volume 1 nomor 1, juli 2004 mkri

174

Upload: ryanarinurfitrahtruno

Post on 15-Feb-2016

64 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

jurnal konstitusi

TRANSCRIPT

Page 1: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI
Page 2: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

Mahkamah Konstitusi adalah pe-ngawal konstitusi dan penafsirkonstitusi demi tegaknya konstitusidalam rangka mewujudkan citanegara hukum dan demokrasi untukkehidupan kebangsaan dan kene-garaan yang bermartabat. Mahka-mah Konstitusi merupakan salahsatu wujud gagasan modern dalamupaya memperkuat usaha memba-ngun hubungan-hubungan yangsaling mengendalikan antarcabang-cabang kekuasaan negara.

DITERBITKAN OLEHMAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 7Jakarta Pusat

Telp. (021) 3520173, 3520787Fax. (021) 352-2058

Membangun konstitusionalitas IndonesiaMembangun budaya sadar berkonstitusi

Website: www.mahkamahkonstitusi.go.ide-mail: [email protected]

Volume 1 Nomor 1Juli 2004

Page 3: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

Salam

Dewan Pengarah:Dewan Pengarah:Dewan Pengarah:Dewan Pengarah:Dewan Pengarah:Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Prof. Dr. Muhamad Laica Marzuki, SH,

Prof. Abdul Mukthie Fadjar, SH, MS, Letjen TNI (Purn) H. Ahmad Roestandi, SH,Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, SH, LLM, Dr. Harjono, SH, MCL,Maruarar Siahaan, SH, I Dewa Gede Palguna SH MH, Soedarsono, SH

Penanggung Jawab:Penanggung Jawab:Penanggung Jawab:Penanggung Jawab:Penanggung Jawab: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SHWakil Penanggung Jawab:Wakil Penanggung Jawab:Wakil Penanggung Jawab:Wakil Penanggung Jawab:Wakil Penanggung Jawab: Prof. Dr. Muhamad Laica Marzuki, SH

Pemimpin Redaksi:Pemimpin Redaksi:Pemimpin Redaksi:Pemimpin Redaksi:Pemimpin Redaksi: Rofiqul-Umam AhmadRedaktur Pelaksana:Redaktur Pelaksana:Redaktur Pelaksana:Redaktur Pelaksana:Redaktur Pelaksana: Mustafa Fakhri

Sidang Redaksi:Sidang Redaksi:Sidang Redaksi:Sidang Redaksi:Sidang Redaksi: Jimly Asshiddiqie, Muhammad Laica Marzuki,Ahmad Fadlil Sumadi, Winarno Yudho, Rofiqul-Umam Ahmad

Mustafa Fakhri, Ali Zawawi, Munafrizal, Bisariyadi, Zainal M. HuseinSekretaris Redaksi:Sekretaris Redaksi:Sekretaris Redaksi:Sekretaris Redaksi:Sekretaris Redaksi: Bisariyadi. Distributor:Distributor:Distributor:Distributor:Distributor: Nanang SubektiAlamat Redaksi:Alamat Redaksi:Alamat Redaksi:Alamat Redaksi:Alamat Redaksi: Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat

Telp. 021-3520173, Faks. 021-3522087Diterbitkan oleh:Diterbitkan oleh:Diterbitkan oleh:Diterbitkan oleh:Diterbitkan oleh: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Website:Website:Website:Website:Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

Adalah suatu hal yang tidaklazim di negara ini, sebuah lembaganegara menerbitkan jurnal. NamunMahkamah Konstitusi (MK), lemba-ga negara dalam kekuasaan keha-kiman, melakukan terobosan denganmenerbitkan jurnal. Media ini ditu-jukan sebagai wahana bagi parapakar dan akademisi untuk mengga-gas dan membahas berbagai halmengenai hukum dan konstitusi.

Penerbitan jurnal ini adalahsalah satu buah pemikiran para hakimkonstitusi yang ingin “membumikan”konstitusi, menjadikan nilai-nilaiyang terkandung dalam konstitusimenyatu dengan kehidupan masya-rakat, to enforce the constitution asa living constitution.

Selain itu penerbitan Jurnal

Konstitusi juga dimaksudkan sebagaisebuah legal review atas putusan-putusan MK. Dalam jurnal ini diana-lisa dan dieksaminasi putusan-pu-tusan MK, terutama putusan yangbanyak mengundang perhatianmasyarakat. Pada penerbitan perta-ma, kami meminta para pakar meng-analisa putusan MK tentang hakdipilih (right to be elected) bagi eksanggota PKI dan organisasi terlaranglainnya.

Penerbitan Jurnal Konstitusiadalah salah satu batu pijakan untukmengembangkan wacana mengenaihukum dan konstitusi serta mengu-atkan budaya konstitusionalitas In-donesia.

Kepada para pembaca kamiucapkan “Selamat Membaca”.

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Salam

REDAKSI 2

Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidakmewakili pendapat resmi MK.

Page 4: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI

Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Sambutan Ketua MK ................................. 4Pengantar Redaksi.................................. 8

Analisis Putusan MKDr. Todung Mulya Lubis, dari Perspektif HukumHak Asasi Manusia Internasional ................... 12Ifdhal Kasim, dalam Perspektif Rekonsiliasi Nasional .... 30Rifyal Ka’bah, dari Perspektif Hukum Islam ............ 46

Putusan MKPutusan MK Perkara No. 011-017/PUU-I/2003 ........... 57

Catatan Hukum dan KonstitusiHak Menguji dalam Teori dan Praktekoleh Harun Alrasid .............................. 93Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto: Transisimenuju Demokrasi vs. Korupsioleh Denny Indrayana........................... 101Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat: Sistem Trikameraldi Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyatoleh Saldi Isra ................................ 116

Historika KonstitusiSistem Pemerintahan Indonesiaoleh RM Ananda B. Kusuma...................... 140

Resensi BukuJalan Terjal Konstitusionalisme Indonesiaoleh A. Ahsin Thohari ............................ 158Penyelesaian Pelanggaran HAM pada Era TransisiPolitik di Indonesia: Sebuah Pendekatan‘Transitional Justice’, oleh Hasrul Halili ............. 166

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 3

Daftar Isi

Pulihnya hak politik eks PKI

Daftar ISI

Page 5: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

4

Bismillahirrahmaanirrahim,

Pengantar ini dimaksudkanuntuk menyambut sekaligusmengantarkan lahirnya JurnalKonstitusi yang diterbitkan olehMahkamah Konstitusi (MK). Bagilembaga penelitian dan pengka-jian, perguruan tinggi, atau pusatstudi, penerbitan jurnal meru-pakan hal yang lumrah. Namunbagi lembaga negara seperti MK,penerbitan jurnal merupakan halyang baru dan belum banyakdilakukan oleh lembaga negarasehingga untuk itu dibutuhkanpenjelasan.

Gagasan menerbitkan se-buah jurnal telah muncul sejakbulan-bulan pertama ditetap-kannya sembilan hakim konstitusipada 15 Agustus 2003. Gagasanitu berangkat dari pemikiranmengenai penting dan dibutuh-kannya aktualisasi dan pengem-bangan gagasan-gagasan sertateori-teori mengenai konstitusi danhukum tata negara secara lebihluas yang kritis, segar, visioner, dandialogis di tanah air. Pengembang-an gagasan itu sangat dibutuhkanmengingat di satu sisi, sampai

detik ini masih sangat sedikit ruangbagi aktualisasi pemikiran sistema-tis mengenai konstitusi dan hukumtata negara sebagai akibat politikrepresi pemerintahan di masa lalu,sementara di sisi lain, ke depanmuncul kecenderungan kuatbahwa isu dan permasalahankonstitusi dan ketatanegaraan akanmakin menarik perhatian banyakkalangan dan makin berperandalam memberi inspirasi danbahan pemikiran bagi banyakkalangan ketika membahas sistemdan dinamika ketatanegaraan danpenyelenggaraan negara.

Makin meningkatnya per-bincangan mengenai konstitusi dansoal-soal ketatanegaraan di tanahair dewasa ini terutama disebabkanoleh makin besarnya kesadaranorang akan kedudukan dan peran-an konstitusi dalam mengarahkandan mengatur kehidupan ketata-negaraan. Berbagai peristiwaketatanegaraan, seperti naik danturunnya presiden menjelang danselama era reformasi atau per-ubahan UUD 1945, telah dibahassecara mendalam oleh para pakar.Sebagian gagasan para pakartersebut hidup dan menjadi

SSSSSAMBUTAMBUTAMBUTAMBUTAMBUTANANANANANKETUA MAHKAMAH KONSTITUSIKETUA MAHKAMAH KONSTITUSIKETUA MAHKAMAH KONSTITUSIKETUA MAHKAMAH KONSTITUSIKETUA MAHKAMAH KONSTITUSI

pada penerbitan pada penerbitan pada penerbitan pada penerbitan pada penerbitan Jurnal KonstitusiJurnal KonstitusiJurnal KonstitusiJurnal KonstitusiJurnal Konstitusi

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 20044JIMLY ASSHIDDIQIE

Page 6: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

wacana publik di tengah masya-rakat luas dan sebagian lagimenjadi bahan pertimbangan yangcukup signifikan bagi lembaga-lembaga negara terkait dalammerumuskan dan mengambilkeputusan kenegaraan mengenaiperistiwa-peristiwa ketatanegaraantersebut.

Berkembangnya pemikiranmengenai konstitusi dan hukumtata negara dipandang sangatpenting karena akan memperkayadan menambah bekal pemikiranserta memberi banyak pilihan bagisiapapun juga dan kalangan mana-pun juga ketika membahas danmengambil keputusan mengenaihal-hal yang terkait erat dengankonstitusi. Dengan demikian MKsecara langsung telah aktif mela-kukan upaya pengembanganpemikiran di bidang konstitusi danhukum tata negara secara terusmenerus. Peranan ini pentingdiambil oleh MK mengingatruang lingkup tanggung jawabMK adalah mengenai konstitusidan negara sehingga adalah pen-ting bagi kami untuk secara aktifmenumbuhkembangkan anekagagasan dan pemikiran kenega-raan dan konstitusi yang terusmenerus disegarkan dan dimo-dernisir.

Lebih dari itu, apa yangdilakukan MK merupakan salahsatu perwujudan pelaksanaanamanat pendiri bangsa yaknimencerdaskan kehidupan bangsa

dengan memperluas pengetahuanpublik berkaitan dengan berbagaiisu dan masalah mengenai konsti-tusi, kenegaraan dan kewargane-garaan. Konstitusi itu sendirisebagai naskah hukum tertinggijuga perlu dimasyarakatkan secaraluas sehingga nilai-nilai dan cita-cita yang terkandung di dalamnyadapat dimengerti dan dihayatisebagai bagian dari kesadarankolektif yang hidup dalam ma-syarakat. Karena itu, upaya pema-syarakatan konstitusi itu perludidukung oleh agenda pendidikankonstitusi (constitutional education)dan pendidikan kewarganegaraan(civic education) yang luas danmencerdaskan. Makin luasnyakesadaran berkonstitusi akanmenyebabkan UUD 1945 menja-di konstitusi yang hidup (living con-stitution). Dengan demikian tugasMahkamah Konstitusi untukmenjaga dan mengawal konstitusimenjadi makin mudah untukdiwujudkan.

Dalam perspektif lain,kami menyadari pula betapadiperlukannya kajian-kajian ilmiaholeh mereka yang punya otoritasdi bidangnya terhadap berbagaiputusan MK yang telah diambiloleh MK. Adanya berbagai kajianilmiah yang mengkritisi berbagaiputusan MK dari berbagai disiplinkeilmuan maupun pandanganniscaya sangat bermanfaat bagikalangan internal MK untuk me-mahami bagaimana “penilaian”

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 5JIMLY ASSHIDDIQIE

Page 7: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

berbagai disiplin ilmu terhadapputusan yang telah diambilnyasekaligus “nilai” putusan itu darikaca mata ilmu pengetahuan yangmengedepankan nilai kebenarandan keadilan. Hal ini juga menun-jukkan sisi transparansi dan akun-tabilitas MK karena dengan tanganterbuka mendorong dilakukannyapengkajian dan pengkritisan olehdunia ilmiah terhadap putusanyang diambilnya.

Dari sisi eksternal MK, ada-nya ruang bagi publik, terutamapara pakar dan akademisi, untukmenyoroti dan memberikan kritikterhadap putusan MK merupakanpeluang bagi publik dalam ber-partisipasi untuk mendorongkemajuan MK pada masa yangakan datang. Bagaimanapun juga,kami menyadari bahwa lembaganegara MK merupakan bagianintegral kehidupan rakyat Indone-sia sehingga segala gerak langkahMK (termasuk putusannya) dapatdikomentari dan ditanggapi, ten-tunya secara kritis dan obyektif.Dengan demikian MK tidak ter-asing dari dunia nyata rakyat dansecara terus menerus menjalinkomunikasi timbal balik denganrakyat.

Atas dasar pemikirantersebut di atas, MK memandangperlu menerbitkan sebuah jurnalyang kemudian disepakati diberinama Jurnal Konstitusi. Penerbitanjurnal kami anggap sangat penting

karena sejarah mengajarkan bah-wa tidak ada bidang studi apapunjuga yang dapat berkembang danmaju tanpa disertai penerbitanjurnal-jurnal ilmiah.

Pilihan bentuk jurnal diam-bil mengingat media ini memilikikelebihan yang tidak dimiliki olehmedia-media cetak lain dalam halmemperkenalkan dan memper-bincangkan gagasan-gagasan baruatau teori-teori baru dalam tulisan-tulisan ilmiah yang dimuat didalamnya. Pertama, Isi tulisan untukjurnal dapat dipersiapkan dalamjangka waktu lebih pendek diban-ding jika menulis buku. Hal itudisebabkan materi tulisan untukjurnal tidak terlalu mendetail dansangat lengkap, walaupun tentuharus memenuhi standar penulisanilmiah, seperti jika menulis sebuahbuku yang jauh lebih rumit danbutuh “nafas panjang”. Karakte-ristik ini mendorong orang untuklebih mudah menulis karya ilmiahuntuk jurnal dibanding menulisbuku.

Kedua, jangka waktu menu-lis karya ilmiah yang akan dimuatdi jurnal lebih singkat dibandingjika menulis sebuah buku. Hal itudisebabkan jika menulis bukumengharuskan si penulis memper-siapkan dan menulis isi buku secarapanjang lebar sedangkan tulisanuntuk jurnal jauh lebih pendektanpa mengurangi kualitas sub-stansi yang hendak disampaikan.Ketiga, pemikiran yang dimuat

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 20046JIMLY ASSHIDDIQIE

Page 8: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

dalam jurnal lebih cepat sampaikepada publik karena masa terbitjurnal yang relatif jauh lebih singkatdibanding buku. Dengan demi-kian lebih cepat terjadi interaksipemikiran yang dilanjutkan dengantanggapan pembaca dalam jangkawaktu yang juga cepat. Ini sangatmendukung terwujudnya komu-nikasi timbal balik intensif antar-pihak yang terkait yang akanmempercepat berlangsungnyapengkayaan dan penyempurnaanberbagai gagasan yang dilontarkanorang.

Belajar dari perjalanan se-jarah bahwa beberapa jurnal baikdi tanah air maupun di duniainternasional telah berhasil secaraefektif berperan sebagai “co-rong” yang menyuarakan pemi-kiran dan gagasan baru yang men-cerdaskan dan mencerahkan ma-nusia, kami berharap Jurnal Konsti-tusi ini juga dapat berperandemikian. Jurnal ini diharapkandapat menjadi “corong” untukmenyuarakan gagasan dan pemi-kiran konstitusi, kenegaraan, danhukum tata negara secara kritisdan dialogis sebagai wujud parti-sipasi MK bersama-sama potensibangsa lainnya dalam ikhtiarmewujudkan Indonesia sebagaiNegara Hukum, yang demokratis,modern, sejahtera dan berkea-dilan.

Karena pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,

redaksi menentukan bahwa isiJurnal Konstitusi terbagi atas analisisputusan MK oleh mereka yangdipandang memiliki otoritasilmiah di bidangnya dan gagasanpara pakar atau akademisi menge-nai konstitusi dan masalah-masalahketatanegaraan pada umumnya.Selain itu, jurnal juga dilengkapidengan kajian terhadap buku-buku mengenai konstitusi danhukum tata negara yang dipan-dang membawa pemikiran baruyang menyegarkan serta tulisanpenelusuran historis atas sejarahketatanegaraan Indonesia untukmemperkaya khazanah pengeta-huan pembaca.

Sebagai produk baru, su-dah tentu Jurnal Konstitusi edisi per-dana ini masih mengandung keku-rangan. Untuk itu, saran dan kritikpembaca kami nantikan gunamemperbaiki dan menyempurna-kan edisi-edisi berikutnya jurnal kitabersama ini.

Semoga Allah SWT se-nantiasa memberkati segala ikhtiardan amal kita bersama. Amin.

Jakarta, 27 Juli 2004

Ketua Mahkamah Konstitusi/Penanggung Jawab

Jurnal Konstitusi,

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 7JIMLY ASSHIDDIQIE

Page 9: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 20048

PENGANTAR REDAKSI

This country, with its institutions, belongs to the people who inhabit it.Whenever they shall grow weary of the existing government,

they can exercise their constitutional right of amending it,or their revolutionary right to dismember or overthrow it.

Abraham Lincoln (1809-1865)

Sesuai prinsip ‘checks and bal-ances’ yang telah menjadi salah satupokok pikiran dalam PerubahanUUD 1945, telah ditegaskanbahwa aspek konstitusionalitasmateri Undang-Undang menjadikewenangan hakim, yaitu hakimkonstitusi. Berbeda dengan vonisdalam sistem peradilan lainnya,putusan yang dibuat oleh Mahka-mah Konstitusi bersifat final andbinding. Artinya, tidak ada upaya lainbagi pihak yang berkeberatanuntuk mengubah putusan tersebut.Karenanya penting untuk mela-kukan eksaminasi atas setiapputusan MK oleh para ahli dibidang masing-masing sebagairepresentasi dari kontrol publik,mengingat negara ini memangmilik rakyat. Seperti kata Abra-ham Lincoln, kapanpun merekamerasa letih atas cara pemerin-tahan ini berjalan, mereka dapatmenggunakan hak konstitusio-nalnya untuk melakukan perubah-an dengan amandemen atau

menggunakan hak revolusioner-nya dengan mengabaikannya.

Dalam edisi perdana JurnalKonstitusi ini, pembaca dapatmenikmati salah satu bentukeksaminasi tersebut oleh berbagaikalangan yang cukup beragam.Kasus yang diangkat sebagaipokok pembahasan untuk diana-lisa adalah permasalahan hakwarga negara dalam proses politikyang terekam dalam Perkara No.011-017/PUU-I/2003 yang diaju-kan ke hadapan Mahkamah Kon-stitusi oleh tokoh-tokoh masya-rakat dan para korban politiksetelah peristiwa yang dikenaldengan G.30.S/PKI. Melaluiputusan yang disampaikan secaraterbuka untuk umum pada hariSelasa, tanggal 24 Pebruari 2004,Mahkamah Konstitusi menga-bulkan tuntutan pemohon perkaraPengujian Undang-undang No.12/2003 tentang PemilihanUmum Anggota Dewan Perwa-kilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Page 10: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 9

Daerah, dan Dewan PerwakilanRakyat Daerah, dan menyatakanPasal 60 huruf g UU No. 12/2003tersebut bertentangan denganUUD 1945 serta tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat. Ber-bagai kalangan kemudian menya-takan bahwa dengan putusannyaini, Mahkamah Konstitusi telahmembuka lembaran “baru” da-lam sejarah perlindungan hak-hakwarga negara di Indonesia. Na-mun tidak sedikit pula anggotamasyarakat yang mempersepsikanputusan MK ini akan menghi-dupkan kembali “PKI”.

Untuk mengetahui bagai-mana pandangan para pakarhukum dalam menilai keputusanMK tersebut, Tiga analisis yangmembahas hal ini. Di antaranya,pembaca dapat mengkaji ulasanhukum oleh Dr. Todung MulyaLubis yang menelaah keputusantersebut dari perspektif hukumhak asasi manusia internasional.Analisis ini dimulai dengan uraiandeskripsif atas sikap pro dankontra keputusan MK, termasukmengingatkan kembali pro dankontra saat proses pembahasanPasal 60 huruf g, dengan tujuanuntuk memperlihatkan ide-ideyang berkembang di level negaradan masyarakat tentang tema yangdibahas. Selanjutnya, penulismemberikan penilaian terhadapbobot keputusan MK dan mem-

berikan analisis mengapa kepu-tusan ini menjadi penting dalamkonteks reformasi hukum di In-donesia, dengan perbandinganstandard dan norma internasionalhak asasi manusia, termasukmenunjukkan kasus serupa dilevelinternasional. Pada bagian akhir,tulisan ini mengulas beberapa fol-low up yang sebaiknya dilakukanmerespon keputusan MK, khu-susnya menyangkut pertanyaan:bagaimana “nasib” perundang-undangan lainnya, yang me-nyangkut “bekas anggota PKI dankeluarganya”.

Dalam nuansa yang berbe-da, dapat pula ditelaah kebih lanjutanalisis Rifyal Ka’bah terhadapkeputusan yang sama ditinjau dariperspektif hukum Islam. Dalamtulisannya, Ia juga mengungkapkanbahwa meskipun putusan a quobelum pernah dibahas dari suduthukum Islam dalam forum-fo-rum resmi organisasi Islam yangada di negeri ini, seperti sidang-sidang Lajnah Bahsul Masa’il NU,atau Lajnah Tarjih dan PemikiranIslam Muhammadiyah, atau Ko-misi Fatwa dan Perundang-undangan MUI sebagai lembaga-lembaga yang kompeten mem-bahas masalah hukum di ketigaorganisasi ini, beberapa pendapattokoh-tokoh yang dianggapmewakili organisasinya masing-masing telah memberikan ko-

Page 11: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 20041 0

mentar yang tidak menunjukkansikap kontra terhadap putusanMK ini.

Sementara Ifdhal Kasimmeninjau putusan MK ini dalamperspektif rekonsiliasi nasional.Dengan menggunakan teori hu-kum “transitional jurisprudence”, Iaberkesimpulan bahwa PutusanMahkamah Konstitusi tersebutbukan hanya membawa efek padapemulihan hak-hak kewargane-garaan (civil and political rights) paraanggota/simpatisan PKI, tetapijuga telah membuka dan merintisjalan untuk memulai rekonsiliasidemi masa depan Indonesia yanglebih demokratis dan berkeadilan.Sehingga dalam putusan ini ter-kandung sekaligus esensi “transtio-nal jurisprudence”, yang menolaknilai-nilai lama yang cupat (tidakdemokratis) dan mengambil nilai-nilai demokratis yang baru, dansekaligus mengandung di dalam-nya “backward and forward-looking”.

Dalam rubrik Catatan Hu-kum & Konstitusi, pembaca yangbudiman juga dapat menjumpaibeberapa kajian tata negara yangberkenaan dengan wacana muta-khir perkembangan konstitusi ditanah air. Pada bagian pertama,dapat disimak pandangan HarunAlrasid mengomentari trend barureformasi hukum di Indonesiaseiring dengan terbentuknyaMahkamah Konstitusi. Dalam

“Hak Menguji dalam Teori DanPraktek”, guru besar Hukum TataNegara UI ini mengawali ulas-annya dengan membeberkanrekaman perdebatan dalam sidangpleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai(Badan Penyelidik Usaha Persiap-an Kemerdekaan Indonesia) padatanggal 15 Juli 1945 antara Soe-pomo dan Yamin berkenaandengan hak menguji oleh hakim(toetsingrecht van de rechter) yang diAmerika Serikat disebut denganistilah judicial review, kemudiandilanjutkan dengan praktek hak ujidi era Orde Baru dan era refor-masi.

Selanjutnya, Denny Indra-yana dalam “Negara Hukum In-donesia Pasca Soeharto: TransisiMenuju Demokrasi vs. Korupsi”mengangkat urgensi pemberan-tasan korupsi sebagai prasyaratutama terwujudnya negara hukumyang ideal dalam proses transisi ini.Ia mengungkapkan bahwa pem-bersihan dan pemberdayaanMahkamah Agung dan Mahka-mah Konstitusi dalam membe-rantas korupsi tidak serta mertamenjamin lahirnya negara hukumIndonesia, dan memuluskanproses transisi menuju demokrasi.Yang sudah pasti adalah, korupsitidak akan bisa seiring sejalandengan transisi menuju negarahukum yang demokratis. Korupsibukan kawan, tetapi lawan abadi

Page 12: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 1 1

dari negara hukum, apalagi yangsedang bertransisi menuju de-mokrasi.

Kemudian Saldi Isra meng-ulas perkembangan lembagaperwakilan yang mengalami per-ubahan pasca amandemen UUD1945, dalam “Penataan LembagaPerwakilan Rakyat: Sistem Trika-meral di Tengah Supremasi De-wan Perwakilan Rakyat”. Ia meng-angkat persoalan ini didasarkanpada pertimbangan masih banyakperdebatan tentang sistem lem-baga perwakilan rakyat, apakahmenganut sistem bikameral atausistem trikameral. Pembahasandidasarkan pada aturan yangterdapat dalam UUD 1945 danUU Nomor 22 Tahun 2003tentang Susunan dan KedudukanMPR, DPR, DPD, dan DPRD(UU Susduk). ‘Langkah besar’menyempurnakan UUD 1945hanya menggeser supremasi MPRke supremasi DPR. Kalau punkemudian ada yang berharap, UUSusduk mampu mengembalikansusunan lembaga perwakilanrakyat ke sistem bikameral, harap-an itu tidak mungkin dilaksanakankarena design UUD 1945 tidakmenghendaki sistem bikameral,apalagi strong bicameralism.

Untuk memperkaya khaza-nah keilmuan dalam Jurnal Konsti-tusi ini, redaksi juga menampilkan

rubrik Historika Konstitusi yangdiasuh oleh Ananda B. Kusuma,pengajar Sejarah Ketatanegaraan diFHUI. Kali ini ia berusaha berbagikisah tentang mispersepsi dalamperumusan Sistem PemerintahanIndonesia. Mispersepsi itu timbulkarena banyak orang yang mengirabahwa pemerintahan yang demo-kratis hanya bisa dilaksanakandengan trias politika seperti diAmerika Serikat. Padahal menu-rutnya, para penyusun UUD 1945(Framers of the Constitution) dengansadar menyusun UUD yang khasIndonesia, tanpa trias politika.

Pada bagian akhir, dalamrubrik Resensi Buku, pembacadapat menyimak ulasan A. AhsinTohari atas buku Adnan BuyungNasution yang berjudul AspirasiPemerintahan Konstitusional di Indo-nesia: Studi Sosio-Legal atas Konsti-tuante 1956-1959 [The Aspiration forConstitutional Government in Indone-sia: A Socio-Legal Study of the Indo-nesian Konstituante 1956-1959]” danulasan Hasrul Halili atas buku SatyaArinanto yang berjudul Hak AsasiManusia dalam Transisi Politik di In-donesia.

Selamat menikmati!

Page 13: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

1 2

PengantarSidang 2 jam Mahkamah Konstitusi (MK)

pada 24 Februari 2004 telah melahirkan sebuahkeputusan penting. MK, sore hari itu memberikankeputusan atas permohonan judicial review yang di-ajukan sejumlah tokoh bangsa dan pimpinan De-wan Pimpinan Pusat Lembaga Perjuangan Rehabi-litasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB).Sejumlah tokoh ini meminta MK untuk memeriksadan memutus permohonan pengujian atas Pasal 60huruf g UU No. 12/2003 tentang PemilihanUmum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Rumusan pasal UU No. 12/2003, yang me-micu permohonan judicial review menyatakan bahwa“(c)alon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi danDPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat”, padahuruf g, yakni:

“bukan bekas anggota organisasi terlarangPartai Komunis Indonesia, termasuk organisasimassanya, atau bukan orang yang terlibat

Putusan Mahkamah KonstitusiPerkara No. 011-017/PUU-I/2003

Dari Perspektif Hukum Hak AsasiManusia Internasional

Oleh TODUNG MULYA LUBIS

Todung MulyaLubis adalahpraktisi hukumdan pengamathak asasimanusia.

Praktik diskriminasi yang selama ini diderita bekas anggotaorganisasi PKI dan organisasi terlarang lainnya dan keluarganyaperlu segera diakhiri. Dalam konteks ini program rehabilitasi darinegara perlu dilakukan. Menurut Todung Mulya Lubis, PutusanMK dapat menjadi konsideran bagi penetapan perundangan baruyang secara spesifik mengatur soal rehabilitasi korban.

Page 14: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 1 3Todung Mulya Lubis

langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.”Di gedung MK, jalan Merdeka Barat, pem-

bacaan putusan 40 halaman itu dilakukan bergantianoleh para hakim, dipimpin langsung oleh KetuaMK, Jimly Assidiqie. Amar putusan MK atas perkaraNo. 011-017/PUU-I/2003, sebagai berikut:11. Mengabulkan permohonan pengujian undang-

undang yang diajukan;2. Menyatakan pasal 60 huruf g bertentangan

dengan Undang-undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;

2. Menyatakan pasal 60 huruf g tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.

Achmad Roestandi, purnawirawan LetnanJenderal TNI, dalam pemeriksaan perkara merupa-kan satu-satunya hakim yang mempunyai pendapatberbeda dengan 8 hakim MK lainnya. MenurutAchmad, larangan bagi anggota PKI dan ormasnyauntuk menjadi wakil rakyat di parlemen, sepertidinyatakan Pasal 60 huruf g, seolah-olah tidak sejalandengan semangat yang terkandung dalam beberapapasal UUD 1945.2 Achmad menyatakan pemba-tasan ini sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2) dan 28Iayat (1) UUD 1945.3 Karenanya, Achmad berpen-dapat, Pasal 60 huruf g tidak bertentangan denganUUD 1945.4

Artikel ini bertujuan memberikan gambarandan analisis tentang isu seputar putusan MK dariperspektif hak asasi manusia. Tulisan dimulai darideskripsi pro dan kontra keputusan MK, termasukmengingatkan kembali pro dan kontra saat prosespembahasan Pasal 60 huruf g. Tujuan dari deskripsiini untuk memperlihatkan ide-ide yang berkembangdi level negara dan masyarakat tentang tema yang

AchmadRoestandimerupakansatu-satunyahakim yangmempunyaipendapatberbeda dengan8 hakim MKlainnya.MenurutAchmad, pasal60 huruf g tidakbertentangandengan UUD1945.

Page 15: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

1 4

dibahas. Sekaligus juga untuk menjadikan bahananalisis untuk menjawab apakah Putusan MK inihanya menjadi “macan kertas” atau akan ditindak-lanjuti dengan beragam reformasi di banyakbidang.

Ilustrasi tentang peta kekuatan pendukungdan penolakan di level negara, akan berguna bagikita masing-masing untuk memberikan analisislanjutan. Bagian selanjutnya (sesi B), merupakanpenilaian bobot Putusan MK dan memberikananalisis mengapa Putusan ini menjadi penting dalamkonteks reformasi hukum di Indonesia. Di bagianini juga, akan dimuat analis putusan MK denganperbandingan standard dan norma internasional hakasasi manusia, termasuk menunjukkan kasus serupadi level internasional. Di bagian C, akan dibahasbeberapa follow up yang sebaiknya dilakukan meres-pon Putusan MK, khususnya menyangkut pertanya-an: bagaimana “nasib” perundang-undangan lainnya,yang menyangkut “bekas anggota PKI dan keluar-ganya”. Tulisan diakhiri dengan rekomendasi, untukmelangkah lebih maju setelah putusan MK dike-luarkan.

A. Pro dan Kontra Putusan MK

“Para pejabat publik atau subjek hukum tatanegara, …sebaiknya tak berkomentar apapunterhadap keputusan itu melainkan menghor-mati dan menjalankannya. Sebaliknya, bagimasyarakat umum Jimly mempersilakan untukbersilang pendapat dan pakar hukum membuatkajian ilmiah atas putusan itu.” PernyataanKetua MK usai pembacaan keputusan judicialreview perkara No. 011-017/PUU-I/2003.(Tempo Interaktif, 24 Februari 2004)

Ilustrasi tentangpeta kekuatanpendukung danpenolakan dilevel Negara,akan berguna

bagi kitamasing-masing

untukmemberikan

analisis lanjuta.apakah Putusan

MK ini hanyamenjadi “macan

kertas” atauakan ditindak-lanjuti dengan

beragamreformasi di

banyak bidang.

Page 16: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 1 5Todung Mulya Lubis

Dalam praktek, sebelum MK mengeluarkankeputusannya, Pasal 60 huruf g UU No. 13/2003telah melahirkan korban. Sebagai contoh, SutarkoHadiwacono, caleg No. 1 daerah pemilihan 6Kabupaten Purworejo, Jateng dari PNBK. Sutarkoditolak pencalonannya karena terkait PKI.5 Korbanlain, Rhein Robby Sumolang, yang ditolak KPUProvinsi DKI Jakarta mencalonkan diri sebagaicaleg DPD DKI, karena terlibat organisasi terlarang,bekas anggota IPPI dan tapol di Pulau Buru.6

MK sendiri, sebagai lembaga peradilan yangbaru lahir, dari semula telah menunjukkan itikad po-sitif untuk menjalankan fungsinya. Atas nasihat MK,para pemohon diminta untuk menambah nama-nama pemohon baru – yang secara langsung hakkonstitusionalnya dirugikan.7 Janji dan pernyataanKetua MK Jimly Asshiddiqie bahwa hakim-hakimMK akan bersikap independen dalam mengeksa-minasi permohonan judicial review, terbukti.8 Putusanyang dibuat benar-benar didasarkan pada pertim-bangan hukum, hak asasi manusia (HAM) dan rasakeadilan masyarakat. Di samping itu, seorang hakimmenunjukkan independensinya dengan membuatpendapat berbeda (dissenting opinion).

Tentu saja permohonan judicial review pasal60 huruf g dan Putusan MK, bukan tanpa tang-gapan kontra. Kuasa hukum DPR yang diwakiliKomisi II DPR RI dan kuasa hukum Pemerintah,diwakili Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendradalam pemeriksaan MK, mengajukan bantahanpasal ini melanggar konstitusi, antara lain denganargumen berkisar tentang aspek kesejarahan yangmendasari penetapan tersebut dan alasan dari aspekpolitik.9

Pendapat minor tentang permohonan judi-cial review, misalnya keluar dari Panglima TNI Endri-

Janji danpernyataanKetua MK JimlyAsshiddiqiebahwa hakim-hakim MK akanbersikapindependendalammengeksa-minasipermohonanjudicial review,terbukti.Putusan yangdibuat benar-benardidasarkanpada pertim-bangan hukum,hak asasimanusia (HAM)dan rasakeadilanmasyarakat.

Page 17: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

1 6

artono Sutarto. Pendapatnya, memang bukan ten-tang substansi dan materi permohonan, namun lebihpada penilaian bahwa permohonan ini punya tujuanpenggagalan Pemilu.10 Panglima TNI JenderalEndriartono Sutarto, sendiri sempat mengemukakanpernyataan kontroversial, mengungkap data intelijenbahwa salah satu upaya sabotase pemilu dilakukanmelalui pengajuan judicial review, uji materiil terhadapUU Pemilu.11

Selanjutnya tidak sedikit juga, komentar nega-tif terhadap putusan MK. Prof. Ismail Sunny jugatidak sependapat dengan Putusan MK. Menurut-nya, jika kondisi ekonomi masih labil, upaya rehabi-litasi hak-hak politik tapol tidak bisa dilakukan.12

Ketua Komisi I DPR, Ibrahim Ambong, pernahmenyatakan harapannya Putusan MK ditinjauulang.13 Sementara Aisah Amini, menyatakan darisegi yuridis masalah sejarah PKI harus diingat ulangbagaimana sejarah politik partai ini. Menurutnyadissenting opinion salah seorang hakim MK yangmenolak Putusan harus diperhatikan bersama.14

Reaksi keras dan kekecewaan juga muncul dariHamdan Zoelva, anggota Fraksi Partai Bulan Bin-tang DPR dengan menyatakan bagaimana punbekas anggota PKI telah berkhianat pada bangsadan negara.15

Sedangkan, tanggapan sebaliknya, di antara-nya muncul dari organisasi-organisasi Islam. KetuaMUI Umar Shihab tidak mempermasalahkan eks-PKI berpartisipasi sebagai caleg dalam pemilumendatang karena dari aspek kemanusiaan, putusanMK tersebut bisa diterima akal sehat. MenurutUmar, setiap orang yang bersalah, termasuk mantaneks PKI, seharusnya layak dimaafkan. Sambutanpositif juga muncul dari organisasi besar IslamMuhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). KH

Panglima TNIJenderal

EndriartonoSutarto sempatmengemukakan

pernyataankontroversial,mengungkapdata intelijenbahwa salahsatu upayasabotasepemilu

dilakukanmelalui

pengajuanjudicial review,

uji materiilterhadap UU

Pemilu.

Page 18: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 1 7Todung Mulya Lubis

Hasyim Muzadi menyambut baik putusan MK, danmenyebut sebagai sebuah terobosan bangsa untukmenghilangkan diskriminasi.16

Jika mau ditarik ke periode sebelumnya,pembahasan rumusan Pasal 60 huruf g tersebut me-mang sejak awal telah menimbulkan kontroversi.Dalam proses persertujuan DPR, dalam mekanismepengambilan suara terbanyak, hampir 1/3 anggotatidak menyetujui adanya larangan bekas anggotaPKI dan partai terlarang ikut dalam Pemilu.

Di awal tahun 2003, tercatat, PDIP pernahmengeluarkan statement akan berjuang mencabutPasal 20 RUU Pemilu yang melarang ikut sertadalam pemilu dan dicalonkan menjadi wakil rakyat.Alasannya, seperti dikemukakan Ketua F-PDIPDPR Roy BB Janis, rumusan pasal dalam RUUtersebut sarat dengan nilai-nilai Orde Baru, tidaksejalan dengan reformasi dan melanggar HAM.17

PDIP, juga mengemukakan dasar pembenaranargumennya dengan merefer Pasal 28D ayat (1)UUD 1945.

Saat itu, terdapat 3 usulan yang dibahas Pan-sus: Pertama adalah usulan pemerintah, yang mela-rang bekas anggota organisasi untuk ikut Pemilu;kedua adalah penghapusan total larangan ikutPemilu, seperti diusulkan F-PDIP; usulan ketiga dariFraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB). Usulan F-KBini hakikatnya sama dengan usulan Pemerintah,namun dengan menghapus kata “organisasi terlaranglainnya”, dan menambah kalimat: “sesuai peraturanperundang-undangan yang berlaku.”18 Perkembanganselanjutnya, pasal tersebut ditetapkan dengan prose-dur voting, dengan hasil: 153 suara setuju adanyapelarangan; 103 suara, mayoritas dari PDIP, meno-lak penetapan pasal tersebut; 70 suara mengusulkanpenghapusan kata “terlibat tidak langsung”, dan; 1

Dalam prosespersertujuanDPR, dalammekanismepengambilansuaraterbanyak,hampir 1/3anggota tidakmenyetujuiadanya laranganbekas anggotaPKI dan partaiterlarang ikutdalam Pemilu.

Page 19: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

1 8

suara abstain.Menarik juga melihat ulang pernyataan-

pernyataan anggota parlemen dan akademisi soalmasalah ini, sebelum ada Putusan MK.19 Berita disebuah harian, sempat menghimpun beberapapandangan soal dukungan terhadap KPU mencoretnama caleg bekas anggota PKI dan organisasiterlarang lainnya.20 Di antaranya komentar KetuaKomisi II DPR Teras Narang, pengamat politikUI Amir Santoso, Wakil Ketua Umum PKBMahfud MD serta Wakil Sekjen DPP PAN HakamNaja. Teras dan Amir pernah mengingatkan agarKPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)dan wilayah bekas konsentrasi PKI mewaspadaipenyusupan bekas anggota organisasi terlarangseperti PKI dan GAM ke dalam pencalonananggota legislatif. Amir menyatakan jika orang-or-ang PKI dan organisasi terlarang lain menjadianggota legislatif sangat berbahaya bagi negara,karena mempunyai misi tersendiri dan mengancamkeutuhan NKRI. Sementara Mahfud menyatakan,jika bekas anggota PKI menjadi caleg bisaberdampak negatif. Sebab, kelak mereka bisamenerapkan ideologi yang bertentangan denganPancasila. Hakam Naja mengatakan, parpol yangmengangkat caleg bekas PKI jelas tak memahamiUU Pemilu. Menurut Hakam, PAN tidak akanmeloloskan bekas anggota PKI menjadi caleg.

B. Bobot penting Putusan MKSatu hal yang juga penting untuk diingat dari

putusan dalam perkara tersebut, MK menyatakanbahwa pembatasan hak dipilih seperti ketentuanPasal 60 g UU No. 12/2003 bukanlah didasarkanalasan-alasan yang kuat, masuk akal dan propor-sional, melainkan hanya menggunakan pertimbang-

MK menyatakanbahwa

pembatasanhak dipilih

sepertiketentuan pasal

60 g UU No.12/2003bukanlah

didasarkanalasan-alasan

yang kuat,masuk akal dan

proporsional,melainkan

hanyamenggunakanpertimbanganyang bersifat

politis.

Page 20: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 1 9Todung Mulya Lubis

an yang bersifat politis.21

Argumen tersebut dapat dikatakan kuat danmengena. Di negeri ini pertimbangan politiskebanyakan mengalahkan pertimbangan hukum,HAM dan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteksUU Pemilu, adopsi rumusan Pasal 60 huruf g –membolehkan hak memilih dengan secara paralelmemasukkan rumusan kontradiksi antagonislarangan untuk dipilih – lebih didasarkan padapertimbangan politis: tidak lain dan tidak bukanpotensi suara (hak pilih dalam Pemilu) dari bekasanggota organisasi PKI dan keluarganya – temasukorganisasi massa PKI dan orang yang terlibatlangsung dan tidak langsung dalam G.30.S/PKI.MK telah berhasil keluar dari pertimbangan politisini dengan menggunakan argumen-argumen danpenjelasan pasal-pasal tentang HAM dalam standardan norma domestik dan internasional.

Jumlah suara para korban Orde Baru tidaksedikit. Kondisi ini, boleh jadi, punya kontribusidibukanya peluang hak pilih bagi para bekasanggota PKI, namun tidak untuk hak dipilih.Menurut Margondo Hardono, yang juga salahseorang pemohon judicial review, diperkirakan seluruhkorban Orde Baru mencapai 20 juta orang.22

Sedangkan, perkiraan jumlah suara korban ‘65mencapai 10 juta orang, seperti dikemukakan Soer-narno Tomo Hardjono. Ketua I DPP LembagaPenelitian Korban Peristiwa (LPKP) ‘65 ini meng-ajak berhitung: menurutnya, diperkirakan korbantahun ’65 mencapai 5 juta orang. Kalau dari 5 jutaini punya 2 anak, jumlahnya mencapai 10 juta, belumditambah cucu-cucunya – yang kini beranjak dewasa,dan punya hak pilih.23 Jumlah korban sebanyak 5juta itu, mungkin tidak berlebihan, mengingat padaPemilu 1955, PKI menjadi partai politik terbesar

MK telahberhasil keluardaripertimbanganpolitis denganmenggunakanargumen-argumen danpenjelasanpasal-pasaltentang HAMyang dimuatdalam standarddan normadomestik daninternasional.

Page 21: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

2 0

ke-4, dan mengklaim memiliki anggota dan massapendukung mencapai 10 juta. Dengan hitungan itu,wajar jika politisi, banyak partai yang berusaha“menggaet” simpati bekas anggota organisasi PKIdan organisasi massa pendukungnya.

Disiplin Hukum Hak Asasi Manusia:tentang diskriminasi dan rehabilitasi

Banyak komentator menyatakan nasib bekasanggota PKI dan keluarganya lebih menderitaketimbang bekas anggota organisasi terlarang lain-nya, seperti bekas anggota PSI dan Partai Masyumiyang juga pernah dilarang dan dinyatakan dibubar-kan, dan hingga saat ini belum dicabut pembu-barannya. Ambil satu ilustrasi, Svetlana, seumurhidupnya tidak berani menggunakan nama ayah dibelakang nama pertamanya. Svetlana adalah putriNyoto, Sekjen Central Committee (CC) PKI.24 Ditinjaudari perspektif dan disiplin HAM, salah satu isupokok diseputar bekas anggota PKI dan keluarga-nya yakni: problem diskriminasi yang parah.

Dengan adanya putusan MK, maka salah satubutir diskriminasi dalam lingkup hak politik, dilevelUU Pemilu telah terhapus. Di level internasionalkasus yang dialami Sutarko Hadiwacono dan RheinRobby Sumolang, mirip dengan kasus JorgeLandinelli Silva, dkk vs. Uruguay.25 Kasus telah dieksaminasi oleh Human Rights Commission.26

Komisi berpendapat Dekrit Pemerintah Uruguayyang dikeluarkan tahun 1976 yang melarang Silvauntuk terlibat dalam segala aktivitas politik termasukdalam pemilu, melanggar Pasal 25 ICCPR. MenurutKomisi, sesuai dengan Pasal 4(1) Kovenan, me-mang diperbolehkan negara mengambil tindakanderogasi atas obligasinya. Namun, Komisi berpan-dangan, walaupun derogasi dimungkinkan, terbatas,

Nasib bekasanggota PKI dankeluarganya lebih

menderitaketimbang bekas

anggotaorganisasi

terlarang lainnya,seperti bekas

anggota PSI danPartai Masyumi

yang juga pernahdilarang, dan

hingga saat inibelum dicabut

pembubarannya.

