usaid/indonesia kajian dampak perubahan iklim dan tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun...

116
OKTOBER 2017 Dokumen ini disusun oleh tim konsultan Management Systems International untuk dikaji oleh United States Agency for International Development. USAID/INDONESIA KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN AIR DI KABUPATEN MOJOKERTO – JAWA TIMUR

Upload: others

Post on 15-Aug-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

OKTOBER 2017

Dokumen ini disusun oleh tim konsultan Management Systems International untuk dikaji oleh United

States Agency for International Development.

USAID/INDONESIA

KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN

TUTUPAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN

AIR DI KABUPATEN MOJOKERTO – JAWA TIMUR

Page 2: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur i

USAID/Indonesia

Kajian Dampak Perubahan Iklim dan

Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian

Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa

Timur

Indonesia Monitoring & Evaluation Support Project

PERNYATAAN

Pandangan dan pendapat penulis didalam dokumen ini tidak mencerminkan pandangan dan pendapat dari United

States Agency for International Development ataupun Pemerintah Amerika Serikat.

Page 3: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur ii

EXECUTIVE SUMMARY Climate change has been proven by multiple scientific studies. In Indonesia, climate change is indicated by

increasing temperatures of between 0.2-0.3 0C per decade, as well as changes in annual rainfall patterns,

which are predicted to increase in the main islands and decrease by approximately 15% in the southern parts

of the country. Temperature and rainfall changes have also occurred in Mojokerto District, where temperatures

have risen by 0.20C per decade since 1941, and average annual rainfall decreased by 11% when comparing

the periods 1941-1980 and 1987-2011. These changes can create water crises, especially with water demand

increasing for both domestic and non-domestic sectors. Moreover, the land-use change rate in this district has

been increasing due to growing industry and housing sectors – factors that will exacerbate the water supply

crisis. This assessment examines the impacts of climate change on water resources in Mojokerto and how land-

use change management can be used as an adaptation strategy to reduce the negative impacts in the district.

The assessment measured climate change impacts on water resources by calculating water balances in 32

sub-catchments in Mojokerto using the GenRiver model. Instead of using 11% as a projection of rainfall

decrease, this model used 10% for practical calculation. There were no significant differences between the two

projections. Water balance data were integrated with three land-use scenarios to analyze base flow and quick

flow in each scenario. The first scenario, Business as Usual (BAU), was based on actual land-use changes in

1996, 2001, 2006, and 2016. The second, Spatial Planning scenario was based on the Mojokerto District

Spatial Plan 2012- 2030. The third, Environmental Carrying Capacity (ECC) scenario was designed based on

Stalling’s land capability classification. In addition, the assessment analyzed the level of hazards and risks of

drought, flooding, and landslides in the three scenarios with additional data such as daily rainfall between 1996-

2015, soil characteristics, and watershed morphometrics.

Water balance predictions by the GenRiver model showed that the ECC scenario produces higher base flow

(input for groundwater) and lower quick flow (surface runoff) compared to BAU and Spatial Planning scenarios.

The Spatial Planning scenario has the lowest base flow and the highest quick flow. The model also explains

that different geological and hydrological formations in northern and southern Mojokerto influence the volume

of river discharge, base flow, and quick flow in the three scenarios. Based on 2015 river discharge data,

discharge volume is four times greater in southern Mojokerto, a volcanic area, compared to the northern area,

which is limestone. In 2030, the difference between the two areas is predicted to be two times larger.

Additionally, the ECC scenario decreases the level of hazard and the risks of drought, flood, and landslide. On

the other hand, the BAU scenario increases hazard levels of drought and flood from low and moderate to high,

while the Spatial Planning scenario increases the hazard levels of drought and flood from high to very high.

Moreover, the risk levels of drought and flood are increased in the BAU and Spatial Planning scenarios.

Regarding landslides, the Spatial Planning scenario decreases the risk level, while the BAU scenario increases

risk.

Based on these findings, the assessment makes the following recommendations to reduce the negative impacts

of climate change on water resources:

• Revitalize the roles of Forum Penyehatan Fungsi DAS (Watershed Revitalization Forum), enhancing

stakeholder participation in watershed management.

• Increase the capacity of local communities in watershed management, through field school.

• Develop feasible watershed management action plans.

In addition, the assessment notes 14 recommended technical methods to prevent flood, drought and landslide:

(1) forest biodiversity conservation, (2) assisted natural regeneration, (3) reforestation, (4) agroforestry, (5)

crescent dikes, (6) infiltration trenches, (7) silt pits/gully plugs, (8) bund terraces with bulkheads and silt pit

terraces, and bench terraces with beds and bulkheads, (9) small dams and check dams, (10) soil biopores,

(11) infiltration wells in rural areas, (12) infiltration wells in urban areas, (13) irrigation water efficiency, and

(14) raw water efficiency in domestic and industrial sectors.

Page 4: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Perubahan iklim merupakan isu yang dihadapi oleh masyarakat dunia pada saat ini. Namun, dampak dari

fenomena tersebut berbeda-beda di berbagai wilayah. Di Indonesia, perubahan iklim ditandai dengan

peningkatan suhu antara 0.2-0.30C setiap dekade dan peningkatan curah hujan tahunan di seluruh pulau

utama kecuali di bagian selatan yang diproyeksikan menurun sebesar 15%. Kondisi yang sama terjadi di

Kabupaten Mojokerto dimana curah hujan menurun sebesar 11% dan suhu meningkat sebesar 0.20C

setiap dekade. Perubahan ini dapat mengancam ketersediaan sumberdaya air di Mojokerto. Di

kabupaten ini, pertumbuhan sektor industri dan kebutuhan permukiman meningkat, sehingga

meningkatkan laju perubahan tutupan lahan. Mojokerto diprediksi mengalami kekurangan suplai air

untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri yang pada saat ini sekitar 0.14 m3/dtk dan

diproyeksikan akan terus meningkat, sehingga pada tahun 2030 menjadi 0.73 m3/dtk. Perubahan iklim,

disertai perubahan tata guna lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dapat

menimbulkan krisis ketersediaan air. Kajian ini bertujuan mengetahui seberapa jauh perubahan iklim

dan tata guna lahan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air di Kabupaten Mojokerto, serta strategi

adaptasi yang tepat.

Untuk mengetahui ketersediaan air, kajian ini menghitung neraca air di 32 sub-Dareah Aliran Sungai

(DAS) di Mojokerto menggunakan model GenRiver, dengan proyeksi penurunan hujan 10%. Penentuan

nilai penurunan curah hujan dari 11% menjadi 10% untuk penghitungan skenario neraca air ini

didasarkan pada kepraktisan perhitungan dimana pembulatan nilai tidak berpengaruh pada hasilnya.

Kajian juga mengidentifikasi ancaman, kerentanan dan risiko kekeringan, banjir dan tanah longsor

melalui analisis neraca air dan tata guna lahan. Data tata guna lahan terdiri dari data perubahan

penggunaan lahan aktual tahun 2001, 2006, 2016 (penggunaan lahan Bussiness as Usual – BAU),

penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Mojokerto 2012-

2030, dan penggunaan lahan berdasarkan arahan Kelas Kemampuan Lahan (KKL). Data sekunder

berupa data curah hujan dan debit harian periode 1996 – 2014, data tanah serta morfometri DAS.

Hasil analisis dipresentasikan dalam bentuk peta-peta yang diolah dengan menggunakan tool ArcGIS 10

dan analisis berbagai Citra Landsat OLI 30 m pada band 4 dan 5.

Analisis neraca air memprediksi bahwa penggunaan lahan berdasarkan skenario KKL menunjukkan

jumlah baseflow (aliran dasar sebagai input groundwater) yang lebih besar dan jumlah quickflow (aliran

cepat dipermukaan tanah) yang lebih kecil, dibandingkan dengan skenario BAU dan RTRW Kabupaten

Mojokerto. Skenario RTRW menghasilkan volume baseflow terendah dan quickflow tertinggi. Perbedaan

formasi geologi dan hidrologi antara daerah utara dan selatan mempengaruhi debit sungai, baseflow dan

quickflow pada berbagai skenario penggunaan lahan tersebut. Berdasarkan data debit tahun 2015, daerah

selatan yang merupakan daerah pegunungan vulkanik rata-rata menghasilkan debit sungai empat kali

lebih besar dibandingkan daerah utara yang merupakan daerah berkapur. Pada tahun 2030, rata-rata

debit sungai didaerah selatan diperkirakan delapan kali lebih besar dibandingkan daerah utara.

Selanjutnya, kajian menunjukkan bahwa skenario penggunaan lahan KKL dapat menurunkan ancaman

dan risiko kekeringan, banjir, dan longsor. Skenario BAU dapat meningkatkan ancaman kekeringan dan

banjir dari rendah-sedang menjadi tinggi, sedangkan skenario RTRW menjadikan tingkat ancaman

kekeringan dan banjir dari tinggi menjadi sangat tinggi. Lebih lanjut, risiko kekeringan dan banjir turun

pada skenario KKL dan naik pada skenario BAU dan RTRW. Selain itu, skenario KKL dan RTRW dapat

menurunkan risiko longsor, dan sebaliknya, skenario BAU meningkatkan risiko longsor.

Rekomendasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kondisi sumberdaya air di Kabupaten

Mojokerto diantaranya membentuk dan memfungsikan ‘Forum Penyehatan Fungsi DAS’, meningkatkan

partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi

ketersediaan waktu, kemampuan pembiayaan, kemudahan rencana aksi dan teknologi yang ditawarkan,

dan dapat mengikuti kondisi sosial serta budaya masyarakat setempat dalam pengelolaan DAS melalui

sekolah lapang. Terdapat 14 rekomendasi teknis yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekeringan,

banjir dan tanah longsor di wilayah Kabupaten Mojokerto yaitu: (1) Pengkayaan dan Konservasi

Biodiversitas Hutan (PKB), (2) Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam hutan (PAH), (3)

Page 5: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur iv

Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi, penghijauan hutan (RPH), (4) Pengembalian fungsi hutan

melalui Agroforestri (hutan rakyat dan kebun campuran) (AFK), (5) Pematang Bulan Sabit (crescent

dykes) (PBS), (6) Saluran peresapan air (SPA), (7) Rorak/ parit buntu (RPB), (8) Teras Gulud bersekat

dan berorak dan Teras Bangku dengan bedengan bersekat (TGB), (9) embung dan chek dam (ECD),

(10) Biopori tanah (BPT), (11) Sumur resapan pedesaan individual (SRD), (12) Sumur resapan

perumahan / perkotaan individual (SRP), (13) efisiensi air irrigasi (EAI), (14) efisiensi pemanfaatan air

baku di rumah tangga dan industri (EPA).

Page 6: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur v

AKRONIM

APIK Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan

BAU Business As Usual

BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BMKG Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika

BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah

BMG Badan Meteorologi & Geofisika

DAS Daerah Aliran Sungai

DDL Daya Dukung Lahan

DEM Digital Elevation Model

ENSO El Nino Southren Oscillation

FAO Food and Agriculture Organization

GIS Geographical Information System

GOI Government of Indonesia

KKL Kelas Kemampuan Lahan

IDW Inverse Distance Weight

MESP Monitoring and Evaluation Support Project

NDVI Normalized Difference Vegetation Index

NGO Non-Government Organization

PDAM Perusahaan Daerah Air Minum

RTRW Rencana Tata Ruang dan Wilayah

USAID United States Agency for International Development

WHO World Health Organization

Page 7: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur vi

DAFTAR ISI

Executive Summary .................................................................................................................... II

Ringkasan Eksekutif ....................................................................................................................III

Akronim ..................................................................................................................................... V

Daftar Isi ................................................................................................................................... VI

Daftar Gambar ........................................................................................................................ VIII

Daftar Tabel .............................................................................................................................. IX

1. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................................................................. 1

1.2. PERTANYAAN PENELITAN ...................................................................................................................... 2

1.3. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................................................................. 2

2. KAJIAN LITERATUR .............................................................................................................. 2

2.1. SUPPLY-SIDE PRESSURE FACTOR ............................................................................................................. 3

2.2. DEMAND-SIDE PRESSURE FACTOR ......................................................................................................... 4

3. METODOLOGI ....................................................................................................................... 4

3.1. LOKASI KAJIAN ...................................................................................................................................... 4

3.2. KERANGKA ANALISIS DAN LIMITASI ....................................................................................................... 5

3.3. DATA DAN METODE ANALISIS ............................................................................................................... 6

4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 8

4.1. PERUBAHAN VARIABEL IKLIM ................................................................................................................. 8

4.2. SKENARIO TUTUPAN LAHAN ............................................................................................................... 10

4.3. NERACA AIR ........................................................................................................................................ 14

4.4. ANCAMAN SUMBERDAYA AIR ............................................................................................................... 16

4.5. KERENTANAN SUMBERDAYA AIR ......................................................................................................... 19

4.6. RISIKO SUMBERDAYA AIR ..................................................................................................................... 22

5. KESIMPULAN ....................................................................................................................... 24

6. REKOMENDASI .................................................................................................................... 25

Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 26

Lampiran 1: Peta Administrasi Kabupaten Mojokerto........................................................................ 29

Lampiran 2: Kerangka Analisis ...................................................................................................... 30

Lampiran 3: Data ....................................................................................................................... 31

Lampiran 4: Peta Penggunaan Lahan Aktual Hasil Interpretasi Citra Satelit 8 Oli .................................... 32

Lampiran 5: Peta Perubahan Tutupan Lahan 1996, 2002, 2006 Dab 2016 .............................................. 33

Lampiran 6: Peta Skenario Rtrw Kabupaten Mojokerto 2012-2030 ..................................................... 34

Lampiran 7: Peta Kemampuan Lahan Yang Mengindikasikan Daya Dukung Lahan Kabupaten Mojokerto ..... 35

Lampiran 8: Peta Arahan Tutupan Lahan Atas Dasar DDDL Kabupaten Mojokerto ................................ 36

Lampiran 9: Peta Pembagian Subdas di Kabupaten Mojokerto............................................................. 37

Lampiran 10: Peta Ancaman Kekeringan Tahun 1996,2001, 2006 dan 2016 ........................................... 38

Lampiran 11: Peta Potensi Ancaman Kekeringan Skenario RTRW dan DDDL Tahun 2030 ...................... 39

Lampiran 12: Peta Ancaman Banjir Tahun 1996, 2001, 2006 Dan 2016 ................................................ 40

Page 8: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur vii

Lampiran 13: Peta Potensi Ancaman Banjir Skenario RTRW dan DDDL Tahun 2030.............................. 41

Lampiran 14: Peta Ancaman Longsor Tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 .............................................. 42

Lampiran 15: Peta Potensi Ancaman Longsor Skenario RTRW dan DDDL Tahun 2030 ......................... 43

Lampiran 16: Lokasi Mata Air di Kabupaten Mojokerto ..................................................................... 44

Lampiran 17: Hasil Uji Kualitas Air ................................................................................................ 45

Lampiran 18: Peta Sebaran Risiko Kekeringan Tahun 1996, 2001, 2006, 2016 ....................................... 46

Lampiran 19: Peta Sebaran Potensi Risiko Kekeringan Skenario RTRW dan DDDL ................................ 47

Lampiran 20: Peta Sebaran Risiko Banjir Tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 .......................................... 48

Lampiran 21: Peta Sebaran Risiko Banjir Skenario Rtrw dan DDDL 2030 ............................................. 49

Lampiran 22: Peta Risiko Longsor Tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 .................................................. 50

Lampiran 23: Peta Sebaran Risiko Longsor Skenario RTRW dan DDDL 2030 ....................................... 51

Lampiran 24: Strategi Adaptasi Berdasarkan Iwrm ............................................................................ 52

Lampiran 25: Teknologi Adaptasi dampak Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Sumberdaya Air di Mojokerto ..... 58

Lampiran 26: Neraca Air Pada Setiap Subdas di Kabupaten Mojokerto ................................................. 75

Page 9: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Kerja Dampak Perubahan Iklim dan Tutupan Lahan Terhadap Ketersediaan

Air di Mojokerto ................................................................................................................... 5

Gambar 2. Tren Temperatur Tahunan di Stasiun Klimatologi Mojosari, Kabupaten Mojokerto ....... 9

Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Curah Hujan di Stasiun Pacet Kabupaten Mojokerto antara

tahun 1890 - 1941 dengan Tahun 1987 – 2011 ........................................................................ 9

Gambar 4. Jumlah Kejadian Hujan Ekstrim (> 100 mm hari-1) di Beberapa Stasiun Hujan di

Kabupaten Mojokerto ......................................................................................................... 10

Gambar 5. Proyeksi Tutupan Lahan sebagai Bussiness as Usual (BAU) Tahun 2030 ....................... 11

Gambar 6. Prediksi penurunan debit air sungai akibat penurunan hujan 10% pada tahun 2030 di tiga

skenario penggunaan lahan .................................................................................................. 14

Gambar 7. Prediksi Debit Sungai, Baseflow dan Quickflow Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada

Tiga Skenario Penggunaan Lahan .......................................................................................... 15

Gambar 8. Prediksi Debit Sungai Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada Tiga Skenario

Penggunaan Lahan Tahun 2015 dan 2030 .............................................................................. 15

Gambar 9. Neraca Air Tanah (NAT) Kabupaten Mojokerto bagian Selatan (IUWASH-USAID, 2012)

.......................................................................................................................................... 20

Gambar 10. Persentase Penurunan Debit Andalan Sungai Brangkal dan Sungai Bangsal (IUWASH-

USAID, 2012) ..................................................................................................................... 21

Page 10: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur ix

DAFTAR TABEL Tabel 1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................................................................... 6 Tabel 2. Luasan penggunaan lahan aktual (2016) di Kabupaten Mojokerto ...................................... 10 Tabel 3. Perubahan lusan tutupan lahan tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 ...................................... 11 Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW 2012-2030 Kabupaten Mojokerto ........... 12 Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW yang Disesuaikan ........................................... 12 Tabel 6. Luas Arahan Tutupan Lahan Atas Dasar DDL ......................................................................... 13 Tabel 7. Perbandingan Tutupan Lahan Aktual, dan Skenario BAU, RTRW dan DDL .................... 13 Tabel 8. Baseflow dan Quicflow Tahun 2015 dan 2030 pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan

di Daerah Utara dan Selatan .......................................................................................................... 16 Tabel 9. Potensi ancaman kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2001, 2006 dan

2016 ..................................................................................................................................................... 16 Tabel 10. Luasan Ancaman Kekeringan pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan............................... 17 Tabel 11. Luas Lahan yang Berpotensi Mengalami Ancaman Banjir di Kabupaten Mojokerto

tahun 1996, 2006, dan 2016 ......................................................................................................... 17 Tabel 12. Luas Ancaman Banjir Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual (2016),

BAU, RTRW, dan DDL ................................................................................................................. 18 Tabel 13. Ancaman Tanah Longsor di Kabupaten Mojokerto Tahun 1996, 2006, dan 2016 ....... 18 Tabel 14. Luas Ancaman Tanah Longsor Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual

(2016), BAU, RTRW dan DDL .................................................................................................... 18 Tabel 15. Risiko Kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2006 dan 2016 ...................... 22 Tabel 16. Luas Risiko Kekeringan Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU,

RTRW dan tutupan lahan atas dasar DDL ................................................................................ 22 Tabel 17. Luasan Risiko banjir Tahun 1996, 2001 dan 2016 di Kabupaten Mojokerto .................. 23 Tabel 18. Luas Risiko Banjir Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU, RTRW

dan tutupan lahan atas dasar DDL .............................................................................................. 23 Tabel 19. Luasan Risiko Longsor di Kabupaten Mojokerto tahun 1966, 2006 dan 2016 .............. 23 Tabel 20. Luas Risiko Longsor Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU, RTRW

dan tutupan lahan atas dasar DDL .............................................................................................. 24

Page 11: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Perubahan iklim merupakan isu yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Dampak perubahan iklim,

yang dipicu oleh kenaikan suhu sehingga mengakibatkan pergeseran pola curah hujan, dapat

menyebabkan perubahan frekuensi banjir atau kekeringan, ketersediaan air, dan fluktuasi debit air

musiman (Kovats et al., 2014; Vormoor et al., 2015; Bates et al., 2017). Perubahan tersebut dapat

berakibat buruk pada sektor pertanian, energi, transportasi, dan sektor sosial, yang bergantung pada

sumber daya air. Di Indonesia telah terjadi peningkatan rata-rata suhu tahunan sekitar 0.30C, penurunan

curah hujan sebesar 2% - 3%, perubahan pola curah hujan, dan perubahan musim hujan dimana musim

hujan meningkat di selatan Indonesia dan menurun di bagian utara (Hulme dan Sheard, 1999; Boer and

Faqih, 2004). Curah hujan tahunan di beberapa bagian di Indonesia mengalami penurunan dan

diproyeksikan akan terus menurun selama masa musim kemarau dan dapat menyebabkan kekeringan

berkepanjangan, sedangkan di wilayah lain diproyeksikan curah hujan meningkat namun kejadian

hujannya semakin sedikit sehingga dapat menyebabkan intensitas hujan yang tinggi dan selanjutnya dapat

menyebabkan banjir (Case et al., 2007). Wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh siklus El Nino Southren

Oscillation (ENSO) (ibid), yang diproyeksikan akan lebih sering terjadi (Tsonis et al., 2005). Selain

perubahan iklim, kekeringan, banjir dan tanah longsor juga dipengaruhi penurunan daya dukung lahan

akibat meningkatnya tekanan terhadap lahan (Rejekiningrum, 2014). Selama ini, pola pembangunan

nasional menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang mengakibatkan hilangnya tutupan lahan hutan,

sehingga menurunkan daya dukung lingkungan yang selanjutnya meningkatkan terjadinya banjir dan

kekeringan, disertai bencana ikutan seperti longsor, dan berbagai gangguan kesehatan (Pawitan, 2014)

Salah satu wilayah di Indonesia yang berisiko mengalami kelangkaan air adalah Kabupaten Mojokerto,

Provinsi Jawa Timur, yang memiliki sumber air dari mata air-mata air di Daerah Aliran Sungai (DAS) di

Kabupaten Mojokerto. Variabilitas iklim dan perubahan penggunaan lahan atau tutupan lahan

merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi hidrologi DAS, yang terkait dengan ketersediaan

sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem lokal (Chen et al., 2012, Molina-Navarro et al., 2014;

Wang et al., 2014; Zhang et al., 2016). Variabilitas iklim juga membawa perubahan yang berbeda pada

rezim hidrologi dan mempengaruhi pola spasial dan temporal sumber daya air di suatu wilayah (Khoi

and Suetsugi, 2014). Perubahan penggunaan lahan, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas

manusia, mempengaruhi proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi dan infiltrasi, yang

menghasilkan perubahan aliran permukaan dan bawah permukaan tanah (Wang et al., 2014; Niraula et

al., 2015). Di Kabupaten Mojokerto, laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi mengakibatkan

meningkatnya alih fungsi lahan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dan pengembangan industri,

serta meningkatkan kebutuhan air. Penggunaan dan tingkat kebutuhan air didorong oleh laju

pertumbuhan penduduk, konsumsi makanan, kebijakan ekonomi (termasuk harga air), teknologi, gaya

hidup, dan pandangan masyarakat tentang nilai ekosistem air tawar (IPCC, 2013). Oleh karena itu,

selain oleh perubahan iklim, ketersediaan dan fungsi air dipengaruhi faktor oleh non-iklim.

Badan Pusat Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Mojokerto (2014) menyatakan bahwa

ancaman sumberdaya air diantaranya meliputi banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kekeringan sering

terjadi di wilayah utara Kabupaten Mojokerto, banjir sering terjadi di daerah hilir bagian selatan,

sedangkan longsor di daerah hulu bagian selatan. Berdasarkan analisis neraca air yang dilakukan Bapeda

Jatim (2010), sumberdaya air di Kabupaten Mojokerto saat ini diperdiksi masih surplus, dimana potensi

air permukaan dan air tanah sekitar 1.291, 11 juta m3, sedangkan kebutuhan air untuk pertanian sebesar

348,48 juta m3, industri sebesar 6.31 juta m3 dan kebutuhan air domestik sebesar 156,36 juta m3

sehingga total kebutuhan sebesar 511.15 juta m3 atau 39.59% dari air yang tersedia. Namun, PT Indra

Karya (2010) memprediksi bahwa Kabupaten Mojokerto mengalami kekurangan suplai air untuk

memenuhi kebutuhan domestik dan industri yang pada saat ini sekitar 0.14 m3/dtk dan diproyeksikan

akan terus meningkat, sehingga pada tahun 2030 menjadi 0.73 m3/dtk.

Analisis tersebut sejalan dengan penelitian IUWASH-USAID tahun 2012 dimana pada tahun tersebut

terjadi peningkatan kebutuhan air bersih di Kabupaten Mojokerto. Peningkatan ini dipengaruhi oleh

Page 12: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 2

tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang saat itu mencapai 1.2%. Namun demikian, ketersediaan

air di PDAM pada saat itu hanya dapat memenuhinya sampai pertengahan tahun meskipun curah hujan

tahunan tergolong tinggi yaitu sekitar 2500 – 3000 mm, kecuali di bagian utara Mojokerto. Untuk

menutupi kekurangan air tersebut, digunakan sumber air dangkal dan sumur bor. Namun, meskipun

kebutuhan air bersih masih terpenuhi, perubahan curah hujan dan suhu akan mempengaruhi penyediaan

air bersih oleh PDAM. Penelitian tersebut juga memprediksi penurunan curah hujan sekitar 11% dan

peningkatan suhu udara sekitar 0.20C per dekade (IUWASH-USAID, 2012). Perubahan suhu dan curah

hujan tersebut dapat menurunkan volume air hujan yang terinfiltrasi dan merusak infrastruktur PDAM

akibat longsor dan banjir.

Berdasarkan kondisi tersebut, kajian ini dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan iklim dan

tutupan lahan terhadap kondisi hidrologi dan tata air di Kabupaten Mojokerto. Kajian difokuskan pada

isu kelangkaan air, banjir dan tanah longsor yang dinyatakan sebagai bentuk ganggungan, kerentanan

dan risiko (kekeringan, banjir dan longsor) yang digunakan untuk mengidentifikasi strategi adaptasi.

Sementara itu, strategi adaptasi disusun berdasarkan pendekatan dan informasi dari multi pihak yang

terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah, dan peneliti.

1.2. Pertanyaan Penelitan

Untuk mencapai tujuan kajian, USAID-Indonesia, APIK, dan MESP menetapkan tiga pertanyaan besar

sebagai acuan dalam kajian ini, yaitu:

1. Seberapa jauh faktor iklim mempengaruhi kondisi sumber daya air?

2. Bagaimana perubahan tutupan lahan dapat dipergunakan sebagai langkah adaptasi perubahan

iklim terkait dampaknya terhadap kondisi sumber daya air?

3. Bagaimana strategi adaptasi masyarakat dan pembuat kebijakan saat ini terkait dampak

perubahan iklim terhadap kondisi sumberdaya air?

