utama sua ra pembaru an mk belum menjadi benteng konstitusi filetusional warga negara. pelanggaran...

1
[JAKARTA] Kualitas putus- an para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini dinilai terus mengalami penu- runan. MK belum menjadi benteng konstitusi, bahkan hakim MK, yakniAkil Mochtar dan Patrialis Akbar terseret kasus korupsi. Salah satu penyebab, karena beberapa tahun terakhir MK lebih fokus menangani sengketa pemilihan kepala daerah dan pengujian UU yang sarat dengan kepentingan ekonomi, sehingga para hakim konstitusi rawan disuap. Sepanjang 2016, dari 248 perkara yang diputus MK, mayoritas adalah perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP), yakni 152 perkara (61,29%). Proses seleksi calon hakim agung yang sedang dilaksa- nakan saat ini harus dijadikan momentum untuk mengem- balikan muruah MK sebagai pengawal atau penjaga kon- stitusi. Demikian rangkuman pendapat sejumlah pakar hukum tata negara dan hukum pidana yang dirangkum SP di Jakarta, Selasa (14/3). Pakar hukum tata negara, Refly Harun menilai, kualitas putusan hakim MK saat ini terus mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Sejak dibentuk pada 2003, MK sudah memasuki gene- rasi keempat, yakni era kepe- mimpinan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Akil Mochtar, dan Arief Hidayat yang dua kali menjadi ketua MK. Menurut Refly, penurunan kualitas putusan hakim MK terjadi seiring dengan kewe- nangan mengurusi sengketa pilkada. Padahal, seperti yang masyarakat pahami, sengketa pilkada merupakan sektor yang paling “becek”, karena cukup banyak masalah dan kecurang- an mulai dari hulu. “Dari sisi kualitas, putus- an generasi pertama jauh lebih bagus. Hakimnya sangat kelihatan dalam perang inte- lektual. Pada periode mulai munculnya pilkada, konsen- trasi hakim konstitusi lebih kepada aspek lain,” kata Refly. Menurutnya, perkara sengketa pilkada memang merupakan perkara yang paling banyak ditangani MK. Kondisi ini terjadi, karena dalam penyelesaian sengketa pilkada selalu menggunakan pende- katan yudisial. “Harus lebih dipikirkan mencari jalan keluar penyele- saian sengketa pilkada melalui jalur nonyudisial. Jadi, nanti penyelesaian sengketa pilkada bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui jalur yudi- sial dan nonyudisial,” katanya. Pakar hukum tata negara dari Universitas Para- hyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf, menegaskan, hal yang patut menjadi perha- tian bukan memilah-milah perkara pilkada atau bukan. Menurutnya, yang perlu diso- roti adalah kualitas dari putusan yang dikeluarkan MK. Menurut Asep, kualitas putusan MK terkait sengketa pilkada belakangan ini juga terus menurun dan tidak objektif serta tidak sesuai dengan apa yang disampaikan. Penyebabnya, selain perkara yang cukup banyak dan seren- tak, juga waktu penyelesaian- nya yang sangat singkat. Dari sisi integritas hakim konstitusi, ujarnya, masyarakat juga mulai meragukan setelah dua hakim MK terseret kasus korupsi. Proses seleksi calon hakim konstitusi yang tengah berlangsung saat ini harus dijadikan momentum untuk membenahi integritas MK. Perekrutan Hakim Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, mekanisme perekrutan hakim konstitusi perlu diperbaiki untuk men- jamin kualitas dan indenpe- densi MK. Dengan demikian, tidak ada lagi kasus korupsi yang melibatkan hakim MK terkait penanganan perkara, baik sengketa pilkada maupun pengujian UU. “Memang harus ada dukungan untuk bekerja mengawal konstitusi. Caranya dengan memperbaiki proses seleksi hakim konstitusi,” katanya. Perbaikan proses seleksi harus mengutamakan calon hakim konstitusi yang berasal dari partai politik (parpol). Pasalnya, dua hakim yang berasal dari parpol justru terjerat dalam kasus korupsi. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, penanganan perkara sengketa pilkada adalah kewenangan MK yang dimandatkan oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Namun, dia mengingatkan, tugas utama MK adalah mengawal konstitusi yang diamanatkan dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman. Dadang berpandangan, MK harus memiliki manaje- men penanganan kasus yang baik, sehingga tidak terkesan lebih memilih menangani perkara sengketa hasil pilkada dan mengabaikan perkara uji materi UU. Dia juga mene- kankan pentingnya pengawas- an internal agar kasus korup- si tidak menjerat para hakim konstitusi. Pengamat hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Umbu Rauta menambahkan, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang fokus kerja- nya pada penyelesaian seng- keta pelanggaran hak konsti- tusional warga negara. Pelanggaran hak konstitusio- nal warga negara bisa terjadi dalam bentuk penciptaan norma atau kaedah oleh legis- lator maupun tindakan pejabat negara. Hakim MK harus bisa menjaga muruah lembaga itu dalam menjaga dan memben- tengi konstitusi, sehingga