Page 22: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 2 1Todung Mulya Lubis

hanya to the extent strictly required by the exigencies ofsituation”.27 Pandangan Komisi ini bermanfaat untukdigunakan dalam konteks pelarangan bekas anggotaPKI untuk mengkritik komentar-komentar pela-rangan PKI dengan basis argumen historis.

Putusan MK pada dasarnya merupakan dek-larasi Negara menjalankan kewajibannya, sesuaidengan standard internasional, amanat Pasal 25ICCPR. Di level praktik, seharusnya Putusan MKini menjadi tuntunan bagi pemenuhan hak selain hakdipilih dan memilih dalam Pemilu, yakni hakanggota bekas PKI “to take part in the conduct of pub-lic affairs” dan “to have access, on general term of equality,to public service”. Dalam konteks ini, Commissionon Human Rights (CHR) menyatakan bahwa pasalini merupakan dasar bagi sebuah pemerintahandemokratik.28 CHR berpendapat:

“(a)rticle 25 of Covenant recognizes andprotects the right to every citizen to take part inthe conduct of public affairs…Whatever formof constitution or governement is in force, theCovernant requires State to adopt such legisla-tive and other measures as may be necessary toensure the citizen have an effective opportunityto enjoy the rights it protects.”29

Selanjutnya, CHR menyatakan:“The conduct of public affairs…, is a broad

concept which relates to the exercise of politicalpower, in particular the exercise of legislative,executive and administrative powers. It coversall aspects of public administration, and theformulation and implementation of policy atinternational, national, regional and locallevels…”30

Sebagai tambahan, dalam hukum HAM

Putusan MKpada dasarnyamerupakandeklarasiNegara menja-lankankewajibannya,sesuai denganstandardinternasional.

Page 23: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

2 2

internasional, penghapusan diskriminasi, sesuaidengan Pasal 18 ICCPR, mencakup dan tidakterbatas pada jaminan setiap orang untuk menikmatifreedom of thought and conscience. Dengan kata lain, secarateoritik, putusan ini belum menyentuh problemdiskriminasi lainnya, yang juga dalam rumpun haksipil dan politik, yang dialami oleh korban, bekasanggota PKI dan keluarganya.

Tentu saja praktik diskriminasi yang selamaini diderita korban dan keluarganya perlu dipikirkanuntuk segera diakhiri. Dalam konteks ini programrehabilitasi dari negara perlu dilakukan. PutusanMK, sekali lagi dapat menjadi konsideran bagipenetapan perundangan baru yang secara spesifikmengatur soal rehabilitasi korban – bekas anggotaorganisasi PKI dan organisasi terlarang lainnya.

Problem rehabilitasi ini sejak lama telahmenjadi tema dan sorotan komunitas internasional.Paling tidak, sejak 1996 CHR, telah mengeluarkanresolusi dan keputusan tentang hal ini.31 Dalamsebuah resolusinya, CHR meminta komunitas inter-nasional “to give due attention to right to a remedy and, inparticular, in appropriate cases, to receive restitution, com-pensation and rehabilitation, for victims of violation of in-ternational human rights law.”32

Telah menjadi prinsip umum dalam hukumpublik internasional, setiap kejahatan atau pelang-garan (wrongful act), menimbulkan konsekwensi obli-gasi untuk reparasi. Upaya rehabilitasi merupakanpenjabaran dari teori reparative justice. Perkembanganselanjutnya, reparasi ini tidak saja menjadi sebuahbasis prinsip hukum internasional, tetapi telah jugamenjadi pilar dasar bagi berdirinya rule of law dansebuah democratic society.33

Setidaknya ada 4 Joint principles (the rightto reparation) yang penting dalam reparative justice:

Putusan MKdapat menjadi

konsideran bagipenetapan

perundanganbaru yang

secara spesifikmengatur soal

rehabilitasikorban – bekas

anggotaorganisasi PKIdan organisasi

terlaranglainnya.

Page 24: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 2 3Todung Mulya Lubis

(1) rights and duties arising out of the obligation to makereparation (prinsip 33). Setiap korban kejahatan HAMsecara otomatis berhak atas reparasi, secara otoma-tis juga melahirkan obligasi pada negara untuk meng-upayakan reparasi, serta memberikan peluang bagikorban meminta rehabilitasi dari pelaku; (2) repara-tion procedure (prinsip 34). Prinsip ini menekankanketentuan agar semua korban mempunyai akses ataseffective remedy dalam berbagai bentuk (criminal, civil,administrative, disciplinary proceedings), termasuk menda-pat perlindungan dari intimidasi; (3) publicizing repa-ration procedures (prinsip 35). Agar prosedur reparasidapat diketahui semua korban, maka wajib dilaku-kan upaya penyebarluasan informasi di media.Termasuk memastikan informasi ini juga diketahuioleh korban yang (mungkin) di pengasingan (havebeen forced into exile) – seperti banyak bekas anggotaPKI dan keluarganya; 4) scope of the right to reparation(prinsip 36). Pada prinsipnya, reparasi mencakuphak setiap korban atas restitusi, kompensasi danrehabilitas serta upaya-upaya yang bertujuan untukmereparasi korban, misal dalam kasus penghilangpaksa, pihak korban wajib diberitahu informasitentang anggota keluarganya yang hilang.

C. Setelah Putusan MK: “nasib” perundanganlainnya?

Paska Putusan MK, menyisakan banyakpertanyaan, sekaligus harapan. Saat ini dan ke depan,tidak memungkinkan lagi kasus yang dialami SutarkoHadiwacono terulang. Namun, dari public discourses,ada beberapa tema yang perlu disoroti, antara lain:apakah putusan ini, berikut argumen-argumenHAM yang dinyatakan MK dapat menjadi presedendan berlaku bagi aturan-aturan sejenis yang masihberlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Lalu

Setiap korbankejahatan HAMsecara otomatisberhak atasreparasi, secaraotomatis jugamelahirkanobligasi padanegara untukmengupayakanreparasi, sertamemberikanpeluang bagikorban memintarehabilitasi.

Page 25: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

2 4

bagaimana dengan Ketetapan MPR yang diskrimi-natif, mengingat wewenang MK tidak mencakupTAP MPR. Untuk soal pertama, posisi MK, pene-rapan putusan MK No. No. 011-017/PUU-I/2003hanya applied pada persoalan yang terkait denganPasal 60 huruf g. Tidak berkaitan dengan tema eksis-tensi PKI dan ajarannya, seperti dinyatakan dalamTAP MPRS No. XXV/1966.34

Di level TAP MPR, Tap MPRS No XXV/MPRS/1966, merupakan salah satu yang diusulkanuntuk segera dicabut. Selanjutnya, tidak kurang 10UU yang memuat pasal yang sama, termasuk diantaranya pasal dalam UU No 23/2003 tentangPemilihan Presiden dan Wapres, UU No 14/1985tentang Mahkamah Agung (MA), dan UU Veteranyang melarang bekas anggota PKI bergabung dandiakui sebagai veteran. Pada hirarki yang lebih ren-dah, peraturan seperti Permendagri tahun 1981 ten-tang pegawai negeri sendiri masih melarang eks-anggota PKI menjadi PNS dan TNI/Polri, mestidipertimbangkan untuk dicabut. Telah banyak kor-ban akibat peraturan menteri semacam ini, semisalkasus yang dialami putera pertama Achmad Soe-barto yang lolos ujian pertama ABRI, tetapi tidakdiperbolehkan melanjutkan ujian berikutnya karenadiketahui putera eks PKI.35

Dari perspektif hukum HAM internasional,kasus putera Achmad Subarto merupakan pelang-garan Pasal 25 subparagraf (c). Dalam konteks ini,CHR telah menyampaikan pendapatnya, sebagaiberikut:

“Subparagraph (c) of article 25 deals withthe right and the opportunity of citizens to haveaccess on general terms of equality to publicservice positions. To ensure access on generalterms of equality, the criteria and processes for

Paska putusanMK,

menyisakanbanyak

pertanyaan,sekaligusharapan,bagimanadengan

Ketetapan MPRyang diskrimi-

natif, mengingatwewenang MKtidak mencakup

TAP MPR.

Page 26: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 2 5Todung Mulya Lubis

appointment, promotion, suspension anddismissal must be objective and reasonable…Basing access to public service on equal oppor-tunity and general principles of merit, andproviding secured tenure, ensures that personsholding public service positions are free frompolitical interference or pressures. It is of parti-cular importance to ensure that persons do notsuffer discrimination in the exercise of theirrights under article 25, subparagraph (c), onany of the grounds…36

Dari sisi kelanjutan putusan MK, ada duapendapat yang berbeda. Pertama, keputusan MKini, secara praktek ketatanegaraan dapat menjadipreseden dan dapat dianggap applied terhadapaturan-aturan yang sejenis. Kedua, pendapat yangmenyatakan semua perundang-undangan yangdinilai diskriminatif mesti diuji materi satu per satu.Pasal 51 huruf d UU No. 24/2003 tentang Mahka-mah Konstitusi menyatakan lembaga negara jugabisa mengajukan permohonan uji materi jika hakdan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.Dalam hal ini kemunculan ide Komnas HAM mestimengajukan permohonan judicial review terhadapperaturan perundang-undangan yang diskriminatifmenjadi relevan – walaupun juga mendapat kritikankarena posisinya setara sebagai lembaga negara.Kewenangan konstitusional Komnas HAM untukmempromosikan hak setiap orang untuk bebas daridiskriminasi dirugikan akibat adanya pasal-pasaldalam perundang-undangan yang justru melegalkanpraktik diskriminatif.

Jika mesti satu per satu peraturan perundang-undangan dimintakan judicial review, perdebatan bisasaja terpecah dua. Pasal 50 UU Mahkamah Konsti-

Jika mengambiljalurmekanismeformal, makaberdasarkanpertimbanganHAM dan rasakeadilan,semua UUdiskriminatifperlu dicabutbaik melalui ujimateri ataupunmencarikanterobosanhukum baru,seperti FatwaM K

Page 27: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

2 6

tusi hanya memberikan kewenangan kepada MKuntuk mengeksaminasi undang-undang setelahperubahan UUD 1945 – setelah Agustus 1999. Na-mun dalam praktek, pasal ini telah dikesamping-kan oleh MK sendiri dalam pemeriksaan perkarauji materi UU No. 14/1985. Jika mengambil jalurmekanisme formal, maka berdasarkan pertimbang-an HAM dan rasa keadilan, semua UU diskriminatifperlu dicabut baik melalui uji materi ataupun menca-rikan terobosan hukum baru, seperti Fatwa MK.

Cara lain, untuk mengakhiri peraturanperundang-undangan yang diskriminatif: sesegeramungkin DPR RI merevisi semua UU yang masihdiskriminatif, juga MPR sebaiknya secepatnyamencabut TAP-TAP diskriminatif. Desakan ter-hadap MPR ini, karena MK tidak mempunyai ke-wenangan untuk mengeksaminasi ketetapan MPR.Dengan menilai perdebatan dalam pembahasanRUU Pemilu seperti diulas di bagian sebelumnya,maka jika komposisinya tidak berubah, akan sulithal ini tercapai dalam waktu dekat.

D. PenutupPutusan MK pada hakikatnya me-reaffirm

universalitas HAM.37 Walaupun Indonesia belummeratifikasi 2 kovenan induk: ICCPR dan ICESR,namun Indonesia merupakan negara anggota PBByang secara morally binding terikat pada UDHR. In-donesia pun negara yang berpartisipasi dalamKonfrensi HAM Dunia Wina 1993 yang melahirkanthe Vienna Declaration and Programme of Action of Hu-man Rights, yang me-reaffirm komitmen setiap Negarauntuk memenuhi obligasi mempromosikan peng-hormatan dan perlindungan universal HAM dankebebasan-kebebasan fundamental seperti juga di-nyatakan dalam Piagam PBB.

Cara lain, untukmengakhiriperaturan

perundang-undangan yangdiskriminatif:

sesegeramungkin DPR RImerevisi semuaUU yang masihdiskriminatif,

juga MPRsebaiknyasecepatnya

mencabut TAP-TAP diskrimi-

natif.

Page 28: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 2 7Todung Mulya Lubis

Sudah saatnya, bangsa ini maju lagi ke depan.Pada Juli 2003, Mahkamah Agung sempat membu-at rekomendasi untuk pemberian rehabilitasi bagipara bekas anggota-anggota organisasi terlarang,termasuk organisasi kiri dan Islam. Ini merupakansatu langkah yang juga baik dan maju. Dalam ling-kup ICCPR, rehabilitasi dapat dikaitkan dengan ke-tentuan Pasal 7 tentang jaminan setiap orang atas“the dignity and the physical and mental integrity”. Keten-tuan pasal ini, selanjutnya mempunyai hubungan de-ngan requirement Pasal 10 paragraf 1, yang menya-takan “(a)ll persons deprived of their liberty shall be treatedwith humanity and with respect for the inherent dignity ofthe human person.”.38

Selain hak sipol, progres mesti menuju kepa-da pemenuhan hak ekosob. Sudah saatnya, anggotakeluarga bekas PKI dan organisasi terlarang lainnya,menikmati equal opportunities dalam lapangan peker-jaan. Pasal 7 ICESR menjamin hak setiap oranguntuk bekerja dan mendapatkan kesempatan untukdipromosikan, jika orang yang bersangkutanmemiliki kompetensi. Pasal 2 ICESCR menegaskanbahwa setiap orang berhak menikmati hak-hakekosob tanpa diskriminasi apapun. Jika dikaitkandengan Pasal 23 ICCPR, maka anak-anak bekaskeluarga PKI juga menjadi tanggung jawab negara.Pasal ini menyatakan “(t)he family is the natural andfundamental group unit of society and is entitled to protec-tion by society and the State”.39 Selanjutnya, Pasal 24ICCPR dan Pasal 10 ICESR juga memerintahkankepada negara untuk melindungi anak-anak tanpadiskriminasi, termasuk diskriminasi based on birth.Sama seperti kita, para anak – cucu bekas anggotaPKI tidak dapat memilih untuk lahir dari rahim ibuyang disuka, karenanya Pasal 1 UDHR dengan tegasmenyatakan: “all human beings are born free and equal indignity and rights”.

Sudah saatnya,anggota keluargabekas PKI danorganisasiterlarang lainnya,menikmati equalopportunitiesdalam lapanganpekerjaan.

Page 29: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Todung Mulya Lubis

2 8

Endnotes

1 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara No. 011/PUU-I/2003dan No. 017/PUU-I/2003. hal. 38.

2 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara No. 011/PUU-I/2003dan No. 017/PUU-I/2003. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion). HakimKonstitusi H. Achmad Roestandi, S.H., hal. 39.

3 Ibid., hal. 40.4 Ibid., hal. 42.5 Lihat Tempo Interaktif. 24 Februari 2004. “Mahkamah Konstitusi: Bekas

PKI Boleh Memilih dan Dipilih”. Teks dapat dibaca di: http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2004/02/24/brk,20040224-39,id. html

6 Pikiran Rakyat. 22 Maret 2003. “UU Pemilu “Terganjal” di MahkamahKonstitusi?”.

7 Dimintakan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan MKpada 6 November 2003.

8 Kompas. 18 November 2003. “Mahkamah Konstitusi Akan IndependenSaat Menguji UU Pemilu”.

9 Lihat Pikiran Rakyat. 24 Februari 2004. “UU Pemilu “Terganjal” diMahkamah Konstitusi?”

10 Lihat Hukum Online “Judicial Review Undang-undang Pemilu Tidakakan Gagalkan Pemilu”. Teks dapat dibaca di: http://hukum online.com/detail.asp?id= 9184& cl=Berita

11 Lihat Kompas. 18 November 2003. “Mahkamah Konstitusi AkanIndependen Saat Menguji UU Pemilu”. Lihat juga Pikiran Rakyat. 22 Desember2003.

12 Fajar. 24 Februari 2004. “Eks PKI Boleh Capres. KPU Coret SyaratCapres Non-PKI.” Teks dapat dibaca di: http://www.fajar.co.id/lengkap.cfm?idb=5030

13 Pernyataan ini disampaikan kepada wartawan di sela-sela rapat dengarpendapat dengan Panglima TNI pada 25 Februari 2004. Lihat Tempo Interaktif.25 Februari 2004. “Komisi Pertahanan Pertanyakan Keputusan MahkamahKonstitusi.” Lihat juga Kompas. 4 Februari 2004. “Keputusan MahkamahKonstitusi Soal Eks PKI: Terobosan Penting Buat Bangsa”.

14 Lihat Tempo Interaktif. 25 Februari 2004.15 Kompas, 1 Maret 2004. “Pasca putusan MK soal Eks Anggota PKI.

Perjalanan Masih Panjang.”16 Ibid.17 Kompas. 8 Februari 2003. “F-PDIP Akan Berjuang Hapus Larangan Eks

Anggota PKI Ikut Pemilu”18 Ibid.19 Lihat Suara Merdeka. 26 Januari 2004. “Banyak Eks PKI Masuk Caleg.

KPU: Yang Terbukti Akan Dicoret”20 Ibid.21 Putusan Mahkamah Konstitusi RI. Op.cit, hal. 35.

Page 30: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 2 9Todung Mulya Lubis

22 Lihat Hukum Online, 30 Maret 2004. “Mahkamah Konstitusi NyatakanPasal 60 g UU Pemilu Cacat Hukum”. Teks dapat dibaca di: http://hukumonline.com/detail.asp?id= 9751&cl=Berita

23 Fajar. 24 Februari 2004.24 Lihat Sinar Harapan. 1 Maret 2004.25 Jorge Landinelli Silva, professor sejarah bersama Luis E. Echave Zas,

buruh tani; Omar Patron Zebalos, asisten akuntan; Niurka Sala Ferna-indez,professor fisika dan Rafael Guargo Fero, seorang engineer mengajukan komunikasikepada CHR pada 30 Mei 1978, yang kemudian melayangkan permohonankembali ke CHR pada 26 Februari 1981.

26 Communication No. 34/1978, 8 April 1981. Lihat UN doc. U.N. Doc.CCPR/C/OP/1 at 65 (1984); UN doc. A/36/40 (1981) Annex XII; CCPR/C/OP/1, p. 65.

27 Communication No. 34/1978, 8 April 1981 (date of adoption – twelfthsession), para. 8.2.

28 Lihat UN doc. CHR. Fifty-seventh session 1996. General Comment No.25. Article 25., para. 1.

29 Dikutip dari Ibid.30 Ibid., para. 5.31 Lihat UN Doc. CHR Resolutions 1996/35; 1999/33; 2000/41; 2002/44;

2003/34 Lihat juga CHR Decision 2001/105.32 UN doc. CHR Resolution 2002/44; Resolution 2003/34. The rights to

restitution, compensation and rehabilitation for victims of grave violations ofhuman rights and fundamental freedoms., para. 1.

33 Lihat Council of Europe, Resolution 78 (8) of the Committee Minister,dalam Meleander, G, “Article 8” yang dimuat dalam Eide et.al (eds.). 1992. TheUniversal Declaration of Human Rights: A Comentary. Scandinavian Univer-sity Press., p. 143; Lihat juga beberapa examinasi Inter American Court ofHuman Rights terhadap kasus Blake v. Guatemala; Castillo Paez v. Peru (1997);Suarez Rosero v. Equador (1998).

34 Lihat Tempo Interaktif. 24 Februari 2004.35 Lihat Sinar Harapan. 1 Maret 2004.36 UN doc. CHR. General Coment No. 25, para. 23.37 Beberapa komentator setuju, dalam praktik universal concept HAM

tidak dapat secara penuh diaplikasikan. Namun dalam praktek juga, klaimberlakunya domestik concept, lebih banyak dinyatakan Negara, sebagai pihakyang melakukan opresi, bukan suara dari para korban. Dari sisi inilah banyakpendapat dan mempercayai in the universality of human sprit.

38 Lihat UN doc., CHR. Forty-fourth session (1992). General CommentNo. 7. Article 7., para. 2.

39 Lihat dan bandingkan dengan UN doc. E/1996/22. CESCR. Thirteenthsession (1995). General Comment No. 6. The economic, social and culturalrights of older persons., para. 31.

Page 31: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

3 0

PengantarBelenggu politik yang selama hampir 39 tahun

dikalungkan ke leher para anggota/simpatisan PartaiKomunis Indonesia (PKI) akhirnya terkuak; Mah-kamah Konstitusi membuka belenggu politik yangsudah tua itu. Melalui putusan yang diucapkan secaraterbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 24Pebruari 2004, Mahkamah Konstitusi mengabulkantuntutan pemohon perkara Pengujian Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah, yang memohon Pasal 60 huruf g UU No.12/2003 tentang Pemilu dinyatakan bertentangandengan UUD 1945, dan menyatakan Pasal 60 hurufg tersebut tidak mempunyai kekuatan hukummengikat (perkara no. 011-017/PUU-I/2003).Dengan putusannya ini, Mahkamah Konstitusi telahmembuka lembaran “baru” dalam sejarah perlin-dungan hak-hak warga negara di Indonesia —yangsebanding dengan putusan Hakim Agung AmerikaSerikat, Earl Warren, dalam kasus Brown v. Board of

Ifdhal Kasimadalah Direktur

EksekutifLembaga Studidan AdvokasiMasyarakat

(ELSAM)

Analisis Putusan MK dalam PerspektifRekonsiliasi Nasional

Oleh IFDHAL KASIM

Memasuki era reformasi masyarakat Indonesia tergerak menga-dakan ‘rekonsiliasi’ untuk mempertalikan kembali perpecahankarena sekat-sekat ideologis yang dibenarkan oleh rezim otoritermelalui politik stigmatisasi. Menurut Ifdhal Kasim, PutusanMahkamah Konstitusi bukan hanya membawa efek padapemulihan hak-hak kewarganegaraan (civil and political rights) paraanggota/simpatisan PKI, tetapi juga melapangkan jalan ke arah‘rekonsiliasi nasional’.

Page 32: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 3 1Ifdhal Kasim

Education1 yang terkenal itu. Mahkamah telah me-nempatkan dirinya sebagai the guardian of the consti-tution .

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebutbukan hanya membawa efek pada pemulihan hak-hak kewarganegaraan (civil and political rights) paraanggota/simpatisan PKI, tetapi juga melapangkanjalan ke arah ‘rekonsiliasi nasional’ yang hendakdiraih bangsa ini ke depan. Seperti diketahui, setelahSoeharto menyerahkan kekuasaan dan Reformasibergulir dengan pesat, masyarakat Indonesia terge-rak dan bertekad mengadakan ‘rekonsiliasi’ untukmempertalikan kembali perpecahan karena sekat-sekat ideologis dan etnis yang didukung, dibenarkandan dilestarikan oleh rezim otoriter-Soeharto-OrdeBaru melalui politik stigmatisasi “musuh-musuhnegara”. Tekad itu telah dituangkan dalam dokumenpolitik yang disebut dengan Ketetapan MPR, yakniTAP MPR No. V/2000 tentang PemantapanPersatuan dan Kesatuan Nasional. Dalam arti ini,saya memandang putusan Mahkamah Konstitusitersebut dapat dikatakan merupakan “transtional ju-risprudence”, yang menolak nilai-nilai lama yang cupat(tidak demokratis) dan mengambil nilai-nilaidemokratis yang baru, dan sekaligus mengandungdidalamnya “backward and forward-looking”.

Hasil analisis yang dimuat dalam tulisan iniberusaha menempatkan putusan Mahkamah Kons-titusi dalam perspektif teori hukum “transtional ju-risprudence”2 sebagaimana yang coba dikembangkanoleh Prof. Ruti G. Titel. Mengapa saya bersandarpada perspektif teori hukum (jurisprudence) ini, karenarelevan dengan topik yang hendak menjadi fokusanalisis tulisan ini yakni ‘rekonsiliasi nasional’. Tetapiuntuk memudahkan mengikutinya, tulisan ini akandibagi dalam beberapa sub-bahasan. Pada bagian

yurisprudensiberasal daribahasa latin jurisprudentia yangberartipengetahuanatau ilmupengetahuanhukum. Adabeberapa macamjenisyurisprudensi,antara lainpertama,penelusuranhukum untukmenganalisa,menjelaskan,mengklasifikasidan mengkritisilembaga-lembagaataupun konsephukum, Keduamelakukanperbandinganantara hukumdengan bidangilmupengetahuanlain, Ketigamencari latarbelakangsejarah, moraldan budaya darisuatu konsephukum. Keempat,mencari jawabanatas pertanyaanabstrak sepertiapa itu hukumdan bagaimanahakimmemutuskanperkara.

Page 33: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

3 2

pertama akan dipaparkan terlebih dahulu posisikasusnya sebagaimana disampaikan para pemohon,lalu pada bagian kedua diikuti dengan pemaparanterhadap isi putusan Mahkamah Konstitusi, danselanjutnya pada bagian-bagian terakhir akandipaparkan hasil analisis atas putusan tersebut.

Tekad Dibalik Permohonan: Posisi KasusPara pemohon Pengujian Undang-undang

Pemilu No. 12/2003, khususnya Pasal 60 huruf g,merupakan kombinasi yang amat menarik. Di antarapara pemohon (Pemohon I dan II), yang berkasperkaranya digabungkan pemeriksaannya olehMahkamah Konstitusi, terdapat Deliar Noer, AliSadikin, Sri Bintang Pamungkas disatu sisi (tokoh-tokoh yang secara langsung tidak dirugikan olehketentuan Pasal 60 huruf g UU No. 12/2003) danSumaun Utomo, Achmad Soebarto dan Mulyonodi sisi lain yang merupakan bekas tahanan politikyang dirugikan haknya untuk dipilih sebagaimanaditentukan dalam Pasal 60 huruf g UU No. 12/2003. Keikutsertaan Deliar Noer sebagai pihakpemohon, seakan ingin menampik “bahaya komu-nis” yang selalu digembar-gemborkan Orde Barudan menegaskan kepada publik Indonesia tentangpentingnya langkah ‘rekonsiliasi’ dilakukan. Siapayang tidak kenal dengan Deliar Noer —salah satudari cendekiawan Muslim Indonesia yang terkenal?Ketika menjadi aktifis HMI, ia merupakan penen-tang keras PKI. PKI pun pernah meminta PresidenSoekarno untuk membubarkan PKI. Sekarang iamenuntut pemulihan citizen rights bekas lawan-lawanpolitiknya di masa lalu itu.3

Sementara Sumaun Utomo, Achmad Soe-barto, Mulyono, dan lainnya (para Pemohon II) –yang di masa lalu merupakan lawan politik Deliar

Page 34: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 3 3Ifdhal Kasim

Noer, adalah para korban: bagian dari ratusan atauribuan orang yang dituduh terlibat secara langsungmaupun tidak dalam peristiwa yang disebut“G.30.S/PKI”. Selama hampir 39 tahun lamanyamereka mengalami penindasan secara politik: tidakboleh masuk dalam pemerintahan, militer danposisi-posisi publik lainnya (seperti pengacara,dokter, wartawan, dll); dan tidak diberikan hak pilihdan dipilih. Singkatnya mereka mengalami apa yangdisebut dengan “kematian perdata”, warga negarayang tidak memiliki hak-hak kewarganegaraan (citi-zen rights); mereka menjadi paria di negara sendiri.“Hukuman” atau penindasan politik tersebut bukanhanya dijatuhkan kepada mereka, tetapi bahkanmengimbas ke anak dan cucu mereka! Inilah diskri-minasi politik yang berlanjut, yang boleh dikatakantiada bandingnya di abad ini.

Tidak cukup dengan diskriminasi sepertidipaparkan di atas, rezim Orde Baru juga memba-ngun opini politik atau imej terhadap mereka sebagaikelompok politik yang jahat. “Takhayul” yang dicip-takan Orde Baru itu berhasil membuat merekaterisolir dan disingkirkan dalam pergaulan masya-rakat Indonesia. Dan propaganda itu telah berhasilmembangun persepsi di kalangan masyarakat In-donesia, bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri,suaminya, layak disingkirkan! Kini stigma-stigma atautakhayul politik itu pelan-pelan mulai tersingkap,antara lain, terlihat dengan keikutsertaan tokoh-to-koh penting dalam masyarakat bersama-sama de-ngan mereka yang menjadi korban untuk bahu-membahu menuntut pemulihan atas hak-hak mere-ka (sebagaimana dalam kasus ini).

Kombinasi para pemohon inilah yang me-nunjukkan adanya tekad berekonsiliasi. Tekad inilahyang saya kira melampaui klaim hukum yang mereka

Page 35: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

3 4

ajukan (sebagai pemohon) kepada MahkamahKonstitusi. Klaim hukum yang mereka ajukan ituadalah —yang menjadi permasalahan pokok dalampermohonan perkara ini, bahwa Pasal 60 huruf gUndang-undang No. 12/2003 bertentangan denganUUD 1945 yang menjamin hak-hak setiap warganegara untuk memilih dan dipilih (rights to vote andrights to be candidate). Adapun isi ketentuan Pasal 60huruf g tersebut adalah larangan menjadi anggotaDPR, DPD, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupa-ten/Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasiterlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasimassanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G.30.S/PKI atau organisasiterlarang lainnya”. Ketentuan ini jelas merupakanwarisan dari politik-kriminal Orde Baru yang men-jadikan anggota/simpatisan PKI sebagai musuh-musuh negara, yang diambil alih begitu saja olehDPR produk reformasi.

Klaim mereka bahwa Pasal 60 huruf gUndang-undang No. 12/2003 bertentangan denganUUD 1945 mereka dukung dengan argumen-argumen hukum yang kuat. Di bawah koordinasikuasa hukum mereka —yang berasal dari organisasibantuan hukum yang selama ini dikenal ketangguh-annya dalam pembelaan hak-hak warga negara (citi-zen rights), dikontruksi argumen-argumen hukumyang tak terbantah dan sekaligus memikat. Kitasaksikan bagaimana begitu fasihnya kuasa hukumdan mereka sendiri (korban yang mengajukanpermohonan) dalam membeberkan instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia (UniversalDeclaration of Human Rights dan International Covenanton Civil and Political Rights) beserta penafsirannya, dandari sudut hukum nasional (UUD dan seterusnya)dalam usaha memperkuat dan menyakinkan secara

InternationalConvenant on

Civil and PoliticalRights serta

Protokol Pilihanperjanjian berlakutanggal 23 Maret1976 sedangkanprotokol pilihan

kedua dari ICCPRyang ditujukan

untukpenghapusanhukuman matidicetuskan 15

Desember 1989.Sampai 1992,

112 negara telahmenandatangani

ataumeratifikasinya,dan 66 negara

yang telahmeratifikasi danmenandatanganiprotokol pilihan

pertama. Sampai31 Desember

1991, sebanyak12 negara telahmenyetujui untuk

terikat padaketentuan-ketentuan

protokol keduatersebut.

Page 36: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 3 5Ifdhal Kasim

hukum dasar klaim atau tuntutan mereka tersebut.Salah satu argumen yang menarik untuk

dikutip disini, yang sekaligus dapat menunjukkantekad atau keinginan yang, saya katakan di atas,melampaui klaim formal permohonan judicial re-view atas Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor12/2003 tentang Pemilu. Di bawah ini argumentersebut saya turunkan:

Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor12/2003 tentang Pemilu adalah cacat beratsecara etis sehingga dari segi moral mencemar-kan keseluruhan Undang-undang PemilihanUmum itu sendiri, dan merupakan diskriminasiberdasarkan keyakinan politik. Oleh karena itu,pasal tersebut melanggar hak asasi manusiayang terkandung dalam Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,yang bila diteruskan dan dilaksanakan (en-forced) akan melestarikan stigmatisasi kepadasekelompok orang, berarti juga menghentikansecara resmi upaya untuk mereintegra-sikan dan rekonsiliasi sebagian wargabangsa ini ke dalam tubuh bangsa (cetakmiring ditambahkan, IK) yang adalah kewajib-an moral dari era yang disebut “reformasi” ini.

Putusan MK: Membuka dan MemperkuatRekonsiliasi

Mahkamah Konstitusi menerima dan meme-riksa permohonan perkara Pengujian Undang-undang No. 12/2003 tentang Pemilihan Umummulai tanggal 15 Oktober 2003 hingga akhirnyaputusannya dibacakan secara terbuka kepada publikpada tanggal 24 Pebruari 2004. Dalam putusannya,Mahkamah Konstitusi menandaskan: (i) menga-bulkan permohonan pengujian undang-undang

Judicial Reviewadalah istilahteknis dalamhukum tatanegara AmerikaSerikat yangmaksudnyaadalahwewenangpengadilanuntukmembatalkansetiap tindakanpemerintahyangbertentangandengankonstitusi(Jerome A.Barron & C.Thomas S,1986). Dalamhukum tatanegara Indone-sia, lebihdikenal denganistilah “HakMenguji” yangterdiri dari hakmenguji formal(formelletoetsingrecht)dan hakmenguji mate-rial (materieletoetsingrecht).

Page 37: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

3 6

yang diajukan oleh Pemohon I (sebagian), danPemohon II (seluruhnya); (ii) menyatakan pasal 60huruf g UU No. 12/2003 tentang Pemilu berten-tangan dengan UUD RI Tahun 1945; dan (iii)menyatakan Pasal 60 huruf g UU No. 12/2003tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukummengikat. Argumen hukum yang dikemukan parapemohon dalam klaim yang mereka ajukan, ternyataditerima dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hanya saja permohonan atas nama DeliarNoer, Ali Sadikin, Sri Bintang Pamungkas, JudilherryJustam, Cristianus Siner Key Timu, dan lain-lain(sebagian dari Pemohon I) tidak diterima olehMahkamah Konstitusi. Alasan Mahkamah Konstitusi terkait dengan kedudukan hukum (legal stand-ing) dan kepentingan hukum para pemohon tersebut,yang menurut menurut Mahkamah Konstitusi tidakterbukti terdapat adanya keterkaitan sebab akibat(causal verband) yang menunjukkan hak konstitusionalmereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 60 huruf gUU No. 12/2003 tentang Pemilu. Mahkamah Kon-stitusi, sesuai dengan kewenangannya, hanya me-meriksa perkara yang diajukan oleh mereka yangkedudukan hukumnya (legal standing) secara langsunghak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu Undang-undang. Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkansebagian dari Pemohon I (yang secara langsung hakkonstitusionalnya dirugikan) dan seluruh PemohonII. Tetapi terlepas dari soal kedudukan hukum itu,putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakansuatu kemajuan —yang karena itu mendapat reaksipro-kontra yang beragam dalam masyarakat. Tetapiadalah berlebihan bila menganggap putusan ini akanmembangkitkan kembali PKI.4

Mahkamah Konstitusi memutuskan menga-bulkan klaim para pemohon didasarkan pada

Legal Standingadalah

kedudukanhukum yangdimiliki orangatau lembagatertentu untukmengajukanpermohonan

ataupungugatan.

Terdapat syarat-syarat tertentu

yang harusdipenuhi orangatau lembagatersebut, agar

dapat dikatakanbahwa ia

mempunyaikedudukan

hukum (legalstanding) yangcukup untukmengajukanpermohonan

ataupungugatan.

Page 38: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 3 7Ifdhal Kasim

pertimbangan-pertimbangan hukum yang cermat,dan konteks politik saat ini yang lebih menekankanpenerapan nilai-nilai demokratis. Konteks politikpasca-otoritarian Orde Baru, saya kira ikut mempe-ngaruhi para Hakim Konstitusi dalam mengambilkeputusannya. Suasana demokratik juga terlihatdalam Majelis Hakim Konstitusi yang mengadilipermohonan perkara ini, yang memungkinkanperbedaan pendapat di antara mereka. Hal ini terlihatdari tidak bulatnya putusan yang dihasilkan, karenasalah seorang Majelis Hakim Konstitusi (H. AchmadRoestandi, S.H.) berbeda pendapat dengan mayori-tas majelis, dan mengajukan Disseting Opinion —sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa Orde Baru.Hakim Konstitusi Achmad Roestandi berpendapat,bahwa pembatasan yang tercantum pada Pasal 60huruf g UU No. 12/2003 tentang Pemilu mempu-nyai alas konstitusional yaitu Pasal 28 J ayat (2) dan28 I ayat (1) UUD 1945, dan bersesuaian denganPasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights.Dengan alasan hukum ini ia menolak klaim parapemohon.

Untuk itu marilah kita cermati pertimbang-an-pertimbangan hukum mayoritas Majelis HakimKonstitusi yang mendasari putusan tersebut. Karenatidak mungkin mengutip seluruhnya, maka bagian-bagian yang relevan saja yang dikemukakan di sini.Di bawah ini saya turunkan:

Menimbang, bahwa hak konstitusionalwarga negara untuk memilih dan dipilih (rightto vote and rigt to be candidate) adalah hakyang dijamin oleh konstitusi, undang-undangmaupun konvensi internasional, maka pemba-tasan penyimpangan, peniadaan dan pengha-pusan akan hak dimaksud merupakan pelang-garan terhadap hak asasi dari warga negara;

DissentingOpinion adalahpendapat yangdisampaikan olehanggota majelishakim yangberbeda denganpendapatmayoritasanggota majelishakim. DissentingOpiniondiIndonesiadiatur dalam UUNomor 4 Tahun2004 tentangKekuasaanKehakiman (pasal19) dan UUNomor 5 Tahun2004 tentangMahkamah Agung(pasal 30 ayat 3).Sedangkan padalingkunganMahkamahKonstitusi, pasal45 ayat (10) UUNomor 24 Tahun2003 mengaturmengenai dis-senting opinionyang merupakanbagian tidakterpisahkan dariputusan.

Page 39: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

3 8

Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitupelarangan terhadap kelompok tertentu warganegara untuk mencalonkan diri sebagai anggotaDewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansahukuman politik kelompok sebagaimana dimak-sud. Sebagai negara hukum, setiap pelaranganyang mempunyai kaitan langsung dengan hakdan kebebasan warga negara harus didasarkanatas putusan pengadilan yang mempunyaikekuatan hukum yang tetap;

Menimbang bahwa suatu pertanggung-jawab pidana hanya dapat dimintakan per-tanggungjawabannya kepada pelaku (dader)atau yang turut serta (mededader) atau yangmembantu (medeplichtige), maka adalah suatutindakan yang bertentangan dengan hukum,rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawabtersebut dibebankan kepada seseorang yangtidak terlibat secara langsung.

Dengan pertimbangan-pertimbangan hu-kum yang dipaparkan di atas, Mahkamah Konstitusitelah membongkar suatu “konstruksi politik” yangdiciptakan dan dirawat oleh rezim Orde Baru sela-ma kurang lebih 32 tahun. Yaitu menempatkanmereka yang terlibat (langsung atau pun tidak lang-sung) dalam peristiwa yang dikenal dengan “G.30.S/PKI” sebagai “musuh negara”, dan kemudian men-cabut hak-hak kewarganegaraan mereka. Pema-haman dan pengetahuan masyarakat Indonesiaterhadap peristiwa “G.30.S/PKI” itu juga diben-tuk dan dikontrol oleh rezim Orde Baru, sehinggamenempat mereka yang terlibat peristiwa tersebut

Page 40: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 3 9Ifdhal Kasim

(anggota/simpatisan PKI) wajar menerima hukum-an dalam bentuk apapun! Persepsi inilah yang ham-pir 32 tahun menguasai alam kesadaran masyarakatIndonesia. Kini, dengan pertimbangan-pertim-bangan hukum Mahkamah Konstitusi, persepsi ataulebih tepat “mitos” yang dibangun Orde Baru terse-but mulai runtuh, dan akan membawa implikasiterhadap mencairnya hubungan masyarakat Indo-nesia pada umumnya dengan eks anggota PKI.

Selain mengajukan pertimbangan-pertim-bangan hukum sebagaimana dikutip di atas, Mahka-mah Konstitusi juga mempertimbangkan kontekspolitik saat ini. Seperti diketahui, Indonesia pasca-Orde Baru adalah Indonesia yang ingin menatakembali tatanan kenegaraan dan politik ke arah yangdemokratis. Dalam seluruh gerak ke arah ini, salahsatu langkah yang harus dilakukan bangsa Indone-sia adalah rekonsiliasi. Gagasan rekonsiliasi kini tiba-tiba mengisi wacana politik sehari-hari Indonesia,5yang kemudian mengkristal dalam konsensus politikyang dituangkan dalam Ketetapan MPR (TAPMPR/V/2000). Mahkamah Konstitusi tampaknyasangat menyadari tekad nasional tersebut, sepertitampak dalam pertimbangannya berikut ini:

Menimbang bahwa di samping pertimbang-an juridis tersebut di atas, materi ketentuansebagai mana terkandung dalam Pasal 6 hurufg Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003tentang Pemilihan Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipan-dang tidak relevan lagi dengan upayarekonsiliasi nasional yang telah menjaditekad bersama bangsa Indonesia menujumasa depan yang lebih demokratis danberkeadilan (garis miring ditambahkan, IK)

Tap MPRS/XXV/1966adalahKetetapan MPRyangmenyebutkansecara resmitentangpembubaranPartai KomunisIndonesia (PKI)dan laranganajaran komunis,marxisme, danleninisme.

Page 41: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

4 0

Oleh karena itu, meskipun keterlibatan PartaiKomunis Indonesia dalam peristiwa G.30.Spada tahun 1965 tidak diragukan oleh sebagianterbesar bangsa Indonesia, terlepas dari tetapberlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan TerhadapMateri dan Status Hukum Ketetapan MPRSdan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampaidengan Tahun 2002, tetapi orang perorangbekas anggota Partai Komunis Indonesia danorganisasi massa yang bernaung dibawahnya,harus diperlakukan sama dengan warga negarayang lain tanpa diskriminasi.

Merintis Jalan Ke Arah RekonsiliasiSeperti sudah saya kemukakan di awal tulisan

ini, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukanhanya membawa efek pada pemulihan hak-hak ke-warganegaraan (civil and political rights) para anggo-ta/simpatisan PKI, tetapi juga merintis dan membu-ka jalan ke arah ‘rekonsiliasi nasional’ yang telah men-jadi tekad bangsa ini. Melalui putusan ini, MahkamahKonstitusi telah melihat ke belakang (backward-look-ing) dan sekaligus memandang ke depan (forward-looking).6 Maksudnya dengan ‘melihat ke belakang’adalah, menilai kembali implikasi hukum yangberlaku di masa lalu (yang represif) dan meniadakaneksistensinya karena merenggut hak-hak asasi manu-sia. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘memandangke depan’ adalah, penciptaan norma baru bagikehidupan politik yang demokratis dan hukum yangadil di masa depan. Di sini lalu terlihat bahwa,keadilan persis berada di tengah dua tatanan hukumdan politik, rezim lama dan baru.

Dengan karakter putusan yang demikian itu,

Page 42: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 4 1Ifdhal Kasim

inilah untuk pertama kalinya peradilan di Indonesiamelahirkan apa yang disebut dengan “transtional ju-risprudence”, yang hampir tak terlihat dalam pengadil-an pidana (terutama korupsi). Yaitu suatu putusanyang telah menempatkan hukum dalam perannyayang paradoksal. Jika dalam situasi politik yang nor-mal, hukum lebih berfungsi memelihara tatanan danstabilitas, maka dalam masa yang penuh gejolak po-litik (seperti situasi transisi politik), hukum bukanhanya mempertahankan tatanan dan stabilitas tetapipada saat yang sama memungkinkan pula terjadinyatransformasi. Persis seperti putusan MahkamahKonstitusi ini, ia bukan hanya mempertahankan tata-nan atau norma yang ada tetapi memungkinkan pulaterjadinya transformasi. “Transtional Jurisprudence”kata Prof. Ruti G. Titel, “emerges as distict paradig-matic form of law responsive to and constructive of the ex-traordinary circumstances of periods of substantial politicalchange”.7 Jurisprudensi transisional berpusat padapenggunaan hukum secara paradigmatik dalamkonstruksi normatif rezim politik yang baru.

Makna “konstitutif ” atau “transformatif ”putusan Mahkamah Konstitusi itu terletak padavisinya memandang ke depan (forward-looking).Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memandangtekad nasional untuk mengupayakan ‘rekonsiliasi’sebagai suatu langkah yang imperatif dalam usahamewujudkan masa depan Indonesia yang lebihdemokratis dan berkeadilan. Makanya pra-syaratyang diajukan oleh Prof. Frans Magnis Suseno, ketikabersaksi sebagai Saksi Ahli yang diajukan parapemohon, yakni “rekonsiliasi akan menjadi lebihmudah, kalau berbagai diskriminasi dihapus terlebihdulu”, tampak menjadi pertimbangan serius MajelisHakim Konstitusi. Seperti menyadari arti pentingpra-syarat yang dikemukakan Frans Magnis Suseno,

Page 43: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

4 2

Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskanmenghapus salah satu diskriminasi yang dialami oleheks anggota PKI, yakni diskriminasi politik.

Di samping itu, seperti telah dikemukakanterdahulu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebutjuga membongkar “takhayul-takhayul” politik yangselama ini dipropagandakan rezim Orde Baru.Persepsi yang selama ini dibangun Orde Baru terha-dap PKI dan eks anggotanya, dengan putusan inipelan-pelan akan mulai runtuh. Kita berhadapandengan politic of memories yang ditulis oleh Orde baru.Masih banyak masyarakat yang terbelenggu dengantakhayul politik yang dipropagandakan Orde Baru,karena begitu sistematisnya opini-politik tersebutdibangun oleh Orde Baru. Makanya mereka sulitmenerima putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.Sebagai suatu langkah awal menuju rekonsiliasi,pelan-pelan situasi ini akan mulai mencair. Yang padaakhirnya akan sangat berpotensi mengarahkan dankondusif bagi dimulainya rekonsiliasi nasional, agarkita tak terbelenggu oleh masa lalu.

