbagai even untuk menggalakkan batik Indonesia di masyarakat dan dunia internasional

(Ingkiriwan 2014).

Namun apabila ditelaah lebih lanjut, keuntungan dari berbagai usaha pemerintah

Indonesia untuk menggalakkan pemakaian batik tersebut ternyata lebih besar dinikmati oleh

negara lain yang bisa meraup jutaan dolar dengan mengekspor kain batik ke luar negeri

termasuk ke Indonesia. Indonesia sebagai negeri asalnya batik, belum mampu menjadi tuan

rumah di negeri sendiri, bahkan justru menjadi konsumen kain batik dari negara lain. Jadi bisa

dikatakan bahwa makin gencarnya sosialisasi batik di Indonesia termasuk dengan perayaan hari

Batik Nasional, maka keuntungan pun makin besar diterima oleh negara-negara lain yang

mengekspor kain batiknya ke Indonesia dan dunia, seperti Cina, Thailand dan negara lainnya.

Setali tiga uang dengan kondisi Indonesia di konteks global, Yogyakarta yang notabene

merupakan salah satu daerah penghasil batik pun mengalami hal yang serupa. Persaingan yang

harus dihadapi Yogyakarta pada kenyataannya tidak hanya berupa gempuran persaingan dari

industri batik luar negeri seperti Cina, Malaysia, Nigeria dan sebagainya; melainkan gempuran

batik dari wilayah-wilayah lain dari dalam negeri juga merupakan faktor yang sangat

menentukan eksistensi industri batik di Yogyakarta.

Di pasaran lokal, industri batik Yogyakarta mengalami persaingan berat bahkan dapat

dikatakan kalah dengan industri batik lokal di wilayah lain di Indonesia sendiri seperti Solo dan

Pekalongan. Sebagian besar pusat-pusat perbelanjaan di Yogyakarta bahkan pusat perbelanjaan

yang menjadi salah satu ikon dan tujuan wisata di Yogya seperti kawasan Malioboro dan pasar

Beringharjo pun tidak luput dari gempuran ragam sandang bermotif batik hasil produksi dari

daerah lain khususnya Pekalongan. Penguasaan pangsa pasar batik Pekalongan di Pasar

Beringharjo dan Malioboro begitu menggurita mencapai 80%, diikuti daerah lainnya termasuk

Solo (Anon 2012). Hal ini senada dengan pengakuan dari Dinas Perindustrian kota Yogya yang

menyatakan bahwa pasar batik di Yogyakarta sendiri pada kenyataannya telah kalah dengan

komoditas batik produksi daerah lain khususnya Pekalongan. Oleh karena itu, tulisan ini

Page 37: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

36 Rahayu

bermaksud mengulas tentang “Bagaimana peta politik industri batik Yogyakarta dalam konteks

nasional dan global? Serta Bagaimana dampak peta politik tersebut terhadap sistem perburuhan

di industri batik Yogyakarta?”

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta Dalam Konteks Nasional dan Global

Adanya realitas kondisi pasar batik di wilayah lokal Yogyakarta yang justru cenderung

didominasi ragam batik produksi dari wilayah lain, membuat sebagian besar pengusaha batik di

Yogyakarta tidak menjadikan pasar lokal di Yogyakarta sebagai pangsa pasar batik yang mereka

produksi. Rata-rata para pengusaha tersebut lebih memilih untuk membuka gerai showroom di

rumah mereka sendiri atau di depan pabrik batik mereka dan memanfaatkan program pariwisata

Yogya sebagai media untuk mempromosikan batik produksi mereka kepada para wisatawan

baik lokal mau pun mancanegara.

Dalam rangka menunjang strategi pemasaran yang dilakukan oleh para pengusaha batik

tersebut, maka mereka mengambil langkah dengan bekerja sama dengan Departemen Pariwisata

Pos dan Telekomunikasi DIY. Hal ini dilakukan agar perusahaan batik mereka dalam hal ini

pabrik dan gerai showroom dapat dijadikan salah satu obyek wisata yang terdapat di Yogyakarta

yakni melalui pengadaan workshop batik untuk para wisatawan serta menjadikan pabrik mereka

sebagai ruang display proses membatik bagi wisatawan yang ingin mengetahui langsung

prosesnya. Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan batik yang mereka produksi dapat

menjadi cinderamata bagi para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Sehingga dengan

demikian kondisi tersebut tentu saja dapat memberikan hal yang positif bagi perdagangan dan

produksi batik yang berasal dari daerah Yogyakarta.

Selain menjual produk melalui gerai-gerai batik yang dikelola sendiri, para pengusaha

batik Yogyakarta pun mengekspor batiknya ke luar negeri seperti ke Jepang, Perancis, Amerika

dan lain-lain. Mancanegara merupakan pasar potensial bagi pengusaha batik Yogyakarta di

tengah-tengah realita kondisi persaingan di pasar lokal yang begitu ketat.

Dalam hal ini, baik pemerintah daerah mau pun industri-industri batik di Yogyakarta

memilih untuk menjadikan pasar luar negeri sebagai strategi agar batik Yogyakarta tetap bisa

bertahan, maju dan berkembang. Baik pemerintah mau pun para pelaku industri di Yogyakarta

Page 38: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 37

cukup memahami kondisi pasar lokal yang begitu dibanjiri oleh keberadaan batik printing yang

berasal dari daerah lain. Batik printing yang memiliki keunggulan harga yang cukup murah

tersebut mampu menguasai pasar yang didominasi oleh konsumen dari kalangan menengah ke

bawah. Oleh karena itu, dalam hal ini industri batik yang terdapat di Yogyakarta lebih

memfokuskan strategi pemasaran produk batiknya kepada konsumen yang berada pada segmen

menengah ke atas khususnya bagi para konsumen yang mencintai seni dan kualitas dari sebuah

karya (Anon 2012).

Strategi pemasaran yang dilakukan oleh pelaku industri batik di Yogyakarta merupakan

arah peta politik industri batik di daerah tersebut agar mampu bertahan dan bersaing dengan

perkembangan industri batik di wilayah lainnya. Oleh karena segmen pasar batik Yogyakarta

merupakan konsumen dari menengah ke atas, maka para pengusaha batik tersebut

memfokuskan pada ragam produksi batik jenis cap dan tulis. Dalam hal ini batik printing tidak

dimasukkan dalam fokus pemasaran karena batik printing dianggap bukanlah batik melainkan

hanya berupa kain yang bermotif batik yang dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak

dengan kurun waktu yang relatif cepat dan biaya produksi yang cukup murah sehingga

eksklusifitas dari produk jenis ini tidaklah setinggi ragam batik jenis tulis dan cap.

Orisinalitas dan keautentikan budaya (high culture) merupakan dua hal yang ingin

diusung oleh para pelaku industri batik di Yogyakarta sehingga konsentrasi dalam

pengembangan batik tulis dan cap yang telah turun-temurun dikembangkan oleh industri batik

Yogyakarta sejak jaman dahulu harus terus dilestarikan dan dikembangkan. Bagi para pelaku

dalam industri batik di Yogyakarta, batik tulis dan cap adalah wujud dari kebudayaan Jawa yang

dapat membedakan batik produksi dari Yogyakarta dengan produksi dari daerah lainnya. Oleh

karena itu bagi para pengusaha batik Yogyakarta, pemahaman secara komprehensif terhadap

nilai-nilai Jawa dianggap perlu untuk diterapkan dalam proses produksi batik.

Penguatan identitas budaya yang dalam hal ini adalah kebudayaan Jawa yang terdapat

dalam masyarakat Yogya merupakan upaya strategi selanjutnya oleh para pelaku industri batik

di Yogyakarta dalam rangka memasarkan batik produksi mereka. Karakteristik budaya Jawa

yang tertanam dan menjadi ciri khas dalam batik Yogyakarta harus senantiasa ditonjolkan dalam

setiap desain batik. Namun tidak hanya dari segi motif, kebudayaan Jawa ini juga senantiasa

Page 39: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

38 Rahayu

diterapkan dalam proses pembuatan batik itu sendiri. Sehingga batik Yogyakarta adalah sebuah

karya seni yang didalamnya sarat akan nilai-nilai dan filosofi budaya Jawa. Dengan demikian,

diharapkan batik Yogyakarta mendapatkan nilai lebih dalam segi harga dan dapat lebih diminati

oleh para konsumen.

Eksklusifitas batik cap dan tulis serta pengembangan motif yang sarat akan nilai dan

filosofi budaya Jawa yang berasal dari Yogyakarta tersebut kemudian semakin diperkuat dengan

munculnya upaya pemerintah untuk melindungi para pengusaha batik Indonesia dari

penjiplakan motif-motif batik asal Indonesia dari negara lain. Upaya pemerintah tersebut

dilakukan melalui disediakannya sebuah lembaga yang mengatur dan memberikan hak paten

atas kekayaan intelektual penciptaan motif-motif batik oleh para pengrajin batik di setiap daerah

di Indonesia di mana Yogyakarta juga termasuk di dalamnya. Lembaga tersebut adalah Balai

Besar Industri Kerajinan dan Batik yang berfungsi sebagai sarana pengembangan batik sekaligus

tempat hak paten batik dan telah diberi tugas untuk memproses sertifikasi Batikmark. Sejauh ini

lembaga tersebut telah mengeluarkan 106 sertifikat Batikmark yang sertifikasinya dilakukan di

Yogyakarta (Kemenperin 2015). Melalui program batikmark ini, pasar batik produksi dari

Yogyakarta menjadi semakin jelas arahnya yakni diperuntukkan untuk kalangan menengah ke

atas.

Selain dari berbagai macam strategi seperti yang sudah dijelaskan di atas, upaya

Yogyakarta dalam mempertahankan, memperkenalkan dan memajukan batik Yogya pun

ditunjukkan dari upaya pemerintah Yogyakarta yakni melalui Dinas perdagangan dan

perindustrian yang tengah menggalakkan program kerajinan batik dengan pewarnaan alam.

Batik dengan pewarnaan alam ini dalam arti yaitu proses pewarnaan batik dengan menggunakan

pewarna dari bahan-bahan alami seperti dari dedaunan dan kayu. Program batik dengan warna

alam ini muncul atas upaya pemerintah Yogyakarta untuk meminimalisir pencemaran

lingkungan yang diakibatkan oleh pewarna kimia/sintetis selama ini. Program batik dengan

pewarnaan alam dari pemerintah ini juga diharapkan dapat menjadi ciri khas batik Yogyakarta

yang dapat membedakan batik dari Yogya dengan batik dari daerah lainnya dan agar batik

Yogyakarta memiliki daya tarik yang lebih tinggi di mata dunia. Namun, program ini tidak

terlalu diminati oleh para pengusaha batik Yogyakarta disebabkan program ini dianggap tidak

Page 40: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 39

efisien dari segi biaya karena perlu begitu banyak bahan baku daun dan kayu untuk membuat

sehelai kain batik, hal ini berarti juga butuh lahan yang begitu luas untuk menanam pepohonan

yang dibutuhkan untuk membuat batik sedangkan lahan yang begitu luas tersebut saat ini sangat

sulit didapatkan di tengah gencarnya pembangunan di Yogyakarta. Sehingga bagi para

pengusaha batik di Yogyakarta akan sangat tidak efektif jika batik diproduksi dalam jumlah yang

banyak.

Selain berbagai strategi di atas, upaya pemerintah DIY dalam melestarikan batik juga

difokuskan pada upaya pemerintah dalam memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan

masyarakat Yogya khususnya generasi muda terhadap batik. Upaya tersebut termanifestasi

melalui dimasukkannya kerajinan batik sebagai muatan lokal tetap pada sekolah-sekolah di

Yogyakarta bahkan sudah mulai bermunculan sekolah-sekolah kejuruan yang khusus

menyediakan jurusan batik. Demikian pula pengembangan produksi dan pemasaran batik

melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Koperasi dan UKM juga makin digalakkan. Hal

ini sejalan dengan program pengentasan kemiskinan yang ditekankan oleh Sri Sultan selaku

Gubernur DIY mengingat hampir di semua daerah baik di kota dan kabupaten di Yogyakarta

merupakan daerah penghasil batik. Program-program tersebut berupa pelatihan dalam

pengembangan desain, pelatihan manajemen, pelatihan pewarnaan kain terutama pewarnaan

alam yang memang ditekankan untuk menjadi ciri khas batik Yogya serta tidak lupa juga

program-program promosi seperti pemecahan rekor MURI batik terpanjang, pameran-pameran

ke luar daerah hingga ke mancanegara seperti Cina dimana pada akhirnya Yogya dinobatkan

sebagai “Kota Batik Dunia” pada tahun 2014 oleh Badan Kerajinan Dunia atau World Craft

Council (WCC).

Program pemberdayaan pengrajin batik juga diwujudkan melalui upaya Balai Besar Batik

dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY menggalakkan kelompok-kelompok pembatik

terutama setelah gempa 2006 lalu yang membuat sebagian besar para pengrajin kehilangan

pekerjaannya. Kelompok-kelompok pengrajin batik ini dapat dilihat di beberapa spot-spot di

daerah kabupaten-kabupaten di Yogyakarta seperti di Giriloyo, Sleman dan Gunungkidul.

Eksploitasi Buruh Batik Yogyakarta Yang Didukung Hegemoni Budaya Jawa Sebagai

Dampak Peta Politik Industri Batik Yogyakarta

Page 41: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

40 Rahayu

Berdasarkan hasil penelitian, budaya Jawa ternyata memiliki pengaruh yang begitu besar

dan kuat di dalam praktik perburuhan pada sebuah industri batik di Yogyakarta. Budaya Jawa

ini tersebar ke dalam sistem, pola hubungan kerja, praktik sehari-hari bahkan terinternalisasi

menjadi nilai-nilai dan karakter ke dalam diri para pelaku industri tersebut. Proses reproduksi

budaya ini pun semakin kuat ketika budaya Jawa menjadi bagian sebuah strategi dalam rangka

mempertahankan posisi tawar industri batik Yogyakarta di tengah-tengah persaingan dunia.

Budaya Jawa pada akhirnya menjadi bagian penting dalam proses kapitalisasi batik.

Dalam tulisan kali ini, peneliti akan menganalisis keterkaitan antara budaya Jawa ini

dengan adanya indikasi eksploitasi terhadap buruh batik. Namun sebelumnya akan dijelaskan

sedikit tentang eksploitasi itu sendiri. Hubungan Eksplotasi sendiri merupakan hubungan di

mana antara bagian yang satu dengan yang lainnya tidak terjadi keseimbangan. Eksploitasi

setidaknya memiliki tiga kriteria yaitu:

1) Kesejahteraan sebuah kelompok masyarakat secara material tergantung pada

perampasan material dari sebuah kelompok lain.

2) Hubungan tersebut di atas melibatkan pula pengucilan atau penutupan (exclusion)

akses terhadap sumber daya produktif secara asimetris terhadap kelompok yang tereksploitasi.

Pada umumnya hak milik (property rights) sering digunakan untuk menutup akses kelompok lain

terhadap sumber-sumber daya tertentu tetapi tidak selalu.

3) Mekanisme yang menghasilkan pengucilan atau penutupan akses terhadap

sumber daya produktif tersebut melibatkan pengambilan nilai tambah kelompok yang

terekploitasi oleh kelompok yang terekploitasi yang menguasai sumberdaya produksi tersebut

(Wright dalam Widyaningrum 1997:10).

Hubungan eksploitasi akan muncul bila salah satu yang terlibat dalam hubungan tersebut

mempunyai akses yang lebih banyak daripada yang lain sehingga salah satu pihak mengalami

ketergantungan dengan pihak yang lain, lalu pihak yang diunggulkan mulai menentukan aturan

main sehingga pihak-pihak yang dirugikan menjadi semakin tergantung terhadap pihak yang

diunggulkan.

Dalam hubungan tersebut pihak yang mempunyai keunggulan berusaha melemahkan

pihak yang lebih lemah dengan membuat sistem yang membuat pihak lemah menjadi tergantung

Page 42: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 41

kepada pihak yang diunggulkan. Pihak lemah menjadi sulit untuk keluar dari sistem tersebut.

Dari waktu ke waktu pihak yang diunggulkan lebih mudah mengembangkan usahanya, hal ini

dikarenakan adanya penumpukan modal yang cepat dari pihak yang diunggulkan tersebut.

Sementara itu bagi pihak yang lemah, pengumpulan modal usaha sangat sulit dilakukan, hal ini

dikarenakan penghasilan yang didapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja,

sehingga untuk menambah modal usaha menjadi sulit. Pihak yang kuat biasanya ditandai

dengan modal yang besar dan kuat daripada pihak yang lemah sehingga menjadikan pihak yang

kuat sebagai kapitalis. Sementara itu pihak yang lemah tersebut merupakan buruh dari pihak

kapitalis tersebut.

Kekuatan yang dimiliki oleh pihak kapitalis yang cukup besar membuat mereka mampu

untuk memonopoli pihak yang lemah. Adanya monopoli tersebut membuat pihak buruh merasa

kesulitan untuk mendapatkan nilai tawar yang adil. Sehingga mereka hanya mampu untuk

bekerja dan bekerja untuk kapitalis dan tidak dapat menuntut apapun. Nilai tawar yang kurang

tersebut kemudian juga dimanfaatkan oleh pihak kapitalis untuk menekan pihak buruh dalam

hal pengalihan resiko. Pengalihan resiko ini dapat dilakukan dengan cara menekan upah dari

buruh tersebut. Buruh yang tidak mempunyai nilai tawar ditekan sehingga perusahaan dapat

membayar upahnya seminim mungkin.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor utama rentannya eksploitasi adalah adanya

kesenjangan kekuasaan antara dua atau lebih pihak/kelompok/kelas di mana pihak yang satu

mendominasi pihak yang lain terutama dalam hal penyerapan materi. Dalam kaitannya dengan

budaya Jawa, maka kondisi eksploitatif di dalam praktik perburuhan batik erat kaitannya dengan

hubungan kelas yang terjalin antara buruh dan majikan. Sebagaimana yang telah diketahui, di

dalam masyarakat Jawa terdapat prinsip-prinsip yang memandang bahwa adanya perbedaan

kedudukan dan kelas merupakan hal yang lumrah terjadi sebagai warna di dalam kehidupan

masyarakat. Keberadaan kelas-kelas ini pun diiringi dengan konsekuensi hak dan kewajiban

pada masing-masing kelas. Seperti yang terjadi di dalam industri batik, nilai-nilai Jawa ini

tereproduksi melalui segenap pengetahuan akan posisi buruh dan majikan yang diterima oleh

masing-masing pihak. Reproduksi pengetahuan mengenai posisi majikan dalam konsep Jawa

erat kaitannya dengan penerimaan bahwa majikan adalah seorang saudagar, figur orang tua dan

Page 43: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

42 Rahayu

pihak yang memiliki kuasa. Sedangkan reproduksi pengetahuan mengenai posisi buruh batik

erat kaitannya dengan penerimaan bahwa buruh adalah seorang pengrajin batik, seorang

bawahan dan merupakan pihak yang menempati posisi wong cilik dalam strata masyarakat Jawa.

Dari kesemua pengetahuan ini baik antara buruh dan majikan membawa nilai-nilai tentang

kejawaannya masing-masing sesuai dengan kedudukan mereka.

Dalam konteks eksploitasi, pandangan dunia Jawa yang strukturalis ini tentu saja dapat

memperkuat keberadaan sistem kelas dan memicu dominasi kaum kapitalis terhadap kaum

pekerja. Nilai-nilai budaya Jawa yang mengharuskan seorang Jawa untuk menerima kedudukan

masing-masing mengantarkan pada pendisiplinan diri masing-masing pihak di mana majikan

sebagai kapitalis dan buruh batik sebagai kelas pekerja yang secara otomatis melegitimasi posisi

majikan sebagai pihak atas yang berkuasa dan buruh sebagai pihak bawah yang dikuasai.

Pendisiplinan diri ini diiringi juga dengan reproduksi nilai-nilai Jawa khususnya dalam diri

buruh batik di mana kesabaran, keiklasan, kepatuhan, kepasrahan, sikap nriman, anjuran untuk

menekan ambisi diri serta sikap senantiasa introspeksi diri di mana diri ditekankan pada pola

pikir bahwa sikap memandang diri lebih baik dari orang lain adalah sikap yang kurang terpuji

berakibat pada semakin kuatnya jurang perbedaan kelas antara buruh dan majikan.

Sikap-sikap tersebut berdampak pada pengembangan konsep diri yang negatif di dalam

diri buruh. Hal ini membuat kepercayaan diri buruh itu sendiri melemah sehingga memicu

hilangnya daya kritis buruh terhadap ketidakadilan yang mereka hadapi. Hal ini berdampak

pada kesewenangan majikan atas buruh dan mudahnya buruh untuk dieksploitasi. Contohnya

adalah adanya kuasa majikan yang didukung budaya jawa mengijinkan majikan untuk

menetapkan kebijakannya sendiri seperti kebijakan pengupahan dan jaminan sosial terhadap

buruh.

Pengetahuan mengenai nilai-nilai budaya Jawa telah secara lembut menghegemoni pola

pikir dan kesadaran para buruh batik. Hal ini senada dengan pemikiran Gramsci bahwa

kebudayaan merupakan kekuatan material yang mempunyai dampak praktis dan “berbahaya”

bagi masyarakat. Kebudayaan bukan sekedar pengetahuan tanpa makna, tetapi kebudayaan

dapat berarti kekuatan politik. Gramsci menganggap kebudayaan sebagai organisasi, disiplin

diri batiniah seseorang, merupakan suatu pencapaian kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan

Page 44: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 43

sokongannya seseorang berhasil dalam memahami nilai historis diri dan fungsinya di dalam

kehidupan, hak-hak dan kewajibannya (Faruk 1999:65-66). Dengan demikian, kebudayaan tidak

bisa disepelekan hanya sebagai pengetahuan saja, tetapi harus diperhatikan dan dipahami

sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan

kebudayaan Jawa yang mengilhami pola hubungan serta tata perilaku para buruh dan majikan

dalam industri batik. Budaya Jawa melalui nilai-nilai harmoni dan struktural fungsionalnya,

telah mendisiplinkan diri serta batiniah majikan dan buruh batik sehingga masing-masing pihak

bersedia untuk memposisikan dan menerima fungsi, hak dan kewajibannya.

Dalam konteks eksploitasi buruh batik, besarnya dampak dan pengaruh nilai-nilai

budaya Jawa yang strukturalis pada akhirnya digunakan oleh para pengusaha batik (petty-

bourgeoisie) sebagai kekuatan mereka untuk menghegemoni para buruh batik untuk menerima

kondisi serta menyetujui posisi mereka sebagai kelas subordinat dan menerima keberadaan

majikan sebagai pihak yang memiliki kuasa atas mereka tanpa melalui represi atau pun kekuatan

fisik. Dalam kondisi yang hegemonik, para pengusaha memperoleh posisi langgengnya untuk

menjadi pihak yang dapat mengontrol, mengarahkan bahkan “membentuk” seorang buruh batik

sesuai dengan kepentingan mereka.

Salah satu contoh dari kuasa majikan ini adalah ketika buruh batik “tanpa perlawanan”

kemudian dijadikan sebagai obyek daya tarik untuk para wisatawan dalam negeri mau pun asing

dalam rangka memperkenalkan produk batik mereka terhadap wisatawan. Nilai-nilai budaya

Jawa baik yang terkandung dalam proses membatik maupun yang terepresentasi pada motif-

motif batik adalah sebuah paket tentang seni membatik yang menjadi strategi para pengusaha

batik di Yogyakarta untuk mendongkrak penjualan batik yang mereka produksi. Sehingga tidak

hanya keindahan motif batik yang dapat dijual, melainkan juga kerumitan proses membatik itu

sendiri pun ternyata dapat turut menyumbangkan nilai jual yang tinggi atas kesenian batik. Para

pengusaha batik lokal berusaha mempertahankan usaha batiknya dengan memanfaatkan

kearifan lokal setempat yang dalam hal ini adalah budaya Jawa sebagai sebuah nilai jual

tersendiri kepada para konsumen. Oleh karena itu di samping adanya gerai-gerai showroom batik,

para pengusaha batik di Yogyakarta biasanya juga menyediakan akses kepada para wisatawan

yang ingin menyaksikan langsung proses pembuatan batik di mana buruh batik merupakan

Page 45: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

44 Rahayu

pelaku penting dalam proses tersebut. Dalam hal ini majikan telah memanfaatkan buruh batik

dengan cara “membentuk” buruh batik sebagai aktor peraga dalam proses pembuatan batik

tersebut untuk menarik wisatawan.

Industri global telah mengubah paradigma para pengusaha batik lokal dalam

pemahaman proses bekerja dan juga membawa eksistensi diri mereka sebagai manusia yang

determinis terhadap ekonomi. Tidak terkecuali pada ranah budaya yang dikomodifikasi oleh

para petty-bourgeoisie tersebut untuk menjadi industri dengan bentuk baru. Produk budaya

kemudian memasuki wilayah negosiasi baru yaitu sebagai sebuah barang komoditas yang dapat

diolah sedemikian rupa untuk diperjual-belikan atas nama keuntungan tertentu. Di tangan

sistem kapitalisme, batik sebagai produk budaya Jawa kemudian menjadi produk yang bernilai

tinggi di mana peragaan kerja oleh buruh sebagai pengemban tertinggi kelangsungan produk

budaya tersebut, turut diikutkan dalam memberikan nilai jual sebuah karya seni batik.

Sehingga pada akhirnya para pengusaha yang sebenarnya tidak bisa menggantikan

spektrum pengalaman yang muncul dari proses pembatikan tersebut karena tidak terlibat secara

langsung dalam proses pembatikan yang sebenarnya, justru menjadi pihak yang mendapatkan

keuntungan materi atas monopoli yang dilakukannya, terutama dengan memberikan harga batik

di atas harga wajar berkat jargon orisinalitas serta kearifan lokal budaya yang mereka usung.

Nilai-nilai Jawa yang mengakar kuat dan terwujud dalam sistem paternalisme pada

industri batik Yogyakarta semakin memudahkan para pihak kapitalis dalam menghegemoni

agar buruh dengan mudah dimobilisasi untuk menjadi pemeran penting dalam peragaan proses

pembuatan batik yang mereka pamerkan kepada para wisatawan. Para buruh bekerja

menghasilkan batik sekaligus menjadi aktor peraga dalam proses pembuatan batik tersebut

dengan upah yang cenderung tidak sebanding dengan besarnya kontribusi yang mereka berikan

untuk mendongkrak penjualan batik.

Para buruh batik ini teralienasi sebagai makhluk hidup yang paling esensi, sebagai

makhluk sosial bahkan dengan proses hingga produk buatan mereka sendiri. Sistem kerja para

kapitalis memanipulasi bentuk kreatifitas pekerja sedemikian rupa agar para buruh dibodohkan

oleh situasi yang dianggap sudah sepantasnya mereka terima. Kesadaran mereka disemukan

dengan berbagai perampasan diri, semata-mata untuk memperkaya pemilik modal. Secara

Page 46: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Peta Politik Industri Batik Yogyakarta dan Dampaknya 45

simultan nilai-nilai Jawa pun telah mendukung para kapitalis untuk membentuk dan melakukan

kontrol kesadaran dengan mengebiri potensi kesadaran kritis, daya korektif dan resistensi buruh

batik.