1.3. Tujuan Penelitian

Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi berbasis akademis mengenai pengaruh variabel iklim

terhadap ketersediaan air di Mojokerto. Kajian ini juga berupaya untuk melihat faktor-faktor diluar

iklim terhadap ketersediaan air guna merumuskan strategi adaptasi yang tepat. Keluaran yang

diharapkan dari kajian ini adalah:

1. Dampak faktor iklim dan non iklim terhadap ketersediaan air

2. Strategi adaptasi terhadap ketersediaan air

Kajian diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat melalui masukan

alternatif teknologi adaptif terutama dalam hal management tutupan lahan sebagai solusi permasalahan

sumberdaya air atas dampak dari fenomena perubahan iklim. Di sisi lain, hasil kajian diharapkan dapat

menjadi masukan bagi program USAID-Indonesia Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK)

untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam menyusun strategi adaptasi dampak

perubahan iklim terhadap ketersediaan air di Kabupaten Mojokerto.

2. KAJIAN LITERATUR

Tekanan terhadap kondisi sumberdaya air dan pengelolaannya dipengaruhi oleh permasalahan yang

kompleks yang dipengaruhi oleh faktor iklim dan non iklim. Perubahan iklim hanya merupakan salah

satu faktor (Gleick, 1998). Untuk mengkaji dampak perubahan iklim, digunakan pendekatan yang

dikembangkan oleh Arnell (1999) yang memasukkan baik faktor iklim dan non-iklim dalam tekanan

terhadap kondisi sumber daya air. Tekanan terhadap sumberdaya air dipengaruhi oleh tekanan terhadap

peyediaan (supply-side pressure) dan tekanan terhadap permintaan (demand-side pressure) (ibid.).

Perubahan iklim merupakan salah satu supply-side pressure bagi kondisi sumberdaya air melalui

mekanisme penurunan dan peningkatan jumlah ketersediaan air. Namun demikian, perubahan iklim

Page 13: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 3

tidak bekerja sendiri untuk menjadi supply-side pressure bagi sumberdaya air, kerusakan lingkungan juga

berperan cukup besar. Tanah longsor dan erosi menjadi salah satu sumber yang mengurangi fungsi

ketersediaan air melalui pencemaran bahan sedimen selain bahan kimia. Demand-side pressure terdiri

dari pertumbuhan dan konsentrasi atau penyebaran penduduk yang mendorong permintaan kebutuhan

air domestik, industri dan pertanian khususnya untuk irigasi. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan

iklim mempunyai dua sisi dimana dapat berpengaruh baik pada supply-side maupun demand-side pressure.

2.1. Supply-side Pressure Factor

Penurunan dan peningkatan ketersediaan air yang disebabkan oleh perubahan iklim dipicu oleh

pemanasan global. Pemanasan global sering diartikan sebagai pemanasan permukaan bumi karena

pengaruh aktivitas manusia. Dampak yang disebabkan oleh pemanasan global berasal dari adanya

gangguan aliran energi dari sistem iklim dengan berubahnya komposisi atmosfer dan khususnya karena

adanya efek rumah kaca. Salah satu konsekuensi dari pemanasan global adalah naiknya suhu yang

menyebabkan semakin tingginya evaporasi baik di atas permukaan lahan maupun air. Evaporasi sebagai

salah satu komponen dalam siklus hidrologi, jika mengalami perubahan akan memberikan dampak

terhadap kondisi hidrologi dan sumberdaya air. Dilaporkan bahwa perubahan yang terjadi terkait

kondisi iklim yang tidak seimbang menyebabkan residu energy sebesar 0.6% pada akhir tahun 2000 yang

kemudian diserap dan menyebabkan pemanasan lautan, mencairkan es dan menyebabkan perubahan

iklim. Kondisi tersebut menjadikan bumi berada pada ketidakseimbangan energi yang berdampak pada

terganggunnya siklus air atau hidrologi (Trenberth, 2011).

Perubahan iklim juga dipicu oleh perubahan penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan dalam hal ini

termasuk lahan pertanian, penggundulan hutan (deforestation), penghutanan kembali (afforestation) dan

pembentukan gurun (desertification) dan urbanisasi. Tipe penutupan lahan yang berbeda (tanaman

pohon, semusim, daerah pertanian tadah hujan dan daerah irigasi) dikatakan dapat mempengaruhi

variabel-variabel iklim seperti radiasi, proporsi cahaya yang diterima oleh permukaan bumi, panas laten,

suhu permukaan bumi, kelembaban dan lain sebagainya (Mahmood et al., 2014). Allard and Carleton

(2010) juga menyatakan bahwa pengurangan tinggi kanopi pohon telah mengurangi tingkat kekasaran

aerodinamik yang berperangaruh diantaranya pada tingkat kelembaban dan suhu serta pembentukan

awan. Keberadaan awan dalam hal ini sangat menentukan tingkat presipitasi yang berdampak pada

kondisi hidrologi atau sumberdaya air. Dari sisi iklim, tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan tata guna

lahan mempunyai peran penting terhadap ketesediaan air. Menurut Kochendorfer and Hubbart (2010),

perubahan tutupan dan penggunaan lahan serta perubahan iklim merupakan dua faktor utama yang

mendorong terjadinya perubahan aliran dasar baseflow. Baseflow merupakan aliran air permukaan

(stream flow) sebagai hasil dari presipitasi yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (National

Oceanic and Atmospheric Administration, 2012).

Tekanan dan permasalahan sumberdaya air merupakan hal yang kompleks, sehingga selain faktor iklim,

kondisi sumberdaya air juga dipengaruhi oleh faktor lain semisal kondisi tanah. Dalam hal ini, sifat fisik

tanah berperan penting dalam partisi atau pembagian air hujan yang jatuh di atas permukaan lahan. Di

sisi lain, sifat fisik tanah pun sangat ditentukan oleh penutupan lahan yang ada di atasnya, sehingga ada

hubungan dua arah antara penggunaan lahan dan sifat fisik tanah dalam menentukan ketersediaan

sumberdaya air. Islam (2000) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan secara signifikan

menurunkan porositas total tanah dan kemantapan agregat, serta meningkatkan kepadatan permukaan

tanah. Kualitas tanah memburuk pada kondisi diolah dengan penurunan sebesar -44%, sementara itu

pada tanah yang ditanami kembali (revegetation) terjadi peningkatan kualitas tanah antara 6-16%. Hal

yang sama dikemukakan oleh Celik (2005) yang menemukan adanya perubahan yang signifikan terhadap

kepadatan tanah pada beberapa tutupan lahan dimana lahan-lahan dengan penutupan yang minimal atau

diolah mempunyai nilai kepadatan tanah yang lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan lainnya seperti

padang rumput dan hutan. Kepadatan tanah berkaitan erat dengan seberapa besar streamflow dapat

terinfiltrasi menjadi baseflow sehingga membantu meningkatkan ketersediaan air bawah tanah. Neris et

al. (2012) melakukan penelitian pada berbagai tutupan lahan (tanaman semusim, hutan pinus dan hutan

alami) pada tanah Andisol dan menemukan bahwa tingkat infiltrasi tertinggi berturut-turut berada pada

tutupan lahan hutan alami (796 mmh-1), hutan pinus (188 mmh-1) dan tanaman semusim (67 mmh-1).

Page 14: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 4

Agregasi tanah, kemantapan agregat, kandungan bahan organik dan kepadatan tanah dikatakan sebagai

fakor penentu tingkat infiltrasi pada berbagai tutupan lahan tersebut.

Perubahan kondisi fisika tanah akibat perubahan tutupan lahan mempengaruhi tata air DAS. Appolonio

et al. (2016) menyatakan adanya korelasi yang baik antara luas daerah banjir dan perubahan penggunaan

lahan dari hutan menjadi lahan kosong. Widianto et al. (2008) menyatakan bahwa rasio debit musim

kemarau dan penghujan di DAS Sumber Brantas mengalami penurunan seiring dengan penuruanan luas

hutan sebanyak 74% karena terjadinya perubahan tutupan lahan menjadi lahan pertanian dan

penggunaan yang lain antara tahun 1989 sampai dengan 2006. Penurunan rasio debit musim kemarau

dan penghujan mengindikasikan adanya kelangkaan air pada musim kemarau dan kelebihan air pada

musim hujan. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang disebabkan oleh aktivitas manusia

memuncukan kerusakan lahan yang dilaporkan oleh Huang et al, (2015) telah meningkatkan hasil

sedimen pada skala daerah aliran sungai yang bersumber dari proses erosi di lokasi penelitian yang

mereka lakukan. Studi tentang pengaruh penutupan lahan dan perubahan iklim juga telah dilakukan oleh

Mwangi et al. (2016) yang menyatakan bahwa penutupan lahan memberikan kontribusi sebesar 97.5%

terhadap perubahan debit sungai sementara sisanya sebesar 2.5% dipengaruhi oleh perubahan iklim

dalam hal ini adalah perubahan curah hujan dan evapotranspirasi.

2.2. Demand-side Pressure Factor

Tekanan ketersediaan air oleh faktor permintaan air telah disebutkan sebelumnya dikarenakan

pertambahan jumlah penduduk serta penyebarannya yang mendorong peningkatan kebutuhan air

domestik (rumah tangga), industri dan irigasi. Tekanan dari pertumbuhan penduduk, produksi

pertanian, dan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor pendorong yang kuat bagi risiko terjadinya

konfilk penggunaan air, yang dipresentasikan dari keragaman iklim yang saat ini terjadi (Bohmelt et al.,

2014). Studi yang dilakukan oleh Claessens et al. (2006) menyebutkan bahwa urbanisasi disamping

faktor iklim menyebabkan meningkatknya permintaan masyarakat terhadap ketersediaan air. Hussain

et al. (2011) melakukan studi tentang supply, demand dan proyeksi kebutuhan air pada skala daerah

aliran sungai dan menemukan bahwa kelangkaan air semakin meningkat. Strategi pengelolaan

sumberdaya air perlu dikembangkan melalui penggunaan metode irigasi dengan efisiensi yang tinggi.

Peningkatan luas lahan teririgasi dikatakan oleh Surendran et al. (2015) meningkatkan defisit air pada

keseluruhan alokasi air pada lokasi yang diteliti. Hal ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Pierleoni

et al. (2014) yang menyatakan bahwa penggunaan model untuk simulasi ketersediaan air menunjukkan

adanya defisit air pada skala mingguan di lokasi penelitian. Stategi manajemen pengelolaan sumberdaya

air yang lebih konprehensif dan efisien perlu dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan air dengan

berbagai macam alternatif penyelesaian permasalahan. McDonald et al. (2014) menyatakan bahwa

penggunaan air tersedia harus lebih diefisienkan melalui pengurangan kebocoran sistem air di

pemukiman, meningkatkan penggunaan dari air daur ulang dan meningkatkan efisiensi irigasi. Selain

untuk memenuhi permintaan air, pengelolaan sumberdaya air yang efisien diharapkan dapat mengurangi

risiko konflik penggunaan air.

3. METODOLOGI

3.1. Lokasi Kajian

Kajian dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Mojokerto dengan total luas area 994,8 km2.

Kabupaten Mojokerto terdiri dari 18 Kecamatan dan 304 desa (Lampiran 1) dan terbagi menjadi 32

DAS. Kabupaten Mojokerto yang terletak antara 1110 20’ 13’’ sampai 1110 40’ 47’’ Bujur Timur dan

antara 70 18’ 35’’ sampai 70 18’ 47’’ Lintang Selatan. Kabupaten ini berjarak sekitar 46 Km dari ibu

kota Porvinsi Jawa Timur. Secara geografis, wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Jombang di

sebelah barat, Kabupaten Lamongan dan Gresik di sebelah utara, Kabupaten Sidoarjo dan Pasuruan di

sebelah timur dan Kabupaten Malang di sebelah selatan. Wilayah Kabupaten Mojokerto terbagi menjadi

dua wilayah yang berbeda karakteristik geologinya, dimana di bagian utara merupakan wilayah

perbukitan kapur dengan tingkat kesuburan tanah relatif kurang subur, dan di bagian selatan merupakan

Page 15: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 5

daerah vulkanik yang subur. Ketinggian daerah-daerah yang berada di wilayah kabupaten ini berkisar

pada 500 m dpl, dengan lokasi tertinggi terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 700

m dpl. Sekitar 30% dari seluruh wilayah Mojokerto kemiringan tanahnya lebih dari 15o, sedangkan

sisanya merupakan wilayah dataran dengan tingkat kemiringan lahan kurang dari 15o. Letak ketinggian

kecamatan-kecamatan di wilayah Mojokerto rata-rata berada di bawah 600 m dari permukaan laut,

kecamatan yang memiliki ketinggian tertinggi adalah Kecamatan Trawas.

3.2. Kerangka Analisis dan limitasi

Kajian ini dilakukan dengan kerangka kerja tingkat ancaman dan tingkat kerentanan perubahan iklim

dan perubahan tutupan lahan (Gambar 1 dan Lampiran 2). Tingkat ancaman dan kerentanan diketahui

dengan melakukan GIS untuk menetapkan baik baseline maupun proyeksi risiko perubahan iklim dan

perubahan tutupan lahan. Hasil analis risiko ini digunakan untuk analis penetapan strategi dan kebijakan

serta tindakan adaptasi yang dipandang perlu untuk mengantisipasi perubahan iklim dan tutupan lahan.

Sesuai dengan isu strategis terkait kondisi sumberdaya air di wilayah studi, maka analisis ancaman,

kerentanan dan risiko dilakukan terhadap kelangkaan air (kekeringan), banjir dan tanah longsor.

Gambar 1. Kerangka Kerja Dampak Perubahan Iklim dan Tutupan Lahan Terhadap Ketersediaan Air di

Mojokerto

Catatan: stimulan tingkat Ancaman (H) adalah Landuse dan keragaman curah hujan, serta risiko (R), dan Kerentanan

(V); dimodifikasi dari Abdurrahman et al., 2012.

Dalam kajian ini diterapkan beberapa asumsi dan penyederhanaan masalah. Terdapat dua asumsi, yaitu

iklim driven dan non-iklim driven. Driver iklim yang paling dominan untuk ketersediaan air adalah curah

hujan, suhu, dan evapotranspirasi (IPCC, 2013). Curah hujan yang dimaksud adalah data curah hujan

bulanan atau harian apabila data bulanan tidak tersedia. Stimulan suhu, perubahan evaporasi, kecepatan

angin, radiasi matahari diasumsikan mempengaruhi pola hujan yang menentukan kondisi ketersediaan

air masa depan di Kabupaten Mojokerto. Dampak kenaikan permukaan air laut tidak dipertimbangkan

karena Kabupaten Mojokerto tidak memiliki pantai. Terkait non-iklim driven, diasumsikan bahwa

sumber daya air, baik secara kuantitas maupun kualitas, dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan

atau perubahan tutupan lahan, konstruksi dan pengelolaan waduk, emisi polutan, dan pengolahan air

dan pengelolaan air limbah. Selain itu, penggunaan air didorong oleh perubahan populasi, konsumsi

makanan, kebijakan ekonomi (termasuk penetapan harga air), teknologi, gaya hidup, dan pandangan

masyarakat terhadap nilai ekosistem air tawar. Asumsi non-iklim driven lainnya adalah:

1. Kepadatan penduduk

Populasi rumah tangga diperoleh berdasarkan asumsi bahwa populasi masing-masing rumah

tangga sama di setiap desa, serta rumah sebagai tempat tinggal penduduk adalah bangunan

dengan luas kurang dari 500 m2. Untuk proyeksi ke tahun 2030, diasumsikan bahwa distribusi

penduduk mengikuti perencanaan pembangunan daerah yang dituangkan dalam Rencana Tata

Page 16: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 6

Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Mojokerto. Perkembangan pembangunan juga

diindikasikan dengan perencanaan jalan dan perencanaan permukiman masyarakat. Asumsi

pembangunan dilakukan atas dasar: 1) Pertumbuhan penduduk hanya terjadi di daerah

perencanaan pemukiman; 2) Keberadaan jalan menunjukkan bahwa permukiman siap

dikembangkan; dan 3) tingkat pertumbuhan penduduk diproyeksikan atas data kepadatan

penduduk saat ini.

2. Penggunaan lahan

Penggunaan lahan saat ini sebagai baseline didasarkan pada penggunaan lahan tahun 2016 dari

citra satelit. Sementara itu, kondisi penggunaan lahan 2030 diambil dari Perencanaan Tata

Ruang 2030 dari BAPPEDA Kabupaten Mojokerto.

3. Peran infrastruktur

Kondisi infrastruktur masa depan sulit diproyeksikan, namun dapat diasumsikan berdasarkan

RTRW 2012-2030. Kelas infrastruktur diseragamkan dengan menggunakan jenis infrastruktur

dalam RTRW tersebut.

4. Kebutuhan air

Kebutuhan air di dari dua komponen, yaitu kebutuhan penduduk atau kebutuhan air domestik

dan kebutuhan air non-domestik. Berdasarkan standar WHO, kebutuhan air domestik adalah

kebutuhan air 150 liter / orang / hari dan non-domestik sekitar 9.000-14.000 m3/tahun/ha

(FAO). Kebutuhan air non-domestik terbagi menjadi kebutuhan untuk pertanian dan

perkebunan, tetapi sulit untuk memprediksi kebutuhan air pada tahun 2030 karena, antara lain,

kesulitan dalam menetapkan proyeksi industri masa depan yang dibangun di Kabupaten

Mojokerto. Alternatifnya, digunakan RTRW 2012-2030 di Kabupaten Mojokerto sebagai

acuan.

5. Sumber air

Ada enam sumber air utama yang digunakan oleh penduduk di Kabupaten Mojokerto: 1) air

kemasan / botol air (dari perusahaan air minum kemasan), 2) air ledeng dari PDAM atau

HIPAM, 3) sumur galian, 4) mata ir, 5) sungai / danau, 6) air hujan (Survei Potensi Desa, 2008).

Sumberdaya air di wilayah Kabupaten Mojokerto didominasi oleh mata air di daerah hulu dan

air bawah tanah di daerah dataran dan kawasan perbukitan kapur.

6. Kesejahteraan penduduk

Kesejahteraan sosial hanya dilihat dari dua sisi, jenis rumah dan pendapatan masyarakat.

Dengan asumsi ini, kesejahteraan sosial dapat dihitung secara temporer (kondisi awal dan

proyeksi) dan ditarik secara spasial. Saat ini, jenis rumah dan pendapatan masyarakat didasarkan

pada data yang ada. Namun dalam proyeksi, kesejahteraan sosial tidak dipertimbangkan karena

program pemerintah diasumsikan memiliki kinerja yang maksimal.

3.3. Data dan Metode Analisis

Analisis ancaman baik terhadap kekeringan, banjir dan tanah longsor dilakukan dengan menganalisis

potensi ancaman iklim dan potensi ancaman fisik. Potensi ancaman iklim dianalisis melalui proyeksi

kondisi iklim sampai dengan tahun 2030 yang diprediksi berpengaruh terhadap tingkat kekeringan,

banjir dan longsor. Sementara itu, potensi ancaman fisik dianalisis melalui perubahan tutupan lahan.

Data yang diperlukan untuk melakukan analisis ancaman disajikan pada Tabel 1 dan Lampiran 3.

Tabel 1. Jenis dan Sumber Data

No Data Sumber data Kegunaan

1 Curah hujan harian Dinas Pengairan, PJT-I, BMKG

Karangploso

Hazard/Kerentanan Banjir,

Longsor dan Kekeringan

2 Debit sungai PSAWS Buntung Peketingan Rasional formula, GenRive

3 Penggunaan Lahan Citra Landsat 1996, 2001, 2006, 2016 Perubahan penggunaan lahan

Page 17: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 7

No Data Sumber data Kegunaan

4 Geologi /Geomorfologi

Peta geomorfolgi, DEM Landsystem, morfometri DAS

5 Jenis Tanah Peta jenis tanah GenRiver

6 Mata air / sumber air

Survei dan data sekunder DAS Brantas Ketersediaan air

3.3.1. Ancaman, Kerentanan dan Risiko Kekeringan

Data yang digunakan untuk menyusun peta ancaman kekeringan terdiri dari 3 indikator yaitu indikator

iklim dan lingkungan, tanah dan kerapatan vegetasi. Indikator iklim meliputi suhu dan curah hujan;

indikator tanah didapatkan dari bahan induk (peta geologi 1:100.000), bahan kasar, kelerengan (DEM

SRTM 30 m), kelas kedalaman tanah, drainase, tekstur dan bahan organik. Sedangkan parameter

terakhir adalah Indeks Kerapatan Vegetasi yang diolah dengan PCI Geomatica 10 menggunakan Citra

Landsat 8 OLI 30 m pada band 4 dan band 5.

Kerentanan kekeringan memerlukan data penggunaan lahan pada masing-masing tahun pengambilan

citra (1996, 2001, 2006, dan 2016), RTRW, Kelas Kemampuan Lahan (KKL) dan peta jarak lahan dari

sungai, untuk menganalisis kerentanan kekeringan. Peta kerentanan kekeringan kemudian ditampalkan

dengan skoring kebutuhan air dan peta ancaman kekeringan untuk memperoleh peta risiko kekeringan.

3.3.2. Ancaman, Kerentanan dan Risiko Banjir

Garis besar tahapan spasial untuk banjir terdiri dari beberapa langkah kerja antara lain ancaman

(Hazard) banjir, kerentanan (Vulnerability) banjir dan Capacity yang kemudian digunakan untuk menyusun

risiko banjir. Langkah tersebut mengacu pada penghitungan debit puncak aliran permukaan (Q max)

pada berbagai skenario penggunaan lahan menggunakan Metode Persamaan Rasional (Wicaksono et.

al. 2009). Metode Persamaan Rasional ialah Q = k.C.I.A.

Analisis banjir dilakukan menggunakan ArcGIS 10 dengan input Citra Landsat 8 OLI tahun 1996, 2001,

2006, 2016 di menggunakan unsupervised classification menggunakan PCI Geomatica 10 yang telah

melalui proses stacking dan koreksi radiometrik. Selanjutnya konversi ke dalam Tiff agar bisa diolah

menggunakan Arc GIS yang selanjutnya diberi skor didalamnya. Nilai I didapatkan dari kriging nilai

infiltrasi pada peta berskala kecil, slope (3D analyst) yang kemudian ditampalkan untuk mendapatkan

koefisien aliran (C). Curah hujan didapatkan dari interpolasi IDW (Inverse Distance Weight)

menggunakan beberapa stasiun curah hujan (tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016).

3.3.3. Ancaman, Kerentanan dan Risiko Longsor

Pemahaman longsor di kawasan Kabupaten Mojokerto perlu dikaji secara menyeluruh dan

mempertimbangkan seluruh aspek yang memicu dan memberikan kontribusi terhadap proses tersebut

di alam. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan model yang mampu memahami kondisi aktual di

lapangan untuk mensimulasikan dalam bentuk diagram alur yang jelas dan memberikan hasil yang cukup

akurat. Salah satu metode spasial yang akan dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan ArcGIS

10. Sama dengan banjir, tahapan analisis spasial longsor dilakukan melalui Ancaman (Hazard),

kerentanan (Vulnerability) dan Capacity yang kemudian digunakan untuk menyusun Risk atau Risiko

longsor.

3.3.4. Analisis Neraca Air dengan Model Genriver dan Deliniasi Sub-DAS

Model GenRiver dipergunakan secara terpisah untuk memprediksi kondisi neraca air pada proyeksi

perubahan iklim (penurunan hujan 10%) dan perubahan penggunaan lahan serta skenario penggunaan

yang telah ditetapkan. Skenario penggunaan lahan yang dipergunakan adalah penggunaan lahan tahun

2016 (BAU-Bussiness as Ussual), RTRW Kabupaten Mojokerto 2012-2030, dan penggunaan lahan

berdasarkan arahan kemampuan lahan yang di berdasarkan Daya Dukung Lahan (DDL). Genriver

merupakan model yang dikembangkan berdasarkan preses hidrologi yang terjadi dalam level plot yang

kemudian dikembangkan dalam level catchment, berdasarkan pada perhitungan-perhitungan empiris.

Page 18: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 8

Model ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk memahami perubahan karakteristik aliran sungai

terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada tingkat plot, subcatchment dan catchment. Inti

dari model ini adalah kondisi water balance pada level plot yang dipengaruhi oleh curah hujan, tipe

penutupan lahan dan sifat-sifat tanahnya. Pada level plot ini akan terjadi proses-proses aliran air seperti

aliran permukaan sesaat setelah terjadinya hujan (surface quick flow), aliran air dalam tanah (soil quick

flow) sehari setelah terjadinya hujan dan aliran air dari groundwater stock (base flow) yang dilepaskan

perlahan ke saluran-saluran drainase.

Neraca air di wilayah studi dianalisis dalam lingkup subdas, sehingga diperlukan data luas DAS, panjang

sungai dan data morfometri DAS lainnya. Oleh karenanya, dilakukan deliniasi subdas. Deleniasi subdas

ditujukan untuk membatasi bagian-bagian DAS pada level yang luasannya lebih kecil. Pembatasan wilayah

DAS sampai pada tingkat subdas diharapkan dapat memberikan informasi neraca air pada level subdas.

DAS secara fisik dibatasi oleh topografi yang berasal dari hulu (titik outlet) tertentu hingga hilir. Saat

ini, membatasi DAS atau sub-DAS dilakukan dengan berbagai software seperti ArcGIS dengan ekstensi

khususnya ArcHydro. Data yang dibutuhkan adalah Digital Elevation Model (DEM) 30 m di Kabupaten

Mojokerto.

3.3.5. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Analisis ini dilakukan sebagai rangkaian tutupan lahan dengan menggunakan Citra satelit yang telah

ditentukan. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah suatu indikator numerik yang

menggunakan visible dan near-infrared untuk meng keberadaan warna hijau daun. Pada penelitian ini

NDVI digunakan untuk melihat tingkat kerapatan vegetasi suatu tempat yang diindikasi dengan nilai 1

hingga -1. Semakin mendekati angka 1, tingkat kerapatan semakin tinggi. NDVI ini menggunakan bahan

citra landsat 8 OLI dengan resolusi 30 m. Citra diproses menggunakan PCI Geomatica 10 dan ArcGIS

10 untuk mendapatkan nilai numerik dari perhitungan indeks vegetasi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perubahan Variabel Iklim

Berdasarkan analisis data iklim periode 1996-2004 dari Stasiun Mojosari, terjadi peningkatan suhu

bulanan rata-rata sebesar 0,30C (Gambar 2), yang disertai penurunan curah hujan di Kabupaten

Mojokerto. Berdasarkan data tersebut, BMKG memperkirakan penurunan curah hujan sebesar 10%

pada periode 2075-2099. Sementara itu, analisis data dari Stasiun Pacet menunjukkan penurunan curah

hujan tahunan 11%, sedangkan rata-rata hujan tahunan turun dari 2995 mm pada periode 1941-1980

menjadi 2381 di periode 1987-2011 (Gambar 3). Namun, penurunan curah hujan ini diikuti dengan

meningkatnya kejadian hujan ekstrim (Gambar 4). Penurunan curah hujan dapat menurunkan

ketersediaan air, sedangkan peningkatan hujan ekstrim dapat meningkatkan kejadian banjir dan longsor.