Putusan Mahkamah Konstitusi itu juga akanberdampak memicu akselerasi pelaksanaan TAPMPR No. V/2000 tentang Pemantapan Persatuandan Kesatuan Nasional. Salah satu yang dimandatkankepada Pemerintah melalui TAP ini, dalam upayamelakukan rekonsiliasi —seperti dikutip di bawahini, adalah:

Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekon-siliasi Nasional sebagai lembaga ekstra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianyaditetapkan dengan Undang-undang. Komisi inibertugas untuk menegakkan kebenaran denganmengungkapkan penyalahgunaan kekuasaandan pelanggaran hak asasi manusia pada masalampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan

KomisiKebenaran dan

Rekonsiliasidalam Pasal 47

UU No.26Tahun 2000

adalah komisiyang dibentukpemerintah

untukmenyelesaikan

kasuspelanggaran

HAM yang beratdan terjadi di

masa lampau,yakni ketikapada saatterjadinya

pelanggaranHAM yang

berat, belumada peraturan

yangmengaturnya

(asasretroaktif).

Page 44: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 4 3Ifdhal Kasim

perundang-undangan yang berlaku, danmelaksanakan rekonsiliasi dalam perspektifkepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran,dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permin-taan maaf, pemberian maaf, perdamaian,penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, ataualternatif lain yang bermanfaat untuk menegak-kan persatuan dan kesatuan bangsa dengansepenuhnya memperhatikan rasa keadilandalam masyarakat.

Saat ini undang-undang yang dimaksud,seperti diketahui, sedang dibahas oleh DPR. PutusanMahkamah Konstitusi dengan demikian memberipra-kondisi bila kelak Komisi Kebenaran danRekonsiliasi berdiri. Pra-kondisi yang dimaksudpersis seperti diungkapkan Prof. Frans MagnisSuseno, yaitu lebih dulu dilakukan penghapusansemua diskriminasi yang dialami oleh setiap kelom-pok di dalam masyarakat karena kebijakan politikOrde Baru di masa lalu. Singkatnya, putusan Mahka-mah Konstitusi ini telah memberikan justifikasi le-gal bagi perintisan dan membuka jalan bagi rekon-siliasi, terutama pada sumbangannya dalam meme-nuhi beberapa pra-syarat fundamental yang diper-lukan bagi rekonsiliasi. Tetapi memang jalan menujuke sana masih panjang!

PenutupPutusan Mahkamah Konstitusi atas perkara

peninjauan Undang-undang No. 12/2003 tentangPemilu, yang diajukan oleh tokoh-tokoh masyarakatdan para korban politik setelah peristiwa yangdikenal dengan G.30.S/PKI, adalah kreasi besarbangsa ini untuk keluar dari rantai dendam yang

Page 45: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Ifdhal Kasim

4 4

tak berkesudahan. “Bangsa ini jangan terjerumus pada dendam sejarah”,ujar Jimly Asshiddiqie SH,8 Ketua Mahkamah Konstitusi, menjawabpertanyaan wartawan yang mewancarainya berkaitan dengan putusanMahkamah Konstitusi tersebut. Karena itu sangat berlebihan apabilaputusan itu dipersepsi hendak menghidupkan kembali “PKI”; persepsiini hanya membawa kita terbelenggu oleh pengalaman pahit di masalalu. Kita menjadi tawanan masa lalu, bukannya bebas dari masa lalu.

Putusan ini menjadi penting dilihat dari sudut ‘rekonsiliasi’ yangtelah menjadi tekad bangsa ini –seperti tertuang dalam TAP MPR No.V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Sudah saat-nya tekad ini kita realisasi.

Pada halaman-halaman di depan, saya sudah berusaha menge-tengahkan analisis atas putusan Mahkamah Konstitusi itu dari perspektifkepentingan rekonsiliasi. Saya mencoba menganalisisnya dengan meng-gunakan teori hukum “transtional jurisprudence” yang dikembangkan olehProf. Ruti G. Titel dari New York Law School. Dari sinilah saya tibapada kesimpulan, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telahmembuka dan merintis jalan untuk memulai rekonsiliasi demi masadepan Indonesia yang lebih demokratis dan berkeadilan. Putusan inimengandung didalamnya sekaligus melihat ke belakang (backward-look-ing) dan memandang ke depan (forward-looking).

Endnotes

1 Hakim Agung dalam kasus ini memutuskan mencabut segregasi berda-sarkan prinsip “terpisah tetapi setara” (separate-but-equal principle) pada sekolah-sekolah di Amerika Serikat, menyatakan pengotak-kotakan sekolah berdasarkanras dan dibenarkan oleh hukum tersebut tidak pernah sejalan dengan persyaratan-persyaratan jaminan “perlindungan yang setara” yang digariskan dalam Aman-demen ke-14 Konstitusi AS. Selanjutnya lihat G. Edward White, The AmericanJudicial Tradition, (New York: Oxford University Press, 1998), hal 338-339.

2 Pemikiran atau teori hukum “transitional jurisprudence” tersebut cobadikembangkan oleh Prof. Ruti G. Titel, guru besar hukum Universitas NewYork, USA. Dengan teori hukum itu, Prof Titel ingin keluar dari jebakan mazhabpositivisme dan jebakan mazhab realisme hukum. Gagasan-gagasannyamengenai teori hukum tersebut dapat dibaca dalam bukunya yang terkenal,Transitional Justice, (New York, Oxford University Press, 2000).

3 Menarik mencatat pengakuan Rhein Robby Sumolang, yang juga salah

Page 46: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 4 5Ifdhal Kasim

seorang Pemohon, yang merasa malu dengan kelapangan dada Deliar Noer.“Dulu sayalah yang paling depan meminta agar HMI dibubarkan, tapi justrukini yang mendukung kami adalah orang-orang HMI,” ujarnya seperti dikutipTempo. Lihat Tempo, 7 Maret 2004, hal 28.

4Reaksi seperti itu terlihat pada pernyataan Panglima TNI Jenderal Endriar-tono Sutarto, yang mengomentari putusan tersebut. Katanya, “Kita lihat sajananti apakah mereka itu betul-betul tidak lagi menyebarkan ideologi komunis”.Lihat Tempo, 7 Maret 2004, hal 26.

5 Lihatlah kembali surat-kabar mulai tahun 1998 hingga tahun 2000, akankita dapati begitu banyak elite politik yang melontarkan gagasan pentingnyarekonsiliasi, dengan tekanan yang berbeda-beda.

6 Konsep-konsep ini saya ambil dari Prof. Ruti G. Titel, guru besar hukumUniversitas New York, USA, dalam bukunya Transitional Justice, (New York,Oxford University Press, 2000).

7 Lihat Ruti G. Titel, Transitional Justice, (New York, Oxford UniversityPress, 2000), hal 9.

8 Lihat Tempo, 7 Maret 2004, hal 46-50.

Page 47: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Rifyal Ka’bah

4 6

Saya diminta untuk membuat analisis terha-dap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RepublikIndonesia (RI) dalam Perkara Nomor 011-017/PUU-1/2003) dari sudut perspektif ummat Islam.Sebuah permintaan yang sulit untuk dipenuhi karenabeberapa hal. Pertama, bila judul tersebut dipenuhi,maka analisis akan lebih bersifat politis daripadahukum, padahal yang diharapkan sebenarnya adalahanalisis hukum. Kedua, “ummat Islam” adalahsebuah istilah dengan pengertian luas dan variatifyang memasukkan semua orang yang beragamaIslam, baik warga negara Indonesia, maupun asing.Ketiga, sampai saat ini belum muncul pendapathukum dari kalangan ummat Islam Indonesia, atauorganisasi Islam, mengenai masalah ini. Keempat,pendapat yang beredar melalui media masa barudari beberapa tokoh Islam yang kebetulan ditanyamengenai masalah ini, dan karena itu tidak dapatdikatakan sebagai mewakili pendapat ummat Is-lam.

Karena itu, maka judul tulisan ini berubahmenjadi seperti di atas dan analisisnya beranjak dari

Rifyal Ka’bahadalah stafpengajar

Program PascaSarjana

Fakultas HukumUniversitasIndonesia.

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi RIdari Perspektif Hukum Islam

Oleh RIFYAL KA’BAH

Hukum Islam yang ditegakkan melalui lembaga peradilan di Indo-nesia tidak mempunyai kompetensi membahas konstitusional atautidaknya sebuah peraturan perundang-undangan. Karena itu,menurut Rifyal Ka’bah, sekalipun terdapat pendapat yang berbedadari lembaga hukum Islam non-peradilan mengenai putusan MK,maka hanya pendapat peradilan yang harus dipegang dalam halini MK. Berbeda dengan Islam, mekanisme peninjauan kembalitidak diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai MKkarena MK adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

Page 48: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 4 7Rifyal Ka’bah

perspektif hukum Islam sebagai hukum yang hidupdi kalangan ummat Islam Indonesia seperti yangdipahami penulis ini.

Putusan MKPutusan Mahkamah Konstitusi RI a quo me-

nyangkut tentang konstitusional atau tidaknya Pasal60 huruf g UU RI No. 12 Tahun 2003 di manadinyatakan bahwa di antara syarat calan anggotaDPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabu-paten/Kota bahwa yang bersangkutan bukan bekasanggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yangterlibat langsung atau pun tidak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya.

Terhadap perkara tersebut, putusan MKRIberbunyi:

Menyatakan Pasal 60 huruf g UU No. 12Tahun 2003 tentang Pemilihan UmumAnggota DPR, DPD, dan DPRD (LembaranNegara Tahun 2003 No. 3, TambahanLembaran Negara No. 4277) bertentangandengan UUD Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

Menyatakan Pasal 60 huruf g UU No. 12Tahun 2003 tentang Pemilihan UmumAnggota DPR, DPD, dan DPRD (LembaranNegara Tahun 2003 No. 3, Tambahan LembaranNegara No. 4277) tidak mempunyai kekuatanhukum mengikat.

Jadi, menurut pendapat mayoritas MajelisHakim MK, Pasal tersebut tidak konstitusional dankarena itu tidak mempunyai kekuatan hukummengikat. Sayang sekali putusan ini tidak diambildengan suara bulat oleh Majelis Hakim MKRI. Selain

Sayang sekaliputusan initidak diambildengan suarabulat olehMajelis HakimMKRI.

Page 49: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Rifyal Ka’bah

4 8

pendapat mayoritas, juga terdapat dissenting opiniondari salah seorang anggota Majelis. Pendapat yangberbeda tersebut antara lain berbunyi:

Pertimbangan yang diatur dalam Pasal 60huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota DPR, DPD, danDPRD tidak termasuk dalam salah satu hakyang disebut dalam Pasal 28 1 ayat (1). Karenaitu pembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidakbertentangan dengan UUD Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.

Jadi, menurut pendapat minoritas MajelisHakim MK, Pasal tersebut konstitusional dan karenaitu ia masih mempunyai kekuatan hukum mengikatsampai sekarang. Ia mengusulkan pengecualian inidapat dicabut secara bertahap persis seperti yangberlaku terhadap mantan anggota NAZI Jermandi masa lalu.

Putusan MKRI yang tidak bulat tersebuttampaknya mencerminkan pendapat wakil-wakilrakyat sewaktu pasal tersebut diputuskan berdasar-kan mekanisme voting di DPR RI. Fraksi PKB danFraksi PPP pada waktu itu menghendaki hanyaorang yang terlibat langsung saja dalam G30S/PKIyang tidak dibenarkan menjadi calon wakil rakyat,sedangkan kalimat “organisasi terlarang lainnya”dihapuskan. Sementara itu, Fraksi TNI/Polri meng-hendaki rumusan seperti pada UU yang ada seka-rang, yaitu larangan menjadi anggota legislatif bagiwaraga yang terlibat langsung atau tidak langsungdalam G30S/PKI dan organisasi politik terlaranglainnya. Kebetulan, hakim MK yang mempunyaidissenting opinion dalam perkara ini berasal dari latarbelakang ABRI. Ini tampaknya bukan kebetulan,karena beberapa petinggi ABRI juga menyatakan

Putusan MKRIyang tidak bulat

tersebuttampaknya

mencerminkanpendapat wakil-

wakil rakyatsewaktu Pasal

tersebut diputus-kan berdasarkan

mekanismevoting di DPR RI.

Page 50: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 4 9Rifyal Ka’bah

keheranan dengan putusan tidak konstitusionalnyaPasal a quo. Panglima TNI Jenderal EndriartonoSutarto, misalnya, mengatakan: “Semoga merekasadar ya moga-moga saja. Sebenarnya UU itu justruuntuk mencegah PKI tidak melakukan pengkhia-natan lagi.” Ia juga mengatakan: “Saya tidak tahuapakah keputusan itu bisa diperbaiki atau tidak. Akantetapi, kita masih punya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI, pernyataansebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah RIbagi PKI.”

“Dissenting opinion”Dissenting opinion adalah contrariety of opinion

(perbedaan pendapat). Istilah ini pada umumnyadigunakan untuk menunjukkan ketidaksepakatankhas seorang (atau lebih dari) hakim pengadilantentang putusan mayoritas hakim dalam perkarayang diajukan kepada mereka.2 Hukum acara In-donesia memang membolehkan perbedaanpendapat di antara majelis hakim yang menyidang-kan suatu perkara. Pendapat yang terbaik adalahmusyawarah untuk mufakat, tetapi bila tidakterdapat permufakatan antara hakim-hakim yangmemutus perkara, maka putusan diambil berdasar-kan pendapat terbanyak, dan bila semua hakimberbeda pendapat, maka diambil pendapat hakimketua majelis.

Selama ini, dari waktu ke waktu tetap adaperbedaan pendapat di kalangan majelis hakim yangmengadili perkara, tetapi jarang sekali yang diserta-kan dalam lembaran putusan. Karena itu, masyarakatumum dan kalangan universitas secara khusus sangatsulit mendapatkan data tentang perbedaan-perbe-daan pendapat tersebut. Penyebabnya boleh jadiadalah politik hukum “musyawarah untuk mufakat”

“Saya tidaktahu apakahkeputusan itubisa diperbaikiatau tidak. Akantetapi, kitamasih punyaTAP MPRS No.XXV/MPRS/1966 tentangpembubaranPKI, pernyataansebagaiorganisasiterlarang diseluruh wilayahRI bagi PKI”(Panglima TNIJenderalEndriartonoSutarto).

Page 51: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Rifyal Ka’bah

5 0

yang menjadi trade mark rezim Orde Baru.Alhamdulillah di era reformasi ini sesuai

dengan semangat keterbukaan dan pluralisme yangmenjadi ciri masyarakat madani, dissenting opinionsudah mulai menjadi bagian dari putusan hakimpengadilan. Tradisi ini antara lain dimulai oleh HakimAgung Artijo Alkostar dalam perkara Joko Candra(No. 1688K/Pid/2000) dan Hakim Agung Abdur-rahman Saleh dalam perkara Akbar Tanjung (No.572K/Pid/2003) yang banyak menarik perhatianmasyarakat. Sekarang Hakim Mahkamah KonstitusiAchmad Roestandi semakin mengokohkan tradisibaru ini untuk perkara No. 17/PUU-I/2003. Per-bedaan pendapat dalam tiga perkara ini sebenarnyamencerminkan perbedaan pendapat di kalanganmasyarakat secara umum dan ahli hukum secarakhusus. Khusus mengenai perkara a quo, perbedaanitu tampak sejak dari pembahasan RUU Pasal 60huruf g tersebut di DPR RI, dari reaksi spontanmasyarakat sejak UU tersebut diundangkan,termasuk dari tokoh ummat Islam dan para petinggiABRI yang mendukung dissenting opinion.

Di masa lalu, perbedaan-perbedaan penda-pat yang tajam di bidang hukum sering membawaperpecahan dan bahkan disintegrasi bangsa, tetapidi era masyarakat madani yang menjamin hak-haksipil, maka perbedaan-perbedaan tersebut dimak-sudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.Semangat ini tampak secara khusus dari diundang-kannnya UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak-HakAsasi Manusia dan penambahan pasal-pasal khusustentang hak-hak asasi manusia ke UUD 1945 mela-lui Perubahan Ketiga. Putusan a quo, baik pendapatmayoritas maupun pendapat dissenting, merujukkepada kedua naskah penting ini. Intinya adalahmemberikan kesempatan kepada masyarakat luas

Di era reformasiini sesuai dengan

semangatketerbukaan danpluralisme yang

menjadi cirimasyarakat

madani, dissent-ing opinion sudah

mulai menjadibagian dari

putusan hakimpengadilan.

Page 52: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 5 1Rifyal Ka’bah

untuk menilai pendapat yang lebih mendekatikebenaran dan keadilan. Dengan kata lain, sejarahlahyang akan menentukan mana di antara dua pendapathukum yang berlawanan ini yang paling adil. Ke-adilan yang mungkin diusahakan oleh akal manusiaadalah keadilan nisbi dan keadilan sesungguhnyahanya ada di tangan Allah Yang Maha Adil. Keadil-an (gerechtigheit) adalah salah satu unsur pentingpenegakan hukum. Keadilan antara lain diartikanoleh Hans Kelson3 sebagai keadilan berkebebasan,keadilan yang damai, keadilan demokrasi, keadilantoleransi.4 Sungguhpun demikian, sesuai denganaturan hukum yang berlaku, maka pendapatmayoritaslah yang diambil sebagai pendapat resmipengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

Pendapat Tokoh IslamTokoh Islam yang dikutip pendapat mereka

oleh media massa antara lain adalah Hasyim Muzadi(Ketua PBNU), Salahuddin Wahid (juga salahserorang Ketua PBNU), Syafii Ma‘arif (Ketua PPMuhammadiyah) dan Umar Shihab (Ketua MUI).5Semua tokoh ini tidak mempermasalahkan putusana quo. Mereka mengatakan bahwa “Itu bagus-bagussaja,” (Hasyim Muzadi) “Tidak ada masalah. Kitaakan hadapi dengan cara baik. Kita menolakkomunisme dengan menghilangkan kondisi yangmenyuburkan komunisme,” (Salahuddin Wahid),“Kalau kita mau obyektif, Marxisme, Komunisme,dan Leninisme, tidak lagi punya daya tawar. Ter-utama setelah Uni Soviet jatuh, Tembok Berlinruntuh, dan beberapa kejadian lain di EropahTimur,” (Syafii Ma‘arif), dan “Jangan karena Pu-tusan MK tersebut akhirnya eks anggota PKI itudiberi kesempatan mengembangkan kembali ajarankomunis. Saya harapkan, pahamnya tetap dilarang

Sungguhpundemikian,sesuai denganaturan hukumyang berlaku,maka pendapatmayoritaslahyang diambilsebagaipendapat resmipengadilan yangmempunyaikekuatanhukum.

Page 53: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Rifyal Ka’bah

5 2

dan memang itu tidak dibenarkan dalam negaraPancasila.” (Umar Shihab). Ini sejalan dengan pen-dapat Muladi (mantan Menkeh & HAM danmantan Hakim Agung).6 Bila disimpulkan, merekamenerima putusan MK, tetapi tidak menginginkanpelarangan komunisme di Indonesia.

Pendapat tersebut tidaklah mewakili organi-sasi yang mereka pimpin, dan tampaknya tercetusbegitu saja sebagai pendapat pribadi. Ini mungkinmencerminkan pendapat umum ummat Islamkarena negara Indonesia berdasarkan KetuhananYang Maha Esa dan ummat Islam sebagai ummatberagama beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.Sungguhpun demikian, putusan a quo belum pernahdibahas dari sudut hukum Islam dalam sidang-sidang Lajnah Bahsul Masa’il NU, atau Lajnah Tarjihdan Pemikiran Islam Muhammadiyah, atau KomisiFatwa dan Perundang-undangan MUI sebagailembaga-lembaga yang kompeten membahasmasalah hukum di ketiga organisasi.

Hukum Islam di IndonesiaBerbicara tentang putusan MK tersebut dari

sudut hukum Islam di Indonesia berarti membi-carakannya dari sudut fatwa mufti atau lembagafatwa, yurisprudensi peradilan Islam dan perun-dang-undangan yang bersumber dari fiqh. Hal inikarena ketiga hal inilah yang mewakili hukum Is-lam di Indonesia.

Fiqh dipandang oleh masyarakat sampai saatini sebagai hukum Islam. Fiqh berhubungan denganperbuatan-perbuatan orang dewasa (af‘âl al-mu-kallafin) yang diklasifikasikan kepada lima kategori(al-ahkâm al-khamsah) berupa wâjib, sunnat, harâm,makrûh dan mubâh, atau apa yang sering dipahamioleh orang awam sebagai kaedah halal-haram.

Pendapat elitmuslim tidaklah

mewakiliorganisasi yangmereka pimpin,dan tampaknyatercetus begitusaja sebagai

pendapatpribadi.

Page 54: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 5 3Rifyal Ka’bah

Fiqh diajarkan di mushalla, masjid, majelista‘lim, surau, pondok, madrasah, perguruan tinggidan lain-lain serta didukung oleh buku-bukuberbahasa Arab yang diterbitkan di luar negeri ataudi Indonesia dan buku-buku berbahasa Indonesiasendiri, baik terjemahan maupun hasil karya fuqaha’Indonesia.

Fiqh selalu ditanyakan oleh berbagai kalanganmasyarakat Indonesia kepada guru-guru agama,para muballigh, alim ulama atau siapa saja yangdianggap menguasai fiqh. Pertanyaan menyangkutal-ahkâm al-khamsah juga ditanyakan kepada berbagailembaga fatwa yang tersebar di seluruh persadaIndonesia. Pertanyaan ada kalanya disampaikansecara lisan dalam pertemuan tatap muka langsungatau melalui media massa seperti radio dan televisi,atau secara tulisan melalui surat dan media cetak.Akhir-akhir ini pertanyaan tentang halal-haram jugadisampaikan melalui surat elektronik dan sms.

Hukum Islam di Indonesia juga dapat dili-hat dari putusan pengadilan, terutama melalui Peng-adilan Agama, yang disebut dengan berbagai namasejak lama, jauh sebelum kedatangan penjajahanBarat ke Indonesia. Pengadilan Agama adalahPengadilan Islam di Indonesia dengan kompensiyang terbatas, pada umumnya menyangkut bidangpersonal law seperti perkawinan, kewarisan, wakaf,hibah dan shadaqah. Penelitian hukum Islam di In-donesia akhir-akhir ini juga memberi indikasi tentangwujud putusan pengadilan dalam bidang pidanapada kerajaan-kerajaan Islam di masa lalu, misalnyadi wilayah Aceh dan Banten.

Hukum materiil dan acara yang digunakandi Pengadilan Agama dari dahulu sampai sekarangadalah buku-buku fiqh yang banyak beredar di In-donesia. Buku-buku tersebut pada mulanya tidak

Berbicaratentang putusanMK tersebutdari suduthukum Islam diIndonesiaberarti membi-carakan darisudut fatwamufti ataulembaga fatwa,yurisprudensiperadilan Islamdan perundang-undangan yangbersumber darifiqh. Hal inikarena ketigahal inilah yangmewakili hukumIslam di Indone-sia.

Page 55: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Rifyal Ka’bah

5 4

terbatas, kemudian dibatasi pada 13 buku saja danselanjutnya diunifikasi melalui Kompilasi HukumIslam (KHI). Sekarang KHI sedang dikembangkanuntuk menjadi beberapa undang-undang agar dapatdipakai sebagai hukum terapan di PengadilanAgama. Dari KHI jelas tidak mungkin dijadikandasar penilaian terhadap putusan MK tersebutkarena jangkauannya memang tidak sampai hukumkonstitusi.

Hukum Islam juga dapat dilihat dari berbagaiperaturan perundang-undangan yang berasal darifiqh. Mulai dari Piagam Jakarta yang menjiwai UUD1945 sampai kepada UU tentang Otonomi Khususdi Aceh, di Indonesia telah lahir berbagai perun-dang-undangan bersumber hukum Islam dalambidang-bidang tertentu sebagai hukum negara.Peraturan perundang-undangan seperti ini akan terusbertambah sesuai dengan hasrat rakyat melaluiwakil-wakil mereka di lembaga pembuat undang-undang negara di masa depan.

Hukum Islam yang ditegakkan melaluilembaga peradilan di Indonesia tidak mempunyaikompetensi membahas konstitusional atau tidaknyasebuah peraturan perundang-undangan. Sementaraitu, hukum Islam sebagai fatwa ulama atau lembagafatwa belum pernah memberikan pendapat yangberhubungan dengan konstitusional atau tidaknyasebuah peraturan perundang-udangan. Pendapatsatu-satu yang mungkin dapat digunakan adalah darifiqh para fuqaha’ mengenai masalah pengadilan.

Dalam praktek hukum Islam, putusan hakimpada hakikatnya sama dengan putusan (fatwa) mufti,tetapi bila terjadi perbedaan putusan, maka putusanhakim didahulukan sebagai hukum qadhâ’î yangwajib dilaksanakan. Sementara itu, putusan muftidipegang sebagai hukum diyâni yang tidak bisa

Hukum Islamyang ditegakkan

melaluilembaga

peradilan diIndonesia tidak

mempunyaikompetensimembahas

konstitusionalatau tidaknya

sebuahperaturan

perundang-undangan.

Page 56: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 5 5Rifyal Ka’bah

dipaksakan dari luar oleh negara. Atas dasar ini, seka-lipun terdapat pendapat yang berbeda dari lembagahukum Islam non-peradilan mengenai putusan MKa quo, maka hanya pendapat peradilan yang harusdipegang secara hukum dan MK adalah sebuah jenisperadilan negara di Indonesia. Ini persis sepertiputusan hakim dalam hampir semua sistem hukumdi dunia ini; bila putusan hakim telah berkekuatanhukum tetap, maka semua pendapat ahli hukum diluar pengadilan harus tunduk kepada putusan hakimtersebut.

Kemungkinan lain satu-satunya dari perspek-tif hukum Islam adalah peninjauan kembali putusanMK tersebut, bila majelis hakimnya menemukanpertimbangan lain yang lebih kuat. Ini sesuai denganprinsip peradilan yang dikeluarkan oleh Khalifah‘Umar bin Khaththab kepada hakim di Kofah padamasa pemerintahan beliau. ‘Umar menulis:

“Tidak ada yang menghambat andaterhadap perkara yang anda putuskan hari inikemudian anda tinjau kembali karena terjadikekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa andakembali kepada kebenaran. Kebenaran ituterdepan dan tidak dibatalkan oleh apa pun.Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan.”7

Sungguhpun demikian, mekanisme peninjau-an kembali ini tidak diatur dalam peraturan perun-dang-undangan mengenai MK. Hal itu karena MKadalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

Segi lain dari hukum Islam yang dapat di-utarakan dari putusan a quo adalah putusan hakimsebagai ijtihad. Untuk hal-hal yang tidak diatur da-lam Qur’an dan Sunnah, hakim memutus perkaraberdasarkan ijtihad pribadinya, yang dapat salah atau

Sekalipunterdapatpendapat yangberbeda darilembaga hukumIslam non-peradilanmengenaiputusan MK aquo, maka hanyapendapat peradil-an yang harusdipegang secarahukum dan MKadalah sebuahjenis peradilannegara diIndonesia.

Page 57: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Rifyal Ka’bah

5 6

benar. Secara keagamaan, salah atau benar dari putusan yangditerbitkannya tidak lagi menjadi soal, selama usaha ijtihad telah dilakukansecara maksimal. Perbedaannya adalah, bila putusan sang hakim benardi sisi Allah, maka ia mendapat pahala sekali lagi, balasan atas kecocokanputusannya dengan kebenaran.

PenutupDalam hal putusan MK di atas, maka secara hukum keagamaan

Islam, kedua kesimpulan, baik pendapat mayoritas maupun dissentingopinion, sama-sama mempunyai nilai tambah satu. Sebagai kesimpulannalar manusia, maka tidak ada individu atau otoritas di dunia yang berhakmenyatakan bahwa salah satu dari dua pendapat tersebut mendapatnilai tambah satu poin lagi karena ia putusan yang benar. Sungguhpundemikian, sebagai keputusan pengadilan negara, maka pendapat mayo-ritaslah yang harus dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatanhukum.

Endnotes

1Seperti dikutip oleh Kompas. Http//www. kompas.co.id. Berita Utama, 26Februari 2004.

2 “The terim is most commonly used to denote the explicit disagreementof one or more judges of a court with the decision passed by the majority upona case before them.” Hendry Campell Black, Black Law Dictionary (St. Paul,Minn.: West Publishing Co., 1990, 11th reprint 1997), hlm. 472.

3 “’Ny’ justice, then, is the justice of freedom, the justice of peace, thejustice of democracy—the justice of tolerance.” Hans Kelson, What Is Justice?(Berkeley and Los Angeles: University of California, 1957), hlm.

4 Sudikno Metokusumo et.al., Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Bandung:Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 1-4.

5 Seperti dilaporkan oleh beberapa media cetak: harian Pikiran Rakyat 28Februari 2004, rubrik Pemilu 2004 (http//www.pikiran-rakyat.com), harian Kompas,26 Februari 2004 (passim), Republika Online, 25 Februari 2004 (http//www.republika. co.id).

6 Era Muslim 02/03/2004 jam 14:25 WIB (http//www.eramuslim. com).7Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘An Rabbi ‘l-‘Alamîn. CD-

ROM Jâmi‘ al-Fiqh al-Islâmî, topik al-Qadhâ’. Harf 2000; lihat juga: RifyalKa‘bah, “Sejarah Ringkas Peradilan Islam” dalam Penegakan Syari‘at Islam diIndonesia (Jakarta: Penerbit Khairul Bayan, 2004), hlm. 120.

Page 58: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

PUTUSANMAHKAMAH KONSTITUSI

PERKARA NOMOR:

011-017/PUU-I/2003

Pengujian UU Nomor 12Tahun 2003 tentang Pemi-lihan Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, danDewan Perwakilan RakyatDaerah terhadap UUD 1945

Dibacakantanggal 24 Pebruari 2004

Pulihnyahak Politik

eks PKIMahkamah Konstitusi

Republik Indonesia (MKRI)mengabulkan permohonan

pengujian UU Pemilu AnggotaDPR, DPD, dan DPRD terhadap

UUD 1945yang oleh pemohon

dianggapmengandung unsur

diskriminasi. Dalam putusanyang dibacakan 24 Februari

2004, eks anggota PKImendapatkan kembali hak

politiknya sebagai warganegara untuk dipilih menjadi

anggota legislatif. Oleh banyakkalangan putusan MK itu

dipahami sebagai pemulihanhak-hak politik eks PKI yang

selama rezim Orde Barudiperlakukan secara

diskriminatif. Putusan MKmendapat perhatian luas , dan

dalam jurnal inidibahas secara mendalam

dari berbagai perspektifoleh para ahli, yaitu TTTTTodungodungodungodungodung

Mulya Lubis, Ifdhal Kasim Mulya Lubis, Ifdhal Kasim Mulya Lubis, Ifdhal Kasim Mulya Lubis, Ifdhal Kasim Mulya Lubis, Ifdhal Kasim danRifyal Ka’bahRifyal Ka’bahRifyal Ka’bahRifyal Ka’bahRifyal Ka’bah. Karena itu

untuk memudahkan pembaca,Putusan MK diturunkan secara

utuh, sebagai berikut .

Page 59: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

5 8

P U T U S A NPerkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

DEMI KEADILANBERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkatpertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonanPengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

I. 1. Nama : Prof. Dr. Deliar NoerPekerjaan : DosenAlamat : Jl. Swadaya Raya 7-9, Duren Sawit, Jakarta Timur.

2. Nama : H. Ali SadikinPekerjaan : Purnawirawan TNI ALAlamat : Jl. Borobudur No. 2, Jakarta Pusat.

3. Nama : Dr. Ir. Sri Bintang PamungkasPekerjaan : DosenAlamat : Jl. Merapi D-1, Perum. Bukit Damai, Cibubur, Jakarta Timur.

4. Nama : Ny. Sri HusadhatiPekerjaan : Ibu Rumah TanggaAlamat : Jl. Subur No. 16, Pondok Pinang.

5. Nama : Robert Soepomo D.P.Pekerjaan : KaryawanAlamat : Kampung Tengah No. 80, RT. 003/08, Klender, Duren Sawit,

Jakarta Timur.6. Nama : Dr. Mohamad Toyibi

Pekerjaan : Anggota Presidium Komite Waspada Orde BaruAlamat : Jl. Persatuan II RT. 002/07, Kebun Jeruk, Jakarta 11560

7. Nama : Buntaran Sanusi, S.E, M.M.Pekerjaan : Anggota Presidium Komite Waspada Orde BaruAlamat : Jl. Benda IV No. 26, Jakarta Selatan.

8. Nama : Moch. Sifa Amin WidigdoPekerjaan : Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa IslamAlamat : Jl. Bunga No. 21 RT. 011/09, Palmeriam, Matraman, Jakarta

Timur.

Page 60: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

5 9

9. Nama : Ir. Krisno PudjonggoPekerjaan : Anggota Presidium Komite Waspada Orde BaruAlamat : Komplek Sekretariat Negara Blok V No. 22, Koja, Jakarta

Utara.10. Nama : dr. Judilherry Justam

Pekerjaan : Ketua Presidium Komite Waspada Orde BaruAlamat : Taman Buaran Indah III/9, Duren Sawit, Jakarta Timur

11. Nama : Soenardi, S.H.Pekerjaan : Ketua Umum Gerakan Rakyat MarhaenAlamat : Jl. G No. 12 RT.007. RW. 003, Slipi, Jakarta Barat.

12. Nama : Ir. Urgik KurniadiPekerjaan : Anggota Presidium Komite Waspada Orde BaruAlamat : Jl. Duren Sawit Barat Blok F 10 No. 5, Duren Sawit, Jakarta

Timur.13. Nama : Syamsul Hilal

Pekerjaan : Ketua Majelis Pimpinan Sentra Gerakan Rakyat MarhaenAlamat : Jl. Kejaksaan No. 6 Medan.

14. Nama : SyafinuddinPekerjaan : WiraswastaAlamat : Jl. Surya Darma AV/B, BDP RT.001/01, Jatisari, Jatiasih,

Bekasi.15. Nama : Sunaryo, SH.

Pekerjaan : SwastaAlamat : Pondok Pekayon Indah CC 44/2, RT. 005/018, Pekayon

Bekasi Selatan.16. Nama : Affanulhakim Umar

Pekerjaan : SwastaAlamat : RT. 08/02, Kelurahan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

17. Nama : Bagus SatriyantoPekerjaan : SwastaAlamat : Lapangan Roos I/21 RT. 013/05, Tebet, Jakarta Selatan.

18. Nama : Christianus Siner Key TimuPekerjaan : SwastaAlamat : Jl. H. Saili Ujung No. G-7, Kemanggisan, Jakarta Barat.

19. Nama : Ny. HariatiPekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Ciputat Raya 7 RT. 004/06, Jakarta Selatan

20. Nama : Ny. RustiahPekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Cakung I/448, Depok II Tengah, Depok.

21. Nama : Bambang SubonoPekerjaan : SwastaAlamat : Taman Bunga Harapan Baru Blok AH No. 10, Jl. Monitor III

Page 61: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 0

Sukatani Depok.22. Nama : Ny. Sri Rejeki Suninto

Pekerjaan : WiraswastaAlamat : Jl. PWI Raya No. 46, Kebon Nanas, Cipinang Muara, Jakarta

Timur.23. Nama : Payung Salenda

Pekerjaan : SwastaAlamat : Kelurahan Karet Tengsin RT. 017/RW. 008, Karet Kubur,

Jakarta Pusat.24. Nama : Gorma Hutajulu

Pekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Kebantenan III No. 15, RT. 010/RW. 06, Kelurahan Sem-

per Timur, Jakarta Utara.25. Nama : Rhein Robby Sumolang

Pekerjaan : SwastaAlamat : RT. 08/RW. 02, Kelapa Dua Wetan, Cirakas, Jakarta Timur.

26. Nama : Ir. Sri Panuju.Pekerjaan : GuruAlamat : Cipinang Bali RT. 009/RW. 02 No. 12, Cipinang Melayu,

Makassar, Jakarta Timur.27. Nama : Suyud Sukma Sendjaja

Pekerjaan : WiraswastaAlamat : RT. 004/RW. 04, Kelapa Gading Timur, Kecamatan Kelapa

Gading, Jakarta Utara.28. Nama : Margondo Hardono

Pekerjaan : WirausahaAlamat : Jl. Menteng Wadas XI No. 19, Jakarta.

Dalam hal ini memberi kuasa kepada :1. Uli Parulian Sihombing, S.H.2. Erna Ratnaningsih, S.H.3. Mulyadi Goce, S.H.4. B. Lucky Rosintha, S.H.5. Surya Tjandra, S.H. LL.M.6. Johnson Panjaitan, S.H.7. Ecoline Situmorang, S.H.8. Reinhard Parapat, S.H.9. Basir Bahuga, S.H.10. Henry David Oliver Sitorus, S.H.

Kesemuanya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Pusat BantuanHukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), yang memilih domisili hukumdi Jl. Dipo-negoro 74, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal

Page 62: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 1

8 Mei 2003, untuk selanjutnya disebut PARA PEMOHON I;

II. 1. Nama : SUMAUN UTOMO ;Pekerjaan : Ketua Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Perjuangan

Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB)Alamat : Jl. Jati Raya No. 4 (Blk) RT.007/RW.010, Pasar Minggu, Jakarta

Selatan 125202. Nama : ACHMAD SOEBARTO ;

Pekerjaan : Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat LembagaPerjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB)

Alamat : Jl.. Jati Raya No. 4 (Blk) RT.007/RW.010, Pasar Minggu,Jakarta Selatan 12520

3. Nama : MULYONO, SH.Pekerjaan : Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan

Pusat Lembaga Perju-ang-an Rehabilitasi Korban RezimOrde Baru (DPP-LPRKROB)

Alamat : Jl.. Jati Raya No. 4 (Blk) RT.007/RW.010, Pasar Minggu,Jakarta Selatan 12520

Kesemuanya adalah Para Pemimpin Dewan Pimpinan Pusat Lembaga PerjuanganRehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (DPP-LPRKROB), yang beralamat di Jl..Jati Raya No. 4 (Blk) RT.007/RW.010, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, yangbertindak untuk diri sendiri dan selaku kuasa berdasarkan Surat Kuasaberbanggal 5 Desember 2003 dari :

1. Nama : Said Pradono Bin Djaja.Pekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Pisang No. 7 RT.010/RW.010, Pasar Minggu, Jakarta

Selatan.2. Nama : Ngadiso Yahya Bin Somoredjo.

Pekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Sukamaju Baru No. 85 RT.05/RW.04, dimanggis, Depok.

3. Nama : Casman Bin Setyo Prawiro.Pekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Raya Pondok Gede No. 8 Jakarta Timur

4. Nama : Makmuri Bin ZahzuriPekerjaan : SwastaAlamat : Jl. Cipinang Kebembem no. 77, Jakarta Timur

untuk selanjutnya disebut PARA PEMOHON II;Telah membaca surat permohonan Para Pemohon I dan Para Pemohon II;Telah mendengar keterangan Para Pemohon I dan Para Pemohon II;

Page 63: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 2

Telah mendengar keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia ;

Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan RakyatRepublik Indonesia ;

Telah memeriksa bukti-bukti;Telah mendengar keterangan Saksi dan Para Ahli.

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa Para Pemohon I telah mengajukan permohonan dengansurat permohonannya bertanggal 15 Oktober 2003 yang diterima di KepaniteraanMahkamah Konsti-tusi Republik Indonesia, pada hari Rabu, tanggal 15 Oktober2003 dengan Registrasi Perkara Nomor 011/PUU-I/2003, dan Para Pemohon IItelah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 17Nopember 2003 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia, pada hari Rabu, tanggal 19 Nopember 2003 dengan Registrasi PerkaraNomor 017/PUU-I/2003, bahwa masing-masing permohonan tersebut telahdiperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis,tanggal 20 Nopember 2003 untuk Para Pemohon I, dan Para Pemohon II pada hariSenin, tanggal 8 Desember 2003;

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 10 Desember 2003 ParaPemohon II telah mengajukan surat permohonan kepada Mahkamah Konstitusiuntuk penggabungan perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan perkara Nomor 017/PUU-I/2003;

Menimbang bahwa memperhatikan permohonan dari Para Pemohon II sertaberkas perkara Para Pemohon I dan Para Pemohon II, Majelis Hakim MahkamahKonstitusi dalam Rapat Permusyawaratan tanggal 30 Desember 2003 telahmenetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesiauntuk Perkara Nomor 011/PUU-I/2003 dan Nomor 017/PUU-I/2003 tanggal 30Desember 2003, yang menetapkan menggabungkan pemeriksaan permohonanNomor 011/PUU-I/2003 dan Nomor 017/PUU-I/2003;

Menimbang bahwa Para Pemohon I pada pokoknya telah mendalilkan hal-halsebagai berikut:

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN

1. Bahwa permohonan pengujian undang-undang diajukan pada tanggal 5 Juni2003, sehingga dasar hukumnya masih dalam keberlakuan PeraturanMahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 16 Oktober 2002 tentangTata Cara Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi olehMahkamah Agung.

2. Bahwa sementara permohonan belum diperiksa oleh Mahkamah Agung,pada tanggal 13 Agustus 2003 diundangkan Undang-undang Nomor 24

Page 64: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 3

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 87 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 seluruh permohonan yang diterimaMahkamah Agung serta belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal IIIAturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat60 (enam puluh) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk. Olehkarena itu, Para Pemohon dianggap telah mengajukan permohonan kepadaMahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf aUndang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah Konsti-tusi berwenang untukmemeriksa dan memutus permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon I.

II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN PEMOHON

1. Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, permohonan ini diajukanberdasar pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 tanggal16 Oktober 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MahkamahKonstitusi oleh Mahkamah Agung, yang pada Pasal 1 ayat (9) huruf adinyatakan bahwa: Pemohon adalaha. perorangan, kelompok masyarakat atau badan hukum yang mempunyai

kewenangan untuk dan seterusnya.Namun karena pada tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang RepublikIndonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusidisahkan, maka berdasarkan Pasal 51 ayat (1): Pemohon adalah pihakyang menganggap hak dan/atau kewenangan kostusionalnya dirugikanoleh berlakunya Undang-undang, yaitu:a. Perorangan Warga Negara Indonesia.b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuanRepublik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.

c. Badan Hukum Publik atau privat.d. Lembaga Negara.

Dengan demikian telah terjadi perubahan mengenai pengertian kedudukanhukum Pemohon menjadi mereka yang “menganggap hak dan/atau ke-wenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”.

2. Bahwa pada tanggal 6 November 2003 telah dilaksanakan pemeriksaanpendahuluan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang telah mem-berikan nasehat, sebagai berikut:a. Agar identitas para pemohon dan kedudukan hukumnya diperjelas,

yaitu mereka yang langsung terlanggar hak dan atau kewenangan

Page 65: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 4

konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang.b. Agar prosedur dan materi permohonan pengujian sedapat mungkin

mengacu kepada ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusi.

3 Bahwa berdasarkan pertimbangan demi kepastian hukum permohonanpengujian undang-undang yang telah diajukan, serta kedudukan hukum (le-gal standing) Para Pemohon I, maka tetap mempertahankan Para PemohonI yang sudah mengajukan permohonan yakni Pemohon nomor 1 sampaidengan nomor 22, dengan alasan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh masya-rakat yang sudah dikenal dalam perjuangan penegakan hukum, hak asasimanusia dan demokrasi, meskipun secara langsung mereka tidak dirugikanhak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 60 huruf g Undang-undangNomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Para Pemohon telahmemperbaiki permohonannya dengan menambah Para Pemohon barusejumlah 6 (enam) orang yakni Pemohon nomor 23 sampai dengan nomor28. Para Pemohon tambahan tersebut semuanya adalah bekas tahananpolitik, yang telah ditahan atau dipenjara karena dituduh terlibat secaralangsung maupun tidak langsung dalam peristiwa G.30.S (Gerakan 30 Sep-tember 1965), yang dirugikan haknya untuk dipilih sebagaimana ditentukandalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003.

4. Bahwa sebagai warga negara Para Pemohon mempunyai hak yang samauntuk membangun masyarakat, bangsa dan negara dengan turut sertaberpartisipasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasukikut berpartisipasi untuk menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD yangmerupakan hak yang dijamin secara konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian jelas Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legalstanding) untuk menjadi Pemohon dalam Permohonan Pengujian Undang-undang Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945.

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

1. Bahwa yang menjadi permasalahan pokok dalam permohonan ini adalahdimuatnya ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, danDPRD Kabupaten/Kota bagi mereka yang “bekas anggota organisasiterlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, ataubukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/PKI

Page 66: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 5

atau organisasi terlarang lainnya”.

2. Bahwa sejak awal dimasukkannya Pasal 60 huruf g memang telahmenimbulkan kontroversi, tercermin dari fakta bahwa pasal ini merupakansalah satu dari 9 “pasal voting” atau pengambilan suara karena tidak dapatdicapai kesepakatan penuh dalam pengesahannya. Sejumlah 103 suara dari327 suara yang tercatat hadir dalam Rapat Paripurna Dewan PerwakilanRakyat Republik Indonesia menolak rumusan Pasal 60 huruf g tersebut.

3. Bahwa Article 21 Universal Declaration of Human Rights (PernyataanUmum Hak Asasi Manusia) PBB tahun 1948, berbunyi:i. Everyone has the right to take part in the government of his country,

directly or through freely chosen representatives.ii. The will of the people shall be the basis of the authority of govern-

ment; this will shall be expressed in periodic and genuine electionswhich shall be by universal and equal suffrage and shall be held bysecret vote or by equivalent free voting procedures.