Kesimpulan

Ketatnya persaingan industri batik di Indonesia membuat pemerintah daerah serta para

pelaku industri batik Yogyakarta melakukan beberapa strategi agar tetap bertahan dan memiliki

kuasa dalam pasar batik di Indonesia. Strategi tersebut mendeskripsikan peta politik industri

batik di Yogyakarta dalam konteks global mau pun nasional. Peta politik tersebut juga ternyata

memberi dampak terhadap bentuk baru eksploitasi buruh batik di Yogyakarta. Secara tidak

disadari, budaya Jawa juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berlangsungnya

eksploitasi pada buruh batik.

Daftar Pustaka

Amirsyah. 2015. “Hari Batik Nasional Di Indonesia, Keuntungannya Di Negara Lain.” Retrieved

May 5, 2019 (http://www.kompasiana.com/amirsyahoke/hari-batik-nasional-di-indonesia-

keuntungannya-di-negara-lain_552e57796ea8340f4d8b4577).

Anon. 2012. “Batik Yogya, Antara Idealisme Dan Industri.” Solopos.com, July. Retrieved

(http://old.solopos.com/2012/07/05/tajuk-batik-jogja-antara-idealisme-industri-199258).

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra (Dari Strukturalisme Genetik Sampai Posmo Modernism).

jakarta: Pustaka Pelajar.

Ingkiriwan, Irfan D. 2014. Persaingan Batik Di Asia. Retrieved

(http://www.scribd.com/doc/220963625/Persaingan-Industri-Batik#scribd).

Kemenperin. 2015. “Batik Mark, Lindungi Batik Indonesia.” Majalah Media Industri Edisi 2.

Pujiastuti, Lani. 2015. “Diakui Dunia, Ekspor Batik RI Meningkat Setiap Hari.” Detikfinance.

Retrieved May 5, 2019 (http://finance.detik.com/read/2015/10/02/132932/3034083/4/diakui-

dunia-ekspor-batik-ri-meningkat-setiap-tahun).

Rahma, Sakinah. 2015. “Amerika Serikat Jadi Tujuan Ekspor Terbesar Batik.” Kompas, April 10.

Retrieved

(http://female.kompas.com/read/2015/10/04/140600020/Amerika.Serikat.Jadi.Tujuan.Ekspor

.Terbesar.Batik).

Sudarsono. 2014. “RI Harus Lakukan Industrialisasi Batik.” March. Retrieved

(http://ekbis.sindonews.com/read/841729/34/ri-harus-lakukan-industrialisasi-batik-

1394091068).

Page 47: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat

Sekitar Objek Wisata Waterland

Iwan Nurhadi1. Lutfi Amiruddin2, Genta Mahardika Rozalinna3

This article demonstrates two purposes; first, is to identify the practice of social space, as

consequence of the process of land use change, from agricultural land to Waterland

tourism area in a village in East Java, Indonesia. Second, is to analyze the contestation

between the main discourse and counter-discourse as impact of the process above. We

used the concept of Henry Lefebvre on the production of space to analyze the contestation.

Using qualitative case study method, we indicated that there is a transformation from the

production of absolute space as part of people's daily life, which was not rely on leisure

industry, into an abstract space that is legitimized through discourse for the benefit of

tourism investors. Furthermore, the contestation between discourse and counter-

discourse occurred in the process of land use change. It happened through a process of

domination of the discourse by the village elite, while counter-discourse was only rise at

lower political level. The transformation of land use, consequence to the potential of

ecological damage, especially on water, as result of excessive use of water to support

Waterland. There is also the potential for conflict since seizing scarce water resource. This

research shows that public has not readily accepted the tourism industry.

Keywords: Production of space; tourism industry; water resource

1 Iwan Nuhadi: Mahasiswa Doktoral Institute Pertanian Bogor, email: [email protected] 2 Lutfi Amiruddin: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected] 3 Genta Mahardhika Rozalinna: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected]

©Iwan Nurhadi, Lutfi Amiruddin & Genta Mahardhika Rozalinna, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.46-64.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Nurhadi, Iwan., Amiruddin, Lutfi & Rozalinna G.M.2019.” Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan

pada Masyarakat Sekitar Objek Wisata Waterland,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 46-64.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.04

Page 48: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 47

Artikel ini ditulis berdasarkan dua tujuan; pertama adalah untuk mengidentifikasi

praktik sosial sebagai bagian dari konsekuensi dari perubahan tata guna lahan, dari

pertanian menjadi lokasi wisata Waterland pada sebuah desa di Jawa Timur, Indonesia.

Kedua, untuk menganalisis kontestasi antara wacana utama dan wacana tandingan dari

dampak proses tersebut. Kami menggunakan konsep Henry Lefebvre tentang produksi

ruang untuk menganalisis kontestasi wacana. Dengan menggunakan metode kualitatif

studi kasus, kami mendiskusikan beberapa temuan. Kami menyimpulkan bahwa terdapat

transformasi ruang; berasal dari produksi ruang absolut, yang merupakan bagian dari

kehidupan sehari-hari masyarakat yang tidak bergantung pada industry pariwisata,

menjadi ruang abstrak yang dilegitimasi melalui wacana keuntungan dari pariwisata bagi

investor. Lebih jauh lagi, kontestasi antara wacana dan wacana tandingan terjadi ketika

perubahan tata guna lahan tersebut. Hal tersebut terjadi pada proses dominasi wacana

oleh elit desa, sedangkan wacana tandingan hanya muncul pada masyarakat bawah.

Perubahan tata guna lahan, berkonsekuensi pada kerusakan ekologi, terutama pada

sumber daya air karena penggunaannya yang untuk kebutuhan wisata Waterland.

Terdapat juga potensi konflik sejak adanya penggunaan air yang menyebabkan

kelangkaan sumber daya tersebut. Dalam penelitian ini menunjukkan masyarakat belum

siap menerima industry pariwisata.

Kata kunci: produksi ruang; industri pariwisata; sumber daya air.

Pendahuluan

Ditinjau dari segi kebijakan pengembangan pariwisata, dalam rentang waktu tahun 2014

dan 2015, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memiliki prioritas pengembangan wisata

yang berbeda. Salah satunya yaitu wisata berbasis pedesaan, atau dalam hal ini desa wisata.

Wisata berbasis pedesaan di Indonesia banyak terbaca menjadi konsep desa wisata yang saat ini

seolah menjadi kecenderungan pengembangan pariwisata. Desa wisata pada prinsipnya

merupakan salah satu produk wisata yang diharapkan dapat memberikan dorongan bagi

pertumbuhan ekonomi pedesaan, dengan memberdayakan sumber daya lokal, baik sumber daya

manusia maupun alam setempat. Bukan hanya itu, penyediaan fasilitas dan prasarana untuk

mendukung indsustri pariwisata lokal harus tercukupi. Dengan demikian, pelibatan masyarakat

secara penuh dan efektif sangat dibutuhkan.

Di saat yang bersamaan pengembangan pariwisata membutuhkan lahan yang memadai

guna keberlanjutannya. Lahan sebagai representasi ruang, nyatanya mempunyai matra yang

Page 49: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

48 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

bersifat heterogen dalam pengertian bahwa keberadaan lahan mengandung matra geografis,

politis, sosiologis, ekologis dan kultural. Lahan atau secara konseptual disebut ruang, seperti

ditegaskan oleh Lefebvre (2010) adalah sebuah sesuatu yang multi-layered. Satu lapisan tidak

sederhana yang hanya dapat terjelaskan dari lapisan itu sendiri. Suatu keadaan yang terhubung

satu dengan lainnya. Kondisi keterhubungan inilah yang akan menentukan mode produksi dari

suatu masyarakat. Terlepas dari aksioma yang dikemukakan Marx tentang kapitalisme, bagi

Lefebvre, ruang inilah yang dihayati sebagai pembentuk perilaku sosial manusia yang di saat

bersamaan dibentuk oleh perilaku sosial manusia.

Dalam hubungannya dengan pariwisata, pada kasus Desa X, Kabupaten Malang, Jawa

Timur ini menjadi problematis ketika tanah kas desa atau yang disebut dengan tanah bengkok

diubah sebagai lokasi pembangunan Waterland sebagai branding yang mengusung konsep desa

wisata artifisial. Kontestasi wacana muncul ketika tanah bengkok akan diubah sebagai lokasi

pembangunan tempat wisata pemandian buatan. Pemimpin desa mengupayakan kondisi

pembangunan ekonomi masyarakat dengan berencana membangun wisata tersebut yang

menurut pengakuannya secara prinsip telah disetujui oleh Bupati Malang. Dalam konteks

produksi ruang yang dikemukakan oleh Lefebvre, meninjau pada kasus ini adalah tanah

bengkok telah mengalami proses representasi ruang dan ruang representasi. Proses diskusi yang

dilakukan oleh pemimpin desa dengan masyarakat telah dilakukan namun proses tersebut

mengalami dua aras perbedaan yang berada pada sisi penerimaan serta penolakaan secara

bersamaan.

Dalam regulasi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2007 tentang Pedoman

Pengelolaan Kekayaan Desa, Pasal 1 poin 10 menyebutkan bahwa “tanah desa adalah barang

milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara”. Maka, jelas bahwa tanah bengkok

merupakan tanah kas desa dan harus diatur dengan beberapa cara yaitu tidak boleh dilepas

kepada pihak lain dan apabila dilepas harus diganti sesuai harga yang menguntungkan desa

dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Praktik pemanfaatan tanah bengkok seluas

10 ha tersebut pada dasarnya dibagi dua yaitu 6 ha diperuntukan bagi perangakat desa dan 4 ha

Page 50: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 49

bagi kepala desa. Tanah bengkok seluas 6 ha inilah yang diorientasikan bagi pengembangan

wisata Waterland.

Secara tradisional, pemanfaatan tanah bengkok seluas enam hektar ini dikelola melalui

sistem sewa. Para penyewa biasanya menggunakan tanah tersebut untuk bertani tebu. Pilihan

komoditas tebu terbaca karena letak ini berdekatan dengan Pabrik Gula. Ini berarti bila rencana

pembangunan Waterland ini terjadi maka mampu mengubah karateristik sosial masyarakat yang

tadinya bekerja sebagai buruh pabrik dan petani menjadi pelaku pariwisata. Penelitian-

penelitian tentang perubahan masyarakat petani menjadi pelaku industry pariwisata telah

banyak dilakukan. Hasil penelitian tersebut umumnya menunjukkan bahwa terdapat gegar

sosial dan gegar kultural akibat munculnya nilai-nilai baru yang dibawa dalam interaksi

wisatawan-pelaku wisata namun dalam konteks Indonesia tidak banyak penelitian ini yang

dikaji dari perspektif praktik ruang. Kajian tentang ruang umumnya berada pada paradigma

pembahasan alih fungsi lahan. Dengan demikian penelitian ini akan memperkuat lini paradigma

yang lebih memfokuskan pada praktk ruang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang

dikonstruksikan secara sosial.

Penggunaan tanah bengkok yang akan dibangun Waterland dari awal memang sudah

sangat probelematis. Adapun demikian penelitian ini mengidentifikasi mengenai produksi ruang

dari tanah bengkok yang akan dibangun menjadi Waterland di antara kontestasi wacana utama

dan wacana tandingan, antara pihak yang mendukung dan yang menolak. Bedasarkan uraian di

atas, kami akan mengulas bagaimana praktik ruang sosial yang terjadi di desa tersebut, dan

bagaimana kontestasi wacana utama dan tandingan yang terjadi dalam proses penggunaan tanah

bengkok menjadi Waterland.

Tinjauan Teoritis

Produksi Ruang dan Realitas Masyarakat Lokal

Dengan menggunakan pandangan dari Lefebvre (1991), penelitian ini akan

mengidentifkasi secara mandalam perubahan pengetahuan mengenai ruang hidup warga

masyarakat Desa X, Kabupaten Malang. Sebagai bentuk dari kebudayaan, pengetahuan

memegang peranan yang penting karena saling terkait dengan realitas ruang. Penelitian juga

Page 51: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

50 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

membahas bagaimana perbandungan antara pandangan dan pengetahuan antara warga lokal

dengan para perencana dan pemegang kekuasaan. Dengan tujuan tersebut, kami hendak

mendialogkan agumentasi produksi ruang oleh terhadap kasus terkait.

Menurut Lefebvre, ruang memiliki sifat sosial karena merupakan produk sosial. Untuk

memahami ruang sebagai produk sosial, pertama-tama penting bagi kita untuk ke luar dari

kebiasaan dan pemahaman lama dalam memahami ruang sebagaiman dibayangkan sebagai

semacam realitas material yang independen atau pemahaman ruang sebagai swadiri (space in

itself). Bertentangan dengan pandangan ruang sebagai swadiri, Lefevbre menggunakan konsep

production of space (produksi ruang), yang berisi pemahaman ruang yang secara fundamental

terikat pada realitas sosial. Baginya pemahaman ruang sebagai in itself, tidak akan pernah

menemukan titik mula epistemologis yang memadai. Ia menegaskan bahwa ruang tidak pernah

ada “sebagaimana dirinya”, ia diproduksi secara sosial (Lefebvre, 1991). Sebelum menjelaskan

bagaimana ruang menjadi ruang sosial. Lefebvre membagi dua jenis ruang yakni: ruang mutlak

dan ruang abstrak (Lefebvre, 1991).

Ruang mutlak didirikan atas unsur atau fragmen alamiah,

[…] but [the sites’] very consecration ended up by stripping them of their natural characteristics

and uniqueness… religious and political in character, was a product of the bonds of sanguinity,

soil and language, but out of it evolved a space which was relativized and historical.

Sedangkan ruang abstrak adalah,

[…] the forces of history smashed naturalness forever and upon its ruins established the space of

accumulation (the accumulation of all wealth and resources: knowledge, technology, money,

precious objects, works of art and symbols).

Asumsi dasar teori produksi ruang adalah bahwa “ruang sosial adalah produk sosial” (Lefebvre,

1991: 27). Maka ruang yang dimaksudkannya tidak hanya bersifat fisik saja. Dia memiliki sifat

sosial. Yang membentuk sifat sosial itu adalah interaksi di antara manusia. Sebaliknya pula,

ruang dapat menciptakan interaksi sosial.

Dalam membangun teorinya, Lefebvre melakukan kritik atas pandangan Marx dan

Engels mengenai moda produksi kapitalisme. Bagi Marx dan Engels, terdapat kekuatan-keuatan

yang menggerakkan produksi, antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, teknologi dan

Page 52: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 51

pengetahuan (Lefebvre, 1991: 69). Namun, baginya semua faktor produksi di atas tidak dapat

dimanfaatkan manakala tidak berada dalam ‘space’. Segala sesuatu yang ada dalam ruang

bertemu untuk diproduksi, baik oleh masyarakat, maupun secara alamiah (1991: 101). Maka,

dalam hal ini, ruang menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Terdapat tiga konsep dasar Lefebvre, antara lain; spatial space (ruang spasial),

representations of space (representasi ruang), representational space (ruang representasional) (1991:

38-39). Ruang spasial merujuk pada Interaksi sosial di ruang tertentu yang kemudian membentuk

karakter sosial tertentu pula. Praktik sosial suatu masyarakat dapat mengungkapkan ruang

mereka yang sebenarnya (Lefebvre, 1991: 38). Sedangkan merujuk pada ruang yang telah

terkonseptualisasikan, yang dirumuskan oleh para ahli, seperti perencana kota, insinyur,

teknokrat (Lefebvre, 1991: 38). Sementara ruang representasional adalah ruang yang “ditempati”

oleh para warga lokal, para inhabitants. Dia dibentuk oleh pengetahuan sehari-hari orang-orang

yang menempatinya (Lefebvre, 1991: 39). Dengan dasar ketiga dimensi produksi sosial itu,

Lefebvre merumuskan tiga karakter dari ruang sebagai produk sosial: 1) perceived space: setiap

ruang memiliki aspek perseptif dalam arti ia bisa diakses oleh panca indera sehingga

memungkinkan terjadinya praktik sosial. Ini yang merupakan elemen material yang

mengjonstitusi ruang; 2) conceived space: ruang tidak dapat dipersepsi tanpa dipahami atau

diterima dalam pikiran. Pemahaman mengenai ruang selalu juga merupakan produksi

pengetahuan; dan 3) lived space: dimensi ketiga dari produksi ruang adalah pengelaman

kehidupan. Dimensi ini merujuk pada dunia sebagaimana dialami oleh manusia dalam praktik

kehidupan sehari-hari. Kehidupan dan pengalaman manusia menurutnya tidak dapat

sepenuhnya dijelaskan oleh analisa teoritis. Senantiasa terdapat surplus, sisa atau residu yang

lolos dari bahasa atau konsep, dan seringkali hanya dapat diekspresikan melalui bentuk-bentuk

artistik.

Ketiga elemen ini, menurut Lefebvre mendasari seluruh pemaknaan kita mengenai

masyarakat dan perkembangannya. Sejarah bagi Lefebvre merupakan sejarah ruang, yakni

dialektika antara praktik ruang dan persepsi ruang (le perçu), representasi ruang atau

konseptualisasi ruang (le conçu) dan dimensi-dimensi residual yang tumbuh dalam pengalaman

Page 53: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

52 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

kehidupan dan tidak dapat dikerangkakan oleh konsep mengenai ruang itu (le vécu). Lefebvre

mendasarkan diri pada dua tradisi filsafat sekaligus yakni materialisme dan idealisme. Melalui

konsep-konsep di atas dapat diidentifkasi bagaimana pembentukan pengetahuan dan wacana

masyarakat lokal dengan adanya rencana pembangunan tempat wisata di desanya. Namun

demikian, dapat dilihat pula bahwa pengetahuan warga lokal ini tidak tunggal. Dia berhadap-

hadapan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh para perencana, pemegang kekuasaan, baik

desa maupun level yang lebih tinggi. Di antara keduanya memiliki pengetahuan berbeda dengan

atas ruang yang ada. Maka produksi atas ruang menjadi sangat politis, bergantung pada tiap

kepentingan pihak yang memanfaatkannya, baik masyarakat lokal, maupun para ilmuwan,

perencana, maupun pemegang kekuasaan.

Metode Penelitian

Pertimbangan penting atas pemilihan metode studi kasus terletak pada kebaruan gejala

yang diangkat dalam rumusan masalah tentang praktik spasial yang dilakukan berbagai aktor.

Studi kasus dalam konteks penelitian ini memiliki kekuatan untuk dijadikan sebagai pendekatan

yang mampu mendeskripsikan situasi sosial apa yang terjadi pada aktor-aktor yang terlibat pada

setting munculnya wacana pembangunan wisata waterland sebagai praktk spasial yang berasal

dari perubahan tata guna lahan pertanian, menjadi lokasi industri pariwisata taman air, yang

pada gilirannya berkonsekuensi pada peruabahan praktik spasial masyarakat desa. Studi kasus

dinilai oleh peneliti mempunyai kekuatan untuk mendapatkan tingkat keterangan yang luas

sesuai dengan harapan peneliti.

Penilaian tersebut didasari oleh kekuatan metode studi kasus seperti dinyatakan Yin

(1994) bahwa studi kasus mampu mendemonstrasikan perspektif yang dibangun peneliti

melalui: 1) pertanyaan penelitian 2) proposisi 3) satuan analisis 4) keterkaitan data terkait dengan

proposisi 5) tafsir atas temuan. Merujuk pendapat dari Stake (1995), penelitian ini menggunakan

jenis studi kasus intrinsik guna mendapatkan pemahaman mendalaman atas suatu peristiwa

yang diperkuat oleh pendapat Guba dan Lincoln (1981) yang menggambarkan jenis studi kasus

faktual. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yang maka peneliti berharap mampu menghasilkan

suatu produk penelitian untuk menggambarkan praktik ruang sebagai hasil dari kontestasi

Page 54: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 53

wacana pengembangan pariwisata Waterland serta perubahan ekologis sebagai bagian dari

ikhtiar memahami prakti spasial.

Sebagai narasumber penelitian, dipilihlah beberapa informan penelitian. Kriteria utama

penetapan informan bertujuan untuk menetapkan pelaku-pelaku peristiwa berubahnya praktik

spasial masyarakat yang berawal dari sebuah relasi sosial antar pelaku. Informan kunci

ditetapkan individu yang mempunyai pengetahuan umum tentang kondisi perubahan yang

terjadi pada lingkungan dan masyarakat. Informan utama ditetapkan berdasarkan kriteria bahwa

informan adalah pelaku yang berasal dari masyarakat sekitar maupun masyarakat yang pernah

melakukan penyewaan di tanah bengkok, dan para elit desa. Informan lain juga berasal dari

masyarakat umum yang mengetahui industri wisata di desanya.

Diskusi dan Pembahasan

Analisis data terkait dinamika pembangunan pariwisata di Desa X, utamanya dilihat dari

wacana pembangunan Waterland oleh elit pemerintahan desa dalam mengubah fungsi tanah

bengkok. Pembangunan yang merubah fungsi ekologis tanah, air dan tentu saja akan mengubah

tatanan sosial masyarakat.

Pewacanaan Waterland dan Potensi Pergeseran Struktur Ekonomi: Dari Petani Tebu menjadi

Penyedian Jasa Layanan Pariwisata

Secara konseptual, masalah yang tidak dapat dihindarkan dari berkembangnya suatu

wilayah menjadi destinasi wisata yaitu alih fungsi lahan. Sesuai dengan sifat asalinya, destinasi

pariwisata buatan umumnya membutuhkan infrastruktur yang memadai. Pada saat

infrastruktur pariwisata air ini mulai dikerjakan maka bersamaan dengan itu pula ruang

termaknai sebagai produk sosial. Wacana yang dikembangkan Kepala Desa X tentang

pembangunan Waterland berangkat dari sebuah pseudo-science yang berkesimpulan bahwa

masyarakat desa yang terpolarisasi dalam sektor pekerjaan pertanian dan buruh mengalami

stagnasi.

Wacana selalu beredar dalam konstruksi pengetahuan. Wacana juga menjadi semacam

alat untuk memposisikan posisi politis sesorang. Ketika sesorang melakukan posisioning maka

Page 55: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

54 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

dirinya harus membuat agar wacana tersebut dapat diterima oleh common sense. Ihwal wacana

pembangunan Waterland yang dikemukakan oleh Kades X diperkuat oleh sebuah argumentasi

misalnya dia mencontohkan tentang pertanian tebu yang tidak membawa kesejahteraan bagi

masyarakat.

Pernyataan kepala desa ini sebetulnya bukan versi baru dari upaya mendamaikan sektor

pertanian dan pariwisata yang berkecenderungan saling menyalahkan. Secara konseptual,

pengembangan desa wisata dapat dianggap sebagai upaya memadukan sektor pertanian sebagai

basis ekonomi masyarakat dengan sektor pariwisata. Dalam konstruksi berpikir birokrat seperti

kades ini industry pariwisata yang dicanangkannya dapat menjadi solusi yang sangat efektif

untuk mengatasi masalah ketimpangan ekonomi. Namun sepertinya beliau tidak memahami

bahwa dengan pengembangan pariwisata seperti yang diwacanakannya akan memberikan

dampak lain yang seharusnya terpikirkan.

Sifat enclave tourism sering diasosiasikan bahwa sebuah destinasi wisata dianggap hanya

sebagai tempat persinggahan. Posisi Desa X yang menjadi jalur utama pariwisata pantai di

daerah Malang bagian selatan hanya memungkinkan posisi Desa X dengan Waterland sebagai

tempat singgah pada sebuah destinasi tanpa melewatkan malam atau menginap di fasilitas

akomodasi yang tersedia. Sebagai akibatnya dalam kedatangan wisatawan, keberadaan

Waterland manfaatnya dianggap sangat rendah atau bahkan tidak memberikan manfaat secara

ekonomi bagi masyarakat di sebuah destinasi yang dikunjunginya.

Kenyataan lain yang menyebabkan enclave adalah kedatangan wisatawan yang

melakukan perjalan wisata yang dikelola oleh biro perjalanan yang bukan berasal dari

masyarakat itu sendiri. Sebagai contohnya, mereka menggunakan transportasi mereka

sendiri, kemudian mereka menginap di sebuah hotel yang di miliki oleh management chain dari

mereka sendiri, berwisata dengan armada dari perusahaan milik pengusaha mereka sendiri, dan

dipramuwisatakan oleh pramuwisata dari sendiri, dan sebagai akibatnya masyarakat lokal tidak

memperoleh manfaat ekonomi secara optimal.

Peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa dari wisatawan akan menyebabkan

meningkatnya harga secara beruntun “inflasi” yang pastinya akan berdampak negative bagi

Page 56: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 55

masyarakat lokal yang dalam kenyataannya tidak mengalami peningkatan pendapatan secara

proporsional artinya jika pendapatan masyarakat lokal meningkat namun tidak sebanding

dengan peningkatan harga-harga akan menyebabkan daya beli masyarakat lokal menjadi

rendah. Pembangunan pariwisata juga berhubungan dengan meningkatnya harga sewa rumah,

harga tanah, dan harga-harga property lainnya sehingga sangat dimungkinkan masyarakat lokal

tidak mampu membeli dan cenderung akan tergusur ke daerah pinggiran yang harganya masih

dapat dijangkau. Sebagai konsukuensi logis, pembangunan pariwisata juga berdampak pada

meningkatnya harga-harga barang konsumtif, biaya pendidikan, dan harga-harga kebutuhan

pokok lainnya sehingga pemenuhan akan kebutuhan pokok justru akan menjadi sulit bagi

penduduk lokal. Hal ini juga sering dilupakan dalam setiap pengukuran manfaat pariwisata

terhadap perekonomian pada sebuah masyarakat.

Produksi wacana ini telah muncul sebagai suatu praktik yang pada gilirannya akan

memasuki medan kontestasi yang centang perenang, heterogen dan dengan dinamikanya

masing-masing. Pada aras perangkat desa, sepertinya telah terjalin suatu pemahaman bersama

antara Kepala Desa dengan perangkat. Hemat peneliti, adanya keterjalinan antara perangkat

desa yang tanah bengkoknya akan dijadikan sebagai Waterland muncul dari pemahaman bahwa

sektor pertanian sudah tidak lagi memberikan kesejahteraan bagi elit desa ini. Maka, industri

pariwisata pada gilirannya seolah menjadi primadona utama dalam menopang perekonomian

desa.

Pada aras yang lebih luas, jika ada sebuah negara yang hanya menggantungkan

perekonomiannya pada salah satu sektor tertentu seperti pariwisata misalnya, akan menjadikan

sebuah negara menjadi tergantung pada sektor pariwisata sebagai akibatnya ketahanan ekonomi

menjadi sangat beresiko tinggi. Di beberapa negara, khususnya negara berkembang yang

memiliki sumberdaya yang terbatas memang sudah sepantasnya mengembangkan pariwisata

yang dianggap tidak memerlukan sumberdaya yang besar namun pada negara yang memiliki

sumberdaya yang beranekaragam harusnya dapat juga mengembangkan sektor lainnya secara

proporsional. Ketika sektor pariwisata dianggap sebagai anak emas, dan sektor lainnya dianggap

sebagai anak tiri, maka menurut Archer dan Cooper (1994), penelusuran tentang manfaat dan

Page 57: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

56 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

dampak pariwisata terhadap ekonomi harusnya menyertakan variabel sosial yang belum

dipikirkan sebelumnya. Ketergantungan pada sebuah sektor, dan ketergantungan pada

kedatangan orang asing dapat diasosiasikan hilangnya sebuah kemerdekaan sosial dan pada

tingkat nasional, sangat dimungkinkan sebuah negara kehilangan kemandirian dan sangat

tergantung pada sektor pariwisata.