Page 19: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 9

Gambar 2. Tren Temperatur Tahunan di Stasiun Klimatologi Mojosari, Kabupaten Mojokerto

Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Curah Hujan di Stasiun Pacet Kabupaten Mojokerto antara tahun 1890 -

1941 dengan Tahun 1987 – 2011

Page 20: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 10

Gambar 4. Jumlah Kejadian Hujan Ekstrim (> 100 mm hari-1) di Beberapa Stasiun Hujan di Kabupaten

Mojokerto

4.2. Skenario Tutupan Lahan

Untuk mengetahui dampak perubahan iklim dan tata guna lahan, kajian ini menganalisis ketersediaan air

pada tiga skenario yaitu penggunaan lahan tahun 2030 berdasarkan BAU, RTRW dan KKL. Skenario

BAU di susun berdasarkan penggunaan lahan aktual tahun 1996-2016. Skenario RTRW disusun

berdasarkan RTRW Kabupaten Mojokerto 2012-2030. Sementara skenario KKL disusun berdasarkan

parameter DDL yang dikembangkan oleh J.H. Stallings (1957). Ketiga skenario ini juga digunakan untuk

menganalisis ancaman kekeringan, banjir dan longsor pada masing-masing skenario penggunaan lahan.

4.2.1. Penggunaan Lahan Tahun 1996 - 2016

Citra Landsat 8 OLI tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 dipergunakan sebagai dasar penentuan

perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. Analisis penggunaan lahan pada citra terbaru (2016)

digunakan sebagai kondisi penggunaan lahan saat ini. Dalam penentuan tipe penggunaan lahan, dilakukan

verifikasi lapangan di 22 titik pengamatan dengan pembagian berdasarkan lokasi sub-DAS, jenis tanah

dan hasil interpretasi citra Satelit Landsat 8 OLI. Tutupan lahan terbagi menjadi tujuh kategori yaitu

hutan alami, hutan produksi, kebun campuran/agroforestri, pemukiman, sawah, tegalan dan tubuh air

(Lampiran 4 dan Tabel 2). Tingkat akurasi analisis penggunaan lahan terhadap citra satelit yang

dibandingkan dengan kondisi aktual dilapangan mencapai nilai 77,27%. Hal ini berarti bahwa analisis

penentuan penggunaan lahan yang dilakukan di laboratorium telah sesuai dengan kondisi lapangan

dengan tingkat ketepatan sebesar 77,27% dan kesalahan sebesar 22,73%.

Tabel 1. Luasan penggunaan lahan aktual (2016) di Kabupaten Mojokerto

Penggunaan Lahan tahun 2016 Luas (Ha)

Hutan alami 23.115

Hutan Produksi 3.285

Kebun campuran / Agroforestri 3.679

Pemukiman 14.356

Sawah 44.663

Tegalan 13.247

Tubuh Air 420

Grand Total 102.669

4.2.2. Penggunaan Lahan Sekenario BAU

Skenario penggunaan lahan tahun 2030 versi BAU disusun berdasarkan laju perubahan tutupan lahan

tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016. Pada tahun-tahun tersebut, tutupan lahan didominasi oleh sawah

yang ditunjukkan dengan warna biru pada peta di Lampiran 5. Namun, sepanjang tahun tersebut terjadi

perubahan tutupan lahan dimana tutupan hutan alami/lindung, hutan produksi dan kebun

Page 21: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 11

campuran/agroforestri menyempit, sedangkan tutupan lahan untuk pemukiman meningkat. Luas hutan

lindung relatif tetap, tetapi tutupan lahannya menurun dari 23.904 Ha pada tahun 1996 menjadi 23.115

Ha pada 2016. Pada periode yang sama, tutupan hutan produksi berkurang dari 5.345 Ha menjadi 3.285

Ha, sedangkan tutupan kebun campuran menurun dari 4438 Ha menjadi 3679 Ha. Selanjutnya, lahan

permukiman bertambah hampir dua kali lipat, dari 8.795 Ha di tahun 1996 menjadi 14.365 Ha di 2016

(Tabel 3). Luas tutupan lahan sawah, tegalan dan tubuh air mengalami fluktuasi yang tidak sama.

Fluktuasi lahan sawah dengan tegalan dimungkinkan karena adanya kesulitan citra satelit untuk

membedakan lahan sawah dan lahan tegal. Luas tutupan lahan sawah yang semula 45.912 Ha pada tahun

1996 meningkat hingga 50.011 Ha pada tahun 2001, menurun pada tahun 2006 menjadi 36.554 Ha,

tetapi naik menjadi 44.663 Ha pada 2016. Tutupan lahan tegalan tahun 1996 seluas 14.138 Ha,

meningkat seluas 23.472 Ha di tahun 2006, lalu menurun seluas 13.247 Ha di tahun 2016. Luasan

tutupan lahan untuk tubuh air berfluktuasi, dari 234 Ha di 1996 menjadi 151 di 2001, kemudian naik

pada 2006 dan tahun 2016 seluas seluas 420 Ha. Perubahan tutupan lahan tersebut mengindikasikan

peningkatan tutupan lahan permukiman dan sawah, yang menurunkan luas tutupan tegalan dan kebun

campuran.

Tabel 3. Perubahan lusan tutupan lahan tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016

Tutupan Lahan Luas (Ha)

1996 2001 2006 2016

Hutan Lindung 23.904 23.790 24.220 23.115

Hutan Produksi 5.345 4.844 3.207 3.285

Kebun Campuran/AF 4.438 4.099 4.056 3.679

Pemukiman 8.795 10.379 10.838 14.356

Sawah 45.912 50.011 36.554 44.663

Tegalan 14.138 13,590 23.472 13.247

Tubuh Air 234 151 418 420

Total 102.766 102.766 102.766 102.766

Data tutupan lahan tersebut diproyeksikan untuk memperoleh kecenderungan tutupan lahan pada

tahun 2030 melalui regresi yang dikombinasikan dengan aplikasi GIS, dengan asumsi pemerintah

Kabupaten Mojokerto menjalan pengelolaan tutupan lahan yang sama dari saat ini hingga tahun 2030.

Berdasarkan perhitungan tersebut, diprediksi bahwa tutupan lahan hutan lindung dan hutan produksi

menurun 119 ha tahun-1, penutupan kebun campuran menurun 30 ha tahun-1, tegalan dan lahan Sawah

tren menurun 110 ha tahun-1, sedang tutupan pemukiman tren meningkat dengan laju pertambahan

217 ha tahun-1.

Gambar 5. Proyeksi Tutupan Lahan sebagai Bussiness as Usual (BAU) Tahun 2030

Page 22: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 12

4.2.3. Penggunaan Lahan Sekenario RTRW

Skenario tutupan lahan RTRW disusun berdasarkan RTRW Kabupaten Mojokerto tahun 2012-2030

(Lampiran 6). Dokumen ini membagi penggunaan lahan kedalam 12 kategori (Tabel 4). Untuk

memudahkan, keduabelas kategori tersebut disesuaikan dengan tujuh kategori penggunaan lahan versi

aktual (Lihat Poin 1). Hasil penyesuaian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW 2012-2030 Kabupaten Mojokerto

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Hortikultura 305

2 Hutan Lindung 1.418

3 Hutan Produksi 6.578

4 Industri 14.773

5 Kawasan Resapan Air 767

6 LP2B 27.50

7 Perkebunan 672

8 Permukiman Perdesaan 9.870

9 Permukiman Perkotaan 12.961

10 Pertanian 7.540

11 RTH Perkotaan 4.018

12 Taman Hutan Raya 14.181

Total 102.766

Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW yang Disesuaikan

No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1 Hutan Alami 19.644

2 Hutan Produksi 8.407

3 Kebun campuran/Agroforestri 604

4 Permukiman 39.017

5 Sawah 29.688

6 Tegalan 4.630

7 Tubuh Air 755

Total 102.766

Hutan lindung, RTH perkotaan dan taman hutan raya, dikategorikan sebagai hutan alami. Kategori hutan

produksi dan perkebunan tetap sama. Lahan industri, permukiman perdesaan dan permukiman

perkotaan, dikategorikan sebagai permukiman. Lahan hortikultura, LP2B dan pertanian, dikategorikan

lahan tegalan. Kawasan resapan air dikategorikan sebagai lahan tubuh air. Setelah penyesuaian, terlihat

bahwa sebagian besar luasan RTRW digunakan untuk kawasan permukiman dan sawah, yaitu seluas

39.017 Ha dan 29.688 Ha, hutan seluas 19.644 Ha, hutan produksi seluas 8.407 Ha, kebun seluas 604

Ha dan tubuh air seluas 755 Ha.

4.2.4. Penggunaan Lahan Sekenario DDL

Sementara itu, skenario penggunaan lahan berdasarkan Daya Dukung Lahan (DDL) di melalui klasifikasi

kemampuan lahan untuk mengarahkan tata guna lahan yang ramah lingkungan (Lampiran 7 dan Lampiran

Page 23: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 13

8). Hasil analisis berupa luas arahan berbagai tutupan lahan untuk Kabupaten Mojokerto berdasarkan

DDL (Tabel 6).

Tabel 6. Luas Arahan Tutupan Lahan Atas Dasar DDL

Jenis Tutupan Lahan Luas (Ha)

Hutan alami 24.220

Hutan Produksi 16.146

Kebun 7.815

Pemukiman 11.063

Sawah 37.121

Tegalan 5.719

Tubuh Air 682

Total 102.766

Penyusunan tata ruang wilayah berdasarkan arahan tutupan lahan atas dasar DDL sangat

direkomendasikan untuk mewujudkan pembangunan ramah lingkungan. Berdasarkan DDL, tutupan

lahan yang sesuai masih didominasi oleh tutupan lahan sawah (37121,28 Ha). Jika mengacu pada

skenario DDL ini, maka kondisi tutupan lahan saat ini (2016) termasuk kondisi yang kurang ramah

lingkungan. Pemukiman yang ada saat ini melebihi daya dukung lingkungan yang dimiliki, demikian halnya

untuk sawah dan tegalan. Sedangkan luasan lahan untuk hutan lindung, hutan produksi, kebun dan tubuh

air masih kurang.

4.2.5. Perbandingan Luas Tutupan Lahan Berdasarkan Ketiga Skenario

Perbandingan luas tutupan lahan berdasarkan skenario BAU, RTRW dan DDL dijelaskan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan Tutupan Lahan Aktual, dan Skenario BAU, RTRW dan DDL

Luas lahan (ha) pada tahun

Jenis Tutupan Lahan 2016 2030 BAU 2030 RTRW KKL

Hutan 23.115 23.115 19.644 24.220

Hutan Produksi 3.285 3.285 8.407 16.146

Kebun 3.679 3.550 604 7.815

Pemukiman 14.356 16.009 39.017 11.063

Sawah 44.663 43.894 29.688 37.121

Tegalan 13.247 12.492 4.630 5.719

Tubuh Air 420 420 775 682

Total 102.766 102.766 102.766 102.765

Tabel 7 menunjukkan perbedaan tutupan lahan yang cukup signifikan pada ketiga skenario. Skenario

BAU dan RTRW memiliki kesamaan, yakni adanya peningkatan luasan area pemukiman yang

diasumsikan berasal dari lahan kebun, sawah dan tegalan. Skenario BAU masih mempertahankan luasan

area hutan, hutan produksi dan tubuh air. Perubahan terlihat pada peningkatan luas lahan untuk

pemukiman dari 14.356 Ha menjadi 16.009 Ha. Skenario BAU kurang tepat jika diterapkan karena

belum sesuai dengan DDL. Sementara itu, skenario RTRW 2030 menunjukkan peningkatan luas hutan

produksi, tetapi luas hutan alami menurun, dari data ini diasumsikan terjadi alih guna hutan alami

menjadi hutan produksi. Kebun campuran, sawah dan tegalan juga mengalami penuruan yang diduga

dialihkan untuk keperluan pemukiman dan pengembangan industri yang meningkat dari 14.355 Ha

menjadi 39.017 Ha dibandingkan tahun 2016. Pada skenario RTRW, luas hutan lindung, hutan produksi

dan kebun sangat kurang jika dibandingkan dengan skenario DDL. Luas hutan lindung versi RTRW

adalah 19.644 Ha, sedangkan DDL seluas 24.220 Ha. Hutan produksi RTRW adalah 8.407 Ha yang

meskipun lebih tinggi dibandingkan versi tahun 2016, tetapi belum sesuai dengan arahan DDL yaitu

Page 24: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 14

sebesar 16.146 Ha. Areal pemukiman yang direncanakan pada RTRW melebihi batas kemampuan lahan,

yaitu 39.017 Ha, sedangkan arahan skenario DDL adalah 11.063 Ha.

4.3. Neraca Air

Perhitungan neraca air dilakukan di 32 sub-DAS menggunakan model GenRiver. Lokasi sub-DAS dan

hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 26. Prediksi neraca air dengan model

GenRiver menunjukkan penurunan debit air sungai karena penurunan curah hujan 10% pada tahun

2030. Penurunan jumlah hujan sebesar 10% didasarkan pada kondisi penurunan hujan yang terjadi di

wilayah studi berdasarkan hasil kajian sebelumnya yang memprediksikan terjadinya penurunan hujan

sebesar 11%. Penentuan nilai 10% dilakukan berdasarkan kepraktisan dan pembulatan angka, dimana

hasil prediksi tidak berbeda jauh dengan penurunan hujan 11%. Prediksi debit air tersebut berlaku untuk

tiga skenario penggunaan lahan yaitu BAU, DDL, dan RTRW (Gambar 6). Hasil prediksi debit air sampai

dengan tahun 2030 menunjukkan data hasil debit air yang semakin menurun mulai dari tahun 2001

sampai dengan 2030 diketiga skenario tersebut. Tingkat penurunan debit air tersebut salah satunya

disebabkan oleh jumlah curah hujan yang menurun mulai tahun 2015 sampai dengan tahun 2030.

Gambar 6. Prediksi penurunan debit air sungai akibat penurunan hujan 10% pada tahun 2030 di tiga skenario

penggunaan lahan

Skenario BAU memiliki tingkat penurunan debit sungai terendah yaitu 480.01 juta m3, dibandingkan

skenario berdasarkan DDL sebesar 499,05 juta m3, dan RTRW 523,34 juta m3. Penurunan debit sungai

dapat menurunkan risiko banjir, sebaliknya peningkatan debit sungai meningkatkannya. Dilihat dari total

neraca air pada akhir tahun 2030, meskipun debit sungai pada skenario DDL lebih tinggi dibandingkan

dengan skenario BAU, namun jumlah baseflow-nya lebih tinggi dibandingkan dua skenario lainnya.

Sebaliknya, pada penggunaan lahan RTRW, peningkatan jumlah debit sungai yang besar ternyata diikuti

dengan penurunan jumlah baseflow. Selain itu, skenario RTRW menghasilkan aliran baseflow yang paling

sedikit dibandingkan dengan dua skenario lainnya. Hal ini dikarenakan air hujan yang turun di atas

permukaan lahan pada skenario RTRW lebih banyak yang mengalir di atas permukaan lahan (surface

flow atau soil quick flow) menuju ke sungai dibandingkan yang meresap ke dalam tanah menjadi baseflow

(aliran dasar). Baseflow sebagai aliran dasar yang merupakan sumber bagi air bawah tanah merupakan

komponen penting dalam partisi air hujan yang jatuh di permukaan bumi. Pada kondisi tertentu, Baseflow

dapat keluar lagi ke permukaan tanah membentuk mata air atau mengalir keluar menuju sistem sungai.

Semakin besar baseflow maka cadangan air bawah tanah juga semakin besar, sehingga debit mata air

semakin besar.

Peningkatan baseflow pada penggunaan lahan berdasarkan arahan DDL membawa konsekuensi

penurunan jumlah quick flow. Quick flow merupakan penjumlahan dari surface flow dan soil quick flow

yang keduanya merupakan aliran cepat di atas permukaan lahan yang tidak sempat terserap masuk ke

dalam tanah untuk menjadi baseflow. Jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya, prediksi quick

0 500 1000 1500 2000 2500

2001

2006

2015

2030

Debit Sungai (Juta m3)

Tah

un

LandUseRTRW

LandUse KKL

Page 25: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 15

flow tertinggi pada tahun 2030 dihasilkan oleh skenario RTRW diikuti oleh BAU dan terendah dihasilkan

oleh penggunaan lahan skenario DDL.

Gambar 7. Prediksi Debit Sungai, Baseflow dan Quickflow Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada Tiga

Skenario Penggunaan Lahan

Kondisi geologi dan hidrologi yang berbeda antara daerah utara dan selatan memberikan hasil yang

berbeda pula terhadap debit sungai, baseflow dan quickflow pada ketiga skenario penggunaan lahan.

Daerah selatan menghasilkan jumlah debit sungai yang cukup besar dibandingkan daerah utara pada

keseluruhan tahun dan penggunaan lahan. Daerah selatan rata-rata menghasilkan debit sungai dengan

jumlah lebih besar dengan perbandingan debit selatan lebih besar empat kali dibandingkan debit di

daerah utara pada tahun 2015. Sementara itu pada tahun 2030, rata-rata prediksi debit sungai didaerah

selatan lebih besar sekitar delapan kali dibandingkan daerah utara. Selanjutnya, skenario penggunaan

lahan BAU, DDL dan RTRW pada tahun 2030 memberikan hasil jumlah debit sungai yang besar secara

berturut-turut pada lahan dengan penutupan BAU, RTRW dan KKL.

Gambar 8. Prediksi Debit Sungai Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan

Tahun 2015 dan 2030

Nilai baseflow dan quickflow daerah utara dan selatan pada tahun 2015 dan 2030 menunjukkan hasil yang

sama dengan nilai debit, dimana nilainya lebih tinggi di daerah selatan. Dapat disimpulkan bahwa

penurunan hujan 10% telah menurunkan baseflow dan quickflow pada tahun 2030 baik di daerah utara

maupun selatan. Sedangkan pengaruh penggunaan lahan tahun 2015 menunjukkan bahwa RTRW

menghasilkan debit baseflow terendah dan debit quickflow tertinggi dibandingkan kedua skenario

penggunaan lahan lainnya di kedua daerah. Prediksi kondisi tahun 2030 dengan penurunan hujan 10%

menunjukkan hal yang sama. Keseluruhan kondisi yang terjadi di daerah selatan tersebut, terjadi di

daerah utara dengan tren yang sama. Penggunaan lahan berdasarkan DDL terlihat menunjukkan hasil

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

Debit Sungai Baseflow Quickflow

Jum

lah

(ju

ta m

3)

LandUse BAU LandUse KKL LandUse RTRW

Page 26: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 16

yang terbaik dalam mengkonservasi kondisi air melalui peningkatan baseflow dan penurunan quickflow

(Tabel 8).

Tabel 8. Baseflow dan Quicflow Tahun 2015 dan 2030 pada Tiga Skenario Penggunaan

Lahan di Daerah Utara dan Selatan

Land Use Baseflow (juta m3) Quickflow (juta m3)

2015 2030 2015 2030

Mojokerto Selatan

BAU 675.13 562.58 690.95 494.51

KKL 675.58 604.05 690.96 439.60

RTRW 667.94 468.57 691.22 543.47

Mojokerto Utara

BAU 110.39 45.84 199.54 93.19

KKL 110.77 73.08 199.51 61.23

RTRW 110.24 34.97 199.55 98.67

4.4. Ancaman sumberdaya air

Ancaman terhadap sumberdaya air terdiri dari kekeringan, banjir dan longsor yang dijelaskan di bawah

ini. Sebagai catatan, potensi ancaman skenario BAU tidak dapat dipetakan karena hasil analisis berupa

data non-spasial.

4.4.1. Ancaman Kekeringan

Berdasarkan curah hujan, tutupan lahan dan kebutuhan air, sejak tahun 1996 hingga 2016 telah terjadi

peningkatan luas ancaman kekeringan dari sedang ke tinggi di Kabupaten Mojokerto (Tabel 9, Lampiran

10)

Analisis ancaman kekeringan menunjukkan tren peningkatan luasan ancaman kekeringan dari tahun

1996 sampai 2016 untuk kategori sangat tinggi, tinggi dan sangat rendah. Untuk total kelas kekeringan

tinggi dan sangat tinggi ancaman kekeringan meningkat dari tahun 1991 sejumlah 29,9% menjadi 47,2%

pada 2016, meskipun pada tahun 2006 sempat menurun pada nilai 26,3%.

Tabel 9. Potensi ancaman kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2001, 2006

dan 2016

Kelas

Ancaman

Luas Lahan (ha) pada tahun

1996 2001 2006 2016

Sangat Tinggi 6.604 13.821 8.686 7.356

Tinggi 24.153 19.296 18.392 41.126

Sedang 31.058 29.571 34.361 18.735

Rendah 26.075 25.107 26.108 19.751

Sangat Rendah 14.875 14.971 15.217 15.798

Total 102.766 102.766 102.766 102.766

Berdasarkan tren 1996-2016 diproyeksikan luasan ancaman kekeringan berdasarkan tiga skenario yaitu

BAU, RTRW dan KKL seperti dijelaskan pada Tabel 10 dan Lampiran 11.

Page 27: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 17

Tabel 10. Luasan Ancaman Kekeringan pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan

Kelas Ancaman Luas lahan (ha)

2016 2030 (RTRW) BAU DDL

Sangat Tinggi 7.356 41.047 6.866 1.291

Tinggi 41.126 16.932 48.647 30.960

Sedang 18.735 20.377 13.146 30.814

Rendah 19.751 8.469 16.057 31,086

Sangat Rendah 15.798 15.942 18.049 576

Total 102.766 102.766 104.766 104.766

Pada skenario penggunaan lahan BAU, ancaman kekeringan meningkat dari rendah-sedang menjadi

tinggi. Sementara, pada skenario RTRW, perubahan iklim menggeser tingkat ancaman dari tinggi

menjadi sangat tinggi. Apabila diterapkan skenario DDL, ancaman kekeringan akan turun, di bandingkan

dengan skenario tutupan lahan saat ini (2016). Tingkat ancaman kekeringan tinggi sampai dengan sangat

tinggi untuk kondisi tutupan lahan saat ini adalah 47% dari total luas lahan Kabupaten Mojokerto.

Sekenario BAU dan RTRW dapat meningkatkan ancaman kekeringan tinggi sampai dengan sangat tinggi

adalah 56% dan 54 % dari total luas lahan, sedangkan penerapan skenario DDL dapat menurunkan

ancaman hingga 31% dari total luas lahan tersebut.

4.4.1. Ancaman Banjir

Sejak tahun 1996 hingga 2016, di Kabupaten Mojokerto, ancaman banjir hanya sedikit. Lahan yang

mengalami ancaram banjir tinggi sampai dengan sangat tinggi beriksar 1% sampai dengan 5% dari total

luas lahan. Ancaman banjir terjadi di sepanjang Sungai Kromong. Walaupun sedikit wilayah yang

mengalami ancaman, namun kejadian bajir tahun 2004 menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur,

dimana pada saat itu curah hujan mencapai 182 mm hari-1. Ancaman banjir tingkat sedang ditandai

dengan genangan. Luas ancaman dapat dilihat pada Tabel 11 dan sebarannya pada Lampiran 12.

Tabel 11. Luas Lahan yang Berpotensi Mengalami Ancaman Banjir di Kabupaten

Mojokerto tahun 1996, 2006, dan 2016

Kelas

Ancaman

Luas Lahan (Ha)

1991 2001 2006 2016

Sangat Tinggi 21 583 26 27

Tinggi 963 4.369 2.611 4.105

Sedang 13.333 12.141 13.002 18.124

Rendah 52.391 52.948 52.915 58.043

Sangat Rendah 36.058 32.725 34.212 22.466

Total 102.766 102.766 102.766 102.765

Tren ancaman banjir tahun 1996-2016 diproyeksikan untuk mengetahui luas ancaman berdasarkan

ketiga skenario, BAU, RTRW, dan DDL. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan iklim dengan

sekenario BAU, RTRW, dan DDL tidak terlalu mempengaruhi ancaman banjir dibanding kondisi saat

ini (Luas di Tabel 12 dan sebaran di Lampiran 13). Tingkat ancaman banjir di katagori tinggi sampai

dengan sangat tinggi kondisi tutupan lahan saat ini adalah 4% dari total luasan lahan Kabupaten

Mojokerto. Skenario BAU, RTRW dan DDL untuk ancaman banjir tinggi s/d sangat tinggi secara

berturut turut juga 6%, 4% dan 4 % dari total luasan lahan Kabupaten Mojokerto.

Page 28: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 18

Tabel 12. Luas Ancaman Banjir Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual (2016),

BAU, RTRW, dan DDL

Kelas

Ancaman

Luas Lahan (Ha)

2016 2030 (RTRW) BAU KKL

Sangat Tinggi 27 16 67 21

Tinggi 4.105 4.096 5.853 4.300

Sedang 18.124 18.197 19.203 16.492

Rendah 58.043 59.819 59.825 57.188

Sangat Rendah 22.466 20.637 17.818 24.764

Total 102.766 102.766 102.766 102.766

4.4.3. Ancaman Tanah Longsor

Ancaman tanah longsor di Kabupaten Mojokerto menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 hingga 2016

terjadi peningkatan luas ancaman tanah longsor untuk kelas tinggi hingga sangat tinggi, sebesar 10% dari

total wilayah Kabupaten Mojokerto (Luas di Tabel 13 dan sebaran di Lampiran 14). Luas ancaman

longsor untuk kelas longsor tinggi hingga sangat tinggi meningkat dari tahun 1991 sekitar 3 % dari total

luas, dan meningkat pada tahun 2001, 2006, dan 2016 secara berturut turut 10%, 8% dan 10% dari total

luas.

Tabel 13. Ancaman Tanah Longsor di Kabupaten Mojokerto Tahun 1996, 2006, dan 2016

Kelas

Ancaman

Luas Lahan (Ha)

1996 2001 2006 2016

Sangat Tinggi 82 945 1.024 830

Tinggi 2.500 9.366 7.707 8.949

Sedang 15.434 9.094 9.557 23.894

Rendah 14.836 14.593 14.598 42.887

Sangat Rendah 69.914 68.768 69.881 26.206

Total 102.766 102.766 102.766 102.766

Tren yang terjadi sejak tahun 1996 hingga 2016 selanjutnya digunakan untuk menyusun luas dan sebaran

ancaman berdasarkan skenario BAU, RTRW, dan DDL. Perubahan iklim dengan sekenario BAU,

RTRW, dan DDL tidak terlalu mempengaruhi ancaman tanah longsor dibanding kondisi saat ini (Luas

ancaman di Tabel 14 dan seberan di Lampiran 15).

Tabel 14. Luas Ancaman Tanah Longsor Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual

(2016), BAU, RTRW dan DDL

Kelas

Ancaman

Luas Lahan (Ha)

2016 RTRW 2030 BAU KKL

Sangat Tinggi 830 1.259 1.091 43

Tinggi 8.949 8.844 12.957 7.753

Sedang 23.894 10.660 24.844 9.920

Rendah 42.887 10.541 49.917 16.486

Sangat Rendah 26.206 71.462 13.956 68.564

Total 102.766 102.766 102.766 102.766

Page 29: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 19

Tingkat ancaman tanah longsor di katagori tinggi hingga sangat tinggi kondisi tutupan lahan saat ini

adalah 10% dari total luasan lahan Kabupaten Mojokerto. Sekenario BAU dan RTRW dan DDL untuk

ancaman banjir tinggi sampai dengan sangat tinggi secara berturut turut juga 14%, 10% dan 8 % dari

total luasan lahan Kabupaten Mojokerto.