Dengan demikian jelas kiranya bahwa dalam suatu masyarakat yang demokratis,yang telah diterima secara universal oleh bangsa-bangsa beradab, hak ataspartisipasi politik adalah suatu hak asasi manusia, yang dilakukan melaluipemilihan umum yang jujur sebagai manifestasi dari kehendak rakyat yangmenjadi dasar dari otoritas pemerintah, tanpa adanya alasan yang sungguhberalasan, hak untuk memilih dan dipilih dalam proses pemilihan umum tidakboleh dilanggar.

Kemudian Article 25 International Covenant on Civil and Poltical Rights(ICCPR) tahun 1966 berbunyi:Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of distinc-tion mentioned in Article 2 and without unreasonable restrictions:(a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely

chosen represenfatives;(b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by

universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guarantee-ing the free expression of the will of the electors.

Menurut Pemohon, seperti dikemukakan oleh Henry Steiner (1988), seorangpakar hak asasi manusia dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Article 25ini tidak lazim dibandingkan pasal-pasal lain dalam ICCPR. la tidak hanyamendeklarasikan sebuah hak asasi, tetapi melampaui hal tersebut denganmengartikulasikan ideal politik yang mendasari hak asasi.Meski tidak mengacu kepada tradisi politik tertentu seperti demokrasi, Ar-ticle 25 menegaskan bahwa pemilihan umum dimaksudkan untuk menjamin

Page 67: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 6

kebebasan ekspresi dari kehendak para pemilih (the free expression of thewill of the electors).

4. Bahwa sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia jugamencantumkan ketentuan Hak Asasi Manusia di dalam Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum bertentangandengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945 yaitu :a. Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 :

“Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memper-juangkanhaknya secara kolektif untuk membangun masya-rakat, bangsa dannegaranya”

b. Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 :“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin-dung-an dankepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”

c. Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 :“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalampemerintahan”

d. Pasal 28 I ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 :“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatifatas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadapperlakuan yang diskriminatif itu”

5. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum adalah cacat beratsecara etis sehingga dari segi moral mencemarkan keseluruhan Undang-undang Pemilihan Umum itu sendiri, dan merupakan diskriminasi berda-sarkan keyakinan politik. Oleh kere-na itu, pasal dimaksud melanggar hakasasi manusia yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, yang bila diteruskan dan dilaksanakan (en-forced) akan melestarikan stigmatisasi kepada sekelompok orang, berartijuga menghentikan secara resmi upaya untuk mereintegrasikan dan rekon-siliasi sebagian warga bangsa ini ke dalam tubuh bangsa yang adalah kewa-jiban moral dari era yang disebut “reformasi” ini.

6. Beberapa alasan dan argumentasi mengapa Para Pemohon I menolak Pasal60 huruf g Undang-undang Pemilu:

A. Keanggotaan pada suatu organisasi terlarang sebelum organisasi itudilarang bukanlah suatu cacat dalam hukum maupun konstitusi, sehinggapelarangan yang semata-mata berdasarkan pada itu dan tidak didukungoleh alasan yang kuat sesuai hukum melalui pengadilan adalah

Page 68: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 7

diskriminasi berdasarkan pandangan politik adalah pelanggaran hakasasi manusia.

Dalam Pasal 60 huruf g disebutkan pelarangan untuk dipilih menjadianggota DPR, DPD, dan DPRD bagi mereka yang bekas organisasiterlarang Partai Komunis Indonesia dan organisasi masanya. Kalau kitamemberikan kriteria orang boleh/tidak boleh dipilih sebagai wakilrakyat, maka yang harus menjadi ukuran adalah beberapa hal yang obyek-tif misalnya umur minimum, kewarganegaraan, atau hal lainnya yangsudah wajar digunakan, selain itu adalah keadaan dari orang tersebutpada saat sekarang ini. Perlu dibedakan antara orang yang disebut “ter-libat G.30.S./PKI” dengan “orang bekas anggota organisasi terlarangPKI”. Istilah itu sendiri SALAH, karena waktu ia menjadi anggota PKI,PKI tidak merupakan organisasi yang terlarang. Semua organisasi itulegal. Apakah mereka itu salah atau tidak adalah masalah yang memangharus dijelaskan di pengadilan, dan sebagian pihak baik organisasi mau-pun perorangan bisa saja dinyatakan salah.

Sesudah organisasi dilarang, kalau pun seseorang sebelumnya menjadianggotanya, secara hukum tidak merupakan cacat apa pun, kecuali iamemang secara aktif meneruskan kegiatan organisasi tersebut (meskisudah dilarang). Pasal ini tidak melakukan pembedaan seperti itu. SelamaOrde Baru mereka tidak diberi hak demokratis, itu adalah sebuahkeputusan politik yang barangkali tidak perlu dipersoalkan karena kitatidak lagi di Orde Baru. Sehingga kita tidak bisa meneruskan sebuahkebijakan yang murni politik dan tidak berdasarkan konstitusi maupunhukum.

B. Pelarangan terhadap “organisasi terlarang lainnya” akan menimbulkanakibat anggota-anggota organisasi-organisasi selain PKI yang jugadilarang, seperti PSI dan Partai Masyumi, juga tidak dapat memperolehhaknya untuk dipilih.

Bahwa Pasal 60 huruf g tidak semata-mata terkait dengan PKI atausebuah gerakan yang disebut G.30.S., akan tetapi juga terkait “organisasiterlarang lainnya”, seperti Partai Sosialis Indonesia dan Partai Masyumiyang dibubarkan oleh Pemerintah Zaman Soekarno dan belum pernahdicabut pembubarannya.

Pengecualian seseorang dari haknya untuk dipilih, hanya bisa apabila iamelakukan suatu kejahatan yang menurut undang-undang maupun pu-tusan hakim memang membuatnya tidak sanggup. Hakim dalam hal iniboleh saja menyatakan bahwa seseorang itu kehilangan hak-hak politik.

Page 69: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 8

Tetapi keanggotaan PKI sebelum tahun 1965 atau pun Partai SosialisIndonesia dan Partai Masyumi pasca PRRI Permesta, bukanlah suatucacat hukum maupun cacat konstitusional.

C. Kalau ketentuan pasal 60 huruf g ini diteruskan dan dilaksanakan secaraefektif, maka ia akan berakibat secara langsung maupun tidak langsungpada STIGMATISASI terhadap orang perorangan, sehingga reintegrasimereka ke dalam tubuh bangsa yang merupakan sebuah keharusanmoral rezim reformasi, secara resmi dipotong lagi. Seharusnya lembaga-lembaga potitik tertinggi negara mendukung rekonsiliasi dan bukanmalah mempersulitnya.

Jika ketentuan pasal 60 huruf g diteruskan dan dilaksanakan secaraefektif, maka akan berakibat secara langsung maupun tidak langsungpada STIGMATISASI terhadap orang perorangan. Sehingga reintegrasimereka ke dalam tubuh bangsa yang merupakan keharusan moral,secara resmi dipotong lagi. Seharusnya lembaga-lembaga politik terting-gi negara ini mendukung rekonsiliasi dan tidak malah mempersulitnya.

Perlu dicatat bahwa yang dipersoalkan dalam hal ini adalah tidakberkaitan dengan bangkitnya atau rehabilitasi suatu ideologi, dalam halini ideologi komunisme. Bahwa mengecualikan orang-orang tertentuberdasarkan alasan yang tidak teruji dari menikmati hak-hak politiknyaadalah suatu diskriminasi, dan diskriminasi berdasarkan pandanganpolitik adalah pelanggaran hak asasi manusia, yang jelas tercermin didalam Universal Declaration of Human Rights PBB maupun ICCPR.Article 19 Universal Declaration of Human Rights PBB sudah mene-gaskan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir danberpendapat, termasuk untuk memiliki pendapat tanpa diganggu dankebebasan akan informasi. Hal senada juga dimuat lagi dalam Article 19ICCPR, yang kemudian ditegaskan lagi dalam Article 26 yang menentukanasas larangan diskriminasi (non-discrimination principle) dalam bentukapa pun, termasuk pandagangan politik dan lainnya:

All persons are equal before the law and are entitled without anydiscrimination to the equal protection of the law. In this respect, thelaw shall prohibit any discrimination and guarantee to all personsequal and effective protection against discrimination on any groundsuch as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion,national or social origin, property, birth or other status.

D. Pelarangan kepada orang-orang tertentu menjadi wakil rakyat adalahmerupakan suatu generalisasi kesalahan organisasi menjadi kesalahan

Page 70: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

6 9

individu.

Keanggotaan pada PKI adalah satu hal, sedangkan yang menyangkutketerlibatan di dalam G.30.S. (Gerakan 30 September) adalah satu halyang lain lagi. Orang-orang yang nyata-nyata terlibat di dalam gerakantersebut, kebanyakan memang ditangkapi dan diadili di Pengadilan,sebagian dari mereka dihukum mati dan sebagian lagi dipenjara, hal inisemata-mata tergantung pada putusan Pengadilan, yang memang diberikewenangan untuk itu.

Orang yang setelah mendapat putusan pengadilan dan kemudianmenjalani hukumannya, persis adalah untuk mengimbangi kesalahanyang ia lakukan sebelumnya. Jadi sangat tidak etis kalau ia masih jugadianggap bersalah padahal sudah dijatuhi hukuman untuk kesalahan itu.

Yang harus menjadi kriteria seorang untuk dipilih adalah kehendakorang untuk taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar yangberlaku. Kalau ia menyatakan menaatinya, maka tidak ada alasan melarangdia untuk dipilih, dan merupakan hak warga negara untuk memilihorang-orang yang mewakilinya untuk duduk sebagai wakil rakyat.

Pelarangan tanpa didasari oleh alasan hukum dan konstitusi yang kuatadalah diskriminasi berdasarkan pandangan politik yang merupakanpelanggaran hak asasi manusia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon I memohon kepadaMahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo sebagaiberikut:1) Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan;2) Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945;3) Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menimbang bahwa Para Pemohon II pada pokoknya mendalilkan hal-hal seba-gai berikut:1. Bahwa Para Pemohon II adalah orang-perorangan warga negara Indonesia

yang tergabung dalam Lembaga Kesatuan Masyarakat, yang didirikan berdasarkanAkte Notaris H. Rizul Sudarmadi, S.H., tanggal 21 Oktober 2002 No. 51,dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang sesuai dengan keten-tuan hukum Indonesia, vide bukti P-1 dan P--2A, P-2B, P-2C. Dalam Aktependirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Para Pemohon II secarategas dinyatakan untuk memperjuangkan Rehabilitasi warga negara yang di-

Page 71: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 0

G.30.S-kan dalam peristiwa G.30.S. Tahun 1965, yang secara konstitusionalhak kewargarnegaraannya sah menurut Undang-Undang. Akan tetapi hakkewarganegaraan Para Pemohon II tersebut tanpa alasan dan tanpa dasar hukumyang jelas telah dicabut atau telah dibatasi, oleh karena itu berdasarkan Pasal51 (1) huruf b Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MahkamahKonstitusi, Para Pemohon II adalah pihak yang hak dan kewenangan konsti-tusionalnya dirugikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum, oleh karenanya Para Pemohon II memiliki kedudukan hukum(legal standing) untuk mengajukan pengujian undang-undang dan permohonanPemohon dinyatakan dapat diterima.

2. Bahwa Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum telahdiundangkan pada tanggal 11 Maret 2003, Lembaran Negara R.I. Tahun 2003Nomor 37, maka berdasarkan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusi, permohonan pemohon dapat diterima.

3. Bahwa warga negara lndonesia Korban Rezim Orde Baru dalam peristiwaG.30.S. Tahun 1965, semuanya telah dibebaskan sebagai Tahanan Politik (Tapol).Dalam surat pembebasan sebagai Tahanan Politik, pemohon tidak pernah dinya-takan bersalah berdasarkan keanggotaan Partai Komunis Indonesia, atau dinya-takan bersalah terlibat langsung atau tidak langsung dalam G.30.S/PKI (bukti P-3, P-4, P-5, dan P-6). Dengan demikian, Para Pemohon II adalah warga negaraIndonesia yang dilindungi menurut Pasal 27 Undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945. Namun dalam praktek kehidupan masyarakatpemohon telah didiskriminasikan hak kewarganegaraannya, antara lain bagiyang telah berusia 60 (enam puluh) tahun tidak diberikan Kartu Tanda Pendudukseumur hidup (bukti P-7 dan P-8). Dengan demikian, Para Pemohon II tidakdapat diajukan sebagai calon anggota lembaga legislatif, baik pusat maupundaerah, seperti yang dialami anak Sdr. Pradono bin Djaja, tidak dapat menjadiPegawai Negeri Sipil, karena Sdr. Pradono bin Djaja selaku ayah kandunganyaadalah bekas Tahanan Politik G.30.S Tahun 1965 yang KTP-nya tidak seumurhidup.

4. Bahwa dengan stigma atau tanda tertentu dalam KTP yang tidak seumur hidupbagi warga negara Indonesia Korban Rezim Orde Baru dalam peristiwa G.30.S.tahun 1965 yang telah berumur 60 tahun, maka hak dan kewenangan konsti-tusional warga negara Indonesia tersebut telah dicabut atau setidak-tidaknyatelah dibatasi. Hal tersebut terbukti dengan adanya persyaratan calon anggotaDPR, DPD, dan DPRD, yang apabila calon anggota warga negara telah berumur60 tahun tetapi KTP-nya tidak seumur hidup dan KTP-nya ada tanda ET, makadapat dianggap tidak memenuhi syarat menurut ketentuan Pasal 60 huruf gUndang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (bukti P-9).

5. Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menya-takan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum danpemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidakada kecualinya” (bukti P-10). Oleh karena itu, Pasal 60 huruf g Undang-undang

Page 72: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 1

Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 27Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan bertentangan puladengan pasal 28 A s/d 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Pasal 27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 tidak mengatur adanya warga negara Indonesia bekas anggota PartaiKomunis Indonesia atau warga negara Indonesia yanq terlibat langsung atautidak langsung dalam G.30.S./PKI.

6. Bahwa dalam pengambilan keputusan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum di Dewan Perwakilan Rakyat, FraksiPDI-P menye-tujui agar Pasal 60 huruf g tersebut dihapuskan seluruhnya,sedangkan Fraksi PKB dan Fraksi PPP, menghendaki hanya kalimat “yang tidakterlibat langsung dalam G.30.S./PKI sedangkan organisasi terlarang lainnyadihapuskan. Namun, Fraksi TNI/Polri tetap menghendaki Pasal 60 huruf gtersebut tetap dicantumkan utuh sebagaimana tersebut dalam RancanganUndang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Dengandemikian terbukti sah, Para Pemohon II a quo telah dirugikan hak dan kewe-nangan konstitusionalnya.

7. Bahwa Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 menyatakan Indonesia adalah Negara Hukum. Berarti setiap warganegara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumyang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikiandiskriminasi hak kewarganegaraan, yang mencabut atau membatasi hak kewar-ganegaraan tanpa dasar hukum telah merugikan hak dan kewenangan konsti-tusional Para Pemohon a quo, dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.Karena itu, berdasarkan Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi, Para Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legalstanding) sebagai Pemohon.

8. Bahwa pencabutan atau pembatasan hak konstitusional warga negara Indone-sia, hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah ber-kekuatan hukum tetap. Sedangkan Para Pemohon a quo yang telah dicabut ataudibatasi hak konstitusionalnya adalah warga negara Indonesia yang tidak pernahdinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatanhukum tetap. Dengan demikian materi muatan Pasal 60 huruf g Undang-undangNomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum tidak beralasan dan tidakberdasarkan hukum, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon II memohon kepadaMahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan :1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon seluruhnya.2. Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum yang berbunyi: “bukan bekas anggota organisasi terlarangPartai Komunis lndonesia, termasuk organisasi massa, atau bukan orang yangterlibat langsung ataupun tak langsung dalam G.30.S./PKI. atau organisasi

Page 73: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 2

terlarang lainnya”, bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28 A sampai denganPasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 TentangPemilihan Umum tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. Mohon keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan warga negara Indonesia.

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, ParaPemohon I telah mengajukan bukti-bukti yang dilampirkan dalam permohonannyadan bukti yang disampaikan dalam persidangan sebagai berikut:1. Fotokopi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 beserta penjelasannya

(Bukti P-1);2. Fotokopi Surat perintah untuk membebaskan dari penahanan sementara pada

tanggal 20 Desember 1979 atas nama Robby Sumolang (Bukti P-2) ;3. Fotokopi Petikan Surat Keputusan Nomor SKEP-57/KOP-KAM/XII/1979

tentang pengembalian 105 tahanan G.30 S/PKI golongan B ke Masyarakat (BuktiP-3);

4. Fotokopi Surat Ijin Jalan Nomor : SIJ-75/Kamda/XII/1979 tertanggal 17Desember 1979 (Bukti P-4)

5. Fotokopi tanda terima tahanan G.30 S/PKI tanggal 22 De-sem-ber 1979(Bukti P-5);

6. Fotokopi Surat Keterangan Nomor 129/A.1/I/1979 tertanggal 20 September1979 (Bukti P-6);

7. Fotokopi Majalah Forum Keadilan dengan judul “Caleg-caleg yang diisukanberaroma kiri” tanggal 15 Pebruari 2004 (bukti P-7);

8. Fotokopi Harian Umum Suara Pembaruan tanggal 23 Januari 2004 denganjudul “Caleg terlibat Partai Terlarang akan dicoret” (Bukti P-8);

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya ParaPemohon II telah mengajukan bukti-bukti yang dilampirkan dalam permohonannyadan bukti yang disampaikan dalam persidangan sebagai berikut:1. Fotokopi Akte Nomor 51 tanggal 21 Oktober 2002 tentang Pendirian Lembaga

Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru (Bukti P-1);2. Fotokopi Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga Lembaga Perjuangan

Rehabilitasi Korban Orde Baru (Bukti P-2);3. Fotokopi Surat Pembebasan atas nama Sumaun Utomo (Bukti P-2a);4. Fotokopi Surat Pembebasan atas nama Achmad Soebarto (Bukti-P2b);5. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Mulyono, S.H. (Bukti-P-2c);6. Fotokopi Surat Pembebasan Tahanan Politik atas nama Said Pradono bin Djaja,

tanggal 9 Mei 1972 (Bukti P-3) ;7. Fotokopi Surat Pembebasan Tahanan Politik atas nama Ngadiso Yahya bin

Sumoredjo, tanggal 26 Juli 1978 (Bukti P-4) ;8. Surat Pembebasan Tahanan Politik atas nama Casman bin Setyo Prawiro, tanggal

5 Desember 1979 (Bukti P-5) ;

Page 74: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 3

9. Surat Pembebasan Tahanan Politik atas nama Makmuri bin Zahzuri, tanggal 19Juli 1966 (bukti P-6);

10. Kartu Tanda Penduduk Nomor 09.5304.161233.0211 atas nama Said PradonoBin Djaja, meskipun sudah berumur 60 tahun tidak diberikan kartu tandapenduduk seumur hidup (Bukti P-7);

11. Kartu Tanda Penduduk Nomor 4901.14470ET/0405330062 atas namaKusnendar Kornelis, diberi tanda ET (Eks Tahanan) (Bukti P-8);

12. Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum (Bukti P-9);

13. Pasal 27 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(Bukti P-10);

14. Surat Pembatalan Calon Anggota DPRD Purworejo dalam Pemilu Tahun 2004atas nama Dr. Sutarko Hadiwacono dari Partai Nasionalis Banteng Kemer-dekaan karena yang bersangkutan bekas tahanan G30S/PKI Model B1 (Bukti P-11).

15. Kliping berita dari berbagai Surat Kabar dalam Bulan Januari 2004 tentangCalon Legislatif yang ada indikasi terlibat Organisasi Terlarang (OT) atau yangdinyatakan Bekas Tahanan G30S/PKI dicoret oleh Komisi Pemilihan Umumtidak bisa menjadi calon legislatif (Bukti P-12).

Menimbang bahwa pada pemeriksaan persidangan hari Rabu tanggal 10Desember 2003 Para Pemohon I telah didengar keterangannya yang pada pokoknyamenerangkan tetap pada isi permohonan, dan pada pemeriksaan persidangan hariSelasa, tanggal 13 Januari 2004 Para Pemohon II telah pula didengar keterangannyayang pada pokoknya menerangkan tetap pada isi permohonan;

Menimbang bahwa pada pemeriksaan persidangan tanggal 13 Januari 2004,telah didengar keterangan dari pihak Pemerintah yang diwakili oleh Menteri DalamNegeri dan Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dan pada hari Senin,tanggal 26 Januari 2004, Mahkamah Konstitusi telah pula menerima keterangantertulis dari Pemerintah, yang pada pokoknya sebagai berikut :

Bahwa konsepsi dasar substansi perubahan undang-undang politik, yaitu Un-dang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000), dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentangSusunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 12Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,dan DPRD, pada dasarnya menyangkut transformasi perubahan pola hubunganpenyelenggara negara dengan rakyat yang menjamin kemerdekaan berserikat untukmendirikan partai politik, kedaulatan partai berada pada tangan anggota, pluralismekepartaian, pelaksanaan pemilihan umum berdasarkan asas-asas pemilihan umurnyang demokratik, sistem pemilu yang memiliki derajat keterwakilan dan akun-

Page 75: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 4

tabilitas yang tinggi, dan sistem perwakilan rakyat yang menjamin otoritas danlegitimasi lembaga perwakilan rakyat serta akuntabilitas wakil rakyat kepadakonstituen dan masyarakat luas.

Bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam membangun kehidupan demokrasimelalui penataan Partai Politik adalah untuk menjamin jumlah partai politik yangdikehendaki Bangsa Indonesia tidak ditempuh cara otoriter tetapi juga tidakmenempuh cara liberal melainkan menyepakati persyaratan jumlah dukungan rakyatkepada Partai Politik sebagai syarat berperan-serta dalam pemilihan umum. Dengandemikian Partai Politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebe-basan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dannegara secara terpadu. Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan keseta-raan tersebut diimplementasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yangmenjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan yang utuh.

Bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepadapartai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahandan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggungjawab berdemokrasi. Hal ini dapat dicapai melalui penataan kehidupan kepartaian,di samping adanya sistem dan proses pelaksanaan Pemilihan Umum secara memadai.Keterkaitan antara kehidupan kepartaian yang sehat dan proses penyelenggaraanPemilihan Umum akan dapat menciptakan lembaga-lembaga perwakilan rakyatyang lebih berkualitas. Untuk merancang keterkaitan sistemik antara sistem kepar-taian, sistem Pemilihan Umum dengan sistem konstitusional, seperti tercermindalam sistem pemerintahan, diperlukan adanya kehidupan kepartaian yang mampumenampung keberagaman dalam sistem multi partai yang sederhana.

Bahwa pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan Partai Politik padadasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul,berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui Partai Politik, rakyat dapat mewu-judkan haknya untuk menentukan pendapat tentang arah kehidupan dan masadepannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Sesuai dengan prinsip dasar pem-bentukan peraturan perundang-undangan, penyusunan peraturan perundang-un-dangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi. Hal tersebut sejalan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik Indonesia Nomor III/MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata UrutanPeraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa urutan peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945,Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah. Berdasarkan urutan tersebut, makapembentukan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan MPRdan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa berkaitan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dapat dijelaskan bahwa pada saatpenyusunan undang-undang dimaksud, Pemerintah dan DPR-RI sangat taat asasterhadap sumber hukum yaitu dengan memperhatikan masih diberlakukannya TAP

Page 76: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 5

MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik In-donesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untukMenyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Sehubungan dengan hal tersebut, maka telah diambil keputusan dalampenetapan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan UmumAnggota DPR, DPD, dan DPRD yang menetapkan tentang persyaratan calon anggotaDPR, DPD, dan DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sebagaimana diaturdalam ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, adalah“bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasukorganisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsungdalam G.30.S./PKI, atau organisasi terlarang lainnya”. Persyaratan untuk menjadicalon anggota DPR, DPD, dan DPRD tersebut, adalah berkaitan dengan masihberlakunya Tap MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966 dan dalam hal ini tidak berartimereka kehilangan hak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, Dengandemikian, yang bersangkutan tetap dapat menyalurkan aspirasinya melalui wakil-wakil yang akan mereka pilih dalam Pemilihan Umum 2004.

Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan-alasan/argumentasi yangdiajukan oleh kedua Pemohon yang menyatakan bahwa :1. Ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2) (Oleh PemohonSdr. Uli Parulian Sihombing, SH dkk/Pemohon I);

2. Ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan Pasal27, Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 (Oleh Pemohon Sdr. Sumaun Utomo dkk/Pemohon II).

Bahwa berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah menyampaikanpenjelasan lebih lanjut sebagai berikut:1. Dalam Bab X A Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, dimulai dari Pasal 28 Asampai dengan Pasal 28 J merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dantidak dapat dipisahkan, sehingga pemahaman terhadap ketentuan mengenaiHak Asasi Manusia harus dipahami. secara utuh kaitan pasal demi pasal, dimanaPasal 28 A sampai dengan Pasal 28 I memberi hak--hak asasi bagi warga negaraRepublik Indonesia dan Pasal 28 J memberikan pembatasan hak asasi warganegara Republik Indonesia;

2. Sejalan dengan nilai-nilai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, telah dikeluarkan Tap MPRS-RI No. XXVMPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagaiOrganisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi PartaiKomunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau

Page 77: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 6

Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, dimanahal-hal tersebut telah merupakan Kebijakan Nasional dan kenyataan sejarahbangsa Indonesia bahwa Partai Komunis Indonesia yang menganut paham/ajaranKomunis-me/Mar-xisme-Leninisme telah melakukan penghianatan terhadapbangsa dan negara Republik Indonesia, dan dikukuhkan kembali dengan TapMPR-RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status HukumKetetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun2002 bahwa larangan terhadap Partai Komunis Indonesia masih tetap berlaku.Dengan demikian, organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atauorganisasi terlarang lainnya dibatasi hak asasi sebagai warga negara RepublikIndonesia.

3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) menyatakan bahwa “setiap wargamasyarakat dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajibtunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksudsemata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dankebebasan orang lain dan untuk memenuhi ketentuan yang adil sesuai denganpertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalamsuatu masyarakat demokratis”. Dari rumusan ketentuan Pasal 28 J ayat (2)tersebut, maka hak-hak warga negara dapat dibatasi dengan undang-undang.

4. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Tap MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966 serta Tap MPR-RI No. I/MPR/2003, maka ketentuan Pasal 60 huruf gUndang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD yang menetapkan syarat/ batasan terhadap hak-hak warganegara untuk menjadi calon DPR, DPD, dan DPRD Provinsi, dan DPRD Kabu-paten/Kota telah sesuai dan selaras dengan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 dan atau tidak bertentangan dengan ketentuanPasal Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menimbang bahwa pada persidangan hari Jumat, tanggal 13 Pebruari 2004,telah didengar keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili olehKuasanya, dan pada hari Jumat, tanggal 13 Pebruari 2004, pukul 15.45 MahkamahKonstitusi telah pula menerima keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan RakyatIndonesia, yang pada pokoknya sebagai berikut :

Bahwa yang menjadi pokok permasalahan di dalam permohonan adalahmengenai dimuatnya ketentuan Pasal 60 huruf g, yang berisi larangan menjadianggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupten/Kota bagi mereka yang “bekasanggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi mas-sanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya”. Bahwa ketentuan tersebut merupakanpelanggaran hak asasi manusia dan bertentangan Pasal 28 C ayat (2); Pasal 28 D

Page 78: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 7

ayat (1), ayat (3); dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 ;Bahwa dalam proses pembahasannya di DPR, telah dilakukan putusan yang

memperhatikan aspirasi dan pertimbangan secara maksimal terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terburuk atas dicantumkan atau tidaknya ketentuan Pasal 60huruf g, yang tercermin melalui mekanisme voting. Bahwa DPR dalammenyusun ketentuan Pasal 60 huruf g telah mempertimbangkan aspek nilai-nilaiagama dan ketertiban umum sehingga sudah sesuai dengan ketentuan amanat dariUUD 1945 Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi; “Dalam menjalankan hak dankebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkandengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuanserta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhituntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Pebru-a-ri 2004 dan tanggal18 Pebruari 2004 telah didengar keterangan dibawah sumpah Saksi dan Para Ahlidari Para Pemohon II dan Para Pemohon I, bernama :

Saksi Para Pemohon II bernama Dr. Sutarko Hadi Wacono memberikanketerangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Bahwa awal terjadinya pencoretan adalah pada saat Saksi mendaftar sebagaiCalon Legislatif Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan dan saksi mendapat nomorurut 1 (satu) di DP 6 Kabupaten Purworejo, dan waktu itu saksi didatangi olehKetua DPC yang atas saran dari Ketua KPU, agar saksi mengundurkan diri, dan atassaran Ketua DPC tersebut, dan tanpa memberitahukan kesalahan saksi apa dantanpa konfirmasi, saksi dicoret dari daftar calon legislatif;

Bahwa dari surat rahasia Kodim dan berdasar keterangan dari Iptu Jatmiko,Saksi terlibat partai terlarang, tetapi berdasar putusan Pengadilan Saksi bersihdan bebas dari hukuman/kewajiban yang ditentukan Gerakan Kontra RevolusiG.30.S./PKI tertanggal 13 Maret 1967;

Bahwa dengan adanya pencoretan dari daftar calon legislatif dengan dasarPasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum,jelas hak konstitusional saksi merasa terlanggar dan dirugikan;

Bahwa Saksi belum pernah dimintakan pembuktian oleh KPU tentang bekasG.30.S./PKI Model B1;

Bahwa bukti mengenai bekas G.30.S./PKI tidak termasuk dalam persyaratanpendaftaran;

Bahwa persyaratan untuk menjadi calon legislatif adalah Surat Keterangandari Pengadilan tidak pernah melakukan tindak pidana, dan Surat KeteranganKelakuan Baik dari Kepolisian;

Bahwa Saksi bukan bekas anggota Partai Komunis Indonesia;Bahwa Saksi bukan bekas anggota masa Partai Komunis Indonesia;Bahwa sampai sekarang Saksi tidak mengetahui kesalahannya;Bahwa Saksi hanya diperiksa dan dituduh sebagai anggota Pemuda Rakyat;Bahwa Saksi dituduh sebagai eks anggota Partai terlarang;

Page 79: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 8

Bahwa penolakan sebagai calon legislatif terhadap Saksi ada dikaitkan denganPasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum;

Bahwa pemeriksaan terhadap Saksi terjadi pada tahun 1966;Bahwa yang melakukan pemeriksaan terhadap Saksi adalah Mahasiswa

Semarang yang dijadikan Tim Pemeriksa;Bahwa hasil pemeriksaan tersebut belum pernah diajukan ke Pengadilan;Bahwa Saksi pada saat itu adalah Mahasiswa Akademi Seni Indonesia Yogya-

karta;Bahwa Saksi setelah tahun 1967 dikenakan wajib lapor;Bahwa semula KTP Saksi diberi tanda, tetapi sekarang sudah dihapus;Bahwa sejak tahun 1971 sampai dengan 1997 Saksi berhak untuk memilih;Bahwa Berita Acara KPU Kabupaten Purworejo bukti P-11 yang menyatakan

saksi membuat surat pernyataan palsu dalam formulir model BB4, tidak pernahdilaporkan ke Kepolisian;

Ahli pertama dari Para Pemohon I, Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, S.J. memberiketerangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

Bahwa PKI dan organisasi lain termasuk yang disebut langsung maupun tidaklangsung terlibat dalam gerakan 30 September dinyatakan terlarang dalam TAPMPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

Bahwa andaikan TAP tersebut mempunyai kedudukan hukum yang sah, tetapipelarangan terhadap Anggota PKI untuk memilih dan dipilih tetap tidak berdasarkarena bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Bahwa keanggotaan di dalam Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasyang bernaung di bawahnya sebelum keluarnya TAP MPRS tersebut bukan meru-pakan kesalahan apapun tidak menjadi pelanggaran apapun kecuali mereka mela-kukan perbuatan yang melawan hukum dan diputus oleh pengadilan.

Bahwa oleh karena itu tidak ada dasar untuk melarang bekas anggota PKI danorganisasi massa yang bernaung di bawahnya untuk ikut dalam menggunakan hakpilihnya baik aktif maupun pasif dalam pemilihan umum, karena mereka tidaksecara individual tidak melakukan perbuatan apapun yang bertentangan denganundang-undang yang berlaku.

Bahwa dari perspektif filsafat berlaku pertama bahwa hak asasi manusiaberlaku bagi setiap orang tanpa kecuali, tetapi memang secara filosofis bisa dibe-narkan bahwa hak asasi itu dibatasi misalnya saja seorang bisa dihilangkan kebebasanuntuk bergerak kalau lewat proses pengadilan. Tentu saja orang ditangkap sesuaidengan hukum yang berlaku dan hukum tersebut harus dirumuskan berdasarkanhak asasi manusia.

Bahwa Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 menyata-kan hak asasimanusia dan hak warga negara dimiliki oleh setiap warga negara. Jadi secara filosofisselama seseorang secara individual tidak terlibat secara hukum dalam perbuatanyang melawan hukum maka tidak ada hak bagi negara untuk mencabut hak sebagaiwarga negara yang bersangkutan dalam pemilihan umum, karena hal itu bersifat

Page 80: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

7 9

diskriminatif. Lagi pula dalam kasus ini tidak ada alasan yang dapat dibenarkan baginegara untuk mencegah mereka menjalankan hak warga negara ikut dalam PemilihanUmum. Karena itu pencabutan hak untuk dipilih merupakan diskriminasi.

Bahwa diskriminasi justru mengancam persaudaraan, karena orang yangdidiskriminasi merasa tidak diizinkan masuk ke dalam kesatuan keluarga bangsa dimana ia berada.

Bahwa Saya sebagai pribadi dan warga negara Indonesia menuntut tindakandiskriminasi itu harus dihapus. Dan keten-tuan hukum yang mencerminkan ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan secara serius harus dicabut.

Bahwa di Jerman sesudah Perang Dunia ke-2 selama beberapa tahun kedau-latan dipegang oleh empat negara sekutu yang pada perkembangan selanjutnya dibagian timur oleh Uni Soviet dan di bagian barat oleh Amerika, Inggris dan Perancis.Sejak tahun 1949 terbentuk pemerintah Republik Federal Jerman yang lama-lamamendapat lebih banyak wewenang dan kalau saya tidak salah ingat tahun 1956mencapai kedaulatan penuh.

Bahwa pada masa pendudukan sekutu diciptakan kebijakan de-NAZI-fikasi.Atas dasar itu diadakan tiga klasifikasi, yaitu orang terlibat “keras”, “kurang keras”,dan “sedikit longgar”, “mitläufer” (fellow travellers) atau “orang yang ikut-ikutan”.Terhadap orang yang ikut-ikutan tidak diberikan tindak-an apa-apa, tetapi bagiyang berklasifikasi tertinggi sesudah perang di bawah sekutu tidak boleh memegangjabatan pemerintahan. Tetapi sesudah tahun 1949 de-NAZI-fikasi diserahkan ketangan Jerman dan di situ sudah ada orang Nazi yang kembali ke dalam partai-partai itu, kalau itu memang misalnya menjadi Menteri yang kemudian diketahuisebagai anggota Nazi, dia harus turun dari kedudukannya sebagai Menteri.

Bahwa semua itu berhak memilih dan juga berhak dipilih ke dalam bundestagdalam parlemen Jerman, tetapi secara politis menjadi tidak memungkinkan untukbekas anggota NAZI menduduki jabatan pemerintahan. Meskipun demikian dalamkenyataannya sejak tahun 1956 selalu ada beberapa orang bekas anggota NAZIyang menjadi Menteri. Begitu juga tentara Jerman mulai dibangun tentu dimulaidengan Jenderal-jenderal yang masih mengalami Perang Dunia ke-2.

Bahwa raison d’etat sebetulnya tidak dihapus, tetapi di dalam demokrasihanya dibatasi oleh hak asasi manusia dan mungkin hal-hal lain seperti itu. Olehkarena itu di dalam demokrasi, hak asasi manusia tidak dapat dibatasi atas namaraison d’etat. Sementara itu walaupun hak asasi manusia tidak bisa dilanggar denganmenggunakan alasan raison d’etat, tetapi dalam kenyataannya tindakan tersebutkadang-kadang dilakukan juga oleh negara-negara demokratis. Pemerintah AmerikaSerikat demi kepentingan nasionalnya melakukan penangkapan warga Afghanistanyang dicurigai terkait dengan Al-Qaida dan kemudian menahan mereka di sebuahkamp di Guantanamo, Cuba. Seandainya terjadi di wilayah Amerika Serikat, tindakanseperti itu tidak akan dibenarkan oleh hakim-hakim Amerika Serikat, karena melang-gar hak asasi manusia.

Bahwa jika kasus ini dikaitkan dengan rekonsiliasi sebagaimana pengalamanAfrika Selatan, terdapat perbedaan antara Indonesia dan Afrika Selatan. Di Afrika

Page 81: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 0

Selatan, persoalan hitam putih dan struktur sosial, serta penindasan golongankulit putih terhadap golongan kulit hitam dalam arti moral sudah jelas. Kekuasaankaum kulit putih terhadap golongan kulit hitam secara moral, yang tertindas adalahgolongan kulit hitam yang merupakan suatu sistem penindasan minoritas rasial diatas yang lain-lain secara moral pada umumnya sama sekali tidak bisa dibenarkan.Juga sudah jelas bahwa apa yang menjadi dosanya maka Komisi Rekonsiliasi relatifmudah, karena mengungkapkan kesediaan para korban yang selalu diakui korban,kaum negro yang direpresentasikan oleh sosok Nelson Mandela bersedia mencip-takan persaudaraan di Afrika Selatan yang begitu buruk sebelumnya dalam artitertentu memaafkan kaum kulit putih asal mereka mengakui kesalahannya. Sedang-kan di Indonesia struktur sosialnya terlalu komplek, yaitu banyak sekali diskrimi-nasi dan pelanggaran solidaritas bangsa yang terjadi sehingga salah satu masalahpaling sulit adalah identifikasi korban. Jadi kesediaan untuk saling memaafkan danjuga saling mengaku salah yang lebih berat, lebih sulit, dan lebih kompleks.

Bahwa rekonsiliasi akan menjadi lebih mudah, kalau berbagai diskriminasidihapus lebih dulu.

Bahwa dari pelbagai contoh tersebut di atas, dapat disimpulkan negara-negarademokratis seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman dapat melakukantindakan-tindakan yang dapat dikategorikan tidak demokratis.

Selanjutnya Ahli kedua dari Para Pemohon I, Dr. Thamrin Amal Tomagolamemberi keterangan yang pokok-pokoknya adalah sebagai berikut:

Bahwa adanya ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun2003 merupakan pelanggaran yang mendasar terhadap partisipasi politik warganegara, karena dalam sistem demokrasi yang di pahami sebagai popular controlsystem over collective decision making, maka terdapat pihak atau kelompok yangsecara umum dilarang untuk berpartisipasi. Partisipasi bisa dalam 2 bentuk, partisi-pasi dalam wacana politik dan partisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusanpolitik.

Bahwa kalau stigma yang diperkeras lewat undang-undang akan terus berlan-jut, maka paling kurang akan menghambat partispasi politik orang-orang bekasPKI dan Ormas-ormasnya.

Bahwa ini berarti bahwa suatu ghetto politik, saya istilahkan dengan ghettopolitik yang dibuat dan diperkeras oleh undang-undang seperti ini akan mempunyaidampak pada ghetto-ghetto sosial dan ghetto-ghetto budaya yang berangkai sampaike bawah. Sehingga, kohesi sosial yang kita inginkan antar bangsa ini semakin tidakdimungkinkan dengan undang-undang seperti ini, yang saya kategorikan undang-undang ini adalah suatu kekerasan negara (state violence) terhadap hak warganegara untuk berpartisipasi secara politik.

Bahwa kalau undang-undang suda menciptakan ghetto-ghetto politik, ujungnyaadalah ghetto-ghetto sosial dan ghetto-ghetto budaya, yang pada gilirannya apa bilaterjadi peristiwa kecil saja akan mengakibatkan ledakan yang dahsyat.

Bahwa hal ini berbahaya sekali dalam pembangunan bangsa ke depan kalauingin membuat suau nation building yang tercerahkan secara sosial budaya, bukan

Page 82: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 1

nation building yang dibangun di atas mimpi-mimpi besar oleh para pemimpin ditingkat Jakarta. Akan tetapi nation building yang berbasis pada dasar-dasar yangpaling mendasar di akar rumput.

Bahwa dengan mengajak orang dari setiap bagian bangsa ini untuk aktif didalam politik, ekonomi, dan budaya dengan menghindarkan dominasi oleh satukelompok pada masing-masing bidang maka akan terwujud partisipasi penuh semuakomponen akan lebih baik.

Bahwa lingkunganlah yang membentuk seseorang. Kemudian meningkat padatataran kelembagaan dan sistem. Sistemlah yang membentuk pribadi tertentu dansatu kelompok tertentu sehingga yang perlu dibenahi bukan bagaimana mengubahorang PKI menjadi Pancasilais sejati, atau mengubah orang Pancasilais ala Soehartomenjadi Pancasilais ala reformasi. Tetapi yang lebih penting adalah mengubah danmenata sistem.

Bahwa dalam menata sistem selain kelembagaan, juga kondisi-kondisi yangmenciptakan satu kelompok berperilaku tertentu dan satu pribadi berperilakutertentu. Orang tidak akan tertarik dengan ajaran-ajaran Komunisme atau Mar-xisme mana-ka-la keadilan ekonomi telah tegak di negeri ini. Orang tidak akanterpancing untuk melakukan tekanan-tekanan politik apabila diberi saluran-saluranpolitik, yang melembaga, lobi-lobi politik atau cara-cara yang melembaga secarademokratis lainnya. Intimidasi-intimidasi dan teror itu biasanya muncul kalau salurankelembagaan yang resmi itu tersumbat.

Bahwa yang paling pokok sebenarnya adalah mengusa-hakan satu sistemdengan saluran-saluran aspirasi ekonomi, aspirasi politik, aspirasi budaya, danaspirasi sosial yang adil dan beradab. Sehingga sila kedua Pancasila yaitu “kema-nusiaan yang adil dan beradab” sangat relevan untuk menegakkan sistem.

Bahwa paham, ideologi, agama, dan segala sesuatu yang berhubungan gagasanitu tidak bisa dilarang-larang, apalagi dilarang dengan kekuatan fisik, karena gagasanitu hidup dalam, dan berumah dalam benak orang. Karl Marx sendiri itu mener-tawakan orang-orang yang menghantam mesjid dan menghantam gereja. Karenahal itu sebenarnya merupakan produk dari suatu kondisi.

Bahwa agama dan ideologi sebenarnya tidak boleh dima-suki oleh negarasebagai sesuatu yang diatur secara publik. Itu adalah ranah sosial, malah ranahpribadi yang merupakan urusan sosial dan urusan-urusan pribadi. Oleh sebab itulebih mencenggangkan lagi kalau misalnya ada pada ranah gagasan ideologi itudilarang dan kemudian sebagai implikasinya orangnya atau subyeknya sebagaiindividunya juga dilarang di dalam kegiatan politik.

Bahwa ideologi komunis itu tidak dilarang di Amerika dan di Inggris sebagainegara kapitalis. Dalam parlemen Inggris ada satu anggota parlemen dari PartaiKomunis Inggris.

Bahwa tentang sah tidaknya Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 secaraformal adalah sah dan secara substansi tidak benar.

Menimbang bahwa Para Pemohon I dan Para Pemo-hon II pada persidangantanggal 18 Pebruari 2004 telah memberi Kesimpulan secara lisan yang masing-

Page 83: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 2

masing pada pokoknya menyatakan tetap pada permohonan;Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala

sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk pada berita acara sidang, yang meru-pakan bagian tak terpisahkan dari putusan ini;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon aquo adalah sebagaimana tersebut di atas;

Menimbang bahwa sebelum memasuki substansi atau pokok perkara,Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut :

1. Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus permo-honan pengujian atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DewanPerwakilan Rakyat Daerah;

2. Apakah hak konstitusional Para Pemohon a quo dirugikan oleh berlakunyaPasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DewanPerwakilan Rakyat Daerah sehingga menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undangNomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mereka memiliki kedu-dukan hukum (legal standing) guna mengajukan permohonan pengujian (judi-cial review) Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 terhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Terhadap kedua masalah dimaksud, Mahkamah Konstitusi berpendapat seba-gai berikut :

1. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-undangNomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannyabersifat final untuk menguji Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 TentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)

1. Bahwa Para Pemohon I yakni: 1) Prof. Dr. Deliar Noer. 2) H. Ali Sadikin.

Page 84: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 3

3) Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas. 4) Ny. Sri Husadhati. 5) Robert SoepomoD.P. 6) Dr. Mohamad Toyibi. 7) Buntaran Sanusi, SE, MM. 8) Moch. SifaAmin Widigdo. 9) Ir. Krisno Pudjonggo. 10) dr. Judilherry Justam. 11)Soenardi, SH. 12) Ir. Urgik Kurniadi. 13) Syamsul Hilal. 14) Syafinuddin. 15)Sunaryo, SH. 16) Affanulhakim Umar. 17) Bagus Satriyanto. 18) ChristianusSiner Key Timu. 19) Ny. Hariati. 20) Ny. Rustiah. 21) Bambang Satriyanto.22) Ny. Sri Rejeki Suninto, tidak memiliki kedudukan hukum (legal stand-ing) guna tampil selaku para pemohon pengujian undang-undang karenatidak terbukti terdapat adanya keterkaitan sebab akibat (causal verband)yang menunjukkan bahwasannya hak konstitusional mereka dirugikan olehberlakunya Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Para Pemohon dimaksudbukan bekas Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk organisasimassanya, dan bukan pula orang yang terlibat langsung atau tidak langsungdalam G.30.S./PKI serta bukan bekas anggota organisasi terlarang lainnya.Oleh karena itu, mereka tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum(legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehinggapermohonannya tidak dipertimbangkan;

2. Bahwa dalam pada itu, berdasarkan bukti Para Pemohon I (P-1, P-2, P-3,dan P-4), dan bukti Para Pemohon II (P-2a, P-2b, P-2c, P-3, P-4, P-5, P-6, P-7, P-8), sebagian dari Para Pemohon I yakni : 1) Payung Salenda. 2) GormaHutajulu. 3) Rhein Robby Sumolang. 4) Ir. Sri Panudju. 5) Suyud SukmaSendjaja. 6) Margondo Hardono, dan Para Pemohon II yakni: 1) SumaunUtomo. 2) Achmad Soebarto. 3) Mulyono. 4) Said Pradono bin Djaja. 5)Ngadiso Yahya bin Somoredjo. 6) Tjasman bin Setyo Prawiro. 7) Makmuribin Zahzuri, memenuhi persyaratan kedudukan hukum (legal standing)untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 60 huruf g Undang-UndangNomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan PerwakilanRakyat Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Sebagian Para Pemohon I dan ParaPemohon II seluruhnya adalah bekas tahanan politik. Mereka telah ditahanatau dipenjara karena dituduh terlibat secara langsung maupun tidaklangsung dalam peristiwa G.30.S./PKI, dan menganggap hak konstitusionalmereka dirugikan oleh berlakunya Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum

Page 85: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 4

(legal standing) Para Pemohon a quo, Sidang Pleno Mahkamah Konstitusidalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 24 Pebruari 2004 secaramufakat bulat berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untukmengadili perkara a quo dan sebagian dari Para Pemohon I serta ParaPemohon II seluruhnya mempunyai kedudukan hukum (legal standing).

