usul fikih mt

98
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sebelum kita masuk kedalam pembahasan, haruslah kita fahami dulu sebenarnya yang dibenarkan dalam Islam. Supaya kita tidak terjerumus pada permainan kata-kata atau bahkan dengan sengaja atau tidak sengaja mempermainkan syari’at sebagaimana yang seringkali dilakukan oleh kaum sekuler dan Islam liberal. Banyak kita temukan orang-orang dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan maslahat semata, dalam ushul fiqih ini dikenal dengan “mashalih murshalah”, baik perkara individu, jamaah maupun negara. Segala sesuatu dianggap benar jika ada maslahatnya, serta salah jika tidak ada maslahatnya meskipun sesuai dengan syari’at. Padahal para Imam Madzhab dan fuqaha menyatakan bahwa mashalih murshalah bukanlah dalil.Akibatnya terjadi kerancuan dalam berbagai hal, yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan. Bagi kaum muslimin, semua tentang dien harus bersumber dari Al Quran dan Sunnah yang shohih menurut pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya. Dien menurut pandangan Islam adalah apa-apa yang telah ditentukan oleh Allah dalam kitabnya yang bijaksana dan Sunnah Nabi-Nya yang shohih, baik berupa perintah, 1

Upload: abdulloh-khoirul-azam

Post on 23-Oct-2015

215 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: Usul Fikih Mt

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sebelum kita masuk kedalam pembahasan, haruslah kita fahami dulu sebenarnya

yang dibenarkan dalam Islam. Supaya kita tidak terjerumus pada permainan kata-kata

atau bahkan dengan sengaja atau tidak sengaja mempermainkan syari’at sebagaimana

yang seringkali dilakukan oleh kaum sekuler dan Islam liberal.

Banyak kita temukan orang-orang dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan

maslahat semata, dalam ushul fiqih ini dikenal dengan “mashalih murshalah”, baik

perkara individu, jamaah maupun negara. Segala sesuatu dianggap benar jika ada

maslahatnya, serta salah jika tidak ada maslahatnya meskipun sesuai dengan syari’at.

Padahal para Imam Madzhab dan fuqaha menyatakan bahwa mashalih murshalah

bukanlah dalil.Akibatnya terjadi kerancuan dalam berbagai hal, yang halal diharamkan

dan yang haram dihalalkan.

Bagi kaum muslimin, semua tentang dien harus bersumber dari Al Quran dan

Sunnah yang shohih menurut pemahaman para sahabat dan orang-orang yang

mengikutinya. Dien menurut pandangan Islam adalah apa-apa yang telah ditentukan

oleh Allah dalam kitabnya yang bijaksana dan Sunnah Nabi-Nya yang shohih, baik

berupa perintah, larangan, maupun petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan

di akhirat.

Dari Anas r.a., ia telah berkata; Telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila ada

sesuatu urusan duniamu, maka kamu lebih mengetahu. Dan apabila ada urusan

agamamu, maka kembalikan padaku.” (H.R. Ahmad). Hadits ini mununjukkan bahwa

apapun urusan agama mutlak harus mengacu pada Nabi, sementara urusan dunia bebas

terserah kita selama tidak diatur oleh agama dan tidak bertentangan dengan Al Quran

dan Sunnah.

Pada dasarnya urusan duniawi boleh, dan tidak terlarang, kecuali ada keterangan

yang melarang, mengharamkan, dan bukan mencari dalil yang menghalalkan. Perbuatan

1

Page 2: Usul Fikih Mt

yang ditinggalkan Rasullullah SAW ada dua bagian, yaitu: (1) Ada yang menjadi

Bid’ah; (2) Ada yang menjadi Maslahat Mursalah.

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN

Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah.

Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan

menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki

dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat .(سلبي)

Sedangkan mursalah artiya lepas.

Sedangkan secara terminologi terkandung dalam beberapa pendapat para ulama :

1. Imam ‘Izudin bin Abdus Salam: (Maslahat memiliki dua bentuk; pertama tinjauan

hakiki yaitu membuat tentram dan nyaman, kedua majazi yaitu sebab-sebabnya. Ini

dapat kita katakan bahwa terwujudnya maslahat itu disebabkan karena adanya mafsadat.

Sebagai contoh, memotong tangan pencuri hakekatnya adalah menghilangkan cara dan

perbuatannya. Merajam orang yang berjina serta menjilidnya merupakan pengasingan (

(تغريب atas perbuatan mereka. Jadi intinya, semua hukuman dalam syari’at jangan

dipahami sebagai mafsadat, bahkan hal itu merupakan maksud dari syari’at

(memberikan kemaslahatan bagi manusia).

2. Syaikh Thohir bin ‘Asur salah satu ulama kontemporer: (bahwa maslahat disandarkan

pada pekerjaan yang memberikan manfaat selamanya bagi semua manusia atau dirinya

sendiri)

3. Ibnu Taimiyah: (maslahat dalam pandangan mujtahid adalah perbuatan yang

mendatangkan manfaat yang benar dan bukan bersumber dari syari’at yang tidak

bermanfaat) serta Al-Khawarijmi memberikan pandangannya seputar maslahat ini yaitu

menjaga maksud dari hukum dengan menafikan segala bentuk mafsadat dari penciptaan

4. Ar-Raisuni mengatakan hakekat maslahat adalah setiap ketentraman dan kesenangan

jasmani, jiwa, akal dan rohani,. Sedangkan hakekat mafsadat adalah setiap hal yang

merusak jasmani, jiwa, akal dan rohani. Ar-Roji mengatakan bahwa tidak ada

interpretasi lain untuk masalahat kecuali ketentraman (al-ladāh) karena hal itu

2

Page 3: Usul Fikih Mt

merupakan akses terhadapnya (baca:maslahat). Serta tidak ada pengertian lain untuk

mafsadat kecuali kerusakan sebagai bagian darinya1[1].

5. Abdul Wahhab Khallaf, mashalihul mursalah adalah sesuatu yang dianggap maslahat

namun tidak ada ketegasan hukum yang merealisasikannya dan tidak ada pula dalil

tertentu baik yang mendukung ataupun menolaknya2[2].

Dari paparan pengertian diatas, baik dari tinjauan etimologi maupun terminologi

kita bisa menarik konklusi bahwa yang disebut dengan maslahat adalah suatu perbuatan

hukum yang mengandung manfaat dan ketentraman bagi semua manusia atau dirinya

sendiri terhadap jasmani, jiwa, akal serta rohani dengan tujuan untuk menjaga maqhasid

asy-syari’ah.

.2. Tinjauan Mashlahat Mursalah

Dari pengertian yang diberikan oleh para ulama’ ada dua versi

pengertian untuk maslahat mursalah ini yaitu sebagai berikut:

1. kemashlahatan itu tidak ada dalilnya dari syariat yang khusus mengenai persoalan

tersebut yang menetapkan atau menolaknya.

2. kemashlahatan itu termasuk dalam keumuman dalil-dalil syar’I yang menetapkannya

atau menolaknya, meskipun tidak ada dalil khusus yang berkaitan dengan masalah

tersebut3[3].

Pada pengertian yang pertama di atas jelas jika yang dimaksud dengan maslahat

mursalah itu seperti pengertian tersebut maka hal itu adalah bertentangan dengan

kesempurnaan Islam.

Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan

kepadamu nikmat-Ku………….…” (Al-Maidah: 3)

Oleh karena itu Allah tidak membiarkan kita begitu saja untuk menganggap 

maslahat dan menganggap baik sesuai dengan hawa nafsu kita dalam masalah syar’I dan

agama. Allah berfirman:

1[1] http;//pwkpersis.wordpress.com2[2] Efendi Satria, Ushul Fiqh3[3] http:milhan.blog.friendster.com

3

Page 4: Usul Fikih Mt

“ Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung

jawaban).” (Al-Qiyamah: 36)

Oleh karena Itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam

kitab Ash-Shorimul Maslul:Tidak boleh menetapkan hukum dengan sekedar

menggunakan istihsan atau istishlah, karena hal tersebut merupakan bentuk pembuatan

syari’at berdasarkan akal.

Dan banyak orang mengira bahwa sesuatu itu bermanfaat bagi agama dan dunia

padahal sebenarnya ia lebih dekat dengan mudlarat, sebagaimana yang Allah

katakan tentang khamar dan judi: “Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa

yang besar dan juga terdapat beberapa manfa’at bagi manusia namun dosa

keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”

Imam Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: ”Oleh karena itu para penganut

madzhab menetapkan maslahat mursalah itu bukanlah hujjah dalam agama Allah. ”

(Lihat Mudzakirotul Ushul karangan Asy-Syinqithi hal. 170)

Adapun para ulama’ yang menggunakan maslahah mursalah dibawa kepada

pengertian maslahah mursalah yang kedua.

Oleh karena itu Abu Hasan Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam

IV/216 setelah beliau menyebutkan pembagian maslahat ada yang dianggap

syah oleh syar’I, ada yang ditolak oleh syar’I dan ada pula yang dibiarkan

oleh syar’ii yang kemudian dikenal dengan maslahah mursalah. Beliau

mengatakan: “Para fuqoha’ dari kalangan syafi’iyyah, hanafiyyah dan yang lainnya

telah

sepakat atas tidak bolehnya berpegang dengan maslahat mursalah tersebut

dan inilah pendapat yang benar, namun sebuah riwayat menyebutkan bahwa

Imam Malik menggunakan maslahatan tersebut, namun para sahabatnya

mengingkari bahwasanya Imam Malik berpendapat seperti itu. Mungkin jika

periwayatan itu benar maka yang paling mendekati bahwasanya ia tidak

berpendapat untuk semua kemaslahatan. Akan tetapi hal tersebut hanya

berlaku untuk kemaslahatan yang Dlaruriyyah, Kulliyyah dan Qath’iyyah,

bukan pada kemaslahatan yang tidak Dlaruri, Kulli dan Qath’i. Hal itu

sebagaimana jika orang-orang kafir melakukan tatarrus dengan sekelompok

4

Page 5: Usul Fikih Mt

kaum muslimin. Seandainya kita menahan diri tidak memerangi mereka mereka

pasti akan menguasai negeri kaum muslimin. Dan mereka akan memusnahkan

kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Namun jika kita memerangi mereka, akan

teratasi mafsadah yang akan menimpa kaum muslimin secara qath’i meskipun

dalam hal ini harus membunuh orang yang tidak berdosa.Pembunuhan seperti ini

meskipun dibenarkan namun tidak ada nas yang mengiyakannya atau melarangnya.

Jika hal ini dapat dipahami maka sebenarnya kemaslahatan itu hanya

berkisar pada dua saja yaitu yang dinyatakan oleh syar’I atau yang ditentang oleh syar’i.

Ulama Mazhab Malikiyah dan Hanabilah mengakuinya dengan menetapkan

syarat-syarat sebagai berikut:

a) Ada kesesuaian antara kemaslahatan yang dianggap sebagai dasar

yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat dengan demikian maka ia

tidak mengorbankan maslah-masalah pokok dan tidak bertentangan dengan

dalil-dalil qath’i.

b) Kemaslahatan itu sendiri rasional, sejalan dengan sifat-sifat yang pantas dan masuk

akal.

c) Pelaksanaan kemaslahatan itu benar-benar dapat menghilangkan kesulitan.

Penggunaan maslahat tanpa persyaratan tertentu dikhawatirkan akan mengikuti

hawa nafsu belaka, oleh karena itu di perlukan syarat-syarat tertentu agar penggunaan

maslahat tetap dalam nilai-nilai syariah.4[4]

Ulama Mazhab Hanafiyah dan asy syafi’iyah tidak melihat sebagai

dasar yang berdiri sendiri, namun memasukkannya kedalam qiyas. (Lihat;

Ushul Fiqih karangan Abu Zahroh hal. 279-280).

Diantara syarat yang lain adalah dalam kitab Irsyadul Fuhul hal. 242 dikatakan

”Jika kemaslahatan tersebut Dlarudiyyah, Qath’iyyah dan Kulliyyah maka

kemaslahatan tersebut diakui namun jika salah satu dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi

maka kemasslahatan tersebut tidak bisa diterima.

Yang dimaksud dengan Dharuriyyah adalah hendaknya kemaslahatan yang hendak

dicapai itu termasuk dari bagian dharuriyyatul khamsah. Qath’iyyah adalah kepastian

manfaat yang akan ada. Dan yang dimaksud dengan Kulliyyah adalah berlaku untuk

4[4] Prof. A. Djazul, Ilmu Fiqh

5

Page 6: Usul Fikih Mt

seluruh kaum muslimin dan tidak hanya berlaku unuk sebagian kaum muslimin atau

suatu keadaan tertentu saja

Inilah yang dipilih oleh Imam Al-Ghazali rahimahullah dan Imam Al-Baidhawi

rahimahullah, dan Imam Al-Ghazali rahimahullah memberikan permisalan dengan

masalah tatarrus ( Ketika non muslim menawan muslim sebagai perisai untuk

menghindari serangan).”

Dengan demikian maka pada pengertian yang kedua ini tepatlah jika Imam Al-Qarrafi

mengatakan:”Setelah diteliti sebenarnya maslahat mursalah itu digunakan oleh seluruh

madzhab.”