4.5. Kerentanan Sumberdaya Air

Kerentanan sumberdaya air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebutuhan air, ketersediaan dan

kondisi mata air, yang dipengaruhi oleh tata guna lahan dan tingkat penggunaan air. Penggunaan air

didorong oleh perubahan populasi, konsumsi makanan, kebijakan ekonomi (termasuk penetapan harga

air), teknologi, gaya hidup, dan pandangan masyarakat terhadap nilai ekosistem air tawar (IPCC, 2013).

Dalam kajian ini, untuk memberikan gambaran tingkat penggunaan air, hanya dijelaskan secara makro

dari sisi pertumbuhan populasi dan ekonomi. Penggunaan air akan menentukan jumlah kebutuhan air.

4.5.1. Populasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Penduduk Kabupaten Mojokerto pada tahun 2014 tercatat sebanyak 1,186,497 jiwa dengan komposisi

penduduk laki-laki sebanyak 597.463 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 589.034 jiwa, dengan

seks rasio mendekati 100%, dimana jumlah penduduk perempuan dan laki-laki relatif sama. Pada tahun

2014, kepadatan penduduk rata-rata Kabupaten Mojokerto adalah 1,824 orang/km2. Kecamatan dengan

kepadatan tertinggi adalah Sooko (3,444 jiwa/km2), Mojosari (3,125 jiwa/km2), Gedeg (2,779 jiwa/km2).

Sebaran penduduk di wilayah kabupaten Mojokerto relatif merata. Kecamatan dengan jumlah penduduk

terbanyak adalah Jetis, disusul dengan Kemlagi, Gedek, Mojosari dang Ngoro. Hal ini dapat dipahami,

karena di Kecamatan Jetis, Kemlagi, Gedeg dan Ngoro sekitarnya terdapat banyak industri. Kecamatan

Mojosari memiliki jumlah penduduk banyak, karena sebagian kantor pemerintahan kabupaten

Mojokerto terletak di Kecamatan ini.

Sensus penduduk tahun 2010 menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir

sekitar 1.2% per tahun lalu meningkat pada tahun 2014 sekitar 2.04%. Kecamatan yang memiliki

pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi adalah Sooko (1.67), Jetis (1.60) dan Ngoro (1.55).

Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Sooko terjadi karena kecamatan tersebut berbatasan

langsung dengan Kota Mojokerto. Sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Kecamatan

Jetis dan Ngoro dipengaruhi pertumbuhan industri yang tinggi di wilayah ini.

Pada akhir tahun 2010 tingkat kesejahteraan penduduk Mojokerto mengalami peningkatan rata-rata

sebesar 0.39% (BPS, 2011). Hal ini terindikasi dengan menurunnya jumlah penduduk pra-sejahtera dari

49,349 kepala keluarga pada tahun 2009 menjadi 47,657 kepala keluarga pada akhir tahun 2010.

Besarnya jumlah penduduk pra-sejahtera ini merupakan salah satu permasalahan sosial yang cukup

serius di Kabupaten Mojokerto hingga saat ini (ibid).

Kegiatan sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di Kabupaten Mojokerto, namun dalam

lima tahun terakhir sektor industri menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan ekonomi 2014 di

Kabupaten Mojokerto mengalami perlambatan, kecuali sektor industri pengolahan naik 7.05%, dan

sektor akomodasi, makanan dan minuman naik 9.90%.

4.5.2. Penggunaan Lahan

Pertumbuhan penduduk dan industri (Lihat 4.5.1) telah menaikkan kebutuhan lahan untuk, diantaranya,

pemukiman, kawasan industri dan hotel di Kabupaten Mojokerto. Tren peningkatan untuk

pengembangan pemukiman dan kawasan industri dengan laju pertambahan 217 ha tahun-1.

Pertambahan ini menggeser tutupan lahan hutan lindung dan hutan produksi menurun 119 ha tahun-1,

penutupan kebun campuran tren menurun 30 ha tahun-1, tegalan dan lahan Sawah tren menurun 110

ha tahun-1. Rincian laju perubahan tutupan lahan dapat dilihat pada Bagian 4.2.2.

Page 30: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 20

4.5.3. Kebutuhan Air

Di wilayah Mojokerto bagian utara, potensi air tanah tergolong rendah. Potensi air tanah yang tergolong

sedang hanya dijumpai di sekitar Sungai Surabaya. Batuan penyusun wilayah ini berupa batuan berbutir

halus (lempung, pasir halus, pasir tufan) yang berumur Tersier (Pliosen), sehingga sudah terlitifikasi.

Batuan jenis ini tergolong bukan aquifer yang baik, sehingga sebagian wilayah ini digolongkan daerah

non cekungan air tanah atau daerah yang langka air tanah sehingga kurang dapat memenuhi kebutuhan

air bagi masyarakat (IUWASH-USAID, 2012). Mengingat Wilayah Mojokerto bagian utara tergolong

langka air, maka uraian selanjutnya hanya menguraikan wilayah Kabupaten Mojokerto bagian selatan.

Di wilayah Kabupaten Mojokerto bagian selatan, neraca air tanah antara ketersediaan dan kebutuhan

air masyarakat selama satu tahun masih menunjukkan surplus (IUWASH-USAID, 2012). Namun bulan

Juni hingga bulan Oktober mengalami defisit, dimana jumlah pengambilan lebih besar dibandingkan

dengan jumlah infiltrasi ke dalam akuifer. Puncak dari defisit ini terjadi pada bulan Agustus, mencapai

6536.65 juta liter (Gambar 9). Sebaliknya, musim hujan di bulan Desember hingga bulan Maret jumlah

infiltrasi ke dalam akuifer meningkat tajam, sehingga pada bulan-bulan ini neraca air tanah di wilayah

Kabupaten Mojokerto bagian selatan mengalami surplus dengan rata-rata 14146.52 juta liter (ibid).

4.5.4. Ketersediaan Air dan Kondisi Mata Air

IUWASH-USAID (2012) memproyeksikan bahwa jika dibandingkan dengan hasil perhitungan debit

andalan sungai tahun 2012 sebagai penyedia kebutuhan air, pada tahun 2022 akan terjadi penurunan

debit sungai andalan rata-rata sekitar 3% (Gambar 9). Total volume air dalam setahun yang bisa

dimanfaatkan sebagai sumber air baku sekitar 1010.8 juta meter kubik. Akibat adanya perubahan iklim

yang dicerminkan dari penurunan jumlah curah hujan, volume air diperkirakan menurun menjadi sekitar

985.13 juta meter kubik. Artinya terjadi penurunan volume air sungai yang bisa dimanfaatkan sekitar

25.67 juta meter kubik (ibid). Volume infiltrasi total dalam satu tahun juga mengalami penurunan yaitu

dari semula sebesar 345.98 juta meter kubik pada tahun 2012 menjadi sekitar 338.67 juta meter kubik

pada tahun 2022. Berkurangnya volume infiltrasi yang merupakan input bagi cadangan air tanah ini

dikhawatirkan akan menyebabkan permasalahan suplai air minum di Mojokerto (ibid).

Perhitungan tersebut berdasarkan simulasi dampak perubahan iklim terhadap debit andalan pada DAS

terbesar ‘Brangkal’ dan DAS terkecil ‘Bangsal’ di Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 2012, debit andalan

tertinggi DAS Brangkal terjadi pada bulan Februari (42.76 m3/detik), sedangkan debit terendah terjadi

pada bulan Agustus (0.14 m3/detik) (ibid). Tahun 2022 dibulan yang sama, debit terbesar menjadi

41.67% dan terendah 0.12 m3/detik. Untuk DAS Bangsal, pada tahun 2012 debit andalan tertinggi pada

bulan Februari sebesar 6.16 m3/detik, menurun menjadi 6.00 m3/detik pada tahun 2022, sedangkan

debit terendah bulan Agustus tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 0.02 m3/detik. Dari

Gambar 10, terlihat persentase penurunan debit andalan DAS Brangkal dan DAS Bangsal, dimana

penurunan yang paling tinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 11% - 12% (ibid).

Gambar 9. Neraca Air Tanah (NAT) Kabupaten Mojokerto bagian Selatan (IUWASH-USAID, 2012)

Page 31: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 21

Gambar 10. Persentase Penurunan Debit Andalan Sungai Brangkal dan Sungai Bangsal (IUWASH-USAID,

2012)

Disisi lain, selain sungai sebagai penyedia air baku, mata air juga dimanfaatkan untuk berbagai

kepentingan, terutama untuk PDAM, HIPAM dan irigasi serta untuk kepentingan industri. Mata air di

wilayah kabupaten Mojokerto dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni yang terletak di lereng Gunung

Penanggungan (Pacet - Trawas), lereng Gunung Welirang (Ngoro - Pungging) dan Gunung Anjasmoro

(Gondang – Kutorejo). IUWASH-USAID (2012) telah mendata mata air yang diperoleh dari berbagai

sumber disajikan di Lampiran 16.

Di lain pihak, masyarakat Kabupaten Mojokerto di dataran rendah banyak memanfaat air tanah dangkal.

Kisaran kedalaman muka air tanah di sumur gali (air tanah dangkal/bebas) adalah antara 3 sampai 12 m

dari muka tanah setempat. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui, bahwa kisaran

ketinggian muka air tanah di lokasi penelitian adalah antara 2 – 500 m dari permukaan laut (ibid).

Ketinggian muka air tanah di lokasi penelitian ini dikelompokkan dalam 3 (tiga) wilayah, yaitu:

• Wilayah utara, Pada daerah ini ketinggian muka air tanah berkisar antara 15 – 50 m dari

permukaan laut, dengan arah aliran ke selatan.

• Wilayah tengah, Ketinggian muka air tanah di daerah ini berkisar antara 2 – 20 m dari

permukaan laut, dengan arah aliran air tanah dangkal menuju Utara, (Sungai sedar dan Sungai

Porong).

• Wilayah selatan, di daerah ini ketinggian muka air tanah berkisar antara 40 – 500 m dari

permukaan laut, dengan arah aliran air tanah tanah dangkal relatif ke arah Utara – Barat laut

dan Timur laut.

4.5.6. Kualitas Mata Air

Kualitas air sungai diperoleh berdasarkan uji kualitas air yang dilakukan tahun 2012. Contoh air diambil

dari Sungai Marmoyo, Kromong, Bangsal, dan Brangkal (IUWASH-USAID, 2012). Pengambilan contoh

air dilakukan pada tanggal 13 dan 14 Agustus 2012, antara jam 08.00 – 14.00 saat kondisi cuaca cerah.

Contoh air sungai diuji dan di mengunakan acuan standar B, yaitu standar untuk air bersih (Permenkes

No.416/1990) menunjukkan 28 dari 31 zat yang diujikan berada dalam batas standar baku air bersih,

tetapi beberapa zat seperti phospat, sulfida dan seng berada diluar batas (Lampiran 17). Tingkat

kandungan zat tersebut terbesar ditemui di Sungai Marmoyo. Sumber phospat kemungkinan dari limbah

domestik dan perkebunan/pertanian yang mengalir ke sungai. Kandungan phospat berlebih dapat

memicu pertumbuhan enceng gondok. Namun tanaman ini dapat digunakan sebagai media mengurangi

kandungan phospat dalam air sungai (foto-remediasi). Kandungan sulfida berlebih dapat menyebabkan

gangguan pada mata dan mengaratkan logam. Unsur seng dapat merubah rasa air menadji pahit dan

sepat, serta menimbulkan rasa mual.

Page 32: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 22

4.6. Risiko Sumberdaya Air

4.6.1. Risiko Kekeringan

Risiko kekeringan untuk kelas tinggi hingga sangat tinggi, dari tahun 1996 hingga 2006 menurun dari

17% menjadi 13% dari total luas lahan. Namun, tahun 2016 naik menjadi 15% dari total luas lahan (Luas

risiko di Tabel 15 dan sebaran di Lampiran 18). Risiko kekeringan tertinggi terjadi di bagian utara yang

merupakan kawasan kapur. Perubahan yang realtif besar terjadi untuk kelas sedang yang menurun dari

dari 29% menjadi 19% sejak tahun 1996 hingga 2006, tetapi tahun 2016 naik menjadi 43% yang tersebar

hampir merata di Kabupaten Mojokerto.

Tabel 15. Risiko Kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2006 dan 2016

Kelas

Risiko

Luas Lahan (Ha)

1996 2001 2006 2016

Sangat Tinggi 8.575 4.275 3.369 6.333

Tinggi 9.119 11.327 9.757 8.766

Sedang 29.727 19.640 22.969 44.590

Rendah 34.255 44.588 41.029 24.169

Sangat Rendah 21.089 22.935 25.642 18.908

Total 102.766 102.766 102.766 102.766

Risiko kekeringan dengan skenario BAU menunjukkan penurunan untuk kelas sangat tinggi dari 6,2%

pada tahun 2016 menjadi menjadi 3,7%. Kelas risiko tinggi relatif stabil jika dibandingkan antara tahun

2016 dan tahun 2030. Hal yang menarik adalah peningkatan risiko kekeringan di tingkat sedang pada

tahun 2016 sebesar 43,4% menjadi 50,5% pada skenario BAU. Sementara itu, berdasarkan skenario

RTRW, pada tahun 2030 risiko kekeringan kelas sangat tinggi berpotensi naik menjadi 11% dari 3,7%

versi BAU. Apabila skenario DDL diterapkan maka terjadi penurunan risiko kekeringan pada kelas

sangat tinggi menjadi 2,3% dari 3,7% versi BAU. Luas risiko kekeringan skenario RTRW dan KKL dapat

dilihat pada Tabel 16 dan sebarannya pada Lampiran 19.

Tabel 16. Luas Risiko Kekeringan Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU,

RTRW dan tutupan lahan atas dasar DDL

Kelas

Risiko

Luas Lahan (Ha)

2016 RTRW 2030 BAU KKL

Sangat Tinggi 6.333 11.991 3.838 2390,47 Tinggi 8.766 4.278 8.411 9771,74 Sedang 44.590 32.670 51.916 29614,27

Rendah 24.169 37.251 19.424 43614,73

Sangat Rendah 18.908 16.576 19.177 17374,34 Total 102.766 102.766 102.766 102.766

4.6.2. Risiko Banjir

risiko banjir tahun 1996 hingga 2016 menunjukkan peningkatan banjir dari kelas rendah ke sedang.

Luasan banjir pada kelas sangat tinggi meningkat dari tahun 1996 (0,08%) ke tahun 2001, kemudian

menurun pada tahun 2006 dan meningkat kembali pada tahun 2016 (6%). Sedangkan pada kelas tinggi,

terjadi penurunan dari tahun 2001 hingga 2006 dari 4,4% menjadi 2,9%, kemudian meningkat drastis

pada tahun 2016 menjadi 14,4%. Luas risiko banjir dijelaskan pada Tabel 17 dan sebarannya pada

Lampiran 20.

Page 33: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 23

Tabel 2. Luasan Risiko banjir Tahun 1996, 2001 dan 2016 di Kabupaten Mojokerto

Kelas Luas (Ha)

1996 2001 2006 2016

Sangat Tinggi 84,85 3.320,71 183,87 6.168,10

Tinggi 2.972,92 4.540,06 3.022,30 14.799,54

Sedang 15.475,28 15.208,34 17.155,62 47.375,81

Rendah 48.680,58 48.305,30 49.005,96 30.548,47

Sangat Rendah 35.551,92 31.391,14 33.397,80 3.873,62

Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55

Sementara itu, penerapan skenario BAU menunjukkan tren peningkatan risiko banjir pada kelas sangat

tinggi dari 6,0% ke 6,4% dan kelas tinggi dari 14,4% ke 17,6%. Penerapan skenario RTRW menunjukkan

penurunan luas risiko banjir kelas sangat tinggi dari 6,0% (pada tahun 2016) menjadi 5.8%, namun

demikian pada kelas tinggi tinggi meningkat dari 14,4% menjadi 14,6% dari total luas wilayah. Apabila

skenario DDL diterapkan, maka risiko banjir menurun. Luas risiko banjir dapat dilihat pada Tabel 18

dan sebarannya pada Lampiran 21.

Tabel 18. Luas Risiko Banjir Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU, RTRW

dan tutupan lahan atas dasar DDL

Luas Lahan (Ha)

Kelas 2016 RTRW 2030 BAU KKL

Sangat Tinggi 6.168,10 5.974,96 6.540,97 1908,88

Tinggi 14.799,54 15.039,05 18.068,40 2878,49

Sedang 47.375,81 48.379,09 56.709,30 18276,18

Rendah 30.548,47 30.430,06 25.795,05 52548,20

Sangat Rendah 3.873,62 2.942,39 0 27153,77

Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55

Skenario BAU meningkatkan risiko banjir dari sedang-tinggi menjadi sangat tinggi, skenario RTRW

menggeser tingkat riskio dari sedang menjadi tinggi, sedangkan skenario DDL menurunkan risiko banjir

dari kelas sangat tinggi, tinggi dan sedang menjadi rendah dan sangat rendah.

4.6.1. Risiko Tanah Longsor

Pada kelas sangat tinggi risiko longsor tahun 1996 sebesar 1% lalu menurun hingga 0,15% tahun 2016.

Sedangkan pada kelas tinggi naik dari 1,8% pada tahun 1996 menjadi 2,2 %tahun 2016. Luas risiko

longsor pada kelas sangat tinggi dan tinggi lebih rendah dari ancaman longsor. Hal ini dikarenakan pada

daerah dengan ancaman longsor tinggi namun jumlah populasi penduduk yang rendah (faktor

kerentanan). Luas risiko longsor dapat dilihat pada Tabel 19 dan sebarannya pada Lampiran 22.

Tabel 19. Luasan Risiko Longsor di Kabupaten Mojokerto tahun 1966, 2006 dan 2016

Kelas Luas Lahan (Ha)

1996 2001 2006 2016

Sangat Tinggi 1.229,95 862,37 761,11 160,96

Tinggi 1.899,72 2.303,38 2.163,05 2.892,45

Sedang 11.889,75 12.540,73 9.211,97 9.025,32

Rendah 34.420,37 35.042,66 36.338,12 48.359,54

Sangat Rendah 53.325,76 52.016,41 54.291,30 42.327,28

Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55

Page 34: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 24

Pada penggunaan lahan aktual tahun 2016, kelas tinggi dan sangat tinggi mempunyai luasan yang hampir

sama jika dibandingkan dengan RTRW 2030. Namun penerapan RTRW dapat menekan risiko longsor

seperti halnya dengan skenario daya dukung lahan. Pada kelas sangat tinggi, penerapan RTRW 2030

dapat menekan longsor yang semula sejumlah 0,2% pada tahun 2016 menjadi 0.1%, sedangkan pada

kelas tinggi dari 2.8% menjadi 2,2% dari total wilayah kajian. Perubahan iklim dengan BAU sedikit

meningkatkan risiko longsor di kategori tinggi - sangat tinggi berturut-turut menjadi 0,3% dan 3,2%.

Penerapan RTRW dapat menurunkan risiko longsor rendah dari 47.1% pada tahun 2016 menjadi 17,7%.

Sedangkan penerapan penggunaan lahan sesuai dengan daya dukung lahan dapat menurunkan longsor

di banding penggunaan lahan saat ini pada semua kategori (Tabel 20, Lampiran 23). Oleh karenanya,

penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung lahannya merupakan acuan terbaik untuk menekan

bahaya longsor.

Tabel 20. Luas Risiko Longsor Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU,

RTRW dan tutupan lahan atas dasar DDL

Kelas Luas Lahan (Ha)

2016 RTRW 2030 BAU KKL

Sangat Tinggi 160,96 100,83 348,40 152,12 Tinggi 2.892,45 2.292,71 3.292,70 1948,76 Sedang 9.025,32 13.497,34 7.060,74 11534,55

Rendah 48.359,54 18.231,36 53.017,74 19038,42 Sangat Rendah 42.327,28 68.643,30 39.742,77 70091,71

Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55

5. KESIMPULAN

Hasil kajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Mojokerto terkait kondisi sumberdaya air

memberikan beberapa kesimpulan yaitu:

1. Kabupaten Mojokerto telah mengalami perubahan iklim yang ditunjukkan dengan

peningkatan suhu sebesar 0,20C tiap dekade, penurunann curah hujan sebesar 11%, dan

peningkatan jumlah hujan ekstrim dari tahun 1996 sampai dengan 2015.

2. Pertumbuhan penduduk, industri dan perkembangan perumahan telah mengakibatkan

perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Mojokerto. Dari tahun 1996 sampai dengan

2016, hutan lindung telah berkurang sebanyak 798 Ha dengan laju penurunan sebesar 39,5

Ha/tahun, hutan produksi berkurang seluas 2060 Ha dengan laju penurunan sebesar 103

Ha/tahun. Kebun campuran mempunyai jumlah penurunan dan laju pengurangan hampir

sama dengan hutan lindung. Sementara sawah dan tegal juga mengalami penurunan luas dan

laju penurunan berturut-turut 1,249 Ha dan 62,5 Ha/tahun serta 891 Ha dan 44,6 Ha/tahun.

Perkembangan luas pemukiman terekam sangat cepat dengan laju pertambahan luas sebesar

278 Ha/tahun dengan total peningkatan dari tahun 1996 sampai 2016 adalah seluas 5.561

Ha. Penambahan luas pemukiman dalam hal ini sebagian besar berasal dari pengurangan

lahan sawah dan hutan produksi.

3. Skenario perubahan iklim yang ditandai dengan penurunan jumlah hujan sebesar 10%

menghasilkan jumlah hasil air yang menurun pada keseluruhan sekenario penggunaan lahan.

Sementara itu, skenario penggunaan lahan berdasarkan BAU menghasilkan debit sungai

terendah diikuti oleh skenario berdasarkan DDL dan RTRW. Aliran dasar (baseflow) sebagai

input untuk groundwater paling besar dihasilkan oleh skenario penggunaan lahan berdasarkan

DDL dan paling kecil oleh skenario RTRW. Sebaliknya, penggunaan lahan RTRW

menghasilkan aliran permukaan (quick flow) paling besar dan terkecil dihasilkan oleh

penggunaan lahan berdasarkan DDL.

4. Daerah utara Kabupaten Mojokerto yang dipisahkan oleh sungai Brantas dari daerah selatan

lebih mengalami kekeringan (baik air permukaan maupun bawah permukaan) dibandingkan

dengan daerah selatan. Prediksi debit sungai pada tahun 2030 di daerah utara hanya sejumlah

12,5% dari daerah selatan.

Page 35: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 25

5. Skenario penggunaan lahan berdasarkan DDL dapat menurunkan ancaman dan risiko

kekeringan, banjir, dan longsor. Skenario BAU dapat meningkatkan ancaman kekeringan dan

banjir dari rendah-sedang menjadi tinggi, sedangkan skenario RTRW menjadikan tingkat

ancaman kekeringan dan banjir dari tinggi menjadi sangat tinggi. Lebih lanjut, risiko

kekeringan dan banjir turun pada skenario KKL dan naik pada skenario BAU dan RTRW.

Selain itu, skenario KKL dan RTRW dapat menurunkan risiko longsor, dan sebaliknya,

skenario BAU meningkatkan risiko longsor.

6. Rekomendasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kondisi sumberdaya air di

Kabupaten Mojokerto adalah memfungsikan Forum Penyehatan Fungsi DAS, meningkatkan

partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang fleksibe. melalui sekolah lapang.

Terdapat 14 ekomendasi teknis yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekeringan, banjir

dan tanah longsor di wilayah Kabupaten Mojokerto yaitu (1) Pengkayaan dan Konservasi

Biodiversitas Hutan (PKB), (2) Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam hutan

(PAH), (3) Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi, penghijauan hutan (RPH), (4)

Pengembalian fungsi hutan melalui Agroforestri (hutan rakyat dan kebun campuran) (AFK),

(5) Pematang Bulan Sabit (crescent dykes) (PBS), (6) Saluran peresapan air (SPA), (7) Rorak/

parit buntu (RPB), (8) Teras Gulud bersekat dan berorak dan Teras Bangku dengan

bedengan bersekat (TGB), (9) embung dan chek dam (ECD), (10) Biopori tanah (BPT), (11)

Sumur resapan pedesaan individual (SRD), (12) Sumur resapan perumahan/perkotaan

individual (SRP), (13) efisiensi air irrigasi (EAI), (14) efisiensi pemanfaatan air baku di rumah

tangga dan industri (EPA).

6. REKOMENDASI

Berdasarkan temuan dalam kajian, berikut adalah rekomendasi untuk mengurangi dampak negatif dari

perubahan iklim dan alih guna terhadap ketersediaan sumber daya air:

1. Strategi adaptasi mengacu pada AR4 yang mengatur Manajemen Daerah Aliran Sungai Terpadu

(Integrated Watershed Resources Manajement / IWRM). Langkah-langkah adaptasi

berdasarkan IWRM ini dijelaskan dalam Lampiran 24.

2. Sasaran lokasi adaptasi tersebut ditetapkan adalah: (1) Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura)

R Soeryo, (2) Kawasan Hutan Perhutani, (3) Kawasan Kebun Campuran / Agroforestri, (4)

Kawasan Tegalan, (5) Kawasan Lahan Sawah, (6) Kawasan Pemukiman, (7) Kawasan Perkotaan,

dan (8) Kawasan Industri.

3. Jenis program adaptasi yang direkomendasikan dimasing-masing desa dan kecamatan yang

diperdiksi berisiko terhadap perubahan iklim dan dampak perubahan lahan tinggi dan sangat

tinggi meliputi:

1) Pengkayaan dan Konservasi Biodiversitas Hutan (PKB)

2) Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam hutan (PAH)

3) Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi, penghijauan hutan (RPH)

4) Pengembalian fungsi hutan melalui Agroforestri (hutan rakyat dan kebun campuran) (AFK),

5) Pematang Bulan Sabit (crescent dykes) (PBS),

6) Saluran peresapan air (SPA),

7) Rorak/ parit buntu (RPB)

8) Teras Gulud bersekat dan berorak, dan Teras Bangku dengan bedengan bersekat (TGB)

9) Embung dan chek dam (ECD)

10) Biopori tanah (BPT)

11) Sumur resapan pedesaan individual (SRD)

12) Sumur resapan perumahan / perkotaan individual (SRP),

13) Efisiensi air irrigasi (EAI)

14) Efisiensi pemanfaatan air baku di rumah tangga dan industri (EPA).

Deskripsi macam adaptasi dan contoh pelaksanaan teknis di lapangan di sajikan di Lampiran 25.

Page 36: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 26

DAFTAR PUSTAKA

Allard, J., and Carleton, A., 2010. Mesoscale associations between midwest land surface properties and

convective cloud development in the warm season. Physical Geography. 31(2), 07-136.

Apollonio, c., Balacco, G., Novelli, A., Tarantino, E., Piccinni, A.F., 2016. Land Use Change Impact on

Flooding Areas: The Case Study of Cervaro Basin (Italy). Sustainability 8 (996).

doi:10.3390/su8100996.

Arnell, N.W., 1999. Climate change and global water resources. Global Environmental Change 9, 31-

49.