Sumber Daya Air: Dari Pemuas Kebutuhan Primer yang Langka, Menjadi Pemuas

Kebutuhan Bersenang-Senang

Perubahan ekologis berupa perubahan tata guna lahan yang awalnya tanah kas desa yang

diperuntukkan untuk sektor pertanian, menjadi lokasi wisata, merupakan pemicunya.

Perubahan ekologi inilah yang kemudian yang dapat memicu mobilitas sosial. Mobilitas yang

dimaksud dapat dilihat dari dua sisi; dari pihak host (warga setempat), maupun dari guest

(pengunjung). Dari sisi warga setempat, mobilitas dalam bidang pekerjaan dapat terjadi akibat

terbukanya peluang pekerjaan baru seperti sektor jasa parkir, warung makan, maupun penjaga

pintu masuk lokasi wisata. Sebaliknya, pertanian menjadi tidak lagi diperhartikan oleh warga.

Demikian pula dengan mobilitas dari pengunjung yang datang ke lokasi wisata, berpengaruh

dalam kehidupan sosial. Hal-hal tersebut pada akhirnya dapat mengubah bagaimana relasi

antara warga setempat dengan lingkungan fisiknya. Tanah tak lagi merupakan sumber

penghidupan agraris, melainkan penghasil nafkah melalui pariwisata. Dari situasi ini,

mempengaruhi pula bagaimana perubahan praktik ruang masyarakat setempat, dengan melihat

relasi-relasi antara aktor dengan sumberdaya alam.

Sebagai perbandingan, Pitana dan Gayatri misalnya menunjukkan bahwa pariwisata

mampu memicu mobilitas sosial. Pariwisata mampu memicu mobilitas vertikal dengan

penciptaan pekerjaan bagi masyarakat (2005: 134). Dengan mengutip Mantra (dalam Pitana dan

Gayatri, 2005: 135) juga menunjukkan bahwa pariwisata mengubah struktur ekonomi, pada

akhirnya mengaburkan sistem kasta di Bali. Namun pembahasan komperhensif Pitana dan

Gayatri tidak menyimpulkan bahwa mobilitas tersebut dipicu oleh perubahan ekologis, akibat

pembangunan sektor pariwisata. Temuannya pun belum menyasar perubahan relasi antara

masyarakat dengan sumberdaya alam. Artinya perubahan ekologis sebagai dampak pariwisata,

Page 58: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 57

yang pada akhirnya mengubah pola relasi masyarakat dengan lingkungan fisik, masih luput dari

pandangannya.

Mengenai hal tersebut, Aditjondro telah menjelaskan mengenai “konversi lahan

pertanian dan perairan yang subur menjadi lokasi wisata berikut dengan infrastruktur

pendukungnya, mampu menghambat produktivitas agrikultur” (Aditjondro, 2003: 392).

Demikian pula temuan Kotios, dkk (2008: 86), mengatakan bahwa pembangunan pariwisata

bahkan dapat memunculkan risiko lingkungan. Risiko yang muncul antara lain pembangunan

infrastruktur pendukung pariwisata seperti jalan, tempat parkir, dan sebagainya dapat

mengurangi luasan lahan. Demikian juga dengan proses pembangunan yang membutuhkan

bahan baku dari wilayah sekitar, ternyata mampu menciptakan risiko bagi lingkungan sekitar.

Sedangkan meningkatnya jumlah pengunjung, mampu meningkatkan kebutuhan atas air bersih.

Sedangkan Harrison dan Maharaj (2013: 38) menunjukkan bahwa karena kemunculan pariwisata

dengan infrastrukutrnya di wilayah agrikultur di delta Sungai Okavango, Botswana, Afrika,

berdampak pada kehidupan pertanian pedesaan berupa perubahan pola konsumsi, kemunculan

konflik di antara warga, merusak kehidupan liar, dan pengurangan akses atas sumber daya alam.

Penjelasan-penjelasan di atas, semakin menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata tak

hanya mengubah kondisi ekologis, pada gilirannya mengubah pula pola relasi manusia dengan

lingkungan fisik.

Selain perubahan tata guna lahan, keberadaan Waterland mempengaruhi bagaimana

masyarakat berrelasi dengan lingkungan fisiknya. Sumber daya berupa air, yang pada awalnya

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, hingga menunjang

produksi pertanian, kemudian harus diubah fungsinya untuk menunjang pariwisata. Karena

merupakan wisata buatan yang berbasis kolam renang, maka dapat dipastikan, konsumsi air

meningkat. Ketika di lapangan, didapatkan keterangan bahwa cara mendapatkan air untuk

tempat wisata, memanfaatkan. Proses perencanaan seakan-akan menafikkan bahwa Desa X

sering mengalami kekeringan. Maka, warga setempat harus berbagi dengan aktor industri

pariwisata dengan atraksi utama berasal dari air.

Page 59: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

58 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

Mengenai hubungan antara industri pariwisata dengan sumber daya air, memiliki kaitan

yang erat. Dalam pariwisata, air tak hanya dikonsumsi, melainkan juga dijadikan basis atraksi.

Pemanfaatan air ini bukan tanpa masalah, seperti berkurangnya kuantitas air saat musim

kemarau, maupun turunnya kualitas air saat tertentu. Di masa puncak kunjungan wisata, justru

terjadi konflik dalam pemanfaatan air, untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dengan

agrikultur, atau dengan kebutuhan rumah tangga. Apalagi jika fasilitas pariwisata lebih

diutamakan dari pada kebutuhan pertanian dan rumah tangga (Eurostat European Commision,

2009: 9). Sedangkan Waterland di Desa X merupakan model objek wisata masal-buatan berbasis

atraksi air. Ada kemungkinan yang sangat terbuka perihal penggunaan air. Pertama, belum

semua warga dapat mengakses fasilitas PDAM. Mayoritas warga hanya memanfaatkan air tanah.

Meskipun telah dibangun sebuah tandon air sebagai penyimpan air sementara yang dibangun

kepala desa, namun hanya dapat memfasilitasi beberapa rumah saja. Artinya, mau tak mau

kebutuhan air untuk rumah tangga harus berhadap-hadapan dengan kebutuhan wisata. Belum

lagi masalah kekeringan yang sering terjadi di desa ini. Kedua, meskipun tanah bengkok

dimanfaatkan sebagai lokasi wisata, namun masih banyak pula lahan persawahan. Kebanyakan

petani memanfaatkan air tanah untuk mengairi sawah. Maka, dapat disimpulkan pula,

kebutuhan air dalam bidang pertanian juga harus berhadap-hadapan dengan kebutuhan wisata.

Hal tersebut menujukkan terjadi pergeseran wacana tentang fungsi air, yang awalnya

digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjadi pariwisata. Air merupakan

bagian dari kebutuhan dasar tubuh manusia, seperti minum, bergeser menjadi bagian dari

praktik kapitalistik berupa pariwisata. Demikian pula praktik sehari-hari, seperti dalam hal

mandi. Dalam kehidupan masyarakat, mandi didefinisikan sebagai upaya membersihkan badan,

yang berfungsi dalam menjaga kesehatan masyarakat. Hadirnya lokasi wisata membuat mandi

tak hanya masalah kesehatan tubuh, melainkan aktivitas menghabiskan waktu luang.

Permasalahannya adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja sudah terbatas, bahkan

sering kekeringan, lalu bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan wisata, yang bukan

merupakan kebutuhan primer?

Page 60: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 59

Jika diringkas, terdapat dua lapis kontestasi wacana mengenai pembangunan Waterland

di desa ini. Pertama, kontestasi wacana antara mobilitas sosial melalui tawaran lapangan

pekerjaan sektor pariwisata, dengan munculnya risiko ekologis berupa berkurangnya sumber

daya alam. Yang artinya, pariwisata mampu meningkatkan ekonomi di satu sisi, namun

menciptakan risiko di sisi yang lain. Pada lapis kedua, terjadi pertentangan wacana antara

pemanfaatan air sebagai sumber daya pemenuh kebutuhan primer manusia, berhadapan dengan

wacana air merupakan sarana pemuas kebutuhan bersenang-senang (leisure needs) dalam

industri pariwisata. Kedua lapis kontestasi wacana ini mencerminkan bagaimana perubahan

relasi manusia dengan sumberdaya alam sebagai dampak industri pariwisata.

Kontestasi atas wacana sumber daya tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Mereka

lahir dari proses produksi ruang. Jika dianalisis dengan menggunakan perspektif Lefebvre

(1991), muara permasalahan berasal dari masalah produksi ruang. Dalam menganalisis

perubahan praktik ruang sosial, kata Lefebvre (1991: 33), terdapat perbedaan mendasar

mengenai wacana dalam konsep paktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasional.

Dalam konsep praktik spasial terdapat interaksi antara aktor. Interaksi sosial di Lokasi tertentu

yang kemudian membentuk karakter sosial tertentu (Lefebvre, 1991: 38). Dalam konteks

penilitian menunjukkan bagaimana para aktor berinteraksi sati sama lain, antara warga,

perangkat desa, dan pemilik objek wisata.

Dalam representasi ruang, bentangan ruang didefinisikan oleh para perencana dan

teknokrat (Lefebvre, 1991: 38). Yang mampu mendefinisikan representasi ruang dalam konteks

penelitian ini adalah pihak-pihak yang berkuasa yaitu para perencana pariwisata Waterland;

kepala desa dan aparatnya, merencanakan untuk membangun objek wisata di lahan tanah milik

desa. Wacana ini merupakan ambisi besar meskipun sebenarnya masih belum terlalu jelas siapa

yang akan menjadi konsumennya. Karena masih belum mengetahui guest, pihak desa juga

berencana untuk “menciptakan pasar”. Mereka yang pergi berwisata ke arah pantai di wilayah

selatan Kabupaten Malang, dipaksa untuk datang ke objek wisata Waterland, dikemas dalam satu

paket wisata. Sebelumnya, kepala desa beserta perangkatnya, mulai mencari dukungan mulai

dari pejabat Kecamatan Bululawang hingga Bupati Malang mengenai masalah legalitas, hingga

Page 61: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

60 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

perihal teknis ke pihak kontraktor. Jejaring ini kemudian menciptakan apa yang dikatakan

Lefebvre sebagai “order“ (keteraturan), dan pengetahuan (1991: 33). Dalam hal ini, keteraturan

merupakan tatanan sistem produksi kapitalisme pariwisata, yang menggantikan sistem ekonomi

agraris. Demikian pula dengan pengetahuan, industri pariwisata dianggap sebagai tatanan baru

yang membawa pengetahuan baru berupa munculnya peluang usaha ekonomi baru dan

pembentukan guest baru.

Sedangkan ruang representasional bagi Lefebvre (1991: 38) dianggap sebagai ruang yang

didefinisikan oleh warga setempat, yang telah lama berkehidupan dalam ruang itu. Dalam

penelitian, ruang representasional berhubungan dengan bagaimana keluarga-keluarga

pemanfaat air di desa ini, berusaha memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari, meskipun

harus berhadap-hadapan dengan industri wisata. Bagi masyarakat, ruang tinggal mereka

berhimpitan dengan usaha agrikultur, bukan industri wisata yang rakus air. Ruang tinggal

mereka diimajinasikan sebagai bentangan yang mampu memenuhi kebutuhan sumber daya

alam, di antaranya air.

Namun demikian, pertarungan wacana ruang ini mengantarkan pada titik bahwa sumber

daya yang ada di dalam ruang yang biasa dipakai untuk memenuhi kebutuhan primer, berupa

pemenuhan konsumsi keluarga dan produksi agrikultur, harus berhadapan dengan kepentingan

lain. Sektor industri pariwisatalah yang kemudian mengambil alih sumber daya yang berada

dalam ruang itu. Industri pariwisatalah yang akan menyulap sumber daya alam tersebut sebagai

sarana pemenuhan kebutuhan primer, menjadi leisure needs.

Paradox Pengelolaan Potensi Sumberdaya dan Industri Pariwisata

Sebagai bagian dari sejarah panjang dinamika pertanian di Indonesia, usaha penanaman

tebu mengalami pasang surut. Sejak diperkenalkan di Nusantara pertama kali pada 1830 di

Pasuruan melalui tanam paksa, beriringan dengan dibangunnya industrialisasi, seperti sistem

transportasi, pabrik, dan tenaga kerja, komoditas ekspor ini sempat melejit (van Neil, 2003: 34-

35). Geertz (1983) pun mengakuinya, bahwa komoditas tebu yang mampu membawa perubahan

sosial di Jawa. Meskipun kemudian penanaman komoditas ini malah menciptakan kemiskinan

terbagi (shared poverty) di desa-desa di Jawa. Penanaman komoditas tebu nyatanya justru

Page 62: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 61

merusak sistem ekonomi yang telah lama dijalankan petani, yakni sistem ekonomi subsistensi.

Merekapun harus bergantung pada mekanisme pasar.

Tak dapat dipungkiri sejak tahun 70-an, industri gula nasional mengalami kelesuan,

dengan penurunan volume produktivitas hingga setengahnya, bila dibandingkan dengan

dekade sebelumnya (Wibowo dalam Hairani, dkk, 2014). Namun dalam perkembangannya,

komoditas tebu masih menjadi pilihan petani hingga dewasa ini. Meskipun, menurut argumen

Hairani, dkk. (2014: 77) menujukkan bahwa sejak 2005, kebutuhan gula meningkat, namun tidak

diimbangi dengan volume produksi nasional. Untuk menutupi kebutuhan gula nasinal,

kebijakan impor menjadi pilihan. Kondisi ini kemudian menjadi alasan pembenar bagi Kepala

Desa dan perangkat Desa X untuk memanfaatkan tanah bengkok untuk didirikan lokasi wisata.

Mereka beranggapan, dengan bercocok tanam tak dapat mendatangkan keuntungan. Seakan-

akan melanjutkan tesis Geertz tentang kemiskinan terbagi, di sektor pertanian justru membuat

petani jauh dari kesejahteraan.

Maka, dengan inisiatif kepala desa, direcanakanlah pembangunan objek wisata Waterland

di atas tanah bengkok desa. Tujuannya adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui

penciptaan lapangan kerja baru, sebagai dampak dari industri pariwisata. Akan tetapi jika ditilik

dari segi ekologis, justru pembangunan objek wisata ini dapat melahirkan risiko, salah satunya

permasalahan sumber daya lahan dan air. Inilah sebenarnya fase ketika penetrasi industri

pariwisata mengancam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat desa.

Pembangunan objek wisata di wilayah pedesaan ini merupakan bagian kecil dari proses

land grabbing (pengambilalihan tanah). Proses ini tak hanya berkonotasi illegal, melainkan bisa

pula dengan prosedur legal (Savitri, 2011: 14). Dengan logika dan pengetahuan pariwisatanya,

elit pemerintah di level desa seolah-olah memiliki kuasa menyulap wilayah yang sering

mengalami kekurangan air bagi warga, menjadi lokasi wisata taman air. Dengan ijin legal dari

otoritas setempat, maka rencana ini dijalankan.

Sebagai bagian dari aktivitas bersenang-senang (leisure activity), pariwisata memiliki

logika yang bebeda dengan logika keseharian masyarakat desa. Terkait dengan masalah air

misalnya, wisata yang memiliki atraksi utama berupa air, menempatkan sumber daya ini sebagai

Page 63: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

62 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

suguhan utama. Artinya air merupakan sarana pemuas kebutuhan bersenang-senang. Hal ini

berbeda dengan logika sehari-hari, yang menyatakan bahwa air merupakan sarana pemuas

kebutuhan primer. Dalam kasus yang kami teliti ini, praktik penguasaan ruang pada akhirnya

berujung pada penguasaan sumber daya demi kepentingan industri. Di satu sisi, yang

ditawarkan oleh pariwisata Waterland merupakan bentuk kesenangan yang terbagi (shared

leissure), namun di sisi lain juga terjadi proses berbagi keterbatasan (shared scarcity) sumber daya

air. Penetrasi pasar melalui industri pariwisatalah yang mengambil alih sarana pemuas

kebutuhan primer warga. Meskipun dikatakan pariwisata mampu menciptakan lapangan

pekerjaan, namun sangat terbuka pula terjadi risiko kekeringan di wilayah ini. Kekeringan

bukanlah sesuatu yang sifatnya alamiah, melainkan karena sebuah proses sosial manusia (Shiva,

2002:11).

Kesimpulan

Praktik ruang sosial yang terjadi di Desa X hanya merupakan kasus yang menunjukkan

bahwa terjadi perubahan pemanfaatan ruang dari pertanian ke pembangunan Waterland. Secara

teoritik situasi ini menunjukkan adanya perubahan dari produksi ruang mutlak yang menjadi

bagian kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi ruang abstrak yang dilegitimasi melalui

wacana bagi kepentingan pemodal. Kontestasi wacana utama dan tandingan yang terjadi dalam

proses penggunaan tanah bengkok terjadi melalui proses dominasi wacana oleh elit pemerintahan.

Sementara itu, wacana tandingan hanya bekerja pada aras masyarakat bawah yang tidak

terorganisir sehingga tidak memiliki posisi tawar apapun. Pembangunan industri wisata juga

menimbulkan potensi kerusakan ekologis terutama pada sumber daya air sebagai akibat dari

digunakannya secara berlebihan air untuk penunjang Waterland. Demikian pula dengan

munculnya potensi konflik sosial diakibatkan oleh kelangkaan ekologis, terjadi karena perbutan

sumber daya air yang langka. Kesemuanya itu menujukkan bahwa industri pariwisata yang

belum siap diterima oleh masyarakat.

Kondisi serupa dimungkinkan terjadi di lokasi-lokasi lain di Indonesia, seiring gencarnya

pembangunan industri pariwisata di level desa. Munculnya industri pariwisata yang kapitalistik,

secara ekonomi memang menciptakan peluang-peluang baru, namun secara sosial dan ekologis

Page 64: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Produksi Ruang dan Perubahan Pengetahuan pada Masyarakat 63

justru mengubah tatanan pedesaan yang telah lama mapan. Demkian pula perubahan

pemanfaatan ruang guna mendukung pariwisata, juga mampu menciptakan perebutan sumber

daya oleh para aktor pedesaan. Maka penelitian lanjutan bertemakan dinamika industri

pariwisata di wilayah pedesaan masih tetap dibutuhkan dalam rangka membaca perubaahan

sosio-ekologis masyarakat bersamaan dengan tekanan kapitalisme pariwisata yang semakin

gencar.

Daftar Pustaka

Aditjondro, G. J. (2003). Korban-Korban Pembangunan, Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan

Lingkungan di Tanah Air. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Archer, B. and Cooper, C. (1994) “The Positive and Negative Impacts of Tourism”. Pp. 73-91 in

W.F. Theobald (ed.) Global Tourism: The Next Decade. Butterworth-Heinemann, Oxford

Eurostat European Commision. (2009). “MEDSTAT II: ‘Water and Tourism’ pilot study”. Eurostat

Methodologies and Working Paper 2009 edition. Euromed Partnership.

Hairani, R. I., dkk. (2014). “Analisis Trend Produksi dan Impor Gula Serta Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Impor Gula Indonesia.” Berkala Ilmiah PERTANIAN. Volume 1, Nomor 4,

Mei 2014, hlm 77-85.

Harrison, P. dan B. Maharaj. (2013). “Tourism Impacts on Subsistence Agriculture: A Case Study

of the Okavango Delta, Botswana.” Journal Human Ecology, 43(1): 29-39 (2013).

Geertz, C. (1983). Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bharata Karya.

Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1981). Effective evaluation. San Francisco, CA: Jossey-Bass

Publishers.

Kotios, A. dkk. (2008). “The Impact of Tourism on Water Demand and Wetlands: Searching for a

Sustainable Coexistence.” Discussion Paper Series, 15(4): 71-88. Department of Planning

and Regional Development, School of Engineering, University of Thessaly. Available at

http://www.prd.uth.gr/research/DP/2009/uth-prd-dp-2009-4_en.pdf.

Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Donald Nicholson-Smith (Trans.). Victoria: Blackwell.

Pitana, I G. dan P. G. Gayatri. (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Savitri, L. A. (2011). “Politik Ruang dan Pengusaan Tanah untuk Pangan”. Dalam Jurnal Wacana

Penataan Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya, Edisi 26 Tahun XIII 2011. Sleman: Insist Press.

Shiva, V. (2002). Water Wars, Privatisasi, Profit, dan Polusi. Yogyakarta: Insist Press dan Walhi.

Stake, R. E. (1995). The art of case study research. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Page 65: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

64 Nurhadi, Amiruddin & Rozalinna

van Neil, R. (2003). Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES.

Yin, R. K. (1994). Case study research: Design and methods (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage

Publications.Salim, Emil. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Kompas.

Peraturan:

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan

Desa

Page 66: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon

Amin Mudzakkir1

Tulisan ini mengkaji tentang massa dan kepemimpinan berdasarkan teks The Crowd karya

Gustave Le Bon. Dengan pembacaan kritis terhadap teks Le Bon ini terlihat dua

kemungkinan sudut pandang lain dalam memahami hubungan antara massa dan

kepemimpinan. Kemungkinan pertama adalah massa merupakan refleksi dari

kebudayaan tertentu, hasil dari sebuah proses historis tertentu, sehingga pemimpin yang

muncul dalam kerumunan tersebut tetap terikat dengan sistem atau nilai yang dominan,

setidaknya mereka harus menyesuaikan diri dengan tradisi sejauh itu hidup di kalangan

pengikutnya. Kemungkinan kedua berkait dengan aspek radikal yang melekat pada

massa, termasuk para pemimpinnya. Bagi kita di Indonesia, karya Le Bon ini relevan

untuk memahami praktik kontemporer ketika aksi-aksi massa mewarnai dinamika

masyarakat terkini.

Kata Kunci: massa, kepemimpinan, The Crowd, Gustave Le Bon, Indonesia

This paper examines mass and leadership based on the text of The Crowd by Gustave Le Bon. With

this critical reading of Le Bon's text, there are two other possible perspectives in understanding the

relationship between mass and leadership. The first possibility is that mass is a reflection of a

particular culture, the result of a particular historical process, so that leaders appearing in the

crowd are still bound by a dominant system or value, at least they must adjust to the tradition to

the extent that they live among their followers. The second possibility relates to the radical aspects

inherent in the masses, including the leaders. For us in Indonesia, Le Bon's work is relevant to

understanding contemporary practice when mass actions affect the latest dynamics of society.

Keyword: massa, kepemimpinan, The Crowd, Gustave Le Bon, Indonesia

1 Amin Mudzakkir: Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Jakarta, Email: [email protected]

© Amin Mudzakkir, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.65-78.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Mudzakkir, Amin.2019.”Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon,” Jurnal Kajian Ruang

Sosial-Budaya 3(1): 65-78.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.05

Page 67: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

66 Mudzakkir

Pendahuluan

Mendengar istilah massa, pikiran pintas kita biasanya langsung terarah pada gambaran

tentang gerombolan yang disatukan oleh sentimen atau emosi tertentu yang tidak rasional,

sehingga mudah terprovokasi untuk melakukan sesuatu yang dianggap kurang atau bahkan

tidak nalar. Dalam berbagai laporan tentang kerusuhan di media, misalnya, massa sering

dilukiskan sebagai orang-orang yang tidak terorganisasi sama sekali, bergerak secara liar,

sehingga dalam banyak kasus mereka menimbulkan kerusakan. Di Indonesia akhir-akhir ini,

gambaran tersebut sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan fundamentalis atau

pendukung tim sepakbola tertentu yang kerapkali membuat onar.

Gambaran umum tentang massa sebagaimana dipahami dalam pengertian sehari-hari

tersebut diangkat untuk pertama kali ke ranah akademik oleh seorang psikolog dan pemikir

Perancis, Gustave Le Bon (1841-1931). Dalam salah satu karya utamanya yang terbit pertama kali

pada 1895, The Crowd (kerumunan) (Bon, 2001), Le Bon secara lugas bahkan terkesan karikatural

mengemukakan analisisnya tentang massa sebagai sesuatu yang “excitable, credulous, impulsive,

violent, or even heroic” (Coop, 2010: 2) Tak disangsikan lagi, Le Bon adalah bapak psikologi massa.

Sejak itu psikologi, yang awalnya hanya menaruh perhatian pada persoalan jiwa individual,

mulai berkonsentrasi juga pada persoalan kelompok dan masyarakat, termasuk kerumunan atau

massa.

Akan tetapi, massa yang dingkat oleh psikologi Le Bon adalah massa tanpa basis sosial.

Le Bon hanya melihat massa sebagai ekspresi mental yang irrasional dari sebuah kelompok atau

masyarakat. Dalam beberapa hal, Le Bon bahkan terlihat rasis ketika berusaha memperlihatkan

hubungan antara massa dan ‘the genius of the race’ (Bon, 2001: 2) Dengan ungkapan lain, Le Bon

menilai massa sebagai sesuatu yang esensialis, sesuatu yang kompak dalam dirinya, dan menjadi

bagian dari nilai yang tetap pada suatu kelompok. Le Bon juga sangat patriarkhis dengan

memberi perumpamaan bahwa massa mempunyai karakter mirip perempuan yang

pendiriannya mudah goyah dan berubah. Meski demikian, karya Le Bon sangat berpengaruh

tidak hanya secara intelektual tetapi juga terutama secara politik. Hitler dan Mussolini secara

terbuka mengaku mendapat inspirasi banyak setelah membaca karyanya tersebut.

Page 68: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 67

Sementara menganalisis fenomena massa, Le Bon juga membahas aspek kepemimpinan

di dalamnya. Le Bon berpendapat bahwa para pemimpin massa adalah “men of action than

thinkers”. (Bon, 2001: 68) Mereka adalah para agitator ulung yang mampu menggerakkan orang

untuk melakukan apa yang diserukannya. Akan tetapi, hubungan antara massa dan

pemimpinnya dalam pemahaman Le Bon bersifat satu arah. Dengan demikian, dalam konsepsi

Le Bon, kepemimpinan diasumsikan sebagai kata sifat, bukan kata kerja. Kepemimpinan adalah

konsep yang sepenuhnya berhulu dan bermuara pada figur pemimpin sebagai pribadi.

Kehebatan seorang pemimpin dinilai dari kemampuan dia dalam memobilisasi dan

mengarahkan massa.

Tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengelaborasi diskusi tentang massa dan kepemimpinan

dengan berkonsultasi kepada teks The Crowd karya Le Bon. Lebih lanjut tulisan ini akan

menunjukkan peran pemimpin massa dalam mengarahkan dan mengendalikan para

pengikutnya. Alih-alih memadangnya secara negatif, tulisan ini justru beragumen bahwa massa

adalah potensi yang mesti dilihat sebagai sumbu dari perubahan, meski hal itu kemudian amat

tergantung kepada pemimpinnya. Oleh sebab itu, pemikiran Le Bon seyogyanya dibaca dengan

kesedaran hermeneutis tertentu agar kita memperoleh tidak hanya pengertian yang tepat tentang

teks tersebut, tetapi juga kemungkinan untuk melampauinya. Bagaimanpun, perspektif Le Bon

tentang massa dan kepemimpinan layak diapresiasi tetapi juga sekaligus dikritik, paling tidak

diuji secara historis. Bagi kita di Indonesia, karya Le Bon ini sungguh relevan dan menarik dikaji

lebih lanjut mengingat situasi Indonesia yang sedang berubah terutama pasca jatuhnya

pemerintahan Orde Baru. Implikasi dari perubahan itu sangat luas dan masih berjalan hingga

sekarang, termasuk pada isu massa dan para pemimpinnya yang menjadi fokus tulisan ini.

