v. hasil dan pembahasan -...
TRANSCRIPT
51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penanganan Pasca Panen Padi Medium Dough Stage
Luas sawah keseluruhan yang digunakan dalam penelitian adalah 31 tumbak
(1 tumbak = 14 m2) dan jumlah rumpun padi yang terdapat pada sawah tersebut
adalah ±1562 rumpun. Sebelum dilakukan proses penanganan pasca panen padi,
dilakukan terlebih dahulu analisis lapangan dengan mengambil sampel rumpun padi
di 5 titik sawah. Rumpun tersebut kemudian dihitung jumlah malai per rumpun dan
jumlah bulir padi setiap rumpun. Berikut merupakan Tabel 3 hasil perhitungan
jumlah malai per rumpun dan jumlah bulir padi setiap rumpun.
Tabel 3. Jumlah Malai Per Rumpun dan Jumlah Bulir Padi Setiap Rumpun
Jumlah Bulir Padi Setiap Rumpun Tanaman Padi Varietas Ciherang Pada
Medium Dough Stage di Usia 105 HST
Jumlah Rumpun
1
Rumpun
2
Rumpun
3
Rumpun
4
Rumpun
5
Malai (Anakan
produktif) 57 48 46 33 40
Milk Stage (%) 6,80 5,21 6,96 9,61 11,52
Soft Dough
Stage (%) 10,74 13,31 11,08 10,91 10,29
Medium Dough
Stage (%) 62,11 57,98 62,97 60,23 57,52
Hard Dough
Stage (%) 5,72 7,01 3,70 5,79 6,37
Hampa (%) 14,55 16,49 15,08 12,81 13,28
Lainnya (%) 0 0 0,21 0,65 1,02
Berdasarkan jumlah malai per rumpun pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa
jumlah malai padi varietas Ciherang berada pada kisaran 33-57 buah. Menurut
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2014), jumlah malai padi varietas Ciherang
adalah 14-17 buah. Perbedaan yang cukup besar ini kemungkinan disebabkan oleh
52
kondisi lahan yang baik dan semakin berkembangnya cara budidaya padi sehingga
diperoleh pertumbuhan padi yang maksimal. Untuk jumlah bulir padi setiap rumpun
dapat terlihat pada Tabel 3 bahwa persentase bulir medium dough stage adalah yang
tertinggi dengan kisaran 57,52-62,97%. Hal ini merupakan salah satu indikator
bahwa penetapan waktu pemanenan yang dilakukan sudah tepat.
Berikut langkah-langkah yang dilakukan dalam proses penanganan pasca
panen padi:
1. Pemanenan
Padi medium dough stage yang seharusnya dipanen saat 90 HST terpaksa
harus dipanen saat 105 HST. Hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca yang sedang
musim hujan. Tingginya curah hujan dan kurangnya cahaya matahari untuk
fotosintesis menyebabkan pengisian bulir gabah dari milk stage ke medium dough
stage melambat sehingga waktu pemanenan menjadi lebih lama. Rumpun padi
tersebut kemudian dipanen secara manual menggunakan sabit. Proses pemanenan
padi dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Pemanenan Padi Varietas Ciherang Medium Dough Stage
53
2. Pengumpulan dan Sortasi
Rumpun padi yang sudah dipanen kemudian dikumpulkan di tengah sawah
yang telah dialasi kain terpal. Pemilihan tempat pengumpulan yang dekat dan
penggunaan terpal akan mengurangi kehilangan saat proses pemanenan. Setelah
padi terkumpul cukup banyak maka mulai dilakukan proses sortasi. Sortasi
dilakukan untuk memisahkan padi medium dough stage dengan padi yang masih
dalam soft dough stage atau sudah memasuki hard dough stage. Pertumbuhan padi
tidak selalu merata dalam satu rumpun sehingga dalam satu malai biasanya terdapat
perbedaan fase tanaman padi.
3. Perontokan dan Pembersihan
Untuk memisahkan gabah dengan batang dan bagian tanaman padi lainnya,
perlu dilakukaan proses perontokan. Perontokan dilakukan dengan cara digebot dan
menggosok-gosokan malai di papan ilesan. Perontokan diiringi dengan proses
pembersihan. Pembersihan dilakukan dengan menggunakan ayakan dan nampah
untuk memisahkan bulir padi dari jerami, kerikil, gabah hampa, dan lain-lain. Hal
ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses pengolahan. Proses perontokan padi
dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Perontokan Padi Varietas Ciherang Medium Dough Stage
54
4. Pengeringan
Proses pengeringan dilakukan dengan meletakkan gabah padi diatas
permukaan semen tanpa menggunakan alas seperti terpal. Pada umumnya
penjemuran gabah dilakukan selama 2-3 hari, namun disaat pelaksanaannya hanya
dilakukan selama 1 hari. Hal ini dikarenakan cuaca yang sangat mendukung untuk
menjemur gabah. Penjemuran dihentikan ketika kadar air gabah telah mencapai
13%. Selama penjemuran, gabah dibolak-balik agar gabah dapat kering secara
merata. Setelah itu gabah dimasukkan ke dalam karung dan disimpan di dalam
gudang khusus penyimpanan gabah. Proses penjemuran padi dapat dilihat pada
Gambar 27.