Bates, B.C.; Kundxewicz, Z.W.; Wu, S.; Palutikof, J.P. 2017. Climate Change and Water; Technical

Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change; IPCC Secretariat: Geneva,

Switzerland, 2008. Water: 9, 204 16 of 18

Bernauer, T., Bohmelt, Tobias, Buhaug, H., Gleditsch, N.P., Trigaldos, T., Wischnath, G., Demand,

supply, and restraint: Determinants of domestic water conflict and cooperation. Global

Environmental Change 29, 337–348.

Boer, R., Faqih, A., 2004. Current Future Rainfall Variability in Indonesia. In an Integrated Assessment

of Climate Change Impact, Adaptation and Vulnerability in Watershed Area and Communities

in Southeast Asia, Report from AIACC Project No. AS21 (Annex C, 95 – 126). International

START Secretariat, Washington, District of Columbia.

http://sedac.ciesin.org/aiacc/progress/FinarRept_AIACC_AS21.pdf.

Case M., F. Ardiansyah, and E. Spector. 2007. Climate Change in Indonesia: Implications for Humans

and Nature. http://wwf.panda.org/?118240/Climate-Change-in-Indonesia-Implications-for-

Humans-and-Nature.

Celik, I., 2005. Land-use effect on organic matter and physical properties of soil in southern

Mediterranean highland of Turkey. Soil and Tillage Research. 83 (2), 270 – 277.

Chen H, Xu C-Y, Guo S. 2012. Comparison and evaluation of multiple GCMs, statistical downscaling

and hydrological models in the study of climate change impacts on runoff. J Hydrol.; 434:36–45.

doi: 10.1016/j.jhydrol.2012.02.040

Claessens, L., Hopkinson, C., Rastetter, E., Vallino, J., 2006. Effect of historical changes in land use and

climate on the water budget of an urbanizing watershed. Water Resources 42,

doi:10.1029/2005WR004131

Cruz, R.V., Harasawa, H., Lal, M., Wu, S., Anokhin, Y., Punsalmaa, B., Honda, Y., Jafari, M., Li, C., Huu

Ninh, N., 2007. Asia Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution

of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on

Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson,

Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506.

Gleick, P.H., 1998. The World's Water: The Biennial Report on Freshwater Resources 1998 -1999.

Island Press, San Francisco.

Huang, T.C.C., Lo, K.F.A., 2015. Effects of Land Use Change on Sediment and Water Yields in Yang

Ming Shan National Park, Taiwan. Environments 2, 32 – 42.

Hulme, M., Sheard, N., 1999. Climate Change Skenarios for Indonesia. Climatic Research Unit,

Norwich, UK, 6pp.

Hussain, I., Hussain, Z., Sial, M.H., Akram, A., Farhan, M.F., 2001. Water balance, supply, and demand

and irrigation efficiency of Indus Basin. Pakistan Economic and Social Review 49 (1), 13 – 38.

Page 37: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 27

IPCC. 2013a, The Physical Science Basis: Working Group I Contribution to the Fifth Assessment

Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013.

IPCC, 2013b. Summary for Policymakers. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis.

Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental

Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J.

Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press,

Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

IPPC, 2014. Climate Change 2014 Synthesis Report Summary for Policymakers,

https://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar5/syr/AR5_SYR_FINAL_SPM.pdf.

Islam, K.R., Weil, R.R., 2000. Land use effects on soil quality in a tropical forest ecosystem of

Bangladesh. Agriculture, Ecosystems and Environment 79 (2000) 9–16.

Kochendorfer, J.P., Hubbart, J.A., 2010. The roles of precipitation increases and rural land-use changes

in streamflow trens in the upper Mississippi River basin. Earth Interactions 14 (20), 1-12.

Khoi DN, T. Suetsugi. 2014. The responses of hydrological processes and sediment yield to land use

and climate change in the Be River Catchment, Vietnam. Hydrol Process.; 28(3):640–52.

Kovats, R.S.; Valentini, R.; Bouwer, L.M.; Georgopoulou, E.; Jacob, D.; Martin, E.; Rounsevell, M.;

Soussana, J. Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part B: Regional

Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change; Cambridge Univ. Press: Cambridge, UK,: pp. 1267–

1326.

Mahmood, R., Pielke Sr., R.A., Hubbard, K., Niyogi, D., Dirmeyer, P., 2014. Land cover changes and

their biogeophysical effects on climate. Int. J. Climatol. 34, 929 - 953.

McDonald, R.I., Weber, K., Padowski, J., Florke, M., Schneider, C., Green, P.A., Gleeson, T., Eckman,

S., Lehner, B., Balk, D., Boucher, T., Grill, G., Montgomery, M., 2014. Water on an urban planet:

Urbanization and the reach of urban water infrastructure. Global Environmental Change 27, 96–

105.

Molina-Navarro E, Trolle D, Martínez-Pérez S, Sastre-Merlín A, Jeppesen E. 2014. Hydrological and

water quality impact assessment of a Mediterranean limno-reservoir under climate change and

land use management skenarios. J Hydrol.; 509:354–66. doi: 10.1016/j.jhydrol.2013.11.053

Mwangi H.M., Julich S., Patil S.D., McDonald M.A., Feger K.H. Relative contribution of land use change

and climate ariability on discharge of upper Mara River, Kenya. Journal of Hydorlogy: Regional

Studies. Vo. 5: 244 – 260. 2016.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), 2012, National Weather Service

Glossary: National Oceanic and Atmospheric Administration Web page at

http://weather.gov/glossary/. (Accessed May 1, 2012.).

Nayor, R.L., Battisti, D.S., Vimont, D.J., Falcon, W.P., Burke, M.S., 2007. Assessing risks of climate

variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceedings of the National

Academy of Sciences of the United States of America 104 (19): 7752-7757.

Neris, J., Jimenez, C., Morillas, J.F.G., Tejedo, T., 2012. Vegetation and land-use effects on soil

properties and water infiltration of Andisols in Tenerife (Canary Islands, Spain). Catena 98, 55

– 62.

Niraula R, Meixner T, Norman LM. 2015. Determining the importance of model calibration for

forecasting absolute/relative changes in streamflow from LULC and climate changes. J Hydrol.;

522:439–51. doi: 10.1016/j.jhydrol.2015.01.007

Page 38: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 28

Pawitan, H., 2014. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi DAS.

https://www.researchgate.net/publication/237486643.

PEACE (Pelangi Energi Abadi Citra Enviro). 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and

Policies. 90 pp. Available online:

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/

Environment/ClimateChange_Full_EN.pdf

Pierleoni, A., Camici, S., Brocca, L., Moramarco, T., Casadei, S., 2014. Climate change and decision

support systems for water resource management. Procedia Engineering 70, 1324 – 1333.

Raman, S.V.V., S. Iniyan, and R. Goic, 2012. A review of climate change, mitigation and adaptation.

Renewable and Sustainable Energy Reviews Journal. Volume 16, Issue 1, Pages 878-897.

Rejekiningrum, P. 2014. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sumberdaya Air: Identifikasi, Simulasi, dan

Rencana Aksi. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 1: 1–15.

Stallings, J.H., 1957. Soil Conservation (Premice-Hall, Englewood cliffs. 1957). 51 – 61. In U.S.

Department of Agriculture. Soil and men. 1938. 79.

Surendran, U., Sushanth, C.M., Mammen, G., Joseph. E.J., 2015. Modelling the crop water requirement

using FAO-CROPWAT and assessment of water resources for sustainable water resource

management: A case study in Palakkad district of humid tropical Kerala, India. Aquatic Procedia,

1211 – 1219.

Trenberth, K.E., 2011. Global Change and Climate: Water cycles and climate change. Handbook of

Global. Environmental Change. Springer. DOI: HB_GlobalEnvChange_30

Tsonis, A.A., Elsner, J.B., Hunt, A.G., and Jagger, T. H. 2005. Unfolding the relation between global

temperature and ENSO. Geophysical Research Lettters. Vol 32, L09701, doi:10.1029/

2005GL022875.

WHO (World Health Organization). 2007. Emergency and Humanitarian Action News Update,

February and March 2007. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.

Available online:

http://www.searo.who.int/LinkFiles/Newsletter_EHA_February_and_March_2007.pdf

Vormoor, K.; Lawrence, D.; Heistermann, M.; Bronstert, 2015. A. Climate change impacts on the

seasonality and generation processes of floods—Projections and uncertainties for catchments

with mixed snowmelt/rainfall regimes. Hydrol. Earth Syst. Sci.: 19, 913–931.

Wang R, Kalin L, Kuang W, Tian H. 2014. Individual and combined effects of land use/cover and climate

change on Wolf Bay watershed streamflow in southern Alabama. Hydrol Process; 28(22):5530–

46. doi: 10.1002/hyp.10057

World Bank, 2017. Laporan Lingkungan Indonesia (Country Environmental Analysis atau CEA): Policy

Brief, Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Kantor Bank Dunia Jakarta.

Widianto, Suprayogo, D., Sudarto, Lestariningsih, I.D., 2008. Rapid Hydrological Appraissal (RHA) in

Brantas Hulu Watershed, East Java, Indonesia.

http://worldagroforestry.org/regions/southeast_asia/publications?t=1&do=view_pub_detail&pu

b_no=WP0152-11

Zhang L., Z. Nan, Y. Xu, and S. Li, 2016. Hydrological Impacts of Land Use Change and Climate

Variability in the Headwater Region of the Heihe River Basin, Northwest China. PLoS ONE 11

(6): e0158394. doi:10.1371/journal.pone.0158394

Page 39: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 29

LAMPIRAN 1: PETA ADMINISTRASI KABUPATEN

MOJOKERTO

Page 40: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 30

LAMPIRAN 2: KERANGKA ANALISIS

Research Questions Data Metode analisis data Keluaran (output)

Seberapa jauh factor iklim

mempengaruhi kondisi sumber

daya air?

• Data hujan dan debit harian

• Penggunaan lahan aktual Membandingkan perbedaan data hujan sebagai indicator perubahan iklim terhadap kondisi

hidrologi (debit sungai, baseflow)

Gambaran gangguan, kerentanan dan risiko kelangkaan air, banjir, dan tanah

longsor di wilayah studi.

Bagaimana perubahan tutupan

lahan dapat dipergunakan sebagai

langkah adaptasi perubahan iklim

terkait dampaknya terhadap

kondisi sumber daya air?

• Perubahan tutupan lahan (pada berbagai tahun)

• Penutupan lahan sesuai dengan tingkat kemampuan lahan

• Penutupan lahan

Menguji dampak tutupan lahan satu dengan

lainnya terhadap kondisi kelangkaan air, banjir dan tanah longsor dengan menggunakan

model Genriver dan tool GIS

Strategi adaptasi dengan menggunakan

skenario tutupan lahan.

Bagaimana masyarakat (local

community and policy maker)

beradaptasi dengan dampak

perubahan iklim terhadap kondisi

sumberdaya air?

• Data social dari kuesioner

• Data social dari FGD Analisis kualitatif terhadap data social

ekonomi dan masyarakat

Strategi adaptasi terhadap kelangkaan

air, banjir dan tanah longsor menurut skenario masyarakat local dan pengambil

kebijakan.

Page 41: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 31

LAMPIRAN 3: DATA

Variabel Data Jenis data Metode

pengumpulan data

Sumber data Alat yang

diperlukan

Lokasi

pengumpulan data

Durasi

1. Debit sungai

dan mata air

(base flow)

Hujan Data harian, minimal

selama 20 tahun (1996

- 2016)

Pengumpulan data

sekunder

BMKG Alat transportasi

untuk mencapai

penyedia data

PJT I

Stasiun pengukur

debit di lapangan

3 minggu

Debit sungai Data harian, minimal

selama 20 tahun (1996

- 2016)

Pengumpulan data

sekunder

Stasiun pengukuran

debit pada outlet yang

mewakili lokasi DAS

Brangkal

Alat transportasi

untuk mencapai

penyedia data

PJT I

Stasiun pengukur

debit di lapangan

3 minggu

Suhu • Data suhu harian

minimal selama 20

tahun (1996 - 2016),

• Data 4 skenario iklim

dari BMKG

Pengumpulan data

sekunder

BMKG terkait Alat transportasi

untuk mencapai

lokasi stasiun

pengukur (BMKG)

Beberapa stasiun

pengukuran mewakili

lokasi DAS Brangkal

2 minggu

Perubahan

penutupan

lahan

Luasan perubahan

penutupan lahan tahun

1996 – 2006,

2006 - 2016

GIS pada peta

penutupan lahan

Citra landsat tahun

1996, 2006, dan 2016

Komputer dan

software GIS • Bakosurtanal

• Lab PSISDL Jurusan

Tanah FPUB

10 – 14

hari

Batas DAS,

sub DAS,

jenis tanah

Luas Digitasi dan

overlapping peta

Peta DEM dan tematik

lainnya (jenis tanah,

landsystem)

Komputer dan

software GIS • Bakosurtanal

• Lab PSISDL Jurusan

Tanah FPUB

3 hari

Sifat fisik

tanah

Infiltrasi, bulk density,

permeabilitas tanah

pada setiap subdas

Data sekunder yang

dilengkapi data

primer, analisis

laboratorium

Hasil penelitian

terdahulu dan

pengambilan sampel

dilapangan dan

pengukuran di

laboratorium

Alat survey dan

pengambilan serta

pengukuran sampel

Lapangan (lokasi

penelitian)

10 hari

2. Survei sosial Persepsi

(pendapat)

masyarakat

tentang

kondisi

sumberdaya

air

Kualitatif data wawancara dan

kuesioner, data

sekunder

Primer dari responden Kuesioner,

enumerator

Lokasi penelitian 3 minggu

Water usage Data kuantitatif tentang

penggunaan air

Wawancara PDAM, HIPAM Kuesioner Lokasi penelitian 3 minggu

Page 42: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 32

LAMPIRAN 4: PETA PENGGUNAAN LAHAN AKTUAL

HASIL INTERPRETASI CITRA SATELIT 8 OLI

Page 43: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 33

LAMPIRAN 5: PETA PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN 1996, 2002, 2006 DAB 2016

1996 2001

2006 2016

Page 44: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 34

LAMPIRAN 6: PETA SKENARIO RTRW KABUPATEN

MOJOKERTO 2012-2030

Page 45: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 35

LAMPIRAN 7: PETA KEMAMPUAN LAHAN YANG

MENGINDIKASIKAN DAYA DUKUNG LAHAN

KABUPATEN MOJOKERTO

Page 46: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 36

LAMPIRAN 8: PETA ARAHAN TUTUPAN LAHAN ATAS

DASAR DDL KABUPATEN MOJOKERTO

Page 47: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 37

LAMPIRAN 9: PETA PEMBAGIAN SUBDAS DI KABUPATEN MOJOKERTO

Page 48: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 38

LAMPIRAN 10: PETA ANCAMAN KEKERINGAN TAHUN 1996,2001, 2006 DAN 2016

Page 49: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 39

LAMPIRAN 11: PETA POTENSI ANCAMAN KEKERINGAN SKENARIO RTRW DAN DDL

TAHUN 2030

Page 50: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 40

LAMPIRAN 12: PETA ANCAMAN BANJIR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016

Page 51: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 41

LAMPIRAN 13: PETA POTENSI ANCAMAN BANJIR SKENARIO RTRW DAN DDL

TAHUN 2030

Page 52: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 42

LAMPIRAN 14: PETA ANCAMAN LONGSOR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016

Page 53: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 43

LAMPIRAN 15: PETA POTENSI ANCAMAN LONGSOR SKENARIO RTRW DAN DDL

TAHUN 2030

Page 54: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 44

LAMPIRAN 16: LOKASI MATA AIR DI KABUPATEN

MOJOKERTO

No Nama Mata Air, Lokasi

Koordinat H Q

x y m lt/dt

1 Ma.Urang-urang,Ds.Jatijejer,Kec.Pacet 673500 9157500 400 2

2 Ma.Klinggih,Ds.Kemlokogede,Kec.Trawas 674500 9151200 900 3

3 Ma. Padusan,Kp.Padusan Kec Pacet 668800 9150800 700 2

4 Ma. Umbulan,Kp.Pedurean,Kec Pacet 669300 9151000 600 200

5 Ma. Putuk, Ds.Banaran, Kec.Jatirejo 665150 9142950 285 2

6 Ma.Ubalan,Ds.Bleberan,Kec.Pacet 650700 9157400 180 10

7 Ma.Mantingan,Ds. Bleberan,Kec Jatirejo 658800 9155200 250 5

8 Ma.Sumbersedon,Ds.Wotanmasjedong,Kec.Ngoro, 667800 9167800 225 6

9 Ma.Wotan masjedong,Kec.Ngoro, 677700 9161500 235 9

10 Ma.Sumbergentung,Kec.Ngoro 677900 9160500 375 2.5

11 Ma.Balekambang,Kec.Trawas 675800 9159700 440 8

12 Ma.Sumbersoko,Kec.Seloliman 675700 9158800 475 19

13 Ma.Seloliman,Kec.Trawas 675500 9158500 480 1

14 Ma.Brungan,Ds.Kedungudu,Kec.Trawas 676200 9155800 590 155

15 Ma.Janten,Ds.Janten,Kec Trawas 675500 9153100 700 2

16 Ma.Sukosari-1,Kec.Trawas 673900 9155100 105 2

17 Ma.Sukosari-2,Kec Trawas 673900 9154200 650 2

18 Ma.Trawas,Kec.Trawas 674500 9151400 950 1

19 Ma.Sumbergembolo,Kec.Trawas 674000 9150400 900 8

20 Ma.Sumberbulus,Ds.Celaket,Kec.Pacet 673000 9149300 925 1.5

21 Ma.Sumberpancung,Ds.Celaket,Kec.Pacet 673300 9149300 925 2

22 Ma.Celaket,Ds.Celaket,Kec.Pacet 672700 9150000 950 2.8

23 Ma.Gentoi,Ds.Celaket,Kec.Pacet 673700 9149600 925 15

24 Ma.Airpanas,Ds.Padusan,Kec.Pacet 670700 9150200 750 3

25 Ma.Watuklenceng,Ds.Padusan,Kec.Pacet 671800 9149400 1000 60

26 Ma.Sumberslowok,Ds.Slowok,Kec.Pacet 669700 9150200 900 12

27 Ma.Kembengan,Ds.Cempokolimo,Kec.Pacet 671400 9150800 775 1.4

28 Ma.Sumberbendo,Kec.Pacet 671400 9050900 850 25

29 Ma.Sumbersari,Ds.Kepatihan,Kec.Pacet 668700 9156700 375 1

30 Ma.Sumberdepok,Kec Pacet 668700 9157000 360 1

31 Ma.Sumberjubel,Ds.Belor,Kec.Pacet 672700 9152500 725 35

32 Ma.Sumberubalan,Ds.Bulakkunci,Kec.Pacet 672300 9153700 625 1

33 Ma.Sumberkembar,Kec Pacet 670700 9157400 375 1.5

34 Ma.Jubel, Ds. Jampinan, Kec.Pacet 660800 9153900 650 18

35 Ma.Cangkring,Ds.Ngoro,Kec.Ngoro 665800 9148150 875 3

36 Ma.Baung, Kec.Pacet 667700 9148950 875 6.5

37 Ma Bendo Lor, Ds Wonoploso, Gondang 8

38 Ma Sintru, Ds Jakadukuh, Kec Gondang 7

39 Ma Ngembul, Ds. Ngembeh, Kec Gondang 7

40 Ma Ngambeh, Ds Ngambeh, Kec Dlanggu 20

41 Ma Borang 1, Ds Sumbersono, Kec Dlanggu 5

42 Ma Borang 2, Ds Sumbersono, Kec Dlanggu 5

43 Ma Sambikuning, Ds Tangunan, Kec Dlanggu 21

44 Ma Ngrayung, Ds. Ngrayung, Kec Kutorejo 3

45 Ma Pelangi, Kec. Pacet 25.5

46 Ma Mojo, Kec. Pacet 12

47 Ma Wonolopo, Kec. Pacet 46.7

48 Ma Gondang, Kec. Gondang 7

49 Ma Dlundung, Kec. Trawas 12

Page 55: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 45

LAMPIRAN 17: HASIL UJI KUALITAS AIR

No ParameterStandar

Baku Mutu

S.

Kromong

S.

BrangkalS. Bangsal

S.

Marmoyo

1 Temperatur Deviasi 3 24.6 24.6 24.5 24.6

2 pH 6 7 7.1 7.2 7

3 DO 4 4.9 5.8 5.2 5.9

4 BOD 3 2.15 2.3 2.35 2.80

5 COD 25 4.807 5.305 4.819 6.054

6 TSS 50 5.4 5.5 5.3 11.8

7 TDS 1000 276.4 283.8 320.6 397.2

8 Fluorida 1.5 0.087 0.170 0.946 0.851

9 Nitrat 10 0.070 0.097 0.406 0.250

10 Nitrit 0.06 0.002 0.064 0.003 0.002

11 Amonia

Bebas- 0.013 0.011 0.013 0.012

12 Phospat Total 0.2 0.050 0.277 0.153 0.383

13 Boron 1 0.260 0.119 0.173 0.139

14 Sulfida 0.002 0.004 0.006 0.010 0.007

15 Fenol 0.001 tt***) tt***) tt***) tt***)

16 Deterjen

(MBAS)0.2 0.049 0.048 0.072 0.059

17 Sianida 0.02 tt tt tt Tt

18 Minyak dan

Lemak1 <3.4 <3.4 <3.4 <3.4

19 Krom +6 0.05 <0.012 <0.012 <0.012 <0.012

20 Klorin Bebas 0.03 tt tt tt Tt

21 Arsen 1 tt tt tt Tt

22 Kadmium 0.01 tt tt tt Tt

23 Tembaga (Cu) 0.02 tt tt tt Tt

24 Krom Total - tt tt tt Tt

25 Raksa 0.002 tt tt tt Tt

26 Timbal 0.03 tt tt tt Tt

27 Selenium 0.05 tt tt tt tt

28 Seng 0.05 0.087 0.280 0.041 0.033

29 Kobalt 0.2 tt tt tt Tt

30 Total Coliform 5000 75 75 150 93

31 Coli tinja 1000 23 20 39 39

Page 56: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 46

LAMPIRAN 18: PETA SEBARAN RISIKO KEKERINGAN TAHUN 1996, 2001, 2006, 2016

Page 57: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 47

LAMPIRAN 19: PETA SEBARAN POTENSI RISIKO KEKERINGAN SKENARIO RTRW DAN

DDL

Page 58: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 48

LAMPIRAN 20: PETA SEBARAN RISIKO BANJIR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016

Page 59: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 49

LAMPIRAN 21: PETA SEBARAN RISIKO BANJIR SKENARIO RTRW DAN DDL 2030

Page 60: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 50

LAMPIRAN 22: PETA RISIKO LONGSOR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016

1991 2001

2006 2016

Page 61: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 51

LAMPIRAN 23: PETA SEBARAN RISIKO LONGSOR SKENARIO RTRW DAN DDL 2030

Page 62: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 52

LAMPIRAN 24: STRATEGI ADAPTASI BERDASARKAN

IWRM

Penyusunan strategi adaptasi terhadap kelangkaan air akibat perubahan iklim berdasarkan

direkomendasikan dalam AR4 dimana tercantum Manajemen Daerah Aliran Sungai Terpadu (Integrated

Watershed Resources Manajement / IWRM).

1. Manajemen Sumberdaya Air dan Pembangunan Sosial-ekonomi Masyarakat

Manajemen sumberdaya air Status sehat diilustrasikan di sini, dengan timbangan manajemen DAS di

posisi tengah (Gambar 1). Dalam menjalankan Forum Penyehatan DAS direkomendasikan untuk

membentuk Pokja-Pokja yang membidangi beberapa akspek. Forum Penyehatan DAS di tingkat

Kabupaten Mojokerto selenjutnya bergabung dalam Forum DAS tingkat propinsi yang saat ini telah di

bentuk dalam wadah Forum DAS Brantas dan Sampean.

Gambar 1. Definisi DAS Sehat

Para pihak dalam DAS di Kabupaten Mojokerto perlu membentuk dan memfungsikan peran “Forum

Penyehatan DAS” secara partisipatif dengan menjalankan prinsip-prinsip:

• Bertanggung-jawab pada publik dan para pihak, memiliki dasar hukum yang jelas, dukungan

finansial yang cukup dan bekerja atas dasar rencana.

• Memiliki tujuan dan sasaran yang jelas atas dasar kesepakatan para pihak, menetapkan peran

dan mendelegasikan tanggung jawab secara adil untuk mencapai efisiensi pelaksanaan rencana

DAS.

• Mendapatkan kepercayaan dari para pihak dalam mengelola DAS.

• Menghindari tumpang-tindih mandat ataupun kekosongan kewenangan/ tanggungjawab.

• Fleksible dan adaptif untuk memberi peluang keterlibatan multipihak

• Menyediakan informasi yang jelas pada para pihak terkait dengan kondisi ekosistem dan

hubungan yang ada antara ekosistem dengan aktivitas manusia dan kebutuhannya.

• Dalam penetapan tujuan dan sasaran, badan manajemen DAS perlu memperhatikan peran

pengetahuan dan kebijakan.

Page 63: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

53

2. Partisipasi Multi-stakeholder dalam Forum Penyehatan DAS

para pihak menunjukkan bahwa perhatian terhadap fungsi sumberdaya air di Kabupaten Mojokerto

relatif tinggi, namun diantara para pihak masih belum jelas integrasi target-target pengelolaan

manajemen sumberdaya air yang digarap serta indikator kinerja yang dihasilkan dalam memperbaiki

kondisi hidrologi DAS. Setiap para pihak merencanakan dan melakukan tindakan pengelolaan DAS

secara sektoral yang disesuaikan dengan kepentingan dan mandat masing-masing instansi. Rencana dan

tindakan manajemen sumberadaya air oleh setiap instansi ini bisa berbeda tetapi tidak jarang terjadi

tumpang-tindih kegiatan maupun sasaran yang dituju. Koordinasi sudah sangat sering diwacanakan

bahkan pertemuan koordinasi antar pihak juga sudah menjadi agenda bersama, namun istilah koordinasi

masih sebatas pertemuan belum sampai pada tindakan nyata. Sampai sejauh ini perencanaan dan

tindakan manajemen sumberdaya air belum didasarkan pada integrasi kesepakatan para pihak dalam

menetapkan prioritas manajemen sumberdaya air untuk penyehatan DAS.

Dalam kepentingan dan peran para pihak manajemen sumberdaya air dipisahkan antara para pihak dari

luar (tingkat Provinsi dan Pusat) dan para pihak dari dalam wilayah di Kabupaten Mojokerto. Hasil di

sajikan di Lampiran 6.1.

Kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya air yang terkait dengan para pihak tingkat Provinsi

Jawa Timur dan tingkat pusat baik langsung maupun tidak langsung ternyata cukup banyak dilakukan di

Kab. Mojokerto ini. Beberapa para pihak di tingkat Provinsi Jawa Timur yang terkait dengan manajmen

sumberdaya air adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kehutanan,

Dinas Pekerjaan Umum Pengairan, Dinas Kesehatan, Dinas Enerji dan Sumberdaya Mineral. Sementara

itu beberapa dinas dan instansi lain yang secara tidak langsung juga sering berhubungan dengan isu

manajemen sumberdaya air adalah Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Badan Pemberdayaan

Masyarakat (Bapemas). Kelompok berikutnya adalah instansi atau lembaga pusat yang beroperasi di

daerah seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Kali Brantas, Perum Jasa Tirta I (PJT), Perum

Perhutani KPH Mojokerto, dan Balai Pengelolaan DAS Brantas (BP DAS). Pihak lain yang berperan

dalam bidang ini di wilayah Mojokerto adalah LSM PPLH Mojokerto dan LSM Pusdakota Surabaya.