Asal Usul Massa

Massa adalah fenomena yang biasa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Usianya

mungkin setua sejarah umat manusia itu sendiri. Akan tetapi, sebagai sebuah konsep akademik,

massa baru menjadi isu pada akhir abad ke-19. Gustave Le Bon adalah orang pertama yang

mengangkat isu itu. Dalam analisisnya, kerumunan disebabkan paling tidak oleh dua faktor yang

saling berkaitan. Pertama, hasil dari penghancuran terhadap keyakinan keagamaan, politik, dan

Page 69: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

68 Mudzakkir

sosial yang menjadi akar-akar peradaban Barat. Kedua, kenicayaan yang tak terelakkan dari

kondisi dan pemikiran baru sebagai akibat dari penemuan dan perkembangan sains modern

(Bon, 2001: 7)

Analisis Le Bon adalah pandangan khas Eropa pada akhir abad ke-19 ketika dia hidup

dan menuliskan karyanya. Dia sedang menyaksikan zaman itu dengan cemas, sehingga

menyebutnya sebagai periode transisi yang penuh dengan anarki. Ide-ide dari masa lalu belum

sepenuhnya hilang, sebagiannya bahkan masih bertahan, tetapi ide-ide baru belum juga

menemukan bentuknya yang mapan. Kepastian, dengan kata lain, belum didapatkan. Padahal,

bagi seorang borjuis-konservatif seperti Le Bon, adakah yang lebih indah daripada kepastian?

Berangkat dari kondisi zaman itu, Le Bon mengintip kerumunan dengan perasaan gentar.

Saat itu Perancis, negeri di mana Le Bon tinggal, baru saja menyaksikan keberhasilan gerakan

massa mendirikan Republik Perancis (French Third Republic). Keberhasilan ini ditandai pula

dengan munculnya komune-komune sebagaimana diimpikan oleh kaum komunis (Reicher,

2012) Akan tetapi, perubahan sosial politik tersebut selain memancarkan pesona, juga

mengandung ancaman. Le Bon seolah tidak rela dunia politik yang sebelumnya hanya diisi oleh

kaum bangsawan yang terpelajar dimasuki oleh rakyat kebanyakan. Oleh karena itu, dia secara

sinis menanggapi pengenalan pemilihan umum dalam politik dan kelahiran serikat pekerja (Bon,

2001: 8). Le Bon yakin pencapaian baru tersebut tidak akan bisa menciptakan peradaban (Bon,

2001:10)

Lebih lanjut, Le Bon menyebut dua jenis massa. Pertama adalah massa yang bersifat

heterogen. Massa jenis pertama ini bisa anonim, seperti kerumunan orang di jalan raya karena

macet atau orang-orang yang berkerumun di pusat perbelanjaan. Mereka berlatar belakang

berbeda, tetapi dipersatukan oleh satu tujuan atau kondisi yang sama pada waktu tertentu. Daya

ikat massa heterogen ini bersifat temporer. Kedua adalah massa yang bersifat homogen. Massa

jenis kedua ini bisa berupa sekte, kasta, dan kelas. Oleh karena bersifat homogen, massa jenis

kedua ini secara teoritis lebih kuat daya ikatnya dan lebih panjang spirit gerakannya (Bon, 2001:

90-3)

Page 70: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 69

Menurut Le Bon, massa yang heterogen terbentuk melalui tiga tahap. Tahap pertama

adalah anonimitas. Pada tahap ini orang-orang bergabung pada sebuah gerakan protes,

misalnya, dan mulai kehilangan sensibilitas individualnya. Kemampuan kritis terhadap isu yang

digelorakan dalam gerakan tersebut kemudian berkurang secara perlahan, diganti oleh semacam

gairah yang meluap. Tahap kedua adalah penularan (contagion). Pada tahap ini emosi menyebar

memenuhi suasana yang tercipta dalam kerumunan, sementara pada saat yang sama

individualitas sama sekali telah hilang. Ketiga adalah tahap sugesti. Pada tahap ini orang-orang

akan terbuka untuk mengikuti apa yang diucapkan secara berulang-ulang oleh pemimpin massa

(Coop, 2010: 53-4)

Meski memandang kerumunan sebagai patologi, Le Bon membantah bahwa massa selalu

identik dengan kriminalitas. Menurutnya, kriminalitas hanya satu bagian atau episode dalam

dinamika kerumunan. Masih banyak aspek lainnya, seperti heroisme. Akan tetapi, heroisme

dalam pemikiran Le Bon adalah heroisme yang rasistik. Heroisme inilah yang menjadi dasar

identitas nasional. Meski demikian, heroisme tidak dimiliki oleh semua bangsa. Hanya bangsa

tertentu yang memilikinya. Oleh karena itu, dalam analisis Le Bon, mengapa Napoleon gagal

membangkitkan aksi massa radikal di Spanyol dan Rusia, padahal dia berhasil melakukannya di

Perancis bisa dijelaskan dengan sudut pandang ini. Afinitas antara heroisme dengan ras atau

kebudayaan tertentu inilah yang pada abad ke-20 menginspirasi orang-orang seperti Hitler dan

Mussolini. Dengan cerdik mereka memanipulasi dan mengarahkan imajinasi kerumunan atau

massa yang sedang berada dalam situasi galau. Keterpurukan ekonomi dan ketidakpastian

politik adalah kondisi dalam apa massa bisa dipupuk menjadi dinamit yang akan

menghancurkan aturan dan tatanan. massa, singkatnya, adalah awal mula sebuah perubahan.

Dalam perkembangannya, konsep tentang massa menjadi perhatian banyak filsuf dan

ilmuwan. Frantz Fanon, seorang penulis kelahiran Perancis, percaya bahwa massa, minus

afinitasnya dengan ras tertentu seperti dikatakan Le Bon, adalah impulsi kreatif yang timbul

sebagai akibat dari penindasan. Nasionalisme bangsa-bangsa Asia Afrika lahir dari impulsi

kreatif orang-orang seperti itu. Emile Durkheim berpendapat bahwa massa adalah hasil dari

retaknya kohesi dalam tubuh masyarakat, sehingga muncul ide-ide yang menyimpang. Salah

Page 71: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

70 Mudzakkir

satu eksponen mazhab Frankfurt, Erich Fromm, mengatakan bahwa orang-orang yang tergabung

dengan massa adalah mereka yang hendak keluar dari isolasi personal dan ketidakberdayaan

menghadapi dunia modern. Para penulis Marxis umumnya mengklaim massa sebagai reaksi

terhadap konflik kelas antara borjuis dan proletar, antara kelas majikan dan kelas buruh (Coop,

2010: 60)

Sementara itu, seorang penulis kelahiran Bulgaria, Elias Canetti mempunyai pandangan

yang hampir mirip dengan Le Bon. Dia membagi massa ke dalam dua jenis, yaitu massa tertutup

dan terbuka. Massa tertutup, mirip konsepsi kerumunan homogennya Le Bon, umumnya lebih

permanen, terdiri atas dua anggota atau lebih. Mereka bisa cair tetapi berada dalam batas-batas

yang jelas dan tetap, seperti anggur di dalam botol. Mereka terasosiasi dengan ras, badan-badan

profesional, atau komunitas-komunitas tertutup lainnya. Kerumunan terbuka, sama dengan

kerumunan heterogennya Le Bon, terbentuk dan tumbuh dalam gerak spontanitas tertentu,

anggotanya bisa keluar masuk tanpa seleksi yang ketat. Akan tetapi, menurut Canetti, individu-

individu dalam kerumunan terbuka seolah-olah mengalami persekusi, dan kedekatan di antara

mereka memberi rasa proteksi bersama untuk menghadapi itu. (Coop, 2001: 60-61)

Pengaruh Le Bon terhadap pandangan akademis modern tentang massa cukup kuat.

Sebagian kalangan sosiolog masih menganggap massa sebagai patologi yang berasal dari sisa-

sisa masyarakat pra-modern. Kesadaran yang muncul dalam massa dinilai sebagai kesadaran

pra-Cartesian yang penuh dengan mitos. Beberapa ahli politik juga memandang massa tidak

cocok dengan alam demokrasi liberal. Orang-orang yang tergabung dalam kerumunan

diibaratkan sebagai tentara abad pertengahan yang sedang menyerang kuil-kuil kemoderenan.

Bagi mereka, massa adalah ladang subur bagi para demagog yang cenderung otoriter. Dalam

kasus Indonesia, seorang pengamat bahkan menilai massa atau kerumunan adalah ancaman

terhadap integrasi bangsa (Prosodjo, 2003)

Masalahnya, meskipun dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan akademisi

modern, kerumunan adalah kenyataan yang hadir di tengah dunia kita sekarang. Kerumunan,

dengan kata lain, adalah bagian yang inheren dari modernitas itu sendiri. Modernitas tidak selalu

mewajahkan dirinya secara tunggal. Ia selalu hadir dalam berbagai bentuk, menyesuaikan diri

Page 72: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 71

dengan konteks di mana ia tumbuh dan berkembang. Bagi para penganut ide politik radikal,

kerumunan adalah langkah awal menuju perubahan. Dapat dikatakan, tanpa kerumunan, tidak

ada lagi pekik revolusi. Bagi kalangan terakhir ini, pertanyaannya bukan apakah kerumunan itu

dan bagiamana ia terbentuk, melainkan bagaimana memobilisasinya menjadi kekuatan untuk

mencapai tujuan politik tertentu.

Lahir untuk Memimpin

Sekarang kita akan melihat peran pemimpin massa. Oleh Le Bon, mereka disinisi tetapi juga

sekaligus dikagumi. Meskipun terlihat mempunyai visi tertentu yang sangat kuat, mereka tetap

dinilai lebih mengedepankan tindakan daripada pemikiran. Secara sarkastis Le Bon bahkan

menyebut mereka sebagai orang-orang yang kurang waras dan setengah gila. Akan tetapi, para

pemimpin kerumunan adalah orang-orang yang teguh dengan pendiriannya, bahkan pendirian

itu bagi mereka sama dengan iman. Dalam kenyataannya, pemimpin massa adalah mereka yang

dalam sejarah umat manusia dikenal sebagai para santo dan nabi. Mereka adalah orang-orang

besar yang tercipta di luar sejarah. Mereka lahir untuk mengubah sejarah.

Secara kategoris, menurut Le Bon, terdapat dua jenis pemimpin massa. Pertama,

pemimpin yang memiliki energi dan kemauan yang hebat, tetapi tidak didukung oleh stamina

perjuangan yang panjang. Mereka adalah agitator dan orator yang meledak-ledak, sehingga bisa

membuat massa bergerak. Kedua, pemimpin kharismatik yang pengaruhnya luas dan abadi,

meski sebenarnya pemikiran mereka tidak begitu brilian. Perbedaan antara tipe pemimpin

pertama dan kedua terletak pada soal daya tahan dan stamina perjuangan mereka. Yang pertama

lebih pendek, sebentar-sebentar, sementara yang kedua lebih liat dan bertahan dalam jangka

waktu yang panjang. Contoh pemimpin tipe pertama adalah Garibaldi, sedangkan contoh

pemimpin tipe kedua ini adalah para nabi, seperti St. Paulus dan Muhammad (Bon, 2001: 70-1)

Lebih lanjut Le Bon menyebut tiga cara atau sarana bagaimana para pemimpin

mengarahkan kerumunan untuk mengikuti keyakinannya dan mencapai tujuan dari keyakinan

tersebut. Tiga cara itu adalah afirmasi, repetisi, dan penularan (contagion). Ketiganya

Page 73: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

72 Mudzakkir

sesungguhnya saling berkaitan, masing-masing tidak bisa berdiri sendiri. Afirmasi maksudnya

pemimipin harus memberikan arahan yang jelas dan tegas kepada para pengikutnya. Arahan itu

bersifat sederhana dan tanpa argumentasi yang rumit. Dengan kata lain, arahan itu semestinya

bisa diikuti secara mudah tanpa perlu perdebatan. Akan tetapi, afirmasi tidak akan berarti

kecuali diungkapkan terus menerus, direpetisi dalam berbagai kesempatan. Pengulangan yang

konsisten akan membentuk ingatan kolektif yang menjangkar dalam mentalitas massa. Lama

kelamaan arahan yang disampaikan terus menerus akan menular, diutarakan dari mulut ke

mulur, sehingga membentuk ikatan yang kuat antara pemimpin dan pengikutnya.

Pemimpin dalam bayangan Le Bon adalah ‘orang besar’. Mereka bukan manajer, tetapi

pemimpin. Mereka dilahirkan, bukan diciptakan. Dengan demikian, pemimpin adalah mereka

yang diberi anugerah. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Mereka bahkan tidak lahir dari

proses terjadinya kerumunan itu sendiri. Tanpa ada atau tiadanya kerumunan, mereka adalah

orang-orang yang ditakdirkan untuk untuk memimpin. Dalam literatur kepemimpinan modern,

apa yang dibayangkan oleh Le Bon tentang pemimpin adalah mereka yang membawa sifat

bawaan (trait approach). Seorang pemimpin dilahirkan karena memang dia sejak awal sudah

mempunyai bakat memimpin. Kemampuan ini tidak muncul dari interaksi dan komunikasi

sehari-hari, melainkan diturunkan dari generasi ke generasi pada individu-individu tertentu

(Northhouse, 2007: 34-6)

Dalam sejarah filsafat, gagasan pemimpin sebagai orang besar ini bisa dilacak hingga

Platon, tepatnya dalam karyanya yang terkemuka, Republic. Dikatakan oleh Platon bahwa sosok

yang paling tepat untuk memimpin rakyat Yunani adalah filsuf-raja. Tanpa sosok filsuf-raja,

demokrasi akan memakan anak kandungnya sendiri. Meski harus dilatih terlebih dulu di

Akademia, mereka pada dasarnya mempunyai phusis (bakat) untuk memimpin. Tanpa adanya

phusis itu, seseorang tidak akan mampu jadi filsuf-raja alias pemimpin bagai rakyat Athena.

Dalam pemikiran Platon, pemimpin seperti ini memang tidak cocok dengan sistem demokrasi

yang mendeklarasikan siapapun boleh menjdai pemimpun. Bagi Platon, sistem seperti ini hanya

akan melahirkan kekacauan. Para filsuf-raja hanya cocok dengan aristokrasi. Dalam sistem yang

Page 74: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 73

terakhir ini, hanya orang yang memunyai kapasitas tertentu yang bisa memimpin, dan kapasitas

itu tidak semua orang mendapatkannya.

Salah satu kapasitas pemimpin massa adalah kharisma. Le Bon berulang-ulang

membahas hal ini. Konsep tentang kharisma ini kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Max

Weber. Dia membagi tiga tipe kepemimpinan, yaitu rasional-modern, tradisional, dan

kharismatik. Secara definitif pemimpin kharismatik berada di antara pengertian antara

pemimpin rasional-modern dan tradisional. Pemimpin kharismatik ibarat pendulum yang bisa

berayun ke kiri dan ke kanan secara seimbang. Dia bisa berdiskusi di tengah-tengah mahasiswa,

tetapi juga fasih berpidato di kalangan para petani. Secara panjang lebar Weber memberikan

gambaran pemimpin kharimatik demikian:

Istilah "kharisma" akan diterapkan pada kualitas tertentu dari kepribadian

seseorang yang ia dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai manusia

super yang diberkahi dengan kekuatan luar biasa, atau paling tidak secara spesifik

berkualitas dan berkemampuan khusus. Kemampuan seperti ini tidak bisa diakses

oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai berasal dari Allah atau sebagai teladan,

dan atas dasar itulah sesorang menjadi pemimpin. . . . Hal ini sangat sering

dianggap bertumpu pada kekuatan magis. Bagaimana kualitas tersebut pada

akhirnya akan dinilai dari etika, estetika, atau sudut pandang lain yang

sepenuhnya berbeda untuk tujuan definisi. Apa yang penting adalah bagaimana

individu dianggap oleh mempunyai otoritas karismatik, oleh "pengikut" atau

"murid"-nya. (Waber dalam Haslam, Reicher, Platow , 2012)

Akan tetapi, seperti juga massa, pemimpin kharismatik dinilai secara sinis karena

dianggap lebih dekat dengan prilaku otoriter, sehingga ia cocok dengan demokrasi, khususnya

demokrasi liberal. Dalam teori-teori demokrasi, kepemimpinan adalah titik gelap yang sering

terabaiakan. Dalam konteks politik global kontemporer, ini tentu saja juga terkait dengan

eksposur media masa, khususnya di Barat, yang seringkali menggambarkan sosok otoriter

sebagai figur kharismatik. Saddam Husein atau Usamah Bin Ladin, misalnya, adalah pemimpin

Page 75: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

74 Mudzakkir

kharismatik tetapi diilustrasikan dengan wajah bengis dan penuh darah. Sebelumnya, para

pemimin komunis juga sering dilukiskan dengan cara yang hampir sama dengan itu. Oleh

karenanya, sosiolog seperti Daniel Bell merasa bersalah untuk mempopulerkan istilah ‘kharisma’

dan bahkan merekomendasikan untuk mendropnya, seraya mengatakan bahwa “People don’t

know what it means. Sociologists don’t know what it means. Even the Greeks don’t use it any more; and it

was their word” (Pappas, 2012)

Praktik Kontemporer

Konteks umum ketika The Crowd ditulis dengan zaman kita sekarang dalam beberapa hal

mempunyai kesamaan. Modernisasi dan kemudian globalisasi telah mengubah banyak tatanan

dalam masyarakat kita. Apa yang dulu dianggap tabu sekarang sudah dianggap biasa dan,

dalam banyak hal, juga sebaliknya. Akan tetapi, baik modernisasi maupun globalisasi tidak

pernah berhasil meratakan dunia di mana kita hidup sekarang yang tetap tersusun oleh

perbedaan dan, implikasi politisnya, ketidakadilan. Dalam suasana yang ‘liminal’ itu, meminjam

istilah Victor Turner, kerumunan adalah ritus modern yang selalu muncul sebagai reaksi

terhadap ketidakpastian. Tujuannnya dan latar belakang orang-orang yang ikut serta di

dalamnya sudah pasti beragam, seperti juga bentuk pengorganisasiannya. Berbagai otoritas

lama, bahkan termasuk negara, ditantang sedemikian rupa, begitu juga dengan organisasi-

organisasi multilateral seperti Bank Dunia, International Monetery Fund (IMF), dan World Trade

Organisation (WTO), dan juga jangan dilupakan, korporasi-korporasi multinasional dan

transnasional.

Dalam versi kontemporernya, beberapa ekspresi massa telah bertransformasi ke dalam

bentuk yang mungkin tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh Le Bon. Massa bisa berupa aksi

lintas batas bangsa dan negara. Mereka, juga bekerja pada ranah virtual, tidak hanya di lapangan

atau jalanan. Aksi orang-orang di depan sidang WTO di Seattle pada 1999 adalah contoh terbaik

untuk menggambarkan massa dalam versi kontemporer ini. Mereka datang dari berbagai latar

belakang dengan tujuan yang sama. Untuk memobilisasi aksi itu, suatu isu tertentu disebarkan

Page 76: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 75

melalui media internet, sehingga menarik perhatian dan kepedulian orang-orang. Dalam

prosesnya, orang-orang dalam aksi itu, baik ketika masih berinteraksi secara virtual maupun

setelah bertatap muka secara riil, melepaskan sekat-sekat individualitasnya, lalu

menggabungkan diri dalam suatu histeria global, yaitu sikap anti-globalisasi neoliberal seperti

sekarang. Sikap ini, atau harapan untuk mewujudkan globalisasi yang lebih memberi rasa

keadilan, digelorakan terus menerus oleh beberapa tokoh yang dianggap pemimpin dalam aksi

tersebut. Akhirnya, orang-orang yang berdiri gagah di depan sidang WTO di Seattle itu yakin

bahwa globalisasi itu jahat dan, oleh karenanya, harus dilawan. Hal terakhir ini, yaitu keteguhan

hati dan kekeraskepalaan, adalah warisan dari zaman Le Bon, bahkan jauh sejak era para santo

dan nabi, yang tetap bertahan dalam kerumunan kontemporer. Bedannya hanya sedikit, iman

sebagai perekat solidaritas yang dulu mengacu pada agama sekarang merujuk pada ideologi.

Dari contoh kasus di atas terlihat bahwa beberapa kriteria yang digariskan oleh Le Bon

tentang kerumunan dan kepemimpinan kurang relevan lagi. Kerumunan bisa terorganisasikan

dengan baik tanpa mengandalkan sosok seorang pemimpin. Apa yang disebut pemimpin lebih

merupakan kolektifitas daripada sosok pribadi. Dengan demikian, hubungan antara pemimpin

dan pengikut dalam aksi anti-globalisasi tidak lagi bersifat satu arah, melainkan dua arah.

Kepemimpinan, oleh karena itu, adalah praktik sosial yang interaktif. Konsep pemimpin sebagai

‘orang besar’ tetap hidup, tetapi nuansanya telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

modern terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, aksi lintas negara tersebut

menunjukkan bahwa ‘heroisme’ adalah milik semua orang, bukan hanya milik bangsa tertentu.

Unsur rasisme pada kerumunan ala Le Bon sedikit banyak telah terkikis.

Di Indonesia, kerumunan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Di Jakarta, hampir

di setiap pojok kota, di pinggir jalan, di pusat perbelanjaan, kita akan menemukan orang-orang

berkerumun untuk tujuan tertentu. Dalam bentuknya yang lebih terorganisir, kerumunan

mewujud dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh yang menentang kenaikan harga

BBM. Konflik-konflik sosial pada tahun-tahun awal pasca jatuhnya rezim Orde Baru juga dinilai

oleh beberapa pengamat dilatarbelakangi oleh menguatnya sentimen komunalisme yang tidak

lain adalah sofistifikasi dari bentuk massa tradisional. Di tengah-tengah massa tersebut, berdiri

Page 77: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

76 Mudzakkir

pemimpin baik sebagai figur personal maupun kolektif yang terus mengulang-ulang tujuan apa

yang hendak dicapai. Arah dari tujuan itu bisa konstruktif, tetapi tidak jarang juga destruktif.

Kerusuhan 1998 di Jakarta adalah bentuk negativitas massa. Mereka bergerak liar

menghancurkan berbagai fasilitas umum dan terutama properti pribadi dari kelompok minoritas

yang dianggap sebagai parasit bangsa. Rasisme seperti dikemukakan oleh Le Bon masih bekerja

dalam jenis massa seperti ini. Pemimpin mereka adalah para agitator yang memprovokasi massa

supaya beringas dan terus beringas. Pertanyaannya, apakah itu adalah bagian dari mentalitas

bangsa kita atau merupakan akibat dari struktur politik ekonomi?

Terhadap pertanyaan yang sungguh sulit tersebut, karena seperti memilih apakah ayam

atau telur dulu, tipikal pemimpin kharismatik adalah jawaban untuk mengatasinya. Itu artinya,

baik mentalitas maupun struktur politik ekonomi menyumbang peran masing-masing terhadap

proses terbentuknya massa, baik yang kemudian bergerak ke arah konstruktif atau destruktif.

Indonesia pasca-Soeharto menyaksikan lahirnya pemimpin seperti Abdurrahman Wahid alias

Gus Dur lahir di lingkungan tradisional tetapi juga sekaligus modern. Bahkan ketika akhirnya

tersingkir dari jabatan kepresidenannya, dia tetap memberi pengertian kepada massa

pendukungnya, yang menyatakan rela mati untuk membelanya, sambil pada saat yang sama dia

berbicara kepada pendengarnya dari kalangan kelas menengah urban tentang matinya

demokrasi dan kembalinya otoriterisme. Dengan demikian, pemimpin kharismatik bisa menjadi

jalan keluar dari krisis yang melahirkan, atau dilahirkan oleh, massa. Fenomena Gus Dur juga

terjadi di negara-negara lain yang baru saja menapaki jalan transisi menuju demokrasi. Di Ceko,

ada figur seperti Vaclav Havel, di Afrika Selatan ada Nelson Mandela, dan bahkan di Rusia ada

tokoh seperi Borris Yeltsin. Di tangan orang-orang itu, massa dan kepemimpinan bertemu, lalu

diolah menjadi energi transformatif bagi bangsa dan negaranya.

Penutup

Di luar kritik terhadap Le Bon, studinya tentang psikologi massa adalah kontribusi

penting bagi siapa saja yang hendak memahami dinamika massa atau kelompok dalam

Page 78: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengendalian Massa dalam Pemikiran Gustave Le Bon 77

masyarakat. Tema ini kemudian menjadi sentral dalam kajian-kajian tentang kepemimpinan.

Apa yang dikemukakan oleh Le Bon tentang massa dan kepemimpinan dalam banyak hal

masih cukup relevan hingga sekarag. Dalam praktiknya, kepemimpinan tidak hanya bekerja

pada level kesadaran, tetapi juga pada level ketidaksadaran (Bostok, 2006, 120-130). Dengan

inilah mereka sejatinya bisa mengendalikan massa. Seorang pemimpin tidak akan selamanya

menghadapi persoalan yang rasional, yang bisa diselesaikan dengan cara-cara yang terukur

melalui skema strategi dan taktik tertentu. Ada kalanya seorang pemimpin terlibat dalam situasi

mental kolektif yang emosional, seperti ketakutan, depresi, atau bahkan kegembiraan. Pada level

yang ketidaksadaran inilah seorang pemimpin tidak bisa menerapkan standar-standar rasional

yang biasanya bersifat kaku. Dia harus mengerti kebutuhan psikologis pengikutnya. Pada situasi

ini seorang pemimpin harus tahu seni mempengaruhi massa. Mereka sebaiknya belajar retorika

seperti telah dianjurkan sejak masa klasik oleh Cicero. Dengan cara ini mereka bisa

menerjemahkan kompleksitas ke dalam kata-kata sederhana yang mudah diingat oleh para

pengikutnya.

Tulisan ini adalah usaha kecil untuk membawa kembali massa ke dalam perbincangan

tentang kepemimpinan melalui konsultasi dengan teks yang ditulis oleh Le Bon. Dengan

pembacaan kritis terhadap teks Le Bon, kita melihat paling tidak dua kemungkinan sudut

pandang lain dalam memahami hubungan antara massa dan kepemimpinan. Kemungkinan

pertama adalah massa merupakan refleksi dari kebudayaan tertentu, hasil dari sebuah proses

historis tertentu, sehingga pemimpin yang muncul dalam kerumunan tersebut tetap terikat

dengan sistem atau nilai yang dominan, setidaknya mereka harus menyesuaikan diri dengan

tradisi sejauh itu hidup di kalangan pengikutnya. Kemungkinan kedua berkait dengan aspek

radikal yang melekat pada massa, termasuk para pemimpinnya. Radikalisme adalah sumber

penting bagi gerakan perubahan, baik dalam konteks terbatas, seperti lingkungan kantor atau

organisasi, maupun dalam konteks yang lebih luas, seperti negara. Gerakan politik radikal,

misalnya, selalu berawal dari massa, bukan dari rapat di gedung parlemen yang sopan-sopanan.