3. Pembagian Maslahat

Maslahat secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya:

Pertama, mashalih al-mu’tabiroh yaitu maslahat yang terdapat pada hukum yang

ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Pada pointer ini syari’at

menjelaskan secara langsung (tekstual) melalui nash atau ijmā’ atau dengan hukum

yang disepakati oleh nash dan ijmā’ diantaranya -seperti pendapat Al-Ghazali- qiyas.

Elemen yang membentuk maslahat pada marhalah ini seperti menjaga agama (khifdzu

al-din) yaitu perintah untuk jihad dan memerangi orang-orang yang murtad, menjaga

jiwa (khifdzu an-nafs) yaitu dengan memberikan hukuman qishas terhadap orang yang

melakukan pembunuhan dengan sengaja, menjaga akal (khifdzu al-‘aql) yaitu

menerapkan sanksi atas orang yang minum khamar, menjaga keturunan (khifdzu an-

nasl/al-‘irdh) yaitu menghukum pelaku yang berbuat zina dan menjaga harta (khifdzu

al-mal) yaitu mengharamkan pencurian dan memotong tangan bagi orang yang

melakukan hal itu. Ini semua dikenal dengan istilah ushūlul khomsah atau sifatnya

dhoruriyah.

Kedua, mashalihul mulghōh yaitu maslahat yang dianggap invalid oleh syariah atau

dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya diingkari

oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina bisa disebut

maslahah tetapi ia dibatalkan oleh syariah melalui nash-nash yang ada. Demikian juga

maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.

6

Page 7: Usul Fikih Mt

Ketiga, mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha. yaitu maslahat yang

keberadaanya secara langsung tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada

nash yang dengan jelas membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah

bagi kedua pasangan yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau

pemerintah tidak menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan.

Akte nikah dalam hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-

Qur'an oleh Abu Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman. Sahabat

mendirikan penjara, mencetak mata uang, atau menetapkan tanah pertanian yang

menjadi milik bagi orang yang membuka lahan tersebut5[5].

Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati

ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.

Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan.

Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil

(argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah

boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa

maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa

suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan

kulliyah (menyeluruh).

Contoh dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu

kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan

tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam

kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut

maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.

Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan

orang kafir terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi

agama dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu

perkiraan bahwa seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh,

sudah pasti pasukan kafir tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang

terakhir adalah kriteria kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak dibunuh,

5[5] Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh

7

Page 8: Usul Fikih Mt

maka justru ketika berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang kafir itu akan

membunuh semua umat Islam termasuk para tawanan muslim tadi.(6

Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa

dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik

tolak.

Kelima syarat tersebut ialah:

1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.

2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.

3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.

4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).

5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau

maslahat yang sejajar dengannya6[6].

4. Dalil Mengamalkan Mashalihul Mursalah

Naqli :

v Al-Qu’ran

Sebagaimana firman Allah SWT { األبصارل أولي يا surat Al-Hasyr{فاعتبروا

ayat 2. Allah memerintahkan kepada menusia untuk senantiasa menyelami hukum-

hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk menentukan syari’at yang tidak

disinggung secara literal. Ini mengindikasikan tentang kebolehan umat Islam untuk

berijtihad dengan melewati (mujawaz)teks sekalipun asalkan tidak bertujuan untuk

mendekonstruksi ajaran Islam itu sendiri.

v Sunnah

Rosullullah memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad

dalam tataran makna nash Al-Qur’an yang global tatkala nash khusus tidak menyentuh

wilayah tersebut. bagi Rasulullah menetapkan metodologi ini kepada umat setelahnya

dan memberikan ruang seluas-luasnya untuk melakukan ijtihad selama masih dalam

koridor yang sesuai. Contoh yang paling populer adalah (Ketika Rasulullah mengutus

Mu’adz bin Jabal ke Yaman dia bertanya (menguji) kepadanya “apa yang akan engkau

perbuat jika menemukan suatu permasalahan?” Muadz menjawab “aku akan

6[6] http://pwkpersis.wordperss.com

8

Page 9: Usul Fikih Mt

menetapkannya dengan hukum Allah” jika engkau tidak mendapatkannya? “dengan

sunnah rosul” dan apabila tidak ditemukan juga. “aku akan berijtihad dengan

pendapatku (ra’yu). Kemudian rosulullah menepuk dada Mua’dz dan berkata “Maha

suci Allah yang telah memberikan taufiq kepadamu, dan rosul merestuinya).

v Perbuatan Sahabat

1. Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushaf Al-Qur’an pada masa Abu

Bakar yang tidak dijelaskan secara khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut.

2. Kesepakatan para sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr dengan 80

kali cambukan (jaldah3. Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para

pekerja/pengrajin (shanā’a).

4. Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika

mereka bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang tersebut.

‘Aqli

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa konstitusi Islam telah mencapai

titik final. Sedangkan berbagai kejadian selalu mengalami perubahan dengan kadar yang

berbeda, dan peristiwa yang terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena

aturan dalam Islam selalu bersinergi dengan ruang dan waktu sebagaimana tertuang

dalam firman Allah { ونذيرا بشيرا للن�اس كافة �إال أرسلناك surat Saba` ayat {وما

28. Kalau kenyataannya demikian, maka harus ada metode untuk istinbat hukum

melalui ruh nash-nash dan kaidah-kaidah umum dalam merespon setiap kejadian baru

disebabkan kontinuitas waktu dan perubahan tempat. Dan mashalihul mursalah

merupakan refresentasi dari metodologi yang dibutuhkan ketika menentukan hukum.

Sejalan dengan ini Syaikh Az-Zanjānī mengutip perkataan Iman Syāfi’i “hal

tersebut (mashalihul mursalah) dibutuhkan untuk menetapkan aturan atas kejadian yang

khusus dengan mengambil makna dan kebenaran dari aspek finalitas syari’at tersebut.

Dan sesuatu yang final tidak bisa bergeser oleh yang bukan final.

Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut sebahagian ulama terbagi menjadi

beberapa bagian. Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa sedikitnya ada

3 syarat mashalihul mursalah itu bisa direalisasikan.

1. Sifatnya dharuriyah.

9

Page 10: Usul Fikih Mt

2. Universal/Syumuli. Harus mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh hanya

untuk kepentingan sebahagian orang.

3. Ada dalil qoth’i atau mendekati dalil qoth’i tersebut (dzani). Imam Ghazali tidak

menjadikan syarat ini untuk mashalihul mursalah pada umumnya kecuali dia hanya

menempatkan syarat ini pada contoh kasus yang khusus. Seperti diperbolehkannya

orang muslim untuk meminta bantuan kepada orang kafir dalam peperangan selama hal

itu bisa mendatangkan kemaslahatan bagi umat Islam.

Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.

1. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa

menerimanya.

2. Sinergi dengan maqhasid syari’ah

3. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).

5. Pendapat Ulama Madzhab Seputar Mashalihul Mursalah

Para ulama sepakat tidak boleh menggunakan mashalihul mursalah pada aspek

ibadah. Perkara-perkara ibadah tidak bisa direkonstruksi melalui ijtihad atau ra`yu

karena ghoir ma’kulil ma’na (tidak bisa dicerna oleh akal). Sedangkan menambah

syari’at dalam ibadah merupakan bid’ah yang notabene termasuk kategori menyesatkan.

Dikalangan semua ulama madzhab hakekatnya menyetujui konsep mashalihul

mursalah, hanya permasalahannya ada pada penggunaan istilah mashalihul mursalah ini

sebagai mashadir tasyri’ yang mustaqil. Ulama madzhab yang secara khusus

menerapkan mashalihul mursalah sebagai mashadir tasyri’ atau ushul madzhab adalah

Imam Ahmad bin Hambal (Hambali) dan Imam Malik (Malikiyah). Sedangkan ulama

madzhab yang tidak menyertakan mashalihul mursalah sebagai referensi adalah Imam

Syafi’i (Syafi’iyyah) dan Imam Hanafi (Hanafiyah).Adapun aliran yang menolak

mshalihul mursalah diantaranya aliran Syi’ah dan Dhahiriyah.

Pendapat ulama yang menolak mashalihul mursalah diantaranya:

Ø Sesungguhnya adanya syari’at bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi

manusia. Merupakan hal yang mustahil jika syari’at tidak mengandung unsur maslahat.

Oleh sebab itu, apabila mashalihul mursalah digunakan sebagai rujukan berarti ada

10

Page 11: Usul Fikih Mt

sebahagian syari’at yang tidak memuat nilai-nilai maslahat karena ini bertentangan

dengan firman Allah { يتركسدي أن اإلنسان .surat Al-Qiyamah:36 {أيحسب

Ø Adanya keraguan dalam mashalihul mursalah, antara mashalihul mu’tabarah dengan

mashalihul mulghoh karena tidak bisa menggabungkan keduanya. Maka, dalil tersebut

tidak bisa dipakai karena tidak ada yang tahu untuk menunjukan bahwa orang yang

menggunakan mashalihul mursalah itu termasuk maslahat yang mu’tabarah bukan

mulghiyyah.

Ø Menggunakan mashalih sama dengan kebodohan dalam syari’at karena akan terjadi

asimilasi dalam aturan-aturan Islam yang dipengaruhi oleh egosentris dan kekuasaan

yang hegemonik. Dan hukum-hukum tersebut dilandasi dengan kepentingan pribadi

mereka masing-masing dengan klaim maslahat.

Beberapa alasan yang menerima mashalihul mursalah, adalah sebagai berikut:

ü Bahwasanya syari’at tidak ditetapkan kecuali untuk kemaslahatan dan nash-nash syari’at

beserta hukumnya sangat varian. Penetapan maslahat mursalah merupakan karakteristik

dari syari’at itu sendiri.

ü Kemaslahatan manusia selalu mengalami perubahan karena perbedaan situasi, kondisi dan

waktu serta tidak mungkin menyesuaikannya dengan kondisi pada waktu dulu.

ü Sesungguhnya para mujtahid -baik dari kalangan sahabat atau setelahnya- banyak yang

melarapkan ijtihad mereka dalam menjaga kemaslahatan dan tidak ada seorang pun

yang mengingkarinya.

Kesimpulan

· Tujuan awal dari penerapan syari’at yaitu untuk mewujudkan serta menjaga

kemaslahatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dimana hal tersebut bisa

terejawantahkan pada mashalihul mursalah ini sebagai subordinasi dari karakteristik

syari’at.

· Mashalihul mursalah bisa kita interpretasikan sebagai upaya untuk mengambil manfaat

dan menghilangkan mafsadat dengan tetap berpijak pada terma-terma umum dari nash

syari’at melalui pendekatan rasio yang akan menghasilkan produk hukum untuk

dijadikan undang-undang dalam merespon permasalahan yang berkembang disebabkan

pergeseran situasi, kondisi dan waktu.

11

Page 12: Usul Fikih Mt

· Maslahat sendiri terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu mashalihul mu’tabarah,

mashalihul mulghoh dan mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha.

· Para ulama sepakat bahwa mashalihul mursalah tidak boleh diterapkan pada aspek

ibadah yang sudah final.

DAFTAR PUSTAKA

Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media

@ http://pwkpersis.wordpress.com

@ http://milhan.blog.friendster.com

Djazuli, Ahmad. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenada Media

Khallaf, A. Wahhab. 1995. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Rineka Cipta

12

Page 13: Usul Fikih Mt

Add a comment    PENDAHULUAN

Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuthi (wafat 911 H)telah menuliskan risalahnya yang amat berharga

dengan judul “Bantahan terhadap orang yangmengabadikan taklid di bumi dan tidak tahubahwa ijtihad di setiap zaman adalah pardu”.

Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan umat islam kepada ijtihad

merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru. Hal ini tidak berarti

bahwa kita menganggap remeh terhadap keagungan fiqh dari berbagai madzab,

melainkan meletakan fiqh pada proporsinya, bahwa fiqh hanyalah salah satu dari

beberapa bentuk produk pemikiran hukum islam. Dan karena sifatnya sebagai produk

pemikiran, maka fiqh tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul

kemudian.

Disamping itu, sejarah menunjukan bahwa periode formulatifnya, fiqh merupakan

suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil

interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Alquran da as-Sunnah sesuai

dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu, merupakan refleksi

logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang. Kondisi yang

demikian ini, ditandai dengan munculnya madzab yang mempunyai corak sendiri-

sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, ulama terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat

dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu. Maka dapat dikatakan

bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum islam bukan saja di benarkan,

tetapi merupakan suatu kebutuhan.

II.           PERMASALAHAN

Dalam makalah ini akan membahas mengenai ijtihad, dengan sub tema :

1.    Pengertian ijtihad

2.    Syarat-syarat mujtahid

3.    Macam-macam atau tingkatan mujtahid

4.    Contoh ijtihad

13

Page 14: Usul Fikih Mt

Diharapkan para pembaca dapat mengetahui substansi dari sub tema yang telah

disebutkan di atas yang akan di jelaskan dalam makalah ini.

III.        PEMBAHASAN

1.        Pengertian Ijtihad

Secara bahasa, kata ijtihad berasal dari kata jahada dengan mengikuti wazan ifti’al

yang menunjukan arti mubalaghoh (berlebih) dalam perbuatan, yaitu “mencurahkan

segala kemampuan dalam segala perbuatan”. Sedangakan secara istilah pengertian

ijtihad yang banyak dibicarakan dalam buku ushul fiqh adalah “pengerahan segenap

kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan

tentang hukum-hukum syara’”. Ijtihad dalam istilah ahli ushul fiqh inilah yang banyak

dikenal dalam masyarakat.7[1]

Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu

teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk

mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya

dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di

dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.