Gambar 27. Penjemuran Padi Varietas Ciherang Medium Dough Stage
5. Penyimpanan
Penyimpanan gabah kering giling dilakukan dalam gudang khusus
penyimpanan yang terdapat di SPLPP. Gabah kering giling disimpan di dalam
karung goni yang diletakkan di atas tatakan kayu. Hal ini dilakukan untuk menjaga
gabah kering giling dari serangan hama dan pertumbuhan jamur akibat penyerapan
air dari udara sehingga dapat meminimalisir kerusakan mikrobiologis gabah.
Penyimpanan juga berlaku sebagai proses pendinginan sebelum dilakukannya
penggilingan karena gabah tidak bisa langsung digiling sehabis dijemur. Hal ini
55
dikarenakan energi panas yang berlebih pada gabah akan menyebabkan gabah
menjadi hancur saat penggilingan.
6. Penggilingan
Penggilingan bertujuan untuk melepas sekam dan lapisan luar dari kulit
padi. Pengupasan sekam dilakukan dengan mesin penggiling (huller) tipe rol karet
(rubber roll). Penggilingan akan menghasilkan beras pecah kulit dengan hasil
samping berupa sekam.
7. Penyosohan
Proses penyosohan dilakukan dengan menggunakan mesin penyosoh
(polisher) yang dilakukan sebanyak dua kali. Tujuan penyosohan ini adalah untuk
melepaskan dedak dan bekatul yang ada pada endosperma sehingga diperoleh beras
berwarna putih (beras sosoh). Penyosohan pertama akan menghasilkan dedak
sementara penyosohan kedua akan menghasilkan bekatul. Jumlah bekatul yang
diperoleh dari penggilingan 30 kg gabah kering giling adalah 2,69 kg, dengan
begitu rendemen bekatul yang diperoleh adalah 8,97%. Menurut Widowati (2001),
bekatul dapat diperoleh sebanyak 8-10% dari hasil penggilingan padi. Rendemen
bekatul dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat penyosohan, derajat
masak padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh, dan lubang alat
pemisah (Soemardi, 1975).
5.2 Karakteristik Fisik
5.2.1 Warna
Secara umum, warna didefinisikan sebagai unsur cahaya yang dipantulkan
oleh sebuah benda dan selanjutnya diintrepretasikan oleh mata berdasarkan cahaya
56
yang mengenai benda tersebut. Koordinat L*, a*, b* dalam CIE-Lab bertujuan
untuk mendefinisikan lokasi suatu warna dalam skala warna uniform. Nilai L*
menyatakan kecerahan (hitam = 0, putih = 100), nilai a* menyatakan warna
kromatik campuran merah/ hijau (+a*/ -a*), dan nilai b* menyatakan warna
kromatik campuran kuning/ biru (+b*/ -b*) (MacDougall, 2002). Berikut
merupakan hasil L*, a*, dan b* bekatul medium dough stage (MDS) pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap L*, a*,
dan b* Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Rata-rata
L* a* b*
MDS 66,66a -7,32a 18,28a
MDS Terstabilisasi 66,02a -6,92a 23,08a Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang sama menyatakan bahwa L*, a*, dan
b* bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi tidak berbeda nyata menurut uji beda (uji t)
dua rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 4
dapat dilihat bahwa proses stabilisasi tidak menyebabkan perbedaan warna L*, a*,
dan b* yang signifikan terhadap bekatul medium dough stage (MDS). Namun tetap
terjadi penurunan nilai L* yang menandakan kecerahan walaupun sedikit yaitu dari
66,66 menjadi 66,02. Hal ini disebabkan oleh reaksi maillard yang terjadi saat
proses stabilisasi. Reaksi maillard adalah reaksi antara gula reduksi dan protein
yang membentuk senyawa coklat melanoidin yang berkaitan dengan warna
(Ramezanzadeh, dkk., 1999). Proses pemanasan dalam stabilisasi akan memberikan
kelebihan energi termal sehingga meratakan reaksi browning dalam bahan dan
menjadikan warna bekatul menjadi lebih gelap (Kim, dkk., 2014).