Sebenarnya masih ada pihak luar lain yang juga berperan yakni dari Perguruan Tinggi seperti Universitas

Brawijaya (UB), Universitas Surabaya (UBAYA), ITS dan UNAIR.

Identifikasi terhadap para pihak yang berperan dalam kegiatan perencanaan dan sumberdaya air

Kabupaten Mojokerto menghasilkan sederet para pihak baik dari lembaga pemerintah maupun non-

pemerintah di Kab Mojokerto (Lampiran 6.2.).

Para pihak yang terkait dengan manajemen sumberdaya air dari lembaga pemerintah adalah lembaga

legislatif (DPRD), Bupati Mojokerto dan jajarannya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(Bappeda), Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga dan Pengairan,

Dinas Kesehatan, Dinas Cipta Karya dan Pemukiman, Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Kantor

Koperasi dan UKM, PDAM Kab Mojokerto, dan MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan).

Daftar para pihak non-pemerintah yang berperan aktif dalam konteks manajemen sumberdaya air di

wilayah Kab Mojokerto adalah LSM PPLH Mojokerto, (dari kelompok LSM), dari kelompok petani

seperti Kelompok Tani Tahura (KTT), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), IPPHTI, Gapoktan,

dan KTNA, HIPA serta dari kelompok pengusaha HIPPAM, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia

(PHRI) / Hotel Sativa.

3. Rencana Aksi yang Fleksibel dalam Manajemen DAS

Perencanaan dibidang manajemen sumberdaya alam dan khususnya manajemen sumberdaya air dapat

ditetapkan sebagai perencanaan strategis atau perencanaan operasional. Rencana strategis memberikan

arahan pembanguan jangka panjang terkait dengan kebijakan yang memadai untuk mengelola

sumberdaya alam dan manusia dan memberikan masukan dan pertimbangan bagi rencana jangka

menengah dan rencana sektoral yang lebih detil di wilayah DAS. Rencana strategis manajemen

sumberdaya alam didekati dengan batasan ekologis DAS, sedang perencanaan pembangunan yang

dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan politik dikelola dengan batasan administratif, dan kedua

Page 64: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

54

batasan tersebut perlu disinergikan. Sinergitas ini tentunya Peran BAPEDA Kabupaten Mojokerto

sangat penting dan strategis.

Penyelarasan perencanaan pembanguan dengan perencanaan Manajemen DAS Terpadu semestinya

mengacu Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Manajemen DAS Terpadu. Perencanaan merupakan salah satu tahapan dari

Manajemen DAS Terpadu. Rencana Managemen DAS terpadu dalam peraturan ini dipandang sebagai

rencana jangka panjang 15 (lima belas) tahun yang rentang waktu rencananya disesuaikan dengan

rencana pembangunan daerah bersangkutan. Kabupaten Mojokerto yang merupakan bagian dari DAS

Brantas, rencana jangka panjang ini telah tertuang dalam dua dokumen yang disusun (1) Balai Pengelola

Sumber Daya Air BPSDA) dan (2) Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT). Yang dapat

diacu dalam manajemen sumberdaya air. Rencana DAS Terpadu ini bersifat strategis yang akan

dijabarkan dalam rencana jangka menengah 5 (lima) tahun bersifat semi detail pada tingkat sektor di

setiap DAS. Rencana manajemen DAS Terpadu diarahkan sebagai rencana multi pihak yang disusun

dengan pendekatan partisipatif. Untuk itu rencana ini dirancang memuat berbagai kepentingan dan

tujuan, serta sasaran yang harus diselesaikan melalui pendekatan multi disiplin, yang diintegrasikan

dalam satu sistem perencanaan. Dalam konteks ini, masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap

instansi/pihak diupayakan untuk diatasi bersama dengan kerangka pencapaian tujuan bersama. Rencana

Strategis Manajemen DAS Terpadu ini digunakan salah satu acuan, masukan dan pertimbangan bagi

kabupaten/kota dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) (Gambar

3-2).

Gambar 2. Posisi rencana manajemen DAS terpadu dalam pembangunan daerah

4. Hubungan Forum Penyehatan DAS dan Fasilitator dalam Implementasi Rencana Aksi

Badan manajemen DAS perlu mendapatkan komitmen dan fasilitasi dari pemerintah, kalangan industri

dan swasta untuk membantu kemitraan kelompok DAS (Gambar 6.3). Mereka diharapkan memberi

dukungan (a) dana untuk operasional manajemen dan pemberdayaan kelompok yang berbasis

masyarakat dan (b) bantuan teknis kepada kelompok berbasis masyarakat.

Page 65: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

55

Gambar 3. Model kemitraan para pihak dalam menanggung biaya bersama untuk penyehatan DAS

5. Sekolah Lapangan Lingkungan sebagai Jalan Implementasi Rencana Aksi di Tingkat

Lokal

Sekolah lapangan lingkungan ini dapat dirancang dalam tiga proses utama yaitu: (1) Pemilihan lokasi

sekolah lapangan dengan konsep “Development Pathway” diharapkan dapat menentukan lokasi yang

tepat, (2) Proses Sekolah lapangan sebagai salah satu bentuk pendekatan, untuk memfasilitasi perubahan

perilaku masyarakat secara efektif dan efisien, (3) Monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk

menjaga kualitas kegiatan dan pencapaian keluaran.

Pemilihan lokasi sekolah lapangan dengan konsep “Development Pathway” merupakan proses analisis

tumpang-susun beberapa data spasial berdasarkan kriteria-kriteria yang disusun oleh para pakar dan

masyarakat secara partisipatif dengan memanfaatkan aplikasi GIS. Proses ini bermanfaat dalam

melakukan pemilihan DAS, Sub DAS dan DAS Mikro, serta Desa - kelompok Desa prioritas untuk

kegiatan managemen sumberdaya air. Berdasarkan peta dan karakterisasi DAS Mikro serta identifikasi

potensi dan permasalahan dapat dibuat rancangan manajemen. Pada tahap ini harus dicari alternatif

pemecahan masalah sebanyak mungkin melalui pengalamannya sendiri, bertanya kepada orang lain yang

lebih tahu & ahli, membaca literatur dan sebagainya. Pada tahap ini perlu memperhatikan rancangan

yang lebih tinggi tingkatnya (misalnya rancangan DAS, Sub DAS, Kabupaten, dst). Rancangan

pengembangan dan manajemen DAS mikro ini dituangkan dalam sebuah peta dengan skala 1: 500 sampai

1 : 1000. Inti dari pendekatan DAS mikro adalah pemberdayaan masyarakat agar mampu memahami

potensi dan permasalahan yang dihadapi serta menyusun rencana untuk mengatasi problem tersebut

yang difasilitasi seorang fasilitator. Pendanaan implementasi Rancangan DAS Mikro dapat didukung dari

dana desa.

Tujuan sekolah lapangan adalah (1) peningkatan kapasitas kelompok masyarakat sebagai agen

perubahan, (2) penerapan Program Pemerintah berbasis lokal, (3) perubahan perilaku masyarakat

sebagai dasar aksi nyata di lapangan, (4) Penguatan jaringan kerjasama antara masyarakat dengan

pemerintah dan pihak lain. Cakupan lokasi diupayakan gabungan dari beberapa DAS Mikro yang

merupakan kepemilikan satu kelompok masyarakat dengan batas ekologi yang spesifik (Dusun,

Gabungan dusun, Desa), Peserta sekolah lapangan sekitar 25 orang yang dipilih masyarakat setempat

dalam setiap Desa. Kisaran waktu pelaksanaan sekolah lapangan adalah satu siklus program dari

perencanaan – pengembangan (1 tahun). Proses belajar dalam sekolah lapangan ini merupakan satu

siklus belajar lewat pengalaman (mengalami-mengungkapkan-menganalisis-memutuskan-menerapkan),

dengan materi belajar disesuaikan kebutuhan masyarakat dan hasil indentifikasi masalah. Ada delapan

tahapan dalam sekolah lapangan yaitu (1) pengumpulan data sekunder, observasi lapangan dan pemetaan

sosial, (2) pelaksanaan ToT fasiliator lokal, (3) pelaksanaan sekolah lapangan untuk melakukan

assessment perikehidupan masyarakat yang berkelanjutan, (4) menyusun rencana aksi manajemen, (5)

Page 66: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

56

menginisiasi implementasi rencana rintisan, (6) “Field Day” untuk memahami keberhasilan dan

kekurangan dari rencana aksi rintisan, (7) implementasi rencana aksi oleh masyarakat atas dukungan

dari para pihak termasuk pemerintah, (8) workshop evaluasi kegiatan.

Monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk menjaga kualitas kegiatan dan pencapaian keluaran

dilakukan secara partisipatif. Kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan melalui (1) Lokakarya

Teknis, (2) pengembangan Matrik Kualitas, (3) penyusunan Laporan Perkembangan (Biweekly Update,

Quatery Report, Annual Report), (4) Penilaian Kinerja dan Keluaran (PMP Outcomes), dan (5)

Pengembangan Program (Succes Story, Study Dampak, Mini base line, Longitudinal Study). Kegiatan ini

diharapkan dapat didokumentasikan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai learning proses kelompok

dan dapat digunakan sebagai landasan pengembangan inovasi dan penguatan jaringan.

6. Proses Negoisasi Manajemen DAS

Untuk keberlanjutan pasokan sumberdaya air dibutuhkan pengembangan sistem dukungan negosiasi.

Jeanes at al. (2006) menawarkan konsep sepuluh tahap Sistem Dukungan Negosiasi untuk membantu

para pihak untuk memperbaiki mosaik penggunaan lahan dari prespektif fungsi DAS yang mengalami

degradasi untuk menuju praktek penggunaan lahan yang sehat (profitable, sustainable) (Tabel 6-1).

Tabel 1. Sepuluh tahap Sistem Dukungan Negosiasi (Jeanes et al. 2006)

Tahapan Pendekatan dukungan negosiasi DAS

1 Karakterisasi. (hujan, kepadatan penduduk, status migrasi, usaha pertanian

utama) dan diagnosis issue utama dan masalahnya terkait dengan fungsi hidrologi

DAS dan perikehidupan (termasuk sumber air minum). Untuk itu dokumen ini

dapat sebagai data dasar karakterisasi

2 Penilaian Bentang Lahan, kemiringan, penggunaan lahan dan zonasi vegetasi,

toposequen tanah dari punggung bukit ke sungai. Untuk itu dokumen ini dapat

digunakan sebagai informasi kondisi bentang lahan yang dikemudian hari dapat

lebih disempurnakan sesuai dengan kemajuan informasi lanjutan yang diperoleh.

3 Pemahaman aliran air dan kosekuensi aliran lateral (pengangkutan dan

pemerangkapan) tanah, unsur hara, polutan dll. Intersepsi, transpirasi, aliran

permukaan, aliran dalam tanah, aliran bawah tanah, mata air, dll. Apa yang diangkut

aliran air (tanah, unsur hara, garam-garam, polutan, bahan organic, limbah

domestik …) dan apa yang dapat di filter. Untuk itu dokumen ini dapat digunakan

sebagai informasi kondisi sistem hidrologi wilayah Kab Mojokerto yang

dikemudian hari dapat lebih disempurnakan sesuai dengan kemajuan informasi

lanjutan yang diperoleh.

4 Deskripsi sistem penggunaan lahan terkait dengan keluaran hasil pengelolaan

sumberdaya lahan / keuntungan pemanfaatan sumberdaya lahan dan dampak-

dampaknya terhadap sumberdaya air.

5 Deskirpsi multi fungsi semberdaya lahan yang saat ini masih dikelola secara

sektoral diarahkan untuk dikelola secara terintegrasi sehingga dapat

mempertemukan fungsi produksi dan fungsi lingkungan.

6 Pemahaman tradeoffs antara fungsi agronomis relatif (RAF) dan fungsi ekonomi

pemanfaatan sumberdaya air dan fungsi lingkungan relatif (REF), sebagai contoh

dalam bentuk jumlah penduduk yang kecukupan pendapatan per km2 sebagai RAF

dan jumlah penduduk dengan kecukupan air bersih sebagai REF indikator –

dibangun dari tahapan 4.

Page 67: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

57

7 Mosaik bentang lahan (dibangun dari tahapan 5) dalam kontek aliran air dan

“externalities” untuk pembuatan keputusan manajemen sumberdaya air;

keberadaan aturan dan insentif (‘carrots and sticks’) di tingkat masyarakat

dan pemerintah; apakah moasik bentang lahan memiliki konfigurasi yang stabil

untuk memenuhi sebuah kebutuhan sumberdaya air di masa depan

8 praktek pola dan penggunaan lahan yang ada serta kebutuhan rencana aksi

berdasarkan prespektif para pihak (termasuk gender dan pemerataan).

9 Pemahaman masalah yang ada dan konflik pada tingkat pengetahuan lokal,

pengetahuan kebijakan dan dan kajian ilmiah: apakah ada keragaman

presepsi dan prespektif pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air atau apakah

ada kebutuhan untuk menyatukan pandangan dan rencana aksi sebagai tahapan

dalam negosiasi.

10 Kelanjutan kesepakatan negosiasi dan implementasi rencana aksi, diikuti

dengan kegiatan monitoring dan dampaknya terhadap kerentanan sumberdaya air

di Kab Mojokerto

7. Resolusi Konflik untuk Membangkitkan Kesadaran Kasyarakat

Alokasi dan distribusi air antar sektor dan wilayah semakin kompleks dengan potensi konflik semakin

meningkat, antar masyarakat. Pihak yang berpotensi terlibat dalam konflik terbagi menjadi empat

kelompok yaitu pemerintah, masyarakat, pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Perbedaaan

orientasi kepentingan antar pihak membuat beragamnya hubungan yang terjadi berupa kerjasama dan

konflik yang melibatkan beberapa pihak dalam pemanfaatan sumberdaya air. Beberapa rekomendasi

dalam resolusi konflik pemanfaatan sumberdaya air:

1. Penyelesaian konflik antar kelompok tani dalam perebutan air dilakukan dengan melakukan

mediasi yang melibatkan aparat pemerintah dan keamanan tempat terjadinya konflik.

2. Untuk kasus konflik antara masyarakat dan perusahaan swasta, konflik muncul karena

privatisasi menyebabkan akses masyarakat terhadap sumber air menjadi terbatas serta

kuantitas, kualitas dan kontinuitas air menjadi turun. Intensitas konflik pemanfaatan

sumberdaya air meningkat pada saat musim kemarau. Penyelesaian konflik yang dilakukan

dengan cara mediasi dan arbitrase yang difasilitasi pemerintah daerah.

3. Kontestasi untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya air mengemuka sebagai isu

kekeringan dan kesulitan untuk mendapatkan air. Konflik tidak saja melibatkan masyarakat dan

perusahaan tetapi mendorong aktor lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat untuk ikut

memanfaatkan situasi demi kepentingan masing-masing.

Page 68: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

58

LAMPIRAN 25: TEKNOLOGI ADAPTASI DAMPAK

PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KONDISI SUMBERDAYA

AIR DI MOJOKERTO

1. Pengkayaan dan Konservasi Biodiversitas Hutan (PKB)

Untuk kegiatan manajemen sumberdaya air di kawasan yang saat ini memiliki tutupan hutan tentunya

dapat dilakukan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan biodiversitas lahan hutan. Dalam

merancang program pengkayaan dan biodiversitas hutan diharapkan mengacu prinsip-prinsip sebagai

berikut:

• Program diharapkan menerapkan konservasi berdasar ancaman: Program program

pengkayaan dan biodiversitas hutan diharapkan dapat dengan jelas mengidentifikasi ancaman

(pada semua skala) terhadap biodeversitas dan menguraikan rencana penanggulangannya.

Program diharapkan menerapkan aktivitas-aktivitas yang dapat menurunkan, menghilangkan

atau mengurangi ancaman didasarkan pada akar masalah yang ada.

• Program sebaiknya lebih adaptif. Pada saat merancang awal aktivitas program diharapkan

selalu terkait dengan kebutuhan konservasi, yang biasanya komplek dan secara terus menerus

dilakukan. Program diharapkan tersetruktur sedemikian rupa yang dapat dimonitor

kemajuannya, menghasilkan jadwal informasi pengelolaan, dan penyesuaian program bila

diperlukan.

• Program dihaparkan fokus pada lokasi prioritas untuk untuk konservasi

biodeversitas.

• Program diharapkan berorientasi terhadap hasil. Program dihaparkan secara jelas

menguraikan asumsi, rational, metode untuk mencapai hasil yang direncanakan. Kita diharapkan

menguraikan bagaimana dampak program pada biodeversitas dapat diukur dan dimonitor.

Kegiatan untuk mengukur kuantitas atau kualitas habitat diharapkan bila diperlukan.

• Program diharapkan mengarah kekeberlanjutan.

• Program diharapkan partisipatif

• Program diharapkan memperkuat kapasitas lokal.

• Program diharapkan menyertakan komponen pembelajaran dan penyebaran dari hasil

pembelajaran tersebut.

• Program dihaparkan baik mendukung kegiatan konservasi dan pengembangan atau mengisi gap

krusial yang spesifik.

Untuk itu program yang dapat dikembangkan dapat berupa:

• Manajemen Kawasan Lindung (Portected area management)

• Konservasi berbasis masyarakat (Community-based conservation)

• Pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam (Sustainable use of natural resources)

• Keterkaitan antar sektor dalam Konservasi Biodiversitas (Cross-sectoral linkages to

biodiversity conservation)

• Pengembangan dan Reformasi Kebijakan (Policy development and reform)

• Pengembangan Jasa Lingkungan untuk Konservasi (Economic incentives for conservation)

Untuk melakukan kegiatan tersebut tentunya lebih lanjut perlu dilakukan aktivitas:

1. Pemetaan habitat (Habitat Mapping) dan Pemetaan Sumber air di desa terpilih terhadap aspek-

aspek:

a. Penetapan kondisi dan pentingnya biodiversitas terhadap sumberdaya air

b. Kemanfaatan sumberdaya hutan yang dikonservasi:

• Kemanfaatan langsung: sumberdaya biotic untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

yang meliputi: pangan, bahan bakar, serat, obat-obatan yang member keuntungan

biotheknologi.

• Layanan ekosistem: pembentukan tanah, rekreasi, siklus unsur hara tanah,

pengaturan air dan penyediaan air bersih, pengatur iklim (temperature dan curah

Page 69: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

59

hujan), habitat flora fauna, pencegah banjir dan badai, bahan mentah dan makanan,

sumber daya genetik, penyeimbang udara atmosfir, melepaskan air secara perlahan,

c. Nilai non-material: spiritual, keindahan, pendidikan, rekerasi, sejarah hidup,

keuntungan keilmuan,

2. Issue pengelolaan dalam berbagai skala: Skala desa sampai kabupaten, dimulai dari sumber air

(Zone 1), Zone2 and Zone 3

3. Penyertaan pemangku kepentingan.

4. Analisis ancaman dan peluang konservasi (spesies, proses ekologi atau keseluruhan sistem

hutan)

a. Macam ancaman untuk hutan di Kab Mojokerto:

• Konversi habitat alami ke tanaman semusim, pemukiman atau kegiatan manusia lainnya.

• Overexploitasi: panen tak terkendali dari spesies yang bernilai.

• Introduced nonnative species, termasuk invasive species dan hama penyakit.

• Polusi lahan, air dan udara, dan

• Macro-environmental changes: perubahan iklim, banjir dll.

b. Akar masalah, contoh:

• Inequality dan kemiskinan

• Perubahan demografi, migrasi, dan konflik

• Kebijakan Publik dan bangunan kebijakan

• Tekanan pasar lokal dan global,

• Perubahan cepat budaya dan sosial (termasuk krisis kesehatan umum)

c. Prioritas encaman:

• Yang paling mendesak mengarah pada ancaman

• Peluang keberhasilan untuk mengurangi ancaman

• Luasan yang dipengaruhi terhadap ancaman

• Kelayakan yang ditujukan pada ancaman (sebagai contoh: budaya, politik, ekonomi),

dan

• Tingkat kesepakatan diantara para pemangku kepentingan tentang ancaman.

5. Memilih prioritas Konservasi

6. Membuat Rencana Aksi dan Merancang aktivitas

7. Monitoring, evaluasi, dan pengelolaan secara adaptif.

2. Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam (PAH)

Pemeliharaan Permudaan Alam (PPA) = Assisted Natural Regeneration atau disingkat dengan ANR,

adalah usaha penghutanan kembali dengan memanfaatkan anakan alami yang ada. Anakan alami tersebut

memperoleh perawatan dari masyarakat guna mempercepat pertumbuhannya. Oleh karena itu cara ini

juga bisa disebut dengan Permudaan Alam yang Dipercepat (PAD) atau Accelerated Natural

Regenaration. Cara penghutanan kembali melalui pendekatan PPA ini mudah disesuaikan dengan kondisi

setempat, dimana: (1) Menggunakan permudaan alam yang bibitnya berasal dari pepohonan di hutan

alam (anakan alam atau pembibitan dan pertunasan secara alami). (2) “Membantu” permudaan alam

dengan mencegah bencana kebakaran semak belukar, dan membantu mengusahakan anakan pepohonan

untuk tumbuh lebih cepat (Gambar 7.8). (3) Menanam pepohonan guna menambah populasi pepohonan

bila diperlukan atau diinginkan (pengkayaan) (Gambar 7.9).

Page 70: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

60

Gambar 1. Permudaan alam di areah semak belukar (Kathleen et al. 2000)

Gambar 2. Pengkayaan dengan pohon (Kathleen et al. 2000)

Permudaan alam ini memanfaatkan keberadaan pohon pionir di kawasan hutan yang mengalami

degradasi. Pepohonan pionir adalah pohon-pohon yang sudah ada dan tumbuh secara alami di semak

belukar dari proses deforestasi. Pepohonan pionir ini sudah berkembang dengan baik dan mampu

beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. PPA juga mendorong permudaan alam baru dari bibit

yang berasal dari biji pepohonan di hutan alam sekitarnya. Berdasarkan ke dua hal tersebut di atas: PPA

menghindari masalah ketidak-sesuaian antara jenis pepohonan yang bisa ditanam pada suatu lahan

dengan memanfaatkan keberadaan pepohonan yang sudah ada secara alami. Tindakan ini dapat

membantu melindungi keaneka-ragaman hutan alami (asli).

3. Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi dan penghijauan (RTH)

Rencana tindak vegetatif ini adalah salah satu upaya untuk mencapai tujuan untuk mendapatkan kondisi

tata air DAS yang optimal dan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya

tampung lingkungan DAS. Di dalam konservasi sumberdaya air di Kab Mojokerto, kegiatan-kegiatan

vegetatif ini termasuk dalam program restorasi/reklamasi/konservasi pada hutan konservasi, hutan

Lindung, hutan produksi dan kawasan budidaya diluar hutan. Kegiatan vegetatif ini merupakan suatu

bentuk kegiatan untuk meresapkan air hujan kedalam tanah melalui media tanaman (vegetasi) sehingga

jumlah air yang menjadi limpasan permukaan akan berkurang sampai dengan jumlah yang diinginkan.

Selain itu juga merupakan salah satu upaya untuk menekan erosi, longsor dan sedimentasi. Kegiatan ini

dilakukan jika di lahan yang secara daya dukungnya adalah diperuntukkan sebagai kawasan hutan, namun

Page 71: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

61

kondisi saat ini masih digunakan tanaman semusim atau semak belukar sehingga sesuai untuk dilakukan

penanaman. Termasuk dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi tetap, penghijauan,

agroforestry dan pmbuatan kebun bibit desa.

Reboisasi merupakan cara yang cocok untuk menurunkan erosi dan aliran permukaan, terutama jika

dilakukan pada bagian hulu daerah tangkapan air untuk mengatur resapan air kedalam tanah. Secara

lebih luas, reboisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan dan menghutankan kembali tanah

yang mengalmi kerusakan fisik, kimia, maupun biologi; baik secara alami maupun oleh ulah manusia.

Tanah yang rusak tersebut dapat berupa hutan gundul/rusak, belukar, padang ilalang, atau tanah

terlantar lainnya. Tanaman yang digunakan biasanya tanaman yang bisa mencegah erosi, baik dari segi

habitus maupun umur, juga diutamakan tanaman keras yang bernilai ekonomis, baik kayunya maupun

hasil samping lainnya, misalnya getah, akar dan minyak.

Dalam kaitannya dengan usaha konservasi sumberdaya tanah dan air, tanaman yang dipilih hendaknya

mempunyai persyaratan sebagai berikut:

• Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas, sehingga membentuk jaringan altar

yang rapat.

• Pertumbuhannya cepat, sehingga mampu menutup tanah dalam waktu singkat.

• Mempunyai nilai ekonomis, baik kayunya maupun hasil lainnya.

• Dapat memperbaiki kualitas/kesuburan dan hidrologi tanah.

4. Pengembalian fungsi hutan melalui AgroforestriM hutan rakyat dan kebun campuran

(AFK)

Pengembalian fungsi hutan yang di sinergikan tarik ulur antara fungsi ekonomi dan fungsi ekologi

termasuk perbaikan hidrologi tanah adalah melalui sistem agroforestri atau wana tani. Agroforestri di

wilayah Perhutani dikenal dengan hutan kemasyarakatan dan lahan di hak milik juga dikenal dengan

hutan rakyat, kebun campuran atau bahkan pekarangan bila dekat dengan rumah. Dalam pengertian

sederhana agroforestri adalah membudidayakan pepohonan pada lahan pertanian. Akhir-akhir ini de

Foresta dkk (1997), mengelompokkan agroforestri ini menjadi 2: (1) sistem agroforestri sederhana dan

(2) sistem agroforestri kompleks.

o Sistem agroforestri sederhana. Perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan satu atau beberapa

jenis tanaman semusim. Jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa,

karet, cengkeh, jati, dll.; atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, kaliandra.

Tanaman semusim biasanya padi, jagung, palawija, sayur-mayur, rerumputan dll; atau jenis

tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat. Contoh: budidaya pagar (alley cropping) lamtoro

dengan padi atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dsb.

o Sistem agroforestri kompleks. Suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis

tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola

tanam dan ekosistem menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup sejumlah

besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan

dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistim

agroforestri kompleks ini dibedakan atas (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest

kompleks.

o Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0.1 –

0.3 ha; dengan demikian sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh:

kebun talun, karang kitri dsb.

o Agroforest kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaic (gabungan) dari

beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh

dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola

secara intensif. Contoh: agroforest (atau kebun) campuran.

Page 72: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

62

Untuk adaptasi perubahan iklim dalam rangka perbaikan hidrologi bentang lahan, pengembangan

agroforestri menuju agrofoerstri multistrata sangat dianjurkan. Sistem agroforestri multistrata paling

tidak mempunyai tiga lapisan tajuk yang berasal dari tumpangsari berbagai tanaman yang mempunyai

ketinggian yang berbeda (Gambar 7.9). Lapisan yang lebih atas akan menaungi lapisan dibawahnya.