Apabila kasus yang hendak diketahui hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas)

dan qath’i dari segi sumbernya dan pengertianya yang menunjukan atas hukum

syar’inya, maka tidak ada peluang untuk berijtihad di dalamnya. Yang wajib adalah

melaksanakan pengertian yang ditunjuki nash tersebut. Sebab sepanjang dalil itu qath’i

kedatanganya dan keluarnya dari Allah san Rasul-Nya bukanlah tempat suatu

pembahasan dan penumpahan jerih payah.

Pada materi 29 dari Lembaga Struktur Mahkamah Ahliyyah (Mesir) disebutkan,

bahwasanya : “Jika tidak ditemukan nash yang jelas dalam undang-undang maka hakim

memutuskan sesuai dengan tuntutan keadilan”.8[2]

2.        Syarat-syarat Mujtahid

78

14

Page 15: Usul Fikih Mt

Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran

intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah

ijtihad. Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad

selalu diperlukan. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan islam merasa berhak dan mau

berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan

masalah mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa

orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan

ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat

mujtahid.

Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para

ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu9[3] :

1.        Menguasai bahasa arab

Di kalangan ulama ushul telah ada kesepakatan tentang mutlaknya seorang

mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa arab dengan berbagai aspeknya, seperti

nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Persyaratan ini sangat penting karena orientasi

pertama seorang mujtahid adalah memahami nash-nash Alquran dan hadist yang

notabene keduanya berbahasa arab.

Dalam masalah penguasaan bahasa arab, al-Gazali memberikan batasan tentang

kadar yang harus diketahui oleh mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab

(pembicaraan) bangsa arab dan adat kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa

arab.10[4]

2.        Mengetahui nash-nash Alquran

Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang terdapat dalam

Alquran dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara

mengambil atau memetik hukum itu dari ayatnya. Berdasarkan inilah mujtahid

mengistimbatkan hukum.

Akan tetapi, apakah seorang mujtahid harus hafal seluruh Alquran yang terdiri atas

30 juz dan 114 surat tersebut? Di kalangan ahli ijtihad terdapat perbedaan pendapat

910

15

Page 16: Usul Fikih Mt

tentang keharusan semacam itu. Imam syafi’i, konon diberitakan sebagai salah satu

ulama yang mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran. Sebagian ulama lain

tidak mensyaratkan keharusan semacam itu, akan tetapi menganggap cukup hanya

dengan mengetahui ayat-ayat hukum sehingga kapan dan dimana perlu mujtahid dapat

merujuk kepadanya. Imam Gazali salah seorang dari kalangan madzab syafi’i yang

tidak mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran.

3.        Mengetahui tentang sunnah

Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah

nabi, sekiranya mujtahid mampu menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada

tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanadnya, dari segi

keshahihanya atau kedhaifanya dalam periwayatan.

Persyaratan ini dipandang penting bagi mujtahid antara lain karena mengingat

fungsi hadist (temasukdi dalamnya hadist-hadist hukum) sebagai penjelas (mubayyin)

Alquran.

4.        Mengetahui segi-segi qiyas

Mujtahid harus mengetahui tentang ‘illat dan hikmah pembentukan hukm yang

karenanya hukum disyari’atkan. Mengetahui jalur-jalur yang dipergunakan oleh Syari’

untuk mengetahui ‘illat hukumnya. Mujtahid juga harus mengetahui terhadap ihwal

manusia dan muamalah mereka, sehingga mujtahid dapat mengetahui suatu kasus yang

tidak ada nashnya yang terbukti ‘illat hukumnya. Dan juga harus mengetahui tentang

kemaslahatan manusia dan adat istiadat mereka, serta suatu yang menjadi perantara

kepada kebaikan dan keburukan mereka.

Dari uraian di atas sudah jelas betapa ijtihad sangat diperlukan guna memahami

dengan benar maksud-maksud syari’at dan bagaimana dilaksanakan dalam kehidupan

sehari-hari. Namun, di samping itu, dapat di mengerti pula bahwa tidak semua orang

mampu dan boleh berijtihad, mengingat betapa kompleksnya upaya ijtihad. Ulama telah

menyepakati beberapa persyaratan bagi siapa yang dapat dianggap sebagai mujtahid.

Hal ini semata-mata digariskan oleh ulama sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal

16

Page 17: Usul Fikih Mt

sehat dan juga mengambil teladan dari imam besar, mujtahid di masa lalu yang

memiliki sifat-sifat itu.

3.        Macam-macam atau tingkatan mujtahid

Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat

tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan

derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan

terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah11[5]

1.        Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at

langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam

mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak

mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah

mujtahid mutlak.

2.        Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti

(memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah

furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.

3.        Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam

masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam

masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di

anutnya.

4.        Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’

(apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat

mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling

kuat.

5.        Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-

pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat

tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih

terlebih dahulu.

11

17

Page 18: Usul Fikih Mt

4.        Contoh ijtihad12[6]

a)    Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang yang pada melalaikan

membayar zakat, para qori’ banyak yang meninggal dunia dan Umar khawatir Alquran

akan hilang bersama kematian para penghafal Alquran. Maka Abu bakar disarankan

agar menulis dan mendewankan Alquran. Beliau menolak saran itu dengan

mengatakan : “apakah aku harus melakikan sesuatu yang tidak di kerjakan oleh

Rosulullah SAW?” lalu beliau mengutus menghadap Zaid bin Tsabit dan

mengemukakan saran Umar tersebut. Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun

menghindarinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Abu Bakar. Dalam

pertemuan itu Umar mengemukakan alasan bahwa perbuatan seperti itu tidak

mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan mengandung kebaikan bagi islam dan kaum

muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah persepakatan dan terus di bentuk panitia yang

terdiri atas para penghafal Alquran yang terpercaya untuk melaksanakan keputusan

yang telah disepakati bersama.

b)   Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan

dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya menentang hukum Allah. Pada

pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan, sehingga banyak pencuri. Atas

keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri yang tertangkap dengan

hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat

pemberian hukuman tidak akan terealisir beserta adanya bencana kelaparan yang

menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.

c)    Pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan, kitab-kitab fiqh klasik tidak

memberikan batasan umur untuk melakukan perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No.

1 Tahun 1974 tentang perkawinan KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara

jelas mengatur umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun.

Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.

IV.      KESIMPULAN

12

18

Page 19: Usul Fikih Mt

Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu

teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk

mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya

dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di

dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.

Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran

intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah

ijtihad.

Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para

ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :

1.      Menguasai bahasa arab

2.    Mengetahui nash-nash Alquran

3.    Mengetahui tentang sunnah

4.    Mengetahui segi-segi qiyas

Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat

tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Beberapa tingkatan mujtahid

adalah

1.      Mujtahid Mustaqil

2.      Mujtahid Muntasib

3.      Mujtahid Madzab

4.      Mujtahid Murajjih

5.      Mujtahid Mustadil

V.          PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini masih

kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan

keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan

demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: Usul Fikih Mt

Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra Group, 1994.

Yusdani, Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi, Yogyakarta : UII PRESS, 2004.

Yahya, Muhtar dan Rahman, Fatkhur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum fiqh Islami,

Bandung : PT Alma’arif, 1986.

Abdullah, Amin, “madzhab” Jogja, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002.

Labib, Muhsein, Dasar-Dasar Hukum Islam, Malang : Yayasan Al-Kautsar, 1994.

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Ta’arud adalah dua nash yang bertentangan yang wajib mengadakan penelitian

dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara

yang benar. penelitian melahirkan keutamaan salah satunya dari yang lain, maka

dilaksanakanlah apa yang dikendaki dalil yang lebih kuat atau utama.

Diantara cara-cara menyatakan dan mengkompromikan ialah mentakwilkan salah satu

diantara dua nash itu. Artinya dipalingkan dari lahirnya, dengan demikian nash itu tidak

akan kontradiksi dengan yang lain. Dan menemukan adanya dua dalil yang kontradiksi

dan diperhatikan

untuk mengutamakan salah satunya dari yang lain dengan cara ditarjih

(dikuatkan).Apabila cara tarjih juga tidak bias ditempuh, maka salah satuh dalil tersebut

di-nash (dibatalkan).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan ta’arud?

2.      Apa yang dimaksud dengan naskh?

3.      Apa saja rukun dan syarat-syarat naskh?

4.      Apa yang dimaksud dengan tarjih?

20

Page 21: Usul Fikih Mt

C.     Tujuan Masalah

1.      Mengetahui tentang ta’arud.

2.      Mengetahui cara menyelesaikan ta’arud.

3.      Mengetahui perbedaan naskh dengan takhshish.

4.      Mengetahui cara nasikh dan mansukh.

5.      Mengetahui cara pentarjihan.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ta’arudh Adillah

Ta’arud dalam arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya.

Sedangkan kata Al-adillah adalah bentuk plural dari kata dalil yang berarti argumen,

alasan dan dalil. Sedagkan secara istilah Ta’arudh Adillah adalah perlawanan antara

kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang

lain. Perlawanan itu dapat  terjadi antara ayat Al-Qur’an yang satu dengan ayat yang

lain, hadits satu dengan hadits yang lain.

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Ta’arud secara singkat, yaitu kontradiksi

antara dua nash atau dalil yang sama kekuatannya. Kesimpulannya bahwa Ta’arudh itu

merupakan pembahasan dari dua dalil yang saling bertentangan[1].

B.     Metode penyelesaian dalil-dalil yang kontraditif

Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli, yakni dalil yang

memang telah termaktup dalam AL-Qur’an atau hadits Nabi secara tekstual, dan yang

21

Page 22: Usul Fikih Mt

aqli yaitu dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya, seperti Qiyas, bahkan juga

mencakup dalil yang Qath’i dan juga Zhanni.

Apabila ada dua nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian

dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengompromikan kedua nash itu dengan cara

yang benar. Jika tidak mugkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah-

satunya dengan cara di antara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan

diketahui sejarah datangnya dua nash itu, maka yang datang kemudian adalah sebagai

penghapus terhadap yang lebih dulu, dan jika tidak diketahui sejarah kedatangannya,

maka ditangguhkan pengamalan dua nash itu.[2]

Apabila dua Qiyas atau dua dalil yang bukan termasuk nash bertentangan, dan

tidak mungkin mengutamakan salah satunya, maka dihindarilah mengambil kedua qiyas

atau kedua dalil itu. Kontradiktif diantara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah

kontradiksi salah-satu diantaranya kepada yang lain. Dan kontradiksi antara dua dalil

syara’. Artinya menurut istilah ulama ushul ialah penentuan dari salah satunya dalam

satu waktu terhadap suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan hukum yang

ditentukan oleh dalil lain mengenai peristiwa itu.

Dari kaidah diatas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang

berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:

1.      Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi

2.      Mengamalkan satu diantara dua dalil yang kontradiksi

3.      Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi[3]

Adapun pembahasan diatas adalah:

a.       Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-jam’u wa al-taufiq)

22

Page 23: Usul Fikih Mt

Pembahasan ini dapat ditempuh dengan cara taufiq (kompromi), maksudnya

adalah mempertemukan, mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau

menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak

terlihat lagi adanya kontradiksi.[4]

Contoh firman Allah SWT:

ه�ر� �ش� ا �ع�ة� ب �ر� ا ه�ن �ف�س� �ا ب ص�ن� ب �ر� �ت ي ا و�اج� �ز� ا و�ن� �ذ�ر� و�ي �م� �ك م�ن �و�ف و�ن� �ت ي �ن� ذ�ي و�ال

ا ر� �ش� ..... و�ا

234البقرة : ]  ]

Dan orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri

(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari...

(QS.2, al-Baqoroh:234)

Nash ini menghendaki keumumannya,yaitu setiap istri yang ditinggal

suaminya,iddahnya akan selesai dengan masa empat bulan sepuluh hari. Baik istri itu

sedang hamil atau tidak.

Dan firman-nya:

الطالقه ..... [ : �ه�ن ح�م�ل ض�ع�ن� ي �ن� ا �ه�ن ل �ج� ا �ح�م�ال� اال� ة� �ال� ]4و�ا

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka

melahirkan kandungannya...(QS. 65, ath-Thalaq:4)

Nash ini juga menghendaki keumumannya, yaitu bahwa istri yang sedang hamil,

iddahnya akan selesai lantaran melahirkan kandungannya. Baik dia itu karena

23

Page 24: Usul Fikih Mt

ditinggalkan mati suaminya atau karena ditalak. Maka istri yang ditnggal mati suaminya

dalam keadaan hamil, adalah suatu peristiwa yang dikehendaki nash pertama agar

iddahnya selesai dengan menanti empat bulan sepuluh hari, sedangkan nash kedua

menghendaki agar iddahnya selesai lantaran melahirkan kandungannya, jadi dua nash

itu kontadiksi dalam peristiwa ini.[5]

Kontradiksi antara dua dalil syara’ ini tidak akan terjadi apabila dua dalil itu

sama kekuatannya, apabila salah-satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya,

maka yang diikutui adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan

diabaikanlah hukum yang kontradiksi dengannya yang dikehendaki oleh dalil lain.

Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash qoth’i dan nash zhonni,

antara nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu dapat

terjadi antara dua ayat, atau dua hadist yang  mutawatir, atau antara ayat dan hadist

mutawattir, atau dua hadist yang tidak mutawatir, dan atau antara dua qiyas.

b.      Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan

Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan, atau ditaklis, maka

kedua  dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya, dengan demikian hanya satu dalil

yang dapat diamalkan:

Contoh:

“Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra,tentang wajibnya mandi bila terjadi

persetubuhan dari pada khabar Abu hurairoh yang mewajibkan mandi hanya apabila

keluar mani.

c.       Meninggalkan dua dalil yang berbenturan

24

Page 25: Usul Fikih Mt

Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu

diselesaikan dengan dua cara diatas, maka ditempuh dengan cara yang ketiga, yaitu

meninggalkan kedua dalil tersebut,sedangkan meninggalkan kedua dalil tersebut ada

dua bentuk yaitu:

a.       Tawaquf (menangguhkan) menangguhkan pengalaman dalil tersebut sambil menunggu

kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.

b.      Tasaquth (saling berguguran) meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang

lain untuk diamalkan.

C.     Naskh

1.      Pengertian naskh

Secara etimologi ada dua pengertian naskh. Pertama berarti “pembatalan” dan

“penghapusan (peniadaan)”. Sesuatu yang membatalkan, menghapuskan, atau

meniadakan disebut dengan naskh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau

dipindahkan disebut dengan mansukh.

Persoalan naskh merupakan salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil yang

dianggap bertentangan. Sesuai dengan teori daf’u al-ta’arud, apabila ada dua dalil yang

sederajat bertentangan secara zhahir, maka diupayakan perkompromian kedua dalil

tersebut. Apabila tidak bias dikompromikan, maka salah satunya di tarjih (dikuatkan).

Apabila cara tarjih juga tidak bias ditempuh, maka salah satu dalil tersebut dinaskh

(dibatalkan).

2.      Rukun naskh

Rukun naskh dibagi menjadi empat:

25

Page 26: Usul Fikih Mt

a.       ‘Adah al-naskh, yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan)

berlakunya hukum yang telah ada.

b.      Nasikh,yaitu Allah ta’ala, karena dia-lah yang membuat hokum dan Dia pula yang

membatalkannya, sesuai dengan kehendaknya. Oleh sebab itu pada hakikatnya nasikh

adalah Allah.

c.       Mansukh,yaitu hokum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.

d.      Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

3.      Hikmah naskh

Pensyari’atan berbagi hukum dalam islam, menurut para ulama’ ushul fiqh,

adalah untuk memelihara keselamatan umat manusia, baik didunia maupun diakhir.

Disamping itu Allah, sebagai syari’ juga menuntut kepatuhan dan ketulusan para

hambanya untuk melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangannya.

Dalam kaitan ini, syari’ juga senantiasa memperhatikan kondisi umat manusia

serta lingkungan yang mengitariny, sehingga kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu

bias tercapaidan terjamin. Kemungkinan saja, syari’ mensyari’atkan satu hukum pada

suatu saat., namun sesudah ada perubahan situasi, kondisi dan lingkungan,hukum itu

tidak sejalan lagi dengan kemaslahatan yang dikehendaki syari’. Dalam hal yang

terakhir ini, menurur wahbah al-juhaili, sesuai dengan kehendak syari’ dan tujuan yang

ingin dicapai, maka syari’ mengubah hukum tersebut atau menggantinya dengan hukum

lain.

4.      Persamaan dan perbedaan naskh dengan takhshish

Persamaan naskh dengan takhshish terletak pada fungsi keduanya, yaitu

membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi sebagai penghususan sebagian

26

Page 27: Usul Fikih Mt

kandungan suatu lafal. Hanya saja, takhshish lebih husus dalam membatasi berlakunya

hukum yang bersifat umum, sedangkan naskh membatasi berlakunya hukum pada masa

tertentu.

Perbedaan keduanya adalah bahwa takhshish merupakan penjelas mengenai

kandungan suatu lafal yang umum menjadi hanya terbatas dan berlaku sesuai dengan

lafal yang dihususkan saja, sedangkan nash membatalkan seluruh hukum yang

dikandung oleh suatu naskh yang sebelumnya telah berlaku.

5.      Pendapat para ulama’ tentang naskh

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa naskh menurut logika boleh saja dan secara

syara’ telah terjadi. Kemudian jumhur ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa seluruh

umat islam mengetahui dan meyakini bahwa Allah itu berbuat sesuai dengan kehendak-

Nya tanpa harus melihat sebab dan tujuan.oleh sebab itu, wajar bila Allah mengganti

hukum yang telah Ia tetapkan dengan hukum lain, yang menurut-Nya lebih baik dan

sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

Jumhur ulama’ juga beralasan dengan kesepakatan para ulama’ dalam

menyatakan bahwa syari’at sebelum islam telah dinaskh-kan oleh syari’at islam,

sebagaimana naskh itu sendiri telah terjadi dalam beberapa hukum islam.

Akan tetapi, Abu Muslin al-Isfahani, berpendapat bahwa naskh tidak berlaku

dalam syari’at islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan adanya naskh itu.

Menurutnya, apabila hukum-hukum syara’ boleh di naskh kan, maka ini berarti terdapat

perbedaan kemaslahatan sesuai dengan pergantian zaman.

6.      Syarat-syarat naskh

27

Page 28: Usul Fikih Mt

Jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa adanya naskh dalam al-qur’an

mengemukakan syarat-syarat berlakunya naskh. Syarat-syarat itu ada yang disepakati

dan ada yang tidak disepakati.

Adapun syarat-syarat yang disepakati adalah:

         Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’

         Pembatalan itu datangnya dari khithab (tuntutan) syara’

         Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlaku hukum tersebut

sebagaimana yang ditunjukkan khithab itu sendiri

         Khithab yang me-naskh-kan itu datangnya kemudian dari khithab yang di-naskh-kan.

Adapun syarat-syarat yang tidak disepakati atau diperselisihkan:

         Hukum itu tidak di-naskh-kan kecuali apabila orang mukallaf telah mempunyai

kesepakatan untuk melaksanakannya.

         Kalangan mu’tazilah dan maturidiyyah mengatakan bahwa disyaratkan terdapat hukum

yang dinaskh itu sesuatu yang baik yang pembatalannya dapat diterima akal.

         Sebagian ulam’ ushul fiqh mensyaratkan bahwa terhadap hukum yang dibatalkan itu

harus ada penggantinya.

         Sebagian ulama’ ushul fiqh dari kalangan hanafiyyah juga mensyaratkan bahwa apabila

ada yang di-naskh-kan itu adalah ayat al-qur’an atau sunnah yang muttawatir, maka

yang men-naskh-kannya juga harus yang sederajat atau sama kualitasnya.

         Menurut imam al-syafi’I, al-qur’an tidak boleh di-naskh-kan kecuali dengan al-qur’an

dan sunnah rasul tidak boleh di-naskh-kan, kecuali dengan sunnah rasul pula.

28

Page 29: Usul Fikih Mt

         Sebagian ulama’ ushul fiqh lainnya mengemukakan bahwa bacaan (teks)ayat tidak

boleh di-naskh-kan sementara hukumnnya tetap berlaku, karena hukum itu melekat

pada teks ayat tersebut.

         Menurut jumhur ulama’, disyaratkan bahwa yang membatalkan dan dibatalkan itu

bukan qiyas (analogi).

         Jumhur ulama’ juga mensyaratkan, baik yang me-naskh-kan atau yang di-naskh-kan itu

bukan ijma’.

         Apabila yang di-naskh-kan itu adalah hukum yang dikandung oleh mafhum dari satu

ayat, maka naskh-nya juga di-naskh-kan, karena mafhum itu terkait dengan naskh.

7.      Macam-macam naskh

a.       Naskh yang tidak ada gantinya

b.      Naskh yang ada penggantinya

c.       Naskh bacaan (teks) dari suatu ayat

d.      Naskh hukum ayat

e.       Naskh hukum dan bacaan (teks) sekaligus

f.       Terjadinya penambahan hukum dari hukum pertama

g.      Terjadinya pengurangan terhadap hukum ibadah tertentu yang disyari’atkan

8.      Cara mengetahui naskh dan mansukh

Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa untuk mengetahui mana yang

nasikh dan mana yang mansukh, diperlukan ketelitian dan kehati-hatian seorang

mujtahid. Apabila ia secara meyakinkan menemukan dua nash yang bertentangan secara

keseluruhan (bukan pertentangan sebagian-sebagian) dan tidak mungkin

dikompromikan, maka ia harus meneliti mana nash yang dating lebih dahulu dan mana

29

Page 30: Usul Fikih Mt

yang dating kemudian. Nash yang datang kemudian disebut dengan nashikh dan yang

dating lebih dahulu disebut dengan mansukh. Untuk melacak urutan datangnya nash itu

dapat diketahui melalui:

1.      Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.

2.      Dalam salah satu nash yang bertentangan itu ada petunjuk yang menyatakan salah satu

nash lebih dahulu datangnya dari yang lain.

3.      Periwayat hadits secara jelas menunjukkan bahwa salah satu hadits yang bertentangan

itu lebih dahulu datangnya dari hadits yang lain, seperti ungkapan perawi hadits bahwa

hadits ini diungkapkan Rasulullah tahun sekian dan hadits ini pada tahun sekian.[6]

D.    Tarjih                                         

1.      Pengertian tarjih

Secara etimologi,tarjih berarti mengatkan. Konsep tarjih muncul ketika

terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat

dan tidak bias diselesaikan dengan cara al-jam’u wa al-taufiq.

Secara terminology, ada dua definisi tarjih yang dikemukakan para ahli ushul

fiqh. Yang pertama didefinisikan oleh ulama’ hanafiyyah, dan yang kedua oleh jumhur

ulama’.

2.      Cara pen-tarjih-an

Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan cukup banyak cara pentarjihan yang bias

dilakukan, apabila antara dua dalil, secara zhahir, terdapat pertentangan dan tidak

mungkin dilakukan al-jam’u wa al-taufiq atau naskh.

Cara pentarjihan dikelompokkan menjadi dua:

a.       Tarjih bain al-nushush

30

Page 31: Usul Fikih Mt

Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada

beberapa cara yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh, yaitu:1. Dari segi sanad. 2.

Dari segi matan. 3. Dari segi hukum yang dikandung nash. 4. Pentarjihan dengan

menggunakan factor (dalil) lain diluar nash.

b.      Tarjih bain al-‘aqyisah

Imam al-syaukani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam

persoalan qiyas yang saling bertentangan. Dari ketujuh belas macam tersebut

dikelompokkan Wahbah al-juhaili, menjadi empat kelompok: 1. Dari segi hukum asal.

2. Dari segi hukum furu’ (cabang). 4. Pentarhihan qiyas melalui factor  luar.[7]

BAB III

PENUTUP

Tiada gading yang tak retak. Itulah pribahasa yang sering orang ucapkan. Pada

dasarnya hidup bersama orang yang banyak akan menimbulkan problematika, tak lain

pada rana suatu hukum yang telah Allah berikan. Untuk keluar dari permasalahan

tersebut perlu kiranya sebuah permusyawaraha yang bertujuan untuk mencari sebuah

pemufakatan yang tentunya sangat berdampak untuk kelanjutan hari berikutnya. Maka

dari itu, Taarud Adillah memiliki peluang dan peran untuk hal yang seperti ini, sehingga

perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam. Untuk itu kami selaku penulis berlapang dada

menerima saran dan kritik yang tentunya membangun dan memperbaiki kekurangan

dari kami. Kami ucapkan terima kasih.

 DAFTAR PUSTAKA

31

Page 32: Usul Fikih Mt

Khallaf, Abdul wahhab. 2002. kaidah-kaidah hukum islam, ilmu ushulul fiqh, jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Haroen, H. Nasrun. 1996.  Ushul Fiqh, Jakarta, Logos

http://www.diyya.wardpress.com/ushulfiqh/html

Makalah Ushul Fiqh “Keyakinan Tidak Hilang Karena Keraguan”Jul 1

BAB IPENDAHULUAN

Latar BelakangKeyakinan dapat diartikan sebagai suatu kepastian atau prasangka yang kuat terhadap sesuatu hal yang dikerjakan, dan keraguan hanya semata-mata kebimbangan tentang apakah prasangkanya sama kuat atau ada yang lebih kuat.Dalam kehidupan sehari-hari ada saja peristiwa yang dialami oleh umat mengenai keragu-raguan dalam menjalankan suatu perkara. Misalnya dikala kita menemukan bangkai dalam sumur yang biasa dipakai untuk bersuci dari hadas. Sejak peristiwa penemuan bangkai tersebut terkadang kita ragu apakah bersuci yang selama ini kita lakukan itu sah atau tidak. Oleh karena itu, dengan melihat kejadian tersebut penyusun merasa perlu untuk membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa keyakinan dan keragu-raguan dari setiap perbuatan yang dilakukan.Menurut hemat penulis, yang sesuai dengan peristiwa tersebut ialah kaidah yang berkenaan dengan keyakinan dan keraguan yaitu “al Yaqinu la yuzalu bi syakk”. Kaidah ini sangat penting untuk dipelajari, karena menurut Imam As-Suyuthi, kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam masalah fiqih dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai 3/4 dari subyek pembahasan fiqih.Imam Al-Qorafi menambahkan, dalam kaidah ini seluruh umat sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya. Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan pada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan para ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah ini, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini.Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan yang kadang kala menimpa kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Sebab telah kita ketahui bersama, keragu-raguan adalah

32

Page 33: Usul Fikih Mt

beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, termasuk di dalamnya adalah aqidah dan ibadah.