Dari fenomena massa pula lahir figur pemimpin kharismatik yang selalu ditunggu

kedatangannya di tengah situasi republik yang sedang sakit, atau jangan-jangan, republik itu

Page 79: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

78 Mudzakkir

sendiri dalam praktiknya, paling tidak seperti yang kita alami di sini di Indonesia, adalah sejenis

kerumunan massa?[]

Daftar Pustaka

Bostock, William W., "Leadership at the Conscious and Unconscious Levels: Case Studies from

the British and Other Monarchies," Kravis Leadership Institute, Leadership Review, Vol.

6, Fall 2006.

Coop, Douglas Crowd and Leadership: The Art of Influencing Crowds, Trafford Publishing, 2010

Douglas Coop, Crowd and Ledership: The Art of Influencing Crowds,

Haslam, S. Alexander, Stephen Reicher, dan Michael J. Platow, The New Psychology of

Ledership: Identity, Influence, and Power, New York: Psychology Press, 2011.

Le Bon, Gustave, The Crowd: A Study of Popular Mind, Kitchener: Batoche Books, 2001.

Northouse, Peter G., Leadership: Theory and Practice, Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage

Publications, 2007.

Pappas, Takis S., “Political Charisma and Liberal Democracy” http://www.afsp.msh-

paris.fr/activite/2006/colllinz06/txtlinz/pappas2.pdf, diakses 20 Mei 2012.

Prasodjo, Imam B. Prasodjo, “Kepemimpinan Kerumunan dan Ancaman Disintegrasi Bangsa”,

Analisis CSIS: XXXII (3) 2003.

Reicher, Stephen, “The Psychology of Crowd Dynamics”, http://www.uni-

kiel.de/psychologie/ispp/doc_upload/Reicher_crowd%20dynamics.pdf, diakses pada 5 Maret

2012.

Page 80: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in

Indonesia, Study of Disability Movement in Yogyakarta

Slamet Thohari1

For many decades, disability in Indonesia has been seen in medical perspective, segregated into

special schools and their presences regarded as a social pathology. However, social model concept

of disability defining disability as a product of social oppression, gave tremendous effect to

deconstruct the term for “disabled persons” which is in Indonesian means “penyandang cacat”.

Inspired by social model, the Indonesian disability movement tried to change it into DIFABEL

which means “differently-abled-people. The research was done in Yogyakarta before Indonesia

ratifying the Convention on The Rights of Person with Disabilities, 2011. The findings are the

disability movement got their momentous moment in changing the new paradigm in Indonesian

presidential election, 2004. DPOs which have been engaged to this issue underwent fragmentation

into many aspects, they also bequeathed into next generation concerning disability issues.

Keys Concept: Disability, Difabel, Social Movement, Social Model

1 Slamet Thohari, Department of Sociology University of Brawijaya Email: [email protected].

Disclaimer: This basic idea of this writing was written in part of my master thesis (2011)

© Slamet Thohari, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.79-99.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Thohari, Slamet.2019.” Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia, Study of

Disability Movement in Indonesia,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 79-99.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.06

Page 81: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

80 Thohari

There are about 29 million people with disabilities in Indonesia (BPPK, 2013). Yet, their

presence does not take a significant role within Indonesian society nor within government

policies. People with disabilities (PwD) have complex problems, they have to deal with stigma

and discrimination in their day to day interactions in daily life, mostly inaccessible environments,

and the politics of segregation which remains in many aspects of cultural life. (Thohari, 2011)

Despite the significant presence of people with disabilities, discussion of social

movements barely touches on the disabled rights movement, particularly in developing countries

such as Indonesia. It is absolutely one of the most important movements in our modern society

where many new social changes are emerging. I will attempt to explore the journey of the

disability movement in Yogyakarta as portrait of the disability movement in Indonesia, and it has

been a pilot project for accessible place in the 1990s and it is province with the strongest disability

movement in Indonesia.

I will focus on how the disabled rights movement processed the deconstruction of

discriminating against people with disabilities and made a new label. This new moniker is

regarded as more humanistic and democratic i.e. “Differently-abled people”—difabled— than

the term “penyandang cacat” (“disabled people” or “disabled)

The movement derived at the same line with social model which ruined the medical

model’s definition of disability defining disability as “personal tragedy”. social model beleived

disability is a product of “social opression”. The emerging of industial capitalism brougnt the

hegemony of ‘abled-body’ and “normality” became the yardstick for judging people with

impairments as ‘less than human’ (Bernes and Marcer, 2003: 26; Oliver, 1990) It is a label which

is used as a symbol of struggle for equal rights for people with disabilities within Indonesian

society.

Accordingly, a questions which could be the foundation of this writing, How does the

disability movement promote social model of disability in Yogyakarta?

Page 82: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 81

Indonesia was under an authoritarian regime for 32 years. In 1998, Indonesia made a

remarkable transition to a democratic political system. It was a moment when many social groups

and civil organizations took advantage of the transition to voice their concern. People within the

disabled rights’ movement had more opportunities to express their opinions, to argue their case,

and to promote their causes. One of these was to put forward their new paradigms expressed in

the label “difabel”. Changing the term is a new concept, which demands new policies and

attitudes. These attitudes are more democratic and include people with disabilities as citizens.

Due to the more democratic conditions, NGOs (Non Government Organisations) that

were concerned with the rights of the disabled took the opportunity to promote the concept of

the new term “difabel.” They also organized people with disabilities then convinced them that

people with disabilities are actually the same as other people. They are not “disabled,” which

implies that they could not do anything. Rather the “difabled” had abilities just as others did.

Those who supported the rights of the “difabled” also made many connections with the media

and people in political parties. Meanwhile, there was also a political moment which helped to

promote the new concept of the “difabled,” and this was becoming accepted by the people.

Despite some internal conflicts among members of the movement, they were able to disseminate

the information which they had to offer.

There are 27.439 people with disabilities in Yogyakarta (BPJS 2007), most of them do not

have equal access to facilities as other people do. Most of the public services, schools, means of

transportation, markets, universities, museums and other public buildings are not accessible to

them. Almost all of them also have very low income and little education. It is difficult for them to

workforces access due to their disabilities. They face many discriminatory rules and laws that are

implemented by companies and the official government. These regulations restrict the number

and type of jobs available to them based on their disabilities.

In Yogyakarta, stereotypes also determine how people with disabilities handle their lives.

In addition, people with disabilities are regarded as an embarrassment and as burdens for the

family. In general, the disabled are isolated from others and most of them are placed in special

Page 83: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

82 Thohari

schools to be educated. In many cases, a disability is also believed to be predetermined, which

means it should be accepted without complaint while other believe that people with disabilities

possess special powers. They are therefore considered to be extraordinary people who maintain

a special balance in the world. According to certain religious beliefs, God gave the disabled

special characteristics that made them stand out in society (Byrne, 2003)

These negative perceptions and concepts of disability are very persistent in Yogyakarta.

Traditional beliefs state that possessing a disability is a magical and supernatural ooccurrence.

Therefore, people with disabilities are regarded as people who have supernatural powers that

should be respected. As sstated by Anderson (1960), people with disabilities and dwarves could

be found in Javanese castles. In addition, these extraordinary people strengthened the position of

the Javanese kingdom and the power of the king (Anderson, 1960).

A disability is really determined by the socio-cultural and physical environment. The

Indonesian government is unable to set up the environment of inclusion and integration for

people with disabilities to participate in an “able-bodied society”. In most places, especially in

the rural areas, people with disabilities are regarded as mystical beings or they are somehow

believed to relate to sorcery or witchcraft. Some of them have been hidden in the home and

isolated from society due to the negative perceptions and stereotypes that people.

The government provides very minimal special services programs or facilities to meet the

various daily needs of a person with a disability. Due to the lack of accessibility, a simple

impairment may become a significant handicap. For example, public transportation, public

places, and educational facilities are not accessible. Therefore, a disability is a huge burden which

can oppress people.

The New Order Regime, the authoritarian regime within which Suharto became

president, created many organizations for the disabled. On other hand, the regime also supported

the segregation of people with disabilities. For the Suharto regime, a disability was deemed a

burden which belonged to the person alone. A disability was a kind of personal tragedy.

Page 84: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 83

Moreover, the regime viewed people with disabilities as “abnormal people”, and they should be

rehabilitated. For the sake of efficiency, the regime decreed that the disabled should be

institutionalized. At the same time, that the regime created many organizations to help the

disabled, it also supported government programs to control them.

Under the Suharto regime, there were also organizations which were characterized by

what was called by Purwanta (2006), or activists who worked for the rights of the disabled. The

movement aimed to get charitable funds and alms from the government or philanthropic

organizations. The organizations for the disabled were “umbrella agencies,” which were

connected to international organizations initiated and created by the government. It was a sort of

union for the disabled, in which most of their programs were in line with the government’s

programs for the disabled. In other words, they were similar to the government’s right hand. The

other types of organizations for the disabled were groups that were based on an individual kind

of disability, such as the visually impaired. Some of them gained funds from the government and

international organizations.

Figure 1 Government’s classification of Disabilities

Physically Blind Intellect-

tually

Psycho-

logically

Deaf Double Total

Kota

Yogya

1,212 449 539 480 16 205 3,301

Kulon

Progo

1,230 562 724 741 394 131 3,782

Bantul 2, 164 660 558 688 514 194 4,778

Gunung

Kidul

1, 420 512 865 473 452 199 3,921

Sleman 630 285 307 404 239 80 1,945

Page 85: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

84 Thohari

Figur 2: The Classification of Children with Disabilities

Figure 3: The Characteristics of the Organizations for the Disabled under Suharto’s Regime

No Regencies Physically Blind Mental Deaf Double Total

Retarded Psychotic

1 Kulon

Progo

377 125 159 127 121 52 961

2. Bantul 439 185 255 263 152 41 1,335

3 Gunung

Kidul

720 215 229 193 166 41 1,564

4 Sleman 500 147 354 146 142 50 1,339

5 Yogya 108 48 80 23 41 6 306

Total 2,144 720 1,077 752 622 190 5,505

CHARACTERS, ACTIVITIES AND

GOALS

EXAMPLE

TY

PE

OF

OR

GA

NIZ

AT

ION

Charitable

Organization

Institutionalizing people with disabilities

based on the kind of disability. Founded

by religious groups. Collecting them in

the doSrm, giving tuition fee. Giving

specific skills for people with disabilities

etc. helping to lighten the burden of those

with disabilities.

YAKATUNIS,

Yayasan Lembaga

GN-OTA,

Umbrella Agency

Empowering people with disabilities,

bridging international organizations.

Based on government’s program. They

have a central board and branches

PPCI (Union of people

with disabilities)

HWPCI, KAPCI and

etc

Page 86: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 85

The other thing to know about how the government control and regulate the power could

be seen from the why government classify people with disabilities based on the kind of

disabilities. As shown in the table above, we can see how the people are classified based on their

disabilities. More than that, they also become recipients of charity without any policies or

conditions that govern them. The policies are derived from colonial’s legacies, Dutch brought

modern medical practice to Indonesia. Currently, many institutions such as educational

institutions and employment require admission related to the health condition which is either

“mentally and physically health” (sehat jasmani rohani). This condition is really segregating people

with disabilities; they cannot get their educations, and work as the other people.

These policies are really segregating people with disabilities. Based on “normal discourse”

and the regime of truth about normalcy produced by government, people with disabilities are

consequently being isolated from society. They are not included in public spaces such as: schools,

corporation or any other institutions since they are regarded as “abnormal” people.

Instead of including people with disabilities in public schools, government built

thousands special schools or people with disabilities. Based on the types their disabilities, they

are separated from “normal society”. In those schools they get any hand skill such as: sewing,

carving, panting and so forth. These are the categories of special schools (SLB—Sekolah Luar Biasa)

in Yogyakarta:

1. SLB/A for children with visual impairment;

2. SLB/B for children with hearing impairment;

Union based on

the kind of

disability

Empowering their members, participating

in government’s programs. They have a

central board and branches

GERKATIN,

PERTUNI, ITMI,

PPCD FKCPTI, etc.

Organizations

for

Rehabilitation

Services

Medical services and rehabilitation,

vocational trainings, job skills trainings.

Based on government programs.

Connected with International funds

and/or other programs

YPCAC, YAKKUM,

PPRCM, etc

Page 87: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

86 Thohari

3. SLB/C for children with developmental disability;

4. SLB/D for children with physical/motor disability;

5. SLB/E for children with social and emotional disorder; and

6. SLB/G for children with multiple disabilities.

Disability Movement, Difabel as a new perspective

Mansour Fakih is an Indonesian pursuing his master’s and PhD. at the University of

Massachusetts with field in critical education. He is a pioneer in analyzing people with

disabilities, most of whom have been segregated and previously regarded as “abnormal”. In 1997,

he was a head of Oxfam Indonesia, and as such, he had many connections with people who were

involved in NGOs. This situation smoothed him to solicit information on social issues from other

people in the field.

Fakih teamed up with Setyadi Purwanta, a blind person who was involved in NGOs and

concerned with disability issues. They traveled together and went to many areas and

communities to see what the conditions of people with disabilities were truly like. They

concluded that the most significant things were that people with disabilities had become

segregated and discriminated against, and there existed a belief within all of society that people

with disability are “abnormal” people. (Purwanta 2004 in Suharto and Munandar 2004: 23).

Fakih’s and Purwanta’s reflections are accurate. These conceptions of the disabled, as well

as their institutionalization and segregation, have become the dominant policies. These policies

were implemented for people with disabilities, particularly in education settings. The Indonesian

government constructed many special schools which were designated for a specific kind of

disability. During the Suharto era, says that There are 800, 000 Children with disabilities under 7-

15 years of age. Unfortunately here are only 41,015 of them have capability to get special

education which we had only 10.050 teachers (Kompas 11, 05, 1996). This situation leads us to

conclude that Suharto’s government encouraged them to be educated in special schools.

Therefore, this means that the regime implemented segregation policies, not inclusive ones, when

it came to people with disabilities. Visually impaired people, for example, have been sent to

specific schools.

Page 88: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 87

Due to this condition, the post-Suharto government decided to change the prevailing

perception in society regarding the disabled and it offered the new paradigm. For the new

government, a disability was “a social opression” based on social norms. These beliefs were

dominated by the “ideology of normalism.” In addition, Mansour stated that a disability is a term

or condition produced by a capitalist system, which leads members of society to compete with

one another. To deal with this problem, the concept of disability should be deconstructed, and

term “disability” here has been regarded according to a new mindset. The underpinnings of these

new attitudes and policies questioned the term for people with disabilities, since “dis” means that

a person “does not have capability” to do something. The new government leaders changed the

term “disabled” to DIFABEL (Differently abled people), since the new view was that everyone is

capable and every person has his or her own differences. Changing the term that was used in

people’s daily life implied a change in the policies and attitudes. The prevailing view was more

democratic and equitable. Promoting the new term for people with disabilities is, actually

promoting new paradigms and attitudes and policies. (Purwanta 2004 in Suharto and Munandar

1994: 41-73).

Promoting the Term “Difabel,” as well as Equal Rights

After deciding to use the new more democratic term, activists worked hard to promote it

everywhere. University campuses were important places that activists focused on to further the

rights of the “difabled.” In 1998, Dra Manunggal (NGO led by Setya adi Purwanta) declared that

“difabled” was the new term to call people with disabilities. Other NGOs, PPCI, PERTUNI

(Union of Indonesian Blind People), GERKATIN (Indonesian Deaf Movement) , BPOC

(Indonesian Disabled Atlets), FKCPTI (Front Phisically Disabled People, YAKKUM (Christian

Center for Public Health), LBH (Legal Aid Institute ) and Yogyakarta used the new term as well.

They declared that the equal rights of people with disabilities should be implemented as part of

the surge of democracy which occurred during the post-Suharto regime (Kompas, 6/23,1998)

on September, 27th 1999 in Yogyakarya, Mansour Fakih, with the head of PPCI

(Indonesian Disabled People Association) approached Gadjah Mada University, one of the

biggest university in Indonesia to hold the big seminar on the paradigms of disability

Page 89: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

88 Thohari

perspectives and elaborate the effect of the term “dis” in the disabled life and at the same moment,

hey also introduced the new term “difabel” to many scholars (Kompas 9, 29, 1999).

In December 1998, some of disabled rights’ activists who were associated in KAPCI

(Commete for Indonesian People with disabilities) met and created a dialogue with a title

“Reformatting the Indonesian disabled rights’ Movement.” These groups recommended using

the new term for people with disabilities, which was DIFABEL. According to them, everyone in

the world has his or her own differences and capabilities.

Since 1998, many disabled rights’ activists have been committed to applying and

promoting the new term. This new moniker would help the disabled gain greater acceptance

within society. Due to the groups’ commitment, they used the term “difable” in their daily lives,

official correspondence, and other activities. In addition, they promoted the new term throughout

the whole Indonesian society.

SIGAB, a disabled rights’ organization based on Yogyakarta, is one of organizations that

actively promoted the new term. Moreover, they used the term “difabel” in their name SIGB, or

Sasana Integrasi dan Advocacy Difabel (Center for Integration and Advocacy of the Difabeled). They

published a magazine quarterly, which also could be accessed online. Furthermore, they

published a book, which was a tribute to disabled rights’ activist Fakih, and they published a

weekly bulletin, which was distributed to NGOs, official government organizations, cultural

centers, etc.

Meanwhile, to promote the rights of people with disabilities, SIGAB, CIQAL, ITMI,

PERTUNI, Dria Manunggal, and other organizations held what they referred to as: Sunday

morning Gathering. This was a gathering held every Sunday morning in downtown Yogyakarta.

During this proceeding, the organizations promoted discussions on the rights of the disabled and

how to include the disabled in society. In this gathering, they used and promoted the new term

for all of the people attending the meeting. They invited artists, government officials, academics

from campuses and so forth, to gather in 2000. The other programs coordinated by SIGAB which

Page 90: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 89

promoted the new term “difabel” included movie screenings on campuses. These films

persuaded the students to become involved in the disabled rights’ movement

There have been activities created by many within the disabled rights’ movement to

promote the term “difabel” throughout Indonesia. These activities could be characterized in the

following ways: First. Persuasion This is a process in which a group or individual works to

persuade others to believe that people with disabilities are people just like any other people.

People who use persuasion maintain that the disabled are not sick, they should not be

institutionalized. Therefore, the appropriate word to call them is “difabel”, not “penyandang

cacat” “or “disabled.”

Second, among the Members the persuasion process is usually used by the senior members

with the new members in formal or informal settings. Informally, they are encouraged to use the

term in their daily life. The senior activists are taking the opportunity to do some activities, while

simultaneously expanding the minds of the younger members. This is done through workshops,

journals created by SIGAB in every few years, counseling done by SAPDA (NGO concerning on

children and disabled woman issues) and workshops on inclusive Education by Dria Manunggal

(NGO concerning on inclusive education for people with disabilities)

Third There are also some activities done to inform people—(average people or disabled

rights’ activists). These activities include workshops on disability awareness for government

officials done by SIGAB (NGO concerning on disability issues based in Yogyakarta), disability

awareness workshops for functionaries of political parties, workshops, and disability awareness

programs for the heads of villages in Bantul done by SAPDA.

Fourth Parades and performances, A large parade held celebrate International Disability

Day in Jakarta, Yogyakarta, SIGAB, for instance, held a carnival with a small train that traveled

around Yogyakarta. SAPDA and CIQAL (NGO concerning on economic empowerment of

disabled people) in 2008 held a carnival with 1,000 people in wheelchairs. Since 2007, DMC

(Difabeled Motorcyclist Community) always tours around large cities to promote the rights of

the disabled.

Page 91: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

90 Thohari

Fifith Advocacy: Some organizations advocate during their activities. Yogyakarta is the

strongest province of disability advocacy. Those done by many NGO and coalition among NGO

concerning disability issues such as: SIGAB, SIQAL, SAPDA, Dria Manunggal and so forth.

SIGAB for example, it is an NGO concerned with advocacy. Many advocacies were performed,

such as opposing a presidential election which banned disabled people from participating as

candidates in 2004. In addition, advocacy was used in 2006 to oppose a university’s admission

policy, which was very discriminatory. These organizations also advocate for accessibility in

public transportation. The Media has a significant role to play in this process. When these

organizations hold activities they always invite the mass media to cover their events.

Sixth Publishing, using the publishing media is a very significant tactic that organizations

use to promote their ideas. By doing this, their ideas and views on equal rights will be distributed.

There are many ways to do this, such as using personal web sites. These include sigab.orh which

is the most visited web site that promotes the term “difabel.”

Seventh: Internship program, some of the disabled rights’ activists have been involved in

other disability organizations. Some of SIGAB’s functionaries have been members of Dria

Manunggal. Purwanta and Fakih were the masterminds who have influenced many disabled

rights’ activists. The head of PUSDAKOTA, the head of INTERAKSI, and the head of the

TALENTA Foundation, were mentored by Purwanta and they received internships with Dria

Manunggal.

As previously mentioned, Purwanta, a visually impaired person, and Fakih, a human

rights activist, are the important people who promoted the change of the term from “penyandang

cacat” into “difabel.” Setiaadi is associated with an NGO that is concerned with disability issues.

It offers a new critical perspective, which sees disability as a social issue. Being disabled is caused

by social oppression or the “ideology of normalcy.”

Based on Yogyakarta, a large university city in Java, Dria Manunggal was becoming a

center of the growing movement to use the term “difabel”. Many people were involved in this

NGO and Setiaadi and Mansour both were the people who influenced others. Some of them have

Page 92: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 91

had internships, or they were just involved with helping programs without charge. They did this

in order to gain experience and knowledge on disabled and human rights, and to create an

inclusive society.

Some of them were involved only for the internship, and some of them become full

members of these organizations. However, some of them were involved with internal conflicts,

so they went on to create new organizations, such as SIGAB. After the internships, some of them

went back to their home cities and formed new organizations, such SAPDA.

SIGAB is an organization created by former associates of Dria Manunggal. Through this

process, some of SIGAB’s members also created new organizations, or were involved in other

groups. Those organizations are concerned with the same issues, yet they do not share the same

focus. For example, MATAHARIKU is an organization for the hearing impaired. It focuses on

deaf rights, sign language and its culture, and multiculturalism. This organization was influenced

by SIGAB’s notion, and the founder was a member of SIGAB. Some of SIGAB’s functionaries

became members of MATAHARIKU. This paralleled what happened within the DMC (Difabel

Motorcyclist Community.) DIFA Karya also is an organization which is concerned in economic

empowerment for people with disabilitiesMost of the important people within DIFA Karya are

also becoming SIGAB’s members.

Many organizations are created with a specific focus, since they know what should be

done to fill the gaps for the disabled. SIGAB is an organization concerned with advocacy. SAPDA

is concerned with the empowerment of people with disabilities. MATAHARIKU’s focus is on the

culture of the hearing impaired. Karya is concerned with economic empowerment. The DMC is

concerned with the disabled culture and transportation rights. It also supports making

ceremonies, such as parades and carnivals, accessible for disabled people.

Page 93: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

92 Thohari

Figure 4: “Difabel” Organizations and Their Focuses

DIFABEL

Organizations Focuses

SIGAB Advocacy

SAPDA Empowerment and Health rights for disabled

DRIA MANUNGGAL Inclusive education and assistive technology

for Blind

MATAHARIKU Deaf culture, Deaf rights

CIQAL Economic empowerment

DIFAKARYA Economic Empowerment

DMC Disabled culture, promoting accessibility in

performances, parade, touring, and etc

Based the table above, we know that there are many social organizations, such as DRIA

MANUNGGAL, which have their own foci. They are promoting and deconstructing the medical

“concept of disability,” which was first worked on by DRIA MANUNGGAL. Additionally, these

groups practiced activities based on the new paradigm, such as: advocacy, accessibility,

promoting the culture of the hearing impaired, and economic empowerment.

When individuals are immersed in a social movement, they internalize a new self-image

as being part of a collective. The social movement after DRIA MANUNGGAL continued the

paradigm of inclusivity. They not only deconstructed the paradigm of segregation and

exclusivity, but they continued to struggle to promote the rights of people with disabilities. As

one can see, “difabel” has a long long way to go to be accepted within society. In some ways,

some disability movement still struggle against the old paradigm and try to change the term.

Page 94: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 93

Figure 5: The Cohort of Disability Organizations

Cohort Patterns

Before 1990s Disability defined as “abnormal”

Action: Segregation and Institutionalization

Organisations→ supporting government’s

programs

1990-2004

DRIA MANUNGGAL

Deconstructing the old paradigms

Promoting new paradigms: disability as a

product of society, introducing social model of

disability

SIGAB, DIFAKARYA, SAPDA,

MATAHARIKU etc

Practicing new paradigm: advocacy, inclusive

education, accessibility, hearing impaired

cultures, economic empowerment

Internal conflicts exist within these organizations in terms of getting resources, achieving

transparency and selecting leaders. For these reasons, they have been divisive, fragmented and

are not always in line with the same goals. However, these conflicts tend to have beneficial effects

in terms of the development of the new paradigms for which these groups struggle.

Although many disabled rights’ organizations have been fragmented, this disunity does

not make them incapable of changing the people’s mindset and implementing a new paradigm

which is more democratic. Therefore, disunity and dissension within the disabled rights’

movement actually expanded the new paradigm, which was their original goal. These internal

conflicts and disunity do not always weaken the social movement. In fact, dissension can breed

and cause change.

Following the thesis of new social movement, Krieasai stated that most social movements

adapt and change, as has been seen in the United Kingdom. UPIAS, the Union of the Physically

Impaired Against Segregation, is a disabled rights’ movement in UK which introduced the “social

Page 95: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

94 Thohari

model” of disability studies. Many activities were derived from the UPIAS’s experiences,

particularly in the implementation of inclusive education. Some social organization also adapted

the concept of “civil rights” for people with disabilities. This was the approach of the Independent

living (IL) movement in the USA1.

On the other hand, there are many organizations for the disabled which still use the

conventional paradigms, such as the medical diagnosis paradigms or the belief that a disability

is a personal tragedy. Those organizations absorbed some aspects of what was promoted by other

organizations which struggled to promote the term “DIFABEL.” Currently, some of them are also

working together with NGOs concerned with the term “difabel,” but they still do not want to use

that moniker. There is a paradigm shift that is still needed in the ways that people perceive others

with disabilities.

On the other hand, the presence of these organizations strengthens their identities and

makes them feel part of the same struggle. So, the forming identity processes here works with

disunity and just like a “binary fusion” in bacteria or amoeba. nternal conflicts contributed to the

process of identity expansion. In fact, government organizations which used the medical

terminology model for the disabled became the “enemy” or were seen as the “antagonist” within

society.

Political Moment

The identities of difabel were also determined by the specific moment when disability

issues became a topic of public discussion. It also increased public knowledge of the disabled,

which had long been forgotten as citizens. That was the discrimination practiced during the

general election in 2004. Abdurrahman Wahid, the former president and a visually impaired

person, tried to run for president. However, the KPU (a committee for the general elections), did

not permit him to run due to his blindness. The policy was actually based on the rule created by

1 “Social model”, a concept of disability promoted by UPIAS (Union of the Phisically Impaired Againts Sagregation) in United Kingdom and Independent Living a concept of disability promoted by disability movement in USA are the influential concept inspiring many disability movements around the world. See Mike Oliver, (1997) “Disability Movement is a New Social Movement” in Community Development Journals VOL 32 NO. 3.p 244-251

Page 96: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 95

the KPU, which stated that the candidate should be in good health mentally and physically.