3. POKOK PERKARA

Menimbang bahwa pengujian undang-undang yang dimohonkan Para Pemohona quo adalah Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang oleh mereka dianggapbertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 karena bersifat diskriminatif serta meniadakan hak konstitusional ParaPemohon a quo.

Menimbang, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Repu-blik Indonesia Tahun1945 melarang diskriminasi sebagai-mana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1),Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2). Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal27 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras,etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,keyakinan politik. Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwa-kilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melarang sekelompokWarga Negara Indonesia (WNI) untuk dicalonkan serta menggunakan hakdipilih berdasarkan keyakinan politik yang pernah dianut;

Menimbang bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaankedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 menegaskan, bahwasannya setiap orang berhak atas pengakuan jaminan,perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ditegaskan pula dalam Pasal 28 I ayat (2) Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwasanya setiap orang berhakbebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhakmendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;yang sesuai pula dengan Article 21 Universal Declaration of Human Rightsyang menyatakan:1. Everyone has the right to take part in the government of his country,

directly or through freely chosen representatives.

Page 86: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 5

2. Everyone has the right of equal access to public service in his country.3. The will of people shall be the basis of the authority of government; this

will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be byuniversal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equiva-lent free voting procedures.

Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya mengenai hak-hak manusia yangberkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, Perserikatan Bangsa-Bangsa padaTahun 1966 telah menghasilkan kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,yang dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR) berlaku sejak tanggal 1 Januari 1991, di mana 92 (sembilan puluh dua)negara dari 160 (seratus enam puluh) negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi negara anggota;

Menimbang, bahwa Article 25 tentang Civil and Political Rights dimaksudmengatur sebagai berikut:“Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of thedistinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely

chosen representatives;b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by

universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guarantee-ing the free expression of the will of the electors;

c) To have access, on general terms of equality, to public service in hiscountry;

Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih(right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi,undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyim-pangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaranterhadap hak asasi dari warga negara;

Menimbang bahwa memang Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan dimungkinkannya pemba-tasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasanterhadap hak-hak tersebut haruslah di dasarkan atas alasan-alasan yang kuat,masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan tersebuthanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuanserta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhituntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keaman-an, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”; tetapi pemba-tasan hak dipilih seperti ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum tersebut justru karena hanya

Page 87: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 6

menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Di samping itu dalam persoalanpembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnyahanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dankeadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karenatelah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukumtetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif;

Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentuwarga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan PerwakilanRakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompoksebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yangmempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harusdidasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yangtetap;

Menimbang bahwa Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPR-S/1966 tentangPembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarangdi Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesiadan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengem-bangkan Pahamatau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme juncto Ketetapan MPR NomorI/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum KetetapanMPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, yang dijadikanalasan hukum Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 TentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah berkaitan denganpembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan penyebarluasan ajarankomunisme/Marxisme-Leninisme yang sama sekali tidak berkaitan denganpencabutan atau pembatasan hak pilih baik aktif maupun pasif warga negara,termasuk bekas anggota Partai Komunis Indonesia;

Menimbang bahwa suatu tanggungjawab pidana hanya dapat dimintakanpertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta(mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakanyang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawab tersebut dibebankan kepadaseseorang yang tidak terlibat secara langsung;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertim-bangan tersebut di atasdan berdasarkan pula keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyatserta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli maka ketentuan Pasal 60 huruf gUndang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi “bukan bekas anggotaorganisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa,

Page 88: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 7

atau bukan orang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan30 September/Partai Komunis Indonesia atau organisasi terlarang lainnya”,merupa-kan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasiatas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan dengan hakasasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat(3), dan Pasal 28 I ayat (2);

Menimbang bahwa oleh karena itu cukup beralasan untuk menyatakan bahwaPasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum Anggota Dewan Perwa-kilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, danDewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum yangmengikat;

Menimbang bahwa di samping pertimbangan juridis tersebut di atas, materiketentuan sebagaimana terkandung dalam Pasal 60 huruf g Undang-undangNomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan PerwakilanRakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerahdipandang tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telahmenjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demok-ratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, meskipun keterlibatan Partai KomunisIndonesia dalam peristiwa G.30.S. pada tahun 1965 tidak diragukan olehsebagian terbesar bangsa Indonesia, terlepas dari tetap berlakunya KetetapanMPRS Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/ 2003tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS danKetetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tetapi orang perorangbekas anggota Partai Komunis Indonesia dan organisasi massa yang bernaungdibawahnya, harus diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpadiskriminasi;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimb-angan tersebut di atastentang pokok perkara, dalam Sidang Pleno Rapat Permusyawaratan Hakimpada tanggal 24 Februari 2004, telah mengambil putusan terhadap permohonanPara Pemohon a quo dengan 1 (satu) orang Hakim Mahkamah Konstitusimengajukan pendapat berbeda;

Memperhatikan, Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945, juncto Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 45, juncto Pasal 51ayat (1) dan juncto Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusi;

Page 89: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 8

M E N G A D I L I:

Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang yang diajukan olehsebagian Pemohon I, yakni: 1) Payung Salenda. 2) Gorma Hutajulu. 3) Rhein RobbySumolang. 4) Ir. Sri Panudju. 5) Suyud Sukma Sendjaja. dan 6) Margondo Hardono;dan seluruh Pemohon II, yakni: 1) Sumaun Utomo. 2) Achmad Soebarto. 3) Mulyono.4) Said Pradono Bin Djaja. 5) Ngadiso Yahya Bin Somoredjo. 6) Tjasman Bin SetyoPrawiro. 7) Makmuri Bin Zahzuri.

Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan dengan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menyatakan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37,Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) tidak mempunyai kekuatan hukummengikat.

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Hakim Konstitusi, H. Achmad Roestandi, S.H. :

Menurut pendapat saya, permohonan Para Pemohon I nomor 23 sampaidengan 28 dalam Perkara Nomor 011/ PUU-I/2003 dan seluruh Para Pemohon IIdalam Perkara Nomor 017/ PUU-I/2003 harus ditolak dengan alasan sebagaiberikut.

1. Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang PemilihanUmum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DewanPerwakilan Rakyat Daerah berbunyi :

“bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasukorganisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun taklangsung dalam G30S/ PKI, atau organisasi terlarang lainnya.”Pasal ini seolah-olah tidak terlalu sejalan dengan semangat yang terkandungdalam beberapa pasal dari Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, yaitu :a. Pasal 27 ayat (1): persamaan hak dalam hukum dan pemerintahanb. Pasal 28 C ayat (2) : hak untuk memperjuangkan haknya secara kolektif.c. Pasal 28 D ayat (1) : hak atas perlakuan yang sama di depan hukum.d. Pasal 28 D ayat (3) : hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam

Page 90: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

8 9

pemerintahan.e. Pasal 28 I ayat (2) : hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.

2. Namun demikian, dalam membaca dan mencari makna pasal-pasal Undang-Undang Dasar hendaknya tidak parsial, tetapi harus dikaitkan secara sistematisdengan pasal-pasal lainnya, dalam hal ini terutama Pasal 22 E ayat (6), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.

3. Pasal 22 E ayat (6) berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diaturdengan undang-undang”. Pasal ini memberi mandat kepada Pembuat Undang-undang (Dewan Perwakil-an Rakyat dan Presiden) untuk membuat ketentuanyang lebih rinci tentang Pemilu.

Sebagaimana lazimnya mandat seperti itu bisa meliputi persyaratan, penegasan(konfirmasi), pengulangan (repetisi), dan pembatasan (restriksi) sepanjangtidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Itulah yang telah dilakukan oleh pembuat Undang-undang Nomor 12 Tahun2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu membuatpembatasan seperti tercantum dalam Pasal 60 huruf a : pembatasan umur,Pasal 60 huruf c : pendidikan, Pasal 60 huruf g : konduite politik, dan Pasal 145: status pemilih.

4. Pembatasan seperti itu mempunyai alas konstitusional yaitu Pasal 28 J ayat (2)dan 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Pasal 28 J ayat (2) berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan olehundang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuanserta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhituntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pasal ini memberikan wewenang kepada pembuat undang-undang untukmembuat pembatasan bagi setiap orang dalam menjalankan haknya denganpertimbangan tertentu. Adapun salah satu pertimbangan yang bisa digunakansebagai dasar pembatasan itu adalah pertimbangan keamanan dan ketertibanumum.

5. Walaupun rujukan terakhir adalah Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945, tetapi pembatasan tersebut bersesuaian dengan Pasal29 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi :

Page 91: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

9 0

“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only tosuch limitations determined by law solely for the purpose of securing duerecognation and respect for the rights and freedoms of others and of meetingthe just requirements of morality, public order and the general welfarein a democratic society”

Sebagai perbandingan, pembatasan hak individual karena kon-duite politik, yaitu misalnya bekas anggota suatu Partai Politik tertentu,bisa terjadi juga di negara lain, termasuk negara-negara yang demokratis. Dariketerangan ahli, Frans Magnis Soeseno, dalam sidang, terungkap bahwa diJerman, setidak-tidaknya sewaktu pendudukan Sekutu (1945-1949) dan di awalera Republik Federasi Jerman (1949-1953) telah dilakukan tindakan de-NAZI-fikasi, yang antara lain berupa pembatasan terhadap bekas anggota partai Naziuntuk menduduki jabatan-jabatan tertentu (misalnya jabatan menteri).

Ahli juga mengakui bahwa Sekutu yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris,dan Perancis adalah negara demokratis, walaupun belum tentu bertindakdemokratis.

Pembatasan yang diberlakukan di Jerman tidak bersifat permanen, tetapi semakinlonggar dan akhirnya berakhir pada tahun 1956.Sementara itu, Ahli menerangkan juga bahwa walaupunn hak asasi manusiatidak bisa dilanggar dengan menggunakan alasan raison d’etat, namun dalamkenyataannya dengan menggunakan alasan kepentingan nasional (national in-terest) kadang-kadang pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dilakukanoleh negara-negara “demokratis”. Pemerintah Amerika Serikat melakukanpenangkapan terhadap warga Afghanistan yang dicurigai terlibat Al-Qaida dankemudian menahan mereka di sebuah kamp di Guatanamo (Cuba).

Walaupun tindakan Pemerintah Amerika Serikat seperti itu mungkin tidakakan dibenarkan oleh Hakim-hakim Amerika Serikat, tetapi demi raison d’etatdan national interest ternyata Pemerintah Amerika melakukannya.

6. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 pembatasan seperti itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undangterhadap semua hak asasi manusia, yang tercantum dalam keseluruhan BabXV HAK ASASI MANUSIA, kecuali terhadap hak-hak yang tercantum dalampasal 28 I, yaitu :a. hak hidup.b. hak untuk tidak disiksa.c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani.d. hak beragama.e. hak untuk tidak diperbudak.

Page 92: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

9 1

f. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum.g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Pembatasan yang diatur dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak termasukdalam salah satu hak yang disebut dalam Pasal 28 I ayat (1). Oleh karena itupembatasan dalam Pasal 60 huruf g tidak bertentangan dengan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari keterangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah terungkap bahwaketika Pasal 60 huruf g dibahas telah secara mendalam dipertimbangkan alasan-alasan pembatasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1)dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

7. Pembatasan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang sebagaimanatercantum dalam Pasal 60 huruf g bukanlah pembatasan yang bersifat permanen,melainkan pembatasan yang bersifat situasional, dikaitkan dengan intensitaspeluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/Marxisme-Leni-nisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sebagaimana diketahui penyebaran ideologi komunisme dan konsolidasi PKItidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia, dengan tetap diberlakukannya TAPMPRS Nomor XXV/MPRS/1966 oleh MPR hingga saat ini. Menurut keteranganahli, Dr. Thamrin Amal Tomagola, TAP MPR itu secara formal adalah sah, karenadibuat oleh lembaga negara yang berwenang.

Bahwasannya pembatasan ini bersifat situasional, dapat ditelusuri dengansemakin longgarnya perlakuan terhadap bekas anggota PKI dan lain-lain dariundang-undang Pemilu yang terdahulu ke undang-undang Pemilu berikutnya.

Dalam undang-undang Pemilu sebelumnya bekas anggota PKI dan lain-lain,bukan saja dibatasi hak pilih pasif (hak untuk dipilih), tetapi juga hak pilih aktif(hak untuk memilih). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibatasi hanyahak pilih pasif saja.

Dalam rangka rekonsiliasi nasional, di masa datang pembuat undang-undangdiharapkan untuk mempertimbangan kembali pembatasan itu, yang diikuti olehlegislative review, untuk memutakhirkan bunyi Pasal 60 huruf g sesuai denganpertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2)

Page 93: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Perkara Nomor: 011-017/PUU-I/2003

9 2

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Himbauan ini disampaikan, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2)yang diberikan wewenang untuk membuat pertimbangan atas pembatasan ituadalah pembuat Undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden),bukan lembaga negara lain. Setiap lembaga negara termasuk MahkamahKonstitusi memang boleh saja memberikan penilaian terhadap situasi keamanandan ketertiban umum untuk menentukan atau menghapuskan pembatasan,tetapi secara konstitusional yang diberi mandat sebagai pemegang kata akhir(ultimate decision maker) dalam hal ini adalah pembuat undang-undang (DewanPerwakilan Rakyat dan Presiden).

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Pleno MahkamahKonstitusi pada hari Selasa, tanggal 24 Pebruari 2004 dan diucapkandalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hariSelasa, tanggal 24 Pebruari 2004, oleh kami : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H., selaku Ketua dan didampingi oleh: Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., Prof.H.A.S. Natabaya, S.H., L.LM., Dr. Harjono, S.H., MCL, I Dewa Gede Palguna,S.H., M.H., Prof. Dr. H. Mukthie Fajar, S.H., M.S., Maruarar Siahaan, S.H.,Soedarsono, S.H., dan H. Achmad Roestandi, S.H., masing-masing sebagai Anggotadan dibantu oleh Cholidin Nasir, S.H. sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadirioleh Para PemohonI/Kuasanya dan Para Pemohon II/Kuasanya;

KETUA,PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, S.H.

ANGGOTA-ANGGOTA

2. PROF. H.A.S. NATABAYA, S.H., LL.M.4. I DEWA GEDE PALGUNA, S.H., M.H.6. MARUARAR SIAHAAN, S.H.8. H. ACHMAD ROESTANDI, S.H.

1. PROF. DR. H.M. LAICA MARZUKI, S.H.3. DR. HARJONO, S.H., MCL.5. PROF. H. A. MUKTHIE FADJAR, S.H., MS.7. SOEDARSONO, S.H.

PANITERA PENGGANTI,CHOLIDIN NASIR, S.H.

Page 94: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 93Harun Alrasid

1. Latar Belakang SejarahPada waktu penyusunan UUD 1945, masalah

hak menguji oleh Hakim (toetsingsrecht van de rechter)yang di Amerika Serikat disebut dengan istilah “ju-dicial review”, menjadi bahan perdebatan dalamsidang pleno Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai (Badan Pe-nyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)pada tanggal 15 Juli 1945, ketika Supomo me-nanggapi usulan Yamin.1

“Tentang Mahkamah Agung, tuan Yaminmenghendaki supaya Mahkamah Agungmempunyai hak untuk memutus, bahwa sesuatuundang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar . . . “

Usul Yamin itu ditolak oleh Supomo denganmengemukakan dua alasan; Pertama, Supomomenganggap soal hak menguji berkaitan denganpaham demokrasi liberal dan trias politika yangtidak dianut oleh Pembukaan UUD 1945. Dia me-nyatakan:

“Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam

Harun Alrasidadalah Guru

BesarHukum Tata

Negara FakultasHukum Univer-sitas Indonesia

HAK MENGUJI DALAM TEORI DAN PRAKTEK

Oleh HARUN ALRASID

Mengkaji kedudukan MK melalui wewenang yang diberikan undang-undang, Harun Alrasid menemukan dua hal yang perlu dilu-ruskan. Menurutnya MK bukan penafsir Undang-Undang Dasar atauundang-undang; dan Putusan MK juga bukan putusan final.

Page 95: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Harun Alrasid

94

rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang tidak memakaisistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklahbahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentukundang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin,supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk)undang-undang”.

Selanjutnya Supomo mengatakan.“... dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli

tata-negara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu.Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok danbiasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpre-tasidemikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B punbisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau ada perselisihan tentang soal,apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis,tetapi soal politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktekbegitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undangdan Undang- Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistimitu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita bentuk!”

Alasan Supomo yang kedua ialah sebagai berikut:“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan

mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidakmempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harusmengingat juga bahwa di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktuWeimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial,constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulumengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kitabelum begitu banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga,ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda saya kirabelum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Nyatalah, bahwa alasan Supomo yang kedua itu sifatnya kondi-sional. Kalau sudah banyak terdapat ahli hukum tata negara, maka dapat

Page 96: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 95Harun Alrasid

saja dilakukan hak menguji (toetsingrecht, judicial review), baik oleh MahkamahAgung maupun oleh Mahkamah Konstitusi.

Mengenai alasan Supomo yang pertama, memang sistempemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidak menganut teoritrias politica secara murni. Kita tidak memakai sistim “checks and balances”yang merupakan implementasi teori trias politika sehingga kekuasaankehakiman memiliki kewenangan untuk mengawasi kekuasaanmembentuk undang-undang. Namun, terlepas dari soal demokrasi li-beral dan trias politika, sebenarnya hak menguji itu inheren dengan tugashakim. Seperti dikatakan oleh Prof. Kleintjes, hak menguji itu, baik dalamarti formal maupun dalam arti material, pada hakekatnya melekat padatugas hakim. Selama tidak diingkari, hak tersebut dimiliki oleh hakim,yang bukan saja merupakan hak tetap juga merupakan kewajiban.2

Perlu dicatat bahwa Dokter Radjiman, sebagai Ketua BadanPenyelidik, mengajukan masalah hak, menguji itu kepada sidang yaituapakah akan menerima atau menolak usulan Yamin. Namun dalamnotulen sidang ternyata hasilnya tidak dicantumkan (atau mungkin jugadihilangkan).

2.Posisi Mahkamah Agunq/Mahkamah Konstitusi

Arti Hak MengujiDengan tidak tercantumnya hak menguji dalam UUD 1945, Prof.

Wolhoff memberikan pendapat yang senada dengan Prof. Kleintjes.Wolhoff mengatakan:3

Yang menarik perhatian ialah bahwa Konstitusi 19 Agustus 1945tidak memuat ketentuan yang melarang kepada Hakim untuk mengujiundang-undang terhadap konstitusi. Bahwa undang-undang dapatmelarangnya kepada Hakim sukar diperta-hankan dan karena ituKonstitusi ini membuka kemungkinan bahwa Mahkamah Agung -sebagai Hakim kasasi- berkembang menjadi “Interpreter of theConstitution” seperti “Supreme Court” di U.S.A.”

Jadi, Wolhoff berpendapat bahwa pembuat undang-undang tidakboleh melarang hakim untuk melakukan pengujian, sehingga MahkamahAgung, sebagai penafsir konstitusi berwenang menguji apakah suatu

Page 97: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Harun Alrasid

96

undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar, yangnotabene derajatnya lebih tinggi daripada undang-undang. Di AmerikaSerikat, Mahkamah Agung disebut sebagai “The guardian of the Constitu-tion”. Perlu dicatat bahwa istilah “hak menguji” berbeda dengan “judicialreview”. Kalau kita berbicara mengenai “hak menguji”, maka orientasinyaialah ke kontinental Eropah (Belanda), sedangkan “judicial review”orientasinya ialah ke Amerika Serikat.

Dalam literatur hukum Belanda dan Indonesia, istilah “hakmenguji” mencakup dua macam pengertian, yaitu formal dan mate-rial.Yang dimaksud dengan “hak menguii formal” (formele toetsingsrecht)ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakah suatu produk legislatiftelah dibuat secara sah.

Yang dimaksud dengan “hak menguji material” (materieletoetsingrecht) ialah kewenangan hakim untuk menyelidiki apakahkekuasaan/organ yang membuat suatu peraturan berwenang untukmengeluarkan peraturan yang bersangkutan, dan, apakah isi peraturantersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang dikeluarkan olehpembuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.4

Kalau kita menyebut judicial review, maka kita beralih ke sistemperadilan Amerika Serikat. Hakim berwenang membatalkan tindakanpemerintah pusat yang dianggapnya bertentangan dengan undang-undang dasar, baik itu tindakan presiden (eksekutif) maupun tindakankongres (legislatif), dan juga tindakan pemerintah negara bagian.5

Berbicara tentang judicial review tidak bisa dilepaskan dari kajianterhadap kasus yang sangat terkenal dalam dunia hukum Amerika, yaitu“Marbury versus Madison” (1803), yang mengorbitkan nama JohnMarshall, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diangkat olehPresiden John Adams (1801). Dengan bangga Presiden Adamsmengenang tindakannya itu dengan mengatakan, “My gift of John Marshallto the people of the United States was the proudest act of my life”. Sebelumnya,John Marshall memangku jabatan Sekretary of States. Komentar PatriciaAcheson terhadap karya Agung John Marshal ialah, sbb:6

“singel-mind, brilliant and determined, he set out to strenghthenthe federal government and to estabilish once and for all the dignityand supremacy of the supreme court.”

Page 98: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 97Harun Alrasid

3. Hak menguji dalam Orde BaruDalam tata hukum Indonesia, soal hak menguji mula-mula diatur

dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26, yang bunyinya;(1) Mahkamah Agung berweneng untuk menyatakan tidak sah semua

peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dariundang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan per-undang-undangan yang lebih tinggi.

(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaandalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yangdinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersang-kutan.

Meskipun sudah ada diatur namun kemudian dalam KetetapanMPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan hubungan tatakerjalembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga-lembaga tingginegara (yang kemudian diganti oleh Ketetapan MPR No.III/MPR/1978, tanpa perubahan redaksi, Pasal 11 ayat (4) tercantum ketentuansebagai berikut:

“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secaramateriil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang”.

Kemudian, hak menguji diatur lagi dalam undang-undang No.14Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam bab III yang berjudul“Kekuasaan Mahkamah Agung”, Pasal 31, terdapat kaidah sebagaiberikut:(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil

hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturanperundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-

Page 99: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Harun Alrasid

98

undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaandalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undanganyang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansiyang bersangkutan.

4. Hak Menguji Dalam Era ReformasiDalam Pasal 5 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,terdapat aturan hukum sebagai berikut:(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Per-musyawaratan Rakyat.

(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-un-dangan di bawah undang-undang.

(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakantanpa melalui proses peradilan kasasi.

(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana di-maksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.

Nyatalah bahwa yang berfungsi sebagai penafsir Undang-UndangDasar (The interpreter of the Constitution) ialah Majelis PermusyawaratanRakyat, bukan Mahkamah Agung (Supreme Court) atau MahkamahKonstitusi (Constitutional Court), sebagaimana lazimnya di manca negara,sedangkan yang berfungsi sebagai penafsir Undang-Undang (The Inter-preter of the Law/Act of Parliament) ialah Mahkamah Agung.

Perlu juga diketahui Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000 tentangPenugasan kepada Badan Pekerja MPR agar mempersiapkan RancanganPerubahan UUD 1945, khususnya mengenai perubahan Bab IX (Ke-kuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum), Pasal 25B tentangpembentukan Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan MahkamahAgung, yang memberikan putusan pada tingkat pertama dan terakhiratas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar un-dang-undang, serta menjalankan wewenang lainnya yang diberikan olehundang-undang.

Page 100: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 99Harun Alrasid

5. Perubahan Ketiga UUD 1945: Pembentukan MahkamahKonstitusi

Sebuah tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraanIndonesia ialah dibentuk Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Per-musyawaratan Rakyat waktu melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945(9 November 2001). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MahkamahAgung dan Mahkamah Konstitusi.

Wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalamPasal 24C ayat (1), ialah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yangkewenangannya dibe-rikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuspembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasilpemilihan umum. Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertamadan terakhir dan putusan Mah-kamah Konstitusi bersifat final, yaitulangsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak terdapat upayahukum untuk mengubahnya.

Selain daripada itu, berdasarkan Pasal 24C, ayat (2), juncto Pasal7B, Mahkamah Konstitusi juga berwenang untuk memeriksa, mengadili,dan memutus mengenai pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwaPresiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukumberupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidanaberat lainnya, atau penbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presidendan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presidendan/atau Wakil Presiden.7 Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidakfinal karena tunduk pada (subject to) putusan Majelis PermusyawaratanRakyat, lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal7A). Jadi, berbeda dengan di Amerika Serikat yang mendahulukan prosespolitik daripada proses hukum.

(Endnotes)

1 Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945 (Jakarta: Yayasan Prapanca, Jilid Pertama, 1959), hal. 341-3.

2 (Prof.) Mr Ph. Kleintjes, Staatsintelingen van Nederlandsch-Indie,(Amsterdam: J.H. De Bussy, 1932), hal. 385:

“Dit toetsingsrecht zoowel in formeelen als in materieelen zin ligt in den aard der

Page 101: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Harun Alrasid

100

rechterlijke werkzaamheid. Van rechtswege komt het den rechter toe: zo wet hem niet isontnemen, heeft hij heeft hij dit recht, hetwelk niet enkel een bevoegdheid, doch tevens eenverplichting tot toetsen in zich bevat.”

3 Prof. Drs. G. J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara RepublikIndonesia, cet. Kedua (Jakarta: Timun Mas, 1960), hal. 80-81.

4 Ibid. Kleintjes:

“Het formele toetsingsrecht is de bevoegdheid van de rechter om te onderzoeken, ofeen legislatief product op wettelijke wijze is tot stand gekomen.”

“Het materiele toetsingsrecht is de bevoegdheid van de rechter om te onderzoeken ofde verordenende macht bevoegd was de door haar vastgestelde regelilng te geven, en, of deinhoud van die regeling niet in verboden strijd is met voorschriften, afkomstig van eenwetgevend ogaan van hogere orde.”

5 Jerome Barron dan Thomas Dienes, Constitutional Law in a Nutshell, (St.Paul, Minnesota: West Publishing Company, 1986), hal. 4:

“The unique contribution of the United States to political theory is the doctrine ofjudicial review. Under this doctrine, the courts have the power to invalidate governmentalaction as repugnant to the Constitution. It extends to the acts of the national executiveand Congress as well as the activities of state governments.”

Sungguh menarik problema yang diajukan oleh Rostow:

“Why should a majority of nine Justices appointed for life be permitted to outlaw asunconstitutional the acts of elected officials or of officers controlled by elected officials?”

Eugene Rostow, “The Democratic Character of Judicial Review”, dimuatdalam Selected Essays on Constitutional Law, Association of American Law Schools,(St. Paul, Minnesota: West Publishing Co., 1963), hal. 2.

6 Patricia C. Acheson, The Supreme Court. America’s Judicial Heritage, (NewYork: Dodd, Mead & Co., 1961), hal. 40.

7 Bandingkan dengan ketentuan mengenai “impeachment” dalamKonstitusi Amerka Serikat yang bunyinya:

“The President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall beremoved from office on Impeachment for, and Conviction of, Treason, Bribery, and otherHigh Crimes and Misdemeanors.”

Page 102: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 101Denny Indrayana

Negara hukum adalah negara yang menolakmelepaskan kekuasaan tanpa kendali. Negara yangpola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dandemokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harustunduk pada ‘aturan main’. Negara hukum mengaturagar institusi negara menjadi mesin organisasi yangbekerja efektif melalui mekanisme saling kontrol.Monopoli kekuasaan di satu tangan institusi, apalagiindividu, adalah larangan mutlak dalam negarahukum. Di samping itu, negara hukum juga menja-min penghormatan hak-hak dasar warga negara.

Perlu digarisbawahi, mengikuti pendapatLindsey, terminologi negara hukum (a nation of law)dalam artikel ini dimaksudkan sama dengan konseprule of law yang diadopsi banyak negara ‘Barat’.1Meski Bell berpendapat, ‘negara hukum’ dalamkonteks hukum Indonesia lebih mendekati konsephukum kontinental seperti Rechtsstaat (Belanda) atauetat de droit (Perancis) dibandingkan konsep rule oflaw di negara-negara Anglo-Saxon.2 Posisi untuktidak terlalu membedakan konsep rule of law danrechtsstaat disebabkan antara lain karena, persamaan

DennyIndrayana

adalah dosenHukum TataNegara UGM,

kandidat doktor diUniversity

of Melbourne.

Negara Hukum Indonesia Pasca Soeharto:TRANSISI MENUJU DEMOKRASI VS. KORUPSI

Oleh DENNY INDRAYANA

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan dasar konstitusionalbagi lahir dan tumbuhnya negara hukum. Namun jaminan konstit-usional itu tidaklah cukup. Banyak tantangan dan hambatan untukmenerapkan jaminan konstitusi tersebut ke dalam tindak nyatakehidupan bernegara. Menurut Denny Indrayana, salah satunyaadalah praktik korupsi yang masih menggila, utamanya korupsi didunia hukum itu sendiri.

Page 103: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

102

mendasar di antara keduanya. Sebagaimana diungkapkan Barber,conceptions of the Rechtsstaat resemble conceptions of the rule of

law: both concepts provide similar answers to similar questions. Thestarting point for each is an investigation of what it means for aperson be governed by law, as opposed to being subject to the dictatesof the powerful.3

Indonesia, secara formil, sudah sejak tahun 1945 mendeklarasikandiri sebagai negara hukum. Terbukti dalam Penjelasan UUD 1945 pernahtegas dinyatakan, Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum danbukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka. Tetapi, sejarahmembuktikan bahwa, negara hukum belum pernah secara riil hadir dibumi pertiwi. Sejak masa kemerdekaan, negara hukum Indonesia hanyaada dalam tataran impian, jauh dari kenyataan. Dalam realitas dulu dankini, negara hukum justru paralel dengan ketidakadilan; sama denganpenindasan oleh elit penguasa atas rakyatnya; atau muncul dalam wajahpenjarahan keuangan negara melalui merajalelanya praktik korupsi.

Artikel ini, dalam bagian awal, menegaskan dan melakukan kilasbalik singkat bahwa, sejak tahun 1945 hingga 1998, konsep negarahukum tidak pernah secara nyata lahir dalam kehidupan bangsa Indo-nesia. Selanjutnya, penulis berargumen, konsep negara hukum lebihterjamin di dalam UUD 1945 setelah reformasi konstitusi 1999—2002dibandingkan sebelum proses amandemen UUD. Akhirnya, penulisberargumen bahwa jaminan konstitusi atas negara hukum itu menjadifaktor pendorong proses transisi Indonesia dari pemerintahan otoriterala Soeharto ke pemerintahan yang lebih demokratis. Namun, satu halutama yang perlu diwaspadai adalah korupsi. Praktik korupsi yangmerajalela berpotensi menjadi ‘pembajak’ proses transisi Indonesiamenuju demokrasi. Dalam kaitan dengan negara hukum, maka praktikkorupsi peradilan (judicial corruption) berpotensi menjadi ‘pembajak’utama lahirnya negara hukum Indonesia pasca pemerintahan otoriterSoeharto.

A. Impian Negara Hukum Indonesia: 1945 hingga 1998Pada tahun 1945 hingga 1949, negara hukum belum menemukan

bentuknya karena kesibukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Page 104: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 103Denny Indrayana

Mulai 1949 hingga 1959, di era demokrasi liberal, benih negara hukumsebenarnya sudah mulai tumbuh. Sayangnya, benih itu layu ‘dibajak’kehadiran Demokrasi Terpimpin, yang lahir mulai 1959 hingga 1966.4Adnan Buyung Nasution menyatakan model demokrasi yang dicetuskanSoekarno merupakan formula politik yang mendorong lahirnyapemerintahan otoriter.5 Vatikiotis dalam bahasa sindiran mengatakan,penerapan Demokrasi Terpimpin sebenarnya adalah upaya politik-hukum Soekarno untuk memonopoli kekuasaan negara, meski akhirnyaia justru terjebak dan jatuh ke dalam pusaran kekuasaan itu sendiri.6

Pada masa pemerintahan Orde Baru, sejak 1966 hingga 1998,alih-alih membatasi kekuasaan, hukum justru digunakan untuk menumpukkekuasaan dan kekayaan pribadi. Hukum dimanipulasi menjadi hambasahaya segelintir penguasa dan pengusaha. Pemanipulasian ini terjadikarena, Presiden Soeharto menguasai nyaris semua kekuasaan negara.Dalam bahasa Liddle:

the political structure of the New Order can be described as asteeply-ascending pyramid in which the heights are thoroughlydominated by a single office, the presidency.7

Mengapa demikian? Salah satu persoalan utama dari negara hukumIndonesia terletak pada aturan dasar bernegara itu sendiri: UUD 1945.Konstitusi yang dipersiapkan dalam jangka waktu lebih kurang dari 20hari kerja ini,8 adalah dokumen yang jauh dari sempurna untuk menjaminlahirnya negara hukum yang demokratis. MPR hadir sebagai parlemensuper, yang mempunyai kekuasaan tak terbatas; Presiden tidak hanyamenjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga memegang kekuasaanmembuat undang-undang; perlindungan hak asasi manusia sangat minim.

Presiden Soeharto memanfaatkan betul kelemahan UUD 1945itu. Dengan menguasai proses rekrutmen MPR, melalui rekayasa undang-undang susunan dan kedudukan parlemen. Hasilnya, Soeharto lebihmenjadi raja, bukan presiden. Tidak adanya forum dan mekanismehukum untuk menginterpretasi aturan konstitusi, dan menguji peraturanperundangan terhadap konstitusi, menyebabkan kekuasaan nyataSoeharto semakin lepas kendali. Pada kenyataannya, interpretasi Soehartoatas konstitusilah yang berlaku. Salah satu akibatnya, proses suksesipresiden, sebagai syarat lahirnya kepemimpinan yang demokratis, tidak

Page 105: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

104

berjalan.Kelemahan konstitusi ala UUD 1945, untuk menjamin lahirnya

negara hukum, bukan monopoli pengalaman Indonesia. Keberadaankonstitusi memang bukan jaminan lahirnya negara hukum, negara yangdemokratis. Bogdanor secara tegas mengatakan, “Constitutions are not, ofcourse confined to democratic states”.9 Wheare menegaskan, banyak negara diabad ke-20, hidup ‘bertopeng’ konstitusi, tetapi keberadaan hukum dasaritu sebenarnya lebih diacuhkan, bahkan dilecehkan.10 Terlebih bilakonstitusi itu kurang mempunyai mekanisme yang baik untuk mencegahkorupnya kekuasaan negara. Konstitusi demikian adalah konstitusi pura-pura (façade constitution).

Konstitusi pura-pura ada di banyak negara dunia ketiga di: Afrika,Eropa Timur dan Tengah, Amerika Latin dan Asia. Okoth-Ogendo,misalnya, menulis bahwa konstitusi di mayoritas negara di benua Afrikabanyak yang mati. Jikalaupun ada, konstitusi tidak mempunyai spiritkonstitusionalisme (constitutions without constitutionalism). 11 Kecuali di AfrikaSelatan, yang telah relatif berhasil melakukan reformasi konstitusinya dibawah kepemimpinan Presiden Nelson Mandela.

B.Negara Hukum dan Hasil Amandemen UUD 1945Berangkat dari kesadaran bahwa, masalah utama negara hukum

Indonesia adalah UUD 1945 yang bersifat otoritarian, maka salah satuagenda utama pasca Soeharto adalah reformasi konstitusi.

Hasilnya, proses Perubahan Pertama hingga Keempat UUD 1945,di tahun 1999 – 2002, sebenarnya tidak terlalu disiplin menganut metodeamandemen konstitusi yang demokratis. Mengacu pengklasifikasianSaunders, misalnya, proses amandemen tidak secara tegas melakukantahapan-tahapan agenda setting, development design dan approval.12 Tidakada satu konsep awal ke mana amandemen UUD 1945 akan diarahkan.Jikalaupun ada, konsep reformasi konstitusi baru ditemukan belakangansecara kebetulan (by accident) dan bukan karena perencanaan (by design).Jakob Tobing, Ketua Panitia Ad Hoc I MPR, yang mempersiapkanrancangan Perubahan Kedua, Ketiga dan Keempat mengakui bahwakonsep amandemen ditemukan,

… by coincidence. Each member of the Committee (PAH 1) haddifferent goals. But after three years of intense negotiation and

Page 106: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 105Denny Indrayana

working together … we had finally achieved the common goals thatwe had been fighting for together.13

Proses pelibatan masyarakat pun relatif tidak terprogram denganbaik. Dalam Perubahan Kedua dan Keempat, memang sempat adaprogram penyerapan aspirasi masyarakat, namun program serupa sepidilakukan ketika penyusunan Perubahan Pertama dan Ketiga. Diban-dingkan dengan proses partisipasi masyarakat di reformasi konstitusiyang dilakukan Afrika Selatan, contohnya, reformasi UUD 1945 relatifmasih minimalis.14

Meski demikian, hasil Perubahan Pertama hingga Keempatmempertegas deklarasi negara hukum, dari semula hanya ada di dalamPenjelasan, menjadi bagian dari Batang Tubuh UUD 1945.15 Konseppemisahan kekuasaan negara di tegaskan. MPR tidak lagi mempunyaikekuasaan yang tak terbatas. Presiden tidak lagi memegang kekuasaanmembentuk UU, tetapi hanya berhak mengajukan dan membahasRUU.16 Kekuasaan legislatif diserahkan kembali kepada lembaga yangberhak, DPR. Lebih jauh, untuk beberapa hal – khususnya yang berkaitandengan isu regional – Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dibentuk dandilibatkan dalam proses legislasi.17

Sistem pemilihan umum diatur dalam Perubahan Ketiga,18 setelahsebelumnya sama sekali tidak disebut dalam UUD 1945. Oemar SenoAdji berpendapat, “Pemilihan Umum dan bebas adalah fundamenteel bagiNegara Hukum.”19 Akuntabilitas anggota parlemen diharapkan semakintinggi, karena seluruh anggota DPR dan DPD dipilih langsung olehrakyat.20 Pemilihan langsung juga diterapkan bagi presiden dan wakilpresiden.21 Periodisasi lembaga kepresidenan dibatasi secara tegas.Seseorang hanya dapat dipilih sebagai presiden maksimal dalam duakali periode jabatan.22 Namun, kontrol partai politik yang memonopolipengajuan calon presiden dan wakil presiden, dan tidak dimungkinkannyacalon presiden independen, merupakan salah satu unsur yang menguranginilai kelangsungan pemilihan presiden oleh rakyat.23

Akuntabilitas politik melalui proses rekrutmen anggota parlemendan presiden yang langsung, diperkuat lagi dengan sistem pemberhentianmereka jika melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dankonstitusi. Meski, aturan impeachment presiden lebih rinci dibandingkan

Page 107: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

106

pemecatan anggota parlemen yang penjabarannya diatur dalam undang-undang.24

Kekuasaan kehakiman yang mandiri diangkat dari Penjelasanmenjadi materi Batang Tubuh UUD 1945. Seno Adji menegaskan,“pengadilan yang bebas merupakan suatu syarat yang indispensable dalamsuatu masyarakat di bawah Rule of Law.”25 Lebih jauh, MahkamahKonstitusi dibentuk untuk mengawal kemurnian fungsi dan manfaatkonstitusi. Karenanya, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi ada-lah melakukan constitutional review, menguji keabsahan aturan undang-undang bila dihadapkan kepada aturan konstitusi.26

Dalam hal perlindungan hak asasi manusia (HAM), PerubahanKedua memberikan jaminan yang jauh lebih komprehensif dibandingkandengan aturan sebelum amandemen. Lindsey memuji perlindunganHAM pasca Perubahan Kedua yang menurutnya impresif dan jauhlebih lengkap dibandingkan banyak negara berkembang.27 Meski polemiktentang asas non-retroaktif dalam Pasal 28 (I) menyebabkan beberapakalangan masih mengkritik aturan HAM tersebut.28

Dari beberapa penekanan hasil amandemen UUD 1945 di atas,dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum, aturan konstitusi pascaamandemen lebih menguatkan konsep negara hukum Indonesia.Kesimpulan ini didasarkan pada persandingan antara hasil amandemendengan kriteria negara hukum berdasarkan doktrin. Hans Kelsen,misalnya, dalam kaitan negara hukum yang juga merupakan negarademokratis, mengargumentasikan empat syarat rechtsstaat, yaitu: (1) negarayang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan undang-undang, yangproses pembuatannya dilakukan oleh parlemen. Anggota-anggota par-lemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; (2) negara yang mengaturmekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yangdilakukan oleh elit negara; (3) negara yang menjamin kemerdekaan ke-kuasaan kehakiman; dan (4) negara yang melindungi hak-hak asasi ma-nusia.29

Kriteria dalam bahasa yang lain, namun sama secara substansi,diajukan oleh Saunders dan Le Roy. Keduanya menyatakan bahwa ruleof law mempunyai tiga prinsip utama, yaitu: (1) pemerintahan harusberjalan berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya; (2) aturanhukum inilah yang harus dilaksanakan dan berlaku; dan (3) perselisihan

Page 108: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 107Denny Indrayana

atas aturan tersebut harus diselesaikan melalui mekanisme yangdemokratis.30

Berdasarkan paparan di atas, sekali lagi, dapat ditarik kesimpulanbahwa hasil amandemen UUD 1945 lebih memberikan dasar konstitu-sional bagi lahir dan tumbuhnya negara hukum. Meski demikian, tentu,jaminan konstitusional yang lebih baik itu saja tidaklah cukup. Banyaktantangan dan hambatan untuk menerapkan jaminan konstitusi tersebutke dalam tindak nyata kehidupan bernegara. Salah satu hambatan utamaterwujudnya negara hukum Indonesia yang sebenarnya adalah: praktikkorupsi yang masih menggila, utamanya korupsi di dunia hukum itusendiri.

C. Harapan Negara Hukum Indonesia dan Tantangan KorupsiJaminan konstitusi yang lebih baik atas negara hukum adalah buah

reformasi konstitusi di era transisi dari pemerintahan otoriter di zamanSoeharto. Masa transisi memang bermuka dua. Di satu sisi, keser-batidakpastian dan keserbamungkinan pasti mengiringi masa transisi.31

Hasil proses transisi belum tentu negara yang demokratis, tetapi tidakjarang reinkarnasi negara otoriter dalam bentuk yang baru.32 Di sisi lain,era transisi adalah suatu golden moment untuk melakukan reformasikonstitusi.

(1) Transisi dan Reformasi KonstitusiElster berpendapat bahwa ada delapan situasi di mana reformasi

konstitusi lebih mudah dilakukan, yaitu di masa: (1) krisis ekonomi dansosial; (2) revolusi; (3) kejatuhan suatu rezim; (4) ketakutan akan jatuhnyasuatu rezim; (5) kekalahan dari suatu perang; (6) rekonstruksi setelahperang; (7) pembentukan negara baru; dan (8) kemerdekaan daripenjajahan.33 Berpendapat senada, McWhinney mengatakan,

… successful acts of Constitution codification almost consistentlyhappens in, or immediately after, such difficult periods, or after periodsof great public enthusiasm which are followed by public euphoria.34

Setelah reformasi konstitusi, perjalanan mencari negara hukumIndonesia masih jauh dari berakhir. Banyak faktor yang masih bisamengganjal. Salah satunya adalah praktik korupsi. Terutama korupsi di

Page 109: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

108

sektor publik, atau yang dilakukan pejabat negara, baik eksekutif, legislatifmaupun yudikatif. Hal ini bukan berarti bahwa korupsi oleh kelompokpengusaha (private) menjadi tidak berbahaya. Namun dalam praktiknya,korupsi publik lebih mempunyai daya rusak yang tinggi karena pelakunyamempunyai kekuasaan di pemerintahan, parlemen atau pengadilan.Korupsi private yang lebih berbahaya, karenanya, adalah korupsi yangberkarakter kolusi atau nepotisme antara penguasa (publik) denganpengusaha (private).