Tujuan PenulisanAdapun tujuan disusunnya makalah ini ialah untuk mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keyakina dan keraguan, yakni:Kaidah fiqh tentang keyakinan dan keraguanDasar-dasar Kaidah tentang keyakinan dan keraguan; serta,Kaidah-kaidah lanjutannya.

BAB IIPEMBAHASAN

Kaidah Fiqh Tentang Keyakinan dan KeraguanKeyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain. Kaidah yang berkaitan dengan hal ini ialah:

ك/ �لش با ال� �ز� ي � ال �ن� �ق�ي �ي �ل ا“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.”

Dasar-dasar KaidahKaidah tentang keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada beberapa buah hadits. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:

, د� ج� �م�س� ال م�ن� ج ن� �خ�ر� ي � ال � ال �م� أ �ئ9 ي ش� �ه� م�ن ج� خ�ر�� أ �ه� �ي ع�ل �ل� ك �ش� ف�أ �ا �ئ ي ش� �ه �ط�ن ب ف�ى �م� ح�د�ك

� �ذ�او�ج�د�أ اا �ح� ر�ي �ج�د� و�ي

� أ �ا ص�و�ت م�ع� �س� ي �ى ح�تArtinya: “Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul keraguan apakah sesuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka janganlah keluar dari mesjid, sehingga ia mendengar suaranya atau mencium baunya.”

Hadits di atas menunjukkan adanya keraguan bagi yang sedang sahalat atau menunggu (duduk di masjid) untuk melaksanakan shalat berjamaah.  Secara logika, orang tersebut dalam keadaan suci (sudah berwudhu). Dan orang tersebut ragu-ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau tidak, maka ia harus dianggap masih dalam keadaan suci. Karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguanya baru timbul kemudian. Oleh karena itu, orang tersebut tidak perlu berwudhu lagi sebelum mendapatkan bukti berupa bunyi atau baunya.Dan sabda Rasulullah di lain tempat berbunyi:

م�ا ع�لى� �ن� �ب �ي و�ل ك الش ح� �ط�ر� �ي ف�ل �ع�ة� ب ر�� أ �م� أ �ا ث � �ال �ث أ ص�ل ى �م� �د�ر�ك ي �م� ف�ل �ه� ت � ص�ال ف�ى� �م� ك ح�د�

� أ ك �ذ�اش� إ�ق�ن� �ي ت .اس�Artinya: “Apabila salah seorang kamu meragukan shalatnya, lalu ia tidak mengetahui

33

Page 34: Usul Fikih Mt

berapa raka’at yang telah dikerjakan, tiga atau empat, maka hendaklah dilempar yag meragukan itu dan dibinalah menurut apa yang diyakinkan.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut memberi isyarat bahwa dua buah hitungan yag diragukan mana yang benar, agar ditetapkan hitungan yang terkecillah yang memberikan keyakinan. Sebab dalam menghitung sebelum sampai ke hitungan yang besar pastilah melalui hitungan yang lebih kecil terlebih dahulu, karena yang kecil (sedikit) itulah yang sudah meyakinkan.Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.

Kaidah-kaidah LanjutanMuhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar menyatakan bahwa:

معنى ي ال وتيقن طة حا اال طريق من الشيء ثبوت عرف متى انه حنيفة ابي عند االصلبخالفه يتيقن مالم ذلك على فهو .كان

“Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”

Berikut ini merupakan kaidah lanjutan dari kaidah induk di atas:Kaidah pertama:

ن� �ا ك م�ا ع�لى �ن� كا م�ا �ق�آء� ب ص�ل�� �أل� .ا

“Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang.”

Penjelasan:Sesuatu yang hukumnya ditetapkan pada masa lalu – dibolehkan atau dilarang – tetap pada ketetapan tersebut dan tidak berubah sebelum ada dalil yang merubahnya.Contohnya:Orang yang yakin telah bersuci dan ragu tentag hadas yang menimpanya, maka dia masih dalam keadaan suci.Orang yang yakin bahwa ia berhadas, dan ragu tentang keabsahan bersuci yang telah ia lakukan, maka ia masih berhadas.Seseorang yang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu-ragu, jangan-janga waktu fajar sudah tiba. Maka puasa orang tadi tetap sah, sebab menurut dasar yang asli diberlakukan keadaan waktunya masih malam, dan bukan waktu fajar.

Kaidah kedua:اء�ة�الذ/م�ة� �ر� ب ص�ل�

� �أل� .ا“Pada dasarnya, orang bebas beban.”

34

Page 35: Usul Fikih Mt

Contohnya:Jika ada dua orang bertengkar tentang harga barang yang dirusakkan, maka dimenangkan oleh orang yang merasa dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani tanggungan tambahan.Terdakwa yang menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si pendakwa.

Kiadah Ketiga:م� �ع�د� ال ص�ل�

� �أل� .ا“Dasar sesuatu adalah ketidak adaan.”

Contohnya:Seseorang mengaku telah berhutang kepada orang lain berdasarkan atas pengakuannya sendiri atau suatu bukti yang otentik. Tiba-tiba orang yang berhutang mengaku telah membayarnya hingga ia merasa bebas dari pembayaran. Sedang orang yang menghutangkan mengingkari atas pengakuan tersebut.Dalam perselisihan ini sesuai dengan kaidah yang telah lalu dimenangkan oleh pengingkaran orang yang menghutangi. Sebab menurut asalnya belum adanya pembayaran hutang dan ini merupakan hal yang sudah meyakinkan, sedaang pengakuan telah membayar merupakan hal yang masih diragukan.

Seorang pemakan harta milik orang lain bertengkar dengan pemilik. Pemakan harta mengatakan bahwa orang yang memiliki sudah mengizinkannya. Sedang pemiliknya tidak merasa telah memberikan izin bahkan mengingkarinya.Penyelesaian pertengkaran ini sudah barang tentu harus ddimenangkan oleh pemilik harta, karena menurut asalnya memakan harta milik orang lain itu tidak dibenarkan.

Kaidah Keempat: � �م ح�ر�ي الت ع�ل�ى �ل� �ي ل الد ل �د� ي ى ح�ت ح�ة� �ا �ب �إل� ا �اء� ي ش�

� األ� ف�ى ص�ل�� �أل� .ا

“Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Kaidah ini bersumber dari sabda Rasulullah yang artinya sebagai berikut:“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan at-Thabrani).

Kandungan hadits ini ini ialah bahwa segala sesuatu yang belum ditunjuk oleh dalil yang tegas tentang halal dan haramnya, maka hendaklah dikembalikan kepada ketentuan aslinya, yaitu mubah.Contohnya:Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapatkan sifat-sifatnya ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada haram, maka halal dimakan. Seperti binatang Jerapah merupakan binatang yang halal dimakan, karena tidak memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang mengharamkannya (bertaring lagi buas).

35

Page 36: Usul Fikih Mt

Kaidah Kelima:�ه م�ن ز� ب� ق�ر�

� �أ ب ه� �ر� �د�ي �ك ت ث� د� ح�ا �ل/ ك ف�ى ص�ل�� �أل� .ا

“Asal dari suatu kejadian ditentukan lebih dekat dengan kejadiannya.”

Contohnya:Seseorang mengambil air wudhu untuk shalat dari suatu sumur. Beberapa hari kemudian diketahuinya bahwa di dalam sumur tersebut terdapat bangkai tikus, sehingga menimbulkan keragu-raguannya perihal wudhu dan shalat yang telah dikerjakan beberapa hari yag lalu. Dalam masalah yang demikian itu ia tidak wajib mengqadha shalat yang sudah dikerjakannya.Masa yang terdekat sejak dari peristiwa diketahuinya bangkai tikus itulah yang dijadikan titik tolak untuk menetapkan kenajisan air yang mengakibatkan tidak sahnya shalat dan keharusan mengqadhanya. Kecuali kalau ia yakin bahwa bangkai itu sudah lama berada di dalam sumur sebelum ia melakukan shalat atas adanya bukti-bukti yang meyakinkan. Jika demikian air yang dipergunakan wudhu itu adalah air mutanajis, hingga shalat yang telah ia kerjakan harus ia qadha.

Kaidah Keenam:�ه� �ف�ع�ل ي �م� ل ه� ن

� أ ص�ل�� أل � ف�ا ال �م� أ �ا �ئ ي ش� �ف�ع�ل� أ ك ش� .م�ن�

“Orang yang ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka pada dasarnya dia belum mengerjakannya.”

Contohnya:Seseorang ragu-ragu sewaktu mengerjakan shalat apakah ia mengerjakan i’tidal atau tidak, maka ia harus mengulang mengerjakannya. Sebab ia dianggap seolah-olah tidak megerjakannya.

Kaidah Ketujuh:Kaidah ini sejenis denga kaidah yang keenam.

�ل� �ي �ق�ل ال ع�ل�ى ح�م/ل� �ر� �ي �ث �ك و�ال� أ �ل� �ي �ق�ل ال ف�ى ك و�ش� �ف�ع�ل� ال �ق ن� �ي ت .م�ن�

“Barang siapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit.”

Contohnya:Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disepakati bersama kreditur merasa ragu apakah angsuran yang telah dikerjakan itu 4 kali atau 5 kali, maka dianggap baru mengangsur 4 kali. Karena yang sedikit itulah yang sudah diyakini.

Kaidah Kedelapan:�ق�ة� ق�ي �ح� ال � �م �ال �ك ال ف�ي� ص�ل�

� �أل� .ا“Menurut dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki.”

Kaidah ini menetapkan apabila terjadi sesuatu perselisihan dalam menafsirkan atau mengartikan suatu rangkaian kalimat yang memungkinkan untuk diartikan menurut arti hakikat dan majaz, maka yang dijadikan pedoman ialah penafsiran menurut arti hakikat

36

Page 37: Usul Fikih Mt

lafazh itu sendiri.Contohnya:Seseorang bersumpah tidak akan menjual atau membeli sesuatu barang. Kemudian ia mewakilkan kepada orang lain untuk menjual atau membeli sesuatu. Perbuatan semacam itu tidak dapat dikatakan melanggar sumpah, karena tidak bertentangan dengan arti hakikat lafazh itu sendiri.

BAB IIIPENUTUP

KesimpulanKeyakinan dan keraguan merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bisa dikatakan saling berlawanan. Hanya saja, besarnya keyakinan dan keraguan akan bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dangan yang lain.Dalil ‘aqli (akal) bagi kaidah keyakinan dan keraguan adalah bahwa keyakinan lebih kuat dari pada keraguan, karena dalam keyakinan terdapat hukum qath’i yang meyakinkan. Atas dasar petimbangan itulah bisa dikatakan bahwa keyakinan tidak boleh dirusak oleh keraguan.

SaranSebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, marilah kita bersama-sama mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan menjalankan syariat-Nya. Dan marilah kita hindari hal-hal yang meragukan, sebab hal yang meragukan hanya akan menjadi penghalang bagi kita untuk menjalankan syariatnya. Dan tetaplah konsisten dengan pendirian yang meyakinkan hati.

DAFTAR PUSTAKA

Asjmuni A. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqih (Qawai’idul Fiqhiyyah), Jakarta: Bulan Bintang, 1976.Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kidah Asasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Ushul Fiqh - Kumpulan Makalah & Artikel :: As-Sunnah

Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

:: Al-Kitab

Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak

37

Page 38: Usul Fikih Mt

diragukan kesahannya dan kebenarannya.

:: Sumber Hukum

Sumber hukum syara' ialah dalil-dalil syar'iyah (al-Adillatusy Syar'iyah) yang daripadanya diistinbathkan hukum-hukum syar'iyah.

:: Mahkum Fihi

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya.

:: Mahkum Bihi

Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.

:: Al-hakim

Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasuI-Nya.

:: Sekitar Hukum

Yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.

:: Madzhab Sahabat

Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, bila pendapat sahabat tersebut diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW.

:: Saddudz Dzari’ah

Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.

:: Istishhab

Para Ulama memahami Istishhab dengan berbagai versi, diantaranya, Istishhab diartikan segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.

38

Page 39: Usul Fikih Mt

:: Syar’un man qablana

Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya

:: Urf

'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).

:: Mashlahat Mursalah

Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan

:: Istihsan

Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum"

:: Qiyas

Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam

:: Ijma’

Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits

:: Dalil Ijtihadi

Pada pembahasan ini akan diterangkan dalil-dalil ijtihadi, yaitu dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash

39

Page 40: Usul Fikih Mt

:: Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh

Perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara para ulama dalam hal penetapan istilah untuk suatu pengertian penting.

:: Kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh

Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara' yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama.

:: Objek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh

Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad.

:: Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.

:: Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh

Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.

:: Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Posted by Admin at 3:12 PM Labels: Ushul Fiqh

makalah ushul fiqh ( pengertian dan konsep ushul fiqh) BAB I

USHUL FIQH

A.    USHUL FIQH

1.      Pengertian Ushul Fiqh

40

Page 41: Usul Fikih Mt

            Untuk mengetahui  makna dari kata ushul fiqih dapat di lihat dari dua aspek :

Ushul fiqih kata majemuk ( murakkab), dan ushul fiqih sebagai istilah ilmiah.

            Dari aspek pertama, berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari

ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara

etimologi di artikan sebagai pondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan.

            Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:

1.      Dalil, yakni landasan hukum

2.      Qoidah,yaitu dasar atau

pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW.

Artinya:

“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”

3.      Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :

“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.

4.      Mustashap, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak

ada dalil yang mengubah nya.

5.      Fur’u ( cabang), seperti perkataan ulama’ ushul:

“anak adalah cabang dari ayah

            Adapun fiqh, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan

membutuhkan pengarahan potensi akal. dan terdapat pula dalam hadist rasul saw:

41

Page 42: Usul Fikih Mt

 

 Artinya:

“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang dia akan memberikan

pemahaman agama yang (mendalam) kepadnya.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad

Ibnu Hanbal, Tirmizi, dan Ibnu Majah)

            Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya di artikan sebagai

pengetahuan keagaman yang mencangkup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah

maupun amaliah ini berarti fiqih sama dengan pengertian sari’ah islamiah. Pada

perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan bagian dari sari’ah islamiah, yaitu

pengetahuan tentang hukum sari’ah islamiah yang berkaitan dengan perbuatan manusia

yang telah dewasa dan berakal sehat dan di ambil dari dalil yang terinci.

            Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminology dapat di

kemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu fiqh adalah Ilmu tentang hukum

sara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang di peroleh malalui dalil-dalil nya yang

terperinci.

            Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqh adalah Himpunan hukum

sara’ tentang perbuatan manusia yang di ambil dari dalil-dalilnya yang terrinci.

            Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih di pandang sebagai ilmu yang

berusaha menjalaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih di pandang

sebagai hukum.hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan

fiqih sebagai hukum. ketika fiqih di definisikan sebagai ilmu, di ungkapkan secara

deskriptip. manakala di definisikan sebagai hukum di nyatakan secara deskriptif.

42

Page 43: Usul Fikih Mt

            Keterangan di atas menunjukkan bahawa objek kajian fiqih ialah hukum

perbuatan mukallaf, yakni halal,haram, wajib,makruh,dan mubah beserta dalil-dalil

yang mendasari ketentuan hukum tersebut.

            Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa

fiqih adalah hukum sari’at yang di ambil dari dalilnya. Namun, menarik untuk di

perhatikan,adalah pernyataan imam Haramain dan Almidi yang menegaskan bahwa

fiqih adalah pengetahuan hukum sara’ melalui penalaran. Pengetahuan hukum  yang

tidak melalui ijtihad(kajian), tetapi yang bersifat daruri seperti shalat lima waktu itu

wajib, zinah itu haram, dan sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih

sering di rangkaikan dengan Al-islami sehingga terangkai Al-fiqi Al-islami.

             Setelah di jelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun

istilah maka di sini di kemukakan pengertian ushul fiqih yamg menjadi pokok bahasan

para ahli hukum islam ,dalam memberikan definisi ushul fiqih, beraneka ragam,

Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum sara’

secara global dengan semua seluk beluik nya.

            Menurut Al-baidhawi dari  kalangan ulama’ syafi’iyah(juz I:16) bahwa yang di

maksud dengan ushul fiqih itu adalah Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara

global,metode penggunaan dalil tersebut,dan keadaan (persyaratan) orang yang

menggunakan nya.  Selain itu , ibnuAl-subki (juz I :25 mendefenisikan ushul

fiqih sebagai Himpunan dalil fiqih secara global.

Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefenisikan ushul fiqh sebagai Himpunan kaidah

(norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.

            Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudary Beik,seorang

guru besar universitas Al-Azhar Kairo.adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan

ulama Hanafiyah mendepenisikan Ushul Fiqih sebagai Pengetahuan tentang kaidah-

kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.

Sementara itu, Abu Wahab Khalaf, seorang guru besar hokum di universitas

Kairo Mesir menyatakan ushul fiqh adalah Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan

metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari

dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum

43

Page 44: Usul Fikih Mt

syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci. (Abdul

Wahab Khalaf : 12)

Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut

ulama syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali

(global) ; bagaimana cara mengistimbath hukum ; syarat orang yang menggali hukum

atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan

oleh jumhur ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqh itu

sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali

hukum syara’.

            Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil

hokum atau sumber hukum dengan semua seluk beluk nya, dan metode penggaliannya.

Metode tersebut harus di tempuh oleh ahli hukum islam dan mengeluarkan hukum dari

dalil-dalilnya. seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dali dan menilai

kekuatan dalil-dalil tersebut.

            Pada masa kini istimbat hukum yang lebih relevan adalah istimbat dengan

maksud sari’ah, bahkan cendrung mneggunakan kaidah fiqih seperti yang di lakukan

oleh para perumus kompilasi hukum islam di indonesia dalam merumuskannya,

tampaknya mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiah yang di jadikan suatu kerangka

teori.

2.      Objek Kajian Ushul Fiqih

            Dari definisi ushul fiqih di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian

ushul fiqih  secara garis besarnya ada 3:

a.       Sumber hukum dengan semua seluk beluk nya.

b.      Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbe nya.

c.       Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istimbat dengan semua

Sementara itu, Muhammad aljuhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai

berikut:

44

Page 45: Usul Fikih Mt

1.      sumber-sumber hukum sara’, baik yang di sepakati seperti al-qur’an dan

sunnah,maupun yang di perselisihkan.

2.      pembahasan tentang ijtihad, yakni sarat-sarat dan sifat-sifat orang yang melakukun

ijtihad

3.      mencarikan jalan ke luar dari dua dalil yang bertentangan secara zhohir,ayat dengan

ayat atau sunah dengan sunah dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian,menguat

kan salah satu (tarjih) pengguguran salah satu atau ke dua dalil yang bertentengan.

4.      pembahasan hukum syara’ yang meluputi sarat-sarat dan macam-macamnya, baik yang

bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). juga dibahas tentang

hukum, hakim, mahkum ‘alaih (orang yang di bebani) dll.

5.      pembahasan kaidah-kaidah yang di gunakan dalam mengistimbat hukum dan cara

menggunakan nya.

3.      Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih

            Dari keterangan diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa ushul fiqih merupakan

timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum,

sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya.

Walaupun titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya

berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu

ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukan.

            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagi pohon yang dapat

melahirkan buah, sedang fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.

            Setelah diketahui pengertian ushul dan fiqih, perlu diketahui bagaimana para

ulama mendefinisikan ushul fiqih sebagai salah satu bidang ilmu.

4.      Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqih

            Para ulama ushul menyepakati bahwa ushul fiqih merupakan salah satu sarana

untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah

SWT. dan RasulNya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah,

‘uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, ushul fiqih bukanlah sebagai tujuan

melainkan hanya sebagai sarana.

45

Page 46: Usul Fikih Mt

            Oleh karena itu, secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai berikut ;

1.      memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama

mujtahid dalam menggali hukum.

2.      mengambarkan persaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali

hukum syara’ secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam

mengikuti pendapat yang dikemukan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang

mereka gunakan untuk berijtihad.

3.      memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang di

kembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.

4.      memlihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.dengan berpedoman

pada ushul fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap di akui syara’.

5.      menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai

persoalan dan fenomena social yang terus berkembang di masyrakat.

6.      mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang

mereka gunakan. Dengan demukian, para peminat hukum islam dapat memilih pendapat

mereka yang terkuat disertai alas an-alasan yang tepat.

5.      Sumber Pengambilan Ushul Fiqih

           Dari definisi ushul fiqih di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber pengambilan

ushul fiqih itu berasal dari ;

a.       ilmu kalam (theology)

b.      ilmu Bahasa Arab

c.       Tujuan syara’

Hal itu disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan ushul

fiqih diyakini dari Allah SWT. Berbentuk Al-qur’an dan sunah. Pembuat hukum adalah

Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT. Hal tersebut merupakan bahasan ilmu

kalam.

46

Page 47: Usul Fikih Mt

            Ushul fiqih juga membahas dalalah lafazh. Penggunaan lafazh, ruang lingkup

lazazh, seperti ‘amm dank hash, dan sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu

bahasa arab. Selanjutnya, pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuanhukum dan

hakikathukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum

yang tepat dan mengandung kemaslahatan.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

1.      Pendahuluan

            Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam, ilmu ushul fiqih tumbuh

dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-qur’an dan sunah. Dengan kata lain,

ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak

zaman Rasullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi  bagian ushul fiqih, seperti

ijtihad, qiyas, sudah ada pada zaman Rasullulah dan sahabat.

            Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad

yang dilakukan oleh Mu’adz ibnu jabal. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah

qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersipat juz’iyah harus

dengan qiyas (Ar-Rahman Asy-Sya’idi : 16). Contoh qiyas yang dapat dikemukakan

adalah ucapan Ali dan Abd. Ar-Rahman Ibnu Auf mengenai hukuman peminum khamar

yang berbunyi :

                                                                                                                

Artinya :

“Bila seseorang meminum khamar, ia akan mengigau. Bila mengigau, ia akan menuduh

orang berbuat zina, sedangkan had (hukuman) bagi orang yang menuduh itu 80 dera”.

(Asy-Syaukani,VII : 125)

47

Page 48: Usul Fikih Mt

            Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin

Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa addahnya

berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat At-

Thalaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang pada surat

Al-Baqarah ayat 228. dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nash

yang dating kemudian dapat me-nasakh atau men-takhsis yang dating terdahulu. (Abu

Zahrah : 11)

Pada tabi’in, cara meng-istinbat hukum semakin berkembang. Di antara mereka

ada yang menempuh metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat

sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai

hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para

ulama ketika itu.

            Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa Al-Aimnat

Al’mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga

semakin jelas bentuknya. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sejak

zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum islam mengalami

perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan

dalam suatu tulisan yang sistematis. Dengan kata kata lain, belum berbentuk sebagai

suatu disiplin ilmu tersendiri.

2.      Pembukuan Ushul Fiqih

            Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah

perkembangan wilayah islam yang semakin meluas., sehingga tidak jarang

menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan

hukumnya. untuk itu para ulama islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang

sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

(Abdul Aziz Al-Sa’idi : 17)

Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu

telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing.

Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang

pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.

48

Page 49: Usul Fikih Mt

            Golongan Hanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu

ushul fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Ali Al-hasan. Alas an

mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode

istinbath dalam bukunya Ar-Ra’y. dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama

menyusun Ushul Fiqih dalam Mazhab kitab Ushul Fiqih sebelum Asy-Syafi’I, bahkan

Asy-Syafi’I berguru kepadanya.(Sulaiman ; 60-61)

            Akan tetapi, pernyataan di atas mendapatkan kritikan dari Musthafa Abdul Ar-

Raziq. Dia berkata bahwa jika dianggap benar Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan

mempunyai kitab Ushul Fiqih, tidaklah salah jika dikatakan bahwa Asy-Syafi’I juga

merupakan orang yang pertama menyusunnya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri

yang mengandung kaidah-kaidah untuk rujukan setiap orang yang meng—istinbath

hukum.(Sulaiman : 16)

            Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang pertama

yang berbicara tentang Ushul Fiqih. Namun, mereka tidak mengklaim bahwa Imam

Malik sebagai orang pertama yang menyusun kitab Ushul Fiqih. Pengakuan bahwa

Malik sebagai perintis Ushul Fiqh, menurut Abd. Wahab ibrahim Sulaiman dapat saja

diterima.(Sulaiman : 62)

            Begitu pula, syi’ah Imamiyah yang mengklaim bahwa orang pertama yang

menyusun kitab Ushul Fiqih adalah Muhammad Al-Baqir Ibnu Ali Ibnu Zain A-

Abidin,  kemudian diteruskan oleh As’ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak

dasar dan perintis Ushul Fiqih. Dan orang pertama yang menyusunnya adalah Al-

Hisyam Ibnu Al-Hakam yang menulis kitab Al-Ahhtilaf Al-Hadis didalamnya terdapat

uraian sangat penting dalam ilmu Ushul. Pendapat tersebut, diperjelaskan lagi oleh

Yunus Ibnu Ar-Rahman yang menulis kitab Al-Ikhtilaf Al-Hadis wa Masailah yang

menguraikan pertentangan antara dua hadis dan masalah perpaduan serta pen-tarjihan-

nya. Setelah itu, berkembanglah Ushul Fiqih dengan luas. (Sulaiman : 63)

            Golongan Syafi’iyah pun mengklaim bahwa Imam Syafi’i-lah orang pertama

yang menyusun kitab Ushul Fiqih. Hal ini diungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din

Abd Ar-Rahman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, “TIdak diperselisihkan lagi,

Imam Syafi’I adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini,

49

Page 50: Usul Fikih Mt

yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-

Risalah”. (Sulaiman : 64)

            Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih

sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. hal ini tidak diperselisihkan

lagi. namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul

fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala

aspeknya. Untuk itu, kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam

ilmu ushul fiqih. Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang dikenal, yakni:

1.      merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah  bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan

meganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut.

Misalnya, kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan.

Kemudian menetapkan batasan-batasanya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasinya

dalam kaidah-kaidah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan

merekalah yang merintisnya.

2.      Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk mengistinbat

hukum dari sumber hukum syar’I, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu

pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang

ditempuh Al’syafi’I dalam kitabnya Ar-Risalah, suatu kitab yang tersusun secara

sempurna dalam bidang ilmu ushul. Kitab semacam ini belum ada sebelumnya, menurut

ijma’ ulama dan cacatan sejarah.