UU yang dibuat tidak bertentang- an dengan konstitusi. [Y-7/N-8/142] Utama 2 Suara Pembaruan Selasa, 14 Maret 2017 K ejaksaan Agung (Kejagung) disebut-sebut tengah menga- gendakan pelaksanaan ekse- kusi mati jilid IV. Seperti pelaksana- an eksekusi mati sebelumnya, Kejagung tam- paknya akan menempatkan terpidana mati khusus kasus narkoba dalam daftar. Sumber SP menyebutkan, pelaksanaan eksekusi itu paling cepat dilaksanakan sebelum memasuki bulan puasa Juni 2017. Sedikitnya ada enam terpidana mati yang sudah masuk radar untuk dieksekusi setelah upaya Peninjauan Kembali (PK) sudah final dan permohonan grasi ditolak Presiden. Kendati demikian, disebutkan sumber tersebut, Kejagung sendiri hingga kini terkesan masih ragu untuk tetap melaksanakan eksekusi pada tahun ini mengingat selama ini eksekusi hukuman mati mendapat sorotan dunia internasional. "Pelaksanaan eksekusi mati pada tahun ini belum mendapat lampu hijau dari pemerintah. Masih dikhawa- tirkan berimplikasi pada tenaga kerja asal Indonesia yang mendapatkan hukuman serupa di luar negeri," kata sum- ber SP. Dari data yang ada, sedikitnya terdapat sekitar 228 TKI yang kini terancam hukuman mati. Sebagian besar terancam dieksekusi mati di Malaysia dan Arab Saudi. Belum lagi, saat ini juga tengah melakukan pendamping- an dan mediasi terhadap Siti Aisyah, tenaga kerja yang dituduh terlibat pembunuhan terhadap Kim Jong-nam, kakak tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. [Y-7] MK Belum Menjadi Benteng Konstitusi Eksekusi Mati Tertunda? Perkara yang Telah Diputus Mahkamah Konstitusi (MK) Sepanjang 2016 SUMBER: LAPORAN TAHUNAN MK 2016 Jumlah Perkara: 248 perkara, terdiri atas: 1. Pengujian UU Dikabulkan : 19 perkara. Ditolak : 34 perkara. Tidak Dapat Diterima : 30 perkara. Permohonan Ditarik : 9 perkara. Dinyatakan Gugur : 3 perkara. Tidak Berwenang : 1 TOTAL : 96 perkara (38,71%) 2. Sengketa Pilkada Serentak 2015 Dikabulkan : 3 perkara Ditolak : 5 perkara Ditarik kembali : 6 perkara Tidak Dapat Diterima : 138 perkara TOTAL : 152 (61,29%) [JAKARTA] Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar mengusulkan agar peradilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dibuat di daerah. Pasalnya, sengketa pilkada yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) membuat lembaga itu tidak fokus dalam mengawal konstitusi dan rawan menerima suap dari calon kepala daerah. Menurut Fickar, sebelum ada UU Pilkada yang baru, penyelesaian sengketa pilkada dilakukan di wila- yah masing-masing, yakni penga- dilan tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Penyelesaian seng- keta pilkada bukan rezim pemilu, namun diserahkan ke rezim peme- rintahan daerah,” kata Fickar kepa- da SP di Jakarta, Selasa (14/3). Untuk itu, dia mendorong sege- ra dibentuk pengadilan khusus untuk menangani sengketa pilkada. Peradilan itu bisa dibuat di masing -masing provinsi agar prosesnya tidak memakan waktu lama. Dikatakan, peradilan khusus menangani sengketa pilkada di daerah itu maka bisa menempel di setiap pengadilan negeri. Artinya, penyelesaian sengketa pilkada menjadi peradilan khusus yang menempel ke peradilan umum. “Kalau peradilan khsusus, tentu perlu ada hakim ad hoc dan hakim karier. Hakim karier diperlukan terkait sisi hukum pidana, sementa- ra hakim ad hoc bisa diambil dari masyarakat untuk fokus ke masalah pilkada,” tuturnya. Fickar juga mengatakan, MK belum menjadi pengawal dan pene- gak konstitusi, karena lebih banyak menangani sengketa pemilu, teru- tama pilkada, dan pengujian undang- undang (UU) kasus yang sarat dengan praktik suap. Tidak Kebal Di sisi lain, hakim konstitusi ternyata tidak kebal terhadap goda- an korupsi atau suap. Hal itu ter- bukti dengan kasus Ketua MK Akil Mochtar dan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang ikut terseret dalam pusaran korupsi. Pandangan berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraini. Menurutnya, proses penyelesaian sengketa hasil pilkada sebaiknya tetap dilakukan di Jakarta. Hal itu dianggap penting untuk mencegah konflik di daerah. “Ada keuntung- annya juga dilakukan di Jakarta, karena bisa menjadi medium untuk mencegah konflik,” kata Titi. Dikatakan, penyelesaian seng- keta pilkada di daerah membutuhkan anggaran pembentukan struktur yang cukup besar. “Sekarang ini tinggal manajemen pengelolaan perkara saja yang lebih disederhanakan dan murah. Misalnya, sekarang sidang di MK boleh memakai video jarak jauh. Alat bukti juga nanti apakah mung- kin otomatisasi dokumen,” ujarnya. Dia juga berpandangan, pera- dilan khusus untuk menangani sengketa pilkada harus tetap meng- induk ke MK atau MA. Untuk itu, menurutnya, ketika pelaksanaan pilkada serentak sudah kian terstruk- tur dan teratur, maka MK bisa tetap menjadi lembaga yang mengadili sengketa hasil pilkada. [H-14/C-6] Bentuk Peradilan Sengketa Pilkada di Daerah Terkait halaman >4