Tegakan tua dari agroforestri kompleks hampir tidak menyisakan cukup cahaya pada permukaan tanah

sehingga menyebabkan alang-alang tidak mungkin tumbuh.

Gambar 3. Lapisan tajuk multistrata dari system agroforestry multistrata (Kathleen et al. 2000)

Keaneka ragaman tanaman dalam agroforestri multistrata dapat mengurangi risiko kegagalan. Jika satu

tanaman gagal atau harganya turun, petani masih mempunyai jenis tanaman lain untuk keperluan

hidupnya atau untuk sumber pendapatan kontan. Karena petani masih mempunyai berbagai tanaman

lainnya yang bercampur, maka lahan agroforestri ini tidak akan diabaikannya.

Dalam pengembangan agroforestri perlu mempertimbangkan:

Ekologi. Untuk kombinasi jenis tanaman apapun yang akan dipilih dalam sistem agroforestri, harus

dipertimbangkan bagaimana pertumbuhan dan perubahan tajuk berlapis tersebut sesuai dengan

perkembangan waktu.

Setiap tahun, beberapa tanaman menjadi kurang produktif, sementara ada tanaman yang tumbuh dan

menaungi tanaman lainnya. Supaya dibuat rencana perkembangan sistem agroforestri tajuk berlapis

sedemikian rupa sehingga:

o Tanaman yang ditanam pertama adalah tanaman yang mampu beradaptasi dengan cahaya penuh.

o Sistem penanaman pertama merupakan upaya pengendalian rerumputan.

o Tanaman yang bisa memberikan penaungan ditanam lebih dulu dari tanaman yang tahan atau

yang perlu penaungan.

o Tanaman yang mampu menyuburkan tanah ditanam sebelum tanaman yang perlu kondisi tanah

yang lebih baik.

o Tanaman yang memerlukan cahaya penuh tidak ditanam dimana tanaman lain akan menaunginya

sebelum mereka dewasa.

o Pohon yang berukuran sedang atau besar akan memerlukan ruangan untuk tumbuh dan

diusahakan agar nantinya tidak berdesak-desakan. Supaya dibayangkan lebar tajuk pohon jika

tanaman tersebut dewasa. Perlu dipertimbangkan apakah pohon-pohon sekitarnya juga tumbuh

tinggi dan melebar, dan jika hal ini akan terjadi, pohon ini harus ditebang atau jangan ditanam.

o Semua ruangan-tumbuh harus dimanfaatkan: tanaman akan menyesuaikan diri baik secara

vertikal (tinggi, medium dan pendek), maupun secara horizontal (semua sudut akan diisi), dan

bahkan dibagian bawah tanah (tanaman berakar dalam dan berakar dangkal).

Ekonomi. Setiap sistem usahatani memerlukan perencanaan untuk penganeka-ragaman hasil

(diversifikasi) dan menyebarkan penggunaan tenaga kerja dan pendapatan sehingga relatif merata

Page 73: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

63

sepanjang tahun. Tanaman pertama harus bisa menghasilkan makanan atau pendapatan dalam waktu 3

– 4 bulan (contoh ketela rambat). Dalam hal ini dapat dipilih

5. Pematang Bulan Sabit (crescent dykes) (PBS)

Cara ini biasa diterapkan untuk tanaman tahunan pada lahan berlereng. Pematang berbentuk bulan sabit

dibuat pada lereng bawah dari pohon (Gambar 7.10). Pematang ini akan menahan aliran air sehingga

cadangan air tanah meningkat. Diameter setengah lingkaran ini bisa berkisar dari 1-1,5 m.

Gambar 3. Pematang bulan sabit untuk meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah (Fahmuddin dan

Widianto, 2006).

6. Saluran Peresapan (SPA)

Saluran ini digali untuk menampung air aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi. Biasanya tanah

yang digali di saluran ini dibuang di lereng bawah. Saluran ini pendek dan dibuat mengikuti kontur

(Gambar 7.11).

Gambar 4. Saluran peresapan (Fahmudin dan Widianto, 2006)

Page 74: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

64

7. Rorak/Parit Buntu (RPB)

Rorak merupakan bangunan konservasi tanah berupa lubang panjang untuk menangkap aliran

permukaan dan tanah yang tererosi. Selain untuk menangkap aliran permukaan dan tanah yang tererosi,

rorak juga berfungsi sebagai tempat dekomposisi jika rorak diisi oleh serasah atau sampah organik.

Dengan demikian rorak juga akan meningkatkan kesuburan tanah. Ukuran rorak dapat bervariasi,

dengan panjang 1 – 5 m, lebar 50 cm, dan dalam 60 cm. Ukuran ini sangat tergantung dengan kondisi

lokasi. Beberapa rorak bahkan berukuran 1x1x1 meter. Rorak dibuat berbaris memotong lereng

dengan jarak antar rorak diusahakan sama (3 – 10 m). Makin curam lereng, jarak antar rorak makin

dekat.

Calon lokasi lahan yang akan diterapkan rorak ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor

berikut: a) lahan potensial kritis atau lebih buruk, b) aliran permukaan dan erosi tinggi, c) kemiringan

lahan > 5%, d) penggunaan lahan kebun/perkebunan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka lokasi penempatan rorak yang di prioritaskan adalah

lokasi pekarangan, kebun campuran, tegalan dan hutan dengan tutupan tajuk tidak rapat yang ada di

daerah hulu DAS yang umumnya mempunyai bentuk wilayah berombak-bergelombang dan bahkan

berbukit.

8. Teras Gulud bersekat dan berorak dan Teras Bangku dengan bedengan bersekat

(TGP)

Teras gulud bersaluran merupakan tumpukan tanah yang memanjang mengikuti kontur atau memotong

lereng dan di sebelah atas lereng guludan dibuat saluran. Guludan berukuran panjang dan tinggi sekitar

20 - 30 cm, sedangkan saluran dibuat berukuran lebar dan dalam juga sekitar 20 – 30 cm. Teras gulud

berfungsi untuk menghambat aliran permukaan sedangkan saluran berfungsi untuk menampung dan

meresapkan air. Teras gulud sebaiknya dilengkapi dengan saluran yang diisi sampah organik (sisa

tanaman/serasah) yang bertujuan untuk:

o mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air

hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus

o dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran

o mengembalikan unsur hara karena campuran kompos dan sedimen yang tertampung dalam

saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke bidang

pertanaman setelah panen

o mengumpulkan sisa tanaman yang baru dipanen, sehingga dapat memudahkan persiapan lahan

untuk musim tanam berikutnya. Untuk menjaga agar teras yang dibuat tetap stabil, penanaman

rumput-rumputan perlu dilakukan

Penetapan lahan untuk penerapan teras gulud ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor

berikut: (i) potensial kritis atau lebih buruk (ii) aliran permukaan dan erosi tinggi (iii) kemiringan lahan

> 5 % dan (iv) penggunaan lahan ladang/tegalan atau semak belukar.

Guludan bersekat dibuat dengan cara meninggikan tanah membentuk guludan yang tingginya 30-50 cm

dengan arah guludan memotong lereng. Pada parit-parit, guludan tersebut dibuat sekat-sekat dari

guludan tanah kecil. Guludan utama ditanami tanaman produktif. Dengan cara demikian air hujan akan

tertahan dalam lembah-lembah guludan yang akhirnya dapat meresap ke dalam tanah. Model dari

guludan bersekat dapat dilihat pada Gambar 7.12.

Page 75: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

65

Gambar 5. Model guludan bersekat sebagai sumur resapan (http://civiliana.blogsot.com/2012/07)

Guludan berorak prinsipnya sama dengan guludan bersekat. Cara pembuatannya sama dengan guludan

yang memotong lereng, ketinggian guludan antara 30-50 cm. Pada Iembah, di antara guludan dibuat

galian berupa rorak-rorak yang ukuranya 30-50 cm serta jarak antara lubang 5-10 m. Model dari guludan

berorak dapat dilihat pada Gambar 7.13.

Gambar 6. Model guludan berorak sebagai sumur resapan (www.civiliana.blogspot.com/2012/07/)

Parit di lahan pertanian juga dapat dijadikan sumur atau tempat resapan air hujan (Gambar 7.14). Agar

dapat berfungsi juga untuk meresapkan air hujan, harus dibuat sekat-sekat pada parit-parit tersebut.

Dengan demikian, air hujan dapat ditampung dan diresapkan ke dalam tanah. Model ini cocok

diterapkan pada lahan kering.

Page 76: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

66

a). pada lahan datar.

b). pada lahan miring.

Gambar 7. Model parit bersekat (www.civiliana.blogspot.com/2012/07/)

Pada lahan miring dibuat teras dengan parit bersekat di bawahnya. Kedalaman parit adalah 40-50 cm,

sedangkan sekatnya dibuat dengan ketinggian 20-30 cm sehingga air tetap dapat melimpas bila

kebanyakan tanpa mengganggu tanaman.

9. Embung dan Chek Dam (ECD)

Embung merupakan bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan air

limpasan (runoff) atau air rembesan dari lahan tadah hujan sebagai cadangan kebutuhan air pada musim

kemarau. Air yang ditampung tersebut dapat digunakan untuk keperluan pertanian atau peternakan di

musim kemarau dan keperluan lainnya.

Embung dibuat di luar kawasan, di daerah kritis dan kekurangan air, topografi bergelombang dengan

kemiringan < 30%, air tanah dalam-sangat dalam, dengan penggunaan tanah kosong atau semak belukar

pada tanah yang bertekstur halus agar biaya kontruksi (pemadatan) dapat ditekan. Embung sebaiknya

dibuat pada tempat yang lebih tinggi dari daerah pemukiman/peternakan yang akan disuplai air tetapi

merupakan daerah yang agak cekung dimana aliran permukaan banyak mengalir dari wilayah di atasnya.

Hal ini dimaksudkan agar sistem distribusinya tidak memerlukan energi tambahan (pompa) tetapi

memanfaatkan gaya gravitasi. Areal tangkapan tidak perlu dibuat khusus tapi merupakan areal alami

diatas embung.

Embung (Gambar 7.15) adalah kolam buatan penampung air hujan dan aliran permukaan. Kata ‘embung’

sebenarnya berasal dari bahasa Lombok yang artinya kolam penampung air; namun dewasa ini embung

lebih banyak berkembang di NTT.

Page 77: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

67

Gambar 8. Embung sebagai penampung air hujan dan aliran permukaan

http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW dan Fahmudin dan

Widianto, 2006)

Sebuah cekungan berbentuk kolam dipersiapkan dengan bantuan alatalat berat (bulldozer, traktor),

dilengkapi dengan saluran pemasukan (inlet) dan pembuangan (outlet). Selama musim hujan embung

akan terisi oleh air aliran permukaan yang berasal dari tampungan mikro (DAS Mikro) di bagian hulunya.

Air yang tertampung dapat digunakan selama musim kemarau.

Efektifitas embung dapat diduga berdasarkan atas dimensi atau ukuran embung. Di dalam petunjuk

teknis RLPS-Dephut, volume embung dapat diasumsikan dapat menampung 1000 m3 atau setara dengan

2000 mm jika embung mempunyai dimensi luas 500 m2 dengan kedalaman 2 meter (Gambar 7.16).

Kapasitas embung ada yang berkisar antara 20.000 m3 (100 m x 100 m dengan kedalaman 2 m) hingga

60.000 m3. Dengan kapasitas ini, embung dapat menjamin pengadaan air selama 9 bulan kering untuk

satu perkampungan kecil dengan 100 kepala keluarga asalkan tanahnya tidak terlalu porous (mudah

melewatkan air). Di berbagai tempat ditemukan juga embung dengan ukuran yang lebih kecil, misalnya

1.200 m3 (30 m x 20 m x 2 m) yang tentunya mempunyai kemampuan yang lebih rendah mengatasi

kekurangan air. Dengan ukuran ini embung dapat menyediakan air untuk kebutuhan sehari-hari (minum,

mandi, cuci), minuman ternak dan usaha tani berskala kecil di pekarangan. Embung berukuran lebih

kecil, misalnya 200 sampai 500 m3 juga sering ditemukan, namun hanya akan mampu menyediakan air

untuk areal sangat terbatas.

Gambar 9. Embung sebagai sumber air

Sumber: http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW

Chek dam adalah suatu bangunan yang di bangun pada alur-alur sungai dengan kontruksi dari bahan

urugan tanah dan diperkuat dengan lapisan kedap air (Gambar 7.17). Desain ini tidak jauh berbeda

dengan sabo dam yang dilakukan dalam rangka menghasilkan suatu bangunan fungsional yang optimal

dengan total biaya minimum. Untuk pemilihan lokasi check dam ini memperhatikan topografi dan

Page 78: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

68

tempat pengambilan tanah sebagai bahan timbunan yang tidak jauh dari tempat lokasi perencanaan.

Lokasi material urugan ini diusahakan terdapat di bagian hulu dimana check dam ini akan dibangun.

Bangunan check dam ini diletakkan setelah sabo dam, berarti sedimen yang masuk ke dalam tampungan

sedimen check dam merupakan sisa dari sedimen yang tertampung pada sabo.

Gambar 10. Potongan memanjang konstruksi cek dam (PT. Indra Karya, 2010)

Pada umumnya, tubuh check dam akan dimanfaatkan sekaligus sebagai pelimpah dengan melapisi tubuh

check dam dengan pasangan, atau saluran pelimpah ditempatkan pada tanah asli di sebelah kiri atau

kanan tubuh check dam. Untuk mengindari gerusan air dalam tubuh check dam maka permukaan dalam

tubuh check dam harus di tanami gebalan rumput.

10. Biopori (BPT)

Lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan

diameter 10-30 cm dan kedalaman sekira 100 cm, atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah

dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah (Gambar 7.18). Lubang diisi dengan sampah

organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan

kecil) yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Lubang resapan biopori merupakan

teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk meningkatkan daya resapan air dalam mengantisipasi

kelangkaan air. Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air,

setidaknya sebesar luas kolom atau dinding lubang.

Dengan aktivitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa

terpelihara keberadaannya. Karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam

meresap air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara

bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air. Lubang resapan biopori

"diaktifkan" dengan memberikan sampah organik ke dalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai

sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah

yang telah didekomposisi ini dikenal dengan kompos. Melalui proses itu maka lubang resapan biopori

selain berfungsi sebagai bidang peresap air juga sekaligus sebagai "pabrik" pembuat kompos. Kompos

dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada

berbagai jenis tanaman, seperti tanaman hias, sayuran, dan jenis tanaman lainnya.

Adapun cara pembuatan lubang biopori:

1. Buat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diamater 10 cm. Kedalaman

kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal.

Jarak antarlubang antara 50 - 100 cm.

2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2-3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling

mulut lubang.

3. Isi lubang dengan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa tanaman, dedaunan

atau pangkasan rumput.

4. Sampah organik perlu selalu ditambahkan kedalam lubang yang isinya sellau berkurang dan

menyusup akibat proses pelapukan.

Page 79: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

69

5. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau

dengan pemeliharaan lubang resapan.

Gambar 11. Biopori di bawah pohon

Sumber: www.facebook.com /note.php?note_id =94129957324

11. Sumur Resapan Pedesaan Individual (SRD)

Fungsi hutan di kawasan pedesaan dapat digantikan dengan menggunakan sumur resapan komunal .

Beberapa model sumur resapan individu untuk daerah pedesaan antara lain adalah sumur resapan dari

bambu dan sumur resapan dengan lubang kerikil serta lubang resapan biopori (LRB) (Gambar 7.19).

Sumur tidak akan melambatkan tetesan air hujan sebelum mencapai tanah, namun akan meningkatkan

kapasitas resapantanah di sekitar sumur.

Gambar 12. Sumur resapan individu

Sumber: http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW

Fungsi sumur ini bukan sebagi sumur resapan biasa, namun memiliki fungsimengkondisikan tanah

disekitar sumur mampu secara optimal meresapkan air. Bila kita membangun sumur secara komunal

Page 80: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

70

dalam suatu kawasan, kita dapat memperoleh daerah resapan yang luas, dan semakin besar air hujan

yangterpanen dan seolah-olah petani menciptakan sebuah waduk bawah tanah yangsangat luas yang

mampu menyediakan airt bagi tanaman serta mencegah banjir bandang.

Sumur resapan ini dibuat dari anyaman bambu, dengan diameter 80 cm dankedalaman 2,5 – 3 meter

(Gambar 7.20). Diletakkan dekat dengan sistem saluran air, dengan jarak antar sumur sekitar 20 meter.

Sumur- sumur ini sebaiknya disiapkan padamusim kemarau di lahan tadah hujan dataran rendah.

Gambar 13. Sumur resapan dangkal dari bambu

Sumber: Adi Widjaja, M.Sc., http://www.scribd.com/doc/112139730/Skema-Sumur-Resapan-Dangkal

Untuk lokasi yang sulit mendapatkan bambu, tetapi banyak batu atau kerikil dapat dibuat sumur resapan

dari kerikil. Kerikil yang digunakan dapat berukuran 2-20 mm (Gambar 7.21). Alternatif lainnya adalah

batuan yang besar dipecahkan menjadi ukuran kerikil. Jumlah kerikil yang dibutuhkan sekitar 2 m3.

Cara pembuatan sumur resapan ini seperti model sumur resapan bambu, hanya lubang yang telah dibuat

kemudian diisi kerikil. Air dari atap diarahkan menuju sumur resapan tersebut. Cara ini lebih mudah

dan sederhana, tetapi daya tampungnya sedikit dan ada kemungkinan tertutupi. Untuk memudahkan

dalam pembuatan, di bawah ini diuraikan langkah-langkahnya.

Page 81: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

71

Gambar 14. Sumur resapan dengan kerikil

Sumber http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW

12. Sumur Resapan Perumahan / Perkotaan Indivdual (SRP)

Upaya pengendalian limpasan permukaan bertujuan untuk menurunkan volume limpasan permukaan,

mengendalikan daya rusak limpasan permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan. Program

dan kegiatan sipil teknis berbasis lahan dalam pengelolaan sumberdaya air di Kab Mojokerto salah

satunya adalah pembuatan daerah resapan berupa sumur resapan perumahan / perkotaan individual.

Sumur resapan bertujuan untuk menurunkan volume limpasan permukaan dan meresapkan air ke zona

bawah tanah sehingga cadangan air bawah tanah bertambah (Gambar 7.22).

Gambar 15. Sumur resapan di pemukiman untuk cadangan air bawah tanah

Sumber: blog.beswandjarum.com/

Bangunan sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat

sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi

sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan

meresapkannya ke dalam tanah.

Page 82: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

72

Sumur resapan berfungsi memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksikan air hujan

ke dalam tanah. Sasaran lokasi adalah daerah peresapan air di kawasan budidaya, permukiman,

perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya.

Manfaat sumur resapan adalah:

1. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah / mengurangi terjadinya banjir dan

genangan air.

2. Mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah.

3. Mengurangi erosi dan sedimentasi

4. Mengurangi / menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan kawasan pantai

5. Mencegah penurunan tanah (land subsidance)

6. Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.

Bentuk dan jenis bangunan sumur resapan dapat berupa bangunan sumur resapan air yang dibuat

segiempat atau silinder dengan kedalaman tertentu dan dasar sumur terletak di atas permukaan air

tanah. Berbagai jenis konstruksi sumur resapan adalah:

1. Sumur tanpa pasangan di dinding sumur, dasar sumur tanpa diisi batu belah maupun ijuk

(kosong)

2. Sumur tanpa pasangan di dinding sumur, dasar sumur diisi dengan batu belah dan ijuk.

3. Sumur dengan susunan batu bata, batu kali atau bataki di dinding sumur, dasar sumur diisi

dengan batu belah dan ijuk atau kosong.

4. Sumur menggunakan buis beton di dinding sumur

5. Sumur menggunakan blawong (batu cadas yang dibentuk khusus untuk dinding sumur).

Konstruksi-konstruksi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, pemilihannya

tergantung pada keadaaan batuan / tanah (formasi batuan dan struktur tanah).

Pada tanah / batuan yang relatif stabil, konstruksi tanpa diperkuat dinding sumur dengan dasar sumur

diisi dengan batu belah dan ijuk tidak akan membahayakan bahkan akan memperlancar meresapnya air

melalui celah-celah bahan isian tersebut.

Pada tanah / batuan yang relatif labil, konstruksi dengan susunan batu bata / batu kali / batako untuk

memperkuat dinding sumur dengan dasar sumur diisi batu belah dan ijuk akan lebih baik dan dapat

direkomendasikan.

Pada tanah dengan / batuan yang sangat labil, konstruksi dengan menggunakan buis beton atau blawong

dianjurkan meskipun resapan air hanya berlangsung pada dasar sumur saja.

Bangunan pelengkap lainnya yang diperlukan adalah bak kontrol, tutup sumur resapan dan tutup bak

kontrol, saluran masuklan dan keluaran / pembuangan (terbuka atau tertutup) dan talang air (untuk

rumah yang bertalang air).

Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaaan Umum menetapkan data teknis sumur resapan air sebagai

berikut : (1) Ukuran maksimum diameter 1,4 meter, (2) Ukuran pipa masuk diameter 110 mm, (3)

Ukuran pipa pelimpah diameter 110 mm, (4) Ukuran kedalaman 1,5 sampai dengan 3 meter, (5) Dinding

dibuat dari pasangan bata atau batako dari campuran 1 semen : 4 pasir tanpa plester, (6) Rongga sumur

resapan diisi dengan batu kosong 20/20 setebal 40 cm, (7) Penutup sumur resapan dari plat beton tebal

10 cm dengan campuran 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil.

Berkaitan dengan sumur resapan ini terdapat SNI No: 03- 2453-2002 tentang Tata Cara Perencanaan

Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan. Standar ini menetapkan cara perencanaan sumur

resapan air hujan untuk lahan pekarangan termasuk persyaratan umum dan teknis mengenai batas muka

air tanah (mat), nilai permeabilitas tanah, jarak terhadap bangunan, perhitungan dan penentuan sumur

resapan air hujan. Air hujan sdslsh sir hujan yang ditampung dan diresapkan pada sumur resapan dari

bidang tadah.

Persyaratan umum yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:

1. Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar;

2. Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar;

Page 83: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

73

3. Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya;

4. Harus memperhatikan peraturan daerah setempat;

5. Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui Instansi yang berwenang.

Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain adalah sebagai berikut:

1. Ke dalam air tanah minimum 1,50 m pada musin hujan;

2. Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permebilitas tanah ≥ 2,0 cm/jam.

3. Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan adalah: (a) terhadap sumur air

bersih 3 meter, sumur resapan tangki septik 5 meter dan terhadap pondasi bangunan 1 meter.

13. Efisiensi pemanfaatan air irrigasi (EAI)

Irigasi merupakan pengguna air yang terbesar (lebih dari 85%) di Indonesia termasuk di Kab. Mojokerto.

Di lapangan, ada beberapa contoh situasi di mana air yang terbuang melalui praktek-praktek

pengelolaan air dalam sistem irrigasi yang buruk. Ini termasuk:

• Jumlah air diterapkan melebihi dari kebutuhan tanaman

• Kurang seragamnya aplikasi air

• Tingkat curah hujan lebih tinggi dari tingkat infiltrasi tanah

• Rusak atau tidak berfungsi jaringan dan peralatan irrigasi

• Limpasan permukaan masih tinggi

Dengan adanya isu kerentanan air saat ini, pemberian air irrigasi yang tepat, akurat dan sesuai sasaran

kebutuhan tanaman sehingga memberikan efisiensi irrigasi yang tinggi adalah suatu kebutuhan. Irrigasi

yang baik adalah aplikasi air irrigasi yang efisien dengan jumlah air yang tepat dengan pemberian air pada

tanaman pada waktu yang tepat dan di tempat yang tepat. Untuk itu dalam pemberian air irrigasi ke

lahan, petani atau HIPPA perlu mempertimbangkan:

• Akurasi rancangan lahan irrigasi termasuk sistem irigasinya

• Karakteristik, jumlah, laju aliran dan kualitas pasokan air

• Penilian sistem Pertanian yang diterapkan– Perkiraan kebutuhan air

• Faktor Pembatas Ketersediaan Air – dan implikasinya pada lahan

• Strategi untuk mengatasi kekeringan

• Jenis dan sifat Tanah serta kedalaman zona akar

• Jadwal Irigasi

• Target kinerja Sistem

• Isu Kualitas air

• Biaya air

• Dampak terhadap lingkungan sebagai akibat praktek irigasi

• Ketrampilan dan pelatihan petani untuk pemanfaatan air yang efisien

• Strategi untuk mengadopsi teknologi baru

• Evaluasi sistem manajemen dan efisiensi irrigasi secara berkala

• Prosedur perawatan

• Dokumentasi perbaikan sistem irigasi

Efisiensi irigasi harus menjadi prioritas bagi petani dan Dinas Pertanian. Ada beberapa persyaratan

utama yang harus berhasil dicapai dalam rangka untuk memastikan irigasi yang efisien. Persyaratan

utama efisiensi irigasi adalah:

• Rancangan sistem irigasi berkualitas tinggi

• Pemasangan sistem sesuai dengan kualitas rancangan

• Standar tinggi dalam pemeliharaan hardware di sistem / peralatan irrigasi

• Presisi manajemen dan kontrol (penjadwalan) dari sistem irigasi

Page 84: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur

74

14. Efisiensi Pemanfaatan air baku di rumah tangga dan industry (EPA)

Kelangkaan air yang terjadi di Kab Mojokerto dimasa mendatang dapat dikarenakan pemborosan dalam

pemakaian air. Dengan melakukan efisiensi penggunaan air, tentunya akan sangat membantu dalam hal

mengatasi krisis air yang terjadi dikemduian hari. Efisiensi yang dilakukan dapat dilakukan dalam proses

penggunaan termasuk perubahan perilaku masyarakat dalam berhemat air, seperti penerapan

pengaturan pemakaian maupun proses pasca penggunaan seperti mendaur ulang limbah air untuk

digunakan kembali.

Metode mendaur ulang air limbah (BPTP, 2012)‚ yaitu pengolahan air limbah hingga menjadi air bersih

yang juga bisa digunakan untuk air minum. Teknologi yang digunakan yaitu biofiltrasi-ultrafiltrasi-RO.

Teknologi ini dapat menghasilkan air bersih siap pakai tanpa bahan kimia. Biaya produksi air bersih

dengan menggunakan teknologi ini pun lebih murah yaitu sekitar Rp 650-1000/L, dibandingkan dengan

menggunakan sistem konvensional yang membutuhkan biaya produksi sekitar Rp 1800-2500/L. Sebagai

contoh jika teknologi pengolahan air bersih ini diterapkan di suatu rumah tangga atau kantor, dengan

kebutuhan air sebanyak 200 m3/hari, dengan alat daur ulang kita mampu melakukan efisiensi air bersih

hingga 30% atau 60 m3/hari. Jika asumsi Rp. 10. 000/ m3Â nya, maka kita dapat menghemat Rp 180

juta per tahun. Selain penghematan rupiah yang bisa kita lakukan, kita pun dapat membantu mengatasi

krisis. Bayangkan jika semua kantor, industri maupun pemukiman penduduk dapat menerapkan

teknologi ini, maka banyak air yang dapat diselamatkan agar tidak terbuang percuma. Teknologi serupa

adalah bangunan wetland yang memanfaatan mikroorganisme dan tanaman dalam menjernihkan air.