Proses stabilisasi juga menaikkan nilai a* yaitu dari -7,32 menjadi -6,92
dimana bekatul memiliki warna kehijauan yang ditandai dengan nilai -a*,
Kenaikkan nilai a* pada bekatul membuat warna hijau bekatul berkurang. Hal ini
57
dapat disebabkan karena adanya pigmen warna hijau dari klorofil bekatul yang
terdegradasi akibat perlakuan panas selama proses stabilisasi. Menurut Kusnandar
(2010), klorofil merupakan pigmen yang mengalami kerusakan akibat panas.
Degradasi klorofil juga menaikkan nilai b* yaitu dari 18,28 menjadi 23,08.
Kenaikkan nilai b* akan membuat bekatul semakin kekuningan. Hal ini terjadi
karena adanya reaksi peofitinasi pada klorofil. Peofitin adalah bentuk klorofil yang
kehilangan ion Mg2+ sehingga warna yang diekspresikan bukan hijau melainkan
hijau kecoklatan (Andarwulan, dkk., 2010).
5.2.2 Densitas Kamba
Densitas kamba menunjukkan perbandingan antara berat suatu bahan
terhadap volumenya. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan khusus
biji-bijian atau tepung-tepungan yang penting terutama dalam pengemasan dan
penyimpanan karena bahan dengan densitas kamba kecil akan membutuhkan
tempat yang lebih luas dibandingkan bahan dengan densitas kamba besar untuk
berat yang sama. Densitas kamba mempengaruhi jumlah bahan yang bisa
dikonsumsi dan biaya produksi bahan tersebut. Densitas kamba makanan berbentuk
bubuk berkisar 0,30-0,80 g/ml (Wiranatakusumah, 1992). Berikut merupakan hasil
densitas kamba bekatul medium dough stage (MDS) pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap Densitas
Kamba Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Densitas Kamba Rata-rata (g/ml)
MDS 0,43a
MDS Terstabilisasi 0,42a
Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang sama menyatakan bahwa densitas
kamba bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi tidak berbeda nyata menurut uji beda
(uji t) dua rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
58
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 5
dapat dilihat bahwa proses stabilisasi pada bekatul medium dough stage (MDS)
tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba. Hal ini dikarenakan proses
stabilisasi tidak mengubah ukuran partikel dari bekatul, selain itu kedua bekatul
tersebut telah lolos ayakan 80 mesh.
Densitas kamba pada produk tepung-tepungan diharapkan memiliki nilai
yang cukup tinggi sehingga dapat mengurangi biaya pengiriman, pengemasan, dan
gudang yang digunakan untuk penyimpanan. Tepung dengan densitas kamba yang
tinggi dapat mengurangi kelengketan pada pasta (Udensi dan Okoronkwo, 2006)
sehingga mempermudah dalam proses pencetakan dan sangat cocok untuk produk
makanan bagi balita. Sementara itu, tepung dengan densitas kamba yang rendah
atau yang memiliki ukuran partikel halus akan menghasilkan produk roti yang baik.
5.2.3 Rendemen
Rendemen hasil pembuatan bekatul medium dough stage terstabilisasi
adalah sebesar 94,00%. Kehilangan yang terjadi akibat proses stabilisasi cukup
sedikit, kehilangan ini antara lain berupa berkurangnya kadar air, komponen kimia
yang terdegradasi, serta kehilangan selama proses pengerjaan stabilisasi.
5.3 Karakteristik Kimia
5.3.1 Kadar Air
Bekatul pada umumnya memiliki sifat higrokopsis yang mampu menyerap
dan kehilangan kandungan air. Kandungan kadar air yang rendah pada suatu bahan
dapat meningkatkan umur simpan dan dapat mencegah kontaminasi pertumbuhan
59
mikroba. Kadar air terbaik adalah berkisar antara 3-7% dimana pada kadar tersebut
disamping dapat menghalangi pertumbuhan mikroba juga berfungsi mengurangi
reaksi kimiawi yaitu dapat menghambat reaksi browning serta hidrolisis dan
oksidasi lemak yang menyebabkan ketengikan pada bekatul (Winarno, 2008).