Upload: dinhque

Post on 27-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Utama Sua ra Pembaru an MK Belum Menjadi Benteng Konstitusi filetusional warga negara. Pelanggaran hak konstitusio-nal warga negara bisa terjadi dalam bentuk penciptaan norma atau

[JAKARTA] Kualitas putus-an para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini dinilai terus mengalami penu-runan. MK belum menjadi benteng konstitusi, bahkan hakim MK, yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar terseret kasus korupsi.

Salah satu penyebab, karena beberapa tahun terakhir MK lebih fokus menangani sengketa pemilihan kepala daerah dan pengujian UU yang sarat dengan kepentingan ekonomi, sehingga para hakim konstitusi rawan disuap. Sepanjang 2016, dari 248 perkara yang diputus MK, mayoritas adalah perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP), yakni 152 perkara (61,29%).

Proses seleksi calon hakim agung yang sedang dilaksa-nakan saat ini harus dijadikan momentum untuk mengem-balikan muruah MK sebagai pengawal atau penjaga kon-stitusi. Demikian rangkuman pendapat sejumlah pakar hukum tata negara dan hukum pidana yang dirangkum SP di Jakarta, Selasa (14/3).

Pakar hukum tata negara, Refly Harun menilai, kualitas putusan hakim MK saat ini terus mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Sejak dibentuk pada 2003, MK sudah memasuki gene-rasi keempat, yakni era kepe-mimpinan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Akil Mochtar, dan Arief Hidayat yang dua kali menjadi ketua MK.

Menurut Refly, penurunan kualitas putusan hakim MK terjadi seiring dengan kewe-nangan mengurusi sengketa pilkada. Padahal, seperti yang masyarakat pahami, sengketa pilkada merupakan sektor yang paling “becek”, karena cukup banyak masalah dan kecurang-an mulai dari hulu.

“Dari sisi kualitas, putus-an generasi pertama jauh lebih bagus. Hakimnya sangat kelihatan dalam perang inte-lektual. Pada periode mulai

munculnya pilkada, konsen-trasi hakim konstitusi lebih kepada aspek lain,” kata Refly.

Menurutnya, perkara sengketa pilkada memang merupakan perkara yang paling banyak ditangani MK. Kondisi ini terjadi, karena dalam penyelesaian sengketa pilkada selalu menggunakan pende-katan yudisial.