According to them, visual impairment is not an indication of poor health. The Indonesian

Physicians Association was involved and had to give an official medical statement regarding the

“sickness” (Kompas, 4, 30, 004)

It was a momentous occasion and had tremendous effects on the disability movement in

Indonesia. Disability issues became a topic of serious public discourse. Many seminars and public

discussions were held on campuses talking about what disability is, as well as the rights of the

disabled. In addition, on May 7, 2004, there was an advertisement in the second biggest

newspaper n Indonesia, the Java Post. It said: “how wonderful their contribution in the world

”Franklin D Roosevelt, John F. Kennedy, David Blunkett, Stephen Hawking, Ludwig van

Beethoven, Taha Husein, Marla Runyan” and the last is Abdurrahman Wahid” (Jawa Pos, 5, 7

2007) These were all disabled people.

Moreover, there were also large demonstrations by people with disabilities against KPU.

There were even huge riots due to this discrimination. In Yogyakarta, particularly specific place

such as in notified as muslim tradisional area, both in rural and urban area. Thousands f people

took to the streets and yelled “Long live Abdurrahman Wahid!”. This also happened in Bangil,

East Java and other places in East Java (Kompas, 5, 27, 2004).

During that time, disability was a word debated by many people, and the term difabel

spread across the country. Many dialogues and public discussions were held, on campuses, and

on television, regarding the rights of people with disabilities. In sum, disability became a topic of

public discourse and the term difabel was a popular buzzword. For people with disabilities,

particularly for those who were not activists, it was at that time that they called themselves

“difabel”. It also happened that most NGO concerned with equal rights began using the term as

well. The disabled had previously been forgotten by many human rights organizations. Clearly,

the general election of 2004 was a huge moment for people with disabilities. It was the time when

many people were introduced to the concept of disability as a “social opression.” in other words,

disability rights are human rights, It was also the time that the definition of disability was

contested by the medical approach and social model. In addition, it was at that time that the term

“difabel’ spread across the country.

Page 97: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

96 Thohari

Series1, 2004, 15

Series1, 2005, 25

Series1, 2006, 69

Series1, 2007, 56

Series1, 2008, 86

Series1, 2009, 54

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

The following figure is a table which shows the emergence of the term difabel in Kompas,

the largest newspaper in Indonesia. Based on this figure, we can see how the term suddenly

became popular in 2004. Following 2004, difabel became more popular, and even more recently,

almost everyone in Indonesia knows what difabel is. At least most people know to whome the

term refers to even if they do not know what the meaning behind it is.

Figure 6. The Dynamic of the Emergence of Difabel in the Largest Indonesian Newspaper,

KOMPAS

Conclusion

The history of the disability Movement in Yogyakarta and even in Indonesia is mostly the

history of the battle for a definition between disability as a medical issue and disability as product

of social opression. This contest was expressed in the terms that they used to define people with

disabilities or “penyandang cacat” (disabled person) and Difabel (differently abled-person).

“Penyandang cacat” is a term created as an adaptation from “people with disabilities”. “Cacat”

is a term for “disabled” from those who believe that a disability is a medical affair and a personal

tragedy. “Difabel” an acronym of “differently-abled-people” refers to disability as a social

construction, being disabled is due to social oppression and domination.

To deal with the problem of people with disabilities, one should not institutionalize them

in specific places, as was done by the government or NGOs which see a disability as a personal

tragedy. Accessibility should be offered in an inclusive society. This means inclusive schools and

equal rights are the answer to the problem.

Page 98: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 97

In the 1990s, after they returned from abroad, some scholars introduced new perspectives

on social issues. This theoretical framework then affected their perspective on disability, since

people with disabilities at that time were really oppressed and discriminated against.

Accordingly, these scholars offered the new term “difabel” instead of “pendyandang cacat”

(disabled people). For them, changing the term is the same as changing the paradigm.

Since 1998, Indonesia’s political climate began to change and it is becoming a more

democratic country. At this moment, NGOs concerned with disabilities use the moment to

promote the new paradigms by using the new term. The methods used are: persuasion of their

members, parades and performances, advocacy, publishing and mentoring, or doing internship

programs. Those methods have been done steadily. They actually strengthen the identity of

people with disabilities.

Furthermore, in the process of their struggles, they fragmented themselves. This was

caused by internal conflicts, or by others who created new organizations in other locations.

However, the process of disunity aided the promotion of the term difabel and the new paradigm

that it offered. The process of these struggles also was helped by a political event in 2004, which

made disability issues a topic of public discourse. It also made the term difabel popular and

strengthened it as a new identity for people with disabilities. Since that moment, difabel is a well

known term to call people with disabilities n Yogyakarta or Indonesia, although some people are

not aware of what it means.

There are different patterns of cohorts within the disability movement in Indonesia. The

first cohort is the “cohort-1990s.” They worked hard to promote the new paradigm and the second

cohort, 2004-2010, is practicing the paradigm. Many activities to promote an inclusive society

came as a result of the paradigm that they promoted. There has been transference of identity here,

from the first cohort to the second cohort. Their diversity and disunity did not reduce their

movement’s identity and perspectives on disability.

Page 99: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

98 Thohari

Bibliography

“Kemampuan Santuni Penyandang Cacat Terbatas” retrieved from Kompas November, 5th 1996

“Mereka bukan Obyek Filantrophis” Retreved from Kompas, December, 9th, 12/1995

“Penyandang Cacat Keluarkan Momerendun Anti-Diskriminasi” Retrieved from Kompas June,

6th 1998

“PKB Galang Perlawanan Terhadap KPU” Retreved from (Kompas, Aprill, 30th, 2004

“Setiap Gerakan menegakkan keadilan sosial tanpa memasukkan analisis terhadap kaum

difabel” retrieved from, Kompas September, 9th 1999

“Warga Bangil Bakar Kartu Pemilih” Retreved from Kompas, May, 5th /2004

Anderson, Benedict. (1960), Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia, Ithaca:

Cornell University Press

Barnes, Colin. (2000) “A Working Social Model? Disability, Work and Disability Politics of in The

21st century ” in Journal Critical Social Policy Vol. 20(4): 441–457; 014665.

_______ and Geof Marcer, (2003), Disability , Polity Press: Cambridge.

Byrne, Jayne. (2003) “Life is challenging for people with disabilities in Indonesia” in Inside

Indonesia http://www.insideindonesia.org/edition-75/disability-in-indonesia retrieved

5/4/2011

Driamanunggal (2010) “about us. At www.driamanunggal.org/htm/beranda retrieved Nov10

2010

Edward, Stave. (2005) Disability, Definition, Value and Identity. Oxford: Redcliff Publishing

Elnashai, Amrs, (2010), The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, Illinois: Mid America Earth-

Quake Center

Fakih, Mansour (2002) Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (The Other World: the manifesto of

Organic Intellectual), Yogyakarta: Insist Press

Finkelstein V. (1980) Attitudes and Disabled People: Issues for Discussion New York: World

Rehabilitation Fund.

Page 100: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Promoting “Difabel”, Promoting Social Model of Disability in Indonesia 99

Oliver, Mike (1997) “Disability Movement is a New Social Movement” in Community Development

Journals VOL 32 NO. 3.p 244-251

Oliver, Mike. (1990). The politics of disablement. London: MacMillan.

Purwanta Setia Adi, (2004), “Menumbuhkan Perspektive Difabel Untuk Mewujudkan

Masyarakat Inklusive”(Increasing disability perspectives toward inclusive society)”

Suharto, Pokok-pokok Pikiran Mansour Fakih, Refkesi Kawan Seperjuangan,( the main thoughts

of Mansour Fakih: a reflection from his a close friend) Yogyakarta: SIGAB

Thohari, Slamet (2011) Contesting Conception of Disability in Javanese Society after Suharto Regime:

A Case of Yogyakarta, Indonesia. Thesis, University of Hawaii at Manoa, Honolulu.

BPPK, (Commission on Protection and Fulfilment of the Rights of Persons with Disabilities), 2013)

Riset Kesehatan Dasar, Jakarta: Kementrian Kesehatan

Page 101: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat

Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak

Pembangunan Proyek Jalan Tol Solo-Ngawi

Atika Yulianti1, Iwan Nurhadi2. Lutfi Amiruddin3

Penelitian ini membahas mengenai adaptasi sosial warga Kedungharjo golongan NU

(Nahdlatul Ulama) di tempat relokasi Mayarakat Muhammadiyah sebagai dampak

pembangunan jalan tol Solo-Ngawi. Kami memilih untuk meneliti masyarakat

Kedungahrjo yang pindah jauh dari tetangganya yang berada di Dusun Sengon dan

Dukuhan. Karakteristik warga dari Dusun tersebut adalah peri urban atau semi perkotaan

dengan warga yang heterogen, termasuk dengan adanya perbedaan golongan agama

Islam antara NU dan Muhammadiyah. Teori Robert K. Merton digunakan dalam melihat

proses adaptasi yang telah dilakukan oleh warga Kedungharjo untuk mengatasi adanya

perbedaan golongan agama. Kami menemukan bahwa warga Kedungharjo melakukan

adaptasi untuk mengatasi perbedaan golongan agama tersebut dengan conformity yaitu

mengikuti kegiatan keagamaan di tempat relokasi; ritualisme yaitu warga Kedungharjo

yang masih mempertahankan nilai dan norma yang diyakini orang-orang NU; retritisme

yaitu bentuk pengunduran diri dengan tidak mengikuti kegiatan keagamaan dari

1 Atika Yulianti: Peneliti Lepas, email: [email protected] 2 Iwan Nurhadi: Mahasiswa Doktoral Institute Pertanian Bogor, email: [email protected] 3 Lutfi Amiruddin: Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, email: [email protected]

© Atika Yulianti, Iwan Nurhadi & Lutfi Amiruddin, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.100-110.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Yulianti, Atika., Nurhadi, Iwan & Amiruddin, Lutfi. 2019.” Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo

Golongan NU di Tempat Relokasi Warga Muhammadiyah Sebagai Dampak Pembangunan Proyek Jalan

Tol Solo-Ngawi,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 100-110.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.07

Page 102: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 101

golongan Muhammadiyah; dan inovasi yaitu dengan mengadakan kegiatan keagamaan

di tempat baru. Dengan penyesuaian yang dilakukan oleh masyarakat Kedungharjo,

mereka telah mengalami disartikulasi sosial, yaitu ditunjukkan dengan tidak bisa

bercampurnya golongan NU dan Muhammadiyah dalam kegiatan keagamaan.

Kata Kunci: Peri Urban, NU, Muhammadiyah, Adaptasi Sosial, Disartikulasi Sosial.

This research discusses the social adaptation of Kedungharjo NU (Nahdlatul Ulama)

community in relocation place of Muhammadiyah society as impact of Solo-Ngawi toll

road development. We chose Kedungharjo community members who moved far from

their neighbors in the hamlets of Sengon and Dukuhan. The community’s characteristics

of the Hamlet are urban or semi-urban is heterogeneous, including in the aspect of

different religious groups between NU and Muhammadiyah. To overcome this, the

people of Kedungharjo have to readjust in place of movement in overcoming the

difference of Islamic religious groups. By Robert K. Merton's theory, we saw the process

of adaptation by the people of Kedungharjo to overcome the existing differences among

the religious groups. We found that the people of Kedungharjo tried to adapt in order to

overcome the different religious groups through conformity by following religious

activities in relocation sites; ritualism by retaining the values and norms of NU’s;

retreatism that by not following the religious activities of the Muhammadiyah followers;

and innovation by holding religious activities at the place of movement. With adjustments

made by the people of Kedungharjo, they experienced social disarticulation, in the sense

that NU and Muhammadiyah followers could not mingle in religious activities.

Keywords: Peri-urban, NU Muhammadiyah, Social Adaptation, Social Disarticulation.

A. Pembangunan Jalan tol Solo-Ngawi dan Tempat Perpindahan dari Warga Kedungharjo

Ada banyak pembebasan lahan yang dilakukan untuk pembangunan jalan tol Jalan tol

Solo-Ngawi yang secara langsung menghubungkan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dengan banyaknya pembebasan lahan rumah atau lahan warga terkena penggusuran. Seperti

salah satu wilayah dari Kabupaten Ngawi, yaitu di Desa Kedungharjo. Di sana, akibat

pembebasan lahan tersebut, warga Desa Kedungharjo terpaksa pindah dari tempat tinggalnya

serta kehilangan lahan-lahan pertanian, karena rata-rata wilayah Desa Kedungharjo adalah lahan

pertanian.

Pada tahun 2016, pembangunan jalan tol Solo-Ngawi sudah dimulai pada tahap

pembangunan jalan dan jembatan. Jumlah lahan yang sudah dibebaskan untuk Desa

Kedungharjo sendiri adalah 12,80 Hektare dari 13,4 Hektar luas sawah, serta luas tanah darat 3,7

Hektar dari 201 bidang, dengan 186 KK yang terkena pembebasan lahan untuk keseluruhannya.

Page 103: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

102 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin

Sedangkan untuk penggusuran rumah jumlah yang terkena adalah 37 KK (hasil wawancara

bersama Pak Carik Kedungharjo SG, 25 Oktober 2016). Untuk wilayah yang terkena

penggususuran baik rumah, sawah, dan tanah tersebut terdapat di Dusun Kedungombo dan

Losari.

Warga yang tergusur rumahnya dari Desa Kedungharjo, kebanyakan mencari tempat

tinggal yang berdekatan dengan tetangga lamanya maupun berdekatan dengan keluarganya.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya risiko beradaptasi atau menyesuaikan dengan

tetangga yang baru atau lingkungan yang berbeda. Namun ada sebagian kecil warga

Kedungharjo justru memilih untuk mencari tempat tinggal baru yang terpisah dengan tetangga

lamanya maupun keluarganya.

Perpindahan yang dilakukan secara terpisah dengan tetangga lama dilakukan oleh warga

yang bekerja sebagai petani dan pegawai negeri. Alasan mereka untuk pindah jauh dengan

tetangga lamanya dikarenakan di dusun yang baru yaitu Dusun Sengon dan Dukuhan yang

berada di Kelurahan Mantingan, merupakan kawasan yang berdekatan langsung dengan Jalan

Raya Solo-Ngawi. Mereka menganggap lokasi ini memiliki kemudahan dalam mengakses segala

kebutuhan warga seperti berdekatan dengan Puskesmas, apotek, supermarket, pasar dan lain-

lain. Dengan akses yang lebih mudah, sebagian warga yang terkena penggusuran ini akhirnya

memilih untuk berpindah di Dusun-dusun tersebut, meskipun pada akhirnya mereka harus

berpisah dengan tetangga lamanya maupun keluarganya.

Dusun-dusun yang menjadi tujuan pindah secara swadaya tersebut, memiliki kondisi

sosial yang berbeda dengan Desa Kedungharjo. Sebagai wilayah yang berdekatan dengan jalan

utama Solo-Ngawi, Dusun Sengon dan Dukuhan memiliki karakter yang individualis maupun

heterogen, khususnya dari aspek agama dan pekerjaan. Di tempat baru, golongan agama

beragam. Di dusun-dusun tujuan kepindahan, sama-sama muslim, namun memiliki dua

golongan Islam yaitu antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Menurut salah satu

anggota dari pimpinan PCM Muhammadiyah di Kecamatan Mantingan, ada sekitar 70% dari

Dusun Sengon dan Dukuhan yang warganya beranggotakan Muhammadiyah (Hasil wawancara

dengan Pak Az, 11 Januari 2017).

Nahlatul Ulama (NU) adalah jam’iyah yang didirikan oleh para Kiai dari Pengasuh

Psantren. Paham Ahlussunnah Wa al-Jama‟ah dalam NU sendiri adalah mencakup aspek

syar‟iyah, aqidah, dan akhlak. Dari ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan aspek dalam

ajaran agama islam. Dalam menyikapi masalah tradisi sendiri orang-orang NU menanggapinya

sebagai melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil atau mengkreasi sesuatu yang baru

yang lebih baik. Artinya menurut orang-orang NU, jika budaya tersebut tidak bertentangan

dengan ajaran pokok Islam, maka budaya tersebut bisa diterima dan diikuti (Tim PWNU,

2007:33)

Page 104: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 103

Warga NU berpendapat bahwa tradisi tahlilan atau yasinan yang biasa dilakukan oleh

warga Kedungharjo, di mana tradisi tahlilan atau yasinan dilakukan karena dianggap tidak

bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Sebelum terkena gusuran proyek jalan Tol, warga

Kedungharjo biasa melakukan kegiatan tahlilan atau yasinan yang biasa dilakukan pada

seminggu sekali atau dilakukan pada hari Kamis, yaitu malam Jumat untuk membangun

hubungan sosial.

Muhammadiyah berarti “umat Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam” dengan arti

bahwa Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini dan diakui oleh semua orang Islam

sebagi hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Menurut Shihab (1997:303-304) Muhammadiyah

memiliki tujuan untuk mengadaptasi ajaran-ajaran Islam yang murni ke dalam kehidupan

modern dengan pergerakan sosial keagamaan modern di Indonesia. Dengan tujuan yang dimiliki

tersebut, tradisi yasinan dan tahlilan dianggap sebagai suatu hal yang bid’ah atau baru dan tidak

pernah dikerjakan dan diperintahkan oleh Rasulullah. Anggapan yang demikian menjadikan

tradisi tahlilan atau yasinan tidak dilakukan oleh golongan Muhammadiyah, contohnya di

Dusun Sengon dan Dukuhan.

Akibat dari penggusuran ini, warga yang dahulu tinggal berdekatan dengan keluarga

ataupun tetangga terpaksa juga kehilangan keterikatan sosial dengan tetangga yang lama

maupun keluarganya. Warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal baru yang terpisah

dengan tetangga lamanya maupun keluarganya, harus menyesuaikan diri dengan kondisi

lingkungan yang baru dari tetangga maupun dari masalah perbedaan golongan tersebut.

Kepindahan warga yang tidak memiliki ikatan sosial dengan tetangga lama maupun

keluarganya menjadikan adaptasi mereka tidaklah mudah.

Dengan penyebab penggusuran tersebut, warga yang berpindah di tempat tinggal yang

baru terpaksa untuk beradaptasi dengan tetangga barunya dan membangun kembali hubungan

sosial. Hal ini dilakukan agar mampu untuk melanjutkan kehidupan yang baru. Robert K.

Merton mengatakan bahwa adaptasi merupakan suatu konsekuensi akibat adanya suatu

perubahan pada warga, di mana warga menggunkan cara adaptasi untuk mengantisipasi

perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial sebagai bentuk respon dari implikasi yang

dirasakan (Merton dalam Ritzer, 2008:272). Akibat terjadinya pembangunan jalan tol, warga

mengalami perubahan pada lingkungan sosial di tempat yang baru dengan terjadinya perbedaan

golongan agama antara NU dan Muhammadiyah, sehingga warga yang terkena penggusuran

tersebut harus beradaptasi dengan warga yang baru dengan kondisi sosial yang baru pula.

Struktur Warga Kedungharjo dan Warga di Dusun Sengon dan Dukuhan

Dusun Sengon dan Dukuhan merupakan satu desa yang berada di Desa Mantingan,

Kecamatan Mantingan. Dusun tersebut merupakan tempat yang dijadikan perpindahan dari

warga Kedungharjo. Karakteristik wilayah dari Dusun Sengon dan Dukuhan merupakan

Page 105: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

104 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin

wilayah peri urban yang memiliki keberagaman warganya baik dari segi sosial, budaya, ekonomi

dan agama. Dari keberagaman tersebut, hal yang paling menonjol dari adanya suatu

keberagaman adalah adanya perbedaan golongan agama Islam, karena penduduk di dusun

tersebut mayoritas beragama Islam. Kegiatan sosial yang paling dominan adalah dari adanya

kelompok golongan agama, yaitu antara golongan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama‟ (NU).

Dari dua golongan tersebut, di Dusun Sengon dan Dukuhan mayoritas kelompok agama

yang berada di Dusun tersebut adalah kelompok golongan Muhammadiyah. Menurut salah satu

PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Mantingan ada sekitar 70%, dengan kegiatan

utamanya adalah adanya pengajian yang dilakukan setiap hari Minggu serta pengajian Ibu-ibu

Aisyah. Dengan tingginya warga di Dusun Sengon dan Dukuhan sebagai kelompok mayoritas

Muhammadiyah, maka ini menjadi suatu perbedaan bagi warga Kedungharjo yang pindah di

Dusun Sengon dan Dukuhan. Hal tersebut dikarenakan, sebelum mereka berpindah di Dusun

tersebut, mayoritas golongan agama yang dianut oleh warga Kedungharjo mayoritasnya adalah

golongan Islam NU (Nahdlaul Ulama‟) yang biasa mengadakan kegiatan acara seperti yasinan

dan tahlil yang mana kegiatan tersebut menjadikan kedekatan antar tetangga di Desa

Kedungharjo.

Hal yang membedakan dari kedua Golongan antara Muhammadiyah dan NU adalah

nilai dan norma yang telah diyakini dalam setiap golongan yang mereka percayai yang

berhubungan dengan segi amaliyahnya. Ajaran dari orang Muhammadiyah sendiri Menurut

Shihab (1997:303-304) Muhammadiyah memiliki tujuan untuk mengadaptasi ajaran-ajaran Islam

yang murni ke dalam kehidupan modern dengan pergerakan sosial keagamaan modern di

Indonesia. Dari tujuan tersebut, Muhammadiyah mendapatkan inspirasi ide-ide

pembaharuannya dari Syaikh Muhammad Abduh, dengan membersihkan serta pembaharuan

Islam dari daki-daki sejarah yang selama ini dianggap tidak bisa terpisahkan dengan ajaran

Islam.

Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena pembebasan lahan

akibat adanya pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan mereka untuk

berpindah tempat tinggal di Dusun Sengon dan Dukuhan dengan mayoritas bergolongan

Muhammadiyah. Definisi dari struktur sendiri menurut Merton (1938:673) adalah suatu hal yang

dapat mengatur dan mengendalikan yang dapat dikendalikan dan diterima oleh masyarakat dari

adanya aturan tersebut yang dapat menuju keberhasilan dari adanya sebuah tujuan.

Terjadinya dua perbedaan golongan agama tersebut yang dilatar belakangi dengan nilai

dan norma yang berbeda dari setiap masing-masing golongan menjadikan dua struktur tersebut

bertemu dalam satu kondisi dengan nilai dan norma yang berbeda dari setiap golongan yang

diyakini masyarakat. Selain itu juga terdapatnya perbedaan status sosial antara NU dan

Muhammadiyah sebagai pemimpin atau orang yang paling dihormati, jika NU dipimpin oleh

Kyai, sedangkan Muhammadiyah tidak begitu terlihat struktur sosialnya, dikarenakan orang

yang dianggap struktur tinggi adalah mereka yang cendekiawan atau kaum intelektual. Selain

Page 106: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 105

itu, ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, jika NU kegiatan yang biasa dilakukan

adalah yasin dan tahlil serta adanya kelompok Muslimatan sedangkan Muhammadiyah hanya

menyelenggarakan pengajian dan adanya kelompok Aisyiyah.

C. Fungsi dan Disfungsi Warga Kedungharjo sebagai Konsekuensi Perpindahan

Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena

pembebasan lahan akibat pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan mereka

untuk berpindah tempat tinggal yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan yang mayoritas

warganya bergolongan Muhammadiyah. Perpindahan yang mereka lakukan secara swadaya

tersebut, menjadikan warga Kedungharjo membangun kembali hubungan sosial di tempat

perpindahan dengan mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Melihat struktur

masyarakat dari nilai dan norma yang dibawa oleh masing-masing golongan agama Islam baik

dari golongan NU dan Muhammadiyah yang berbeda, menjadikan warga NU maupun dari

warga Muhammadiyah menjalankan fungsi dan disfungsi dari adanya perbedaan struktur

tersebut.

Merton menekankan akan adanya kestabilan, kesatuan dan harmoni sistem sosial

(Poloma, 2010:42). Struktur sosial yang berbeda antara golongan NU dan Muhammadiyah di

Dusun Sengon dan Dukuhan menjadikan warga Kedungharjo menjalankan fungsinya untuk

membangun hubungan sosial yang baru, agar tidak ada konflik yang terjadi. Sikap saling

menghargai serta bertoleransi menciptakan kestabilan antara golongan NU dan

Muhammadiyah.

Perpindahan warga Kedungharjo yang bergolongan NU akibat terkena pembangunan

proyek jalan tol Solo-Ngawi yang tinggal di tempat relokasi dengan warga Muhammadiyah,

menimbulkan perbedaan. Warga tidak hanya dipandang sebagai warga yang terintegrasi dengan

mengikuti struktur yang ada, tetapi juga bisa melawan struktur yang ada. Warga tidak biasa

melakukan kegiatan seperti biasanya yang dilakukan warga Kedungharjo sebelumnya, walau

mampu membangun hubungan sosial dengan baik, namun tidak bisa bercampur dalam kegiatan

peribadatan.

Bentuk disfungsi tersebut tidak hanya dari kelompok dari golongan NU saja, tetapi

disfungsi ini juga dilakukan oleh golongan Muhammadiyah. Bentuk disfungsi tersebut adalah

tidak bisanya dari golongan NU maupun dari Muhammadiyah yang bercampur dalam urusan

kegiatan keagamaan. Hal tersebut dikarenakan dalam setiap masing-masing golongan memiliki

nilai dan norma yang diyakini. Sehingga ketika ada struktur yang berbeda, maka akan muncul

konsekuensi yang negatif dengan tidak dapat diterimanya nilai atau norma dari masing-masing

golongan agama baik antara NU ataupun Muhammadiyah.

Terjadinya perpindahan warga Kedungharjo akibat adanya pembebasan lahan dari

pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi juga menjadikan hubungan sosial di tempat

Page 107: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

106 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin

perpindahan warga Kedungharjo dengan warga Sengon dan Dukuhan dirasa kurang guyub dan

tidak seperti warga Kedungharjo sebelumnya. Perpindahan yang dialami oleh warga

Kedungharjo selain disfungsi dengan permasalahan golongan agama, disfungsi yang mereka

rasakan adalah kurang eratnya hubungan sosial dari warga Dusun Sengon dan Dukuhan yang

memiliki karakter wilayah yang peri urban, sehingga warganya dianggap lebih cuek atau

individualis.

Proses Penyesuaian Diri di Tempat Perpindahan

Warga Kedungharjo yang bergolongan NU (Nahdlatul Ulama‟) yang terkena

pembebasan lahan akibat terkena pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi, mengharuskan

mereka pindah ke tempat yang mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Tempat

perpindahan yang mereka pilih yaitu berada di Dusun Sengon dan Dukuhan. Perbedaan

golongan agama di tempat baru mengharuskan mereka menyesuaikan dengan kondisi yang

sebelumnya belum pernah dialami oleh warga Kedungharjo. Merton dalam jurnal American

Sociological Association (2015:674) mengatakan bahwa agar struktur sosial seimbang, maka

individu harus merawat sistem yang muncul dengan cara menyesuiakan diri dari adanya sistem

untuk mencapai sebuah tujuan.

Warga Kedungharjo yang pindah harus diri dengan kondisi tempat baru mereka,

termasuk dalam hal perbedaan golongan agama. Merton menyebutnya sebagai konsekuensi

yang ditimbulkan akibat adanya perubahan yang terjadi di masyarakat, di mana masyarakat

menggunakan adaptasi sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi pada

lingkungan sosial dalam masa hidupnya sebagi bentuk respon dari adanya implikasi yang

dirasakan (Merton dalam Ritzer, 2008:272).