Berikut merupakan hasil kadar air (bb) bekatul medium dough stage (MDS) pada
Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap Kadar
Air (bb) Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Kadar Air (bb) Rata-rata (%) SNI 01-4439-1998
MDS 11,00a
Maksimum 12 MDS Terstabilisasi 6,67b
Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang berbeda menyatakan bahwa kadar air
(bb) bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi berbeda nyata menurut uji beda (uji t) dua
rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 6
terlihat bahwa bekatul medium dough stage (MDS) non-stabilisasi berbeda nyata
dengan bekatul medium dough stage (MDS) terstabilisasi. Proses stabilisasi efektif
menurunkan kadar air bekatul. Stabilisasi dengan autoklaf menggunakan suhu yang
cukup tinggi yaitu 121oC dengan tekanan 1,3 bar. Maka dari itu panas dan tekanan
selama proses stabilisasi akan membuat molekul-molekul air dalam bekatul
bergerak cepat sehingga ikatan antar molekul air terputus dan molekul air keluar
menjadi molekul-molekul air yang bebas. Menurut Kusnandar (2010), bila suhu
pemanasan semakin tinggi maka molekul air akan bergerak dengan sangat cepat
sehingga suhu dan tekanan yang cukup tinggi ini berperan dalam mempercepat
proses pelepasan molekul air dalam bekatul.
Jika kadar air bekatul tinggi maka akan membuat kemungkinan terjadinya
reaksi hidrolisis lemak oleh enzim lipase yang menyebabkan terbentuknya asam
60
lemak bebas penyebab awal kerusakan bekatul. Menurut Kusnandar (2010),
beberapa enzim seperti lipase, protease, invertase, dan lipoksigenase, aktivitasnya
dipengaruhi oleh keberadaan air. Semakin tinggi jumlah air bebas maka semakin
banyak air yang dapat digunakan untuk aktivitas enzim. Namun, menurut SNI 01-
4439-1998 kadar air bekatul ialah maksimum 12%, sehingga meskipun kadar air
bekatul medium dough stage non-stabilisasi tergolong cukup tinggi yaitu 11% tetap
memenuhi syarat SNI bekatul.
5.3.2 Kadar Abu
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan makanan.
Kadar abu memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat
dalam suatu bahan dapat berupa garam organik dan anorganik. Berikut merupakan
hasil kadar abu (bb) bekatul medium dough stage (MDS) pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap Kadar
Abu (bb) Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Kadar Abu Rata-rata (bb) (%) SNI 01-4439-1998
MDS 11,00a
Maksimum 10 MDS Terstabilisasi 11,00a
Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang sama menyatakan bahwa kadar abu
(bb) bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi tidak berbeda nyata menurut uji beda (uji
t) dua rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 7
dapat dilihat bahwa proses stabilisasi ternyata tidak berpengaruh terhadap
perubahan kadar abu pada bekatul medium dough stage (MDS). Hal ini sesuai
dengan penelitian Nordin, dkk., (2014) yang menyatakan bahwa perlakuan
stabilisasi berupa pemanasan ternyata tidak mempengaruhi perubahan secara
signifikan pada kadar abu bekatul. Abu merupakan mineral-mineral anorganik yang
61
memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap suhu pemasakan sehingga
keberadaannya dalam bahan pangan cenderung tetap (Astawan, dkk., 2013).
Menurut Orthoefer (2001), konsentrasi mineral pada bekatul bergantung pada
proses penggilingan, iklim, tanah, varietas, dan lokasi biji. Houston (1972)
menyatakan bahwa kandungan mineral utama bekatul adalah fosfor, kemudian
diikuti potasium, magnesium, dan silikon.
5.3.3 Kadar Protein
Protein merupakan zat gizi yang berperan penting untuk pertumbuhan
jaringan dan pemeliharaan jaringan. Kandungan protein bekatul lebih rendah
dibandingkan dengan telur dan protein hewani, tetapi lebih tinggi dari kedelai,
jagung, dan terigu. Asam amino sebagai unsur penyusun protein pada bekatul juga
lebih lengkap dibandingkan beras. Berikut merupakan hasil kadar protein bekatul
medium dough stage (MDS) pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap Kadar
Protein Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Kadar Protein Rata-rata (%) SNI 01-4439-1998
MDS 13,73 a
Minimum 8 MDS Terstabilisasi 14,02a
Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang sama menyatakan bahwa kadar
protein bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi tidak berbeda nyata menurut uji beda
(uji t) dua rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 8
terlihat tidak ada perbedaan yang nyata antara bekatul medium dough stage (MDS)
terstabilisasi dan non-stabilisasi. Namun, proses stabilisasi akan menaikkan kadar
protein yaitu dari 13,73% menjadi 14,02%. Menurut Anggraini (2012), kadar
protein bekatul akan meningkat dengan adanya perlakuan stabilisasi, hal ini
62
dikarenakan adanya ikatan antara polisakarida dan protein yang menyebabkan N
bahan bertambah dan penentuan kadar protein ditunjukkan dengan adanya jumlah
% nitrogen. Penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl merupakan metode
empiris (secara tidak langsung) yaitu melalui penetapan kadar N dalam bahan
sehingga senyawa-senyawa bernitrogen yang lain juga terukur sebagai protein
(Winarno, 2008).