“Harus lebih dipikirkan mencari jalan keluar penyele-saian sengketa pilkada melalui jalur nonyudisial. Jadi, nanti penyelesaian sengketa pilkada bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui jalur yudi-sial dan nonyudisial,” katanya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Para-hyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf, menegaskan, hal yang patut menjadi perha-tian bukan memilah-milah perkara pilkada atau bukan. Menurutnya, yang perlu diso-roti adalah kualitas dari putusan yang dikeluarkan MK.

Menurut Asep, kualitas putusan MK terkait sengketa

pilkada belakangan ini juga terus menurun dan tidak objektif serta tidak sesuai dengan apa yang disampaikan. Penyebabnya, selain perkara yang cukup banyak dan seren-tak, juga waktu penyelesaian-nya yang sangat singkat.

Dari sisi integritas hakim konstitusi, ujarnya, masyarakat juga mulai meragukan setelah dua hakim MK terseret kasus korupsi. Proses seleksi calon hakim konstitusi yang tengah berlangsung saat ini harus dijadikan momentum untuk membenahi integritas MK.

Perekrutan HakimWakil Koordinator

Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, mekanisme perekrutan hakim konstitusi perlu diperbaiki untuk men-jamin kualitas dan indenpe-densi MK. Dengan demikian, tidak ada lagi kasus korupsi yang melibatkan hakim MK terkait penanganan perkara, baik sengketa pilkada maupun

pengujian UU.“Memang harus ada

dukungan untuk bekerja mengawal konstitusi. Caranya dengan memperbaiki proses seleksi hakim konstitusi,” katanya. Perbaikan proses seleksi harus mengutamakan calon hakim konstitusi yang berasal dari partai politik (parpol). Pasalnya, dua hakim yang berasal dari parpol justru terjerat dalam kasus korupsi.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, penanganan perkara sengketa pilkada adalah kewenangan MK yang dimandatkan oleh UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Namun, dia mengingatkan, tugas utama MK adalah mengawal konstitusi yang diamanatkan dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dadang berpandangan, MK harus memiliki manaje-men penanganan kasus yang baik, sehingga tidak terkesan lebih memilih menangani perkara sengketa hasil pilkada dan mengabaikan perkara uji materi UU. Dia juga mene-kankan pentingnya pengawas-an internal agar kasus korup-si tidak menjerat para hakim konstitusi.

P e n g a m a t h u k u m Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Umbu Rauta menambahkan, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang fokus kerja-nya pada penyelesaian seng-keta pelanggaran hak konsti-tusional warga negara. Pelanggaran hak konstitusio-nal warga negara bisa terjadi dalam bentuk penciptaan norma atau kaedah oleh legis-lator maupun tindakan pejabat negara.

Hakim MK harus bisa menjaga muruah lembaga itu dalam menjaga dan memben-tengi konstitusi, sehingga UU yang dibuat tidak bertentang-an dengan konstitusi. [Y-7/N-8/142]

Utama2 Sua ra Pem ba ru an Selasa, 14 Maret 2017

Kejaksaan Agung (Kejagung) disebut-sebut tengah menga-gendakan pelaksanaan ekse-

kusi mati jilid IV. Seperti pelaksana-an eksekusi mati sebelumnya, Kejagung tam-

paknya akan menempatkan terpidana mati khusus kasus narkoba dalam daftar.

Sumber SP menyebutkan, pelaksanaan eksekusi itu paling cepat dilaksanakan sebelum memasuki bulan puasa Juni 2017. Sedikitnya ada enam terpidana mati yang sudah masuk radar untuk dieksekusi setelah upaya Peninjauan Kembali (PK) sudah final dan permohonan grasi ditolak Presiden.

Kendati demikian, disebutkan sumber tersebut, Kejagung sendiri hingga kini terkesan masih ragu untuk tetap melaksanakan eksekusi pada tahun ini mengingat selama ini eksekusi hukuman mati mendapat sorotan dunia internasional.

"Pelaksanaan eksekusi mati pada tahun ini belum mendapat lampu hijau dari pemerintah. Masih dikhawa-tirkan berimplikasi pada tenaga kerja asal Indonesia yang mendapatkan hukuman serupa di luar negeri," kata sum-ber SP.