Perubahan yang dirasakan dari Warga Kedungharjo setelah berpindah adalah merasakan

bahwa di lingkungan sekitar tempat tinggal yang baru di Dusun Sengon dan Dukuhan adalah

memiliki kondisi wilayah yang peri urban atau semi perkotaan. Dengan kondisi wilayah yang

demikian warga Kedungharjo menilai bahwa warga di Dusun Sengon dan Dukuhan tergolong

cuek atau individualis. Selain itu, terdapatnya perbedaan golongan agama yang terlihat jelas

antara sesama umat Islam yaitu antara golongan Muhammadiyah sebagai mayoritas dan NU

sebagai kelompok Minoritas.

Perbedaan dua golongan agama tersebut, menjadikan warga Kedungharjo tidak dapat

melakukan kegiatan di tempat relokasi yang biasanya melakukan kegiatan keagamaan seperti

tahlilan atau peribadahan yang dilakukan dengan cara-cara dari golongan NU. Melihat adanya

perbedaan struktur dari dua golongan agama antara NU dan Muhammadiyah maka, warga

Kedungharjo harus menjalankan fungsi dari adanya struktur yang berbeda sebagai bentuk untuk

menghindari terjadinya konflik. Namun, tidak hanya menjalakan fungsi untuk mengatasi adanya

perbedaan struktur, warga Kedungharjo juga tidak selalu menjalankan fungsinya, artinya

Page 108: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 107

terdapat disfungsi dari warga sebagai bentuk tidak dapatnya menerima atau menjalankan fungsi

dari struktur yang ada, sehingga perlu penyesuaian untuk tetap menjaga struktur agar tidak

menimbulkan konflik.

Menurut Merton ada lima tipologi adaptasi yaitu Conformity, Inovasi, Ritualisme,

Retritisme, Rebellion, empat di antaranya telah digunakan oleh warga Kedungharjo untuk

menyesuaikan dari adanya perbedaan golongan agama antara NU dan Muhammadiyah

diantaranya yaitu Conformity, Ritualisme, Retritisme dan Inovasi.

Penyesuaian pertama yang telah dilakukan warga Kedungharjo untuk menghadapi

adanya perbedaan golongan agama adalah Conformity, yaitu adanya warga Kedungharjo yang

bersepakat mengikuti pengajian di tempat baru khusunya di Dusun Sengon dan Dukuhan, untuk

dapat melakukan kegiatan keagamaan dengan sesama muslim. Merton dalam jurnal American

Sociological Association (2015:677) menyebutkan bahwa Conformity merupakan suatu cara

penyesuaian diri dengan cara yang sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan masyarakat.Pola

tersebut merupakan satu-satunya pola adaptasi yang cara dan mencapai tujuannya normal,

karena dalam suatu kelompok telah mengikuti nilai dan norma yang ada.

Sebenarnya, ada harapan atau tujuan lain yang sebenarnya yang diinginkan oleh warga

Kedungharjo ketika mereka menyetujui nilai dan norma yang berada di Dusun Sengon dan

Dukuhan. Tujuan lain tersebut adalah dengan mengikuti kegiatan yang ada, sebenarnya warga

Kedungharjo menginginkan sikap menghargai dari kelompok Muhammadiyah, agar bersedia

hadir di kegiatan tahlilan. Namun dari golongan Muhammadiyah tidak pernah hadir jika

diundang.

Selain itu, warga Kedungharjo yang ikut beribadah di Masjid Muhammadiyah

merupakan tidak ada pilihan lain bagi warga Kedungharjo untuk beribadah di masjid NU,

karena masjid terdekat yang berada di rumahnya adalah masjid orang Muhammadiyah.

Penyesuaian kedua dari Merton dalam American Sociological Assosiation (2015:678)

adalah menggunakan Ritualisme dengan masih berpegang pada budaya atau cara-cara yang

masih diakui oleh warga. Seperti masih mengikuti pengajian Muslimatan dan tahlilan dari

golongan NU sebagai bentuk penyesuaian dari lingkungan dengan warga yang mayoritas

Muhammadiyah. Dalam menyesuaikan kondisi dari adanya perbedaan golongan agama antara

NU dan Muhammadiyah, warga Kedungharjo yang pindah di Dusun Sengon dan Dukuhan

masih mempertahankan nilai dan norma yang diyakini sebagai dari golongan NU yang tinggal

dengan warganya mayoritas Muhammadiyah.

Bentuk penyesuai diri dari Merton lainnya adalah Retritisme yang merupakan sebagai

bentuk dari pengunduran diri. Bentuk dari tindakan ini adalah meninggalkan dari cara

pencapaian serta tujuan yang dilakukan oleh pelaku penyimpangan bersifat konvensional, yaitu

ketika warga Kedungharjo tidak mengikuti kegiatan yang ada karena tidak sepaham.

Page 109: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

108 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin

Penyesuaian yang terakhir yang digunakan oleh Warga Kedungharjo untuk

menyesuaikan dari adanya perbedaan golongan agama tersebut adalah menggunkan adaptatasi

inovasi, yaitu pola adaptasi yang menyimpang dari nilai yang ada di warga dan cara yang

dilakukan sangatlah berlawanan, tetapi tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan standard.

Warga Kedungharjo melakukan inovasi dengan cara mengadakan kegiatan mengaji Alqur’an

yang merupakan suatu cara penyesuaian yang bertujuan untuk mengakrabkan diri dengan

tetangga. Apalagi, kegiatan membaca Al-quran tersebut tidak menyimpang, namun menghargai

warga yang berbeda golongan.

Dengan penyesuaian yang dilakukan oleh warga Kedungharjo sebagai golongan NU

yang pindah di Dususn Sengon dan Dukuhan yang mayoritas warganya bergolongan

Muhammadiyah, maka warga dari Dusun perpindahan tersebut telah menerima kedatangan dari

masyarakat Kedungharjo yang terkena pembebasan lahan akibat dari pembangunan proyek jalan

tol Solo-Ngawi. Ada warga Dusun Sengon dan Dukuhan yang menerima undangan kegiatan

yasin dan tahlil sebagai bentuk penghargaan, tetapi tidak hadir di kegiatan rutin yasin dan tahlil.

Di sisi lain, ada juga dari warga Dusun Sengon dan Dukuhan tetap tidak mau mengikuti atau

tidak ikut acara yasin dan tahlil. Sebagai warga baru, warga Kedungharjo mencoba mengikuti

kegiatan yang berada di Dusun Sengon dan Dukuhan, masih mempertahankan kegiatan yasin

dan tahlil, tidak mengikuti pengajian dari kelompok Muhammadiyah serta mengadakan

kegiatan baru di tempat perpindahan. Dari berbagai penyesuaian tersebut merupakan upaya dari

warga Kedungharjo sebagai bentuk penyesuaian diri di tempat yang baru dengan kondisi sosial

yang baru pula.

Sementara itu, warga Muhammadiyah melihat adanya kelompok NU di Dusun Sengon

dan Dukuhan, mereka pada akhirnya juga harus menyesuaikan dari keadaan tersebut, dengan

cara hadir jika diundang ke acara yasin dan tahlil, sebagai bentuk untuk saling menghormati dan

menghargai. Ada juga yang tetap tidak hadir dikarenakan hal tersebut tidak diajarkan pada masa

Rasulullah atau biasa disebut sebagai bid’ah. Oleh karena itu mereka tetap tidak hadir meskipun

sebatas hanya bentuk menghargai atau penghormatan. Warga dari Desa Kedungharjo yang

terkena pembebasan lahan akibat terkenanya pembangunan proyek jalan tol Solo-Ngawi,

mengharuskan mereka pindah dan berpisah dengan tetangga lamanya.

Cernea (1997:7) menyebutkan bahwa pemindahan paksa akan menimbulkan resiko yang

dialami oleh warga yang telah terkena pembebasan lahan, salah satunya adalah disartikulasi

sosial, yaitu menyebarnya hubungan warga dan menyebarnya tatanan warga dengan terjadinya

disintegasi sosial atau tidak dapat menyatunya warga. Seperti dialami oleh warga Kedungharjo,

dulu hubungan mereka sudah terjalin dengan baik dan erat dibanding dengan warga Dusun

Sengon dan Dukuhan.

Perpisahan yang telah dialami oleh warga Kedungharjo dan keharusan mereka untuk

menyesuaikan diri dengan adanya perbedaan golongan agama antara NU dan Muhammadiyah,

mengarah pada disartikulasi sosial. Disartikulasi ini terjadi pada saat dengan adanya

Page 110: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Adaptasi Sosial Warga Kedungharjo Golongan NU di Tempat Relokasi 109

permasalahan golongan agama, di mana warga Kedungharjo sebagai golongan NU tidak bisa

berbaur dalam permasalahan agama dengan warga di Dusun Sengon dan Dukuhan. Di sisi lain,

warga Dusun Sengon dan Dukuhan dari golongan Muhammadiyah juga tidak dapat mengikuti

nilai dan norma dari golongan NU. Meskipun diantara dua golongan tersebut sebagian warga

ada yang mau menerima nilai dan norma dari golongan NU maupun Muhammadiyah.

Konsekuensi Pembangunan Jalan Tol Solo-Ngawi

Akibat adanya pembangunan jalan tol Solo-Ngawi telah menjadikan warga Kedungharjo

yang bergolongan NU harus terpaksa memilih pindah di Dusun Sengon dan Dukuhan dengan

mayoritas warganya bergolongan Muhammadiyah. Dusun Sengon dan Dukuhan tersebu

merupakan wilayah yang berdekatan langsung dengan jalan utama Solo-Ngawi dengan lebih

dekat akses fasilitas umum. Selain itu Warga di Dusun Sengon dan Dukuhan memiliki

karakteristik peri urban atau semi perkotaan dengan warganya yang heterogen dan individualis.

Selain adanya perbedaan golongan agama, warga yang pindah secara terpaksa tersebut juga

mengalami disartikuasi sosial.

Untuk mengatasi adanya perbedaan golongan agama Islam serta dengan warga yang

sudah semi perkotaan, maka warga Kedungharjo telah melakukan proses adaptasi di tempat

perpindahan dengan tetangga yang baru dengan melalui 4 proses adaptasi yaitu Conformity,

Ritualisme, Retritisme, dan Inovasi.

Page 111: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

110 Yulianti, Nurhadi & Amiruddin

Daftar Pustaka

Cernea, Michael.1997.The Risk and Recontruction Model For Resettling Displaced Population

Vol.25, No 10, pp 1569 1587, 1997. Word Bank: Elsevier Science Ltd All rights reserved

Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Creswell, John .2015.Penelitian Kualitatif dan Desain Riset (Memilih di antara lima Pendekatan).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Merton, Robert K.1938. Social Structure and Anomie. Harvad University: American Sociological

Association

Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Shihab,Alwi.1997. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam

Beragama. Bandung: Mizan

Page 112: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

ARTIKEL

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga

Sapulidi Dalam Memperjuangkan Situasi Kerja Layak

Ari Ujianto1

Artikel ini membahas pengorganisasian komunitas (community organizing) yang

dilakukan Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi, Jakarta dalam memperjuangkan

situasi kerja layak (decent work) di Indonesia, tahun 2013-2018. Situasi kerja yang dialami

pekerja rumah tangga di Indonesia belum bisa disebut layak karena masih terdapat

eksploitasi, kekerasan dan eksklusi dari kewargaan industrial. Salah satu sebab masalah

itu terus terjadi adalah karena pekerja rumah tangga tidak terorganisasi. Artikel ini

menawarkan konsep pengorganisasian komunitas untuk menganalisis strategi intervensi

sosial yang dilakukan Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Jakarta dalam

memperjuangkan situasi kerja layak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,

dengan teknik wawancara langsung dengan pengurus dan pengorganisasi komunitas

(community organizer) SPRT Sapulidi, serta menggunakan dokumen-dokumen yang

dimiliki SPRT Sapulidi dan lembaga lain. Penelitian ini menemukan bahwa dengan

strategi pengorganisasian yang tepat, maka ada peningkatan jumlah anggota yang cepat

dan peningkatan pemahaman anggota terhadap situasi kerja layak, sehingga mereka

secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri memperjuangkan situasi kerja layak

tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perjuangan dalam mencapai tujuan dari

sebuah organisasi membutuhkan pendekatan pengorganisasasian yang tepat dan

berkesinambungan.

Kata kunci: pengorganisasian komunitas, pekerja rumah tangga, kerja layak

1 Ari Ujianto: Mahasiswa Magister Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,

Email: [email protected]

©Ari Ujianto, 2019

Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019. Hal.112-127.

Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):

Ujianto, Ari.2019.”Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Dalam

Memperjuangkan Situasi Kerja Layak,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 3(1): 112-127.

DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2019.003.1.08

Page 113: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

112 Ujianto

This article discusses community organizing by the Sapulidi Domestic Workers Union

Jakarta in fighting for a decent work situation in Indonesia, 2013-2018. The work situation

experienced by domestic workers in Indonesia cannot be considered feasible because

there is still exploitation, violence, and exclusion from industrial citizenship. One of the

reasons for this problem continues to occur, one of which is because domestic workers are

not organized. This article aims to elaborate the approach Sapulidi Domestic Workers

Union, Jakarta in fighting for a decent work situation. This research used a qualitative

approach, with data collection conducted by direct interviews with board and community

organizers of Sapulidi Domestic Workers Union, and using documents owned by Sapulidi

and other institutions. This research found that with the right organizing strategy, there

was a rapid increase in the number of organizational members. In addition, there is also

an increase in members' understanding of decent work situations for domestic workers,

so that they jointly and individually try to fight for these decent work situations. This

study concludes that the struggle in achieving the goals of an organization requires an

appropriate and sustainable organizational approach.

Keywords: community organizing, domestic workers, decent work

Pendahuluan

Berdasarkan estimasi International Labour Organization (selanjutnya ditulis ILO) Jakarta

pada tahun 2015, dengan bersandar pada data Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS,

jumlah pekerja rumah tangga (selanjutnya ditulis PRT) pada tahun 2015 telah mencapai 4,6 juta

orang (ILO 2018). Sedangkan dari rapid assessment Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah

Tangga (JALA PRT) tahun 2009, diperkirakan jumlah PRT lokal di Indonesia adalah 10.744.887

karena 67% dari rumah tangga kelas menengah dan menengah atas mempekerjakan PRT. Di

tengah jumlahnya yang terus meningkat, PRT selama ini merupakan kelompok yang

termarginalkan yang menghadapi berbagai masalah dan hambatan baik kultural mau pun

struktural.

Hambatan secara kultural yang dimaksud adalah masih melekatnya sistem nilai, adat

istiadat, norma-norma, kebiasaan pada individu atau masyarakat yang telah mendarah daging

yang menempatkan PRT sebagai pekerjaan rendahan, sehingga sebutan sebagai pembantu masih

melekat. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan ini tidak diakui sebagai pekerjaan yang

sesungguhnya. Sebutan “pembantu” dari pada “pekerja” oleh kebanyakan anggota masyarakat

Page 114: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 113

kita menandakan bahwa pekerjaan sebagai PRT dianggap bukan pekerjaan utama, yang bisa

menghasilkan uang atau pemasukan tetap bagi keluarga.

Ada pun hambatan struktural yang dialami PRT adalah tiadanya perlindungan dan

pemenuhan hak-hak mereka, misalnya bisa dilihat bahwa sampai saat ini negara belum

mengakui secara formal pekerjaan PRT dan mereka tereksklusi dari dunia ketenagakerjaan

(kewargaan industrial) sehingga rentan akan eksploitasi, diskriminasi dan dilanggar hak-hak

asasinya (Gastaldi 2015). Hingga kini belum ada satu pun peraturan setingkat undang-undang

untuk mengatur dan melindungi nasib PRT secara legal. Undang-undang Nomer 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, misalnya, tidak secara khusus mengatur persoalan PRT, apa lagi

memberikan dasar perlindungan hukum (Wijaksana 2005).

Berbagai permasalahan, kondisi dan situasi yang dihadapi PRT seperti disebutkan di atas,

khususnya mengenai tereksklusinya PRT dari hukum ketenagakerjaan, salah satu sebab

fundamentalnya karena PRT tidak berserikat atau tidak terorganisasi (Buckley, Cristaudo dan

Weil 2013). Sehingga permasalahan tersebut juga acap kali menjadi latar belakang dilakukannya

pengorganisasian PRT, termasuk di Indonesia. Pengorganisasian ini kemudian memunculkan

organisasi-organisasi PRT seperti Serikat PRT (selanjutnya ditulis SPRT) Tunas Mulia,

Yogyakarta pada tahun 2004. Setelah itu bermunculan organisasi-organisasi PRT di beberapa

kota, seperti SPRT Merdeka di Semarang tahun 2012, SPRT Sapulidi di Jakarta tahun 2013,

Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata) Panongan di Kabupaten Tangerang tahun 2014 dan

SPRT Paraikatte di Makassar tahun 2015.

Di tengah semakin meningkatnya upaya pengorganisasian terhadap PRT, berbagai

masalah dan kendala juga muncul. Menurut International Domestics Workers Federation (IDWF)

dan International Labour Organization (2017), masalah dan kendala tersebut antara lain:

Pertama, PRT selama ini terisolasi dari dunia luar dan sulitnya pihak lain menemui

mereka. PRT yang bekerja di ruang privat dan dalam kendali pengguna jasa, tidaklah mudah

untuk ditemui, diajak bicara panjang lebar, serta diajak berorganisasi. Apalagi jika PRT tersebut

live-in (tinggal di rumah pengguna jasa), sehingga semakin terbatas lagi ruang geraknya. Apabila

sudah masuk organisasi, kadang keikutsertaan dan keaktifan mereka seringkali tergantung dari

“kebaikan hati” pengguna jasa.

Page 115: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

114 Ujianto

Kedua, waktu dan sumberdaya yang terbatas. Waktu luang yang dipunyai PRT amatlah

sedikit. Hal ini terjadi karena masih banyaknya PRT yang tidak mendapatkan hari libur

mingguan (1 hari dalam 1 minggu). Jika pun mendapat libur mingguan, waktu libur itu harus

digunakan untuk berbagai hal, misalnya untuk keluarga.

Ketiga, tidak ada kapasitas yang memadai dan strategi yang jelas dalam

pengorganisasian. Kegagalan-kegagalan dalam pengorganisasian PRT di Indonesia yang dimulai

sejak awal 2000-an salah satunya karena tiadanya strategi yang jelas.

Keempat, merosotnya jumlah keanggotaan dan partisipasi dalam kelompok atau

organisasi. Masalah ini terkait dengan poin ketiga, karena kapasitas organizer yang tidak

memadai dan strategi yang digunakan tidak tepat semakin mempercepat penurunan atau

ketidakaktifan anggota.

Gastaldi, Jordhus-Lier, dan Prabawati (2018) juga mengungkapkan hal yang hampir sama

bahwa ada empat hambatan struktural sehingga pengorganisasian PRT menjadi sulit. Pertama,

adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara PRT dengan majikan atau rumah tangga

tempat PRT bekerja. Kedua, para PRT berpendidikan rendah dan mempunyai sedikit keahlian

formal yang dihargai dalam dunia kerja, sehingga melemahkan posisi PRT dalam melakukan

tuntutan upah dan negosiasi kerja. Ketiga, pekerjaan rumah tangga kerap bersifat informal,

lemah dan tidak ada kesepakatan kontrak. Keempat, pekerjaan dilakukan di rumah pribadi yang

merepresentasikan angkatan kerja yang terisolasi dari kawan-kawan pekerja lainnya. Karena

terisolasi ini, jika PRT mendapatkan masalah maka dia harus menghadapinya sendirian.

Pengorganisasian komunitas atau community organizing merupakan sebuah pendekatan

dalam intervensi kesejahteraan sosial (social welfare intervention) yang berbeda dengan

pendekatan lain seperti pelayanan sosial, aktivisme, advokasi dan pembangunan komunitas

(Pyles 2009). Pendekatan selain pengorganisasian komunitas selama ini dianggap belum bisa

memberikan solusi secara mendasar dan berkelanjutan. Pendekatan pelayanan sosial (social

service) misalnya, justru dianggap melanggengkan ketergantungan masyarakat terhadap

program dari luar komunitas. Sedangkan pendekatan advokasi dianggap hanya berorientasi ke

luar tanpa penguatan kohesi di dalam dan pendekatan pembangunan komunitas hanya

berorientasi ke dalam, tanpa orientasi perubahan di luar komunitas

Page 116: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 115

Analisis dalam penelitian ini akan menggunakan konsep pengorganisasian komunitas

yang dipaparkan oleh Schutz dan Sandy (2011:12), seperti diuraikan sebagai berikut:

“community organizing seeks to alter the relationsof power between the groups who have

traditionally controlled our society and the residents of marginalized communities.

Organizing groups shift the relations of power by increasing their membership, nurturing

and training leaders, gaining a reputation for canny strategy, raising money to fund their

infrastructure and staff, and demonstrating their capacity to get large numbers of people

out to public actions”.

Jadi, dari definisi yang dipaparkan di atas, pengorganisasian komunitas mencakup dimensi

yang memperkuat komunitas (ke dalam) dan mengubah relasi kekuasaan dan struktur

kekuasaan yang selama ini mempengaruhi atau mengontrol komunitas tersebut (ke luar).

Penguatan diri ke dalam dan mengubah relasi kekuaaan dengan pihak luar tersebut dilakukan

dengan berbagai kegiatan atau langkah-langkah.

Selain meliputi dimensi internal dan eksternal, pengorganisaian komunitas, seperti terurai

dari definisi di atas, menggabungkan 3 elemen dasar, yakni antara posisi, proses, dan tujuan dari

pengorganisasian komunitas. Elemen posisi menunjukkan bahwa komunitas yang melakukan

pengorganisasian atau yang diorganisasikan berada dalam posisi yang marjinal, yang berupaya

mengubah posisi atau relasi kuasa dengan berbagai tindakan. Selanjutnya elemen proses adalah

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang bersama komunitas atau

anggota komunitas itu sendiri untuk mengubah posisi atau menyelesaikan masalah yang

dihadapi. Menurut Schutz dan Sandy, tindakan-tindakan itu meliputi: mengembangkan anggota,

merawat dan melatih pemimpin-pemimpinnya, menggalang dana untuk pembiayaan organisasi

dan melakukan aksi publik. Sedangkan elemen tujuan dari pengorganisasian komunitas

terentang dari hal yang sederhana atau praktis, seperti menyelesaikan masalah-masalah

komunitas hingga mengubah relasi kuasa.

Berkaca dari berbagai masalah dalam melakukan pengorganisasian PRT, peneliti akan

memfokuskan pada sebuah organisasi PRT, yakni SPRT Sapulidi Jakarta dalam melakukan

pengorganisasian komunitas untuk situasi kerja layak. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana proses pengorganisasian komunitas yang dilakukan SPRT Sapulidi, Jakarta dalam

Page 117: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

116 Ujianto

memperjuangkan situasi kerja layak? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui metode pengorganisasian komunitas seperi apa yang digunakan dan strategi-

strategi yang dikembangkan oleh SPRT Sapulidi, Jakarta.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum SPRT Sapulidi

SPRT Sapulidi didirikan pada 16 Juni 2013 oleh sekitar 7 PRT dan seorang aktivis pembela

hak-hak PRT, di Jakarta Selatan. Pertemuan pada 16 Juni tersebut kemudian ditindaklanjuti

dengan pertemuan yang lebih besar pada 30 Juni 2013, dengan diikuti sekitar 35 PRT untuk

membentuk pengurus dan program yang akan dilakukan.

Ketika didirikan, tujuan SPRT Sapulidi masih amat sederhana, misalnya sebagai wadah

untuk membicarakan masalah yang dihadapi PRT. Di kemudian hari, setelah melalui berbagai

pertemuan, tujuan organisasi lebih diperjelas. Di dalam brosurnya, SPRT Sapulidi didirikan

karena dilatarbelakangi kondisi PRT di Indonesia yang memiliki situasi kerja tidak layak, tanpa

pengakuan dan perlindungan. Untuk memperjuangkan adanya perlindungan, maka dibutuhkan

wadah untuk berkumpul dan berorganisasi sehingga bisa saling berbagi, bergerak bersama

untuk memperjuangkan hak-hak PRT, hak-hak perempuan dan hak-hak sebagai warga negara.

Selain itu, SPRT Sapulidi didirikan dengan tujuan agar PRT terorganisasi sehingga mampu

memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT, serta situasi kerja layak bagi PRT

(brosur profile SPRT Sapulidi, tanpa tahun).

Struktur organisasi SPRT Sapulidi mengalami beberapa kali perubahan. Pada awal

didirikan, struktur organisasi masih sederhana, misalnya untuk pengurus hanya ada 3, yakni

ketua, sekretaris dan bendahara. Pada awal berdiri, jangkauan wilayah anggota hanya sebatas di

daerah Terogong, Jakarta Selatan. Kemudian pada bulan Oktober 2015, ada perubahan dalam

pengurusan dan struktur wilayah koordinasi. Hal ini karena anggota sudah mulai berkembang.

Pada pertemuan di bulan Oktober 2015 dicapai kesepakatan bahwa struktur wilayah dibagi ke

dalam 3 komunitas pekerja rumah tangga (Komperata), yakni: (1) Komperata Terogong,

Pakubuwono, Sudirman; (2) Komperata Cilandak-Ampera; (3) Komperata Cipete-Kemang.

Masing-masing Komperata juga dibentuk kepengurusan.

Page 118: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 117

Pada tahun 2018, setelah anggota SPRT Sapulidi mencapai ribuan, pembagian 3

komperata diubah kembali, yakni 3 komperata tersebut dipecah atau diperluas menjadi 11 sub-

komperata (selanjutnya ditulis SK), dan di bawah SK ada kelompok atau tim 10. Hal ini dilakukan

untuk mempermudah koordinasi dan memperluas jangkauan wilayah, memunculkan sebanyak

mungkin pemimpin, serta mempermudah dalam sekolah wawasan karena punya tempat sendiri

untuk sekolah, tidak harus ke sekolah serikat di jalan Bahari Raya.

Ke 11 SK tersebut meliputi: (1) SK Terogong, (2) SK Pondok Ranji, (3) SK Pakubuwono-

Gandaria, (4) SK Cilandak-Ampera, (5) SK Cinere-Ciputat-Lebak Bulus, (6) SK Bintaro, (7) SK

Jagakarsa-Ciganjur, (8) SK Cipete, SK Kemang, (9) SK Citayam, (10) SK Depok, (11) SK Kuningan-

Casablanca. Setiap SK mempunyai kepengurusan tersendiri dan berkoordinasi secara rutin setiap

bulan, baik di SK mau pun antar SK (profile SPRT Sapulidi, tanpa tahun). Kepengurusan dalam

SK dan serikat juga bersifat kolektif, dengan tidak ada koordinator tapi ada pengurus per bidang.

Bidang-bidang tersebut meliputi: pengorganisasian, advokasi dan penanganan kasus, ekonomi,

media dan kampanye.