Tinggi rendahnya protein pada bekatul dipengaruhi oleh komposisi embrio
(germ) pada bekatul. Tingginya konsentrasi embrio pada bekatul dapat
meningkatkan protein bekatul karena embrio mempunyai kadar protein lebih tinggi
dari lapisan lain yaitu sebesar 14,1-20,6% (Champagne, 1994). Bagian embrio dari
gabah mengandung amino N empat kali lebih banyak dibandingkan dengan bekatul.
5.3.4 Kadar Lemak
Kandungan lemak bekatul yang relatif tinggi menyebabkan bekatul mudah
rusak, kurang tahan lama, cepat berbau, dan menjadi tengik. Menurut Widowati
(2001), ketidakstabilan pada bekatul terjadi akibat lipase yang menghidrolisis
lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas dioksidasi oleh enzim
lipoksigenase menjadi bentuk peroksida, keton, dan aldehid, sehingga bekatul
menjadi tengik. Berikut merupakan hasil kadar lemak bekatul medium dough stage
(MDS) pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap Kadar
Lemak Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Kadar Lemak Rata-rata (%) SNI 01-4439-1998
MDS 15,14a
Minimum 3 MDS Terstabilisasi 9,74b
Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang berbeda menyatakan bahwa kadar
lemak bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi berbeda nyata menurut uji beda (uji t)
dua rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
63
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 9
dapat dilihat bahwa proses stabilisasi dapat menurunkan kadar lemak bekatul
medium dough stage (MDS) yaitu dari 15,14% menjadi 9,74%. Stabilisasi bekatul
akan menginaktifkan aktivitas lipase dan lipoksigenase dengan cara merubah
susunan molekul enzim sehingga tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya
(Orthoefer, 2001). Penurunan kadar lemak ini juga berhubungan dengan penurunan
kadar air akibat pemanasan. Air yang berlebihan dalam bekatul akan menjadi
pemicu hidrolisis lemak.
Penanganan bekatul terstabilisasi juga perlu dilakukan secara cermat untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut. Bekatul terstabilisasi dapat dikemas
menggunakan bahan polyethylene (PE), yang mampu memberikan perlindungan
terhadap pencemaran dan kerusakan fisik, serta mampu menahan perpindahan gas
dan uap air (Marsh dan Bugusu, 2007). Selain itu, untuk melindungi bekatul
terstabilisasi dari mikroorganisme perusak, bekatul sebaiknya disimpan pada
tempat yang dingin dan kering, dengan kadar air berkisar 6-7% (Oliveira, dkk.,
2012).
5.3.5 Bilangan TBA
Sifat kimia lemak ditentukan berdasarkan reaksi spesifik antara komponen
lemak dengan pereaksi tertentu. Parameter sifat kimia lemak adalah bilangan iod,
bilangan asam (FFA/ free fatty acid), bilangan peroksida, dan bilangan TBA
(thiobarbituric acid). Bilangan TBA (thiobarbituric acid) dapat mengidentifikasi
kerusakan lemak. Asam thiobarbituric merupakan salah satu parameter untuk
menentukan derajat ketengikan bahan pangan yang ditandai dengan bau tengik dari
64
produk. Berikut merupakan hasil bilangan TBA bekatul medium dough stage
(MDS) pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Analisis Bilangan TBA Bekatul
Sampel Hari ke- Bilangan TBA (mg malonaldehid/Kg)
MDS
1 0,15
3 0,16
5 0,18
MDS Terstabilisasi
1 0,12
3 0,13
5 0,14
Berdasarkan hasil analisis bilangan TBA pada Tabel 10 dapat terlihat bahwa
bilangan TBA akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya lama
penyimpanan. Bilangan TBA ini meningkat mengikuti jumlah malonaldehid yang
terbentuk karena terurainya lipida menjadi peroksida dan selanjutnya menjadi
aldehid tidak jenuh yang merupakan hasil pemecahan hidroperoksida. Bekatul
terstabilisasi mengalami peningkatan bilangan TBA lebih rendah dikarenakan
stabilisasi akan menginaktivasi lipase yang dapat menghambat hidrolisis dan
oksidasi lemak sehingga pembentukan aldehid pun terhambat. Semakin tinggi
bilangan TBA (kandungan malonaldehid) maka semakin tinggi tingkat oksidasi
lemak.