Dari data yang ada, sedikitnya terdapat sekitar 228 TKI yang kini terancam hukuman mati. Sebagian besar terancam dieksekusi mati di Malaysia dan Arab Saudi. Belum lagi, saat ini juga tengah melakukan pendamping-an dan mediasi terhadap Siti Aisyah, tenaga kerja yang dituduh terlibat pembunuhan terhadap Kim Jong-nam, kakak tiri pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. [Y-7]

MK Belum Menjadi Benteng Konstitusi

Eksekusi Mati Tertunda?

Perkara yang Telah Diputus Mahkamah Konstitusi (MK) Sepanjang 2016

Sumber: Laporan Tahunan mK 2016

Jumlah Perkara: 248 perkara, terdiri atas:

1. Pengujian UUDikabulkan : 19 perkara.Ditolak : 34 perkara.Tidak Dapat Diterima : 30 perkara.Permohonan Ditarik : 9 perkara.Dinyatakan Gugur : 3 perkara.Tidak Berwenang : 1TOTAL : 96 perkara (38,71%)

2. Sengketa Pilkada Serentak 2015Dikabulkan : 3 perkaraDitolak : 5 perkaraDitarik kembali : 6 perkaraTidak Dapat Diterima : 138 perkaraTOTAL : 152 (61,29%)

[JAKARTA] Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar mengusulkan agar peradilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dibuat di daerah. Pasalnya, sengketa pilkada yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) membuat lembaga itu tidak fokus dalam mengawal konstitusi dan rawan menerima suap dari calon kepala daerah.

Menurut Fickar, sebelum ada UU Pilkada yang baru, penyelesaian sengketa pilkada dilakukan di wila-yah masing-masing, yakni penga-dilan tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Penyelesaian seng-keta pilkada bukan rezim pemilu,

namun diserahkan ke rezim peme-rintahan daerah,” kata Fickar kepa-da SP di Jakarta, Selasa (14/3).

Untuk itu, dia mendorong sege-ra dibentuk pengadilan khusus untuk menangani sengketa pilkada. Peradilan itu bisa dibuat di masing-masing provinsi agar prosesnya tidak memakan waktu lama.

Dikatakan, peradilan khusus menangani sengketa pilkada di daerah itu maka bisa menempel di setiap pengadilan negeri. Artinya, penyelesaian sengketa pilkada menjadi peradilan khusus yang menempel ke peradilan umum.

“Kalau peradilan khsusus, tentu perlu ada hakim ad hoc dan hakim

karier. Hakim karier diperlukan terkait sisi hukum pidana, sementa-ra hakim ad hoc bisa diambil dari masyarakat untuk fokus ke masalah pilkada,” tuturnya.

Fickar juga mengatakan, MK belum menjadi pengawal dan pene-gak konstitusi, karena lebih banyak menangani sengketa pemilu, teru-tama pilkada, dan pengujian undang- undang (UU) kasus yang sarat dengan praktik suap.

Tidak KebalDi sisi lain, hakim konstitusi

ternyata tidak kebal terhadap goda-an korupsi atau suap. Hal itu ter-bukti dengan kasus Ketua MK Akil

Mochtar dan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang ikut terseret dalam pusaran korupsi.

Pandangan berbeda disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraini. Menurutnya, proses penyelesaian sengketa hasil pilkada sebaiknya tetap dilakukan di Jakarta. Hal itu dianggap penting untuk mencegah konflik di daerah. “Ada keuntung-annya juga dilakukan di Jakarta, karena bisa menjadi medium untuk mencegah konflik,” kata Titi.

Dikatakan, penyelesaian seng-keta pilkada di daerah membutuhkan anggaran pembentukan struktur yang

cukup besar. “Sekarang ini tinggal manajemen pengelolaan perkara saja yang lebih disederhanakan dan murah. Misalnya, sekarang sidang di MK boleh memakai video jarak jauh. Alat bukti juga nanti apakah mung-kin otomatisasi dokumen,” ujarnya.

Dia juga berpandangan, pera-dilan khusus untuk menangani sengketa pilkada harus tetap meng-induk ke MK atau MA. Untuk itu, menurutnya, ketika pelaksanaan pilkada serentak sudah kian terstruk-tur dan teratur, maka MK bisa tetap menjadi lembaga yang mengadili sengketa hasil pilkada. [H-14/C-6]

Bentuk Peradilan Sengketa Pilkada di Daerah

Terkait halaman >4