            Dalam mengomentari kedudukan Asy-syafi’I sebagai penulis pertama kitab

ushul fiqih berdasarkan teori kedua diatas, jalaluddin As-suyuti berkata, “di sepakati

bahwa assafi’I adalah peletak batu pertama pada ilmu ushul fiqh.dia orang pertama

bebicara tentang itu dan menulis nya secara tersendiri.adapun Malik dalam Al-muwatha

hanya menunjukkan sebagia kaidah-kidah nya ,demikian pula ulama’-ulama’ lain

semasa nya,seperti Abu Yusup dan Muhammad Al-hasan.

            Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpul kan bahwa kitab ar-risalah

merupakan kitab yang pertama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih .kitab

ini tersusun dengan metode tersendiri,objek pembahasan dan permasalahan nya juga

tersendiri,tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqih manapun.

50

Page 51: Usul Fikih Mt

3.      Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqih

a.      Tahap awal (abad 3 H)

Pada abat tiga hijriah di bawah pemerintahan abbasiah wilayah islam semakin

meluas kebagian timur.khalifah-khalifan abbasiah yang berkuasa dalam abat ini adalah

Al-ma’mun, untuk masa depan yang lebih baik, Al-mutasim, Al-wasik dan Al-

mutawaqqil. Pada masa mereka inilah tejadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan

islam,yang di mulai sejak masa pemerintahan Ar-rasyid.kebangkitan pemikiran pada

masa ini di tandai dengan timbul nya semangat penerjemahan di kalangan ilmuan

muslim.buku-buku pilsapat yunani di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan kemudian

di berikan penjelasan .

            Salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat ilmuan islam ketika itu

berkembangnya ilmu fiqih yamg pada gilirannya untuk mendorong untuk di susunnya

metode berfikir fiqih yang di sebut ushul fiqih.

            Selain kitab ar-risalah, pada abat 3H.telah tersusun pula sejumlah kitab ushul

fiqih lainnya namun,perlu di ketahui pada umumnya kitab-kitab ushul fiqih yang pada

abad 3H ini tidak mencermin kan pemikiran-pemikiran yang utuh yang mencangkup

segala aspek nya,kecuali kitab ar-risalah itu sendiri kitab ar-risalah lah yang

mencangkup permasalahan-permasalahan ushuliah yang menjadi pusat perhatian para

fuqoha pada zaman itu.

            Di samping itu, pemikikran ushuliah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam

kitab-kitab fiqih,dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama’-ulama’ tertentu

mengklaim bahwa imam mazhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqih

tersebut.golongan malikiah contohnya. mengklaim imam mazhab nya sebagai perintis

pertamama ushul fiqih di karenakan imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-

kaidah ushuliah dalam kitab nya al-muwatha. ketika ia di Tanya tentang kemungkinan

adanya dua hadist shahih yang berlawanan yang datang dari Rasulullah pada sa’at yang

sama ,malik menolaknya dengan tegas ,karena ia berprinsif bahwa kebenaran itu hanya

terdapat dalam satu hadist saja.

            Hal lain yang dapat di catat, pada abad ini ialah lahir nya ulam’-ulama’ besar

yang melatakkan dasar berdirinya mazhab-mazhab fiqih. para pengikut mereka semakin

menunjukkan perbadaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqih dari para imam

51

Page 52: Usul Fikih Mt

nya. As-syafi’I missal nya tidsk menerima cara Penggunaan istilah yang masyhur di

kalangan hanafiah, sebalik nya hanafiah tidak menggunakan cara-cara pengambilan

hukum berdasarkan hadist-hadist yang di pegang oleh as-syafi’i. Sementara itu,kaum

ahli Al-hadist pada umumnya dan kaum zariyah pengikut Daud az-zahiri pada khusus

nya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut.

b.      Tahap Perkembangan (abad 4 H)

            Abad 4 H merupakan abad permulaan kelemahan dinasti abbasiah dalam bidang

politik.pada abad ini dinasti abbasiah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang

masing-masing di pimpin oleh seorang sultan namun demikian, kelemahan bidang

politik ini tidak mempengaruhi perkembanan semangat keilmuan di kalangan para

ulama’ ketika itu .bahkan ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu ke islaman

pada abad 4H ini jauh lebih maju di bandingkan dengan masa-masa sebelunmnya. Hal

ini antara lain di sebutkan masing-masing masa daulah-daulah kecil berusaha

memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual sekaligus menjadi

kebanggaan mereka.

            Khusus di bidang pemikiran fiqih islam,abad 4H hal ini mempunyai

karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyrik islam. Pemikiran leberal islam

ijtihad mutlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangggap para ulama’ terdahulu

mereka suci dari kesalahan sehingga seorang fakih tidak mau lagi mengeluarkan

pemikirannya yang khas, terkecuali dalam hal –hal kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran

fiqih yang ada semakin mantap exsistensinya, apalagi di sertai oleh panatisme di

kalangan penganutnya.namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak

dapat di katakana taqli karena masing-masing pengikut mazhab yang ada tetap

mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang oleh para

pendahulunya.usuha merteka anatara lain:

 1. memperjalas illat-illat hokum yang di isrimbat kan oleh pasra imam mereka : mereka

itulah yang disebut ulama’ takhrij.

 2. mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhab, baik dari segi riwayat.

 3. setiap golongan mendukung mazhabnya sendiri dan mentarjih kannya dalam

berbagai masalah khilapiah. mereka menyusun kitab al-khilaf, yang di dalamnya di

52

Page 53: Usul Fikih Mt

ungkapkan masalah-masalah yang di perselisihkan, dan mentarjihkan pendapat atau

pendirian mazhab yang di anutnya.

            Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini tetutup.

akibatnya bagi perkembangan fiqih islam adalah sebagai berikut

a.       kegiatan para ulama’ terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka

cendrung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkas

nya.

b.      Menghimpun masalah-masalah furu’ yang sekian banyaknya dalam uraian yang

singkat.

c.       Mempebanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.

           Keadaan tersebut, sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqih terhentinya ijtihad

dalam fiqih dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pandapat para ulama’

terdahulu dan mentarjihkannya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam

bidang ushul fiqih dalam mengomentari dalam perkembangan fiqih islam dalam abad 4

H. Muhammad Al-hudari menyatakan, usaha mereka untuk menjelas kan illat-ilat

hukum yang di istimbatkan oleh para imamnya tidak dapat di wujudkan jika tenyata dari

sekalian banyak hukum yang di peroleh dari para imam mereka tidak mempunyai illat,

dan para ulama’ berbeda pula dalam menentukan atau mentarikkan illat ini kejelasan

illat membuka pintu untuk berpatwa dalam hal yang tidak ada nass nya dari para imam

yang bersangkutan. apa blia illat yang menjadi dasar nass nya telah di ketahui mereka

(pengikut-pengikutnya) dapat mengujud kan apa yang di sebut nya sebagai ushul yang

di jadikan asal oleh para imam mereka dalam istimbatkan hukum.

            Tampak nya para fuqoha memperoleh lapangan baru untuk berijtihad dalam

ushul fiqih dari pada berijtihad dalam bidang fiqih mereka melakukan pemikiran yang

mandiri dan liberal serta mempunyai ciri khas dan keorsiniran yang belum pernah

dimiliki sebelum mereka. Hal yang turut membantu ialah kecendrungan mereka

terhadap ilmu ‘akliah.antara lain filsafat, sehingga turut mewarnai metode berfikir islam

ketika itu.

            Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih dalam abad 4H ini yaitu muncul

nya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya dari ulama’ fiqih. kitab-kitab

yang paling terkenal ialah:

53

Page 54: Usul Fikih Mt

a.       kitab ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadillah Ibnu Al-husain  Ibnu

Dillal Dalaham Al-Kharkhi. Kitab ini bercorak Hanafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah

ushul fiqih. Salah satu kaidah yang menurut sebagian ulama menunjukkan kefanatikan

penulisnya terhadap mazhabnya, ialah kaidah yang berbunyi, “pada dasarnya setiap ayat

yang bertentangan dengan perkataan sahabat-sahabat kami mengandung arti naskh atau

tarjih, sehingga harus ditakwil kan untuk menyesuaikannya”. Jelas sekali bahwa

perkataan ini menunjukkan sikap lebih mementingkan perkataan-perkataan imam-

imamnya dari pada teks ayat dan sunah.

b.      Kitab Al-fushul fi Al-UShul, ditulis oleh Ahmad ibnu Ali Abu Bakar Ar-razim yang

juga dikenal dengan Al-Jashash. Kitab ini juga bercorak Hanafiyah dan banyak

mengeritik isi kitab Ar-risalah, terutama dalam masalah Al-bayan dan istihsan.

c.       Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu

Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Kitab ini di Tahqiq oleh Dr. Muhammad Hasan Musthafa

Asy-Syalaby. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus yang menerangkan

arti lafazh dan arti defenisi-definisi yang sangat dibutuhkan oleh para Qadi dan Mufti.

Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/ ta’rif dan tidak tersusun berdasarkan abjad,

tetapi dengan cara antara lain menurut kaitan pengertian kata-katanya.

            Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas

perkembangan ilmu ushul fiqih pada abad 4 H, yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqih

yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti

yang terjadi pada masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas masalah kitab-kitab

tertentu. Hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu

dalam masalah itu.

            Dalam abad 4 H. ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang

bercorak Filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu Mantiq dalam ilmu ushul

fiqh Al-hudud merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai  dalam perkembangan

(kitab-kitab) sebelumnya.  Akibat dari pengaruh ini sekurang-kurangnya ada dua,

yakni :

a.       ketergantungan penulis dalam bidang ushul fiqih pada pola acuan dan kriteria Manthiq

dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan bagi mereka

54

Page 55: Usul Fikih Mt

untuk melakukan kriteria dan keabsahan berpendapat, yang pada gilirannya mendorong

pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya ;

b.      Munculnya berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru yang independent dalam

memberikan definisi dan pengertian terhadap peristilahan-peristilahan yang khusus di

pakai dalam ilmu ushul fiqih.

c.       Tahap Penyempurnaan (abad 5-6 H)

            Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah

kecil. Membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia islam. Peradaban islam tidak

lagi berpusat pada Baghdad, tetapi juga dikota-kota, seperti Kairo, Bukhara, Gahznah,

dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari pada sultan, raja-raja

penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.

            Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu ushul

fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk

mendalaminya ; antara lain  Al-Baqilani, Al-Qahdi Abd, Al Jabar, Abd Al-Wahab Al-

Baghdadi, Abu Zayd Ad-dabusy, Abu Husain Al-Bashri, mereka itulah pelopor

keilmuan islam dizaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman dikemudian hari mengikuti

metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu ushul

fiqih yang tidak ada bandingnya dalam penulisan dan pengkajian keislaman. Itulah

sebabnya pada zaman itu, generasi islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan

minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikannya sebagai sumber

pemikiran.

            Dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih, pada abad 5 dan 6 H. ini

merupakan periode penulisan kitab ushul fiqih terpesat, yang di antaranya terdapat

kitab-kitab yang menjadi standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.

        Kitab-kitab ushul fiqih yang paling penting antara lain sebagai berikut ;

a.       kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-‘Adl wa At-Tawhid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-

Jabbar (w. 415 H / 1024 M). Dalam kitab Mughni. Abd Al-jabbar tidak saja menulis

kaidah-kaidah fiqih., tetapi juga kaidah-kaidah ilmu kalam yang bercorak Mu’tazilah.

Baginya ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih saling menyempurnakan antara satu dengan

55

Page 56: Usul Fikih Mt

yang lainnya. Untuk diketahui, aliran mu’tazilah merupakan aliran yang berfikir

rasional maka tercermin pula dalam metode ilmiah dan disertai argument yang logis.

b.      Kitab Al-Mu’amad fi Al-ushul fiqih, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w. 436 H /

1044M). yang juga beraliran mu’tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling sempurna

dan menjadi sumber utama bagi ulama mu’tazilah pada umumnya, bahkan dinilai

sebagai salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih, yang dijadikan rujukan oleh

umumnya pengkaji ilmu ushul fiqih sesudahnya.

c.       Kitab Al-Iddaf fi ushul Al-fiqih. Ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhamad Ya’la

Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Farra (w. 458 H / 1065 M).

yang dianggap sebagai ulama besar madzhab pada abad 5 H.

d.      Kitab Al-Burhan fiushul Al-fiqih, ditulis oleh Abu Al-Ma’ali Abd. Al-Malik Ibnu

Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juwaini Imam Al-Haramain (w. 478 H / 1094 M). kitab ini

dinilai sebagai salah satu kitab standar ushul fiqih, ibnu Khaldun menilai kitab ushul

fiqih yang terbaik dari kalangan mutakallimin.

e.       Kitab Al-Mustasfa min Ilm Al-ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H /

1111 M). yang juga dikenal sebagai hujjah Al-islam. Algazali telah berguru kepada

imam Alharamain, dan pernah memimpin madrasah Nizhamiyah. Ia terkenal sebagai

ulama yang mendalami fiqih, Filsafat, dan tasawuf sekaligus. Kitabnya Al-mustashafa,

menurut ibnu khaldun, adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar ushul fiqih.