5.3.6 Kadar Serat Kasar
Bekatul merupakan sumber serat larut dan serat tidak larut yang baik. Serat
yang terdapat dalam bekatul sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain
selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim pencernaan. Bahan yang mengandung banyak serat akan mempercepat
transit time sisa makanan di dalam usus sehingga menjadi lebih pendek. Selain itu
65
serat pangan juga dapat menurunkan kolesterol dalam darah (Rimbawan dan
Siagian, 2004). Berikut merupakan hasil kadar serat kasar bekatul medium dough
stage (MDS) pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Uji Beda (Uji t) Dua Rata-rata Berpasangan Terhadap Kadar
Serat Kasar Bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi
Sampel Kadar Serat Kasar Rata-rata (%) SNI 01-4439-1998
MDS 9,75a
Minimum 10 MDS Terstabilisasi 9,81a
Keterangan: Nilai rata-rata sampel yang ditandai huruf yang sama menyatakan bahwa kadar serat
kasar bekatul MDS dan MDS Terstabilisasi tidak berbeda nyata menurut uji beda (uji
t) dua rata-rata berpasangan pada taraf 5%.
Berdasarkan hasil uji beda (uji t) dua rata-rata berpasangan pada Tabel 11
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bekatul medium
dough stage (MDS) terstabilisasi dan non-stabilisasi. Hal tersebut dikarenakan serat
kasar sukar diuraikan walaupun dengan perlakuan suhu pemanasan yang tinggi dan
dalam waktu yang lama. Menurut Winarno (2008), selulosa dan hemiselulosa lebih
sukar untuk diuraikan dan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut, yaitu memberi
bentuk atau struktur pada tanaman, tidak larut dalam air dingin maupun air panas,
tidak dapat dicerna oleh cairan pencernaan manusia sehingga tidak dapat
menghasilkan energi, dapat membantu melancarkan pencernaan makanan, dan
dapat dipecah menjadi satuan-satuan glukosa oleh enzim dan mikroba tertentu.
5.3.7 Kadar Klorofil
Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga, dan
bakteri fotosintetik. Pigmen ini berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan
dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia. Klorofil
mempunyai rantai fitil (C20H39O) yang akan berubah menjadi fitol (C20H39OH) jika
66
terkena air dengan katalisator klorofilase. Fitol adalah alkohol primer jenuh yang
mempunyai daya afinitas yang kuat terhadap O2 dalam proses reduksi klorofil
(Muthalib, 2009). Berikut merupakan hasil kadar klorofil bekatul medium dough
stage (MDS) pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Analisis Kadar Klorofil Bekatul
Sampel Klorofil (mg/l)
a b Total
MDS 0,1478 1,6994 1,8484
MDS Terstabilisasi 0,0487 1,1233 1,1725
Berdasarkan hasil analisis kadar klorofil pada Tabel 12 terlihat bahwa kadar
total klorofil tertinggi terdapat pada bekatul medium dough stage (MDS) non-
stabilisasi. Hal ini dikarenakan proses stabilisasi akan mendegradasi klorofil
sehingga kadar total klorofil akan menurun. Menurut Gross (1991), pigmen klorofil
memiliki sifat karakteristik yang tidak stabil. Klorofil sangat rentan terhadap
cahaya, panas, proses oksidasi, dan degradasi secara kimia. Selain itu klorofil juga
bersifat larut dalam lemak serta zat pelarut seperti acetone, methanol, bahkan larut
dalam air.
5.4 Karakteristik Organoleptik
5.4.1 Uji Hedonik
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk
bekatul yang dapat diterima oleh konsumen, maka dari itu diperlukan adanya uji
hedonik. Uji hedonik merupakan pengujian terhadap tanggapan pribadi panelis
tentang suka atau tidak suka berdasarkan tingkatannya. Tujuan dilakukan uji
penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik
67
tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, tanggapan senang atau
suka harus pula diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat
umum atau mewakili suatu populasi masyarakat tertentu (Soewarno, 1985).
Pengujian hedonik ini dilakukan dengan memberikan sampel bekatul
kepada panelis untuk diberi nilai dari 1 (sangat tidak suka) hingga 5 (sangat suka).
Nilai-nilai tersebut kemudian akan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam.