(2) Bahaya “Political Corruption”DeCoste menamakan korupsi oleh pejabat publik ini sebagai

‘political corruption’ 35 yang diartikannya sebagai, “the debasement of the foun-dations or origins of a political community.” 36 Lebih jauh DeCoste berpendapatbahwa korupsi private ‘hanya’ menyangkut ‘personal morality’ sedangkankorupsi publik menyangkut ‘political morality’.37 Scheppele juga me-ngatakan political corruption terjadi jika yang dirugikan adalah kepenting-an masyarakat luas. Sedangkan personal corruption terjadi jika yang dilakukanadalah transaksi pribadi dan yang menderita kerugian juga hanya or-ang-perorang.38 DeCoste, karenanya, menyimpulkan bahwa korupsipejabat publik lebih sistemik dan lebih merusak. Dalam bahasanya:

… it is quite proper to characterize political corruption, but notprivate corruption, as “a systemic concept,” since “political corruptionviolates and undermines the norms of the system of public order,”and not just the dictates of some, generally contestable, view of personalmorality.39

Senada dengan DeCoste, Sartori secara lugas mengatakan, “po-litical corruption has indeed reached the point at which it corrupts politics.”40

Dalam konteks Indonesia pasca Soeharto, banyak indikasi yangmengatakan bahwa korupsi masih menjadi wabah yang sulit diberantas.Banyak survei internasional yang menyatakan bahwa Indonesia adalahnegara terkorup di dunia. Tanpa survei sekalipun, sebenarnya, maraknyakorupsi dapat dirasakan dalam keseharian kita berbangsa.

Korupsi berjalan seiring dengan penumpukan kekuasaan yangtidak terkontrol. Di era Soeharto, paralel dengan dimonopolinya kekua-saan oleh Soeharto, korupsi lebih tersentralisasi dan menumpuk di

Page 110: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 109Denny Indrayana

Soeharto, keluarga cendana dan kroninya. Lindsey menyebut korupsi dizaman Orde Baru ini telah menjadi sistem yang justru menjalankan negara,meski secara informal.41

Di era pasca Soeharto seiring dengan desentralisasi dan menguat-nya kekuasaan parlemen, korupsi juga marak di daerah. Tidak adanyakontrol terhadap kekuasaan DPR Propinsi dan DPR Kabupaten/Kota,menyebabkan korupsi ‘berjamaah’ di parlemen terjadi di banyak daerah.Hal itu tidak berarti korupsi di tingkat pusat berkurang. Yang ada hanyaperubahan corak dari korupsi yang terpusat, menjadi korupsi yangmenyebar.

(3) Korupsi dan Negara HukumBerkaitan dengan negara hukum, DeCoste mengatakan bahwa,

rule of law adalah inti dari moralitas politik.42 Karenanya, pejabat publikyang melakukan korupsi tidak hanya merusak hubungan antara manusia,tetapi juga menghancurkan komunitas politik, meluluhlantakkan cita-cita negara hukum. Pada tataran kehidupan, korupsi hadir dalam bentukkemiskinan. Dalam konferensi persnya tanggal 28 Agustus 2002, Trans-parency International menyatakan dengan tepat,

Corrupt political elites in the developing world, working hand-in-hand with greedy business people and unscrupulous investors, areputting private gain before the welfare of citizens and the economicdevelopment of their countries.43

Korupsi pejabat publik semakin parah dan membahayakan nasibnegara hukum karena sistem hukum sendiri terjangkiti penyakit korupsitersebut. Praktik korupsi yang dilakukan aparat hukum menyebabkankerusakan akibat korupsi semakin tak terbendung. Jikalau bentengperadilan bebas dari korupsi, maka pejabat eksekutif maupun legislatifyang korup dapat dihukum secara maksimal. Namun, karena peradilansendiri juga korup, maka upaya hukum untuk memberikan efek jerapada koruptor menjadi mandul. Dengan demikian, korupsi – baik pri-vate maupun publik – menjadi lebih sulit di berantas jikalau judicial cor-ruption tidak dibasmi terlebih dahulu.

Page 111: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

110

(4) Korupsi Peradilan dan Peran Strategis MahkamahAgung dan Mahkamah Konstitusi

Tidak mudah untuk menghidupkan semangat memberantasmafia korupsi di peradilan, terlebih di saat stadiumnya sudah pada tahapyang justru mematikan. Namun, salah satu cara efektif untuk membe-rantas korupsi adalah dengan memberantasnya melalui puncak kekuasaan.Dalam konteks korupsi peradilan, pemberantasan akan lebih efektifbila dilakukan di dua mahkamah peradilan: Mahkamah Agung danMahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung sebagai garda tertinggi peradilan kasus-kasuskorupsi seharusnya menjadi titik awal pembersihan dari sarang hakimagung dan pejabat peradilan yang korup. Dengan membersihkanMahkamah Agung, maka perkara-perkara korupsi yang mungkin dihukum ringan di tingkat bawah dapat diberi keputusan yang lebih berat.Sebaliknya, meski pengadilan bawah sudah menghukum berat, namunjika Mahkamah Agung masih dikuasai hakim dan pejabat yang korup,maka justru koruptor dapat melenggang bebas melalui proses kasasi.

Terlebih, kebersihan atau kekotoran Mahkamah Agung seharusnyaberbanding lurus dengan kebersihan atau kekotoran peradilan dibawahnya. Karena, saat ini administrasi kehakiman sudah menjadi kewe-nangan Mahkamah Agung, dari semula merupakan kewenanganDepartemen Kehakiman dan HAM. Karenanya, bila Mahkamah Agungbersih, dengan pola reward and punishment yang baik, cenderung akanmenciptakan pengadilan di bawahnya yang juga bersih, begitu pulasebaliknya.

Berkait dengan pembersihan Mahkamah Agung inilah, menjadimendesak untuk segera membentuk Komisi Yudisial yang secarakonstitusional dapat, “mengusulkan pengangkatan hakim agung danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkankehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”44 Proses rek-rutmen di tingkat Komisi Yudisial ini penting untuk mencegah buruknyaproses seleksi pejabat-pejabat publik di DPR. Kasus terakhir yang berkaitdengan seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, di mana DPRjustru tidak meloloskan calon-calon pemimpin yang dikenal berintegritasanti-korupsi, merupakan pelajaran berharga bahwa proses seleksi pejabatpublik di DPR tidak bisa diharapkan.

Page 112: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 111Denny Indrayana

Peran Mahkamah Konstitusi dalam pemberantasan korupsi jugatidak kalah strategis. Konstitusi sudah memberikan kewenangan kepadaMahkamah Konstitusi untuk dapat memeriksa pemberhentian presidendan/atau wakil presiden dalam hal DPR berpendapat yang bersangkutanmelakukan korupsi (atau masalah hukum lain sebagaimana diatur dalamkonstitusi).

Ke depan, perlu dipikirkan bahwa proses pemberhentian anggotaDPR dan DPD, serta hakim-hakim Agung juga dapat dilakukan olehMahkamah Konstitusi. Untuk itu konstitusi sebaiknya di amandemenguna memperluas konsep impeachment, sehingga tidak hanya berlaku untukpemberhentian petinggi eksekutif namun juga berlaku untuk pember-hentian anggota parlemen atau hakim agung yang melakukan korupsi.Mekanisme ‘dewan kehormatan’ baik di parlemen maupun di MahkamahAgung, yang memeriksa secara internal kasus-kasus yang menyangkutanggota parlemen ataupun hakim agung, sebaiknya ditiadakan. Prosespemeriksaan internal itu cenderung kolutif dan seringkali berakhir dengankeputusan yang justru melindungi hakim atau anggota parlemen yangbermasalah.

Di samping masalah-masalah pemecatan pejabat negara yangkorup, dari kewenangannya yang sekarang, Mahkamah Konstitusi jugamempunyai peran yang strategis untuk memandulkan money politics dalampemilu. Hal itu dapat dilakukan melalui kewenangan untuk menyelesaikansengketa hasil pemilu. Bila kelompok politisi bersih melihat secara jelipeluang ini, maka seharusnya mereka sudah mengumpulkan bukti danmempersiapkan diri untuk menggunakan forum di Mahkamah Konsti-tusi guna menuju proses pemilu yang lebih jujur dan adil.

Dengan kewenangan yang relatif bergesekan terus dengan konflikpolitik, Mahkamah Konstitusi dapat menjadi motor penggerak bagiterciptanya sistem politik yang lebih bermoral, lebih bersih, lebihmenghormati aturan main. Tantangan dari Mahkamah Konstitusi adalahgodaan dari dalam dirinya sendiri untuk justru terlibat secara aktif dalamkonflik politik. Mahkamah Konstitusi harus membatasi dirinya sematapada pertimbangan hukum, dan tidak masuk ke dalam ranah pertim-bangan politik, terlebih politik praktis. Hal itu pula yang menjadi catatanBowring untuk peran strategis Russian Constitutional Court, yaitu garisdemarkasi untuk tidak terlibat dalam pertarungan politik.45

Page 113: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

112

Tentu saja pembersihan dan pemberdayaan Mahkamah Agungdan Mahkamah Konstitusi dalam memberantas korupsi tidak serta mertamenjamin lahirnya negara hukum Indonesia, dan memuluskan prosestransisi menuju demokrasi. Yang sudah pasti adalah, korupsi tidak akanbisa seiring sejalan dengan transisi menuju negara hukum yang demok-ratis. Korupsi bukan kawan, tetapi lawan abadi dari negara hukum,apalagi yang sedang bertransisi menuju demokrasi. Sebagaimana dika-takan Heymann:

One critical relationship between corruption and democracy isthus that corruption can deeply undermine support for democracy inany fragile democracy.46

Endnotes

1 Timothy Lindsey, “From Rule of Law to Law of the Rulers – to Refor-mation?” dalam Timothy Lindsey (editor) Indonesia Law and Society (1999) 13.

2 Gary F. Bell, ‘The New Indonesian Laws Relating to Regional Autonomy:Good Intentions, Confusing Laws’ dalam University of Hawaii Asian-Pacific Law& Policy Journal (2001) 3—4.

3 N.W. Barber, “The Rechtsstaat and the Rule of Law” dalam University ofToronto Law Journal (2003) 444.

4 Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959, (1966) 12, berpendapat bahwa benih Demokrasi Terpimpin sebenarnyasudah lahir sejak 1957. Inilah tahun di mana Soekarno mulai menerapkan daruratmiliter di seluruh wilayah Indonesia, yang secara nyata mengakhiri era demokrasiliberal.

5 Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government inIndonesia: a Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, (1992) 297.

6 Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall ofthe New Order, (1998) 7.

7 William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (1996) 18.8 Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia:

Perubahan Pertama UUD 1945, (2000) 6.9 Vernon Bogdanor (editor), Constitutions in Democratic Politics, (1988) 3.10 K.C. Wheare, Modern Constitutions, (1958) 5-6.11 H.W.O. Okoth-Ogendo, “Constitution without Constitutionalism: Re-

flections on an African Political Paradox” dalam Constitutionalism and Democracy:Transition in the Contemporary World,(1993) 65-82.

12 Cheryl Saunders, “Women and Constitution Making” (makalah dalamthe International Conference on “Women Peace Building and ConstitutionMaking”, Columbo, Sri Lanka, 2–6 May 2002) 5-13.

Page 114: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 113Denny Indrayana

13 Van Zorge Report, ‘Most People Didn’t Realize What Was HappeningUntil It Was Too Late’ (2002) <http://www.vanzorge report.com/report/popup/i n d e x . c f m ? f a = S h o w R e p o r t & p k r p t i d = 4 6 2 & C F I D = 3 1 5 6 0 6 &CFTOKEN=71680888> diakses pada 3 Oktober 2003.

14 Denny Indrayana, “Proses Reformasi Konstitusi Transisi (PengalamanIndonesia dan Perbandingannya dengan Afrika Selatan dan Thailand)” dalamKajian (7:2:2002) 94-96.

15 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.16 Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (2) UUD 1945.17 Kekuasaan institusional dan personal DPD sangat terbatas. Bila diban-

dingkan dengan kekuasaan DPR, DPD relatif inferior dalam semua hal. Uraianlebih lanjut, Denny Indrayana, “Ancaman Tirani DPR”, Kompas, 2 September2002.

18 Pasal 22E UUD 1945.19 Oemar Seno Adji, ‘Prasaran’, dalam Indonesia Negara – Hukum (1966) 73.20 Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945.21 Pasal 6A UUD 1945.22 Pasal 7 UUD 1945.23 Denny Indrayana, “Reformasi Hukum Setengah Hati”, Koran Tempo, 24

Juni 2003.24 Pasal 22B dan Pasal 22D ayat (4) UUD 1945.25 Seno Adji, 30.26 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.27 Tim Lindsey, “Indonesian Constitutional Law Reform: Muddling To-

wards Democracy” dalam Singapore Journal of International & Comparative Law(6:2002) 254.

28 Lebih jauh tentang diskusi asas non-retroaktif, Ross Clarke, “Bali Bomb:Retrospectivity and Legal Implications” dalam Australian Journal of Asian Law(5:2003) 2—32.

29 Hans Kelsen, Pure Theory of Law (1967) 313.30 Cheryl Saunders and Katy Le Roy, “Perspective on the Rule of Law”

dalam The Rule of Law (2003) 5.31 Guillermo O’Donnel and Philippe C. Schmitter, “Tentative Conclusion

about Uncertain Democracies” dalam Guillermo O’Donnel, Philippe C.Schmitter dan Laurence Whitehead (editor) Transition from Authoritarian Rule:Prospect for Democracy (1986) 3.

32 Ibid.33 Jon Elster, ‘Forces and Mechanisms in the Constitution-Making Pro-

cess’ dalam Duke Law Journal (1995) 347.34 Edward McWhinney, Constitution-making: Principles, Process, Practices (1981)

15.35 F.C. De Coste, “Political Corruption, Judicial Selection, and the Rule of

Law” dalam Alberta Law Review (2000:38) 655—657.36 Ibid, 656.37 Ibid, 655-656.38 Kim Lane Scheppele, “The Inevitable Corruption of Transition” dalam Con-

Page 115: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Denny Indrayana

114

necticut Journal of International Law (14:1999) 511.39 DeCoste, 657.40 Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering (1997) 145.41 Tim Lindsey, “History Always Repeats? Corruption, Culture, and Asian

Values” dalam Tim Lindsey dan Howard Dick (editor) Corruption in Asia: Re-thinking the Governance Paradigm (2002) 14-16.

42 DeCoste, 658.43 Transparency International, “Corrupt political elites and unscrupulous

investors kill sustainable growth in its tracks” (28 Agustus 2002)44 Pasal 24B (1) UUD 1945.45 Bill Bowring, “Politics versus the Rule of Law in the Work of the

Russian Constitutional Court” dalam Jiri Priban dan James Young (editor) TheRule of Law in Central Europe (1999) 258-260.

46 Philip B. Heymann, “Democracy and Corruption” dalam Fordham Inter-national Law Journal (20:1996) 327.

Daftar Pustaka

Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia:a Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 (1992).

Cheryl Saunders and Katy Le Roy, “Perspective on the Rule of Law” dalam TheRule of Law (2003).

Cheryl Saunders, “Women and Constitution Making” (makalah dalam theInternational Conference on “Women Peace Building and ConstitutionMaking”, Columbo, Sri Lanka, 2–6 May 2002).

Daniel S. Lev, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959(1966).

Denny Indrayana, “Ancaman Tirani DPR”, Kompas, 2 September 2002.Denny Indrayana, “Proses Reformasi Konstitusi Transisi (Pengalaman Indonesia

dan Perbandingannya dengan Afrika Selatan dan Thailand)” dalam Kajian(7:2:2002).

Denny Indrayana, “Reformasi Hukum Setengah Hati”, Koran Tempo, 24 Juni2003.

Edward McWhinney, Constitution-making: Principles, Process, Practices (1981).F.C. De Coste, Political Corruption, Judicial Selection, and the Rule of Law dalam

Alberta Law Review (2000:38).Gary F. Bell, The New Indonesian Laws Relating to Regional Autonomy: Good Intentions,

Confusing Laws dalam University of Hawaii Asian-Pacific Law & Policy Journal(2001).

Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering (1997).Guillermo O’Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead (editor),

Transition from Authoritarian Rule: Prospect for Democracy (1986).H.W.O. Okoth-Ogendo, “Constitution without Constitutionalism: Reflections

on an African Political Paradox” dalam Constitutionalism and Democracy:Transition in the Contemporary World (1993).

Page 116: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 115Denny Indrayana

Hans Kelsen, Pure Theory of Law (1967).Jiri Priban dan James Young (editor), The Rule of Law in Central Europe (1999).Jon Elster, “Forces and Mechanisms in the Constitution-Making Process” dalam

Duke Law Journal (1995).K.C. Wheare, Modern Constitutions (1958).Kim Lane Scheppele, “The Inevitable Corruption of Transition” dalam

Connecticut Journal of International Law (14:1999)Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of the

New Order (1998).N.W. Barber, “The Rechtsstaat and the Rule of Law” dalam University of Toronto

Law Journal (2003).Oemar Seno Adji, ‘Prasaran’, dalam Indonesia Negara – Hukum (1966).Philip B. Heymann, “Democracy and Corruption” dalam Fordham International

Law Journal (20:1996)Ross Clarke, ‘Bali Bomb: Retrospectivity and Legal Implications’ dalam Australian

Journal of Asian Law (5:2003).Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan

Pertama UUD 1945 (2000).Tim Lindsey dan Howard Dick (editor), Corruption in Asia: Rethinking the

Governance Paradigm (2002).Tim Lindsey, “Indonesian Constitutional Law Reform: Muddling Towards

Democracy” dalam Singapore Journal of International & Comparative Law(6:2002).

Timothy Lindsey (editor), Indonesia Law and Society (1999).Transparency International, “Corrupt political elites and unscrupulous investors

kill sustainable growth in its tracks” (28 Agustus 2002).Van Zorge Report, ‘Most People Didn’t Realize What Was Happening Until It

Was Too Late’ (2002)<http:/www. vanzorgereport.com/report/popup/index. cfm?fa=Show Report& pk_rpt_id=462& CFID=315606&CFTOKEN= 71680888> diakses pada 3 Oktober 2003.

Vernon Bogdanor (editor), Constitutions in Democratic Politics (1988).William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996).

Page 117: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

116

PENATAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT:Sistem Trikameral di Tengah Supremasi

Dewan Perwakilan Rakyat

Oleh SALDI ISRA

Menuju Sistem BikameralSecara umum, struktur organisasi lembaga

perwakilan rakyat terdiri dari dua bentuk yaitulembaga perwakilan rakyat satu kamar (unicameral)dan lembaga perwakilan rakyat dua kamar (bicam-eral).1 Praktik unikameral dan bikameral tidak terkaitdengan landasan bernegara, bentuk negara, bentukpemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu.2Kedua bentuk itu merupakan hasil proses panjangpraktik ketatanegaraan di berbagai belahan dunia.3Penerapan sistem bikameral, misalnya, dalampraktiknya sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan,dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersang-kutan.4 Perbedaan latar belakang sejarah atau tujuanyang hendak dicapai menjadi salah satu faktorpenting yang mempengaruhi sistem perwakilanrakyat pada suatu negara.

Di Inggris, misalnya, sistem bikameral terdiridari Majelis Tinggi (The House of Lord) dan Majelis

Saldi Israadalah DosenHukum TataNegara FakultasHukum Universi-tas Andalas,Padang.

Amandemen UUD 1945 membawa implikasi yang sangat luasterhadap semua lembaga negara. Benarkah semua itu meng-ganti sistem unikameral (dengan supremasi MPR) menjadisistem bikameral? Menurut Saldi Isra, penataan lembagaperwakilan rakyat pasca-amandemen UUD 1945 belum mampumewujudkan mekanisme checks and balances karena perubahanyang dilakukan hanya menggeser pendulum dari supremasi MPRmenjadi supremasi DPR.

Page 118: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 117Saldi Isra

Rendah (The House of Commons). Menurut Irving Stevens, pada awalnya,Majelis Tinggi merupakan anggota dewan raja (the king’s council) yangberasal dari petinggi militer dan penasehat lainnya yang dipercayai raja.Kemudian, demokratisasi dan tumbuhnya kelas sosial baru (kelasmenengah) memunculkan gagasan untuk menyeimbangkan lembagaperwakilan rakyat yang dapat merepresentasikan rakyat secara lebih luas.Gagasan itu mendorong munculnya “kamar kedua” yang disebut denganMajelis Rendah. 5

Berbeda dengan Inggris, sistem bikameral di Amerika Serikat(AS) terdiri dari Senate (senat) sebagai Majelis Tinggi dan House of Repre-sentatives (DPR) sebagai Majelis Rendah. Berdasarkan sejarahketatanegaraan AS, pilihan pada sistem bikameral adalah merupakanhasil kompromi antara negara bagian yang berpenduduk banyak dengannegara bagian yang berpenduduk sedikit.6 Senat mewakili negara bagian(state) dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negarabagian. Sementara itu, anggota DPR ditentukan berdasarkan jumlahpenduduk.

Di Indonesia, sistem bikameral bukan hanya perdebatan yangmuncul selama era reformasi. Jauh hari sebelumnya, ketika berlakuKonstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, sistem bikameralsudah “disepakati” menjadi model sistem perwakilan Indonesia. DalamBab III Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat danDewan Perwakilan Rakyat adalah alat perlengkapan federal RepublikIndonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan Pasal 80 KRIS,Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitudua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai MajelisRendah, DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150anggota.

Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan danpada 17 Agustus 1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 digantidengan UUD Sementara 1950, dukungan terhadap sistem bikameralbelum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi baru yangdilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadisalah satu opsi bentuk lembaga perwakilan rakyat.7 Sayangnya, usahaKonstituante tidak dapat diselesaikan secara tuntas karena ConstitutionalAssembly yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1955

Page 119: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

118

dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir. 8

Gagasan sistem bikameral yang mengalami “mati suri” sekitarempat dasawarsa kembali menemukan momentum seiring dengankuatnya desakan untuk melakukan “reformasi total” terhadap UUD1945 pada awal era reformasi. Buktinya, Sidang Tahunan MPR 2001berhasil mencapai kesepakatan mendasar untuk membentuk “kamarkedua” setelah DPR di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutanDewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Ramlan Surbakti, adabeberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yangmasing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusipenduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampaubesar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkanaspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materiil yangsangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom sepertidaerah istimewa dan otonomi khusus.9

Sejalan dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang adabeberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar.a. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu

mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badanperwakilan.

b. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badanperwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yanglangsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah.Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakilidan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.

c. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen(membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkanAPBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerahterintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatanparlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkanpersatuan, menghindari disintegrasi.

d. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenangdapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantungpada satu badan seperti DPR sekarang.10

Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, kedua pendapat diatas menghendaki sistem bikameral dengan kewenangan yang relatif

Page 120: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 119Saldi Isra

berimbang antara kedua kamar/majelis di lembaga perwakilan rakyat(strong bicameralism), bukan soft bicameralism yang menjadikan satu kamaratau majelis mempunyai kekuatan lebih ketimbang yang lainnya.Biasanya, dengan strong bicameralism, mekanisme chekcs and balances di antarakedua kamar/majelis dapat berjalan lebih seimbang. Terkait denganhali ini, Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya dua majelis disuatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semuaproduk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksadua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasaapabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancanganitu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari MajelisRendah.11 Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameralbukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapidilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui duadewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.12

Bagaimana semua gagasan di atas diletakkan dalam hasil per-ubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terutama dalam penataanlembaga perwakilan rakyat? Pertanyaan ini menjadi sangat penting karenaamandemen UUD 1945 membawa implikasi yang sangat luas terhadapsemua lembaga negara. Pada salah satu sisi, ada lembaga negara yangmendapat tambahan ‘darah baru’ yaitu dengan bertambahnya kewe-nangan secara signifikan di dalam konstitusi. Sementara di sisi lain, adapula lembaga negara yang mengalami pengurangan kewenangandibandingkan dengan sebelum dilakukan perubahan. Tidak hanya itu,ada pula lembaga negara yang dihilangkah karena dinilai tidak relevanlagi bagi kebutuhan penyelenggaraan negara ke depan. Di antara semuaitu, lembaga perwakilan rakyat termasuk yang paling banyak mengalamiperubahan dan penataan.

Khusus bagi lembaga perwakilan rakyat, perubahan sudah dimulaisejak Amandemen Pertama pada Sidang Umum Majelis Permusya-waratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Amandemen Pertama “berhasil”mengurangi secara mendasar kekuasaan presiden dan menambahkekuasaan DPR secara berarti dalam praktik ketatanegaraan.13 Kemudian,Amandemen Kedua semakin mengukuhkan penguatan peran DPR.14

Selanjutnya, Amandemen Ketiga melakukan penataan lembagaperwakilan rakyat dari sistem unikameral (dengan supremasi MPR)

Page 121: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

120

menuju sistem bikameral.15 Terakhir, Amandemen Keempat dilakukanuntuk melengkapi bagian-bagian yang masih “menggantung” dalamtiga perubahan sebelumnya, termasuk penataan komposisi MPR16

Perubahan-perubahan mendasar itu memunculkan pertanyaan,benarkah semua itu mengganti sistem unikameral (dengan supremasiMPR) menjadi sistem bikameral? Pertanyaan ini sangat terkait denganberbagai kritik terhadap lembaga perwakilan rakyat pasca-amandemenUUD 1945. Misalnya, penataan lembaga perwakilan rakyat belum akanmampu mewujudkan mekanisme checks and balances karena perubahanyang dilakukan hanya menggeser pendulum dari supremasi MPR menjadisupremasi DPR.17 Lebih dari itu, rumusan UUD 1945 yang baru samasekali tidak mencerminkan konsep sistem perwakilan dua kamar.18

Bahkan, dengan adanya keanggotaan dan kewenangan tersendiri MPRdalam UUD 1945, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembagaperwakilan rakyat Indonesia.19

Semua kritik yang muncul terhadap lembaga perwakilan rakyatpacsa-amandemen UUD 1945 sangat mendasar dan masuk akal.Alasannya, salah satu tujuan utama perubahan UUD 1945 adalah untukmenata keseimbangan (checks and balances) antarlembaga negara.Hubungan itu ditata sedemikian rupa agar tidak terjadi pemusatankekuasaan pada salah satu institusi negara saja. Apalagi, the central goal ofa constitution is to create the precondition for well-functioning democratic order.20

Dengan terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara,kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis tidak mungkin diwu-judkan.

Tulisan ini berusaha membahas lembaga perwakilan rakyat pasca-amandemen UUD 1945. Pilihan ini didasarkan pada pertimbanganmasih banyak perdebatan tentang sistem lembaga perwakilan rakyat,apakah menganut sistem bikameral atau sistem trikameral. Pembahasandidasarkan pada aturan yang terdapat dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk).

Lembaga Perwakilan Rakyat Pasca-Amandemen UUD 1945Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indone-

sia mengenal MPR sebagai lembaga negara tertinggi. Di bawahnya

Page 122: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 121Saldi Isra

terdapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga tinggitermasuk DPR. Dalam kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liegiallein bei der Majelis) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruhrakyat Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes). Sementaraitu, DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan bahwakedudukan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa presidensungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD1945 atau oleh MPR, maka DPR dapat mengundang MPR untuk menye-lenggarakan Sidang Istimewa guna meminta pertanggungan jawabpresiden.21 Meskipun disebutkan bahwa kedudukan DPR adalah kuat,dalam perjalanannya, keberadaan DPR lebih merupakan alat legitimasipresiden. Fungsi-fungsi konstitusional (legislasi, pengawasan, dan ang-garan) DPR dapat dikatakan lumpuh total.

Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan, fungsi legislasiyang sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemenUUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulumitu dapat dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1)UUD 1945 dari presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang denganpersetujuan DPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undangkepada DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presidendalam proses pembentukan undang-undang. Perubahan ini pentingartinya karena undang-undang adalah produk hukum yang palingdominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yangterdapat dalam UUD 1945.

Kemudian, perubahan Pasal 5 Ayat (1) diikuti dengan menga-mandemen Pasal 20 UUD 1945 menjadi: (1) DPR mempunyai kekuasaanmembentuk undang-undang; (2) setiap rancangan undang-undangdibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama;(3) jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersa-ma, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalampersidangan DPR masa itu; (4) presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang;dan (5) dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersamatersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak

Page 123: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

122

rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undangtersebut sah menjadi uandang-undang dan wajib diundangkan.22

Selanjutnya, Amanademen Kedua UUD 1945 juga memunculkanketentuan baru yang semakin memperkokoh posisi DPR. Ketentuanitu dirumuskan dalam Pasal 20A UUD 1945, yaitu (1) DPR memilikifungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalammelaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lainUUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hakmenyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lainUUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan,menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; dan (4) Ketentuanlebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalamundang-undang.

Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amandemen menem-patkan DPR sebagai lembaga penentu kata-putus dalam bentuk memberi“persetujuan” terhadap beberapa agenda kenegaraan yang meliputi: (1)menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian dengan negaralain;23 (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkanakibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait denganbeban keuangan negara;24 (3) menetapkan peraturan pemerintahpengganti undang-undang menjadi undang-undang;25 (4) pengangkatanHakim Agung;26 (5) pengangkatan dan pemberhentian anggota KomisiYudisial.27 Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga “pertim-bangan” DPR, seperti: (1) pengangkatan Duta;28 (2) menerima penem-patan duta negara lain;29 dan (3) pemberian amnesti dan abolisi.30 Kekua-saan DPR bertambah komplit dengan adanya kewenangan untuk mengisibeberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota BadanPemeriksa Keuangan31, menentukan tiga dari sembilan orang hakimMahkamah Konstitusi32, dan (3) menjadi institusi yang paling menentukandalam proses pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies) sepertiKomisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum. Catatanini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertim-bangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kepala KepolisianNegara RI (Kapolri).

Posisi DPR dalam UUD 1945 memunculkan pertanyaan lainyang tidak kalah pentingnya, bagaimana dengan kewenangan DPD

Page 124: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 123Saldi Isra

sebagai kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat?Secara jujur harus diakui, keberhasilan membentuk kamar kedua

di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan DPD dalam Sidang TahunMPR 2001 tidak terjadi seperti membalik telapak tangan. Selama pemba-hasan berkembang kontroversi yang mengemuka yaitu adanya kekhawa-tiran bahwa eksistensi DPD akan memporakporandakan bangunanNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disinyalir, keberadaanDPD akan mengurangi efektifitas kebijakan pusat terhadap daerah.Ujung-ujungnya, DPD dituding mengusung semagat federasi yang sangatbertentangan dengan negara kesatuan.33 Padahal, seperti disebutkan padabagian terdahulu, tidak ada hubungan antara sistem bikameral denganbentuk federalisme.

Meskipun mengundang kontroversi, kehadiran DPD sudah tidakterhindari lagi. Bahkan, lembaga baru ini diatur dalam ketentuan yangsama sekali baru, yaitu Bab VIIA tentang DPD. Eksistensi DPDdinyatakan dalam Pasal 22C UUD 1945, yaitu (1) anggota DewanPerwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum,(2) anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnyasama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidaklebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, (3)Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun;dan (4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur deng-an undang-undang.

Berkenaan dengan kewenangan, DPD (1) dapat mengajukankepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomidaerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran sertapenggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber dayaekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuanganpusat dan daerah;34 (2) ikut membahas rancangan undang-undang yangberkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pem-bentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sum-ber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitandengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikanpertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaranpendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;35 dan(3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

Page 125: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

124

mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukandan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber dayaalam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran penda-patan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyam-paikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertim-bangan untuk ditindaklanjuti.36

Kalau kewenangan DPR dan DPD diletakkan dalam gagasanmenciptakan bikameral dengan kewenangan yang relatif seimbang, makadapat dapat dikatakan bahwa sistem bikameral Indonesia dibangundalam model soft bicameralism. Padahal, dari perkembangan pemikiranselama berlangsungnya Amandemen UUD 1945 bahwa penataanlembaga perwakilan rakyat diletakan dalam model strong bicameralismyaitu dengan memberikan kewenangan yang relatif berimbang antaraDPR dan DPD. Semua ini bertujuan agar mekanisme chekcs and balancesdapat berjalan relatif seimbang antara DPR dan DPD. Beberapa pen-jelasan berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD.

Pertama, dalam fungsi legislasi. Perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPRmempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan penambahan Pasal 20AAyat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasantidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi presiden37 tetapimemunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Olehkarena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancanganundang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusatdan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, sertayang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalamPasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakanbahwa DPD mempuyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasiharus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampaimenyetujui sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang.

Banyak pendapat mengatakan, perubahan Pasal 20 Ayat (1) dankehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangattegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadimonopoli DPR.38 Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral,kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi

Page 126: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 125Saldi Isra

berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto)rancangan undang-undang dari Majelis Rendah. Sekiranya hak itu jugatidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan (rancangan,penulis) undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menundapengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggijika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.39

Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, lembagasemacam DPD (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besaruntuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya di Aus-tralia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, menelitiulang setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh MajelisRendah, yaitu House of Representatives (DPR). Dan, kedua, melalui three-fold committee system40 mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannyapemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yangsama dengan DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu rancangan un-dang-undang.41

Kedua, dalam fungsi anggaran. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945menyatakan,...memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi legislasi,dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi anggaran yangsangat terbatas yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepadaDPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN.Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil saja penggunaan hakdalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untukmengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan ang-garan seperti DPR. Menurut Kevin Evans, kalau kesempatan itu tidakada, Majelis Tinggi seharusnya diberi hak menunda persetujuan ran-cangan APBN.42

Ketiga, fungsi pengawasan. Tidak berbeda dengan fungsi legislasidan fungsi anggaran, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyaikewenangan yang sangat terbatas.43 Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksa-naan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusatdan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan

Page 127: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

126

daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomilainnya, (e) pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f)pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikankepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantahbahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan sub-ordinasidari DPR. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakandua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepen-tingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagalkarena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalanini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah padasetiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikiansulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagaipelengkap dalam lembaga perwakilan rakyat.

Di samping itu, munculnya rumusan “reaktif ” Pasal 7C yangmenyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkanDPR. Sulit dibantah, Pasal 7C muncul sebagai reaksi terhadap sikapmantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untukmembubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraanke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihanuntuk tetap mempertahankan sistem presidensiil. Di samping itu, ru-musan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya yaitumengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanyaDPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan olehPresiden?

Ketidakseimbangan antara DPD dan DPR juga dapat dicermatidalam proses pemberhantian presiden dan/atau wakil presiden di tengahmasa jabatannya (impeachment).44 Berdasarakan Pasal 7B Ayat (1) sampaiAyat (6) UUD 1945, usul pemberhentian dapat diajukan kepada MPRdengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MahkamahKonstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRapabila presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi ketentuan yangterdapat dalam Pasal 7A UUD 1945. Kalau Mahkamah Konstitusi mem-benarkan pendapat DPR, maka MPR akan menyelenggarakan sidanguntuk memutus usul DPR. Untuk itu, Pasal 7B Ayat (7) UUD 1945menentukan, keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/

Page 128: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 127Saldi Isra

atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yangdihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujuioleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Kalau ditelaah ketentuan kuorum yang dalam proses impeachmentdi MPR, peran DPD dapat diabaikan. Saat ini jumlah anggota DPR550 orang45 dan anggota DPD 128 orang46. Berarti anggota MPRberjumlah 678 orang. Menurut Refly Harun, impeachment dapat dilakukantanpa melibatkan DPD karena jumlah anggota DPR yang 550 orangsudah lebih dari ¾ jumlah anggota MPR hanya berjumlah 508 orang.Hal yang sama juga berlaku dalam proses perubahan UUD 1945.47

Celakanya, menurut Refly Harun lagi, konstitusi menyatakan bahwabahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Artinya,kehadiran DPD dalam MPR tidak bersifat kelembagaan, melainkanperseorangan. Seandainya interpretasi konstitusi dipaksakan bahwa MPRada apabila ada anggota DPR dan DPD yang hadir sekaligus, tanpakehadiran anggota DPD maka forum MPR tidak absah, cukup bagiDPR untuk seorang saja anggota DPD agar forum MPR menjadi sah.48

Lalu bagaimana dengan MPR?Seperti dinyatakan terdahulu, para pendiri negara (the founding

fathers) menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yangmembawahi beberapa lembaga tinggi negara. Meski demikian, menurutH.M. Laica Marzuki, keliru MPR diberi kekuasaan tidak terbatas. Haldimaksud mengakibatkan anarkhi, lagi pula –secara contrario in adjecto(‘tegenstrijdigheid door de toevoeging’)— berhadapan dengan sistem konsti-tusional (hukum dasar) yang justru tidak menghendaki bangunan peme-rintahan yang absolut, dengan kekuasaan yang tidak terbatas.49

Setelah amandemen, MPR tidak lagi berkedudukan sebagailembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untukkeluar dari perangkap disain ketatanegaraan yang rancu dalam mencip-takan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara.Perubahan ini dapat dilihat dari adanya keberanian untuk ‘memulihkan’kedaulatan rakyat dengan mengamandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPRmenjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Page 129: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

128

Hilangnya prediket MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat,diikuti langkah besar lainnya yaitu dengan mengamandemen ketentuanyang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golonganmenjadi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerahyang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2)dan Pasal 2 ayat (1) berimplikasi pada reposisi peran MPR dari lembagatertinggi negara (supreme body) menjadi gabungan antara DPR dan DPD.50

Sementara itu, amandemen UUD 1945 juga berimplikasi kepadakewenangan MPR. Sebelumnya, MPR mempunyai kewenangan politikyang sangat strategis dalam praktik ketatanegaraan karena berwenangmenetapkan garis-garis besar daripada haluan negara51 serta memilihpresiden dan wakil presiden.52 Kini, berdasarkan hasil amandemen UUD1945 mempunyai wewenang yaitu (1) berwenang mengubah dan me-netapkan UUD;53 (2) melantik presiden dan/atau wakil presiden;54 (3)memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masajabatannya menurut UUD;55 dan (4) jika presiden dan wakil presidenmangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakankewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR memilihpresiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakilpresiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politikyang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suaraterbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,sampai berakhir masa jabatannya.56

Mencermati penataan lembaga perwakilan rakyat di atas, adabeberapa poin penting yang dapat dikemukakan.

Pertama, perubahan UUD 1945, baik langsung mapun tidaklangsung, mendorong DPR menjadi lembaga supreme di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Dengan kondisi seperti itu, kalau pada awalnyaada anggapan bahwa perubahan UUD 1945 menggeser paradigmaexecutive heavy menjadi legislative heavy, melihat pergeseran yang terjadi,anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Yang terjadi sesungguhnya adalahDPR heavy karena kehadiran DPD hanya sebagai pelengkap penderitadalam lembaga perwakilan rakyat. Besar kemungkinan, dalam praktikketatanegaraan ke depan akan muncul concentration of power and responsi-bility upon the DPR, seperti kekuasaan Presiden di bawah UUD 1945

Page 130: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 129Saldi Isra

sebelum dilakukan amandemen.Kedua, melihat kewenangan dan tata cara pengisian anggota DPD,

hasil perubahan mempunyai sikap mendua. Pada salah satu sisi, dengankewenangan DPD yang begitu lemah terhadap DPR, perubahan UUD1945 telah melahirkan soft bicameralism. Sementara di sisi lain, dengancara pengisian keanggotaan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum,tersirat ada keinginan untuk menghadirkan strong bicameralism. Bahkan,karena setiap provinsi hanya diwakili oleh empat orang, pengisiankeanggotaan DPD hampir dapat dipastikan lebih berat dibandingkandengan pengisian keanggotaan DPR.

Ketiga, Melihat rumusan yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1)UUD 1945 hasil amandemen, sulit untuk mengatakan bahwa MPRmerupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dengan DPD.Dalam pandangan Bagir Manan, MPR menjadi wadah badan perwakilantersendiri karena susunan yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Dalam susunan dua kamar, bukan anggotayang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggotayang menjadi unsur, maka MPR adalah badan yang berdiri sendiri.57

Dengan demikian, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembagaperwakilan rakyat. Artinya, hasil perubahan UUD 1945 meletakkanlembaga perwakilan rakyat ke dalam sistem trikameral.

UU Susduk: MengukuhkanHegemoni DPR dan Sistem Trikameral

Ketika Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susunandan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) masihdalam tahap pembahasan (baca: rancangan), banyak kalangan berharapagar DPR memperjelas beberapa persoalan mendua yang terdapat dalamUUD 1945 terutama memaknai kembali semangat strong bicameralism.Hasilnya, “jauh panggang dari api”, UU Susduk semakin memperkuathegemoni DPR dan mengukuhkan sistem trikameral.

Khusus terhadap DPD, hegemoni DPR dapat dilihat perbedaantugas dan wewenang antara DPR dan DPD yang terdapat dalam Pasal26 Ayat (1) UU Susduk. Pasal 26 Ayat (1) UU Susduk secara detailmenyebutkan tugas dan wewenang DPR yang meliputi:a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk

Page 131: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

130

mendapat persetujuan bersama;b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang;c. menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang

diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu danmengikutsertakannya dalam pembahasan;

d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undangAPBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,pendidikan, dan agama;

e. menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikanpertimbangan DPD;

f. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah;

g. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan olehDPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomidaerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hu-bungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya eko-nomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

h. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperha-tikan pertimbangan DPD;

i. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertang-gungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;

j. memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan danpemberhentian anggota Komisi Yudisial;

k. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KomisiYudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden;

l. memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan menga-jukannya kepada presiden untuk ditetapkan;

m. memberikan pertimbangan kepada presiden untuk mengangkat duta,menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertim-bangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;

n. memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang,membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain, serta mem-buat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yangluas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan bebankeuangan negara dan/atau pembentukan undang-undang;

Page 132: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 131Saldi Isra

o. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasimasyarakat; dan

p. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalamundang-undang.

Sementara itu, tugas dan wewenang DPD yang terdapat dalamPasal 42 UU Susduk sangat terbatas, yaitu:(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, penge-lolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya sertayang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD mengusulkan rancangan undang-undang sebagaimanadimaksud pada ayat (1) kepada DPR dan DPR mengundang DPDuntuk membahas sesuai tata tertib DPR.

(3) Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud padaayat (2) dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada ayat (1) dengan pemerintah.

Pada salah satu sisi, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,DPR mempunyai: (1) hak interpelasi, (2) hak angket, dan (3) hak menya-takan pendapat.58 Di luar hak institusi, anggota DPR juga diberi hak, diantaranya: (1) mengajukan rancangan undang-undang, (2) mengajukanpertanyaan, (3) menyampaikan usul dan pendapat, dan (4) imunitas.59

Sementara di sisi lain, DPD hanya berhak mengajukan dan ikut mem-bahas rancangan undang-undang sebagai mana dimaksukan dalam Pasal22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Bahkan, khusus untuk penggunaanhak angket, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa.60 Kalau penggilanpaksa itu tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, DPR dapat melakukanpenyanderaan.61 Melihat rumusan itu, bukan tidak mungkin, suatu ketikaada di antara anggota DPD yang menjadi sandera DPR.

UU Susduk tidak hanya mengukuhkan hegemoni DPR tetapijuga memperjelas dan mengukuhkan lembaga perwakilan rakyat dengansistem trikameral. Kalau di tingkat konsitusi trikameral dapat dipahamikarena adanya frase dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkanbahwa “susunan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota

Page 133: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

132

DPD”, dalam UU Susduk yang penegasan sebagai lembaga perwakilanrakyat trikameral diuraikan secara rinci. Misalnya, keharusan anggotaMPR mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebelum memangkujabatannya.62 Padahal, sebelum memangku jabatan sebagai anggota DPRdan DPD meraka juga diambil sumpahnya.

Peneguhan trikameral semakin kelihatan dengan adanya ketentuanpergantian antarwaktu anggota DPR, DPD, dan MPR. Pasal 84 UUSusduk menyatakan: (1) pergantian antarwaktu anggota MPR terjadiapabila terjadi pergantian antarwaktu anggota DPR atau DPD, dan (2)peberhentian dan pengangkatan penggantian antarwaktu anggota MPRdiresmikan dengan Keputusan Presiden. Sebenarnya, khusus bagianggota MPR, tidak diperlukan lagi pergantian antarwaktu karenapergantian antarwaktu anggota MPR dengan sendirinya terkait denganpergantian antarwaktu angota DPR dan DPD.63

PenutupDalam pidato penutupan Sidang Tahunan 2002, Ketua MPR

Amien Rais mengatakan bahwa reformasi konstitusi yang telah dilakukanmerupakan suatu langkah besar demokrasi dalam upaya menyempur-nakan UUD 1945 menjadi konstitusi yang demokratis, konstitusi yangsesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang mampu mewadahi dina-mika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan datang. DenganUUD yang telah diamendir, di hadapan kita telah terbentang suatu eraIndonesia baru yang lebih demokratis dan lebih maju (Kompas, 12/08-2002). Melihat penataan lembaga perwakilan rakyat hasil amandemenUUD 1945, era baru yang lebih demokratis, seperti dikatakan AmienRais, harus diletakkan dalam tanda petik karena ketidakseimbanganantara DPR dan DPD mekanisme checks and balances sulit untuk diwu-judkan.

Dari telaah di tingkat konstitusi, lembaga legislatif pasca-aman-demen UUD 1945 masih belum akan mampu mewujudkan mekanismechecks and balances dalam makna yang hakiki. ‘Langkah besar’ menyem-purnakan UUD 1945 hanya menggeser supremasi MPR ke supremasiDPR. Kalau pun kemudian ada yang berharap, UU Susduk mampumengembalikan susunan lembaga perwakilan rakyat ke sistem bikameral,harapan itu tidak mungkin dilaksanakan karena design UUD 1945 tidak

Page 134: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 133Saldi Isra

menghendaki sistem bikameral, apalagi strong bicameralism.Oleh karena itu, perbaikan kelemahan-kelemahan elementer dalam

struktur lembaga perwakilan rakyat, hanya mungkin dilakukan denganmendorong lembaga legislatif dan pemerintah hasil pemilihan umum2004 melanjutkan kembli reformasi konstitusi. Itu pun hanya mungkindilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi yang independen.