Terdapat perkembangan dari waktu ke waktu mengenai program atau kegiatan yang

dilakukan. Pada tahun-tahun awal berdiri yakni tahun 2013-2014, kegiatan yang dilakukan

meliputi pertemuan rutin atau sekolah wawasan, kemudian kursus bahasa Inggris dan

perekrutan anggota. Setelah mampu menyewa sekretariat sendiri dan bekerjasama secara formal

dengan JALA PRT dan ILO Jakarta lewat program Promote dari tahun 2014-2017, kegiatan SPRT

Sapulidi menjadi lebih banyak. Ada berbagai pelatihan yang dilakukan seperti: pelatihan

pengorganisian, pelatihan paralegal, pelatihan koperasi, pelatihan K-3 (keamanan, kesehatan dan

keselamatan kerja), pelatihan koperasi, pelatihan menulis, pelatihan pengelolaan koperasi,

pelatihan tata boga, pelatihan teater, pelatihan kampanye lewat media sosial dan lain-lain. Selain

pelatihan, kegiatan rutin yang dilakukan meliputi sekolah wawasan, kursus bahasa Inggris,

kursus komputer, Kelompok Belajar (Kejar) Paket, perekrutan anggota, penangangan kasus,

kampanye dan advokasi serta usaha ekonomi.

Kegiatan-kegiatan tersebut dikoordinasikan secara rutin dalam setiap pertemuan-

pertemuan, dari tingkat kelompok 10, sub-komperata, mau pun tingkat serikat. Pembiayaan dari

berbagai kegiatan tersebut berasal dari support atau kerjasama dengan JALA PRT, ILO, mau pun

Page 119: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

118 Ujianto

dengan biaya sendiri. SPRT Sapulidi bisa membiayai beberapa kegiatan sendiri karena adanya

iuran anggota yang rutin setiap bulan mau pun iuran secara insidental. Iuran rutin anggota per

bulan sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah), sedangkan iuran insidental per kegiatan tidak

ada ketentuannya atau secara sukarela. Sampai Desember 2018, jumlah iuran (uang kas) SPRT

Sapulidi telah mencapai Rp. 176.906.000,- (seratus tujuh puluh enam juta sembilan ratus enam

ribu rupiah).

Pengorganisasian Komunitas SPRT Sapulidi

Dalam melakukan pengorganisasian komunitas PRT, ada semacam siklus proses yang

dilakukan oleh SPRT Sapulidi yang dimulai dari perekrutan anggota, kemudian perawatan

dengan berbagai kegiatan dan selanjutnya melakukan tindakan publik. Proses tersebut bisa

diuraikan sebagai berikut:

Perekrutan Anggota

Di tahun-tahun awal berdirinya SPRT Sapulidi, pengorganisasian komunitas dimulai

dengan perekrutan anggota yang tinggal di dekat pengurus atau bekerja di sekitar tempat kerja

pengurus. Tidak ada metode yang sistematis dalam merekrut anggota, hanya datang bertemu

dan langsung mengajak untuk bergabung, karena biasanya yang didatangi adalah PRT yang

sudah dikenal.

Karena metode yang tidak sistematis dan perekrutan tergantung dengan pengurus, maka

penambahan anggota tidak terlalu banyak. Selama dua tahun setelah didirikan penambahan

anggotanya hanya 84 orang, yakni dari 31 menjadi 115 anggota.

Titik penting bagi perkembangan SPRT Sapulidi adalah pasca dilakukan pelatihan

pengorganisasian komunitas bagi PRT pada Agustus 2015. Pelatihan pengorganisasian

komunitas yang dilakukan di Jogjakarta pada 20-25 Agustus 2015 (selanjutnya ditulis pelatihan

Jogja) tersebut diikuti oleh beberapa PRT dan aktivis yang melakukan pengorganisasian PRT

dalam jaringan JALA PRT, dengan support dari proyek Promote ILO. SPRT Sapulidi

mengirimkan 8 orang yang memenuhi kriteria dan menjadi leader selama ini. Mereka yang

dikirimkan adalah Leni Suryani, Ludiah, Marweni, Santi, Winarsih, Ajeng Astuti, Dian

Arestiyanti dan Yuni Sri Rahayu.

Page 120: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 119

Di pelatihan Jogja tersebut leaders dari SPRT Sapulidi belajar metode baru dalam merekrut

anggota, yang disebut dengan metode door knocking atau metode Rap. Metode ini memiliki 6

langkah dalam merekrut tanggota. 6 langkah Rap tersebut meliputi: perkenalan (introduction), Isu

(issue), polarisasi (polarize), visi (vision), tanya/mengajak (ask) dan tindak lanjut (follow up).

Metode Rap ini adalah penyederhanaan metode pengorganisasian komunitas yang

selama ini menggunakan metode yang terlalu lama dalam melakukan integrasi, pengumpulan

data dan pelatihan jangka panjang bagi community organizer-nya (CO) yang diikuti

pelaksanaannya/praktek di lapangan (IDWF & ILO 2017).

Metode Rap ini diperkenalkan ke jaringan JALA PRT, termasuk SPRT Sapulidi dengan

disesuaikan dengan konteks PRT. Rap ini menawarkan metode yang partisipatif, sistematis dan

dinamis yang memungkinkan PRT, baik sebagai Rapper dan target Rap, memahami masalah

yang dihadapi dan bagaimana seharusnya masalah tersebut harus diselesaikan. Metode ini

bertujuan menumbuhkan kesadaran kritis PRT sehingga memutuskan terlibat dalam aksi

bersama dalam sebuah organisasi (IDWF & ILO 2017).

Secara lebih detil, proses perekrutan anggota dengan metode Rap yang dilakukan oleh

staf pengorganisasian SPRT Sapulidi bisa diuraikan sebagai berikut: Pertama-tama dimulai

dengan mendatangi PRT satu per satu baik di tempat tinggal atau tempat kerja, tapi sebelumnya

tentu dibekali informasi kontak atau alamat PRT. Kadangkala, organizer melakukan perekrutan

anggota di mana pun dan kapan pun mereka bertemu dengan PRT, bisa di warung, di dalam lift

apartemen atau di depan rumah majikan mereka. Tapi semua tetap diawali dengan observasi,

khususnya observasi terhadap wilayah-wilayah yang menjadi tempat tinggal PRT.

Setelah ketemu dengan PRT, organizer/rapper lantas menerapkan metode 6 langkah rap

atau biasa disebut ngerap. Tidak seperti cara mengajak seseorang masuk organisasi secara

konvensional yang membutuhkan waktu berjam-jam, cara ngerap dirancang bisa mengajak orang

dalam waktu kurang dari 30 menit.

Langkah pertama, Rapper akan memperkenalkan diri dan organisasi SPRT Sapulidi,

khususnya tentang visi dan misi organisasi, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Langkah

pertama menjadi kunci, karena ketertarikan PRT terhadap apa yang dibicarakan rapper dimulai

dari langkah ini.

Page 121: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

120 Ujianto

Kemudian rapper menanyakan atau menggali permasalahan yang dihadapi PRT yang

bersangkutan. Biasanya masalah yang muncul seperti gaji rendah, jam kerja yang terlalu panjang,

tidak ada libur mingguan, tidak mendapat THR dan sebagainya. Tentu tidak semua PRT akan

langsung menjawab begitu. Adakalanya diam, tidak mau mengutarakan masalah yang dihadapi.

Untuk itu rapper perlu mempunyai keterampilan bertanya dan meyakinkan PRT bahwa dia tidak

perlu takut.

Rapper kemudian menanyakan mengapa masalah-masalah tersebut bisa terjadi, dengan

dikaitkan dengan sebab yang dari PRT sendiri, dari majikan dan dari masyarakat dan Negara.

Kadangkala Rapper mendapati jawaban “tidak tahu”, atau ada pula yang menjawab, “karena

pendidikan saya rendah” atau “karena masyarakat masih menganggap PRT sebagai pekerjaan

rendahan”.

Langkah selanjutnya adalah menanyakan kepada PRT tersebut apa harapan atau

keinginan terkait masalah-masalah yang dihadapi. Tentu biasanya PRT akan menjawab ingin

masalah-masalah yang dihadapi bisa diselesaikan, sehingga upahnya bisa layak, jam kerja tidak

panjang, ada libur mingguan dan sebagainya. Setelah PRT menyampaikan harapan, maka Rapper

menyambut dengan ajakan untuk mengubah masalah-masalah atau mewujudkan harapan

tersebut dengan masuk ke dalam organisasi, karena dengan berorganisasi, PRT dalam

menyelesaikan masalahnya tidak sendirian. Langkah mengajak ini harus meyakinkan, terutama

apa yang bisa dilakukan organisasi dalam membantu mengatasi masalah anggotanya.

Jika PRT tersebut bersedia masuk organisasi, maka langkah selanjutnya adalah meminta

kontak (nomor telepon) dan Rapper juga memberikan nomer teleponnya ke PRT tersebut.

Kadangkala juga langsung disodori formulir pendaftaran anggota baru oleh Rapper, untuk diisi

secara bersama. Sebelum PRT mengisi formulir, biasanya Rapper juga menyampaikan hak dan

kewajiban sebagai anggota organisasi secara umum, termasuk kewajiban membayar iuran rutin

bulanan sebesar Rp. 10.000,-. Jika ternyata PRT yang diajak tidak mau, maka proses ngerap

dimulai lagi dari langkah ke 3. Proses yang berulang inilah seperti lirik-lirik lagu rap yang

diulang-ulang oleh penyanyinya, sehingga metode ini disebut dengan Rap.

Langkah terakhir setelah PRT bersedia diajak bergabung adalah Rapper menanyakan

apakah ada teman PRT lain yang di dekat wilayah tersebut atau yang dikenal yang belum masuk

Page 122: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 121

organisasi, untuk diajak masuk organisasi. Dengan langkah terakhir ini maka proses perekrutan

anggota baru terus bergulir, dari pintu ke pintu, seperti bola salju yang menggelinding.

Tahapan enam langkah Rap seperti dipaparkan di atas adalah tahapan yang ideal, dalam

praktiknya ada bermacam-macam proses atau hambatan yang kadang membuat 6 langkah

menjadi panjang dan penuh improvisasi. Kadang pula Rapper tidak urut dan loncat dalam

menerapkan 6 langkah. Walaupun demikian, 6 langkah tetap bisa menjadi pagar atau kerangka

agar proses dan pembicaraan Rapper tidak ngelantur ke mana-mana. Rata-rata organizer SPRT

Sapulidi yang sudah mengikuti pelatihan sudah bisa menerapkan 6 langkah.

Langkah Rap yang paling susah adalah di langkah 3, karena kadangkala PRT yang mau

diajak bergabung hanya mengatakan “tidak tahu”. Kalau sudah begitu Rapper harus pandai

mengolah pembicaraan agar PRT tersebut memahami penyebab masalah yang sedang dihadapi.

Setelah beberapa leader SPRT Sapulidi mengikuti pelatihan pengorganisasian tingkat

dasar di Jogja, minimal mereka sudah bisa melakukan perekrutan PRT dengan metode Rap dan

bisa mengajak PRT masuk organisasi dengan kesadaran, yakni kesadaran bahwa untuk

mengubah keadaan haruslah ada perjuangan, dan perjuangan tidak bisa dilakukan dengan

sendirian. Tidak sampai setahun setelah pelatihan Jogja, atau tepatnya di bulan April 2016

anggota SPDPRT Sapulidi sudah mencapai 533. Kemudian pada 17 Desember 2017 anggota

SPRT Sapulidi menjadi 2027 anggota dan di akhir Desember 2018 anggota SPRT Sapulidi

mencapai 3511 orang. Jadi ada kenaikan anggota sekitar 1500 orang setiap tahunnya. Hal ini

kemudian dijadikan target dari SPRT Sapulidi bahwa setiap tahun anggotanya harus bertambah

minimal 1500 orang.

Setelah ada pengembangan dari Komperata menjadi sub-komperata, target perekrutan

anggota baru per bulan juga berubah. Kini setiap SK punya target yang berbeda-beda, misalnya

SK Terogong, SK Kuningan-Casablanca, SK Cipete, dan SK Cilandak-Ampera target per

bulannya adalah merekerut 35 anggota baru. Tapi SK yang lain ada yang 20 anggota baru, yang

disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi SK (jumlah anggota). Walaupun begitu, secara

keseluruhan serikat (gabungan semua SK) punya target setiap bulan adalah bisa merekrut 221

anggota, kecuali di bulan puasa, lebaran dan bulan Desember targetnya diturunkan menjadi 146.

Page 123: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

122 Ujianto

Proses perekrutan yang dilakukan oleh tim pengorganisasian SPRT Sapulidi kadangkala

tidak dilakukan dengan menggunakan tahap-tahap metode Rap atau mendatangi target secara

langsung atau tatap muka. Ada kalanya perekrutan dilakukan dengan menggunakan media

sosial seperti Whatsapp atau Facebook (FB). Misalnya karena salah satu tim pengorganisasian

sudah mempunyai nomor kontak PRT yang belum berorganisasi, maka dia menghubungi dan

mengajak bergabung di organisasi melalui Whatsapp atau Facebook (FB). Kadang kala setelah

target PRT ditemui dan diajak secara langsung tidak bersedia, anggota pengorganisasian tidak

putus asa dan terus mengajak dan memberikan informasi melalui media sosial dan akhirnya

target tersebutpun mau bergabung.

Di SPRT Sapulidi, tugas atau peran dalam merekrut anggota baru bukan menjadi tugas

dari bidang pengorganisasian saja, tapi semua anggota disarankan untuk melakukan perekrutan

di mana pun dan kapan pun. Anggota yang banyak merekrut anggota kemudian ditawari untuk

masuk menjadi pengurus di bidang pengorganisasian.

Perawatan Anggota

Setelah proses rekrutmen anggota, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh tim

pengorganisasian SPRT Sapulidi adalah dengan melakukan perawatan anggota, yakni dengan

memasukkan anggota yang baru direkrut ke dalam kelompok 10 di bawah SK tempat perekrutan

dilakukan. Kemudian anggota baru akan diikutkan dalam kegiatan-kegiatan serikat atau SK.

Perawatan tersebut dimaksudkan agar anggota baru semakin mantap menjadi anggota

organisasi dan menjadi anggota yang aktif. Ada berbagai kegiatan yang dilakukan sebagai upaya

perawatan anggota, ada yang rutin dilakukan dan ada yang insidental. Kegiatan-kegitan

perawatan itu meliputi: (1) sekolah wawasan yang rutin dilakukan setiap hari Minggu. Materi

yang diberikan dalam sekolah amat beragam, tapi sebagian besar terkait dengan kepentingan

PRT seperti hak-hak PRT, Konvensi ILO 189 tentang Situasi Kerja Layak PRT, bagaimana

membuat kontrak kerja dengan pemberi jasa, hak-hak reproduksi perempuan dan sebagainya.

Untuk materi tentang situasi kerja layak bagi PRT, ada 20 unsur kerja layak yang harus

dihapalkan oleh semua anggota; (2) Kursus bahasa Inggris dan Komputer. Kursus bahasa Inggris

ini dilakukan karena banyak anggota SPRT Sapulidi yang bekerja di majikan ekspatriat sehingga

bahasa Inggris menjadi kebutuhan pokok agar komunikasi dengan majikan menjadi lancar.

Page 124: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 123

Kelancaran komunikasi akan berdampak pada kualitas pekerjaan PRT dan pada akhirnya akan

meningkatkan gaji. Sedangkan kursus komputer bertujuan agar pengurus atau anggota bisa

menulis atau membuat laporan secara terkomputerisasi dan mengoperasikan internet; (3)

Sekolah Ketrampilan, yang meliputi memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Hal ini tidak

dilakukan rutin karena biayanya tidak murah karena ada standar-standar tertentu dalam

pelaksanaannya. Misalnya untuk memasak, peralatan dan bahan yang digunakan harus bermutu

baik yang biasa digunakan di restoran karena kalau yang biasa sudah sering dilakukan di rumah.

Masakan yang dimasak juga bermacam-macam dan dari tradisi beberapa negara. Dalam sekolah

ketrampilan ini ada pelatih atau mentor yang didatangkan secara khusus, setelah itu ada uji

kompetensi dan yang lulus nanti akan diwisuda. Sekolah ketrampilan ini dilakukan atas

kerjasama dengan JALA PRT dengan support dari proyek promote ILO, pada tahun 2017 (Lindo

2017)1; (4) usaha ekonomi atau secara informal oleh SPRT Sapulidi sudah disebut sebagai

koperasi, juga dilakukan untuk perawatan anggota, karena dengan kegiatan ekonomi yang bisa

berjalan dengan baik, termasuk lewat koperasi, maka anggota juga turut mendapat keuntungan

dari usaha tersebut.

Kegiatan ekonomi yang selama ini dilakukan meliputi: penjualan paket sembako,

penjualan pin, penjualan kaos, penyediaan konsumsi pertemuan/acara, penjualan buku,

penjualan tas dan bazar. Barang-barang tersebut dijual setiap waktu dan ada yang tergantung

pesanan. Kalau makanan yang dijual secara pribadi, atau pesanan paket makanan untuk sebuah

acara maka anggota yang mendapat pesanan makanan memberikan beberapa persen untuk

organisasi, tergantung kesepakatan dengan pengurus koperasi soal besaran yang disetorkan ke

organisasi. Rencana ke depan usaha ekonomi akan diformalkan dalam bentuk koperasi dan

ditambah dengan usaha simpan pinjam karena untuk kegiatan dan pengurusnya sudah mulai

jalan, hanya iuran rutin dan pokok saja yang belum dilakukan. Sementara ini uang yang

1 Sekolah ketrampilan ini dilakukan atas kerjasama dengan JALA PRT dengan support dari proyek

promote ILO, pada tahun 2017. Lihat http://www.liputanindonesianews.com/detail/16292/kemnaker-

miliki-ketrampilan-yang-bagus-ciptakan-prt-yang-

berkompeten.html?fbclid=IwAR1lR4Iu_cBgqIjBgReiLlbGjlwGfRFGDYC6Y0KLCtr96ixpOdKnDPrj0Dc

diakses pada 22 maret 2019.

Page 125: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

124 Ujianto

terkumpul dari beberapa acara/penjualan barang baru terkumpul sekitar 12 juta rupiah; (5)

pendampingan PRT yang mempunyai kasus, yakni kasus yang menimpa PRT yang kemudian

dilaporkan ke pengurus SPRT Sapulidi dan ditindaklanjuti dengan pendampingan. Sebelum ada

tim paralegal, penangangan kasus yang menimpa anggota menjadi tanggung jawab pengurus

secara umum. Setelah ada tim paralegal, pelatihan untuk mereka dilakukan oleh JALA PRT

bekerja sama dengan LBH Jakarta.

Pendampingan atau penanganan kasus ini bisa menjadi bagian dari perawatan anggota,

karena dengan ditangani kasusnya, maka anggota akan merasakan manfaat dari organisasi

sehingga mendorongnya untuk aktif terlibat dalam kegiatan organisasi; (6) pelatihan-pelatihan,

yang dilakukan dan diikuti secara insidental oleh SPRT Sapulidi dengan bekerjasama dengan

JALA PRT, misalnya pelatihan menulis, pelatihan pengorganisasian, pelatihan paralegal,

pelatihan pembuatan video dengan smartphone. Pelatihan yang dilakukan memang tidak bisa

diikuti semua anggota SPRT Sapulidi, karena ada syarat atau kriteria yang harus dipenuhi. Syarat

yang mutlak dipenuhi adalah tingkat keaktifan anggota dalam kegiatan dalam jangka waktu

tertentu mau pun dalam pembayaran iuran bulanan. Selain itu SPRT Sapulidi juga berjanji akan

melaksanakan tindak lanjut dari pelatihan tersebut. Jika ada banyak yang menenuhi syarat, maka

anggota yang menjadi pengurus di bidang yang terkait dengan pelatihan tersebut yang akan

dipilih.

Aksi Publik Melalui Kampanye dan Advokasi

Pengorganisasian komunitas selain mempunyai gerak dengan dimensi penguatan ke

dalam, ada pula gerak dengan dimensi ke luar. SPRT Sapulidi melakukan aksi publik melalui

kampanye dan advokasi yang ditujukan ke pihak luar organisasi. Kampanye dilakukan dengan

berbagai cara dan media. Kegiatan yang paling rutin dan ada target secara jelas adalah kampanye

melalui media sosial: facebook, twitter dan instagram. Target yang jelas misalnya, sub-komperata

Cilandak-Ampera minimal melakukan kampanye dengan diposting melalui facebook 3 kali dalam

seminggu dengan jumlah anggota yang memberikan “like” minimal sebanyak 50 anggota.

Page 126: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 125

Selain melalui media sosial, kampanye dilakukan juga melalui weblog

(tungkumenyala.blog), pembuatan selebaran, pembuatan pin, pembuatan kaos dan kampanye

melalui pembuatan video foto yang disebar melalui media sosial.

Ada pembagian tema/rancangan tema setiap bulannya, tapi sebagian besar tema

kampanye terkait dengan tema situasi kerja layak dan perlindungan PRT. Untuk materi kerja

layak yang dikampanyekan biasanya tentang 20 unsur kerja layak, meliputi: (1) Adanya

perjanjian kerja secara tertulis, (2) Perlindungan atas upah, (3) uang lembur, (4) Tunjangan Hari

Raya, (5) Batasan jam kerja per hari, (6) Libur istirahat mingguan, (7) Libur hari nasional, (8) Cuti

tahunan minimal 12 hari kerja, (9) Cuti haid, (10) Cuti hamil-melahirkan, (11) Adanya jaminan

sosial, (12) kebebasan berkomunikasi dan berorganisasi, (13) Fasilitas akomodasi ruang kamar

yang sehat dan aman, (14) Fasilitas makan yang sehat, (15) Perlindungan Keselamatan dan

Kesehatan Kerja, (16) Memegang dan menyimpan dokumen pribadi, (17) Uraian tugas yang jelas

sesuai jam kerja, (18) Penyelesaian perselisihan secara adil dengan perlindungan hukum, (19)

Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, (20) usia minimum bekerja 18

tahun.

Karena pengesahan RUU Perlindungan PRT dan situasi kerja layak yang menjadi tujuan

utama kampanye dan advokasi, maka tagar (#) yang sering digunakan anggota SPRT Sapulidi

dalam kampanye di facebook adalah #kerjalayak, #ruu pprt, #KILO 189. Untuk facebook, SPRT

Sapulidi mempunyai akun sendiri yang alamatnya adalah:

https://www.facebook.com/profile.php?id=100011505167478&ref=br_rs.

Anggota SPRT Sapulidi yang melakukan posting tentang kegiatan atau kampanye

biasanya men-tag akun FB SPRT Sapulidi di atas dan beberapa jaringan. Sedangkan untuk twitter,

SPRT Sapulidi secara organisasi belum membuat akun sendiri, tapi tim kampanye dan media

sudah membuat secara pribadi.

Dalam melakukan advokasi, SPRT Sapulidi biasanya tidak pernah dilakukan sendiri, tapi

tergabung dalam jaringan JALA PRT atau koalisi yang lebih besar. Isu utama yang hampir selalu

disampaikan dalam advokasi dari awal keterlibatan SPRT Sapulidi sampai penelitian ini

dilakukan adalah terkait tuntutan pengesahan RUU Perlindungan PRT dan ratifikasi Konvensi

ILO 189. Advokasi yang dilakukan dilakukan dengan berbagai cara, misalnya pembuatan draft

Page 127: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

126 Ujianto

RUU Perlindungan PRT, hearing dengan anggota Komisi IX DPR RI, demonstrasi dengan mogok

makan di depan gedung DPR RI, aksi cuci pakaian di depan kantor Kementerian

Ketenagakerjaan RI dan sebagainya.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan penelitian, maka beberapa kesimpulan bisa diuraikan: Pertama,

pengorganisasian komunitas yang dilakukan oleh SPRT Sapulidi, Jakarta mempunyai gerak

dengan dimensi ke dalam dan dimensi ke luar. Gerak dimensi ke dalam yakni dengan

menguatkan organisasi melalui perekrutan anggota, peningkatan kesadaran kritis melalui

sekolah dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan dimensi yang ke luar dilakukan dengan upaya

kampanye dan advokasi. Kedua, pengorganisasian komunitas yang dilakukan SPRT Sapulidi juga

mempunyai tujuan yang jelas, yakni adanya perlindungan dan situasi kerja layak bagi PRT. Dua

tujuan ini mensyaratkan adanya hubungan yang setara antara PRT dan pengguna jasa, maka

sebutan sebagai pembantu harus diganti dengan pekerja. Ketiga, pengorganisasian komunitas

yang dilakukan juga menunjukkan posisi mereka yang diorganisasikan, yakni PRT sebagai

rakyat marjinal yang selama ini tidak pernah diakui sebagai pekerja, dieksploitasi dan

disingkirkan dari kewargaan industrial. Keempat, proses pengorganisasian komunitas yang

dilakukan juga melalui siklus dari perekrutan anggota, perawatan, aksi publik, perekrutan lagi

dan terus bergulir seperti sebuah siklus.

Pengorganisasian komunitas merupakan pendekatan intervensi sosial yang penting bagi

pemberdayaan masyarakat. Upaya pengorganisasian komunitas yang dilakukan SPRT Sapulidi

merupakan salah satu contoh bagaimana sebuah komunitas marjinal bisa mengorganisasikan

diri dan berupaya mengubah kehidupan mereka. Proses menuju tercapainya tujuan mereka

mungkin masih panjang, tetapi organisasi lain bisa mengambil pelajaran terkait bagaimana SPRT

Sapulidi, Jakarta melakukan pengorganisasian diri.

Daftar Pustaka

Buckley, Laura., Cristaudo, Katharine, and Weil, Savannah. 2013. “I want Domestic

Workers’ Rights: Mobilizing Collective Identity of Domestic Workers in Dum Dum,

Page 128: Volume 3, No 1, Mei 2019 - UB

Pengorganisasian Komunitas Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi 127

West Bengal, India”. A paper of Postcolonial Social Works Practice: International

Social Welfare in India.

Gastaldi, Margherita. 2015. Domestic Workers Organization As a Tool To Reduce Social

Exclusion; The Case of Domestic Workers Organization in Java. A Thesis, Faculte des

Sciences Politique et Sociales, Universite libre de Bruxelles.

Gastaldi, Margherita, Jordhus-Lier, David dan Prabawati, Debbie. 2018. “Pekerja Rumah

Tangga, Perjuangan Kewargaan, dan Identitas Kolektif di Indonesia”, dalam Eric

Hiariej dan Kristian Stokke (eds), Politik Kewargaan di Indonesia, Yayasan Obor

Indonesia.

International Domestic Workers Federation and International Labour Organization. 2017.

Decent Work for Domestic Workers; Eight Good Practices from Asia.

International Labour Organization. 2018. Toward a better estimation of total population

of domestic workers in Indonesia. English Edition. Diunduh dari

https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_628493.pdf pada 10 April 2019.

Lindo. 2017. Kemnaker: Miliki Keterampilan yang Bagus Ciptakan PRT yang

Berkompeten. http://www.liputanindonesianews.com/detail/16292/kemnaker-

miliki-ketrampilan-yang-bagus-ciptakan-prt-yang-

berkompeten.html?fbclid=IwAR1lR4Iu_cBgqIjBgReiLlbGjlwGfRFGDYC6Y0KLCtr

96ixpOdKnDPrj0Dc diakses pada 22 maret 2019

Pyles, Loretta. 2009. Progressive Community Organizing: A Critical Approach for a

Globalizing World. Routledge, London-New York.

Schutz, Aaron dan Sandy, Marie G. 2011. Collective Action for Social Change: An

Introduction to Community Organizing. Palgrave MacMillan, New York.

Wijaksana, M.B. 2005. Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga; Beda Antara

Indonesia dan Filipina. Jurnal Perempuan, No.39.