Hasil-hasil ijtihad Algaali yang terpenting dalam Almustashaf antara lain adalah

penolakannya terhadap hadis mursal dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Malik

dan Abu Hanifah. Ia juga menolak pendapat bahwa fatwa-fatwa sahabat dapat dijadikan

hujjah jika sahabat lainnya mendiamkannya. Menurut Al-gazali fatwa itu tidak dapat

dijadikan hujjah sebelum yakin bahwa diamnya sahabat itu menyetujui fatwa itu. Ia juga

tidak sependapat dengan asy-syafi’I dalam taqlid kepada sahabat. Menurut Al-gazali,

para sahabat sering salah dan lupa, dan tidak ada hujjah yang mutawatir tentang

kesucian mereka ; merekapun sering berbeda pendapat sebagai bukti bahwa mereka

tidak ma’shum.dan juga para sahabat itu membolehkan adanya ijtihad lain yang berbeda

dengan ijtihad mereka. Menurut Al-gazali setiap mujtahid memiliki nilai kebenaran

pada pendapatnya masing-masing. Ia tidak setuju pada pendapat bahwa hanya satu di

antara semua ijtihad yang benar, sedangkan yang lainnya salah. Demikianlah dalam

56

Page 57: Usul Fikih Mt

abad 5 dan 6 H. tampil fuqaha yang memiliki pemikiran-pemikiran yang orisinil dan

liberal, yang ditandai dengan timbulnya perbedaan-perbedaan pendapat dalam maslah-

masalah  tertentu.

4.      Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqih

            Seperti diketahui ushul fiqih mengalami perkembangan pesat setelah dibukukan.

Namun, merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa perkembangan itu

disebabkan oleh pengaruh asing, yakni filsafat Aristo, khususnya manthiq yang pada

saat itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Memang dalam menyusun kitab Ar-

risalah, asy-syafi’I menempuh metode deduktif filsafat, yaitu menyusun kaidah-kaidah

kulliyah yang dapat diaplikasi dalam masalah-masalah juzi’yah. Dengan demikian, ada

yang mengira bahwa manthiq dalam penulisan kitabnya itu. Alasan mereka adalah

bahwa manthiq telah dikenal oleh islam sebelum masa asy-syafi’I dan dia sendiri

mengerti bahasa Yunani dan ternyata metode qiyasnya mirip dengan metode tamsil

Aristo. Namun demikian, alasan-alasan itu kurang  kuat, karena asy-syafi’I ternyata

sangat membenci manthiq Aristo.

            Ulama yang dianggap menerima pengaruh manthiq secara sungguh-sungguh

ialah Al-gazali karena secara mencolok ia mengemukakan teori-teori manthiq sebagai

mukadimah kitabnya Al-mustashaf. Didalamnya, ia menegaskan barang siapa yang

tidak menguasai manthiq Aristo, maka ilmunya tidak dapat dipastikan kebenarannya.

Atas dasar inilah, Al-gazali menilai manthiq Aristo sebagai salah satu syarat ijtihad dan

merupakan fardu kifayah bagi umat islam. Hal ini membawa al-ghazali kepada posisi

yang bertentangan dengan para fuqaha islam ketika itu.

            Suatu hal yang perlu dicatat bahwa masuknya pengaruh manthiq Aristo kedalam

ushul fiqih, yang dimulai semenjak imam Al-Haramain atau setidak-tidaknya oleh al-

ghazali, ternyata merupakan suatu bukti bahwa pengaruh itu masuk dalam ushul fiqih

melalui para ulama mutakallimin ‘Asy’ariyah, bukan dari kalangan Mu’tazilah.

            Pengaruh manthiq dalam ushul fiqih, yang terjadi sejak akhir abad 5 H ini

banyak mendapat tantangan dari para ulama yang hidup semasanya dan sesudahnya.

Ulama yang paling terkenal menentangnya ialah ibnu Ash-shalah dan ibnu Taimiyah.

Ibnu as-shalah membantah keras al-ghazali yang berpendapat bahwa barang siapa yang

57

Page 58: Usul Fikih Mt

tidak menguasai manthiq maka pada dasarnya ilmunya tidak diyakini kebenarannya.

Ibnu ash-shalah berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, dll, dapat mencapai tingkat

keyakinan padahal tidak seorang pun diantara mereka yang mengetahui manthiq:.

Ketika ibnu ash-shalah ditanya apakah para sahabat tabi’in dan mujtahid salaf

membolehkan mempelajari manthiq ? ia menjawb, “Manthiq ialah suatu jalan masuk ke

sesatan, sedangkan masuk kedalam kesesatan adalah sesat. Mempelajarinya bukanlah

hal yang di bolehkan oleh syari’at dan tidak seorang pun dari para sahabat tabi’in dan

mujtahid yang membolehkannya.

            Tantangan yang sama dilontarkan oleh ibnu Taimiyah dalam bukunya Ar-Radd

‘ala Al-manthiqiyah. Ia menyalahkan orang yang menganggap ilmu yang diperoleh

dengan akal sebagai bagian dari ilmu kenabian (keagamaan), selain ilmu dan praktek. Ia

menyatakan bahwa orang yang beranggapan demikian telah dimasuki pengaruh dari luar

dan hawa nafsu yang merusak.

5.      Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fiqih islam

            Dapat dikatakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih

merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ dan menjabarkannya

pada kehidupan social yang berubah-ubah itu. Kegiatan tersebut dimulai pada abad

ketiga hijriyah. Ushul fiqih itu terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga

puncaknya pada abad kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut merupakan

abad memusatkan penulisan ilmu ushul fiqih karena banyak para ulama memusatkan

perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab fiqih selanjutnya.

            Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan

seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya

untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar.

Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan.

Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah di tetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti,

seorang mujtahid dalam berijtihadnya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.

            Target studi fiqih mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath hukum yang ia

hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang mempelajari

fiqih islam, target ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam

58

Page 59: Usul Fikih Mt

mazhab dalam mengistinbath hukum sehingga ia dapat mentarjih dan mentahrij

pendapat imam mazhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar,

kecuali dengan diaplikasinya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istinbath.

            Sebagaimana telah kita ketahui bahwa motif dirintisnya, dan ditetapkannya

kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid terhadap kaidah itu untuk

keperluan istinbath hukum., terutama setelah masa sahabat dan tabi’in. dan setelah

banyak ulama yang berpendapat bahwa mulai tahun 400 H pintu ijtihad tertutup, fiqih

islam hanya terbatas pada pendapat para imam dan pendapat mereka yang tertulis dalam

kitab-kitab fiqih tanpa ada yang berusaha untuk mengeluarkan hukum dari dalil-

dalilnya. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bukan ahli ijtihad tetap berijtihad.

Sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap

memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup pintu ijtihad. Mereka

mengatakan pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan

hawa nafsu untuk main-main dalam hukum syara’ dapat dihindari.

            Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu

adalah tidak berdasarkan pada dalil syara’. Hanya saja, ulama berpendapat demikian

karena pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian,

bagi seseorang yang memenuhi syarat ijtihad., tidak ada halangan baginya untuk

melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorangpun berpendapat bahwa ijtihad itu

mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya

sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berrpendapat bahwa

ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan

bisa kembali lagi sebagaimana di masa Aimmat Al-mujtahidin selama ada orang yang

ahli dalam berijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad.

            Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada ilmu

ushul fiqih selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ketingkat

mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqih. Dan

bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhabnya tidak

mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih dan

kaidah-kaidahnya. Peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih islam dapat

dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-

59

Page 60: Usul Fikih Mt

dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai

pengembangan pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran

seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, ibnu khaldun dalam kitabnya Muqaddamah

berkata, “sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi

nilainya, dan terbanyak kaidahnya”.

            Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama memandang ilmu ushul fiqih

sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimilki oleh setiap faqih dan dipandang

sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainya. Perlu di ingat pula bahwa

ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama terdahulu lafazh yang  terdapat dalam nash

syara’, terutama dalam Al-Quran. Dan mereka dengan ushul fiqih mencoba

mengungkapkan maksud pembuat hukum (Allah) atau murad Asy-syari.

6.      Aliran-Aliran Ushul Fiqih

            Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih, dikenal dua aliran, yang terjadi antara

lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqih untuk menggali

hukum islam.

            Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan jumhur mutakallim (ahli kalam).

Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-

masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini

menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa di pengaruhi

masalah furu’ dan mazhab, sehingga ada kalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah

furu’ dan ada kalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli

dapat dijadikan kaidah.

            Namun, pada kenyataannya dikalangan syafi’iyah sendiri terjadi pertentangan,

misalnya Al-amidi yang mengajukan kehujjahan ijma’ sukuti. Padahal imam syafi’i

sendiri tidak mengakuinya. Padahal ijma’ yang diakui secara mutlak oleh imam syafi’I

adalah ijma’ dikalangan sahabat saja secara jelas. Pendapat Alamidi tersebut sebenarnya

merupakan salah satu konsekuensi dari usahanya bersama Al-Qarafi untuk menyatukan

dua aliran ushul fiqih.

            Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu difokuskan pada masalahan teoritis, aliran ini sering tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan, seperti penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan

60

Page 61: Usul Fikih Mt

dapat dicapai akal atau tidak), dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang berkaitan pula masalah aqidah. Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rasulullah SAW.            Kitab standar aliran ini antara lain : Ar-risalah (imam syafi’i), Al-Mu’tamad (Abu Al-husain Muhammad ibnu ‘Ali Al-Bashri), Al-Burhan fi ushul fiqh (imam Al-haramain Al-juwaini), Al-Mankhul min Ta’liqat Al-ushul. Shifa Al-gazali fi Bayan asy-syahab wa Al-mukhil wa Masalik At-Ta’lil, Al-mushfa fi ilmi Al-ushul (ketiganya karangan imam abu hamid Al-gazali).            Aliran kedua, dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama mazhab Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam mazhab mereka.            Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu’ tersebut.             Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain : kitab Al-Ushul (imam abu hasan al-kharkhi, Al-Ushul (abu Bakar Al-jashsaha), ushul Al-sarakhsi (imam Al-sarakhi), Ta’sis An-Nazhar (imam abu zaid al-dabusi), dan al-kasyaf al-asrar (imam al-bazdawi).             Sedangkan kitab-kitab ushul yang mengabungkan kedua teori diatas antara lain :

1.      At-tahrij, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Hanafi (w. 861 H)2.      Tahqih Al-Ushul, oleh Shadr Asy-Syari’ah (w. 747 H). kitab ini merupakan rangkuman

dari tiga kitab ushul fiqih yaitu : Kasf Al-asrar (imam Al-Bazdawi), Al-Mahshul (faqih Ad-Din Ar-razi Asy-syafi’i), dan mukhtashar ibnu al-hajib (ibnu Al-Hajib Al-maliki).

3.      Jam’u Al-jawawi, oleh Taj Ad-Din Adb Al-Wahab As-subki Asy-syafi’I (w. 771 H).4.      Musallam Ats_Tsubut, oleh Muhibullah Ibnu Abd Al-Syakur (w.1119 H).

            Pada abad 8 muncul imam Asy-Syatibhi yang menyusun kitab Al-Muwafaqat fi Al-ushul Asy-Syari’ah. Pembahasan ushul fiqih yang dikemukakan dalam kitab tersebut berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap sebagai kitab ushul fiqih kontenporer yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang .

  KEHUJJAHAN ISTISHHABDALAMPANDANGAN ULAMA USHUL FIQHPendahuluanPara ahli ushul fiqh sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas al-Qur’an,Hadits,ijma’ , danQiyas. Di samping ketiga sumber hukum tersebut ada jugaistishan,

61

Page 62: Usul Fikih Mt

istishhab,masalah mursalah.I s l am mem ber ika n kem udahan bag i uma tnya un tuk me lak uka n sua tu ama l iba dah , be rda sa rkan sumbe r - su mbe r hukum yang t e l ah ada , d ih a r a pka n dap a t melaksankan suatu ibadah tanpa kesukaran danKEHUJJAHAN ISTISHHABDALAMPANDANGAN ULAMA USHUL FIQHPendahuluanPara ahli ushul fiqh sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas al-Qur’an,Hadits,ijma’ , danQiyas. Di samping ketiga sumber hukum tersebut ada jugaistishan,istishhab,masalah mursalah.I s l am mem ber ika n kem udahan bag i uma tnya un tuk me lak uka n sua tu ama l iba dah , be rda sa rkan sumbe r - su mbe r hukum yang t e l ah ada , d ih a r a pka n dap a t melaksankan suatu ibadah tanpa kesukaran dan kesulitan. Oleh karenanya umat Islamdiberi ilmu dan akal fikiran untuk menggali hukum-hukum dan berijtihad berdasarkankemampuanya dan kapasitas keilmuannya. Sebagai mana disebutkan dalam haditsnabi.Dalam hadits Rasulullah menanyakan pada sahabat Mu’adz:"Bagaimana (cara)kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnyadalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Akuakan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh.(Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena iaberbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Dauddan at-Tirmidzi)Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalammenetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.Makalah ini akan membahas masalahistishhab, sejauh mana kehujjahannyamenurut pandangan ulama ushul fiqh.PengertianArti  Istishhab.pada loghot ialah menuntut bersahabat atau menuntut beserta (لستصحاب) 1Atau Menurut bahasa adalah mencari pertemanan.

62

Page 63: Usul Fikih Mt

21 Muhammad ibn Hasan ibn Hasan al-Jizani,Mu’alimu Ushul Fiqh ‘in

63