Footnote

1 Lihat, John A. Jacobson, (1998), An Introduction to Political Science, West/Wadsworth, Belmont CA, Washington.

2 Bagir Manan, (2003b), Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Uni-versitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

3 Bivitri Susanti (et.al), (2000), Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai ReposisiMPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebi-jakan Indonesia, Jakarta.

4 Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalamSejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas IndonesiaPress, Jakarta.

5 Inter-Parliamentary Union, (1986), Parliament of the World, A ComparativeReference Compendium, Second Edition, Vol. I, Gower Publishing Company Lim-ited, England, dan Irving Stevens, (1996), Constitutional and Administrative Law ,Edisi Ketiga, Pitman Publishing, London.

6 Pada awal pembentukan Negara Federasi AS, negara bagian yang ber-penduduk besar menghendaki penentuan jumlah perwakilan rakyat berdasarkanjumlah penduduk. Sementara negara bagian yang kecil menghendaki jumlahperwakilan yang merata karena khawatir akan terjadi “marjinalisasi”. Perbedaankedua kubu ini menghasilkan “Kompromi Conecticut” pada tahun 1787 denganmenyepakati, dibentuknya lembaga perwakilan bikameral dalam majelis-majelisyang sama kekuasaan legislatifnya tetapi yang berbeda konstituen dan periodemasa jabatannya. Lebih jauh baca, National Democratic Institute for Interna-tional Affair (NDI), (1996), Satu atau Dua Kamar? Pilihan antara Pola Badan Le-gislatif Unikameral dan Bikameral, (Seri Penelitian); Bivitri Susanti (et.al), op.cit.

7 Bandingkan dengan Kevin Evans, (2002), “Seputar Sistem Bikameral”,dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip LembagaKepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in In-donesia, Jakarta.

8 Lebih jauh tentang hal ini, baca Adnan Buyung Nasution, (1992), TheAspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of Indone-sian Konstituante 1956-1959, Rijksuniversiteit, Utrecht.

9 Ramlan Surbakti, (2002), “Menuju Demokrasi Konstitusional: ReformasiHubungan dan Distribusi Kekuasaan”, dalam Maruto MD dan Anwari WMK(edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju

Page 135: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

134

Demokrasi, LP3ES, Jakarta.10 Bagir Manan, (2003b), Loc.cit.11 Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam

Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas IndonesiaPress, Jakarta.

12 Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan MelaluiPerubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur,Surabaya.

13 Pasal-pasal yang diubah pada Amandemen Pertama meliputi Pasal 5Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2)dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21. Hasilnya, hampir semua mekanismeketatanegaraan bertumpu ke DPR. Misalnya dalam pengangkatan Duta Besar,Presiden mempunyai keharusan untuk memperhatikan pertimbangan DPR,atau dalam memberikan Amnesti dan Abolisi Presiden harus memperhatikanpertimbangan DPR. Bahkan, perubahan terhadap Pasal 5 Ayat (1) berakibatpada melemahnya dominasi Presiden dalam proses pembentukan undang-undang.

14 Pasal-pasal yang diubah dan/atau ditambah pada Amandemen Keduameliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A,Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3),Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E,Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV,Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.

15 Pasal-pasal yang diubah dan/atau ditambah pada Amandemen Ketigameliputi Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6A ayat (1),(2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C;Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA;Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB;Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1) dan(2); Pasal 23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2),(3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); dan Pasal 24C ayat (1), (2),(3), (4), (5), dan (6).

16 Pasal-pasal yang diubah dan/atau ditambah pada Amandemen Keempatmeliputi Pasal 2, Pasal 6A ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 23B, Pasal 24 ayat (3),Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 32 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (4) dan(5), Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5).Perubahan terhadap Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan serta pencabutanterhadap Penjelasan UUD 1945.

17 Saldi Isra, (2003), Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospekdan Tantangan, dalam Jurnal UNISIA, No. 49/XXVI/III, Universitas IslamIndonesia, Yogyakarta.

18 Bagir Manan, (2003a), DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FakultasHukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

19 Jimly Asshiddiqie, (2004), Format Kelembagaan Negara dan PergeseranKekuasaan Dalam UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH

Page 136: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 135Saldi Isra

UII) Press, Yogyakarta. Baca juga, Bivitri Susanti, (2003), “Lembaga PerwakilanRakyat Trikameral, Supremasi DPR dan Sempitnya Ruang DemokrasiPerwakilan”, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 20, Masyarakat IlmuPemerintahan Indonesia (MAPI) Jakarta, dan M. Fajrul Falaakh, (2002),“Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen Berkamar Tiga)”, dalam BambangWidjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (edit.), Konstitusi Baru Melalui KomisiKonstitusi Independen, Koalisi Konstitusi Baru dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

20 Cass R. Sunstein, (2001), Designing Democracy, What Constitution Do,Oxford University Press, New York.

21 Baca kembali Penjelasan UUD 1945 terutama bagian Sistem PemerintahanNegara.

22 Sebelum diamandemen Pasal 20 UUD 1945 menyatakan: (1) Tiap-tiapundang-undang menghendaki persetujuan DPR, dan (2) jika sesuatu rancanganundang-undang tidak mndapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidakboleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

23 Pasal 11 Ayat (1) UUD 194524 Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945.25 Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945.26 Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945.27 Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945.28 Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945.29 Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945. 30 Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.31 Pasal 23F Ayat (1) UUD 1945.32 Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945.33 Bima Arya Sugiarto, (2002), “Sidang Tahunan MPR 2002: Menuju

Institusionalisasi, Menyelamatkan Transisi”, dalam Jurnal Analisis CSIS, TahunXXXI, No. 2, Jakarta.

Menurut Bima Arya Sugiarto, penolakan terhadap DPD sekaligus membukapolemik mengenai hasil Amandemen Kedua atas Pasal 18 UUD 1945 mengenaihubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasal tersebut dipandangmemiliki nuansa federalisme yang sangat kental dengan pernyataan bahwapemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali untuk urusan-urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusanpemerintah pusat.

34 Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945.35 Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945.36 Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945.37 Dalam sistem presidensiil Amareika Serikat, misalnya, Presiden dapat

menolak seluruh bill yang diajukan oleh House of Representative and the Senate.Penolakan ini secara tegas ditentukan dalam Pasal 1 ayat (7) poin 2 KonstitusiAS, all bill which shall have passed the House of Representative and the Senate shall,before it becomes a law, be presented to the President of the US ; if he approve, he shall signit, but if not, he shall return it, with his objections. Penolakan Presiden dapatdimentahkan kalau ternyata 2/3 dari anggota Konggres tetap mendukungrancangan undang-undang itu. Dukungan minimal 2/3 anggota Konggresmenjadikan veto Presiden tidak mempunyai kekuatan.

Page 137: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

136

38 Saldi Isra, (2004), “Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945”,Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Loc.cit.

39 Kevin Evans, (2002), “Seputar Sistem Bikameral”, dalam BambangSubianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPSParamadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

40 Pada tahun 1970, dibentuk tiga komite di Senat yang mempunyaikekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketiga komite itu dikenaldengan three-fold committee system. Ketiga komite dimaksud adalah:

Standing Committees atau Permanent Committees. Komite ini bertanggungjawab mengawasi jalannya administrasi seluruh departemen pemerintah.

Select Committees atau Special Inquiry Adhoc Committees. Komite inimembidangi urusan rumah sakit, kesehatan, peredaran obat, dan segala yangmenyangkut penyalahgunaan obat-obatan, keamanan, hak-hak migran, sertapasar modal.

1. Estimates Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasipenggunaan dana yang dialokasikan ke berbagai departemen pemerintah.

Lebih jauh tentang hal ini baca, Amzulia Rifai, (1994). Pengantar KonstitusiAustralia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

41 Amzulia Rifai, ibid.42 Kevis Evans, (2002), Loc.cit.43 Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan

Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.44 Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, Presiden dan/atau Wakil Presiden

dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyatatas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukanpelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbuktitidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

45 Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentangSusunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRDKabupaten/Kota (UU Susduk) menyatakan, anggota DPR berjumlah 550 or-ang.

46 Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, anggota DPD dari setiapprovinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih darisepertiga jumlah anggota DPR. Kemudian, Pasal 33 Ayat (1) UU Susdukmenyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat or-ang. Karena jumlah provinsi 32, maka jumlah anggota DPD 32x4 orang yaitu128 orang.

47 Refly Harun, (2004), “Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah”, dalamKoran Tempo, 18 Apil, Jakarta. Lihat juga, http://www.korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html

48Ibid.49 HM. Laica Marzuki, (2004), “Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, Sumbangan Tulisan dalamSoewoto Mulyosudarmo, loc.cit.

50 Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, Majelis Permusyawaratan Rakyat

Page 138: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 137Saldi Isra

terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan PerwakilanDaerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut denganundang-undang

51 Baca Pasal 3 UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan.52 Baca Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan.53 Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945.54 Pasal 3 Ayat (2) UUD 1945.55 Pasal 3 Ayat (3) UUD 1945.56 Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945.57 Bagir Manan, (2003a), Loc.cit.58 Pasal 27 UU Susduk.59 Pasal 28 UU Susduk.60 Pasal 30 Ayat (2) UU Susduk.61 Pasal 30 Ayat (4) UU Susduk.62 Pasal 5 Ayat (1) UU Susduk.63Saldi Isra, (2003), “(Makin) Kebablasan, DPR dalam UU Susduk”, dalam

Media Indonesia, 15 Juli, Jakarta. Bandingkan dengan Bivitri Susanti, (2003),Loc.cit.

DAFTAR BACAAN

Adnan Buyung Nasution, (1992), The Aspiration for Constitutional Government inIndonesia: A Socio-Legal Study of Indonesian Konstituante 1956-1959,Rijksuniversiteit, Utrecht.

Agus Haryadi, (2002), “Bikameral Setengah Hati”, dalam Bambang Widjojanto,Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi KonstitusiIndependen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru,Jakarta.

Azumlia Rifai, 1994, Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Bagir Manan, (2003a), DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FakultasHukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

——, (2003b), Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas IslamIndonesia (FH UII) Press, Yogyakarta.

Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (edit.), (2002), Konstitusi BaruMelalui Komisi Konstitusi Independen, Koalisi Konstitusi Baru dan PustakaSinar Harapan, Jakarta.

Bima Arya Sugiarto, (2002), “Sidang Tahunan MPR 2002: Menuju Insti-tusionalisasi, Menyelamatkan Transisi”, dalam Jurnal Analisis CSIS,Tahun XXXI, No. 2, Jakarta.

Bivitri Susanti (et.al), (2000), Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum danKebijakan Indonesia, Jakarta.

Bivitri Susanti, (2003), “Lembaga Perwakilan Rakyat Trikameral, Supremasi DPRdan Sempitnya Ruang Demokrasi Perwakilan”, dalam Jurnal Ilmu

Page 139: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

Saldi Isra

138

Pemerintahan, Edisi 20, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MAPI)Jakarta.

Cass R. Sunstein, (2001), Designing Democracy, What Constitution Do, OxfordUniversity Press, New York.

HM. Laica Marzuki, (2004), “Kedudukan Majelis Permusyawaratan RakyatSetelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945”, Sumbangan Tulisandalam Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan MelaluiPerubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN JawaTimur, Surabaya.

Inter-Parliamentary Union, (1986), Parliament of the World, A Comparative ReferenceCompendium, Second Edition, Vol. I, Gower Publishing CompanyLimited, England.

Irving Stevens, (1996), Constitutional and Administrative Law , Edisi Ketiga, PitmanPublishing, London.

Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah,Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press,Jakarta.

——, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, PusatStudi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,Jakarta.

——, (2004), Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD1945, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Press,Yogyakarta. Baca juga,

John A. Jacobson, (1998), An Introduction to Political Science, West/Wadsworth,Belmont CA, Washington.

Kevin Evans, (2002), “Seputar Sistem Bikameral”, dalam Bambang Subiantoet.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPSParamadina dan Partnership for Governance reform in Indonesia, Jakarta.

Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), (2002), Reformasi Politik dan KekuatanMasyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.

Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan undang-undang Dasar 1945, YayasanPrapandja, Jakarta.

M. Fajrul Falaakh, (2002), “Metamorfosis MPR (Teka-teki Parlemen BerkamarTiga)”, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (edit.),Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Koalisi KonstitusiBaru dan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

National Democratic Institute for International Affair (NDI), (1996), Satu atauDua Kamar? Pilihan antara Pola Badan Legislatif Unikameral dan Bikameral,(Seri Penelitian).

Ramlan Surbakti, (2002), “Menuju Demokrasi Konstitusional: ReformasiHubungan dan Distribusi Kekuasaan”, dalam Maruto MD dan AnwariWMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan PeluangMenuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta.

Refly Harun, (2004), “Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah”, dalam KoranTempo, 18 April, Jakarta. Lihat juga, http://www. korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html

Page 140: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 139Saldi Isra

Saldi Isra, (2002), “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi: MemastikanArah Reformasi Konstitusi”, dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, Nomor 2, Jakarta.

——, (2003), “(Makin) Kebablasan, DPR dalam UU Susduk”, dalam MediaIndonesia, 15 Juli, Jakarta.

——, (2003), “Amandemen Lembaga Legislatif dan Eksekutif: Prospek danTantangan”, dalam Jurnal UNISIA, No. 49/XXVI/III, Universitas IslamIndonesia, Yogyakarta.

——, (2004), ”Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945”, dalamSoewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui PerubahanKonstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur,Surabaya.

Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui PerubahanKonstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur,Surabaya.

Page 141: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

140

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Oleh RM ANANDA B. KUSUMA

Para anggota Majelis PermusyawaratanRakyat bersepakat akan mempertahankan sistempresidensiel yang dikiranya sesuai dengan pikiranpara penyusun UUD 1945. Padahal, para penyusunUUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa sistempemerintahan kita berlainan dengan sistem presi-densiel seperti di Amerika Serikat, Filipina danAmerika Selatan. Sistem pemerintahan kita berbedapula dengan sistem parlementer seperti di Inggris(Yamin, 1959: 339; Risalah III, 1995: 303). Menurutpara Penyusun UUD 1945, kita memakai sistemsendiri (Yamin, 1959: 340; Risalah III, 1995: 340).

Sistem pemerintahan negara dibahas padasidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemer-dekaan (BPUPK) pada tanggal 15 Juli 1945. Pe-rancang utama dan penyunting sistem pemerintahankita adalah Prof. Supomo. Hasil suntingan dimuatdalam Berita Republik lndonesia (BRI) tanggal 15Februari 1946 yang merupakan Penjelasan UUD1945. Dari BRI tersebut terlihat bahwa SistemPemerintahan kita terdiri dari 9 (sembilan) kuncipokok, 7 kunci pokok diberi nomor Romawi (I)sampai dengan (VII) dan 2 kunci pokok tidak diberi

RM AnandaB. Kusuma

adalah PengajarSejarah

KetatanegaraanFakultasHukum

UniversitasIndonesia.

Redaksi: Historika Konstitusi merupakan rubrik tetap yang meng-ulas sejarah Konstitusi Republik Indonesia yang diharapkan dapatmemberikan gambaran tentang perjalanan konstitusi dan konsti-tusionalisme Indonesia sejak awal perumusannya oleh para pendiriRepublik hingga perubahannya oleh generasi penurus pada erareformasi. Diturunkan secara tematis, diasuh oleh Ananda B.Kusuma, pengajar Sejarah Ketatanegaraan di Fakultas HukumUI.

Page 142: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 141RMAB Kusuma

angka Romawi. Tidak tercetaknya angka Romawi di kunci pokok (VIII)dan (IX) itu menimbulkan kontroversi bagaimana sesungguhnya sistempemerintahan kita, apakah terdiri dari 9 atau 7 kunci pokok. Kontro-versi ini dapat dipecahkan bila kita mengingat bahwa definisi sistempemerintahan adalah, antara lain, hubungan antara lembaga tinggi negarayang akan menghasilkan legitimate policy decision. Kunci pokok (VIII) yangmenyatakan bahwa: “DPR tidak bisa dibubarkan oleh Presiden, berbedadengan sistem parlementer” dan kunci pokok (V): “Presiden tidakbertanggung jawab kepada DPR” merupakan hubungan antara legislatifdan eksekutif dalam sistem presidensiel.

Tentang sistem pemerintahan negara Republik IndonesiaKunci pokok sistem pemerintahan kita adalah:

I. Indonesia ialah negara yang berdasar atas Hukum (Rechtsstaat).Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasaratas kekuasaan belaka (Machtstaat).

II. Sistem Konstitusional. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidakberbatas).

III. Kekuasaan Negara yang tertinggi ditangan MPR (Die gesamteStaatgewalt liegt allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang olehsuatu Badan yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, seba-gai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungs organ des Willensdes Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan UUD dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara(Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilahyang memegang kekuasaan yang tertinggi, sedang presiden harusmenjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telahditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis,bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah“mandataris” dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusanMajelis. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.

IV. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah majelis. Dibawah MPR, presiden ialah penyelenggarapemerintah tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara,kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan presiden (concentra-

Page 143: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

142

tion of power and responsibility upon the President).V. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Di samping

Presiden adalah DPR. Presiden harus mendapat persetujuan DPRuntuk membuat Undang-Undang (Gezetsgebung) dan untukmenetapkan dan untuk menetapkan anggaran pendapatan danbelanja negara (“Staatsbegroting”). Oleh karena itu Presiden harusbekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidakbertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presidentidak bergantung kepada Dewan.

VI. Menteri Negara ialah pembantu presiden; Menteri Negara tidakbertanggung jawab kepada DPR. Presiden mengangkat danmemberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidakbertanggung jawab kepada DPR. Kedudukannya tidak tergantungkepada Dewan, akan tetapi tergantung daripada Presiden. Merekaialah pembantu Presiden.

VII. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun KepalaNegara tidak bertanggung jawab kepada Presiden, ia bukan“diktator”, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Diatas telahditegaskan bahwa ia bertanggung jawab kepada MPR. Kecuali ituia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.

Dan dua kunci pokok yang tidak diberi angka Romawi adalah:1. Kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh

presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Selain itu, anggotaDPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Karena itu, DPRdapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jikaDewan menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluannegara, yang telah ditetapkan oleh MPR, majelis itu dapat diundanguntuk persidangan istimewa untuk meminta pertanggung jawabankepada presiden.

2. Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa. Meskipunkedudukan menteri negara bergantung pada presiden, mereka bukanpegawai tinggi biasa. Sebab menteri-menterilah yang terutamamenjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif) dalam praktek.

Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk beluklingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu menteri mempunyai

Page 144: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 143RMAB Kusuma

pengaruh besar terhadap presiden dalam menentukan politik negarayang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialahmenteri itu pemimpin-pemimpin negara.

Sistem pemerintahan kita sering menimbulkan mispersepsi yangperlu diluruskan. Mispersepsi yang sangat perlu dibahas adalah anggapanbahwa sistem pemerintahan kita kurang demokratis karena tidakmengikuti trias politika, yakni pembagian kekuasaan yang ketat (pureseparation of powers)1 seperti di Amerika Serikat.

Mispersepsi itu timbul karena banyak orang yang mengira bahwapemerintahan yang demokratis hanya bisa dilaksanakan dengan triaspolitika seperti di Amerika Serikat.2 Di Indonesia, orang yang terpengaruhkepada sistem Amerika Serikat cukup besar, biasanya karena tidakmempelajari dengan cermat UUD 1945. Salah satu diantaranya adalahAbdurrahman Wahid yang menyebut para Pendiri Negara kita munafik.Perkataan itu dikeluarkan karena Abdurrahman Wahid mengira bahwaPendiri Negara menganut trias politika tetapi tidak mau melaksanakannyadengan sungguh sungguh.

Para penyusun UUD 1945 (Framers of the Constitution) dengansadar menyusun UUD yang khas Indonesia, tanpa trias politika. Asasyang dipakai adalah “pembagian kekuasaan yang tidak ketat” (partialseparation of powers) bukan pure separation of powers3 seperti di AmerikaSerikat. Asas fusion of powers4 (penggabungan/peleburan kekuasaan) sepertidi Inggris juga tidak dipakai. Kedua sistem itu dianggap kurang sesuaibila diterapkan di masyarakat Indonesia.

Kekhasan UUD 1945 antara lain adalah, pembuatan UndangUndang dilakukan bersama oleh presiden dan DPR, sedangkan diAmerika Serikat Undang Undang dibuat oleh Congress5, presiden hanyamempunyai hak veto, tidak secara langsung mempengaruhi terbentuknyaundang-undang.

Kiranya perlu dikemukakan bahwa para pimpinan pergerakankemerdekaan yang tergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (Gapi),pada 31 Januari 1941 menetapkan bentuk pemerintah Indonesia yangdiingini yang merupakan modifikasi dari sistem Amerika Serikat.Persamaannya adalah, presiden mempunyai hak veto; perbedaannya,menteri bertanggung jawab ke parlemen (Pringgodigdo,1970:134).Tetapi, keinginan Gapi tersebut tidak didukung oleh mayoritas anggota

Page 145: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

144

BPUPK yang menyusun UUD.Penyusun UUD juga tidak meniru parlemen di Inggris yang punya

parliamentary sovereignty, yang punya unsur eksekutif. Parlemen terdiri dari3 unsur, yaitu, King/Queen in parliament (unsur eksekutif)6, House of Com-mons dan House of Lords. Disamping itu parlemen mengandung unsurJudicial karena Law Lords yang berada di House of Lords merupakan“Appellate Committee”.7

Parlemen di Inggris merupakan lembaga tertinggi, tempatkedaulatan berada (locus of sovereignty), tempat pembuatan kebijakan yangtertinggi. Undang-undang yang dibuat parlemen (Act of Parliament)dianggap sebagai “supreme law”; berada di atas undang-undang lain yangdibuat lebih dahulu, Common law atau konvensi lainnya. Pengadilan tidakdapat menyatakan Act of parliament tidak konstitusional. Tidak ada yanglebih tinggi (superior) dari Act of Parliament karena adanya Parliamentarysovereignty. Tidak ada Judicial Review. Asas “Lex posteriori derogat legi priori “(Hukum yang terdahulu dihapus oleh hukum yang kemudian) dipakai.

Ciri dari sistem parlementer adalah hanya satu badan yang dipilihlangsung, yakni House of Commons yang menyebabkan adanya parliamen-tary supremacy. Bung Hatta juga mengemukakan bahwa DPR lebih kuatdari Pemerintah karena DPR dipilih secara langsung sedangkanPemerintah tidak (Yamin,1959: 361; Risalah 111,1995: 326)8

MPR juga lembaga tertinggi, tempat kedaulatan berada (locus ofsovereignry), tempat pembuatan kebijakan tertinggi, yakni UUD yangmerupakan undang-undang tertinggi (supreme Law of the Land).

Perbedaannya dengan Inggris adalah, Parlemen membuat satumacam Act of Parliament, sedangkan MPR membuat dua macam undang-undang, yakni UUD yang supreme/superior, yang dilakukan oleh 3 unsuryaitu anggota DPR, utusan golongan dan utusan daerah sedangkanundang-undang dibuat oleh anggota DPR saja, tanpa melibatkan utusandaerah dan utusan golongan.

Di Indonesia berlaku adagium “Lex superiori derogat legi inferiori”(hukum yang lebih tinggi dapat menghapus hukum yang lebih rendah),yang berarti undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD,sedangkan adagium “Lex posteriori derogat legi priori “ tetap berlaku.9 Disemua negara berlaku adagium “Lex Spesialis derogat lex generalis.

Di Indonesia dan Inggris locus of sovereignty terletak di satu lembaga,

Page 146: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 145RMAB Kusuma

sedangkan di Amerika, locus of sovereignty tidak terletak di satu cabangpemerintahan, tetapi terbagi di 3 lembaga, yakni legislative, executive danjudicial; setiap cabang berdaulat (sovereign) di bidangnya masing-masing.Itulah inti dari Checks and Balances (“System that ensure that for every power ingovernment there is an equal and opposite power placed in separate branch to re-strain that force”). Atau “Checks and balances are the constitutional controls wherebyseparate branches of government have limiting powers over each others so that nobranch will become supreme).

Mengenai wewenang Kepala Pemerintahan dalam membuatkebijakan, ketiga sistem pemerintahan mempunyai perbedaan sebagaiberikut:

Di Amerika tidak ada lembaga pemerintahan yang membuatkebijakan tertinggi, yakni konstitusi/UUD. Konstitusi Amerika dibuatdalam Konvensi yang baru dianggap sah setelah diratifikasi oleh 9 diantara13 negara bagian. Konstitusi Amerika menetapkan bahwa amandemenKonstitusi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni diusulkan oleh Con-gress dan kemudian diratifikasi oleh tiga perempat negara bagian. Carakedua adalah, negara bagian mengusulkan dibentuknya Konvensi untukmengamandemen Konstitusi (Article VII) tetapi cara ini tidak pernahdilaksanakan karena rumitnya.

Di Amerika, Presiden sebagai Kepala Negara merangkap KepalaPemerintahan, dapat membuat kebijakan sendiri yang dikemukakannyaselama kampanye untuk pemilihan presiden. Dia secara langsung tidakbertanggung jawab kepada Congress tetapi kebijakannya tidak dapatberjalan kalau anggarannya tidak disetujui Congress. Kalau Congressmenganggap bahwa kebijakannya sesuai dengan Konstitusi, Congress akanmendukung dengan catatan bahwa meskipun telah disetujui Congress,kebijakan itu dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Di Inggris, Kepala Pemerintahan terpisah dari Kepala Negara.Kedua Eksekutif itu, bersama House of Commons dan House of Lordsmembuat kebijakan yang tertinggi, supreme Law of the Land. KepalaPemerintahan beserta Kabinet adalah bagian dari Parlemen. MenurutStrong, “The essence of this executive system is that, in the last analysis, the cabinetis a committee of Parliament, tending to be, with the advance of democracy, acommittee of the House of Commons”,10 sehingga kebijakannya sangatditentukan oleh votum anggota Parlemen. Kepala negara masih

Page 147: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

146

mempunyai hak prerogatif untuk berkonsultasi, mendukung danmengingatkan Kepala Pemerintahan.11

Di Indonesia, lembaga pembuat kebijakan tertinggi berunsuranggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, tidak mengandungunsur eksekutif/Presiden. Presiden adalah bawahan MPR yang tidakboleh membuat kebijakan sendiri, dia hanyalah “mandataris” MPR.Artinya, Presiden harus menganut tiga kebijakan yang lebih tinggi darikebijakannya sendiri, yaitu UUD, Garis-garis Besar Haluan Negara(GBHN) dan undang-undang.

Kedudukan MPR memerlukan wacana yang lebih mendalamkarena disinilah letak konsep yang khas Indonesia. Hubungan MPR danDPR adalah “Atas” dan “Bawah”, bukan sejajar seperti House of Repre-sentatives dan Senate atau antara House of Commons dan House of Lords.12

UUD 1945 cukup demokratis. Penjelasan UUD 1945 sarat deng-an pernyataan bahwa Republik Indonesia menganut asas pemerintahanyang demokratis.

Asas demokrasi terlihat di kunci pokok I, Indonesia berdasaratas Hukum, di kunci pokok (II): Sistem Konstitusional dan di kuncipokok (VII): Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas atau KepalaNegara bukan diktator.

Republik Indonesia menganut asas Rechtsstaat Kontinental danasas Rule of law, umpamanya, supremacy of the law termaktub pada kuncipokok (I): equality before the law, tercermin di UUD 1945 Pasal 27 ayat 1:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum danpemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itudengan tidak ada kecualinya” dan Constitution based on Human Rights ter-cermin pada “Sistem konstitusional” yang memuat Hak Asasi Manusiaseperti di Pasal 27 ayat 2: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaandan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, di Pasal 28: “Kemer-dekaan berserikat dan berkumpul”, di Pasal 29: “Kemerdekaan untukmemeluk agamanya masing-masing”, di Pasal 30: “Hak untuk membelanegara”, di Pasal 31: “Hak mendapat pendidikan” dan di Pasal 34:“Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Demikian pula di penjelasan pasal-pasal juga dijumpai keteranganbahwa kita menganut sistem demokrasi, umpamanya di Pasal 23 adaketerangan bahwa: “Dalam negara demokrasi atau dalam negeri yang

Page 148: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 147RMAB Kusuma

berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaranpendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-Undang.” Artinyadengan persetujuan DPR. Di Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekono-mi dan ada juga keterangan yang menyatakan: “Pasal-pasal, baik yanghanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh pendudukmemuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yangbersifat demokratis”.

UUD memang belum sempurna. Tetapi perlu diingat bahwapara Pendiri Negara (Founding Fathers) dan para Penyusun UUD (Fram-ers of the Constitution)13 menyusun UUD 1945 dengan niat yang suci,dengan rasa tanggung jawab yang besar dan dilakukan dengan cermat.Dua peristiwa dibawah ini menunjukkan hal itu.

Pertama, pada tanggal 10 Iuli 1945, pada waktu akan memilihbentuk negara, yakni Republik atau Monarki, K.H.Kahar Muzakkirmengusulkan agar para anggota Badan Penyelidik Usaha PersiapanKemerdekaan (BPUPK) mengheningkan cipta untuk memohon kepadaAllah Subhana wata’ala agar keputusan para anggota didasari maksudyang suci, agar keputusan diterima dengan hati yang murni, denganpenuh keikhlasan. Ketua BPUPK, Dr. Radjiman dengan segera menerimausul K.H. Kahar Muzakkir. Mengheningkan cipta dipimpin oleh Ki BagusHadikusumo dengan didahului Alfatihah, sesudah itu surat suara barudikumpulkan (Yamin, 1959:184; Risalah, 1995: 126).

Kedua, rasa tanggung jawab para Perintis Kemerdekaan tercerminjuga dari ucapan Mr. M. Yamin sebagai berikut: “Saya hanya mintaperhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalauini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripadagrondwet; grondwettelijke fout, kesalahan Undang-Undang Dasar, besar sekalidosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik”(Yamin, 1959:359; Risalah Sidang BPUPKI, 1995: 323).

Kita, rakyat Indonesia, sesungguhnya mengharapkan bahwaKomisi Konstitusi dapat menghasilkan UUD yang lebih bagus dariUUD 1945, kita mengharapkan bahwa para anggota Komisi Konstitusimempunyai niat, semangat, rasa tanggung jawab, sikap dan kecermatanseperti yang dipunyai oleh para penyusun UUD 1945. Tetapi, ternyata,hasil kerja Komisi Konstitusi yang termuat dalam “Naskah AkademikUUD 1945” tidak menunjukkan semangat untuk bekerja sebaik-baiknya,

Page 149: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

148

konsep yang dikemukakan tidak menunjukkan bahwa telah direnungkandan dipikirkan sedalam-dalamnya.

Hal itu terlihat dari adanya konsep yang di-cuplik seorang anggotabertentangan dengan konsep yang di-cuplik oleh anggota lainnya. Selainitu konsep dan argumentasinya kabur, banyak di antara istilah asingyang dipakai ejaannya keliru dan artinya kurang tepat. Contohnya sebagaiberikut:

Pada waktu membahas sistem pemerintahan, seorang anggotamengutip pendapat John J. Wuest dan Shepard L. Whitman tentang cirisistem presidensial, yang antara lain menyatakan bahwa “Kepala Ekse-kutif dipilih oleh Dewan Pemilih”, halaman 68, tetapi di halaman 70anggota lainnya mengutip bahwa pemilihan presiden secara langsungmerupakan ciri utama pemerintahan bersistem kepresidenan, tanpamenyebut sumbernya.14

Sebagaimana dimaklumi, Rancangan Konstitusi Amerika yangasli adalah “Representative Government”, sebuah Republik bukan demokrasilangsung.15

Framers of the Constitution16 Amerika adalah kaum elit, kaumterpelajar yang meragukan intelek rakyat biasa. Mereka mengkhawatirkanterjadinya “mob rule”, sebab itu mereka membentuk “Dewan Pemilihkhusus yang terdiri dari orang-orang bijaksana” (Electoral College). Jadi,konsep awal (original concept) pemilihan presiden Amerika dilakukan secaratidak langsung, tetapi melalui Electoral College. Kalau hasil Electoral votesama, seperti pada waktu pemilihan tahun 1800 antara T. Jefferson danA.Burr (73-73), maka yang memilih adalah House of Representatives.T.Jefferson akhirnya menang.

Presiden G.Washington, J. Adams, T.Jefferson, J. Madison, J.Monroe belum dipilih secara langsung. Pemilihan langsung barudilakukan pada tahun 1824. Calonnya 4 orang, Andrew Jacksonmendapat suara 153.544 (99), J. Quincy Adams 108.740 (84), HenryClay 47.136 (37) dan W.M Crowford 46.618 (41).

Hasil perolehan suara tersebut tidak memenuhi ketentuan, sebabitu harus dilakukan putaran kedua, yakni melalui House of Representatives.Quincy Adams menyiasati hal itu dengan membeli suara Henry Clayyang diberi imbalan sebagai Menteri Luar Negeri. Quincy Adams terpilihmeskipun Jackson dan Crowford berteriak “Corrupt Bargaining“.

Page 150: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 149RMAB Kusuma

Perlu ditegaskan bahwa sampai sekarang, meskipun diadakanpemilihan langsung, tetapi yang menentukan tetap Electoral College sebagaikonsekuensi dari representative government. Jadi, di Amerika, orang yangsuara populernya (popular vote) lebih sedikit, bisa menjadi presidenAmerika bila electoral vote-nya lebih banyak.17

Komisi Konstitusi mengemukakan banyak konsep yang kabur,antara lain terlihat di kalimat “Jadi, meskipun pasangan presiden/wapresterpilih dapat mengumpulkan banyak suara, misalnya sampai 49 (empatpuluh sembilan) persen suara pemilih, namun paket presiden/wapresyang dihasilkan melalui Pilpres Putaran I harus berhadapan denganmayoritas partai di DPR dan dari kubu non presiden (sic). Artinya Pilpresputaran II dapat menghasilkan lame duck presidency.18 (h.70).

Sepanjang pengetahuan penulis, “lame duck presidency” artinyaseorang presiden yang tetap memegang jabatannya setelah kalah dalampemilihan umum (a person that continue to hold office after losing an election),berarti seorang presiden Amerika yang tetap memegang jabatannyaantara minggu kedua bulan November sampai pelantikan presidenterpilih (“president elect”) pada bulan Januari tahun berikutnya.

Pengertiannya makin kabur setelah ditambah dengan kalimat“implikasinya adalah, presiden harus memperhatikan kehendak partai-partai lain atau parlemen (sic)”

Kekaburan terlihat di kalimat “Pasal 7 menentukan: Presiden danwakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnyadapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kalimasa jabatan.” Perumusan seperti ini tidak sejalan dengan ciri lain bahwapresiden adalah single chief executive (hal.71)

Tentang hal ini dikemukakan tanggapan sebagai berikut:Pada waktu penyusunan Konstitusi Amerika tahun 1789, konsep

“Single Executive “ dihadapkan dengan konsep plural executive/Council.Menurut Alexander Hamilton, dalam Federalist Paper No. 70, “single ex-ecutive” lebih unggul karena bila kekuasaan diserahkan kepada Dewan,rakyat tidak dapat menentukan siapa yang bersalah dan sistem itu dapatmenghancurkan rasa bertanggung jawab (“to conceal faults and destroy res-ponsibility“). William Davie menyatakan bahwa “the predominent principle onwhich the Convention had provided for a single executive was the more obviousresponsibility of one person. When there was but one man, the public were never at

Page 151: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

150

a loss to fix the blame “. James Iredell bahkan menyatakan bahwa seorangpresiden harus “secara pribadi bertanggung jawab terhadap setiappenyalahgunaan kepercayaan yang diserahkan kepadanya” (personally re-sponsible for any abuse of the great trust reposed in him).19

Pendeknya , penulis menyarankan agar Komisi Konstitusi menuliskembali (re-write) Naskah Akademik UUD 1945. Kesalahannya demikianmencolok mata sampai mengutip UU/Perpu No.23 tentang KeadaanBahaya mengenai 3 kualifikasi pun keliru.20 Pengetikan harus diperiksadengan sungguh-sungguh karena ternyata banyak istilah yang ejaannyasalah. Istilah prerogatif menjadi verogatif (h.73 dan h.77 dua kali), tertulisZex superior derogat legy Immperior “, seharusnya, “Lex superior derogat legiinferior “(h.19); Supreme of Law of the Nation seharusnya Supreme Law ofthe Nation (h.46); Agreement Gentlement, seharusnya Gentlemen Agreement;Geistlichen Hintergrund ditulis Geisthichen Huntergrund dan sebagainya.

Selain itu, penulis ingin menyarankan agar Sejarah Konstitusi kitajuga dijadikan bahan untuk menyempurnakan UUD 1945. Padakesempatan ini penulis ingin menyampaikan beberapa bahan tentangpenyelenggaraan pemerintahan sepanjang tahun 1945–1950 sebagaitersebut di bawah ini.

Bila kita cermati penyelenggaraan pemerintahan pada tahun 1945–1950, kita akan menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan kita berbedadengan sistem presidensiel Amerika Serikat, berbeda pula dengan sistemparlementer seperti di Inggris. Sistem pemerintahan kita mirip dengansistem pemerintahan di Republik V Perancis.

Persamaan dengan sistem presidensiel di Amerika Serikat adalah:Sama-sama Fixed Government, Presiden dipilih oleh Electoral Col-

lege/MPR, Presiden tidak bertanggung jawab kepada Congress/DPR,Presiden tidak bisa membubarkan Congress/DPR. Menteri tidak bolehmerangkap menjadi anggota legislatif.

Perbedaannya adalah: di Amerika Serikat dipakai “pure separationof powers”, di Indonesia dipakai “partial separation of powers”. Di Amerika,Menteri tidak boleh tampil di Congress (kecuali dalam rangka investigasi).Di Indonesia, Menteri setiap saat dapat tampil di DPR, dalam rangkarapat kerja.

Pada awal kemerdekaan, meskipun berdasar Pasal IV AturanPeralihan UUD 1945 Presiden, sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk,

Page 152: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 151RMAB Kusuma

diberi mandat untuk menjalankan segala kekuasaan dengan bantuanKomite Nasional, tetapi pada kenyataannya pemerintahan dijalankansecara kekeluargaan oleh seluruh anggota Komite Nasional yang diben-tuk pada tanggal 29 Agustus dan kabinet yang dibentuk pada tanggal 2September 1945.

Pada tanggal 16 Oktober 1945, meskipun Pasal IV AturanPeralihan UUD 1945 tidak menyebut wewenang Wakil Presiden, terbitMaklumat Wakil Presiden No. X yang mengubah Komite Nasionalsebagai bagian dari lembaga eksekutif menjadi lembaga legislatif.

Maklumat Bung Hatta tersebut melanggar UUD dan melanggarprosedur untuk mengubah UUD, karena perubahan itu seharusnyadilakukan oleh MPR. Tetapi, perubahan itu diterima dengan legowo olehPresiden Sukarno demi persatuan.

Perubahan kedua terjadi pada tanggal 14 November 1945, ter-bentuknya Kabinet Syahrir l di mana menteri bertanggung jawab kepadaKomite Nasional. Perubahan ini menunjukkan bahwa kita sedang men-cari sistem sendiri, mungkin terpengaruh oleh sistem presidensiel diAmerika Selatan di mana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.21

Pada umumnya para pakar menganggap bahwa perubahan inimenunjukkan bahwa kita telah beralih kepada sistem parlementer, tetapiProf. Djokosutono menganggap bahwa syarat untuk dianggap sebagaisistem parlementer22 belum terpenuhi, karena belum “legislative heavy”.

Kekhasan sistem pemerintahan terlihat pada peristiwa berikut:1. Pada tanggal 24-11-1945 Pemerintah menjelaskan bahwa meskipun

Pasal 17 UUD menyatakan menteri hanya bertanggung jawab kepadaPresiden tetapi mengingat bahwa UUD masih bersifat sementaramaka akan dibentuk “konvensi” agar menteri bertanggung jawabkepada KNIP.23 Ir. Sukarno dan Mr. M. Yamin pernah mengemuka-kan konsepnya, Presiden bertanggung jawab kepada MPR sedangkanmenteri bertanggung jawab kepada DPR.24 Pelaksanaannya, sejakKabinet Syahrir I, menteri selalu ikut menandatangani undang-undangdi bidangnya.

2. Ketika Kabinet Syahrir pada tanggal 28 Februari 1946 jatuh karenaadanya “mosi tidak percaya”, Presiden Sukarno menunjuk kembaliSjahrir sebagai Perdana Menteri, bukan lawannya, yakni PersatuanPerjuangan di bawah Tan Malaka.

Page 153: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

152

3. Ketika Perdana Menteri Sjahrir diculik pada tanggal 28 Juni 1946,atas desakan para menteri, pemerintahan diserahkan kembali ketangan Presiden Sukarno. Di samping sebagai Presiden, Ir. Sukarnomenjabat Ketua Dewan Pertahanan yang beranggotakan antara lainMenteri Pertahanan Amir Syarifudin dan Panglima Jenderal Sudir-man. Perdana Menteri Syahrir tidak menjadi anggota meskipun telahdiangkat kembali menjadi Perdana Menteri pada tanggal 2 Oktober1946.25

4. Kabinet keenam yang dibentuk, pada tanggal 29 Januari 1948 diang-gap kabinet presidensiel karena dipimpin oleh Wakil Presiden Moh.Hatta. Pada waktu Revolusi, ada interpretasi bahwa kekuasaan Presi-den dapat dibagi dua, sebagian dapat diserahkan kepada Wakil Presi-den/Perdana Menteri sedangkan presiden tetap memegang kekuasaansebagai Panglima Tertinggi26 (Pasal 10) dan tetap memegang hakprerogatif27 yang tercantum di Pasal 1128 (Presiden dengan persetujuanDPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjiandengan negara lain). Hak prerogatif lainnya, yang tercantum di Pasal1229,1330, 14, 1531 dan 1732 tetap dipegang Presiden Sukarno.

5. Kabinet keenam adalah kabinet yang menghadapi pemberontakankomunis di Madiun pada bulan September dan agresi Belanda padabulan Desember 1948. Pemerintah memberlakukan Undang-undangNo. 6 Tahun 1946 tentang “Keadaan Bahaya” yang demokratis. Padamasa itu Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta ditawan Belanda.Dibentuk Pemerintah Darurat di bawah Mr. Syafrudin Prawirane-gara. Timbul persoalan, siapa yang berhak mengadakan perjanjiandengan Belanda.33 Presiden Sukarno tidak mau berunding denganstatus tawanan, Presiden Sukarno menuntut agar Pemerintah Repub-lik Indonesia dipulihkan terlebih dahulu, baru berunding.

6. Kabinet kedelapan dinyatakan Kabinet Presidensiel. Wakil PresidenM. Hatta memimpin delegasi Republik Indonesia ke KonferensiMeja Bundar yang menghasilkan perjanjian “Penyerahan kedaulatan”.

7. Pada jaman Demokrasi terpimpin, kekuasaan kabinet presidensieljuga dibagi dua antara Presiden Sukarno dan Menteri Pertama Djuan-da.

Melihat data tersebut di atas, kita masih perlu merumuskan

Page 154: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 153RMAB Kusuma

bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan Indonesia. Kita juga me-merlukan menggolongkan apakah sistem pemerintahan kita termasuksistem presidensiel, semi presidensiel atau hibrida.

Akhirnya disarankan agar Komisi Konstitusi membuka forumuntuk menyelesaikan kontroversi atau mispersepsi mengenai UUD 1945yang masih berkembang, umpamanya MPR diubah karena adanyamispersepsi bahwa Lembaga Tertinggi itu ada di negara komunis sepertiRusia, Cina, Korea Utara dan lain-lainnya. Padahal, negara-negara Com-monwealth, termasuk yang telah berubah menjadi Republik seperti Indiadan Myanmar mempunyai lembaga tertinggi yang bernama Parlemen.

Endnotes

1 Di Amerika Serikat, pembagian kekuasaan secara horisontal disebut sepa-ration of powers sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal disebut divisionof powers atau federalism. Selama ini, pembagian kekuasaan secara ketat disebut“pemisahan kekuasaan” yang diterjemahkan menjadi separation of powers sedang-kan pembagian kekuasaan yang tidak ketat disebut “pembagian kekuasaan”yang diterjemahkan menjadi division of powers. Agar tidak terjadi semantic confu-sion disarankan istilah division of powers diterjemahkan menjadi “pembagiankekuasaan secara horisontal” dan partial separation of powers diterjemahkan menjadi“pemilahan kekuasaan”. “Pembagian kekuasaan” digunakan untuk terjemahan“distribution of powers”. Lihat Berman,1999:92- 129 dan Barendt,1998:15.

2 Lihat buku P.C.Manuel, Checks and Balances, 1999 yang mengungkapkanadanya mispersepsi seperti itu di Amerika dan mengungkapkan juga bahwaWoodrow Wilson, sebelum menjadi presiden Amerika Serikat ingin berpindahke sistem Inggris/Westminster untuk menghindari “devided government” dan“gridlock”.

3 Sebetulnya trias politika Montesquieu tidak bisa dilaksanakan. Di AmerikaSerikat separation of powers telah dimodifikasi menjadi Checks and Balance, agarterjadi pemerintahan yang efektif. Rumusan baru sistem pemerintahan diAmerika adalah ‘a government of separated institutions sharing power’ (Neustadt,19.60:33) atau `a government of separated institutions competing of shared power’(Jones, 1990, 3).