Page 85: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 75

LAMPIRAN 26: NERACA AIR PADA SETIAP SUBDAS DI KABUPATEN MOJOKERTO

Sub-DAS No.1

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 766.38 272.36 0 494.02 494.02

2006 2081 1981.26 532.6 0.01 1448.64 1448.65

2015 1301 1183.62 489.25 0 694.38 694.38

2030 440.52 409 123.83 0 285.19 285.19

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 766.38 272.36 0 494.02 494.02

2006 2081 1836.73 1510.85 18.38 307.54 325.92

2015 1301 1186.12 492.06 0.01 694.05 694.06

2030 440.52 380.21 311.21 0 69.01 69.01

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 766.38 272.36 0 494.02 494.02

2006 2081 2005.62 380.28 0 1625.38 1625.38

2015 1301 1182.71 488.25 0.01 694.44 694.45

2030 440.52 393.38 86.99 0 306.36 306.36

Page 86: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 76

SubDAS No.2

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783.18 761.75 264.68 0 497.05 497.05

2006 2080.88 1957.97 594.08 0.01 1363.88 1363.89

2015 1301.01 1162.57 501.61 0 660.96 660.96

2030 447.46 409.77 138.55 0 271.19 271.19

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783.18 761.75 264.68 0 497.05 497.05

2006 2080.88 1791.61 1669.36 26.38 95.87 122.25

2015 1301 1165.29 504.66 0 660.58 660.58

2030 440.52 374.63 339.69 0 34.94 34.94

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783.18 761.75 264.68 0 497.05 497.05

2006 2080.88 1969.98 516.13 0.01 1453.81 1453.82

2015 1301 1162.2 501.18 0.06 660.98 661.04

2030 440.52 379.78 104.19 0 275.56 275.56

Page 87: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 77

SubDAS No.3

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 767.02 238.91 0 528.11 528.11

2006 2080.23 1993.13 535.02 0.01 1458.1 1458.11

2015 1301 1208.9 460.72 0 748.23 748.23

2030 440.37 415.38 117.26 0 298.1 298.1

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 767.02 238.91 0 528.11 528.11

2006 2080.23 1924.38 1002.25 3.29 918.83 922.12

2015 1301 1210.39 462.37 0.03 748.07 748.1

2030 440.37 397.33 201.51 0 195.83 195.83

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 767.02 238.91 0 528.11 528.11

2006 2080.23 2011.43 419.65 0 1591.73 1591.73

2015 1301 1208.24 460.02 0 748.27 748.27

2030 440.37 401.66 80.63 0 321.04 321.04

Page 88: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 78

SubDAS No.4

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1974 1848.46 477.63 0 1370.82 1370.82

2006 1604.22 1520 461.8 0 1058.26 1058.26

2015 1413.8 1337.71 368.66 0 969.11 969.11

2030 898.27 816.94 235.33 0 581.66 581.66

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1974 1848.46 477.63 0 1370.82 1370.82

2006 1604.22 1518.49 473.99 0 1044.47 1044.47

2015 1413.8 1337.8 368.74 0 969.11 969.11

2030 898.27 820.62 241.82 0 578.81 578.81

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1974 1848.46 477.63 0 1370.82 1370.82

2006 1604.22 1527.35 401.88 0 1125.45 1125.45

2015 1413.8 1337.25 368.15 0 969.11 969.11

2030 898.27 785.73 198.63 0 587.03 587.03

Page 89: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 79

SubDAS No.5

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 762.4 256.66 0 505.77 505.77

2006 2080.76 1971.6 553.13 0.02 1418.56 1418.58

2015 1401 1318.1 425.02 0 893.16 893.16

2030 440.47 406.02 124.69 0 281.34 281.34

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 762.4 256.66 0 505.77 505.77

2006 2080.76 1903.53 1018.13 2.65 882.73 885.38

2015 1401 1319.28 426.16 0 893.16 893.16

2030 440.47 383.8 210.54 0 173.24 173.24

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 762.4 256.66 0 505.77 505.77

2006 2080.76 1983.75 476.21 0.01 1507.56 1507.57

2015 1401 1317.79 424.75 0 893.16 893.16

2030 440.47 388.02 94.14 0 293.89 293.89

Page 90: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 80

SubDAS No.6

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1622 1537.53 434.81 0 1102.69 1102.69

2006 2012.3 1907.03 709.58 0.54 1196.87 1197.41

2015 1364 1315.19 459.28 0 855.94 855.94

2030 1169.3 1102.25 434.9 0 667.34 667.34

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1622 1537.53 434.81 0 1102.69 1102.69

2006 2012.3 1900.95 752.14 0.96 1147.81 1148.77

2015 1364 1315.35 459.43 0 855.94 855.94

2030 1169.3 1101.98 460.35 0 641.59 641.59

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1622 1537.53 434.81 0 1102.69 1102.69

2006 2012.3 1924.12 591.73 0.05 1332.3 1332.35

2015 1364 1314.7 458.75 0 855.94 855.94

2030 1169.3 1073.73 349.64 0 724.14 724.14

Page 91: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 81

SubDAS No.7

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2004 1882.74 554.39 0 1328.36 1328.36

2006 1673.6 1584.66 531.73 0.24 1052.67 1052.91

2015 1690.8 1613.42 501.83 0 1111.57 1111.57

2030 1148.6 1055.6 339.7 0 715.84 715.84

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2004 1882.74 554.39 0 1328.36 1328.36

2006 1673.6 1582.84 547.46 0.31 1035.03 1035.34

2015 1690.8 1613.58 501.97 0 1111.57 1111.57

2030 1148.6 1055.47 349.7 0 705.72 705.72

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2004 1882.74 554.39 0 1328.36 1328.36

2006 1673.6 1591.1 475.88 0 1115.18 1115.18

2015 1690.8 1612.99 501.4 0 1111.57 1111.57

2030 1148.6 993.86 249.15 0 744.72 744.72

Page 92: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 82

SubDAS No.8

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1798 1750.22 361.22 0 1389.04 1389.04

2006 1742.69 1684.58 383.19 0 1301.34 1301.34

2015 1495.3 1439.81 320.36 0 1119.4 1119.4

2030 1026.98 964.76 224.8 0 739.98 739.98

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1798 1750.22 361.22 0 1389.04 1389.04

2006 1742.69 1683.36 392.21 0 1291.14 1291.14

2015 1495.3 1439.84 320.41 0 1119.4 1119.4

2030 1026.98 967.7 230.82 0 736.94 736.94

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1798 1750.22 361.22 0 1389.04 1389.04

2006 1742.69 1684.52 383.22 0 1301.31 1301.31

2015 1495.3 1439.81 320.36 0 1119.4 1119.4

2030 1026.98 917.46 218.85 0 698.57 698.57

Page 93: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 83

SubDAS No. 9

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1795.5 1678.34 443.09 0 1235.22 1235.22

2006 1742.24 1638.16 410.42 0 1227.79 1227.79

2015 1495.3 1417.47 332.49 0 1084.88 1084.88

2030 1054.58 965.52 221.92 0 743.55 743.55

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1795.5 1678.34 443.09 0 1235.22 1235.22

2006 1742.24 1635.26 429.8 0 1205.53 1205.53

2015 1495.3 1417.6 332.61 0 1084.88 1084.88

2030 1054.58 962.85 232.49 0 730.4 730.4

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1795.5 1678.34 443.09 0 1235.22 1235.22

2006 1742.24 1643.22 376.43 0 1266.83 1266.83

2015 1495.3 1417.24 332.28 0 1084.88 1084.88

2030 1054.58 890.2 194.95 0 695.25 695.25

Page 94: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 84

SubDAS No.10

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2012.2 1830.4 665.9 0 1164.37 1164.37

2006 1869 1753.18 476.04 0 1276.73 1276.73

2015 1588.8 1480.27 422.48 0 1057.58 1057.58

2030 1379.76 1228.05 394.09 0 833.8 833.8

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2012.2 1830.4 665.9 0 1164.37 1164.37

2006 1869 1752.22 484.38 0 1267.32 1267.32

2015 1588.8 1480.35 422.56 0 1057.58 1057.58

2030 1379.76 1232.76 401.72 0 830.89 830.89

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2012.2 1830.4 665.9 0 1164.37 1164.37

2006 1869 1755.88 452.08 0 1303.26 1303.26

2015 1588.8 1480.05 422.23 0 1057.58 1057.58

2030 1379.76 1146.41 297.6 0 848.75 848.75

Page 95: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 85

SubDAS No. 11

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1981.28 1810.23 698.76 0.41 1118.99 1119.4

2006 1796.56 1699.84 643.83 0.74 1056.21 1056.95

2015 1405.94 1308.62 518.86 0 790.38 790.38

2030 1232.55 1140.37 435.26 0 705.14 705.14

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1981.28 1811.91 650.94 0.23 1168.91 1169.14

2006 1796.56 1702.57 591.13 0.56 1111.83 1112.39

2015 1405.94 1308.16 518.47 0 790.49 790.49

2030 1232.55 1105.41 379.98 0 725.46 725.46

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1981.28 1810.23 698.76 0.41 1118.99 1119.4

2006 1796.56 1704.16 592.97 0.36 1111.83 1112.19

2015 1405.94 1308.16 518.47 0 790.49 790.49

2030 1232.55 1105.41 379.98 0 725.46 725.46

Page 96: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 86

SubDAS No.12

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1973.06 1781.68 710.55 0.28 1076.16 1076.44

2006 1667.33 1544.35 526.5 0.26 1032.65 1032.91

2015 1458.8 1339.86 568.35 0.26 762.56 762.82

2030 1177.48 1053.5 455.42 0 594.75 594.75

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1973.06 1781.68 710.55 0.28 1076.16 1076.44

2006 1667.33 1543.67 533.89 0.3 1024.48 1024.78

2015 1458.8 1339.95 568.41 0.26 762.56 762.82

2030 1177.48 1055.49 462.39 0 589.65 589.65

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1973.06 1781.68 710.55 0.28 1076.16 1076.44

2006 1667.33 1547.72 492.66 0.08 1070.51 1070.59

2015 1458.8 1339.54 568.12 0.25 762.56 762.81

2030 1177.48 1011.56 412.82 0 595.46 595.46

Page 97: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 87

SubDAS No.13

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1886 1710.38 683.48 0.24 1036.75 1036.99

2006 1531.94 1414.65 549.12 0.09 877.72 877.81

2015 1567.25 1446.47 578.1 0.24 863.22 863.46

2030 1264.9 1144.35 481.62 0 661 661

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1886 1710.38 683.48 0.24 1036.75 1036.99

2006 1531.94 1414.5 551.31 0.1 875.27 875.37

2015 1567.25 1446.48 578.13 0.24 863.22 863.46

2030 1264.9 1145.81 484.25 0 659.85 659.85

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1886 1710.38 683.48 0.24 1036.75 1036.99

2006 1531.94 1417.11 522.72 0 906.9 906.9

2015 1567.25 1446.16 577.84 0.24 863.22 863.46

2030 1264.9 1116.64 448.35 0.04 666.65 666.69

Page 98: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 88

SubDAS No.14

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1953.84 1804.41 775.17 0.62 1013.02 1013.64

2006 1965.6 1821.13 726.15 0.99 1105.62 1106.61

2015 1349 1231.2 486.74 0 749.9 749.9

2030 1220.2 1108.84 449.96 0 657.8 657.8

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1953.84 1804.41 775.17 0.62 1013.02 1013.64

2006 1965.6 1817.16 777.11 1.46 1049.23 1050.69

2015 1349 1231.52 487.03 0 749.9 749.9

2030 1220.2 1097.21 468.52 0 627.56 627.56

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1953.84 1804.41 775.17 0.62 1013.02 1013.64

2006 1965.6 1821.78 718.11 0.94 1114.39 1115.33

2015 1349 1231.12 486.7 0 749.9 749.9

2030 1220.2 1090.37 427.31 0 662.05 662.05

Page 99: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 89

SubDAS No.15

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1873.69 1733.53 677.22 0.18 1049.98 1050.16

2006 1713.64 1610.63 623.65 0.33 989.09 989.42

2015 1762 1655.15 554.96 0 1102.17 1102.17

2030 1342.58 1243.25 475.05 0 768.11 768.11

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1873.69 1733.53 677.22 0.18 1049.98 1050.16

2006 1713.64 1610.29 626.95 0.37 985.47 985.84

2015 1762 1655.16 555.01 0 1102.17 1102.17

2030 1342.58 1242.54 477.71 0 764.83 764.83

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1873.69 1733.53 677.22 0.18 1049.98 1050.16

2006 1713.64 1613.85 591.04 0.16 1024.99 1025.15

2015 1762 1655.07 554.79 0.01 1102.38 1102.39

2030 1342.58 1188.9 423.06 0 765.96 765.96

Page 100: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 90

SubDAS No.16

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1429 1364.55 375.33 0 989.2 989.2

2006 1611.18 1533.6 503.08 0 1030.53 1030.53

2015 1749 1675.86 491.33 0 1184.46 1184.46

2030 1081.96 1028.41 307.71 0 720.71 720.71

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1429 1364.55 375.33 0 989.2 989.2

2006 1611.18 1533.21 507.92 0 1025.33 1025.33

2015 1749 1675.91 491.42 0 1184.45 1184.45

2030 1081.96 1027.08 310.53 0 716.52 716.52

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1429 1364.55 375.33 0 989.2 989.2

2006 1611.18 1540.85 437.81 0 1103.07 1103.07

2015 1749 1675.32 490.83 0 1184.47 1184.47

2030 1081.96 991.04 267.11 0 723.92 723.92

Page 101: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 91

SubDAS No.17

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1429 1369.59 355.13 0 1014.41 1014.41

2006 1611 1521.13 581.91 0.3 938.99 939.29

2015 1749 1664.65 585.71 0.19 1078.7 1078.89

2030 1081.85 1020.27 366.53 0 653.66 653.66

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1429 1369.59 355.13 0 1014.41 1014.41

2006 1611 1518.95 602.61 0.36 915.98 916.34

2015 1749 1664.81 585.89 0.19 1078.68 1078.87

2030 1081.85 1015.3 379.56 0 635.74 635.74

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1429 1369.59 355.13 0 1014.41 1014.41

2006 1611 1536.36 444.6 0 1091.74 1091.74

2015 1749 1663.46 584.45 0.18 1078.77 1078.95

2030 1081.85 977.32 279.87 0 697.42 697.42

Page 102: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 92

SubDAS No.18

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1876.31 1753.83 644.53 0.03 1109.21 1109.24

2006 1835.34 1715.64 675.55 0.73 1039.31 1040.04

2015 1762 1645.41 578.29 0.06 1067.04 1067.1

2030 1324.45 1211.38 488.06 0 723.35 723.35

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1876.31 1753.83 644.53 0.03 1109.21 1109.24

2006 1835.34 1713.2 699.56 0.86 1012.78 1013.64

2015 1762 1645.54 578.46 0.07 1067 1067.07

2030 1324.45 1170.53 501.52 0 669.14 669.14

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1876.31 1753.83 644.53 0.03 1109.21 1109.24

2006 1835.34 1726.31 568.55 0.21 1157.53 1157.74

2015 1762 1644.62 577.46 0.06 1067.06 1067.12

2030 1324.45 1147.37 398.56 0 748.85 748.85

Page 103: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 93

SubDAS No.19

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1918.25 1732.32 742.26 0.44 989.65 990.09

2006 1859.74 1772.42 640.62 0.74 1131.03 1131.77

2015 1749 1671.92 499.19 0 1172.74 1172.74

2030 1190 1046.24 507.04 0 539.28 539.28

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1918.25 1732.32 742.26 0.44 989.65 990.09

2006 1859.74 1760.18 782.04 1.94 976.15 978.09

2015 1749 1672.75 500.07 0.01 1172.65 1172.66

2030 1190 1000.52 527.77 0 472.74 472.74

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1918.25 1732.32 742.26 0.44 989.65 990.09

2006 1859.74 1772.91 634.32 0.68 1137.89 1138.57

2015 1749 1671.83 499.1 0 1172.74 1172.74

2030 1190 1018.12 387.03 0 631.02 631.02

Page 104: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 94

SubDAS No.20

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2650 2371.12 1105.35 3.83 1248.11 1251.94

2006 2494.23 2235.36 1281.39 19.04 925.85 944.89

2015 2061 1857.27 1049.87 4.14 799.57 803.71

2030 1308.27 1093.38 752.76 0.16 340.29 340.45

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2650 2371.12 1105.35 3.83 1248.11 1251.94

2006 2494.23 2221.62 1429.05 24.87 758.61 783.48

2015 2061 1858.35 1050.73 4.23 799.57 803.8

2030 1308.27 1084.71 830.47 0.49 253.57 254.06

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2650 2371.12 1105.35 3.83 1248.11 1251.94

2006 2494.23 2262.42 995.03 8.47 1249.64 1258.11

2015 2061 1854.76 1047.66 4.12 799.57 803.69

2030 1308.27 1043.69 577.9 0 465.56 465.56

Page 105: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 95

SubDAS No.21

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1778 1687.62 487.89 0 1199.67 1199.67

2006 2107.85 2015.62 823.3 2.38 1189.99 1192.37

2015 1749 1638.02 645.61 0.23 992.22 992.45

2030 1581.97 1460.78 589.35 0.16 871.31 871.47

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1778 1687.62 487.89 0 1199.67 1199.67

2006 2107.85 1981.93 1271.54 15.17 695.19 710.36

2015 1749 1640.23 647.99 0.23 992.06 992.29

2030 1581.97 1464.38 857.25 1.77 605.4 607.17

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1778 1687.62 487.89 0 1199.67 1199.67

2006 2107.85 2021.25 754.09 1.69 1265.53 1267.22

2015 1749 1637.58 645.15 0.22 992.23 992.45

2030 1581.97 1416.77 535.83 0 880.88 880.88

Page 106: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 96

SubDAS No.22

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1778 1698.23 637.59 0.04 1060.64 1060.68

2006 2108 2040.61 783.86 1.95 1254.91 1256.86

2015 1749 1643.97 617.34 0.16 1026.38 1026.54

2030 1582.04 1468.13 563.84 0.03 904.25 904.28

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1778 1698.23 637.59 0.04 1060.64 1060.68

2006 2108 1998.76 1331.76 16.18 650.81 666.99

2015 1749 1646.75 620.24 0.18 1026.22 1026.4

2030 1582.04 1443.08 904.27 1.02 537.84 538.86

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1778 1698.23 637.59 0.04 1060.64 1060.68

2006 2108 2038.44 810.96 2.14 1225.34 1227.48

2015 1749 1644.16 617.54 0.16 1026.36 1026.52

2030 1582.04 1450.21 581.88 0 868.29 868.29

Page 107: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 97

SubDAS No.23

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2134.5 1954.85 1244.71 9.38 655.56 664.94

2006 2049.8 1752.98 1032.83 9.1 729.33 738.43

2015 1775 1559.74 827.52 1.81 729.43 731.24

2030 1605.71 1397.02 780.01 0.94 613.51 614.45

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2134.5 1954.85 1244.71 9.38 655.56 664.94

2006 2049.8 1742.11 1126.72 12.53 619.1 631.63

2015 1775 1560.51 828.1 1.86 729.43 731.29

2030 1605.71 1348.58 850.5 2.67 492.99 495.66

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2134.5 1954.85 1244.71 9.38 655.56 664.94

2006 2049.8 1774.34 833.41 3.84 958.77 962.61

2015 1775 1557.8 826.14 1.74 729.43 731.17

2030 1605.71 1338.16 602.71 0 733.34 733.34

Page 108: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 98

SubDAS No.24

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 3522 3242.84 2067.07 44.22 1072.02 1116.24

2006 2880.66 2575.27 1634.67 35.73 907.9 943.63

2015 2061 1857.03 1212.72 10.8 614.63 625.43

2030 1682.92 1371.69 995.12 6.87 369.43 376.3

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 3522 3242.84 2067.07 44.22 1072.02 1116.24

2006 2880.66 2560.61 1797.17 42.42 718.08 760.5

2015 2061 1858.71 1213.97 10.92 614.63 625.55

2030 1682.92 1351.9 1066.4 12.38 272.83 285.21

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 3522 3242.84 2067.07 44.22 1072.02 1116.24

2006 2880.66 2614.47 1125.17 16.66 1488.24 1504.9

2015 2061 1851.66 1208.71 10.45 614.63 625.08

2030 1682.92 1273.31 697 0.51 575.36 575.87

Page 109: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 99

SubDAS No.25

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 3522 3136.1 2486.1 64.87 582.1 646.97

2006 2880.99 2529.61 1835.25 46.07 649.11 695.18

2015 2061 1803.35 1465.29 21.66 314.04 335.7

2030 1683.04 1328.81 1117.77 14.05 196.87 210.92

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 3522 3136.1 2486.1 64.87 582.1 646.97

2006 2880.99 2515.42 1925.4 49.69 541.31 591

2015 2061 1804.17 1466.09 21.67 314.04 335.71

2030 1683.04 1311.13 1153.58 19.26 138.25 157.51

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 3522 3136.1 2486.1 64.87 582.1 646.97

2006 2880.99 2599.82 1214.82 21.41 1363.82 1385.23

2015 2061 1798.72 1460.8 21.76 314.04 335.8

2030 1683.04 1217.86 756.66 3.01 458.23 461.24

Page 110: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 100

SubDAS No.26

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1756 1401.31 27.4 268.39 295.79

2006 2313.12 1920.05 1612.81 32.04 287.39 319.43

2015 2061 1707.77 1399.6 19.56 306.87 326.43

2030 1670.77 1419.57 1187.43 14.51 217.23 231.74

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1756 1401.31 27.4 268.39 295.79

2006 2313.12 1904.25 1722.49 37.69 154.95 192.64

2015 2061 1708.47 1400.11 19.65 306.87 326.52

2030 1670.77 1417.31 1273.76 19.43 123.77 143.2

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1756 1401.31 27.4 268.39 295.79

2006 2313.12 1936.64 1484.34 26.86 439.23 466.09

2015 2061 1707.05 1399.06 19.56 306.87 326.43

2030 1670.77 1401.55 1075.78 11.18 314.2 325.38

Page 111: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 101

SubDAS No.27

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1712.78 1270.58 19.57 411.82 431.39

2006 2313.01 1976.42 1442.11 25.46 512 537.46

2015 1775 1471.78 1081.59 7.84 384 391.84

2030 1605.53 1332.62 1019.62 7.59 305.38 312.97

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1712.78 1270.58 19.57 411.82 431.39

2006 2313.01 1970.48 1481.06 26.77 465.99 492.76

2015 1775 1471.96 1081.74 7.89 384 391.89

2030 1605.53 1312.16 1036.08 9.68 266.3 275.98

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1712.78 1270.58 19.57 411.82 431.39

2006 2313.01 2013.07 1146.43 15.05 853.7 868.75

2015 1775 1470.33 1080.41 7.7 384 391.7

2030 1605.53 1276.37 803.32 2.48 470.46 472.94

Page 112: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 102

SubDAS No.28

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1795.84 545.5 0.02 1248.15 1248.17

2006 2313 2167.16 721.6 0.28 1445.12 1445.4

2015 1775 1650.22 558.57 0.02 1091.62 1091.64

2030 1605.53 1491.04 538.42 0 952.57 952.57

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1795.84 545.5 0.02 1248.15 1248.17

2006 2313 2142.66 951.31 0.69 1191.02 1191.71

2015 1775 1651.16 559.47 0.03 1091.62 1091.65

2030 1605.53 1393.97 639.16 0.14 754.71 754.85

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1847 1795.84 545.5 0.02 1248.15 1248.17

2006 2313 2171.49 682.71 0.2 1488.33 1488.53

2015 1775 1650.03 558.37 0.02 1091.62 1091.64

2030 1605.53 1477.11 508.33 0 968.81 968.81

Page 113: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 103

SubDAS No.29

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1951 1635.46 1440.63 10.54 184.04 194.58

2006 2312.8 1924.93 1616.64 33.37 275.62 308.99

2015 1528 1254.87 1041.23 12.09 201.05 213.14

2030 1331.37 1035.83 938.9 8.52 85.49 94.01

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1951 1635.46 1440.63 10.54 184.04 194.58

2006 2312.8 1912.66 1691.67 37.2 184.79 221.99

2015 1528 1255.57 1041.87 12.14 201.05 213.19

2030 1331.37 1032.68 968.62 10.51 50.66 61.17

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 1951 1635.46 1440.63 10.54 184.04 194.58

2006 2312.8 1983.19 1190.58 17.77 774.61 792.38

2015 1528 1251.41 1038.11 11.78 201.05 212.83

2030 1331.37 945.69 663.33 2.36 278.12 280.48

Page 114: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 104

SubDAS No.30

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2684.5 2285.57 2074.19 49.45 146.63 196.08

2006 2010.58 1614.83 1542.14 35.65 30.74 66.39

2015 1638.5 1316.2 1238.87 22.01 50.57 72.58

2030 1450.59 1062.59 1012.48 8.45 41.51 49.96

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2684.5 2285.57 2074.19 49.45 146.63 196.08

2006 2010.58 1614.82 1542.73 35.67 30.08 65.75

2015 1638.5 1316.2 1238.87 22.01 50.57 72.58

2030 1450.59 1060.73 1011.24 8.76 40.58 49.34

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2684.5 2285.57 2074.19 49.45 146.63 196.08

2006 2010.58 1615.26 1538.52 35.5 34.91 70.41

2015 1638.5 1316.2 1238.87 22.01 50.57 72.58

2030 1450.59 1055.81 1001.12 8.34 46.25 54.59

Page 115: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 105

SubDAS No.31

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2693.5 2291.55 2075.81 48.99 166.77 215.76

2006 2596.98 2142.05 1874.94 48.6 218.44 267.04

2015 2061 1756.08 1540.7 27.24 188.13 215.37

2030 1778.87 1354.95 1193.46 17 144.45 161.45

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2693.5 2291.55 2075.81 48.99 166.77 215.76

2006 2596.98 2138.94 1899 50.07 189.95 240.02

2015 2061 1756.26 1540.88 27.24 188.13 215.37

2030 1778.87 1346.83 1201.34 19.4 126.09 145.49

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 2693.5 2291.55 2075.81 48.99 166.77 215.76

2006 2596.98 2168.07 1681.16 40.5 446.41 486.91

2015 2061 1754.9 1539.45 27.31 188.13 215.44

2030 1778.87 1306.57 1076.05 14.21 216.28 230.49

Page 116: USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata ...partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi ketersediaan waktu,

USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 106

SubDAS No.32

BAU

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 764.25 274.33 0 488.73 488.73

2006 2081 1956.81 572.86 0.06 1393.67 1393.73

2015 1401 1313.11 444.11 0 869.74 869.74

2030 440.52 406.02 132.97 0 273.16 273.16

KKL

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 764 274 0 489 489

2006 2081 1808 1577 19 218 238

2015 1401 1315 446 0 870 870

2030 441 372 319 0 53 53

RTRW

Tahun Hujan (mm)

Debit sungai

(mm)

Baseflow

(mm)

Soil Quick Flow

(mm)

Surface Quick Flow

(mm)

Quick Flow

(mm)

2001 783 764 274 0 489 489

2006 2081 1991 364 0 1637 1637

2015 1401 1312 443 0 870 870

2030 441 390 83 0 306 306