Data hasil uji hedonik terhadap bekatul medium dough stage (MDS) dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13. Rata-rata Hasil Karakteristik Organoleptik Uji Hedonik Bekatul
MDS dan MDS Terstabilisasi
Karakteristik MDS MDS Terstabilisasi
Warna 3,33a 3,27a
Aroma 2,91a 3,09a
Tekstur 3,76a 3,47a Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang sama menyatakan bahwa
karakteristik bekatul tidak berbeda nyata menurut analisis sidik ragam.
.
Berdasarkan hasil karakteristik organoleptik uji hedonik bekatul medium
dough stage (MDS) pada Tabel 13, panelis memiliki anggapan bahwa produk
bekatul medium dough stage terstabilisasi tidak memiliki perbedaan karakteristik
yang signifikan jika dibandingkan dengan produk bekatul non-stabilisasi.
a. Warna
Berdasarkan karakteristik warna, nilai rata-rata kesukaan tertinggi terdapat
pada bekatul medium dough stage non-stabilisasi (3,33), dan kemudian diikuti oleh
bekatul medium dough stage terstabilisasi (3,27). Nilai-nilai tersebut menandakan
panelis agak suka dengan karakteristik warna dari bekatul yang diujikan. Warna
bekatul pada umumnya adalah krem atau coklat muda (Nursalim dan Yetti, 2007
dikutip Arnisam, dkk., 2013), sementara warna bekatul yang diujikan adalah kuning
68
kehijauan dan kekuningan, sedikit warna hijau ini berasal dari klorofil yang
terkandung pada bekatul medium dough stage.
b. Aroma
Berdasarkan karakteristik aroma, nilai rata-rata kesukaan tertinggi terdapat
pada bekatul medium dough stage terstabilisasi (3,09), dan kemudian diikuti oleh
bekatul medium dough stage non-stabilisasi (2.91). Nilai-nilai tersebut menandakan
panelis agak suka dengan karakteristik aroma dari bekatul yang diujikan. Selain itu
walaupun perbedaannya tidak signifikan, bekatul terstabilisasi cenderung memiliki
aroma yang lebih baik dibandingkan bekatul non-stabilisasi. Hal ini dikarenakan
proses stabilisasi akan meniadakan aktivitas enzim lipase penyebab ketengikan
pada bekatul.
c. Tekstur
Berdasarkan karakteristik tekstur, nilai rata-rata kesukaan tertinggi terdapat
pada bekatul medium dough stage non-stabilisasi (3,76), dan kemudian diikuti oleh
bekatul medium dough stage terstabilisasi (3,47). Nilai-nilai tersebut menandakan
panelis agak suka dengan karakteristik tekstur dari bekatul yang diujikan. Tekstur
bekatul cenderung akan lebih kasar dibandingkan dengan tepung pada umumnya.
Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar pada bekatul yang cukup tinggi yaitu
sebesar 7-11,4% (Luh, 1991).
5.4.2 Uji Deskripsi
Uji deskripsi merupakan penilaian sensorik yang berdasarkan sifat-sifat
sensorik yang lebih kompleks, meliputi banyak sifat sensorik yang dinilai dan
dianalisis secara keseluruhan menggunakan grafik majemuk. Uji deskripsi ini
69
dinyatakan dengan uji skalar garis, yaitu menggunakan suatu garis lurus yang
mempunyai titik pangkal dan arah sepanjang garis itu dibuat skala dengan jarak
yang sama.
Setelah diperoleh hasil uji hedonik yang ternyata cukup seragam
kesukaannya yaitu agak suka baik dari segi warna, aroma, dan tekstur, selanjutnya
dilakukan uji deskripsi supaya lebih menunjukkan perbedaan karakteristik dari
bekatul yang diujikan. Hasil uji deskripsi bekatul medium dough stage (MDS) dapat
dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 28.
Tabel 14. Rata-rata Hasil Karakteristik Organoleptik Uji Deskripsi Bekatul
MDS dan MDS Terstabilisasi
Karakteristik MDS MDS Terstabilisasi
Warna 5,03 3,15
Aroma 3,94 4,26
Tekstur 5,20 4,93
Gambar 28. Hasil Karakteristik Organoleptik Uji Deskripsi Bekatul MDS
dan MDS Terstabilisasi
a. Warna
Dari grafik hasil uji deskripsi pada Gambar 28 dapat terlihat bahwa bekatul
medium dough stage non-stabilisasi (5,03) memiliki keunggulan dari segi warna
0
2
4
6Warna
AromaTekstur
Grafik Uji Deskripsi
MDSMDS Terstabilisasi
70
yaitu kuning kehijauan dikarenakan garis grafiknya berada di bagian paling luar
dibandingkan dengan bekatul medium dough stage terstabilisasi (3,15) yaitu
kekuningan.