4 Komisi Konstitusi menerjemahkan fusion of powers menjadi “percam-puran kekuasaan” Konsepnya sbb: Perdana Menteri dan Menteri yang penting(Eksekutif) harus berasal dari House of Commons (Legislatif) dan tetap menjadianggota Parlemen. Bahkan, Lord Chancellor duduk di 3 badan yang fungsinyaberbeda, yakni legislatif, eksekutif dan judicial. Lord Chancellor adalah Speaker

Page 155: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

154

(Ketua) dari House of Lords (legislatif), anggota Kabinet (eksekutif) dan dudukdi “Appelate Committee” sebagai Hakim (Judicial).

5Congress adalah Badan Legislatif yang terdiri dari dua Badan, House ofRepresentatives dan Senate yang bekerja sendiri-sendiri dan saling melakukan Checksand Balances. Artinya undang-undang harus mendapat persetujuan kedua badanitu. Presiden setiap tahun harus menyampaikan “State of the Union Address”(Art. 11 sec. 3) untuk menyarankan undang-undang apa yang harus dibuat olehCongress. Theodore Roosevelt pernah menyatakan,“a good Executive under presentconditions of American life must take a very active in getting the right kind of legislation“. Sejarah Amerika membuktikan bahwa “Presiden yang kuat” sangat menen-tukan pembuatan undang-undang sehingga, Howard L. Mc Bain mengatakanbahwa “The prime function of the president is not executive. It is the legislative’.

6 Di negara yang menganut sistem Inggris, seperti India dan Myanmar,unsur Eksekutif di Parlemen adalah Presiden/Kepala Negara.

7 Jenjang Pengadilan di Inggris adalah County Court, High Court, Court ofAppeal dan Appellate Committee di House of Lords.

8 Belanda membutuhkan waktu 80 tahun untuk menegaskan bahwaseorang menteri harus bertanggung jawab kepada Staten Generaal, DPR Belanda(Yamin 1959:361; Risalah III:325).

9 Pada jaman Hindia Belanda, Konstitusi RIS, UUD 1950 dan sebelumamandemen UUD 1945, adagiumnya seperti tercantum di UUD 1950 Pasal 95:“Undang-undang tidak bisa diganggu gugat”.

10 C.F.Strong, Modern Political Constitutions, 1958:21911 “to be consulted, to encourage and to warn” (W.Bagehot, English Constitu-

tion,1952: )12 Rancangan UUD yang diajukan pada 13 Juli di Panitia Kecil dan 14 Juli

di Sidang Pleno menggabungkan MPR dan DPR di satu bab VI. Pada sidang 15Juli bab ini belum dibahas karena terjadinya kebuntuan tentang kalimat “dengankewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada tanggal16 Juli 1945, tiba-tiba Prof. Supomo mengajukan perubahan, membagi bab VImenjadi bab II dan bab VII. Hal itu menyebabkan kekaburan bagaimana konseppara Penyusun UUD tentang lembaga legislatif. Nampaknya ada pengaruh carakerja Volksraad. Anggota Volksraad 60 orang, yang bekerja hampir sepanjangtahun adalah College van Gedeputeerde, semacam Badan Pekerja, yang anggotanyahanya 15 orang. Anggota lainnya hanya bersidang bila rancangan perundang-undangan sudah dianggap matang dan dapat disahkan. Pada jaman KomiteNasional Indonesia Pusat (KNIP), cara kerja Volksraad ditiru. Anggota KNIPsemula 137, meningkat menjadi 200 dan kemudian meningkat lagi menjadi514. Anggota Badan Pekerjanya mula-mula hanya 17 orang, meningkat menjadi25 orang dan kemudian meningkat lagi menjadi 47 orang.

Page 156: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 155RMAB Kusuma

13 Penyusun UUD yang bukan Pendiri Negara adalah orang Tionghoayang menyatakan tidak mau menjadi warga negara Indonesia. Liem Kun Hianbahkan mengundurkan diri sebagai anggota BPUPK dan pada tahun 1952meninggal dunia sebagai warga negara Republik Rakyat Cina.

14 Yang menyatakan bahwa ciri utama sistem presidensiel adalah adanyapemilihan secara langsung, antara lain dikemukakan dalam buku Arend Lijphart,“Sistem pemerintahan Parlementer dan Presidensial”, 1995 dan G. Sartori “Com-parative Constitutional Engineering”, 1997.

15 Di Amerika istilah Republik diartikan demokrasi tidak langsung, repre-sentative government, berbeda dengan demokrasi langsung. Dalam Federalist PaperNo.51 James Madison menguraikan kebaikan dan ciri pemerintahan Republik.Konstituante pernah menugaskan Panitia Persiapan Konstitusi untuk lebihjauh membahas isi, sifat dan macam Republik. Banyak negara komunis dannegara di Amerika Selatan yang tidak demokratis berbentuk republik tidakdemokratis, sebab itu disarankan agar Pasal 1 UUD 1945 dirumuskan menjadi“Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik demokratis”.

16 Thomas Jefferson, penulis Declaration of Independence, bukan Framers ofthe Constitution karena sedang menjadi Duta Besar di Perancis. Founding Fathersadalah tokoh yang menanda tangani Declaration of lndependence bukan Framers ofthe Constitution.

17 Presiden Amerika yang populer vote-nya lebih sedikit tetapi electoral vote-nya lebih banyak adalah: Rutherford B.Hayes, 4.036.571 (185) melawan SamuelJ.Tilden, 4.284.020 (184); Benjamin Harrison, 5.444.337 (233) melawan GroverCleveland, 5.540.050 (168) dan George Bush yang mendapat suara electoral 271tetapi suara populernya 500.000 lebih sedikit dari Al Gore. Suara electoral Gorehanya 266.

18 “lame duck president” adalah istilah Amerika. Istilah itu tidak dikenal dinegara yang bersistem parlemen. Congress dan Parliament mempunyai ciri yangberbeda.

19 Gagasan bahwa seorang presiden secara pribadi harus bertanggung jawabterhadap kebijakan yang menyengsarakan rakyat, mirip dengan pendirianKhalifah Umar bin Khattab. Sebagaimana tersebut dalam kisah, ketika Umarbin Khattab berkeliling kota secara incognito, dia mendengar tangis anak kecilyang meminta makan. Ibunya membujuk agar anaknya diam, dikatakannyabahwa makanan sedang direbus. Umar bin Khattab melihat bahwa yang direbushanyalah batu. Dia segera pulang dan mengambil sekarung gandum yangdipanggulnya sendiri. Ketika seorang menteri menawarkan untuk membawakangandum kerumah ibu tersebut, Umar bin Khattab menjawab bahwa adanyarakyat yang kelaparan merupakan tanggung jawab pribadinya sebagai KepalaNegara.

Page 157: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

RMAB Kusuma

156

20 Tertulis: 1) Tertib Sipil, 2) Darurat Sipil, 3) Darurat Militer, seharusnya 1)Darurat Sipil,2) Darurat Militer dan 3) Darurat Perang.

21 Di Argentina tercantum di Chapter 1; Art. 85 “Each minisres is respon-sible for the acts he ligalizes; and jointly responsible for to which he consentswith his colleagues”. Di Brazil tercantum di Chapter 111, Section IV, Sole Para-graph. “The ministers of State are responsible for the acts which they may sign,even though jointly with the president of the Republic, or which they mayperform by his order “.

22 Menurut Prof.Djoko Sutono, sistem parlementer = ministerieleverantwoordelijkheid (pertanggung jawaban Menteri kepada parlemen) + overwicht(kekuasaan lebih) pada parlemen (Harun AlRasid, 1982:73).

23 Berita Republik Indonesia Tahun I Nomor 2 halaman 11.24 Pada kunci pokok IX dinyatakan bahwa menteri adalah negarawan (states-

man). Menteri yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif).25 Koesnodiprodjo, 1946:253.26 Pada masa Presiden Suharto, dalam rangka de-Sukarnoisasi, pasal 10

diinterpretasikan bahwa presiden hanya “memegang kekuasaan tertinggi atasAD, AL, AU”, bukan Panglima Tertinggi. Interpretasi ini berbeda dengan faktabahwa berdirinya TNI pada tanggal 3 Juni 1946 ditanda tangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Sukarno. Pada masa Revolusi, Panglima Besar Sudirmanberpendirian bahwa TNI hanya tunduk kepada Presiden, tidak tunduk kepadaPerdana Menteri/Menteri Pertahanan. Sejak 1 Juli 1946 Kepolisian Negara beradadi bawah Perdana Menteri, tetapi, sejak tanggal 4 Juli 1946 Perdana MenteriSyahrir tidak duduk dalam Dewan Pertahanan. Interpretasi Presiden Suhartoberubah lagi setelah Peristiwa Santa Cruz di Timor Timur, beliau menganggapdirinya sebagai Panglima Tertinggi. Mengenai pernyataan perang, pendirianPendiri Negara terlihat lebih jelas di pasal 128 UUD 1950: “Presiden tidakmenyatakan perang, melainkan jika hal itu diizinkan terlebih dahulu oleh DPR”.

27 Penulis berbeda pendapat dengan Prof. Bagir Manan yang pernah menulisbahwa UUD ‘45 “Tak Mengenal Hak Prerogatif ’ (Republika, Sabtu 27 Mei 2000)karena beliau memakai “pengertian prerogatif model Inggris”. Penulis memilihmemakai pengertian prerogatif yang dikemukakan Thomas Jefferson bahwahak prerogatif adalah hak yang diberikan langsung oleh konstitusi (presidentialprerogative —powers granted directly by the Constitution). Di UUD 1945 hak prerogatiftercantum dengan jelas di Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 17.

28 Hak prerogatif Presiden Sukarno untuk mengadakan perjanjian inter-nasional terlihat pada perjanjian Linggarjati yang menunjukkan bahwa PerdanaMenteri Syahrir hanyalah utusan “Dwi Tunggal”. Pada acara meratifikasi PerjanjianLinggarjati, mayoritas anggota KNIP tidak setuju. Perjanjian Linggarjati dira-tifikasi hanya setelah Bung Hatta mengancam bahwa “Dwi Tunggal” akan

Page 158: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 157RMAB Kusuma

mengundurkan diri.29 Bila dibandingkan, Undang Undang No.6 Tahun 1946 tentang “Keadaan

Bahaya” lebih demokratis dari Perpu No.23 Tahun 1959 yang sekarang masihberlaku.

30 Amandemen UUD 1945 yang menyatakan “Presiden menerima pe-nempatan duta Negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR” dapatdinyatakan tidak lazim, perlu ditinjau kembali.

31 Pasal 15 aslinya berbunyi “Presiden memberi gelaran, (bukan gelar) tandajasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang”. Istilahgelaran, lazim dipakai pada tahun 1945. Istilah gelaran lebih tepat karena seka-rang istilah gelar mempunyai makna lain seperti gelar pasukan. Sampai sekarangistilah gelaran yang bermakna “sebutan” (titel) tetap dipakai di Malaysia.

32 Perlu dicatat, Pendiri Negara menganggap bahwa menteri adalah seorangnegarawan, bukan pegawai tinggi biasa. Pada jaman Revolusi dan pada jamanDemokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno tidak pernah memecat seorang menteri.Presiden Suharto juga tidak pernah melakukan. Tetapi, pada jaman reformasi,Presiden Abdurrachman Wahid memecat seorang menteri tanpa memberi alasanapapun dengan dalih “hak prerogatif ”. Padahal, menurut undang-undangkepegawaian, pegawai biasa, kalau dipecat, harus jelas alasannya. “Konvensi”mengenai Pasal 17 kurang dipahami Abdurrahman Wahid.

33 Syahrir yang sedang ditawan di Parapat diundang oleh Perdana MenteriBelanda, W. Drees ke Jakarta, dibujuk agar untuk mewakili Republik Indonesiaberunding dengan Belanda. Syahrir berpendapat bahwa yang berhak berundingdengan Belanda adalah Pemerintah Darurat di bawah Syafrudin Prawiranegara.Belanda mengijinkan Syahrir tinggal di Jakarta, tidak usah kembali sebagaitahanan di Parapat.

Page 159: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

A. Ahsin Thohari

158

Paham konstitusionalisme, tulis pemikirkonstitusi C.H. McIlwain dalam Constitutionalism:Ancient and Modern (1947), menghendaki eksistensidua elemen penting sekaligus: (1) hukum yangmenjadi “pembatas” bagi kemungkinan kese-wenang-wenangan kekuasaan; dan (2) akuntabilitaspolitik sepenuhnya dari pemerintah (government)kepada yang diperintah (governed).

Jalan TerjalKonstitusionalisme Indonesia

Oleh A. AHSIN THOHARI

Adnan Buyung Nasution. Aspirasi Peme-rintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 [The Aspira-tion for Constitutional Government in Indonesia: ASocio-Legal Study of the Indonesian Konstituante1956-1959]. Diterjemahkan oleh Sylvia Tiwon,cet. II, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001.xxxv dan 584 halaman, 25 cm

A. AhsinThohari adalahpemerhatihukum danketatanegaraan,penulis Buku(bersama ImamSyaukani)Dasar-dasarPolitik Hukum,Jakarta, 2004.

Jika diperinci lebihjauh, dua hal tersebutmenghasilkan gagasan-gagasan lanjutan (advancedideas) seperti kedaulatanrakyat (demokrasi), kon-stitusi sebagai hukumdasar, pemerintahan ber-dasarkan undang-undang,prosedur yang terlem-bagakan (institutionalizedprocedure) bagi akunta-

Page 160: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 159A. Ahsin Thohari

bilitas pemerintah, dan last but notleast, jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) warganegara. Dalam sejarah awalRepublik Indonesia, gagasan-gagasan tersebut sempat mengisiberbagai ruang wacana, khususnyadi tingkat Konstituante. Meskipundemikian, bibit konstitusionalismemodern Indonesia ini tidak sem-pat tumbuh menjadi pohon yangkuat, karena tangan-tangan kekua-saan politik telah memandul-kannya secara sistematis (atau ma-lah mematikannya?). Bagi PresidenSoekarno, Presiden Soeharto, dansebagian besar para ahli Indone-sia (Indonesianist) kulit putih, gagas-an-gagasan tersebut tidak berhasilditerapkan di Indonesia karenadianggap sebagai “nilai-nilaiBarat” yang anakronistik dengansebagian besar nilai-nilai volksgeistwaktu itu. Oleh karena itu, tidakmengejutkan kalau Konstituanteyang bertugas menetapkan konsti-tusi definitif juga gagal membu-mikan nilai-nilai tersebut (khu-susnya demokrasi dan HAM)dengan memformalkannya kedalam rumusan konstitusi.

Inilah “sasaran tembak”utama yang dibidik buku AdnanBuyung Nasution yang berjudulAspirasi Pemerintahan Konstitusionaldi Indonesia: Studi Sosio-Legal atas

Konstituante 1956-1959. Baginya,membaca kegagalan implemen-tasi demokrasi dan HAM denganmenggunakan tool of analysisberupa anakronisme “nilai-nilaiBarat” di Indonesia bukan sajatidak memadai dan absurd, tetapijuga sebentuk pengabaian terha-dap torehan sejarah Konstituanteyang dalam beberapa persidang-annya justru sarat dengan muatangagasan pemerintahan konsti-tusional (constitutional government)yang di dalamnya terkandunggagasan demokrasi dan HAM.M.P.M. Muskens, B.J. Boland,Bernhard Dahm, J.D. Legge,Brian May, Malcom Caldwellbersama Ernst Utrecht, dan M.C.Ricklefs adalah nama-nama pene-liti yang dianggap Nasution meng-abaikan peran Konstituante dalammewacanakan gagasan pemerin-tahan konstitusional atau sekurang-kurangnya menganggapnya tidakterlalu mempunyai usaha-usahasignifikan.

“Trikotomi Ideologis”Buku yang berasal dari

disertasi doktor (jur.) Nasution diRijkuniversiteit, Utrecht, Belandaini melakukan pembidanganaspirasi terbentuknya pemerin-tahan konstitusional di Indonesiake dalam dua tahapan sejarah

Page 161: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

A. Ahsin Thohari

160

penting pergulatan politik danketatanegaraan yang diekspresikandalam persidangan-persidanganKonstituante.

Pertama, perdebatan ten-tang dasar negara yang membawapada suasana pertentangan di-ametral “trikotomi ideologis”,yaitu (1) ideologi Pancasila dengankonsep Ketuhanan, Perikemanu-siaan, Kesatuan atau Nasionalisme,Permusyawaratan atau Demo-krasi, dan Keadilan Sosial; (2)ideologi Islam yang dipahamisebagai ajaran yang berkenaandengan hal-hal duniawi danukhrawi yang berasal dari Allahdan dianut oleh lebih dari 90%rakyat Indonesia; dan (3) ideologiSosial-Ekonomi yang melan-daskan tatanan sosial-ekonomiberdasarkan pada asas kekeluar-gaan. Perdebatan ideologis iniberlangsung dari tanggal 11 No-vember sampai 7 Desember 1957(hlm. 49).

Dalam perkembangannya,“trikotomi ideologis” dalamperdebatan dasar negara inimengerucut menjadi “dikotomiideologis” antara ideologi Panca-sila dan ideologi Islam. Sementaraitu, ideologi Sosial-Ekonomi,kendati sangat militan, tidak terlaludiperhitungkan dua ideologi lainkarena tidak memadainya du-

kungan politik. Meskipun demi-kian, common platform di antara duakutub kekuatan besar tersebuttidak kunjung terjadi. Alih-alihmasing-masing pihak saling mem-berikan konsesi untuk menujupada satu “titik temu ideologis”,justru malah terlibat friksi ideologisyang semakin dalam dan tajamkarena pertentangan ideologistersebut justru telah diperkayadengan pertentangan lain yangbersifat a priori, bukan substantif-esensial. Sekat-sekat ideologis inisangat menguras energi Konstitu-ante, sehingga kekuasaan politik(pemerintah) membacanya seba-gai krisis politik yang membaha-yakan negara secara keseluruhan.

Beberapa pihak menyim-pulkan bahwa perdebatan duakutub ideologis ini telah menga-lami jalan buntu dan menjadisebab utama gagalnya Konsti-tuante dalam menjalankan tugas-nya. Treatment yang diambil Presi-den Soekarno untuk mengatasipolitical malaise seperti ini adalahDekrit Presiden yang dikeluarkanpada 5 Juli 1959. Respon Soekar-no tersebut mendapatkan justifi-kasi akademis dari penelitian IsmailSuny (1977), J.M. Pluvier (1953),Malcom Caldwell bersama ErnstUtrecht (1979), dan J.C.T. Simo-rangkir (1984). Artinya, pembu-

Page 162: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 161A. Ahsin Thohari

baran Konstituante dengan DekritPresiden 5 Juli 1959 dinilai bebe-rapa peneliti tersebut sebagaiperistiwa yang absah menuruthukum tata negara (constitutional)dan tidak terelakkan (inevitable).Pendapat ini ditolak Nasution,karena baginya fakta empiris lebihmenunjukkan bahwa Konstituantetidak diberi kesempatan yangcukup untuk menyelesaikan per-debatan mengenai dasar negarasecara bebas. Kesimpulan inidididasarkan pada adanya empatdinamika, yaitu (1) berbagai usulyang menawarkan kompromi; (2)tugas yang diserahkan kepadaPanitia Persiapan Konstitusi untukmengusahakan kompromi; (3)usaha-usaha mencapai kompromiideologis antara pemimpin-pe-mimpin Masyumi dan PartaiNasionalis Indonesia (PNI) pada1957 dan 1959; dan (4) kesediaanpara pemimpin Islam untukmenerima Pancasila sebagai dasarnegara (hlm. 55). Empat hal inijelas melemahkan raison d’etreskenario Dekrit Presiden dariSoekarno, sehingga sulit untukmemberikan pembenaran secarahukum tata negara terhadapnya.

Kedua, perdebatan menge-nai HAM yang dalam dua batastertentu berbeda dengan persoalandasar negara. Batas pertama

adalah jika perdebatan tentangdasar negara bersifat abstrak danjauh dari masalah praktis yangdiperlukan untuk menciptakankerangka pengaturan negara,perdebatan tentang HAM bersifatkonkret dan terarah pada perlin-dungan nilai-nilai kemanusiaanyang mudah dilanggar, perlin-dungan terhadap golongan mino-ritas, dan pencegahan penyalah-gunaan kekuasaan oleh peme-rintah dan golongan kuat dalammasyarakat. Batas kedua adalahjika perdebatan tentang dasarnegara ditandai dengan perten-tangan ideologis yang didominasitendensi sentrifugal, dalam perde-batan HAM justru tendensi sen-tripetal yang lebih dominan,sehingga praktis lebih mudahuntuk mencapai konsensus antarakelompok Islam dan kelompoknasionalis. Meskipun demikian,dua kutub kekuatan politik utamaini melihat substansi HAM dariperspektif yang tidak sama.

Kelompok Islam mengin-syafi nilai-nilai HAM sebagai suatuanugerah dari Allah (a gift from God)yang harus dibina dan dihormati.Adapun kelompok nasionalismelihat HAM sebagai bagian darikebudayaan pribumi dan kepriba-dian nasional, selain juga sebagaialat perjuangan untuk melawan

Page 163: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

A. Ahsin Thohari

162

kekuasaan kolonial (hlm. 133 dst.).Perdebatan tajam seputar nilai-nilaiHAM memang sempat terjadi,utamanya yang berkaitan dengandua hal penting, yaitu (1) kebebas-an beragama, khususnya kebebas-an berpindah agama dan peratur-an agama mengenai perkawinan;dan (2) kemungkinan penyalah-gunaan hak asasi oleh modalraksasa dan orang kaya. Akantetapi, perbedaan pendapat initidak sanggup mengurangi artikesepakatan fundamental tentangmakna penting dari jaminanterhadap HAM dalam konstitusi.

Manurut Nasution, kese-pakatan fundamental dua kutubekstrem kekuatan politik terhadapHAM ini merupakan hasil Konsti-tuante yang paling utuh (hlm. 411).Oleh karena itu, daftar HAM yangditerima oleh Konstituante dapatdipandang sebagai norma-normakonstitusional substantif dariRepublik Indonesia. Selain itu,kesepakatan fundamental HAMjuga dapat diartikan sebagai apayang disebut Nasution dengan“proklamasi kemerdekaan kedalam” dari warga negara Indo-nesia, yang statusnya sama denganProklamasi 17 Agustus 1945 yangmerupakan “proklamasi kemer-dekaan ke luar”. Dengan demi-kian, kesepakatan fundamental ini

sebenarnya menjadi “bibit unggul”untuk menyemai gagasan constitu-tional government di masa-masaselanjutnya sebelum akhirnyaDekrit Presiden 5 Juli 1959menjadi lonceng kematian gagas-an tersebut. Padahal, jika tidakdidahuli oleh Dekrit Presiden 5 Juli1959, kesepakatan fundamentalterhadap 22 hak asasi kemung-kinan besar akan diterima secaraaklamasi.

Mitos “KegagalanKonstituante”

Dari perspektif hukum tatanegara, kekuatan utama bukuyang berjudul asli The Aspiration forConstitutional Government in Indone-sia: A Socio-Legal Study of the Indo-nesian Konstituante 1956-1959 inijustru terletak pada keberhasil-annya dalam melakukan exposureterhadap perdebatan Konstituantetentang dua hal yang berkaitandengan dasar negara dan HAMtersebut. Hal ini sekaligus mem-buktikan, betapa persidangan-persidangan Konstituante sangatprogresif dan konstruktif bagiterkonsolidasikannya gagasan con-stitutional government di Indonesia,suatu kesimpulan yang kurangdipertimbangkan oleh peneliti lain.Dengan demikian, kekuatan bukuini bukan terletak pada kesim-

Page 164: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 163A. Ahsin Thohari

pulannya tentang ketidakakuratantesis “jalan buntu Konstituante”,sebagaimana diduga beberapakalangan. Kendati demikian, harusdiakui pula bahwa pernyataannyaseputar ketidakakuratan tesis “jalanbuntu Konstituante” menjadisemacam core conclusion buku iniyang banyak mendapatkan apresi-asi. Akan tetapi, ini sebenarnyabukan menjadi wilayah kajianhukum tata negara.

Selain itu, keunggulan bukuini juga terletak pada keberhasilan-nya dalam membuat counter-dis-course terhadap pemahaman yangwell-established sebelumnya bahwaKonstituante telah gagal mengem-ban amanat konstitusionalnyauntuk menetapkan konstitusidefinitif. Pemahaman ini telahditerima secara nyaris taken forgranted dan tanpa sikap kritisterhadapnya. Kesimpulan gagalnyaKonstituante –yang kemudiandiamini berbagai kalangan– bisadilihat dari karya Daniel S. Lev(1966), Howard Palfrey Jones(1971), Oey Hong Lee (1971),John M. Reinhardt (1971), BrianMay (1978), A.H. Nasution (1984),Nugroho Notosusanto (1977),dan Ismail Suny (1977). BagiNasution, mitos “kegagalan Kon-stituante” adalah ahistoris dantidak memperhitungkan tiga

dinamika capaian penting Konsti-tuante saat itu yang justru mengin-dikasikan keberhasilannya.

Pertama, seluruh usaha-usaha dari Konstituante merupa-kan dedikasi terhadap perwujudandemokrasi yang sesungguhnya,kebebasan berbicara yang utuh,dan tekad yang mendasar untukmembentuk constitutional governmentyang menjiwai sebagian besaranggotanya. Kedua, adanya pene-gasan komitmen Konstituanteterhadap HAM dengan mengakuisisi-sisi universalitasnya sebagai hakyang menjadi inti dari kodratmanusia dan terdapat pada setiapperadaban manusia. Ketiga, ada-nya pengakuan dan kesadaran dariKonstituante bahwa kekuasaannegara harus dibatasi oleh HAM,rule of law, dan akuntabilitaspemerintahan. Meskipun demi-kian, ini tidak berarti Konstituantesama sekali tidak mempunyaicacat. Menurut Nasution, satu halyang perlu dikritik adalah mes-kipun Konstituante mengakui cita-cita konstitusional, kelemahankonseptualnya mengenai maknaconstitutional government masihterlihat.

Penolakan Nasution terha-dap mitos “kegagalan Konsti-tuante” ini tampaknya paraleldengan pendapat Ahmad Syafi’i

Page 165: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004

A. Ahsin Thohari

164

Ma’arif dalam buku Islam danPolitik: Teori Belah Bambu MasaDemokrasi Terpimpin (1959-1965)yang dengan tegas menyatakanbahwa Konstituante sebenarnyatelah berhasil menyelesaikan tugas-nya 90%. Dengan demikian, men-jadi sesuatu yang janggal jikakemudian Konstituante dibubar-kan, karena tidak cukup reasoningbaik politik maupun ketatane-garaan yang bisa menjustifikasinya,kecuali tentu saja kepentinganpolitik sesaat dan berjangkapendek yang konon menurut parapolitical scientist melibatkan tigakekuatan politik riil: Soekarno,militer, dan Partai Komunis Indo-nesia (PKI).

Jika boleh sedikit berlebih-an, karya Nasution ini bisa dikata-kan sebagai “everlasting opus”, karyaabadi di bidang hukum tata negarayang dapat terus menjadi –sebutsaja– “review mirror” bagi perjalansejarah gagasan konstitusionalismemodern di Indonesia di masa kinidan yang akan datang. Selain itu,buku ini juga menjadi semacam“historical reminder” bahwa perju-angan untuk menegakkan constitu-tional government di Indonesiaharuslah diteruskan dengan mena-rik pelajaran sebanyak-banyaknyadari peristiwa-peristiwa tragisseputar antiklimaks politik dan

ketatanegaraan yang memilukan:pembubaran Konstituante pada1959. Pesan yang dapat ditangkapdari buku ini adalah betapakekuasaan politik (pemerintah) diIndonesia melalui Dekrit Presiden5 Juli 1959 pernah menggagalkanmomentum penting bagi pe-ngembangan constitutional govern-ment yang telah diusahakan olehlembaga yang anggotanya dipilihlangsung rakyat melalui pemiludemokratis pada tahun 1955, yaituKonstituante. Ke depan, hal initidak boleh terulang.

Kritik yang dapat diajukanterhadap buku ini adalah argu-mentasi yang dibangun Nasutionuntuk membuktikan bahwa tesis“jalan buntu Konstituante” tidakmempunyai pijakan realitas empi-ris yang kuat: “...saya berpendapatbahwa kita tidak dapat menge-sampingkan kemungkinan masihdapat dicapainya kompromiideologis pada waktu itu, asalkanKonstituante diberi kesempatanuntuk menangani masalah-masa-lah ideologis yang dihadapinya”(hlm. 55). Kesimpulan ini –sebagaimna disinggung di atas–sebenarnya bukan kesimpulanyang “bersifat hukum tata negara”,tetapi lebih merupakan “dugaanpolitis” yang bersifat prediktif-spekulatif dan kebenarannya tidak

Page 166: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 165A. Ahsin Thohari

mungkin lagi diverifikasi secaraempiris bersamaan dengan telahberlalunya waktu. Tidak menghe-rankan jika dalam suatu kesem-patan, almarhum Afan Gaffarpernah mengatakan bahwa mo-tif penulisan karya Nasution inilebih diwarnai sosok Nasutionsebagai seorang aktivis daripadaakademisi. Uniknya, kesimpulanyang bukan “bersifat hukum tatanegara” tetapi lebih berupa “du-gaan politis” inilah yang membuatkarya ini begitu dikenal dan di-apresiasi berbagai kalangan. Apa-kah karena itu, studi ini disebutsebagai “studi sosio-legal”?

Meskipun demikian, kritik

tersebut tidak sanggup menyem-bunyikan kebesaran nilai buku inidalam memotret dan kemudianmemberikan analisis terhadapdinamika wacana constitutional gov-ernment di era republik muda ter-sebut. Sebagai catatan terakhir,sangat tepat kalau dikatakan bah-wa gagasan konstitusionalisme diIndonesia yang harus melalui jalanterjal di waktu-waktu yang lalu dansekarang ini hendaknya semakinmendewasakan bangsa Indonesiadalam melakukan internalisasinilai-nilai konstitusionalismetersebut. Buku Nasution tampak-nya ingin menawarkan hal itukepada bangsa ini.

Page 167: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004

Hasrul Halili

166

Jika sistematika buku yang ditulis oleh SatyaArinanto ini disederhanakan, maka pusaran pem-bahasan materi yang ada didalamnya sebenarnyadifokuskan untuk mengetahui sekaligus menganalisatiga persoalan besar yang terkait dengan masalahpenyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM)dalam kerangka transisi politik di beberapa negarayang pernah dan sedang mengalami proses transisidemokrasi, yang kemudian dikontekstualisasikan

Penyelesaian Pelanggaran HAMpada Era Transisi Politik di Indonesia:Sebuah Pendekatan ‘Transitional Justice’

Oleh HASRUL HALILI

Judul : Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politikdi Indonesia. Penulis : Satya Arinanto. Penerbit: PusatStudi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UniversitasIndonesia Jakarta. Cetakan I : tahun 2003. Tebal: xxiii+492 halaman.

Hasrul Haliliadalah

KoordinatorPengurus

Harian Indone-sian CourtMonitoring

(ICM)Yogyakarta.

dengan kondisi di Indo-nesia, yang saat ini jugasedang mengalami fasetransisi menuju konso-lidasi demokrasi. Deng-an kata lain, buku SatyaArinanto ini tidak lebihdan tidak kurang sebe-narnya hanya memba-has tiga point penting,yaitu:

Page 168: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004 167Hasrul Halili

1. Bagaimana pemahaman danpengalaman masyarakat diberbagai negara terhadapHAM dalam transisi politik.Tercakup di dalamnya adalahpemaknaan tentang HAM,transisi politik menuju de-mokrasi, HAM dalam transisipolitik, dan pengalaman be-berapa negara dalam menjalanimasa transisi politik;

2. Bagaimana pemahaman ma-syarakat tentang keadilantransisional (transitional justice).Termasuk dalam hal ini adalahkonteks internasional padawaktu transisi politik, keadilandalam masa transisi politik, dandilema penerapan aturan hu-kum pada masa tersebut; dan

3. Upaya-upaya pencarian kea-dilan transisional di Indonesia.Untuk yang ketiga ini dileng-kapi dengan pendekatan studikasus terhadap berbagai pe-langgaran HAM berat yangpernah terjadi di bumi nu-santara, seperti kasus TanjungPeriok, kasus Aceh, kasusTrisakti, kasus Semanggi I danII, kasus Timor-timor pascajajak pendapat, dan kasus-kasus lainnya.

Nampaknya, ada dua pen-dekatan yang digunakan olehSatya Arinanto sebagai metode

untuk sampai kepada tiga haltersebut, yaitu pendekatan yangbersifat kritis normatif danpendekatan yang bersifat empiris(terminologi pendekatan kritisnormatif dan empiris ini meru-pakan istilah Peresensi buku).Pendekatan kritis normatif inidiambil olehnya sebagai alat untukmendeksripsikan diskursus mu-taakhir yang berkembang dalamteori-teori tentang HAM, terutamaberkenaan dengan munculnyapemikiran-pemikiran baru yangsecara kritis mempertanyakan dansekaligus mendekonstruksi ide-idenormatif-teoritis HAM lama yangsudah dianggap tidak aktualmenjawab permasalahan-perma-salahan HAM terkini. Sedangkanpendekatan yang bersifat empirisdigunakannya sebagai alat untukmengukur derajat feasibilitas danaplikatif pemikiran HAM barutersebut pada level empiris, apakahrealistik diwujudkan atau hanyabernilai sebagai gagasan yangsangat ideal namun utopis.

Rekonsiliasi NasionalUntuk memberikan keje-

lasan lebih lanjut tentang pende-katan ini, menarik disimak uraianSatya Arinanto dalam buku iniberkaitan dengan adanya pan-dangan ideal dari sebagian pemi-

Page 169: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004

Hasrul Halili

168

kir dan aktivis HAM yang mene-kankan kewajiban dan tanggungjawab rezim transisi untuk mela-kukan upaya penegakkan hukumpelanggaran HAM yang dilakukanoleh rezim otoriter di masa lalu,yang berbenturan dengan kenya-taan bahwa dalam situasi transi-sional, biasanya rezim baru seringtidak memiliki kemampuan untukmenyelesaikan kewajiban dantanggung jawab tersebut, sehinggalebih memilih memaafkan pelang-garan-pelanggaran HAM, dengandalih yang biasanya disebut seba-gai “upaya rekonsiliasi nasional”,yang diasumsikan sebagai jalankompromi antar elit politik (lamadan baru) untuk kepentingankonsolidasi demokrasi.

Contoh yang dikemukakanoleh Satya Arinanto salah satunyaadalah polemik terhadap kasuspembunuhan Steven Biko diAfrika Selatan pada tahun 1977(Hlm. 125-133). Kasus ini bermuladari tuntutan 5 orang dari kelom-pok polisi yang mengajukanpermohonan pengampunan (am-nesty) kepada Komisi Kebenarandan Rekonsiliasi (Truth Commissionand Reconciliation) Afrika Selatan.Sebagaimana diketahui, Komisi iniberkewenangan memberikan im-punity yang lengkap kepada mere-ka yang telah melakukan berbagai

kejahatan yang diasosiasikandengan suatu motivasi atau tujuanpolitik tertentu dalam konteksterjadinya berbagai konflik dimasa lalu, dengan syarat merekabersedia membeberkan ataumembuka sepenuhnya semuafakta yang relevan. Persyaratanuntuk memberikan pengakuan inimemang merupakan salah satudari dua cara yang lazim digunakanoleh Komisi dalam upaya pe-nyingkapan (disclosure) kebenaran,selain cara pengaduan, dimanamasyarakat sendirilah yang proaktif memberikan pengaduansebagai korban pelanggaranHAM.

Di samping itu KonstitusiTransisi Afrika Selatan 1993 jugasecara tegas mengatur adanyasuatu amnesti yang dilandaskanpada pertimbangan bahwa hal itumemang dibutuhkan bagi pelak-sanaan rekonsiliasi nasional diAfrika Selatan. Belum lagi jikamempertimbangkan situasi politiksaat itu di Afrika Selatan dimanadiperlukan suatu motivator bagikekuatan militer untuk melindungipelaksanaan Pemilu demokratispertama di negeri itu dari ancam-an bom yang dilontarkan olehkelompok sayap kanan.

Permohonan ini menda-patkan perlawanan keras dari

Page 170: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004 169Hasrul Halili

Ntsiko Biko (janda dari StevenBiko) yang memandang pembe-basan yang didasarkan kepadarekonsiliasi semacam itu tidaklahberdimensi keadilan melainkansuatu pembusukan hukum belaka.Sebelum para pembunuh suami-nya tersebut mengajukan amnesti,Ntsiko Biko telah mengajukangugatan di Mahkamah KonstitusiAfrika Selatan, dengan tuntutanbahwa kewenangan Komisi untukmemberikan amnesti adalahinkonstitusional dan bertentangandengan hukum internasional.Namun dalam putusannya, walau-pun menyatakan bersimpati ter-hadap Ntisi Biko MahkamahKonstititus, dua tuntutan tersebutditolak oleh Mahkamah Konsti-tusi.

Akhirnya, dalam putusanKomisi yang ditetapkan padatahun 1999 dinyatakan, permo-honan amnesti lima orang pembu-nuh tersebut ditolak dikarenakanmereka belum memberikan ke-saksian dengan sejujur-jujurnyatentang kematian Biko kepadaKomisi dan pembunuhan tersebutdikategorikan tidak berdimensipolitik.

Terhadap pro kontra sikapKomisi dan Mahkamah Konsitusiatas tuntutan Ntisi Biko ini Satyakemudian mengelaborasi konsep

hukum internasional tentangpreferensi kewajiban negara untukmelakukan penegakan hukumpelanggaran HAM daripadapemberian amnesti. Menurutnya,walaupun hukum internasionalsudah menyatakan dengan tegaskewajiban itu melalui sebuahketentuan yang menyatakan bah-wa “States to punish certain humanrights crimes committed in their teritorialjurisdiction”, termasuk, khususnya,kejahatan terhadap kemanusiaan,namun dalam kenyataannya, iamensyaratkan negara domestiktelah memiliki suatu tata hukumyang sah, yang memungkinkannyauntuk menjatuhkan penghukumandan tidak terjatuh kepada tindakanbalas dendam politik semata.

Perdebatan latenMemang benar bahwa ma-

syarakat internasional dapat me-lakukan intervensi dalam prosespenuntutan kejahatan kemanusiaanseperti di Nuremberg, namuntindakan penuntutan tersebutkondusif bagi pengembanganaturan hukum dalam suatu bangsa,terlebih pada bangsa yang sedangmengalami fase transisi. Penun-tutan-penuntutan di Hague tidakdengan sendirinya akan mensti-mulasi penegakan hukum diBosnia, karena hal itu hanya dapat

Page 171: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004

Hasrul Halili

170

diselesaikan oleh orang-orangBosnia melalui institusi-institusihukum dan peradilannya sendiri.

Dari kasus Ntisi Biko ter-sebut — putusan akhirnya ber-pihak pada dirinya — nampakbahwa “perdebatan laten” yangselalu mewarnai persoalan HAMdalam konteks transisi demokrasiadalah, apakah yang harus dida-hulukan aspek penegakan hukumpelanggaran HAM di masa laluataukah aspek rekonsiliasi nasio-nal? Jika yang diprioritaskan adalahyang kedua, maka sebuah argu-men sanggahan nampaknya perludikemukakan. Jika suatu rekonsi-liasi diinisiasi dengan suatu awalanberupa permintaan kepada semuapihak untuk melupakan begitu sajaberbagai pelanggaran HAM yangtelah terjadi, maka ini sama sajaartinya dengan membangun pre-seden pendidikan politik danhukum yang buruk di suatunegara. Di masyarakat akan terba-ngun persepsi, walaupun pe-langgaran HAM jelas merupakantindakan yang salah, ia tidak apa-apa dilakukan, karena nanti akandimaafkan atas nama rekonsiliasinasional.

Belum lagi jika diperta-nyakan, atas nama kepentinganrekonsiliasi nasional, sebenarnyayang harus didahulukan kepen-

tingan pihak yang telah melakukanpelanggaran, atau pihak yang telahmenderita kerugian akibat pelang-garan tersebut? Jawabannya jelas,kalau yang diutamakan adalahpemaafan tanpa pengadilan kepa-da pihak yang pertama, maka iniberarti melukai rasa keadilan pihakyang kedua. Hal ini tentu sajariskan jika dilihat dari konteksmenjaga integritas rezim baru danrekonsiliasi tidak akan berjalanmaksimal karena ada pihak yangmerasa tetap tidak memperolehhak apapun dalam perdamaianpolitik.

Untuk analisa topik pentingyang pertama, Satya Arinantomenemukan bahwa terdapatperbedaan pemahaman dan pe-ngalaman di berbagai negaradalam hal mensikapi pelanggaranHAM. Dalam beberapa kasus, dibeberapa negara yang orientasitransisinya sudah menemukanbentuk ke arah konsolidasi de-mokrasi dan benar-benar bisa me-ngeliminasi anasir kekuatan rezimlama, komitmennya sudah mulaitinggi terhadap penegakan hukumHAM, yakni dengan menciptakanlembaga-lembaga hukum danperadilan untuk pelanggaranHAM yang disesuaikan denganstandar hukum internasional. Disamping itu pada negara-negara

Page 172: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004 171Hasrul Halili

semacam ini paradigma pene-gakan hukum HAMnya tidakhanya berpegang para prinsipkewajiban negara untuk menghu-kum semata (state’s duty to prosecute)melainkan juga mengakomodirprinsip-prinsip: hak korban untukmengetahui (victim’s rights to know),hak korban untuk memperolehkeadilan (victim’s rights to justice), danhak korban atas pemulihan (victim’srights to reparation).

Sementara pada beberapanegara yang lain, timbulnya rezimbaru yang hadir dengan orientasikekuasaan, ternyata hanya bisamenyalahkan kejahatan-kejahatanHAM sebagai sesuatu yang ditim-pakan pada rezim despotik dimasa lalu, terjebak melakukantindakan-tindakan represif kepadakekuatan-kekuatan pro demokrasiyang sedang berkembang, dancenderung melakukan tindakanbalas dendam politik kepadaunsur-unsur rezim lama yangmengarah kepada pelanggaranHAM yang sama.

Empat modelSayangnya, pembahasan

Satya Arinanto tentang sikap rezimtransisi dalam menangani pelang-garan HAM di masa lalu hanyamengidentifikasi dua kecende-rungan saja pada level empiris,

padahal menurut pengamatanPeresensi buku, hingga saat inisetidaknya sudah ada empatmodel terkait dengan hal itu, yaitu:

Pertama, model “never for-get never forgive” yang menekankanmekanisme trial and punish. Jermandikenal sebagai salah satu negarayang konsisten dengan model iniketika menyelesaikan kejahatankemanusiaan yang dilakukan olehNazi. Orang-orang Nazi dicariuntuk diadili, sebagian yang lolosmasih dikejar-kejar hingga seka-rang. Kedua, model “forget and for-give”. Spanyol dikenal menganutpola ini pada kasus mengakhirirezim Franco. Ketiga, model “nonpengadilan forget but never forgive”.Pola ini diterapkan oleh banyaknegara Eropa dalam mensikapikasus inkuisisi oleh otoritas keaga-maan geraja selama 300-400 tahunkepada mereka yang dianggapmelakukan tindakan heretik (bid-’ah) dan musyrik. Keempat,model never forget but then forgive.Korea dikenal menggunakan caraini — baru diterapkan pada kasuspelanggaran korupsi — di manadiadakan pengadilan terlebih,dihukum, untuk kemudian diberiamnesti.

Untuk tema penting keduaSatya Arinanto menemukan bah-wa terdapat spektrum pemaham-

Page 173: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI

JURNAL KONSTITUSI, Nomor 1 Tahun I, 2004

Hasrul Halili

172

an yang selalu bergerak dinamis dimasyarakat, yang melihat keadilantransisional sebagai upaya “penca-rian kebenaran”, “rekonsiliasi”,dan “keadilan” dalam masa transisipolitik, dimana apa yang dimaksudsebagai adil sangatlah bersifatkontekstual, dan sering dikaitkandengan situasi waktu lalu (masaotoritarianisme), sekarang (masatransisi) dan bahkan boleh jadiprediksi masa yang akan datang(masa konsolidasi demokrasi).

Berkenaan dengan vocalpoint ketiga tentang persepsimasyarakat Indonesia terhadapkeadilan transisi, Satya Arinantomenemukan bahwa di Indonesia,pemaknaan tentang transitional jus-tice mengerucut kepada duapengertian, yaitu: Pertama, iadilihat sebagai suatu penegakankeadilan di masa tertentu, yaitumasa transisi politik. Kedua, iadimaknai sebagai konsep sepertikeadilan distributif, keadilankorektif, keadilan komutatif, ataukeadilan retributif.

Satya Arinanto juga mene-

mukan, bahwa rezim transisidemokrasi di Indonesia telah men-distorsi konsep ideologi negarahukum yang mestinya dijadikanpegangan atau panduan dalamupaya penegakan hukum pelang-garan HAM di masa rezim otori-ter sekedar menjadi tameng untukmempertahankan kekuasaan.Teknis-teknis formal yuridis dima-nipulasi sebagai dalih untuk meng-hambat proses penyidikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM,seperti yang bisa dilihat antara laindari sikap Kejaksaan Agung yangmempersulit proses penyelidikankasus Trisakti dan Semanggi yangtelah dilakukan Komnas HAM.

Lebih jauh Satya Arinantojuga menemukan, bahwa walau-pun telah ada upaya-upaya untukmencari dan merumuskan suatukonsepsi keadilan transisional yangdisesuaikan dengan kondisi sosiopolitik Indonesia di era transisidemokrasi, namun karena lemah-nya proses implementasi, maka ru-musan konsepsi tersebut menjaditidak efektif.

Page 174: Volume 1 Nomor 1, Juli 2004 MKRI