b. Aroma
Untuk segi aroma, semakin garis grafik berada di luar maka aromanya akan
semakin segar dan sebaliknya jika garis grafik berada di dalam maka aromanya
akan semakin tengik. Bekatul medium dough stage terstabilisasi (4,26) memiliki
aroma lebih segar dibandingkan dengan bekatul medium dough stage non-
stabilisasi (3,94). Hal ini dikarenakan stabilisasi dapat menginaktivasi enzim lipase
penyebab ketengikan.
c. Tekstur
Untuk segi tekstur, semakin garis grafik berada di luar maka teksturnya akan
semakin halus dan sebaliknya jika garis grafik semakin di dalam maka teksturnya
akan semakin kasar. Bekatul medium dough stage non-stabilisasi (5,20) memiliki
tekstur lebih halus dibandingkan dengan bekatul medium dough stage terstabilisasi
(4,93). Sebenarnya nilai yang diberikan oleh panelis untuk uji deskripsi tekstur
hampir seragam, hal ini cukup sesuai dikarenakan semua sampel telah lolos ayakan
80 mesh.
5.5 Hasil Perlakuan Terbaik Karakteristik Bekatul
Setelah bekatul medium dough stage diuji karakteristiknya baik secara fisik,
kimia, dan organoleptik, selanjutnya dibuat tabel hasil perlakuan terbaik sehingga
diperoleh bekatul medium dough stage yang memiliki karakteristik paling baik.
71
Berikut merupakan hasil perlakuan terbaik bekatul medium dough stage (MDS)
pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Perlakuan Terbaik Karakteristik Bekatul MDS dan MDS
Terstabilisasi
Parameter
Bekatul
MDS MDS
Terstabilisasi
Karakteristik Fisik
Warna L* 66,66a 66,02a
Warna a* -7,32a -6,92a
Warna b* 18,28a 23,08a
Densitas Kamba (g/ml) 0,43a 0,42a
Rendemen (%) - 94,00
Karakteristik Kimia
Kadar Air (bb) (%) 11,00a 6,67b
Kadar Abu (bb) (%) 11,00a 11,00a
Kadar Protein (%) 13,73a 14,02a
Kadar Lemak (%) 15,14a 9,74b
Bilangan TBA (mg malonaldehid/Kg) 0,18 0,14
Kadar Serat Kasar (%) 9,75a 9,81a
Kadar Klorofil (mg/l) 1,8484 1,1725
Karakteristik Organoleptik
Warna Hedonik 3,33a 3,27a
Deskripsi 5,03 3,15
Aroma Hedonik 2,91a 3,09a
Deskripsi 3,94 4,26
Tekstur Hedonik 3,76a 3,47a
Deskripsi 5,20 4,93
Total 8 10
Berdasarkan hasil perlakuan terbaik bekatul medium dough stage (MDS)
pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa bekatul medium dough stage terstabilisasi
memiliki karakteristik lebih baik dibandingkan dengan bekatul medium dough stage
non-stabilisasi. Hal ini memperlihatkan proses stabilisasi sebagian besar akan
meningkatkan kualitas bekatul yang diinginkan sehingga proses stabilisasi telah
tepat untuk dilakukan.
72
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Karakteristik bekatul medium dough stage terstabilisasi dan non-stabilisasi
berbeda nyata pada kadar air dan kadar lemak.
2. Karakteristik bekatul medium dough stage terstabilisasi dan non-stabilisasi
tidak berbeda nyata atau dianggap sama pada warna, densitas kamba, kadar
abu, kadar protein, dan kadar serat kasar.
3. Bekatul medium dough stage terstabilisasi memiliki karakteristik fisik,
kimia, dan organoleptik lebih baik dibandingkan dengan bekatul medium
dough stage non-stabilisasi.
4. Karakteristik bekatul medium dough stage terstabilisasi yang dihasilkan
antara lain: warna (L*: 66,02, a*: -6,92, b*: 23,08), densitas kamba (0,42
g/ml), rendemen (94,00%), kadar air (6,67%), kadar abu (11,00%), kadar
protein (14,02%), kadar lemak (9,74%), bilangan TBA (0,14 mg
malonaldehid/Kg), kadar serat kasar (9,81%), dan kadar klorofil (1,8484
mg/l).
6.2 Saran
Proses stabilisasi pada bekatul medium dough stage memiliki hasil yang
lebih baik apabila ditunjang dengan lamanya waktu penyimpanan. Maka dari itu
perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui hubungan antara proses
stabilisasi dengan umur simpan bekatul.